MENYALAKAN
SEMANGAT BERKORBAN
Salah satu kelemahan manusia adalah ketidakmampuannya dalam menangkap pesan sejarah. Setiap tahun, saat Idul Adha, di banyak mimbar, selalu diserukan ajakan yang membangkitkan semangat untuk berkurban yakni bercermin dari peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim dan Ismail. Namun sayangnya, tak banyak dari umat ini yang mampu secara dalam memaknai peristiwa bersejarah itu. Justru “pengorbanan” di masa sekarang dipraktikan dengan amat memilukan. Setiap lima tahunan, dalam suasana hajat politik bernama Pemilu, hampir niscaya kita disuguhi drama berdarah berupa pertikaian fisik antarpendudkung partai. Di luar itu juga ada tradisi perang antarsuporter sepakbola, masih lestarinya tawuran antarsiswa/antargeng, dll. Kita juga belum lupa pernah ada pasukan (berani) mati yang dibentuk untuk membela tokoh tertentu. Juga ada cap jempol darah hanya sekedar demi unjuk kesetiaan terhadap tokoh politik. Mereka yang disebut di atas benar-benar siap mengorbankan apa saja termasuk menyambung nyawa demi membela harga diri partai, klub sepakbola, sekolah/kampus, dan figur tertentu. Pertanyaan sederhana, benarkah semua yang mereka lakukan adalah sebentuk pengorbanan??! Ke mana mereka saat agam Islam dinistakan, saat ada saudara-saudara seiman mereka yang diusir dan dibantai??! Nomor berapakah agama bagi mereka setelah partai, sepakbola, dll??! Pertanyaan demi pertanyaan yang bisa jadi tak akan ada habisnya. Sekelumit hal di atas menyiratkan betapa masih banyak masyarakat yang patut dipertanyakan katauhidannya. “Ketajaman” akidah mereka masih harus diasah karena nyata mereka masih menghamba kepada selain yang menciptakan mereka. Merujuk
kepada kisah Nabi Ibrahim A.S itulah, banyak ibrah (pelajaran yang mestinya bisa kita petik. Menyembelih hewan kurban pada hari Idul Adha (tanggal 10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyriq (tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah) merupakan amalan mulia dalam agama Islam. Di antara bukti kemuliaannya adalah Rasulullah SAW senantiasa melakukannya semenjak berada di kota Madinah hingga wafatnya. Sebagaimana yang diberitakan sahabat Abdullah bin Umar r.a : ‘Aqaamannabbiyu SAW bil madiinati asyrasiniina yudlahhi’ (“Nabi SAW. Selama sepuluh tahun tinggal di kota Madinah senantiasa menyembelih hewan kurban”. HR. Ahmad dan At Tirmidzi: Hasan)). Tepat pada tanggal 07 Desember 2008 kemaren, SMANSA memperingati hari idul adha 1429 hijriah. Meski hari itu hari libur nasional namun siswa tetap semangat untuk masuk sekolah. Tepat pukul 06.00 WIB sholat idul adha dimulai di lapangan sekolah yang di pimpin oleh Bapak Imam Safii. Kegiatan ini diprogramkan guna memupuk rasa rela berkorban pada setiap anak didik. Ibadah qurban sendiri mengarah pada suatu lambang dan petunjuk, bahwa hanya dengan pengorbanan itulah, suatu cita – cita dapat dicapai. Seperti yang di jelaskan dalam khotbah Bapak Drs. Hasan Bisri, pengorbanan ibarat peluru yang di gunakan untuk menembus benteng yang menghalang – halangi cita – cita yang hendak di capai, makin besar pengorbanan yang harus diberikan, makin tebal tembok benteng yang akan di tembus, makin besar kaliber peluru yang harus di tembakkan. Hukum sejarah menyatakan, siapa yang paling sanggup berkorban, dialah yang paling mempunyai kesempatan untuk berhasil. Seperti sejarah bangsa Indonesia akan sangat berlainan dari apa yang kita alami saat ini. Jika saat ini, rakyat Indonesia, terutama arek-arek Surabaya yang patriotis itu mau menyerah pada ultimatum Tentara Ingris yang bersenjata serba lengkap itu. Akan tetapi apa yang kita temukan sekarang, adanya suatu bangsa yang besar dan berdaulat di kawasan Asia Tenggara ini. Ini semua adalah karena kemampuan pahlawan-pahlawan tanah air yang dengan tulus iklas mengorbankan segala apa yang dapat dikorbankan bagi kelanjutan kemerdekaan Bangsa dan Negaranya, dan tak lupa adalah karena izin karena Allah SWT Demikian pula tujuan peringatan hari raya kurban yang diadakan oleh SMANSA, yaitu untuk menumbuhkan semangat berkurban di kalangan warga sekolah baik berkurban demi agama meupun demi bangsa dan negara. Tak lupa selesai khotbah mereka saling berjabat tangan guna untuk mempererat tali persaudaraan. Kali ini SMANSA mengorbankan 2 ekor kambing dan 1 ekor kerbau dengan biaya swadaya dari siswa. Semoga dengan latihan berkorban di hari yang agung dan mulia ini seluruh warga SMANSA mampu membangkitkan dan menyalakan semangat berkorban baik dalam dirinya sendiri maupun kepada saudara-saudaranya dan semangat berkorban demi dienullah Islam dan meningkatkan jiwa nasionalisme dan patriotisme bagi negeri kita tercinta, Republik Indonesia ini. Semoga amal ibadah kita diterima Allah SWT sebagai amal ibadah yang sempurna. Allaahu Akbar, Allahu Akbar, Allaahu Akbar Walillaah Ilhamd’, jazakumullah khairan katsiran. Wassalam. (by: Wh@’)
PAMONG PRAJA SMANSA In ACTION !! “Sekolah ini untuk apa, sih? ... Shopping, mejeng, cari sensasi, tebar pesona atau curi perhatian, tidak, kan! Biasanya yang sering menjadi perhatian di sekolah, yaitu mereka yang ‘sok gaul dan neko-neko tidak karuan’. Padahal tampil sederhana itu lebih luwes dan enak dipandang. Terkadang kita menjumpai anak-anak yang melanggar peraturan sekolah, misalnya dalam berpakaian terutama perempuan. Sehingga terpaksa mereka harus menjalani hukuman dari sekolah, seperti sebut saja maraknya “aliran medelisme” dan “sepatu baletisme”, merupakan pemandangan yang sudah tidak asing lagi. Mereka pikir dengan memakai rok di bawah pinggang dan dengan ikat pinggang sebesar pelepah pisang, bahasa gaulnya “sabuk debok”, akan kelihatan lebih seksi? Padahal, pencipta sabuk pertama kali itu bertujuan untuk ikat pinggang, tetapi pada zaman sekarang diganti namanya dengan ikat pinggul, sesuai dengan penggunaanya yang dipakai di pinggul. Sangat tidak cocok jika dipakai oleh anak pelajar di lingkungan sekolah. Justru dapat menggundang “negative thinking”. Tidak hanya itu, banyak di antara mereka yang bajunya dikecikan sesuai ukuran badan atau “press body” agar tampak lebih ok and seksi di mata laki-laki. Tapi Sobat FM, tidak seperti itu, kan? Ada juga mereka yang terkena razia sepatu balet, sehingga mereka harus melepas sepatu dan jadinya mereka tidak menjadi gaul tapi, justru menjadi katrok (ndesit), tidak pake alas kaki (nyeker) di sekolah. Anak laki-laki pun juga banyak yang kena razia gara-gara rambutnya di model tidak karuan. Katanya biar seperti the punk …, tapi tidak cocok juga kalau diterapkan di lingkungan sekolah. Terpaksa Tim Tatib memoprol rambutnya sesuai selera tatib. Dan satu lagi mereka yang terkena razia membewa HP disekolah, karena sudah menjadi peraturan dan juga kesepakan bersama antara pihak sekolah dengan orang tua bahwa siswa dilarang membawa HP di sekolah. Tetapi kenyataannya masih banyak anak-anak yanh membawa Hp. Jadi, Tim Tatiblah yang harus bergerak lagi. Bagi siswa yang terkena razia harus ikhlas dan menyadari kesalahannya. Maksud peraturan ini ditegakkan agar murid-murid tahu, mengerti, paham, dan dapat membedakan bagaimana menjadi seorang murid yang baik dan ideal. Gaya boleh tetapi harus tahu tempat, aturan dan etika juga norma-norma, ingat pepatah orang Jawa “Desa mawa cara, Negara mawa tata” Selain itu juga untuk menghindari kecemburuan sosial atau persaingan antar siswa. Kalau persaingan dalam bidang ketrampilan, kecerdasan baik akademik maupun non akademik tidak menjadi soal! Tetapi jika yang lain …? Nanti dulu!. Ada yang lebih parah lagi, ada “bule gosong” di sekolah. Itu lho, rambutnya yang diwarna merah/pirang. Sudah hitam kulitnya rambutnya pirang. Tidak patut sebenarnya semua itu dilakukan di sekolah, hanya anak-anak yang over PD tidak pada tempatnya yang mau melakukan itu (kayak artis kampungan). Kita harus bangga dan sangat setuju dengan penegakan TATIB di
SMANSA. Selamat bertugas dan tetap waspada wahai Bapak Ibu TATIB tercinta, tunaikan tugas dengan sungguh-sungguh biar tercipta sekolah yang kondusif. Dan semua siswa pun harus waspada karena kita tidak ingin menjadi musuh dan korban pamong praja SMANSA. Waspadalah ... waspadalah...!!”kata Pak Yudi dan Pak Trubus. (Dorami ^_*)
Partriotisme Indonesia Ada yang bilang seperti ini … : Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan budaya. Oh, hebat! tapi … Hanya saja semuanya amburadul sekarang ini. Betul itu … Tambah lagi satu-satu budaya itu entah terhapus atau dicuri bangsa lain! Saya rasa semua ada benarnya juga. Tetapi itu juga membuat saya merasa sangat susah! Sebagai orang Indonesia kita harus bangga dengan segala keIndonesia-an kita. Bangga jangan sebatas bicara, “Saya bangga menjadi bangsa Indonesia!” Kalau cuma bicara, sih komputer juga bisa. Ah, tapi sudahlah…! Katanya, bangga itu berarti patriotisme. Masak, sih? Kalau patriotisme yang saya tangkap dari sejarah Amerika berarti sebagai sebuah komitmen atau kesadaran untuk memperjuangkan sebuah kebangsaan dari ancaman asing. Singkatnya sih, saya tarik kesimpulan begitu… Nah, kalo bangga itu patriotisme, berarti semua WNRI yang ngomong sepatah kalimat tadi harusnya begitu, dong? Khususnya saya sampaikan kepada mudamudi, deh! Kalau memang bangga dengan Indonesia mana yang Anda pilih? Menonton MTV atau menonton acara Padamu Negeri di MetroTV??! Awalnya saya berpikir begitu. Tetapi setelah saya pelajari budaya Indonesia ini memang murni multikultural. Bahkan keragamannya itu masih terus tumbuh menumbuhkan cabang-cabang baru (seperti perusahaan). Tambah lagi, ribet pula untuk dipelajari atau dilestarikan. Seperti ini ceritanya. Saat ini saya sedang mencari sebuah jawaban. Jawaban tentang profil asli kebudayaan Indonesia. Saya coba masuk toko buku, perpustakaan, kemudian ketak-ketik sana-sini di internet. Hasilnya? Kebanyakan sih saya cuma menemukan budaya-budaya yang spesifik. Maksudnya secara spesifik disebutkan bahwa di sumber ini dibahas entah budaya Batak, Minang, Betawi, dan sebagainya. Saya tidak menemukan sumber yang membahas budaya Indonesia sebagai satu kesatuan. Kalau begini namanya…saya jadi teringat sikap yang diambil Alif Danya Munsyi di salah satu bukunya, …kita anggap bahasa Jawa, Sunda, Minang dan bahasa-bahasa daerah lainnya sebagai bahasa asing… Dari kumpulan esei, “9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah ASING”. Hmm, apakah itu berarti Indonesia tak memiliki budaya asli? Saya sudah curiga semenjak tahu bahwa banyak dari bahasa kita adalah serapan. Kalau sudah begini saya berpikir, apa bedanya kita dengan Amerika? Jelas beda! Kita memiliki budaya-budaya yang bersatu untuk menjadi sebuah “budaya Indonesia” sedangkan Amerika sudah membabat habis budaya nenek moyangnya dulu. IMO.
Tapi apakah itu artinya Bhinneka Tunggal Ika? Beberapa budaya yang bersatu padu membentuk sebuah kebudayaan yang menciptakan petriotisme? Seperti sebuah mesin produksi barang berlabel patriotisme yang dibangun atas gabungan komponen-komponen utuh. Kemudian mesin tersebut menciptakan berbagai benda berlabel patriotisme mulai dari sebuah kertas dan pulpen untuk menandatanganinya hingga bambu runcing sampai kembali ke sebuah mesin ketik, kertas, dan pulpen untuk membubuhkan dua tanda tangan yang mewakili segenap komponen itu. Hingga situ sajakah mesin itu berproduksi? Karena tampaknya mesin itu sudah berhenti berproduksi. Kalau saja masih berproduksi ke mana bambu runcing itu? Ke mana kertas dan pulpen itu? Ke mana label patriotisme itu? Ketika satu persatu komponennya diambil terganggulah produksinya. Atau ketika satu komponennya menghalau kerja komponen lainnya kacaulah kerja mesin itu. Perlukah komponen itu bertengkar satu sama lain? Ketika ada komponen asing yang tak sejalan dengan komponen asli masuk dan mengganggu kerja mesin. Bahkan ketika bahan atau oli yang salah digunakan untuk mesin, rusaklah semuanya! Jadi, anggaplah kita sebagai sebuah mesin yang telah melahirkan kemerdekaan. Meskipun kini kemerdekaan itu telah merusak kesatuan. Ke mana Bhinneka Tunggal Ika? Apa hanya akan menjadi hiasa di dinding kelas? Kalau ruh itu masih ada mengapa masih ada pertarungan atas nama agama? Mengapa masih kita menjelek-jelekkan sesama kita yang berniat baik? Buka mata, ancaman sebenarnya dari luar. Redam kesalahan di dalam lindungi dari luar. Kembalikan produksi kita buat lagi patriotisme. Kita bisa! Biarkan lagi komponen diambil maka kita akan menjadi Amerika, tetapi berbeda kita tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi. Ataukah kita mau menjadi negara yang telah mencabik-cabik kita? Negara yang telah memasukkan virus-virus guna merusak kerja mesin kita? Kita biarkan mereka turut campur mengatur kinerja komponen kita? Sadarlah, kita adalah komponen. Bersatulah komponen-komponen. Bangun kembali mesin penghasil patriotisme. Akhir kata… Saya hanya mempertanyakan budaya asli Indonesia utuh, kok malah jadi begini, ya? Ah, sudahlah tampaknya memang begini jadinya. Kita memang sebuah negara tanpa budaya solid yang asli. Makanya juga kita sering diinvasi oleh diri sendiri. Kita telah melupakan Bhinneka Tunggal Ika sama seperti kita lupa memberi makan Garuda Pancasila yang telah lelah membawanya. Toh, selama ini kita justru memakan Garuda itu… (@yII)
Kita dapat Internetan Salah satu sumber dari jutaan informasi yang mengglobal hanya ada satu yaitu internet. Jaringan internet sangat luas bahkan sampai keseluruh dunia. Karena dengan internet, kita dapat melakukan banyak kegiatan, misalnya chatting, berkirim e-mail, bermain game dan lain-lain. Selain itu internet juga merupakan salah satu sarana penunjang informasi yang lebih akurat dan lengkap, sehingga di zaman yang serba modern ini internet sangat dibutuhkan oleh manusia. Fasilitas yang tersedia dalam internet dapat digunakan untuk seluruh kalangan. Anak-anak sekolah banyak yang mengunakan fasilitas internet untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka. Oleh karena itu, SMANSA juga membuka jaringan internet sebagai salah satu sarana mempermudah siswa dalam mengakses informasi dan pengetahuan. Jaringan itu selain diakses lewat Lab. Komputer juga diakses lewat perpustakaan, kantor guru, dan juga kantor Kepala Sekolah dan kantor TU. Yaah, meskipun sekolah kita berada di gunung, bukan berarti kita ketinggalan teknologi canggih. Kita tidak ingin tertinggal dari sekolah lainnya. Semua komputer di SMANSA sudah dihubungkan oleh jaringan internet. Tapi, masih banyak para siswa di sekolah ini yang belum dapat menggunakan fasilitas internet tersebut dengan baik. Namun, tidak perlu khawatir, karena sekolah sudah memberikan ekstra tambahan, yaitu ekstra komputer yang diikuti oleh siswa-siswi SMANSA dari kelas X sampai kelas XI. Meskipun jumlah internet di sekolah kita jumlahnya terbatas, namun antusiasme para siswa sangat besar untuk bisa mengoprasikan internet. (Sinta A.L)
AKU BANGGA JADI ORANG INDONESIA Setelah melewati 100 tahun kebangkitan nasional dan menjelang HUT kemerdekaan ke-63, apakah kita bangga sebagai warga negara Indonesia? Dalam persaingan global yang kian ketat, masihkah kita bangga menjadi orang Indonesia? Berbagai retorika boleh saja ditebarkan ke masyarakat seperti ‘bersama kita bisa’, ‘Indonesia bisa’, ‘Indonesia bangkit’, dan sebagainya. Tapi, mayoritas bangsa ini merasa sebagai bangsa yang kalah. Dalam pada itu, patriotisme dan nasionalisme telah tergerus berbagai kebijakan yang kurang mempedulikan kepentingan nasional. Pertama, setelah 100 tahun kebangkitan nasional dan menjelang HUT RI ke-63, Indonesia memasuki ‘kegelapan’. Setelah berulang kali pemadaman listrik berjalan, PT. PLN mengumumkan untuk memberlakukan lagi pemadaman bergilir yang lebih panjang. Dunia usaha berteriak, sementara rakyat kecil tak lagi punya kekuatan untuk mengeluh. Pemadaman bergilir yang terjadi beberapa tahun terakhir ini antara lain disebabkan oleh lemahnya perencanaan. Dalam empat tahun terakhir, menurut saya, pemerintah bekerja tanpa Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Listrik adalah infrastruktur vital. Tanpa dukungan energi listrik, industri mati dan rakyat menderita. Dana tidak pantas menjadi alasan pemadaman listrik. Pemerintah Indonesia mampu menyediakan belasan triliun rupiah dana bantuan langsung tunai (BLT). Mengapa untuk infrastruktur vital seperti listrik luput dari prioriotas pemerintah? Kedua, kekayaan alam –khususnya migas dan pertambangan-- Indonesia dibiarkan dieksploitasi asing tanpa memberikan manfaat optimal kepada Indonesia. Kini, ketika rakyat tercekik harga energi dan para pemodal asing berpesta pora menikmati windfall profit migas dan batubara seiring melonjaknya harga komoditas itu di pasar dunia, tak ada kebijakan pemerintah untuk membela kepentingan nasional. Mestinya, menurut pendapat saya, dalam situasi seperti ini, pajak terhadap perusahaan migas dan pertambangan dinaikkan guna meringankan penderitaan rakyat. Ketiga, saat industri sekarat dan pertanian terpuruk, tidak ada gerakan cinta produk dalam negeri. Produk industri dan pertanian impor semakin merajalela di pasar domestik. Saya tidak anti-asing, tapi kebijakan mengutamakan produk nasional adalah KEHARUSAN.
Begitu banyak kebijakan negeri ini yang tidak mendukung upaya mencapai kemandirian dan membuat bangsa ini bagai pengemis bermangkuk emas. Kita mengemis bantuan asing. Lupa, bahwa asing yang kita mintai bantuan itu telah mengeruk (baca; merampok) kekayaan alam Indonesia dalam jumlah sangat besar hingga kita menjadi miskin. Kita akan tegak berdiri sebagai bangsa berdaulat di mata internasional jika kita melaksanakan apa yang dikatakan Bung Karno: berdikari alias berdiri di atas kaki sendiri. Kita harus mulai membangun kemandirian dengan mencintai produk dalam negeri. Patriotisme dan nasionalisme bukanlah anti-asing atau tidak membutuhkan asing. Sebagai warga dunia yang sama-sama hidup di bawah atap langit, kita jelas saling membutuhkan dan wajib saling menolong. Tapi, tanpa PATRIOTISME dan NASIONALISME, kita takkan bisa berkompetisi. Tetap miskin dan menjadi bangsa yang kalah. Kita harus memulai dengan bangga sebagai orang Indonesia meski saat ini begitu banyak alasan yang membuat kita tidak mampu melangkah dengan kepala tegak di mata dunia. Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda juga akan mengatakan “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” seperti kata Taufik Ismail dalam kumpulan puisinya-puisinya? (Ab.D@2)
Agustus Bulan yang Mahal Sudah tidak aneh, kalau bulan Agustus selalu banyak kegiatan. Entah kegiatan di sekolah ataupun di luar sekolah. Jadi, kita sudah biasa kalau diajak dalam kegiatan itu, meskipun sangat melelahkan dan menghabiskan biaya besar. Sebenarnya kita juga keberatan, apalagi kita masih sekolah, dan masih minta kepada orang tua. Namun, walaupun orang tua kita tidak punya uang, kalau untuk kegiatan di sekolah pasti mereka akan berusaha memenuhinya, misalnya jika ada kegiatan perlombaan; seperti lomba baris-berbaris, lomba gerak jalan, dan masih banyak lagi. Biarpun hanya baris-berbaris, pasti banyak menghabiskan biaya. Untuk biaya beli sepatu, baju seragam, kaos kaki, sarung tangan, dan belum lagi aksesoris lainnya. Semua pasti harus diusahakan sendiri dengan mencari pinjaman, kalau tidak ada, terpaksa harus membeli. Uang lagi ... uang lagi. Belum lagi upacara 17 Agustusan, bagi anggota Paskibra harus mengenakan baju putih panjang dan rok putih, kopyah, kaos kaki panjang, sepatu fantovel polos hitam, dll. Semua pasti juga pinjam dan kalo tidak ujungujungnya pasti membeli. Dan pasti dengan uang. Acara yang paling besar dan di tunggu-tunggu adalah karnaval sebagai puncak acara Agustusan. Karnaval kali ini banyak diikuti oleh masyarakat dan siswa dari sekolah-sekolah yang ada di Kecamatan Kesamben. Salah satu pesertanya adalah sekolah kita, SMANSA. Agustusan kali ini SMANSA, mengeluarkan banyak penampilan, salah satunya adalah Bineka Tunggal Ika. Semua peserta kelompok ini harus menyewa pakaian adat, berhias di salon. Dari mana biayanya? Pasti dari kita juga, kan? Meski begitu, salah kalau kita berfikir bahwa Agustus hanya membuat kita bangkrut. Semua kegiatan tersebut dilaksanakan karena untuk memperingati Dirgahayu Kemerdekaan RI, kan? Kita tidak boleh benci dengan bulan Agustus. Walaupun Agustus sering di sebut bulan mahal, tapi kita tetap menyeruka kata “MERDEKA!”. Merdeka buat diri sendiri, orang-orang tercintai, dan satu yang pasti untuk Nusa, Bangsa, dan Negara. MERDEKA ... MERDEKA ... MERDEKA ... TETAP SEMANGAT! (R-Vyn ^_<)
BAHASAKU, di
AMBANG SENJA
“Jurusan Bahasa? Apa, tuh! Nggak bonafit banget!. Kalau aku masuk jurusan itu, bisa-bisa aku dikira anak buangan. Apalagi nanti pasti bakal ketemu dengan pelajaran Sastra. Aduuuhh ... capek, deh!” Itulah satu dari bermacam-macam pendapat tentang jurusan Bahasa. Saat ini, jurusan Bahasa yang ada di SMA mulai ditinggalkan. Ini dapat dilihat dari terus menurunnya jumlah siswa yang berminat memilih jurusan Bahasa. Mereka lebih cenderung memilih program IPA dan IPS. SMA yang membuka jurusan Bahasa jumlahnya pun bisa dihitung dengan jari. Seperti contohnya sekolah kita ini, SMAN 1 Kesamben, yang sebentar lagi benar-benar akan menutup jurusan Bahasa. Saat siswa-siswi kelas XII Bahasa lulus, artinya jurusan ini akan benar-benar tenggelam dan hilang dari lingkungan sekolah kita ini. Penyebab utama adalah anggapan orang bahwa jurusan ini tidak bonafit, karena hanya digunakan sebagai tempat ‘anak-anak buangan’ yang tidak memenuhi syarat masuk jurusan ilmu alam atau ilmu sosial. Kenyataan inilah yang menjadi momok bagi siswa-siswi kelas X untuk memilih jurusan. Sesungguhnya dengan adanya jurusan Bahasa di sekolah ini, minimal kita dapat ikut melestarikan kebudayaan Indonesia yang mulai terkubur oleh zaman yang serba instan dan konsumtif. Kita juga dapat mengetahui perkembangan kesenian yang ada di Indonesia. Tidak hanya sebatas rumah adat, pakaian adat, tarian tradisional, seni rupa, dll. Tetapi juga seni peran/pertunjukan dan seni sastra khususnya. Misalnya, membaca cerpen, membaca puisi, bermain teater dll. Dengan mempelajari kesenian-kesenian tersebut, kita akan mengerti apa makna kehidupan dan fialsafah hidup, sehingga kita bisa bersikap lebih bijaksana dan selalu berpikiran positif. Prestasi anak-anak jurusan Bahasa sebenarnya tidak kalah dengan anak jurusan-jurusan IPA dan IPS. Jurusan Bahasa juga bisa menyamakan nilai ratarata tertinggi dengan jurusan lain, yaitu 85. Di bidang nonakademik, siswa jurusan Bahasa juga mampu meriah Juara Harapan I lomba Cerdas Cermat yang dilaksanakan di Universitas Brawijaya, Malang, pada acara lomba kemampuan Bahasa Jepang se-Jawa Timur – Bali dan banyak lagi prestasiprestasi yang lain. Lalu, mengapa jurusan Bahasa harus ditutup? Padahal mereka juga berusaha membuktikan bahwa jurusan Bahasa tak kalah dengan jurusan lain. Hal itu juga menjadi motivasi belajar kami dengan harapan agar “jurusan Bahasa tidak ditutup”. Tapi apakah ini juga dirasakan oleh siswa jurusan lain? Atau Bapak dan Ibu Guru? Atau juga semua warga sekolah yang lain?
“Walaupun peminatnya sedikit, misalnya hanya 15 orang, itu akan lebih baik daripada 40 orang dalam satu kelas yang justru membuat KBM tidak efektif. Contoh, ada salah satu SMA di kota Malang yang jumlah peminat jurusan Bahasa hanya 18 orang, tetapi jurusan itu tetap dibuka. Berapapun peminatnya asalkan lebih dari 15 orang jurusan itu tetap akan dibuka. Para pengajar pun lebih senang, karena siswa tersebut akan lebih aktif dalam KBM. “Atau barangkali Bapak Ibu guru di sekolah kita yang kurang antusias mengajar di jurusan dengan jumlah murid sedikit?” ujar salah satu anak kelas XII Bahasa yang tak mau disebutkan identitasnya. “Duh...kenapa sih jurusan Bahasa harus ditutup!! Protes, yuk ke Kepala Sekolah! Masak gara-gara peminatnya tidak ada 20 orang jurusan Bahasa harus ditutup sih! Apa mungkin ya, jika jurusan IPA atau IPS peminatnya sedikit juga akan ditutup? Nggak mungkin kan?” protes Fitri. “Nyapo yo, kok Bahasa malah nggak enek ki...?” tanya Agustin, salah satu siswa yang kini ada di kelas XI. Kutipan-kutipan di atas adalah sedikit dari banyak komentar yang sering terdengar. Mungkin ada yang senang dengan ditutupnya jurusan ini. Dan yang pasti, banyak yang tidak setuju dengan ditutupnya Jurusan Bahasa, khususnya siswa Bahasa itu sendiri yang terkadang merasa disepelekan dan dianaktirikan. But, no problem. Mereka tetap berharap Jurusan Bahasa ditahun 2009 nanti akan dibuka lagi betapapun peminatnya, sehingga jurusan ini bisa tetap eksis lagi di “dunianya”. Walaupun memang terdapat ‘anak-anak buangan’ yang melebur jadi satu dengan para peminat Bahasa. Tetapi mereka juga berusaha membuktikan bahwa MEREKA BUKAN BARANG BUANGAN!! Walaupun memang mereka tidak diterima di jurusan IPA atau IPS, mereka tetap bisa unjuk gigi dalam prestasi akademik maupun non-akademik. Tidak hanya itu, menurut mereka, anak-anak Bahasa, selalu mendapatkan kesan negatif dan merasa diremehkan. Walaupun sesungguhnya mereka telah membuktikan kemampuan dan prestasinya. Tetapi hal ini seakan tak berpengaruh pada pandangan banyak kalangan yang kurang berkenan dengan adanya jurusan ini. Karena mereka selalu identik dengan kegaduhan dan keonaran. Padahal anak jurusan lain juga tidak jauh berbeda. Cobalah semua pihak untuk lebih mengenal karakter anak-anak jurusan Bahasa lebih dalam. Tengok dan telusuri jurusan itu, jangan hanya katanya si anu atau kata si itu saja. Pandang jurusan ini dari sisi positifnya juga. Pasti kita akan sadar bahwa kita telah salah mengartikan kalau Jurusan Bahasa itu kampungan dan buangan. Pertanyaannya sekarang adalah, sebenarnya dimanakah sisi baik penilaian Jurusan Bahasa di mata kita? Apakah memang sisi baik itu terletak di dalam sudut hati tergelap dan terdalam kita yang sudah terkubur bersama dengan niat pihak yang punya kuasa? Jangan tanyakan mau jadi apa anak-anak jurusan Bahasa, karena itu adalah hak ALLAH dalam menentukan takdir kami. Yang kami inginkan adalah akui eksistensi kami, jangan rendahkan kami, kami ingin tetap berprestasi dengan dunia kami. (@PRIL.BH$)