SENI DAN PARADIGMA ABAD 21 Prof.Dr. BambangSugiharto Kalautahun 90an orang terkecoh oleh kontroversi istilah “Postmodernisme”, kini di abad 21 kita sadar bahwa itu hanyalah awal dari perubahan paradigmatic lebih mendasar dan lebih besar lagi, yang –lepas dari pro-kontra- memang tengah berlangsung di segala bidang secara tak terelakkan. Keradikalan perubahannya setara dengan perubahan dari pra modern ke modern. Milenium baru memang awal dari sebuah era baru dengan pola persepsi, hubungan sosial, tata nilai dan worldview baru.Dunia seni tak terkecuali, tak mungkin mengelak dari gelagat ini. ‘Sistem” danParadigma “Jejaring” Yang menarik pada era ini adalah bahwa aneka sistem yang dulu merupakan pilar-pilar kinerja modernitas, di penghujung abad 20 akhirnya terdekonstruksi, dan sisi-sisi fiktifnya terbongkar. Sistem-sistem terbongkar pertama oleh dinamika reflektivitas dan otokritiknya sendiri.Artinya, baik system ideologi, budaya, sains, atau pun agama, didekonstruksi oleh orangdalam sendiri.Kedua, mereka juga terdekonstruksi oleh munculnya berbagai gejala ‘anomali’ yang tak bias lagi dikelola oleh sistem-sistem itu sendiri. Di sisi lain, temuan-temuan dari berbagai disiplin ilmu dan filsafat kinipun melihat ‘sistem’ secara lain. Andai seluruh realitas dilihat sebagai terdiri dari bermacam ‘sistem’, pemikiran mengenai system kini sungguh berubah.Dari Filsafat, hingga ilmu-ilmu empiric macam Fisika, Mikrobiologi, Neuroscience sampai Teori Komunikasi, mereka kini tidak lagi memahami realitas dari sisi dualism ataupun monisme, melainkan dari sudut relasi kreatif bertegangan antara tatanan (order) dan kekacauan (chaos), identitas dan perbedaan, entropi dan negentropi (negative entropy), equilibrium dan disequilibrium. Konsekuensi dari perubahan paradigmatic itu antara lain adalah, realitas kini cenderung dilihat sebagai bersifat paradoksal. Perspektif pandangnya tidak lagi “either-or”:ini atau itu; melainkan “both-and” :ini sekaligus itu. Maka system dilihat sebagai sesuatu yang tertutup sekaligus terbuka; mandiri sekaligus saling tergantung; plural sekaligus integral; orderly sekaligus chaotic.Aneka system saling terkait dalam jejaring, web, network.Kinerjanya 1
relasional, “coopetition”, yakni kooperasi serentak kompetisi.Bekerjasama dalam koordinasi aktivitas, sekaligus saling bersaing dalam hal kualitas. Dalam relasionalitas jejaring yang dinamis itu ,hakekat sesuatu juga tak lagi bias terlalu dipasti-pastikan atau ditetapkan. Artinya misalnya, budaya macam apa “Jawa” itu bias selalu berubah-ubah tergantung dalam bandingan dengan budaya dan konteks mana atau pertanyaan apa ia dilihat. Dari sisi tertentu memang budaya Jawa ditandai sikap serba halus; namun di sisi lain sejarah Jawa pun ditandai dengan kekerasan dan pertumpahan darah mengerikan. Kecenderungan sikap lamban pada budaya Jawa umpamanya, dari konteks tertentu bias dilihat sebagai inefisiensi; namun dalam hubungan atau konteks lain bias juga dilihat sebagai kesabaran. Maka kata ‘adalah’ kini menjadi terlalu keras.Segala sesuatu kini ‘menjadi’ (becoming);menjadi sesuatu dalam kaitan dengan yang lain atau dalam konteks tertentu. Tiap system akan mengalami siklus kreatif seperti di bawah ini. Melalui siklus ini ‘sistem’diperbaharui/diubah lagi setiap kali.
e n t r o p y System /order absolutized Complexity/noise Schemata New Emergence Chaos n e g e n t r o p y ( Inspirasi dari E.Schrödinger, S.Kauffman, I. Prigogine, L. Margulis, H. Maturana, Capra, dll) Seni sebagai “sistem” Sebagai ‘sistem’, seni pun mengalami hal yang sama. Seni telah terdekonstruksi, pertama, oleh dinamika reflektivitasnya sendiri. Sepanjang periode modern dunia seni telah merenungi hakekat dirinya dan mengubah-ubah definisinya terus menerus dalam kaitannya dengan problem persepsi, medium, medan social maupun hakekat kesenimanan itu sendiri. Dari sana telah lahir demikian banyak mazhab yang saling mengoreksi satu sama lain sampai akhirnya membubarkan segala pemikiran itu sendiri –“the End of Art” (Danto, Kosuth, Burgin). Kedua, seni juga didekonstruksi oleh munculnya berbagai fenomena ‘anomali’ seperti 2
meriapnya karya-karya amatir yang signifikan, berbagai gerakan seni populis, aktivitas-aktivitas interdisipliner ataupun intradisipliner, bentuk-bentuk seni sebagai gerakan sosial, seni sebagai bagian dari strategi perancangan kota, dsb. Ketiga,dunia seni terdekonstruksi juga oleh berubahnya peta Geo-kultur. Barat kini bukan lagi satu-satunya pusat dunia seni.Dalam dunia jejaring kini ada banyak pusat
(polisentris), dan pusat itu bergeser-geser, tergantung
konteksnya. Dalam konteks tertentu Tiongkok, Jepang, Singapur atau Korea misalnya bias menjadi pusat gerakan seni-rupa yang signifikan; persis seperti Jember yang secara aneh tibatiba menjadi salah satu pusat karnaval dunia. Dari proses di atas itu, maka kini seni nampaknya ditandai karakter-karakter berikut :pertama, multikultur/multiestetik. Terutama sejak munculnya gerakan pasca-kolonial, dan bersama hilangnya sekat-sekat akibat interaksi global, kini dunia seni sangat terbuka tehadap beragam kerangka ‘estetika’ kulturlokal. Sementara pengaruh tendensi modern internasional pun tak terelakkan.Akibatnya kecenderungan hibridisasi menjadi kelaziman, bahkan sering kali merupakan strategi melawan bentuk-bentuk polarisasi (Barat-Timur, Modern-Primitif, dsb). Kedua,seni makin terintegrasi dengan kehidupan.Hampir segala bidang kehidupan kini berkomunikasi menggunakan daya sentuh rasa dan imajinasi ;mengelola diri dengan memanfaatkan pesona imaji,: imaji nada, kata, gerak, terutama imaji rupa. Kultur sekarang telah bergerak dari para digma tekstual ke paradigm imajerial (imagologi).Seni masuk dalam segala bidang kehidupan dan muncul dalam aneka bentuk yang teramat berragam.Alhasil tujuan seni pun menjadi berragam.Seni bias berfungsi apa pun –seperti di era pra modern dahulu: Dari sekedar dekorasi, hiburan, kejutan, hingga yg paling serius : berkontemplasi, mengkonstruksi persepsi, mengubah suara hati, mencipta relasi baru, membentuk identitas, membuka kemungkinan baru bagi sains dan teknologi, merenungkan dampak iptek dsb. Dengan situasi ini praktis sekat antara ‘seni tinggi’ (high-brow art) dan ‘seni-rendahan’ (low-brow art) saling terbuka berinteraksi.Keduanya saling berkelin dan saling menginspirasi satu sama lain, kendati masing-masing tetap berbeda dan otonom juga, sebab tujuannya memang tak sama. Ketiga, seni nampaknya kini tidak lagi cerewet mempersoalkan kecermatan definisi konseptualnya lagi, melainkan lebih berfokus pada ‘pengalaman’ (erlebnis) dan ‘kesadaran’ yang ditimbulkannya. Di era modern seni telah demikian repot dengan pendefinisian dirinya: mana yang betul-betul ‘seni murni’ mana yang ‘kitsch’, mana yang sekedar ‘pop’, dsb. Kini 3
fokusnya bukan lagi “What art means”, melainkan “what art does”: seni itu berefek atau berdampak apa pada sensasi, pengalaman batin, dan kesadaran kita. Keempat,
ada
kecenderungan
kuat
ke
arah
intradisipliner
maupun
interdisipliner.Bidang-bidang seni yang berbeda kini saling berinteraksi ketat. Orang cenderung tak lagi peduli karyanya mau disebut patung, lukisan, instalasi atau apa pun. Kini kecenderungannya menjadi multimedia atau intermedia.Bahkan kian lazim juga interaksi antara seni dengan disiplin ilmu lain -melalui riset-riset- seperti dengan sejarah, ekologi, biologi, hukum, komunikasi, politik, dsb. Kelima, bahkan ‘seni’ rupanya kini cenderung dilihat sebagai paradigm utama dalam memahami berbagai kiprah dan proses banyak bidang dalam kehidupan. Ada tendensi bahwa proses-proses pada bidang sains, teknologi, ekonomi, hukum, politik, bahkan agama, misalnya,tak lagi dilihat sebagai proses mekanis, melainkan lebih tepat dipahami sebagai proses kreatif-imajinatif, proses ‘autopoietic’ ( H. Maturana, F.Varela, F.Capra, I.Prigogine, Mark.C.Taylor, D.Bohm, C.Shannon, L.Margulis, dsb). Baik Fisika (T. Quantum, T. Chaos, T. Kompleksitas ), Mikrobiologi, Neuroscience, Komunikasi, dsb. Ternyata menemukan kecenderungan arah yang serupa: sentralnya peran kreativitas dan ‘autocatalysis’ pada tingkat selular, atomik, bahkan subatomik; proses kreatif autopoietik yang tak sepenuhnya tertebak. Terutama ketika kini budaya didominasi “kultur-imaji”, praktis seni rupa khususnya, menjadiparadigm utama pula. Demikian, pernyataan “the end of art” di akhir abad 20, secara paradoksal rupanya hanya mengantar pada realitas lebih radikal di abad 21: bahwa “everything is art” . Ini seperti analog dengan omongan Derrida :” Barat sudah tak ada lagi, karena semua sudah menjadi Barat”; juga pernyataan Joseph Beuys “everyone is an artist”.
Kepustakaan David Bennett (ed), Multicultural States (London: Routledge, 1998) Hal Foster (ed), The Anti-Aesthetic (Port Townsend: Bay Press, 1983) J.Casti et al (ed) Art and Complexity (Amsterdam: Elsevier, 2003) Katya Mandoki, Everyday Aesthetics (Hampshire: AshgatePublishing Limited, 2007) Mark C. Taylor, After God (Chicago: The University of Chicago Press, 2007) 4
Mark Turner (ed), The Artful Mind (Oxford: Oxford University Press, 2006) MichioKaku, The Future of The Mind (New York: Doubleday, 2014) Nicolas Bourriaud, Relational Aesthetics (Les presses du reel, 2002) Stuart Sim, Beyond Aesthetics (New York : Harvester Wheatsheaf, 1992)
5