Menguak Potensi Sistem Pembayaran bagi Perekonomian
1
Oleh
: Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran
Dicetak Tahun : 2012
2
PENDAHULUAN
Tak bisa dipungkiri, teknologi informasi berkembang kian pesat. Kreatifitas
berbasis
teknologi
tidak
pernah
berhenti
meluangkan hasrat untuk mempermudah kehidupan manusia. Internet misalnya, untuk berkomunikasi dengan siapapun dapat dengan mudah dan murah dibanding teknologi telepon di masa lalu. Itu sekelumit dari sekian banyak perkembangan teknologi yang telah mengubah hidup kita. Teknologi informasi juga menjadi tulang punggung pendukung kegiatan ekonomi. Yang paling terasa adalah dalam kegiatan bayar membayar dimana saat ini bisa dilakukan dengan cepat dan mudah. Dampaknya perputaran ekonomi pun menjadi semakin efisien dan cepat. Transaksi ekonomi tidak hanya difasilitasi dengan uang tunai tapi telah merambah dengan menggunakan instrument non tunai buah dari perkembangan teknologi seperti transfer, kartu kredit, kartu ATM dan terakhir mulai muncul uang elektronik.
3
Variasi lain adalah di sisi saluran atau cara melakukan pembayaran. Peran teller bank mulai tergantikan oleh mesin seperti Authomatic Teller Machine (ATM). Kegiatan yang biasa dilakukan teller seperti transfer, pindah buku, melihat saldo dan pembayaran gaji dapat dilakukan melalui ATM. Sekarang pun dengan perkembangan teknologi ATM dapat pula berfungsi layaknya merchant (toko) untuk melakukan pembelian tiket, pulsa, atau layanan pembayaran untuk membayar listrik, air dan lain-lain. Dalam perkembangannya saat ini beberapa layanan tersebut juga sudah dapat dilakukan melalui mesin Electronic Data Capture (EDC), yang dulu hanya digunakan untuk alat baca kartu di merchant saja. Selain
ATM
dan
EDC,
saluran
pembayaran
yang mulai diminati karena fleksibilitasnya adalah internet dan mobile banking. Nasabah bank atau pemegang kartu dapat melakukan trasanksi perbankan, jual beli barang dengan memanfaatkan jaringan internet atau mobile phone yang mereka miliki. Nampaknya untuk masyarakat di kota besar yang
4
sibuk dan sehari-hari tidak lepas dari kemacetan, saluran pembayaran ini menjadi solusi utama bagi mereka. PERKEMBANGAN TRANSAKSI
Teknologi pembayaran juga berdampak pada peningkatan transaksi ekonomi. Hal ini terlihat antara lain pada transaksi transfer dana melalui sistem kliring yang diselenggarakan Bank Indonesia yaitu Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan melalui sistem transfer dana nilai besar yang kita kenal dengan istilah sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS), serta dalam kegiatan bayar membayar menggunakan
sistem
pemroses
Alat
Pembayaran
Menggunakan Kartu (APMK). Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, masyarakat semakin sering menggunakan alat
pembayaran non tunai berbasis
teknologi ini. Transfer kredit di SKNBI selama 5 tahun terakhir menunjukkan
peningkatan
penggunaan
rata-rata
20%.
Sedangkan yang menggunakan sistem BI-RTGS khusus transfer masyarakat meningkat 5,8%. Terakhir, APMK yang meliputi 5
kartu ATM/Debet dan kredit menunjukkan tren peningkatan 16%. Belum lagi jumlah transaksi pemindahbukuan dalam satu bank yang juga diperkirakan meningkat pesat karena pada umumnya masyarakat yang memiliki “saling ketergantungan” transaksi yang tinggi antar mereka akan memelihara rekening pada bank yang sama. Dari perputaran nilai yang ditransaksikan, pada kurun waktu 5 tahun terakhir juga mengalami peningkatan.
SKNBI
menunjukkan peningkatan rata-rata 10%. Lalu yang melalui sistem BI-RTGS 21%. Terakhir pada APMK mencapai 15%. Hal yang sama juga mungkin terjadi pada transaksi satu bank untuk kelompok masyarakat yang memiliki saling ketergantungan dalam transaksi ekonominya. Tidak seperti sistem pembayaran yang didominasi oleh teknologi, perkembangan transaksi pembayaran non tunai yang berbasis kertas yakni cek dan BG pada 5 tahun terakhir perkembangannya relatif stagnan. 1,12% dan di sisi nilai 9,78%. Apabila dilihat dari prosentasenya jauh lebih kecil dibanding perkembangan pada instrumen non tunai berbasis teknologi. 6
Hal ini ditengarai karena sudah mulai banyak masyarakat yang beralih ke intrumen lain baik APMK maupun transfer kredit secara pindah buku, melalui SKNBI atau Sistem BI-RTGS. Secara jelas perkembangan transaksi disajikan dalam lampiran buku ini. PERAN BANK INDONESIA
Kalau dilihat dari statistik pembayaran tersebut terlihat jelas begitu krusialnya peran sistem pembayaran saat ini. Apalagi dengan tren kebutuhan ekonomi yang semakin mensyaratkan kecepatan dan kemudahan dalam melakukan transaksi, sistem pembayaran non tunai dapat saling bahu membahu bersama intrumen tunai untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakat tersebut. Khusus untuk instrumen non tunai terlebih yang berbasis teknologi, layaknya terhadap uang tunai, instrumen ini perlu dijaga agar kepercayaan masyarakat tidak hilang. Disinilah peran Bank Indonesia sebagai regulator di bidang sistem pembayaran sebagaimana diamanatkan dalam Undang7
Undang Bank Indonesia harus dapat menjaga kelancaran sistem pembayaran. Sistem pembayaran di masyarakat harus dapat menjamin terlaksananya perpindahan uang secara efisien dan aman sehingga masyarakat semakin nyaman dalam melakukan kegiatan ekonomi. Untuk mewujudkan hal tersebut, terdapat 4 prinsip dasar yang harus dipenuhi baik dalam penyelenggaraan, pengembangan dan pengawasan sistem pembayaran. Prinsip tersebut adalah pengendalian
risiko,
efisiensi,
kesetaraan
akses
dan
perlindungan konsumen. Prinsip pertama, berkaitan dengan pengendalian risiko. Aktifitas pemindahan dana dari satu pihak ke pihak lain berpotensi terhadap berbagai risiko. Secara umum, BIS membagi risiko sistem pembayaran kedalam 5 (lima) jenis yaitu: 1. risiko kredit, yaitu risiko yang muncul ketika terdapat pihak yang
tidak
mampu
untuk
memenuhi
kewajiban
keuangannya baik pada saat jatuh tempo maupun di masa mendatang. 8
2. risiko likuiditas, yaitu risiko yang muncul ketika terdapat pihak yang tidak dapat memenuhi kewajiban keuangannya baik saat ini maupun di masa mendatang karena tidak memiliki cukup dana. 3. risiko hukum, yaitu risiko karena lemahnya dasar hukum atau adanya ketidakpastian hukum pada kerangka kerja sehingga menyebabkan munculnya risiko kredit dan risiko likuiditas. 4. risiko operasional, yaitu risiko karena tidak berfungsinya perangkat teknis atau terjadinya kekeliruan kegiatan operasional sehingga menimbulkan terjadinya risiko kredit dan risiko likuiditas. 5. risiko sistemik, yaitu risiko yang disebabkan karena satu peserta tidak dapat memenuhi kewajibannya atau karena terjadinya gangguan pada sistem, yang akan berdampak pada
munculnya
ketidakmampuan
seluruh
peserta/lembaga keuangan dalam sistem untuk memenuhi kewajibannya, yang kemudian menimbulkan risiko kredit dan likuiditas yang lebih luas dan dapat mengancam kestabilan sistem dan pasar keuangan. 9
Prinsip kedua berkaitan dengan efisiensi. Pengembangan sistem pembayaran diupayakan
pada penyempurnaan
mekanisme operasional dalam rangka pengurangan biaya khususnya biaya transaksi dan waktu proses setelmen. Meskipun prinsip efisiensi terkadang berseberangan dengan prinsip kecepatan dan keamanan, namun fokus efisiensi secara ekonomi ditekankan pada aspek economics scope and scale. Prinsip ketiga adalah kesetaraan akses. Dalam hal ini bank sentral harus memperhatikan agar semua penyelenggaraan sistem pembayaran menerapkan asas kesetaraan. Berarti, memberikan keseimbangan hak dan kewajiban antar seluruh pelaku sistem pembayaran baik penyedia jasa pembayaran maupun pengguna jasa pembayaran, termasuk kesempatan untuk memperoleh layanan yang sama antar berbagai wilayah baik itu di dalam maupun luar negeri. Prinsip ini penting agar layanan jasa pembayaran ritel juga dapat dinikmati oleh pengguna jasa pembayaran, termasuk yang berada di wilayah terpencil (remote area).
10
Dalam konteks kesetaraan ini termasuk diantaranya asas resiprositas antar negara. Maksudnya adalah kesamaan kesempatan yang diberikan bagi penyelenggara sistem pembayaran untuk beroperasi di suatu negara. Sehingga peran bank sentral disini harus dapat memastikan hak-hak yang sama bagi pelaku industri sistem pembayaran untuk beroperasi di antara negara yang saling bekerjasama. Prinsip keempat, bank sentral perlu memperhatikan aspek perlindungan
konsumen
pembayaran.
Artinya,
dalam setiap
penyelenggaraan
sistem
penyelenggaraan
wajib
menerapkan asas perlindungan konsumen secara wajar dalam kegiatan operasionalnya. Prinsip ini sebenarnya memberikan keseimbangan hak dan kewajiban antara penyedia dan penyelenggara dengan pengguna layanan jasa pembayaran.
KEBIJAKAN YANG DIJALANKAN
Prinsip di atas menjadi dasar pijak dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan Bank Indonesia. Sepanjang 2011, beberapa 11
kebijakan yang telah diambil terkait peran Bank Indonesia sebagai pengatur, pengembang, dan pemantau/pengawas sistem pembayaran mengacu pada 4 prinsip tadi.
Kebijakan Penyelenggaraan Operasional
Di sisi penyelenggara, Bank Indonesia telah menetapkan kebijakan standar pelayanan yang diberikan kepada peserta sistem pembayaran. Standar tersebut diterjemahkan dalam tingkat penyediaan sistem minimal 99,9% dari seluruh waktu operasional yang dipakai. Sepanjang tahun angka tersebut dapat dipenuhi yakni mencapai 100%. Banyak
upaya
yang
telah
dilakukan
untuk
menjaga
ketersediaan sistem tersebut. Manajemen kelangsungan bisnis (business continuity management) yang dituangkan dalam prosedur baku penyelenggaraan sistem menjadi mutlak sesuatu yang harus ditaati. Untuk memitigasi risiko kegagalan sistem utama, secara rutin dilakukan uji coba penggunaan transaksi dengan infrastuktur back up. Uji coba ini sekaligus melihat kesiapan seluruh perangkat operasional termasuk seluruh peserta guna mengantisipasi gangguan yang terjadi pada sistem 12
utama. Sepanjang tahun ini telah dilakukan 3 kali uji coba dalam kerangka tersebut. Selain dari sistem utama, Bank Indonesia juga menyediakan fasilitas guest bank sebagai back up bagi peserta sistem pembayaran yang sistem internalnya mengalami gangguan. Tujuannya tidak lain adalah tetap memberikan standar pelayanan yang sama bagi masyarakat nasabah perbankan. Dalam
kerangka
menjaga
kepatuhan
peserta
sistem
pembayaran, Bank Indonesia secara aktif juga melakukan pengawasan peserta termasuk dalam kerangka member certification. Hal ini dimaksudkan agar peserta sistem senantiasa menjaga standar pelayanan kepada para pengguna jasa. Kebijakan lain di sisi penyelenggaraan adalah memperpanjang layanan waktu operasional terkait kebutuhan peserta pada waktu tertentu untuk melayani nasabah mereka. Kebijakan ini biasanya terjadi pada saat libur menjelang hari besar keagamaan seperti Idul Fitri, Natal, dan tahun baru.
13
Pada masa-masa tersebut secara musiman terjadi peningkatan transaksi yang sangat tinggi sehingga memerlukan tambahan waktu operasional untuk menyelesaikan seluruh transaksi masyarakat di perbankan. Selain di hari-hari khusus tersebut, kebijakan
perpanjangan
waktu
juga
digunakan
untuk
mengakomodir peningkatan transaksi beberapa peserta sistem pembayaran yang memiliki pola peningkatan pada hari-hari tertentu misalnya pada saat pembayaran gaji.
Kebijakan Pengembangan Sistem Bank Indonesia
Di sisi pengembangan, fokus yang dilakukan pada 2011 adalah dalam rangka peningkatan efisiensi dan kehandalan dalam mitigasi risiko. Pada sistem yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, peningkatan kehandalan
dititikberatkan pada
pengembangan lanjutan sistem BI-RTGS dan BI-SSSS generasi II. Sistem ini akan mengganti sistem lama yang telah berusia 11 tahun
dan
dipandang
akan
mulai
lambat
dalam
mengakomodasi peningkatan transaksi. Pada sistem baru akan dilengkapi fitur-fitur penghemat likuiditas sehingga mampu 14
memitigasi
risiko
likuiditas
bagi
peserta
pada
saat
kebutuhannya meningkat. Juga, sistem baru ini akan didesain untuk menggunakan standar platform yang digunakan secara internasional, yang tentunya akan meningkatkan efisiensi bagi peserta yang memiliki exposure transaksi secara cross border. Sementara itu pada SKNBI sepanjang 2011 tidak ada pengembangan yang berdampak pengubahan sistem secara struktural. Fokus di tahun ini adalah melakukan edukasi terhadap efisiensi penyelesaian transaksi di SKNBI melalui penambahan siklus setelmen yang semula hanya 2 kali menjadi 4 kali sepanjang waktu operasional. Penambahan
siklus
tersebut
memungkinkan
terjadinya
percepatan hasil transfer sehingga dapat efektif pada rekening nasabah penerima di hari yang sama dengan waktu lebih cepat. Namun demikian, pengefektifan hasil kliring di level bank masih banyak yang dilakukan pada esok hari sehingga walaupun sudah ada fasilitas ini, mindset masyarakat masih menganggap transfer lewat kliring lebih lama dari BI-RTGS.
15
Untuk peningkatan efisiensi nasional, SKNBI terus diupayakan untuk menjadi salah satu sistem pembayaran yang diharapkan mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Concern untuk memperluas layanan pembayaran ditujukan pula bagi segmen masyarakat yang belum tersentuh layanan bank umum (unbanked people). Guna menjembatani ini access policy pada SKNBI diperluas yakni dengan memungkinkan BPR dapat menjadi peserta kliring walaupun secara tidak langsung dengan bank umum sebagai jangkar. Mengapa BPR? Hal ini didasarkan pada kondisi dimana industri BPR sangat dekat dengan lembaga keuangan mikro dan golongan masyarakat yang enggan dengan formalitas apabila berhadapan dengan industri bank umum. Kedekatan tersebut dijembatani oleh perbankan untuk menjadi jangkar atau penghubung bagi layanan jasa pembayaran khususnya kliring antarbank. Untuk merealisasikan hal tersebut, salah satu bank peserta SKNBI di Jawa Timur telah menjadi bank jangkar atau sering dikenal dengan Apex bank bagi BPR yang berada di wilayah Jawa Timur. Inisiasi ini diharapkan dapat diikuti pula 16
oleh bank umum lainnya untuk menjangkau transfer dana melalui SKNBI antar BPR di wilayah lain. Sehingga ke depan upaya meningkatkan inklusivitas bagi lembaga keuangan mikro maupun unbanked people dalam memanfaatkan layanan pembayaran semakin meningkat.
Kebijakan Pengembangan oleh Industri
Kebijakan pengembangan lain adalah terkait dengan penataan infrastruktur pembayaran retail yang dilakukan oleh industri. Hal ini juga dilakukan dalam rangka mendorong terciptanya efisiensi infrastruktur secara nasional. Saat ini pengembangan di sektor ritel pun masih bersifat parsial. Perbankan sebagai motor penggerak industri ini masih melihat dari aspek bisnis secara mikro. Oleh karenanya hanya beberapa bank atau kelompok bank saja yang mampu mengembangkan berbagai infrastruktur pembayaran. Ujung-ujungnya karena hanya melihat secara mikro, masing-masing pengembangan dilakukan sendiri-sendiri.
17
Kondisi ini terjadi sudah sejak lama bahkan sebelum Bank Indonesia melihat ini sebagai titik berat regulasi yang digulirkan. Kartu kredit misalnya, instrumen ini telah muncul sejak lama, dan mulai marak di Indonesia sekitar tahun 80-an. Pengembangannya pun dilakukan oleh pemain industri asing. Perbankan domestik hanya sebagai penerbit dari 4 prinsipal asing kala itu. Jika dalam industri kartu kredit, pengelola jaringan atau prinsipalnya didominasi asing, lain dengan kartu ATM dan Debet. Awalnya dimulai oleh bank-bank berkapitalisasi besar yang ingin memperluas jaringan dengan menggunakan perangkat
elektronik.
Pertama
dengan mengembangkan
jaringan ATM kemudian diikuti dengan jaringan Debet yang ditopang oleh alat Point of Sales (POS) atau EDC. Untuk meningkatkan skala ekonominya bank-bank besar tadi mulai mengoptimalisasikan infrastruktur yang dimilikinya dan bergerak ke bisnis penyedia jaringan (prinsipal) layaknya prinsipal kartu kredit kala itu. Model bisnis lain adalah dengan membentuk konsorsium dari beberapa bank membentuk satu 18
penyedia jaringan. Terakhir, perusahaan yang memang memfokuskan untuk menjalankan bisnis sebagai prinsipal mulai memanfaatkan kebutuhan bank yang skala ekonominya masih kecil namun ingin memiliki pendapatan lain selain dari intermediasi. Kadang-kadang pengembangan ini dilakukan dalam rangka menarik dana pihak ketiga untuk mendukung peningkatan dana murah. Instrumen lain yang baru berkembang awal 2007 adalah uang elektronik. Alat pembayaran ini pun awal pengembangannya sampai saat ini masih dikembangkan sendiri oleh masingmasing
penerbit.
Tiap
penerbit
mengembangkan
infrastrukturnya didasarkan pada kebutuhan dan analisis individualnya. Konvergensi minimal pada alat baca instrumen juga belum terjawab di sisi industri.
Self Regulatory Organization
Terhadap kondisi pengembangan sistem pembayaran oleh industri yang masih bersifat parsial tersebut, Bank Indonesia melalui fungsi fasilitator menjembatani dengan membentuk 19
mekanisme koordinasi melalui pembentukan Self Regulatory Organization (SRO). Cikal bakal yang sebelumnya diwadahi dalam Forum Komunikasi Sistem Pembayaran (FKSPN) ini mulai memiliki payung hukum yakni Surat Edaran Bank Indonesia No.13/7/DASP yang diterbitkan tanggal 25 Februari 2011. Payung hukum tersebut diharapkan dapat mengatur hubungan koordinasi antara Bank Indonesia dengan industri pembayaran. Peran industri sebagai mitra menjadi sangat penting dalam mewujudkan kebijakan yang diharapkan dapat mendukung pengembangan industri secara optimal tanpa mengurangi aspek perlindungan konsumen. Model koordinasi yang telah sukses diadopsi beberapa negara seperti Korea Selatan ini diharapkan dapat meminimalisir distorsi kebijakan yang dapat menghambat pengembangan sistem pembayaran di suatu negara. Bank Indonesia nantinya cukup mengatur kebijakan umum dan bersifat makro. Sementara aturan main dapat dibuat oleh industri tentunya melalui koordinasi dengan Bank Indonesia. Harapannya selain dari sisi efisiensi pengembangan, efisiensi birokrasi pun dapat 20
tercapai agar pengembangan sistem pembayaran dapat mengikuti kecepatan kebutuhan konsumen dan perkembangan teknologi. Selanjutnya, setelah terbentuknya SRO, Bank Indonesia dan industri secara aktif mulai membahas dan menggagas upayaupaya perbaikan industri pembayaran nasional. Di sisi pengembangan sistem untuk transaksi nilai besar khususnya BIRTGS dan BI-SSSS, peran perbankan yang menjadi komite sangat aktif dalam memberikan masukan dan menjembatani kebutuhan industri untuk dapat diakomodasi dalam sistem generasi II mendatang. Demikian pula sebaliknya, kepentingan Bank Indonesia sebagai regulator terutama terkait kepentingan makroprudensial disampaikan dalam forum ini agar industri dapat memahami hal tersebut sejak awal. Di sisi pengembangan retail khususnya yang dilakukan industri, pembahasan dititikberatkan pada efisiensi nasional dan mitigasi risiko untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap alat bayar yang dikembangkan industri.
21
Efisiensi nasional ditekankan pada pengembangan National Payment Gateway (NPG) yang ujung-ujungnya untuk saling menghubungkan
sistem
pembayaran
APMK di
seluruh
Indonesia. Upaya efisiensi nasional lain adalah mendorong industri uang elektronik agar saling terhubung satu sama lain (interoperable). Di sisi penjagaan kepercayaan terhadap alat bayar, khususnya APMK, Bank Indonesia telah mewajibkan industri untuk menerapkan chip dan PIN paling kurang 6 digit bagi industri kartu ATM dan Debet. Penerapan chip bertujuan untuk mengurangi risiko fraud pencuriaan data yang terdapat pada kartu ATM dan Debet berbasis magnetic stripe seperti halnya kebijakan migrasi chip pada kartu kredit di 2010 lalu. Berbagai kasus fraud yang pernah terjadi seperti pencurian data kartu ATM dan Debet di Bali beberapa waktu lalu merupakan contoh mudahnya pencurian data pada teknologi magnetic yang memang datanya tidak terlindungi (enkripsi) seperti pada teknologi chip.
22
Di sisi lain, untuk lebih memperkuat keamanan instumen ini dilakukan pengetatan pada otentikasi, yakni penerapan PIN paling kurang 6 digit. Penerapan ini akan lebih mempersulit bagi pelaku kejahatan dalam menemukan kombinasi yang tepat nomor PIN yang benar. Penggunaan PIN kurang dari 6 digit dinilai masih relatif lebih mudah bagi pelaku kejahatan setelah ditemukannya kunci pemecah PIN rahasia melalui trial and error secara algoritma menggunakan teknologi komputer. Dengan 6 digit paling tidak jumlah kombinasinya menjadi jauh lebih banyak dan mempersulit bagi pelaku kejahatan. Kebijakan di sisi oversight (pemantauan) dilakukan melalui serangkaian monitoring, assessment dan inducing change terhadap kepatuhan penyelenggara akan ketentuan dan aturan main yang telah digariskan. Secara garis besar adalah untuk menilai praktek yang dilakukan oleh penyelenggara sistem pembayaran baik secara makro prudential maupun mikro prudensial
dalam
bentuk
penyelenggara.
23
pengawasan
individual
Area yang menjadi cakupan pengawasan adalah sistem yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan penyelenggara di luar Bank Indonesia. Di Bank Indonesia pemantauan dilakukan terhadap sistem BI-RTGS, BI-SSSS dan SKNBI. Sementara untuk industri pembayaran di luar Bank Indonesia dilakukan terhadap penyelenggara APMK, Uang Elektronik (E-Money) dan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang (KUPU). Secara umum penyelenggaraan sistem di 2011 telah dilakukan sesuai dengan aturan yang telah digariskan. Kasus yang menjadi pemantauan khusus adalah terkait dengan penggunaan jasa collecting agent atau debt collector dalam penagihan kartu kredit. Sebagai tindak lanjut permasalahan yang terjadi di Citibank terkait dengan kartu kredit, Bank Indonesia telah melakukan pemeriksaan khusus terhadap Citibank. Dari hasil pemeriksaan tersebut Bank Indonesia telah melarang Citibank untuk melakukan penerbitan kartu kredit kepada nasabah baru selama 2 tahun dan melarang penggunaan jasa penagihan kartu 24
kredit oleh pihak ketiga selama 2 tahun. Sanksi tersebut di atas berlaku sejak tanggal 6 Mei 2011. Selain pengenaan sanksi dalam upaya untuk mendorong perubahan
(inducing
change),
Bank
Indonesia
telah
menginstruksikan manajemen Citibank untuk meningkatkan implementasi manajemen risiko dan pengendalian intern. Selanjutnya, meminta kantor pusat Citibank New York melakukan evaluasi menyeluruh terhadap fungsi pengendalian intern Citibank Jakarta. Selain pemeriksaan kepada Citibank, Bank Indonesia juga melakukan hal yang sama kepada seluruh penerbit kartu kredit. Harapannya, langkah yang ditempuh ini dapat melindungi kepentingan nasabah dan kredibilitas industri pembayaran dapat tetap terjaga.
APA KAITAN SISTEM PEMBAYARAN BAGI PEREKONOMIAN?
Menilik ilustrasi di atas mengenai perkembangan sistem pembayaran, pengaruh teknologi informasi, sampai pada 25
bagaimana Bank Indonesia selaku regulator meresponnya serta melakukan oversight, perlu dicari benang merah kaitannya dengan perekonomian. Mengapa demikian? Ini karena tugas utama Bank Indonesia yang diamanatkan Undang-Undang adalah untuk mencapai kestabilan
nilai
pembangunan
rupiah ekonomi
yang yang
ujung-ujungnya berkualitas.
adalah
Pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana kaitannya dengan kestabilan nilai rupiah? Apakah efisiensi dan kehandalan sistem pembayaran berkorelasi langsung dengan hal tersebut?. Meskipun sedikit rumit untuk membuktikan secara empiris, namun secara umum keterkaitan langsung antara sistem pembayaran dan pengendalian kebijaksanaan moneter adalah karena pelaksanaan sistem pembayaran dapat berpengaruh terhadap penggunaan uang di masyarakat.
Transaksi
pembayaran diantara pelaku ekonomi modern seringkali menggunakan dana di rekening bank. Hasil dari proses kliring dan settlement yaitu rekening satu pihak bertambah atas beban rekening pihak lain. 26
Dengan demikian sistem pembayaran sebagai penghubung aktivitas ekonomi dan uang. Efisiensi penggunaan uang sangat tergantung dari efisiensi sistem pembayaran. Sebagai contoh, time lag yang terjadi antara waktu dilakukannya instruksi dengan penyelesaian pembayaran sangat bervariasi, dan hal ini berpengaruh
terhadap
saldo
rekening
di
bank
serta
kemampuan pelaku untuk melakukan transaksi lainnya. Pengaruh saldo rekening akibat dari time lag dikenal sebagai float, yang merupakan faktor penting dalam keseimbangan money supply dan demand. Dalam disain sistem pembayaran yang modern dimana instruksi pembayaran banyak dilakukan secara elektronik, yang dapat memberikan manfaat yang besar baik bagi pelaku maupun bank-bank. Dalam disain pembayaran elektronik maupun cek (paperbased) diperlukan settlement pada hari yang sama (same day settlement). Artinya begitu settlement
instruksi pembayaran dikirim,
dilakukan pada
waktu yang sama,
mempengaruhi saldo rekening bank-bank di bank sentral.
27
yang
Disain same day settlement dikenal dengan istilah real time gross settlement, yang merupakan penjabaran dari prinsip pendebitan dan pengkreditan rekening bank penerima dan pengirim (proses settlement) dalam waktu yang sama, sehingga mempengaruhi saldo rekening bank penerima dan pengirim di bank sentral. Berkaitan dengan fungsi bank sentral dalam mengendalikan kebijakan moneter,
perhatian utama bank sentral adalah
pelaksanaan settlement di bank sentral mengingat settlement merupakan muara seluruh transaksi keuangan. Melalui same day settlement bank-bank dapat memperkirakan kebutuhan likuiditasnya dengan cepat, demikian pula dengan bank sentral dapat mengetahui money supply dan demand yang sebenarnya. Pengoperasian transfer uang antar bank secara otomasi, khususnya yang berjumlah besar (automated large value interbank funds transfer) merupakan komponen infrastruktur penting dalam pasar keuangan yang modern. Fungsi utamanya adalah
mempercepat
komunikasi,
pelaksanaan sistem settlement 28
pemrosesan
pembayaran.
dan
Dari sudut
pandang
makro ekonomi, automated large value interbank
funds transfer dapat menjembatani kebutuhan pasar uang dan secara keseluruhan mempengaruhi kondisi moneter suatu negara. Karena melalui otomasi transfer dana antar bank dalam jumlah besar (automated large value interbank transfer system), informasi mengenai kondisi moneter negara dapat diketahui secara akurat. Dari sudut pandang mikro ekonomi penerapan automated large value interbank transfer system akan meningkatkan kemampuan likuiditas bagi bank-bank maupun
individu
lainnya. Pasar yang likuid dapat mengurangi ketergantungan bank-bank
terhadap
bank
sentral,
dan
meningkatkan
penerapan reserve requirement yang berorientasi pada pasar. Selain itu pasar uang antar bank yang likuid dapat meningkatkan fleksibilitas penerapan kebijaksaan moneter bank sentral. Kondisi pasar uang yang likuid memungkinkan bank sentral dapat menerapkan kebijaksanaan moneter secara
29
langsung dan
akurat, selain itu memungkinkan bank-bank
dengan cepat menyesuaikan posisi reserve requirement-nya. Disamping itu, perlu disadari bahwa sistem pembayaran mengandung pula risiko instabilitas yang apabila tidak ditangani secara tepat akan mengakibatkan instabilitas yang lain. Risikorisiko yang terkandung dalam setiap sistem pembayaran, terutama sistem yang menghandle pembayaran antar bank yang bernilai besar cukup beragam yaitu mulai dari risiko likuiditas dan risiko kredit sampai risiko hukum dan risiko reputasi. Yang paling ditakuti adalah resiko sistemik (systemic risk). Kalau yang terakhir ini terjadi maka ia bisa menumbangkan atau paling tidak menimbulkan kerugian yang tidak sedikit terhadap para players-nya, dan bahkan bisa mengakibatkan kerugian besar bagi penyelenggara sistem itu sendiri. Oleh karenanya, suatu sistem dalam transaksi pembayaran harus di disain secara tepat dan hati-hati. Bicara disain sistem pembayaran adalah bicara totalitas, mulai dari policy aspects sampai kepada penterjemahan kebijakan30
kebijakan itu dalam detil teknisnya. Ini adalah suatu hal yang tidak terelakkan. Hanya apabila sistem pembayaran dipahami secara comprehensive mulai dari policy aspects sampai detil teknisnya, maka risiko bisa dimitigasi dengan baik. Ini tentunya prinsip yang berlaku umum, tidak hanya untuk sistem pembayaran saja.
KAITAN DENGAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN
Selain perspektif makro ekonomi, di sisi stabilitas sistem keuangan pun tak kalah pentingnya. Ini karena sistem keuangan dan sistem pembayaran merupakan satu kesatuan utuh. Bahkan bagi sebagian orang mungkin agak samar membedakan sistem keuangan dengan sistem pembayaran. Kalau diibaratkan uang koin kedua aspek ini merupakan kedua sisi mata uang yang saling menyatu dan tidak terpisahkan. Gangguan pada sistem pembayaran dapat menimbulkan keterlambatan
atau
kegagalan 31
kewajiban
pembayaran.
Kegagalan kewajiban pembayaran dalam jumlah signifikan dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap likuiditas perekonomian dan stabilitas sistem keuangan maupun perbankan. Demikian pula sebaliknya. Gangguan pada sistem keuangan seperti terjadinya krisis keuangan yang berdampak pada satu atau lebih bank peserta sistem pembayaran, tak pelak akan berdampak pada likuiditas sistem pembayaran. Hal yang paling ditakutkan dampak krisis tersebut terjadi pada bank-bank berskala
besar
dan
punya
peran
sistemik.
Ini
akan
mempengaruhi kemampuan pembayaran kewajiban mereka terhadap bank peserta lainnya, dan pada gilirannya akan merembet pada kemampuan bayar kepada bank peserta pada layer
berikutnya
sehingga
menimbulkan
kemacetan
penyelesaian transaksi atau dalam istilah sistem pembayaran dikenal dengan istilah gridlock. Ilustrasi di atas cocok untuk menggambarkan transaksi keuangan bernilai besar. Lantas apakah untuk yang bernilai kecil juga dapat berdampak signifikan terhadap stabilitas sistem 32
keuangan?
Sudah sering kita dengar kasus fraud yang
sistematis terhadap alat-alat pembayaran retail, ternyata dapat berpengaruh pada kepercayaan terhadap sistem keuangan secara umum. Misalnya kasus kegagalan bayar dalam jumlah besar pada industri kartu kredit di Korea Selatan beberapa waktu lampau. Pertumbuhan ekonomi yang cukup kala itu telah membuat penerbit kartu kredit jor joran memberikan fasilitas outstanding kredit cukup besar. Bahkan ketika itu orang bisa memiliki beberapa kartu kredit. Petaka datang pada saat terjadi krisis ekonomi yang melanda hampir seluruh negara Asia dan ketika itu Korea menjadi salah satu yang terparah. Kita ingat banyak perusahaan kolaps, pengangguran sangat tinggi, daya beli turun sampai pada titik terendah, akhirnya banyak dari pemegang kartu tidak mampu melunasi kewajibannya. Karena nilai outstanding kewajiban kartu secara industri yang sangat tinggi, pada gilirannya turut menyumbang kegagalan pada sistem keuangan di Korea Selatan.
33
APA MANFAAT PENGEMBA NGAN SISTEM PEMBAYARAN BAGI PEREKONOMIAN?
Pertanyaan di atas mencoba menghubungkan apa yang telah dilakukan Bank Indonesia tentunya bersama dengan industri sistem pembayaran dengan uraian singkat keterkaitan sistem pembayaran
bagi
perekonomian.
Sebelum
menjawab
pertanyaan ini mari kita urai apa saja yang telah, sedang dan akan dilakukan. Pada 2011, Bank Indonesia memfokuskan 4 pengembangan sistem
pembayaran.
Pertama
melanjutkan
tahapan
pengembangan Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II. Kedua, melanjutkan
inisiasi
pengembangan
National
Payment
Gateway (NPG). Ketiga, mendorong interoperabilitas industri uang elektronik. Keempat, penerapan chip dan PIN paling kurang 6 digit untuk kartu ATM/Debet.
34
Sistem BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II: Efisiensi Likuiditas bagi Perekonomian
Pengembangan sistem yang merupakan kegiatan lanjutan sejak inisiatif ini digulirkan pada tahun 2008, telah mulai pada tahapan pengembangan sistem dan penyiapan perangkat peraturan. Dalam pengembangan sistem, Bank Indonesia selalu melibatkan anggota kelompok kerja dari industri untuk menyelaraskan dengan kebutuhan perbankan. Sedangkan dari sisi ketentuan, saat ini sedang dilakukan pemetaan ketentuan yang perlu dihormonisasikan dengan sistem yang baru dan sistem terkait lainnya. Pengembangan sistem ini diharapkan mampu mendukung kebutuhan perekonomian dan sistem keuangan, terutama karena dalam sistem baru nantinya terdapat mekanisme hybrid dan tidak murni gross basis seperti saat ini. Dengan mekanisme ini dimungkinkan dilakukan offsetting pada sistem generasi II. Dengan mekanisme tersebut, kedepan peserta sistem dapat melakukan optimalisasi penggunaan likuiditas. Hal ini ditujukan untuk antisipasi kebutuhan perkembangan perekonomian yang 35
membutuhkan likuiditas tinggi seperti adanya pendalaman pasar keuangan. Penghematan Social Cost Melalui NPG
Penyelenggaraan sistem pembayaran terus berkembang dan berevolusi. Berbagai jenis instrumen pembayaran serta delivery channel disediakan oleh penyelenggara untuk memberi kemudahan kepada nasabah dalam melakukan berbagai transaksi pembayaran dengan lebih cepat dan efisien. Namun demikian dalam perkembangannya terdapat faktor kompetisi antar penyelenggara dalam penyediaan infrastruktur sistem pembayaran. Ini menyebabkan adanya duplikasi yang mengarah
pada
in-efisiensi.
Ujung-ujungnya
adalah
meningkatnya social cost yang harus dihadapi oleh masyarakat. Konsep
NPG
mengedepankan
efisiensi
infrastruktur
pembayaran retail sehingga dapat digunakan oleh industri secara bersama. Kalau diibaratkan, infrastruktur ini adalah jalan menuju komplek industri yang dapat digunakan oleh seluruh individual perusahaan sehingga mereka tidak perlu melakukan 36
investasi sendiri untuk membuat jalan yang hasilnya belum tentu bagus dan mungkin lebih ruwet. Dengan NPG, cukup satu jalan atau dalam terminologi sistem pembayaran berarti jaringan yang dibuat lebih besar kapasitasnya sehingga bisa lebih cepat dan dapat digunakan bersama. Konsep seperti ini pernah dianut oleh beberapa negara di kawasan Eropa dan Asia. Meskipun secara terminologi tidak selalu disebut sebagai NPG, namun karakteristik dari model bisnis yang dijalankan dapat dijadikan sebagai referensi dalam pengembangan NPG di Indonesia. Dalam prakteknya, cakupan model bisnis NPG untuk layanan transaksi antar bank yang dijalankan berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Ada yang sudah memiliki cakupan layanan yang cukup luas yang mencakup berbagai jenis layanan switching dan delivery channel (Korea, Taiwan), namun ada juga yang terbatas pada layanan untuk transaksi antar bank via ATM (Thailand, Singapore). Harapannya dengan sharing infrastruktur, biaya investasi masing-masing penyelenggara switching bisa ditekan. Bagi bank 37
atau peserta switching pun tidak perlu menjadi anggota di setiap penyelenggara switching yang ujung-ujungnya dapat meningkatkan social cost bagi nasabah mereka. Pada gilirannya apabila hal ini bisa diwujudkan maka efisiensi dan skala ekonomi bisa dicapai dan perekonomian pun bisa lebih efisien. Ke depan dengan adanya NPG, diharapkan persaingan bukan lagi dalam koridor efisiensi biaya infrastruktur tetapi lebih kepada layanan bagi masyarakat. Interoperabilitas Uang Elektronik
Mirip dengan industri APMK, industri uang elektronik pun dihadapkan pada kondisi yang sama dimana masing-masing penerbit membangun infrastruktur sendiri-sendiri. Dengan memanfaatkan kondisi industri uang elektronik yang belum berkembang besar, masih sangat memungkinkan untuk dibangun infrastruktur yang standar sehingga memungkinkan setiap penerbit dapat saling terhubung satu dengan lainnya. Sejak muncul di 2009, sampai saat ini sudah ada 11 penerbit uang elektronik. Penerbit tersebut mengembangkan sistem dan 38
infrastrukturnya
masing-masing.
Hal
ini
menyebabkan
ketidakefisienan secara nasional. Sampai sekarang belum ada inisiatif masing-masing penerbit untuk menginterkoneksikan sistemnya. Spesifikasi instrumen dan alat baca (reader) bervariasi tipenya. Melihat kecenderungan tersebut, Bank Indonesia
mewacanakan untuk menerapkan kebijakan
standarisasi uang elektronik. Dengan adanya standar kembali lagi diharapkan investasi dapat dilakukan lebih optimal. Industri dapat sharing investasi infrastruktur sehingga lebih efisien. Anggaran justru bisa difokuskan untuk penetrasi ke wilayah yang masih relatif terbelakang dari sisi infrastruktur. Selain itu, industri juga akan diuntungkan dari efisiensi cash handling dan berkurangnya potensi kebocoran pendapatan. Jika dilihat dari perspektif masyarakat, mereka juga ikut diuntungkan. Mereka cukup memiliki satu kartu yang dapat digunakan dimanapun. Dari aspek penetrasi pun lebih luas, sehingga jangkauan merchant lebih banyak yang dapat menerima uang elektronik. Selain itu lagi-lagi dampak social 39
cost-nya dapat dihemat agar ada insentif lebih bagi masyarakat untuk menggunakan uang elektronik. Bagi Bank Indonesia, adanya
standar
tentunya
akan
meningkatkan
efisiensi
pembayaran secara nasional. Ujung-ujungnya, penggunaan uang elektronik secara masif dapat mengurangi beban pengelolaan uang tunai. Terkait dengan rencana standarisasi tersebut, Bank Indonesia akan melakukan pentahapan dalam pelaksanaannya. Fokus pertama adalah pada jenis uang elektronik berbasis chip. Chip based lebih diprioritaskan pada sektor transportasi mengingat sektor ini yang akan memiliki dampak signifikan pada peningkatan penggunaan uang elektronik, meskipun apabila dilihat dari penggunaannya relative terfokus pada transaksi kecil dan mikro. Pengalaman yang sama terjadi di beberapa negara yang sukses mengembangkan industri uang elektroniknya seperti Hong Kong, Malaysia dan Singapura. Pada tahap pengembangan awal, sebagai killer application adalah sektor transportasi publik. Baru setelah tingkat awareness masyarakat meningkat, 40
mereka merambah ke sektor lain seperti convenient store, perparkiran sampai rumah makan. Untuk mendukung langkah tersebut, pada Oktober 2011 Gubernur Bank Indonesia bersama Kementerian Perhubungan dan
Kementerian
Komunikasi
dan
Informasi
telah
menandatangani MoU untuk penerapan uang elektronik di sektor transportasi. Untuk itu telah disepakati adanya penyesuaian model bisnis yang telah berjalan. Selain itu diperlukan penyiapan lembaga yang akan bertindak sebagai prinsipal selaku pengelola standar baik dari aspek bisnis maupun teknisnya. Penandatanganan
Kesepakatan
Bersama
ini
merupakan
langkah awal dimana nantinya akan segera disusun program kerja bersama antar otoritas untuk dapat saling mendukung dan bersinergi, sehingga dalam waktu dekat akan segera tercapai bentuk
sinkronisasi penyusunan standar uang
elektronik. Pada akhirnya masyarakat tidak perlu memiliki banyak uang elektronik untuk bertransaksi.
41
Penerapan Chip dan PIN paling kurang 6 Digit pada Kartu ATM/Debet
Guna memitigasi risiko fraud berupa skimming terhadap data pada kartu magnetic stripe, Bank Indonesia dan industri berinisiatif untuk menerapkan kartu ATM dan Debet berbasis chip. Inisiatif ini diawali dengan uji coba penerapan di 3 bank piloting.
Hasilnya
setelah
dirasa
siap
dan
dapat
diimplementasikan, pada 18 Oktober 2011 Bank Indonesia mengeluarkan Surat Edaran untuk implementasi chip dan PIN 6 digit pada kartu ATM/Debet bagi industri perbankan. Tidak seperti penerapan chip pada industri kartu kredit tahun lalu, waktu yang diperlukan untuk migrasi dari teknologi magnetic stripe ke teknologi chip pada industri ATM dan Debet lebih lama. Hal ini antara lain dikarenakan standar yang dipakai di industri ATM dan Debet merupakan standar nasional yang tentunya perlu disiapkan sendiri oleh industri mulai dari pembentukan
lembaga
yang
berwenang
mengeluarkan
standar, penyusunan standar sampai dengan sertifikasi terhadap pihak-pihak yang akan menggunakan standar 42
tersebut. Selain itu, jumlah kartu ATM dan kartu Debet yang jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah kartu kredit saat itu. Jumlah kartu ATM dan Debet saat ini 5 kali lipat dari jumlah kartu kredit saat itu yang hanya mencapai 12,3 juta kartu. Berdasarkan kondisi itu, Bank Indonesia menetapkan waktu implementasi standar chip dan PIN 6 digit pada Kartu ATM dan Debet paling lama 31 Desember 2015. Dengan demikian, sejak 1 Januari 2016 setiap Kartu ATM dan Debet yang diterbitkan dan digunakan untuk transaksi di Indonesia harus diproses dengan menggunakan standar teknologi chip dan PIN yang baru. Rentang waktu yang cukup panjang ini sekaligus untuk mengakomodir kebutuhan industri dalam menghitung ulang investasi yang akan dikeluarkan dan tahapan migrasi yang dilakukan. Dalam
proses
migrasi
tersebut
sudah
pasti
terdapat
konsekuensi biaya yang cukup besar yang ditanggung oleh industri ATM dan Debet. Mahal memang, namun dapat dipastikan bahwa biaya tersebut merupakan biaya sementara yang ke depan akan ter-cover dengan manfaat peningkatan 43
efisiensi industri dan tingkat keamanan yang lebih tinggi dibanding infrastruktur yang digunakan saat ini. Selain meningkatkan keamanan, penggunaan teknologi chip dan PIN 6 digit pada instrumen ATM dan Debet juga berpotensi dalam pengembangan layanan fitur-fitur baru. Oleh karenanya perlu disadari oleh semua pihak bahwa implementasi standar ini akan berdampak pada bisnis penerbitan dan aqcuiring kartu pembayaran yang saat ini telah berjalan. Dari pengalaman migrasi chip kartu kredit tahun lalu, terlihat manfaat yang sangat besar terutama dari sisi tingkat fraud. Setelah terjadinya migrasi chip pada kartu kredit, terdapat penurunan tingkat fraud yang signifikan pada kartu kredit yang disebabkan
karena
modus
skimming.
menunjukkan tren penurunan tersebut.
44
Data
di
bawah
80.0% 70.0%
60.0% 50.0%
JUMLAH KASUS KERUGIAN
40.0% 30.0%
20.0% 10.0%
2008/Jan 2008/Mar 2008/May 2008/Jul 2008/Sep 2008/Nov 2009/Jan 2009/Mar 2009/May 2009/Jul 2009/Sep 2009/Nov 2010/Jan 2010/Mar 2010/May 2010/Jul 2010/Sep 2010/Nov 2011/Jan 2011/Mar 2011/May 2011/Jul
0.0%
Grafik semua jenis Fraud pada kartu kredit
DUKUNGAN SISTEM PEMBAYARAN TERHADAP KEUA NGAN INKLUSIF
Keuangan Inklusif merupakan suatu kegiatan menyeluruh yang bertujuan untuk meniadakan hambatan terhadap akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan. Terkait dengan hal tersebut, untuk keberhasilan program tersebut perlu dukungan berbagai infrastruktur dimana salah satunya adalah sistem pembayaran. Isu yang muncul selanjutnya adalah bagaimana menjembatani segmen masyarakat tertentu yang juga membutuhkan layanan 45
jasa pembayaran tapi belum bersentuhan dengan dunia perbankan (unbanked people). Golongan ini belum tersentuh oleh dunia perbankan karena beberapa faktor diantaranya lokasi geografis yang jauh dari perbankan sehingga memang tidak terjangkau secara ekonomis bagi bank, atau karena topologi masyarakat tersebut yang enggan untuk masuk ke bank, baik karena sungkan maupun enggan dengan formalitas industri perbankan. Masyarakat Indonesia yang masuk dalam kategori ini sangat besar. Survey World Bank tahun 2010 menunjukkan sekitar 62% masyarakat Indonesia masuk dalam golongan tersebut. Artinya dengan perkiraan penduduk saat ini yang berjumlah kurang lebih 250 juta, 150 juta belum tersentuh perbankan, apalagi menggunakan produk bank. Potensi yang sedemikian besar tersebut menjadi pekerjaan rumah baik bagi industri perbankan, sistem pembayaran dan Bank Indonesia. Saat ini pembagian peran yang cukup efektif telah dilakukan oleh kalangan perbankan dengan lembaga
46
selain bank yang memiliki basis jaringan distribusi luas sampai ke pelosok seperti Kantor Pos Indonesia. Pola kolaborasi ini bisa dikembangkan lagi dengan perusahaan yang memiliki basis infrastruktur teknologi informasi, seperti penyedia jaringan selular misalnya. Sebagaimana diketahui bersama, penggunaan media telepon selular telah merambah sampai ke pelosok. Apabila kita cermati, pola pola tersebut telah dimanfaatkan oleh penyelenggara sistem pembayaran khususnya non-bank yang memang memiliki jalur distribusi ataupun jaringan infrastruktur telekomunikasi. Selain Kantor Pos, sekarang pengadaian, perusahaan jasa titipan, dan toko waralaba telah bekerjasama dengan perbankan atau menjadi penyelenggara KUPU untuk memberikan jasa pembayaran di daerah-daerah yang memang belum terdapat bank. Harapannya dengan pola seperti ini, walaupun masih digunakan oleh unbanked people, perlahan-lahan tingkat awareness
mereka akan meningkat baik terhadap produk
perbankan maupun jasa pembayaran.
47
AKTIVITAS SISTEM PEMBAYARAN
Aktivitas setelmen RTGS melalui sistem Bank Indonesia –Real Time Gross Settlement
Perkembangan transaksi setelmen RTGS baik rupiah maupun valas selama 2011 mencatat transaksi sebanyak 16 juta dan dengan nilai sebesar Rp65 ribu triliun. Bisa dikatakan rata-rata dalam sehari transaksi yang di settle melalui sistem
BI-RTGS
adalah mencapai 64 ribu transaksi dengan nilai sebesar Rp264 triliun. Sungguh nilai yang tidak sedikit. Melihat perkembangan tahun sebelumnya, rata-rata dalam sehari hanya mencapai transaksi sebesar 46,5 ribu transaksi dengan nilai sebesar Rp174 triliun. Ini artinya, dalam kurun waktu setahun transaksi yang di-settle melalui sistem BI-RTGS mengalami kenaikan masing-masing sebesar 36% untuk volume dan 48% untuk nilai.
48
Juta Transaksi
Rp Miliar 70,000
18 16
60,000
14 50,000
12
40,000
10
30,000
8 6
20,000
4 10,000
2
Nilai (Rp Miliar)
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
0
2000
0
Volume
Perkembangan Transaksi RTGS 3.0%
10.4%
Nilai PUAB
8.4%
Nasabah Valas
19.9%
Pasar Modal Pemerintah
5.4%
Pengelolaan Moneter
45.2%
Kliring
3.2%
Lainnya
4.6%
Komposisi Jenis Transaksi Berdasarkan Nilai 0.49% 1.95% 4.85% 4.65% 0.41%
Volume 0.61% PUAB
0.72%
Nasabah
Valas Pasar Modal Pemerintah Pengelolaan Moneter Kliring 86.32%
Lainnya
Komposisi Jenis Transaksi Berdasarkan volume
49
Grafik perkembangan transaksi RTGS menunjukkan kenaikan transaksi yang signifikan dibanding dengan tahun sebelumnya. Berdasarkan jenis transaksi yang di-settle melalui sistem BIRTGS, selama tahun 2011 tercatat komposisi paling besar di sisi nilai adalah transaksi pengelolaan moneter sebesar 45,2%. Sedangkan di sisi volume komposisi terbesar transaksi dilakukan oleh nasabah sebesar 86,3%. Berdasarkan data di Bank Indonesia, tercatat peningkatan transaksi pengelolaan moneter sebesar 45,6% di sisi nilai transaksi dan peningkatan sebesar 26,8% di sisi volume dibandingkan tahun sebelumnya. Su m b er
Jenis Transaksi PUAB Nasabah Valas Pasar Modal Pemerintah Pengelolaan Moneter Kliring Lainnya Sumber : EDW BI-SP
: E D W
2010 4,368 9,344 3,029 2,182 2,070 19,279 5,499 1,422
50
B I-S P
Nilai (Rp triliun) 2011 Naik/Turun (%) 5,205 19.2% 12,354 32.2% 3,324 9.7% 2,010 -7.9% 2,858 38.1% 28,065 45.6% 6,448 17.3% 1,848 29.9%
Jika dilihat dari komposisi kelompok transaksi per peserta, maka transaksi RTGS paling banyak dilakukan oleh kelompok bank swasta nasional yaitu menempati proporsi sebanyak 41,51%. Namun jika dilihat dari nilai transaksi, komposisi terbanyak transaksi dilakukan oleh bank swasta nasional dengan prosentase 38%. 0.26%
0.26%
Volume
4.70%
BANK ASING
7.44%
5.20% BANK CAMPURAN BANK PEMERINTAH 41.51%
33.17%
BANK PEMERINTAH DAERAH
BANK SWASTA NASIONAL 7.72% BANK SYARIAH DAN UUS
Komposisi Transaksi BI-RTGS (Volume)
51
0.74%
Nilai Transaksi
1.16%
BANK ASING BANK CAMPURAN 20.56% BANK PEMERINTAH
38.00% 6.98%
BANK PEMERINTAH DAERAH
24.76%
BANK SWASTA NASIONAL BANK SYARIAH DAN UUS
7.79%
Komposisi Transaksi BI-RTGS (Nilai)
Aktivitas kliring melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
Aktivitas kliring melalui SKNBI relative stabil dan tidak mengindikasikan lonjakan transaksi secara signifikan. Selama 2011, transaksi yang dikliringkan melalui SKNBI berjumlah 95 juta dengan nilai transaksi mencapai Rp1,9 ribu triliun.
52
200
9,000
180
8,000
160
7,000
140
6,000
120
5,000
100
4,000
80
3,000
60
2,000
40
1,000
Rp Trilyun
Ribu Transaksi
10,000
20
-
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 2005
2006
2007
2008
Volume
2009
2010
2011
Nilai Transaksi
Transaksi kliring melalui sistem SKNBI
Sebagian besar transaksi pada SKNBI merupakan transfer dana elektronik antar nasabah bank dengan jumlah nilai yang dibatasi yaitu kurang dari Rp100 juta. Dengan jumlah transaksi yang diperkirakan rata-rata sehari mencapai 395 ribu transaksi (naik 6,9% bila dibandingkan tahun lalu), bisa dibilang merupakan jumlah yang sangat banyak. Hampir sebagian besar aktivitas pembayaran dilakukan melalui kliring. Misalnya, transaksi pembayaran melalui mesin ATM, internet banking, mobile banking, maupun sms banking hampir sebagian besar dilakukan melalui kliring. Apalagi sejak diimplementasikannya mekanime close to real time dalam proses pembayaran melalui kliring. Dengan biaya yang lebih murah dibanding transfer dengan RTGS, saat ini transfer dana melalui kliring bisa 53
dilakukan dengan cepat, satu hari pun sudah bisa sampai di penerima. Dengan semakin efisien, murah dan cepat, bukannya tidak mungkin dalam kurun waktu setahun semakin banyak transaksi yang melalui sistem ini. Jika dilihat dari aspek bisnis, merupakan peluang yang sangat menguntungkan bagi industri yang menjalankannya. Terutama dilihat dari sisi penyelenggara kliring yang saat ini dilakukan oleh baik institusi lokal maupun manca negara yaitu Artajasa, Rintis, Alto, Visa. dan Mastercard.
Aktivitas Pembayaran Menggunakan Kartu Kredit
Potensi penggunaan kartu kredit oleh masyarakat Indonesia masih cukup besar dikarenakan pangsa pasar di Indonesia yang masih terbuka untuk pengembangan kartu kredit. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini terdapat kurang lebih 111 juta penduduk yang potensial untuk menjadi pemegang kartu (sumber: data BPS, tenaga kerja usia 15 tahun ke atas). Dari total Sementara itu, jumlah kartu kredit akhir tahun 2011 54
mencapai 14,6 juta kartu. Asumsi, 1 orang memiliki 2 kartu kredit, maka saat ini jumlah pemegang kartu kredit di Indonesia dibandingkan dengan potensi pasar yang ada (jumlah
20,000
18,000
18,000
16,000
16,000
14,000
Ribu transaksi
14,000
Rp Milyar
penduduk usia produktif) baru mencapai 4,5%.
12,000
12,000
10,000
10,000 8,000
8,000
6,000
6,000
4,000
4,000
2,000
2,000 -
1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 2005
2006
2007
2008
Volume
2009
2010
2011
Nilai Transaksi
Perkembangan Volume dan Nilai Transaksi Kartu Kredit
Pesatnya pertumbuhan kartu kredit tercermin pada tren peningkatan jumlah kartu beredar tiap tahunnya yang mencapai rata-rata pertumbuhan pertahun sebesar 15%. Naiknya tren jumlah kartu tersebut selama kurun waktu 5 tahun turut pula mendorong peningkatan penggunaannya. Di sisi volume pertumbuhan per tahun rata-rata mencapai 12%, sementara itu di sisi nilai mencapai 23%.
55
Juta Kartu 16 14 12 10 8 6 4
2 -
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Jumlah Pemegang Kartu Kredit
PerkembanganPemegang Kartu Kredit Volume (juta) Tahun Tunai 2005 5,26 2006 5,69 2007 4,80 2008 5,39 2009 4,81 2010 4,33 2011 3,74
Belanja 91,31 108,58 124,49 161,35 177,82 192,09 186,89
Total 96,57 114,27 129,29 166,74 182,62 196,41 190,63
Sumber: EDW BI-LKPBU/LSBU
Nilai Transaksi (Rp triliun) Tahun Tunai Belanja 2005 2,75 42,94 2006 3,51 54,85 2007 3,30 69,30 2008 3,80 103,47 2009 4,04 132,65 2010 4,51 156,88 2011 4,08 161,52
Total 45,69 58,36 72,60 107,27 136,69 161,38 165,60
Sumber: EDW BI-LKPBU/LSBU
PerkembanganTransaksi Kartu Kredit
56
Saat ini telah terdapat 20 penerbit kartu kredit dan 5 penyedia jaringan yang disebut prinsipal. Kelima penyedia jaringan seluruhnya merupakan institusi asing. Salah satu diantara kelima prinsipal tersebut adalah PT. China Unionpay yang baru memasuki industri kartu kredit di Indonesia tahun 2010. Saat ini jaringan CUP tersebut beranggotakan PT. Bank ICBC Indonesia dan PT. Bank of China. Total transaksi kartu kredit yang melalui kelima jaringan mencapai 190,6 juta transaksi dengan nilai sebesar Rp165,6 triliun. Coba kita sama-sama berhitung, jika principal A menerapkan fee berupa Merchant Diskon Rate (MDR) 2,5% dari setiap transaksi di toko. Si A melakukan transaksi sebesar Rp2.400.000, maka didapat MDR sebesar Rp60.000. dari fee Rp60.000 tadi dibagi-bagi kepada si toko, acquirer dan prinsipal. Fee bersih principal A sebesar Rp20.000. Jika dalam sehari terdapat transaksi sebanyak 250 ribu transaksi di satu negara, maka keuntungan yang didapat selama setahun untuk 91 juta transaksi adalah sebesar Rp1,8 triliun.
57
Aktivitas Pembayaran Menggunakan Account Based Card (Kartu ATM dan Kartu Debet)
Kartu ATM/Debet, merupakan salah satu alat bayar yang penggunaannya melesat dari tahun ke tahun. Mungkin karena penetrasi kepada masyarakat yang dinilai sukses. Sehingga dalam kurun waktu 5 tahun, rata-rata pertumbuhan jumlah kartu per tahun mencapai 16%, sedangkan di sisi nilai tumbuh lebih tinggi lagi yaitu 19% dan di sisi volume mencapai 16%. Jumlah tersebut masih dimungkinkan untuk tumbuh lebih pesat lagi mengingat prosentase kartu per penduduk potensial untuk menjadi pemegang kartu
masih 48,7%. Kartu ATM/Debet
otomatis diberikan kepada nasabah ketika si nasabah membuka rekening
di
bank.
Dengan
fungsi
untuk
memberikan
kemudahan si nasabah dalam menarik tunai dananya di rekening tanpa harus melalui teller, dan iming-iming bisa dipakai untuk berbelanja di toko-toko yang menyediakan fasilitas tersebut, maka siapa yang menolak? Mengambil manfaat dari kondisi tersebut, selama tahun 2011 mulai marak bermunculan pemain-pemain yang selama ini 58
berkecimpung di segment mikro dan kecil seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sampai dengan akhir tahun 2011 telah terdapat 8 BPR yang menyelenggarakan kartu ATM. Pada tahun 2011, total account based card yang beredar mencapai 61 juta kartu. Jumlah tersebut apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya meningkat 19% (dari 51,6 juta kartu). Dari jumlah tersebut 94% merupakan kartu ATM yang sekaligus dapat digunakan sebagai kartu debet (kartu ATM/Debet), yang diterbitkan oleh 46 bank. Sisanya 6%, berupa kartu ATM murni atau hanya dapat digunakan untuk tarik tunai, yang diterbitkan oleh 55 bank dan 8 Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Juta Kartu 70 60 50 40 30 20 10 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Jumlah Kartu
Perkembangan Jumlah Account Based Card (juta kartu)
59
Peningkatan jumlah kartu tersebut turut pula mendorong peningkatan aktivitas transaksi. Pada tahun 2011, nilai yang ditransaksikan mencapai Rp2.238 triliun. Sementara itu, di sisi volume mencapai 2.043 juta transaksi. Rata-rata setiap bulannya
transaksi
menggunakan
account
based
card
meningkat masing-masing sebesar 1,7% di sisi volume dan 1,4% di sisi nilai.
Juta Transaksi
Rp Trilliun 250.00
180 160
200.00
140 120
150.00
100 80
100.00
60 40
50.00
20 -
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 2005
2006
2007
2008
Nilai (Rp Triliun)
2009
2010
Volume (dalam Juta)
Perkembangan Volume dan Nilai Account Based Card
Pola peningkatan penggunaan account based card juga dapat menunjukkan perkembangan tingkat awareness masyarakat akan instrumen pembayaran non tunai, atau dengan kata lain dapat menunjukkan perkembangan less cash di masyarakat. 60
Meskipun porsi penarikan tunai masih jauh lebih besar dari aktifitas transaksi lainnya, namun dalam kurun waktu 5 tahun terakhir cenderung menurun. Apabila tahun 2005 porsi penarikan tunai masih sebesar 78,3%, pada tahun 2011 porsi tersebut menurun menjadi sebesar 71,5%. Apabila dilihat dari transaksi transfer, terjadi
peningkatan pada porsi transaksi
transfer (baik antarbank maupun interbank) menggunakan kartu ATM/debet. Tahun 2005 porsinya masih sebsar 17%, selama tahun 2011 meningkat porsinya menjadi sebesar 22,4%. Kita lihat lagi trend teknologi saat ini, dimana jejaring sosial di dunia maya mulai marak membuka “toko” online.
Saat ini
kurang lebih 48 juta penduduk atau 43,2% dari total penduduk Indonesia mulai “melek” internet (sumber: data Depkominfo per Des 2011). Mereka mulai melihat adanya kemudahan dan kenyamanan dalam bertransaksi melalui internet karena tidak perlu datang langsung ke toko tersebut. Memang saat ini tidak selalu secara online pembayarannya, namun cukup dengan administrasi pembelian di internet kemudian
pembayaran
cukup dilakukan melalui transfer di mesin ATM maupun secara 61
mobile banking. Selanjutnya si pembeli mengkonfirmasikan pembayarannya dan barang pun dikirim. Faktor inilah yang diindikasikan meningkatnya jumlah kegiatan transaksi transfer melalui kartu ATM/debet. Hal ini juga mengindikasikan upaya Bank Indonesia dalam mendorong less cash society mulai menunjukkan hasilnya.
2011
71.50%
6.10% 18.43% 3.98%
2010
71.92%
6.17% 18.57% 3.34%
2009
72.67%
6.29% 18.47% 2.57%
2008
74.80%
5.88% 18.06% 1.27%
2007
76.39%
5.48% 17.39% 0.73%
2006
77.86%
5.01% 16.71% 0.42%
2005
78.34%
4.61% 17.05% 0.00%
Tunai Belanja Transfer Interbank Transfer Antarbank
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Komposisi Jenis Transaksi Account Based Card (Volume)
62
2011
46.72%
2010
46.26%
2009
43.72%
2008
33.88%
2007
33.29%
3.39%
43.42%
3.26% 3.10% 2.08%
1.75%
45.00% 49.28% 62.39%
6.47% 5.48% 3.91% 1.66%
64.03%
0.92%
Tunai Belanja Transfer Interbank Transfer Antarbank
2005
44.93%
2006 0%
2.13%
39.03%
1.86%
20%
40%
52.94% 58.55% 60%
80%
0.00% 0.56% 100%
Komposisi Jenis Transaksi Account Based Card (Nilai)
Dengan semakin menggiurkannya industri kartu ATM/debet ini, selama tahun 2011, industri kartu ATM/debet di Indonesia mulai diramaikan dengan masuknya pendatang baru dari Negara China yaitu Bank of China sebagai penerbit dan China Unionpay sebagai prinsipal. Sehingga sampai dengan akhir 2011, jumlah penerbit dan prinsipal kartu ATM/debet di Indonesia masing-masing berjumlah 55 dan 5 penyelenggara.
63
UANG ELEKTRONIK (ELECTRONIC MONEY)
Ribu Kartu 15,000 12,500 10,000 7,500 5,000
2,500 4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 2007
2008
2009 2010 Jumlah Kartu Beredar
2011
Pertumbuhan Uang Elektronik
Meskipun baru 4 tahun yang lalu jenis pembayaran ini diluncurkan, namun jika kita tengok jumlah uang elektronik telah mencapai sekitar 12,8 juta kartu pada 2011. Penggunaan uang elektronik pada tahun 2011 mencatatkan transaksi sebesar 36,4 juta transaksi atau meningkat 37% dari tahun sebelumnya dengan nilai transaksi sebesar Rp856,7 miliar atau meningkat 24% dari tahun sebelumnya.
64
Ribu Transaksi 5,000.00
Rp Juta 120,000 110,000 100,000 90,000 80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 0
4,500.00 4,000.00 3,500.00 3,000.00 2,500.00 2,000.00 1,500.00 1,000.00 500.00 -
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 2007
2008
2009 Nilai
2010
2011
Volume
Perkembangan Transaksi Uang Elektronik
Industri uang elektronik menarik banyak sektor industri. Selain perbankan, sektor telekomunikasi dan transportasi pun ikut berkecimpung dalam bisnis yang terbilang baru ini. Sampai dengan tahun 2011 telah ada 11 pemain yang menerbitkan uang elektronik baik dalam bentuk kartu berbasis chip maupun media berbasis server. Industri perbankan lebih memilih menerbitkan uang elektronik dalam bentuk kartu yang relatif lebih mudah pengembangannya. Karena sebelumnya mereka pun rata-rata menerbitkan kartu kredit dengan menggunakan chip. Sedangkan industri telekomunikasi yang memang jawaranya aplikasi berbasis mobile yang tak lain juga adalah 65
“bermain” server, maka mereka lebih memilih menerbitkan produknya dalam bentuk media handphone (server based). Jika dilihat dari perkembangan transaksi, dapat terlihat bahwa proses penetrasi pasar terbilang cukup berhasil pada sektor perbankan dan transportasi. Sedangkan
di sisi lain, sektor
telekomunikasi relatif stagnan perkembangannya. Hal ini diindikasikan bahwa walaupun terdapat 185 juta pengguna handphone di Indonesia (sumber: data Kemenkominfo), namun penetrasi uang elektronik hanya sebesar 3,9%.
40,000,000
35,000,000 30,000,000 25,000,000 20,000,000 15,000,000 10,000,000 5,000,000 2007
2008
2009
Perbankan dan Transportasi Vol
2010
2011
Telekomunikasi Vol
Perkembangan Volume Transaksi Uang Elektronik per sektor
66
900,000 800,000 700,000 600,000 Perbankan dan Transportasi Nilai
500,000 400,000
Telekomunikasi Nilai
300,000 200,000 100,000 2007
2008
2009
2010
2011
Perkembangan Nilai Transaksi Uang Elektronik per sektor
-00-
67