Notulensi Diskusi Outlook Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak (MDG 4&5) th 2011 – 2014 Pengantar Prof.Laksono dalam pengantar diskusi menyampaikan apa maksud outlook dalam kebijakan kesehatan khususnya KIA sebagai topik hari ini. Outlook yang dimaksud yaitu harapan-harapan ke depan untuk Kebijakan Ibu dan Anak. Audiens yang hadir pada hari ini sangat mixed, hadir dari pengambil kebijakan yaitu DPR dan Kementrian Kesehatan, juga dari dinas kesehatan, asosiasi di bidang kesehatan (rumahsakit, perinasia), akademisi, PB IDI, NGO, dan media. Diskusi ini dimulai dengan satu Outlook, mencermati dari data-data menarik serta kegiatan yang sedang dan akan dilaksanakan dalam waktu 5 tahun ini. Tahun 2011 ini menjadi sangat penting untuk ke depannya, Outlook ini berisi bagaimana prospek kebijakan KIA di masa mendatang yang memang tidak akan selesai akan dibahas dalam dua jam ini, namun paling tidak diskusi ini dapat sebagai pemicu untuk berpikir. Berdasarkan data yang ada, angka kematian bayi bervariasi antar daerah di Indonesia. Namun yang menarik berdasarkan hasil penelitian, situasi kematian bayi untuk urban flat bahkan diperkirakan lebih buruk daripada rural. Data berikutnya, gap yang relatif besar untuk angka kematian bayi di Jawa, Sumatera, Sulawesi dibandingkan dengan Maluku, NTT, Papua. Hal ini menjadi isu yang sangat krusial, dengan kebijakan yang baru yaitu Jaminan Persalinan (Jampersal) gap akan semakin tinggi, karena ibu-ibu di daerah Jawa akan lebih mudah memanfaatkannya sedangkan di daerah lainnya akan sulit. Di berbagai negara, jaminan harus diikuti dengan perbaikan penyebaran pelayanan. Sehingga pendekatan klinik harus diperbaiki, tujuannya ada balancing. Selama ini tidak terintegrasi dalam pendekatan MDG 4& 5. Dalam materi yang disampaikan, Prof.Laksono membahas berbagai kegiatan saat ini dan mendatang yang perlu diperhatikan dalam Kebijakan KIA antara lain: (1) Perubahan struktur di Kementrian Kesehatan Saat ini Kementrian Kesehatan sudah siap untuk bekerja, berbasis pengalaman masa lalu saat in telah ada perubahan struktur. Prospek Perubahan besar dalam kebijakan kesehatan Ibu&Anak di Kementrian Kesehatan dalam konteks “natural history of disease”. Terdapat continuum of care, saya menggunakan mazhab pendekatan program dengan pencegahan I-II-III yang tidak membeda-bedakan preventif dan kuratif. Saya membahas dari prespektif yang continuum, ini penting karena KIA menyangkut tenaga kesehatan yang banyak (dari bidan sampai spesialis). Di lapangan kita melihat dua grup yang tidak bekerja bersama. Di masa lalu terdapat fragmentasi di Kemkes, Dirjen Binkesmas untuk PONED dan Dirjen Yanmed untuk PONEK dan ini berbeda intensitas. Kalau di Binkes menjadi prioritas, namun di Yanmed bisa dikatakan program “pinggiran” dilihat dari anggaran yang sangat kurang. Sehingga walaupun PONED banyak, tanpa PONEK tidak bisa apa-apa. (2) Kegiatan AusAid di NTT Bagaimana inovasi yang dilakukan, yaitu Program Australian Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal Health yaitu sistem Sister Hospital NTT untuk penguatan PONEK dan rujukan. Program pengiriman tenaga kesehatan dalam bentuk tim, untuk mengisi ketersediaan tenaga di NTT. Penanganannya integrated, bersama-sama antara rumahsakit, puskesmas dan masyarakat. Di masyarakat dilakukan penanganan budaya dan aspek sosiologi masyarakat agar hidup sehat (3) Kegiatan Bank Dunia di Jawa Barat, yaitu Mengembangkan sistem rujukan dan mutu pelayanan kesehatan ibu dan anak. Dikembangkan di berbagai Kabupaten di Propinsi Jawa Barat. Sekarang sedang berjalan. (4) Kegiatan Investment Case, intinya: ada satu hasil untuk DTPS yang baru (diupdate), menggunakan pendekatan klinik yang melibatkan spesialis anak dan obgyn sehingga lebih integrated. Usulan untuk DPTS: - Menggunakan analisis bottleneck 2
-
Melakukan analisis bottleneck dengan tiga pendekatan; (1) personal; (2) keluarga; dan (3) klinik. - Melakukan strategi pembiayaan untuk investasi yang tidak terbatas dari APBD. - Melakukan advokasi ke berbagai pihak termasuk sumber pendanaan (5) Kegiatan EMAS UsAid: yang akan berjalan. Intinya program ini akan berpengaruh 4-5 tahun ke depan. USAID telah puluhan tahun fokus dengan KIA, yang menarik kegiatannya dilakukan hanya bekerja di propinsi besar, logikanya yaitu dengan mengurangi kematian di propinsi besar akan mengurangi kematian secara nasional. Sedangkan AusAid lebih ke equity, sehingga dengan logika masing-masing saling mengisi (komplemen). USAID masuk ke klinik namun lebih fokus ke 4 departemen RS: perempuan yg memiliki komplikasi/emergency di puskesmas / rumasakit (radical save). Asumsinya bahwa yang normal sudah membaik, sehingga perlu meningkatkan klinisnya. USAID menggunakan teknologi informasi dan good governance untuk mengelola. (6) Pengembangan Rencana Aksi Nasional Child Survival Fokus pada kematian, salah satu visi RAN ini bisa mengilhami Sp.A minimal 1 kabupaten memiliki 1 Sp.A yang memiliki visi kuat utk MDG 4& 5. Ini merupakan impian, namun apakah tidak bisa? Kegiatan lainnya: (7) Kebijakan mengenai tenaga kesehatan KIA termasuk task Shifting dan dokter plus. (8) Peningkatan Peran RS swasta dalam kegiatan KIA untuk mencapai MDG4 dan MDG5. (9) Peranan Jaminan Persalinan Nasional dan BOK untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Berdasarkan pembahasan secara mendalam dari berbagai kegiatan ini, penafsiran berbagai kegiatan dalam konteks harapan di masa mendatang (outlook) Kebijakan KIA 2011-2014 adalah sebagai berikut: • ada integrasi preventif dan kuratif yang lebih baik, tidak bisa dipisahkan • fragmentasi primer-sekunder – tertier akan semakin berkurang, termasuk integrasi PONED dan PONEK • Kerjasama antar profesi diharap lebih baik lagi, termasuk memerinci task-shifting. Contoh ekstrim di Afrika: perawat mahir bedah dilatih SC • Diharapkan ada kebijakan yang memperkuat jaringan KIA yang mencakup pemerintah (termasuk lintas sektor), masyarakat dan lembaga swasta dengan DTPS ibu dan anak • Variasi tadi: jangan sampai NTT-Papua-Maluku ditinggal, jangan sampai terkamuflase dengan angka-angka besar. • Mengembangkan inovasi baru seperti sistem kontrak utk daerah sulit (sekarang uang tidak masalah, yg bermasalah adalah penggunaannya), tidak bisa hanya mengandalkan PNS harus bekerjasama dengan swasta. Jangan sampai absorsi dana hanya untuk kegiatan-kegiatan pertemuan-pertemuan misalnya. • Perlu ada kebijakan untuk mutu pelayanan KIA dengan didukung oleh sistem keshtan yang baik. • Ada kebijakan untuk menghubungkan pembiayaan kegiatan dengan mutu pelayanan, misal dalam Jampersal yang dihubungkan dengan sertifikasi dan akreditasi: Bagaimana kita menjamin yang dibayar pemerintah itu mutunya baik? Diskusi Apakah benar penafsiran ini untuk kebijakan KIA mendatang? Bagi akademisi, peneliti dan kosnultan: • Riset apa yang dibutuhkan, termasuk riset kebijakan? • Training dan Konsultasi apa yang dapat dilakukan untuk kebijakan kIA? • Apakah ada mahasiswa S3 yang akan meneliti di area ini?
3
Catatan Diskusi • dr. Rahmat Sentika, Sp.A (IDI) memberikan informasi terkait tentang KIA KB: 1. PB IDI akan melatih dokter umum di seluruh propinsi dengan pelaksana IDI setempat, pelatihan 11.000 orang dalam bidang IUD, Implan, 7000 dibiayai dari CSR : Bayer dan Panadol mendapat SKP PB IDI (saat ini sedang dihitung) 2. Akan melatih 10.000 dokter umum utk PONED dengan Direktorat Anak yaitu IC-Pad 3 hari, 3.000 dari dana dekon, dan 7.000 dari dana CSR 3. Melatih PONEK dan PONED, namun belum ada konfirmasi dengan Kemkes, karena PONEK dan PONED adalah tim sedangkan dokter umum ada di posisi mana? Diharapkan melibatkan IDI setempat. (Launching telah dilakukan dengan: IAKMI, POGI, IDAI, PERINESIA) 4. Beberapa remote area, yaitu ada 4 propinsi (NTT, Kaltim, ......) akan bergabung memasuki area jelek dengan mengembangkan modal sosial menggerakkan semua yang ada. Salah satu contoh kasus di Wamena : peralatan dan rumahsakit bagus, persoalannya tidak ada yang mengerjakan. Dokter anak di sana 3 bulan tidak boleh masuk, dokter umum tidak boleh masuk puskesmas (jarak 5 jam). Masalah bukan infrasktruktur tapi kepemimpinan , kepedulian. Akan bekerjasama dengan IAKMI akan advokasi. 5. Dengan Pemerintah Propinsi : saat ini telah dikirim surat yang memerlukan konsultasi bidang kesehatan (IDI, IAKMI, LSM Profesi kesehatan) siap. Masalah: mereka hanya bisa memanggil, begitu tender mereka melakukan sendiri. Sudah 12 propinsi siap menerima konsultasi, th 2011 semua anggaran sudah ada sehingga perlu kita lihat yang bisa didayagunakan. 6. Di NTT persoalan utama: Ibu hamil baru beberapa orang yang ditangani secara tradisional (diluar persoalan kesehatan). Persoalan kesehatan yang ada: pendaharan di rujukan pertama pada sabtu-minggu. Lesson learn : prop bangka belitung, mereka memperbaiki jalan ke seluruh desa tanpa menambah jalan sehingga akses bagus. NTT: Sister Hospital kontrak sampai kapan harus dilihat lagi. Papua: persoalannya ada penolakan dari dinas kesehatan ketika dokter umum/bidan/perawat akan dilatih harus merubah pendekatan. 7. Evaluasi SPM secara mendetail sampai ke output, karena buku KIA masih bermasalah –baru sebagian kabupaten yang mencetak. • dr. Ina (Ditjen Kesehatan Ibu) Beberapa hal tanggapan: 1. Berdasarkan data: th 1998 persalinan ditolong nakes 40%, berdasarkan data riskesdas th 2010 ditolong Nakes sudah 82,3%. Pertanyaan penelitian: seberapa jauh kebijakan penempatan bidan di desa, menciptakan 53ribu dan ditempatkan di desa-desa (Population live project). Setelah 1998 kita ada krisis, ada social safety net. Saat ini kita mau injeksi lagi dengan jampersal musti dilihat dengan angka 82,3% musti dilihat mana yang akan diinjeksi? 2. Paparan Pak Laksono tentang Continuum of care sangat bagus tadi, karena banyak persepsi yang salah. Adanya kesinambungan antara primer-sekunder dan tertier. Elimasi tetanus: ibu hamil disuntik TT (belum ada kasus), di tingkat secondary prevention: begitu ada kasus dilakukan surveillance investigasi dilihat kasusnya, dengan kata lain ini untuk mencegah kejadian yang sama terjadi lagi. Pada tingkat Tertier prevention: clinical intervention-nya jangan sampai mati dan pencegahan kecacatan. 3. KIA – kesehatan ibu: utk menurunkan tidak hanya PONED-PONEK perlu dilihat juga 4t (terlalu muda, tua, anak banyak). Di Direktorat kesehatan Ibu, pernah diusulkan namanya Ibu dan Reproduksi (namun kata reproduksi tidak boleh masuk), padahal ada subdit kespro dan KB. Sebagai contoh kasus: Single unmarried woman proteksinya seperti apa, ini blm tergarap karena fokusnya masih ke PONED, konvensional KIA kita.
4
4. Komentar tentang kasus di Maluku: tidak ada dokter, bidan tidak ada yang mau pergi ke sana. Indors imunisasi hanya tergantung obat (cuaca) karena eletricity tidak ada di sana. Beyond health harus masuk dalam penelitian ini (Maluku Tenggara Barat?) 5. Tentang absorsi keuangan, kenapa alokasi terjadi pada 3 wulan terakhir? Karena terkait pengadaan obat, barang dan sebagainya: eksekusi tidak bisa langsung terjadi, apalagi di awal tahun sehingga tiga wulan akhir baru dilakukan setelah barang sampai di lapangan. Th 2011 at cost. 6. Utk pelatihan In-service : pekerjaan dari dulu, pelatihan yang harus dicermati selama penempatan tenaga kesehatan tidak direspon maka masalahnya akan sama: tenaga khusus di sana 6 bulan, 1 tahun ke depan pindah. Puskesmas PONED on off (dokter ada, tidak ada). Isu ini harus masuk. 7. Isu tentang PPP : banyak orang mengharap CSR. Kita memiliki pekerja perempuan yang banyak, company tidak dilibatkan dalam kespro. 8. Sedangkan mengenai Quality of care : personalnya, kasus di tempat lain: jampersal sudah diplot utk pertolongan persalinan dan ada unit cost. Namun bidan tidak boleh mengambil dana tersebut, karena terkendala Perda yang rendah: - Isu pertama : rujuk ibu hamil ke dokter spesialis (private spesialis), untuk dapat bonus - Isu kedua: family planning – kewenangan IBI utk pelayanan KB, namun isunya ke short term metode. Sedangkan utk long term metode (IUD) akan murah. Sedangkan utk suntikan akan frekuen ketemu, hal ini menyebabkan short term metode lebih tinggi. Hal ini intervensi : tajam utk menurunkan angka kematian ibu. • Tanggapan Prof.Laksono - hal reproductive health memang tidak banyak dibahas, menurut saya domain Kemkes-BKKN harus ditegaskan mana tugas masing-masing. Kasus di Budapes (Eropa Timur), pada agenda Outlook Kebijakan KIA akan dibahas Poverty Redustion, Reproductive Health and Health Sector Reform. Hal ini menjadi isu global, governance lebih mudah kalau menjadi satu. Begitu menjadi dua memang harus hati-hati. Saya tidak tahu apakah Reproductive nantinya akan memiliki RAN (rencana aksi nasional) sehingga aktor-aktornya bisa dikelola dengan baik. - History kita: bidan menjadi ujung tombak menjadi kontroversial, namun selama puluhan tahun kok hanya bidan? Sehingga kita ke arah sini: preventif-promotif dengan kuratif terintegrasi bidan tidak bisa masuk. - Bulan depan akan ada diskusi: ingin tahu hubungan Direktorat Ibu dan Anak dengan BOK (terkait peraturan menteri kesehatan ttg pembagian tugas perlu sosialisasi ke masyarakat) - Mohon komentar dari audiens: satu terobosan di daerah yang memiliki PNS sedikit dan angka kematian tinggi, berani tidak tim yang mengerjakan (tim terdiri dari bidan, dokter, spesialis). Kita punya indikator yang dikejar lokal, dikerjakan oleh NGO yang provider (mulai dari preventif-promotif dan kuratif). Pengalaman di Aceh: NGO yang jangka panjang adalah NGO asing. Misalnya untuk imunisasi atau praktek dokter di sana. - Untuk IDI : perlu diskusi (bikin semacam seminar: mekanisme kerja bagaimana, siapa yang mengerjakan, dll) info Pak Rahmat: sudah dilakukan seminar, saat ini tinggal pelaksanaannya. • Ibu Sum (Anggota DPR) Sebagai informasi: saya sudah pindah ke komisi XI (finance, bank, tax), tidak lagi di Komisi Kesehatan. Terkait dengan beberapa hal tadi, yaitu mengenai: 1. Lintas sektoral: KIA tidak bisa lepas dari KB / kesehatan reproduksi, hal ini harus dipahami bersama. Juga disebut kaitan infrastruktur, di DPR saat ini ada diskusi infrastruktur harus diperbaiki, dan ada dananya besar. Pertanyaan selanjutnya adalah: pemberdayaan 5
masyarakatnya bagaimana, sehingga nantinya masyarakat bisa berdaya dan cerdas (dalam UUD: mencerdaskan kehidupan bangsa). Terkait MDG 4 & 5, perlu sosialisasi ke daerah. Diskusi dengan Bappenas (UNFPA): mensosialisasikan MDGs ke anggota-anggota DPR, kualitas SDM yang memprihatinkan. 2. Untuk program seperti di NTT: kontraknya berapa bayarnya? Penjelasan Pak Laksono: kegiatan ini merupakan komplemen dengan Pemda, untuk pembiayaan mendapat insentif jasa pelayanan dari Pemda setempat (Insentif: 10-15 juta, jasa dari jamkesmas, dan dari AusAid utk mengembangkan PONED/PONEK : 12 juta) - Dokter swasta: spesialis penuh - Dokter rs pemerintah: chief residen. Boleh ikut program itu, asal pemda mengirim dokter umum untuk sekolah residen dan kembali ke daerah (dikontrak 2N+1 : 15-20 tahun dan orang setempat) Saya menanyakan untuk keberlangsungan program, masalahnya adalah pemda harus memberikan beasiswa bagi orang setempat. Kemkes kesulitan untuk target tenaga kesehatan di daerah terpencil, apakah kita bisa menggunakan bidan/perawat mahir? Sejak dulu dokter tidak sampai di tempat terpencil, namun ada bidan untuk program emergency. Perlu terobosan-terobosan baru, menurut saya selama ini kita hanya tambal sulam saja misalnya dari jamkesmas ke jampersal. Masalah kita bukan semata-mata pada pelayanan klinik. 3. Terkait Public Private Patnership (PPP): penting sekali, hal ini juga terkait teknologi yang ada. Mengenai korupsi di bidang kesehatan (karena sekarang saya di bagian finance): BOK apakah bisa benar dilaksanakan, BOS saja bisa sampai ke sekolah. Saya mohon: KIA itu jangan KIA sendiri, namun harus digarap semua secara komprehensif. Sehingga catatan saya: - perlu pemimpin yang tegas - kita tidak akan berhasil menekan pertambahan penduduk, tanpa melakukan KB - kita negara terbatas ini, jangan muluk-muluk dengan menghabiskan anggaran yang ada. •
Tanggapan Prof.Laksono: terkait task-shifting yang disampaikan tadi, Outlook ini harapannya: pendampingan, di daerah terpencil kita harus pendampingan tidak mungkin hanya pelatihan, ada pelatihan namun sedikit. Siapa yang mau ke sana? Sehingga pendampingan harus tim, bukan pasukan komando yang hanya sebentar. Namun tim yang dikontrak, dan dicari yang memang hobi pergi ke daerah-daerah terpencil. Akan dikembangkan ke Kabupaten Alor, karena tidak mungkin dilakukan rujukan di Alor. Mind-set kita: bagaimana menangani NTT / Papua perlu dirubah. Apakah mungkin Papua ditangani dokter dari Sulawesi (toraja-minahasa-batak), atau dokter-dokter korea. Pendampingan ini memang luar biasa dibutuhkan, namun banyak masalah. Harapannya tahun 2011 kita berani melakukan kebijakan-kebijakan yang responsif utk NTT dan Papua
• Ibu Inni (IBI) - Kita perlu membuat sejarah, kalau kita lihat trend th 1990an angka kematian masih 600an, th 1998 masih 400an. Sekarang dengan persalinan dengan nakes sudah turun 50% (228) berbanding lurus dngan ketersediaan bidan. Masih 40% belum ada bidan, sehingga hal ini bisa menjadi pemikiran juga. Saya sudah diskusi dengan Ibu Kirana termasuk Jampersal, di daerah tidak mungkin ada kerjasama seperti itu. Contoh kasus di daerah, persalinan dari bidan kemudian dirujuk ke rumahsakit dan lepas padahal mereka sudah mengeluarkan biaya utk merujuk (sehingga malah merujuk menjadi musibah untuk bidan). Sehingga mereka mungkin berusaha utk mengangani dulu sebelum dirujuk. Nanti di dalam Jampersal: barangkali ada biaya merujuk. - Harus ada hubungan antara pelayanan dan pembiayaan, termasuk pembiayaan diidentifikasi komponen apa saja. Juga dnegan Mutu (ada hubungan pelayanan-pembiayaan-mutu: harus satu) 6
•
-
Kewenangan bidan dalam pelayanan KB: kondom dan pil, jika ada penugasan dari pemerintah bisa dengan implant dan IUD. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan bidan swasta yang jumlahnya lebih dari 5.000. Kasus ibu melahirkan di ibu bidan, kemudian dikonseling dengan rekomendasi harus pasang IUD, bidan yang bersangkutan tidak bisa memberikan IUD hanya bisa pil (capek-capek konseling, namun tidak bisa melakukaan karena bukan bidan yang ditunjuk pemerintah). Mungkin teman-teman sudah berpikir demikian. Dalam konseling, bidan sering menyarankan metode-metode KB yang efektif dan long term. Mungkin hal ini agak belum terpikirkan, sehingga harapannya karena kita di sini dalam rangka utk mengolah kebijakan, barangkali bisa menjadi bahan pertimbangan.
•
Tanggapan Prof.Laksono: KIA perlu ditangani tidak hanya ahli teknis medis, juga masalah pembiayaan dan politik termasuk social culture. Bagaimana strategi yang tepat? Misalnya di NTT – hanya TTU yang memiliki budaya lama. Di sister hospital project: ada antropoligi, perlu dicermati antropologi dokter spesialis (menarik,memiliki budaya beda-beda antar spesialis namun bisa bekerja satu tim).Sedang direview lagi: misalnya pentahapannya tim pertama harus merencanakan ada, tim kedua juga bagaimana?)
dr. Setiawan Soeparan (Direktorat Obat Publik) - dari diskusi hari ini sepertinya obat tidak ada yang melihat, topik mengenai nakes dan program KIA sudah dibicarakan yang lain. Pernahkan terpikirkan apa kontribusi ketidak tersediaan obat, apakah mempengaruhi keterlambatan sampai, pelayanan, dsb? - Saya titip untuk Pak Laksono: Outlook utk KIA ini seperti apa? Saya diminta menyiapkan oksitosi, salep mata utk bayi 100% utk bayi dan ternyata numpuk di gudang obat. Bagaimana obat bisa sampai pada klien? (diterima oleh gudang, bukan penggunaan oleh klien) - Saya melakukan banyak advokasi ke lapangan, namun tidak ada gregetnya dari dinkes. - Subdit Bina Farmasi sementara baru bergerak internal, kita punya narasumber yang dicoba untuk menggali . •
Tanggapan Prof.Laksono: ini outlook dan menjaring semua harapan. Kasus di Aceh: satu tim ada yang membawa obat, ini menjadi masukan. Siapa ahli manajem obat utk diajak diskusi. Pertemuan minggu depan diskusi tentang (Pak Sampurna bisa)
•
Bu Tari (Kementrian Kesehatan) prioritas Kemkes ke arah DTPK dan kawasan timur indonesia. Bidan mahir masih tetap dikembangkan, terutama kantong yang tidak ada dokter spesialis. Th 2011: mapping kebutuhan nakes strategis. Memang perlu direncanakan paling tidak setahun sehingga tidak kosong. Tentnag dokter plus baru sepakat: anak-anestesi-obsgyn, bahkan mencari konsep awal agak bingung. Pengertian awal utk emergency, th 2010 sudah diselesaikan kurikulum dan th 2011 diimplementasikan utk 3 propinsi (NTT-Papua-Maluku, masing-masing 30 orang: dokter umum PNS dan non PNS ini yang berkembang). Hasil audiensi dokter umum indonesia: mereka masih berdebat masalah istilah, kalau ada dokter plus jangan2 ada dokter minus sehingga minta istilah lain.Dilihat dari UU Praktek Kedokteran: dokter dengan keterampilan tambahan. Akan dikembangkan juga utk flying health care, juga utk jamu. Masalah satu lagi Program PPDSBK, jenjang 1 tidak meneruskan dan diambil oleh Dikti ini menjadi masalah karena tadinya utk pelayanan menjadi pendidik.
•
Prof.Laksono: dokter kontrak yg ke daerah bisa tidak untuk membangun sistem, karena punya banyak waktu luang (membenahi sistem informasinya, dll) sehingga bisa juga didukung tenaga
7
IT. Ini dipraktekkan di Sister Hospital: 15 utk pelayanan, dan 15 utk pelatih internal sebagai pembangun sistem (apa bedanya dengan residen biasa? ) •
Bu Aster (WVI) : apakah RAN utk child survival akan mengkomodasi kajian lain sehingga menjadi satu kerangka, kedua ttg peran penting posyandu – unit terkecil di masyarakat(banyak tempat tidak berjalan). Terkait MDG: WVI memfasilitasi lokakarya khususnya di NTT, melibatkan utusan khusus Presiden untuk MDGs sebagai kapasitasnya utk mengetahui yang terjadi di daerah. Ini menjadi masukan bahwa RAN terkait juga dnegna rencana aksi daerah.
•
Tanggapan Prof.Laksono: usulan dari invesment case memperkuat / menggunakan yang sudah ada, misalnya DTPS namun diperkuat.
•
Pak Lukas (Kementrian Kesehatan) Utk advokasi ini saya harap tidak hanya UGM yang bicara, namun semua akademisi. Juga di level daerah juga terkait PP 38/41 : perannya dimana daerah itu? Noted: Daftar undangan mengenai kebijakan: akademisi, juga mengundang kementrian terkait lainnya seperti Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Keuangan
•
Prof.Laksono: konsorsium dengan perguruan tinggi sudah dilakukan
•
Pusat Promosi Kesehatan (Kementrian Kesehatan) Apa yang sudah dilakukan? Th 2010: rencana operasional dalam promosi KIA, dnegan gizi dan imunisasi sudah di-breakdown sampai kabupaten. Juga ttg pemberdayaan masayarkat: pedoman desa siaga aktif (bedanya dengan desa siaga: kerjasama dengan menkokesra dan mendagri). Yang terjadi upaya kesehatan hanya milik dperatemen kesehatan, dengan desa siaga aktif mereka merasa punya dan tidak menunggu dari pusat). Sumber dana dari berbgai sumber termasuk integrasi PNPM masuk dalam desa siaga, lesson learnt berhasil. CSR juga. Di sulawesi utara berhasil: 2 perusahaan, dan mereka tidak hanya anggaran th 2011 hanya KIA.
•
Dr. Rahmat Sentika: Posyandu sudah clear sampai daerah (pokjanal posyandu di propinsi). Mhn dipahami sentralisasi tidak mungkin lagi, semua sudh diserahkan. Shg Kemkes dengan APBN tidak utk membelanjakan, yg dilakukan dampingi Kab/Kota utk melakukan SPM dengan sesuai.
•
Prof.Laksono: KIA berjalan, namun sistemnya dibandingkan dengan PU, manajemen rumahsakit, dsb...sehingga sekali lagi KIA sudah berjalan namun sistemnya yang belum.
• PKBI: Cabang-cabang kami sudah siap, utk kesehatan reproduksi yang lebih luas. Kami sangat mengingkan yang pihak swasta, referensi ttg PPP sudah banyak sekali sehingga tinggal mengambil apa yang menjadi hambatan. Harapan kami ke Depkes: membantu kami di tingkat prop/kab/kota utk tidak terhambat, karena hambatan selama ini dari pihak pemda. • Prof.Laksono action betul, tidak hanya ngomong : Sekecilnya program harus kita coba, misalnya bagaimana masalah kontrak dari tender. NGO Indonesia banyak bukan PT, namun yayasan. Sehingga barangkali PKBI punya cabang dalam bentuk PT, untuk siap-siap. •
Deddy-UI: - Fokus pada klinis, utk sifatnya perbaikan sistem belum banyak. Contoh tentang advokasi dan pemberdayaan masyarakat 8
-
Program: jangan terjebak dengan MDGs, namun kebijakan yang jangka pendek. Sehingga sistem perlu diperbaiki utk yang jangka panjang. (pembgian wewenang pusat Follow-up: cukup banyak, kapasitas program dan sistem disamping kapsitas klinis.
Pembahasan •
dr. Kirana (Kementrian Kesehatan) : (1) belum ada regulasi untuk task shiting. Isu-isu ini sudah terjadi, namun kita belum punya regulasi (mis: bidan melakukan tugas yang seharusnya dilakukan para dokter. Sehingga isu task-shifting adalah bagaimana kita pengaturnya). Ada amanat : Permenkes. Sekarang dikembangkan policy tentang dokter umum plus, selain task shifting profesi perlu juga task shifting utk masyarakat atau kader. Ada 15% desa yang tidak ada nakes, karena sulit dijangkau. (2) Diskusi: bagaimana mengakses daerah remote yang sulit ini utk dapat dijangkau. Contoh ekstrim dari negara lain: injeksi dilakukan kader, mungkin bisa kader melakukan pengobatan dengan batas-batas tertentu (3) Terkait PONEK dan PONED : isu penting, tidak hanya birokrat yang memikirkan. Isu tentang quality of care, hasil kajian 18 rumah sakit dan puskesmas sangat memprihatinkan. (4) Himbauan utk PPSDM: utk bisa menjadi penjuru dengan diknas, membahas mengenai preservice. Kami dari teknis tidak bisa ketemu dengan Diknas, terkait kompetensi dokter/bidan dsb. Kita tidak bisa menuntut banyak kompetensi dari dokter umum. Penglaman perlu dikaji: sister hospital yang sudah banyak dibahas, bisa menjadi pembelajaran utk kebijakan (5) Keterlibatan LSM, semangat dam feralam LOA sidaj ,emkado pressure grup utk mendorong dan mendukung utk bertindak dengan efektif. (6) Tentang pembiayaan: utk KIA merupakan fenomena baru, selama ini KIA tidak pernah peduli dengan pembiayaan. Ternyata sekarang terbuka luas utk akses pelayanan. Kita lihat BOS yang th ini bisa masuk ke APBD, bisa menjadi wacana baru utk biaya operasional ke kesehatan (7) Pendekatan social cultural: dengan beragamnya budaya kita, sangat penting dipikirka. Kami dari teknis pengetahuannya sangat supervisial. Mis: buku – pesan sama, namun diterjemahkan dg bahasa Ind timur apakah ini sudah termasuk social culture approach.
Beberapa point penting dalam diskusi ini : 1. Kepentingan reproductive health dan KB 2. Pendampingan untuk daerah terpencil yang akan ditindaklanjuti 3. Task Shifting untuk daerah khusus dan bagaimaana regulasinya 4. Pentingnya lintas sektor untuk KIA (bukan hanya oleh sektor kesehatan) 5. Pemberdayaan masyarakat, dengan pendekatan social culture 6. Peningkatan peran swasta untuk mendukung pelaksanaan berbagai kegiatan di daerah 7. Kewenangan bidan praktek swasta dalam pelayanan KB 8. Masalah quality of care sangat penting 9. Peranan LSM sebagai bagian dari gerakan KIA sangat epnting 10. Pembiayaan merupakan fenomena baru 11. Kajian tentang peranan obat dalam KIA (sampai obat digunakan oleh user) 12. Prioritas SDM untuk DTPK dan Kawasan Timur
9