Antara Imam Syafii dan Kumpulan Cerita Pendek “Merantau” Salah
satu
idola
saya,
yang
namanya
nyaris
tiap
hari
didengung-dengungkan di Pondok Pesantren Gontor adalah Imam Syafii. Dia membuat puisi yang mahsyur. Yang di Indonesia, setelah melalui proses penerjemahan, kerap diberi judul Merantau. Imam Syafii, yang jalan pikirannya dipegang sepenuh hati oleh mayoritas muslim Indonesia, dan kemudian populer dengan istilah Mahzab (aliran) Syafii, selalu menjadi inspirasi para santri. Semua ucapannya terukur, tidak sembarangan. Termasuk, omongannya dalam puisi tersebut. Esensi sajak yang terangkum pula pada kitab Diwan Asy Syafii itu, selalu diingat para santri, yang mengagumi Imam Syafii, sampai ke darah-darah kami. Terjemahan bebas puisi tersebut di bawah ini, saya kutip dari alumnus Gontor Ahmad Fuadi dari novel monumentalnya, Negeri Lima Menara: Merantaulah … Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang Merantaulah … Kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam, tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang Kayu gaharu
tak ubahnya seperti kayu biasa Jika didalam hutan
Berbeda Puisi itulah yang ada di pikiran saya ketika melihat kumpulan cerita pendek Rio F. Rachman dengan titel Merantau. Rio, sapaan akrabnya, kebetulan memang fans berat Mahzab Syafii. Dalam kumpulan puisinya yang terbit tahun lalu, Balada Pencatat Kitab, dia bahkan mengutip salah satu kisah terkenal tentang Imam Syafii. Kisah itu dimampatkannya dalam puisi berjudul “Guru”. Dalam Balada Pencatat Kitab, hanya “Guru” yang memakan halaman sampai dua: yang lainnya satu belaka. Artinya, ada yang istimewa dari puisi itu. Kisah Imam Syafii yang disarankan gurunya merantau ke negeri lain untuk menuntut ilmu. Kenapa? Karena sang guru mengaku bahwa ilmunya telah habis untuk diturunkan pada lelaki bernama kecil Idris tersebut. Meski demikian, kumpulan cerita pendek Merantau tentu berbeda. Di dalamnya, tak hanya soal merantau. Bahkan, di cerita pendek berjudul “Merantau”, alasan yang dipakai tokoh utama bukanlah menuntut ilmu layaknya Imam Syafii. Melainkan, bersandar pada dalih mencari sesuap nasi alias mencari pekerjaan yang layak. Persoalan keluarga yang rumit membuat tokoh utama merasa perlu meninggalkan tanah air. Pergi ke Arab untuk memburu riyal. Problematik
Cerita-cerita di kumpulan ini banyak yang problematik. Seingat saya, tidak ada yang happy ending. Bahkan “Membunuh Anjing” yang memiliki ending win-win solution antara tokoh utama dan ibunya pun, didahului dengan kisah-kisah sedih. Berakhir pun tidak dengan sepenuhnya membahagiakan. Tokoh utama “mendapatkan” Ibunya kembali, tapi anjingnya tetap mampus. Pada kisah romantis pun, alurnya dibuat pilu. Ada yang tentang poligami, putus asa dalam asmara, hingga kasih tak sampai. Ada satu cerita berjudul “Kunang di Atas Lautan” yang tidak mengandung kesedihan. Tapi pun, tak pula berisi kesenangan. Secara umum, kisah-kisah di dalamnya mengingatkan saya pada novel O karya Eka Kurniawan. Di dalamnya, full kisah tragis dan ironis. Ada sih, kisah cinta yang mengembalikan dua insan yang di masa lampau pernah kasmaran. Namun, mereka dipertemukan saat yang lelaki sudah buta, dan yang perempuan telah gendeng. Tak diceritakan, apakah perempuan gila itu jadi waras saat bertemu kekasihnya, atau tidak. Yang jelas, mereka kembali bersama saat telah lama terpisah. Merantau berisi 19 cerita pendek. Pada event LPDP EduFair di gedung Airlangga Convention Center Selasa lalu (2/2), salah satu copy buku dibagikan pada pengunjung sebagai “perkenalan” pada karya yang diterbitkan oleh Penerbit Suroboyo dan berisi 130 halaman tersebut. Kebetulan, Rio menjadi pembicara pada sesi Awardee Story, karena dia memang pernah menerima beasiswa tersebut.
Menanti “Edisi Revisi” Buku
Menyikapi Perang Informasi Dalam sebuah obrolan ringan di Radio UNAIR, Rio F. Rachman menuturkan keinginannya untuk menerbitkan/mencetak kembali buku Menyikapi Perang Informasi. Karya yang dipublikasikan melalui penerbit Sarbikita Publishing pada 2015 itu, kata Rio, memerlukan penambahan artikel sebagai pendalaman dari tulisantulisan yang sudah ada. Pendalaman, bukan pengulangan. Tapi artikel yang sudah ada, tentu tetap dpertahankan. Sejatinya, buku tersebut memiliki 27 esai ringkas (140 halaman) yang sudah dimuat di media massa: cetak maupun online. Pemikiran di dalamnya, dipartisi menjadi tiga topik besar: Media Komunikasi, Sosio-Kultural, dan Keindonesiaan. Di edisi revisi nantinya, ujar Rio, selain penambahan tulisan, tidak menutup kemungkinan akan diperluas pula poin pembagian topik. Bisa saja, akan ada lebih dari tiga bagian. Menyikapi Perang Informasi adalah deskripsi solutif dari sejumlah permasalahan di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini. Banjir informasi membuat manusia berada dalam dua posisi: hanyut atau selektif. Bila tidak selektif dan asal percaya pada bahan “share” dari internet atau media massa lain, bersiaplah tenggelam dalam kabar negatif yang menjebak. Pelbagai problem atau perspektif tentang media dan strategi komunikasi dipaparkan di satu topik besar. Sementara di topik lain, Sosio-Kultural, Alumnus S2 Media dan Komunikasi UNAIR ini memaparkan banyak kritik sosial pada lingkungan sekitar yang makin egois, materialistik, dan gampang berkiblat pada hedonisme. Sementara di topik Keindonesiaan, terdapat banyak esai yang menuturkan soal pentingnya mengobarkan optimisme. Mengapa? Karena sejatinya, Indonesia adalah negara kaya yang potensial menjadi terdepan di muka bumi. Yang menarik, buku ini juga menjelaskan sejumlah pandangan mengenai kesusastraan. Disiplin yang digeluti penulisnya saat
masih mengenyam S1 di Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya. Edisi revisi yang diidamkan Rio, tidak akan lepas dari tematema tersebut di atas. Meski memang, pasti akan pembenahan di sana-sini. Awalnya, buku baru tersebut ingin diterbitkannya pada tahun lalu melalui Penerbit Suroboyo. Namun, dia beranggapan, perlu persiapan konten yang lebih lama, agar hasil dari revisi bisa maksimal. (*)
Sejarah Islam dalam “Balada Pencatat Kitab” UNAIR NEWS – Buku puisi tidak sekadar curhat. Kerap kali, mengandung pesan atau kritik sosial, pelajaran tentang prilaku, bahkan sejarah. Semua aspek yang disebutkan tadi tercermin dalam kumpulan Balada Pencatat Kitab karya Rio F. Rachman. Penyair alumnus S2 Media dan Komunikasi UNAIR ini meluncurkan buku tersebut pada 2016 lalu. Setidaknya, mushaf berisi 59 puisi itu sudah dibedah di Warung Mbah Tjokro Prapen oleh Masika ICMI Jatim, Surabaya (30 September) dan Kafe Pahlawan oleh Komunitas Stingghil, Sampang (20 November). Beberapa resensi tentangnya pun bisa dijumpai di media cetak maupun online. Sajak-sajak di sana tergolong ringan. Bahasa yang digunakan lugas dan tak bertele-tele, apalagi mendayu-dayu. Tak banyak majas dan to the point. Sejumlah riwayat sejarah Islam dikemukakan. Yang pada satu titik, menjadi sekelumit keunikan di dalamnya. Bila diperhatikan, apa yang diceritakan pada puisi “Balada
Pencatat Kitab”, yang juga dijadikan judul kumpulan ini, bercerita tentang momen wafatnya Utsman bin Affan. Salah satu sahabat nabi yang sudah dijanjikan Tuhan masuk Surga. Seperti banyak diberitakan dalam banyak literatur, lelaki yang juga menantu Rasulullah Muhammad ini meninggal akibat pemberontakan. Dia dikepung dirumahnya, diserang oleh orangorang yang terhasut api fitnah. Utsman bisa saja menumpas mereka dari awal. Namun, dia memilih sabar. Pilihan yang sejatinya sudah diisyaratkan Nabi lebih dari dua puluh tahun sebelumnya. Kisah Utsman tidak satu-satunya sejarah Islam yang dipaparkan di Balada Pencatat Kitab. Pada “Kecuali Dia”, kehebatan Ali bin Thalib juga disinggung. Tentang kehebatan Ali, menantu dan sahabat Nabi, dalam peperangan. Dan keberaniannya mempertaruhkan nyawa demi junjungannya itu. Cerita soal pertempuran di Padang Uhud pada masa awal perjuangan Islam tercantum di puisi “Isyarat”. Sedangkan kisah Imam Syafi’i, pemimpin aliran yang paling populer di Asia Tenggara, diceritakan dengan menyentuh di “Guru”. Di sana tertulis bagaimana guru dari Sang Imam sampai harus “mengusirnya” ke luar kota untuk merantau. Kenapa? Karena ilmu guru tersebut sudah tumpas disesap oleh Imam Syafi’i. Dikisahkan pula ketika Imam Syafi’i telah sukses menjadi seorang ulama dan akhirnya pulang kampung membawa banyak oleholeh untuk Ibu. Namun, ibunya menolak itu semua dan bersikeras tak ingin menerimanya di rumah, bila tetap membawa semua itu. Sehingga Imam Syafi’i akhirnya menyerahkan semua perbekalan pada warga sekitar. Dia hanya membawa sebuah kitab saat menghadap Sang Bunda. Tentu, sejarah yang dipuisikan dalam kumpulan ini bisa jadi debatable. Karena, riwayat kisah-kisah tersebut tidak tunggal. Namun secara esensi, ada benang merah yang muncul dan
diperlihatkan pada puisi-puisi tadi. Selain tentang sejarah Islam, Balada Pencatat Kitab juga berkisah tentang fenomena masyarakat kekinian yang serba terbuka di media sosial, kartun di televisi, problem rumah tangga wong cilik, hingga romantisme dan kerinduan. Cover buku yang simpel, membuatnya tampak manis dan sederhana. Buku Judul Kitab Penulis Penerbit Tebal Cetakan
: Kumpulan Puisi Balada Pencatat
: Rio F. Rachman : Penerbit Suroboyo : 60 halaman : Pertama, 2016