MENGGADAIKAN KEMATIAN, MEMBANGUN HARAPAN CERITA PENDEK NINDINA JATININGTYAS NASYA NIRMA SARI JESIDA ASNA ZAHRAF Menggadaikan Kematian, Membangun Harapan
Embun pagi selalu setia tumbuh, berkembang, lalu menghilang di pucuk dedaunan. Rerumputan selalu setia bergoyang karena hembusan angin pagi yang menyejukkan. Kupu‐kupu selalu setia menari di udara menikmati semua keindahan Ilahi Rabbi, dan aku, seorang mahasiswa, masih seorang mahasiswa yang terus mengabdi, menggadaikan kematian diri untuk kesejahteraan desa ini. Desa yang aku hormati, cintai, dan aku hargai hingga saat nanti. Namaku Sekar, aku adalah lurah yang masih kuliah, mahasiswa yang penuh dilema, dan anak dari seorang pedagang yang masih terus mengeluh ketika banyak masalah. Aku mengepalai Desa Dadapan. Sebuah desa di ujung Yogyakarta yang memiliki mitos bahwa lurahnya akan mati ketika menjabat. Hingga saat ini, semua lurah memang mati ketika masih menduduki jabatan lurah. Aku adalah lurah keenam, dan sampai saat ini aku rutin melakukan check up untuk memastikan kondisiku baik‐ baik saja. Ketika aku dicalonkan kondisi desa ini sangat kacau. Tidak ada satu orang pun yang mau menjabat menjadi lurah karena takut tidak amanah. Setelah lurah terakhir meninggal, jabatan tertinggi di desa dipegang oleh seorang kepala bidang yang tidak mengerti seluk beluk pemerintahan desa sehingga banyak masyarakat yang tidak dilayani dengan baik. Banyak masalah yang muncul, hingga dana bantuan untuk masyarakat miskin pun tidak dapat dibagikan. Aku adalah putri dari seorang tokoh masyarakat yang cukup berpengaruh. Para tetua dan tokoh masyarakat terus memaksaku untuk mencalonkan diri. Bagiku, hal itu bukan mencalonkan diri menjadi kepala desa, tapi mencalonkan diri untuk mati. Aku takut tidak bisa memegang amanah, aku khawatir kutukan itu bukan hanya untuk orang yang korupsi saja, namun juga untuk semua orang yang menduduki jabatan lurah sehingga orang yang amanahpun akan mati ketika menjabat. Kutukan itu pertama terjadi pada tahun 1990, dimana lurah meninggal mendadak karena serangan jantung sedangkan rumor yang beredar adalah lurah tersebut meninggal karena terlibat skandal dengan sekretaris desa. Lurah kedua meninggal karena kecelakaan yang dihubung‐hubungkan masyarakat terkena kutukan
karena tidak adil dalam membagikan raskin pemerintah. Keluarga yang menerima bantuan raskin adalah kerabat dekat dari lurah sedangkan masyarakat biasa hanya mendapat sekadarnya. Lurah ketiga adalah seorang wanita, yang juga meninggal karena kecelakaan. Lurah wanita pertama tersebut dikabarkan melakukan KKN dengan memberikan jabatan‐jabatan strategis di pemerintahan Desa untuk keluarga dekatnya. Lurah keempat menderita gangguan kejiwaan lalu gantung diri. Rumor yang berkembang di masyarakat adalah lurah tersebut mendapatkan kutukan karena menggunakan anggaran desa untuk kepentingan pribadi. Lurah terakhir meninggal dunia karena terpeleset dari tangga. Kejadian tersebut terjadi sesaat setelah beliau berdebat dengan pemuka agama tentang dilarangnya pendirian rumah ibadah yang sangat diperlukan oleh masyarakat. Ibuku terus menangis sepanjang malam ketika warga berdatangan memintaku untuk mencalonkan diri. Sementara ayahku tidak bisa berbuat apa‐apa karena memang tugasnya sebagai tokoh masyarakat adalah melayani masyarakat. Ayahku berbesar hati meyakinkanku bahwa kutukan itu tidak benar adanya. Itu hanya isapan jempol yang tidak bermakna. Hal itu hanya batu sandungan agar tidak ada yang mau mengabdi untuk masyarakat. Karena tekanan yang begitu besar, akhirnya aku menyetujui untuk mencalonkan diri. Tak lama kemudian aku dilantik. Setelah dilantik aku merasa ada yang aneh dengan diriku. Aku merasa gelisah, takut tidak amanah, hingga akhirnya aku jatuh sakit karena beban pikiran yang terus berat. Sakit yang aku derita membuat isu berkembang di masyarakat. Aku yang baru saja dilantik telah terkena kutukan. Aku sudah mulai tidak amanah sehingga aku sakit‐ sakitan. Isu‐isu itu membuat bebanku semakin berat. Ayah dan Ibu yang tau bebanku terus berusaha menyemangatiku hingga akhirnya aku bangkit. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan untuk memperbaiki desa ini. Pikiranku terpecah antara kuliah dengan tanggungjawab desa. Aku tidak ingin meninggalkan kuliahku yang sekarang sudah menginjak semester tujuh. Sebentar lagi aku lulus dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan lebih ringan tanggungjawabnya daripada menjadi lurah. Namun apabila jabatan ini aku tinggalkan, keluargaku pasti akan mendapat cacian dan makian. Aku tidak tega melihat ibu yang ikut sakit karena memikirkanku. Akhirnya aku memutuskan untuk cuti dari aktivitas perkuliahan, lalu fokus pada urusan desa. Hal berat yang harus aku selesaikan di awal jabatanku ini adalah mencari sumbangan untuk warga miskin yang jumlahnya mencapai 80% dari total warga. Bantuan dari pemerintah jumlahnya tidak seberapa. Tidak bisa mencukupi kebutuhan desa. Para donatur mulai mundur karena takut terkena kutukan. Donatur yang kebanyakan berasal dari perusahaan itu menjadi semakin ragu ketika pengelolaan dana yang mereka hibahkan tidak optimal dan tidak tepat sasaran. Aku terus memutar otak hingga mendapatkan bantuan dari beberapa organisasi nonprofit. Mereka setuju untuk memberikan bantuan dengan syarat tingkat kemiskinan harus menurun paling tidak 5% setiap tahunnya. Itu adalah hal yang berat, namun aku menyanggupi. Satu bulan setelah penandatanganan perjanjian, aku dan
2
beberapa pegawai desa melakukan sosialisasi ke dusun‐dusun. Potensi terbesar yang dimiliki oleh Desa Dadapan adalah pemandangan alam. Curug‐curug alami banyak terbentuk, namun belum dikelola dengan baik. Pemandangan di dataran tinggi sungguh luar biasa, akan tetapi akses menuju kesana terlalu sulit untuk dilalui sepeda motor atau mobil. Setelah berdiskusi dengan para warga, akhirnya warga sepakat untuk memperbaiki curug serta membuka café di dataran tinggi yang ada di Desa Dadapan. Perbaikan jalan menuju lokasi curug dan café diperbaiki dengan peralatan seadanya secara gotong royong. Proses pemasaran Desa Dadapan sebagai Desa Wisata terus dilakukan, hingga akhirnya banyak wisatawan yang berkunjung sehingga perekonomian masyarakat meningkat. Warung‐warung kecil banyak bermunculan di sekitar curug. Penginapan serta rumah makan juga didirikan di lokasi dataran tinggi yang sering disebut warga sebagai bukit bintang. Melihat perkembangan perekonomian warga yang semakin membaik, aku bisa lebih santai, setidaknya tidurku bisa nyenyak, dan Ibu bisa lebih tenang. Permasalahan berikutnya adalah sengketa tanah antara warga dengan perusahaan. Sebuah perusahaan garmen terus mendesakku agar mau meloloskan ijin pendirian pabrik mereka, sedangkan warga merasa keberatan karena harga beli tanah yang ditawarkan perusahaan cukup kecil dan risiko kerusakan lingkungan yang akan mereka hadapi tidak sebanding dengan manfaat yang akan mereka peroleh atas pendirian pabrik itu. “Mbak, pabrik kami adalah pabrik terbesar di Jawa Tengah. Keuntungan akan sangat menjanjikan. Saya akan beri 5% dari total keuntungan saya kepada Mbak kalau Mbak mau menandatangani permohonan ijin saya. Jumlah itu banyak lho mbak, bisa dipakai buat Mbak sendiri, atau kalau Mbak sungkan bisa dipakai untuk pesta rakyat.” Kata Pak Herman, salah satu petinggi di perusahaan garmen. Pak Herman datang ke rumahku sembari membawakan buah dan selipan amplop kecil di bawah keranjangnya. Jika uang itu aku gunakan untuk kebutuhan pribadiku, pasti aku sudah bisa membeli bisnis frenchise minimarket, bahkan membeli rumah di perkotaan. Aku menolak itu bukan karena kutukan, namun karena pengabdian. Janjiku untuk mengabdi kepada masyarakat, dan janjiku kepada Tuhan untuk bersikap amanah. Godaan‐godaan seperti ini harus bisa aku atasi. Desa ini membutuhkan pemimpin yang berintegritas. Memiliki akhlak yang baik serta perilaku yang bijak. Sementara itu apabila uang 5% yang ditawarkan Pak Herman digunakan untuk kebutuhan masyarakat, uang tersebut bisa digunakan dalam pengembangan usaha maupun memperbaiki fasilitas pendidikan di Desa Dadapan yang sangat minim. Namun, setelah dibandingkan dengan kerusakan yang diakibatkan oleh limbah pabrik hal itu tidak sebanding. Perekonomian warga akan membaik di tahun‐tahun awal, tapi kemudian memburuk di tahun berikutnya. Aku mematung, memikirkan berbagai kemungkinan. Aku belum bisa memberi jawaban. Aku berkonsultasi dengan banyak tokoh. Lalu akhirnya aku memutuskan
3
untuk menolak ijin pendirian pabrik. Buah beserta selipan amplop aku kirimkan kembali ke alamat Pak Herman. Setelah Pak Herman menerima hadiahnya, beliau lalu menghubungiku melalui telepon. Nada suaranya tenang, namun mengancam. Beliau mengancam akan melaporkan perbuatanku yang dia nilai telah mencemarkan nama baik ke pihak kampus, sehingga aku akan di drop out dari kampusku. Aku hanya diam menanggapi pernyataan beliau. Aku pasrahkan semuanya pada Tuhan, Tuhan akan menunjukkan siapa yang benar dan salah. Masalah belum usai, pada suatu siang yang terik sekumpulan warga yang tergabung dalam ormas Islam mendatangi kantor kelurahan membawa spanduk serta megaphone. Mereka demo. Seketika aku panik, berlari mendatangi para petugas administrasi untuk menanyakan apa yang terjadi. Lalu satu orang menjelaskan kepadaku bahwa warga protes karena aku mengunggah foto sedang membawa Al‐ Quran di dalam gereja. Mereka menganggap perbuatanku telah melecehkan agama. Setelah mendalami masalah yang terjadi, aku menghubungi tokoh agama yang netral, bukan hanya Islam, namun juga agama Kristen dan Hindu yang ada di desa Dadapan. Setelah semua tokoh agama hadir, diskusi berlangsung. Awalnya warga ngotot bahwa hal yang aku lakukan tidak dapat dimaafkan,aku harus turun dari jabatan. Namun tokoh agama menengahi masalah tersebut, hingga berujung damai. Hal tersebut membuatku sadar, bahwa segala yang aku lakukan saat ini dipantau oleh banyak orang, aku harus berhati‐hati dan teliti dalam melakukan apapun. ~~~ Kondisi desa membaik setelah setahun aku memperjuangkan desa ini. Pengurangan kemiskinan yang aku janjikan kepada donatur berhasil aku penuhi. Kemiskinan berkurang hampir 20% berkat pendirian beberapa UMKM. Kegiatan‐ kegiatan spiritual baik Islam maupun nonislam terus digencarkan agar pengetahuan warga tentang toleransi beragama semakin baik. Tingkat pendidikan warga juga meningkat, anak yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi kini mendapatkan dana pendidikan gratis dari program bidik misi. Program ini seakan‐akan ditutupi dari desa ini padahal manfaatnya sangat luar biasa untuk warga desa. Pada awalnya aku melihat tetanggaku menangis histeris karena tidak diijinkan ayahnya untuk melanjutkan kuliah karena tidak adanya biaya. Lalu aku bertanya kepadanya tentang beasiswa bidikmisi yang diberikan cuma‐cuma oleh pemerintah untuk siswa tidak mampu. Ternyata beasiswa tersebut tidak ada di sekolahnya. Dia bersekolah di Madrasah Aliyah Musthafa Dadapan, satu‐satunya sekolah setara SMA yang ada di Desa Dadapan. Menurut peraturan pemerintah, seharusnya MA dapat mengajukan beasiswa bidikmisi untuk siswanya. Mendengar berita itu, keesokan harinya aku menuju MA. Aku bertemu dengan kepala sekolah mengapa hak bidikmisi tidak disampaikan kepada siswa. “Prosedurnya susah Mbak, harus mengurus persyaratan kesana‐kemari. Sedangkan karyawan di Madrasah terbatas.” Kata Kepala Sekolah.
4
“Tapi itu kan hak siswa Bu, bukankah itu merupakan sebuah amanah? Apakah Ibu tidak merasa berdosa apabila tidak menyampaikan kepada siswa yang sangat membutuhkan?” “Benar Mbak, tapi tetap saja kami kekurangan orang untuk mengurusi bidikmisi itu.” “Dari laporan tahunan yang Ibu berikan ke saya tadi, saya kira uang untuk menambah karyawan baru atau membayar biaya transport karyawan lama sangat cukup, bahkan lebih.” “Tapi pada kenyataannya biaya tersebut tidak cukup Mbak. Sekolah ini membutuhkan banyak dana untuk perbaikan fasilitas dan lain‐lainnya.” terang Kepala Sekolah. Aku mengerutkan dahi mendengar pernyataan beliau. “Bagaimana bisa tidak cukup Bu? Di laporan jelas tertulis bahwa uang kas cadangan yang ada sangat cukup untuk membayar dua karyawan baru sekaligus.” tanyaku pada wanita yang telah mengepalai sekolah ini selama 10 tahun itu. Mendengar perkataanku, wajah Kepala Sekolah mendadak berubah, terkesan kesal dan marah. Beliau lalu meninggalkanku di ruang tamu cukup lama hingga akhirnya seorang guru datang kepadaku dan menyampaikan bahwa Ibu Kepala sedang ada acara mendadak. Sikap kepala sekolah itu membuatku bertanya‐tanya. Apa yang terjadi dengan sekolah ini sehingga bidikmisi tidak dapat didapatkan siswa. Karena aku sangat penasaran dan curiga, aku meminta laporan tahunan dan laporan keuangan dari sekolah. Setibanya di kantor, aku memelajari berbagai laporan sekolah, dan aku menemukan kejanggalan di laporan keuangan. Banyak dana serta pengeluaran fiktif yang terjadi. Aku kembali ke sekolah dengan penuh pertanyaan. Namun, kepala sekolah tidak ada. Keesokan harinya aku kembali ke sekolah, namun Kepala Sekolah masih tidak dapat ditemui. Takut kejadian ini berlarut terlalu lama, aku mengumpulkan pihak sekolah dan dewan sekolah untuk berdiskusi di kantor desa. Pertemuan berlangsung panas, dimana bendahara sekolah terus menutupi kejanggalan‐kejanggalan keuangan, sedangkan dewan sekolah terus mendesak bendahara untuk berkata jujur. Bendahara dan Kepala Sekolah yang terus ditekan akhirnya berkata bahwa dana digunakan untuk kegiatan family gathering yang berlangsung hingga 3 kali dalam satu tahun. Kegiatan family gathering tersebut seharusnya hanya dilakukan sekali dalam setahun dengan anggaran 10 juta. Kegiatan yang mereka lakukan meliputi liburan bersama keluarga ke Bali dengan pesawat, menginap di hotel berbintang selama beberapa malam, serta berlibur ke lokasi wisata yang mahal. Oleh karena itulah dana yang seharusnya bisa digunakan untuk membayar karyawan baru mendadak menghilang. “Saya sangat menyesal atas keputusan yang telah saya ambil. Sejujurnya, kegiatan itu saya setujui karena permohonan dari para guru dan karyawan yang terus
5
mengeluh stress dengan keadaan sekolah. Saya berjanji akan mengusahakan bidikmisi untuk para siswa, serta mengganti seluruh dana family gathering.” Jelas Kepala Sekolah sambil berkaca‐kaca. “Saya sangat mengapresiasi niat Ibu Kepala untuk bertanggungjawab. Tapi saya juga harus meminta maaf karena berdasarkan diskusi saya dengan anggota dewan sekolah, kami meminta Ibu untuk melepaskan jabatan. Bagaimana Mbak Lurah?” Pertanyaan Ketua Dewan Sekolah membuatku tercengang. Keputusan yang dibuat sangat terburu‐buru. “Saya setuju dengan keputusan dewan sekolah, tetapi menurut saya saat ini bukan waktu yang tepat karena bidikmisi harus diurus secepatnya agar para siswa dapat melanjutkan kuliah. Kalau proses pengunduran diri Ibu Kepala dilakukan saat ini, hak siswa tahun ini tidak akan tersampaikan. Saya tidak membela siapapun, namun alangkah lebih baiknya jika kita menunggu tahun ajaran baru sehingga hak bidikmisi siswa dapat tersampaikan, serta persiapan pengangkatan kepala sekolah yang baru dapat lebih maksimal.” Terangku pada seluruh tamu Anggota dewan sekolah bergeming mendiskusikan perkataanku, sementara itu di sisi yang lain kepala sekolah tertunduk mengusap air mata. “Baik, kami setuju dengan saran Mbak Lurah.” Kata ketua dewan sekolah. Tangis kepala sekolah pecah ketika mendengar keputusan dewan sekolah. Bendahara yang duduk di sampingnya tak kuasa menahan air mata sambil menenangkan Kepala Sekolah. Dengan keputusan dewan sekolah, berakhirlah pertemuan hari itu. Siswa Madrasah kini dapat tersenyum cerah penuh harapan karena mereka dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi tanpa biaya. Para orang tua juga semakin bangga, dapat melihat anaknya memiliki pendidikan tinggi lulus dengan gelar sarjana. Tingginya pendidikan masyarakat semoga bisa membuat kondisi Desa Dadapan semakin baik dalam berbagai bidang, karena penyuluh kesadaran masyarakat semakin banyak dan berkualitas. ~~~ Tahun pertama berhasil aku lewati dengan banyak tawa dan air mata. Begitu pula dengan tahun kedua, ketiga, keempat, hingga saat ini, tahun kelima. Tahun terakhirku menjabat. Tidak ada sakit berarti yang aku rasakan. Mungkin karena aku rutin check up, atau karena amanah yang berhasil aku jaga, aku tidak tahu. Aku merasakan semangat yang membara untuk terus membangun desa ini, namun aku harus melanjutkan pendidikanku dan membiarkan orang lain untuk memimpin desa ini agar semakin maju. Siapapun yang menciptakan mitos kutukan itu, aku sangat berterimakasih. Karena dengan itulah seleksi alam terhadap pemimpin desa ini terjadi. Ketakutan akan perbuatan yang menyimpang bisa terus ditumbuhkan. Benar atau tidaknya mitos itu,
6
satu hal yang patut diyakini adalah bahwa Tuhan tidak tidur. Pencipta hidup dan mati tidak pernah lalai untuk selalu mengawasi. Pada akhirnya, aku tidak lagi merasa menggadaikan kematianku untuk kemajuan desa ini. Aku merasa mekar di dalam desa yang mulai tumbuh hijau. Aku bangga menjadi bunga ditengah rawa. Menjadi angin ditengah padang pasir. Menjadi hujan ditengah kemarau, dan menjadi cinta ditengah problema. Aku bangga menjadi mahasiswa pertama di Desa Dadapan. Aku bangga menjadi mahasiswa yang mampu membuat perubahan. Dan aku bangga menjadi mahasiswa yang mampu bertahan di kejamnya tekanan kehidupan. SELESAI
7