Sesi 2: “Menyiapkan Guru dalam Menghantarkan Siswa Indonesia Menyongsong Tantangan Global Abad 21” Potensi dan Bekal Sumber Daya Manusia Indonesia Indonesia semakin memperkuat reputasinya sebagai pusat ekonomi global. Kajian Bank Dunia (2015) memprediksi bahwa Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia akan bertumbuh dua kali lipat dari angka PDB dunia, pada tahun 2020. Sebagai rumah dari 250 juta penduduk, yang akan segera menikmati potensi dari bonus demografi, Indonesia pun diharapkan dapat meningkatkan kontribusinya secara signifikan terhadap perekonomian global. Prediksi tersebut diperkuat data McKinsey & Company yang menyebutkan bahwa setiap tahunnya lebih dari 5 juta orang Indonesia ‘naik segmen’ dan masuk dalam kelas sosial menengah dengan pendapatan sebesar US$3,600 atau lebih per-tahun. Secara umum, kelompok menengah ini diperkirakan akan mencapai angka 135 juta orang pada tahun 2030. Sementara, berdasarkan ASEAN Business Outlook Survey 2014, Indonesia dianggap sebagai negara tujuan investasi bisnis asing dan bahkan menjadi salah satu tujuan utama di wilayah ASEAN. Namun, survei tersebut juga mengidentifikasi bahwa Indonesia memiliki tenaga kerja dengan keahlian rendah dan murah sebagai kekuatannya. Hal ini tentu bukan hal yang menguntungkan bagi Indonesia. Bangsa Indonesia tidak akan mampu bersaing dan akan kehilangan kesempatan kerja yang baik, misalnya dari pelajar lulusan Filipina yang menduduki peringkat tinggi karena memiliki keahlian kerja yang terlatih. Hal ini bermuara jika, guru yang merupakan ujung tombak pendidikan, tidak didukung dalam membentuk lulusan dengan keterampilan tinggi. Bekerja di abad 21 berarti menjadi lebih internasional, multikultural dan saling berhubungan. Pekerjaan-pekerjaan baru pun muncul berdasarkan produksi, analisis, distribusi dan konsumsi informasi. Selain itu, tempat kerja menjadi lebih berbasis komputer dan bertransformasi seiring dengan hadirnya teknologi baru yang mengubah pola hidup manusia. Perubahan-perubahan tersebut akan membuka banyak peluang, namun juga menjadi tantangan baru bagi seluruh manusia. Dibandingkan dengan apa yang dilakukan 20 atau 30 tahun yang lalu, para lulusan Indonesia kini membutuhkan lebih banyak keterampilan untuk dapat berhasil dalam menghadapi persaingan ketat di abad ke-21. Sebuah studi tentang Pengkajian dan Pengajaran Keterampilan Abad 21 atau The Assessment and Teaching of 21st Century Skills telah mengategorikan keterampilan abad ke-21 menjadi empat bagian besar, yang memungkinkan individu untuk berkontribusi terhadap modal sosial (social capital) dan modal intelektual (intelectual capital) di zaman modern. Keempat kategori tersebut adalah: 1. Cara berpikir – termasuk kreativitas, inovasi, berpikir kritis, memecahkan masalah, membuat keputusan dan melakukan pembelajaran. 2. Cara bekerja – termasuk keterampilan komunikasi, kolaborasi dan bekerjasama secara kelompok (teamwork). 3. Keahlian untuk hidup di dunia – termasuk memiliki kesadaran sebagai warga negara global maupun lokal, mengembangkan hidup dan karir, serta memikul tanggung jawab pribadi dan sosial. 4. Penguasaan alat untuk bekerja – keterampilan ini didasarkan pada teknologi-teknologi informasi dan komunikasi baru serta literasi informasi, termasuk kemampuan untuk belajar dan bekerja melalui jaringan sosial digital.
1
Relevansi Kurikulum 2013 dengan Tantangan Abad 21 dan Kesiapan Guru dalam Mentransmisikannya Merujuk pada tuntutan di atas, sudahkah kurikulum pendidikan nasional kita relevan dalam menyiapkan peserta didik dan generasi bangsa sebagai anggota masyarakat global? Sudahkah guru-guru Indonesia menguasai muatan Kurikulum 2013 sehingga dapat mentrasmisikannya dengan baik kepada para murid? Kurikulum 2013 (K-13) menetapkan tema-tema pilihan yang merupakan gabungan dari berbagai mata pelajaran khususnya di jenjang sekolah dasar (SD), dan lebih jauh mengintegrasikan sejumlah mata pelajaran seperti Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), serta Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran lain atau sebagai alat pendukung belajar mata pelajaranmata pelajaran lain (khususnya di tingkat Sekolah Menengah Pertama). Kurikulum ini juga memungkinkan siswa untuk belajar dari konteks kehidupan nyata yang lekat dengan mereka sehari-hari. Oleh sebab itu, kurikulum ini diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara ketiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. 1 Melalui desain kurikulum seperti di atas, dunia pendidikan diharapkan mampu menjadikan putra-putri Indonesia sebagai warga dunia di abad 21 yang mumpuni; terkoneksi dan bekerjasama secara global dengan berbekal pengetahuan, keterampilan, penguasaan teknologi dan kemampuan komunikasi, serta kolaborasi yang dibutuhkan, sesuai standar internasional. K-13 juga menumbuhkan praktik pembelajaran baru, termasuk mendorong murid belajar secara mandiri, mempertanyakan suatu hal secara kritis, membuat keputusan, melakukan observasi, menjalin komunikasi dan menciptakan sesuatu; berkolaborasi dan bekerjasama untuk memecahkan masalah; dan mengubah peran guru dari sumber segala informasi menjadi pengelola proses pembelajaran yang terjadi di dalam dan di luar kelas. Sebaliknya, guru pun dituntut untuk dapat menerapkan pendekatan pembelajaran baru yang mensyaratkan mereka untuk menunjukkan kepemimpinan, serta membiasakan diri memberi dukungan dan pengawasan yang terfokus pada peserta didik. Saat ini, guru Indonesia belum familiar dengan pendekatan seperti tersebut. Peningkatan Kapasitas Guru bagi Keberhasilan Kurikulum 2013 dan Kualitas Pembelajaran Murid Guru sekolah menjadi ujung tombak keberhasilan implementasi K-13 dan oleh sebab itu, mereka perlu memiliki pemahaman dan penguasaan K-13 yang baik. Salah satunya diupayakan melalui pelatihan K-13 yang dilaksanakan secara berjenjang mulai dari tingkat pusat, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota dan tingkat sekolah. Program peningkatan kapasitas ini terus dikaji agar penyelenggaraannya dapat dioptimalkan dan efektif dalam mencapai hasil yang diharapkan. Kajian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan terhadap Pelatihan K-13 oleh Instruktur Kabupaten/Kota kepada Guru Sasaran di Kota Bandung, Kota Yogyakarta, Kabupaten Badung, Kota Makassar, Kota Tidore, dan Kota Sorong, mencermati bahwa lembaga-lembaga penyelenggara program perlu memenuhi perannya secara lebih baik. Kolaborasi yang saat ini terjadi adalah; Direktorat terkait menyiapkan panduan pelatihan yang digunakan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten/Kota sebagai acuan penyelenggaraan pelatihan K13. LPMP berkoordinasi dengan Disdik Kabupaten/Kota, melakukan pelatihan bagi Instruktur Kabupaten/Kota (IK), memilih dan menetapkan IK, menetapkan jadwal harian serta mengelola dana pelatihan K-13 sesuai ketentuan. Disdik Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan LPMP, menetapkan tempat pelaksanaan pelatihan dan menetapkan peserta pelatihan. Kolaborasi tersebut masih menunjukkan gap, dimana belum ada pihak yang mengatur; besaran dana sesuai kondisi daerah masing-masing, penetapan waktu pelatihan, penyediaan materi pelatihan yang sesuai kebutuhan guru sasaran (GS), pengaturan bobot dan waktu tiap materi pelatihan, serta penyediaan buku siswa.
1
http://www.kompasiana.com/nurhamidah/kurikulum-2013_552994d2f17e618f09d623aa
2
IK - meski telah mengikuti pelatihan K-13 di tingkat kabupaten/kota- tampak masih mendominasi sesi dengan ceramah searah, mereka belum dapat menjawab pertanyaan GS secara lugas, belum berhasil menyampaikan contoh implementasi K-13 secara jelas dan mendalam, juga tampak kurang menguasai kelas pelatihan dengan baik. Di lain sisi, IK mengeluhkan terbatasnya pelatihan K13 yang pernah diikuti, materi yang diberikan kurang luas dan mendalam karena keterbatasan waktu, disamping rasa percaya diri yang diakui masih rendah. Terkait sarana dan prasana, tidak ada standar atau kriteria yang ditetapkan tentang ruang pelatihan. Sehingga umumnya ruang yang digunakan kurang nyaman; terlalu sempit dan menyulitkan mobilitas peserta serta pengaturan formasi kerja kelompok, ruangan kurang terang, pengap dan panas, bahkan tidak tersedia in-focus secara mencukupi.
Situasi Ruang Pelatihan K-2013 oleh IK kepada GS
Buku siswa adalah salah satu materi langsung yang digunakan dalam pelatihan, namun di beberapa lokasi, buku yang dibagikan hanya berupa fotokopi atau soft-copy sehingga menyulitkan GS dalam melakukan analisis. Ditemukan pula cetakan panduan pelatihan yang terlalu kecil sehingga sulit dibaca. Materi pelatihan yang diberikan selama pelatihan terdiri atas tiga kelompok, yaitu; materi umum, materi pokok, dan materi penunjang. GS merasa pelatihan terkait materi-materi pokok yang berhubungan langsung dengan implementasi K-13 di kelas, masih kurang. Materi-materi tersebut meliputi: 1) kompetensi, materi dan pembelajaran; 2) analisis kompetensi, materi dan proses pembelajaran, dan penilaian; 3) perancangan pembelajaran dan penilaian; 4) praktek pembelajaran dan penilaian; 5) praktek pengolahan dan pelaporan hasil belajar. Pre-tes yang diikuti oleh seluruh GS peserta pelatihan bahkan terkesan tidak digunakan sebagai pertimbangan dalam menyajikan materi pokok tersebut. Secara umum, baik GS maupun IK merasa kekurangan waktu untuk mengelola dan mencerna 3 kelompok materi, selama pelatihan yang ditetapkan sepanjang 52 jam @45 menit itu. Cita-cita aspirasional untuk membentuk peserta didik dengan kemampuan kognitif maupun non-kognitif yang imbang melalui K13, perlu dibarengi kerja keras untuk meningkatkan kompetensi guru-gurunya. Tidak saja di ranah pedagogi, tetapi juga di area sosial, kepribadian dan profesional, mengingat amanah yang semakin besar, yang diembannya.
3
Kehidupan Global : Kecerdasan Sosial Sama Pentingnya dengan Kecerdasan Akademik Sebagai salah satu landasan utama, pendidikan perlu dirancang untuk mengarahkan peserta didik belajar dengan kemerdekaan diri serta mampu mengeksplorasi berbagai perspektif dan budaya lain.2 Hal tersebut hanya dapat terwujud jika konsep multikulturalisme dipahami dengan baik, yaitu adanya kesediaan untuk menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa atau pun agama. Kesadaran ini juga sebaliknya akan memperkuat identitas bangsa yang berbhinneka namun tunggal ika, di tengah dinamika global. Pendidikan, seperti diharapkan dalam Nawa Cita butir ke-9, menjadi sarana untuk memperteguh kebinekaan serta memperkuat restorasi sosial melalui kebijakan yang mendorong pendidikan kebinekaan dan penciptaan ruang-ruang dialog antar warga sebagai wahana penguatan karakter dan jati diri bangsa. Hal ini kemudian diterjemahkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015-2019 yang bertekad mempromosikan pendidikan kebinekaan melalui pendidikan kewargaan di sekolah untuk menumbuhkan jiwa kebangsaan, menyuburkan nilai-nilai toleransi, meningkatkan penghargaan pada keragaman sosial-budaya, memperkuat pemahaman mengenai hak-hak sipil dan kewargaan, serta mengukuhkan tanggungjawab sebagai warga negara yang baik. Senafas dengan aspirasi mulia tersebut, Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan melalui studi kualitatif di Singkawang dan Salatiga, memotret sejumlah praktik baik pelaksanaan pendidikan kebinekaan dan persoalan yang dialami di tingkat sekolah menengah, terkait pembinaan kompetensi sosial dalam hal komunikasi, kolaborasi, kerjasama secara/dan antar kelompok, pewarisan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal, serta kemampuan siswa dalam mengaitkan apa yang dipelajari di sekolah dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Banyak teladan tentang kohesivitas sosial di Singkawang dan Salatiga yang dapat dicontoh. Perjumpaan dan kerjasama dalam berbagai kegiatan dengan tidak lagi memandang perbedaan latar belakang merupakan suatu kenyataan positif yang menggugah dunia pendidikan untuk menggarap aspek-aspek non-kognitif secara lebih serius, baik dari sisi kebijakan, program strategis, kurikulum, muatan pelajaran, penguasaan guru, implementasi, serta pengukurannya. Upaya yang integratif seperti demikian, diharapkan dapat membekali peserta didik dengan wawasan yang lebih luas, serta kepekaan sosial dan kematangan berpikir kritis secara lebih baik. Namun tidak dipungukiri, sejumlah tantangan juga muncul dalam mewujudkannya, tantangan tersebut dapat terbagi ke dalam dua kategori, persoalan kebijakan sekolah, yaitu: prioritas sekolah masih terlalu besar pada kemampuan kognitif, dan terbatasnya sumberdaya sekolah untuk mendukung penerapan pendidikan kebinekaan. Sementara ditinjau dari persoalan sikap warga sekolah; sebagian siswa masih ada yang lebih nyaman memilih teman dari latar belakang yang sama, ikatan primordial keluarga yang masih kuat, serta kesulitan kepala sekolah dan guru dalam memantau kegiatan siswa di luar sekolah (termasuk konsumsi informasi melalui media sosial), yang berpotensi membawa paham-paham yang tidak sesuai dengan semangat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Hasil Pembelajaran adalah Refleksi Kerja Guru dan Cermin Kesiapan Murid Menyongsong Masa Depan Guru sebagai perilaku sentral pendidikan, juga menjadi pemain kunci dalam mengukur hasil pembelajaran murid dalam kerangka kurikulum, melalui berbagai instrumen penilaian yang ada. Hasil pembelajaran murid, dalam menyiapkan diri sebagai bagian dari kehidupan sosial dunia, menjadi refleksi kompetensi dan kesiapan guru-guru Indonesia dalam mengimplementasikan K-2013 yang secara komprehensif mencoba membentuk profil pelajar yang mumpuni secara akademik, mental, spiritual dan budaya di era kompetisi tinggi dan pasar bebas ini.
2
Bikhu Parekh, 2000. Rethinking Multiculturalism; cultural diversity and political theory, Cambridge; Harvard University Press.
4
Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud) baru-baru ini melakukan studi terhadap kemampuan penilaian guru Bahasa Inggris, Matematika dan Bahasa Indonesia yang aktif mengajar pada satuan pendidikan di jenjang pendidikan menengah yang tersebar di Yogyakarta, Malang, Depok, Batam, Balikpapan dan Gorontalo, dan telah melaksanakan penilaian berdasarkan K-13. Hasilnya selaras dengan fakta masih terkendalanya pendidikan non-kognitif murid (sikap, perilaku, mental, moral); banyak guru merasa kesulitan menentukan penilaian terhadap aspek sikap murid (di luar 2 aspek lain yaitu pengetahuan dan keterampilan, yang lebih mudah diukur). Guru kesulitan menyusun instrumen untuk pembelajaran spiritual dan sosial, dan melakukan tafsiran sendiri atas KI-KD untuk kemudian dikembangkan dalam penilaian sikap. Hal ini mencerminkan masih lemahnya implementasi kebijakan sistem penilaian. Kompetensi guru dalam melakukan penilaian hasil belajar pun masih perlu perhatian besar. Studi yang sama menunjukkan bahwa guru belum sepenuhnya menguasai materi mata pelajaran, kurang memahami konsep penilaian dan penyusunan instrumen penilaian. Sebagian besar guru belum mampu membuat butir soal sesuai dengan kaidah penulisan soal yang terstandar, belum mengacu pada KD pada saat penyusunan butir soal, belum membuat kisi-kisi soal, belum membuat pedoman penyusunan skor, serta terdapat ketidaksesuaian antara KD dengan indikator soal dan butir soal. Guru juga kesulitan untuk menindaklanjuti hasil penilaian remidi dan pengayaan materi karena terbatasnya alokasi waktu, kesulitan melaporkan hasil belajar karena banyaknya instrumen penilaian yang tersedia, dan kesulitan menuliskan deskripsi dalam rapor. Guru juga belum mampu memanfaatkan hasil penilaian murid secara optimal sebagai umpan balik penyusunan rencana pembelajaran berikutnya. Padahal penilaian pendidikan perlu dilakukan guru saat Ujian Akhir Semester (UAS) dan Ujian Sekolah (US) yang digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan kompetensi murid, menetapkan ketuntasan penguasaan kompetensi, menetapkan program perbaikan pengayaan, memperbaiki proses pembelajaran, menentukan kenaikan kelas dan sebagai umpan balik pembelajaran. Penilaian juga dilakukan saat Ujian Nasional (UN) kelas 9 dan kelas 12 untuk menilai pencapaian standar kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu. Terkait UN, sebagian besar guru bahkan mengaku tidak memperoleh informasi lengkap tentang hasil UN yang telah dikembangkan oleh Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) dalam bentuk CD interaktif.
5
LEMBAR REKOMENDASI Merujuk pada penelitian mengenai pelatihan implementasi K-2013, penerapan pendidikan kebhinnekaan dan kompetensi guru dalam memberikan penilaian hasil pembelajaran murid – yang semuanya strategis dalam menghantarkan peserta didik menjadi warga dunia yang siap menghadapi tantangan abad 21 – maka, Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan mengemukakan sejumlah rekomendasi bagi tiap-tiap aspek, sebagai berikut; Akselerasi Guru dalam Penguasaan K-2013, Berpacu dengan Waktu Memastikan penguatan peran para pihak; - Peran LPMP dapat difokuskan pada: 1) pengelolaan dana dan pengajuan program; 2) pengembangan materi pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing; 3) pengaturan waktu penyelenggaraan pelatihan agar sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing daerah dan kebutuhan GS; 4) menyediakan sarana pendukung pelatihan seperti pedoman, buku teks, CD dan lain-lain. - Peran Disdik Kabupaten/Kota dapat difokuskan pada: 1) meningkatkan profesionalisme guru terkait K-2013; 2) pemilihan IK bersama LPMP; 3) penguatan tugas pengawas di Disdik Kabupaten/Kota sebagai tindak lanjut hasil pelatihan K-2013. - Revitalisasi TPK, MGMP, KKG Penyiapan IK perlu disempurnakan dengan: 1) rekrutmen yang dilakukan melalui tes (pedagogik, sosial, kepribadian dan profesi); 2) penetapan kriteria IK secara bertingkat; 3) IK baru tidak diberikan beban melatih seorang diri; 4) ditetapkan proporsi yang berbeda antara IK junior dan senior; 5) perlunya pelatihan yang berkesinambungan untuk meningkatkan kemampuannya. Sarana dan prasarana pelatihan K-2013 perlu diatur: 1) penetapan kriteria minimal tentang sarana dan prasarana pendukung pelatihan; 2) Buku Teks Siswa yang dibagikan sebaiknya asli (bukan foto copy) dan update sesuai K-2013 revisi terakhir; 3) Perlu dipastikan bahwa muatan materi pelatihan yang dibagikan dalam bentuk CD kepada peserta, sama dengan yang dimiliki oleh IK. Sementara, manajemen pelatihan disarankan: 1) LPMP berkoordinasi dengan Disdik Kabupaten/Kota terkait jadwal, konten dan jumlah waktu pelatihan; 2) pemberitahuan dan undangan yang lebih dini kepada para GS peserta pelatihan demi persiapan yang lebih baik; 3) penyesuaian materi pelatihan dengan kebutuhan GS, dan 4) perlu penambahan jam dan peningkatan frekuensi pelatihan, khususnya untuk materi pokok, sesuai kebutuhan GS. Pendidikan Kebinekaan dan Kesadaran Pluralisme yang Lebih Terencana untuk Menghadapi Globalisasi Sebagai bagian dari upaya menegakkan pendidikan karakter dan menjaga identitas nasional bangsa, penyelenggara pendidikan dapat mereplikasi dan mengembangkan praktik-praktik baik serta kearifan lokal yang telah ada di sekolah saat ini, yang terbagi atas dua pendekatan; 1) Melalui penguatan kebijakan sekolah: - Sekolah melakukan pembauran antar siswa dengan latar belakang agama dan etnis yang berbeda dalam kegiatan-kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler, serta dalam organisasi dan kepanitiaan kegiatan. - Keikutsertaan dalam program afirmasi pendidikan menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan menerima siswa dari berbagai latar belakang etnis, agama, ras dan kelompok dari luar daerah masing-masing. - Sekolah memberi ruang atau wadah bagi murid untuk mengaktualisasikan agama dan budaya masing-masing. - Sekolah menyelenggarakan festival budaya daerah yang mengangkat nilai-nilai universal untuk menghapus sekat-sekat etnis, agama, ras dan kelompok.
6
2) Melalui peningkatan peran guru: - Meningkatkan mutu pembelajaran sehingga lebih menarik, dengan memperkaya literatur, mencari narasumber atau sumber belajar dalam bentuk audio-visual, bermain peran, berdiskusi dan kerja kelompok multi agama, suku dan budaya. - Memberikan wawasan kebangsaan dan kebinekaan, serta mengaktualisasikannya dalam bentuk kegiatan di lapangan yang dapat menciptakan situasi yang harmonis, nyaman dan menggembirakan. Para pembuat kebijakan di bidang pendidikan juga perlu menyusun strategi untuk mengoptimalkan implementasi pendidikan kebinekaan di sekolah, antara lain; 1) Memastikan pembauran siswa antar etnis, agama, ras dan kelompok dalam proses pembelajaran. - Perlunya penguatan kurikulum tentang pemahaman kebinekaan dan penerapannya (pembauran siswa dari latar belakang agama dan etnis yang berbeda dalam kegiatan-kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler). - Perlunya kegiatan yang mendukung pembauran lintas budaya dan agama (misalnya program perkemahan lintas budaya dan agama, pertukaran pelajar, live-in atau tinggal bersama di lingkungan yang berbeda budaya dan agama). - Perlunya memperluas program afirmasi di daerah-daerah dengan perpaduan etnis, agama, ras dan kelompok yang majemuk. 2) Mengoptimalkan peran Forum Kepala Sekolah dan Forum Guru. - Kepala sekolah melalui forum K3S/MKKS merumuskan kesepakatan (program kerja bersama) yang mendukung pengembangan pendidikan nilai-nilai kebinekaan seluas-luasnya, seperti penyediaan guru agama, perayaan keagamaan, memperbanyak forum dialog antar umat beragama, etnis, agama, ras dan kelompok. - Memberikan ruang/kesempatan kepada siswa dan guru untuk mengekspresikan kegiatan yang bernuansa etnik, agama dan budaya di sekolah secara berkelanjutan. - Forum guru (KKG/MGMP) diharapkan dapat menjalankan fungsinya sebagai pengembang kurikulum yang lebih kreatif dan inovatif dalam pembelajaran berbasis kebinekaan dan keteladanan sikap, serta perilaku saling menghargai dan menghormati keanekaragaman budaya. 3) Pemerintah (Pusat dan Daerah) memfasilitasi hubungan antara sekolah dan/atau siswa, melalui; - Penyelenggaraan kegiatan yang bersifat pembauran lintas budaya dan agama; - Memperkuat strategi tri-pusat pendidikan yaitu: sekolah, keluarga/orangtua, dan masyarakat dalam mewujudkan penguatan pendidikan karakter di satuan pendidikan. Mendesaknya Peningkatan Kompetensi Guru untuk Memperkuat Sistem Penilaian Hasil Belajar Multi-Dimensi Guru perlu menguasai metode atau teknik, serta instrumen penilaian hasil belajar murid dalam rangka mengukur kompetensi peserta didik, kesiapannya dalam menerima pembelajaran selanjutnya dan sebagai umpan balik perbaikan proses belajarmengajar di masa depan. Hal ini perlu mencakup penguasaan guru terhadap tiga hasil pembelajaran utama yaitu sikap, pengetahuan dan keterampilan (kognitif dan non-kognitif). Rekomendasi bagi peningkatan kompetensi guru dalam menguasai sistem penilaian hasil belajar, antara lain; 1) Penguatan sistem penilaian hasil belajar Prioritas diberikan pada pengembangan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) yang dilakukan oleh satuan pendidikan secara nasional pada mata pelajaran tertentu, yaitu mata pelajaran yang diujikan dalam UN. 2) Peningkatan kompetensi guru dalam melakukan penilaian hasil belajar Prioritas diberikan pada guru mata pelajaran tertentu yang diujikan sekolah melalui USBN.
7
Implementasi kebijakan dapat dilakukan dengan cara; (i) melakukan pelatihan penguatan konten mata pelajaran dan pelatihan penulisan soal terstandar; penyiapan buku panduan penilaian guru dan contoh-contoh soal yang baik untuk penulisan soal USBN, termasuk diseminasinya melalui media internet; (ii) mengembangkan bank soal USBN di daerah yang dilakukan oleh guru; (iii) menyusun paket soal USBN yang sebanyak 75%-80% dilakukan oleh guru melalui wadah MGMP dan LPMP, dan sisanya dikembangkan oleh Pemerintah Pusat; dan (iv) sejak dialihkannya UN menjadi USBN, penilaian eksternal oleh Pemerintah tetap dibutuhkan dengan metode survei guna mengetahui pencapaian kompetensi lulusan secara nasional untuk siswa kelas IX dan XII. ***** Narasumber : 1. Nur Berlian Venus Ali, MSE (Peneliti Madya pada Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) 2. Dr. Etty Sisdiana (Perekayasa Utama pada Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) 3. Dr. Mahdiansyah, M.A (Peneliti Madya pada Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) 4. Dra. Yenny Sukhriani, M.Ed (Guru SMA Negeri 70 Jakarta, Ketua MGMP DKI Jakarta) Sumber Referensi : - Studi “Memperkuat Pendidikan Kebhinekaan pada Satuan Pendidikan Menengah” oleh Nur Berlian Venus Ali (Peneliti Madya pada Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan) - Studi “Pelatihan K-2013 oleh Instruktur Kabupaten/Kota kepada Guru Sasaran”, Etty Sisdiana (Perekayasa Utama pada Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan) - Studi “Penguatan Sistem Penilaian Hasil Belajar Melalui Peningkatan Kompetensi Guru”, Mahdiansyah (Peneliti Madya pada Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan)
8