MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang bertujuan mengembangkan studi ilmiah mengenai bahasa. PENGURUS MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Ketua : Katharina Endriati Sukamto, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Wakil Ketua : Fairul Zabadi, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Sekretaris : Ifan Iskandar, Universitas Negeri Jakarta Bendahara : Yanti, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya DEWAN EDITOR Utama : Bambang Kaswanti Purwo, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Pendamping : Lanny Hidajat, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Anggota : Bernd Nothofer, Universitas Frankfurt, Jerman; Ellen Rafferty, University of Wisconsin, Amerika Serikat; Bernard Comrie, Max Planck Institute; Timothy McKinnon, Jakarta Field Station MPI; A. Chaedar Alwasilah, Universitas Pendidikan Indonesia; E. Aminudin Aziz, Universitas Pendidikan Indonesia; Siti Wachidah, Universitas Negeri Jakarta; Katharina Endriati Sukamto, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; D. Edi Subroto, Universitas Sebelas Maret; I Wayan Arka, Universitas Udayana; A. Effendi Kadarisman, Universitas Negeri Malang; Bahren Umar Siregar, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Hasan Basri, Universitas Tadulako; Yassir Nasanius, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Dwi Noverini Djenar, Sydney University, Australia; Mahyuni, Universitas Mataram; Patrisius Djiwandono, Universitas Ma Chung; Yanti, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Totok Suhardijanto, Universitas Indonesia. JURNAL LINGUISTIK INDONESIA Linguistik Indonesia diterbitkan pertama kali pada tahun 1982 dan sejak tahun 2000 diterbitkan tiap bulan Februari dan Agustus. Linguistik Indonesia telah terakreditasi berdasarkan SK Dirjen Dikti No. 040/P/2014, 18 Februari 2014. Jurnal ilmiah ini dibagikan secara cuma-cuma kepada para anggota MLI yang keanggotaannya umumnya melalui Cabang MLI di pelbagai Perguruan Tinggi, tetapi dapat juga secara perseorangan atau institusional. Iuran per tahun adalah Rp 200.000,00 (anggota dalam negeri) dan US$30 (anggota luar negeri). Keanggotaan institusional dalam negeri adalah Rp 250.000,00 dan luar negeri US$50 per tahun. Naskah dan resensi yang panduannya dapat dilihat di www.mlindonesia.org dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang sampul jurnal. ALAMAT Masyarakat Linguistik Indonesia Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya JI. Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930, Indonesia e-mail:
[email protected];
[email protected] Tel./Faks.: +62 (0)21 571 9560
FORMAT PENULISAN NASKAH Naskah diketik dengan menggunakan MS Word dikirimkan ke Redaksi melalui e-mail
[email protected] atau dalam bentuk disket dan satu printout. Panjang naskah, termasuk daftar pustaka, adalah minimal 15 halaman dan maksimal 30 halaman, dengan spasi 1.15 dan jenis huruf Times New Roman 11 point. Naskah disertai dengan abstrak sekitar 150 kata dan kata kunci (keywords) maksimal tiga kata. Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa: bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, diletakkan setelah judul naskah dan afiliasi penulis. Gaya penulisan kutipan hendaknya mengikuti format APA (American Psychological Association) versi 6 (petunjuk dasar mengenai cara menulis kutipan menurut format APA dapat dipelajari pada tautan berikut ini: https://owl.english.purdue.edu/owl/resource/560/02/). Untuk kutipan pendek, yaitu kurang dari 40 kata, hendaknya dipadukan dalam kalimat penulis. Kutipan pendek langsung diawali dan diakhiri dengan tanda petik; kutipan pendek tidak langsung tidak perlu menggunakan tanda petik. Untuk kutipan panjang, yaitu lebih dari 40 kata, kutipan diawali di baris baru dengan indent ½ inch dari margin kiri, yaitu dalam tempat yang sama pada paragraf baru. Margin kiri seluruh kutipan mengikuti margin kiri pada awal kutipan. Margin kanan kutipan sama dengan margin kanan paragraf yang lain. Spasi dan ukuran tulisan kutipan tidak berubah. Setiap kutipan harus disertai dengan sumber kutipan berupa nama belakang penulis dan tahun penerbitan, misalnya (Radford, 1997). Untuk kutipan langsung—baik panjang maupun pendek—sumber kutipan juga harus dilengkapi dengan keterangan nomor halaman, misalnya (Radford, 1997, p.215). Catatan ditulis pada akhir naskah (endnote), tidak pada bagian bawah halaman (footnote). Setiap sumber kutipan, baik artikel maupun buku tanpa dipilah-pilah jenisnya, diurutkan menurut abjad berdasarkan nama akhir, tanpa diberi nomor urut. Sesuai dengan format APA, daftar sumber kutipan ditulis sebagai berikut: Untuk buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) initial nama pertama, (4) titik, (5) kurung buka, (6) tahun penerbitan, (7) kurung tutup, (8) titik, (9) judul buku cetak miring, (10) titik, (11) kota penerbitan, (12) titik dua (colon), (13) nama penerbit, dan (14) titik, seperti pada contoh berikut: Levinson, S.C. (2003). Space in language and cognition. Cambridge: Cambridge University Press. Malt, B., & Wolff, P. (2010). Words and the mind. Oxford,UK: Oxford University Press. Untuk artikel dalam jurnal: (1) nama akhir, (2) koma, (3) initial nama pertama, (4) titik, (5) kurung buka, (6) tahun penerbitan, (7) kurung tutup, (8) titik, (9) judul artikel, (10) titik, (11) nama jurnal cetak miring, (10) koma, (11) volume cetak miring, (12) nomor issue dalam kurung cetak tegak (kalau ada), (13) halaman, dan (14) titik, seperti pada contoh berikut: Gentner, D., & Christie, S. (2010). Mutual bootstrapping between language and analogical processing. Language and Cognition, 2(2), 261–283. Li, P., & Gleitman, L. (2002).Turning the tables: Language and spatial reasoning. Cognition, 83 (3), 265–294. Untuk artikel dalam buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) initial nama pertama, (4) titik, (5) kurung buka, (6) tahun penerbitan, (7) kurung tutup, (8) titik, (9) berilah kata “Dalam” untuk artikel dalam Bahasa Indonesia atau “In” (untuk artikel dalam Bahasa Inggris), (10) initial nama pertama editor, (11) titik, (12) nama akhir editor disusul (ed.), atau (eds.) jika lebih dari satu, (13) koma, (14) judul buku cetak miring, ( 15) kurung buka, (16) halaman, (17) kurung tutup, (10) titik, (11) kota penerbitan, (12) titik dua (colon), (13) nama penerbit, dan (14) titik, seperti pada contoh berikut: Dryer, M.S. (2007). Noun phrase structure. Dalam T. Shopen (ed.), Complex Constructions, Language Typology and Syntactic Description (II) (hlm. 151–205). Cambridge: Cambridge University Press. Gleitman, L., & Papafragou, A. (2005). Language and thought. Dalam K.J. Holyoak, & R.G. Morrison (Eds.), Cambridge handbook of thinking and reasoning (hlm. 117-142). Cambridge: Cambridge University Press. Jika ada lebih dari satu artikel oleh pengarang yang sama, nama pengarangnya ditulis ulang, dimulai dengan tahun terbitan yang lebih dulu, mengikuti contoh ini: Swain, M. (1985). Communicative competence: Some roles of comprehensible input and comprehensible output in its development. In S.M. Gass, & C.G. Madden (eds.), Input in second language acquisition (pp. 235–253). Cambridge, MA: Newbury House. Swain, M. (2000). The output hypothesis and beyond: Mediating acquisition through collaborative dialogue. In J.P. Lantold (ed.), Sociocultural theory and second language learning (pp. 97–114). Oxford, England: Oxford University Press.
Daftar Isi Infixation and Apophony in Malay: Description and Developmental Stages Timothy McKinnon, Yanti, Peter Cole, Gabriella Hermon ..............
1
Penetapan Bentuk Fonologis dari Bunyi yang Beralternasi: Satu Aspek Terpenting dalam Sistem Tata Bahasa I Wayan Pastika................................................................................. 21 The Expression of Possession in Some Languages of the Eastern Lesser Sunda Islands Philippe Grangé ................................................................................ 35 The Use of Hedges and Boosters as Rhetorical Devices in the Construction of Speeches Farida Hidayati, Ruswan Dallyono ................................................. 53 Reduplikasi dalam Bahasa Mandar Nurhayati........................................................................................... 73 Resensi: Karen Sullivan Frames and Constructions in Metaphoric Language Diresensi oleh Bahren Umar Siregar ......................................................... 91 Jelajah Linguistik: Lonceng Kematian Teori Tata Bahasa Universal? Yassir Nasanius .......................................................................................... 95 Bincang antara Kita dari Dunia Maya: Revolusi Mental Berawal dari Bahasa ............................................. 97
Linguistik Indonesia, Februari 2015, 1-19 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 1
INFIXATION AND APOPHONY IN MALAY: DESCRIPTION AND DEVELOPMENTAL STAGES Timothy McKinnon* University of Delaware
[email protected] Yanti Atma Jaya Catholic University of Indonesia
[email protected] Peter Cole University of Delaware; Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology
[email protected] Gabriella Hermon University of Delaware; Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology
[email protected] Abstract Malay(ic) languages of Sumatra show a high level of internal diversity. Linguists are only beginning to understand the ways in which these languages differ from one another, and what this divergence tells us about the origins and development of Malay. This paper describes an important morphological phenomenon in Sumatran Malay: morphological word-shape alternations. Kerinci, a Malayic language spoken in the Bukit Barisan range in Jambi, exemplifies this phenomenon. Kerinci exhibits a morphological alternation which is realized in the final –V(C) of roots (e.g. ataʔ ‘roof’ vs. atək ‘the/its roof’) (Prentice & Usman, 1978; Steinhauer & Usman, 1978) inter alia). Previous studies have concluded that word-shape alternations of this sort are attested only in a subregion of Kerinci (cf. Usman, 1988). In this paper, we show that word-shape alternations resembling those found in Kerinci can be found sporadically throughout a large region of Sumatra, in both Minangkabau and Traditional Malay varieties. We describe these phenomena, and develop a historical account of their development. We conclude that word-shape alternations developed independently in several varieties as a result of shared prosodic properties. Keywords: infixation, Malay, historical linguistics
Abstrak Bahasa-bahasa Malayik di Sumatra memiliki keanekaragaman internal yang tinggi. Para ahli bahasa baru saja mulai mengerti bagaimana bahasa-bahasa ini berbeda satu sama lain dan bagaimana perbedaan ini menunjukkan asal-usul dan perkembangan bahasa Melayu. Makalah ini mendeskripsikan sebuah gejala morfologis penting yang ditemukan dalam bahasa Melayu di Sumatra, yaitu perubahan bentuk kata morfologis. Bahasa Kerinci, sebuah bahasa Malayik yang digunakan di Bukit Barisan Jambi, merupakan salah satu bahasa yang menunjukkan gejala morfologis tersebut. Bahasa Kerinci memiliki perubahan morfologis yang diwujudkan dalam kata dasar yang
McKinnon, Yanti, Cole, Hermon
berakhiran –V(K) (misalnya, ataʔ ‘atap’ vs. atək ‘atap itu/atapnya’) (antara lain: Prentice & Usman, 1978; Steinhauer & Usman, 1978). Dalam kajian-kajian sebelumnya disimpulkan bahwa perubahan bentuk seperti ini hanya ditemukan di daerah Kerinci (Usman, 1988). Dalam makalah ini kami tunjukkan bahwa perubahanperubahan bentuk kata seperti yang ditemukan di Kerinci itu juga ditemukan secara sporadis di daerah yang besar di Sumatra, yaitu dalam ragam-ragam bahasa Minangkabau dan Melayu Tradisional. Kami gambarkan gejala-gejala tersebut dan paparkan sebuah penjelasan historis mengenai bagaimana gejala-gejala tersebut dapat terjadi. Kami simpulkan bahwa perubahan-perubahan bentuk kata berkembang sendirisendiri dalam beberapa ragam bahasa sebagai hasil dari sifat prosodik yang sama. Kata kunci: infiksasi, Melayu, linguistik historis
INTRODUCTION Among the Malayic languages, Kerinci is well-known for its unusual morphological characteristics. In many (but not all) Kerinci varieties, roots show apophony of the root-final syllable rime. The following table, which lists several ‘basic’ forms and their respective ‘secondary’ forms, illustrates some of the phonological properties of the alternation as well as its diverse morphological/syntactic functions. (An in-depth description of these functions can be found in works like Steinhauer & Usman, 1978, Usman, 1988, Mckinnon, 2011, McKinnon, Cole & Hermon, 2011, and Ernanda, 2015). (1) Kerinci (Tanjung Pauh) root final alternation1 Basic Form Gloss Secondary Form Gloss gdɨ ‘large’ gdʌŋ ‘enlarge’ or ‘largeness of (something)’ tala͡e ‘rope’ talɨy ‘his/her/the rope’ mala ‘night’ maləŋ ‘last night’ anaʔ ‘child’ anə͡oʔ ‘his/her/the child’ manda͡e ‘bathe’ mandɨy ‘to bathe (someone)’ tidə͡o ‘sleep’ tidɨw ‘to put (someone) to sleep’ Until recently, word-shape alternations have been seen as a peculiarity, restricted to certain Kerinci varieties, but otherwise not found in Malayic languages. Our recent fieldwork in the region has revealed that morphological alternations like those found in Kerinci are also found in several rural Malay varieties spoken well outside of Kerinci. One such variety is Rantau Panjang, a Traditional Malayic variety spoken in upstream Jambi. As the following examples illustrate, the final syllable rime of roots in Rantau Panjang exhibits a morphological alternation. (2) Rantau Panjang root final alternation Basic form Gloss Secondary Form Gloss gaham ‘salt’ gahom ‘his/her/the salt’ anaʔ ‘child’ anoʔ ‘his/her/the child’ ilaŋ ‘disappear’ ŋiloŋ ‘to make something disappear’ bulant ‘round’ bulont ‘to make something round’ api ‘fire’ apih ‘the fire’ baco ‘read’ bacuh ‘to read something’ Although there are similarities between the word-shape alternations in Kerinci varieties and those found in non-Kerinci varieties, there are also important differences. Mckinnon et. al. 2
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No.1, Februari 2015
(under review) distinguish two general types of alternating varieties based on the grammatical distribution of ‘basic’ and ‘secondary’ forms. In so-called ‘weakly’ alternating varieties (which include non-Kerinci varieties as well as some Kerinci varieties, such as Lempur) secondary forms have limited functions, and only appear in environments where a 3rd person pronoun or suffix is attested in other varieties. The following examples show secondary forms and their cognates in a non-alternating variety (e.g. Jambi Malay). (3) Ablaut in Rantau Panjang (RP) and Overt Pronoun in Jambi Malay (JM) RP (Secondary Form) JM (Overt Pronoun) Meaning gahom garam-ɲo ‘his/her/the salt’ anoʔ anaʔ-ɲo ‘his/her/the child’ apih api-ɲo ‘the fire’ (4) Ablaut in Rantau Panjang (RP) and Overt Suffix in Jambi Malay (JM) RP (Secondary Form) JM (Overt Suffix) Meaning pcoh mcah-i ‘to break something’ ŋiloŋ ŋilaŋ-kan ‘to make something disappear’ ŋatun ŋato-kan ‘to say’ In strongly alternating varieties secondary forms do not only exhibit the functions shown in (3) and (4), they also appear in certain phrase-medial contexts. For example, nouns appear in the secondary form when followed by possessors (5), attributive adjectives (6), and demonstratives (7), and active verbs appear in the secondary form when followed by a nominal direct object (8). In weakly alternating varieties, the basic root form appears in these phrasemedial contexts. (5)
Kerinci (Secondary form) mamə͡oʔ kanta͡e
RP (Basic form) mamaʔ kanti
Meaning ‘a friend’s uncle’
(6)
Kerinci (Secondary form) talɨy panǰa
RP (Basic form) tali panǰaŋ
Meaning ‘long rope’
(7)
Kerinci (Secondary form) bidɨwʔ itə͡oh myə͡o tah
RP (Basic form) bidʊʔ-tu macan-tu
Meaning ‘that boat’ ‘that tiger’
(8)
Kerinci (Secondary from) makən rutɨy
RP (Basic form) makan/*makon ruti maŋgaŋ/*maŋgoŋ ayam
Meaning ‘eat bread’ ‘grill chicken’
In terms of their geographic distribution, strongly alternating varieties are spoken in a small yet contiguous sub-region of Kerinci, whereas weakly alternating varieties are spoken throughout a much larger region, and are interspersed with varieties that do not exhibit an alternation.
3
McKinnon, Yanti, Cole, Hermon
The aims of this paper are to describe the properties of apophony in so-called weakly alternating varieties and to provide an account of how this alternation developed historically. We shall argue that morphological apophony developed independently in several varieties, and that its development can be seen as a consequence of prosodic characteristics shared by Malayic varieties spoken throughout the region. Specifically, we claim that secondary forms derive historically from forms in which prosodically weak pronouns and suffixes underwent gradual phonological reduction. In this paper we focus exclusively on weakly alternating varieties for several reasons: First, weakly alternating varieties have not yet been described in any detail. Secondly, weakly alternating varieties are quite conservative in terms of their phonology. Thus, from these varieties, we can reliably infer which historical changes have led to the development of the alternation. In contrast, strongly alternating varieties have undergone complex historical changes that obscure the historical origins of morphological apophony. Thirdly, we wish to avoid addressing the historical relationship among weakly and strongly alternating varieties, because this issue is addressed comprehensively in Mckinnon, Cole, Hermon, and Yanti (under review). The present paper provides an in-depth description of weakly alternating varieties, which, due to limitations of length and scope, could not be addressed in Mckinnon, et al. (under review). STRUCTURE OF THE PAPER The paper is structured as follows: The next three sections of this paper describe the phonological properties of apophony in weakly alternating varieties. Our general claim is that morphological apophony developed as a result of phonological reduction of post-root morphology (e.g. suffixes and the 3rd person pronoun). Accordingly, we classify varieties based on the degree to which post-root morphemes have become phonologically reduced. Weakly alternating varieties can be described as belonging to three distinct groups, representing three progressive historical stages, i.e. stages II, III, and IV below.
4
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No.1, Februari 2015
I. II.
Original Stage: Post-root pronoun/suffix occurs as a separate syllable. Reduced Stage: Post-root pronoun/suffix is highly reduced and appears as part of the rootfinal coda with some or all of the bases to which it attaches. III. Infixation Stage: Post-root pronoun/suffix becomes an infix appearing in the final syllable of the word. IV. Morphologically Incorporated Stage: Post-root pronoun/suffix is no longer a distinct morpheme; rather, it is marked via a morphophonological change in the base-final syllable. These historical stages can be illustrated in brief by looking at the form of makan ‘eat’ as it appears with the 3rd person pronoun. Jambi Malay (Yanti, 2010) represents stage I. The pronoun occupies a distinct syllable following the root. (9) Jambi Malay: makan-ɲo | | base pro Stage II is illustrated by Tapus, a variety of Minangkabau spoken near the northern border of West Sumatra. In this variety, the pronoun occurs in a phonologically reduced form. The pronoun appears at the right edge of the base makan, and receives some of its feature specifications from the coda of the base. (10) Tapus Minangkabau: makan-n [makan:] | | base pro Stage III is illustrated by Jernih Sarolangun, a variety spoken in the Air Hitam region of Sarolangun, Jambi. In this variety, the pronoun has become a phonological infix i.e. the pronoun, which historically was a suffix, precedes the final coda and exhibits some assimilation to the preceding vowel. In Jernih Sarolangun, the infixed vowel assimilates to the final syllable nucleus of the base makan (pronounced as makat or makatn in phrase-final positions (see Mckinnon et. al.)). (11) Jernih Sarolangun Base / \ maka-a-n | pro Stage IV is illustrated by Rantau Panjang, a variety of Malay spoken in upstream Jambi to the north of Bangko on the Trans-Sumatran Highway. In Rantau Panjang, the pronoun morpheme is no longer retained as a distinct segment; instead, the pronominal function is marked via a morphophonological rule which affects the final rime of the word. In its secondary form, the final vowel of the root makan becomes o.
5
McKinnon, Yanti, Cole, Hermon
(12) Rantau Panjang Basic form Secondary form makan > makon In the final section of the paper, following our description of varieties belonging to the aforementioned groups, we discuss the historical relationship between weakly alternating varieties. The fact that changes with similar functions occur in a wide variety of languages might seem to suggest that the changes in weakly alternating varieties are all derived from a shared historical innovation in an earlier variety of Malayic. While such an analysis is initially attractive, we shall argue that it is not the correct analysis. This is because the phonological manifestations of the changes are too different in the varieties considered to derive from a shared innovation. Instead, we shall argue that the innovations developed in parallel, and were due to shared phonological pressures (a shared “problem”) that received differing solutions in different weakly alternating varieties. STAGE II: VARIETIES WITH PHONOLOGICALLY REDUCED POST-ROOT MORPHOLOGY Tapus Minangkabau and Lempur Tengah, Kerinci, both illustrate Stage II, i.e. post-root morphology appears in a phonologically reduced form at the right edge of the root/base. Tapus Minangkabau Tapus is a variety which illustrates an initial stage in the gradual reduction of root-final morphology. The pronoun in this variety is an underspecified segment exhibiting the features [nasal] and [sonorant], which attaches to the right edge of its base. The [place] (i.e. oral place) and [consonant] (when present) features of this segment are determined via spreading from the final segment of the base.2 (13) Spreading in secondary form: a. V-final or Vʔ/h final bases: [place] [nasal] [sonorant]
...V
(ʔ/h)
X
b. VC-final bases: [place] [cons.] [nasal] [sonorant]
...V
C
X
Thus, in bases containing a monophthong in final position, the secondary form surfaces with a nasal vowel with the same features as the base final vowel.3
6
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No.1, Februari 2015
(14) Alternation in roots with final monophthong: -V# Basic Form Secondary Form Malay -i padi padiĩ padi -u kayu kayuũ kayu -o raǰo raǰoõ raǰa -a gata gataã gatal
English ‘rice (unhusked)’ ‘rich’ ‘king’ ‘itch’
Glottal segments do not trigger or block feature spreading in the derivation of secondary forms. The following examples all contain glottal codas in final position. As in the examples above, the additional [nasal] segment marking the secondary form exhibits [place] features which are identical to the final vowel in the base. (15) Alternation in roots with final glottal: Rime Basic Form Secondary Form -iʔ gigiʔ gigiʔĩ -eʔ padeʔ padeʔẽ -aʔ togaʔ togaʔã -oʔ gonoʔ gonoʔõ -ih gadih gadihĩ -eh ǰoleh ǰolehẽ -ah basah basahã
Malay gigit padat təgaʔ gənap gadis ǰəlas basah
English ‘to bite’ ‘dense’ ‘to stand up’ ‘even/whole’ ‘girl/virgin’ ‘clear’ ‘wet’
In words containing a diphthong or sequence of vowel and glide in the final coda, the [place] features of the glide spread in the secondary form. In the two data sets below, bases in the first set do not exhibit a final coda; whereas, in the second data set each of the bases contains a glottal coda. (16) Bases with final diphthongs Rime Basic Form Secondary Form -ia bibia bibiaã a a -u caŋku caŋkuaã -ay lantay lantayĩ -aw hiǰaw hiǰawũ
Malay bibir caŋkul lantay hiǰaw
English ‘lips’ ‘mattock’ ‘floor’ ‘green’
(17) Bases with final diphthong followed by glottal coda Rime Basic Form Secondary Form Malay a -i h borosiah brosiahã bərsih -uaʔ buruaʔ buruaʔã buruk -uah subuah subuahã subuh - i aʔ baliaʔ baliaʔã balik -uyʔ cabuyʔ cabuyʔĩ cabut
English ‘clean’ ‘ugly’ ‘dawn’ ‘return’ ‘pull out’
Bases in which the final segment is a nasal stop exhibit secondary forms in which the same nasal segment is realized with noticeably longer duration. (18) Alternation in roots with final nasal stop: Rime Basic Form Secondary Form Malay -m musim musim: musim -n diŋin diŋin: diŋin a a -ŋ kambi ŋ kambi ŋ: kambiŋ
7
English ‘season’ ‘cold’ ‘goat’
McKinnon, Yanti, Cole, Hermon
(19) Alternation in roots with final oral stop: -VC# Basic Form Secondary Form -p waǰip waǰipm titip titipm -t adat adatn dompɛt dompɛtn
Malay wajip titip adat dompet
English ‘mandatory’ ‘entrust’ ‘customary law’ ‘wallet’
To summarize, the pronoun is phonologically reduced in Tapus, and ‘relies’ on the final segments of the root for its featural content. Lempur Tengah Post-root morphology is also reduced in Lempur Tengah, and like Tapus, the featural specification of this morphology depends in large part on the phonological properties of the root. With most roots, the third person pronoun is realized as a schwa-like segment with very short duration compared to the root-final syllable (20). However, when the final coda of the root is a glottal sound ([h] or [ʔ]), this schwa-like segment assimilates in place of articulation to the vowel immediately preceding the glottal stop (20). (20) Lempur Tengah (Kerinci): reduced pronoun/suffix a. pronoun/suffix realized as schwa panǰe ‘long’ > panǰeə tanam ‘plant’ > tanamə lantay ‘floor’ > lantayə dɛnʌw ‘lake’ > dɛnʌwə biçʊl ‘boil (skin)’ > bisyʊlə b. pronoun/suffix harmonizes w/final vowel lmaʔ ‘fat/tasty’ > lmaʔa tgʌʔ ‘stand’ > tgʌʔʌ tpoʔ ‘clap/slap’ > tpoʔo panah ‘arrow’ > panaha gɛǰʌh ‘elephant’ > gɛǰʌhʌ iblih ‘evil spirit’ > iblihi naŋeh ‘cry’ > naŋehe haluyh ‘fine’ > haluyhi buŋkuyh ‘pack’ > buŋkuyhi puteh ‘white’ > putehe Therefore, much as in Tapus, Lempur represents a variety wherein the root-final morphology has undergone phonological reduction. In both varieties, the pronoun is phonologically underspecified, and its surface manifestation is in part determined by the phonological properties of the base to which it attaches (though it reflects the properties of the base in different ways in each case).
8
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No.1, Februari 2015
STAGE III: VARIETIES WITH INFIXED POST-ROOT MORPHOLOGY Tapan (West Sumatra) and Jernih, Sarolangun (Jambi), are both representative of Stage III, i.e. the reflexes of post-root morphemes behave as infixes for some (Tapan) or all (Jernih) bases. Tapan Tapan is a Malayic variety spoken in the Pesisir region of West Sumatra, near the border with Bengkulu. Gil, Kurniati, Wichmann, and Putri (2011) have argued that Tapan, along with Muko-Muko (Bengkulu) and other varieties spoken in this region is a variety of Lunangic, a divergent branch of Minangic. The variety we describe here is spoken in the village of Binjai. This variety shows different phonological properties from the variety spoken in the Tapan Kota (Tapan City) (Gil & Mckinnon, 2014). In Tapan, the 3rd person pronoun is phonologically reduced, as in Tapus and Lempur. According to speakers’ judgments, this morpheme does not constitute a separate syllable. In contrast with the other varieties, in Tapan the pronoun does not always appear at the right edge of the base to which it attaches. In fact, the position of the pronoun is determined by the properties of the final coda. For bases containing an open final syllable, [-low] vowels are inglided and [+low] vowels are lengthened. (21) Tapan: Vowel final bases a. Forms ending with a [-low] vowel matu > matua ‘eye’ piki > pikia ‘think’ bibe > bibea ‘lips’ b. Forms ending with [+low] vowel miǰa > miǰa: ‘table’ acara > acara: ‘event’ maŋga > maŋga: ‘million’ In bases ending with most types of consonants, the reduced morpheme is articulated as a reduced [-high] vowel after the final coda. In addition, the presence of the morpheme causes the root-final vowel to become somewhat lengthened. Thus, in terms of where it is realized phonetically, the reduced morpheme ‘straddles’ the final coda, rather than preceding or following it. (22) Tapan: bases ending with consonants minum > minu:ma ‘drink’ ayam > aya:ma ‘chicken’ bulan > bula:na ‘moon’ a diŋin > diŋin ‘cold’ ada > ada:pa ‘to face’ laŋit > laŋi:ta ‘sky’ a dawat > dawa:t ‘ink’ cabut > cabu:ta ‘pull out’ a bəkas > bəka:s ‘used, former’
9
McKinnon, Yanti, Cole, Hermon
ǰudul iǰaw latay bʁeh mutah daʁah anaʔ ləmaɁ lambeɁ
> > > > > > > > >
ǰudu:la iǰa:wa lata:ya bʁe:ha muta:ha daʁa:ha ana:ʔa ləma:Ɂa lambe:Ɂa
‘title’ ‘green’ ‘floor’ ‘rice (uncooked)’ ‘vomit’ ‘blood’ ‘child’ ‘tasty/fat’ ‘slow’
For bases in which the final rime contains a [+high] nucleus and a glottal coda, in the secondary form the base-final vowel is inglided and weak vocalic articulation follows the glottal segment. (23) Tapan: bases/roots ending with a [-low] vowel followed by [–h]/[-ʔ] putih > putiaha ‘white’ a a buʁuɁ > buʁu Ɂ ‘ugly’ adiɁ > adiaɁa ‘younger sibling’ a a itiɁ > iti Ɂ ‘duck’ These examples show that the pronoun is neither situated in a position preceding the coda, nor is it situated after the final coda (as is Tapus). In other forms, the pronoun appears to coalesce with an underlying coda consonant. In bases ending with the velar nasal stop the derivation of the secondary form involves one of two patterns. First, in forms ending with a velar nasal where this segment is from historical *ŋ, this segment is replaced with a non-syllabic nasal vowel in the secondary form, as illustrated below. (24) Tapan Binjai: pronominal morpheme and base ending with -ŋ: bases ending with /ŋ/ udaŋ udaã ‘shrimp’ a idu ŋ iduã ‘nose’ a ã kambi ŋ kambi ‘goat’ goreaŋ goreã ‘fry’ a ã boho ŋ boho ‘lie’ Secondly, some forms exhibit a ‘excrescent’ velar nasal in final position i.e. a nasal sound inserted historically in word final position after the high vowels *i# and *u#. In these forms, the final velar nasal in the base form is replaced by a non-syllabic oral vowel in the secondary form. (25) Tapan Binjai: Pronominal morpheme and bases ending with an ‘excrescent’ nasal kakiŋ kakia ‘leg’ kayuŋ kayua ‘wood’ taliŋ talia ‘rope’ atuŋ atua ‘ghost’ In summary, we have seen that the reduced pronominal morpheme replaces or coalesces with the final coda in bases which otherwise surface with a velar nasal stop. Moreover, in bases with other types of final codas, the pronominal morpheme ‘straddles’ the final coda segment.
10
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No.1, Februari 2015
Based on these facts, Gil and Mckinnon (2014) argue that the pronoun coalesces with the segment which occupies the final coda of the root. Assuming this analysis is correct, Tapan represents an intermediate stage between varieties in which the pronoun/suffix is realized as a suffix and varieties where it is realized as an infix. Jernih Sarolangun In Jernih, the reflex of the 3rd person pronoun/suffix occurs as a phonologically reduced segment which precedes the final coda of the base, and thus behaves like an infix. However, in addition to behaving like an infix, the pronoun/suffix may also cause changes in the final vowel nucleus and consonant coda of the base, changes in vowel height and debucalization of the coda consonant. Let us consider bases ending in closed syllables before turning to bases ending with open final syllables. If the base contains a final coda, the reduced pronoun/suffix is realized as ingliding following a [-low] nucleus, and as lengthening with a [+low] nucleus.4 (26) Jernih: Bases with a final coda a. Forms ending with [-low] vowel Basic Form 3rd Person/Suffix dʊdʊɁ dʊdʊ:əɁ habɪnt habɪ:ənt cəlomp cəlo:əmp laher laheər
‘sit’ ‘crescent’ ‘to dip’ ‘neck’
b. Forms ending with a [+low] vowel Basic Form 3rd Person/Suffix Gloss anaɁ ana:Ɂ ‘child’ panayç pana:yç ‘hot’ pʊtaʁ pʊta:ʁ ‘turn’ tanam tana:m plant’ In bases ending with a rime containing a low vowel nucleus (a or ɒ) followed by one of the coronal codas t or (y)ç, the addition of the reduced morpheme may also cause fronting and raising of the vowel ([+low] → [e]) as well as debucalization of the coda consonant ([t]→[Ɂ] and [(y)ç]→ [h]). (27) Vowel raising/fronting and debuccalization Basic Form Pronoun/Suffix Gloss balɒyç > balɒ:yç or bale:əh ‘reply’ kəʁayç > kəʁa:yç or kəʁe:əh ‘hard’ padɒnt > padɒ:nt or pade:əɁ ‘dense’ səsant > səsa:nt or səse:əɁ ‘off course’ Now, let us consider bases which end with an open syllable. When the reduced postroot morpheme appears with a base ending with the low vowel a, the morpheme is realized as lengthening of this vowel (e.g. ʊsaha ‘effort’ vs. ʊsaha: ‘his/her/the effort’). With bases that end with a non-low vowel, the reduced morpheme is realized as a central glide.
11
McKinnon, Yanti, Cole, Hermon
(28) Jernih: Vowel final bases Forms ending with [-low] vowel Basic Form 3rd Person/Suffix ɪbʊ ibo:ə lʊpʊ lʊpo:ə bəliy bəlɪ:ə y mati matɪ:ə w hapu hapʊ:ə ɪnduw ɪndʊ:ə
Gloss ‘sad’ ‘forget’ ‘buy’ ‘dead’ ‘broom’ ‘long for’
Some additional discussion of these forms is warranted, since the addition of the reduced morpheme may cause additional changes in the quality of the root-final vowel. First, in forms which historically end with a high vowel, this vowel is inglided in the citation form; however, when such forms occur with the reduced morpheme, the final vowel is realized as a slightly lowered high monophthong (e.g. bəliy ‘buy’ vs. bəlɪə ‘the/its buying’; ɪnduw ‘long for’ vs. ɪndʊə ‘his/her/the longing’).5 Secondly, in many bases which exhibit the high vowel [ʊ] in final position in citation form, this vowel surfaces as [o] in forms containing the reduced morpheme (e.g. lʊpʊ ‘forget’ vs. lupo:ə ‘his/her/the forgetting’). An analogous alternation between [ɪ] and [e] is found in a very limited number of forms (e.g. gawɪ ‘work’ vs. gawe:ə ‘his/her/the work’).6,7 The following diagram summarizes changes in vowel quality between citation forms and forms containing a reduced pronoun/suffix. (29) Jernih: changes in final vowel quality (form with reduced pronoun/suffix → citation form) iy high & diphthongized uw high
ɪ e
mid
ʊ o
ɒ a In summary, both Tapan and Jernih Sarolangun are varieties in which the pronoun (and suffix) are phonologically incorporated into the base. In the case of Tapan, the pronoun is attached directly to the final coda position of the base; whereas, in Jernih Sarolangun the pronoun directly precedes the final coda of the base. Moreover, in addition to being phonologically realized as an infix, the reduced morpheme in Jernih also causes changes in the nucleus vowel and coda rime of the final syllable of its base. In this sense, the reduced pronoun/affix in Jernih represents a transitional variety between varieties where the pronoun/suffix is a distinct segment which is added to a base (e.g. Tapus and Tapan) and varieties in which the historical pronoun/affix is realized via a morphophonological rule.
12
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No.1, Februari 2015
STAGE IV: POST-ROOT MORPHOLOGY IS REALIZED VIA A MORPHOPHONOLOGICAL RULE Rantau Panjang In Rantau Panjang, unlike the other varieties we have discussed, post-root morphology is not reflected as a reduced suffix or infix, but rather as a morphophonological rule which affects the properties of root final vowels. The derivation of the ablaut form (which occurs in environments where a 3rd person pronoun or suffix occurred historically) involves raising the final vowel of the base and insertion of [h] into coda position (when that position is empty). This derivation is illustrated by the diagram below:8 (30)
CLOSED RIME Front
Back
OPEN RIME Front
High
i
u
High
i/ia ih
u/ua uh
Mid
ɪ e
ʊ o
Mid
e
o
Low
a
Back
oh
a
Roots for which the final rime contains the low vocalic nucleus /a/, for example, exhibit a secondary form rime containing the mid nucleus [o]. (31) Rime -ay -aw -aɁ -ah -a -al -aŋ -an -am -amp
Basic Form capay santay pulaw kidaw tgaɁ paǰaɁ dirah gtah data dŋa tiŋgal paŋkal kɲaŋ bayaŋ uǰan kanan alam malam taŋkamp siyamp
Secondary Form capoy santoy pulow kidow tgoɁ paǰoɁ diroh gtoh datoh dŋoh tiŋgol paŋkol kɲoŋ bayoŋ uǰon kanon alom malom taŋkom siyomp
13
Gloss 'reach/achieve' 'relax' 'island’ 'left handed' 'stand' ‘tax’ ‘region’ ‘sap’ ‘flat’ ‘hear’ ‘stay’ ‘base’ ‘full (not hungry)’ ‘shadow’ ‘rain’ ‘right’ ‘nature’ ‘night’ ‘catch’ ‘ready’
McKinnon, Yanti, Cole, Hermon
-ant
ktant liwant
ktont liwont
‘tight’ ‘pass by’
For bases in which the final syllable contains the mid vowels /e/ or /o/, the rime of the secondary form will contain high nucleus [i] and [u], respectively. (32) Rime -eh -eʔ -o
Basic Form maleh lpeh kbeɁ biheɁ mato pso
Secondary Form malih lpih kbiɁ bihiɁ matuh psuh
Gloss ‘lazy’ ‘release’ ‘tie’ ‘weight’ ‘eye’ ‘force’
Likewise, in base forms containing the nuclei /ɪ/ and /ʊ/, the rime of the secondary form contains the high vowels [i] and [u], respectively. (33) Rime -ʊh -ʊɁ# -ʊŋ# -ʊl# -ʊr# (34) Rime -ɪh -ɪɁ -ɪŋ
-ɪl -ɪr
Basic Form plʊh guhʊh masʊɁ gpʊɁ kŋkʊŋ kampʊŋ kumpʊl bakʊl ǰuǰʊr giyʊr
Secondary Form pluh guhuh masuɁ gpuɁ kŋkuŋ kampuŋ kumpul bakul ǰuǰur giyur
Gloss ‘sweat’ ‘thunder’ ‘enter’ ‘fat’ ‘throat’ ‘village’ ‘gather’ ‘basket’ ‘fair/honest’ ‘flatter’
Basic Form lbɪh pilɪh naɪɁ udɪɁ pihɪŋ malɪŋ ǰiɲǰɪŋ asɪl tampɪl lahɪr ahɪr
Secondary Form lbih pilih naiɁ udiɁ pihiŋ maliŋ ǰiɲǰiŋ asil tampil lahir ahir
Gloss ‘more’ ‘choose’ ‘ascend’ ‘north/upstream’ ‘plate’ ‘steal’ ‘carry in hand’ ‘result’ ‘appearance’ ‘be born’ ‘end’
An additional property of the alternation is that, for bases ending with open syllables, the secondary form appears with the final coda [h]. Thus, for bases containing a final non-high vowel, the same vowel in the secondary form is raised along the same lines as the examples above, and [h] appears in the final coda position.
14
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No.1, Februari 2015
(35) Rime -a
-o
-e
Basic Form tawa miǰa kǰa blanǰo mato dniyo cabe tante lunte
Secondary Form tawoh miǰoh kǰoh blanǰuh matuh dniyuh cabih tantih luntih
Gloss ‘offer’ ‘table’ ‘pursue/chase’ ‘shopping’ ‘eye’ ‘world’ ‘chili’ ‘aunt’ ‘prostitute’
In roots which contain an open final syllable with a high vowel, this vowel remains the same in the secondary form and [h] occupies the final coda. (36) Rime -u
-i
Basic Form abu bumbu pintu tiŋgi ati pagi
Secondary Form abuh bumbuh pintuh tiŋgih atih pagih
Gloss ‘ash’ ‘spice’ ‘door’ ‘tall’ ‘liver’ ‘morning’
The inglided vowels ia and ua behave in much the same way as monophthongs in open syllables. In the secondary forms of such roots, ingliding is lost (i.e. ia and ua become i and u, respectively), and [h] is inserted as a coda. (37) Rime -ua
-ia
Basic Form ukua ancua dapua pikia ilia liyia
Secondary Form ukuh ancuh dapuh pikih ilih liyih
Gloss ‘measure’ ‘destroy’ ‘kitchen’ ‘think’ ‘south’ ‘neck’
In summary, in Rantau Panjang, unlike Tapan, Tapus, Lempur, and Jernih Sarolangun, the reflex of the 3rd person pronoun and suffix is a regular morphophonological rule which raises the base final vowel (and, in the case of final open syllables, inserts h into coda position).9 CONCLUSION In this paper, we have described key phonological properties of weakly alternating traditional Malay varieties. The data we have presented not only illustrate the fact that weakly alternating varieties are spoken across a wide geographic region of Sumatra, they also show that the alternation is manifested in phonologically diverse ways across the region. We have shown that weakly alternating varieties differ in the degree to which historical post-root morphology has been incorporated into the base phonologically. In Tapus and Lempur Tengah, varieties which we described as exhibiting ‘Stage II’ alternations, historical post-root morphemes have undergone considerable phonologically reduction, yet they remain in their historical position, at
15
McKinnon, Yanti, Cole, Hermon
the right edge of the base. In Jernih Sarolangun and Tapan, varieties which we described as having ‘Stage III’ alternations, the historical post-root morphemes are reflected as reduced segments which are phonologically incorporated into the base as an infix in most forms. Finally, in Rantau Panjang, which exhibits ‘Stage IV’ alternations, we observed that the historically post-root morphemes are not segmentable, but rather constitute a regular morphophonological rule affecting the base. Having established phonological reduction and incorporation as prevalent historical process in Malayic varieties in Sumatra, the question arises whether apophony developed as a result of shared innovations within a single branch of Malayic or whether these changes occurred independently in several regions. We see strong evidence in favor of the view that the alternation developed independently. In particular, a shared innovation analysis fails to account for the sporadic distribution of alternating varieties. As we have seen, the word-shape alternations are found both in Minangkabau and non-Minangkabau varieties. Although our current understanding of the internal genetic classification of Malayic languages in Sumatra is quite limited, dialectology in the region has demonstrated the existence of some shared phonological changes which argue for classifying Minangkabau(ic) as a distinct genetic group. It has been observed that in most ‘core’ Minangkabau varieties root-final obstruents were lost historically (i.e. *-up,*-ut > -uyʔ; *-it>iʔ; *-at>-eʔ; *-ap>-oʔ; *-as>-eh) and historical high vowels *i and *u in final syllables became inglided before certain final codas (some or all of the following: __r#; __l#, __ʔ#, __h#, __ŋ# ). Tapus underwent these same changes historically (as is evident from the examples we presented earlier). If the development of the word-shape alternation were an innovation shared by Tapus and other non-Minangkabau varieties, like Rantau Panjang and Jernih Sarolangun, and thus predated the development of Minangkabau as a distinct branch of Malayic, we would expect that ‘core’ Minangkabau varieties would also exhibit a word-shape alternation similar to the alternation found in Tapus; however, this is not the case. These facts lead us to conclude that the Tapus alternation developed independently within Minangkabau. Minangkabau varieties aside, we also find evidence that the word-shape alternation in the Malay varieties of Jambi developed independently. This can be seen by comparing the phonological realization of the alternation in Jernih Sarolangun, Rantau Panjang, and Lempur Tengah. As we have seen, in Jernih the secondary form is primarily manifested via insertion of schwa or a low vowel between the final coda and final vowel of the root. In contrast, in Rantau Panjang, the secondary form is marked by vowel raising and insertion of a coda [h], without lengthening. In Lempur, the alternation is realized by insertion of a vowel which assimilates to the final vowel of the root, and thus exhibits allomorphs with diverse phonetic properties. The diverse phonological manifestation of the alternation suggests that the alternation developed independently in each variety. This being said, the fact that in so many varieties the secondary form is marked by insertion of a phonologically reduced morpheme suggests that shared language internal pressures lead to the development of the weak alternation. Specifically, we propose that postroot morphology appears in a prosodically weak position. Moreover, taken together, the alternating varieties we have described above illustrate a particular diachronic path in the development of root-shape alternations, as represented in (38), whereby post-root morphemes (e.g. pronouns, applicative markers) underwent gradual phonological reduction, first losing their status as distinct syllables, and then becoming phonologically manifested as a reduced sonorant 16
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No.1, Februari 2015
segment situated in the final syllable of the base (as a coda (e.g. Tapan) or nucleus (e.g. Jernih, Sarolangun)). From this stage, coalescence of the pronoun/suffix segment with the nucleus lead to the development of a morphophonological alternation of the type observed in weakly alternating varieties. (38) Path of diachronic change Post-root suffix/3rd person pronoun is not stressed, but occupies a distinct syllable (Malay: non-alternating varieties)
Post-root suffix/3rd person pronoun is phonologically reduced (Tapus, Lempur Tengah)
Post-root suffix/3rd person pronoun no longer syllabic, is syllabified in coda (Tapan)
Post-root suffix/3rd person pronoun is metathesized into the base (Jernih Sarolangun, Dusun Baru Sarolangun)
Post-root suffix/3rd person pronoun is metathesized into the base Post-root suffix/3rd person pronoun merges with nucleus of base, becomes morphophonological alternation (Rantau Panjang) NOTES * The authors would like to thank the two anonymous reviewers for their helpful comments on the earlier version of this paper. Our deepest gratitude to Takiddin, Ade Putra, Midun, Doli Syahmandra, Santi Kurniati, Fadlul Rahman, Yessy Prima Putri, Fitri, Elian Safrika, Lidya Emilda, Yosephine, and Hengky Firmansyah for their various contributions to this work. We would also like to thank Uri Tadmor, David Gil, Karl Anderbeck, Bernard Comrie, Martin Haspelmath, and John Bowden for their helpful insights on this paper. This project was supported in part by the National Science Foundation (BSC-1126149), the Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, the American Institute for Indonesian Studies, and Atma Jaya Catholic University of Indonesia. 1 All data in this paper are transcribed in the International Phonetic Alphabet, except for the voiceless palatal stop, the voiced palatal stop, and the palatal glide, which for reasons of simplicity are transcribed as ‘c’, ‘ǰ’, and ‘y’, respectively.
17
McKinnon, Yanti, Cole, Hermon
2
We assume phonological features are privative; accordingly, we also assume that vocalic and glottal segments do not contain a feature [consonant]. We assume that the glottal sounds do not exhibit these features and thus are ‘invisible’ to spreading. 3 Although, as in other Minangkabau and Malayic varieties, vowels in Tapus are predictably nasalized following nasal consonants (e.g. tamũ ‘guest’), the echoed vowels appearing in the secondary form seem to exhibit a higher degree of nasality (e.g. tamũũ̃ ‘the guest’). 4 As in Lempur, the addition of the suffix also affects the realization of final stop segments. In final position, the reflexes of *m, *n, and *ŋ are realized as pm, tn, and kŋ in phrase-final position, except in forms where the preceding onset is a nasal segment. In secondary forms, these final stops are consistently realized as nasal stops regardless of phrasal position. 5 We analyze the high diphthongs iy and uw as allophones of underlying monophthongs. We have observed that dipthongization of these vowels occurs in phrase final positions. 6 There is some evidence in our database (albeit rather inconsistent) to suggest that the alternations [ɪ]~[e] and [ʊ]~[o] are phrasally conditioned. For example, one finds the form gawe in phrase internal environments e.g. preceding a possessor gawe lakɪə (work husband-pro) ‘her husband’s work’. 7 The alternation [ʊ]~[o] is robust, and involves roots ending with Proto-Malayic *a#. 8 In Rantau Panjang, some secondary forms of bases ending with /h/ or an open syllable appear with the suffix -n. These forms are cognates of morphologically complex forms which, in other varieties of Malay, occur with peN--an, -an or an applicative suffix. We see -n as a phonologically reduced morphological remnant of such affixes. 9 Not all roots alternate; however, the set of roots which fail to alternate is predictable, and includes forms in which the final rime is closed and contains a high vowel. Non alternating forms: -int laŋint ‘sky’ -in aŋin ‘wind’ -unt takunt ‘afraid’ -un daun ‘leaf’ -imp gaimp ‘magic’ -im musim ‘season’ -ump tutump ‘close’ -um minum ‘drink’
REFERENCES Ernanda. (2015). A grammatical description of Pondok Tinggi Kerinci. Unpublished manuscript, University of Leiden, Leiden. Gil, D., Kurniati, S., Wichmann, S., & Putri, Y.P. (2011, June). Tapan: An exploration in Malayic subgrouping. Paper presented at the Fifteenth International Symposium on Malay/Indonesian Linguistics, Universitas Islam Negeri Malang, Malang, Jawa Timur, Indonesia. Gil, D., & Mckinnon, T. (2014, May). Codas with vowels in Western Sumatra. Paper presented at the 24th Annual Meeting of the Southeast Asian Linguistics Society, Yangon University, Myanmar. McKinnon, T. (2011). The morphophonology and morphosyntax of Kerinci word-shape alternation (Unpublished doctoral dissertation). University of Delaware, Newark. McKinnon, T., Cole, P., & Hermon, G. (2011). Object agreement and 'pro-drop' in Kerinci Malay. Language, 87(4), 715-750. McKinnon, T., Cole, P., Hermon, G., & Yanti. (under review). From allophony to syntax in Malay. Manuscript submitted for publication.
18
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No.1, Februari 2015
Prentice, D.J., & Usman, A.H. (1978). Kerinci sound-changes and phonotactics. In S.A. Wurm & L. Carrington (Eds.), second international conference on Austronesian Linguistics, fascicle I, Western Austronesian, Pacific Linguistics C-61 (pp. 121-163). Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University. Steinhauer, H., & Usman, A.H. (1978). Notes on the morphemics of Kerinci (Sumatra). In S. A. Wurm & L. Carrington (Eds.), second international conference on Austronesian Linguistics, fascicle I, Western Austronesian, Pacific Linguistics C-61 (pp. 483-502). Canberra: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University. Usman, A.H. (1988). Fonologi dan morfologi bahasa Kerinci dialek Sungai Penuh (Unpublished doctoral dissertation). Universitas Indonesia, Jakarta. Yanti. (2010). A reference grammar of Jambi Malay (Unpublished doctoral dissertation). University of Delaware, Newark.
19
Linguistik Indonesia, Februari 2015, 21-34 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 1
PENETAPAN BENTUK FONOLOGIS DARI BUNYI YANG BERALTERNASI: SATU ASPEK TERPENTING DALAM SISTEM TATA BAHASA I Wayan Pastika* Universitas Udayana
[email protected] Abstrak Gambaran fonologis merupakan satu ruas bunyi yang diangkat dari salah satu bunyi yang beralternasi dengan bunyi-bunyi lain dalam satu morfem. Pengangkatan satu ruas bunyi tersebut dapat berbentuk teraga ataupun takteraga bergantung pada lingkungannya dalam satu morfem. Penetapan semacam itu penting dilakukan karena dapat menentukan kejelasan salah satu aspek dari sistem tata bahasa. Pilihan “masukan” (input) didasarkan pada sistem perubahan fonologis yang berpegang pada satu kaidah bahwa sebuah bunyi dipilih menjadi gambaran fonologis ditentukan oleh keanekaragaman lingkungan bunyi itu terjadi, sementara bunyi yang lain dipilih sebagai “luaran’ (output) karena terjadi pada lingkungan tertentu saja. Proses perubahan bunyi, dengan mengikuti Tata Bahasa Generatif dan turunannya serta teori Optimalitas, tidak cukup hanya dilihat dari hasil perubahan yang kasat mata (luaran) saja, tetapi harus juga dilihat pada tingkatan abstrak (masukan). Derivasi dari masukan ke luaran tidak selalu identik karena manakala sebuah morfem atau leksikon menjadi bagian dari ungkapan, ruas-ruas bunyi yang membentuknya pada tingkat fonetik mengalami interaksi satu sama lain yang menyebabkan bunyi-bunyi tersebut dipengaruhi (atau mempengaruhi) ruas-ruas bunyi lain. Kata kunci: input, output, proses fonologis
Abstract The choice of a phonological representation can be overt or nonovert depending on its phonological environments in a morpheme. The right decision with respect to the phonological rule should define a right grammatical system on morphophonology. The phonological process according to Generative theory and its daughter, Optimality theory, considers the ‘input’ choice should be the most acceptable candidate among its alternative counterparts. The choice of the input is not just seen from one single phonological process of the morpheme in question, but it should be overtly identified from other processes. The derivation from the ‘input’ to the output does not always exhibit identically phonological representation of segmental sequences in a stem because distinctive features always interact to each other in accordance with the phonological environment. When each phonological segment keeps its features faithfully, then there is no phonological change happening from the input to the output. Therefore, the input or the underlying form of a morpheme in question is not always overtly recognised from the ouput, but it may occur beyond the phonetic representation. Keywords: input, output, phonological process
I Wayan Pastika
PENDAHULUAN Struktur fonologis dalam pandangan teori Generatif direpresentasikan ke dalam dua gambaran bunyi, yakni, gambaran fonemik dan gambaran fonetis. Gambaran yang disebutkan pertama merupakan struktur bunyi dalam bentuknya yang abstrak dan terpendam di benak penutur pendukung bahasa. Istilah yang biasa digunakan untuk mengacu struktur bunyi abstrak tersebut adalah Bentuk Asal atau the underlying form. Sementara itu, gambaran abstrak itu diwujudkan dalam bentuk segmentasi bunyi yang nyata dan biasa disebut gambaran fonetis atau the phonetic representation. Gambaran yang terakhir inilah yang diucapkan oleh penutur dan dipersepsikan sebagai segmen bunyi tertentu oleh pendengar. Bunyi yang diucapkan itu tentu bukan hanya dalam ruas atau segmen tersendiri tetapi dalam bentuk kata karena sebuah segmen bunyi bahasa akan berfungsi ketika berada dalam satu rangkaian untuk membentuk kata atau morfem. Proses yang sama juga berlaku pada kata dan morfem ketika membentuk konstituen yang lebih besar, menjadi frasa, dan frasa menjadi klausa. Dalam hubungan inilah struktur tata bahasa dibangun atas dasar hubungan interaktif antara fonologi ← → morfologi ← → sintaksis. Inti dari semua tataran tata bahasa tersebut adalah untuk melahirkan gambaran makna, sebagai wilayah semantik. Salah satu proses gambaran bunyi yang menjadi bagian dari struktur tata bahasa yang lebih luas tersebut adalah bunyi bahasa yang berasimilasi dengan bunyi lain yang berada di dekatnya. Contohnya, gambaran fonemik dari bunyi hambat bersuara bahasa Indonesia /b, d/ dapat dilafalkan tidak bersuara dalam ragam tak resmi menjadi [p, t] ketika posisinya di akhir kata: /ləmbab/ dan /tekad/ masing-masing dapat dilafalkan [ləmbap] dan [tekat]. Namun, dalam posisi yang lain justru konsonan hambat tak-bersuara /p, t/ merupakan fonem tersendiri yang dapat berproses dengan wujudnya yang berbeda, misalnya, /məŋ+pukul/ menjadi [məmukul] dan /məŋ+tənun/ menjadi [mənənun]. Keberadaan proses fonologis itu ditentukan oleh sistem tata bahasa dalam bahasa bersangkutan. Dalam kaitan dengan contoh bahasa Indonesia tersebut, pengawasuaran konsonan dapat terjadi apabila konsonan itu digunakan sebagai bagian dari kata dan ditempatkan di posisi akhir kata. Dalam posisi yang lain, proses berbeda dapat terjadi, misalnya, sebuah konsonan yang tadinya hanya gambaran fonetis dapat berubah status menjadi gambaran fonemik ketika posisinya berbeda. Dalam posisi seperti itu proses fonologis yang dikehendaki juga berbeda. Bunyi-bunyi bahasa yang memiliki kemiripan secara fonetis dalam satu bahasa memiliki kecenderungan berproses secara fonologis dengan cara yang mirip pula. Proses tersebut dapat terjadi karena bunyi bahasa bersifat dinamis tidak hanya pada tingkat la parole tetapi juga pada tingkat la langue. Kajian bahasa tertarik pada penemuan sistem tingkat la langue sehingga kaidah yang ditetapkan bersifat umum dalam bahasa bersangkutan. Dalam makalah ini hanya akan dikaji bunyi-bunyi bahasa yang beralternasi dan berproses karena ditentukan oleh lingungan di sekitarnya. Lingkungan itu dapat berbentuk bunyi lain yang berada pada posisi sebelumnya, posisi sesudahnya atau pada posisi di antara bunyi lain. Lingkungan itu dapat pula merupakan perbatasan morfem atau kata. Karena bunyi bahasa bagian dari segmen fonologis yang membentuk morfem, maka dua permasalahan dibahas dalam makalah ini. Pertama, bagaimanakah pilihan bentuk morfem berbasis kaidah fonologis. Permasalahan itu menyangkut (i) perbedaan kecil dalam gambaran fonemik dapat menghasilkan perbedaan besar dalam gambaran fonetik dan (ii) gambaran fonologis yang tidak hanya ditetapkan atas dasar satu kategori linguistik saja, misalnya, verba saja, tetapi harus didasarkan pada fenemomena lintas kategorial. Permasalahan kedua adalah
22
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
sejauh manakah proses penyederhanaan dan perumitan fonologis dapat terjadi pada bunyi dalam posisi koda, onset dan nukleus. Tujuan dari pembahasan kedua permasalahan tersebut adalah untuk menemukan bentuk fonologis yang lebih tepat dari bunyi yang beralternasi karena pengaruh lingkungan fonologis atau pengaruh lingkungan morfologis atau sintaktis. Untuk mencapai semua itu diperlukan teori linguistik yang mutakhir untuk menjelaskannya. Teori Generatif dan teori Optimalitas merupakan dua teori mutakhir yang dianggap sangat kuat dapat mengurai kompleksitas permasalahan tersebut. Teori yang disebutkan belakangan memiliki prinsip dasar yang hampir sama dengan teori yang disebutkan duluan karena memang kedua teori tersebut berbasis pada filosofi linguistik yang sama, yakni rasionalisme. Dalam teori Generatif, representasi fonologis yang abstrak dirurunkan menjadi gambaran fonetis yang konkret. Proses fonologis terlibat dalam derivasi dari gambaran fonologis ke gambaran fonetis dan proses itu dapat berupa keselarasan bunyi, penghilangan, penambahan, penggabungan dan sebagainya. Untuk menjelaskan proses-proses tersebut diperlukan kaidah fonologis yang diatur oleh fitur-fitur pembeda. Sementara itu, teori Optimalitas menggunakan istilah MASUKAN (input) dan LUARAN (output) yang masingmasing dapat disejajarkan dengan gambaran fonologis dan gambaran fonetis dalam teori Generatif. Karena tujuan teori Optimalitas adalah menemukan sistem tata bahasa yang universal, sebuah LUARAN dipilih dari beberapa kandidat leksikon fonologis; hanya kandidat yang optimal dalam bahasa bersangkutan dinyatakan sebagai bentuk yang paling berterima. Untuk menjelaskan keberterimaan sebuah kandidat diperlukan seperangkat kendala (constraint). Interaksi antara seperangkat kendala dan seperangkat kandidat dievaluasi untuk menetapkan struktur fonologis bahasa itu dan struktur fonologis yang universal. Dalam makalah ini digunakan data leksikal dan posleksikal dari sumber primer yang terbatas dan lebih banyak diambil dari sumber sekunder. Oleh karena itu, kajian dalam makalah ini lebih dipusatkan pada kajian teoretis dengan proses pembuktian yang sistematis dan mutakhir. PILIHAN BENTUK MORFEM BERBASIS KAIDAH FONOLOGIS Proses Fonologis pada Tingkat Input: Kasus Pemarkah Aktif Bahasa Indonesia: məŋ, mədan məNGambaran fonologis, yang ditetapkan tidak berdasarkan alternasi bunyi dengan realisasi lingkungannya, akan memunculkan pilihan bentuk fonologis yang tidak berbasis pada sistem gramatika bahasa yang dikaji. Pendekatan yang diterapkan bukan lagi pendekatan tradisional atau preskriptif, tetapi deskriptif atau pendekatan yang lebih mutakhir, misalnya, Generatif atau Optimalitas. Kedua pendekatan terakhir itu, dalam mengidentifikasi gambaran fonologis dan gambaran fonetis dari suatu perubahan bunyi suatu bahasa, berpegangan pada distribusi bunyi dalam lingkungannya. Apabila sebuah bunyi terjadi dalam berbagai lingkungan, sementara alternasinya hanya terjadi pada lingkungan tertentu, maka bunyi yang muncul dalam berbagai lingkungan itu harus ditetapkan sebagai bentuk fonologis atau disebut juga Bentuk Asal atau the underlying form dalam teori fonologi Generatif. Sebaliknya, bunyi-bunyi yang termasuk dalam alternasinya, dengan lingkungan kemunculannya dapat diramalkan, maka bunyi semacam itu merupakan gambaran fonetisnya atau Bentuk Turunan (yang dalam teori struktural disebut alofon).
23
I Wayan Pastika
Dalam bahasa Indonesia, misalnya, penetapan gambaran fonologis dari pemarkah aktif selama ini, tidak didukung dengan identifikasi dan analisis fonologis yang akurat, sehingga dalam tata bahasa Indonesia selalu dimunculkan ketaksaan bentuk. Gambaran fonologis dari pemarkah aktif bahasa Indonesia, misalnya, ditetapkan secara berbeda-beda oleh berbagai sumber. Bentuk məŋ- ditetapkan dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Edisi I, 1988:87–90); Edisi III (Alwi, dkk. 2003:100–113); bentuk məN- dipilih oleh Verhaar (1982:54– 60) dan Sneddon (1996:9–14); dan bentuk mə- dipilih oleh Kentjono, dkk. (2004: 60–98). Jika pendekatan teoretis diikuti, baik berdasarkan teori Generatif maupun teori Optimalitas, maka pilihan bentuk fonologis yang paling akurat adalah məŋ-, bukan məN- atau mə-. Ada sejumlah pertimbangan dan analisis yang perlu diketengahkan. Pertama, konsonan nasal ŋ yang menjadi konsonan akhir dari afiks məŋ- dapat terjadi sebelum lingkungan bunyi yang berbeda-beda, yakni, ia dapat muncul sebelum konsonan velar /k/ dan /g/ atau sebelum berbagai tipe bunyi vokal berbeda. Kedua, kemunculan m, n, dan ɲ dapat diramalkan, yakni, m terjadi sebelum bilabial /p/ atau /b/; n terjadi sebelum alveolar /t/ atau /d/; ɲ muncul sebelum alveo-palatal /s, c, j/. Ketiga, proses perubahan konsonan nasal seperti itu disebut sebagai proses asimilasi regresif, yakni, konsonan nasal ŋ dipengaruhi oleh tempat artikulasi dari konsonan obstruen-hambat di belakangnya sehingga nasal tersebut berkesesuaian secara tempat artikulasi. Di samping itu, nasal ŋ berdistribusi tidak hanya sebelum konsonan (yang homorgan), tetapi juga dapat terjadi sebelum posisi vokal. Oleh karena itu, penetapan bentuk fonologis dari pemarkah aktif yang paling tepat adalah məŋ-, bukan məN- atau mə-. Penetapan məŋ- sebagai bentuk morfonologis yang paling berterima menyebabkan pilihan məN- atau mə- sebagai bentuk yang sangat lemah dalam representasi fonologis karena satu alasan. Alasan itu adalah gambaran fonologis N (dari məN-) sebagai arkifonem tidak tepat karena distribusi keempat konsonan nasal yang beralternasi tidak sepenuhnya paralel. Arkifonem N dipilih apabila asimilasi tempat artikulasi menjadi m, n, ɲ, ŋ semata-mata menyesuaikan tempat artikulasinya masing-masing dengan /p, b/, /t, d/, /s, c, j/ dan /k, g/. Namun, kenyataannya ŋ terjadi melampaui batas tempat artikulasinya, buktinya ŋ juga terjadi pada posisi sebelum vokal. Oleh karena itu, ŋ merupakan gambaran abstrak dari salah satu realisasi dari keempat nasal tersebut berkaitan dengan pemarkah aktif bahasa Indonesia. Penetapan mə- sebagai gambara fonologis atau the underlying form tidak tepat karena satu alasan juga. Kemunculan mə- dapat diramalkan, yakni hanya terjadi pada lingkungan morfem pangkal yang mulai dengan konsonan sonoran, contohnya, sebelum /l, r, y, w/ dan nasal/. Jika teori Generatif diikuti, maka bunyi sonoran merupakan bunyi yang berkenyaringan tinggi, berbeda dengan bunyi obstruen yang dihasilkan dengan hambatan tinggi pada alat-alat ucap. Tentang menge- harus dipandang dari sisi struktur silabe dan adanya kesan vokal yang dimunculkan di awal suku. Sebuah morfem atau leksikon bersuku satu apabila dilekati məŋ-, maka dalam bahasa Indonesia di antara konsonan ŋ dan konsonan lain yang mengawali suku (dari morfem bersuku satu) harus ditambahkan fonem /ə/. Proses perubahan bunyi tersebut dapat pula dikatakan seperti berikut: dengan adanya nuansa bunyi vokal ([ə]) pada leksikon bersuku satu, maka Bentuk Asal məŋ- harus direalisasikan. Jadi, dalam sistem tata bahasa Indonesia, gambaran fonologis dari pemarkah aktif adalah məŋ-, sementara alternasinya (məm-, mən-, məɲ-, mə-, məŋ-, dan məŋə-) merupakan Bentuk Turunan. Secara lebih jelas proses perubahan secara morfofonologis dapat dilihat pada tabel berikut. (bd. Moeliono, dkk. 1988:87–90; Alwi, dkk. 2003:110–113; bd. Pastika 2012; Pastika 2013).
24
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Tabel 1. Alternasi Fonologis dari Pemarkah Aktif məŋ- Bahasa Indonesia GAMBARAN FONOLOGIS ALTERNASI →məmFONOLOGIS /__b, p REALISASI
məmbantiŋ məmukul
məŋ→mən/__ d, t
→məɲ/__ j, c, s
→məŋ/__ g, k, h VOKAL məndengar məɲjarah məŋgaruk mənatap məɲcaŋkul məŋikis məɲantap məŋhirup
→məŋə/__ SUKU SATU məŋətik məŋəlas məŋəcat
→mə/__ w,l,r, NASAL məwabah məyakinkan məlebar mərakyat məmarahi
Satu hal penting yang perlu pula dikemukakan di sini, berkaitan dengan asimilasi regresif terhadap ŋ dari konsonan obstruen di belakangnya, adalah penjelasan soal pelesapan konsonan obstruen yang tidak bersuara (/p, t, s, k/) setelah terjadinya asimilasi tersebut. Proses pelesapan itu, dalam makalah ini, dijelaskan dengan penerapan teori fonologi Generatif. Dalam teori ini, proses perubahan bunyi tidak hanya dilihat dalam wujudnya yang kasat mata (struktur lahir), tetapi harus juga dilihat pada struktur kaidah yang terjadi pada benak penutur (struktur batin). Struktur kaidah pada tingkat mental merupakan suatu perangkat yang dapat menderivasi suatu bentuk sehingga hasilnya bisa sama atau berbeda dengan struktur lahirnya. Pada benak penutur proses perubahan bunyi itu terjadi dalam dua proses perubahan: asimilasi regresif terjadi pada nasal terlebih dahulu sebelum terjadi pelesapan obstruen. Pelesapan obstruen itu terjadi dalam sistem tata bahasa Indonesia ketika berada di antara perbatasan morfem. Proses itu tentu tidak terjadi apabila nasal yang berada serangkai dengan obstruen yang homorgan berada di dalam satu morfem. Siklusnya dapat digambarkan berikut ini: 1. Kaidah I: asimilasi m/____ + p n/ ____ + t ŋ ñ/ ____ + s ŋ/ ____ + k
Kaidah II: pelesapan obstruent məmpukul məmukul məntukar mənukar məñsantap məñantap məŋkurung məŋurung
Jadi, proses fonologis tidak hanya dilihat pada perubahan segmental yang tersurat saja, seperti ŋ menjadi homorganik dengan obstruen hambat yang berada sesudahnya. Penghilangan obstruen setelah terjadi asimilasi harus juga dibuktikan. Kaum linguis strukturalis di Indonesia tidak menganggap bahwa obtruen itu dilesapkan, melainkan berkualisi dengan nasal atau berasimilasi secara resiprokal, yang dalam pengertian ini baik nasal maupun obstruen samasama berbagi ciri artikulasi. Pandangan yang terakhir itu menganggap bahwa hanya ada satu proses fonologis dengan satu kaidah, sementara dalam artikel ini ditekankan bahwa terjadi dua proses fonologis dengan dua kaidah secara berurutan. Dalam urutan kaidah tersebut, kaidah asimilasi nasal dengan obstruen yang homorgan harus diterapkan terlebih dahulu sebelum kaidah pelesapan obstruen diterapkan. Sebaliknya, pembalikan urutan kaidah, yakni, kaidah pelesapan diterapkan terlebih dahulu sebelum kaidah asimilasi menghasilkan bentuk yang tidak gramatikal, baik secara fonologis maupun morfologis. Ini berarti bahwa asimilasi tidak dapat terjadi apabila tidak ada unsur penyebab dan pesebab lingkungan fonologis; /ŋ/ tidak akan berubah menjadi bilabial /m/ apabila tidak ada bilabial hambat /p, b/; /ŋ/ tidak akan berubah
25
I Wayan Pastika
menjadi alveolar /n/ apabila tidak ada alveolar hambat /t, d/; /ŋ/ tidak akan menjadi alveo-palatal /ɲ/ apabila tidak ada obstruen alveo-palatal /c, j, s, sy/; dan /ŋ/ tidak akan bertahan /ŋ/ apabila tidak berada sebelum velar /k, g, h/. Bentuk yang tidak gramatikal dapat terjadi apabila penerapan kaidah diurut secara terbalik, yakni /p, t, k/ dilesapkan sebelum adanya asimilasi pada /ŋ/: /məŋ+pukul/ */məŋ+Øukul/ */məŋukul/ (Pastika, 2012; Pastika, 2013). Dalam bahasa Indonesia, proses asimilasi /ŋ/ yang diikuti pelesapan obstruen hanya terjadi pada obstruen yang tidak bersuara. Sebaliknya, obstruen yang bersuara /b, d, j, g/ justru tidak boleh dilesapkan setelah terjadinya asimilasi nasal tersebut. Permasalahan ini dibahas pada subbagian berikut. Perbedaan Kecil dalam Input dapat Menghasilkan Perbedaan Besar dalam Output Terminologi MASUKAN (input) dan LUARAN (output) merupakan konsep dalam teori Optimalitas yang masing-masing dapat didefinisikan sebagai berikut: MASUKAN adalah gambaran fonologis atau suatu gambaran bunyi yang abstrak, sementara LUARAN merupakan realisasi fonetis dari gambaran fonologis. Untuk menjelaskan proses derivasi dari MASUKAN ke LUARAN diperlukan Generator ‘Pembangkit’, Evaluator dan Kendala. PEMBANGKIT membentuk objek-objek linguistik dan mencatat relasi-relasi kesetiaan (faithfulness) pada MASUKAN. EVALUATOR memanfaatkan hierarki kendala bahasa untuk menyeleksi kandidat terbaik untuk MASUKAN yang ditentukan dari kandidat-kandidat yang dihasilkan oleh PEMBANGKIT. Hierarki KENDALA untuk sebuah bahasa adalah pemeringkatan kendala itu sendiri, yakni seperangkat kendala yang universal (Archangeli dan Langendoen, 1997:11–12). Dua morfem yang berbeda yang sama-sama mengandung ruas bunyi yang mirip dengan perbedaan tipis dalam hal ciri pembeda dapat memberikan pengaruh yang sama atau berbeda terhadap satu bunyi tertentu dalam lingkungan yang sama. Hal itu dapat terjadi karena satu ciri bunyi tertentu dapat bertahan atau dapat berubah bergantung pada sistem yang dibolehkan dalam sistem tata bahasa bersangkutan. Kembali lagi ke contoh bahasa Indonesia yang mengandung obstruen tak-bersuara /p, t, s, k/ yang dilesapkan setelah asimilasi (seperti disebutkan sebelumnya), tampaklah perbedaan bahwa obstruen hambat bersuara /b, d, j, g/ atau obstruen frikatif /f, v/ dan luncuran sy, kh (/ʃ/, /x/) tidak dilesapkan setelah /ŋ/ diasimilasi menjadi nasal yang homorgan: 2.
Asimilasi tanpa pelesapan obstruen dalam bahasa Indonesia /məmbantiŋ/ */məmantiŋ/ /məmfitnah/ /məndataŋ/ */mənataŋ/ /məmverifikasi/ /məŋguntiŋ/ */məŋuntiŋ/ /məɲʃaratkan/ /məŋxususkan/ */məŋususkan/
*/məmitnah/ */məmerifikasi/ */məɲaratkan/
Kebertahanan obstruen hambat bersuara, obstruen frikatif dan luncuran disebabkan oleh konsonan-konsonan tersebut memiliki ciri-ciri pembeda yang lebih kuat alih-alih ciri pembeda dari obstruen hambat tak-bersuara (/p, t, s, k/) ketika berdampingan dengan nasal homorgan dari prefiks /məŋ-/. Kekuatan obstruen hambat bersuara terletak pada cara artikulasinya, yakni, adanya getaran pita suara ketika obstruen tersebut terbentuk; sementara obstruen hambat takbersuara tidak dihasilkan dengan cara itu. Untuk obstruen frikatif /f, v/ dan luncuran /sy, kh/, ciri-ciri tempat artikulasinya diambil-alih oleh nasal sehingga nasal menjadi homorgan, sementara obstruen frikatif dan luncuran tersebut sama sekali tidak berubah. Obstruen frikatif dan luncuran itu mempertahankan ciri-ciri pembedanya seperti yang terjadi pada obstruen
26
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
hambat bersuara. Kebertahanan ciri-ciri frikatif dan luncuran terletak pada ciri kontinuan, yang artinya bahwa ketika kedua tipe bunyi itu dihasilkan, udara keluar secara terus-menerus melalui celah yang sempit. Sebaliknya, hal itu tidak terjadi pada nasal karena nasal dihasilkan dengan cara menghambat udara sepenuhnya di rongga mulut, tetapi mengeluarkannya melalui rongga hidung. Secara sederhana, kebertahanan ciri dari proses yang terjadi antara nasal dan obstruen dapat dikaidahkan berikut ini: 3. Kaidah kebertahanan ciri: [+labial, +obstruen, -suara] [+labial, +obstruen, +suara]
/[+nasal homorgan]+ ____ TETAP/[+nasal homorgan]+___
[+obstruen, +kontinuan]
Jika keselarasan atau homorganitas nasal dilihat, sistem suatu tata bahasa tidak selalu sama atau sepenuhnya sama dengan sistem tata bahasa lain atau bahkan keselarasan tersebut tidak terjadi karena baik obstruen maupun nasal sama-sama mempertahankan ciri-ciri pembedanya. Hal itu dapat dibandingkan, misalnya, dengan data bahasa Indonesia di atas dengan data bahasa Yoruba, salah satu dialek dari bahasa Niger-Congo di Negeria; dan bahasa Bura, salah satu dialek bahasa Chadic, juga di Negeria. Bahasa Yoruba mengharuskan tempat artikulasi nasal (dari prefiks) tunduk sepenuhnya dengan obstruen yang mengawali morfem pangkal (Archangeli dan Langendoen, 1997:65–66): 4. Nasal diasimilasi sepenuhnya oleh obstruen Pangkal Bentuk Progresif Arti Pangkal Bentuk Progresif Arti ba mba ɲjo menyalip jo menari fɔ ɱfɔ ŋkɔ mengerim kɔ menulis ta
nta
menjual
gũ
ŋgũ
mendaki
dũ
ndũ
melukai
kpa
ŋmkpa
membunuh
sũ
ǹsũ
tidur
gbɔ
ŋmbɔ
mendengar
Keselarasan tempat artikulasi nasal dengan obstruen dalam sistem tata bahasa Yoruba bersifat penuh, bukan lagi asimilasi sebagian seperti halnya dalam bahasa Indonesia karena bahasa Yoruba memiliki sistem tempat artikulasi yang lebih renik dibagi ke dalam enam tempat artikulasi. Karena keselarasan itu bersifat penuh dan paralel, penetapan MASUKAN untuk nasal tidak sama dengan apa yang telah ditetapkan dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Yoruba itu, MASUKAN dari keenam nasal itu adalah arkifonem /N/ dengan LUARAN yang paling optimal adalah nasal yang hormoganik penuh dengan obstruen yang mengawali pangkal kata. Keenam tempat artikulasi dalam bahasa Yoruba adalah sebagai berikut: 5a. 5b. 5c. 5d. 5e.
Labial Labiodental Alveoral/koronal Velar (dorsal) Labio-velar serentak
: [b, m]; : [f, ɱ]; : [t, d, s, n]; : [k, g, ŋ]; : [kp, ŋm, gb, ŋm];
Pada data bahasa Indonesia dan bahasa Yoruba di atas, disajikan keselarasan atau kesamaan tempat artikulasi dari nasal dengan obstruent yang berada pada posisi sebelum nasal.
27
I Wayan Pastika
Sebaliknya, pada data berikut, rangkaian konsonan nasal dan obstruen justru tidak menyesuaikan diri, tetapi mempertahankan ciri pembedanya masing-masing, sehingga bentuk fonemik pada tingkat MASUKAN tidak berubah pada tingkat LUARAN. Proses derivasi semacam itu terjadi pada bahasa Bura, salah satu dialek bahasa Chadic di Negeria (Archangeli dan Langendoen, 1997:65–66): 6. Pemertahanan ciri nasal tanpa pengaruh obstruen di dekatnya mpà ‘berkelahi’ mbà ‘terbakar’ mtà ‘kematian’ mdâ ‘orang’ msəkâ ‘paman (dari pihak ibu)’ mší ‘mayat’ mžá ‘cukup’ Dari ketiga macam data di atas, terlihat bahwa kebertahanan obstruen lebih kuat alihalih kebertahanan nasal. Bunyi nasal dapat berubah menyesuaikan tempat artikulasinya dengan obstruen yang ada di sampingnya, tetapi bunyi obstruen tidak pernah menyesuaikan ciri-ciri artikulasinya terhadap bunyi nasal. Menurut Archangeli dan Langendoen (1997:68), seperti digambarkan pada Tabel 2 berikut, belum pernah ditemukan bahwa tempat artikulasi nasal (dari bahasa-bahasa di dunia) mempengaruhi tempat artikulasi obstruen, meskipun tempat artikulasi nasal sendiri juga dapat tetap bertahan tanpa mampu dipengaruhi oleh obstruen yang ada di belakangnya. Secara ringkas, retensi atau hilangnya ciri tempat artikulasi dalam rangkaian nasal obstruen dapat digambarkan sebagai berikut. Tabel 2. Hilangnya Spesifikasi Tempat Artikulasi dalam Rangkaian Nasal-Obstruen Tempat Tempat Tempat Tempat Artikulasii Artikulasij Artikulasij Artikulasii
K K Nasal Obstruen Kesetiaan Penuh Teruji
K K Nasal Obstruen Fitur Obstruen yang Dipertahankan
K K Nasal Obstruen Fitur Nasal yang Dipertahankan Tidak Teruji
Proses Fonologis Lintas Kategori: Kasus {–s, -z} dalam Bahasa Inggris Pemarkah jamak dalam bahasa Inggris direalisasikan sebagai sufiks –s /s/ dan –z /z/ bergantung pada penyuaraan bunyi yang mengakhiri morfem dasar. Kedua bentuk itu tidak hanya digunakan untuk memarkahi kejamakan suatu morfem, tetapi juga digunakan untuk memarkahi verba dalam kala kini yang bersubjek orang ketiga tunggal. Tabel (3), (4), (5) yang bertranskripsi fonetik dari Odden (2005:77—79) berikut menunjukkan penggunaan sufiks tersebut.
28
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Tabel 3. Asimilasi Penyuaraan Sufiks Pemarkah Jumlah pada Nomina Bahasa Inggris → [-suara]/[-suara]__ →[+suara]/[-suara]__ caps [kæps] ‘topi-topi’ cabs [cæbz] ‘taksi’ caps [kæps] ‘topi-topi’ cads [cædz] ‘orang yang kurang ajar’ cock [kaks] ‘ayam-ayam jantan’ cogs [cagz] ‘roda penggerak’ proof [pruwfs] ‘bukti-bukti’ hooves [cʊbz] ‘kuku binatang’ →[+suara]/[+sonoran]__ cans [cænz] ‘kaleng-kaleng’ cars [karz] ‘mobil-mobil’ gulls [gəlz] ‘burung pantai’ purees [pyrez] ‘sejenis bubur’ Data di atas menunjukkan bahwa pemarkah jamak [s] terjadi setelah nomina diakhiri dengan konsonan tidak bersuara, sementara [z] muncul setelah nomina yang diakhiri dengan bunyi bersuara (vokal atau konsonan). Jika dilihat dari segi distribusinya, [z] tampaknya memiliki distribusi lebih luas karena tidak hanya terjadi setelah konsonan tetapi juga setelah vokal dan semivokal yang semuanya memiliki ciri bersuara. Oleh karena itu, terjadi proses pengawasuaraan (devoicing) /z/ menjadi [s] setelah bunyi tak bersuara. Dalam hal ini, suatu bunyi akan kehilangan penyuaraannya jika berada setelah bunyi yang tidak bersuara. Namun, proses pengawasuaraan dalam bahasa Inggris tentu tidak hanya diberlakukan untuk pemarkah plural saja. Dalam bahasa Inggris, proses semacam itu juga dapat diberlakukan pada pemarkah orang ketiga tunggal yang berbentuk sufiks pada verba berkala kini (Odden, 2005:77): 7. Asimilasi Penyuaraan Sufiks Orang III Subjek Kala Kini pada Verba Bahasa Inggris slaps [slæps] stabs [stæbz] slams [slæmz] hits [hɪts] hides [haydez] cans [kænz] pokes [powks] digs [digs] hangs [hæŋz] laughs [læps] thrives [Ɵrayvz] heals [hiylz] piths [pɪƟs] bathes [beyõz] hears [hɪrz] flies [flayz] vetos [viytowz] Berdasarkan data pemarkah jamak dan verba berkala kini dengan subjek orang ketiga tunggal, maka diperlukan kaidah fonologis untuk menunjukkan apakah /s/ ataukah /z/ yang menjadi bentuk fonologis dari kedua sufiks tersebut. Jadi, ada dua kaidah yang harus dipertimbangkan: 8. /z/ → [-suara ] / [ -suara ] ____ atau 9. /s/ → [ +suara ]/ [ +suara ] ____ Kaidah (8) dan (9) keduanya termasuk kaidah asimilasi penyuaraan, tetapi hanya kaidah pertama yang dianggap paling tepat karena bahasa Inggris tidak membolehkan adanya bunyi bersuara setelah bunyi tidak bersuara, misalnya, tidak ada kata seperti *[pɪfz], *[yəkd], *[sdɔp]. Kaidah kedua (9) mengimplikasikan bahwa bunyi yang tak-bersuara tidak boleh terjadi setelah bunyi bersuara. Hipotesis itu tentu tidak tepat karena kenyataannya dalam bahasa Inggris hal itu dibolehkan, seperti pada kata hiss [hɪs], dance [dæns], dan false [fals]. Di sini [s] tetap [s] (tidak menjadi [z]) setelah vokal (semua vokal adalah [+suara]), dan [s] tetap [s] (tidak menjadi frikatif bersuara [z]) setelah nasal [n] (semua nasal adalah juga [+suara]); juga tetap /s/ setelah konsonal lateral /l/ yang bercirikan [+suara]. Oleh karena itu, dalam sistem tata bahasa Inggris harus ditetapkan bahwa –z /z/ gambaran abstrak atau Bentuk Asal (the underlying form), sementara /s/
29
I Wayan Pastika
adalah gambaran nyata (alomorf atau Bentuk Turunan) melalui proses asimilasi pengawasuaraan (devoicing), bukan sebaliknya. Lebih dari itu, proses pengawasuaraan dalam bahasa Inggris tidak hanya berlaku untuk pemarkah jumlah (jamak) dan pemarkah orang ketiga tunggal pada verba saja, tetapi juga berlaku untuk kategori lain sepanjang lingkungan fonologis mendukungnya. Pemarkah Verba Bantu (auxiliary) has [hæz] dan is [IƵ] dapat mengalami proses pengurangan bunyi apabila pemarkah itu digunakan dalam bahasa lisan, menjadi ‘s atau ‘z sesuai kaidah pengawasuaraan di atas (Odden, 2005:78–79). Perhatikan contoh berikut ini (dari Odden, 2005: 78); bagian ortografi ditambahkan dalam tulisan ini): Tabel 4. Pengurangan Bunyi Morfem has [hæz] dan is [IƵ] dalam Bahasa Inggris Has [hæz] ASIMILASI ORTOGRAFI Is [iƶ] ASIMILASI ORTOGRAFI Jæk hæz iƴʔņ Jæk iƴʔņ Jack has eaten Jæk iƶ iƴDIŋ Jæk iƴDIŋ Jack is eating Pæt hæz iƴʔņ Pæt iƴʔņ Pat has eaten Pæt iƶ iƴDIŋ Pæt iƴDIŋ Pat is eating Jɛn hæz iƴʔņ Jɛn iƴʔņ Jen has eaten Jɛn iƶ iƴDIŋ Jɛn iƴDIŋ Jen is eating Bab hæz iƴʔņ Bab iƴʔņ Bob has eaten Bab iƶ iƴDIŋ Bab iƴDIŋ Bob is eating Contoh bahasa Inggris di atas merupakan contoh yang sangat komprehensif untuk menentukan suatu kaidah fonologis dari perbendaharaan morfem yang beralternasi secara fonologis. Kaidah itu tidak hanya terjadi di dalam satu morfem atau satu kategori, tetapi dapat berlaku di dalam lingkungan antarmorfem, bahkan antarkata dalam satu frasa atau klausa. Namun, perubahan bunyi dapat terjadi lebih banyak ditentukan oleh lingkungan bunyi yang ada di sekitarnya. KODA, ONSET DAN NUKLEUS: PENYEDERHANAAN DAN PERUMITAN Bahasa-bahasa di dunia, berdasarkan onset (O), vowel (V), dan coda (C), dapat dipolakan ke dalam empat pola struktur silabe: 1. (O)V(C) (bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan lain-lain), 2. OV (bahasa Senufo di Guinea, Afrika), 3. OV(C) (bahasa Yawelmani (di California) dan 4. (O)V (bahasa Hawai). Pola pertama berarti bahwa sebuah silabe dapat terdiri atas OVC, OV, VC dan V saja (bahasa Indonesia: kan.tong, tu.ak, an.tar, a.ku); unsur yang berada di antara tanda kurung kehadirannya bersifat opsional, sementara unsur yang tidak berada di antara tanda kurung memiliki kehadiran wajib. Pola kedua, yakni, OV berarti bahwa pola struktur silabe mewajibkan kehadiran onset-Vokal atau tidak membolehkan adanya Puncak saja atau tidak membolehkan adanya silabe yang berkoda (contohnya, bahasa Senufo di Guinea, Afrika). Dalam pola ketiga, hanya dibolehkan dua bentuk suku berupa: OVC dan OV, silabe tidak dibolehkan hanya diisi oleh V saja atau VC saja (contohnya, bahasa Yawelmani di California: xat.hin ‘kekuatan’, tetapi tidak ada pola OV, misalnya, a.ha tidak berterima). Pola terakhir adalah sebuah silabe yang hanya membolehkan dua unsur: OV dan V saja, tidak dibolehkan adanya koda (contohnya, bahasa Hawai: pa.la.o.a ‘tepung’, kanaka ‘lelaki’; kata seperti ka.kak tidak dibolehkan karena ada suku berkoda (Archangeli 1997: 4, Hammond, 1997: 37). Berkaitan dengan keempat pola struktur silabe bahasa-bahasa di dunia, ada bahasabahasa yang membolehkan adanya variasi jumlah konsonan pada tingkat koda dan/atau onset (contohnya bahasa Inggris dengan kluster pada onset: spring [sprɪŋ], sclerosis [sklə’rəsɪs], splendour [‘splendə], scream [skri:m], string [strɪŋ], square [skweə], student [stju:dənt]; kluster pada koda: bankrupt [bæŋkrəpt], student [stju:dənt]); ada pula bahasa-bahasa yang hanya
30
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
membolehkan adanya variasi jumlah konsonan pada tingkat onset saja, tetapi tidak membolehkan kluster pada koda (contohnya, onset bahasa Indonesia: prihatin, klepon); [bæŋk] dari bahasa Inggris yang berkluster pada posisi koda berubah menjadi konsonan tunggal → baŋ kata serapan modern dan film yang diserap dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia tidak dilafalkan modərn dan film, tetapi moderən dan filəm. Sisipan vokal /ə/ pada koda berkluster merupakan bentuk penolakan fonologis karena sistem fonotaktik bahasa Indonesia berbeda dengan sistem fonotaktik bahasa Inggris. Penghilangan -VK- atau -K- sebagai Bentuk Penyederhanaan Pola Kanonik: Kasus Bahasa Bali Glotal frikatif /h/ yang mengakhiri suatu morfem dalam bahasa Bali, misalnya, akan dilesapkan apabila /h/ diapit oleh vokal. Setelah konsonan glotal itu lesap, yang tinggal adalah vokal ganda. Apabila vokal pertama dari vokal ganda tersebut adalah /a / dan vokal kedua adalah /i/, maka vokal /a/ kembali mengalami pelesapan (lihat kolom pertama Tabel 5). Namun, jika vokal ganda itu adalah geminasi, maka justru geminasi tersebut dipertahankan (lihat kolom kedua Tabel 5). Vokal ganda yang lain, misalnya, /i/ sebagai vokal pertama dan /a/ sebagai vokal kedua, akan berproses seperti biasa dalam bahasa ini (seperti umumnya yang terjadi pada bahasa-bahasa Austronesia), yakni adanya bunyi luncuran [ƴ] dimunculkan di antara kedua vokal tersebut (lihat kolom ketiga Tabel 5). Tabel 5. Pelesapan /h/ di antara Vokal dalam Bahasa Bali Dialek Gianyar1 -in ‘aplikatif’ -aŋ ‘kausatif’ (/h/→Ø/V_V) (/h/→Ø/V_V) /kalah+in/→[kalaɪn] ‘tinggali’ kalah+aŋ→[kalaaŋ] ‘tinggalkan’ /wadah+in/→[wadɪn] ‘wadahi’ wadah+aŋ→[wadaaŋ] ‘wadahkan’ /arah+in/→[arɪn] ‘beri tahu’ arah+aŋ→[araaŋ] ‘beri tahukan’ /tiŋgah+in/→[tiŋgɪn] ‘hinggapi’ ajah+aŋ→[ajaaŋ] ‘ajarkan’ /laŋah-laŋah+in/→[laŋin-laŋin] laŋah-laŋah+aŋ→[laŋga-laŋgaaŋ] ‘jarang-jarangi’ ‘jarang-jarangkan’ tiŋgah+aŋ→[tiŋgaan] ‘hinggapkan’ -in, -aŋ ‘aplikatif, kausatif’ (/h/→Ø/V_V) ilih+in, -aŋ→[illn, iliyaŋ] ‘kipasi, kipaskan’ tagih+in, -aŋ→[tagln, tagiyaŋ] ‘mintai, mintakan’ kikih+in, -aŋ→[kikln, kikiyaŋ] ‘paruti, parutkan’ tebih+in, -aŋ→[tebln, tebiyaŋ] ‘belahi, belahkan Dalam sejumlah bahasa, penyederhanaan dari nukleus dapat terjadi melalui proses monoftongisasi, yakni, nukleus yang mengandung satu vokal yang kompleks, misalnya, diftong, dapat disederhanakan menjadi vokal tunggal atau monoftong atau berkoalisi, baik secara sinkronik (misalnya, bahasa Indonesia) maupun secara diakronik (misalnya, dari bahasa Latin ke bahasa Spanyol), seperti contoh berikut ini.
31
I Wayan Pastika
Tabel 6. Monoftongisasi secara Sinkronik dan Diakronik Bahasa Indonesia (Sinkronik) Bahasa Latin → Bahasa Spanyol (Diakronik) (Schane, 1973:55) palau → pulo aidifikium → edifisio ‘bangunan’ kərbau → kərbo aikwálem → eguál ‘meskipun’ satai → sate káusa → kósa ‘benda’ pantai → pante pauper → póbre ‘miskin’ Perumitan Pola Struktur Silabe karena Interferensi Fonologis dari Bahasa Lain Perumitan pola struktur silabe dapat terjadi bukan karena pola bahasa itu memiliki sistem yang rumit, tetapi karena adanya faktor rekayasa dari pengambil kebijakan kebahasaan atau karena suatu variasi yang digunakan oleh sekelompok kecil penutur bahasa itu. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, pola kanonik pada unsur koda dan onset tidak membolehkan adanya gugus konsonan baik dalam gugus dua konsonan atau lebih, kecuali onset dibentuk dari rangkaian konsonan yang diikuti konsonan sonoran /l, r/, contohnya, prihatin, dan klepon. Namun, onset yang bergugus tiga konsonan tidak ada dalam bahasa Indonesia kecuali kosakata itu merupakan unsur serapan dari bahasa asing. Gugus konsonan yang bukan merupakan ciri bahasa Indonesia, tetapi kehadirannya dibiarkan berlawanan dengan sistem bahasa Indonesia, merupakan suatu gangguan sistemik pada pola kanonik bahasa Indonesia atau dalam makalah ini diistilahkan sebagai interferensi fonologis, seperti contoh berikut: 10. Onset dengan gugus konsonan yang bukan pola kanonik asli bahasa Indonesia struktur skema stop skrin smes spesialis Gugus tiga konsonan dan dua konsonan pada onset dari kosakata bahasa Indonesia di atas jelas tidak dikenal dalam pola kanonik bahasa Indonesia asli. Sistem ejaannya mewakili asal dari kosakata tersebut, yakni, dari bahasa Inggris. Dalam sistem fonotatik kosakata bahasa Inggris tersebut, pelafalannya jelas mempertahankan gugus konsonannya, sementara pelafalan asli bahasa Indonesia adalah tanpa gugus konsonan, melainkan memunculkan penambahan bunyi vokal kendur /ý/, seperti contoh berikut: 11. Realisasi penyisipan vokal pada onset berkluster Onset Gugus K Bahasa Inggris2 Onset Tanpa Gugus K Bahasa Indonesia structure /strʌktʃə/ /sətəruktur/ screen /skri:n/ /səkrin/ schema /ski:mə/ /səkema/ smash /smæʃ/ /səmes/ stop /stɒp/ /sətop/ specialist /spɛʃəlɪst/ /səpesialis/ Pada posisi onset, bahasa Indonesia masih membolehkan adanya gugus konsonan yang sangat terbatas, baik dari segi tipe konsonan maupun dalam hal jumlah kehadirannya. Namun, dalam posisi koda, bahasa ini sama sekali tidak membolehkan adanya gugus konsonan. Sejak Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan diluncurkan pada tahun 1972, pola kanonik
32
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
bahasa Indonesia dibiarkan terinterferensi oleh kluster konsonan pada unsur koda dari bahasa Inggris, seperti contoh berikut: 12. Koda berkluster konsonan tidak dikenal dalam pola kanonik asli bahasa Indonesia Koda Gugus K Bahasa Inggris Koda Tanpa Gugus K Bahasa Indonesia film /fɪlm/ /filəm/ modern /mɒdɜ:n/ /moderən/ standard /stændəd/ standar, *standard standardization /stændəddaIzeiʃəǒn/ stardardisasi, *standarisasi Penyerapan kosakata bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan politik kebahasaan, bukan sepenuhnya dikendalikan oleh kaidah kebahasaan atau sistem tata bahasa Inndonesia. Ejaan yang diserap tersebut, misalnya, tidak sepenuhnya mengikuti sistem fonologi bahasa Indonesia, tetapi mengikuti pola ejaan bahasa yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, dalam sistem tata bahasa Indonesia, khususnya menyangkut sistem ejaan, pelafalan dan pola kanonik terjadi kerancuan. Seperti telah disebutkan di atas, bahasa Indonesia yang tidak memiliki sistem gugus konsonan pada posisi koda dan onset, dipaksakan untuk diadakan. Gugus konsonan tersebut akhirnya diterima dan digunakan oleh penutur bahasa Indonesia, tidak hanya dalam sistem tulisan, melainkan juga dalam bahasa lisan. Apabila bahasa lisan sudah dimasuki unsur-unsur bahasa lain, maka dalam kurun waktu yang panjang akan menjadi bagian internal dari bahasa yang menerima pengaruh. SIMPULAN Penetapan bentuk morfem tidak dapat dilepaskan dari struktur fonologis karena segmen bunyi yang membentuk morfem itu berproses ketika berada dalam lingkungan bunyi lain atau perbatasan antarmorfem atau antarkata. Ada dua langkah fonologis yang harus dijalankan ketika suatu bentuk ditetapkan. Pertama, bunyi mana yang berubah, bunyi mana merupakan hasil dari perubahan dan di lingkungan mana proses perubahan itu terjadi. Kedua, pemilihan satu bentuk bunyi harus didasarkan pada pertimbangan representasinya dalam struktur bunyi dan perwujudannya dalam bentuk gambaran fonetis. Sebuah segmen yang memiliki distribusi yang lebih luas, dalam arti bahwa bunyi itu memiliki kemampuan bertahan dalam lingkungan bunyi yang berbeda, harus ditetapkan sebagai bentuk bunyi yang lebih abstrak, sementara segmen bunyi yang hanya muncul dalam lingkungan terbatas atau dapat diramalkan kemunculannya ditetapkan sebagai gambaran fonetis. Bunyi bahasa yang berada dalam satu bentuk leksikal dapat mengalami penyederhanaan atau perumitan sehingga berpengaruh pada struktur silabe. Kedua proses tersebut dapat terjadi karena posisi bunyi dalam struktur suku. Sebuah bahasa yang tidak memiliki sistem gugus konsonan di posisi koda dan onset dapat saja menyerap kosakata bahasa lain yang bergugus konsonan pada kedua posisi itu dalam bentuk tulisan, tetapi penutur akan melafalkannya tanpa gugus konsonan. Ini berarti bahwa proses penyederhanaan struktur silabe terjadi, dengan cara proses penambahan bunyi vokal di antara gugus konsonan atau terjadinya pelesapan pada salah satu gugus konsonan. Selain proses penyederhanaan dengan cara penyisipan bunyi vokal, sebuah suku yang sederhana dapat mengalami proses perumitan ketika lingkungannya dalam satu morfem mengizinkan. Vokal tunggal di posisi suku terbuka dapat mengalami kompleksitas dengan salah satu proses berikut: diftongisasi, nasalisasi, glotalisasi dan geminasi, bergantung pada bunyi yang langsung mendahuluinya.
33
I Wayan Pastika
CATATAN * Penulis berterima kasih kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan makalah ini. 1 Data bahasa Bali dialek Gianyar yang tercantum di sini merupakan hasil pengamatan terlibat dari penulis di lapangan. Penulis adalah penutur bahasa Bali yang berasal dan bertempat tinggal di Kabupaten Gianyar. 2 Pelafalan kosakata bahasa Inggris yang digunakan dalam makalah ini mengacu Collins Cobuild English Language Dictionary. 1987)
SUMBER RUJUKAN PUSTAKA Alwi, H., Lapoliwa, H., & Darmowidjojo, S. (2003). Tata bahasa baku bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Archangeli, D. (1997). Optimality theory: An introduction to Linguistics in the 1990s. Dalam D. Archangeli, & D. T. Langendoen (ed.), Optimality theory: An overview (hlm. 1–32). Oxford: Blackwell. Hammond, M. (1997). Optimality theory and prosody. Dalam D. Archangeli, & D. T. Langendoen (ed.), Optimality theory: An overview (hlm. 33-58). Oxford: Blackwell. Kentjono, D., Datang, F.A., & Candrayani A. (ed.). (2004). Tata bahasa acuan bahasa Indonesia untuk penutur asing. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Moeliono, A.M., & Dardjowidjojo, S. (ed.). (1988). Tata bahasa baku bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Odden, D. (2005). Introducing phonology. Cambridge: Cambridge Universiity Press. Pastika, I.W. (2012). Kelemahan Fonologis ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. Linguistik Indonesia, 30(2), 147–165. Pastika, I.W. (2013). Aspek-aspek gramatikal yang terlewatkan dalam penyusunan tata bahasa Indonesia. Adabiyyat: Jurnal Bahasa dan Sastra, XII (1), 134–156. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1997). Pedoman umum ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. Jakarta: Balai Pustaka. Sneddon, J.N. (1996). Indoenesian reference grammar. Crows Nest: Allen & Unwin. Verhaar, J.W. (1982). Pengantar linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
34
Linguistik Indonesia, Februari 2015, 35-51 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 1
THE EXPRESSION OF POSSESSION IN SOME LANGUAGES OF THE EASTERN LESSER SUNDA ISLANDS Philippe Grangé * Université de La Rochelle
[email protected] Abstract The possessor-possessed, or “preposed possessor” syntactic order, has long been considered a typological feature common to many Eastern Lesser Sunda Islands, labelled either “Central-Malayo Polynesian languages” or “East Nusantara languages”, although these groupings do not exactly coincide. In this paper, the syntax and semantism of possession in some languages of the Eastern Lesser Sunda Islands are described. There is a wide variety of possession marking systems in the Eastern Lesser Sunda Islands, from purely analytic languages such as Lio to highly flexional languages such as Lamaholot. The morphological contrast between alienable and inalienable possession is widespread among the languages of this area. The study focuses on Lamaholot, spoken at the eastern-most end of Flores, and the three neighbouring islands of Adonara, Solor and Lembata. This language has a complex possessive system, involving suffixes, free morphemes, a specific preposition, and possessive pronouns, along with person agreement and morpho-phonological features. Lamaholot can be considered a highly representative example of East Nusantara languages. Keywords: East Nusantara, Central-Malayo Polynesian, possession
Abstrak Urutan sintaktis “pemilik”-“yang dimiliki”, atau dapat disebut juga “pemilik letak kiri” sejak lama dianggap sebagai ciri khas sebagian besar bahasa Nusa Tenggara Timur, yang tergolong dalam rumpun bahasa MalayoPolynesia Tengah atau “bahasa Nusantara Timur”, meskipun kedua pengelompokan ini tidak persis sama. Dalam makalah ini dibahas sintaksis dan semantik dari kepemilikan pada sejumlah bahasa Nusa Tenggara Timur. Keanekaragaman yang luas menyangkut sistem pemarkahan kepemilikan terbentang pada bahasa-bahasa Nusa Tenggara Timur, dari yang murni bertipe analitik seperti bahasa Lio sampai bahasa yang murni bertipe fleksi seperti bahasa Lamaholot. Di antara bahasa-bahasa di wilayah ini terhampar perbedaan yang mencolok dari segi morfologi antara kepemilikan terasingkan dan kepemilikan tak terasingkan. Pembahasan dalam makalah ini berfokus pada bahasa Lamaholot, yang dituturkan di ujung timur Flores serta tiga pulau yang berdekatan: Adonara, Solor dan Lembata. Untuk mengungkapkan kepemilikan, bahasa ini mempunyai sistem yang rumit, dengan menggunakan sufiks, morfem bebas, preposisi khusus, dan pronomina posesif, disertai persesuaian persona dan ciri-ciri morfo-fonologi. Oleh sebab itu, bahasa Lamaholot patut dipandang sebagai contoh yang dapat mewakili bahasa-bahasa Nusantara Timur. Kata kunci: Nusantara Timur, bahasa Malayo-Polynesia Tengah, kepemilikan
Philippe Grangé
INTRODUCTION The expression of possession has long been considered a major typological characteristic of the Austronesian languages spoken in the Eastern Lesser Sunda Islands. It is not my intention to enter into ongoing typological debates, but in view of the significance of the possessorpossessed order, widely accepted for over a century as a major criterion, I shall investigate the means of expressing the possessive in some Austronesian languages of the Eastern Lesser Sunda Islands. Although the possessor-possessed, or “preposed possessor” order is largely the rule, certain syntactic constraints may reverse that order, and these languages show significant morphological diversity. The first section of this article reviews some typological remarks on “preposed possessor languages”, while the second section deals with the opposition between analytical and flexional languages in the East Nusantara area. The third section focuses on Lamaholot, which owns a particularly rich morphology, giving rise – in some dialects at least – to certain morphophonetic features, namely vowel alternation, epenthesis and metathesis. The fourth section discusses the coexistence in Lamaholot of two paradigms of possessive markers (suffixes and free morphemes), as well as a preposition expressing possession described in fifth section. The sixth section describes a specific possessive preposition, ne. The seventh section argues that East Nusantara languages broadly differ in semantic terms from West-Malayo-Polynesian languages such as Indonesian. For example, Lamaholot deals with the categories of alienability (the possibility of breaking up the possessor-possessed relation) very differently from Indonesian, which is a further typological feature common to several East Nusantara languages. Finally, the last section gives insights into the possible influence of non-Austronesian languages over the expression of possession on East Nusantara languages. TYPOLOGICAL REMARKS: THE POSSESSOR-POSSESSED ORDER Linguistic investigation into the languages of the Eastern Lesser Sunda Islands (Nusa Tenggara Timur) is recent1 and still incomplete. Eastern Indonesia is linguistically extremely diverse, which can be explained both by the geography of this vast archipelagic region and by complex prehistoric2 and historic migrations. The group of Central-Malayo-Polynesian (CMP) languages has traditionally been located in south-eastern Indonesia (Eastern Lesser Sunda Islands, Moluccas), but there is disagreement as regards their definition both as a linguistic area (Sprachbund) and a typological group. A different grouping has recently been suggested, that of “East Nusantara languages” (Klamer 2008, Klamer & Ewing 2010), which does not cover exactly the same geographical area. One of the most obvious typological features defining East Nusantara languages is the “preposed possessor” (possessor-possessed order). This particular syntactic order was observed as early as the late nineteenth century (Brandes 1884) and became the main defining criterion of CMP languages, themselves a sub-grouping of Central-East-Malayo-Polynesian (CEMP). Indeed Himmelman (2005:113, 175) even suggested labelling this group “Preposed Possessor Languages”, as opposed to “symmetrical voice languages”, found mainly in the western part of insular South-East Asia, for instance Indonesian. Extensive typological research has been carried out in recent years, using the “preposed possessor” feature as an essential criterion (Donohue & Musgrave 2007).
36
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
In East Nusantara languages, Klamer and Ewing (2010) also mention the morphological distinction between alienable and inalienable possession, as well as the clause-final position of negation morphemes. Though less systematic, one also observes a tendency towards metathesis (both lexical and morpho-syntactic) and split intransitivity. Lamaholot is remarkable in that it exhibits all five of these characteristics: preposed possessor, alienable versus inalienable possession, metathesis, final negation and split intransitivity. To my knowledge, no other East Nusantara languages include all these features, though the linguistic description of this vast region is still too fragmentary to be able to claim this with certainty. Nevertheless, the coexistence of all these “prototypical” criteria makes Lamaholot a particularly interesting language. Only one of the features can be dealt with within the limits of this article: the expression of possession. What is meant by “preposed possessor”? In the possessor-possessed order, the head noun of the noun-phrase (referring to the “possessor”) precedes a noun that is its complement, as in example (1), whereas in the possessed-possessor order, the complement noun (referring to the “possessed”) comes before the head of the noun-phrase,3 as it does in Indonesian – see example (2). (1)
(2)
guru sa’o teacher house ‘teacher’s house’
Lio (East Nusantara / CMP)
rumah guru house teacher ‘teacher’s house’
Indonesian
It would appear that although the possessor-possessed order is found in virtually all the East Nusantara languages, it is usually only considered acceptable when the possessor is referred to by a noun. Indeed, “if a language has a possessor morpheme, it is generally a suffix/enclitic, not a prefix/proclitic” (Klamer 2002:372). In other words, in most of those languages, if the head of the noun phrase is a pronoun, the order can be reversed and become, as in Indonesian, possessed-possessor. This is the case in Lamaholot: (3)
(4)
lango goen house 1SG.POSS ‘my house’
Lamaholot, Adonara dialect
rumah saya house 1SG.POSS ‘my house’
Indonesian (WMP)
Furthermore, in Lamaholot the noun referring to the “possessed” bears a compulsory possessive suffix, which agrees in person with the head of the noun phrase – see below in the section on the morphology of possessives. (5)
guru langu -n teacher house -3SG.POSS ‘teacher’s house’
Lamaholot, Adonara dialect
37
Philippe Grangé
The possessive suffix is compulsory, whether the head is a noun or a pronoun. The possessed-possessor order is always possible in Lamaholot, and in order to say my house, the speaker can choose between (3), (6) and (7). (6)
(7)
go langu -k teacher house -1SG.POSS ‘my house’
Lamaholot, East Adonara dialect
langu -k house -1SG.POSS ‘my house’
Lamaholot, East Adonara dialect
Example (6) illustrates the possibility of cross-reference to the person, for instance 1SG, while the possessive is marked by the suffix 1SG.POSS. In this type of structure, the personal pronoun go (1SG) is optional and does not fulfill its usual function as subject. It would seem inappropriate to claim the possessor-possessed order for this pattern. In short, then, in Lamaholot and probably in many other East Nusantara languages, the preposed possessor criterion does not actually correspond to a compulsory set pattern, and the reverse order is possible when the possessor is referred to by a pronoun. It would, therefore, be more accurate to say that what characterizes most East Nusantara languages and distinguishes them from WMP languages is the possibility, under certain conditions, of placing the possessor before the possessed.
Map 1. Language areas of Lio, Sikka, Lamaholot and Kédang ANALYTICAL VERSUS FLEXIONAL LANGUAGES Some languages are clearly “analytical”, such as Lio (Central-Malayo-Polynesian – CMP), spoken in the centre of Flores island, which has no specialized morpheme to express possession. (8) guru sa’o teacher house ‘teacher’s house’
nua aku village 1SG ‘my village’
Lio (East Nusantara / CMP), Flores
38
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Other languages tend rather to be “flexional”; the further one moves from the centre of Flores towards the east, the higher the chances of encountering languages in which the genitive is expressed by means of flexional morphemes. One example is Sikka, spoken in an area immediately to the west of the Lamaholot-speaking region – see Pareira and Lewis (1998): the paradigm of possessive determiners is formed by adding the suffix -ng to the personal pronoun. (9) ama a’u -ng father 1SG -POSS ‘my father’
oring ’ita village 1PL.INCL ‘our house’
-ng -POSS
Sikka (East Nusantara / CMP), Flores
In Lamaholot, the possessive entails fairly complex morphological changes: (10) ama -k father -1SG.POSS ‘my father’
(kamé) (1PL.EXCL) ‘our house’
langu house
-kem -1PL.POSS
Lamaholot, East Adonara dialect
Following the Lesser Sunda Islands towards the east, after the chain of Lamaholot dialects one comes to the linguistic area of Kedang, on the Island of Lembata – see Sawardo and Allii (1989:38, 50). In Kedang, subject pronouns ei 1SG, o 2SG and nuo 3SG differ from the paradigm of possessive determiners. (11) ko’ epu 1SG.POSS grand-father ‘my grandfather’
ne’ tene 3SG.POSS pirogue ‘his pirogue’
Kedang (East Nusantara / CMP), Lembata
MORPHOLOGY OF POSSESSIVES IN LAMAHOLOT Lamaholot is highly dialectalized. Keraf (1978) conducted a lexicological study identifying 33 languages or dialects with a common vocabulary, as shown in the Swadesh list, that could be as low as 44 percent and no higher than 89 per-cent. The linguistic area of Lamaholot consists of a “chain of dialects” along which, to put things simply, speakers of neighbouring dialects understand each other, but not speakers of dialects at the two extremities of the chain.4 In the latter case, we are talking about two distinct languages. My field of inquiry is the eastern part of Adonara Island, to the north and west of Ile Boleng volcano. This area corresponds to the very close “Dulhi” and “Kiwangona” dialects described by Keraf (1978); I shall provisionally call it “Adonara dialect”. Even within a single dialectal area there can be many phonological variants. For example, in the morphology of the verb agreement particle, the onset consonant can vary, from one place to another, between /n/, /j/ or /r/.5 Some phonological differences are also due to metathesis. For instance, in Lamablawa, the enclitic genitive marker of 2PL is -kem [kəm], while in Sandosi (an hour’s walk away), it is -kme [kmə]. In Lamablawa, “it is drying” translates as na pahéna, but is na phaéna in Balaweling (twenty minutes away). Between dialectal areas that are further away from each other, especially if they are separated by the sea, differences are of course greater, not only as regards the lexicon (cognates, false friends, registers) but also with respect to morpho-syntax. The semantic range of the use of possessive morphemes in Lamaholot is very wide, including not only possession (for instance, a human possessing an inanimate object), but also adnominal genitive and partitive. This distinction is discussed below, under “semantic observations”.
39
Philippe Grangé
Two paradigms of possessive determiners are used in Lamaholot: free and enclitic, as illustrated in examples (12) and (13); furthermore, the word lango ‘house’ undergoes vowel alternation (/o/ > /u/) when a possessive suffix is added. (12) Go hulin lango goen. 1SG look house 1SG.POSS ‘I am looking at my house.’ (13) Go hulin (go) langu -k. 1SG look (1SG) house -1SG.POSS ‘I am looking at my house.’ Subject pronouns are included in the table below in order to highlight the morphological features they share with the possessives. Table 1. Personal Pronouns and Possessive Determiners in Lamaholot, Adonara Dialect Subject Free Possessive Determiner Possessive Suffix Pronouns (Postposed to “Possessed”) 1SG go goen [ɡoɛ̃] -k 2SG mo moen [moɛ̃] -m 3SG na naen [naɛ̃] or [naɛ̃n] -n 1PL.INCL tité tit’en [titʔɛ̃] -ket / -t 1PL.EXCL kamé kam’é [kamʔe] -kem / -nem 2PL mio mion [miõ] -ké / -né 3PL ra raen [raɛ̃] -ka / -na Variants of the singular and 3PL persons are found in other regions: goé, moé, naé, and raé, as in Kiwang Ona and Boleng (south east of Adonara Island) or at the eastern point of Flores (Mandiri Island). Person 1SG 2SG 3SG 1PL.INCL 1PL.EXCL 2PL 3PL
Table 2. Examples of Possessive Noun Determiners Free Possessive Morpheme Bound Morpheme (Suffix) lango goen [laŋo goɛ̃̃] (go) languk [laŋuk] lango moen [moɛ̃]̃ (mo) langum [laŋum] lango naen [naɛ̃] or [naɛ̃n] (na) langun [laŋun] lango tit’en [titʔɛ̃] (tité) languket [laŋukət] lango kam’é [kamʔe] (kamé) langukem [laŋukəm] lango mion [miõ] (mio) languké [laŋuke] lango raen [raɛ̃] (ra) languka [laŋuka]
Translation my house your house his/her house our (+ you) house our (– you) house your house their maison
The suffix form is compulsory in the case of inalienable possession (see below). According to our informers there is no difference in register between the paradigms of possessive determiners. However, it would seem that Lamaholot speakers tend to prefer the enclitic form, whatever the register.
40
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
AGREEMENT RULES Within a Noun Phrase (NP), a possessive relation can be embedded inside another possessive relation. For instance, if ∋ means “owns”, the object NP in example (14) can be represented as: (you ∋ cousin (cousin ∋ sarong)): (14)
Go senan bine -m 1SG be.pleased cousin -2SG.POSS ‘I like your cousin’s sarong.’
kewatek -en. sarong 3SG.POSS
The head noun of the object NP is kewatek-en ‘her sarong’ and it must agree with the head noun of the NP referring to its possessor, bine ‘cousin’, thus 3SG. This rule holds even if both the NP head noun and its complement have the same “possessor” in semantic terms; in other words, there is no agreement-raising towards the NP higher up in the hierarchy. Therefore, in example (15), leg seems, grammatically at least, to be the “possessor” of hairs. (15)
Mo lei -m rawu -ken aya-aya. 2SG leg -2SG.POSS hair -3SG.POSS many ‘Your legs have a lot of hairs (are very hairy).’ litt. : ‘Your leg its hair are many.’
/ *rawu -kem / hair -2SG.POSS /*‘your hairs’
We also saw that a person marker preposed to the head noun could optionally occur together with the paradigm of possessive determiners in suffix form, as in (go) languk ‘my house’, example (13). Even though the person marker has the form of a subject pronoun, it merely expresses emphasis, as in “my own house”, and of course does not have subject function. Example (16) offers an illustration of such an emphatic turn of phrase.6 (16)
Buah yang ra rekan né ra fruit REL 3PL 3PL.AGR- eat DET 3PL si keranjang onen. na naen PREP 3SG basket 3SG.POSS in ‘The fruit they are eating, they took it from his own basket.’
guté take
The prepositional phrase si keranjang naen onen ‘in his basket’ would be perfectly acceptable. But the fact that several baskets were mentioned in the story that example (16) is taken from, prompted the narrator to specify that he was referring to the basket belonging to the main character, hence the preposed pronoun na. Emphasis can also be expressed by taking up the “possessor” noun phrase by means of a pronoun, as in (18): (17)
Ni guru Yohanes langu dét teacher house NP ‘It is teacher Yohanes’s house.’
(18)
Ni
-n. -3SG.POSS
guru Yohanes langu -n naen. teacher PRN house -3SG.POSS 3SG.POSS ‘It is teacher Yohanes’s house and no-one else’s / It is teacher Yohanes’s own house.’ DET
In some languages, use of the existential construction entails that of the genitive. In Lamaholot, this constraint only applies to negative sentences. Thus rather than saying “I don’t have a tree” or “her husband does not work”, one has to say “my tree is not” or “her husband his work is not”.
41
Philippe Grangé
(19) Go karuk také. Go karo -k také. 1SG tree -1SG.POSS NEG ‘I don’t have a tree / I don’t have any wood.’ (20) Ina Benedikta lakhen olhan také, han pauro. Ina Benedikta laké -n olha -n lady
PRN
husband
-3SG.POSS
work
-3SG.POSS
také ha NEG
wife
-n
pau -ro.
-3SG.POSS
feed
-3SG.OBJ
‘Mrs Benedikta’s husband doesn’t work, his wife supports him.’ MORPHOPHONOLOGY There are many phonological variants in the Lamaholot dialect chain but the morpho-syntax of the possessive remains basically the same. Here are a few examples of such variants in Lamaholot: Lewoingu (Flores): mata-ken [matakən] ‘my eye’7 Witihama (Adonara): mata-k (eye-1SG.POSS) ‘my eye’ Witihama (Adonara): lango goen ’my house’; go atin-ek ‘my earring’ Sandosi (Adonara)8: lango goek ‘my house’; go atin-k ‘my earring’ Such minor variations can be observed even between the Witihama valley and the villages on its slopes, although they are barely ten kilometers away from one another. Lamaholot speakers on Adonara understand each other perfectly but can tell where they come from by these subtle differences. Such diversity may be explained by a history of conflict between the different clans on Adonara, as suggested by Barnes (1987:2005). The possessive suffix for plural persons usually starts with /k/. However, with words ending with a nasal vowel, the possessive starts with /n/, as in kenatan [kənatãn] ‘a bed’ – see table below.
1SG 2SG 3SG 1PL.INCL 1PL.EXCL 2PL 3PL
Table 3. Variations of Possessive Suffix lango ‘house’ kenatãn ‘bed’ (go) languk [laŋuk] (go) kenatanek [kənatanək] (mo) langum [laŋum] (mo) kenatanem [kənatanəm] (na) langun [laŋun] (na) kenatan [kənatan] (tité) languket [laŋukət] (tité) kenatanet [kənatanət] (kamé) langukem [laŋukəm] (kamé) kenatanem [kənatanəm] (mio) languké [laŋuke] (mio) kenatané [kənatane] (ra) languka [laŋuka] (ra) kenatana [kənatana]
Furthermore, for some words with an open final syllable, the speaker may choose between /k/ and /n/ as the initial consonant of the possessive suffix in the following persons: 1 PL.EXCL, 2PL and 3PL. For instance with kawi ‘fish-hook’ (also subjected to /h/ epenthesis, discussed below): kamé kawhi-nem or kawhi-kem ‘our fish-hook’ mio kawhi-né or kawhi-ké ‘your fish-hook’ ra kawhi-na or kawhi-ka ‘their fish-hook’ We saw earlier, for instance with lango ‘house’, that the enclitic possessive morpheme entailed the following vowel alternations for words ending with the vowels /o/ or /e/:
42
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
/o/ > /u/ lango > langun ‘his/her house’ aho > ahuk ‘my dog’ karo > karuket ‘our (incl.) tree’ pao > pauk ‘my mango’ lewo > lewuka ‘their village’
/e/ > /i/ kenubé > kenubik ‘my machete’ wawé > wawhik ‘my pig’ apé > aphikem ‘our (excl.) fire’
This rule only affects disyllabic words; kenubé ‘machete’ is the only exception to my knowledge. Vowel alternation from /e/ to /i/ may be found together with epenthesized /h/ (see below), but not, it would seem, the glottal stop /ʔ/. Possessive suffixes also lead to epenthesis, through the insertion either of vowels (modifying the suffix) or of consonants, affecting the word itself. Vocalic epenthesis consists in the insertion of a [ ə ] in the suffix, on words ending with a consonant, thus avoiding the formation of consonant clusters (two successive consonants). This can be illustrated with the 1SG possessive suffix -k: manu’ [manuʔ] + -k 1SG.POSS > manuk-ek [manukək] ‘my rooster/hen’ maan [maːn] + -t 1PL.INCL.POSS > maan-et [maːnət] ‘our garden’ kenatan > kenatan-ek ‘my bed’ lamak > lamak-ek ‘my plate’ bal > bal-ek ‘my ball/balloon’ glas > glas-ek ‘my glass’ With open final syllables having an occlusive onset consonant (/p/, /b/, /t/, /d/, /k/, /g/), the possessive suffix leads to epenthesis of /h/ as onset of the final syllable. kuda + -k 1SG.POSS > kudhak ‘my horse’ bunga + -m 2SG.POSS > bungham ‘your flower’ pita + -nem 1PL.EXCL.POSS > pithanem ‘our door’ This rule also applies to recently borrowed words: oto > othom ‘your car’ speda > spédhãn ‘his bicyle’, spédhak ‘my bicycle’ lampu > lamphuk ‘my lamp’ honda > hondhak ‘my moped’ Very few exceptions were noted: wato > watuk ‘my stone’ mata > matak ‘my eye’ The extent to which this epenthesis is realized is more or less marked depending on the speaker, and opinions on this issue may vary within a single village. In Sandosi, probably under the influence of the Lembata Lamaholot dialect, the /h/ is placed between the two syllables:
43
Philippe Grangé
(21) tapo ‘coconut’ mo taphu -m mo tahpu -m 2SG coco -2SG.POSS ‘your coconut’
Lamaholot, East Adonara dialect Lamaholot, East Adonara dialect, Sandosi variant
Finally, again in the Sandosi variant, metathesis can be observed. manu’ ‘chicken’ + =t 1PL.INCL.POSS > manuket [manukət] ‘our chicken’ manukte [manuktə] ‘our chicken’ in Sandosi variant manu’ ‘chicken’ + =k 1SG.POSS > manukek [manukək] ‘my chicken’ manuke [manukə] ‘my chicken’ in Sandosi variante Metathesis has also been noted in other Lamaholot dialects (Lamalera, Lewotobi). POSSESSIVE PREPOSITION NE There is evidence that when several possessive relations are embedded, speakers can use a possessive preposition, ne [nə] (not to be mistaken for the definitive determiner or demonstrative ni or né). This preposition is not compulsory and most probably serves to disambiguate an utterance. For instance, in the following example, my informer considered the first ne optional, but deemed the second one necessary. (22) Ni DET
go
ari
-k
(ne)
haa -n
ne
langu -n.
1SG
brother
-1SG.POSS
PREP.POSS
wife
PREP.POSS
house
-3SG.POSS
-3SG.POSS
‘It is my younger brother’s wife’s house.’ The preposition ne may be related to the 3SG subject pronoun na in Lamaholot (East Adonara dialect). Such use of a possessive preposition derived from or morphologically close to the 3SG pronoun is fairly common. Engelenhoven (2009:337, 355) notes that in accordance with “the pattern found elsewhere in the Timor Sprachbund, Fataluku also uses the third person singular marker i as a possessive marker between possessor and possession nouns.” (23)
(24)
ocava i pala master 3SG field ‘the master’s field’
Fataluku (Engelenhoven 2009:355)
mane nia xapeu man 3SG hat ‘the hat of the man’
Tetum (Engelenhoven 2009:337)
In Western Pantar (or Lamma), geographically speaking the closest non-Austronesian language to Lamaholot, “an adjunct noun phrase referring to the possessor may optionally precede the possessive pronoun.” (Holton 2007)
44
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
(25) aname gai bla person 3SG.POSS house ‘the man’s house’
Western Pantar (Holton 2007)
This is also the case in Alor (bahasa Alor), an East Nusantara language clearly derived from Lamaholot (Klamer 2011). (26) Ama kali n- ei nong ni kafae. father that 3SG go with POSS wife ‘That person went with his wife’
Alor (Klamer 2007:52)
POSSESSIVE PRONOUNS A free possessive determiner may be used as a possessive pronoun when asking – or answering – a question about the owner of an object. (27) Tapo lali watã Sagu né héku raen ? Né coconut downhill beach NP DET INTERR 3PL.POSS DET ‘Who do the coconuts on Sabu beach belong to? – They are mine.’
(go) (1SG)
goen. 1SG.POSS
In this type of question – literally “who theirs?” – the 3PL.POSS pronoun raen is used by default. In the reply to the question in (27), the optional pronoun go expresses emphasis. This pattern is found in paradigm I of possessive pronouns shown below. It is also possible to use an independent possessive pronoun that refers back anaphorically to a noun and can occupy the functions of a noun. In fact, this is compulsory in all other cases than replying to a question. Previous research on Lamaholot only mentions the existence of independent possessive pronouns in the Lamalera dialect (Lembata Island) – see Keraf (1978:125). One can assume that possessive pronouns are only used in the eastern part of the chain of dialects making up the linguistic area of Lamaholot, on the islands of Adonara, Solor and Lembata. Table 4. Independent Possessive Pronouns in the Adonara Dialect of Lamaholot
1SG 2SG 3SG 1PL.INCL 1PL.EXCL 2PL 3PL
Paradigm I
Paradigm II
gogoen [gogoɛ̃] momoen [momoɛ̃] nanaen [nanaɛ̃]
goének [goɛnək] moénem [moɛnəm] titénet [tit/enət] kaménem [kam/enəm] mioné [mione]
raraen [raraɛ̃ ] raraéna [raraena]
mine yours his/hers/its ours (incl.) ours (excl.) yours theirs
Two synonymous forms are used in 1SG and 2SG persons. There is no evidence of a difference in register, and they appear to be free variants. Two “competing” paradigms can be identified as regards the formation of possessive pronouns:
45
Philippe Grangé
Paradigm I For example: go 1SG + goen 1SG.POSS > gogoen PRO.1SG.POSS. It is not possible to form 1PL and 2PL persons on this pattern. subject pronoun + possessive determiner > possessive pronoun Paradigm II Here the formation rule is unclear. I would suggest that it is derived from lexicalisation of the possessive preposition ne. subject pronoun + possessive preposition + posessive enclitic > possessive pronoun For example: goé 1SG + ne PREP.POSS + -k 1SG.POSS > goének ‘mine’ moé 2SG + ne PREP.POSS + -m 2SG.POSS > moénem ‘yours’ tité 1PL.INCL + ne PREP.POSS + -t 1PL.INCL.POSS > titénet ‘ours (incl. you)’ kamé 1PL.EXCL + ne PREP.POSS + -m 1PL.EXCL.POSS > kaménem ‘ours (incl. you)’ mio 2PL + ne PREP.POSS + -é 2PL.POSS > mioné ‘yours’ SEMANTIC OBSERVATIONS Lamaholot does not mark any difference between the relation of possession as such (most commonly a human being who owns an inanimate object) and the adnominal genitive. (28)
Rizal
otho car ‘Rizal’s car’ PRN
(29)
-n -3SG.POSS
Ama Niko no’on Ina Pulo langu -ka Mr PRN with.3SG Mrs PRN house -3PL.POSS ‘Mr Niko’s and Mrs Pulo’s house / the house of Mr Niko and Mrs Pulo’
Examples of adnominal genitive: (30)
Kursi lei Chair leg ‘chairleg’
(31)
sepatu wutu shoe end ‘toecap’
-n -3SG.POSS -n -3SG.POSS
The distinction between alienable and inalienable possession is widespread among the Lesser Sunda Island languages, and more generally in East Nusantara languages. The distinction is common to both Austronesian and non-Austronesian languages in the region and applies to different domains depending on the language; parts of the body and members of a family are usually considered inalienable. In Alor, alienable 3SG ni stands in contrast to 3SG inalienable no ; see Klamer (2007). In Lamaholot, inalienable possession is compulsorily expressed by the paradigm of enclitic possessive morphemes, while to express alienable possession, the paradigms of free possessives or of suffixes can be used indifferently. In examples (32) to (34), sal ‘scarf’ can
46
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
receive possessive determination by means of a free morpheme or a suffix, whereas with wuli ‘neck’, clearly inalienable, possession can only be expressed by a suffix. (32)
(33)
Na puin sal na’en Si wuli -n. 3SG ties scarf 3SG.POSS PREP neck -3SG.GEN ‘He ties his scarf round his neck.’ Na puin sal -nen si wuli -n. 3SG ties scarf -3SG.POSS PREP neck -3SG.GEN ‘He ties his scarf round his neck.’
Lamaholot, East Adonara dialect
(34) *Na puin sal na’en si wuli na’en. 3SG ties scarf 3SG.POSS PREP neck 3SG.GEN ‘He ties his scarf round his neck.’ Nouns referring to parts of the body, which are per se inalienable, never appear in their bare form, without a possessive enclitic. Thus *lei ‘leg’ is unacceptable, and can only be found in the forms lei-k ‘my leg’, lei-m’your leg’, lei-n’his/her leg’ and so on. Lexicographers need to take this fact into account. Comparison of vocabulary lists (Swadesh lists) may also lead illinformed observers to believe they have come across lexical differences; some Swadesh lists include the nouns leik, lein and leim as meaning leg, clearly reflecting the way in which the linguist collected her or his data. For instance, if I point to my leg asking “what do you call that?”, the chances are that the reply will be leim ‘your leg’. INFLUENCE OF NON-AUSTRONESIAN LANGUAGES Klamer (2002:377) stress the reciprocal influences of Austronesian and non-Austronesian languages (Trans-New Guinea Phylum languages, also known as Papuan langages). It is likely that Papuan languages gave the Austronesian languages of insular Southeast Asia three main features: possessor-possessed order, alienable-inalienable distinction and sentence-final negation. One or several of these features can be found in East Nusantara languages – see Klamer (2008:74, examples 69 and 70). In many languages of the region, whether Austronesian or not, possessive pronouns can be proclitic. In Western Pantar, a non-Austronesian language – see Holton (2008:176) – they are indeed proclitic (“possessive construction”) but are also found postposed (“genitive construction”). (35)
n= iu 1SG.POSS
mother
n= iaku 1SG.POSS
sibling
i= ga= aulang PROG
3SG
‘my mother is bathing my brother [but I can’t see it]’ (36)
gai bla 3SG.POSS house ‘his house’
bla ga’ai house 3SG.POSS ‘the house of his’
bathe
Western Pantar (Holton 2008:176) Western Pantar (Holton 2008:176)
In Lamaholot, the possessive determiner, whether free-standing or enclitic, is always postposed. Lamaholot’s emphatic construction (preposed pronoun + noun + enclitic possessive determiner) can be found in some Papuan languages, for instance in Moi (West Papuan Phylum) – see Staden and Reesink (2008:57) – or in Mangga Buang (North New Guinea Cluster), to express inalienable possession – see Payne (1997:106).
47
Philippe Grangé
(37)
(38)
ta= laagi =m t =a 1SG.POSS woman 1SG.POSS 1SG POSS ‘my wife’ sa nama =ngg o nama =m 1SG hand 1 2SG hand 2 ‘my hand’ ‘your hand’
Moi (Staden & Reesink 2008:57)
Mangga Buang (Payne 1997:106)
The alienable-inalienable contrast is widespread in the East Nusantara languages, although it takes different forms. According to Klamer, Reesink, and Staden (2007:119), in Teiwa (Tidore Island), both alienable and inalienable possession are expressed with the same paradigm of morphemes; this is also the case in Lamaholot. However, in Teiwa the possessive proclitic is optional for nouns referring to the “possessed”, but compulsory for inalienable “possessed objects”, while in Lamaholot it is the possessive enclitic that is compulsory for the latter. In Blagar, Steinhauer (1993:150-151) has observed a free form for possessive determiners of nouns with subject function, and a proclitic form for those of nouns with object function. In view of the wide variety of forms (proclitics or enclitics; compulsory or optional) it seems difficult and even virtually impossible to trace the history of the mutual influences between the Austronesian languages of the Eastern Lesser Sunda Islands and the TNGP (Trans New-Guinea Phylum) languages, which are also extremely diverse. The “newcomer” to the region is the Malay language, which emerged from the sixteenth century, and probably long before that, as the vehicular language of maritime trade. The various Malay dialects of eastern Indonesia bear witness to the lingua franca that Malay represented for the whole of insular South-East Asia during and before the colonial era – see Paauw (2008). For example, Larantuka Malay adopted the possessor-possessed order, using the verb puN [pun], [puŋ], [puɲ], [puɲa], meaning ‘to own’, as a preposition (40). (39) Rumah saya rumah -ku house 1SG house 1SG.POSS ‘my house’ ‘my house’ (40)
saya puN 1SG PREP ‘my house’
Saya punya rumah. 1SG to own house ‘I have a house.’
rumah. house
Malay/Indonesian
Larantuka Malay
A similar structure can be found in various Malay dialects, in Kupang and in the Moluccas. Although Larantuka Malay is spoken in the very centre of the Lamaholot linguistic area, it is unlikely that the “N(POSSESSOR) pun N(POSSESSED)” structure was borrowed from Lamaholot; on the other hand, it may have been borrowed from one or several East Nusantara languages, in which use of the possessive preposition is widespread. In Alor, according to Klamer (personal communication), the “possessive ligature” ning probably comes from the grammaticalisation of the verb -eing / -ing ‘to have’. (41)
(Bapa John) ni ning uma (father NP) 3SG POSS house ‘his (father John’s) house’
Alor (Klamer, p.c.)
There is a striking similarity with the puN construction in Larantuka Malay but no certainty as regards the direction in which the borrowing took place. Some Timor languages
48
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
may have influenced Larantuka Malay.9 Another hypothesis, though less likely, is that the vehicular Malay of traders and seafarers plying the eastern Indonesian sea routes might in its turn have influenced popular Malay, or bahasa Melayu pasar, and led to its adopting this pattern.
CONCLUSION Typological classification of the Eastern Lesser Sunda Islands languages is no easy task, especially in view of the presence in this vast area of several non-Austronesian languages. On the basis of the likely reciprocal influences that shaped them, through what are still little-known contacts between Austronesian and non-Austronesian languages, it is possible to define a group of East Nusantara languages (Klamer 2008, Klamer & Ewing 2010:121) that share one or several major typological features: preposed possessor, alienable versus inalienable possession, metathesis, final negation, and split intransitivity. Lamaholot may be the only language in which the five features are found together, making it a particularly exciting and representative example of East Nusantara languages. The expression of possession in Lamaholot is characterized by a very rich morphology: two paradigms of possessive markers (suffixes and free morphemes), agreement rules that take into account not only syntax but also semantics (alienable/inalienable contrast), a preposition that specifically marks possession and two paradigms of possessive pronouns. Various morphophonological features (vowel alternation, epenthesis and metathesis) can also be observed, reflecting a wide variety of dialects and sometimes even found within a single one, as in the Adonara dialect. As a result, the study of the possessive system in Lamaholot probably raises more questions than it answers: apart from the well-established criterion of “preposed possessor” in East Nusantara languages, how do we identify the features that probably come from one or several non-Austronesian languages, and those that can be accounted for by a “local” morphological complexification reflecting the long history of the Lamaholot language? NOTES * I would like to thank an anonymous reviewer for very helpful comments on the earlier draft. 1 It was not until the 1970s that detailed documentation work, using the tools of modern linguistics, was carried out in the Eastern Lesser Sunda Islands; its pioneers were Wim Stockhof and Hein Steinhauer (1993), as well as Gorys Keraf (1978) for Lamaholot. 2 Recent archeological finds (Galipaud & Simanjuntak, personal communication) date the arrival of Austronesians on East Flores between 2500 and 2000 BP. 3 Glossing abbreviations: AGR: agreement morpheme; NEG: negation; OBJ: object; PREP: preposition; PRN: proper noun; POSS: possessive; PREP: preposition; SG: singular ; PL: plural; INCL: inclusive; EXCL: exclusive; NP: noun phrase 4 Only two Lamaholot dialects have been described to date, by Keraf (1978) and Nishiyama & Kelen (2007); to which should be added the dictionary compiled by Pampus (2001) and several articles by Nagaya (2009 ; 2010). 5 Lamaholot spelling has not been normalized. The transcription used in this paper is: [e] = é ; [ɛ] = è ; [ə] = e ; [ʔ] = ’. 6 Pear Story oral corpus – informer : Pak Yakobus ‘Obi’ Dewaraja Lamablawa, November 2009. 7 Example quoted from Nishiyama and Kelen (2007: 11) [matakən] ‘eye-my’
49
Philippe Grangé
8
It would appear that the Lamaholot dialect of Sandosi is close to that of Lamahera, on the neighbouring island of Lembata, which can be seen from the village of Sandosi, built on high ground. Sandosi may have been founded by a group coming from Lamahera, or at any rate been strongly influenced by speakers from Lamahera; further historical investigation is called for on this matter. 9 It is well-known that Larantuka, in the sixteenth and seventeenth centuries, was considered by the Portuguese as a kind of barrier that was supposed to protect Timor and its highly-coveted sandalwood – see Barnes (1987). Relations with Timor were frequent, well before the colonial period. In one of the Timor languages, Tetum, the structure using a possessive preposition is similar to that found in the Malay dialects of eastern Indonesia. When the Dutch took control of Malacca in 1641, most of the Portuguese and their allies took refuge on Larantuka, thus probably bringing with them linguistic influence from peninsular Malay.
REFERENCES Barnes, R. (1987). “Avarice and iniquity at the Solor Fort”, Bijdragen Tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, Vol. 143 - No. 2/3, 208-236. Brandes, J.L.A. (1884). Bijdragen tot de Vergelijkende Klankleer der Westersche afdeeling van de Maleis-Polynesische taalfamilie, Utrecht: P. W. van de Weijer. Donohue, M. & Musgrave, S. (2007). “Preposed possessor languages in a wider context”, Workshop on the languages of Papua, Manokwari, http://profiles.arts.monash.edu.au/ simon-musgrave/download/Manokwari.pdf. Engelenhoven A.Th.P.G. van (2009). On derivational processes in Fataluku, a non-Austronesian language in East-Timor. In: Wetzels W.L. (Ed.) The Linguistics of Endangered Languages, Contributions to Morphology and Morpho-Syntax. Utrecht: Netherlands Graduate School of Linguistics. 331-362. Himmelmann, N.P. (2005). “The Austronesian languages of Asia and Madagascar: typological characteristics”. In The Austronesian languages of Asia and Madagascar (Eds. Adelaar, A. & Himmelmann, N. P.) New York: Routledge, pp. 110-181. Holton, G. (2007). http://www.faculty.uaf.edu/ffgmh1/pantar/nouns.html, consulté le 12-122009. Holton, G. (2008). “The rise and fall of semantic alignment in North Halmahera, Indonesia”. In The Typology of Semantic Alignment (Eds. Donohue, M. & Wichmann, S.) Oxford: Oxford University Press, pp. 252-276. Keraf, G. (1978). Morfologi dialek Lamalera, Ende: Arnoldus. Klamer, M. (2002). “Typical features of Austronesian Languages in Central/Eastern Indonesia”, Oceanic Linguistics, Vo. 41 No. 2, pp.364-383. Klamer, M. (2008). “The Semantics of Semantic Alignment in eastern Indonesia”. In The Typology of Semantic Alignment (Eds. Donohue, M. & Wichmann, S.) Oxford: Oxford University Press, pp. 221-251. Klamer, M. (2011). A Short Grammar of Alorese (Austronesian), Munich: Lincom Europa. Klamer, M. & Ewing, M.C. (2010). “The languages of East Nusantara: An introduction”. In Typological and Areal Analyses: Contributions from East Nusantara (Eds. Klamer, M. & Ewing, M.) Canberra: Pacific Linguistics.
50
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Klamer, M., Reesink, G. & Staden, M. van. (2007). “East Nusantara as a Linguistic Area”. In From linguistic areas to areal linguistics (Ed. MUYSKEN, P.) Amsterdam: Benjamins, p. 53. Nagaya, N. (2009). “Subject and topic in Lamaholot, Eastern Flores”, 11th International Conference on Austronesian Linguistics (11-ICAL), Aussois, France, 22-29 June 2009. Nagaya, N. (2010). “Voice and grammatical relations in Lamaholot of eastern Indonesia”, Proceedings of the Workshop on Indonesian-type Voice System, Research Institute for Languages and Cultures of Asia and Africa (ILCAA), Tokyo University of Foreign Studies (TUFS), July 17-18, 2010, http://lingdy.aacore.jp/doc/indonesia2010/ DrNagaya_proceedings.pdf. Nishiyama, K. & Kelen, H. (2007). A Grammar of Lamaholot, Eastern Indonesia, Muenchen: Lincom Europa. Paauw, S.H. (2008). The Malay contact varieties of Eastern Indonesia : a Typological Comparison, PhD, Buffalo: State University of New York at Buffalo. Pampus, K-H. (2001). Mué Moten Koda Kiwan - Kamus Bahasa Lamaholot, Frankfurt: Frobenius-Institut. Pareira, M. & Lewis, D. (1998). Kamus sara Sikka - bahasa Indonesia, Ende: Nusa Indah. Payne, T. (1997). Describing Morphosyntax: A Guide for Field Linguists, Cambridge: Cambridge University Press. Sawardo, P. & Allii. (1989). Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis Bahasa Kedang, Jakarta: Pusat Bahasa. Staden, M. van & Reesink, G. (2008). “Serial verb constructions in a linguistic area”. In Serial Verb Constructions in Austronesian and Papuan languages, Vol. 594 (SENFT, G. ed.) Canberra: Pacific Linguistics, pp. 17-54. Steinhauer, H. (1993). “Bahasa Blagar Selayang Pandang”, Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya, Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia pp. 639-659.
51
Linguistik Indonesia, Februari 2015, 53-71 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 1
THE USE OF HEDGES AND BOOSTERS AS RHETORICAL DEVICES IN THE CONSTRUCTION OF SPEECHES Farida Hidayati* Ruswan Dallyono Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] [email protected] Abstract The present study is a pragmatic analysis of the use of hedges and boosters in the speeches of three ministers on the government’s policy of raising fuel prices during the second tenure administration of Susilo Bamband Yudhoyono (SBY). This study explores the distributions of hedges and boosters in the speeches and the pragmatic functions of those hedges and boosters. Data were obtained from three speeches delivered by Hatta Radjasa (HR), Jero Wacik (JW) and Armida Alisjahbana (AA). The theoretical framework of this study was based on Hyland’s (1998a) and Hyland’s (1998b) theories of hedging for categorizing the types of hedges and boosters and pragmatic functions. This study indicates that both hedges and boosters were used by two politicians: HR and AA with different distributions. This study confirms Hyland’s (1998a) and (1998b) findings that hedges and boosters are used for mitigating and strengthening the truth values of propositions. Keywords: hedge, booster, function
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan hedge (piranti pemagaran) dan booster (piranti penguat) yang terdapat pada pidato tiga menteri saat mereka mengumumkan kebijakan pemerintah mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Penelitian ini mempelajari sebaran piranti pemagaran dan piranti penguat yang terdapat pada pidato dari tiga menteri tersebut dan juga fungsi-fungsi pragmatik dari piranti pemagaran dan piranti penguat yang terdapat dalam pidato mereka. Data yang diperoleh dari pidato yang disampaikan oleh Hatta Radjasa (HR), Jero Wacik (JW) and Armida Alisjahbana (AA) diunduh dari dua laman. Teori yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan teori pemagaran dari Hyland (1998a) and Hyland (1998b) yang berfungsi untuk mengelompokkan jenis dan fungsi pragmatik dari piranti pemagaran dan piranti penguat yang terungkap dalam pidato ketiga menteri tersebut. Penelitian ini menegaskan teori pemagaran dari Hyland’s (1998a) dan (1998b) bahwa piranti pemagaran dan piranti penguat digunakan secara instrumental untuk memperlemah dan memperkuat nilai kebenaran dari sebuah proposisi. Kata kunci: piranti pemagaran, piranti penguat, fungsi
INTRODUCTION Hedges and boosters refer to communicative strategies used for augmenting or lessening the strength of statements Hyland (1998a). It appears that their significance in creating discourse is in their role to articulate proper rhetorical senses based on their contexts by putting across both
Farida Hidayati, Ruswan Dallyono
epistemic and affective meanings, which means that they carry not only the speaker’s or writer’s degree of assurance in the truth value of statements, but also an attitude to the listener or reader. A considerable number of studies have been conducted on hedges and boosters as rhetorical devices in academic texts (Varttala 2001; Hyland 1994; Hyland 1998b; Hyland 2000; Vázquez Orta & Giner, 2009). These studies primarily focus on the distributions and use of rhetorical functions of hedges and boosters in academic discourse. Other studies compare the use of hedges and boosters between native speakers of English and non-native speakers of English (see Hyland & Milton, 1997 as cited in Behnam, Naeimi, & Darvishzade, 2012). Meanwhile, there are also studies comparing the use of hedges and boosters between male and female speakers in conversation (Holmes 1990). The use of hedges and boosters in political discourse appears to have been underresearched. Our search for works on the topic revealed that there were only a few scholars who have conducted research in the field. The first study was conducted by Taweel et al (2011). They investigated hedging in political discourse by drawing on data from selected televised interviews in Arabic television during the third gulf war. The second one was carried out by Šandová (2010) who examined the use of boosters and hedges in political interviews from the webpages of American and British TV and radio stations. The third one was a study of hedges and boosters as persuasive devices in political language (Crespo-Fernández & López-Campillo, 2012). The fourth one was a study undertaken by Jalilifar and Alavi (2012) on the use of hedging devices in political interviews. Finally, Garcia-Pastor (2008, in Jalilifar & Alavi 2012) investigated face mitigating devices in political debates in US political campaigns. In fact, research on the use of hedges and boosters in political discourse is essential because hedges and boosters are devices which are often used by politicians to articulate their messages to the public. By investigating hedges and boosters, researchers are in a position to disclose the linguistic masks of politicians so that they can unveil the “actual” political messages politicians conveyed to the people. This study aims to describe the use of hedges and boosters in three political texts by Hatta Radjasa (HR), Jero Wacik (JW), and Armida Alisjahbana (AA). We hoped to discover the distributions and functions of hedges and boosters in their speeches. These politicians’ speeches were considered to be significant because they provided information about the raising of the fuel prices which was thought to cause a major impact on the people’s economy. Thus, it is essential to discover how the three ministers crafted their messages by employing hedges and boosters because they conveyed information which might stir the people’s anger. METHODOLOGY In this study we used a qualitative method with descriptive statistics. The purpose of using this method was to explore the issue in a more revealing manner. Rather than merely describing linguistic features being investigated, it is more significant to discover how these features are distributed in terms of frequencies and percentages and how these quantitative data establish pragmatic meanings. These quantitative data were used to discover the salience of occurrences of tokens in the texts. The data were interpreted in terms of how salient or rare linguistic features are used in the texts. The qualitative method was used to interpret the pragmatic functions of the hedges and boosters used by the three ministers.
54
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Data Collection Procedure We drew upon three transcripts of political speeches of Menko Perekonomian Hatta Rajasa (HR), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik (JW) and Menteri PPN/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana (AA) on June 21 st 2013. The speech transcripts consisted of five pages of 1304 words. We decided to analyze these transcripts because we found that these ministers used hedges and boosters in their speeches in order to persuade both opponents and audiences to agree with them. The transcripts were taken from http://www.youtube.com/watch?v=FNgdM_n4UUM for HR’s speech and http://www.youtube.com/watch?v=ThN1oezJN3E for JW and AA’s speeches. Data Analysis Procedure To analyze the speeches, we drew upon Hyland's (1998a, 1998b) lexico-grammatical features and pragmatic functions of hedges and boosters. According to Hyland (1998a:1), hedges and boosters can be used as “communicative strategies for increasing or reducing the force of statements.” This definition was used as the basis for analyzing the speeches of the three ministers while assuming that they had hedged and/or boosted their statements for various communicative purposes which were probably political in nature. Although Hyland used the definition to refer to academic works, we believe that communicative strategies are valid in all contexts, including in a political context where a speaker needs to draw on effective communicative strategies to assure the audience. First, we established criteria for hedges and boosters based on Hyland’s (1998a, 1998b) theories. Hyland (1998a; 1998b) classified hedges as downtoners which were divided into four categories, namely (a) compromiser e.g. sangat ‘quite’, biasanya ‘usually’ or ‘normally’; (b) diminisher e.g. sebagian ‘partially’ and sedikit ‘slightly’; (c) minimiser e.g. jarang ‘rarely’ and sewaktu-waktu ‘occasionally’; (d) approximator e.g. hamper ‘almost’, sebenarnya ‘virtually’ and secara relatif ‘relatively’. Meanwhile, boosters were defined as uptoners which consisted of two categories, namely (a) intensifier: sangat ‘very’, ‘absolutely’ or ‘extremely’, and (b) certainty: pasti ‘must’ or ‘certain’. This categorization of hedges and boosters is summarized in Table 1 below. The lexico-grammatical features of both hedges and boosters, however, take various forms of word classes and grammatical units. With these established criteria, we were able to come up with well-categorized data along with quantitative information such as distribution frequencies and percentages. Table 1. A Modified Version of the Functions of Hedges and Boosters (Hyland, 1998b:139) Rhetorical No. Functions Features Examples Devices Downtoner compromiser: adverbs, modality, quite, usually, normally, may, can, it agentless passives is argued that 1. Hedges diminisher: adverbs, modality partially, slightly, might, minimiser: adverbs rarely, occasionally approximator: adverbs, modality almost, virtually, relatively, will, shall 2.
Boosters
Uptoner intensifier: certainty:
adverbs modals
very, absolutely, extremely must, certain
55
Farida Hidayati, Ruswan Dallyono
Afterward, we analyzed the data by labeling the words or phrases found in the speeches understudy as hedges or boosters. The data were also classified into the types of hedges or boosters to facilitate the process of identification. To identify the category of a certain word or phrase, we analyzed the co-texts and contexts in which it occurred. FINDINGS AND DISCUSSION Hedges Used in the Speeches of HR, JW and AA Based on the Lexico-grammatical Features The first speech in the series of three speeches was delivered by HR as the Minister of Economy. This part of findings and discussion start with the lexicogrammatical features of HR’s speech. HR used both hedges and boosters, but first of all, the hedges will be highlighted. Table 2 below indicates that HR used three tokens of hedges (0.70%) if divided by the number of words used. From the three tokens, it was discovered that he used two adverbs (66.67%) and 1 modality (33.33%). Compared to the total number of words used, namely 429 words, the use of only three hedges is relatively small. It is safe to state that HR’s speech is only slightly hedged, which means that it may appear either reckless or confident in terms of its tone. It will be further shown in what context actually HR used these hedges. A qualitative account of this tendency is required to clarify the pragmatic functions of the hedges. Table 2. The Percentages of Lexico-grammatical Features of Hedges in HR’s Speech Hedges Lexico-grammatical Features Adverb: 2 tokens 3 tokens/429 words (66.67%) (0.70%) Modality: 1 token (33.33%) As earlier mentioned, in terms of lexico-grammatical features, HR used two types of hedges, namely adverbs and modalities. He used two adverbs, namely kurang twice and only one modality, namely dapat. In Indonesian, the adverb kurang is usually attached to an adjective which is intended to weaken the meaning of the adjective. The adjective kurang is translated as not enough into English. The clause … tapi juga dirasakan kurang adil bagi masyarakat kita yang miskin may be translated as … but it is considered to be not fair enough by the poor. In the speech, HR was actually referring to the subsidy on oil price which was inappropriately enjoyed by rich people. The government was planning to decrease the subsidy and would allocate some financial support for poor people, which was known as “BLSM” or Bantuan Langsung Sementara. It is an amount of money, intended to relieve the people from the burden of the fuel hike. The amount of BLSM was Rp150.000 per month or Rp450.000 per three months. The function of this hedge in the phrase kurang adil is apparently intended to minimize the strength of the meaning. This function will be elaborated to later parts of the report. Following is Table 3 presenting the lexico-grammatical features of hedges found in HR’s speech:
56
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Table 3. Lexico-grammatical Features of Hedges in HR’s Speech No. Hedges The Lexico-grammatical Features … tidak tepat sasaran tapi juga dirasakan kurang 1. Adverb adil bagi masyarakat kita yang miskin dan … … bagi masyarakat kita yang miskin dan kurang 2. Adverb mampu. … dan dengan program-program tersebut yang satu 3. Modality paket maka kita dapat memberikan daya dorong … Table 3 shows that the use of kurang in sentence 2 might have been intended to refer to the same thing, namely as a minimiser. The phrase kurang mampu refers to those poor people or those who might be deeply affected by the fuel hike. The phrase may be translated as not capable enough into English. HR was referring to the magnitude of the impact of the increase in the fuel price on economically weak people. The second type of hedges that was used in the speech was modality, namely dapat. In English, this modality is comparable to can or could. Hyland (1998b:102-107) categorizes modality as one of the features of hedges. In English the meaning of can and could refers to either capability or possibility, depending on the context in which the modality is used. In Indonesian, the word dapat means either capable or obtain. It is categorized into a modality because it appears to function like a modal auxiliary. In English, modal auxiliaries are used as independent auxiliaries and do not need other auxiliary verbs. In Indonesian, it is possible to construct a sentence such as Dapatkah kau menari? which is similar to the English equivalent Can you dance? In addition, the word dapat is considered to be a modality because in terms of meaning, it expresses both ability and possibility. As a modality, however, it only means ‘capable’. In sentence 2 above, HR says … dan dengan program-program tersebut yang satu paket maka kita dapat memberikan daya dorong. In the sentence, HR actually stated that with all the programs that the government planned to implement, they would be able to lift the poor from the financial impact they were likely to have from the fuel prices’ hike. HR used the word dapat to imply that there was a potential of “usefulness” for this financial support to alleviate the economic burden of poor people. In this case, he was careful in paraphrasing his sentence so as to avoid criticisms from his political opponents. Today, economic and political analysts were highly critical of the government’s policies, especially those involving the fuel hike. No hedges were found in JW’s speech. Apparently, JW did not wish to tone down his statements. He just delivered what he was expected to convey to the people. The main reason why he did not use any hedges was that he was not in a position to opinionate. He was merely reading a report which was technical in nature. There was no need to hedge because he was only presenting facts. JW only conveyed the contents of the final draft as an extension of the government’s policy of securing the National Budget. Next, it is imperative to discuss the lexico-grammatical features of the next speech which was delivered by AA, who was the Minister of PPN and the Head of BAPPENAS. Table 4 demonstrates the hedges percentages and the lexico-grammatical features of hedges in AA’s speech.
57
Farida Hidayati, Ruswan Dallyono
Table 4. The Percentages of Lexico-grammatical Features of Hedges in AA’s Speech Hedges Lexico-grammatical Features Adverbs: 8 tokens (42.1%) 19 tokens/734 words Modality: 5 tokens (26.3%) (25.88%) Agentless Passive: 5 tokens (26.3%) Adjectives: 1 token (5.26%) Table 4 indicates that AA used nineteen tokens of hedges or 25.88% if divided by the number of words used. From the nineteen tokens, it was discovered that she used hedges more variously than HR. In her speech, AA used eight adverbs, five modalities, five agentless passives, and one adjective. Compared to HR’s speech, there were more hedges in AA’s speech. Hyland (1998b:102-107; 1998:186) says that modalities and agentless passives are categorized as hedges. This fact suggests that AA’s way of speaking was more careful and thorough than the two other speakers because the content of her speech consisted of both detailed information about the programs to reduce the effect of fuel hike and persuasive explanation to convince the public, especially those who were less fortunate. In Table 5, the use of lexico-grammatical features of hedges in AA’s speech is displayed to describe their uses in context.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Table 5. Lexico-grammatical Features of Hedges in AA’s Speech The Lexico-grammatical Hedges Features Pada kesempatan ini saya akan menyampaikan … Modality … dampak penyesuaian harga BBM khususnya Adverb terhadap…. Secara garis besar ada dua kelompok … … Adverb …… masyarakat miskin dapat mengakses pendidikan….. Modality …… mencakup hampir 30% dari…. Adverb …… harga BBM yang diperkirakan sekitar empat….. Adverb …… sekaligus juga akan membantu pemenuhan…… Modality …… selanjutnya secara ringkas saya…. Adverb …… juga mencakup kelompok rentan miskin Adjective …… ditingkatkan menjadi rata-rata sebesar 1.8 juta Adverb rupiah…. ……akan saya …… Modality …… yang akan …… Modality ……diberikan pada 15.5 juta……… Agentless passive …….yang dirancang dalam bentuk program percepatan Agentless passive perluasaan…… …..daya air lainnya di sekitar 4 ribu desa Adverb … telah diperkenalkan kartu perlindungan sosial…… Agentless passive …… yang diberikan kepada… Agentless passive …… infrastruktur dasar dilakukan dengan…… Agentless passive …..pokok-pokok penjelasan yang dapat saya sampaikan Modality ….. 58
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
As shown in Table 5, AA used modalities for expressing possibilities, capabilities or even potentials which were not necessarily always the case in reality. For instance, when someone says BLSM akan membantu masyarakat, the speaker is merely talking about the potential or possibility that the aid will help the people. It is not a certainty that the people feel assisted by the aid. In addition, there was also an effort of evading responsibility on the part of the speaker. Agentless passives were heavily distributed across the speech, suggesting that the speaker wished to avoid assuming the responsibility of raising oil prices and that she was distancing herself from actions reported in the speech. She appeared to be saying that all these actions were beyond doubt necessary to be taken. Meanwhile, adverbs were mostly used to express approximators and diminishers. AA generally used approximators because she did not want to state things precisely. This is a strategy of evasion of being truthful. She used the adverbs secara garis besar, hampir, diperkirakan sekitar, secara ringkas rata-rata to refer to entities which are not certain when she was explaining her points. She hoped that she would not be judged as biased in indicating numbers. For instance, she said that Ini penting karena pangan mencakup hampir 30%. It appears that she did not want to be particularly precise in mentioning this percentage. AA only used one adverb (khususnya) to indicate a diminisher, namely when she stated dampak penyesuaian harga BBM khususnya terhadap…. By using the adverb khususnya (particularly), it appears that she intended to limit the case to only a particular issue. Her statement suggests that she did not want to generalize her point. For instance, in the speech, AA said saya akan menyampaikan program-program yang dirancang untuk mengatasi dampak penyesuaian harga BBM khususnya terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. In this utterance, it is apparent that she wanted to assert that the impact of the fuel hike only occurred to those people with lower incomes. Thus, it was not meant to refer to all the people. To summarize, Table 6 displays the number of hedges found in the speeches of the three ministers: Table 6. Hedges in the Speeches of the Three Ministers No. The Ministers The Number of Hedges Percentage 1. HR 3 tokens/429 words 0.69% 2. JW 0 token/141 words 0% 3. AA 19 tokens/734 words 2.59% Table 6 shows that AA used hedges the most frequently, namely 25.88%, followed by HR, 0.69%. JW, as stated earlier, did not use any hedges in his speech due to the genre of the spoken text that he delivered, namely informational speech. Boosters Used in the Speeches of HR, JW, and AA Based on the Lexico-grammatical Features HR’s speech is clattered with boosters all over the text. He used 14 boosters per 429 words or 3.26%. The types of boosters range from determiners to adverbs. Table 7 shows the percentages of boosters and the lexico-grammatical features of hedges deployed in HR’s speech. As shown in Table 7, from 14 occurrences of boosters in HR’s speech, the highest percentage occurs in adverbs (35.7%). The second goes to modalities (21.4%), and the third goes to determiners (14.3%). In addition, three other features, namely modalities plus particles, adverbs plus
59
Farida Hidayati, Ruswan Dallyono
particles, and particles have the same number of percentages, namely 7.14%. All these boosters were used to suggest that the speaker wished to convey his conviction that the fuel hike was inevitable due to the increasing world oil prices. Table 7. The Percentages of Lexico-grammatical Features of Boosters in HR’s Speech Boosters Lexico-grammatical Features Determiners: 2 (14.3%) Modalities plus particles: 1 (7.14%) 14 tokens per 429 words Adverbs plus particles: 1 (7.14%) (3.26%) Particles: 1 (7.14%) Modalities: 3 (21.4%) Adverbs: 5 (35.7%) The lexico-grammatical features of boosters in HR’s speech are displayed in Table 8. This table shows that there are two determiners, one particle, three modalities, five adverbs, one adverb plus particle and 1 modality plus particle used in his speech. Table 8. Lexico-grammatical Features of Boosters in HR’s Speech Lexico-grammatical No. Booster Features Seluruh rakyat Indonesia yang kami cintai, para wartawan yang 1. Determiner saya muliakan, … … marilah pada kesempatan yang baik dan Insya Allah penuh 2. Interjection + Particle berkah ini, … 3. Kita juga patut bersyukur, sebagaimana kita fahami bersama, … Modality Saudara sekalian yang saya cintai, APBN perubahan ini amatlah 4. Adverb + Particle penting bagi kita, … … dan kesinambungan fiskal kita, APBN kita, tetapi juga 5. Adverb perekonomian kita secara keseluruhan. … dan membengkaknya konsumsi BBM, akibat tentu saja dari 6. Adverb meningkatnya hasil pembangunan … … mengakibatkan defisit anggaran kita melampaui 3% yang 7. Adverb tentu tidak dibenarkan oleh … Besarnya subsidi BBM ini dan berpotensi terus akan 8. Modality membengkak di samping … … di samping lebih dari 70% tidak tepat sasaran tapi juga 9. Determiner dirasakan … 10. Pemerintah tentu menyadari bahwa kebijakan tersebut … Adverb 11. … bahwa kebijakan tersebut akan menimbulkan inflasi yang … Modality 12. Ini adalah pilihan yang amat sulit dan … Adverb … penyesuaian harga BBM ini pemerintah mengambil kebijakan 13. Modality + Particle haruslah disertai dengan … … kita dapat melindungi masyarakat kita yang tentu terkena 14. Adverb dampak tersebut dan …
60
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
The table above suggests that HR was represented as the minister who was responsible for this policy. There are a number of boosters in the speech such as seluruh and secara keseluruhan. He said, Seluruh rakyat Indonesia yang kami cintai … He addressed the audience as “all our beloved people” in order to gain sympathy. There was no guarantee that he was truthful in saying this. The determiner all referred to each and everyone in the country. There was no way that he could love all Indonesian citizens. HR said that the fuel hike had affected the Indonesian economy as a whole, as reflected in the following statement: … tetapi juga perekonomian kita secara keseluruhan. Through this statement, HR suggested that he was fully aware of the impact of the fuel hike. He knew that the policy had a detrimental effect on the people’s economy. In addition, to a significant extent, there is an impression of empathy in the use of adverbs to boost statements as in Ini adalah pilihan yang amat sulit dan … There is this sense of regret on the part of the government to raise fuel prices. He said, “it is a very difficult choice and …” HR seemed to be saying that he actually hated to take this option of raising fuel prices, considering the people’s current financial difficulties. The government had to make this policy because it had to; otherwise, the National Budget would “bleed.” In order to invite the audience to thank God for His blessings, HR used the combination of interjection and particle as in marilah pada kesempatan yang baik dan Insya Allah berkah ini, kita memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan YME. By using this hedge, HR wanted to gain sympathy. Apparently, he wanted to create an impression that both HR and the audience were religious people. Accordingly, the modal verb patut which means ‘should’ refers to emphasize the same purpose, namely a sense of religiosity as in kita patut bersyukur (we should be thankful). In HR’s speech he used the adverb tentu twice. It appears he intended to assert that something is fact that presumably both HR and the audience believe in. There is no doubt about it. For instance, HR said kita dapat melindungi masyarakat kita yang tentu terkena dampak tersebut dan …. HR was aware that the raising of the fuel prices would affect the people’s economy. He understood the consequences of this policy. He wanted the people to know that he had empathy with them. Interestingly, JW’s speech did not contain any boosters at all. This finding implies that he did not wish to tone up his message to the audience. As stated earlier, he also did not tone down his speech either. It is possible that he did not boost or hedge in his statements because he had no political interests in his rhetorical style. He seemed to be indifferent whether people would react positively or negatively. In addition, the nature of JW’s speech was both technical and informational. There was no need to convince the audience because all the arguments justifying the policy to raise oil prices were given extensively by HR and AA. JW’s task was only to announce the new prices of fuel; thus, he did not need to boost or hedge because the prices had been calculated by the government. The following table presents the number of boosters in AA’s speech. Different from HR, AA used less boosters compared to hedges in her speech.
61
Farida Hidayati, Ruswan Dallyono
Table 9. The Percentages of Lexico-grammatical Features of Boosters in AA’s Speech Boosters Lexico-grammatical Features Verbs: 3 (23%) Adverb: 4 (30.8%) 13 tokens per 734 words Adjective: 3 (23%) (1.77 %) Modality: 1 (7.7%) Idiom: 1 (7.7%) The table shows that the use of these types of boosters was amounted to thirteen. This finding suggests that the speaker wished to convey her certainty to the audience that all the programs prepared by the government would be able to ease the people’s burden due to the fuel hike. The lexico-grammatical features of boosters in AA’s speech are presented in Table 10. Table 10. The Lexico-grammatical Features of Boosters in AA’s Speech Lexico-grammatical No. Booster Features 1. … yaitu dengan memastikan bahwa…. Verb 2. … … dimaksudkan untuk memastikan agar mereka… Verb 3. … memperoleh kebutuhan yang paling… Adverb 4. …mendasar yaitu pangan Verb 5. Ini penting karena …. Adjective 6. … … membantu masyarakat khususnya masyarakat miskin….. Adverb 7. …tersebut tanpa harus berdampak negatif… Modality 8. … perumahtangga sangat miskin pertahun Adverb 9. … sumber daya air yang terutama dialokasikan untuk… Adverb 10. … tepat sasaran, khusus untuk ketepatan… Adjective 11. … sosial ekonomi terendah sesuai … Superlative adjective 12. … yaitu 25% terendah, pendistribusian… Superlative adjective 13. …dengan sebanyak mungkin melibatkan… Idiom The above table indicates that there are a number of boosters in AA’s speech such as memastikan, paling, mendasar, penting, khususnya, harus, sangat, terutama, terendah and sebanyak mungkin. She mentioned the word memastikan twice in her speech namely, … yaitu dengan memastikan bahwa…. and … dimaksudkan untuk memastikan agar mereka… She intended to convince the people, especially those who were less fortunate, to believe that the programs offered by the government, such as BLSM and PKH, could cut off the poverties’ chain. She assured that those programs would enable the poor to get access to education and health. Furthermore, the addition of supply of rice for poor people could provide the most basic necessity, that is, food. In her speech, AA also mentioned the word terendah twice. This word is a superlative adjective meaning ‘the lowest’. Armida used the word in two contexts, namely … sosial ekonomi terendah sesuai … and … yaitu 25% terendah, pendistribusian…. By using this words, she emphasized that ‘kartu perlindungan sosial’ or social protection card would only be given to people in the lowest socio-economic strata. She wanted to make sure that the cards would not go to the wrong hands that do not deserve them. 62
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Another finding in AA’s speech is that she used the phrase sebanyak mungkin meaning ‘as many as possible’ in the context … sementara untuk pelaksanaan infrastruktur dasar dilakukan dengan sebanyak mungkin melibatkan masyarakat setempat agar memperoleh tambahan kesempatan kerja. AA said that the government would ask the local people to get involved actively in pelaksanaan infrastruktur dasar or ‘the development of basic infrastructure’ so that they would get bigger chances to get jobs. To summarize, Table 11 below presents the number of boosters found in the speeches of the three ministers: Table 11. Boosters in the Speeches of the Three Ministers No. The Ministers The Number of Boosters Percentage 1. HR 14 tokens/429 words 3.26% 2. JW 0 token/141 words 0% 3. AA 13 tokens/734 words 1.77% Table 11 shows that HR used boosters the most frequently, followed by AA. HR used boosters fourteen tokens in 429 words. HR prefers toning up his statements to toning them down because his position as “the leader” or “the representative” of the government forced HR to convince the people that the government policy about fuel hike was the best alternative among the worst. HR might feel that the need to eliminate people’s doubt was more important than to speak in a careful way. He was probably confident because he assumed that it was a president mandate to announce the hike; therefore, his main duty was to tone his statements up, not to tone them down. Hedges and Boosters in the Speeches of HR, JW and AA and Their Distributions of Lexico-grammatical Forms Table 12 shows a comparison between the use of hedges and boosters in HR’s speech. As shown in Table 12, it is evident that the comparison of hedges with boosters in HR’s speech is three to fourteen. HR used three hedges per 429 words (0.70%) meanwhile he used fourteen tokens of boosters in 429 words (3.26%). It means that HR used more boosters compared to hedges. This fact constitutes a piece of the evidence that he is in a position to influence or to convince the people to agree with the fuel hike. He did not use hedges as many as boosters because his main duty was to influence the audience. Table 12. Hedges and Booster in HR’s Speech No. Hedges Booster 1. … tidak tepat sasaran tapi juga Seluruh rakyat Indonesia yang kami cintai, dirasakan kurang adil bagi masyarakat para wartawan yang saya muliakan, … kita yang miskin dan … 2. … bagi masyarakat kita yang miskin dan … marilah pada kesempatan yang baik dan kurang mampu. Insya Allah penuh berkah ini, … 3. … dan dengan program-program Kita juga patut bersyukur, sebagaimana kita tersebut yang satu paket maka kita dapat fahami bersama, … memberikan daya dorong … 4. Saudara sekalian yang saya cintai, APBN perubahan ini amatlah penting bagi kita, …
63
Farida Hidayati, Ruswan Dallyono
… dan kesinambungan fiskal kita, APBN kita, tetapi juga perekonomian kita secara keseluruhan. … dan membengkaknya konsumsi BBM, akibat tentu saja dari meningkatnya hasil pembangunan … … mengakibatkan defisit anggaran kita melampaui 3% yang tentu tidak dibenarkan oleh … Besarnya subsidi BBM ini dan berpotensi terus akan membengkak di samping … … di samping lebih dari 70% tidak tepat sasaran tapi juga dirasakan … Pemerintah tentu menyadari bahwa kebijakan tersebut … … bahwa kebijakan tersebut akan menimbulkan inflasi yang … Ini adalah pilihan yang amat sulit dan … … penyesuaian harga BBM ini pemerintah mengambil kebijakan haruslah disertai dengan … … kita dapat melindungi masyarakat kita yang tentu terkena dampak tersebut dan …
5.
6.
7.
8. 9. 10. 11. 12. 13.
14.
Compared to JW and AA, HR’s speech appears to stir up the audience’s emotion more. The use of hedges tends to weaken the arguments. HR seemed to be aware of whom he was addressing. Apparently, he attempted to persuade the audience by using many hedges in his speech. In other words, he was trying to establish a discourse of emotional appeal rather than a discourse of logic. JW did not use any boosters or hedges in his statements. Apparently, there was no need to boost or hedge. There are a number of possible reasons why he decided to avoid using both hedges and boosters. First, he probably had no political interests in conveying his messages. He appeared to be indifferent whether the people would react positively or negatively. Secondly, he might want to appear professional as Minister of Energy and Natural Resources; he wanted to give a neutral impression to the people. Thirdly, he was not in a position to opinionate. He was merely reading a report which was technical in nature. There was no need at all to hedge or to boost because he was only presenting facts. In fact, JW merely articulated the contents of the final draft of the government’s policy under the framework of safeguarding the National Budget. Table 13 shows how AA used hedges and boosters in her speech. The table also displays the comparison between the use of hedges and boosters in context. As shown in Table 13, AA used nineteen tokens of hedges per 734 words (25.88%) meanwhile she used thirteen tokens of boosters in 734 words (1.77%). Different from HR in his speech, AA used more hedges compared to boosters. This is probably because AA conveyed government programs to minimise the effects of the fuel hike. There are always two possibilities when programs are
64
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
implented: success or failure. She appeared to be careful in putting forward these programs to the people to avoid criticisms. Some people might endorse them; others might reject them. AA’s speech contains adverbs that were used to qualify adjectives or verbs that express meanings. By using adverbs, she was actually minimizing the impact of these meanings. She was actually aware that there might be an error or the number is not the same in all places. Her use of modalities further imply that the best she could say was all about possibilities, capabilities or even potentials that are not necessarily always the case in reality. She was merely talking about the potential or possibility that the aid will help the people. It is not a certainty that the people feel assisted by the aid. In addition, there is also an effort of evading responsibility on the part of the speaker. Agentless passives are significantly distributed across the speech, giving the impression that the speaker wishes to avoid assuming the responsibility of raising oil prices and that she was distancing herself from actions reported in the speech. She appeared to be communicating that all these actions were, beyond doubt, necessary to be taken. At the same time AA was also a government’s representative who had the capacity to convince the people, especially those who were less fortunate to believe that the programs offered by the government such as BSM and PKH were in a position to end the poverties’ chain. She assured the people that those programs would help the poor in order to be able to access education and health. Meanwhile, an added supply of rice for poor people has been assured to provide the most basic necessity, namely, food. By using boosters, AA hoped to be able to put an emphasis that the social protection cards would only be given to people in the lowest socioeconomic strata and would not go to the wrong hands that did not deserve to get them. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Table 13. Hedges and Boosters in AA’s Speech Hedges Booster Pada kesempatan ini saya akan … yaitu dengan memastikan bahwa…. menyampaikan … … dampak penyesuaian harga BBM … … dimaksudkan untuk memastikan khususnya terhadap…. agar mereka…… Secara garis besar ada dua kelompok … … … memperoleh kebutuhan yang paling. …… masyarakat miskin dapat mengakses … mendasar yaitu pangan pendidikan….. …… mencakup hampir 30% dari…. Ini penting karena …. …… harga BBM yang diperkirakan sekitar … … membantu masyarakat khususnya empat….. masyarakat miskin….. …… sekaligus juga akan membantu …tersebut tanpa harus berdampak pemenuhan…… negatif… …… selanjutnya secara ringkas saya…. … perumahtangga sangat miskin pertahun …… juga mencakup kelompok rentan … sumber daya air yang terutama miskin dialokasikan untuk… …… ditingkatkan menjadi rata-rata … tepat sasaran, khusus untuk sebesar 1.8 juta rupiah…. ketepatan… ……akan saya …… … sosial ekonomi terendah sesuai … …… yang akan …. … yaitu 25% terendah, pendistribusian… ……diberikan pada 15.5 juta….…… …dengan sebanyak mungkin melibatkan…
65
Farida Hidayati, Ruswan Dallyono
14. 15. 16. 17. 18. 19.
…….yang dirancang dalam bentuk program percepatan perluasaan…… …..daya air lainnya di sekitar 4 ribu desa … telah diperkenalkan kartu perlindungan sosial…… …… yang diberikan kepada… …..…… infrastruktur dasar dilakukan dengan…… …. pokok-pokok penjelasan yang dapat saya sampaikan…
The Pragmatic Functions of Hedges in the Construction of the Speeches of the Ministers In this study we used the classification of the pragmatic functions of hedges by Hyland (1998b:139), which is presented in Table 1. Hyland (1998b) defines that hedges function as compromisers, diminishers, minimisers and approximators. Those four functions were used as categories to classify the data of the study. Table 14 shows the functions of hedges in HR’s Speech. HR used hedges mostly for minimizing the effect of his utterances. In addition, HR used hedges for compromising. A detailed description of the functions of hedges used by HR is presented in Table 15 below: Table 14. Functions of Hedges in HR’s Speech Functions of Hedges No. Items Found in Speech 1. … dan dengan program-program tersebut Compromiser: quite, usually, normally yang satu paket maka kita dapat memberikan daya dorong … 2. X Diminisher: partially, slightly 3. … tidak tepat sasaran tapi juga dirasakan Downtoner kurang adil bagi masyarakat kita yang Minimiser: miskin dan … rarely, occasionally … bagi masyarakat kita yang miskin dan kurang mampu. 4. Approximator: X almost, virtually, relatively In his speech, HR tends to use hedges for minimising, for example, … tidak tepat sasaran tapi juga dirasakan kurang adil bagi masyarakat kita yang miskin dan … and … bagi masyarakat kita yang miskin dan kurang mampu. HR used the word kurang instead of tidak to show that he wishes to minimise the impact of his statement. The same thing applies when he said kurang mampu. It seems that these hedges represent a sense of politeness from an Indonesian perspective. Meanwhile for compromising, HR used the word dapat, which means ‘can’, in … dan dengan program-program tersebut yang satu paket maka kita dapat memberikan daya dorong …. The use of the word dapat in the above context makes HR appear to be polite and humble. Instead of saying program-program tersebut yang satu paket maka kita akan memberikan daya
66
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
dorong … that appears to be presumptuous, he uses a compromistic word by applying the word dapat that is more modest and acceptable for Indonesian culture. Different from JW who did not use any hedges when he announced the fuel hike, AA used many hedging devices in her speech. As for the functions of hedges used by AA, the table below summarizes the distribution of these hedging functions, categorising them into five functions, namely compromiser, approximator, future, capability and avoiding responsibility. Table 15. Functions of Hedges in AA’s Speech Functions of Hedges No. Items Found in Speech Compromiser: Secara garis besar ada dua kelompok … … 1. … dampak penyesuaian harga BBM khususnya quite, usually, terhadap…. normally Diminisher: 2. X partially, slightly Minimiser: Downtoner rarely, 3. X occasionally …… mencakup hampir 30% dari…. Approximator: …… harga BBM yang diperkirakan sekitar empat….. …… selanjutnya secara ringkas saya…. almost, 4. …… juga mencakup kelompok rentan miskin virtually, …… ditingkatkan menjadi rata-rata sebesar 1.8 juta relatively rupiah…. …..daya air lainnya di sekitar 4 ribu desa Pada kesempatan ini saya akan menyampaikan … …… sekaligus juga akan membantu pemenuhan…… Future 5. ……akan saya …… …… yang akan … …….diberikan pada 15.5 juta……… …….yang dirancang dalam bentuk program percepatan perluasaan…… 6. Avoiding Responsibility … telah diperkenalkan kartu perlindungan sosial…… …… yang diberikan kepada… …… infrastruktur dasar dilakukan dengan…… Table 15 outlines the functions of hedges in AA’s speech. The table shows that she used hedges for compromising, approximating, showing future and capability and avoiding responsibility. For the sake of cautiousness, AA used hedges mostly for approximating. She used the words such as hampir ‘almost’, sekitar ‘approximately’, secara ringkas ‘briefly’, rentan ‘vulnerable’, and rata-rata ‘average’. For example, the word rata-rata found in AA’s speech, namely … ditingkatkan menjadi rata-rata10 sebesar 1.8 juta rupiah… shows that the speaker did not want to be careless to say that the budget increase for Program Keluarga Harapan (PKH) or Family Hope Program now amounts to exactly 1.8 million rupiahs per family per year. By saying rata-rata, AA wants to play safe if the actual practices might turn out to be different.
67
Farida Hidayati, Ruswan Dallyono
This study reveals that there are two particular functions of hedging that were not found in Hyland’s criteria, namely avoiding responsibility and expressing the future. Arguably, these functions still belong to the nature of hedging in general because the use of these functions may have a lessening impact of statements. To avoid responsibility, AA used five agentless passives in her speech, such as …diberikan pada 15.5 juta…, …yang dirancang dalam bentuk program percepatan perluasaan…, …telah diperkenalkan kartu perlindungan sosial…, … yang diberikan kepada…, and …infrastruktur dasar dilakukan dengan…. AA used agentless passives to hide or to conceal the agent, namely the government. By using agentless passives, the impact of statements is lessened because the illocution does not attack anyone in a direct way. This function of agentless passives is reflected in sentence (b) in comparison to sentence (a) below: a. X merancang program infrastruktur dasar dalam bentuk program percepatan perluasaan pembangunan infrastruktur permukiman dengan jumlah total desa tambahan yaitu sebesar 11. 750 desa atau kelurahan dengan jumlah alokasi dana 250 juta perdesa atau perkelurahan. b. Program infrastruktur dasar yang dirancang dalam bentuk program percepatan perluasaan pembangunan infrastruktur permukiman dengan jumlah total desa tambahan yaitu sebesar 11. 750 desa atau kelurahan dengan jumlah alokasi dana 250 juta perdesa atau perkelurahan. (AS’s Speech 2013 transcribed from http://www.youtube.com/watch?v=ThN1oezJN3E) In sentence (a), it is clear who is going to be responsible for the success or the failure of Program Infrastruktur Dasar or Basic Infrastructure Program, namely X. Meanwhile, in sentence b, it is not clear who is to blame if there is embezzlement, abuse or even corruption in the programs. No one knows who is going to take the responsibility for the success of the programs, whether it is X, Y or Z. The use of agentless passives tends to give some spaces for avoiding responsibility. If the programs fail, it will be easier for the government to accuse or to blame other parties or sides. After discussing the hedging function to avoid responsibility, it is imperative to discuss the future function. Examples of the use of akan are shown below: a. Pada kesempatan ini saya akan menyampaikan … sekaligus juga akan membantu… b. …pemenuhan……, ….akan saya ………… yang akan … The word akan that has been stated for four times in the above examples has the same meaning as will in English. The use of will in the two sentences above provides the speaker with a sense of the future. If all elements involved could support the programs, the programs would be achieved. Therefore, the implied meaning is that what has been proposed has the possibility to fail unless the conditions are fulfilled. There are many aspects to the programs to work. The Pragmatic Functions of Boosters in the Construction of the Speeches of the Ministers In this study we used the definition of the pragmatic meanings of boosters by Hyland (1998b:139). According to Hyland (1998b), boosters function as intensifiers and certainty. Those two functions of boosters were employed as categories to classify our data of the study. This study revealed the functions of boosters used by HR in his speech as shown in the following table. Table 16 shows that there are two functions of boosters discovered: intensifiers and certainties. As shown in Table 16, HR used boosters in his speech to express intensifiers and certainties. Intensifiers were used to strengthen the magnitude of his statements. Meanwhile, certainties were used to assert his conviction about the truth of his statements. It was significant for HR to use boosters which function as intensifiers and certainties because he was in a position to convince the audience about the need to raise fuel prices.
68
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Table 16. Functions of Boosters HR’s in Speech Functions of Boosters No. Items Found in Speech 1. Seluruh rakyat Indonesia yang kami cintai, para wartawan yang saya muliakan, … …marilah pada kesempatan yang baik dan Insya Allah penuh berkah ini, … 2 Kita juga patut bersyukur, sebagaimana kita fahami bersama, … Intensifier: Saudara sekalian yang saya cintai, APBN perubahan ini Uptoner amatlah penting bagi kita, … …dan kesinambungan fiskal kita, APBN kita, tetapi juga perekonomian kita secara keseluruhan. Besarnya subsidi BBM ini dan berpotensi terus akan membengkak di samping … …di samping lebih dari 70% tidak tepat sasaran tapi juga dirasakan … …bahwa kebijakan tersebut akan menimbulkan inflasi yang … Ini adalah pilihan yang amat sulit dan … 3. …dan membengkaknya konsumsi BBM, akibat tentu saja dari meningkatnya hasil pembangunan … …mengakibatkan defisit anggaran kita melampaui 3% yang Certainty: tentu tidak dibenarkan oleh … Pemerintah tentu menyadari bahwa kebijakan tersebut … …kita dapat melindungi masyarakat kita yang tentu terkena dampak tersebut dan … As for AA’s speech, it was discovered that AA used boosters in some parts of her speech. As shown in Table 17, there are two functions of boosters in AA’s speech, namely intensifiers and certainties. AA used some words namely paling ‘most’, mendasar ‘basic’, penting ‘important’, harus ‘must’, sangat ‘very’, and terutama ‘particularly’ to intensify her statements. In essence, these intensifying boosters were used to highlight certain qualities or entities such as need and poverty. These issues are often used in speeches made by politicians to win the audience’s hearts. In this speech, it appears that AA intended to show sympathy that she cared for the people. Table 17. Functions of BoosterAA’s Speech No. Items Found in Speech 1. ...memperoleh kebutuhan yang paling mendasar yaitu pangan …Ini penting karena …. Intensifier: 2. 3. …tersebut tanpa harus berdampak negatif… 4. …perumahtangga sangat miskin pertahun 5. …sumber daya air yang terutama dialokasikan untuk… …tepat sasaran, khusus untuk ketepatan… Certainty: 7. 8. …sosial ekonomi terendah sesuai … 9. …yaitu 25% terendah, pendistribusian…
Functions of Booster
Uptoner
69
Farida Hidayati, Ruswan Dallyono
10. 11. 12. 13.
…dengan sebanyak mungkin melibatkan… …yaitu dengan memastikan bahwa…. …dimaksudkan untuk memastikan agar mereka…… …membantu masyarakat khususnya masyarakat miskin…..
CONCLUSIONS This study has indicated that both hedges and boosters were employed in the speeches of AA and HR. This finding appears to confirm Hyland’s (1998b) theory of hedging that these two pragmatic tools are useful for mitigating and strengthening the truth values of propositions. The significant contribution of this study is that that hedges and boosters have been proven to be functional for mitigating and strengthening propositions when the issues being raised are sensitive. On the one hand, there was a need for these politicians to mitigate the effect of the fuel hike. For this purpose they resorted to hedges. On the other hand, they also wanted to accentuate their optimism that the government’s programs such as the cash assistance program for poor people would succeed. For this purpose, they used boosters. As a matter of fact, the topics discussed in this study pertain to the government policy of raising oil prices, which were most worrying because it was announced at a bad time as Ramadan was drawing close and the new academic year was commencing in which parents needed money to purchase their children’s books, shoes and schoolbags. The policy to raise the fuel prices is unsettling, yet unavoidable, due to the global economic influences. It is hard to implement because it is an unpopular policy. People generally reject raising fuel price policy because it will hurt many of them financially. Thus, there are three issues at work here: first, they wanted to show empathy to the people on lower incomes; second, they wanted to convince the people that the policy was necessary to be taken and if not, a crisis would occur; and third, they wanted to assert that the policy would not do any harm to poor people because the government has prepared programs to minimize the impact of the fuel prices’ hike. HR and AA intelligently articulated these three issues by manipulating hedges and boosters in their speeches. Future researchers are recommended to analyze the grammatical structure of hedges and boosters in the sense that they might be examined through analyses of various grammatical levels such as morphological and syntactic levels. This linguistic pursuit aims to describe the grammatical structures of hedges and boosters by analyzing grammatical elements and how those elements work together to form hedges and boosters. The two pragmatic tools, in fact, not only take the form of lexicons, but also phrases, and sentences. It would be more revealing to investigate the grammatical aspect of hedges and boosters because this perspective will highlight the formal parts of hedges and boosters. It would be interesting to examine the relationships between the pragmatic insights and the structural insights. Alternatively, researchers might also discover more pragmatic functions of hedges and boosters. Instead of saying, for instance, that hedges function to mitigate statements and boosters function to strengthen them, future researchers are challenged to identify the various senses of hedges such as to insinuate and to evade responsibility. Meanwhile, those boosters which may be found might include, among others, to brag and to overstate. These various senses of hedges and boosters may be discovered, for example, through approaches such as discourse analysis. In addition, future researchers are suggested that they should use concordance software if they work with a large number of texts. Using concordance software will enable them to describe hedges and boosters more accurately in terms of their distribution in larger texts.
70
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
NOTE * We would like to thank an anonymous reviewer for very helpful comments on the earlier draft.
REFERENCES Behnam, B., Naeimi, A., & Darvishzade, A. (2012). A Comparative Genre Analysis of Hedging Expressions in Research Articles: Is Fuzziness Forever Wicked? English Language and Literature Studies, 2(2). doi:10.5539/ells.v2n2p20 Crespo-Fernández, E. & López-Campillo, R.M. (2012). Boosters and hedges as persuasive devices in George Ridpath’s political language. In At a Time of Crisis: English and American Studies in Spain, 317-322. Retrieved from http://www.aedean.org/pdf_ atatimecrisis/Crespo_LopezCampillo_AEDEAN35.pdf, Holmes, J. (1990). Hedges and Boosters in Women’s and Men’s Speech. Language and Communication, 10, 185-205 Hyland, K. (1994). Hedging in academic writing and EAF textbooks. English for specific purposes, 13(3), 239–256. Hyland, K. (1998a). Boosting, hedging, and the negotiation of academic knowledge. Text, 18, 349–382. Hyland, K. (1998b). Hedging in Scientific Research Articles. Amsterdam: John Benjamins. Hyland, K. (2000). Disciplinary Discourses: Social Interactions in Academic Writing. London: Longman. Jalilifar, A. & Alavi, M. (2012). Power and Politics of Language Use: A Survey of Hedging Devices in Political Interviews. Journal of Teaching Language Skills, 3(3), 43–66. Radjasa, Hatta. (2013). Pengumunan kenaikan BBM. Downloaded in June 2013 from http://www.youtube.com/watch?v=FNgdM_n4UUM Šandová, J.K. (2010). Speaker’s Involvement in Political Interviews (Doctoral Dissertation). Masarykova Univerzita. Retrieved from https://is.muni.cz/th/237939/ff_d/Priloha_k_ disertacni_praci.pdf Taweel, A.Q., Saidat, E. M., Rafayah, H.A., & Saidat, A.M. (2011). Hedging in Political Discourse. The Linguistics Journal, 5(1). Retrieved from http://www.linguisticsjournal. com/June-2011-ts.pdf Varttala, T. (2001). Hedging in scientifically oriented discourse. Exploring variation according to discipline and intended audience. Retrieved from http://tampub.uta.fi/handle/ 10024/67148 Vázquez Orta, I. & Giner, D. (2009). Writing with conviction: the use of boosters in modelling persuasion in academic discourses. Retrieved from http://rua.ua.es/dspace/handle/ 10045/13822 Wacik, Jero & Alisjahbana, Armida. (2013). Pengumuman kenaikan BBM. Downloaded from http://www.youtube.com/watch?v=ThN1oezJN3E for Jero Wacik and Armida Alisjahbana’s speeches.
71
Linguistik Indonesia, Februari 2015, 73-90 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 1
REDUPLIKASI DALAM BAHASA MANDAR1 Nurhayati* Universitas Hasanuddin
[email protected];
[email protected] Abstrak Fokus penelitian ini adalah reduplikasi dalam bahasa Mandar. Penelitian ini menggunakan metode simak dan introspeksi dengan teknik simak libat cakap, perekaman, dan pencatatan.Tujuan penelitian ini mengungkap bentuk, fungsi, makna, dan keunikan reduplikasi dalam bahasa Mandar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada empat bentuk reduplikasi dalam bahasa Mandar: reduplikasi utuh, sebagian, berkombinasi dengan afiksasi, dan berkombinasi dengan klitika. Dalam bahasa Mandar, reduplikasi dapat muncul sebagai subjek, predikat, objek, dan keterangan. Proses reduplikasi juga dapat mengubah makna. Adapun makna yang ditimbulkan karena proses reduplikasi adalah menyatakan makna banyak, menyerupai, sekadar, pekerjaan berulang-ulang, sangat, kumpulan dari suatu bilangan, berbalasan, dan agak. Kata kunci: reduplikasi, bahasa Mandar
Abstract The present paper focuses on reduplication in Mandar language. The data of this study were gathered through observation and introspective methods, which included listening and getting involved in a conversation, recording, and note taking. The objective of this study is to reveal the forms, functions, and meanings of Mandarese reduplication. The results show that there are four forms of reduplication in Mandar: full reduplication, partial reduplication, reduplication with affixation process, and reduplication in combination with clitics. In Mandarese, reduplicated words can fill in the position of subject, predicate, object, and adverb. Reduplication process can change the meaning of the base words. Reduplicated words are generally plural. Other possible interpretations of reduplicated words are to indicate resemblance, simplicity, repetitive action, intensity, a collection of numbers, reciprocal action, the state of proximity. Keywords: reduplication, Mandarese
PENDAHULUAN Suku Mandar merupakan salah satu etnis yang ada di Indonesia, tepatnya di Provinsi Sulawesi Barat. Provinsi ini resmi berdiri pada tanggal 14 Desember 2004 dengan lima kabupaten, yaitu Kabupaten Polewali Mandar, Kabupaten Majene, Kabupaten Mamuju, Kabupaten Mamasa, dan Kabupaten Mamuju Utara. Suku Mandar mendiami Kabupaten Majene dan Kabupaten Polewali Mandar. Dari kelima kabupaten ini ada dua kabupaten yang dominan menggunakan bahasa Mandar, yaitu Kabupaten Majene dan Kabupaten Polewali Mandar. Adapun tiga kabupaten lainnya, yakni Kabupaten Mamuju, Kabupaten Mamuju Utara, dan Kabupaten Mamasa, memiliki bahasa masing-masing. Suku Mandar sebagai salah satu etnis yang ada di Sulawesi Barat kaya akan budaya daerah. Beberapa budaya yang menonjol di antaranya kain sutra Mandar, perahu tradisonal,
Nurhayati
makanan tradisional, acara perkawinan, khitanan, dll. Untuk perahu tradisonal setiap tahunnya diadakan lomba perahu sandeq atau Sandeq Race berupa ajang balap sandeq (perahu sandeq adalah perahu tradisional khas Mandar). Sandeq Race biasanya diadakan di sekitar bulan Agustus sampai dengan September pada setiap tahunnya. Sejak abad ke-15, di wilayah Mandar terdapat tujuh kerajaan muara sungai dan tujuh kerajaan hulu sungai. Masing-masing kelompok kerajaan tersebut bersatu dalam satu organisasi ketatanegaraan yang berbentuk federasi yang dinamakan Pitu Ba’bana Binanga, yaitu tujuh kerajaan muara sungai. Selanjutnya, tujuh kerajaan yang berada di hulu sungai disebut Pitu Ulunna Salu membentuk satu federasi. Konfederasi kedua kerajaan disebut Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu. Secara geografis daerah Mandar berada antara 180 04’ – 119010’ BT dan di antara 30 – 3035’ LS. Daerah Mandar terletak di Sulawesi Barat bagian Selatan yang memanjang dari arah Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan ke Utara bebatasan dengan Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat dan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu Provinsi Sulawesi Selatan. Kata mandar menurut bahasa atau dialek sama dengan kata manda tanpa fonem /r/ yang berarti ‘kuat’. Kata ini masih digunakan di daerah Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan hulu sungai). Kata mandar juga berarti nama sebuah sungai yang mengalir di Kecamatan Tinambung Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat. Menurut kepercayaan orang-orang tua zaman dahulu air sungai tersebut dapat mengobati segala macam penyakit. Pengertian kata mandar dalam sejarah dan politik adalah nama dari suatu unit kerajaan, yaitu gabungan tujuh kerajaan hulu sungai (Pitu Ulunna Salu) dan tujuh kerajaan muara sungai (Pitu Baqbana Binanga). Kata mandar, yang juga biasa disebut tipalayo; tipa berarti ‘begitu (sangat)’ dan layo berarti ‘tinggi semampai’. Kata tipalayo diasosiasikan pada pengertian segenap unsur kecantikan seseorang, sesuatu yang indah. Di dalam makalah ini dibahas reduplikasi bahasa Mandar dari segi bentuk, fungsi, dan maknanya. JENIS-JENIS REDUPLIKASI Menurut Ramlan (1979:38), reduplikasi adalah proses pengulangan bentuk baik seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak. Hasil pengulangan bentuk ini disebut kata ulang. Verhaar (1980:63) berpendapat bahwa konstituen yang dikenai reduplikasi dapat berupa monomorfemis maupun polimorfenis. Muslich (2008:48) menegaskan bahwa proses pengulangan adalah peristiwa pembentukan kata dengan jalan mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak, baik berkombinasi dengan afiks maupun tidak. Wijana (2010:6-4) berpendapat bahwa reduplikasi adalah proses pengulangan bentuk dasar, baik keseluruhan atau sebagian, baik dengan atau tanpa proses perubahan bunyi atau pembubuhan afiks. Adapun, menurut Darwis (2012:23), unsur dalam reduplikasi dapat berbentuk monomorfemis dan polimorfemis. Dalam pendeskripsian bahasa, reduplikasi atau pengulangan dilambangkan dengan {R} atau {Red}. Proses pembentukan reduplikasi dapat dilihat pada tipe-tipe berikut ini:
74
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Tipe I Reduplikasi Utuh (Seluruhnya) {makan} + R → makan-makan {janji} + R → janji-janji {cat} + R → cat-cat {kelereng} + R → kelereng-kelereng {jembatan} + R → jembatan-jembatan Tipe II Reduplikasi Sebagian (Penghilangan Afiks) {membeli} + R → membeli-beli {menari} + R → menari-nari {mencangkul} + R → mencangkul-cangkul {tarian} + R → tari-tarian {tanaman} + R → tanam-tanaman Tipe III Reduplikasi dengan Perubahan Bunyi 1. Reduplikasi dengan Perubahan Vokal {balik} + R → bolak-balik {warna} + R → warna-warni {colek} + R → colak-colek {gembor} + R → gembar-gembor {tindak} + R → tindak-tanduk 2. Reduplikasi dengan Perubahan Konsonan {sayur} + R → sayur-mayur {lauk} + R → lauk-pauk {ramah} + R → ramah-tamah Tipe IV Reduplikasi dengan Proses Pembubuhan Afiks {kuda} + R + {-an} kuda-kudaan {pohon} + R + {-an} pohon-pohonan {rumah} + R + {-an} rumah-rumahan Reduplikasi tipe I adalah reduplikasi utuh atau seluruhnya. Pembentukan reduplikasi ini dengan mengulang kata dasar secara utuh atau seluruhnya. Reduplikasi tipe II adalah reduplikasi sebagian yang dibentuk dari kata dasar berafiks yang kemudian mengalami reduplikasi. Perhatikan contoh di atas, kata membeli dari kata beli yang mendapat prefiks meN- menjadi membeli setelah direduplikasikan menjadi membeli-beli. Jadi, reduplikasi membeli-beli dibentuk dari kata membeli bukan dari kata beli. Demikian pula reduplikasi menari-nari dibentuk dari kata menari bukan dari kata tari, reduplikasi mencangkulcangkul dibentuk dari kata mencangkul bukan dari kata cangkul, reduplikasi tari-tarian dibentuk dari kata tarian bukan dari kata tari, dan reduplikasi tanam-tanaman dibentuk dari kata tanaman bukan dari kata tanam. Reduplikasi tipe III adalah reduplikasi dengan perubahan bunyi baik perubahan vokal maupun perubahan konsonan pada kata yang mengalami reduplikasi. Pada reduplikasi perubahan vokal terjadi perubahan vokal pada kata yang direduplikasikan, misalnya kata balik direduplikasikan menjadi bolak-balik, warna menjadi warna-warni, colek menjadi colak-colek, gembor menjadi gembar-gembor. Pada reduplikasi perubahan konsonan terjadi perubahan
75
Nurhayati
konsonan pada kata yang direduplikasikan, misalnya kata sayur direduplikasikan menjadi sayur-mayur, lauk menjadi lauk-pauk, dan ramah menjadi ramah-tamah. Reduplikasi tipe IV adalah reduplikasi yang bersamaan dengan proses pembubuhan afiks. Kata yang direduplikasikan pada tipe ini adalah kata dasar yang direduplikasikan bersamaan dengan proses pembubuhan afiks. Pada contoh di atas, kata kuda direduplikasikan bersamaan dengan pembubuhan sufiks –an menjadi kuda-kudaan bukan dari kata kudaan yang mengalami reduplikasi; kata pohon direduplikasikan bersamaan dengan proses pembubuhan sufiks –an menjadi pohon-pohonan bukan dari kata pohonan yang mengalami reduplikasi. Kemudian, kata rumah direduplikasikan bersamaan dengan pembubuhan sufiks menjadi rumahrumahan bukan dari kata rumahan yang mengalami reduplikasi. Reduplikasi tipe II dan tipe IV mempunyai kesamaan karena di dalamnya terjadi proses pembubuhan afiks. Akan tetapi, pada tipe II, bentuk dasar yang diulang adalah kata yang sudah mendapat afiks; sedangkan, pada tipe IV, kata dasar diulang bersamaan dengan proses pembubuhan afiks. Pada umumnya reduplikasi tidak mengubah kelas kata. Apabila kata dasar yang diulang adalah nomina, hasil pengulangan berjenis nomina pula, misalnya, kata batu (nomina) diulang menjadi batu-batu (nomina). Demikian pula jika verba diulang, hasil pengulangannya adalah verba, misalnya berlari (verba) diulang menjadi berlari-lari (verba). Apabila kata dasar yang diulang adalah adjektiva, hasil pengulangannya juga adjektiva, misalnya, kata pelan (adjektiva) diulang menjadi pelan-pelan (adjektiva). Demikian pula kata bilangan, misalnya, kata tiga (kata bilangan), jika direduplikasikan tetap kata bilangan, yaitu tiga-tiga (Muslich, 2008:50-51). Fungsi reduplikasi bisa mengubah makna dari bentuk dasarnya, namun masih ada kaitan makna dengan bentuk dasarnya, misalnya kata anak diulang menjadi anak-anak. Kata anak bermakna manusia yang masih kecil, sedangkan anak-anak bermakna banyak manusia yang masih kecil (KBBI, 1991:35). Fungsi lain reduplikasi adalah mengisi fungsi-fungsi dalam kalimat, misalnya mengisi fungsi subjek, predikat, objek, dan keterangan. Adapun makna yang terjadi akibat proses reduplikasi adalah makna banyak, menyerupai, sekadar, berulang, sangat, kumpulan, sesuatu dilakukan berbalasan (saling balas), dan bermakna agak. METODE DAN TEKNIK PENELITIAN Metode yang digunakan dalam pengambilan data penelitian ini adalah metode simak dan metode instrospeksi. Metode simak adalah metode yang digunakan dalam penelitian bahasa untuk memperoleh data bahasa baik lisan maupun tulisan dengan cara penyimakan. Metode simak yang digunakan dalam penelitian ini adalah menyimak secara langsung penggunaan bahasa Mandar dari penutur aslinya ketika mereka bercakap-cakap dan ketika bertransaksi jual beli di pasar, serta pada saat orang dituakan memberikan nasihat perkawinan dalam acara pesta perkawinan. Dalam penyimakan tersebut dilakukan pula perekaman. Lama perekaman disesuaikan dengan keadaan lapangan. Adapun waktu yang digunakan merekam data bahasa Mandar, yakni setiap hari dua jam dalam empat hari seminggu selama satu bulan. Teknik wawancara juga digunakan dalam penelitian ini, yaitu dengan mewawancarai tokoh-tokoh masyarakat yang berkecimpung dalam pemerintahan maupun tokoh-tokoh adat Mandar. Selain itu, untuk keperluan penelitian ini juga digunakan teknik simak libat cakap. Teknik ini dilakukan dengan cara berpartisipasi dalam pembicaraan orang-orang Mandar, sambil
76
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
menyimak, saat berada di pasar, pertemuan di desa, atau dalam acara-acara adat dan agama, misalnya acara khitanan, perkawinan, turun ke sawah, dan memasuki rumah baru. Metode instrospeksi adalah metode yang melibatkan sepenuhnya peran peneliti sebagai penutur bahasa yang diteliti. Metode pengumpulan data ini memanfaatkan intuisi kebahasaan peneliti karena bahasa Mandar adalah bahasa ibu peneliti. Data yang ditemukan di lapangan diklasifikasi dan selanjutnya dianalisis. Keseluruhan data yang dianalisis dalam penelitian ini sebanyak 100 reduplikasi. Lokasi penelitian di Kecamatan Tinambung. Kecamatan ini terletak di Kabupaten Polewali Mandar sekitar 300 km sebelah utara Kota Makassar. Kecamatan ini dipilih dengan alasan bahwa di kecamatan tersebut dahulu merupakan wilayah Kerajaan Balanipa yaitu kerajaan terbesar di wilayah Mandar, sehingga bahasa Mandar Balanipa ditetapkan sebagai bahasa kerajaan dan bahasa baku untuk bahasa Mandar. REDUPLIKASI DALAM BAHASA MANDAR Dalam proses pembentukan reduplikasi perlu diperhatikan adanya hubungan yang harmonis antara bentuk dasar dan bentuk ulang dalam hal makna. Selain itu, dalam pembentukan kata ulang harus pula diperhatikan hubungan yang setara antara bentuk ulang dalam hal strukturnya dan maknanya (Parera, 1980:44). Reduplikasi dalam bahasa Mandar dapat dilihat dalam bentuk, fungsi, dan maknanya, seperti yang akan dibahas lebih lanjut di bawah ini. Sebelum membahas reduplikasi dalam bahasa Mandar, perlu diketahui terlebih dahulu fonem-fonem dalam bahasa Mandar dan posisi fonem-fonem tersebut pada kata. Fonem vokal dalam bahasa Mandar adalah /a, i, u, e, o/ dan fonem konsonan adalah /b, č, d, g, h, ǰ, k, l, m, n, ŋ, ɲ, p, ʔ, r, s, t, w, j/. Huruf
dalam bahasa Mandar dipakai untuk pelambangan suara glotal stop [ʔ]. Fonem vokal bisa terdapat di awal, di tengah, dan di akhir kata; sedangkan posisi fonem konsonan dalam kata biasanya hanya terdapat pada awal dan tengah kata. Konsonan yang bisa ada di akhir hanya fonem /ŋ/, /ʔ/, /r/, /s/ Perhatikan contoh berikut: /a/ /i/ /u/ /e/ /o/
di awal ‘anak’ inrang urang eloq olo
anaq ‘hutang’ ‘hujan’ ‘mau’ ‘depan’
di tengah bata ‘batu bata’ baleq ‘balik’ ulu ‘kepala’ bueq ‘bangun’ boccor ‘bocor’
di akhir ala ‘ambil’ alli ‘beli’ bulu ‘bulu’ meke ‘batuk’ bulo ‘bambu’
Pada contoh di atas dapat dilihat bahwa fonem vokal bahasa Mandar ada lima, yaitu /a, i, u, e, o/ dapat ditemukan di awal, di tengah, dan di akhir kata. Adapun posisi konsonan bahasa Mandar dapat dilihat dalam contoh berikut: /b/ /č/ /d/ /g/ /h/ /ǰ/
di awal bawa coba dalikang goli haccur jari
di tengah ‘bawa’ lambar ‘coba’ laci ‘tungku’ landur ‘kelereng’ longgar ‘hancur’ aha ‘jadi’ aju
77
‘lembar’ ‘laci’ ‘lewat’ ‘longgar’ ‘ahad’ ‘kayu’
di akhir -
Nurhayati
/k/ /l/ /m/ /n/ /ŋ/ /ɲ/ /p/ /k/ /r/ /s/ /t/ /w/ /j/ /ʔ/
kalindoro loliq mala na nganga nyaman pole kunut rare susuq tutuq wake yau
‘cacing’ ‘tidur’ ‘bisa’ ‘di’ ‘mulut’ ‘senang’ ‘datang’ ‘kunut’ ‘lelap’ ‘tusuk’ ‘tutup’ ‘akar’ ‘saya’
waka baleq kama anaq langnga lanynye luppe areq asa ator awang boyang
‘akar’ ‘balik’ ‘ayah’ ‘anak’ ‘jewawut’ ‘manja’ ‘lupa’ ‘perut’ ‘asa’ ‘atur’ ‘awan’ ‘rumah’
goccing laccar lappas eloq
‘gunting’
‘lempar’ ‘lepas’
‘mau’
Dari contoh-contoh di atas terlihat konsonan /b, č, d, g, h, ǰ, k, l, m, n, ɲ, p, t, w, j/ ada di awal dan di tengah kata. Adapun konsonan-konsonan yang bisa berada di awal, tengah, dan akhir kata hanyalah fonem /ŋ/, /r/,dan /s/. Adapun fonem /ʔ/ hanya berada di akhir kata. Bentuk Reduplikasi dalam Bahasa Mandar Dalam bahasa Mandar terdapat beberapa bentuk reduplikasi, yaitu reduplikasi utuh, reduplikasi sebagian, reduplikasi berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, dan reduplikasi berkombinasi dengan klitika. a. Reduplikasi Utuh Reduplikasi utuh (seluruhnya) adalah mengulang secara keseluruhan kata yang diulang 1) Reduplikasi Utuh Kata Bersuku Satu Reduplikasi utuh pada kata yang bersuku satu dalam bahasa Mandar adalah mengulang seluruhnya kata yang diulang. seng gol roq tue raq
‘seng’ ‘bola’ ‘rok’ ‘tiup’ ‘rak’
→ seng-seng → gol-gol → roq-roq → tue-tue → raq-raq
‘seng dalam bentuk kecil’ ‘bola-bola’ ‘rok-rok’ ‘tiup-tiup’ ‘rak-rak’
Contoh di atas memperlihatkan bahwa reduplikasi utuh bersuku satu dalam bahasa Mandar terjadi pada kata-kata bersuku satu yang berakhir dengan vokal maupun berakhir dengan konsonan. 2) Reduplikasi Utuh Kata Bersuku Dua Reduplikasi utuh pada kata yang bersuku dua dalam bahasa Mandar adalah mengulang secara utuh (seluruhnya) kata tersebut apabila suku kedua kata tersebut berakhir dengan vokal. baju ande goli golla mata
‘baju’ ‘makanan’ ‘kelereng’ ‘gula’ ‘mata’
→ baju-baju → ande-ande → goli-goli → golla-golla → mata-mata
78
‘banyak baju’ atau ‘baju kecil’ ‘makanan-makanan’ ‘kelereng-kelereng’ ‘gula-gula’ ‘mata-mata’
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Kelima contoh reduplikasi utuh pada kata dasar bersuku dua di atas adalah pengulangan seluruhnya pada kata dasar bersuku dua yang berakhir dengan vokal. Adapun kata bersuku dua yang berakhir dengan konsonan dalam bahasa Mandar tidak direduplikasikan secara utuh. b. Reduplikasi Sebagian Reduplikasi sebagian adalah pengulangan sebagian kata yang diulang. Dalam bahasa Mandar, reduplikasi sebagian ini terjadi pada kata dasar yang besuku dua dan bersuku tiga atau lebih. Bentuk reduplikasi ini akan dijelaskan berikut ini. 1) Reduplikasi Sebagian Kata Dasar Bersuku Dua dan Bersuku Tiga Berikut adalah contoh reduplikasi sebagian yang terjadi pada kata dasar bersuku dua atau bersuku tiga dalam bahasa Mandar: balek goccing bemmeq gareme beluaq haranal karoppoq gurinda garattas
‘balik’ ‘gunting’ ‘jatuh’ ‘jari’ ‘rambut ’ ‘tusuk konde’ ‘kerupuk’ ‘gurinda’ ‘kertas’
→ bale-balek → gocci-goccing → bemme-bemmeq → gare-gareme → belu-beluaq → hara-haranal → karo-karoppoq → guri-gurinda → gara-garattas
‘balik-balik’ ‘gunting-gunting’ ‘jatuh-jatuh’ ‘jari-jari’ ‘rambut-rambut’ ‘tusuk-tusuk konde’ ‘kerupuk-kerupuk’ ‘gurinda-gurinda’ ‘kertas-kertas’
Pada contoh-contoh di atas, terjadi reduplikasi sebagian pada kata dasar bersuku dua dan bersuku tiga. Pada kata dasar bersuku dua dan tiga, jika suku kata kedua berakhir dengan konsonan, maka konsonan tersebut tidak direduplikasikan. Contohnya: kata balek menjadi bale-balek, kata goccing menjadi gocci-goccing, kata bemmeq menjadi bemme-bemmeq, kata gurinda menjadi guri-gurinda, karoppoq menjadi karo-karoppoq dan garattas menjadi gara-garattas. Pada kata dasar bersuku tiga, jika suku kata kedua berakhir dengan vokal, maka yang direduplikasikan hanya suku pertama dan suku kedua. Contohnya: gareme menjadi gare-gareme, beluaq menjadi belu-beluaq, dan haranal menjadi hara-haranal. 2) Reduplikasi Sebagian pada Kata yang Berafiks Reduplikasi sebagian pada kata yang berafiks terdapat pada kata yang berprefiks, konfiks, berinfiks dan bersufiks. a) Reduplikasi sebagian Kata Berprefiks Reduplikasi sebagian kata berprefiks adalah pengulangan kata yang mendapat awalan. Perhatikan contoh berikut ini. ma + kacca
= makacca
‘ bagus’
ma + lakka
= malakka
‘panjang’
me + luttus
= melluttus
‘melakukan terbang’
pi + nganga = pingnganga
‘menganga’
pe + bueq
‘bangun’
= pembueq
79
→ maka-makacca ‘sangat bagus’ → mala-malakka ‘sangat panjang’ → melu-meluttus ‘sekadar terbang’ → pinga-pingnganga ‘buat jadi menganga’ → pembu-pembueq ‘buat jadi bangun’
Nurhayati
Reduplikasi bentuk ini yang direduplikasikan adalah prefiks dan suku pertama kata yang diulang. Kata makacca dibentuk dari prefiks ma- + kacca menjadi makacca, setelah direduplikasikan menjadi maka-makacca, kata malakka ‘panjang’ dibentuk dari prefiks ma- + lakka, setelah direduplikasikan menjadi mala-malakka. Kata melluttus ‘terbang’ dibentuk dari prefiks me- + luttus, setelah direduplikasikan menjadi mellumelluttus’. Kata pingnganga ‘menganga’ dibentuk dari prefiks piN- + nganga, setelah direduplikasikan menjadi pingnga-pingnganga. Kata pembueq ‘bangun’ dibentuk dari prefiks peN- + bueq, setelah direduplikasikan menjadi pembu-pembueq. b) Reduplikasi sebagian Kata yang Berprefiks Ganda Reduplikasi kata yang berprefiks ganda adalah pengulangan kata yang mendapat prefiks ganda. Perhatikan contoh berikut. ma- + po- + gauq = mappogauq ‘melakukan kegiatan’ → mappo-mapogauq ‘sekadar melakukan kegiatan’ di- + po - + rannu = diporannu ‘yang diharapkan’ → dipo-diporannu ‘sangat diharapkan’ na- + po- + caiq = napocaiq ‘hal yang membuat marah’ → napo-napocaiq ‘hal membuatnya marah’ ma- + pa- + lambiq = mappalambiq ‘menyampaikan’ → mapa-mapalambiq ‘sekadar menyampaikan’ na- + pa- + coa = napacoa ‘dia perbaiki’ → napa-napacoa ‘sekadar dia perbaiki’ Contoh di atas adalah reduplikasi sebagian dari kata yang berprefiks ganda (dua atau lebih) dalam bahasa Mandar. Yang mengalami reduplikasi adalah prefiks gandanya, sedangkan kata dasarnya tidak mengalami reduplikasi. Kata mappogauq dibentuk dari prefiks ganda mapo- + gauq, setelah direduplikasikan menjadi mapo-mapogauq. Kata diporannu dibentuk dari prefiks ganda dipo- + rannu, setelah direduplikasikan menjadi dipo-diporannu. Kata napocaiq dibentuk dari prefiks ganda napo + caiq, setelah direduplikasikan menjadi napo-napociq. Kata mapalambiq dibentuk dari prefiks ganda mapa- + lambiq, setelah direduplikasikan menjadi mapa-mapalambiq. Kata napacoa dibentuk dari prefiks ganda napa- + coa, setelah direduplikasikan menjadi napanapacoa. c) Reduplikasi sebagian Kata yang Berinfiks Reduplikasi sebagian kata dasar yang berinfiks adalah pengulangan kata yang mendapat infiks. Perlakuan kata yang berinfiks dalam proses reduplikasi bahasa Mandar seperti dalam bahasa Indonesia, yaitu dianggap satu kata. Perhatikan contoh berikut. kepus + -erkekeq + -el-
= karepus = kalekeq
‘jelek’ → kare-karepus ‘gelitik’ → kale-kalekeq
‘sangat jelek’ ‘sekadar gelitik’
Seperti bisa dilihat pada contoh di atas, kata yang mendapat infiks dianggap satu kata sehingga kata dan infiksnya menyatu. Reduplikasi ini sama prosesnya dengan reduplikasi sebagian bersuku tiga, yaitu yang mengalami reduplikasi hanya suku pertama dan suku kedua. Kata kepus mendapat infiks –er- menjadi karepus setelah direduplikasikan menjadi kare-karepus. Kata kekeq mendapat infiks -el- menjadi kalekeq setelah direduplikasikan menjadi kale-kalekeq.
80
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
d) Reduplikasi sebagian Kata yang Bersufiks Reduplikasi sebagian kata yang bersufiks adalah pengulangan kata yang mendapat akhiran. Dalam bahasa Mandar pengulangan dilakukan pada suku kata dasarnya, dengan tidak mereduplikasikan sufiksnya. Perhatikan contoh berikut. moka tunu cobeq cappur garu
+- i + -ang + -ang +-i + -ang
= mokai = tunuang = cobeqang = cappuri = garuang
‘tidak mau’ ‘bakarkan’ ’cobekan’ ‘campuri’ ‘garukan’
→ moka-mokai → tunu-tunuang → cobe-cobeqang → cappu-cappuri → garu- garuang
‘tidak-tidak maui’ ‘bakar-bakarkan’ ‘cobek-cobekan’ ‘campur-campuri’ ‘garu-garukan’
Reduplikasi sebagian kata dasar yang bersufiks dalam bahasa Mandar adalah pengulangan kata yang mendapat akhiran. Maksudnya, kata dasar yang mendapat akhiran kemudian direduplikasikan. Pada reduplikasi tersebut hanya kata dasar yang mengalami pengulangan; sufiksnya tidak. Kata moka ‘tidak mau’ mendapat sufiks -i kemudian direduplikaikan menjadi moka-mokai. Kata tunu mendapat sufiks -ang kemudian direduplikasikan menjadi tunu-tunuang. Kata cobeq mendapat sufiks -ang setelah direduplikasikan menjadi cobe-cobeqang. Kata cappur mendapat sufiks -i, setelah direduplikasian menjadi cappu-cappuri. Kemudian, kata garu mendapat sufiks -ang setelah direduplikasikan menjadi garu-garuang. e) Reduplikasi sebagian Kata yang Berkonfiks Reduplikasi sebagian kata yang berkonfiks adalah pengulangan kata yang mendapat awalan dan akhiran. Pada reduplikasi ini, pengulangan terjadi pada prefiks dan suku pertama kata dasar. Perhatikan contoh berikut: ma- + coa -i
= macoai
’sangat bagus’
pa-
= palakkai
‘pajangkan’
ma- + lajo+-i
= malajo
‘semampai’
po-
+ ande–ang
= poandeang
‘bahan makanan’
na-
+ tiddi-i
= natiddii
‘ditetesi’
+ lakka+-i
→ maco-macoai ‘sangat bagus’ → pala-palakkai ‘panjang-panjangkan‘ → mala-malajoi ‘sangat semampai’ → poande-andeang ‘bahan-bahan makanan’ → nati-natidii ‘ditetes-tetesi’
Seperti terlihat pada contoh di atas, pada jenis reduplikasi ini hanya prefiks dan suku pertama yang mengalami reduplikasi. Suku kata berikutnya dan sufiks tidak diulang. Kata macoai dibentuk dari konfiks ma-i + coa, setelah direduplikasikan menjadi macomacoai. Kata palakkai dibentuk dari konfiks pa-i + lakka, setelah direduplikasikan menjadi pala-palakkai. Kata malajoi dibentuk dari konfiks ma-i + lajo, setelah direduplikasikan menjadi mala-malajoi. Kata poandeang dibentuk dari konfiks po-ang + ande, setelah direduplikasikan menjadi poande-andeang, Kata natiddii dibentuk dari konfiks na-i + tiddi, setelah direduplikasikan menjadi nati-natiddii.
81
Nurhayati
c. Reduplikasi Berkombinasi dengan Proses Pembubuhan Afiks Pada reduplikasi yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, pengulangan terjadi bersama-sama dengan proses pembubuhan afiks. Misalnya, bentuk dasar kereta-kerataan adalah kereta bukan keretaan (Ramlan, 1979:44-45). Dalam bahasa Mandar, reduplikasi bentuk ini dapat dilihat dalam contoh berikut ini. kerepus caiq boyang goccing bemmeq
‘jelek’ ‘marah’ ‘rumah’ ‘gunting’ ‘jatuh’
sakarepus-karepusna sacaiq-caiqna boya-boyangang gocci-goccingang sabemmeq-bemmeqna
‘sejelek-jeleknya’ ‘selalu marah’ ‘rumah-rumahan’ ‘gunting-guntingan’ ‘selalu jatuh’
Reduplikasi sakarepus-karepusna bukan dari kata sakarepus atau karepusna, melainkan dari kata kerepus yang diulang bersamaan dengan proses pembubuhan afiks dalam hal ini konfiks sa-na. Reduplikasi sacaiq-caiqna bukan dari kata sacaiq atau caiqna tetapi dari kata caiq yang diulang bersamaan dengan proses pembubuhan afiks yakni konfiks sa-na, reduplikasi sabemmeq-bemmeqna bukan dari kata sabemmeq atau bemmeqna, tetapi dari kata bemmeq yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, yakni konfiks se-na. Reduplikasi boyaboyangang bukan dari kata boyangang melainkan kata boyang dan reduplikasi goccigoccingan, bukan dari kata goccingan melainkan dari kata goccing direduplikasikan yang bersamaan dengan proses pembubuhan afiks yakni sufiks –ang. d. Reduplikasi Berkombinasi dengan Klitika Dalam bahasa Mandar, klitika bisa muncul sebagai proklitika maupun enklitika. Proklitika dalam bahasa Mandar adalah u- ‘saya’, mu- ‘kamu’, dan na- ‘dia’; sedangkan enklitika adalah - aq (persona pertama tunggal), -o (persona kedua tunggal), -i (persona ketiga), -meq (persona kedua jamak), -na (persona ketiga), dan -ta (persona pertama jamak inklusif). 1) Reduplikasi Berkombinasi dengan Proklitika Reduplikasi yang berkombinasi dengan proklitika adalah pengulangan kata yang mendapat klitika di depan kata dasar. Perhatikan contoh berikut ini. u mu mu na na
+ ande + kulissi + goccing + jama + bukkus
= uande = mukulissi = mugoccing = najama = nabukkus
‘saya makan’ ‘kamu cubit’ ‘kamu gunting’ ‘dia kerja’ ‘dia bungkus’
→ ua-uande → muku-kulissi → mugocci-goccing → naja-najama → nabu-nabukkus
‘sekadar saya makan’ ‘sekadar kamu cubit’ ‘sekadar kamu gunting’ ‘sekadar dia kerja’ ‘sekadar dia bungkus’
Pada contoh-contoh di atas adalah, proklitika u-, mu-, dan na- dan suku pertama kata dasar mengalami pengulangan. Reduplikasi ua-uande dibentuk dari proklitika u- + ande menjadi uande, setelah direduplikasikan menjadi ua-uande. Kata mukulissi dibentuk dari proklitika mu- + kulissi, setelah direduplikasikan menjadi mukuli-kulissi. Kata mugoccing dibentuk dari proklitika mu- + goccing, setelah direduplikasikan menjadi mugo-mugoccing. Kata najama dibentuk dari proklitika na- + jama, setelah direduplikasikan menjadi naja-najama. Kata nabukkus dibentuk dari proklitika na- + bukkus, setelah direduplikasikan menjadi nabu-nabukkus.
82
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
2) Reduplikasi Berkombinasi dengan Enklitika Reduplikasi yang berkombinasi dengan enklitika adalah pengulangan kata yang mendapat klitika di belakang kata dasar. Perhatikan contoh berikut: Contoh: pole + -aq ande + -o barang + -mu suraq + -meq baju + -na boyang + -ta
= poleaq = andeo = barangmu = suraqmeq = bajuna = boyatta
‘datang saya’ ‘makan kamu’ ‘barang kamu’ ‘surat kalian’ ‘baju dia’ ‘rumah kita’
→ pole-poleaq → ande-andeo → bara-barangmu → sura-surqmeq → baju-bajunna → boya-boyatta
‘datang-datang saya’ ‘makan-makan kamu’ ‘barang-barang kamu’ ‘surat-surat kalian’ ‘baju-baju dia’ ‘rumah-rumah kita’
Pada bentuk reduplikasi ini, pengulangan hanya terjadi pada kata dasar. Pada contoh di atas, kata poleaq dibentuk dari kata pole + enklitika -aq setelah direduplikasikan menjadi polepoleaq. Kata andeo dibentuk dari kata ande + enklitika -o, setelah direduplikasikan menjadi ande-andeo. Kata barangmu dibentuk dari kata barang + enklitika -mu menjadi barangmu, setelah direduplikasikan menjadi bara-barangmu. Kata suraqmeq dibentuk dari kata suraq + enklitika -meq, setelah direduplikasikan menjadi suraq-suraqmeq. Kata bajunna dibentuk dari kata baju + enklitika –na, setelah direduplikasikan menjadi baju-bajunna. Kata boyatta dibentuk dari kata boyang + enklitika -ta setelah direduplikasikan menjadi boya-boyatta. Posisi Reduplikasi dalam Kalimat Dalam bahasa Mandar, reduplikasi dapat muncul sebagai subjek, predikat, objek, dan keterangan. a. Reduplikasi muncul sebagai subjek pada kalimat-kalimat berikut ini: (1) Boto-botol napasirumung i Kaco. ‘Botol-botol dikumpulkan si Kaco.’ ‘Botol-botol dikumpulkan si Kaco.’ (2) Pinda-pindang naissii bau. ‘Piring-piring diisi ikan.’ ‘Piring-piring diidi ikan.’ b. Reduplikasi muncul sebagai predikat pada kalimat-kalimat berikut ini: (1) Mequ-mequjai lettena i Cicci. ‘Bergerak-gerak kakinya si Cicci.’ ‘Kakinya si Cicci begerak-gerak.’ (2) Massuppeq-suppeq kacci i Pudding ‘Menjolok-jolok mangga si Pudding.’ ‘Si Pudding menjolok-jolok mangga.’ (3) Mapu-maputei bajunna. ‘Agak putih-putih bajunya.’ ‘Bajunya agak putih-putih.’ (4) Mabbalu-balui i Hadara. ‘Menjual-jual si Hadara.’ ‘Si Hadara menjual-jual.’
83
Nurhayati
c. Reduplikasi muncul sebagai objek pada kalimat-kalimat berikut ini: (1) Simata mambureang roppo-roppong diqe sanaekee. ‘Selalu menghamburkan sampah-sampah ini anak.’ ‘Anak ini selalu menghamburkan sampah-sampah.’ (2) Massuppeqi jole-joleng i Ba’du. ‘Menjolok jambu-jambu si Ba’du.’ ‘Si Ba’du menjolok jambu-jambu.’ (3) Susungngi dolo diqe buku-buku Cicci. ‘Susun dulu ini buku-buku Cicci.’ ‘Cicci susunlah buku-buku ini terlebih dahulu.’ d. Reduplikasi muncul sebagai keterangan pada kalimat-kalimat berikut ini: (1) Male-malemei millamba i Cicci. ‘Lamban- lamban berjalan si Cicci.’ ‘Si Cicci berjalan lamban-lamban (sangat lamban) .’ (2) Malu-malumburri kedona diqe tu baine. ‘Lembek- lembek geraknya ini perempuan.’ ‘Perempuan ini geraknya lembek-lembek ( sangat lembek) .’ (3) Masi-masiga millamba i Kaco ‘Cepat-cepat berjalan si Kaco.’ ‘Si Kaco berjalan cepat-cepat (agak cepak) .’ (4) Masi-masikki die lalang dilanduri. ‘Sempit-sempit ini jalan dilewati.’ ‘Jalan ini dilewati sempit-sempit (sangat sempit).’ Makna Reduplikasi dalam Bahasa Mandar Salah satu fungsi reduplikasi adalah mengubah makna dari kata dasar atau bentuk dasarnya. Dari bentuk-bentuk reduplikasi yang telah dijelaskan di atas, ada beberapa makna yang disandang reduplikasi atau kata ulang dalam bahasa Mandar dari kata dan bentuk dasarnya. Perhatikan delapan makna berikut ini. a. Reduplikasi menyatakan makna banyak b. Reduplikasi menyatakan makna menyerupai atau kecil c. Reduplikasi menyatakan makna sekadar d. Reduplikasi menyatakan makna berulang-ulang e. Reduplikasi menyatakan makna sangat f. Reduplikasi menyatakan makna kumpulan dari suatu bilangan g. Reduplikasi menyatakan makna saling h. Reduplikasi menyatakan makna agak a) Reduplikasi Bermakna Banyak Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:92), kata banyak bermakna tidak sedikit. Jadi, makna banyak di sini artinya banyak jumlahnya. Berikut contoh reduplikasi yang bermakna banyak.
84
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
(1) Diluppi i diqe baju-baju ‘Dilipat ini baju-baju.’ ‘Baju-baju ini dilipat.’ (2) Paalao batu-batu di biring lembang. ‘Ambilko batu-batu di pinggir sungai.’ ‘Kamu pergi ambil batu-batu di pinggir sungai.’ (3) Uitai goli-goli lalang lamari. ‘Saya melihat kelereng-kelereng dalam lemari.’ ‘Saya melihat banyak kelereng dalam lemari.’ (4) Pamarenta mapakede boya-boyang di biring batattanga. ‘Pemerintah mendirikan banyak rumah di pinggir jalan.’ ‘Banyak rumah dibangun oleh pemerintah di pinggir jalan.’ Reduplikasi baju-baju pada contoh kalimat (1) di atas kata dasarnya baju ‘baju’, setelah direduplikasikan menjadi baju-baju yang menyatakan banyak baju. Reduplikasi batu-batu pada contoh kalimat (2) di atas kata dasarnya batu, setelah direduplikasikan menjadi batubatu yang menyatakan banyak batu. Reduplikasi goli-goli pada kalimat (3) di atas kata dasarnya goli ‘kelereng’, setelah direduplikaskan menjadi goli-goli yang menyatakan makna banyak kelereng. Redulikasi boya-boyang pada contoh kalimat (4) di atas kata dasarnya boyang ‘rumah, setelah direduplikasikan menjadi boya-boyang yang menyatakan makna banyak rumah. b) Reduplikasi Bermakna Seperti atau Menyerupai Kata seperti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:992) bermakna serupa atau semacam. Berikut contohnya dalam kalimat. (1) Maqalli i say-sayyangang kandiu di pasar. ‘Membeli kuda-kudaan adikku di pasar.’ ‘Adikku membeli kuda-kudaan di pasar.’ (2) Mappapia gade duri-duriang kindoqna. ‘Membuat kue durian-durian ibunya.’ ‘Ibunya membuat kue durian-durian (menyerupai durian).’ (3) Maeqdi tau-tauang di galungngu. ‘Banyak orang-orangan di sawahku.’ ‘Banyak orang-orangan (menyerupai orang) di sawahku.’ (4) Maptokkomeq posa-posaang pole di litaq. ‘Bentuk kalian kucing-kucingan dari tanah.’ ‘Kalian bentuk kucing-kucingan (menyurupai kucing) dari tanah!’ Reduplikasi say-sayyangang pada contoh kalimat (1) di atas kata dasarnya sayyang ‘kuda’, dalam proses pembentukan reduplikasi kata tersebut bersamaan dengan dengan proses pembubuhan sufiks –ang, sehingga menjadi say-sayyangang yang menyatakan makna seperti atau menyerupai kuda atau permainan anak-anak yang menyerupai kuda. Reduplikasi duri-duriang pada contoh kalimat (2) di atas kata dasarnya adalah duriang ‘durian’ direduplikasikan menjadi duri-duriang yang menyatakan makna menyerupai atau seperti durian. Reduplikasi tau-tauang pada contoh kalimat (3) di atas kata dasarnya
85
Nurhayati
adalah tau “orang’, dalam proses pembentukan reduplikasi kata tersebut bersamaan dengan proses pembubuhan sufiks –ang, sehingga menjadi reduplikasi tau-tauang yang menyatakan makna seperti atau menyerupai orang. Demikian pula reduplikasi posaposaang pada contoh kalimat (4) di atas kata dasarnya posa ‘kucing’ dalam proses pembentukan reduplikasi kata tersebut bersamaan dengan proses pembubuha afiks –ang, sehingga menjadi posa-posaang yang menyatakan makna menyerupai kucing. c)
Reduplikasi Bermakna Sekadar Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:921), kata sekadar bisa bermakna hanya perlu, seperlunya, atau seadanya. Berikut contohnya dalam kalimat. (1) Meca-mecawa tappa uita leqmai diayau diqo tau. ‘Ketawa-ketawa hanya saya lihat kemari kepada saya itu orang.’ ‘Saya lihat orang itu ketawa-ketawa (sekadar ketawa) kepada saya.’ (2) ‘Macco-maccoba madattar polisi i Kaco, muaq lulusi dallena . ‘Mencoba-coba mandattar polisi si Kaco, kalau lulusi itu rezekinya.’ ‘Si Kaco mencoba-coba (sekadar mencoba) mendaftar polisi, kalau lulus itu rezekinya.’ (3) Marra-marrannu tappa aq peppoleangna. ‘Mengharap-harap saya kedatangannya.’ ‘Saya hanya mengharap-harap (sekadar mengharap) kedatangannya.’ (4) Andangngaq macai, ukuli-kulissi tappa i. ‘Tidak saya marah, saya cubit-cubit saja dia.’ ‘Saya tidak marah, saya cubit-cubit (sekadar cubit) saja dia.’ Reduplikasi meca-mecawa pada contoh kalimat (1) bentuk dasarnya mecawa ‘ketawa’, untuk konteks kalimat tersebut menyatakan makna sekadar ketawa. Reduplikasi maccomaccoba pada contoh kalimat (2) bentuk dasarnya maccoba ‘mencoba’, untuk konteks kalimat tersebut menyatakan makna sekadar mencoba. Reduplikasi marra-marrannu ‘mengharap’ pada kalimat (3) bentuk dasarnya marrannu ‘mengharap’, konteks kalimat tersebut menyatakan makna sekadar mengharap. Reduplikasi kuli-kulissi ‘cubit-cubit’ pada contoh kalimat (4) kata dasarnya kulissi ‘cubit’ pada konteks kalimat tersebut menyatakan makna sekadar cubit.
d)
Reduplikasi Bermakna Berulang-ulang Berulang-ulang yang kata dasarnya ulang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:1098) bermakna lakukan lagi. Berikut contohnya dalam kalimat. (1) Mattu-mattuttu meja jamanna diqe sanaeke. ‘Memukul-mukul meja saja kerjanya anak ini.’ ‘Anak ini memukul-mukul meja saja kerjanya.’ (2) Putar-putar tutuqna botol minnamu anna masse. ‘Putar-putar tutupnya botol minyakmu agar kuat.’ ‘Putar-putar tutup botol minyakmu agar kuat.’ (3) garu-garu gollana diqe wai kopi anna mammis. ‘Garu-garu gulanya ini air kopi supaya manis.’ ‘Garu-garu gulanya air kopi ini supaya manis.’
86
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
(4) Tollo-tollo i wai pambulang doajumu tuttu allo. ‘Siram-siram air tanaman sayurmu setiap hari’. ‘Tanaman sayurmu siram-siram dengan air setiap hari.’ Reduplikasi matu-matuttu ‘melempar-lempar’ pada contoh kalimat (1) di atas bentuk dasarnya mattuttu yang menyatakan makna berulang-ulang memukul. Reduplikasi putarputar ‘putar-putar’ pada contoh kalimat (2) di atas bentuk dasarnya adalah putar yang menyatakan makna berulang-ulang memutar. Reduplikasi garu-garu ‘garu-garu’ pada contoh kalimat (3) di atas bentuk dasarnya garu yang menyatakan makna berulang-ulang menggaru. Reduplikasi tollo-tollo ‘siram-siram’ pada contoh kalimat (4) di atas kata dasarnya tollo ‘siram’ yang menyatakan makna berulang-ulang menyiram. e) Reduplikasi Bermakna Sangat Kata sangat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:875) bermakna ‘berlebih-lebih dan amat terlalu’. Perhatikan contoh berikut ini. (1) Mangi-mangingngir nyawau meita naung. ‘Gamang- gamang perasaanku melihat turun.’ ‘Perasaanku gamang-gamang (sangat gamang) melihat turun.’ (2) Mara-maranni diqe bajummu andiangmo sirua. ‘Kecil-kecil ini bajumu, kamu sudah tidak cocok lagi.’ ‘Bajumu kecil-kecil (sangat kecil), kamu sudah tidak cocok lagi.’ (3) Mara-marasa kande-kandemu niande.. ‘Enak-enak kue-kuemu dimakan.’ ‘Kue-kuemu ini enak-enak (sangat enak) dimakan.’ (4) Mapi-mapia uita loddiangmu. ‘Bagus-bagus saya lihat cincimu.’ ‘Saya lihat bagus-bagus (sangat bagus) cincinmu.’ Reduplikasi mangi-mangingngir ‘gamang-gamang’ pada contoh kalimat (1) di atas kata dasarnya mangingngir, yang menyatakan makna sangat gamang. Reduplikasi maramaranni ‘kecil-kecil’ pada contoh kalimat (2) di atas kata dasarnya maranni ‘kecil’ yang mayatakan makna sangat kecil. Reduplikasi mara-marasa ‘enak-enak’ pada contoh kalimat (3) di atas kata dasarnya marasa yang menyatakan makna sangat enak. Reduplikasi mapimapia ‘bagus-bagus’ pada contoh (4) di atas kata dasarnya mapia ‘bagus’ yang bermakna sangat bagus. f) Reduplikasi Bermakna Kumpulan Makna kumpulan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:541) berarti himpunan. Perhatikan contoh berikut ini. (1) Silima-lima diqe issinna bua durian sattuju ‘Satu lima-lima ini isinya durian dalam seikat.’ ‘Buah durian ini lima-lima dalam seikat.’ (2) Tujuq i anjoro diqe sisappulo-sappulo sattujuqna. ‘Ikat kelapa ini seikat sepuluh-sepuluh dalam satu ikatan.’ ‘Ikat kelapa ini sepuluh-sepuluh dalam satu ikatan.’
87
Nurhayati
Reduplikasi silima-lima ‘satu himpunan (ikat) ada lima’ pada contoh (1) kata dasarnya silima ‘selima’ yang menyatakan makna dalam satu himpunan ada lima. Reduplikasi sappu-sappulo ‘ sepuluh-sepuluh’ contoh (2) kata dasarnya sappulo yang menyatakan makna dalam satu himpunan (ikat) ada sepuluh isinya. g) Reduplikasi Bermakna Berbalasan atau Saling. Berbalasan kata dasarnya balas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991: 83) berarti reaksi. Perhatikan contoh berikut ini. (1) Sila-silatuang tau di pasar malam. ‘Senggol –senggolan orang di pasar malam.’ ‘Orang senggol-senggolan di pasar malam.’ (2) Naeloqo sikuli-kulissiang diqe sanaeke muaq mangino. ‘Dia suka cubit-cubitan ini anak kalau bermain.’ ‘Anak ini suka cubit-cubitan kalau bermain.’ (3) Sija-sijagur diqe sanaeke muaq siruppa. ‘Tinju-meninju ini anak-anak kalau bertemu.’ ‘Anak-anak ini suka tinju-meninju bila bertemu.’ (4) Sila-silaccar boi diqo mahasiswa di batattanga. ‘Lempar-melempar lagi mahasiswa di jalanan.’ ‘Mahasiswa itu lempar- melempar lagi di jalanan.’ Reduplikasi sila-silatu ‘saling beradu’ pada contoh (1) kata dasarnya latu bermakna ‘senggol’ setelah direduplikasikan menjadi sila-silatu dan yang menyatakan makna saling senggol.Reduplikasi sikuli-kulissi ‘saling mencubit’ pada contoh kalimat (2) bentuk dasarnya sikulissi, setelah direduplikasikan menjadi sikuli-kulissi yang manyatakan makna saling cubit. Reduplikasi sija-jagur ‘saling tinju’ pada contoh (3) bentuk dasarnya adalah sijagur ‘bertinju’, setelah direduplikasikan menjadi sija-sijagur yang menyatakan makna saling tinju. Reduplikasi sila-silaccar ‘saling melempar’ pada contoh kalimat (4) bentuk dasarnya adalah silaccar ‘berlemparan’, setelah direduplikasikan menjadi sila-silaccar yang menyatakan makna saling melempar. h) Reduplikasi Bermakna Agak. Kata agak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:10) berarti ‘perkiraan, persangkaan’. Perhatikan contoh berikut ini. (1) Tumbi-tumbiring boyanna niita. ‘Miring- miring rumahnya kelihatan.’ Rumahnya kelihatan miring-miring (agak miring) .’ (2) Mangu-mangura anjoromu kandi ‘Muda-muda kelapamu adik.’ ‘Kelapa adik muda- muda (agak muda).’ (3) Maca-macai kannequ saba boroaq. ‘Marah-marah nenekku karena nakalkaq.’ ‘Nenekku mara-marah (agak marah) karena saya nakal.’
88
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
(4) Mara-maraqe mi bajunna i kandiq. ‘Kering-kering sudah bajunya di adik.’ ‘Baju si Adik sudah kering-kering (agak kering).’ Reduplikasi tumbi-tumbiring ‘agak miring’ pada contoh kalimat (1) di atas kata dasarnya tumbiring ‘miring’, setelah direduplikasikan menjadi tumbi-tumbiring yang menyatakan makna agak miring. Reduplikasi mangu-mangura ‘agak muda’ pada contoh kalimat (2) di atas kata dasarnya mangura ‘muda’, setelah direduplikasikan menjadi mangu-mangura yang menyatakan makna agak muda. Reduplikasi maca-macai ‘agak marah’ pada contoh kalimat (3) di atas kata dasarnya macai ‘marah’, setelah direduplikasikan menjadi macamacai yang menyatakan makna agak marah. Reduplikasi mara-maraqe ‘agak kering’ pada contoh kalimat (4) di atas kata dasarnya maraqe ‘kering’, setelah direduplikasikan menjadi mara-maraqe yang menyatakan makna agak kering. PENUTUP Reduplikasi dalam bahasa Mandar berbentuk reduplikasi utuh, sebagian, berkombinasi dengan afiksasi, dan berkombinasi dengan klitika Reduplikasi dalam bahasa Mandar pada umumnya tidak mengubah kelas kata dan bisa muncul sebagai subjek, predikat, objek dan keterangan. Adapun fungsi reduplikasi dalam bahasa Mandar adalah mengubah makna kata sehingga mempunyai salah satu dari makna berikut: banyak, menyerupai, sekadar, melakukan pekerjaan berulang, sangat, kumpulan, saling atau resiprokal, dan agak. CATATAN Penulis berterima kasih kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan makalah ini. 1 Artikel “Reduplikasi dalam Bahasa Mandar” di atas adalah hasil pengembangan dari Skripsi S1 penulis (Nurhayati 1985) dan makalah yang dipresentasikan dan dimuat dalam Kolita 12 (2014) dengan judul yang sama. Namun, terdapat perbedaan di antara keduanya. Ada beberapa bagian dalam makalah ini yang tidak dibahas dalam makalah Kolita 12, yaitu: Tipe-tipe reduplikasi lengkap dengan contoh-contoh; metode penelitian; bentuk-bentuk reduplikasi yang sudah ditata dengan baik dan runtut dengan menyatukan kata dasar bersuku dua dan bersuku tiga yang berakhir dengan konsonan; penjelasan mengenai reduplikasi sebagian yang berafiks, reduplikasi berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, reduplikasi yang berkombinasi dengan klitika, fungsi reduplikasi, dan makna reduplikasi yang sudah diperbaiki dan lebih rinci.
SUMBER RUJUKAN PUSTAKA Darwis, M. (2012). Morfologi bahasa Indonesia bidang verba. Makassar: Menara Intan. Muslich, M. (2008). Tata bentuk bahasa Indonesia: Ke arah tata bahasa deskriptif. Jakarta: Bumi Aksara. Nurhayati. (1985). Sistem reduplikasi dalam bahasa Mandar (Skripsi sarjana tidak diterbitkan), Makassar: Universitas Hasanuddin. Parera, J. D. (1980). Pengantar Linguistik umum bidang morfologi. Ende: Nusa Indah. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1991). Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
89
Nurhayati
Ramlan, M. (1979). Morfologi: Suatu tinjauan deskriptif. Yogyakarta: Karyono. Verharr, J. W. (1980). Teori Linguistik dan bahasa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Wijana, I. D. (2010). Pengantar semantik bahasa Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
90
Linguistik Indonesia, Februari 2015, 91-93 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 1
Resensi Buku Judul ISBN Penulis Penerbit Tebal
: Frames and Constructions in Metaphoric Language : 978 90 272 0436 3 (Hb; alk. paper), 978 90 272 7240 9 (Eb) : Karen Sullivan : John Benjamins B.V. (2013) : 192 halaman Bahren Umar Siregar Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya [email protected]
Berbeda dari sebagian besar buku yang membahas metafora, dalam buku ini penulis menganalisis metafora atau bahasa yang metaforis dengan menggabungkan kerangka teoretis Construction Grammar (CxG) dengan beberapa pandangan lainnya seperti Cognitive Grammar (CG), Conceptual Metaphor Theory (CMT) dan Frame Semantics (Fillmore, 1982). Penggabungan ini bertujuan untuk memberikan cara pemerian yang baru tentang bahasa yang metaforis di samping untuk menumbuhkan kesadaran tentang bidang penelitian baru yang subur ini dan memberikan beberapa keterkaitan antara beberapa bidang kajian yang diperlukan untuk meneroka bidang penelitian baru ini. Meskipun demikian, seperti yang disebutkan pada halaman 5, buku ini tidak dimaksud untuk menjadi panduan dalam pengidentifikasian metafora. Buku ini terdiri atas sepuluh bab, yang diawali dengan Bab 1 berjudul ‘Metaphoric language and metaphoric thought’ (1-11), dan diakhiri dengan Daftar Pustaka (references), Sumber Utama (primary sources), Indeks Konstruksi (index of constructions) dan Indeks (index). Bab pertama, yang juga berfungsi sebagai bab pendahuluan, dibuka dengan menelaah secara kritis kajian-kajian sebelumnya tentang bahasa metaforis. Penelaahan kritis dimulai terhadap CMT (Lakoff, 1993; Lakoff & Johnson, 1980) dengan metafora konseptualnya. Dalam teori metafora konseptual, metafora adalah proses kognitif yang memungkinkan satu ranah pengalaman, yang disebut dengan ranah sasaran, dipahami berdasarkan ranah pengalaman yang lain, yang disebut dengan ranah sumber. Ranah sasaran biasanya merupakan konsep abstrak sementara ranah sumber khususnya merupakan konsep yang lebih konkret. Selanjutnya, penulis buku ini (2013:2) menyatakan bahwa sejak dari awal pengikut teori metafora konseptual telah berketetapan untuk mempertegas bahwa metafora sebagai gejala konseptual bukanlah sekadar gejala bahasa (sekadar ihwal kata-kata) tetapi sebagai struktur konseptual yang menurunkan metafora. Sementara itu, menurut Karen Sullivan bahasa metaforis dapat melibatkan kata-kata metaforis tetapi kata-kata tidak cukup untuk menyampaikan metafora karena konstruksi metafora itulah yang memilih ranah sumber dan target dari unsur leksikal yang terdapat dalam konstruksi tersebut. Pada halaman tiga disebutkan dengan jelas “It appears, then, that metaphoric language depends not only on the choice ofwords, but also on particular grammatical constructions.” Bab ini kemudian ditutup dengan penjelasan bagaimana penelitian tentang hubungan antara penggunaan kata-kata dan konstruksi metaforis dan non-metaforis dapat dilakukan dengan menggunakan alat seperti Frame Semantics (FS), Construction Grammar (CxG) dan Cognitive Grammar (CG).
Resensi Buku
Pada Bab 2, ‘Frames in metaphor and meaning’ (17–33), penulis memperkenalkan bagaimana FS dan CG digabungkan dan digunakan untuk mengkaji bahasa metaforis. Pada bagian akhir, penulis kemudian menyimpulkan bahwa teori autonomy/dependence dari CG (Langacker, 1997; 2002) dan FS dapat secara efektif memberikan generalisasi terhadap konstruksi metaforis dan non-metaforis. Bab 3, ‘Frames and lexical choice in metaphor’ (35–48), membahas penerapan kerangka teoretis yang diberikan pada bab sebelumnya dalam satu studi kasus yang datanya dikumpulkan melalui beberapa penelusuran dalam British National Corpus (BNC). Melalui studi kasus ini ditunjukkan bagaimana rangka semantik (frames) yang dipantulkan oleh artian (senses) yang bersifat non-metaforis dari satu unsur leksikal dapat menjelaskan unsur yang mana yang terpilih untuk mengungkapkan metafora konseptual tertentu. Dengan kata lainnya, ranah yang dipantulkan oleh satu unsur leksikal dapat saja membatasi penggunaan unsur itu dalam ungkapan metaforis (untuk lebih memahami pandangannya ini, Karen Sullivan memberikan beberapa contoh pada halaman 40-42). Bab 4, ‘Frames in metonymic inferencing’ (49–61), seperti judulnya, membahas metonimi, khususnya menunjukkan FS dan CxG dapat digunakan secara efektif untuk membedakan metafora dari metonimi. Secara umum disebutkan bahwa metafora memetakan rangka dari satu ranah ke ranah lainnya sementara metonimi bertumpu pada penjajaran rangka yang memang sudah ada yang memungkinkan terjadinya ketaksaan (61). Selanjutnya, Bab 5-9 menggabungkan temuan-temuan yang berasal dari penerapan FS, CxG, dan CMT. Masing-masing bab membahas konstruksi gramatikal dasar atau gabungan beberapa konstruksi gramatikal dasar yang menghasilkan struktur suatu metafora tertentu. Bab 5, ‘Two types of adjective construction in metaphor’ (63–86), membahas konstruksi ranah dan konstruksi pembatas predikat. Bab 6, ‘Argument structure constructions in metaphor’ (87–114), menelaah konstruksi struktur argumen seperti resultatif, ditransitif dan penggunaan kopula. Bab 7, ‘Metaphoric preposition phrases and closed-class items’ (115–30), menyelisik konstruksi frasa preposisi, salah satu konstruksi yang sering digunakan untuk mengungkapkan metafora dalam bahasa Inggris. Bab 8 dengan judul ‘Repeated domain evocation and xyz constructions’ (131–48), menyelidiki gabungan sejumlah konstruksi yang sudah dibahas pada Bab 5-7. Yang dimaksud dengan konstruksi xyz adalah konstruksi berbentuk “x adalah y (z)”. Dalam konteks ini, x, y dan z adalah FN (NPs) seperti ‘old age is the sunset of life’. Sementara itu, Bab 9 yang berjudul ‘Metaphoric constructions beyond the clause’ (149–66), membahas lebih jauh lagi beberapa struktur lebih besar dari kalimat yang memunculkan metafora seperti struktur klausa relatif dan konstruksi kondisional maupun struktur kompleks seperti paralelisme dan bentuk negasi hurufiah. Bab 10, ‘Conclusion’ (167–72), tentu saja memberikan kesimpulan dan ringkasan kajian yang sudah diberikan dalam buku ini. Bagian ini juga menyajikan manfaat dan keterbatasan penelitian yang sudah dibahas dalam bab sebelumnya. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa buku ini memberikan wawasan yang berbeda dari yang pernah ada dalam pustaka metafora dalam konteks analisis metafora. Ketidak puasan terhadap teori CMT sebagai alat untuk meneliti metafora sebenarnya sudah banyak disuarakan oleh beberapa peneliti (Kövecses, 2015, hlm. xi-xii) dan beberapa di antaranya (termasuk Kövecses (2015) sendiri) mencoba upaya lain dengan menggabungkan teori CMT dengan satu atau beberapa teori lainnya. Karen Sullivan merupakan salah seorang yang berupaya yang sama
92
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
untuk menjelaskan konstruksi metafora dengan menggunakan pendekatan yang berbeda. Meskipun tidak memperkenalkan satu teori yang sama sekali baru, buku Karen Sullivan ini memberikan beberapa bukti bagaimana penggabungan beberapa pendekatan (dalam hal ini: FS, CG, CxG, dan CMT) dapat menjelaskan bagaimana metafora terbentuk melalui konstruksi metaforis. FS dan CxG memiliki peran penting dalam studi kasus yang dilakukan oleh Karen Sullivan. Hal yang mirip juga telah ditunjukkan oleh Moore (2013) dalam kasus yang berbeda, melalui beberapa contoh, bahwa rangka semantik (semantic frames) pun menjadi alat yang penting dalam analisis metafora. Meskipun topik yang dibahas termasuk rumit dan bertumpu pada data korpus bahasa Inggris saja, buku ini berhasil menyajikannya dengan runtut dan sistematis. Buku ini perlu dibaca untuk memperkaya wawasan peneliti dan pengamat metafora dalam hal teori metafora. SUMBER RUJUKAN PUSTAKA Fillmore, C.J. (1982). Frame semantics. Dalam The Linguistic Society of Korea (ed.), Linguistics in the morning calm (hlm. 111-137). Seoul: Hanshin Publishing Co. Lakoff, G. (1993). The Contemporary Theory of Metaphor. Dalam A. Ortony (ed.), Metaphor and thoughts (hlm. 202-251). Cambridge: Cambridge University Press. Lakoff, G. & Johnson, M. (1980). Metaphors we live by. Chicago: University of Chicago Press. Langacker, R.W. (1997). Constituency, dependency and conceptual grouping. Cognitive Linguistics, 8 (1), 1-32. Langacker, R.W. (2002). Concept, image and symbol: The cognitive basis of grammar. New York: Mouton de Gruyter. Moore, K.E. (2013). Frames and the experiential basis of the Moving Time metaphor. Dalam M. Fried & K. Nikiforidou (ed.). Advances in frame semantics (hlm. 85-108). Amsterdam: John Benjamins. Kövecses, Z. (2015). Where metaphors come from: Reconsidering context in metaphor. Oxford: Oxford University Press.
93
Linguistik Indonesia, Februari 2015, 95-96 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-32, No. 1
JELAJAH LINGUISTIK Rubrik ini membuka peluang untuk saling berbagi di antara kita tentang beberapa kemungkinan topik ini: a. pencanangan metode penelitian linguistik yang belum lazim digunakan b. daur-ulang metodologi penelitian linguistik c. persoalan data yang – meskipun barangkali belum ditemukan pemecahannya – penelusurannya berpeluang membuka sesuatu yang baru yang belum pernah menjadi perhatian peneliti terdahulu d. penerapan teori linguistik tertentu untuk menjelaskan data bahasa seperti bahasa Indonesia yang membuat peneliti mempersoalkan teori yang bersangkutan
LONCENG KEMATIAN TEORI TATA BAHASA UNIVERSAL? Yassir Nasanius Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya [email protected] Kalau kita mencermati pelbagai buku teks tentang pemerolehan bahasa, baik pemerolehan bahasa pertama atau kedua, akan kita temui bahwa salah satu teori yang dibahas untuk menjelaskan fenomena pemerolehan bahasa pastilah teori Tata Bahasa Universal (Universal Grammar) yang dicetuskan oleh Chomsky (Chomsky, 1986; Chomsky, 1995). Data pemerolehan bahasa menunjukkan bahwa anak-anak menguasai aspek tata bahasa melebihi masukan bahasa (language input) yang diterima. Oleh Chomsky dan para pengikutnya, kenyataan ini menjadi dasar dari argumen Kekurangan Stimulus (the Poverty of Stimulus). Menurut teori ini, pemerolehan bahasa dapat dijelaskan dengan gamblang karena anak-anak dianugerahi dengan Tata Bahasa Universal (TBU) ketika lahir. TBU inilah yang membantu menuntun mereka dalam mencerna masukan bahasa sehingga pada akhirnya anak-anak dapat menguasai tata bahasa dari bahasa ibu mereka. Visualisasi pemerolehan bahasa menurut teori TBU dapat dirangkum dalam diagram berikut (Radford, 2004): Masukan Bahasa
→
Tata Bahasa Universal
→
Tata Bahasa dari Bahasa Ibu X
Akan tetapi, teori TBU dikritik dengan pedas oleh seorang pakar linguistik terapan bernama Kees De Bot melalui pandangan-pandangannya yang dimuat dalam sejumlah makalah dan yang paling mutakhir dalam buku tulisannya yang berjudul A History of Applied Linguistics (2015). Di dalam buku ini, De Bot menyatakan bahwa paradigma teori TBU yang menguasai ranah pemerolehan bahasa dan ranah linguistik terapan selama puluhan tahun terakhir ini tengah mengalami fase keredupan. Ini ditandai, menurut De Bot, dengan hampir tidak adanya makalahmakalah yang berbasis teori TBU pada konferensi-konferensi besar seperti the American Association of Applied Linguistics, International symposia on Bilingualism, dan the Boston Conference on Language Development.
Jelajah Linguistik
Lebih lanjut, melalui metode wawancara dan survei dengan sebagian besar responden yang berkiprah dalam pemerolehan bahasa kedua, De Bot (2015) melaporkan bahwa sebagian kecil responden masih mengakui keberadaan teori TBU. Akan tetapi, responden yang lainnya menyampaikan bahwa teori TBU ini merupakan teori yang salah dan teori yang salah ini telah dibiarkan merajalela terlalu lama. Menurut para responden ini, setelah hampir 40 tahun penelitian, teori TBU belum dapat menjabarkan rincian dari TBU; penelitian TBU hanya berkutat pada sejumlah fitur sintaksis seperti fenomena pro-drop. Di samping itu, argumen Kekurangan Stimulus, yang menjadi fondasi dari teori TBU, telah mendapat penjelasan yang lebih baik dan lebih masuk akal secara empiris melalui pelbagai penelitian yang berbasis korpus bahasa dan pemodelan kognitif. Tentunya kritikan pedas dari De Bot ini telah dan akan mendapat sanggahan dari penganut teori TBU. Misalnya, Slabakova, Leal,dan Liskin-Gasparro mencoba menanggapi kritikan De Bot dalam sebuah makalah mereka yang segera akan terbit di jurnal Applied Linguistics. Di dalam makalah yang mereka beri judul Rumors of UG’s Demise Have Been Greatly Exaggerated, ketiganya berpendapat bahwa sejumlah pandangan dari De Bot tidak berdasar sama sekali, misalnya, anggapan De Bot bahwa teori TBU tengah mengalami fase keredupan. Menurut mereka, teori TBU masih merupakan teori yang banyak ditekuni oleh sejumlah besar linguis. Tengoklah konferensi-konferensi besar seperti the Generative Approaches to Second Language Acquisition Conference dan the Boston University Conference on Language Development, yang masih didominasi oleh makalah-makalah yang melaporkan penelitian pemerolehan bahasa berbasis teori TBU. Tengoklah pula jurnal-jurnal ilmiah ternama seperti Second Language Research dan Studies in Second Language Acquisition, yang dipenuhi oleh makalah-makalah yang melaporkan penelitian pemerolehan bahasa kedua berbasis teori TBU. Yang terakhir, masih disemaikan benih calon linguis penerus yang berkiprah dalam teori TBU. Program doktoral linguistik dan linguistik terapan berbasis teori TBU masih ditawarkan di sejumlah universitas ternama di Amerika Serikat seperti MIT, University of Hawai‘i, University of Illinois (Urbana–Champaign dan Chicago), University of Indiana, University of Iowa, McGill University, UCLA, dan USC. Masih ditawarkan juga di universitas-universitas terkenal di Inggris, seperti Cambridge University, University of Essex, University of Leeds, University of Newcastle, University of Reading, University of Sheffield, University of Southampton, dan York University. SUMBER RUJUKAN PUSTAKA Chomsky, N. (1986). Knowledge of language. New York: Praeger. Chomsky, N. (1995). The minimalist program. Cambridge: MIT Press. De Bot, K. (2015). A history of applied Linguistics: 1980–2010. London: Routledge. Radford, A. (2004). Minimalist syntax: Exploring the structure of English. Cambridge: Cambridge University Press. Slabakova, R., Leal, T., & Liskin-Gasparro, J. (2015). Rumors of UG’s demise have been greatly exaggerated. Dalam Applied Linguistics, 36 (2), 265-269.
96
Linguistik Indonesia, Februari 2015, 97-100 Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 1
BINCANG ANTARA KITA DARI DUNIA MAYA REVOLUSI MENTAL BERAWAL DARI BAHASA From: [email protected] [Masyarakat_Linguistik_Indonesia] Sent: Monday, 24 November 2014 08:51 To: [email protected] Reply To: [email protected] Subject: [mlindo] Revolusi Mental Berasal dari Bahasa
Selamat pagi, Silakan menyimak pandangan Dr. Sudaryanto mengenai "Revolusi Mental Berawal dari Bahasa" di http://nasional.kompas.com/read/2014/11/23/16233291/Revolusi.Mental.Berawal.dari.Bahasa. Dr. Sudaryanto adalah salah seorang perintis dan pendiri Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI). Semoga bermanfaat. Salam MLI, Katharina Endriati Sukamto Ketua
Minggu, 23 November 2014 | 16:23 WIB Oleh: Frans Sartono KOMPAS.com - Revolusi mental dimungkinkan kalau orang kembali menyadari fungsi hakiki bahasa, yaitu untuk mengembangkan akal budi dan memelihara kerja sama. Itu pandangan Sudaryanto, doktor linguistik yang puluhan tahun mencurahkan perhatian dan pikirannya pada bahasa. Hiruk-pikuk kehidupan, termasuk kehidupan di panggung politik, tidak lepas dari peran bahasa. Ada yang menggunakan bahasa untuk menusuk perasaan, menyakiti, mengutuk. Orang lupa pada fungsi hakiki bahasa yaitu untuk mengembangkan akal budi, dan memelihara kerja sama. Ketika akal budi tidak dikembangkan, ketika kerja sama tidak dipelihara dengan bahasa, maka hasilnya? Mungkin hiruk-pikuk di pentas politik, dan peristiwa-peristiwa di sekitar kita akan menjelaskan hasil tersebut. Meja bergelimpangan, batu-batu beterbangan.... Bahasa diberikan kepada manusia itu sebenarnya untuk apa? Bertahun-tahun Sudaryanto, doktor linguistik yang lulus dengan predikat cum laude dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun 1979, itu mencoba mengidentifikasi fungsi bahasa. Ada dua fungsi bahasa yang ia sebut sebagai khas dan hakiki, yaitu mengembangkan akal budi dan memelihara kerja sama. Sejauh ini orang mengidentifikasi fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Itu bukan spesifikasi bahasa. Untuk alat komunikasi, bukan bahasa verbal pun bisa. Apa pun yang keluar dari hati bisa diungkapkan. Tapi, untuk mengungkapkan isi hati, kan, tidak harus dengan bahasa. Dengan tindakan, dengan kesenian juga bisa kok. Dengan kata lain kita sebetulnya belum mengidentifikasi fungsi bahasa itu sebetulnya untuk apa. Saya sebagai orang yang terjun di bidang bahasa berusaha memikirkan betul-betul, mestinya kalau orang diberikan bahasa verbal, mestinya ada fungsi yang khas. Fungsi yang hanya bisa dijalankan oleh bahasa, dan tidak mungkin oleh yang lain. Saya mengidentifikasi fungsi bahasa
Bincang antara Kita dari Dunia Maya
yang khas dan sangat hakiki ada dua, yaitu untuk mengembangkan akal budi dan untuk memelihara kerja sama. Akal budi itu hubungannya dengan kesadaran. Akal budi itu, kan, agar untuk orang menjadi sadar, dan yang disadari itu mestinya nilai-nilai. Mengembangkan nilai-nilai, akal budi, itu hanya bisa lewat bahasa verbal ini. Untuk memelihara kerja sama, juga hanya dengan bahasa? Kalau hanya untuk kerja sama saja, tanpa untuk memelihara, itu bisa saja tanpa bahasa. Wong kita neson-nesonan (saling marah) saja masih bisa kerja sama kok. Tapi, untuk memelihara harus pakai bahasa. Jadi, tampaknya dua fungsi itu yang esensial dan tak bisa digantikan dengan yang lain. Saya sendiri sudah puluhan tahun berusaha menentang pendapat saya ini, tapi tidak bisa. Karena hanya dengan bahasa verbal itulah kita bisa memelihara. Konflik politik, diselesaikan dengan bahasa? Setiap ada konflik, entah itu taraf lokal, nasional seperti yang terjadi DPR, atau bahkan kelas dunia, mau tak mau harus kembali menggunakan bahasa verbal, dialog, musyawarah. Ketika ada konflik Israel dengan Palestina, mereka harus berdialog, musyawarah. Mereka menggunakan bahasa verbal tadi. Seperti juga ketika Jokowi menjadi Wali Kota Solo, dia menggunakan dialog dengan pedagang kaki lima. Dialog tidak sekali, tapi sampai sekian puluh kali, dalam sekian bulan. Karena kalau tidak ada dialog, tidak dengan bahasa, ya tidak bisa. Kalau kita menyadari fungsi hakikinya, orang tidak akan bisa semena-mena menggunakan bahasa. Mengapa? Karena hanya dengan menyadari fungsi hakiki dan setia pada fungsi hakiki itu bahasa menjadi kreatif. Kalau tidak, pasti tidak menjadi kreatif. Coba kita marah-marahan, mengumpat-umpat nanti, kan, bahasa tidak kreatif. Kata-katanya, ya, itu-itu saja. Lain itu kalau untuk mengembangkan akal budi dan untuk betul-betul memelihara kerja sama, akhirnya menjadi sangat kreatif. Seperti di dalam dunia ilmiah, seni, kepengarangan, bahkan juga di dalam dunia bisnis yang sungguh-sungguh. Saya kira itu merupakan hal yang layak disadari oleh kita semua. Mengapa dua fungsi itu? Mestinya ada yang lebih mendasar lagi, yaitu agar setiap manusia itu bisa menjadi sesama buat yang lain. Sebab, tanpa itu, tidak bisa menjadi sesama. Untuk menjadi sesama, dialognya memang luar biasa. Itu mengapa kita perlu orang lain, bahkan dalam keluarga itu ada suami istri karena mau tak mau kita harus mengembangkan dialog. Orang yang berkeluarga 25 tahun saja dimungkinkan untuk tidak klop kok. Itu artinya kita menjadi manusia itu harus berdialog terus-menerus, sebab tanpa dialog tidak bisa menjadi sesama. Padahal, di keluarga itulah puncaknya orang untuk menjadi sesama. Kalau di luar keluarga masih ada sekat, tapi kalau dengan bojo, (suami/istri) atau dengan anak, jaraknya apa? Oleh karena itu, di keluarga, kita dididik betul menjadi manusia, lepas dari orang yang mendapat kelebihan, ora nikah ya ra papa itu kita anggap orang yang luar biasa. Orang ditempatkan di suatu kondisi sehingga yang bersangkutan itu bisa menjadi sesama, untuk bisa mengembangkan akal budinya, untuk bisa bekerja sama, harus dialog. 98
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 1, Februari 2015
Budaya Lebih jauh dalam pandangan Sudaryanto, kebudayaan pun hanya bisa ada karena dua fungsi bahasa tersebut. Kebudayaan ada kalau akal budi berkembang, juga kalau ada kerja sama yang bisa dipelihara. Sudaryanto melihat ada kaitan yang sangat erat dan esensial, dan bahkan "mutlak". "Jadi ada hubungan antara memelihara kerja sama, mengembangkan akal budi lewat bahasa, dan memunculkan kebudayaan, menghadirkan kebudayaan. Bukan hanya menghadirkan tapi juga memelihara kebudayaan, memperlancar berkembangnya kebudayaan, memanfaatkan kebudayaan, sampai menikmati kebudayaan. Itu satu keutuhan," kata Sudaryanto. "Saya tidak tahu kalau saat ini, terjadi perubahan yang luar biasa, apakah hal ini disadari tidak oleh tokoh-tokoh kita, siapa pun mereka. Kalau ini disadari, persoalannya saya kira akan menjadi lebih jelas. Harus dikembalikan ke situ." Kaitannya dengan revolusi mental? Kalau kaitannya dengan revolusi mental saya kira kita harus kembali menyadari fungsi hakiki bahasa. Kalau kita menyadari hal itu, saya kira revolusinya dimungkinkan. Karena revolusi mental itu sebenarnya, kan, kembali agar orang itu bisa mengembangkan akal budi, dan bisa memelihara kerja sama sehingga bisa menciptakan, menghasilkan, memelihara, memanfaatkan, dan menikmati kebudayaan. Dengan begitu, orang bisa menjadi sesama bagi yang lain. Revolusi mental itu seharusnya ke sana. Itu menurut hemat saya, lho. Rancu Namun, terjadi pamahaman yang rancu tentang kebudayaan. Hal itu tampak pada penamaan lembaga. Dulu ada fakultas "sastra dan kebudayaan". Jadi, kebudayaan dan sastra itu seakan setara. Ada juga "seni dan budaya", lantas "bahasa, sastra, dan budaya". "Kenapa kita menyetarakan kebudayaan itu dengan macam-macam; misalnya, pariwisata dan kebudayaan? Jadi, seakan ada budaya dan ada pariwisata, setingkat. Ada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi, di sini, ada pendidikan sendiri, ada pula kebudayaan sendiri. Jadi, wajar sekali kalau sampai hari ini orang menentukan yang namanya kebudayaan itu tidak cetha (tidak jelas.) Kebudayaan itu apa? Kalau kita kaitkan bahasa, lalu pengembangan akal budi, memelihara kerja sama yang itu semua memungkinkan terciptanya kebudayaan, saya kira kebudayaan itu, ya, keseluruhan dari manifestasi wujud manusia. Jejak dan langkah manusia demi penghidupan dan kehidupannya itulah kebudayaan. Sekarang ada Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Menurut Anda? Ya bagaimana kita tidak kacau. Lalu yang menjadi masalah selanjutnya, sekiranya kita itu menyetujui bahwa harus ada kebudayaan yang memang harus dikembangkan, dan harus bisa dinikmati, terus kebudayaan macam apa? Ini perlu dipikirkan. Kalau tidak ada gambaran yang jelas mengenai kebudayaan, ke depan Indonesia itu saya kira akan menjadi repot.
99
Bincang antara Kita dari Dunia Maya
Pendurgunaan bahasa Sudaryanto menengarai adanya pendurgunaan bahasa. Pendapat yang mengatakan bahwa bahasa itu alat untuk mengeluarkan isi hati, lupa bahwa hal itu itu telah mengawafungsikan atau mendisfungsikan bahasa. Hal itu justru menggunakan bahasa tidak sebagaimana yang menjadi fungsi bahasa. "Banyak kegiatan yang mengawafungsikan, mendisfungsikan, atau istilah saya mendurgunakan bahasa, atau menggunakan bahasa untuk hal yang jahat dan kejam." Sudaryanto menambahkan bahwa ia tidak suka menggunakan dengan istilah "kekerasan", karena bagi dia tidak begitu konkret. "Misalnya kekerasan seksual atau apa. Saya menggunakan kejahatan dan kekejaman seksual, karena konkret dan karena hal itu memang jahat dan kejam. Kalau kekerasan itu tidak ada lawan katanya. Lalu apa (lawan katanya), kelunakan?" katanya. "Selama kita tidak menyadari fungsi yang hakiki tadi pasti muncul hal-hal seperti itu. Selama bahasa tidak menjadi kreatif, maka orang akan cenderung mendurgunakan atau mengawafungsikan bahasa. Sebab, kalau sesuai dengan fungsi yang sesungguhnya, bahasa itu akan selalu berkembang dengan kreatif." From: [email protected] On behalf of Setiawati Sent: Monday, November 24, 2014 5:23 PM To: [email protected] Subject: Re: [mlindo] Revolusi Mental Berasal dari Bahasa
Selamat sore Bu Katharina, gagasan Pak Sudaryanto kebetulan topiknya mirip dg pidato pengukuhan saya yang akan saya bacakan pada tanggal 10 Desember yad di UI. Pak Sudaryanto tdk sendiri memikirkan hal ini, saya juga memperkuat keinginan Bapak terkait dg revolusi mental melalui bahasa. Terima kasih. Setiawati/UI From: [email protected] On behalf of Ali Imron Al-Ma'ruf Sent: Monday, November 24, 2014 7:30 PM To: [email protected] Subject: Re: [mlindo] Revolusi Mental Berasal dari Bahasa
Selamat berjumpa lagi Bu Katharina. Saya setuju dengan pandangan Dr. Sudaryanto mengenai urgensi bahasa dalam revolusi mental. Betapa pentingnya bahasa sebagai alat untuk mengembangkan akal budi dan kerja sama, yang kadang-kadang fungsi ini dilupakan banyak orang, terutama para politisi. Namun, tentu diperlukan perangkat lain yang tidak kalah pentingnya dalam revolusi mental, yakni bahwa semua itu harus dilandasi oleh moralitas yang tinggi --dalam bahasa lain adalah akhlaqul karimah--. Terima kasih. Salam sukses, Ali Imron Al-Ma'ruf Universitas Muhammadiyah Surakarta
100