APLIKASI TINDAKAN SENAM NIFAS TERHADAP TINGGI FUNDUS UTERI DAN PERDARAHAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN NY.T P2A0 DENGAN POST PARTUM NORMAL DI RUANG BOUGENVIL RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SUKOHARJO Karya Tulis Ilmiah Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DISUSUN OLEH:
MEIGA KUSUMAWARDHANI NIM P.12 094
PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015
i
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Kuasa karena berkat rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul “Aplikasi Tindakan Senam Nifas Terhadap Tinggi Fundus Uterus Dan Perdarahan Pada Asuhan Keperawatan Ny. T P2A0 Dengan Post Partum Normal Di Ruang Bougenvil Rumah Sakit Umum Daerah Sukoharjo” Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat: 1.
Dra. Agnes Sri Harti, M.Si, selaku Ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk dapa menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta.
2.
Atiek Murhayati, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta
3.
Meri Oktariani, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Sekretaris Program Studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta
4.
Noor Fitriyani, S.Kep.,Ns, selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya peyusunan laporan studi kasus ini.
5.
Bc. Yetti Nur Hayati, selaku penguji I yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya peyusunan laporan studi kasus ini.
6.
Siti Mardiyah, S. Kep., Ns, selaku penguji II yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam
v
bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya peyusunan laporan studi kasus ini. 7.
Semua dosen program studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah membimbing dengan sabar dan wawasannya serta ilmu yang bermanfaat.
8.
Kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan.
9.
Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperwatan STIKes Kusuma Husada Surakarta dan bebagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual. Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta, 22 Mei 2015 Penulis
Meiga Kusumawardhani
vi
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .....................................................................................
i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME .................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN ..........................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................
iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................
v
DAFTAR ISI ...................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xi
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ......................................................................
1
B. Tujuan ....................................................................................
5
C. Manfaat ..................................................................................
6
TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan teori ........................................................................
7
1. Masa nifas ......................................................................
7
2. Senam nifas ......................................................................
22
3. Penurunan tinggi fundus uterus........................................
25
4. Asuhan keperawatan pada ibu post partum .....................
30
B. Kerangka Teori ......................................................................
47
C. Kerangka Konsep ..................................................................
48
METODELOGI APLIKASI RISET A. Subjek aplikasi riset ...............................................................
49
B. Tempat dan waktu ..................................................................
49
C. Media atau alat yang digunakan .............................................
49
D. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset .........................
50
E. Alat ukur evaluasi tindakan aplikasi riset ..............................
57
vii
BAB IV
LAPORAN KASUS A. Pengkajian ..............................................................................
59
B. Analisa data ............................................................................
68
C. Prioritas diagnosa keperawatan ..............................................
66
D. Intervensi keperawatan...........................................................
67
E. Implementasi keperawatan .....................................................
69
F. Evaluasi keperawatan .............................................................
75
BAB V PEMBAHASAN A. Pengkajian ..............................................................................
80
B. Diagnosa keperawatan ...........................................................
97
C. Intervensi Keperawatan .......................................................... 101 D. Implementasi Keperawatan .................................................... 105 E. Evaluasi Keperawatan ............................................................ 116 BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .......................................................................... 119 B. Saran .................................................................................... 122
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
viii
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Tabel 2.1 Perubahan uterus masa nifas..................................................
ix
29
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Gambar 2.1 Tinggi fundus uterus masa nifas .........................................
30
2.
Gambar 2.2 Kerangka Teori ...................................................................
47
3.
Gambar 2.3 Kerangka Konsep ................................................................
48
4.
Gambar 3.1 Senam kaki ..........................................................................
50
5.
Gambar 3.2 Posisi awal berbaring lutut ditekuk .....................................
51
6.
Gambar 3.3 Senam mengangkat panggul ...............................................
53
7.
Gambar 3.4 Posisi awal duduk ...............................................................
54
8.
Gambar 3.5 Stabilitas batang tubuh-menaikkan lutut ............................
55
9.
Gambar 3.6 Abduksi paha dalam posisi miring......................................
55
10.
Gambar 3.7 Memutar lutut kearah luar sambil mempertahankan tubuh diam .......................................................................................................
56
11. Gambar 3.8 Mengencangkan salah satu kaki sambil mempertahankan panggul dan punggung tetap diam ...........................................................
56
12. Gambar 5.1 Numeric Rating Scale .......................................................... 104
x
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Lampiran 1
Daftar Riwayat Hidup
2.
Lampiran 2
Log Book
3.
Lampiran 3
Format Pendelegasian Pasien
4.
Lampiran 4
Lembar Konsultasi Karya Tulis Ilmiah
5.
Lampiran 5
Asuhan Keperawatan
6.
Lampiran 6
Jurnal Tentang Senam Nifas
7.
Lampiran 7
Usulan Judul Aplikasi Jurnal Dalam Pengelolaan Asuhan Keperawatan Pada Klien
8.
Lampiran 8
Surat Pernyataan
9.
Lampiran 9
Lembar Observasi
xi
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komplikasi yang terjadi pada saat kehamilan dan persalinan dapat berakhir dengan kematian apabila tidak mendapat penanganan yang cepat dan tepat. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2005, kematian ibu dan bayi diseluruh dunia mencapai 500.000 jiwa per tahun (Puspitaningrum, 2012). Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia tahun 2010, berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Lima penyebab kematian ibu terbesar adalah perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK), infeksi, partus lama atau macet dan abortus (Kementrian Kesehatan Rebuplik Indonesia, 2013). Pada tahun 2011, angka kematian ibu (AKI) Provinsi Jawa Tengah sebesar 116,01 per 100.000 kelahiran hidup dan mengalami peningkatan pada tahun 2012 sebesar 116,34 per 100.000 kelahiran hidup. Sebesar 57,93% kematian maternal terjadi pada waktu nifas, pada waktu hamil sebesar 24,74% dan pada waktu persalinan sebesar 17,33%. Berdasarkan kelompok umur, kejadian kematian maternal terbanyak adalah pada usia produktif (20-34 tahun) sebesar 66,96%, kemudian pada kelompok umur >35 tahun sebesar 26,67% dan pada kelompok umur <20 tahun sebesar 6,37% (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa tengah, 2012).
1
2
Berdasarkan data yang diperoleh dari Rekam Medis di RSUD Sukoharjo pada bulan Januari sampai Desember 2014 jumlah persalinan normal sebanyak 110 kasus atau 36,6% dan perdarahan pasca persalinan sebanyak 35 kasus atau 11,6% dari seluruh persalinan yang ada di rumah sakit tersebut (Rekam Medis RSUD Sukoharjo, 2015). Post partum atau masa nifas (puerperium) terjadi setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil, yang berlangsung selama kira-kira 6 minggu. Proses pemulihan kesehatan pada masa nifas merupakan hal yang sangat penting bagi ibu setelah melahirkan. Pada saat kehamilan otot rahim membesar karena pembesaran sel, otot perut juga memanjang sesuai dengan pertumbuhan kehamilan, ligamen – ligamen dan diafragma pelvis serta fasia terjadi peregangan.
Setelah
melahirkan
otot-otot
tersebut
akan
mengendur
(Ambarwati, 2010). Kegagalan involusi uterus dapat menyebabkan sub involusi. Gejala dari sub involusi meliputi lochea menetap atau merah segar, penurunan fundus uterus lambat, tonus uterus lembek, tidak ada perasaan mules pada ibu nifas akibatnya terjadinya perdarahan. Perdarahan pasca persalinan terjadi apabila kehilangan darah lebih dari 500 ml melalui jalan lahir yang terjadi selama atau setelah persalinan kala III. Perkirakan kehilangan darah biasanya tidak sebanyak yang sebenarnya, kadang-kadang hanya setengah dari yang sebenarnya (Anggraini, 2010).
3
Perdarahan bisa disebabkan kehamilan ektopik dan abortus, perdarahan masif yang berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya. Selain itu, perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terjadi terus menerus ini juga berbahaya. Penyebab terbanyak dari perdarahan post partum tersebut yakni 50-60% karena kelemahan atau tidak adanya kontraksi
uterus. Salah satu
usaha
yang dilakukan untuk
mengembalikan perubahan-perubahan yang terjadi pada masa hamil dan pasca persalinan dapat dilakukan senam nifas (Martalia, 2012). Senam nifas merupakan senam bagi ibu post partum guna mempertahankan dan meningkatkan sirkulasi segera pada ibu post partum, terutama yang beresiko mengalami trombosis vena atau komplikasi sirkulasi lain (Brayshaw, 2007). Senam nifas bermanfaat untuk memulihkan kembali kekuatan otot dasar panggul, mengencangkan otot-otot dinding perut dan perineum, mempercepat kembalinya bagian-bagian tersebut ke bentuk normal akibat peregangan yang terjadi karena proses kehamilan, membentuk sikap tubuh yang baik dan mencegah terjadinya komplikasi. Sehingga dengan latihan senam nifas dapat mencegah perdarahan post partum. Saat melaksanakan senam nifas terjadi kontraksi otot-otot perut yang akan membantu proses involusi, yaitu setelah plasenta keluar dan terjadi segera setelah proses involusi (Danuatmaja, et al., 2006). Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan Yuliani, et al (2012), tentang “Pengaruh Senam Nifas terhadap Penurunan Tinggi Fundus Uteri pada Ibu Post Partum di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah
4
Makasar” didapatkan ada perbedaan penurunan tinggi fundus uterus antara ibu post partum yang melakukan senam nifas dan ibu post partum yang tidak melakukan senam nifas, dimana ibu post partum yang melakukan senam nifas mengalami proses penurunan tinggi fundus uterus lebih cepat. Hasil penelitian didapatkan pada kelompok perlakuan, responden yang mengalami percepatan penurunan tinggi fundus uterus sebanyak 19 orang (45%), dan yang mengalami perlambatan penurunan tinggi fundus uterus sebanyak 1 orang (5%) dengan rata-rata penurunan selama 7 hari melakukan senam nifas yaitu 8.9 cm. Sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan 1 orang (5%) responden yang mengalami percepatan penurunan tinggi fundus uterus dan 9 orang (45%) yang mengalami perlambatan penurunan tinggi fundus uterus dengan rata-rata penurunan selama 7 hari yaitu 6.8 cm. Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan penulis di Ruang Bougenvil RSUD Sukoharjo pada Ny. T didapatkan, klien mengatakan masih mengeluarkan darah warna merah dan hasil pemeriksaan pada vagina didapat lochea rubra
dengan jumlah ±150 cc, bau amis, tidak ada hematom,
kehilangan darah selama persalinan dengan jumlah ± 300 cc, kontraksi uterus baik dan teraba keras, kandung kemih penuh. Pemeriksaan darah pada tanggal 9 Maret 2015 hemoglobin 9,9 g/dl, hematokrit 35,1 %, trombosit 205 10ˆ3/uL. Menindaklanjuti hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuliani, et.al (2012), berdasarkan referensi, serta hasil pengkajian yang dilakukan oleh penulis, maka penulis tertarik untuk mengaplikasikan tindakan Senam Nifas terhadap Penurunan Tinggi Fundus Uterus pada Asuhan Keperawatan Ny. T
5
G2P2A0 dengan Post Partum Normal di Ruang Bougenvil Rumah Sakit Umum Daerah Sukoharjo.
B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan umum Mengaplikasikan tindakan senam nifas terhadap penurunan tinggi fundus uterus dan perdarahan pada asuhan keperawatan partum normal di ruang bougenvil
Ny. T dengan post
Rumah Sakit Umum Daerah
Sukoharjo. 2. Tujuan khusus a. Penulis mampu melakukan pengkajian keperawatan pada Ny.T dengan post partum normal b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Ny.T dengan post partum normal c. Penulis mampu merumuskan intervensi keperawatan pada Ny.T dengan post partum normal d. Penulis mampu melakukan implementasi keperawatan pada Ny.T dengan post partum normal e. Penulis mampu melakukan evaluasi keperawatan Ny.T dengan post partum normal f. Penulis mampu menganalisa hasil aplikasi tindakan senam nifas terhadap penurunan tinggi fundus uteri pada asuhan keperawatan Ny.T dengan post partum normal.
6
C. Manfaat Penulisan 1. Pendidikan Hasil karya tulis ilmiah dalam bentuk aplikasi riset tentang senam nifas yang diberikan pada ibu post partum dalam menurunkan tinggi fundus uterus untuk mencegah perdarahan dapat menjadi masukan dalam pengembangan ilmu keperawatan terutama pada keperawatan maternitas. 2. Rumah sakit Hasil karya tulis ilmiah dalam bentuk aplikasi riset ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi rumah sakit sebagai pemberi layanan kesehatan masyarakat dalam menentukan kebijakan terkait dengan upaya
pencegahan
perdarahan
pada
ibu
post
partum.
Aplikasi
implementasi keperawatan senam nifas diharapkan benar-benar bisa dilaksanakan. 3. Perawat Hasil karya tulis ilmiah dalam bentuk aplikasi riset ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan kepada pasien dalam upaya pencegahan perdarahan dengan mengaplikasikan tindakan senam nifas pada ibu post partum dalam mempercepat penurunan tinggi fundus uterus. 4. Penulis Hasil karya tulis ilmiah dalam bentuk aplikasi riset ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan bagi penulis sebagai calon perawat dalam upaya mencegah perdarahan dengan mengaplikasikan senam nifas pada ibu post partum dalam mempercepat penurunan tinggi fundus uterus.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori 1. Masa Nifas a. Pengertian Masa nifas adalah masa sesudah persalinan dan kelahiran bayi, plasenta serta selaput, yang diperlukan untuk memulihkan kembali organ kandungan seperti sebelum hamil dengan waktu kurang lebih 6 minggu (Saleha, 2009). Masa nifas atau post partum adalah keadaan yang dimulai setelah 2 jam setelah persalinan sampai 6 minggu setelah bayi lahir (Leifer, 2005). Masa nifas (puerperium) adalah masa yang dimulai setelah partus selesai dan berakhir kira-kira 6 minggu. Akan tetapi, seluruh alat genital baru pulih kembali seperti sebelum kehamilan dalam waktu 3 bulan. Batasan waktu nifas yang paling singkat tidak ada batas waktunya, bahkan bisa jadi dalam waktu relatif pendek darah sudah keluar sedangkan batasan maksimumnya adalah 40 hari (Anggraini, 2010). b. Tahapan masa nifas Menurut Ambarwati (2010), masa nifas dibagi menjadi 3 tahap yaitu:
7
8
1) Puerperium dini Merupakan masa pemulihan awal dimana ibu diperbolehkan untuk berdiri dan berjalan-jalan. Ibu yang melahirkan pervaginam tanpa komplikasi dalam 6 jam pertama setelah kala IV dianjurkan untuk mobilisasi segera. 2) Puerperium intermedial Suatu masa pemulihan dimana organ-organ reproduksi berangsurangsur akan kembali ke keadaan sebelum hamil. Masa ini berlangsung selama kurang lebih 6 minggu atau 42 hari. 3) Remote puerperium Waktu yang diperlukanan untuk pulih dan sehat kembali dalam keadaan sempurna terutama apabila ibu selama hamil atau waktu persalinan mengalami komplikasi. Rentang remote puerperium berbeda untuk setiap ibu, tergantung dari berat ringannya komplikasi yang dialami selama hamil atau persalinan. c. Perubahan fisiologis masa nifas Menurut
Wulandari
dan
Handayani
(2011),
perubahan
fisiologis yang terjadi pada masa nifas meliputi: 1) Perubahan sistem reproduksi a) Uterus Pangerutan uterus atau involusi merupakan suatu proses dimana uterus kembali ke kondisi sebelum hamil dengan berat
9
sekitar 60 gram. Proses ini dimulai segera setelah plasenta lahir akibat kontraksi otot-otot polos uterus. b) Bekas implantasi plasenta (1) Bekas implantasi plasenta segera setelah plasenta lahir seluas 12x5 cm, permukaan kasar, dimana pembuluh darah besar bermuara. (2) Pada pembuluh darah terjadi pembentukan trombosis disamping pembuluh darah tertutup karena kontraksi otot rahim. (3) Bekas luka implantasi dengan cepat mengecil, pada minggu ke 2 sebesar 6-8 cm dan pada akhir masa nifas sebesar 2 cm. (4) Lapisan endometrium dilepaskan dalam bentuk jaringan nekrosis bersama dengan lochea. (5) Luka bekas implantasi plasenta akan sembuh karena pertumbuhan endometrium yang berasal dari tepi luka dan lapisan basalis endometrium. (6) Luka sembuh sempurna pada 6-8 minggu post partum. c) Lochea Lochea adalah sekret yang berasal dari kavum uteri dan vagina selama masa nifas. Proses keluarnya lochea terdiri dari 4 tahapan:
10
(1) Lochea rubra (cruenta) Lochea ini muncul pada haro ke 1-4 masa post partum. Berisi darah segar sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel desidua, verniks kaseosa, lanugo (rambut bayi) dan meconium. (2) Lochea sanguinolenta Berwarna merah kuning merah kecoklatan dan berlendir. Berlangsung selama hari ke 4-7 pascapersalinan. (3) Lochea serosa Berwarna kuning kecoklatan karena mengandung serum, leukosit dan robekan atau laserasi plasenta. Muncul pada hari ke 7-14 pasca persalinan. (4) Lochea alba Mengandung leukosit sel desidua, sel epitel, selaput lendir serviks dan serabut jaringan yang mati. Berlangsung selama 2-6 minggu pasca persalinan. d) Serviks Serviks mengalami involusi bersama-sama dengan uterus. Warna serviks sendiri merah kehitaman karena penuh pembuluh darah. Konsistensinya lunak, kadang- kadang terdapat laserasi (perlukaan kecil). Karena robekan kecil yang terjadi selama dilatasi, serviks tidak pernah kembali pada keadaan sebelum hamil.
11
Bentuknya seperti corong karena disebabkan oleh korpus uteri yang mengadakan kontraksi, sedangkan serviks tidak berkontraksi terdapat perbatasan antara korpus uteri dan serviks berbentuk cincin. Muara serviks yang berdilatasi 10cm pada waktu persalinan, menutup secara bertahap. Setelah bayi lahir, tangan masih bisa masuk rongga Rahim, setelah 2 jam dapat dimasuki 2-3 jari dan pada minggu ke 6 pasca persalinan serviks menutup. e) Vulva dan vagina Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang sangat besar selama proses persalinan dan akan kembali secara bertahap dalam waktu 6-8 minggu postpartum. Penurunan hormon estrogen pada masa pasca persalinan berperan dalam penipisan mukosa vagina dan hilangnya rugae. Rugae akan terlihat kembali sekitar minggu ke 4. 2) Perubahan sistem pencernaan Setelah kelahiran plasenta, maka terjadi penurunan produksi progesteron. Sehingga hal ini dapat menyebabkan heartburn dan konstipasi terutama pada hari pertama. Hal ini terjadi karena inaktifitas motilitas usus menyebabkan kurangnya keseimbangan cairan selama persalinan dan adanya refleks hambatan defekasi akibat rasa nyeri pada perineum karena pasca
12
episiotomi, pengeluaran cairan yang berlebihan waktu persalinan (dehidrasi), kurang makan, hemoroid. Supaya buang air besar kembali teratur dapat diberikan makanan yang mengandung serat dan pemberian cairan yang cukup. Bila usaha ini tidak berhasil dalam waktu 2-3 hari dapat dibantu dengan pemberian huknah atau spuit gliserin atau pemberian obat laksatif atau pencahar. 3) Perubahan sistem perkemihan Deuresis dapat terjadi setelah 2-3 hari pasca persalinan. Hal ini merupakan salah satu pengaruh selama kehamilan dimana saluran urinaria mengalami dilatasi. Kondisi ini akan kembali normal setelah 4 minggu postpartum. Pada awal pasca persalinan kandung kemih akan mengalami edema, kongesti dan hipotonik. Hal ini sebabkan karena adanya overdistensi pada saat kala II persalinan dan pengeluiaran urin yang tertahan selama proses persalinan. Sumbatan pada uretra disebabkan karena adanya trauma saat persalinan yang berlangsung dan trauma ini dapat berkurang setelah 24 jam pasca persalinan. 4) Perubahan sistem endokrin Saat plasenta terlepas dari dinding uterus, kadar Hormon Chrinonis Gonadotropin (HCG), Human Plasental Lactogen (HPL), secara berangsur menurun dan normal setelah 7 hari postpartum.
13
a) Hormon plasenta Selama periode pasca persalinan terjadi perubahan hormon yang signifikan. Pengeluaran plasenta menyebabkan penurunan signifikan hormon-hormon yang diproduksi oleh plasenta. Penurunan hormon human plasental lactogen (HPL), estrogen dan progesteron serta plsenta enzyme insulinase membalik efek diabetogenik kehamilan, sehingga kadar gula darah menurun. Human Chrinonis Gonadotropin (HCG) menurun dan menetap sampai 10 % dalam 3 jam hingga hari ke 7 pasca persalinan dan sebagai pemenuhan mamae pada hari ketiga pasca persalinan b) Hormone pituitary Prolaktin darah meningkat dengan cepat, pada wanita tidak menyusi menurun dalam waktu 2 minggu. Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Leutinizing Hormone (LH) meningkat pada fase konsentrasi folikuler pada minggu ke 3 dan Leutinizing Hormon (LH) tetap rendah hingga ovulasi terjadi. c) Hormon oksitoksin Oksitoksin dikeluarkan dari kelenjar bawah otak bagian belakang (posterior), bekerja terhadap otot uterus dan jaringan payudara. Selama tahap ke tiga persalinan, oksitoksin menyebabkan pemisahan plasenta. Kemudian seterusnya bertindak atas otot yang menahan kontraksi, mengurangi
14
tempat plasenta dan mencegah perdarahan. Pada wanita yang memilih menyusi bayinya, isapan sang bayi merangsang keluarnya oksitoksin lagi dan ini membantu uterus kembali ke bentuk normal dan pengeluaran air susu. d) Hormone pituitary ovarium Untuk wanita yang menyusi dan tidak menyusi akan mempengaruhi lamanya ia mendapatkan menstruasi. Seringkali menstruasi pertama bersifat anovulasi yang dikarenakan rendahnya kadar estrogen dan progesteron. Diantara wanita laktasi sekitar15% memperoleh menstruasi selama 6 minggu dan 45 % setelah 12 minggu. Diantara wanita yang tidak laktasi 40 % menstruasi setelah 6 minggu, 65% setelah 12 minggu dan 90 % setelah 24 minggu. Untuk wanita laktasi 80 % menstruasi pertama anvolusi dan untuk wanita yang tidak laktasi 50 % siklus pertama menstruasi. 5) Perubahan tanda tanda vital a) Suhu badan 24 jam post partum suhu badan akan naik (37,5-38 C) karena kerja keras waktu melahirkan, kehilangan cairan dan kelelahan. Pada hari ke 3 suhu badan akan naik lagi karena ada pembentukan ASI, buah dada menjadi bengkak.
15
b) Nadi Denyut nadi nadi normal 60-100 x/menit. Setelah melahirkan biasanya denyut nadi akan lebih cepat. c) Tekanan darah Tekanan darah biasanya tidak berubah. Tekanan darah menjadi turun setelah melahirkan karena ada perdarahan dan tekanan darah akan tinggi pada postpartum dapat menandakan pre eklamsia. d) Pernafasan Keadaan pernafasan selalu berhubungan dengan keadaan suhu dan denyut nadi. Apabila suhu dan denyut nadi tidak normal pernafasan juga akan mengikuti kecuali ada gangguan pernafasan. 6) Perubahan sistem kardiovaskuler Kardiac
output
meningkat
selama
persalinan
dan
berlangsung sampai kala III ketika volume darah uterus dikeluarkan. Penurunan terjadi pada beberapa hari pertama post partum dan akan kembali normal pada akhir minggu ke tiga post partum. 7) Perubahan hematologi Terjadi peningkatan sel darah putih berkisar antara 15.00030.000 merupakan adnya infeksi pada persalinan. Pada hari 2-3 post partum konsentrasi hematokrit menurun sekitar 2% atau lebih.
16
8) Perubahan sistem muskuluskeletal Ligamen, fasia dan diagfragma pelvis yang meregang pada waktu kehamilan dan persalinan beangsur-angsur pulih kembali seperti sediakala. Setelah persalinan tidak jarang ligamen rotundum mengendur. Fasia jaringan penunjang alat genetalia yang mengendur dapat diatasi dengan latihan tertentu. Mobilitas sendi yang berkurang dan posisi lordosis akan kembali secara perlahan. 9) Perubahan pada payudara Selama kehamilan, hormone prolaktin dari plasenta meningkat tetapi ASI belum keluar karena masih dihambat oleh hormon esterogen yang tinggi. Pada hari kedua sampai hari ketiga pasca persalinan, kadar esterogen dan progesteron menurun sehingga hormone prolactin meningkat pada saat inilah terjadi sekresi ASI. Dengan menyusukan lebih dini perangsangan puting susu, terbentuklah prolaktin oleh hipofisis, sehingga ASI semakin lancar. Dua refleks pada ibu yang sangat penting dalam proses laktasi yaitu reflex prolactin dan reflex aliran timbul akibat perangasangan putting oleh hisapan bayi. Masalah menyusui pada masa nifas yaitu: a) Putting susu nyeri Putting nyeri disebabkan oleh kesalahan dalam teknik menyusui, yaitu bayi tidak menyusui sampai kalangan payudara. Bila bayi menyusu hanya pada putting susu ibunya,
17
maka bayi akan mendapat ASI sedikit karena gusi yang tidak menekan pada daerah sinus laktiferus sehing ibu akan mengalami nyeri b) Putting susu lecet Putting susu lecet dapat disebabkan arena posisi menyusui yang salah, bisa juga disebabkan oleh thrush (candidates) atau dermatitis. Dapat terjadi karena moniliasis pada mulut bayi yang menular pada putting susu ibu. c) Payudara bengkak Pembengkakan pada payudara terjadi karena ASI tidak disusui adekuat, sehingga sisa ASI terkumpul pada duktus yang mengakibatkan pembengkakan. Payudara bengkak sering terjadi pada hari ketiga dan keempat sesudah ibu melahirkan sehingga ibu merasa payudara seing penuh, tegang, nyeri, bengkak, ASI tidak keluar dan demam d) Mastitis Peradangan pada payudara yang disebabkan karena payudara yang bengkak yang tidak disuse secara adekuat dan terjadi mastitis. Putting yang lecet memudahkan kuman masuk kedalam payudara e) Abses payudara Komplikasi dari mastitis disebabkan karena meluasnya peradangan pada payudara
18
d. Tahap adaptasi psikologis ibu masa nifas Menurut Ambarwati (2010), tahap adaptasi psikologis yang terjadi pada ibu masa nifas yaitu: 1) Fase taking in Fase ini merupakan periode ketergantungan yang berlangsung dari hari 1-2 setelah melahirkan. Fokus perhatian ibu terutama pada dirinya sendiri. Pengalaman selama proses persalinan sering berulang diceritakanya. Kelelahan membuat ibu cukup istirahat untuk mencegah gejala kurang tidur, seperti mudah tersinggung. 2) Fase taking hold Fase ini berlangsung antara 3-10 hari setelah melahirkan. Wanita post partum ini berpusat pada kemampuan dalam mengontrol diri, fungsi tubuh. Berusaha untuk menguasai kemampuan merawat banyinya, menimang, menyusui dan mengganti popok. Ibu merasa khawatir akan ketidakmampuan dan rasa tanggung jawabnya merawat bayinya. Selain itu sangat sensitif sehingga mudah tersinggung 3) Fase letting go Pada fase ini berlangsung 10 hari setelah melahirkan. Ibu mengambil tanggung jawab dalam merawat bayinya. Ibu harus menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Keinginan untuk merawat diri dan bayinya meningkat pada fase ini.
19
e. Kebutuhan dasar ibu masa nifas Menurut Maritalia (2012), kebutuhan dasar ibu masa nifas adalah: 1) Nutrisi dan cairan Nutisi atau gizi adalah zat yang diperlukan oleh tubuh untuk keperluan metabolisme. Kebutuhan gizi pada masa nifas meningkat 25% karena berguna untuk proses kesembuhan karena setelah melahirkan dan untuk memproduksi air susu yang cukup untuk bayi. 2) Ambulansi Ambulansi dini disebut juga early ambulation adalah kebijakan untuk secepat mungkin membimbing klien keluar dari tempat tidurnya dan membimbing klien secepat mungkin untuk berjalan. Klien sudah diperbolehkan bangun dari tempat tidur setelah 24-48 jam setelah melahirkan. Kontraindikasi ambulansi dini yaitu pada klien dengan penyulit misalnya anemia, penyakit jantung, penyakit paru dll. Keuntungannya ambulansi dini adalah: a) Klien merasa lebih baik, lebih sehat dan lebih kuat b) Faal usus dan kandung kemih lebih baik c) Dapat lebih cepat untuk mengajari ibu untuk merawat bayinya
20
3) Eminilasi a) Miksi Buang air kecil normal apabila setiap 3-4 jam. Ibu diusahakan untuk buang air kecil sendiri, bila tidak bisa dilakukan tindakan: (1) Dirangsang dengan air mengalir didekatkan ke klien (2) Mengompres air hangat diatas simpisis pubis. Apabila tidak behasil bisa dilakukan pemasangan katater b) Defekasi Biasanya 2-3 hari setelah melahirkan masih sulit utuk buang air besar. Jika pasien pada hari ke 3 belum buang air besar maka diberikan laksan supositoria dan minum air hangat. Agar bisa buang air besar teratur maka perlu dilakukan diet, pemberian cairan, serta olahraga. 4) Kebersihan diri a) Perawatan perineum Apabila setelah buang air besar atau buang air kecil perineum dibersihkan secara rutin. Caranya dibersihakan dengan air sabun yang lembut minimal sekali sehari. Dimulai dari simphisis sampai anus sehingga tidak terjadi infeksi. Ibu juga diberi tahu untuk mengganti pembalut minimal 4 kali sehari. Apabila ada luka episiotomi atau laserasi sarankan utuk ibu menyentuh daerah luka.
21
b) Perawatan payudara (1) Menjaga payudara tetap bersih dan kering terutama puting susu dengan menggunakan BH menyokong payudara (2) Apabila puting susu lecet, oleskan kolostrum atau ASI yang keluar pada sekitar puting susu setiap kali menyusui. Menyusui tetap dilakukan dimulai dari puting yang tidak lecet (3) Apabila lecet sangat berat dapat di istirahatkan selama 24 jam, ASI dikeluarkan dan diminumkan dengan sendok (4) Untuk menghilangkan nyeri ibu dapat diberikan tablet analgetik 4-6 jam. 5) Istirahat Anjurkan ibu untuk istirahat yang cukup untuk mengurangi kelelahan, istirahat selagi bayi masih tidur, kembali ke kegiatan rumah tangga secara perlahan-lahan, mengatur kegiatan rumahnya sehingga dapat menyediakan waktu untuk istirahat pada siang hari kira-kira 2 jam dan malam hari 7-8 jam. Kurang istirahat pada ibu nifas
dapat
mengakibatkan
kurangnya
produksi
ASI,
memperlambat involusi, yang berakhirnya bisa menyebabkan perdarahan serta depresi 6) Seksual Apabila perdarahan telah berhenti dan epsiotomi sudah sembuh maka coitus bisa dilakukan pada 3-4 minggu setelah melahirkan.
22
Hasrat seksual pada bulan pertama akan berkurang baik kecepatanya maupun lamanya, juga orgasme pun akan menurun. Ada juga yang berpendapat bahwa coitus dapat dilakukan setelah masa nifas berdasarkan teori proses penyembuhan luka post partum sampai dengan 6 minggu. Secara fisik aman untuk memulai hubungan suami istri begitu darah merah berhenti. 7) Senam nifas Selama kehamilan dan persalinan ibu banyak mengalami perubahan fisik seperti dinding perut mengendur, longgarnya liang senggama dan otot dasar panggul. Untuk mengembalikan ke keadaan normal dan menjaga kesehatan agar tetap prima, senam nifas sangat baik dilakukan pada ibu setelah melahirkan. Senam nifas berupa gerakan-gerakan untuk mengencangkan otot, terutama otot -otot perut yang mengendur akibat kehamilan.
2. Senam nifas a. Pengertian senam nifas Senam nifas adalah senam yang dilakukan ibu nifas secara mandiri yaitu berupa latihan kegel panggul untuk memperkuat tonus otot yang hilang karena jaringan panggul meregang selama ibu hamil dan melahirkan (Bobak et. al., 2005). Senam nifas adalah suatu latihan yang sederhana di rumah sakit dan
dilanjutkan
di
rumah
yang
bertujuan
menolong
dalam
23
meningkatkan tonus otot, mengurangi berat badan pada masa nifas, dan membantu mencegah konstipasi (Ladewig et al., 2006). Senam nifas adalah senam kesegaran jasmani setelah persalinan yang bertujuan untuk mengecilkan dan megencangkan otot perut, serta mengembalikan ukuran liang senggama (Manuaba, 2006). b. Manfaat senam nifas Beberapa manfaat senam nifas secara umum adalah membantu penyembuhan rahim, perut, dan otot pinggul yang mengalami trauma serta mempercepat kembalinya bagian-bagian tersebut ke bentuk normal, membantu menormalkan otot yang menjadi longgar akibat kehamilan dan persalinan serta mencegah pelemahan dan peregangan lebih lanjut, menambah kemampuan menghadapi stress dan bersantai sehingga mengurangi depresi masa nifas. Selain itu manfaat khusus latihan perineal pada senam nifas adalah mampu menghindari terjadinya mengompol akibat stress, mencegah turunnya organ-organ pinggul, mengatasi masalah seksual. Dan manfaat khusus latihan perut pada senam nifas adalah mengurangi resiko sakit punggung dan pinggang,
mengurangi
varises
vena,
mengurangi
edema
(pembengkakan akibat tertahannya air) di kaki, mengatasi kram kaki, mencegah pembentukan gumpalan darah dalam vena (thrombi), memperlancar peredaran darah (Danuatmaja, et al., 2006).
24
c. Tujuan senam nifas Tujuan senam nifas antara lain untuk mencegah atau meminimalkan
komplikasi
pasca
melahirkan,
meningkatkan
kenyamanan, meningkatkan penyembuhan pelvis dan perineal, membantu pemulihan fungsi tubuh normal, meningkatkan pemahaman terhadap perubahan-perubahan fisiologis dan psikologi, melancarkan sirkulasi darah sehingga dapat terhindar dari infeksi masa nifas (Mochtar, 2007). d. Kontra indikasi senam nifas Ibu yang mengalami komplikasi selama persalinan tidak diperbolehkan untuk melakukan senam nifas. Demikian juga ibu yang mempunyai kelainan seperti jantung, ginjal atau diabetes kejang atau demam mereka diharuskan untuk beristirahat total sekitar 2 minggu (Yuliani, et al., 2012). e. Waktu dilakukan senam nifas Senam nifas sebaiknya dilakukan dalam waktu 24 jam setelah melahirkan, kemudian dilakukan secara teratur setiap hari. Dengan melakukan senam nifas sesegera mungkin, hasil yang didapat diharapkan dapat optimal dengan melakukan secara bertahap. Senam nifas sebaiknya dilakukan diantara waktu makan. Melakukan senam nifas setelah makan membuat ibu merasa tidak nyaman karena perut masih penuh. Sebaliknya jika dilakukan disaat lapar, ibu tidak akan mempunyai tenaga dan lemas. Senam nifas bisa dilakukan pagi atau
25
sore hari. Gerakan senam nifas ini dilakukan dari gerakan yang paling sederhana hingga yang tersulit. Sebaiknya lakukan secara bertahap dan terus menerus (Ambarwati, 2012) f. Persiapan sebelum melakukan senam nifas. Menurut Wulandari dan Handayani (2011), persiapan sebelum melakukan senam nifas ialah: 1) Sebaiknya mengenakan baju yang nyaman untuk olahraga 2) Anjurkan untuk minum air putih sebelum senam 3) Bisa dilakukan di matras atau tempat tidur 4) Memastikan tidak ada kontraindikasi. Mengecek tanda-tanda vital dilakukan sebelum dan sesudah senam 5) Boleh diiringi dengan musik yang disukai
3. Penurunan Tinggi Fundus Uteri a. Pengertian Penurunan tinggi fudus atau involusi uteri Involusio uteri adalah proses kembalinya uterus ke keadaan sebelum hamil. Proses ini dimulai segera setelah plasenta keluar diakibatkan kontraksi otot-otot polos uterus (Bobak, et al., 2008). Involusio uteri adalah proses yang dimulai setelah pengeluaran plasenta, dimana korpus uteri yang berkontraksi terletak kira-kira di pertengahan antara umbilikus dan simfisis, dan kembali ke ukuran semula seperti sebelum hamil dalam waktu sekitar empat minggu (Williams, et al., 2005).
26
b. Proses penurunan tinggi fundus uteri Menurut Ambarwati (2012), proses terjadinya penurunan tinggi fundus uteri sebagai berikut: 1) Autoliysis Autoliysis merupakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di dalam otot urine. Enzim proteolitik akan memendekkan jaringan otot yang telah tepat sempat mengendur hingga 1 kali panjang dari semula dan 5 kali lebih lebar dari semula. 2) Atrofi jaringan Jaringan yang berpoliferasi dengan adanya estrogen dalam jumlah besar, kemudian mengalami atrofi sebagai reaksi terhadap penurunan produksi estrogen yang menyertai pelepasan plasenta. Selain itu, lapisan desidua mengalami atrofi dan terlepas dengan meninggalkan lapisan basal yang akan beregenerasi menjadi endometrium baru 3) Efek oksitoksin Intensitas kontraksi uterus terus meningkat secara bermakna segera setelah bayi lahir. Hormon oksitoksin yang dilepas dari kelenjar hipofise memperkuat dan mengatur kontraksi uterus, mengompresi pembuluhn darah dan membantu proses hemostasis. Kontraksi dan retraksi otot uteri akan mengurangi suplai darah ke uterus. Proses ini akan memabantu mengurangi bekas luka tempat implantasi plasenta serta mengurangi perdarahan.
27
c. Faktor yang mempengaruhi penurunan tinggi fundus uteri Berdasarkan penelitan yang dilakukan Martini (2011), ada beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan tinggi fundus uteri yaitu: 1) Usia ibu Proses involusi uterus sangat dipengaruhi oleh usia ibu saat melahirkan. Usia 20 – 30 tahun merupakan usia yang sangat ideal untuk terjadinya proses involusi yang baik disebabkan karena faktor elastisitas dari otot uterus mengingat ibu yang telah berusia 35 tahun lebih elastisitas ototnya berkurang. Pada usia kurang dari 20 tahun elastisitasnya belum maksimal karena organ reproduksi yang belum matang. 2) Paritas Paritas mempengaruhi proses involusi uterus. Paritas pada ibu multipara cenderung menurun kecepatannya dibandingkan ibu yang primipara karena pada primipara kekuatan kontraksi uterus lebih tinggi dan uterus teraba lebih keras, sedangkan pada multipara kontraksi dan retraksi uterus berlangsung lebih lama. Semakin sering ibu hamil dan melahirkan, semakin dekat jarak kehamilan dan kelahiran, elastisitas uterus semakin terganggu, akibatnya uterus tidak berkontraksi secara
sempurna dan
mengakibatkan lamanya proses pemulihan organ reproduksi pasca persalinan.
28
3) Pendidikan Pendidikan dapat meningkatkan kematangan intelektual seseorang. Kematangan intelektual ini berpengaruh terhadap wawasan, cara berfikir seseorang, baik dalam tindakan maupun cara pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan. Ibu yang berpendidikan tinggi dalam penerimaan pendidikan kesehatan lebih baik penerapannya
dalam
perawatan
diri.
Keadaan
ini
akan
meningkatkan pemulihan kesehatan dalam proses involusi uteri. 4) Senam nifas Merupakan senam yang dilakukan pada ibu yang sedang menjalani masa nifas. Tujuannya untuk mempercepat pemulihan kondisi ibu setelah melahirkan, mencegah komplikasi yang mungkin terjadi selama masa nifas, memperkuat otot perut, otot dasar panggul, dan memperlancar sirkulasi pembuluh darah, membantu memperlancar terjadinya involusi uterus. 5) Mobilisasi dini Mobilisasi dini merupakan kebijaksanaan untuk membimbing ibu postpartum bangun dari tempat tidurnya dan berjalan. Mobilisasi menyebabkan perbaikan sirkulasi, membuat nafas dalam dan menstimulasi kembali fungsi gastrointestinal normal. Dengan mobilisasi dini kontraksi uterus akan baik sehingga fundus uteri keras, maka resiko perdarahan yang abnormal dapat dihindarkan, karena kontraksi menyempitan pembuluh darah yang terbuka.
29
6) Menyusui Memberikan ASI segera setelah bayi lahir memberikan efek kontraksi pada otot polos uterus. Kontak fisik setelah bayi lahir antara ibu dan bayi mengakibatkan konsentrasi perifer oksitosin dalam sirkulasi darah meningkat dengan respon hormonal oksitosin di otak yang memperkuat kontraksi uterus yang dapat membantu penurunan tinggi fundus uteri. d. Perubahan uterus masa nifas Proses involusi belangsung sekitar 6 minggu. Selam proses ini berat uterus akan mengalami penurunan dari 1000 gram menjadi 60 gram dan ukuran uterus berubah dari 15x11x7,5 cm menjadi 7,5x5x2,5 cm. Proses involusi ini disertai penurunan tinggi fundus uteri (TFU). Pada hari pertama TFU diatas simpisis pubis atau sekitar 12 cm. hal ini terus berlangsung dengan penurunan TFU 1 cm setiap harinya., sehingga pada hari ke 7 TFU berkisar 5 cm dan pada hari ke 10 TFU tidak teraba disimpisis pubis. Involusi uterus Plasenta lahir 7 hari
14 hari 6 minggu
Tinggi fundus Berat uterus uterus Setinggi pusat 1000 gr
Diameter uterus 12,5 cm
Pertengahan 500 gr anatra umbilicus dan simpisis pubis Tidak teraba 350 gr Normal 60 gr
7,5 cm
Palpasi serviks Lembut /lunak 2 cm
5 cm 2,5 cm
1 cm menyempit
Tabel 2.1 Perubahan uterus masa nifas
30
Involusi uteri dari luar dapat diamati yaitu denga memeriksa fundus uteri dengan cara: 1) Segera setelah persalinan, tinggi fundus uteri 2 cm dibawah pusat, 12 jam kemudian kembali 1 cm diatas pusat dan menurun kira-kira 1 cm setiap hari 2) Pada hari kedua setelah persalinan tinggi fundus uteri 1 cm dibawah pusat. Pada hari ke 3-4 tinggi fundus uteri 2 cm dibawah pusat. Pada hari ke 5-7 tinggi fundus uteri setengah dibawah pusat simpisis. Pada hari ke 10 tinggi fundus uteri tidak teraba (Ambarwati, 2010).
Gambar 2.1 tinggi fundus uteri masa nifas Sumber: Widjanarko (2009)
4. Asuhan Keperawatan pada Ibu Postpartum Asuhan keperawatan merupakan bentuk pelayanan keperawatan professional kepada klien dengan menggunakan metodelogi proses keperawatan. Asuhan keperawatan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar klien pada semua tingkatan usia dan tingkatan fokus.
31
Proses keperawatan merupakan metode ilmiah sistematik yang digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien guna mencapai dan mempertahankan keadaan bio-sosio-spiritual yang optimal (Asmadi, 2008) a. Pengkajian Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Iyer et al., 1991). Menurut Doenges (2001), pengkajian yang dilakukan pada pasien post partum yaitu: 1) Aktivitas atau istirahat Aktifitas atau istirahat klien bisa tampak berenergi, kelelahan atau mengantuk. 2) Sirkulasi Nadi biasanya melambat menjadi sekitar 50-70 x/menit karena hipersensitivitas vagal. Tekanan darah bervariasi, dapat lebih rendah sebagai respon terhadap analgesik atau meningkat pada respon pemberian oksitoksin atau hipertensi karena kehamilan. Terdapat edema pada ekstermitas atas, wajah atau umum karena kehamilan. Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kirakira 400-500 ml untuk kelahiran pervaginam atau 600-800 ml untuk kelahiran dengan pembedahan sectio caesaria
32
3) Integritas ego Reaksi emosional bervariasi dan dapat berubah-ubah misalnya prilaku yang menunjukkan kurang kedekatan, tidak berminat (kelelahan) atau kecewa. Dapat mengekspresikan masalah atau kehilangan kontrol, dapat mengekspresikan rasa takut mengenai kondisi bayi baru lahir dan perawatan segera pada neonatal. 4) Eliminasi Pada eliminasi sering konstipasi dan hemoroid. Kandung kemih mungkin teraba diatas simphisis pubis. Diuresis dapat terjadi bila tekanan bagian presentasi menghambat aliran urin. 5) Makanan atau cairan Abdomen lunak dengan tidak ada distensi pada awal, bising usus tidak ada, samar atau jelas. Klien dapat mengeluh lapar, haus atau mual akibat kelelahan pada saat persalinan. 6) Nyeri atau ketidaknyaman Klien akan mengeluh ketidaknyamanan dari berbagai sumber misalnya luka jahit di perineum, kandung kemih penuh atau perasaan dingin atau otot tremor dengan menggigil. 7) Keamanan Pada awalnya suhu tubuh meningkat sedikit (pengerahan tenaga, dehidrasi). Perbaikan episiotomi utuh, dengan tepi jaringan merapat.
33
8) Seksualitas Fundus keras terkontraksi, pada garis tengah dan terletak setinggi umbilikus. Drainase vagina atau lokea jumlahnya sedang, merah gelap dengan hanya beberapa bekuan kecil. Perineum bebas dari kemerahan, edema, ekimosis atau rabas. Striae mungkin ada pada abdomen, paha dan payudara. Payudara lunak dengan puting susu tegang. 9) Pemeriksaan fisik Menurut Stright (2004), pemeriksaan fisik pada klien post partum normal meliputi: a) Tanda-tanda vital meliputi tekanan darah, nadi , suhu dan pernapasan b) Inspeksi Inspeksi perineum apakah ada memar, bengkak, nanah, dan karakteristik episiotomi. Inspeksi karakteristik lokea yakni warna, jumlah, bau. Inspeksi kaki apakah ada edema. Inspeksi payudara apakah ada area kemerahan. Inspeksi puting susu apakah menonjol atau masuk kedalam. c) Palpasi Palpasi uterus lembek atau keras, lokasi dan nyeri tekan. Palpasi apakah ada nyeri tekan, hangat, benjolan dan nyeri pada kaki. Palpasi payudara untuk memeriksa apakah ASI sudah keluar, apakah ada nyeri tekan dan benjolan pada payudara.
34
10) Uji laboraturium dan pemeriksaan diagnostik Pemeriksaan darah lengkap, hemoglobin, hematokrit: mengkaji kehilangan darah selama persalinan Urinalis: kultur urine, darah, vaginal, dan lokea: pemeriksaan tambahan didasarkan pada kebutuhan individu b. Diagnosa keperawatan Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinik tentang respon individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan, sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan
sesuai
dengan
kewenangan
perawat.
Diagnosa
keperawatan terdiri dari 3 komponen yaitu respon, faktor berhubungan, tanda dan gejala (Setiadi, 2012). Menurut NANDA (2009), Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada klien dengan postpartum normal adalah: 1) Nyeri berhubungan agen cidera fisik 2) Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan edema jaringan 3) Konstipasi berhubungan dengan penurunan tonus otot 4) Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan kurang pengetahuan 5) Resiko
tinggi
perdarahan
berhubungan
dengan
kegagalan
miometrium dan mekanisme homeostatik 6) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan
35
c. Intervensi keperawatan Intervensi keperawatan adalah bagian dari fase pengorganisasian dalam proses keperawatan sebagai pedoman untuk mengarahakan tindakan
keperawatan
dalam
usaha
membantu,
meringankan,
memecahkan maslah atau untuk memenuhi kebutuhan klien. Proses perencanaan keperawatan meliputi penetapan tujuan perawatan, penetapan kriteria hasil, pemilihan intervensi yang tepat dan rasional dari
intervensi
dan
mendokumentasikan
rencana
perawat
(Hidayat, 2008). Kriteria hasil adalah batasan karakteristik atau indicator keberhasilan dari tujuan yang telah ditetapkan. Dalam menentukan kriteria hasil berorientasi pada SMART yaitu Spesifik, berfokus pada pasien, singkat dan jelas, M : Measurable, dapat diukur, A: Achieveble, realistis, R: Reasonable, ditentukan oleh perawat dan klien, Time: Kontrak waktu (Walid, 2012). Menurut NANDA (2009), intervensi keperawatan sesuai dengan diagnosa diatas yaitu: 1) Nyeri fisk berhubungan dengan agen cidera fisik Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah nyeri dapat teratasi dengan kriteria hasil berdasarkan Nursing Outcome Classification (NOC): a) Mampu mengontrol nyeri b) Melaporkan nyeri berkurang dengan manajemen nyeri
36
c) Mampu mengenali nyeri d) Tanda- tanda vital dalam batas normal Tekanan darah110/70120/80 mmhg, nadi 60-100 kali permenit, pernapasan 16-20 kali permenit, suhu 36,5-37,50C Intervensi NIC: a) Kaji skala nyeri(PQRST) pasien Rasional: untuk mengetahui tingkat nyeri b) Pantau tanda-tanda vital Rasional: Untuk mengetahui keadaan umum pasien dan merencanakan intervensi selanjutnya c) Berikan posisi nyaman Rasional: Memberikan posisi nyaman untuk menurunkan spasme otot d) Ciptakan lingkungan yang nyaman Rasional: meningkatkan kenyamanan pasien e) Ajarkan teknik relaksasi napas dalam Rasional: Membantu pasien meningkatkan kemampuan koping dalam manajemen nyeri f) Kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik Rasional : Menurunkan atau menghilangkan nyeri
37
2) Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan edema jaringan Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah nyeri dapat teratasi dengan kriteria hasil berdasarkan Nursing Outcome Classification (NOC) yaitu: a) Kandung kemih kosong b) Intake cairan dalam rentang normal 1-2 liter/hari c) Bebas infeksi saluran kemih d) Berkemih > 150 cc setiap kali e) Klien mampu berkemih secara mandiri Intervensi NIC: a) Pantau eliminasi urin meliputi frekuensi, konsistensi, bau, volume dan warna urin. Rasional: untuk mengetahui ada tidaknya gangguan pada sistem perekemihan b) Palpasi kandung kemih Rasional:
untuk mengetahui ada tidaknya distensi kandung
kemih c) Bantu pasien untuk berkemih secara berkala 6-8 jam post partum Rasional: untuk merangsang atau memudahkan berkemih d) Ajarkan pasien untuk mengetahui tanda dan gejala infeksi saluran kemih
38
Rasional: untuk meningkatkan kemampuan pasien untuk mengetahui tanda dan gejala infeksi saluran kemih e) Anjurkan klien untuk minum 6-8 gelas perhari Rasional: mencegah dehidrasi dan mengganti cairan yang hilang waktu melahirkan f) Kolaborasi dengan dokter pemasangan katater Rasional: untuk mengurangi distensi kandung, memungkinkan involusi uteri, dan mencegah atonia kandung kemih secara berlebihan. 3) Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas saluran gastrointestinal Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah konstipasi dapat teratasi dengan kriteria hasil berdasarkan Nursing Outcome Classification (NOC) yaitu: a) Pola eliminasi dalam rentang normal, feses lembut dan berbentuk b) Klien mampu mengeluarkan feses tanpa bantuan c) Tidak terjadi penyalahgunaan alat bantu d) Bising usus dalam batas normal 5-35 x/menit e) Mengintesti cairan dan serat dengan adekuat Intervensi NIC: a) Kaji warna, konsistensi dan ferkuensi feses pasca post partum
39
Rasional: untuk mengetahui ada tidaknya gangguan dari pencernaan klien b) Auskultasi adanya bising usus Rasional: untuk mengevaluasi fungsi usus c) Berikan informasi diet yang tepat tentang peningkatan makan dan cairan dan upaya untuk membuat pola pengosongan normal Rasional: peningkatan makanan dan cairan akan merangsang defekasi d) Anjurkan klien untuk meningkatkan aktivitas dan ambulansi Rasional: membantu meningkatkan peristaltik gastrointestinal e) Kolaborasi dengam dokter pemberian laksatif Rasional: untuk meningkatkan kebiasaan defekasi normal dan mencegah mengejan. 4) Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan kurang pengetahuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah ketidakefektifan pemberian ASI teratasi dengan kriteria hasil : a) Ibu dan bayi mengalami pemberian ASI yang efektif yang ditunjukkan dengan pengetahuan menyusui, memepertahankan menyusui, dan penyapihan menyusui b) Bayi menunjukkan kemantapan menyusui ditandai dengan sikap dan penempelan sesuai, menghisap dan menempatkan
40
lidah yang benar, mencengkram aerola dengan tepat, menelan dapat didengar, minimal menyusui 8 kali sehari. c) Mengenali isyarat lapar dari bayi dengan segera d) Mengindikasikan kepuasaan terhadap menyusui e) Tdak mengalami nyeri tekan pada payudara Intervensi NIC: a) Pantau keterampilan ibu dalam menempelkan bayi pada putting Rasional: Posisi dan perlekatan yang tidak benar pada payudara dapat menyebabkan lecet pada putting susu. b) Pantau integritas kulit putting Rasional: mengetahui apakah ada mastitis,putting susu lecet, putting susu terbenam, dan payudara bengkak yang merupakan masalah dalam pemeberian ASI. c) Demonstrasikan perawatan payudara sesuai dengan kebutuhan Rasional: dengan melakukan perawatan payudara, payudara menjadi bersih, melancarkan sirkulasi darah serta mencegah tersumbatnya saluran susu sehingga memperlancar pengeluaran ASI d) Instruksikan kepada ibu tentang teknik memompa payudara Rasional: memudahkan pemberian ASI apabila ibu bekerja di luar. Dengan penegluaran ASI membuat ibu merasa nyaman dan mengurangi ASI menetes.
41
e) Ajarkan teknik menyusui yang meningkatkan keterampilan dalam menyusui bayinya Rasional: teknik menyusui yang benar dengan adanya isapan bayi pada payudara akan merangsang terbentuknya oksitoksin oleh kelenjar hipofise. Oksitoksin membantu involusi uterus dan mencegah perdarahn pasca persalinan. 5) Resiko
tinggi
perdarahan
berhubungan
dengan
kegagalan
miometrium dan mekanisme homeostatik Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah resiko tinggi perdarahan dapat teratasi dengan kriteria hasil: a) Kehilangan darah selama post partum kurang dari 500 cc b) Kandung kemih kosong c) Kontraksi uterus baik d) Klien tidak pucat e) Kadar hemoglobin dan hematokit dalam batas normal f) Tanda- tanda vital dalam batas normal Tekanan darah110/70120/80 mmhg, nadi 60-100 kali permenit, pernapasan 16-20 kali permenit, suhu 36,5-37,50C Intervensi: a) Kaji jumlah lokea pasca persalinan Rasional: untuk mengukur kehilangan darah pasca persalinan b) Kaji kepenuhan kandung kemih dan kebersihan perineum
42
Rasional: kandung kemih yang penuh akan mengganggu kontrksi uterus dan untuk mengetahui episiotomi dan kebersihan perineum c) Pantau tanda-tanda vital pasien Rasional: untuk mengetahui keadaan umum pasien dan menentukan intervensi selanjutnya d) Kaji kadar hemoglobin dan hematokrit klien Rasional: hemoglobin dan hematokrit turun menendakan pasien kehilangan pasien e) Catat tinggi fundus uterus dan kontraksi uterus Rasional: untuk mengetahui ada tidaknya kontraksi uterus f) Lakukan masase uterus Rasional: mempercepat penurunan fundus uterus g) Berikan cairan intravena jenis isotonik Rasional:
untuk
mencegah
kekurangan
cairan
dan
meningkatkan volume darah h) Kolaborasi dengan dokter mengganti kehilangan darah Rasional: pengganti cairan yang hilang diperlukan untuk meningkatkan volume sirkulasi dan mencegah syok. 6) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma mekanis Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah resiko tinggi infeksi dapat teratasi dengan kriteria hasil berdasrkan NOC: a) Tidak ada tanda-tanda infeksi
43
b) Leukosit dalam batas normal(3,6-11 10ˆ3/uL) c) Tanda- tanda vital dalam batas normal Tekanan darah110/70120/80 mmhg, nadi 60-100 kali permenit, pernapasan 16-20 kali permenit, suhu 36,5-37,50C d) Pasien mampu mengetahui tanda-tanda infeksi Intervensi NIC: a) Kaji tanda infeksi Rasional: dugaan adanya infeksi b) Kaji leukosit pasien Rasional: leukosit meningkat menandakan terjadi infeksi c) Pantau tanda-tandaa vital Rasional: menentukan intervensi selanjutnya d) Lakukan perawatan luka dengan vulva hygiene Rasional: mencegah terjadinya infeksi e) Ajarkan pasien dan keluarga untuk mengetahui tanda-tanda infeksi Rasional: meningkatkan kemampuan pasien untuk menetahui tanda-tanda infeksi f) Ajarkan pasien untuk mencegah infeksi Rasional: meningkatkan kemampuan pasien untuk mencegah agar tidak terjadi infeksi g) Kolaborasi dengan dokter pemberian antibiotik Rasional: menurunkan mikroorganisme didalam tubuh
44
h) Kolaborasi dengan ahli gizi pemberian diet Rasional: untuk menjaga daya tahan tubuh dan mempercepat penyembuhan luka d. Implementasi keperawatan Implementasi keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencanan tindakan disusun dan ditunjukkan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan (Nursalam, 2008). Menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010), komponen tahap implementasi terdiri dari: 1) Tindakan keperawatan mandiri yang dilakukan tanpa instruksi dari dokter 2) Tindakan keperawatan mandiri ini ditetapkan dengan standar praktik American nurses association:
undang-undang praktik
keperawatan negara bagian dan kebijakan institusi perawatan kesehatan 3) Tindakan keperawatan kolaboratif Tindakan keperawatan kolaboratif di lakukan apabila perawat bekerja dengan anggota tim perawat kesehatan yang lain dalam membantu keputusan bersama yang bersetujuan untuk mengatasi masalah-masalah klien.
45
4) Dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap asuhan keperawatan 5) Frekuensi dokumentasi terganung pada kondisi klien dan terapi yang diberikan. e. Evaluasi Evaluasi keperawatan adalah tahapan akhir dari proses keperawatan yang menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan merupakan perbandingan hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan (Hidayat, 2008). Pada evaluasi klien dengan post partum normal kriteria evaluasi adalah sebagai berikut: 1) Mampu mengontrol nyeri,Melaporkan nyeri berkurang
dengan
manajemen nyeri, Mampu mengenali nyeri, Tanda- tanda vital dalam batas normal Tekanan darah110/70-120/80 mmhg, nadi 60100 kali permenit, pernapasan 16-20 kali permenit, suhu 36,537,50C 2) Kandung kemih kosong, Intake cairan dalam rentang normal 1-2 liter/hari, Bebas infeksi saluran kemih, Balance cairan seimbang 3) Bising usus dalam batas normal 5-35 x/menit, Tidak ada hemoroid,Klien mampu defekasi 4) Kehilangan darah selama post partum kurang dari 500 cc, Kandung kemih kosong, Kontraksi uterus baik, Klien tidak pucat, Kadar
46
hemoglobin dan hematokit dalam batas normal, Tanda- tanda vital dalam batas normal Tekanan darah110/70-120/80 mmhg, nadi 60100 kali permenit, pernapasan 16-20 kali permenit, suhu 36,537,50C 5) Tidak ada tanda-tanda infeksi, Leukosit dalam batas normal(3,6-11 10ˆ3/uL), Tanda- tanda vital dalam batas normal Tekanan darah110/70-120/80 mmhg, nadi 60-100 kali permenit, pernapasan 16-20 kali permenit, suhu 36,5-37,50C, Pasien mampu mengetahui tanda-tanda infeksi, Pasien mampu melaporkan rasa nyaman
- Senam Nifas
Tindakan keperawatan mencegah perdarahan : - IMD - Masase Uterus - Mobilisasi Dini
B. Kerangka Teori
Nyeri Akut
Merangsang ke hipotalamus dan korteks serebri
Deuresis
Dilatasi Saluran urinaria
Edema Kandung Kemih
Gangguan Sistem perkemihan
Resiko Tinggi Infeksi
Jalan masuknya mikro organisme patogen
Terputusnya Kontinuitas Jaringan
Luka Jahit
Episiotomi
Pelepasan zat histamine prostagladin
Resiko Tinggi perdarahan
Involusi uterus lambat
Kontraksi uterus lemah
Gangguan Sistem vagina
Gangguan Eliminasi Urin
Konstipasi
Peristaltik Usus menurun
Inaktivasi motilisas usus
Gangguan Sistem Gastrointestial
Ketidak efektifan pemberian ASI
Asi belum keluar
Terhambat hormone esterogen
Hormon Prolaktin meningkat
Gangguan pada payudara
Sumber : Hacker, 2001 Wulandari dan Handayani 2011 Doenges, 2001
Perubahan Fisiologis Masa Nifas
Post Partum Normal
47
48 48
C. Kerangka Konsep
Post Partum Normal
Aplikasi
Akibat:
Tindakan :
Penurunan Tinggi Fundus Uteri
Senam Nifas
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek aplikasi tindakan Subjek aplikasi riset yaitu ibu nifas dengan persalinan normal dalam keadaan sehat dan tidak memiliki riwayat penyakit lain seperti gagal jantung dan hipertensi.
B. Tempat dan waktu penelitian Tempat pengelolaan aplikasi tindakan senam nifas di ruang Bougenvil Rumah Sakit Umum Daerah Sukoharjo. Aplikasi tindakan senam nifas dilakukan pada 6 jam pertama setelah melahirkan dilakukan selama 2 hari berturut-turut pada pagi dan siang dan setiap sesi membutuhkan waktu 20 menit.
C. Media dan alat yang digunakan 1. Alat yang digunakan dalam melakukan senam nifas a. Matras atau tempat tidur b. Bantal c. Kursi 2. Alat yang digunakan untuk pengukuran tinggi fundus uteri a. Midline b. Kertas dan pena
49
50
D. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset 1. Fase interaksi a. Memberi salam dan menyapa klien b. Memperkenalkan diri c. Menjelaskan tujuan dan menyampaikan langkah prosedur tindakan d. Menjelaskan kontrak waktu e. Menanyakan kesiapan klien dan mencuci tangan 2. Fase kerja Menurut Brayshaw (2007), senam pascanatal pada persalinan normal yaitu: a. Senam kaki dan tungkai 1) Berbaring atau duduk ditempat tidur, dilantai atau di kursi dengan kedua kaki diregangkan ke depan dan disangga.
Gambar 3.1 senam kaki
2) Tekuk dan regangkan pergelangan kaki dengan cepat. Ulangi sebanyak 12 kali. Putar kedua kaki seolah membentuk lingkaran sebesar mungkin, pertahankan lutut tetap diam. Ulangi sedikitnya 12 kali pada setiap arah. 3) Tarik kedua kaki ke arah atas pada pergelangan kaki dan tekan bagian belakang lutut menyentuh permukaan lantai. Tahan sampai hitungan 5, bernapas normal kemudian rileks, ulangi 10 kali.
51
b. Senam dasar panggul 1) Posisi awal posisi mana saja yang nyaman dengan kedua kaki sedikit diregangkan. 2) Kerutkan anus seolah menahan defekasi, kerutkan uretra dan vagina juga seperti menahan berkemih kemudian ketiganya dikencangkan kearah dalam. Tahan dengan kuat selama mungkin sampai maksimum 10 detik, bernapas tetap normal. Lakukan rileksasi dan istirahat sejenak selama 3 detik. Ulangi gerakan dengan perlahan sebanyak yang anda bisa sampai maksimum 10 kali. Ulangi senam, kerutkan dan kendurkan dengan cepat sampai 10 kali tanpa menahan kontraksi. c. Senam abdomen 1) Posisi awal berbaring pada salah satu sisi dengan kedua lutut ditekuk ke atas dan bantal diletakkan diantara kedua tungkai atau berbaring terlentang dengan lutut ditekuk ke atas dan kaki di pijakkan diatas tempat tidur.
Gambar 3.2 Posisi awal berbaring terlentang lutut ditekuk
2) Pertahankan tulang belakang tetap pada posisi tengah, tarik napas sambil menghembuskan napas, secara perlahan dorong otot abdominal bawah ke arah tulang belakang. Tahan posisi sampai 10 detik, lanjutkan dengan bernapas normal, kemudian secara perlahan rileks. Ulangi sampai 10 kali.
52
3) Duduk tegap dikursi dengan kaki dipijakkan ke lantai. Letakkan tangan di abdomen dibawah umbilicus dengan jari-jari tangan mengarah ke garis tengah tubuh. 4) Pertahankan tulang belakang berada pada posisi tengah, tarik napas, sambil menghembuskan napas, secara perlahan tarik otot abdomen bagian bawah menjauh dari jari yang mengarah ke tulang belakang. Tahan posisi ini sampai 10 detik. Lanjutkan bernapas normal kemudian rileks secara perlahan. Ulangi sampai 10 kali. 5) Berdiri dengan tumpuan berat badan diatas kedua kaki. 6) Pertahankan tulang belakang pada posisi tengah, tarik napas dan hembuskan secara perlahan, tarik otot abdomen bagian bawah kearah tulang belakang. Tahan posisi ini samapai hitungan 10, lanjutkan bernaps nomal, kemudian rileks perlahan. Ulangi sampai 10 kali. d. Mengangkat panggul 1) Berbaring dengan lutut ditekuk ke atas dan kaki dipijakkan pada tempat tidur atau lantai. 2) Tarik otot abdomen, kencangkan otot bokong dan tekan sebagian punggung ke arah bawah terhadap penyangga. Tahan posisi sampai hitungan 5, bernapas normal, kemudian rileks. Ulangi sampai 10 kali. Gerakan ini dapat dilakukan dengan lebih berirama untuk mengurangi ketegangan pada punggung kapan pun perlu.
53
Gambar 3.3 senam mengangkat panggul
3) Duduk tegap di kursi. Cara senam yaitu tarik otot abdomen, kencangkan otot bokong dan tekan sebagian punggung ke sandaran kursi. Tahan posisi ini samapai hitungan 5, bernapas normal. Kemudian rileks dan ulangi sampai 10 kali. 4) Duduk dengan arah terbalik, duduk menghadap sandaran kursi dengan posisi kedua tangan bertumpu pada sandaran kursi. Cara senam yaitu tarik bagian abdomen kencangkan otot bokong, sedikit bungkukkan punggung bawah dan tahan posisi ini sampai hitungan 5 bernapas normal kemudian rileks. Ulangi samapi 10 kali. 5) Berdiri tegap dengan kaki sedikt diregangkan. Cara senam yaitu tarik otot abdomen dan dorong bagian bokong. Tahan sampai hitungan 5, bernapas normal, kemudian rileks, ulangi samapi 10 kali.
54
e. Senam stabilitas batang tubuh 1) Duduk dengan kaki berpijak dilantai dan tangan dibagian bawah abdomen
Gambar 3.4 posisi awal duduk
2) Kencangkan otot dasar panggul dan tranversus dan angkat satu lutut sehingga kaki terangkat beberapa inchi dari lantai. Tahan sampai hitungan 5 detik, pastikan bahwa panggul dan tulang belakang tetap pada posisinya. Ulangi 5 kali untuk masing-masing tungkai. Secara bertahap tingkatkan penahanan gerakan sampai 10 detik dan ulangi 10 kali. 3) Berbaring miring dengan kedua lutut ditekuk ke depan. Cara senam yaitu kencangkan otot dasar panggul dan tranversus dan angkat bagian atas lutut dengan menggerakan paha ke arah luar, tumit tetap berbaring tetap saling bersinggungan. Tahan sampai 5 detik, pastikan panggul atau tulang belakang tidak berotasi. Ulangi 5 kali untuk masing-masing tungkai. Secara bertahap tingkatkan waktu penahanan sampai 10 detik dan ulangi 10 kali
55
Gambar 3.5 stabilitas batang tubuh –menaikkan lutut
4) Berbaring miring dengan lutut yang dibawah ditekuk ke belakang. Cara senam yaitu tarik otot abdomen bawah dan naikkan tungkai atas mengarah ke atap (atas) sejajar dengan tubuh.tahan 5 detik pastikan punggung dan panggul tidak berotasi. Ulangi gerakan 5 kali pada masing-masing tungkai secara perlahan tingkatkan penahanan sampai 10 detik dan ulangi sebanyak 10 kali. Evaluasi kemajuan senam sampai beberapa minggu berikutnya, untuk mengendalikan panggul dan tulang belakang sementara angkat tungkai ke dinding dengan paha di rotasi ke luar.
Gambar 3.6 abduksi paha dalam posisi miring
5) Terlentang lutut ditekuk keatas dan kaki berpijak ke lantai tangan taruh di diatas abdomen bawah. Cara senam yaitu tarik abdomen bagian bawah dan biarkan lutut
membuka sedikit
yang
mengontrolnya untuk meyakinkan bahwa panggul tetap tinggi dan punggung tetap datar. Secara perlahan kembalikan lutut keposisi tegak. Ulangi lagi 5 kali untuk lutut yang lain. Tingkatkan pengulangan secara bertahap sampai 10 kali. Beberapa minggu
56
kemudian lanjukan pengendalian panggul dengan lutut lebih rendah.
Gambar 3.7 memutar lutut kearah luar sambil mempertahankan tubuh diam
6) Terlentang lutut ditekuk ke atas dan kaki berpijak pada lantai, tangan di abdomen bawah. Cara senam yaitu tarik otot abdomen bawah dan secara lembut geser tumit salah satu tungkai ke arah bawah dengan mempertahankan punggung datar dan panggul tinggi. Hentikan bila panggul mulai bergerak.secara perlahan kembalikan lutut ke posisi menekuk. Ulangi 5 kali pada tungkai yang lain secara bertahap tingkatkan pengulangan sampai 10. Beberapa minggu kemudian tingkatkan pengendalian panggul serta penguatan tungkai.
Gambar 3.8 mengencangkan salah satu kaki sambil mempertahankan panggul dan punggung tetap diam
3. Tahap terminasi a. Merapikan klien b. Melakukan evaluasi tindakan c. Menyampaikan rencana tindak lajut d. Berterimakasih atas kerjasama dengan klien e. Berpamitan
57
E. Alat ukur evaluasi dari aplikasi tindakan berdasarkan riset 1. Persiapan pasien a. Ibu di minta untuk berkemih karena kandung kemih yang penuh akan menyebabkan atonia uteri. b. Posisikan ibu datar di tempat tidur dengan kepala diletakkan pada posisi yang nyaman dengan sebuah bantal, karena posisi terlentang mencegah terjadinya kesalahan pengkajian pada tinggi fundus. 2. Menentukan kontraksi uterus dengan cara : a. Letakkan satu tangan dengan lembut pada uterus bagian bawah. Gunakan bagian pinggir tangan yang lain, untuk mempalpasi perut sampai dapat mengidentifikasi lokasi atas fundus. b. Tentukan apakah fundus keras. Jika tidak keras, pijat abdomen dengan ringan hingga fundus keras. Fundus yang keras mengindikasikan bahwa otot-otot berkontraksi dan perdarahan tidak akan terjadi. c. Uterus tidak akan berkontraksi secara baik, kuat, dan sentral. Fundus terletak lebih tinggi daripada umbilicus jika teraba lunak yang disebut boggy, menunjukkan adanya infeksi. 3. Menentukan tinggi fundus uteri a. Ukur bagian atas fundus dengan menggunakan pita centimeter agar mendapat hasil yang akurat. Tinggi fundus memberikan informasi tentang perkembangan involusi uteri. b. Lalu catat, tinggi fundus dicatat dalam ukuran centimeter (cm) dimulai dari observasi pertama sampai observasi terakhir. Lakukan suatu
58
catatan yang permanen. Adanya suatu catatan maka akan dapat diketahui perkembangan involusi uteri dari hari pertama sampai hari ke sepuluh, dan dapat diambil kesimpulan adakah pengaruh senam nifas dalam mempercepat involusi uterus (Ladewing, et al., 2006).
59
BAB IV LAPORAN KASUS
Pada
BAB
ini
penulis
menjelaskan
tentang
laporan
“Asuhan
Keperawatan pada Ny. T G2P2A0 dengan Post partum Normal di Ruang Bougenvil RSUD Sukoharjo”. Klien masuk rumah sakit pada hari minggu, 8 Maret 2015 jam 23.00 WIB dan dilakukan pengkajian dilakukan pada tanggal 9 Maret 2015 jam 09.00 WIB. Pengkajian yang dilakukan dengan metode autoanamnesa dan alloanamnesa. Asuhan keperawatan dimulai dari pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi keperawatan sampai evaluasi keperawatan. Observasi dilakukan secara langsung, catatan medis dan catatan keperawatan. A. Pengkajian 1. Identitas Klien Klien bernama Ny.T, sudah menikah, umur 28 tahun, pendidikan terakhir SMA, dengan alamat Gebyok RT 02/ RW 05 Krajan Sukoharjo. Klien beragama Islam, suku jawa, pekerjaan sebagai pedagang. Diagnosa medis post partum normal, nomor rekam medik 292998, dokter yang menangani dr. Ali Sp.OG. Penanggungjawab sekaligus suami klien adalah Tn. S, umur 32 tahun dan bekerja sebagai pedagang.
59
60
2. Riwayat persalinan, kehamilan dan ginekologi Riwayat persalinan pada anak pertama Ny.T yaitu persalinan normal dengan jenis kelamin perempuan dan berat badan lahir 3400 gram, keadaan bayi saat lahir normal, tidak ada komplikasi nifas, umur sekarang 5 tahun. Pengalaman menyusui anak yang pertama diberi ASI sampai 2 tahun. Riwayat kehamilan saat ini, klien dengan kehamilan yang kedua, usia kehamilan 37 minggu. Periksa kehamilan 9 kali rutin setiap bulan dibidan desa pada trimester pertama periksa kehamilan 1 bulan sekali, pada trimester kedua periksa kehamilan 1 bulan sekali, pada trimester ketiga periksa kehamilan 1 bulan sekali. Masalah kehamilan yang dialami pada trimester pertama yaitu mual-mual sedangkan pada trimester kedua dan ketiga tidak ada keluhan. Jenis persalinan normal, letak kepala dibawah masuk pintu atas panggul, lahir pada tanggal 9 Maret 2015 jam 00.45 WIB, jenis kelamin bayi laki-laki dengan berat badan 3200 kg, panjang badan 49 cm, lingkar kepala 34 cm dan lingkar dada 33cm. Perdarahan yang dialami selama masa setelah melahirkan ± 150 cc sedangkan perdarahan selama persalinan ± 300 cc. Tidak ada masalah dalam persalinan. Riwayat ginekologi, klien mengatakan tidak mengalami masalah ginekologi, riwayat penggunaan kontrasespsi menggunakan kontrasepsi suntik 3 bulan sekali selama 2 tahun.
61
3. Data postnatal Status obstetrikus G2P2A0, kondisi bayi rawat gabung, keadaan umum baik, kesadaran composmentis atau sadar penuh dengan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) 15 (E4V5M6), berat badan 70 kg dan tinggi badan 160 cm. Pemerikasaan tanda- tanda vital didapat tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 84 x/menit, irama teratur dan teraba kuat, frekuensi pernapasan 18 x/menit, irama teratur, suhu 36,50C. Pada pemeriksaan fisik kepala sampai leher didapat bentuk kepala mesochepal, tidak ada jejas, rambut hitam, konjungtiva tidak anemis, sklera non ikterik, pupil isokor, tidak, menggunakan alat bantu penglihatan, palpebra tidak edema, simestris kanan kiri, bersih tidak ada serumen, tidak ada polip, tidak menggunkan pernafasan cuping hidung, gigi dan mulut bersih, tidak ada stomatitis, bibir tidak sumbing telinga kanan dan kiri simetris, bersih tidak ada serumen, tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, tidak ada peningkatan vena jugularis Pada pemeriksaan jantung yaitu inspeksi ictus cordis tak tampak, palpasi ictus cordis teraba di SIC 5 mid clavicula sinistra, perkusi pekak, auskultasi bunyi jantung I dan II murni, reguler. Pada pemeriksaan paru yaitu inspeksi simetris, ekspansi paru kanan dan kiri sama, palpasi vokal fremitus kanan dan kiri sama, perkusi sonor, auskultasi vesikuler. Pada pemeriksaan payudara yaitu payudara tampak membesar, puting susu menonjol, terdapat hiperpigmentasi aerola, ASI keluar sedikit, payudara
62
teraba masih keras. Klien mengatakan payudaranya terasa kencang dan ASI keluar hanya sedikit. Pada pemeriksaan abdomen yaitu involusi uterus belum kembali seperti semula, tinggi fundus uterus 2 jari dibawah pusat atau 15 cm. Kontaksi uterus baik dan teraba keras dengan posisi globuler (membulat). Kandung kemih teraba penuh, klien mengatakan belum buang air kecil karena terasa nyeri. Diastasis rektus abdominalis 16 cm x 8 cm. Fungsi pencernaan baik ditandai dengan bising usus 16x/menit. Pada pemeriksaan perineum dan genitalia didapat vagina warna abu, portio lunak, tidak ada hematom dan tidak ada edema serta integritas kulit baik. Terdapat luka jahit post episiotomi ± 4cm, tidak ada tanda redness, echimosis, edema, discharge, dan approximate (REEDA). Perineum bersih, klien selalu menjaga kebersihan vaginanya dengan mengganti pembalut 2-3 kali sehari, lochea rubra ±150 cc, tidak ada hemoroid. Ekstermitas atas sebelah kanan dan kiri didapat kekuatan otot penuh dengan skor 5, Range of Motion (ROM) kanan dan kiri aktif. Tangan kiri terpasang selang infus, capillary refil < 2 detik, tidak ada perubahan bentuk tulang dan tidak ada edema. Ekstermitas bawah sebelah kanan dan kiri didapat kekuatan penuh dengan skor 5 , Range of Motion (ROM) kanan dan kiri aktif, capillary refil < 2 detik, tidak ada perubahan bentuk tulang, tidak ada edema, tidak ada varises, tanda homan tidak terkaji.
63
Eliminasi selama dirumah sakit klien mengatakan buang air kecil 2-3 kali, warna kuning keruh, bau amoniak, jumlah ± 600cc/hari, tidak terpasang. Klien mengatakan nyeri saat buang air kecil karena terdapat jahitan di vaginanya. Klien mengatakan sudah buang air besar 1 kali tadi pagi, warna kuning kecoklatan, bau khas, jumlah ±100cc/hari, konsistensi lunak berbentuk, klien mengatakan agak sulit buang air besar. Istirahat dan kenyamanan klien mengatakan tidur 5-6 jam, kualitas tidur lelap, tidak ada pengantar tidur, terbangun pada saat malam hari karena bayinya menangis, perasaan setelah bangun nyaman. Klien mengatakan nyeri pada vagina karena jahitan setelah melahirkan dan nyeri bertambah ketika digerakkan, klien mengatakan terasa perih, nyeri pada bagian vagina, skala nyeri 3 dan nyeri hilang timbul. Klien tampak merintih menahan nyeri. Tingkat mobilitas dan latihan, klien mengatakan sudah bisa miring kanan dan kiri serta bisa duduk dan berdiri tetapi masih terasa nyeri. Klien mengatakan belum melakukan senam nifas karena takut untuk bergerak banyak. Nutrisi dan cairan klien mengatakan makan 3x sehari, jenis makanan nasi, sayur, lauk pauk, snack, buah, 1 porsi habis, sedangkan asupan cairan, klien mengatakan minum 5-6 gelas/hari, terdiri dari air putih, susu, air kacang hijau, jumlah ± 1,5 liter/hari, sebelum dan seudah baik makan atau minum tidak ada keluhan.
64
Keadaan mental klien dalam adaptasi psikologis taking in dimana pada fase ini ibu masih bergantung pada orang lain untuk membantu melakukan aktivitas, ibu membutuhkan nutrisi dan istirahat akibat kelelahan pada pasca persalinan. Ibu tampak bahagia atas kehadiran bayinya dan selalu mendapat dukungan oleh suami dan anaknya. Ibu menerima
kehadiran
bayinya
dengan
senang,
ibu
meningkatkan
kemampuan merawat bayinya, menimang, menyusui dan mengganti popok. 4. Pemeriksaan Penunjang Pada tanggal 8 Maret 2015 jam 23.00 WIB didapatkan pemeriksaan laboraturium darah pada Ny.T yaitu : Hemoglobin 9,9 g/dl (normal 11,7-15,5), hematokrit 29,3 % (normal 35-47), leukosit 8,9 10ˆ3/uL(normal 3,6-11), eritrosit 3,44 10ˆ6/uL (normal 3,8-5,2), trombosit 195 10ˆ3/uL (normal 150-450), MCV 85,2 fl (normal 80-100), MCH 28,8 pg (normal 26-34), MCHC 33,8 g/dl (normal 36-52), GDS 94mg/dl (normal70-120), PT control 10,10 detik, PT klien 9,50 detik (normal 9,411,3), APTT control 33,4 detik (normal 25-35), APTT klien 34,6 detik (normal 23-35), golongan darah B, HbsAg nonreaktif. Pada tanggal 9 Maret 2015 jam 09.00 WIB didapatlan pemeriksaan laboraturium darah pada Ny. T yaitu : Hemoglobin 9,9 g/dl (normal 11,715,5), hematokrit 35,1 % (normal 35-47), leukosit 14,3 10ˆ3/uL(normal 3,6-11), eritrosit 3,82 10ˆ6/ uL (normal 3,8-5,2), trombosit 205 10ˆ3/uL (normal 150-450), MCV 89,9 fl (normal 80-100), MCH 29,4 pg (normal
65
26-34), MCHC 36,2 g/dl (normal 36-52), GDS 110 mg/dl (normal70-120), PT klien 9,50 detik (normal 9,4-11,3), APTT klien 33,2 detik (normal 2335). 5. Terapi Obat Terapi yang diberikan pada tanggal 9 -10 Maret 2015 yaitu: infus Ringer Laktat (RL) dengan dosis 20 tetes per menit merupakan golongan larutan elektrolit yang memiliki kandungan natrium klorida, kalium, kalsium, natrium laktat, air dan memilki fungsi farmakologi untuk pengobatan kekurangan cairan dimana rehidrasi oral secara oral tidak dimungkinkan. Injeksi intravena yang diberikan yaitu ampicillin dengan dosis 1 gram/8 jam merupakan antibiotik golongan penisilin memiliki kandungan ampicillin trihidrat dan memiliki fungsi farmakologi pengobatan untuk infeksi yang disebabkan bakteri patogen gram positif dan negatif.
B. Analisa Data Dari hasil pengkajian yang dilakukan pada tanggal 9 Maret 2015 jam 09.30 WIB diperoleh data subyektif klien mengatakan nyeri karena jahitan setelah melahirkan dan bertambah ketika digerakkan, nyeri terasa perih pada bagian vagina dengan skala nyeri 3 dan nyeri terjadi hilang timbul. Data obyektif yang didapat klien tampak merintih menahan nyeri, terdapat luka jahit post episiotomi ± 4cm dibagian perineum. Berdasarkan analisa data
66
diatas, maka dapat dirumuskan diagnosa keperawatan yaitu nyeri akut behubungan dengan agen cidera fisik. Jam 09.35 WIB diperoleh data subyektif klien mengatakan masih mengeluarkan darah warna merah. Data obyektif yang didapat lochea rubra ± 150 cc, warna merah segar, bau amis, tidak ada hematom, kehilangan darah selama persalinan ± 300 cc, kontraksi uterus baik dan teraba keras, kandung kemih penuh, keadaan umum baik, kesadaran composmentis atau sadar penuh dengan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) 15 (E4V5M6), pemeriksaan tandatanda vital di dapat tekanan darah110/70 mmHg, nadi 84 x/menit, teratur dan kuat, pernapasan 18 x/menit,teratur, suhu 36,50C. Pemeriksaan darah tanggal 9 Maret 2015 didapat hemoglobin 9,9 g/dl, hematokrit 35,1 %, trombosit 205 10ˆ3/uL. Berdasarkan analisa data diatas dirumuskan diagnosa keperawatan resiko
perdarahan
berhubungan
dengan
kegagalan
miometrium
dan
mekanisme homeostatik. Jam 09.40 WIB diperoleh data subyektif klien mengatakan melahirkan secara normal pada tanggal 9 maret 2015 dan dibagian vaginanya di jahit. Data obyektif di dapat terdapat luka jahit post episiotomi ± 4cm, tidak ada tanda-tanda redness, echimosis, edema, discharge, dan approximate (REEDA), pemeriksaan darah
leukosit
14,3 10ˆ3/uL, suhu
36,50C.
Berdasarkan analisa data diatas dirumuskan diagnosa keperawatan resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
67
C. Prioritas diagnosa keperawatan Berdasarkan rumusan masalah keperawatan dari hasil analisa data, maka dapat diprioritaskan diagnosa keperawatan sebagai berikut pertama nyeri akut behubungan dengan agen cidera fisik. Kedua resiko perdarahan berhubungan dengan kegagalan miometrium dan mekanisme homeostatik, ketiga resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
D. Intervensi keperawatan Setelah penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan, penulis membuat intervensi keperawatan dengan tujuan keperawatan pada diagnosa pertama, setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam masalah keperawatan nyeri akut berkurang dengan kriteria hasil skala nyeri berkurang dari skala 3 menjadi 0, tidak ada keluhan nyeri, klien tampak rileks, klien mampu mengontrol rasa nyeri. Intervensi atau perencanaan keperawatan berdasarkan diagnosa pertama yaitu kaji skala nyeri (penyebab nyeri, kualitas nyeri, letak nyeri, skala nyeri dan waktu terjadinya nyeri) klien dengan rasional untuk mengetahui tingkatan nyeri. Pantau tanda-tanda vital dengan rasional untuk mengetahui keadaan umum klien dan merencanakan intervensi selanjutnya. Berikan posisi nyaman dengan rasional untuk menurunkan spasme otot. Ciptakan
lingkungan
yang
nyaman
dengan
rasional
meningkatkan
kenyamanan klien. Ajarkan teknik rileksasi napas dalam dengan rasional membantu klien meningkatkan kemampuan koping dalam manajemen nyeri.
68
Kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik dengan rasional menurunkan atau menghilangkan nyeri. Pada diagnosa kedua, penulis membuat tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam masalah keperawatan resiko perdarahan tidak terjadi dengan kriteria hasil kehilangan darah selama post partum kurang dari 500 cc, kandung kemih kosong, kontraksi uterus baik, klien tampak segar, tidak pucat, kadar hemoglobin dalam batas normal (11,715,5g/dl) dan kadar hematokrit dalam batas normal (35-47%), tanda tanda vital normal (tekanan darah 110/70-120/80mmHg, nadi 60-100x/menit, pernapasan 16-20x/menit, suhu 36,5-37,50C). Intervensi atau perencanaan keperawatan berdasarkan diagnosa kedua yaitu kaji jumlah lochea pasca persalinan dengan rasional untuk mengetahui kehilangan darah pasca persalinan. Kaji kepenuhan kandung kemih dan kaji perineum dengan rasional kandung kemih yang penuh akan mengganggu kontaksi uterus dan untuk mengetahui luka jahit post episiotomi dan kebersihan perineum. Pantau tanda-tanda vital dengan rasional untuk mengetahui keadaan umum klien dan untuk menentukan intervensi selanjutnya. Kaji kadar hemoglobin dan hematokrit klien dengan rasional hemoglobin dan hematokrit turun menandakan klien kehilangan darah. Catat tinggi fundus uterus dan kontraksi uterus dengan rasional untuk mengetahui ada tidaknya kontraksi uterus. Lakukan masase fundus dengan rasional untuk mempercepat penurunan fundus. Berikan cairan intravena jenis isotonik dengan rasional untuk mencegah terjadinya kekurangan cairan. Ajarkan senam
69
nifas dengan rasional untuk memperbaiki sirkuasi darah, mencegah perdarahan dan mempercepat penurunan fundus. Kolaborasi dengan dokter pemberian obat hemostatik dengan rasional untuk menghentikan perdarahan. Pada diagnosa ketiga, penulis membuat tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam masalah keperawatan resiko tinggi infeksi dapat teratasi dengan kriteria hasil tidak ada tanda-tanda infeksi, leukosit dalam batas normal (3,6-11 10ˆ3/uL), tanda-tanda vital dalam batas normal (tekanan darah 110/70-120/80 mmHg, nadi 60-100x/menit, pernapasan 16-20x/menit, suhu 36,5-37,50C), klien mampu mengetahui tanda-tanda infeksi, klien mampu melaporkan rasa nyaman. Intervensi atau perencanaan keperawatan berdasarkan diagnosa ketiga yaitu kaji tanda infeksi dengan rasional dugaan adanya infeksi. Kaji leukosit klien dengan rasional leukosit meningkat menandakan terjadi infeksi. Pantau tanda-tanda vital dengan rasional untuk mengetahui keadaan umum dan menentukan intervensi selanjutnya. Lakukan perawatan luka dengan vulva hygiene dengan rasional mencegah terjadinya infeksi. Ajarkan klien dan keluarga untuk mengetahui tanda-tanda infeksi dengan rasional meningkatkan kemampuan klien untuk menetahui tanda-tanda infeksi. Ajarkan klien untuk mencegah infeksi dengan rasional meningkatkan kemampuan klien untuk mencegah agar tidak terjadi infeksi. Kolaborasi dengan dokter pemberian antibiotik dengan rasional menurunkan mikroorganisme didalam tubuh. Kolaborasi dengan ahli gizi pemberian diet dengan rasional untuk menjaga daya tahan tubuh dan mempercepat penyembuhan luka.
70
E. Implementasi Keperawatan Penyusunan
intervensi
atau
perencanaan
keperawatan
telah
dilakukan, penulis kemudian melakukan implementasi atau tindakan keperawatan pada Ny.T, yang dilakukan hari pertama tanggal 9 Maret 2015 jam 10.20 WIB pada diagnosa keperawatan pertama, penulis mengkaji skala nyeri klien dengan respon subyektif klien mengatakan nyeri akibat luka jahit setelah melahirkan dan bertambah jika digerakkan, nyeri terasa perih, nyeri dibagian vagina, skala nyeri 3, nyeri hilang timbul, respon obyektif terdapat luka episiotomi ± 4cm dibagian perineum, klien tampak merintih menahan nyeri. Jam 10.25 WIB penulis memantau tanda-tanda vital dengan respon subyektif klien mengatakan bersedia untuk dipantau tanda-tanda vitalnya, respon obyektif klien menunjukkan tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 84 x/menit, teratur dan teraba kuat, pernapasan 18 x/menit, teratur, suhu 36,50C. Jam 11.25 WIB penulis memberikan posisi nyaman, dengan respon subyektif klien mengatakan nyaman dengan posisi tidur terlentang dan respon obyektif klien tampak rileks dengan tidur terlentang. Jam 11.40 WIB penulis menciptakan kondisi lingkungan yang nyaman dengan respon subyektif klien mengatakan menyukai lingkungan yang tenang ditemani suami dan anaknya. Respon obyektif klien tampak lebih tenang dan kondisi lingkungan tenang. Jam 12.00 WIB penulis mengajarkan teknik rileksasi napas dalam dengan respon subyektif klien mengatakan bersedia dan respon obyektif klien mampu melakukan ternik rileksasi napas dalam dan klien tampak rileks.
71
Implementasi atau tindakan keperawatan pada diagnosa kedua, jam 10.35 penulis mengkaji jumlah lochea pasca persalinan dengan respon subyektif klien mengatakan keluar darah dari vaginanya berwarna merah dan respon obyektif lochea rubra ±30cc, warna merah segar dan berbau amis. Pada jam 10.40 WIB penulis mengkaji perineum klien dan kandung kemih klien dengan respon subyektif klien mengatakan bersedia, klien mengatakan belum buang air kecil karena terasa nyeri dan respon obyektif perineum bersih, terdapat luka post episiotomi ±4 cm, kandung kemih penuh dan teraba keras. Jam 10.50 WIB penulis mengkaji kadar hemoglobin dan hematokrit dengan respon obyektif tanggal 8 Maret 2015 hemoglobin 9,9 g/dl hematokrit 29,3%, tanggal 9 Maret 2015 hemoglobin 9,9 g/dl hematokrit 35,1%. Jam 10.55 WIB penulis melakukan tindakan keperawatan mengajarkan senam nifas dengan respon subyektif klien mengatakan bersedia dan respon obyektif klien tampak rileks setelah melakukan senam nifas, klien melakukan senam nifas dibantu perawat. Jam 11.15 WIB penulis mengobservasi tinggi fundus uterus dan kontraksi uterus dengan respon subyektif klien mengatakan perutnya masih besar dan sudah buang air kecil. Respon obyektif tinggi fundus uterus 2 jari dibawah pusat atau 15 cm, kontraksi baik dan perut teraba keras. Jam 11.20 WIB penulis memberikan cairan intravena jenis isotonik ringer laktat (RL) dengan respon obyektif klien terpasang infus sejak taggal 8 Maret 2015 dengan jenis cairan isotonik ringer laktat (RL) 20 tpm, tetesan lancar. Jam 12.10 WIB penulis kembali mengajarkan senam nifas dengan respon subyektif klien mengatakan bersedia
72
untuk diajarkan senam nifas. Respon obyektif klien mampu melakukan senam nifas dipandu oleh perawat dan klien tampak nyaman setelah senam. Implementasi atau tindakan keperawatan pada diagnosa keperawatan ketiga, jam 10.45 WIB penulis mengkaji tanda-tanda infeksi klien dengan respon subyektif klien mengatakan bersedia dan respon obyektif tidak terdapat tanda infeksi, tidak terdapat redness, echimosis, edema, discharge, dan approximate (REEDA). Jam 11.10 WIB penulis mencatat kadar leukosit klien dengan respon obyektif pemeriksaan leukosit tanggal 8 Maret 2015 8,9 g/dl dan tanggal 9 Maret 2015 14,3 10ˆ3/uL. Jam 11.30 WIB penulis melakukan perawatan luka dengan melakukan vulva hygiene untuk mencegah infeksi, respon subyektif klien mengatakan mau untuk dibersihkan vaginanya. Respon obyektif vagina tampak bersih, klien tampak nyaman setelah dibersihkan. Jam 11.45 WIB penulis berkolaborasi dengan ahli gizi pemberian diet tinggi kalori tinggi protein (TKTP) dengan respon obyektif klien makan makanan dari rumah sakit sesuai dengan diet yang diberikan. Jam 11.50 WIB penulis mengajarkan klien dan keluarga untuk mengetahui tanda-tanda infeksi dengan respon subyektif klien dan keluarga mengatakan paham mengenai tanda-tanda infeksi dan respon obyektif klien dan keluarga mampu menjelaskan kembali yang diajarkan perawat. Jam 11.55 WIB penulis mengajarkan klien dan keluarga untuk mencegah infeksi dengan respon subyektif klien dan keluarga bersedia untuk diajarkan cara mencegah infeksi dan respon obyektif klien dan keluarga paham yang diajarkan perawat.
73
Pada hari kedua tanggal 10 Maret 2015 jam 08.00 WIB, penulis melakukan implementasi atau tindakan keperawatan pada diagnosa pertama, memantau tanda-tanda vital dengan respon subyektif klien mengatakan bersedia untuk dipantau tanda-tanda vitalnya dan respon obyektif klien menunjukkan tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 78 x/menit, teratur dan teraba kuat, pernapasan 16 x/menit, teratur, suhu 36,50C. Jam 08.45 WIB penulis mengkaji skala nyeri klien dengan respon subyektif klien mengatakan nyeri akibat luka jahit setelah melahirkan sudah tidak terasa, nyeri tidak terasa perih, nyeri dibagian vagina tidak terasa, skala nyeri 1, nyeri tidak hilang timbul, respon obyektif terdapat episiotomi ± 4cm dibagian perineum, klien tampak nyaman. Jam 09.15 WIB penulis menciptakan kondisi lingkungan yang nyaman dengan respon subyektif klien mengatakan menyukai lingkungan yang tenang ditemani suami dan anaknya, respon obyektif klien tampak lebih tenang, kondisi lingkungan tenang. Jam 09.20 WIB penulis memberikan posisi nyaman dengan respon subyektif klien mengatakan nyaman dengan posisi tidur terlentang dan respon obyektif klien tampak rileks dengan tidur terlentang. Jam 09.35 WIB penulis mengajarkan teknik rileksasi napas dalam dengan respon subyektif klien mengatakan bersedia, klien mengatakan melakukan rileksasi napas dalam apabila nyeri dan respon obyektif klien mampu melakukan teknik rileksasi napas dalam, klien tampak rileks. Implementasi atau tindakan keperawatan pada diagnosa kedua, jam 08.10 WIB penulis mengobservasi tinggi fundus uterus dan kontraksi uterus
74
dengan respon subyektif klien mengatakan perutnya besar dan sudah buang air kecil, respon obyektif tinggi fundus uterus berada diantara simphisis dan umbilicus atau 11 cm, kontraksi baik dan perut teaba keras. Jam 08.15 WIB penulis mengajarkan senam nifas dengan respon subyektif klien mengatakan sudah melakukan senam nifas kemarin sore, klien bersedia untuk senam kembali dan respon obyektif klien mampu mengulang senam secara mandiri tetapi gerakannya belum maksimal, klien mampu senam nifas dipandu dengan perawat. Jam 08.55 WIB penulis mengkaji jumlah lochea pasca persalinan dengan respon subyektif klien mengatakan keluar darah dari vaginanya berwarna merah. Respon obyektif lochea rubra ± 30cc, warna merah segar dan berbau amis. Jam 09.00 WIB penulis mengkaji perineum klien dan kandung kemih klien dengan respon subyektif klien mengatakan bersedia, klien mengatakan sudah buang air kecil, klien mengatakan mengganti pembalut 2-3 x sehari dan respon obyektif perineum bersih, terdapat episiotomi ±4 cm, kandung kemih kosong dan teraba lunak. Jam 09.50 WIB penulis memberikan cairan intravena jenis isotonik ringer laktat (RL) dengan respon obyektif klien terpasang infus sejak taggal 8 Maret 2015 dengan jenis cairan isotonik ringer laktat (RL) 20 tetes per menit, tetesan lancar. Jam 12.00 WIB penulis mengobservasi tinggi fundus uterus dan kontraksi uterus dengan respon subyektif klien mengatakan bersedia dan respon obyektif tinggi fundus uterus berada diantara simphisis dan umbilikus, tinggi fundus uterus 11 cm, kontraksi baik dan perut teraba keras. Jam 12.10
75
WIB penulis mengajarkan senam nifas dengan respon subyektif klien mengatakan bersedia dan respon obyektif klien tampak rileks setelah melakukan senam nifas, klien melakukan senam nifas dibantu perawat. Implementasi atau tindakan keperawatan pada diagnosa ketiga, jam 08.05 WIB penulis berkolaborasi dengan dokter pemberian antibiotik ampicillin 1 gram dengan respon subyektif klien mengatakan mau untuk disuntik dan respon obyektif injeksi ampicilin 1 gram sudah masuk lewat IV, tidak ada reaksi alergi, klien tampak rileks. Jam 09.10 WIB penulis mengkaji tanda-tanda infeksi klien dengan respon subyektif klien mengatakan bersedia dan respon obyektif tidak terdapat tanda infeksi, tidak terdapat redness, echimosis, edema, discharge, dan approximate (REEDA). Jam 09.25 WIB penulis melakukan perawatan luka dengan melakukan vulva hygiene untuk mencegah infeksi, respon subyektif klien mengatakan mau untuk dibersihkan vaginanya dan respon obyektif vagina tampak bersih, klien tampak nyaman setelah dibersihkan. Jam 10.10 WIB penulis mengajarkan klien dan keluarga untuk mengetahui tanda-tanda infeksi dengan respon subyektif klien dan keluarga mengatakan paham mengenai tanda-tanda infeksi, respon obyektif klien dan keluarga mampu menjelaskan kembali yang diajarkan perawat. Jam 10.20 WIB penulis mengajarkan klien dan keluarga untuk mencegah infeksi dengan respon subyektif klien dan keluarga bersedia untuk diajarkan cara mencegah infeksi, respon obyektif klien dan keluarga paham yang diajarkan perawat. Jam 11.25 WIB penulis berkolaborasi dengan ahli gizi pemberian diet tinggi
76
kalori tinggi protein (TKTP) dengan respon obyektif klien makan makanan dari rumah sakit sesuai dengan diet yang diberikan.
F. Evaluasi keperawatan Evaluasi keperawatan yang dilakukan dengan metode subyektif, obyektif, analisa dan perencanaan (SOAP). Pada hari senin, tanggal 9 Maret 2015 pada diagnosa pertama jam 14.05 WIB didapatkan hasil evaluasi sebagai berikut, untuk subyektif klien mengatakan nyeri akibat luka jahit setelah melahirkan berkurang tetapi masih sakit jika digerakkan, klien mengatakan nyeri terasa perih berkurang nyeri pada bagian vagina, skala nyeri 2 dan nyeri hilang timbul. Obyektif terdapat luka post episiotomi ±4 cm dibagian perineum, klien tampak merintih menahan nyeri, klien mampu melakukan rileksasi napas dalam. Pemeriksaan tanda-tanda vital tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 84 x/menit, tertur dan teraba kuat, pernapasan 18 x/menit, teratur dan suhu 36,50C. Analisa masalah nyeri akut teratasi sebagian, perencanaan keperawatan dilanjutkan sebagai berikut observasi skala nyeri klien, pantau tanda-tanda vital klien, ciptakan kondisi lingkungan yang nyaman, berikan posisi nyaman, ajarkan teknik rileksasi napas dalam. Pada diagnosa kedua, jam 14.10 WIB di dapatkan hasil evaluasi sebagai berikut, untuk subyektif klien mengatakan masih keluar darah warna merah. Obyektif Lochea rubra ± 50cc,warna merah segar,bau amis, kehilangan darah pasca persalinan ± 300 cc, kontraksi uterus baik, tinggi fundus uterus 15cm, kandung kemih sudah kosong, keadaan umum baik,
77
kesadaran composmentis Glasgow Coma Scale 15 E4V5M6, pemeriksaan tanda-tanda vital didapat tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 84 x/menit, teratur dan teraba kuat, pernapasan 18 x/menit, teratur dan suhu 36,50C. Pemeriksaan darah didapat hemoglobin 9,9 g/dl, hematokrit 35,1 %. Analisa
masalah
resiko
perdarahan
teratasi
sebagian,
perencanaan
keperawatan dilanjutkan sebagai berikut observasi jumlah lochea pasca persalinan, observasi kepenuhan kandung kemih dan perineum klien, pantau tanda-tanda vital klien, observasi kadar hemoglobin dan hematokrit, catat tinggi fundus uterus dan kontraksi uterus, berikan cairan intravena, ajarkan senam nifas, kolaborasi dengan ahli gizi pemberian diet. Pada diagnosa ketiga, jam 14.15 WIB didapatkan hasil evaluasi sebagai berikut, untuk subyektif klien mengatakan melahirkan secara normal dan dijahit dibagian vagina, klien sudah mengetahui tanda-tanda infeksi dan cara mencegah infeksi. Obyektif terdapat luka post episiotomi ± 4cm, tidak ada tanda-tanda redness, echimosis, edema, discharge, dan approximate (REEDA), klien sudah dilakukan perawatan luka dengan vulva hygiene, vagina tampak bersih. Pemeriksaan darah leukosit 14,3 10ˆ3/uL. Pemeriksaan tanda-tanda vital didapat tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 84 x/menit, teratur dan teraba kuat, pernapasan 18 x/menit, teratur, suhu 36,50C. Analisa masalah resiko tinggi infeksi teratasi sebagian, perencanaan keperawatan dilanjutkan sebagai berikut observasi tanda infeksi, observasi leukosit klien, monitor tanda-tanda vital, lakukan perawatan luka dengan vulva hygiene, ajarkan klien dan keluarga mengetahui tanda-tanda infeksi, ajarkan
78
klien dan keluarga mencegah infeksi, kolaborasi dengan dokter pemberian antibiotik. Pada hari selasa, tanggal 10 Maret 2015 jam 14.05 WIB pada diagnosa pertama didapatkan hasil evaluasi sebagai berikut, untuk subyektif klien mengatakan nyeri akibat luka jahit setelah melahirkan sudah tidak terasa, klien mengatakan nyeri tidak terasa perih, klien mengatakan nyeri dibagian vagina tidak terasa, skala nyeri 0, nyeri tidak hilang timbul. Obyektif terdapat luka post episiotomi ±4 cm dibagian perineum, klien mampu melakukan rileksasi napas dalam, klien tampak rileks. Pemeriksaan tanda-tanda vital tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 78 x/menit, teratur dan teraba kuat, pernapasan 16 x/menit, teratur, suhu 36,60C. Analisa masalah nyeri akut teratasi, sehingga perencanaan dihentikan. Pada diagnosa kedua, jam 14.10 WIB di dapatkan hasil evaluasi sebagai berikut untuk subyektif klien mengatakan masih keluar darah warna merah tetapi tidak sebanyak hari pertama. Obyektif
lochea rubra ± 50
cc,warna merah segar, bau amis, kehilangan darah pasca persalinan ±300 cc, kontraksi uterus baik, tinggi fundus uterus 11cm, kandung kemih sudah kosong, keadaan umum baik, kesadaran composmentis Glasgow Coma Scale 15 E4V5M6. Pemeriksaan tanda-tanda vital diadapat tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 78 x/menit, pernapasan 16 x/menit, suhu 36,60C. Pemeriksaan darah hemoglobin 9,9 g/dl, hematokrit 35,1 %, klien sudah melakukan senam nifas dan klien tampak rileks. Analisa masalah resiko perdarahan teratasi sebagian, perencanaan keperawatan dilanjutkan dengan discharge planning
79
sebagai berikut anjurkan klien untuk melakukan senam nifas dirumah, anjurkan klien untuk makan makanan yang bergizi, anjurkan klien untuk minum air 1-2liter/hari. Pada diagnosa ketiga, jam 14.10 WIB didapatkan hasil evaluasi sebagai berikut, untuk subyektif klien mengatakan melahirkan secara normal dan dijahit dibagian vagina, klien sudah mengetahui tanda-tanda infeksi dan cara mencegah infeksi. Obyektif terdapat luka post episiotomi ±4cm, tidak ada tanda-tanda redness, echimosis, edema, discharge, dan approximate (REEDA), klien sudah dilakukan perawatan luka dengan vulva hygiene, vagina tampak bersih. Pemeriksaan darah leukosit 14,3 10ˆ3/uL. Pemeriksaan tanda-tanda vital tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 78 x/menit, teratur dan teraba kuat pernapasan 16 x/menit, teratur, suhu 36,60C. Analisa masalah resiko tinggi infeksi teratasi sebagian, perencanaan dilanjutkan dengan discharge planning sebagai berikut anjurkan klien untuk menjaga kebersihan vagina, anjurkan klien kontrol jika terjadi infeksi, anjurkan klien untuk minum obat teratur.
80
BAB V PEMBAHASAN
Pada BAB ini penulis membahas “Aplikasi Tindakan Senam Nifas Terhadap Penurunan Tinggi Fundus Uterus Pada Asuhan Keperawatan Ny.T G2P2A0 dengan Post partum Normal” yang sudah dilakukan penulis di Ruang Bougenvil Rumah Sakit Umum Daerah Sukoharjo pada tanggal 9-10 Maret 2015. A. Pengkajian Riwayat persalinan masa lalu Ny.T pada anak pertama yaitu persalinan normal dengan jenis kelamin perempuan dan berat badan lahir 3400 gram, keadaan bayi saat lahir normal, tidak ada komplikasi nifas, umur sekarang 5 tahun. Pengalaman menyusui anak yang pertama diberi ASI sampai 2 tahun. Hal tersebut sesuai dengan kebijakan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 2004 mengenai pemberian ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan dan dianjurkan untuk dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai (Handayani, 2007). Kunjungan antenatal care (ANC) Ny.T selama kehamilan dilakukan setiap bulan atau 9 kali dibidan desa. Pada trimester pertama periksa kehamilan 1 bulan sekali, pada trimester kedua periksa kehamilan 1 bulan sekali, pada trimester ketiga periksa kehamilan 1 bulan sekali. Hal tersebut sesuai dengan teori, bahwa berdasarkan kebijakan Departemen Kesehatan 2001, kunjungan ANC pada ibu hamil minimal 4 kali yaitu, satu kali pada
80
81
trimester pertama (usia kehamilan 0-13 minggu), satu kali pada trimester kedua (usia kehamilan 14-27 minggu), dua kali pada trimester ketiga (usia kehamilan 28-40 minggu), namun lebih baik kunjungan tersebut dilakukan rutin dilakukan setiap bulan agar dapat segera terdeteksi jika ada penyulit atau komplikasi selama kehamilan (Sulistyawati, 2013). Masalah kehamilan yang dialami Ny.T pada trimester pertama yaitu mual-mual. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan Hanifa (2007) dalam Elsa dan Pertiwi (2012), pada trimester pertama terdapat perasaan mual (nausea). Rasa mual disebabkan karena posisi lambung dan aliran balik asam lambung ke esophagus bagian bawah. Hal tersebut menyebabkan asam lambung menurun sehingga sering terjadi nausea dan muntah karena pengaruh hormon HCG. Tidak jarang pada bulan pertama kehamilan terdapat gejala muntah (emesis) yang biasanya terjadi pada pagi hari, dikenal sebagai morning sickness. Pada trimester kedua dan ketiga Ny.T mengatakan tidak ada keluhan. Berdasarkan teori yang dikemukakan Sulistyawati (2013), pada trimester kedua ibu merasa sehat, tubuh sudah terbiasa dengan kadar hormon yang tinggi, ibu sudah bisa menerima kehamilannya, merasakan gerakan anaknya (quickening), merasa terlepas dari ketidaknyamanan dan kekhawatiran. Pada trimester ketiga ibu merasa tidak nyaman, merasa dirinya jelek aneh dan tidak menarik, takut akan rasa sakit dan bahaya fisik pada saat melahirkan, khawatir bayi yang dilahirkan tidak normal merasa sedih karena akan terpisah dengan bayinya dan merasa kehilangan perhatian. Terdapat ketidaksesuaian antara
82
teori dan kasus dikarenakan pada kasus Ny.T merupakan kehamilan yang kedua atau multigravida sehingga sudah berpengalaman dalam menghadapi proses perubahan yang terjadi saat kehamilan dan persalinan, maka ibu lebih bisa memahami dan akan lebih tenang (Saleha, 2003 dalam Rahmi, 2010). Riwayat kehamilan Ny.T saat ini cukup bulan dengan usia kehamilan 37 minggu, letak kepala di bawah dan sudah masuk pintu atas panggul, dilakukan persalinan normal pada tanggal 9 Maret 2015 jam 00.45 WIB, jenis kelamin bayi laki-laki dengan berat badan 3200 kg, panjang badan 49 cm, lingkar kepala 34 cm dan lingkar dada 33cm. Hal tersebut sesuai dengan teori Sumarsah (2009), persalinan normal adalah proses pengeluaran yang terjadi pada kehamilan cukup bulan 37-42 minggu, lahir spontan dengan presentasi kepala, yang berlangsung dalam waktu 18-24 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun janin. Menurut Dewi (2011) dalam Oktikasari (2013), batasan normal pada pengukuran tubuh saat lahir yaitu lingkar kepala 33-35 cm, lingkar dada 30-38 cm, panjang badan 48-52 cm, berat badan 2500-4000 gram. Selama proses persalinan Ny.T tidak ada masalah. Jumlah darah yang dikeluarkan selama persalinan ± 300 cc. Kehilangan darah selama kelahiran pervaginam kira-kira 400-500 ml dan 600-800 ml untuk kelahiran dengan pembedahan sectio caesaria (Doenges, 2001). Hal tersebut menandakan selama proses persalinan Ny.T tidak mengalami perdarahan. Pada riwayat ginekologi, Ny.T mengatakan tidak mengalami masalah ginekologi, namun selama 2 tahun menggunakan kontrasepsi jenis suntik 3
83
bulan sekali. Kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan. Kontrasepsi suntik merupakan metode kontrasepsi hormonal yang mempunyai efektifitas atau tingkat kelangsungan pemakaian relatif lebih tinggi serta angka kegagalan lebih rendah dibandingkan kontrasespsi sederhana. Jenis suntik yang digunakan yaitu tribulan atau depo provera yang diberikan setiap 3 bulan dengan dosis 150 mg melalui injeksi intramuskular (Mulyani dan Rinawati, 2013). Status obstetrikus Ny.T yaitu G2P2A0, pada pencatatan maternal wanita diidentifikasi dengan sistem GPA yaitu gravida atau G artinya jumlah kehamilan, paritas atau P artinya jumlah persalinan, abortus atau A artinya jumlah keguguran (Sulistyawati, 2013). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa status obstetrikus Ny.T merupakan kehamilan yang kedua atau multipara, pernah mengalami persalinan sebanyak dua kali dan belum pernah mengalami keguguran. Kondisi bayi rawat gabung. Dilakukan rawat gabung karena kondisi bayi dan ibu sehat. Hal tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan Purwati (2012), syarat rawat gabung dilakukan apabila nilai APGAR lebih dari 7, Berat Badan > 2500 gr dan < 4000 gr, masa kehamilan lebih dari 36 minggu dan kurang dari 42 minggu, lahir spontan, tidak ada infeksi intra partum, ibu sehat, tidak ada komplikasi persalinan baik pada ibu maupun pada bayinya, tidak ada kelainan bawaan yang berat. Bayi rawat gabung atau rooming in yaitu bayi ditempatkan dekat dengan ibunya dikamar yang sama dengan demikian ibu dapat dengan mudah menyusui bayinya. Pada ibu post partum penting dilakukan rawat gabung untuk mengurangi cross
84
infeksi dari bayi ke bayi lain, bayi akan mendapatkan rasa hangat dan sentuhan dari ibunya sehingga bayi akan merasa aman, serta meningkatkan pengetahuan pengalaman ibu dalam merawat bayinya (Wulandari dan Handayani, 2011). Keadaan umum Ny.T baik dapat dilihat dari tingkat kesadaran composmentis atau sadar penuh dengan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) 15 (E4V5M6). Respon mata 4 yaitu dapat membuka mata dengan spontan, respon verbal 5 yaitu baik dapat menjawab pertanyaan dengan kalimat yang baik dan tahu siapa dirinya, dimana ia berada, respon motorik 6 yaitu dapat mengikuti sesuai perintah (Walid, 2012). Pemerikasaan tanda-tanda vital didapat tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 84 x/menit, irama teratur dan teraba kuat, frekuensi pernapasan 18 x/menit, irama teratur, suhu 36,50C. Tanda dan gejala kehilangan darah dan hypovolemia pada perdarahan ringan 15 % volume darah (hingga 1000ml), takikardi ringan atau tidak ada, tekanan darah dan pernapasan normal, tidak ada perubahan pada nadi, tidak ada perubahan tanda-tanda vital dasar (Bilington, 2009). Perdarahan post partum merupakan kehilangan darah sebanyak 500 ml selama 24 jam setelah lahir, dengan perubahan tanda vital (sistolik < 90 mmHg, Nadi >100/menit, kadar hemoglobin < 8 gr, muka pucat, mengeluh pucat dan hiperpnea (Niswati, 2012). Sehingga dapat ditarik kesimpulan pada kasus Ny.T tidak mengalami tanda dan gejala perdarahan karena dilihat dari pemeriksaan tanda-tanda vital pada Ny.T dalam batas normal.
85
Pemeriksaan fisik mata pada Ny.T didapatkan konjungtiva tidak anemis. Menurut Rahayu (2012), pemeriksaan konjungtiva pada ibu post partum perlu dilakukan terkait dengan adanya perdarahan, pada ibu post partum dengan perdarahan akan mengalami kongjungtiva anemis atau pucat karena kehilangan darah. Hal tersebut menandakan bahwa pada kasus Ny.T tidak mengalami perdarahan karena jika dilihat dari konjungtiva pada Ny.T tidak anemis. Pada pemeriksaan payudara yaitu payudara tampak membesar, puting susu menonjol, terdapat hiperpigmentasi aerola, ASI keluar sedikit, payudara teraba masih keras. Klien mengatakan payudaranya terasa kencang dan ASI keluar hanya sedikit. Payudara menjadi besar saat hamil dan menyusui. Perubahan payudara pada Ny.T sesuai dengan teori Ambarwati (2010), terjadi pembesaran disebabkan oleh pertumbuhan struma jaringan penyangga dan penimbunan jaringan lemak. Aerola mamae berwarna kegelapan yang disebabkan oleh penipisan dan penimbunan pigmen pada kulitnya, perubahan ini tergantung dari kulit dan adanya kehamilan. Pada wanita yang corak kulitnya kuning langsat akan berwarna jingga kemerahan, bila kulitnya kehitaman maka warnanya akan lebih gelap dan kemudian menetap. Ada beberapa macam bentuk puting susu yaitu yang normal, pendek, panjang atau terbenam (inverted). Namun dari bentuk-bentuk puting ini tidak terlalu berpengaruh pada proses laktasi. Pada hari pertama menyusui payudara sering terasa penuh dan nyeri disebabkan karena bertambahnya aliran darah ke payudara bersamaan dengan ASI mulai di produksi dalam jumlah banyak.
86
Pada pemeriksaan abdomen yaitu involusi uterus belum kembali seperti semula, tinggi fundus uterus 2 jari di bawah pusat atau 15 cm. Kontraksi uterus baik dan teraba keras dengan posisi globuler (membulat). Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa proses involusi ini disertai penurunan tinggi fundus uterus (TFU), pada hari pertama TFU di atas simpisis pubis atau sekitar 12 cm. Hal ini terus berlangsung dengan penurunan TFU 1 cm setiap harinya, sehingga pada hari ke 7 TFU berkisar 5 cm dan pada hari ke 10 TFU tidak teraba di simphisis pubis (Wulandari dan Handayani, 2011). Pada ibu post partum perlu dilakukan pemeriksaan abdomen untuk mengetahui involusi uterus yang disebabkan oleh beberapa hal yaitu pertama, akibat dari keluarnya hormon oksitosin yang menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksi otot miometrium uterus. Kontraksi otot miometrium akan menekan pembuluh darah, sehingga suplai darah ke uterus menjadi berkurang. Kedua, yaitu adanya kontraksi dan retraksi otot miometrium yang terjadi terus menerus akan menekan pembuluh darah daerah penempelan plasenta, proses ini akan membantu mengurangi terjadinya perdarahan (Farrer, 2001 dalam Hamranani, 2014). Pada pemeriksaan diastasis rektus abdominalis Ny.T didapatkan hasil 16 cm x 8 cm. Diastasis rekti abdominalis merupakan kondisi terjadinya celah sebesar 2,5 cm atau lebih, yang tampak diantara kedua otot rektus. Kondisi ini dapat
terjadi
mendekati
akhir
masa
kehamilan
yang
sulit
untuk
mendeteksinya, atau dapat terjadi selama persalinan tetapi pada pascapartum kondisi yang paling nyata. Ganggunan ini disebabkan karena kehamilan
87
kembar, ukuran bayi yang besar serta polihidramnion (Brayshaw, 2007). Pada ibu post partum perlu dilakukan pemeriksaan diastasis rektus abdominalis karena untuk mengetahui kelemahan otot-otot abdominalis, sehingga pada saat pengembangan (pembesaran) uterus menjelang persalinan tidak tertahan dengan baik oleh otot abdomen. Keadaan demikian akan menyebabkan terjadinya overdistensi uterus, yang akan berdampak terjadinya atonia uterus sehingga akan terjadi perdarahan pasca persalinan (Hartono dan Wahyuni, 2009). Hal tersebut dapat ditarik kesimpulan pada kasus Ny.T diastasis rekti abdominalis negatif karena tidak ada kelemahan otot abdomen, tidak ada overdistensi uterus maupun perdarahan pasca persalinan. Pada pemeriksaan kandung kemih Ny.T teraba penuh, klien mengatakan belum buang air kecil karena terasa nyeri pada perineum. Pemeriksaan kandung kemih perlu dilakukan pada ibu post partum. Hal tersebut sesuai dengan teori, bahwa kandung kemih yang penuh akan mengubah posisi fundus dan mengganggu kontraksi uterus (Doenges, 2001). Klien mengatakan buang air kecil 2-3 kali/hari dengan jumlah ± 600cc/hari, warna kuning keruh, bau amoniak, tidak terpasang kateter karena klien mampu berkemih secara mandiri. Pada ibu post partum, sebagian besar mengalami pertambahan air seni, karena terjadi pengeluaran air tubuh yang berlebihan akibat pengenceran (hemodilusi) darah pada waktu hamil. Keadaan demikian dikatakan normal, bahkan apabila air seni tidak keluar perlu di evaluasi penyebabnya (Bandiyah, 2009).
88
Fungsi pencernaan pada Ny.T baik, ditandai dengan bising usus 16x/menit. Pemeriksaan bising usus perlu dilakukan pada ibu post partum terkait dengan adanya hambatan defekasi yang disebabkan rasa nyeri pada perineum akibat adanya luka jahit post episiotomi (Wulandari dan Handayani, 2011). Bising usus normal 5-35 x/menit. Jika kurang dari itu atau tidak ada sama sekali kemungkinan ada paralitik ileus, konstipasi, peritonitis, atau obstruksi. Jika peristaltik lebih dari normal, kemungkinan klien mengalami diare (Debora, 2013). Klien mengatakan sudah buang air besar 1 kali tadi pagi, warna kuning kecoklatan, bau khas, jumlah ±100cc/hari, konsistensi lunak berbentuk, klien mengatakan agak sulit buang air besar. Terdapat kesenjangan antara teori yang dikemukakan Wulandari dan Handayani (2011) dengan kasus pada Ny.T, karena biasanya 2-3 hari post partum ibu mengalami susah buang air besar yang disebabkan inaktivasi motilitas usus akibat kurangnya keseimbangan cairan selama persalinan. Pada pemeriksaan perineum dan genital Ny.T didapat vagina warna abu, portio lunak, tidak ada hematom dan tidak ada edema serta integritas kulit baik. Terdapat luka jahit post episiotomi ± 4cm. Episiotomi adalah sayatan pada perineum meliputi selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot dan fascia perineum dan kulit depan perineum. Prinsip tindakan episiotomi adalah pencegahan kerusakan yang lebih hebat pada jaringan lunak akibat daya regang yang melebihi kapasitas adaptasi atau elastisitas jaringan tersebut. Indikasi dilakukan episiotomi antara lain yaitu primigravida, perineum kaku dan riwayat robekan perineum pada
89
persalinan yang lalu. Ada kesesuaian antara teori dan kasus pada Ny.T dilakukan episiotomi pada persalinan saat ini karena adanya riwayat robekan perineum pada persalinan yang lalu (Prawirohardjo, 2001 dalam Rusda, 2014). Pada Ny.T dilakukan episiotomi mediolateralis kiri dimana sayatan dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju ke arah belakang dan samping. Panjang sayatan kira-kira 4 cm. Sayatan dilakukan menjauhi otot sfingter ani untuk mencegah ruptura perineal. Perdarahan luka lebih banyak, oleh
karena
melibatkan
daerah
yang
banyak
pembuluh
darahnya.
Otot-otot perineum terpotong, sehingga penjahitan luka lebih sukar (Prawirohardjo, 2001 dalam Rusda, 2014). Pada Ny.T tidak ditemukan tanda redness, echimosis, edema, discharge, dan approximate (REEDA). Ada kesesuain dengan teori, tanda REEDA merupakan pemeriksaan pada perineum untuk mengetahui adanya infeksi puerperal dengan tanda-tanda sebagai berikut sakit, kemerahan, demam, bengkak, keluaran yang mengandung nanah pada daerah episiotomi (Hamilton, 1995). Sehingga, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada kasus Ny.T tidak mengalami infeksi puerperal karena tidak ada tanda REEDA. Perineum klien tampak bersih, klien selalu menjaga kebersihan vaginanya dengan mengganti pembalut 2-3 kali sehari, lochea rubra ±150 cc hari pertama dengan pengeluaran normal warna merah segar dan bau amis. Hal tersebut sesuai dengan teori, bahwa pada ibu post partum akan mengekskresi cairan rahim selama nifas yang disebut lochea, lochea yang muncul pada hari pertama sampai ke empat disebut lochea rubra yang berisi darah merah segar,
90
jaringan sisa-sisa plasenta, dinding rahim, lemak bayi, lanugo dan meconium bayi, memiliki bau amis atau anyir dan volume yang berbeda beda pada setiap wanita (Wulandari dan Handayani, 2011). Pada pemeriksaan rektum yang didapat pada Ny.T tidak mengalami hemoroid. Hemoroid merupakan gangguan sirkulasi darah yang berupa pelebaran pembuluh (dilatasi) vena. Pelebaran pembuluh vena yang sering terjadi di daerah anus (Suprijono, 2009). Pada ibu post partum perlu dilakukan pemeriksaan pada anus untuk mengetahui ada tidaknya hemoroid karena pada ibu post partum sangat wajar apabila terjadi hemoroid. Hal ini disebabkan oleh
tekanan
kepala
bayi
dan
saat
persalinan
ibu
meneran
(Hidayat, 2010 dalam Nugroho, 2014). Pemeriksaan kekuatan otot ekstermitas atas dan bawah pada Ny.T didapatkan skor 5, artinya menandakan gerakan normal, kekuatan otot penuh dan mampu menentang gravitasi dengan penahanan penuh (Walid, 2012). Sedangkan Range of Motion (ROM) ekstermitas atas dan bawah pada Ny.T aktif. Pada ibu post partum perlu dilakukan pemeriksaan ekstermitas untuk mengetahui kekuatan otot yang berhubungan dengan sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf mengaktifasi otot untuk melakukan kontraksi. Pemeriksaan ROM pada ibu post partum juga perlu dikaji untuk mempertahankan atau memelihara kekuatan otot, memelihara mobilitas persendian, merangsang sirkulasi darah dan mencegah kelainan bentuk tulang (Maimurahman dan Fitria, 2012).
91
Pemeriksaan capillary refil (CRT) pada Ny.T < 2 detik. Pemeriksaan CRT perlu dilakukan untuk mengetahui sirkulasi darah kapiler, indikasi umum dari dehidrasi dan penurunan perfusi perifer. Normalnya warna dibawah kuku merah muda karena banyak pembuluh darah, jika aliran darah terganggu, pengisian darah kapiler akan terjadi dalam waktu yang lama. Apabila dilakukan palpasi pada ibu jari warna ujung jari akan memucat dan saat dilepas darah akan masuk lagi dan menyebabkan warna kemerahan. Normalnya warna kemerahan itu akan kembali dalam waktu kurang dari 2 detik (Debora, 2013). Pada ekstermitas atas dan bawah tidak ada perubahan bentuk tulang, pada ektermitas bawah tidak ada edema dan tidak ada varises. Pemeriksaan tanda homan tidak dilakukan penulis karena ketidaktelitian penulis dalam melakukan pengkajian. Pada ibu post partum perlu dilakukan pengkajian tanda homan, terkait dengan kejadian tromboplebitis yaitu inflamasi vena dengan pembentukan bekuan. Bekuan menyebabkan inflamasi lokal dan menyumbat vena dan bekuan terlepas menjadi embolus dan dapat begerak ke pembuluh darah jantung dan paru yang dapat menyumbat pembuluh tersebut. Untuk mengetahuinya dapat dilakukan dengan uji homan yaitu dengan dorsofleksi kaki ketika berdiri tegak, kemudian menekan otot kaki vena tibialis apabila menyebabkan rasa sakit maka tanda homan positif (Hamilton, 1995). Istirahat dan kenyaman klien mengatakan tidur 6 jam, kualitas tidur lelap, tidak ada pengantar tidur, terbangun pada saat malam hari karena
92
bayinya menangis, perasaan setelah bangun nyaman. Kebutuhan istirahat ibu nifas yaitu sekitar 8 jam pada malam hari dan 1 jam pada siang hari (Taufan et.al., 2014). Hal tersebut menunjukkan bahwa istirahat tidur Ny.T kurang, disebabkan karena klien harus menyusui bayinya dan klien masih merasakan nyeri sehingga mengganggu kualitas istirahat tidur. Hal tersebut sesuai dengan teori, bahwa gangguan rasa nyeri pada ibu nifas banyak dialami meskipun pada persalinan normal tanpa komplikasi. Hal tersebut disebabkan oleh afterpain atau kram perut akibat dari kontraksi dan rileksasi yang terus menerus pada uterus (Rahmawati et. al., 2008). Selain itu juga terjadi nyeri pada perineum yang disebabkan oleh episiotomi, laserasi, atau jahitan. Hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan pada ibu (Taufan et.al., 2014). Keluhan utama yang dirasakan klien mengatakan nyeri pada vagina karena jahitan setelah melahirkan dan nyeri bertambah ketika digerakkan, klien mengatakan terasa perih, nyeri pada bagian vagina, skala nyeri 3 dan nyeri hilang timbul. Klien tampak merintih menahan nyeri. Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pervaginam baik itu robekan yang disengaja dengan episiotomi maupun robekan secara spontan akibat dari persalinan, robekan perineum ada yang perlu tindakan penjahitan atau ada yang tidak perlu. Akibat jahitan perineum, akan menimbulkan rasa nyeri (Chapman et al, 2006 dalam Ekawati et.al., 2010). Persalinan dengan episiotomi mengakibatkan terputusnya jaringan, yang dapat menekan pembuluh syaraf sehingga timbul rasa nyeri (Dewi, 2011). Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan, bersifat sangat
93
subyektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya, dan hanya pada orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Uliyah, 2006 dalam Ekawati, 2010). Tingkat mobilitas dan latihan Ny.T pada 6 jam pertama post partum mampu miring kanan dan kiri serta bisa duduk dan berdiri tetapi masih terasa nyeri. Klien mengatakan belum melakukan senam nifas karena takut untuk bergerak banyak. Menurut Mochtar (2005) dalam Berilan et.al., (2012), latihan mobilisasi perlu dilakukan pada ibu post partum karena bermanfaat untuk mempercepat kesembuhan luka, melancarkan pengeluaran lochea, mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli, sirkulasi darah normal dan mempercepat pemulihan kekuatan ibu. Hal tersebut sesuai antara teori dengan kasus pada Ny.T, ibu yang melahirkan secara normal bisa melakukan mobilisasi 6 jam setelah persalinan dan 8 jam pada ibu yang menjalani sectio caesaria (Hamilton, 2008 dalam Berlian et.al., 2013). Hal tersebut juga didukung oleh teori Mahdiyah (2013), ibu post partum sering kali mengeluh nyeri di daerah operasi, sehinga tidak mau melakukan mobilisasi karena alasan takut jahitan lepas dan tidak berani merubah posisi. Nutrisi dan cairan Ny.T mengatakan makan 3x sehari, jenis makanan nasi, sayur, lauk pauk, snack, buah, 1 porsi habis, sedangkan asupan cairan, klien mengatakan minum 5-6 gelas/hari, terdiri dari air putih, susu, air kacang hijau, jumlah ± 1,5 liter/hari, sebelum dan sesudah baik makan atau minum tidak ada keluhan. Nutrisi atau gizi adalah zat yang diperlukan oleh tubuh
94
untuk keperluan metabolismenya. Kebutuhan gizi pada masa nifas terutama bila menyusui akan meningkat 25%, karena berguna untuk proses kesembuhan sehabis melahirkan dan untuk memproduksi air susu untuk bayi. Menu makanan seimbang yang dikonsumsi terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Wulandari dan Handayani, 2011). Menurut teori yang dikemukakan Rahmawati et.al., (2008), gizi pada ibu nifas dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan tambahan, nutrisi 800 kalori/hari pada 6 bulan pertama, 6 bulan selanjutnya 500 kalori dan tahun kedua 400 kalori. Asupan cairan 3 liter/hari, 2 liter didapat dari air minum dan 1 liter didapat dari sayur dan buah, serta mengkonsumsi tablet zat besi setiap dan dan vitamin A 200.000 iu. Keadaan mental klien dalam adaptasi psikologis taking in, dimana pada fase ini ibu masih bergantung pada orang lain untuk membantu melakukan aktivitas. Ibu membutuhkan nutrisi dan istirahat akibat kelelahan pada pasca persalinan. Ibu tampak bahagia atas kehadiran bayinya dan selalu mendapat dukungan oleh suami dan anaknya. Ibu menerima kehadiran bayinya dengan senang, ibu meningkatkan kemampuan merawat bayinya, menimang, menyusui dan mengganti popok. Hal tersebut sesuai dengan teori, bahwa pada fase taking in merupakan periode ketergantungan yang berlangsung dari hari 1-2 setelah melahirkan. Fokus perhatian ibu terutama pada dirinya sendiri. Pangalaman proses persalinan sering diceritakannya berulang. Kelelahan membuat ibu cukup istirahat untuk mencegah gejala kurang tidur, seperti
95
mudah tersinggung. Hal ini membuat ibu cenderung pasif terhadap lingkungannya (Wulandari dan handayani, 2011). Pada Ny.T dilakukan dua kali pemeriksaan darah rutin yaitu pada tanggal 8 Maret 2015 jam 23.00 WIB sebelum persalinan dan tanggal 9 Maret 2015 jam 09.00 WIB setelah persalinan. Didapatkan pemeriksaan darah hemoglobin sebelum persalinan pada Ny.T yaitu 9,9 g/dl (normal 11,7-15,5) dan tidak mengalami perubahan pada pemeriksaan setelah persalinan yaitu 9,9 g/dl (normal 11,7-15,5). Pemeriksaan darah hematokrit sebelum persalinan 29,3 % (normal 35-47) dan mengalami peningkatan setelah persalinan menjadi 35,1 % (normal 35-47). Pemeriksaan hemoglobin pada ibu post partum perlu dilakukan karena hemoglobin merupakan komponen yang berfungsi sebagai alat transportasi oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2). Secara umum, jumlah hemoglobin kurang dari 12 mg/dL menunjukkan anemia. Pada ibu post partum perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit untuk mengetahui persentase sel darah merah tehadap volume darah total. Penurunan nilai hematokrit merupakan indikator anemia (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Pada post partum, jumlah hemoglobin dan hematokrit sangat bervariasi. Hal ini disebabkan volume darah, volume plasenta berubah-ubah. Perubahan ini disebabkan oleh status gizi, dan hidrasi wanita tersebut. Jika hematokrit pada hari pertama dan kedua lebih rendah dari 2 % atau lebih tinggi daripada saat memasuki persalinan awal, maka dianggap pasien telah kehilangan darah cukup banyak. Kehilangan darah kurang dari 2 % sama dengan kehilangan darah sebanyak 500ml (Taufan et.al., 2014).
96
Pemeriksaan darah leukosit sebelum melahirkan 8,9 10ˆ3/uL(normal 3,6-11) dan mengalami peningkatan setelah melahirkan menjadi 14,3 10ˆ3/uL (normal 3,6-11). Pemeriksaan leukosit perlu dilakukan karena fungsi utama leukosit adalah melawan infeksi, melindungi tubuh dengan memfagosit organisme
asing
dan
memproduksi
atau
mengangkut
maupun
mendistribusikan antibodi (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Pada ibu post partum terjadi leukositosis dimana meningkatnya jumlah sel-sel darah putih sebanyak 15.000 selama persalinan dan jumlah tersebut akan tetap meningkat sampai 25.000-30.000 (Taufan et.al., 2014) Terapi yang diberikan pada Ny.T tanggal 9-10 Maret 2015 yaitu: infus Ringer Laktat (RL) dengan dosis 20 tetes per menit. RL merupakan golongan larutan elektrolit yang memiliki kandungan natrium klorida, kalium, kalsium, natrium laktat, air dan memiliki fungsi farmakologi untuk pengobatan kekurangan cairan dimana rehidrasi oral secara oral tidak dimungkinkan (ISO, 2012). Pada ibu post partum perlu diberikan cairan intravena, karena untuk
mempertahankan
keseimbangan
cairan,
mengembalikan
dan
mempertahankan oksigenisasi jaringan akibat dari kehilangan darah. Cairan intravena yang digunakan bersifat isotonis artinya paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL merupakan jenis cairan kristaloid yang memiliki keunggulan yaitu mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi dan memiliki sedikit efek samping (Buku Panduan Pelatihan Kegawatadaruratan, 2013).
97
Injeksi intravena yang diberikan yaitu ampicillin dengan dosis 1 gram/8 jam merupakan antibiotik golongan penisilin memiliki kandungan ampicillin trihidrat dan memiliki fungsi farmakologi pengobatan untuk infeksi yang disebabkan bakteri patogen gram positif dan negatif (ISO, 2012). Pada ibu post partum perlu diberikan injeksi antibiotik karena terdapat perlukaan pada jalan lahir yang merupakan media baik untuk berkembangnya kuman dan berpotensi terjadi infeksi nifas (Berlian, 2012). Diet yang diberikan pada Ny.T adalah diet tinggi kalori tinggi protein (TKTP). Diet TKTP adalah makanan yang mengandung energi dan protein di atas kebutuhan normal. Diet ini penting untuk menunjang proses penyembuhan pasien pasca persalinan. Komponen gizi utama diet ini adalah energi, protein, lemak, dan karbohidrat (Mayasari, 2011).
B. Diagnosa Keperawatan Penulis merumuskan diagnosa sesuai dengan kebutuhan klien. Penentuan prioritas tergantung dari status kesehatan dan masalah klien saat itu. Prioritas diagnosa adalah diagnosa keperawatan dan masalah kolaboratif dimana sumber keperawatan akan diarahkan untuk pencapaian tujuan. Pada situasi akut, prioritas diagnosa adalah diagnosa keperawatan dengan masalah keperawatan kolaboratif yang berkaitan dengan kondisi medis. Bila tidak diatasi sekarang akan mengganggu kemajuan atau mempengaruhi status fungsional secara negatif. Penentuan prioritas diagnosa menurut hierarki Maslow berdasarkan kebutuhan manusia dalam lima tahap yaitu: fisiologi
98
(respirasi, sirkulasi, suhu, nutrisi, nyeri, cairan, perawatan kulit, mobilitas dan eliminsi), rasa aman dan nyaman (lingkungan kondisi tempat tinggal, perlindungan, pakaian, bebas dari infeksi, dari rasa takut), sosial (kasih sayang , seksualitas), harga diri (mendapat respek dari keluarga dan perasaan menghargai diri sendiri), aktualisasi diri (kepuasan terhadap lingkungan) (Setiadi, 2012). Penulis melakukan perumusan diagnosa keperawatan yang pertama, nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik. Berdasarkan data yang penulis dapat dari pengkajian didapatkan data subyektif Ny.T mengatakan nyeri pada vagina karena jahitan setelah melahirkan dan nyeri bertambah ketika digerakkan, klien mengatakan terasa perih, nyeri pada bagian vagina, skala nyeri 3 dan nyeri hilang timbul. Klien tampak merintih menahan nyeri, terdapat luka jahit post episiotomi ± 4cm dibagian perineum. Nyeri akut merupakan pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau digambarkan dengan istilah seperti (International Association for the Study of Pain) awitan yang tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan. Batasan karakteristik nyeri, subyektif mengungkapkan secara verbal atau melaporkan dengan isyarat, obyektif gerakan menghindari nyeri, posisi menghindar, perubahan autonomik dari tonus otot (dapat dalam rentang tidak berenergi sampai kaku), respon-respon autonomik misalnya, diaforesis, perubahan tekanan darah, nadi, pernapasan
99
dan suhu, perubahan nafsu makan, dan prilaku ekspresif misalnya kegelisahan, merintih, menangis, kewaspadaan berlebihan, peka terhadap rangsangan dan menarik nafas panjang, gangguan tidur, mata terlihat layu, gerakan tidak teratur atau tidak menentu dan menyeringai (Wilkinson, 2011). Penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik sebagai diagnosa pertama karena nyeri termasuk dalam kebutuhan fisiologis dan bersifat aktual yang menyajikan keadaan secara klinis telah divalidasi melalui batasan karakteristik mayor untuk dapat diindentifikasi. Penulis juga merumuskan diagnosa keperawatan yang kedua, resiko perdarahan berhubungan dengan kegagalan miometrium dan mekanisme homeostatik. Penulis mencantumkan masalah resiko perdarahan mengacu pada pengkajian data subyektif yaitu klien mengatakan masih mengeluarkan darah warna merah. Data obyektif yang didapat lochea rubra ± 150 cc, warna merah segar, bau amis, tidak ada hematom, kehilangan darah selama persalinan ± 300 cc, kontraksi uterus baik dan teraba keras, kandung kemih penuh, keadaan umum baik, kesadaran composmentis atau sadar penuh dengan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) 15 (E4V5M6), pemeriksaan tanda-tanda vital di dapat tekanan darah110/70 mmHg, nadi 84 x/menit, teratur dan kuat, pernapasan 18 x/menit, teratur, suhu 36,50C. Pemeriksaan darah tanggal 9 Maret 2015 didapat hemoglobin 9,9 g/dl, hematokrit 35,1 %, trombosit 205 10ˆ3/uL. Resiko perdarahan adalah berisiko mengalami penurunan volume darah yang dapat mengganggu kesehatan. Faktor resiko terjadinya resiko perdarahan
100
yaitu aneurisme, sirkulasi, defisiensi pengetahuan, gangguan fungsi hati, riwayat
jatuh,
gangguan
gastrointestinal,
koagulopati
intravaskuler
diseminata, koagulopati inheren, komplikasi pasca partum misalnya atonia uterus, retensi plasenta, komplikasi terkait kehamilan misalnya plasenta previa, solusio plasenta, dan mola, trauma, efek samping terkait pemberian terapi (Nurarif dan Kusuma, 2013). Tanda dan gejala perdarahan antara lain kehilangan darah sebanyak 500 ml selama 24 jam setelah lahir, dengan perubahan tanda vital (sistolik < 90 mmHg, Nadi>100/menit, kadar hemoglobin < 8 gr, muka pucat, mengeluh pucat dan hiperpnea (Niswati, 2012). Penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan resiko perdarahan berhubungan dengan kegagalan miometrium dan mekanisme homeostatik sebagai diagnosa keperawatan kedua karena nyeri termasuk dalam kebutuhan fisiologis dan bersifat resiko yaitu masalah tersebut dapat timbul pada seseorang atau kelompok yang rentan dan ditunjang dengan faktor resiko yang memberi kontribusi pada peningkatan kerentanan (Setiadi, 2012). Penulis merumuskan diagnosa keperawatan yang ketiga yaitu resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan. Penulis mencantumkan masalah resiko infeksi dengan alasan mengacu pada data pengkajian yaitu data subyektif antara lain klien mengatakan melahirkan secara normal pada tanggal 9 maret 2015 dan dibagian vaginanya di jahit. Data obyektif di dapat terdapat luka jahit post episiotomi ± 4cm, tidak ada tanda-tanda redness, echimosis,
101
edema, discharge, dan approximate (REEDA), pemeriksaan darah leukosit 14,3 10ˆ3/uL, suhu 36,50C. Resiko infeksi adalah suatu kondisi individu yang mengalami peningkatan resiko terserang organisme patogenik. Dengan faktor resiko yaitu penyakit kronis, imunosupresi, imunitas tidak adekuat (kulit terluka, trauma jaringan, perubahan pH, peristalsis yang berubah), pertahanan tubuh yang tidak adekuat, pertahanan lapis kedua yang tidak memadai (hemoglobin turun, leukopenia, dan respon inflamasi tersupresi), pengatahuan yang kurang untuk menghindari pajanan patogen, prosedur invasive, malnutrisi, agen farmasi, rupture membrane amniotic, kerusakan jaringan dan peningkatan pajanan terhadap lingkungan dan trauma (Wilkinson, 2011) Penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan sebagai diagnosa kedua karena termasuk dalam kebutuhan aman dan nyaman dan bersifat resiko artinya masalah tersebut akan terjadi bila tidak dilakukan intervensi (Setiadi, 2012).
C. Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan adalah bagian dari fase pengorganisasian dalam proses keperawatan sebagai pedoman untuk mengarahkan tindakan proses keperawatan dalam usaha membantu, meringankan, memecahkan masalah atau untuk memenuhi kebutuhan klien. Suatu perencanaan yang tertulis dengan baik akan memberikan petunjuk dan arti pada asuhan keperawatan, karena perencanaan adalah sumber informasi bagi semua yang terlibat dalam
102
asuhan keperawatan klien. Rencana ini merupakan sarana komunikasi yang utama, dan memelihara continuitas asuhan keperawatan klien bagi seluruh anggota tim (Setiadi, 2012). Penetuan tujuan rencana tindakan seharusnya didasarkan pada prinsip SMART yaitu S: Spesific, berfokus atau tidak menimbulkan arti ganda, M: Measurable atau dapat diukur, A: Achieveble atau dapat dicapai, R: Reasonable atau sesuai akal sehat, T: Time atau ada kriteria waktu pencapaian (Nursalam, 2008). Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan oleh penulis pada diagnosa keperawatan yang pertama pada Ny.T dengan tujuan dan kriteria hasil yang sudah ditetapkan. Tujuan yang dibuat penulis diharapkan nyeri akut berkurang dengan kriteria hasil skala nyeri berkurang dari skala 3 menjadi 0, tidak ada keluhan nyeri, klien tampak rileks, klien mampu mengontrol rasa nyeri. Intervensi yang dilakukan yaitu kaji skala nyeri (penyebab nyeri, kualitas nyeri, letak nyeri, skala nyeri dan waktu terjadinya nyeri) klien, pantau tandatanda vital dengan rasional untuk mengetahui keadaan umum, berikan posisi nyaman, ciptakan lingkungan yang nyaman, ajarkan teknik rileksasi napas dalam, kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik (Willkinson, 2011) Intervensi yang akan dilakukan kaji skala nyeri (penyebab nyeri, kualitas nyeri, letak nyeri, skala nyeri dan waktu terjadinya nyeri) klien dengan rasional untuk mengetahui tingkatan nyeri. Pantau tanda-tanda vital dengan rasional untuk mengetahui keadaan umum klien dan merencanakan intervensi
103
selanjutnya. Berikan posisi nyaman dengan rasional untuk menurunkan spasme
otot.
Ciptakan
lingkungan
yang
nyaman
dengan
rasional
meningkatkan kenyamanan klien. Ajarkan teknik rileksasi napas dalam dengan rasional membantu klien meningkatkan kemampuan koping dalam manajemen nyeri. Kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik dengan rasional menurunkan atau menghilangkan nyeri (Doenges, 2001). Intervensi pada diagnosa keperawatan yang kedua yang akan dilakukan penulis, dengan tujuan yang akan dicapai resiko perdarahan tidak terjadi dengan kriteria hasil kehilangan darah selama post partum kurang dari 500 cc, kandung kemih kosong, kontraksi uterus baik, klien tampak segar, tidak pucat, kadar hemoglobin dalam batas normal (11,7-15,5g/dl) dan kadar hematokrit dalam batas normal (35-47%), tanda tanda vital normal (tekanan darah 110/70-120/80mmHg, nadi 60-100x/menit, pernapasan 16-20x/menit, suhu 36,5-37,50C). Intervensi atau rencana keperawatan yang akan dilakukan oleh penulis yaitu kaji jumlah lochea pasca persalinan dengan rasional untuk mengetahui kehilangan darah pasca persalinan. Kaji kepenuhan kandung kemih dan kaji perineum dengan rasional kandung kemih yang penuh akan mengganggu kontaksi uterus dan untuk mengetahui luka jahit post episiotomi dan kebersihan perineum. Pantau tanda-tanda vital dengan rasional untuk mengetahui keadaan umum klien dan untuk menentukan intervensi selanjutnya. Kaji kadar hemoglobin dan hematokrit klien dengan rasional hemoglobin dan hematokrit turun menandakan klien kehilangan darah. Catat
104
tinggi fundus uterus dan kontraksi uterus dengan rasional untuk mengetahui ada tidaknya kontraksi uterus. Lakukan masase fundus dengan rasional untuk mempercepat penurunan fundus. Berikan cairan intravena jenis isotonik dengan rasional untuk mencegah terjadinya kekurangan cairan. Ajarkan senam nifas dengan rasional untuk memperbaiki sirkuasi darah, mencegah perdarahan dan mempercepat penurunan fundus. Kolaborasi dengan dokter pemberian obat hemostatik dengan rasional untuk menghentikan perdarahan (Doenges, 2001) Intervensi pada diagnosa keperawatan yang ketiga, sesuai tujuan yang diharapkan resiko infeksi tidak terjadi dengan kriteria hasil tidak ada tandatanda infeksi, leukosit dalam batas normal (3,6-11 10ˆ3/uL), tanda-tanda vital dalam batas normal (tekanan darah 110/70-120/80 mmHg, nadi 60100x/menit, pernapasan 16-20x/menit, suhu 36,5-37,50C), klien mampu mengetahui tanda-tanda infeksi, klien mampu melaporkan rasa nyaman. Intervensi yang dilakukan oleh penulis yaitu kaji tanda infeksi, kaji leukosit klien, pantau tanda-tanda vital, lakukan perawatan dengan vulva hygiene, ajarkan klien dan keluarga untuk mengetahui tanda-tanda infeksi, ajarkan klien untuk mencegah infeksi, kolaborasi dengan ahli gizi pemberian diet (Willkinson, 2011). Intervensi yang akan dilakukan oleh penulis kaji tanda infeksi dengan rasional dugaan adanya infeksi. Kaji leukosit klien dengan rasional leukosit meningkat menandakan terjadi infeksi. Pantau tanda-tanda vital dengan rasional untuk mengetahui keadaan umum dan menentukan intervensi
105
selanjutnya. Lakukan perawatan luka dengan vulva hygiene dengan rasional mencegah terjadinya infeksi. Ajarkan klien dan keluarga untuk mengetahui tanda-tanda infeksi dengan rasional meningkatkan kemampuan klien untuk menetahui tanda-tanda infeksi. Ajarkan klien untuk mencegah infeksi dengan rasional meningkatkan kemampuan klien untuk mencegah agar tidak terjadi infeksi. Kolaborasi dengan dokter pemberian antibiotik dengan rasional menurunkan mikroorganisme didalam tubuh. Kolaborasi dengan ahli gizi pemberian diet dengan rasional untuk menjaga daya tahan tubuh dan mempercepat penyembuhan luka (Doenges, 2001)
D. Implementasi keperawatan Penulis
melakukan
tindakan
keperawatan
berdasarkan
diagnosa
keperawatan yang muncul pada klien sesuai dengan kriteria hasil yang sudah ditetapkan. Tindakan keperawatan dilakukan selama 2 hari yaitu pada tanggal 9-10 Maret 2015. Penulis melakukan tindakan keperawatan pada diagnosa pertama nyeri akut, penulis mengkaji skala nyeri pasien pada hari pertama jam 10.20 WIB dan hari kedua jam 08.45 WIB dengan respon subyektif yaitu klien mengatakan nyeri akibat luka jahit setelah melahirkan, nyeri bertambah jika digerakkan dan pada hari selanjutnya sudah tidak terasa, nyeri terasa perih pada hari selanjutnya tidak terasa perih, nyeri dibagian vagina dan pada hari selanjutnya nyeri tidak terasa, skala nyeri 3 menjadi 1, nyeri hilang timbul pada hari selanjutnya menjadi tidak hilang timbul dengan respon obyektif
106
terdapat luka jahit post episiotomi ± 4cm dibagian perineum, klien tampak merintih menahan nyeri dan pada hari selanjutnya pasien tampak aman. Pengkajian dilakukan dengan metode PQRST. P (Provocate) yang berarti penyebab atau stimulus - stimulus nyeri, Q (Quality) yang berarti kualitas nyeri yang dirasakan, R (Region) yang berarti lokasi nyeri, S (Severe) yang berarti tingkat keparahan nyeri, T (Time) yang berarti awitan, durasi dan rangkaian nyeri (Prasetya, 2010). Pengkajian nyeri dilakukan dengan menggunakan numeric rating scale.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Gambar 5.1 Numeric Rating Scale
Nyeri dapat dikatakan hilang jika skala nyeri 0, dikatakan nyeri ringan jika skala nyeri 1-3, nyeri sedang skala nyeri 4-6, nyeri sedang skala nyeri 4-6, sangat nyeri tetapi masih dapat dikontrol dengan aktivitas yang biasa dilakukan dengan skala 7-9, dan sangat nyeri dan tidak dapat dikontrol 10 (Smeltzer, 2002 dalam Mafthica dan Amalia, 2012) Tindakan selanjutnya penulis memantau tanda-tanda vital pada hari pertama jam 10.25 WIB dan hari kedua jam 08.00 WIB dengan respon subyektif klien mengatakan bersedia untuk dipantau tanda-tanda vitalnya, respon obyektif klien menunjukkan tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 84 x/menit menjadi 78 x/menit, teratur dan teraba kuat, pernapasan 18 x/menit menjadi 16 x/menit, teratur, suhu 36,50C. Menurut Debora (2013),
107
sebelum dilakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan yang pertama dilakukan adalah pemeriksaan tanda-tanda vital. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan tekanan darah, nadi, suhu, dan frekuensi pernapasan. Pemeriksaan tanda-tanda vital diukur untuk menentukan status kesehatan atau untuk menguji respon klien terhadap stress fisiologis atau psikologis atau terhadap terapi medik atau keperawatan (Potter, 1996 dalam Setiadi, 2011) Penulis memberikan posisi nyaman, dengan respon subyektif pada hari pertama jam 11.25 WIB dan hari kedua jam 09.20 WIB klien mengatakan nyaman dengan posisi tidur terlentang dan respon obyektif klien tampak rileks dengan tidur terlentang. Menurut Debora (2013), pemberian posisi terlentang (supinasi) dilakukan karena dapat membuat klien lebih rileks dengan daerah abdomen tidak tertekan. Perubahan posisi 20-30 menit sekali dapat mengurangi nyeri pada wanita secara bermakna (Simkin dan Ruth, 2005 dalam Kristiani, 2014) Penulis menciptakan kondisi lingkungan yang nyaman dengan respon subyektif sama pada hari pertama jam 11.40 dan pada hari kedua jam 09.15 WIB klien mengatakan menyukai lingkungan yang tenang ditemani suami dan anaknya. Respon obyektif klien tampak lebih tenang dan kondisi lingkungan tenang. Menciptakan kondisi nyaman dilakukan karena kondisi lingkungan fisik ruang rawat inap juga mempengaruhi psikologis pasien. Ruang rawat inap yang bising, suhu udara terlalu panas, pencahayaan kurang, kebersihan dan kerapihan tidak terjaga akan meningkatkan stres pada pasien. Ruang rawat
108
inap seharusnya membangkitkan optimisme sehingga dapat membantu proses penyembuhan pasien (Robby, 2006 dalam An-Nafi, 2009). Penulis mengajarkan teknik rileksasi napas dalam dengan respon subyektif pada hari pertama jam 12.00 WIB dan hari kedua jam 09.35 WIB klien mengatakan bersedia dan selanjutnya klien melakukan rileksasi napas dalam apabila nyeri, respon obyektif klien mampu melakukan teknik rileksasi napas dalam dan klien tampak nyaman. Rileksasi napas dalam dilakukan karena merupakan metode yang efektif untuk mengurangi nyeri, membantu mengurangi tegangan otot, sehingga menurunkan intensitas nyeri atau meningkatkan toleransi nyeri (Mander, 2003 dalam Ekawati et al, 2010). Penulis merumuskan intervensi keperawatan kolaborasi pemberian analgetik (ketorolac) namun tidak diberikan karena tidak adanya resep dari dokter. Nyeri yang dialami Ny.T adalah nyeri ringan dan bisa dikontrol dengan pemberian terapi non farmakologis seperti rileksasi napas dalam sedangkan pemberian analgetik (ketorolac) ditujukan pada pasien pasca pembedahan dengan nyeri sedang hingga berat (ISO, 2012). Pemberian obatobatan harus sesuai intruksi dokter, sehingga jenis, dosis, dan efek samping merupakan tanggung jawab dokter (Setiadi, 2012). Implementasi yang dilakukan pada diagnosa kedua resiko perdarahan yaitu, penulis mengkaji jumlah lochea pasca persalinan pada hari pertama jam 10.35 dan pada hari kedua jam 08.55 WIB WIB dengan respon subyektif klien mengatakan keluar darah dari vaginanya berwarna merah dan respon obyektif lochea rubra ±30cc, klien mengganti pembalut 2-3x/ hari warna merah segar
109
dan berbau khas. Mengkaji jumlah lochea pasca persalinan dilakukan karena perubahan warna dan jumlah lochea yang dikeluarkan memberikan informasi apakah involusi terjadi atau tidak (Murray dan McKinney, 2007 dalam Ernawati, 2012). Penulis mengkaji perineum klien dan kandung kemih pada hari pertama jam 10.40 WIB dan hari kedua jam 09.00 WIB dengan respon subyektif klien mengatakan bersedia, klien mengatakan belum buang air kecil karena terasa nyeri dan pada hari selanjutnya klien mengatakan sudah buang air kecil, respon obyektif perineum bersih, terdapat luka post episiotomi ±4 cm, kandung kemih penuh dan teraba keras dan pada hari selanjutnya kandung kemih kosong dan teraba lunak. Mengkaji perineum dilakukan karena terjadi perubahan pada perineum pasca persalinan dimana perineum mengalami robekan. Robekan jalan lahir dapat terjadi spontan ataupun dilakukan episiotomi dengan indikasi tertentu. Mengkaji kandung kemih dilakukan karena segera setelah pasca partum kandung kemih mengalami edema, kongesti, dan hipotonik yang dapat menyebabkan overdistensi, pengosongan yang tidak lengkap, dan residu urin yang berlebihan kecuali diberikan perawatan untuk memastikan berkemih secara periodik (Taufan et.al., 2014). Penulis mengkaji kadar hemoglobin dan hematokrit dengan respon obyektif pada tanggal 9 Maret 2015 hemoglobin 9,9 g/dl hematokrit 35,1%. Mengkaji kadar hemoglobin dan hematokrit dilakukan karena pada awal post partum, jumlah hemoglobin dan hematokrit sangat bervariasi. Hal ini disebabkan volume darah, volume plasenta, yang berubah-ubah. Perubahan
110
tersebut di pengaruhi oleh status gizi dan hidrasi dari wanita tersebut (Taufan, et.al., 2014) Penulis melakukan tindakan keperawatan mengajarkan senam nifas. Senam nifas dilakukan selama 2 hari pada pagi dan siang, dengan respon subyektif pada hari pertama jam 10.55 WIB dan 12.10 WIB klien mengatakan bersedia dan respon obyektif klien tampak rileks setelah melakukan senam nifas, klien melakukan senam nifas dibantu perawat menjadi klien tampak nyaman setelah senam. Respon subyektif pada hari kedua jam 08.15 WIB dan jam 12.10 WIB, klien mengatakan sudah melakukan senam nifas kemarin sore, klien bersedia untuk senam kembali dan respon obyektif klien mampu mengulang senam secara mandiri tetapi gerakannya belum maksimal, klien mampu senam nifas dipandu dengan perawat menjadi klien tampak nyaman setelah senam. Salah satu bentuk mobilisasi setelah bersalin adalah senam nifas, yang bertujuan untuk mengembalikan tonus otot-otot perut. Senam nifas memberikan latihan gerak secepat mungkin agar otot-otot yang mengalami peregangan selam kehamilan dan persalinan kembali normal. Tujuan dari senam nifas ialah untuk memperlancar terjadinya involusi uterus (kembalinya rahim seperti semula), memelihara dan menguatkan otot perut, dasar panggul, serta otot pergerakan. Kerugian bila tidak melakukan senam nifas dapat terjadi infeksi karena involusi uterus yang tidak baik sehingga sisa darah tidak dapat dikeluarkan, perdarahan yang abnormal, thrombosis vena, dan dapat timbul varises. Gerakan senam nifas meliputi senam kaki dan tungkai dengan
111
berbaring, senam dasar panggul, senam abdomen, mengangkat panggul dan senam stabilitas batang tubuh (Brayshaw, 2007). Hasil penelitian Yuliani et.al., (2001), senam nifas dilakukan pada ibu yang baru melahirkan bayi selama 7 hari berturut-turut sejak hari pertama melahirkan sampai hari ketujuh senam nifas dan diberikan pada ibu nifas dengan persalinan normal dalam keadaan sehat dan tidak memiliki riwayat penyakit lain seperti gagal jantung dan hipertensi. Hasil penelitian pada ibu post partum yang mendapatkan perlakuan senam nifas mempunyai penurunan tinggi fundus uterus yang lebih cepat daripada ibu post partum yang tidak mendapatkan perlakuan senam nifas dengan rata-rata penurunan selama 7 hari melakukan senam nifas yaitu 8.9 cm. Pelaksanaan senam nifas yang penulis aplikasikan pada Ny.T dilakukan hanya 2 hari pada pagi dan siang hari dengan durasi 20 menit dan dilakukan ditempat tidur. Pada Ny.T dilakukan senam nifas 6 jam post partum karena penulis mengacu pada teori Hamilton (2008) dalam Berlian et.al., (2013) bahwa, ibu yang melahirkan secara normal bisa melakukan mobilisasi 6 jam setelah persalinan dan 8 jam pada ibu yang menjalani sectio caesaria. Hasil yang didapat setelah melakukan senam nifas, terjadi penurunan TFU sebanyak 4 cm. Penulis tidak mendapat kesulitan dalam melakukan senam nifas karena gerakan yang dilakukan sederhana serta menggunakan alat dan bahan yang mudah ditemukan. Terdapat keterbatasan waktu dalam pengelolaan karena kondisi fisik ibu post partum sudah membaik dan diperbolehkan pulang.
112
Penulis mengobservasi tinggi fundus uterus dan kontraksi uterus dengan respon subyektif pada hari pertama jam 11.15 WIB dan hari kedua jam 08.10 WIB, 12.00 WIB dengan respon subyektif klien mengatakan perutnya masih besar dan sudah buang air kecil. Respon obyektif tinggi fundus uterus 2 jari dibawah pusat atau 15 cm menjadi berada diantara simphisis dan umbilicus atau 11 cm, kontraksi baik dan perut teraba keras. Mengobservasi tinggi fundus uterus dilakukan karena perubahan terjadi selama masa nifas, yang memungkinkan tubuh akan kembali ke keadaan sebelum hamil. Uterus akan mengalami proses involusi yang dapat dinilai melalui tinggi fundus uterus (Harrison, 2000 dalam Evareny et al, 2014). Mengobservasi kontraksi uterus dilakukan karena kontraksi pada uterus akan mempercepat proses involusi uterus yaitu perubahan retrogresif pada uterus yang menyebabkan berkurangnya ukuran uterus. Uterus yang berkontraksi dengan baik secara bertahap akan berkurang ukurannnya, sampai tidak dapat dipalpasi lagi diatas simphisis pubis (Evareny et.al., 2014) Penulis memberikan cairan intravena jenis isotonik ringer laktat (RL) dengan respon obyektif pada hari pertama jam 11.20 dan hari kedua jam 09.50 WIB klien terpasang infus sejak taggal 8 Maret 2015 dengan jenis cairan isotonik ringer laktat (RL) 20 tpm, tetesan lancar. Cairan intravena diberikan karena untuk mempertahankan keseimbangan cairan, mengembalikan dan mempertahankan oksigenisasi jaringan akibat dari kehilangan darah (Buku Panduan Kegawatdaruratan, 2013).
113
Penulis merumuskan intervensi keperawatan kolaborasi pemberian obat hemostatik atau anti perdarahan dan melakukan masasse fundus namun tidak diberikan karena tidak ada resep dari dokter. Diberikan obat hemostatic (asam traneksamat) apabila terjadi perdarahan abnormal pasca operasi (ISO, 2012). Namun, pada kasus Ny.T tidak mengalami perdarahan. Penulis tidak melakukan masase fundus karena ketidaktelitian penulis dalam melakukan intervensi. Masase fundus berguna untuk mempercepat penurunan fundus (Doenges, 2001). Penulis tidak merumuskan intervensi kolaborasi pemberian tranfusi darah karena dilihat dari pemeriksaan hemoglobin sebelum dan sesudah persalinan 9,9 g/dl. Keputusan untuk transfusi darah tidak boleh hanya berdasarkan kadar hemoglobin saja, tetapi juga berdasar indikasi klinis pasien. Perdarahan yang terjadi pada persalinan normal atau sectio caesaria sebenarnya tidak membutuhkan transfusi darah jika kadar hemoglobin ibu sebelum persalinan di atas 10,0 – 11,0 g/dl. Sebaliknya, transfusi darah diindikasikan jika hemoglobin <7 g/dl (Budhiyati et.al., 2014). Implementasi yang dilakukan penulis pada diagnosa ketiga resiko tinggi infeksi yaitu penulis mengkaji tanda-tanda infeksi klien dengan respon subyektif pada hari pertama jam 10.45 WIB dan hari kedua jam 09.00 WIB klien mengatakan bersedia dan respon obyektif tidak terdapat tanda infeksi, tidak terdapat redness, echimosis, edema, discharge, dan approximate (REEDA). Mengkaji tanda-tanda infeksi dilakukan karena ibu beresiko terjadi infeksi yang disebabkan adanya luka pada bekas pelepasan plasenta, laserasi
114
saluran genital termasuk episiotomi pada perineum, dinding vagina dan serviks. Gejala umum infeksi nifas yang dapat dilihat dari temperatur atau suhu yang meningkat, terjadi pembengkakan, takikardi, dan malaise. Sedangkan gejala lokal dapat berupa uterus lembek, kemerahan, dan rasa nyeri pada payudara atau adanya dysuria (Taufan et.al., 2014). Penulis mencatat kadar leukosit klien dengan respon obyektif pada hari pertama jam 11.10 WIB pemeriksaan leukosit tanggal 8 Maret 2015 8,9 g/dl dan tanggal 9 Maret 2015 14,3 10ˆ3/uL. Mencatat kadar leukosit dilakukan karena pada ibu post partum terjadi leukositosis dimana meningkatnya jumlah sel-sel darah putih sebanyak 15.000 selama persalinan dan jumlah tersebut akan tetap meningkat sampai 25.000-30.000 (Taufan et.al., 2014) Penulis melakukan perawatan luka dengan melakukan vulva hygiene untuk mencegah infeksi, respon subyektif pada hari pertama jam 11.30 WIB dan pada hari kedua 09.25 WIB klien mengatakan mau untuk dibersihkan vaginanya. Respon obyektif vagina tampak bersih, klien tampak nyaman setelah dibersihkan. Perawatan perineum adalah pemenuhan kebutuhan untuk menyehatkan daerah antara paha yang dibatasi vulva dan anus pada ibu yang dalam masa antara kelahiran placenta sampai dengan kembalinya organ genetik seperti pada waktu sebelum hamil (Morison, 2003 dalam Herawati, 2010). Perwatan perineum dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi sehubungan dengan penyembuhan jaringan akibat perawatan perineum yang tidak benar dapat mengakibatkan kondisi perineum yang terkena lochea menjadi lembab sehingga sangat menunjang perkembangbiakan bakteri yang
115
dapat menyebabkan timbulnya infeksi pada perineum (Suwiyoga, 2004 dalam Herawati, 2010). Infeksi tidak hanya menghambat proses penyembuhan luka tetapi dapat juga menyebabkan kerusakan pada jaringan sel penunjang, sehingga akan menambah ukuran dari luka itu sendiri, baik panjang maupun kedalaman luka (Morison, 2003 dalam Herawati, 2010). Penulis berkolaborasi dengan ahli gizi pemberian diet tinggi kalori tinggi protein (TKTP) dengan respon obyektif pada hari pertama jam 11.45 WIB dan hari kedua jam 11.25 WIB klien makan makanan dari rumah sakit sesuai dengan diet yang diberikan. Kolaborasi pemberian diet dilakukan karena kebutuhan gizi pada masa nifas terutama bila menyusui akan meningkat 25% karena berguna untuk proses kesembuhan karena sehabis melahirkan dan untuk memproduksi air susu untuk bayi (Wulandari dan Handayani, 2011). Penulis mengajarkan klien dan keluarga untuk mengetahui tanda-tanda infeksi dengan respon subyektif pada hari pertama jam 11.50 WIB dan pada hari kedua jam 10.10 WIB klien dan keluarga mengatakan paham mengenai tanda-tanda infeksi dan respon obyektif klien dan keluarga mampu menjelaskan kembali yang diajarkan perawat. Mengajarkan klien dan keluarga untuk mengetahui tanda infeksi dilakukan karena angka kejadian infeksi karena episiotomi masih tinggi, di karenakan kurangnya pengetahuan tentang cara perawatan episiotomi (Sambeka et.al., 2013). Penulis mengajarkan klien dan keluarga untuk mencegah infeksi dengan respon subyektif pada hari pertama jam 11.55 WIB dan pada hari kedua jam 10.20 WIB klien dan keluarga bersedia untuk diajarkan cara mencegah infeksi
116
dan respon obyektif klien dan keluarga paham yang diajarkan perawat. Mengajarkan klien untuk mencegah infeksi dilakukan karena seorang ibu perlu mengetahui cara dalam perawatan luka jahit pada perineum agar tidak terjadi infeksi pada daerah tersebut, misalnya perawatan luka dengan cara mencuci daerah genitalia dengan lembut, dengan air sabun dan air desinfektan tingkat tinggi, kemudian di keringkan (APN, 2007 dalam Sambeka et.al., 2013). Penulis berkolaborasi dengan dokter pemberian antibiotik ampicillin 1 gram dengan respon subyektif pada hari kedua jam 08.05 WIB klien mengatakan mau untuk disuntik dan respon obyektif injeksi ampicilin 1 gram sudah masuk lewat IV, tidak ada reaksi alergi, klien tampak rileks. Kolaborasi pemberian antibiotik dilakukan karena terdapat perlukaan pada jalan lahir yang merupakan media baik untuk berkembangnya kuman dan berpotensi terjadi infeksi nifas (Berlian, 2012).
E. Evaluasi keperawatan Proses evaluasi terdiri dari dua tahap yaitu mengukur pencapaian tujuan klien dan membandingkan data yang terkumpul dengan kriteria hasil sesuai tujuan. Ada tiga penentuan keputusan pada tahap evaluasi yaitu pertama, masalah teratasi apabila klien telah mencapai hasil yang ditentukan dalam tujuan sehingga rencana dihentikan. Kedua, masalah teratasi sebagian apabila klien masih dalam proses mencapai hasil yang ditentukan sehingga perlu penambahan waktu, resource, dan intervensi sebelum tujuan berhasil. Ketiga, masalah belum terasi apabila klien tidak dapat mencapai hasil yang telah
117
ditentukan sehingga perlu mengkaji ulang masalah atau respon yang lebih akut, membuat outcome baru, dan intervensi harus dievaluasi dalam ha ketepatan untuk mencapai tujuan sebelumnya (Setiadi, 2011). Evaluasi keperawatan dilakukan penulis pada tanggal 9-10 Maret 2015. Evalusi pada diagnosa pertama yaitu, masalah keperawatan nyeri akut pada Ny.T teratasi karena sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang sudah ditetapkan penulis. Data subyektif klien mengatakan nyeri akibat luka jahit setelah melahirkan dibagian vagina sudah tidak terasa terasa perih, skala nyeri 0 dan nyeri tidak hilang timbul. Obyektif terdapat luka post episiotomi ±4 cm dibagian perineum, klien mampu melakukan rileksasi napas dalam, pasien tampak rileks. Pemeriksaan tanda-tanda vital tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi 78 x/menit, teratur dan teraba kuat, pernapasan 16 x/menit, teratur, suhu 36,60C. Analisa masalah nyeri akut teratasi, sehingga intervensi dihentikan. Evaluasi pada diagnosa kedua, resiko perdarahan pada Ny.T teratasi sebagian karena belum sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang penulis tetapkan, subyektif klien mengatakan masih keluar darah warna merah tetapi tidak sebanyak hari pertama. Obyektif lochea rubra ± 50 cc,warna merah segar, bau amis, kehilangan darah pasca persalinan ±300 cc, kontraksi uterus baik, tinggi fundus uterus mengalami penurunan pada hari pertama 15 cm dan pada hari kedua menjadi 11cm, kandung kemih sudah kosong, keadaan umum baik, kesadaran composmentis Glasgow Coma Scale 15 E4V5M6. Pemeriksaan tanda-tanda vital diadapat tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 78 x/menit,
118
pernapasan 16 x/menit, suhu 36,60C. Pemeriksaan darah hemoglobin 9,9 g/dl, hematokrit 35,1 %, klien sudah melakukan senam nifas dan klien tampak rileks. Analisa masalah resiko perdarahan teratasi sebagian, perencanaan keperawatan dilanjutkan dengan discharge planning sebagai berikut anjurkan klien untuk melakukan senam nifas dirumah, anjurkan klien untuk makan makanan yang bergizi, anjurkan klien untuk minum air 1-2 liter/hari. Resiko perdarahan teratasi sebagian karena kadar hemoglobin pada Ny. T 9,9 g/dl. Hasil evaluasi aplikasi tindakan senam nifas yang dilakukan pada Ny. T selama 2 hari terjadi penurunan tinggi fundus uterus dari 15 cm menjadi 11 cm, meskipun masalah keperawatan teratasi sebagian. Hasil evaluasi tersebut menunjukkan ada kesesuaian dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuliani et.al. (2012), kelompok intervensi yang dilakukan senam nifas selama 7 hari berturut-turut mampu menurunkan tinggi fundus uterus dengan rata-rata 8,9 cm. Evaluasi pada diagnosa ketiga, resiko tinggi infeksi pada Ny.T teratasi sebagian karena belum sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang penulis tetapkan, yaitu subyektif klien mengatakan melahirkan secara normal dan dijahit dibagian vagina, klien sudah mengetahui tanda-tanda infeksi dan cara mencegah infeksi. Obyektif terdapat luka post episiotomi ±4cm, tidak ada tanda-tanda redness, echimosis, edema, discharge, dan approximate (REEDA), klien sudah dilakukan perawatan luka dengan vulva hygiene, vagina tampak bersih. Pemeriksaan darah leukosit 14,3 10ˆ3/uL. Resiko tinggi infeksi teratasi sebagian karena kadar leukosit 14,3 ribu/uL.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan dan Saran 1. Kesimpulan Setelah
penulis
melakukan
pengkajian,
penentuan
diagnosa,
perencanaan, implementasi dan evaluasi tentang “Aplikasi Tindakan Senam Nifas Terhadap Penurunan Tinggi Fundus Uterus Pada Asuhan Keperawatan Ny.T G2P2A0 dengan Post Partum Normal” yang sudah dilakukan penulis di Ruang Bougenvil Rumah Sakit Umum Daerah Sukoharjo maka dapat ditarik kesimpulan sebagi berikit: a. Pengkajian Klien mengatakan nyeri karena jahitan setelah melahirkan dan bertambah ketika digerakkan, nyeri terasa perih pada bagian vagina dengan skala nyeri 3 dan nyeri terjadi hilang timbul. Data obyektif yang didapat klien tampak merintih menahan nyeri, terdapat luka jahit post episiotomi ± 4cm dibagian perineum. Klien mengatakan masih mengeluarkan darah warna merah. Data obyektif yang didapat lochea rubra ± 150 cc, warna merah segar, bau amis, tidak ada hematom, kehilangan darah selama persalinan ± 300 cc, kontraksi uterus baik dan teraba keras, kandung kemih penuh, keadaan umum baik, kesadaran composmentis atau sadar penuh dengan
119
120
nilai Glasgow Coma Scale (GCS) 15 (E4V5M6), pemeriksaan tandatanda vital di dapat tekanan darah110/70 mmHg, nadi 84 x/menit, teratur dan kuat, pernapasan 18 x/menit,teratur, suhu 36,50C. Pemeriksaan darah tanggal 9 Maret 2015 didapat hemoglobin 9,9 g/dl, hematokrit 35,1 %, trombosit 205 10ˆ3/uL. Klien mengatakan melahirkan secara normal pada tanggal 9 maret 2015 dan dibagian vaginanya di jahit. Data obyektif di dapat terdapat luka jahit post episiotomi ± 4cm, tidak ada tanda-tanda redness, echimosis, edema, discharge, dan approximate (REEDA), pemeriksaan darah leukosit 14,3 10ˆ3/uL, suhu 36,50C. b. Diagnosa keperawatan Dari data pengkajian, penulis merumuskan diagnosa dan membuat prioritas diagosa keperawatan yang pertama nyeri akut behubungan dengan agen cidera fisik. Diagnosa keperawatan yang kedua, resiko perdarahan berhubungan dengan kegagalan miometrium dan mekanisme homeostatik. Diagnosa keperawatan yang ketiga, resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan. c. Intervensi keperawatan Intervensi atau perencanaan keperawatan berdasarkan diagnosa pertama yaitu kaji skala nyeri (penyebab nyeri, kualitas nyeri, letak nyeri, skala nyeri dan waktu terjadinya nyeri) klien, pantau tanda-tanda vital, berikan posisi nyaman, ciptakan lingkungan yang nyaman, ajarkan teknik relaksasi napas dalam, kolaborasi dengan dokter
121
pemberian analgetik dengan rasional menurunkan atau menghilangkan nyeri. Intervensi atau perencanaan keperawatan berdasarkan diagnosa kedua yaitu kaji jumlah lochea pasca persalinan, kaji kepenuhan kandung kemih dan kaji perineum, pantau tanda-tanda vital, kaji kadar hemoglobin dan hematokrit klien, catat tinggi fundus uterus dan kontraksi uterus, lakukan masase fundus, berikan cairan intravena jenis isotonik, ajarkan senam nifas, kolaborasi dengan dokter pemberian obat hemostatik. Intervensi atau perencanaan keperawatan berdasarkan diagnosa ketiga yaitu kaji tanda infeksi, kaji leukosit klien, pantau tanda-tanda vital, lakukan perawatan luka dengan vulva hygiene, ajarkan klien dan keluarga untuk mengetahui tanda-tanda infeksi, ajarkan klien untuk mencegah infeksi, kolaborasi dengan dokter pemberian antibiotik, kolaborasi dengan ahli gizi pemberian. d. Implementasi keperawatan Penulis melakukan implementasi keperawatan berdasarkan perencaan yang penulis sudah tetapkan sebelumnya. Namun pada masalah keperwatan nyeri penulis tidak melakukan intervensi kolaborasi pemberian analgetik dan obat hemostatik. e. Evaluasi keperawatan Setelah penulis melakukan implementasi, penulis melakukan evaluasi selama 2x 24 jam didapatkan hasil masalah keperawatan nyeri akut
122
teratasi, masalah keperawatan resiko perdarahan dan resiko tinggi infeksi teratasi sebagian. f. Analisa hasil aplikasi tindakan senam nifas pada Ny. T dengan post partum normal Pemberian tindakan keperawatan senam nifas diberikan selama 2 hari mampu menurunkan tinggi fundus uterus dari 15 cm menjadi 11 cm.
2. Saran Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan post partum normal penulis akan memberikan usulan dan masukan yang positif khususnya dibidang kesehatan antara lain: a. Bagi institusi pelayanan kesehatan (rumah sakit) Rumah sakit sebagai pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang optimal pada umumnya dan khususnya bagi ibu post partum dalam mencegah terjadinya komplikasi pada ibu post partum. b. Bagi tenaga kesehatan khususnya perawat Tenaga kesehatan khususnya perawat maternitas yang berperaan sebagai pemberi asuhan keperawatan khususnya ibu post partum mampu mengaplikasikan suatu tindakan yang tepat untuk dilakukan sebagai upaya dalam mencegah terjadinya komplikasi ibu post partum.
123
c.
Bagi institusi pendidikan Meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang lebih berkualitas sehingga dapat menghasilkan perawat yang professional, terampil, inovatif dan bermutu dalam memberikan asuhan keperawatan, khususnya keperawatan maternitas secara komprehensif berdasarkan ilmu dan kode etik perawat.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Ana dan Mafticha, Elyana. 2012. Jenis Persalinan Dengan Skala Nyeri Involusi Uterus Masa Nifas Di Rsud Prof. Dr. Soekandar Mojosari Mojokerto http: www.kampusmajapahit.ac.id/wp-content/05/hospitalvol-4-no-2.pdf Diakses tanggal 9 Mei 2015 Ambarwati, R. Eny. 2009. Asuhan Kebidanan Nifas. Mitra Cendikia Press. Jogjakarta. Anggraini Y, 2010. Asuhan Kebidanan Masa Nifas. Pustaka Rihama. Yogyakarta. An-Nafi, A.F. 2009. Pengaruh Kenyamanan Lingkungan Fisik Ruang Rawat Inap Kelas III Terhadap Kepuasan Pasien Di RSUI Kustati Surakarta. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. EGC. Jakarta. Bandiyah, S. 2009. Kehamilan Persalainan Gangguan Kehamilan. Nuha Medika. Yogjakarta. Berlian, Intan et.al. 2012. Hubungan Mobilisasi Dini Dengan Kecepatan Kesembuhan Luka Perineum Pada Ibu Post Partum Di Seluruh Wilayah Kerja Puskesmas Singosari Kabupaten Malang http: http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/article/viewFile/1050/1 133_umm_scientific_journal.pdf. Diakses tanggal 9 Mei 2015 Bilington, Mary. 2009. Kegawatan Dalam Kehamilan-Persalinana. EGC. Jakarta. Bobak, I. M., Lowdermilk, D. L., & Jensen,M. D. 2004. Buku ajar keperawatan maternitas. EGC. Jakarata. Brayshaw, Eileen. 2007. Senam Hamil dan Nifas: Pedoman Praktis Bidan. EGC. Jakarta. Budhiaty, Titien. 2014. Transfusi Darah Di Bidang Obstetri. http: http://kesehatanibuanak.net/v13/images/TRANSFUSI%20DARAH%20D I%20BIDANG%20OBSTETRI%20final.pdf. Diakses tanggal 19 Mei 2015 Burroughs, A & Leifer, G.2005. Maternity Nursing: an Introductory Text. W.B. Saunders Company. Philadelphia. Danuatmaja, B., dan Meiliasari, M. 2008. Persalinan Normal Tanpa Rasa Sakit. Puspa Swara. Jakarta.
Debora, Oda. 2013. Proses Keperawatan dan Pemeriksaaan Fisik. Salemba Medika. Jakarta. Doenges, Marilynn E, 2001, Rencana Perawatan Maternal / Bayi: Pedoman Untuk Perencanaan dan Dokumentasi Perawatan Klien. Alih Bahasa Monica Ester. EGC. Jakarta. Ekawati, Heny. 2010. Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap Penurunan Nyeri Luka Jahitan Perineum Pada Ibu Post Partum Di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan http : http://stikesmuhla.ac.id/v2/wpcontent/uploads/jurnalsurya/noVI/1.pdf Diakses tanggal 11 Mei 2015 Elsa W, Vicki dan Pertiwi, H. W. 2012. Hubungan Paritas Ibu Hamil Trimester I Dengan Kejadian Emesis Gravidarum Di Puskesmas Teras. http: journal.akbideub.ac.id/index.php Diakses tanggal 11 Mei 2015 Ernawati, D. E. 2012. Gambaran Perawatan Diri Ibu Postpartum Primipara Dirumah. Skripsi. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Jakarta. Hacker & Moore. 2001. Essensial Obstetri dan Ginekologi. Hiprocrates. Jakarta. Hamilton, P. M.1995. Dasar-Dasar Keperawatan Maternitas. EGC. Jakarta. Hamranani,S.S.T. 2014. Pengaruh Pijat Oksitosin Terhadap Involusi Uterus Pada Ibu Post Partum Dengan Persalinan Lama Di Rumah Sakit Wilayah Kabupaten Klaten jurnal.stikesmukla.ac.id/index.php/motorik/article/ download/Diakses tanggal 11 Mei 2015 Handayani, D.S. 2007. Gambaran Pengetahuan Ibu Menyusui Tentang Pemberian ASI Eksklusif Berdasarkan Karakteristik Ibu Dipukesmas Suwakarna Kota Bandung. Program Studi D IV Kebidanan Universitas Padjajaran. Hartono dan Wahyuni. 2009. Hubungan Antara Diastasis Musculus Rectus Abdominis Dengan Involusi Uteri Postpartum Pervaginam. http: eprints.ums.ac.id/4047/1/J110070085.pdf Diakses tanggal 9 Mei 2015 Hidayat, Alimul. A. 2003. Riset Keperawatandan Teknik Penulisan Ilmiah. Salemba Medika. Jakarta. Heardman, Heater T. 2010. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 20092011. Terjemahan Mase Sumarsih, Dwi Widiarti, Estu Tiar. EGC. Jakarta. Herawati, Puspitarani. 2010. Hubungan Perawatan Perineum Dengan Kesembuhan Luka Perineum Pada Ibu Nifas Hari Keenam Di Bidan
Praktik Swasta (BPS) Ny. Sri Suhersi Mojokerto Kedawung Sragen. Skripsi. Program Studi D IV Kebidanan. Surakarta. Ikatan Apoteker Indonesia. 2012. Informasi Spesialis Obat Indonesia. Jakarta: PT. ISFI. Iyer Patricia, W. & Camp Nancy, H. 2004. Dokumentasi Keperawatan: Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. EGC. Jakarta. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik. http ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/ download/ Diakses tanggal 11 Mei 2015. Kristiani, N. M. 2014. Pemberian Kompres panas terhadap penurunan nyeri payudara pada asuhan keperawatn Ny. Y Dengan post partum spontan diruang mawar 1 Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta. Program DIII Keperawatan. Surakarta. Liana, desi.2013. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penurunan Tinggi Fundus Uteri Pada PostPartum Di Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Tesis. Universitas Muhammadiyah Jogjakarta. Mahdiyah, Dede. 2013. Hubungan Mobilisasi Dini Dengan Penurunan Tinggi Fundus Uteri Pada Ibu Postpartum Di Blud RS H. Moch Ansari Saleh Banjarmasin.http:akbidsarimulia.ac.id/ejurnal/downlot.php.Diakses tanggal 12 Mei 2015 Maimurahman, Havid dan Nur Fitria, Cemy. 2012. Keefeektifan Range Of Motion (ROM) Terhadap Kekuatan Otot Ekstremitas Pada Pasien Stroke. http: http://www.e-jurnal.com/2014/11/keefeektifan-range-of-motion rom.html Diakses tanggal 15 Mei 2015 Manuaba, dkk, 2006. Buku Ajar Patalogi Obstetri Kebidanan. EGC. Jakarta. Martalia, Dewi.2012. Asuhan Kebidanan Dan Menyusui. Nuha medika. Jakarta. Martini.2011. Hubungan Inisiasi Menyusui Dini Terhadap Penurunan Tinggi Fundus Uteri Ibu Postpartum Hari Ke 7.FKUI.Jakarta Mayasari, Veronika. 2011. Analisis Diet Pada Pasien Pascabedah Sectio Caesarea Di RSUD Sidikalang. Skripsi.Unvesitas Sumatra Utara. Medan. Mochtar, R, 2008. Sinopsis Obstetri Jilid I Edisi II. EGC. Jakarta.
Muhammad, Rusda. 2004. Anastesi Infiltrasi Pada Episiotomi. http: library.usu.ac.id/download/fk/obstetri-rusda2.pdf Diakses tanggal 19 Mei 2015 Niswati. 2012. Karakteristik Multipara Terhadap Kejadian Haemoragic Post Partum (HPP) Di RSUD Haji Makassar. http: http://library.stikesnh.ac.id/files/disk1/1/elibrary%20stikes%20nani%20h asanuddin--niswatiern-35-1-artikel11.pdf. Diakses tanggal 11 Mei 2015 Nugroho, A. P. 2014. Asuhan Kebidanan Ibu Bersalin Kala IV Pada Ny. S G3P1A1 Umur 27 Tahun dengan Retensio plasenta di RS Sarila Sragen. Program studi DIII Kebidanan. Surakarta Nurarif dan Kusuma. 2013. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Media action publishing. Jakarta. Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Keperawatan Salemba Medika. Jakarta.
Penelitian
Ilmu
Oktikasari, Diva. 2013. Asuhan Keperawatan Bayi Baru Lahir Pada Bayi Ny.B dengan Asfiksia Ringan RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Karya Tulis Ilmiah. Program Studi DIII Kebidanan. Surakarta. Prasetyo, Sigit Nian. 2010. Konsep dan Proses Kperawatan Nyeri. Graha Ilmu. Yogyakarta. Purwati. 2012. Asuhan Kebidanan, Bayi dan Neonatus. Diktat ajar. Program studi DIII Kebidanan Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Puspitaningrum. 2010. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Dan Pelaksanaan Senam Nifas Dengan Kecepatan Proses Involusi Uterus. http: digilib.unipasby.ac.id/download.php?id=172 Diakses tanggal 12 Februari 2015 Rahayu, Tutik. 2012. Pengkajian Postpartum http: fik.unissula.ac.id/download/ PENGKAJIAN%20POSTPARTUM.pdf Diakses tanggal 19 Mei 2015. Rahmawati et.al. 2008. Perawatan Masa Nifas. Fitramaya. Yogyakarta. Rahmi, Laili. 2010. Hubungan Usia, Tingkat Pendidikan, Dukungan Suami, Dan Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Kecemasan Menjelang Persalinan Pada Ibu Primigravida Trimester III Di Poliklinik Kebidanan RSUD Dr. M. Djamil Padang 2009. Skripsi. Unversitas Andalas. Rinawati, Mega dan Mulyani, N. S. 2013. Keluarga Berencana dan Alat Kontrasepsi. Nuha Medika. Yogyakarta.
Rosita. Dewi. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Pasca Partum Episiotomi Pada Ny. T Di Irna B3-Obs RSUP Dr. Karyadi Semarang. Karya Tulis Ilmiah. Universitas Muhammadiyah Semarang. Saleha,
Siti. 2009. Asuhan Medika. Jakarta.
Kebidanan
Pada
Masa
Nifas.
Salemba
Sambeka et.al. 2013. Hubungan Pengetahuan Tentang Perawatan Dengan Penyembuhan Luka Episiotomi Pada Ibu Post Partum Di Ruangan IRINA D Bawah RSUP Prof Dr.R.D Kandou Malalayang. http: http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/view/2183. Diakses tanggal 12 Mei 2015 Setiadi. 2012. Konsep & Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan Teori dan Praktik. Graha Ilmu. Yogyakarta. Straight, Barbara R. 2005. Keperawatan Ibu-Bayi Baru Lahir. EGC. Jakarta. Sulistyawati, Ari. 2013. Asuhan Kebidanan Pada Masa Kehamilan. Salemba Medika. Jakarta. Sumarsah. 2009. Asuahan Kebidanan Pada Ibu Bersalin. Fitramaya. Yogyakarta. Suprijono, M. A. 2009. Hemorroid. http: download.portalgaruda.org/article.php? Diakses tanggal 19 Mei 2015 Jakarta Medical Service 119 Training Division. 2013. Buku Panduan Kegawatdaruratan. Jakarta Selatan: Royal Palace Taufan et.al. 2014. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas. Nuha Medika. Yogyakarta. Walid,Saiful dan Nikmatur, Rohmah. 2012. Proses Kperawatan Toeri dan Aplikasi. Ar Ruzz Media. Jakarta. World Health Organization (2004). Beyond The Numbers Rieviewing maternal deaths and complications to make pregnancy safer. WHO Library Cataloguing - in - Publication Data, Geneva, ISBN 92 4 159183 Wulandari, R.Setyo. 2011. Asuhan Ibu Masa Nifas. Goysen publishing. Yogyakarta.
Yuliani et.al.2012. Pengaruh Senam Nifas Terhadap Penurunan Tinggi Fundus Uteri Pada Ibu Postpartum dirumah Sakit Khusus Daerah ibu Dan Anak Siti Fatimah makassar. http://library.stikesnh.ac.id/gdl.php?mod= browse&op=read&id=elibrary%20stikes%20nani%20hasanuddin-yulianirus-110&newlang=english. Diakses tanggal 23 Maret 2015