tak boleh mencoba menangani persoalan ini. Jangan-jangan malah aku sendiri nanti yang mendapat kesulitan lagi."
Maka ia mencoba untuk tidak memikirkan Martin. Tetapi Martin berbuat makin aneh. Ia tidak lagi membuntuti Julian, ganti membuntuti Elizabeth. Ia tampak sangat bingung. Elizabeth merasa gembira waktu jam tidur datang dan Martin terpaksa tak bisa mengikutinya lagi.
Kegembiraan yang meluap hari itu membuat Elizabeth sukar tidur. Berbalik ke sana, berbalik kemari, digemburkannya bantal, dibuangnya selimut, diambilnya selimutnya lagi... tetapi masih juga ia tak bisa tidur.
Ia terpaksa berpikir tentang Martin. Sungguh aneh. Bagaimana seseorang bisa punya dua kepribadian sekaligus? Bagaimana seseorang bisa keji tapi juga baik hati? Bertabiat buruk tapi juga bertabiat baik?
Diingat-ingatnya semua Rapat Besar sekolah yang pernah diikutinya. Diingatingatnya berbagai perbuatan aneh anak-anak yang diungkapkan setiap kali Rapat. Penyebab perbuatan itu dicari dan diketemukan, kemudian ditunjukkan jalan keluar, dan menyembuhkan perbuatan aneh tersebut.
"Harry, misalnya. Ia suka berbuat curang di kelas. Mencontek. Tetapi ternyata itu dilakukannya karena takut pada ayahnya, takut bila dapat nilai rendah," pikir Elizabeth. "Kemudian Robert. Semester yang lalu ia suka menindas anak-anak kecil. Tetapi ternyata itu karena dulunya ia iri pada adik-adiknya dan ia melampiaskan rasa irinya itu dengan menyiksa anak-anak kecil. Kemudian aku. Aku dulu juga berkelakuan buruk sekali. Tetapi kini aku sudah cukup baik, walaupun harus kehilangan kedudukanku sebagai Pengawas."
Ia teringat akan buku besar tempat William dan Rita mencatat apa saja yang terjadi dalam sebuah Rapat Besar. Di situ tercatat berbagai cerita tentang anakanak yang nakal atau melanggar peraturan di Whyteleafe, dari tahun ke tahun. Semua kesalahan dicatat, cara penanggulangannya pun dicatat, juga cara mencari sebab kesalahan tersebut.
"Aku tak yakin ada cara untuk menyembuhkan sifat Martin," pikir Elizabeth. "Mungkin di Buku Besar William ada suatu peristiwa yang mirip kisah Martin. Ingin sekali aku melihat buku besar itu. Oh, kenapa hari tidak cepat pagi agar aku bisa memeriksa buku itu."
Anak-anak memang diperkenankan membaca buku tersebut, yang saat ini mereka namakan Buku Besar William. Banyak sekali pelajaran yang bisa didapat dari buku itu.
Elizabeth makin gelisah. Akhirnya ia bangkit, duduk "Aku akan melihat buku itu sekarang juga," pikirnya. "Aku toh takkan bisa tidur sebelum pertanyaanku ini
terjawab. Paling tidak aku bisa melewatkan waktu dengan lebih berguna."
Elizabeth memakai gaun kamar dan sandal. Kemudian ia menyelinap keluar kamar tidur, membawa senter. Semua sudah tidur lelap. Tanpa bersuara Elizabeth berjalan di gang, dan turun ke ruang senam. Di bagian depan ruang itu terdapat semacam panggung tempat para hakim dan juri duduk Dan di situ terdapat meja. Di laci meja itulah disimpan Buku Besar William.
Elizabeth mengeluarkan buku tersebut. Ia menggunakan senternya, sebab tak berani menyalakan lampu di ruangan itu. Dibukanya buku tadi. Penuh dengan berbagai macam tulisan-sebab buku tersebut sudah dipegang oleh tiga atau empat orang Ketua Murid yang berbeda-beda selama Sekolah Whyteleafe ini berdiri.
Sekilas Elizabeth melihat di sana-sini di buku tadi. Namanya tercatat. Ini dia. Disebut si Cewek Paling Badung, si Badung Bandel Bengal, seperti yang disebutkan oleh Harry. Dan ini lagi. Ia diberi kehormatan untuk menjadi Pengawas karena berhasil membuktikan dirinya bisa berkelakuan sangat baik. Dan oh, ini lagi. Dicopot dari kedudukan Pengawas karena dianggap tidak becus!
"Elizabeth Allen kehilangan kedudukannya sebagai Pengawas karena tanpa beralasan menuduh seorang teman sekelasnya mencuri. Juga kelakuannya di kelas menunjukkan bahwa ia tidak pantas menjadi Pengawas", demikian tertulis dengan tulisan kecil dan rapi, tulisan William.
"Aku cukup sering muncul di buku ini," pikir Elizabeth dan terus membuka-buka halaman buku tersebut ke arah depan, ke masa-masa Sekolah Whyteleafe yang telah lewat. Tercatat di situ anak-anak Whyteleafe yang berkelakuan buruk ataupun berkelakuan begitu baik sehingga mendapat kehormatan khusus- anak-anak yang telah lama meninggalkan sekolah itu kini. Dan perhatiannya terpaku pada kisah seorang anak perempuan. Cukup mirip dengan kisah Martin!
Dibacanya dengan teliti sampai selesai. Kemudian ditutupnya buku itu. Termenung. Berpikir keras. "Sungguh kisah yang aneh," katanya dalam hati. "Sungguh mirip Martin. Anak ini, Tessie, juga mencuri uang. Tetapi tak pernah ia membelanjakan uang tersebut. Ia segera memberikannya pada anak lain. Dan ia mengambil bunga dari taman sekolah. Memberikannya pada guru-guru, mengatakan bahwa bunga-bunga tadi dibelinya. Dan ternyata ini karena ia merasa tak ada yang menyukainya. Ia ingin membeli persahabatan dengan bersikap murah hati. Ia mencuri agar bisa memberi, agar disenangi. Mungkinkah Martin juga begitu?"
Elizabeth kembali ke kamar tidurnya. "Alangkah menderitanya tak punya sahabat. Apalagi kalau kemudian terpaksa harus berbuat begitu itu," kata Elizabeth dalam hati lagi. "Rasanya aku harus mengatakan sesuatu pada Martin besok Hari ini ia memang tampak menderita. Tetapi... aku sudah begitu sering ikut campur urusan orang. Aku tak boleh memutuskan sendiri apa yang harus kuperbuat pada Martin. Biarlah kutanyakan saja beberapa hal. Kemudian terserah padanya ia ingin berbuat apa. Aku tak peduli." Ia langsung tidur. Ia begitu lelah hingga tidurnya lelap sekali dan hampir terlambat bangun. Begitupun ia masih terus- menerus menguap waktu makan pagi. Apa yang membuatnya gelisah tadi malam? Bahasa Prancis? Tidak Ia sudah mempelajari bahasa Prancis dengan baik Julian? Tidak juga.
Kekhawatirannya tentang Julian sudah lenyap.
Oh, ya. Martin. Martin-lah yang memenuhi pikirannya. Ia berpaling pada anak itu. Pucat sekali wajahnya. Dan tampak kurus.
"Ia berhati busuk," pikir Elizabeth. "Sangat busuk. Tak seorang pun-menyukainya. Juga Rosemary tidak, walaupun semua anak berkata bahwa ia murah hati dan suka memberi. Aneh juga ia tak punya sahabat akrab satu pun. Walaupun aku nakal, dan pada suatu saat banyak sekali anak membenciku, tapi aku masih punya setidaknya seorang sahabat baik yang menyukaiku."
Elizabeth mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Martin segera setelah sarapan. Elizabeth harus memberi makan kelincinya, dan Martin memelihara marmut. Kandang hewan-hewan peliharaan mereka itu bersebelahan, dan kedua anak itu pun segera sibuk.
"Martin," kata Elizabeth langsung pada persoalannya, seperti kebiasaannya, "mengapa kau memberikan uang dan barang-barang yang kaucuri pada anak-anak lain, dan bukannya kaupakai sendiri? Mengapa kau mencurinya kalau toh kau sesungguhnya tak memerlukannya?"
"Hanya karena aku ingin orang lain menyukaiku," kata Martin dengan suara pelahan. "Kita takkan bisa membuat orang lain menyukai kita" kalau kita tidak baik hati dan murah hati. Itulah yang dikatakan ibuku padaku. Sesungguhnya itu bukanlah mencuri, Elizabeth. Aku toh langsung memberikan apa yang kuambil pada orang lain. Seperti... seperti Robin Hood."
"Tidak, sama sekali tidak sama," kata Elizabeth. "Mencuri adalah mencuri, dari mana pun kita melihatnya. Bagaimana kau bisa begitu tidak jujur dan keji, Martin? Kalau aku, bisa mati aku karena malu."
"Rasanya aku juga sangat malu, setelah kau berbicara begitu keras padaku kemarin," kata Martin dengan suara gemetar. "Aku sama sekali tak tahu harus berbuat apa."
"Ada satu hal yang bisa kaulakukan. Tetapi seorang pengecut tak tahu malu seperti kau takkan berani melakukannya," kata Elizabeth tegas. "Kalau kau memang menyesal, maka lebih baik kauakui semua perbuatanmu di Rapat Besar mendatang. Kalau kau ingin membantu Julian, kau harus mengatakan bahwa kau yang memfitnah dia. Itu yang harus kaulakukan."
23. Pertandingan Sekolah dan Hal-hal Lain
Waktu pun berlalu dengan lebih menyenangkan. Ada pertandingan lacrosse, melawan regu sekolah lain yang datang berkunjung. Seluruh warga Sekolah Whyteleafe datang ke lapangan untuk menonton. Dan Elizabeth ikut bermain.
Julian juga ikut main. Ia pandai segala jenis permainan. Ia pandai berlari dan menangkap bola. Robert juga ikut main.
"Kita pasti bisa menang," kata Eileen, kapten regu Whyteleafe saat membawa regunya itu ke lapangan. "Semester ini kita punya banyak pemain kuat dari kelas satu. Cuma, Elizabeth bersikaplah tenang. Cepat membagi bolamu, dan jangan langsung mengamuk bila tongkat lawan mengenaimu, atau lawan menendangmu. Julian, kaubayang-bayangi Elizabeth terus, agar ia bisa melemparkan bola padamu bila ada kesempatan. Kau paling bagus dalam menangkap bola."
Seru sekali pertandingan itu. Regu tamu juga sangat kuat. Pertandingan seimbang. Elizabeth tersambar tongkat lawan, sakit sekali, hingga hampir saja ia merasa harus keluar dari lapangan.
Tetapi dari jauh Julian berteriak, "Enak, ya! Ayo, Elizabeth, gempur terus! Sebentar lagi kita pasti memperoleh satu gol!"
Elizabeth terpaksa tersenyum. Hilang sedikit rasa sakitnya, dan ia menyerbu maju. Regu tamu memasukkan tiga. Whyteleafe juga tiga. Para penonton mulai gelisah melihat arloji masing-masing. Tinggal satu menit!
Elizabeth menerima bola. Ia melaju ke arah gawang. "Lempar padaku!" teriak Julian. "Musuh di belakangmu!"
Elizabeth cepat melempar. Bola ditangkap tepat oleh Julian. Seorang anggota regu lawan mengejarnya, mencoba menjatuhkan bola dalam jaringnya. Julian melempar bola ke arah Elizabeth. Elizabeth menerimanya. Tetapi seorang lawan berlari kencang ke arahnya, agaknya bermaksud menubruknya agar bolanya terjatuh. Takkan bisa dihindarkannya! Dengan putus asa Elizabeth melemparkan bola kuat-kuat ke arah gawang lawan.
Suatu lemparan yang sedikit ngawur. Tetapi entah bagaimana, mencapai sasaran! Bola dibelokkan arahnya oleh serumpun rumput di lapangan, melejit melewati penjaga gawang dan masuk ke sudut gawang!
Seluruh warga Sekolah Whyteleafe bagaikan gila bersorak-sorai. Peluit bertiup tanda pertandingan selesai. Kedua regu keluar dari lapangan. Julian menepuk punggung Elizabeth begitu keras sehingga ia terbatuk-batuk
"Hebat, Elizabeth!" serunya. "Tepat pada waktunya pula! Bagus sekali!"
"Sesungguhnya tak sengaja," kata Elizabeth dengan jujur. "Aku tak bisa melihat ke mana aku harus melempar. Aku hanya melempar saja. Dan -ternyata masuk!"
Teman-teman sekelasnya mengerumuninya, menyorakinya, menepuk-nepuk punggungnya. Sungguh menyenangkan. Kemudian kedua regu yang bertanding itu dijamu dengan mewah.
"Kupikir kau harus dijadikan Pengawas sekali lagi," kata Rosemary. "Belum pernah aku merasa begitu bangga seperti saat kau memasukkan gol terakhir itu tadi, Elizabeth. Hampir bersamaan dengan berakhirnya waktu! Aku sampai tak bisa bernapas."
Elizabeth tertawa. "Kalau kita bisa dijadikan Pengawas hanya karena dapat memasukkan gol, alangkah mudahnya!"
Malam itu semua anak begitu gembira, sehingga rasanya malas untuk belajar. Julian ingin sekali bercanda, membuat suara-suara lucu. Saat itu Pak Leslie sedang mengawasi anak-anak tadi belajar, dan semua sering memandang pada Julian, menunggu-nunggu ia akan berbuat entah apa.
Julian ingin sekali menyenangkan anak-anak itu. Ia berpikir-pikir. Suara apa yang akan ditirukannya? Mesin jahit? Kumbang?
Terpandang olehnya bukunya. Ia belum belajar bahasa Prancis. Ia teringat ikrarnya, yang dibuatnya di gereja kecil beberapa hari yang lalu. Ia berjanji tak akan melupakan ikrar tersebut.
Julian menutup kedua telinganya dengan tangan, dan mulai belajar. Mungkin nanti bila masih ada waktu ia akan berbuat sesuatu. Tetapi kini ia harus belajar lebih dahulu.
Belajar sangat mudah bagi Julian. Otaknya cerdas, daya ingatnya tinggi. Ia telah banyak membaca buku dan banyak yang diketahuinya.
Dengan mudah ia bisa mengalahkan siapa saja di kelasnya, asal saja ia mau mencobanya.
Namun memang sungguh sulit untuk memulai lagi, setelah begitu lama ia bermalas-
malasan.
Tetapi di akhir minggu itu telah tampak hasilnya. Julian berada di urutan teratas! Ia meraih satu angka lebih tinggi daripada Elizabeth yang juga belajar dengan tekun. Semua merasa heran, terutama Bu Ranger.
"Julian, tampaknya kalau tidak paling bawah, maka kau berada di tempat paling atas," katanya saat ia membacakan nilai-nilai minggu itu. "Minggu lalu kau begitu dekat dengan juru kunci, hingga sesungguhnya kukira kau takkan punya angka lagi untuk dibacakan minggu ini. Tetapi ternyata kau malah satu angka di atas Elizabeth yang juga mengumpulkan angka-angka luar biasa baiknya! Aku sangat bangga pada kalian berdua."
Elizabeth berseri-seri senang. Julian pura-pura tak peduli. Tetapi Bu Ranger tahu bahwa anak itu hanya berpura-pura. Sesuatu telah mengubah Julian. Kini ia peduli akan apa saja. Ia menggunakan kecemerlangan otaknya untuk melakukan halhal yang benar dan bukan hanya gurauan belaka.
"Mungkin keadaan ibunyalah yang menyebabkan ia berubah," pikir Bu Ranger. "Kuharap perubahan ini berlangsung selamanya. Sangat menyenangkan mengajar anak seperti Julian kalau kebetulan ia menaruh minat untuk belajar. Kuharap saja angkanya tidak turun minggu depan."
Tetapi Julian tak pernah lagi kehilangan angka. Ia bertekad menepati janjinya. Ia bertekad tidak akan menyia-nyiakan otaknya.
Hanya Martin yang mendapat nilai buruk minggu ini. Bahkan lebih buruk dari nilai yang biasa diperoleh Arabella! Martin berada tepat di urutan paling bawah. Bu Ranger terpaksa berbicara tajam padanya.
"Kau bisa memperoleh nilai yang lebih baik dari ini, Martin," katanya. "Belum pernah nilaimu serendah ini. Minggu ini kau tampak terlalu banyak melamun."
Sesungguhnya Martin bukan melamun. Ia khawatir. Kini ia merasa memang lebih baik tidak mengatakan rahasianya pada Elizabeth. Elizabeth ternyata malah menghardiknya dengan kata-kata pedas yang takkan terlupakan olehnya seumur hidup. Ia sama sekali tak membantunya!
Bu Ranger juga merasa harus berkata tajam pada Arabella. "Arabella, bosan aku mengatakan bahwa kau harus berusaha lebih keras. Kau salah satu yang tertua di kelas ini - bahkan memang yang tertua! Kalau saja kau lebih memperhatikan pelajaranmu, dan bukan memperhatikan dandananmu, pakaianmu, aku yakin kau bisa berbuat lebih baik."
Merah wajah Arabella. Baginya Bu Ranger terlalu kejam. "Bila ia berbicara padaku, selalu tajam. Bila pada anak lain, lembut," keluhnya pada Rosemary.
Ini memang benar, karena Bu Ranger mengetahui bahwa satu-satunya cara untuk menembus kekeraskepalaan Arabella adalah dengan cara berbicara langsung, di depan anak banyak Arabella yang pesolek dan pembual itu tentu saja sangat benci bila dimarahi atau dipermalukan di depan teman-temannya.
Arabella bertekad untuk memperbaiki nilainya. Ia tak lagi terlalu sering membetulkan kerapian rambutnya, letak gaunnya. Paling tidak itu tak dilakukannya lagi di dalam kelas.
"Tak lama kau akan jadi anak manis tetapi wajar, Arabella," goda Robert, yang biasanya tak pernah punya minat untuk berbicara dengan gadis cilik pesolek itu. "Hari ini sama sekali belum terdengar kau bertanya pada Rosemary apakah rambutmu rapi. Itu pertanda bagus!"
Dan sekali ini Arabella ikut tertawa mendengar olokan ini. Ya, kini ia bertambah manis secara wajar.
Rapat Besar berikutnya tiba. "Kurasa tak akan lama," kata Elizabeth pada Julian, "tak ada perkara penting. Begitu selesai, kita cepat-cepat menduduki meja kecil di ruang bermain itu. Aku baru dapat kiriman puzzle. Bisa kita kerjakan berdua."
"Baik," kata Julian.
Tetapi ternyata ada "perkara" yang cukup penting di Rapat Besar itu, hingga Elizabeth tak punya waktu untuk mengerjakan puzzle. Sesuatu yang sama sekali tak terduga muncul.
Dan Elizabeth merasa paling terkejut di antara semua hadirin.
Rapat mula-mula berjalan seperti biasa. Tak banyak uang yang diserahkan, walaupun beberapa orang anak telah menerima pos wesel. Kemudian uang saku dibagikan.
"Ada permintaan tambahan?"
"Ya, William," seorang anak kecil bernama Quentin berdiri. "Kandang marmutku kemarin jatuh. Salah satu sisinya rusak. Bolehkah aku minta uang tambahan untuk membeli kandang baru?"
"Tapi... harganya cukup mahal," kata William. "Saat ini tak begitu banyak uang di kotak kita. Tidak dapatkah kau memperbaikinya?"
"Telah kucoba, tetapi hasilnya tidak begitu baik," kata Quentin. "Tadinya kurasa sudah benar, ternyata marmutku bisa keluar. Kini terpaksa kutitipkan dalam kandang marmut Martin. Tetapi marmut kami berkelahi."
"Akan kubetulkan kandang marmut itu," kata Julian, dan kali ini ia ingat untuk berdiri serta mengeluarkan tangannya dari sakunya. "Kurasa takkan memakan waktu lama."
"Terima kasih, Julian," kata William. "Saat ini memang begitu sedikit uang kita. Tetapi kurasa sebentar lagi akan ada beberapa orang yang berulang tahun, minggu mendatang mungkin sekali uang kita akan banyak kembali. Ada lagi?"
Rasanya tidak ada yang ingin meminta uang tambahan, mengingat keadaan keuangan seperti yang dikatakan William itu.
"Ada keluhan?" tanya William. Tak ada.
"Baiklah. Rasanya tak ada lagi yang bisa kita bicarakan minggu ini. Kecuali sesuatu yang cukup menyenangkan untuk diketahui: Julian minggu ini berada di urutan teratas di kelasnya, padahal minggu lalu di urutan terbawah." Tiba-tiba William tersenyum, "Teruskan begitu, Julian."
Itulah salah satu hal yang menyenangkan di Sekolah Whyteleafe, pikir Elizabeth. Bila berbuat salah, dikutuk. Tetapi bila berbuat baik juga dipuji. Sungguh menyenangkan!
"Kukira Rapat Besar ini bisa dibubarkan. Kalian boleh keluar," kata William lagi. Semua bangkit berdiri dan siap keluar. Tetapi di antara keributan kakikaki bergerak itu, terdengar sebuah suara berseru, "William, ada sesuatu yang ingin kukatakan."
"Semua duduk!" kata William segera. Dan dengan heran anak-anak kembali ke tempat duduk masing-masing. Siapa yang berbicara? Hanya satu yang berdiri. Martin Follett! Wajahnya pucat, dan tampak sekali ia gemetar.
"Apa yang ingin kaukatakan, Martin?" tanya William. "Bicaralah agak keras."
24. Martin Memperoleh Kesempatan
Ternganga Elizabeth memandang Martin. Gilakah anak itu? Beranikah ia membuka rahasianya di depan anak banyak? Beranikah ia berkata bahwa dialah yang mencuri uang serta memfitnah Julian?
"Ia seorang yang berhati busuk," pikir Elizabeth, "dan sangat pengecut. Apakah yang akan dikatakannya?"
Martin menelan ludah satu-dua kali. Sulit sekali baginya memulai bicara. William melihat bahwa anak itu ketakutan, maka ia berkata lebih lembut kini, "Apa yang ingin kaukatakan, Martin? Jangan takut. Kita selalu siap untuk mendengarkan apa saja di Rapat seperti ini."
"Ya, aku tahu," kata Martin memperkeras suaranya, seolah-olah dengan begitu ia bisa mendapatkan keberanian. "Aku tahu... aku... aku yang mengambil uang itu... dan barang-barang lainnya. ... Dan aku menaruh uang Elizabeth di saku Julian, juga permennya, agar tak ada yang mengira bahwa akulah yang berbuat... Orangorang akan mengira bahwa yang berbuat Julian...."
Ia berhenti berbicara. Tetapi ia masih berdiri. Tak seorang pun bersuara. Dan tiba-tiba Martin berkata lagi, "Aku tahu perbuatanku busuk. Dan aku merasa aku takkan mengaku di hadapan kalian kalau saja tidak terdorong oleh dua hal. Pertama, aku tak tahan melihat Julian sedih karena ibunya sakit. Maksudku sungguh keterlaluan jahatnya bila seseorang yang sedang sedih harus pula menderita oleh perbuatanku. Dan kedua - seseorang telah menuduhku pengecut. Dan aku yakin aku bukan pengecut."
"Kau memang bukan pengecut, Martin, karena kau begitu berani berdiri di sini dan mengaku bahwa kau telah berbuat suatu kesalahan besar. Tetapi mengapa kau mencuri?" tanya Rita.
"Aku tak tahu," jawab Martin. "Sesungguhnya sama sekali tak ada alasan bagiku untuk mencuri."
Elizabeth mendengarkan itu semua dengan rasa heran yang tak terhingga. Bayangkan! Martin berani mengatakan rahasianya di depan Rapat! Kini Julian sama sekali terbebas dari tuduhannya dulu. Elizabeth melihat pada Martin. Dan hatinya jadi merasa iba pada anak itu.
"Ia begitu ingin agar orang lain menyukainya, dan ternyata tak ada yang menyukainya," pikir Elizabeth. Dan kini ia harus mengakui sesuatu yang pasti
akan membuat orang makin tidak menyukainya. "Sungguh suatu perbuatan yang berani!"
William dan Rita saling berbisik Begitu juga para Pengawas. Apa yang harus dilakukan pada Martin?
Bagaimana perkara ini bisa ditanggulangi? Tiba-tiba Elizabeth teringat akan apa yang dibacanya di Buku Besar. Ia segera berdiri.
"William, Rita, kukira aku bisa mengerti Martin. Ia memang tak punya alasan untuk setiap kelakuannya yang salah itu. Tetapi di balik semua itu ada sebuah alasan, dan alasan itu bukannya sesuatu yang buruk Pencuriannya bukanlah pencurian biasa."
"Apa maksudmu, Elizabeth?" tanya William heran. "Mencuri adalah mencuri."
"Ya, aku tahu. Tetapi pencurian Martin aneh," kata Elizabeth. "Ia mengambil barang orang lain agar ia bisa memberikan sesuatu pada orang lain pula. Tak pernah ia menggunakan hasil curiannya untuk keperluannya sendiri."
"Iya, memang betul," tiba-tiba Rosemary ikut berdiri, lupa akan rasa malunya. "Ia memberiku uang, dan ia sering membagi-bagikan permen. Tak pernah ia makan permen itu sendiri."
"William, ada suatu perkara yang mirip perkara ini di Buku Besar.... Ya, buku di depanmu itu...," kata Elizabeth bersemangat. "Aku merasa sangat heran akan pribadi Martin. Jahat tetapi baik hati. Berlaku buruk tetapi murah hati. Pokoknya pasangan sifat-sifat yang saling bertentangan. Nah, kulihat Buku Besar itu. Dan ada suatu peristiwa yang mirip dengan peristiwa sekarang ini."
"Di mana?" tanya William. Elizabeth maju, naik ke panggung dan membuka-buka halaman buku tersebut sampai ditemukannya tempat yang dicarinya. "Ini," katanya menunjuk.
"Bagaimana kau tahu ini semua?" tanya Rita.
"Martin telah bercerita padaku apa yang dilakukannya. Aku merasa jijik tadinya, tetapi aku juga merasa heran," kata Elizabeth. "Karena ingin tahu jawabannya, maka akhirnya kucari-cari di buku ini. Ternyata memang ada."
William membaca bagian itu. Dan memberikannya pada Rita. Mereka berbicara, berunding. Elizabeth kembali ke tempatnya. Martin tampak sangat menderita.
Menyesal juga ia telah mengaku. Ia merasa semua orang memandang kepadanya. Rasanya tak enak diperhatikan seperti itu.
William berbicara lagi dan semua mendengarkan penuh perhatian. "Mencuri adalah perbuatan yang sangat buruk, apa pun alasannya," katanya dengan suaranya yang jelas. "Apa pun alasannya. Alasannya bisa bermacam-macam, karena serakah, iri, dan tidak jujur. Semua alasan tadi sama sekali tak terpuji. Alasan Martin memang agak berbeda. Ia mencuri karena ingin membeli persahabatan. Ia ingin agar disukai orang, agar dipuji-puji murah hati."
William berhenti sejenak. "Ia mengambil barang orang, agar bisa memberikannya pada orang lain. Mungkin ia berpikir bahwa memberi adalah baik, karenanya mengambil juga baik Tetapi yang diambilnya bukanlah miliknya. Dan tindakannya itu, apa pun alasannya, tetap mencuri."
Setetes air mata mengalir di pipi Martin. "Aku ingin pergi dari sini," katanya dengan perlahan, tanpa berdiri lagi. "Aku tak pantas berada di Whyteleafe. Tak ada gunanya aku di sini terus. Di tempat lain pun tak ada gunanya."
"Kau tidak bisa begitu saja melarikan diri," kata William. "Apa gunanya mencoba melarikan diri dari dirimu sendiri? Kau punya keberanian, kalau tidak kau takkan berdiri di sini dan mengakui segala perbuatanmu. Kita semua bisa saja berbuat salah, kadang-kadang kesalahan yang tolol dan sangat buruk. Itu tak penting, yang penting adalah apakah kita cukup punya keberanian untuk bertekad memperbaiki kesalahan kita tadi? Memang kau punya alasan untuk perbuatanmu. Sebuah alasan yang tolol. Dan kini kau tahu bahwa alasanmu tolol. Dan kau lihat bahwa perbuatanmu buruk. Nah, itulah hasil perbuatan burukmu."
"Apa maksudmu?" tanya Martin sangat heran.
"Hasil kebiasaan burukmu mengambil barang-barang yang bukan milikmu untuk membeli persahabatan," kata William. "Kini kau tahu bahwa takkan mungkin kau membeli persahabatan. Orang menyukaimu karena pribadimu, bukan karena pemberianmu. Nah, kalau kau sudah tahu itu, maka kau takkan mencoba untuk selalu berusaha memberi. Dengan begitu kebiasaanmu mengambil milik orang lain tidak ada lagi."
"Yah... benar juga katamu," dan Martin duduk, tetapi kini mulai bersemangat kembali. "Aku telah merasa berdosa, aku telah merasa malu, aku akan mencoba memulai kehidupan baru."
"Bagus," kata William. "Datanglah ke kamarku nanti malam, untuk membicarakan hal ini lebih mendalam. Tetapi kukira kau wajib membayar kembali berapa saja jumlah yang kauambil dari seseorang-bayarlah sedikit demi sedikit setiap minggu. Juga kau harus membelikan permen anak-anak yang permennya kauambil. Kukira itu adil."
"Ya, baiklah," kata Martin.
"Dan kita semua akan membantunya dengan memberinya kesempatan serta bersikap bersahabat padanya," tiba-tiba Elizabeth menambahkan, sangat ingin ikut membantu. Betapa ia dulu membenci Martin. Tetapi kini ia ingin ikut membantunya! Ada sesuatu di Whyteleafe yang bisa membuat seseorang berubah pandangan secara mendadak. Sungguh ajaib.
"Agaknya," Rita berkata dengan suara perlahan tapi jelas, "agaknya Elizabeth jauh lebih bagus tindakannya sebagai seorang Pengawas pada saat ia sudah tidak jadi Pengawas."
Semua tertawa keras. Elizabeth juga tersenyum. "Rita benar," pikirnya heran. "Agaknya aku lebih bijaksana pada saat aku bukan seorang Pengawas. Oh, betapa kacaunya pribadiku ini."
Akhirnya Rapat berakhir. Martin mendekati Julian dan menggumam, "Maafkan aku, Julian," sambil menunduk dan tak berani menatap pandangan Julian.
"Pandanglah aku," perintah Julian. "Jangan sampai kau punya kebiasaan untuk tidak berani memandang mata seseorang pada saat kau berbicara dengannya. Pandanglah aku, Martin, dan ucapkan kata-kata penyesalanmu."
Martin mengangkat kepala, dan agak takut memandang Julian, mengira akan melihat pandang penuh marah dan jijik. Tetapi yang terlihat adalah kehangatan dan persahabatan. Lalu ia mengucapkan permintaan maafnya dengan sebaik-baiknya.
"Maafkan aku. Aku telah bersikap amat memalukan. Aku telah menyesal. Dan takkan lagi bermuka dua serta mencuri," katanya sambil menatap mata Julian.
"Bagus," kata Julian "Kini aku sedikit lebih menyukaimu daripada sebelumnya. Baiklah, aku memaafkanmu, kalau itu bisa menenangkan jiwamu. Lihat, itu William memanggilmu."
Martin pergi dengan William. Apa yang dikatakan William padanya tak ada yang tahu. Tetapi Rosemary yang melihat Martin keluar dari kamar William melaporkan bahwa anak itu tampak jauh lebih berbahagia.
"Aku akan bersahabat dengannya," kata Rosemary kemudian. "Ia membutuhkan sahabat. Aku tak pernah membencinya. Aku selalu berpikir dia baik hati. Jadi mudah saja, aku akan tetap menganggapnya baik hati."
Elizabeth memandang heran pada Rosemary yang biasanya pendiam dan pemalu itu. Astaga, ini ada lagi anak yang pribadinya berubah! Siapa akan menduga bahwa Rosemary yang biasanya selalu akur saja pada pendapat orang lain, telah berkata sedemikian tegas bahwa ia akan menjadi sahabat Martin?
"Kita takkan bisa mengerti perubahan yang bisa terjadi pada pribadi seseorang," pikir Elizabeth. "Kita tak bisa menarik kesimpulan bahwa seorang anak yang pemalu akan menjadi pemalu seterusnya, dan anak nakal akan tetap nakal. Mereka akan cepat berubah bila mendapat perlakuan yang tepat. Bahkan Arabella mungkin juga akan meninggalkan sifat pesolek dan pembualnya. Ah, tidak. Itu harapan yang terlalu berlebihan."
Tak ada waktu lagi untuk mengerjakan puzzle. Waktunya hanya cukup untuk merapikan ruang bermain, dan kemudian waktu makan tiba. Setelah itu tidur.
"Ada-ada saja, bukan?" kata Julian sambil menyeringai. "Yuk, kita makan."
Di ruang makan Bu Ranger merasa terganggu terus oleh suara lalat hijau yang mendesis-desis. Tetapi ke mana pun ia mencari, lalat tersebut tak bisa ditemukannya.
"Di mana lalat itu?" tanyanya. "Baru bulan begini kok sudah muncul. Cepat usir, jangan sampai bertelur di daging kita!"
Lalat itu mendesis makin keras. Pak Leslie yang mejanya berdekatan dengan Bu Ranger jadi sibuk sendiri, mencari sampai ke bawah meja. Sungguh mengganggu.
Elizabeth tiba-tiba melihat pada Julian. Julian menyeringai dan mengangguk "Oh, itu suara Julian!" pikir Elizabeth. Dan tiba-tiba ia tertawa. Semua orang jadi tahu. Dan mereka tertawa juga, bahkan Bu Ranger ikut tertawa.
"Kukira tadi itu tepat sekali untuk bercanda," kata Julian sewaktu berpamitan dengan Elizabeth, karena waktu tidur telah tiba. "Kita sudah terlalu tegang di Rapat Besar tadi. Selamat malam, Elizzzzzzzzzzzabeth!"
25. Pengalaman Elizabeth
Hari-hari berlalu cepat. Belajar, bekerja, bermain, naik kuda, berkebun, merawat hewan-hewan peliharaan, dan berjalan-jalan mengamati alam. Tak terasa betapa minggu demi minggu dilewati.
"Tiba-tiba saja akhir semester sudah begitu dekat!" kata Elizabeth. "Rasanya tengah semester lewat begitu saja tanpa kesan."
"Mari kita jalan-jalan mengumpulkan bahan untuk kelas pengetahuan alam," ajak Julian. "Tak usah kau membantu John sore ini. Ia sudah begitu banyak punya pembantu-satu pasukan anak-anak kecil itu. Dengan begitu kita punya waktu satu setengah jam sore nanti. Kita bisa menjelajahi bukit dan pergi ke telaga."
"Baiklah," Elizabeth melihat ke luar jendela. Udara cerah di sinar matahari bulan April ini. "Akan indah sekali di perbukitan. Mungkin kita bisa menemukan mawar liar."
Sore itu keduanya berangkat, membawa kaleng pengumpul bahan untuk kelas IPA mereka.
"Kita bisa cari telur katak di telaga. Pasti banyak sekali," kata Julian. "Juga kecebong."
Berdua mereka mendaki bukit. "Kita harus pulang sebelum saat minum teh," kata Elizabeth. "Itulah peraturan yang harus kita patuhi, kecuali kalau kita sudah mendapat izin. Jamku tepat. Aku tak ingin mendapat teguran. Selama dua minggu ini aku telah berusaha menjadi murid terbaik."
Julian tertawa. Ia berpikir bahwa tak ada yang berusaha begitu keras untuk menjadi murid terbaik seperti Elizabeth. Namun ternyata ia lebih sering pula mendapat kesulitan. Tak pernah bisa diramalkan apa yang bisa terjadi pada Elizabeth.
"Selalu saja ia jadi sumber suatu peristiwa," kata Julian dalam hati. "Ia begitu cepat naik darah, lugas, tapi jujur. Yah, kami berdua semester ini begitu sering terlibat dalam peristiwa menegangkan. Mudah-mudahan sisa semester ini tenangtenang saja."
Mereka menjelajahi perbukitan, memetiki bunga-bunga liar yang tumbuh di tempattempat terpencil. Matahari bersinar cukup terik. Elizabeth terpaksa mencopot jaketnya, dan membawanya saja.
"Indah sekali pemandangan," kata Elizabeth. "Lihat danau itu, Julian! Indah, bukan?"
Memang. Biru bening bagai kaca, memantulkan sinar matahari April. Danau itu
sunyi. Tak seorang pun terlihat. Kedua anak itu gembira karena mereka bisa berburu telur kodok dan kecebong dengan bebas. Ternyata telur kodok tak mereka peroleh, tetapi kecebong sangat banyak, hingga tak lama botol yang mereka bawa telah penuh.
"Aku capek sekali," kata Elizabeth. "Yuk kita istirahat dulu."
"Istirahatlah. Aku akan naik bukit itu," kata Julian. "Mungkin ada lumut yang agak aneh. Duduklah di sini. Tunggu aku."
Julian berangkat. Dan tak berapa lama Elizabeth mengira ia telah kembali. Tetapi yang datang ternyata bukanlah Julian seorang anak kecil berumur sekitar enam tahun, berpakaian sangat bagus, dengan mata biru dan pipi merah sehat. Anak itu terengah-engah seakan baru saja lari jauh.
Heran juga Elizabeth melihat anak itu sendirian. Begitu kecil sudah bermain-main sendirian dekat danau. Tetapi Elizabeth tidak memikirkannya lagi. Ia membaringkan tubuhnya dan memejamkan mata, menikmati hangatnya sinar matahari.
Didengarnya anak kecil itu bermain-main sendiri di tempat tak jauh darinya. Kemudian ia mendengar suara sesuatu tercebur dengan keras, tepat bersamaan dengan terdengarnya suatu jeritan ketakutan. Elizabeth bangkit.
Anak itu telah lenyap. Tetapi agak jauh dari tepi danau terlihat air bergelombang. Kemudian sebuah tangan kecil sekilas muncul.
"Ya ampun! Anak itu tercebur!" seru Elizabeth. "Pasti ia merambat di dahan besar itu, kemudian jatuh ke danau. Mengapa ia di sini sendirian?"
Seorang wanita muncul, berlari dan berseru, "Michael? Di mana kau? Kau tadi yang menjerit?" Kebingungan ia berpaling pada Elizabeth. "Ia lari dariku. Kau lihat dia? Seorang anak laki-laki kecil?"
"Ia jatuh ke danau," kata Elizabeth. "Apakah ia dapat berenang?"
"Oh, tidak, tidak! Ya ampun! Dia pasti terbenam! Cepat, cari pertolongan!" jerit wanita itu semakin kebingungan.
Tak akan cukup waktu untuk minta tolong. Elizabeth cepat-cepat membuka sepatunya. "Akan kucoba mencari dia," katanya.
Ia berjalan masuk air. Mula-mula masih bisa dijalani, tetapi tiba-tiba dasar danau jadi curam dan Elizabeth tercebur. Ia harus berenang.
Ia dapat berenang dengan baik. Tetapi berat juga berenang dengan memakai pakaian. Gerakannya jadi berat. Namun ia bisa maju. Lagi pula ia tak harus jauhjauh berenang, segera juga anak itu bisa dicapainya. Cepat ia mengingat-ingat cara menyelamatkan anak tenggelam.
Dipegangnya anak itu, ditariknya mendekat. Langsung si anak mencengkeramnya, hampir membenamkannya.
"Lepaskan!" teriak Elizabeth. "Lepaskan! Biar aku yang memegang kau, jangan kaupegang aku!
Tetapi anak itu begitu ketakutan. Ia mencengkeram kuat-kuat. Elizabeth terbenam, megap-megap kemasukan air. Tetapi berhasil juga ia melepaskan rangkulan erat anak itu di lehernya, dan ia memegang si anak, membalikkannya dan berenang sambil menyeretnya mundur ke tepi danau.
Segera ia mencapai bagian dangkal, dan ia mencoba berdiri. Si anak terlepas dari tangannya, terbenam lagi. Dan di dalam air tangannya langsung mencengkeram rumput di dasar danau, hingga tak bisa mengambang lagi.
Elizabeth hampir putus asa. Ia menyelam. Dilihatnya kaki anak itu dan ditariknya kuat-kuat ke atas.
Untung Si anak terlepas dari rumput-rumput di dasar itu. Tetapi kini ia sama sekali tak bergerak.
"Ya ampun... dia pingsan!" pikir Elizabeth ketakutan, menariknya ke tepi. Lemas sekali. Tak bergerak
Si wanita pengasuh anak tadi meratap-ratap, sangat ketakutan memeluk si anak Tolol benar, pikir Elizabeth. "Gerakkan lengannya ke atas ke bawah, ke atas ke bawah, seperti ini," katanya. "Itu akan membuat udara masuk kembali ke paruparunya dan ia akan bisa bernapas kembali. Lihat! Nah, lakukan itu ...! Aku capek sekali."
Dengan diawasi Elizabeth, pengasuh tadi mencoba melakukan apa yang dikatakannya. Kemudian Elizabeth juga turun tangan dan tiba-tiba si anak mulai bernapas lagi!
"Oh. Dia hidup! Dia hidup!" seru pengasuh. "Michael! Mengapa kau lari dariku?"
"Lebih baik cepat dibawa pulang," kata Elizabeth. Ia basah kuyup. Bisa masuk angin nanti!"
Pengasuh tersebut menggendong si Kecil dan bergegas pergi. Ia menangis dan lupa mengucapkan terima kasih pada gadis kecil yang telah membantunya tadi.
Elizabeth membuka pakaiannya, memerasnya agar kering. Badannya gemetar kedinginan.
Tiba-tiba Julian muncul. Ia ternganga keheranan memandang Elizabeth. "Sedang apa kau? Kau basah kuyup!" katanya.
"Aku baru saja menolong seorang anak. Ia hampir terbenam." kata Elizabeth. "Wah, aku bisa dimarahi Ibu Asrama. Untung tadi jaketku sudah kubuka. Paling tidak jaket ini bisa menutupi bajuku."
"Kita harus cepat pulang," kata Julian, mengambilkan jaket Elizabeth. "Bisa terlambat nanti. Apalagi kau harus berganti baju! Oh, Elizabeth, jalan-jalan saja bisa membuatmu terlibat kesulitan seperti ini."
"Masa aku harus membiarkan saja anak itu terbenam?" tukas Elizabeth. "Ia lari dari pengasuhnya."
Mereka bergegas pulang. Lonceng minum teh berbunyi saat mereka mencapai halaman sekolah.
"Aku akan ke ruang makan dulu dan mengatakan kau agak terlambat," kata Julian. "Tapi cepat-cepatlah!"
Elizabeth berusaha bergerak cepat. Tetapi ia kedinginan dan menggigil, dan lagi pakaiannya yang basah sulit sekali dibuka. Ditaruhnya semuanya di lemari pemanas, dan berharap mudah-mudahan Ibu Asrama tak memperhatikan pakaian-pakaian itu. Mudah-mudahan bisa diambilnya sebelum Ibu Asrama tahu.
"Ini bukan salahku," kata Elizabeth dalam hati. sementara ia mengeringkan diri dengan handuk. "Kalau tidak ku tolong, anak itu pasti terbenam."
Ternyata Ibu Asrama memang tidak melihat baju basah Elizabeth. Ia bisa
mengambilnya dengan diam-diam. Waktu minum teh, Bu Ranger memang menegurnya, tetapi tak apalah.
"Oh, Julian, botol kecebongku ketinggalan di tepi danau," kata Elizabeth pada Julian selesai minun teh. "Tolol sekali aku, bukan?"
"Kau bisa memakai sebagian punyaku," kata Julian. "Aku dapat banyak sekali. Memang, kalau kita sibuk dengan mencebur ke danau dan menolong anak kecil, pasti ada sesuatu yang kelupaan."
"Jangan katakan pada orang lain," kata Elizabeth tertawa. "Ibu Asrama tak tahu bajuku basah. Anak-anak lainnya akan selalu menggodaku kalau tahu aku punya kebiasaan mencebur ke danau hanya untuk menolong seorang anak."
Keduanya tertawa.
Julian tidak melihat betapa sulitnya Elizabeth menarik anak itu ke tepi danau, betapa sulitnya ia mencoba memberikan bantuan pernapasan. Ia hanya menyangka bahwa ada seorang anak terlalu ke tengah, dan Elizabeth dengan berjalan di dasar yang dangkal menolongnya ke pinggir. Mungkin Elizabeth kemudian terpeleset sehingga bajunya basah semua. Demikian pikir Julian. Dan tentu saja karena ia mengira begitu ringan kejadiannya, ia tak berkata sedikit pun tentang itu pada siapa saja.
Jadi tak seorang pun tahu. Elizabeth juga segera melupakannya, karena ia begitu rajin belajar kini agar tidak terlalu jauh kalah dari Julian. Karena Julian kini menggunakan otaknya sebaik-baiknya, Elizabeth harus juga bekerja dan belajar lebih keras dari biasanya, apalagi Julian dengan santai bisa mencapai nilainilai tertinggi.
"Sungguh menyebalkan," kata Elizabeth, main-main menghantam punggung Julian. "Dulu aku berusaha keras membujukmu agar kau tidak bermalas-malasan, agar kau menggunakan otakmu, tapi apa yang terjadi? Aku kehilangan kedudukanku di urutan pertama! Aku akan mengadukanmu di Rapat nanti malam, Julian. Akan kutuduh kau mencuri kedudukanku, yang menjadi hakku di urutan pertama. Jadi hati-hatilah!"
"Tak akan mengasyikkan Rapat Besar kali ini. Sobat," kata Julian. "Sayang juga akhir-akhir ini kita tak pernah berbuat keributan lagi. Kita kini bagaikan emas 24 karat!"
Tetapi Julian keliru. Rapat Besar malam itu sungguh sesuatu yang tak terlupakan!
26. Akhir yang Membahagiakan
Anak-anak Whyteleafe sangat menyukai Rapat Besar mingguan itu. Bahkan walaupun tak ada persoalan penting, senang juga berkumpul-kumpul dan mengetahui bahwa mereka saling membantu dengan uang saku, serta melihat ketua mereka memimpin Rapat, dibantu dengan para Pengawas yang berwajah bersungguh-sungguh.
"Dengan ikut Rapat Besar kita merasa sebagai suatu kesatuan," kata Jenny. "Kita merasa menjadi bagian yang penting dari seluruh sekolah kita, dan kita merasa memiliki andil dalam menjaga nama sekolah kita."
Tinggal dua minggu lagi semester itu berakhir. Tak ada yang memasukkan uang ke kotak. Tetapi dua-tiga minggu sebelumnya banyak yang berulang tahun, karenanya kotak uang itu cukup banyak berisi. Maka cukup banyak uang yang bisa diberikan, bila ada yang meminta tambahan.
Setelah pembagian uang saku, William mengizinkan John memperoleh tambahan sepuluh shilling untuk membeli ember penyiram. Dua buah. Ukuran besar.
"Ember penyiram yang ada telah bocor dan tak bisa diperbaiki," kata John. "Air cepat habis. Yang satu terlalu kecil, sehingga tak banyak membantu kami. Musim panas yang lalu banyak tanaman yang mati karena kekurangan air, maka kali ini aku ingin kita bersiap-siap. Dengan dua ember baru lagi, kurasa kesulitan air itu bisa teratasi."
Di musim semi itu kebun sekolah tampak indah. Di lereng-lereng bunga-bunga krokus bagaikan kobaran api indah. Berbagai bunga lain juga merajalela, menyebarkan keindahan dan keharuman di mana-mana. John dan kawan-kawannya telah bekerja baik sekali. Seluruh warga sekolah merasa ikhlas untuk membelikannya ember, gerobak pendorong, sekop-apa saja. Mereka bangga akan John dan hasil kerja kerasnya.
Tak ada lagi yang meminta uang tambahan. Juga tak ada yang mengajukan keluhan. Agaknya Rapat Besar itu akan segera ditutup. Tetapi, tidak. Tiba-tiba Bu Best, Bu Belle, dan Pak Johns meninggalkan tempat mereka di barisan paling belakang dan berjalan ke depan, ke panggung. Ada apa ini? Hening seketika ruangan itu. Semua heran. Apa yang akan dikatakan oleh para pimpinan sekolah itu?
Tergopoh-gopoh William dan Rita menyiapkan kursi untuk kedua guru kepala serta Pak Johns. Semua juga bertanya-tanya dalam hati apa yang akan terjadi. Jarang sekali para pimpinan itu maju dan ikut berbicara. Apalagi tanpa diminta oleh Rapat. Tetapi agaknya yang akan disampaikan bukanlah sesuatu yang buruk, sebab Bu Best dan Bu Belle tampak tersenyum-senyum.
Ketiganya duduk, berbicara sebentar, dan kemudian Bu Belle berdiri. "Anak-anak," katanya, "jarang sekali kami maju kemari dan berbicara pada kalian dalam Rapat Besar seperti ini- kecuali bila kalian yang meminta, tentu. Tetapi kali ini kami ingin mengatakan sesuatu. Sesuatu yang cukup menyenangkan, karenanya aku ingin mengatakannya di hadapan kalian semua."
Semua menahan napas. Apakah kira-kira? tak ada yang tahu.
Bu Belle mengambil sepucuk surat dari tasnya, membukanya. "Aku baru saja menerima sepucuk surat," katanya. "Dari Kolonel Helston yang tinggal tak jauh dari sekolah kita ini. Baiklah kubacakan isinya:
Ibu yang terhormat-empat hari yang lalu anak saya Michael yang masih kecil, lari meninggalkan pengasuhnya. Ia kemudian jatuh ke dalam danau di dekat sekolah Anda. Pasti ia akan tenggelam kalau tidak ditolong oleh seorang murid perempuan dari Whyteleafe. Anak perempuan itu masuk ke dalam danau, dan berenang untuk mencapai Michael. Michael mencengkeramnya, dan hampir saja membuatnya ikut tenggelam. Tetapi ia berhasil membalikkan Michael serta menyeretnya ke tepi. Di tepi Michael lepas dari pegangannya, tenggelam di antara rerumputan di bawah air. Ia tersangkut di rumput-rumput itu dan tak diragukan lagi sudah benar-benar tenggelam. Tapi gadis dari Whyteleafe tadi tanpa rasa takut menyelam, membebaskannya dari rumput-rumput air, dan menariknya ke atas. Pada saat sudah berada di tepi, ia mengajari pengasuh Michael cara memberi bantuan pernapasan untuk Michael. Ia juga ikut membantu melakukannya. Akibatnya, Michael siuman kembali dan pada saat ini ia sehat walafiat bersama saya di rumah.
Sewaktu peristiwa itu terjadi, saya sedang bepergian. Hari ini saya baru saja pulang dan diberi-tahu tentang kejadian luar biasa ini. Saya tak tahu siapa nama gadis kecil dari Whyteleafe itu. Pengasuh Michael hanya berkata bahwa jaketnya sudah pasti jaket Whyteleafe. Karenanya dengan surat ini saya mohon agar Anda mengatakan nama anak tersebut pada saya, agar saya bisa mengucapkan terima kasih secara pribadi, serta memberinya hadiah untuk tindakannya yang cepat dan tepat itu. Ia telah menyelamatkan nyawa anak saya - anak satu-satunya keluarga kami dan saya akan selalu merasa berutang budi pada gadis kecil dari Whyteleafe itu, siapa pun namanya.
Hormat saya
-Edward Helston
Semua mendengar dengan penuh perhatian dan keheranan. Siapa anak Whyteleafe itu? Tak seorang pun tahu. Tetapi dia pastilah seseorang yang pulang dengan memakai pakaian basah kuyup. Dengan begitu pastilah menarik perhatian. Tetapi mereka tak pernah melihat salah seorang kawan mereka basah kuyup! Anak-anak itu saling pandang. Julian memandang Elizabeth dengan mata bersinar. Ia tahu. Elizabeth yang disebut di surat tadi. Ia menggamit sahabatnya itu. Muka Elizabeth merah.
"Ah, peristiwa sekecil itu saja diributkan," pikirnya.
"Nah," kata Bu Belle melipat kembali suratnya, "surat ini membuat aku dan Bu Best merasa bangga tak habis-habisnya. Kami tidak tahu siapa yang dimaksud. Kami telah bertanya pada Ibu Asrama, apakah ada yang datang memberinya pakaian basah untuk dikeringkan. Tetapi Ibu Asrama sama sekali tak bisa membantu kami. Tak ada anak yang datang dengan pakaian basah. Jadi sampai sekarang kami tak tahu siapa dia."
Hening sekali. Elizabeth tak berkata apa-apa sepatah pun. Semua menunggu.
"Aku ingin tahu siapa dia," kata Bu Belle. "Aku ingin mengucapkan selamat atas perbuatannya yang gagah berani itu, yang tak pernah dikatakannya pada siapa pun. Seluruh sekolah kita pasti merasa bangga padanya."
Elizabeth diam saja. Ia tak sanggup berdiri melakukan perbuatan itu. Untuk pertama kali toh tak berbuat banyak, hanya menyeret anak kenapa harus diributkan! Isyarat Julian tak Julian tak tahan lagi, dan ia berdiri!
dan berkata bahwa dialah yang telah dalam hidupnya ia merasa malu. Ia itu keluar dari air. Begitu saja dihiraukannya. Hingga akhirnya
"Anak itu Elizabeth!" kata Julian, begitu keras hingga lebih mirip teriakan. "Siapa lagi kalau bukan Elizabeth kita? Sesuai sekali dengan kebiasaannya, bukan, masuk ke air tanpa berpikir lagi?"
Semua berpaling pada Elizabeth. Elizabeth tak berani bergerak, wajahnya serasa panas. Julian menepuk-nepuk punggungnya, ikut merasa bangga.
Dan tepuk tangan mulailah, makin lama makin gemuruh, diringi sorak-sorai dan berbagai suara keras lainnya. Begitu ribut, hingga terasa atap akan terbang karena gemuruh suara mereka. Elizabeth memang pernah nakal. Suka marah. Sering berbuat salah. Tetapi semua anak tahu, hatinya lembut dan manis, bagaikan apel segar yang ranum.
Plok, plok, plok, horeee, horeee, bang, bang, plok, plok, plok!
Suara gemuruh itu seakan tak henti-hentinya. Gemuruh menggetarkan gedung. Ribut memekakkan telinga. Sampai akhirnya Bu Belle mengangkat tangannya. Dan suara itu pun berkurang. Berhenti.
"Jadi anak itu... Elizabeth!" kata Bu Belle. "Mestinya sudah kuduga dari semula. Ada-ada saja yang terjadi pada Elizabeth, bukan? Majulah ke depan, Elizabeth."
Dengan sangat malu Elizabeth berjalan maju. Dan benar-benar Bu Belle, Bu Best, dan Pak Johns menjabat tangannya secara resmi, serta berkata bahwa mereka bangga padanya!
"Kau mengharumkan nama Whyteleafe, Elizabeth," kata Bu Belle dengan mata cemerlang, "dan kau juga membuat dirimu memperoleh suatu kehormatan. Kami juga ingin memberimu hadiah untuk keberanianmu itu. Apakah ada sesuatu yang sangat kauinginkan?"
"Mmmm.. " Elizabeth berpikir-pikir, "mmm..." Ia tak bisa memutuskan. Semua menunggu. Julian menunggu, bertanya dalam hati apa kira-kira yang akan diminta Elizabeth. Mungkinkah ia akan meminta jadi Pengawas lagi?
"Aku ingin agar Anda memberi satu hari liburan tambahan bagi sekolah kita," kata Elizabeth akhirnya, ragu-ragu sejenak ketika merasa bahwa permintaannya mungkin terlalu besar. "Begini... di kota tetangga kita akan diadakan sebuah Pasar Malam besar-besaran. Kalau Anda memberi kami libur sehingga kami bisa mengunjunginya, alangkah senangnya! Kudengar sebetulnya banyak sekali yang ingin mengunjungi Pasar Malam itu, sayang tidak ada liburan. Jadi... mungkinkah Anda memberi liburan itu?"
Sorak-sorai gemuruh tiba-tiba bagaikan meledak lagi. "Hidup Elizabeth!" seru beberapa orang. "Sungguh baik hatinya memintakan sesuatu untuk seluruh murid, dan bukannya untuk dirinya sendiri," seseorang berkata.
Bu Belle tersenyum dan mengangguk. Dan ketika semua sudah tenang kembali ia berkata, "Kurasa kita bisa mengabulkan permintaan Elizabeth itu. Bukankah demikian. Bu Best?" Bu Best mengangguk pula.
Elizabeth tersenyum. Merasa sangat puas. Mungkin saja ia pernah mendapat malu besar, mungkin saja pernah sebagian besar murid Whyteleafe menganggapnya berhati buruk, tetapi sekarang ia telah menghapus nama buruk itu dengan memberi hadiah sehari liburan ke Pasar Malam!
Elizabeth mengucapkan terima kasih dan berpaling untuk berjalan kembali ke tempatnya. Tetapi seseorang berdiri, minta waktu untuk berbicara. Julian.
"Ada apa, Julian?" tanya Bu Belle.
"Saya berbicara atas nama seluruh anak kelas satu," kata Julian. "Kami ingin tahu, apakah Elizabeth bisa dipilih kembali menjadi Pengawas, malam ini juga? Kami berpendapat bahwa ia pantas menerima hadiah lain. Dan kami ingin ia menjadi Pengawas kami. Sekarang kami mempercayainya dan menyukainya."
"Setuju! Setuju! Setuju!" seru Jenny dan beberapa orang anak kelas satu lainnya. Mata Elizabeth cemerlang bagaikan bintang. Betapa senangnya dipilih sebagai Pengawas oleh suara mufakat seluruh kelasnya, karena seluruh temannya menghendakinya, sangat menghendakinya! Oh, sungguh indah semua ini!
"Tunggu, Elizabeth," kata Bu Belle pada Elizabeth yang tadi telah melangkah pergi. Dipegangnya tangan gadis kecil itu, ditariknya mendekat, dan ia pun bertanya, "Apakah kau ingin menjadi Pengawas lagi?"
"Oh, tentu saja," kata Elizabeth dengan kegembiraan meluap. "Aku yakin sekarang aku bisa berbuat lebih baik. Berilah aku kesempatan lagi untuk mencobanya. Aku takkan mengecewakan siapa pun lagi. Aku akan bersikap baik dan berpikir lebih matang."
"Baiklah. Aku percaya padamu," kata Bu Belle. "Kita tidak akan melakukan pemilihan seperti biasanya. Kau boleh jadi Pengawas mulai saat ini juga. Susan masih tetap sebagai Pengawas juga. Sekali ini bolehlah kita mempunyai seorang Pengawas tambahan. Seorang Pengawas yang sangat istimewa!"
Maka Elizabeth pun duduk di meja Pengawas, bangga dan bahagia. Semua juga merasa senang, termasuk Arabella. Bagaimana tak akan senang bila sudah jelas Elizabeth lebih mementingkan keinginan seluruh murid Whyteleafe daripada kepentingannya sendiri. Bukannya meminta hadiah untuk dirinya, Elizabeth malah meminta hadiah untuk seluruh murid!
"Sungguh menyenangkan Rapat tadi," kata Julian saat anak-anak keluar dari ruang senam, ribut berbicara dan tertawa. "Semester ini memang cukup mengasyikkan. Aku gembira telah masuk ke sekolah ini. Aku yakin Whyteleafe sekolah terbaik di dunia."
"Ya, memang," kata Elizabeth. "Oh, Julian, aku merasa sangat bahagia!"
"Sudah sepantasnya begitu," kata Julian. "Kau ini memang anak aneh. Kau anak paling nakal. Tetapi juga anak paling baik. Kau musuhku terbesar. Tetapi juga sahabatku terakrab. Tapi apa pun dirimu, Elizabeth, kau selalu Elizabeth kami, dan kami bangga punya teman kau."
Djvu: kiageng80
Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Re edited by: Farid ZE
Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu