1 2 MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang bertujuan menge...
MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang bertujuan mengembangkan studi ilmiah mengenai bahasa. PENGURUS MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Ketua : Katharina Endriati Sukamto, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Wakil Ketua : Fairul Zabadi, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Sekretaris : Ifan Iskandar, Universitas Negeri Jakarta Bendahara : Yanti, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya DEWAN EDITOR Utama : Bambang Kaswanti Purwo, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Pendamping : Lanny Hidajat, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Anggota : Bernd Nothofer, Universitas Frankfurt, Jerman; Ellen Rafferty, University of Wisconsin, Amerika Serikat; Bernard Comrie, Max Planck Institute; Tim McKinnon, Jakarta Field Station MPI; A. Chaedar Alwasilah, Universitas Pendidikan Indonesia; E. Aminudin Aziz, Universitas Pendidikan Indonesia; Siti Wachidah, Universitas Negeri Jakarta; Katharina Endriati Sukamto, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; D. Edi Subroto, Universitas Sebelas Maret; I Wayan Arka, Universitas Udayana; A. Effendi Kadarisman, Universitas Negeri Malang; Bahren Umar Siregar, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Hasan Basri, Universitas Tadulako; Yassir Nasanius, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Dwi Noverini Djenar, Sydney University, Australia; Mahyuni, Universitas Mataram; Patrisius Djiwandono, Universitas Ma Chung; Yanti, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. JURNAL LINGUISTIK INDONESIA Linguistik Indonesia diterbitkan pertama kali pada tahun 1982 dan sejak tahun 2000 diterbitkan tiap bulan Februari dan Agustus. Linguistik Indonesia telah terakreditasi berdasarkan SK Dirjen Dikti No. 040/P/2014, 18 Februari 2014. Jurnal ilmiah ini dibagikan secara cuma-cuma kepada para anggota MLI yang keanggotaannya umumnya melalui Cabang MLI di pelbagai Perguruan Tinggi, tetapi dapat juga secara perseorangan atau institusional. Iuran per tahun adalah Rp 200.000,00 (anggota dalam negeri) dan US$30 (anggota luar negeri). Keanggotaan institusional dalam negeri adalah Rp 250.000,00 dan luar negeri US$50 per tahun. Naskah dan resensi yang panduannya dapat dilihat di www.mlindonesia.org dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang sampul jurnal. ALAMAT Masyarakat Linguistik Indonesia Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya JI. Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930, Indonesia e-mail: [email protected]; [email protected] Tel./Faks.: +62 (0)21 571 9560
FORMAT PENULISAN NASKAH Naskah diketik dengan menggunakan MS Word dikirimkan ke Redaksi melalui e-mail [email protected] atau dalam bentuk disket dan satu printout. Panjang naskah, termasuk daftar pustaka, adalah minimal 15 halaman dan maksimal 30 halaman, dengan spasi tunggal dan jenis huruf Times New Roman 11 point. Naskah disertai dengan abstrak sekitar 150 kata dan kata kunci (key words) maksimal tiga kata. Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa: bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, diletakkan setelah judul naskah dan afiliasi penulis. Kutipan hendaknya dipadukan dalam kalimat penulis, kecuali bila panjangnya lebih dari tiga baris. Dalam hal ini, kutipan diketik dengan spasi tunggal, menjorok ke dalam (indented) sepuluh karakter, letak tengah (centered), dan tanpa tanda petik. Nama penulis yang dirujuk hendaknya ditulis dengan urutan berikut: nama akhir penulis, tahun penerbitan, dan nomor halaman (bila diperlukan); misalnya, (Radford 1997), (Radford 1997:215). Catatan ditulis pada akhir naskah (endnote), tidak pada bagian bawah halaman (footnote). Setiap rujukan baik artikel maupun buku tanpa dipilah-pilah jenisnya, diurutkan menurut abjad berdasarkan nama akhir, tanpa diberi nomor urut. Untuk buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5) tahun penerbitan, (6) titik, (7) judul buku cetak miring, (8) titik, (9) kota penerbitan, (10) titik dua (colon), (11) nama penerbit, dan (12) titik, seperti pada contoh berikut: Gass, Susan M. dan J. Schachter. 1990. Linguistic Perspectives on Second Language Acquisition. Cambridge: Cambridge University Press.
Untuk artikel dalam jurnal: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5) tahun penerbitan, (6) titik, (7) tanda petik buka, (8) judul artikel, (9) titik, (10) tanda petik tutup, (11) nama jurnal cetak miring, (12) volume, (13) titik, (14) nomor (kalau ada), (15) koma, (16) spasi, (17) halaman, (18) titik, seperti pada contoh berikut: Chung, Sandra. 1976. “An Object-Creating Rule in Bahasa Indonesia.” Linguistic Inquiry 7.1, 41-87. Steinhauer, Hein. 1985.“Number in Biak. Counterevidence to Two Alleged Language Universals.” Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde 141.4, 462-485. Untuk artikel dalam buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5) tahun penerbitan, (6) titik, (7) tanda petik buka, (8) judul artikel, (9) titik, (10) tanda petik tutup, (11) berilah kata "Dalam", (12) titik dua, (13) nama editor disusul (ed.), (14) koma, (15) halaman, (16) titik. Buku ini harus pula dirujuk secara lengkap dalam lema tersendiri, seperti pada contoh berikut: Dardjowidjojo, Soenjono. 2007. “Derajat Keuniversalan dalam Pemerolehan Bahasa.” Dalam: Nasanius (ed.), 233-261. Nasanius, Yassir. (ed.). 2007. PELBBA 18. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Jika ada lebih dari satu artikel oleh pengarang yang sama, nama pengarangnya ditulis ulang secara lengkap, dimulai dengan tahun terbitan yang lebih dulu, mengikuti contoh ini: Shibatani, Masayoshi. 1977. “Grammatical Relations and Surface Cases.” Language 53, 789- 809. Shibatani, Masayoshi. 1985. “Passives and Related Constructions: A Prototype Analysis.” Language 61, 821-848.
Daftar Isi Juara Satu dan Dua: Membandingkan Situasi Kebahasaan Indonesia dan Papua Nugini René van den Berg ............................................................................ 103 Local Languages in Indonesia: Language Maintenance or Language Shift Abigail C. Cohn & Maya Ravindranath............................................131 Introduction in Indonesian Social Sciences and Humanities Research Articles: How Indonesian Writers Justify Their Research Projects Safnil Arsyad & Dian Eka Chandra Wardhana ................................ 149 Keajekan Konseptual dalam Metafora Baru Bahren Umar Siregar ....................................................................... 165 Kata dan Makna dalam Bahasa Melayu Ternate Betty Litamahuputty .......................................................................... 179 Resensi: Andrew Carnie Modern Syntax: A Coursebook Diresensi oleh Yassir Nasanius ..................................................................199 Jelajah Linguistik: Mengancang Gejala Bahasa untuk Data Penelitian: Melihat Kembali Kasus Konstruksi Nomina + banget dalam Bahasa Indonesia Ridwan Hanafiah & Bahren Umar Siregar ............................................... 201 Indeks ......................................................................................................... 205
JUARA SATU DAN DUA: MEMBANDINGKAN SITUASI KEBAHASAAN INDONESIA DAN PAPUA NUGINI René van den Berg* SIL International [email protected] Abstrak Papua Nugini dan Indonesia menempati urutan pertama dan kedua pada ranking negara dengan jumlah bahasa daerah yang tertinggi (Papua Nugini 836, Indonesia 706). Makalah ini bertujuan membandingkan situasi kebahasaan di dua negara yang bertetangga ini. Informasi mengenai latar belakang masing-masing negara ini dipaparkan pada Pendahuluan. Bagian pertama memfokuskan pada bahasa-bahasa nasional (bahasa Indonesia dan Tok Pisin), termasuk sejarah dan peranannya saat ini, dilanjutkan dengan pembahasan pendek tentang ciri-ciri struktural dan leksikal Tok Pisin. Bagian ini diakhiri dengan gambaran umum mengenai peranan bahasa daerah di dua negara tersebut. Bagian kedua berupa deskripsi yang lebih rinci mengenai dua bahasa daerah dari masing-masing negara: bahasa Muna dari Sulawesi Tenggara di Indonesia dan bahasa Vitu dari Provinsi West New Britain di Papua Nugini. Bagian ini tidak hanya menggambarkan sejarah dan peranan kedua bahasa daerah tersebut, melainkan juga membandingkan beberapa ciri struktural, dan juga tingkat pendokumentasian dan status keterancaman. Makalah ini ditutup dengan beberapa saran. Kata kunci: Papua Nugini, bahasa nasional, bahasa daerah, perkembangan bahasa, Tok Pisin, bahasa Muna, bahasa Vitu
Abstract With 836 and 706 languages each, Papua New Guinea and Indonesia occupy the two top positions in the list of countries with the highest number of languages. This article aims to provide a linguistic comparison of these two neighbouring countries. After a general introduction with some background information about each country, the first part of the article focuses on the national languages (bahasa Indonesia and Tok Pisin), their history and current role, as well as a brief treatment of some lexical and structural features of Tok Pisin. Part one ends with a general discussion of the role of the regional languages in both countries, followed in part two by a more detailed discussion of one Austronesian regional language from each country: Muna from Southeast Sulawesi in Indonesia, and Vitu from West New Britain in Papua New Guinea. This section does not only treat the history and role of these two languages, but also compares various structural features, as well as their level of description and endangerment. The article ends with three brief suggestions. Keywords: Papua New Guinea, national language, regional languages, language development, Tok Pisin, Muna, Vitu
René van den Berg
PENDAHULUAN1 Jumlah total bahasa di dunia sekitar 7.100. 2 Dilihat dari segi jumlah bahasa per negara, Papua Nugini dan Indonesia menempati urutan satu dan dua. Sepuluh negara dengan jumlah bahasa daerah yang tertinggi diuraikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Ranking Negara menurut Jumlah Bahasa Daerah Negara Jumlah Jumlah Bahasa3 Penduduk (Juta)4 1 Papua Nugini 836 7 2 Indonesia 706 251 3 Nigeria 522 128 4 India 447 1080 5 RR Cina 298 1300 6 Meksiko 282 106 7 Kamerun 280 16 8 Brasil 215 201 9 Amerika Serikat 214 295 10 Australia 214 20 Dalam makalah ini kami akan membandingkan situasi kebahasaan dalam dua negara yang bertetangga ini. Walaupun ada batas sepanjang 760 kilometer antara kedua negara tersebut, hubungan antarnegara selalu dikaitkan dengan faktor politik dan sejarah, sedangkan pengetahuan rakyat dalam dua negara ini mengenai negara tetangga mereka masih sangat minim, dan pada umumnya hanya merupakan stereotip atau klise yang diwarnai oleh prasangka. Dalam percakapan seringkali terdengar komentar seperti ini: “Orang Papua di Papua Nugini adalah pemakan manusia. Masih pakai koteka, dan hidup di zaman batu.” Sebaliknya di PNG kami mendengar komentar seperti ini: “Di Indonesia terdapat kediktatoran militer. Indonesia negara Islam dan tidak ada kebebasan agama.” Prasangka seperti ini tidak membantu dalam proses pendekatan sebagai tetangga yang harus hidup bersama dengan rukun. Karena kami sekeluarga telah hidup dan bekerja dalam kedua negara ini selama beberapa tahun, kami merasa bahwa prasangka seperti itu perlu disingkirkan. Dengan memperkenalkan kedua negara yang bertetangga ini dengan lebih baik, kami berharap dapat membawa pengertian dan apresiasi baru. Kedua negara ini dapat dibandingkan pada berbagai tingkat, termasuk geografi, politik, sejarah, situasi keagamaan, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Pada makalah ini kami membatasi diri pada perbandingan kebahasaan. Khususnya, yang akan dibandingkan pada bagian pertama adalah bahasa nasional kedua negara ini (bahasa Indonesia dan Tok Pisin) dan situasi bahasa daerah, didahului oleh informasi umum. Dalam bagian kedua akan dibandingkan dua bahasa daerah, baik dari segi struktural maupun dari segi sosiolinguistik. Kedua bahasa daerah ini masing-masing adalah bahasa Muna di Sulawesi Tenggara (Indonesia), dan bahasa Vitu, di West New Britain (Papua Nugini). Kami mengakhiri makalah ini dengan menganjurkan beberapa saran. PERBANDINGAN INDONESIA DAN PAPUA NUGINI Informasi Umum Pada Tabel 2 di bawah ini terlihat beberapa fakta umum mengenai kedua negara yang dibandingkan.
104
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Tabel 2. Fakta Umum Indonesia dan Papua Nugini Indonesia Papua Nugini Wilayah (tanah)5 1.811.569 km2 462.840 km2 6 Jumlah penduduk 251 juta 7,1 juta Ibu kota Jakarta Port Moresby GDP per capita7 $5.100 $2.491 Mata uang Rupiah Kina (1 euro = (1 euro = 3,5 Kina) Rp 16.200) Jumlah dokter per 10.000 2,04 0,5 (2008) orang8 Literasi9 92,8% 62,4% (resmi)10 15%? Lamanya pendidikan11 13 tahun tidak jelas (tetapi tidak melebihi 6) Jumlah bahasa daerah 706 836 Agama12 Islam 87% Kristen 96% Kristen 10% Lain 4% Lain 3% Surat kabar harian13 15 (nasional) 3 34+ (di daerah)
Sebaiknya kami memberikan penjelasan sedikit mengenai tabel ini dan sejarah Papua Nugini (atau PNG).
Luas daratan Indonesia sekitar empat kali lebih besar daripada PNG. Wilayah PNG meliputi sebelah timur pulau Nugini, dengan tiga pulau besar di sekitarnya (Manus, New Britain, dan New Ireland), dan ratusan pulau kecil. Sebaliknya, wilayah Indonesia meliputi sejumlah besar pulau yang besar (termasuk sebelah barat pulau Nugini), dan ribuan pulau kecil. Jumlah penduduk sangat berbeda. Dengan 251 juta orang Indonesia terdapat pada urutan yang ke-4 di dunia (setelah Cina, India, dan Amerika Serikat). Berbeda dengan Indonesia, wilayah yang sekarang disebut Papua Nugini selama berabadabad jarang atau tidak pernah dikunjungi oleh orang dari luar, mulai dari zaman kuno sampai pada akhir abad ke-19. Itu berarti bahwa dalam periode abad ke-9 sampai abad ke19, waktu wilayah Indonesia sudah mengalami banyak masukan dari luar, di wilayah Papua Nugini tidak ada pengaruh dari India (Buddhisme), dari Arab (Islam), dari Portugis, dari Belanda atau dari Inggris. Itu juga berarti bahwa, sama halnya dengan daerah Papua di Indonesia (dahulu Irian Jaya), kebudayaan setempat berkembang dalam situasi terisolir tanpa pengaruh dari luar. Alhasil, banyak benda dan konsep dari luar sudah lama dikenal di wilayah Indonesia, tapi masih asing di wilayah PNG pada awal abad ke-20. Contohnya: alat besi (seperti pisau, parang, pedang), kain, sabun, roda, kertas, payung, sepatu, beras, jagung, anggur, bumbu (seperti merica dan lada), binatang (seperti kuda, sapi, kambing, kucing), dan kegiatan seperti menenun, menulis, dan membaca. Selain itu konsep raja atau pemimpin utama satu wilayah tidak pernah ada. Semuanya ini tidak berarti bahwa kebudayaan Papua bermutu rendah. Pandangan seperti ini mencerminkan perasaan superioritas yang perlu dihindari. Hanya karena situasi terisolir, penduduk setempat belum mendapat kesempatan untuk mencicipi yang disebut “kehidupan modern”. Baru sekitar tahun 1880 ada pengaruh langsung dari penguasa kolonial di PNG. Pemerintah Jerman mulai menduduki bagian kepulauan dan pesisir di sebelah utara, sedangkan daerah pesisir di bagian selatan mulai dikuasai oleh pemerintah Inggris. Semasa Perang Dunia yang
105
René van den Berg
Pertama (1914-1918), penguasa Jerman dikalahkan dan kemudian seluruh wilayah Papua Nugini mulai diperintah oleh Australia. Pada tahun 1975 Papua Nugini memperoleh kemerdekaan dari Australia, tanpa perang atau kekerasan. Jika dipandang dari segi perkembangan negara dan sumber daya manusia, negara Papua Nugini tetap berada pada urutan rendah. Indikatornya termasuk jumlah pendidikan tinggi (hanya terdapat beberapa universitas dan sekolah tinggi), jumlah dokter dan dokter gigi, jaringan internet, kebutahurufan yang masih tersebar luas, kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence), dll. Kebanyakan penduduk hidup dari hasil kebun sendiri. Walaupun demikian, Papua Nugini juga sangat kaya dengan sumber daya alam. Bukan saja gas dan minyak, tetapi juga banyak mineral seperti emas, besi, tembaga, dll. Tambang emas di Pulau Lihir adalah cadangan emas yang ketiga di dunia.14
Mengenai nama Papua Nugini (sebenarnya Papua New Guinea), asal-usulnya begini. Bagian ‘New Guinea’ adalah nama yang diberikan kepada pulau ini pada tahun 1545 oleh Yñigo Ortiz de Retez, seorang penjelajah dari Spanyol (dalam bahasa Spanyol pulau ini disebut Nueva Guinea). Sebabnya ialah, dia “mencatat kemiripan orang-orang Papua dibandingkan dengan orang-orang yang pernah dilihatnya di sepanjang pesisir Guinea, Afrika [Barat].”15 Mengenai kata ‘Papua’, hampir semua sumber saling mengulangi dengan mengatakan bahwa “kata papua diturunkan dari pepuah, kata dari bahasa Melayu yang menggambarkan rambut orang Melanesia yang keriting.” 16 Padahal, sebenarnya tidak demikian. Berdasarkan penelitian Sollewijn Gelpke (1993), ternyata nama papua berasal dari bahasa Biak. Dalam bahasa Biak kata papwa berarti ‘di bawah’ dan juga ‘sebelah barat’. (Hubungan semantis antara konsep ‘bawah’ dan ‘barat’ cukup umum; begitu juga dengan ‘atas’ dan ‘timur’; lihat Brown 1983). Dalam bahasa Biak daerah papwa merujuk kepada kepulauan Raja Ampat dan penduduknya. Istilah itu kemudian diambil alih oleh pedagang Melayu dan pemerintahan kolonial Belanda, dan akhirnya menjadi nama umum untuk seluruh Pulau Papua dan penduduknya. Bahasa Nasional Indonesia Republik Indonesia hanya memiliki satu bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Sebelum kemerdekaan Indonesia, fungsi bahasa itu sudah diakui dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang dipakai sebagai bahasa daerah di Sumatra bagian timur laut, khususnya di kerajaan Sriwijaya, dan (di kemudian hari) juga di semenanjung Melayu. Karena peranan yang penting dalam perdagangan, bahasa Melayu sudah berabad-abad berfungsi sebagai bahasa antarsuku di seantero Nusantara (Adelaar dan Prentice 1996). Perlu dicatat juga bahwa menurut beberapa ahli linguistik historis, bahasa Melayu sendiri, sebelum menjadi bahasa yang dihubungkan dengan kerajaan Sriwijaya dan perdagangan, agaknya berasal dari Pulau Borneo (Adelaar 2004). Menurut Ethnologue (edisi ke-16) jumlah penutur bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama sekitar 23 juta, sedangkan penutur bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua sekitar 140 juta. Angka seperti ini jelas merupakan perkiraan saja, karena pengumpulan data yang tepat tidak gampang. Ada juga yang berpendapat bahwa bahasa Indonesia “dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia”.17 Kalau itu memang benar, berarti jumlah penutur sudah mencapai 225 juta. Walaupun ada banyak ragam dan varian lokal, bahasa Indonesia digunakan secara sangat luas dan hampir secara eksklusif di dunia pemerintahan (dari pusat sampai pelosok), di dunia pendidikan (dari SD sampai perguruan tinggi), di media massa dan sastra. Bahasa Indonesia betul-betul merupakan bahasa persatuan bangsa. Ratusan ribu buku sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia, melingkupi buku bacaan anak-anak sampai buku pelajaran perguruan tinggi. Data mengenai jumlah judul baru yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia setiap tahun tidak gampang diperoleh, tetapi pasti ribuan. Penyebaran surat kabar harian dalam
106
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
bahasa Indonesia juga sangat luas. Harian dengan jangkauan nasional sudah berjumlah 15 (termasuk Kompas dan Republika), di samping puluhan harian di daerah.18 Sejak berdirinya Republik Indonesia ada upaya untuk membakukan, merancang, dan menyebarluaskan pengetahuan mengenai bahasa Indonesia dalam negara. Untuk itu Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa didirikan. Badan ini telah banyak mengeluarkan terbitan mengenai bahasa Indonesia, termasuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi pertama tahun 1988; sekarang dalam edisi yang ketiga, juga terdapat dalam bentuk online), tata bahasa yang baku, pembentukan kosakata baru, dan puluhan terbitan lain, termasuk juga karya ilmiah mengenai bahasa daerah di Indonesia. Melalui badan ini, status, fungsi dan masa depan bahasa Indonesia terjamin. Papua Nugini Situasi Papua Nugini sangat berbeda dengan Indonesia, mulai dari jumlah bahasa nasional, penyebaran bahasa persatuan, dokumentasi, dan terbitan. Sekarang ada tiga bahasa nasional di Papua Nugini: 1) bahasa Inggris, 2) Tok Pisin, dan 3) bahasa Motu. Bahasa Inggris berfungsi sebagai bahasa pemerintahan, bahasa pendidikan, dan bahasa tulisan. Tok Pisin adalah bahasa lisan antarsuku, terutama di provinsi-provinsi di bagian utara, di pulau-pulau, dan di pegunungan. Dalam tiga dasawarsa belakangan ini penggunaan dan pemakaian Tok Pisin semakin luas, juga dalam ranah tertulis. Bahasa Motu, lebih tepatnya varian sederhana yang disebut Hiri Motu atau Police Motu, adalah bahasa daerah yang dituturkan di sekitar ibu kota Port Moresby. Hiri Motu pernah berfungsi sebagai bahasa antarsuku di Provinsi Central, Gulf dan sebagian di Western dan Milne Bay, dan juga sebagai bahasa pemerintahan sampai 1975. Untuk sejarah dan penyebaran bahasa Motu, lihat Dutton (1985, 1996). Posisi bahasa Motu semakin berkurang sejak Papua Nugini merdeka, dan tidak akan disebut lagi di sini, begitu juga halnya dengan bahasa Inggris. Kami akan memusatkan perhatian pada Tok Pisin. Sejarah Tok Pisin sangat menarik. Sebelum kedatangan kuasa kolonial pada akhir abad ke-19, tidak pernah ada bahasa persatuan antara ratusan bahasa daerah di wilayah yang sekarang disebut Papua Nugini. Baru dengan tibanya orang Jerman dan pembentukan sistem perkebunan yang luas (plantation) muncullah suatu bahasa pijin (alat komunikasi antarsuku yang bukan bahasa ibu seseorang), karena memang tidak ada bahasa yang dimengerti oleh semua pihak. Bahasa pijin inilah berkembang menjadi bahasa kreol yang disebut Melanesian Pidgin atau lebih umum sekarang disebut dengan Tok Pisin. Sebenarnya asal Tok Pisin bukan di Papua Nugini, tetapi di kawasan Pasifik, khususnya di perkebunan di Queensland (Australia) dan di pulau Samoa pada tahun 1830-1850. Baru antara 1880 dan 1914 (semasa zaman kolonial Jerman), Tok Pisin mendapatkan identitas tersendiri di wilayah PNG sekarang, walaupun seringkali dianggap sebagai ‘bahasa yang rusak’ (broken language), yang tidak layak ditulis dan dipakai dalam pergaulan resmi. Baru pada tahun 1960 ejaan Tok Pisin dibakukan, dan kemudian terbitlah bahan bacaan dalam Tok Pisin. Sejarah Tok Pisin diuraikan secara rinci oleh Mühlhäusler (1979). Sekarang status dan fungsi Tok Pisin semakin kuat, dan jumlah penutur bertambah banyak, baik oleh penutur bahasa pertama di kota, maupun oleh penutur bahasa kedua. Mungkin saja sudah ada antara lima sampai enam juta penutur Tok Pisin secara total, yaitu 80% dari seluruh penduduk Papua Nugini.19 Dalam bagian berikut kami menyajikan beberapa sampel kosakata dan struktur Tok Pisin, mulai dengan percakapan pendek:
107
René van den Berg
A: B: A: B: A: B: A:
Yu stap orait? Yes, mi orait tasol. Yu go we? Mi go long taun, mi laik baim nupela su. Pikinini bilong yu i stap we? Ol i stap long ples. Orait, lukim yu.
Apa kabar? Baik-baik saja. Mau ke mana? Saya mau ke kota, mau membeli sepatu baru. Anak-anak Anda di mana? Mereka ada di kampung. Baiklah, sampai bertemu lagi.
Di bawah ini diuraikan beberapa ciri Tok Pisin sebagai bahasa kreol dengan sejarah yang agak dangkal. 1. Kosakata diambil dari bahasa yang lain, yang disebut lexifier language. Bahasa yang memberikan banyak kosakata pada Tok Pisin ialah bahasa Inggris. Berikut contoh dalam ejaan modern Tok Pisin dengan kata asalnya dalam bahasa Inggris. Tok Pisin ai haus hauskuk kanu kokonas marit moni rais tekewe tisa tok
Kata Asal Bahasa Inggris eye house house cook = kitchen canoe coconut married money rice take away teacher talk
Selain bahasa Inggris, ada cukup banyak kata yang berasal dari bahasa lain, termasuk: Bahasa Portugis: kalabus ‘penjara’, save ‘tahu’, maski ‘biar’, pikinini ‘anak’. Bahasa Kuanua (juga disebut bahasa Tolai) di ujung timur Pulau New Britain (atau mungkin juga dari bahasa dearah sekitarnya; lihat Mosel 1980): balus ‘merpati; pesawat terbang; diwai ‘pohon, kayu’, kiau ‘telur’, kakaruk ‘ayam’, matmat ‘kuburan’, pukpuk ‘buaya’, tambaran ‘roh leluhur, hantu’. Bahasa Jerman: beten ‘berdoa’, haiden ‘kafir’, popaia ‘tidak kena sasaran’ (< vorbei), plang ‘papan’, raus ‘keluar’, tais ‘rawa’ (< Teich). Bahasa Melayu. Kata yang masih umum dipakai adalah: baret ‘selokan, parit’, binatang ‘serangga’, kasang ‘kacang’, lombo ‘lombok’, mambu ‘bambu’, satu ‘dadu’, susu ‘susu’.20 Kata dari bahasa Melayu yang kurang umum dipakai sekarang adalah: blion ‘beliung, kapak kecil’, klambu ‘kelambu’, krani ‘pedagang Melayu’, mandor ‘mandor, pengawas’, tiang ‘tiang bercabang dua’ dan yati ‘pohon/kayu jati’.21 Kata-kata Melayu ini masuk Tok Pisin sekitar tahun 1900, sewaktu ada orang dari wilayah Indonesia yang dipekerjakan di perkebunan di daerah kepulauan Nugini yang dikuasai oleh Jerman. Sejarah menarik pengaruh bahasa Melayu di Papua Nugini digambarkan dalam Seiler (1982, 1983). 2. Sistem bunyi yang disederhanakan. Berbeda dengan bahasa Inggris (yang ada sekitar 15-18 vokal22), Tok Pisin hanya mengenal lima vokal dasar: /i, e, a, o, u/. Itu berarti perbedaan antara vokal /i/ dan /ɪ/ dalam bahasa Inggris dihapus, dan begitu juga antara /ei/, /ɛ/ dan / æ/. Fonem konsonan seperti /f/ pada umumnya diganti dengan /p/, fonem /θ/ diganti dengan /t/, dan /ʃ/ dengan /s/. Gugusan konsonan juga sering dihilangkan. Konsonan bersuara pada akhir kata seperti /b,d,ɡ/ selalu dijadikan tak bersuara, yaitu /p,t,k/. Beberapa contoh:
108
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Kata Asal Bahasa Inggris dog hand hard hot hat heart finish play fish peace sail shell thank you think teeth
3. Sistem pronomina (kata ganti) cukup berbeda dengan bahasa Inggris, dan lebih mirip pada sistem pronomina bahasa-bahasa Oseania di daerah Nugini. Misalnya, ada perbedaan antara pronomina orang pertama inklusif dan eksklusif (mipela ‘kami’, yumi ‘kita’), tetapi tidak ada gender. Sama dengan bahasa Indonesia (dan hampir semua bahasa dari rumpun Austronesia) tidak ada perbedaan antara he dan she, kedua-duanya em. Selain itu, ada juga dualis (untuk merujuk kepada dua orang), dan dalam daerah tertentu juga trialis (bentuk tiga orang). Namun, trialis agak jarang terpakai dan seringkali tidak dimasukkan dalam sistem pronominal Tok Pisin. Tabel 3. Pronomina Tok Pisin Tunggal
4. Hampir tidak ada morfologi dalam Tok Pisin. Nomina tidak dijamakkan, verba tidak diberikan infleksi (awalan atau akhiran yang menunjukkan orang, kala atau aspek), tidak ada kasus atau bentuk derivasi yang menonjol. Dua proses morfemis yang ada adalah sebagai berikut.
Akhiran -pela pada pronomina (seperti mipela ‘kami’; lihat 3 di atas), dan juga pada adjektiva tertentu, pada kata penunjuk, dan pada kata bilangan. Akhiran -pela berasal dari bahasa Inggris fellow ‘orang laki-laki’. Lihat Baker (1996) untuk sejarah dan distribusi kata ini dalam bahasa-bahasa pijin di kawasan Pasifik dan Australia. Beberapa contoh:
109
René van den Berg
bikpela man waitpela meri dispela pikinini wanpela dok etpela gaden
Akhiran -im pada verba intransitif membuat verba itu menjadi transitif, sama dengan akhiran -kan dalam bahasa Indonesia. Akhiran -im ini berasal dari pronomina him yang menjadi im, dan kemudian digabungkan dengan verba intransitif. Beberapa contoh: bikmaus ‘berteriak’ bikmaus-im ‘meneriakkan’ kamaut ‘keluar’ kamaut-im ‘mengeluarkan, melepaskan, mencabut’ kirap ‘bangun, berdiri’ kirap-im ‘membangunkan’ lait ‘bernyala, mengkilap’ lait-im ‘menyalakan’ malolo ‘beristirahat’ malolo-im ‘mengistirahatkan’ marit ‘kawin, nikah’ marit-im ‘mengawinkan’ pinis ‘habis, selesai pinis-im ‘menghabiskan, menyelesaikan’ pret ‘takut’ pret-im ‘menakutkan’ pul ‘tarik, berdayung’ pul-im ‘menarik, mendayungkan’ Akhiran -im sangat produktif, sehingga sering muncul dalam kata baru yang diambil dari bahasa Inggris: prin-im ‘mencetak’ (< print), implement-im ‘mengimplementasikan’, snep-im ‘mengambil potret’ (< snap(shot)), blutut-im ‘memindahkan melalui bluetooth’.
5. Seperti halnya dengan banyak bahasa pijin dan kreol di dunia, kosakata Tok Pisin agak terbatas. Jumlah kata yang ada dalam kamus Tok Pisin mungkin tidak melebihi 2.000 (termasuk kata turunan dengan -im).23 Kalau dibandingkan dengan bahasa Indonesia yang khazanahnya mungkin melebihi 35.000 kosakata,24 maka jelas bahwa kekayaan leksikal Bahasa Indonesia tidak sepadan dengan Tok Pisin. Alhasil, banyak kata dalam Tok Pisin mempunyai makna yang sangat luas. Beberapa contoh: nogut. Artinya meliputi ‘jahat, jelek, tidak enak, salah, berbahaya’, tetapi juga ‘sangat, sekali’, dan ‘jangan sampai’. pul: ‘dayung, sayap, sirip’. tok (nomina): ‘kata, bahasa, pesan, pidato, khotbah, cerita’. harim: ‘mendengar, mendengarkan, menaati, mengerti’. stretpasin: ‘kelakuan yang baik, kebajikan, keadilan’. Ada juga banyak kata dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia yang semata-mata tidak mempunyai padanan dalam Tok Pisin. Contohnya termasuk nervous ‘gelisah’, disappointed ‘kecewa’, evidence ‘bukti’, to urge ‘mendesak’, honesty ‘kejujuran’ dan ratusan lainnya. Selain itu, hampir tidak ada nomina untuk merujuk kepada objek flora dan fauna seperti burung, serangga, ikan, bunga dan pohon. Kalau kata seperti ini diperlukan, para penutur Tok Pisin menggunakan bahasa daerah setempat atau bahasa Inggris, atau kata yang umum saja. Itu berarti mengungkapkan konsep dan ide yang ada di otak si penutur Tok Pisin, merupakan tantangan tersendiri. Seringkali satu frasa atau bahkan kalimat harus disusun untuk menjelaskan makna yang mau disampaikan. Beberapa contoh:25 janda terbalik
meri man bilong em i dai pinis na em no marit gen (artinya: perempuan yang suaminya telah meninggal dan dia tidak kawin lagi) kapsaitim sampela samting baimbai as bilong em i kamap antap (artinya: membalikkan sesuatu sehingga dasarnya berada di atas)
110
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
terowongan bukti
akibat
rot i go aninit long graun na i kamap long hap (artinya: jalan yang pergi di bawah tanah dan muncul di sebelah) samting bilong strongim tok tru, samting bilong sapotim tok, samting i soim tok i tru (artinya: sesuatu untuk menguatkan kata yang benar, sesuatu untuk mendukung kata, sesuatu yang memperlihatkan bahwa kata yang dipakai memang benar) wanpela samting i kamap bilong wanem narapela samting i bin kamapim (artinya: sesuatu yang terjadi karena sesuatu yang lain sudah mulai)
Namun, Tok Pisin adalah bahasa yang kelihatan berfungsi sebagai alat komunikasi yang memadai untuk sebagian besar penuturnya. Tok Pisin juga penuh dengan idiom dan kata kiasan yang menarik yang memberikan warna tersendiri kepada bahasa nasional ini. Beberapa contoh: airaun ‘pusing, pening’ (harf: mata berputar) bel hevi ‘susah, sedih, cemas’ (harf: perut berat) bun kakaruk ‘sangat kurus’ (harf: tulang ayam) hetpas ‘bodoh’ (harf: kepala tertutup) namba seven ‘kapak’ (harf: angka tujuh [karena bentuk angka 7 sama dengan bentuk kapak]) namba ileven ‘ingus yang turun dari (harf: angka sebelas [dua jalur ingus yang kedua lubang hidung’ turun mirip dengan angka 11]) sikispela lek ‘laki-laki yang beristri dua’ (harf: enam kaki) givim siksti ‘lari dengan kecepatan tinggi’ (harf: memberikan enam puluh [mil]) maus wara ‘meleter, terlalu banyak bicara’ (harf: air mulut) Dokumentasi Tok Pisin belum memadai. Memang ada dua kamus Tok Pisin ─ Inggris (Mihalic 1971, Volker 2008), yang sangat bermanfaat bagi mereka yang ingin belajar Tok Pisin, terutama orang dari luar. Tetapi kamus Mihalic sudah berumur 40 tahun dan tidak pernah diterbitkan edisi yang diperbaiki, sedangkan Tok Pisin English Dictionary yang dikarang oleh Volker dan kawan-kawannya lebih modern, tetapi lebih mencerminkan terutama dialek Tok Pisin di Port Moresby dengan banyak kata dari bahasa Inggris, dan tidak memasukkan asal kata (etimologi). Bagian sebaliknya yang berupa bahasa Inggris ─ Tok Pisin juga masih sangat terbatas pada kedua kamus tersebut. Sekarang ada usaha memperbarui kamus Mihalic dalam bentuk online, tetapi masih dalam proses awal. Satu kamus Tok Pisin lain yang menarik adalah Trilingual Dictionary Tok Pisin ─ English ─ Bahasa Indonesia, yang diterbitkan oleh Thomas, dkk. (1997). Tata bahasa Tok Pisin telah diterbitkan oleh Verhaar (1995), seorang pakar bahasa (hidup dari 1925-2001) yang bekerja baik di Indonesia maupun di Papua Nugini. Namun, karena berdasarkan bahan tertulis (dengan subjudul an experiment in corpus linguistics), maka masih ada peluang untuk memperluas dan memperhalus analisis tata bahasa Tok Pisin dengan menginkorporasikan bahan lisan dari pelbagai daerah, dan perkembangan baru dalam dua dasawarsa terakhir. Jumlah buku yang diterbitkan dalam Tok Pisin terbatas, karena bahasa pendidikan di Papua Nugini adalah bahasa Inggris. Kebanyakan buku yang diterbitkan bersifat buku keagamaan atau buku anak-anak. Hanya ada satu surat kabar harian dalam Tok Pisin (Wantok). Dukungan resmi dari pihak pemerintah untuk Tok Pisin terlihat agak terbatas. Tok Pisin disebut dalam undang-undang sebagai bahasa resmi dalam negara, tetapi tidak ada badan resmi seperti Badan Bahasa di Indonesia untuk merancangkan perkembangan bahasa dan membakukan istilah baru yang diperlukan.
111
René van den Berg
Situasi yang kurang memadai ini mencerminkan peran utama Tok Pisin adalah sebagai bahasa lisan antarsuku. Dipandang dari segi itu, membandingkan Bahasa Indonesia dengan Tok Pisin sebenarnya tidak layak, karena peranan dan fungsinya yang sangat berbeda, di samping sejarah yang juga berlainan sekali. Pemerintah Papua Nugini mengakui pentingnya Tok Pisin untuk mempersatukan negara yang begitu aneka ragam, tetapi sekaligus menempati Tok Pisin pada posisi yang kedua setelah bahasa Inggris, sehingga ada kesan bahwa Tok Pisin terabaikan. Bahasa Inggrislah yang merupakan bahasa resmi untuk pemerintahan dan pendidikan, tetapi ironisnya Tok Pisinlah yang sesungguhnya menjadi bahasa persatuan. Bahasa Daerah Seperti dikatakan pada awal makalah ini, Papua Nugini dan Indonesia menempati urutan satu dan dua pada daftar negara dengan jumlah bahasa yang terbanyak. Jumlah tergabung melebihi 1.550 bahasa; itu berarti kedua negara ini saja menampung sekitar 22% atau 1/5 dari semua bahasa di dunia (jumlah total sekitar 7.100). Tetapi satu perbedaan besar antara kedua negara ini adalah jumlah penutur per bahasa. Menurut statistik, jumlah penutur bahasa daerah di Indonesia rata-rata 340.000 orang, sedangkan jumlah yang sama di Papua Nugini 8.500. Tabel 4 memperlihatkan kesepuluh bahasa daerah yang terbesar di kedua negara, tanpa bahasa Indonesia dan Tok Pisin.26
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tabel 4. Kesepuluh Bahasa Daerah yang Terbesar Indonesia PNG Bahasa Jawa 84,3 juta Enga Bahasa Sunda 34,0 juta Melpa Bahasa Madura 13,6 juta Kuman Bahasa Minangkabau 5,5 juta Kamano Bahasa Musi (Melayu Palembang) 3,9 juta Kuanua Bahasa Melayu Manado 3,8 juta Sinasina Bahasa Bugis 3,5 juta Bo-Ung Bahasa Bandar 3,5 juta Angal-Hengen Bahasa Aceh 3,5 juta Takia Bahasa Bali 3.3 juta Waghi
Dari segi genetis, semua bahasa daerah di kedua negara ini bisa digolongkan dalam dua kelompok yang besar, yaitu bahasa Austronesia dan bahasa non-Austronesia (juga disebut bahasa Papua). Semua bahasa Austronesia adalah kerabat yang berasal dari satu bahasa purba yang disebut Proto-Austronesia. Wilayah bahasa Austronesia meliputi Taiwan, Filipina, Malaysia, Indonesia, Papua New Guinea dan seluruh kawasan Pasifik sampai kepulauan Hawai’i, dan Pulau Paskah. Dari 706 bahasa di Indonesia, sekitar 450 adalah dari rumpun Austronesia, sisanya yang berjumlah sekitar 250 adalah bahasa non-Austronesia. Kebanyakan bahasa non-Austronesia di wilayah Indonesia terdapat di Pulau Nugini (Provinsi Papua dan Papua Barat), tetapi ada juga bahasa non-Austronesia yang terdapat di pulau Halmahera bagian utara (sekitar 10), dan di pulau Alor dan Pantar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (sekitar 20). Tidak boleh dilupakan bahwa di Provinsi Papua dan Papua Barat ada juga bahasa Austronesia, terutama di kepulauan Raja Ampat, di jazirah Bomberai, di Pulau Biak dan Yapen, di pesisir Teluk Cendrawasih, dan di daerah Sarmi. Jumlah totalnya sekitar 55. Dari 836 bahasa daerah di Papua Nugini, sekitar 220 dikelompokkan sebagai bahasa Austronesia, khususnya cabang Oseania. Yang lain, lebih dari 600, tergolong sebagai bahasa non-Austronesia atau bahasa Papua. Rumpun terbesar di antara bahasa non-Austronesia adalah Trans-New Guinea, dengan ratusan bahasa di Pulau Nugini, baik di sebelah Indonesia, maupun di sebelah Papua Nugini. Selain rumpun Trans-New Guinea, ada rumpun yang lebih kecil seperti West Papuan, Torricelli, Skou, Lower-Ramu-Sepik, dan banyak yang lain.
112
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Beberapa bahasa daerah besar di Indonesia ada aksara atau abjad tersendiri, termasuk Batak, Jawa, Makassar, Bugis, atau ditulis dengan huruf Arab (antara lain Aceh, Melayu, Wolio). Lain halnya dengan Papua Nugini, di mana tak satu bahasa daerahpun pernah ditulis sebelum akhir abad ke-19. Status resmi bahasa daerah di kedua negara ini tidak jauh berbeda. Selain Hiri Motu di Papua Nugini, tidak ada bahasa daerah yang diakui sebagai bahasa resmi pada tingkat nasional atau tingkat provinsi dengan perlindungan hukum. Di dunia pendidikan situasi kebahasaan kedua negara juga agak sama; bahasa daerah memang diakui sebagai unsur kebudayaan penting yang perlu dihormati dan dilestarikan, tetapi dalam praktek di Indonesia bahasa Indonesia sangat diutamakan, dan bahasa daerah hanya memainkan peranan yang terbatas dalam kurikulum, atau sama sekali tidak mendapat perhatian. Walaupun sejak tahun 1995 ada usaha untuk memberikan tempat pada bahasa daerah dalam kurikulum muatan lokal di SD dan SMP, banyak bahasa daerah yang kecil tetap diabaikan karena kebijakan sekolah, kurangnya materi, ketidaktersediaan guru, dan lain sebagainya. Di Provinsi Sulawesi Tenggara, misalnya, bahasabahasa daerah yang relatif besar memang diajarkan pada tingkat SD dan SMP, seperti bahasa Tolaki, bahasa Wolio, dan bahasa Muna. Namun, bahasa daerah yang relatif kecil kurang mendapatkan perhatian, seperti bahasa Wawonii, bahasa Kulisusu, bahasa Kamaru, dan bahasa Busoa. Dalam sistem pendidikan di Papua Nugini, bahasa Inggris dinomorsatukan, dengan peranan samping bagi Tok Pisin atau bahasa daerah sebagai bahasa lisan yang hanya dipakai oleh para guru untuk menjelaskan materi sulit yang diajarkan. Ada juga sekolah dasar di mana Tok Pisin dipakai pada tahap awal belajar membaca dan menulis. Tetapi tujuannya selalu beralih ke bahasa Inggris secepat mungkin. Sebenarnya penggunaan bahasa daerah di dunia pendidikan di Papua Nugini mengalami perubahan beberapa kali, sehingga ada tiga periode yang bisa dibedakan. Periode 1
Periode 2
Periode 3
Dari kemerdekaan pada tahun 1975 sampai pada tahun 1999, hanya bahasa Inggrislah yang diizinkan sebagai bahasa pengantar di sekolah (English only policy). Dengan beberapa pengecualian, bahasa daerah tidak ada peranan di bidang pendidikan. Mulai pada tahun 1999 ada perubahan yang disebut Elementary Reform. Melihat pentingnya bahasa dan budaya setempat dan kesulitan langsung mulai dengan bahasa Inggris, maka bahasa daerah dipromosikan di kelas 1 dan 2 sekolah dasar (Kelas 1-2 disebut Elementary School, kelas 3-8 disebut Primary School). Itu berarti semua murid mulai belajar membaca dan menulis dalam bahasa ibu, yaitu bahasa daerah masing-masing. Baru pada kelas 3 ada transisi yang berangsurangsur kepada Bahasa Inggris (lihat Wroge 2002). Periode ini berlangsung sampai tahun 2013. Pada awal tahun 2013, ada perubahan yang drastis. Pada kalangan pemerintah hasil kebijakan Elementary Reform dirasakan tidak memadai: mutu pendidikan dianggap merosot, persentase orang yang buta huruf tetap tinggi, dan kemampuan berbahasa Inggris kelihatan menurun. Alhasil, pemerintah Papua Nugini mengambil keputusan untuk kembali kepada bahasa Inggris saja. Dalam kalangan tertentu ada rasa kecewa, termasuk pada kalangan SIL, karena menurut banyak pengamat ada faktorfaktor lain yang tidak disebut secara resmi. Faktor-faktor itu termasuk pendidikan guru SD yang akan mengajarkan bahasa daerah tidak memadai sehingga para guru sering bingung, kekurangan sarana dan prasarana di banyak tempat (gedung sekolah dan buku), ketiadaan ejaan baku dalam banyak bahasa daerah, dan ketidakhadiran guru pada jam pengajaran (teacher absenteeism) yang cukup umum terjadi. Namun, kebijakan baru diharuskan untuk semua sekolah.27 Memang masih ada peluang
113
René van den Berg
untuk mengajarkan bahasa daerah di Tok Ples Preschool (pra-sekolah bahasa daerah), tetapi itu merupakan pendidikan non-formal. Boleh dikatakan masa depan bahasa daerah dalam pendidikan di Papua Nugini tidak gemilang. Ada satu hal lagi yang belum disebut, yaitu status keterancaman (endangerment status) bahasa daerah dalm dua negara tersebut. Skala keterancaman yang sering dipakai sekarang disebut EGIDS.28 Tabel 5 memperlihatkan pembagiaan bahasa daerah berdasarkan keterancaman menurut Ethnologue. Tabel 5. Status Keterancaman Bahasa Daerah EGIDS 3 4-5 6a 6b-7 8-9 10
Indonesia29 Papua Nugini30 bersifat kelembagaan (institutional) 21 61 berkembang (developing) 97 295 kuat (vigorous) 248 340 terancam (in trouble) 265 104 menghadapi maut (dying) 75 36 mati / punah (extinct) 13 12 jumlah total 719 848
Dalam grafik di bawah perbedaan antara kedua negara lebih jelas lagi. Indonesia
Papua Nugini
Perlu diingat bahwa angka-angka di atas bersifat tentatif dan sering tidak diperoleh berdasarkan penelitian setempat. Tingkat 6a (kuat), misalnya, adalah pilihan otomatis (default) yang diberikan untuk semua bahasa daerah jika tidak ada informasi mengenai status keterancaman. Jelas bahwa ini merupakan satu asumsi yang perlu disangsikan bila kita melihat pergeseran bahasa daerah di dunia modern. Kami sendiri berpendapat bahwa ada sejumlah besar bahasa daerah yang perlu dipindahkan dari kategori 6a (kuat) ke kategori 6b (dalam keadaan terancam), mungkin sebanyak 20%.
114
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Walaupun mungkin angka-angka ini tidak semuanya tepat, jelaslah bahwa situasi kebahasaan sangat memprihatinkan, terutama di Indonesia, di mana sekurang-kurangnya 265 bahasa daerah (sepertiga dari jumlah total) berada dalam keadaan terancam. Jelas penyebabnya ialah kuatnya Bahasa Indonesia, modernisasi, media massa, perkawinan antarsuku, dan perubahan sikap terhadap bahasa daerah yang sering dianggap kuno. Situasi di Papua Nugini agak lebih baik, walaupun di Provinsi Madang, Sepik, dan Sandaun sudah ada puluhan bahasa daerah yang terancam punah. Keadaan yang rawan ini lebih parah lagi kalau dipikirkan bahwa sebagian besar dari bahasa daerah yang terancam tergolong rumpun bahasa (language families) yang kecil, bahkan isolate (bahasa tanpa kerabat yang terkenal). Setiap bahasa yang punah merupakan kerugian dan kehilangan bagi seluruh umat manusia (lihat juga Evans (2010) dan Hammerström (2010)). PERBANDINGAN DUA BAHASA DAERAH: BAHASA MUNA DAN BAHASA VITU Pendahuluan Dalam bagian ketiga ini akan dibandingkan dua bahasa daerah di Indonesia dan Papua Nugini. Yang pertama ialah bahasa Muna di Sulawesi Tenggara, yang kedua bahasa Vitu di West New Britain (lihat Peta 1). Walaupun kedua bahasa ini cukup berjauhan, masih ada hubungan kekeluargaan, karena kedua-duanya termasuk rumpun Austronesia (untuk rumpun Austronesia, lihat Blust 2009). Cabangnya dalam rumpun ini memang sangat berbeda, karena bahasa Muna tergolong kelompok Celebic dalam cabang Western Malayo-Polynesian, sedangkan bahasa Vitu tergolong kelompok Meso-Melanesian dalam cabang Oceanic. Dengan kata lain, mereka masih supupu, tetapi entah sepupu yang keberapa. Data selanjutnya mengenai bahasa Muna diambil dari van den Berg (1989), van den Berg dan La Ode Sidu (2000). Data bahasa Vitu diambil dari van den Berg dan Bachet (2006). Data Proto-Austronesia dari Austronesian Comparative Dictionary (http://www.trussel2.com/ACD/), karangan Robert Blust.
Figur 1. Peta Muna dan Vitu Yang menarik, ada beberapa kata dalam dua bahasa ini yang memang sama dalam bentuk dan arti, karena berasal dari kata induk Proto-Austronesia yang sama.
115
René van den Berg
Muna lima tolu mai foo kuli mata mate moghane robhine ama bhangka no-ghuri ghuse ponu zanga-vulu
Vitu lima tolu mai vao hulit-a mata mate tamohane tavine tama vaga ma-huri huza bonu ompulu
Bahasa Indonesia 1. ‘lima’; 2. ‘tangan’ ‘tiga’ ‘datang’ ‘mangga’ ‘kulit’ ‘mata’ ‘mati’ ‘laki-laki’ ‘perempuan’ ‘ayah’ ‘perahu’ ‘hidup’ ‘hujan’ ‘penyu’ ‘sepuluh’
Bandingkan juga beberapa kata Vitu yang sama dengan bahasa Indonesia, tetapi sangat berbeda dengan bahasa Muna: Vitu ruma zaha (h)iha hanitu lohor-a hizu talinga tangi hinu-mi-a taru
Bahasa Indonesia ‘rumah’ ‘jahat’ ‘ikan’ ‘hantu’ ‘leher’ ‘hidung’ ‘telinga’ ‘tangis’ ‘minum’ ‘taruh’
Sosiolinguistik Tabel 6 memperlihatkan beberapa kesamaan dan perbedaan dalam profil sosiolinguistik kedua bahasa.31 Tabel 6. Profil Sosiolinguistik Muna dan Vitu Muna Vitu lokasi pulau Muna, Sulawesi kepulauan Vitu, West New Tenggara, Indonesia Britain, PNG luasnya daerah 2.889 km2 96 km2 jumlah penutur sekitar 300.00032 sekitar 8.800 variasi dialek banyak (Gu, Lakudo, sedikit (Mudua, Lambe) Mawasangka, Tiworo, Siompu, Kadatua, Katobengke, dll.) agama Islam (98%), Katolik (2%) Katolik (80%), Protestan (20%) tulisan tradisional tidak ada tidak ada tulisan modern abjad Roma abjad Roma dipakai di sekolah sedikit sedikit bahasa pendidikan bahasa Indonesia bahasa Inggris, Tok Pisin
116
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
status EGIDS
6b (terancam; threatened)
kontak langsung dengan dunia modern kata serapan
awal abad ke-20
status dokumentasi adanya buku
ratusan (dari bahasa Melayu) baik (tata bahasa, dua kamus, laman) bahan pelajaran SD dan SMP, buku bacaan
resmi: 4 (educational), kenyataan: antara 6a (kuat; vigorous) dan 6b (terancam; threatened) awal abad ke-20 puluhan (dari Tok Pisin) sedang (tata bahasa, kamus huruf A-H) buku pelajaran
Fonologi Ciri-ciri fonologis yang sama antara bahasa Muna dan bahasa Vitu: o Lima vokal dasar: i,e,a,o,u. o Tidak ada konsonan palatal seperti , , dan <j>. o Ada konsonan frikatif velar/uvular bersuara /ɣ/ ~ /ʁ/, yang dilambangkan dengan dalam Bahasa Muna, dan dengan dalam Bahasa Vitu. (Dipilihnya dalam Bahasa Vitu, karena Vitu tidak mengenal bunyi /h/ biasa.) o Tidak ada gugusan konsonan. o Gugusan vokal cukup umum, seperti Muna daoa ‘pasar’, buea ‘buaya’, dan Vitu kaua ‘anjing’ dan puae ‘malu’. o Suku kata yang terbuka (bahasa vokalis). Tidak ada kata seperti kalam atau karap. o Tekanan kata pada suku yang kedua dari akhirnya (penultimate stress). Ciri-ciri unik pada fonologi Bahasa Vitu: o Ada fonem /ð/ (frikatif dental bersuara, seperti
pada bahasa Inggris there, breathe), yang dilambangkan dengan huruf : zahe ‘naik’, dazi ‘laut’, zuzu ‘buah dada’. o Pranasalisasi terjadi secara otomatis pada fonem /b/, /d/, dan /ɡ/, terutama antara vokal, sehingga diucapkan sebagai [mb], [nd], dan [ŋɡ]. Pranasalisasi ini tidak tertulis. o Fonem /t/ direalisasikan sebagai [tʃ] ( dalam ejaan Indonesia) sebelum vokal /i/, tetapi tetap ditulis dengan : katia [kɑtʃiɑ] ‘membuat’. o Tidak ada fonem /s/ dalam Bahasa Vitu, kecuali dalam beberapa kata serapan dari Tok Pisin, seperti hausik ‘rumah sakit’, krismas ‘tahun’, dan brus ‘tembakau’. Hubungan antara ejaan, representasi fonemis dan ucapan fonetis bahasa Vitu bisa dilihat di bawah ini: Ejaan Vitu dazi hizu ngiti vago
Table 7. Contoh Kata Bahasa Vitu FONEMIS Fonetis Makna /dɑði/ /ɣiðu/ /ŋiti/ /βɑɡƆ/
['ndɑði] ['ɣiðu] ['ŋitʃi] ['βɑŋɡƆ]
117
‘laut’ ‘hidung’ ‘tersenyum’ ‘bergalah’
René van den Berg
Ciri-ciri yang unik pada fonologi bahasa Muna: o Pranasalisasi fonemis sangat umum, baik pada awal maupun di tengah kata. Itu menghasilkan tujuh fonem tambahan: /mp, mb, nt, nd, ŋk, ŋɡ, ns/. o Selain /b/ biasa ada juga fonem bilabial implosif /ɓ/, yang dilambangkan sebagai . o Selain /d/ biasa, yang sering diucapkan sebagai implosif [ɗ], ada juga fonem plosif lamino-dental /ḓ/, dilambangkan dengan . Hubungan antara ejaan, representasi fonemis dan ucapan fonetis bahasa Muna bisa dilihat di bawah ini: Ejaan
Morfologi Profil morfologis kedua bahasa ini cukup berbeda. Perbandingan morfologi bahasa Muna, bahasa Vitu, dan bahasa Indonesia dapat dilihat di Tabel 9 di bawah ini. Tabel ini hanya memperlihatkan morfologi yang produktif, bukan imbuhan pinjaman (seperti -wati atau -isasi dalam bahasa Indonesia), dan sebuah morfem hanya satu kali dihitung, walaupun artinya berganda, misalnya ter- pada verba (ter-lihat) dan adjektiva (ter-tinggi). Klitika seperti -kah dan -lah dan alomorfi juga tidak diperhitungkan; mem-, meng-, men-, meny- dan me- merupakan satu morfem derivasi saja. Untuk menghindari seluk-beluk analisis morfologis, konfiks seperti ke-…-an juga tidak dimasukkan. Tabel 9. Profil Morfologis Bahasa Vitu, Bahasa Muna, dan Bahasa Indonesia Bahasa Vitu Bahasa Muna Bahasa Indonesia infleksi subjek ya ya infleksi objek ya ya ya infleksi objek indirek ya jumlah awalan infleksi 16 22 2 (ku-, mu-) jumlah akhiran infleksi 14 19 3 (-ku, -mu, -nya) jumlah awalan derivasi 3 32 8 (ber-, per-, ter-, meng-, peng-, di-, ke-, se-) jumlah akhiran derivasi 3 11 3 (-an, -i, -kan) jumlah sisipan 1 reduplikasi 2 jenis 3 jenis 2 jenis pemajemukan ya ya Sudah jelas bahwa dari segi morfologis, Bahasa Munalah yang paling kompleks. Morfologi Bahasa Vitu sebenarnya tidak terlalu luas dan terbatas pada kategori berikut ini: Infleksi subjek pada partikel praverbal kala dan modus: (hau) te mai ‘saya telah datang’, (ho) tu mai ‘anda telah datang’, (ia) ti mai ‘dia telah datang’. Infleksi posesif pada nomina: lima-gu ‘tangan saya’, lima-na ‘tangannya’ (lihat juga di bawah). Akhiran nominalisasi -a (dengan alomorf -nga): lohu ‘tiba’ > lohu-a ‘ketibaan’; pole ‘berkata’ > pole-a ‘perkataan’; gala ‘bekerja’ > gala-nga ‘pekerjaan’.
118
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Akhiran objek: hubi ‘pukul’ > hubi-au ‘pukul saya’, hubi-ho ‘pukul kamu’, hubi-a ‘pukul dia’. Akhiran transitif -Ki (dengan K mewakili konsonan tematis yang selalu diikuti oleh akhiran objek): hinu ‘minum’ > hinu-mi-a ‘meminumnya’; hada ‘lihat’ > hada-vi-a ‘melihatnya’; longo ‘dengar’ > longo-ri-a ‘mendengarkannya’. Awalan kausatif va-: dua ‘jatuh’ > va-dua ‘menjatuhkan’; tunga ‘melihat’ > va-tunga ‘memperlihatkan’. Awalan resiprok (saling) vari-: hani ‘makan’ > vari-hani ‘saling makan, berkelahi’; tangi ‘menangis’ > tangi-zi-a ‘menangisinya’, vari-tangi-zi-a ‘saling menangisi’. Pasif yang dibentuk dengan beraneka cara, termasuk perubahan vokal: hani-a ‘makan dia’ > hanua ‘dimakan’; hubi-a ‘pukul dia’ > hubua ‘dipukul’; maki-a ‘pilih dia’ > makua ‘dipilih’, kade-a ‘belinya’ > kadoa ‘dibeli’. Keberadaan bentuk pasif dalam sebuah bahasa Oseania sangat jarang. Di Papua Nugini hampir tidak ada bahasa daerah dengan bentuk pasif yang murni dan produktif, kecuali Vitu, dan bahasa tetangga di daratan West New Britain, bahasa Bola (lihat van den Berg 2007, dan van den Berg dan Boerger 2011). Selain itu masih ada juga reduplikasi morfemis, yang terjadi dalam bentuk perulangan satu suku dan dua suku: gere ‘main’ > ge-gere ‘main-main’; mia ‘duduk, hidup’ > mi-mia ‘duduk-duduk’; matu ‘mandi’ > matu-matu ‘mandi-mandi’. Makna perulangan sebagian sama dengan bahasa Indonesia dan bahasa Muna, termasuk ‘melakukan berulang kali atau terus-menerus’ dan ‘melakukan tanpa tujuan yang sebenarnya’. Di samping itu, ada juga makna lain seperti mengurangi ketransitifan. Satu proses morfemis yang sangat produktif dalam bahasa Vitu yang tidak terdapat dalam bahasa Muna adalah proses pemajemukan (compounding). Dalam proses ini dua verba (atau satu verba dengan satu adjektiva atau adverbia) digabungkan menjadi satu verba baru, dengan akhiran transitif -Ki yang baru. Beberapa contoh:
‘memukul dia sampai mati’ ‘menaruhnya di bawah’ ‘memakannya sampai habis’
Dibandingkan dengan bahasa Vitu, morfologi bahasa Muna jauh lebih rumit dan kompleks. Infleksi subjek pada verba, misalnya, membedakan tiga kelas (kelas a-, kelas ae-, dan kelas ao-) dengan bentuk realis (untuk masa sekarang dan lampau) dan irealis (untuk masa depan dan sesudah kata ingkar), seperti digambarkan dalam tabel berikut.
Kelas aoREALIS IREALIS aoaoomoomototaononaododaodo-Vmu dao-Vmu taotaoomo-Vmu omo-Vmu to-Vmu tao-Vmu dodao-
René van den Berg
Selain infleksi subjek, masih ada infleksi objek langsung, dan juga infleksi objek tidak langsung (indirek). Beberapa contoh berdasarkan kata dasar kala ‘pergi’ (kelas a-) dan gholi ‘beli’ (kelas ae-). Perhatikan bahwa irealis kelas a- dibentuk dengan sisipan -um- bersama awalan subjek irealis. a-kala a-kala-mo a-kala a-kala-mo do-kala do-kala-amu da-kala-amu ta-kala ae-gholi nae-gholi a-gholi-e a-gholi-angko-e a-gholi-angko-e-mo
‘saya pergi’ ‘saya sudah pergi’ ‘saya akan pergi’ ‘saya sudah mau pergi’ 1. ‘kita (berdua) pergi’ 2. ‘mereka pergi’ ‘kita (semua) pergi’ ‘kita (semua) akan pergi’ 1. ‘kami (akan pergi)’ 2. ‘Bapak/Ibu akan pergi’ ‘saya membeli; saya akan membeli’ ‘dia akan membeli’ ‘saya akan membelinya’ ‘saya akan membelikannya untuk kamu’ ‘saya sudah akan membelikannya untuk kamu’
Pada nomina, turunan nominalisasi sangat produktif. Nominalisasi melalui konfiks ka-...-ha (dan alomorfnya kae-...-ha dan kao-...-ha) bisa berarti tempat, waktu, alat atau sebab satu kegiatan. Satu contoh pada kata dasar mate ‘mati’ dengan beberapa awalan lain: no-mate ka-mate-ha ka-mate-ha-no ka-mate-ha-no-mo feka-mate no-feka-mate no-feka-mate-e no-ti-feka-mate no-piki-feka-mate-e ka-ti-piki-feka-mate-ha-no-mo
‘dia mati’ ‘kematian; tempat/waktu/alat/sebab mati’ ‘kematiannya; tempat/waktu/alat/sebab dia mati’ ‘itulah kematiannya; itulah sebabnya dia mati’ ‘matikan’ ‘dia mematikan, dia membunuh’ ‘dia mematikannya, dia membunuhnya’ ‘dia terbunuh, termatikan’ ‘dia cepat mematikannya’ ‘itulah sebabnya dia cepat dimatikan’
Pada contoh terakhir kelihatan kata dasar mate dengan empat awalan dan tiga akhiran. Hal seperti itu mustahil dalam bahasa Vitu (dan juga dalam bahasa Indonesia!). Sintaksis Dilihat dari segi sintaksis, ada cukup banyak kesamaan antara bahasa Muna dan bahasa Vitu, antara lain: Urutan kata SVO dalam klausa transitif. Urutan kata dalam frasa nominal (kata sandang mendahului nomina, sedangkan adjektiva, kata penunjuk dan frasa posesif mengikuti nomina). Penggunaan sistem realis-irealis pada verba, khususnya penggunaan bentuk irealis dalam konteks pengingkaran. Penggunaan preposisi. Penggunaan kata sandang pada nomina tanpa arti tertentu. Tidak ada verba khusus yang berarti ‘memiliki’ atau ‘mempunyai’, sehingga strategi lain diperlukan untuk mengungkapkan kepunyaan pada tingkat klausa.
120
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Namun, perbedaan sintaktis antara kedua bahasa ini juga cukup menonjol: Urutan kata dalam klausa intransitif pada bahasa Muna memakai VS dan SV; bahasa Vitu hanya memakai SV. Partikel praverbal yang menandai aspek-modus-perturutan (aspect-mood-sequentiality) sangat umum dalam bahasa Vitu; dalam bahasa Muna sistem itu tidak ada. Penggolong bilangan (numeral classifiers) dalam bahasa Muna ada; dalam bahasa Vitu tidak ada. Sistem kata penunjuk bahasa Muna jauh lebih kompleks daripada bahasa Vitu. Penggunaan klausa pasif dalam bahasa Muna terbatas pada klausa relatif; dalam bahasa Vitu klausa pasif tidak mengenal kendala tersebut. Bahasa Muna ada verba keberadaan (existential verb) naandoo ‘ada’; dalam bahasa Vitu tidak ada verba seperti itu. Dalam bagian berikut ini kita akan mengamati dua bidang sintaksis di mana bahasa Muna dan bahasa Vitu agak berbeda. Sistem Posesif Sistem posesif bahasa Muna agak sederhana. Semua nomina bisa diimbuhkan dengan akhiran posesif. Pada Tabel 11 diberikan beberapa contoh, terbatas pada bentuk tunggal.
1 2 2 hor 3
Tabel 11. Sistem Posesif Bahasa Muna lima ‘tangan’ lambu ‘rumah’ kalei ‘pisang’ lima-ku lambu-ku kalei-ku lima-mu lambu-mu kalei-mu lima-nto lambu-nto kalei-nto lima-no lambu-no kalei-no
Sistem posesif bahasa Vitu agak berbeda. Sama dengan hampir semua bahasa Oseania, nomina dipisahkan dalam dua kelompok: nomina yang tak terasingkan (inalienable nouns) dan nomina yang terasingkan (alienable nouns). Perbedaan ini berkaitan dengan hubungan antara si pemilik dan apa yang dimilikinya. Benda yang tidak terasingkan, termasuk istilah kekerabatan dan anggota badan, merupakan milik permanen. Nomina seperti ‘ayah’, ‘kakak’, ‘anak’, ‘kepala’, ‘tangan’, selalu dimiliki, dan (biasanya) tidak bisa dijual, dihabiskan, dihilangkan, dipinjamkan, dibakar dll. Berbeda dengan benda biasa seperti ‘rumah’, ‘mobil’, ‘perahu’, ‘baju’, atau bahan makanan. Semuanya itu merupakan nomina yang terasingkan. Dalam Bahasa Vitu perbedaan ini diwujudkan secara gramatikal. Sama dengan Bahasa Muna, ada akhiran posesif, tetapi akhiran itu hanya bisa digunakan secara langsung pada nomina yang tak terasingkan (inalienable nouns): lima-gu ‘tangan saya’, lima-a ‘tangan anda’, lima-na ‘tangannya.’ Berbeda halnya dengan nomina yang terasingkan; nomina seperti itu memerlukan kata bantu yang umumnya disebut penggolong posesif (possessive classifier). Kata penggolong posesif yang satu berbentuk ka, dan akhiran posesif digabungkan pada kata ka itu. Dalam bahasa Vitu ‘rumah saya’ tidak bisa diterjemahkan sebagai *ruma-gu, karena ruma adalah nomina yang terasingkan. Padanan yang cocok ialah ka-gu ruma, dengan menggunakan kata penggolong posesif ka. Yang menarik lagi, untuk bahan konsumsi (makanan, minimum, obat) dipakai kata penggolong posesif tersendiri, yaitu ha (ucapan [ɣɑ]). Padanan ‘pisang saya’ adalah ha-gu beti, diucap ['ɣɑŋgu 'mbɛtʃi]. Kata penggolong ha juga digunakan untuk benda yang berhubungan dengan pemerolehan makanan seperti vanua ‘kebun’, diaro ‘tombak’, dan hoa ‘jerat’. Selain itu, kata vagi ‘musuh’ yang masuk dalam kategori konsumsi, barangkali mencerminkan praktik kanibalisme pada zaman dahulu. Ketiga metode pembentukan posesif disimpulkan dalam Tabel 12.
121
René van den Berg
Tabel 12. Sistem Posesif Bahasa Vitu Nomina Nomina Nomina Tidak Terasingkan Terasingkan Umum Terasingkan Konsumsi lima ‘tangan’ ruma ‘rumah’ beti ‘pisang’ 1 lima-gu ka-gu ruma ha-gu beti 2 lima-a ka-a ruma ha-a beti 3 lima-na ka-na ruma ha-na beti Peranan Nomina Common dan Proper Baik bahasa Muna maupun bahasa Vitu juga membedakan dua jenis nomina dengan cara lain: nomina umum (common nouns) dan nomina nama (proper nouns). Pada bahasa Muna perbedaan ini hanya kentara pada pilihan kata sandang (article). Nomina umum mengambil kata sandang o (hanya dalam konteks tertentu33), sedangkan nomina nama mengambil kata sandang la (untuk laki-laki) atau wa (untuk perempuan), biasanya ditulis dengan huruf besar. Contohnya terdapat pada Tabel 13. Tabel 13. Dua Jenis Nomina dalam Bahasa Muna nomina umum o lambu ‘rumah’ o bheka ‘kucing’ o mie ‘orang’ nomina nama laki-laki La Ali ‘Ali’ La Ene ‘Ene’ perempuan Wa Ira ‘Ira’ Wa Rumi ‘Rumi’ Kata lahae ‘siapa’ juga mengandung kata sandang la, dibandingkan dengan o hae ‘apa’. Dalam bahasa Vitu ada juga nomina umum dan nomina nama. Namun, kelompok nomina nama jauh lebih luas daripada bahasa Muna. Bukan saja nama pribadi orang yang masuk dalam kelas nomina orang, tetapi juga nama tempat (seperti kota, kampung, pulau, gunung, dan sungai), istilah kekerabatan (misalnya ayah, ibu, anak, paman), pronomina orang (saya, kamu, kita), nama bulan, gelar orang (dokter, pastor, anggota parlemen), dan ─ sama dengan Muna ─ kata zei ‘siapa’. Perbedaan antara kedua kelompok nomina muncul dari kelakuan kelompok masingmasing dalam lima konteks tertentu. 1) Pemilihan kata sandang: na (nomina umum) atau a (nomina nama); 2) bentuk kata depan yang berarti ‘kepada’: kara (umum) atau kiri (nama); 3) bentuk pemilik yang tak terasingkan (kalau diikuti oleh nomina), -na (umum) atau -ni (nama); 4) bentuk pemilik yang terasingkan umum (kalau diikuti oleh nomina): ka-na (umum) atau ke (nama); 5) bentuk pemilik yang terasingkan untuk bahan konsumsi (kalau diikuti oleh nomina): ha-na (umum) atau he (nama). Contoh kelima kategori ini dipaparkan dalam Tabel 14.
1. 2. 3. 4. 5.
Tabel 14. Dua Jenis Nomina dalam Bahasa Vitu nomina umum nomina nama (common nouns) (proper nouns) Kata sandang na ruma ‘rumah’ a Kuni ‘Kuni’ Kata depan kara ruma kiri Kuni ‘kepada rumah’ ‘kepada Kuni’ Pemilik yang tak terasingkan kabe-na kaua kabe-ni tama-gu ‘kaki anjing’ ‘kaki ayah saya’ Pemilik yang terasingkan umum ruma ka-na kaua ruma ke tama-gu ‘rumah anjing’ ‘rumah ayah saya’ Pemilik yang terasingkan konsumsi beti ha-na kapiru beti he tama-gu ‘pisang anak-anak’ ‘pisang ayah saya’
122
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Perbendaharaan Kata Perbendaharaan kata kedua bahasa ini mencerminkan sejarah kedua pulau ini. Misalnya, setelah kedatangan jagung di Pulau Muna pada abad ke-16 atau ke-17 yang dibawa oleh orang Portugis dan Spanyol, lama kelamaan jagung menjadi pokok makanan di Muna. Tanah yang kering dan berkapur di Pulau Muna lebih cocok untuk menanam jagung daripada padi. Terkait dengan keadaan kehidupan perkebunan yang seperti ini, muncullah puluhan kosakata yang berkaitan dengan pertumbuhan, produksi, dan konsumsi jagung, sebagaimana yang dapat dilihat pada contoh-contoh berikut. kahitela
jagung [kata ini berasal dari bahasa Ternate kasitela < Portugis Castela, nama daerah dan kerajaan Castilia di Spanyol sekitar abad ke-10 sampai ke-18; bandingkan juga Bahasa Indonesia ketela dengan asal yang sama, walaupun merujuk pada ubi] jagung yang direbus jagung yang direbus pakai kapur (sehingga kulit biji yang keras hilang) jagung (muda) yang dimasak dengan kulitnya (ujung atas dan bawah dipotong, kulit luar sebagian dikeluarkan) jagung yang dimasak buahnya tanpa kulit bungkusan jagung muda yang ditumbuk dengan ujung pembungkus (kulit jagung) dilipat dan ditusuk ke dalam buah jagung yang berukuran di bawah sedang tua dan keras (tentang jagung); sebagai kiasan juga mengenai gadis tua buah jagung yang isinya tersembul dari kulit mengeluarkan kulit jagung dengan pisau (untuk pembungkus) sejenis jagung yang bijinya berwarna ungu jamur (pada jagung)
Pengaruh luar yang lain adalah masuknya Islam di Pulau Muna pada abad yang ke-16 yang juga membawa banyak kata baru dari bahasa Arab melalui bahasa Melayu, seperti adhala ‘ajal’, adhamu ‘adam, tanah’ (dalam arti asal manusia), barakati ‘berkat’, bharasandi ‘barzanji’, malaekati ‘malaikat’ dan puluhan lain. Pemerintahan kolonial Belanda menduduki Pulau Muna pada tahun 1906, tetapi jauh sebelumnya sudah ada pengaruh kuat dari bahasa Melayu, bahasa Wolio (bahasa resmi di kesultanan Buton), dan bahasa Makassar. Karena bahasa Melayu sendiri sudah penuh dengan kata serapan dari bahasa asing, maka dalam bahasa Munapun kelihatan banyak kosakata yang dipinjam dari bahasa asing. Hanya beberapa contoh bisa diberikan di sini. Etimologinya sebagian diambil dari Jones (2007). bhadhu bhitara butolo dhampi dhanila faberiki gambara malaekati mansuana (bughou)
‘baju’ ‘hakimi, adili’ ‘botol’ ‘kuda putih atau kuning’ ‘jendela di loteng’ ‘pabrik’ ‘gambar’ ‘malaikat’ ‘pengantin’
(< bahasa Persia bāzū) (< bahasa Sanskerta vicāra) (< bahasa Inggris bottle) (< bahasa Makassar jampi) (< bahasa Portugis janella) (< bahasa Belanda fabriek) (< bahasa Melayu gambar) (< bahasa Arab malā’ikat) (< bahasa Wolio mancuana)
Situasi bahasa Vitu agak berbeda karena pulau ini cukup terisolir, sehingga kontak dengan dunia luar agak terbatas. Memang ada perdagangan dengan orang Kove di pantai West New Britain, dan ada beberapa kata serapan dalam bahasa Vitu dari bahasa sekitarnya, termasuk mon ‘perahu lesung (tanpa cadik)’ dan sia ‘jenis tarian’. Namun, jumlah kata serapan itu sangat terbatas dan baru dengan kedatangan zaman kolonial pada awal abad ke-20 ada pengaruh dari
123
René van den Berg
luar, sehingga kata-kata Tok Pisin masuk bahasa Vitu, seperti baket ‘ember’ (< Tok Pisin baket < bucket), botole ‘botol’, gumi ‘karet’ (< TP gumi < Jerman Gummi), haine ‘tombak dengan ujung besi’ (< Tok Pisin ain < iron ‘besi’), naipe ‘pisau’ (
124
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
bahasa daerah Muna yang menerbitkan Pedoman Ejaan Bahasa Muna (Hanafi, dkk. 1991), diikuti oleh beberapa buku kecil dalam bahasa Muna: Kadadihi ne witeno Wuna (Atakasi 1991), Kabhanti Wuna (La Mokui 1991), Wata-watangke Wuna (La Mokui dan La Kimi Batoa 1991). Sejak adanya muatan lokal di kabupaten Muna, muncullah juga beberapa buku pelajaran, termasuk metode untuk SD O Wamba Wuna (La Ode Sidu 1994) dan metode untuk SLTP Struktur Bahasa Muna (La Tia, dkk.). Bersama dengan La Mokui, kami menulis metode baru untuk SMP Maimo dopogurumana wamba Wuna (La Mokui dan van den Berg 2008a, 2008b), bersama pedoman gurunya. La Sinenda (2002) menulis Tata Bahasa Daerah Muna, tetapi sayangnya tidak pernah diterbitkan. Belakangan ini perlu disebut karya La Ode Sirad Imbo (2012) yang berjudul Kamus Bahasa Indonesia-Muna. Pada awal tahun 2014 dibuka laman khusus mengenai bahasa Muna (www.bahasamuna.org). Jelas perhatian pada bahasa Muna tidak mengecewakan, baik dari orang luar maupun dari penutur bahasa Muna sendiri. Walaupun status pendokumentasian bahasa Muna cukup tinggi, ada gejala bahasa Muna sudah agak sakit. Di Raha, ibu kota Kabupaten Muna, sejak dulu bahasa Muna jarang dipakai oleh orang Muna sendiri. Orang dari luar yang datang di Muna hampir tidak ada yang belajar bahasa Muna. Sejak tahun 1990-an, penduduk di kampungpun mulai bergeser ke bahasa Indonesia, sehingga makin banyak anak-anak dan remaja tidak menguasai lagi bahasa ibu mereka. Seringkali dalam satu desa orang tua masih fasih berbahasa Muna (khususnya waktu bergaul dengan generasi di atas mereka), tetapi berkomunikasi dengan anak-anak di rumah pakai bahasa Indonesia. Kalau situasi ini tetap begitu (dan kami belum melihat tanda yang melawan perkembangan ini), maka ini berarti bahwa bahasa Muna dengan jumlah penutur sekitar 300.000, betul-betul terancam dan berada dalam zona gawat. Apakah arah itu masih bisa berubah? Pertanyaan itu tidak mudah dijawab. SARAN Makalah ini diakhiri dengan tiga saran. 1. Melihat rawannya situasi bahasa daerah di Indonesia dan di Papua Nugini, setiap ahli bahasa sebenarnya wajib terlibat dalam kegiatan pendokumentasian dan pelestarian salah satu bahasa daerah. Pada abad ke-21, sudah tidak pantas lagi kalau seorang ahli bahasa bekerja saja dalam kantor dan hanya meneliti Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia atau Tok Pisin. Kita harus turun ke kampung. Jangan sampai dalam kurun waktu 50 atau 100 tahun, objek penelitian kita hilang tanpa bekas. 2. Sebaiknya ada tekanan pada pemerintah provinsi dan kabupaten untuk memasukkan bahasa dan budaya dalam muatan lokal secara konsisten. Jelas harus ada sarana (kurikulum, buku pelajaran, pedoman guru), tetapi harus didampingi dengan pendidikan guru bahasa daerah yang bermutu. Sejauh pengetahuan kami, pendidikan guru bahasa daerah belum digalakkan di banyak daerah di Indonesia. 3. Kedwibahasaan atau ketribahasaan perlu diteladani oleh kaum cendekiawan di Indonesia dan PNG. Itu berarti menggunakan bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan bahasa daerah di Indonesia, dan bahasa Inggris, Tok Pisin dan bahasa daerah di PNG. Terutama dalam situasi pergaulan di rumah, bahasa daerah perlu dipertahankan. Selain efek didik pada anak-anak, ada bukti bahwa menguasai lebih dari satu bahasa ada efek positif pada otak manusia, sehingga memperlambat mulainya demensia dan membuat manusia lebih sosial dan efisien menjalankan tugasnya.35 CATATAN * Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan makalah ini.
125
René van den Berg
1
Karangan ini adalah adaptasi dari makalah yang dibawa pada Kongres Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia (KIMLI) yang diselenggarakan di Lampung pada tanggal 19-22 Februari 2014. Saya mengucapkan terima kasih kepada panitia KIMLI yang mengundang saya, rekan-rekan di Indonesia, dan di PNG yang memberikan masukan, para peserta KIMLI yang memberikan tanggapan, dan Tiar Adams yang memperbaiki bahasa Indonesia saya. 2
Data dari Ethnologue, http://www.ethnologue.com/world, diakses pada 13-1-2014.
3
Hanya bahasa pribumi (indigenous languages) terhitung. Data dari Ethnologue, http://www.ethnologue. com/world, diakses pada 13-1-2014. 4
Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012.
5
Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012.
6
Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012.
7
Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012.
8
Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012.
9
Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012. Definisi literasi: yang berumur 15 tahun ke atas dan mampu membaca dan menulis. 10
Angka resmi ini sudah pasti terlalu tinggi. Penelitian yang serius dan teliti oleh ASPBAE (Asia South Pacific Association for Basic and Adult Education) dan PEAN (PNG Education Advocacy Network) pada tahun 2011 melaporkan bahwa literasi untuk lima provinsi yang disurvei cuma sekitar 15%. Pada Provinsi Gulf jumlah orang yang melek huruf hanya 4%. (Sumber: The National. 15 September 2011.) 11
Data dari www.indexmundi.com, diakses pada 30-12-2012. Lamanya pendidikan berarti: jumlah tahun pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, dibagi rata. 12
Data dari http://en.wikipedia.org/wiki/Religion_in_Indonesia dan http://en.wikipedia.org/wiki/Religion _in_Papua_New_Guinea, diakses pada 14-1-2014. 13
Data dari http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_surat_kabar_di_Indonesia dan http://en.wikipedia.org/ wiki/List_of_newspapers_in_Papua_New_Guinea, diakses pada 14-1-2014. 14
Nomor satu adalah tambang Grasberg (milik Freeport) di Papua, Indonesia. Nomor dua South Deep di Afrika Selatan. Data dari http://www.mining.com/web/worlds-top-10-gold-deposits/. Diakses pada 30-122013. 15
http://id.wikipedia.org/wiki/Papua_Nugini. Diakses pada 30-12-2013.
16
http://id.wikipedia.org/wiki/Papua_Nugini. Diakses pada 30-12-2013.
17
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia. Diakses pada 4 Januari 2014.
18
http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_newspapers_in_Indonesia (diakses pada 4 Januari 2014) mencatat 36 harian di daerah (seperti Bali Post dan Manado Post), tetapi jumlah yang sebenarnya jauh lebih besar. Surat kabar dari Sulawesi saja yang tidak disebut termasuk Fajar (di Makassar), Kendari Pos, Kendari Ekspres dan Radar Buton. 19
Angka ini diambil dari http://en.wikipedia.org/wiki/Tok_Pisin/, diakses pada 4-1-2014.
20
Setahu kami, belum ada penjelasan yang memadai mengenai perubahan bunyi (parit > barit, bambu > mambu) dan perubahan makna kata binatang (dari ‘binatang’ menjadi ‘serangga’; bandingkan perubahan makna yang mirip dalam bahasa Inggris dari creature ‘mahluk’ ke critter yang berarti ‘serangga’ dalam dialek tertentu di Amerika Serikat). 21
Sumber informasi asal kata ini Mihalic (1971). Kata lain yang menurut Mihalic diambil dari Melayu adalah amamas ‘senang, gembira’, kaskas ‘kudis’, kuskus ‘kuskus’, tandok ‘tanda/sirene untuk mulai dan/atau berhenti bekerja’, tetapi kami rasa setiap kata ada masalahnya. Pada kata yati ‘jati’ Mihalic tidak memberikan kode Mal (= Malay, Melayu). 22
Jumlah tepat berbeda menurut analisis diftong dan dialek yang dianalisis.
23
Angka ini berdasarkan kamus Mihalic (1971), yang rata-rata ada 13 entri pada sepuluh halaman pertama. Dengan 152 halaman jumlah total mendekati 2.000. Banyak kata yang termuat dalam kamus Mihalic tidak lazim dipakai lagi.
126
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
24
Angka ini berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi pertama) yang rata-rata ada 35 entri (kata dasar) pada sepuluh halaman pertama. Dengan 1018 halaman jumlah total melebihi 35.000. 25
Tiga kata pertama diambil dari Mihalic (1971), di bawah lema widow (janda), upside down (terbalik) dan tunnel (terowongan). Dua kata yang terakhir diambil dari Volker dkk. Tok Pisin - English dictionary (2008) di bawah lema evidence (bukti) dan consequence (akibat). 26
Data untuk PNG dari Ethnologue, untuk Indonesia dari http://en.wikipedia.org/wiki/Languages_of _Indonesia 27
Walaupun demikian, ternyata tidak semua daerah langsung menerapkan kebijakan baru ini. Selama satu kunjungan pada distrik Pomio di Provinsi East New Britain pada bulan Mei 2014, kami mendapatkan beberapa Elementary School yang tetap mengajarkan bahasa daerah Mengen. 28
http://www.ethnologue.com/about/language-status, diakses pada 13-1-2014. Skala EGIDS sebenarnya ada 10 tingkat yang terpisah, tetapi dalam tabel 5 beberapa tingkat dipersatukan. 29
http://www.ethnologue.com/country/ID, diakses pada 30-12-2013.
30
http://www.ethnologue.com/country/PG, diakses pada 30-12-2013.
31
Data mengenai Vitu sebagian besar berasal dari Peter Bachet, anggota SIL yang sudah lama bekerja di Vitu, melalui komunikasi pribadi. 32
Angka ini perkiraan saja berdasarkan jumlah penduduk di Kabupaten Muna, tetapi tidak berdasarkan sensus resmi atau penelitian yang mendalam. Jumlah penutur bahasa Muna sangat sulit ditetapkan dengan seksama, berhubungan dengan pergeseran bahasa Muna, sehingga makin banyak orang dari suku Muna tidak lagi menguasai bahasa Muna. Selain itu, ada banyak penutur Muna di luar Kabupaten Muna, termasuk penutur dialek Muna Selatan di Kabupaten Buton (baik di Pulau Muna sendiri maupun di Pulau Buton), dan ribuan orang Muna yang menetap di Kendari. 33
Distribusi kata sandang o dalam bahasa Muna cukup rumit. Selain faktor nomina umum, masih ada faktor lain, terutama faktor sintaksis dan faktor prosodi (lihat van den Berg 2011). 34
Informasi lebih lanjut mengenai Adriani bisa diperoleh dalam van den Berg (2009) dan referensi di sana. 35
REFERENCES Adelaar, Karl A. 2004. “Where does Malay come from? Twenty years of discussions about homeland, migrations and classifications.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 160/1:1-30. Adelaar, Karl A. dan David J. Prentice. 1996. “Malay, its history, role and spread.” Dalam: S.A.Wurm, P. Mühlhäusler dan D. Tryon (eds), Atlas of Languages of Intercultural Communication in the Pacific, Asia and the Americas, 673-693. Berlin/New York: Mouton - de Gruyter. Adriani, Nicolaus dan Albertus C. Kruyt, 1914. De Bare’e-sprekende Toradja’s van MiddenCelebes. Vol 3: Taal- en letterkundige schets der Bare’e taal en overzicht van het taalgebied: Celebes - Zuid-Halmahera. Batavia: Landsdrukkerij. Atakasi, Lukas. 1991. Kadadihi ne witeno Wuna. Raha: Tim Penelitian dan Pengembangan Bahasa Muna. Baker, Philip. 1996. “Productive fellow.” Dalam: S.A.Wurm, P. Mühlhäusler dan D. Tryon (Eds.), Atlas of Languages of Intercultural Communication in the Pacific, Asia and the Americas, 533-536. Berlin/New York: Mouton - de Gruyter. Blust, Robert. 2009. The Austronesian Languages. Canberra: Pacific Linguistics.
127
René van den Berg
Brown, Cecil.H. 1983. “Where do cardinal directions come from?” Anthropological Linguistics 25:121-161. Dutton, Tom. 1985. Police Motu: Iena Sivarai (its story). Port Moresby: University of Papua New Guinea Press. Dutton, Tom. 1996. “Hiri Motu.” Dalam: S.A.Wurm, P. Mühlhäusler dan D. Tryon (Eds.), Atlas of Languages of Intercultural Communication in the Pacific, Asia and the Americas, 225-232. Berlin/New York: Mouton - de Gruyter. Evans, Nicholas. 2010. Dying words. Endangered languages and what they have to tell us. Oxford: Blackwell. Hammerström, Harald. 2010. “The status of the least documented language families in the world.” Language Documentation and Conservation 4: 177-212. Hanafi. 1968. Hubungan kata ganti orang dengan kata kerdja dalam bahasa Muna, ditindjau dari segi linguistik deskriptif. [Skripsi IKIP Makassar yang tidak diterbitkan.] Hanafi, La Mokui, La Dame, La Kimi Batoa, La Ode Sidu. 1991. Pedoman Ejaan Bahasa Daerah Muna dan beberapa contoh sastra Muna. Raha: Tim Penelitian dan Pengembangan Bahasa Muna. Jones, Russell. (ed) 2007. Loan-words in Indonesian and Malay. Compiled by the Indonesian Etymological Project. Leiden: KITLV Press. La Mokui. 1991. Kabhanti Wuna. Pantun Muna. Raha: Astri. La Mokui dan La Kimi Batoa. 1991. Wata-watangke Wuna. Teka-teki Muna. Muna Riddles. Ujung Pandang: Program kerjasama UNHAS-SIL. La Mokui dan René van den Berg. 2008a. Maimo dopogurumana wamba Wuna! Metode baru pengajaran bahasa Muna untuk SMP. Raha. La Mokui dan René van den Berg. 2008b. Pedoman Guru untuk buku pelajaran Maimo dopogurumana wamba Wuna! Metode baru pengajaran bahasa Muna untuk SMP. Raha. La Ode Sidu. 1994. O Wamba Wuna. Kapoguruha ne SD. [Tanpa tempat terbitan.] La Ode Sidu. 2003. Pronomina Persona Bahasa Muna. Satu Kajian Sintaksis dan Semantik. Personal pronouns of the Muna language. An approach to Syntax and Semantics. [Disertasi yang tidak diterbitkan, Universitas Padjadjaran, Bandung.] La Ode Sirad Imbo, 2012. Kamus Bahasa Indonesia - Muna. Wamba Malau Do Wamba Wunaane. Kendari: Unhalu Press. La Sinenda. 2002. Tata Bahasa Daerah Muna. Raha: Pendidikan Nasional Kabupaten Muna. La Tia, dkk. Struktur Bahasa Muna untuk SLTP. [Tanpa tahun dan tempat terbitan.] Mihalic, Francis. 1971. The Jacaranda Dictionary and Grammar of Melanesian Pidgin. Papua New Guinea: Jacaranda Press. Mosel, Ulrike. 1980. Tolai and Tok Pisin: The influence of the substratum on the development of New Guinea Pidgin. Canberra: Pacific Linguistics. Mühlhäusler, Peter. 1979. Growth and Structure of the Lexicon of New Guinea Pidgin. Canberra: Pacific Linguistics.
128
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Seiler, Walter. 1982. “The spread of Malay to Kaiser-Wilhelmsland”. Dalam: R. Carle dkk (Eds.). Gava’. Studies in Austronesian Languages and Cultures, dedicated to Hans Kähler, 67-85. Berlin: Reimer. Seiler, Walter. 1983. “The lost Malay language of Papua New Guinea.” NUSA 17: 62-75. Sollewijn Gelpke, Johan H.F. 1993. “On the origin of the name Papua.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 149: 318-332. Thomas, Dicks R., T.R. Andi Lolo dan Nico Jakarimilena. 1997. Trilingual Dictionary Tok Pisin - English - Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. van den Berg, René. 1989. A grammar of the Muna language. Dordrecht/Providence: Foris. http://www.sil.org/resources/publications/entry/52170. van den Berg, René. 2007. “An unusual passive in Western Oceanic: the case of Vitu.” Oceanic Linguistics 46:54-70. van den Berg, René. 2009. “Nicolaus Adriani.” Dalam: H. Stammerjohann (ed.) Lexicon Grammaticorum. A Bio-Bibliographical Companion to the History of Linguistics., 2nd edition, 13-14. Tübingen: Niemeyer. van den Berg, René. 2011. “Elusive articles in Sulawesi: between syntax and prosody.” Dalam: J.-O. Svantesson, N. Burenhult, A. Holmer, A. Karlsson dan H. Lundström (eds) Language Documentation and Description Volume 10. 208-227. London: School of Oriental and African Studies. van den Berg, René in collaboration with La Ode Sidu. 1996. Muna ─ English dictionary. Leiden: KITLV Press. van den Berg, René dan Brenda H. Boerger. 2011. “A Proto-Oceanic passive? Evidence from Bola and Natügu.” Oceanic Linguistics 50: 226-251. van den Berg, René dan La Ode Sidu. 2000. Kamus Muna-Indonesia. Kupang: Artha Wacana Press. [Cetakan kedua 2013. Yogyakarta: Pustaka Puitika.] van den Berg, René dan Pete Bachet. 2006. Vitu Grammar Sketch. Data Papers on Papua New Guinea Languages, volume 51. Ukarumpa: SIL. van den Berg, René, Vena Ereliu, Leni Ereliu dan Pol Komoe. 2011. Vitu-English Dictionary A-K. http://www.sil.org/pacific/png/abstract.asp?id=928474543521 (diakses pada 13 Januari 2014). Volker, Craig Allan. (ed). 2008. Tok Pisin ─ English dictionary. Victoria: Oxford University Press. Verhaar, John W.M. 1995. Toward a Reference Grammar of Tok Pisin: An Experiment in Corpus Linguistics. Oceanic Linguistics Special Publication No. 26. Honolulu: University of Hawai’i Press. Wroge, Diane. 2002. “Papua New Guinea’s Vernacular Language Preschool Programme.” http://unesdoc.unesco.org/images/0013/001373/137383e.pdf (diakses pada 10 Januari 2014).
LOCAL LANGUAGES IN INDONESIA: LANGUAGE MAINTENANCE OR LANGUAGE SHIFT? Abigail C. Cohn* Cornell University [email protected]
Maya Ravindranath University of New Hampshire [email protected] Abstract
The choice and subsequent development of Bahasa Indonesia as the national language following the founding of the Republic of Indonesia in 1945 is widely cited as a great success story in language planning. With the increased use of Indonesian—both formal (bahasa resmi) and informal (bahasa sehari-hari)—in all facets of daily life, the question arises as to whether Indonesia will continue as a highly multilingual society or move toward monolingualism. We consider this issue from the perspectives of research on language policy, language endangerment, and language ideologies. As a case study, we consider current trends and shifts in the use of Javanese by younger speakers as influenced by the increased use of Indonesian. As Indonesian takes over in more and more domains of communication and intergenerational transmission of Javanese breaks down, we are led to conclude that even a language with over 80 million speakers can be at risk, a trend that has serious implications for all of the local languages of Indonesia. Keywords: Language shift, Indonesian, language policy
Abstrak Pemilihan dan pengembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional setelah pembentukan negara Republik Indonesia pada tahun 1945 telah disebut sebagai satu cerita keberhasilan dalam perencanaan bahasa. Seiring dengan meningkatnya penggunaan bahasa Indonesia, baik bahasa resmi maupun bahasa sehari-hari, dalam semua aspek kehidupan sehari-hari menimbulkan sebuah pertanyaan “Apakah Indonesia akan terus dianggap sebagai masyarakat multibahasa atau akan beralih menuju masyarakat monolingual?” Kami menilik persoalan ini dari berbagai pandangan penelitian tentang kebijakan bahasa, kepunahan bahasa, dan ideologi-idelogi bahasa. Sebagai studi kasus, kami melihat bahwa arah gejala dan perubahan dalam penggunaan bahasa Jawa oleh penutur berusia muda dewasa ini dipengaruhi oleh meningkatnya penggunaan bahasa Indonesia. Seiring dengan semakin besarnya peran bahasa Indonesia dalam berbagai domain komunikasi dan terputusnya transmisi antargenerasi bahasa Jawa, kami dituntun untuk menyimpulkan bahwa sebuah bahasa dengan jumlah penutur lebih dari 80 juta pun dapat terancam punah. Arah gejala ini memiliki implikasi serius untuk semua bahasa daerah di Indonesia. Kata kunci: perubahan bahasa, bahasa Indonesia, kebijakan bahasa
Abigail C. Cohn & Maya Ravindranath
INTRODUCTION In this paper, we explore the history of language policy in Indonesia and consider the implications of the increased use of Indonesian on the maintenance of local languages, particularly those with large speaker populations. This review serves as the background for two projects currently underway, the Basa Urang Project, which looks at language shift in W. Java, focusing particularly on the use of Sundanese in and around Bandung, and the Bahasa Kita project, in which we have developed a questionnaire about language use and attitudes to be used throughout Indonesia. The choice and development of Indonesian (Bahasa Indonesia) as the national language of a vast and varied archipelago at the time of Indonesia’s founding in 1945 is often cited as one of the great success stories of language policy and institutional language planning. (See Sneddon 2003a, Paauw 2009, and Zentz 2012, among others, for recent discussion and review of literature.) Three generations past the founding of the Republic of Indonesia and the subsequent promotion of the national language, we can now examine the state of the Indonesian language against the backdrop of the many languages of Indonesia. The first proclamation of Indonesian (a dialect of Malay that had been used throughout the archipelago as a lingua franca) as the future national language of Indonesia took place in 1928 at the 2nd Indonesian Youth Congress: Sumpah Pemuda. Their pledge was to acknowledge “one motherland” and “one nation” and to uphold one “language of unity, the Indonesian language.” As with other new, post-colonial nations, the choice of a national language and its development and promotion were seen as central to nation building in Indonesia. A successful national language was seen as critical to education and mass communication. When compared to the contention surrounding the promotion of a national language in some neighboring countries (e.g. the Philippines), the choice of Indonesian has been described as both straightforward and successful. It was widely agreed that choice of the prior colonial language, Dutch, did not make sense, and English did not have a strong enough presence to be a logical choice. (In this regard, an interesting comparison can be made between Indonesia and Malaysia, where English has played a larger role. See Baldauf and Nguyen 2012 for an overview of language policy throughout Asia and the Pacific.) There was wide agreement that the culturally dominant, majority regional language, Javanese, would not serve as an accessible, open democratic, national language. Rather, Malay, which had already served for many centuries as a lingua franca throughout the archipelago, was an obvious choice. Language policy during the Japanese occupation in World War II further paved the way for this decision, as Malay was the language of education during this period. Since independence, Indonesian has increasingly been spoken as a second language by most of the population and more recently increasingly as a first language as well, coexisting alongside other native languages in the archipelago. Lewis, Simons, and Fenning (2013) identify several hundred languages (706 distinct languages at the current count) that are spoken throughout the archipelago. While in some cases the languages are very closely related, none are mutually intelligible; that is, they are described as distinct languages, not dialects. Most of these seven hundred languages are members of the Austronesian language family and thus related to the languages of the Philippines, Malaysia, the indigenous languages of Taiwan, as well as the languages of the Pacific Islands. In Eastern Indonesia, where there is the greatest diversity, many of the languages are Papuan, related to the languages of Papua New Guinea. Roughly 10 percent of the languages of the world are spoken in Indonesia, making it one of the most multilingual nations in the world. A glimpse of this richness is seen in Figure 1.
132
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Figure 1. Indonesia Index Map (from Lewis et al. 2013) The complex linguistic landscape of Indonesia that holds three generations after the establishment of the republic is a dynamic one, and the interaction between the development of Indonesian as the national language and the maintenance of vernacular languages at the local and regional levels has resulted in a number of different types of language shift scenarios (Himmelman 2010, Anderbeck 2012) throughout Indonesia. It goes without saying that both Indonesian and local languages will only be maintained if a significant part of the population remains bi- or multilingual. Although many speech communities in what is now Indonesia have maintained stable multilingualism for generations, numerous researchers now report on the use of Indonesian in an increasing number of domains and the question arises as to whether stable multilingualism will continue to be maintained. To frame this question, it is useful to think about how a nation is defined as mono- or multilingual. Consider, by way of comparison, the situation in the United States. The United States is perceived as a largely monolingual nation. While it is widely agreed that English is the national language, nowhere is this written or stipulated. There is no formal national language policy and no statement about language in the constitution.1 The United States has a historic pattern of immigration and transitional bilingualism followed by rapid language shift within one or two generations (leaving aside the issues of indigenous populations and languages spoken by these communities). This pattern of rapid language assimilation contributes to the metaphor of the USA as a “melting pot”. Although there is actually a relatively high level of bilingualism in the USA, with recent figures showing that close to one fifth of Americans aged 5 and older speak another language besides English at home (United States Census Bureau 2010), these patterns of bilingualism are at the level of the community and many of these communities are not seen as part of the mainstream.2 In terms of societal attitudes, bilingualism is widely seen as negative. Bilingualism is often thought to impede assimilation to the mainstream, access to education, good jobs, and so forth, a prevalent societal ideology that does not accord with much
133
Abigail C. Cohn & Maya Ravindranath
of the research on bilingualism (see Wolfram 1998 on issues of language ideology in the US and work by Bialystock and colleagues, e.g. Bialystock et al. 2012, on cognitive benefits of bilingualism.) In terms of official languages, Indonesia is monolingual as only Indonesian has the status of a national language. There is no official national multilingualism, although the local languages of Indonesia are protected by the constitution (in contrast to countries such as Malaysia, Singapore, Vanuatu, and India, where the nation itself is defined as bi- or multilingual). Thus we ask the following questions: How has the increased used of Indonesian as a second language and increasingly a first language affected widespread societal multilingualism in Indonesia? Has this resulted in stable or increased multilingualism or is a shift underway toward greater monolingualism? As the number of speakers of Indonesian has increased over recent decades (as schematized in Figure 2), what has happened to the number of speakers of local languages? Is Indonesian expanding at the expense of local languages?
Figure 2. Increase in the number of speakers of Indonesian (schematic) A situation of stable bilingualism would show a relatively stable number of speakers of regional languages as the number of speakers of Indonesian increases, as schematized by the blue line in Figure 3; while transitional bilingualism would show a trade-off between the number of speakers of Indonesian and the number of speakers of local or regional languages as schematized by the green line. The latter would suggest that Indonesia is shifting from a multilingual nation to a monolingual nation. This is the question we explore in this paper.
134
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Figure 3. Effect of increase in the number of speakers of Indonesian on number of speakers of local languages (schematic) Has the development and increased use of Indonesian in all spheres of society affected the use of the other native languages of Indonesia? In many ways this question has to be considered from a variety of both “top-down” and “bottom-up” perspectives, including language policy and planning decisions at the national level, and multilingualism and diglossia at the local level. The growing interest in and rhetoric about language vitality and language endangerment must also be considered. In this paper we take Javanese as a case study of how local language use is affected by national language policy and local language ideology. These different ways of looking at the linguistic situation in Indonesia can be understood as a reflection of different stages in the recent history of language planning in Indonesia, as laid out in Table 1. Table 1. Stages in development of linguistic situation in Indonesia I Establishment and ~ 1920s – 1940s Language Policy Development of Indonesian II Diffusion of Indonesian ~ 1950s – 1980s Multilingualism Diglossia III Post diffusion ~1990s – 2000s Language vitality IV Long term outcome Today and beyond Stable multilingualism or language endangerment? In the early parts of the 20th century, before the founding of the republic, issues of language policy were at the fore as the focus was on the establishment and development of the national language. From the 1950’s to the 1980’s the diffusion of Indonesian was a central concern of the national government (Table 1, I). We first briefly discuss these issues (as much prior literature discusses these language policy matters). The diffusion and increased use of Indonesian resulted in increased multilingualism, and the development of diglossia in Indonesia (Table 1, II). Finally, since the 1990’s there has been increasing concern throughout the world about the loss of linguistic diversity, and related issues of local language maintenance, including indigenous minority languages. We take up these issues and consider how the languages of Indonesia are faring in the context of these global concerns, focusing in particular on the fate of large languages, those with over a million speakers. We then discuss the situation of Javanese as
135
Abigail C. Cohn & Maya Ravindranath
one example of local language shift and we conclude with implications and next steps, including our Bahasa Kita project. ESTABLISHMENT AND DIFFUSION OF INDONESIAN AS THE NATIONAL LANGUAGE OF INDONESIA The adoption, establishment, and development of Indonesian as the national language of Indonesia were accomplished through government policy, with the establishment of the Pusat Bahasa dan Budaya (now the Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa or Badan Bahasa). Language policy and its implementation were seen as central both during the Sukarno era and during the New Order. (In addition to Sneddon 2003a, Paauw 2009, and Zentz 2012, see also Anwar 1980, Dardjowidjodjo 1998, Errington 1986, 1998a. For a political science perspective on the development of Indonesian as a national language, the reader is referred to Anderson 1991. For discussion of the linguistic situation in the post-New Order era, the reader is referred to Foulcher et al. 2012.) Central goals were the development of Indonesian as the language of education, government, and public discourse. Census data from the later decades of the 20 th century speak to the success of these initiatives, as discussed by Steinhauer 1994 where by 1990, over 90% of the population aged 10-49 reported knowledge of Indonesian. The diffusion of Indonesian has obviously resulted in the increased use of Indonesian in a variety of spheres. Less is known about how this increased use of Indonesian has affected the use of local languages. In the 1970’s and 1980’s much attention was paid to the success of the adoption of Indonesian. At the time the concern was whether native speakers of culturally and politically dominant local languages such as Javanese would choose to become fluent in and use Indonesian beyond those spheres where it was proscribed. This concern is reflected in Nababan’s (1985) study “Bilingualism in Indonesia: Ethnic Language Maintenance and the Spread of the National Language.” Nababan reports on a 1980 survey of bilingualism and finds that, among adults, if their first language is a vernacular language then, in most cases, they also speak Indonesian; but if their first language is Indonesian, they usually do not know a vernacular language. Among children, he finds that whether Indonesian is their first language or second language, they also know a vernacular language. Nababan (1985) interprets these findings as highlighting the success of the adoption of Indonesian and as a reassurance for those who think the use of vernacular languages is negatively affected by the increased use of Indonesian: This can be interpreted as a reassuring factor for people who fear that the use of the vernaculars is decreasing and that they will die out. (1985:7) The results of the survey have indicated that even though Indonesian is increasingly acquired as first language, and that Indonesian is making inroads on the traditional domains of the vernacular, there seems to be no immediate likelihood that the vernaculars will die out. (1985:17) [Thus] the rapid development and spread of Indonesian is no threat to the maintenance of the vernaculars of ethnic languages in the country. (1985:17). While this was taken as reassuring at the time, as we discuss below, shifts in the use of Javanese since that time have been rapid and pervasive across different levels of society. To understand the issues implicit in Nababan’s discussion with respect to individual language choice, we need to think more fully about what it means for a speaker to be bi- or multilingual. In the case of Indonesia, we need to know more about how and when Indonesian is used, and how these choices relate to the use of different language styles or registers in different domains. This is the topic we turn to next.
136
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
MULTILINGUALISM IN INDONESIA There are many different ways that a person can be bilingual. A “balanced” bilingual is usually described as someone who has full mastery of two languages and can use the languages interchangeably in any situation. In point of fact, most bilinguals may use either language in a given situation, but typically the choice of language is affected by at least the situation and addressee(s), along with a variety of other factors. Additionally, if language shift is occurring, we assume that the language choices of individuals in any given situation are changing over time. Indeed, we can’t talk about language choices of a bilingual speaker separately from the community they function in. Closely related to these questions are the issues of language choice based on language style or degree of formality. Every speaker, monolinguals included, masters a variety of styles of speech, the use of which depend variably on addressee, context, and other factors. Most basically we can speak in more informal or formal styles (also called “registers”) with the different styles generally falling along a continuum of variable pronunciations, choice of words, and syntactic features. Although this informal-formal distinction is sometimes equated with spoken vs. written language, this comparison is really not accurate, since it is possible both to speak very formally (as is often the case in public speeches) and to write very informally, as is increasingly the case with electronic communication such as texting and e-mail, which tend to mimic informal styles of spoken language although they are conveyed through a written medium. It is also not possible to equate informal with “rude” and formal with “polite”, though the terms kasar ‘rude’ and sopan ‘polite’ are often used in Indonesia to refer to informal and formal registers of language respectively. While speaking too informally in a formal situation or to someone of higher social status is considered kurang sopan ‘lacking in politeness’; speaking too formally in an informal situation or to a close friend or family member is also considered rude. When the different registers that a speaker is switching between are actually distinct languages, this switching is known as codeswitching (as opposed to style-shifting, which is usually reserved for shifting between varieties of one language). Moreover, if the choice of linguistic code in formal vs. informal situations is highly codified at the national level, this is referred to as diglossia, where two different but historically related linguistic codes are used in a largely complementary manner (and usually labeled H for ‘high’ and L for ‘low’). This situation of highly codified bilingualism was first described by Ferguson (1959, as quoted by Sneddon 2003b: 519), who defined diglossia in the following way: …a relatively stable language situation in which [...] there is a very divergent, highly codified (often grammatically more complex) superposed variety [...] which is learned largely by formal education and is used for most written and formal spoken purposes but is not used by any sector of the community for ordinary conversation. Errington (1986), Sneddon (2003b), and others have argued that Indonesia exhibits a clear case of diglossia, with an H variety of Indonesian, “bahasa resmi” and an L variety, “bahasa seharihari.” Both Errington and Sneddon point out that Indonesia’s diglossia differs from Ferguson’s original definition in that the H and L varieties of Indonesian exist along a continuum, with speakers using more or less of particular linguistic features depending on context. Sneddon’s characterization of use of L vs. H in Indonesian is summarized in Table 2:
137
Abigail C. Cohn & Maya Ravindranath
Table 2. Diglossia in Indonesian (following Sneddon 2003b: 521) L (bahasa sehari-hari) H (bahasa resmi) instruction to servants government, administration, & the law conversations with family, friends, colleagues formal situations, such as speeches and lectures captions on political cartoons literature, poetry and most novels most of the mass media medium of education at all levels choice is based on both addressee and situation These style or register differences refer to varieties of Indonesian, but many speakers in Indonesia are also making additional use of regional languages in these same domains. As Sneddon (2003b: 520) notes “The occurrence of many regional languages used alongside the national language adds a further dimension to diglossia in Indonesia.” Thus, for example, in the case of Javanese, the use of speech levels (the informal Ngoko ‘low register’ at one end and the most formal Krama, ‘high register’ at the other, with differing degrees of formality in-between) is already highly codified. Recent work discussed further below looks at the additional interaction between Javanese and Indonesian. The most prevalent trend appears to be a tendency for formal styles of Indonesian to replace the use of Krama. Thus, the situation is much more complicated than just asking whether speakers are monolingual or bilingual or what range of variation exists between informal and formal ways of using a particular language. Rather there is interaction between the two dimensions of language choice and register choice. Before developing these points in the context of use of Javanese, we briefly consider the issue of language endangerment and language vitality. ISSUES OF LANGUAGE VITALITY, THE SITUATION IN INDONESIA At the end of the 20th century, attention turned to the risk of endangerment and loss faced by minority languages of the world. Krauss (1992), among others, highlighted evidence of the acceleration of the rate of language endangerment and loss. Krauss argued that any language with fewer than 100,000 speakers should be considered at risk. Around this time, UNESCO started a project to create the UNESCO Atlas of the World’s Languages in Danger and new foundations were formed to support field work and documentation of endangered languages. Ethnologue (Lewis 2009, 16th edition, http://www.ethnologue.com) present a startling figure, highlighting the sheer number of “small” languages in the world that may be at greatest risk of endangerment: “It turns out that 389 (or nearly 6%) of the world’s languages have at least one million speakers and account for 94% of the world’s population. By contrast, the remaining 94% of languages are spoken by only 6% of the world’s people.” Fewer than 20 of the 706 languages spoken in Indonesia have at least a million speakers, leaving hundreds of small languages in Indonesia that are likely to be at risk given their size alone. Correspondingly, recent work has attempted to assess language vitality of Austronesian languages and Indonesian languages (Florey 2010, Anderbeck 2012), largely focusing on languages with small speaker populations. It is now widely agreed that languages with small numbers of speakers are at risk, but what about major regional languages? Most accounts consider languages with over a million speakers “safe.” In Indonesia, based on the most recent figures in Lewis et al. (2013), there are 19 languages with over a million speakers (notably all in Western Indonesia). These are listed starting with the largest, Javanese, in Table 3. How are these languages faring? In Ravindranath and Cohn (2014), we further take up this question, looking at the degree to which there is a correlation between risk of endangerment and language size, and concluding, in agreement with Anderbeck (2012), that even a large speaker population does not protect against language shift. 138
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Table 3. Spoken languages of Indonesia with over 1 million speakers (based on Lewis et al. 2013) Language Region Population EGIDS number Java Java and Bali 84,300,000 5 Written Sunda Java and Bali 34,000,000 5 Written Indonesian (Bahasa Indonesia) 22,800,000 1 National Madura Java and Bali 13,600,000 5 Written Minangkabu Sumatra 5,530,000 5 Written Musi Sumatra 3,930,000 3 Trade Aceh Sumatra 3,500,000 3 Trade Banjar Kalimantan 3,500,000 3 Trade Bugis Sulawesi 3,500,000 6b Threatened Bali Java and Bali 3,330,000 5 Written Betawi Java and Bali 2,700,000 6b Threatened Malay, Central Sumatra 2,350,000 5 Written Sasak Nusa Tenggara 2,100,000 5 Written Batak Toba Sumatra 2,000,000 5 Written Malay, Makassar Sumatra 1,880,000 3 Trade Makasar Sulawesi 1,600,000 6b Threatened Batak Dairi Sumatra 1,200,000 5 Written Batak Simalungun Sumatra 1,200,000 5 Written Batak Mandailing Sumatra 1,100,000 Unknown PATTERNS OF LANGUAGE USE AND TRANSMISSION: THE CASE OF JAVANESE In assessing the language of Java, Adelaar (2010: 25) writes that “In spite of their large speech communities, the Javanese, Sundanese, and Madurese languages are actually endangered in that some of their domains of usage are being taken over by Indonesian, and, to a lesser extent, in that they are not always passed on to the next generation.” In this section, we consider this question more closely by looking at the case of Javanese. Javanese is by far the most widely spoken local language in Indonesia and by most counts, it is also the most widely spoken first language in Indonesia (surpassing Indonesian, though it is difficult to get an accurate estimate of the number of first language speakers of Indonesian). The current estimated number of speakers of Javanese is 84.3 million (Lewis et al. 2013), making it the 10th most widely spoken language in the world.4 Although it is the only language in this group that is not a national or official language of a country, on the EGIDS vitality scale, Javanese is rated as 2 (Provincial), at the “safe” end of the scale. Its position as one of the most widely spoken languages in the world can been seen in its location in the “language cloud” locating individual languages in the space created by plotting EGIDS levels against language speaker population for the languages of the world (available for each individual language entry in the current online edition of Ethnologue). The factors that favor strong maintenance of Javanese include, into addition to the size of the speaker population, the existence of dense speaker communities and the cultural and political dominance of the Javanese people. If any language of Indonesia is “safe”, it seems that Javanese should be. In fact, in the 1980’s there was concern both about whether Javanese people would learn Indonesian and whether Indonesian was overly influenced by Javanese.
139
Abigail C. Cohn & Maya Ravindranath
Figure 4. Javanese in the language cloud (http://www.ethnologue.com/cloud/jav) However, although it seems difficult to call a language with 84 million speakers “endangered” a number of recent studies demonstrate rapidly shifting language use patterns and lack of intergenerational transmission of Javanese, it is starting to become clear that even Javanese may be at risk of language endangerment. We consider four aspects of language shift in Javanese, as follows: 1. Shift away from use of Krama (Errington 1998b, G. Poedjosoedarmo 2006, Setiawan 2012); 2. Class, gender, and urban/rural differences in language choices (SmithHefner 2009, Setiawan 2012, Kurniasih 2006); 3. Broader social perspectives on linguistic choices and shift (Smith-Hefner 2009); and 4. Effects of globalization and increased use of English (Zentz 2012). One indicator of the successful intergenerational transmission of Javanese is maintenance of the full richness of its linguistic registers. Yet, in the 1970s, it had already been observed that the use of Krama was decreasing, and often in situations where Krama would have been used in the past, Indonesian was used instead. Smith-Hefner (2009: 58) observes “What the census figures can only hint at are two important developments: first, the gradual but continuing expansion of Indonesian into domains which were previously the province of Javanese, and, second, the negative effects of this encroachment on use of the formal styles of the language.” Poejosoedarmo (2006:113) “The Effect of Bahasa Indonesia as a Lingua Franca on the Javanese Speech Levels and Their Functions” highlights these changes, observing, “Javanese, it would appear, is in no danger of dying out. However, what the statistics fail to show is that competence in using the polite form of the Javanese language is falling rapidly.” The effects of increased use of Indonesian result in confusion between Krama levels, reduced vocabularies and substitutions from Indonesian. She then goes on to say:
140
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
However, the most far reaching effect. . . is that many people, aware that they are not very competent at manipulating the levels, simply use the Indonesian language instead of Javanese in contexts where it is necessary to be formal and polite. (2006:117) . . . observations suggest that Indonesian is replacing the Krama level of Javanese for many of its functions and that many young people, even those for whom Javanese is the language of the home, cannot use the polite levels correctly.” (2006:119) Her observations highlight a type of linguistic insecurity among young speakers of Javanese, whose concern over being sopan has resulted in avoidance of the higher speech levels in Javanese for many younger speakers, and accelerated shift toward Indonesian. Setiawan (2012), in Children’s Language in a Bilingual Community in East Java, similarly finds decreasing use of Krama among children speakers in three East Java communities, although in contrast to Poedjosoedarmo his outlook for the future of Javanese is “bleak.” Comparing children in a city, town, and village, Setiawan finds that urban children are more likely to report using only Indonesian as compared to their town and village counterparts, who are more likely to report using a combination of Indonesian and Javanese (Ngoko). Kurniasih (2006), in “Gender, Class and Language Preference: A case study in Yogyakarta”, looks at the effect of class and gender on the language choice and use of Javanese and/or Indonesian. She finds that “Young Javanese [in Yogyakarta] are shifting in language use from Javanese to Indonesian (and to some extent from High Javanese to Low Javanese)” (2006:2). The patterns of usage she finds show that both children and adults fall along a continuum from most Javanese to most Indonesian as follows: Low Javanese – Low & High Javanese – Low Javanese & Indonesian - Low & High Javanese & Indonesian – Indonesian. Among school-aged children, she finds that language use is determined by both gender and class, as shown in Table 4. Table 4. Pattern of language use by children in the home environment (following Kurniasih 2006, Table 3: 13) LJ: Low Javanese, HJ: High Javanese, Ind: Indonesian Pattern of Name of Working Class (total: 40) Middle Class (total: 68) lang spoken language Girls (19) Boys (21) Girls (35) Boys (33) % % % % Girls (35) Boys (33) % % 1. LJ 0 0 0 0 2. LJ + HJ 30 81 0 0 3. LJ + Ind 25 5 32 48 4. LJ + HJ + Ind 45 14 11 43 5. Ind 0 0 57 9 Working class children use more Javanese, while middle class children use more Indonesian. Looking at gender, boys use more Javanese, while girls use more Indonesian. Kurniasih (2006:13) observes: “The middle class girls have the strongest inclination to use only Indonesian, while the working class girls have a tendency to include Indonesian in their linguistic repertoire.” At school she also finds addressee-based differences, with working class children using Indonesian with teachers, but Ngoko with classmates, while middle class children, especially girls, tend to use Indonesian with everyone. Kurniasih suggests that part of this difference lies in the fact that working class children are usually in families with denser family networks since they live with or in close proximity to extended family members. “The maintenance of Javanese is dependent on the input of family members – the home is where 141
Abigail C. Cohn & Maya Ravindranath
language is instilled and reinforced – in particular the contribution of older persons, such as grandparents, uncles and aunts” (Kurniasih 2006:15). Mobility and “future orientation” are also important factors. Not only are middle class speakers more mobile, with greater exposure to different language varieties, but middle class families also see education as a key to future goals, and fluency in Indonesian as a key to education. This effect of future orientation can be seen by comparing patterns of language use between parents and other adults (Table 5) with patterns of language between parents and children (Table 6). Table 5. Pattern of language use reported by parents (following Kurniasih 2006: 13, Table 5) LJ: Low Javanese, HJ: High Javanese, Ind: Indonesian Pattern of Name of Working Class (total: 40) Middle Class (total: 68) lang spoken language Mothers Fathers Mothers Fathers % % % % 1. LJ 0 0 0 0 2. LJ + HJ 37 76 0 0 3. LJ + Ind 0 0 5 2 4. LJ + HJ + Ind 63 24 95 98 5. Ind 0 0 0 0 Among adults, we also see class and gender differences. The middle class parents of both sexes almost all use Low & High Javanese as well as Indonesian; while in the case of the working class parents, the majority of mothers show this pattern; while the majority of fathers are reported being more oriented to Javanese using Low & High Javanese. What is really striking is the difference seen in the patterns of language use of the parents toward their children. Table 6. Pattern of language use by parents to children (following Kurniasih 2006: 17, Table 6) LJ: Low Javanese, HJ: High Javanese, Ind: Indonesian Pattern of Name of Working Class (total: 40) Middle Class (total: 68) lang spoken language Mothers Fathers Mothers Fathers % % % % 1. LJ 0 0 0 0 2. LJ + HJ 19 60 0 0 3. LJ + Ind 42 17 4 24 4. LJ + HJ + Ind 39 23 8 37 5. Ind 0 0 88 39 As seen in Table 6, there is a large difference between mothers and fathers with both working class and middle class mothers using Indonesian in their repertoire. This is particularly striking for the middle class mothers, 88% of whom use Indonesian with their children. Especially noteworthy is that the mothers’ patterns of language use with older members of the family are different from those with their children. Kurniasih (2006:17) observes “about 95% of middle class mothers claimed using both Low and High Javanese together with Indonesian, but about 88% of them chose to use only Indonesian to speak to their children. They reported using Low and High Javanese to older members of the family such as grandparents, neighbors, and older colleagues at work.” It is not clear from these data alone whether it is the children or mothers driving the linguistic choices, but Smith-Hefner’s (2009) study, discussed below, suggests that it may be mothers, as much as daughters, driving this shift. The parents in this study thus are a pivot generation in terms of shifting their linguistic patterns when they talk to older or younger speakers. (See Ravindranath 2009 for discussion of similar phenomena.)
142
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Kurniasih’s findings are further elucidated by Smith-Hefner (2009) in “Language shift, gender, and ideologies of modernity in Central Java, Indonesia”, who looked at the role of social attitudes on language choice. The study included both a survey and interviews with college students and recent graduates from Universitas Gadja Mada and Universitas Islam Indonesia in Yogyakarta in order to address issues of social attitudes and language shift. “Recent changes in possibilities for social and status mobility linked to language use have challenged traditional language ideologies and have led Javanese men and women to develop different language strategies and patterns of interaction” (Smith-Hefner 2009:57). Of particular relevance to our discussion are students’ responses to the question of what language they use with their parents and grandparents versus their planned language use with future children. First consider Smith-Hefner’s finding reproduced here in Table 7. Overall, as seen in Chart A, we see a striking shift from patterns of language use with older speakers and projected language use with future children. As in Kurniasih’s study, there are also gender differences, broken down in Chart C, which shows women shifting more to Indonesian than men, both with their parents and their expected future children. Table 7. Reported Indonesian language use by University Student Respondents (SmithHefner 2009, chart A, 65) and broken down by gender (chart C, 67) Chart A BI use with grandparents 22/206 (11%) BI use with parents 25/199 (13%) Plan to use BI with own children 123/198 (62%) Chart C Male Female BI use with grandparents 10/105 (105) 12/101 (12%) BI use with parents 8/104 (8%) 17/95 (18%) Plan to use BI with own children 50/97 (52%) 73/101 (72%) Based on surveys and interviews, Smith-Hefner links these patterns of linguistic behavior with social attitudes and goals of young people. She observes the following: Survey data which indicate Javanese women’s greater preference for Indonesian must be viewed within the context of new social and educational opportunities for young people and their differential impact on gender ideologies and the symbolic valuation of language resources. (Smith-Hefner 2009:67) Javanese women’s shift to Indonesian and away from formal Javanese can also be seen as resistance to a traditional gender ideology that positions women in the domestic sphere and as subservient to men. (Smith-Hefner 2009:72) In the Javanese case the cluster includes not only gender, but social expressivity, middle-class identity, and the perceived ideals of modernity. (Smith-Hefner 2009:72) Together Smith-Hefner, Kurniasih, and Setiawan paint a picture of pivotal language shift reflecting rapidly changing social attitudes and social goals, driven in particular by the language use patterns of urban, middle class women and their daughters. Another increasingly important factor in language choice is the role of globalization and increased use of English in many spheres of Indonesian society. Zentz (2012:17) in Global Language Identities and Ideologies in an Indonesian University explores “globalization’s local manifestations, language nationalization and language shift, and language learners’ identities and motivations”. Zentz investigates how globalization has impacted local language ecologies in Central Java, Indonesia. She finds a three-way tension between local identity, national identity 143
Abigail C. Cohn & Maya Ravindranath
and globalization. In terms of national language policy Indonesia has continued “efforts to align national borders with linguistic borders” (2012:24); she quotes the Indonesian government position: “Mencintai bahasa daerah, memakai bahasa nasional, mempelajari bahasa asing.” (‘Love local languages, use the national language, study foreign languages.’) Zentz highlights the multifaceted role of English in terms of social indexicality, “commodified linguistic resources”, economic interests and values, and educational policy and particularly internationalization of state education standards. In Zentz’s study, it is attitudes about English more than its actual use that affect the linguistic ecology. She finds that the actual effects on language use are somewhat peripheral (except among subgroups who are really fluent), but the social and economic values are clear. Thus this is another level of influence on the perceived value of local varieties of language. Together, shifts away from Krama, shifts from Javanese to Indonesian more generally, and increased interest in and orientation to English, all contribute to what appears to be dramatic and rapid shifts in intergenerational transmission from current Javanese speakers to their current and future children. CONCLUSIONS AND IMPLICATIONS It is generally agreed that Indonesian as a national language is a successful example of language planning and language standardization in the interest of nation building. Grimes (1996:724) asks: “Should Indonesian be a force for unity at the expense of the diversity of existing languages and cultures, or should national unity be built on a foundation that accommodates and appreciates ethnolinguistic diversity?” The evidence from Javanese underscores his implication that there is a trade off between the success of a national language and vitality of local vernaculars. Anderbeck (2012), in discussing Gorontalo, a language with one million speakers, asks the question of whether languages with large speaker populations can be “too big to fail”. The evidence from Javanese suggests that size alone will not lead to language maintenance. Languages with large speaker populations have the advantage of a more heterogenous speaker population, and the likelihood that shifts in language dynamics will not lead as quickly to an irreversible outcome. In addition, languages with large speaker populations are more likely to be written, and already have historical records and documentation. Nevertheless, rapid language shift of the type that we discuss above will have a profound impact. Large languages, even one such as Javanese with 84 million speakers, are at risk of greatly reduced numbers of fluent speakers and loss of the full richness of linguistic knowledge and tradition, although there may be many ways in which Javanese continues to be vital and integral to the linguistic ecology (as highlighted by Musgrave n.d., Goebel 2005, Zentz 2012, and others). Language is not a monolithic entity; rather it resides in a system of linguistic and social ecology (in the sense discussed by Mufwene 2012). The impact of shifts in patterns of use may be non-uniform across facets of the language, as in the case of Krama vs. Ngoko, or might disproportionately affect certain segments of the population, such as the more rapid patterns of shift seen in middle class women. At the same time, different languages already serve distinct social and cultural functions. As pointed out by Zentz (2012), local, national, and global languages offer different opportunities linguistically and socially. The situation of language endangerment worldwide has demonstrated the critical importance of language documentation. What the complexity of the Javanese situation highlights is the need not only for documentation, but also for studies that address language use and language attitudes. Fuller study of local patterns of language use will help us to understand the complex factors that contribute to language vitality. Ideally such studies will be able to both document the rate of change by looking at generational differences in language use patterns, as well as examine the factors that contribute to change. 144
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
We are undertaking two projects to contribute to these goals. In the first, Bahasa Kita, we have developed a language use questionnaire for use throughout Indonesia. This questionnaire (Cohn et al. 2013, Kuesioner Penggunaan Bahasa Sehari-hari) builds on previous questionnaires that have been developed for use in Indonesia and elsewhere (most notably the Middle Indonesia Project conducted by Errington and colleagues with a questionnaire developed by Tadmor.)5 It includes questions about personal background, including the geographic, ethnic, religious, educational and linguistic background of the respondent, their parents, their grandparents, and their spouse and children. It also asks about their level of mastery of different languages, their use of technology, and their language use in 34 different domains. Finally, we include 14 attitude questions with a 5-point response scale from strongly agree to strongly disagree. The questionnaire offers a way to gain a broad overview and look at conditioning factors, providing connections between individual choices and community level decisions. The questionnaire can be completed online or in hard copy and is available at http://lingweb.eva.mpg.de/jakarta/kuesioner.php. An English version of the questionnaire is also available if scholars would like to use it in other linguistic settings. In our current project, we are using the questionnaire to compare patterns of language use in several local languages of Indonesia with speaking populations over a million people. We are using preliminary results to address key questions about language shift scenarios (as reported in Cohn et al. 2014) and at the same time working to develop models of the multiple factors that contribute to scenarios of language change. The second project, the Basa Urang Proyek, is a more in-depth case study of the use of Indonesian and Sundanese in West Java. Sundanese is the 3rd most widely spoken local language (after Javanese and local varieties of Malay if these are pooled together), with an estimated speaking population of 34 million speakers. Like Javanese, Sundanese is a high prestige, written language spoken by a clearly defined ethnic group with a large speaker population. Sundanese has received comparatively less attention in the literature (although see Sobarna 2010 and Moriyama 2012 on increasing use of Indonesian at the expense of Sundanese in Bandung; and, Sobarna et al. 1997 and Djajasudarma 1994 on the use of colloquial Indonesian in Sundanese communities). In this project, we aim to consider the SundaneseIndonesian contact situation more closely, using questionnaires and interviews in West Javanese communities to examine the interplay of sociolinguistic background, language use and language attitudes in urban and rural Sundanese communities. We look forward to reporting on the results from these studies and welcome colleagues to join in using the methodologies, questionnaire, and interview materials for other case studies. NOTE * This work was carried out while Cohn was a Fulbright Senior Research Scholar at Unika Atma Jaya, Jakarta, Indonesia in 2012-13. It is thanks to the support of the Fulbright Program, administered by AMINEF, sabbatical leave from Cornell University, and the warm welcome of colleagues at PKBB that this research was conducted. The Center for the Humanities at the University of New Hampshire also supported a portion of this research. Thanks also to Rindu Simanjuntak for all his valuable assistance as research project manager. Versions of this paper were presented at SETALI, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, January 2013, and a colloquium at Department of Anthropology, Universitas Indonesia, March 2013. Thanks to both audiences for insightful questions and comments. 1
Currently 28 US states have so-called “English-only” or “Official English” policies. For discussion of these state-level policies, see English-only Movement, Wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Englishonly_movement). 2
To see more about the distribution of languages, bilingualism, etc., in the US, the Modern Language Association Language Map, available at http://www.mla.org/map_main, provides an excellent resource.
145
Abigail C. Cohn & Maya Ravindranath
3
Since no official or universally agreed upon labels exist, these are representative labels, chosen from a number of labels that are used for these varieties. 4
This calculation treats both Chinese and Arabic as single languages. See http://www.ethnologue.com/ statistics/size. 5
More information about Errington’s Middle Indonesia Project, titled "In Search of Middle Indonesia”, is available at http://www.kitlv.nl/home/Projects?id=14.
REFERENCES Adelaar, Alexander K. 2010. “Language Documentation in the West Austronesian World and Vanuatu: An Overview.” In: M. J. Florey (Ed.). Endangered Languages of Austronesia, 12-41. Oxford: OUP. Anderbeck, Karl. 2012. Portraits of Indonesian Language Vitality. Ms. Available https://sites. google.com/site/nusantaralanguagevitality/. Anderson, Benedict. 1991. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso. Anwar, Khaidir. 1980. Indonesian: The Development and Use of a National Language. Yogyakarta, Indonesia: Gadjah Mada University Press. Bahasa Kita Proyek. Available at http://lingweb.eva.mpg.de/jakarta/kuesioner.php. Baldauf Jr, Richard B. and Hoa Thi Mai Nguyen. 2012. “Language Policy in Asia and the Pacific.” In B. Spolsky (Ed.). The Cambridge Handbook of Language Policy, 617-638. Cambridge: CUP. Bialystok, Ellen, Fergus, I.M. Craig, and Gigi Luk. 2012. “Bilingualism: Consequences for mind and brain.” Trends in Cognitive Sciences, 16(4), 240–250. Cohn, Abigail C., John Bowden, Timothy McKinnon, Maya Ravindranath, Rindu Simanjuntak, Bradley Taylor, and Yanti. 2013. Kuesioner Penggunaan Bahasa Sehari-hari. Available at http://lingweb.eva.mpg.de/jakarta/kuesioner.php. Cohn, Abigail C., John Bowden, Timothy McKinnon, Maya Ravindranath, Rindu Simanjuntak, Bradley Taylor, and Yanti. 2014. “Assessing the impact of Indonesian on the maintenance of local languages.” Presented at KIMLI 2014, Lampung, Indonesia. Dardjowidjodjo, Soenjono 1998. “Strategies for a successful national language policy: The Indonesian case.” International Journal of the Sociology of Language 130: 35-47. Djajasudarma, T. Fatimah. 1994. Akulturasi bahasa Sunda dan non-Sunda di daerah pariwisata Pangandaran, Jawa Barat. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. English-only Movement. In Wikipedia. Retrieved from http://en.wikipedia.org/wiki/Englishonly_movement, Accessed April 25, 2013. Errington, J. Joseph. 1986. “Continuity and change in Indonesian language development.” Journal of Asian Studies 45(2), 329-353. Errington, J. Joseph. 1998a. “Indonesian(‘s) development: On the state of a language of state.” In B. B. Schieffelin, K. A. Woolard, and P. V. Kroskrity (Eds.). Language Ideologies: Practice and Theory, 271-284. New York: Oxford University Press. Errington, J. Joseph. 1998b. Shifting Languages: Interaction and Identity in Javanese Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.
146
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Florey, Margaret J. (Ed.). 2010. Endangered Languages of Austronesia. Oxford: Oxford University Press. Foulcher, Keith, Mikohiro Moriyama, and Manneke Budiman (Eds.). 2012. Words in Motion: Language and Discourse in Post-New Order Indonesia. Singapore: NUS Press. Goebel, Zane. 2005. “An ethnographic study of code choice in two neighbourhoods of Indonesia.” Australian Journal of Linguistics, 25(1), 85-107. Grimes, Charles E. 1996. “Indonesian—the official language of a multilingual nation.” In S. A. Wurm, P. Mühlhäusler, and D. T. Tryon (Eds.). Atlas of Languages of Intercultural Communication in the Pacific, Asia, and the America. Berlin: Mouton de Gruyter. Himmelmann, Nikolaus P. 2010. “Language endangerment scenarios: a case study from northern Central Sulawesi.” In M. J. Florey (Ed.). Endangered Languages of Austronesia, 45-72. Oxford: Oxford University Press. Kraus, Michael. 1992. “The world’s languages in crisis.” Language, 68 (1), 4-10. Kurniasih, Yacinta. 2006. “Gender, Class and Language Preference: A case study in Yogyakarta.” In K. Allan (Ed.). Selected papers from the 2005 Conference of the Australian Linguistic Society. Retrieved from http://www.als.asn.au. Lewis, M. Paul (Ed.). 2009. Ethnologue: Languages of the World, Sixteenth edition. Dallas, Texas: SIL International. Retrieved from http://www.ethnologue.com/16 on October 1, 2012. Lewis, M. Paul, Gary F. Simons, and Charles D. Fennig (Eds.). 2013. Ethnologue: Languages of the World, Seventeenth edition. Dallas, Texas: SIL International. Retrieved from http://www.ethnologue.com on April 24, 2013. Modern Language Association Language Map. Available at http://www.mla.org/map_main. Moriyama, Mikihiro. 2012. “Regional Languages and Decentralisation in Post-New Order Indonesia: The case of Sundanese.” In K. Foulcher, M. Moriyama and M. Budiman (Eds.). Words in Motion – Language and Discourse in Post-New Order Indonesia, 82100, Singapore: NUS Press. Mufwene, Salikoko S. 2002. “Colonisation, Globalisation, and the Future of Languages in the Twenty-first Century.” MOST Journal on Multicultural Societies, 4(2), 1- 47. Retrieved from http://www.unesco.org/most/vl4n2mufwene.pdf. Musgrave, Simon. n.d. Language shift and language maintenance in Indonesia. Retrieved from: http://users.monash.edu.au/~smusgrav/publications/LMLS_Indonesia_Musgrave.pdf. Nababan, P. W. J. 1985. “Bilingualism in Indonesia: Ethnic Language Maintenance and the Spread of the National Language.” Southeast Asian Journal of Social Science 13(1), 118. Paauw, Scott. 2009. “One land, one nation, one language: An analysis of Indonesia’s national language policy.” In H. Lehnert-LeHouillier and A.B. Fine (Eds.). University of Rochester Working Papers in the Language Sciences, 5(1), 2-16. Poejosoedarmo, Gloria. 2006. The Effect of Bahasa Indonesia as a Lingua Franca on the Javanese Speech Levels and Their Functions. International Journal of the Sociology of Language 177(1), 111–121.
147
Abigail C. Cohn & Maya Ravindranath
Ravindranath, Maya. 2009. Language Shift and the Speech Community: Sociolinguistic change in a Garifuna community in Belize. Unpublished doctoral dissertation, University of Pennsylvania, Philadelphia. Ravindranath, Maya and Abigail C. Cohn. 2014. “Can a language with millions of speakers be endangered?” Journal of the Southeast Asian Lingusitics Society (JEALS) 7, 64-75. Setiawan, Slamet. 2012. Children’s language in a bilingual community in East Java. Unpublished doctoral dissertation, The University of Western Australia, Perth, Australia. Smith-Hefner, Nancy. 2009. “Language shift, gender, and ideologies of modernity in Central Java, Indonesia.” Journal of Linguistic Anthropology, 19(1), 57-77. Sneddon, James N. 2003a. The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society. Sydney, NSW: UNSW Press. Sneddon, James N. 2003b. “Diglossia in Indonesian.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 159(4), 519-549. Sobarna, Cece. 2010. “Bahasa Sunda sudah di Ambang Pintu Kematiankah?” Makara, Sosial Humaniora (Social Humanities), 11(1), 13-17. Sobarna, Cece, T. Fatimah Djajasudarma, Oyon Sofyan Umsari. 1997. Kehidupan Bahasa Sunda Di Lingkungan Remaja Kodya Bandung. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Steinhauer, Hein. 1994. “The Indonesian language situation and linguistics; Prospects and possibilities.” Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde, 150(4), 755–784. UNESCO. UNESCO Atlas of the World’s Languages in Danger. Retrieved from http://www.unesco.org/culture/languages-atlas/. United States Census Bureau. 2010. Language Use in the US: 2007 American Community Survey Reports. Retrieved from http://www.census.gov/hhes/socdemo/language/, on April 25, 2013. Wolfram, Walt. 1998. “Language ideology and dialect: Understanding the Oakland Ebonics controversy.” Journal of English Linguistics 26(2), 108-121. Zentz, Lauren. 2012. Global Language Identities and Ideologies in an Indonesian University Context. Unpublished doctoral dissertation, University of Arizona, Arizona.
INTRODUCTION IN INDONESIAN SOCIAL SCIENCES AND HUMANITIES RESEARCH ARTICLES: HOW INDONESIAN WRITERS JUSTIFY THEIR RESEARCH PROJECTS Safnil Arsyad* Dian Eka Chandra Wardhana Bengkulu University Bengkulu University [email protected][email protected] Abstract The introductory part of a research article (RA) is very important because in this section writers must argue about the importance of their research topic and project so that they can attract their readers’ attention to read the whole article. This study analyzes RA introductions written by Indonesian writers in social sciences and humanities journals. It focuses on how they justify their research topics and research projects. A corpus of 200 research articles written in Indonesian by Indonesian writers and published in Indonesian research journals was analyzed in this study. Following the problem justifying project (PJP) model suggested by Arsyad (2001), the analyses were conducted by using the genre-based analysis of text communicative purpose of ‘move’ and ‘step’. The result of this study indicates that Indonesian writers justify their research project by introducing the actual research topic, identifying the research problem, and reviewing the current knowledge and practices. Keywords: introduction, research article, rhetorical style
Abstrak Bagian pendahuluan adalah bagian yang sangat penting dalam sebuah artikel jurnal penelitian karena di bagian ini penulis harus berargumen akan pentingnya topik dan kegiatan penelitian mereka sehingga pembaca tertarik untuk membaca seluruh artikel tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagian pendahuluan artikel jurnal penelitian yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh peneliti Indonesia dalam bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Fokus penelitian adalah tentang bagaimana penulis memberikan penjelasan untuk mempertahankan topik penelitian dan kegiatan penelitian mereka. Sebuah korpus dengan 200 artikel penelitian berbahasa Indonesia yang diterbitkan dalam jurnal penelitian Indonesia telah dipilih untuk penelitian ini. Dengan menggunakan model problem justifying project (PJP) yang disarankan oleh Arsyad (2001), analisis dilakukan dengan menggunakan analisis berbasis genre melalui analisis unit-unit berdasarkan tujuan komunikatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penulis Indonesia memberikan penjelasan untuk mempertahankan penelitian mereka dengan memperkenalkan topik penelitian, mengidentifikasi masalah penelitian, serta menelaah pengetahuan dan praktik terkait saat ini. Kata kunci: pendahuluan, artikel penelitian, gaya retorika
INTRODUCTION Research publication is very important for researchers because a research activity has not been completed if its results are not published in a scientific journal. Research findings will have practical economic and social impacts if they are published. Rifai (1995), in a rather harsh tone, suggests that all researchers who have received research fund from the government must publish their research results in a scientific journal as an accountability on the use of public fund, and those who do not comply with this can be regarded as unlawful and should be taken to court. He further states that researchers are obliged to publish the research findings because the final
Safnil Arsyad & Dian Eka Chandra Wardhana
objective of a scientific study is to give a solution to a specific problem. Similarly, Swales (1990) suggests that researchers must disseminate their research findings because a research project is not yet completed until the results are made available to the wider research community. Therefore, publication in journals is considered as the major route to tenure, promotion, and research grants in an academic life (Swales, 1990). The most appropriate means of disseminating research findings is through publication of research articles (RAs) in scientific journals. RAs enable scholars and scientists to communicate with each other in order to enhance their credibility. To attain professional success, researchers must understand and have the ability to compose in this genre (Berkenkotter and Huckin, 1995). Likewise, Indonesian researchers must be able to write RAs well so that they can publish their research articles not only in accredited national journals but also in reputable international journals. According to Swales (1990), the RA, which is the key genre of the academic discourse, has a dynamic relationship with all other public research-process genres, such as abstracts, theses and dissertations, presentations, grant proposals, books and monographs. RAs should also be given prominence because of their significant quantity. Swales (1990) suggests that about five million RAs in all disciplines and all languages are published every year. This situation implies that a very large number of people involved in the production and comprehension of this genre. Swales (1990) further states that “… research articles are a gargantuan genre and, consequently, they have become the standard product of the knowledge-manufacturing industries” (p. 95). One of the most important sections in an RA is the introduction section because it is the first section readers will read after the abstract. Thus, if readers are not impressed with it, they will unlikely continue reading the next sections of the article (Arsyad, 2001; Swales and Najjar, 1987). The introduction section of an RA functions to motivate readers to read the entire article, and therefore, this section must be written in an interesting and convincing way. According to Belcher (2009), the main purpose of this section is to ‘provide enough information for the readers to be able to understand your argument and its stakes’ (p.209). Correspondingly, Swales and Feak (1994) state that there are two main purposes of the introduction section: to give a logical reason for the article and to provoke readers to read it. However, the ways writers rhetorically present the arguments in their RA introduction will determine whether or not readers are impressed and convinced and whether or not they will continue reading the article. Writing an RA introduction in a particular discipline is not easy especially for university students and novice writers. Swales (1990) claims that for most writers writing an introduction is more difficult than writing the other sections of the article because in the introduction section writers have to provide the right amount and the right kind of information necessary for the readers to understand the research topic and research project (p.137). In addition, the RA introduction should be convincingly argumentative and persuasive as well as interestingly informative because this is the place where writers must attract their reader’s attention so that they are willing to read the entire article. The introduction section of an RA carries some persuasive value in that writers appeal to readers that their research project is important and useful (Hunston, 1994). According to Hunston (1994), in the introduction, RA writers have to address two very important reasons of why they carried out their research project: firstly, there is a knowledge gap left from previous relevant studies, and, secondly, the knowledge gap occurs in an important topic. These two distinctive issues are equally important but should be expressed in different rhetorical ways. In addition, different writers, as well as writers from different disciplines, may use different discourse styles or features in addressing these two different communicative units. In the introduction section of an RA, the writer must answer two important questions: 1) why the research topic is important or interesting and 2) why the research project is important or necessary. According to Swales (1990), in the context of international journal, the first question
150
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
can be answered by claiming that their research topic is interesting, valid, or classic, and that it has been investigated by many other researchers. The writer can also state the knowledge or practice and phenomena which are related to the research topic. By doing so, RA writers appeal to readers to consider that their RA is worth reading. However, the success of such persuasive appeal may depend on the writer’s credibility in the eyes of the readers; the more credible the RA writers the more successful the persuasion will be. The second question can be answered by pointing at the gap found in the previous research or in the current knowledge of a particular research topic in order to establish the niche for the present research (Swales, 1990; 2004). According to Swales, this is normally done by negatively evaluating or criticizing items from the previous relevant research. There are four possible strategies of presenting negative evaluation or criticism generally employed by RA writers: 1) showing disagreement in some way with the results of previous research and disputing or challenging them; 2) pointing out that the results of the previous research lack validity and reliability; 3) expressing that they want to answer a particular question arising from the previous research; and 4) expressing that they want to look further at the development of a particular case. Swales (1990) suggests that these claims are crucial especially in a competitive research environment where researchers face a tight competition for a research space. In order to succeed in the competition, giving ‘high-level claims’ is often important although this ‘involves contradicting large bodies of the relevant literature’ in order to challenge assumptions made by previous studies (Swales, 1990:117). The logical and reliable challenge to the already established knowledge or claims, although risky, is an important consideration for research journal editors to consider whether or not a particular RA can be published. THE RHETORICAL STYLE OF ENGLISH RA INTRODUCTIONS The rhetorical style of RA introduction in international journals published in English generally follows the pattern of ‘create a research space’ (CARS) as suggested Swales (1990:141). In this pattern, an RA introduction consists of three units or moves with different communicative functions. Each move contains of one or more subsequent units or steps with different communicative function aiming to describe each move in details in order to be more easily understood. In each subsequent unit or step, there can also be a smaller communicative unit. The rhetorical style of RA introduction in English according to the Swales’ CARS model is presented in Figure 1. Move 1: Establishing a territory Step 1 Claiming centrality; and/or Step 2 Making topic generalization(s); and/or Step 3 Reviewing items of previous research Move 2: Establishing a niche Step 1A Counter claiming; or Step 1B Indicating a gap; or Step 1C Question-raising; or Step 1D Continuing a tradition Move 3: Occupying a niche Step 1A Outlining purposes; or Step 1B Announcing present research Step 2 Announcing principle findings Step 3 Indicating RA structure
Declining rhetorical effort
Weakening knowledge claims
Increasing explicitness Figure 1. The CARS Model of English RA Introductions (Swales 1990:141)
151
Safnil Arsyad & Dian Eka Chandra Wardhana
As shown in Figure 1, most of the steps in the CARS model are optional. In Move 1, for example, only one step is mandatory while the other two steps are optional. However, one can also find an RA introduction containing all the three steps. Move 2, which is to establish the niche, can be expressed using one of the four possible steps. Move 3 can be delivered by using at least one of the three possible steps. According to Swales (1990), some steps are optional as they are intended to accommodate a greater variety of communicative function in the introduction of more complex RAs. Swales further claims that the number of steps used in the introduction of an RA can determine the quality of the RA in terms of its rhetorical style. It is also important to point out that the number of steps is actually determined by many factors, such as the cultural values in the language of the RA, conditions in certain areas of research, rhetorical style options available in a particular language, the distinctive nature of research topics, and rhetorical style preferred by the individual writers. Swales (2004) revised his CARS model of English RA introduction. He particularly changed the steps in Move 2. In the new model, the niche is established based on input from the research findings, as presented in Figure 2. Move 1: Establishing a territory (citation required) Via Topic generalizations of increasing specificity Move 2: Establishing a niche (citation possible) Via
[Possible recycling of increasingly specific topics]
Step 1A Indicating a gap Or Step 1B Adding to what is known Step 2 (optional) Presenting positive justification Figure 2. The Revised CARS Model (Swales 2004: 230)
The most obvious difference between the old and the new CARS models is in Move 2 (establishing a niche). As shown in Figure 2, in the new CARS model, Swales combines Step1A (counter claiming) and Step-1B (indicating a gap) into a new Step-1A (indicating a gap). In addition, Step-1C (raising question) and Step-1D (continuing tradition) are merged into a new Step-1B (adding to what is known). He also adds an optional step or Step-2 (presenting positive justification) in Move 2. According to Swales, this new model is potentially more flexible in accommodating for the varying environmental context of research from different fields. Yet, the main questions remain: 1) whether or not the model of RA introduction from different disciplines in a particular language is the same; 2) whether or not the model of RA introduction from a particular discipline is the same in different languages; and 3) whether or not the model of RA introduction from different disciplines and in different languages is the same. THE RHETORICAL STYLE OF INDONESIAN RA INTRODUCTION The way writers organize their ideas in RA introductions has become a focus of interest in scientific discourse studies recently in Indonesia. Studies on this topic have been conducted by a number of Indonesian scholars (among others Adnan, 2009; Mirahayuni, 2002; Arsyad, 2001; 2013). Arsyad (2001) investigated the rhetorical structure of RA introductions written in Indonesian by Indonesian writers in economics, psychology, and education. He found that the discourse style of RA introduction in the corpus of his study was different from the one of
152
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
English RAs as reflected in Swales’ (1990) CARS model. According to Arsyad (2001), some of the differences of the Indonesian RAs introduction in comparison to the one in English are as follows: 1) The introduction of Indonesian RAs has more moves and steps; 2) Move 1, which is to establish a territory, is built by referring to government policy to convince readers that the topic of the research project is important; 3) Move 2, which is the part in which a writer justifies a research project, is addressed by simply saying that the topic or the problem is necessary or interesting to investigate. In other words, Indonesian RA writers do not justify their research projects reported in their RA introductions as the ways English RA writers do. A comparative genre-based study of rhetorical style of RA introduction has been conducted by Mirahayuni (2002) by analyzing the rhetorical style of Indonesian and English RA introductions written by Indonesian and English writers. Mirahayuni employed CARS to analyze the rhetorical style of the introduction sections of three groups of RAs (20 RAs in English by English writers, 19 RAs in English by Indonesian writers, and 19 Indonesian RAs by Indonesian writers) in the field of language teaching or applied linguistics. She found significant differences between English RAs written by English writers and the ones written by Indonesian writers in the way they introduce and explain the importance of the research topic and research projects. To introduce and justify their research activities, English writers refer to the knowledge and findings of previous relevant studies. On the other hand, Indonesian writers refer to more practical problems occurring in the community. Mirahayuni concluded that, for Indonesian writers, research activities were conducted to address local problems and to be read by smaller scope of readers. Another study was conducted by Adnan (2009) who analyzed the discourse style of RA introductions in the discipline of education. By using Swales’ CARS as a model, Adnan found that out of twenty-one RA introductions written by Indonesian writers, none fit the discourse style of English RA introduction as suggested by Swales (1990). According to Adnan, in Move 1 (establishing a territory), the majority of Indonesian RA writers address the importance of their research topic by referring to practical problems faced by either the society or the government in general rather than by a particular discourse community. Furthermore, unlike Swales’ model of Move 2 (establishing a niche), none of the Indonesian RA writers justifies their research projects by discussing the gap in the findings of previous studies. Adnan proposes a modified model of an ideal problem solution (IPS) to capture the important discourse style of the Indonesian RA introduction sections, in particular for the discipline of education. A recent research project on the rhetorical style of English RA introductions written by Indonesian speakers was conducted by Arsyad (2013). Arsyad’s corpus consisted of 30 RAs taken from three different international journals published in Indonesia (ITB Journal of Engineering Science, Acta Medica Indonesia, and ITB Journal of Science). Arsyad’s research findings correspond to the findings of the previous studies (i.e. Adnan, 2009; Mirahayuni, 2002; and Arsyad, 2001) which reveal the fact that the rhetorical style of English RA introduction section written by Indonesian writers is different from the one written by English writers. One of the differences was the occurrence of Move 2: the way writers support the importance of the research activities. Only 15 (50%) of the English RAs by Indonesian writers have the move which can be classified as Move 2. In addition, out of 15 RAs, none of them used Step-1: counter claiming or justifying the importance of research activities on the basis of an evaluation or critique on the previous research results. Despite the differences, Arsyad also found similarities between the rhetorical style of English RA introductions written by Indonesian writers and the ones written by English writers. Both RAs had Move 1 (establishing a territory) and Move 3 (occupying a niche). In addition, almost all of them used contrastive discourse markers, such as while, however, and but, and also lexical negations, such as very limited, has not been, and not yet to assist readers in reading the article. These similarities might have
153
Safnil Arsyad & Dian Eka Chandra Wardhana
occurred since Indonesian writers used English RAs as the references for the discussion in both the RA introduction and discussion sections. The aforementioned studies are very important as they reveal how Indonesian academics of a particular discipline or group of discipline rhetorically write RA introductions. However, these studies only involve a small number of RAs as sample of the study. The findings of these studies need to be reevaluated and confirmed by studies with a larger corpus of RA introductions in the same field of discipline and in the same language. This study is also important because, as pointed out by Shi-xu (2005), although discourse studies of a language and/or culture other than English is often leftout or forgotten, these studies are important to produce balanced information in the literature and objective perception of academic society members at large on these languages and cultures. This study aims at investigating the argument style of Indonesian RA introductions written by Indonesian academics published in Indonesian research journals in social sciences and humanities. This study is also intended to evaluate the eligibility of the Problem Justifying Project (PJP) pattern proposed by Arsyad (2001)—further explanation of PJP is given below—to represent the rhetorical style of Indonesian RA introductions by analyzing a larger corpus of RA from more varied disciplines (compared to that of Arsyad’s (2001) study). The main questions addressed in this study are the following: a) What communicative units are found in the introduction sections of Indonesian RAs in social sciences and humanities and published in Indonesian research journals? b) How do Indonesian writers argue for the importance of their research topic reported in their Indonesian RA introductions in social sciences and humanities published in Indonesian research journals? c) How do Indonesian writers argue for the importance of their research projects reported in their Indonesian RA introductions in social sciences and humanities published in Indonesian research journals? To answer the above questions, genre-based analyses were conducted on the introduction sections of 200 Indonesian RAs published in Indonesian research journals in social sciences and humanities. METHOD The corpus of this study comprised 200 Indonesian RAs taken from research journals in the fields of language studies, literature studies, social sciences and law sciences published in Indonesian research journals. These articles were chosen to represent Indonesian RA genre in the field of social sciences and humanities. The distribution of the journals and the number of the RAs is summarized in Table 1 below. Table 1. The Distribution of RAs in the Corpus of this Study No. 1. 2. 3. 4. Total
Fields Code Number of RAs Percentage Language studies LGS 50 25% Literature studies LTS 50 25% Social sciences SOS 50 25% Law sciences LAS 50 25% 200 100%
Rhetorical analyses were done only on the introduction section of the RAs in the corpus of this study in order to answer the research questions. In this study, a communicative unit or move in the introduction section of the RAs was defined as follows:
154
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
... a clause or a set of clauses or a paragraph which shows a clear indication of a specific identifiable communicative purpose, signaled by linguistic clues or inferred from specific information in the text. The communicative units or moves in a particular text together develop a set of communicative purposes relevant to the genre of the text (Arsyad, 2001: 82). Smaller communicative units in this study were considered as a sub-communicative unit or Step. In line with Arsyad (2001), in this study, a step was defined as follows: [a] segment of a text containing a particular form rhetorical work necessary for realizing the communicative purpose of a move. Steps are strategies for encoding communicative purposes. The steps are mostly signaled by linguistic and discourse clues in the text or are inferred from the context (p.83). A segment in the text, such as a clause(s) or a paragraph(s), was considered a move or a step if it had a distinctive and identifiable communicative purpose or function. The processes of identifying communicative units in the introduction section of RAs were done following the procedures suggested by Dudley-Evans (1994) which were the following: 1) search for move structure by identifying move borders; 2) use a clause or a simple sentence as the smallest unit of analysis, and 3) use independent rater(s) to validate the analysis. In details, the analysis processes went through the following steps: first, read the title and subtitles, the abstracts and key terms in the RAs to get a rough understanding of the content of the RAs. Second, read the whole RA and divide it into the main sections of introduction, methods, results and discussion and conclusion (IMRDC). Third, read the introduction section of each RA again to look for the available linguistic and discourse clues, such as conjunctions, specific lexicons and discourse markers. Fourth, identify the possible communicative units in the RA introduction by using linguistic and discourse clues and also the researchers’ judgment based on their interpretation of the text. Fifth, identify the common discourse style of the RA introduction in particular the part in which Indonesian RA writers justified their research topic and research project. Finally, ask an independent rater to do the same procedure on samples of RA introduction sections in order to ensure the validity and reliability of the results of the analysis. The smallest unit analysis in this study was a clause or a simple sentence because it was unlikely that a single clause can address more than one communicative purpose as a clause should have only one topic or subject and one comment or predicate. The identification of moves in the discussion section of RAs was conducted by using linguistic and discourse clues such as, formulaic expressions, particular lexical items, cohesive markers, and other kinds of discourse clues, such as sub-titles or sub-section titles, paragraph as a unit of ideas, or by inferring from the information contained in the text. These clues enabled the researchers to segment the text into moves and identify the move boundaries. This study employed the Problem Justifying Project (PJP) pattern suggested by Arsyad (2001) as a model for the macro and micro rhetorical analyses in which an RA introduction may have up to four different moves as shown in the following figure.
155
Safnil Arsyad & Dian Eka Chandra Wardhana
Move 1 Establishing Shared Schemata by: Step A: Defining key terms; and/or Step B: Giving a short history of the research field; and/or Step C: Describing the geographical setting of the research; and/or Step D: Making a general claim. Move 2 Establishing the Research Field by: Step A: Introducing the actual research topic; and/or Step B: Identifying the research problem or phenomena; Step C: Referring to the government policy; and Step D: Reviewing the current knowledge and practice. Move 3 Justifying the Present Research Project by: Step A: Indicating a gap in previous study results; or Step B: Claiming that the topic has never or rarely been investigated; or Step C: Claiming that the topic is necessary to investigate; or Step D: Claiming interest in investigating a particular topic. Move 4 Announcing the Present Research by: Step A: Announcing the research purposes; and/or Step B: Stating the research questions; and/or Step C: Describing the specific features of the research; and/or Step D: Stating the expected benefits of the research; and/or Step E: Announcing the principal findings; and/or Step F: Proposing the research hypothesis; and/or Step G: Suggesting a solution to the research problem. Figure 3. The PJP Rhetorical Model for Indonesian RA Introductions A little modification has been made to the original PJP model in which Step C of Move 1 (Referring to the government policy) was moved to Step C of Move 2. This is because the rhetoric of ‘referring to the government policy’ can be considered as the RA writer’s strategy to justify their research topic. Since the majority of research projects in Indonesia are supported by government funding; therefore, a research project must deal with the government policy or program. Thus, a particular research topic is considered important if the research results may help the government understand and/or solve the possible practical problems in the community. The micro analysis focused on the ways Indonesian writers justified their research topic (Move 2) and the ways they justified their research project (Move 3). The present study employed PJP as a model, instead of CARS, because the corpus of this study was similar to that of Arsyad’s (2001) study in terms of the language and the writers (Indonesian). RESULTS AND DISCUSSION An independent rater involved in this study was a lecturer at the Indonesian education department of teacher training and education faculty of Bengkulu University who had a Ph.D. degree in Applied Linguistics. First, the independent rater was told how to identify the possible moves and steps in the texts following the procedures described above. She was given two weeks to identify the moves and steps in 20 (10%) randomly selected RA introductions from the corpus of this study. Inter-rater correlation analysis results showed about 15 out 20 RAs (75%) agreement; the inter-rater disagreement occurred in the frequency of occurrence of the steps of Move 2 and Move 3. No disagreement occurred in the identification and categorization of the moves (Moves 1, 2, 3 and 4) in the RA introduction sections. The disagreements were then discussed further in order to look for an agreement before further analyses were conducted.
156
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
The Main Communicative Units in the Indonesian RA Introductions The data analysis results of the main communicative units found in the introduction section of Indonesian RAs in the discipline of social sciences and humanities were presented in Table 2 below. Table 2. The Main Communicative Units in the Indonesian RA Introductions The Main Communicative Units Move 1 (Establishing shared schemata) Move 2 (Establishing the research field) Move 3 (Justifying the present research project) Move 4 (Announcing the present research)
Social Sciences n=50 40
Journal Disciplines Literature Language Studies Studies n=50 n=50 44 46
Law Sciences n=50 48
Total N=200
%
178
89%
50
42
48
47
187
93.5%
16
23
20
25
87
43.5%
41
35
36
28
140
70%
As shown in Table 2, the majority of the RA introductions in the corpus of this study have Move 1, 2 and 4: however, only some of them (87 or 43.4%) have Move 3. This implies that the PJP model proposed by Arsyad (2001) can represent the main communicative units in the Indonesian RA introductions in the field of social sciences and humanities. As also shown in Table 2, justifying the research project (Move 3) is considered to be not important by Indonesian writers—at least, it is not as important as establishing the shared schemata (Move 1) and establishing the research field (Move 2). Probably, Indonesian RA writers assume that the content of Move 2 (Establishing the research field), such as identifying the research problem, is convincing enough to justify their research project reported in the article. In fact, according to Nachmias and Nachmias (1976), identifying and stating research problems is a universal strategy of justifying the importance of particular research project. As mentioned by Nachmias and Nachmias (1976:10) the problem is “… an intellectual stimulus calling for a response in the form of a scientific answer” and since scientists are problem solvers, therefore, it is reasonable if in their research, scientists raise problems to ground their research. Table 2 also shows that only 140 RA introductions (70%) have Move 4 (announcing the present research). Writers are expected to announce the important features of their research project, such as research questions and/or objectives, significances of the study, principle findings and research hypotheses in the introduction section of their RAs in order to attract readers’ attention to read the whole article. This is because the main function of RA introduction is to convince readers that the research topic and research project reported in the RA is interesting and important and therefore it is worth reading (Hunston, 1994; Arsyad, 2001; Swales and Feak, 1994; and Swales and Najjar, 1987). Subsequently, RA writers must provide necessary information of their research project in their RA introductions (Belcher, 2009). Justification for the Importance of the Research Topic (Move 2) The second question of this study is how Indonesian writers argue for the importance of their research topic. The data analysis results of the frequency of steps of Move 2 is presented in Table 3 below.
157
Safnil Arsyad & Dian Eka Chandra Wardhana
Table 3. The Ways Indonesian Writers Justify their Research Topic (Move 2) The Writer’s Ways of Justifying the Research Topic A Introducing the actual research topic B Identifying the research problem C Referring to the government policy D Reviewing the currect knowledge and practices
Social Sciences n=50 30
Journal Disciplines Literature Language studies Studies n=50 n=50 45 19
Law sciences n=50 26
Total N=200
%
120
60%
26
34
33
28
121
60.5%
15
10
5
33
63
31.5%
41
40
41
33
155
77.5%
Table 3 shows that the majority of Indonesian writers support the importance of their research topic by simply introducing the actual research topic (Step-A); identifying the research problem (Step-B) and/or reviewing the current knowledge and practices related to the research topic (Step-D); however, only some of them also address the government policy (Step-C). The examples of the rhetorical work identified as the ways Indonesian writers justify their research topic in their RA introductions (Steps A, B, C and D) are given below: 1. Dunia perempuan yang terdapat dalam karya sastra diciptakan baik oleh pengarang laki-laki maupun perempuan. Sayangnya pada awal perkembangan karya sastra Indonesia hanya karya pengarang lak-laki yang diperhitungkan, sedangkan karya pengarang perempuan dianggap hanya sebagai karya populer yang tidak layak diperhitungkan (Step A: LTS-1) (The world of women has been writer in literary works by both male and female writers. Unfortunately, at the beginning of the development of Indonesian literary works, only the works of male writers were considered as high-quality literary works. The works of female writers, on the other hand, were only regarded as popular works and could never be classified as high-quality literary works.) 2. Menurut Quraisy Shihab, nikah siri adalah sah menurut hukum islam, tetapi dapat mengakibatkan dosa bagi pelakunya, karena melanggar ketentuan pemerintah. Aturan Ulil Amri harus dituruti selama tidak bertentangan dengan hukum hukum Allah (Step B: LAS-25) (According to Quraish Shihab, unregistered marriages are legal under Islamic law, but it can result in sin as it violates government regulations. Government rules must be obeyed as far as they do not contradict the laws of God). 3. Pada pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa negara. Selanjutnya bahasa Indonesia juga disebut sebagai bahasa Nasional, bahasa administrasi Negara, dan ditetapkan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah. Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran di semua jenjang pendidikan antara lain tertuang dalam Undang-Undang Sisdiknas, Pasal 33 Ayat 1 Nomor 20 Tahun 2003. (Step C: LGS-13) (In Article 30 of the Constitution of 1945, it is stated that Indonesian is the official language of the country. It is also stated that Indonesian is the national language, the language of the State administration, and also established as the language of education. The use of Indonesian as a means of instruction in teaching and learning process at all levels of education is also stated in the National Education Act of 2003, Article 33 Paragraph 1 No. 20).
158
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
4. Menurut Badudu (1988:14) terdapat lima peranan radio, yaitu: a) memberikan informasi, b) memberikan bimbingan, c) menyiarkan ilmu pengetahuan, d) memberikan hiburan, dan e) membina bahasa Indonesia yang baik dan benar (Step D: LGS-33) (According to Badudu (1988:14), there are five roles of radio broadcasting, namely: a) to provide information, b) to provide guidance, c) to broadcast knowledge, d) to provide entertainment, and e) to foster good and correct Indonesian). In English RA conventions, the research problem is a key issue of a research. Day (1996:30) states that “any piece of research is built around a design, which begins with identifying a problem and then the issue that guides our understanding.” Day further points out that research is designed mainly to find the answer to a specific problematic question. Correspondingly, Swales (1990:140) argues that problems are central to research in many disciplines, by saying that “problems or research questions or unexplained phenomena are the life blood of many research undertakings.” The format of research questions can be in the form of questions in the format of a hypothesis statement, as Travers (1969) has noted. Travers further suggests that research problems can be stated in terms of a question for which the proposed research is designed in order to obtain an answer. Sometimes, the question is referred to as a hypothesis. The strategies of Indonesian writers in justifying their research topic, as identified in the corpus of this study, are slightly different from the ones commonly used by the writers of English RAs. The obvious difference is in the occurrence of Step-C (referring to the government policy) in the Indonesian RA introductions as one way to justify the research topic. This step does not exist in the English RA introductions. The possible reason for the presence of this rhetorical work is that research projects in Indonesia are mainly funded by using government fundings. A research project can only be financially supported if it deals with the government program or policy and the research results are expected to help the government to solve practical problems in the society. Thus, to win the government research funding, researchers must relate their research topic to the government programs or policies. The Ways Indonesian Writers Justify their Research Project (Move 3) The last research question addressed in this study is how the Indonesian writers argue for the importance of their research project reported in the article. The data analysis results are presented in Table 4 below. Table 4: Argument Style of the Writers for the Importance of the Research Project The Writer’s Ways of Justifying the Research Project A Indicating a gap in previous studies B Claiming that the topic has never been or rarely investigated C Claiming that the topic is necessary to investigate D Claiming interest in investigating the topic
Social sciences n=50 4
Journal Disciplines Literature Language studies studies n=50 n=50 5 6
Law sciences n=50 4
Total N=200
%
19
9.5%
3
4
4
-
11
5.5%
6
8
4
10
28
14%
3
6
6
11
36
18%
159
Safnil Arsyad & Dian Eka Chandra Wardhana
As shown in Table 4, Indonesian writers justify their research project by using one of the four possible ways or Steps A, B, C or D. Below are examples of the steps of Move 3 taken from the corpus: 1. Karya ilmiah dengan aneka pembahasan di atas, meskipun sama-sama berpendapat tentang pentingnya pernak-pernik nilai budaya Islam Indonesia sebagai solusi alternatif bagi kerangka bina-damai, akan tetapi tidak secara spesifik membahas bagaimana nilai-nilai bina-damai sufistik cerita pewayangan. Oleh karenanya, penulisan karya ilmiah ini bukan pengulangan kajian-kajian ilmiah terdahulu dengan mengambil tema dan analisis kajian yang sama. (Step A: LTS-14) (Although all of the above scientific works argue for the importance of Islamic cultural values as an alternative solution for peace-building framework in different ways, they do not specifically discuss the values of peace-building of ‘Sufi’ puppet stories. Therefore, this scientific paper is different from previous scientific studies although it is of similar theme and field of analysis.) 2. Kekhasan bahasa Minangkabau ragam adat sangat menarik untuk dikaji. Apalagi selama ini, belum begitu banyak perhatian para sarjana bahasa mengkaji bahasa Minangkabau ragam adat ini. (Step B: LGS-20) (The characteristics of indigenous variety of Minangkabau language is very interesting to study. In addition, only few linguists have studied this variety of Minangkabau language.) 3. Namun dalam tataran lebih besar, pengembalian asset korupsi masih belum oftimal penanganannya, untuk itu layak pembentukan Lembaga Perampasan Aset. Berdasarkan kepada uraian tersebut di atas dalam penelitian ini, penulis menganggap penting masalah ini untuk diteliti, maka penulis mengambil tema mengenai pengawasan intern departemen dan tindaklanjutnya. (Step C:LAS-16) (However, in a larger scope, the recovery of the corruption assets is still not optimally handled; hence, the establishment of the agency of Asset Confiscation becomes necessary. Based on the above description, the writers consider that this issue must be investigated; accordingly, the theme of this study is the implementation of internal control structure and its further action.) 4. Dalam rangka menganalisis lebih jauh efektivitas upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang di Kota Bengkulu, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih jauh tema tersebut. (Step D: LAS-34) (In order to further analyze the effectiveness of the efforts to combat human trafficking crime in the city of Bengkulu, researchers are interested in investigating this topic further.) As also reflected in Table 4, only few Indonesian writers explain the importance of their research project by indicating a gap found in previous relevant studies. Indonesian writers tend to avoid giving a negative evaluation or criticism towards the work of others especially in academic writing. Keraf (1992) argues that the reason why Indonesian writers rarely criticize other people’s views is because criticizing other people, especially those who are older or have a higher social or economic status, is considered culturally impolite. According to Keraf, this is not an ideal attitude for scientists because the main objective of scientific work is to find the truth. Corresponding to Keraf’s argument, ethnographers such as Saville-Troike (1982) and Gudykunst and Ting-Toomey (1988) also argue that, unlike Western cultures, Eastern people such as Chinese, Koreans, and Japanese consider group harmony and collective value very important. They prefer to keep silence over boldly criticizing other people. Indonesian academic writers seem to adopt the same view when writing academic texts in Indonesian; that is avoiding criticizing or pointing at weaknesses of other people, in order to keep the group’s harmony or not to be considered impolite or appear face-threatening.
160
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Another possible explanation for the Indonesian writers’ reluctance to negatively evaluate other people’s work is because they do not see the need to do so. They, for example, do not have to compete for a research space or even to obtain a place in a journal publication in their own field of discipline in Indonesia. The claim that research on a particular topic is nonexistent or has never been reported may have been considered to be a convincing appeal from the writers to readers in order to accept that the present work is necessary and important. This is in line with the convention of RA writing in Indonesia which requires Indonesian researchers to express in their introduction that the research problem of their research really exists (Rifai, 1995). Accordingly, convincing readers that the research project was conducted because there was a practical problem on an important topic has been considered scientifically satisfactory. The Indonesian writers’ strategies in justifying their research project is different from the ones by English RA writers. The obvious difference, as shown in Table 4, is the use of ‘Claiming interest in investigating the topic’ or Step-D of Move 3 in the PJP model which is not available in Swales’ CARS model. One of the possible explanations for this condition is that Indonesian writers think that they can justify their research project by simply presenting and proving that there is a practical problem occurring in the society. If there is a problem on an important topic then a research activity is necessary in order to investigate the causes of the problem or to find the best solution for the problem. Although similar studies may have been conducted elsewhere, the results of those studies are not well socialized or distributed since communication between academics or researchers through seminars or conferences is infrequent and research reports are rarely published. This is why Indonesian writers tend to focus on local research contexts, rather than national or international ones, without considering the holistic or universal effect of their scientific works. A similar comment has been made by Soeparno et al. (1987 cited in Arsyad, 2001), who state that, in writing academic texts, Indonesian writers rarely consult indices of work carried out or articles written on Indonesia, such as Indeks Majalah Ilmiah Indonesia (Index of Indonesian Scientific Periodicals) which is published by Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Center for Scientific Documentation and Information of Indonesian Institute of Sciences). In other words, Indonesian writers do not attemp to relate their current works to the most recent works that has been conducted in Indonesia or elsewhere. The findings of this study support the argument that Indonesian RA writers do not attempt to find out whether studies relevant to or similar to their works have been carried out by other people in other places. Instead, they use their own findings to justify their studies. CONCLUSION AND SUGGESTION Indonesian writers who write in social sciences and humanities journals have their own rhetorical style of RA introductions which are different from the ones found in English RAs. There are three important findings that can be reported in this study. First, the majority of Indonesian RA introductions have Move 1, 2 and 4. However, only few of them have Move 3 (justifying the present research). Second, the majority of Indonesian writers justify their research topic simply by reviewing the present knowledge and research practices and/or identifying the research problems. Third, in contrast to what is commonly found in English RA introductions, very few Indonesian RA writers attempt to evaluate the work of others in previous relevant studies in order to justify their research project. It is suggested that when writing an RA in English, the Indonesian writers must modify their rhetorical style to match the one acceptable by English readers, in particular to justify their research topic and project. They need to support the importance of their research project by evaluating the weaknesses and shortcomings of previous relevant studies in order to fill the gap
161
Safnil Arsyad & Dian Eka Chandra Wardhana
on an important topic. By so doing, it is expected that the chance for their manuscript to be accepted for publication in an international journal is higher. NOTE * We would like to thank an anonymous reviewer for very helpful comments on the earlier draft.
BIBLIOGRAPHY Adnan, Zifirdaus. 2009. “Some Potential Problems for Research Articles Written by Indonesian Academics When Submitted to International English Language Journals.” Asian EFL Journal Quarterly 11 (1): 107-125. Arsyad, Safnil. 2001. Rhetorical Structure Analyses of Indonesian Research Articles. Unpublished Ph.D. Dissertation. The Australian National University, Canberra, Australia. Arsyad, Safnil. 2013. “A Genre-Based Analysis on the Introductions of Research Articles Written by Indonesian Academics.” TEFLIN Journal 24 (2): 180-200. Belcher, Wendy Laura. 2009. Writing Your Journal Article in Twelve Weeks: A Guide to Academic Publishing Success. California: SAGE Publications, Inc. Berkenkotter, Carol and Thomas N. Huckin. 1995. Genre Knowledge in Disciplinary Communication: Cognition/Culture/Power. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Day, Abby. 1996. How to Get Research Published in Journals. Hampshire: Gower Publishing Limited. Dudley-Evans, Tony. 1994. “Genre Analysis: An Approach to Text Analysis for ESP.” In R.M. Coulthard (Ed.). Advances in Written Text Analysis, 219-228. London: Routledge. Gudykunst, William and Stella Ting-Toomey. 1988. Culture and Interpersonal Communication, Newbury Park. California: Sage Publication. Hunston, Susan. 1994. “Evaluation and Organization in a Sample of Written Academic Discourse.” In R.M. Coulthard (Ed.). Advances in Written Text Analysis, 219-228. London: Routledge. Keraf, Gorys. 1992. Argumen dan Narasi, Jakarta: Gramedia. Mirahayuni, Ni Ketut. 2002. Investigating Textual Structure in Native and Nonnative English Research Articles: Strategy Differences between English and Indonesian Writers. Unpublished Ph.D. Dissertation, the University of New South Wales, Sydney, Australia. Nachmias, David and Chava Nachmias. 1976. Research Methods in the Social Sciences. London: St. Martin’s Press. Rifai, Mien A. 1995. Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan dan Penerbitan Karya Ilmiah Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Saville-Troike, Muriel. 1982. The Ethnography of Communication. Oxford: Basil Blackwell. Shi-xu. 2005. A Cultural Approach to Discourse. New York: Palgrave Macmillan. Swales, John M. 1990. Genre Analyses: English in Academic and Research Settings. Cambridge: Cambridge University Press.
162
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Swales, John M. 2004. Research Genres: Axplorations and Applications. Cambridge: Cambridge University Press. Swales, John M. and Christine B. Feak. 1994. Academic Writing for Graduate Students: Essential Tasks and Skills. Michigan: The Michigan University Press. Swales, John M. and Hazzem Najjar. 1987. “The Writing of Research Article Introductions.” Written Communication 4 (2): 175-191. Travers, Robert M.W. 1969. An Introduction to Educational Research (3rd ed.). New York: The Macmillan Company.
KEAJEKAN KONSEPTUAL DALAM METAFORA BARU Bahren Umar Siregar* Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya [email protected] Abstrak Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan tentang (a) bagaimana menentukan keajekan konseptual metafora yang baru, dan (b) apakah tingkat kemapanan metafora baru berpengaruh pada keajekan konseptual dalam metafora itu. Untuk itu, tiga metafora baru dan penggunaannya dalam berbagai media daring dan situs web dipilih sebagai data penelitian. Ketiga metafora tersebut adalah Jeruk kok minum jeruk, Cicak lawan buaya atau Cicak vs. buaya dan Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan. Penelitian ini menunjukkan bahwa keajekan konseptual metafora yang baru dapat ditentukan berdasarkan dua hal: (a) kekerapan penggunaan metafora; dan (b) ketertonjolan semantik makna metafora. Selain itu, karena kekerapan penggunaan berhubungan dengan kemapanan metafora, tingkat kemapanan metafora baru dengan demikian mempunyai pengaruh terhadap tingkat keajekan konseptual metafora. Kata kunci: keajekan konseptual, metafora baru, metafora konvensional, kemapanan
Abstract The present reserch on metaphors attempts to study (a) to what degree we can determine the conceptual stability of novel metaphors, and (b) whether the level of conventionality of the novel metaphors has an effect on their conceptual stability. Three relatively new metaphors such as Jeruk kok minum jeruk, literally means ‘How come an orange drinks the orange juice’, Cicak lawan buaya or Cicak vs. buaya (Lizard vs. Crocodile) and Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan (The Indonesian language as a carrier of knowledge) and their usage in various online media and websites were selected as data. The research has shown that the conceptual stability of a novel metaphor is determined by frequent use of the metaphor and saliency of its figurative meaning. As the level of conventionality of the metaphor also depends on the frequency of its use, the conventionality, therefore, has an effect on the conceptual stability. Keywords: conceptual stability, novel metaphors, conventional metaphors, conventionality “ No ve l me ta p h or s c a n h a ve t h e p owe r of d ef i n i n g r eal it y ” (Lakoff & Johnson, 1980a:484)
PENDAHULUAN Bahasa tidak hanya sekadar alat komunikasi; bagi Nietzsche1 bahasa adalah arus penampungan konseptual, tempat metafora baru memasuki bahasa dan secara berangsur menjadi mapan, digunakan sampai menjadi bagian konvensionalitas (bahasa). Masih menurut Nietzsche, dalam praktiknya metafora lama memberikan kerangka yang digunakan untuk menjelaskan metafora baru. Namun, dalam perjalanan penggunaan bahasa, metafora baru tidak selamanya berubah menjadi konvensional dan kemudian lenyap dari peredarannya dalam wacana. Metafora baru sering juga disebut sebagai metafora hidup, imajinatif, dinamis, atau metafora puitis. Metafora lama kemudian dinamakan juga sebagai metafora mati, konvensional, metafora lecek, atau metafora beku. Metafora yang termasuk ke dalam kategori ini kemudian cenderung dianggap sebagai ungkapan yang sudah bersifat harfiah atau bermakna nonmetaforis (Ricoeur 1975, Black 1993, Kittay 1987, dan Fogelin 1994).
Bahren Umar Siregar
Pada umumnya para linguis kognitifis sependapat dengan Lakoff dan Johnson (1980b), Lakoff (1987), dan Johnson (1987) bahwa metafora, apakah metafora lama atau baru, merupakan unsur mendasar dalam menyusun kategorisasi dunia (pandangan hidup) dan dalam proses berpikir manusia. Metafora merupakan bukti peran imajinasi dalam konseptualisasi dan penalaran. Namun, tidak semua sepakat tentang hakikat metafora dalam bahasa. Menurut pandangan linguistik kognitif yang paling ekstrem, semua bahasa bersifat metaforis. Dalam pandangan yang demikian, diyakini tidak terdapat perbedaan di antara bahasa figuratif dan bahasa literal atau bahasa harfiah. Sementara itu, dalam pandangan semantik kognitif yang lain, disepakati bahwa walaupun metafora terdapat di mana-mana dan dianggap sebagai modus berpikir yang sangat penting, konsep-konsep nonmetaforis juga terdapat dalam bahasa (periksa Novitz 1985:101). Pendapat yang kedua disebutkan di ataslah yang mendasari penelitian ini. Bahasa dapat bersifat metaforis maupun nonmetaforis. Penelitian ini dengan demikian sependapat bahwa baik konsep-konsep metaforis maupun nonmetaforis sama-sama ditemukan dalam bahasa. Penutur bahasa memiliki pilihan untuk apakah menggunakan makna harfiah ataupun makna metaforis dalam tuturannya, apakah memilih metafora lama (konvensional) atau menggunakan metafora yang baru sama sekali, atau memperluas konsep metaforis yang sudah ada untuk membentuk metafora yang baru, bergantung pada konteks penggunaannya dalam komunikasi. Penelitian tentang metafora baru sudah lama dilakukan. Bahkan dalam perkembangan penelitian metafora terdapat dua penekanan penelitian yang membentuk perbedaan ekstrem, yaitu penelitian metafora yang hanya berfokus pada metafora baru dan penelitian yang hanya mengambil metafora lama sebagai objek kajian (periksa Kronfeld 1980-1981). Menurut Kronfeld (1980-1981), pemisahan fokus penelitian yang terjadi bukanlah untuk kepentingan dalam memberikan penjelasan yang terbaik terhadap hakikat metafora dan hubungannya dengan pikiran. Penetapan pilihan terhadap metafora baru sebagai objek kajian dan menolak metafora lama sebagai sumber data atau sebaliknya hanyalah semata murni karena alasan metodologis. Tidak heran pada perkembangan berikutnya muncul kajian yang mengambil kedua-duanya, yakni metofora lama dan baru sebagai data penelitian, yang akhirnya memberikan petunjuk bagaimana menafsirkan metafora baru dari sejumlah ungkapan bahasa (periksa Lakoff dan Turner 1989). Dalam sejumlah kajian sebelumnya, keajekan konseptual dihubung-hubungkan dengan metafora konseptual. Beberapa peneliti, di antaranya Murphy (1996), Lakoff dan Kövecses (1987), Glucksberg dan McGlone (1999), menyebutkan bahwa metafora konseptual merupakan struktur yang mapan dalam pikiran penutur. Secara terpisah, Lakoff (1993:227-228, 245) menegaskan bahwa metafora konseptual bersifat ajek dan merupakan penayangan konseptual lintas ranah yang otomatis dalam pikiran penutur. Sementara itu, Kövecses (2010:137) mengatakan bahwa metafora konseptual terkait dengan penciptaan satu struktur yang kuat dan mapan bagi sistem yang kompleks. Sejak 80-an penelitian terhadap metafora baru telah banyak menarik perhatian peneliti dari berbagai disiplin seperti linguistik, antropologi, dan psikologi. Dari sekian banyak penelitian yang mengambil metafora baru sebagai data penelitian, hanya satu kajian (Martins 2006) yang membahas metafora baru dan keajekan konseptual. Namun, Martins (2006) hanya melihat bagaimana tiga pendekatan yang berbeda seperti pandangan klasik, kognitivisme, dan dekonstruksionisme mendekati metafora baru. Belum ada penelitian sebelumnya yang mencoba melihat bagaimana pengaruh keajekan konseptual terhadap kemapanan metafora baru. Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan tentang (a) bagaimana menentukan keajekan konseptual metafora yang baru, dan (b) apakah tingkat kemapanan metafora baru berpengaruh pada keajekan konseptual dalam metafora itu. Untuk itu, tiga metafora baru dan penggunaannya dalam berbagai media daring dan situs web dipilih sebagai data penelitian.
166
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Ketiga metafora tersebut adalah Jeruk kok minum jeruk, Cicak lawan buaya atau Cicak vs. buaya, dan Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan. TINJAUAN PUSTAKA Metafora merupakan ciri penting bahasa manusia dalam linguistik kognitif dan semantik kognitif. Secara umum, metafora dipahami sebagai gejala bahasa yang di dalamnya terdapat penataan satu ranah konseptual melalui ranah konseptual yang lain. Salah satu ciri penting metafora ialah perluasan makna karena metafora dapat memberikan makna baru melalui proses yang disebut dengan metaforisasi. Dalam linguistik kognitif perluasan makna berbasis metafora ini dapat terjadi pada berbagai gejala bahasa yang berbeda (Evans dan Green, 2006). Salah satu prinsip penting dalam semantik kognitif adalah model kognitif pada dasarnya adalah bersifat citra-skematik. Citra-skema ditransformasikan melalui cara kerja metaforis dan metonimis (Gärdenfors 1999). Struktur citra-skema merupakan bagian dari struktur semantik yang paling penting. Citra-skema adalah citra mental, konsep bergambar yang dipelajari melalui pengalaman atau melalui interaksi jasadi dengan dunia. Citra-skema adalah pola mental yang terus-menerus memberikan pemahaman yang terstruktur terhadap berbagai pengalaman dan siap digunakan melalui metafora sebagai satu ranah sumber untuk memahami pengalaman lainnya. Citra dan skema dapat sekaligus merupakan hasil dari proses yang sama. Citra sebagai unit representasional biasanya dianggap sebagai unit holistik, yang berbeda dengan skema sebagai struktur komposisional, terdiri dari seperangkat unsur dan seperangkat hubungan di antara unsur-unsur ini. Citra memadukan ke dalam satu representasi beberapa kesan yang didapatkan dari realitas. Citra selalu merupakan citra dari sesuatu. Citra melambangkan obyek dan tindakan. Citra adalah pengertian rasional yang harus digunakan untuk menunjuk suatu unit yang dipakai untuk merepresentasikan pengetahuan tentang dunia luar. Sementara skema lebih dekat dengan pengertian konsep, yaitu seperangkat fitur yang membatasi klasifikasi obyek. Skema selalu berhubungan dengan istilah “struktur” dan “unsur”. Seperti yang disebutkan oleh Lakoff dan Johnson (1980b), konsep-konsep tentang dunia, model-model mental, didasarkan utamanya pada citra-skema. Citra-skema digunakan untuk memahami gejala-gejala konkret seperti bagaimana roda berputar dan anak panah mengenai sasaran. Citra-skema yang sama digunakan untuk membentuk konsep-konsep metaforis (abstrak) tentang cara kerja dunia, nasib yang naik dan turun kemudian dilihat melalui citra-skema roda berputar ini atau pertanyaan yang melenceng dari sasaran dipahami melalui citra-skema anak panah mengenai sasaran, dan sebagainya. Metafora citra-skema jauh tersemat dalam bahasa dan pikiran, begitu dalam sehingga keberadaannya tidak pernah disadari sama sekali. Berdasarkan model di atas dapat ditafsirkan bahwa metafora, baik yang lama ataupun yang baru, muncul melalui pemetaan citra-skema ini terhadap pengalaman penutur dalam konteks yang mirip atau sama. Dengan kata lainnya, metafora memetakan citra-skema kepada konsep seperti waktu, keadaan, perubahan, tindakan, musabab, tujuan, cara, kuantitas, dan kategori. Hal ini didukung oleh Lakoff dan Johnson (1980b:252) yang mengatakan bahwa metafora dan metonimi konseptual yang ada sama-sama bisa membentuk gabungan metonimi dan metafora yang kompleks maupun yang baru. Sementara itu, Lakoff danTurner (1989) mengajukan tiga mekanisme untuk menentukan metafora baru dari suatu tuturan, yaitu melalui perluasan metafora lama (konvensional), metafora pada tingkat generik, dan metafora citra. Lakoff dan Johnson (1980b:53) menggolongkan metafora baru ke dalam metafora imajinatif atau metafora nonliteral.2 Metafora baru baginya adalah satu metafora yang sekadar menjadi cara berpikir yang baru tentang sesuatu ihwal tetapi tidak digunakan untuk menata sebagian dari sistem konseptual kita yang normal. Namun dalam kesempatan lain, Lakoff bersama Johnson (1980a), seperti yang dapat dibaca dalam kutipan yang mengawali bagian
167
Bahren Umar Siregar
pendahuluan, tetap menganggap bahwa metafora yang baru dapat memiliki kekuatan untuk mengatasi kenyataan. Grady (1999) menelusur analisis sistematik metafora baru dan lama untuk menemukan korelasi dalam pengalaman representasional yang membentuk prinsip dasar dari aspek-aspek pemikiran metaforis. Dia menggunakan tipologi metafora korelasi, metafora persamaan, dan metafora generik-adalah-spesifik dalam penelusurannya untuk menyatukan pandangan teori kemiripan dan teori metafora konseptual dalam kajian metafora lama dan baru. Menurut Gibbs (2010), penelitian yang menggunakan tipologi metafora persamaan menekankan kebaharuan pemetaan konseptual, sementara yang memanfaatkan metafora korelasi berfokus pada kemungkinan adanya pola-pola pikiran metaforis yang mapan. Berkaitan dengan perbedaan kedua tipologi ini, Kövecses (2010:310) mengatakan bahwa kedua tipologi ini, yakni metafora persamaan dan metafora korelasi harus dilihat sebagai saling melengkapi bukan sebagai dua hal yang bertentangan. Ketika metafora yang baru digunakan dan terus digunakan, kebaharuannya pun hilang tetapi metafora yang baru tetap berfungsi untuk menunjukkan sesuatu kepada petutur dalam cara yang baru. Sering metafora merupakan satu-satunya cara untuk mengomunikasikan apa yang dimaksudkan oleh penutur dengan tepat dan efisien. Metafora yang baru juga sering muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Penemuan baru dalam ilmu pengetahuan sering memerlukan cara untuk mengomunikasikannya kepada masyarakat ilmu itu, bahkan kepada masyarakat awam, sehingga metafora menjadi pilihan untuk melakukan ihwal tersebut. Metafora baru lahir dan digunakan dalam konteks, sama seperti metafora itu dipahami berdasarkan konteksnya. Bagaimana metafora lahir dalam konteks dan dipahami berdasarkan konteksnya telah dibuktikan oleh metode yang digunakan dalam kajian analisis wacana dalam penelitian teks percakapan. Berdasarkan fakta ini dan alasan bahwa metafora lama dan baru sama-sama bergantung pada konteks, beberapa peneliti tidak mempertentangkan perbedaan antara metafora lama dan baru. Cameron (2008:202), misalnya, tidak sependapat dengan pembagian metafora ke dalam metafora baru dan metafora lama. Menurutnya, metafora yang muncul dalam percakapan digunakan secara sengaja dan sadar. Ini berarti penutur mencari apa yang dianggapnya paling sesuai untuk mengungkapkan pikirannya. Dengan cara yang berbeda Gibbs (1994:262) mengatakan bahwa metafora yang baru tidak melibatkan konseptualisasi baru. Metafora baru hanya menggunakan perikutan yang baru dari citra-skema yang sudah ada. Ini berarti penggunaan metafora menjadi tepat apabila metafora itu sebanding dengan metafora yang sudah ada. Thibodeau dan Durgin (2008) telah membuktikan bahwa metafora yang sudah ada atau metafora lama membantu memahami metafora yang baru. Dalam kaitannya dengan metafora baru dan keajekan konseptual, Martins (2006) membahas tiga pendekatan yang sangat berbeda terhadap metafora baru, yaitu pendekatan klasik, kognitif, dan dekonstruksionisme dengan tujuan untuk mencoba mencari titik temu dalam ketiga pendekatan ini. Selanjutnya, dia berpendapat sebagai berikut: pendekatan klasik menganggap bahwa metafora didefinisikan dari segi kebaharuannya berdasarkan sistem konseptual yang sudah mapan. Pendekatan kognitif melihat metafora konseptual baru sebagai sesuatu hal yang memungkinkan, tetapi relatif merupakan gejala yang jarang terjadi. Dalam pendekatan dekonstruksionisme terdapat pandangan bahwa kebaharuan metafora merupakan kemustahilan dan tidak perlu dipermasalahkan. Martins (2006) menyimpulkan bahwa penggunaan wawasan Wittgensteinian tentang bahasa dan makna telah membuka kemungkinan untuk menyatukan ketiga pendekatan di atas dalam pengkajian metafora baru dan keajekan konseptual. Walaupun ketidakajekan dalam metafora dipertentangkan dengan keajekan konseptual yang diwujudkan melalui metafora konseptual, ketidakajekan dalam metafora tidak banyak disebut-sebut dalam pustaka. Ketidakajekan konseptual dalam metafora dianggap tidak penting
168
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
karena metafora seperti ini tidak termasuk ke dalam kategori metafora konseptual sehingga tidak dapat digunakan untuk memunculkan kategori metafora yang ajek. Lakoff (1993) dan Lakoff dan Turner (1989) menggunakan istilah metafora citra untuk merujuk kepada metaforametafora yang muncul sebagai metafora fana (tidak ajek), yang tidak pernah menjadi ajek, sehingga tidak dileksikalisasikan ke dalam bahasa. Sementara itu, Ruiz de Mendoza (1999) dalam Ureña (2012:247) menyebut kasus ini dengan istilah metafora situasional. Dalam bahasa Indonesia, sapi perah atau sapi perahan telah menjadi metafora lama atau konvensional. Metafora ini telah dileksikalisasikan ke dalam bahasa Indonesia dan ditemukan dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBI 2008) dengan makna ‘orang yg diperas tenaganya (penghasilannya, dsb) oleh orang lain; orang yg dimanfaatkan secara terus-menerus oleh orang lain’. Bahkan, tanpa dipasangkan dengan target atau topik tertentu, orang sudah dapat memahami maknanya. Selanjutnya, apabila dipasangkan dengan target tertentu seperti dia, BUMN, Pertamina, perusahaan itu, dan sebagainya menjadi Dia jadi sapi perahan, BUMN jadi sapi perahan, Pertamina jadi sapi perahan, Perusahaan itu jadi sapi perahan, metafora ini tetap ajek secara konseptual. METODE PENELITIAN Data penelitian ini adalah tiga metafora baru dalam bahasa Indonesia. Yang pertama adalah data metafora Jeruk kok minum jeruk yang digunakan dalam Siregar (2005) dan perkembangan penggunaannya dalam beberapa tahun terakhir. Yang kedua dan ketiga adalah metafora baru Cicak lawan buaya atau Cicak vs. buaya dan Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan. Penggunaan ketiga metafora ini dikumpulkan dari media daring, beberapa blog di internet, termasuk jejaring sosial. Sumber data seperti ini dipilih karena sumber data penggunaan bahasa yang memberikan akses yang paling mudah untuk dimasuki adalah data tuturan yang terdapat dalam media daring dan situs-situs lainnya di internet. Khusus untuk metafora Jeruk kok minum jeruk pengumpulan data tambahan dilakukan untuk melihat perkembangan penggunaan metafora tersebut. Prosedur penentuan metafora yang digunakan dalam penelitian ini adalah prosedur MIPVU (Steen et al. 2010) untuk menentukan unsur teks yang menjadi sumber data sebagai metafora atau tidak. Untuk melihat basis atau motivasi metaforis dalam masing-masing penggunaannya, penelitian ini menggunakan pendekatan tipologis dalam analisis data, yaitu metafora korelasi, metafora persamaan, dan metafora generik-adalah-spesifik (Grady 1999). HASIL DAN PEMBAHASAN Seiring dengan waktu dan kekerapan penggunaannya, metafora yang baru kemudian mengalami leksikalisasi atau terkonvensionalisasi. Pada tingkat ini, metafora kemudian menjadi metafora konvensional dan menjadi bagian dari kamus. Dari ketiga metafora baru yang ditelusur dengan menggunakan mesin pencari Google, setelah dianalisis, ditemukan dua tambahan penggunaan baru untuk metafora Jeruk kok minum jeruk. Konteks penggunaan metafora ini lebih banyak dan dengan topik yang bervariasi. Penelitian ini juga menemukan bahwa metafora Cicak lawan buaya digunakan hanya dalam konteks yang terbatas dengan topik KPK dan Polri. Sementara itu, penggunaan metafora Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan ditemukan lebih banyak dibandingkan dengan metafora Cicak lawan buaya dalam berbagai forum daring tetapi dengan topik yang juga terbatas. Metafora Jeruk kok Minum Jeruk Dalam penelitian sebelumnya, Siregar (2005) menemukan bahwa metafora Jeruk kok minum jeruk memiliki sembilan makna berbeda seperti (1) – (9) di bawah ini.
169
Bahren Umar Siregar
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
‘Meludah ke atas terpercik muka sendiri’ ‘Orang yang bermasalah akan selalu menimbulkan masalah pada orang lain’ ‘Pencuri mengaku dicuri’, ‘Maling teriak maling’ ‘Memilih diri sendiri dalam pemilihan’ ‘Tidak memilih diri sendiri (kelompok sendiri) dalam pemilihan’ ‘Pagar makan tanaman’ ‘Kuman di seberang lautan kelihatan, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan’ ‘Koruptor tidak mungkin memberantas korupsi’ ‘Membatalkan keputusan yang telah dibuat tanpa alasan yang kuat’
Terkait dengan inventarisasi makna ini selanjutnya Siregar (2005:87) mengatakan bahwa (a) di antara makna-makna metafora itu terdapat pertentangan makna, dan (b) metafora Jeruk kok minum jeruk belum mempunyai makna yang ajek: “Yang menarik ialah ternyata metafora ini juga memiliki dua makna yang bertentangan, yaitu ‘Memilih diri sendiri dalam pemilihan’ dan ‘Tidak memilih diri sendiri (kelompok sendiri) dalam pemilihan’. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa peran konteks sangat penting untuk mengetahui makna yang dimaksudkan melalui metafora yang digunakan. Sebagai metafora baru, metafora ini cenderung belum mendapatkan makna yang tetap.” Dari perkembangan penggunaannya ditemukan dua makna lagi yang tidak termasuk ke dalam kesembilan makna yang ditemukan Siregar (2005) di atas. Metafora Jeruk kok minum jeruk mempunyai makna (10) untuk merujuk pada seorang pria atau wanita yang berhubungan seksual dengan sesama pria atau sesama wanita lain. Sementara itu, masih dalam topik ‘pernikahan’, ‘perkawinan’, atau ‘berhubungan seksual’, makna (11) merujuk kepada seorang pria atau wanita yang menikah dengan wanita atau pria yang sama-sama bekerja di tempat atau lembaga yang sama, atau seorang pria atau wanita yang menikah dengan wanita atau pria yang sama-sama mempunyai marga yang sama. 10) ‘Perkawinan atau berhubungan seks dengan pasangan sejenis atau homoseks dan lesbian’ Obama is disgusting... Let gay and lesbian become the parts of his army... Nanti bukannya berperang malah asyik sedot2an. Jeruk kok minum jeruk... Ihhhh...3 11) ‘Menikah dengan pasangan yang berasal dari instansi, kampung/desa, atau daerah (marga) sendiri’ Kalau disebut satu per satu, mungkin ada lebih dari satu postingan tentang keunikan alumni TN ini. Tapi yang sedang merebak tidak lain dan tidak bukan adalah “jeruk makan jeruk”. Jeruk makan jeruk yang berbeda dari pengertian homo serta lesbi melainkan memiliki ketertarikan terhadap sesama jenis alumni TN yang berbeda kelamin. Nah lo! Bingung? Secara sederhana bisa dibilang ada abang suka sama adik, adik suka sama abang atau sesama satu angkatan tapi jelas-jelas beda jenis kelamin, bukan kaum sodom yang dilaknat Allah.4 Untuk memperjelas inventarisasi kesembilan makna metaforis di atas, Siregar (2005) memberikan sembilan konteks Jeruk kok minum jeruk, yang datanya juga berasal dari berbagai situs internet, masing-masing sesuai dengan maknanya sebagai berikut ini:5 12) ‘Meludah ke atas terpercik muka sendiri’ “Tonjokan” Ketua KPU Pusat ... yang mengakui kinerja KPUD lamban, sama dengan jeruk minum jeruk atau makecuh marep menek (berludah ke atas). (Bali Post Online, 9 April 2004)
170
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
13) ‘Orang yang bermasalah akan selalu menimbulkan masalah pada orang lain’ Yah begitulah kalau jeruk minum jeruk, makanya pilih capres yang bersih tanpa ada masalah dan beban di masa lalu. No1 bermasalah, No2 bermasalah, No4 bermasalah, No5 tidak qualified, Jadi ya pilihannya gak ada lagi tinggal No3 yang Bersih, Cerdas, Jujur, Berani, Amanah. Ayo kita bangun Indonesia jauhkan jeruk minum jeruk. GatotKaca ([email protected]) - Djokdja 14) ‘Pencuri mengaku dicuri’, ‘Maling teriak maling’ Jeruk kok minum jeruk. Rampok kok mengaku dirampok. Tapi itulah yang dilakukan oleh ..., warga Jl Lumajang Probolinggo. Untuk mengelabui petugas, beberapa waktu lalu dia mengaku dirampok di Desa Bantaran. Padahal, dia sendiri yang melakukan perampokan. (Jawa Pos Online, 3 Agustus 2004) 15) ‘Memilih diri sendiri dalam pemilihan’ Pemungutan suara berdasarkan daftar hadir para anggota Dewan. ... Ketika Ketua DPRD itu masuk ke bilik suara muncul celotehan, “Masak jeruk minum jeruk”. (Suara Merdeka Online, 23 Januari 2004) 16) ‘Tidak memilih diri sendiri (kelompok sendiri) dalam pemilihan’ “Saya akan maju jadi calon presiden dari PKB. Mana ada capres yang mendukung capres partai lain. Masak jeruk, minum jeruk”. (Suara Merdeka Cyber News, 27 April 2004) 17) ‘Pagar makan tanaman’ Ternyata istilah Jeruk minum Jeruk kembali terjadi lagi. Kali ini korbannya adalah seorang tukang jahit yang bernama, Kasmo (42), warga Perumnas Gunung Ibul Blok A-1 Prabumu lih Timur. Ketika Kasmo meninggalkan rumahnya untuk menjahit di Pasar Inpres, Jumat (19/3) sekitar pukul 10.30 WIB, isi rumahnya dijarah maling yang diduga tetangganya sendiri.(Sriwijaya Post Online, 20 Maret 2004) 18) ‘Kuman di seberang lautan kelihatan, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan’ FAN Dewan Kota mengibaratkan Bambang SP sebagai “Jeruk Minum Jeruk”. “Kalau yang dikritik masalah APBD Kota, seharusnya Sekda DIY ... bercermin dulu. Untuk kasus JEC (Jogja Expo Center) itu kan ada kemungkinan dirinya (...) juga menjadi calon tersangka berikutnya. Kalau demikian kan ibarat Jeruk Minum Jeruk”. (Bernas Online, 24 November 2004) 19) ‘Koruptor tidak mungkin memberantas korupsi’ La wongkoroptor kok mau brantaskoroptor/koropsi, itu ibarat “Jeruk Minum Jeruk”. (Gatra Online, 29 Maret 2004) 20) ‘Membatalkan keputusan yang telah dibuat tanpa alasan yang kuat’ “Kalau keputusan rapim mau dianulir dengan mengadakan rapim, itu namanya jeruk minum jeruk. Saya bisa memahami kalau para peserta konvensi ngamuk karena mereka telah kobol-kobol membiayai daerah, tapi akhirnya dikibuli juga,” ujarnya. (Rakyat Merdeka Online, 10 Februari 2004). Dalam metafora Jeruk kok minum jeruk, sebagian besar metafora ini merupakan perluasan konseptual metafora TANAMAN sebagai MANUSIA. Jika demikian, metafora Jeruk kok minum jeruk dapat ditafsirkan sedang mempertanyakan ihwal yang berkaitan dengan kanibalisme. Kanibalisme berkaitan dengan keadaan (perbuatan) memakan sesama manusia, yang dalam kebudayaan masyarakat Indonesia merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima. Keterkaitan makna metafora ini dengan bagian dari nilai sosiokultural masyarakat penuturnya dapat menambah ketertonjolan makna metafora itu.
171
Bahren Umar Siregar
Metafora Cicak Lawan Buaya Metafora Cicak Lawan Buaya atau Cicak vs. Buaya muncul pada tahun 2009. Pada tahun 2012, metafora ini kembali populer dan dijuluki dengan Cicak Lawan Buaya Jilid Kedua atau Cicak vs. Buaya Jilid Kedua. Kedua metafora ini sama-sama merujuk pada perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pihak Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Dari berbagai konteks penggunaannya, kelihatannya metafora hanya merujuk pada satu makna, yaitu: ‘KPK lawan Polri dalam kasus pemberantasan korupsi’. Dalam konteksnya, metafora ini merujuk pada KPK dan Polri yang sama-sama lembaga penegak hukum untuk memberantas korupsi di Indonesia. Masalah muncul ketika tindak korupsi yang akan diselidiki melibatkan oknum Polri sehingga KPK harus berhadapan dengan sesama lembaga pemberantasan korupsi. Metafora ini kemudian muncul ketika terjadi perlawanan dari pihak Polri dan memaksakan agar kasus korupsi yang melibatkan Polri cukup ditangani oleh pihak kepolisian. Walaupun pada awalnya tidak dimaksudkan demikian, pada perkembangan penggunaannya metafora Cicak lawan buaya ditafsirkan sebagai perseteruan antara KPK dan Polri. KPK dihubung-hubungkan dengan lembaga yang kecil, lemah, dan tidak berdaya melawan Polri yang besar, kuat, dan berkuasa. Dalam perkembangan penggunaannya, ‘cicak’ merujuk pada KPK dan ‘buaya’ merujuk pada polisi atau lembaga Kepolisian RI (Polri) yang korup. Meskipun yang melakukan tindak pidana korupsi adalah ‘oknum kepolisian,’ dalam metafora ini terjadi metonimisasi BAGIAN untuk KESELURUHAN. Individu polisi menjadi rujukan untuk seluruh polisi atau Polri sebagai lembaga yang menghimpun anggota kepolisian seluruhnya. 21) “…cicak kok mau melawan buaya…” (Majalah TEMPO, 6-12 Juli 2009) 22) Menurut Oce, sejak awal muncul kasus simulator kemudi, potensi kemunculan Cicak vs Buaya jilid dua sudah diperkirakan oleh banyak pegiat antikorupsi. (TEMPO CO., 6 Oktober 2012). 23) Salaman atau salam damai adalah kalimat mempunyai makna yang sangat positif. Ia bisa berarti mempertemukan dua manusia untuk saling mempererat tali silaturahim atau bisa juga dimaknai simbol saling memaafkan orang-orang yang sempat bertikai. Tapi Buaya Jalanan menghancurkan makna dari simbol yang baik itu. Dijalanan salaman atau salam damai dipraktekan sebagai permintaan buaya kepada pengguna jalan yang (dianggap) bersalah untuk menyelipkan lembaran rupiah ke tangan kanannya dan diajaknya salaman agar lembaran rupiah ituberpindah ketangan buaya.6 Dalam metafora Cicak lawan buaya terdapat makna metaforis ‘yang lemah melawan yang kuat’ dan dua metonimi CICAK untuk KPK (yang lemah) dan BUAYA untuk POLRI. Dari penggunaannya, POLRI mengalami perluasan metonimi menjadi BUAYA untuk POLISI YANG KORUP. Seperti yang dapat diamati dalam data (23), buaya merujuk kepada ‘oknum polisi lalu lintas yang meminta suap’. Dalam data ini sekaligus pula terjadi perluasan metaforis dari ‘buaya’ dengan makna ‘kuat’ kepada ‘buaya’ dengan makna ‘koruptor’. Kelihatannya secara konseptual metafora buaya belum seajek metafora tikus dalam hubungannya dengan makna ‘korupsi’, ‘koruptor’, dan ‘penyelewengan’. Dibandingkan dengan metafora ‘buaya’, metafora ‘tikus’ sudah terleksikalisasi dalam bahasa Indonesia. Dalam KBI misalnya, ditemukan lema dimakan tikus dengan makna ‘dicuri orang sedikit demi sedikit’. Keajekan konseptual metafora tikus ini dapat pula dilhat pada tajuk berita daring: Penasaran dengan Pemain Anggaran, Basuki Pasang “Jebakan Tikus”.7 Metafora buaya lebih menonjol dalam konteks metafora yang berbeda dalam bahasa Indonesia. Seperti yang dikutip dari KBI di bawah ini, metafora ini lebih menonjol dalam
172
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
makna ‘menipu’ sehingga makna metaforis yang berkaitan dengan ‘korupsi’ atau ‘kuat, besar’ masih relatif baru dan belum mapan dalam penggunaan bahasa Indonesia. mem·bu·a·ya v1 menyerupai buaya; merangkak; 2ki menjadi penjahat; mengganggu perempuan; mem·bu·a·yaiv ki1 menipu; memperdayakan: sudah sering ia membuayai pedagang-pedagang, tetapi belum pernah tertangkap;2 menggertak; menakut-nakuti: gemetar ia krn tamu itu membuayainya.8 Metafora Bahasa sebagai Penghela Ilmu Pengetahuan Metafora bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan pertama sekali muncul dalam wacana pembahasan Kurikulum 2013, khususnya yang berkaitan dengan pemelajaran bahasa Indonesia. Untuk membantu memahami metafora yang baru ini, metafora penghela ilmu pengetahuan sering diikuti dengan padanannya dalam bahasa Inggris, misalnya: penghela ilmu pengetahuan (carrier of knowledge). Dengan memberikan padanannya dalam bahasa Inggris pembaca diharapkan lebih memahami metafora ini dalam konteks “mata pelajaran bahasa Indonesia sebagai pembawa ilmu pengetahuan”. Dalam penggunaannya di berbagai situs web, ternyata terdapat dua penafsiran yang dapat diberikan kepada metafora ini. Bahasa Indonesia yang mengalami proses metonimisasi dalam metafora Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan menunjuk pada dua acuan, yaitu BAHASA INDONESIA sebagai bahasa dan BAHASA INDONESIA sebagai mata pelajaran. Hal ini terlihat jelas pada data di bawah ini: BAHASA INDONESIA sebagai mata pelajaran: 24) “Pelajaran Bahasa Indonesia akan menjadi sangat strategis karena porsinya akan lebih besar, digunakan sebagai bahasa pengantar, sekaligus menjadi penghela perkembangan ilmu pengetahuan.”9 25) Dalam kurikulum 2013 ditegaskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, bahwa Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan.10 26) Kurikulum 2013 menempatkan Bahasa Indonesia sebagai penghela mata pelajaran lain dan karenanya harus berada di depan semua mata pelajaran lain. Apabila peserta didik tidak menguasai mata pelajaran tertentu harus dipastikan bahwa yang tidak dikuasainya adalah substansi mata pelajaran tersebut, bukan karena kelemahan penguasaan bahasa pengantar yang dipergunakan (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia 2013). 27) Usaha membentuk saluran sempurna (perfect channels dalam teknologi komunikasi) dapat dilakukan dengan menempatkan bahasa sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain. Dengan kata lain, kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai konteks dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa Indonesia.11 BAHASA INDONESIA sebagai bahasa: 28) Kurikulum 2013 membawa banyak perubahan. Salah satunya adalah adanya penekanan dalam hal penggunaan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia diposisikan sebagai penghela pengetahuan. Maknanya, secara implisit (tapi cukup keras) bahasa Indonesia ditetapkan sebagai ujung tombak dalam pembelajaran.12 29) Apalagi saat ini, bahasa Indonesia juga diberi peran sebagai penghela ilmu pengetahuan. Sebagai penghela, yang mendorong, bahasa Indonesia harus mampu menjadi alat bantu bagi anak didik untuk menguasai ilmu pengetahuan. Banyak tantangan yang harus kami hadapi untuk menjalankan peran bahasa Indonesia.13 30) Untuk itu, sebagai bahasa penghela dan pembawa ilmu pengetahuan, bahasa Indonesia sudah dirancang kehadirannya pada ruang pembelajaran teks yang membuat bahasa nasional lebih ramah terhadap bahasa daerah.14
173
Bahren Umar Siregar
31) “Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia yang semakin mantap. Hal ini membuat bahasa Indonesia berkembang amat pesat, menyebabkan bahasa Indonesia bukan saja sebagai bahasa pengikat persatuan dan kesatuan bangsa, melainkan juga menjadi penghela ilmu pengetahuan,”15 32) “Sebagai penghela ilmu pengetahuan, bahasa Indonesia telah mampu mewadahi keberagaman konsep pengetahuan, baik konsep yang berakar pada kearifan nusantara maupun konsep peradaban baru,”16 Sebagai metafora baru, metafora ini jelas masih belum mapan. Kata wahana dibandingkan penghela masih lebih mapan dalam berkolokasi dengan ilmu pengetahuan seperti ‘Bahasa Indonesia sebagai wahana ilmu pengetahuan’ dibandingkan dengan ‘Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan’. Ketidakmapanan metafora ini cenderung mempengaruhi keajekan konseptual, yang di antaranya dapat menyebabkan kegagalan memahami makna yang dimaksudkan metafora ini seperti yang dapat diamati pada data (28) – (32). Ada dua jenis gagal paham yang terdapat pada data ini, yaitu (a) salah perujukan, dan (b) gagal semantik. Yang pertama, bahasa Indonesia yang dijadikan rujukan dalam metafora ‘Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan’ adalah ‘Bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran’ bukan ‘bahasa Indonesia sebagai sistem linguistik’. Jadi data (28) – (32) merupakan contoh salah perujukan. Sementara itu, gagal semantik terdapat pada data (29). Kata penghela keliru dipahami dengan makna ‘pendorong’ seperti dalam Sebagai penghela, yang mendorong. SIMPULAN Dari analisis data dapat disimpulkan bahwa keajekan konseptual metafora yang baru dapat ditentukan berdasarkan sedikitnya dua hal: (a) kekerapan penggunaan metafora itu dalam berbagai konteks yang berkaitan; dan (b) ketertonjolan semantik makna metafora itu di antara makna-makna unsur kata yang mendukung metafora tersebut, misalnya makna pada ranah sumber.17 Faktor kekerapan penggunaan metafora berkaitan dengan tingkat kemapanan metafora itu juga diakui oleh Jones dan Estes (2006:19). Ini berarti bahwa tingkat kemapanan metafora baru mempunyai pengaruh terhadap tingkat keajekan konseptual metafora itu. Sementara itu, aspek ketertonjolan cenderung bersifat laten sehingga satu metafora yang menonjol beberapa saat dapat saja meredup penggunaannya dan pada saat lainnya muncul kembali dalam penggunaan bahasa dalam kasus penggunaan yang serupa tetapi dalam konteks yang berbeda. Dari ketiga metafora baru yang dibahas, yakni metafora Jeruk kok minum jeruk, Cicak lawan buaya, dan Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan, metafora Jeruk kok minum jeruk memiliki keajekan konseptual yang lebih tinggi dibandingkan kedua metafora baru lainnya. Metafora ini mengalami proses abstraksi dan konvensionalisasi secara bertahap pada saat metafora ini berkembang dari penggunaannya yang masih baru sampai menjadi metafora konvensional. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa kemapanan metafora berpengaruh terhadap keajekan konseptual metafora baru. Metafora Cicak lawan buaya menggambarkan peristiwa yang sangat spesifik, yaitu peristiwa pertentangan antara dua lembaga hukum, KPK dan Polri. Metafora ini akan sulit menjadi mapan secara konseptual karena penggunaannya sangat bergantung pada peristiwa yang akan melibatkan kedua lembaga itu. Metafora buaya masih digunakan secara terbatas pada topik Polri sementara metafora cicak belum ditemukan meluas kepada penggunaan dalam konteks lain. Metafora ini termasuk yang menonjol, khususnya dalam situasi sosial politik pada saat metafora itu digunakan. Walaupun metafora ini cenderung sudah mulai terkonvensionalisasi, kelihatannya metafora ini masih belum memiliki tingkat keajekan yang begitu tinggi. Metafora Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan adalah metafora yang paling baru dari ketiga metafora yang diteliti. Dalam perkembangan penggunaannya terjadi
174
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
beberapa perluasan yang dapat ditafsirkan sebagai ketidakajekan konseptual metafora ini. Bahasa Indonesia dalam metafora ini dapat merujuk kepada Bahasa Indonesia sebagai sistem dan Bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran sekolah. Melihat gejala ini, dapat disimpulkan pula bahwa tingkat keajekan konseptual metafora sangat bergantung pada pemahaman penutur atau pengguna metafora terhadap metafora yang baru muncul. Kekerapan penggunaan metafora baru dan ketertonjolan (saliency) makna metafora itu juga memungkinkan metafora itu menjadi mapan (terkonvensionalisasi atau dileksikalisasi) sehingga metafora itu kehilangan kebaharuannya dan menjadi bagian dari leksikon. Metafora Jeruk kok minum jeruk cenderung lebih mapan dibandingkan metafora Cicak lawan buaya dan Bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu pengetahuan. Dari penggunaannya dapat disimpulkan bahwa tingkat kemapanan metafora baru berpengaruh pada keajekan konseptual dalam metafora itu, seperti yang terlihat pada metafora Jeruk kok minum jeruk. Selain itu dapat disimpulkan pula bahwa ketidakajekan konseptual pada metafora baru berpotensi menimbulkan kesalahpahaman penutur dalam penggunaan metafora itu dan kesalahpahaman petutur dalam menafsirkan maknanya dalam berbagai konteks. CATATAN * Penulis menyampaikan terima kasih kepada mitra bestari yang telah memberikan masukan yang sangat berharga untuk tulisan ini. 1
http://rhetorosaurus.blogspot.com/2007/04/friedrich-nietzsche.html (23 April 2007)
2
Ini merupakan bagian dari pandangan Lakoff dan pendukungnya yang menganggap metafora lama atau metafora mati sebagai bagian literal dari bahasa, yang sudah memiliki konsep nonmetaforis. 3
Dalam beberapa literatur, konsep ini sering disebut aptness.
REFERENSI Black, Max. 1993. “More about Metaphor.” Dalam A. Ortony (Ed.). Metaphor and Thought (hlm. 19-41). (Edisi 2). Cambridge: Cambridge University Press.
175
Bahren Umar Siregar
Cameron, Lynne J. 2008. Metaphor and Talk. Dalam R.W. Gibbs, Jr. (Ed.). The Cambridge Handbook of Metaphor and Thought, 197–211. Cambridge: Cambridge University Press. Evans, Vyvyan dan Melanie Green. 2006. Cognitive Linguistics: An Introduction. Edinburgh: Edinburgh University Press. Fogelin, Robert J. 1994. Metaphors, Similes and Similarity. Dalam J. Hintikka (Ed.). Aspects of Metaphor, 23-40. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Gärdenfors, Peter. 1999. Some Tenets of Cognitive Semantics. Dalam J. Alwood dan P. Gärdenfors (Eds.). Cognitive Semantics: Meaning and Cognition, 19-36. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. Gibbs Jr., Raymond W. 2010.The Wonderful, Chaotic, Creative, Heroic, Challenging World of Researching and Applying Metaphor: A Celebration of the Past and Some Peeks into the Future. Dalam G. Low, Z. Todd, A. Deignan, dan L. Cameron (Eds.). Researching and Applying Metaphor in the Real World, 1-20. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. Grady, Joseph. 1999. A Typology of Motivation for Conceptual Metaphor: Correlation vs. Resemblance. Dalam R.W. Gibbs, Jr., dan G. J. Steen (Eds.). Metaphor in Cognitive Linguistics, 79-100. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. Glucksberg, Sam dan Matthew S. McGlone. 1999. When Love Is Not a Journey: What Metaphors Mean. Journal of Pragmatics 31, 1541- 1558. Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Johnson, Mark. 1987. The Body in the Mind: The Bodily Basis of Meaning, Imagination, and Reason. Chicago: University of Chicago Press. Jones, Lara L. dan Zachary Estes. 2006. Roosters, Robins, and Alarm Clocks: Aptness and Conventionality in Metaphor Comprehension. Journal of Memory and Language 55, 18–32. Kittay, Eve Feder. 1987. Metaphor: Its Cognitive Force and Linguistic Structure. Oxford: Oxford University Press. Kövecses, Zoltan. 2010. Metaphor: A Practical Introduction. (Edisi 2.). Oxford: Oxford University Press. Kronfeld, Chana. 1980-1981. Novel and Conventional Metaphors: A Matter of Methodology. Poetics Today, 2(1b), 13-24. Lakoff, George. 1987. Women, Fire, and Dangerous Things: What Categories Reveal about the Mind. Chicago: University of Chicago Press. Lakoff, George. 1993. The Contemporary Theory of Metaphor. Dalam A. Ortony (Ed.). Metaphor and Thought, 202-251. (Edisi 2). Cambridge: Cambridge University Press. Lakoff, George dan Mark Johnson. 1980a. Conceptual Metaphor in Every Day Language. The Journal of Philosophy, 77(8), 453-486.
176
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Lakoff, George dan Mark Johnson. 1980b. Metaphors We Live By. Chicago: University of Chicago Press. Lakoff, George dan Zoltan Kövecses. 1987. The Cognitive Model of Anger Inherent in American English. Dalam D. Holland dan N. Quinn (Eds.). Cultural Models in Language and Thought, 195–221. Cambridge: Cambridge University Press. Lakoff, George dan Mark Turner. 1989. More than Cool Reason: A Field Guide to Poetic Metaphor. Chicago: University of Chicago Press. Martins, Helena. 2006. Novel Metaphor and Conceptual Stability. D.E.L.T.A., 22 (Especial), 123-145. Murphy, Gregory L. 1996. On Metaphoric Representation. Cognition 60, 173-204. Novitz, David. 1985. Metaphor, Derrida, and Davidson. The Journal Of Aesthetics And Art Criticism, 44(2), 101-114. Ricoeur, Paul. 1975. The Rule of Metaphor: Multi-Disciplinary Studies in the Creation of Meaning. Toronto: University of Toronto Press. Siregar, Bahren Umar. 2004. “Metaphors of Governance in the Language of the Indonesian Press.” Dalam Z. Ibrahim, A. R. Mohd. Zaid, F. Kamaruddin, L. Baskaran, & R.S. Appacutty (Eds.). Language, Linguistics and the Real World. Volume II: Language Practices in the Workplace, 111-134. Kuala Lumpur: Faculty of Languages and Linguistics, University of Malaya. Siregar, Bahren Umar. 2005. “Jeruk kok Minum Jeruk: Gejala Metaforis dan Metonimisasi dalam Bahasa Indonesia.” Linguistik Indonesia, 23(2), 181-192. Steen, Gerard J., dan Aletta G. Dorst, J. Berenike Herrmann, Anna A. Kaal, Tina Krennmayr, Trijntje Pasma. 2010. A Method for Linguistic Metaphor Identification: From MIP to MIPVU. Amsterdam: John Benjamins. Thibodeau, Paul H. dan Frank H. Durgin. 2008. “Productive Figurative Communication: Conventional Metaphors Facilitate the Comprehension of Related Novel Metaphors.” Journal of Memory and Language, 58, 521-540. Ureña, José Manuel. 2012. “Conceptual Types of Terminological Metaphors in Marine Biology: An English-Spanish contrastive analysis from an experientialist perspective.” Dalam: F. MacArthur, J.L. Oncins-Martínez, M. Sánchez-García, dan A.M. Piquer-Píriz, A.M. (Eds.). Metaphor in Use: Context, Culture, and Communication, 239-260. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.
KATA DAN MAKNA DALAM BAHASA MELAYU TERNATE1 Betty Litamahuputty* Jakarta Field Station of the Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology [email protected]
Abstrak Melayu Ternate adalah salah satu di antara banyak bahasa yang tidak menandai unsur gramatikal pada bentuk kata. Kalaupun proses morfologis diterapkan, hasilnya merupakan tambahan makna, bukan menandakan unsur gramatikal. Dalam keadaan ini, konteks linguistik dan keadaan nonlinguistik menentukan pemahaman kata dan rangkaian kata yang paling cocok dan tepat. Artikel ini membahas bagaimana kata tugas tertentu, susunan kata, dan tambahan fitur prosodis dapat berperan sebagai petunjuk dan memudahkan menentukan struktur dan pemahaman rangkaian kata. Contoh yang menjelaskan pembahasan ini diambil dari beberapa cerita serentak penutur asli dan mencerminkan sejenis bahasa Melayu sehari-hari yang umum digunakan di Ternate. Kata kunci: Ternate Melayu, tata bahasa, makna
Abstract Ternate Malay is one of the languages in which a word may fulfil various grammatical roles and express different meanings without showing any formal features on the word. Even if morphological processes are applied, they merely add something to the meaning and do not indicate grammatical features. It is the linguistic context as well as the nonlinguistic situation that determine how words and strings of words have to be interpreted to achieve the most suitable meaning. This article shows how certain function words, the word order, and additional prosodic features facilitate Ternate Malay speakers and hearers in expressing and interpreting strings of words. The examples are taken from spontaneous told narratives and display a kind of natural spoken Ternate Malay. Keywords: Ternate Malay, grammar, meaning
PENDAHULUAN Ternate adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah barat pulau Halmahera, pulau terbesar di provinsi Maluku Utara. Pulau Ternate merupakan wilayah kepulauan vulkanis yang memiliki sebuah gunung berapi, Gamalama, dengan ketinggian 1715 meter di atas permukaan laut. Besarnya pulau Ternate 111,80 km2 (BPS Kota Ternate, 2013: 13, tabel 1.1.7). Berdasarkan data BPS Kota Ternate tahun 2013, jumlah penduduk di seluruh pulau Ternate lebih kurang 180.000 jiwa (Bappeda Kota Ternate, [2014]:22).1 Kurang lebih 90% dari jumlah total penduduk di pulau Ternate tinggal di kota Ternate, daerah perkotaan yang terletak di bagian timur pulau dan yang berkembang ke arah selatan. Wilayah ini merupakan daerah di mana Melayu Ternate umum digunakan sebagai bahasa sehari-hari, dan di sini juga terdapat penutur yang menggunakan bahasa ini sebagai bahasa ibu, yaitu bahasa yang pertama-tama diajarkan orang tua. Di luar wilayah perkotaan, bahasa daerah, yaitu bahasa Ternate, tetap berperan sebagai bahasa ibu, tetapi kedudukannya mulai terancam; dan bahasa Melayu Ternate perlahan-lahan menjadi bahasa yang pertama diajarkan orang tua kepada anaknya. Artikel ini membahas cara menentukan struktur dan makna rangkaian kata dalam bahasa Melayu Ternate beserta peran beberapa kata tugas sebagai alat bantu yang dapat digunakan untuk mencapai pemahaman yang cocok dan tepat. Melayu Ternate merupakan salah
Betty Litamahuputty
satu di antara banyak bahasa yang tidak menandai unsur gramatikal pada bentuk kata. Sebuah kata mampu mempunyai fungsi gramatikal yang berbeda-beda dengan makna yang berbedabeda tanpa perubahan bentuk yang menunjukkan perbedaan ini. Pemahaman kata yang paling cocok dan pantas ditentukan oleh konteks linguistik dan keadaan nonlinguistik di mana kata tersebut muncul. Hal ini memungkinkan sebuah kata dapat berperan sebagai, misalnya, kata benda dalam konteks tertentu, tetapi dalam konteks dan keadaan yang berbeda, sebagai kata kerja untuk menggambarkan kegiatan. Kalaupun bentuk kata berubah melalui proses morfologis, fleksibilitas ini tidak hilang dan watak kata yang baru terbentuk ini tetap sama dengan kata dasarnya. Dengan sendirinya, sebuah proses morfologis dianggap sebagai proses penambahan makna pada kata dasar, bukan semata-mata sebagai proses penandaan aspek gramatikal. Pada keadaan seperti ini, alat linguistik yang biasa dan lazim digunakan untuk menentukan pengelompokan kata tidak berguna. Semua ini bukan hal unik dan sesuatu yang jarang ditemui. Banyak ilmuwan linguistik telah menghadapi dan memperhatikan masalah seperti ini dan mencoba mencari penyelesaian yang memuaskan supaya gejala ini dapat dijelaskan dan dipahami. Kesulitan menentukan perbedaan antara kata sifat dan kata kerja pada bahasa Melayu telah sering mendapat perhatian ilmiah (antara lain dari Gonda 1949, Teeuw 1962, dan Steinhauer 1986). Salah satu penyelesaian yang diusulkan merupakan proses yang memungkinkan sebuah kata berpindah dari suatu kelompok/kelas kata ke kelompok/kelas kata yang lain, tanpa mengalami perubahan bentuk. Proses ini dikenal dengan istilah zero-derivation atau conversion. Namun, penyelesaian seperti ini kurang memuaskan. Menurut Gil (2013), tidak ada bukti linguistik yang kuat yang mendukung pengelompokan yang membedakan antara kata benda dan kata kerja pada bahasa Indonesia Riau. Penyelesaiannya, sebuah kata harus dianggap sebagai unsur sintaktis yang paling kecil. Konteks linguistik dan keadaan nonlinguistik menentukan makna sebuah kata sehingga makna rangkaian kata terdiri dari jumlah makna unsur masing-masing (Gil 1994). Tertarik pada buah pikiran seperti ini, saya mencoba menerapkannya pada Melayu Ternate, mencoba menjelaskan fleksibilitas yang terdapat pada kata Melayu Ternate, serta membahas kebijakan yang ada pada bahasa tersebut untuk mencapai makna tuturan yang paling cocok dan sesuai dengan konteks linguistik dan keadaan nonlinguistiknya. Keanggotaan pada kelompok/kelas kata tertentu hanya dapat ditentukan berdasarkan hubungan dengan kata lain dan situasi/keadaan pada tuturan, bukan berdasarkan penentuan berpratanda. Istilah seperti “kata benda”, “kata kerja”, “kata sifat”, dan sebagainya, yang terdapat di sini, merupakan alat penamaan atau penyebutan belaka dan harus dipahami dengan fleksibel. Tulisan ini disusun sebagai berikut. Pendahuluan ini diikuti penguraian terbitan mengenai bahasa Melayu di Maluku (Utara) yang menggambarkan peran dan bentuk bahasa ini di wilayah tersebut dan pada waktu tertentu. Fleksibilitas kata yang merupakan salah satu ciri bahasa Melayu Ternate dibahas pada bagian berikutnya. Setelah itu dua garis kebijakan untuk mencapai pemahaman yang paling cocok dan sesuai konteks dan keadaan dibicarakan, yaitu, keberadaan kata tugas khusus, seperti pe atau yang serta urutan kata. Tulisan ini diakhiri dengan ringkasan pendek. MELAYU MALUKU UTARA DALAM TULISAN Daerah Maluku (yang saat ini terdiri dari provinsi Maluku dan Maluku Utara) terkenal sebagai “Pulau Rempah” (Spice Islands), karena di sinilah tempat asal rempah-rempah, seperti cengkeh dan pala. Pedagang dari seluruh dunia datang ke wilayah ini dengan harapan dapat ikut serta dalam menikmati keuntungan besar dari perdagangan rempah-rempah ini, yang berkembang pesat pada abad ke-16 dan ke-17. Bahasa yang digunakan dalam perdagangan ini, baik dalam interaksi pedagang dengan penduduk setempat maupun antara pedagang sendiri yang berasal dari berbagai tempat dan mempunyai latar belakang bahasa yang berbeda-beda, adalah bahasa Melayu. Di pelbagai tempat pesisir sepanjang jalur perdagangan ini, berkembang logat Melayu dengan ciri-ciri khas lokal, termasuk di Ternate. 180
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Naskah tertua yang menyatakan Melayu digunakan di wilayah Maluku merupakan dua pucuk surat dari sultan Ternate kepada raja Portugal pada abad ke-16. Kedua surat Melayu ini ditulis dengan huruf Jawi, yang berdasarkan huruf Arab, dan bertanggal 1521 dan 1522. Menurut C.O. Blagden (1930) yang meneliti surat ini, gaya dan tata-bahasa tata bahasa menunjukkan kemungkinan surat tersebut disusun oleh lebih dari satu orang penulis dan mereka tidak menguasai bahasa Melayu dengan baik, sehingga muncul kesan dan dugaan penulis kedua surat ini adalah orang setempat, bukan seorang Melayu. Salah satu contoh yang diberikan Blagden adalah urutan kata. Pada surat bertanggal 1521, terdapat rangkaian kata “Raja Sultan Abu Hayat surat”, yang diterjemahkan Blagden dengan makna kepemilikan, Letter of Sultan Abu Hayat ‘surat Sultan Abu Hayat’. Dalam rangkaian kata yang digunakan ini, kata yang mengacu pada pemilik mendahului kata yang mengacu pada apa yang dimiliki, dan urutan kata ini tidak lazim terdapat dalam naskah Melayu (Klasik). Namun, hanya contoh ini satu-satunya contoh yang ditemuinya, konstruksi kepemilikan yang lain dalam surat tersebut menunjukkan urutan kata yang “benar”. Mungkin saja, kedua cara pengungkapan makna posesif ini menunjukkan keadaan bahasa pada zaman tersebut, di mana telah ada gambaran dan kebiasaan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa tulisan, sedangkan caranya belum diikuti dan diterapkan secara teratur dan teliti. Pada tahun 1521, Antonio Pigafetta, seorang Italia, menyusun dua daftar kata yang dilampirkan pada laporan penjelajahan keliling dunianya. Pigafetta ikut ekspedisi dengan Kapten Ferdinan Magellan yang tewas di Filipina. Salah satu daftar berisi kata-kata Filipino, sedangkan daftar kata yang lain diberi judul “Kata dari Orang Moro itu” (Robertson, 1906:117). Kebanyakan kata pada daftar terakhir ini jelas berasal dari bahasa Melayu, tetapi ada beberapa kata yang sulit ditentukan asal-usulnya. Kata ini menjadi topik diskusi hangat antara beberapa ahli bahasa selama beberapa dasawarsa. Ada yang berpendapat kata-kata ini berasal dari Maluku (Le Roux 1929), sedangkan ahli lain mengutarakan pendapat ini tidak didasarkan pada bukti linguistik dan muncul karena daftar kata tersebut mengikuti laporan mengenai Tidore, sebuah tempat yang terletak di Maluku (Blagden 1931). Blagden, didukung Kern (1938) dan Bausani (1960), menduga Pigafetta mengumpulkan kata di beberapa tempat dan dari beberapa narasumber sehingga ada kata, antara lain dari bahasa di Brunei dan Filipina, tercampur ke dalam daftar ini. Setiap kata Melayu diberikan catatan “kata umum”, sehingga ada kesan bahasa Melayu di beberapa tempat berbeda satu dengan yang lain, walaupun ada kata tertentu yang umum penggunaannya (Blagden 1931). Kesimpulannya, walaupun ada beberapa ilmuwan seperti C.C.F.M Le Roux (1929) dan J. Gonda (1938) yang berpendapat bahwa daftar kata Pigafetta dikumpulkan di Maluku (Tidore), hal ini tidak dapat dipastikan secara mutlak, karena Pigafetta sendiri tidak memberitahukan, baik tempat di mana dia mengumpulkan daftar kata Melayu tersebut maupun latar belakang narasumber yang membantunya. Daftar kata Melayu Pigafetta ini dapat dianggap sebagai pernyataaan bahwa bahasa Melayu sudah berperan sebagai bahasa perantaraan di wilayah yang cukup luas, termasuk di daerah Maluku dan Maluku Utara, pada abad ke-16. Peran bahasa Melayu sebagai bahasa perantaraan perantara ini merupakan alasan bagi awak kapal Belanda sehingga sebuah daftar kata dilampirkan pada laporan perjalanannya ke daerah timur, dengan catatan “untuk membantu mereka yang mau berlayar ke sana, karena bahasa Melayu digunakan di seluruh wilayah Hindia Timur, terutama di kepulauan Maluku”. Daftar ini terdiri dari tiga bahasa: Belanda-Melayu-Jawa dan merangkul 708 kata yang disusun secara abjad dari A sampai S. Daftar kata kedua yang dilampirkan terdiri dari 249 kata dalam bahasa Belanda dan Melayu, diikuti dua daftar pendek yang dinamakan “Beberapa Kata Jawa” dan “Angka Maluku”, yang masing-masing terdiri dari 20 dan 24 kata. Daftar ini dicatat di Ternate, tetapi tidak dijelaskan siapa saja yang menjadi narasumber atau tepatnya tempat di mana daftar kata ini dikumpulkan (Commelin 1646 I:43; Keuning 1942:158). Collins dan Schmidt (1992) membahas aspek fonologi, morfologi, dan sintaksis daftar kata ini dan
181
Betty Litamahuputty
menyimpulkan ada varian/logat Melayu di daerah Indonesia timur, seperti di Ambon, Manado, Bacan, dan Ternate, yang mewariskan beberapa aspek Melayu yang mirip dengan bahasa Melayu yang terdapat dalam daftar ini. Berdasarkan ciri khas yang tidak terdapat pada daftar kata ini, yaitu konstruksi kepemilikan dengan (sebuah unsur seperti) “punya” sebagai penghubung antara pemilik dan yang dimiliki, konstruksi kausatif yang mengandung “kasi”, atau kata pinjaman dari bahasa Cina, disimpulkan bahwa jenis Melayu ini tidak berasal dari Melayu Malacca (Collins and Schmidt 1992:318), seperti diusulkan ilmuwan lain yang berpendapat bahwa Melayu lokal di kota perdagangan di daerah pesisir dikembangkan pedagang Cina yang berbahasa Melayu dengan penduduk setempat (Adelaar and Prentice, 1996). Konstruksi kausatif yang terdapat dalam daftar kata ini mengandung kata “beri”, yang sama maknanya dengan “kasi”. Hal ini dapat mencerminkan perkembangan konstruksi ini: pada saat tertentu terjadi pergantian kata, sedangkan makna konstruksi tersebut tetap dipertahankan. Apa yang menggerakkan perubahan ini dan kenapa gejala ini terjadi belum diketahui dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Sebuah naskah yang ditulis Naidah dalam bahasa Ternate dan Melayu dengan mengunakan huruf Jawi menceritakan sejarah Ternate. P. van der Crab, pemilik naskah ini, menyalin dan menerjemahkan teks tersebut ke dalam bahasa Belanda dan mempublikasikannya sebagai artikel dalam sebuah majalah pada tahun 1878. Naskah aslinya hilang (Fraassen 1987:10-11). Dalam artikelnya ini, Van der Crab mengaku mengalami kesulitan sewaktu menerjemahkan teks tersebut, disebabkan kesalahan ejaan, ketidaktelitian penulis, dan urutan kejadian dan peristiwa yang tidak sesuai dengan urutan waktu yang sebenarnya. Walaupun tata bahasanya memperlihatkan banyak kesalahan dan kekurangan, mungkin bagian dalam bahasa Ternate masih mempunyai nilai linguistik (Crab 1878:489). Ragam bahasa Melayu yang digunakan dalam hikayat ini memang sangat berbeda dari ragam bahasa yang digunakan, misalnya dalam surat sultan Ternate yang diteliti Blagden (1930). Ragam teks hikayat ini mengingatkan pada ragam bahasa Melayu yang digunakan sebagai bahasa percakapan, misalnya penggunaan kata “punya” sebagai penghubung pada rangkaian kata kepemilikan, atau kata pigi ‘pergi’ dan trada ‘tidak, tidak ada’ (Crab 1878). Perbedaan ragam bahasa sangat menarik dan perlu diteliti lebih dalam. Beberapa artikel mengenai Melayu di Maluku Utara membandingkan Melayu Maluku Utara dengan bahasa Indonesia (Voorhoeve 1983) dan membahas pengaruh bahasa daerah di Maluku Utara pada Melayu setempat (Taylor 1983; Bowden 2005). Voorhoeve (1983) mendeskripsikan bagaimana beberapa gejala fonologis dan morfologis yang terdapat dalam bahasa Indonesia diungkapkan dalam Melayu Maluku Utara untuk menjelaskan perbedaan antara kedua jenis Melayu ini. Contoh bahasa yang dilampirkan pada tulisannya terdiri dari serpihan teks Hikayat Ternate oleh Naidah dan transkripsi rekaman dengan penutur dari daerah Sahu dan Ibu (Halmahera) dan seorang penutur dari Makian Barat. Taylor (1983) memfokuskan perhatian pada keadaan linguistik di daerah Kao (Halmahera) dan menggambarkan bagaimana bahasa daerah mempengaruhi bahasa Melayu Maluku Utara di sana pada sistem deiksis. Dalam tulisannya dia juga membandingkan penggunaan prefix ba- dengan prefix ber-, padanannya dalam bahasa Indonesia. John Bowden, yang pernah meneliti bahasa Taba di Pulau Makian, menjelaskan sistem pengarahan yang umum dipakai dalam bahasa Melayu Maluku Utara dan dipengaruhi baik oleh bahasa Austronesia maupun bahasa non-Austronesia yang terdapat di wilayah tersebut (Bowden 2005). Sebelum melanjutkan dengan ciri fleksibilitas kata Melayu Ternate, perlu dijelaskan bahwa artikel ini merupakan serpihan kajian Melayu Ternate yang disampaikan dalam sebuah tata bahasa Melayu Ternate (Litamahuputty 2012). Contoh yang terdapat di sini dikutip dari narasumber utama, seorang pemuda yang dilahirkan dan dibesarkan di Salero (Ternate). Secara spontan dia menceritakan beberapa kisah sehari-hari yang direkam, ditranskripsi, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Data ini merupakan sumber data utama sewaktu
182
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
menyusun tata bahasa Melayu Ternate. Dua puluh cerita pendek dan rekaman suara aslinya, serta daftar kata kecil Melayu Ternate-Inggris, dan tata bahasa ini dapat diakses melalui internet pada laman: http://lingweb.eva.mpg.de/jakarta/ternate/ open.htm. FLEKSIBILITAS KATA MELAYU TERNATE Pada umumnya, sebuah kata logat Melayu Ternate tidak mengandung ciri yang menandai, misalnya jenis kelamin, jumlah, waktu, atau peran gramatikal lain, pada bentuknya. Sebuah kata dapat berfungsi dalam pelbagai peran tanpa perubahan pada bentuknya. Kalaupun bentuk kata berubah akibat proses morfologis, hasil proses ini tidak menghilangkan fleksibilitas, sehingga kata yang baru terbentuk tetap dapat digunakan dengan pelbagai fungsi gramatikal tanpa ada perubahan tambahan pada bentuknya. Proses morfologis yang diterapkan merupakan proses penambahan makna, bukan menandai perubahan sintaktis. Keadaan seperti ini mempersulit cara mengelompokkan kata dengan menggunakan alat linguistik yang umum dan lazim diterapkan. Beberapa contoh di bawah ini menggambarkan sifat fleksibilitas sebuah kata dari segi bentuk dan fungsi2. 1) Baru dia karung1 pake karung2 strep. CONJ 3SG sack.[V] use sack.[N] line Kemudian dia mengarunginya menggunakan karung bergaris. Pada kalimat (1) kata karung muncul dua kali. Karung1 mengikuti kata dia dan berperan sebagai predikat, sehingga dianggap sebagai kegiatan dan mendapatkan arti sebagai “kata kerja”, yaitu ‘mengarungi’ atau ‘memasukkan sesuatu ke dalam karung’. Karung2 diikuti strep ‘garis’ dan merupakan rangkaian kata, di mana karung merupakan pokok dan strep berperan sebagai pewatas. Jika pake dianggap sebagai kata yang menunjukkan kegiatan dan bermakna ‘menggunakan’, rangkaian kata ini berperan sebagai tema dan dianggap mengacu pada sebuah benda. Contoh ini menunjukkan bahwa kata karung bisa berfungsi sebagai predikat sehingga memperoleh sebuah makna verbal, yaitu, ‘mengarungi’ dan, tanpa perubahan bentuk, bisa berperan sebagai pokok rangkaian kata. Pada peran ini karung mengacu pada sebuah benda dan harus dipahami dengan makna nominal. Konteks linguistik dan situasi nonlinguistik menentukan makna yang paling tepat. Sama halnya dengan kata lain yang terdapat pada kalimat contoh ini: konteks dan situasi menentukan apakah dia mengacu pada seorang pria atau wanita, karena jenis kelamin tidak diungkapkan pada bentuk kata, serta apakah karung1 harus dianggap benda tunggal atau majemuk, karena jumlah tidak diungkapkan pada kata benda ini. 2) De gigi ilang spanggal. 3SG 1. bite.[V] disappear Part 2. tooth.[N] 1. Dia menggigit dan sebagian hilang. 2. Sebagian giginya patah. Makna rangkaian de gigi pada contoh (2) tergantung pada penentuan hubungan antara kedua kata ini. Pada pemahaman pertama, struktur de gigi, ilang spanggal terdiri dari dua klausa: dia gigi dan ilang spanggal. De ‘orang ketiga tunggal’ merupakan subjek dan gigi merupakan predikat yang diartikan sebagai kegiatan ‘menggigit’, sehingga makna ‘dia menggigit’ berlaku. Ilang spanggal dapat dianggap sebagai rangkaian kata yang terdiri dari sebuah predikat ilang ‘hilang’ dan subjek spanggal ‘sebagian’. Pemahaman seperti ini berlaku, misalnya, dalam sebuah cerita mengenai binatang buas yang menyerang seseorang atau seekor binatang, menggigitnya, dan menyebabkan sebagian tubuh korban hilang dimakan.
183
Betty Litamahuputty
Jika de gigi dipahami sebagai rangkaian kata yang mengungkapkan kepemilikan, de berperan sebagai pewatas yang mengacu pada pemilik ‘dia’ dan gigi berperan sebagai pokok yang mengacu pada apa yang dimiliki ‘gigi’, sehingga de gigi dengan makna ‘giginya’ berlaku. Dalam konteks ini ilang spanggal merupakan predikat yang terdiri dari ilang ‘hilang’ dan spanggal ‘sebagian’ menjelaskan cara, sehingga de gigi ilang spanggal berarti ‘sebagian giginya hilang/patah’ atau ‘giginya sebagiannya hilang/terlepas’. Kalimat dengan pengertian seperti ini muncul, misalnya, dalam cerita mengenai apa yang terjadi waktu seseorang terjatuh dari motor. 3) Model nasi kuning1 bagitu, shape cooked.rice yellow.[A] like.that tapi kuning2 lebe muda. CONJ yellow.[N] more young Rupanya (seperti) nasi kuning, tetapi kuningnya lebih muda. Kalimat (3) terdiri dari dua klausa yang digabung oleh tapi ‘tetapi’, sebuah kata penghubung yang menunjukkan ada perlawanan makna antara model nasi kuning bagitu dan kuning lebe muda. Pada rangkaian nasi kuning, kuning merupakan pewatas yang menjelaskan pokoknya, yaitu, nasi, dan mengungkapkan sifat ‘(bersifat) kuning’. Rangkaian ini berfungsi sebagai predikat dengan pengertian ‘menyerupai nasi kuning’, sedangkan model ‘rupa’ berfungsi sebagai subjek. Pada bagian kedua, kuning2 merupakan subjek yang mengacu pada sebuah benda dan memperoleh makna ‘kekuningan’ atau ‘(warna) kuningnya’. Penguraian rangkaian kata dan hubungan antara unsur rangkaian menentukan makna yang berlaku pada setiap kata. Contoh di atas ini menggambarkan fleksibilitas sebuah kata yang memungkinkan kata tersebut dapat memainkan peran gramatikal yang berbeda-beda, mengungkapkan makna yang berbeda-beda dan sesuai dengan konteks dan situasi, tanpa mengalami perubahan pada bentuknya. PERUBAHAN BENTUK DAN FLEKSIBILITAS KATA Perubahan bentuk kata melalui proses morfologis yang terdapat pada Melayu Ternate terdiri dari proses pengulangan dan penggabungan dengan unsur terikat. Kedua proses ini bukan merupakan penandaan gejala gramatikal, melainkan diterapkan untuk menambahkan makna pada sebuah kata dasar. Kata baru yang terbentuk dengan mempertahankan fleksibilitasnya dapat digunakan dalam pelbagai fungsi, serta mengungkapkan berbagai makna, tanpa memperlihatkan perubahan tambahan pada bentuk; sama halnya dengan kata dasarnya dan dengan kata yang lain. Konteks dan situasi di mana sebuah kata atau kata berimbuhan berada menentukan maknanya. Pengulangan/Reduplikasi Proses reduplikasi atau proses pengulangan kata dapat diterapkan pada banyak kata dan sering menimbulkan arti “kemajemukan” sebuah benda, kegiatan, sifat, kejadian, dan sebagainya, dan dapat menghasilkan pemahaman seperti, ‘beraneka-ragam (benda)’, ‘(kegiatan yang) dilakukan secara berulang-ulang’, dan sebagainya, sesuai dengan konteks dan situasi kata bersangkutan. Berikut ini terdapat beberapa tuturan yang mengandung kata ulang. Pada contoh (a) pengulangan itu berperan sebagai predikat dan dipahami sebagai kegiatan, sedangkan pada contoh (b) kata yang sama bentuknya memenuhi fungsi gramatikal yang berbeda dengan makna yang berbeda.
184
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
4a) Kasbi peot tu de basar-basar, to? cassava dented that 3SG PL-big QT Kasbi peyot itu besar-besar, bukan? 4b) Basar-basar su tar ada. PL-big COMP NEG be.present Yang besar-besar sudah tidak ada. Penutur contoh (4a) menceritakan mengenai sejenis umbi-umbian yang dikenal dengan istilah kasbi peot. Dia menggambarkan bentuknya menggunakan kata berimbuhan basar-basar ‘besar’, yang pada contoh ini berfungsi sebagai predikat dan memperoleh makna predikatif ‘mempunyai (bermacam-macam) ukuran besar’. Contoh berikutnya muncul dalam sebuah percakapan mengenai ular yang pernah ada di tempat tertentu. Si penutur memastikan ular besar tidak terdapat lagi di tempat tersebut. Dalam konteks ini basar-basar berfungsi sebagai subjek dan mengacu pada ular dengan ukuran besar. Pada konteks dan situasi ini, basar-basar selayaknya dipahami sebagai benda ‘(ular) yang besar’ dengan makna “kemajemukan”, sehingga mendapatkan makna ‘berbagai (ular) (dengan ukuran) besar’. 5a) Dong akang su tara pukul-pukul suda. 3PL FUT COMP NEG PL-hit COMP Mereka tidak akan memukul lagi. 5b) De pe pukul-pukul ana-ana gila. 3SG POSS PL-hit PL-child crazy Cara memukul anak itu luar biasa. Pada contoh (5a) penutur menceritakan pengalaman masa kecilnya, waktu dia sering dipukul orang tuanya karena nakal. Pada saat percakapan ini orang tuanya sudah berumur dan dia menduga mereka tidak akan memukulnya lagi. Pukul-pukul mengungkapkan kemajemukan dan pada contoh ini berperan sebagai predikat, sehingga memperoleh makna sesuai dengan fungsi tersebut: ‘memukul berulang kali’. Dalam konteks dan situasi yang berbeda, fungsi dan makna bisa berubah, walaupun bentuk masih sama, seperti pada contoh (5b) yang menceritakan mengenai seorang guru yang mengingatkan muridnya dengan cara keras. Pukul-pukul dalam konteks ini didahului pe yang sering menandai konstruksi kepemilikan, sehingga kedua unsur yang digabung pe itu harus ditafsirkan sebagai kata benda. Makna yang diperoleh pukul-pukul dalam konteks dan situasi seperti ini adalah ‘perbuatan memukul berulang-ulang’ atau ‘pukulan, tamparan berulangulang’. Pada contoh (6a) dan (6b) terdapat kata ana-ana. Contoh (6a) dikutip dari sebuah cerita mengenai seseorang yang diduga bekerja sebagai tukang angkat barang di pasar, karena mengenakan celana pendek. Seorang ibu minta tolong membawakan belanjaannya ke tempat perhentian mobil umum, dan karena orang itu ingin membantu, dia melakukannya. Waktu ibu itu mau memberikan uang kepadanya, dia mengaku dia sebenarnya bukan tukang angkat barang. 6a) Saya tara... bukang ana-ana ba-angka. 1SG NEG NEG PL-child HAB-lift. Saya tidak... bukan tukang angkat. 6b) Dia Kase latian ana-ana lagi. 3SG Give exercise PL-child again Dia juga melatih anak-anak. (Harfiah: ‘Dia juga memberi latihan anak-anak.’) Pada contoh (6a), ana-ana baangka merupakan predikat yang harus dimaknakan sebagai kegiatan dan memperoleh arti ‘merupakan/menjadi tukang angkat barang’ atau ‘bekerja sebagai tukang angkat barang’.
185
Betty Litamahuputty
Sebenarnya, ana-ana pada contoh (6b) dapat dibaca dengan cara yang berbeda-beda, tergantung pada penguraian yang dilakukan, khususnya terhadap kata latian ‘latihan’. Jika latian dianggap sebagai benda, ana-ana berfungsi sebagai pewatas, menghasilkan rangkaian kata yang mengacu pada sejenis latihan. Makna yang muncul pada benak adalah ‘latihan untuk/kepada anak-anak’. Jika kase diikuti sebuah benda, maknanya menjadi ‘memberi, menyampaikan’. Dalam konteks dan situasi yang berbeda, latian dapat dibaca sebagai “kata kerja” dan mengacu pada kegiatan, sehingga rangkaian kata kase latian memperoleh makna kausatif ‘melakukan sesuatu supaya (anak-anak) melatih’. Pada pemahaman seperti ini, ana-ana berfungsi sebagai objek yang mengacu pada penerima (dan sekaligus menjadi pelaku kegiatan melatih) dan merupakan “kata benda”. Contoh ini dikutip dari cerita mengenai teman sekolah penutur yang mengikuti seni bela diri. Selain belajar dan menerima latihan, ternyata teman ini juga menjadi guru yang melatih anak-anak. Pada keadaan seperti ini, pemahaman latian anaana sebagai “benda” yang berarti ‘latihan untuk anak-anak’ mungkin lebih cocok dan tepat daripada pengertian kausatif. Perubahan bentuk kata melalui proses pengulangan ternyata tidak mengubah fleksibilitas sebuah kata. Kata baru yang terbentuk tetap mampu memenuhi fungsi sintaktis yang berbeda-beda dan mencerminkan makna yang berbeda-beda, sesuai konteks dan keadaan di mana kata tersebut berada. Proses pengulangan semata-mata merupakan proses penambahan makna, misalnya, “kemajemukan”, “keanekaragaman” pada kata dasar dan bukan untuk menandai unsur gramatikal. Imbuhan Perubahan bentuk kata dapat diperoleh melalui proses menghubungkan unsur terikat, seperti ba-, baku-, atau ta- pada kata dasar. Imbuhan kata dengan ba- dapat menambahkan bermacammacam makna, sesuai dengan makna kata dasarnya, misalnya, melakukan pada diri sendiri, melakukan kegiatan, berkembang menuju keadaan atau sifat, dan sebagainya. Konteks dan keadaan menentukan peran dan fungsi kata bersangkutan dan makna yang dicerminkannya. Penambahan ta- pada sebuah kata sering menambahkan makna ‘tidak sengaja’ atau menandai terjadinya ‘perubahan keadaan’ tanpa selalu diketahui siapa atau apa penggeraknya. Penggabungan unsur terikat baku- menambahkan unsur ‘kebersamaan’ atau ‘saling melakukan sesuatu’ pada makna kata dasar. Contoh yang terdapat di bawah ini menggambarkan penggabungan unsur terikat pada sebuah kata semata-mata menghasilkan penambahan makna, bukan perubahan gramatikal. Untuk tujuan itu predikat yang terdiri dari kata dasar tertentu (contoh (7a), (8a), dan (9a) dibandingkan dengan predikat yang terdiri dari kata dasar yang sama ini dan sudah mengalami penggabungan dengan unsur terikat (contoh (7b), (8b), dan (9b). 7a) Ngana colo dalang aer. 2SG dip inside water Kamu mencelup itu dalam air. 7b) “Untung ngana tara ba-colo di aer.” luck 2SG NEG REFL-dip in water “Untung kamu tidak mencelup di air.” Penutur contoh (7a) menjelaskan apa yang akan terjadi kalau sesuatu yang panas didinginkan dengan cara cepat. Supaya Dengan maksud supaya temannya mengerti tujuannya, penutur mengajak temannya membayangkan sebuah strika panas yang dicelupnyakan ke dalam air. Pada contoh ini colo merupakan predikat dan mengacu pada kegiatan ‘memasukkan sesuatu ke dalam cairan’. Situasi contoh (7b) juga ada kaitan dengan bahayanya mendinginkan sesuatu yang panas dengan cepat. Kalimat ini dikutip dari cerita mengenai seorang teman yang sakit malaria dan tubuhnya panas sekali. Sebenarnya dia sendiri ingin menurunkan rasa panas itu dengan mandi air dingin. Pada contoh tersebut, kata colo digabung dengan ba-, yang dapat
186
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
menambahkan makna ‘pada diri sendiri’, sehingga hasil penggabungan ini, ba-colo, dipahami sebagai ‘mencelup diri sendiri’. 8a) Satu bulang kita tara tinggal di ruma. one month 1SG NEG stay in house Selama satu bulan saya tidak tinggal di rumah. 8b) De bilang, “Hamja e, kita pe kos 3SG say Hamja EXCL 1SG POSS T-shirt ta-tinggal di atas.” INV-stay in above Dia bilang: “Hamja e, kos saya tertinggal di atas.” Pada contoh (8a), penutur menceritakan dia sering meninggalkan rumah orang tuanya dan menginap di tempat lain. Kata tinggal merupakan predikat dan harus dipahami dengan makna ‘berada/berdiam pada sebuah tempat’. Contoh (8b) dipetik dari cerita mengenai anak-anak yang mencuri mangga dari pohon, diketahui anak pemiliknya, dan pencuri melarikan diri tanpa membawa hasil jarahannya. Untuk mendapatkan karung yang berisi mangga dan tertinggal di pohon itu, seorang anak minta izin kepada pemilik pohon untuk mengambil bajunya yang, menurut dia, tanpa sengaja masih ada di pohon. Pada contoh ini, tinggal digabung dengan awalan ta- untuk menambahkan makna “ketidaksengajaan” pada kata dasar tersebut, sehingga ta-tinggal harus dipahami dengan makna ‘tanpa sengaja berada pada sebuah tempat’. 9a) […] kong kita lia balangang su ada. CONJ 1SG see wok COMP be.present […] dan saya melihat wajan sudah ada (lagi). 9b) trus baku-lia to, jadi baku-pegang tangang. continue REC-see QT thus REC-hold hand kemudian mereka melihat satu dengan yang lain dan berjabatan tangan. Contoh (9a) dan (9b) mengandung kata yang terdiri dari lia. Pada contoh (9a) lia mengacu pada kegiatan dan memperoleh makna ‘melihat’. Contoh (9b) menceritakan seorang ayah mencari anaknya dan apa yang terjadi waktu mereka bertemu lagi setelah puluhan tahun terpisah satu dengan yang lain. Bakulia pada contoh (9b) mengungkapkan pemahaman ‘saling melihat’ dan menunjukkan tambahan baku- menambahkan unsur ‘kebersamaan’ atau ‘saling melakukan’ pada kata dasarnya. Bakupegang pada contoh yang sama itu dapat dipahami dengan makna ‘saling memegang’. Keseringan berlakunya makna tertentu menyebabkan makna tersebut pertama-tama muncul pada ingatan, sehingga melancarkan dan memudahkan proses penentuan pemahaman yang paling cocok. Konteks dan keadaan menentukan apakah makna itu cocok dan berlaku. Perubahan bentuk kata melalui proses penggabungan unsur terikat ini tidak menyebabkan perubahan pada sifat fleksibilitas sebuah kata, karena kata baru yang terbentuk ini tetap mampu memenuhi fungsi sintaktis yang berbeda-beda dan menunjukkan makna yang berbeda-beda, yang ditentukan konteks dan situasi di mana kata itu berada. Dengan kata lain, perubahan bentuk kata tidak mencerminkan peran sintaktis, namun menambah makna pada kata dasarnya. Pada contoh berikut ini, kata yang sudah mengalami proses penggabungan unsur terikat ba- (contoh (10)), baku- (contoh (11)), dan ta- (contoh (12)) bukan mengungkapkan kegiatan, seperti pada contoh di atas di mana kata berimbuhan berfungsi sebagai predikat, melainkan mengacu pada benda, cara, atau sifat, sesuai dengan konteks dan keadaan keberadaannya. Kemampuan ini menunjukkan perubahan bentuk tidak mengakibatkan perubahan pada fleksibilitas kata.
187
Betty Litamahuputty
10) Kita pe ba-jalang1 bagini, 1SG POSS DUR-walk.[N] like.this sebe ba-jalang2 ka dara. father DUR-walk.[V] to land Saya baru berjalan seperti ini, waktu ayah berjalan ke darat. Contoh ini menceritakan bagaimana penutur gagal menghindari bertemu dengan ayahnya, waktu dia sedang berjalan berdua bersama teman perempuannya. Kata bajalang muncul dua kali; bajalang1 didahului unsur pe yang menandai struktur kepemilikan, sehingga bajalang harus dimaknakan sebagai benda karena mengacu pada apa yang dimiliki. Unsur yang mendahului pe mengacu pada pemilik dan juga dimaknakan sebagai benda, sehingga kita pe bajalang dipahami sebagai ‘(kegiatan) berjalan saya’ atau ‘jalannya saya’. Bajalang2 berperan sebagai predikat, sehingga mendapatkan makna sebagai “kata kerja”, yaitu, ‘berjalan’. Kata ini didahului sebe ‘ayah’ yang berperan sebagai subjek. Pada contoh (11), bakumangada dapat dimaknakan dengan pelbagai cara, tergantung pada penguraian dan pembagian struktur. 11) Ngana badiri baku-mangada dia, ha... 2SG stand REC-face.[ADV] 3SG EXCL (Kalau) kamu berdiri berhadapan dengan dia, ha… Penutur contoh ini menceritakan bagaimana seseorang dikejar buaya. Dia membayangkan apa yang mungkin akan terjadi jika buaya itu tiba-tiba berada di depan. Penutur menggunakan bakumangada untuk menjelaskan cara berdirinya kedua makhluk dan kata ini dapat dianggap sebagai kata penjelas cara. Pada pemahaman ini, badiri bakumangada merupakan rangkaian kata di mana badiri dijelaskan bakumangada, sedangkan dia berfungsi sebagai objek yang mengacu pada tempat. Unsur baku- menyiratkan “kesalingan” dan dalam konteks ini kata berimbuhan bakumangada berperan sebagai “kata penjelas cara” dengan makna ‘secara berhadapan’ atau ‘berhadapan satu dengan yang lain’. Dalam keadaan di mana contoh ini merupakan, misalnya, perintah, contoh ini dapat diurai sebagai dua klausa yang berurutan: ngana badiri dan bakumangada dia. Intonasi atau ciri prosodis lain, seperti jeda di antara dua rangkaian ini, dapat membantu penentuan uraian ini dengan tepat. Pada pemahaman perintah seperti itu, ngana badari dapat berarti ‘kamu berdiri!’ dan bakumangada berperan sebagai predikat yang mengacu pada kegiatan, sehingga bakumangada dia berarti ‘(kamu) menghadapinya!’. Kadangkala struktur dan uraian rangkaian agak sulit ditentukan. Dengan tuturan seperti contoh (12), digambarkan bagaimana orang tua mengingatkan anaknya berhati-hati memotong sesuatu, dengan menggambarkan apa yang mungkin terjadi pada tangannya. 12) “Tara lama ngana tangang ta-potong.” NEG long 2SG hand INV-cut “Tidak lama lagi tanganmu (akan) terpotong.” Pada contoh ini ngana tangang ‘tanganmu’ dapat berperan sebagai subjek dan merupakan pusat perhatian. Pada interpretasi ini ngana tangang dianggap sebagai rangkaian kepemilikan yang terdiri dari tangang yang berperan sebagai pokok dan ngana yang berperan sebagai pewatas. Pada penguraian seperti ini, tapotong berdiri sendiri dan berfungsi sebagai predikat yang bermakna ‘tanpa sengaja dipotong’. Namun, dalam konteks ini ngana ‘orang kedua tunggal’ juga dapat diuraikan sebagai unsur yang berdiri sendiri dan berfungsi sebagai subjek, sehingga tangang tapotong berperan sebagai predikat ‘tangan yang terpotong’. Dalam rangkaian tangang tapotong ini, tangang dianggap sebagai pokok, sedangkan tapotong merupakan pewatas. Perhatikan, pada contoh ini agak sulit memutuskan struktur mana yang paling cocok. Lagipula, berdasarkan bentuk kata dan rangkaian kata tidak dapat diketahui perbedaan antara struktur 188
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
subjek-predikat dan pokok-pewatas. Adakalanya, intonasi atau ciri prosodis lain, seperti jeda, membantu dalam menentukan struktur dan pemahaman yang paling tepat. Contoh pada bagian di atas ini menunjukan bahwa bentuk kata dalam bahasa Melayu Ternate tidak menunjukkan peran gramatikal, sehingga alat linguistik yang biasanya digunakan untuk mengelompokkan kata tidak berlaku. Akibatnya, makna sebuah kata ditentukan dengan memperhatikan konteks linguistik dan keadaan nonlinguistik di mana kata itu berada. Pada konteks linguistik, keseringan berlakunya makna tertentu pada sebuah kata tertentu menjadi petunjuk yang dapat membantu penentuan makna sebuah kata atau rangkaian kata. Di samping itu, intonasi dan fitur prosodis lain, keberadaan kata tugas tertentu, seperti kata tugas pe dan yang yang berperan sebagai pertanda struktur rangkaian kata, serta urutan kata, merupakan alat bantu yang melancarkan dan memudahkan penentuan makna. KATA TUGAS PENENTU MAKNA Dalam bahasa Melayu Ternate terdapat beberapa kata dengan peran utama supaya memudahkan menguraikan rangkaian kata. Kata seperti ini dapat menandai perbatasan antara dua rangkaian kata, menjelaskan hubungan antara kedua unsur ini, serta mengarahkan makna yang berlaku. Kata penghubung seperti deng ‘dan; dengan’ atau tapi ‘tetapi’, yang mampu menggandengkan dua kata, rangkaian kata, dan klausa termasuk kelompok kata tugas tersebut. Selain berperan sebagai kata penghubung, deng menandai kesamaan antara kedua unsur yang digandengkan, seperti pikul dan nae pada contoh (13) yang dua-duanya mengacu pada kegiatan. Kesamaan ini menimbulkan makna keseimbangan antara kedua unsur. 13) Pikul deng nae tong cuma tiga orang. carry and go.up 1PL only three person Kami harus pikul dan naik dan cuma bertiga saja. Pada contoh (14) tapi menghubungkan tua skali dan kuat. Kata tapi ini juga menandai adanya keganjilan atau perlawanan makna antara kedua unsur yang digandengkan. Jika tua skali menggambarkan keadaan seseorang atau sesuatu, muncul ‘kelemahan’, sedangkan pada contoh ini dikatakan orang yang dibicarakan itu bersifat kuat. Ketidakseimbangan kesan yang muncul pada kata tua karena keseringan ada kesan ‘lemah’ dan fakta ‘kuat’ yang terdapat pada kenyataan ditandai melalui keberadaan kata tapi. 14) Paitua su tua skali, tapi kuat. old.man COMP old very but strong Bapak itu su tua sekali, tetapi kuat. Kata tugas pe Keberadaan kata seperti deng dan tapi memudahkan menentukan stuktur struktur rangkaian kata karena menandai pembatasan antara dua unsur serta mengarahkan makna. Selanjutnya dua kata tugas lain, yaitu pe dan yang, dibahas di sini. Dua kata ini dipilih untuk dibahas di sini karena keduanya seolah-olah saling melengkapi satu dengan yang lain dalam hal menunjukkan pola rangkaian kata yang berlawanan. Pe menandai unsur yang mengikutinya berperan sebagai pokok rangkaian kata bersangkutan, sedangkan yang menandai unsur yang mengikutinya merupakan pewatas. Berikut ada beberapa contoh penggunaan kata tugas pe pada rangkaian kata Y pe X ini, yang sering menghasilkan rangkaian dengan makna kepemilikan. 15) De buka ular pe bisa. 3SG open snake POSS poison Dia mengeluarkan bisa ular.
189
Betty Litamahuputty
Contoh (15) ini diambil dari cerita mengenai dukun ular dan menjelaskan mengapa gigitan ular piaraannya tidak berbahaya lagi; bisanya sudah dikeluarkan. Pada contoh ini pe menggabung kata ular dan bisa menjadi rangkaian kata ular pe bisa. Ular ‘snake’ mendahului pe dan mengacu pada sebuah benda hidup yang berperan sebagai pemilik, sedangkan unsur yang mengikuti pe, yaitu, bisa ‘bisa, racun’, mengacu pada sesuatu yang dimiliki. Rangkaian kata ular pe bisa dapat mengungkapkan makna kepemilikan ‘bisa/racun ular’ atau ‘bisa/racunnya ular’, yang cocok dan sesuai dengan konteks dan keadaannya. 16) Dokter pe pigi loyo ulang. doctor POSS go weak repeat Saat dokter pergi jadi lemas lagi. Pada contoh (16) rangkaian kata dokter pe pigi dapat dipahami dengan makna kepemilikan ‘kepergian dokter’. Pada contoh ini pe didahului dokter yang mengacu pada seorang dengan pekerjaan tertentu dan berperan sebagai pemilik, sedangkan pigi ‘pergi’ yang de facto mengacu pada sebuah benda, berdasarkan letaknya mengikuti pe, memperoleh makna ‘kepergian’. Contoh ini dikutip dari sebuah cerita pemuda yang sedang bekerja bangunan di rumah dokter wanita yang sangat cantik. Pekerjaannya cukup berat dan pemuda itu sering merasa lelah. Saat menghadapdokter cantik itu, dia langsung berusaha menyembunyikan kelelahannya dan bersikap kuat dan gagah. Saat dokter pergi, rasa lemah dan lelah muncul lagi. Dalam konteks dan situasi seperti ini, dokter pe pigi dapat mengacu pada keadaan waktu sehingga dapat dimaknakan sebagai ‘sewaktu dokter pergi’ atau ‘pada saat kepergian dokter’. 17) Paitua pe cuci balangang kita herang. old.man POSS wash wok 1SG surprised Caranya dia mencuci wajan itu mengherankan saya. Pada contoh (17) pe menggabung dua unsur, yaitu, paitua dan cuci balangang, yang menghasilkan rangkaian kata paitua pe cuci balangang yang dapat dipahami dengan makna kepemilikan ‘(cara) mencuci wajannya orang lelaki itu’. Kalimat ini menyatakan perasaan penutur yang menceritakan pengalamannya waktu dia sedang berada di kebunnya . Waktu itu, seorang tentara yang sedang menjalankan latihan di tempat itu menghadapnya untuk meminjam wajannya. Setelah beberapa hari, wajannya dikembalikan dalam keadaan putih dan bersih. Hal itu sangat mengherankan penutur tersebut. Pada konteks dan keadaan ini, paitua pe cuci balangan mengacu pada suatu kejadian yang menimbulkan perasaan herang ‘heran’. Kata ini berfungsi sebagai predikat, sedangkan yang mengalami perasaan ini, yaitu kita ‘kata perorangan pertama tunggal’, berperan sebagai subjek. Contoh (17) juga menjelaskan bagaimana kata tugas pe membantu menentukan struktur rangkaian: unsur Y yang mendahului pe berperan sebagai pewatas, sedangkan unsur X yang mengikuti pe merupakan pokok. Rangkaian dengan bentuk Y pe X ini mencerminkan makna kepemilikan sehingga keberadaan pe menandakan kedua unsur yang dihubungkannya secara de facto merupakan kata benda. Penguraian ini memudahkan penentuan makna unsur masingmasing, yaitu, unsur Y yang mendahului pe mengacu pada ‘pemilik’, sedangkan unsur X yang mengikuti pe mengacu pada ‘apa yang dimiliki’. Namun, pengertian Y pe X yang paling tepat ditentukan konteks dan keadaan. Sering Y pe X mencerminkan pengertian ‘kepemilikan’, tetapi cara ucapan dengan nada seru dan/atau keberadaan sebuah kata seru dapat menandai pengertian yang berbeda, yaitu, ‘penilaian/peninjauan’. Uraian di atas ini dapat diterapkan pada contoh (18) sehingga kedua unsur yang dihubungkan pe, yaitu, batu angos ‘bongkahan lahar kering’ dan tajang ‘ketajaman’ secara de facto merupakan kata benda.
190
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
18) Baru batu angos pe tajang! moreover stone burnt POSS sharp Lagipula alangkah tajam bongkahan lahar kering itu! Jika konteks dan situasi memungkinannya dan makna kepemilikan berlaku, batu angos pe tajang dapat diterjemahkan dengan ‘ketajaman bongkahan batu lahar’. Namun, jika Y pe X diucapkan dengan nada seru, seperti ditandai tanda seru pada contoh ini, pengertian bukan mengacu pada kepemilikan, melainkan merupakan penilaian penutur yang menunjukkan kekaguman atau keheranan. Makna yang lebih cocok pada konteks ini merupakan ‘alangkah tajam bongkahan lahar kering itu!’ atau ‘tajamnya bongkahan lahar kering itu!’. Bersamaan dengan nada seru yang menjadi pertanda, sebuah kata tertentu, seperti kata seru mama, atau kata lain, dapat berperan sebagai alat bantu dalam proses menentukan pemahaman yang paling tepat dan cocok. Kedua unsur ini memungkinkan pemahaman rangkaian Y pe X sebagai penilaian atau peninjauan penutur, bukan sebagai ujaran kepemilikan. 19) ”Mama, ikang pe basar!” mother fish POSS big Waduh, alangkah besar ikannya! Penutur contoh (19) menceritakan pengalamannya waktu mendayung ke sebuah pulau dan menghadapi seekor ikan paus. Dalam cerita itu dia mengutip ujarannya dan menggambarkan perasaannya waktu melihat besarnya ikan tersebut. Dalam konteks seperti ini, kata mama, khususnya jika diucapkan dengan nada seru dan suku kata terakhir agak panjang, merupakan kata seru yang menunjukkan kekaguman, keheranan, ketidakpercayaan, dan sebagainya, senada dengan kata seru seperti ‘waduh!’, ‘ha?!’, atau ‘waw!’. Bersama dengan cara ucapan rangkaian kata ikang pe basar dengan nada seru, ujaran ini lebih memungkinkan pemahaman ‘penilaian’ atau ‘peninjauan’ daripada pemahaman ‘kepemilikan’, sehingga ‘waduh, alangkah besar ikannya!’ atau ‘waw, besarnya ikannya!’ lebih cocok dalam konteks ini daripada pemahaman kepemilikan ‘besarnya ikan’. Kata tugas yang Kata tugas lain yang dapat membantu menguraikan rangkaian kata adalah yang. Kata ini mempunyai persamaan dengan pe dalam berperan sebagai penanda struktur rangkaian kata. Keberadaan yang menandai unsur yang mendahului kata yang merupakan pokok rangkaian kata bersangkutan, sedangkan unsur yang mengikuti kata yang menjadi pewatasnya. Urutan pokokpewatas ini kebalikan dari urutan pewatas-pokok yang ditandai oleh keberadaan pe. Pada contoh (20) yang merupakan penghubung antara kumis dan paling bagus. 20) kumis yang paling bagus... moustache REL very beautiful kumis yang paling bagus... Konteks dan situasi menentukan bagaimana rangkaian ini harus diuraikan dan dimaknakan. Dalam konteks di mana kumis yang paling bagus merupakan kelompok kata yang berperan, misalnya, sebagai subjek, predikat, atau objek, kumis merupakan pokok dan yang paling bagus merupakan pewatasnya. Namun, dalam konteks dan keadaan yang berbeda, kumis yang paling bagus dapat ditafsirkan sebagai tuturan utuh yang terdiri dari kumis sebagai subjek dan yang paling bagus sebagai predikat. Penguraian terakhir ini muncul pada situasi di mana penutur memilih dan memberi penilaian, ‘kúmis (bukan rambut atau mata) yang paling bagus’. Pusat perhatian diarahkan pada kumis. Selain situasi, nada pengucapan dan fitur prosodis--yang misalnya menekankan suku kata tertentu atau menandai struktur dengan jeda--dapat membantu menentukan penguraian dan pengertian yang paling cocok dan tepat.
191
Betty Litamahuputty
Pada contoh berikut ini, yang menandai keberadaan dua pewatas yang sederajat, yaitu lombo ‘lembut’ dan tabal ‘tebal’. 21) sagu lombo yang tabal dua pulu... lempeng. sago soft REL thick two tens slab dua puluh lembar sagu lembut yang tebal. Pada contoh (21) ini sagu lombo yang tabal berfungsi sebagai subjek yang diikuti predikat yang terdiri dari dua balas lempeng ‘dua belas lembar’. Dalam konteks ini, yang merupakan batas antara sagu lombo yang menjadi pokok dan tabal yang berperan sebagai pewatas, sehingga pengertian ‘sagu lembut yang tebal’ berlaku. Lombo dan tabal merupakan sifat pokok yang sederajat. Konteks dan situasi menentukan apakah rangkaian ini merupakan ujaran sempurna atau sebagian dari sebuah tuturan. Seperti halnya pada contoh (20), nada pengucapan dan fitur prosodis lain dapat menentukan penguraian dan pengertian yang berlaku. Selain nada dan fitur prosodis, kata tertentu, seperti itu atau ini, dapat berperan sebagai alat bantu yang bermanfaat, karena kedua kata ini dapat berfungsi sebagai penutup dan batas sebuah rangkaian kata. 22)
Paitua itu yang tangka. old.man that REL catch Bapak itu yang menangkapnya.
Pada contoh (22) ini, keberadaan yang menandai unsur yang mendahului yang, yaitu paitua itu ‘bapak itu’, merupakan pokok, sedangkan tangka ‘tangkap’ merupakan pewatas rangkaian kata bersangkutan. Oleh sebab kata itu sering berfungsi sebagai perbatasan antara dua kelompok kata yang menempati posisi paling akhir, paitua itu ‘bapak itu’ dapat diuraikan sebagai subjek yang mengacu pada aktor dan pelaku, sedangkan yang tangka ‘yang menangkap(nya)’ berperan sebagai predikat dan mengacu pada kegiatan. Contoh-contoh di atas ini menunjukkan kedua kata tugas pe dan yang saling melengkapi: pe menandai unsur yang mendahuluinya merupakan pewatas, sedangkan keberadaan yang menandai unsur yang mendahuluinya sebagai pokok atau subjek. Unsur yang mengikuti pe merupakan pokok, sedangkan yang mengikuti yang mengacu kepada pewatas atau predikat. Keberadaan unsur seperti pe dan yang ini sangat membantu dalam proses penguraian rangkaian kata serta penentuan pengertian. Kerap kali rangkaian mengandung pe mengarah pada makna kepemilikan, sehingga keberadaannya langsung mengingatkan pada makna tersebut. Namun, jika ada tambahan nada seru, kata seru, atau fitur lain yang mengungkapkan seruan, maknanya berubah dan pemahamannya diarahkan pada penilaian atau peninjauan. Keberadaan kata tugas seperti pe dan yang, keseringan penggunaan makna tertentu, dan nada ujaran khusus, merupakan pertanda yang dapat melancarkan dan memudahkan proses penentuan struktur dan makna rangkaian kata. Pada bagian berikut ini, urutan kata dibahas dan digambarkan terjadinya perubahan makna jika urutan kata diubah. Gejala ini menunjukkan pentingnya urutan kata pada makna. URUTAN KATA Urutan kata dapat berfungsi sebagai sebuah alat bantu untuk memperoleh makna rangkaian kata, karena perubahan urutan mengakibatkan perubahan makna. Gejala ini digambarkan melalui kata ada, kata bilangan, dan kata tara, yang mampu mengutarakan makna yang berbeda-beda, tanpa perubahan bentuk kata dan sesuai dengan letaknya pada rangkaian kata. Konteks linguistik dan situasi nonlinguistik menentukan makna dan pengertian yang paling cocok dan tepat. Dua contoh berikut ini dikutip dari sebuah cerita mengenai dua orang anak yang mencuri mangga. Waktu sedang sibuk memetik buah mangga di pohonnya, tiba-tiba keluar anak pemilik rumah dan berdiri di bawah pohon, sambil menyuruh kedua pencuri itu turun. Mereka
192
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
sangat beruntung bisa melarikan diri tanpa ditangkap orang itu, tetapi mangga curiannya tertinggal di pohon. Setelah itu ada teman yang berhasil mengambilnya dengan alasan mengambil kaosnya yang tertinggal di pohon. 23) “Ah, Anwar, [ada]P [orang]S [di bawa]LOC.” EXCL Anwar be.present person in bottom “Ah, Anwar, ada seseorang di bawah.” Contoh (23) mengutip salah seorang pencuri yang memberitahukan temannya keberadaan seseorang di bawah pohon. Ungkapan ini menjelaskan perubahan pada kenyataan (dari tidak ada orang menjadi ada orang di bawah pohon), dan informasi yang disampaikan temannya merupakan informasi baru, yang diantarkan ke dalam wacana melalui kata ada. Pada situasi seperti ini, kata ada memperoleh pemahaman eksistensial, ‘ada seseorang’. Perhatikan, subjek orang mengikuti predikatnya ada. 24) [Hamja]S [masi ada]P [di bawa pohong]LOC. Hamja still be.present in bottom tree Hamja masih berada di bawah pohon. Pada contoh (24) ada tetap merupakan predikat, namun Hamja, yang berfungsi sebagai subjek, mendahului predikat tersebut. Urutan kata seperti ini memperoleh pemahaman yang berbeda dari apa yang disampaikan pada contoh sebelumnya. Contoh (24) ini mengacu pada keberlanjutan peristiwa atau kegiatan, yang diungkapkan dengan masi ‘masih’. Kata masi ini seringkali menandakan suatu peristiwa atau kegiatan yang mulai pada waktu yang sudah lampau, misalnya, sebelum tuturan bersangkutan diungkapkan, dan berlanjut sampai pada saat kini, misalnya pada saat tuturan. Pada konteks di mana masi diikuti ada, dan subjek mendahului predikat, ada mengungkapkan ‘kehadiran’ atau ‘keberadaan’ dan memperoleh makna ‘berada (pada suatu tempat)’. Perbedaan antara contoh (23), yang mempunyai urutan predikat-subjek, dengan contoh (24), yang urutannya subjek-predikat, menghasilkan perbedaan makna. Hal ini menunjukkan peran urutan kata dalam menentukan makna, sehingga pantas diperhatikan sebagai alat bantu penguraian dan penentuan pengertian rangkaian kata yang paling cocok dan tepat. Hal ini dapat digambarkan dengan urutan kata benda dan kata bilangan pada sebuah rangkaian kata. Kata bilangan yang digabung dengan kata benda dapat mendahului atau mengikuti kata benda tersebut. Struktur rangkaian ini menentukan hubungan antara kedua unsur dan cara pemahamannya. Kata bilangan yang mendahului kata benda merupakan pewatasnya, sehingga memperoleh pemahaman atributif, sedangkan jika kata bilangan mengikuti kata benda, perannya sebagai predikat dan pemahaman predikatif berlaku. Contoh (25) dikutip dari percakapan mengenai pupeda, sejenis bubur yang dibuat dari terigu sagu atau singkong/ubi dan yang merupakan makanan pokok orang Maluku. Berapa banyak pupeda bisa dimakan setiap orang menjadi pokok pembicaraannya. 25) Lima balei, bukang lima bokor. five turn.around NEG five bowl Lima sajikan, bukan lima mangkuk. Penutur tuturan ini menjawab dia bisa makan “lima”, dan pada tuturan berikutnya dia menjelaskan takaran yang dimaksudkannya, yaitu, lima bale ‘lima sajikan’, bukan lima bokor ‘lima mangkuk’. Lima mendahului bale ‘sajikan’ dan dapat peran sebagai pewatas yang mengungkapkan jumlahnya. Dari konteks dan keadaan ini dapat dimengerti lima mempunyai makna distributif: satu orang mampu makan lima sajikan.
193
Betty Litamahuputty
26) Kita su karja su ampa hari. 1SG COMP work COMP four day Saya sudah bekerja selama empat hari. Pada contoh (26) penutur menceritakan pekerjaannya dan jumlah hari kerja yang sudah dilewatinya. Rangkaian kata ampa hari terdiri dari bilangan ampa ‘empat’ yang mendahului kata hari ‘hari’, sehingga ditentukan sebagai pewatas; ampa hari memperoleh makna distributif ‘(selama) empat hari’. Jika urutan kata benda dan kata bilangan ini diubah, struktur dan maknanya pun ikut berubah. 27) Oto dua de jual samua, ngana! car two 3SG sell all 2SG Dia menjual kedua mobilnya! Pada contoh (27) kata bilangan mengikuti kata benda, oto ‘mobil’, menghasilkan rangkaian kata oto dua yang mendapatkan penguraian predikatif ‘oto (jumlahnya) dua’. Pada konteks dan keadaan ini, makna ‘kolektif, mengumpul’ berlaku, menghasilkan makna ‘kedua mobil’. Kata satu mempunyai kedudukan tersendiri. Jika satu mengikuti kata benda, makna tak tentu berlaku. 28) “Cek, tarada, ini antar tamang satu.” EXCL NEG this deliver friend one “Ah, tidak, hanya mengantar seorang teman.” Makna ini berlaku pada contoh (28) di atas ini, di mana satu mengikuti tamang ‘teman’ dan menghasilkan rangkaian kata tamang satu yang sering mendapatkan makna ‘seorang teman’, dengan pengertian taktentu. Jika satu mendahului pokoknya, kata ini mencerminkan makna “distributif” dan tertentu, seperti dicontohkan di bawah ini. 29) Satu orang dua ika, pegang. one person two bind hold (Setiap) satu orang dua ikat, pegang. Contoh (29) diambil dari cerita mengenai anak-anak yang mencuri mangga dengan cara melempar kayu bakar ke pohon mangga. Setiap orang diberikan dua ikat kayu bakar. Pada contoh di bawah ini, satu orang mengacu pada ‘satu orang (tertentu)’ atau ‘setiap orang’. Dalam konteks dan keadaan contoh tersebut, dua ika ‘dua ikat’ memperoleh makna distributif, yaitu, setiap orang memegang dua ikat kayu bakar. Rangkaian kata yang mengandung kata bilangan di atas ini mencerminkan pentingnya urutan dan letak kata bagi pemahaman dan makna. Pada bagian berikut ini, kata tara dibahas. Kata ini sering mengungkapkan makna negatif, jika merupakan sebagian dari predikat di mana tara menjelaskan unsur utamanya. Kata tara dapat diletakkan pada ujung belakang tuturan untuk berperan sebagai butir pertanyaan yang biasanya digunakan untuk memancing reaksi rekan bicara, mengikat perhatian rekan bicara, atau untuk memastikan semua rekan bicara memiliki informasi yang sama. Pada posisi ini tara mendapatkan pelafalan khusus dan tuturannya diucapkan dengan nada bertanya. Kedua ciri ini memperkuat pemahaman khusus tara, yaitu sebagai butir pertanyaan. Pada contoh di bawah ini, tara berperan sebagai operator predikat dengan makna ketiadaan.
194
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
30) Kita bilang, “Ngana tara tidor?”. 1SG say 2SG NEG sleep Saya berkata, “Kamu tidak tidur?”. Pada contoh (30), tara mendahului tidor yang merupakan unsur utama pada predikat. Tara menunjukkan makna ‘tidak’, sehingga tara tidor berarti ‘tidak tidur’. Jika tara diikuti kata yang mengacu pada sebuah benda atau kepada seorang manusia, makna ‘tidak ada’ atau ‘tidak mempunyai’ berlaku. 31) Cek, kita tara cewe. EXCL 1SG NEG girl Weh, saya tidak ada pacar. Pada contoh (31), cewe mengacu pada seorang pacar perempuan dan berfungsi sebagai predikat. Kata ini didahului tara dan menghasilkan tara cewe yang memperoleh makna ‘tidak mempunyai pacar perempuan’. Jika tara terdapat pada akhir tuturan, tara berperan sebagai butir pertanyaan, seperti pada contoh berikut ini. 32) Ih, kita su bilang, tara? EXCL 1SG COMP say NEG Ah, saya sudah bilang, bukan? 33) Fondasi, tara? foundation NEG (Itu menjadi) fondasi, bukan? Pada posisi ini, tara mendapatkan ucapan dengan nada bertanya, yang pada contoh (32) dan (33) di atas ini ditandai dengan tanda tanya. Kadangkala antara tara dan tuturan sebelumnya terdapat fitur prosodis lain, seperti jeda, sehingga tara dapat diurai sebagai kesatuan tersendiri dengan tugas tersendiri. Tara pada akhir tuturan dengan tambahan fitur prosodis seperti ini harus ditafsirkan dan dimaknakan sebagai butir pertanyaan yang berperan sebagai pemancing jawaban atau balasan, ‘bukan?’. Contoh di atas ini mencerminkan pentingnya letak kata serta urutan kata pada makna dan pemahaman rangkaian kata dan unsurnya masing-masing. SIMPULAN Tulisan ini membahas salah satu ciri khas kata bahasa Melayu Ternate, yaitu kemampuan memenuhi pelbagai peran sintaktis dengan makna yang berbeda-beda tanpa menunjukkan perubahan pada bentuk kata. Kalaupun bentuk kata berubah disebabkan proses morfologis seperti pengulangan dan penggabungan dengan unsur terikat, hasil proses tersebut tetap bersifat fleksibel. Tulisan ini menggambarkan bahwa proses morfologis semata-mata merupakan penambahan makna pada kata dasar, bukan untuk menandai peran gramatikal. Keadaaan seperti ini memicu pendekatan di mana kata dan rangkaian kata memperoleh maknanya karena berada dalam konteks linguistik dan keadaan nonlinguistik tertentu. Konteks linguistik menandakan bagaimana rangkaian kata dapat diuraikan, misalnya dengan keberadaan kata tugas tertentu, seperti pe dan yang; kedua kata tugas ini menandai bagian mana merupakan pokok dan yang mana berfungsi sebagai pewatas. Letak kata dan urutan kata juga dibahas di sini dan menunjukkan perubahan makna apabila letak kata atau urutan kata diubah. Pada sebuah bahasa yang bentuk kata tidak mencerminkan fungsi sintaktis, kata tugas, urutan kata, keseringan berlakunya fungsi dan makna tertentu, intonasi dan ciri prosodis lain, serta keadaan nonlinguistik seperti kebiasaan dan penilaian masyarakat penutur bahasa, dapat membantu menentukan pemahaman dan makna yang paling tepat dan melancarkan proses tersebut.
195
Betty Litamahuputty
CATATAN * Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan makalah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Aone van Engelenhoven yang telah memberikan masukan pada versi sebelumnya. Kelalaian pada tulisan ini adalah tanggung jawab penulis. 1
Istilah "pulau Ternate" dan "kota Ternate" yang digunakan di sini mengacu pada sebuah daerah geografis, yang tidak sesuai dengan istilah administratif. “Pulau Ternate” mengacu pada seluruh daerah geografis pulau Ternate, sedangkan "kota Ternate" mengacu pada daerah perkotaan di pulau Ternate. 2
Glos pada contoh disampaikan dalam bahasa Inggris. Singkatan yang digunakan adalah: 1: orang pertama; 2: orang kedua; 3: orang ketiga; A: sifat; ADV: keterangan; COMP: completive, ketuntasan; CONJ: penyambung; DUR: duratif; EXCL: seruan; FUT: futur, yang akan datang; HAB: kebiasaan; INV: ketidaksengajaan; LOC: tempat; N: benda; NEG: negatif, peniadaan; P: predikat; PL: jamak; POSS: posesif, kepemilikan; PROG: progresif, keberlangsungan; QT: unsur konstruksi pertanyaan; REC: bersilangan; REFL: refleksif, pada diri sendiri; REL: relatif, nisbi; S: subjek; SG:tunggal; V: kegiatan. 3
Kata bale sering muncul dengan makna ‘balik, putar’. Mungkin dalam konteks ini ada kaitannya dengan cara menyajikan pupeda yang diputar-putar pada gata-gata, satu atau dua garpu bercabang dua yang terbuat dari kayu atau bambu.
DAFTAR PUSTAKA Adelaar, Karl Alexander dan David J. Prentice with contributions from C.D. Grijns, H. Steinhauer and A. van Engelenhoven. 1996. “Malay: Its history, role and spread.” Dalam: A. Wurm, P. Mühlhäusler, dan D.T. Tryon (Eds.). Atlas of languages of intercultural communication in the Pacific, Asia, and the Americas, Volume II.1 Texts, 673-693. Berlin: Mouton de Gruyter. Bappeda Kota Ternate. 2014. Monografi Kota Ternate 2014. Ternate: Bappeda Kota Ternate. Bausani, Alessandro. 1960. “The first Italian-Malay vocabulary by Antonio Pigafetta.” East and West. 11:229-248. Blagden, Charles Otto. 1930. “Two Malay letters from Ternate in the Moluccas, written in 1521 and 1522”. Bulletin of the School of Oriental Studies 6-(1), 87-101. Blagden, Charles Otto. 1931. “Corrigenda to Malay and other words collected by Pigafetta.” Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland 63, 57-861. Bowden, John F. 2005. ‘Language contact and metatypic restructuring in the directional system of North Maluku Malay’, Concentric: Studies in Linguistics 31-2:133-158. BPS Kota Ternate [n.d.]. Kota Ternate Dalam Angka 2013. Ternate: BPS Kota Ternate [Katalog BPS: 1102001.8271]. Collins, James T. dan Hans Schmidt. 1992. “Bahasa Melayu di pulau Ternate: Maklumat tahun 1599.” Jurnal Dewan Bahasa 36, 292-327. Commelin, Isaac. 1646 [1969]. Begin ende voortgangh, van de Vereenighde Nederlantsche Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie: vervatende de voornaemste reysen, bij de inwoonderen der selver provincien derwaerts gedaen. 4 vols. [Amsterdam]: [Facsimile Uitgaven Nederland]. Crab, P. van der. 1878. “Geschiedenis van Ternate, in Ternataanschen en Maleischen tekst beschreven door den Ternataan Naidah, met vertaling en aanteekeningen.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 4, 381-493.
196
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Fraassen, Chr. F. Van. 1987. Ternate, de Molukken en de Indonesische archipel. Van soaorganisatie en vierdeling: een studie van traditionele samenleving en cultuur in Indonesië. 2 vols. [PhD thesis Universiteit Leiden.] Gil, David. 1994. “The structure of Riau Indonesian.” Nordic Journal of Linguistics 17, 179200. Gil, David, 2013. “Riau Indonesian: a language without nouns and verbs.” Dalam: J. Rijkhoff and E. van Lier (Eds.). Flexible Word Classes: Typological studies of underspecified parts of speech, 89-130. Oxford: Oxford University Press. Gonda, Jan. 1938. “Pigafetta’s vocabularium van het “Molukken-Maleisch”.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 97:101-124. Gonda, Jan. 1949. “Prolegomena tot een theorie der woordsoorten in Indonesische talen.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 105, 275-331. Kern, W. 1938. “Waar verzamelde Pigafetta zijn Maleise woorden?” Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 78, 271-273. Keuning, J. 1942. De tweede schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indië onder Jacob Cornelisz. van Neck en Wybrant Warwijck, 1598-1600: Journalen, documenten en andere bescheiden, deel III: Het tweede boeck, journael oft daghregister. ’sGravenhage: Nijhoff. [Werken uitgegeven door de Linschoten-vereeniging 46]. Le Roux, Charles Constant François Marie. 1929. Feestbundel uitgegeven door het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen bij gelegenheid van zijn 150 jarig bestaan 1778-1928. De Elcano’s tocht door den Timorarchipel met Magalhães’ schip “Victoria”. Weltevreden: Kolff. Litamahuputty, Betty. 2012. Ternate Malay: Grammar and Texts. Utrecht: LOT Publications [Dissertation Series 306]. Robertson, James Alexander. 1906. Magellan’s voyage around the world by Antonio Pigafetta: The original text of the Ambrosian MS., with English translation, notes, bibliography, and index. 3 vols. Cleveland, Ohio: Arthur H. Clark. Steinhauer, Hein. 1986. “On distinguishing adjectives and intransitive verbs in Indonesian.” Dalam: C.S.M Hellwig dan S.O. Robson (Eds.). A man of Indonesian letters: Essays in honour of Professor A. Teeuw, 316-323. Dordrecht: Foris. Taylor, Paul Michael. 1983. “North Moluccan Malay: Notes on a ‘substandard’ dialect of Indonesian.” Dalam: J.T. Collins (Ed.). Studies in Malay dialects (part II), 14-27. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. [NUSA 17.] Teeuw, Andries. 1962. “Some problems in the study of word-classes in bahasa Indonesia.” Lingua 11, 409-421. Voorhoeve, Clemens Lambertus. 1983. “Some observations on North-Moluccan Malay.” Dalam: J.T. Collins (Ed.). Studies in Malay dialects (part II), 1-13. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. [NUSA 17.]
: Modern Syntax: A Coursebook : 978-0-521-68204-6 Paperback : Andrew Carnie : Cambridge University Press : 358 halaman Yassir Nasanius Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya [email protected]
Buku teks ini agak berbeda dengan buku-buku teks sintaksis serupa yang beredar di pasaran. Perbedaan tersebut terletak pada dua ciri yang melekat pada buku teks ini. Ciri pembeda pertama terletak pada ancangan teoretis yang dipakai oleh penulis buku ini. Penulis menggunakan tiga ancangan teoretis untuk keperluan analisis sintaksis, yaitu (i) Chomskyan Minimalism (teori sintaksis termutahir yang dikembangkan Chomsky dan pengikutnya), (ii) Head-Driven Phrase Structure Grammar (teori sintaksis yang dikembangkan Ivan Sag dan Thomas Wasow dan pengikutnya), dan (iii) Lexical-Functional Grammar (teori sintaksis yang dikembangkan Joan Bresnan dan pengikutnya). Pemilihan ketiga macam teori sintaksis ini tidaklah mengherankan karena ketiganya memang tergolong sebagai varian dari tata bahasa generatif. Misalnya, untuk analisis konstituen sintaksis dalam buku ini, penulis mengambil konsep-konsep dari Minimalism. Dari HeadDriven Phrase Structure Grammar penulis mengadopsi sistem notasi dan sistem subkategorisasi sintaksis, dan dari Lexical-Functional Grammar penulis meminjam analisis perpindahan induk (head) dari frasa dan analisis ketergantungan jarak jauh (long-distance dependencies). Ciri pembeda kedua adalah buku ini mencoba mengajarkan konsep-konsep sintaksis melalui proses penemuan (discovery) daripada melalui proses pemaparan belaka. Untuk menerapkan metode ini, setiap selesai membaca bagian-bagian buku ini, pembaca diajak untuk mencoba menjawab tiga macam pertanyaan, yaitu (i) notebook questions (pertanyaanpertanyaan yang ditandai dengan simbol buku dan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dapat ditemui pada setiap akhir bab), (ii) answer-on-the-page questions (pertanyaanpertanyaan yang ditandai dengan simbol pensil dan jawaban-jawaban atas pertanyaanpertanyaan ini juga dapat ditemui pada setiap akhir bab), (ii) challenge questions (pertanyaanpertanyaan yang dirancang agar pembaca dapat mengevaluasi secara kritis teori-teori yang dibahas dalam setiap bab dan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini harus ditemukan sendiri oleh pembaca). Buku ini terdiri atas lima bab yang dijabarkan lebih lanjut ke dalam 26 unit. Sebanyak empat bab dialokasikan untuk penjabaran konsep-konsep sintaksis dan satu bab untuk simpulan. Di dalam Bab 1, yang bertajuk Some basic ideas in syntax, pembaca diajak untuk memahami definisi sintaksis dan hal-hal yang menjadi ciri-diri dari sintaksis modern. Di dalam bab ini, pembaca juga diajak untuk memahami dua macam data sintaksis, yaitu data yang diambil dari korpus dan data yang didapatkan dari tugas untuk memberikan penilaian terhadap kegramatikalan kalimat (judgment tasks). Pada bagian akhir bab ini, pembaca diajak untuk memahami berbagai kaidah sintaksis yang ditelurkan oleh para pakar sintaksis. Konsep-konsep kategori dan subkategori dipaparkan dalam Bab 2 yang dituangkan dalam tujuh unit. Di dalam bab ini, pembaca diajak untuk memahami konsep-konsep kategori (parts of speech, lexical categories,functional categories), konsep-konsep subkategori untuk pronomina, nomina, ketransitifan (transitivity), dan kata bantu (auxiliary). Di samping itu, pembaca diajak pula untuk menggali konsep-konsep tense, aspect, voice, dan mood.
Resensi Buku
Bab 3 bertajuk Constituents, merge and trees. Di dalam bab ini, pembaca diajak untuk memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan konstituen (misalnya definisi konstituen, tipetipe konstituen seperti complement, specifier, adjunct), konsep-konsep yang berkaitan dengan penggabungan (merge) seperti C-Merge yang berkaitan dengan complement dan merge yang berkaitan dengan adjunct. Pada akhir bab ini, pembaca diajak untuk mengenal metode-metode yang digunakan dalam menggambar pohon sintaksis dan berlatih menggambar pohon sintaksis. Konsep-konsep perpindahan (movement) dan kontrol (control) merupakan bahan ajar dalam bab 4. Untuk memahami sejumlah konsep perpindahan, pembaca diajak untuk menelaah teori perpindahan dalam kalimat pasif dan kalimat tanya. Di samping itu, pembaca diajak pula untuk memahami dua macam perpindahan dari induk ke induk yang terjadi pada auxiliary dan verb. Untuk memahami konsep kontrol, pembaca diajak untuk memahami perbedaan yang terjadi dalam dua macam konstruksi, yaitu konstruksi kontrol (control construction) dan konstruksi penaikan (raising construction). Buku teks ini baik sekali bila digunakan sebagai buku pegangan dalam kelas sintaksis, terutama kelas sintaksis yang ingin mengajarkan tata bahasa generatif yang dikembangkan oleh Chomsky dan pengikutnya. Dari segi metodologi, buku ini sangat cocok dalam melatih para siswa belajar dengan kritis dan aktif karena buku teks ini menekankan proses penemuan (discovery) dalam mempelajari konsep-konsep sintaksis dan dalam menganalisis data sintaksis. DAFTAR PUSTAKA Bresnan, Joan. 2001. Lexical-Functional Syntax.Oxford: Blackwell. Carnie, Andrew. 2006. Syntax: A Generative Introduction. Oxford: Wiley-Blackwell. Sag, Ivan dan Thomas Wasow. 1999. Syntactic Theory: A Formal Introduction. Stanford: CSLI Publications.
JELAJAH LINGUISTIK Rubrik ini membuka peluang untuk saling berbagi di antara kita tentang beberapa kemungkinan topik ini: a. pencanangan metode penelitian linguistik yang belum lazim digunakan b. daur-ulang metodologi penelitian linguistik c. persoalan data yang – meskipun barangkali belum ditemukan pemecahannya – penelusurannya berpeluang membuka sesuatu yang baru yang belum pernah menjadi perhatian peneliti terdahulu d. penerapan teori linguistik tertentu untuk menjelaskan data bahasa seperti bahasa Indonesia yang membuat peneliti mempersoalkan teori yang bersangkutan
MENGANCANG GEJALA BAHASA UNTUK DATA PENELITIAN: MELIHAT KEMBALI KASUS KONSTRUKSI NOMINA + banget DALAM BAHASA INDONESIA Ridwan Hanafiah Universitas Sumatera Utara [email protected]
Bahren Umar Siregar1 Universitas Katolik Indonesia Atma [email protected]
Pada umumnya peneliti maupun pemerhati bahasa memiliki dua sikap atau pandangan ketika sedang mengamati suatu gejala bahasa, yaitu preskriptif dan deskriptif. Pandangan preskriptif melihat gejala bahasa secara normatif dengan mengacu pada kaidah tata Bahasa, sementara pendekatan deskriptif menganggap bahasa bersifat dinamis dan dapat menyesuaikan bentuknya sehingga gejala bahasa seperti apapun dianggap diatur oleh suatu kaidah (rule-governed). Dengan demikian dari sisi pandangan deskriptif, gejala bahasa tidak ada yang bersifat acak tetapi sistematik sehingga penelitian deskriptif utamanya bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana suatu gejala bahasa terjadi atau terbentuk dan kaidah seperti apa yang mengatur bentuk tersebut. Sementara itu, pandangan preskriptif cenderung menilai keselarasan gejala bahasa yang ada dengan kaidah tata bahasa sehingga gejala bahasa yang tidak selaras dengan kaidah tata bahasa dianggap sebagai bentuk yang ‘salah’ atau ‘rancu’. Dalam perjalanan penggunaannya di tengah-tengah masyarakat, gejala bahasa yang dianggap salah atau rancu ini kemudian digunakan secara luas pada berbagai kesempatan sehingga menjadi bentuk yang ‘salah-kaprah’, yaitu bentuk yang awal kehadirannya dalam penggunaan bahasa dianggap suatu kesalahan tetapi kemudian menjadi bentuk yang lazim. Misalnya, konstruksi nomina + banget merupakan gejala bahasa yang termasuk ke dalam kategori salah-kaprah ini, bentuk yang secara normatif melanggar kaidah tata bahasa Indonesia tetapi menjadi lazim dalam penggunaannya, paling tidak dalam laras bahasa tidak resmi. Pakar yang pertama sekali mencoba mengkaji kasus ini dari ‘kaca mata’ perskriptif adalah Prof. Soenjono Dardjowidjojo (Dardjowidjojo 2009). Beliau mengambil contoh konstruksi nomina + banget seperti kopi banget, cowok banget, sabun banget, dan eskrim banget dan secara perskriptif mengatakan bahwa konstruksi ini “tidak rule-governed”. Dia menambahkan, “Sebagai adverbia, kata ini terkendala oleh aturan yang mewajibkannya menjadi keterangan pada adjektiva. Sesuai dengan parameter bahasa Indonesia, kita peroleh frasa kecil banget, tinggi banget, mahal banget, dsb.” Berikut ini, mari kita perhatikan dengan saksama kutipan di bawah ini dari blog bahasa Kompasiana, yang berkaitan dengan konstruksi nomina + banget. Yang menjadi pokok bahasan pada paragraf ini adalah konstruksi sesuatu + banget. Dari cara pemaparan terhadap pokok bahasan dapat disimpulkan bahwa penulis cenderung menggunakan pendekatan preskriptif.
Jelajah Linguistik
Sesuatu banget, jargon yang menjadi ciri khas Syahrini ini begitu populer setahun belakangan ini. Namun, tahukah Anda, bahwa jargon ini bisa membuat Syahrini dikatakan sebagai pendobrak tatanan baku laksana Sutardji Calzoum Bachri di era tahun 1970-an dulu? (Maaf, ini hanya sekadar penilaian iseng-iseng saja, yang merasa sastrawan mohon tak meradang). Bagaimana tidak? Syahrini telah mendobrak sebuah aturan yang menyatakan bahwa kata banget yang merupakan bentuk tak baku dari sangat ini hanya menerangkan kata sifat. Kata berjenis kata sifat memang diterangkan dengan kata keterangan (dalam hal ini sangat), misalnya sangat cantik, sangat merah, sangat tinggi, dll. Sedangkan sesuatu termasuk pronomina yang berarti kata untuk menunjukkan suatu hal atau barang yang tak tentu. Barang tentulah tak bisa disangatkan karena bukan merupakan kata sifat. Jadi, kalau Syahrini berani menerangkan kata sesuatu (pronomina) dengan banget (kata keterangan), sudah pastilah ia termasuk orang-orang pembaharu semacam Sutardji dalam puisi Batunya. (Cetak tebal sesuai dengan aslinya)2 Lalu, bagaimana pemerian kasus konstruksi nomina + banget ini apabila dikaji dari sudut pandang deskriptif? Sebagai langkah awal, kita perlu menyimak apa yang dikatakan oleh Siregar (2011, hlm. 135) seperti di bawah ini: ... ujaran atau kalimat yang diucapkan oleh penutur yang normal tidaklah terjadi secara acak begitu saja melainkan terpola oleh kaidah bahasa. Selama itu menyangkut penggunaan bahasa oleh penutur bahasa yang normal, tidak ada kerancuan bahasa atau salah penalaran dalam bahasa karena apa yang ditunjukkan oleh kedua gejala bahasa ini adalah kehadiran sistem baru dalam variasi penggunaan bahasa. Siregar (2011, hlm. 12) juga mengatakan bahwa “bukti empiris yang diperoleh dari masyarakat bahasa tertentu ... menunjukkan bentuk-bentuk yang dianggap kerancuan bahasa (bahasa rancu) ternyata memiliki pola keteraturan.” Dalam hubungannya dengan penggunaan bahasa yang baku, (Siregar 2011, hlm. 128) melanjutkan bahwa “bentuk-bentuk ‘rancu’ ... sebenarnya adalah salah satu bentuk ragam bahasa yang digunakan di tengah-tengah masyarakat penutur bahasa Indonesia, yang sama makulnya dengan bentuk-bentuk baku lainnya.” Dari sejumlah data empiris penggunaan konstruksi frasa dengan bentuk banget dapat diperikan bahwa kata ini dapat berfungsi untuk menerangkan atau membatasi dua kategori leksikal, yaitu adjektiva (adjektiva + banget) seperti kecil banget, tinggi banget, atau mahal banget, dan (pro)nomina (nomina + banget) seperti sesuatu banget, kopi banget, cowok banget, atau sabun banget. Kata banget membatasi masing-masing makna adjektiva dan nomina dalam konstituen frasa adjektiva (FA) dan nomina (FN). Konstruksi yang terakhir ini merupakan perkembangan mutakhir gejala bahasa yang ditemukan dalam penggunaan bahasa Indonesia tidak resmi atau bahasa sehari-hari. Pemerian deskriptif seperti ini dihasilkan melalui analisis data empiris yang apa adanya. Berbeda dengan pendekatan perskriptif yang berangkat dari kaidah formal tata bahasa Indonesia, pendekatan deskriptif berbasis data dan keteraturan yang dapat diamati pada data tersebut. Menilik makna kata banget dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBI 2008, hlm. 43), makna kata ini mencakup ‘amat sangat, amat, begitu, benar-benar, betul, betul-betul, kelewat, luar biasa, nian, sangat, sekali, sungguh, terlalu, terlampau’. Dari senarai makna ini dapat dikelompokkan dua gugus makna yang sesuai dengan fungsi kata banget dalam kedua struktur frasa FA dan FN. Yang pertama, gugus makna ‘amat sangat, amat, begitu, betul, kelewat, luar biasa, nian, sangat, sekali, sungguh, terlalu, terlampau’, yang bergayut dengan makna konstruksi frasa FA. Yang kedua, gugus makna ‘benar-benar, betul-betul, luar biasa’, yang berpaut dengan makna konstruksi frasa FN. Dengan demikian makna frasa sesuatu banget, kopi banget, cowok
202
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 1, Februari 2014
banget, atau sabun banget adalah ‘benar-benar (betul-betul) sesuatu’, ‘benar-benar (betul-betul) kopi, ‘benar-benar (betul-betul) cowok, atau ‘benar-benar (betul-betul) sabun’ atau ‘sesuatu yang luar biasa’, ‘kopi yang luar biasa’, ‘cowok yang luar biasa’, atau ‘sabun yang luar biasa’, yang tentu saja secara deskriptif tidak dapat dikaitkan dengan makna superlatif. Gejala bahasa yang terjadi pada kata banget dalam penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari kemungkinan merupakan gejala pembentukan polisemi baru, yang diikuti dengan perluasan kategoris dari adverbia menjadi adverbia dan adjektiva. Perbedaan kategori ini ditentukan oleh unsur leksikal yang menjadi inti frasa yang menggunakan banget, apakah inti adjektiva atau nomina. Namun, untuk mendukung pendapat ini memang diperlukan data yang lebih lengkap lagi. Sebagai penutup dapat dikatakan bahwa gejala bahasa yang sama boleh jadi dinilai secara berbeda berdasarkan pendekatan yang digunakan untuk mengancang gejala bahasa itu menjadi data penelitian. Ancangan deskriptif dan preskriptif merupakan dua di antara beberapa ancangan penelitian linguistik yang dapat digunakan untuk kepentingan yang berbeda. CATATAN 1
Komunikasi email tentang isi tulisan ini dapat ditujukan pada penulis kedua Bahren Umar Siregar.
REFERENSI Dardjowidjojo, Soenjono. 2009. Bahasa dan pola berfikir bangsa kita. Makalah dibacakan pada Kongres Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia (KIMLI), Malang 5-7 November 2009. Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Siregar, Bahren Umar. 2011. Seluk beluk fungsi bahasa. Jakarta: PKBB Unika Atma Jaya.
INDEKS PENULIS Arsyad, Wardhana Bowden Cohn, Ravindranath Hidajat Heydon Litamahuputty Rini Sariah Simanjuntak Siregar van den Berg
153 63 131 11 1 181 77 47 33 167 103
Indeks
INDEKS SUBYEK A Distributed Morphology Analysis of Indonesian ke-/-An Verbs ke-/-an circumfix 11, 15 verbalizing head 11, 22, 29
11
Akronim yang Berfonotaktik Tidak Lazim dalam Bahasa Indonesia akronim 47, 48, 49, 50, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61 fonotaktik 47, 48, 49, 50, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60 suku kata 47, 48, 50, 52, 53, 54, 56, 57, 58, 59, 60, 61
47
Forensic Linguistics: Forms and Processes forensic linguistics 1, 2, 7, 8, 9, 10 police investigations 1 credibility assessment 1
1
Introduction in Indonesian Social Sciences and Humanities Research Articles: How Indonesian Writers Justify Their Research Projects introduction 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 164, 165 research article 153, 154 rhetorical style 153, 155, 156, 157, 158, 165 Juara Satu dan Dua: Membandingkan Situasi Kebahasaan Indonesia dan Papua Nugini Papua Nugini 103, 104, 105, 106, 107, 108, 111, 112, 113, 114, 115, 125 bahasa nasional 103, 104, 106, 107, 111 bahasa daerah 103, 104, 105, 106, 107, 110, 112, 113, 114, 115, 119, 124, 125 perkembangan bahasa 103, 111, 124 Tok Pisin 103, 104, 107, 109, 110, 111, 112, 113, 117, 123, 124, 125 Bahasa Muna 103, 104, 113, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125 Bahasa Vitu 103, 104, 115, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124
153
103
Kata dan Makna dalam Bahasa Melayu Ternate 181 Ternate Melayu 181 tata bahasa 181, 183, 184, 185 makna 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197 Keajekan Konseptual dalam Metafora Baru keajekan konseptual 167, 168, 169, 171, 175, 176, 177 metafora baru 167, 168, 169,170, 171, 172, 176, 177 metafora konvensional 167, 172, 177 kemapanan 167, 168, 169, 177
167
Local Languages in Indonesia: Language Maintenance or Language Shift? 131 language shift 132, 133, 136, 137, 138, 140, 143, 144, 145, 147, 148 Indonesian 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148 language policy 132, 133, 135, 136, 144, 146, 147 Measuring Proficiency in Standard Indonesian for Enggano Speakers bilingual proficiency 33, 35, 36, 37, 38, 39
33
The Role of Culture in the Translation Process through Think-Aloud Protocols culture-bound words 77, 83, 85, 86, 87, 89 translation strategy 77 cultural differences 77
77
206
Linguistik Indonesia, Volume ke-32, No. 2, Agustus 2014
Terima Kasih Redaksi Linguistik Indonesia mengucapkan terima kasih kepada para mitra bebestari yang telah berkenan mereview artikel-artikel yang diterbitkan dalam Linguistik Indonesia edisi Februari dan Agustus 2014, yaitu: 1. Katharina Endriati Sukamto
Unika Atma Jaya
2. Patrisius Istiarto Djiwandono
Universitas Ma Chung
3. A. Effendi Kadarisman
Universitas Negeri Malang
4. Yassir Nasanius
Unika Atma Jaya
5. Faizah Sari
Universitas Surya
6. Yanti
Unika Atma Jaya
7. Erni Farida Ginting
Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, Jakarta Field Station
Jakarta, Agustus 2014 Redaksi Linguistik Indonesia