“Aku tau apa yang kau rasakan, John. Rumah ini adalah hasil jerih payah kita selama ini. Tapi aku tak mau John, jika harus tinggal disini lagi. Itu sangat aneh. Dan lihat Cinta,” matanya tersirat ketakutan yang amat mencekam. Dia masih tersedu-sedu. Aku mengusap air matanya. “aku tak mau kejadian itu membebaninya. Kita bisa membangun rumah lagi.” “Aku tak punya uang lagi untuk membeli sebuah rumah.” “Kita bisa menjual rumah ini.” “Itu akan membutuhkan waktu yang agak lama, sementara kita menunggu rumah ini terjual, kita akan tinggal dimana? Aku tak punya apa-apa lagi untuk di jual.” “Kita bisa tinggal di rumah Ibuku.” Usul Natia. “Aku tak ingin merepotkan orang tuamu. Tapi jika kalian memang ini pergi dari rumah ini, kita bisa tinggal di rumah ibuku.” Aku tak mau membebani orang tua Natia dengan keberadaan kami. aku tak ingin menggantungkan hidupku pada orang lain, apalagi mertuaku. Lebih baik tinggal di rumah ibuku saja, tak ada pilihan lain. “Tidak, John. Aku tau keadaan ekonomi orang tuamu. Mereka pasti akan terganggu secara finansial dengan kehadiran kita. Kita bertiga John, bukan hanya satu atau dua orang dan jangan merasa tidak enak atau apapun itu. Lebih baik kita tinggal di ibuku. Orang tuaku adalah orang tuamu juga, lagian aku anak tunggal mereka pasti akan senang dengan kedatangan kita John.”
Ku bisa melihat Natia sangat berharap aku akan menyetujui usulnya. Sedangkan Cinta terlihat seperti orang sakit parah, wajahnya pucat, bibirnya kering dan tatapan matanya kosong ke arahku. Aku tak bisa membiarkan Cinta terus begini, mungkin dengan kasih sayang nenek dan kakeknya dia akan membaik. Maka kulakukan semua ini untuk dua orang tercinta dalam kehidupanku, Natia dan Cinta. “Setelah rumah ini terjual, maka kita harus segera mencari rumah baru. Aku tak ingin menyusahkan orang tuamu, Nat.” Natia tersenyum, dia mencium pipiku. “Aku tau kau bisa memberikan yang terbaik pada kami, John.” “Ayo kita pergi dari rumah ini. Kita akan melakukan perjalanan yang cukup panjang ke Lumajang, mungkin kita akan tiba dirumah nenekmu malam hari Cinta. Kau senang kan?” Butuh waktu beberapa detik bagi Cinta untuk menganggukkan kepalanya. ~ Diantara banyaknya bintang yang berkelipan di langit yang ditemani rembulan yang begitu besar, malam hari menuju Lumajang ini semakin dingin. Mobil lalu lalang seperti pacuan kuda yang siap meluncurkan juara baru dalam beberapa bulan ini. Diantara banyak mobil itu ada sebuah mobil hitam yang bergerak cukup kencang dengan banyak beban yang ada di pikiran pengemudinya, aku. Kejadian yang
2
baru saja terjadi membuat kami bertiga ketakutan dalam dinginnnya malam yang makin menggigil. Aku, Natia dan Cinta duduk dalam keheningan masing-masing. Pikiran kami seolah terbagi-bagi menjadi beberapa bagian yang hanya bisa dipikirkan oleh otak masing-masing. Aku tak tau apa yang mereka pikirkan dalam keheningan ini, tapi yang jelas aku sangat merasa tak enak jika harus tinggal serumah dengan mertuaku. Setelah hidup beberapa tahun dengan Natia, dia sepertinya tau pasti apa yang ada dalam pikiranku. Maka saat aku terjebak dalam keheningan ini, dia tau bahwa ada sesuatu yang tak beres terjadi padaku. “John, apa yang kau pikirkan? Katakanlah padaku John, mungkin aku bisa membantumu. Aku mengenalmu, jika kau terdiam begitu lama dengan pandangan lurus ke depan pasti sesuatu yang tak kau inginkan menggelantung di otakmu.” Katanya. “Kita mungkin akan tinggal kurang lebih selama sebulan di rumah Ibumu, sementara aku bekerja di RS Soebandi Jember, tak mungkin aku bolak-balik LumajangJember selama sebulan. Mungkin aku harus meninggalkan kalian berdua selama sebulan dirumah Ibumu, Nat.” “Oh, John.” Natia memegang tanganku yang sedang menyetir pertanda bahwa dia amat peduli padaku seperti aku amat peduli padanya. “Kau bisa ambil cuti selama sebulan itu. Pihak Rumah Sakit pasti akan memahami keadaan kita, mereka pasti akan memberikan keringanan padamu John. Kebakaran yang terjadi pada rumah kita itu lebih parah dari kebakaran biasa. Lagi pula aku juga sudah menghubungi kepala sekolahku dan aku sudah minta ijin, mereka 3
memakluminya. Dan tentang sekolah Cinta, sebulan lebih baik daripada dia sakit selamanya.” Natia mengusap dahi Cinta yang kini sudah tertidur di pangkuannya. Tidur Cinta terlihat sangat lelap, kami berharap saat dia bangun nanti keadaan akan kembali normal padanya. “Aku tidak bisa minta cuti lagi. Rumah yang kita bangun itu sebagian dananya dari rumah sakit, pihak rumah sakit memberikannya pada kita secara cuma-cuma. Aku tidak bisa terus-terusan meminta belas kasihan orang lain. Kau tau aku tak menyukai hal seperti itu Nat.” “John, ini untuk Cinta.” Kata Natia seolah-olah mengeja kata per kata. “Kalau aku mau saja tetap tinggal di rumah itu. Sungguh tak jadi masalah bagiku. Yang aku khawatirkan hanyalah kesehatan Cinta, kau liat sendiri tadi bagaimana wajahnya pucat seperti orang mati dan sejak kejadian itu Cinta yang mulanya banyak bicara kini lebih banyak diam. Aku takut hal itu berpengaruh pada psikologinya. Aku juga sempat berpikir untuk menitipkan Cinta pada Ibu sementara kita bisa bekerja seperti biasanya namun aku pikir Cinta butuh kasih sayang dari kita, bukan neneknya ataupun orang lain.” Dulu kupikir menikah itu sangat menyenangkan dimana kita bisa hidup berdua dengan orang yang kita cintai juga dengan buah hati yang kita sayangi. Aku tak tau bahwa menikah itu akan memiliki banyak beban seperti ini nantinya. Beban yang harus kita pecahkan sebagai kepala keluarga. Akulah sang kepala keluarga, aku harus melakukan yang terbaik bagi dua orang yang aku cintai. Untuk Natia dan Cinta. 4
Tapi dibalik semua itu ada rasa bangga yang tak dapat tergantikan oleh apapun di dunia ini. Kita memang akan memiliki lebih banyak masalah daripada sebelumnya namun kali ini masalah yang kita hadapi menyangkut orang yang kita cintai dan orang itu sangat menggantungkan semuanya pada kita. Itulah bagian yang paling menyenangkan. Kita dikelilingi oleh orang-orang yang akan selalu bersama dan mencintai kita. Hidup ini terasa lebih indah. “Kalau begitu kita akan tetap tinggal di rumah Ibumu tapi aku tiap harinya harus bolak-balik LumajangJember. Aku tak bisa meninggalkan pekerjaanku.” Itu keputusan yang aku pilih saat ini, semoga saja apa yang aku pilih ini adalah yang terbaik bagi keluargaku. “Tapi John,Lumajang-Jember itu tidak dekat, cukup jauh. Perhatikan kesehatanmu juga. Pokoknya kau harus ambil cuti juga. Cinta membutuhkan kehadiran kita berdua John.” Maaf Nat, aku tak bisa menyetujui usulanmu kali ini. Aku harus membuat keputusan terbaik bagi kita. “Aku tau apa yang aku lakukan, Nat. Lagian mulai besok aku tugas shift sore jadi aku tak perlu terburu-buru saat berangkat. Kau tak perlu mencemaskan aku Nat, aku akan baik-baik saja.” “Kalau kau shift sore berarti pulangnya nanti akan malam John.” “Aku akan baik-baik saja.” Ulangku dengan penuh keyakinan. “Aku percaya padamu John.” 5
Jalan yang kami lewati menuju Lumajang adalah jalan utama yang pasti sudah bisa ditebak akan selalu ramai oleh kendaraan mulai dari mobil pribadi, bus hingga mobilmobil box pengangkut barang yang ukurannya amat besar. Semakin malam semakin ramai saja oleh banyak suasana pinggir jalan yang menawarkan banyak kesenangan dan hiburan. Aroma makananpun tercium olehku. Sebelum aku memutuskan untuk mengajak dua orang yang kucintai itu makan, Cinta menjerit dengan amat keras seperti orang kesurupan. Seketika itu juga dia terbangun dengan keringat dingin membasahai bajunya. Aku dan Natia kaget. Cinta memeluk tubuh ibunya dengan amat erat. Ku berhentikan mobilnya ke pinggir jalan. “Ada apa Cin?” Tanyaku dan Natia bersamaan. Cinta menoleh ke kiri dan kanan, seolah-olah ada sesuatu yang dia cari. Bola matanya begerak cepat mencari sesuatu, sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Ku mengikuti gerakan kepalanya mencoba mencari tau apa yang Cinta cari. Tak ada apa-apa, kita sedang berada di mobil. “Apa yang kau cari Cin?” Dia tak menjawab pertanyaanku. Dia masih sibuk mencari atau lebih tepatnya menghindar dari sesuatu. “Ada apa Cin? Kau pasti mimpi buruk.” Sahut Natia segera. Kemudian Cinta mulai agak tenang dalam pelukan ibunya. “Selama beberapa hari ke depan kita akan menginap di rumah nenekmu, kita sekarang dalam perjalanan ke Lumajang.” Jelas Natia.
6
Sepertinya Cinta mulai bisa mengontrol ketakutannya. “Kalian berdua pasti lapar, bagaimana kalau kita makan dulu. Kau ingin makan apa Cinta?” aku harap Cinta mengeluarkan sepatah kata apapun, sudah terasa seperti berabad-abad aku tak mendengar suara Cinta. “Sa..sate.” Katanya. Biarpun Cuma satu kata, itu sudah membuat aku dan Natia bahagia. Kami saling pandang, Natia mengerti apa yang aku rasakan. Semoga kejadian itu tak mengganggu pikiran Cinta. Aku seorang perawat seharusnya aku bisa memprediksi bagaimana dan akibatnya jika terjadi sesuatu pada Cinta yang berhubungan dengan psikisnya. Baru pertama kali ini aku merasa tak pantas menjadi seorang perawat. Aku tak pantas mendapat gelar sarjana keperawatan sedangkan aku tak bisa membuat anakku sendiri terjaga kesehatan fisik dan psikisnya. Aku sungguh takkan bisa memaafkan diriku sendiri jika sampai terjadi sesuatu pada Cinta. Aku seorang perawat seharusnya aku mampu menjaga dan merawat anakku sediri melebihi tugasku melayani kesehatan orang-orang yang membutuhkan bantuanku. Bagaimanapun juga Cinta adalah bagian dari Cintaku,aku harus memberikan yang terbaik padanya. Aku jadi teringat pada saat Cinta dilahirkan. Saat itu aku harus bisa memilih antara dua nyawa yang harus diselamatkan, Natia atau bayinya, Cinta. Sistem reproduksi Natia tidak memungkinkan untuk melahirkan secara normal satu-satunya cara adalah dengan operasi cesar. Itupun terjadi sebuah masalah besar. Ternyata tubuh Natia tak seperti yang
7
kami bayangkan, kami harus menyelamatkan salah satu nyawa diantara kedua. Natia atau bayi kita. Jujur aku memang sangat menginginkan seorang anak dan saat di karuniai seorang anak dalam kandungan Natia malah salah satu dari mereka harus rela mati demi hidupnya nyawa yang lain. Cinta adalah masa depanku kelak. Dialah yang akan merawat aku dan Natia disaat kami tak bisa merawat diri kami sendiri. Tapi Natia lebih dulu hadir dan memberi warna pada kehidupanku jadi aku ingin nyawa Natia yang diselamatkan meskipun untuk kedepannya Natia tidak akan bisa hamil lagi mengingat sistem reproduksinya bermasalah. Namun Natia bukanlah orang bodoh, dia tau apa yang terjadi pada dirinya. Dia tau semuanya mengenai tubuhnya dan sistem reproduksinya. Dia memintaku agar nyawa sang bayi saja yang diselamatkan. Tentu saja aku menolaknya meskipun dia memintanya padaku dengan cucuran air mata. “John, sebelum kita menikah aku sudah berjanji padamu akan memberikan seorang anak perempuan seperti yang kau impikan selama ini. Di dalam perutku ini ada seorang bayi perempuan, seperti yang kau harapkan John. Impianmu ada di dalam perutku ini John.” Saat itu adalah saat-saat yang sangat menyedihkan bagiku, aku harus memilih salah satu dari kedua nyawa. “Kau berada disampingku, itu sudah sangat istimewa bagiku. Aku tak menginginkan hal lain.”
8
“Tapi aku takkan bisa punya anak lagi John!” aku bisa melihat bagaimana Natia terbaring lemah di tempat tidur sebuah rumah sakit tempatku bekerja. Bumi ini seperti akan runtuh dan ambruk, aku harus memilih salah satu nyawa. “Aku harus menepati janjiku padamu John. Sebuah janji. Aku sudah berjanji akan memberikan seorang anak perempuan, inilah saatnya aku memenuhi janjiku padamu.” “Tidak Nat! Tak masalah bagiku meskipun kau takkan pernah menepati janjimu. Aku ingin kau selalu berada disisiku. Mengenai anak perempuan, kita bisa mengadopsinya. Banyak cara untuk mendapatkan seorang anak tapi aku takkan pernah mendapatkan seseorang sepertimu.” “Tolong selamatkan nyawa bayi ini John.” “Nat, cobalah untuk mengerti.” “John cepatlah!” kata dokter Tanvi yang mengurusi persalinan Natia yang sudah sejak tadi menunggu keputusan yang akan aku pilih. Dia menunggu disamping kami. “Kalau tidak kau akan kehilangan dua nyawa sekaligus!” “Kalau kau membunuh bayi ini, aku akan memusuhimu John!” kata-kata ini terngiang dengan jelas di telingaku seolah-olah aku tak punya pilihan lain selain apa yang dikatakan Natia. Tapi tidak, Natia lebih berharga dari segalanya. Aku memang menginginkan seorang anak tapi tidak harus anak yang mengandung darah kami, aku bisa mengadopsinya. Sedangkan Natia, tak ada perempuan seperti dia di dunia ini. Maka keputusan sudah aku buat. “Sebuah janji tak harus ditepati, Nat.” 9
TENTANG PENULIS: Abdul Aziz Azari (Ary) adalah seorang mahasiswa keperawatan di sebuah Universitas Muhammadiyah Jember. Lahir di Situbondo 28 Oktober tahun 1990. Aktif dalam kegiatan jurnalis dan dunia teater selama 6 tahun. Berikut adalah buku-buku yang pernah diterbitkannya A Book of Gay, Gangguan Sistem Saraf. Sedangkan novel yang pernah diterbitkannya adalah The Legacy. Selain itu ia juga pernah menerbitkan kumpulan cerpen yang dia buat untuk sahabat-sahabat tercintanya, yang berdasarkan kisah nyata para sahabatnya. Novel-novel Ary yang lainnya bisa dilihat di www.nulisbuku.com Berikut media yang bisa digunakan untuk menghubungi Ary: Facebook: Ary Penyihir Chrestomancy Twitter: @ogan_ary Hp: 08995349164 PIN: 30E25BF2
10