MATRIKS DATA KASUS KEHUTANAN Matriks dibawah menampilkan contoh-contoh masalah yang terjadi dilapangan karena tumpang-tindihnya tenurial hutan yang dalam bentuk gambar, terdapat pada peta overlay. Matriks ini juga menghubungkan kejadian lapangan dengan ketentuan pasal yang berpotensi besar menyebabkan masalah tersebut yang merupakan contoh hasil olahan dari kasus-kasus yang ada di lembaga mitra HuMa. Data Kasus tersebut didokumentasikan dengan menggunakan Data Base Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam Lainnya (HuMaWin). Berdasarkan data, ternyata dari 120 juta ha kawasan hutan negara, baru 10 % dari kawasan tersebut yang telah melalui proses penatabatasan. Fakta ini dapat dipahami bahwa baru sekitar 12 juta ha hutan negara yang resmi dan syah secara hukum. Fakta legalitas yang goyah dari kawasan hutan ini, tentulah tidak memberikan alasan yang cukup kuat mengkriminalkan masyarakat yang hidup dalam kawasan hutan yang ditunjuk sebagai hutan negara, karena tidak mungkin mengkriminalkan orang diatas objek yang masih sangat kabur. Tapi fakta lapangannya ternyata berkata lain. No.
Kasus/Kondisi Empiris
UU Kehutanan Yang terkait
Analisis
Implikasi
Tindakan Kekerasan Yang Dialami Oleh Masyarakat
Sumatera Barat 1.
Kasus Tumpang Tindih Hutan Adat Dan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) Di Nagari Kambang Kasus ini muncul sejak hutan adat (perkampungan adat) Nagari Kambang pada tahun 1995 ditetapkan menjadi kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
• pasal 4 ayat 3 • pasal Pasal 5; • Pasal 67 ayat 1 • Pasal 68 ayat 3, 4
• Adanya klaim yang dilakukan Negara terhadap hutan masyarakat adat, Negara belum mengakomodir kebutuhan masyarakat akan hutan
Masyarakat kehilangan haknya untuk mengakses dan mengatur sumber daya dan alam yang ada di wilayahnya
• Pengambilalihan hasil hutan berupa kayu yang ada di halaman rumah masyarakat yang di klaim milik TNKS
• Besarnya peranan negara dalam mengelola hutan masyarakat adat • Tidak adanya konpensasi yang diberikan negara kepada masyarakat setelah adanya penetapan fungsi kawasan 2.
• Pihak TNKS melalui pihak keamanannya melakukan penangkapan terhadap masyarakat yang masih melakukan aktifitas ke kawasan TNKS
Sengketa Pengelolaan Sarang Burung Walet di Gua Nan Panjang Nagari Simarasok Sengketa pengelolaan gua Nan Panjang di Nagari Simarasok muncul di saat Status Quo yang dikeluarkan PTUN Bukittinggi, Status quo ini disebabkan digugatnya Pemerintah Kabupaten Agam Oleh PT. BTW, yang mana PT BTW ini pada
• Pasal 29 ayat 3 • Pasal 30 • Pasal 35
Sumber Data Base Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam (HuMaWin)
• Secara hukum proses sewa menyewa guo sarang walet oleh PT CBT dan PT BTW adalah sah, karena telah mendapatkan persetujuan dari Pemda Agam • Terjadinya KKN di tubuh Pemda. Sebab izin
• Masyarakat kehilangan haknya untuk mengakses dan mengatur sumber daya dan alam yang ada di wilayahnya • Adanya konflik antar masyarakat dalam memperebutkan sumber daya alam lahan berupa sarang
tindakan intimidasi, penangkapan dan penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat terhadap masyarakat adat Nagari yang mencoba untuk memanen sarang burung Walet di wilayah adatnya
Page 1 of 10
pemanfaatan hasil hutan non kayu diberikan pada 2 (dua) PT yaitu PT CBT dan PT BTW, Yang mempunyai objek sama yaitu pemanfaatan gua walet SIMARASOK
tahun 1998 diberikan izin pengelolaan Gua nan Panjang oleh Dinas Kehutanan Agam hingga tahun 1999, namun kenyataannya pada tahun 1999 Pemda Kab. Agam memberikan izin kepada PT CBT untuk mengelola Gua Nan Panjang,
3.
• Perebutan lokasi dengan memegang kewenangan lembaga masing-masing, dan Anggota kodim yang ditunjuk untuk memback-up dan mengamankan salah satu pihak, secara langsung menghilangkan retribusi usaha yang harusnya masuk ke kas daerah dan nagari
walet yang mengakibatkan tidak berjalannya Pemerintahan Nagari dengan baik • Adanya Manipulasi pajak, retribusai nagari dan pemda oleh oknum BPAN dan oknum TNI (KODIM AGAM)
Kasus penyerobotan lahan di Desa Saurenu' Berawal dengan masuknya KUD Mina Awera yang melakukan penebangan kayu diluar lokasi konsesinya, malah melakukan penebangan kayu di bagian laut Desa Saurenu' yaitu mengarah ke Desa Berimanua (ke arah Barat) dan mengarah ke lahan SP III, maka masyarakat yang lahannya diluar konsesi IPK merasa lahan dan kayunya diserobot dan dicuri oleh KUD Mina Awera.
• Pasal 50 ayat 3 • Bab VII Pasal 6163
Sumber Data Base Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam (HuMaWin)
Tindakan pihak ketiga (KUD Mina Awera) merupakan tindakan kejahatan kehutanan yang diatur dalam UU Kehutanan. Namun demikian karena pemerintah lalai dalam melaksanakan pengawasan, maka kejahatan tersebut tetap berlangsung dan menyebabkan kerugian pada Negara, Alam dan Masyarakat adat.
Masyarakat kehilangan haknya untuk mengakses dan mengatur sumber daya dan alam yang ada di wilayahnya
Page 2 of 10
Jawa Barat-Banten 1.
Kasus Ruang Kelola Masyarakat Cisangku Kasus ini muncul Pada tahun 2003 ketika wilayah Kampung Cisangku masuk ke dalam penunjukan perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak yang membawa konsekuensi adanya perubahan fungsi hutan dari hutan adat masyarakat menjadi fungsi konservasi
2.
• pasal Pasal 5; • Pasal 67 ayat 1 • Pasal 68 ayat 3, 4
• Adanya klaim yang dilakukan Negara terhadap kawasan hutan masyarakat adat, Negara belum mengakomodir kebutuhan masyarakat akan hutan
Masyarakat kehilangan haknya untuk mengakses dan sumber daya dan alam yang ada
Penyitaan dan pengambilan secara paksa peralatan penebangan kayu (baliung) milik masyarakat yang dilakukan oknum petugas Balai TN
• Besarnya peranan negara dalam mengelola hutan masyarakat adat • Tidak adanya konpensasi yang diberikan Negara kepada masyarakat setelah adanya penentuan fungsi kawasan.
Kasus Masyarakat Kasepuhan Cibedug dengan Taman Nasional Gunung Halimum Salak Kasus ini muncul mulai tahun 1992 sejak ditetapkannya kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Permasalahan tersebut semakin muncul kepermukaan dan menambah keresahan warga setelah adanya perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dari 40.000 Ha menjadi 113.000 Ha.
3.
• pasal 4 ayat 3
• Pasal 4 ayat 2 huruf b; • Pasal 14 • Pasal 15 ayat 2
• Adanya klaim yang dilakukan Negara terhadap kawasan hutan masyarakat adat • Negara belum mengakomodir kebutuhan masyarakat akan hutan • Besarnya peranan negara dalam mengelola hutan masyarakat adat
• Masyarakat kehilangan haknya untuk mengakses dan sumber daya dan alam yang ada • Masyarakat Kehilangan hak atas kepemilikan, tinggal dan menetap di wilayahnya
Warga kasepuhan Cibedug mendapat ancaman dari Pihak TN, bahwa mereka akan dipindahkan atau meminjam istilah mereka akan dipikihkan, ke tempat yang belum pasti.
• Tidak adanya konpensasi yang diberikan Negara kepada masyarakat setelah adanya penentuan fungsi kawasan.
Masyarakat Kasepuhan Cibedug dengan Perum Perhutani Kasus ini muncul ketika pihak pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian (Dirjen Kehutanan) mengeluarkan kebijakan dengan memberikan kepercayaan kepada PT Perum Perhutani Unit III Jawa BaratBanten untuk mengelola
• Pasal 4 ayat 2 huruf b; • Pasal 14 • Pasal 15 ayat 2
Sumber Data Base Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam (HuMaWin)
• Adanya klaim yang dilakukan Negara terhadap kawasan hutan masyarakat adat, Negara belum mengakomodir kebutuhan masyarakat akan hutan • Besarnya peranan negara
Masyarakat kehilangan haknya untuk mengakses dan sumber daya dan alam yang ada
• Warga dikenakan “pajak” atau “panceun” berupa pungutan padi sebanyak 25% dari seluruh hasil panen yang harus disetorkan kepada petugas Perum Perhutani • Adanya warga yang ditangkap Page 3 of 10
kawasan hutan yang didalamnya telah ada warga adat Kasepuhan Cibedug
Sumber Data Base Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam (HuMaWin)
dalam mengelola hutan masyarakat adat • Tidak adanya konpensasi yang diberikan Negara kepada masyarakat setelah adanya penentuan fungsi kawasan.
oknum Polisi dan Petugas TN, karena dianggap melakukan pencurian kayu.
Page 4 of 10
Jawa Tengah 1.
Sengketa Tanah Perhutani Desa Cacaban, Kec.Singorojo, Kendal Pada mulanya tanah cikal bakal Desa Cacaban merupakan hutan rimba, yang kemudian oleh warga hutan ini ditebang dan ditanami tanaman pangan, setelah hasilnya dipanen. Kemudian pada tahun 19541955, Perhutani datang ke Desa Cacaban, bersamaan dengan itu, warga masih mempunyai tanah garapan yang dalam keadaan sedang digarap. Perhutani datang dengan kekuatan bahwa tanah tersebut diberikan pemerintah kepada Perhutani. Ketika lahan sudah ditumbuhi dengan pohon-pohon jati maka warga tidak bisa lagi menggarap lahan.
2.
• Pasal 4 ayat 2 huruf b • Pasal 14 • Pasal 15 ayat 2
• Penentuan kawasan hutan oleh Pemerintah harus dilakukan bersama masyarakat di sekitarnya
• Masyarakat kehilangan haknya untuk mengakses dan sumber daya dan alam yang ada
• Sebelum ada pengukuhan kawasan hutan oleh Pemerintah harus ada sosialisasi terlebih dulu dengan masyarakat sekitar hutan dan penetapannya harus dengan kesepakatan masyarakat
• Masyarakat Kehilangan hak atas kepemilikan, tinggal dan menetap di wilayahnya • Masyarakat kehilangan lahan garapan dan berubah dari petani menjadi pengangguran;
• Pengukuhan kawasan hutan harus berdasar peta desa
• Perampasan lahan-lahan garapan masyarakat dan memaksa masyarakat menjadi penggarap untuk menanam jati • Pemerasan terhadap warga, yang dikenal dengan sebutan Nyamblong. Nyamblong merupakan semacam pembayaran pajak, yang dikenakan kepada warga yang akan menjual kayu jati dan mahoni, meskipun sebenarnya kedua jenis tanaman tersebut ditanam diatas tanah warga; • Penangkapan dan penahanan 49 orang warga desa
Sengketa Tanah Perhutani di Desa Kalirejo, Kec.Singorojo,Kab.Kendal Kasus ini muncul ketika pemerintah memberikan ijin kepada Perhutani untuk mengelola wilayah tersebut yang mengakibatkan masuknya tanahtanah garapan masyarakat ke dalam wilayah hutan yang diklaim Perhutani
• Pasal 4 ayat 2 huruf b • Pasal 14 • Pasal 15 ayat 2
Sumber Data Base Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam (HuMaWin)
• Penentuan kawasan hutan oleh Pemerintah harus dilakukan bersama masyarakat di sekitarnya
• Masyarakat kehilangan haknya untuk mengakses dan sumber daya dan alam yang ada
• Sebelum ada pengukuhan kawasan hutan oleh Pemerintah harus ada sosialisasi terlebih dulu dengan masyarakat sekitar hutan dan penetapannya harus dengan kesepakatan masyarakat.
• Masyarakat Kehilangan hak atas kepemilikan, tinggal dan menetap di wilayahnya • Masyarakat kehilangan lahan garapan dan berubah dari petani menjadi pengangguran.
• Warga yang menggarap lahan, diusir oleh Perhutani • Intimidasi kerap dilakukan oleh Pihak Perhutani bagi warga yang ketahuan mengambil ranting dari dalam hutan dan dituduh melakukan pencurian • Penangkapan dan pemukulan dilakukan petugas kepolisian • berlakunya sewa tanah atas lahan-lahan subur milik masyarakat
Page 5 of 10
3.
Sengketa Tanah Perhutani Desa Ngereanak, kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal. Kasus ini muncul ketika pemerintah memberikan ijin kepada Perhutani untuk mengelola wilayah tersebut yang mengakibatkan masuknya tanahtanah garapan masyarakat ke dalam wilayah hutan yang diklaim Perhutani
• Pasal 4 ayat 2 huruf b • Pasal 14 • Pasal 15 ayat 2
Sumber Data Base Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam (HuMaWin)
• Penentuan kawasan hutan oleh Pemerintah harus dilakukan bersama masyarakat di sekitarnya
• Masyarakat kehilangan haknya untuk mengakses dan sumber daya dan alam yang ada
• Sebelum ada pengukuhan kawasan hutan oleh Pemerintah harus ada sosialisasi terlebih dulu dengan masyarakat sekitar hutan dan penetapannya harus dengan kesepakatan masyarakat.
• Masyarakat Kehilangan hak atas kepemilikan, tinggal dan menetap di wilayahnya • Masyarakat kehilangan lahan garapan dan berubah dari petani menjadi pengangguran.
• Warga yang menggarap lahan, diusir oleh Perhutani • sewa-menyewa tanah, tanpa diberi uang sewa menyewanya. Selanjutnya masyarakat disuruh menanami lahan hutan tersebut dengan tanaman jati, jengkol, dan petai
Page 6 of 10
Kalimantan Barat 1.
Kasus Bunyau Kasus ini Berawal dari respon masyarakat atas dikeluarkannya kebijakan tentang HPHH 100 ha oleh Bupati Sintang. Masyarakat dusun Guhung Keruap membentuk kelompok tani yang diberi nama Kelompok Tani Bukit Kencana. Dusun Guhung Keruap berbatasan dengan dusun Bunyau.
• Pasal 1 ayat 6 tentang devinisi hutan adat yang menyamakan hutan adat dengan Hutan negara.
• Karena hutan adat disamakan dengan hutan negara menyebabkan pihak luar (pemerintah dan pengusaha) merasa memiliki / berhak atas hutan adat
• Pasal 14 UU no. 41 th. 99
• Menurut adat setempat penebangan yang dilakukan oleh KTBK dan MKK merupakan pelanggarn terhadap hukum adat (pencurian dan perusakan alam) kerena tidak seizin masyarakat setempat
• Pasal 15 • Pasal 4 ayat 3
2.
• Masyarakat kehilangan haknya untuk mengakses dan sumber daya dan alam yang ada • Munculnya konflik antara kampung antara kampung Bunyau, Guhung Kruap dan kampung Pelaik Kruap
• Perampasan hak atas tanah yang dimiliki masyarakat Bunyau • Penangkapandan penahanan beberapa warga yang melakukan upaya memperebutkan hak adat
• Kerusakan lingkungan dan ekosistem dimana Air menjadi keruh dan sawah menjadi kering.
Kasus Ng. Awin Kasus ini muncul ketika PT. Bumi Raya Utama Wood Industries ( PT.Bruwi) menebang kayu di wilayah Dusun Nanga Awin pada tahun 2003 tanpa seijin masyarakat. Ini mengundang aksi protes masyarakat Nangan Awin yang tidak setuju aktifitas penebangan dilakukan di wilayah mereka. Hal ini ditambah lagi dengan fakta kejanggalan dari dasar klaim yang digunakan oleh PT. Bruwi
• Pasal 4 ayat 3 • Pasl 14 UU no. 41 th. 99 • Pasal 15
Sumber Data Base Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam (HuMaWin)
• PT Bruwi tidak memiliki hubungan hukum dengan hutan karena yang bersangkutan bukan sebagai pemegang HPH definitif • Bupati Kapuas Hulu tidak memiliki kewenangan untuk mengesahkan RKT-PH sehingga izin yang diberikan juga tidak sah
• Masyarakat kehilangan haknya untuk mengakses dan sumber daya dan alam yang ada • Kerusakan lingkungan dan ekosistem dimana Air menjadi keruh dan sawah menjadi kering.
Kepolisian Daerah Resort Kapuas Hulu memanggil 3 (tiga) orang tokoh masyarakat dengan tuduhan sebagai tersangka dalam perkara pidana "Pencurian dgn Tindakan Kekerasan dan atau Pemerasan & Ancaman (365 KUHP) dan 368 KUHP
• Sesuai Surat Dirjen Bina Produksi Kehutanan No.127/VI-BPHA/2002 tanggal 28 Januari 2002 tentang Penerbitan RKT-PH Tahun 2002 untuk HPH Pembaharuan/Perpanjangan, maka PT. BRUWI tidak dapat diberikan target produksi karena perusahaan tersebut belum memiliki SK HPH definitif Page 7 of 10
3
MA. DAS Mendalam dengan PT. Toras Banua Sukses (PT. TBS) Kasus ini bermula dari PT. TBS yang mengajukan permohonan IUPHHK kepada Bupati Kapuas Hulu yang kemudian mendapat izin pencadangan dari Bupati kapuas Hulu yang selanjutnya mendapat IUPHHK dari Bupati Kapuas Hulu melalui Keputusan nomor 522.11/105/PH/2002 tanggal 19 Pebruari 2002.
• Pasal 14 • Pasal 15 • Pasal 4 ayat 3
• Klaim sepihak PT Toras terhadap kawasan adat • ada tumpang tindih antara antara areal HPH dan peruntukan kawasan • Sudah ada izin HPH Toras tapi RKT kosong (lokasi masih berkonflik)
• Masyarakat kehilangan haknya untuk mengakses dan sumber daya dan alam yang ada • Kerusakan lingkungan dan ekosistem dimana Air menjadi keruh dan sawah menjadi kering • Konflik Vertical (masyarakat dengan perusahaanpemerintah) dan Horisontal antara masyarakat dengan masyarakat (kampung Tanjung durian Vs tanjung Kuda) • Pecah belah sesama masyarakat termasuk tokoh kayaan
Sumber Data Base Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam (HuMaWin)
Page 8 of 10
Sulawesi Tengah 1.
Pemindahan Paksa Masyarakat Adat Tompu Kasus ini muncul ketika pada tahun 1972 Pemerintah Kabupaten Donggala, Melalui camat Sigi Biromaru, menyatakan bahwa orang Tompu akan dipindahkan ke Desa Ampera Kecamatan Palolo, dengan alasan bahwa orang tompu merusak Lingkungan dan sering menebang dan membakar Hutan.
2.
Pasal 1 angka 6 Pasal 4 Pasal 67
• Besarnya peranan negara dalam mengelola hutan masyarakat adat
• Masyarakat kehilangan haknya untuk mengakses dan sumber daya dan alam yang ada
• Pengusiran orang Tompu dari wilayahnya yang dilakukan oleh
• Masyarakat Kehilangan hak atas kepemilikan, tinggal dan menetap di wilayahnya
Konflik Masyarakat Adat Pekurehua dengan HGU PT Perkebunan HASFARM-Napu Kasus ini muncul ketika Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulteng mengeluarkan rekomendasi pencadangan tanah seluas ± 10.000 Ha kepada Pt. Perkebunan Hasfarm Poso (Sekarang Pt. Perkebunan Hasfarm Napu – PT. PHN)
Pasal 1 angka 6 Pasal 4 Pasal 67
Sumber Data Base Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam (HuMaWin)
• Adanya klaim yang dilakukan Negara terhadap kawasan hutan masyarakat adat, Negara belum mengakomodir kebutuhan masyarakat akan hutan
Masyarakat kehilangan haknya untuk mengakses dan sumber daya dan alam yang ada
• Tidak adanya perlindungan hukum terhadap hak masyarakat adat atas wilayah adatnya
Page 9 of 10
Sulawesi Selatan 1.
Kasus Siguntu Kasus ini berawal dari adanya rencana pertambangan emas yang akan dilakukan oleh PT. Frantika kerjasama dengan PT. Avocet Mining Korea Selatan yang didukung oleh Badan SDA dan PM Kota Palopo meskipun secara administrasi perusahaan ini tidak memenuhi syarat dan kualifikasi.
2.
Pasal 1 angka 6 Pasal 4 Pasal 67
• Besarnya peranan negara dalam mengelola hutan masyarakat adat
Masyarakat kehilangan haknya untuk mengakses dan sumber daya dan alam yang ada
• Tidak adanya konpensasi yang diberikan Negara kepada masyarakat setelah adanya penentuan fungsi kawasan.
Taman Wisata Alam Nanggala III Kasus ini muncul ketikan adanya perubahan fungsi dan penunjukan sebagian kawasan HL Nanggala III seluas 500 ha. yang terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Luwu menjadi Taman Wisata Alam Nanggala III. Wilayah seluas 400 Ha merupakan wilayah pemukiman dan lahan garapan masyarakat.
• Pasal 4 ayat 2 huruf b;
• Kehutanan tidak mengakui tanah milik masyarakat adat
• Pasal 14
• Taman Wisata berada di tanah milik masyarakat /hutan adat
• Pasal 15 ayat 2
Sumber Data Base Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam (HuMaWin)
• Perenc. mengabaikan persoalan-persoalan yang ada di masyarakat
• Masyarakat kehilangan haknya untuk mengakses dan sumber daya dan alam yang ada • Masyarakat Kehilangan hak atas kepemilikan, tinggal dan menetap di wilayahnya
Page 10 of 10