MENGELOLA KONFLIK RADIKALISME AGAMA SECARA EFEKTIF DAN HUMANIS Oleh: Khairul Hamim Penulis adalah Dosen Fakultas Syari’ah dan Sekretaris Mataram Mediation Center (MMC) IAIN Mataram. Abstrak
Konflik dapat dikatakan sebagai sesuatu yang alami dalam sebuah intreraksi dan relasi social. Kapan pun dan di mana pun konflik dapat muncul. Ini mengingat bahwa ia merupakan realita kehidupan yang pasti terjadi. Oleh karena itu konflik pada dasarnya tidak terkait dengan persoalan baik dan buruk. Karena konflik dapat bernilai positif jika dimanaj dengan professional dan demikian pula sebaliknya. Sehingga yang terpenting adalah bagaimana kita menangani atau mengelola konflik tersebut. Menangani konflik berarti menggunakan konflik itu dan mengelolanya sehingga kita memperoleh keuntungan dari konflik itu dan meraih kesempatan untuk terus maju. Memang, konflik menjadi sesuatu yang lazim ditakutkan, ini dikarenakan konflik sering diidentikkan dengan perkelahian, dendam kesumat kekerasan dan sebagainya. Oleh karena itu Tulisan ini mencoba memberikan pemahaman tentang konflik secara konseptual yang meliputi: pengertian konflik, penyebab terjadinya konflik, konflik dan kekerasan serta jenis-jenis konflik. Selain itu penelusuran penyebab radikalisme agama serta upaya memanaj konflik radikalisme agama tersebut akan diketengahkan dalam tulisan ini. Kata kunci:Konflik, radikalisme, humanis
69
A. Pendahuluan Dalam interaksi dan inter-relasi sosial antar individu atau antar kelompok, konflik merupakan hal yang alamiah. Ia pasti muncul di tengah-tengah kita kapanpun dan dimanapun kita berada. Mengingat konflik merupakan fakta kehidupan, maka sesungguhnya konflik tidak terkait dengan persoalan baik dan buruk. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita menangani atau mengelola konflik tersebut. Menangani konflik berarti menggunakan konflik itu dan mengelolanya sehingga kita memperoleh keuntungan dari konflik itu dan meraih kesempatan untuk terus maju. Konflik tidak selalu berangkat dari fase-fase awal terjadinya interaksi sosial. Bahkan dalam kondisi yang sudah melampaui asimilasi sekalipun sangat mungkin terjadi konflik. Ini terjadi karena memang proses interaksi sosial bersifat dinamis, juga kompleksitas kebutuhan-kebutuhan sosial dan problem-problem yang dihadapi secara kolektif. Yang harus digarisbawahi di sini adalah bahwa konflik adalah sesuatu yang wajar, bahkan harus, dalam kerangka untuk membuka ruang komunikasi yang tersumbat atau untuk tujuan perubahan yang lebih baik. Memang, konflik sering kontraproduktif, mengganggu, merusak, memecah dan sebagainya. Namun tidak semua konflik bersifat destruktif. Maka di sinilah pentingnya manajemen konflik, yakni bagaimana konflik dikelola dengan positif sehingga bisa meminimalisir potensi negatif yang menyertainya. Agar berhasil dalam mengelola dan mengatasi konflik, kita perlu memahami konflik dengan baik. Memahami berarti mengerti atau mengetahui sesuatu secara mendalam. Memahami lebih dari sekedar mengetahui. Memahami mensyaratkan penguasaan detail suatu hal, seluk beluk, bahkan asal usulnya. (M. Sholichan:2007) Termasuk dalam hal ini konflik yang bersinggungan dengan kehidupan beragama. Akhir-akhir ini, intensitas konflik bernuansa agama baik itu konflik antar umat beragama maupun intern umat beragama wa bil khusus radikalisme agama sedang marak dibicarakan dan getol dicari solusinya agar konflik-konflik bernuansa agama tersebut dapat diredam atau bila perlu dapat diselesaikan.
70
Bahkan isu konflik radikalisme agama tersebut menjadi tema utama penelitian yang digalakkan pemerintah guna mewujudkan kondisi damai di bumi pertiwi tercinta ini. Ketakutan orang akan terjadinya konflik adalah dikarenakan konflik sering diidentikkan dengan kekerasan. Padahal tidak selalu konflik berdampak pada terjadinya tindak kekerasan, karena banyak konflik yang bisa diselesaikan dengan tanpa kekerasan bahkan dari sebuah konfliklah muncul berbagai perubahanperubahan ke arah positif. Tulisan ini mencoba memberikan pemahaman tentang konflik secara konseptual yang meliputi: pengertian konflik, penyebab terjadinya konflik, konflik dan kekerasan serta jenis-jenis konflik. Selain itu penelusuran penyebab radikalisme agama serta upaya memanaj konflik radikalisme agama tersebut akan diketengahkan dalam tulisan ini.
B. Pengertian Konflik Konflik berasal dari bahasa latin, confligere yang berarti benturan. Dalam kamus the collins Consice di sebutkan bahwa konflik adalah “strugle between opposing forces.” Selain itu menurut Webster, istilah “Conflict” di dalam bahasa aslinya berarti “suatu perkelahian, peperangan atau perjuangan”. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide dan lain-lain. Dengan kata lain istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek psikologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu sendiri. (Wikes and Krebs:1988). Memperhatikan makna-makna di atas, maka tampak bahwa konflik, sampai tataran tertentu sulit dibedakan dari perselisihan. Salah satu makna perselisihan atau dispute dalam bahasa Inggris adalah to quarrel about (something). (Wikes and Krebs:1988) Batasan demikian ini membuat keduanya (konflik dan perselisihan) tak terhindarkan identik satu dengan yang lain setidaknya secara konsepsioal. Namun dalam pemakaian sehari-hari sering terdapat pembedaan. Kata perselisihan lebih sering diasosiasikan
dengan
71
perbedaan yang tidak sampai pada kontak fisik berupa kekerasan, sebaliknya, konflik dalam pemakaian sehari-hari lebih mengarah kepada penyikapan terhadap perbedaan yang berupa kekerasan.
C. Akar Penyebab Konflik Pada dasarnya konflik terjadi disebabkan oleh 2 faktor, yaitu: 1. Kemajemukan horizontal, yaitu struktur masyarakat yang majemuk secara kultural, seperti suku, bangsa, agama, ras dan majemuk secara sosial, seperti dalam hal pekerjaan. 2. Kemajemukan vertikal, yaitu struktur masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Penyebab konflik di atas oleh beberapa sosiolog diuraikan lagi menjadi beberapa penyebab yaitu: 1. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi adapula yang merasa terhibur. 2. Perbedaan kepentingan antara individu dan kelompok Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan. Oleh sebab itu dalam waktu yang bersamaan , masingmasing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat melihat bahwa
72
hutan merupakan kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menebang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon di tebang kemudian kayunya di ekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain sehingga akan menimbulkan konflik sosial di tengah masyarakat. 3. Benturan antar kepentingan baik di bidang politik maupun ekonomi. Dalam bidang poitik, potensi konflik sangat rentan terjadi, mengingat bahwa dalam politik terjadi terjadi perebutan kekuasaan. masing-masing orang ingin menang dalam setiap bentuk pemilihan pemimpin, baik pemilihan pemimpin dalam skala kecil, terlebih lagi dalam sekala yang lebih luas. Selain politik, faktor ekonomi juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya konflik. Karl Mark yang dikenal sebagai penganut paham determinasi ekonomi menegaskan bahwa konflik terjadi karena faktor ekonomi. Yang dimaksud dengan faktor ekonomi di sini adalah penguasaan terhadap alat produksi. Menurut Max, sejarah umat manusia ditentukan oleh materi atau benda dalam bentuk alat produksi. Alat produksi adalah setiap alat yang menghasilkan komuditas. Penekanan Marx kepada faktor ekonomi sebagai penyebab konflik adalah setelah melihat pergulatan sengit yang terjadi antara dua kelas sosial (Borjuis dan Proletar) di zamannya. Konflik ini bersifat mendalam dan sulit diselesaikan. (http://id.wikipedia.org/) 4. Perubahan sosial yang biasanya terjadi secara mendadak. Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya pada
73
masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial, sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasa bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai-nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualistis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi secara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada. 5. Perbedaan latar belakang kebudayaan Indonesia di kenal sebagai negara yang memiiki aneka macam dan bentuk budaya. Budaya tersebut tumbuh dan diaktualisasikan menurut suku dan ras di mana ia tinggal. Ketika masing-masing orang bertemu dalam suatu komunitas dengan membawa budaya masing-masing mereka, maka tentu sangat berpotensi untuk memicu terjadinya konflik.
D. Konflik dan Kekerasan Secara konseptual, konflik dibedakan dengan kekerasan. Konflik adalah hubungan antar dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau mereka menganggap memiliki tujuan yang bertentangan.
Sedangkan
Kekerasan meliputi tindakan, kata-kata dan sikap, struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, psikis, dan lingkungan dan atau menutup kemungkinan orang untuk mengembangkan potensinya secara penuh.
74
Dari sini nampak bahwa makna dan tujuan konflik tidak selalu dekat dengan praktik kekerasan. Kekerasan hanya menjadi dampak atas tidak adanya komunikasi secara baik berbagai kepentingan dan sasaran. Hubungan antara konflik dan kekerasan adalah bahwa semakin tinggi derajat keterlibatan emosi individu yang terlibat dalam konflik, maka semakin kuat kecenderungan konflik mengarah pada kekerasan. Dalam konteks ini, ada korelasi positif antar solidaritas antar anggota atau pihak-pihak yang mempunyai empati terhadap konflik sehingga keterlibatan emosi mewujud menjadi tindakan untuk melakukan kekerasan. Konflik merupakan suatu kenyataan hidup yang tidak dapat dielakkan dan seringkali bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika orang mengejar sasaran yang bertentangan. Konflik biasanya dapat diatasi tanpa dengan memunculkan kekerasan, dan seringkali mengarah pada kondisi yang semakin baik pada mereka yang terlibat dalam konflik itu. Demikianlah, konflik selalu terjadi karena konflik merupakan bagian dari keberadaan kita, baik dari level yang bersifat mikro dan interpersonal, hingga ke level kelompok, organisasi, komunitas dan bangsa. Konflik juga meliputi semua hubungan kemanusiaan, baik hubungan sosial, hubungan ekonomi, maupun hubungan kekuasaan. Konflik muncul akibat ketidakseimbangan pada hubungan-hubungan ini misalnya status sosial, kekayaan, dan akses terhadap sumber daya, serta kekuasaan yang tidak adil mengakibatkan
berbagai
persoalan
seperti
diskriminasi,
pengangguran,
kemiskinan, tekanan, dan kejahatan. (Achmad Gunaryo)
E. Jenis Konflik Dalam beberapa literatur disebutkan berbagai macam jenis-jenis konflik. Munculnya beragam jenis konflik yang ada disebabkan karena perbedaan sudut pandang para ilmuan konflik dalam melihat jenis konflik Menurut James A.F
Stoner dan Charles Wankel, terdapat 5
macam tipe konflik berdasarkan subyek yang terlibat, yaitu konflik di internal
75
individu, konfik internal dalam kelompok, konflik individu dengan kelompok, konflik antar kelompok dan konflik antar organisasai. (Winardi, 2007) 1. Konflik di Internal Individu. Konflik ini biasanya dialami individu yang sedang mendapatkan problem pelik yang menjadikannya mengalami konflik batin, pertarungan antar keinginan dan kebutuhan, dihadapkan pada kondisi harus memillih kondisi yang sama-sama sulit, dan sebagainya. 2. Konflik antar individu dalam internal organisasi. Konflik antar individu dalam sebuah kelompok masyarakat atau organisasi bisa terjadi karena ada persinggungan kepentingan, perbedaan karakter, dan sebagainya. 3. Konflik antar individu dan kelompok. Konflik ini biasanya dipicu oleh persoalan kepribadian individu yang dianggap mengganggu kelompok lain, atau ada relasi kuasa antara individu dengan kelompok, misalnya antara pimpinan lembaga dan kelompok karyawan/guru. 4. Konflik antar kelompok di dalam organisasi. Konflik ini banyak terjadi dalam struktur sosial atau organisasai yang terfragmentasi dalam berbagai strata sosial. Konflik ini biasanya dipicu oleh perbedaan budaya, nilai, juga persinggungan kepentingan antar kelas sosial. 5. Konflik antar organisasi. Konflik dalam konteks ini lebih sering dimaknai sebagai kompetisi. Dalam konteks manajemen, konflik ini sering diciptakan untuk menumbuhkan progesivitas organisasi. Sedangkan menurut Dahrendorf, secara umum konflik dibedakan menjadi 4 macam: (http://benyahya.student.umm.ac.id/2010/07/09/teori-konflik). 1. Konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran) 2. Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank) 3. Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa) 4. Konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudar) 5. Konflik antar agama dan tidak antar agama.
76
Sementara itu ada ilmuwan lain, seperti Simon Fisher misalnya yang mengklasifikan konflik kedalam empat kategori berdasarkan manifestasinya, yaitu kondisi tanpa konflik (no conflict), konflik laten, konflik di permukaan, dan konflik terbuka. 1. Kondisi tanpa konflik (no conflict). Menurut persepsi orang pada umumnya bahwa kondisi tanpa konflik merupakan kondisi yang diinginkan. Namun demikian, kelompok atau masyarakat yang damai jika ingin bertahan lama, maka harus hidup dan dinamis, menyatukan konflik tingkah laku dan tujuan, serta menyelesaikannya secara kreatif. 2. Konflik laten sifatnya tersembunyi. Untuk melihat konflik seperti ini diperlukan seperangkat analisis untuk memetakan dan mengukur potensi konflik. Bahkan pada taraf tertentu konflik laten seperti ini perlu dimunculkan dipermukaan agar secara mudah bisa dikelola dengan manajemen. 3. Konflik di permukaan akarnya dangkal namun karena meningkatnya intensitas komunikasi, performanya meningkat. Konflik seperti ini munculnya biasanya insindental dan atau terjadi karena kesalah fahaman. 4. Konflik terbuka memiliki akar mendalam dan juga mewujud di permukaan. Konflik semacam inilah yang memerlukan pengelolaan secara serius agar bisa dipecahkan atau dialihkan ke arah perubahan yang positif. (Simon Fisher: 2000)
F. Konflik Radikalisme Agama Dari empat jenis konflik menurut Fisher di atas bahwa konflik radikalisme agama (Selanjutnya ditulis RA) hemat penulis dapat mengambil bentuk – bermanifestasi- ke dalam tiga jenis konflik tersebut yaitu bisa konflik laten, konflik permukaan dan konflik terbuka. Dikatakan laten karena konflik RA ini bisa saja terjadi dalam waktu yang tidak pernah di prediksi sebelumnya tergantung
77
dari pemicu utama yang biasa dijadikan alasan terjadinya konflik. Konflik RA juga dapat dikategorikan dalam konflik permukaan karena
terkadang akar
persoalannya tidak terlalu dalam atau dangkal melainkan disebabkan oleh hal yang sangat sepele berupa kesalahpahaman dan miskomunikasi. Namun hal yang sepele tersebut seringkali menimbulkan konflik yang serius di tengah masyarakat. Selanjutnya konflik RA bisa dipandang terbuka manakala terjadi terus menerus dan seringkali berakhir dengan kontak fisik, selain itu akar persoalannya sangat dalam yakni menyentuh hal yang sangat fundamental seperti masalah ritual peribadatan, akidah, dan pemahaman terhadap doktrin tertentu. Nah disinilah kerumitan muncul pada saat berhadapan dengan konflik RA. Untuk itu, setiap kali muncul konflik RA, maka perlu diketahui dan difahami terlebih dahulu asal muasal dan penyebab dari konflik RA itu sendiri. Setelah mengetahui dan memahaminya maka akan mudah untuk ditangani dan dicari solusi yang tepat terhadap konflik tersebut. Penanganan terhadap konflik pada umumnya dapat diibaratkan seperti penanganan
seorang dokter terhadap
pasiennya. Seorang dokter harus mendiagnosa penyakit pasiennya terlebih dahulu, apakah pasiennya itu terjangkit penyakit batuk, demam, pilek atau lainnya. Jika sudah ditemukan penyakitnya, Barulah kemudian dokter memberikan resep sesuai dengan jenis penyakit yang diderita oleh si pasien tersebut. Apabila pasiennya sakit batuk maka obat batuklah yang akan diberikan kepada pasien tersebut. bukan obat pilek, obat demam apalagi obat mencret. Jika salah obat maka bisa dipastikan penyakitnya akan terus berlanjut atau tidak akan sembuh.
G. Penyebab Radikalisme Agama Diantara penyebab munculnya radikalisme agama antara lain adalah: Pertama, Penolakan Apriori. Salah satu sikap yang muncul ialah penolakan apriori terhadap penafsiran, keyakinan, dan praktek keagamaan yang baru dengan memandangnya sepenuhnya keliru. Pada saat yang sama, keyakinan-
78
keyakinan teologis yang selama ini dianut ditegaskan kembali kebenarannya, tanpa dipertanyakan dan diditinjau kembali. Seringkali penolakan ini diiringi dengan strategi pengucilan diri dengan bergabung bersama komunitas yang sealiran. Atau dengan menghindari atau memberangus publikasi-publikasi kelompok yang tidak disenangi. Vonis kafir atau sesat menyesatkan termasuk kepada penolakan tersebut. Sikap ini mencerminkan monoteologis yakni kecenderungan menganggap hanya ada satu pendapat –yakni pendapat kalangan sendiri- yang benar. Sementara opini, keyakinan, dan praktik keagamaan kelompok lain dipandang salah dan lebih dari itu harus dimusuhi. Kedua, Panatisme Berlebihan. Sejak jaman dahulu persoalan panatisme menjadi faktor dominan yang menyebabkan konflik antar kelompok. Masingmasing kelompok mengambil “posisi” terhadap mazhab mereka. Dan ketika tidak sepaham atau semazhab dengan mereka maka muncul sikap salah-menyalahkan, tuding-menuding, saling kafir mengkafirkan bahkan tidak jarang berakhir dengan saling bunuh membunuh. Ketiga, Penguasaan yang Tidak Komprehensif terhadap Kitab Suci. Peran tokoh agama dalam hal ini para ulama, kiyai, tuan guru dan para asatidz harus lebih luas dalam memberikan pencerahan pemahaman kepada masyarakat terhadap teks maupun konteks di mana sebuah ayat diturunkan. Termasuk juga dengan perbedaan-perbedaan yang ada seputar mazhab baik mazhab fikih, mazhab tasawuf, maupun mazhab kalam. Kurangnya pemahaman yang memadai oleh masyarakat (awam) cenderung muncul menjadi pendapat tunggal yang benar, padahal yang dibicarakan adalah hal yang bersifat parsial (ijtihadi).
H. Mencegah Terjadinya Konflik Radikalisme Agama Dari beberapa hal yang menjadi penyebab munculnya radikalisme agama sebagai mana tersebut di atas, maka beberapa langkah strategis dapat dilakukan dalam rangka membina umat menjadi lebih produktif guna mencapai cita-cita Islam rahmatan lil’alamien antara lain:
79
1. Menghindari fanatisme yang berlebihan. Sebagai komponen masyarakat seharusnya tidak terjebak pada panatisme golongan atau individu tertentu secara berlebihan, melainkan mampu mimilih dan memilah mana pandangan atau pendapat ulama yang râjih dan mana yang tidak. Ini berarti masyarakat harus belajar sehingga menjadi masyarakat pembelajar. Dalam hal ini, Keturutsertaan para pemuka agama sangat dibutuhkan dalam memberi pencerahan kepada “umatnya”. Namun demikian, masyarakat yang bersangkutan tidak hanya mau mengakui dan mengikuti mazhab. (Jalaluddin Rakhmat:1995) atau kiyai/Tuan Guru pilihannya, akan tetapi ia juga memberi peluang benar kepada kiyai/Tuan Guru lain sebagai bagian yang benar pula. Imam Syafi’i selaku pendiri mazhab Syafi’i pernah berkata “ra’yuna shawab yahtamilul khata’ wa ra’yuhum khata’ yahtamilu al-shawab” ( pendapat kita benar namun mengandung kekeliruan, dan pendapat orang lain skeliru namun mengandung kebenaran). 2. Menumbuh Kembangkan Sikap Husnu Zhan Radikalisme agama kerapkali muncul akibat dari persepsi yang keliru terhadap sikap, polah dan praktik dari masyarakat tertentu. Keadaan ini dapat menjadi awal konflik yang pada akhirnya mencuat kepermukaan menjadi konflik yang dapat berujung pada tindak kekerasan. 3. Mengedepankan Tabayyun (Chek and Richek) Sebelum memponis seseorang atau suatu golongan tertentu melakukan suatu kekeliruan atau kesalahan, maka terlebih dahulu seseorang harus mengedepankan sikap chek and recheck atau mengkomfirmasi kembali suatu informasi yang diterima. Konsep konfirmasi inilah dalam Islam dikenal dengan istilah tabayyun. Tabayyun ini dilakukan untuk membangun komunikasi yang baik dan seimbang dan untuk menghindari terjadinya kesalah pahaman dan sehinngga tidak terjadi suatu tindakan yang dapat menyengsarakan orang lain. Hal inilah yang harus dilakukan sebagaimana firman:
80
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.(alHujurat:6) 2. Menjalin Komunikasi dengan Baik Komunikasi merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan sosial. Oleh sebab itu antara umat beragama harus terjalin komunikasi yang baik dan berbasis humanis, bukan didasarkan pada agama, ras, suku maupun golongan. 3. Menyadari atau menerima adanya perbedaan. Perbedaan merupakan salah satu penyebab munculnya konflik, namun demikian perbedaan sekaligus dapat menjadi ladang upaya meningkatkan amal tiap-tiap individu guna meraih kebahagiaan di dunia dan di akherat sebagaimana firman Allah: Artinya: Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; 81
Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,
Perbedaan merupakan sunnatullah, oleh karenanya sepatutnya kita harus menerima perbedaan bukan mempertajam perbedaan yang pada gilirannya menimbulkan radikalisme agama.
I. Tindakan Strategis Penanganan Konflik Radikalisme Agama Dalam beberapa referensi, para ahli di bidang konflik banyak menjelaskan tips-tips dalam penanganan konflik secara umum. Namun demikian tips yang umum ini bisa saja diterapkan dalam menangani atau menyelesaikan sebuah konflik termasuk dalam hal ini konflik radikalisme agama. Secara umum banyak hal yang bisa dilakukan dalam penanganan konflik antara lain dengan melakukanm
transformasi
terhadap
konflik.
Transformasi
konflik
bisa
dimunculkan ketika analisis terhadap konflik bisa memberikan gambaran terhadap konflik secara representatif. Tindakan-tindakan strategis untuk melakukan transformasi konflik tersebut sebagai berikut: 1. Mengelola konflik secara langsung. Tindakan ini memiliki tujuan jangka pendek yaitu menghentikan konflik dan bisa diinisiasi oleh pihak-pihak yang berkonflik maupun pihak luar. Penghentian
konflik sangat
diperlukan ketika konflik sudah mengarah pada ekses kekerasan dan
82
perusakan yang merugikan banyak pihak. Banyak tindakan strategis yang biasanya dilakukan untuk tujuan ini, diantaranya: 2. Melobi/lobying. Lobi biasanya dilakukan oleh pihak-pihak yang megalami konflik baik melalui kurir maupun tidak. Aktivitas ini dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan dan kesefahaman jangka pendek. Hasil dari lobi biasanya kesepakatan untuk mengehentikan konflik untuk sementara dan secara bersama-sama menyelesaikan atau membuat resolusi. 3. Menghadirkan Pihak Ketiga. Ada kalanya untuk tujuan mengelola konflik secara langsung ini sangat diperlukan pihak luar yang dianggap netral dan biasa disebut sebagai negosiator. Negosiator harus memiliki kemampuan komunikasi dan kecerdasan emosional yang memadai, karena dia mendapatkan mandat untuk menjadi fasilitator dalam resolusi konflik. 4. Intervensi. Untuk konflik yang tidak bisa dihentikan dengan media komunikasi, maka diperlukan intervensi oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan atau otoritas. Misalnya perkelahian atau tindakan anarkis yang dilakukan sekelompok organisasi massa terhadap organisasi massa yang lain. Jika jalur komunikasi dua arah dengan melibatkan para tokoh dari dua kelompok yang bertikai telah dilakukan namun tidak ditemukan kesepahaman, maka pemerintah dalam hal ini yang mempunyai kekuasaan diperlukan untuk melakukan intervensi secara langsung untuk menghentikan konflik seperti ini dengan beberapa ancaman atau sanksi agar konflik tidak terulang di kemudian hari. 5. Mengelola dampak konflik. Selain berdampak pada ekses negatif, konflik yang tidak terselesaikan secara transformatif akan menimbulkan konflik lanjutan secara laten. Karena itu tindakan-tindakan strategis untuk tujuan ini sangat penting untuk dilakukan. Tindakan yang umum dilakukan adalah rekonstruksi, rekonsiliasi, trauma healing dan deteksi dini.
83
6. Rekonstruksi dan Rekonsiliasi. Rekonstruksi dilakukan untuk tujuan mendeskripsikan ulang problem-problem yang menyebabkan konflik. Jika sebab utama bisa ditemukan secara bersama-sama maka problem itu yang diselesaikan, misalnya terkait dengan keadilan, hukum. Rekonstruksi ini dilakukan dalam kerangka untuk membangun rekonsiliasi
bersama,
mengatasi
kesalahpahaman,
pengungkapan
persepsi masing-masing, saling memahami dan sebagainya. J. Penutup Konflik harus diterima sebagai sebuah kenyataan dalam hidup ini dan tidak bisa menghindar darinya. Oleh sebab itu konflik meski terkadang pahit tetapi harus ditelan setelah terlebih dahulu disikapi, dikelola guna menjadi barometer bagi diri manusia untuk menjadi lebih baik di kemudian hari dalam tugas mengemban amanah Allah sebagai khalifah di muka bumi. Wallahu a’lam.
84
Daftar Bacaan Alqur’an al-Kariem Achmad Gunaryo, et al.,Mengelola Konflik Membangun Damai (Semaramg: WMC Press, 2007). Anonim, Teori Konfllik Sosial dan Aplikasinya dalam Kehidupan Keluarga, http://compsoc.bandungfe.net/intro/part06.html. Dean G. Pruitt and Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009). Hugh Miall, Oliver Rambotham, Tom Woodhouse, Contemporary Conflict Resolution; Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Penterjemah: Tri Budhi Sastrio (Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 1999). http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=teori_konflik&oldid=5150395 http://benyahya.student.umm.ac.id/2010/07/09/teori-konflik Jalaluddin Rakhmat “Islam Alternatf” (Bandung: Mizan, 1995) Lewis Cosser, Social Conflict and The Theory of Social Change (British: Journal of Sociology, 1957) Simon Fisher. Et al., Working with Conflict : Skill and Strategies for Action (London-NewYork: Zed Book Ltd, 2000). Wikes and Krebs, The collins Concise Dictionary of zthe English Dictionary (Australia, edisi Australia, 1988). Winardi, Manajemen Konflik: Konflik Perubahan dan Pengembangan (Bandung: CV. Mandar Maju, 2007).
85