SAKSI Y ANG DIBUNGKAM YANG
Danang Widoyoko Adnan Topan Husodo Emerson Yuntho Kata Pengantar : Saldi Isra
Indonesia Corruption Watch 2006
i
DARI PENERBIT
SAKSI YANG DIBUNGKAM Penulis Danang Widoyoko Adnan Topan Husodo Emerson Yuntho
Kata Pengantar Saldi Isra Editor Irawan Setiawan Cover MaMO’
Cetakan Pertama Desember 2005 Diterbitkan oleh Indonesia Corruption Watch Jl. Kalibata Timur IV D No. 6 Pasar Minggu Jakarta 12740 Telp. 021-7901885. 021-7994015 Fax. 021-7994005 www.antikorupsi.org
Atas Dukungan The Asia Foundation dan USAID
ii
Pembaca yang budiman, uku “SAKSI YANG DIBUNGKAM”, yang ada dihadapan anda berkisah tentang tiga orang yang awalnya merupakan saski/pelapor kasus korupsi namun pada perkembangannya mengalami trauma hebat. Mereka adalah Romo Frans Amanue dari Flores Timur, Endin Wahyudin dari Bandung dan Arifin Wardiyanto dari Jogjakarta. Bagi mereka, menjadi saksi/pelapor kasus korupsi dirasakan justru menyiksa, lahir maupun batin. Mereka sebenarnya tidak mengharapkan penghargaan karena telah membongkar kasus korupsi, tapi paling tidak memperoleh rasa aman karena usaha yang mereka lakukan. Namum nyatanya mereka dilaporkan pencemaran nama baik justru oleh orang yang diduga melakukan korupsi, diproses kepolisian kejaksaan dan pengadilan hingga akhirnya menjadi terpidana. Ironis, saksi dan pelapor kasus korupsi menjadi terpidana karena laporannya. Seharusnya dalam situasi dimana pemberantasan korupsi sangat mengandalkan adanya kemauan dari para saksi/pelapor untuk memberikan informasi dan keterangan yang
B
iii
memudahkan terbongkarnya sebuah perkara, prioritas penanganan kasus tidak diarahkan pada para pelapor atau saksi. Melainkan kepada aktor-aktor kunci yang biasanya menduduki pos-pos penting dalam jabatan publik. Karena by nature, korupsi merupakan praktek penyimpangan kekuasaan yang terjadi di level atas dan merembes ke tingkat bawah. Korupsi tidak bisa terjadi sebaliknya, dari tingkat bawah ke level atas. Namun nyatanya cerita tentang Romo Frans adalah drama klasik yang juga dilakoni oleh Endin Wahyudin, Arifin Wardiyanto, selain nama saksi/pelapor kasus korupsi lain seperti Hidayat Monoarfa, Hidayatullah, Sainah dan Leonita dengan cerita penutup masing-masing -yang seluruhnya- tragis. Endin Wahyudin berujung pada vonis bersalah telah melakukan pencemaran nama baik. Romo Frans Amanue lebih beruntung karena berkas putusan pengadilan yang menghukumnya atas pencemaran nama baik musnah terbakar saat kantor Pengadilan Negeri Larantuka, Kabupaten Flores Timur dibakar massa. Sementara Arifin Wardiyanto sempat ingin melakukan bunuh diri karena merasakan ketidakadilan yang begitu telanjang. Hidayat Monoarfa, seorang saksi/ pelapor dari Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah harus menghadapi masa-masa koma
karena pemukulan orang tak dikenal saat akan menjadi saksi korupsi DPRD di Sulawesi Tengah. Hidayatullah, salah seorang pelapor dugaan korupsi Kepala Daerah di Kabupaten Muna dan Propinsi Sulawesi Tenggara harus menerima kenyataan rumahnya dibom oleh orang tak dikenal sebanyak dua kali. Satu hal pasti yang diharapkan dari teror terhadap saksi/pelapor adalah ketakutan dan kematian atas kejujuran dan hati nurani mereka. Oleh karena itu, pihak yang berkepentingan akan selalu menyebarkan rasa ketakutan melalui berbagai cara. Baik melalui tuntutan hukum, kekerasan fisik, teror psikis maupun teror yang tak kalah gawatnya, dengan uang. Saksi pelapor yang bungkam merupakan hasil yang diharapkan. Sebaliknya, saksi pelapor yang mau bicara adalah petaka bagi mereka. Karena saksi pelapor yang bicara sama artinya dengan terbongkarnya setengah kebenaran dari adanya peristiwa, skandal atau kasus. Untuk menghadapi teror semacam itu, barangkali kita harus belajar dari Sainah. Ia adalah saksi utama kasus Tommy Soeharto yang atas keberanian dan kejujurannya, anak mantan orang nomor satu di Indonesia itu harus terbang ke Nusakambangan untuk menjalani hukuman pidana karena kepemilikan senjata api tanpa ijin. Padahal
iv
v
dalam persidangan, Tommy Soeharto sempat menyebar ancaman. Sainah bukanlah siapa-siapa. Ia hanyalah pembantu rumah tangga yang sehari-hari bekerja untuk Hetty, pemilik Apartemen Cemara tempat dimana Tommy sering singgah. Barangkali Sainah secara material tidak memiliki kekayaan yang berlimpah. Namun ia adalah sedikit orang yang memiliki kekayaan yang sesungguhnya, yakni kejujuran dan keberanian. Tanpa dibekali oleh pengetahuan yang cukup atas hukum dan perlindungan yang pasti dari negara, Sainah dengan lugas mengungkap semua apa yang dilihat dan diketahuinya di pengadilan. Sesungguhnya, masih banyak SainahSainah yang lain. Akan tetapi terlalu sedikit orang yang seberani dirinya. Kita tentu tidak menyalahkan mereka. Para saksi dan pelapor tetap memiliki hak untuk hidup aman dan nyaman. Setiap orang tidak akan mau melewati hidup sehari-hari dengan ketidakpastian, ancaman dan intimidasi karena melaporkan atau menjadi saksi atas sebuah perkara pidana. Sungguh sebuah periode yang mengherankan dimana orang yang ingin berbuat jujur dan mau mengungkapkan peristiwa kejahatan harus menghadapi saat-saat tersulit dalam hidup mereka. Oleh karena itu, tidak mungkin tidak
untuk membongkar sebuah skandal kejahatan, kita membutuhkan payung hukum bagi mereka yang menjadi saksi, pelapor maupun korban. Kita harus sadar dan yakin bahwa setiap informasi dan keterangan dari orang yang menyaksikan, melihat dan mengetahui secara langsung sebuah peristiwa kejahatan sangatlah dibutuhkan untuk mengungkapkan peristiwa sebenarnya. Akan tetapi, kita juga harus menjamin bahwa apa yang disampaikan saksi pelapor tidak akan berimplikasi buruk atas masa depan dan nasib mereka. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban dari negara untuk memberikan perlindungan hukum atas mereka melalui UU Perlindungan Saksi Pelapor. Lahirnya UU perlindungan Saksi Pelapor merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi agar kejahatan yang sistematis, terorganisir, melibatkan orang kuat yang selama ini menjadi hambatan bagi perubahan di berbagai sektor dapat dibongkar. Meskipun buku ini dikemas dalam bentuknya yang kecil, kita berharap buku ini besar manfaatnya. Pertama, menggambarkan bahwa ketidakadilan dan diskriminasi dalam penegakan hukum masih sering terjadi di negeri ini. Dalam kisah ini tergambar bahwa mereka menjadi korban ketidakadilan namun bagi kita dan masyarakat mereka adalah
vi
vii
pahlawan yang sesungguhnya. Tidak banyak orang memiliki keberanian untuk memperjuangkan keadilan seperti ini. Kisah ini juga ingin menunjukkan akibat tidak adanya aturan positif tentang perlindungan saksi pelapor akan memberikan dampak negatif justru bagi saksi pelapor sendiri. Kedua, buku ini diharapkan dapat menggunggah pemerintah dan DPR RI untuk mempercepat proses pembahasan UU tentang Perlindungan Saksi. Kami berkeyakinan tidak ada lagi “Romo Frans, Endi Wahyuddin maupun Arifin Wardiyanto” yang lain jika negara ini memilki atuaran hukum yang memberikan jaminan bagi para saksi pelapor untuk mengungkapakan suatu kebenaran atau fakta yang sesungguhnya. Salam, Kalibata Timur , Desember 2005 Indonesia Corruption Watch
viii
KA TA PENGANT AR KAT PENGANTAR MEMBONGKAR K ORUPSI, KORUPSI, MINUS PERLINDUNGAN SAKSI Oleh:: Saldi Isra
D
alam suatu diskusi intensif yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat (PKHWB) Universitas Andalas pada awal tahun 2005, Refly Harun —salah seorang narasumber yang berasal dari Mahkamah Konstitusi— mengatakan bahwa berhasil atau tidaknya pemberantasan tindak pidana korupsi salah satunya ditentukan oleh keberadaan aturan mengenai perlindungan saksi. Saksi dan perlindungan saksi, tambah Refly Harun, adalah dua instrumen yang sangat penting. Tanpa saksi, sulit memulai proses hukum tindak pidana korupsi, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga penghukuman (vonis). Namun, saksi-saksi tindak pidana korupsi kerap tidak mau memberikan kesaksian karena tiadanya instrumen hukum berupa perlindungan saksi. Pendapat yang dikemukakan Refly Harun di atas, hampir menggagalkan rencana Forum Peduli Sumatra Barat (FPSB) melaporkan ix
kasus korupsi 43 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatra Barat Periode Tahun 1999-2004 dalam penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2002. Pada penghujung tahun 2001, setelah “gagal” melakukan serangkaian langkah persuasi untuk meminta agar anggota DPRD memperbaiki rancangan keuangan DPRD Tahun 2002, FPSB berencana melakukan langkah hukum yaitu melaporkan penyimpangan penyusunan APBD kepada pihak berwenang. Sebelum melaporkan, ada tiga persolan mendasar yang sempat didiskusikan agak dalam yaitu (1) ke institusi mana (kepolisian atau kejaksaan) indikasi korupsi yang dilakukan anggota DPRD Provinsi Sumatra Barat akan dilaporkan, (2) siapa yang akan dilaporkan, apakah eksekutif, legislatif atau eksekutif dan legislatif sekaligus, dan (3) identitas pelapor dan perlindungan saksi. Untuk masalah yang pertama, FPSB menyepakati melaporkan penyimpangan penyusunan keuangan anggota DPRD dalam APBD 2002 kepada Kejaksaan Ting gi Sumatra Barat. Pertimbangannya, melaporkan ke kejaksaan berarti sudah memangkas satu tahap proses penyelesaian kasus-kasus korupsi. Kalau dilaporkan kepada kepolisian,
prosesnya pasti menjadi lebih panjang dan waktu yang diperlukan akan menjadi lebih lama. Tidak hanya itu, hampir dalam setiap rangkaian diskusi indikasi penyimpangan penyusunan APBD Tahun 2002, beberapa aparat kejaksaan pernah mengikuti diskusi yang diselenggarakan oleh FPSB. Dengan demikian, FPSB berasumsi bahwa beberapa aparat kejaksaan sudah memahami sebagian persoalan yang terjadi dalam proses penyusunan APBD 2002. Perdebatan berikutnya berkenaan dengan siapa yang akan dilaporkan, yaitu apakah pihak legislatif, eksekutif, atau sekeligus legislatif dan eksekutif. Perdebatan tersebut muncul karena dalam proses penyusunan APBD, peran legislatif dan eksekutif sama besarnya. Akhirnya, FPSB menyepakati, prioritas yang akan dilaporkan adalah pihak DPRD. Ketika FPSB memberikan prioritas melaporkan indikasi korupsi dalam penyusunan APBD Tahun 2002 kepada kejaksaan tinggi, muncul pertanyaan: mengapa yang dilaporkan hanya anggota anggota DPRD. Padahal, eksekutif menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pembahasan RAPBD. Tambah lagi, RAPBD tidak akan pernah menjadi APBD kalau tidak disahkan oleh kepala daerah. Di samping strategi, pertimbangan mendahulukan anggota DPRD sangat terkait
x
xi
dengan fungsi kontrol lembaga legislatif terutama dalam memerangi praktik korupsi. Semestinya, dalam proses penyusunan anggaran, legislatif harus mampu melakukan koreksi terhadap anggaran yang dibuat eksekutif guna mencegah kemungkinan adanya penyimpangan di kemudian hari. Nyatanya, fungsi kontrol diabaikan dan mereka sibuk merekayasa keuangan sendiri. Dengan kejadian itu, sebagian anggota legislatif gagal memelihara integritas personal dan integritas institusi. Mereka masuk ke dalam jebakan eksekutif untuk mendapatkan kemewahan fasilitas dan finansial. Padahal, menghindari jebakan itu sangat penting agar anggota legislatif mampu menjadi aktor yang kredibel untuk mengerem laju korupsi terutama dalam melaksanakan fungsi kontrol. Apalagi sebagai wakil rakyat, anggota DPRD wajib menindaklanjuti aspirasi publik dalam memberantas tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, menjadi sangat wajar kalau bidikan awal proses hukum ditujukan kepada anggota legislatif. Selain masalah di atas, perdebatan cukup dalam terjadi menyangkut identitas pelapor. Pemikiran itu didasarkan pada kenyataan tidak adanya ketentuan hukum yang dapat melindungi pelapor (saksi) dari kemungkinan serangan balik pihak terlapor. Ketika itu, FPSB
menyadari bahwa beberapa ketentuan yang mengatur tentang perlidungan saksi dirasakan masih jauh dari cukup. Misalnya, ketentuan yang menyinggung mengenai perlidungan saksi yang terdapat dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana dan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, serta UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (UU No 28/1999) terasa amat tidak memadai untuk melindungi saksi terutama dalam kasus korupsi. Tidak hanya ketentuan di atas, kehadiran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 31/1999) juga tidak memberikan perlindungan yang memadai terhadap saksi. Padahal, UU No 31/1999 memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berperan serta dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Pasal 41 Ayat (2) UU No 31/1999 menyatakan bahwa anggota masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai
xii
xiii
saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli. Kemudian dalam penjelasannya disebutkan, perlindungan hukum terhadap pelapor dimaksudkan untuk memberikan rasa aman bagi pelapor. Karena kelemahan aturan hukum tentang perlindungan saksi, pada awalnya ada pemikiran untuk menyembunyikan identitas anggota FPSB yang menjadi pelapor. Tetapi, pertimbangan untuk memudahkan konfirmasi (terutama dari media massa) terhadap perkembangan laporan, identitas sengaja dipublikasikan secara luas. Keberanian membuka identitas hanya didasarkan pada landasan hukum yang tidak terlalu kuat, yaitu Pasal 41 Ayat (2) huruf e UU No 31/1999 bahwa masyarakat yang melaporkan adanya indikasi tindak pidana korupsi berhak untuk memperoleh perlindungan hukum. Barangkali, pengalaman FPSB agak berbeda dengan tiga kasus yang ditulis dalam buku ini. Sampai sejauh ini, misalnya, belum terlihat ancaman tuntutan pencemaran nama baik (defamation) bagi anggota FPSB. Dalam kasus yang ditulis oleh Adnan Topan Husodo, misalnya, Endin Wahyudin melaporkan kepada Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK) yang diketuai mantan Hakim Agung Adi Sutjipto Andojo tentang adanya dugaan suap kepada
tiga orang hakim agung, yaitu Yahya Harahap, Marnis Kahar, dan Soepraptini Soekarto dalam suatu kasus sengketa tanah yang dimintakan upaya hukum kasasi. Berdasarkan laporan itu, Adi Andojo membawa Endin menghadap Jaksa Agung Marzuki Darusman. Tujuannya, Kejaksaan Agung segera menindaklanjuti kasus suap tersebut. Laporan itu cukup kuat karena Endin adalah pelaku penyuapan tersebut. Ketika itu, Jaksa Agung berjanji untuk melindungi Endin sebagai saksi. Kenyataannya, belum lagi kasus suap tersebut dilimpahkan ke pengadilan, Endin malah terkena tuntutan balik dari hakim-hakim yang diduga menerima suap. Celakanya, korps kejaksaan malah lebih tanggap untuk menindaklanjuti tuduhan pencemaran nama baik ketimbang kasus dugaan suap itu sendiri. Dalam perkembangan berikutnya, pada salah satu sisi, Endin dinyatakan bersalah. Sementara di sisi lain, ketiga orang hakim agung tersebut dibebaskan karena tidak cukup bukti mereka menerima suap. Dalam pandangan Refly Harun (2005), kasus Endin meng guratkan sisi hitam penegakan hukum di negeri ini. Para penegak hukum (law enforcers) saling melindungi terhadap perilaku menyimpang mereka. Polisi, jaksa, dan hakim menjadi satu suara untuk
xiv
xv
saling memagari ketika ada kasus yang melibatkan rekan-rekan mereka. Padahal, bila kerja ketiga institusi hukum tersebut dilandasi perspektif untuk memberantas korupsi, tidak sepatutnya institusi-institusi hukum tersebut lebih bernafsu mengungkap kasus pencemaran nama baik ketimbang kasus suap itu sendiri. Berdasarkan pengalaman di atas, dalam mengungkapkan kasus korupsi, perlindungan saksi tidak hanya diperlukan pada tahap awal yaitu ketika melaporkan kasus ke pihak penyidik tetapi mulai dari hulu (saat suatu kasus korupsi mulai diselidiki) hingga ke hilir. Tanpa itu, jangan pernah berharap mengungkap kasus korupsi secara tuntas di negeri ini. Tegasnya, tidak mungkin membongkar kasus korupsi dengan minus perlindungan saksi. Mudah-mudahan kisahkisah dalam buku ini menyadarkan pemerintah dan semua kekuatan politik di Dewan Perwakilan Rakyat bahwa kehadiran undangundang perlidungan saksi merupakan sebuah keniscayaan. [ ]
DAFT AR ISI AFTAR DARI PENERBIT ...................................... iii KATA PENGANTAR ................................. ix MEMBONGKAR KORUPSI, MINUS PERLINDUNGAN SAKSI Oleh Saldi Isra KRITIKLAH BUPATI, KAU KUTANGKAP ..... 1 Kisah Romo Frans Amanue Pr bersama Forum Reformasi Flores Timur membongkar dan melaporkan korupsi di Kabupaten Flores Timur namun justru diadili Oleh J. Danang Widoyoko DARI “LIDAH LANCANG” KE PENGADILAN ....................................... 69 Kisah Endin Wahyudin, seorang agen koran di Bandung, korban mafia hukum di belantara peradilan Indonesia. Oleh Adnan Topan Husodo JALAN PANJANG PENCARI KEADILAN ............................................ 99 Kisah Arifin Wardiyanto, karyawan PT. Telkom, yang menjadi terpidana karena membongkar pungutan liar Oleh Emerson Yuntho PROFIL INDONESIA CORRUPTION WATCH ............................................... 135 PROFIL PENULIS ................................... 139
xvi
xvii
Kritiklah Bupati, Kau K utangkap Kutangkap Romo Frans Amanue Pr bersama Forum Reformasi Flores Timur membongkar dan melaporkan korupsi yang terjadi di Kabupaten Flores Timur. Bukannya memeriksa Bupati dan pejabat yang terlibat, penegak hukum justru mengadili Romo Frans Amanue dan kawan-kawan. Oleh: J. Danang Widoyoko
(R omo FFrans rans Amanue) (Romo 1
M
atahari sudah terik di Larantuka, kendati jam baru menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit. Sinarnya menerobos dinding rumah Frans Wuring Basa yang hanya terbuat dari bilah-bilah bambu. Frans warga Katolik Larantuka, ia salah seorang, dari ribuan umat Katolik Flores yang mendukung Frans Amanue, seorang pastor Katolik yang sedang didakwa di pengadilan setempat. Di rumah yang sederhana itu, Frans Basa tampak sibuk dengan tiga potong kain yang dibentangkan di halaman rumahnya. Kantuk masih menyergap di matanya. Semalaman, bersama Iwan, Ing, dan Vincent, Frans membuat spanduk besar hingga menjelang subuh. Spanduk itu mereka buat sebagai dukungan untuk Romo Frans, demikian pastor itu dipanggil, bertuliskan: “Hanya Satu Kata Bebas”. Kata-kata ini diadopsi dari sajak Wiji Thukul berjudul “Peringatan”. Sajak itu ditutup dengan kalimat, “Hanya satu kata: lawan”. Baris terakhir dari sajak Thukul ini sangat terkenal dan kalimat “wajib” dalam setiap demontrasi yang digelar oleh aktivis mahasiswa. Terutama saat menjelang runtuhnya Soeharto. Thukul, seorang penulis otodidak yang nyambi jadi tukang becak di Solo. Ia hilang di penghujung kekuasaan Soeharto karena aktifitas kesenian dan
politiknya. Saat hilang Thukul tercatat sebagai pimpinan Jarian Kebudayaan Rakyat, organisasi seniman di bawah payung Partai Rakyat Demokratik yang dituduh kiri. Thukul diculik bersama sejumlah aktivis pada 1998. Sebagian aktivis yang diculik kembali, dan sebagian lainnya masih hilang hingga kini, termasuk Thukul. Spanduk yang dibuat Frans Basa berwarna hitam berukuran besar. Lebarnya semeter, panjangnya 30 meter. Karena terlalu panjang, kalimat ditulis pada tiga kain terpisah. Ditulis dengan cat warna putih sehingga tulisan besar itu tampak jelas. Romo Frans, pastor di Keuskupan Larantuka, diadili dengan dakwaan melakukan pencemaran nama baik Bupati Flores Timur, Felix Fernandez. Bupati merasa tercemar namanya karena Romo Frans, selaku Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Larantuka, menuduhnya melakukan korupsi dana bencana alam. Hari di mana Frans Basa membuat spanduk raksasa, 15 November 2003, adalah hari di mana Romo Frans Amanue diadili. Persidangan Fran Amanue sudah berjalan kurang lebih dua bulan. Dan pada setiap sidang, Frans Basa selalu hadir memberi dukungan. Frans keluar dari rumah dan
2
3
menghidupkan sepeda motor. “Saya berangkat dulu,” sergah Frans berpamitan kepada istrinya, Benedikta Benga, seorang perawat yang juga tengah bersiap berangkat bekerja di Rumah Sakit Umum Daerah Larantuka. Frans Basa menuju ke Keuskupan. Dia hendak melihat persiapan rekan-rekannya di sana. Menurut rencana, dari halaman Keuskupan, rombongan pendukung Romo Frans akan berangkat bersama menuju Pengadilan Negeri Larantuka. Massa telah berdatangan. Tetapi para frater dari Seminari Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero belum datang. Frater adalah panggilan untuk calon pastor Katolik. Para frater dari Ledalero akan memegang peranan penting hari itu, mereka akan menggelar happening art dan berorasi. Hanya sebentar di Keuskupan, Frans Basa kembali ke rumah. Masih ada tugas yang belum diselesaikannya. Tiga kain spanduk harus disambung. Tulisan “Hanya Satu Kata: Lawan!” harus dijahitnya dan mesti selesai pukul sembilan saat aksi dimulai. Cat belumlah kering benar. *** SAAT yang sama, dua kilometer dari rumah Frans Basa, Romo Frans Amanue tengah bersiap. Jubah imam berwarna putih
dimasukkan ke dalam tas bersama sebuah buku catatan. Dalam proses pemeriksaan hingga persidangan, Romo Frans selalu menggunakan jubah putih. Jubah itu merupakan identitas bagi seorang imam katolik. Imam akrab dipanggil dengan sebutan pastor, pater atau romo. Di Flores, pastor biasanya dipangil pater, terutama untuk para pastor dari ordo SVD (Socieras Verbi Divini/ Ordo Sabda Ilahi) yang menguasai wilayah Nusa Tenggara Timur, namun khusus untuk para pastor projo (Pr), seperti Frans, biasanya dipanggil Romo. Romo Frans tinggal di Dekenat, di kompleks Katedral Larantuka yang megah. Dekenat adalah tempat tinggal para pastor. Bersama Romo Frans, di Dekenat ada tujuh pastor lain. Semuanya aktif berkarya di Keuskupan Larantuka. Romo Frans menuju garasi mobil. Dihidupkannya mobil Chevrolet tua warna biru. Mobil dinas Keuskupan itu biasa dipergunakannya setiap hari. Tak lama kemudian ia sudah berada di jalanan Larantuka menuju kantornya di Komisi Keadilan dan Perdamaian. Letaknya di sebelah kiri kediaman Uskup, bersebelahan dengan Kantor Pastoral Keuskupan. Di Larantuka, tempat kediaman uskup dikenal dengan istilah Istana Keuskupan, dan diberi nama San Dominggo.
4
5
Kira-kira 15 menit kemudian, Chevrolet biru itu memasuki San Dominggo. Mobil berjalan pelan. Rupanya sudah banyak orang berdatangan dan memenuhi halaman San Dominggo. Di kantor Komisi Keadilan dan Perdamaian sudah menunggu beberapa pengajar STFK Ledalero. Para imam yang menjadi dosen itu tidak lupa selalu hadir memberi dukungan kepada Romo Frans sejak proses pemeriksaan oleh polisi dan kejaksaan. Hari itu sangat penting. Pengadilan akan menjatuhkan vonis sebagai akhir dari sebuah proses panjang. Proses yang harus dilalui untuk memberikan keadilan. Para dosen itu mempersiapkan, apa yang harus dikatakan Romo Frans setelah palu diketok hakim. Naskah pidato dibuat dalam dua versi. Versi pertama bila dinyatakan bebas, versi kedua bila divonis bersalah. Pater Eman Embu SVD beranjak ke ruang kerja Romo Frans, menuju sebuah komputer di pojok ruangan. Eman Embu yang mengetik kedua versi naskah itu. Sementara di luar, empat truk memasuki halaman San Dominggo. Truk membawa pendukung Romo Frans dari Boru dan Bama. Dua daerah tempat Romo Frans pernah berkarya.
HAMPIR seribu orang memenuhi jalan di dekat lapangan Lebao. Mereka menghadang truk polisi yang membawa Romo Frans. Siang itu, 3 Juli 2003 polisi menyerahkan berkas perkara sekaligus tersangka ke kejaksaan. Romo Frans resmi menjadi tersangka dalam kasus penghinaan dan penistaan Bupati Flores Timur, Felix Fernandez. Bersama berkas pemeriksaan, Romo Frans turut dibawa ke kejaksaan naik truk polisi. Romo Frans tampak jelas berada di dalam truk. Berjubah putih, berambut putih. Ia duduk di tengah, diapit oleh sopir dan seorang polisi di sebelah kiri. Sepanjang jalan, ia tiada henti melambaikan tangan. Sepanjang jalan menuju ke kejaksaan, penduduk keluar dari rumah mereka. Di kiri kanan jalan, anakanak dan perempuan menyambutnya. “Turun! Turun! Turun! Hidup Romo Frans! Turun, hidup Romo Frans!”
***
Massa meminta pastor tua itu turun dari truk. Mereka ingin Romo berjalan dengan massa menuju Kejaksaan. Tetapi Romo Frans menenangkan massa. “Tidak apa-apa, tidak apa-apa!” kata Romo Frans kepada massa yang ada di samping truk sambil melambaikan tangan dan sesekali mengacungkan kedua jempolnya ke arah massa. Akhirnya, massa
6
7
menurut. Mereka berjalan menuju ke arah Kejaksaan sementara truk dan polisi berada di ujung barisan.
Sepanjang jalan massa menyanyikan lagu Maju Tak Gentar yang membakar semangat. Dalam barisan tampak beberapa frater dan pastor menggunakan jubah putih. Beberapa biarawati berbaju putih juga tidak ketinggalan berjalan mengiringkan Romo Frans. Massa memenuhi halaman dan jalan raya di depan Kejaksaan Negeri Larantuka saat Romo Frans dibawa masuk. Dalam peradilan pidana, polisi berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan. Jika berkas telah lengkap, polisi melimpahkan ke Kejaksaan. Baru kemudian jaksa yang berwenang melakukan penuntutan akan melimpahkan berkas ke pengadilan. Di Kejaksaan, Romo Frans ditanya tentang komentarnya yang dimuat di harian Pos Kupang, harian milik Kompas yang terbit di Kupang. Komentar itu dianggap menghina dan menista Bupati Flores Timur. Berikut ini sepotong berita yang ditulis Novemy Leo,
wartawan Pos Kupang yang dimasalahkan itu. Penilaian berlebihan ini diungkapkan oleh aktivis Forum Reformasi Flores Timur, Romo Frans Amanue Pr., yang juga Ketua Komisi Keadilan dan HAM Keuskupan Larantuka, Selasa (8/4). “Kita lihat saja nanti. Bencana alam di Flotim ini, Bupati akan gunakan kesempatan untuk mengeruk uang dari pusat. Pola yang dulu dilakukannya, akan diulangi lagi. Uang dihambur-hamburkan untuk kepentingannya dan oknum-oknum tertentu. Pola aslinya keluar”, tegas Romo Frans Amanue. Kepada Pos Kupang, seusai diperiksa Romo Frans mengatakan, “Apa yang saya katakan seperti yang dituliskan di koran sebagai kontrol sosial. Sebagai warga negara Indonesia saya punya hak. Bupati adalah figur publik”. Sedangkan tentang pernyataan mengenai permintaan dana yang dianggap berlebihan, Romo Frans berkata, “Jadi semua yang dikatakan saat konfirmasi wartawan dalam konteks dugaan. Saya katakan dugaan Bupati menggunakan kesempatan peristiwa bencana alam untuk mengeruk uang dari pusat. Tapi kalau dalam tulisan di koran, tidak dicantumkan kata diduga, itulah kerjanya wartawan dan itu persoalannya. Namun pada jaksa saya tidak salahkan wartwan yang
8
9
“Maju tak gentar membela yang benar …Hidup Romo Frans… Tentu kita menang …Bergerak…Bergerak … Serentak… Serentak… Hidup Romo Frans.”
menulis”. Pernyataan itu bermula dari bencana banjir di Larantuka, Flores Timur, 2 April 2003. Tiga hari kemudian, Pemerintah Daerah (Pemda) Flores Timur telah siap dengan laporan bencana alam serta permintaan dana kepada pemerintah pusat. Laporan itu dikirimkan ke Presiden RI, Ketua DPR RI, Menko Kesra, Menteri Sosial, Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan, Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Gubernur Nusa Tenggara Timur. Angka yang diminta Bupati Rp 199 miliar. Romo Frans dan Forum Reformasi Flores Timur mengangap per mintaan berlebihan. Dibandingkan dengan kebutuhan penanggulangan bencana alam yang dibuat Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), hanya dibutuhkan dana Rp 123 miliar. Itu pun untuk lima kabupaten. “Jumlah yang tidak masuk akal,” kata Romo Frans sebagaimana dikutip Pos Kupang, 10 April 2003. Dalam laporan itu disebutkan, kerusakan akibat banjir meliputi jalan dalam kota sepanjang 20 kilometer, jalan propinsi 50 kilometer dan jalan kabupaten 110 kilometer dalam kondisi rusak berat. Padahal, Kota Larantuka terletak memanjang dari timur ke
barat di kaki Ile Mandiri. Ile adalah gunung dalam bahasa setempat. Sementara aliran air dari arah puncak Ile Mandiri, dari Selatan ke Utara. Karena itu, tidak mungkin jalanan rusak sepanjang 20 kilometer, apalagi 50 kilometer dan 110 kilometer. Bahkan Kota Larantuka sendiri yang memanjang dari timur ke barat di pinggir selat Larantuka, panjangnya tidak melebihi 20 kilometer. Banjir itu memang sangat dahsyat. Sepuluh orang meninggal, 35 orang luka berat dan 66 orang luka ringan. Beberapa rumah penduduk juga porak-poranda diterjang air yang mengalir kencang dari arah Ile Mandiri menuju ke bawah. Tetapi, sesungguhnya jalan yang dilewati air tidak lebih dari 10 meter. Batu dan tanah memang menimbun jalan. Namun saat tanah dan batu berhasil dibersihkan oleh alat pengeruk tanah atau excavator, tidak ada kerusakan yang berarti. Kalau pun ada kerusakan, hanya aspal yang tergores excavator. Itu saja. Tetapi anehnya, dalam laporan dimasukkan rencana perbaikan jalan 20 kilometer, pembelian alat berat, pengadaan mobil puskesmas keliling, pembelian speedboat, pembelian alat berat, serta renovasi fasilitas umum dan sejumlah program pencegahan banjir lainnya. Karenanya, angka yang disodorkan oleh Pemda Flores Timur mencapai Rp 199 miliar, jauh di atas
10
11
per mintaan Propinsi NTT untuk lima kabupaten. Pernyataan Romo Frans juga tidak bisa dilepaskan dari konteksnya. Sejak 2002, bersama Forum Reformasi Flores Timur, Romo Frans mengkritisi berbagai dugaan korupsi yang dilakukan Bupati Felix Fernandez. Tetapi baik Kejaksaan dan Kepolisian tidak pernah melakukan pengusutan secara tuntas. Anehnya, ketika Bupati melaporkan Romo Frans ke polisi, dengan cepat aparat penegak hukum bekerja. Pada 11 April Felix Fernandez mengadukan ke polisi, 3 Juli berkas sudah dilimpahkan oleh polisi ke kejaksaan. Pada 24 Juli 2004, kurang sebulan setelah berkas diserahkan ke polisi, Kejaksaan melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri Larantuka. Tiga jaksa, I Gede Gunawan Wibisana, Hain Sucipto dan Haripriyanto ditetapkan sebagai Jaksa Penuntut Umum. Hari itu, resmi status Romo Frans berubah, dari tersangka menjadi terdakwa. Romo Frans didakwa melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 311 ayat 1 juncto Pasal 316 dan Pasal 207 KUHP. Jaksa Penuntut Umum beranggapan, ia menista dengan lisan/tulisan kepada Felix Fernandez sebagaimana termuat di harian Pos Kupang, 10 April 2003.
“Romo Frans diadili karena pernyataannya di Pos Kupang. Padahal substansi perkara tidak pernah diusut”, kata Roy Rening, salah seorang pengacara yang mendampingi Romo Frans. Roy Rening mewakili pendapat umum di Larantuka. Pengadilan itu juga disesalkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Dalam siaran persnya, ICW menulis, “Apa yang dilakukan Romo Frans hanya memperingatkan kemungkinan terjadinya praktek korupsi dalam dana bantuan bencana banjir. Yang dilakukan oleh Romo Frans juga salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi.” Bersama Forum Reformasi Flores Timur, Romo Frans terus menolak praktek korupsi yang terus terjadi di Flores Timur. Dalam siaran persnya, ICW menuliskan beberapa dugaan kasus korupsi yang diungkap Romo Frans dan Forum Reformasi Flores Timur. ICW juga menyatakan, UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menjamin partisipasi masyarakat. Pasal 8 dikatakan masyarakat tur ut bertanggungjawab untuk mewujudkan negara yang bersih. Kemudian Pasal 9 memberikan hak kepada masyarakat untuk mencari, memperoleh dan memberikan informasi
12
13
***
LEWOTANA terdiri dari tiga wilayah besar. Bagian timur daratan pulau Flores, Pulau Adonara dan Pulau Solor. Laut memisahkan ketiga daerah itu sehingga keberadaan kapal menjadi penting. Untuk mendukung transportasi antar pulau sekaligus meningkatkan pendapatan asli daerah, Bupati Larantuka membeli kapal ferry cepat Andhika Mitra Express seharga Rp 3,497 miliar. Tetapi pembelian kapal ini mengundang kecurigaan, bahkan dugaan korupsi. Andhika Mitra Express disebut sebagai kapal baru. Tetapi kenyataannya, kapal ini berkali-kali mengalami kerusakan dan harus docking atau menjalani reparasi. Saat pertama kali dipergunakan, Andhika Mitra Express mengangkut tim sepak bola Flores Timur dan pendukungnya ke Sumba dalam turnamen El Tari Memorial Cup. Begitu kembali dari Sumba, kapal rusak sehingga harus dibawa ke Surabaya. Januari 2002, Andhika Mitra Express kembali ke Larantuka. Diberkati Uskup Larantuka dan mulai beroperasi. Tetapi lagilagi kapal rusak. Maret 2002, kapal bocor dan naik dok Pantai Heras. Tetapi selama docking, kapal justru retak, pondasi mesin patah dan lantai di bawah mesin induk sobek hingga satu meter. Belum satu tahun, Pemda harus mengeluarkan biaya Rp 1 miliar untuk dock-
14
15
tentang penyelenggaraan negara. Pasal 9 huruf d bahkan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat untuk menggunakan hak tersebut. Jaminan serupa juga diberikan oleh UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut UU No.31/ 1999, masyarakat mempunyai hak untuk terlibat dalam pemberantasan korupsi. Sama seperti UU No.28/1999, UU Anti Korupsi juga memberikan jaminan hukum bagi masyarakat untuk menggunakan haknya. Oleh karena itu, apa yang dilakukan Romo Frans merupakan contoh nyata partisipasi masyarakat seperti diamanatkan oleh UU No.28/1999 dan UU No.31/1999. ICW juga menilai, di Flores Timur penegakan hukum tidak berjalan. “Dari sisi hukum, seharusnya Kejaksaan Negeri justru memberikan perlindungan bagi Romo Frans Amanue seperti diamanatkan oleh UU No.28/ 1999 dan UU No. 31/1999. Selain itu, berdasarkan KUHP Pasal 310, pencemaran nama baik merupakan delik aduan. Sedangkan tindak pidana korupsi adalah delik khusus yang harus didahulukan. Sehingga seharusnya kasus korupsi dahulu yang disidangkan, bukan pencemaran nama baik.”
ing. Mana ada kapal baru rusak melulu? Sementara itu, dalam Akte yang dikeluarkan Administrator Pelabuhan Tanjung Pinang Nomor 3432, 9 September 2000, tercatat pemilik kapal Andhika Mitra Express adalah Abdul Karim Malik. Tetapi pada akte juga disebutkan, kapal itu sebelumnya bernama Samudera Jaya-8. Kapal berbadan fiber glass juga disebutkan dibuat di Tanjung Pinang tahun 1996. Sejumlah dokumen lain memperkuat akte tersebut. Ada Surat Ukur Internasional (1969) Sementara, ditandatangani Muslimin Daud, Kesyahbandaran Pelabuhan Batam 30 Desember 2000, dan Sertifikat Manajemen Keselamatan, ditandatangani Capt. Sahid, Kepala Direktorat Perkapalan dan Kepelautan, atas nama Dirjen Perhubungan Laut tanggal 7 Oktober 1999. Sertifikat Internasional Pencegahan Pencemaran oleh Minyak yang ditandatangani Radja Wele, Administrator Pelabuhan Kupang, atas nama Menteri Perhubungan. Pada seluruh dokumen itu disebutkan Kapal Andhika Mitra Express adalah ex-kapal Samudera Jaya-8. Akte kapal juga memberikan informasi yang sangat mengejutkan. Ternyata pada 2000, kapal Samudera Jaya-8 dijual oleh Suntoso kepada Abdul Karim Malik seharga Rp 150 juta. Padahal, kepada publik di Flores Timur,
disebutkan kapal dibeli Pemda seharga Rp 3,497 miliar. Nah, kalau memang harganya hanya Rp 150 juta, tentu kapal itu kapal bekas, wajar jika kapal harus berkali-kali docking. Dugaan kongkalikong di balik pembelian kapal semakin terungkap ketika beredar Akte kapal Andhika Mitra-25. Pada Akte bernomor 3698 yang dikeluarkan Administrator Pelabuhan Tanjung Pinang, disebutkan kapal dibuat pada 2001 dan dimiliki Abdul Karim Malik, Managing Director PT Andhika Mitra Serasi. Dengan harga Rp 3,497 miliar, Pemda Flotim bisa membeli kapal Mitra Express-25 yang dibuat pada 2001. Bukan kapal bekas, Andhika Mitra Express yang dibuat pada 1996. Untuk mengoperasikan kapal Andhika Mitra Express, Perusahaan Daerah (PD) Gemohing mengajukan Permohonan Ijin Usaha Perusahaan Angkutan Laut dengan surat nomor 148/042.1/PDG/KPC/06/ 2002, tertanggal 15 Januari 2002. Tetapi yang dilampirkan adalah Akte nomor 3698, Akte kapal Andhika Mitra-25. Tidak berlebihan bila kemudian Forum Reformasi Flores Timur dan Romo Frans Amanue menduga ada korupsi di balik pembelian kapal itu. Seakan tak putus dirundung masalah, Pos Kupang, 13 Oktober 2004 melaporkan Andhika Mitra Express disita Polda NTT atas
16
17
laporan PT Yolid Investment Ltd. PT Yolid ditunjuk Pemda Flores Timur untuk memperbaiki kapal itu, tetapi PD Gemohing belum membayar tagihan sebesar Rp 4,366 miliar. Seperti dituturkan pengacara PT Yolid, Cornelis Syah SH kepada Pos Kupang, 14 Oktober 2004, Andhika Mitra Express mengalami kerusakan di pelabuhan Atapupu, Kabupaten Belu, NTT. Lalu PD Gemohing menerbitkan surat perintah kerja kepada PT Yolid untuk mensurvei kerusakan kapal. PD Gemohing juga memerintahkan PT Yolid untuk melakukan pengawasan terhadap kapal selama proses perbaikan. PT Yolid merasa dirugikan karena untuk membawa kapal dari Atapupu ke Larantuka diperlukan biaya sebesar Rp 378 juta. Lalu perbaikan kapal ferry menelan biaya sebesar Rp 892.644.950.000,00 (892,6 miliar????). Dari 2 Agustus 2003 – 17 Juli 2004, kapal berlabuh di Tanjung Priok sehingga biaya honorarium anak buah kapal (ABK) dan perwira kapal menjadi beban PT Yolid. Selama setahun di Tanjung Priok, PD Gemohing juga tidak memberikan perhatian kepada kapal Andhika Mitra Express sehingga PT Yolid yang mengurus perpanjangan dokumentasi. Total kewajiban PD Gemohing kepada PT Yolid mencapai Rp 4,366 miliar.
Informasi itu simpang siur. Hingga kini tidak dikeahui persis keberadaan KFC Andhika Mitra Express. Tetapi yang pasti, tagihan dari PT Yolid lebih besar dari harga yang dibayar Pemda Flotim saat membelinya. Harapan Pemda untuk meningkatkan Pendapatan Asli daerah (PAD) dengan membeli kapal jauh panggang dari api. Jangankan mengharap untung didapat, kerugian yang nilainya miliaran rupiah sudah terlihat jelas di depan mata. Merebaknya aroma korupsi dalam pengadaan kapal juga tercium dalam pembelian kapal motor Siti Nirmala. Kapal ini dibeli Pemda Flores Timur sebagai kapal serba guna. Bisa untuk mengangkut penumpang, puskesmas keliling atau alat bantu untuk menangkap ikan. Pokoknya apa pun kepentingan masyarakat, Siti Nirmala bisa memenuhi. Karena kapal baru, harganya pun cukup mahal, Rp 6 miliar. Aroma korupsi tercium ketika perjalanan Jakarta – Larantuka memakan waktu satu bulan. Ada apa gerangan? Rupanya kapal berulang kali rusak di tengah jalan sehingga harus diperbaiki. Begitu sampai di Larantuka, kapal memerlukan tambahan dana untuk perbaikan dan melengkapi fasilitas lain sebesar Rp 600 juta. Luis Yanjawa, teknisi kesyahbandaran
18
19
pelabuhan Larantuka meragukan Siti Nirmala adalah kapal baru. “Tidak terlalu sulit untuk membedakan kapal lama dan kapal baru. Anak tangga Siti Nirmala tidak berwujud segi empat sempurna. Beberapa diantaranya telah halus. Ini artinya kapal sudah pernah digunakan sebelumnya.” Yang membuat curiga Luis adalah kondisi mesin Siti Nirmala. “Gear box kapal buatan Itali, sementara mesinnya buatan Swedia. Mesin kapal ini dirakit sendiri, bukan mesin baru”, ungkap Luis. Luis bukan orang awam di perkapalan. Lelaki setengah baya itu pemegang lisensi Marine Inspector. Di Larantuka, dia satusatunya pemegang lisensi itu. Sebagai teknisi di Kesyahbandaran Larantuka, Luis bertanggungjawab atas kelaikan mesin setiap kapal yang hendak berlayar meninggalkan pelabuhan. Siti Nirmala juga sempat dibawa docking ke Jakarta ketika tim dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemeriksaan di Flores Timur. Dibawanya Siti Nirmala dianggap sebagai upaya Pemda untuk “memindahkan” barang bukti sehingga KPK tidak mudah melakukan pemeriksaan. Apa pun alasannya, kondisi Siti Nirmala tidak berbeda dengan “saudaranya”, Andhika Mitra Express. Lebih sering rusak dan dibiarkan
tertambat di pelabuhan. Bila Anda sempat melawat ke Larantuka, sempatkanlah mampir ke pelabuhan. Di situ tertambat Siti Nirmala. Seperti kata Romo Frans Amanue dalam pleidoinya, “Sekarang kapal itu setia menjalani multifungsinya, menjaga sekaligus menghias pelabuhan Larantuka.”
20
21
*** SORE, terminal itu sudah sepi. Tidak ada mobil angkutan pedesaan yang ngetem. Dua ruang kantor terminal juga tidak ada penjaganya. Hanya ada satu orang dudukduduk menikmati senja di bangku tunggu penumpang. Terminal itu diberi nama Weri. Terletak di pinggir jalan raya, di ujung timur kota Larantuka ke arah Watowiti. Areal terminal dan pantai di selat Larantuka hanya dipisahkan oleh jalan desa beraspal. Di terminal itu, ada dugaan korupsi. Awalnya, Pemda dan pemilik tanah, Herdian Muis Lamanepa telah sepakat. Tanah dan bangunan serta benda-benda yang ada di atasnya dibeli pemerintah sebesar Rp 561.250.000,00 juta. Kesepakatan itu telah tertuang dalam surat pernyataan melepaskan hak yang ditandatangani oleh Herdian Muis Lamanepa dan Pemda yang diwakili oleh Bupati Flores Timur. Surat bernomor 03/
SPHT/2001 itu ditandatangani di hadapan Kepala Kantor Pertanahan Aleksius Haruna Wangi, SH, tanggal 24 April 2001. Turut hadir dua saksi, Kepala Seksi Hak Atas Tanah Cosmas Kapitan dan Lurah Weri, JH Werang. Dalam surat itu juga disebutkan surat pernyataan melepaskan hak juga berlaku sebagai kuitansi tanda bukti pelunasan. Artinya, tanah seluas 22.450 m2 resmi beralih tangan menjadi milik negara, dalam hal ini Pemda Flores Timur. Anehnya, beberapa bulan kemudian perjanjian itu dianggap kurang, sehingga perlu disempurnakan. Dalam proses penyempurnaan ini, bau korupsi mulai menyengat. Soalnya, yang terjadi bukan hanya penyempurnaan surat dan dokumen hukum, namun juga pembekakan harga. Dalam dokumen yang sudah diperbarui, harga tanah tetap Rp 561,25 juta, namun ada penambahan untuk harga bangunan, tanaman serta bendabenda di atasnya sebesar Rp 109 juta. Sehingga total ganti rugi yang harus dibayarkan Pemda menjadi Rp 670,25 juta. Permintaan kenaikan kompensasi pemilik tanah disetujui oleh Bupati. Juga Ketua DPRD Flores Timur memberikan persetujuan untuk mengucurkan dana tambahan tersebut. Masih soal tanah. Banjir yang melanda Larantuka merusak sejumlah rumah yang
diterjang air. Bupati pun berencana membangun rumah untuk mereka. Rumah itu, rencananya didirikan di atas tanah yang telah dibeli sebelumnya. Pemda Flores Timur membeli tanah milik suku Langkamau melalui Yohanes Sombo Langkamau dan suku Labina yang diwakili oleh Aloysius Boki Labina. Dalam urusan pembelian tanah, lagi-lagi Pemda membeli melalui PD Gemohing. Masalahnya, di atas tanah itu juga tergantung kehidupan 16 orang yang mewarisinya turun-temurun. “Mereka juga memegang bukti kepemilikan secara hukum. Tetapi bukti kepemilikan tersebut dibatalkan Kepala Kantor Pertanahan Flores Timur, 30 Juni 2000. Yang bukan keturunan suku Langkamau dan suku Labina diang gap penggarap dan harus keluar dengan ganti rugi tanaman. Tanah itu milik suku,” ungkap Romo Frans Amanue Pr dalam pleidoi yang dibaca di PN Larantuka. “Mereka sebenarnya tidak rela melepaskan tanahnya. Tetapi mereka terlalu lemah berhadapan dengan pemerintah yang dengan segala cara mengintimidasi, menekan dan mengancam mereka. Masih kuat terpateri di hati sanubari saya wajah mereka yang tidak berdaya, Doni Labina, Liun Goran dan para janda yang telah ditinggal mati suami: Ema Barek, Peni, Timu dan Somi. Mereka tidak
22
23
sanggup bersuara. Maka mereka mendatangai saya di Keuskupan, minta bantuan dari Komisi Keadilan dan Perdamaian,” lanjut Romo Frans. Peristiwa serupa juga terjadi pada pembelian tanah di di Lamawalang, milik Suku Dawan. Bupati kembali menunjukkan “kemurahan hatinya”. Jual beli tanah itu dilakukan Yos Maran Dawan, mewakili Suku Dawan sebagai pemilik tanah. Tanah pun berpindah tangan menjadi milik Pemda Flores Timur seharga Rp 1 miliar. Tetapi jual beli itu tidak dianggap sah oleh anggota Suku Dawan yang lain. Mereka menganggap Yos Moran Dawan tidak mewakili Suku Dawan dan jual beli tanah dianggap tidak pernah terjadi. *** LARANTUKA, Kota Reinha Rosari. Kota itu telah dipersembahkan kepada Santa Maria, Bunda Yesus Kristus. Karena itu, dalam kepercayaan Katolik, Larantuka dilindungi Santa Maria. Dalam perayaan Paskah, patung Maria yang dikenal dengan sebutan Maria Dolorosa diarak keliling kota. Minggu terakhir menjelang paskah dikenal dengan perayaan Semana Santa. Ribuan orang berduyun-duyun memenuhi Kota Larantuka mengikuti prosesi itu. Membludaknya para peziarah pada
perayaan Semana Santa, membuat penginapan di Larantuka tak mampu lagi menampungnya. Maka Bupati pun membangun hotel baru, Hotel Mokantarak. Tidak tanggung-tanggung, hotel yang dibangun kelas bintang tiga. Tidak hanya dilengkapi dengan fasilitas yang mewah, hotel ini juga menyediakan wisata laut di pantai Mokantarak yang indah. Para turis bisa menikmati jet ski di teluk yang tenang. Untuk membangunnya, Pemda Flores Timur menyertakan modalnya ke Perusahaan Daerah Larantuka Transportasi dan Hotel. Adalah MK Lamabelawa, seorang pengacara di Kupang yang mengadukan pembangunan hotel itu ke Polda NTT. Lamabelawa menyatakan Bupati melanggar UU No.22 tahun 1999 pasal 48 ayat b dan c serta Pasal 49 ayat f yang mengatakan, seorang pejabat bupati dilarang terlibat langsung dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupuan milik negara/daerah atau dalam yayasan bidang apa pun. “Perbuatan Bupati secara tidak langsung juga mematikan para pengusaha lokal, khususnya yang bergerak di bidang perhotelan di daerah itu,” kata Lamabelawa kepada Pos Kupang 27 Juni 2003. Awalnya, perusahaan bermodalkan Rp 2,5 miliar dari kantong Bupati sendiri, Rp 600 juta milik Anton Lebu Maran dan Rp 100 juta milik Yacob Riberu. Tetapi kemudian, Bupati
24
25
memasukkan penyertaan modal dari Pemda Flores Timur ke perusahaan itu. Dalam APBD 2003, Bupati mengalokasikan Rp 4 miliar untuk penyertaan modal Pemda Flores Timur dalam PT Larantuka Hotel dan Transportasi. Laporan Lamabelawa dan argumentasinya menunjukkan kebenaran. Tidak ada lagi kepentingan pribadi Bupati dan kepentingan Pemda Flores Timur. Padahal kaburnya batas antara pribadi dan publik ini dipagari oleh UU No. 22/1999, terutama pasal 48 dan 49 tersebut. Dalam struktur perusahaan, rancunya antara kepentingan publik dan privat semakin kentara. Direktur Utama adalah Paulus da Costa yang juga menjabat sebagai Ketua Bappeda Flores Timur. Asisten I Lukas Homo Koten sebagai Komisaris Utama. Anton Lebu Maran, Lurah Mokantarak juga turut menyumbang modal dan menjadi komisaris. Sampai saat ini hotel itu belum terbangun. Ironisnya, di dekat lokasi hotel, telah berdiri rumah pribadi Bupati yang megah. Inovasi lain yang dilakukan Bupati Flores Timur untuk mempercantik Larantuka adalah membangun lampu pengatur lalu lintas. Lampu pengatur lalu lintas itu dibangun di depan pelabuhan Larantuka dan pertigaan Istana Keuskupan San Dominggo. Tetapi
efektivitas lampu pengatur lalu lintas dipertanyakan. Terutama karena volume kendaraan yang tidak terlalu ramai. Depan pelabuhan sering macet. Bukan karena banyaknya kendaraan, tetapi karena bis dan angkutan kota yang ngetem di jalan depan pelabuhan, menunggu datangnya kapal dari Solor, Adonara dan Lembata. Ihwal traffic light yang tidak efektif juga diakui oleh Felix Fernandez. Seperti dilaporkan oleh Pos Kupang 4 April 2002, Bupati mengakui mubazirnya sejumlah traffic light dan akan memindahkannya ke tempat lain yang lebih tepat. Tetapi, hingga kini traffic light masih ada di tempatnya semula. Bahkan traffic light di pertigaan San Dominggo kini sudah tidak berfungsi sama sekali. Bila ditelusuri proses pengadaannya, ternyata banyak penyimpangan prosedur terjadi dalam proyek traffic light itu. Diawali surat dari kontraktor, yakni CV Sentral Teknik, yang menawarkan pembangunan lampu lalu lintas tanggal 12 September 2001. Dua hari kemudian, telah ada surat persetujuan dari Pimpinan DPRD untuk pembangunan lampu lalu lintas. Surat itu diperlukan karena pembangunan traffic ligt tidak dianggarkan dalam APBD 2001. Keesokan harinya, tanggal 15 September Bupati menerbitkan SK tentang
26
27
penunjukan Pemimpin dan Bendahara Proyek. Proyek itu ditempatkan di bawah Bagian Umum dan Perlengkapan Sekretariat Daerah Flores Timur. Pada hari yang sama, Bupati dengan SK No. P.Pemb.552.12/80/ 2001 yang isinya berupa persetujuan terhadap penawaran harga oleh CV Central Teknik. Lalu, 16 September Pimpinan Proyek Yoseph M. Matutina, mengirim surat ke Bupati meminta persetujuan prinsip pelaksanaan pembangunan traffic light dengan cara penunjukan langsung. Bagaikan sebuah seremoni, 17 September, Bupati memberi izin prinsip dan 19 September, CV Sentral Teknik ditunjuk langsung untuk membangun lampu lalu lintas. Padahal untuk pengadaan barang dan jasa, Pemda harus mengacu pada Keputusan Presiden No. 18 tahun 2000. Salah satu persyaratan dalam Keppres itu, pengadaan barang dan jasa, termasuk pembangunan lampu lalu lintas, harus menggunakan mekanisme tender. Penunjukan langsung hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat untuk penanggulangan bencana alam dan proyek yang nilainya di bawah Rp 50 juta. Dalam kasus ini, jelas sekali tidak ada bencana dan kondisi darurat bagi penunjukan langsung. Apalagi nilai proyeknya mencapai Rp. 361 juta. ***
ANGIN laut sore mengembuskan udara sejuk. Suara ombak berdebur di pantai akrab menyapa telinga. Di kejauhan, terpisah oleh selat, tampak Pulau Solor. Hanya 30 meter dari garis pantai, berdiri sebuah gereja besar. Gereja itu sanggup menampung kira-kira 200 jemaat. Meskipun besar, gereja itu tampak sangat sederhana. Tidak ada ornamen yang megah. Tiada pula lukisan kaca dan benda seni lain seperti halnya gereja di kota-kota besar di Jawa. Yang ada hanya lubang angin di dinding gereja, agar umat tidak panas ketika berada di dalam. Gereja berlantai semen itu terletak di kaki Ile Lewotobi. Ile Lewotobi masih jadi gunung aktif. Dua puncak berwarna abu-abu terlihat di sela-sela awan putih yang menutupinya. Jika dilihat pagi hari, saat langit bersih dan awan putih belum menutupinya, asap putih tipis mengepul dari dua kepundannya. Di sebelah gereja, berdiri rumah dua lantai. Orang Katolik menyebutnya pastoran, rumah tinggal pastor. Pastoran itu kediaman Romo Frans. Inilah geraja tempat penugasan baru Romo Frans. Ia jadi Pastor Paroki Lewotobi yang terletak di Desa Nurabelen, 50 kilometer dari Larantuka. Romo Frans dibantu oleh pastor muda, Johanes Bergman Beda Pr, dan Frater Agustinus Lamoren. Paroki adalah wilayah terkecil dalam
28
29
hirarki gereja Katolik yang dipimpin pastor. Sejumlah wilayah paroki dibawawi oleh Kevikepan yang dipimpin oleh Vikaris Jendral, di atasnya lagi ada Keuskupan yang dipimpin seorang Uskup. Ada pula keuskupan khusus yang dipimpin langsung oleh Paus di Vatikan, namun dilaksanakan oleh seorang Administrator Apostolik, seperti Keuskupan Dili, Timor Timur ketika Mgr Carlos Filipe Ximenes Belo jadi uskupnya. Timor Timur menjadi wilayah Administrasi Apostolik karena wilayahnya masih menjadi sengketa internasional. Adapun Paus adalah pemimpin tertinggi gereja Katolik Roma sedunia yang berkedudukan di Vatikan. Romo Frans tinggal di rumah itu. Kamarnya di lantai dua. Tangga dari tembok langsung mengarahkan tamu ke teras depan ruang kerja. Ruang kerjanya cukup luas, kirakira 8 kali 4 meter. Dua rak buku berdiri di dekat meja kerja. Di depan meja kerja ada sofa warna merah yang sudah kusam dan nyaris ambrol. Di sebelah sofa, TV dan VCD diletakkan di atas meja. Setiap sore, Romo Frans selalu menyempatkan diri menonton TV. Acara favoritnya adalah berita. Terutama “Liputan 6 Petang” SCTV dan “Metro Malam” di Metro TV. Tetapi Romo Frans tidak bisa setiap saat menonton berita. Tidak ada jaringan listrik
dari PLN. Gereja itu hanya diterangi listrik dari genset yang dinyalakan dari jam 6 sore sampai jam 12 malam. Di ruang kerja Romo Frans berserakan majalah Tempo. Meskipun tinggal di desa terpencil, Romo Frans berlangganan majalah berita mingguan terkemuka itu. Di sebelah ruang kerja adalah kamar pribadi. Di kamar itu hanya ada satu lemari, sebuah ranjang besi bercat hijau dan seperangkat komputer di atas meja. Karena tak ada listrik, Romo Frans hanya bisa mengetik malam hari saat genset dinyalakan. Banyak kalangan beranggapan, Romo Frans “dibuang” oleh Uskup Larantuka, Mgr Frans Kopong karena terlalu kritis terhadap Pemda. Uskup dianggap terlalu dekat dengan Bupati Flores Timur. Bahkan tahun 2003, Bupati membelikan dua mobil kijang untuk Uskup Mgr Darius Nggawa dan Uskup Coajutor Mgr Frans Kopong. Uskup Coajutor kira-kira adalah jabatan sementara sebelum Frans Kopong diangkat resmi menjadi Uskup Larantuka. Bupati juga memberikan kapal ikan yang pengadaannya penuh kontroversi kepada Keuskupan, meskipun Uskup bukan nelayan. Indikasi lain, ketika sejumlah Uskup memberikan dukungan terbuka kepada Romo Frans saat menghadapi persidangan, Uskup Larantuka justru tidak membubuhkan tanda
30
31
tangan dukungannya. “Saya tidak merasa dibuang. Saya justru mendapat jabatan yang saya inginkan sebelumnya. Selama karir saya di Keuskupan Larantuka, saya belum pernah menjabat sebagai pastor paroki,” kata Romo Frans Amanue. Setelah menyelesaikan studi S2 anthropologi di Universitas San Carlos, Cebu, Filipina, ia bertugas mengurus pendidikan dan kesehatan. Padahal, ketika hendak menjadi seorang pastor, Frans justru ingin menjadi pastor paroki. Dalam penugasan pastoral di lingkungan Gereka Katolik memang tidak dikenal istilah “dibuang” karena tugas pastoral tidak dikenal jenjang karier. Seorang pastor biasanya menerima penugasan yang berpindah-pindah, dari gereja di kota besar dengan berbagai fasilitas modern, kemudian bisa saja dipindah di pedalaman Papua atau Kalimantan, di mana der u kendaraan bermotor pun tidak pernah kedengaran. Saat umurnya mencapai 60 tahun, citacita Romo Frans baru terkabul. Menjadi pastor paroki. Menjadi imam bagi umat Katolik yang tinggal di pedesaan. Parokinya terletak di desa dengan segala keterbatasan. Bayangkan, kolekte atau sumbangan dari umat yang dikumpulkan pada setiap misa hari minggu hanya Rp 20 ribu. Bandingkan dengan
sebuah gereja Katolik di daerah Pasar Minggu, Jakarta. Setiap minggu di gereja, kolekte dari umat bisa mencapai Rp 4 juta. Meskipun tinggal di tempat terpencil, tak ada listrik, juga telpon, Romo Frans tidak terisolasi sama sekali. Di rumahnya, sinyal telepon selular bisa ditangkap dengan baik. Tak heran bila komentar Romo Frans sering menghiasi media massa lokal. Beberapa wartawan juga sering berkunjung ke parokinya. Tahun 1997 ter jadi kerusuhan di Larantuka. Massa marah melihat seseorang menodai hosti pada sebuah misa di Katedral Larantuka. Hosti adalah roti bulat tipis. Roti tanpa ragi. Di Gereja Katolik, misa merupakan peringatan akan Yesus Kristus yang menyerahkan dirinya untuk menebus dosa umat manusia. Hosti setelah melalui prosesi liturgis berubah menjadi Tubuh Kristus, bukan sekadar perlambang. Akan halnya anggur merah berubah menjadi darah Kristus. Hosti dianggap suci. Orang yang menodai hosti itu pun dihajar massa hingga tewas di halaman Katedral. “Tragisnya, hanya ada dua pastor yang mencoba menghentikan penganiayaan itu. Sementara para pastor yang lain asyik menyaksikan dari kejauhan,” kata Romo Frans mengenang peristiwa yang sangat membekas
32
33
di benaknya. Lalu massa yang marah mulai membakar toko-toko di Larantuka. Beberapa hari kemudian, ganti polisi yang bertindak brutal. Orang-orang yang terlibat penganiayaan ditangkapi. Beberapa diantaranya dihajar. “Banyak pastor yang menceritakan soal penangkapan itu seperti masalah biasa saja. Untung ada pastor dari STFK Ledalero yang mendampingi mereka yang ditangkap,” kata Romo Frans. Peristiwa itu yang kemudian mendorong Keuskupan Larantuka mendirikan Komisi Keadilan dan Perdamaian. Komisi ini memang organ resmi yang seharusnya ada di setiap Keuskupan. Wilayah kerjanya antara lain membela Hak Asasi Manusia, pencarian keadilan dan penciptaan perdamaian. Romo Frans menjadi Ketua Komisi yang kemudian sangat kritis terhadap Bupati Flores Timur. Tentang keterlibatan Romo Frans dalam berbagai persoalan ketidakadilan, Romo Amatus Woi SVD dalam orasinya di halaman Kejaksaan saat pelimpahan berkas dari polisi ke jaksa menyatakan, “Ada orang berbicara seorang imam tidak boleh berpolitik dan terjun langsung dalam politik. Tetapi seorang imam tidak mencari jabatan, pangkat dan keuntungan dari perjuangannya. Seorang imam berjalan di atas kebenaran dan berjalan di atas cinta kasih”.
Lalu Amatus melanjutkan,” Seorang imam harus melihat apa yang terjadi dengan umatnya. Petani kecil yang tanahnya tergusur. Seorang imam tidak akan membiarkan saudaranya, umat gembalaannya menderita sementara sekian banyak orang menari-nari di atas kesengsaraan umat. Ini perjuangan gereja. Gereja tidak bisa hidup di atas altar dan doa. Seorang imam harus mempersembahkan dirinya sendiri.” Orasi Amatus dengan sangat tepat menggambarkan pilihan tindakan yang harus diambil Romo Frans. Sebagai Ketua Komisi Perdamaian dan Keadilan, adalah tugasnya untuk membela mereka yang digusur dan menentang ketidakadilan. Meskipun untuk itu Romo Frans harus menanggung risiko yang tidak ringan. Juga ketika pimpinan gereja setempat tidak memberikan dukungan kepadanya. Untungnya, sejumlah pastor tidak meninggalkan Romo Frans. Bahkan mereka aktif mendukung dan hadir dalam setiap persidangan. Adalah Mensa, perkumpulan sejumlah pastor yang mendukung Romo Frans. Mensa sendiri berarti meja dalam bahasa Latin. Orang biasa berkumpul dan berdiskusi mengelilingi meja sehingga istilah Mensa melambangkan persaudaraan. Tetapi, seperti Romo Frans, beberapa anggota Mensa
34
35
yang bertugas di Keuskupan Larantuka kini dimutasi di sejumlah paroki yang jauh dari Kota Larantuka. RIBUAN orang sudah memenuhi halaman Pengadilan Negeri Larantuka. Mobil yang membawa Romo Frans memasuki halaman pengadilan jam 09.00. Di belakangnya ada dua bus yang membawa mahasiswa dari STF Ledalero. Tiga truk membawa massa dari Boru dan Bama turut mengiringi rombongan. Boru adalah desa perbatasan antara Flores Timur dan Kabupaten Sikka serta beberapa mobil lain. Polisi penindak huru hara juga telah bersiap. Mereka duduk-duduk di jalan kecil di samping pengadilan. Beberapa diantaranya memperhatikan orasi. Para frater itu memimpin orasi. Membacakan puisi-puisi dan menyanyikan lagu-lagu dukungan untuk Romo Frans. Pukul 11.30 sidang dimulai. Massa di luar pengadilan tekun mendengarkan dari pengeras suara. Juga di dalam ruang sidang yang penuh sesak pengunjung. Romo Frans duduk di kursi terdakwa. Akhirnya, tibalah saat palu dijatuhkan. Majelis hakim mengganjar hukuman dua bulan penjara ditambah masa 5 bulan percobaan. Dalam putusannya, majelis hakim menambahkan. “Karena
dibutuhkan umat, Romo Frans tidak perlu masuk dalam penjara”. Terkesan seperti putusan kompromi. Di satu sisi menyatakan Romo Frans bersalah, tetapi pada saat yang sama tidak memasukkan Romo Frans ke penjara. Putusan itu ditolak Romo Frans dengan mengajukan banding. Sebelum keluar, Romo Frans sempat menyalami Majelis Hakim satu per satu. Juga para jaksa. Sementara di luar, massa terdiam. Seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Baru kali pertama di Flores Timur, seorang pastor divonis bersalah. Baru sekali itu, pemimpin mereka harus mendekam di penjara sebagai narapidana. Suara riuh kembali terdengar ketika massa melihat Romo Frans berdiri di depan pintu masuk pengadilan. Para frater dari STFK Ledalero kembali menggelar happening art. Kali ini mereka mengusung peti mati berwarna hitam. Simbol matinya keadilan. Lambang ambruknya pengadilan. Di lantai dua, Ketua Majelis Hakim Sudarwin ikut menonton happening art. Sudarwin masih mengenakan toga hakim. Toga itu berupa jubah hitam dengan kain merah melingkari leher. Sudarwin belum sempat melepas toga yang dikenakan saat memimpin sidang pengadilan.
36
37
Sementara itu, di antara kerumunan massa, dua orang bergegas maju ke arah pintu pengadilan. Mereka menuju ke dinding depan pengadilan. Di situ tergantung lambang pengadilan. Pohon Beringin di tengah dan kata Pengayoman di bagian bawah. Dua orang itu dengan emosional mencopot lambang pengadilan dan menginjak-injak. Mereka kecewa dengan putusan hakim. Melihat kejadian itu, Hakim Sudarwin marah. Dia mengacungkan jarinya ke arah dua orang yang tengah melampiaskan kemarahannya di atas lambang pengadilan. Tetapi sikap Sudarwin yang menunjuk ke arah dua orang itu dipandang sebagai arogansi hakim. Massa pun mulai marah. Maka batu dan gumpalan tanah mulai dilemparkan, mengenai kaca, tembok dan atap seng. “Pyar. Duerr. Buk!” Terdengar suara kaca yang pecah, batu mengenai atap seng dan bungi batu yang membentur tembok silih berganti. Romo Frans segera ditarik masuk kembali ke gedung pengadilan agar tidak terkena lemparan. “Berhenti-berhenti. Romo Frans ada di dalam gedung. Jangan lempar lagi.” “Stop, stop, stop!”
Romo Frans dibawa keluar. Bersama para frater, suster dan pastor, serta sebagian massa, Romo Frans berjalan kaki menuju ke Katedral Larantuka. Lalu batu kembali beterbangan. Massa tidak terkendali lagi. Karena Romo Frans sudah keluar, tidak ada hambatan lagi melampiaskan kemarahan mereka. Satu regu aparat penindak huru hara tidak cukup untuk menghentikan ribuan massa yang mulai marah. “Dor!Dor!Dor!”
Beberapa orang meminta massa menghentikan lemparan batu. Massa menurut.
Tiga kali tembakan peringatan ditembakkan ke atas. Massa terdiam, takut, tidak ada lagi batu yang dilemparkan. Bersamaan dengan tembakan peringatan, polisi mundur, masuk kembali ke dalam gedung. Rupanya saat itu polisi mulai melakukan evakuasi. Tangga telah disiapkan di tembok belakang gedung Pengadilan. Mobil polisi dan pengadilan juga telah menunggu di jalan kecil di belakang tembok pengadilan. Tetapi upaya evakuasi ini membuat massa semakin beringas. Mundurnya polisi ke dalam gedung dan menuju ke belakang dianggap sebagai sebuah kemenangan. Massa bersorak. Batu kembali dilemparkan ke arah pengadilan. Rombongan Romo Frans yang berjalan
38
39
kaki mulai memasuki kompleks pertokoan Larantuka. Ketika itu, orang-orang berteriakteriak gedung pengadilan telah dibakar. Romo Frans menengok ke belakang. Dilihatnya asap membumbung ting gi di atas gedung pengadilan. Ruangan di sebelah kiri ruang sidang utama mulai terbakar. Api menjalar dengan cepat. Melalap kertas dan korden. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, seluruh gedung Pengadilan telah dilahap si jago merah. Massa masih tidak puas. Mereka menuju ke Kantor Kejaksaan Negeri Larantuka. Letaknya hanya satu kilometer dari gedung Pengadilan. FRANS Basa berada di tengah-tengah massa. Saat massa mulai bergerak ke kantor Kejaksaan, ia bergegas menghidupkan motor dan memacunya ke SD Supersemar yang terletak tidak jauh dari Kejaksaan. Eri dan Ria, dua anaknya masih berada di sekolah. Sampai di sana sekolah sudah tutup. Rupanya guru memulangkan murid lebih awal. Frans Basa melarikan motor ke rumah. Mungkin kedua anaknya sudah berada di rumah. Frans kuatir. Pembakaran gedung pengadilan dan ribuan massa membuat situasi tidak terkendali. Dia ingin memastikan anaknya aman berada di rumah. Tetapi rumahnya sepi. Hanya ada nenek 40
seorang diri di rumah. “Mungkin mereka bersama ibunya di rumah sakit,” pikir Frans Basa. Segera di menuju ke arah Rumah Sakit Umum Daerah Larantuka. Benar, kedua anaknya memang bersama istrinya di rumah sakit. Kembali Frans menuju ke arah Kejaksaan. Tetapi di tengah jalan dia bertemu Romo Jansen. “Tolong belikan air minum untuk temanteman,” kata Romo Jansen sembari memberi tiga lembar uang Rp 20.000,00. Frans Basa kembali berputar. Kali ini menuju kios kecil di dekat rumah. Di kios itu, Frans membeli tiga kotak air minum. Dengan tiga kotak air, Frans menuju ke arah Kejaksaan. Massa yang marah melempari kantor Kejaksaan. Segera saja kaca-kaca pecah dan kantor dirusak. Kantor Kejaksaan hanya satu lantai saja. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, api membakar seluruh kantor. Minibus yang ada di garasi pun ikut terbakar. Juga rumah dinas jaksa yang terletak di belakangnya. Saat itu, Frans Basa membagikan air minum. Tidak terpikir olehnya, tugas membagi air minum atas permintaan Romo Jansen ini akan menggiringnya ke penjara. PERISTIWA pembakaran gedung pengadilan dan kejaksaan Larantuka membuka mata publik. Media massa nasional 41
memberitakan amuk massa ini. Sebelumnya, kabar tentang pengadilan Romo Frans hanya ramai diberitakan di media massa lokal. Tidak banyak berita yang muncul di media massa nasional. Dua hari setelah pembakaran, Profesor Harkristuti Harinowo, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia berkomentar di harian Suara Pembaruan. “Pembakaran gedung Pengadilan dan Kejaksaan Negeri Larantuka merupakan cermin ambruknya kewibawaan hukum. Masyarakat tidak mungkin melakukan aksi pembakaran jika rasa keadilannya tidak terganggu. Namun yang pasti, pengadilan pelapor kasus korupsi tersebut juga merefleksikan betapa lemahnya perlindungan saksi yang mengungkap kasus korupsi.” Luhut Pangaribuan, mantan Direktur LBH Jakarta dan kini menjadi pengacara profesional berkata, “Aksi membakar dua gedung institusi penegak hukum di Kabupaten Flores Timur terjadi karena ketidakmampuan para jaksa dan hakim yang menangani perkara Romo Frans Amanue Pr menangkap hukum yang hidup di tengah masyarakat setempat. Padahal, baik jaksa maupun hakim diwajibkan oleh undangudnang untuk menangkap hukum yang hidup dalam masyarakat.” Jaksa dan hakim, tutur Luhut, seharusnya
memahami kedudukan pastor dalam konteks masyarakat Flores yang dilihat sebagai primus interpares atau orang yang sangat dihormati. Pastor juga dilihat sebagai orang yang mengungkapkan kebenaran. Karena itu, apa yang diungkapkan Romo Frans dalam media lokal adalah upaya untuk mengungkapkan kebenaran dan menegakkan etika. Luhut Pangaribuan dan Harkristuti sepakat, aksi massa di Larantuka harus diteliti akar masalahnya. Keduanya mengingatkan, aksi yang muncul setelah vonis dua bulan penjara dengan lima bulan masa percobaan terhadap pastor Keuskupan Larantuka jelas merefleksikan kekecewaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum. Yang terjadi di Flores Timur merupakan refleksi macetnya penegakan hukum dalam kasus korupsi. Di Jakarta, banyak koruptor kelas kakap yang merugikan negara dalam jumlah tak terbilang, seperti korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), tidak pernah diadili. Kalau pun ada pengadilan, vonis yang dijatuhkan cukup ringan, hanya dalam hitungan bulan. Memang ada yang divonis berat, bahkan hukuman seumur hidup. Tetapi vonis berat hanya untuk beberapa orang yang berhasil kabur ke luar negeri. Ifdhal Kasim, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menulis di
42
43
harian Republika. “Pembakaran gedung pengadilan dan kejaksaan Larantuka bukan hanya meruntuhkan secara harafiah bangunan fisik kantor, tetapi sekaligus membakar simbol yang melekat pada kedua institutusi itu, yakni keadilan. Institusi ini telah kehilangan kehormatan dan kewibawaannya sebagai penyelenggara keadilan”. Tentang hukum yang justru membela Bupati, Ifdhal menulis, “Hukum memang bukan instrumen yang otonom atau netral, sebagaimana dikonstruksikan oleh tradisi hukum liberal, tetapi sarat dengan kepentingan subjekitf. Inilah pesan yang ingin disampaikan melalui kasus Larantuka.” Di Larantuka, berulangkali Forum Reformasi Flores Timur mengungkapkan dugaan korupsi yang melibatkan bupati. Berkali-kali pula aliansi sejumlah organisasi non pemerintah dan tokoh masyarakat di Flores Timur mendesak penegakan hukum dalam sejumlah kasus dugaan korupsi itu. Tetapi Kejaksaan selalu berkelit dengan menyatakan tidak cukup bukti untuk memeriksa Bupati Flores Timur dalam kasus korupsi. Pendapat kejaksaan itu justru digunakan oleh Bupati Felix Fernandez untuk menolak dugaan korupsi. Kepada majalah Tempo, Felix mengatakan, “Saya sudah diperiksa berbagai
pihak. Mulai dari Badan Pemeriksa Keuangan, BPKP, Inspektorat Wilayah Propinsi (kini Badan Pengawasan Daerah) dan Kejaksaan. Sama sekali tidak ada bukti saya melakukan hal-hal yang dituduhkan Romo Frans.” Tetapi efektivitas pemeriksaan oleh BPKP dan Badan Pengawasan Daerah dipertanyakan. Terutama soal independensi para auditornya. Seperti dikatakan oleh Azab Raya Buang, “Saya tidak percaya BPKP. Mereka datang, sudah diatur penginapannya. Mereka pulang, juga sudah diatur perjalanannya. Saya Kepala Bagian Umum, saya yang mengatur itu semua. Sebelum pulang, mereka (auditor BPKP) telepon saya, pak kami tiga hari lagi pulang. Oh gampang. Hotel gampang. Tiket pesawat juga gampang.” Rupanya, meskipun sudah mendapat ongkos perjalanan dan biaya penginapan dan keperluan lain, seluruh keperluan auditor ditanggung oleh Pemda, khususnya oleh Kepala Bagian Umum yang pernah dipegang oleh Azab Raya Buang. “Jadi laporan BPKP selalu bagus. Tidak mungkin dia bikin laporan yang jelek-jelek. Secara manusiawi agak mustahil. Saya tidak percaya BPKP,” tandas Azab. Belakangan, ketika dugaan kasus korupsi ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), secara tegas kepada media
44
45
massa KPK membenarkan adanya dugaan korupsi di Flores Timur. Bahkan dalam laporan KPK ke DPR, seperti diungkapkan oleh Benny Harman, anggota DPR RI Komisi III dalam satu seminar di Kupang, “Dalam laporan KPK, Felix Fernandez statusnya tersangka”. Karena itu, benar ungkapan Prof Harkristuti dan Luhut Pangaribuan, aksi pembakaran itu adalah puncak kekecewaan massa terhadap lembaga peradilan yang tidak mampu memberikan keadilan. PEMBAKARAN itu berbuntut panjang. Satu per satu mereka yang disangka melakukan pembakaran ditangkapi polisi. Pada 16 November 2003, tiga orang sudah ditangkap polisi yakni Johanes Sabon, Agustinus Diaz dan Wem Langkamau. Penangkapan itu sempat diprotes Romo Frans karena tidak sesuai prosedur, seperti tidak adanya surat penangkapan. Kapolres Flores Timur, AKBP Darto Djuhartono menyatakan akan memperhatikan protes Romo Frans. Tetapi penangkapan tetap dilakukan. Menyusul kemudian John Ricardo, Martinus Mangu, Philipus Tobi, Tobias Muda Odjan, Benediktus Langkamau, Wilhelminus Langkamau dan Rafael Lamanepa. Sepuluh orang tersangka itu kemudian dibawa ke Kupang. Proses penyidikan dan pengadilan 46
dilakukan di Kupang. HARI mulai terang saat terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Lalu diikuti dengan suara langkah-langkah kaki di sekeliling rumahnya. Terdengar suara pintu diketuk. Frans Basa bangkit dari tempat tidur. Di sebelahnya, istrinya mulai membuka mata. Pintu telah terbuka karena dua anaknya sudah bangun terlebih dulu. Mereka menyapu halaman rumah. Tampak seorang polisi berada di depan pintu. Rupanya Nengah Lantika. Tidak hanya dikenalnya dengan baik, istri Lantika bahkan termasuk kerabat dekat Frans Basa. “Mari ikut saya ke kantor polisi” “Status saya apa, sebagai saksi atau tersangka?” “Sebagai tersangka.” Lantika menyodorkan surat pemanggilan yang harus ditandatangani oleh Frans Basa. Tidak banyak bicara, Frans menandatangani surat itu. “Baik, tunggu sebentar”. Frans kembali masuk ke rumah langsung ke belakang untuk cuci muka. Dilihatnya 47
sejumlah polisi telah mengepung rumahnya. Frans menuju ke kamar untuk mengenakan baju. Sebelum pergi, dia sempat berkata kepada istrinya yang telah bangun sembari menyerahkan salinan surat penangkapannya. “Saya pergi dulu. Saya ditangkap”. “Kenapa?” “Tidak tahu. Pokoknya saya ditangkap. Beritahu ibu Ina Lamabelawa”. Ina adalah seorang pengacara. Frans Basa berjalan menuju mobil polisi diiringi Lantika. Di halaman, dua anaknya masih asyik menyapu. “Bapak jalan dulu ya”, kata Frans berpamitan kepada anaknya, Erik dan Ria. Frans ingin memeluk keduanya, seperti yang biasa dia lakukan bila hendak bepergian. Tetapi pagi itu dia merasa tidak punya kekuatan untuk melakukannya. Frans Basa orang ke-11 yang ditangkap setelah pembakaran gedung pengadilan dan kejaksaan Larantuka. Kepada polisi yang memeriksanya, Frans Basa meminta, “Jangan kalian tangkap teman-teman yang lain. Biarlah saya menjadi orang terakhir yang kalian tangkap”. Tetapi polisi tak peduli, penangkapan-penangkapan terus terjadi.
KUPANG, 16 Agustus 2004. Matahari siang memanggang kota batu karang itu. Arif Rahman keluar dari gedung Pengadilan Negeri Kupang menuju halaman parkir bersama beberapa jurnalis media lokal. Arif dihampiri Sukwanto Koho, Asisten Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kupang bersama dua jaksa lainnya. “Mari ikut kami ke kantor, ada persoalan penting yang hendak diselesaikan.” Arif sudah merasa sesuatu akan menimpa dirinya. Tetapi Arif mengikuti permintaan jaksa tersebut. Mereka menuju mobilnya, Toyota Kijang warna coklat muda. Sesampai di mobil, salah seorang jaksa mengambil kunci kontak dan meminta Arif duduk di kursi depan. Mobil dikendarai Sukwanto Koho. “Ada urusan apa ini?” “Kami hendak melakukan eksekusi terhadap putusan Pengadilan Tinggi”. “Mengapa tidak menunggu pengacara saya dulu?” “Ah, nanti saja. Pengacara anda kan bisa menyusul”. Sampai di Kantor Kejaksaaan Negeri,
48
49
Arif diminta menandatangani Berita Acara Eksekusi.
Arif menurut saja, tidak ada yang bisa dilakukannya lagi. Segera setelah tandatangan, jaksa membawanya ke Lembaga Pemasyarakatan Penfui, Kupang. Di penjara itu sempat muncul ketidakjelasan status tentang dirinya, apakah sebagai narapidana atau tahanan. Saat itu Arif tengah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, artinya proses hukum masih berjalan dan vonis yang diberikan pengadilan banding belum memiliki kekuatan hukum yang tetap. Tetapi akhirnya Arif memilih status narapidana dalam register lembaga pemasyarakatan. Arif harus mendekam di penjara karena laporan pencemaran nama baik oleh Felix Fernandez, Bupati Flores Timur. Pangkal masalahnya adalah pernyataan Arif yang
dimuat di harian Radar Timor dan Flores Pos. Arif mengatakan adanya dugaan korupsi dalam pembelian Kapal Ferry Cepat Andhika Mitra Express oleh Pemda Flores Timur. Di Pengadilan Negeri, Arif dinyatakan bersalah dan dihukum empat bulan penjara. Arif pun mengajukan banding. Pengadilan Tinggi NTT menolak banding Arif. Bahkan Pengadilan Tinggi menjatuhkan vonis yang lebih berat lagi, tujuh bulan penjara. Tindakan Kejaksaan ini menimbulkan kontroversi karena seharusnya eksekusi dilakukan oleh Pengadilan, bukan Kejaksaan. Arif Rahman bertubuh kecil menurut ukuran orang Indonesia. Tetapi suaranya lantang dan jernih. Raut wajahnya menunjukkan keberanian, bahkan cenderung nekat. Arif tidak hanya digugat Felix Fernandez. Dia juga harus menghadapi pengadilan karena laporan Jacky Ulli. Jacky Ulli adalah mantan Kepala Kepolisian Daerah NTT. Jacky Ulli tersinggung karena pernyataan Arif Rahman yang dimuat di harian Suara Masyarakat. Arif menyatakan, mantan Kapolda menerima uang Rp 500 juta dalam kasus pembobolan Bank Mandiri Kupang. Pernyataan itu dikutip dari sebuah konferensi pers. Arif hanya menyebut mantan Kapolda, dan juga tidak menyebutkan nama
50
51
“Mengapa tidak menunggu pengacara saja?” Kembali Arif meminta Kejaksaan menunggu pengacara karena eksekusi menimbulkan konsekuensi hukum sehingga pengacara harus mengetahuinya. “Tidak perlu, nanti pengacara bisa menyusul”.
Jacky Ulli. Tetapi di harian Radar Timor, nama Jacky Ulli disebut. Padahal dalam Berita Acara Pemeriksaan, saksi wartawan mengatakan, penyebutan nama Jacky Ulli merupakan pernyataan off the record yang tidak boleh diberitakan. Tetapi toh Jacky tidak terima dan kini Arif mesti menjalani proses persidangan. Arif, mantan anggota DPRD NTT dari Partai Bulan Bintang. Menyelesaikan pendidikan sarjana di Universitas 45 Makassar, Arif melanjutan studi di Magister Sosiologi Pedesaan di Universitas Brawijaya Malang. Arif adalah dosen di Universitas Muhamadiyah Kupang. “Flores Timur sudah sangat parah. Pemda tidak sanggup lagi membayar tagihan. Kini Kimia Farma tidak mengirim lagi stok obat ke sana,” katanya. KASUS korupsi sering tidak gampang dimengerti orang awam. Korupsi dibahas dalam rupa hukum. Perdebatan para pengacara dengan dalil dan argumentasi hukum yang canggih. Bahkan terkesan rumit sehingga tidak ketahuan lagi mana yang benar mana yang salah. Korupsi juga bisa berupa perdebatan teknis. Berupa angka, tabel, grafik dan perhitungan ekonomi teknis yang tidak gampang dimengerti. Diperlukan pengetahuan ekonomi serta latar belakang
pengetahuan teknis di sektor-sektor tertentu. Orang biasa? Mungkin harus tahu diri tidak usah terlibat dalam perdebatan tentang korupsi yang harus dilakukan dengan logika ekonomi teknis. Tetapi di Flores Timur, yang terjadi agaknya berbeda dengan kecenderungan tadi. Di sini, korupsi diketahui dan bahkan dirasakan dampaknya. Pada sektor pendidikan dapat dilihat bagaimana korupsi di tingkat atas berdampak pada sekolah dan murid di desa. Dari Kecamatan Wulanggitang protes itu bermula. Kecamatan di ujung barat Flores Timur berbatasan dengan Kabupaten Sikka. Terletak di kaki gunung Lewotobi yang kepundannya masih mengepulkan asap. Tanah sangat subur. Tanaman penduduk menghijau, tetapi aroma kemiskinan tidak bisa dihilangkan. Siang itu, di SD Negeri Nobo, Kecamatan Wulanggitang, sekolah telah usai. Beberapa anak bermain di halamannya. Beberapa pohon johar tumbuh di halaman sebelah kiri sekolah. Di bawahnya ada kolam pasir untuk olah raga lompat jauh. Di belakang sekolah itu berdiri rumah dinas yang dihuni Stefanus Gelang Temu, sang Kepala Sekolah. Meskipun milik pemerintah, tidak serta merta pembiayaan sekolah lancar. Bahkan sebaliknya. Dana operasional pendidikan
52
53
terakhir diterima tahun ajaran 2001/2002. Tahun 2003/2004 dana itu belum disalurkan ke sekolah-sekolah. Dana yang besarnya bervariasi, antara Rp 1 juta – Rp 2 juta per sekolah sangat diperlukan Stefanus. Dana operasional dipergunakan untuk membayar gaji bagi tenaga guru honorer. Di SD Negeri Nobo ada tiga guru honorer. Per bulan mereka menerima Rp 75.000. Selain itu, dana operasional juga dipergunakan untuk membeli kapur tulis, kertas dan perawatan perlengkapan sekolah, seperti bangku dan meja. Karena tidak ada dana operasional, pembiayaan sekolah menjadi tanggungjawab orang tua siswa dan siswa itu sendiri. Setiap bulan, siswa harus membayar Rp 1.000. Untuk pelaksanaan Ujian Akhir Sekolah, setiap siswa kembali harus membayar Rp 60 ribu. Tentu dana itu tidak mencukupi. Stefanus pun mencari alternatif lain untuk menggalang dana. Tiap siswa diwajibkan melakukan pekerjaan untuk sekolah, yaitu dengan bekerja di kebun dan mengambil pasir. Alternatif serupa juga dilakukan di beberapa sekolah di Solor. “Kami terpaksa pekerjakan murid untuk angkut pasir dan kerja kebun nua mendapatkan uang untuk kebutuhan sekolah. Kami tidak bisa memilih alternaif lain. Sebelumnya kami meminta
bantuan kepada orang tua murid, namun karena kemampuan terbatas, maka kami sepakat untuk menggunakan tenaga murid untuk mencari uang untuk memenuhi kebutuhan belajar mengajar, yakni membeli kapur tulis, kertas dan kebutuhan lain,” kata Thomas Ula Uma, Kepala SD Inpres Lewograran dan Damianus Koten, Kepala SD Katolik Wuliblolong kepada Pos Kupang, 21 Mei 2004. Murid-murid bekerja sekali seminggu mengumpulkan satu kubik pasir seharga Rp 30 ribu. Saat musim berkebun tiba, anak-anak bekerja untuk membersihkan tanaman di kebun dengan alokasi waktu dua jam dan dibayar Rp 30 ribu. Dana yang terkumpul kemudian dipergunakan untuk membiayai operasional sekolah. Lain lagi pengalaman Beatus Gahing Tokan, Kepala Sekolah SD Negeri Boru, Wulanggitang. Di sekolahnya ada tiga guru honorer yang harus dibayar Rp 200 ribu setiap bulan. Untuk biaya operasional, Beatus tidak mau mempekerjakan siswa. “Saya tidak mau mempekerjakan anak-anak. Biar mereka konsentrasi belajar saja.” Maka, seluruh pembiayaan sekolah dibebankan kepada seluruh orang tua murid. Setiap bulan, orang tua murid membayar biaya sekolah yang tidak murah. Paruh pertama
54
55
tahun 2004, setiap murid harus membayar Rp 30 ribu per semester atau Rp 5.000 per bulan. Semester kedua, biaya sekolah naik menjadi Rp 60 ribu atau Rp 10 ribu per bulan. Pada 2005, karena kenaikan harga bahan bakar minyak, Beatus menaikkan kembali uang sekolah menjadi Rp 75 ribu per semester atau Rp 12.500 per bulan yang harus dibayar oleh setiap murid. Ditambah lagi dengan biaya UAS yang mencapai Rp 60 ribu per siswa kelas 6. Biaya yang harus dibayar siswa di Wulanggitang itu tergolong mahal. Bandingkan dengan SD di Jakarta. Di daerah Mangga Dua, Jakarta, SD Negeri membebankan Rp 5.000 per bulang kepada setiap siswa. Macetnya penyaluran dana operasional akhirnya berujung pada pemogokan. Pemogokan ini dilakukan oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Wulanggitang. Kegiatan belajar mengajar di 19 TK, 23 SD, 4 SLTP dan 2 SLTA praktis berhenti. Sejak Kamis 6 Mei 2004, para guru hanya duduk-duduk di halaman sekolah. PGRI Wulanggitang tidak hanya menuntut pembayaran dana operasional. Mereka juga menuntut Bupati Flores Timur Felix Fernandez mengundurkan diri. Tuntutan guru tidak salah. Dana Operasional
Pendidikan (DOP) sebetulnya sudah dianggarkan dalam APBD Flores Timur 2004. Ironisnya, pada saat yang sama Pemda dan DPRD Flores Timur sepakat untuk memberikan pensiun kepada 30 anggota DPRD yang segera berakhir masa jabatannya. Masing-masing anggota dewan menerima dana purna bakti sebesar Rp 50 juta, untuk seluruh angota total Rp 1,5 miliar dari APBD. Agustus 2004, para guru kembali beraksi. Di Adonara, guru kembali melakukan pemogokan selama tiga minggu. Mereka juga melakukan aksi demonstrasi di gedung DPRD II Flores Timur menuntut pembayaran dana operasional pendidikan. Sekitar 300 guru dari PGRI Klubagolit, Witihama, Ile Boleng, Wulanggitang, Kiwangona dan Lamatewelu menuntut pembayaran dana operasional tahun anggaran 2003/2004 dan 2004/2005 yang besarnya mencapai Rp 3,1 miliar. Dana operasional itu sebetulnya sudah dianggarkan dalam APBD dan bersumber dari Dana Alokasi Khusus Pendidikan (DAK). DAK adalah dana dari pemerintah pusat untuk pembiayaan sektor-sektor tertentu di daerah. Selain DAK, pemerintah pusat juga memberikan Dana Alokasi Umum (DAU) yang penggunaannya merupakan wewenang Pemda sepenuhnya. Setelah melakukan pemogokan dan
56
57
demonstrasi, akhirnya Pemda mengucurkan dana operasional. Setiap sekolah mendapat Rp 450 ribu dan bantuan berupa kapur tulis. “Saya tidak mengambil kapur tulis karena ongkos perjalanan untuk mengambilnya lebih mahal dari harga kapur itu sendiri,” ungkap Beatus Gahing Tukan dengan nada getir. RUMAH Sakit Umum Daerah Larantuka memiliki halaman yang luas. Di dekat loket pendaftaran, seseorang sibuk mencuci ban. Dua orang sedang mendaftar untuk berobat. Rumput di halaman tumbuh subur tidak teratur. Di sebelahnya terletak Unit Gawat Darutat. Seorang anak kecil menangis dalam gendongan ibunya. Dia baru saja menjalani operasi tumor kecil yang tumbuh di lengan kanan. Bekas luka operasi ditutup dengan perban. Garis aliran darah yang mengering masih tampak hingga ke kakinya. Menara air berkarat tegak berdiri di samping kantor administrasi. Bak penampung air di atas juga masih utuh. Berwarna putih biru yang telah memudar. Tidak ada pipa dari atas ke bawah, menunjukkan bak air itu tidak difungsikan lagi. Di belakang bangunan Unit Gawat Darurat terletak bangsal laki-laki berdiri memanjang. Semua pasien berada di kamar, 58
sebelah kanan kiri lorong. Tampak sampah plastik bundar terletak di depan setiap kamar. Beberapa sudah tidak sanggup lagi menampung sampah. Plastik bekas makanan, bungkus rokok, kertas dan botol infus beserta jarumnya. Di ujung lorong adalah toilet. WC dan kamar mandi di sebelah kiri tidak dipergunakan lagi. Tidak ada air. Bahkan lubang WC paling ujung menjadi tempat sampah. Kondisinya tidak terawat. Di situ hanya ada empat kamar mandi dan WC yang bisa dipergunakan. Air mengalir lancar. Tetapi lantai tampak hitam berlumut. Cat di dinding sebagian sudah mengelupas. Sementara plafon di atap, lapisan kayu tipis sudah mulai mengelupas. Di sebelah bangsal laki-laki, terdapat bangsal perempuan dengan bangunan yang memanjang. Dari pintu depan, pengunjung langsung melihat ruang lebar. Ada delapan tempat tidur pasien. Di sebelah kiri, seorang ibu tengah terbaring sakit ditung gui kerabatnya. Di ujung lain, tampak tempat tidur pasien tidak tertata rapi. Kain tenun Flores tersampir di ujung ranjang. Di dinding tampak papan bercat dasar biru dengan tulisan warna hitam. Papan itu tidak terlalu besar, tetapi dari pintu masuk tulisan bisa terbaca dengan jelas: 59
“Kalau Anda puas, beritahu orang lain. Kalau Anda tidak puas, beritahu kami.” Di sebelah bangsal terletak berjejer kamar pasien dan ruang perawat. Dalam ruang berukuran 3 X 4 m terlihat dua perempuan berbaju putih sedang sibuk bekerja. Konstruksi bangsal ternyata sama dengan bangsal laki-laki. Di ujung lorong terletak toilet. Tiga kamar mandi dan WC sepertinya tidak dipergunakan lagi karena lantai tampak kering. Tetapi air mengucur tiada berhenti dari kran yang sudah rusak. Tiga kamar mandi sudah rusak pintunya. Daun pintu yang sudah rusak disandarkan pada dinding di kamar mandi. Hanya satu kamar mandi di sebelah kiri yang masih dipergunakan. Lantai hitam karena lumut. Bak mandi dilapisi keramik kecil berwarna putih yang mulai berwarna kuning. RSUD Larantuka sedang bermasalah. Pada 2004, petugas kebersihan melakukan pemogokan. Lusia, salah seorang yang dulu bekerja di bagian cleaning service bercerita, dirinya tidak menerima honor sebagaimana dijanjikan. Direkrut bersama 25 orang lainnya sebagai tenaga cleaning service, Lusia dijanjikan mendapat honor sebesar Rp 300 ribu per 60
bulan. Dia menandatangani kontrak dengan Yayasan Masyarakat Mandiri atau dikenal dengan singkatan Yamadi. Lusia terikat kontrak selama satu tahun, dari Januari hingga Desember 2004. Untuk membersihkan rumah sakit, RSUD Larantuka bekerja sama dengan Yamadi. Yamadi merekrut dan mengelola tenaga honorer. “Saya hanya dibayar satu kali saja, bulan Februari 2004 sebesar Rp 300 ribu. Sampai Juni 2004 saya dibayar Rp 250 ribu per bulan, tetapi sering terlambat.” Karena pembayaran sering terlambat, 25 tenaga cleaning service melakukan pemogokan. Akhirnya RSUD bersedia membayar tetapi sampai September saja. Karena dalam pemogokan yang kembali dilakukan pada bulan November – Desember 2004 dianggap karyawan tidak bekerja. Pieter Krowin, anggota DPRD Flores Timur menjelaskan, berdasarkan informasi dari dari Yamadi, sampai akhir 2004 RSUD baru membayar sejumlah Rp 17,5 juta. Padahal berdasarkan kontrak, RSUD harus membayar Yamadi sebesar Rp 22,5 juta per tiga bulan sebagai honor bagi 25 petugas. “Sampai Agustus 2004, RSUD seharusnya membayar Rp 60 juta ke Yamadi. RSUD masih mempunyai kewajiban Rp 42,5 61
juta,” ujar Pieter. Tetapi tidak mudah bagi Lusia untuk menagih sisa gajinya. Menurut Pieter Krowin, RSUD menolak membayar gaji September – Desember 2004. RSUD tidak mau membayar gaji selama petugas kebersihan melakukan pemogokan. Macetnya pembayaran tenaga kebersihan mengundang kecurigaan,karena dalam APBD 2004 tercantum pembayaran cleaning service sebesar Rp 90 juta. Pas dengan skema pembayaran Rp 22,5 juta per tiga bulan. Artinya, dana dari Pemda sudah ada tetapi entah mengapa dana itu tidak sampai ke tangan Lusia dan kawan-kawannya. Ketidakberesan manajemen RSUD juga dapat dilihat beberapa bulan sebelumnya. Saat itu, perawat yang melakukan pemogokan. Sabtu, 27 Maret 2004 tenaga perawat berhenti bekerja selama dua jam. Mereka mempertanyakan dana insentif bagi 90 perawat yang belum terbayar empat bulan, dari September hingga Desember 2003. Padahal, dana insentif untuk dokter tidak mengalami keterlambatan. Keterlambatan gaji dan buruknya fasilitas di RSUD Larantuka tidak sekadar menunjukkan amburadulnya manajemen rumah sakit. Persoalan itu adalah gejala yang muncul dari sebuah persoalan yang lebih besar.
Gejala lain adalah hutang RSUD kepada PT Kimia Farma Cabang Kupang. Kimia Farma adalah Badan Usaha Milik Negara yang memproduksi dan mendistribusikan obatobatan. Dalam penjualan, biasanya menggunakan sistem konsinyasi. Kimia Farma mengirim dulu obatnya, kemudian pembeli membayar beberapa waktu kemudian. Tetapi masalahnya, pembayaran RSUD Larantuka sering macet. Anehnya, masyarakat yang berobat di RSUD tetap dipungut biaya. Artinya ada uang yang masuk ke RSUD Larantuka dan uang yang seharusnya dibayarkan ke Kimia Farma tidak jelas entah mengalir ke mana. Mei 2004 Kimia Farma kembali menagih hutang RSUD Larantuka. Kali ini disertai tindakan menghentikan suplai obat sementara. Seperti dilaporkan Pos Kupang, Pemda Flores Timur melalui RSUD masih berhutang Rp 1 miliar untuk tahun anggaran 2003 dari total pembelian yang mencapai Rp 2 miliar. Penghentian suplai obat itu melumpuhkan RSUD Larantuka karena praktis hanya bergantung pada stok obat yang ada. Buruknya fasilitas kesehatan di RSUD Larantuka membuat masyarakat yang mampu memilih klinik kesehatan Lebao. Klinik itu dikelola para biarawati Katolik. Lebih mahal dibandingkan dengan RSUD. Celaka bagi or-
62
63
ang miskin, karena dana mereka tidak mencukupi buat berobat ke kinik Lebao. PANAS mentari mulai terasa. Romo Frans mengetuk pintu baja nan kokoh. Di samping kanan pintu, tertulis jadwal berkunjung. Tahanan, Senin dan Rabu jam 08.00 – 12.00. Narapidana, Selasa dan Kamis, jam 08.00 – 12.00. Gedung itu, Lembaga Pemasyarakatan Larantuka. “Selamat pagi”, sambut suara dari dalam sembari membuka lubang kecil di pintu baja itu. “Saya Romo Frans Amanue. Saya hendak membezuk Frans Wuring Basa”. “Tunggu sebentar”. Lubang kecil itu tertutup. Sesaat kemudian pintu baja terbuka. Seorang sipir penjara berseragam coklat tua mempersilakan Romo Frans dan saya masuk. Di balik pintu terdapat lorong. Di samping kiri kanan lorong terdapt kantor sipir penjara. Di sebelah kiri, dua petugas asyik melihat televisi yang ditaruh jauh di dalam ruang sebelah kanan. Begitu melihat kedatangan Romo Frans, kedua sipir itu berdiri menyalami. Seluruh penjaga penjara mengikuti mereka, menyalami pastor itu dengan penuh rasa hormat. Sipir 64
mengantar Romo Frans melewati pintu berjeruji besar yang memisahkan kantor dengan ruang pertemuan yang disediakan bagi pengunjung narapidana. Saya dan Romo Frans berjalan menuruni dua anak tangga. Di depan kami tampak sebuah bangunan panjang. Sipir mengantar kami ke arah kiri bangunan itu. “Frans Wuring Basa!” terdengar nyaring pengeras suara memanggil. Sepintas kami lihat Frans Basa melewati pintu berterali yang membatasi kompleks penjara dengan ruang pertemuan dengan pengunjung. Frans Basa divonis tiga tahun penjara karena didakwa melakukan pembakaran gedung Pengadilan Larantuka. Diantara ke-11 orang yang ditahan, vonis Frans paling lama. Yang lain hanya dihukum bervariasi antara empat bulan hingga satu tahun. Ruang pertemuan itu luasnya kira-kira 12 meter persegi. Di tengah ruang terdapat meja dari tembok. Dilapisi keramik kotak berwarna biru muda. Panjang meja sekitar empat meter. Meja tembok itu dikelilingi oleh empat kursi kayu. Frans Basa masuk dan menebarkan senyum. “Apa kabar Romo?” 65
“Baik-baik saja. Bagaimana kamu di dalam?” “Saya juga baik dan sehat.” Frans pun menyalami tamunya satu per satu. Mengenakan kaos hitam bertuliskan “Tolak Bungkam” dan “Voice of Voiceless” di bawah. Di antara dua kalimat itu samar-samar terlihat gambar Romo Frans yang telah pudar. Kaos itu menjadi media kampanye pembelaan terhadap Romo Frans. Tolak Bungkam adalah judul buku seri Teologi Pembebasan yang diterbitkan Insist Press dan Pustaka Ledalero. Dalam buku itu dimuat Pledoi Romo Frans yang dibacakan dalam persidangan serta sejumlah analisis dan komentar para Romo dan pendukung Romo Frans lainnya. Frans Basa adalah tahanan istimewa. Dia adalah sarjana teknik sipil lulusan Universitas Katolik Wiramandira, Kupang. Frans melewatkan waktu terlalu lama untuk kuliah, sepuluh tahun dari 1982 hingga 1992. Keterbatasan biaya memaksa Frans harus bekerja sembari kuliah. Pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya memberikan kemudahan bagi Frans untuk bekerja di luar penjara. Ia kerap diminta memberikan konsultansi dalam pengerjaan bangunan.Tidak hanya itu. Frans juga masih resmi menjabat sebagai Ketua Komite Sekolah SD Supersemar. Frans bisa
keluar penjara bila ada undangan rapat komite. Tentu dengan seizin Kepala Lembaga Pemasyarakatan (LP).
66
67
“Kepala LP pernah menjadi Ketua Komite Sekolah, sehingga dia bisa mengerti,” kata Frans. Frans juga berlangganan harian Kompas. Harian utama di Indonesia itu dikenal sebagai koran serius dan banyak memuat tulisan para cerdik cendekia Indonesia. Karenanya, Kompas dianggap sebagai koran yang “berat”. Di Larantuka, Kompas datang terlambat tiga atau empat hari. Kabarnya, Kompas yang beredar di Larantuka dikirim langsung dari Jakarta. Sirkulasinya pun sedikit. Frans Basa adalah satu dari sekitar 25 pelanggan Kompas di Larantuka. “Berada di dalam ada hikmahnya. Saya jadi punya waktu untuk merenung dan membaca. Saya tidak menyesali apa yang telah saya lakukan. Seumur hidup saya tidak akan menyesal karena saya hanya melakukan yang saya yakini.” Romo Frans dan Frans Basa, adalah contoh bahwa mengungkap korupsi di negeri yang sangat korup bukanlah pekerjaan tanpa risiko. Koruptor yang juga penguasa setempat hingga kini tetap bebas, tidak tersentuh,
sebaliknya, mereka yang mencoba mengungkapnya, dikejar-kejar dan dipenjarakan.[ ]
Dari “Lidah LLancang” ancang” ke PPengadilan engadilan Kisah Endin Wahyudin, seorang agen koran di Bandung, korban mafia hukum di belantara peradilan Indonesia. Oleh Adnan Topan Husodo
(Endin W ahyudin) Wahyudin) 68
69
R
AUT wajah Endin Wahyudin berubah sedih. Pandangan matanya menerobos langit-langit, sembari menghela nafas panjang. Jawaban yang meluncur dari mulutnya terputus-putus. “Sampai sekarang, keluarga masih menyalahkan saya sebagai penyebab meninggalnya emak,” ujarnya dengan logat Sunda kental. “Terutama adik-adik saya, mereka mengatakan emak meninggal karena memikirkan saya,” ungkapnya lirih. “Sampai sekarang mereka tidak bisa menerima kematian emak,” tambahnya dengan mata berair. Sebentar kemudian, ia minta izin untuk pergi ke toilet. Kenyataan itu sangat pahit. Meskipun ia percaya bahwa nasib memang sudah digariskan. Tapi ia merasa, nasib bisa dielakkan. Kalau saja ia tidak menghadapi belantara hukum yang mengirimnya ke pengadilan, barangkali ibunya masih hidup. “Kalau saja emak tak mendengar berita pengadilan saya, mungkin ia masih hidup,” katanya menyesal. Tepatnya 18 September 2001, emak Endin menghembuskan nafas terakhir, setelah beberapa hari bergulat dengan tekanan mental. Sebelumnya, Endin Wahyudin duduk di
kursi terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Bandung. Pada 11 September 2001 jaksa membacakan tuntutan atas dirinya. Hasan Madani, sang jaksa itu, menuntutnya hukuman tiga bulan dalam masa percobaan enam bulan atas kasus pidana pencemaran nama baik. Tuntutan yang disiarkan berbagai televisi di Jakarta itu ditonton keluarganya. Merka kaget, termasuk Emak. Berita itu membuat Emak shock, lalu jatuh sakit. Seminggu kemudian berpulang. Lengkap sudah penderitaan Endin. Sebelumnya, ia tersiksa dengan pemberitaan di media massa, karena pengakuannya menyuap majelis hakim di Mahkamah Agung. Berita ini kian ramai setelah Adi Andojo, Ketua Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) pada 20 Juli 2001 membuat konferensi pers tentang kasus suap tersebut. “Ini kan baru pertama kali di Indonesia ada orang seperti saya berani melaporkan kasus suap hakim, makanya jadi berita heboh,” kata Endin mengingat. “Tapi saya sangat jadi tersiksa, terutama batin saya, juga perasaan anak dan istri saya, saya sampai susah tidur karena banyak yang menelpon saya.” Meskipun banyak yang mendukung langkahnya, tak sedikit juga yang mengancam
70
71
melalui telepon. Karena tak tahan dengan teror di telepon, dia memutuskan untuk pindah rumah. Endin tak menyadari pengakuan itu menimbulkan masalah besar. Berawal dari pengurusan perkara perdata menyangkut sengketa tanah, Endin menjadi pihak ketiga yang mewakili Aminah alias Hirja dan kawankawan sebagai ahli waris tanah yan sah. Menurut pengakuan Endin, Aminah sudah 26 tahun teraniaya karena tanah yang dimiliki tiba-tiba diserobot oleh seorang developer yang belakangan diketahui bernama Soenanta Soemali alias Lie Sung Nam. Kondisi tak menguntungkan ada di pihaknya setelah para ahli waris tanah itu pecah kongsi. “Hajah Aminah harus berhadapan dengan ahli waris lain yang telah melakukan kolusi dengan developer,” ucap Endin. Endin kenal dengan Aminah melalui anaknya yang bernama Anton, tetangga Endin di Bandung. Suatu ketika, kira-kira pada 1995, Anton mengeluh tentang warisan tanah seluas 58 ribu m2 yang belum bisa dinikmati, karena masih bersengketa. Padalah sudah banyak orang yang berusaha untuk membantu Anton, namun hingga perjumpaannya dengan Endin, masalah tanah itu belum terpecahkan. “Sudah banyak pengacara yang ditunjuk dan mencoba untuk menyampaikan sengketa itu ke
pengadilan, tapi semua kandas,” ujar Endin menirukan Anton. “Jangankan sampai ke pengadilan, baru tahap pendaftaran perkara saja sudah berhenti.” Oleh karena itu, Anton minta bantuan Endin untuk memecahkan masalahnya. Sebelumnya, Anton sudah secara jujur mengatakan kalau tak punya uang untuk mengurus perkara itu. Mengandalkan iuran dana dari ahli waris amat sulit karena mereka sudah terpecah-belah. Di pundak Endinlah masalah itu kemudian disandarkan. Soal uang, Endin berjanji akan membantu Anton. Karena Endin bukan pengacara, ia membicarakan masalah itu dengan saudaranya yang seorang pengacara. “Sebelumnya, saya minta berkas-berkas tanah itu ke Anton, setelah terkumpul, saya bawa semua ke saudara saya yang pengacara itu,” ujar Endin. Menurut keterangan pengacara itu, kasus tanah itu bisa diperkarakan dan digugat. Harapan Anton dan ahli waris lainnya untuk menikmati tanah itu pun muncul kembali. Berbekal salinan sertifikat, surat keterangan dari lurah dan camat setempat plus keyakinan dapat memenangi perkara, pada September 1995 Endin mengajukan gugatan ke PN Bandung. Anton menjanjikan akan memberikan fee sebesar 20 persen kepada
72
73
Endin jika menang. Nilai objek tanah yang diperkarakan sendiri sebesar Rp 8,6 miliar. Biaya untuk mengurus perkara juga akan diganti. Di samping alasan untuk mendapatkan keuntungan, Endin mengaku bahwa niatnya untuk membantu Aminah dan kawan-kawan didasari karena faktor kemanusiaan. “Saya sebagai ketua organisasi punya kewajiban untuk membantu orang kecil, apalagi setiap tahun orang tua saya memberikan bea siswa bagi orang yang tidak mampu”, jelasnya sambil menyerahkan kartu nama berlabel PASKAM yang beralamat di Jl. Bojong Raya No. 25 Holis, Bandung. PASKAM kependekan dari Persatuan Agen Surat Kabar dan Majalah, organisasi agen surat kabar di mana Endin Wahyudin duduk sebagai ketua umum. Sehari-hari, Endin berkantor di sana, tepatnya di lantai tiga. Ruangannya cukup lega. Namun agak panas karena air conditioner sedang tidak dinyalakan. Di luar aktifitasnya membantu orang yang berurusan dengan pengadilan, bisnis Endin yang utama sebagai agen surat kabar. Ketika awal berdiri, Endin menggunakan bendera Wahyudin Agency yang belakangan diubah menjadi Infomedia Agency.
Untuk menandaskan keberadaan agen, di halaman depan kantor itu, terpampang spanduk warna oranye bertuliskan Cek & Ricek, tabloid hiburan yang lahir dari acara “cek and ricek” di RCTI. Poster berbagai koran, dari terbitan nasional hingga koran harian lokal Bandung melekat rapi di sepanjang dinding gedung berlantai tiga itu. Di lantai dua, lantai berwarna hijau digunakan buat lapangan bulu tangkis, lengkap dengan peralatan jaring net dan tiangnya. Dalam catatan beberapa dokumen, di bisnis keagenan ini, nama Endin di Bandung cukup diperhitungkan. Itu tak lepas dari kerja kerasnya. Untuk menambah wawasan mengenai seluk-beluk bisnis keagenan, pada Mei 1985, Endin mengikuti Program Pendidikan Manajemen yang diselenggarakan majalah berita mingguan Tempo. Kala itu Tempo bekerjasama dengan Institute Pendidikan dan Pembinaan Manajemen. Lima tahun kemudian, datang penghargaan dari majalah Kosmopolitan dalam rangka menyambut ulang tahun yang ketiga lahirnya media itu. Majalah khusus wanita itu memberikan piagam penghargaan kepada Infomedia Agency sebagai agen terbaik Bandung tahun 2000. Piagam itu ditandatangani Dian M Soedarjo, Pemimpin Redaksi Kosmopolitan.
74
75
BERHARAP mendapatkan keuntungan dan dorongan kemanusiaan membantu orang kecil, tekad Endin untuk memenangi perkara sudah bulat. Sejak dari PN Bandung ia sudah menunjukan keseriusan. “Sejak dari PN, saya membiayai pengacara dan segala macam urusan.” Ia juga bekerjasama dengan pengacaranya untuk menemukan trik-trik agar perkaranya bisa menang. “Berperkara itu seperti perang, tergantung dari amunisi apa yang kita punyai,” ujarnya bertamsil. Ia sangat yakin bahwa dalam berperkara, mengandalkan bukti-bukti hukum saja tidak cukup. “Artinya kita harus memberikan sesuatu kepada hakim, panitera dan seterusnya, itu kondisi peradilan kita,” katanya terus terang. Setelah semua usaha dilakukan, Pengadilan Negeri Bandung menyatakan “N.O” alias tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Endin menjelaskan, “N.O itu terjadi karena satu syarat tidak terpenuhi sehingga pengadilan tidak dapat memberikan putusan.” Ia kecewa karena uang senilai Rp 15 juta sudah digelontorkan untuk majelis hakim. “Ketika di PN, saya diminta uang oleh pengacara untuk majelis hakim agar keluar putusan sita jaminan. Waktu itu, sita jaminan
dilaksanakan, tapi tiga hari setelah putusan, sita jaminan itu dicabut kembali,” katanya. Ia menengarai ada permainan di balik putusan itu. Atas putusan itu, ia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat. Berbekal Rp 20 juta yang diserahkan kepada majelis hakim melalui pengacaranya, ia memenangi perkara. Kemenangan itu dituangkan dalam putusan PT Bandung No 297/Pdt/1996/PT Bdg. Tak terima dengan putusan PT Jabar, pihak tergugat yang diwakili Soenanta Soemali alias Lie Sung Nam mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun karena kegesitan Endin, lagi-lagi Soenanta Soemali dikalahkan. Usaha kerasnya sejak dari tingkat PN hing ga MA membuahkan hasil baik. Putusan kasasi No 560K/Pdt/1997 secara tegas dalam amar putusannya memenangkan Aminah alias Hirja dan kawan-kawan. Dengan kata lain, Endin telah memenangi semua tahapan peradilan. Meskipun pihak tergugat kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK), namun Endin yakin hal itu tidak akan mempengaruhi proses eksekusi putusan. Namun ternyata kemenangan tersebut tidak sempurna. Putusan kasasi majelis hakim MA tidak dapat dieksekusi oleh PN Bandung karena adanya gugatan baru dari Soenanta Soemali terhadap objek dan subjek yang sama.
76
77
Gugatan bernomor 26/Pdt/G/1999/PN Bdg itu telah mengganjal kemenangan Endin. “Ini gila, masak pengadilan Bandung bisa menerima gugatan terhadap objek dan subjek yang sama”, ucapnya gusar. Memang, dalam hukum hal seperti ini tidak diperbolehkan karena menyalahi azas kepastian hukum. Tapi apa mau dikata, kemenangan yang sudah ada di depan mata itu harus dianulir oleh gugatan baru. Tak ingin perkaranya macet di MA, ia mengadukan kejanggalan proses hukum itu kepada Adi Andojo, Ketua TGPTPK. Baginya, putusan kasasi adalah putusan final sehingga tidak bisa diganggu gugat oleh apapun. “Soal adanya banding, PK atau bantahan dan seterusnya khan tidak bisa menghalangi eksekusi. Tapi faktanya kok eksekusi itu sendiri tidak bisa dilakukan karena banyak hambatan dan dalih dari PN Bandung yang tidak bisa diterima akal sehat,” tuturnya menerangkan. Tampaknya Endin harus menerima kenyataan buruk. Selain gugatan baru itu diterima PN Bandung, ujung cerita dari PK tergugat juga tidak memihak Endin. Dalam putusan majelis hakim yang berbeda, PK tergugat diterima sehingga Endin dinyatakan kalah. Tanpa banyak kesulitan, lawan Endin yang merupakan pengembang itu dengan
mudah dapat mengeksekusi putusan PK karena mereka juga yang selama ini menguasai objek sengketa. Sejauh pengamatannya, putusan PK No 403/MA/99 menyisakan beberapa masalah. Pertama, novum (bukti baru) yang diajukan tergugat, yakni akte perjanjian No 10 tertanggal 6 Januari 1997 telah digunakan sebagai alat bukti ketika proses persidangan di PN Bandung. “Jadi itu tidak bisa disebut sebagai novum,” ujarnya. Kedua, majelis hakim yang memeriksa perkara PK di mana German Budiarto sebagai ketua dengan anggota Arbijoto dan Sunardi tidak memberikan pertimbangan apapun dalam memutuskan perkara tersebut. “Ini ganjil,” kata Endin curiga. Atas berbagai masalah itu, ia mendatangi TGPTPK. Sosok Adi Andojo dianggapnya tepat untuk menyelesaikan problem hukum itu. Endin punya pertimbangan sendiri. “Saya menilai pak Adi itu kredibilitasnya cukup tinggi, selain itu ia kan mantan hakim agung, makanya saya simpati dengan beliau, sehingga saya juga berani datang ke Pak Adi, itu karena saya percaya dengannya”, ceritanya. Namun TGPTPK ternyata bukan tempat yang tepat untuk menyampaikan keluhannya. Adi Andojo berujar, TGPTPK hanya
78
79
menangani kasus-kasus yang menyangkut korupsi dan suap. “Kalau dalam mengurus perkara tanah itu Pak Endin menyuap hakim, baru kita bisa teruskan,” katanya menirukan Adi Andojo. Atas pernyataan itu, spontan Endin bertanya,”Pak Adi, apakah Bapak yakin kalau dalam mengurus suatu perkara tanpa uang atau tanpa suap, kita bisa menang?” Pertanyaan ini seperti petir yang menyambar tiba-tiba. Sejurus kemudian, Adi Andojo menjawab, “Memang ada hakim yang tidak benar, negara kita sampai babak belur seperti ini karena di sektor hukum banyak masalah.” Berharap kasusnya bisa diselesaikan, akhirnya Endin berterus terang kepada Adi Andojo. “Untuk memenangkan perkara ini, saya telah memberikan uang kepada tiga anggota majelis hakim MA, yakni Yahya Harahap, Marnis Kahar dan Supraptini Sukarto.” Majelis hakim inilah yang mengurus perkara kasasi No 560K/Pdt/1997 di mana Endin ditetapkan sebagai pihak yang menang. “Berapa?” “Saya memberikan uang kontan untuk Pak Yahya Rp 96 juta, Marnis Kahar Rp 50 juta dan Supraptini Rp 50 juta,” rincinya. Endin mengakui kalau besarnya uang itu
ia yang menentukan. Ia menjelaskan kepada tiga hakim tersebut jika dirinya tidak memiliki uang, sehingga tidak dapat memberikan lebih banyak. “Tapi Pak Adi, saya memberikan uang itu bukan berarti saya ingin membeli hukum atau saya mengurus perkara yang salah, tapi kalau saya tidak menyuap, boleh jadi perkara saya akan digantung atau kalah,” kilah Endin. Adi Andojo, kata Endin, dapat memahami masalah itu. Proses penyerahan uang suap itu tidak rumit. Ia didampingi Pasaribu, teman bisnisnya yang memberikan langsung uang itu kepada tiga majelis hakim. Yahya dan Supraptini sepertinya puas dengan nilai sebesar itu. Hanya Marnis Kahar yang berbeda. “Kalau perkaranya dimenangkan, jangan lupa kepada saya,” sergah Marnis. “Ini maksudnya, ia minta tambahan duit,” ungkap Endin mencoba menterjemahkan. Perkenalan Endin dengan ketiga majelis hakim itu sangat singkat. “Saya bertemu dengan Marnis dan Supraptini dua kali, kalau Yahya empat kali, dua kali di rumah dinasnya, dua kali di kantornya”. Seperti tamu pada umumnya, awalnya
80
81
Endin mengatakan kepada mereka bahwa ia sedang ada kasus. “Saya minta tolong bantuan kepada Bapak.” Pada mulanya, Endin takut untuk menyampaikan adanya suap itu kepada Adi Andojo. “Itu kan namanya bunuh diri,” cetusnya. Tapi ia sudah terlanjur kesal dengan ketiga majelis hakim itu. “Saya merasa majelis hakim telah mengerjai saya, membohongi saya dan menjadikan saya sebagai sapi perahan,” ungkapnya kesal. Endin patut marah, karena setelah uang diserahkan kepada majelis hakim, putusan kasasi itu tidak bisa dieksekusi. Walaupun agak dag-dig-dug, setelah diberikan jaminan Adi Andojo sekaligus maklumat Jaksa Agung, Marzuki Darusman, keberaniannya perlahan muncul. Apalagi surat maklumat dari Marzuki Darusman yang dikeluarkan tanggal 4 Juli 2000 itu secara tegas menyebutkan “dengan sungguh-sungguh untuk mengenyampingkan perkara pelaku KKN di lingkungan peradilan yang bersedia memberikan keterangan/informasi tentang adanya tindak pidana korupsi sebagai saksi serta berpotensi untuk mengungkap jaringan praktek KKN yang terjadi di lingkungan 82
peradilan”. Kepercayaan diri Endin semakin kuat karena maklumat itu dikeluarkan Jaksa Agung RI yang memiliki tugas dan wewenang untuk mengeluarkannya, sebagaimana diatur dalam pasal 32 c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Kejaksaan Agung RI. Hingga akhirnya ia mau berterus terang bahwa dirinya telah melakukan penyuapan untuk memenangkan perkara kasasinya. ADI Andojo, pensiunan Hakim Agung, diminta menjadi dekan dan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta. Ia dikenal sebagai hakim yang lurus. Pada saat itu pula, Jaksa Agung membentuk TGPTPK dan Adi diangkat jadi ketuanya. Tak berapa lama setelah TGPTK dibentuk datang seseorang ke ke kampus Trisakti. “Orang itu diantar Pembantu Rektor III Trisakti, Komang, dan berterus-terang telah memberikan uang kepada tiga majelis hakim di MA. Orang itu Endin Wahyudin” Adi senang bukan kepalang dengan laporan tersebut. Bagaimana tidak, ia baru saja menjabat sebagai Ketua TGPTPK dan sudah ada kasus dari orang yang berani melaporkan. “Endin meminta jaminan tertulis dari saya untuk tidak dituntut”. Serta-merta dibuatlah surat jaminan itu 83
pada 22 Juni 2000 yang isinya mengatakan bahwa apabila Endin bersedia memberikan laporan atau data tentang adanya penyuapan dalam penyelesaian perkara Register No 560.K/Pdt/1997 di MA, yang bersangkutan tidak akan dituntut balik. Surat jaminan itu langsung ditandatangani Adi Andojo selaku Ketua TGPTK. Meskipun sudah ada surat jaminan, tak urung laporan Endin yang dibeberkan ke media massa itu mengundang reaksi dari Marnis Kahar dan Supraptini, dua dari tiga majelis hakim yang disebut-sebut Endin menerima uang. Merasa diri mereka dicemarkan, mereka melakukan laporan pengaduan adanya pencemaran nama baik ke Mabes Polri. Tidak hanya Endin yang dilaporkan, tapi sekaligus juga Adi Andojo. Laporan itu disampaikan satu hari setelah Adi Andojo melakukan konferensi pers, tepatnya 21 Juli 2000. Inisiatif untuk melakukan konferensi pers sendiri datang dari Adi Andojo. “Sebenarnya laporan suap itu saya sampaikan hanya kepada Pak Adi, tapi menjadi ramai karena Pak Adi membuat konferensi pers bahwa ada pengaduan yang mengatakan majelis hakim telah disuap.” Endin tidak ikut serta dalam konferensi pers tersebut. Walau demikian, Endin lantas
dianggap sebagai pahlawan karena berani melaporkan adanya suap kepada hakim. Dalam catatan sejarah pengaduan korupsi di Indonesia, kasus pelaporan Endin merupakan kasus yang pertama kali terjadi. Walaupun surat jaminan dari Ketua TGPTPK sudah ada ditangan, dan maklumat Jaksa Agung sudah dikeluarkan, namun keberadaan dua carik kertas itu tidak memiliki kekuatan hukum bagi polisi. Surat jaminan itu hanya bertahan satu bulan. Karena setelah itu, ia mendapatkan surat panggilan dari Mabes Polri. “Kurang lebih sebulan setelah surat jaminan itu keluar dan pemberitaan di majalah Forum, saya dipanggil polisi,” ujarnya. Adi mengaku kalau surat jaminan darinya hanya berguna sesaat. “Waktu saya masih aktif sebagai Ketua TGPTPK, polisi segan meneruskan berkas kasus Endin ke Kejaksaan, tapi waktu saya mundur, kasus itu langsung diteruskan ke Kejaksaan,” katanya. Anehnya, Kejaksaan juga meneruskan kasus pencemaran nama baik itu ke Pengadilan. “Padahal sudah ada jaminan dari Jaksa Agung sendiri waktu itu, dan kala penyerahan berkas kasus Endin ke Pengadilan, Jaksa Agungnya ya masih Marzuki Darusman,” kata Adi dengan nada heran. Polisi pilih kasih mengusut laporan pencemaran nama baik itu. Karena hanya
84
85
Endin Wahyudin yang diperiksa, padahal Adi Andojo juga mer upakan pihak yang dilaporkan oleh dua majelis hakim tersebut. “Saya tidak pernah diperiksa polisi,” demikian Adi. Bahkan sampai Adi Andojo mundur dari Ketua TGPTPK dan TGPTPK dibubarkan, ia tidak pernah dihubungi atau dikirimi surat pemanggilan oleh polisi. Setelah mundurnya Adi, TGPTPK diketua oleh Krissantono. Mundurnya Adi Andojo dari Ketua TGPTPK juga tidak bisa dilepaskan dari tersendatnya proses hukum atas dugaan penyuapan kepada tiga majelis hakim yang pernah dilakukan Endin. Adi merasa rekanrekan kerjanya di Kejaksaan tidak memberikan dukungan serius, bahkan sebaliknya ia merasa dijegal. “Saya beberapa kali dijanjikan oleh mereka untuk memeriksa hakim agung itu, tapi tidak pernah ada realisasinya,” ucapnya kecewa. Apalagi setelah keberadaan TGPTPK dipertanyakan kembali oleh Yahya Harahap, salah satu dari tiga majelis hakim yang dilaporkan menerima suap dari Endin. Dan Yahya Harahaplah yang mengajukan judicial review atas PP No 19 Tahun 2000 tentang TGPTPK kepada MA. Meskipun pengajuan judicial review itu tidak ada kaitan langsung dengan kasus suap
yang sedang ditangani TGPTPK, namun tidak dapat dihindari bahwa adanya laporan Endin telah menyulut ide untuk membubarkan TGPTPK. “Timbulnya judicial review ya arena ada laporan Endin ini, karena sebelum ada kasus Endin, TGPTPK tidak pernah diutakatik,” terang Adi. Hasil kajian majelis hakim agung di Mahkamah Agung yang diketuai Paulus Effendi Lotulung sendiri kala itu menyimpulkan bahwa TGPTPK tidak sah dan melang gar asas legalitas karena kewenangannya yang melanggar UndangUndang, khususnya kewenangan untuk bisa menahan seseorang. Atas putusan ini, TGPTPK telah kehilangan landasan hukumnya. Atau dengan kata lain, TGPTPK harus dibubarkan. Walaupun ketika menangani kasus suap itu Adi harus berhadap-hadapan dengan sesama hakim agung, sebenarnya secara pribadi, Adi memiliki hubungan yang baik dengan ketiga majelis hakim tersebut. Bahkan Yahya Harahap adalah kolega dekatnya ketika di Mahkamah Agung. “Sebelumnya kan Yahya rekan saya di jajaran hakim agung, tapi memang saya lebih senior,” ungkapnya. Meskipun demikian, ia tidak pernah bertemu untuk membicarakan secara khusus kasus yang sedang ditanganinya. Namun
86
87
ATAS laporan Endin itu, TGPTPK bukannya tidak berbuat apa-apa. Sebelum Endin dilaporkan balik oleh Marnis dan Supraptini, beberapa kali Tim Penyidik TGPTPK memeriksa ketiga majelis hakim agung tersebut. Bahkan dari hasil penelitian TGPTPK, ditemukan cukup bukti bahwa ketiga majelis hakim agung tersebut diduga telah menerima uang suap pada saat memutus perkara tingkat kasasi pada 28 Desember 1998. Namun tak berapa lama, kuasa hukum Marnis dan Supraptini mengajukan praperadilan ke PN Jakarta Selatan. Mereka berpendirian bahwa TGPTPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan. Permintaan itu dikabulkan hakim. Sejak putusan praperadilan dikeluarkan hakim PN Jakarta Selatan, TGPTPK tidak dapat lagi berbuat banyak. Lebih dari itu, Marnis dan Supraptini melaporkan Endin atas tuduhan pencemaran nama baik. Supaya proses pemeriksaan para hakim agung terus berjalan, TGPTPK melimpahkan penyidikan perkara dugaan suap kepada Jaksa
Agung Muda (JAM) bidang Tindak Pidana Khusus, Kejaksaan Agung RI. Dengan pelimpahan itu, praktis semua proses penyidikan terhadap ketiga hakim agung menjadi tanggung-jawab Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Oleh Kejaksaan Agung, pada 20 Oktober 2000, Yahya Harahap, Marnis Kahar dan Supraptini Sutarto resmi dinyatakan sebagai tersangka. Endin diperiksa sebagai saksi dua kali. Pertama dipanggil Tim Penyidik Kejaksaan Agung yang dipimpin Sudibyo Saleh pada 15 Desember 2000 di Kantor Kejaksaan Tinggi Jawa Barat berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Selang beberapa waktu setelah pemanggilan pertama, Endin menerima surat pemanggilan kedua pada 17 Januari 2001. Setelah memakan waktu hampir enam bulan, Kejaksaan Agung menganggap proses penyidikan atas tiga hakim agung selesai. Kemudian barang bukti yang telah dikumpulkan berikut terdakwa kasus suap itu pada Juni 2001 dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan. Namun putusan pengadilan tidak seperti yang diharapkan Endin. Rusdi Asyaad, Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Pusat yang mengadili Marnis dan Supraptini
88
89
karena kasus itu, hubungan antara mereka jadi renggang. “Yahya itu ketemu saya sekarang diam saja, pernah saya ketemu di rumah sakit mau periksa darah, tapi dia diam saja waktu saya lewat,” ceritanya.
menyimpulkan bahwa kedua terdakwa tidak bisa diadili karena dakwaan yang dibuat jaksa Sujitno dan Surung Aritonang sangat berlebihan dan tumpang tindih. Menurut majelis hakim, jaksa telah mencampur-adukan tindak pidana khusus sebagaimana yang telah diatur dalam UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan pidana umum yang diatu KUHAP. “Dakwaan yang berlebihan atau overlapping menjadi tidak jelas dan kabur. Karena itu, dakwaan harus dinyatakan batal demi hukum,” tegas Rusdi Asyaad seperti dikutip Kompas, 22 Agustus 2001. Pun Yahya Harahap dapat menghirup udara bebas karena majelis hakim di PN Jakarta Barat yang diketuai PA Sianipar pada Agustus 2001 memutuskan untuk tidak menerima dakwaan jaksa. Alasan yang dikemukakan setali tiga uang dengan PN Jakarta Pusat, dakwaan berlebihan dan tumpang tindih. Guru besar hukum pidana dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Prof Dr Romli Atmasasmita menilai putusan majelis hakim yang menghentikan proses hukum atas ketiga hakim agung itu sebagai ketidakmengertian hakim terhadap KUHP dan prinsip hukum pidana. Menurutnya, ketiga hakim agung tetap bisa diadili dengan UU No 3 Tahun 1971 karena perbuatan mereka dilakukan sebelum
UU No 31/1999 berlaku. “Putusan ini bertolak belakang dengan putusan MA dan majelis hakim lain dalam perkara serupa,” katanya sebagaimana dikutip Kompas, 21 Juli 2001. Ia menyarankan kepada majelis hakim untut mengambil kuliah lagi. Dengan dibebaskannya ketiga terdakwa kasus suap itu, nasib Endin Wahyudin ada di ujung tanduk. LAIN ladang lain belalang, demikian pepatah bilang. Jika ketiga hakim agung yang didakwa menerima suap itu tidak dapat diadili, Endin justru sebaliknya. Kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan Marnis dan Supraptini bergulir terus. Ternyata surat jaminan dan maklumat Jaksa Agung, Marzuki Darusman hanya dapat berguna sesaat. Bahkan Marzuki sempat bilang, jika Kejaksaan Agung tidak menerima pengusutan perkara dari pihak yang diadukan Endin, akan terjadi diskriminasi dan perintangan hukum oleh kejaksaan. “Kejaksaan tak bisa merintangi pihak-pihak yang dirugikan namanya untuk memberikan laporan,” jelasnya sebagaimana dikutip Koran Tempo, 23 Mei 2001. Walhasil, polisi tetap mengusut laporan pencemaran nama baik yang diadukan Marnis dan Supraptini. Pada April 2001, bersamaan dengan proses penyidikan atas kasus suap tersebut, berkas Endin dilimpahkan Kejaksaan
90
91
Tinggi DKI Jakarta kepada PN Jakarta Pusat. “Saya harus mondar-mandir Jakarta-Bandung selama enam bulan, lebih-lebih ketika memasuki masa persidangan, itu saya pakai biaya sendiri, enggak ada yang bantu,” ujar Endin mengingat. Ia mengaku terpaksa berhutang di Bank Mandiri hingga Rp 200 juta untuk mengurusi proses persidangan. “Saya agunkan rumah untuk mendapatkan pinjaman,” kata Endin. Belum lagi liku-liku pahit ketika ia harus bolak-balik Jakarta-Bandung untuk mengikuti persidangan. “Banyak duka yang harus saya lalui.” Ketepatan waktu saja sudah menjadi persoalan sendiri bagi Endin. Jakarta-Bandung bukanlah jarak yang dekat. Perlu waktu tiga hingga empat jam untuk menempuhnya. Tak pernah terpikir olehnya untuk menginap di Jakarta. “Saya tidak punya uang lagi untuk bayar penginapan di Jakarta.” Satu peristiwa yang tak pernah dilupakan Endin, ketika bersama pengacara LBH Jakarta, ia harus mengikuti persidangan. Seperti biasa, mereka menggunakan VW Comby, kendaraan operasional LBH Jakarta, untuk mengikuti persidangan. Sialnya, begitu memasuki jalan Veteran di Jakarta Pusat, mobil mogok. Mau tak mau, ia dan pengacaranya turun dan mendorong mobil itu untuk dipinggirkan.
Untuk mengejar waktu, mereka melanjutkan perjalanan ke PN Jakarta Pusat dengan taksi, sementara mobil ditinggalkan begitu saja. Satu hal yang paling membuatnya kuat karena dukungan dari berbagai pihak terhadap dirinya mengalir deras. Masyarakat Transparansi Indonesia dengan dukungan Ausaid, lembaga bantuan luar negeri peemrintah Australia, dalam sebuah lokakarya nasional anti-korupsi pada 5-6 Juli 2001 memberikan penghargaan kepada Endin karena dinilai telah berani untuk menjadi saksi, pelapor dalam kasus suap yang melibatkan hakim agung. Karena kasus laporannya, ia juga sempat diundang sebagai pembicara dalam berbagai seminar dan diskusi seperti yang pernah dilaksanakan Laboratorium Sosiologi FISIP UI pada 25 Juli 2001. Di samping itu, upaya mengehentikan proses persidangan kasus Endin sudah dilakukan. Koalisi Pemantau Peradilan yang beranggotakan Judicial Watch, Indonesian Corruption Watch (ICW), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meminta agar perkara Endin Wahyudin, terdakwa kasus pencemaran nama baik dihentikan persidangannya. “Kami meminta sidang perkara Endin dihentikan sementara sambil menunggu pelimpahan perkara dugaan
92
93
suapnya,” tegas Muhammad Asrun mewakili Koalisi. Mereka bertemu dengan Amiruddin Zakaria, Ketua Majelis Hakim yang mengadili Endin untuk menyampaikan tuntutan. Namun Zakaria menolak tuntutan itu dengan alasan tidak memiliki kewenangan menghentikan persidangan. Mereka tetap pada pendirian awal, melanjutkan pemeriksaan perkara Endin. Persidangan yang berlanjut pada 11 September 2001, Endin dituntut hukuman tiga bulan penjara dalam masa percobaan enam bulan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hasan Madani. Irianto Subiakto, kuasa hukum Endin dari LBH Jakarta dan Endin sangat terpukul terhadap tuntutan itu. “Saya semestinya dituntut bebas. Saya kan mendukung kejaksaan dan TGPTPK membongkar kasus korupsi di pengadilan. Tuntutan jaksa menempatkan saya sebagai orang bersalah. Saya jadi korban dan dipaksa menjadi martir,” tegas Endin seusai persidangan. Satu bulan setelah tuntutan jaksa dibacakan, 24 Oktober 2001, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Endin Wahyudin, terdakwa kasus pencemaran nama baik dua hakim agung, tiga bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan. Pembacaan putusan dibacakan Ketua Majelis Hakim Amiruddin Zakaria. Vonis ini sama
dengan tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum Hasan Madani dalam sidang sebelumnya. Menurut hakim, Endin terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak kejahatan dengan memfitnah dan mencemarkan nama baik dua hakim agung yakni Marnis Kahar dan Supraptini Suprapto. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan ada dua hal yang memberatkan Endin. Pertama, perbuatan terdakwa telah mencemarkan nama dua hakim agung dan kedua, Endin bersikukuh menyatakan tak bersalah. Hal yang meringankan yakni terdakwa belum pernah dihukum dan selama dalam persidangan bersikap santun. Dalam persidangan itu, Endin memang dalam posisi terjepit. Marnis dan Supraptini yang dilaporkan olehnya karena menerima suap justru dihadirkan sebagai saksi pelapor dalam kasus pencemaran nama baik sehingga mereka memiliki kesempatan untuk menolak segala tuduhan Endin. Sementara Adi Andojo yang dijadikan sebagai saksi meringankan tetap tidak bisa mempengaruhi putusan hakim. “Pak Adi adalah saksi yang meringankan saya, tapi kesaksiannya tidak pernah digunakan hakim sebagai pertimbangan untuk memutus perkara.” Surat Adi Andojo kepada Ketua PN
94
95
Jakarta Pusat juga tidak digubris. “Saya mengatakan kepada pengadilan, seharusnya perkara korupsinya diselesaikan dulu, jangan saksi yang melaporkan yang diputus, tapi surat saya tidak pernah diabaikan,” jelas Adi Andojo. Meskipun vonis majelis hakim merugikan dirinya, ia tidak lantas mengajukan banding. Ada alasan untuk itu. “Saya tidak banding karena memikirkan keluarga, tapi juga karena saya pernah dihubungi asisten Marnis Kahar,” ia memberikan penjelasan. “Asisten Marnis menyarankan saya untuk tidak banding, imbalannya, mereka akan membantu perkara PK atas kasus perdata tanah di Bandung yang saya tangani,” imbuhnya. Menurut Endin, jika ia melakukan banding, Marnis Kahar dan Supraptini masih belum bisa mengambil napas lega. “Jika saya tidak banding, berarti saya benar telah memfitnah mereka,” ujarnya. Namun lagi-lagi Endin kena tipu. Putusan Peninjauan Kembali di MA ternyata memenangkan lawannya. Puncak dari kekesalan Endin ditumpahkan dengan mengajukan gugatan balik kepada Adi Andojo dan Marzuki Darusman karena diang gap telah menyengsarakan dirinya. Ia menggugat
perdata dengan tuntutan ganti rugi sebesar Rp 2 miliar. Tapi di PN Jakarta Selatan, gugatan itu dimentahkan. Ia kini tengah mengajukan banding. Adi membenarkan adanya gugatan Endin. “Endin meminta rumah saya disita, padahal rumah ini rumah dinas yang saya beli dengan cara menyicil sejak tahun 1997 sampai 2002,” jelas Adi dengan nada lirih. Adi memang tidak dalam kondisi fit. Beberapa kali ia sudah terkena stroke hingga tanggan kananya kadang tidak dapat dikendalikan geraknya. Meskipun begitu, ia harus berkali-kali mengikuti sidang gugatan Endin. “Saya berkali-kali ikut sidang, kalau tidak salah sampai enam kali, tapi saya menang, sekarang Endin sedang mengajukan banding,” ujar Adi. Ia sendiri heran dan kaget ketika mengetahui Endin mengajukan gugatan terhadap dirinya. “Terus terang saya kaget, kok jadi begitu, tapi ya saya ladeni saja,” timpalnya. Ini artinya, perseteruan Endin dengan Marnis Kahar dan kawan-kawan dilanjutkan dengan perseteruannya dengan Adi Andojo, orang yang dulu pernah memberinya surat jaminan untuk tidak digugat. Nasi telah menjadi bubur. Kalah dalam perkara perdata sengketa tanah, ketiga hakim agung yang dilaporkannya bebas, sementara
96
97
ia harus menerima kenyataan divonis tiga bulan dalam enam bulan hukuman percobaan, dan kini ia masih melanjutkan gugatannya kepada Adi dan Marzuki di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Jika ia tahu akan menerima kenyataan pahit kalah berturut-turut, ia tak akan melaporkan kasus suap itu kepada TGPTPK. “Kalau tahu jadinya begini, lebih baik saya tidak melaporkan suap itu,” ucapnya pelan penuh penyesalan. Apa boleh buat. Selamat datang di belantara hukum Indonesia. [ ]
Jalan PPanjang anjang Pencari K eadilan Keadilan “Karena membongkar pungli saya tidak mau dihukum satu hari pun. Dan saya siap menjadi tumbal untuk penegakan hukum di republik ini” Oleh Emerson Yuntho
(Arifin Wardiyanto, seorang “peniup peluit” yang menjadi terpidana)
98
99
J
ALAN hidup manusia berada di tangah Tuhan. Begitu pula takdir Arifin Wardiyanto, seorang pegawai PT Telkom cabang Yogyakarta. Dari niat baiknya untuk mengungkapkan kasus pungutan liar (pungli) dalam pengurusan izin pendirian warung telekomunikasi (wartel) yang diduga melibatkan pengurus Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia (APWI) Yogyakarta pada akhirnya harus berakhir dengan penghukuman atas dirinya. Arifin justr u dituduh melakukan penistaan dan fitnah (pencemaran nama baik) oleh pengurus APWI yang kejahatannya diungkap. Menjalani proses hukum yang melelahkan mulai dari kepolisian, pengadilan negeri, pengadilan tinggi hingga akhirnya harus menerima kenyataan pahit menjadi terpidana dan dijatuhi hukuman 2 bulan penjara oleh Mahkamah Agung (MA). RABU, 27 April 2005. Hari masih pagi ketika sinar matahari mulai menghangatkan lingkungan Wisma Talenta tempat saya menginap. Udara masih terasa segar melingkupi Wisma yang letaknya di gang Jl Blimbing Sari tidak jauh dari Kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kicauan burung perkutut dan rindangnya pepohonan yang tumbuh di seputar wisma dan tempat 100
yang bersih menjadikan penginapan ini nyaman dan tentram bagi siapapun yang akan menginap. Wisma ini dilengklapi pendopo artistik yang berada ditengah-tengah kompleks dan kental arsitektur khas Jawa. Pendopo besar seluas kira-kira 80 meter persegi oleh pengelola wisma difungsikan sebagai ruang makan, ruang TV, dan ruang resepsionis sekaligus. Hal ini berbeda dengan pendopo yang biasa kita temui khususnya dilingkungan Kraton Jawa yang difungsikan sebagai tempat pertemuan dan umumnya dibiarkan tanpa perabotan apapun. Selesai mandi, sarapan, dan berkemaskemas, saya bergegas menyelesaikan pembayaran penginapan di meja resepsionis. Saat itu terdengar suara memangil “Mas Emerson!” Di bekalang saya, berdiri seorang pria bertubuh gempal, botak plontos, tinggi sekitar 160 cm, kulit sawo matang dan berkaca mata. “Eh, Mas Arifin!” Lelaki itu bernama lengkap Arifin Wardiyanto, seorang pegawai PT Telkom Yogyakarta. Saya jabat tangannya erat-erat. Hari itu untuk kedua kalinya saya bertemu dia, kendati namanya sudah saya dengar sejak 2002. Pertemuan pertama terjadi sehari 101
sebelumnya saat Indonesian Court Monitoring Yogyakarta mengadakan sebuah diskusi publik untuk sosialisasi Rancangan UndangUndang (RUU) Perlindungan Saksi di gedung Univercity Centre (UC) UGM, 28 Mei 2005. Sebelum pertemuan di UGM, saya beberapa kali berbicara melalui telepon dengan Arifin. Saya tinggal di Jakarta dan Arifin di Yogya. Arifin biasa nelpon saya panjang lebar, tanpa harus takut terputus. Kalau saya yang menelpon, biasanya tidak panjang, karena durasinya dibatasi hanya empat menit dalam setiap satu kali telepon. Biar irit, ICW bukan kantor perusahaan profit. Arifin bisa menelpon berjam-jam karena dia pegawai PT Telkom, sebuah perusahaan telekomunikasi paling besar di negeri ini. Lelaki berwajah baby face ini meng gunakan kaos milik per usahaan berwarna biru tua dengan sedikit corak merah, hijau dan kuning di atasnya serta dipadu dengan celana jeans dan sepatu kulit warna hitam. Hari ini kami berdua merencanakan melakukan napak tilas untuk kisah sialnya. Dengan Suzuki Escudo warna hitam, mobil dinas Arifin sebagai pimpinan PT Telkom yang membawahi wilayah Kabupaten Kulonprogo, kami menyusuri Yogya. Sejak dua tahun terakhir, kota pelajar berpenduduk 102
3,8 juta jiwa ini pada saat jam kerja seringkali macet di beberapa persimpangan dan perempatan jalan. Kondisi ini sangat berbeda saat saya masih kuliah di UGM awal 1996. Saat itu, Yogya masih lengang. Selain penduduk asli, kota ini juga dihuni oleh pelajar dan mahasiswa yang jumlahnya hampir mendekati satu juta orang. Di dalam mobil yang lumayan dingin saya mulai menyiapkan tape recorder dan alat tulis yang sedari tadi disimpan dalam tas punggung kumal yang selalu saya bawa. Sambil tetap mengendarai mobil, Arifin mulai menceritakan pengalamannya sekitar sepuluh tahun yang lalu. Awal tahun 1995, PT Telkom sedang giat mengembangkan program pelayanan warung telekomunikasi (wartel). Sambutan masyarakat ternyata luar biasa terhadap program ini. Permohonan yang masuk ke Telkom lumayan banyak. Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta kurang dari setengah tahun sejak program program digulirkan, dalam catatan Arifin, sudah ada 120 pemohon yang mengajukan permohoan dan memperoleh izin usaha dibidang telekomunikasi. Di balik respon yang luar biasa, Arifin yang kala itu menjabat Kepala Sub Seksi Jaringan Lokal 3 Bagian Selatan PT Telkom Yog yakarta menerima pengaduan dari 103
pemohon pengelola wartel yang mempertanyakan mengapa jaringan untuk usaha wartelnya belum terpasang padahal dia sudah menyetorkan sejumlah uang pelicin kepada PT Telkom melalui pengurus Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia (APWI) Yogyakarta. Pengaduan itu membuatnya kaget dan malu, seraya mengatakan bahwa dia tidak tahu menahu soal itu dan PT Telkom tidak pernah menerima uang pelicin untuk pemasangan jaringan wartel. Mengutip omongan pengadu bahwa uang pelicin itu nantinya untuk dibagibagikan kepada semua pejabat yang terlibat dalam pengeluaran izin wartel. Berdasar laporan itu, Arifin melakukan penyelidikan hingga menemukan adanya indikasi dugaan praktek pungutan liar (pungli) yang dilakukan oknum pengurus APWI. Temuan tersebut dilaporkan Arifin kepada atasannya namun awalnya belum mendapat tanggapan dan respon yang positif. MOBIL meluncur ke rumah makan Minang Raya, di sisi Jalan Kusumanegara atau tepat di samping kiri Universitas Taman Siswa Yogyakarta. Perut memang keroncongan setelah tiga jam keliling Yogya dan wawancara. Rumah makan masakan Padang ini yang terbagi dalam dua ruangan besar di mana satu 104
ruang berpendingin dan yang lainnya tidak berpendingin. Untuk ukuran sebuah rumah makan, Minang Raya termasuk rumah makan Padang cukup besar dan terkenal di Yogya. Daya tampungnya sembilan puluh orang. Dari Minang Raya inilah kisah sial Arifin dimulai. Rabu 11 Oktober 1995, Arifin mengundang sejumlah wartawan makan siang di rumah makanini. Pertemuan itu terjadi setelah Suryadi, seorang yang awalnya mengaku sebagai wartawan majalah Kriminalitas, Jakarta, mendesaknya lebih dari empat kali untuk bertemu. Di rumah makan selain Suryadi sudah ada lima wartawan, yakni Irwan Suud (Yogya Post), Sianturi (majalah Fakta), Putut Wiryawan (harian Bernas), Asril DT (Suara Merdeka) dan Djarot ( Kantor Berita Antara). “Pada awal pembicaraan saya sudah tekankan tolong ini off the record karena masih belum jelas!” ujar Arifin mengawali ceritanya tentang kejadian yang terjadi dirumah makan ini hampir sepuluh tahun yang lalu. Off the record adalah permintaan narasumber berita agar keterangannya tidak dipublikasikan, bahkan tidak boleh diinformasikan kepada orang lain. Dalam kode etik profesi jurnalistik, wartawan diwajibkan mentaati aturan ini. 105
Arifin menempati meja dan kursi yang sama dengan ketika ia makan bersama dengan beberapa wartawan itu. Sambil lahap memakan ikan gurame dan lalapan ia melanjutkan ceritanya, “Dalam pertemuan itu saya menyatakan bahwa telah membuat surat ke Wakil Presiden (Kotak Pos 5000) yang intinya “Sesuai pernyataan beberapa pengelola wartel di Yogyakarta, ada dugaan bahwa pengurusan izin pendirian Wartel di Yog yakarta terdapat oknum Pengurus APWI Yogya yang meminta uang kepada calon pengelola wartel dengan maksud agar izin dapat keluar”. Bagaimana mungkin APWI bertindak sebagai pemberi rekomendasi padahal tidak ada ketentuan yang mengatur hak dan wewenang APWI seperti itu. Dalam kesempatan itu Arifin menyebutkan beberapa nama pelapor seperti Rushadi (Pengelola Wartel Anna Swalayan) yang mengatakan meminta PT Telkom segera membuka jaringan telepon untuk wartelnya dipasang karena uang pengurusan sebesar Rp 12 juta sudah diberikan kepada Ketua APWI Yogyakarta. Temmi Setyawan, pengelola wartel Sono Sewu mengaku telah dimintai uang oleh YO sebesar Rp 25 juta. Dengan alasan karena berlokasi dekat Kampus IKIP PGRI sehingga dimintai uang lebih besar. 106
Gento Wibowo, pengelola wartel Argo Seloko, yang mengaku menyerahkan Rp 15 Juta dan Rp 15 Juta lagi untuk wartel lain yang dikelolanya, yakni Wartel Barokah. Total ia menyerahkan uang Rp 30 Juta. Awalnya dengan alasan menjaga azas praduga tidak bersalah, Arifin tidak menyebutkan nama yang melakukan pungli. Namun karena terus didesak maka dia menyebutkan inisial oknum pengurus APWI tersebut sebagai “YO”. Ternyata besok harinya, 12 Oktober 1995, acara makan siang tersebut menjadi head line di koran Yogya Post dengan judul “Tidak Benar Ada Pungutan APWI Yogyakarta”. Berita itu menyebutkan Arifin Wardiyanto telah melakukan konperensi pers atas nama PT Telkom mengatakan bahwa Yahya Ombara melakukan Pungli kepada calon pengusaha wartel dalam proses pengurusan izin pendirian wartel. Koran Yogya Post memberitakan seluruh isi pertemuan, termasuk pernyataan Off The Record tersebut. Pada pemberitaan yang sama Yahya Ombara melakukan bantahan bahwa tidak benar pengurus APWI melakukan pungli. Dengan mimik muka terkejut Arifin menyatakan kaget luar biasa atas pemberitaan Yogya Post hari itu. Kaget karena berita tersebut lengkap menyebutkan nama dirinya dan nama 107
orang yang diduga melakukan pungutan liar padahal dia telah menekankan penjelasan yang diberikan off the record. Selusur punya selusur rupanya, Suryadi, satu dari enam teman makan siang Arifin adalah wartawan Yogya Post. Adapun Yahya Ombara adalah pemilik harian Yogya Post. Selang empat hari setelah berita kasus pungli pengurusan wartel muncul, Yahya Ombara membuat pengaduan ke Polres Yogyakarta yang isinya Arifin telah melakukan penistaan atau fitnah terhadapnya sebagai Ketua APWI Yogyakarta. Sejak itu selama kurang dari setahun kasus ini mulai bergulir dari tahap penyelidikan dan penyidikan di Polres Yogyakarta, selanjutnya kasus ini dilimpahkan pada tahap penuntutan di Kejaksaan Negeri Yogyakarta hingga akhirnya bulan September 1996, kasus Arifin mulai dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta. Saat awal persidangan di PN Yogyakarta, Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Yogyakarta yang dipimpin Steven Pattiasina, menuduh Arifin selaku terdakwa telah melakukan penistaan dan menyerang kehormatan terhadap Yahya Ombara. Jaksa menyatakan terdakwa secara terang-terangan mengatakan ada ketidakberesan dalam pelaksanaan perizinan wartel di Yogya, yakni 108
ada beberapa pengusaha wartel dipungli oleh oknum APWI Yahya Ombara berpuluh-puluh juta rupiah dan oknum tersebut selalu mengatakan bahwa pungutan tersebut untuk oknum di PT Telkom Yog ya. Jaksa mendakwakan perbuatan Arifin dengan dua dakwaan sekaligus yaitu primer pasal 311 ayat (1) KUHPidana dan Subsidair Pasal 310 ayat (1) KUHPidana. Pasal 311 Ayat (1) berbunyi “ Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dalam hal dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam dengan karena melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Sedangkan Pasal 310 Ayat (1) berbunyi: “Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”. Djufri Taufik dan Eko Budiyanto penasehat hukum Arifin, menolak tuduhan tersebut karena kliennya menyatakan off the record saat memberikan informasi. Di samping 109
itu untuk membuktikan kenyataan adanya pungutan liar, Djufri dan Eko menyerahkan 10 (sepuluh) buah pernyataan yang berhasil dikumpulkan dari pengelola Wartel di Yogyakarta lengkap dengan angkanya yang berkisar antara Rp 5 juta hingga Rp 20 juta yang telah mereka berikan kepada Yahya. Mereka menyatakan pula bahwa menurut Yahya pungutan uang tersebut untuk jasa pengurusan izin wartel. Pemeriksaan di persidangan juga menghadirkan saksi ahli dari Dewan Kehormatan PWI Pusat Jakarta, RH Siregar yang menjelaskan konsekuensi hukum dari pernyataan off the Record. “Apabila seorang sumber mengatakan off the record maka wartawan harus merahasiakan informasi tersebut dan konsekuensinya bila wartawan tersebut ternyata tetap memberitakannya maka tang gung-jawab beralih kepada wartawan yang bersangkutan!” ungkap RH Siregar kala itu. Arifin yang dalam persidangan berstatus sebagai terdakwa di depan majelis hakim, jaksa penuntut umum, pembelanya dan para pengunjung sidang, memberikan keterangan bahwa niat untuk membongkar adanya pungutan liar dalam pengurusan perizinan wartel, karena dalam pungutan itu disebut– sebut untuk orang PT Telkom. 110
Merasa terpanggil membersihkan nama PT Telkom, Arifin berusaha mengumpulkan bukti-bukti dari para pemilik wartel yang merasa telah terkena pungli. Meski setelah membuat pernyataan dan membenarkan adanya pungli, sebagian pemilik wartel kemudian mencabut pernyataan yang dikeluarkan. Belakangan diketahui pengurus APWI mengancam para pemilik wartel untuk tidak memberikan keterangan di persidangan. Arifin melanjutkan keterangannya, upaya untuk membongkar pungli terus dilakukan, diantaranya mengirimkan ke Kotak Pos 5000 dan memberikan informasi kepada wartawan. “Apa maksud saudara menyebarkan informasi itu!” tanya salah satu hakim anggota, M. Djuhani. “Agar tidak ada korban pungutan liar, serta membersihkan nama PT Telkom yang telah dicatut!” jawab Arifin. “Apakah saudara sudah melakukan pengecekan tentang oknum PT Telkom yang disebut-sebut mendapatkan uang pungli!” lanjut hakim. “ Ya, Pak, setelah dilakukan pengecekan ternyata tak ada oknum karyawan PT Telkom yang menerima uang pungli yang disebutsebut untuk pengurusan izin wartel,” jelas Arifin. Dalam pledoi (pembelaan) yang diberi judul “Mengungkap Pungli dan Menegakkan 111
Wibawa Telkom atau Menista, Sebuah Pembelaan bagi Seorang Pegawai Telkom”, didepan Ketua Majelis Hakim, M Yuliarno dan M Djuhani, dan Sunu Hernowo sebagai Hakim Anggota, Tim Penasehat Hukum Arifin menyoroti diangkatnya kasus ini ke muka persidangan mer upakan sebuah fenomena baru wajah hukum di Indonesia. Setelah melalui semua tahapan pemeriksaaan akhirnya tanggal 27 November 1996, majelis hakim PN Yogyakarta menyatakan Arifin telah terbukti melanggar Pasal 311 ayat 1 KUHPid, yaitu secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menista secara lisan atau fitnah. Selain itu Arifin juga dijatuhi hukuman selama dua bulan penjara. Fakta hukum yang dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim PN Yogyakarta adalah pertama, pengucapan terdakwa dihadapan enam orang yang hadir dalam jumpa pers dengan menuduh oknum pengurus APWI yang berinisial YO atau Yahya Ombara telah melakukan perbuatan pungli, yang menur ut hukum sebagai perbuatan menuduh secara lisan kepada seseorang telah melakukan perbuatan tertentu dengan maksud tuduhan itu tersiar atau diketahui orang banyak. Kedua, tidak cukup bukti adanya 112
perbuatan pungli yang dilakukan oleh oknum APWI. Ketiga, tidak adanya persesuaian tentang ketidakbenaran terjadinya pungli yang dilakukan Yahya, terdakwa tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya kepada saksi korban, maka terdakwa haruslah dinyatakan bersalah melakukan fitnah. Atas putusan PN Yogyakarta atau pengadilan tingkat pertama, melalui penasehat hukumnya Arifin langsung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Begitu sidang berakhir, Arifin langsung bangkit dari kursi pesakitannya kemudian menghampiri dan menyalami semua majelis hakim dan jaksa yang hadir di ruang sidang itu. “Semoga Tuhan mengampuni Anda,” hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Berbeda dengan putusan di tingkat pertama, rupanya nasib baik masih berpihak kepada Arifin di tingkat banding. Dalam putusan tanggal 25 Januari 1997, hakim ditingkat banding yang dipimpin Stevanus Kasihan dan hakim anggota H Pradopo dan Sri Warsiki membatalkan putusan PN Yogyakarta, dengan menyatakan Arifin tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan kepadanya. Adapun fakta hukum yang dijadikan pertimbangan putusan pengadilan tinggi, 113
pertama, terdakwa diberikan izin untuk membuktikan kebenaran atas tuduhannya, saksi Surana dan saksi Harsanto di bawah sumpah menerangkan masing masing telah menyerahkan cek giro Rp 7,5 juta pada Yahya. Kedua, adanya beberapa pernyataan yang sudah dicabut merupakan petunjuk yang kuat adanya ketidakberesan dalam pengurusan perizinan pendirian wartel. Ketiga, terdakwa bisa membuktikan kebenaran apa yang dibicarakan dengan para wartawan. Keempat, jumpa pers di Rumah Makan Minang Raya dengan maksud melindungi kepentingan umum. Kelima, sifat off the record dapat meliputi sebagian maupun keseluruhan berita dan pemuatan off the record bukan atas permintaan terdakwa, maka tersiarnya berita bukan tang gung jawab terdakwa tetapi wartawan yang memuatnya. Putusan Pengadilan Ting gi (PT) Yog yakarta yang membebaskan Arifin rupanya berganti tidak memuaskan Jaksa Penuntut Umum. Jaksa mengajukan kasasi. Setelah hampir setahun, akhirnya 12 Januari 1998, Mahkamah Agung (MA) membatalkan putusan PT Yogyakarta. Dengan mengambil alih pertimbangan PN Yogyakarta sebagai pertimbangan maka MA berpendapat dan berkeyakinan Arifin secara sah menurut hukum telah terbukti melakukan perbuatan 114
fitnah secara tertulis. Putusan PT Yogyakarta dibatalkan MA dikarenakan dianggap telah salah menerapkan hukum pembuktian (baik pasal 311ayat (1) KUHPid dan pasal 310 ayat (1) KUHPid dengan pertimbangan antara lain; pertama, penyampaian informasi dengan permintaan off the record tidak dapat disampaikan oleh setiap orang. Kedua, off the record tidak meliputi informasi perbuatan tertentu yang dilakukan seseorang dan sesuatu yang sifatnya menuduh tidak layak berlindung dengan kondisi off the record. MA berpendapat bahwa keterangan atau pernyataan yang off the record hanya dimiliki oleh pejabat publik tertentu. Atas dasar pendapat tersebut, terdakwa tidak memiliki kualifikasi sebagai pejabat publik tertentu yang memiliki hak untuk memberi pernyataan atau keterangan off the record, maka keterangan yang disampaikan kepada wartawan yang isinya bersifat menyerang kehormatan atau nama baik seseorang apakah selanjutnya dimuat dalam harian atau tidak adalah perbuatan pencemaran (penghinaan). Merasa pertimbangan hukum majelis kasasi MA tidak melihat seluruh bukti yang ada, penasehat hukum Arifin pada 13 Maret 1998 mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas perkaranya disertai bukti (novum) baru 115
yang mempunyai sifat dan kualitas “menimbulkan dugaan kuat” terhadap adanya pungli yang pernah disampaikan saat acara makan siang dengan wartawan. Sedangkan Arifin pribadi yang kecewa atas putusan kasasi MA tersebut sempat melakukan mogok makan di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) selama dua hari tanggal 11 dan 12 April 1998 karena merasa tindakannya membongkar pungli ternyata mendapat pertimbangan yang negatif dari puncak lembaga peradilan. “Karena tindakan membongkar pungli itu saya tidak mau dihukum satu hari pun. Dan saya siap menjadi tumbal untuk penegakan hukum di Republik ini.” Namun atas bujukan pimpinan perusahaan tempatnya bekerja maka Arifin menghentikan aksi mogok makan setelah diyakinkan bahwa masih ada upaya hukum lagi untuk mencari keadilan. Pada 14 April 1998 PN Yogyakarta melakukan pemeriksaan perkara PK dan Arifin mengajukan novum sebanyak tiga berkas yaitu surat pernyataan bermeterai dari empat orang pemilik wartel maupun pemohon izin wartel yang intinya telah memberikan sejumlah uang kepada Yahya Ombara pada saat pengurusan izin wartel yang dikelolanya saat ini. 116
Novum kedua merupakan keterangan dari Deputy General Manager Internal Audit KSO-IV tang gal 15 April 1998, yang menjelaskan hasil pemeriksaan auditor terhadap Wartel Bahana dengan hasil bahwa Salim Gafur (pengelola) telah mengeluarkan uang muka sebesar Rp 5 juta berupa cek atas nama BHS Bank, sebagai pelicin pemberian izin Wartel lokasi Jl Cornel Simanjuntak sesuai permintaan Yahya Ombara. Bukti ketiga yang diajukan adalah Surat Dirut PT Telkom No. TEL 27 /HK-710/ SEK30/98 tanggal 13 April 1998 perihal Penjelasan dan Akibat Hukum Kasus Pidana Arifin Wardiyanto, yang intinya menjelasakan bahwa pengungkapan pungli oleh karyawan Telkom tersebut direstui oleh manajemen perusahaan. Namun upaya hukum terakhir yang dilakukan oleh Arifin bersama dengan para pengacaranya pada akhirnya kembali kandas di tangan Majelis Hakim Agung MA. Setelah lebih dari tiga tahun kasusnya dilimpahkan ke MA, tanggal 29 Agustus 2001 Majelis Hakim Agung PK yang terdiri dari Soeharso, M Said Harahap dan Soekirno memutuskan menolak permohonan PK yang diajukan Arifin dan menguatkan putusan Kasasi yang menghukum Arifin selama 2 (dua) bulan penjara. 117
SESUNGGUHNYA yang menjadi pangkal persoalan dan menjadi perdebatan dalam proses hukum Arifin mulai dari tingkat penyelidikan,penyidikan hingga kasasi adalah pernyataan off the record yang diucapkannya saat memberikan informasi kepada beberapa wartawan.Semua penyataan yang disampaikan kepada wartawan pada prinsipnya adalah untuk dipublikasikan, kecuali sebaliknya bahwa pernyataan tersebut disampaikan bersifat off the record, dan faktanya masih perlu diverifikasi lebih lanjut. Demikian juga terhadap sumber berita, wartawan dapat mengutip keterangan sumber berita dengan menyebut nama sumbernya, kecuali sumber berita menyatakan sebaliknya bahwa agar disembunyikan atau tidak disebutkan. Hak setiap orang yang menjadi sumber berita untuk tidak mau disebutkan namanya atau pernyataan atau keterangannya yang disampaikan bersifat off the record harus dihormati wartawan. Seorang yang menyaksikan suatu pelanggaran hukum pidana dan dimintai keterangan wartawan, demi keselamatan atau perlindungan diri atau materi yang disampaikan belum lengkap dan ada kekhawatiran melanggar asas-asas dalam penegakan hukum pidana, dapat menyatakan bahwa keterangannya bersifat off the record dan 118
meminta tidak juga disebutkan namanya. Keterangan atau pernyataan off the record dapat disampaikan oleh semua orang yang menjadi sumber berita. Informasi yang bersumber dari keterangan off the record tersebut merupakan bahan informasi awal bagi wartawan untuk melakukan pendalaman lebih lanjut dengan sumber berita yang lain. Maka, keterangan yang bersifat off the record tidak boleh langsung diberitakan dan belum menjadi keterangan resmi atau keterangan akhir yang lengkap yang masih memerlukan pengujian ulang. Wartawan bisa saja memberitakan suatu berita ternyata isi berita tersebut adalah sesuai dengan keterangan dari sumber berita yang disampaikan off the record, asalkan wartawan tersebut tidak menyebutkan sumbernya dan materi yang diberitakan tersebut telah dicek silang dengan sumber berita yang lain. Berarti berita tersebut bukan lagi bersumber dari pernyataan off the record. Jika keterangan yang disampaikan bersifat off the record dan kemudian wartawan memuatnya di koran, maka yang bertanggungjawab terhadap isi berita tersebut adalah pihak yang memberitakan, dalam hal ini koran yang memuat berita tersebut. Selanjutnya sesuai dengan prinsip pertangungjawaban pidana dalam pers, maka pemimpin umum bertangungjawab terhadap 119
isi berita yang mengandung pencemaran tersebut atau yang bersangkutan dapat melimpahkan kepada pimpinan redaksi atau wartawan yang memuat keterangan atau pernyataan yang disampaikan sumber berita off the record. Jika pemberitaan keterangan atau pernyataan yang berisfat off the record tersebut merugikan pihak korban yang tiada lain adalah pemimpin umum atau pemimpin redaksi dari koran yang bersangkutan, maka tidak cukup alasan untuk menyatakan bahwa berita tersebut menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, karena yang bersangkutan sengaja atau atas kelalaiannya memuat berita yang berisi mencemarkan kehormatan atau nama baik dirinya sendiri. Tindakan mempublikasikan dirinya adalah tidak melawan hukum, meskipun isinya adalah mengandung fitnah atau pencemaran sekalipun. Jika berita itu dimuat tanpa melalui prosedur yang ditetapkan oleh koran yang bersangkutan, maka tanggungjawab itu bersifat internal koran yang bersangkutan, terutama wartawan yang memuat pernyataan atau keterangan off the record. Masalah off the record bukan saja masalah aturan perundang-undangan, tetapi masalah Kode Etik Pers. Menurut Kode Etik Jurnalistik PWI Pasal 14, wartawan Indone120
sia harus menghormati ketentuan embargo, bahan latar belakang, dan tidak menyiarkan informasi yang oleh sumber berita tidak dimaksudkan sebagai bahan berita serta tidak menyiarkan keterangan “off the record”. Demikian juga dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), kode etik ke-6 memuat ketentuan: “Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai dengan kesepakatan.” Selain kode etik jurnalistik, Undangundang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers juga mengatur mengenai Kode Etik Jurnalistik sebagai rambu-rambu yang harus ditaati oleh wartawan khususnya yang menyangkut informasi yang bersifat off the record. Pasal 5 Ayat 1 UU Pers menyebutkan “ Wartawan Indonesia menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak bersedia disebut namanya. Dalam hal berita tanpa menyebut nama sumber tersebut disiarkan maka segala tanggung jawab berada pada wartawan dan/atau peneribit pers yang bersangkutan”. Selanjutnya dalam Pasal 5 Ayat 2 “Keterangan-keterangan yang diberikan secara off the record tidak disiarkan, kecuali apabila wartawan yang bersangkutan secara nyata-nyata dapat membuktikan bahwa ia 121
sebelumnya memiliki keterangan-keterangan yang kemudian ternyata diberikan secara off the record itu. Jika seorang wartawan tidak ingin terikat pada keterangan yang akan diberikan dalam suatu pertemuan secara off the record, maka ia dapat tidak menghadirinya”. Kode etik dan ketentuan sebagaimana disebutkan di atas mengikat sebagai hukum bagi wartawan berdasarkan atas ketentuan Pasal 7 Ayat (2) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang berisi “Wartawan memiliki dan mentaati Kode Etik Jurnalistik”. Kode etik jurnalistik adalah dasar penentuan ada tidaknya sifat melawan hukumnya suatu perbuatan pidana (pelang garan hukum pidana) yang berhubungan dengan pers, khususnya dengan tugas wartawan atau jurnalistik dan pemberitaan melalui media massa. Otoritas untuk menilai apakah wartawan melakukan tugas jurnalistiknya sesuai atau tidak sesuai dengan Kode Etik Pers adalah masyarakat pers itu sendiri, dalam hal ini organisasiorganisasi profesi wartawan yang biasanya memiliki dewan kode etik atau Dewan Pers yang bekerja berdasarkan norma-norma etis jurnalistik dan standar-standar profesional jurnalistik. 122
JAKARTA 16 Januari 2002. Terik matahari siang menghembus ke dalam gedung kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Jl Latuharhary Jakarta. Para wartawan sudah siap meliput laporan pengaduan seorang anggota masyarakat kepada pimpinan Komnas HAM. Lelaki itu sudah berada di sana. “Saya menginginkan Pemerintah peduli terhadap kasus saya. Tidak ada lagi yang bisa saya berikan, selain darah saya. Lebih baik saya mati!” teriak lelaki itu. Semua orang yang hadir terkesima. Lelaki itu tiba-tiba sudah berdiri di atas kursi. Agak sempoyongan karena badannya yang agak berat. Tiba-tiba ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebilah cutter yang mengkilap diterpa sinar. “Srett!!!” Lelaki itu mengiris dahinya dua kali. Cutter dua kali ditorehkan di dahi wajahnya mulai dari kiri ke kanan. Luka berupa garis lurus pun langsung menganga, disusul tetesan darah segar hingga mengenai kaca mata ukuran minus satu seperempat yang ia kenakan. Ketika pisau yang sama hendak digunakan untuk mengiris urat nadi pergelangan tangan kiri, semua orang yang hadir terperangah. Lelaki itu Arifin Wardiyanto. Tangan Arifin masih memegangi cutter 123
yang tampak bernoda darah. Ia siap memotong urat nadinya sendiri, sejurus kemudian, ia berteriak lantang, “Saya tidak bisa memberi apa-apa kepada Mahkamah Agung kecuali darah saya! Kalau perlu nyawa saya berikan!” Setelah teriakan itu, ia mencoba mengiris urat nadi tangan kiri. Serempak, sejumlah wartawan yang mengelilinginya, menggagalkan upaya Arifin. Lelaki itu kelihatan putus asa. Wajahnya memendam amarah, namun ia terus-menerus kalah. Arifin, ia seperti tengah berhadapan sendirian dengan “kekuatan jahat” yang tak terkalahkan. Beberapa petugas keamanan kantor itu bergegas merebut cutter dari tangan Arifin. Darah masih mengucur dari dahinya yang lapang, menetes hingga membasahi bajunya yang rapih. “Ini merupakan tanda protes. Saya telah diperlakukan tidak adil oleh Mahkamah Agung,” tutur Arifin menceritakan kembali apa yang pernah dilakukannya di kantor Komnas HAM. “Saya hanya menginginkan keadilan. Saya sudah berusaaha sebisa mungkin untuk membela rakyat dari praktek pungli, tetapi saya yang justru dipersalahkan!” lanjutnya. Sehari sebelumnya, Arifin membelenggu salah satu tangannya dengan rantai saat 124
menghadap Wakil Ketua DPR RI Soetardjo Soerjogoeritno di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta. “Pada saat saya lakukan aksi di DPR tidak banyak orang yang curiga. Karena pada saat itu saya memakai pakaian necis dan berdasi seperti layaknya seorang pejabat penting, kebetulan pula di DPR RI saat itu ada rombongan Serikat Pekerja PT Telkom, namun mereka tidak tahu bahwa saya membawa rantai dalam tas!” ujar Arifin. Esoknya setelah aksi di Komnas HAM, di Kantor Komisi Ombudsman Nasional, Jl Adityawarman, Jakarta, Arifin memecah botol minuman, memegangi leher botol itu dan mencoba menusuk bagian perutnya dengan benda itu. Lagi-lagi, para wartawan menyelamatkannya. Sebelumnya, Arifin punya rencana lain. “Awalnya saya merencanakan akan mengantungkan diri dengan rantai di sebuah gedung bertingkat di Jakarta. Bahkan saya telah melakukan survei di beberapa tower di Jakarta,” ujarnya. Rencana ini urung. Kali terakhir, Arifin mengirimkan piagam penghargaan kepada Ketua MA, Kepala Kejaksaan Agung dan Kapolri pada 7 Maret 2003. Piagam penghargaan tersebut sebagai bentuk sindiran karena ketiga institusi penegak hukum itu tidak berupaya mencari keadilan 125
dan kebenaran dalam memproses hukum. NIAT baik Arifin membongkar pungli demi menjaga nama baik PT Telkom, kendati harus menyeretnya ke pengadilan, akhirnya menimbulkan simpati dan dukungan dari berbagai kalangan. Inilah yang menjadikannya tetap gigih memperjuangkan apa yang menurut keyakinannya dan orang lain sebagai suatu kebenaran. PT Telkom membentuk tim yang melakukan penyelidikan terhadap laporan pungli yang dilakukan oknum APWI dan memberikan dukungan dalam proses hukum di tiap tingkatan pengadilan ter masuk membayar penuh biaya pengacara dari kantor Triandi Mulkan SH dan Rekan. Arifin seperti mendapat darah segar, ketika Dirjen Pos dan Telekomunikasi, Djakaria Purawidjaja, dalam suratnya (Surat No. 3295/Diitel/XI/96 tertang gal 22 Nopember 1996) menyarankan agar ia tidak khawatir dan gentar menghadapi segala bentuk tuntutan sehubungan dengan kasus terjadinya pungli dalam proses perizinan wartel. Direktur Utama PT Telkom saat itu AA Nasution bahkan secara resmi mengirimkan surat kepada Ketua PN Yogyakarta dengan tembusan kepada Ketua MA dan Ketua PT 126
Yogyakarta (Surat No. TEL 72/HK-710/ SEK-30/98 tertanggal 13 April 1998). Surat itu menyatakan tindakan yang dilakukan Arifin, karyawan PT Telkom Yogya bukan tindakan yang merugikan orang lain atau penistaan terhadap pihak manapun melainkan suatu tindakan yang bermaksud mencegah timbulnya tindakan pihak tertentu yang dapat merugikan masyarakat peng guna jasa telekomunikasi, sehingga tindakan yang bersangkutan merupakan tindakan pengamanan nama baik dan citra PT Telkom sebagai perusahaan negara yang melayani kebutuhan pengguna jasa telekomunikasi. Nasution menyebutkan sebagai pegawai negeri dan abdi masyarakat, maka tindakan Arifin mengungkap perbuatan merugikan masyarakat direstui perusahaan. Pengusaha wartel sebagai pihak yang secara langsung dan tidak langsung turut diuntungkan dari terbongkarnya praktek pungli dalam pengurusan perizinan wartel memberikan dukungan untuk Arifin, terutama setelah PK ditolak. Puluhan orang yang tergabung dalam Persatuan Pengelola Wartel Indonesia (PPWI) pada 24 Januari 2002 mendatangi gedung DPRD Yogya. Mereka menuntut MA membentuk lembaga eksaminasi untuk menganulir putusan MA yang menolak PK kasus pencemaran nama 127
baik karena membongkar pungli. “PPWI mendukung sepenuhnya Arifin menegakkan kebenaran dan mengutuk keras segala bentuk praktek kolusi pada lembaga peradilan di Indonesia. PPWI memohon kepada Presiden RI untuk membebaskan Arifin sebagai mana putusan PT Yogyakarta!” demikian butir pernyataan yang dibacakan Sekjen PPWI Yogya, Hendro Plered. Dukungan datang lagi dari para praktisi hukum, organisasi-organisasi non pemerintah, dan akademisi di Jakarta dan Yogya. Indonesia Corruption Watch, Indonesian Court Monitoring Yogyakarta dan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta membentuk lembaga eksaminasi publik khusus untuk menguji putusan yang dihasilkan hakim dalam kasus Arifin Wardiyanto mulai dari tahap pertama di PN Yogyakarta hingga putusan Peninjauan Kembali di MA. Lembaga ini menganalisis pertimbangan hukum atas putusan dalam kasus Arifin Wardiyanto untuk melihat apakah pertimbangan hukum sesuai atau bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum, baik hukum materiil maupun hukum formil, dan juga dengan legal justice, moral justice dan social justice. Sebagai tim penguji atau yang lebih dikenal sebagai anggota majelis eksaminasi, 128
ditunjuk tujuh orang yang ahli di bidang hukum yang umumnya berprofesi sebagai akademisi dan praktisi hukum. Mereka adalah Dr Mudzakkir, SH, MH (akademisi), Kamal Firdaus, SH (praktisi hukum), E Sundari, SH (akademisi), Sigit Riyanto, SH, MH (akademisi), Muchtar Zuhdi, SH (akademisi), Frans Hendra Winarta, SH, MH (praktisi hukum), dan Iskandar Sonhaji, SH (praktisi hukum). Eksaminasi memberikan beberapa kesimpulan pertama, hakim PN Yogyakarta yang menyidangkan kasus Arifin kurang cermat, bahkan tidak tajam melihat persoalan. Hakim melanggar asas audi et alteram partem dan juga kurang dalam mengupayakan kebenaran materiil yang hendak dicapai oleh hukum acara pidana. Kedua, pemeriksaan yang dilakukan majelis Hakim Agung baik di tingkat kasasi maupun PK dilakukan dengan kurang teliti, kurang menyeluruh dan bersifat subyektif sehingga putusan yang dihasilkan secara kualitatif masih belum memenuhi rasa keadilan. Eksaminasi ini hanya salah satu bentuk tekanan publik saja, tidak mengubah nasib Arifin, yang masih menjadi terpidana. ANI Kuswati tetap tabah. Perempuan itu istri Arifin. Ia terus memberikan semangat kepada Arifin. Ani bekerja sebagai staf Dinas 129
Kebudayaan Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta, dipersunting Arifin pada 7 Oktober 1982. Dari perkawinan itu lahir seorang anak semata wayang, Muhammad Siddiq, yang kini sudah menginjak bangku kuliah. Arifin lahir lahir di Klaten , 25 Mei 1955 dari pasangan DA Mawardi seorang tentara berpangkat mayor dan Sri Harti. Berasal dari keluarga besar, Arifin anak ke-3 dari 11 bersaudara. Sebagai anak tentara, ia banyak menghabiskan masa kecilnya di tempat ayahnya berdinas di Cimahi, Jawa Barat. Menempuh pendidikan Sekolah Dasar Sudirman II Cimahi, lulus tahun 1968 lalu dilanjutkan SMPN II Cimahi Bandung lulus tahun 1971 dan STM N I Bandung lulus tahun 1974. Mulai meniti karirnya di PT.Telkom sejak menyelesaikan pendidikan Diploma II Telkom pada 1986. Rupanya sifat-sifat menentang ketidakadilan sudah muncul sejak masih bujangan. “Saya tidak bisa diam jika melihat ketidakadilan di depan saya!” begitu ucap Arifin. “Mas Arifin sejak kecil sudah punya punya komitmen yang kuat khususnya dalam memperjuangkan keluarga. Bahkan dia rela melakuakan segala upaya untuk menjaga nama baik keluarga. Suatu ketika bahkan mas Arifin 130
pernah berkelahi dengan tetangganya hanya untuk menunjukkan bahwa keluarganya tidak bisa disepelekan. Sikap ini lah yang kemudian diterapkan mas Arifin dalam pekerjaannya dan dia rela melakukan segala upaya untuk menjaga nama baik perusahaan! “ ujar Aris Subiyakto, adik Arifin nomor lima yang saat ini bekerja di sekretariat Komisi I DPR RI Jakarta. Kesan baik tidak saja didapat dari tempatnya bekerja namun juga dari lingkungan rumahnya, di Perum Karangjati Indah Blok C1 No.28 Kasihan Bantul. Arifin mulai tinggal di komplek yang mayoritas dihuni keluarga TNI dan Polri sejak 1990. Rumah yang ditempatinya bersama dengan istri dan putra semata wayangnya merupakan rumah sederhana tipe 54 dengan luas tanah 150 meter persegi. “Arifin itu jiwa sosialnya sangat tinggi mas. Dia tidak segan-segan membantu tetangganya jika ada kesulitan,” ujar Ny Sukarno, tetangga beda blok yang telah tinggal komplek lebih dari dua puluh tahun lalu. Sutardjo, pensiunan letnan kolonel polisi, tetangga yang tinggal persis disamping kiri kediaman Arifin mengatakan “Dia orangnya aktif di berbagai kegiatan yang dilaksanakan dilingkungan kami seperti arisan dan kerja bakti. Bahkan belum lama ini dia rela 131
meminjamkan kendaraannya untuk mengantarkan warga sekitar yang meninggal dan dimakamkan di Madiun, Jawa Timur!” “SAYA tidak dendam terhadap, jaksa, dan hakim yang memeriksa dan memutus perkara saya!” kata Arifin. “Termasuk juga terhadap wartawan yang melanggar kesepakatan of the record !” lanjutnya. Yang masih mengganggu pikirannya hingga kini adalah mengapa MA dalam putusannya tidak melihat seluruh fakta secara utuh termasuk adanya bukti kiriman uang kepada fungsionaris APWI Yogyakarta serta pernyataan tertulis dari beberapa pengelola wartel yang mengaku telah mengirim uang. Sebagai seorang pengungkap kasus (wistle blower), Arifin merasa seharusnya mendapat perlindungan hukum dan bukan sebaliknya justru dihukum. Yang lebih menyakitkan laporan pungli yang melibatkan pengurus APWI tidak pernah disidik polisi, apalagi berlanjut ke pengadilan Meskipun Arifin tidak pernah menjalani putusan PK MA yang menghukumnya dua bulan penjara, namun sekali lagi Arifin tidak pernah menyerah mencari keadilan. Pada 2002 Arifin mengajukan permohonan grasi kepada presiden meskipun belum juga mendapatkan jawaban. 132
Bersama LBH Yogya, Maret 2003, Arifin meminta fatwa agar MA untuk membebaskannya. “Saya tidak salah tapi dihukum dua bulan. Itu, kan penganiayaan, pelanggaran HAM, sama dengan fitnah yang lebih kejam dari pembunuhan. Saya minta pada MA supaya dihukum mati saja. Saya bukan minta belas kasihan. Makanya saya masih berupaya minta fatwa MA,” kata Arifin lagi. “Saya tak akan menyerah. Ini bukan untuk keperluan saya semata, namun untuk Arifin-Arifin yang lain....!”. [ ]
133
PROFIL INDONESIA CORRUPTION W ATCH WA
Bersama R akyat Rakyat Membasmi K orupsi Korupsi
I
ndonesia Corruption Watch (ICW) lahir pada tanggal 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan refor masi yang menghendaki pemerintahan pasca Soeharto yang bersih dan bebas dari KKN. Ide pembentukan Organisasi Non Pemerintah (Ornop) ini diprakarsai oleh beberapa tokoh masyarakat aktivis Ornop yang memiliki integritas dan komitmen akan pemerintahan yang demokratis, transparan dan bersih dari KKN. Pendirian ini bukan tanpa sebab, dilatarbelakangi oleh korupnya pemerintahan Soeharto yang mewariskan bibit-bibit korupsi, kelompok masyarakat merasa perlu berbicara dan bertindak dalam persoalan ini. Korupsi tidak saja mendominasi wilayah eksekutif dan legislatif (political corruption), tetapi juga lembaga yudikatif (judicial corruption), bahkan diwilayah-wilayah sosial seperti bantuan asing, pengungsi dan bencana alam (humanitarian corruption) tidak terlepas dari praktek korupsi. Pendek kata, nyaris tidak ada 134
135
ruang kehidupan yang bebas dari korupsi. Realitas ini diterima masyarakat sebagai bagian dari kebudayaan yang menyimpang. Krisis ekonomi yang nyaris melumpuhkan kehidupan masyarakat Indonesia pada tahun 1997, banyak yang menuding, dipicu atau diperburuk oleh masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Monopoli, proteksi, dan sumber daya ekonomi yang vital diberikan atas nama kepentingan nasional kepada kerabat dan konco penguasa. Birokrasi dan hukum hanya melayani penguasa dan mereka yang sanggup membelinya. Sementara rakyat har us membayar mahal untuk pelayanan umum yang buruk. Korupsi di tingkat elit ditimbulkan oleh adanya sentralisasi kekuasaan politik dan ekonomi di tangan presiden, tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas publik. Kekuasan presiden tidak bisa dikontrol karena DPR telah disubordinasi dan kekuataan civil society menjadi tidak berdaya karena mendapat regimentasi yang begitu dahsyat. Praktis pembagian kekuasaan tidak terjadi dan karenanya checks and balances dalam hubungan antara negara dan masyarakat sipil menjadi macet. Korupsi di tingkat birokrasi rendahan terjadi selain sebagai konsekuensi dari korupsi 136
di tingkat elit, tetapi juga karena gaji pegawai negeri yang rendah dan terbukanya peluang di dalam sistem birokrasi yang panjang dan sentralistis. Praktik suap-menyuap antara penyelenggara negara dan masyarakat adalah pemandangan sehari-hari yang membentuk moral korupsi sehingga korupsi dirasakan sulit untuk diberantas. Aktor utama korupsi adalah pemerintah dan sektor swasta, dan rakyat banyak adalah korban utamanya. Karenanya ICW percaya bahwa gerakan anti korupsi harus bertumpu pada pemberdayaan rakyat untuk mengimbangi kolaborasi pemerintah dan sektor swasta. Hanya dengan cara itu reformasi kebijakan di bidang hukum, politik, ekonomi, dan sosial yang mendukung pemerintahan yang bersih dari korupsi dapat diwujudkan. Karena itu ICW memiliki misi pemberdayaan masyarakat baik dalam memperjuangkan terwujudnya sistem politik, hukum, ekonomi dan birokrasi yang bersih dari korupsi dan berlandaskan keadilan sosial. Maupun memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan dan pengawasan kebijakan publik. Sedangkan dalam menjalankan misi tersebut, ICW mengambil peran untuk memfasilitasi penyadaran dan 137
pengorganisasian masyarakat dibidang hakhak warganegara dan pelayanan publik. Penguatan kapasitas masyarakat dalam proses pengambilan dan pengawasan kebijakan publik. Mendorong prakarsa masyarakat untuk membongkar kasus-kasus korupsi yang terjadi dan melaporkan pelakunya kepada penegak hukum serta masyarakat luas untuk diadili dan mendapat sanksi sosial. Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam penyelidikan dan pengawasan korupsi. Meng galang kampanye publik guna mendesakkan reformasi hukum, politik dan birokrasi yang kondusif bagi pemberantasan korupsi. Serta memfasilitasi penguatan good governance di masyarakat sipil dan penegakan standar etika di kalangan profesi. Sekretariat Jl. Kalibata Timur IV D No. 6 Jakarta Selatan 12740 Telp. 021 7901885, 7994015 Fax. 7994005 Website: http//www.antikorupsi.org Email :
[email protected]
138
PROFIL PENULIS J. DANANG WIDOYOKO Wakil Koordinator Anggota Badan Pekerja ICW. Menyelesaikan studi di Fakultas Teknik Elektro UKSW Salatiga. Bergabung dengan ICW sejak tahun 2000 dan menar uh minat pada masalah refor masi sektor keamanan, hubungan sipil-militer dan anggaran. Terlibat dalam penulisan buku “Menyingkap Tabir Mafia Peradilan” (2002), “Bisnis Militer Mencari Legitimasi” (2003), “Hukum Berhenti di BLBI” (2004) . Danang dapat dihubungi di
[email protected] ADNAN TOPAN HUSODO Anggota Badan Pekerja ICW. Bergabung dengan ICW pada 2001 sebagai volunteer pada Divisi Investigasi. Setahun kemudian menjadi staff di Divisi Monitoring Pelayanan Umum dan Utang Luar Negeri ICW. Kini mengkoordinir Departemen Informasi Publik ICW. Beberapa 139
buku lainnya yang pernah diterbitkan adalah “Utang Yang Memiskinan” (2002) dan “Bisnis Militer Mencari Legitimasi” (2003). Sering menulis artikel di beberapa media massa nasional. Ia dapat dihubungi di
[email protected] dan
[email protected]. EMERSON YUNTHO Lahir di Jakarta, 1 Juni 1977. Menempuh pendidikan dasar dan menengah (SD, SMP, SMA) di Jakarta. Pendidikan S1 di Fakultas Hukum UGM Yogyakarta lulus tahun 2001. Bergabung di ICW sejak Maret 2002. Jabatan sekarang adalah Anggota Badan Pekerja dan Pelaksana Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan. Memilki ketertarikan lebih pada isu-isu dibidang hukum dan peradilan. Bersama dengan beberapa NGO di Jakarta aktif dalam advokasi mengenai Perlindungan Saksi dan Pelapor. Emerson dapat dihubungi di:
[email protected].
140
141