MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang bertujuan mengembangkan studi ilmiah mengenai bahasa. PENGURUS MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Ketua : Katharina Endriati Sukamto, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Wakil Ketua : Fairul Zabadi, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Sekretaris : Ifan Iskandar, Universitas Negeri Jakarta Bendahara : Yanti, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya DEWAN EDITOR Utama : Bambang Kaswanti Purwo, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Pendamping : Lanny Hidajat, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Anggota : Bernd Nothofer, Universitas Frankfurt, Jerman; Ellen Rafferty, University of Wisconsin, Amerika Serikat; Bernard Comrie, Max Planck Institute; Timothy Andrew McKinnon, Max Planck Institute; E. Aminudin Aziz, Universitas Pendidikan Indonesia; Siti Wachidah, Universitas Negeri Jakarta; Katharina Endriati Sukamto, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; I Wayan Arka, Universitas Udayana; A. Effendi Kadarisman, Universitas Negeri Malang; Bahren Umar Siregar, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Hasan Basri, Universitas Tadulako; Yassir Nasanius, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Dwi Noverini Djenar, Sydney University, Australia; Mahyuni, Universitas Mataram; Patrisius Istiarto Djiwandono, Universitas Ma Chung; Yanti, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Totok Suhardijanto, Universitas Indonesia. JURNAL LINGUISTIK INDONESIA Linguistik Indonesia diterbitkan pertama kali pada tahun 1982 dan sejak tahun 2000 diterbitkan tiap bulan Februari dan Agustus. Linguistik Indonesia telah terakreditasi berdasarkan SK Dirjen Dikti No. 040/P/2014, 18 Februari 2014. Jurnal ilmiah ini dibagikan secara cuma-cuma kepada para anggota MLI yang keanggotaannya umumnya melalui Cabang MLI di pelbagai Perguruan Tinggi, tetapi dapat juga secara perseorangan atau institusional. Iuran per tahun adalah Rp 200.000,00 (anggota dalam negeri) dan US$30 (anggota luar negeri). Keanggotaan institusional dalam negeri adalah Rp 250.000,00 dan luar negeri US$50 per tahun. Naskah dan resensi yang panduannya dapat dilihat di www.mlindonesia.org dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang sampul jurnal. ALAMAT Masyarakat Linguistik Indonesia d.a. Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya JI. Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930, Indonesia posel:
[email protected];
[email protected] Tel./Faks.: +62 21 571 9560
FORMAT PENULISAN NASKAH Naskah diketik dengan menggunakan MS Word dikirimkan ke Redaksi melalui e-mail
[email protected] atau dalam bentuk disket dan satu printout. Panjang naskah, termasuk daftar pustaka, adalah minimal 15 halaman dan maksimal 30 halaman, dengan spasi 1.15 dan jenis huruf Times New Roman 11 point. Naskah disertai dengan abstrak sekitar 150 kata dan kata kunci (keywords) maksimal tiga kata. Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa: bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, diletakkan setelah judul naskah dan afiliasi penulis. Gaya penulisan kutipan hendaknya mengikuti format APA (American Psychological Association) versi 6 (petunjuk dasar mengenai cara menulis kutipan menurut format APA dapat dipelajari pada tautan berikut ini: https://owl.english.purdue.edu/owl/resource/560/02/). Untuk kutipan pendek, yaitu kurang dari 40 kata, hendaknya dipadukan dalam kalimat penulis. Kutipan pendek langsung diawali dan diakhiri dengan tanda petik; kutipan pendek tidak langsung tidak perlu menggunakan tanda petik. Untuk kutipan panjang, yaitu lebih dari 40 kata, kutipan diawali di baris baru dengan indent ½ inch dari margin kiri, yaitu dalam tempat yang sama pada paragraf baru. Margin kiri seluruh kutipan mengikuti margin kiri pada awal kutipan. Margin kanan kutipan sama dengan margin kanan paragraf yang lain. Spasi dan ukuran tulisan kutipan tidak berubah. Setiap kutipan harus disertai dengan sumber kutipan berupa nama belakang penulis dan tahun penerbitan, misalnya (Radford, 1997). Untuk kutipan langsung—baik panjang maupun pendek—sumber kutipan juga harus dilengkapi dengan keterangan nomor halaman, misalnya (Radford, 1997, p. 215). Catatan ditulis pada akhir naskah (endnote), tidak pada bagian bawah halaman (footnote). Setiap sumber kutipan, baik artikel maupun buku tanpa dipilah-pilah jenisnya, diurutkan menurut abjad berdasarkan nama akhir, tanpa diberi nomor urut. Sesuai dengan format APA 6, daftar sumber kutipan ditulis sebagai berikut: Untuk buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) inisial nama pertama, (4) titik, (5) kurung buka, (6) tahun penerbitan, (7) kurung tutup, (8) titik, (9) judul buku cetak miring, (10) titik, (11) kota penerbitan, (12) titik dua (colon), (13) nama penerbit, dan (14) titik, seperti pada contoh berikut: Levinson, S.C. (2003). Space in language and cognition. Cambridge: Cambridge University Press. Malt, B., & Wolff, P. (2010). Words and the mind. Oxford,UK: Oxford University Press. Untuk artikel dalam jurnal: (1) nama akhir, (2) koma, (3) inisial nama pertama, (4) titik, (5) kurung buka, (6) tahun penerbitan, (7) kurung tutup, (8) titik, (9) judul artikel, (10) titik, (11) nama jurnal cetak miring, (10) koma, (11) volume cetak miring, (12) nomor issue dalam kurung cetak tegak (kalau ada), (13) halaman, dan (14) titik, seperti pada contoh berikut: Gentner, D., & Christie, S. (2010). Mutual bootstrapping between language and analogical processing. Language and Cognition, 2(2), 261–283. Li, P., & Gleitman, L. (2002). Turning the tables: Language and spatial reasoning. Cognition, 83(3), 265–294. Untuk artikel dalam buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) inisial nama pertama, (4) titik, (5) kurung buka, (6) tahun penerbitan, (7) kurung tutup, (8) titik, (9) berilah kata “Dalam” untuk artikel dalam Bahasa Indonesia atau “In” (untuk artikel dalam Bahasa Inggris), (10) inisial nama pertama editor, (11) titik, (12) nama akhir editor disusul (ed.), atau (eds.) jika lebih dari satu, (13) koma, (14) judul buku cetak miring, (15) kurung buka, (16) halaman, (17) kurung tutup, (10) titik, (11) kota penerbitan, (12) titik dua (colon), (13) nama penerbit, dan (14) titik, seperti pada contoh berikut: Dryer, M.S. (2007). Noun phrase structure. Dalam T. Shopen (ed.), Complex Constructions, Language Typology and Syntactic Description (II) (hlm. 151–205). Cambridge: Cambridge University Press. Gleitman, L., & Papafragou, A. (2005). Language and thought. Dalam K.J. Holyoak, & R.G. Morrison (Eds.), Cambridge handbook of thinking and reasoning (hlm. 117-142). Cambridge: Cambridge University Press. Jika ada lebih dari satu artikel oleh pengarang yang sama, nama pengarangnya ditulis ulang, dimulai dengan tahun terbitan yang lebih dulu, mengikuti contoh ini: Swain, M. (1985). Communicative competence: Some roles of comprehensible input and comprehensible output in its development. In S.M. Gass, & C.G. Madden (eds.), Input in second language acquisition (pp. 235–253). Cambridge, MA: Newbury House. Swain, M. (2000). The output hypothesis and beyond: Mediating acquisition through collaborative dialogue. In J.P. Lantold (ed.), Sociocultural theory and second language learning (pp. 97–114). Oxford, England: Oxford University Press.
Daftar Isi Personal Pronouns of Dhao in Eastern Indonesia Jermy I. Balukh ................................................................................. 101 ”Bentuk Hormat” Dialek Bahasa Bali Aga dalam Konteks Agama Hara Mayuko..................................................................................... 121 Javanese and Problems in the Analysis of Adversative Passive Ika Nurhayani.................................................................................... 135 Faktor dan Strategi Pengembangan Budaya Baca melalui Membaca Pemahaman Mahasiswa Pranowo, Antonius Herujiyanto ....................................................... 153 Pergeseran Sistem Pembentukan Kata Bahasa Indonesia: Kajian Akronim, Blending, dan Kliping M. Zaim ............................................................................................. 173 Resensi: Christopher Joseph Jenks Transcribing Talk and Interaction: Issues in the Representation of Communication Data Diresensi oleh Agustian Sutrisno ............................................................... 193 Jelajah Linguistik: Pengelolaan Data Digital dalam Rangkaian Metodologi Penelitian Linguistik Faizah Sari ................................................................................................. 197 Bincang antara Kita dari Dunia Maya: Apa Arti “Free Test” ........................................................................ 201
Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 101-120 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 2
PERSONAL PRONOUNS OF DHAO IN EASTERN INDONESIA1 Jermy I. Balukh* Leiden University Centre for Linguistics, STIBA Cakrawala Nusantara
[email protected] Abstract This paper describes the properties of personal pronouns in Dhao, a language spoken by about 3000 people mainly on the island of Ndao in East Nusa Tenggara (NTT). Dhao is genetically classified into Sumba-Hawu subgroup of Central Malayo-Polynesian (CMP) branch of Austronesian languages. The focus of this paper is to describe the pronominal system of Dhao, highlighting different types of pronouns and their syntactic distribution. Dhao has three sets of morphologically independent personal pronouns and one set of bound form (affixes). The three sets can occur as independent clausal arguments, except for the clitics nga ‘1PL-ex’ and two variants of 3SG clitics which differ in syntactic distribution. As for the bound forms, the affixes are cross-referenced with NPs or full pronouns in subject positions. Personal pronouns also co-occur with other constituents as identifying expressions. Keywords: personal pronoun, clitics, argument, Dhao
Abstrak Makalah ini membahas properti pronomina persona dalam Bahasa Dhao, sebuah bahasa yang digunakan oleh sekitar 3000 orang terutama di Pulau Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT). Secara genetis, Dhao diklasifikasikan ke dalam kelompok Sumba-Hawu dari subrumpun Central Malayo Polynesian, Austronesia. Fokus makalah ini adalah untuk mendeskripsikan sistem pronomina bahasa Dhao dengan menyoroti tipe-tipe pronomina yang berbeda dan distribusi sintaksisnya. Bahasa Dhao memiliki tiga perangkat morfem mandiri dan satu perangkat bentuk terikat (afiks). Ketiga perangkat morfem mandiri dapat menempati argumen klausa secara independen, kecuali klitika nga ‘1PL-ex’ dan dua varian klitika 3SG yang berbeda dalam hal distribusi sintaksis. Adapun bentuk terikat afiks merujuk-silang dengan frasa nomina atau pronomina bebas pada posisi subjek. Pronomina persona juga hadir bersama konstituen lain sebagai pengidentifikasi. Kata kunci: pronomina persona, klitika, argumen, Dhao
INTRODUCTION2 Dhao is a language spoken by about 3000 people, mainly in Ndao, a tiny island west of Rote in East Nusa Tenggara Province (NTT). Due to migration throughout the province, a few Dhao speakers also live on the islands of Rote, Timor, and Flores. Dhao belongs to the Central Malayo-Polynesian (CMP) branch of Austronesian languages which is genetically subclassified into the Sumba-Hawu group, and thus is similar to languages spoken on the islands of Sumba and Sawu (Blust, 2008, 2009, 2013; Donohue & Grimes, 2008). While Dhao is genetically similar to Hawu (spoken in Sawu), it has no direct contact with Hawu. Instead, it is in contact with Rote because of its geographic proximity and because Dhao falls under the same administration as Rote (Balukh, 2013). Dhao is also said to have been influenced for a long time by Rote due to socio-cultural contact (Fox, 1987).
Jermy I. Balukh
Dhao was previously considered a dialect of Hawu by Jonker (1903). More recently, Walker (1982) and Grimes (2010) have argued that Dhao is a separate language from Hawu, though they show many lexical and phonological similarities. One salient difference between the two languages is that, in Hawu, the basic word order is VS(O), while Dhao has SV(O) word order. Another important difference between these languages is that Dhao has a more complex pronominal system than Hawu. Hawu only has full personal pronouns, while Dhao has full and reduced pronouns, as well as clitics pronouns and affixes. Dhao’s full pronouns are similar to those found in Hawu, but the clitics and affixes are similar to those found in the neighboring language of Rote, and some other languages in the Timor area. These linguistic observations have led Balukh (2013) to support Fox’s (1987) anthropological claim that Dhao is intermediate between Sawu and Rote. This paper examines the morphosyntactic behaviour of personal pronouns of Dhao and their use in argument positions. Other related points, such as the phonological constraints on the pronouns and other constituents appearing as identifying expressions, are also discussed in brief to support the proposed analysis. Before describing personal pronouns, it is important to briefly introduce the basic clause structure and the distribution of the noun phrase (NP) in Dhao. Oneplace predicates can be either verbal or non-verbal and they have the order subject–predicate (SP). Moreover, two-place predicates are always verbal and have fixed subject-predicate-object (SPO) order. As illustrated in (1) and (2) below, the changes in word order are not possible. (1) nèngu pa-kajape èsu ana ne'e 3SG CAUS-to.hang navel child PROX.SG ‘She hangs the umbilical cord of the baby’ (2) ?èsu ana ne'e pa-kajape navel child PROX.SG CAUS-to.hang ‘The navel of the baby hangs her’
(NP VP NP)
nèngu (NP VP NP) 3SG
In argument position, NPs can be modified by demonstratives (such as èèna ‘DIST.SG’ and ne’e ‘PROX.SG’), numerals or quantifiers, and can occur in prepositional phrases. As mentioned above, Dhao employs non-verbal predicates, such as the nominal predicate dhèu dedha liru ‘a person living on the sky’ as in example (3). Therefore, NPs and VPs can only be syntactically distinguished by their position in a sentence. For instance, the word lii ‘to say’ in example (4) is a noun and is the head of the object NP lii èèna ‘that voice’ but it is a verb in example (5) as it describes an action lii ‘to say’ that takes arguments. (3) ina nèngu dhèu dedha liru mother 3SG person above sky ‘His mother is a person living on the sky’ (4) ja’a tadèngi lii èèna 1SG hear voice DIST.SG ‘I heard that voice’ (5) nèngu lii boe dènge ina =na 3SG to.say not with mother 3SG ‘He does not say (anything) to his mother’
102
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
The discussion of personal pronouns of Dhao in this paper is organized as follows. The next section presents pronominal paradigms followed by the discussion on the distribution of pronouns in argument positions and other syntactic functions. This paper closes off with a summary and a conclusion. PERSONAL PRONOUN PARADIGMS Dhao has four sets of personal pronouns; three of which are morphologically independent (full pronouns, reduced pronouns and clitic pronouns), while one is bound (affixes). These affixes are in turn considered cross-reference affixes. All full forms are bisyllabic, except ‘2SG’, and have monosyllabic counterparts that are labeled here as reduced forms. Clitic pronouns are monosyllabic. The paradigms for these pronouns are shown in Table 1 below. Table 1. Dhao Personal Pronoun Paradigms Affixes Pron. Full Reduced Clitics Pref. Suf. ja’a ja ku kU-ku 1SG 3 4 1PL-ex ji’i ji (nga) ngA - -’a First 1PL-in èdhi (ti) ti tA-ti 2SG èu mu mU-mu Second 2PL miu (mi) mi mI-mi 3SG nèngu nu na / ne nA-’e Third 3PL rèngu ru ra rA-si The table shows that the pronouns are distinguished into two categories: person and number. Dhao has first, second, and third persons, and singular and plural number. The plural form for first person is distinguished between exclusive and inclusive. Gender and case are not distinguished in Dhao. The reduced forms occur only in rapid speech. Pronouns are amongst the most frequently used words in many languages, making them particularly susceptible to phonological reduction (Dixon, 2010a:192). There are two types of phonological reduction. In the first type, the initial syllable remains, while the final syllable is reduced: this applies to ‘1SG’, ‘1PL-ex’, and ‘2PL’. In the second type, the tonic sounds are reduced: this applies to ‘1PL-in’, ‘3SG’, and ‘3PL’. The sound orthographically symbolized as è is a schwa /ə/ that, in Dhao phonology, lacks syllable weight, i.e. it neither occupies the syllable nucleus nor the root final position, although Dhao exhibits an open syllabic system in word. Whenever the schwa /ə/ occurs, the following consonant is geminated, for instance èna [ən:a] ‘six’ and kètu [kət:u] ‘head’. In root final position, it is always followed by high vowels, /i/ and /u/, for example bèi [bəi] ‘grandmother’ and rèu [rəu] ‘leaf’. The table also shows that there is a clear phonological relationship between full pronouns and their reduced pronoun counterparts. Clitic pronouns and their corresponding affixes5 also exhibit very similar phonological forms. However, clitic pronouns and affixes are clearly different from full/reduced pronouns, suggesting that they are not derived from the same source historically. One explanation for this is that Dhao borrowed the clitic forms from neighboring languages through contact. Jonker (1903) claims that the clitics are historically borrowed from Rote.
103
Jermy I. Balukh
Syntactically, clitics and affixes behave differently. While clitics can be true arguments, like full pronouns, affixes can only be referential elements. Therefore, instead of pronominal affixes, I use the term “cross-reference affixes.” PRONOUNS AND ARGUMENT POSITION Personal pronouns in Dhao can substitute full NPs as clausal arguments, either as subject (S), object (O), or as the complement of a preposition. The following subsections provide a discussion of full pronouns and their distribution in argument positions. Full Pronouns as S of Intransitive Predicates Intransitive constructions in Dhao can take verbal and non-verbal predicates which have only one core argument. With such predicates, additional arguments are marked, for example with a preposition. The S argument of intransitive predicates may involve different semantic roles, depending on the meaning or semantic properties of the verb; S may be an agent or patient. Examples (6) through (8) below show that full pronouns can occur in the S argument position of intransitive verbs. In (6) and (7) the semantic role of S is agent, while in (8), S is a patient. In (6) an additional argument is marked with the preposition ngèti ‘from’, which is optional in the clause. (6) ja'a mai (ngèti Sahu) 1SG come from Sawu ‘I came from Sawu’ (7) bèli èèna èdhi la-ti tomorrow DIST.SG 1PL go-1PL ‘In the following day, we left’ (8) nèngu madhe 3SG die ‘S/he died’ The S argument in Dhao is canonically pre-verbal, but for a few verbs, which have a patient S argument, it is possible for this argument to appear in post-verbal position. This is in line with the clause structure for transitive constructions wherein O occurs in the post-verbal position. One such example is presented in (9). The verb madhe ‘die’ is an intransitive verb that syntactically requires a single patient core argument. In the case of this verb, and others like it, we observe a split in the alignment properties of the verb, since the intransitive S argument looks like a transitive O argument in terms of syntactic position (cf. Dixon, 2010a:140). (9) madhe ja'a, bèi e die 1SG grandmother PRT ‘I would be in difficulty, grandmother’ (Lit: I die, grandmother) As already mentioned, Dhao allows non-verbal predicates. The non-verbal predicates in Dhao express attributes, location, and existence, and, in terms of syntactic category, can be headed by a noun, adjective, adverb, numeral, or preposition (Payne, 1997:111-125). The S argument for intransitive non-verbal predicates must come before the predicate. The non-verbal subject and predicate are juxtaposed because Dhao does not have any specific marker to link
104
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
them. Examples (10) through (12) are non-verbal predicates which occur with a full pronoun as S arguments. (10) rèngu [dhèu Lodho]NP 3PL person Lodho ‘They are people of Lodho clan’ (11) nèngu [ètu suu haa]PP 3SG LOC tip west ‘S/he is at the west side’ (12) nèngu [kapai]Adj 3SG big ‘S/he is big’ Full Pronouns as Arguments of Transitive Predicates In Dhao, transitive verbs can appear as ‘single’ or serial verbs. The arguments of transitive verbs have fixed positions: S is pre-verbal and O is post-verbal. The examples in (13) and (14) present full pronouns as S and NPs as O. In (15), full pronouns function as O and NPs as S. Pronouns in both S and O positions are shown in example (16). (13) ja'a puu hua 1SG pick fruit ‘I picked the fruit’ (14) èdhi t-inu èi di mèra 1PL 1PL-drink water only just ‘We only drink water’ (15) busa n-a'a aa'i èu dog 3SG-eat all 2SG ‘The dog kills you’ (Lit: the dog eats the whole of your body) (16) èu pa-madhe 2SG CAUS-die ‘You kill me’
ja'a 1SG
Transitive constructions consisting of serial verbs are presented in (17) and (18). Serial verbs in Dhao include two verbs that occupy one functional slot in a clause (Aikhenvald, 2006:4). In (17), both verbs ngee ‘think’ and -èdhi ‘see’ are intransitive. Example (18) involves the intransitive verb la- ‘go’ and the transitive verb karèi ‘ask’. In both cases, the serial verb requires two arguments, S and O. The prefix k- is attached to the verb –èdhi ‘see’ as in (17). In (18), the suffix –si is attached to the verb la- ‘go’. These affixes are co-indexed with the full pronouns in the subject position. èci ka ne'e (17) ja’ai ngee ki-èdhi sa-saba 1SG think 1SG-see DUP-work one PRT PROX.SG ‘I remember I work here’
105
Jermy I. Balukh
(18) rèngui la-sii karèi ana bhèni dhèu dua dara dhasi 3PL go-3PL ask child girl person two inside sea ‘They proposed to two girls from sea’ In ditransitive constructions, both objects can appear as bare NPs. As shown in (19), the full pronoun ja’a ‘1SG’ functions as the direct object of the verb hia ‘give’ and is immediately followed by the indirect object. In (19), the verb hia ‘give’ is immediately followed by the indirect object NP doi ca nguru riho ‘ten thousand rupiahs’. The full pronoun ja’a ‘1SG’ occurs in a peripheral position, marked by the preposition asa ‘to’. (19) a. Rini hia ja'a doi ca nguru riho Rini give 1SG money a ten thousand ‘Rini gives me ten thousand’ b. Rini hia doi ca nguru riho asa ja'a Rini give money a ten thousand to 1SG ‘Rini gives ten thousand for me’ Reduced Pronouns Unlike full pronouns, reduced pronouns are only found in non sentence-final positions. As shown in (20) and (21), the reduced pronouns occur in sentence initial position as a subject. The reduced forms like ja ‘1SG’ in (20) and nu ‘3SG’ in (21) cannot occur as O arguments in sentence final position. However, the reduced pronoun nu ‘3SG’ does occur as an O argument in non-final position, as shown in (22). (20) a. ja lolo dua bèla 1SG roll two sheet ‘I roll two sheets of yarn’ b. èu ne’e aka 2SG PROX.SG trick ‘You fooled me’
ja'a/*ja 1SG
(21) a. nu ètu suu haa 3SG prep tip west ‘She was at the west part’ b. èu ne’e aka nèngu / *nu 2SG PROX.SG trick 3SG ‘You fooled him’ (22) anai [dhu bantu nu] sèrai kako hari la-sii child REL help 3SG DIST.PL walk again go-3PL ‘The children who helped him already left’ Clitic Pronouns Like reduced pronouns, all clitic pronouns cannot occur in sentence final positions. With the exception of ‘1PL.ex’ and ‘3SG’, they can replace their corresponding full pronouns in any other argument position. As shown in (23), the clitic ra ‘3PL’ appears in S position, the same as its full pronoun counterpart rèngu ‘3PL’. Likewise, in (24) and (25), the S argument positions
106
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
are filled with the full pronoun èdhi ‘1PL.in’ and its clitic counterpart ti respectively. In O position, clitics are restricted to non-final positions. Therefore, the clitic ra ‘3PL’ is acceptable in (26a), but not in (26b). The full pronouns are preferred in final position. (23) a. rèngu mai heka 3PL come no.more ‘They did not come anymore’ b. ra mai heka 3PL come no.more ‘They did not come anymore’ (24) èdhi tao rèu sabha 1PL.in make leaf water.container ‘We took palm leaves’ (25) ti= abhu doi dhari ho hèli èi mènyi rai 1PL get money rope so.that buy water oil land ‘We can make some money to buy some kerosene or …’
do… or
(26) a. ja’a pa-kajape =ra ètu kolo aj’u 1SG CAUS-hook 3PL LOC top tree ‘I hook them on the tree’ b. ja’a pa-kajape *=ra/rèngu 1SG CAUS-hook 3PL ‘I hook them’ The two forms of the clitic ‘3SG’ have distinct syntactic functions. The variant na preferably occurs in S position, while ne can only occur in O position. As illustrated in (27), it is the clitics na ‘3SG’, not ne, that is acceptable in S position. While only ne is acceptable as O in (28a), either na or ne is acceptable in (28b). (27) na/*ne= puu hua 3SG pick fruit ‘He is picking fruit’ (28) a. ja’a game =ne/*na 1SG hit 3SG ‘I hit him/her’ b. ja’a game na/ne pake hadhu 1SG hit 3SG use stone ‘I hit him using stone’ Walker (1982) and Grimes (2010, 2012) list nga ‘1PL.ex’ in the pronoun inventory of Dhao, but they did not demonstrate any supporting examples. In my data, it did not occur as an independent pronoun. Example (29) illustrates the use of the full pronoun ji'i ‘1PL.ex’ in S position. Walker’s and Grimes’ pronoun inventory suggests that the clitic counterpart nga fills the same position in (29), yet it is ill-formed. Similarly, in (30), while it is grammatical for the clitic ra ‘3PL’ to occupy an S position, it is not for the clitic ‘nga ‘1PL.ex’. As such, the clitic nga does not appear to exist in Dhao.
107
Jermy I. Balukh
(29) a. ji’i heka tutu kadèna ka èèna 1PL.ex just cut firewood PRT DIST.SG ‘We just cut the fire wood’ b. *nga heka tutu kadèna ka èèna 1PL.ex just cut firewood PRT DIST.SG c. dhèu aae èèna piara ji'i /*nga person big DIST.SG look.after(IND) 1PL.ex ‘The king took care of us’ (30) a. ra la-si 3PL go-3PL ‘They go’ b. *nga la-’a 1PL-ex go-1PL.ex ‘We go’ Cross-reference Affixes In the case of inflection, Dhao has eight vowel initial verbs that obligatorily take prefixes. Only one verb, which is la- ‘go’, takes suffixes. The affixes in turn “agree” with S arguments. They are called cross-reference affixes here because the affix and the verb already constitute a complete clause. Furthermore, the dependent NP requires the affix on the verbal head, whereas the head and the marker can occur without the dependent NP (Bloomfield, 1933:193; Haspelmath, 2013). This phenomenon is not unique in Dhao, since the languages in the neighboring areas also have similar phenomena, such as Kambera in Sumba (Klamer, 1998), Rote (Balukh, 2005), and Tetun (Van Klinken, 1999). The eight vowel initial verbs that require prefixes are listed in Table 2 below. Table 2. Dhao Verb Inflection with Prefixes -a’a -are -e’a -èdhi -èti -o’o Pron. Pref. ‘eat’ ‘take’ ‘know’ ‘see’ ‘bring’ ‘want’ 1SG kUku’a kore ke’a kèdhi kèti ko’o 2SG mU- mu’a more me’a mèdhi mèti mo’o 3SG nAna’a nare ne’a nèdhi nèti no’o 1PL-in tAta’a tare te’a tèdhi tèti to’o 1PL-ex ngA- nga’a ngare nge’a ngèdhi ngèti ngo’o 2PL mImi’a mere me’a mèdhi mèti mo’o 3PL rAra’a rare re’a rèdhi rèti ro’o
-inu ‘drink’ kinu minu ninu tinu nginu minu rinu
-èd’u ‘hold’ kèd’u mèd’u nèd’u tèd’u ngèd’u mèd’u rèd’u
As shown in Table 2, there are two types of inflected verbs. The first type is labeled as irregular that includes the verbs –a’a ‘eat’ and –are ‘take’. The second type is regular and includes the other six verbs. In the case of the irregular inflected verbs, the vowel within the prefix assimilates with the initial vowel of the verb root. In contrast, in the regular verbs, the vowel in the prefix is deleted, only the consonant is retained. The illustrations of the cross-references are given in (31) and (32). As illustrated in (31), the same verb root -a’a ‘eat’ takes different prefixes -- k- and r- respectively – according to the S argument with which they are co-indexed. Another evidence is given in (32). With a control
108
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
verb neo ‘want’, the prefix k- is also co-indexed with the full pronoun ja’a ‘1SG’ in the matrix clause. It indicates that both clauses share the same subject, that is ja’a ‘1SG’. tarae-sina (31) a. ja'ai ki-u'a 1SG 1SG-eat corn ‘I eat corn’ b. rèngui ri-a'a tarae-sina 3PL 3PL-eat corn ‘They eat corn’ (32) ja'ai neo ki-u'a katuka 1SG want 1SG.eat rice.cake ‘I wanted to eat the rice cakes’
se’e PROX.PL
When the full NP or pronoun has been made clear in the previous discourse or clause, it is absent in S position. A construction as such is judged grammatical, since the prefix itself on the verb already provides information about the subject referent. As shown in (33), the prefix nsignals that the S argument must be a 3SG referent. Likewise, in (34), the prefix r- gives information that the S argument must be a 3PL referent. (33) n-o'o boe bhèni aae èèna conge 3SG-want NEG woman big DIST.SG open ‘(S/he) didn’t want the queen to open the door’
èmu house
(34) r-inu sèna ka ana madha baku sakaa 3PL-drink so.that PRT child eye NEG.PROH. sleepy ‘(They) drink in order not to be sleepy’ As mentioned previously, cross-reference suffixes are applied only to one verb, that is la- ‘go’.6 The paradigm is shown in Table 3 below. Table 3. Dhao Inflectional Suffix Pronoun Suffix la- ‘go’ 1SG -ku la-ku 2SG -mu la-mu 3SG -’e la-’e 1PL-in -ti la-ti 1PL-ex -’a la-’a 2PL -mi la-mi 3PL -si la-si The suffix “agrees” with the subject of the verb. It is proven by the fact the suffix is co-indexed with both full pronoun and full NP appearing as the clausal subject before the inflected verb. In (35), for example, the suffix –ku is attached to the verb la- ‘go’ and it is co-indexed with the full pronoun ja’a ‘1SG’. Another example is also shown in (36) with the suffix –ti which is coreferential with the full pronoun èdhi ‘1PL.in’ in clause-initial position. The imperative sentence in (37) and prohibitive sentence in (38) demonstrate that the co-referential NPs or full pronouns are absent. The suffixes themselves are already enough to indicate the subject referents. The subject of imperative sentences is in general unexpressed (Aikhenvald, 2010:145). However, in
109
Jermy I. Balukh
this regard the information of the subject is made available by the suffixes and therefore, the person and number of the subject are obviously seen by the presence of the suffixes. Example (39) contains subordinate clauses where the suffix –ku represents the subject of the subordinate clause and it is indexed to the subject of the matrix clause, which is the full pronoun ja’a ‘1SG’. (35) ja'ai la-kui èmu, aku nèngu 1SG go-1SG house according.to 3SG ‘He said, 'I went home'’ (36) èdhii la-tii dhasi 1PL.in go-1PL.in sea ‘We went to the beach’ (37) la-mi pare ku a'ju go-2PL slaughter tag wood ‘Please (you all) go to cut the wood’ (38) baku la-ti ku PROH.NEG go-1PL.in tag ‘Please don't go’ babha (39) ja'ai neo la-kui 1SG want go-1SG gong ‘I wanted to play gong’ The clitics are in complementary distribution with full pronouns in that either one of them appears as the subject referent. The affixes are obligatory elements in this case. As illustrated in (40), either a clitic or full pronoun occurs as the S argument of the clauses and therefore (40) is not acceptable. Another example is given in (41) where the suffix is obligatory and S argument is denoted by either a full pronoun or a clitic, not both. (40) a. ra= r-èti dènge babha 3PL 3PL-bring with gong ‘They brought gongs’ b. rèngu r-èti dènge babha 3pl 3pl.bring with gong ‘They brought gongs’ c. *rèngu ra= r-èti dènge 3PL 3PL 3PL.bring with
babha gong
(41) a. mai èdhi/ti la-ti pèci eele asa dara dhasi come 1PL.in go-1PL.in throw PRT to inside sea ‘Let us go to throw (something) into the sea’ b. *mai èdhi ti la-ti pèci eele asa dara dhasi come 1PL.in 1PL.in go-1PL.in throw PRT to inside sea ‘Let us go to throw (something) into the sea’
110
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Prepositional Complements Dhao allows only full pronouns to occur as complements of prepositions. Clitics never occur in this position. As complements, pronouns appear after prepositions. The prepositions that permit personal pronouns are presented in (42) below. (42) Prepositions ètu ‘LOC’ mi ‘unto’ ma ‘toward’ ngèti ‘from’ asa ‘to’ dènge ‘with’ sèmi ‘as, like’ As illustrated in (43), the full pronoun èu ‘2SG’ follows the locative preposition ètu ‘LOC’. The same full pronoun is replaced by the corresponding clitics mu in (43), but it becomes ungrammatical. The same is also true when the pronouns follow the prepositions mi and ma in (44) and (45). These examples give evidence that prepositions require full pronouns only. (43) a. ja'a lèka mèdha èèna 1SG believe goods DIS.TSG ‘I entrust this thing to you’ b. *ja'a lèka mèdha èèna 1SG believe goods DIS.TSG ‘I entrust this thing to you’
ètu èu LOC 2SG ètu mu LOC 2SG
(44) da-dui ne’e ja'a kahero mi èu/*mu DUP-carry PROX.SG 1SG strike unto 2SG ‘This stick I hit unto you’ (45) èu neo ngaa dhu ja'a tao ma èu/*mu 2SG want what REL 1SG make toward 2SG ‘You want what I am doing toward you’ Personal Pronouns as Possessors This section does not discuss in detail the types of possessive construction attested in Dhao,7 but rather focuses on the position of personal pronouns in possessive constructions within an NP. Possessive constructions that countain a pronoun in Dhao can be expressed through NP structures in which the possessor is a pronoun or clitic pronoun. The possessor occurs to the right of the possessed NP. There is no dedicated possessive marker. This construction is an NPinternal possessive construction (Dixon, 2010a). There is no distinction between alienable and inalienable possession in this case.8 In such a construction, the reduced pronouns are rarely used, unless they are in non-sentence final positions. A typical possessive construction that countains a full NP is given in (46). In this example, the first noun ngara ‘name’ is the possessum and the second noun rai ‘land’ is the possessor. There is no marker at all. While all full pronouns can be possessors in any position, most clitics occur only in subject position. Examples (47a) and (47b) show full clitic pronouns as possessors in subject position. As
111
Jermy I. Balukh
illustrated in (48b), only 3SG clitic can occur as a possessor within the NP in object position. There must be a pragmatic reason for this, which is beyond the scope of the present paper. (46) [ngara rai] dhu miu pea ne'e… name land REL 2PL stay PROX.SG ‘The name of the place where you are living …’ (47) a. [ma-muri ji'i] dhoka hua DUP-live 1PL.ex only fruit ‘Our life only depends on fruits’ b. [ma-muri ku] dhoka hua a'ju DUP-live 1SG only fruit wood ‘My life only depends on fruits’
a'ju di wood only di only
(48) a. ja’a pua nèngu dame dara [èmu ja’a/*ku/*ti] 1SG ask 3SG paint inside house 1SG/1PL.in/ ‘I asked him to paint the inside part of my house’ b. ja’a pua nèngu dame dara [èmu na] 1SG ask 3SG paint inside house 3SG ‘I asked him to paint the inside part of his house’ In cases where the possessum is clear from the previous discourse, it can be substituted by unu ‘own’. Within this type of NP, clitic possessors are possible. For example, (49a) explains a situation where a group of people went fishing and brought back all the fish that they caught, leaving nothing behind for others. The unexpressed ‘fish’ is interpreted as the possession, which is, since it is clear from previous discourse, substituted by the word unu ‘own’. It is seen in (49b) that the possessum i’a ‘fish’ is in the same position as unu ‘own’ and it is acceptable. The co-occurrence of the possessum i’a ‘fish’ and unu ‘own’ as in (49c) violates the construction. (49) a. dhèu se'e r-are aa'i [unu =ra] ka... person PROX.PL 3PL-take all own 3PL PRT ‘The people brought all (the fish) that they had, then…’ b. dhèu se'e r-are aa'i [i’a =ra] ka... person PROX.PL 3PL-take all fish 3PL PRT ‘The people brought all the fish that they had, then…’ c. *dhèu se'e r-are aa'i [i’a unu =ra] ka... person PROX.PL 3PL-take all fish own 3PL PRT PRONOUNS AND OTHER CONSTITUENTS Pronouns with Demonstratives Like full NPs, full pronouns in Dhao are allowed to take demonstratives as modifiers. These demonstratives in turn are used by the speaker for evaluating or appraising oneself. The demonstratives follow the full pronouns, both in S and O positions. Other sets of personal pronouns cannot take modifiers. It is cross-linguistically common that the modification of pronouns exhibits a constraint on space and number (cf. Bhat, 2004:37–57; Dixon, 2010:198– 223). Thus, the pronoun ja’a ‘1SG’ and èu ‘2SG’ can only be modified by the proximal singular demonstrative ne’e ‘PROX.SG’, whereas nèngu ‘3SG’ can take all singular demonstratives. For
112
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
plural pronouns, only rèngu ‘3PL’ can be modified by any plural demonstrative, while the other three pronouns, ji’i ‘1PL.ex’, èdhi ‘1PL.in’ and miu ‘2PL’ can only be modified by the proximal plural se’e ‘PROX.PL’. As illustrated in (50), the second singular pronoun is modified by proximal singular demonstrative; while, in (51) and (52), the third singular pronoun can be modified by both proximal and remote singular demonstratives. Furthermore, the first plural pronoun in (53) takes a proximal demonstrative, whereas the third plural pronoun in (54) takes a remote demonstrative. (50) [èu ne’e] pa-j'èra ja'a sèmi ngaa 2SG PROX.SG CAUS-suffer 1SG like what ‘You make me in a big trouble’ (51) nèngu ne’e dhèu hiu ètu ne'e 3SG PROX.SG person new LOC PROX.SG ‘S/He is a new comer here’ (52) ja’a pa-èi [nèngu nèi] 1SG CAUS-water 3SG REM.SG ‘I soldered it’ (53) [èdhi se’e] dhèu a'a ari 1PL.in PROX.PL person older.sibling younger.sibling ‘We are brothers and sisters’ (54) [rèngu sèi] dhèu limuri 3PL REM.PL person latest ‘They are young people’ Unlike full pronouns, clitics cannot take demonstratives as modifiers. As shown in (55a), the full pronoun nèngu ‘3SG’ is modified by the demonstrative ne’e ‘PROX.SG’. If the full pronoun is replaced with the clitic na ‘’3SG’, as in (55b), the sentence is judged ungrammatical. The sentence is grammatical only if the clitic na ‘3SG’ is not modified by ne’e, as shown in (55c). One possible explanation for this condition is that clitics are prosodically dependent elements (cf. Dixon, 2010:20-27). Further research is required to verify this assumption, which is beyond the scope of this paper. (55) a. nèngu ne’e ka dhu mai meda èèna 3SG PROX.SG PRT REL come yesterday DIST.SG ‘He was the one who came yesterday’ b. *na= ne’e ka dhu mai meda èèna 3SG PROX.SG PRT REL come yesterday DIST.SG c. na= ca’e hari asa kolo ana aj’u 3SG climb again to top child wood ‘He climbs again to the top of the tree’ Pronouns with Numerals/Quantifiers In Dhao, pronouns can co-occur with numerals and quantifiers. Numerals are used to specify the exact number of referents that pronouns have left unspecified. Only plural pronouns take numerals. They do not directly modify pronouns, but rather provide additional information with
113
Jermy I. Balukh
regard to the identity of their referents. The pronoun-numeral construction must be interpreted as referring to a selection of the persons that belong to a particular group, instead of referring to the whole group (Bhat, 2004:55). Meanwhile, quantifiers are used to refer to the whole group. Example (56a) shows a typical noun phrase where the noun dhèu ‘person’ functions as the head and is modified by the numeral dua ‘two’ followed by the plural demonstrative se’e ‘PROX.PL’. When the noun head is absent, the numeral becomes the head, indicating the number of referents, leaving the type of referent (animate or inanimate) unspecified, as in (56b). In (56c), deleting the numeral makes the number of the referent unspecified. With numeral, the relevant demonstrative (either singular or plural) is obligatory, otherwise the construction is ungrammatical, as in (56d). (56) a. dhèu dua se’e ètu èmu person two PROX.PL LOC house ‘These two people are in the house’ b. dua se’e ètu èmu two PROX.PL LOC house ‘These two (people) are in the house’ c. dhèu se’e ètu èmu person PROX.PL LOC house ‘These two (people) are in the house’ d. *dhèu dua ètu èmu person two LOC house ‘These two (people) are in the house’ When numerals co-occur with pronouns, the clitic version of the pronoun is obligatorily present. The clitic is a necessary extra nominal modifier in this specific construction with no independent semantic contribution. In pronoun-numeral constructions, only the third plural person rèngu ‘3PL’ is acceptable with both the relevant demonstrative, resembling a full NP construction, as in (56) above, and the clitic counterpart. For instance, (57a) shows that the clitic ra ‘3PL’ appears after the numeral dua ‘two’, whereas (57b) applies a plural demonstrative sèi ‘REM.PL’ in the same position as the clitic. The full pronoun rèngu ‘3PL’ can be deleted, as indicated between brackets, without affecting the meaning of the subject referent. Either a clitic or a demonstrative is obligatory, otherwise the construction is ungrammatical, as shown in (57c). (57) a. (rèngu) dua ra= pa-raga 3PL two 3PL RECIP-meet ‘The two of them met?’ b. (rèngu) dua sèi pa-raga 3PL two REM.PL RECIP-meet ‘The two of them met?’ c. *rèngu dua pa-raga 3PL two RECIP-meet Other pronouns do not allow demonstratives in pronoun-numeral constructions, but only the corresponding clitics. As demonstrated in (58a) , the full pronoun èdhi ‘1PL.in’ requires its corresponding clitic ti to follow the numeral dua ‘two’. When the proximal plural
114
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
demonstrative se’e in (58b) appears in the position of a clitic, the sentence is judged ungrammatical. Another evidence comes from the pronoun-numeral construction in object position as illustrated in (59) where only clitics applies, not demonstrative. (58) a. (èdhi) dua ti= t-a'a 1PL.in two 1PL.in 1PL.in-eat ‘We two of us eat (together)?’ b. *(èdhi) dua se’e t-a'a 1PL.in two PROX.PL 1PL.in-eat ‘We two of us eat (together)?’ (59) rèngu pua èdhi telu =ti/*se’e 3PL ask 1PL.in three 1PL.in/PROX.PL ‘They asked three of us’ Contrastively, both the clitic and the demonstrative are acceptable when the identifying element is a quantifier, aa’i ‘all’, as shown in (60). Like pronoun-numeral construction, pronouns are optional in this construction. With the quantifier, only plural pronouns apply. Since the clitic already provides information about the referent, the absence of pronouns does not violate to the construction. Other quantifying expressions use ciki ‘a few’ and pèri ‘how many’. They have a different grammatical constraint in that they require a human classifier dhèu ‘person’,9 as illustrated in (61) and (62) below. (60) ja'a mengajak (èdhi) aa'i =ti/se’e 1SG urge(IND) 1PL.in all 1PL.in/PROX.SG ‘I am asking all of us’ (61) (ji’i) dhèu ciki ood’e di dhu la-’a 1PL.ex person a.few INT only REL go-1PL.ex ‘Only a very few of us go’ (62) (ji’i) dhèu pèri di ètu èmu 1PL.ex person how,many only LOC house ‘Some of us are at home’ Pronouns with Relative Clauses Like modifying NPs, relative clauses follow pronouns. The relative clauses in Dhao are marked with dhu ‘REL’, as exemplified in (63) . Such a relative clause specifies the context of the referent of the pronoun èu ‘2SG’, that is the one who does not want to be a king. Clitics never take relative clauses, thus a clitic as exemplified in (64) is unacceptable. It is only acceptable when clitics co-occur with a numeral, as shown in (65). (63) èu [dhu neo boe j'aj'i dhèu aae na]REL mai kalua 2SG REL want not become person great COMPL come exit(IND) asa li'u mai to outside come ‘You, who do not want to be a king, go out and come here’
115
Jermy I. Balukh
(64) rèngu/*ra dhu padhae lii r-èdhi boe 3PL REL speak voice 3PL-see not ‘They who have not had conversation’ (65) ja'a ngee na dua ra dhu mahu 1SG think COMPL two 3PL REL drunk ‘I think that two of them are the drunk ones’ Pronouns with NPs In situations in which the speakers intend to provide information regarding the identity of the referents, they will use full NPs in addition to the personal pronouns. This construction is employed by speakers to prevent contextual ambiguity in the situation in which, when the speaker has an assumption that the addressee might not be able to identify the referent other than the speaker him/herself (Bhat, 2004:45). In Dhao, third person pronouns require NPs to precede them in a topical position, whereas other pronouns require NPs to follow them in an appositional position. The third singular pronoun is illustrated in (66a) and (67), and the third plural pronoun is given in (68). In those sentences the NPs and the full pronouns refer to the same referent. The NP-pronoun order is fixed; therefore (66b) is unacceptable. (66) a. [Pesa.Kèli] nèngu ètu talora Pesa Kèli 3SG LOC middle ‘Pesa Kèli, he was in the middle part’ b. *nèngu [Pesa.Kèli] ètu talora 3SG Pesa Kèli LOC middle (67) [oka ne’e] nèngu kapai garden PROX.SG 3SG big ‘This garden, it is big’ (68) [mone èci dènge bhèni èci] rèngu padhai lii male one with female one 3PL speak voice ‘A man and a woman, they are talking’ Two examples of other pronouns are exemplified as follows. In (69), the speaker uses the full pronoun ji’i ‘1PL.ex’ with the noun phrase dhèu Dhao ne’e ‘Dhaonese here’ as an identifying expression for the sake of disambiguation of the subject ji’i ‘1PL.ex’. Likewise, example (70a) employs the noun phrase ana sakola ‘school children’ to specify the individuals intended by the speaker as miu ‘2PL’. Unlike third person pronouns, these pronouns do not allow the NPs to precede them; therefore (70b) is unacceptable. (69) ji'i dhèu Dhao ne’e parlu boe tenge èi 1PL.ex person Dhao PROX.SG need(IND) not look.for water ‘We, Dhaonese here, do not need to look for water’ (70) a. miu ana sakola mai ka 2PL child school(IND) come PRT ‘You, school children, come here’ b. *ana sakola miu mai ka child school(IND) 2PL come PRT
116
ne’e PROX.SG ne’e PROX.SG
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
SUMMARY As has been discussed in the preceding sections, personal pronouns in Dhao function as the heads of NPs, which in turn fill the grammatical functions of subject, object, prepositional complements, and possessor within an NP possessor construction. Personal pronouns belong to two distinct paradigms, based on their phonological relationship: the first consisting of full pronouns and reduced pronouns, and the second consisting of clitic pronouns and crossreference affixes. Each group has two distinct types of syntactic behavior. Full pronouns can fill in any argument position without any constraints, while reduced pronouns are limited to S and non-sentence final position. This is also the case for clitics and affixes. While clitics occur in any position, except nga ‘1PL.ex’ and 3SG clitics, affixes only occur as S arguments. The above-mentioned description has explicitly confirmed that the pronominal system of Dhao has morphological and syntactic strategy; the affixes are attached only to selected verbs that require inflection. Clitic pronouns exhibit a more ‘flexible’ distribution, since they constitute separate syntactic words. Clitic pronouns constitute independent syntactic words, but not independent phonological words (Dixon, 2010a:212). The use of personal pronouns of Dhao in different syntactic roles can be summarized in Table 4 below. Table 4. Summary of Personal Pronouns in Different Syntactic Roles Forms S A P Poss. Full Pron.
√
√
√
√
Reduced Pron.
√ nu ‘3SG’ ru ‘3PL’ √ *nga ‘1PL.ex’ *ne ‘3SG’ na ‘3SG’ √ √
√ nu ‘3SG’ ru ‘3PL’ √ *nga ‘1PL.ex’ *ne ‘3SG’ na ‘3SG’ √ -
√ ? ? √ *nga ‘1PL.ex’ ne ‘3SG’ *na ‘3SG’ -
√ √ *nga ‘1PL.ex’ *ne ‘3SG’ na ‘3SG’ -
Pron. Clitics
Prefixes Suffixes
It has also been described that personal pronouns can co-occur with other constituents, such as demonstratives, relative clauses, NPs, and numerals/quantifiers. When applying demonstratives, they have constraints on number and space. Only third persons can occur with all types of demonstratives, while others can only occur with proximal demonstratives. All full pronouns can be modified by relative clauses. In this case, the relative clauses restrict the context of the referents in argument position. When co-occurring with other NPs and numerals/quantifiers, only plural pronouns apply. Except for 3SG, singular pronouns do not take NPs in this kind of construction. This is perhaps because the singular pronouns have already implied definiteness; therefore, they do not require additional information as identifying element to refer to the referent. The summary of the co-occurrence of personal pronouns and other constituents is presented in Table 5 below.
117
Jermy I. Balukh
Table 5. Summary of Personal Pronouns and Other Constituents Pron. DEM REL NP NUM Full 1SG 2SG 3SG 1PL-in 1PL-ex 2PL 3PL
ja’a èu nèngu èdhi ji’i miu rèngu
√ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √
CONCLUSION This paper has shown that Dhao has three sets of morphologically independent personal pronouns and one set of bound form (affixes). In argument positions, full pronouns and clitics are in complementary distribution. While full pronouns can occur in any argument position, the reduced pronouns can only occur in non-sentence final positions. Furthermore, clitics except for nga ‘1PL.ex’ and 3SG clitics can occupy any argument position. Affixes exclusively co-refer to subjects, whether they are present or not. Only full pronouns are employed as prepositional complements. Both full pronouns and clitics can occur as possessors in NP constructions. In argument positions, pronouns can also co-occur with other elements that function as additional information for identifying the referents. In this case, pronouns are followed by demonstratives, relative clauses, and numerals/quantifiers. These constituents function as identifying expressions to restrict the context in which the pronouns are employed. Identifying NPs have constraints: plural pronominal subjects require identifying NPs to follow, whereas third pronominal subjects allow them to precede. NOTES * The authors would like to thank the two anonymous reviewers for their helpful comments on the earlier version of this paper. 1 The earlier version of this paper was presented in the International Congress of Linguistic Society of Indonesia, February 18-22, 2014 at Sheraton Hotel Bandar Lampung. 2 Some consonants used in this paper that are orthographically different from IPA symbols are transcribed as follows: b’ /ɓ/, d’ /ɗ/, j’ /ʄ/, bh /b͡ β/, dh /ɖ͡ʐ/, ng /ŋ/ ny /ɲ/, ’ /ʔ/ and vowel è /ə/. 3 This clitics pronoun is never attested in any argument position . 4 It is phonemically an open mid unrounded vowel /ʌ/. 5 The clitics and affixes are in fact the reflexes from proto-AN pronouns (Ross, 2006) that are retained in Dhao and some neighboring languages, such as Kambera (Klamer, 1998) and Rote (Balukh, 2005; Jonker, 1915) (but not in Hawu (Walker, 1982)). The capital symbols of the prefixes represent abstract vowels that will account for the phonological conditions of irregular inflected verbs (see Table 2, see also Grimes, 2010:267; 2012:30). Another different form comes from the suffix -si ‘3pl’ which is most probably grammaticalized from Dhao’s remote plural demonstrative sèi ‘Rem.pl’ (Ross, 2006:536). In addition to that, the pronoun rèngu ‘3pl’ in Dhao can also refer to a non-human entity indicating plurality, while its clitics counterpart ra ‘3pl’ is not attested as a plural marker in Dhao. 6 Grimes (2010:267) calls the cross-reference suffixes. 7 Dhao has three strategies for possessive constructions; one is the NP structure, and the other two are predicative unu ‘own’ and dènge ‘with’. The word unu ‘own’ can be nominal and verbal but dènge ‘with’ can only be verbal for this regard. 8 While NP-internal possessive constructions apply to both types, predicative possessive constructions can only apply to alienable possession. 9 The discussion of grammatical properties of classifiers is beyond this topic.
118
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
REFERENCES Aikhenvald, A.Y. (2006). Serial verb constructions in typological perspective. In A.Y. Aikhenvald & R.M.W. Dixon (Eds.), Serial verb constructions: A cross-linguistic typology (pp. 1-68). Oxford, U.K.; New York: Oxford University Press. Aikhenvald, A.Y. (2010). Imperatives and commands. Oxford: Oxford University Press. Balukh, J.I. (2005). Mekanisme perubahan valensi dalam bahasa Rote (Unpublished Master Thesis). Linguistic Department, University of Udayana, Denpasar. Balukh, J.I. (2013). Two grammars, one surface form: A preliminary study on Dhao. Presented at the EuroSEAS Conference, July 2-5, 2013, Lisbon, Portugal. Bhat, D.N. (2004). Pronouns. Oxford [England]; New York: Oxford University Press. Bloomfield, L. (1933). Language. New York: Holt and Company. Blust, R. (2008). Is there a Bima-Sumba subgroup? Oceanic Linguistics, 47(1), 45–113. Blust, R. (2009). The position of the languages of Eastern Indonesia: A reply to Donohue and Grimes. Oceanic Linguistics, 48 (June 2009)(2), 36–77. Blust, R. (2013). The Austronesian languages. Canberra: Asia-Pacific Linguistics. Dixon, R.M.W. (2010). Basic linguistic theory: Grammatical topics (Vol. 2). Oxford, New York: Oxford University Press. Retrieved from http://site.ebrary.com/id/10674477. Donohue, M., & Grimes, C.E. (2008). Yet more on the position of the languages of Eastern Indonesia and East Timor. Oceanic Linguistics, 47 (June 2008)(1), 114–158. Fox, J.J. (1987). Between Savu and Rote: The transformation of social categories on the island of Ndao. In D.C. Laycock & W. Winter (Eds.), A world of language (pp. 195–203). Canberra: Pasific Linguistics. Grimes, C.E. (2010). Hawu and Dhao in eastern Indonesia. In M. Klamer & M. Ewing (Eds.), East Nusantara, typological and areal analyses (pp. 251–280). Canberra: Pasific Linguistics. Grimes, C.E. (2012). Panduan menulis bahasa Ndao (Lii Dhao). Kupang: Unit Bahasa dan Budaya. Haspelmath, M. (2013). Argument indexing: a conceptual framework for the syntactic status of bound person forms. In Languages across boundaries: Studies in memory of Anna Siewierska (pp. 197–226). De Gruyter Mouton. Jonker, J.C.G. (1903). Iets Over de Taal van Dao. In Album-Kern; Opstellen geschreven ter eere van Dr. H. Kern (pp. 85–89). Leiden: E.J. Brill. Jonker, J.C.G. (1915). Rottineesche spraakkunst. Leiden: Brill. Klamer, M.A.F. (1998). A grammar of Kambera. Berlin: Mouton de Gruyter. Payne, T.E. (1997). Describing morphosyntax: A Guide for field linguists. United Kingdom: Cambridge University Press.
119
Jermy I. Balukh
Ross, M.D. (2006). Reconstructing case marking and personal pronoun system of Proto Austronesian. In H.Y. Chang, L.M. Huang, & D. Ho (Eds.), Streams converging into an ocean: Festschrift in honor of Professor Paul Jen-Kuei Li on his 70th birthday (pp. 521– 563). Taipei: Institute of Linguistics, Academia Sinica. Van Klinken, C.L. (1999). A grammar of the Fehan dialect of Tetun: An Austronesian language of West Timor. Canberra: Pacific Linguistics, Research School of Pacific and Asian Studies, The Australian National University. Walker, A.T. (1982). A Grammar of Sawu. Jakarta: Badan Penyelenggara Seri NUSA, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
120
Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 121-133 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 2
“BENTUK HORMAT” DIALEK BAHASA BALI AGA DALAM KONTEKS AGAMA1 Hara Mayuko2 Osaka University
[email protected] Abstrak Bahasa Bali mempunyai dua dialek utama, dialek Bali Dataran (BD) dan dialek Bali Aga (BA). Dialek BD mempunyai bentuk hormat (Sor Singgih Basa, Unda Usuk Basa) yang sistematis berdasarkan beberapa faktor yang berkaitan dengan latar belakang percakapan, terutama perbedaan kasta antarpartisipan, sedangkan dalam masyarakat BA tidak terdapat perbedaan pengelompokan status sosial (kasta). Dengan demikian, pada prinsipnya dialek BA tidak mengenal pemakaian bentuk hormat. Namun, ucapan pada waktu berdoa (mesapayang) yang berisi kata-kata ‘alus’ bentuknya sama atau mirip dengan Kruna Alus, Kruna Alus Singgih, dan Kruna Alus Sor dari dialek BD. Makalah ini dimaksudkan untuk memerikan “bentuk hormat” dialek BA yang digunakan di desa Pedawa berdasarkan analisis ucapan doa waktu upacara, dan mengasumsikan kemungkinan interferensi dan peminjaman dari dialek BD ke dialek BA melalui ranah agama dan upacara. Kata kunci: bentuk hormat, dialek Bali Aga, dialek Bali Dataran
Abstract Balinese language has two major dialects, Lowland Balinese dialect (BD dialect) and Mountain Balinese dialect (BA dialect). BD dialect has a systematic form of respect (Sor Singgih Basa, Unda Usuk Basa) which is based, mainly, on the differences of caste between speakers in the society. In the BA community, however, there is no difference of social status groupings. Thus, in principle BA dialect does not have the system and use of honorifics. However, speeches at prayers contain the honorific words which are the same as or similar to Kruna Alus, Kruna Alus Singgih, Kruna Alus Sor of BD dialect. This paper describes the “honorifics” of BA dialect used in the Pedawa village based on analysis of speeches at prayers, and points the possibility of interference and borrowing from BD dialect to BA dialect through religious domain. Keywords: honorifics, Mountain Balinese Dialect, Lowland Balinese Dialect
PENDAHULUAN Bahasa Bali mempunyai dua dialek utama, dialek Bali Dataran (BD) dan dialek Bali Aga (BA) (Denes, 1982; Bawa, 1983; Clynes, 1995). Dialek BD umumnya digunakan di daerah dataran Pulau Bali termasuk daerah perkotaan seperti Denpasar dan jumlah penuturnya cukup banyak. Sebaliknya dialek BA kebanyakan digunakan di daerah pegunungan yang belum begitu berkembang dan jumlah penuturnya jauh lebih sedikit dibandingkan penutur dialek BD.3 Dialek BD dan BA dapat dibedakan dari segi (i) variasi kosakata, (ii) fonologi (distribusi bunyi vokal [a] dan [ə] di akhir kata), dan (iii) bentuk hormat (honorific system) serta kosakatanya (Bawa, 1983). Tentu juga selain perbedaan dialek, antara masyarakat BD dan BA,
Hara Mayuko
adat-istiadat budaya dan agama juga ada banyak perbedaan lain. Makalah ini berfokus pada segi (iii) dan kaitannya dengan budaya dan agama. SISTEM KASTA DAN BENTUK HORMAT Dialek BD mempunyai bentuk hormat (sor singgih basa, unda usuk basa, anggah-ungguhing basa4) sistematis yang mengatur dan mengubah ragam tingkat hormat dengan menggantikan kata dari pasangan padanan bentuk hormat, berdasarkan beberapa faktor yang berkaitan dengan latar belakang percakapan, terutama berdasarkan perbedaan kasta antarpartisipan dalam masyarakat yang menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu dalam masyarakat BA tidak terdapat perbedaan status sosial (dari pandangan masyarakat BD tidak ada sistem pengelompokan sosial yang umum dikenal sebagai kasta). Seperti ditunjukkan pada figur berikut, leksikon dialek BD secara garis besar terdiri dari “leksikon netral” dan “leksikon bentuk hormat”. Leksikon netral terdiri dari “kata netral”5. Leksikon bentuk hormat terdiri dari “leksikon biasa” dan “leksikon alus”. Leksikon biasa terdiri dari “kata biasa” (kruna biasa), sementara leksikon alus dibagi lagi menjadi “kata alus” (kruna alus), “kata alus singgih” (kruna alus singgih), dan “kata alus sor” (kruna alus sor). Kata biasa mempunyai satu atau dua padanan dari leksikon alus dan membentuk “pasangan padanan bentuk hormat” (Sakiyama dan Shibata, 1992), yaitu kata biasa-kata alus (mis. ibi-dibi ‘kemarin’), kata biasa-kata alus singgih (mis. gelem-sungkan ‘sakit’), dan kata biasa-kata alus singgih-kata alus sor (mis. ia-dane-ipun ‘dia’). Dalam hal ini kata netral tidak mempunyai padanan dan dapat dipakai untuk semua tingkat kehalusan (mis. panes ‘panas’). Figur 1. Struktur Leksikon Dialek BD dan BA
——: leksikon dialek BD ------: leksikon dialek BA Kalimat dalam dialek BD yang berarti “kemarin dia sakit panas” bisa bervariasi tergantung tingkat kehalusannya seperti berikut.
122
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
(1)
Ibi biasa
ia biasa
(2)
Dibi alus
dane sungkan panes alus singgih alus singgih netral
(3)
Dibi alus
ipun alus sor
(4)
Ibi biasa
dane sungkan panes alus singgih alus singgih netral
gelem biasa
gelem biasa
panes netral
panes netral
Kalimat (1) bisa muncul dalam percakapan dengan partisipan yang sederajat atau yang berstatus lebih rendah. Pihak ketiga yang sedang dibicarakan juga sederajat dengan si pembicara atau berstatus lebih rendah (terutama berdasarkan kasta), jadi kata yang dipilih semuanya kata biasa. Kalimat (2) bisa muncul dalam percakapan dengan yang berstatus lebih tinggi dan pihak ketiga yang sedang dibicarakan juga lebih tinggi daripada si pembicara (terutama berdasarkan kasta). Kata alus (dibi) dipilih untuk membuat kalimatnya sendiri lebih halus dengan mencerminkan perbedaan tingkat status antarpartisipan. Ini secara tidak langsung bisa menunjukkan rasa hormat atau sungkan kepada pihak yang diajak berbicara. Oleh karena fungsinya yang demikian, kata alus kebanyakan berupa kata gramatikal seperti preposisi, adverbia, dan konjungsi. Kata alus singgih berfungsi untuk menunjukkan kehormatan kepada partisipan yang diajak berbicara atau partisipan yang sedang dibicarakan. Kata alus singgih yang dipakai pada kalimat ini (dane, sungkan) menunjukkan kehormatan kepada si pihak ketiga yang sedang dibicarakan. Seperti terlihat dari dua kata ini, kata alus singgih bukan hanya pronomina persona saja, tetapi ada juga verba, ajektiva, dan nomina yang bermakna aktivitas, sifat, bagian tubuh, milik partisipan, dan sebagainya. Kalimat (3) juga muncul dalam percakapan antara si pembicara yang berstatus lebih rendah daripada yang diajak berbicara, tetapi pihak ketiga yang sedang dibicarakan lebih rendah daripada partisipan yang diajak berbicara (terutama berdasarkan kasta). Kata alus (dibi) berfungsi sama dengan kalimat (2), yaitu membuat kalimatnya halus agar secara tidak langsung menunjukkan kehormatan kepada yang diajak berbicara. Kata alus sor berfungsi untuk merendahkan si pembicara sendiri atau pihak ketiga yang dibicarakan yang berstatus lebih rendah daripada lawan bicara, sehingga bisa diketahui rasa kehormatan kepada lawan bicara yang berstatus lebih tinggi. Seperti halnya kata alus singgih, kata alus sor juga kebanyakan bermakna aktivitas, sifat, bagian tubuh, dan milik partisipannya. Kata alus sor yang dipakai pada kalimat ini (ipun) merendahkan pihak ketiga yang sedang dibicarakan, sehingga bisa diketahui adanya rasa hormat kepada pihak yang diajak berbicara. Kata biasa (gelem) yang dipakai pada kalimat ini dipakai sebagai fungsi kata alus sor, yaitu untuk merendahkan pihak ketiga yang dibicarakan. Kata biasa yang menjadi bagian dari pasangan kata biasa-kata alus singgih memiliki dua fungsi, yaitu fungsi kata biasa dan fungsi kata alus sor. Kalimat (4) bisa muncul dalam percakapan dengan partisipan sederajat atau yang berstatus lebih rendah (terutama berdasarkan kasta), maka dipilih kata biasa (ibi) seperti kalimat (1). Pihak ketiga yang dibicarakan berstatus lebih tinggi daripada si pembicara, maka dipilih kata alus singgih (dane, sungkan) seperti kalimat (2). Di keempat kalimat yang bervariasi dari segi tingkat kehalusan terdapat satu kata netral (panes). Kata ini tidak mempunyai padanan bentuk hormat, sehingga bisa dipakai dalam keempat contoh kalimat di atas yang berbeda tingkat kehalusannya.
123
Hara Mayuko
Sementara itu, leksikon dialek BA hanya terdiri dari leksikon yang bersifat netral saja dan tidak mempunyai padanan kata, sehingga tidak membentuk pasangan tersebut. Dalam dialek BA, contoh kalimat dialek BD yang disebut di atas diwujudkan dengan satu kalimat saja seperti berikut. (5)
Ibi
ia
gelem
panes
Empat kata yang membentuk kalimat ini terdapat juga dalam kalimat (1). Hanya saja bunyi vokal di akhir kata dari pronomina persona ketiga ia ‘dia’ berlainan antara dialek BD dan BA: kalimat (1) [ə], kalimat (5) [a], seperti disebut di bagian atas. Bukan hanya panes, tiga kata yang lain juga tidak mempunyai padanan kata bentuk hormat dalam leksikon dialek BA dan tidak mempunyai konotasi seperti halus atau biasa. Sementara itu dalam dialek BD tiga kata selain panes digolongkan sebagai kata biasa yang merupakan bagian pasangan padanan bentuk hormat. Perlu dicatat bahwa pronomina persona dialek BA memiliki kata berkonotasi halus yang tidak bisa digolongkan sebagai kata netral, yaitu pronomina persona pertama nira dan pronomina persona kedua dane (Hara, 2015). Baik pronomina pertama maupun pronomina kedua dialek BA, masing-masingnya memiliki dua kata yang boleh dikatakan membentuk pasangan padanan bentuk hormat seperti dialek BD (aku-nira, ko-dane). Kata nira berfungsi seperti kata alus sor dialek BD, yakni merendahkan diri dan kata dane seperti kata alus singgih dialek BD, yakni memuliakan partisipan yang lain, tetapi pemakaian nira dan dane terbatas di hadapan partisipan tertentu atau pada waktu tertentu saja. Kata nira dipakai dalam keluarga saja, oleh orang yang menjadi keluarga melalui perkawinan, kepada anggota keluarga yang berkedudukan lebih tinggi dalam silsilah; artinya generasi lebih atas daripada suami atau istrinya sendiri. Misalnya, menantu menyebut diri sendiri sebagai nira waktu berbicara dengan mertua untuk menunjukkan kehormatan dengan merendahkan diri. Kalau tidak ada hubungan demikian, pronomina pertama yang satu lagi, aku yang digunakan. Pronomina persona kedua, dane dipakai kepada (1) pemimpin upacara keagamaan termasuk balian desa dan (2) enam orang berjabatan teratas desa (pengulu/ulu desa)6. Kecuali untuk balian desa, kata dane dipakai hanya pada saat peran bersangkutan dimainkan saja, seperti waktu upacara dan rapat.7 Kedua kata ini (nira, dane) terdapat juga dalam kosakata dialek BD, namun maknanya berbeda dengan dialek BA (mengenai kata dane dialek BD lihat contoh kalimat 2 dan 4). Kosakata selain pronomina pertama dan kedua ini bisa digolongkan sebagai kata yang bersifat netral seperti contoh kalimat (5) di atas. Dengan demikian, pada prinsipnya dialek BA tidak mengenal pemakaian bentuk hormat, seperti telah disebut dalam Bawa (1983) dan Clynes (1995), dan sebagainya. Seperti ditunjukkan dengan garis putus-putus pada Figur 1, leksikon dialek BA sebagian besar sama dengan leksikon netral dan biasa dari leksikon dialek BD (mis. ibi, ia, gelem, panes), dan sebagian kecil hanya terlihat dalam dialek BA.8 DIALEK BALI AGA DI DESA PEDAWA Di antara penelitian-penelitian sebelumnya yang mendeskripsikan distribusi geografik daerah dialek BA, ada tiga karya utama, yaitu Denes (1982), Bawa (1983), dan Foley (1983). Ketiga karya tersebut memiliki perbedaan dari segi garis isoglos. Denes (1982) menganggap daerah BA terletak di daerah utara Kabupaten Tabanan sampai Kabupaten Buleleng (sebutan sementara daerah barat) dengan memperhatikan pentingnya variasi afiks. Bawa (1983) mengatakan bahwa daerah BA berdistribusi di daerah barat, Kabupaten Bangli (yaitu daerah tengah), dan Kabupaten Karangasem (yaitu daerah timur) dengan mempertimbangkan ciri fonologi. Menurut
124
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Foley (1983), daerah dialek BA terletak di daerah barat, sebagian dari sebelah utara daerah tengah, serta daerah timur tanpa menjelaskan alasannya. Penelitian ini diadakan di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, yang terletak di daerah barat menurut keterangan di atas. Letak Desa Pedawa berdampingan dengan empat desa Bali Aga yang lain, yaitu Desa Sidetapa, Cempaga, Tigawasa, dan Banyuseri. Menurut orang Pedawa, bahasa atau dialek yang digunakan di desa-desa itu mempunyai banyak perbedaan dibandingkan dengan bahasa yang digunakan di Desa Pedawa walaupun lokasinya dekat. Kendati demikian mereka masih bisa berkomunikasi dengan penutur dari empat desa tersebut dengan memakai bahasa atau dialek masing-masing. Selain itu, juga dikatakan bahwa bahasa atau dialek yang dipakai di Desa Banyuseri sudah dipengaruhi dialek BD dan lebih dekat dengan dialek BD, bukan dialek BA lagi. Orang Pedawa juga menyatakan bahwa mereka pernah bisa berkomunikasi dengan orang BA yang tinggal lebih jauh, seperti di Kintamani dan Tenganan, dengan memakai bahasanya masing-masing. Oleh karena jarak dialektik dan persamaan antara beberapa dialek BA yang terdapat di daerah-daerah yang berbeda (daerah barat, daerah tengah, dan daerah timur) belum jelas, dialek BA yang akan dibahas dalam makalah ini dibatasi pada dialek BA yang digunakan di Desa Pedawa saja. Dialek BA tidak mempunyai sistem bentuk hormat. Namun, setelah penulis memantau ranah-ranah bahasa (domain) di Desa Pedawa, bahasa atau ragam dalam ranah agama berbeda dari ranah-ranah yang lain. Perbedaan itu terutama terdapat pada ucapan waktu berdoa (mesapayang, nyapayang) yang berisi kata-kata alus yang bentuknya sama atau mirip dengan kata alus singgih dan kata alus sor dari dialek BD. Menurut penutur asli, ucapan dalam berdoa dilakukan dengan dialek BA, tetapi diakui juga tidak sama dengan ranah lain, seperti ranah keluarga dan teman. Contoh di bawah adalah petikan dari ucapan doa kepada leluhur yang akan disebut pada bagian “Cara Pengambilan Data”. ...Nah, ditu kocap ngenah yen manut nang dedukun asana ampura asana dane nyerewadi nang pianak buka I xxx (nama orang), I xxx (nama orang) ngidih bebaktian ane buka Suci, nah ne jani kedagingan danene ane madan pinunase ane madan Suci jani dane, nguningang cen patut inggian katur ane patut Ida Betara9 ane sungsunga dini jajar kemirianga dane... ‘...Nah, kalau menuruti perkataan dukun, mohon maaf, katanya kelihatan ada leluhur yang menjelma di anak si xxx, yaitu si xxx dan Anda (leluhur) minta persembahan banten Suci. Nah, sekarang dipenuhi permintaan Anda, telah dibuatkan banten Suci tersebut, sekarang Anda yang harus mempersembahkan banten Suci tersebut kepada Tuhan/dewa yang dipuja di sini, disanggah jajaran…’ Kata yang berlatar belakang abu-abu adalah kata yang sama atau sangat mirip dengan leksikon alus (kata alus, kata alus singgih, kata alus sor) dialek BD kecuali perbedaan bunyi vokal akhir kata antara [a] dan [ə]. Secara khusus kocap ‘katanya’, manut ‘menurut’, ampura ‘maaf’, kedagingan ‘dipenuhi’ (mungkin salah ucap kedagingin), inggian ‘ya, yaitu’ tergolong sebagai kata alus dialek BD. Pinunase ‘permintaannya’, katur ‘dihaturkan’, dan nguningang ‘memberitahu’ tergolong sebagai kata alus sor dialek BD. Kata yang bercetak tebal adalah kata atau ungkapan yang khusus terdapat dalam dialek BA dari segi bentuk dan makna. Kata dane juga terlihat dalam leksikon alus dialek BD sebagai kata alus singgih yang berfungsi pronomina persona ketiga (‘beliau’) (lihat contoh kalimat 2), tetapi dalam dialek BA dane berfungsi sebagai pronomina persona kedua seperti disebut di atas, dan di contoh atas dimaksudkan
125
Hara Mayuko
leluhur yang ditujukan ucapan doa. Yang tersisa adalah kata yang terdapat dalam kedua dialek, yaitu kata yang tergolong sebagai leksikon biasa dan leksikon netral dialek BD dari segi bentuk dan makna, kecuali perbedaan bunyi vokal akhir kata tersebut di atas. Kata-kata dalam huruf tebal di atas tidak dipakai dalam percakapan biasa, tetapi dalam ucapan doa sering muncul seperti contoh ini. Dengan demikian, dalam pengertian ini dialek BA bisa dikatakan memiliki “bentuk hormat” walaupun tidak bersistem dan hanya terbatas pada ranah tertentu. Tujuan makalah ini adalah untuk memerikan “bentuk hormat” dialek BA yang digunakan di Desa Pedawa. Khususnya topik yang akan dibahas adalah: 1) Pengucapan doa yang bagaimana muncul dalam kata-kata alus? 2) Kata-kata alus apa saja yang termasuk dalam kelompok ini bila ditilik dari segi makna dan kelas kata? 3) Apa persamaan dan perbedaan antara “bentuk hormat” dialek BA dengan dialek BD? CARA PENGAMBILAN DATA Di setiap upacara pasti ada proses mengucapkan doa (nyapayang, mesapayang). Aktivitas tersebut secara garis besar ditujukan kepada tiga pihak, yaitu dewa-dewa, butakala, dan leluhur. Pada dasarnya dalam satu upacara terdapat ketiga macam pengucapan doa walaupun jenis upacara dan tujuan utama doa itu berlainan. Apabila doa ditujukan kepada pihak yang sama (misalnya dewa-dewa), maka inti ucapan hampir sama satu sama lain dan perbedaan bisa dianggap bervariasi saja. Oleh karena itu, tiga jenis doa dipilih sebagai kasus untuk menganalisis ranah agama berdasarkan pihak yang dituju, yaitu (i) doa kepada dewa-dewa, (ii) doa kepada butakala, dan (iii) doa kepada leluhur. Melakukan aktivitas mengucapkan doa pada umumnya disebut nyapayang dan mesapayang; tetapi, menurut penutur asli dialek Pedawa, untuk khusus jenis (iii) lebih banyak dipakai istilah ngucapin tua-tua daripada nyapayang dan mesapayang. Data untuk jenis (i) dan (iii) diucapkan oleh seorang pemimpin upacara keagamaan desa (balian desa10) pada upacara melukat untuk seorang anak di kuil keluarga besar (sanggah kemulan), pada bulan September tahun 2012. Upacara melukat adalah upacara untuk membebaskan nasib buruk waktu ada gangguan atau kelainan yang sudah lama dan tidak dapat hilang seperti sakit. Untuk kasus ini, salah satu alasan untuk melaksanakan upacara karena ada suatu permintaan dari leluhur yang menjelma di anak sakit itu, yaitu ingin memberikan persembahan kepada dewa. Keluarga besar yang bersangkutan mengadakan upacara tersebut untuk memenuhi permintaan tersebut demi keselamatan anak mereka dengan mengundang pemimpin upacara keagamaan desa (balian desa). Dalam upacara itu balian desa berdoa kepada dewa-dewa dan selanjutnya kepada leluhur. Isi dari ucapan berdoa kepada dewa-dewa, jenis (i), adalah pemberitahuan pelaksanaan upacara dan latar belakangnya serta permohonan bantuan dan doa restu agar pelaksanaan upacara tersebut berhasil serta keadaan anak itu akan membaik. Terkait dengan ucapan berdoa kepada leluhur, jenis (iii), isinya mirip, tetapi tujuan atau latar belakang pelaksanaan upacara berkaitan dengan leluhur, sehingga terdapat banyak hal yang ada hubungannya dengan leluhur. Data untuk jenis (ii) direkam pada upacara menyiram pekarangan rumah (ngeyain karang), pada bulan Maret tahun 2013. Upacara ini merupakan pembersihan pekarangan rumah (natah) untuk menenangkan roh-roh halus di bawah tanah dengan memberi korban daging ayam agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Upacara untuk kasus ini dilaksanakan oleh pemimpin upacara keagamaan (permas11). Untuk upacara ini, keluarga juga berada di tempat upacara; bahkan tetangga yang tinggal di satu pekarangan juga ikut hadir. Isi dari ucapan doa adalah pemberitahuan tentang pelaksanaan upacara tersebut dan permintaan pihak manusia kepada butakala agar tidak mengganggu kehidupannya.
126
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Tiga contoh doa upacara yang direkam ini dicatat bersama informan dari Desa Pedawa yang pernah tinggal di daerah BD. Peneliti mencatat sambil menanyakan arti kata dan kalimat, perbedaan dengan dialek BD, dan penggunaan di ranah-ranah yang lain dan sebagainya. Di samping informan tersebut, beberapa pertanyaan juga diajukan kepada pemimpin upacara sendiri yang mengucapkan doa tersebut dan keluarga yang mengadakan upacara jika konfirmasi diperlukan. Selanjutnya, hasil teks tersebut dianalisis dan dibandingkan dari segi frekuensi pemunculan kata setiap dialek atau tingkat hormat, yaitu kata biasa atau netral dialek BD yang sama dengan dialek BA (leksikon biasa dan leksikon netral di dalam Figur 1), kata-kata bersifat halus dialek BD seperti kata alus, kata alus singgih, kata alus sor (leksikon alus), dan kata yang khusus muncul di dialek BA, serta dari segi bidang makna, kelas kata, pengaruh dialek BD, dan sebagainya. Perlu dicatat bahwa kebiasaan mengucapkan doa dalam BA berbeda dengan yang terdapat di BD. Kalau di daerah BD, ucapan doa waktu upacara biasanya dilakukan dengan mantra, yaitu ucapan yang mengandung kekuatan sakti, berirama, serta sering muncul pengulangan ucapan. Dari segi bahasa, umumnya banyak mengandung unsur bahasa Sansekerta, sehingga hanya bisa dilakukan oleh pendeta (pedanda, pemangku) saja.12 Sebaliknya, di daerah BA ucapan doa tidak memakai mantra dan pada dasarnya bisa dilakukan oleh orang yang mempunyai kemampuan untuk itu sesuai tingkat dan jenis upacara. PERBANDINGAN TIGA TEKS UCAPAN DOA Jumlah Kata Berdasarkan Perbedaan Tingkat Kehalusan Untuk mengetahui seberapa banyak kata dari leksikon alus dialek BD muncul di ranah dialek BA, ketiga jenis teks ucapan doa di atas dihitung jumlah katanya berdasarkan perbedaan dialek dan tingkat kehalusan. Perhitungan dilakukan berdasarkan satuan kata. Unsur artikel atau pronomina (demonstratif, persona) seperti -(n)e, -ne, -(n)ipun, atau ‘-nya’, yang berfungsi sebagai modifier untuk membentuk frasa dengan nomina yang muncul di depannya juga dihitung sebagai kata (misalnya, pinunase ‘permintaannya’). Aspek fonologi juga diamati karena aspek tersebut merupakan salah satu unsur utama yang membedakan dialek BD dan BA. Hasil perhitungan tertera pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Jumlah Kata Leksikon Alus dalam Tiga Jenis Ucapan Doa Tujuan Doa kata jumlah Kata netral BD13 Leksikon alus BD Kata alus Kata alus singgih Kata alus sor Kata biasa BD=BA Kata BA khusus Kata nama diri Total Bunyi [ə] _# Bunyi [a] _# Total
\
Dewa jenis kata 1 188 (64%) 140 19 29 82 (28%) 7 (2%) 17 (6%) 295 (100%)
token 1 992 (72%) 713 109 170 321 (23%) 30 (2%) 43 (3%) 1387 (100%) 172 (84%) 32 (16%) 204 (100%)
Butakala jenis kata 0 45 (51%) 28 13 4 36 (40%) 7 (8%) 1 (1%) 89 (100%)
token 0 172 (67%) 89 67 17 71 (28%) 12 (5%) 2 257 (100%) 33 (97%) 1 (3%) 34 (100%)
Leluhur jenis kata 0 28 (16%) 23 0 5 118 (68%) 16 (9%) 12 (7%) 174 (100%)
token 0 47 (9%) 41 0 6 362 (72%) 66 (13%) 28 (6%) 503 (100%) 0 73 (100%) 73 (100%)
Angka-angka yang ditampilkan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa baik dari perhitungan jenis kata maupun dari token, kebanyakan unsur yang muncul di ucapan doa kepada dewa dan
127
Hara Mayuko
butakala adalah kata-kata dari leksikon alus dialek BD (di bawah ini ditulis sebagai “kata leksikon alus BD”); sedangkan kata biasa atau netral dialek BD dari leksikon biasa dan netral dialek BD yang sama dengan dialek BA (“kata biasa BD=BA”) dan kata yang muncul khusus di dialek BA (“kata BA khusus”) sangat sedikit. Sebaliknya di ucapan doa kepada leluhur sangat sedikit unsur kata leksikon alus BD dan kebanyakan unsur berasal dari kata biasa BD=BA dan kata BA khusus. Perincian leksikon alus BD yang muncul di setiap ucapan doa juga ditunjukkan pada Tabel 1 di atas. Di ketiga jenis teks ucapan doa jumlah kata alus paling banyak. Kenyataan ini sesuai dengan persentase perincian leksikon alus BD. Di ucapan doa kepada leluhur kata alus singgih tidak terlihat, tetapi ini bisa dianggap tidak aneh karena seluruh jumlah kata dari leksikon alus BD pada ucapan doa kepada leluhur memang sedikit. Dari segi fonologi, seperti telah disebutkan pada bagian “Sistem Kasta dan Bentuk Hormat”, terdapat perbedaan fonologis antara dialek BD dan BA pada perwujudan bunyi vokal [a] dan [ə] di akhir kata, yaitu di dialek BD hanya muncul [ə], sedangkan di dialek BA hanya muncul [a]. Seperti terlihat pada baris bawah Tabel 1, jumlah token untuk kata-kata yang berakhir dengan bunyi [ə] jauh lebih banyak daripada yang berakhir dengan bunyi [a] dalam ucapan doa kepada dewa dan butakala.14 Tentu saja kata-kata dari leksikon alus BD yang berakhir dengan [ə] diucapkan demikian (misalnya, punikə ‘itu’). Kata-kata biasa BD=BA yang berakhir dengan [a] dalam dialek BA juga diucapkan sebagai [ə] seolah-olah dialek BD (misalnya, sranə ‘bahan’). Nama orang dan kata yang khusus di dialek BA yang berakhir dengan [a] juga diucapkan dengan [ə] (misalnya, Surə [nama orang]). Jadi ucapan doa dua jenis ini bisa dikatakan cenderung memakai kata dari leksikon alus BD dan mengikuti pengucapan dialek BD. Sementara itu, teks ucapan doa kepada leluhur memberi kesan mengikuti dialek BA. Pada teks ucapan doa kepada leluhur ini, terdapat enam kata dari leksikon alus BD yang seharusnya diucapkan sebagai [ə] kalau dalam dialek BD, tetapi semua kata tersebut terwujud sebagai [a] (misalnya, prasida ‘dapat’). Berdasarkan hal ini bisa dikatakan bahwa yang menentukan pemunculan bunyi vokal [a] atau [ə] di akhir kata adalah jenis ucapan, bukan kata, karena tidak ada kata yang bunyi vokal akhirnya selalu terwujud sebagai salah satu dari kedua bunyi tersebut. Dengan demikian, dari segi bentuk kata termasuk fonologi, ucapan doa kepada dewa dan butakala bisa dikatakan cenderung diucapkan dalam dialek BD dengan ragam tingkat halus, sedangkan ucapan doa kepada leluhur diucapkan dalam dialek BA. Namun, pada satuan frasa atau kalimat, dalam ketiga teks ini ditemukan ungkapan atau ekspresi yang hanya muncul dalam dialek BA dan tidak umum dalam dialek BD.15 Ini berarti bukan hanya ucapan doa kepada leluhur, tetapi ucapan doa kepada dewa dan butakala juga setidaknya menunjukkan adanya ciri khas dari dialek BA. Kelas Kata dan Kategori Kosakata Jika kata-kata yang muncul pada tiga contoh ucapan doa ditilik dari segi kelas kata atau kategori kata, terlihat juga perbedaan antara ucapan doa kepada dewa dan butakala di satu sisi, dan ucapan doa kepada leluhur di sisi lain (lihat Tabel 2). Dalam ucapan doa kepada dewa dan butakala, pronomina (persona dan demonstratif), preposisi, konjungsi, adverbia, dan verba bantu kebanyakan merupakan kata dari leksikon alus BD saja, sedangkan kata penuh seperti verba, nomina, ajektiva terdiri baik dari kata leksikon alus BD maupun kata biasa BD=BA. Sebaliknya, dalam ucapan doa kepada leluhur, pronomina (persona, demonstratif), dan unsur
128
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
gramatikal seperti preposisi dan konjungsi kebanyakan berasal dari kata biasa BD=BA dan kata BA khusus. Tabel 2. Unsur Gramatikal dan Leksikal dalam Tiga Jenis Ucapan Doa Tujuan Doa Dewa Butakala Leluhur kata unsur gramatikal leksikal gramatikal leksikal gramatikal leksikal Kata netral BD 1 0 0 0 0 0 Leksikon alus BD 57 (81%) 131 (63%) 20 (83%) 25 (39%) 4 (7%) 24 (22%) Kata biasa BD=BA 11 (16%) 71 (34%) 4 (17%) 32 (50%) 41 (73%) 77 (73%) Kata BA khusus 1 6 (3%) 0 7 (11%) 11 (20%) 5 (5%) Total jenis 70 (100%) 208 (100%) 24 (100%) 64 (100%) 56 (100%) 106 (100%) Catatan: Nama diri diabaikan sebagai perhitungan. Pronomina digolongkan ke unsur gramatikal16.
\
Contoh-contoh pronomina persona diberikan di Tabel 3. Kata-kata dalam kelas ini sangat penting untuk menentukan tingkat hormat sebuah kalimat atau wacana. Dalam ketiga jenis ucapan doa dalam penelitian ini, semua pronomina persona pertama mengacu pada pihak manusia yang mengadakan upacara masing-masing. Namun, karena pihak yang diajak berbicara berbeda, bentuk pronomina persona pertama yang digunakan dalam ketiga doa tersebut berbeda. Dalam ucapan kepada dewa dan butakala dipakai kata alus sor BD, titiang ‘saya’; sedangkan dalam ucapan kepada leluhur dipakai kata BA khusus, aku ‘saya’.17 Oleh karena pihak yang dituju dari ketiga jenis ucapan doa yang dipelajari berbeda, pronomina persona kedua dan bentuk sapaannya dalam ketiga doa ini juga berbeda satu sama lain. Dalam ucapan doa kepada dewa, bentuk sapaan yang bervariasi digunakan, seperti cokor dewə/cokor i dewə, idə gede kemulan sakti/i gede sakti kemulan. Kedua sapaan ini ditujukan kepada dewa yang sama. Kata-kata dari sapaan ini semua ada dalam kosakata dialek BD, tetapi tidak umum dipakai sebagai bentuk sapaan dalam dialek BD.18 Dalam ucapan doa kepada butakala, dipakai kata pronomina persona kedua, jero waktu memanggil butakala. Kata ini terlihat juga dalam kosakata dialek BD. Dalam ucapan doa kepada leluhur, ada tiga jenis pronomina persona kedua dan bentuk sapaannya, yaitu, ko, dane, dan dane yang kompiang. Kata ko merupakan pronomina persona kedua yang biasa dipakai dalam percakapan dialek BA, dan dalam ucapan ini dipakai untuk “leluhur bawah”, yaitu arwah orang yang belum lama meninggal dan masih dikenal waktu hidup oleh keturunan yang mengadakan upacara.19 Dane atau dane yang kompiang ditujukan untuk “leluhur atas”, yaitu arwah orang yang sudah lama meninggal dan tidak dikenal oleh keturunannya. Dalam percakapan BA biasa, seperti telah disebut di atas, dane dipakai sebagai pronomina persona kedua dan bentuk sapaan kepada orang yang terbatas (pemimpin upacara keagamaan dan enam orang yang berjabatan teratas desa, pengulu/ulu desa)20. Lain halnya dengan dane yang kompiang yang khusus ditujukan kepada leluhur saja dan tidak pernah digunakan untuk manusia. Untuk pronomina persona ketiga, dalam ucapan doa kepada dewa, pihak persona ketiga adalah manusia sehingga dipakai kata alus sor, ipun, yang bermakna merendahkan di hadapan dewa. Dalam ucapan doa kepada butakala ada dua pihak persona ketiga, yaitu dewa dan manusia. Untuk menyebut dewa, dipilih kata alus singgih, idə; sedangkan untuk menyebut manusia kata yang muncul bukan pronomina melainkan istilah untuk manusia, yaitu lampuan tuane, yang khusus muncul hanya dalam ucapan doa BA. Dalam ucapan doa kepada leluhur, pihak persona ketiga ada dua, yaitu dewa dan manusia. Untuk menyebut dewa dipilih istilah “ida betara”. Dari segi bentuk (selain bunyi vokal di akhir kata) dan makna, istilah ini bisa dianggap sama antara dialek BA dan BD. Untuk menyebut manusia dipakai ia. Kata ini adalah
129
Hara Mayuko
pronomina persona ketiga yang biasa dipakai dalam percakapan BA sehari-hari. Bentuk ia ini unsur cognate yang serupa dialek BD, tetapi bunyi vokal di akhir katanya berlainan (dialek BA [a], dialek BD [ə]) seperti telah disebut di atas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam ucapan doa kepada dewa dan butakala, pronomina persona atau bentuk sapaan pada umumnya muncul dalam bentuk kata alus sor dan alus singgih dialek BD, walaupun ada juga yang khusus muncul dalam dialek BA. Sementara dalam ucapan doa kepada leluhur, semua pronomina dan bentuk sapaan muncul dalam bentuk kata dialek BA dan kata BD=BA.
1st 2nd
3rd
Tabel 3. Pronomina Persona dan Bentuk Sapaan Ucapan kepada Dewa Ucapan kepada Butakala Ucapan kepada Leluhur titiang (alus sor) titiang (alus sor) aku (BA) cokor dewə/cokor i dewə, idə jero (alus singgih) bawah: ko (BA) gede kemulan sakti/i gede atas: dane, dane yang sakti kemulan (BA) kompiang (BA) manusia: ipun (alus sor), dewa: idə (alus singgih) dewa: ida betara (BD=BA) lampuan tuane (BA) manusia: lampuan tuane manusia: ia (BA) (BA)
Umumnya sintaksis, termasuk unsur gramatikal, berfungsi untuk menentukan kerangka kalimat, dan pronomina persona berperan besar untuk ikut memastikan tingkat hormat atau tingkat halus dari kalimat. Oleh karena tata urutan kata dialek BD dan BA hampir sama, perbedaan distribusi kategori kata bisa menunjukkan bahasa atau ragam yang memastikan kerangka kalimat. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa dalam ucapan doa kepada dewa dan butakala, dasar kerangka kalimat adalah ragam halus dialek BD dengan unsur-unsur yang bersifat lebih gramatikal dan fungsional serta pronomina persona yang halus. Sementara, dasar kerangka kalimat ucapan doa kepada leluhur adalah kalimat tingkat biasa (dari pandangan BD). Ini sesuai dengan banyaknya kata biasa BD=BA yang mencirikan dialek BA dengan kata BA khusus. Dengan demikian, di samping bentuk kata dan fonologi, dari kelas kata juga terlihat jelas bahwa ucapan doa kepada dewa dan butakala berdasarkan ragam halus dialek BD; sedangkan ucapan doa kepada leluhur berdasarkan dialek BA. KESIMPULAN Dari penelitian teks ucapan doa dengan perhitungan jumlah pemunculan kata dari segi tingkat halus dan jenis kelas kata, serta pemantauan aspek fonologis, dapat diperoleh gambaran bahwa struktur leksikon dialek BA terkait bentuk hormat dan aspek sosiolinguistik seperti register agama BA. Dalam ranah agama, yaitu komunikasi dengan “dunia sana”, dalam doa yang ditujukan kepada siapa pun bisa dilihat kata-kata dari leksikon alus yang dianggap hampir menuruti dialek BD, namun tingkat kehalusannya berbeda tergantung pada pihak yang dituju. Jadi bisa dikatakan bahwa dialek BA mempunyai bentuk hormat yang terbatas dalam ucapan doa. Temuan ini menyimpang dari yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dialek BA tidak mengenal bentuk hormat. Untuk menutup makalah ini, saya mencatat suatu gejala yang berkaitan dengan isi diskusi di atas dan perlu diteliti dengan lebih dalam sebagai langkah lanjut. Di samping ranah keagamaan, terdapat beberapa kata alus dialek BD dalam percakapan sehari-hari BA. Kebanyakan dari kata-kata alus itu digolongkan sebagai kata yang bersifat leksikal di bidang agama. Menurut asumsi sementara, gejala ini dikarenakan sistem tatanan masyarakat BA yang
130
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
terdiri dari satu lapisan saja. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat BA tidak perlu memakai bentuk hormat kepada siapa pun kecuali orang yang patut digunakan pronomina persona pertama nira dan pronomina persona kedua dane. Selain itu, pihak yang perlu diberi bentuk hormat adalah dewa, butakala, dan roh leluhur di luar sistem pengelompokan masyarakat, yang dianggap lebih tinggi daripada manusia. Oleh karena itu, jika ada proses interferensi, antara lain peminjaman leksikon alus dari dialek BD pada dialek BA, diprediksikan lebih cenderung akan terjadi lewat kosakata bidang agama dan kepercayaan. Sebagai satu studi kasus dialek BA, penelitian yang diadakan di Desa Pedawa ini bisa membantu dialektologi bahasa Bali, dan juga sosiolinguistik bahasa Bali. Untuk langkah lanjut, topik yang disebut di atas perlu diteliti. Di samping itu, desa-desa BA yang lain juga perlu diteliti untuk dibandingkan dengan Desa Pedawa. Dari perbandingan tersebut dapat diketahui persamaan dan perbedaan antar desa BA. CATATAN 1
Tulisan ini berdasarkan makalah yang disajikan dengan judul yang sama pada Kongres Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia (KIMLI) yang diselenggarakan di Lampung pada tanggal 19-22 Februari 2014. Penelitian ini didukung oleh JSPS KAKENHI Grant Number 24520464. 2 Penulis berterima kasih kepada seluruh masyarakat Desa Pedawa, terutama Bapak I Wayan Sukrata sebagai informan utama, atas bantuan yang diberikan selama penelitian di Desa Pedawa. 3 Jumlah penutur bahasa Bali diasumsikan 3.300.000 jiwa berdasarkan sensus tahun 2000 oleh Lewis et al. (2013). Namun jumlah penutur setiap dialek belum dilaporkan selama ini. Joshua Project mengumumkan bahwa jumlah penduduk Bali Aga adalah 55.600 jiwa dan jumlah penduduk Bali (bisa dianggap sebagai Bali Dataran) mencapai 3.626.000 jiwa (http://www.joshuaproject.net). Jika berdasarkan data tersebut, penutur dialek Bali Aga diasumsikan tidak melebihi 55.600 jiwa. 4 Udara Naryana (1978:5-6) menyinggung perkembangan beberapa istilah yang menyebut sistem bentuk hormat bahasa Bali. Menurutnya, nama anggah-ungguhing basa dibakukan pada Pasamuhan Agung Basa Bali tahun 1974. Nama unda usuk basa berasal dari bahasa Jawa dan dipakai untuk menyebut sistem tingkat-tingkatan bahasa Jawa. Istilah ini diambil oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk menyebut sistem bahasa yang bertingkat-tingkat seperti bahasa Sunda, Bali, Sasak, dan bahasa daerah lainnya di Indonesia yang juga serupa. Ini terlihat pada judul laporan proyek penelitian yang dipesan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Unda Usuk Bahasa Bali (Tim Peneliti Fakultas Sastra Universitas Udayana, 1978/1979). 5 “Kata netral” yang dimaksudkan di sini tidak ada istilah bahasa Bali. Biasanya disebut “kata biasa” (kruna biasa) saja. 6 Dalam keluarga, pronomina persona kedua ko digunakan kepada generasi yang sama atau lebih rendah dalam silsilah, misalnya adik dan kakak saling menyebut ko; sedangkan kepada generasi yang lebih tinggi dipakai nama anggota keluarga sebagai persona kedua, misalnya cucu memakai kata kaki ‘kakek’ waktu berbicara dengan kakeknya. Dengan orang di luar keluarga, pada dasarnya ko saja yang dipakai. 7 Bentuk sapaan untuk balian desa adalah ‘dane balian’. Untuk enam orang pengulu/ulu desa masing-masing disebut ‘dane nawan’, ‘dane manis’, ‘dane paing’, ‘dane pon’, ‘dane wage’, dan ‘dane baan’. 8 Kosakata dasar (998 kata) terdiri dari 957 kata cognate dan 41 kata yang bukan cognate (Hara, 2009). Perlu dicatat juga bahwa ada kata cognate yang maknanya sedikit berlainan antara dialek BD dan BA seperti diketahui di endnote 15 dan 18. 9 Ida Betara ‘Tuhan, dewa’ terlihat dalam kedua dialek. Namun, ida sebagai satu kata saja, tidak muncul dalam percakapan dialek BA, hanya terlihat dalam dialek BD saja. Ida ‘beliau’ merupakan pronomina persona ketiga dan sapaan yang tergolong sebagai kata alus singgih dalam dialek BD. 10 Balian desa dipilih oleh desa sebagai pemimpin upacara keagamaan desa satu-satunya yang membantu pengulu/ulu desa (enam orang yang berjabatan teratas desa) untuk menyelenggarakan upacara desa, jadi upacara yang diadakan oleh desa harus dituntun dan diselesaikan oleh balian desa. Selain upacara keagamaan desa, upacara tingkat keluarga besar atau perorangan juga boleh dipimpin oleh balian desa seperti upacara melukat untuk kasus ini.
131
Hara Mayuko
11
Permas ada beberapa orang di desa dan dalam upacara keagamaan desa ikut membantu balian desa. Jika di luar upacara tingkat desa, tidak harus dipimpin oleh balian desa, boleh dituntun oleh pemimpin upacara yang mampu, sesuai tingkatan dan jenis upacara. Biasanya upacara tingkat keluarga besar (dadia) dan upacara tingkat kelompok (subak) dipimpin oleh permas. Pada upacara tingkat perorangan, walaupun bukan balian desa atau permas, orang yang dipercayai mempunyai kemampuan boleh melakukannya. Upacara ngeyain karang yang menjadi kasus di sini juga boleh dipimpin oleh orang yang mempunyai kemampuan. 12 Seperti terlihat dalam Hooykaas (1977) terdapat berbagai mantra di Bali. 13 Kata partikel ‘ja’ ini hanya muncul dalam dialek BD dan tidak dipakai dalam percakapan dialek BA. Kata ini hanya muncul satu kali saja, tidak jelas apakah itu betul-betul kata ja dialek BD atau salah ucap. 14 Kalau melihat kata-kata dalam ucapan doa yang berakhir dengan [a] atau [ə] di setiap dialek, kata tersebut belum tentu selalu muncul sebagai [a] saja atau [ə] saja di akhir kata dalam satu teks yang sama. Artinya dalam satu jenis kata demikian yang muncul lebih dari satu kali, bisa kadang terwujud sebagai [a], kadang sebagai [ə]. 15 Misalnya, ‘tedung payung tulung sangku’ (perlindungan dan pembersihan) terdapat dalam ucapan doa kepada dewa. Keempat kata ini terlihat dalam kosakata dialek BD maupun BA, tetapi menurut informan, ekspresi ini tidak ada dalam dialek BD. 16 Pronomina (persona, demonstratif) merupakan kategori yang mempunyai kedua ciri dan sifat: gramatikal dan leksikal, tetapi dalam analisis ini terlihat bahwa unsur gramatikal lebih menonjol. 17 Untuk kasus ini pronomina persona pertama aku yang dipakai karena pemimpin upacara yang mengucapkan doa tidak mempunyai hubungan keluarga dengan leluhur yang ditujukannya. Seandainya pemimpin upacara mengucapkan doa kepada leluhur yang berkedudukan lebih tinggi dalam silsilah daripada suami atau istrinya, pronomina persona pertama nira yang dipakai. 18 Kamus Bahasa Bali (Kersten, 1984) yang berdasarkan dialek BD memuat ‘Cokor i Dewa’ sebagai bentuk sapaan kepada raja. Memang bentuknya sama dengan dialek BA, tetapi pihak yang ditujukannya lain, jadi dalam makalah ini Cokor i Dewa dianggap sebagai kata BA khusus, bukan kata alus singgih. 19 Untuk kasus ini pronomina persona kedua ko dipakai karena pemimpin upacara yang mengucapkan doa tidak mempunyai hubungan keluarga dengan leluhur yang ditujukannya. Seandainya pemimpin upacara mengucapkan doa kepada leluhur yang berkedudukan lebih tinggi dalam silsilah daripada suami atau istrinya, nama anggota keluarga yang digunakan. Mengenai nama-nama anggota keluarga dan penerapan untuk pronomina persona serta bentuk sapaannya lihat Hara (2015). 20 Lihat endnote 7.
BIBLIOGRAFI Bawa, I.W. (1983). Bahasa Bali di daerah Propinsi Bali: Sebuah kajian geografi dialek. Disertasi. Universitas Indonesia. Clynes, A. (1995). “Balinese”. D. Tryon (Ed.). Comparative Austronesian dictionary: An introduction to Austronesian studies (pp. 495-509). Denes, I.M. (1982). Geografi dialek bahasa Bali. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Foley, W.A. (1983). “Jawa and Bali”. S.A. Wurm dan Shiro Hattori (Eds.). Language atlas of the Pacific Area. Part II. Japan area, Taiwan (Formosa), Philipines, Mainland and Insular South-East Asia. Pacific Linguistics Series C-67. Australian National University. Hara, M. (2010). “Basic vocabulary of mountain Balinese dialect”. Asian and African Languages and Linguistics, No. 4. Tokyo University of Foreign Studies, 259-296 (dalam bahasa Jepang). Hara, M. (2015). “Bentuk hormat dialek bahasa Bali Aga dalam pronomina persona dan bentuk sapaan”. Bahasa dan Budaya: Jurnal Himpunan Pengkaji Indonesia Seluruh Jepang, 21, 1-11 (dalam bahasa Jepang).
132
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Hooykaas, C. (1977). A Balinese temple festival. Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land-, en Volkenkunde. Joshua Project, http://www.joshuaproject.net (diakses pada bulan Desember 2013). Kersten, S.V.D. (1984). Bahasa Bali. Ende: Nusa Indah. Lewis, M.P., Simons, G.F., dan Fenning, C.D. (Eds.). (2013). Ethnologue: Languages of the World, Seventeenth edition. SIL International. Online Version: http://www.ethnologue. com (diakses pada bulan Desember 2013). Sakiyama, S. dan Shibata, N. (1992). “Balinese”. T. Kamei, R. Kono, dan E. Chino (Eds.). The Sanseido Encyclopedia of Linguistics. Vol. 3. Language of the World, Part Three. Sanseido, 292-298 (dalam bahasa Jepang). Naryana, I.B.U. (1978). Anggah-ungguhing basa Bali dan peranannya sebagai alat komunikasi bagi masyarakat suku Bali. Jurusan Bahasa dan Sastra Bali Fakultas Sastra Universitas Udayana.
133
Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 135-151 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 2
JAVANESE AND PROBLEMS IN THE ANALYSIS OF ADVERSATIVE PASSIVE1 Ika Nurhayani* Brawijaya University
[email protected];
[email protected] Abstract Adversative passive is one of the means that languages use to code that an event may have detrimental effect on someone. The adversative passive differs from the standard passive in that the speaker perceives an event as unpleasant or unfortunate. The adversity semantic effect is normally encoded with an adversative passive affix attached to the verb. Javanese has such coding with (1) prefix ke- and (2) the circumfix ke-I-an. However, Javanese adversative passive is not always associated with adversity. In fact, an event described by Javanese adversative passive may have neutral or pleasant consequences. This proves to be problematic for the current frameworks on adversative passives such as Kubo’s (1992) and Pylkkänen’s (2002) because their frameworks assume that an adversative passive carries an adversative semantic property encoded in the malefactive head or with a passive morphology. Moreover, the subject of the ‘adversative passive’ in Javanese does not have to possess an object because the passive can have a reading in which the passive subject held an object belonging to someone else while experiencing a situation related to the object. This also poses a problem for Pylkkänen’s (2002) because she bases her adversative passive analysis on the possessor raising theory which requires a possesive relation between the theme and the affected argument. I argue that Javanese ‘adversative passive’ is best described as a combination of the prefix ke- and suffix –an (the circumfix ke-I-an) with the prefix ke- carrying the accidental semantics property and the suffix –an as an applicative suffix adding an affected argument to the construction. Keywords: adversative, accidental, Javanese, passive, applicative
Abstrak Pasif adversatif adalah perangkat yang dimiliki bahasa-bahasa di dunia untuk menandai bahwa sebuah peristiwa menimbulkan akibat negatif pada seseorang. Adversatif pasif berbeda dengan pasif biasa karena pembicara dalam konstruksi adversatif pasif menganggap sebuah peristiwa tidak menyenangkan atau menguntungkan. Makna adversatif biasanya disandikan dengan menggunakan imbuhan adversatif pasif pada verba. Bahasa Jawa memiliki imbuhan adversatif dengan kombinasi prefiks ke- dan sufiks –an. Walaupun demikian, konstruksi ‘pasif adversatif’ dalam bahasa Jawa tidak selalu mengandung makna adversatif dan bahkan dapat mempunyai akibat yang netral atau menyenangkan. Hal ini menyebabkan ‘pasif adversatif’ bahasa Jawa tidak mudah untuk dianalisis dengan menggunakan teori-teori mengenai pasif adversatif seperti yang diungkapkan oleh Kubo (1992) dan Pylkkänen (2002) karena teori-teori tersebut berdasar pada asumsi bahwa pasif adversatif selalu mengandung makna yang diwujudkan dalam sebuah inti (head) malefactive atau pemarkah pasif. Lebih jauh, subjek adversatif pasif tidak harus selalu memiliki objek dalam sebuah konstruksi pasif adversatif karena subjek dapat saja sedang memegang objek milik orang lain saat
Ika Nurhayani
mengalami sebuah peristiwa yang berhubungan dengan objek tersebut. Hal ini menyulitkan pasif adversatif bahasa Jawa untuk dianalisis dengan menggunakan teori Pylkkänen karena analisisnya mengenai pasif adversatif berlandaskan pada teori possessor raising yang mengharuskan adanya hubungan kepemilikan sehingga subjek pasif atau penderita yang terkena tindakan pada verba harus memiliki objek dalam konstruksi tersebut. Dalam makalah ini penulis mengusulkan bahwa pasif adversatif bahasa Jawa lebih baik dianalisis sebagai kombinasi prefiks ke- dan suffiks –an karena prefiks ke- menyandikan pasif aksidental dan sufiks –an berfungsi sebagai sufiks aplikatif yang menambahkan penderita yang terkena tindakan verba. Kata kunci: adversatif, aksidental, bahasa Jawa, pasif, aplikatif
INTRODUCTION In this paper, I show that current frameworks on adversative passive are problematic for Javanese due to their semantics of the adversative passive and their analysis of the ‘possessor raising’ construction. Malefactive or adversative is a linguistic coding of an event describing that something is done to the detriment of somebody (Kittila, 2010:203). Human beings can perceive an event as being fortunate or unfortunate and include their interpretation in an utterance (Radetzky and Smith, 2010:98). Languages have options to express this interpretation. First, they can lump both benefactive and malefactive meanings into one single construction, the affectedness construction. Second, they can encode fortunate events into benefactive construction in which the affected argument is called a benefactee, and unfortunate events into malefactive or adversative construction in which the affected argument is called the malefactee (Radetzky and Smith, 2010:98-99) . Languages use different strategies to encode adversity or unfortunate events, among others with (i) case, (ii) serial verb construction, (iii) adposition, (iv) applicative affix, and (v) adversative passive (Kittila and Zuniga, 2010:7-10). (1)
(2)
(3)
Lezgian dative case Čna a ᷉qe᷉qwerag suna-di-z We.ERG that poor Suna-OBL-DAT ‘What did we do to that poor Suna?’ (Haspelmath, 1993:88) Fula malefactive marker GIVE O ngma la zirii ko Amai He cut a.m. lies GIVE Ama ‘He lied to Ama about her family’ (Fagerli, 2001:214) Finnish adposition Men-i-n kaupunki-in hä̈ ne-n go-PASS-1Sg town-ILL 3sg-GEN ‘I went to town to his/her detriment’ (Kittila and Zuniga, 2010:8).
136
oi she
’
wǔc-na q wan? do.what-AOR PTL
yideme housepeople
harmikse-en to.the.detriment-3.PSR
yele matter
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
(4)
Applicative in Kunuz Nubian Ay-gi ir:-g noddi-de:s-s-a 1sg-ACC rope:ACC cut-BEN-PST-3PL ‘They cut the rope (to my detriment)’ (Kittila and Zuniga, 2010:6).
(5)
Japanese adversative passive marker for verb Kinoo ame-ni hur-are-ta yesterday rain-DAT fall-PASS-PAST ‘[We] got rained on yesterday’ (Radetzky and Smith, 2010: 114)
In (1), Lezgian uses dative case with suffix –z to mark the malefactee, Suna, while Fula uses malefactive marker ko in (2). On the contrary, Finnish applies adposition harmikse to mark adversity in (3) while Kunuz Nubian uses applicative suffix de:s to indicate that the action described by the verb is done to the detriment of somebody in (4). The last one is adversative passive as can be seen in (5) with passive suffix –are in Japanese. Adversative passive differs from the standard passive because it has an adversative meaning in which the speaker perceives an event as unpleasant or unfortunate (Prasithrathsint, 2006:116). It is also a valency increasing construction rather than valency decreasing construction like the standard passive (Tsuboi, 2010). (6)
Japanese Adversative Passive Taro-wa Hanako-ni piano-o hik-are-ta Taro-TOP Hanako-DAT piano-ACC play-PASS-PAST ‘Lit. Taro was played piano by Hanako’ ‘Taro was adversely affected by Hanako playing piano’ (Tsuboi, 2010: 420).
In (6), the subject of the passive Taro was negatively affected by the agent Hanako playing piano nearby. In addition, the adversative passive increases the valency of the construction from two arguments (Hanako, piano) into three arguments (Taro, Hanako, piano). In their previous framework, Kubo (1992) and Pylkkänen (2002) argue that the adversative passive is divided into two types, the regular adversative passive as in (7) and the ‘possessor raising’ as in (8). (7)
Japanese regular adversative passive a. Kinoo ame-ni hur-are-ta yesterday rain-DAT fall-PASS-PST ‘[We] got rained on yesterday’ (Radetzky and Smith, 2010: 114) b. Taro-wa Hanako-ni piano-o hik-are-ta Taro-TOP Hanako-DAT piano-ACC play-PASS-PST ‘Lit. Taro was played piano by Hanako’ ‘Taro was adversely affected by Hanako playing piano’ (Tsuboi, 2010:420)
137
Ika Nurhayani
(8)
Kinyarwanda possessor raising a. Ingurube z-a-ri-iye ibíryo by’ábáana. pigs they-PST-eat-ASP food of children ‘The pigs ate the children’s food’ b. Abáana ba-a-ri-ir-iw-e ibíryo n’îngurube. Children they-PST-eat-APP-PASS-ASP food by pigs ‘The children were eaten (their) food by pigs’ (Davies and Dubinsky, 2004:133-134)
The regular adversative has an implicit subject who suffers from the event described by the verb. In (7a), the regular adversative passive in Japanese is formed with the addition of the passive suffix -are to the verb hur ‘to fall’. The implicit subject ‘we’ suffers from the event rain described by the verb. In (7b), the subject Taro suffers from the event of Hanako playing piano near him. On the other hand, the ‘possessor raising’ has a construction in which the possessor of the object seemingly raises as the subject of the passive. In (8), the ‘possessor raising’ construction in Kinyarwanda is formed with the addition of suffix -iw to the verb. The possessors Abáana‘the children’ seem to raise as the subject of the passive sentence away from the item ibiryo ‘food’ that they possessed. I show in this paper that the adversative semantics and the possessor raising approach in the current frameworks of adversative passive are problematic for Javanese because (i) Javanese ‘adversative passive’ does not always carry adversative semantics and (ii) the subject of Javanese ‘adversative passive’ does not have to directly possess the object. For this purpose, I provide supporting evidence from the well-known Japanese adversative passive. Lastly, I posit that Javanese adversative passive is best analyzed as the result of the combination of passivization and applicativization. The passivization with specific accidental information is done with with prefix -ke, and the applicativization with special applicative suffix –an. THE MORPHOLOGY OF THE ADVERSATIVE PASSIVE In this section, I discuss the morphology of the Javanese ‘adversative passive’. The adversative passive in Javanese is derived with (1) the prefix ke-, and (2) the circumfix ke-I-an added to the base verb. The construction with prefix ke- is compatible with transitive verb and serves to passivize the verb and to add an accidental information. (9)
a. Pardi nabrak Amir Pardi ACCD-hit Amir ‘Pardi hit Amir’ b. Amir ke-tabrak Pardi Amir ACCD-hit Pardi ‘Amir accidentally hit Pardi’
In (9b), with the addition of prefix ke-, the theme argument Pardi raises to be the subject of the passive and the sentence receives an accidental semantic reading. On the other hand, the circumfix ke-I-an are compatible with both intransitive and transitive verbs. The addition of circumfix ke-I-an to an unergative verb adds an accidental reading but does not change the construction into passive as can be observed in (10a). On the
138
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
contrary, the circumfix ke- an attached to an unaccusative verb results in both accidental reading and a passive construction as seen in (10b). It can also be observed that the affixation increases the valency of the verb in (10b) with the addition of an affected argument. (10)
a. Pardi turu Pardi sleep ‘Pardi slept’ Pardi ke-turu-an (keturon) Pardi ACCD-sleep-ACCD ‘Pardi accidentally fell asleep (he did not intend to sleep)’ b. Asu kuwi ng-uyuh Dog that ACT-urinate ‘The dog urinated’ Tanduran kuwi k-uyuh-an asu kuwi Plant that ACCD-urinate-APPL dog that ‘The plant was urinated on by the dog’
It should be noted that unergative verbs resists the addition of a new argument or applicativization. It has been known that only certain languages are able to applicativize their unergative verbs. Pylkkänen (2002) points out that a double object construction with an applied argument for unergative verb is not possible in English. However, it is interesting to observe that although unergative verbs in Indonesia does not undergo applicativization, the construction still maintains the applicative suffix –an as seen in (10a). In this paper, I do not offer a further discussion on the matter. For the moment, I treat it as an irregularity or an anomaly. The addition of circumfix ke–an to an unaccusative verb results in both accidental reading and a passive construction as seen in (11). In addition, the construction also displays an increase of valency in the form of an affected argument. (11)
Nangka tiba Jackfruit fall ‘The jackfruit fell’ Pardi ke-tiba-nan nangka Pardi ACCD-fall-APPL jackfruit ‘Pardi was fallen on by a jackfruit’
The combination of the circumfix ke-I-an can also be applied to a transitive verb to add an affected argument to the construction. (12)
Pardi ke-colong-an duit Pardi ACCD-steal-APPL money ‘Pardi suffered from his money stolen (by someone).
It can be noted that the theme argument is not obligatory from the construction . Hence the theme argument duit ‘money’ can be omitted in example (12). Therefore, one might ask whether –an is a legit applicative suffix. However, the applicative suffix –an serves to add an affected argument, which is Pardi in (12). Therefore, an implied theme argument in a sentence would not hinder the ability of –an to applicativize a verb and add an affected argument.
139
Ika Nurhayani
THE SEMANTICS OF THE JAVANESE ACCIDENTAL PASSIVE The term adversative passive originates from the perception that the subject of the sentence is adversely affected by the action described by the verb (Prasithrathsint, 2006) as shown in (6). However, this is not the case with Javanese since its ‘adversative passive’ can have neutral or even pleasant consequences (Nurhayani, 2013:178). (13)
Aku ke-temu Ani neng pasar I ACCD-meet Ani at market ‘Lit. I was accidentally found by Pardi at the market’ ‘I accidentally met Ani at the market’
(14)
Aku ke-potret wartawan pas neng sekolahan I ACCD-take a picture journalist when at school ‘Lit. I was accidentally taken a picture by a journalist when I was at school (the journalist intended to take a picture of an object but I was accidentally in the background of the picture)’ ‘A journalist accidentally took a picture of me when I was at school’
(15)
Amir ke-pilih dadi lurah Amir ACCD-choose become head of district ‘Amir was unexpectedly chosen to be the head of the village’
(16)
Pardi ke-terima dadi pegawai negeri Pardi ACCD-accept become civil servant ‘Pardi was unexpectedly selected as a new civil servant’
In (13) the subject aku ‘I’ was neutrally affected by the action temu ‘to meet’ described by the verb. Hence the subject was neither negatively nor positively affected by the action. This is also the case with (14) in which the subject aku ‘I’ is neutrally affected by the action potret ‘take a picture’ described by the verb. On the other hand, in (15) and (16), the subjects of the passive are positively affected by the actions described by the verbs pilih ‘to choose’ and terima ‘to accept’. In (15), the adversative passive yields a pleasant consequence in which the subject Amir was unexpectedly chosen to be the head of the village, whereas in (16), the passive construction also results in a pleasant consequence in which the subject Pardi was unexpectedly selected as a new civil servant. (17)
Aku ke-tendhang adhi-ku I ACCD-kick younger sibling-my ‘I was accidentally kicked by my younger sibling’
(18)
Ani ke-tiba-nan nangka I ACCD-fall-an jackfruit ‘Ani was knocked down by a jackfruit’
As seen in (17), the subject aku ‘I’ was accidentally kicked by adhiku ‘my younger sibling’. Though the agent adhiku performed the action described by the verb voluntarily, he did not intend to affect the subject aku. In contrast, the consequences suffered by the subject in (18) are unintentional, since the event of falling is accidental in nature and a jackfruit cannot have a volition. Hence, it is probably more appropriate to term the construction as accidental passive.
140
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
It should also be noticed that Javanese passive has no speficic verbal marker for adversative semantics. While the regular passive is done with prefix di-, the accidental semantics is morphologically expressed by a verbal prefix ke-. (19)
Aku di-wenehi Pardi I PASS-hit Pardi ‘I was given some money by Pardi’
(20)
Aku di-penthung I PASS-hit ‘I was hit by Pardi’
(21)
Aku ke-penthung Pardi I ACC-hit Pardi ‘I was accidentally hit by Pardi’
duit money
Pardi Pardi
In (19) and (20), the regular passive is expressed with the prefix di- regardless of whether the sentence has a pleasant consequence in (19) or an unpleasant consequence in (20). On the other hand, the accidental passive semantics is expressed with the verbal prefix ke- in (21). It immediately poses a question whether other languages also have similar adversative semantics. I argue that this is the case with Japanese. Unlike Javanese, Japanese adversative passive is encoded with the passive suffix –are instead of a prefix. However, similar to Javanese, Japanese adversative can be applied to both transitive and intransitive verbs. (22)
Japanese adversative passive with intransitive verb Kinoo ame-ga fut-ta yesterday rain-DAT fall-PAST ‘The rain fell yesterday (It rained yesterday)’ Kinoo ame-ni hur-are-ta yesterday rain-DAT fall-PASS-PAST ‘[We] got rained on yesterday’ (Radetzky and Smith, 2010:114)
(23)
Japanese adversative passive with transitive verb base Mary-ni kodomo-o home-ta Mary-DAT child-ACC praise-PAST ‘Mary praised the child’ John-ga Mary-ni kodomo-o home-rare-ta John-NOM Mary-DAT child-ACC praise-PASS-PAST ‘John was affected by his child’s being praised by Mary’ (Lee, 2006:271)
In (22), the suffix –are adds an affected argument to the unaccusative verb hur ‘to fall’ by adding the implicit affected argument ‘we’ to the construction. In (23) the suffix -are behaves as an applicative suffix by adding the affected argument John to the construction. Similar to Javanese, Japanese adversative passive can have either neutral or nonadversative reading. Under inclusive reading in which John is the child’s father, the passive results in a neutral or non-adversative reading. Only when the child is someone else’s like Mary’s, the sentence yields an adversative reading despite the positive connotation of the verb
141
Ika Nurhayani
to praise (Lee, 2006:271). Mary might be loud or inconsiderate when praising her own child and John who was nearby was disturbed by the act. In addition, the adversative semantics in Japanese adversative passive also does not have any overt verbal marker since it is pragmatically induced as seen in (24-26). Hence the regular passive and the adversative passive are expressed with the same verbal suffix -are. (24)
John-ga Mary-ni kami-o John-NOM Mary-DAT hair-ACC ‘John had his hair cut by Mary’ (Lee, 2006:277)
(25)
Taroo-ga Hanako-ni Taro-NOM Hanako-DAT ‘Taro was hit by Hanako’ (Lee, 2006:270)
(26)
Keiko-ga Hanako-ni Taroo-o nagur-are-ta Keiko-NOM Hanako-DAT Taro-ACC hit-PASS-PAST ‘Keiko was adversely affected by Hanako’s hitting Taro’ (Lee, 2006:270)
kir-are-ta cut-PASS-PAST
nagur-are-ta hit-PASS-PAST
In (24), the passive sentence John’s hair is cut by Mary is a regular passive with a neutral reading. However, the same suffix is also used for passive sentences with adversative readings in (25) and (26). Javanese ‘adversative passive’ behaves instead like an accidental passive. The accidental semantics is encoded with prefix–ke. I start my discussion with a brief historical review of the prefix. Old Javanese has two passive affixes, the infix –in and the prefix ka-. The infix –in emphasizes the action described by the verb, while the prefix ka- focuses on the result of the action (Zoetmulder and Poedjawijatna, 1961:78). To be precise, the prefix ka- denotes involuntary or accidental actions, or resultative aspect (Oglobin, 2005:617). (27)
Suffix ka- in Old Javanese Yan hana ka-teka-n danda de If exist ACCD-arrive-TR punishment by ‘If there is one who was given punishment by the king’ (Zoetmulder and Poedjawijatna, 1961:81)
sang det
prabhu king
In Modern Javanese, the prefix ke- serves as accidental passive prefix (Uhlenbeck, 1978:71) denoting an involuntary transition into a state or the resultative state caused by the transition, or the state of being affected by an action described by the verb (Oglobin, 2005:612), and has the semantic value of the event or condition which is either unexpected, unintentional, or unavoidable, and the effect is adversative (Dardjowidjojo 1978, Uhlenbeck 1978, Subroto 1998). Nurhayani (2013) further specifies that Javanese adversative passive has a distinct semantic property in that the subject is not adversely affected by the action, but rather certain consequences or an action are not intended by the agent while performing the action described by the verb. (28)
Aku ke-sikut Pardi I ACCD-elbow Pardi ‘I was accidentally elbowed by Pardi (Pardi did not intend to elbow me).
142
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
I posit in this paper that the accidental passive also carries a reading in which the affected argument perceives an action or an event as being unexpected or unintentional. (29)
Pardi ke-ambruk-an empring Pardi ACCD-fall-APPL bamboo ‘Pardi was accidentally fallen on by a bamboo (Pardi did not expect the bamboo to fall on him)’
It can be concluded that Javanese ‘adversative passive’ is best termed as an accidental passive due to the accidental semantics property encoded by the prefix ke-. This semantics is problematic for Pylkkanen’s (2002) framework since it proposes that the passive morphology in the framework assigns a malefactive θ-role to the adversative construction. As a consequence, the construction cannot accomodate the accidental semantics of Javanese accidental passive. THE POSSESSOR RAISING THEORY Next, I show that Kubo (1992) and Pylkkänen’s (2002) frameworks on possessor raising in adversative passive are problematic for Javanese. Kubo (1992) proposes two types of adversative passive; the first type is a regular adversative passive with a malefactive-affected argument, while the other is a possessor raising construction. The possessive reading is derived by a possessor raising to the subject position and the malefactive construction is derived by a passive morphology introducing an affected argument. In the malefactive construction, the passive morphology is claimed to assign an external malefactive θ-role. The examples below are in Japanese and taken from the original examples used by Kubo (1992) and Pylkkänen (2002) to explain their frameworks. (30)
Regular Japanese adversative passive with adversative/malefactive reading Taroo-ga Hanako-ni shinkoushukyoo-o hajime-rare-ta. Taroo-NOM Hanako-DAT new.religion-ACC begin-PASS-PAST ‘Taro was adversely affected by Hanako starting a new religion on him’
Kubo (1992), Pylkkänen (2000)
143
Ika Nurhayani
(31)
Japanese possesive adversity passive (possessor raising) Hanoko-ga dorobou-ni yubiwa-o to-rare-ta Hanoko-NOM thief-DAT ring-ACC steal-PASS-PAST ‘Hanoko was affected by the thief stealing her ring’
Kubo (1992), Pylkkänen (2000) In (30), the passive morphology –rare introduces a malefactive-affected argument, Taro, to the passive construction. The malefactive θ-role is assigned by the passive morphology. On the other hand, in (31), the possessor Hanako raises from the Spec of a lower NP in the VP to the Spec of IP. Pylkkänen (2002) argues that there are two types of adversative applicative, the high adversative applicative and the low adversative applicative. She bases her arguments on her applicative theory which proposes two different types of applicative heads: high applicatives, which denote a relation between an event and an individual and low applicatives, which denote a relation between two individuals (Pylkkänen, 2002:3). (32)
high applicative
low applicative
In the low applicative, the affected argument bears a possession relation while that is not the case for the high applicative. Hence the low applicative can be interpreted as directional possessive relations: [him[TO-THE-POSSESSION OF[cake]]] (Pylkkänen, 2002:3). Therefore, Pylkkänen (2002) argues that the possesor raising adversative resembles to the low applicative
144
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
by having a possessive relation between the affected and the theme argument. On the other hand, the regular adversative resembles the high applicative because of the absence of possessive relation between the affected argument and the theme argument. (33)
Japanese regular adversative
(34)
Japanese possesive adversity passive
I now apply Kubo’s (1992) and Pylkkänen’s (2002) analyses to Javanese and they seem to be problematic for Javanese accidental passive. First, Javanese accidental passive does not require an obligatory theme argument. Since there is no theme argument, it is difficult to set up a possessive relation between the affected and the theme argument (35)
No obligatory theme argument a. Parto ke-copet-an duit Parto ACC-steal-APPL money ‘Parto suffered from his money being stolen’ b. Parto ke-copet-an. Parto ACC-steal-APPL ‘Parto suffered [from something] being stolen from him’
(36)
a. Ani ke-colong-an tas Ani ACC-steal-APPL bag ‘Ani suffered from her bag being stolen’ b. Ani ke-colong-an Ani ACC-steal-APPL ‘Ani suffered [from something] being stolen from her’
Second, the affected argument does not have to possess the theme argument. (37)
No direct possession between the affected and the theme argument a. Parto ke-copet-an kalung-e Ani Parto ACCD-steal-APPL necklace-POSS Ani ‘Parto suffered from Ani’s necklace stolen from him (when he was carrying it)’
145
Ika Nurhayani
b. Ani ke-colong-an tas-e Amir Ani ACCD-steal-APPL bag-POSS Amir ‘Ani suffered because Amir’s bag was stolen while she was holding it’ Example (37a) shows that the affected argument need not have a possessive relation with the theme argument. In fact, it can be argued that the possesive relation results from the pragmatic assumptions that under normal circumstances, the affected subject would most likely possess the theme argument. Hence, it is natural to infer that Parto is the possessor of the money if it was stolen when he was holding it in (37a). However, this assumption can be reversed in appropriate circumstances. Applying Kubo’s (1992) and Pylkkänen’s (2002) frameworks to Javanese, it can be assumed that the possessor Ani raises as the subject of the sentence and leaves the possessed item tas ‘bag’ behind in (37b). However, it can be seen in (37b) that Ani does not have to be the possessor of the bag. In fact, the bag can be of Amir’s. Hence, example (37b) can result in a reading in which Amir’s bag was stolen when Ani was holding it. It might be assumed that because Ani was in fact holding the bag when the theft happened, she was somehow in the ‘possession of the bag’ at that moment. However, it would be nonetheless difficult to generate the derivation for both the posessor and the person holding it with Pylkkänen’s (2002) framework. Therefore, it is best to analyze the possessor raising construction as an applicative construction in which an indirect affected subject is added to a transitive sentence. This is in line with Tsuboi’s (2010) claims that adversative passive is valency increasing rather than valency decreasing like other types of passive. There is another problem with Kubo’s (1992) and Pylkkänen’s (2000) frameworks. They cannot explain why the possessor raising construction in their framework does not necessarily entail malefactive semantics. In Kubo’s (1992) framework, the affected argument in possessor raising is not introduced by the same passive morphology assigning external Malefactive θ-role in the regular adversative passive. In Pylkkänen’s (2000) framework, only the regular adversative passive that carries the malefactive head but not the possessor raising. If Kubo’s (1992) and Pylkkänen’s (2000) frameworks of possessor raising are applied to Javanese, it would be difficult to account for the accidental semantics since the frameworks do not entail additional semantic property such as malefactive or accidental information. THE COMBINATION OF PASSIVIZATION AND APPLICATIVIZATION I argue in this section that Javanese adversative passive with the circumfix ke-I-an is best analyzed as a combination of passivization and applicativization. I have also demonstrated that Javanese ‘adversative passive’ can be encoded with (1) prefix ke- and (2) the circumfix ke-I-an. The prefix ke- is compatible with a transitive verb base while the circumfix ke-I-an can be attached to both intransitive and transitive verbs to add an affected argument. We have seen that suffix ke- conveys the accidental semantics of the Javanese adversative passive and the intuition is that the suffix -an adds another component meaning to the passive. It is commonly assumed that the adversative passive is based on the regular passive. Horne (1961), Poedjosoedarmo (1986), and Davies (1995) claim that the suffix –an in Javanese adversative passive is the counterpart of the goal suffix –i in the regular passive. Davies (1995) bases his observation on the fact that similar verbs can take both suffixes and that they have parallel word order as seen in (38).
146
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
(38)
Similar Verbs with Suffix –i and –an a. Siti di-ciprat-i Bambang banyu Siti PASS-splash-LOC Bambang water ‘Siti was splashed with hot water by Bambang’ b. Siti ke-ciprat-an Bambang banyu Siti ACCD-splash-APPL Bambang water ‘Siti was splashed with hot water by Bambang’
panas hot panas hot
However, not all verbs in the regular passive with suffix –i can be converted into adversative passive with suffix –an. (39)
Verb with –i but incompatible with adversative passive a. Ani n-dolan-i bayi kuwi Ani ACT-play-LOC baby that ‘Lit: Ani played in front of that baby for that baby’s amusement’ ‘Ani entertained the baby’ b. Bayi kuwi di-dolan-i Ani Baby that PASS-play-LOC Ani ‘That baby was entertained by Ani’ c. *Bayi kuwi ke-dolan-an Ani Baby that ACCD-play-APPL Ani ‘That baby was accidentally entertained by Ani’
It can be seen that the verb dolan ‘to play’ takes the suffix –i but resists the suffix –an. It appears that volitionality and unintended consequences for the affected subject play part in the resistance. The verb dolan involves a higher degree of volition since it is normally impossible for an agent to play accidentally. Moreover, the action to play described in (39) is intended to affect a subject. Further observation proves that certain unergative verbs are compatible with suffix –i but not with suffix –an. If suffix –an is the adversative passive variant of suffix –i, then all verbs sith suffix –i should be able to convert into adversative passive with –an. However, this is not the case. Table 1. Unergative Verbs with Suffix –i and Adversative Passive Unergative Ati ndolan Ati play ‘Ati played’ Ati njoged Ati dance ‘Ati danced’ Ati ndonga Ati act-pray ‘Ati prayed’ Adi mlayu Adi run ‘Adi ran’
Suffixation with –i Ati n-dolan-i anak-e Ati ACT-LOC child-POSS ‘Ati played in front of her child to entertain the child.’ Ati n-joged-i anak-e Ati ACT-dance-LOC child-POSS ‘Ati danced in front of her child to entertain her.’ Ati n-donga-ni Marni Ati ACT-pray-LOC Marni ‘Ati prayed for Marni.’ Adi mlayu-ni Marni Adi run-LOC Marni ‘Adi ran toward Marni.’
147
Adversative Passive * Ati ke-dolan-an Ani Ati ACCD-play-APPL Ani ‘Ati suffered from Ani accidentally played in front of her.’ *Anak kuwi ke-joged-an Ati Child that ACCD-dance-APPL Ati ‘The child suffered because Ati accidentally danced in front of her.’ * Marni ke-donga-nan Ati Marni ACCD-pray-APPL Ati ‘Marni suffered because Ati accidentally prayed in front of her.’ * Marni ke-playu-an Adi Marni ACCD-run-APPL Adi ‘Marni was accidentally run on by Adi.’
Ika Nurhayani
Hence, the claim that suffix –an is an adversative counterpart of the suffix –i is problematic. I propose instead that suffix –an is an applicative suffix for accidental passive in Javanese. This accords with the idea that adversative passive increases valence (Tsuboi, 2010). As evidence, the suffix is obligatory for intransitive verbs as seen in (40) and (41). (40)
(41)
Intransitive Verb Base: Suffix -an Unergative a. Tanduran-e Pardi k-uyuh-an Plant-poss Pardi ACCD-urinate-Appl ‘Pardi’s plant was urinated on by the dog’ b. * Tanduran-e Pardi k-uyuh Plant-poss Pardi ACCD-urinate ‘Pardi’s plant was urinated on by the dog’
asu kuwi dog that asu dog
kuwi that
Unaccusative c. Pardi ke-ambruk-an empring Pardi ACCD-fall-APPL bamboo ‘Pardi was fallen over by a bamboo’ d. * Pardi ke-ambruk empring Pardi ACCD-fall bamboo ‘Pardi was fallen over by a bamboo However, the suffix is not applicable for transitive verbs as seen in (42).
(42)
Transitive verb base: no suffix –an a. Pardi ke-pidak kanca-ne Pardi ACCD-step-on friend-POSS ‘Pardi was accidentally stepped on by his friend’ b. * Pardi ke-pidhak-an Ani Pardi ACCD-step on-APPL Ani ‘Pardi was accidentally stepped on by Ani’ c. Pardi ke-tuthuk kanca-ne Pardi ACCD-hit friend-POSS ‘Pardi was accidentally hit by his friend’ d. * Pardi ke-tuthuk-an kanca-ne Pardi ACCD-hit-APPL friend-POSS ‘Pardi was accidentally hit by his friend’
This proves that the suffix –an adds violence to the verb, as an applicative morpheme should do. In an adversative passive construction, the applicative suffix introduces an affected argument as seen in (43). (43)
The Introduction of an Affected Argument with suffix -an a. Parto ke-copet-an dompet Parto ACCD-steal-APPL wallet ‘Parto suffered from a wallet being stolen when he was holding it’ b. * Parto ke-copet dompet Parto ACCD-steal wallet ‘Parto suffered from a wallet being stolen when he was holding it’
148
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
In (43a), the suffix -an is obligatory because of the presence of the indirect affected argument, Parto. In fact, a construction without -an is ungrammatical as seen in (43b). To sum up, the prefix ke- adds an accidental passive semantics to a verb and, therefore, it is best to call Javanese ‘adversative passive’ as Javanese ‘accidental passive’. The accidental reading denotes that an unintended or unexpected result by the agent or the subject of the passive. On the other hand, the suffix –an serves as an applicative suffix to add an argument to an intransitive or transitive verb. CONCLUSION It can be concluded that the previous frameworks on adversative passive, notably by Kubo (1992) and Pylkkänen (2002), cannot offer a satisfying analysis for the Javanese ‘adversative passive’. Firstly, instead of adversative semantics, Javanese ‘adversative passive’ carries an accidental semantics which perceives that the action or the event is unexpected or unintentional. Hence the agents of the passive do not intend to affect the affected argument with his or her action while the affected argument also does not expect to be affected by the event or the action described by the verb. Moreover, the accidental semantics is encoded with the prefix ke- which serves as a specific accidental passive prefix. The prefix works for transitive or intransitive verbs, except for unergative verbs which are only compatible with the circumfix ke-I-an. Second, the possessor raising/low applicative framework proposed by Pylkkänen (2002) is also problematic for Javanese accidental passive because the passive shows the following traits: (1) the theme arguments are not obligatory and (2) the subject of the passive (the affected argument) does not have to possess the theme argument. This poses a problem for Pylkkänen’s (2002) framework since it requires a direct possesive relation between the affected and the theme arguments. I argue that Javanese accidental passive is best analyzed as a combination of prefix keand suffix –an. The prefix ke- serves to passivize the construction and assign accidental semantics. On the contrary, the suffix –an serves as an applicative suffix to add an affected argument to an unaccusative verb or a transitive verb. The combination of prefix ke- and suffix –an is not compatible with unergative verbs which are only compatible with the circumfix ke-Ian. An overviewof Javanese accidental passive can be seen in Table 2. Table 2. An Overview of Javanese Accidental Passive Types of Verbs Unaccusative Unergative Transitive Transitive
Affix Circumfix ke-I-an Circumfix ke-I-an Prefix keCircumfix ke-I-an
Passivization Yes No Yes Yes
Accidental Semantics Yes Yes Yes Yes
Applicativization Yes No No Yes
Lastly, I am aware that the examples used in this research are limited to only several verbs and I understand that more examples are needed in future studies to further confirm the conclusion I came to in this paper. I see my work as a preliminary research toward a unified account of the Javanese accidental passive.
149
Ika Nurhayani
NOTES * The authors would like to thank the two anonymous reviewers for their helpful comments on the earlier version of this paper. 1 List of Abbreviations: ACT: Active, ACC: Accusative, ACCD: Accidental, ADV: Adversative, AOR: Aorist, APPL: Applicative, BEN: Benefactive, DAT: Dative, ERG: Ergative, ILL: Illative, OBL: Oblique, PASS: Passive, PL: Plural, POSS: Possesive, TR: Transitive.
REFERENCES Dardjowidjojo, S. (1978). Sentence patterns of Indonesian. Honolulu: University of Hawaii Press. Davies, W.D. (1995). Javanese adversatives, passives and mapping theory. Journal of Linguistics, 31, 15-31. Davies, W. and Dubinski, S. (2004). The grammar of raising and control: A course in syntactic augmentation. Malden, MA: Blackwell. Fagerli, O. (2001). Malefactive by means of GIVE. In H. Simonsen and R. Endresen (Eds.), A cognitive approach to the verb: Morphological and constructional perspectives (pp. 203-222). Berlin, New York: Mouton de Gruyter. Haspelmath, M. (1993). A grammar of Lezgian. Berlin, New York: Walter de Gruyter. Horne, E.C. (1961). Beginning Javanese. New Haven: Yale University Press. Kittila, S. (2010). On distinguishing between recipient and beneficiary in Finnish. In M-L. Helasvou and L. Campbell, Grammar from the human perspective (pp. 129-152). Amsterdam, Philadelphia: John Benjamins. Kittila, S. and Zuniga, F. (2010). Benefactive and malefiction from a crosslinguistic perspective. In S. Kittila & F. Zuniga (Eds.). Benefactives and malefactives: A typological perspectives and case studies (pp. 1-28). Amsterdam, Philadelphia: John Benjamins. Kubo, M. (1992). Japanese passives. Working papers of the department of languages and cultures university of Hokkaido, 23, 231-302. Lee, J-E. (2006). A critical review of analyses of indirect passive. Studies in Generative Grammar, 16(2), 269-285. Nurhayani, I. (2013). A unified account of the syntax of valence in Javanese (Doctoral dissertation), Cornell University, Ithaca, New York. Oglobin, A. (2005). Javanese. In A. Adelaar & N.P. Himmelman (Eds.) The Austronesian languages of Asia and Madagascar (pp. 590-624). New York: Routledge. Poedjosoedarmo, G.R. (1986). Role structure in Javanese. Jakarta: Badan Penerbit Seri NUSA, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Pylkkänen, L. (2002). Deriving adversity. In Billerey and Lillehaugen (Eds). Proceedings of WCCFL, 19, 339-410. Somerville: MA.
150
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Prasithrathsint, A. (2006). Development of the Tuuk passive marker. In Werner Abraham and L. Leisio (Eds.). Thai passivization and typology: Form and function (pp. 115-131). Amsterdam, Philadelphia: John Benjamins B.V. Radetzky, P. and Smith, T.Y. (2010). An areal and crosslinguistic study of benefactive and malefactive construction. In S. Kittila and F. Zuniga (Eds.). Benefactives and malefactives: Typological perspective and case studies (pp. 97-120). Amsterdam, Philadephia: John Benjamins. Subroto, E. (1998). Adversative-passive verbs in standard Javanese. In M. Janse (Ed.). Productivity and creativity: Studies in general and descriptive linguistics in honor of E.M. Uhlenbeck (pp. 357-368). New York: Mouton de Gruyter. Tsuboi, E. (2010). Malefactivity in Japanese. In S. Kittila and F. Zuniga (Eds.). Benefactives and malefactives: A typological perspectives and case studies (pp. 419-435). Amsterdam, Philadelphia: John Benjamins. Uhlenbeck, E.M. (1978). Studies in Javanese morphology. The Hague: Martinus Nijhoff. Zoetmulder, P.J. and Poedjawijatna, I.R. (1961). Bahasa Parwa: Tata bahasa Djawa Kuno. Jakarta: Obor.
151
Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 153-171 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 2
FAKTOR DAN STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA BACA MELALUI MEMBACA PEMAHAMAN MAHASISWA Pranowo* Antonius Herujiyanto Universitas Sanata Dharma Universitas Sanata Dharma
[email protected] [email protected] Abstrak Budaya baca adalah sikap, perilaku, dan pola pikir dalam membaca seseorang yang sudah mengakar dan tidak lagi mudah berubah. Budaya baca masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Hasil penelitian pada tahun 2009 oleh Organisasi Pengembangan Kerja Sama Ekonomi, budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur. Di samping itu, indeks minat baca masyarakat Indonesia berdasarkan data dari UNESCO pada tahun 2012 juga rendah, berada pada indeks 0,001. Artinya, dari 1000 orang Indonesia hanya ada satu orang yang memiliki minat baca baik. Kajian ini ingin mendeskripsikan berbagai faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca pemahaman dan strategi membaca pemahaman yang sesuai untuk menumbuhkan budaya baca mahasiswa. Subjek penelitiannya adalah mahasiswa PBSI USD dan UST semester 5 tahun akademik 2015/2016 dengan data penelitian berupa hasil angket faktor kemampuan membaca pemahaman dan model pengembangan strategi budaya baca. Hasil penelitian menemukan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca pemahaman, yaitu faktor internal dan faktor eksternal, dan model pengembangan strategi membaca pemahaman yang sesuai, yaitu strategi K-W-L (Know-Want-Learnt) dan MURDER (Mood-Understand-Recall-Digest-Expand-Review). Kata kunci: faktor membaca, strategi membaca, membaca pemahaman, budaya baca
Abstract A reading habit can be defined as one’s attitude, behaviour, and mind-set patterns in reading which has been strongly rooted and unchangeable. Indonesians’ reading habit is still low. According to the 2009 research conducted by the Economic Co-operation Developing Organization [OPKE], the reading interest index of Indonesian people is the lowest among that of 52 East Asian countries. Similarly according to the 2012 data from UNESCO, the Indonesians’ reading index is 0,001, which means that there is only one out of 1000 Indonesians who is interested in reading. This study aims to describe many different factors affecting the reading comprehension skills and strategies which are in line with those efforts to develop the student’s reading habit. The subjects of the research are the fifth semester students of 2015/2016 academic year of the Department of Language (Indonesian) of USD and UST Yogyakarta. The data are the questionnaire results on the factors of reading comprehension competency and reading habit strategy developing model. The findings reveal that there are two factors which affect one’s reading comprehension competency, namely, internal and external factors, and the appropriate reading habit strategy developing models are K-W-L (Know-Want-Learnt) and MURDER (Mood-Understand-Recall-Digest-Expand-Review). Keywords: reading factors, reading strategies, reading comprehension, reading habit
Pranowo, Antonius Herujiayanto
PENDAHULUAN Membaca merupakan kebutuhan pokok mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, mahasiswa harus memiliki kemampuan membaca pemahaman (KMP) yang baik. KMP akan baik jika mahasiswa memiliki budaya baca yang baik pula. Namun, harus disadari bahwa banyak faktor yang ikut menentukan terbentuknya budaya baca mahasiswa. Di samping banyaknya faktor yang menentukan budaya baca, juga ada berbagai strategi pengembangan budaya baca. Sebenarnya, seorang anak yang sudah mampu menyelesaikan pendidikan SMA/SMK dan masuk ke perguruan tinggi bukanlah anak bodoh. Kegagalan mahasiswa untuk meraih sukses studi maupun sukses hidup, salah satunya karena tidak dimilikinya budaya baca. Oleh karena itu, perlu ditelusuri bukti empiris faktor yang menyebabkan lemahnya budaya baca mahasiswa. Secara hipotetis, berbagai faktor yang menyebabkan lemahnya budaya baca mahasiswa didominasi oleh diri mereka sendiri (faktor pembaca). Memang, kita juga tidak boleh menutup mata bahwa faktor di luar diri mahasiswa juga ikut memberi kontribusi terhadap lemahnya budaya baca. Namun, semua itu akan dapat diatasi apabila mahasiswa memiliki daya juang yang tangguh untuk mengatasi berbagai faktor di luar dirinya. Dalam literatur klasik disebutkan bahwa bahasa mempengaruhi perilaku manusia (Sapir, 1921). Perilaku manusia dapat berubah karena bahasa. Sebagai ilustrasi, ketika seseorang melihat rambu lalu lintas “dilarang parkir”, seseorang pasti akan tunduk pada rambu itu untuk tidak parkir di tempat tersebut. Itulah hakikat fungsi bahasa. Dengan demikian, ketika seseorang mampu membaca dengan baik, mereka akan mendapatkan informasi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sayangnya, kemampuan membaca masyarakat Indonesia masih sangat memprihatinkan. Kemampuan membaca permulaan, seperti membaca pada taraf “melek huruf” (artinya baru bebas dari buta huruf) dan minat baca yang masih sangat rendah merupakan salah satu indikator rendahnya kemampuan membaca masyarakat Indonesia. Beberapa data penelitian yang berkaitan dengan melek huruf, indeks minat baca, dan budaya baca menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Hasil penelitian Human Development Index (HDI) yang dirilis UNDP pada tahun 2002 menyebutkan bahwa data melek huruf orang Indonesia berada di posisi 110 dari 173 negara. Posisi tersebut turun satu tingkat menjadi 111 di tahun 2009 (http://hdr.undp.org/sites/ default/files/reports/14/hdr2013 _en_complete.pdf). Pada tahun 2009, berdasarkan hasil penelitian yang diumumkan Organisasi Pengembangan Kerja Sama Ekonomi, budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur (http://en.unesco.org/ themes/education-21st-century). Data lain yang juga memprihatinkan adalah masih rendahnya indeks minat baca masyarakat. Indeks minat baca masyarakat Indonesia berdasarkan data dari UNESCO pada tahun 2012 berada pada indeks 0,001. Artinya, setiap 1000 orang Indonesia hanya ada 1 orang yang memiliki minat baca baik (http://www. unesco.org/new/en/unesco/about-us/). Jika angka melek huruf dan indeks minat baca masih serendah itu, bangsa Indonesia akan sangat sulit untuk memiliki budaya baca. Apa lagi jika yang dimaksud itu adalah budaya membaca untuk menyerap informasi dan memberi tanggapan kritis terhadap berbagai jenis informasi dalam bacaan, masyarakat Indonesia masih membutuhkan waktu cukup lama untuk memiliki budaya baca.
154
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Berdasarkan data di atas, sejak tahun 2002, kondisi baca masyarakat Indonesia hampir tidak mengalami perubahan. Walaupun proses pendidikan sudah berjalan puluhan tahun dengan biaya triliunan rupiah, para pelaku pendidikan tidak mampu membuat perubahan yang signifikan terhadap kemampuan membaca masyarakat Indonesia. Ini berarti bahwa ada sesuatu yang salah dalam pendidikan kita. Data seperti itu dapat dimaknai bahwa daya saing dan daya tawar bangsa Indonesia sangat rendah terhadap bangsa lain. Jika tidak segera diambil langkah konkret untuk mengatasinya, tidak ada lagi yang dapat diharapkan bangsa Indonesia untuk dapat keluar dari kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Melihat kondisi seperti itu, perlu ada terobosan yang bersifat inovatif dan kreatif agar terjadi perubahan secara signifikan. Pada saat ini, yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia adalah kemampuan membaca tingkat tinggi, yaitu kemampuan membaca pemahaman (KMP). Jika yang dimiliki hanyalah kemampuan membaca pada taraf “melek huruf” dan “minat baca” yang rendah, pasti daya tawar bangsa Indonesia terhadap bangsa lain akan terus rendah. Bangsa Indonesia harus mampu membangun budaya baca masyarakat. Namun, jika modal dasar yang dimiliki hanya seperti data di atas (minat baca rendah, kemampuan baca pada level “melek huruf” saja masih rendah), tantangan yang dihadapi sangat berat. Oleh karena itu, opsi yang mungkin dapat dipilih adalah menyelesaikan persoalan secara bertahap. Tahap pertama yang harus segera dijalankan adalah membangun budaya baca mahasiswa karena (a) aktivitas mahasiswa setiap hari berkaitan dengan aktivitas keilmuan, (b) tidak lama lagi, setelah mahasiswa lulus akan memasuki dunia kerja yang selalu bergelut dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, (c) meskipun belum menjadi budaya baca, aktivitas mahasiswa adalah membaca untuk menyerap dan mengkritisi informasi, dan (d) mengembangkan budaya baca mahasiswa akan lebih mudah karena bekal minat baca yang dimiliki tinggal “membesut” (memberi sentuhan sedikit) dapat menjadi budaya baca. Oleh karena mendesaknya kebutuhan, di samping pengembangan budaya baca mahasiswa, juga harus dipilih jenis membaca yang perlu dibudayakan, yaitu membaca pemahaman. Budaya baca yang perlu dibangun oleh bangsa Indonesia bukan sekadar budaya baca terhadap teks-teks sederhana, tetapi juga teks yang di dalamnya mengandung informasi yang berkaitan dengan kemajuan iptek. Jika budaya baca seperti itu dapat diwujudkan, hal tersebut akan menjadi lompatan luar biasa bagi bangsa Indonesia karena kondisi kemampuan membaca bangsa Indonesia akan meningkat lebih cepat. Tahap kedua, membangun budaya baca pada level pendidikan dasar dan menengah. Pada level ini, budaya baca perlu dikembangkan untuk memberi dasar sedini mungkin kepada anak agar di masa mendatang tumbuh budaya baca. Atas dasar uraian di atas, ada dua permasalahan dalam artikel ini: a) Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terbentuknya budaya baca membaca pemahaman mahasiswa? b) Strategi membaca seperti apakah yang sesuai untuk mengembangkan budaya baca membaca pemahaman mahasiswa? FAKTOR MEMBACA UNTUK MEMBANGUN BUDAYA BACA Membaca pemahaman merupakan salah satu jenis membaca intensif. Beberapa ahli menyatakan bahwa membaca intensif mencakup membaca pemahaman, membaca kritis, membaca
155
Pranowo, Antonius Herujiayanto
interpretatif, dan membaca kreatif (Broughton, dkk. 1989 dalam Tarigan, 2008:13). Jika pendapat Broughton di atas dicermati, seakan-akan membaca pemahaman merupakan tahap awal sebelum mencapai tahap membaca kritis, membaca interpretatif, dan yang tertinggi sampai pada membaca kreatif. Padahal, sebenarnya ketika seseorang melakukan kegiatan membaca pemahaman di dalamnya terdapat membaca kritis, interpretatif, dan membaca kreatif. Dengan demikian, membaca pemahaman di dalamnya termasuk pemahaman literal, membaca interpretatif, membaca kritis, dan membaca kreatif (Smith, 2006 dalam http://massofa. wordpress.com/200811/strategi-pemelajaran-membaca//). Oleh karena itu, Burns, dkk. (2004) mengemukakan bahwa mengevaluasi kemampuan membaca pemahaman harus sekaligus mengevaluasi (a) kemampuan membaca literal (literal reading), (b) kemampuan membaca interpretatif (interpretative reading), (c) kemampuan membaca kritis (critical reading), dan (d) kemampuan membaca kreatif. Sejalan dengan pendapat Burns (2004:80), Smith (2006) dan Hagaman, dkk. (2010: 125) beranggapan bahwa pembaca harus melakukan banyak hal berkaitan dengan teks yang dibacanya, seperti (a) menganalisis isi teks yang dibacanya, (b) menghubungkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru yang diperoleh dari teks yang dibacanya, (c) membuat kesimpulan berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki, (d) mengevaluasi teks yang dibacanya berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, (e) menginterpretasi maksud penulis, (f) membuat prediksi yang mungkin terjadi setelah membaca teks, (g) menciptakan pemikiran baru atas apa yang dibacanya berdasarkan pengalaman yang dimiliki. Semua itu dilakukan dalam satu kesatuan waktu ketika mereka sedang memahami teks. Agar mahasiswa dapat melakukan seluruh proses berpikir seperti itu, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kegiatan membacanya, yaitu (a) faktor pembaca, (b) faktor tingkat kesulitan teks yang dibaca, dan (c) jenis teks yang dibaca. Faktor pembaca mencakup banyak hal, seperti faktor kebahasaan (kemampuan berbahasa, penguasaan kosakata dan struktur sintaksis, serta tingkat kelancaran dalam membaca), faktor kepribadian (minat, motivasi, keadaan emosi, kebiasaan), IQ, latar belakang sosial budaya, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki sebelumnya, sikap mental, dsb. Faktor teks yang dibaca berkaitan dengan tingkat kesulitan teks yang dibaca. Oleh karena itu, pembaca memerlukan strategi tertentu dan tingkat kemahiran membaca pemahaman yang tinggi. Sementara itu, faktor yang berkaitan dengan jenis teks yang dibaca, pembaca akan dihadapkan pada berbagai genre teks (teks ilmiah, teks literer, teks berita, dll.). National Reading Panel (2000) mengidentifikasi bahwa faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca pemahaman digolongkan menjadi dua, yaitu faktor pembaca dan faktor teks. Faktor pembaca meliputi latar belakang pengetahuan pembaca, penguasaan kosakata, tingkat kemahiran membaca, strategi pemahaman, keterampilan pemahaman, dan motivasi pembaca. Sementara faktor yang berhubungan dengan teks meliputi jenis teks yang dibaca, struktur teks, dan ciri khas teks. Di samping itu, Torgesen (2006:21) menambahkan bahwa faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca adalah faktor tujuan, yaitu tujuan untuk memperoleh informasi sebanyak-banyaknya mengenai isi teks yang dibacanya. Atas dasar uraian di atas, pengembangan budaya baca perlu memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi KMP. Faktor internal yang perlu ditingkatkan, seperti membangun minat yang kuat, membangun dan mempertahankan motivasi, menjaga emosi agar tetap stabil, membangun kebiasaan, memperkaya latar belakang pengetahuan pembaca, menambah jumlah penguasaan kosakata, dan meningkatkan kemahiran membaca. Faktor eksternal yang perlu
156
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
ditingkatkan antara lain latar belakang sosial budaya, membiasakan membaca berbagai jenis teks, membiasakan membaca tingkat kesulitan teks yang semakin rumit, memperhatikan faktor sosial ekonomi keluarga, dan menjaga atmosfir lingkungan agar tetap kondusif. Kemampuan Membaca Pemahaman dan Membaca Kritis KMP merupakan kunci utama untuk menyerap informasi secara sahih dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. KMP merupakan usaha memahami dan menyerap informasi melalui teks. Berdasarkan taksonomi Bloom yang telah direvisi Anderson (2011:25), domain pemahaman merupakan domain kognitif kategori 2 dari enam kategori kognitif, yaitu mengingat, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi. Kategori pemahaman pada ranah kognitif di atas sebenarnya masih level rendah, yaitu level 2. Namun, penerapannya dalam membaca, kategori pemahaman (baca: membaca pemahaman), jika mengikuti pendapat Burns, dkk (2004:75) sudah cukup kompleks karena Burns memasukkan unsur membaca kritis dan membaca kreatif. Membaca kritis merupakan kegiatan membaca untuk menganalisis, mengevaluasi materi, dan memberi tanggapan terhadap informasi yang terdapat dalam teks bacaan, membandingkan ide dalam tulisan dengan pengetahuan yang dimiliki, serta memberi simpulan mengenai keakuratan, kesesuaian, dan keefektifan bahan bacaan. Aktivitas yang dilakukan pembaca kritis, yaitu (1) memahami makna teks, dalam arti pembaca memahami isi bacaan berdasarkan informasi yang terkandung di dalam teks (informasi tekstual), (2) memahami maksud yang ingin disampaikan oleh penulis, dan (3) menciptakan pemahaman baru, dalam arti pembaca membangun pengetahuan baru berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki pembaca dan maksud penulis. Menurut The IRA Dictionary (dalam Haller, 2000:17), membaca pemahaman meliputi (a) kegiatan memahami apa yang dibaca, (b) kegiatan memahami hubungan secara hierarkis terhadap sesuatu yang dibaca, serta (c) kegiatan penginterpretasian, pengevaluasian, serta reaksi yang dilakukan dengan cara kreatif dan intuitif. Dengan demikian, KMP adalah suatu kegiatan yang berusaha memahami informasi bacaan secara keseluruhan dengan mendalam, menangkap maksud yang ingin disampaikan oleh penulis, dan menghubungkan isi bacaan dan maksud penulis dengan pengalaman maupun pengetahuan yang dimiliki pembaca. Dengan acuan teori di atas, untuk mengukur tingkat KMP dapat mengikuti pendapat Burns, dkk. (2004:80) yaitu dengan mengukur (a) kemampuan membaca literal (literal reading), (b) kemampuan membaca interpretatif (interpretative reading), (c) kemampuan membaca kritis (critical reading), dan (d) kemampuan membaca kreatif (creative reading). Jika keempat kemampuan membaca tersebut telah dimiliki dengan baik, berarti kompetensi kemampuan membaca pemahaman mahasiswa sudah dapat dikategorikan memadai. Dari keempat aspek KMP di atas, membaca kritis merupakan salah satu langkah membaca pemahaman. Pembaca berusaha menyerap informasi dengan memberikan pertimbangan kelebihan dan kekurangan suatu informasi dengan menggunakan penalaran berdasarkan pemikiran logis untuk sampai pada kesimpulan. Kegiatan membaca kritis hanya dapat dilakukan oleh seorang pemikir kritis. Pemikir kritis yaitu pemikir yang mampu berpikir secara sistematis untuk menemukan kebenaran dengan mengevaluasi bukti-bukti, asumsi, logika, dan bahasa orang lain yang mendasari pernyataan yanag diungkapkan (Elaine, 2007:125).
157
Pranowo, Antonius Herujiayanto
Pembaca kritis tidak sekadar menyerap apa yang ada, tetapi ia bersama-sama penulis berpikir tentang masalah yang dibahas. Membaca secara kritis berarti membaca secara analitis dengan penilaian. Pembaca harus berinteraksi dengan penulis dan saling mempengaruhi sehingga terbentuk pengertian baru (Sudarso, 2001:20). Pembaca kritis harus mampu mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh dan hati-hati untuk memutuskan apakah pembaca akan menerima, menolak, atau menunda penilaian tentang suatu pernyataan (Moore, 2008:15). Fisher (2008:125) menyatakan bahwa berpikir kritis harus selalu mempertimbangkan secara aktif, terus-menerus, dan teliti mengenai sebuah keyakinan dengan mempertimbangkan alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan yang menjadi kecenderungannya. Jenis membaca kritis penting karena berguna untuk menyeleksi jenis informasi yang diserap agar memperoleh informasi yang terpercaya (sahih) dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika dikembalikan pada domain kognitif dari Bloom, membaca pemahaman, meskipun masih tergolong level 2, sebenarnya sudah termasuk membaca kritis. Aktivitas pembaca sudah mencakup seluruh kategori, yaitu (a) menerapkan konsep-konsep teoretis, (b) menganalisis setiap pernyataan, (c) mengevaluasi pernyataan, dan (d) mencipta konsep baru berdasarkan pernyataan yang sudah ada. Dengan demikian, KMP membutuhkan kemampuan berpikir kritis. Dam dan Volman (2004:21) menekankan bahwa critical thinking merupakan kompetensi wajib bagi pembaca. Oleh karena itu, penguasaan kompetensi berpikir kritis ini harus menjadi tujuan pendidikan bagi setiap mahasiswa. Pendapat lain dikemukakan oleh Beck & Dole (1985, dalam Burns, 1986:80) bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan mengolah bahan bacaan untuk menemukan makna, baik yang tersurat maupun yang tersirat melalui tahap mengenal, memahami, menganalisis, menilai, dan mencipta. Mengolah bahan bacaan secara kritis, artinya, pembaca tidak hanya menangkap makna yang tersurat (reading on the lines), tetapi juga menemukan makna antarbaris (reading between the lines), dan makna di balik baris (reading beyond the lines). Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa kemampuan membaca kritis dibutuhkan dalam KMP. Seorang pembaca kritis pada hakikatnya adalah pemikir kritis. Pemikir kritis harus selalu mempertimbangkan secara aktif, terus-menerus, dan teliti mengenai sebuah keyakinan dengan mempertimbangkan alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulankesimpulan yang menjadi kecenderungannya. Dengan demikian, KMP membutuhkan kemampuan berpikir kritis, dalam arti pembaca harus mengolah bahan bacaan untuk menemukan makna tersurat (reading on the lines), makna antarbaris (reading between the lines), dan makna di balik baris (reading beyond the lines). METODE PENELITIAN Sumber data penelitian adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Sanata Dharma, Universitas Tamansiswa, dan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta semester VI tahun 2015/2016. Data penelitian berupa hasil angket faktor yang mempengaruhi pembentukan budaya baca mahasiswa, dan hasil kajian strategi yang digunakan untuk membentuk budaya baca mahasiswa.
158
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif. Artinya, di samping penelitian dapat menggambarkan berbagai faktor membaca secara deskriptif dengan angkaangka persepsi mahasiswa, juga didukung argumen-argumen secara kualitatif. Metode pengumpulan datanya berupa angket dan studi dokumentasi. Angket digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai faktor yang mempengaruhi terbentuknya budaya baca mahasiswa, dan strategi yang digunakan untuk membentuk budaya baca mahasiswa. Analisis data berupa angket dilakukan dengan langkah sebagai berikut: (1) membuat tabulasi angket faktor yang mempengaruhi pembentukan budaya baca, (2) mengklasifikasikan hasil angket, dan (3) menentukan frekuensi pengaruh faktor terhadap pembentukan budaya baca. Studi dokumentasi digunakan untuk mendeskripsikan aneka kajian mengenai strategi pengembangan budaya baca. Langkah analisis yang dilakukan adalah (1) meninjau ulang berbagai teori kajian strategi membaca, (2) membedakan hasil kajian strategi satu dengan strategi yang lain, dan (3) memformulasikan aneka hasil kajian menjadi satu rumusan strategi pengembangan budaya baca yang sesuai untuk mahasiswa. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Faktor yang Mempengaruhi Budaya Baca Ada dua faktor yang mempengaruhi budaya baca mahasiswa, yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Tompkins, 2014). Persepsi mahasiswa terhadap setiap faktor diidentifikasi melalui beberapa indikator. Atas dasar indikator tersebut, persepsi mahasiswa dideskripsikan dengan menggunakan kriteria Setuju (S), tidak setuju (TS), dan tidak memiliki pilihan (TMP). Faktor Internal Hasil analisis faktor internal yang mempengaruhi budaya baca (Tompkins, 2014) disajikan sebagai berikut. 1) Faktor motivasi Faktor motivasi mencakup motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Kedua jenis motivasi tersebut memiliki pengaruh terhadap pembentukan budaya baca mahasiswa. Berdasarkan aktivitas dan sikap yang dilakukan oleh mahasiswa, baik faktor motivasi intrinsik maupun ekstrinsik diidentifikasi melalui lima indikator. Perhatikan tabel hasil analisis di bawah ini. Tabel 1. Faktor Motivasi Faktor
Indikator
1. Jika diberi tugas membaca oleh dosen, saya berusaha menyelesaikannya tepat waktu. 2. Dalam keseharian, dorongan membaca saya tidak hanya tertuju pada bacaan-bacaan hiburan. 3. Selama perkuliahan, saya ingin mencapai prestasi setinggiFaktor tingginya dengan cara rajin membaca. motivasi 4. Jika akan menempuh ujian tengah semester atau akhir semester, dorongan membaca saya sangat kuat. 5. Jika berhasil menyelesaikan tugas membaca, merasa dihargai jika mendapat pujian dari dosen atau teman. Rata-rata dalam %
159
Kategori dalam % S TS TMP 73 12 15 43
12
45
70
6
24
88
3
9
61
12
27
67
9
24
Pranowo, Antonius Herujiayanto
Berdasarkan tabel di atas, pengaruh faktor motivasi terhadap terbentuknya budaya baca memberi kontribusi sebesar 67%. Berdasarkan faktor tersebut, ada beberapa indikator yang cukup kuat pengaruhnya terhadap pembentukan budaya baca, yaitu (1) peranan dosen dalam perkuliahan, (2) keinginan mencapai prestasi setinggi-tingginya, (4) dorongan membaca saat menghadapi ujian, dan (5) perlunya pujian oleh dosen atau teman atas keberhasilan yang dicapai. Jika keempat indikator motivasi tersebut dapat dimanfaatkan secara benar, KMP mahasiswa akan semakin baik dan dapat menumbuhkan terbentuknya budaya baca. 2) Faktor minat Faktor minat memiliki pengaruh terhadap pembentukan budaya baca. Berdasarkan aktivitas yang dilakukan oleh mahasiswa, faktor minat dapat diidentifikasi melalui lima indikator. Perhatikan tabel hasil analisis di bawah ini. Tabel 2. Faktor Minat Faktor
Indikator 1. 2.
Saya ingin mencari jawaban atas suatu masalah melalui membaca. Jika ada teman yang memiliki buku baru, saya ingin mengajak untuk mendiskusikan isinya. 3. Saya lebih suka membaca sendiri sumber informasi dari pada Faktor mengikuti pendapat orang lain. minat 4. Setelah membaca, saya berkeinginan mengungkapkan gagasan hasil membaca secara tertulis dalam bentuk artikel, makalah, atau bentuk lain. 5. Saya ingin membaca kembali bacaan yang pernah saya baca untuk menyegarkan ingatan. Rata-rata dalam %
Kategori dalam % S TS TMP 76 18 6 49 15 36 77
14
9
30
27
43
49
15
36
56,2
17,8
26
Berdasarkan tabel di atas, pengaruh faktor minat terhadap pembentukan budaya baca memberikan sumbangan sebesar 56,2%. Indikator faktor minat yang memiliki pengaruh kuat terhadap pembentukan budaya baca, yaitu (1) minat mencari jawaban terhadap suatu masalah melalui membaca, dan (3) minat membaca sendiri sumber informasi untuk menemukan jawaban suatu masalah. Sebenarnya, faktor-faktor lain juga memiliki pengaruh tetapi belum nanpak secara signifikan, seperti (2) kemauan untuk mendiskusikan isi buku yang dibacanya, (4) kemauan mengungkapkan gagasan hasil membacanya secara tertulis, dan (5) kemauan membaca kembali bacaan yang pernah dibacanya untuk menyegarkan ingatan juga memiliki peran penting dalam menumbuhkan budaya baca. Namun, hal ini belum mendapat perhatian mahasiswa. 3) Faktor kebiasaan Pengaruh faktor kebiasaan dalam pembentukan budaya baca dapat diidentifikasi melalui dua indikator. Perhatikan tabel hasil analisis di bawah ini. Tabel 3. Faktor Kebiasaan Faktor
Indikator
Saya menyusun jadwal teratur untuk membaca setiap hari. Buku-buku yang akan saya baca saya siapkan di tempat yang mudah saya jangkau. Rata-rata dalam % Faktor kebiasaan
1. 2.
160
Kategori dalam % S TS TMP 21 55 24 58 33 9 39,50
44
16,50
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Berdasarkan tabel pada halaman 160, faktor kebiasaan terhadap pembentukan budaya baca memberi kontribusi sebesar 39,50%. Berdasarkan aktivitas yang dilakukan oleh mahasiswa, indikator yang memiliki pengaruh terhadap terbentuknya kebiasaan adalah kesediaan menyiapkan buku yang akan dibaca di tempat yang mudah dijangkau. Sebaliknya, indikator faktor kebiasaan yang belum tumbuh dengan baik pada mahasiswa adalah belum memiliki jadwal teratur untuk membaca setiap hari. Padahal keteraturan jadwal baca merupakan salah satu wujud disiplin untuk membentuk kebiasaan. Dengan demikian, untuk menumbuhkan kebiasaan membaca, mahasiswa masih perlu peningkatan disiplin, antara lain dengan menyusun jadwal baca secara teratur. 4) Faktor Kondisi Emosi Pengaruh faktor kondisi emosi terhadap pembentukan budaya baca diidentifikasi melalui dua indikator. Hasil analisis dapat dilihat melalui tabel berikut. Tabel 4. Kondisi Emosi Faktor
Indikator 1.
Setelah selesai membaca, saya merasa bangga jika hasil membaca yang saya lakukan dan saya presentasikan di kelas mendapat kritik dan masukan dari dosen. 2. Saya merasa puas jika dapat menyelesaikan secara maksimal tugas yang diberikan kepada saya. Rata-rata dalam % Faktor kondisi emosi
Kategori dalam % S TS TMP 85 9 6
82
15
3
83,50
12
4,50
Berdasarkan tabel di atas, sumbangan faktor kondisi emosi terhadap pembentukan budaya baca sebesar 83,50%. Indikator faktor kondisi emosi yang memiliki pengaruh besar terhadap budaya baca adalah (1) adanya rasa bangga jika presentasi hasil membacanya mendapat kritik dan masukan dari dosen, dan (2) kesediaan menyelesaikan tugas secara maksimal. 5) Faktor cara membaca Faktor cara membaca memiliki pengaruh terhadap pembentukan budaya baca. Berdasarkan aktivitas yang dilakukan oleh mahasiswa, cara membaca dilihat melalui enam indikator. Hasil analisis data dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 5. Faktor Cara Membaca Faktor
Indikator
1. Agar memahami isi bacaan, saya merumuskan dengan bahasa saya sendiri. 2. Dengan memahami berbagai teknik membaca, ternyata sangat membantu mempermudah memahami isi bacaan. 3. Untuk mempermudah memahami isi bacaan, saya membuat Faktor skema gagasan setiap kali membaca. Cara Membaca 4. Agar memahami isi bacaan, saya cukup mengingat-ingat isinya saja. 5. Sambil membaca, saya membuat ringkasan isi bacaan. 6. Untuk memahami isi bacaan, saya membuat pertanyaan berdasarkan isi bacaan yang saya baca. Rata-rata dalam %
161
Kategori dalam % S TS TMP 82 3 15 70
6
24
58
9
33
48
34
18
45 27
15 40
40 33
55
17,83
27,17
Pranowo, Antonius Herujiayanto
Faktor cara membaca memberikan pengaruh sebesar 55%. Indikator yang memiliki pengaruh cukup besar adalah (1) membaca sambil merumuskan isi bacaan dengan bahasa sendiri, (2) membaca dengan memahami berbagai teknik membaca, dan (3) membaca dengan membuat skema gagasan. Sementara itu, ada tiga indikator penting cara membaca tetapi belum berkembang pada mahasiswa untuk pembentukan budaya baca, yaitu (4) membaca sambil mengingat-ingat isi bacaan, (5) membaca sambil membuat ringkasan isi bacaan, dan (6) membaca sambil membuat pertanyaan tentang isi bacaan. Tiga indikator terakhir tentang faktor cara membaca belum tumbuh pada mahasiswa. Hal ini perlu mendapat perhatian, dalam arti perlu ditingkatkan karena belum memadai. 6) Faktor pengetahuan yang dimiliki sebelumnya Faktor pengetahuan yang dimiliki sebelumnya memiliki pengaruh terhadap pembentukan budaya baca. Berdasarkan aktivitas yang dilakukan oleh mahasiswa, pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dilihat melalui tujuh indikator. Hasil analisis ketujuh indikator tersebut dapat dilihat melalui tabel berikut. Tabel 6. Pengetahuan yang Dimiliki Sebelumnya Faktor
Indikator 1. 2. 3.
Pengetahuan yang dimiliki sebelumnya
4.
5. 6. 7.
Melalui membaca, saya mampu berpikir lebih kritis ketika memberi tanggapan terhadap pendapat orang lain. Dengan rajin membaca, kemampuan berbicara saya menjadi baik. Saya ingin mencari jawaban atas suatu masalah melalui membaca. Jika ada pendapat ahli yang dikutip dalam suatu artikel, buku, atau hasil penelitian, saya ingin melacak sumber aslinya agar dapat memahami secara lebih komprehensif. Saya tidak mudah percaya dengan pendapat orang lain sebelum membaca sendiri sumber aslinya. Saya ingin merujuk pada bacaan setiap berargumentasi dengan orang lain. Saya merasa tidak puas dengan bacaan yang telah saya baca sebelum membandingkan dengan bacaan lain.
Rata-rata dalam %
Kategori dalam % S TS TMP 81 9 10 79
9
12
70
21
9
70
12
18
52
12
36
43
18
39
40
27
33
62,14
15,43
22,43
Berdasarkan hasil pada Tabel 6, faktor pengetahuan yang dimiliki sebelumnya memberikan pengaruh terhadap pembentukan budaya baca sebesar 62,14%. Dari ketujuh indikator tersebut terdapat lima indikator yang memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap pembentukan budaya baca, yaitu (1) melalui membaca, saya mampu berpikir lebih kritis ketika memberi tanggapan terhadap pendapat orang lain, (2) dengan rajin membaca, kemampuan berbicara saya menjadi baik, (3) saya ingin mencari jawaban atas suatu masalah melalui membaca, (4) jika ada pendapat ahli yang dikutip dalam suatu artikel, buku, atau hasil penelitian, saya ingin melacak sumber aslinya agar dapat memahami secara lebih komprehensif, dan (5) saya tidak mudah percaya dengan pendapat orang lain sebelum membaca sendiri sumber aslinya. Sementara itu, indikator lain yang belum disadari pentingnya oleh mahasiswa adalah (6) kesediaan merujuk pada bacaan setiap berargumentasi dengan orang lain dan (7) kesediaan membandingkan
162
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
dengan bacaan lain dengan bacaan yang pernah dibacanya. Padahal, kedua indikator terakhir ini sangat penting dalam pembentukan budaya baca, terutama budaya baca untuk membaca pemahaman. Di sisi lain, mahasiswa kurang memperlihatkan jiwa tangguh dalam menemukan kebenaran, dan keinginan untuk selalu merujuk pada bacaan setiap berargumentasi dengan orang lain juga belum terlihat dengan baik. 7) Faktor ketertarikan terhadap manfaat membaca Faktor ketertarikan manfaat membaca terhadap pembentukan budaya baca diidentifikasi melalui tiga indikator. Hasil analisis ketiga indikator tersebut dapat dilihat melalui tabel berikut. Tabel 7. Ketertarikan terhadap Manfaat Membaca Faktor
Indikator
Faktor ketertarikan terhadap bacaan dan kebermanfaatan
1. Meskipun tidak berkaitaan dengan bidang yang saya pelajari, jika bacaan itu menarik, saya membacanya. 2. Sesulit apapun isi dalam bacaan, jika berkaitan dengan bidang ilmu yang saya pelajari, saya akan berusaha sampai dapat memahami isi bacaan. 3. Saya menyadari bahwa membaca merupakan kebutuhan pokok bagi seorang mahasiswa jika ingin memiliki wawasan dan pengetahuan luas.
Rata-rata dalam %
Kategori dalam % S TS TMP 73 12 15 82
2
16
91
3
6
82
5,67
12,33
Atas dasar hasil analisis data di atas, ketertarikan terhadap manfaat membaca memiliki sumbangan sangat besar terhadap pembentukan budaya baca, yaitu sebesar 82%. Sumbangan dari ketiga indikator tersebut adalah (1) ketertarikan membaca jenis bacaan yang bukan bidang ilmunya, (2) kesadaran untuk mengatasi kesulitan dalam bidang ilmu yang dipelajari melalui membaca, dan (3) tumbuhnya kesadaran akan pentingnya membaca. Jika pengaruh positif seluruh indikator pembentuk budaya baca dapat tergambar seperti itu, budaya baca mahasiswa akan sangat mudah berkembang di kampus. Sayangnya, masih banyak indikator lain yang tidak tergambar pengaruhnya secara positif. 8) Faktor intelegensi Faktor intelegensi terhadap pembentukan budaya baca menurut pendapat mahasiswa tidak begitu penting. Hal ini diidentifikasi melalui satu indikator saja. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 8. Faktor Intelegensi Faktor Faktor intelegensi
Indikator Tingkat intelegensi tidak begitu penting, jika tekun dan rajin membaca pasti dapat memahami isi bacaan.
Kategori dalam % S TS TMP 61 21 18
Dengan merujuk pada data tersebut, berdasarkan pendapat mahasiswa, intelegensi memiliki pengaruh sebesar 61%. Mahasiswa mengatakan bahwa budaya baca lebih ditentukan oleh ketekunan membaca daripada tingkat intelegensi. Tentu harus disikapi secara hati-hati. Jika maksud sikap mahasiswa tersebut sebagai usaha memotivasi diri untuk terus belajar meskipun
163
Pranowo, Antonius Herujiayanto
IQ yang dimiliki terbatas, sikap ini dapat dipandang sebagai sikap positif. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa peranan IQ tidak lagi penting. Analisis Faktor Eksternal Hasil analisis faktor eksternal yang mempengaruhi budaya baca (Tompkins, 2014) disajikan sebagai berikut. 1) Faktor kesulitan bahan bacaan Kesulitan bahan bacaan menjadi salah satu faktor penting untuk membentuk budaya baca. Berdasarkan aktivitas yang dilakukan oleh mahasiswa, faktor kesulitan bahan bacaan diidentifikasi melalui dua indikator. Hasil analisis dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 9. Faktor Kesulitan Bacaan Faktor
Kategori dalam % S TS TMP 68 10 22
Indikator
Bacaan yang tidak berkaitan dengan bidang yang saya pelajari, saya sering mengalami kesulitan untuk memahami isinya. Meskipun berkaitan dengan bidang ilmu yang saya pelajari, kadang-kadang saya mengalami kesulitan untuk memahami isi bacaan. Rata-rata dalam % Faktor kesulitan bacaan
82
9
9
75
9,5
15,5
Berdasarkan tabel hasil analisis data di atas, faktor kesulitan bahan bacaan memberi sumbangan sebesar 75%. Hal ini diidentifikasi melalui dua indikator, yaitu (1) kesulitan memahami isi bacaan yang tidak berkaitan dengan bidang ilmunya, dan (2) kesulitan memahami isi bacaan meskipun dalam bidang ilmunya. Jika demikian kondisinya, berarti tingkat kesulitan bahan bacaan, baik dalam bidang ilmu yang dipelajari maupun yang bukan bidang ilmu yang dipelajari sangat mempengaruhi pembentukan budaya baca mahasiswa. Kesulitan memahami isi jenis bacaan yang tidak berkaitan dengan hidang ilmunya memang banyak dialami oleh setiap orang. Faktor latar belakang ilmu yang tidak dimiliki oleh mahasiswa menjadi salah satu penyebab sulitnya memahami jenis bacaan tersebut. Begitu juga, jenis bacaan yang terlalu sulit (kosakata yang digunakan, struktur kalimat yang digunakan) sangat wajar jika menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab sulitnya memahami isi bacaan. 2) Faktor latar belakang sosial ekonomi keluarga Faktor latar belakang ekonomi keluarga memiliki pengaruh terhadap pembentukan budaya baca diidentifikasi melalui dua indikator. Hasil analisis dapat dilihat melalui tabel berikut. Tabel 10. Latar Belakang Sosial Ekonomi Keluarga Faktor
Indikator
Faktor latar belakang sosial ekonomi keluarga
Saya tidak pernah mengalami kesulitan untuk memperoleh bahan bacaan yang saya butuhkan. Saya merasa gelisah di saat ingin membaca tetapi tidak tersedia bahan bacaan.
Rata-rata dalam %
164
Kategori dalam % S TS TMP 33 52 15 43
39
18
38
45,50
16,50
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Faktor ekonomi keluarga berpengaruh besar terhadap pengembangan budaya baca. Indikator tersebut semakin diperkuat dengan tidak adanya daya juang mahasiswa untuk mendapatkan bahan bacaan. Hal ini diidentifikasi melalui dua indikator, yaitu (1) tidak pernah mengalami kesulitan untuk memperoleh bahan bacaan yang dibutuhkan ternyata masih cukup besar, yaitu 52%, dan (2) perasaan gelisah ketika akan membaca tetapi tidak tersedia bahan bacaan yang dibutuhkan sebesar 43%. 3) Faktor suasana lingkungan Faktor suasana lingkungan memiliki pengaruh yang cukup terhadap pembentukan budaya baca. Berdasarkan pengakuan mahasiswa, hasil analisis data dapat dilihat melalui tabel berikut. Tabel 11. Faktor Suasana Lingkungan dan Waktu Faktor Faktor suasana lingkungan
Indikator 1. 2.
Saya ke perpustakaan untuk membaca jika ada masalah yang perlu diselesaikan. Jadwal membaca saya sering terganggu, jika tiba-tiba ada orang yang datang bertamu.
Rata-rata dalam %
Kategori dalam % S TS TMP 33 52 15 43
39
18
38
45,5
16,5
Berdasarkan hasil analisis tersebut, faktor suasana lingkungan tidak begitu penting bagi mahasiswa dalam pembentukan budaya baca, yaitu hanya didukung oleh 38%. Namun, jika pengakuan mahasiswa benar bahwa mereka tidak pernah mengunjungi perpustakaan meskipun ada masalah yang harus diselesaikan, sebenarnya ada faktor lain yang lebih berpengaruh terhadap “kemalasan” mahasiswa berkunjung ke perpustakaan. Hal ini diperkuat dengan pengakuan bahwa “kunjungan tamu” dianggap tidak mengganggu jadwal baca. Kedua hal tersebut menjadi konsisten bahwa sebenarnya mahasiswa belum memiliki budaya baca yang baik karena kemalasan. 3) Faktor pengaruh budaya lisan Pengaruh budaya lisan memiliki peranan besar terhadap pembentukan budaya baca, terutama pengaruh bahasa lisan yang sering mempersulit pemahaman isi bacaan. Hasil analisis data dapat dilihat melalui tabel berikut. Tabel 13. Faktor Pengaruh Budaya Lisan Faktor Faktor pengaruh budaya lisan
Indikator Masih kuatnya pengaruh bahasa lisan dalam hidup saya, sering mempersulit pemahaman isi bacaan.
Kategori dalam % S TS TMP 61 23 16
Berdasarkan hasil analisis data tersebut, pengaruh budaya lisan terutama bahasa lisan disetujui oleh 61% mahasiswa. Meskipun hanya diidentifikasi melalui satu indikator, pengaruh budaya lisan dapat merasuk ke seluruh aspek kehidupan mahasiswa. 4) Faktor pengaruh televisi Televisi sebagai media audiovisual merupakan media hiburan yang paling murah dalam keluarga. Oleh karena itu, sangat wajar jika sebagian waktu luang mahasiswa digunakan untuk menonton televisi. Bahkan, karena jumlah saluran televisi cukup banyak, acara hiburan juga cukup variatif. Perhatikan tabel pada halaman 166.
165
Pranowo, Antonius Herujiayanto
Tabel 14. Faktor Pengaruh Televisi Faktor Faktor pengaruh televisi
Indikator Jika acara televisi menarik, kegiatan membaca saya tinggalkan terlebih dahulu untuk menonton acara televisi.
Kategori dalam % S TS TMP 73 21 6
Berdasarkan tabel di atas, pengaruh televisi sebagai media hiburan cukup besar, yaitu 73%. Data di atas juga menunjukkan bahwa pengaruh televisi dapat bersifat positif maupun negatif. Pengaruh positif bagi mahasiswa ketika menonton televisi adalah diperolehnya berbagai macam informasi yang aktual dan faktual. Namun, jika tidak selektif dalam menonton televisi, mahasiswa dapat terjerumus pada hal-hal yang bersifat hiburan semata sehingga kehilangan waktu untuk belajar. Analisis Dokumen Strategi Pengembangan Budaya Baca Untuk membangun budaya baca, mahasiswa memerlukan strategi tertentu. Strategi membaca pemahaman pada dasarnya adalah siasat agar ketika membaca dapat memahami isi teks, mampu mengkritisi isi teks, mampu menginterpretasi maksud penulis teks, dan mampu mencipta teks baru berdasarkan teks yang dibacanya. Beberapa strategi membaca dapat dikaji sebagai berikut. Pertama, strategi terstruktur dan strategi mandiri (UT, 2014). Strategi terstruktur masih menekankan peran dosen melalui perkuliahan, yaitu (a) pemelajaran dipandu oleh dosen, (b) terjadi tatap muka, dan (c) tersedia buku teks. Strategi mandiri menuntut aktivitas pembaca untuk belajar secara mandiri, yaitu (a) memiliki disiplin diri, (b) mampu berinisiatif, (c) memiliki motivasi belajar yang kuat, (d) mampu mengatur waktu secara efisien untuk belajar, dan (e) biasanya tersedia modul (media cetak) maupun noncetak (audio/video, komputer/ internet, siaran radio, dan televisi). Strategi ini kurang tepat diterapkan bagi mahasiswa karena aktivitas membaca masih membutuhkan panduan dosen. Kedua, strategi SQ3R (Andrew, 2008) menuntut pembaca memulai kegiatan membaca dengan (a) Survey, yaitu mengidentifikasi unsur-unsur teks yang dibacanya, seperti judul buku, nama pengarang, daftar isi, jumlah bab, topik setiap bab, indeks, daftar pustaka, (b) Question, yaitu menyusun daftar pertanyaan yang dipikirkan oleh pembaca sebelum membaca buku, seperti (i) apa yang dibahas oleh pengarang dalam buku, (ii) dasar teori apa yang digunakan oleh pengarang dalam menulis buku, (iii) apa kelebihan yang dimiliki oleh buku yang akan dibacanya, (iv) unsur kebaruan apa yang terdapat dalam buku, dan sebagainya, (c) Read, yaitu membaca bahan. Dalam membaca bahan, pembaca harus berusaha memahami (i) arti kata sukar, idiom, ungkapan, (ii) memahami makna tersurat, (iii) memahami makna tersirat, (iv) menyimpulkan isi bacaan, (v) mengevaluasi bacaan baik dari aspek isi, organisasi, maupun bahasa yang digunakan dalam bacaan, (vi) menangkap maksud penulis, dan (vii) membuat prediksi setelah bacaan dibaca oleh pembacanya, (d) Resite, yaitu melakukan tanya jawab mengenai isi bacaan, dan (e) Review, yaitu mengulas keseluruhan isi bacaan dengan menggunakan rumusan bahasa sendiri. Strategi ini kurang tepat diterapkan untuk mahasiswa karena tahap-tahap kegiatannya masih terlalu elementer. Ketiga, strategi PQ4R memiliki aktivitas pembaca mirip dengan SQ3R tetapi lebih ditekankan pada kegiatan pembaca untuk membuat elaborasi isi bacaan (Thomas and Robinson, 1972). Kegiatan PQ4R mencakup (a) Preview (membaca selintas dengan cepat), (b) Question
166
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
(bertanya), (c) Read, (d) Refleksi, (e) Resite (melakukan tanya jawab), dan (f) Review (mengulang secara menyeluruh isi bacaan menggunakan rumusan bahasa sendiri) (Trianto, 2007). Strategi ini kurang tepat diterapkan untuk mahasiswa karena tahap-tahap kegiatannya masih masih sama dengan SQ3R. Keempat, strategi KWL (Ogle,1986) sebagai singkatan dari What I Know (apa yang ingin saya ketahui), What Do I Want to Learn (apa yang ingin saya pelajari), dan What I Learned (apa yang telah saya pelajari). Renaldi (2002) menyatakan bahwa K-W-L berguna untuk penjelajahan sebuah topik dan isi bacaan secara cepat. Keistimewaan K-W-L ialah memungkinkan pembaca menjajaki sebuah topik melalui multiple perspective. Strategi ini menekankan pada pentingnya latar belakang pengetahuan pembaca. Langkah pemelajaran menggunakan KWL adalah sebagai berikut. Pertama, langkah What I Know mencakup empat langkah, yaitu (a) membimbing mahasiswa menyampaikan ide-ide tentang topik bacaan yang akan di baca, (b) mencatat ide-ide mahasiswa tentang topik yang akan dibaca, (c) mengatur diskusi tentang ide-ide yang diajukan mahasiswa, dan (d) memberikan stimulus atau penyelesaian contoh mengenai kategori ide. Kedua, langkah What Do I Want to Learn mencakup dua langkah, yaitu (a) membimbing mahasiswa untuk mengajukan pertanyaan yang terkait dengan topik bacaan, dan (b) membimbing mahasiswa untuk membuat skala prioritas tentang pertanyaan-pertanyaan yang benar-benar mereka inginkan jawabannya. Ketiga, langkah What I Learned, dosen membimbing mahasiswa menuliskan kembali apa yang telah dibaca dengan bahasanya sendiri. Strategi ini cocok diterapkan untuk mahasiswa karena aktivitasnya ditekankan pada tumbuhnya kesadaran untuk mengetahui alasan “mengapa seseorang harus belajar” dan “tahu apa yang harus dipelajari”. Kelima, strategi MURDER (Kagan dan Kagan, 2009) merupakan salah satu strategi membaca yang cocok untuk belajar mandiri bagi mahasiswa. MURDER merupakan singkatan dari Mood–Understand–Recall–Digest–Expand dan Review. Mood (suasana hati) maksudnya berusaha menciptakan suasana hati yang lebih tenang. Pembaca berusaha mengenali materi agar timbul rasa senang pada materi yang dibacanya. Pembaca juga berusaha menciptakan suasana senang setiap kali membaca. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memilih waktu yang tepat, memilih lingkungan yang nyaman, dan menyesuaikan belajar dengan suasana hati masingmasing. Understand (pemahaman) maksudnya pembaca mulai membaca keseluruhan materi kemudian memberi tanda kata atau kalimat yang tidak dimengerti artinya. Pembaca kemudian berusaha mencari tahu melalui sumber-sumber tertentu (kamus atau bertanya kepada teman, dosen, atau pihak lain). Recall (ulangi) maksudnya materi yang sudah dibaca diulangi berkalikali dengan membuat rangkuman dengan kata-kata sendiri. Digest (telaah) maksudnya membaca kembali rangkuman yang dibuat dan jika belum paham mencari penjelasan lebih lanjut pada narasumber. Expand (kembangkan) maksudnya materi yang sudah dirangkum kemudian dicoba dikembangkan dengan cara menerapkan pada kehidupan nyata sehari-hari, misalnya, dicoba diterapkan dalam perkuliahan sambil mencacat apa sajakah kekurangannya. Cara lain dapat juga diterapkan, misalnya membuat daftar pertanyaan untuk dijawab sendiri. Review (pelajari kembali) maksudnya setiap materi yang pernah dipelajari kemudian diulang lagi berkali-kali agar dapat terserap dalam memori jangka panjang sehingga tidak lupa. Strategi ini cocok diterapkan bagi mahasiswa yang sudah mulai banyak belajar secara mandiri karena setiap langkah terdapat kegiatan yang mengharuskan mahasiswa melakukan pendalaman materi yang dibacanya.
167
Pranowo, Antonius Herujiayanto
Berdasarkan beberapa strategi memahami isi teks di atas, butir penting dalam setiap strategi yang dapat dicatat adalah (a) mahasiswa harus dibimbing agar dapat belajar secara mandiri. Mahasiswa dibiasakan berdisiplin, mampu berinisiatif, memiliki motivasi belajar yang kuat, dan mampu mengatur waktu secara efisien untuk belajar. Semua itu dilakukan untuk menciptakan mood agar tercipta suasana hati yang positif terhadap materi yang akan dipelajari, (b) mahasiswa mampu menangkap berbagai informasi dengan cara mengulangi materi yang pernah dibaca, yaitu dengan cara membuat ringkasan, menelaah dan mencari informasi yang belum dipahami, lalu mencoba menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, mempelajari kembali materi yang pernah dipelajari agar semakin teringat isinya, dan (c) mahasiswa melakukan survey, mengajukan pertanyaan, bertanya jawab isi bacaan, dan mengulang secara menyeluruh isi bacaan dengan bahasa sendiri. Berdasarkan kajian di atas, strategi yang dibutuhkan adalah sejenis strategi K-W-L dan MURDER yang lebih difokuskan pada kegiatan (a) menangkap makna tersurat dan tersirat, (b) menangkap maksud yang ingin disampaikan oleh penulis melalui bacaan, (c) menarik kesimpulan atas teks yang dibacanya, (d) membuat prediksi yang mungkin terjadi setelah bacaan dibacanya, (e) mengevaluasi bacaan, baik evaluasi isi maupun bahasa, (f) mengulas isi bacaan dengan bahasa sendiri, dan (g) mengkreasi beberapa bacaan yang telah dibacanya menjadi satu bacaan baru. Strategi inilah yang tepat dipergunakan untuk pemelajaran membaca pemahaman agar budaya baca mahasiswa berkembang. Jika kedua strategi tersebut telah dimiliki oleh mahasiswa, dan secara terus-menerus dipraktikkan dalam kegiatan belajar, secara perlahan budaya baca akan tumbuh di kalangan mahasiswa. PEMBAHASAN Pembentukan budaya baca bagi mahasiswa ternyata ditentukan oleh banyak faktor. Atas dasar hasil analisis data, ternyata dari delapan faktor terdapat tujuh faktor internal yang memberikan kontribusi 50% ke atas terhadap pembentukan budaya baca. Dari ketujuh faktor tersebut jika diurutkan dari faktor yang memberi kontribusi terbesar adalah (a) faktor manfaat membaca memberikan kontribusi sebesar 82%, (b) faktor motivasi memberikan kontribusi sebesar 67%, (c) faktor pengaruh kondisi emosi memberikan kontribusi sebesar 83,5%, (d) faktor pengetahuan yang dimiliki sebelumnya memberikan kontribusi sebesar 67%, (e) faktor intelegensi memberi kontribusi sebesar 61%, (f) faktor minat memberikan kontribusi sebesar 56,2%, dan (g) faktor cara membaca memberi kontribusi sebesar 55%. Sementara itu, dari lima faktor eksternal yang memberikan kontribusi 50% ke atas dalam pembentukan budaya baca sebanyak 3 faktor, yaitu (a) faktor kesulitan bahan bacaan memberi kontribusi sebesar 75%, (b) faktor pengaruh televisi sebagai media hiburan memberi kontribusi sebesar 73%, dan (c) faktor pengaruh budaya lisan memberi kontribusi sebesar 61%. Ketujuh faktor internal dan tiga faktor eksternal tersebut jika benar-benar dipertimbangkan dalam pemelajaran membaca pemahaman akan sangat membantu pembentukan budaya baca mahasiswa. Namun, meskipun faktor-faktor tersebut telah memperlihatkan kontribusinya masing-masing, jika pemelajaran membaca pemahaman tidak diberi porsi memadai, budaya baca tidak dapat terwujud. Begitu juga, atas dasar kajian teoretis, strategi yang cocok untuk pemelajaran membaca pemahaman bagi mahasiswa agar dapat menumbuhkan budaya baca adalah strategi K-W-L dan strategi MURDER. Kedua strategi tersebut memiliki kontribusi dalam pembentukan budaya
168
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
baca karena pemelajaran membaca pemahaman difokuskan pada kegiatan (a) menangkap makna tersurat dan tersirat, (b) menangkap maksud yang ingin disampaikan oleh penulis melalui bacaan, (c) menarik kesimpulan atas teks yang dibacanya, (d) membuat prediksi yang mungkin terjadi setelah bacaan dibacanya, (e) mengevaluasi bacaan, baik evaluasi isi maupun bahasa, (f) mengulas isi bacaan dengan bahasa sendiri, dan (g) mengkreasi beberapa bacaan yang telah dibacanya menjadi satu bacaan baru. Oleh karena itu, jika keenam fokus tersebut secara terus-menerus dipraktikkan dalam pemelajaran membaca pemahaman, secara perlahan mahasiswa akan tumbuh budaya bacanya. Namun, jika fokus itu dilakukan secara tidak teratur, meskipun pemelajaran membaca pemahaman menggunakan kedua strategi tersebut, budaya baca tidak akan terbentuk. KESIMPULAN Atas dasar uraian di atas, dapat dipetik beberapa butir kesimpulan sebagai berikut. Pertama, sasaran pengembangan budaya baca adalah mahasiswa dengan pertimbangan bahwa (a) aktivitas mahasiswa setiap hari berkaitan dengan aktivitas keilmuan, (b) tidak lama lagi mahasiswa setelah lulus akan memasuki dunia kerja yang selalu bergulat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, (c) meskipun belum menjadi budaya baca, aktivitas mahasiswa adalah membaca untuk menyerap dan mengkritisi informasi, dan (d) pengembangan budaya baca mahasiswa akan lebih mudah karena bekal minat baca yang dimiliki oleh mahasiswa relatif lebih baik sehingga tinggal “membesut” untuk menjadi budaya baca. Kedua, banyak faktor yang dapat membantu terbentuknya budaya baca. Faktor internal yang perlu terus-menerus mendapat perhatian adalah manfaat membaca, memperkuat motivasi, menjaga agar kondisi emosi tetap stabil, memperluas pengetahuan yang dimiliki sebelumnya, memperhatikan intelegensi, terus-menerus menumbuhkan minat, dan memperhatikan cara membaca. Sementara itu, faktor eksternal yang perlu terus diperhatikan adalah memperhatikan faktor kesulitan bahan bacaan, menjaga pengaruh televisi yang hanya dimanfaatkan sebagai media hiburan, dan mengurangi pengaruh budaya lisan yang masih mendominasi mahasiswa. Ketiga, untuk membangun budaya baca diperlukan strategi membaca agar memperoleh hasil membaca secara optimal. Strategi yang dipilih adalah strategi K-W-L dan strategi MURDER. Jika kedua strategi tersebut dipraktikkan secara terus-menerus akan dapat meningkatkan kemampuan membaca pemahaman dan dapat mengembangkan budaya baca. CATATAN * Penulis berterima kasih kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan makalah ini.
DAFTAR RUJUKAN Anderson, L.W. dan Krathwohl, D.R. (Ed.). (2001). A taxonomy for learning, teaching, and assessing: A revision of Bloom's Taxonomy of educational objectives. New York: David McKay. Andrew, B.A. (2008). Improving marketing students, reading comprehension with the SQ3R method. Journal of Marketing Education, 30(2), 130-137.
169
Pranowo, Antonius Herujiayanto
Baier, R.J. (2005). Reading comprehension and reading strategies (5th edition). The Graduate School University of Wisconsin-Stout. American Psychological Association. Bloom, B.S., Engelhart, M., Furst, E., Hill, W., dan Krathwohl, D. (1956). Taxonomy of educational objectives: The classification of educational goals. Handbook 1: Cognitive domain. New York: Longmans, Green. Burns, M.K., Dean, V.J., dan Foley, S. (2004). Preteaching unknown key words with incremental rehearsal to improve reading fluency and comprehension with children identified as reading disabled. Journal of School Psychology, 42, 303-314. Dunn, K.E. dan Mulvenon, S.W. (2009). A critical review of research on formative assessment: The limited scientific evidence of the impact of formative assessment in education. Practical assessment, research & evaluation, 14(7). Fisher, A. (2008). Berpikir kritis: Sebuah pengantar. Jakarta: Erlangga. Hagaman, J.L., Luschen, K., dan Reid, R. (2010). The “rap” on reading comprehension”. Teaching exceptional children, 42(4), 22-28. Human Development Index (HDI). (2009). http://hdr.undp.org/sites/default/files/ reports/14/ hdr2013_en_complete.pdf. Johnson, E.B. (2007). Contextual teaching and learning. Bandung: Mizan Media Utama. Jones, R. (2007). Strategies for reading comprehension: Summarizing. Diunduh tanggal 29 Januari 2008 dari http://www.readingquest.org/strat/summarize.html. Kagan, S. dan Kagan, M. (2009). Kagan cooperative learning. San Clemente, California: Kagan Publishing. Moore, C. dan Lo, L. (2008). Reading comprehension strategy: Rainbow dots. The Journal of the International Association of Special Education, 9(1), 124-127. Ogle, D.M. (1986). “K-W-L: A teaching model that develops active reading of expository text. The Reading Teacher, 39(6), 564–570. doi: 10.1598/RT.39.6.11. Pranowo. (2012). Konsep dasar CTL dalam pemelajaran bahasa Indonesia. Makalah. Yogyakarta: PBSI, FKIP, USD. Rahim, F. (2011). Strategi know-want to know-learned (KWL). Jakarta: Bumi Aksara. Ridge, A. dan Skinner, C. (2010). Using the TELLS reading procedure to enhance comprehension levels and rates in secondary students. Psychology in the Schools, 48, 46-58. Sapir, E. (1921). Language an introduction to study of speech. New York: Brace and Co. Soedarso. (2001). Speed reading sistem membaca cepat dan efektif. Jakarta: Gramedia. Stern, H.H. (1971). Psycholinguistics and second language teaching. Dalam H.H. Stern (Ed.), Perspectives on second langauge teaching, 47-56. Toronto: Ontario Institut for Studies in Education. Tarigan, H.G. (2008). Membaca sebagai suatu keterampilan berbahasa. Bandung: Angkasa.
170
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Tompkins, G.E. (2014). Reading comprehension factors. Pearson Allyn Bacon Prentice Hall. Trianto. (2007). Model-model pemelajaran inovatif berorientasi konstruktivistik. Jakarta: Katalog dalam Terbitan. UNESCO. (2009). Organisasi pengembangan kerja sama ekonomi. Diunduh dari http:// en.unesco.org/ themes/education-21st-century. UNESCO. (2012). http://www.unesco.org/new/en/unesco/about-us/. Universitas Terbuka. (2014). Strategi mandiri di Universitas Terbuka. Jakarta: UT.
171
Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 173-192 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 2
PERGESERAN SISTEM PEMBENTUKAN KATA BAHASA INDONESIA: KAJIAN AKRONIM, BLENDING, DAN KLIPING M. Zaim* Universitas Negeri Padang
[email protected] Abstrak Artikel ini bertujuan untuk mendiskripsikan aturan pembentukan kata dan pergeseran pembentukan kata, khususnya pada akronim, blending, dan kliping dalam bahasa tulis bahasa Indonesia. Data diambil dari beberapa surat kabar dan majalah yang terbit secara nasional maupun lokal di Indonesia. Temuan penelitian menunjukkan bahwa terjadi pergeseran pembentukan kata pada akronim, blending, dan kliping. Pergeseran terjadi pada penyerapan akronim, blending, dan kliping yang berasal dari bahasa asing. Selain itu terjadi pula berbagai ubah bentuk pada akronim, unsur bagian kata yang digabung pada blending, dan unsur kata yang dipenggal pada kliping. Kata kunci: pembentukan kata, akronim, blending, kliping
Abstract This article aims at describing word formation rules, and word formation shift on acronym, clipping, and blending found in written language of bahasa Indonesia. Data were taken from selected newspaper and magazines published nationally and locally in Indonesia. The findings indicates that there are some shifts in the Indonesian word fomation rules of bahasa Indonesia especially for acronym, blending, and clipping. The shift occurs in the absorption of acronyms, blendings, and clippings of foreign languages. Apart from that, there is a variety of changes to the new forms of acronyms, blendings, and clippings. Keywords: word formation, acronym, blending, clipping
PENDAHULUAN Munculnya kata-kata baru bahasa Indonesia melalui proses pemendekan, seperti akronim, blending, dan kliping, telah memberi warna pada gejala pembentukan kata bahasa Indonesia. Warna baru yang muncul adalah kecenderungan untuk menjadikan pemendekan itu menjadi kata yang mudah dibaca dan memberi kesan tertentu bagi pendengarnya. Gejala seperti ini merupakan cerminan pengaruh perubahan sosial budaya masyarakat yang muncul pada perilaku berbahasa mereka. Masyarakat yang dulu patuh dengan aturan yang ditetapkan cenderung melakukan pemberontakan terhadap batasan-batasan yang diberikan sehingga tingkah laku kebahasaan mereka pun keluar dari aturan kelaziman yang ada. Akronim, blending, dan kliping sebagai proses pembentukan kata baru tidak lagi mengikuti pola dasar yang sudah baku, tetapi cenderung mengutamakan bunyi yang bagus atau enak didengar sehingga mudah diingat oleh pendengar. Dengan sifat bahasa yang arbitrer, kemunculan kosakata baru dimungkinkan karena ada setiap saat dan dapat dilakukan oleh siapa saja dari penutur bahasa tersebut. Kearbitreran bahasa mengundang penutur yang kreatif menciptakan hal-hal yang baru. Hal ini biasanya muncul
M. Zaim
karena bermula dari keisengan penutur. Kemudian, karena enak didengar dan sesuai dengan konteks pembicaraan, kata iseng tersebut lalu digunakan oleh penutur lain. Akhirnya, ungkapan baru itu tersebar dan digunakan oleh kelompok tersebut dalam tulisannya maupun percakapannya. Perkembangan bahasa tidak terlepas dari perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dengan kata lain, perubahan sosial akan berpengaruh pada bentuk-bentuk bahasa yang digunakan. Hal ini tidak terlepas dari sifat bahasa yang merupakan fenomena sosial. Oleh karena itu, bahasa tidak akan statis. Perubahan-perubahan yang terjadi bukan hanya karena ketidakpuasan akan bahasa yang ada, melainkan juga lebih cenderung untuk mencari sesuatu yang baru yang berbeda dari apa yang ada saat itu. Kaum remaja, sebagai kelompok pengguna bahasa generasi baru, mempunyai kreativitas tersendiri dalam berkomunikasi, baik sesama remaja maupun dengan orang yang lebih tua atau lebih muda umurnya. Banyak istilah baru yang muncul dalam berkomunikasi. Kadang-kadang mereka menggunakan istilah baru yang dikembangkan dari kosakata lama yang mereka miliki. Fenomena ini perlu dicermati, terutama untuk pengembangan ilmu bahasa (linguistik). Zaim (2008 dan 2009) dalam tulisannya tentang pembentukan kata bahasa Indonesia di media surat kabar menyatakan bahwa kemunculan akronim dalam headline surat kabar adalah sebagai upaya efisiensi komunikasi. Pembentukan kata baru ini tidak hanya muncul dalam bahasa tulis, tetapi juga dalam bahasa lisan seperti acara di televisi dan radio. Secara teoritis, pembentukan kata merupakan kajian morfologi bahasa, yaitu kajian unsur terkecil yang mempunyai makna. Penggabungan dari dua atau lebih unsur yang mempunyai makna akan membentuk konstruksi baru dengan makna gabungan dua atau lebih unsur yang ada atau makna baru yang terlepas dari makna unsur yang membentuknya. Inilah unsur bahasa yang disebut kata (word). Ketika digunakan dalam berkomunikasi, kata itu akan dipengaruhi oleh lingkungan pengguna bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, di dalam sosiolinguistik ada istilah register, kata-kata yang digunakan dalam konteks penutur tertentu yang hanya muncul dan mempunyai makna dalam konteks tersebut. Pembentukan kata dalam bahasa Indonesia diatur dalam Pedoman Umum Pembentukan Istilah sebagai lampiran II dari Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Moeliono, 1988; Alwi dkk. et al., 2003; Pusat Bahasa, 2007). Di dalam buku ini dijelaskan aspek tata bahasa peristilahan yang mencakup penggunaan kata dasar, pengimbuhan, pengulangan, dan penggabungan. Buku lainnya, Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing cenderung hanya menjelaskan bagaimana garis haluan penggantian kata dan ungkapan asing ke dalam bahasa Indonesia (Sugono, 2009). Selain itu ada juga buku lain yang membahas tentang pembentukan kata, yaitu Pedoman Umum Ejaan bahasa Indonesia Yang Disempurnakan terbitan Pusat Bahasa (2004) yang mengatur cara penulisan singkatan dan akronim. Jadi, penjelasan tentang pembentukan kata bahasa Indonesia dibahas secara terpisah dalam beberapa buku terbitan Pusat Bahasa. Dibandingkan dengan teori pembentukan kata (word formation/lexical formation), seperti diungkapkan oleh beberapa ahli tatabahasa (lihat McManis dkk., 1987; Katamba, 1993; Booij, 2007; Lieber, 2009; Zaim, 2009), penjelasan tentang pembentukan kata bahasa Indonesia belum memadai, apalagi kalau dilihat dari maraknya perkembangan pembentukan kata baru oleh pengguna bahasa Indonesia saat ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian yang komprehensif tentang sistem pembentukan kata bahasa Indonesia berdasarkan penggunaan bahasa oleh penuturnya.
174
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana sistem pembentukan kata bahasa Indonesia tulis, khususnya akronim, blending, dan kliping? (2) Bagaimana pergeseran sistem pembentukan kata bahasa Indonesia tulis, khususnya pada akronim, blending, dan kliping? TINJAUAN PUSTAKA Pembentukan Kata Pembentukan kata baru dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mengubah kata yang sudah ada atau menciptakan kata yang betul-betul baru. Pembentukan kata yang paling lazim adalah mengubah kata yang ada menjadi bentuk kata baru. Sangat jarang kita jumpai kata baru yang muncul itu betul-betul baru dalam pengertian bukan pinjaman atau ubahan dari kata yang sudah ada, baik dalam bahasa itu maupun dari bahasa lain. Pengubahan yang paling lazim dilakukan adalah dengan afiksasi. Afiks mempunyai fungsi gramatika, yaitu mempunyai kesanggupan mengubah kelas kata. Di samping itu, afiks juga mempunyai kesanggupan mengubah makna kata (Sutawijaya, 1996). Dengan kata lain, apabila afiks melekat pada bentuk dasar, dia memiliki fungsi tertentu, yaitu fungsi gramatika dan fungsi semantik. Dalam bahasa Indonesia, selain afiksasi, pengubahan kata bisa juga dilakukan dengan reduplikasi, pemajemukan, dan abreviasi. Booij (2007) menyatakan bahwa secara tradisional pembentukan kata terdiri atas dua macam, yaitu derivasi (derivation) dan pemajemukan (compounding). Menurut Booij, pengguna bahasa juga dapat membuat kata baru (word creation atau word manufacturing) dengan cara singkatan (blends), akronim (acronyms), alphabetisms, dan pemenggalan (clipping). Sementara itu, McManis dkk. (1987) menyatakan bahwa ada lima jenis pembentukan kata dalam berbagai bahasa, yaitu compounding, affixation, reduplication, morpheme internal change, dan suppletion. Dalam bahasa Inggris, menurut McManis dkk. (1987), ada sepuluh jenis pembentukan kata, yaitu derivation, compounding, acronyms, backformation, blending, clipping, coinage, functional shift, morphological misanalysis, dan proper names. Lieber (2009) menggunakan istilah “Lexeme Formation” untuk makna pembentukan kata. Menurut Lieber, ada tujuh jenis pembentukan kata, yaitu derivation, affixation, compounding, conversion, coinage, blending, dan backformation. Istilah “conversion” sama dengan functional shift, menurut McManis dkk. (2007). Jenis pembentukan kata Lieber ini lebih sedikit dibanding McManis. Abreviasi Dari berbagai bentuk sistem pembentukan kata di atas, abreviasi merupakan proses pembentukan kata baru yang paling banyak digunakan oleh pengguna bahasa. Hampir setiap hari kita menemukan abreviasi baru dalam surat kabar, majalah, dan media masa lainnya serta percakapan lisan sehari-hari. Abreviasi adalah proses penanggalan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga jadilah bentuk baru yang berstatus kata. Abreviasi bertujuan untuk menghasilkan sebuah bentuk yang lebih singkat dari bentuk aslinya. Dalam bahasa Indonesia abreviasi itu dapat berwujud singkatan, penggalan, akronim, kontraksi, dan lambang huruf (Sutawijaya, 1996). Abreviasi diciptakan untuk kepraktisan dalam berbahasa. Sebuah ungkapan yang panjang dan maksud keseluruhannya sulit ditangkap dapat disampaikan secara praktis dan lebih
175
M. Zaim
komunikatif dengan menggunakan abreviasi. Kepraktisan dan kekomunikatifan penggunaan abreviasi akan terasa jika abreviasi itu sudah menjadi sesuatu yang sangat populer, seperti PRRI, Tabanas, Sembako, Narkoba dan sebagainya. Kata-kata ini sudah terasa sebagai sebuah kata yang mempunyai referensi langsung dengan yang dilambangkannya tanpa melalui pemahaman terhadap kepanjangannya. Istilah lain untuk abreviasi adalah kependekan. Kependekan, menurut Kridalaksana, (1983), adalah bentuk kata atau frase yang diringkaskan yang dipakai di samping bentuk panjangnya. Jenis-jenis kependekan adalah akronim, kontraksi, lambang huruf, penggalan, dan singkatan. Moeliono (1988) dan Alwi dkk. (2003) membagi kependekan ini atas dua jenis, yaitu singkatan dan akronim. Singkatan dinyatakan sebagai bentuk yang dipendekkan yang terdiri dari satu huruf atau lebih. Singkatan dapat berupa singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan atau pangkat (misalnya Muh. Yamin, M.Hum, Bpk., Kol.), singkatan nama resmi lembaga pemerintah, badan atau organisasi, serta nama dokumen (misalnya DPR, PGRI, KTP), singkatan umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih (misalnya dll., dsb.), lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang (misalnya Cu, cm, l, kg, Rp). Akronim dinyatakan sebagai singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata. Dari segi pembentukannya ada dua jenis akronim, yaitu: (1) akronim yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata (misalnya SIM, UNP), (2) akronim yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata (misalnya Bappenas, Sespa). Dari penjelasan ini kelihatannya Moeliono memasukkan istilah penggalan ke dalam kelompok singkatan. Dalam bahasa Inggris sendiri dibedakan antara akronim (acronym), singkatan (blending), dan pemenggalan (clipping) (McManis dkk., 1987). Selanjutnya, Moeliono (1988) dan Alwi dkk. (2003) menambahkan bahwa dalam membentuk akronim perlu diperhatikan syarat-syarat berikut: (1) jumlah suku kata akronim jangan melebihi jumlah suku kata Indonesia yang lazim dan (2) akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim. Zaim (2000, 2001, 2008) telah mencoba menelusuri pembentukan kata bahasa Indonesia mutakhir dalam berita surat kabar terbitan Padang. Dari kata-kata baru yang muncul akhir-akhir ini, bentuk akronim (acronym) dan singkatan (blending) merupakan gejala yang kerap muncul. Bentuk-bentuk ini bervariasi kemunculannya, dalam arti ada yang patuh dengan kaidah yang ada dan banyak pula yang menyimpang dari kaidah yang ada. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan istilah blending untuk mengacu pada istilah singkatan dan kliping untuk istilah pemenggalan. Akronim Akronim adalah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlukan sebagai kata (Meliono, 1988; Alwi dkk., 2003). Pengertian akronim di sini terlalu umum sehingga semua bentuk kependekan dapat dikategorikan ke dalam akronim. McManis dkk. (1987) membedakan antara akronim (acronym), singkatan (blending), dan penggalan (clipping). Menurut McManis, Acronyms are those words that are formed by taking the initial sounds (or letters) of the words of a phrase and uniting them into a combination which is itself pronounceable as a separate word. For examples: laser (light
176
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
amplification through the stimulated emission of radiation), and radar (radio detection and ranging). Blending is a combination of the parts of two words, usually the beginning of one word and the end of another. For examples, smog from smoke and fog, and brunch from breakfast and lunch. In clipping, we shorten words without paying attention to the derivational morphology of the words (or related words). For examples, exam has been clipped from examination, and dorm from dormitory. Akronim dalam pengertian ini adalah singkatan yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata yang ada. Bentuk akronim baru yang ditemukan rata-rata mematuhi aturan yang ada, yaitu mengambil huruf pertama dari setiap kata yang diakronimkan. Dalam bahasa Indonesia contohnya adalah: PIL (pria idaman lain), WIL (wanita idaman lain), BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), IKR (Instalasi Kabel rumah), KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan), HAKI (hak atas kekayaan intelektual), dsb. Pengembangan dari bentuk ini adalah dengan menambahkan angka apabila muncul dua atau lebih huruf sama yang berdampingan, misalnya: KP3T (Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM Tanjung Priok), B3 (bahan berbahaya dan beracun). Namun, penggunaan angka ini kadangkadang meragukan karena digunakan juga untuk menunjukkan maksud lain, misalnya: PPD2 (Panitia Pemilihan Daerah Tingkat 2). Jadi, angka 2 di sini menunjukkan tingkat 2, bukan huruf D-nya yang dua, seperti huruf P pada contoh KP3T (Zaim, 2008). Akronim yang muncul belakangan ini tidak mempertimbangkan jumlah huruf yang diakronimkannya, misalnya beberapa akronim berikut ini: PP PTHKTI (Pengurus Pusat Pemuda Tani Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), PT PLN-PJB II (Pembangkit Tenaga Listrik Jawa Bali II), Menneg PM/PBUMN (Menteri Negara Penanaman Modal/Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara), dsb. Gejala baru yang muncul dalam membuat akronim ini adalah tidak selalu harus menuliskan huruf awal kata itu seperti adanya, tetapi justru menuliskan salah satu hurufnya seperti pelafalannya, misalnya: ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat). Gejala ini juga nampak pada akronim ELTEHA (alih-alih LTH) (Zaim 2001). Gejala lain adalah mencampurkan huruf besar (kapital) dengan huruf kecil. Hal ini terutama untuk menghindari akronim yang sama dalam bidang yang sama. Misalnya, PPn untuk akronim dari Pajak Pertambahan Nilai, sementara PPnBM untuk akronim dari Pajak Penjualan Barang Mewah. Kenapa tidak PPBM saja? Ada beberapa akronim yang berasal dari bahasa asing yang dipertahankan pemakaiannya, misalnya pada akronim LoI (letter of intent), MoU (memorandum of understanding). Bahkan, pada akronim IMF, meskipun sudah ada padanan kata Indonesianya “Dana Moneter Internasional”, tetap saja akronim IMF digunakan untuk mengacu kepada lembaga keuangan dunia tersebut, tidak ada keinginan untuk menggantinya menjadi DMI, seperti yang dilakukan pada penyingkatan PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) sebagai pengganti dari UN (United Nations). Akronim tidak hanya digunakan untuk menyatakan nama diri atau institusi, tetapi dapat juga digunakan untuk menyatakan ungkapan-ungkapan khusus. Misalnya: memang disingkat menjadi mm (em-em), pendekatan menjadi pdkt (pedekate).
177
M. Zaim
Blending Blending dalam pengertian ini adalah bentuk singkatan berupa gabungan suku kata atau huruf dan suku kata dari deret kata yang ada. McManis dkk. (1987) menjelaskan bahwa pada dasarnya blending merupakan gabungan suku kata awal kata pertama dengan suku kata akhir kata kedua seperti brunch yang berasal dari kata breakfast dan lunch. Dalam bahasa Indonesia ditemukan blending berikut, Polantas = polisi lalu lintas Ada kecendrungan bahwa pada blending tidak semua unsur kata yang disingkat terwakili. Unsur huruf dan suku kata yang diambil hanyalah yang dapat membuat singkatan yang enak diucapkan serta enak didengar dan dapat dijadikan kata. Lihatlah contoh berikut ini: Organda = Organisasi Pengusaha Angkutan Darat Kontras = Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Galibu = Gerakan Lima Ribu Rupiah Unimed = Universitas Negeri Medan Contoh di atas menunjukkan bahwa blending cenderung dilakukan dengan mengambil unsur kata di mana saja, yang terpenting tercipta kata baru yang berkesan dan mudah diingat oleh pendengar. Blending juga dilakukan tanpa mengindahkan suku kata atau bukan suku kata, yang penting enak didengar dan agak asing untuk didengar. Misalnya, curhat (curahan hati), bigos (biang gossip), taplau (tapi lauik), dsb. Kliping Kliping adalah singkatan yang berupa pemenggalan satu kata dengan menyebut bagian yang dianggap bisa mewakili kata itu sendiri. Misalnya, laboratorium disingkat menjadi lab, bapak menjadi pak. Kliping seperti contoh tadi masih mempertimbangkan kata dasarnya. Namun, kliping sekarang cenderung seenaknya tanpa mengindahkan imbuhan yang ada, misalnya perpustakaan dipenggal menjadi perpus (gabungan bagian afiks per- dan bagian kata dasar pus). Dalam bahasa gaul, kliping biasanya disertai dengan sisipan tertentu, yang kelihatannya sudah menjadi kesepakatan. Misalnya, kata bapak dipenggal menjadi bap dan diberi sisipan – ok– setelah huruf awal penggalan kata tersebut sehingga muncul kata baru bokap. Lihatlah contoh kata bahasa gaul berikut ini: rokum, doku. Kedua kata ini kalau diambil sisipan –ok– nya akan menjadi rum (penggalan dari rumah), dan du (penggalan dari duit). Dengan rumus itu, amatlah mudah bagi anak gaul untuk membuat istilah baru dan memahami istilah baru yang dimunculkan berdasarkan konteks yang ada. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif adalah memerikan gejala bahasa seperti apa adanya. Pendeskripsian bahasa adalah menggambarkan bahasa sebagaimana adanya (Zaim, 2014). Dalam linguistik dikenal dengan linguistik deskriptif. Istilah ini bertentangan dengan linguistik preskriptif, mendeskripsikan bahasa sebagaimana seharusnya sesuai dengan ukuran yang ditetapkan untuk peristiwa kebahasaan tertentu yang dipandang baik dan benar (Sudaryanto, 1993).
178
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Objek penelitian ini adalah kata bentukan bahasa Indonesia. Data penelitian adalah kalimat yang di dalamnya terdapat kata bentukan. Sumber data penelitian ini adalah bahasa Indonesia tulis yang terdapat dalam berita dan artikel di surat kabar umum Kompas, Republika, Media Indonesia, surat kabar khusus Nova, Aneka, Sport, dan majalah berita dan hobi Tempo, Intisari, Pulsa. Alasan pemilihan ini adalah bahwa penggunaan bahasa Indonesia (BI) pada sumber-sumber itu mencerminkan penggunaan BI masa kini dengan segala persoalan kehidupan penuturnya. Dengan demikian, diperoleh data yang mencerminkan penggunaan pembentukan kata dengan semua tipe atau gejala kebahasaan. Dari sumber data penelitian ini diperoleh 861 data, terdiri atas 324 akronim, 411 blending, dan 126 kliping. Populasi penelitian ini adalah keseluruhan kalimat yang memiliki bentukan kata dalam BI dan digunakan oleh penutur BI. Teknik penyamplingan adalah teknik purposive sampling (sampling bertujuan). Sampel dipilih sesuai dengan tujuan untuk memperoleh data penelitian berupa kalimat-kalimat (tuturan) BI yang memiliki verba atau nomina afiksasi. Sampel penelitian ini adalah data yang menggambarkan penggunaan semua tipe pembentukan kata BI (populasi) dengan semua gejala morfologisnya. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak (Sudaryanto, 1993). Metode simak adalah cara memperoleh data dengan menyimak penggunaan bahasa yang diteliti. Istilah metode simak ini tidak hanya berkaitan untuk menyimak bahasa lisan, tetapi juga untuk menyimak bahasa tulis (Mahsun, 2005). Metode analisis yang digunakan adalah metode agih seperti yang dikemukakan Sudaryanto (1993), yaitu metode analisis yang alat penentunya bagian dari bahasa itu sendiri, yaitu unsur dari bahasa objek sasaran penelitian. Metode agih mempunyai teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar yang digunakan adalah teknik bagi unsur langsung (BUL), yang satuan lingual datanya dibagi menjadi beberapa unsur atau bagian. Unsur-unsur tersebut dianggap sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual data yang dianalisis (Zaim, 2009). Teknik ini digunakan untuk menjawab masalah penelitian 1 dan 2, yaitu sistem pembentukan kata dan pergeseran sistem pembentukan kata. HASIL DAN PEMBAHASAN Temuan penelitian ini mencakup dua hal, yaitu (1) sistem pembentukan kata bahasa tulis bahasa Indonesia pada akronim, blending, dan kliping, dan (2) pergeseran sistem pembentukan kata bahasa tulis bahasa Indonesia pada akronim, blending, dan kliping. Sistem Pembentukan Kata Bahasa Tulis Bahasa Indonesia pada Akronim, Blending, dan Kliping Secara umum, pembentukan kata bahasa tulis bahasa Indonesia (PKBT BI) pada akronim, blending, dan kliping dapat dikategorikan dalam dua cara, yaitu penyerapan bahasa asing dan ubah-bentuk dari kata yang ada. a. Penyerapan bahasa asing Penyerapan adalah pengambilan kosakata bahasa asing secara utuh menjadi kosakata bahasa Indonesia yang digunakan dalam bahasa tulis bahasa Indonesia. Penyerapan merupakan cara pembentukan kata bahasa tulis bahasa Indonesia (PKBT BI) yang kerap ditemukan dalam bahasa Indonesia. Kata-kata yang diserap pada umumnya berasal dari bahasa Inggris. Meskipun demikian, ditemukan juga pembentukan kata bahasa Indonesia melalui penyerapan kata bahasabahasa asing lain seperti bahasa Arab, bahasa Italia, dan bahasa Spanyol. Jenis PKBT BI
179
M. Zaim
melalui penyerapan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu penyerapan langsung (adopsi) dan penyerapan dengan penyesuaian (adaptasi). Namun, untuk akronim, bending, dan kliping, bentuk penyerapan yang ditemukan adalah penyerapan langsung (adopsi). Penyerapan langsung merupakan jenis pembentukan kata tanpa penyesuaian ejaan dan lafal. Artinya, baik ejaan maupun pengucapan kata-kata tersebut merujuk ke bahasa sumbernya. Penyerapan langsung dapat dilakukan dengan proses penyerapan kata berupa akronim, blending, dan kliping serta gabungan antara akronim, dengan blending atau kliping. 1. Penyerapan berupa akronim Penyerapan berupa akronim adalah pemungutan akronim kata asing dalam kalimat bahasa tulis bahasa Indonesia. Lihatlah contoh berikut ini. o o o
Payakumbuh pemenang MDGs Award 2012 (Padang Ekspres, 28 Maret 2013). Bolpoin ini menyediakan kapasitas simpan 1 GB, dapat menampung 1.000 gambar (Tempo, 11 Februari 2013). Indonesia mesti gunakan APEC; Ekspansi korporasi global ubah paradigm (Kompas, 27 Agustus 2013)
Pada kalimat di atas, kata MDGs, GB, dan APEC merupakan akronim dalam bahasa Inggris yang digunakan dalam bahasa tulis bahasa Indonesia. MDGs adalah akronim dari Millenium Development Goals, GB adalah akronim dari Giga Bite, dan APEC adalah akronim dari Asia Pacific Economic Countries. Hampir semua serapan akronim yang diperoleh merupakan kelas kata nomina, hanya satu di antaranya, yaitu yoy (year on year), yang merupakan kelas kata adverbia. WO WAGs IBX yoy
walk out wife and girlfriends Indonesia Broadcasting Expo year on year
2. Penyerapan berupa blending Penyerapan berupa kata blending adalah pemungutan kata asing yang telah mengalami proses penyingkatan (blending) dalam bahasa aslinya. Lihatlah contoh kalimat berikut ini. o o
Perkenalkan juga anak anda dengan netiquette atau etiket di dunia maya. (Nova, 4-10 Maret 2013). Bolpoin ini disertai fasilitas Wi-Fi dan USB (Tempo, 11 Februari 2013).
Kata “netiquette” dan “Wi-Fi” pada kalimat di atas merupakan bentuk blending dalam bahasa Inggris. Netiquette adalah blending dari network etiquette, dan Wi-Fi adalah blending dari wireless fidelity. Berikut ini beberapa kata blending lain yang ditemukan dalam kalimat bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Inggris. edutainment phablet
education entertainment phone tablet
3. Penyerapan berupa kliping Penyerapan berupa kliping adalah pemungutan kata asing yang telah mengalami proses pemenggalan (kliping) dalam bahasa aslinya. Lihatlah contoh kalimat berikut ini.
180
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
o o
Apa keuntungan prenup? (Nova, 11-17 Maret 2013) Spek Maxi, Harga Terjangkau. (Tabloid Pulsa, 13-26 Februari 2013)
Kata “prenup” merupakan bentuk kliping dari kata bahasa Inggris “prenuptial agreement”, dua kata yang dipenggal dengan menyisakan unsur kata awal yang pertama, sedangkan “Maxi” merupakan kliping dari “Maximum”. 4. Penyerapan berupa gabungan akronim dan kliping Penyerapan gabungan akronim dan kliping adalah pemungutan kata yang sudah melalui proses akronim dan kliping serta menjadi satu kata baru dan ditulis sebagai satu kata dalam bahasa Indonesia. Lihatlah contoh kalimat berikut ini. o
o
Namun, untuk bisa diterapkan, software ini masih perlu diuji coba menggunakan data real time supaya bisa diintegrasikan dengan InaTEWS milik BMKG (Tempo, 25 Februari 2013) Man-U memang memegang kendali permainan namun tak banyak membuat peluang dimana hanya empat on target dari 16 tembakan yang dibuat sepanjang laga (Singgalang, 18 Maret 2013)
InaTEWS merupakan singkatan dari Indonesia Tsunami Early Warning System. Proses pembentukannya adalah melalui kliping dan akronim. Kata “Indonesia” dipenggal/kliping menjadi “Ina” dan “Tsunami Early Warning System” diakronimkan menjadi TEWS, kemudian digabung menjadi kata InaTEWS (proses gabungan akronim dan kliping). Man-U adalah singkatan dari Manchester United. Proses pembentukannya adalah kata “Manchester” dipenggal/kliping menjadi “Man” dan kata “United” diambil huruf awal katanya saja ”U” (akronim) sehingga hasil bentukan kedua proses ini menjadi kata baru “Man-U”. b. Ubah Bentuk Meskipun banyak kata yang dibentuk dengan cara penyerapan dari bahasa asing, pembentukan kata dengan cara ubah bentuk dari kata yang sudah ada juga tidak dapat dikesampingkan. Dari hasil pengolahan data, ditemukan banyak kata yang dibentuk dengan cara ubah bentuk. Pembentukan kata baru bahasa tulis bahasa Indonesia (PKBT BI) dengan cara ini dibagi menjadi empat jenis, yaitu akronim, blending, kliping, dan gabungan akronim dan kliping atau blending. 1. Akronim Akronim merupakan jenis pembentukan kata dengan sistem penyingkatan kata melalui pengambilan inisial kata dari setiap kata yang disingkat. Penelitian ini menemukan beberapa variasi pembentukan kata dengan sistem akronim. Akronim dapat dilakukan dengan cara mengambil huruf-huruf awal dari setiap kata (inisiasi) dan dengan menggabungkan huruf-huruf awal kata dengan angka. a) Inisiasi huruf Akronim dengan cara mengambil inisiasi huruf (huruf awal) kata dapat berupa kata tunggal dan dapat pula berupa kata majemuk. Perhatikan kalimat berikut ini. o o
YOAI mengunjungi anak-anak penderita kanker di RSK Dharmais, Jakarta (NOVA, 18–24 Oktober 2013). BPK melakukan audit investigatif terhadap proyek PLIK (PULSA, 24 April–7 Mei 2013).
181
M. Zaim
Pada kalimat di atas, kata YOAI, RSK, BPK, dan PLIK merupakan akronim dalam bahasa Indonesia yang digunakan dalam bahasa tulis bahasa Indonesia. Sebagaimana yang terdapat di kalimat (10), YOAI adalah akronim dari “Yayasan Onkologi Anak Indonesia”, dan RSK adalah akronim dari “Rumah Sakit Kanker”. Sementara itu kata BPK di kalimat (11) adalah akronim dari “Badan Pemeriksa Keuangan”, dan kata PLIK adalah akronim dari “Pusat Layanan Internet Kecamatan”. Semua akronim di atas dibuat dengan cara mengambil huruf awal dari rangkaian kata yang diakronimkan. Berdasarkan kelas katanya, hampir semua akronim mempunyai kelas kata nomina (N), sementara hanya terdapat dua akronim, yang mempunyai kelas kata adjektiva (Adj) dan adverbia (Adv) seperti yang terdapat di kalimat berikut ini. o o
Mereka akan dibina dalam program yang bernama CIBI. (Republika, 9 April 2013) Produksi minyak sebesar 28 ribu bph. (Republika, 22 Maret 2013)
“CIBI” adalah akronim dari “Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa” dan “bph” adalah akronim dari “barel per hari”. Secara umum, akronim ditulis dengan menggunakan huruf kapital seperti yang terdapat di bawah ini, namun ada juga akronim yang ditulis dengan huruf kecil (lihat akronim “bph”). OTT (N) BOS (N) BPKP (N) CIBI (Adj) bph (Adv)
→ → → → →
operasi tangkap tangan bursa otomotif seken Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi cerdas istimewa dan bakat istimewa barel per hari
Dalam penyingkatan (proses menyingkat), kata yang berkelas kata preposisi (seperti kata untuk, dalam, atas, ataupun dan) sering tidak digunakan. Meskipun demikian, untuk tujuan tertentu, preposisi juga berperan dalam penyingkatan. Pada akronim FITRA (Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran), preposisi untuk tidak dilibatkan dalam penyingkatan; akan tetapi pada akronim SALUD (Solidaritas Anak Jalanan untuk Demokrasi), preposisi dilibatkan dalam penyingkatan. BPHTB DAUN FITRA DUIT KDRT
→ → → → →
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Dana Alokasi untuk Nagari Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran duit, usaha, ikhlas, dan tawakal kekerasan dalam rumah tangga
Sementara itu, ditemukan beberapa akronim dalam bentuk kata majemuk seperti yang terdapat di bawah ini. ATM BCA KTT APEC TP PKK KPU RI
→ → → →
Anjungan Tunai Mandiri Bank Central Asia Konferensi Tingkat Tinggi Asia Pasific Economic Cooperation Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan keluarga Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia
b) Inisiasi huruf dan angka Akronim juga dapat melibatkan huruf dan angka. Perhatikan contoh kalimat berikut ini.
182
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
o
Sekarang ada Hers Protex kemasan praktis yang bisa jadi P3K. (NOVA, 17-23 Mei 2013)
Penggunaan angka dalam akronim di atas menunjukkan jumlah kemunculan huruf tersebut di dalam akronim yang dimaksud. Hal ini memungkinkan apabila awal setiap kata tersebut sama seperti pada kata P3K (pertolongan penuh pada kebocoran). Dalam kata tersebut, terdapat tiga kata yang diawali dengan huruf “P” sehingga ketiga kata tersebut yang seharusnya disingkat PPP dapat dituliskan dengan P3. Beberapa bentuk akronim yang melibatkan huruf dan angka dapat dilihat di bawah ini: P2TP2A B2SA P3K MP3EI
→ → → →
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Beragam Bergizi Seimbang dan Aman Pertolongan Penuh pada Kebocoran Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia
Pada beberapa akronim, ditemukan angka yang diletakkan di depan huruf, misalnya: SM3T
→ Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal
Angka 3 pada akronim ini merujuk ke huruf T bukan ke huruf M. Kalau mengikuti kaidah sebelumnya, seharusnya bentuk akronim ini adalah SMT3, bukan SM3T. 2. Kliping Kliping merupakan jenis pembentukan kata baru dengan memenggal bagian dari kata. Bagian kata yang dipenggal dapat berupa bagian awal kata, bagian belakang kata, maupun bagian awal dan belakang kata. a) Kliping bagian awal kata Berdasarkan hasil mengolah data, kliping bagian awal kata kerap digunakan dalam bahasa tulis bahasa Indonesia. Lihatlah contoh kalimat di bawah ini. o o
Juventus mentas memakai sistem berbeda kala menghadapi Lazio (BOLA, 18-19 April 2013) GANTI dimaksudkan untuk membantu dan mensejahterakan kaum nelayan dan tani (Republika, 13 April 2013)
Pada kalimat di atas terdapat kata kala yang merupakan bentuk kliping dari kata asal tatkala. Bagian awal kata dipenggal sehingga hanya menyisakan kata kala. Sementara itu, pada kalimat dia atas terdapat kata tani yang merupakan bentuk kliping dari kata petani. Hanya terdapat dua kelas kata yang mengalami kliping bagian awalnya: nomina (N) dan adverbia (Adv) seperti yang terdapat di bawah ini. halaman petani tatkala
→ laman (N) → tani (N) → kala (Adv)
b) Kliping bagian belakang kata Kliping bagian belakang kata merupakan sistem pemenggalan yang paling sering ditemukan dalam jenis ini. Hal ini disebabkan bagian depan kata lebih mewakili sebuah kata dibandingkan bagian belakang kata. Oleh karena itu, bagian depan kata lebih sering dipertahankan, sementara bagian belakang kata sering mengalami pemenggalan. Lihatlah contoh kalimat berikut ini.
183
M. Zaim
o o o o
Lelang jabatan hanya berhenti pada pengisian orang baru untuk pos camat dan lurah (Republika, 12 Oktober 2013) Semuanya laki-laki dan satu staf admin perempuan yaitu Dina (NOVA, 18-24 Oktober 2010) Keberhasilan lain terlihat ditetapkannya klom kakao lokal Limapuluh Kota sebagai klom unggul nasional. (Posmetro Padang, 24 Juni 2013) Tindakan penonaktifan dan pemecatan bagi pegawai yang korup juga harus lebih tegas (Republika, 12 April 2013)
Kata-kata pos, admin, klom, dan korup merupakan kata-kata yang dibentuk dengan kliping bagian belakang kata. Kata pos merupakan bentuk kliping dari posisi, admin dari kata administrasi, klom dari kata kelompok, dan korup dari kata korupsi. Dari hasil mengolah data, ditemukan hampir seluruh kelas kata mengalami kliping bagian belakangnya, kecuali kelas kata adverbia. momentum posisi promosi administrasi almarhum
→ → → → →
momen (N) pos (N) promo (N) admin (N) alm (N)
perumahan demonstrasi korupsi profesional egois
→ → → → →
perum (N) demo (N) korup (V) pro (Adj) ego (Adj)
Dari hasil mengolah data dijumpai bahwa kliping juga dapat melibatkan kata majemuk seperti yang terdapat pada kata Idul Fitri. Pada kata ini, kliping dilakukan pada akhir kata yang pertama dan semua kata kedua. Dengan demikian kata tersebut menjadi Id. c) Kliping bagian awal dan belakang kata Kliping juga dapat dilakukan pada bagian awal dan bagian belakang kata bahasa tulis bahasa Indonesia. Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa hanya satu kata yang diperoleh melalui sistem ini. penyelidikan
→ lidik (N)
3. Blending Blending merupakan jenis PKBT BI yang kerap ditemukan penggunaannya di media massa Indonesia. Blending dilakukan dengan menggabungkan bagian dari dua kata atau lebih menjadi sebuah kata. Bagian kata yang digabungkan dapat berupa bagian awal, tengah, dan akhir kata. Bagian-bagian kata yang digabungkan memiliki beberapa variasi sistem: bagian awal setiap kata, bagian awal dan akhir kata, bagian awal dan tengah kata, bagian tengah setiap kata, bagian tengah dan akhir kata, bagian akhir setiap kata, dan bagian awal, tengah dan akhir kata. Hampir semua sistem penggabungan tersebut dapat diperoleh, kecuali penggabungan yang hanya melibatkan bagian tengah kata. a) Penggabungan bagian awal dan akhir kata Istilah blending pertama sekali diperkenalkan dalam bahasa Inggris dengan sistem dasar penggabungan bagian awal kata dan bagian akhir kata. Penggabungan dengan sistem seperti ini juga sering ditemukan dalam media massa Indonesia seperti yang terdapat pada contoh kalimat di bawah ini.
184
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
o o
Warga Jalan Niaga Pondok resah, menyusul maraknya penjualan miras oplosan di kawasan itu. (Posmetro Padang, 24 Juni 2013) Ikanita Universitas Bung Hatta melakukan lawatan ke Persatuan Wanita Teknologi (Wangi) Universitas Teknologi Malaysia di Johor. (Padang Ekspress, 16 Mei 2012)
Kata-kata miras (minuman keras), Ikanita (ikatan wanita), dan Wangi (wanita teknologi) merupakan kata yang dibentuk dengan menggabungkan bagian awal kata dengan bagian akhir kata. Sama halnya dengan sistem penggabungan sebelumnya, pada umumnya kata yang dibentuk berkelas kata nomina. Ditemukan satu bentuk penggabungan dengan sistem ini yang melibatkan kelas kata verba, akan tetapi bentuk kata itu sendiri lebih mirip bentuk klausa seperti yang terdapat di bawah ini. → jangan sampai melupakan sejarah
jas merah
Sistem blending dengan melibatkan bagian awal dan akhir kata dapat disusun secara acak. Penggabungan kata dapat diawali baik oleh bagian awal kata maupun bagian akhir kata. gaptek danrem danjen ponsel amari
→ → → → →
gagap teknologi komandan resort militer komandan jenderal telepon seluler angkutan malam hari
mendagri miras senpi wangi tagana
→ → → → →
menteri dalam negeri minuman keras senjata api wanita teknologi taruna siaga bencana
b) Penggabungan bagian awal kata Penggabungan yang hanya melibatkan bagian awal kata merupakan sistem blending yang paling sering digunakan media massa. Lihatlah contoh kalimat berikut ini. o o o
Selama ini aku tidak suka dugem (NOVA, 18-24 Oktober 2010) Jumlah ternak sebanyak 4.818 ekor dengan rincian 4.607 ekor doka dan 211 ekor sapi (Republika, 22 Maret 2013) Iven yang baru pertama kali diangkat Dekranasda Payakumbuh bersama Disparpora kota ini. (Posmetro Padang, 24 Juni 2013)
Dalam kalimat-kalimat di atas terdapat beberapa kata yang dibentuk secara blending dengan menggabungkan bagian awal dari setiap kata, yaitu dugem adalah blending dari dunia gemerlap, dan doka adalah blending dari domba kambing. Pada umumnya, kelas kata yang dibentuk adalah nomina, sementara hanya satu bentuk verba yang ditemukan, yaitu nobar (nonton bareng). Adapun kelas kata adjektiva dan adverbia tidak ditemukan dalam penelitian ini. pengprov batita tipikor pencaker murmer
→ → → → →
pengurus provinsi bawah tiga tahun tindak pidana korupsi pencari kerja murah meriah
kanca doka spiker dapil menkeu
→ → → → →
kantor cabang domba kambing spiritualitas kerja daerah pemilihan menteri keuangan
Meskipun pada prinsipnya penggabungan terjadi pada bagian awal kata, muncul varian penggabungan yang juga melibatkan unsur lain di luar awal kata, seperti pada contoh dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah), Disparpora (Dinas Pariwisata Pemuda Olahraga), dan dapil (daerah pemilihan).
185
M. Zaim
c) Penggabungan bagian awal dan tengah kata Selanjutnya, penggunaan penggabungan awal dan tengah kata juga ditemukan dalam tulisan di media masa Indonesia. Lihatlah contoh kalimat berikut ini. o
Technical Meeting dilaksanakan di ruang sidang khusus Disdikpora Sumbar (Padang Ekspress, 21 Juni 2011)
Kata Disdikpora merupakan gabungan dari kata Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga. Kata yang diambil dari bagian tengahnya adalah Pendidikan, yaitu dik, sementara katakata yang lain diambil bagian awalnya. Dilihat dari kelas kata pembentukan, temuan penelitian menunjukkan bahwa semua pembentukan blending dengan sistem ini berkelas kata nomina. prima pinca tipibank sekbang sprindik
→ → → → →
program Indonesia emas pimpinan cabang tindak pidana perbankan sekolah penerbangan surat perintah penyelidikan
polres mentan naker komjak disdik
→ → → → →
kepolisian resort menteri pertanian tenaga kerja komisaris kejaksaan dinas pendidikan
Dari data di atas dapat dinyatakan bahwa penggabungan yang melibatkan bagian awal dan tengah kata dapat berposisi secara bergantian. Bagian tengah kata dapat mengawali kata penggabungan seperti pada kata pinca, ataupun bagian awal kata mengawali kata penggabungan seperti pada kata komjak. d) Penggabungan bagian tengah dan akhir kata Temuan penelitian juga menyebutkan bahwa blending dengan sistem penggabungan bagian tengah kata tidak ditemukan. Selanjutnya, sistem pembentukan blending yang ditemukan adalah gabungan bagian tengah dan bagian akhir kata. Meskipun demikian, jumlahnya tidak sebanyak pada sistem penggabungan sebelumnya. curanmor gakum
→ pencurian kendaraan bermotor → penegakan hukum
Kata-kata tersebut digunakan dalam kalimat seperti yang terlihat di bawah ini. o o
Tiga pelaku pencurian kendaraan bermotor (curanmor) ditangkap (Padang Ekspress, 3 September 2013) Kasubdit Penegakan Hukum (Gakum) Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Metro Jaya mengatakan (Republika, 12 Agustus 2013)
e) Penggabungan dua bagian akhir kata Berikutnya, berdasarkan hasil mengolah data, penggabungan bagian akhir setiap kata juga ditemukan dalam kata yang digunakan oleh media massa. Meskipun demikian, hanya sedikit ditemukan blending yang menggunakan sistem pembentukan seperti ini. gakin raskin
→ keluarga miskin → beras miskin
f) Penggabungan bagian tengah, awal, akhir kata Selanjutnya, sistem pembentukan kata dengan penggabungan adalah dengan menggabungkan bagian tengah, awal, dan akhir kata. Untuk sistem ini, hanya satu kata yang ditemukan. polsekta
→ kepolisian sektor kota
186
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
4. Gabungan Akronim dan Blending PKBT BI juga dapat dilakukan dengan cara penggabungan akronim dan blending. Sistem penggabungan ini dapat dilakukan dengan meletakkan akronim di bagian awal ataupun di bagian akhir penggabungan. Lihatlah contoh kalimat di bawah ini. o o
Penyidik satuan khusus JAM Pidsus Kejaksaan Agung melakukan pemeriksaan. Timnas U-19 telah berhasil menetapkan pemain yang akan bermain pada laga berikutnya.
Kata JAM Pidsus (Jaksa Agung Muda Pidana Khusus) pada kalimat di atas merupakan kata yang dibentuk dengan menggabungkan akronim (JAM) dan blending (Pidsus). Bagian awal kata merupakan bentuk akronim dengan mengambil huruf-huruf awal di setiap kata JAM, sementara itu bagian akhir kata Pidsus merupakan bentuk penggalan (pid = pidana) dan (sus = khusus). Timnas PEPI Timnas U-19
→ Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi → Tim Nasional Usia 19
5. Gabungan Akronim dan Kliping Pembentukan kata dapat juga dilakukan dengan menggabungkan Akronim dan Kliping. Lihatlah contoh kalimat berikut ini. o
Kemen PAN-RB mengeluarkan kebijakan baru tentang Pegawai negeri Sipil.
Pada kalimat di atas Kemen merupakan kliping dari Kementerian dan PAN-RB merupakan akronim dari Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Pergeseran Sistem Pembentukan Kata Akronim, Blending, dan Kliping Bahasa Tulis Bahasa Indonesia a. Pergeseran dalam akronim, blending, dan kliping serapan bahasa asing 1. Penyerapan akronim bahasa asing Peminjaman langsung berupa akronim kerap ditemukan di media masa. Peminjaman langsung ini menunjukkan bahwa penyerapan kata bahasa asing tidak hanya pada kata dasar seperti kata internet dan gadget, tetapi juga menyerap akronim. Teori dasar pembentukan akronim dalam berbagai bahasa di dunia adalah dengan mengambil huruf-huruf awal kata dan ditulis dengan menggunakan huruf kapital seperti yang terdapat pada kata APEC, GB, WO, SEAG, AMA, dan lain-lain. Dalam perkembangannnya, terjadi beberapa pergeseran sehingga pembentukan akronim keluar dari pakem aturan dasar pembentukan akronim. Pergeseran pembentukan akronim tersebut dapat dinyatakan dengan ditemukannya bentuk akronim sebagai berikut. a) Penggabungan inisial kata huruf kapital dan huruf kecil, misalnya: MoU (Memorandum of Understanding), LoI (Letter of Intent), TdS (Tour de Singkarak), MDGs (Millenium Development Goals). b) Gabungan akronim dan kata, misalnya YMJet-FI (Yamaha Mixture Jet Fuel Injection). c) Pelafalan huruf inisial kata yang diakronimkan, misalnya hape (HP=Handphone). d) Penulisan huruf sebagai pengganti pelafalan, misalnya IBX (Indonesia Broadcasting Expo).
187
M. Zaim
2. Penyerapan blending bahasa asing Di dalam aturan pembentukan kata dalam bahasa Indonesia belum dikenal adanya penyerapan blending. Namun, dalam penelitian ini ditemukan beberapa kata blending bahasa asing yang digunakan dalam bahasa tulis bahasa Indonesia. Lihatlah kalimat berikut ini. o o
PT Unilever Indonesia mengembangkan program trashion (NOVA, 18–24 Oktober 2013) Kegiatan pentas yang fokus terhadap konsep edutainment bagi seluruh pelajar. (NOVA, 02–08 Agustus 2013)
Kata-kata trashion dan edutainment merupakan bentuk blending yang diserap dari bahasa Inggris. Kata trashion merupakan blending dari kata trash fashion, sementara kata edutainment merupakan blending dari kata education entertainment. Kedua kata tersebut samasama dibentuk dengan mengambil bagian awal kata pada kata pertama, yaitu tra dan edu, dan selanjutnya digabungkan dengan bagian akhir kata dari kata kedua, yaitu shion dan tainment. 3. Penyerapan gabungan akronim dan kliping bahasa asing Seperti halnya akronim dan blending, tidak ada aturan yang menjelaskan adanya penyerapan gabungan akronim dan kliping. Dalam kenyataannya, dapat ditemukan beberapa kata berupa gabungan akronim dan kliping. Lihatlah kalimat berikut ini. o
o
Namun, untuk bisa diterapkan, software ini masih perlu diuji coba menggunakan data real time supaya bisa diintegrasikan dengan InaTEWS milik BMKG (Tempo, 25 Februari 2013) Man-U memang memegang kendali permainan namun tak banyak membuat peluang dimana hanya empat on target dari 16 tembakan yang dibuat sepanjang laga (Singgalang, 18 Maret 2013)
InaTEWS adalah singkatan dari Indonesia Tsunamy Early Warning System dan Man-U adalah singkatan dari Manchester United. Berdasarkan temuan di atas dapat disimpulkan bahwa penyerapan kata bahasa asing, yang semula hanya berupa kata dasar, saat ini telah bergeser menjadi tidak hanya kata dasar tetapi juga akronim, blending, dan gabungan akronim dan blending. b. Pergeseran akronim, blending, dan kliping pada proses ubah bentuk 1. Pergeseran pembentukan akronim Pergeseran pembentukan akronim pada proses ubah bentuk terjadi pada proses pembentukan akronim. Pembentukan akronim pada dasarnya harus didasari atas huruf-huruf yang terdapat di dalam kata yang diakronimkan dan ditulis dengan huruf kapital. Pergeseran terjadi dengan muculnya akronim yang menggunakan angka, inisiasi huruf kecil, penyerapan dari bahasa asing, dan pelafalan baik pelafalan inisial kata maupun pelafalan huruf dalam penulisan. Pergeseran pembentukan akronim dalam bahasa tulis bahasa Indonesia dapat dinyatakan sebagai berikut.
188
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Gambar 1. Pergeseran Pembentukan Akronim dalam Bahasa Indonesia
Gambar 1 menunjukkan bahwa pada awalnya bentuk akronim dalam bahasa Indonesia adalah inisiasi huruf (awal) dan hanya terdiri atas satu kata (misalnya, Badan Pemeriksa Keuangan diakronimkan menjadi BPK). Setelah itu terjadi pergeseran bentuk menjadi enam varian, yaitu penggunaan angka untuk menunjukkan pengulangan huruf yang sama (misalnya, Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal diakronimkan menjadi SM3T). Kemudian muncul akronim yang ditulis dengan huruf kecil (misalnya, barel perhari diakronimkan menjadi bph). Kemudian berkembang menjadi akronim berbentuk kata majemuk (misalnya, Anjungan Tunai Mandiri Bank Central Asia diakronimkan menjadi ATM BCA). Lalu, sejalan dengan munculnya akronim berbahasa asing (terutama bahasa Inggris), terjadi peminjaman akronim bahasa asing dalam bahasa tulis bahasa Indonesia (misalnya, MoU, LoI, MDGs). Pergeseran berikutnya adalah perubahan pada bentuk inisiasi kata dengan memunculkan pelafalan inisial kata pada sebagian atau semua inisial kata (misalnya, ELSAM, ELTEHA, dan hape) serta terjadinya perubahan inisial kata berupa perubahan pelafalan huruf dalam penulisan (misalnya, GAZA dari seharusnya GAJA). 2. Pergeseran pembentukan blending Pergeseran pembentukan blending terjadi pada jenis pembentukan blending, dan penggabungan bagian kata. Menurut aturan dasarnya, blending dilakukan dengan menggabungkan suku kata awal dari kata pertama dengan suku kata akhir dari kata berikutnya. Pergeseran terjadi dengan munculnya penggabungan suku kata awal dari kata pertama dengan suku kata awal dari katakata berikutnya, penggabungan bagian awal kata dengan bagian tengah kata, dan penggabungan bagian akhir kata. Selanjutnya, pergeseran juga terjadi ketika penggabungan kata dilakukan dengan mencampurkan unsur kata utuh dengan bagian kata. Pergeseran pembentukan blending dalam bahasa Indonesia dapat dinyatakan sebagai berikut. Gambar 2. Pergeseran Pembentukan Blending dalam Bahasa Indonesia
Gambar 2 di atas menunjukkan bahwa terjadi pergeseran pembentukan kata berbentuk blending, dari semula yang hanya berupa penggabungan bagian awal dan akhir kata (misalnya,
189
M. Zaim
minuman keras menjadi miras, dan senjata api menjadi senpi) berkembang menjadi penggabungan bagian awal kata (misalnya, tindak pidana korupsi menjadi tipikor). Kemudian pembentukan kata tersebut berkembang menjadi penggabungan bagian awal dan tengah kata (misalnya, tenaga kerja menjadi naker dan pencurian kendaraan bermotor menjadi curanmor), lalu muncul lagi blending berupa penggabungan akhir kata (misalnya, beras miskin menjadi raskin). Selanjutnya, penggabungan berkembang menjadi penggabungan kata utuh dengan bagian kata seperti tim nasional menjadi timnas. 3. Pergeseran pembentukan kliping Pergeseran juga terjadi pada pembentukan kata dengan cara kliping. Menurut teori, pemendekan dilakukan dengan cara memenggal bagian awal ataupun bagian akhir dari suatu kata. Dari hasil analisis data, ditemukan kliping dengan memenggal bagian awal dan akhir kata sehingga menyisakan bagian tengah kata saja, memenggal bagian-bagian dari suku kata dan menyisakan huruf awal dari suku-suku kata, dan penggunaan angka sebagai pengganti huruf atau bagian kata. Berdasarkan temuan di atas, dapat dinyatakan bahwa pergeseran pembentukan kliping dalam bahasa Indonesia dapat dinyatakan sebagai berikut. Gambar 3. Pergeseran Pembentukan Kliping dalam Bahasa Indonesia
Gambar 3 di atas menunjukkan bahwa terjadi pergeseran pembentukan kliping dalam bahasa Indonesia. Perubahan terjadi dari bentuk awal berupa pemotongan awal atau akhir kata (misalnya, bapak menjadi pak, dan ibu menjadi bu) menjadi pemotongan awal dan akhir kata (misalnya, penyelidikan menjadi lidik, dan kecelakaan menjadi laka), penghilangan huruf vokal pada kata (misalnya, tapi menjadi tp, bisa menjadi bs), dan penggunaan angka sebagai pengganti huruf, bagian kata, dan kata (misalnya, setuju menjadi s7, benar menjadi b3n4r, berempat menjadi ber4). SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan temuan penelitian sebagaimana telah dinyatakan di atas, hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Sistem pembentukan kata akronim, blending, dan kliping bahasa tulis bahasa Indonesia mengikuti sistem pembentukan kata secara morfologis sesuai dengan teori morfologi yang berkembang. Namun, terjadi penyesuaian sistem pembentukan kata sesuai dengan ciri khas bahasa Indonesia sebagai bahasa yang hidup dan berkembang mengikuti tren penuturnya. Pembentukan kata dapat dilakukan melalui proses peminjaman/penyerapan dari bahasa asing dalam bentuk akronim, blending, dan gabungan akronim dan kliping. Pembentukan kata juga dapat dilakukan melalui ubah bentuk dari kata yang ada, baik berupa akronim, blending, maupun kliping dengan berbagai variasi bentuknya.
190
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
2. Pergeseran sistem pembentukan kata akronim, blending, dan kliping bahasa Indonesia tulis terjadi dengan ditemukannya varian dari sistem baku seperti dinyatakan dalam buku Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia dan Pedoman Pembentukan Istilah Bahasa Indonesia. Bentuk pergeseran itu berupa penyerapan akronim, blending, dan kliping dari bahasa asing dan berbagai ubah bentuk pada bentukan akronim, blending, dan kliping baru. Pada akronim muncul akronim dalam bentuk kata majemuk dan gabungan penggunaan inisiasi huruf dan angka. Pada blending, penggabungan bagian kata tidak terbatas hanya awal dan akhir kata, tetapi hampir pada semua bagian kata. Pada kliping, pemenggalan tidak hanya terjadi pada akhir kata, tetapi juga pada awal kata dan juga pada awal dan akhir kata. CATATAN * Penulis berterima kasih kepada mitra bestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan artikel ini. ** Artikel ini ditulis berdasarkan hasil penelitian fundamental yang didanai oleh Kemdiknas RI pada tahun 2013/2014.
DAFTAR PUSTAKA Alwi, H., Lapoliwa, H., dan Darmowidjojo, S. (2003). Tata bahasa baku bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka. Aronoff, M., dan Ress-Miller, J. (2001). The handbook of linguistics. Oxford: Blackwell Publishers Inc. Booij, G. (2007). The grammar of words; An introduction to morphology. Oxford: Oxford University Press. Katamba, F. (1993). Morphology. London: Macmillan Press Ltd. Kridalaksana, H. (1983). Kamus linguistik. Jakarta: PT Gramedia. Kridalaksana, H. (1990). Kelas kata dalam bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. Lieber, R. (2009). Introducing morphology. Cambridge: Cambridge University Press. Mahsun. (2005). Metode penelitian bahasa. Jakarta: Raja Grafindo Persada. McManis, C., Stollenwerk, D., Zhang, Z., Bissantz, A.S. (1987). Language files: Materials for an introduction to language. Ohio: Advocate Publishing Group. Moeliono, A.M. (1988). Tata bahasa baku bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Nababan. (1984). Sosiolinguistik: Suatu pengantar. Jakarta: PT Gramedia. Pusat Bahasa. (2004). Pedoman umum ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Pusat Bahasa. (2007). Pedoman umum pembentukan istilah. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Sudaryanto. (1993). Metode dan aneka teknik analisis bahasa: Pengantar penelitian wahana kebudayaan secara linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
191
M. Zaim
Sugono, D. (2009). Pengindonesiaan kata dan ungkapan asing. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Sumarsono dan Partana, P. (2002). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda. Sutawijaya, H.A. (1996). Morfologi bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Zaim, M. (2000). Pembentukan kata dalam bahasa Indonesia, Makalah Seminar Linguistik MLI Unand, 11 Mei 2000. Zaim, M. (2001). Pembentukan kata dengan akronim, singkatan dan penggalan dalam bahasa Indonesia mutakhir. Humanus, 4(1). Zaim, M. (2008). Pergeseran sistem pembentukan kata bahasa Indonesia pasca Orde Baru. Laporan hasil penelitian. Jakarta: Depdiknas. Zaim, M. (2009). English morphology. Padang: Fakultas Bahasa Sastra dan Seni, Universitas Negeri Padang. Zaim, M. (2014). Metode penelitian bahasa: Pendekatan struktural. Padang: FBS UNP Press.
192
Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 193-195 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 2
Resensi Buku : Transcribing Talk and Interaction: Issues in the Representation of Communication Data ISBN : 9789027211835 Penulis : Christopher Joseph Jenks Tebal : xi, 120 halaman Penerbit : John Benjamins Publishing Company, 2011 Judul
Agustian Sutrisno Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
[email protected] “The only good thing to say about the transcription process is that it allows us to get to know our data thoroughly, otherwise it is usually a far-too-long and lessthan-enjoyable process (to say the least)” (Dörnyei, 2007:246). Proses membuat transkrip dari data yang berbentuk rekaman audio adalah momok bagi kebanyakan peneliti kualitatif dan peneliti linguistik, seperti yang diungkapkan oleh Dörnyei dalam kutipan di atas. Hampir tidak ada yang dapat dinikmati dari proses yang menyita banyak waktu tersebut, selain dari keuntungan bahwa sang peneliti, jika melakukan transkripsi itu sendiri, dapat mengenal dengan saksama data penelitiannya. Berkat kemajuan teknologi, kesulitan dan kejenuhan melakukan transkripsi dapat diatasi dengan penggunaan perangkat lunak yang dapat mengubah rekaman audio menjadi transkrip tertulis (computer-assisted transcription software) (Dörnyei, 2007). Akan tetapi, kebanyakan perangkat lunak yang tersedia tidak dapat mentranskripsikan data audio yang tidak berbahasa Inggris. Dengan demikian, bagi para peneliti linguistik Indonesia, belum ada jalan keluar dari proses transkripsi yang melelahkan tersebut. Transcribing talk and interaction: Issues in the representation of communication data oleh Jenks adalah judul yang tepat untuk buku yang tidak berusaha menyederhanakan proses transkripsi. Jenks menyajikan dengan rinci langkah-langkah yang perlu diambil dalam menyajikan data komunikasi wicara dan interaksi manusia dan berbagai problematika praktis dalam mengubah data komunikasi verbal dan non-verbal manusia menjadi data berbentuk tulisan. Dalam beberapa bagian, barangkali Jenks terlihat sangat preskriptif. Misalnya, dia merekomendasikan tipe huruf (font) yang sebaiknya dipakai untuk transkripsi, yaitu Courier New dan Consolas (lihat halaman 39-41). Jenks berargumen kedua tipe huruf itu mempunyai jarak spasi yang konsisten sehingga memudahkan proses analisis terhadap ujaran dari beberapa pembicara yang kadang tumpang tindih dan memberikan tampilan yang kurang professional dalam menyajikan data. Walau sekilas terlihat sangat preskriptif, memberikan pembaca dapat menilai sendiri apakah penjelasan, saran, dan argumen yang Jenks sajikan bermanfaat atau tidak. Saran yang rinci semacam ini jarang dijumpai dalam buku-buku metodologi penelitian linguistik yang biasanya hanya menyajikan transkripsi dalam salah satu babnya (lihat, misalnya, Wray dan Bloomer, 2011).
Resensi Buku
Seperti judul bukunya, Jenks membahas banyak segi interaksi manusia yang perlu diperhatikan peneliti linguistik, seperti intonasi, tekanan, postur tubuh, dan ekspresi wajah. Dua hal terakhir ini, postur tubuh dan ekspresi wajahb seringkali terlewat dalam analisis dan transkripsi di kalangan peneliti linguistik dan peneliti ilmu sosial lainnya. Walau rekaman video sekarang mudah dilakukan untuk mendukung penelitian dan dapat menyajikan data yang sangat kaya dan beragam (Heath, 2011), menyajikan data yang tertangkap melalui rekaman video tetap sulit untuk dilakukan. Buku-buku metode penelitian yang lain walau memberikan perhatian pada transkripsi data audio, sering alpa membahas transkripsi data dari rekaman video. Inilah barangkali keunggulan utama tulisan Jenks. Dalam Bab 5, tersaji petunjuk lengkap melakukan transkripsi data audio-visual yang dipadukan dengan gambar-gambar cuplikan video. Misalnya, pada halaman 79, terdapat contoh transkrip data audio-visual percakapan antara seorang pedagang dengan tokoh yang bernama Peter. Merchant: hello sir. (0.5) Peter:
doց youր waց nnaր something? ( (merchant extends left arm out) ) (0.5) walk in here and have a look.
Seperti terlihat dari contoh yang diberikan Jenks di atas, data visual ditampilkan secara tertulis melalui kurung ganda, yaitu ( ( merchant extends left arm out) ) [pedagang menjulurkan lengan kirinya]. Selain penggambaran tindakan sang pedagang, Jenks juga memberikan keterangan waktu berapa lama tindakan itu berlangsung, yang terlihat dari angka di dalam kurung (0.5). Adapun intonasi bicara sang pedagang terlihat melalui tanda panah naik atau turun
ր ց). Penggambaran terperinci semacam ini tentunya membuat proses transkripsi data audiovisual sangat panjang dan melelahkan. Akan tetapi, untuk memperoleh data dan analisis yang sahih, rasanya memang tidak ada (atau belum ada) jalan pintas. Para peneliti pemula yang merasa bahwa rekaman video dapat dengan mudah menambah kesan berlangsungnya penelitian observasional yang baik perlu membaca buku Jenks untuk memahami kompleksitas penyajian data audio-visual untuk mendapatkan data yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Harus diakui, buku Jenks bukan panduan universal untuk semua peneliti yang berminat melakukan transkripsi dan analisis linguistik. Di antara pembaca jurnal ini barangkali ada yang berpendapat bahwa penyajian transkrip seperti yang disarankan oleh Jenks agak berlebihan. Hal ini mungkin benar adanya bagi para peneliti yang tertarik untuk melakukan analisis tematis atas data audio, seperti rekaman wawancara dengan narasumber. Analisis tematis (seperti misalnya yang diusulkan oleh Braun dan Clarke, 2006) lebih menekankan makna dan tema yang muncul dari wawancara dengan narasumber, bukan rincian ujaran dan tindakan. Untuk tujuan ini agaknya tidak dibutuhkan catatan rinci tentang intonasi dan raut wajah narasumber seperti yang disajikan dalam buku Jenks. Di samping itu, bagi para peneliti dalam bidang fonologi dan fonetik, buku Jenks juga barangkali agak mengecewakan. Dia menghindari penggunaan International Phonetic Alphabet (IPA) dalam transkripsinya. Akan tetapi, seperti yang dapat diduga, Jenks memberikan alasan yang jelas mengapa penggunaan IPA tidak disarankannya. Menurut Jenks, IPA terlalu teknis dan spesifik pada bidang ilmu tertentu, sehingga transkripsi yang menggunakan IPA sulit diakses oleh pembaca luas. Buku Jenks memang berguna sebagai pelengkap untuk kebanyakan buku metodologi penelitian linguistik, bukan penggantinya. Jenks sama sekali tidak membahas teori linguistik
194
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
dan metodologi analisis data tertentu. Sesuai dengan sub-judul yang diberikan, “Issues in the representation of communication data”, Jenks berfokus pada bagaimana data komunikasi verbal dan non-verbal disajikan dalam bentuk tulisan dan gambar. Para peneliti yang selama ini menghadapi kesulitan mencari cara menyajikan data tersebut akan sangat tertolong oleh karya Jenks yang kaya dengan contoh dan rincian ini. Untuk memahami metodologi penelitian yang lebih luas dan menyeluruh, mereka perlu membaca buku lain, seperti misalnya Research Methods in Applied Linguistics karya Dörnyei (2007), yang dikutip di awal resensi ini. DAFTAR PUSTAKA Braun, V. dan Clarke, V. (2006). Using thematic analysis in psychology. Qualitative Research in Psychology, 3(2), 77-101. Dörnyei, Z. (2007). Research methods in applied linguistics. Oxford: Oxford University Press. Heath, C. (2011). Embodied action: Video and the analysis of social interaction. Dalam D. Silverman (Ed.) Qualitative research (hlm. 250-269). Los Angeles: Sage. Wray, A. dan Bloomer, A. (2011). Projects in linguistics and language studies. London dan New York: Routledge.
195
Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 197-200 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-32, No. 2
JELAJAH LINGUISTIK Rubrik ini membuka peluang untuk saling berbagi di antara kita tentang beberapa kemungkinan topik ini: a. pencanangan metode penelitian linguistik yang belum lazim digunakan b. daur-ulang metodologi penelitian linguistik c. persoalan data yang – meskipun barangkali belum ditemukan pemecahannya – penelusurannya berpeluang membuka sesuatu yang baru yang belum pernah menjadi perhatian peneliti terdahulu d. penerapan teori linguistik tertentu untuk menjelaskan data bahasa seperti bahasa Indonesia yang membuat peneliti mempersoalkan teori yang bersangkutan
PENGELOLAAN DATA DIGITAL DALAM RANGKAIAN METODOLOGI PENELITIAN LINGUISTIK Faizah Sari Surya University
[email protected] Penelitian linguistik kontemporer yang berhasil berakar dari pengelolaan data yang akurat. Chelliah (2013) mendefinisikan, “[data management]… includes skillful note-taking, detailed metadata collection, and safe storage and documentation of media” (hlm. 68). Ketiga kata sifat, yaitu ‘terampil’ (skillful), ‘terperinci’ (detailed), dan ‘aman’ (safe), merupakan karakteristik pengelolaan data yang baik, terlebih dalam bentuk digital. Diperlukan persiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan data yang lebih rapih, akurat, dan lengkap agar penelitian menghasilkan luaran berkualitas dan memiliki keberlangsungan (sustainability) tinggi. Melalui pengelolaan yang baik, peneliti dapat mengolah data, memberi kesimpulan, dan menggunakan data untuk contoh-contoh pada makalah ilmiah, dan untuk penelitian selanjutnya. Lebih jauh, pengelolaan data linguistik lekat hubungannya dengan langkah penyusunan transkripsi (transcription). Literatur metode linguistik kontemporer seringkali menekankan bahwa transkripsi merupakan langkah penting dalam rangkaian metode penelitian linguistik yang dapat menentukan keberlangsungan data. Transcription serves as a tool, a “handle” for the original oral recordings, both during primary analysis and for later use of the data, which may be years later and not necessarily by the original researcher. (Nagy & Sharma, 2013, hlm. 239). Transkripsi berfungsi sebagai suatu alat, suatu "pegangan" terhadap rekaman lisan asli, baik selama analisis primer dan untuk penggunaan data selanjutnya, yang mungkin bertahun-tahun kemudian dan belum tentu dilakukan lagi oleh peneliti asli. Ramifikasi terdapatnya transkripsi yang baik mengarah kepada seberapa baiknya peneliti merencanakan dan menguraikan rancangan penelitian (research design) yang terperinci dan jelas. Seringkali rancangan penelitian dibahas dalam penjelasan tentang metodologi pada literatur kontemporer mengenai metode penelitian linguistik (linguistic research methods) atau pembangunan korpora (corpora-building methods), misalnya seperti yang terdapat pada Podesva & Sharma (2013), Leńko-Szymańska & Boulton (2015), dan Chiarcos, Nordhoff, &
Jelajah Linguistik
Hellmann (2012). Tidak pelak lagi bahwa rancangan penelitian yang baik dapat membantu pengelolaan penelitian menjadi lebih berhasil. Dari perspektif peneliti, untuk menghasilkan transkripsi yang baik, pengelolaan data pun harus baik. Langkah ini menentukan alur kerja yang rapih dan sistematik. Apabila ini dipatuhi oleh tim peneliti, data bersih yang diperoleh menjadi akurat dan waktu yang direncanakan untuk digunakan bagi analisis data menjadi lebih efisien. Di samping bertanggung jawab atas perencanaan umum penelitian, termasuk memastikan ada bukti izin melibatkan subjek manusia (informed consent), peneliti linguistik kontemporer mengutamakan data primer dan pendigitalan data. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan kuat, di antaranya menyiapkan langkah-langkah dasar dan nyata dalam perencanaan sebelum mengambil data. Perencanaan secara sekuensial dapat dibagi tiga tahap, yaitu: (1) tahap prapengumpulan data (pre-data collection), (2) tahap selama pengumpulan data (during data collection), dan (3) tahap pascapengumpulan data (post-data collection). Pada tahap pertama, atau prapengumpulan data, tim peneliti menginventorisir dan mengalibrasi semua instrumen penelitian. Saat sebelum berangkat ke lapangan merupakan saat yang tepat untuk memastikan semua instrumen di bawah ini terinventori dan terkalibrasi dengan baik, siap dibawa untuk ke lapangan pada hari pelaksanaan tanpa kecuali, apalagi bila perjalanan memakan waktu cukup lama atau jarak cukup jauh: Alat rekam video Alat rekam audio, dan pastikan sistem audio merekam dalam file .wav. Clapper, untuk menentukan titik mulai speech sample Mikrofon berjenis clip-on atau boom, untuk hasil suara yang bagus Kartu digital terkunci (secure digital cards/SD cards) dalam berbagai bentuk External harddrive berkapasitas besar, untuk menyimpan data rekaman apabila kapasitas chip/SD cards telah melampaui batas agar dapat digunakan lagi Charger dan extension cords Baterai tambahan, dan sumber energi lainnya Ketua tim peneliti dapat menugaskan anggota-anggota tim untuk bertanggung jawab khusus pada alat tertentu, misalnya alat rekam, baik video ataupun audio, sehingga mereka dapat belajar merekam suara dan mengambil data primer lain di lapangan. Dengan demikian, akan mudah bagi pemimpin penelitian untuk menelusuri sumber rekaman dan mencatat progres pengambilan data. Pada tahap kedua, atau selama pengumpulan data, tim peneliti memastikan dua hal esensial selama masa pengambilan data di lapangan. Pertama, tim memastikan data mentah berupa audio dan video tersimpan baik dalam data storage (SD cards) dan cadangan (backup) untuk mencegah data kehilangan, tertukar, terekam ulang, dan terhapus. Kedua, tim mencatat semua aktivitas metadata pada catatan lapangan (fieldnotes) karena semua sample memerlukan bukti konteks. Kehilangan atau kerusakan alat penyimpan fisik data digital dapat mengganggu kelancaran pengumpulan data di lapangan. Lebih jauh, walaupun kehilangan atau kerusakan alat penyimpan fisik (storage) merupakan risiko lumrah dalam penelitian, tim peneliti dapat meminimalkan terbuangnya energi, waktu, atau bahkan dana atas kehilangan atau kerusakan dengan memastikan ada beberapa SD cards pada multiple electronic instruments untuk memastikan speech sample yang direkam tidak terputus hanya karena kapasitas chip penuh, baterai alat perekam habis, atau alat hilang.
198
Pada tahap terakhir, atau setelah pengumpulan data, tim peneliti langsung bertugas mendigitalkan segala bentuk data. Setelah kembali dari lapangan, anggota-anggota tim yang telah diberi tanggung jawab terhadap satu alat segera dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil pengelola data digital dan menginventorisir perolehan data di lapangan dengan menggunakan daftar piranti lunak berikut yang juga direkomendasikan pada literatur metodologi linguistik kontemporer (Nagy & Sharma, 2013, 248-251) dan dapat diunduh secara gratis. Audacity (http://www.audacityteam.org/), atau program audio editing sejenis, yang dapat digunakan untuk melihat frekuensi bunyi dan mengubah file extension audio. Eudico Language Annotation (ELAN) (https://tla.mpi.nl/tools/tla-tools/elan/download/), yaitu program anotasi komprehensif terhadap file audio dan video. Program ini dapat membantu peneliti mengelola data digital dalam satu platform. Program ini mudah untuk diunduh dan digunakan, tidak terlalu membebani memory pada harddisk komputer, dan peneliti dapat mengunggah file video maupun audio pada program ini. Program ini pun dapat mengekspor file langsung ke program toolbox untuk menyusun daftar lema untuk membangun kamus (lihat di butir kedua sebelum terakhir). Praat (http://www.fon.hum.uva.nl/praat/), yaitu program analisis fonetik yang dapat membantu peneliti memeriksa formant, intonasi, pitch, dan analisis akustik lainnya. CLAN (http://childes.psy.cmu.edu/clan/), yaitu program untuk mentranskripsi (transcribing) dan mengkode (coding). Program ini cocok untuk analisis percakapan (conversation analysis) dan konkordansi. Akan tetapi, program ini tidak dapat memperlihatkan file video. Toolbox (http://www-01.sil.org/computing/toolbox/), yaitu program pengelolaan dan analisis data leksikal. Umumnya toolbox dapat membantu peneliti mengelola daftar lema. Program ini cukup sederhana dan mudah dipelajari. Program ini juga tidak terlalu membebani memory pada harddisk komputer dan dapat ber-interface dengan ELAN. FLEx (http://fieldworks.sil.org/flex/), merupakan program pengelolaan dan analisis data leksikal yang lebih komprehensif dibandingkan Toolbox. Dengan FLEx peneliti tidak hanya dapat menganalisa leksis dan menyusun kamus, tetapi juga menganalisis morfologi dan fitur wacana (discourse features). Akan tetapi, installer FLEx memerlukan waktu yang lama karena file-nya besar. Dengan demikian, peneliti perlu memastikan apakah kapasitas memori di komputer memadai untuk aplikasi FLEx. Dalam tahap ketiga (post-data collection) ini pun, ada baiknya sistem penyimpanan file juga dikelola dengan baik, sampai pada hal-hal yang terlihat trivial, misalnya menyimpan dalam folder yang diberi label jelas. Pengelolaan folder digital sama pentingnya dengan pengelolaan data digital, dan dapat dilakukan oleh langsung oleh peneliti, di antaranya: Pengaturan (set up) satu folder khusus di komputer untuk mengakomodasi semua file berisi data digital. Beri judul ‘Data Digital’ pada folder itu. Di dalam folder ‘Data Digital’, peneliti dapat membuat serangkaian folder yang akan membantu mengidentifikasi file dengan cepat pada saat diperlukan. Misalnya, satu folder berisi jenis-jenis file extensions, satu folder berdasarkan tanggal perolehan data di lapangan, nama bahasa, atau topik. Pastikan ada satu folder berjudul program analisis bahasa yang berisi file-file dalam aplikasi tersebut. Contoh, satu folder berjudul ‘ELAN files on Kupang Malay, Feb 5th, 2016’ berisi file aplikasi ELAN yang mengompilasi analisis data bahasa Melayu Kupang. Singkat kata, berikan akses yang mudah dan cepat pada folder data.
199
Jelajah Linguistik
Retrodigitation, yaitu mengubah dan menyimpan data fisik menjadi elektronik. Biasanya langkah ini dilakukan apabila hanya data fisik, atau hardcopy, yang tersedia, misalnya: foto, naskah lama, tulisan lama, dan buku. Retrodigitation dilakukan dengan memindai (scanning) objek-objek fisik tersebut. Langkah ini baik untuk memperkaya metadata dan informasi dokumentasi bagi topik penelitian. Penyimpanan cloud dapat dilakukan apabila peneliti tidak memiliki server sendiri atau server yang cukup besar untuk menampung dan menyimpan semua data digital sebagai cadangan (backup). Umumnya penyimpanan data di cloud dapat dilakukan dengan berlangganan dengan server cloud (https://cloud.google.com/). Pengelolaan data digital yang baik merupakan sumber reliabilitas data penelitian dan langkah awal menuju kinerja penulisan ilmiah berisikan hasil analisis data yang akurat. Perkembangan piranti lunak linguistik (linguistic software) berjalan cukup cepat, sehingga mau tidak mau kita harus dapat mengejar perkembangan itu dan bersedia memperbarui keterampilan meneliti dengan belajar menggunakan software yang relevan. Keterampilan bermetodologi yang bersinergi dengan disiplin ilmu yang lain, terutama teknologi informatika, tidak hanya berujung pada hasil analisis yang lebih berkualitas, namun juga menjadikan penelitian linguistik lebih menarik, ilmiah, dan interdisipliner. RUJUKAN PUSTAKA Chelliah, S. (2013). Fieldwork for language description. Dalam R.J. Podesva, dan D. Sharma (Ed.). Research methods in linguistics. Cambridge: Cambridge University Press. Chiarcos, C., Nordhoff, S., dan Hellmann, S. (2012). The open linguistics working group of the open knowledge foundation. Dalam C. Chiarcos, S. Nordhoff, dan S. Hellmann (Ed.). Linked data in linguistics: Representing and connecting language data and language metadata. Berlin: Springer. Leńko-Szymańska, A. dan Boulton, A. (Ed.). (2015). Multiple affordances of language corpora for data-driven learning. Amsterdam: John Benjamins. Nagy, N. dan Sharma, D. (2013). Transcription. Dalam R.J. Podesva, dan D. Sharma (Ed.). (2013). Research methods in linguistics. Cambridge: Cambridge University Press. Podesva, R.J. dan Sharma, D. (Ed.). (2013). Research methods in linguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
200
Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 201-205 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 2
BINCANG ANTARA KITA DARI DUNIA MAYA APA ARTI “FREE TEST”? From:
[email protected] On behalf of Bambang Kaswanti Purwo Sent: Friday, 12 June 2015 12:03 PM To:
[email protected] Reply To:
[email protected] Subject: [mlindo] apa arti "free test"?
Para anggota milis MLI: Apabila membaca “free test” pada cuplikan iklan untuk masuk menjadi mahasiswa Program Pascasarjana salah satu universitas ini, apa yang dimaksudkan dengan “free test” itu: (a) atau (b), atau ambigu [bisa (a), bisa (b)]? (a) bebas tes [dibebaskan dari kewajiban mengikuti tes] (b) tes gratis [tidak perlu membayar untuk ikut tes]
Terima kasih telah meluangkan waktu menjawab surel ini. Bambang Kaswanti From:
[email protected] On behalf of Evand Halim Sent: Friday, 12 June 2015 12:40 PM To:
[email protected] Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
Dear Prof Bambang, Kalau pendapat saya pribadi menangkapnya (terlepas dari contextual clues, common practice atau common sense) "Free Test" itu artinya pasti yang (b) tes gratis. Menurut saya, hanya ini kemungkinannya, dan tidak ada keambiguan sama sekali. Analaoginya adalah ungkapan-ungkapan seperti: free samples, free consultation. Kalau yang dimaksudkan adalah (a) bebas tes (exemption), saya (hanya feeling tanpa bisa memberikan penjelasan linguistik yang kompleks) mengharapkan struktur yang digunakan agak berbeda, yaitu [ X-free something], sehingga semestinya ditulis "Test-free Admission". Analoginya adalah fat-free yoghurt, tax-free goods.
Bincang antara Kita dari Dunia Maya
Tapi mungkin ini juga akan menarik kalau ada anggota MLI yang merupakan penutur asli bahasa Inggris (inner circle) bisa dimintai pendapatnya. Apakah mungkin kasus di atas merupakan contoh interferensi L1? [bebas (=free); tes (=test), sehingga bebas tes = free + test = free test] Menurut pengamatan saya, sering terjadi kasus serupa. Beberapa teman mengatakan inilah gejala penggunaan bahasa Inggris sebagai lingua franca. Dialek-dialek regional bermunculan dan ungkapan-ungkapan baru dibentuk oleh komunitas penutur bahasa Inggris di luar lingkar dalam. Di kelas penerjemahan saya, pernah seorang juru bahasa di sebuah NGO bercerita bahwa dia menerjemahkan kalimat "UU baru ini perlu disosialisasikan segera" menjadi "the new law must be socialized immediately." Pertama-tama, atasannya yang orang Australia memprotes penggunaan kata socialize dalam konteks tersebut. Menurutnya 'socialize' artinya 'bertemu dengan orang-orang' (semacam hang out begitu). Tapi kemudian teman-teman juru bahasa lain di kantornya terus menggunakan istilah 'socialize' untuk maksud yang sama. Mengejutkannya, di suatu event, si atasannya yang orang Australia tadi malah ikutan menggunakan kata 'socialize' dalam konteks yang sama. Kata teman saya itu, "Akhirnya dia nyerah juga Pak, sama kita". Regards, Evand Halim From:
[email protected] On behalf of Bambang Kaswanti Purwo Sent: Friday, 12 June, 2015 1:31 PM To:
[email protected] Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
Mungkin perlu dibedakan dua kelompok ini – arti “free test” bagi kita (1) yang kurang menguasai bahasa Inggris dan (2) yang menguasai bahasa Inggris? Menarik cerita kasus di NGO itu. Berarti kita berhasil melakukan “kudeta” terhadap penguasa lingkar dalam, ya? Ini hasil iseng tanya ke “google”: Eng-Ind free test – tes gratis Ind-Eng tes gratis – free test bebas tes – free test bebas narkoba – drug free Apakah untuk kasus “free test” ini google sudah terkena pengaruh lingkar luar, sampai-sampai tidak kenal lagi kata exemption? bk
202
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
From:
[email protected] On behalf of Evand Halim Sent: Friday, 12 June 2015 2:12 PM To:
[email protected] Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
Iya Prof, jangan-jangan ke depannya, atas nama "English as a lingua franca", pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing akan menjadi lebih permissive, menoleransi ungkapanungkapan yang 'ungrammatical" atau yang mungkin hanya masuk dalam kelompok "breach of idiomaticity". Maksud saya, ungkapan-ungkapan yang terdengar kaku dari kaca mata penutur asli tapi karena dimengerti oleh komunitas pengguna bahasa itu akan dijadikan pembenaran dan pada akhirnya menjadi beda-beda tipis antara register formal, informal, ungrammatical, dialectal. "As long as you understand, I understand, - Ok-lah...". Yang juga menarik, masih dalam teks tersebut, ungkapan "Special for Alumni of ...", saya kok merasa ini juga 'doesn't sound English'. Dugaan saya ini juga interferensi L1. [ Special = khusus; untuk = for ; special for = khusus untuk ]. Tapi kok rasanya (lagi-lagi) terdengar aneh ya, kalau kita bilang "This test exemption is special for Alumni of..." (untuk maksud "exclusively/solely/limited"). Apa tidak cukup dengan "Only for..." atau langsung "For alumni of..." atau lainnya semacam itu. Atau mungkin saja bisa diterima karena penggalan itu bukan dalam kalimat penuh ya? Ini menarik sih. Saya ingat pengalaman sewaktu di Thailand. Di toko-toko, kalau mencari baju dengan ukuran L, saya akan tanya "Do you have L size?", dan kalau tidak ada, hampir semua penjaga toko akan menjawab "Oh, sorry sir, no have L size, but M size have." Nah di manamana hampir selalu dijawab begitu (no have = tidak ada). Nah besok-besoknya kalau menanyakan ukuran dan tidak ada, saya jawab balik seperti ini, "Oh no have? too bad, ok lah, thank you." Nah ini tampaknya menular . Bagaimana pendapat rekan-rekan anggota MLI yang lain? Regards, Evand Halim From:
[email protected] On behalf of Wayan Sidhakarya Sent: Saturday, 13 June 2015 3:47 PM To:
[email protected] Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
bukankah penutur asli juga memiliki jargon-jargon atau slang-slang yang bisa dikatakan ungrammatical. Di Amerika ada black English, seperti: I dont like no milk. I aint the kind to hang around. (song) kenapa orang Asia bicara slang Asia di salahkan? apa kita mau menyamakan slang dan jargonnya orang indonesia dan dan malaysia? ingat! Orang Amerika bilang cookies orang inggris bilang biscuit; coba orang Am bilang janitor orang inggris atau Ausie bilang apa .. ayo!
203
Bincang antara Kita dari Dunia Maya
From:
[email protected] On behalf of Prihantoro Sent: Sunday, 14 June 2015 7:07 AM To:
[email protected] Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
Prof Bambang, Berdasarkan hasil penelusuran Corpus of Contemporary American English (COCA), frasa 'free test' hanya terdeteksi sebanyak 10 hits. Frasa 'test-free' malah 0 hit, sedangkan tanpa hypen 'test free' menghasilkan 4 hit. Sangat rendah pada sisi produktifitasnya. Ada kemungkinan dimana memang ungkapan ini jarang digunakan oleh penutur asli bahasa inggris. mengenai makna frasa 'free test' sendiri ada satu lagi makna yang didapatkan dari hasil penelusuran COCA, yaitu hasil tes kesehatan yang menyatakan seseorang tidak mengidap satu penyakit: A free test that proves positive should probably be repeated by your own physician; that is usually covered by insurance An angiogram is not what's known, in medical jargon, as a " free test " - an easy way to get information about a patient Can yon tell me where in the Kansas City, Missouri, area I could get the free test for peripheral vascular disease (PVD)? Betty Lamb Grain Valley, Kansas Ada satu frasa dimana 'free' berarti 'gratis' yang dapat diindikasikan dari collocate pada left handside 'discounted'. Namun perlu dipahami bahwa di sini peran 'test' bukanlah sebagai head. At the same time, EPA is researching incentive programs to promote radon testing and mitigation, such as discounted or free test kits, especially for high risk populations. Demikian hasil pembacaaan COCA, yang akan sangat menarik kalau di-counter dengan korpus lain, semisal BNC atau beberapa korpus English as a Foreign Language. Prihantoro Semarang From:
[email protected] On behalf of Stephanus Bala Sent: Sunday, 14 June 2015 3:13 PM To:
[email protected] Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
Saya tidak berani berkomentar terhadap struktur "free test". Saya hanya berharap bahasa Indonesia mau menggunakan "nirtes = bebas tes" dan "tes gratis = bebas biaya tes". Salam bahasa. Stephanus Bala From:
[email protected] On behalf of Bambang Kaswanti Purwo Sent: Monday, 15 June 2015 8:43 AM To:
[email protected] Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
Terima kasih info dari hasil penelusuran corpus ini. Dalam bahasa kita bagaimana, ya, mengatakan pelbagai makna ini? bk
204
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
From:
[email protected] On behalf of Bambang Kaswanti Purwo Sent: Monday, 15 June 2015 8:48 AM To:
[email protected] Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
Ya, tantangan kita untuk memikirkan bagaimana mengatakannya dalam bahasa Indonesia. Apa sesungguhnya makna dari kata bebas? Dalam bahasa Indonesia “bebas rokok” dan “bebas merokok” berlawanan maknanya. bk From:
[email protected] On behalf of Yunanfathur Rahman Sent: Monday, 15 June 2015 9:44 AM To:
[email protected] Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
Begitu juga "bebas parkir" dan "bebas becak" From:
[email protected] On behalf of Dewi Ratnasari Sent: Tuesday, 16 June 2015 12:08 AM To:
[email protected] Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
Saya sangat setuju dg harapan/gagasan pak Stephanus Bala untuk menggunakan istilah "nirtes" dan "tes gratis" sebagai pengganti "free test". Salam, Dewi Ratnasari Prodi Bahasa dan Sastra Jerman FIB Unpad From:
[email protected] On behalf of Wayan Sidhakarya Sent: Wednesday, 17 June 2015 12:05 PM To:
[email protected] Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
jangan terlalu percaya pada google.
205
Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 207-208 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
INDEKS PENULIS Balukh
101
Hara Mayuko
121
Nurhayani
135
Pranowo, Herujiyanto
153
Zaim
173
Indeks
INDEKS SUBJEK Personal Pronouns of Dhao in Eastern Indonesia personal pronoun 101, 102, 103, 104, 111, 112, 116, 117, 118, 120 clitics 101, 102, 103, 104, 106, 107, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 117, 118 argument 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 117, 118, 119, Dhao 101, 102, 103, 104, 105, 107, 108, 109, 111, 112, 113, 115, 116, 117, 118, 119
101
”Bentuk Hormat” Dialek Bahasa Bali Aga dalam Konteks Agama bentuk hormat 121, 122, 124, 125, 126, 128, 130, 131, 133 dialek Bali Aga 121, 124, 131 dialek Bali Dataran 121
121
Javanese and Problems in the Analysis of Adversative Passive adversative 135, 136, 137, 138, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150 accidental 135, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 145, 146, 147, 149, 150 Javanese 135, 136, 138, 140, 143, 145, 146, 147, 148, 149, 150 passive 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150 applicative 135, 136, 137, 138, 139, 141, 144, 145, 146, 148, 149, 150
135
Faktor dan Strategi Pengembangan Budaya Baca melalui Membaca Pemahaman Mahasiswa faktor membaca 153, 155, 158 strategi membaca 153, 155, 159, 166, 167, 168, 170 membaca pemahaman 153, 154, 155, 156, 157, 158, 163, 166, 169, 170 budaya baca 153, 154, 155, 156, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 169, 170 Pergeseran Sistem Pembentukan Kata Bahasa Indonesia: Kajian Akronim, Blending, dan Kliping pembentukan kata 173, 174, 175, 176, 179, 180, 181, 183, 186, 187, 188, 190, 191 akronim 173, 174, 175, 176, 177, 179, 180, 181, 182, 183, 187, 188, 189, 190, 191 blending 173, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 191 kliping 173, 175, 176, 178, 179, 180, 181, 183, 184, 187, 188, 190, 191
208
153
173
Terima Kasih
Redaksi Linguistik Indonesia mengucapkan terima kasih kepada para mitra bebestari yang telah berkenan mereview artikel-artikel yang diterbitkan dalam Linguistik Indonesia edisi Februari dan Agustus 2015, yaitu: 1. Katharina Endriati Sukamto
Unika Atma Jaya
2. Hasan Basri
Universitas Tadulako
3. Mahyuni
Universitas Mataram
4. Bahren Umar Siregar
Unika Atma Jaya
5. Totok Suhardijanto
Universitas Indonesia
6. Yanti
Unika Atma Jaya
7. Umar Muslim
Universitas Indonesia
8. Erni Farida Ginting
Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, Jakarta Field Station
9. Amalia Candrayani
Unika Atma Jaya
Jakarta, Agustus 2015 Redaksi Linguistik Indonesia