MOTTO “Jangan pernah takut untuk mencoba, karena dengan mencoba setidaknya kita berkesempatan untuk berhasil”
v
PERSEMBAHAN Karya Tulis ini penulis persembahkan sepenuhnya teruntuk : 1. Kedua Orang tuaku tercinta, Karena do’a serta bimbingan mereka semua menjadi perantara yang berarti dalam setiap langkah hidupku. 2. Untuk adikku, terimakasih atas semangat dan dorongan yang diberikan. 3. Semua keluargaku yang telah mendukung dan mendo’akanku. 4. Teman- teman senasib dan seperjuangan keluarga besar Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UNISNU Jepara. 5. Almameter UNISNU Jepara. 6. Untuk sahabat-sahabatku terkasih dan tersayang.
vi
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah Swt yang senatiasa melimpahkan rahmat dan hidayahnya. Salawat serta salam kepada nabi agung Muhammad Saw yang telah membawa umat manusia kepada jalan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Setelah melalui proses yang tidak mudah akhirnya penyusun dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul”Penggantian Kelamin Bagi Transeksual Serta Akibat Hukumnya Terhadap Perkawinan Menurut Hukum Islam (Studi Komparatif Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan Penetapan Pengadilan Negeri Tentang Penggantian Kelamin”. Dalam kesempatan ini, penyusun menyampaikan terima kasih yang tulus kepada berbagai pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam membantu menyusun skripsi ini, terutama yang terhormat kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhtarom, HM. selaku Rektor UNISNU Jepara yang telah memimpin lembaga tersebut dengan baik. 2. Bapak Drs. H. Ahmad Barowi, TM., M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UNISNU Jepara. 3. Bapak Hudi, S.H.I., M.Si. selaku ketua Prodi Fakultas Syari’ah dan Hukum dan sekaligus yang selalu memberikan masukan. 4. Ibu Mayadina R.M., M.A. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang rela telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan memberikan masukan-masukan yang sangat berharga sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 5. Keluarga besar almamater UNISNU Jepara 6. Seluruh stap dan Dosen Fakultas Syari’ah UNISNU Jepara, dengan ilmu akademik
yang
mereka
curahkan,
sedikit
banyaknya
telah
mempengaruhi karakter intelektual penulis. 7. Ibunda Musanah yang telah mengandung, melahirkan, mengasuh dan membimbing penulis dengan penuh kasih sayang. Begitu pula Ayahanda
vii
viii
ABSTRAK Achmad Hasannudin (NIM : 1210002). Penggantian Kelamin Bagi Transeksual Serta Akibat Hukumnya Terhadap Perkawinan Menurut Hukum Islam (Studi Komparatif Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan Penetapan Pengadilan Negeri Tentang Penggantian Kelamin. 2015. Transeksual termasuk dalam golongan gangguan identitas jenis (gender identity disorders). Gambaran utama dari gangguan identitas jenis adalah ketidaksesuaian antara alat kelamin dengan identitas jenis (gender identity). Identitas jenis adalah parasaan seseorang tergolong dalam jenis kelamin yang tertentu, dengan perkataan lain kesadaran bahwa dirinya adalah laki-laki atau perempuan. Identitas jenis adalah suatu penghayatan pribadi dari peran jenis (gender role), dan peran jenis adalah pernyataan terhadap masyarakat dari identitas jenisnya. Peran jenis dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan dan dikatakan oleh seseorang, termasuk gairah seksual, untuk menyatakan kepada orang lain atau diri sendiri sampai seberapa jauh dirinya itu laki-laki atau perempuan Di dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dibidang kedokteran, memungkinkan penderita transeksual untuk melakukan operasi ubah jenis kelamin menjadi kelamin lawan jenisnya. Berkenaan dengan hal itu, tentunya operasi ubab jenis kelarnin tersebut tidak akan terlepas dari permasalahan. Adapun permasalahan yang akan diuraikan adalah pengubahan kelamin bagi transeksual menurut hukum Islam serta akibat hukum perubahan kelamin bagi transeksual terhadap perkawinan menurut hukum Islam. Untuk menjawab permasalahan diatas, penulis menggunakan pendekatan normatif, yaitu mendekati masalah yang diteliti dengan cara merujuk pada asasasas hukum. Dalam penelitian ini ialah dengan merujuk dalil-dalil dalam hukum Islam, baik aqli maupun naqli untuk memahami ketentuan mengenai penggantian kelamin, transeksual dan perkawinan. Dari basil penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa ada tiga macam bentuk operasi kelamin dalam dunia kedokteran yaitu; operasi perbaikan kelamin atau penyempurnaan kelamin, operasi penyesuaian kelamin atau operasi memperjelas salah satu jenis organ kelamin, operasi penggantian jenis kelamin. Dalam pandangan hukurn Islam, operasi ubah jenis kelamin bagi transeksual haram hukumya. Adanya kecenderungan untuk mengubah ciptaan Allah sebagi keinginan duniawi dan pribadi yang disertai nafsu belaka tanpa melihat kerusakan akan lebih besar daripada manfaatnya. Berkenaan dengan status atau jenis kelamin di dalam kedudukan hukum bagi transeksual pasca operasi harus diajukan permohonan peruhahan jenis kelamin melalui penetapan pengadilan. Meski dalam penelitian ini Penetapan Pengadilan Negeri mengesahkan status dari penggantian kelamin tapi menurut hukum Islam yang diperkuat Fatwa Majelis Ulama Indonesia menegaskan bahwa perkawinan yang dilakukan penderita transeksual pasca operasi menurul hukum Islam tidak diperbolehkan. Pada dasarnya perkawinan ini dilakukan oleh sesama jenis kelamin dan Islam menolak tegas perkawinan semacam itu.
ix
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
ii
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ..............................................................
iii
PERNYATAAN KEASLIAN ..........................................................................
iv
HALAMAN MOTTO ......................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................
vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................
vii
ABSTRAK ........................................................................................................
ix
DAFTAR ISI .....................................................................................................
x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................
1
B. Penegasan Istilah Judul ....................................................................
6
C. Pembatasan Masalah .......................................................................
7
D. Perumusan Masalah .........................................................................
7
E. Tujuan Penelitian .............................................................................
7
F. Manfaat Penelitian ...........................................................................
8
G. Telaah Pustaka .................................................................................
9
H. Kerangka Berpikir ...........................................................................
10
I. Metodologi Penelitian .....................................................................
13
J. Sistematika Penulisan Skripsi .........................................................
16
x
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...........................................................................
20
A. Tinjauan Tentang Operasi Penggantian Kelamin ............................
20
1. Pengaturan Mengenai Operasi Penggantian Kelamin ...............
20
2. Tindakan Operasi Penggantian Kelamin Ditinjau dari Hukum Islam ..........................................................................................
21
B. Tinjauan Tentang Transeksual ........................................................
23
1. Definisi Transeksual ..................................................................
23
2. Gejala Transeksual ....................................................................
23
3. Faktor Penyebab Transeksual ....................................................
24
4. Jenis-jenis Transeksual ..............................................................
25
5. Penanganan Transeksual ...........................................................
25
C. Pernikahan Menurut Hukum Islam ................................................
28
1. Definisi Tentang Pernikahan ....................................................
28
2. Rukun dan Syarat Nikah ..........................................................
29
3. Syarat-syarat Ijab Kabul ..........................................................
31
4. Syarat-syarat Wali ....................................................................
32
5. Syarat Saksi ..............................................................................
32
6. Mahar .......................................................................................
32
BAB III OBJEK KAJIAN ...............................................................................
33
A. Majelis Ulama Indonesia (MUI) ....................................................
33
1. Profil Majelis Ulama Indonesia (MUI) ....................................
33
2. Komisi Fatwa dan Cara Kerjanya ............................................
34
3. Metode Penetapan Fatwa MUI ................................................
36
xi
B. Pengadilan Negeri Batang ..............................................................
39
1. Profil dan Sejarah .....................................................................
39
2. Visi Misi ...................................................................................
41
3. Tugas Pokok dan Fungsi ..........................................................
42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................
43
A. Hasil Penelitian ..............................................................................
43
1. Analisis Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Perubahan dan Penyempurnaan Kelamin .........................................................
43
2. Analisis Penetapan No. 19/Pdt.P/2009/PN.Btg Tentang Pergantian Status Kelamin Oleh Pengadilan Negeri Batang ...
45
B. Pembahasan 1. Kedudukan Hukum Islam Bagi Transeksual Setelah Operasi ...
45
2. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Bagi Transeksual Setelah Penggantian Kelamin ..................................................
47
BAB V PENUTUP ............................................................................................
53
A. Kesimpulan ....................................................................................
53
B. Saran ..............................................................................................
55
C. Penutup ..........................................................................................
57
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
58
DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN ............................................................
62
LAMPIRAN – LAMPIRAN ............................................................................
63
xii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Allah SWT telah menciptakan Nabi Adam A.s dan Hawa sebagai cikal bakal manusia seluruhnya. Dari keduanya berkembangbiak manusia lelaki dan perempuan. Masing-masing jenisnya memiliki karakteristik dan ciri-ciri yang berbeda diantaranya adalah penampilan, tingkah laku, gaya bicara, bahasa tubuh dan alat kelamin. Kedua alat kelamin itu mempunyai urgensi yang tidak diragukan lagi kebenarannya untuk menentukan seseorang kepada jenis lakilaki atau perempuan. Tidak ada alat kelamin yang lain yang dapat digunakan untuk menentukan suatu mahluk kepada jenis ketiga. Tetapi dalam kenyataannya, terdapat seseorang yang tidak mempunyai status yang jelas, bukan laki-laki dan bukan perempuan. Tetapi juga ada diantara keduanya yakni waria singkatan dari wanita pria. Waria dalam konteks psikologis termasuk sebagai transseksualisme, yakni seseorang yang secara jasmani jenis kelaminnya jelas dan sempurna. Namun secara psikis cenderung untuk menampilkan diri sebagai lawan jenis.1 Masalah kebingungan jenis kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai gejala transeksualisme ataupun transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketikpuasan dengan alat 1
Koeswinarno, Hidup Sebagai Waria, (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2004),
hlm. 12.
1
2
kelamin yang dimiliki. Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin.2 Penanganan terhadap gangguan terhadap identitas gender tersedia di beberapa klinik spesialis di seluruh dunia, meskipun banyak mengundang kontroversi di seputar penanganan tersebut. Saat ini, keputusan yang paling lazim diambil adalah mengubah anatomi secara fisik agar sesuai dengan identitas orang yang bersangkutan melalui operasi penetapan ulang jenis kelamin. Akhir-akhir ini penanganan psikologis untuk secara langsung mengubah identitas gender yang keliru mulai dicobaterapkan pada beberapa kasus.3 Penelitian belum menemukan adanya kontribusi biologis yang spesifik terhadap gangguan identitas gender, hal demikianlah yang membuat permasalahan ini sangat menarik untuk diteliti. Pengakuan terhadap penggantian kelamin melalui penetapan Pengadilan Negeri pada seorang transeksual yang telah melakukan operasi penggantian kelamin pertama kali diterima oleh Vivian Rubiyanti
Iskandar,
yang melakukan operasi
penyesuaian kelamin di Singapura pada tahun 1973. Lalu pada tahun yang sama, penggantian status kelaminnya secara sah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat.4 Pengakuan terhadap perubahan jenis kelamin dari Iwan Rubiyanto Iskandar menjadi Vivian Rubiyanti Iskandar menjadi penetapan pertama di Indonesia yang kemudian diikuti oleh penetapan-penetapan 2
Dadang Hawari, Psikiater, Al Qur’an: Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Jiwa, cet. KeXI (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2004), hlm. 716. 3 Jeffrey S. Nevid, Dkk, Psikologi Abnormal, jilid 2, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003), hlm.74. 4 Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Penetapan No. 546/Pdt.P/1973.
3
pengadilan selanjutnya terhadap masalah yang sama sehingga menjadi yurisprudensi. Penetapan-penetapan pengadilan terhadap pergantian status tersebut tidak hanya ditetapkan bagi kaum transeksual saja, namun juga terhadap orang-orang yang mengalami perubahan alat kelamin tanpa melalui operasi penggantian kelamin, melainkan alat kelamin mereka berubah secara alamiah atau terjadi begitu saja secara natural. Selain Kasus Iwan Rubiyanto Iskandar menjadi Vivian Rubiyanti Iskandar, terdapat pula kasus perubahan status kelamin lainnya, seperti penetapan perubahan status kelamin Agus Widoyo menjadi Nadia Ilmira Arkadea pada tanggal 22 Desember 2009 oleh Pengadilan Negeri Batang.5 Penolakan, cacian, dan bahkan sindiran pastinya tidak akan lepas dari para pelaku transeksual yang akhirnya memilih untuk melalukan operasi penggantian kelamin. Penyebab utama mereka diperlakukan seperti itu adalah tidak semua kalangan tahu tentang apa itu operasi kelamin, apa yang menyebabkan mereka melakukan operasi kelamin, apa dasar hukum dari operasi kelamin, dan bagaimana cara menyikapi permasalahan dari operasi ganti kelamin itu sendiri. Hal ini sangat penting untuk kita bahas yakni salah satu tujuannya untuk memberikan gambaran, pemahaman mengenai apa operasi ganti kelamin dan bagaimana hukum Islam menangani para transeksual
yang melakukan operasi penggantian kelamin, sehingga
masyarakat kita bisa menyikapi kejadian tersebut dengan sudut pandang yang
5
Pengadilan Negeri Batang, Penetapan No. 19/Pdt.P/2009/PN. Btg.
4
berbeda karena ada sikap yang lebih baik untuk menyikapinya dan cara yang baik untuk menanggapinya. Pada dasarnya perbuatan manusia yang termasuk diharamkan adalah mengubah ketentuan-ketentuan yang telah diciptakan Allah, hal ini didasarkan pada firman Allah QS. Ar-Rum ayat 30 :
Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.6 Adapun hukum operasi kelamin dalam syari’at Islam harus diperinci persoalan dan latar belakangnya. Dalam dunia kedokteran modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu: 1) operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal; 2) operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar (penis) atau vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna; 3) operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ atau jenis kelamin (penis dan vagina).7 Masalah transeksual termasuk dalam golongan nomor satu, yakni seseorang yang lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya 6
Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 408. Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual: Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hlm. 172. 7
5
yaitu penis bagi laki-laki dan vagina bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium tidak dibolehkan dan diharamkan oleh syariat Islam untuk melakukan operasi kelamin. Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 tentang Opersi Perubahan/Penyempurnaan Kelamin dan Musyawarah Nasional MUI VIII tahun 2010 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Alat Kelamin. Menurut fatwa MUI ini sekalipun diubah jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula sebelum diubah.8 Menurut fatwa MUI ini sekalipun diubah jenis kelamin yang semula normal kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula sebelum diubah. Dalam konteks Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga keagamaan, sudah mencoba memfungsikan perannya di tengah kehidupan masyarakat yang beragama sebagai penjaga nilai moral, baik secara horizontal maupun secara vertikal. Peranan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagaimana tujuan awal pendiriannya adalah sebagai penyambung lidah masyarakat kepada pemerintah, dan pemerintah kepada masyarakat. Terdapat pro dan kontra terhadap keberadaan kaum transeksual di Indonesia, begitu pula terhadap status hukum maupun akibat-akibat hukum yang dapat ditimbulkan dari hubungan-hubungan hukum yang dilakukan oleh kaum transeksual. Salah satu masalah hukum yang dapat ditimbulkan oleh keberadaan transeksual adalah apabila terjadi perkawinan dimana salah satu pihak ternyata adalah seorang transeksual.
8
Ibid., hlm. 605.
6
Berdasarkan uraian di atas penyusun mencoba mengangkat tema skripsi dengan judul “Penggantian Kelamin Bagi Transeksual Serta Akibat Hukumnya Terhadap Perkawinan Menurut Hukum Islam (Studi Komparatif Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan Penetapan Pengadilan Negeri Tentang Penggantian Kelamin)”.
B. Penegasan Istilah Judul 1. Penggantian Kelamin Penggantian kelamin, atau sex reassignment surgery, adalah operasi anatomi untuk mengubah kelamin pada transeksual.9 2. Transeksual Transeksual adalah seseorang yang memiliki identitas gender (kelamin) yang berbeda dengan struktur anatomi kelaminnya.10 3. Perkawinan Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.11 4. Hukum Islam Hukum Islam adalah peraturan berdasarkan ayat al-Qur’an dan sunnah Rasul serta pendapat ulama fiqih.12
9
Ibid., hlm. 87 Ibid., hlm. 124 11 Indonesia, Undang-Undang tentang Perkawinan, Pasal 1. 12 Piyus Abdullah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya, Arkola. Tt), hlm. 259. 10
7
C. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah yang penulis lakukan adalah menetapkan fokus berdasarkan permasalahan yang terkait dengan teori-teori yang telah ada, yaitu ingin mengetahui hukum penggantian kelamin bagi transeksual serta akibat hukumnya terhadap perkawinan menurut hukum Islam.
D. Perumusan Masalah Bardasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka penyusun dalam penelitian ini merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana kedudukan hukum Islam bagi transeksual yang melakukan penggantian kelamin? 2. Bagaimana konsekuensi hukum Islam bagi transeksual yang melakukan perkawinan setelah melakukan penggantian kelamin? 3. Bagaimana perbandinagan hukum penggantian kelamin menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia dengan penetapan Pengadilan Negeri?
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimazna kedudukan hukum Islam bagi transeksual yang melakukan penggantian kelamin. 2. Untuk mengetahui bagaimana konsekuensi hukum Islam bagi transeksual yang melakukan perkawinan setelah melakukan penggantian kelamin.
8
3. Untuk mengetahui bagaimana perbandinagan hukum penggantian kelamin menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia dengan penetapan Pengadilan Negeri.
F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran baik berupa pembendaharaan konsep, metode preposisi, maupun pembendaharaan teori-teori dalam bidang ilmu hukum khususnya mengenai hukum IsIam. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan jalan keluar dan permasalahan yang dihadapi khususnya terhadap kajian Hukum Islam mengenai penggantian kelamin bagi transeksual dan merupakan bahan masukan bagi pihak-pihak tertentu dalam memutuskan suatu kebijakan. 3. Manfaat Akademis Di samping manfaat secara teoritis dan praktis tersebut, penelitian ini
juga
diharapkan
dapat
digunakan
sebagai
referensi
dalam
pengembangan ilmu pengetahuan syari’at Islam serta melengkapi kepustakaan
Perguruan
Tinggi
masyarakat luas pada umumnya.
UNISNU
Jepara
khususnya
dan
9
G. Telaah Pustaka Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh penyusun telah menemukan karya ilmiah lain yang membahas masalah hukum penggantian kelamin yang mewarnai khasanah kepustakaan. Skripsi yang mengkaji tentang “Praktek Perkawinan Waria Ditinjau Dari Hukum Islam” yang disusun oleh Minasochah, seorang mahasiswi Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2004 yang membahas mengenai bagaimana hukum dari perkawinan yang dilakukan waria itu sendiri. Dalam skripsi ini memaparkan bagaimana seorang waria melangsungkan perkawinan yang sifatnya ilegal, yakni tanpa adanya pencatatan nikah, karena perkawinannya hanya sebatas perjanjian dan para waria ini tidak serta merta melakukan operasi kelamin ketika akan melangsungkan perkawinan tersebut.13 Zakky Zamroni Zain dalam skripsinya yang berjudul “Hukum Tentang Penggantian dan Penyempurnaan Alat Kelamin (Studi Istinbath al-Hukmi Fatwa Musyawarah Nasional VIII Majelis Ulama Indonesia)”, mengkaji tentang fatwa MUI tentang hukum operasi ganti kelamin, yang melarang penggantian kelamin, namun membolehkan dilakukannya penyempurnaan kelamin jika terdapat cacat.14
13
Minasochah, “Praktek Perkawinan Waria Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus di Kota Yogyakarta),” skripsi tidak diterbitkan, Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004. 14 Zakky Zamroni Zain, “Hukum Tentang Penggantian dan Penyempurnaan Alat Kelamin (Studi Istinbath al-Hukmi Fatwa Musyawarah Nasional VIII Majelis Ulama Indonesia)” Fakultas Syari’ah, UNISNU Jepara, 2012.
10
Pada penelitian-penelitian sebelumnya sudah dijelaskan tentang bagaimana tinjauan hukum Islam tentang penggantian kelamin, tetapi yang membedakan antara penelitian sekarang dengan yang sebelumnya yakni dibahasnya akibat hukum Islam bagi transeksual yang melakukan perkawinan setelah operasi penggantian kelamin. Maka sekali lagi penyusun mengatakan hal ini sangat menarik sekali untuk dikaji.
H. Kerangka Berpikir Keinginan untuk melakukan operasi kelamin kebanyakan datang dari para transeksual. Transeksual sendiri adalah masalah identitas gender atau kebingungan gender, kesadaran mental yang dimiliki seseorang tentang jenis kelaminnya, tentang apakah dirinya lelaki atau perempuan. Dimana identitas gender yang dimiliki oleh seorang transeksual ini berlawanan dengan jenis kelamin yang “dikenakan” kepadanya berdasarkan genital fisiknya. Adapun proses kejadian manusia itu sendiri sangat jelas disebutkan di dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah QS. Al-Insan ayat 2-3:
15
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan Dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir”.
15
Al-Insan (76): 2-3.
11
Demikianlah manusia itu diciptakan oleh Allah dari nutfah, yaitu percampuran antara benih laki-laki dan perempuan. Sesudah nutfah itu menjadi segumpal darah sesudah melalui proses lewat rahim, kemudian darah tersebut menjadi daging. Lahirlah dia ke dunia menjadi seorang bayi manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Kata nutfah amsyaj berarti bahwa manusia itu dijadikan dari setetes mani yang bercampur antara benih laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini, seorang perempuan dapat menghasilkan ovum, di dalam ovariumnya yang disebut juga sebagai sel telur dan seorang laki-laki menghasilkan spermatozoon.16 Hasil persatuan antara keduanya menghasilkan satu zygota, jika zygota ini mengandung satu kromosom X dan satu kromosom Y. Zygota ini berkembang menjadi individu laki-laki. Sebaliknya, bila zygota itu terdiri dari kromosom X dari benih perempuan dan kromosom X dari benih laki-laki, maka zygota ini berkembang menjadi individu perempuan.17 Selanjutnya dalam penciptaan manusia ada yang diciptakan secara normal ada juga yang tidak normal. Hal ini juga dapat dibuktikan secara medis bahwa jika terjadi dalam zygota tersebut kombinasi tanpa pemisahan kromosom dari pihak perempuan dan laki-laki, maka akan terdapat kromosom XXY, XXX, XYY dan lain sebagainya. Sebagaimana penjelasan di atas menyebutkan bahwa dengan segala kehendak-Nya manusia diciptakan dengan sempurna dan tidak sempurna, baik secara fisik maupun non fisik, seperti halnya yang dialami oleh para 16 17
Zunli Nadia, Waria Laknat atau Kodrat!?, hlm. 78. Ibid., hlm. 78-79.
12
transeksual. Mereka memiliki ketidaksempurnaan pada fisik mereka, sehingga mereka
merasa ingin
memperbaikinya
dengan
jalan operasi
untuk
menyempurnakan yang bagi mereka belum sempurna. Berangkat dari konflik-konflik ini, tidak sedikit waria dengan berbagai cara dan upaya dilakukan bahkan mereka melakukan operasi kelamin agar mereka bisa sepenuhnya menjadi perempuan, tidak hanya perilakunya saja.18 Realitas ini kemudian menjadi suatu masalah yang serius ketika dihadapkan kepada nilai-nilai agama. Karena prilaku mereka saja sudah terlaknat apalagi sampai merubah bentuk tubuh meskipun dikatakan mereka sebagai upaya untuk diterima oleh masyarakat. Menurut pendapat Quraish Shihab tentang masalah operasi ganti kelamin karena tidak memiliki kecendrungan atas alat kelaminnya. Beliau membolehkan dengan motivasi pengobatan, sesuai dengan sabda Rasulullah yang memerintahkan orang sakit untuk berobat.18 Diperbolehkannya operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin, sesuai dengan keadaan anatomi bagian dalam kelamin orang yang mempunyai kelainan kelamin atau kelamin ganda, juga merupakan keputusan Nahdhatul Ulama PW Jawa Timur pada seminar “Tinjauan Syariat Islam tentang Operasi Ganti Kelamin” pada tanggal 26-28 Desember 1989 di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur.19 Sedangkan MUI (Majlis Ulama Indonesia) mengharamkan adanya pergantian kelamin. Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan 18
M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal KeIslaman Yang Patut Anda Ketahui, (Tanggerang: Lentera Hati, 2011), hlm. 804. 19 Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual: Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, hlm. 175.
13
fatwa MUI dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 tentang operasi perubahan penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini sekalipun diubah jenis kelamin yang semula normal kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula sebelum diubah. Untuk mengatasi masalah yang semakin berkembang, agama adalah salah satu hal yang diharapkan dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang ada ditengah-tengah masyarakat tentunya dengan pedoman Al-Qur’an dan Hadits. Tapi permasalahannya sekarang adalah bahwa dalam Al-Qur’an dan Hadits tidak menjelaskan secara langsung, apakah diperbolehkan atau tidak mengenai hukum penggantian kelamin itu sendiri. Pada dasarnya tujuan utama disyari’atkan hukum adalah untuk memelihara kemashlahatan dan sekaligus menghindari kemafsadatan, baik di dunia maupun di akhirat.20 Penggantian kelamin sebagai permasalahan kontemporer yang tidak ditemukan hukumnya secara langsung dalam Nash maupun Hadits maka penulis merasa perlu mengkaji fatwa Mejelis Ulama Indonesia dan penetapan Pengadilan Negeri tentang penggantian kelamin.
I. Metode Penelitian Dalam melakukan sebuah penelitian, maka tidak lepas dari langkahlangkah kerja penelitian. Adapun metode yang penyusun gunakan dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :
20
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, cetakan pertama (Ciputat, Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 134.
14
1. Jenis penelitian. Dalam menyusun skripsi ini, penyusun menggunakan jenis penelitian pustaka (library research) yaitu, menelaah dan meneliti terhadap sumber-sumber kepustakaan baik dari al-Qur’an, as-Sunnah, kitab-kitab Fiqih, kitab-kitab Tafsir, karya-karya Ilmiah, artikel-artikel yang berkaitan dengan masalah penggantian kelamin, transeksual dan perkawinan. 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian ini adalah Deskriptif-analitik. Deskriptif adalah penelitian yang dapat menghasilkan gambaran dengan mengumpulkan fakta-fakta yang mempunyai dimensi ruang dan waktu serta menimbulkan jawaban atas pertanyaan apa, bilamana, dan di mana, sedangkan analitis adalah menguraikan sesuatu dengan sangat cermat terarah sesuai dengan hasil informasi yang lengkap dari sebuah penelitian, yang bersifat membentangkan fakta-fakta kondisional dan dicerminkan dari suatu peristiwa.21 3. Teknik Pengumpulan Data. Penelitian ini disusun dengan menggunakan jenis penelitian pustaka, maka teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah dengan cara membaca dan memahami buku-buku pustaka yang menjadi sumber data. Sumber data yang menjadi objek penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu, sumber data primer dan sumber data sekunder, sebagai berikut :
21
Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kuantitatif, (Jakarta: Rake Sarasin, 1989), hlm. 43.
15
a. Sumber data primer, adalah sumber data yang penyusun jadikan sebagai rujukan utama dalam membahas dan meneliti permasalahan ini, yaitu Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Penetapan Pengadilan Negeri (PN). b. Sumber data sekunder adalah data-data yang diperoleh dari hasil penelitian atau olahan orang lain yang sudah menjadi bentuk-bentuk buku, karya ilmiah, dan sumber lain yang menunjang penulisan skripsi ini. 4. Teknik Pengolahan Data a. Mengumpulkan data dan mengamatinya terutama dari aspek kelengkapannya dan validitasnya serta relevansinya dengan tema bahasan. b. Mengklasifikasikan
dan
mensistemasikan
data,
kemudian
data-data
yang
di
presentasikan dengan pokok masalah yang ada. c. Melakukan
analisis
lanjutan
terhadap
telah
diklasifikasikan dan disistemasikan dengan mengunakan kaedahkaedah, teori-teori, konsep-konsep pendekatan yang sesuai, sehingga memperoleh kesimpulan yang baru. 5. Pendekatan Masalah. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan normatif, yaitu mendekati masalah yang diteliti dengan cara merujuk pada asas-asas hukum. Dalam penelitian ini ialah dengan merujuk
16
dalil-dalil dalam hukum Islam, baik aqli maupun naqli untuk memahami ketentuan mengenai penggantian kelamin, transeksual dan perkawinan. 6. Analisis Data. Adapun analisis data yang penyusun gunakan adalah analisis yang berpola metode induktif dan dedukif. Metode induktif, yaitu suatu metode yang digunakan untuk menganalisis data yang bersifat khusus dan memiliki kesamaan kemudian ditarik menjadi kesimpulan umum.22 Metode ini digunakan untuk mencari penetapan status hukum penggantian kelamin bagi transeksual sehingga nantinya dapat diketahui pengaruh hukumnya pada perkawinan. Metode deduktif, yaitu penelitian yang berangkat dari pemikiran yang bersifat umum kemudian ditarik menjadi kesimpulan yang bersifat khusus. 23
J. Sistematika Penulisan Skripsi Pembahasan dalam skripsi ini akan di tuangkan dalam lima bab, sebagai upaya untuk menjaga keutuhan pembahasan dengan menggunakan sistematika sebagai berikut. 1. Bagian Muka Bagian muka terdiri atas : a. Halaman Judul b. Halaman Nota Persetujuan Pembimbing c. Halaman Pengesahan d. Pernyataan 22 23
Hadi Sutrisno. Metodology Reasearch, hlm. 36. Ibid, hlm. 42.
17
e. Motto f. Persembahan g. Kata Pengantar h. Abstraks i. Daftar Isi 2. Bagian Isi Bagian ini merupakan inti dari skripsi yang terdiri atas: Bab I : Pendahuluan, memuat antara lain : a.
Latar Belakang Masalah
b.
Penegasan Istilah Judul
c.
Pembatasan Masalah
d.
Rumusan Masalah
e.
Tujuan Penelitian
f.
Manfaat Penelitian
g.
Telaah Pustaka
h.
Kerangka Berpikir
i.
Metodologi Penelitian
j.
Sistematika Penulisan Skripsi
Bab II : Kajian Pustaka Bab ini berisi tentang landasan teori mengenai penggantian kelamin bagi transeksual serta akibat hukumnya pada perkawinan menurut hukum Islam yang berisikan: a. Tinjauan Tentang Operasi Penggantian Kelamin
18
1) Pengaturan Mengenai Operasi Penggantian Kelamin 2) Tindakan Operasi Penggantian Kelamin Ditinjau dari Hukum Islam b.
Tinjauan Tentang Transeksual 1) Definisi dan Terminologi Transeksual 2) Gejala Transeksual 3) Faktor Penyebab Transeksual 4) Jenis-jenis Transeksual 5) Penanganan Transeksual
c. Perkawinan Menurut Hukum Islam 1) Definisi Tentang Perkawinan 2) Rukun dan Syarat Perkawinan 3) Syarat Ijab Kabul 4) Syarat-syarat Wali 5) Syarat Saksi 6) Mahar Bab III : Objek Kajian Bab ini berisi tentang Biografi Majlis Ulama Indonesia, Analisis Fatwa MUI dan Analisis Penetapan Pengadilan Negeri meliputi: a.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) 1) Profil Majelis Ulama Indonesia (MUI) 2) Profil Pengadilan Negeri (PN) Batang
Bab IV : Hasil Penelitian Dan Pembahasan Bab ini terdiri atas :
19
a. Hasil Penelitian 1) Analisis Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Perubahan dan Penyempurnaan Kelamin 2) Analisis Penetapan No. 19/Pdt.P/2009/PN.Btg tentang Pergantian Status Kelamin oleh Pengadilan Negeri Batang b. Pembahasan 1) Kedudukan Hukum Bagi Transeksual Setelah Operasi 2) Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Bagi Transeksual Setelah Operasi Bab V : Penutup Bab ini berisikan kesimpulan, saran-saran dan penutup. 3. Bagian Akhir Pada bagian ini dapat dicantumkan pula daftar pustaka, lampiranlampiran dan daftar riwayat pendidikan penulis.
20
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Operasi Penggantian Kelamin 1. Pengaturan Mengenai Operasi Penggantian Kelamin Operasi penetapan ulang jenis kelamin atau sex reassignment surgery, adalah prosedur operasi untuk mengubah anatomi fisik seseorang agar sesuai dengan identitas gender psikologis orang itu. Agar memenuhi syarat untuk menjalani operasi, harus telah menjalani peran lawan jenisnya selama 1 sampai 2 tahun sehingga mereka memang ingin mengubah jenis kelaminnya. Mereka juga harus stabil secara psikologis, finansial, hormonhormon diadministrasikan untuk menyokong pertumbuhan buah dada dan perkembangan ciri-ciri seksual sekunder lainnya. Rambut-rambut diwajah biasanya dihilangkan melalui elektrolisis. Bila individu tersebut puas dengan apa saja yang terjadi dalam periode percobaan, alat kelaminnya dibuang dan sebuah vagina dibuatkan untuknya.24 Bagi transeksual, sepotong penis buatan biasanya dibuat melalui operasi plastik dengan menggunakan kulit dan otot dari bagian tubuh lainnya, misalnya dari bagian paha. Buah dadanya dibuat melalui operasi. Operasi genital lebih sulit dan lebih kompleks padaperempuan biologis. Malang bagi mereka, karena operasi adalah tindakan yang tidak dapat diputar balik. Selain itu mencoba binuh diri setelah operasi sebuah angka 24
Yash, Transseksualisime (Sebuah Studi Kasus Perkembaingan Transseksual Perepuan Ke laki-laki), Penerbit CV. AINI, Semarang 2003, hlm. 87.
20
21
yang jauh lebih tinggi dibanding angka percobaan bunuh diri dalam total populasi. Salah satu masalahnya mungkin adalah diagnosis dan asesmen yang tidak tepat. Asesmen untuk kepentingan ini sangat rumit dan harus dilakukan di klinik-klinik yang benar-benar spesialis di bidang identitas gender. Sekalipun demikian operasi telah berhasil membuat sebagian orang yang menderita akibat dari sesuatu yang mereka rasakan berada dalam tubuh yang salah merasa hidupnya menjadi lebih berharga. 2. Tindakan Operasi Penggantian Kelamin Ditinjau dari Hukum Islam Operasi kelamin yang dilakukan pada seseorang yang mengalami kelainan kelamin (misalnya berkelamin ganda) dengan tujuan tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan sesuai dengan hukum akan membuat identitas dan status hukum orang tersebut menjadi jelas. Menurut Wahbah az-Zuhaili dan dalam al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu jika selama ini penentuan hukum waris bagi yang berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas indikasi atau kecenderungan sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan kelamin menjadi pria atau wanita, hak waris dan status hukumnya menjadi lebih jelas dan menurutnya, perbaikan dan penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa musykil sangat dianjurkan demi kejelasan status hukumnya. Sementara konsekuensi hukum penggantian kelamin dalam operasi penggantian kelamin apabila penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang dengan tujuan tabdil dan taghyir (mengubah-ubah ciptaan Allah) haram hukumnya, maka identitasnya sama dengan sebelum operasi
22
dan tidak berubah dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut, dari segi waris seorang wanita yang melakukan operasi peggantian kelamin menjadi pria tidak akan menerima bagian warisan pria (dua kali bagian wanita) demikian juga sebaliknya. Ketetapan haram ini sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam
Musyawarah
Nasional
II
tahun
1980
tentang
Operasi
Perubahan/Penyempurnaan Kelamin, yang ditegaskan kembali dengan dikeluarkannya kembali fatwa serupa dalam Musyawarah Nasional ke-8 pada tanggal 27 Juli 2010, yakni Fatwa MUI No. 3/MUNASVIII/MUI/2010 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Alat Kelamin yang menyatakan bahwa mengubah alat kelamin dari laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya yang dilakukan dengan sengaja, misalnya dengan operasi ganti kelamin, hukumnya haram.25 Asrorun Ni’am Sholeh, Sekretaris Komisi C Majelis Ulama Indonesia menyatakan bahwa mengubah jenis kelamin yang dilakukan dengan sengaja misalnya dengan operasi ganti kelamin, hukumnya adalah haram. MUI juga memfatwakan tidak boleh menetapkan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi perubahan alat kelamin sehingga tidak memiliki implikasi hukum syar’i terkait perubahan tersebut. Karena tidak boleh ditetapkan keabsahannya, maka kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi sama dengan jenis kelamin semula, seperti sebelum operasi, meski sudah mendapat penetapan pengadilan.
25
Majelis Ulama Indonesia, op. cit., hlm. 571.
23
B. Tinjauan Tentang Transeksual 1. Definisi Transeksual Masalah kebingungan jenis kelamin atau lazim disebut juga sebagai gejala transeksualisme atau transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin (sex reassignment surgery). Dalam DSM (Diagnotic and Statistical Manual of Mental Disorder) – III, penyimpangan ini juga sebagai gender dysporia syndrom. Penyimpangan ini terbagi lagi menjadi beberapa subtipe meliputi transeksual, aseksual, homoseksual, dan heteroseksual.26 Terdapat dua macam transeksual, yakni transeksual perempuan ke laki-laki (female-to-male transsexuals), memiliki tubuh perempuan dan mind laki-laki, dan transeksual laki-laki ke perempuan (male-to-female transsexual), memiliki tubuh laki-laki dan mind perempuan. Selain istilah transeksual, dikenal pula istilah transgender. 2. Gejala Transeksual Tanda-tanda gejala transeksual:27
26
Yash, Transeksual: Sebuah Studi Kasus Perkembangan Transeksual Perempuan ke Laki-Laki, cet. 1, (Semarang: Aini, 2003), hlm. 17. 27 Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Sexual, CV. Mandar Maju. Bandung, 1990, hlm. 226.
24
a. Identifikasi lintas gender yang kuat dan persisten, yang tidak terkait dengan persepsi tentang keuntungan kultural yang diperoleh dengan memiliki jenis kelamin yang berlawanan. b. Perasaan tidak nyaman yang persisten dengan jenis kelaminnya sendiri, atau perasaan tidak pas dengan peran gender dari jenis kelamin yang disandangnya. c. Preokupasi dengan keinginan untuk mengenyahkan ciri-ciri kelamin primer maupun sekundernya, atau keyakinan bahwa dirinya terlahir dengan jenis kelamin yang salah. d. Perasaan itu tidak disebabkan oleh kondisi interseks fisik. e. Distres hendaya dalam fungsi yang signifikan secara klinis. 3. Faktor Penyebab Transeksual Transeksual dapat diakibatkan faktor bawaan (hormon dan gen) dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan diantaranya pendidikan yang salah pada masa kecil dengan membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan, pada masa pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, trauma pergaulan seks dengan pacar, suami, atau istri. Perlu dibedakan penyebab transeksual kejiwaan dan bawaan. Pada kasus transeksual karena keseimbangan hormon yang menyimpang (bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal guna mendekatkan kecenderungan biologis jenis kelamin bisa dilakukan. Mereka yang sebenarnya normal karena tidak memiliki kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki kecenderungan berpenampilan lawan jenis hanya
25
untuk memperturutkan dorongan kejiwaan dan nafsu adalah sesuatu yang menyimpang dan tidak dibenarkan menurut syariat Islam.28 4. Jenis-jenis Transeksual Transekasual dibagi dalam subtipe yaitu sebagai berikut :29 a. Transseksual yang aseksual, yaitu seorang transeksual yang tidak berhasrat atau tidak mempunyai gairah seksual yang kuat. b. Transseksual kornoseksual, yaitu seorang transeksual yang memiliki kecenderungan tertarik pada jenis kelamin yang sama sebelum ia sampai ke tahap transeksual murni. c. Transseksual yang heteroseksual, yaitu seorang transeksual yang pernah menjalani kehidupan heteroseksual sebelumnya, misalnya pernah menikah. 5. Penanganan Transeksual Terdapat juga metode penanganan transeksual sebagai tindakan preventif untuk dilakukan operasi kelamin, antara lain :30 a. Menurut standar care The Herry Benjamin International Gender Dysphoria Association. Prosedur penanganan transeksual dibagi menjadi tiga tahapan : 1) Subjek ditangani oleh psikolog atau psikiater yang berpengalaman dalam masalah gender. Pada Tahap ini diberikan segala informasi
28 29
Kartini Kartono, op. cit., hlm. 195. Kemala Atmojo, Kami Bukan Lelaki, cet II, Pustaka Utama Grafiti, 1986, Jakarta, hlm.
33. 30
Yash, Transseksualisme (Sebuah Studi Kasus Perkembaingan Transseksual Perepuan Ke laki-laki), Penerbit CV. AINI, Semarang 2003, hal 42-44.
26
yang harus diketahui dan dibutuhkan oleh subjek, termasuk apa yang mungkin dicapai, prosedur, apa yang tidak mungkin dicapai, dan konsekuensi penyesuaian gender atau operasi yang akan dilakukan. 2) “Two year real life diagnostic test”. Disini individu diharuskan untuk menjalani kehidupan total dengan peran gender yang diinginkan selama paling tidak dua tahun. Pada awal masa ini subjek sudak diberikan terapi hormon yang sesuai dengan gender yang dimaksud. Selama periode ini subjek terus menjalani konsultasi dengan psikolog. Setiap 3 bulan, Subjek mendapatkan tes fisik dimana semua perubahan fisik dan keluhan dicatat. Perubahan terapi hormon disesuaikan dengan keluhan dan hasil yang tidak memuaskan. Setelah tercapai hormon selama 18 bulan dan hidup dalam peran gender yang baru, setiap kasus didiskusikan oleh sebuah tim, sebelum operasi diijinkan. Hanya subjek yang mengalami kepuasan atau merasakan terbebaskan dari masalah gendernya, yang diijinkan menjalankan operasi. Jika masih ada masih ada keraguan, operasi diundur sampai kondisi yang diinginkan terpenuhi. 3) Jika semua kriteria diatas telah dipenuhi, transeksual diijinkan menjalani serangkaian operasi yang dibutuhkan.
27
b. Menurut standard care di Singapura Penanganan
kasus
transeksual
dipisah-pisah
menjadi
lima
tahapan: 1) Evaluasi awal oleh psikiater atau psikolog untuk mendiagnosa kasus pasien dengan kebingungan gender (gender confusion). Untuk mengidentifikasi transeksual dan jenis lain (“wish-to-be” transeksual atau transeksual sekunder). 2) Usaha psikoterapis untuk mengubah keinginan pasien untuk menjalani operasi ganti kelamin. Untuk membantu pasien mengatasi masalah yang mungkin membingungkan mereka dan untuk membantu pasien mengenali motif mereka yang sebenarnya dibalik keinginan untuk merubah kelamin mereka. 3) Terapi harmon untuk mengawali perubahan kelamin. Untuk menerangkan pada pasien alasan, strategi dan efek samping yang mungkin terjadi dari terapi hormon. Tetapi hormon akan membawa perubahan fisik dan mungkin perubahan psikogenik. 4) Pada akhir terapi harmon, pasien kemudian menginjak pada tahap cross-dressing total. 5) Operasi ganti kelamin itu sendiri Namun perlu diakui bahwa dalam banyak kasus. metode pengobatan psikodinamik sering tidak membawa hasil yang memuaskan. sehingga tindakan alternatif yang mungkin dan banyak diminati oleh orang dengan gangguan transeksual adalah operasi penggantian jenis kelamin.
28
C. Pernikahan Menurut Hukum Islam 1. Definisi Tentang Pernikahan Menurut
bahasa,
nikah
berarti
berkumpul
menjadi
satu,
sebagaimana dikatakan orang Arab “pemohonan itu saling bernikah” jika satu sama lainnya bercondong dan mengumpul.31 Menurut syara’ nikah adalah suatu aqad yang berisi pembolehan melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadh memikahkan atau mengawinkan, kata nikah itu sendiri secara hakiki bermakna aqad, dan secara majaziy bermakna persetubuhan. Hukum asal pernikahan pada dasarnya sama dengan hukum asal semua perbuatan manusia, yakni mubah.32 Namun oleh karena adanya aspek-aspek yang terkandung dalam suatu pernikahan, maka kemudian hukum pernikahan dapat berubah menjadi lima hokum sesuai lima tingkatan hukum dalam Islam yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Hal ini sebagaimana diuraikan oleh Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah sebagai berikut:33 1) Wajib Bagi orang yang sudah mampu, tidak kuat menahan nafsunya dan takut terjerumus dalam perzinaan.
31
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Jakarta: PT. Intermasa, 1971, hlm. 53. 32 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. Ke-1, 1996, hlm. 21. 33 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 12-14.
29
2) Sunnah Bagi orang yang sudah mampu, akan tetapi dapat menahan dirinya dari perbuatan zina. 3) Haram Bagi orang yang tidak memenuhi hak-hak isteri, baik lahir maupun batin serta nafsunya tidak mendesak. 4) Makruh Bagi orang yang tidak mampu memenuhi hak-hak isteri, baik lahir maupun batin, walaupun tidak merugikan isteri. 5) Mubah Bagi orang yang tidak terdesak alasan-alasan mewajibkan atau mengharamkan untuk menikah Menurut jumhur, nikah itu hukumnya Sunnah, sedangkan golongan zahiri berpendapat bahwa nikah itu hukumnya wajib.34
2. Rukun dan Syarat Nikah Jumhur ulama sepakat bahwa rukun pernikahan itu terdiri atas :35 a. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan. b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita. c. Adanya dua orang saksi.
34
Ibn Rusyd al-Qurtubi al-Andalausi, Bidayah al-Mujtahaid, Juz 4, Beirut: Libanon: Daral-Kutub al-Ilmiyah, tt., hlm. 197. 35 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, , Cet. ke-3, 1998, hlm70-72.
30
d. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin lakilaki. Syarat-syarat pernikahan merupakan dasar bagi sahnya pernikahan. Apabila
syarat-syarat
terpenuhi,
maka
pernikahan
itu
sah
dan
menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya pernikahan itu ada dua : 1) Calon mempelai perempuannya halal nikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan orang yang haram dinikahi, baik karena haram dinikahi untuk sementara maupun untuk selama-lamanya. 2) Akad nikahnya dihadiri para saksi. Secara rinci, masing-masing rukun diatas akan dijelaskan syarat-syarat sebagai berikut : Syarat-syarat kedua mempelai. 1) Syarat-syarat pengantin pria a) Calon suami beragama Islam. b) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki. c) Orangnya diketahui dan tertentu. d) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri. e) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal baginya.
31
f) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu. g) Tidak sedang melakukan ihram. h) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri. i) Tidak sedang mempunyai istri empat. 2) Syarat-syarat calon pengantin perempuan : a) Beragama Islam atau ahli Kitab. b) Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci). c) Wanita itu tentu orangnya. d) Halal bagi calon suami. e) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam ‘iddah. f) Tidak dipaksa/ikhtiyar. g) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah. 3. Syarat-syarat Ijab Kabul Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul dengan lisan. Inilah yang dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami. Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya, sedangkan kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.36
36
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A., Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana, Cet. ke-4, 2010, hlm. 57.
32
4. Syarat-Syarat Wali Perkawinan dilangsungkan oleh wali oleh pihak mempelai perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal, dan adil (tidak fasik), karena perkawinan tanpa wali tidak sah.37 5. Syarat Saksi Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti (paham) akan maksud akad nikah. 6. Mahar Dalam bahasa Indonesia kata mahar dikenal dengan maskawin. Mahar atau maskawin adalah harta pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan yang merupakan hak istri dan sunnah disebutkan ketika akad nikah berlangsung. Jadi pemberian maskawin ini adalah wajib dan sunnah disebutkan pada waktu akad nikah.38 Namun apabila maskawin itu tidak disebutkan dalam akad nikah, maka wajib membayar maskawin yang pantas (mahar mitsil).39
37
Abdurrahman Al-Kahlani Al-San'ani, Subulu Al-Salam, Terj. Abu Bakar Muhammad, “Subulus Salam III”, Surabaya: Al-Ikhlas, Cet. ke-1, 1995, hlm. 433. 38 Ibid., hlm. 110. 39 Ibid., hlm. 114.
33
BAB III OBJEK KAJIAN
A. Majelis Ulama Indonesia (MUI) 1. Profil Majelis Ulama Indonesia (MUI) Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri pada tanggal 26 Juli 1975, hadir ke pentas gerakan Islam untuk memajukan peradaban dan mewujudkan masyarakat Indonesia baru, yang tak lain adalah masyarakat Madani (khair al-Ummah), yang menekankan nilai-nilai persamaan manusia (al-musawwa), keadilan (al-‘adalah) dan demokrasi (asy-syura). Dari pemikiran itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyusun visi dan misi yang merupakan acuan segenap jajaran Majelis Ulama Indonesia (MUI). Visi MUI adalah menciptakan kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang baik sebagai hasil penggalangan potensi dan partisipasi umat Islam melalui aktualisasi potensi ulama, zuama' dan cendekiawan muslim demi kejayaan Islam dan umat Islam (li al-Islam wa al-Muslimin). Sedangkan misi MUI adalah menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan Islam secara efektif, sehingga mampu mengarahkan dan membina uamt Islam dalam menanamkan dan memupuk akidah islamiyah, serta menjalankan syariatsyariat Islam, dan menjadikan ulama sebagai
33
34
panutan dalam mengembangkan akhlak karimah agar terwujud masyarakat yang khair al-ummah.40 Menurut
Pedoman
Dasarnya,
MUI
bersifat
keagamaan,
kemasyarakatan dan independen, yakni tidak terikat atau menjadi bagian dari pemerintah atau bagian manapun. Organisasi ini berfungsi: a) sebagai wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim dalam mengayomi
umat
dan
mengembangkan
kehidupan
yang
islami,
demokratis, akomodatif dan aspiratif. b) sebagai wadah silaturrahmi para ulama, zuama dan cendekiawan muslim untuk mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dan menggalang ukhuwah islamiyah. c) sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah. 2. Komisi Fatwa dan Cara Kerjanya Untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah diamanatkan dalam MUNAS VI tahun 2000, MUI membentuk sepuluh komisi, yaitu Komisi Ukhuwah Islamiyah, Komisi Fatwa, Komisi Dakwah Islam, Komisi Hubungan Luar Negeri, Komisi Perintis Perempuan, Keluarga dan Remaja, Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama, Komisi Pendidikan Islam, Komisi Perekonomian Islam, Komisi Pengembangan Hukum dan Perundangundangan,
dan
Komisi
pengkajian
dan
pengembangan.
Pembentukan komisikomisi tersebut berdasarkan Surat Keputusan MUI Pusat No.Kep- 419/MUI/IX/2000.41 Di antara komisi-komisi itu adalah
40
Majelis Ulama Indonesia, Pedoman Organisasi MUI, (Yogyakarta: Sekretariat MUI DIY, 2000), hlm. 36-37. 41 MUI, Hasil-Hasil Rapat Kerja Nasional MUI Tahun 2000,(ttp: tnp, 2000), hlm. 17.
35
Komisi Fatwa. Pembentukan Komisi Fatwa ini bertujuan untuk menelaah, membahas, merumuskan serta memutuskan suatu persoalan atau permasalahan yang diajukan seseorang atau kelompok. Dalam periode 2005-2010, susunan personalia pengurus Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia adalah sebagai berikut : Ketua
: Dr. K.H. M.A. Sahal Mahfudh
Wakil Ketua
: Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin, MA
Wakil Ketua
: Prof. Dr. H. Umar Shihab
Wakil Ketua
: Prof. Drs. H. Asmuni Abdurrahman
Wakil Ketua
: Drs. H. Nazri Adlani
Sekretaris
: Drs. H.M. Ichwan Sam
Anggota
: Prof. K.H. Ali Yafie Prof. Dr. K.H. Tholhah Hasan Prof. Dr. H.A. Qodri Azizi, MA Drs. H. Amidhan Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, MA, SH, MM Prof. Dr. K.H. Didin Hafidhuddin, MS K.H. Fachruddin Masturo K.H. Cholid Fadlullah, SH
36
H. Karnaen A. Perwataatmadja, MPA, FIIS42 3. Metode Penetapan Fatwa MUI Penyusunan dan Penetapan Fatwa dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI. Komisi ini diberi tugas untuk mendiskusikan dan menetapkan fatwa tentang persoalan-persoalan hukum
Islam
yang sedang dihadapi
masyarakat. Pada saat pembentukannya pada tahun 1975, komisi ini memiliki tujuh orang anggota, tetapi jumlah itu bisa berubah karena kematian atau penggantian anggota; setiap lima tahun sekali komisi ini diperbaharui melalui pengangkatan baru. Ketua Komisi Fatwa secara otomatis bertindak selaku wakil ketua MUI. Sidang Komisi Fatwa dilakukan sesuai kebutuhan atau apabila MUI diminta pendapatnya tentang persoalan tertentu (hukum Islam) baik oleh pemerintah atau oleh umum. Persidangan seperti ini biasanya dihadiri oleh ketua dan anggota komisi juga dihadiri oleh undangan, terdiri dari ulama dan ilmuwan yang dianggap kompeten dalam bidangnya. Dalam menetapkan sebuah fatwa ada kalanya hanya memerlukan satu kali sidang dan ada yang memerlukan berkali-kali sidang, sebaliknya dalam sekali bisa menghasilkan fatwa dalam jumlah besar.43 Metode lain untuk membentuk fatwa adalah memperbincangkan masalah-masalah terkait dalam konferensi tahunan para ulama yang diselenggarakan oleh MUI. Pertemuan seperti ini dihadiri oleh kalangan ulama dari lingkungan yang lebih luas, kemudian
42
Ibid.,hlm. 18. Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indinesia: Sebuah Studi Pemikiran Hukum Islam, (Jakarta: INIS, 1993) hlm. 79. 43
37
dikemukakan persoalan-persoalaan yang hendak dicarikan solusinya, setelah persoalaan bisa disetujui dan dilengkapi dalil-dalinya, kemudian didaftarkan dan disampaikan kepada Komisi Fatwa, Komisi Fatwa akan mengumumkannya. Dalam kasus seperti ini Komisi Fatwa tidak perlu lagi melakukan kajian dan telaah, karena masalah-masalah terkait telah dibicarakan dalam pertemuan yang lebih besar. Pada tahun 1980 misalnya, Konferensi Nasional para ulama membahas masalah operasi ganti kelamin, pernikahan antara agama dan gerakan Ahmadiyah.44 Sedangkan bentuk fatwa selalu sama, dimulai dengan pernyataan bahwa komisi telah menyelenggarakan sidang pada tanggal tertentu berkenaan dengan adanya pertanyaan dari orang atau lembaga tertentu. Kemudian dilanjutkan dengan dalil-dalil yang dipergunakan sebagai dasar pembuatan fatwa yang dimaksud. Dalil-dalil itu berbeda dalam hal panjang dan kedalamannya bagi masing-masing fatwa. Dalil bagi kebanyakan fatwa dimulai dengan pengambilan dari ayat al Qur‘an dan hadis yang bersangkutan disertai kutipan naskah-naskah fiqih dalam bahasa Arab. Dalil-dalil rasional juga dilampirkan sebagai pendukung. Setelah itu baru baru diberikan pernyataan yang sebenarnya dari fatwa yang bersangkutan. Komisi Fatwa dalam mewujudkan dan membahas persoalan atau masalah
dilakukan
melalui
persidangan-persidangan
atau
rapat.
Persidangan atau rapat Komisi Fatwa diadakan menurut keperluan atau apabila MUI telah diminta pendapatnya oleh masyarakat atau oleh
44
Ibid., hlm. 80.
38
pemerintah mengenai persoalan-persoalan tertentu dalam hukum Islam. Persidangan semacam ini di samping Ketua, sekretaris dan para anggota komisi, juga dihadiri oleh para undangan dari luar, terdiri dari para ulama yang berkompeten pada masalah dimaksud dan para pakar ilmuwan. Cara lain untuk mewujudkan fatwa yaitu dengan memperbincangkan persoalan atau
masalah
dalam
Konferensi
Tahunan
para
ulama,
yang
diselenggarakan oleh MUI. Konferensi yang dihadiri oleh jumlah yang lebih besar para ulama dari lingkungan yang lebih luas pula. Setelah disetujui,
dilengkapi
dalil-dalilnya,
kemudian
mendaftarkan
dan
menyampaikan persoalan itu kepada Komisi Fatwa yang selanjutnya akan mengumumkannya.45 Komisi Fatwa dalam membahas dan menetapkan fatwa berpegang pada metode ijtihad yang telah ditetapkan. Metode ijtihad Komisi Fatwa berbentuk Pedoman Penetapan Fatwa MUI yang ditetapkan oleh Dewan Pimpinan MUI dengan Nomor U-596/MUI/IX/1977.46 Setiap keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan sunnah rasul yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat. Jika tidak terdapat dalam kitabullah dan sunnah rasul sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, keputusan fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma, Qiyas yang mu’tabar dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti Istihsan, masalih mursalah, dan sadd az-zari’ah. Sebelum pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau pendapat45 46
1.
Ibid.,hlm. 80. MUI, Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, ( Jakarta: tnp, 1997), hlm.
39
pendapat para imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat. Pandangan tenaga ahli dalam masalah yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangkan.47 Keputusan fatwa MUI bersifat tidak mengikat dan tidak harus diikuti oleh semua orang Islam, disebutkan bahwa : “Keputusan fatwa yang ditetapkan berdasar ijtihad di lingkungan MUI itu bukan satu-satunya fatwa dan bukan yang paling benar sehingga harus diikuti oleh seluruh umat Islam. Tetapi merupakan salah satu hasil ijtihad oleh salah satu lembaga fatwa, disamping fatwa-fatwa lainnya mengenai masalah yang sama yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga fatwa lainnya, misalnya dari Ormas-ormas Islam”.48
B. Pengadilan Negeri Batang 1. Profil dan Sejarah Kabupaten Batang sebagai salah satu kabupaten di Jawa Tengah terletak diantara 6 derajat 51‘ 46“ dan 7 derajat 11‘ 47“ lintang selatan dan antara 109 derajat 40‘ 19“ dan 110 derajat 03‘ 06“ bujur timur. Kabupaten Batang sebelah barat berbatasan dengan kabupaten dan kota Pekalongan. Sebelah
selatan
dengan
kabupaten
Wonosobo
dan
kabupaten
Banjarnegara, sebelah timur dengan kabupaten Kendal dan sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa.49 47
Ibid. hlm. 2. Ibid. hlm. 9. 49 http://pn-batang.go.id/2014-03-15-20-37-16/beranda.html 48
40
Pada waktu itu masih berdiri Pengadilan Negeri Pekalongan dan kira-kira
tahun
1970
Pengadilan
Negeri
Pekalongan
melakukan
persidangan di Batang, kemudian pada tanggal 24 Maret 1972 berdirilah Pengadilan Negeri Batang yang berlokasi di Jl. Jend. Sudirman No. 2 Batang dan mulai saat itu Pengadilan Negeri Batang melakukan persidangan dan sejak tahun 1978 Pengadilan Negeri Batang pindah gedung ke Jl. Brigjend. Slamet Riyadi No. 5 Batang yang sekarang ini digunakan untuk kantor Pengadilan Negeri Batang. Adapun Pengadilan Negeri Batang sejak berdiri sampai dengan sekarang dipimpin sebagai berikut : a. Hasan Gosim Sahab, SH sejak tahun 1971 s/d 1977; b. Soediharjo, SH sejak tahun 1977 s/d 1982; c. Harjanto Hadinata, SH sejak tahun 1982 s/d 1987; d. Rpa Mangkoediningrat, SH sejak tahun 1987 s/d 1991; e. Iman Poernomo, SH sejak tahun 1991 s/d 1994; f. Haryono, SH sejak tahun 1994 s/d 1997; g. Zoeber Djajadi, SH sejak tahun 1997 s/d 2000; h. Soewito, SH sejak tahun 2000 s/d 2001; i. B.F. Siregar, SH sejak tahun 2001 s/d 2003; j. Johny Santosa, SH sejak tahun 2003 s/d 2006; k. Agung Wibowo, SH. MH sejak tahun 2006 s/d 2008; l. Sinung Hermawan, SH sejak tahun 2008 s/d 2009; m. Pragsono, SH sejak tahun 2009 s/d 2010;
41
n. Ny. Tirolan Nainggolan, SH sejak tahun 2010 s/d 2012; o. H. Hisbullah Idris, SH, M.Hum sejak tahun 2012 s/d 2014; p. Sri Kuncoro, SH sejak 2014 s/d sekarang. 2. Visi Misi a. Visi “Terwujudnya Pengadilan Negeri Batang Yang Agung” b. Misi Pengadilan Negeri Batang menetapkan Misi yang menggambarkan hal-hal yang harus dilaksanakan, yaitu : 1) Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan Undang undang dan peraturan serta keadilan masyarakat 2) Mewujudkan Peradilan yang mandiri dan independen dari campur tangan pihak lain 3) Memperbaiki akses pelayanan di bidang Peradilan kepada masyarakat 4) Memperbaiki kualitas input internal, input pada proses Peradilan 5) Mewujudkan institusi Peradilan yang efektif, efisien, bermartabat dan dihormati 6) Melaksanakan kekuasaan Kehakiman yang mandiri tidak memihak dan transparan 7) Melaksanakan tugas Peradilan dengan berbasis pada kinerja yang dapat dipertanggung jawabkan
42
3. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Negeri selaku salah satu kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Umum mempunyai tugas dan kewenangan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, dalam Pasal 50 menyatakan : Pengadilan Negeri bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama, dalam Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan : Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum kepada instansi pemerintah didaerahnya, apabila diminta dan selain bertugas dan kewenangan tersebut dalam Pasal 50 dan 51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain atau berdasarkan UndangUndang. Pengadilan Negeri Batang merupakan lingkungan Peradilan Umum dibawah Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan Peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Pengadilan Negeri Batang bertugas dan berwenang menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara yang masuk di tingkat pertama dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Batang.
43
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Analisis Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Perubahan dan Penyempurnaan Kelamin Majelis Ulama Indonesia melalui fatwa yang ditetapkan Dewan Pimpinan dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 yang kemudian disempurnakan
dengan
Fatwa
Majelis
Ulama
Indonesia
Nomor
03/MUNAS-VIII/MUI/2010 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Alat Kelamin telah menyatakan bahwa operasi penggantian kelamin merupakan suatu hal yang haram hukumnya. Dasar hukum Majelis Ulama Indonesia dalam menyatakan keharaman operasi penggantian kelamin antara lain adalah sebagai berikut: a. Surat An-Nisa (4) ayat 119 :
“Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.”50
50
Majelis Ulama Indonesia, op. cit., hlm. 568.
43
44
b. Surat Ar-Rum (30) ayat 30 :
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. c. Surat Al-Baqarah (2) ayat 216, dengan terjemahan sebagai berikut:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. Dari ayat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa MUI menyatakan secara tegas bahwa operasi penggantian kelamin merupakan suatu tindakan yang haram hukumnya dalam Islam. Namun, Fatwa MUI itu tidak boleh disama ratakan. Sebab terdapat seseorang yang sejak lahir memiliki hormon kewanitaan dan susah diubah, ada pula pria yang berperilaku kewanita-wanitaan akibat salah asuh. Menurut Islam, bagi yang salah asuh, ia harus dikembalikan dan harus berusaha kembali dalam keadaan asli. Sedangkan bagi yang bawaan, para ulama masih berbeda pendapat dalam penghukuman.
45
2. Analisis Penetapan No. 19/Pdt.P/2009/PN.Btg tentang Pergantian Status Kelamin oleh Pengadilan Negeri Batang Berdasarkan Penetapan No. 19/Pdt.P/2009/PN.Btg Pengadilan Negeri Batang, dapat dinyatakan bahwa saksi yang diajukan dalam persidangan kurang kuat. Karena salah satu dari tim dokter yang melakukan operasi penggantian kelamin pada Pemohon tidak turut menjadi saksi dalam persidangan, karena ketidak hadiran tersebut menjadikan keraguan terhadap latar belakang dilakukannya penggantian kelamin apakah sekedar masalah psikologis belaka, ataukah ada latar belakang kondisi fisik yang lain. Penetapan tersebut juga tidak dapat ditemukan satupun
pertimbangan
hakim
yang
terkait
dengan
agama
yang
bersangkutan, yakni agama Islam. Oleh karena itu, seharusnya untuk lebih memperkuat pengesahan status kelamin pemohon, didatangkan saksi dari wakil ulama yang dapat membenarkan bahwa tindakan yang dilakukan Pemohon dibenarkan oleh Islam, sehingga perubahan statusnya jelas sah menurut hukum Islam dan dengan tidak kuatnya kesaksian dari dokter, yakni tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa Pemohon melakukan operasi penggantian kelamin dikarenakan kondisi biologis, maka perubahan status kelamin Pemohon tidak dapat dipandang sah menurut hukum Islam.
B. Pembahasan 1. Kedudukan Hukum Islam Bagi Transeksual Setelah Operasi Penggantian kelamin bagi transeksual setelah operasi akan menimbulkan banyak permasalahan. Permasalahan itu akan timbul
46
berkenaan dengan kedudukan hukum transeksual setelah melakukan operasi, diterimanya surat keterangan dari dokter yang berwenang, menjelaskan kalau pasien sudah melaksanakan operasi penggantian kelamin sesudah melakukan observasi yang ditujukan kepada pengadilan. Surat keterangan dokter merupakan syarat dalam pemeriksaan di pengadilan jika pasien yang bersangkutan mengajukan permohonan perubahan jenis kelamin dan pengurusan surat-surat lainnya yang berkaitan dengan perubahan statusnya. Penetapan Pengadilan terhadap perubahan status kelamin didahului dengan pernyataan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, bisa dijelaskan bahwa penetapan tersebut dibuat atas dasar demi keadilan yang berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Penetapan ini ditetapkan atas rasa ketuhanan yang dimiliki oleh hakim serta atas penghormatan yang tinggi terhadap agama yang dianut oleh pemohon yang mengajukan permohonan. Meskipun penetapan pengadilan dibuat atas rasa Ketuhanan Yang Maha Esa dengan penghormatan yang tinggi terhadap agama yang dianur oleh pemohon, tidak demikian pada pertimbangan hukumnya, dimana tidak satupun yang mengkaitkan dengan agama yang dianut oleh pemohon. Adapun yang menjadi pertimbangan hukumnya oleh hakim, bahwa perubahan jenis kelamin seseorang menurut hukum adalah suatu perubahan yang sangat mendasar mengenai kedudukan hukum seseorang, walaupun peristiwa perubahan jenis kelamin merupakan persoalan baru dalam masyarakat dan belum diatur oleh undang-undang, akan tetapi dalam
47
hukum diperlukan suatu penegasan status seseorang wanita atau laki-laki, karena penentuan status demikian itu diperlukan baik dalam hukum perdata maupun hukum pidana. Hakim dalam memberikan putusan penetapannya harus melihat dan mempertimbangkan sisi agama yang dianut pemohon. Salah satu hubungan hukum yang bisa terjadi setelah adanya penetapan pengadilan yang erat kaitannya dengan masalah agama yaitu perkawinan. Sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia, bahwa sah tidaknya suatu perkawinan sesuai dengan ketentuan hukum agama yang dianut oleh masing-masing pihak. Maka, apabila perubahan status tersebut telah ditetapkan, sementara pemohon terhalang melakukan perkawinan karena agama yang dianutnya tidak membenarkan adanya perkawinan antara seorang laki-laki dengan dengan seorang mantan laki-laki atau sebaliknya, maka dengan demikian berarti akan menimbulkan masalah yang lebih besar bagi pemohon. 2. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Bagi Transeksual Setelah Operasi Penggantian Kelamin Islam telah menganjurkan kepada manusia untuk menikah. Dan ada banyak hikmah di balik anjuran tersebut. Antara lain adalah :
1. Sunnah
para Nabi dan Rasul, 2. Bagian dari tanda kekuasan Allah, 3. Salah satu jalan untuk menjadi kaya, 4. Ibadah dan setengah dari agama, 5. Tidak ada pembujangan dalam Islam, dan 6. Menikah itu ciri khas makhluk hidup. Allah telah menciptakan lelaki dan perempuan agar dapat berhubungan satu
48
sama lain, saling mencintai, menghasilkan keturunan, dan hidup berdampingan dengan perintah Allah dan petunjuk Rasulullah. A1-Qur’an surat Ar-Rum (30) ayat 21, Allah berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri agar dapat hidup damai bersamanya. dan dijadikan rasa kasih sayang di antaramu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat (tandatanda bagi orang-orang yang berpikir”.51 Berdasarkan dapat dijelaskan bahwa perkawinan dalam Islam adalah suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas landasan niat untuk bergaul antara suami-isteri dengan abadi, supaya dapat memetik buah kejiwaan yang telah digariskan Allah dalam al-Quran, yaitu ketenteraman, kecintaan dan kasih sayang. Sedang tujuannya yang bersifat duniawi yaitu demi berkembangnya keturunan dan kelangsungan jenis manusia. Seperti yang diterangkan Allah dalam al-Quran. Jika perkawinan tersebut dikaitkan dengan tindakan operasi bagi transeksual, mengingat transeksual sendiri juga ada indikasi untuk nikah, maka pada beberapa aspek tidak sejalan dengan tujuan perkawinan itu sendiri, Hal ini dapat dipahami dari beberapa hal a. Penderita (transeksual) akan mengalami kemandulan tetapi b. Tidak akan lagi memberikan
51
Al-Qur’an, hlm. 30:2l.
49
keturunan, dan tidak dapat pula memenuhi kebutuhan biologis atau seksualnya secara normal; c. Dapat menimbulkan konflik dalam rumah tangga sebab suami/istri setelah operasi ubah kelamin tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri yang normal. Dalam kacamata syariat operasi perubahan jenis kelamin tidak membuatnya berganti jenis kelamin sehingga statusnya tetap laki-laki meski suara, bentuk tubuh, kulit dan seterusnya mirip wanita atau sebaliknya. Bagi transeksual yang melakukan operasi kelamin, dalam hal menentukan status jenis kelamin setelah operasi adalah ia tetap berstatus dengan jenis kelaminnya yang asli yang ada sejak ia dilahirkan, sebagaimana dinyatakan dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang operasi perubahan/penyempurnaan kelamin tanggal 1 Juni 1980 (12 Rajab 1400 H)52 dan tanggal 25-28 Juli 2010 (13-16 Sya’ban 1431 H) juga tentang perebahan dan penyempurnaan alat kelamin. Selain itu, menurut hukum Islam perkawinan yang dilakukan oleh transeksual
adalah
haram
hukumnya.
Pada
dasamya
perkawinan
transeksual adalah perkawinan yang dilakukan sesama jenis kelamin dan Islam mengharamkan jenis perkawinan tersebut. Allah tidak mau menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya tidak ada aturannya. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai martabatnya, seperti yang terdapat dalam surat Yaasiin 36:
52
Himpunan Fatwa MUI, Operasi Perubahan / Penyempurnaan Kelamin, Jakarta, 1980.
50
Maha suci Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. Bagi sebagian orang yang berpendapat bahwa penderita transeksual sama halnya dengan penderita homoseksual. Oleh karena itu kesepakatan ulama bahwa jenis perkawinan tersebut tidak diperbolehkan (haram hukumnya), karena sesungguhnya homoseksual itu merupakan perbuatan keji dan dosa besar. Demikian pula perkawinan yang dilakukan oleh transeksual itu tidak diperbolehkan selain karena perkawinan itu pada dasarnya perkawinan sesama jenis kelamin juga melihat lagi ke awal hukumnya bahwa penderita transeksual yang melakukan operasi kelamin adalah haram hukumnya. Selain itu upaya-upaya syaitan kepada manusia untuk mengubah segala ciptaan Allah, perilaku, sikap maupun fisik, yang menjadi larangan Allah. Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan jalan untuk memenuhi tuntutan biologis yang sah dan diridlai Allah. Maksud dari perkawinan yang sali dan diridlai Allah adalah suatu perkawinan yang dilaksanakan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing dan yang telah memenuhi syarat-syarat dan rukunrukunnya. Di antara rukun-rukun yang sangat krusial dalam perkawinan
51
tersebut dilakukan oleh kadua calon mempelai yang berbeda jenis kelamin yaitu wanita dan pria, terang laki-lakinya (bukan banci) dan terang perempuannya (bukan banci). Di samping itu juga adanya wali nikah, dua orang saksi dan ijab kabul. Apabila sebuah perkawinan tidak terpenuhi syarat dan rukunnya maka perkawinan tersebut tidak sah. Namun apabila perkawinan transeksual tersebut telah berlangsung, menurut teori fiqih perkawinan tersebut tidak sah atau dianggap tidak adanya suatu perkawinan, pakawinan tersebut disamakan dengan perkawinan terhadap sesama jenis kelamin. Al-Qur’an melarang untuk menyukai sesama jenis kelamin sebagaimana diuraikan dalam QS. AIA‘raf: 80-81 sebagai beikut :
Dan (Kami) juga telah mengutus Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala ia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu) yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu. Sesunggethnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu kepada mereka, bukan kepada wanita. Kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.53 Oleh karena itu perkawinan tersebut dapat dimintakan pembatalan kepada hakim pengadilan agama, karena salah satu rukun di dalam perkawinan tidak terpenuhi. Sehingga pembatalan suatu perkawinan itu dianggap seolah-olah tidak pernah terjadi sama sekali suatu perkawinan. 53
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahan, hlm. 234.
52
Maka perkawinan transeksual itu tidak diperbolehkan. Sama halnya dengan perkawinan homoseksual, perkawinan transekual pada dasarnya dilakukan oleh sesama jenis kelamin dan Islam menolak tegas dan mencela hubungan sesama jenis kelamin karena akan memutuskan jalan untuk memperoleh keturunan. Hal ini jelas bertentangan dengan tujuan perkawinan yang diantaranya untuk mempunyai keturunan. Oleh karena itu perkawinan tersebut
dapat dimintakan pembatalan kepada hakim
Pengadilan Agama, dimana salah satu yang menjadi rukun perkawinan tidak terpenuhi.
53
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Penggantian kelamin merupakan suatu tindakan yang haram hukumnya dalam Islam. Namun, dapat diperbolehkan apabila ternyata didapati suatu kelainan atau cacat pada struktur tubuh orang tersebut yang memang mengindikasikan bahwa orang tersebut seharusnya memiliki jenis kelamin berlainan dengan penampilan fisik yang dimilikinya. Dengan adanya kondisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perubahan status kelamin dari perempuan menjadi laki-laki ataupun sebaliknya, dari laki-laki menjadi perempuan setelah dilakukannya operasi penggantian kelamin, merupakan suatu perubahan status yang keabsahannya diakui pula dalam hukum Islam. Akan tetapi diluar itu, penggantian kelamin tetap merupakan suatu hal yang haram hukumnya bagi seseorang yang tidak memiliki kelainan biologis atau bawaan dan hanya memiliki masalah psikologis. 2. Hukum Islam pada dasarnya tidak memperbolehkan terjadinya perkawinan antara seorang transeksual yang telah diubah statusnya oleh Pengadilan Negeri. Namun, terdapat pengecualian apabila operasi yang telah dijalani hukumnya boleh dalam hukum Islam maka dapat saja dilakukan perkawinan antara orang yang bersangkutan dengan seorang yang
53
54
memiliki jenis kelamin yang berbeda dengan jenis kelamin yang dimilikinya setelah dilakukan operasi penggantian kelamin. Apabila demikian kondisinya, seorang transeksual dapat melakukan perkawinan. 3. Berdasarkan Penetapan No. 19/Pdt.P/2009/PN.Btg Pengadilan Negeri Batang, dapat dinyatakan bahwa saksi yang diajukan dalam persidangan kurang kuat. Karena salah satu dari tim dokter yang melakukan operasi penggantian kelamin pada Pemohon tidak turut menjadi saksi dalam persidangan, karena ketidak hadiran tersebut menjadikan keraguan terhadap latar belakang dilakukannya penggantian kelamin apakah sekedar masalah psikologis belaka, ataukah ada latar belakang kondisi fisik yang lain. Penetapan tersebut juga tidak dapat ditemukan satupun pertimbangan hakim yang terkait dengan agama yang bersangkutan, yakni agama Islam. Oleh karena itu, seharusnya untuk lebih memperkuat pengesahan status kelamin pemohon, didatangkan saksi dari wakil ulama yang dapat membenarkan bahwa tindakan yang dilakukan Pemohon dibenarkan oleh Islam, sehingga perubahan statusnya jelas sah menurut hukum Islam dan dengan tidak kuatnya kesaksian dari dokter, yakni tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa Pemohon melakukan operasi penggantian kelamin dikarenakan kondisi biologis, maka perubahan status kelamin Pemohon tidak dapat dipandang sah menurut hukum Islam. 4. Majelis Ulama Indonesia melalui fatwa yang ditetapkan Dewan Pimpinan dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 yang kemudian disempurnakan dengan
Fatwa
Majelis
Ulama
Indonesia
Nomor
03/MUNAS-
55
VIII/MUI/2010 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Alat Kelamin telah menyatakan bahwa operasi penggantian kelamin merupakan suatu hal yang haram hukumnya. Fatwa MUI itu tidak boleh dipukul rata karena hukum operasi kelamin dalam syari’at Islam harus diperinci persoalan dan latar belakangnya. Dalam dunia kedokteran modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu: a. Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal; b. Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar (penis) atau vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna; c. Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ atau jenis kelamin (penis dan vagina). Dari ketiga hal di atas golongan kedua (b) dan ketiga (c) dapat disahkan penggubahan kelaminnya sedangkan transeksual yang masuk pada golongan yang pertama (a), yakni operasi penggantian jenis kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal. Dalam hal ini diharamkan oleh syariat Islam. Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
B. Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat diajukan saran-saran sebagai berikut:
56
1. Dibentuk peraturan perundang-undangan setingkat peraturan menteri, salah satunya seperti Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur mengenai syarat-syarat untuk dapat dilakukannya operasi penggantian kelamin, pelaksanaan operasi penggantian kelamin, serta akibat-akibat hukumnya agar terdapat kejelasan dalam pelaksanaannya. Regulasi tersebut hendaknya memperhatikan segala aspek, termasuk aspek agama, hukum, dan medis. Regulasi tersebut juga hendaknya melarang dilakukannya operasi penggantian kelamin apabila tidak ditemukan kelainan biologis, terutama bagi umat Islam. Hal tersebut dikarenakan apabila secara hukum Islam suatu perubahan status kelamin tidak dapat dibenarkan, maka secara hukum Islam, status hukum orang tersebut masih tetap sama seperti sebelum melakukan operasi penggantian kelamin, yakni apabila operasi dilakukan terhadap perempuan menjadi laki-laki, maka status hukum orang tersebut berdasarkan hukum Islam masih merupakan status hukum perempuan, begitupun sebaliknya. 2. Dilakukan suatu pemeriksaan berupa wawancara terhadap lingkungan sekitar kedua calon mempelai terkait identitas dari para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan. Apabila didapati kenyataan bahwa pernah terjadi operasi penggantian kelamin, maka wawancara dilanjutkan terhadap dokter yang bertanggung jawab dalam operasi penggantian kelamin untuk memastikan agar tidak terjadi suatu perkawinan yang diharamkan oleh Islam. Apabila wawancara dirasakan berat, maka calon mempelai dapat menyerahkan surat keterangan dokter yang melakukan
57
operasi penggantian kelamin yang menyatakan bahwa operasi dilakukan berdasar pada adanya kelainan kelamin bawaan pada pasien yang bersangkutan.
C. Penutup Segala puji dan syukur kita persembahkan keharibaan Allah yang maha pengasih yang senantiasa melimpahkan rahmat dan pertolongannya serta memberikan kejernihan berfikir kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin demi kesempurnaan skripsi ini, namun penulis sangat menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis senantiasa mengharapkan saran dan kritik membangun, guna kesempurnaan dalam penyusunan skripsi ini. Akhirnya penulis mohon kepada Allah Swt semoga semua pihak yang telah membantu terselesainya penyususnan skripsi ini mendapat balasan yang berlipat ganda dengan balasan amal shalih. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi pribadi penulis khususnya. Amin.
58
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya, 2011. Edisi Ilmu Pengetahuan. Cet. 8. Bandung: Al-Mizan Publishing House. Al-Qaradhawi, 2002. Yusuf. Fatwa-Fatwa Kontemporer: Jilid 3. Jakarta: Gema Insani Press. Chaery, 1983. Shalhudidin dan Shofiq. Kamus Istilah Agama. Cet. 1. Jakarta: Sienttarama. Darmabrata, 2008. Wahyono. Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya. Cet. 3. Jakarta: Rizkita. Departemen Kehakiman. 1996. Analisis dan Evaluasi Hukum tentang 20 Tahun Pelaksanaan
Undang-Undang
Perkawinan.
Jakarta:
Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Djubaedah, Neng. 2010. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika. Djubaedah, Neng, et al. 2005. Aspek Pidana dalam Hukum Islam. Jakarta: Cintya Press.
58
59
Djubaedah, Neng, Sulaikin Lubis, dan Farida Prihatini. 2005. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Hecca Mitra Utama. GhozaliAbdul Rahman. 2010. Fiqih Munakahat. Jakarta.: Kencana Prenada Media Group. Indrati, Maria Farida. 2007. Ilmu Perundang-undangan 1. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Ismatullah, Dedi. 2011. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia. Junus, Mahmud. Hukum Perkawinan dalam Islam. Jakarta: CV. Al Hidayah, 1964. Kartono, Kartini. 1989 Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung: Mandar Maju. Majelis Ulama Indonesia. 2011. Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975. Jakarta: Erlangga. Mardani. 2009. Bunga Rampai Hukum Aktual. Bogor: Ghalia Indonesia. MK, M. Anshary. 2010. Hukum Perkawinan di Indonesia: Masalah-Masalah Krusial. Cet. 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Muhammad, Abdulkadir. 1993. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. Muhammad, Syamsuddin. 2007. Dosa-Dosa Besar: Penjabaran Tuntas 70 Dosa Besar Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Solo: Pustaka Arafah. Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. 1987. Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
60
Ramulyo, Mohd. Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Rojaya, M. 2010. Dosa-Dosa Besar. Bandung: Angkasa. Sa’abah, Marzuki Umar. 2001. Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam. Jogjakarta: UII Press. Saebani, Beni Ahmad dan Syamsul Falah. 2011. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Cet. 1. Bandung: Pustaka Setia. Saleh, K. Wantjik. 1982. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Satrio, J. 1999. Hukum Pribadi: Bagian I Persoon Alamiah. Bandung: Citra Aditya Bakti. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Pers. Subekti. 1983. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa. Subekti, Wienarsih Imam dan Sri Soesilowati Mahdi. 2005. Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat. Cet. 1. Jakarta: Gitama Jaya. Sudarsono. 1991. Hukum Kekeluargaan Nasional. Cet. 1. Jakarta: Rineka Cipta. Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Cet. 2. Jakarta: Prenada Media. Usman, Rachmadi. 2006. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Yash. 2003. Transeksual: Sebuah Studi Kasus Perkembangan Transeksual Perempuan ke Laki-Laki. Cet. 1. Semarang: Aini.
61
Yatimin. 2008. Etika Seksual dan Penyimpangannya dalam Islam: Tinjauan Psikologi Pendidikan dari Sudut Pandang Islam. Jakarta: Amzah. Zuhaily, Wahbah Al. 1989. Al-Fiqh Al Islami Waadillatuhu juz IV. Damsyiq: Dar al-Fikr.