Antara Imam Syafii dan Kumpulan Cerita Pendek “Merantau” Salah
satu
idola
saya,
yang
namanya
nyaris
tiap
hari
didengung-dengungkan di Pondok Pesantren Gontor adalah Imam Syafii. Dia membuat puisi yang mahsyur. Yang di Indonesia, setelah melalui proses penerjemahan, kerap diberi judul Merantau. Imam Syafii, yang jalan pikirannya dipegang sepenuh hati oleh mayoritas muslim Indonesia, dan kemudian populer dengan istilah Mahzab (aliran) Syafii, selalu menjadi inspirasi para santri. Semua ucapannya terukur, tidak sembarangan. Termasuk, omongannya dalam puisi tersebut. Esensi sajak yang terangkum pula pada kitab Diwan Asy Syafii itu, selalu diingat para santri, yang mengagumi Imam Syafii, sampai ke darah-darah kami. Terjemahan bebas puisi tersebut di bawah ini, saya kutip dari alumnus Gontor Ahmad Fuadi dari novel monumentalnya, Negeri Lima Menara: Merantaulah … Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang Merantaulah … Kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam, tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang Kayu gaharu
tak ubahnya seperti kayu biasa Jika didalam hutan
Berbeda Puisi itulah yang ada di pikiran saya ketika melihat kumpulan cerita pendek Rio F. Rachman dengan titel Merantau. Rio, sapaan akrabnya, kebetulan memang fans berat Mahzab Syafii. Dalam kumpulan puisinya yang terbit tahun lalu, Balada Pencatat Kitab, dia bahkan mengutip salah satu kisah terkenal tentang Imam Syafii. Kisah itu dimampatkannya dalam puisi berjudul “Guru”. Dalam Balada Pencatat Kitab, hanya “Guru” yang memakan halaman sampai dua: yang lainnya satu belaka. Artinya, ada yang istimewa dari puisi itu. Kisah Imam Syafii yang disarankan gurunya merantau ke negeri lain untuk menuntut ilmu. Kenapa? Karena sang guru mengaku bahwa ilmunya telah habis untuk diturunkan pada lelaki bernama kecil Idris tersebut. Meski demikian, kumpulan cerita pendek Merantau tentu berbeda. Di dalamnya, tak hanya soal merantau. Bahkan, di cerita pendek berjudul “Merantau”, alasan yang dipakai tokoh utama bukanlah menuntut ilmu layaknya Imam Syafii. Melainkan, bersandar pada dalih mencari sesuap nasi alias mencari pekerjaan yang layak. Persoalan keluarga yang rumit membuat tokoh utama merasa perlu meninggalkan tanah air. Pergi ke Arab untuk memburu riyal. Problematik
Cerita-cerita di kumpulan ini banyak yang problematik. Seingat saya, tidak ada yang happy ending. Bahkan “Membunuh Anjing” yang memiliki ending win-win solution antara tokoh utama dan ibunya pun, didahului dengan kisah-kisah sedih. Berakhir pun tidak dengan sepenuhnya membahagiakan. Tokoh utama “mendapatkan” Ibunya kembali, tapi anjingnya tetap mampus. Pada kisah romantis pun, alurnya dibuat pilu. Ada yang tentang poligami, putus asa dalam asmara, hingga kasih tak sampai. Ada satu cerita berjudul “Kunang di Atas Lautan” yang tidak mengandung kesedihan. Tapi pun, tak pula berisi kesenangan. Secara umum, kisah-kisah di dalamnya mengingatkan saya pada novel O karya Eka Kurniawan. Di dalamnya, full kisah tragis dan ironis. Ada sih, kisah cinta yang mengembalikan dua insan yang di masa lampau pernah kasmaran. Namun, mereka dipertemukan saat yang lelaki sudah buta, dan yang perempuan telah gendeng. Tak diceritakan, apakah perempuan gila itu jadi waras saat bertemu kekasihnya, atau tidak. Yang jelas, mereka kembali bersama saat telah lama terpisah. Merantau berisi 19 cerita pendek. Pada event LPDP EduFair di gedung Airlangga Convention Center Selasa lalu (2/2), salah satu copy buku dibagikan pada pengunjung sebagai “perkenalan” pada karya yang diterbitkan oleh Penerbit Suroboyo dan berisi 130 halaman tersebut. Kebetulan, Rio menjadi pembicara pada sesi Awardee Story, karena dia memang pernah menerima beasiswa tersebut.
Menanti “Edisi Revisi” Buku
Menyikapi Perang Informasi Dalam sebuah obrolan ringan di Radio UNAIR, Rio F. Rachman menuturkan keinginannya untuk menerbitkan/mencetak kembali buku Menyikapi Perang Informasi. Karya yang dipublikasikan melalui penerbit Sarbikita Publishing pada 2015 itu, kata Rio, memerlukan penambahan artikel sebagai pendalaman dari tulisantulisan yang sudah ada. Pendalaman, bukan pengulangan. Tapi artikel yang sudah ada, tentu tetap dpertahankan. Sejatinya, buku tersebut memiliki 27 esai ringkas (140 halaman) yang sudah dimuat di media massa: cetak maupun online. Pemikiran di dalamnya, dipartisi menjadi tiga topik besar: Media Komunikasi, Sosio-Kultural, dan Keindonesiaan. Di edisi revisi nantinya, ujar Rio, selain penambahan tulisan, tidak menutup kemungkinan akan diperluas pula poin pembagian topik. Bisa saja, akan ada lebih dari tiga bagian. Menyikapi Perang Informasi adalah deskripsi solutif dari sejumlah permasalahan di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini. Banjir informasi membuat manusia berada dalam dua posisi: hanyut atau selektif. Bila tidak selektif dan asal percaya pada bahan “share” dari internet atau media massa lain, bersiaplah tenggelam dalam kabar negatif yang menjebak. Pelbagai problem atau perspektif tentang media dan strategi komunikasi dipaparkan di satu topik besar. Sementara di topik lain, Sosio-Kultural, Alumnus S2 Media dan Komunikasi UNAIR ini memaparkan banyak kritik sosial pada lingkungan sekitar yang makin egois, materialistik, dan gampang berkiblat pada hedonisme. Sementara di topik Keindonesiaan, terdapat banyak esai yang menuturkan soal pentingnya mengobarkan optimisme. Mengapa? Karena sejatinya, Indonesia adalah negara kaya yang potensial menjadi terdepan di muka bumi. Yang menarik, buku ini juga menjelaskan sejumlah pandangan mengenai kesusastraan. Disiplin yang digeluti penulisnya saat
masih mengenyam S1 di Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya. Edisi revisi yang diidamkan Rio, tidak akan lepas dari tematema tersebut di atas. Meski memang, pasti akan pembenahan di sana-sini. Awalnya, buku baru tersebut ingin diterbitkannya pada tahun lalu melalui Penerbit Suroboyo. Namun, dia beranggapan, perlu persiapan konten yang lebih lama, agar hasil dari revisi bisa maksimal. (*)
Sejarah Islam dalam “Balada Pencatat Kitab” UNAIR NEWS – Buku puisi tidak sekadar curhat. Kerap kali, mengandung pesan atau kritik sosial, pelajaran tentang prilaku, bahkan sejarah. Semua aspek yang disebutkan tadi tercermin dalam kumpulan Balada Pencatat Kitab karya Rio F. Rachman. Penyair alumnus S2 Media dan Komunikasi UNAIR ini meluncurkan buku tersebut pada 2016 lalu. Setidaknya, mushaf berisi 59 puisi itu sudah dibedah di Warung Mbah Tjokro Prapen oleh Masika ICMI Jatim, Surabaya (30 September) dan Kafe Pahlawan oleh Komunitas Stingghil, Sampang (20 November). Beberapa resensi tentangnya pun bisa dijumpai di media cetak maupun online. Sajak-sajak di sana tergolong ringan. Bahasa yang digunakan lugas dan tak bertele-tele, apalagi mendayu-dayu. Tak banyak majas dan to the point. Sejumlah riwayat sejarah Islam dikemukakan. Yang pada satu titik, menjadi sekelumit keunikan di dalamnya. Bila diperhatikan, apa yang diceritakan pada puisi “Balada
Pencatat Kitab”, yang juga dijadikan judul kumpulan ini, bercerita tentang momen wafatnya Utsman bin Affan. Salah satu sahabat nabi yang sudah dijanjikan Tuhan masuk Surga. Seperti banyak diberitakan dalam banyak literatur, lelaki yang juga menantu Rasulullah Muhammad ini meninggal akibat pemberontakan. Dia dikepung dirumahnya, diserang oleh orangorang yang terhasut api fitnah. Utsman bisa saja menumpas mereka dari awal. Namun, dia memilih sabar. Pilihan yang sejatinya sudah diisyaratkan Nabi lebih dari dua puluh tahun sebelumnya. Kisah Utsman tidak satu-satunya sejarah Islam yang dipaparkan di Balada Pencatat Kitab. Pada “Kecuali Dia”, kehebatan Ali bin Thalib juga disinggung. Tentang kehebatan Ali, menantu dan sahabat Nabi, dalam peperangan. Dan keberaniannya mempertaruhkan nyawa demi junjungannya itu. Cerita soal pertempuran di Padang Uhud pada masa awal perjuangan Islam tercantum di puisi “Isyarat”. Sedangkan kisah Imam Syafi’i, pemimpin aliran yang paling populer di Asia Tenggara, diceritakan dengan menyentuh di “Guru”. Di sana tertulis bagaimana guru dari Sang Imam sampai harus “mengusirnya” ke luar kota untuk merantau. Kenapa? Karena ilmu guru tersebut sudah tumpas disesap oleh Imam Syafi’i. Dikisahkan pula ketika Imam Syafi’i telah sukses menjadi seorang ulama dan akhirnya pulang kampung membawa banyak oleholeh untuk Ibu. Namun, ibunya menolak itu semua dan bersikeras tak ingin menerimanya di rumah, bila tetap membawa semua itu. Sehingga Imam Syafi’i akhirnya menyerahkan semua perbekalan pada warga sekitar. Dia hanya membawa sebuah kitab saat menghadap Sang Bunda. Tentu, sejarah yang dipuisikan dalam kumpulan ini bisa jadi debatable. Karena, riwayat kisah-kisah tersebut tidak tunggal. Namun secara esensi, ada benang merah yang muncul dan
diperlihatkan pada puisi-puisi tadi. Selain tentang sejarah Islam, Balada Pencatat Kitab juga berkisah tentang fenomena masyarakat kekinian yang serba terbuka di media sosial, kartun di televisi, problem rumah tangga wong cilik, hingga romantisme dan kerinduan. Cover buku yang simpel, membuatnya tampak manis dan sederhana. Buku Judul Kitab Penulis Penerbit Tebal Cetakan
: Kumpulan Puisi Balada Pencatat
: Rio F. Rachman : Penerbit Suroboyo : 60 halaman : Pertama, 2016
Hamka: Pesilat, Ulama, Sastrawan, dan Politisi DI antara banyak tokoh ataupun pahlawan nasional negeri ini, nama Hamka (HAJI Abdul Malik Karim Amrullah) tersisip. Secara spesifik, agak sulit mendefinisikan sosok kelahiran 17 Februari 1908 ini. Kemampuan yang dia miliki begitu kompleks. Didapatkannya dari pengalaman dan tempaan mental sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga pergantian rezim demi rezim republik. Melalui buku berjudul Ayah… Kisah Buya Hamka yang dikarang anak kelimanya, Irfan Hamka, masyarakat disuguhi sekelumit
cerita tentang pribadi bersahaja ini. Tentu saja, sebuah buku tak mungkin sanggup menampung kisah pejuang yang beberapa kali bersilang opini secara frontal dengan pemerintah ini. Namun paling tidak, pelajaran hidup dari ayah dua belas anak yang dirangkum di sini cukup untuk menambah wawasan pembaca. Di masa sebelum kemerdekaan, Hamka adalah prajurit. Dia bergabung dengan sejumlah angkatan perang semisal Front Kemerdekaan Sumatera Barat, Tentara Keamanan Rakyat, Front Pertahanan Nasional, dan Barisan Pengawas Negari dan Kota. Bahkan, beberapa kali dia didapuk sebagai pemimpin di gerakan tersebut (Hal: 17). Sebagai tentara, dia tak bisa mengelak dari kebiasaan masukkeluar hutan. Kemampuan silat Minang pun menjadi wajib dimiliki. Irfan menuturkan, ayahnya termasuk salah satu pendekar di kampung. Irfan juga mengaku kalau pernah diajari ilmu silat Minang oleh Hamka. Totalitas Hamka di medan perang terbukti dari apresiasi yang diberikan Jenderal Nasution. Pada 1960, sang Jenderal berniat memberikannya pangkat kehormatan Mayor Jenderal Tituler. Meski demikian, dengan kerendahan hati dan atas saran istrinya, Siti Raham Rasul, Hamka menolak pangkat kehormatan tersebut (hal: 199). Mungkin tak banyak orang tahu kalau Hamka adalah pesilat atau tentara yang ikut turun di medan tempur. Masyarakat mungkin hanya paham kalau dia adalah ulama Islam. Hal itu tak lepas dari predikatnya sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah yang kharismatik. Apalagi, dia juga tergolong satu dari tak begitu banyak ulama Indonesia yang membuat tafsir Al Qur’an. Al Azhar, itulah nama tafsir Al Qur’an yang dibuatnya saat meringkuk di balik terali besi. Ya, selama sekitar dua tahun, lelaki yang sempat belajar agama Islam secara “nekat” ke Arab Saudi sementara belum terlalu mahir bahasa Arab ini, harus rela tidur di ubin penjara
Sukabumi. Sejak sekitar 1964, mantan politisi partai Masyumi ini dijebloskan rezim dengan alasan politis. Tanpa peradilan, Hamka dan beberapa temannya mesti terpisah dari keluarga. Tapi toh, penjara membuatnya malah bersyukur. Dengan demikian, tafsir monumental yang dia impikan akhirnya terwujud. Pengarang puluhan judul buku ini tidak sekali itu saja “bersitegang” dengan pemerintah. Ketika menjadi ketua MUI di era Soeharto, dia sempat menuai protes saat mengeluarkan fatwa haram bagi umat muslim merayakan natal bersama. Pemerintah juga agak tak sejalan dengan pendapatnya. Mungkin karena merasa bertanggungjawab dan ingin memberi pemahaman bahwa dia teguh memegang prinsip, mundur dari jabatan dijadikan jawaban. Dia tidak menyesal. Ini bukan persoalan prokontra terkait fatwa tersebut. Tapi lihatlah betapa sosok Hamka tidak mau terpengaruh “intervensi” pemerintah dalam memutuskan suatu perkara. Lebih baik lepas sama sekali dari kestrukturan yang ada, dari pada mesti melangkah tapi bukan pada pendirian sendiri. Perselisihan Hamka tidak hanya terjadi terhadap pemerintah. Penulis Di Bawah Lindungan Ka’bah ini juga sempat berseberangan dengan sesama sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Hal itu dapat diketahui melalui kata pengantar Taufiq Ismail di buku ini. Taufiq menyisipkan tentang kondisi seberang pendapat antara Pram dan Hamka. Betapa dulu Pram kerap melontarkan kritikan keras pada karya dan pemikiran Hamka. Semisal, saat halaman Lentera yang diasuh Pram di harian Bintang Timur melansir tudingan plagiat untuk karya Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Seberapapun keras dan bertolak belakang pemikiran dua sastrawan besar tersebut, ternyata di masa tua, Pram menyuruh
calon menantunya belajar agama pada Hamka. Ulama besar yang sempat rutin mengisi pengajian di RRI dan TVRI itu pun tidak keberatan. Taufiq yang bisa dibilang salah satu saksi hidup “pertikaian” mereka di masa lalu, kini bersaksi pula kalau sejatinya mereka sudah “berdamai”. Meskipun disebut sebagai buku yang berisi tindak-tanduk atau kisah-kisah Buya Hamka, beberapa bab Ayah… justru tidak fokus pada peraih Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar tersebut. Terdapat tulisan yang hanya memotret pengalaman hidup Irfan dan atau keluarganya. Irfan menyebut kondisi ini sebagai suatu hal yang wajar. Dia menilai, benang merah dalam tiap bab di buku ini tetap Hamka. Sosok yang merupakan sumbu semua gerakan keluarganya. (*) Buku Judul Penulis Penerbit Tahun Tebal
: Ayah… Kisah Buya Hamka : Irfan Hamka : Republika Penerbit, Jakarta : Cetakan III, Agustus 2013 : xxviii + 324 Halaman
Mewaspadai Sindrom Kekuasaan Situasi politik akhir-akhir ini nampak jauh dari cita-cita reformasi. Mereka yang dulu kelihatan begitu reformis, kini justru ikut-ikutan memburu kekuasaan. Fenomena macam ini dalam ranah politik, boleh disebut sebagai sindrom kekuasaan. Kalau diamati, sedikitnya ada tiga jenis sindrom seperti ini. Yaitu sindrom atau penyakit pasca-kuasa (Post-Power Syndrome) dan penyakit pra-kuasa (Pre-Power Syndrome) serta Penyakit orang yang sedang berkuasa (In-Power Syndrome).
Istilah Post-Power Syndrome digunakan untuk menggambarkan seseorang yang berprilaku aneh-aneh setelah tidak lagi memegang jabatan kekuasaan, termasuk misalnya gemar mengkritik pemerintahan yang kadang malah nampak berlebihan dan sok reformis. Pre-Power Syndrome diistilahkan untuk orang yang sebelum berkuasa begitu gemar memromosikan diri untuk meraih kekuasaan. Sedangkan In-Power Syndrome adalah gambaran bagi orang yang sebelum berkuasa perilaku dan ucapannya seperti ‘orang bener’, tapi ketika berkuasa ia mulai lupa diri dan mati-matian mempertahankan kekuasaannya dengan cara apapun. Yang jelas, apapun jenisnya, penyakit tersebut bertujuan menggerogoti individu dengan iming-iming kekuasaan, hingga pada akhirnya, dia menjadi ‘budak’ atau tawanan kekuasaan. Ada satu contoh menarik berkisar tentang penyakit kekuasaan yang bersumber dari negeri seberang. Tersebutlah seorang profesor sejarah dari Harvard University bernama Henry Kissinger. Dulu, sebelum diangkat presiden Richard Nixon menjadi penasehat pemerintah dan ketua NSC (National Security Council), dia adalah sosok yang selalu mengkritik pemerintah. Nah, ketika dia memangku jabatan tersebut di atas, dia pun mulai membela pemerintah. Setelah itu, Nixon mempromosikannya menjadi menteri luar negeri. Maka bertambahlah pekerjaannya untuk membela setiap kebijakan pemerintah. Tetapi, begitu dia turun jabatan dan tak lagi menjadi orang pemerintahan, mulailah lagi dia kritis pada pemerintahan (Hal:144). Penyakit atau sindrom kekuasan bisa terjadi di mana pun. Sindrom tersebut bukan monopoli salah satu atau beberapa tempat atau negara tertentu saja. Semua manusia mempunyai kemungkinan dan kelemahan untuk terjerumus ke dalam jurang itu. Bila sudah terkubang di sana, seseorang akan sulit untuk berkata jujur dan benar. Sebab dasar perbuatannya adalah subyektifitas semata untuk mencari dan atau memertahankan kekuasaan pribadi. Di situlah pentingnya manusia untuk senantiasa waspada. Maka ada baiknya bila setiap orang mengamalkan uzlah-nya Imam
Ghazali. Uzlah di sini bukan berarti menyepi atau bertapa, melainkan mengambil jarak dari persolan yang mengitari, agar mampu melihat keadaan yang sesungguhnya secara obyektif. Dalam islam, shalat dimulai dengan takbiratul ihram dan ketika mengucap “Allahu Akbar”, seorang muslim harus fokus dan konsentrasi hanya pada Allah SWT, yang berarti meninggalkan segala hal di sekelilingnya. Di sinilah uzlah, melupakan semua hal yang mengandung beragam kepentingan pribadi atau golongan, menuju ke satu titik mutlak, kebenaran sejati, agar dari sana mendapat petunjuk yang lurus. Serupa salah satu do’a dalam bacaan shalat “Ihdina al-shirat al mustaqim (Tunjukanlah kami (Ya Allah) ke jalan yang lurus)”. *** Nurcholish Madjid adalah seorang intelektual kondang dan jenius asal kota santri, Jombang. Selain dikenal sebagai agamawan alumnus pondok pesantren Gontor, dia juga tercatat sebagai lulusan Chicago University. Melihat almamaternya, khalayak seharusnya tak perlu heran jika pria yang lebih akrab dipanggil Cak Nur ini memiliki daya jelajah analisa yang jauh di atas rata-rata. Buku Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi ini sudah menjalani dua kali cetak. Sebelum catakan kedua di awal tahun 2009, buku ini sudah cetak di 2002. Buku ini boleh dibilang merupakan hasil ketekunan beberapa orang yang dengan sukarela menukil-sarikan dialog-dialog selepas shalat Jum’at antara Cak Nur dan jamaah di masjid Yayasan Paramadina. Orang-orang yang berjasa itu di antaranya adalah: Iwan Himmawan, Syamsul Muin, dan Yayan Hendrayani. Dialog-dialog jumat yang terjadi dilakukan dengan sangat bersahaja. Artinya, segala konsep pemikiran Cak Nur yang disampaikannya saat diskusi, sangatlah erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, khususnya dengan isu yang pada waktu itu berkembang. Meski demikian, Cak Nur juga kerap menyinggung sejarah-sejarah, baik yang sifatnya umum sampai yang berlatar
khusus perorangan. Cak Nur sempat membahas sekaligus menganalisa tentang Bung Karno (Hal: 131). Bahwasannya Bung Karno adalah seorang priyayi karena anak seorang raden dan beribu bangsawan Bali. Dia adalah putra Blitar sehingga unsur jawa tidak boleh dilepaskan bila ingin menelaah kepribadiannya secara kultursentris. Dia dibesarkan di Surabaya, sempat dititipkan pada HOS Cokroaminoto dan sempat pula mengenyam pendidikan di suatu sekolah eropa. Kebetulan, pada jaman Proklamator itu beranjak dewasa, Marxisme sedang didengungdengungkan. Bertolok dari berbagai fakta historis tersebut, maka tak heran jika banyak jargon atau falsafah Bung Karno yang dipetik dari hikayat pewayangan jawa. Tak usah heran pula bila dia menjadi Marxis tapi sekaligus tulus pada Islam. Dan tak perlu merasa aneh ketika dia dengan yakin memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa banyak persiapan, hanya bermodal nekad, salah satu karakteristik orang Surabaya. Bondo nekad, BONEK!.—
Buku Judul : Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi (Kumpulan dialog Jum’at di Paramadina) Penulis Penerbit Tahun Tebal
: Nurcholish Madjid : Dian Rakyat, Jakarta : Cetakan kedua, Januari 2009 : xii + 231 Halaman
Gus Dur, PKB, Perpolitikan Indonesia
dan
PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) adalah sebuah partai yang kelahirannya dibidani NU dengan kepala bidan Gus Dur. Demikian Gus Mus (Sapaan akrab A.Mustofa Bisri) menyebut proses awal berkaitan dengan terbentuknya PKB. PKB dianalogikan serupa Golkar, yang kelahirannya dibidani tentara dengan kepala bidan Pak Harto (Hal: 48). Sulit dimungkiri, bahwa PKB sangat identik dengan Gus Dur. Walaupun realita berkata bahwa PKB kubu Gus Dur kalah bersaing dengan PKB kubu Muhaimin Iskandar kala bertempur di ranah hukum. Berbicara PKB, secara otomatis pikiran akan digiring dalam kasus perpecahannya. Ternyata, konflik PKB tidak hanya terjadi di era Cak Imin (sapaan Muhaimin Iskandar). Dulu, ketika Matori Abdul Djalil masih aktif di pengurusan organisasi tersebut, polemik dan konflik juga sempat terjadi. Konflik itu pun masih berkaitan dengan Gus Dur. Gus Dur yang dikenal sebagai guru Matori, dan Matori yang populer sebagai murid kesayangan Gus Dur, pernah beradu di meja hijau. Kalau diamati lagi, sebenarnya ada hubungan emosional yang sangat kuat di antara dua kubu konflik PKB yang terjadi pada dua masa berbeda. Jika dulu yang berkonflik adalah Guru dan Murid, di masa Cak Imin silam, yang bertikai adalah paman dan keponakan. Polemik macam inilah yang nampaknya ingin dikupas oleh Gus Mus melalui buku yang sedang diresensi ini. Dia menganggap perseteruan tersebut tidaklah berguna dan hanya membuang energi. Perang dingin seperti itu justru membuat rakyat, khususnya warga NU selaku pendukung fanatik PKB, menjadi bingung dan resah. Sementara kaum Nahdliyin (sebutan bagi penganut NU) bimbang dan berkerut kening karena pemimpinpemimpinnya di atas berselisih sengit, pihak yang
berseberangan dengan mereka tentulah bertepuk tangan. Hal serupa itulah yang sangat tidak diinginkan oleh Gus Mus, dan tentu pula tidak diharapkan oleh semua warga Nahdliyin. Apalagi, sebagai Ormas terbesar di negeri ini, kejadian apapun yang mengguncang NU, sedikit banyak akan terasa getarannya di masyarakat Indonesia pada umumnya. Buku ini dibuka dengan takdim alias pengantar atau pembuka yang disampaikan oleh Gus Mus sendiri selaku penulis. Ada sepenggal kenarsisan di bagian itu. Yakni kala Gus Mus merasa ‘dihormati’ oleh PKB, sebuah partai politik besar di negeri ini. Tapi kata ‘dihormati’ nampaknya sengaja dimasukan ke dalam tanda petik. Sebagai simbol bahwa kata ‘dihormati’ tersebut tidak memiliki arti sebagaimana umum. Di kalimat terakhir pada takdim, Gus Mus mengungkapkan bahwa selama ini dia dihormati tapi tak pernah didengarkan oleh PKB. Kiranya demikianlah arti khusus dari kata ‘dihormati’ tadi. Layaknya jamak diketahui, seharusnya orang yang dihormati senantiasa didengarkan. Gus Mus adalah sahabat Gus Dur. Mereka pernah satu sekolah di Mesir (Universitas Al Azhar). Mereka sering terlibat diskusi mengenai berbagai hal dan beraneka bidang kehidupan. Bahkan orang-orang tua mereka pun sangat berkenal baik satu sama lain. Salah satu sebabnya, mungkin karena mereka sama-sama tokoh NU dan sama-sama keturunan dari para tokoh NU Keakraban kedua tokoh ini sering pula jadikan alat oleh para kyai NU untuk bisa menegur yang satu melalui yang lain. Contohnya: ketika Gus Dur dinilai oleh para kyai NU sedang salah melangkah dalam berpolitik, maka Gus Mus dimintai tolong untuk mengingatkan. Kedekatan mereka secara otomatis menghilangkan azas kesungkanan antar kedua belah pihak. Sehingga ketika Gus Dur diangkat sebagai presiden RI keempat, di kala banyak orang mengucapkan selamat kepadanya, Gus Mus justru menghaturkan
belasungkawa tanpa segan. Sebab, menurut Gus Mus, jabatan adalah amanah, sehingga harus diemban dengan penuh tanggung jawab. Pertanggungjawaban jabatan di sisi Allah SWT sangatlah berat, sehingga tidaklah pantas bergembira ketika memerolehnya. Terlebih jabatan itu berwujud pemegang tampuk tertinggi negara. Buku bersampul dengan warna dominan hijau ini, berisi belasan artikel tentang Gus Dur dan PKB. Dengan bahasa khas Gus Mus, ringan dan sederhana, tulisan di buku ini tetap memiliki kualitas yang tak kalah tinggi dibandingkan dengan rangkaian kalimat-kalimat para pakar bahasa atau politikus. Gus Mus dengan kapasitasnya sebagai salah satu tokoh NU (yang tentu sangat dekat dengan PKB), sekaligus kawan karib sang simbol PKB (yakni Gus Dur), pastilah mampu mendeskripsikan dan menganalisis dengan objektif segala permasalahan yang ada di PKB dan dalam diri Gus Dur. (*) Buku Judul Tulisan)
: Gus Dur garis miring PKB (Kumpulan
Penulis Penerbit
: A. Mustofa Bisri : MataAir Publishing, Surabaya
Cetakan Tebal
: Kedua, 2008 : xvi + 137
Perpustakaan Buku Second
Siapkan
Bursa
UNAIR NEWS – Bila berjalan sesuai rencana, pada 13 hingga 15 September mendatang, Perpustakaan UNAIR akan menggelar Bursa Buku Second (bekas). Kegiatan yang dilaksanakan serempak di
perpustakaan kampus A, B, dan C ini berisi setidaknya tiga kegiatan. Pertama, penjualan buku second. Kedua, barter buku dan tukar tambah. Ketiga, pendonasian buku. Event ini dilaksanakan sebagai penyambutan tahun akademik baru. Maka dari itu, diperkirakan para peserta yang datang nantinya berasal dari mahasiswa beragam angkatan. “Kakak angkatan yang ingin menyumbangkan buku, atau saling barter, bisa datang kemari,” ujar Humas Perpustakaan, Agung B. Kristiawan. “Kalau dia mau jualan buku bekasnya juga tidak masalah. Fleksibel saja,” imbuhnya. Untuk keterangan lebih lanjut, mereka yang berminat ikut dalam bursa buku second ini, bisa membuka laman www.lib.unair.ac.id. Khususnya, bagi mereka yang ingin ikut membuka stand. Nantinya, mereka bakal berhadapan secara langsung dengan seluruh pengunjung perpustakaan yang makin hari makin banyak. Pasti sangat menyenangkan. Apa yang digelar ini juga sebagai upaya turut menyemarakkan hari berkunjung ke perpustakaan yang biasanya diperingati saban 15 September. Agung menerangkan, perpustakaan mesti dibuat sedemikian rupa agar menjadi tempat beraktifitas bagi mahasiswa yang nyaman. Dengan demikian, mereka betah di situ dan ‘mengenyangkan’ diri dengan membaca buku yang tersedia. Selama ini, perpustakaan terus melakukan pembenahan. Sudah banyak pula terobosan yang dibuat. Di antaranya, digitalisasi sistem loker yang dilengkapi barcode. Dan yang tak kalah menarik, terdapat laporan jumlah pengunjung dan interaksi media sosial realtime yang terpampang di pintu masuk. (*) Penulis: Rio F. Rachman Editor : Dilan Salsabila
Pemimpin Bukan Peminta Pemimpin bukan peminta. Tersebutlah seorang pemimpin agung dari jazirah arab yang pengangkatannya diwarnai perdebatan sengit dengan pemimpin yang terdahulu. “Jangan Kawan! Aku tidak memerlukan jabatan itu.” tukas pemimpin agung yang pada waktu itu masih berstatus calon pemimpin. “Tetapi kepemimpinan memerlukanmu. Aku khawatir maut menjemputku dan meninggalkan rakyat tanpa pemimpin lalu terjadi hal yang tidak baik seperti di masa-masa lalu.” “Carilah pengganti selain aku, si fulan, misalnya. Dia Amienul Ummah, kepercayaan umat.” Si calon berkelit. “Aku juga sempat memikirkannya. Tapi krisis multidimensi membuat rakyat kita membutuhkan seorang kuat yang terpercaya. Al-qawiyyul amien!” sang pemimpin berdalih. “Bagaimana kau bisa memilihku, wahai Kawan, sedang aku sering berbeda pendapat denganmu?” “Justru itu yang memperkuat pilihanku. Aku ingin seseorang yang bila mengatakan tidak, ia mengatakannya dengan sepenuh hati: bila mengatakan ya, dia mengatakannya dengan sepenuh hati.” Mereka saling berdebat dan bertukar argumentasi. Yang satu bersikeras meminta, yang satu bersikeras menolak. Didesak terus, si calon pemimpin yang terkenal perkasa itu pun menangis. “Sahabatku, dalam urusan kekuasaan, ada dua golongan yang celaka. Pertama, golongan orang yang berambisi menjadi
penguasa padahal dia tahu bahwa ada orang lain yang lebih pantas dan lebih mampu daripada dirinya. Kedua, orang yang menolak ketika diminta dan dipilih padahal dia tahu dirinyalah yang paling pantas dan paling mampu.” “Sahabatku, demi persahabatan dan kecintaanku padamu, jauhkanlah aku dari beratnya hisab di hari kiamat kelak!” si calon pemimpin berusaha merayu pemimpin yang menunjuknya. “Kau lupa, Kawan. Pemimpin yang adil kelak, akan dipayungi Allah di hari tiada payung kecuali payung-Nya.” “Pemimpin yang adil, ya. Tapi aku?” si calon pemimpin semakin keras menangis. “Kau juga, Kawan! Kau juga!” Akhir kisah, perdebatan itu dimenangkan oleh keduanya. Dengan berbagai pemaparan yang objektif, sang pemimpin berhasil meyakinkan si calon pemimpin tentang keniscayaannya menjadi pemimpin selanjutnya. Si calon pemimpin tak lupa menyarankan sang pemimpin untuk bermusyawarah dulu dengan tokoh-tokoh lain. Sang pemimpin menyanggupi. Dalam sejarah, si calon pemimpin yang kemudian menjadi pemimpin agung tersebut terbukti sanggup membawa rakyatnya menyinari dunia dengan kepemimpinan dan peradaban yang luhur. Pemimpin hebat yang dimaksud adalah Umar bin Khaththab, dan pemimpin terdahulu yang menunjuknya adalah Abu Bakar Ashshiddiq. Cerita diatas dinukil-sarikan oleh A.Mustofa Bisri alias Gus Mus dari kitab Malhamah Umar-nya Ali Ahmad Baktsier. Di buku kumpulan esai Kompensasi, cerita ini termaktub dengan judul Abu Bakar dan Umar. Dituturkan dengan bahasa yang lugas dan cerdas, cerita ini terasa hidup dan menggugah. Ada banyak topik yang dihadirkan dalam buku ini. Selain tentang kepemimpinan, terdapat pula tentang saling pengertian
dan rendah hati. Seperti pada artikel bertitel Kisah Nyata atau Dongeng? Suatu ketika datang seorang tua miskin pada seorang ulama bernama Syiekh Sa’id bin Salim, hendak menyampaikan sesuatu keperluan meminta tolong pada orang yang sangat disegani itu. Serupa dengan kebanyakan orang tua yang senantiasa berdiri dengan bertelekan tongkat, orang itu pun bertelekan tongkat sebagai penopang ketuaanya. Tanpa disadari, ujung tongkat itu menghujam di kaki Syiekh sampai berdarah-darah. Seperti tidak merasakan apa-apa, Syiekh Sa’id bi Salim mendengarkan dan mengabulkan curahan hati dan permintaan orang tua itu. Selepas si wong cilik berlalu pergi, orang-orang yang kebetulah melihat kejadian itu, dengan heran bertanya. “Kenapa Syiekh diam saja, tidak menegur, ketika orang tua tadi tanpa sengaja menghujamkan tongkatnya di kaki syiekh?” “Kalian kan tahu sendiri, dia datang kepadaku untuk menyampaikan keperluannya, kalau aku mengaduh atau apalagi menegurnya, aku khawatir dia akan merasa bersalah dan tidak jadi menyampaikan hajatnya.” Gus Mus memang piawai menyampaikan kisah-kisah inspiratif. Wawasan dan pergaulan yang luas, nampaknya turut mengasah kelihaian bertutur. Pemimpin dan pembina pondok pesantren Roudlotul Thalibien Rembang yang juga pengasuh situs internet Mata Air gusmus.net ini dikenal pula sebagai orang yang tidak gila jabatan. Dia pernah meletakkan kesempatan menjadi anggota DPD jawa tengah pada pemilu 2004 lalu. Dia juga menolak tawaran menjadi pegawai musim haji di Arab Saudi meski jabatan itu memungkinkan dia berhaji tiap tahun dengan mudah. Bahkan dia pernah pula mengundurkan diri dari bursa calon ketua umum PBNU walaupun dia mengaku sempat tergiur dengan posisi itu. Penolakan-penolakan itu dilatarbelakangi kepandaian Gus Mus
bercermin menilai diri. Bukan karena ingin lari dari tanggung jawab atau enggan mengemban beban mulia, namun lebih disebabkan kejujuran dan kesadaran diri. Rasulullah SAW, tokoh idola Gus Mus dan seluruh umat muslim, pernah berpesan, agar umatnya senantiasa jujur menakar kapasitas diri, sebab celakalah orang-orang yang tak kenal dirinya sendiri.— Buku Judul : Kompensasi; Kumpulan Tulisan A. Mustofa Bisri ISBN : 978-979-25153-5-0 Penulis : A. Mustofa Bisri (Gus Mus) Penerbit : Mata Air Publishing Tanggal Terbit : 27/07/2011 Halaman
: x + 286 halaman
Sumbangan Inspiratif Awardee LPDP UNAIR
dari
Lagi-lagi, komunitas Awardee LPDP UNAIR membuat langkah apik. Setelah sukses dengan beragam kegiatan di Scholarship Corner (SC) Perpustakaan Pusat Kampus B, kali ini mereka meluncurkan buku kumpulan esai. Terdapat tak kurang dari 30 esai dari para penerima beasiswa plat merah tersebut. Kontennya, seputar trik, tips, dan cerita menarik di balik pengalaman mereka meraih prestasi itu. Kenapa prestasi? Karena, untuk mencapainya, seseorang harus banyak berdoa dan bekerja keras. Dalam buku tersebut, ada esai yang bercerita tentang jatuhbangunnya seorang calon Awardee. Sebab, dia pernah gagal mencari beasiswa. Meski akhirnya, seperti biasa, takdir berpihak pada mereka yang pantang menyerah. Ada pula cerita
tentang anak Pramuwisma yang sukses meraih beasiswa LPDP. Di tengah segala kekurangan, mimpi itu berhasil dicapainya. Yang jelas, tulisan-tulisan yang bergaya populer ini dapat dijadikan teman bersantai. Khususnya, bagi para pemburu kuliah S2 dan S3 gratis. Karena memang, LPDP secara teknis, setidaknya sampai saat ini, hanya menggelontorkan beasiswa magister dan doktor. Juga, beasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis. Dari kumpulan ini dapat diketahui, penerima beasiswa LPDP beragam latar belakang. Baik dari segi asal, maupun profesi. Ada yang dari Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara, Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan lain sebagainya. Ada yang PNS, dokter, wartawan, staf perusahaan, maupun fresh graduate sarjana. Artinya, siapapun orangnya, memiliki kesempatan yang sama untuk mendapat beasiswa ini. Buku ini sudah dicetak dan bakal diedarkan secara masif pada Jum’at (29/7) mendatang. Rencananya, dalam waktu dekat, para awardee LPDP juga bakal bersilaturahmi dengan Rektor UNAIR. Sekaligus, menghadiahkan buku ini pada orang nomor satu di kampus Airlangga. Apresiasi rektorat UNAIR Ada sejumlah testimoni positif dari sejumlah guru besar UNAIR di buku ini. Bahkan, Rektor UNAIR Prof. Dr. H. Mohammad Nasih, MT., SE., Ak., CMA menyempatkan diri memberi pengantar. “Karya yang berupa kumpulan esai penerima beasiswa LPDP di Unair tersebut bisa dibilang terobosan para awardee untuk bersumbangsih pada sekitar. Mereka berbagi pengalaman melalui catatan atau kisah lika-liku memburu beasiswa ini. Seru, kadang jenaka, sarat tips dan trik, serta penuh inspirasi!” catat Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis tersebut. Wakil Rektor III Prof. Mochammad Amin Alamsjah, Ir., M.Si., Ph.D, juga memberikan apresiasi. “Tulisan di buku ini sangat penting sebagai bagian dari pencerdasan & peningkatan sumber
daya manusia yang berkualitas. Mari dibaca, dipahami, sehingga bisa menjadi inspirasi bagi kita semua,” katanya dalam testimoni. Kepala Perpustakaan UNAIR Prof. Dr. I Made Narsa, SE., M.Si., Ak yang selama ini banyak mendukung kegiatan Awardee pun menganggap penerbitan ini sebagai langkah yang luar biasa. “Kehadiran LPDP telah membuka nuansa baru bagi generasi penerus bangsa kelak. Jangan pernah kehilangan asa, karena asa akan muncul dari setiap usaha & doa. Itulah inspirasi dahsyat dari buku ini, sehingga wajib dibaca, bahkan oleh siapapun. Saya berharap buku ini bisa tersebar & dibaca seluas-luasnya untuk memberikan pencerahan & pelajaran berharga dari pengalaman sukses para Awardee,” papar dia. (*) Buku Judul
: Menggapai Asa Bersama LPDP
Penulis Penerbit
: Awardee LPDP UNAIR : Pustaka Saga
Cetakan Tebal
: I, Juni 2016 : 248 halaman
Gali Inspirasi dari Negeri Sakura Tak salah bila banyak anggapan menyebut Jepang adalah sebuah negara yang berkarakter kuat dan memiliki ciri khas yang mencolok. Dari segi seni, cara berpakaian, dan kreatifitas bahkan jargon, Negeri Matahari Terbit memunyai sisi-sisi yang menarik nan berbeda dengan negeri-negeri lain. Dengarkan lagu beraliran rock dari jepang. Selalu kental
dengan cabikan bass yang melompat-lompat di setiap ketukan. Musik popnya, penuh dengan irama melodik tuts keyboard dan dentingan gitar yang mendayu tajam. Siapa saja yang mendengar lagu atau nada-nada asal negeri Sakura, akan dengan mudah mengidentifikasi kelahiran lagu tanpa harus mendengar suara vokalis mendendangkan lirik lagu berlafal huruf kanji. Di sisi lain, lihatlah para remaja jepang yang berkumpul dan bercengkrama di kawasan Harajuku, sekitar Stasiun JR Harajuku, Distrik Shibuya, Tokyo. Dandanan dan warna asal tubruk yang mungkin akan lebih terkesan norak serupa orang gila bila dipakai di negara lain, justru menjadi pusaran idola di sana. Bahkan, karakter unik tersebut sedikit demi sedikit menjangkit ke wilayah lain di Jepang bahkan dunia. Perkara kreatifitas, Jepang tak perlu diragukan. Entah sudah berapa ribu judul komik manga yang banyak di antaranya menjadi tren dengan cerita variatif. Sebut saja Dragon Ball yang imajinatif dan telah diterbitkan versi bahasa inggrisnya, Slam Dunk dan Doraemon yang inspiratif, Samurai X yang sarat nilainilai kehidupan, serta Kapten Tsubasa yang fenomenal. Konon, komik karya Yoichi Takahashi yang disebut terakhir tadi menjadi motivasi tersendiri bagi tim Samurai Biru dalam meraih sukses merebut posisi di pentas sepak bola dunia. Bila ditanya tentang jargon, Soichiro Honda si intelektual sangat brilian dengan ungkapan populernya: percayalah pada kekuatan mimpi (the power of dream). Pria kelahiran Iwatagun (kini Tenrryu City) tersebut telah menjadi simbol tersendiri di ranah otomotif dan bisnis level internasional. Kekhasan Salah satu kekhasan Jepang adalah bunga Sakura, yang memang identik dengan negeri tersebut. Pada Sakura, terkandung nilainilai luhur sebuah identitas dan semangat. Hal-hal itu ingin dipetik oleh Imam Robandi, penulis buku The Ethos of Sakura yang diterbitkan Penerbit Andi Yogyakarta. Melalui buku
tersebut, guru besar teknik elektro ITS ini menjelaskan betapa kuatnya sakura mempengaruhi pandangan dan pemikiran orang Jepang. Ketika musim Sakura mekar, sang pohon membiarkan daun-daun gagah berjatuhan untuk kemudian digantikan dengan bunga yang jauh lebih indah dan mempesona. Pohon sakura tidak cukup puas dengan memiliki daun gagah dan batang kukuh. Bila memang bisa melakukan yang lebih mempesona, mengapa harus bangga dengan kebiasa-biasaan? Mungkin demikianlah yang ada dalam pikiran pohon sakura di seluruh penjuru Nippon andai pohon tersebut memiliki otak. Semua warga Jepang sangat antusias meluangkan waktu untuk menyaksikan kejadian tersebut di taman-taman atau pelataran depan rumah mereka. Seluruh penduduk berusaha menggali hikmah dari tumbuh, kuncup, dan mengembang eloknya bunga yang bernama lain Japan Cherry Blossom tersebut. Menghargai Waktu Hidup memang tidak begitu lama. Tak ada yang abadi. Demikian pula bunga Sakura yang hanya hidup selama musim semi sekitar bulan April tiap tahunnya. Namun dalam keterbatasan tersebut, Sakura berusaha memberikan yang terbaik dari hidupnya. Orang Jepang tak ingin membuang waktu dengan berjalan pelahanlahan. Bila melangkah, mereka tampak seperti setengah berlari. Waktu berharga bagi mereka walau hanya beberapa detik ayunan kaki kanan dan kiri. Imam Robandi sering menemui penundaan dan keterlambatan jamjam penerbangan. Namun penundaan tersebut disikapinya sebagai anugerah, bukan musibah. Waktu yang molor digunakannya untuk melakukan hal yang bermanfaat. Dalam sebuah diskusi, pria yang mengambil program doctoral di Jepang ini mengatakan, buku yang berisi 75 artikel dan kisah pendek ini nyaris semua ditulis dengan cara mencuri-curi waktu dan kesempatan di balik kemelesatan jadwal bandara.
Semua artikel dan kisah merupakan sari pati dari pengalaman pria kelahiran Kebumen Jawa Tengah tersebut selama menjalani pendidikan S2 dan program doktoral di negeri Sakura. Ada juga yang murni bersumber dari penelaahan terhadap nilai-nilai kehidupan di negara itu. Manusia yang sukses memang dia yang menghargai waktu. Pelajaran mengenai waktu tak hanya bisa dipetik melalui bangsa Jepang. Ungkapan dalam bahasa Inggris berbunyi, Time is Money (waktu adalah uang atau waktu sangat berharga). Maestro asal Jazirah Arab Muhammad bin Abdullah pernah berkata, jagalah sempatmu sebelum sempitmu. Maksudnya, manusia harus memanfaatkan waktu dan kesempatan, sekecil apapun itu guna melakukan hal-hal yang bermanfaat. Sebab bila masa sempit telah tiba, seseorang tidak akan bisa melakukan apapun. Buku Judul: The Ethos Of Sakura, Bacaan strategik pribadi sukses Penulis: Imam Robandi Penerbit: Penerbit Andi Cetakan: 2010 Yogyakarta Tebal: 254 Halaman