Menyoal Anggaran Pertahanan1 Oleh J. Danang Widoyoko2
Beberapa waktu yang lalu, tak lama setelah Juwono Sudarsono dilantik menjadi Menteri Pertahanan, terlontar usul untuk menaikkan anggaran pertahanan dalam APBN 2005. Dari rencana anggaran sebesar Rp. 22,01 triliun menjadi sekitar Rp. 46 triliun. Memang anggaran yang disediakan oleh pemerintah relatif kecil. Dibandingkan dengan total belanja pemerintah dalam APBN 2005 yang mencapai Rp. 264,88 triliun, anggaran pertahanan hanya sekitar 5,58% saja. Dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2005 yang diperkirakan sebesar Rp. 2.190,79 trilun, anggaran pertahanan hanya 1%. Kenaikan anggaran yang diusulkan oleh Menhan berarti menaikkan anggaran mencapai 2% dari Produk Domestik Bruto (PDB)3. Angka PDB tersebut dengan basis perhitungan PDB tahun 1993. Bila basis perhitungan digeser tahun 2000 seperti direncanakan pada tahun 2005, maka anggaran pertahanan hanya mencapai 0,6% saja. Pertanyaan penting yang perlu dimunculkan, bagaimana sebenarnya proses budgeting anggaran pertahanan? Jika anggaran pertahanan dinaikkan, apa konsekuensinya bagi sektor lain? Lalu, alternatif kebijakan apa yang bisa dilakukan bila sumber daya yang ada tidak memadai untuk menaikkan anggaran? Anggaran negara Anggaran pada dasarnya merupakan bentuk dari kebijakan pemerintah yang tertuang dalam besaran angka dan berlaku untuk jangka waktu tertentu. Pembagian anggaran berdasarkan jangka waktu tertentu, misalnya satu tahun, merupakan implikasi dari keterbatasan sumber daya yang dapat dihasilkan pada waktu yang sama. Karena itu, dalam setiap kebijakan pemerintah, selalu dirumuskan target jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Para peneliti IDEA merumuskan anggaran sebagai pernyataan tentang perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan terjadi dalam sebuah rentang waktu tertentu di masa yang akan datang serta realisasinya di masa yang lalu. Rumusan tersebut dibangun berdasarkan pengalaman yang lazim dilakukan dalam proses penganggaran(Basjir, dkk, 2002: 10). Pertama, menentukan kapan dan kebutuhan apa yang akan dipenuhi lebih dulu dengan jumlah uang yang tersedia. Karena itu dalam proses perencanaan, adanya kejelasan rencana jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang sangat diperlukan. Kedua, pembagian target berdasarkan waktu tersebut dibutuhkan untuk disesuaikan dengan pendapatan pada masa tertentu. Berdasarkan perkiraan yang realistis, uang yang dikumpulkan tidak mencukupi seluruh kebutuhan, maka yang kemudian dilakukan adalah menetapkan kebutuhan apa yang akan dibiayai terlebih dahulu dan kebutuhan apa yang dapat ditunda untuk dibiayai pada jangka waktu berikutnya. Ketiga, menyesuaikan tempo pemenuhan kebutuhan berdasarkan pendapatan pada jangka waktu yang sama. Hal ini penting karena seringkali ada perubahan atas besarnya pendapatan dan pengeluaran. Seperti saat ini, ketika harga minyak melambung di atas US$50 per barrel. Diperkirakan, negara harus mengalokasikan subsidi untuk menekan harga minyak sebesar Rp. 60 triliun per tahun. Padahal pada saat yang sama, kenaikan harga minyak turut menekan tingkat 1
Makalah untuk Workshop Reformasi Sektor Pertahanan Imparsial di Jakarta 25-29 April 2005. Penulis adalah Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch. Penulis berterima kasih kepada Febri “Katonk” Hendri yang membantu melakukan analisis statistik. 3 PDB merupakan nilai barang dan jasa yang diproduksi di dalam negara dalam satu tahun tertentu. Lihat Sukirno, 2003. 2
1
pendapatan masyarakat dan pada gilirannya, secara teoritis, akan mengurangi pajak yang dipungut oleh negara. Karena itu, proyek yang membutuhkan dana besar akan dikerjakan sebagian atau digeser pada tahun anggaran berikutnya. Selain penjabaran kebijakan pemerintah, anggaran juga mempunyai fungsi lain dalam ranah kebijakan fiskal dan manajemen pemerintah. Pada ranah fiskal, anggaran berfungsi, pertama, sebagai instrumen kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk membuat perubahan dalam bidang perpajakan dan pengeluaran pemerintah dengan maksud meningkatkan pengeluaran agregat dalam perekonomian. Peningkatan agregat diharapkan dapat menaikkan pendapatan nasional dan tingkat penggunaan tenaga kerja sehingga pada saat yang sama dapat menekan tingkat pengangguran dan meningkatkan pendapatan (Sukirno, 2003). Instrumen fiskal seperti ini hanya dapat dilakukan oleh pemerintah melalui pengelolaan anggaran. Kedua, fungsi distribusi. Melalui anggaran, pemerintah dapat mengimplementasikan pemerataan untuk mengurangi kesenjangan antar kelas, antar wilayah dan antar sektor. Dalam fungsi distribusi, tugas pemerintah untuk menciptakan keadilan sosial menemukan tempatnya. Pemerintah bisa dianggap tidak adil, seperti pengalaman pada pemerintahan lalu, yang memusatkan pembangunan infrastruktur di Jawa sehingga mengakibatkan kesenjangan dengan daerah di luar Jawa. Atau pemerintah dianggap tidak benar ketika memberikan berbagai fasilitas dan subsidi kepada kelompok-kelompok bisnis tertentu. Ketiga, fungsi stabilisasi. Bila terjadi perubahan harga yang sangat ekstrim, pemerintah dapat menggunakan anggaran untuk stabilisasi harga. Contoh yang relevan adalah subsidi harga bahan bakar minyak. Kenaikan harga yang sangat ekstrim di pasar dunia menekan daya beli masyarakat. Bahkan dalam beberapa kejadian, mendorong peningkatan angka kemiskinan. Melalui subsidi yang dialokasikan dalam anggaran, pemerintah dapat menstabilkan harga bahan bakar di dalam negeri. Tidak hanya untuk melindungi rakyat dari tekanan ekonomi yang mendadak, tetapi secara keseluruhan juga bisa melindungi perekonomian dalam negeri. Pada ranah manajerial, anggaran berfungsi pertama, memberi pedoman bagi pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya pada periode sekarang maupun yang akan datang. Anggaran memberi arah kepada pemerintah, apa kebutuhan yang perlu dipenuhi dengan segera dan kebutuhan apa yang bisa ditunda untuk masa yang akan datang. Dengan anggaran pula, meskipun pemerintah berganti, alokasinya tidak akan berbeda jauh karena pada anggaran telah dimasukkan pula perkiraan belanja dan pendapatan pada masa tertentu. Kedua, sebagai alat kontrol kebijakan. Dalam anggaran, salah satu aspek yang diperhitungkan adalah pencapaian. Dengan anggaran, pencapaian suatu program dapat diukur. Bila output yang diharapkan belum tercapai, diperlukan intervensi lanjutan yang salah satunya dilakukan melalui anggaran. Ketiga, sebagai produk politik. Dalam realitas, anggaran tertuang dalam bentuk peraturan, baik undang-undang pada tingkat pemerintah pusat maupun peraturan daerah pada tingkat kabupaten/kota/propinsi. Di belakang anggaran sebagai produk hukum, yang terjadi adalah proses politik antara eksekutif dan legislatif untuk merumuskannya bersama-sama. Keterlibatan legislatif yang mewakili rakyat dalam penganggaran menunjukkan rakyat terlibat dalam proses penganggaran. Dalam konteks keterlibatan rakyat, membahas anggaran pertahanan menjadi sangat relevan. Karena pada dasarnya, pertahanan adalah pelayanan publik yang harus diberikan oleh pemerintah kepada rakyat untuk memberikan rasa aman. Terutama rasa aman dari serbuan dan penindasan bangsa asing. Penyelenggara pelayanan publik di sektor pertahanan adalah militer. Sebagai instrumen, kinerja yang menjadi tujuan utama keberadaan militer apakah TNI mampu memberikan rasa aman kepada rakyat. Bila faktanya kemudian justru kehadiran TNI justru menimbulkan ketakutan, kinerjanya dalam perspektif pelayanan publik perlu dipertanyakan. Bahkan yang
2
terjadi justru anggaran tak sampai bila militer yang dibiayai terutama melalui pajak ternyata malah menghadirkan ketakutan bagi rakyat. Lalu bagaimana anggaran dibuat? Proses pembuatan anggaran mencakup tiga tahap utama, perencanaan, pelaksanaan dan pemeriksaan. Seluruh proses tersebut dilaksanakan secara serempak oleh seluruh departemen mengikuti siklus tertentu. Pertama-tama, perencanaan anggaran mengacu pada Garis Besar Haluan Negara yang kemudian diturunkan berupa Program Pembangunan Nasional (Propenas). Selanjutnya, Propenas yang merupakan program jangka menengah dan berlaku 5 tahun, diturunkan dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta). Proses perencanaan anggaran memakan waktu enam bulan. Pada bulan Januari, Menteri Keuangan akan mengirimkan Surat Edaran ke seluruh departemen berupa Daftar Usulan Proyek/Kegiatan. Kemudian, pada bulan Mei, pemerintah pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro kepada DPR. Selanjutnya, pada bulan Agustus, pemerintah pusat harus mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang disertai dengan nota keuangan dan dokumen pendukung. Bersama pemerintah, DPR kemudian membahas RAPBN yang diajukan oleh pemerintah. Selambat-lambatnya dua bulan atau pada Oktober RAPBN disahkan menjadi APBN. Tahun anggaran mulai Januari dan berakhir Desember. Ketika APBN disahkan, Daftar Usulan Proyek/Kegiatan menjadi Daftar Isian Proyek/Kegiatan. Daftar ini yang kemudian dipergunakan oleh Bendahara Departemen untuk meminta mencairkan anggaran di Departemen Keuangan. Pada bulan Juli tahun anggaran berjalan, pemerintah pusat menyusun realisasi laporan 6 bulan berjalan dan prognosis 6 bulan berikutnya. Pada saat ini, pemerintah pusat bisa mengajukan perubahan APBN. Perubahan ini ada syaratnya sebagai berikut (UU No. 17/2000 Pasal 27) •
Ada perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal.
•
Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN.
•
Keadaan yang menyebabkan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antara kegiatan dan antara jenis belanja.
•
Keadaan yang menyebabkan sisa anggaran tahun sebelumnya dipergunakan untuk membiayai anggaran berjalan.
6 Bulan setelah tahun anggaran berakhir, Presiden harus memasukkan rancangan undangundang tentang laporan pertanggungjawaban keuangan negara yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Jadi, 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir merupakan tahap pengawasan untuk memastikan anggaran tidak diselewengkan dan memenuhi target yang telah ditetapkan. Selain anggaran dari APBN, TNI seperti halnya departemen sipil lainnya, bisa menggunakan sisa anggaran tahun sebelumnya. Hal ini bahkan dimungkinkan dengan penerapan anggaran kinerja seperti yang mulai diberlakukan pada tahun anggaran 2005. Pada anggaran berimbang, seluruh anggaran yang telah dialokasikan harus dihabiskan. Tetapi dengan anggaran kinerja, yang menjadi ukuran adalah pencapaian kinerja. Karena itu, sisa anggaran tahun sebelumnya atau dalam istilah Departemen Pertahanan dikenal dengan anggaran suplisi bisa dipergunakan. Perbandingan anggaran beberapa negara Bagaimana sebetulnya perbandingan antara anggaran pertahanan Indonesia dengan negara lain, terutama negara tetangga? Tabel di bawah ini menunjukkan perbandingan persentase anggaran pertahanan dibandingkan dengan PDB.
3
Tabel 1. Perbandingan anggaran pertahanan dibandingkan PDB di beberapa negara Tahun
Indonesia Malaysia
Thailand
Australia
Singapore Brunei
India
China
Philipina
1988
2
2.4
2.7
2.2
4.8
..
3.1
..
1.5
1989
1.8
2.6
2.4
2.1
4.7
..
2.9
2.8
1.4
1990
1.8
2.6
2.3
2.1
4.9
..
2.7
2.7
1.4
1991
1.7
3.2
2.3
2.2
4.7
6.7
2.5
2.5
1.3
1992
1.7
3
2.3
2.2
4.7
6.5
2.3
2.7
1.3
1993
1.6
2.9
2.4
2.2
4.3
6
2.4
2.1
1.4
1994
1.6
2.8
2.2
2.1
4
6.3
2.3
1.9
1.4
1995
1.6
2.8
2.1
2
4.4
5.7
2.2
1.8
1.4
1996
1.6
2.4
2.1
1.9
4.4
6.4
2.1
1.8
1.4
1997
1.3
2.1
2.1
1.9
4.7
7.3
2.2
1.7
1.2
1998
1.1
1.6
2.1
1.9
5.5
9.4
2.2
1.9
1.2
1999
0.9
2.1
1.8
1.9
5.5
7.3
2.3
2
1.1
2000
1.1
1.7
1.5
1.8
4.7
6.5
2.3
2
1.1
2001
1.1
2.2
1.4
1.9
5.1
7.6
2.3
2.2
1
2002
1.2
2.4
1.4
1.9
5.2
7
2.3
2.5
1
Sumber: Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) Brunei adalah negara yang mengalokasikan persentase anggaran berbanding PDB terbesar. Bahkan pada tahun 1998, Brunei mengalokasikan 9,4% dari PDB untuk anggaran pertahanan. Demikian juga halnya dengan Singapura. Alokasi anggaran pertahanan sangat besar dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Tahun 1998, Singapura mengalokasikan 5,5% dari PDB untuk pertahanan. Alokasi pertahanan yang besar dapat dipahami karena sebagai negara yang kaya, kedua negara tersebut sangat kecil dibandingkan dengan tetangganya seperti Indonesia. Sementara negara-negara lain relatif seimbang. Tetapi Indonesia dan Filipina yang hanya mengalokasikan anggarang pertahanan pada kisaran 1% dari PDB. Sementara Thailand, Malaysia, Australia, India dan China mengalokasikan 2%-3% dari PDB untuk pertahanan. Dari data SIPRI, saya juga mencoba membuat analisis korelasi. Hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Korelasi anggaran pertahanan beberapa negara Negara Indonesia
Indonesia
Malaysia
Thailand
Australia
Singapore
Brunei
India
China
Malaysia
0.62062 **
1.0000
Thailand
0.56581 **
0.1415
1.0000
Australia
0.1495
0.76389 **
-0.3467
1.0000
Singapore
0.2140
0.6656 **
-0.0979
0.86781 **
1.0000
Brunei
-0.1396
-0.3951
0.46114 *
-0.46716 *
-0.1750
1.0000
India
0.0674
0.62034 **
-0.44804 *
0.93342 **
0.89285 **
-0.44998 *
1.0000
China
0.2237
0.77601 **
-0.3732
0.96759 **
0.86183 **
-0.43723 *
0.92363 **
1.0000
0.5297 **
0.50124 **
0.1773
0.4491 *
0.50993 **
-0.3409
0.50062 **
0.4178
Philipina Ket.
Philipina
1.0000
1.0000
* ) Tingkat signifikansi 90.00 % ** ) Tingkat sginifikansi 95.00 %
Hasilnya ternyata sangat menarik. China dan India sejak tahun 1988 telah berlomba dalam anggaran pertahanan. Hasil analisis menunjukkan korelasi yang tinggi. Ini artinya, setiap kenaikan anggaran pertahanan oleh China akan diimbangi oleh penambahan anggaran oleh India. Demikian juga sebaliknya, pengurangan anggaran China akan diikuti dengan pengurangan
4
anggaran pertahanan India. Dari sisi anggaran, tanpa menghitung budget Armada VII Amerika di Hawaii, dua negara besar ini berkompetisi menjadi super power di Asia. Analisis korelasi di atas juga menunjukkan, Indonesia dengan Malaysia dan Thailand menunjukkan korelasi positif dengan signifikansi yang sangat tinggi. Indonesia akan meningkatkan anggaran pertahanan bila Malaysia dan Thailand menambah alokasinya. Demikian juga sebaliknya. Menarik untuk dicermati adalah Singapura. Negara pulau yang melengkapi pertahanan dengan peralatan tempur modern ini menunjukkan korelasi positif dengan signifikansi tinggi dengan China, India dan Australia. Anggaran pertahanan Singapura akan bertambah bila ketiga negara itu meningkatkan pertahanannya. Kemudian bagaimana sesungguhnya perbandingan kekuatan riil negara-negara di kawasan Asia Tenggara? Tabel di bawah ini menunjukkan perbandingan kekuatan perang dalam hal jumlah personel, kapal perang, pesawat tempur, helikopter dan tank serta kendaraan bersenjata lainnya. Tabel 3. Perbandingan kekuatan beberapa negara Kekuatan Jumlah personel - Angkatan Darat - Angkatan Laut - Angkatan Udara - Marinir Pesawat tempur (berbagai jenis) Helikopter Kapal Perang (berbagai jenis) Tank Berat Tank ringan dan kendaraan bersenjata
Indonesia Thailand 230,000 28,000 27,000 12,000 90 17 158 1,197
190,000 5,000 48,000 18,000 230 11 168 283 1,728
Malaysia Singapore Australia Philippines 80,000 12,000 8,000 95 6 165 1,236
50,000 4,500 6,000 126 28 71 90 2,014
25,150 12,570 13,200 156 41 62 71 546
66,000 16,500 16,000 7500 50 67 105 604
Sumber: Cordesman, 2003. Dari perbandingan data di atas sesungguhnya Indonesia tidak terlalu ketinggalan dibandingkan dengan negara lain. Bahkan dalam aspek pesawat tempur misalnya, Indonesia jauh lebih canggih dibandingkan Filipina. Bayangkan, Filipina hanya mempunyai pesawat bekas perang Vietnam seperti F-5 Tiger dan OV-10 Bronco. Tabel di atas juga belum mencerminkan kesiapan dari masing-masing peralatan tempur serta persenjataan yang dibawa. Dalam jumlah kapal misalnya, Indonesia memiliki lebih banyak dibandingkan dengan Singapura atau Australia. Tetapi bisa jadi kenyataannya kapal perang Australia dapat dipergunakan setiap saat sementara Indonesia beberapa diantaranya hanya bisa berlayar dalam jarak yang terbatas. Pertahanan vs Pendidikan - Kesehatan Kecilnya anggaran pertahanan Indonesia serta kondisi berbagai peralatan yang telah tua, mendorong munculnya gagasan untuk menaikkan anggaran militer. Bahkan beberapa waktu yang lalu sempat terlontar, bahwa hanya 30% kebutuhan militer yang didanai oleh APBN. Perhitungan yang sebetulnya dimaksudkan untuk mendesak penambahan anggaran justru menimbulkan salah persepsi, 70% sisanya ditutup dari berbagai kegiatan bisnis tentara. Tetapi sebelum menyatakan setuju untuk meningkatkan anggaran pertahanan, ada faktorfaktor lain yang harus diperhatikan untuk tidak menyetujui anggaran yang diperlukan untuk membangun kekuatan pertahanan yang memadai hingga saat ini.
5
Pertama, kondisi keuangan pemerintah yang terbatas. Dari nota keuangan yang disampaikan oleh pemerintahan lama, APBN 2005 mengalami defisit sebesar 0,8% dari PDB. Ini menunjukkan bahwa belanja pemerintah lebih besar daripada penerimaan. Itu pun belum memperhitungkan kenaikan harga minyak dunia yang saat ini harganya lebih dari Rp.50 dolar per barel. APBN 2005 yang diusulkan hanya mengasumsikan harga minyak Rp. 35 dolar per barel. Dari sisi penerimaan, sebagian besar pendapatan pemerintah, yaitu mencapai 79% didapat dari berbagai macam pajak yang dibebankan kepada rakyat. Sedangkan penerimaan negara bukan pajak cenderung akan semakin menurun dalam tahun-tahun mendatang. Terutama karena pemasukan dari privatisasi BUMN akan berkurang setelah sejumlah BUMN telah dilego dan aset sisa BPPN yang kini dikelola oleh PPA semakin kecil nilainya. Penerimaan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) juga akan berkurang seiring dengan menipisnya hutan di Indonesia. Prioritas pertama yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi tekanan terhadap APBN adalah dengan menaikkan harga BBM. Tetapi ini bukan kebijakan populer dan akan mengundang demonstrasi dari berbagai kelompok masyarakat. Diperkirakan, bila harga BBM tidak dinaikkan, kenaikannya tidak akan terlalu tinggi atau diimbangi dengan subsidi langsung yang besar. Situasi ini memberatkan keuangan negara sehingga peningkatan anggaran pertahanan sulit direalisasikan karena keterbatasan dana. Kedua, peningkatan anggaran pertahanan bisa menjadi kontraproduktif dengan program ekonomi pemerintah untuk meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi. Salah satu persyaratan untuk meningkatkan pertumbuhan adalah dengan meningkatkan investasi dan jumlah tabungan swasta dan masyarakat. Padahal secara teoritis, peningkatan anggaran pertahanan melalui peningkatan pajak akan menyebabkan turunnya kemampuan menabung dan perusahaan swasta akan kekurangan modal untuk investasi (Chan, 1985 dalam Heo, 1999). Alternatif selain peningkatan pajak, pemerintah dapat meminjam. Baik dengan pinjaman luar negeri atau menerbitkan surat utang negara. Utang luar negeri jelas bukan tindakan yang sesuai karena semangat yang diusung sekarang adalah bagaimana mengurangi beban utang, atau minimal penjadwalan kembali utang-utang luar negeri yang sudah jatuh tempo. Sedangkan utang dalam negeri bisa menaikkan tingkat suku bunga dan menimbulkan kelangkaan di pasar uang. Dengan kata lain, peningkatan belanja pertahanan melalui pinjaman justru merugikan karena pinjaman itu bisa dipergunakan untuk investasi di sektor produktif. Investasi akan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar internasional, baik dalam harga maupun kualitas. Karena itu, dalam jangka panjang, peningkatan anggaran pertahanan justru akan menurunkan daya saing perekonomian Indonesia secara keseluruhan (Chan, 1987 dalam Heo, 1999). Ketiga, tidak ada kontribusi secara langsung antara peningkatan anggaran pertahanan dan pertumbuhan ekonomi. Belanja pertahanan oleh beberapa pengamat dan peneliti dipandang dapat memberikan manfaat secara tidak langsung kepada perekonomian negara. Seperti yang terjadi saat ini di Amerika. Perang di Iraq dan Afghanistan justru mendorong pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Amerika dan juga Eropa. Tetapi hal ini terjadi karena peningkatan anggaran pertahanan, salah satunya dalam bentuk investasi pada industri persenjataan. Dengan demikian, perang justru meningkatkan produksi pabrik-pabrik senjata, menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak dan pada akhirnya mendorong sektor lain turut berkembang. Kondisi di atas tidak terjadi di Indonesia. Sektor pertahanan di Indonesia belum bisa diharapkan memberi kontribusi bagi perekonomian. Industri pertahanan di Indonesia juga belum mampu memberikan keuntungan. Dengan demikian, kenaikan anggaran pertahanan berarti hanya meningkatkan belanja tanpa disertai tingkat pengembalian yang memadai. Apakah negara ini sudah tidak aman lagi dan harus menghadapi banyak ancaman sehingga harus dialokasikan dana pertahanan dan keamanan hingga Rp. 33,84 triliun?4 4
Angka ini diperoleh dari penjumlahan anggaran pertahanan dan anggaran untuk kepolisian.
6
Untuk memenuhi aspek keadilan, seharusnya alokasi terbesar diberikan dalam bentuk pelayanan publik ke masyarakat atau dialokasikan ke sektor yang dapat memberikan efek multiplier bagi pertumbuhan ekonomi. Bagaimana sebetulnya alokasi anggaran pertahanan dibandingkan dengan sektor lain, terutama pendidikan dan kesehatan? Grafik di bawah ini menunjukkan persentase kenaikan dan penurunan anggaran pertahanan, pendidikan, kesehatan dan jumlah total APBN. Grafik 1. Persentase kenaikan/penurunan anggaran 1999 – 2005. 2 0 0 .0 0
1 5 0 .0 0
1 0 0 .0 0
5 0 .0 0
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
(5 0 .0 0 )
(1 0 0 .0 0 ) P e rta h a n a n
P e n d id ik a n
K e s e h a ta n
APBN
Dari gambar di atas, penurunan anggaran terjadi pada tahun 2000. Sebetulnya yang terjadi bukan penurunan, tetapi Presiden Abdurrahman Wahid menggeser tahun anggaran pada tahun 2000, dari Maret – April menjadi Januari – Desember. Karena itu, anggaran pada tahun 2000 sebetulnya anggaran pemerintah untuk 8 bulan saja sehingga jumlahnya menurun dibandingkan anggaran tahun sebelumnya dan meningkat drastis pada tahun berikutnya. Yang menarik, tahun 2004 anggaran pertahanan meningkat jauh di atas anggaran pendidikan dan kesehatan. Bisa diperkirakan, peningkatan anggaran tersebut didorong oleh biaya operasi militer di Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk lebih jelasnya, lihat Grafik 2 di bawah ini menunjukkan persentase anggaran pendidikan, kesehatan dan pertahanan dibandingkan dengan APBN.
7
Grafik 2. Persentase anggaran pertahanan, kesehatan dan pendidikan terhadap APBN.
9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 2005
2004
2003
Pertahanan
2002 Pendidikan
2001
2000
1999
Kesehatan
Tahun 2004 – 2005, anggaran pertahanan di atas anggaran pendidikan. Peningkatan yang cukup besar terjadi pada tahun 2004. Sementara itu, alokasi untuk kesehatan jauh di bawah kesehatan dan pendidikan. Salah satu beban yang belum dapat direalisasikan oleh pemerintah adalah ketentuan anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari APBN sesuai amanat konstitusi. Anggaran pendidikan dalam RAPBN 2005 hanya Rp. 25,71 triliun atau hanya 9,7% dari APBN. Seharusnya untuk memenuhi ketentuan konstitusi, alokasi anggaran pendidikan harus mencapai Rp. 52,97 triliun atau dua kali lipat anggaran yang dialokasikan pada RAPBN 2005. Menteri Pendidikan Nasional pada pemerintahan lalu, Malik Fajar merencanakan untuk memenuhi anggaran pendidikan 20% dari APBN pada tahun 2009. Kalau rencana ini akan diteruskan oleh Mendiknas Bambang Sudibyo, antara tahun 2006 – 2009 akan terjadi kenaikan anggaran pendidikan 2,5% dari APBN. Bukannya bersikap pesimis dan merendahkan Mendiknas, tetapi agaknya berat untuk melanjutkan gagasan Malik Fajar itu. Demikian juga halnya dengan anggaran kesehatan yang terbatas, hanya 1%-3% dari APBN 1999 – 2005. Keterbatasan anggaran ini membuat pelayanan kesehatan semakin mahal. Terutama karena pada akhirnya masyarakat yang harus menanggung sepenuhnya pengeluaran kesehatan dan pada saat yang sama masih dikenai berbagai macam pajak. Sejatinya, peningkatan anggaran pendidikan dan kesehatan berkorelasi dengan peningkatan anggaran pertahanan. Dengan meningkatkan anggaran pendidikan dan kesehatan, secara tidak langsung akan mengurangi pengeluaran personel TNI sehingga kenaikan anggaran pertahanan, khususnya belanja pegawai, bisa ditekan.
8
Tabel 4. Korelasi antara berbagai sektor Pertahanan Pendidikan Kesehatan APBN Pertahanan 1.000 Pendidikan 0.940 ** 1.000 Kesehatan 0.856 ** 0.884 ** 1.000 APBN 0.447 0.623 0.793 ** 1.000 PDB -0.382 -0.615 -0.546 -0.807 ** Ket. * ) Tingkat Signifikansi 90 % ** ) Tingkat Signifikansi 95 %
PDB
1.000
Korelasi di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya ada korelasi yang tinggi antara pertahanan dan kesehatan, dengan tingkat signifikansi yang tinggi pula. Seperti terlihat pada Grafik 2 di atas, peningkatan alokasi anggaran pendidikan juga diikuti dengan penambahan anggaran pertahanan. Sementara kesehatan dengan pendidikan dan pertahanan berkorelasi positif meskipun tidak setinggi korelasi antar pendidikan – pertahanan. Karena itu, untuk memenuhi amanat Konstitusi, harus ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk keluar dari jebakan trade-off antara pertahanan dan pendidikan. Faktor keempat yang mempengaruhi besaran anggaran pertahanan adalah tingkat ancaman. Artinya, kenaikan belanja pertahanan disebabkan karena suatu negara terancam, baik oleh serbuan negara asing maupun persoalan internal dalam negeri. Meningkatnya ancaman akan diiringi dengan peningkatan belanja pertahanan, misalnya dalam bentuk pengadaan peralatan, dukungan operasi militer atau pengerahan tenaga cadangan. Gejala ini terjadi dan dapat dilihat pada dua grafik di atas. Kenaikan anggaran pertahanan terjadi pada tahun 2004 sebagai akibat dari pembiayaan untuk Operasi Darurat Militer di Aceh. Selain itu, sisi perlengkapan dan peralatan, kondisinya sungguh menyedihkan. Terutama TNI AU dan TNI AL. Sampai saat ini sejumlah peralatan tempur produksi Amerika banyak yang tidak bisa digunakan karena suku cadangnya diembargo sejak tahun 1999 oleh Presiden Bill Clinton. Embargo tersebut dikeluarkan menyusul dugaan pelanggaran HAM yang melibatkan TNI pasca jajak pendapat di Timor Timur tahun 1999. 5 Demikian juga halnya dengan TNI AL. Selama ini mereka mengeluhkan minimnya peralatan tempur di laut. Banyak kapal yang seharusnya sudah menjadi besi tua, ternyata masih dipergunakan oleh TNI AL. Akibatnya, perairan Indonesia tidak memiliki penjagaan yang memadai. Pencurian ikan pun menjadi-jadi dan merugikan negara dan nelayan Indonesia. Terlepas dari gampangnya penjaga perairan Indonesia disuap oleh pelaku illegal fishing dan illegal logging, kita terima kondisi peralatan tempur TNI tidak memadai. Tetapi pertanyaan penting yang harus dilontarkan, untuk menangkal ancaman apa pembelian peralatan tempur diperlukan? Buku Putih Pertahanan Indonesia sebagai satu-satunya dokumen yang dapat menjadi referensi untuk menentukan tidak menyebutkan secara eksplisit ancaman berupa serangan atau invasi negara asing. Justru buku itu menyebutkan potensi ancaman berupa terorisme, gerakan separatis, aksi radikalisme, konflik komunal, kejahatan lintas negara, gangguan keamanan laut, gangguan keamanan udara, perusakan lingkungan dan bencana alam (Dephan, 2003, hal. 42). Daftar ancaman ini lebih banyak berupa ancaman non konvensional di mana Kepolisian dan TNI
5
Terlepas dari kebenaran dugaan itu, embargo dari AS sebenarnya merupakan respon dunia internasional terhadap ulah TNI sendiri. Kalau pun tidak terlibat pelanggaran HAM, minimal TNI gagal memberikan jaminan keamanan waktu itu.
9
AL lebih diharapkan peranannya. Karena itu, kalau pun dipaksakan peningkatan anggaran, alokasinya justru untuk Kepolisian atau TNI AL. Tetapi yang terjadi, justru anggaran untuk pengadaan peralatan dibelikan pesawat Sukhoi yang tidak didesain untuk menangkal ancaman non-konvensional atau menghadapi perang gerilya seperti di Nanggroe Aceh Darussalam. Sukhoi merupakan pesawat tempur canggih yang dibuat oleh Rusia untuk menandingi pesawat tempur buatan AS, seperti F-16. Tentu Sukhoi tidak banyak berguna untuk perang melawan Gerakan Aceh Merdeka, kecuali untuk sekedar menakutnakuti dengan suara yang menggelegar. Memang bila dibandingkan dengan Thailand, peralatan tempur Indonesia kalah dalam hal jumlah maupun kecanggihannya. Juga dengan Malaysia. Tetapi dengan Filipina, peralatan tempur Indonesia justru lebih modern dan lengkap. Karena itu, yang harus perlu dipertanyakan adalah militer seperti apa yang hendak dibangun oleh Departemen Pertahanan? Efisiensi anggaran Karena beratnya beban pemerintah, daripada menaikkan anggaran, adalah lebih baik untuk melakukan efisiensi. Hal ini senada dengan kebijakan pemerintah yang akan melakukan pengetatan anggaran. Menteri Keuangan Jusuf Anwar menyatakan akan menurunkan defisit anggaran sampai kisaran 1% melalui pengetatan anggaran (Kr Tempo, 29 Okt. 2004). Kebijakan di sektor keuangan ini menunjukkan hampir tidak mungkin untuk menaikkan anggaran di sektor pertahanan. Karenanya, efisiensi anggaran menjadi pilihan utama untuk meningkatkan kinerja pertahanan. Lalu di mana peluang efisiensi anggaran pertahanan? Pertama dengan memberikan alokasi anggaran yang tepat. Seperti dapat dilihat pada Lampiran 1 tentang kompilasi anggaran pertahanan, anggaran TNI AD masih menempati porsi terbesar dibandingkan angkatan lain. Program pengembangan pertahanan matra darat yang mencapai Rp. 9,052 triliun dapat dilihat sebagai anggaran untuk TNI AD. Yang perlu dipertanyakan, apakah tepat mengalokasikan anggaran yang besar untuk TNI AD? Bukankah dari perkiraan ancaman non-konvensional seperti dirumuskan oleh Buku Putih, lebih banyak menjadi tugas kepolisian dan TNI AL. Oleh sebab itu, yang perlu dilakukan oleh Menteri Pertahanan adalah penyesuaian anggaran. Terutama dengan menambah jumlah anggaran untuk TNI AL. Dengan mengalokasikan sebagian anggaran dari TNI AD untuk angkatan lain, seperti TNI AL ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh. 1). TNI AL selama ini kekurangan perlengkapan untuk menjaga perairan Indonesia. Berbagai tindak pidana seperti illegal fishing dan illegal logging menggunakan jalur laut sulit untuk diatasi oleh TNI AL yang terbatas perlengkapannya. Dengan memperkuat TNI AL, pendapatan pemerintah akan meningkat. Penguatan TNI AL akan memberikan kontribusi pada pendapatan negara secara langsung melalui pajak perdagangan, PSDH, dan sebagainya. 2). Kedua, penguatan TNI AL sesuai dengan strategi pertahanan negara kepulauan seperti Indonesia. Dengan kondisi geografis berupa kepulauan, sistem pertahanan berlapis mulai dari laut lebih sesuai untuk Indonesia (Widjajanto, 2002). 3). Pengurangan anggaran untuk TNI AD seiring dengan kebijakan untuk menghapus komando teritorial secara bertahap. Saat ini di Indonesia terdapat 12 Komando Daerah Teritorial (Kodam) yang membawahi sejumlah Korem, Kodim hingga Babinsa. Di ke-12 Kodam tersebut terdapat 150.000 pasukan. Angka ini sekitar 69,8% dari seluruh pasukan TNI AD atau 51,7% dari seluruh pasukan TNI. Dari 150.000 pasukan tersebut, 76.000 atau 50,6% bertugas di Batalion Infanteri, Kavaleri, Artileri, Pertahanan Udara dan Zeni Tempur (Widjajanto, 2002). Sedangkan sisanya menjalankan tugas birokrasi di Komando Teritorial. Ini tentu inefisiensi karena Komando Teritorial memerlukan puluhan ribu birokrat yang menyerap hampir seperempat dari total anggaran rutin untuk pertahanan. Dengan
10
demikian, penghapusan Komando Teritorial merupakan salah satu strategi efisiensi anggaran. Strategi efisiensi kedua dapat dilakukan dengan memperjelas peran antara pertahanan dan keamanan. Selama ini pertahanan dimengerti sebagai strategi penangkal ancaman eksternal. Sebaliknya, istilah keamanan merujuk kepada Kepolisian untuk menangkal ancaman dari dalam negeri dan menegakkan ketertiban. Tetapi perbedaan ini menjadi rancu ketika Komando Teritorial juga turut berperan untuk menjaga keamanan. Demikian juga eksistensi kesatuan Brigade Mobil (Brimob) di Kepolisian. Brimob sendiri pada dasarnya adalah combatant unit, bukan polisi seperti pada umumnya. Kerancuan antara pemisahan dalam anggaran dan tumpang tindih tugas di lapangan menimbulan anggaran dobel untuk alokasi yang sama. Oleh karena itu, penghapusan Komando Teritorial mutlak diperlukan agar tidak terjadi tumpang tindih dengan Kepolisian. Demikian juga transfer combatant unit dari Brimob ke TNI untuk memperjelas posisi polisi sipil ke depan. Efisiensi ketiga dilakukan dengan melakukan konsolidasi seluruh anggaran TNI. Sesungguhnya, Anggaran pertahanan bisa lebih besar dari angka di atas bila memperhitungkan sumbangan dari Pemda. Beberapa Pemda turut “membelikan” perlengkapan perang untuk TNI, seperti pembelian kapal oleh Pemda Riau. Anggaran pertahanan belum memperhitungkan sumbangan dari perusahaan multinasional di daerah konflik. Seperti terungkap tahun 2003 lalu, PT Freeport menyumbang hingga US$ 50 juta untuk TNI di Papua. Juga Dana lain yang belum diperhitungkan adalah dividen dari bisnis militer, baik yang berada di bawah yayasan maupun koperasi.
Strategi efisiensi anggaran keempat dapat dilakukan dengan memangkas birokrasi untuk memperkecil peluang kebocoran anggaran dan mengurangi biaya yang tidak diperlukan. Efisiensi ini merupakan bagian dari reformasi birokrasi yang akan diuraikan secara mendalam berikut ini. Reformasi birokrasi Dephan – Mabes TNI Karena tugas pertahanan dilakukan secara rahasia atau untuk keperluan operasi militer yang sifatnya mendadak dan tidak bisa diperkirakan sebelumnya, prosedur penyaluran dana APBN di Dephan berbeda dengan departemen sipil lain. Kalau pada departemen sipil aliran dana disalurkan melalui Kantor Perbendaharaan dan Keuangan Negara (KPKN), pada Departemen Pertahanan dari Menteri Keuangan langsung disalurkan ke Kepala Pusat Keuangan Dephan (Kapusku Dephan). Persoalannya, di Dephan sendiri proses penyaluran dana melalui birokrasi yang panjang. Kalau pada departemen sipil dari KPKN langsung disalurkan ke bendahara dan langsung ke pelaksana program, di Dephan harus melewati empat tingkat Badan Keuangan (BAKU). Gambar di bawah ini menunjukkan perbandingan aliran dana dari Departemen Keuangan untuk departemen pertahanan dan departemen sipil lain.
11
Jenjang Pendanaan Dephan dan TNI Menteri Keuangan
Jenjang Pendanaan Sipil Menteri Keuangan
Tingkat Sub Sektor pertahanan Pusku Dephan (BAKU-I)
Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara(KPKN) Tingkat Unit Organisasi
Pusku TNI (BAKU-II) Tingkat Kotama KaBagku Setjen Dephan (BAKU-III)
Kabagku Pusku TNI/ Kaku Kotama (BAKU-III) Tingkat Satker
Pekas (BAKU-IV)
Pekas (BAKU-IV)
Bendarahawan
Sumber: UU Perbendaharaan Negara, Keppres No. 42/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN Pada departemen sipil, anggaran yang disalurkan oleh KPKN bisa langsung disalurkan ke bendahara di setiap departemen. Memang proses otorisasi dan pengawasan di sipil juga berjenjang seperti di Dephan, tetapi uang bisa dengan cepat dipergunakan pada tingkat opersional di bawah. Sebaliknya, dari gambar di atas dapat dilihat, tidak hanya otorisasi dan pengawasan. Aliran uang di Dephan dan Mabes TNI harus melewati empat birokrasi sehingga prosedurnya lebih panjang. Dengan birokrasi seperti itu, bisa diperkirakan bahwa penyaluran dan penggunaan dana APBN rawan terhadap praktek korupsi. Adalah tugas Menteri Pertahanan baru untuk memangkas birokrasi keuangan militer. Seharusnya keuangan langsung disalurkan ke Pemegang Kas sehingga bisa langsung dipergunakan oleh Satuan Kerja. Sedangkan Baku II dan Baku III lebih bertugas sebagai pengawas penggunaan dana. Dengan memangkas birokrasi, Dephan bisa menghemat anggaran pertahanan karena mengurangi staf yang tidak diperlukan lagi. Pada saat yang sama, Dephan bisa mengurangi terjadinya korupsi. Pemangkasan birokrasi keuangan juga sejalan dengan gagasan menempatkan Mabes TNI di bawah Dephan. Selama ini, untuk sampai ke tingkat Satuan Kerja, yaitu personel TNI di lapangan, dana Dephan harus melewati Mabes TNI terlebih dahulu. Oleh sebab itu, penempatan Mabes TNI di bawah Dephan sejalan dengan gagasan reformasi birokrasi di sektor pertahanan.
12
Penutup Dalam penyusunan anggaran, yang menjadi pertimbangan utama adalah prioritas. Sebesar apa pun dana yang dimiliki, tetap saja ada batasnya. Karena itu, DPR perlu memberikan prioritas utama kepada sektor pelayanan publik. Terutama karena penerimaan terbesar APBN, yaitu 79% berasal dari pajak. Salah satu sektor pelayanan publik yang perlu mendapat prioritas adalah pendidikan. Terlebih lagi, konstitusi menyatakan bahwa pendidikan harus mendapat alokasi 20% dari APBN. Hingga saat ini dan RAPBN 2005 yang telah diajukan pemerintah, pendidikan hanya mendapat 9,7% dari APBN. Karena itu, DPR harus menunda kenaikan anggaran pertahanan seperti yang dilontarkan oleh Menteri Pertahanan. Keterbatasan dana sesungguhnya tidak hanya dialami oleh Departemen Pertahanan dan institusi militer. Karena itu, di tengah himpitan ekonomi, strategi yang perlu dilakukan Departemen Pertahanan bukan menaikkan anggaran, tetapi dengan melakukan efisiensi. Salah satu efisiensi yang bisa dilakukan adalah dengan mereformasi aliran pendanaan di Departemen Pertahanan. Dengan penyederhanaan peraturan tidak hanya aliran dana bisa diterima lebih cepat oleh tingkat Satuan Kerja tetapi juga mengurangi peluang terjadinya korupsi. Bentuk efisiensi lain yang bisa dilakukan adalah mulai melakukan pengurangan komando teritorial TNI AD. Selama ini Koter menghabiskan alokasi anggaran yang besar dan sebagian besar anggaran rutin justru dialokasikan untuk menggaji tugas-tugas birokrasi. Dengan mengurangi Koter TNI AD dan mengalihkan dana ke TNI AL, dana yang terbatas bisa dialokasikan tepat sasaran. Hanya sayangnya, ini bukan ide populer. Alih-alih mengurangi Koter, Kepala Staf TNI AD yang baru malah mengatakan kepada DPR rencananya untuk menambah jumlah Komando teritorial.
Daftar Pustaka Departemen Keuangan. 2004. Nota Keuangan RAPBN 2005. Jakarta. Departemen Pertahanan. 2003. Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21. Buku Putih Pertahanan RI. Jakarta. UU No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. UU No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. UU No. 17 Tahun 2000 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Keputusan Presiden No. 42 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Baswir, Revrisond. 2000. Akuntansi Pemerintahan Indonesia. Yogyakarta: BPFE, Cet. Ke-7. Basjir, Wahyu W., dkk. 2002. Memahami Anggaran Publik. Yogyakarta: Idea Press. Cordesman, Anthony. 2003. The Asian Military Balance: An Analytic Overview. A Comparative Summary of Military Expenditures; Manpower; Land, Air, and Naval, Forces; and Arms Sales. Washington: The Center for Strategic and International Studies. Heo, Uk. 1999. Defense Spending and Economic Growth in South Korea: The Indirect Link. Sage Publication. Journal of Peace Research, Vol. 36 No. 6, p. 699-708. London, Thousand Oaks, CA, and New Delhi.
13
Widoyoko, Danang, et. al. 2003. Bisnis Militer Mencari Legitimasi. Indonesia Corruption Watch dan National Democratic Institute. Jakarta. Widjajanto, Andi. 2002. Destrukturisasi Komando Teritorial, dalam Muna, Rifqi (ed). Likuidasi Komando Teritorial. The Ridep Institute. Jakarta. Sukirno, Sadono. 2003. Pengantar Teori Makroekonomi. Edisi kedua. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa. Daftar singkatan Pusku Dephan = Pusat Keuangan Departemen Pertahanan Pusku TNI Ditku/Disku = Pusat Keuangan TNI Direktorat Keuangan Pusku TNI = Pusat Keuangan TNI Kabagku Setjen Dephan = Kepala Bagian Keuangan Sekretariat Jenderal Departemen Pertahanan. Kaku Kotama = Kepala Keuangan Komando Utama Kaku Lakpus = Kepala Keuangan Pelaksana Pusat Pekas = Pemegang Kas BAKU = Badan Keuangan
14
Lampiran
Tabel 1. Perbandingan kenaikan/penurunan anggaran 1999 – 2005 Pertahanan Pendidikan Kesehatan 2005 2.65 8.68 27.50 2004 24.76 4.96 13.44 2003 (5.80) (5.85) (7.64) 2002 76.98 57.01 53.32 2001 77.05 51.98 159.50 2000 (50.08) (37.31) (66.98) 1999 28.08 45.90 83.04
APBN
PDB 3.75 0.63 (1.64) (5.23) 38.14 (10.28) 49.17
Sumber: Diolah dari UU APBN tahun 1999 – 2004. Tabel 2. Perbandingan dalam persen anggaran masing-masing sektor dengan total APBN Pertahanan Pendidikan 2005 8.31 8.12 2004 8.40 7.75 2003 6.77 7.43 2002 7.07 7.76 2001 3.79 4.69 2000 2.96 4.26 1999 5.31 6.10 Sumber: Diolah dari UU APBN tahun 1999 – 2004.
Kesehatan 2.80 2.28 2.02 2.15 1.33 0.71 1.92
Tabel 3. Kompilasi anggaran pertahanan pada APBN 2005(dalam ribuan) No. I. 1. 2. 3. 4. 5.
Deskripsi Pertahanan negara Program pengembangan pertahanan integratif Program pengembangan pertahanan Matra Darat Program pengembangan pertahanan Matra Laut Program pengembangan pertahanan Matra Udara Program Penegakan Kedaulatan dan Penjagaan Keutuhan NKRI
Rp. Rp. Rp. Rp. Rp.
2,156,007,325 9,052,604,211 3,187,952,828 2,377,112,942 25,759,920
II. 6. 7. 8.
Dukungan pertahanan Program Pengembangan Sistem dan Strategi Pertahanan Program Pengembangan Potensi Dukungan Pertahanan Program Pengembangan Industri Pertahanan
Rp. Rp. Rp.
63,587,019 5,017,172,184 19,714,956
III. Bantuan militer luar negeri 9. Program Kerjasama Militer Internasional
Rp.
40,789,490
IV. Litbang pertahanan 10. Program Penelitian dan Pengembangan Pertahanan 11. Program Pengembangan Ketahanan Nasional
Rp. Rp.
28,756,549 15,500,000
Rp. Rp.
26,569,085 22,011,526,509
Jumlah
V. Pertahanan lainnya 12. Program Operasi Bhakti TNI Total Sumber: Nota Keuangan RAPBN 2005
15
5.40 5.13 4.10 3.66 3.32 4.80 0.90