Kumpulan Cerita Pendek dan Sangat Pendek 14 Kisah: LAJANG JALANG
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1.
Hak Cipta merupakan hak ekslusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana Pasal 72: 1.
2.
Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Vira Cla
Lajang Jalang
Veecla Publishing
Lajang Jalang Oleh: Vira Cla Copyright © 2010 by Vira Cla
Penerbit Veecla Publishing
[email protected]
Desain Sampul: Vira Cla
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
Isi Buku
Negeri Sastra oleh cer-Penis
[1]
Labia
[7]
Puting
[11]
Ketika Otak di Selangkang
[16]
Lajang Jalang
[26]
Que Sera Sera
[42]
Biar Murahan, Gue Tetap Perempuan
[48]
Hari ini Aku di Persimpangan Jalan
[53]
Mencintai Bayangan
[59]
Saya Hedon, Saya Gigolo
[63]
Hanya Sepuntung
[71]
Cinta Semusim
[74]
Bipolar Attack
[79]
Sum
[82]
Negeri Sastra oleh cer-Penis
Juli 2010
1
S
aya bukanlah seorang pencipta karya sastra. Mungkin hanya seorang penikmat sastra. Tentunya bukan seorang kritikus sastra, yang katanya tak banyak ada di negeri ini. Negeri ini penuh dengan orang-orang yang menulis sastra, lalu orang-orang yang membaca sastra, untuk kemudian mengkritiknya sesuai selera subyektif. Hatta, siapalah saya? Inilah saya yang sedang berada di negeri sastra. Bukan siapa-siapa. Hanya pecundang yang senang berada di negeri sastra yang jumlah kritikus sastra kompetennya makin menciut. Saya si pecundang mencoba memberi angin segar pada atmosfir kesusastraan yang lama kelamaan hambar tanpa rasa. Akan membuat sedih jika sastra di negeri ini menjadi melempem. Di sini saya, di negeri sastra, mencoba mencipta sastra. Baiklah, saya mulai saja dengan menulis cerita. Pendek saja! Tak perlu panjang untuk menikmati sastra, walau panjang katanya lebih enak. Saya tidak peduli. Yang saya bisa, menulis pendek saja. Cerita pendek pembaharuan di negeri sastra. Begitulah saya dengan kosombongan saya yang bukan siapa-siapa. Padahal otak saya ber-IQ jongkok. Makanya saya tak sanggup menulis panjang-panjang. Panjang berarti berpikir lebih panjang. Jadi, inilah saya. Belum layak disebut sastrawan. Mungkin seorang cer-Penis saja. Kenapa? Ada yang salah dengan penulisan saya? Memang begitulah saya. Cerita pendek saya tak jauh dari masalah seonggok daging di belahan paha Adam. Bukankah dari sebuah barang itu lahir berbagai ragam masalah? Saya ngelindur? Saya ngelantur? Sudahlah! Tidak usah dibicarakan kenapa saya menjadi cer-Penis. 2
Negeri ini, akan saya persembahkan sebuah karya sastra luar biasa suatu saat nanti. Tentang barang punya Adam itu. Ingatkah tentang tugu Monas yang sekarang tinggal puing? Sejak kelompok militan berkuasa di negeri ini, tugu itu dihancurkan! Karena katanya tugu itu simbol dari phallus! Pembela Monas bertahan dengan menyarungkannya dengan sebuah kolor, supaya tak tampak lagi seronok bagi kelompok militan. Tapi, yang berkuasa selalu menang. Tidak menggubris siapa saja yang menentang. Penis yang mencuat itu diledakkan. Negeri ini pun tak sama lagi sejak „sang phallus raksasa‟ luluh-lantak. Pembela Monas histeris. Mereka tidak terima dengan peristiwa leburnya Monas. Simbol kejayaan proklamator mereka. Militan tak ambil pusing. Pembela monas yang melawan dihajar, dipukul, dibantai. Militan hanya tahu satu kebenaran. Tak suatu hal pun boleh vulgar di negeri ini! Pembela Monas tak terima. Mereka berdalih bahwa itu adalah karya seni! Kalah kekuatan, karena militan begitu agresif, Pembela Monas pun bergerilya. Negeri ini tak lagi sama. Negeri sastra ini hanya terkukung oleh sastra keterbatasan. Terbatas pada sastra itu-itu saja, padahal dulu begitu banyak sastrawan dengan pemikiran tajam dan menantang. Saya ke negeri sastra hendak mencari mereka yang diam-diam masih berkarya. Meminta bantu supaya satu karya yang telah saya siapkan untuk disebarluaskan di negeri ini. Karya seorang cerPenis. “Gila, kau!” teriak salah seorang dari mereka. “Kau cari mati di sini?” tambahnya lagi. Tampaknya ia yang mengepalai perkumpulan sastrawan terlarang ini. Oh, ia 3
LABIA
Juli 2010
4
A
da dua. Atas dan bawah. Bentuknya beda. Lekukannya beda. Tapi, dua itu bisa menyatu jadi indah. Daya tarik yang menjeratku untuk mendekatimu. Kamu si perempuan cantik berbibir ranum. Manis berwarna merah jambu. Lihatlah lekuk garis bibir atas itu. Tepat di bawah filtrum si ceruk di bawah hidung. Banyak yang menamainya dengan Cupid Bow. Lekuk seperti busur yang selalu dibawa oleh Dewa Cinta, Cupid. Mungkin dengan busur di bibir atasmu itu Sang Cupid memanah hatiku hingga berhasrat padamu. Bibirmu membuatku menginginkanmu. Bibir… Bibirku ingin beradu dengan bibirmu. Aku ingin hasrat yang bergelora di dada ini sampai ke bibirmu. Biar kamu merasakan getaran yang sama. Biar bibirmu menyampaikan ke dalam hatimu bahwa hati dan seluruh jiwa ragaku bergetar karenamu. Getaran cinta. Tahukah kamu itu? Mendekatlah! Biar kamu tahu… Biar kamu yakin dengan rasa yang kurasa. Ah, kamu masih saja sibuk dengan percakapan di telepon itu. Gerakan bibirmu yang kompleks mengucap kata-kata yang tak jelas maknanya bagiku. Pikiranku tak mencerna suaramu. Pikiranku sedang mengkhayalkan gerakan bibir itu melumat bibirku. Kubayangkan nikmatnya. Namun berakhir dengan tepukan tanganmu di bahuku. “Pulang yuk!” ajakmu sembari berdiri di sampingku. Kita selalu pulang bersama. Aku, si kekasih baik hati, yang setia mengantar perempuan cantikku sampai di rumah dengan selamat. 5
PUTING
Februari 2010
6
M
ataku menatapmu lagi. Cenderung melotot, terpana lihat pesona bentukmu nan indah. Sepasang. Bulat, pejal, menggemaskan. Ah, kunikmati lagi dirimu. Ia menggeliat. Mengerang. Ia menikmati juga. Baiklah, kulanjutkan. Maaf ya, bibirku tak tahan untuk tak menyentuhmu. Lidahku tak tahan ingin menjilatmu. Maaf ya, aku tahu kamu jadi tegang. Tapi, ia senang. Jadi, kuteruskan saja ya. “Kamu pacaran sama dia?” “Iya!” “Udah berapa lama?” “Belum setahun. Kenapa?” “Kamu sayang sama dia?” “Tentu saja! Pertanyaanmu aneh!” “Aku hanya bertanya. Kamu boleh menjawab boleh tidak.” “Apa perlunya pertanyaanmu itu?” “Hmm…sepertinya kamu tidak sayang dia.” “Enak saja! Kalau nggak sayang, dia sudah kuputusin jauh-jauh hari.” “Sudah sejauh mana hubungan kalian? Apa kalian akan menikah?” “Nanti saja itu, belum terpikirkan. Kami masih menikmati apa yang ada.” “Apa yang kalian nikmati? Seks bebas???” “Eh, diam! Apa urusanmu, hah?” “Mengaku saja kalau tak ada sayang antara kalian! Tak ada cinta! Hanya nafsu! Kamu sudah perawanin dia?” “Dia masih perawan, goblok!” “Hanya karena penismu tak berani mencucuk selaput daranya?” “Karena dia melarang saya! Goblok! Siapa kamu?” aku 7
geram saat itu. Dan, baru kusadar, si goblok itu adalah bayangan diriku di cermin. Baru saja dia pergi. Lalu, disini aku sendiri. Gadisku, pergi sementara saja. Nanti dia kembali. Lalu kupuaskan lagi dirinya. Gadisku. Gadisku begitu rupawan. Aku lelaki beruntung. Gadisku sayang padaku. Aku pun sayang… Aku tak yakin. Oh, iya, pasti aku sayang. Gadisku tetap perawan! Tapi… Mamma. Pantas saja ketika aku baru belajar bicara, aku hanya menyebut ma ma ma. Memanggil ibu. Lalu seterusnya kupanggil mama. Mungkin orang latin mengistilahkan payudara dari panggilan itu. Karena mama punya mamma. Mamma untuk payudara. Begitu istimewa. Hanya mama punya mamma yang berkembang sempurna hingga kuhisap sari kehidupan baruku. Air susu ibu. Mulutku pertama kali dimasukkan puting mama. Betapa berharganya kasih sayang tulus mama. Puting mama untukku. Itu dulu. Putingnya juga untukku. Tapi aku tak bayi lagi. Sekarang, aku lelaki perkasa yang seketika takluk pada puting. Puting gadisku. Gadisku tetap perawan. “Jangan!” “Kenapa?” “Pokoknya jangan!” “Bibirmu sudah kukecup. Lehermu penuh cupang. Bahkan putingmu kulumat. Kenapa di bawah itu jangan?” “Aku nggak mau hamil.” “Nanti aku pakai kondom.” “Aku nggak berani.” 8
Ketika Otak di Selangkang
April 2009
9
K
apan saja, sesuatu yang di luar dugaan bisa terjadi. Sesuatu yang di luar pikiran sehari-hari bisa terjadi, kapan saja. Kapan saja ketika otak di selangkang! *** Hari ini adalah hari yang cerah untuk memulai hal yang baru dengan penuh semangat. Mentari bersinar terang. Awan tak kelabu. Langit membiru pantulan samudera luas biru. Tapi tak mengharu biru. Begitulah suasana ceria di tepi pantai. Belum sore. Masih siang, masih terik, tapi perempuan itu telah terduduk di pinggir pantai beralas pasir putih, sambil memeluk kaki dengan lutut tertekuk. Diteduhi payung besar, pandangannya jauh tertuju ke batas horizon. Mungkin membayangkan akan ada monster raksasa yang akan muncul di balik samudera. Atau mungkin membayangkan akan ada satu kapal kecil muncul, mengarungi lautan mendekati daratan, dan semakin besar terlihat. Atau mungkin tidak ada yang dibayangkan. Hanya memandang jauh. Menikmati laut. Begitu lama si perempuan mematung di sana. Tak bosankah? Sesekali aku melihatnya dari beranda kamar. Sudah jam tiga sore. Tak adakah hal lain yang bisa dilakukan selain hanya duduk memandang ombak bergulung. Cepatlah kembali, aku menunggu. Aku pun teringat apa yang telah terjadi di antara aku dan dia. “Kenapa kamu mau melakukan ini?“ “Karena saya butuh uang! Sudah! Jangan banyak tanya lagi! Kita mulai saja tanpa pertanyaan bertele-tele itu.” Dan dia mulai beraksi. Aku pun bereaksi. Aksi reaksi. 10
Bayangkan saja adegan percintaan Romeo dan Juliet sedang bercumbu di ranjang berkelambu. Bayangkan ketika Juliet melepas baju satu per satu. Romeo menikmati setiap tindakan, dan mulai bergerak cepat memagut Juliet, mendekapnya begitu erat, dan mulailah kalian tutup mata. Biarkan adegan selanjutnya terjadi tanpa terlihat oleh mata-mata yang penasaran. Keringat membasahi sekujur tubuh, padahal kamar diselimuti dingin. Lelah. Istrihat sejenak. Lalu terulang lagi. Sampai benar-benar lelah. Lalu tertidur. Seingat tatapan terakhirku, dia masih memandangiku. Bukan pandangan jijik. Mungkin halusinasi, mungkin tak sadar lagi, mungkin hanya mimpiku di awal terkejapnya mata. Dia memandangi dengan sangat dalam bagaikan aku ini kekasihnya. Pagi sekali, saat laut masih berkabut. Dia tak ada lagi di sampingku. Seisi ruang hanya ada benda-benda mati dan aku yang hidup. Kupikir dia pergi tanpa peduli dengan uang yang harus kubayar. Tapi, lihatlah pakaian-pakaian yang berserakan di lantai. Masih ada. Dia belum meninggalkanku. Aku bisa lega. Karena masih ingin bersama dia. Dia begitu hebat. Bahkan ingin mengulang kehebatannya pagi ini juga. Dengan berhanduk kimono, dia duduk di sofa beranda kamar. Sebatang rokok dihisapnya dalam, asap dikepulkan pekat dari hidungnya. Secangkir kopi panas menemani paginya. Dia memandangi lautan. Aku duduk di sampingnya, merangkul pundaknya. “Kamu begitu cantik pagi ini. Dan semalam kamu begitu hebat!” pujian yang tulus dari lelaki bejat. 11
Que Sera Sera
Februari 2010
12
S
emalam ini, aku tidak tidur. Sampai matahari pagi menyinari separuh ruang pribadinya, aku tetap tak tidur walau mata ini terpejam. Aku tidak bisa. Tidak bisa karena desahan itu membuatku terlena dalam bara panas malam. Tidak bisa karena dengkurannya menggangguku. Sangat berisik, suara itu begitu dekat disebelah kupingku. Tidak bisa karena kepalaku diperas pikiran-pikiran tentang malam ini, hingga membuatku jatuh ke dalam lamunan panjang yang entah kapan berakhir. Ia tidur, lelap. Lelah karena semalam. Tak digubrisnya silauan mentari. Karena mata itu tidak nyalang, terpejam dengan tenangnya. Hanya tangannya tetap merangkulku, dimana kepalaku bersandar. Mungkin ia tidak merasakan lagi kehadiranku di sana. Ia tidur. Begitu lelap. Dan aku menunggu waktu bangunnya, memperhatikannya lekatlekat, menatapnya tak menyangka ia begini. Aku bersabar. Menanti ia sadar. Banyak yang aku pikirkan. Begitu jauhnya aku dan ia terperosok ke dalam lubang hati. Tapi, apa benar hati yang bermain di sini? Lamunanku berkata ini bukan lagi tentang perasaan. Aku dan ia sudah terjerat syahwat. Dan aku menjadi kuatir. Berpikir setelah ini apa yang terjadi hanya akan membuat hatiku terluka. Tersayat perih. Mungkin saja, setelah mendapat semua kepuasaan dari seorang perempuan bodoh sepertiku, ia akan pergi meninggalkanku. Lamunan buruk. Sungguh tidak membantu menenangkan batin ini. Desahan… dengkuran… dan lamunan. Warna malam ini hingga siang menjelang.
13