Proceeding Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) 2011
MENUJU DOSEN KELAS DUNIA BERKEBANGSAAN DI PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA: SEBUAH MODEL DAN POLA PIKIR Mauritz Panggabean Department of Telematics Norwegian University of Science and Technology N-7491 Trondheim, Norway Tel.: +47 98 01 32 58 E-mail:
[email protected] Abstract: Three facts act as the background of this paper: the low level of research and international scientific publications in Indonesian universities, the increasing attention and effort of leading Indonesian universities to gain the status of world-class university, and Indonesian young people at graduate studies abroad who still wish to build academic careers in Indonesian universities despite the lack of resources for research. Based on systematic analytical study on the ramifications of these facts, this paper synthesizes a model with a systematic paradigm as its two main contributions. The model describes an elementary operating system in Indonesian university with the center at the envisioned world class lecturer with deep sense of nationality. It describes how the lecturer relates to all important components of the system which are all within his/her circle of influence. The goal of the model is to enable a lecturer in any Indonesian university to be productive in research and international scientific publication through creative ways in tackling the lack of resources. The paradigm serves as a more detailed and practical description on the implementation of the model. Logical implications and important insights from them are also presented with inspiring examples, with the sincere hope towards a more competitive Indonesia in the future. Kata kunci: Dosen, kelas dunia, berkebangsaan, model, pola pikir
1. PENDAHULUAN Tulisan ini menyoroti satu pokok persoalan yang hingga kini secara umum masih menjadi tantangan besar bagi dosen di perguruan tinggi (PT) Indonesia, terutama di pendidikan akademik (non-vokasi, non-profesi). Pertanyaan berikut menyimpulkannya dengan kompak: Bagaimana tetap aktif dan konsisten berkontribusi mengembangkan ilmu pengetahuan melalui publikasi ilmiah yang berkualitas berdasarkan penelitian yang berkualitas pula dengan dana dan fasilitas yang terbatas di tengah-tengah tugas mengajar, admistrasi dan pengabdian pada masyarakat di Indonesia? Persoalan ini menjadi semakin penting dan relevan untuk dikaji saat ini dengan mempertimbangan beberapa fenomena dan fakta berikut. Fenomena pertama, sebagai satu dari Tridharma PT di Indonesia, penelitian adalah satu tugas penting dari PT dan dosen PT. PT menjadi ujung tombak penelitian bagi satu negara, di samping lembaga-lembaga penelitian non-PT. Penelitian bidang sains dan teknologi di perguruan tinggi memiliki keterkaitan kuat dan posisi strategis untuk kemajuan bangsa Indonesia melalui pengindustrian intelegensi, seperti telah dibahas secara luas dan mendalam oleh Sasmojo (2005). Pentingnya penelitian 1
Proceeding Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) 2011
berkualitas dan juga publikasi ilmiah internasional semakin mendapat sorotan dalam beberapa tahun terakhir ini. Ini karena semakin gencarnya usaha sejumlah PT terkemuka Indonesia untuk meraih status world class university (WCU), dengan beragam tanggapan dari berbagai kalangan yang pro namun juga kontra. Para pejabat dan politisi di level atas boleh saja bicara panjang lebar tentang WCU ibarat angin surga. Namun dalam kenyataannya kunci, motor dan eksekutor utama untuk itu adalah para dosen yang berjuang di lapangan. Merekalah yang langsung berhadapan dengan the devil in the details. Tidak hanya dalam kerumitan konten materi yang diteliti sesuai dengan bidang mereka masing-masing, tetapi juga beragam tantangan praktis dan teknis lainnya yang sudah banyak disoroti. Sebut saja minimnya dana dan infrastruktur, tingginya beban mengajar, serta rendahnya publikasi dan kreatifitas (Kompas, 2004). Ini merupakan fenomena kedua. Meskipun demikian kompleksnya tantangan dan kesulitan dalam dunia PT di Indonesia, tetap saja tidak sedikit pemuda pemudi Indonesia yang memiliki visi membangun karir sebagai dosen di PT Indonesia. Penulis mengetahui beberapa rekan orang Indonesia yang telah meraih gelar doctor of philosophy (PhD) dari universitas-universitas bergengsi di luar negeri dengan beasiswa penuh. Mereka ingin kembali ke Indonesia sebagai dosen meski tidak memiliki ikatan dinas dan afiliasi dengan PT manapun di Indonesia. Visi mereka kuat dengan potensi dan kemampuan yang besar untuk menjadi dosen yang baik. Sebagian berhasil mewujudkan visinya namun akhirnya mengalami kekecewaan karena tak terpenuhinya berbagai harapan dan impian naif/ideal ketika sudah di Indonesia. Sebagian lagi bahkan harus mengalami kekecewaan jauh lebih awal akibat PT yang mereka lamar di Indonesia menolak bahkan tidak menanggapi lamaran mereka sama sekali. Ini menjadi fenomena ketiga yang menjadi dasar mengapa persoalan di atas menjadi semakin penting dan relevan untuk dibahas di masa kini. Selain ketiga fenomena disebut di atas, sejauh pengetahuan penulis, belum ada tulisan yang telah membahasnya dengan cukup komprehensif dan dapat diakses dengan mudah dan gratis oleh publik melalui Internet. Oleh karena itu, tujuan tulisan ini adalah melakukan tinjauan logis, kritis, sistematis, realistis namun juga visioner terhadap kondisi riil di PT Indonesia. Hasilnya adalah model dan pola pikir yang tepat sebagai respons proaktif terhadap persoalan di atas. Model dan pola pikir yang dipaparkan dan ditawarkan melalui tulisan ini diharapkan dapat menginspirasi dan bermanfaat bagi para intelektual yang menjadi target pembaca tulisan ini. Tujuannya adalah untuk dapat memaksimalkan kemungkinan untuk dapat menggenapi Tridharma dalam karya mereka di Indonesia. Secara khusus dalam bidang yang masih paling minim, yaitu penelitian dengan publikasi ilmiah internasional, sesuai dengan kondisi masing-masing. Harapan ideal adalah tercapainya kemampuan untuk melakukan penelitian berkualitas dengan menghasilkan publikasi ilmiah internasional, dengan segala kompleksitas tantangan dan kesulitan di Indonesia; di tengah-tengah peran-peran lainnya di kampus yang juga sama pentingnya, yaitu pengajaran dan pendidikan, serta pelayanan terhadap masyarakat, untuk sebesar-besarnya manfaat bagi rakyat dan bangsa Indonesia, sesuai judul tulisan ini. Target pembaca dari tulisan ini adalah rekan-rekan warga negara Indonesia (WNI) yang: 1. ingin, akan, sedang atau telah menyelesaikan pendidikan doktor, terutama di luar negeri, dan 2. memiliki ikatan dinas dengan PT di Indonesia sehingga akan dan wajib kembali ke Indonesia untuk menunaikan tugas sebagai dosen di PT tersebut yang telah disandang sebelum studi lanjut, atau 2
Proceeding Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) 2011
3. tidak memiliki ikatan dinas dengan institusi di Indonesia, namun memiliki visi yang kuat untuk kembali ke Indonesia dan mengabdikan diri sebagai dosen di PT Indonesia, baik cepat atau lambat. Tulisan ini mengadopsi struktur sebagai berikut. Bab 2 mengelaborasi lebih jauh ketiga fenomena di atas. Pemahaman yang cukup komprehensif dan realistis akan kondisi di Indonesia dari Bab 2 menjadi basis untuk sintesis sistemik di Bab 3 yang menghasilkan model dan pola pikir yang menjadi salah satu kontribusi utama tulisan ini. Bab 4 memaparkan dua pilihan perubahan logis dari penerapan model dan pola pikir tersebut. Contoh-contoh dari dalam dan luar negeri yang telah menginspirasi penulis akan mengikuti. Bab 5 berisi beberapa masukan bagi pengembangan pendidikan tinggi Indonesia, khususnya yang sulit dipengaruhi langsung oleh dosen di PT Indonesia. Bab 6 menutup tulisan ini dengan kesimpulan.
2. ANTARA VISI DAN REALITA Motivasi tulisan ini adalah menstimulasi agar semakin banyak dosen yang sungguh-sungguh efektif di PT Indonesia, melampaui critical mass. Mengikuti prinsip bijak dari Covey (2004) soal efektifitas tinggi dengan to begin with the end in mind, Bab ini dimulai dengan visi mencapai status world class university (WCU) yang dikejar sejumlah PT di Indonesia yang juga didukung oleh pemerintah. Tulisan ini bukan bertujuan untuk berkutat dengan beragam definisi WCU atau terlibat dalam perdebatan pro-kontra WCU di PT Indonesia. Namun satu pelajaran penting yang dapat ditarik dari fenomena WCU adalah bahwa penelitian dan publikasi ilmiah internasional menjadi komponen yang semakin penting bagi kemajuan dan keunggulan sebuah PT, tidak hanya dalam hal kuantitas tetapi lebih lagi dalam kualitas. Ini tergambar dari bobotnya yang tinggi dalam metodologi pemeringkatan universitas oleh Thomson Reuters (2011) di Gambar 1 (kiri). Aspek-aspek penilaian dengan pembobotannya ini dapat menjadi alat bantu bagi PT di Indonesia untuk bercermin dan mengidentifikasi perubahan-perubahan yang diperlukan untuk lebih maju lagi sesuai dengan konteks Indonesia. Himpunan komponen WCU dan interaksinya lebih berguna dan sesuai bagi tujuan kajian ini, seperti yang dimodelkan oleh Salmi (2009) di Gambar 1 (kanan). Jika dibandingkan langsung dengan realita di Indonesia, maka sumber daya yang berlimpah (abundant resources) jelas tidak realistis. Pemerintah oleh Konstitusi memang wajib mengalokasikan 20% dari APBN untuk pendidikan. Namun meskipun terealisasi, dana tersebut harus dibagi-bagi lagi seperti untuk pendidikan dasar dan menengah yang juga sangat penting. Dana penelitian memang sudah disediakan oleh pemerintah berupa research grants yang kompetitif namun terbatas, sehingga dosen di PT Indonesia mau tidak mau harus menyesuaikan penelitian mereka dengan dana penelitian yang mampu diraih yang jumlahnya bisa tidak seberapa. Di aspek lain, konsep endowment yang menjadi satu sumber finansial signifikan di universitas-universitas swasta di negara-negara maju masih kedengaran asing di Indonesia. Selain itu, PT di Indonesia juga tidak dapat seenaknya menaikkan uang kuliah (tuition fees) untuk mendukung penelitian seperti diterapkan di sejumlah negara maju. Uang kuliah di Indonesia yang kian lama kian mahal membuatnya tidak lagi terjangkau oleh semakin banyak rakyat Indonesia. Karena itu pola pikir dengan kreatifitas tinggi mutlak diperlukan oleh dosen PT di Indonesia untuk dapat menyiasati kenyataan ini. Sehingga penelitian dan publikasi ilmiah berkualitas dapat dilahirkan secara kontinu, tanpa mengkompromikan kualitas kuliah dan pembimbingan terhadap peserta didik. Itu sebab tulisan ini paling utama difokuskan kepada target pembaca di atas sebagai individu, dan bukan kepada pemerintah atau PT di Indonesia sebagai organisasi. 3
Proceeding Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) 2011
Gambar 1. Satu contoh metode pemeringkatan universitas (Thomson Reuters, 2010) (kiri); himpunan komponen world class university dan keterkaitannya (Salmi, 2009) (kanan). Sekarang mari kita meninjau sejenak performa Indonesia dalam kontribusinya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dalam bentuk publikasi ilmiah internasional selama 19962010. Studi komparatif komprehensif tentang ini dipaparkan oleh Panggabean (2011) menggunakan hasil dari SCImago (2007) yang berdasarkan dokumen publikasi internasional yang terindeks di basis data Scopus. Perhatikan bahwa ‘dokumen’ di sini merujuk kepada artikel jurnal atau paper konferensi internasional. Basis data tersebut mengindeks publikasi ilmiah internasional dalam empat kategori besar: life sciences, health sciences, physical sciences, serta social sciences & humanities. Scopus dan SCImago dipilih dalam studi ini karena beberapa keunggulan relatif terhadap basis data Web of Science (WoS) yang lebih populer. Di antaranya, selain lebih lengkap soal afiliasi penulis yang sangat penting untuk studi ini, Scopus juga lebih komprehensif karena memasukkan sumber-sumber jurnal yang bukan berbahasa Inggris. Di samping akses gratis ke SCImago, konsep citation yang digunakan SCImago dianggap lebih objektif daripada di WoS. Perbandingan Scopus dan WoS telah banyak dikaji, misalnya seperti yang dilaporkan oleh López-Illescas et al. (2008). Menurut SCImago (2007), tahun 2010 Indonesia berada di posisi 65 dari 236 negara yang dikaji menurut jumlah dokumen. Dengan 1.925 buah dokumen pada tahun 2010, seperti ditunjukkan Gambar 2 (kiri), Indonesia berada di urutan 12 dari 33 negara di Asia, di bawah Singapura, Thailand dan Malaysia di kawasan ASEAN. Ini berarti pada tahun 2010 Indonesia hanya menyumbang 0,091% di tingkat dunia dan 0,311% di tingkat Asia. Selama 14 tahun dari 1996, Indonesia memang mengalami peningkatan mendekati 4 kali lipat dalam jumlah dokumen, paling berdekatan dengan Filipina dan Vietnam. Vietnam sendiri hampir melewati Indonesia pada tahun 2010 dengan produktifitas mendekati dua kali pencapaian Indonesia sejak 1996. Namun semua ini masih jauh dibandingkan peningkatan fantastis yang dicapai Singapura, Thailand, dan terutama Malaysia, khususnya dalam beberapa tahun terakhir. Trend ini cukup konsisten dengan indeks H di Gambar 2 (kanan) yang secara umum dapat mencerminkan dampak dan produktifitas publikasi ilmiah suatu bangsa di tingkat internasional. Index H suatu bangsa berarti bangsa tersebut memiliki H buah dokumen ilmiah yang telah mendapat setidaknya H citations (Hirsch, 2005). Penting untuk dicatat bahwa dalam studi ini ‘negara’ seorang penulis ditentukan oleh negara dimana dia berafiliasi sesuai yang tercantum dalam dokumen, dan bukan negara asalnya. Menarik untuk memperhatikan Gambar 3 bahwa sejak 1996 sekitar 3/4 publikasi ilmiah 4
Proceeding Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) 2011
internasional Indonesia merupakan hasil kolaborasi dengan penulis dari setidaknya satu negara lain. Angka ini lebih dari tiga kali lipat dibandingkan rata-rata persentase dari regional Asia (33 negara, hampir 70% dokumen tahun 2010 berasal dari Cina dan Jepang saja) dan regional Amerika Utara (tiap tahun sekitar 90% dokumen dari Amerika Serikat). Tingkat kolaborasi Indonesia ini juga tertinggi di ASEAN setelah Laos dan Kamboja.
Gambar 2. Jumlah publikasi ilmiah internasional (kiri) dan indeks H (kanan) Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya selama 1996-2010 (SCImago, 2007).
Gambar 3. Perbandingan persentase dokumen yang dipublikasi penulis Indonesia dengan penulis negara lain selama 1996-2010 terhadap data dari sepuluh regional di dunia (kiri) dan dari negara-negara ASEAN (kanan) (SCImago, 2007). Secara positif, tingginya angka ini menunjukkan kemampuan mumpuni para intelektual Indonesia yang menjadi penulis dalam menghasilkan publikasi ilmiah internasional dengan memanfaatkan jaringan mereka di berbagai negara untuk melakukan kolaborasi dalam penelitian. Tentu ini sebuah strategi cerdas dan logis dalam menyiasati minimnya sumber daya di Indonesia untuk penelitian dan publikasi ilmiah. Namun di sisi lain, fakta ini bisa menjadi sinyal masih tingginya ketergantungan Indonesia terhadap negara lain untuk mampu melakukan riset berkualitas guna melahirkan publikasi ilmiah kelas dunia. Siapakah sebenarnya warga negara Indonesia yang paling diharapkan dari sisi tanggung jawab atau kemampuan untuk melakukan penelitian yang akan menghasilkan publikasi ilmiah? Dari aspek tugas dan tanggung jawab, mereka adalah para dosen PT di Indonesia (mengingat penelitian sebagai salah satu Tridharma PT) dan para peneliti di lembaga penelitian non-PT di Indonesia. Dari sisi kemampuan dan kesiapan, mereka adalah para penyandang gelar doktor (S-3) yang seharusnya diperoleh dengan studi formal. Mengapa 5
Proceeding Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) 2011
doktor? Phillips dan Pugh (2005) memberikan definisi berikut mengenai kualifikasi doktor, yang selanjutnya disebut dalam tulisan ini sebagai doctor of philosophy (PhD): Thus the holder of a PhD is someone who is recognized as an authority by the appropriate faculty and by fellow academics and scientists outside the university […] a fully professional researcher in your field. Keduanya menjabarkan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan fully professional researcher dengan tujuh kualifikasi berikut: 1. At the most basic level it means that you have something to say that your peers want to listen to. 2. In order to do this you must have a command of what is happening in your subject so that you can evaluate the worth of what others are doing. 3. You must have the astuteness to discover where you can make a useful contribution. 4. You must be aware of the ethics of your profession and work within them. 5. You must have mastery of appropriate techniques that are currently being used, and also be aware of their limitations. 6. You must be able to communicate your results effectively in the professional arena. 7. All this must be carried out in an international context; your professional peer group is worldwide. Dengan kata lain, sebuah program PhD yang baik akan mempersiapkan seseorang untuk menjadi peneliti professional yang menguasai tidak hanya himpunan pengetahuan tetapi juga himpuan keterampilan yang esensial untuk penelitian. Di antaranya adalah bagaimana melakukan penelitian dan bagaimana melaporkan hasilnya dengan baik dalam bentuk publikasi ilmiah. Itu sebabnya waktu tidak sedikit dibutuhkan untuk menyelesaikan program PhD komprehensif semacam itu, umumnya sekitar empat tahun. Lalu bagaimana hubungan jumlah dosen S-3 yang dimiliki Indonesia dengan output penelitian? Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pada tahun 2009 mencatat 15.273 dosen bergelar S-3 tersebar di seluruh PT Indonesia, atau hanya 5,93% dari total jumlah dosen di Indonesia (Dikti, 2009). Jika diasumsikan bahwa seluruh publikasi di Gambar 2 (kiri) dihasilkan oleh semua dosen bergelar S-3 ini, maka ini berarti pada tahun 2010 perlu 12 orang dosen Indonesia bergelar doktor untuk menghasilkan satu publikasi saja secara unik. Tentu saja ini asumsi kasar dan tidak tepat, sebab tidak memperhitungkan jumlah peneliti bergelar S-3 di berbagai lembaga non-PT di Indonesia seperti Bappenas atau LIPI yang tentu dapat pula menghasilkan publikasi ilmiah internasional. Secara logis tidak mungkin jika setiap publikasi ilmiah internasional dari Indonesia ditulis bersama oleh minimal 12 orang, sebab jumlah ini terlalu banyak. Selain itu tingkat produktifitas tiap dosen juga berbeda-beda dan perlu diingat pula tingginya kolaborasi internasional para dosen Indonesia dalam publikasinya. Oleh karena itu, satu-satunya implikasi logis dari angka-angka ini adalah bahwa meski ada lebih dari 15.273 orang di Indonesia yang paling diharapkan untuk mewakili Indonesia dalam berkontribusi kepada ilmu pengetahuan dalam bentuk publikasi ilmiah di tingkat internasional, baik dari sisi tugas (status dosen atau peneliti) dan kemampuan (gelar doktor), ternyata sangat sedikit yang telah menunaikannya, dalam hal ini berupa artikel di jurnal dan konferensi tingkat internasional. Fakta ini menggemakan kembali alasan dan tujuan mengapa tulisan ini dibuat. 6
Proceeding Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) 2011
3. MODEL DAN POLA PIKIR KELAS DUNIA BERKEBANGSAAN DI INDONESIA Kita perlu visi supaya Indonesia lebih maju (misalnya konsep WCU) namun tetap menjejakkan kaki di bumi dengan bersikap realistis atas segala kesulitan dan tantangan yang ada di PT Indonesia khususnya berkaitan dengan riset. Artinya kita perlu menatap ke masa depan, masa lalu dan masa kini. Pertanyaan yang menjadi pokok persoalan di Bab ini adalah, apa yang harus dilakukan khususnya oleh target pembaca tulisan ini? Untuk memandu kita berpikir proaktif dalam situasi ini, Covey (2005) memberi kita satu alat bantu yang sangat berguna, yaitu konsep lingkaran kepedulian dan lingkaran pengaruh yang pasti dimiliki setiap orang. Per definisi, kedua lingkaran yang sama-sama bertitik pusat pada satu individu mencakup segala sesuatu yang orang itu pedulikan atau dapat pengaruhi secara langsung. Gambar 4 menampilkan delapan tipe individu dari kombinasi dua lingkaran ini. RK dan RP merujuk kepada jari-jari lingkaran kepedulian dan jari-jari lingkaran pengaruh. Keduanya dapat membesar (↑) atau mengecil (↓) seiring berjalannya waktu. Individu yang paling berpotensi untuk membangun adalah tipe (1). Dengan kepeduliannya yang semakin besar, ia berusaha memperbesar pengaruhnya sehingga lebih banyak lagi kepeduliannya yang dapat ia wujudkan secara langsung. Individu tipe (6) jelas paling berbahaya dan berpotensi merusak. Sebab ia berusaha untuk terus membesarkan pengaruhnya, namun pada saat yang sama semakin sedikit saja yang ia pedulikan. Kepeduliannya mengerucut mulai dari kelompoknya, lalu keluarganya, atau bahkan dirinya sendiri saja. Ini harus kita hindarkan sejauh-jauhnya.
(1) RK ↑ > RP ↑
(2) RK ↑ > RP ↓
(3) RK ↓ > RP ↑
(4) RK ↓ > RP ↓
(5) RK ↑ < RP ↑
(6) RK ↓ < RP ↑ (7) RK ↑ < RP ↓
(8) RK ↓ < RP ↓
Gambar 4. Delapan tipe manusia berdasarkan lingkaran kepedulian dan lingkaran pengaruh. Yang diperlukan selanjutnya adalah kemampuan berpikir analitik sistemik. Artinya kemampuan mendefinisikan dan mengurai struktur dari fenomena realita di pendidikan tinggi menjadi himpunan unsur-unsur pembentuknya dan himpunan keterkaitan antarunsur tersebut (lihat Sasmojo, 2005). Setelah itu, manusia Indonesia tipe (1) dengan visi kuat membangun pendidikan tinggi Indonesia secara proaktif dapat mengelompokkan mana unsur yang masih berada di luar lingkaran pengaruhnya dan mana yang jelas dapat ia pengaruhi secara langsung, seperti diilustrasikan di Gambar 5. Semua ini menjadi dasar bagi model dan pola pikir yang diusulkan dan dipaparkan di Bab ini. Keduanya menjadi respons proaktif dan intelektual terhadap pokok persoalan di atas sebagai salah satu kontribusi utama tulisan ini. 3.1. Model Kelas Dunia Berkebangsaan dari Sintesis Sistemik Berdasarkan semua yang telah dipaparkan hingga saat ini, penulis mensintesis dan mengajukan sebuah model yang menggambarkan struktur dari tingkat operasional paling elementer di PT Indonesia, seperti dipaparkan di Gambar 6 (kiri). Dengan berpusat pada individu dosen, model tersebut menggambarkan sebuah sistem kelas dunia yang diupayakan untuk diwujudkan secara realistis sesuai dengan visi. Model ini, bersama dengan pola pikirnya sebagai implikasi logis yang akan menyusul, merupakan kristalisasi dari seluruh pemikiran evolusioner penulis selama ini. Ia merupakan respons proaktif sebagai bentuk kepedulian atas pokok persoalan tulisan ini. Semua didasarkan pada segala pengetahuan dari 7
Proceeding Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) 2011
pengalaman dan observasi, baik dari penulis maupun dari orang-orang lain yang telah mempengaruhi dan membentuk penulis secara langsung atau tidak langsung, misalnya melalui media seperti buku, materi audiovisual dan Internet. Secara umum model ini pula yang menjadi basis di PT kelas dunia. Karena itu, dengan mengikutinya, niscaya kualitas kelas dunia pun menjadi milik PT Indonesia, yang dimulai dari setiap individu dosen. Lingkaran Kepedulian - Alokasi dana APBN untuk penelitian di PT - Pola rekrutmen mahasiswa dan dosen di PT tempatnya bekerja - Alokasi dana di departemen/ jurusan tempatnya bekerja untuk upgrading laboratorium - Akses ke publikasi internasional di PT tempatnya bekerja - Standar jumlah gaji per bulan sesuai dengan posisinya - Penghargaan oleh pemerintah dan PT tempatnya bekerja untuk prestasi dalam penelitian dan pengajaran - dll, dst.
Lingkaran Pengaruh - Kualitas saat mengajar di kuliah yang diasuh - Kualitas saat membimbing mahasiswa Tugas Akhir di bawah tanggung jawabnya - Kualitas saat menjalankan penelitian yang di bawah tanggung jawabnya - Ide penelitian berkualitas yang sesuai dengan dana yang ada - Income selain gaji memanfaatkan pengetahu‐ an dan fleksibilitas waktu yang dimiliki - Kesiapan diri untuk berkompetisi memperoleh beasiswa untuk studi lanjut, baik S‐2 atau S‐3 - Kemampuan menghasilkan publikasi ilmiah, baik untuk konferensi/jurnal atau populer. - dll, dst.
Gambar 5. Sikap proaktif sistemik pada individu dosen tipe (1) yang realistis namun visioner di PT Indonesia dengan segala tantangannya.
Gambar 6. Skema pola keterkaitan unsur dosen, mahasiswa, masyarakat dan jaringan kolaborator dalam unsur pengajaran, penelitian dan pelayanan sebagai model kelas dunia di PT Indonesia (kiri). Model kuadran sebagai klasifikasi penelitian (Stokes, 1997) (kanan). Mengapa berpusat pada dosen? Sebab inti yang menjadi motor dan energi dari model ini untuk dapat mewujud dan bergerak adalah individu dosen proaktif visioner tipe (1) dengan pikiran analitik sistemik seperti dijabarkan sebelumnya. Struktur dari sistem yang dideskripsikan oleh model ini terdiri dari unsur-unsur dan keterkaitan antarunsur yang kesemuanya sepenuhnya masuk dalam lingkaran pengaruh dosen. Ada dua kategori unsur, yaitu kategori input/output baik insani maupun non-insani (lingkaran) dan kategori proses (persegi). Kategori insani mencakup individu dosen, mahasiswa, masyarakat umum dan jaringan kolaborator. Pendidikan dan pengajaran, penelitian, peran administratif, dan pengembangan diri holistik lainnya merupakan himpuan unsur proses sebagai representasi Tridharma dosen PT. Pengabdian pada masyarakat dicakup secara implisit, sebab model ini 8
Proceeding Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) 2011
menekankan pada unsur riset dan pendidikan/pengajaran serta interdependensi keduanya. Interaksi antarunsur terdiri dari tiga kategori: pengaruh langsung sebagai input (––), pengaruh balik positif secara langsung atau pengaruh tidak langsung (garis ---), dan output atau dampak (...) baik meningkatkan (+) atau mengurangi (-). Karena setiap orang diberikan waktu yang sama yaitu 24 jam, maka dosen dapat mempengaruhi secara langsung proporsi waktu dari tiap unsur proses yang terlibat dari 24 jam per hari yang masuk lingkaran pengaruhnya. Satu keberatan utama terhadap orientasi kelas dunia di PT Indonesia adalah kekuatiran teralokasinya mayoritas sumber daya PT hanya untuk mengejar status kelas dunia. Status ini dapat secara sempit diartikan dengan peringkat makin tinggi di berbagai pemeringkatan oleh lembaga-lembaga asing. Umumnya kuantitas dan khususnya kualitas output penelitian diberi bobot tinggi. Kualitas kelas dunia seharusnya dimaknai secara holistik, tidak hanya pada penelitian tetapi juga di semua unsur proses yang telah dimodelkan. Peran dan tugas PT untuk mendidik anak bangsa dan sebagai sumber inovasi demi kemajuan dan kemandirian bangsa tidak boleh dilupakan. Semangat holistik dan komprehensif inilah yang diusung oleh model yang penulis ajukan ini, yaitu tidak hanya kelas dunia tetapi juga harus berkebangsaan. Aspek kelas dunia berkebangsaan ini harus mewujud secara proporsional di setiap proses. Sebagai contoh, penggunaan Bahasa Inggris secara lebih luas baik di kuliah maupun dalam pelaporan hasil penelitian perlu diintensifkan. Jadi mahasiswa Indonesia akan dikondisikan untuk mempersiapkan diri lebih ligat terhadap globalisasi yang mau tak mau harus dihadapi. Dengan bahasa Inggris, output penelitian dari PT Indonesia akan lebih mudah diakses dunia internasional melalui berbagai mesin pencari. Technical report berbahasa Inggris yang diunggah di website departemen pun sudah dapat dijadikan referensi jika isinya memang berkualitas. Jika dirancang dengan baik, Tugas Akhir mahasiswa dapat berpotensi menghasilkan kontribusi bernilai bagi ilmu pengetahuan. Agar mudah diakses publik, hasilnya perlu ditulis dalam bahasa Inggris dan diunggah di Internet. Sungguh disayangkan jika kontribusi semacam itu sebenarnya banyak tetapi sangat sulit diakses publik internasional karena ditulis dalam bahasa Indonesia yang jelas bukan bahasa utama ilmu pengetahuan. Lebih parah lagi, laporan tersebut hanya tersedia dalam bentuk cetak, teronggok di sudut perpustakaan departemen hingga berdebu sebab tak seorang pun pernah menjamahnya. Lalu bagaimana dengan aspek kebangsaan, khususnya di penelitian? Kuadran dari Stokes (1997) yang mengklasifikasikan penelitian berdasarkan sumber inspirasinya sangat berguna untuk menjadi panduan dalam merencanakan penelitian kelas dunia tetapi juga berkebangsaan. Sesuai Gambar 6 (kanan), ada tiga tipe penelitian yang layak jadi alternatif. Pertama, penelitian dasar murni (pure basic research) dengan potensi orisinalitas yang tinggi meski aplikasinya belum terbayangkan. Contohnya pencarian Niels Bohr akan model struktur atom yang murni karena keingintahuan ilmiah. Penelitian tipe kedua berada di kutub berseberangan dari sebelumnya yaitu penelitian terapan murni (pure applied research). Contohnya penelitian Edison guna meningkatkan performa lampu listrik temuannya untuk tujuan komersialisasi karena persaingan. Fokusnya adalah penggunaan pengetahuan ilmiah akan fenomena alam tertentu untuk mengkonstruksi solusi atas satu persoalan praktis tanpa berusaha menemukan pemahaman ilmiah lebih dalam akan fenomena ilmiah yang digunakan tersebut. Tipe ketiga diwakili oleh penelitian Louis Pasteur yang melakukan keduanya. Pertama, ia berkomitmen memahami lebih dalam lagi fenomena mikrobiologi yang telah ditemukannya (melalui penelitian dasar murni; aspek analisis dan sains). Kedua, ia juga bertekad untuk mampu mengendalikan proses-proses mikrobiologis yang terlibat untuk membawa kegunaan langsung bagi umat manusia (aspek sintesis dan rekayasa). 9
Proceeding Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) 2011
Penelitian di PT Indonesia dapat berupa ketiga tipe ini dalam proporsi yang berimbang, sesuai dengan bidang ilmu yang dikaji dan kondisi di lapangan. Para dosen ilmu-ilmu sains tentu lebih cenderung berkontribusi melalui penelitian dasar murni. Sementara itu solusi untuk persoalan-persoalan praktis di tengah masyarakat wajar paling diharapkan dari dosen-dosen ilmu-ilmu teknik yang berkaitan. Namun, penelitian di kuadran Pasteur patut menjadi prioritas dan primadona dalam memajukan ilmu pengetahuan sekaligus mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia. Semangat kerjasama antardisiplin sains dan teknik menjadi syarat mutlak penelitian di kuadran Pasteur yang efisien dan efektif. Model di atas sudah mencakup semangat kerjasama ini dalam unsur jaringan kolaborator. Output dari penelitian ini, baik berupa produk/inovasi maupun kontribusi baru untuk ilmu pengetahuan, menjadi basis untuk publikasi ilmiah dan juga publikasi populer untuk mengedukasi masyarakat luas. Seperti lazimnya di negara-negara maju, potensi komersial atau transfer teknologi dari hasil penelitian perlu untuk dieksplorasi dan dieksploitasi sebagai jembatan dengan kolaborator dari dunia industri yang nantinya dapat membantu kesinambungan penelitian di PT. 3.2. Pola Pikir Kelas Dunia Berkebangsaan sebagai Implikasi Logis dari Model Penulis mengajukan pola pikir dalam bentuk diagram alir di Gambar 7 sebagai deskripsi praktis dari implementasi model yang telah disintesis. Ini didasarkan pada implikasi-implikasi logis dari model tersebut. Pola pikir yang didesain untuk self-explanatory ini diharapkan dapat menjadi panduan dalam berefleksi, berpikir dan bertindak dalam mengemban tugas Tridharma dengan baik. Profesi dosen yang sejatinya mulia dan strategis membutuhkan pengembangan diri multifaset. Ini adalah tujuan positif, sebagai proses yang kontinu dan sesungguhnya tak pernah selesai selama nafas dikandung badan. Secara negatif, pola pikir ini berusaha untuk menjaga agar kondisi scientific decomposition dapat dihindarkan sejauh-jauhnya, meminjam istilah Dr. Terry Mart (Kompas, 2010). Jika tak awas, kondisi ini dapat terjadi secara gradual. Scientific decomposition atau pembusukan ilmiah adalah satu kondisi dimana seorang dosen telah gagal menunjukkan passion, niat dan tanggung jawab dalam melakukan pendidikan dan pengajaran, pembimbingan serta penelitian berkualitas dengan baik. Bagaimanakah potret pembusukan ilmiah itu? Berikut ini sejumlah contoh fenomena yang dapat menggambarkan potret pumbusukan ilmiah di pendidikan tinggi Indonesia. Semuanya berdasarkan pengalaman dan pengamatan selama ini, baik dari penulis maupun segala sumber lainnya yang dapat dipercaya kebenarannya. - Sama sekali tidak mempersiapkan kuliah dengan baik; - Berani bolos mengajar tanpa alasan yang jelas dan dapat diterima; - Jarang hadir secara langsung memberikan kuliah dan sebagai gantinya mewakilkan ke asisten dosen yang notabene juga mahasiswa seperti peserta kuliah; - Secara kontinu berhenti melakukan penelitian dan menghasilkan publikasi ilmiah dalam waktu yang lama; - Tidak memeriksa ujian secara seksama sehingga sama sekali tidak (berani) memberi mahasiswa hak mereka untuk melakukan rebuttal terhadap nilai yang diterima; - Selain sulit ditemui, waktu dan perhatian yang diberikan sangat sedikit untuk pembimbingan mahasiswa, baik sebagai dosen wali atau Tugas Akhir; - Berhenti memperbarui pengetahuan dalam ilmu yang diajarkan di kuliah, sehingga tidak ada perubahan berarti dalam jangka waktu orde dekade; - Minimnya perhatian kepada pendidikan moral mahasiswa, misalnya sengaja atau tidak sengaja melakukan pembiaran sehingga mahasiswa bebas menyontek saat ujian; - Menyalahgunakan posisi/wewenang terhadap mahasiswa demi keuntungan pribadi. 10
Proceeding Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) 2011
T
Mempertimbangkan karir non-dosen
Memilih karir menjadi dosen di Indonesia? Y
Pengembangan diri developing passion for teaching and supervision
B
Senang dan niat mengajar dan membimbing dengan baik?
T
B
Pengembangan diri developing passion in research
ide baru / pengembangan
Ide kreatif yang baru
Y
Senang dan niat meneliti dengan baik?
T
Scientific decomposition
Y ide modifikasi
Pengembangan diri skills in teaching and supervision
T/B
Mampu mengajar dan membimbing dengan baik?
Y
Pengembangan diri continuous lifelong learning and update on the subjects
Publikasi ilmiah Y/T
T/B
Hasil penelitian
Pengembangan diri skills in academic writing and presentation
Punya ide‐ide kreatif untuk penelitian?
Mahasiswa yang tertarik penelitian
Pelaporan hasil penelitian
Tepat untuk komersialisasi / transfer teknologi?
Kuliah dan pembimbingan mahasiswa
B IPR telah diamankan?
Y
adaptasi rencana
Pengembangan diri skills in research planning
Y
Perencanaan penelitian Sumber daya eksternal
Komersialisasi / transfer teknologi Pengembangan diri knowledge in intellectual property rights (IPR) in research
Pengembangan diri developing creativity in research
B
Sumberdaya eksternal
T
Cukupkah sumberdaya internal?
B
Kompetisi sumberdaya
Y Eksekusi dan manajemen penelitian Pengembangan diri skills in doing and/or managing research
Pengembangan diri skills in (finding) research funding
Kolaborasi ilmiah
Pengembangan diri skills in building and managing research collaborations
Gambar 7. Pola pikir kelas dunia berkebangsaan berbentuk diagram alir sebagai deskripsi lebih detil dan praktis untuk implementasi model di Gambar 6 (kiri).
4. INSPIRASI DARI DALAM DAN LUAR NEGERI Bab ini dimulai dengan dua asumsi. Pertama, bahwa gelar PhD telah disandang dengan topik spesialisasi X.1.1 dalam subbidang X.1 di bidang X. Sebagai contoh, topik spesialisasinya adalah medical imaging untuk penelitian kanker. Topik ini termasuk domain pengolahan sinyal digital sebagai subbidang X.1 dalam cakupan teknik elektro sebagai bidang X. Kedua, diasumsikan bahwa domisili di Indonesia dengan posisi sebagai dosen di satu PT Indonesia dengan visi kuat menjadi dosen kelas dunia berkebangsaan. Tentu baik sekali jika penelitian berkualitas di Indonesia dalam topik spesialisasi X.1.1 tetap dapat aktif dan produktif dilakukan. Namun bagaimana jika ternyata ia tidak cocok dengan kondisi di Indonesia, misalnya untuk dapat melakukan eksperimen sederhana saja butuh peralatan sangat mahal? 11
Proceeding Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) 2011
Menerapkan model dan pola pikir di atas dengan kondisi riil di Indonesia memang secara logis bisa jadi membutuhkan sejumlah perubahan, dari marginal ke fundamental. Pertanyaan tadi menjadi satu contoh perlunya perubahan. Disertai contoh-contoh inspiratif dari dalam dan luar negeri, Bab ini membahas dua pilihan perubahan logis yang mungkin. Kedua pilihan ini sebenarnya secara tersirat terdapat dalam pola pikir di Gambar 7, khususnya di tahap pencarian ide untuk penelitian dan tahap perencanaan penelitian. Pilihan pertama yaitu tetap konsisten meneliti dalam topik spesialisasi X.1.1, namun harus melalui cara-cara kreatif dan cerdik dalam menyiasati keterbatasan yang ada di Indonesia. Dalam hal ini Dr. Terry Mart di Departemen Fisika Universitas Indonesia menjadi teladan langka dalam penelitian ilmu dasar (Kompas, 2004, 2010). Dengan keahlian beliau yang unik tentang model produksi partikel kaon, beliau mampu membangun kolaborasi internasional yang memberikan akses ke dana dan fasilitas yang tak tersedia di Indonesia. Kreatifitas, keunikan ilmu, kolaborasi internasional, ketekunan, perjuangan, komitmen dan perhatian sepenuh hati pada ilmu yang ditekuni menjadi kunci produktifitas beliau dalam penelitian dan publikasi ilmiah internasional, bahkan hingga level jurnal bergengsi. Namun bagaimana jika ternyata sumber daya minimal untuk memungkinkan penelitian berkualitas dengan topik X.1.1 tetap tidak dapat diperoleh? Pilihan logis kedua yaitu beralih mendalami topik spesialisasi baru yang lebih cocok untuk kondisi di Indonesia namun tidak jauh berubah, sebutlah X.1.5. Perubahan secara horizontal ini berarti subbidang tetap X.1. Namun perubahan juga bisa terjadi secara vertikal, yaitu banting setir ke subbidang baru atau bahkan ke bidang yang baru. Mau tidak mau ini menjadi pilihan logis jika kondisi di Indonesia tidak kondusif bagi penelitian berkualitas dalam subbidang X.1 atau bidang X. Migrasi ini dialami oleh Prof. Tjia May On dan Prof. Barmawi di Departemen Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB). Mereka pindah dari fisika teoretik ke fisika eksperimen tidak lama setelah kembali ke Indonesia (Kompas, 2002, 2004). Sejumlah pertimbangan mendasari keputusan ini. Kondisi Indonesia saat itu tidak memungkinkan untuk berkontribusi dengan sesuatu yang unusual, karena sangat minimnya fasilitas untuk eksperimen dan tidak adanya akses ke jurnal ilmiah. Selain itu tumbuhnya kesadaran sosial kebangsaan membawa mereka untuk pindah ke fisika material yang dianggap lebih cocok dan penting bagi Indonesia. Pasar untuk kerja dan studi lanjut dalam bidang ini juga lebih baik bagi mahasiswa. Definisi gelar PhD di atas tidak berarti bahwa orang yang menyandangnya dalam bidang X harus membatasi diri hanya dalam bidang tersebut untuk dapat berkarya. Mungkin saja seorang peneliti beralih ke bidang yang baru, misalnya karena kebijakan tempatnya bekerja. Dua orang senior scientists bergelar PhD dari TU Delft menjadi pembimbing penulis saat melakukan riset selama satu tahun dalam bidang kompresi video di Philips Research Eindhoven saat studi master. Meski PhD keduanya dalam bidang applied physics, dengan cepat mereka mampu menguasai bidang kompresi video yang baru bagi mereka. Mengapa demikian? Pertama, karena sekali lagi pada dasarnya studi PhD merupakan pelatihan untuk menguasai skill untuk menjadi professional researcher. Kedua, karena pengetahuan selama studi tentang ilmu dan tools yang memiliki potensi tinggi untuk diterapkan di berbagai bidang berbeda. Ilmu dan tools demikian memampukan seseorang untuk memiliki mobilitas dan adaptibilitas tinggi dalam penelitian, baik secara horizontal maupun vertikal. Matematika dan signal processing adalah dua contoh bidang ilmu yang demikian. Sesungguhnya, saat sudah sampai di puncak-puncaknya, bidang-bidang ilmu pengetahuan 12
Proceeding Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) 2011
yang berbeda-beda akan menggunakan ‘bahasa’ yang sama untuk berkomunikasi, yaitu matematika. Matematika sudah pasti akan terlibat saat sudah menggunakan pemodelan dan pengolahan data numerik, apapun bidangnya. Mata yang jeli akan menemukan beragam penerapan matematika dan signal processing yang menarik dalam kehidupan nyata. Riset Batik Fractal di ITB adalah satu contohnya dalam konteks khas Indonesia (Hariadi et al., 2010). Sementara itu ‘tools’ di sini dapat berupa berbagai bahasa pemrograman komputer. Apakah implikasi logis dari semua ini bagi mereka yang telah atau memiliki visi kuat menjadi dosen di Indonesia namun masih akan melanjutkan studi PhD? Pertimbangan matang mutlak diperlukan dalam memilih bidang, subbidang dan topik spesialisasi saat studi lanjut yang tepat dengan visi dan tujuan akhir. Faktanya adalah bahwa tidak semua (sub)bidang ilmu memiliki tingkat kecocokan dan ketepatan yang sama dengan kondisi dan kebutuhan di Indonesia. Pemerintah sendiri melalui Dewan Riset Nasional (2010) telah menetapkan prioritas kepada tujuh bidang saja, yaitu bidang ketahanan pangan, energi, teknologi informasi dan komunikasi, teknologi dan manajemen transportasi, teknologi pertahanan dan keamanan, teknologi kesehatan dan obat, dan material maju. Sebab itulah penulis banting setir ke bidang image processing, kompresi video, computer vision dan pattern recognition sejak mengerjakan tesis master, meskipun program master yang dijalani fokus pada bidang broadband optical communication. Penelitian berkualitas dalam bidang ini butuh banyak peralatan canggih yang mahal untuk kantong Indonesia. Sementara dengan sejumlah kamera yang harganya terjangkau, komputer standar dan beragam tools canggih yang tersedia gratis di Internet, Indonesia juga mampu melakukan penelitian berkualitas dalam keempat bidang yang dipilih. Selain itu, aplikasinya dalam berbagai bidang lainnya pun sangat luas. Pada akhirnya visi dosen kelas dunia berkebangsaan di pendidikan tinggi Indonesia membutuhkan semangat dan passion seorang pembelajar yang tertarik belajar hal-hal baru. Apalagi jika ilmu dan tools itu sangat cocok untuk kondisi di Indonesia, meski di luar bidang kajian saat PhD. Kejelian mengobservasi ini perlu terus dilatih dan dikembangkan. Dua ilmu dan tools semacam itu, yaitu stochastic network calculus (Jiang dan Liu, 2004) dan DEMOS (Birtwistle, 1997), menjadi andalan di departemen afiliasi penulis di NTNU. Dengan keduanya saja sudah banyak penelitian dengan publikasi internasional dapat dilakukan departemen dengan biaya (sangat) rendah. Stochastic network calculus efektif untuk menghasilkan closed-form analytical solutions bagi beragam persoalan teori antrian di era Internet. DEMOS sangat efektif untuk pemodelan dan simulasi segala sistem discrete event, seperti penelitian performance dan dependability dalam bidang computer networking, baik itu jaringan wired, wireless dan optical. Selain di universitas dan lembaga penelitian, DEMOS juga telah digunakan di industri penerbangan, otomotif, migas dan telekomunikasi.
5. DARI DALAM KE LUAR LINGKARAN PENGARUH Jika diperhatikan dengan baik, segala sesuatu yang telah dibahas hingga titik ini masuk dalam lingkaran pengaruh dosen. Tulisan ini memang difokuskan untuk itu. Namun demikian penting juga untuk menarik sejumlah implikasi logis yang penting dari model dan pola pikir di atas sebagai masukan bagi daerah di luar lingkaran pengaruh dosen (lihat Gambar 5). Karena ini sudah di luar lingkaran pengaruh dosen, maka mau tak mau target pembaca juga harus siap jika pada akhirnya tak satu pun dari masukan ini mendapat tanggapan yang berarti. Pertama, rekrutmen dosen di PT Indonesia perlu dibenahi sehingga secara komprehensif 13
Proceeding Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) 2011
mempertimbangkan tidak hanya kualifikasi pendidikan formal, tetapi juga secara serius memperhatikan: (1) kemampuan pelamar dalam mempersiapkan dan memberikan kuliah dengan baik, (2) rekam jejak, kreatifitas dan potensi pelamar dalam melakukan penelitian dan merintis sebuah grup penelitian, serta (3) rekam jejak pelamar dalam publikasi ilmiah internasional. Kedua, untuk menarik pelamar yang berkualitas, maka paket remunerasi dan fasilitas bagi dosen tentunya perlu ditingkatkan sesuai kemampuan PT. Ketiga, sebagai satu solusi realistis terhadap kesulitan dalam publikasi ilmiah internasional, pemerintah melalui Depdiknas diharapkan dapat menginisiasi dan mengorganisasi jurnaljurnal ilmiah berbahasa Inggris independen dalam berbagai bidang. Namanya selalu serupa, sebut saja misalnya Indonesian Journal of X, dengan X merupakan nama bidang seperti chemical engineering atau physics. Ini menjadi sarana yang baik bagi para dosen dan peneliti di Indonesia untuk melaporkan hasil penelitiannya tanpa bergantung pada jurnal-jurnal di luar negeri. Di samping para dosen dan peneliti Indonesia dengan rekam jejak bagus dalam publikasi di jurnal ilmiah internasional, para pakar asing berkompetensi tinggi dari luar negeri dapat diundang menjadi reviewer bagi jurnal ini untuk menjamin kualitas. Kualitas artikel harus menjadi prioritas, sehingga jika untuk satu issue tidak ada artikel yang memenuhi standar minimum, issue tersebut tidak perlu dipaksakan untuk terbit. Agar mudah diakses, biaya berlangganan dapat diminimalkan, bahkan jika mungkin ditiadakan. Idealnya jurnal ilmiah semacam ini seharusnya berada di bawah organisasi profesi yang menjadi wadah dosen dan peneliti Indonesia dalam bidang tersebut dari seluruh universitas dan lembaga non-PT di Indonesia. Jika jurnal semacam itu sudah ada, maka pemerintah tidak perlu lagi menginisiasi jurnal independen di atas untuk bidang tersebut. Namun jika jurnal di bawah organisasi profesi nasional semacam itu tidak ada, yang kerap terjadi adalah berbagai PT membuat sendiri jurnalnya masing-masing dalam bidang tersebut. Akhirnya dosen-dosen di PT seperti itu dapat mengklaim memiliki sekian publikasi ilmiah, padahal hanya di jurnal yang dibentuk dan diasuh oleh mereka sendiri, meski diklaim ‘internasional’. Selain menunjukkan tidak adanya kesatuan dalam berkolaborasi, fenomena ini jelas sangat rawan terhadap penyalahgunaan dan pelanggaran etika akademik dalam publikasi ilmiah. Semangatnya bisa jadi hanya untuk mengejar kredit kenaikan pangkat dengan segala cara, tanpa perhatian terhadap kualitas dan etika akademik. Hilangnya independensi, rendahnya standar review kualitas, dan tidak adanya pengawasan dan penertiban oleh pemerintah akan kian menyuburkan praktik-praktik tidak etis secara akademik, seperti plagiarisme.
6. KESIMPULAN Tulisan ini memaparkan model dan pola pikir guna mewujudkan visi dosen kelas dunia berkebangsaan di pendidikan tinggi Indonesia. Implikasi-implikasi logis dari keduanya juga menjadi kontribusi lainnya dari kajian ini. Ini merupakan respons proaktif terhadap potret penelitian di pendidikan tinggi Indonesia. Semua ini diharapkan dapat menstimulasi refleksi, inspirasi dan motivasi bagi target pembacanya sebagai dampak positif. Sejauh pengetahuan penulis, belum ada tulisan komprehensif semacam ini yang dapat diakses publik di Internet.
REFERENSI Birtwistle, G. (1997) DEMOS – a system for Discrete Event Modelling on Simula. 14
Proceeding Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI) 2011
University of Leeds, Leeds. Covey, S. (2004) 7 Habits of Highly Effective People. Free Press, New York. Dewan Riset Nasional (2010) Agenda Riset Nasional 2010-2014. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (2009) Perspektif Perguruan Tinggi di Indonesia Tahun 2009. Departemen Pendidikan Nasional. Hariadi, Y., Lukman, M., and Panjaitan, N.M. (2010). Batik Fractal. Retrieved in July 2011 from http://www.batikfractal.com/ Hirsch, J.E. (2005). An index to quantify an individual's scientific research output. Proceedings of the National Academy of Sciences, 102 (46): 16569–16572. Jiang, Y. and Liu, Y. (2008) Stochastic Network Calculus. Springer-Verlag, London. Kompas (2002). Lebih jauh dengan Tjia May On. Kompas, March 31, 2002. Kompas (2004). Sulitnya penelitian ilmu dasar di Indonesia. Kompas, February 5, 2004. Kompas (2010). Dengan Kaon membangun budaya riset. Kompas, February 15, 2010. Lopez-Illescas C., De Moya Anegon F., and Moed H.F. (2009) Comparing bibliometric country-by-country rankings derived from the Web of Science and Scopus: The effect of poorly cited journals in oncology, Journal of Information Science, 35 (2), pp. 244-256. Salmi, J. (2009) The challenge of establishing world-class universities. In Sadlak, J. and Liu, N. C. (eds.), The World-Class University as Part of a New Higher Education Paradigm: From Institutional Qualities to Systemic Excellence. UNESCO-CEPES, Bucharest. Sasmojo, S. (2005) Sains, Teknologi, Masyarakat dan Pembangunan. Program Pascasarjana Studi Pembangunan, Institut Teknologi Bandung. SCImago (2007) SJR – SCImago Journal and Country Rank. Retrieved in July 2011 from http://www.scimagojr.com Stokes, D.E. (1997) Pasteur’s Quadrant: Basic Science and Technological Innovation. Brookings Institution Press, Washington D.C. Panggabean, M. (2011) Performa Indonesia dalam publikasi ilmiah internasional selama 1996-2010: sebuah studi komparatif komprehensif. 2nd Olimpiade Karya Tulis Inovatif (OKTI), October 8-9, 2011, Paris, France. Phillips, E.M. & Pugh, D.S. (2005) How to get a PhD. Open University Press, Berkshire. Thomson Reuters (2011). Times Higher Education World University Rankings. Retrieved in July 2011 from http://www.timeshighereducation.co.uk/world-university-rankings/ 15