MENYONGSONG ABAD 21 DALAM TINJAUAN PSIKOLOGI oleh: *Fawziana Ratna Mustika
Pendahuluan Kondisi sebelum abad 21 menampilkan komunikasi antar bangsa, negara, wilayah yang tidak mudah dilakukan. Banyak keterbatasan yang dihadapi, sehingga peristiwa yang terjadi di satu tempat tidaklah mudah diketahui oleh orang-orang yang tinggal di tempat lain. Dunia menjadi terpisah-pisah dalam ruang dan waktu. Keterbatasan komunikasi juga mengisolir peristiwa yang berlangsung di wilayah tertentu. Peristiwa di Jakarta, misalnya, akan lama sekali sampai pemberitaannya di Sulawesi. Namun, berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjelang abad 21, jarak tampaknya tidak lagi menjadi masalah. Menit ini peristiwanya terjadi, menit berikutnya seluruh dunia bisa mengetahuinya. Ditemukannya satelit membuat komunikasi menjadi lebih mudah. Kemudahan komunikasi inilah yang membawa penghuni dunia ke dalam kehidupan bersama, yang memungkinkan mereka saling berinteraksi, mempengaruhi dan dipengaruhi, juga dalam memilih dan menentukan pandangan serta gaya hidup. Abad 21 ditandai dengan semakin membaurnya bangsa-bangsa warga masyarakat dunia dalam satu tatanan kehidupan masyarakat luas yang beraneka ragam tetapi sekaligus juga terbuka untuk semua warga. Gaya hidup yang menyangkut pilihan pekerjaan, kesibukan, makanan, mode pakaian, dan kesenangan telah mengalami perubahan, dengan kepastian mengalirnya pengaruh kota-kota besar terhadap kota-kota kecil, bahkan sampai ke desa. Bentuk-bentuk tradisional bergeser, diganti dengan gaya hidup global. Kesenangan bergaya hidup internasional mulai melanda. Perbincangan mengenai pengembangan hubungan antar negara menjadi mirip pembahasan tentang pengembangan komunikasi antar kota dan desa. Secara psikologis kondisi tersebut akan membawa manusia pada perubahan peta kognitif, pengembangan dan kemajemukan kebutuhan, pergeseran prioritas dalam tata nilainya. Kondisi dan Situasi di Abad 21 Seiring dengan perubahan jaman, masyarakat pun mengembangkan norma-norma, pandangan dan kebiasaan baru dalam berperilaku. Era globalisasi yang mewarnai abad 21 telah memunculkan pandangan baru tentang arti bekerja. Ada yang lebih luas dari sekadar makna mencari nafkah dan ukuran kecukupan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Orang cenderung mengejar kesempatan untuk bisa memuaskan kebutuhan aktualisasi diri, sekaligus tampil sebagai pemenang dalam persaingan untuk memperoleh yang terbaik, tertinggi, terbanyak.
http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=260:tinjauan-psikologi&catid=42:widyaiswara&Itemid=203
Perkembangan kehidupan keluarga yang mewarnai abad 21 memunculkan penampilan ibu yang berbeda dalam peran dan fungsinya selaku penyelenggara rumah tangga dan pendidik anak. Seiring dengan pemunculan ibu dalam kegiatan di luar rumah (bekerja, melakukan kegiatan sosial-budaya), kehadiran ibu yang tidak lagi 24 jam di rumah menimbulkan pertanyaan tentang hasil yang bisa diharapkan dari pola asuhan dan pendidikan dalam situasi seperti itu. Padahal, kehadiran itu sangat diperlukan anak, tak peduli berapapun umurnya, sebab proses pendidikan berlangsung selama masa perkembangannya, sejak kanak-kanak sampai dewasa. Jadi, bukan hanya balita (anak berumur di bawah lima tahun) yang memerlukan kehadiran bapak dan ibu, tetapi juga anak pada tahapan perkembangan selanjutnya, yakni mereka yang berada dalam tahap perkembangan kanak-kanak, pra remaja, remaja, dewasa muda, dewasa. Masalah pendidikan anak yang mewarnai abad 21 perlu disikapi sungguh-sungguh sejak sekarang. Bekal untuk anak agar bisa tumbuh dan berkembang sebagai sosok pribadi yang sehat jasmani dan rohani, tangguh dan mandiri serta mampu beradaptasi dalam era globalisasi ini menjadi semakin perlu diperhatikan kualitasnya. Kondisi abad 21 yang memberi peluang besar bagi bangsa-bangsa di dunia untuk saling berinteraksi, sekaligus membawa ke suasana kompetisi atau persaingan yang semakin ketat dalam memperoleh kesempatan untuk mengisi kehidupan dan membuatnya menjadi bermakna (bisa sekolah, bisa bekerja dan mencari nafkah, dan sebagainya). Persaingan ini memerlukan ketangguhan dan keuletan dalam menghadapinya. Kebutuhan untuk "menjadi seseorang" dan "menjadi bagian" yang jelas kedudukannya bisa menjadi landasan untuk menumbuhkan motivasi pengembangan diri dan kemampuan beradaptasi. Kebutuhan ini erat kaitannya dengan pembentukan rasa percaya diri dan menumbuhkan motivasi untuk berusaha dan meraih kesempatan agar dapat senantiasa meningkatkan diri. Sikap yang mandiri, tak gentar menghadapi rintangan, mampu berpikir kreatif dan bertindak inovatif tapi juga peduli lingkungan adalah sosok yang diperlukan untuk menjalani kehidupan dalam era globalisasi. Jelas bahwa pengembangan sikap dan perilaku tersebut merupakan tuntutan yang lebih berat daripada hasil pendidikan yang menjadi tanggung jawab generasi sebelumnya. Kemampuan mengantisipasi masa depan dengan berbagai alternatif untuk mengatasi permasalahannya menjadi sangat penting untuk diperhatikan dalam proses pengasuhan dan pendidikan anak. Situasi ini tidak hanya merupakan masalah keluarga, melainkan juga seluruh pendukung proses pendidikan anak, yaitu masyarakat, bangsa dan negara. Pembentukan Perilaku di Abad 21 Hukum dapat mengarahkan masyarakat ke arah pembaruan perilaku yang sesuai dengan kebutuhan mereka untuk dapat menghadapi berbagai tantangan, sekarang dan di masa yang akan datang. Ditinjau dari segi budaya hukum, yaitu bagaimana masyarakat mempersepsikan hukum, maka secara umum hukum dipersepsikan sebagai: suatu tatanan normatif dalam kehidupan bernegara berfungsi mengatur kehidupan warganegara dengan memberikan batasan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan bertujuan untuk melindungi tiap warganegara dengan mengacu pada nilai-nilai dasar seperti kemanusiaan dan keadilan ditetapkan oleh otoritas yang legitimasinya diakui oleh seluruh warganegara.
http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=260:tinjauan-psikologi&catid=42:widyaiswara&Itemid=203
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari sudut perilaku masyarakat, maka hukum memiliki dua fungsi, yaitu: memantapkan pola perilaku masyarakat yang sudah ada dan ingin dipertahankan dan/atau mengubah pola perilaku masyarakat yang ada saat ini ke arah perilaku baru yang dicita-citakan. Setiap anggota masyarakat diharapkan bisa secara mandiri memahami makna dan tujuan ditegakkannya hukum, sehingga dalam pelaksanaannya tidak terlalu memerlukan pengawasan. Dengan demikian jumlah aparat yang diperlukan untuk pengawasan dalam pelaksanaan hukum bisa lebih efisien. Salah satu ciri kemandirian adalah kemampuan memilih yang benar dari yang salah berdasarkan norma atau aturan yang berlaku di satu tempat dalam kurun waktu tertentu. Kesiapan seseorang untuk bisa mandiri dalam membedakan yang benar dan salah berdasarkan norma yang diyakininya dan dijadikannya sebagai pegangan dalam berperilaku memerlukan proses yang bertahap. Menurut Lawrence Kohlberg ada tiga tahapan pokok yang dilalui seseorang untuk mampu bersikap adil dan mengembangkan sikap dan perbuatan berdasarkan pertimbangan moral., yaitu: Moralitas Prakonvensional. Pada tahapan ini dasar yang menjadi pegangan dalam bersikap dan bertingkah laku adalah pujian dan hukuman yang diberikan oleh lingkungan. Tingkah laku yang diancam hukuman tidak akan dilakukan lagi. Sebaliknya, perbuatan yang mendatangkan pujian atau hadiah akan cenderung diulang. Moralitas Konvensional. Pada tahapan ini perilaku sudah lebih disesuaikan dengan norma yang dianut dalam lingkungan sosial tertentu. Sikap dan perilaku diarahkan supaya bisa dikelompokkan sebagai perbuatan seorang anggota atau warga masyarakat yang baik. Moralitas Pascakonvensional. Pada tahapan ini prinsip-prinsip moral digunakan dalam arti luas, tidak sekadar hitam putih dan tidak mengacu pada batasan-batasan sempit yang berlaku hanya untuk kalangan masyarakat tertentu. Perilaku masyarakat terbagi dalam tiga kelompok tersebut, yang dipengaruhi oleh proses perkembangannya. Tingkat kematangan pribadi sangat menentukan moralitas yang mendasari perilakunya. Ada dua mekanisme belajar yang utama dalam membentuk perilaku manusia, yaitu: cara belajar instrumental dan cara belajar observasional. Belajar instrumental pada dasarnya mengatakan bahwa suatu perilaku yang diikuti oleh konsekuensi yang positif (reinforcement) akan diulangi, sedangkan perilaku yang diikuti oleh konsekuensi negatif (punishment) tidak akan diulangi. Contoh: Bila dalam pengalaman sehari-hari seseorang selalu mengalami bahwa "mengurus pembuatan Paspor dengan mengikuti prosedur yang berlaku" (perbuatan menaati peraturan) membuat dia kehilangan jam kerja berhari-hari, sedangkan dengan "mengurus pembuatan Paspor dengan memberi uang pelicin" (perbuatan melanggar peraturan), maka menurut belajar instrumental, dia akan cenderung memberi uang pelicin setiap kali harus mengurus pembuatan Paspor di masa yang akan datang, walaupun perbuatan itu melanggar hukum. Menurut persepsinya, perbuatan itulah yang menghasilkan reinforcement sedangkan menaati hukum justru menghasilkan punishment. Belajar observasional mengatakan bahwa seseorang dapat mempelajari perilaku baru atau memperkuat perilaku yang sudah dimilikinya hanya dengan mengamati orang lain (model) melaksanakan perilaku tersebut. Besarnya pengaruh perilaku model terhadap perilaku si pengamat tergantung pada tiga hal, yaitu: penilaian pengamat tentang
http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=260:tinjauan-psikologi&catid=42:widyaiswara&Itemid=203
kemampuannya untuk dapat melaksanakan perilaku yang ditunjukkan oleh model persepsi pengamat tentang hasil perilaku yang ditunjukkan model, yaitu apakah menghasilkan konsekuensi positif atau negatif perkiraan pengamat, apakah ia akan menghasilkan konsekuensi yang sama bila ia juga melaksanakan perilaku yang ditunjukkan model. Misalnya, Bulan belum pernah mangkir dari pekerjaan karena hal tersebut melanggat peraturan kerja yang ada. Namun Bulan mengamati bahwa atasan dan rekan kerjanya yang sering mangkir tidak pernah ditegur atau dihukum, malahan dapat menikmati uang dari hasil pekerjaan sampingan (reinforcement) yang dilakukan pada saat mangkir kerja. Dalam situasi ini si Bulan pun akan cenderung untuk ikut mangkir kerja dan melakukan pekerjaan sampingan, sesuai dengan perilaku model yang diamatinya. Menurut Bandura (1986) belajar observasional dari model ini telah terbukti sebagai sarana yang ampuh untuk meneruskan nilai-nilai, sikap dan pola perilaku dalam masyarakat. Bila persepsi masyarakat tentang peranan hukum dikaitkan dengan kedua mekanisme belajar tadi, maka hukum sebenarnya merupakan suatu instruksi atau pemberitahuan dari otoritas yang diakui kewenangannya mengenai: a) perilaku yang diharapkan dari semua individu yang dikenai oleh hukum tersebut; b) konsekuensi yang akan dialami individu pelaku bila ia melaksanakan atau menolak melaksanakan perilaku yang dimaksud. Agar hukum ini dapat berfungsi secara efektif, ada dua syarat yang perlu dipenuhi, yaitu: hukum tersebut harus dimengerti oleh individu yang melaksanakannya dan oleh individu yang akan dikenai oleh hukum tersebut konsekuensi dari dipatuhi atau tidak dipatuhinya hukum tersebut harus dijalankan secara konsisten dan berlaku umum tanpa pengecualian. Dengan perkataan lain, hukum tertulis yang berisikan instruksi atau pemberitahuan mengenai perilaku yang diharapkan dan sanksi yang merupakan konsekuensinya tidak efektif karena tidak dapat dilaksanakan secara konsisten dan berlaku umum tanpa pengecualian. Di sisi lain, hal-hal yang ingin dicegah oleh hukum, yaitu adanya perlakuan yang berbeda pada orang dengan status yang berbeda, justru menjadi semakin tumbuh subur di antara para pemegang kekuasaan. Hal ini disebabkan oleh karena mereka mengamati banyak sekali teladan dari penguasa yang lebih tinggi, yang menunjukkan bahwa "tidak menaati hukum secara konsisten dan tanpa pengecualian" justru memberikan konsekuensi positif (reinforcement) pada mereka. Dalam kondisi demikian kiranya akan sangat sulit untuk berharap bahwa pelaksanaan hukum secara konsisten tanpa pengecualian akan dapat ditegakkan. Namun, yang tidak kalah pentingnya untuk direnungkan adalah konsekuensi yang mungkin terjadi bila keadaan seperti ini terus berlanjut. Dalam hal ini ada beberapa hal yang mungkin terjadi yakni mereka yang merasa dirugikan akan berusaha untuk memperjuangkan perbaikan melalui cara-cara yang dimungkinkan oleh hukum. Alternatif ini semakin mungkin untuk dipilih bila situasi dan kondisi memungkinkan dan cukup banyak anggota masyarakat yang memiliki pengetahuan dan mau bertindak asertif untuk mengupayakan perubahan (memiliki self-efficacy tinggi). Bila situasi dan kondisi tidak memungkinkan alternatif di atas atau alternatif tersebut sudah diusahakan tetapi tidak membuahkan hasil maka akan muncul perasaan frustrasi. Dengan adanya stimulus tertentu sebagai pemicu, frustrasi ini dapat dengan mudah menjelma menjadi perilaku agresif. Pengamatan terhadap pengalaman di masa lalu
http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=260:tinjauan-psikologi&catid=42:widyaiswara&Itemid=203
menunjukkan bahwa dalam pola budaya yang berorientasi kekuasaan, orang-orang yang berstatus rendah lazimnya mencari perlindungan dalam kolektivitas (Lev, 1991). Bandura (1986) menemukan hal yang kurang lebih sama, yaitu bila cukup banyak orang yang memiliki self-efficacy tinggi, maka mereka cenderung untuk melakukan protes dan usaha kolektif untuk mengubah keadaan. Bila perasaan frustrasi yang diakibatkan oleh tidak adanya kemungkinan untuk melakukan tindakan perbaikan berlangsung dalam waktu yang relatif lama atau bila berbagai upaya yang telah dilakukan berkali-kali tidak memberikan hasil nyata, maka sebagian besar kemungkinan mereka yang terlibat akan mengalami apa yang disebut sebagai "learned helplessness". Artinya, proses panjang dari berbagai upaya yang telah dilakukan namun tidak membuahkan perubahan yang diinginkan menyebabkan orangorang ini belajar menjadi tidak berdaya dan tidak mau lagi berusaha, karena mereka tidak lagi percaya akan adanya hubungan antara usaha mereka dengan hasil yang ingin dicapai (bersikap apatis). Bila hal ini terjadi pada cukup banyak anggota masyarakat kita, khususnya orang muda, kiranya akan sulit bagi bangsa kita untuk dapat bersaing secara global di abad 21 dan menjadi bangsa yang percaya akan kemampuan diri sendiri. Peranan Keluarga dalam Pembentukan Perilaku Suasana pembangunan yang lebih terfokus di bidang ekonomi ditingkah dengan era globalisasi telah mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Tawaran untuk menikmati gaya hidup global telah mendorong semua orang untuk sibuk mencari uang, dengan berbagai cara. Menurut Newman & Newman (1981) menyebutkan tiga unsur pendukung kemampuan seseorang untuk bisa menyesuaikan diri dengan baik, yaitu dirinya sendiri, lingkungan dan situasi krisis dalam pengalaman hidupnya yang sangat membekas dalam dirinya. Pada unsur pribadi (diri sendiri) tercakup kemampuan untuk bisa merasa, berpikir, memberikan alasan, kemauan belajar, identifikasi, kesediaan menerima kenyataan, dan kemampuan memberikan respon sosial. Kemampuan tersebut didasari oleh tingkat kecerdasan yang dimiliki, temperamen, bakat, dan aspek genetika. Berdasarkan konsep tersebut maka proses penyesuaian diri bagi anggota masyarakat merupakan keterkaitan yang sangat erat antara kondisi pribadi, situasi lingkungan dan kemampuan mengelola pengalaman. Pembentukan perilaku normatif dimulai dari pengenalan terhadap aturan yang berlaku dan terapannya dalam kehidupan sehari-hari, yang kemudian menjadi pengalaman yang terekam dalam kehidupan seseorang. Selanjutnya, dengan bekal kemampuan yang dimilikinya, terjadi proses pengambilalihan norma di luar diri menjadi pengembangan nilai-nilai yang dijadikan pegangan dalam berperilaku (internalisasi). Tergantung dari tingkat kematangan pribadinya, pengembangan nilai dalam diri sendiri bisa dilakukan secara mandiri, bahkan bernuansa luas, dan mampu dipertahankan secara tangguh dalam berbagai kondisi dan situasi. Pada tingkat seperti ini orang tersebut tidak akan mudah terpengaruh atau terbawa suasana lingkungan. Dia tahu memilih yang benar, yang perlu, yang bermanfaat dan bisa dengan mudah membedakannya dari hal-hal yang bisa merugikan pribadi maupun lingkungannya. Pengalamannya berpadu dengan penalaran pikirnya, menghasilkan dialog yang terus menerus sebelum memutuskan sikap dan perilaku dengan kesadaran terhadap konsekuensinya, baik untuk diri sendiri maupun lingkungan.
http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=260:tinjauan-psikologi&catid=42:widyaiswara&Itemid=203
Ketidakpastian dalam penegakan hukum berdampak pula pada perilaku yang ditampilkan orang tua dan anggota masyarakat lainnya dalam bekerja dan berorganisasi, yang selanjutnya bisa dijadikan acuan oleh anak dalam mengembangkan dirinya. Tindakan yang lebih suka memilih jalan pintas untuk mencapai tujuan, tidak tepat waktu, unjuk kerja seadanya, lebih menuntut fasilitas daripada tanggung jawab adalah melunturnya etos kerja yang diamati anak dengan leluasa, di dalam maupun di luar rumah (orang tuanya sendiri maupun orang tua lainnya). Sikap mau menang sendiri, tidak adanya kepatuhan terhadap hukum, pelanggaran terhadap tata tertib yang berlaku adalah ketidakdisiplinan pribadi yang bisa ditangkap anak dari orang tua dan lingkungannya. Tindak kejahatan dengan kekerasan, baik yang berupa pengrusakan, perampokan, penyiksaan, perkosaan juga pertikaian yang diakhiri dengan pembunuhan, walaupun penyebabnya mungkin sepele, adalah agresivitas yang masuk dalam benak anak dan bisa menjadi referensi dalam menjalani kehidupannya. Kesibukan kota besar yang segera merambah pelosok lainnya dengan gerak hidup cepat, bertubinya rangsangan kegiatan dan mobilitas pribadi yang tinggi menempatkan individu dalam situasi yang dilematis. Situasi tersebut membuat individu harus memilih antara pencarian kegiatan yang didasari oleh minat pribadi dengan pelestarian ikatan dan fungsi utama keluarga sebagai sarana dalam menyiapkan anggotanya untuk hidup bermasyarakat. Kecenderungan ini oleh para ahli dianggap sebagai melunturnya fungsi utama keluarga. Fokus perhatian yang lebih mengarah pada tugas-tugas di luar rumah agar tak kalah bersaing kemudian menjadi pilihan orang tua dan sekaligus menempatkan anak dalam kekosongan yang cukup bermakna, terutama dalam upaya pembentukan hati nurani yang akan menjadi pemandunya kelak, sebagai orang yang tangguh, mandiri, tapi juga peduli lingkungan dengan warna spiritual yang kental dan luwes. Apakah orang tua dan masyarakat menyadari kepentingan ini, juga bahwa masa depan bangsa dan negara ada di tangan anak-anak yang sekarang menjadi penonton dan pengamat perilaku orang tua, baik yang ada di rumahnya maupun di masyarakat, apapun peran dan fungsinya? Seberapa jauh kita menyiapkan anak-anak agar bisa berkualitas tinggi dalam abad 21 nanti? Pendidikan adalah upaya membekali anak dengan ilmu dan iman agar ia mampu menghadapi dan menjalani kehidupannya dengan baik, serta mampu mengatasi permasalahannya secara mandiri. Bekal itu diperlukan karena orang tua tidak mungkin mendampingi anak terus menerus, melindungi dan membantunya dari berbagai keadaan dan kesulitan yang dihadapinya. Anak tidak akan selamanya menjadi anak. Dia akan berkembang menjadi manusia dewasa. Kalau perkembangan fisiknya secara umum berjalan sesuai dengan pertambahan umurnya, maka kemampuan kecerdasan dan perkembangan emosi serta proses adaptasi atau penyesuaian diri dan ketakwaannya sangat memerlukan asuhan dan pendidikan untuk bisa berkembang optimal. Melalui bekal pendidikan dan proses perkembangan yang dialaminya selama mendapatkan asuhan dari lingkungannya, diharapkan anak akan mampu menyongsong dan menjalani masa depannya dengan baik. Latar belakang pengertian tersebut hendaknya menjadi dasar pengembangan pola asuhan dan pendidikan untuk anak. Biasanya pendidikan diberikan berdasarkan pengalaman masa lalu, yakni ketika yang menjadi orang tua masih berstatus kanak-kanak, yang menerima pendidikan dari orang tuanya. Pengalaman masa lalu ini kerap kali cukup
http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=260:tinjauan-psikologi&catid=42:widyaiswara&Itemid=203
mewarnai pola asuhan dan pendidikan anak. Pemanfaatan pengalaman memang selalu ada gunanya. Akan tetapi sikap yang mampu mengantisipasi ke depan juga sangat penting, karena anak tidak akan hidup di masa lalu, tetapi menapak ke masa depan. Dengan demikian posisi pengalaman ketika menerima didikan dan asuhan orang tua di masa lalu hanyalah pantas sebagai acuan atau referensi, terutama dalam rangka mengembangkan empati (penghayatan, kemampuan merabarasakan dari sudut pandang atau posisi orang lain) agar komunikasinya bisa berjalan seperti yang diharapkan. Terapan pengalaman masa lalu ayah ibu, ketika dididik dan diasuh orang tuanya, perlu disesuaikan dengan kondisi dan situasi perkembangan jaman. Tanpa penyesuaian, pola asuh dan pendidikan yang dilakukan akan cenderung menyulitkan anak dalam perkembangannya, sehingga iapun akan tumbuh menjadi sosok pribadi yang sukar menemukan konsep diri, sulit menyesuaikan diri dan tentunya sulit mengaktualisasikan diri. Proses pendidikan berlangsung dinamis, sesuai dengan kondisi perkembangan pribadi anak dan situasi lingkungan. Era globalisasi yang menandai abad 21 seyogianya tidak hanya dilihat sebagai hal yang mengancam, dengan dampak kecemasan atau kekhawatiran dalam mendidik anak, yang mungkin hanya akan menghasilkan kondisi perkembangan yang kurang menguntungkan. Kecemasan dan kekhawatiran biasanya akan menyebabkan orang tua menjadi tegang dan tertekan sehingga kurang mampu melihat alternatif, lalu justru menekan anak padahal tindakan itu lebih ditujukan untuk dapat menenteramkan dirinya sendiri. Kondisi jaman dalam era globalisasi justru bisa dimanfaatkan untuk membangun sosoksosok pribadi yang tangguh dan mandiri, antara lain karena terbiasa menghadapi persaingan yang ketat dan mampu memanfaatkan fasilitas dan peluang yang dibukakan oleh "pintu globalisasi." Untuk itu orang tua sangat perlu menyadari, bahwa kehidupan terus berkembang sesuai perputaran dunia, jaman pun berubah. Sangat diperlukan kemampuan dan kemauan untuk mengikuti perubahan dan senantiasa menyesuaikan diri. Perubahan kondisi dan situasi orang tua dalam menjalankan peran dan fungsinya selaku pengasuh dan pendidik anak perlu diikuti dengan upaya menambah pengetahuan, meluaskan wawasan, dan meningkatkan keterampilan. Dengan sikap ini maka orang tua pun bisa diharapkan melaksanakan tugasnya dalam mengarahkan, membimbing, mendorong, membantu anak serta mengusahakan peluang/kesempatan untuk berprestasi optimal, sesuai dengan kemampuannya. Berpikir positif dan bersikap adaptif adalah sikap yang diharapkan dari para orang tua yang kini tengah mendidik dan mengasuh anak-anak yang akan memasuki era globalisasi. Tugas ini tentunya tidak hanya menjadi tanggung jawab ibu. Bersama, ayah dan ibu menyikapi perubahan jaman dalam kondisi yang lebih menguntungkan bagi anak, sehingga ia mampu menyongsong era globalisasi dengan keyakinan diri yang kuat, berdasarkan bekal yang diperolehnya dan kepercayaan akan rakhmat dan karunia-NYA.
Penutup
http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=260:tinjauan-psikologi&catid=42:widyaiswara&Itemid=203
John J. Macionis (1996) mengemukakan bahwa abad 21 menyiratkan ketidakjelasan terhadap ukuran keberhasilan yang bisa dijadikan keteladanan. Sukar sekali menutupi kejadian yang tak ingin disebarluaskan, baik untuk pertimbangan menghormati hak asasi manusia maupun kecanggihan teknologi komunikasi. Banyak masalah yang masih harus dijawab dalam memasuki abad 21, antara lain merumuskan makna kehidupan, pemecahan sengketa/konflik antar bangsa/negara, pengentasan kemiskinan yang tidak hanya terkait dengan masalah populasi (pertambahan penduduk) dalam hubungannya dengan ketersediaan sumber daya alam yang makin terbatas. Abad 21 mengisaratkan perlunya wawasan pikir yang lebih luas, imajinasi, rasa kasihan atau simpati, dan keteguhan hati. Pemahaman yang luas terhadap kehidupan bersama akan menjadi dasar yang kuat bagi upaya membantu manusia memasuki abad 21 dengan sikap optimis. Psikologi sebagai ilmu yang kajian utamanya adalah perilaku manusia terkait erat dengan telaah proses pembentukan perilaku, yang hasilnya bisa disumbangkan sebagai intervensi dalam pembentukan perilaku Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi. Keterlibatan dalam upaya rekayasa tingkah laku, baik dalam kapasitas sebagai sarana belajar maupun bimbingan dan penyuluhan, perlu dilakukan untuk mendapatkan wawasan tentang konteks dan lingkungan serta eksistensi manusia. Cara yang bisa ditempuh dalam upaya rekayasa ini adalah melakukan usaha yang berkesinambungan dengan memperhitungkan dukungan kelompok maupun dukungan masyarakat. Untuk itu kerjasama dengan berbagai disiplin ilmu lainnya terasa sangat bermakna. Psikologi akan memfokuskan pada upaya pembangkitan kebutuhan untuk berubah agar bisa menjadi pendorong (motivasi) dalam proses perubahan tingkah laku yang diharapkan. Pembekalan individu dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup harus dilakukan agar ia mampu melaksanakan perubahan tingkah laku yang diharapkan, yang sudah beralih menjadi kebutuhan pribadi dan bukan kebutuhan yang bersifat eksternal. Ada lima cara yang dikemukakan Macionis dalam pembentukan perilaku yang mencerminkan pemahaman sosialisasi, yaitu: teori Id, Ego, Superego dari Sigmund Freud (1856-1939) teori Perkembangan Kognitif dari Jean Piaget (1896-1980) teori Perkembangan Moral dari Lawrence Kohlberg (1981) teori Gender dari Carol Gilligan (1982) teori "Social Self" dari George Herbert Mead (1863-1931) Sehingga Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi ditandai oleh lima ciri utama dari aspek-aspek perkembangan yang berlangsung secara seimbang dan selaras, yaitu perkembangan tubuh (fisik), kecerdasan (inteligensi), emosional (afeksi), sosialisasi, spiritual. Pola perawatan, asuhan, dan pendidikan anak hendaknya mengacu pada upaya pengembangan kelima aspek tersebut secara harmonis dan seimbang agar terbentuk pribadi yang sehat, cerdas, peka (sensitif), luwes beradaptasi dan bersandar pada hati nurani dalam bersikap dan bertindak. Penegakan hukum dan contoh yang diperlukan sebagai model pembentukan perilaku, baik yang ditunjukkan orang tua maupun masyarakat, menjadi penting. Kerjasama antar disiplin ilmu dalam memecahkan masalah yang dihadapi saat ini sangat diperlukan. Pembangunan harus diarahkan pada cita-cita bangsa dan negara ketika republik ini didirikan. Kebersamaan menjadi penting untuk dapat menjaga kesatuan dan
http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=260:tinjauan-psikologi&catid=42:widyaiswara&Itemid=203
persatuan. Menyadari keterbatasan kemampuan diri sebagai individu dan kelebihan bekerja sama akan dapat menghindarkan suasana yang saling tuding, saling hujat, saling mencemooh, saling menepuk dada, saling melecehkan, adu kuasa dan adu kekuatan seperti yang tampak sekarang ini. Selain merugikan kehidupan bangsa dan negara, memunculkan ancaman perpecahan, perilaku tersebut tidak akan menempatkan individu dalam proses belajar memahami dan mentaati hukum. Padahal, era globalisasi di abad 21 akan menghadapkan manusia Indonesia pada hukum dan tatanan kehidupan bersama yang lebih luas, tidak hanya dalam batas wilayah Republik Indonesia. Perilaku sadar hukum adalah sebagian dari persyaratan yang diajukan abad 21. *Penulis adalah Widyaiswara LPMP Lampung DAFTAR PUSTAKA Bandura, A. (1986). Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory. Englewood, New Jersey: Prentice Hall, Inc Deaux, K., Dane, F.C., Wrightsman, L.S., In association with Sigelman, C.K. (1993). Social Psychology in the ‘90s (6th Ed.). Pacific Groove, California: Brooks/Cole Publishing Company. Feldman, R.S. (1990): Understanding Psychology (2nd Ed). Mc Graw Hill Publishing Company. Friedman, L.M. (1984). Legal Culture: Legitimacy and Morality. In American Law. London: W.W. Norton Company. Himpsi (1991): Membangun Manusia Tangguh Dalam Era Globalisasi, kumpulan makalah Kongres V dan Temu Ilmiah ISPSI (sekarang Himpsi), Semarang 4-7 Desember 1991. Himpsi Pusat. Himpsi (1998): Pokok-Pokok Pemikiran Himpsi tentang Upaya Penegakan Hukum di Indonesia Dalam Rangka Memulihkan Kepercayaan Masyarakat Kepada Pemerintah, konsep masukan kepada pemerintah. Himpsi Pusat, Agustus 1998. Macionis, J.J. (1996): Society, The Basics (3rd Ed). Upper Saddle River, New Jersey. Prentice Hall, Inc. Martin, G. & Pear, J. (1992). Behavior Modification (4th Ed.). Englewood, New Jersey: Prentice Hall, Inc.
http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=260:tinjauan-psikologi&catid=42:widyaiswara&Itemid=203