MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang tujuannya adalah untuk mengembangkan studi ilmiah mengenai bahasa. PENGURUS MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Ketua Wakil Ketua Sekretaris Bendahara
: : : :
Yassir Nasanius, Ph.D., Unika Atma Jaya Umar Muslim, Ph.D., Universitas Indonesia Faizah Sari, Ph.D., Unika Atma Jaya Ienneke Indra Dewi, Universitas Bina Nusantara
DEWAN EDITOR Editor Utama : Bambang Kaswanti Purwo, Unika Atma Jaya Editor Pendamping : Faizah Sari, Unika Atma Jaya Anggota : A. Chaedar Alwasilah, Universitas Pendidikan Indonesia; E. Aminudin Aziz, Universitas Pendidikan Indonesia; Benny H Hoed, Universitas Indonesia; Bernd Nothofer, Universitas Frankfurt, Jerman; Asmah Haji Omar, Universiti Malaya, Malaysia; Siti Wachidah, Universitas Negeri Jakarta; D. Edi Subroto, Universitas Sebelas Maret; I Wayan Arka, Universitas Udayana; A. Effendi Kadarisman, Universitas Negeri Malang; Bahren Umar Siregar, Unika Atma Jaya; Hasan Basri, Universitas Tadulako; Umar Muslim, Universitas Indonesia; Dwi Noverini Djenar, La Trobe University, Australia; Mahyuni, Universitas Mataram; Patrisius Djiwandono, Universitas Ma Chung. JURNAL LINGUISTIK INDONESIA Linguistik Indonesia diterbitkan pertama kali pada tahun 1982 dan sejak tahun 2000 diterbitkan tiap bulan Februari dan Agustus. Dengan SK Dirjen Dikti No. 108/DIKTI/Kep/2007, 23 Agustus 2007, Linguistik Indonesia telah terakreditasi. Jurnal ini dibagikan secara cuma-cuma kepada para anggota MLI yang keanggotaannya umumnya melalui Cabang MLI di pelbagai Perguruan Tinggi, tetapi dapat juga secara perseorangan atau institusional. Iuran per tahun adalah Rp. 100.000 (anggota dalam negeri) dan US$25 (anggota luar negeri). Keanggotaan institusional dalam negeri adalah Rp.120.000 dan luar negeri US$45 per tahun. Naskah dan resensi dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang sampul jurnal. ALAMAT Masyarakat Linguistik Indonesia Pusat Kajian Bahasa dan Budaya, Unika Atma Jaya JI. Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930, Indonesia e-mail:
[email protected], Ph/Fax: +62 (0)21 571 9560
Daftar Isi Abreviasi dan Akronim pada Batu Nisan Masa VOC di Batavia Lilie Suratminto ......................................................................
1
Kendali Interaksional sebagai Cerminan Ideologi: Analisis Wacana Kritis Trilogi Drama Opera Kecoa Ganjar Hwia .......................................................................... 11 Pemertahanan Bahasa dan Kestabilan Kedwibahasaan pada Penutur Bahasa Sasak di Lombok Sudirman Wilian .................................................................... 23 Sikap Bahasa Penutur Jati Bahasa Lampung Katubi .................................................................................... 41 Leksikon Aktivitas Mata dalam Toponim di Jawa Barat: Kajian Etnosemantik Nani Darheni ........................................................................ 55 Verba Transitif dan Objek Dapat Lesap dalam Bahasa Indonesia Tri Mastoyo Jati Kesuma ....................................................... 69 Analisis Semiotik Kultural Pantun Bahasa Indonesia-Makassar: dari Bilingualisme ke Multikulturalisme Ery Iswary ............................................................................. 77 Language Change in Bugis Society Murni Mahmud ...................................................................... 85 Resensi: Glenn Fulcher dan Fred Davidson Language Testing and Assessment: an Advanced Resource Book Diresensi oleh Patrisius Istiarto Djiwandono ........................... 97 Resensi: Rajend Mesthrie dan Rakesh M. Bhatt World Englishes the Study of New Linguistic Varieties. Key Topics in Sociolinguistics Diresensi oleh Riani ............................................................... 101
Linguistik Indonesia Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 1-10
Copyright 2010 by Masyarakat Linguistik Indonesia
ABREVIASI DAN AKRONIM PADA BATU NISAN MASA VOC DI BATAVIA Lilie Suratminto* Universitas Indonesia Abstract The paper discusses various abbreviations and acronyms found on headstones during the period of VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) or The Netherland’s East Indies Trading Company at the useum Taman Prasasti, Museum Wayang, Gereja Sion and Onrust Island in the capital city of Jakarta. Verbal codes in form of inscription on the headstones were written during the colonial times in Indonesia, which was in the 1700s and 1800s, and the language used was Dutch. The abbreviations and acronyms have been difficult to understand to date. There are not many people who speak modern Dutch can interpret the abbreviations and acronyms, let alone understand the codes. To understand the whole content of the codes, one must understand their representations and meanings of the abbreviations and acronyms. Data from various abbreviations and acronyms found in this study were classified by their types and analyzed meticulously based Dutch morphological features. Key words: abbreviation, acronym, Dutch.
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN Hampir setiap hari baik melalui media cetak maupun elektronik kita dihadapkan pada singkatansingkatan, yang terkadang membuat kita bertanya-tanya apa maksudnya. Wartawan yang menyampaikan tulisan terkadang tidak memberikan keterangan mengenai singkatan tersebut. Kita terkadang baru mengerti apabila singkatan-singkatan tersebut disajikan dalam suatu wacana, misalnya pada saat terjadi kecelakaan pesawat milik Angkatan Udara disebut istilah alutsista. Diwacanakan bahwa alutsista kita sudah ketinggalan zaman, anggaran untuk pengadaan alutsista sangat kecil, dan sebagainya. Tidak jarang pembaca menebak-nebak maksudnya; mungkin alutsista semacam senjata. Ternyata yang dimaksud adalah ’alat utama sistem persenjataan’. Kalau suatu singkatan sudah sangat sering dipergunakan dalam keseharian, orang tidak lagi mengingat atau tahu bentuk etimologisnya, misalnya kata SMS, AIDS, DNA, EMAIL, RADAR dan sebaginya. Abreviasi atau dalam bahasa Inggris abreviation adalah seluruh proses morfologis berupa pemenggalan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga terjadi bentuk baru yang berstatus kata, misalnya pilpres, capres, cawapre, MLI, KPU, UI dan lainlain. Termasuk abreviasi antara lain, kependekan, singkatan, pemenggalan, kontraksi, lambang huruf dan akronim. Akronim (acronimy) merupakan proses pemendekan yang menggabungkan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai sebuah kata yang sedikit banyak memenuhi kaidah fonotaktik suatu bahasa, misalnya UNIKA, ABRI, ASEAN, dan lain-lain (Harimurti 2008:1 revisi). TEMPAT PENELITIAN DAN SUMBER DATA Tempat penelitian adalah Museum Taman Prasasti, Museum Wayang Jakarta, dan Gereja Sion. Museum Taman Prasasti terletak di Jl. Tanah Abang I dan Museum Wayang di Jl. Pintu Besar Utara no.27, Gereja Sion di Jl. Pangeran Jayakarta. Ketiga tempat tersebut terletak di Jakarta Pusat, dan yang ke empat di Pulau Onrust, salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta. Keempat tempat tersebut masing-masing menyimpan batu-batu nisan masa VOC di Batavia pada abad 17 dan 18. Sebenarnya batu-batu nisan yang kini tersimpan di Museum Prasasti berasal dari Portugeesche Buitenkerk ‘Gereja Portugis’ sekarang bernama Gereja Sion
Lilie Suratminto
dan dari Nieuw Hollandsche Kerk ‘Gereja Belanda Baru’ yang dirobohkan dan dijual kepada perusahaan gudang Geo Wehry & Co. pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels (1808). Sejak tahun 1975 tempat tersebut diresmikan oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin sebagai Museum Wayang. Di Museum Wayang kini tersimpan 9 buah batu nisan yang dipasang pada dinding ruang tengah museum. Museum taman Prasasti sejak tahun 1795 dipergunakan sebagai pemakaman umum Belanda karena sejak tahun itu ada placaat ‘pengumuman resmi pemerintah’ bahwa orang tidak boleh lagi memakamkan orang yang meninggal di dalam gereja dan sekitarnya, karena dianggap tidak sehat, di samping pemakaman di gereja sudah sangat penuh. Batu-batu nisan pindahan dari dalam kota Batavia kini dipasang pada dinding sayap kanan, sayap kiri, dan beranda depan. Selebihnya diletakkan sesuai dengan posisi semula di halaman belakang museum, jumlahnya sekitar 70 buah. TEKS VERBAL DAN NON VERBAL PADA BATU NISAN VOC Yang dimaksud dengan teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semau jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya (Erianto 2005: 9). Batu nisan VOC dengan demikian dapat dipandang sebagai teks karena batu nisan tersebut ‘berbicara’ kepada kita melalui tampilannya. Hal ini bisa dibuktikan melalui proses analisis model Peirce (Suratminto 2008: 17-22). Batubatu nisan VOC tersebut berisi data verbal berupa inskripsi dan data nonverbal berupa simbolsimbol pada lambang heraldiknya. Untuk jelasnya lihat batu nisan Jacobus Lindius dan Cornelis Lindius pada dinding sayap kanan Museum Prasasti berikut ini: NONVERBAL
HIER ONDER LEGT BEGRAEVEN JACOBUS LINDIUS COOPMAN IN DIENST DER E.COMP. OVERLEDEN DEN 28 DECEMB:1683 OUD 31 JAEREN 7 MAENDEN 21 DAEGEN MITSGADERS D. EER W. D° CORNELIUS LINDIUS IN SIJN LEVEN 45 JAREN GETROUT LEERAAR DER GEMEYNTE GODS GEBOREN A[nn]° 1618: EN ALHIER GODSALIGLYCK IN DEN HEERE ONTSLAPEN 12 JUNY 1686 OUT 67 JAREN 8 MAANDEN EN 16 DAGEN
VERBAL
ITEM NICOLAAS PILLETIER OUDSTE SOON VAN DEN COOPMAN E.S. NICOLAAS PILLETIER SAL. OVERLEDEN 8 AUG .1687 OUD 9:IAREN 11: MAANDEN: EN 3: DAGEN. H K N ° 30
2
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
Makna dari teks verbal dari batu nisan ini adalah sebagai berikut: ’Di bawah ini dimakamkan Jacobus Lindius Saudagar yang berdinas pada Kompeni Yang Mulia Meninggal pada tanggal 28 Desember 1683 usia 31 tahun 7 bulan 21 hari Juga yang terhormat Cornelis Lindius semasa hidupnya 45 tahun taat sebagai guru agama dari Jemaat Gereja, lahir pada tahun 1618 dan jenazahnya dimakamkan di sini pada tanggal 12 Juni tahun 1686 dalam usia 67 tahun 8 bulan dan 16 hari Di sini juga (dimakamkan) Nicolaas Pilletier Anak laki-laki keluarga dekat dari seorang Saudagar dan Nicolaas Pilletier meninggal dengan damai pada tanggal 8 Agustus tahun 1687 dalam usia 9 tahun, 11 bulan dan 3 hari. Sewa Pemakaman No. 30’ Dari contoh salah satu batu nisan masa VOC ini kita dihadapkan pada persoalan: 1. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Belanda pada masa batu nisan tersebut dibuat, yaitu bahasa Belanda abad 17 dan 18 yang banyak berbeda dengan bahasa Belanda modern saat ini. 2. Untuk memahami isi teks, seseorang harus menguasai bahasa Belanda masa tersebut, demikian juga untuk memahami abreviasi dan akronim-akronimnya. Oleh karena itu, peneliti harus menguasai bahasa Belanda modern sebagai sarana untuk menelusuri teks-teks masa tersebut dengan alat bantu kamus Belanda abad 17. Perlu ditambahkan, makna teks nonverbal yang lebih tepat ditafsirkan dengan alat bantu semiotik tidak dibahas di sini. DATA ABREVIASI DAN AKRONIM PADA TEKS VERBAL Batu-batu nisan VOC di Taman Prasasti, Museum Wayang, Gereja Sion dan Pulau Onrust yang dianggap representatif untuk penelitian ini ada 50 buah. Untuk memudahkan, batu-batu nisan tersebut diberikan nomor urut sebagaimana tercantum pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1. Nomor Urut Batu Nisan dan Atas Nama No. Tempat 01. TP 02. TP 03. TP 04. TP 05. TP 06. TP 07. TP 08. TP 09. TP
Atas nama Cornelius Lindius Pieter Janse van Hoorn Sara Pedel Nicolaas Muller Marcus van den Briel Rogier de Laver Gerhardus Cluysenaer Margaretha Beatrix van Upwigh Cornelis Breekpoot
der
3
No. Tempat 26. TP 27. TP 28. TP 29. TP 30. TP 31. TP 32. TP 33. TP
Atas Nama
34. TP
Adriaan Oostwalt
JVK Johannis Caaf Catharina Geldsack Willem Lordsz van de Velde Frederik Riebalt Joan Adriaan Crudop Jonathan Michielszoon Gerard van de Voorde
Lilie Suratminto
10. TP 11. TP 12. TP 13. TP 14. TP 15. TP 16. TP 17. TP
Eewout Verhagen Hans Helt Michiel Westpalm Johanna Catharina Pelgrom Henricus Vuyst Cathalyna van Bruynis Geertruyt Broeckmans Cathartina van Doorn
35. TP 36. TP 37. TP 38. TP 39. TP 40. TP 41. TP 42. MW
18. TP 19. TP 20. TP 21. TP 22. TP 23. TP 24. TP 25. TP
Alexander van’s Gravenbroeck Jacques de Bollan Jacob van Almonde Jan Harris Anthonia Cops Anna van Doornik Christoffel Moll Joan Cornelis d’Ableing
43. MW 44. MW 45. MW 46. MW 47. GS 48. GS 49. PO 50. PO
Jeremias Riemsdijk Jan Baptista de Looff Ariton Sakara Cornelia Magdalia van Loon Daniel Six Pieter Gerardus van Overstraten Adam Andries Gustaaff Willem Baron van Imhoff Elizabeth van Heiningen Abraham Patras Maria Caen Cornelis Cesaer Hendrik Zwaardecroon Ragel Titisen Maria van de Velde Cornelis Willemse Vogel
Keterangan: Pencantuman atas nama pada setiap nomor berikut ini diperlukan karena dalam satu batu nisan dapat tertera lebih dari satu orang yang dimakamkan (Suratminto 2008: 198216). TP (Taman Prasasti), MW (Museum Wayang), GS (Gereja Sion), PO (Pulau Onrust). Tabel 2. Data Berupa Abreviasi dan Akronim No. Tempat 01. TP
Atas nama Cornelius Lindius
02. TP
Pieter Janse van Hoorn
03. TP 04. TP 05. TP 06. TP
Sara Pedel Nicolaas Muller Marcus van den Briel Rogier de Laver
07. TP
Gerhardus Cluysenaer
08. TP 09. TP 10. TP 11. TP 12. TP 13. TP
Margaretha Beatrix van der Upwigh Cornelis Breekpoot Eewout Verhagen Hans Helt Michiel Westpalm Johanna Catharina Pelgrom
14. TP 15. TP
Henricus Vuyst Cathalyna van Bruynis
4
Abreviasi dan Akronim E.COMP; DECEMB.; D.EER W. CORNELIUS LINDIUS; A.1618; SAL.,AUG. D.H. PIETER JANSE, SOON VAN D.H. P. V. H. E. COMP.; DECEM.,A 1680.,NOV., D H.R P.V., D.H, OVERL., BATA. D.H. F., OVERL., WED. V.D.H., P.V.H. L.G., N=T, A.1690. L.B.A.D.H., JUFF., D.H. tidak ada data. GOUV., DIRECT., GEB., MIDDELBR ,A., GEB., A. D.2 NOVEMB.,A1703.,D. 25 DECEMB. A.1775. EXTRA ORDINAIR., A.1768 CORN. BREEKPOT. D.E. EEWOUT VERHAGEN, A.1679, WED. VAN.HANS HELT tidak ada data DEN ED. HEER ANTHONY, 48 JAREN MIN. 2 DAGEN tidak ada data D.E. WILLEM TIMMERS, G. ASSUMEERD VAN , A.1726
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
16. TP
Geertruyt Broeckmans
17. TP
Cathartina van Doorn
18. TP 19. TP
Alexander van’s Gravenbroeck Jacques de Bollan
20. TP 21. TP 22. TP
Jacob van Almonde Jan Harris Anthonia Cops
23. TP
Anna van Doornik
24. TP
Christoffel Moll
25. TP
Joan Cornelis d’Ableing
26. TP 27. TP 28. TP
JVK Johannis Caaf Catharina Geldsack
29. TP 30. TP 31. TP 32. TP
Willem Lordsz van de Velde Frederik Riebalt Joan Adriaan Crudop Jonathan Michielszoon
33. TP
Gerard van de Voorde
34. TP 35. TP 36. TP 37. TP 38. TP 39. TP
Adriaan Oostwalt Jeremias Riemsdijk Jan Baptista de Looff Ariton Sakara Cornelia Magdalia van Loon Daniel Six
40. TP
Pieter Gerardus van Overstraten Adam Andries
41. TP
A.1668, VOORZ. E.E, H.B. BORT,,DIRECT., A. 1684 DOUARIER.WYL.DEN WEL GESTRENGE HEER., EXTRA ORDINAIR. E. COMP.,AUG. D.E. JACQUESDE BOLLAN, ULT. FEB. 1684, BAT., MAN., CAP. JOHAN., DE MANH. JOHAN V. HAPPEL V. RAUSEN. IN ZYN LEV.CAP.MILI.OB.13 JUNY O.34 JAR., D.H. M. HENRIC DE BOLLAN VAN BAT. IN ZYN LEV.DROSST V.DE BAT.OMMEL.OB. 23 SEP. 1701 O. 45 JA.O. M. D.E.D.H. HARMAN DE WILDE, V. INDIA,OB. 14 NOV. 1707 O. 58 JA. 7 MA.20 D. HIER RUST T LYK VAN O.D.57 IAREN. DER E. COMP., OBYT ULT. OKTBR. ANNO 1685 A. 1697 OVERLEDEN 9 E NOVEMBER A. 1757 D.H. CHRISTOFFEL MOLL, T EERW. COLLEGIE VAN. WEL ED. HEER, VAN T EERW. COLLEGIE V., A. 1663 L=J, JVK., A.1762 H=E, JUFF. CATHARINA, RUSTPLAATS VAN D.H. ANDRIAAN, DOGTER VAN BOVENGE. L.B.A. tidak ada data tidak ada data DE H. JONATHAN MICHILSZ., INLANDS. BURGERY, A.1778. IN DIENSR.T DER ED. COMP. SABANDH., A.1701. tidak ada data JRS VAN RIEMSDIJK, G.G. OVER N-INDIË D.E.COMP. EQUIP., A. 1697, A 1647, A 1714 tidak ada data tidak ada data OPPERHOF. OVER DES E.COMP.,`A.1674, OPGEM.H.SIX., VAN D.H. DANIEL, AGTB.RAAD VAN JUSTITIE. M.R. PIETER GERARDUS VAN OVERSTRATEN A. 1717
5
Lilie Suratminto
42. MW 43. MW 44. MW 45. MW
Gustaaff Willem Baron van Imhoff Elizabeth van Heiningen Abraham Patras Maria Caen
46. MW 47. GS 48. GS 49. PO 50. PO
Cornelis Cesaer Hendrik Zwaardecroon Ragel Titisen Maria van de Velde Cornelis Willemse Vogel
ZYN EXCELL. DEN HOOG EDELEN HEERE GUSTAAFF NED. INDIA MEY A. 1737 A XVI C XXXXIN DEN HEER ONTSLAP., DE E. HEER ANTHONY, IUFF. SUZANNA, CAP. MAXMILIAEN. AC DE H. CORNELIS CESAER A.1728 A. 1720, AT tidak ada data tidak ada data
Keterangan: Dari 50 sampel batu nisan, ada 43 batu nisan yang memiliki data abreviasi dan akronim. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat sudah terbiasa mempergunakan abreviasi dan akronim pada batu-batu nisan mereka. BAHASAN PENELUSURAN BENTUK ETIMOLOGIS DARI KORPUS DATA Dari data tersebut dapat dikemukakan analisis sebagai berikut: Penelusuran etimologis melalui beberapa cara: a. Dengan melihat konteks gramatikalnya (artikel diiringi adjektiva dan substantiva). D.E. => De Edele ’Yang Mulia’ (10: 15; 19; 36) D.EERW.=> De Eerwaardige ’Yang Sangat Mulia’ Cornelius (1), D.H. => De Heer ‘tuan’ Pieter (2; 19; 24; 28; 32; 46 ) D.E.H => De Edele Heer ‘Tuan yang Mulia’ (45) E ==> Edele ‘Yang Mulia’ dalam Edele Comp. (1, 18, 22, 33, 36) b. Dengan melihat hubungan dengan kosakata yang mengikutinya: DECEMB => December, Okt ==> Oktober dan seterusnya (1; 2; 7). ULT Feb. ==> Ultimo Februari ‘Akhir bulan Oktober’, lawannya adalah primo ‘awal’. OB. 13 JUNY O 34 JAR ==> Obiit ‘lahir’ 13 Juni Oud ‘usia’ 34 Jaren ’34 tahun’. IN ZYN LEV.CAP. MILI. ==> In Zyn Leven Capitain Militair ‘Semasa hidupnya sebagai kapten militer. A di depan angka tahun ==> Anno bermakna tahun, (1; 2; 3; 6; 7; 8; 11; 15, 16; 23; 26; 32; 33; 36; 39; 41; 44; 45; 47; 48). MIN.2 DAGEN==> Minus 2 dagen ’Minus dua hari (usianya)’ (13). c. Menduga etimologinya dari proverbia Latin Berdasarkan sejarah, VOC menjadikan agama Kristen Protestan sebagai agama penguasa, karena penyelenggaraan kebaktian, pengangkatan dan pemberhentian pendeta serta pembangunan gereja dilakukan oleh penguasa, dalam hal ini Kompeni, yang dikepalai oleh Gubernur Jenderal. Salah satu tujuan didirikannya VOC adalah untuk memerangi Spanyol dan Portugis yang Katolik di seberang lautan. Banyak pejabat Kompeni yang secara sembunyi-sembunyi masih memegang kepercayaan mereka sebagai orang Katolik. Hal ini dapat dilihat dari abreviasi yang dipahatkan pada batu nisan mereka, misalnya: LG ==> Laudate Gloria in Excelsis Deo ‘Pujilah Tuhan Yang Maha Mulia’ (3). NT ==> Naturae Tempus abire tibi es ‘Sesuai hukum alam untuk kamu sudah saatnya pergi’ (3). LBA ==> Laudate Beata Alfa et Omega ‘Terpujilah Tuhan Yang Awal dan Yang Akhir’ (4). 6
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
L=J ==> Laudate Dominus Jubilate Deo Omnis Tera ‘Seluruh dunia bersukacitalah kepada Allah, puji Tuhan (26). HE ==> Haec Libertatis Ergo ‘Demikianlah demi kebebasan’(27). AC ==> Abiistis Dulces Caricae’Engkau yang tersayang dapat pegi secara tiba-tiba’ (46). d. Menduga etimologi nama tempat, misalnya GEB. MIDDELB. ’geboren Middelburg. BAT. OMMEL (19) ==> Batavia Ommelanden ’Daerah sekeliling Batavia’ JOHAN V HAPPEL V RAUSEN ’ Johan van Happel van Rausenbaum (Jerman)’ (2). MIDDELBR ==> Midedelburg (6). e. Sama sekali tidak terlacak, misalnya pemilik nisan no. 26 JVK.. Ini kemungkinan akronim dari nama orang yang dimakamkan di situ, misalnya Jan van de Kok atau Jan van de Korter. f.
Abreviasi yang lain dapat diduga dari situasi yang berhubungan dengan kematian, misalnya: OVERL. ==> Overleden ’meninggal’ (2), WED ==> weduwe ” janda’ (2). SAL ==> Saliger ‘almarhum’ (1). DOUARIER.WYL.DEN WEL GESTRENGE HEER ==> Douariere wylen den wel gestrenge heer ‘Janda almarhum yang sangat mulia’ (17).
g.
Berdasarkan jabatan: GOUV. DIRECT. Gouverneur Directeur ‘ Gubernur dan direktur’, EXTRA ORDINAIR ==> extra ordinaris Anggota Dewan Luar Biasa’ (8), MANH. CAP. MILI. ==> Manhaften Capitain Militair ‘Kapten militer yang gagah berani’ (19). SABANDH ==> sabandhar ’Syahbandar’(33). D E.COMP. EQUIP. ==> De Edele Compagnie Equipage ’Kepala bengkel peralatan Kompeni’ (36). G.G. ==> Gouverneur Generaal ’Gubernur Jenderal’ (35).
Berikut salah satu contoh dari batu nisan no.19, atas nama Jacques de Bollan yang paling banyak mempergunakan abreviasi dan akronim. Teks antara tanda kurung siku [ ] adalah bentuk etimologis abreviasi atau akronim yang terpahat pada batu nisannya. D[e].E.[dele] JAQUES DE BOLLAN VAN LUIK IN SYN LEEVEN WEESMEESTER DEESER STEEDE OBYT ULT[imo] FEBR[uari]. 1684 OUT 71 JAEREN OOK IS HIERIN BEGRAVEN HENRIETTA VAN HAPPEL VAN BAT[avia] JONGSTE DOGTERTJE VAN DEN MANH[aften] CAP[itain].JOHAN MAURITS VAN HAPPEL OBYT 30 JUNY 1689, 09.15 D[e].MANH[aften].JOHAN MAURITS V[an] HAPPEL V[an] RAUSEN B[aum] IN SYN LEV[even] CAP[itain].MILI[tair].OB [iit].13 JUNY 1690 O[ud].34 JAR[en.] D[e].H[eer].M.HENRIC DE BOLLAN VAN BAT[atavia].IN SYN LEV[en]. DROSST.V[an].DE BAT[aviasche].OMMEL[anden].OB[iit] 23 SEP[tember]1701 O[ud] 45 JA[ren].IO M[aanden]. IN TAMINATIS FULCET HONORIBUS D[e].E[e].D[ele].H[ee]R HARMAN DE WILDE UIJT DEN HAAG IN SYN LE[ven].RAAD ORDINARIS EN VELD OVER[ste] V[an].INDIA OB[iit].14 NOV[ember] 1707 O[ud].58 JA[aa]R 7 M[aanden] 26D[agen] HIC META DOLORUM
7
Lilie Suratminto
Makna inskripsi tersebut adalah sebagai berikut: Yang mulia Jaques de Bollan dari Luik semasa hidupnya sebagai Kepala Pengurus Yatim Piatu dari kota ini. Meninggal pada akhir (29) Februari tahun 1684 dalam usia 71 tahun. Di sini juga dimakamkan Henrietta van Happel dari Batavia putri bungsu dari kapten yang gagah berani Johan Maurits van Happel meninggal tanggal 30 Juni 1689, usia 9.bulan 15 hari Johan Maurits van Happel yang gagah berani dari Rausen Baum semasa hidupnya sebagai kapten militer meninggal pada tanggal 13 Juni 1690 dalam usia 34 tahun Tuan Henric de Bollan dari Bat[avia] semasa hidupnya sebagai hakim dari wilayah sekitar Batavia meninggal pada tanggal 23 September th. 1701 dalam usia 45 tahun 10 bulan TELAH TIADA YANG MULIA YANG SEMPURNA Yang mulia tuan Harman de Wilde dari Den Haag semasa hidupnya anggota Dewan Harian Pemerintah Kota dan Letnan kolonel (overste) Hindia meninggal pada tanggal 14 November 1707 dalam usia 58 tahun 7 bulan 26 hari DI SINI KITA BERDUKA SIMPULAN Dari pokok bahasan ini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan untuk mempergunakan abreviasi dan akronim sudah membudaya pada masyarakat VOC di Batavia padaa abad 17 dan 18. Hal ini dapat dipastikan bahwa pengetahuan untuk membuat abreviasi dan akronim ini sudah mengakar pada budaya orang Belanda selama berabad-abad, sejak kepada mereka diperkenalkan aksara Latin pada masa pendudukan bangsa Romawi di negeri mereka yang berlangsung lebih dari empat abad (57 SM s.d. 350 M). Budaya membuat abreviasi dan akronim dipacu oleh kebutuhan dalam membuat placaat ’pengumuman resmi dari pemerintah’ dengan media yang terbatas, misalnya pada lempengan logam, kayu atau batu seperti pada batu nisan atau prasastiprasasti pada monumen-monumen penting dalam rangka mengenang pahlawan atau pendirian sebuah bangunan (jembatan, gereja, patung-patung pahlawan, dan sebagainya). Untuk mengetahui bentuk etimologis dalam rangka memaknai sebuah inskripsi (data verbal) dari prasasti pada batu-batu nisan VOC di Batavia atau di mana saja, diperlukan penguasaan bahasa dan sejarah kehidupan sosial budaya Belanda abad 17 dan 18. Pembahasan abreviasi dan akronim pada batu-batu nisan VOC di Batavia ini hanya sebuah contoh kecil; dan pendekatan ini dapat dipergunakan untuk menelusuri bentuk-bentuk etimologis abreviasi dan akronim dari semua batu nisan sezaman, baik di Indonesia maupun di tempat-tempat di mana masih tersimpan batu-batu nisan Belanda pada abad 17 dan 18. Mudah-mudahan dengan dipahaminya bentuk etimologis dan makna yang terkandung di balik batu nisan tersebut akan bertambah khasanah budaya dan apresiasi warisan budaya kolonial yang mewarnai sejarah kehidupan sosial bangsa Indonesia di masa kini maupun di masa yang akan datang. CATATAN * Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan makalah.
8
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
DAFTAR PUSTAKA Alkemade, W.R.C. 1995. Oud Schrift 1700-1825. Den Haag: Centraal Bureau voor Genealogie. Bloys van Treslong Prins, P.C. 1934. Grafschriften van Europeanen in Nederlands-Indië. Batavia: Albrecht Batavia Weltevreden. Christomy, T. dan Untung Yuwono (eds.). 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia. Dael, P.C.J. van. 1988. "De Taal van het Grafteken", dalam J. Fortuin en Jan van Kilsdonk (eds). Afscheid nemen van onze doden; Rouwen en Rouwgebruiken in Nederland. Kampen: J.H. Kok, hal. 37-57. Danesi, Marcel and Paul Perron. 1999. Analyzing Cultures - an introduction & handbook. Bloomington-Indianapolis: Indiana University Press. Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Cetakan ke-4. Diessen, J.R. van. 1989. Jakarta/Batavia - Het centrum van het Nederlandse in Azië en zijn cultuurhistorische nalatenschap. De Bilt: Canteleer.
koloniale rijk
Eriyanto. 2005. Analisis Wacana- pengantar analisis teks media. Yogyakarta: LkiS, cetakan ke-4. Kridalaksana, Harimurti. Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam Bahasa Indonesia. Seri ILDEP no. 33. Yogyakarta: Kanisius. ____________. 2007. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. ____________ . 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, cet ke-2. Hermkens, H.M.. 1973. Inleiding in het Zeventiende-eeuws. ’s Hertogenbosch: LCG Malmberg, cetakan 4. Katzmann, E.J.C.. Geschriften van Europeanen in Nederland-Indië, naar originele aanvulling van P.C. Bloys van Treslong Prins, aangevuld met gegevens uit andere bronnen. ‘s Gravenhage: Indisch Genealogische Vereniging. Kruyskamp, C. (eds.). 1961. Van Dale Groot Woordenboek der Nederlandse Taal. ‘s Gravenhage: Martinus Nijhoff, cet.8. Marwoto, B.J dan H. Witdarmono. 2004. Proverbia Latina ; Pepatah-Pepatah Bahasa Latin. Jakarta : Kompas. Pastoureau, Michel. 1997. Heraldry; its origin and meaning. Trieste: Editoriale Libraria. Peters, Marion. 2002. In steen Geschreven; Leven en sterven van VOC dienaren op de kust van Coromandel in India. Amsterdam: Bas Lubberhuizen. Sterkenburg, P.G.J. van. 1981. Een Groningen: Tjeenk Willink.
Glossarium
van
Zeventiende-eeuws
Nederlands.
Suratminto, Lilie. 2001. Makna Lambang Heraldik dan Penggunaan Bahasa pada Lima Batu makam Belanda di Museum Wayang Jakarta. Depok: FSUI Laporan Penelitian. _____________. Makna Sosio-Historis Batu Nisan VOC di Batavia.Jakarta: Wedatama Widya Sastra. VOC –Glossarium
9
Lilie Suratminto
VOC- Glosarium. 2000. Verklaringen van termen, verzameld uit de rijks geschiedkundige publicatiën die betrekking hebben op de Verenigde Oost-Indische Compagnie. Den Haag: Instituut voor Nederlandse Geschiedenis. Winkel, Dr. J. T.. 1901. Geschiedenis der Nederlandse Taal. Amsterdam: Culemborg, Blom & Olivierse. Zoest, Aart van. 1993. Semiotika. Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang akan Kita Lakukan Dengannya. Kata Pengantar: Toeti Heraty Noerhadi. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Lilie Suratminto
[email protected] Universitas Indonesia
10
Linguistik Indonesia Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 11-22
Copyright 2010 by Masyarakat Linguistik Indonesia
KENDALI INTERAKSIONAL SEBAGAI CERMINAN IDEOLOGI: ANALISIS WACANA KRITIS TRILOGI DRAMA OPERA KECOA Ganjar Hwia* Pusat Bahasa Abstract Interactional control analysis within this critical discourse analysis (CDA) framework is correlated with ideology reflected from the conversations in the drama text Trilogi Drama Opera Kecoa written by N. Riantiarno, a trilogy drama which consists of Bom Waktu (1982), Opera Kecoa (1985), and Opera Julini (1986). One operational characters of CDA is ideological discourse function analysis. Interactional control within this analysis is correlated with how speech roll is arranged in the dialog. The kind of roll depends on turn taking applied within the conversation. The turn-taking is used as a pattern to see the relationship ideologically between one speaker and the other, including the one who determines the theme or the one who is more dominant and more powerful among the participants Key words: interactional control, ideology, critical discourse analysis, drama text
ALU-ALUAN: ANALISIS WACANA KRITIS UNTUK KAJIAN SASTRA Masih ada yang menyangsikan ketika sebuah karya sastra dianalisis dalam bingkai kajian linguistik. Kesangsian itu bisa disebabkan sifat sastra itu sendiri yang dianggap bebas tafsir, cenderung antirasio, dan sekuler. Di sisi lain, sifat-sifat itupun sejajar dengan sifat “tafsiran” terhadap sastra yang dianggap “tidak dapat diraba" (untangible) dan tak memiliki konvensi yang baku. Namun demikian, bukan berarti karya sastra tidak dapat ditempatkan dalam kajian linguistik. Karena bagaimanapun rumusan dan pengertian para ahli tentang sastra, bahasa tetap merupakan medium bagi penciptaan karya sastra yang tidak dapat diabaikan (Widdowson, 1975: 203). Bahasa bagi karya sastra dapat disamakan dengan garis dan bidang bagi seni lukis, gerak dan irama pada seni tari, nada dan irama dalam seni musik. Oleh sebab itu, karya sastra memiliki status khusus sebagai seni verbal; bahasa dianggap sebagai inti semiotika kemanusiaan yang bermakna dalam komunikasinya (Cummings dan Simmons, 1986: vii). Peneliti yang mengkaji aspek bahasa dalam karya sastra pada dasarnya sedang meletakkan karya sastra sebagai proses komunikasi yang dilakukan oleh sastrawan kepada pembaca melalui lambanglambang bahasa. Di dalam dunia analisis wacana, karya sastra disebut wacana sastra (literature discourse). Ciri umum untuk wacana sastra terletak pada penggunaan bahasa atau rasa bahasanya yang dikemas secara estetis serta bentuk dan isinya beorientasi imajinatif dan fiktif, tetapi tidak menutup kemungkinan mengandung fakta atau bahkan hampir sama dengan kenyataan. Analisis wacana untuk karya sastra merupakan implikasi praktis dari teori-teori linguistik. Implikasi praktis tersebut akan bersentuhan dengan teori-teori sastra karena objek kajiannya sama, yaitu pemakaian bahasa secara nyata (Beaugrande, 1993: 17—20). Analisis wacana, khususnya analisis wacana kritis (AWK), dapat memberikan sebuah pendekatan yang membuka wawasan baru bagi studi bahasa dan studi sastra. Salah satu keunggulan AWK dalam meninjau karya sastra—dan menjadi ciri khas analisisnya—terletak pada pemosisian ideologi dalam analisisnya. Pada tahun 1960-an dan awal 1970-an, bermula di Prancis, terjadi perubahan-perubahan penting dalam linguistik ketika ilmu ini terjun untuk mengonstruksi pelbagai makna. Demikian
Ganjar Hwia
pula dengan pembahasan wacana dan pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkannya memiliki implikasi radikal, terutama pada ilmu-ilmu kemanusiaan dan kajian sastra (Macdonell, 2005: xvii). AWK merupakan salah satu bagian dari analisis wacana yang terlibat dalam peristiwa pengkonstruksian makna-makna tersebut. AWK menyediakan teori dan metode yang bisa digunakan untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial dan kultural dalam ranah sosial yang berbeda (Jorgensen dan Philips, 2002: 60). Dalam AWK, wacana tidak dipahami semata sebagai studi bahasa. Menurut Fairclough dan Wodak (1997), AWK melihat wacana sebagai bentuk dari praktik sosial sehingga perlu diperhatikan kriteria yang holistik dan kontekstual (Jorgensen dan Philips, 2002: 65). Kualitas suatu wacana kritis akan selalu dinilai dari segi kemampuan menempatkan teks pada konteks yang utuh. Wacana tidak lagi dipahami sekadar serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi sebagai sebuah gagasan, konsep, atau efek yang dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Dalam kaitan inilah AWK menganalisis fungsi wacana secara ideologis. Dalam AWK, praktik kewacanaan memberikan kontribusi kepada penciptaan dan pereproduksian hubungan kekuasaan yang tidak setara antara kelompok-kelompok sosial, seperti kelas-kelas sosial, perempuan dan laki-laki, atau kelompok minoritas dan mayoritas. Efek-efek tersebut dipahami sebagai efek ideologis. SEKILAS TENTANG TEKS TRILOGI DRAMA OK SERTA PRAKTIK KEWACANAAN DAN PRAKTIK SOSIALNYA Trilogi Drama Opera Kecoa (OK) karya Nano Riantiarno (NR) terdiri atas drama Bom Waktu (BW, 1982), Opera Kecoa (OK, 1985), dan Opera Julini (OJ, 1986). Trilogi Drama OK berkisah tentang masyarakat dari sebuah kelas sosial yang termarginalkan. Mereka yang kapan saja bisa digusur. Mereka yang sering diperlakukan diskriminatif, baik secara politik, ekonomi, budaya, ataupun hukum. Mereka adalah para gelandangan, pemulung, pelacur, banci, dan bandit yang mencari penghidupan di kota. Mereka sering dianggap sampah oleh penguasa yang korup. Penguasa yang merasa dirinya “garuda” dan berhak melegalkan ketidakadilan atas nama “pembangunan dan kesejahteraan rakyat”. Drama OK dapat mewakili fenomena kepopuleran Trilogi Drama OK dan dianggap sebagai naskah yang mewakili gaya penulisan NR (Anwar, 2005:129). Drama OK pertama kali dipentaskan oleh Teater Koma (TK) pada tahun 1985 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) selama lima belas hari. Pementasannya dipadati penonton. Hari pertunjukan diperpanjang tiga hari karena penonton tetap membeludak. Bahkan ada penonton yang rela membeli tiket dari calo dengan harga lima kali lipat. Ketika drama OK dipentaskan di Gedung Rumentang Siang, Bandung, gedung pertunjukan diancam akan dibom, tetapi pementasan terus berjalan dan ancaman itu tidak terbukti. Pada bulan Februari 1991 drama OK direncanakan akan dipentaskan di empat kota di Jepang (Tokyo, Osaka, Fukuoka, Yokohama) dengan seluruh biaya produksi ditanggung pihak Japan Foundation. Namun, rencana pentas keliling itu dibatalkan. TK dilarang pentas di luar negeri. Alasannya, TK tidak termasuk dalam daftar kelompok teater yang mempunyai izin pentas. Bahkan uji coba pementasannya di Gedung Kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM) dibubarkan pihak berwajib. Padahal, pementasan itu sudah dipersiapkan dengan matang lebih kurang dua tahun (diundang tahun 1989). Pelarangan pentas drama OK di Jepang itu merupakan ekses pemberedelan pertunjukan drama Suksesi karya NR di TIM pada bulan November 1990. Drama Suksesi “diduga bisa menimbulkan terjadinya pandangan yang keliru mengenai pimpinan negara”. Drama itu dianggap sebagai kritik tajam terhadap Orde Baru dan keluarga Cendana. Pada tahun 1980-an dan tahun 1990-an, yaitu semasa dengan pemroduksian drama OK dan Suksesi, “pendekatan keamanan” sering diterapkan pada perizinan pentas kesenian, khususnya pentas teater. Misalnya, 12
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
tahun 1981 lakon Inspektur Jendral yang akan dimainkan Teater Gadjah Mada di Jakarta dilarang dan tahun 1985 pentas teater Catatan Harian Seorang Koruptor yang akan dimainkan kelompok Teater Dinasti pimpinan Emha Ainun Nadjib juga dilarang. Pada era itu, pelarangan pentas-pentas drama dan kesenian yang dinilai dapat “menggangu ketertiban masyarakat” kerap terjadi. Jakob Sumardjo dalam buku Ekologi Sastra Lakon Indonesia (2007) memasukkan era ini pada “masa penekanan” (1975—1998) dalam hubungannya dengan kesenian di era Orde Baru. Dalam pandangan Norman Fairclough, ada dua sisi dari praktik kewacanaan sebuah teks, yaitu (1) pemroduksian teks yang ditinjau dari sisi pembuat teks dan “agen” pembuat teks yang memungkinkan teks itu terpublikasikan dan (2) pengonsumsian teks yang dilihat dari sisi khalayaknya (lihat Jorgensen dan Philips, 2002:68). Pemroduksian dan pengonsumsian teks Trilogi Drama OK berhubungan dengan jaringan yang kompleks. Dari berbagai jaringan yang kompleks tersebut, setidaknya ada tiga aspek yang penting. Pertama, dari sisi penulis teks. Kedua, dari sisi bagaimana hubungan antara penulis dengan “agen” pelaksana atau penyampai teks tersebut. Ketiga, praktik atau rutinitas kerja dari penulis teks dan “agen” penyampai teks itu. Ketiga aspek itu saling terkait dalam meninjau produksi teks Trilogi Drama OK. Aspek penulis teks melingkupi latar belakang pendidikan, perkembangan profesional, orientasi atau sikap kesenian, dan kiprah pembuat teks dalam dunia profesionalnya. Aspek yang bersifat individual dari penulis teks itu secara teoretis berpengaruh terhadap bagaimana suatu realitas dituangkan dalam teks. Untuk melakukan konstruksi realitas, penulis teks sastra memakai suatu strategi kontruksi. Strategi ini mencakup pilihan bahasa mulai dari kata hingga paragraf. Hasil dari proses ini adalah wacana atau realitas yang dikonstruksikan berupa tulisan (teks, wacana dalam wujud tulisan). Oleh karena teks drama itu telah dipengaruhi oleh berbagai faktor, kita dapat mengatakan bahwa di balik teks drama itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan. NR, sebagai penulis teks Trilogi Drama OK, terkenal sebagai aktor (drama/teater), penulis (novel, puisi, dan drama), dan sutradara (drama/teater dan film/sinetron). Kiprah NR di dunia kesenian membuahkan beberapa penghargaan atas karya-karya dan sumbangannya pada dunia sastra. Selain itu, diketahui pula bahwa teks Trilogi Drama OK tidak terlepas dari ide dasar pembuatan Trilogi Drama OK yang bersumber dari keadaan masyarakat. NR mengaku bahwa dirinya hanya ingin membuat cermin sosial-politik, bukan ingin mengkritik apalagi membuat perubahan karena dramanya itu. Ideologi ini pun dilatarbelakangi pula oleh keyakinan NR bahwa masyarakat ialah “ibu yang melahirkan kesenian”. Pemroduksian teks Trilogi Drama OK berhubungan pula dengan bagaimana kaitan antara penulis teks dengan “agen” penyampai teks tersebut, yaitu TK, serta rutinitas kerja dari penulis teks dan “agen” penyampai teks itu. Dari sisi ini, TK tidak dapat dilepaskan dari NR, demikian pula sebaliknya. Keduanya seolah identik. Kreativitas NR sebagai pemain, penulis, dan sutradara teater seiring dengan kiprah TK di dunia teater. TK tidak berafiliasi dengan organisasi politik tertentu karena aktivitas keseniannya bukan untuk kepentingan golongan atau kelompok tertentu. Jika dalam pementasannya ada kritikan atau sindiran, hal itu tetap dilandasi ideologi untuk “memahami kehidupan” dan “tidak untuk membenci” sesuai tuntutan “kode etik” TK. Dari aspek pengonsumsian dapat dilihat ideologi “kesenian/drama untuk semua orang”. Hal ini berkaitan dengan TK yang sering mementaskan drama-drama karya NR untuk khalayak umum (tidak elitis) dan mempunyai banyak penonton dari berbagai kalangan, mulai dari kalangan mahasiswa sampai aparat keamanan. Meskipun demikian, kuantitas konsumen “pembaca” teks Trilogi Drama OK tidak identik dengan kuantitas konsumen “penonton” teks pementasan Trilogi Drama OK. Pemroduksian dan pengonsumsian Trilogi Drama OK terjadi pada era pemerintahan Orde Baru. Orde yang disebut sebagai Orde Pembangunan ini dalam program pemerintahannya
13
Ganjar Hwia
menekankan pada stabilitas keamanan dan keberlangsungan pembangunan dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Dengan latar belakang ideologi pembangunan itulah praktik sosial Trilogi Drama OK tercipta. Pada era Orde Baru, ideologi dominan yang dijadikan pembenaran kebijakan bagi aparatur pemerintah adalah “pembangunan”. Pembangunan selalu dijadikan pembenaran terhadap setiap kebijakan yang diambil penguasa sebagai masyarakat politik (political society). Secara praktik sosial, teks Trilogi Drama OK memunculkan ideologi yang “menentang pembangunan sebagai pembawa ketimpangan sosial dan politik”. Praktik pembangunan yang digambarkan dalam Trilogi Drama OK adalah pembangunan yang dipenuhi rekayasa, janji palsu, dan doktrin “kesejahteraan”, tetapi yang terjadi adalah penyengsaraan melalui pembongkaran dan penggusuran tempat tinggal mereka untuk membangun gedung-gedung, flat-flat, dan hotel-hotel. Praktik-praktik penggusuran yang digambarkan di dalam Trilogi Drama OK sejalan dengan berbagai pola penggusuran yang terjadi, yaitu (1) pengerahan kekuatan berlebihan dan penggunaan senjata, (2) kriminalisasi dan penangkapan serta penahanan sewenang-wenang terhadap warga, (3) kekerasan terhadap perempuan, (4) pengrusakan dan perampasan barang, dan (5) pembakaran atau bumi hangus. Dalam hal ini, negara dianggap sebagai “perpanjangan dan kekuasaan pribadi atau kelompok”. Itulah sebabnya, istilah seperti “demi kepentingan umum”, “pembangunan untuk seluruh masyarakat”, “negara tidak mungkin mau mencelakakan warganya”, serta ungkapan-ungkapan lain yang senada selalu dikumandangkan dalam pernyataan-pernyataan politik para petinggi negara. Rakyat harus pindah dari pemukimannya dengan alasan “demi kepentingan umum”, meskipun dengan ganti rugi yang sangat kecil atau tanpa ganti rugi sama sekali. Seringkali masyarakat yang menyuarakan aspirasinya dituduh hanya memperjuangkan “kepentingan kelompok” yang bersifat sektarian, sedangkan kepentingan negara selalu merupakan “kepentingan umum” yang bersifat nasional (Budiman, 1996: 1—2). POSISI IDEOLOGI DALAM TEKS DRAMA DAN KONSEPTUALISASI ANALISISNYA Gambaran fenomena Trilogi Drama OK di atas adalah contoh bagaimana sebuah nilai estetis naskah (dan pementasan) drama dapat mengekspresikan dimensi sosiologis suatu masyarakat. Bahkan ketika elemen estetis dan sosiologis itu berpadu, sebuah naskah drama dapat dianggap memiliki elemen ideologi tertentu yang tersembunyi di dalamnya. Ideologi diartikan sebagai keyakinan atau seperangkat keyakinan yang menjadi landasan bagi orang, masyarakat, atau negara untuk melakukan suatu tindakan. Gambaran itu juga mengukuhkan bahwa karya sastra tidak bisa dipisahkan dari ideologi pencipta, penerbit, dan pembacanya. Kenneth Burke mengatakan bahwa karya sastra sebagai equipment for living tidak terpisahkan dari ideologi (1973:293—304). Pendapat ini ditekankan pula oleh beberapa teoritisi sastra, antara lain David Craig (1973), David Daiches (1960), Terry Eagleton (1983, 1991), Toril Moi (1990), dan Raymond Williams (1971, 1973). Ketika membuat karya sastra, sastrawan memakai suatu strategi tertentu dalam merespon, mengkritik, atau menggambarkan situasi sosial masyarakat yang mencakup pilihan bahasa, dari kata hingga paragraf. Hasil dari proses inilah yang disebut “Wacana”—dengan “W” kapital (lihat Gee, 2005: 21 & 26—27) atau realitas yang berupa tulisan (teks atau wacana dalam wujud tulisan)—dalam konteks ini “Wacana” itu berupa teks Trilogi Drama OK.. Dalam karya sastra prosa, ideologi dapat ditafsirkan dalam sudut pandang narator (juru kisah). Ideologi ini berfungsi sebagai alat untuk mengungkapkan posisi pengarang terhadap realitas masyarakatnya. Namun, drama tidak menyajikan seorang narator, tetapi terdiri atas dialogdialog atau percakapan antartokoh. Dialog-dialog tersebut sangat ditentukan oleh hubungan antartokoh dalam percakapan dan peran tokoh bersangkutan dalam kelompoknya. Hubungan 14
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
antartokoh itu mencerminkan realita, yaitu hubungan antarmanusia, yang diatur oleh normanorma atau ideologi masyarakat tertentu. Hubungan tersebut tercermin dalam percakapan para tokoh, apakah itu antara orang miskin dengan orang kaya, penguasa dengan rakyatnya, majikan dengan buruh, pria dengan wanita, dan sebagainya. Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat Louis Althusser yang menyatakan bahwa sikap dan tindakan seseorang dikendalikan oleh ideologi kelompok masyarakat tertentu (Althusser, 2006:10—15). Untuk kepentingan menemukan ideologi dalam teks drama, ideologi tetap diposisikan sebagai hasil pengontruksian makna yang secara mendasar berhubungan dengan proses pembenaran hubungan kekuasaan yang tidak simetris—berhubungan dengan proses pembenaran dominasi. Penggunaan pengertian ini menunjukkan apa yang disebut konsepsi kritis ideologi (critical conception of ideology) yang mengikat analisis tentang ideologi pada pertanyaan kritis. Konsepsi kritis tersebut digunakan untuk membedakannya dengan konsep ideologi yang digunakan secara deskriptif atau konsepsi netral (neutral conception) (Thompson, 2007:17). Sehubungan dengan itu, AWK dalam menganalisis teks drama untuk melihat ideologi di dalamnya tidak menempatkan bahasa secara tertutup, tetapi melihat konteks, terutama bagaimana ideologi dari seseorang atau kelompok-kelompok yang ada tersebut berperan dalam membentuk wacana. Selain itu, teks drama sangat bergantung pada situasi percakapan sehingga makna tuturan tidak bisa ditentukan dari susunan kebahasaannya saja, tanpa mempetimbangkan susunan retorika yang terkait dengan situasi konteks komunikasi yang mendukungnya. Situasi komunikasi begitu penting dalam teks drama yang biasanya tergambar dari situasi percakapan dan petunjuk pemanggungannya. Signifikasi suatu tuturan dalam teks drama yang terlepas dari situasi komunikasinya adalah sesuatu yang kosong. Hanya situasi yang memungkinkan terbentuknya kondisi percakapanlah dapat memberi makna pada ujaran itu. Karena jika teks drama tanpa konteks, dialog-dialognya hanya kata-kata yang mati dan tidak bermakna (Zaimar, 2008:45). KENDALI INTERAKSIONAL DALAM STRUKTUR TEKS TRILOGI DRAMA OK SEBAGAI CERMINAN IDEOLOGI Kendali interaksional berhubungan dengan bagaimana giliran berbicara diatur dalam sebuah dialog. Pengaturan tersebut tergantung pada pergantian giliran (turn-taking) yang diberlakukan. Pergantian giliran ini dipakai sebagai pola untuk melihat hubungan antara penutur dengan penutur lainnya, termasuk siapa yang menentukan agenda percakapan atau siapa yang lebih dominan dan berkuasa di antara partisipan. Percakapan antara dua tokoh dalam Trilogi Drama OK dapat terjadi ketika salah satu tokoh sedang berbicara—pihak pertama (A), tokoh lain—pihak kedua (B) akan mendengarkannya serta menunggu giliran untuk merespon pembicaraan serta menginterpretasikan maksud dari lawan bicaranya, dan seterusnya. Giliran itu dapat digambarkan dalam pola “A-B-(A-B…dst.)”. Secara teknis, percakapan antara dua orang menggambarkan bahwa ketika orang pertama (A) sedang berbicara, orang kedua (B) mendengarkan kemudian ketika orang kedua (B) giliran berbicara, orang (A) mendengarkan, dan seterusnya. Demikian juga bentuk-bentuk tuturan yang timbul dalam percakapan yang melibatkan lebih dari dua tokoh atau multipartisipan, polanya tetap secara bergiliran dan berhubungan. Giliran itu dapat digambarkan dalam pola “A-B-C-D(D-A-B-C-D … dst)”. Secara teknis, percakapan multipartisipan menggambarkan bahwa ketika tokoh (A)—sebagai pihak pertama— sedang berbicara, tokoh (B), (C), dan (D) mendengarkan kemudian ketika orang kedua (B) berbicara, orang (A), (C), dan (D) mendengarkan, dan seterusnya. Pola-pola giliran terstruktur secara sistematis, artinya pola-pola itu memperlihatkan kapan partisipan harus berbicara, kapan harus diam, dan kapan harus berbicara kembali.
15
Ganjar Hwia
Selain memperlihatkan pola giliran yang lumrah seperti contoh-contoh tersebut, percakapan di dalam Trilogi Drama OK mencerminkan ada atau tidaknya kesetaraan antarpatisipan. Misalnya, dialog-dialog yang disusun dalam percakapan-informal di antara para partisipan yang setara diatur dengan “kesepakatan”. Kesepakatan itu dapat dilihat ketika (1) seorang yang berbicara memilih pembicara selanjutnya, (2) pembicara selanjutnya secara otomatis mendapat giliran berbicara, atau (3) jika (1) dan (2) tidak terjadi juga, maka pembicara yang sedang berbicara tersebut boleh meneruskan pembicaraan. Marilah kita lihat teks percakapan Roima, Jumini, Julini, dan Kasijah berikut: (1) (2) (3) (4)
[....] ROIMA JUMINI JULINI KASIJAH
: : : :
(5) (6)
JUMINI KASIJAH
: :
(7)
JUMINI
:
(8)
JULINI
:
(9) JUMINI (10) ROIMA (11) JUMINI [....] (BW, h. 41)
: : :
Memang jelek nasib kita. Tak pernah senang selalu kepepet. Selalu jelek, padahal kita sudah cukup berusaha. Nasib bagus selalu jauh dari jangkauan. Tarsih tidak bisa datang, nasibnya jauh lebih bagus dari kita. Kenapa rupanya. Dia sudah dilamar Pak Camat jadi bini mudanya. Tak usah kerja apa-apa, disediakan rumah, uang setiap bulan… Dia bisa tenang, kita akan terus banting tulang dengan hasil secuil. Dan dikejar-kejar … Jadi sudah tetap maksudmu Jul, Roim? Ah, barangkali ini terakhir kita kumpul (TURKANA DIAM SAJA DI POJOK). Kalau tidak pergi lantas mau kemana. Kita sama Roima pergi berbareng, tapi tujuannya beda-beda. Ke mana Roima, ke mana Julini? Aku pun belum tahu mau pergi ke mana, yu. Kita semua akan kehilangan kalian ...
Teks percakapan tersebut memperlihatkan tokoh lebih dari dua atau multipartisipan, tetapi bentuk-bentuk tuturan yang timbul dalam percakapan tetap secara bergiliran dan berhubungan; sama halnya dalam percakapan yang hanya melibatkan dua partisipan. Di dalam percakapan tersebut yang memulai percakapan adalah tokoh Roima pada sekuen (1), yang sekaligus mengagendakan isi percakapan. Tuturan Roima membuka kesempatan bagi tokoh Jumini, Julini, dan Kasijah untuk memberi tanggapan atau jawaban. Meskipun ada yang mengagendakan isi percakapan, seluruh partisipan mempunyai hak yang sama untuk memilih pembicara lain, memilih diri sendiri untuk berbicara, atau meneruskan pembicaraan. Seperti terlihat dalam sekuen (2), (3), dan (4), Julini, Jumini, dan Kasijah secara bergiliran menanggapi perkataan Roima yang dituturkan pada sekuen (1). Percakapan-informal antara para partisipan yang setara seperti contoh tersebut mempunyai signifikansi yang besar terhadap sebuah bentuk ideal dalam interaksi sosial. Di dalamnya tidak ada dominasi atau tidak memperlihatkan siapa yang paling dominan atau berkuasa. Keadaan itu tentunya sangat berbeda dengan percakapan yang di dalamnya terdapat jarak status-sosial dan ada dominasi antara partisipan. Kesetaraan dalam percakapan semacam itu sangat terbatas. Ketika itu terjadi, kaidah interaksi secara umum memunyai penjelasan lebih khusus. Kita lihat teks percakapan antara tokoh Camat dan Kumis berikut:
16
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
[….] (1) CAMAT
(2) KUMIS (3) CAMAT (4) KUMIS (5) CAMAT
(6) KUMIS (7) CAMAT
: Ini perintahku yang mau tidak mau harus kamu jalankan. [….] Aku diperintahkan untuk membersihkan seluruh daerah ini. Tanpa pandang bulu. [….] Itu saja yang ingin kukatakan. : Siap, pak. Tapi ngomong-ngomong, daerah tempat Tarsih praktek juga di …. : Semua kataku. Tarsih, jangan lagi kamu sebut-sebut. Ia sudah bukan Tarsih lagi, ia sudah insaf lantaran aku. : Insaf, maksud Bapak. : Itu bukan urusanmu, Kumis. Pendeknya apa yang kuperintahkan tadi, segera jalankan. Kasih waktu satu atau dua bulan untuk mereka siap-siap pindah. Semua yang tidak punya izin bangunan, bongkar saja. Paham? : Paham pak, tapi ngomong-ngomong untuk apa Bapak Gubernur datang meninjau daerah ini? : Itu tugas negara yang penting. Tentunya untuk, untuk … wooahh, mana aku tahu. Yang jelas beliau mau meninjau, titik. Itu saja..
[….] (BW, h. 34) Pola giliran di dalam percakapan di atas tidaklah sama sebagaimana yang ditunjukkan antara partisipan yang setara. Kumis, sebagai anak buah Camat, hanya mengambil giliran jika sebuah pernyataan dilontarkan kepadanya. Camat lebih dominan dalam percakapan itu karena Kumis tidak bisa memilih giliran percakapannya. Hal itu tidak hanya terjadi pada giliran yang dipaksakan kepada Kumis, tetapi juga isi dari pembicaraan yang harus di katakan, seperti terlihat pada tuturan “Ini perintahku yang mau tidak mau harus kamu jalankan.” atau “Itu bukan urusanmu, Kumis.”. Kumis dibatasi untuk memberikan jawaban yang sesuai dengan pernyataan Camat. Camat bisa memberikan informasi atau perintah-perintah. Dia bisa memberikan evaluasi umpan balik pada jawaban Kumis atau memberi alasan pada Kumis, misalnya pada sekuen (3) dan (7), atau membuat komentar yang evaluatif, seperti pada sekuen (5). Percakapan antara partisipan yang tidak setara itu didasari dan direproduksi secara ideologis oleh status sosial dan kedudukan seseorang. Dalam percakapan antara Camat dan Kumis, partisipan yang lebih berkuasa memberikan ruang lingkup yang sempit atau ketidakleluasaan terhadap partisipan yang lebih lemah. Ada bermacam-macam cara yang dipakai untuk melakukan hal tersebut, seperti interupsi, pemaksaan kehendak, serta pengontrolan topik dan formulasi atau perumusan. Di dalam teks Trilogi Drama OK, interupsi dalam percakapan dapat kembali dilihat dalam percakapan antara Camat dan Kumis. Camat menyela Kumis pada sekuen (3) dengan tujuan untuk menghentikan Kumis memulai pembicaraan atau mengomentari tentang keadaan Tarsih, atau memberikan informasi yang malah memojokkan. Interupsi itu ditandai dengan memotong tuturan Kumis pada sekuen (2) “ […] Tapi ngomong-ngomong, daerah tempat Tarsih praktek juga di ….”. Pemaksaan kehendak sering digunakan oleh yang mempunyai kekuasaan, misalnya memaksa partisipan untuk menuruti keinginan yang berkuasa. Orang yang memunyai kekuasaan sering memberi alasan kuat agar perintah atau kemauannya dilaksanakan. Kita lihat teks percakapan berikut:
17
Ganjar Hwia
[….] (1) PETUGAS
(2) BANCI-1 (3) PETUGAS
(4) BANCI-2 (5) PETUGAS (6) BANCI-3
(7) PETUGAS (8) BANCI-3 (9) PETUGAS
: Dengar saya, mbak-mbak, dengar saya. Yang tidak mau mendengar pasti menyesal. Ini penting untuk masa depan mbak-mbak. Penting. Setiap hari, saya yakin, mbak-mbak pasti bercermin. Coba sekali waktu perhatikan wajah kalian. Apa tidak pernah punya rasa malu?. : Punya kok, Cuma nggak pernah dipakai. Hanya dipakai kencing. : Ini bukan guyonan. Ini penting. Dalam rangka pembangunan mental, segala prilaku yang menyinggung perasaan akan disikat habis. Apalagi prilaku yang amoral, seperti kalian. Menjadi banci saja sudah dosa, apalagi sekalian menjadi pelacur. : Banci itu kodrat. Pernah baca buku nggak? : Kodrat, tapi kan tidak harus jadi pelacur? : Jangan main-main pak, saya ini dwifungsi lho. Siang jadi tukang becak, malam hari ngebanci untuk cari tambahan. Anak saya lima, istri saya tahu kerja saya kalau malam apa. : Apa tidak bisa kerja lain? : Bisa. Merampok. Tapi kan dilarang? : Melacur juga dilarang, tahu gak? Dan saya datang untuk memperingatkan kalian, mumpung masih ada waktu.
[….] (OK, h. 37) Percakapan tersebut terjadi ketika seorang petugas hendak merazia sekelompok banci. Petugas mencoba cara persuasi dan memberi alasan kuat agar para banci meninggalkan pekerjaannya sebagai pelacur. Supaya alasannya diterima, Sang Petugas menyatakan penekan dalam tuturannya, seperti terlihat dalam tuturan pada sekuen (1): “Yang tidak mau mendengar pasti menyesal. Ini penting untuk masa depan mbak-mbak. Penting.” Bahkan, kata “penting” diucapkan tiga kali oleh Petugas, pada sekuen (1) dan (3), agar ucapannya didengarkan. Memberi alasan atau menyatakan alasan yang ambigu bisa menjadi alat yang berguna di tangan partisipan yang lemah untuk berhubungan dengan partisipan yang lebih berkuasa. Alasan itu bisa berarti penolakan, penyangkalan, atau ketidaksetujuan, seperti diungkapkan dalam pernyataan tokoh Banci-1, Banci-2, dan Banci-3 pada sekuen (2), (4), (6), dan (8). Bentuk penyangkalan pun dapat dilontarkan dengan cara bercanda seperti yang dituturkan Banci-1 pada sekuen (2) ketika menanggapi pernyataan Petugas pada sekuen (1). Namun, pemaksaan kehendak dari Petugas tetap diutamakan dengan menyatakan, “Ini bukan guyonan. Ini penting. Dalam rangka pembangunan mental, segala prilaku yang menyinggung perasaan akan disikat habis.” Diam adalah cara lain untuk partisipan yang lemah. Cara ini digunakan untuk tidak menyetujui atau menjalankan apa yang dikatakan oleh orang yang lebih kuat atau dominan. Dalam percakapan antara Turkana dan Jumini berikut memperlihatkan hal tersebut:
18
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
[....] (1) TURKANA
:
(2) JUMINI (3) TURKANA
: :
(4) JUMINI
:
[….] Aku ingin kamu lihat kenyataan. Sueb dan Tole sudah mati. (DIAM SEPERTI PATUNG) (LEMAS) Hampir satu tahun aku gembar-gembor, supaya kamu sadar-sadar-sadar. Nyatanya sia-sia saja. Ah, terserahlah … (PERGI). (LAMPU BERUBAH LAGI) Masih mesam-mesem. Apa kamu melihat apa yang ingin aku lihat? Sueb dan Tole sedang merindukan aku bukan? LAMPU PADAM CEPAT (NAMPAK PARA PATUNG SEDANG LAHAPLAHAPNYA MENYANTAP HIDANGAN)
[....] (BW, h. 16) Turkana bukan dalam kedudukan sebagai penguasa atau pejabat, tetapi dia dalam posisi dominan dalam percakapan itu. Jumini mengakui kebenaran yang diucapkan Turkana. Dalam hal ini, Jumini dalam posisi lemah. Pilihan sikap diam dan tidak menanggapi pernyataan Turkana adalah sebuah cara untuk tidak menyetujuinya. Partisipan yang kuat dapat bertanya untuk menghilangkan kediamannya dengan pertanyaan: mengertikah anda? atau setujukah anda? atau apa pendapat anda? Seperti dalam tanya jawab di kelas antara guru dan murid atau dalam interogasi polisi kepada saksi. Namun, yang dilakukan oleh Turkana adalah bukan bertanya seperti itu karena Turkana dan Jumini dalam posisi setara. Dia hanya mampu menyatakan sikap menyerah melalui tuturan: “Hampir satu tahun aku gembar-gembor, supaya kamu sadar-sadar-sadar. Nyatanya sia-sia saja. Ah, terserahlah …”. Topik atau tema dalam percakapan dapat dikendalikan dan dikuasai oleh partisipan yang lebih dominan. Partisipan yang lebih dominan sering berada pada posisi penentu topik. Berikut ini adalah sebuah contoh penentuan topik sekaligus perumusan dalam percakapan. [....] (1) TUMINAH
:
(2) PELACUR-1 (3) PELACUR-2
: :
(4) PELACUR-3
:
(5) PELACUR-4 (6) TUMINAH
: :
(7) PELACUR-4 [....] (OK, h. 17)
:
Dan lantaran sadar kita bakal ditendang, wajar kalau sodok sana, sodok sini mengumpulkan banyak uang. Demi masa depan. Sesudah uang terkumpul, kita pergi ke Singapura, cari dokter bedah pulang-pulang kita perawan lagi. Lalu pulang kampung dan kawin dengan santri. Kalau ditanya mertua: di Jakarta kerja apa? Kita akan jawab dengan lembut: oo, kita buka usaha. Dagang. (PIDATO) Tapi percayalah saudara-saudara, kita sadar, kita sadar harus kembali ke jalan yang benar. Usaha maksiat ini hanya untuk sementara. (SEMUA TERTAWA TERBAHAK. MALAH ADA YANG SAMPAI TERKENCING) (TARSIH MASUK) Ssssstt…
19
Ganjar Hwia
Teks percakapan tersebut menunjukkan tokoh Tuminah sebagai orang yang memulai percakapan dan sekaligus menentukan topik atau mengagendakan isi percakapan. Penentuan topik itu terlihat pada sekuen (1): “Dan lantaran sadar kita bakal ditendang, wajar kalau sodok sana, sodok sini mengumpulkan banyak uang ”. Pernyataan itu membuka kesempatan bagi tokoh Pelacur-1, Pelacur-2, Pelacur-3, Pelacur 4, dan Pelacur-5 untuk menanggapi dalam sekuen (2)—(5). Giliran terakhir yang dimiliki Tuminah pada sekuen (6) merumuskan atau memformulasikan pernyataan pada sekuen (2)—(5). Tuminah menawarkan kesimpulan dari apa yang telah dikatakan partisipan bahwa “[…] kita sadar, kita sadar harus kembali ke jalan yang benar. Usaha maksiat ini hanya untuk sementara.” Perumusan semacam itu mungkin merupakan hak orang yang lebih berkuasa, tetapi bukan berarti mereka selalu dapat mengontrolnya. Dilihat dari konvensi teks dramatik pada umumnya, percakapan dalam Trilogi Drama OK menggambarkan dialog antara tokoh secara tertib dan bergantian. Arah suatu dialog berasal dari salah satu tokoh yang berbicara ditujukan kepada tokoh lain yang mendengarkan. Kemudian berlaku sebaliknya, tokoh lain tersebut menjawab atau menyahutnya (bertindak sebagai pembicara) untuk didengar oleh lawan bicaranya sehingga terjadi interaksi timbal balik antara pembicara-pendengar. Jika salah satu tokoh berbicara, tokoh lain harus sabar menunggu giliran berbicara. Mereka berbicara bukan karena ingin berbicara, melainkan harus berbicara sesuai dengan pola logika percakapan. Dengan demikian, dialog-dialog itu sudah terstruktur sehingga mudah dicerna karena kelogisan unsur cerita terlihat di dalamnya. Hal ini pula yang menunjukkan bahwa percakapan dalam Trilogi Drama OK memiliki pola yang menggambarkan adanya hubungan “giliran tutur” (turn-taking) antara partisipan atau tokoh yang terlibat dalam percakapan. Percakapan itu dapat terjadi antara dua tokoh (dua partisipan percakapan) atau lebih (multipartisipan). Pola-pola percakapan tersebut, baik yang terjadi antara dua orang atau lebih, merupakan gambaran dari giliran tutur para partisipan yang terlibat dalam percakapan. Emanuel Schegloff (1972) menggambarkan pola percakapan tersebut bersifat umum dan bisa diidentifikasi secara eksplisit dengan pola A-B-A-B. Dikatakan bersifat umum karena percakapan yang ada dalam teks Trilogi Drama OK itu menggambarkan percakapan yang biasa ada dalam percakapan seharihari secara umum. Pola giliran dalam percakapan dipengaruhi oleh latar (setting) waktu dan tempat tertentu. Giliran untuk memberi respon atau berbicara telah diatur oleh kaidah, peraturan, atau konvensi (baik tertulis atau tidak) yang berlaku dalam masing-masing latar tersebut. Oleh sebab itu, percakapan yang bersifat umum tersebut dalam konteks wacana dramatik ini bersifat khas. Kekhasan itu karena latar percakapan disebut atau dimunculkan secara eksplisit dalam petunjukpetunjuk pemanggungan. Namun, ketika tidak ada kesetaraan dalam percakapan, kaidah interaksi atau pola giliran yang bersifat umum itu memunyai penjelasan lebih khusus. Percakapan antara para partisipan yang tidak setara seperti memunyai signifikansi yang besar terhadap sebuah bentuk ideal dalam interaksi sosial. Di dalamnya ada dominasi atau memperlihatkan siapa yang paling dominan atau berkuasa. Keadaan itu tentunya sangat berbeda dengan percakapan yang di dalamnya ada kesetaraan antarpartisipan. PENUTUP Ideologi dalam kendali interaksional terkait dengan adanya atau tidaknya kesetaraan dalam percakapan. Dalam hal ini, kesataraan mencerminkan sebuah ideologi interaksi sosial yang ideal. Ideologi “kesetaraan dalam percakapan sebagai bentuk ideal dalam interaksi sosial” terlihat dalam percakapan-informal antara para partisipan yang setara. Di dalamnya tidak ada dominasi atau tidak memperlihatkan siapa yang paling dominan atau berkuasa. Sebaliknya dari 20
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
ideologi tersebut, pemaksaan kehendak sering digunakan oleh paritsipan yang lebih berkuasa atau dominan jika terjadi ketidaksetaraan dalam interaksi. Pemaksaan itu bisa berupa pemberian alasan kuat agar perintah atau kemauannya dilaksanakan. Dari hal inilah kita dapat melihat ideologi “ketidaksetaraan dalam interaksi sosial sebagai penyebab timbulnya jarak komunikasi” Ketidaksetaraan dalam interaksi juga memungkinkan partisipan yang lebih dominan mengendalikan atau menguasai topik atau tema dalam percakapan. Partisipan yang lebih dominan sering berada pada posisi penentu topik atau bahkan mengagendakan isi dan arah percakapan. Berkaitan dengan ketidaksetaraan dalam interaksi ini, kita dapat melihat bahwa partisipan yang lemah akan memberi alasan atau menyatakan alasan yang ambigu sebagai alat untuk menolak, menyangkal, atau menyatakan ketidaksetujuan terhadap partisipan yang lebih berkuasa. Selain itu, partisipan yang lemah sering menggunakan cara “diam” untuk tidak menyetujui atau menjalankan apa yang dikatakan oleh orang yang lebih kuat atau dominan. Hal-hal inilah yang digambarkan teks Trilogi Drama OK untuk menggambarkan penyebab adanya jarak komunikasi atau bahkan komunikasi yang tidak bersambut.
CATATAN * Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan makalah.
DAFTAR PUSTAKA Althusser, Louis. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies (terjemahan Olsy Vinoli Arnof). Yogyaakarta: Jalasutra, 2006. Anwar, Syaeful. N. Riantiarno: dari Rumah Kertas ke Pentas Dunia. Jakarta: FFTV IKJ Press, 2005 Beaugrande, Robert de. “Discourse Analysis and Literary Theory: Closing the Gap” dalam Special Issue: Philosophy and Composition Theory (Editor: Gary A. Olson), Jurnal JAC, Volume 13, Issue #2, Winter 1993, http://www.jacweb.org/Archived_volumes/Volume13.htm. Brown, Gillian dan George Yule. Gramedia, 1996.
Analisis Wacana (terjemahan I. Soetikno).
Jakarta:
Budiman, Arief. Teori Negara. Jakarta: Gramedia, 1996. Cummings, M. dan R. Simmons. The Language of Literature. London: Pergemon Press Ltd, 1986. Dick, Teun van (Ed.). Discourse as Social Interaction: Discourse Studies A Multidisciplinary Introduction. Vol. 2. London: SAGE Publications, 1997. Eagleton, Terry. Literary Theory: An Introduction. London: Basil Blackwell, 1983. Elam, Keir.
The Semiotics of Theatre and Drama. London: Routledge.
Fairclough, Norman. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language London: Longman, 1995.
21
Ganjar Hwia
________________. Language and Power: Relasi Bahasa, Kekuasan, dan Ideologi (Judul asli: Language and Power, terjemahan Komunitas Ambarawa), Gresik dan Malang: Boyan Publishing, 2003. Fowler, R. Languages in the News: Discourse and Ideologi in the Press. London: Routledge, 1991. Gee, James Paul. An Introduction to Discourse Analysis, Theory and Method. London: Routledge, 2005. Halliday, M.A.K., Language as Social Semiotic, The Social Interpretation of Language and Meaning. London: The Open University Set Book, 1993. Herman, Vimala. Dramatic Discourse, Dialogue as Interaction in Plays. Routledge,1998.
London:
Jorgensen, Marianne W dan Louise J. Philips. Discourse Analysis as Theory and Method. London: SAGE Publications Ltd, 2002. Lelland, David Mc. Ideologi Tanpa Akhir (terjemahan Muhammad Syukri). Yogyakarta; Kreasi Wacana, 2005. Lichte, Fischer. The Semiotics of Theater. Bloomington: Indiana University Press, 1992. Macdonell, Diane. Teori-Teori Diskursus. Jakarta: Teraju, 2005. Marcellino, M. “Analisis Percakapan (Conversation Analysis): Telaah Tanya-Jawab di Meja Hijau” dalam Pellba 6 (Bambang Kaswanti Purwo (Ed.)). Yogyakarta: Kanisius, 1993. Meinhof, U. dan Richardson, K (Ed.). Text, Discourse and Context. London: Longman, 1994. Schiffrin, Deborah. Approaches to Discourse. Cambridge, Massachusetts: Blackwell, 1994. Sumardjo, Jakob. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung:Citra Aditya Bakti, 1992. Tennyson, G.B.
An Introduction to Drama. New York: Holt Rinehart and Winston, Inc, 1967.
Thompson, John B. Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia. Yogyakarta: IRCiSoD, 2007. Titscher, Stefan, Michael Meyer, Ruth Wodak, dan Eva Vetter. Methods of Text and Discourse Analysis. (B. Jenner, Trans.) London: Sage Publication, 2000. Wellek, Rene dan A. Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia, 1993. Widdowson, H. G, Stylistics and The Teaching of Literature. London: Longmans Ltd, 1975.
Ganjar Hwia
[email protected] Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta 22
Linguistik Indonesia Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 23-39
Copyright 2010 by Masyarakat Linguistik Indonesia
PEMERTAHANAN BAHASA DAN KESTABILAN KEDWIBAHASAAN PADA PENUTUR BAHASA SASAK DI LOMBOK Sudirman Wilian* Universitas Mataram Abstract Research findings have shown that a number of the indigenous languages in Indonesia are now in danger and some are threatened by extinction, particularly those ones existing in Maluku and Papua. However, there are still quite a large amount of local languages that could still be maintained and preserved by its speakers, including that of Sasak spoken by the native of Lombok, West Nusa Tenggara. This reasearch is aimed at finding out to what extent this language has been threatened by Bahasa Indonesia through its massive use through electronic and printing media in the home of every single Sasak speaker family. The result of the research shows that what has been afraid of by many as to the trend among the youths to using Bahasa Indonesia instead of Sasak in their daily communication is not proven to threaten the indigeneous language (Sasak). From the language attitude in the survey it shows that Sasak is still needed by the people as their cultural heritage and social group marker which needs to be preserved and maintained. From the perspective of bilingualism it indicates that Sasak is used persistently as a major means of communication among the family home members, neighborhoods, and relatives. Key words: language maintenance, language shift, bilingualism, indigenious languages, language community.
PENDAHULUAN Dalam konteks kebahasaan di Indonesia, yang multilingual, multietnis, dan multikultural, dengan intensitas kontak antara kelompok etnis yang satu dan yang lainnya cukup tinggi, persaingan kebahasaan tidak dapat dielakkan. Lebih-lebih lagi jika persaingan itu dihubungkan dengan perkembangan dan kemajuan bahasa Indonesia yang begitu cepat dan menyeluruh pada hampir setiap kelompok lapisan masyarakat, gejala pergeseran bahasa daerah (BD) itu juga nyata ditunjukkan bukan saja oleh berkurangnya minat generasi muda mempelajari bahasa daerah sebagai identitas kedaerahannya tetapi juga makin meningkatnya kecenderungan orangtua yang berasal dari keluarga satu suku untuk memilih memakai bahasa Indonesia (BI) sebagai alat komunikasi utama mereka di rumah. Hal ini mengindikasikan bahwa ranah pemakaian bahasa daerah di dalam rumah tangga lambat laun mulai tergeser oleh BI, yang berarti pula telah memicu terjadinya apa yang disebut “pergeseran bahasa” (language shift). Fenomena pemertahanan dan pergeseran bahasa-bahasa daerah ini telah banyak dikaji oleh para peneliti. Dari berbagai hasil penelitian banyak bahasa, terutama di Papua dan Maluku, dilaporkan sedang mengalami kepunahan atau terancam punah, bahkan ada beberapa yang sudah punah, sebagaimana banyak dilaporkan oleh SIL Internasioanal. Begitu pula di Sulawesi, ada beberapa bahasa yang penuturnya beberapa ribu atau bahkan ratusan saja sedang dalam keadaan kritis, menunggu untuk ditinggalkan oleh penutur dan ahli warisnya, misalnya bahasa Panasuan, bahasa Talondo, bahasa Napu (Grimes dalam Kaswanti Purwo, 2002:1–39). Tidak ketinggalan pula di Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, sebagaimana dilaporan oleh Basri dalam Jurnal ini (2008:169–183), bahasa Kaili yang merupakan bahasa daerah asli dari kelompok etnis terbesar, yakni suku Kaili di Palu termasuk sedang dalam proses perkenalan untuk ditinggalkan oleh generasi mudanya, karena sebagian besar keluarga tidak lagi menggunakannya kepada anak-anak dan cucu mereka. Alhasil, dalam waktu beberapa generasi
Sudirman Wilian
lagi akan hengkang dari buminya sendiri jika tidak segera diambil langkah-langkah konstruktif untuk diaktifkan pemakaiannya (revitalisasi) di kalangan anggota keluarga suku Kaili. Salah satu bahasa daerah di Indonesia yang penuturnya cukup besar, yang keberadaannya juga dikhawatirkan oleh banyak pihak, terutama generasi tua, terancam tergeser oleh gempuran pemakaian bahasa Indonesia di kalangan generasi muda adalah bahasa Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Laporan penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab kekhawatiran itu serta mencari jawaban atas pertanyaan: “Benarkah generasi muda telah beralih ke Bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa ibu mereka di dalam rumah menggantikan bahasa Sasak?” Artikel ini akan melaporkan hasil penelitian survei mengenai penggunaan Bahasa Sasak (BSs) tersebut yang dilakukan mulai Mei sampai Oktober tahun 2009 yang lalu. Populasi penelitian adalah anggota masyarakat etnis Sasak yang tinggal di empat kabupaten dan kota Mataram di Lombok berusia < 10 tahun sampai 60 tahun <. Data utama penelitian diperoleh dari jawaban responden yang diperoleh melalui kuesioner survei, di samping data dari metode etnografi dengan teknik pengamatan terlibat dan wawancara. Kuesioner survei berisi daftar pertanyaan pancingan pengakuan diri (self-report) tentang pemakaian dan pilihan bahasa responden sebagaimana yang pernah digunakan Gal (1978) terhadap bahasa Hungaria, Fasol (1984) untuk bahasa Indian Tiwa, Gunarwan (1994) untuk bahasa Lampung, serta Wilian yang meneliti bahasa Sumbawa di kalangan guyub tutur bahasa Sumbawa di Lombok (2006). Dalam angket itu ditanyakan bahasa apa yang digunakan di rumah dalam percakapan sehari-hari dengan sesama anggota keluarga atau dalam pertemuan keluarga (ranah keluarga), dengan tetangga (ranah ketetanggaan), di luar rumah dengan kerabat (ranah kekariban), di sekolah (ranah pendidikan), di kantor (ranah pemerintahan), di jalanan, di pasar atau di tempat-tempat umum (ranah umum), dan di dalam pengajian (ranah keagamaan). Pilihan bahasa yang digunakan diberi bobot “pura-pura” menggunakan skala Likert sebagai berikut: (1) = Selalu (hampir selalu) BS (2) = Lebih sering BSs daripada BI (3) = Sama seringnya BI dan BSs (4) = Lebih sering BI dari pada BSs (5) = Selalu (hampir selalu) BI Angket kemudian disebarkan secara acak ke empat kabupaten dan kota Mataram dengan memperhatikan persebaran masing-masing dialek. Kemudian untuk melengkapi penjaringan data melalui metode survei, peneliti yang juga penutur bahasa Sasak dan dibantu beberapa asisten peneliti ini, melakukan pengamatan terlibat yang dilengkapi dengan lembar Pengamatan Terlibat atau lembar pencatatan. Data survei dan hasil pengamatan yang diperoleh setelah diseleksi, diinventarisasi, dan diklasifikasi, kemudian ditabulasi untuk menghitung frekuensi kemunculannya untuk setiap variabel sesuai kelompok masing-masing, dan kemudian diolah menggunakan SPSS versi 17. KEADAAN KEBAHASAAN DI LOMBOK Di samping bahasa Indonesia (bahasa nasional), penduduk pulau Lombok (terutama suku Sasak) menggunakan bahasa Sasak sebagai bahasa utama dalam percakapan sehari-hari. Bahasa Sasak (jumlah penutur + 2,5 juta orang) adalah bahasa dengan sejumlah dialek. Dialek yang berbedabeda dapat dijumpai di tiap kampung, desa, atau wilayah kecamatan. Nama wilayah tempat persebaran suatu dialek dipakai sebagai nama dialek: Dialek Pejanggik (Dialek Meno-Meni), Dialek Selaparang (Dialek Ngeno-Ngene), Dialek Pujut (Dialek Meriak-Meriku), dan Dialek Petung Bayan (Dialek Kuto-Kute).
24
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
No. 1.
2. 3. 4. 5.
Tabel 1: Dialek-Dialek Bahasa Sasak Nama Dialek Daerah Pakai Dialek Pejanggik (Dialek Meno-Meni) Lombok Barat Lombok Tengah Lombok Timur Dialek Selaparan (Dialek Ngeno-Ngene) Lombok Timur Dialek Pujut (Dialek Meriak-Meriku) Lombok Selatan Dialek Suralaga (Dialek Nggeto-Nggete) Lombok Timur Dialek Kuto-Kute (Dialek Petung Bayan) Lombok Utara
Dialek Pujut digunakan pada wilayah-wilayah bagian selatan pulau ini, meliputi kecamatan Pujut, Praya barat, Praya Barat Daya, sedikit di Praya Timur hingga Jerowaru (Kabupaten Lombok Timur). Di wilayah bagian tengah pulau Lombok, dialek Pujut digunakan penduduk di Kecamatan Jonggat (Kabupaten Lombok Tengah). Dialek Pujut juga dijumpai penggunaannya di tengah-tengah (sebagai enclave) di antara pengguna Dialek Pejanggik dan Selaparang, seperti di desa Pademare dan Desa Denggen Kabupaten Lombok Timur. Dialek Bayan sebagian besar digunakan di bagian utara pulau Lombok, meliputi Kecamatan Pemenang, Tanjung, Gangga dan Bayan di Kabupaten Lombok Utara. Selanjutnya, ke sebagian wilayah timur di Kabupaten Lombok Timur meliputi Sembalun, Obel-Obel, Wanasaba, dan Suralaga digunakan dialek Suralaga, dan sebagian besar yang lainnya menggunakan dialek Selaparang (dialek Ngeno-Ngene). Di antara dialek-dialek tersebut, dialek Pejanggik adalah yang paling banyak pemakainya. Meskipun antara penutur dialek yang satu dengan yang lain dapat saling memahami, beberapa kata dan istilah pada masing-masing dialek mempunyai arti yang sangat berbeda. Demikian pula halnya dengan dialek Bayan. Dialek ini tampaknya paling sukar dimengerti oleh pengguna dialek yang lain, karena kosakata dan pengucapannya yang sedikit berbeda dan agak asing dari kata atau istilah yang digunakan dalam bahasa Sasak pada umumnya. Namun, jika masyarakat dari berbagai macam dialek itu bertemu atau berkumpul lama, seperti di ibukota provinsi, Mataram, dialek Pejanggik adalah yang paling umum digunakan, dan khususnya lagi dalam siaran di radio dan televisi. Di Lombok, selain bahasa Sasak, bahasa daerah kelompok etnis terbesar (karena merupakan penduduk asli Lombok), juga dituturkan beberapa bahasa lain. Bahasa Bali, bahasa kelompok etnis terbesar kedua (sebagian besar berasal dari bekas Kerajaan Karangasem), menetap terutama di Lombok Barat, Lombok Utara, dan Kota Mataram. Penutur bahasa Sumbawa tinggal terutama di Lombok Timur dan sedikit di Lombok Barat dan Lombok Tengah. Di Kota Mataram sndiri terdapat beberapa kelompok etnis yang lain, yaitu penutur bahasa Bima atau Mbojo, Sumbawa atau Samawa, Jawa, Sunda, Minang, dan lain-lain. Mereka pada umumnya tinggal terpencar-pencar, tidak mengelompok. LANDASAN TEORI Penelitian ini didekati melalui teori-teori yang berkenaan dengan pemakaian dan pilihan bahasa, khususnya tentang pergeseran dan pemertahanan bahasa, ranah, diglosia, sikap bahasa, serta etnografi komunikasi. Tiga di antaranya yang penting di sini adalah diglosia, analisis ranah, dan sikap bahasa. Istilah diglosia mengacu pada situasi kebahasaan di mana tiap-tiap bahasa atau ragam bahasa, baik pada masyarakat ekabahasa (monolingual), dwibahasa (bilingual), atau anekabahasa (multilingual), mempunyai peran dan fungsi masing-masing yang berbeda-beda sesuai peruntukannya (Ferguson, 1959). Pembagian atau pemisahan fungsi itu biasanya dikaitkan dengan apa yang diistilahkan dengan ragam bahasa T (Tinggi) dan ragam bahasa R (Rendah). Ragam bahasa T dikaitkan dengan bahasa atau ragam bahasa yang dihargai dan
25
Sudirman Wilian
diakui dalam masyarakat mempunyai nilai tinggi (highly valued), sedangkan ragam bahasa R dihargai mempunyai nilai yang lebih rendah (less valued). Ranah-ranah pemakaian bahasa informal seperti keluarga, tetangga, dan kekariban dianggap merupakan ranah tempat bahasa R digunakan, sedangkan ranah agama, pendidikan, pemerintahan, dan lingkungan kerja yang dianggap ranah pemakaian bahasa formal (ini termasuk wilayah bahasa T). Dalam masyarakat yang diglosik tiap-tiap bahasa mempunyai fungsi sendiri-sendiri yang digunakan oleh anggota masyarkatnya untuk menyatakan kehendaknya menurut norma sosial dalam masyarakat bahasa bersangkutan. Pemakaian tiap-tiap bahasa atau ragam bahasa itu ditentukan oleh perilaku, sikap, dan nilai-nilai yang ada pada masyarakat itu menyangkut setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan. Adanya perbedaan sikap dan pandangan terhadap tiap-tiap bahasa itu disebabkan oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat ekabahasa atau anekabahasa, setiap bahasa atau ragam bahasa dianggap mempunyai ‘keterbatasan’ (dalam arti mempunyai fungsi) sendiri-sendiri. Tidak semua bahasa atau ragam bahasa dapat mewakili setiap situasi pemakaian bahasa. Akan tetapi, pemakaian tiap-tiap bahasa itu pun acap kali masih ditentukan lagi oleh ‘peraturan’ siapa berbicara kepada siapa (role relationship), di mana, untuk tujuan apa, tentang apa, dan lain lain. ‘Peraturan’ pemakaian bahasa dalam komunikasi itu ditentukan oleh faktor-faktor yang sifatnya non-linguistis (extra linguistic). Dalam sosiolinguistik faktor-faktor itu dapat disebut sebagai komponen tutur (components of speech). Yang perlu diwaspadai dalam pemakaian dan pilihan bahasa yang dihubungkan dengan konsep diglosia itu adalah bahwa jika ranah-ranah pemakaian bahasa yang tadinya diwakili oleh ragam bahasa R sudah dimasuki atau digantikan oleh ragam bahasa T (diglossia leakage) maka patut dicurigai akan dimulai terjadinya pergeseran bahasa. Dalam sosiolinguistik, istilah ranah tidak dapat dipisahkan dari kedwibahasaan dan diglosia karena tuntutan kewajiban pilihan bahasa atau ragam bahasa yang tepat sesuai dengan norma sosial budaya pada masyarakat tutur bersangkutan. Di dalam masyarakat dwibahasa yang stabil tiap-tiap bahasa diasosiasikan dengan ranah-ranah pemakaian yang berbeda-beda. Fishman (1964; 1972a) mengajukan konsep ini untuk menjelaskan perilaku penggunaan bahasa dalam masyarakat dwibahasa dan sekaligus untuk melihat pola pergeseran dan pemertahanan bahasa pada masyarakat tersebut. Berdasarkan konsep ranah pula, dari sejumlah bahasa yang ada pada repertoar bahasa seseorang, dapat dilihat bahasa manakah yang selalu digunakan dalam interaksi intrakelompok dan bahasa manakah yang selalu digunakan untuk interkasi antarkelompok (Siregar dkk, 1989:23). Menurut Fishman (1966), di dalam penggunaan bahasa memang ada konteks-konteks sosial yang melembaga (institutional context) yang disebut ranah, dimana lebih cocok untuk digunakan ragam atau bahasa tertentu daripada ragam atau bahasa lain. [siapa yang “menggunakan ragam” di sini? Satu ranah merupakan sebuah kelompok dari situasi tutur. Situasi-situasi di mana orang-orang yang terlibat dalam sebuah percakapan adalah anggotaanggota keluarga, seperti percakapan antara suami dan istri, ibu dan anak, kakak dan adik, termasuk ke dalam ranah keluarga. Situasi sosial yang termasuk dalam ranah keluarga biasanya terdapat pada lingkungan rumah tangga. Dalam hal ini status sosial para partisipan tidak begitu penting dibandingkan pada ranah lain, dan hubungan peran partisipan ditentukan oleh posisi masing-masing sebagai anggota keluarga dalam sebuah percakapan, seperti orang tua-anak, ayah-ibu, kakek-cucu, adik-kakak, dan lain-lain. Jumlah ranah berbeda-beda sesuai kebutuhan dan situasi kebahasaan masyarakat yang diteliti sehingga jumlah ranah bisa berapa saja. Greenfield dalam Sumarsono (1993:14) menggunakan lima ranah saja dalam penelitiannya terhadap orang Puerto Rico di New York City, yaitu keluarga, kekariban, agama, pendidikan, dan kerja. Sementara itu, ada juga yang menggunakan tujuh ranah, misalnya Parasher (1980), yaitu keluarga, kekariban, ketetanggaan, transaksi, pendidikan, pemerintahan, dan lingkungan kerja.
26
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut akan dibahas hasil kuesioner survei mengenai pola pemakaian dan pilihan bahasa dalam berbagai ranah, pola kedwibahasaan masyarakat, serta rampatan mengenai kecenderungan pemakaian BI sebagai bahasa ibu secara keseluruhan. Ranah Keluarga Dalam konteks penelitian ini, yang ingin dilihat adalah apakah dominasi pemakaian BI atas BD pada masyarakat Sasak telah menyebabkan pergeseran atau pemertahanan. Berdasarkan pilihan jawaban yang disediakan dalam kuesioner diperoleh bahwa secara keseluruhan rerata pilihan bahasa responden dari seluruh kelompok usia (N = 911) adalah 1.66. Berdasarkan skenario pembobotan dalam metodologi yang disebutkan di atas ini berarti bahwa responden masih selalu (hampir selalu) menggunakan BSs daripada BI. Dilihat dari parameter usia responden terhadap pilihan jawaban (bahasa yang digunakan dalam ranah keluarga) tampak bahwa mean atau rerata pilihan bahasa rersponden berkisar antara 1.39–1.90, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2: Rerata kecenderungan pilihan bahasa dalam ranah keluarga menurut kelompok usia responden Report bahasa keluarga usia Mean N Std. Deviation Sum Range 11-20 1.90 236 1.050 448 4 21-30 1.68 262 .958 441 4 31-40 1.55 188 .863 291 4 41-50 1.50 141 .883 212 5 51-60 1.43 48 .976 68 4 >60 1.39 36 .915 50 3 Total 1.66 911 .964 1509 5 Keterangan: 1 = Selalu (hampir selalu) BSs, 2 = Lebih sering BSs daripada BI, 3 = Sama seringnya BSs dan BI, 4 = Lebih sering BI daripada BSs, 5 = Selalu (hampir selalu) BI Hal ini menunjukkan bahwa dalam komunikasi intrakeluarga di rumah, BSs masih selalu atau hampir selalu digunakan. Akan tetapi, dilihat dari kelompok usia responden, berdasarkan data skala kecenderungan skor pilihan bahasa di rumah, tampak bahwa mean pilihan bahasanya membentuk skalabilitas pilihan bahasa, yang berarti makin muda kelompok usia responden relatif makin besar peluang menggunakan BI, seperti tampak pada Gambar 1 berikut. Ini mengisyaratkan pula bahwa ada kemungkinan kecenderungan di antara generasi muda dan suami istri pasangan muda – terutama yang berlatar belakang pendidikan tinggi dan pegawai negeri – untuk “membiasakan” menggunakan BI sebagai bahasa sehari-hari di rumah, meskipun perbedaan indeksnya masih sangat kecil dan secara statistik tidak signifikan.
27
Sudirman Wilian
Gambar 1: Grafik kecenderungan pilihan bahasa di rumah menurut kelompok usia (N=911) Kenyataan ini dapat pula dilihat dari SD yang diperoleh (1.050) pada kelompok usia 11-20 tahun, yang menunjukkan variatifnya jawaban responden. Dilihat dari perbandingan persentase jawaban yang menggunakan BSs dan BI sebagai bahasa ibu di rumah sejak kecil, persentase responden yang menggunakan BI sangatlah kecil sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 2 di bawah. Dari 911 responden yang berhasil dianalisis hanya 39 orang atau 4,28% yang menggunakan BI sejak kecil di rumah. Kemudian dari hasil pengamatan dari berbagai tempat dan berbagai situasi di rumah-rumah keluarga di desa-desa dan di kampung-kampung, terlihat bahwa memang BSs masih sangat dominan digunakan oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Masyarakat, yaitu bahwa “Penggunaan bahasa Sasak berperan penting dalam hal budaya. Dengan menggunakan bahasa Sasak, kita secara tidak sadar telah menggunakan budaya Sasak itu sendiri, dan dengan menggunakan bahasa Sasak orang tahu kita adalah orang Sasak. Jadi, bahasa Sasak memiliki peranan penting dalam budaya Sasak”. Pertanyaannya kemudian, “Apakah bahasa Sasak perlu dilestarikan?” Sebagian besar responden menjawab “Bahasa Sasak perlu dilestarikan karena dengan menggunakan bahasa Sasak kita melestarikan budaya Sasak itu sendiri”. Dan di dalam berbagai pengamatan, tampak pula bahwa pada keluarga-keluarga Sasak di berbagai pelosok, di seluruh Lombok pemakaian BSs merupakan suatu pilihan utama, karena berbagai macam alasan sosial psikologis dan pragmatis. Dalam studi pemertahanan dan pergeseran bahasa, ranah keluarga sering disebut sebagai benteng terakhir yang menentukan nasib keberlangsungan sebuah bahasa.
Gambar 2: Grafik pemakaian BSs dan BI di rumah sejak kecil (N=911)
28
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
Mengapa benteng terakhir? Keluarga sesungguhnya merupakan tempat berlangsungnya pewarisan keberlanjutan bahasa-ibu itu dari orang tua ke anak-anak mereka atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan kata lain, di sanalah berprosesnya, menurut istilah Fishman (1993), kesinambungan pengalihan bahasa-ibu antargenerasi itu “intergenerational mother-tongue continuity”. Di dalam ranah keluarga atau rumah tanggalah terjadi komunikasi yang intens antara ayah-ibu, adik-kakak, orang tua-anak, kakek-cucu, dan anggota keluarga yang lain sehingga proses pengalihan bahasa dari generasi tua ke generasi muda dapat berjalan. Biasanya komunikasi di dalam rumah tangga berkenaan dengan berbagai hal kerumhatanggaan dan berbagai persoalan kehidupan lainnya. Di sini pula dapat dilihat pola pemakaian bahasa seluruh anggota keluarga itu pada saat mereka berkomunikasi di dalam rumah. Jadi, selama keluarga-keluarga itu masih mau menggunakan bahasa-ibunya di rumah sebagai alat komunikasi utama maka selama itu pula BSs masih akan dapat bertahan. Ranah Ketetanggaan Dalam ranah ketetanggaan, pembicaraan antartetangga dibagi ke dalam beberapa topik menyangkut hal-hal seperti masalah keluarga, ketetanggaan, masalah pekerjaan, keagamaan, pendidikan, organisasi, politik, dan masalah kejadian sehari-hari seperti kabar angin (gosip seputar kampung/desa), dll. Tampak pada Tabel 3 bahwa rerata skala pilihan bahasa responden pada ranah ketetanggaan adalah 2.13. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam kehidupan ketetanggaan masyarakat penutur BSs masih lebih sering atau lebih banyak menggunakan BSs daripada BI. Akan tetapi, dilihat dari kelompok usia responden tampak pula bahwa kecenderungan pilihan bahasa mereka berkisar pada rentangan antara 1.89–2.28, yang hampir membentuk skalabilitas. Dengan demikian, dapat dikatakan semakin muda kelompok usia responden semakin besar kemungkinan peluang untuk memilih menggunakan “lebih banyak BSs daripada BI”, yang bergeser dari pilihan “selalu atau hampir selalu BSs”. Tabel 3: Skala kecenderungan pemilihan BSs dan BI dalam ranah ketetanggaan menurut kelompok umur responden Report bahasa tetangga usia Mean N Std. Deviation Sum Range 11-20 2.28 236 1.074 538 4 21-30 2.22 262 1.035 582 4 31-40 2.02 188 .983 379 4 41-50 2.05 141 .954 288 4 51-60 1.85 48 1.149 89 4 >60 1.89 36 1.147 68 4 Total 2.13 911 1.040 1945 4 Data dalam tabel di atas juga menunjukkan bahwa angka rata-rata pilihan bahasa menurut golongan usia agak berbeda dari yang terdapat pada ranah keluarga. Rerata pilihan bahasa juga tampak menonjol pada kelompok usia 11 – 20 tahun, yakni 2,28 paling tinggi di antara kelompok-kelompok yang lainnya. Kemudian seiring dengan meningkatnya usia responden, rerata pilihan bahasa juga menurun pada masing-masing kelompok umur sampai mencapai 1.85 pada kelompok usia 51-60 tahun, sedikit di bawah kelompok usia >60 tahun. Perolehan rerata skor ini, menurut para ahli sosiolinguistik, dapat mengisyaratkan dua hal. Pertama, ada kemungkinan munculnya gejala apa yang disebut perembesan atau kebocoran diglosia (diglosia leakage). Kedua, situasi kebahasaan seperti itu adalah lumrah dalam suatu masyarakat bilingual. Bagi kelompok pertama, jika terjadi gejala merembesnya pemakaian
29
Sudirman Wilian
bahasa kedua pada ranah keluarga dan ketetanggaan, maka hal itu menandakan awal terjadinya pergeseran bahasa.
Gambar 3: Grafik kecenderungan pemilihan BSs dan BI dalam ranah ketetanggaan Namun, bagi kelompok kedua, hal seperti itu tidak perlu dirisaukan karena sudah merupakan gejala umum yang dapat ditemukan pada masyarakat bilingual di mana pun. Alasan yang lazim dikemukakan adalah karena topik-topik pembicaraan tertentu dapat saja didiskusikan dalam bahasa tertentu tanpa mempedulikan lokasi pembicaraan ataupun lawan bicara (Holmes, 1992). Ranah Pendidikan Ranah pendidikan yang dimaksud di sini berkisar pada situasi komunikasi di seputar sekolah, bukan ketika pelajaran di dalam kelas sedang berlangsung melainkan situasi ketika bermain bersama teman di luar kelas atau halaman seputar sekolah, di kantin sekolah, atau di dalam kelas pada jam istirahat. Perlu dicatat bahwa jika responden berusia di atas 22–25 tahun atau tidak lagi sekolah/kuliah maka jawaban yang diberikan menggambarkan situasi ketika dulu mereka mengenyam pendidikan pada masing-masing jenjang. Ada tiga situasi yang diajukan kepada responden untuk dijawab dalam kuesioner, yaitu berkenaan dengan bahasa yang digunakan ketika berbicara kepada bapak atau ibu guru di luar kelas, kepada teman-teman, dan kepada pegawai tata usaha. Hasil olahan data rerata skor pilihan bahasa pada ranah pendidikan berdasarkan tingkat pendidikan responden menunjukkan bahwa range skor berkisar antara 1.90–2.69. Dan rerata skor untuk keseluruhan responden dari berbagai latarbelakang dan jenjang pendidikan adalah 2.61. Berdasarkan data rerata skor pilihan bahasa pada ranah ini dapat dirampatkan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan responden makin tinggi pula kecenderungan untuk menggunakan BI. Dilihat dari indeks pemakaian BSs dan BI berdasarkan kabupaten/kota ternyata Kota Mataram, Lombok Barat, dan Lombok Tengah mencapai mean hampir sama. Di tiga wilayah itu angkanya berturut-turut 3.74, 3.70, dan 3.71, sedangkan di Lombok Timur dan Lombok Utara mencapai 3.38 dan 3.58. Hal ini mengindikasikan bahwa besarnya pilihan yang hampir mencapai angka 4 (“lebih sering BI daripada BSs”) disebabkan posisi kota Mataram sebagai ibukota provinsi dengan berbagai macam latar belakang kebahasaan penduduknya. Demikian pula Lombok Barat dan Lombok Tengah yang tidak terlepas dari kedekatannya dengan Kota Mataram, serta posisinya sebagai daerah pariwisata, sedikit banyak mempengaruhi pilihan bahasa masyarakat dengan frekuensi pemakaian BI yang lebih banyak, walaupun dalam lingkup sekolah. Namun, dilihat dari data indeks pemakaian bahasa dalam ranah keluarga (mean = 1.66), kondisi ini tampaknya tidak berpengaruh pada pemakaian bahasa-ibu mereka di rumah bagi mereka yang memang sejak kecil menggunakan BSs sebagai B1.
30
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
Tabel 4: Perbandingan mean pilihan bahasa responden berdasarkan kabupaten/kota. Report bahasa sekolah kabupaten Mean N Std. Deviation Sum Range % of Total Sum Kota Mataram 3.74 120 1.197 449 5 13.9% Lombok Barat 3.70 135 .932 499 4 15.4% Lombok Tengah 3.71 246 1.207 914 5 28.2% Lombok Timur 3.38 302 .890 1021 4 31.5% Lombok Utara 3.58 99 .903 355 4 11.0% Total 3.59 902 1.045 3237 5 100.0% Dilihat dari perolehan rerata skor pemilihan bahasa di sekolah berdasarkan kelompok usia (Tabel 5), tampak bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pilihan bahasa responden saat ini yang diwakili oleh kelompok usia muda dengan dulu ketika kelompok usia tua bersekolah, yang rentangannya berkisar antara 3.72 – 3.38, dengan kelompok usia 21–30 tahun memperoleh rerata skor paling tinggi di antara kelompok usia lainnya, yakni 3.72. Dengan kata lain bahwa kecenderungan pilihan bahasa di sekolah di dalam berbagai kelompok usia adalah sama saja, baik dulu maupun sekarang. Tabel 5: Skala kecenderungan pilihan bahasa di sekolah, apakah BSs atau BI menurut kelompok umur responden. Report bahasa sekolah usia Mean N Std. Deviation Sum Range % of Total Sum 11-20 3.69 235 .954 867 5 26.8% 21-30 3.72 262 .967 975 5 30.1% 31-40 3.51 186 .991 652 5 20.1% 41-50 3.38 141 1.150 476 5 14.7% 51-60 3.39 45 1.367 153 5 4.7% >60 3.45 33 1.371 114 5 3.5% Total 3.59 902 1.045 3237 5 100.0% Keterangan : 1 = (hampir) selalu BSs 4 = lebih sering BI daripada BSs 2 = lebih sering BSs daripada BI 5 = selalu (hampir selalu) BI 3 = sama banyaknya BSs dan BI Pola Pemakaian Bahasa pada Situasi Tertentu dan secara Keseluruhan Pola pemakaian bahasa dalam situasi tertentu adalah penggunaan dan pilihan bahasa oleh masyarakat ketika mereka berada pada situasi-situasi seperti hendak (sedang) naik cidomo (dokar) atau ojek, bertemu sesama warga di luar kampung. Bertemu dengan teman bukan sekampung, bertemu dengan pedagang tidak dikenal di dalam kampung, dan bertemu dengan sanak saudara pada acara-acara keluarga seperti hajatan, arian, atau pertemuan keluarga lainnya. Khusus dalam pertemuan yang disebut terakhir ini dapat ditemukan pola-pola hubungan komunikasi antaranggota keluarga, mulai dari keponakan dengan paman/bibi, antara saudara sepupu, cucu dengan kakek/nenek sendiri, dan lain-lain. Jika pada acara seperti itu ditemukan kecenderungan pemakaian bahasa yang ditandai dengan rerata skor pada golongan usia muda yang makin membesar, maka patut dicurigai adanya tanda-tanda pergeseran pemakaian bahasa ibu itu.
31
Sudirman Wilian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada situasi-situasi seperti naik cidomo atau ojek, bertemu sesama warga di luar kampung, umumnya bahasa yang digunakan adalah bahasa Sasak atau hampir selalu BSs, dengan rerata skor pilihan bahasa pada masing-masing peristiwa tutur berturut-turut adalah 1.81, 1.8 (Tabel 6). Sementara itu, pemakaian bahasa pada situasi seperti bertemu dengan teman bukan sekampung, indeks pemakaian bahasa menunjukkan angka 3.13, yang berarti “sama banyaknya/seringnya antara BSs dan BI”. Lain halnya dengan pertemuan seperti arisan. Kecenderungan pemakaian bahasa masih berkisar pada rentangan 2.02 – 2.71, dengan kelompok usia £ 20 mendekati hampir sama seringnya antara BSs dan BI. Namun, pada kelompok usia di atas 40 th bahasa yang digunakan masih lebih banyak BSs dari pada BI. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam berkomunikasi dengan pedagang yang tidak dikenal maupun dikenal di dalam kampung indeks pemakaian bahasa menunjukkan 3.21 dan 3.15, yang berarti bahwa pemakaian BSs dan BI sama banyaknya (Tabel 6). Namun, tampaknya data ini perlu dievaluasi lagi karena pengamatan di lapangan menunjukkan jika kita pergi berkeliling ke kampung-kampung, pedagang dari luar desa masih selalu menggunakan BSs. Tabel 6:
Skala kecenderungan pemilihan BSs dan BI pada situasi-situasi tertentu menurut kelompok umur (N=909) Situasi Pertemuan & Rerata Pilihan Bhs.
USIA
N (909)
naik dokar/ cidomo/ ojek
bertemu sesama warga di luar kampung
bertemu dengan teman bukan sekampung
pertemuan keluarga/ arisan
berbelanja pada pedagang tidak dikenal di dalam kampung/desa
berbelanja pada pedagang bukan dari dalam desa
£ 20
236
2.05
2.12
3.38
2.71
3.16
3.21
21 – 30
261
1.86
1.82
3.22
2.41
3.39
3.26
31 – 40
188
1.71
2.84
3.18
2.45
3.16
3.08
41 – 50
141
1.67
1.76
2.79
2.18
3.10
3.04
51 – 60
47
1.67
1.68
2.68
2.02
2.96
2.85
³ 61
36
1.36
1.36
2.49
2.11
3.19
3.08
Rata-rata
909
1.81
1.87
3.13
2.44
3.21
3.15
Berdasarkan rerata skor pilihan bahasa masyarakat pada situasi tertentu pada Tabel 6 di atas dapat diambil pemahaman bahwa tingkat kedwibahasaan responden masih stabil, dengan kenyataan bahwa jika bertemu sesama warga di luar kampung dan naik dokar/cidomo bahasa yang digunakan masih selalu atau hampir selalu BSs. Pada situasi-situasi seperti itu pula dapat dilihat pola-pola penggunaan bahasa di dalam masyarakat. Dengan demikian rerata dari seluruh skor pilihan bahasa pada situasi tertentu dari butir-butir pernyataan tentang Penggunaan dan Pilihan Bahasa pada kuesioner survei ini dapat dijadikan patokan untuk melihat hubungan antara kedwibahasaan dan pemertahanan bahasa pada guyub tutur BSs di Lombok. Tampak bahwa pola-pola kedwibahasaan masih stabil yang dapat diinferensikan dari indeks pemakaian bahasa pada berbagai situasi atau peristiwa tutur seperti ditunjukkan pada Tabel 6 di atas serta perbandingan pemakaian bahasa di rumah dan di luar rumah seperti tampak pada Gambar 5.
32
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
Gambar 4:
Grafik pemilihan BSs dan BI pada situasi-situasi tertentu menurut kelompok umur (N=909)
Seperti yang tampak pada Tabel 7 dan grafik pemilihan BSs dan BI, baik di dalam rumah, di luar rumah maupun secara keseluruhan (rerata) menurut kelompok usia, penggunaan bahasabahasa itu tampak mengikuti pola sendiri-sendiri. [Apa yang “mengikuti pola sendiri-sendiri”? à Subyek kalimat sudah terisi!] Grafik pada Gambar 5 menunjukkan dengan jelas bahwa ketika berada di rumah maka BSs lah yang menjadi pilihan utama atau menjadi alat komunikasi utama di antara seluruh anggota keluarga. Akan tetapi, ketika mereka berada di luar rumah, karena kemungkinan akan bertemu dengan berbagai macam latar belakang, kepentingan, setting serta tujuan komunikasi, kemungkinan untuk beralih ke bahasa yang pemakaiannya untuk tujuan yang lebih luas (language for wider communication) menjadi lebih besar dan menjadi pilihan utama. Kemudian, jika dilihat dari perbedaan kelompok usia tampak pula bahwa terdapat sedikit perbedaan dan pergeseran antara kelompok usia muda, usia dewasa, dan usia tua. Makin muda kelompok usia tampak makin besar kemungkinan untuk beralih menggunakan BI atau campuran BSs dan BI, walaupun pergeserannya kecil seperti tampak pada Gambar 5, yang visualisasinya berasal dari skala kecenderungan pemilihan BSs dan BI di rumah, di luar rumah, dan keseluruhan menurut kelompok umur responden. Tampaknya pola pemakaian bahasa yang melandai dan melengkung pada pilihan bahasa di luar rumah berdasarkan golongan usia dapat menggambarkan situasi diglosik antara BSs dan BI pada masyarakat guyub Sasak di Lombok dewasa ini. Pola pemakaian dan pilihan bahasa seperti ini juga berlaku tidak hanya di dalam rumah (ranah keluarga) dan ketetanggaan melainkan juga di luar rumah serta secara keseluruhan.
33
Sudirman Wilian
Gambar 5:
Grafik perbandingan pola pemakaian dan pilihan bahasa di dalam rumah, di luar rumah, dan secara keseluruhan menurut kelompok usia.
Pola Pemakaian Bahasa dan Kestabilan Kedwibahasaan Masyarakat Dalam masyarakat bilingul atau multilingual penggunaan dan pilihan atas salah satu bahasa ditentukan oleh beragam faktor. Dari dimensi sosial-psikologis, faktor-faktor tersebut ditentukan oleh siapa berbicara bahasa apa, kepada siapa, tentang apa, di mana. Keadaan pilihan bahasa ini mengacu pada konsep ranah yang dikembangkan oleh Fishman (1965). Siapa berbicara kepada siapa dapat ditentukan lagi oleh faktor-faktor sosial (faktor non-linguistis), seperti usia penutur-petutur, status sosial, pendidikan, hubungan kekerabatan, keakraban, dan lain-lain. Dari segi kedudukan dan fungsi bahasa dalam masyarakat, pemakaian dan pilihan bahasa pada hakekatnya berkenaan dengan status sebuah bahasa dalam masyarakat, yang dapat mengacu pada konsep diglosia (Ferguson, 1959). Konsep ini menyatakan bahwa tiap-tiap bahasa atau ragam bahasa, baik pada masyarakat ekabahasa, dwibahasa, atupun anekabahasa mempunyai peran dan fungsi masing-masing yang berbeda-beda sesuai peruntukannya. Di dalam masyarakat penutur bahasa Sasak konsep seperti di atas sangat jelas tergambarkan. Ranah-ranah pemakaian bahasa tampak berjalan sebagaimana adanya. Situasi kebahasaan yang berjalan sesuai fungsi-fungsinya ini berpengaruh sangat nyata terutama pada daya resistensi bahasa Sasak sebagai bahasa daerah atas bahasa Indonesia, yang mempunyai kekuatan demografi yang lebih besar. Pada sebagian besar peristiwa tutur, situasi ini dapat terlihat dari pola interaksi masyarakatnya, selain dari segi sikap dan pola kedwibahasaannya. Grafik pada Gambar 4 dan 5 memperlihatkan bahwa pada situasi-situasi tertentu dan situasi di rumah pola pemakaian bahasa itu terpetakan dengan jelas. Pada suatu situasi, misalnya di rumah BSs-lah yang digunakan. Begitu pula di perempatan-perempatan jalan, di pasar-pasar desa dan kecamatan. Pada situasi yang lain, misalnya di jalan mula-mula digunakan BSs, tetapi kemudian karena berganti topik pembicaraan, interlokutor beralih ke BI sehingga terjadilah apa yang disebut alih kode dan campur kode. Secara kuantitatif, penelitian ini menemukan sebanyak 78,15% responden (N=911) menggunakan BSs sejak kecil di rumah, 16, 24% atau sebanyak 148 responden menyatakan kadang-kadang bahasa Sasak dan kadang-kadang bahasa Indonesia. Ini berarti bahwa sebagian besar responden sudah menguasai bahasa ibunya (BSs) sebelum dipajankan (expose) pada bahasa lain, yakni BI ketika mereka masuk TK atau SD. Boleh jadi kedua bahasa itu sudah diajarkan untuk dipakai oleh kedua orangtuanya sejak masih kecil sebelum masuk TK, terutama yang orangtuanya pegawai negeri, seperti yang banyak diamati oleh peneliti di
34
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
desa-desa. Pada keluarga seperti itu seringkali BI lebih banyak dipakai daripada BSs. Akan tetapi, ini persentasenya kecil. Dari sudut pandang pola pemakaian bahasa seperti itu, di mana posisi bahasa daerah (BSs) masih melekat pada masyarakat penuturnya, sulit dikatakan bahwa BSs sudah mengalami pergeseran karena masing-masing bahasa masih dapat dipertahankan pemakaiannya sesuai ranah masing-masing. Dari sudut pandang kedwibahasaan masyarakat, situasi itu juga memperlihatkan pembagian wilayah pakai yang jelas seperti pada gambar berikut. Akan tetapi, yang perlu diwaspadai adalah kecenderungan pemakaian dan pilihan BI oleh sebagian generasi muda yang disebabkan oleh daya tarik status dan kekuatan BI. Ranah: keluarga, ketetanggaan, kekariban, transaksi perniagaan (umum), agama
lingua franca (BD dominan?) Ranah: Pendidikan. Pemerinthn Bisnis/Eko. Agama
Gambar 6: Posisi antara BI, BSs, dan bahasa daerah (BD) lain dalam masyarakat diglosik di Lombok. Berdasarkan data kuantitatif yang menyangkut masalah penggunaan dan pilihan bahasa masyarakat, baik di dalam rumah maupun di luar rumah, temuan penelitian ini mengisyaratkan bahwa pada umumnya masyarakat Sasak yang sudah terdidik merupakan dwibahasawan yang menguasai BSs sebagai B1 dan menguasai BI sebagai B2. Penggunaan bahasa di dalam rumah mencakup bahasa yang dipakai di dalam keluarga dan tetangga oleh sanak saudara di dalam kampung, sedangkan pemakaian bahasa-bahasa di sekolah, di kantor desa, di tempat pengajian, pertemuan kekerabatan, serta di dalam situasi-situasi tertentu merupakan penggunanaan bahasa di lura rumah. [kalimat terlalu panjang; jadikan dua kalimat à kalimat sudah dipecah ] Pada umumnya kedwibahasaan itu diperoleh secara alami (acquisition) terutama melalui dunia pendidikan dan ditambah dengan pengaruh media elektronik, terutama televisi yang sudah merambah sampai ke pelosok desa. Meskipun pada umumnya masyarakat Sasak menguasai BSs sebagai B1 dan BI sebagai B2 sehingga membentuk pola kedwibahasaan BSs+BI, tampaknya hal itu tidak berpengaruh negatif terhadap B1 mereka, yang dapat dirampatkan dari skor rata-rata pemakaian dan pilihan bahasa responden dalam ranah rumah, baik hasil kuesioner survei maupun pengamatan. Alihalih itu, keberadaan mereka sebagai dwibahasawan itu justru memperlihatkan kekokohan pemertahanan B1 mereka. Hal itu juga tampak jelas terekam dalam pengamatan sehari-hari peneliti ini, terutama di kota Mataram. Ketika seorang penutur BSs berada di luar wilayah
35
Sudirman Wilian
kampungnya di Mataram, ia dipastikan menggunakan BI untuk berkomunikasi dengan orang yang ia tidak kenal bukan dari kampungnya atau bukan dari kampung lain yang ia ketahui. Setelah ia pulang ke rumahnya atau kampungnya, sudah pasti ia akan menggunakan bahasaibunya. [tidak jelas maksudnya à sudah diperbaiki ulang susunan kalimatnya, memamng ada kelihatan pengulangan dan kerancuan. Thnaks!] Hal inilah yang mengindikasikan bahwa kedwibahasaan pada masyarakat diglosik di Lombok itu justru memperlihatkan adanya kestabilan, yang juga dapat berarti menunjukkan rasa pengakuan diri mereka sebagai warga Sasak, dan bukan merupakan indikasi adanya pergeseran bahasa. Dengan kata lain, peningkatan kemampuan mereka atas BI tidak serta merta mengancam pemakaian dan keberadaan B1 (BSs) mereka. Implikasi lainnya adalah bahwa penutur BSs di Lombok tampaknya mengetahui benar kapan harus menggunakan BSs dan kapan harus memakai BI, yang dapat dilihat dari rerata skor pilihan bahasa mereka pada situasi tertentu Tabel 7 di atas. Kenyataan ini didukung oleh pengalaman dan pengamatan di lapangan selama ini. Jadi, kedudukan BI yang membentuk kedwibahasaan bahasa Sasak dan bahasa Indonesia masyarakat Sasak umumnya di Lombok tidak akan (?) atau belum mengancam keberadaan bahasa Sasak sebagai B1 masyarakat Sasak yang berfungsi sebagai bahasa intrakelompok etnis dan BI sebagai alat komunikasi antaretnis dan bahasa nasional. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah gejala kebahasaan dan kedwibahasaan yang stabil yang sekarang sedang dipertunjukkan oleh masyarakat Sasak di Lombok ini hanya merupakan fenomena temporal ataukah akan tetap langgeng? Sebab, sebagaimana dinyatakan Edwards (1985:71), bilingualisme seringkali hanya merupakan gejala sementara yang kelak akan digantikan dengan bahasa monolingualisme yang dominan. Jawabannya tentu berpulang pada penutur dan pendukung bahasa itu sendiri serta berbagai faktor eksternal dan internal lain yang menyokong pelestarian bahasa itu. KESIMPULAN Secara empiris, berdasarkan skor-skor pilihan bahasa pada ranah keluarga, ketetanggaan, kekerabatan, ranah-ranah tertentu, data persentase yang menggunakan BSs sebagai bahasa ibu, serta kestabilan kedwibahasan masyarakat dapat disimpulkan bahwa BSs di Lombok masih akan tetap bertahan. Memang ada kecenderungan bahwa makin muda kelompok usia responden tampak makin besar rerata pilihan bahasanya. Namun, hal itu hanya menunjukkan kekerapan interaksi dalam berbagai situasi interaksi, yang memang merupakan fenomena umum dan wajar terjadi dalam masyarakat diglosik yang disebabkan oleh faktor-faktor sosial-psikologis yang terjadi di antara penutur-petutur. Hal itu masih jauh dari kecenderungan pergeseran menuju masyarakat monolingual BI, seperti yang menimpa bahasa Kaili di kota Palu, sebagaimana yang dilaporkan Basri (Basri, 2008). Secara teoretis, berdasarkan pengalaman-pengalaman bahasa-bahasa lain di dunia yang mengalami keterancaman seperti halnya juga bahasa Lampung di Indonesia (Gunarwan 1994), bahasa Arvanitika, bahasa orang keturunan Albania di Yunani (Trudgill dan Tzavaras di dalam Giles, 1972) atau bahasa Hungaria di desa Oberwart perbatasan Austria-Jerman (Gal, 1979), bahasa yang terancam tergeser itu adalah bahasa yang sudah tidak lagi dipakai oleh generasi mudanya di rumah bersama keluarganya, tinggal hanya dipakai oleh generasi-generasi tua. Secara tipologis, berdasarkan pendapat Krauss (1992a:4–10) yang mengelompokkan bahasabahasa di dunia ke dalam tiga tipe (bahasa yang punah, terancam punah, dan masih aman), maka BSs masih tergolong aman, bahkan mungkin sangat aman, karena secara demografis BSs masih memiliki penutur yang cukup besar dan didukung oleh pola pemakaian bahasa di rumah yang dapat menjamin terjadinya pengalihan bahasa-ibu antargenerasi (intergenerational mothertongue continuity). Disamping itu, pemakaian BSs dalam dunia pendidikan mendapat dukungan dari pemerintah, yang dibuktikan dengan diajarkannya bahasa daerah sebagi muatan lokal di sekolah-sekolah, serta dilindungi pula oleh undang-undang sebagai cagar budaya bangsa. 36
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
Pola-pola kedwibahasaan masyarakat masih dalam keadaan stabil. Hal ini mengisyaratkan bahwa ranah-ranah pemakaian bahasa masih berjalan sebagaimana adanya sesuai fungsi masing-masing bahasa. Kedwibahasaan yang stabil mengindikasikan bahwa penguasaan terhadap kedua bahasa (BSs dan BI) sama, sehingga dapat dipakai secara bergiliran tanpa menyebabkan dislokasi secara struktural. Dengan telah mantapnya B1 (BSs) mereka sebelum B2 (BI) diperoleh diharapkan dapat menjaga kestabilan pemakaian kedua bahasa sesuai dengan fungsi dan ranah masing-masing, sehingga dengan begitu istilah bahasa T dan bahasa R dapat hidup secara berdampingan, tanpa yang satu merasa terancam oleh yang lain. Kecenderungan pemakaian BI sebagai bahasa ibu menggantikan BSs di rumah masih sebatas yang dapat ditolerir. Kekhawatiran generasi tua bahwa generasi muda cenderung menggunakan BI jika diajak bicara hanya merupakan gejala psikologis kebahasaan yang juga terjadi pada masyarakat penutur bahasa lain yang mengenal tingkatan bahasa seperti bahasa Jawa. Berdasarkan survei hanya 4,28% responden (N=911) yang benar-benar menggunakan BI sebagai bahasa ibu sejak kecil. Meskipun secara keseluruhan rata-rata generasi muda menggunakan BI sama seringnya dengan BSs di luar rumah, hal itu hanya merupakan gejala yang umum terjadi pada masyarakat bilingual. REKOMENDASI Berdasarkan hasil temuan yang telah dikemukakan di atas, penelitian pada tahap berikutnya perlu ditindaklanjuti. Meskipun sesungguhnya belum ada tanda-tanda bahwa Bahasa Sasak akan tergantikan pemakaiannya secara besar-besaran oleh Bahasa Indonesia, terutama di ranah rumah, namun ada kekhawatiran dari pihak orangtua dan masyarakat bahwa generasi muda cenderung merespon dalam BI jika diajak berbicara dalam BSs tanpa mempedulikan setting dan tujuan berbicara, walaupun mereka menguasai BSs. Ketika hal ini dikonfirmasikan kepada beberapa anak muda, mereka mengatakan bahwa mereka khawatir akan membuat kesalahan jika menggunakan BSs, khawatir dianggap tidak santun atau ‘kurang ajar’. Ada indikasi bahwa hal itu terjadi karena mereka tidak begitu mengenal dan menguasai “unggah–ungguh” BSs dengan baik dan benar. Dengan kata lain mereka tidak begitu mengenal gramatika dan tata krama berbahasa halus (base alus) dalam BSs. Oleh karena itu, upaya yang harus dilakukan adalah memperkenalkan budaya dan tata krama berbahasa itu sejak dini, yang dapat disisipkan dalam kurikulum pendidikan sejak di TK atau PAUD samapai di SD. Pengenalan tata krama berbahasa sejak dini itu penting dilakukan mengingat pada masa-masa itulah awal dari pembentukan jiwa anak-anak yang juga dapat menentukan watak dan karakter mereka setelah tumbuh menjadi remaja dan dewasa nantinya. Dengan demikian, hal itu dapat menjadi benteng pemertahanan bahasa dan budaya Sasak itu. Dan oleh karena itu, perlu penelitian lebih lanjut untuk mencarikan model pemelajaran BSs yang juga memuat “unggah ungguh” itu. CATATAN * Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan makalah.
DAFTAR PUSTAKA Basri, Hasan. 2008. “Menuju Generasi Monolingual di Kota Palu”. Dalam Linguistik Indonesia. Tahun ke 26, Nomor 2: 169 - 183. Fasold, R. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell. Ferguson, C.A. 1959. “Diglossia”. Dalam Word 15: 325-40.
37
Sudirman Wilian
Fishman, J.A. 1965. Who speaks what language, to whom and when? La linguistique, 2, 67-88. ______1966. Language Loyalty in the United States.The Hague: Mouton ______1972a. “Language Maintenance and Language Shift”. Dalam J.A. Fishman Language in the Sociocultural Change. Stanford: Stanford University Press. ______1977. “The Sociology of Language: Yesterday, Today, and Tomorrow”. Dalam Roger Cole (ed) Current Issues in Linguistic Theory. Bloomington: Indiana University Press. ______1972. The Sociology of Language: An Interdisciplinary Social Science Approach to Langauge in Society. Massachusetts: Newbury House Publishers. Gal, S. 1979. Language Shift: Social Determinants of Linguistic Change in Bilingual Austria. New York: Academic Press. Giles, H. 1979. “Sociolinguistics and Social Psychology: An Introductory Essay”. Dalam H. Giles & R.St. Calair (eds), Language and Social Psychology. Oxford: Basil Blackwell. ______et. al. 1977. “Towards a theory of language in ethnic group relations”. Dalam H. Giles (ed.) Language, Ethnicity and Intergroup Relations. London: Academic Press. Grimes, Barbara F. 2002. “Kecenderungan Bahasa untuk Hidup atau Mati secara Global (Global Language Viability): Sebab, Gejala, dan Pemulihan untuk Bahasa-Bahasa yang Terancam Punah”. Dalam Bambang Kaswanti Purwo (Penyunting) PELBA 15. Jakarta: Lembaga Bahasa Atma Jaya. Gunarwan, Asim. 2001a. Indonesian and Balinese among Native Speakers of Balinese: A Case of Stable Bilingualism? Paper presented at the Third International Symposium on Bilingualism, Bristol, 17 – 20 April. ______2001b. Indonesian and Banjarese Malay among Banjarese Ethnics in Banjarmasin City: A Case of Diglosia Leakage? Makalah pada Simposium Internasional V tentang Linguistik Melayu/Indonesia. Leipzig, Jerman, 16 – 17 Juni. ______2001. Pengantar Penelitian Sosiolinguistik. Jakarta: Proyek Penelitian Kebahasaan dan Kesastraan, Departemen Pendidikan Nasional. ______1999. Pembalikan Pergeseran Bahasa Lampung: Mungkinkah? Makalah pada Seminar Bahasa dan Tulisan Lampung. Bandar Lampung, 23 Oktober. Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. Longman Publishing: New York. Krauss, M.1992a. “The World,s Languages in Crisis”. In Language, 68: 4 – 10 Mackey, William F. 1962. Sociolinguistic Studies in Language Contact: Method and Cases. New York: Mouton. Mesthrie, Rajend and William L. Leap. 2000. “Language Contact 1: Maintenance, Shift and Death”. Dalam Rajend Mesthrie, et. al. Introducing Sociolinguistics. Edinburg: Edinburg University Press. Romaine, Suzanne. 1989. Bilingualism. Oxford: Basil Blackwell. Siregar, Bahren Umar, dkk. 1998. Pemertahanan Bahasa dan Sikap Bahasa: Kasus Masyarakat Bilingual di Medan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta. Subroto, Edi, dkk. 2008. “Endangered Krama and Krama Inggil Varieties of the Javanese Language” dalam Linguistik Indonesia. Tahun ke-26, Nomor 1: 89 – 96.
38
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
Sumarsono. 1990. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Disertasi Fakultas Sastra UI, Jakarta. ______1993. “Perembesan Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Melayu Loloan Bali”. Dalam MLI II: Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya. Masyarakat Linguistik Indonesia, Jakarta. ______dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda. Wantania, Theresye. 1996. Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa Tonsea di Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara: Kajian Sosiolinguistik. Tesis, Magister. Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Weinreich, Uriel. 1953. Languages in Contact: Finding and Problem. New York: Publication of the Linguistic Circle. Wilian, Sudirman. 2005. “Bahasa Minoritas, Identitas Etnis, dan Kebertahanan Bahasa: Kasus Bahasa Sumbawa di Lombok.” Dalam Linguistik Indonesia. Tahun ke-23 No.1: 89–102. ______ “Tingkat Tutur Dalam Bahasa Sasak dan Bahasa Jawa”. Dalam Wacana. Tahun 2006. Vol. 8 No. 1 _______ 2006. Pemertahanan Bahasa dan Pergeseran Identitas Etnis: Kajian atas Dwibahasawan Sumbawa-Sasak di Lombok. Disertasi. Universitas Indonesia Woolard, Kathryn A. 1989. “Language Convergence and Language Death as Social Process.” Dalam Nancy C. Dorian (ed.), Investigating Obsolescence: Studies in Language Contraction and Death. Halaman 355–368. Cambridge: Cambridge University Press. Zoest, Aart van. 1993. Semiotika. Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang akan Kita Lakukan Dengannya. Kata Pengantar: Toeti Heraty Noerhadi. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Sudirman Wilian
[email protected] Universitas Mataram
39
Linguistik Indonesia Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 41-54
Copyright 2010 by Masyarakat Linguistik Indonesia
SIKAP BAHASA PENUTUR JATI BAHASA LAMPUNG Katubi* Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB)-LIPI ABSTRACT This paper focuses its attention on the language attitude of native speaker of Lampungic language. The data used is the result of survey the writer conducted when joining SIL International in West Indonesia Survey Team. From 2003 to 2007 this team conducted the field research in 27 areas of use of Lampungic language in Lampung and West Sumatera provinces. The method employed to collect the data for this research is based on Rapid Appraisal Research model, which is mainly developed for language assessment. With regard to the integrative function, there is a tendency that Lampungic people have positive attitude towards their language. Meanwhile, with reference to instrumental function, there is a tendency that they have negative attitude towards their language and positive attitude towards Bahasa Indonesia. With reference to the existence of local language texts, their responses are of three kinds: positive, negative and ambivalent. The result of analysis of language attitude by using RA-RTT (Rapid Appraisal-Recorded Text Test) indicates that there is no sole variety regarded as the best variety or variety used as a reference for all Lampungic language. This shows the possibility of difficulties to standardize Lampungic language. Key words: language attitude, Lampungic languages, Rapid Appraisal-Recorded Text Test
PENGANTAR Tulisan ini dibuat berdasar data hasil survei yang dilakukan oleh penulis ketika bergabung dengan SIL International dalam West Indonesia Survey Team. Pada tahun 2003—2005 tim ini melakukan penelitian lapangan di Lampung dan Sumatera Selatan. Secara lebih spesifik, tim ini bekerja dengan tujuan menentukan kebutuhan pengembangan bahasa melalui survei batas bahasa, penelitian sosiolinguistik, kajian kedwibahasaan, dokumentasi hasil penelitian sebelumnya, dan merancang program untuk pengembangan yang mungkin bisa dilakukan pada masa mendatang. Sejumlah makalah hasil penelitian lapangan itu telah dipaparkan dalam berbagai simposium linguistik internasional. i Tulisan ini memusatkan perhatian pada salah satu aspek sosiolinguistik bahasa Lampung, yaitu sikap bahasa (language attitude) orang Lampung. Berkaitan dengan aspek sosiolinguistik bahasa Lampung, sudah ada beberapa tulisan yang dibuat oleh Asim Gunarwan. Hasil penelitian Gunarwan (1994) menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Lampung dan bahasa Indonesia membentuk situasi diglosik. Dalam situasi itu, bahasa Indonesia ditempatkan sebagai “bahasa ranah tinggi” dan ragam bahasa Lampung berfungsi sebagai “bahasa ranah rendah”. Namun, bahasa Indonesia mendesak bahasa Lampung dalam ranah penggunaan bahasa di rumah. Dia menyimpulkan bahwa telah terjadi kebocoran diglosia pada penggunaan bahasa oleh orang Lampung. Dia juga menunjukkan bahwa kecenderungan menggunakan bahasa Indonesia lebih tinggi secara signifikan di kota daripada di kampung-kampung. Pada 1999 Gunarwan menulis makalah berjudul “Pembalikan Bahasa Lampung: Mungkinkah?” Dalam tulisannya itu, dia menyatakan bahwa pembalikan pergeseran bahasa Lampung dan bahasa-bahasa daerah lain dapat dilakukan. Berhasil tidaknya usaha itu banyak bergantung pada keseriusan para pelestarinya. Pada tahun 2001, Gunarwan menulis makalah berjudul “Beberapa Kasus Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa: Implikasinya pada Pembinaan Bahasa Lampung.” Pada bagian akhir makalah, dia menyatakan pentingnya identifikasi objek perencanaan agar rencana strategis pembinaan bahasa Lampung dapat diimplementasikan oleh berbagai pemangku kepentingan.
Katubi
Identifikasi itu hendaknya dilakukan melalui penelitian. Di antara pertanyaan yang perlu di jawab ialah: (1) Berapa jumlah penutur bahasa Lampung yang sebenarnya, termasuk berapa yang full speakers dan yang semi speakers? (2) Bagaimana pola penggunaan bahasa Lampung menurut dimensi umur, dimensi tingkat pendidikan, dimensi desa-kota, dan dimensi penutur dialeknya? (3) Bagaimana sikap orang Lampung terhadap bahasa Lampung menurut dimensidimensi itu? (4) Bagaimana wujud loyalitas orang Lampung terhadap bahasa Lampung? (5) Faktor-faktor apa yang menyebabkan bergesernya bahasa Lampung? (6) Bagaimanakah kepadaan (adequacy) geolinguistik bahasa Lampung sebagai bahasa modern? (7) Seberapa jauhkah penelitian-penelitian tentang bahasa Lampung yang sudah dilakukan oleh berbagai lembaga relevan dengan usaha-usaha pembalikan pergeseran? Bagaimana visi, misi, dan strategi pembalikan pergeseran bahasa Lampung? Sudahkah disusun cetak biru dan rencana kegiatan (action plans). Siapa yang bertugas mengelola perencanaan itu? Bagaimana sistem pemantauan dilakukan? Siapa yang membiayai pelaksanaannya? Dukungan institusional apa yang diharapkan dari pemerintah daerah, universitas Lampung, dari Pusat Bahasa? Bagaimana sikap orang non-Lampung di Lampung terhadap usaha-usaha pembalikan pergeseran bahasa Lampung? Bagaimana pengajaran bahasa Lampung di sekolah direalisasikan? Sangat menarik mencermati berbagai tulisan Asim Gunarwan, terutama berbagai pertanyaan yang dilontarkan pada makalah yang dibuatnya pada 2001 itu karena pertanyaan tersebut sangat membantu mengidentifikasi tiap aspek perencanaan bahasa Lampung. Sayangnya, setakat ini berbagai pertanyaan yang ditulis dalam makalah terakhir itu, terutama pertanyaan nomor 3, 4, dan 7, belum sempat terjawab melalui penelitian sehingga identifikasi objek perencanaan bahasa Lampung belum bisa dilakukan. Tulisan ini berusaha menjawab salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh Asim Gunarwan (2001), terutama pertanyaan tentang sikap orang Lampung terhadap bahasa Lampung. Sikap menjadi sebuah pilihan dalam kajian ini karena hasil penelitian sikap bahasa dapat memberikan data: (1) ukuran “kesehatan” bahasa yang menjadi syarat ketahanan bahasa dan hal itu menjadi prasyarat penting dalam penanganan bahasa minoritas (Baker 1992: 9); (2) indikator pikiran, kepercayaan, pilihan, keinginan masyarakat “terkini” tentang bahasa mereka (Baker 1992: 9); (3) indikator perubahan kepercayaan dan kesempatan keberhasilan dalam implementasi kebijakan (Baker 1992: 9); (4) informasi ringkas tentang status berbagai ragam bahasa sebagai indikator identitas kelompok (Fasold 1984: 164). Berdasar paparan di atas, penelitian sikap bahasa dalam masyarakat multilingual seperti di Lampung dan Sumatera Selatan menjadi penting dilakukan bagi perancang bahasa dan pembuat kebijakan bahasa untuk memahami sikap masyarakat terhadap bahasa mereka sendiri, termasuk ragam-ragamnya, dan juga terhadap bahasa lain. Wawasan tentang sikap bahasa dapat membantu untuk mengantisipasi cara masyarakat dalam merespons perencanaan bahasa dan dalam penentuan bahasa (ragam bahasa) yang dianggap paling patut untuk pengembangan bahasa. ASPEK METODOLOGIS Untuk mendapatkan pandangan yang luas tentang kelompok bahasa Lampung dan berbagai aspeknya secara keseluruhan, dipilihlah model Rapid Appraisal Research, yang dikembangkan terutama untuk penilaian bahasa (language assessment). Rapid Appraisal Research, yang seringkali disebut level one survey, merupakan peninjauan luas (overview) pada tahap awal tentang wilayah, bahasa, kelompok etnolinguistik, atau masyarakat multilingual. Model ini mengembangkan cara melakukan pemahaman luas tentang situasi (Bergman 1991). Tujuan utama metode ini ialah memformulasi hipotesis yang akan dibuktikan dalam survei lebih mendalam atau penilaian bahasa tingkat lanjut (Wetherill 1995). Karena itu, hasil penelitian melalui model ini perlu ditindaklanjuti melalui penelitian yang lebih spesifik dalam tiap bidang kajian. 42
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
Rapid Appraisal Research ini penting dilakukan meskipun sudah ada sejumlah kajian terdahulu tentang bahasa Lampung, seperti yang dilakukan Walker (1976), Abdurrahamn dan Yallop (1979), Mitani (1980), Gani et al. (1986), dan Udin et al. (1990). Alasannya, sebagian besar kajian terdahulu lebih memusatkan perhatian pada isolek tertentu dan mengesampingkan berbagai faktor seperti linguistik komparatif, sosiolinguistik, dan kesalingmengertian antarragam bahasa. Untuk mendapatkan data sosolinguistik, kuesioner sosiolingusitik digunakan untuk mengumpulkan data tentang penggunaan dan sikap bahasa, batas dialek/bahasa, multilingualisme, interaksi antarkelompok etnis, kesalingmengertian (intelligibility) yang dirasakan antarberbagai kelompok penutur ragam bahasa Lampung. Untuk mendapatkan data lain, digunakan alat pengumpul data lain, misalnya daftar kosakata dasar dan kalimat. Akan tetapi, hal itu tidak dibahas di sini karena tidak berkaitan dengan topik kajian. Khusus untuk mengungkap data sikap bahasa, penelitian ini menggunakan kuesioner terbuka yang berisi tujuh “kelompok pertanyaan.” Dikatakan “kelompok pertanyaan” karena kadangkala dalam penelitian lapangan kelompok responden diberi pertanyaan berantai tentang satu aspek yang ingin diketahui peneliti. Berdasar tiap “kelompok pertanyaan” itulah analisis data dilakukan. Sementara itu, untuk mengungkap pandangan responden tentang ragam bahasa Lampung, peneliti menggunakan RA-RTT (Rapid Appraisal-Recorded Text Test). Pengumpulan data melalui kuesioner maupun RA-RTT dilakukan secara berkelompok sehingga aktivitas pengumpulan data mirip dengan Focus Group Discussion, yang dilakukan dari satu desa ke desa lain. Karena itu, jumlah responden dari satu desa ke desa lain tidak sama. Jumlah responden secara keseluruhan mencapai 145 orang. Selama tahun 2003—2005 tim peneliti melakukan penelitian lapangan di 27 wilayah penggunaan bahasa Lampung di Provinsi Lampung dan Sumatera Selatan. Hal itu dapat dikemukakan pada tabel 1 berikut. Tabel 1: Wilayah Survei 2003—2005 NO. KAMPUNG/DESA 1. Kayu Agung Asli
RAGAM BAHASA Kayu Agung Asli
2.
Paku
3.
Pulau Gemantung
Kayu Agung/Kayu Agung Pasar Komering Ilir
KECAMATAN Kota Kayu Agung Kota Kayu Agung Tanjung Lubuk
4.
Adumanis
Komering Ulu
Cempaka
5.
Perjaya
Komering Ulu
Martapura
6.
Darmarpura
Komering Ulu
Simpang
7.
Tihang
Daya
Lengkiti
8.
Gunung Terang
Daya
Buay Sandang Aji
43
KABUPATEN Ogan Komering Ilir Ogan Komering Ilir Ogan Komering Ulu Timur Ogan Komering Ulu Timur Ogan Komering Ulu Timur Ogan Komering Ulu Selatan Ogan Komering Ulu Ogan Komering Ulu
Katubi
9.
Pilla
Ranau
Banding Agung
10.
Tapak Siring
Sukau
11.
Negeri Ratu
12.
Buay Nyerupa
13.
Banjar Agung
14.
Kota Besi
15.
Mesir Udik
16.
Banjar Ketapang
17.
Negeri Kepayungan
18.
Sukaraja
19.
Sukanegeri Jaya
20.
Kandang Besi
21.
Tengkujuh
22.
Jabung
Lampung Pesisir/Sukau Lampung Pesisir/Sukau Lampung Pesisir/Sukau Lampung Pesisir/Krui Lampung Peminggir/Belalau Lampung Api/Way Kanan Lampung Api/Sungkai Lampung Api/Pubian Lampung Pesisir/Talang Padang Lampung Pesisir/Talang Padang Lampung Pesisir/ Kota Agung/ Semangka Lampung Pesisir/ Kalianda/Rajabasa Lampung Jabung
23.
Nibung
24.
Nyampir
Gunung Pelindung Bumi Agung
25.
Terbanggi Besar
26.
Blambangan Pagar
27.
Ujung Gunung
Lampung Nyo/Melinting Lampung Nyo/Abung/ Sukadana Lampung Nyo/ Abung Lampung Nyo/Abung/ Kotabumi? Lampung Menggala (Nyo)
Sukau Sukau Sukau Batu Brak Bahuga Sungkai Selatan
Selatan Ogan Komering Ulu Selatan Lampung Barat Lampung Barat Lampung Barat Lampung Barat Lampung Barat Way Kanan
Talang Padang
Lampung Utara Lampung Tengah Tanggamus
Talang Padang
Tanggamus
Kota Agung
Tanggamus
Kalianda
Lampung Selatan Lampung Timur Lampung Timur Lampung Timur
Pubian
Jabung
Terbanggi Besar Abung Selatan
Menggala
Lampung Tengah Lampung Utara Tulang Bawang
Wilayah penelitian bahasa Lampung dengan ragam-ragamnya itu dapat ditunjukkan dalam peta berikut ini.
44
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
Berdasar peta itu, tampak bahwa meskipun penelitian yang dilakukan mengenai bahasa Lampung, tetapi batas wilayah penelitian tidak hanya mencakupi wilayah Provinsi Lampung. Asumsi penelitian ini ialah batas wilayah administratif pemerintahan tidak sama dengan wilayah penggunaan bahasa.
45
Katubi
SIKAP BAHASA: SEKILAS TINJAUAN TEORETIS Pendefinisian sikap dan kajian kajian tentang sikap dalam sosiolinguistik dipengaruhi oleh psikologi sosial yang mendefinisikan sikap dari dua sudut pandang berbeda, yaitu pandangan behaviorist dan mentalist. Pandangan behaviorist memiliki asumsi bahwa tidak ada realitas objektif tentang sikap. Berdasar asumsi itu, sikap dalam pandangan behaviorist didefinisikan sebagai konstruk hipotetis yang digunakan untuk menjelaskan arah dan keajegan perilaku manusia (Baker 1992: 10). Sikap adalah cara yang efisien dan tepat untuk menjelaskan pola yang konsisten tentang perilaku. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa ancangan behaviorist pada kajian bahasa memandang bahasa sebagai perilaku. Sementara itu, pandangan mentalist, yang memiliki asumsi bahwa konsep seperti “pikiran” dan “sikap” memiliki beberapa realitas objektif meskipun sikap tidak dapat diamati secara langsung. Sikap adalah “... kecenderungan untuk merespons secara menyenangkan atau secara tidak menyenangkan terhadap objek, orang, institusi, atau peristiwa (Azjan 1988 dalam Baker 1992: 11). Sikap menempatkan objek pemikiran pada dimensi keputusan (McGuire dalam Baker 1992: 11). Kelompok mentalist memandang bahasa sebagai aktivitas mental atau kognitif. Opini, motif, ideologi, dan ciri kepribadian bukanlah sikap (Baker 1992: 13). Kelompok mentalist menganggap bahwa sikap memiliki tiga komponen, yaitu kognitif, afektif, dan konatif (Fasold 1984: 148). Aspek kognitif berkaitan dengan fakta, pemikiran, dan kepercayaan tentang bahasa, yang biasanya dipengaruhi oleh aspek demografis, warisan kebudayaan, pentingnya sosial politik, situasi ekonomi, dan kompleksitas sistem kebahasaan. Aspek afektif berkaitan dengan perasaan tentang bahasa.; posisi tempat kita menempatkan diri kita sendiri di antara bahasa-bahasa lain: inferioritas vs superioritas vs seimbang, arogan vs rendah hati, takut vs percaya diri. Aspek konatif berkaitan dengan kesiapan atau kemauan untuk bertindak dengan tujuan. Tindakan yang merefleksikan sikap positif terhadap bahasa antara lain membaca teks tentang orang-orang dari pengguna bahasa tertentu, turut memasyarakatkan bahasa tersebut, mencoba makanannya, mengunjungi negaranya, pergi ke pasar dan mencoba berinteraksi dengan orang-orang yang menggunakan bahasa tersebut. Menurut Baker (1992: 32), penelitian tentang sikap selama ini telah menempatkan dua komponen sikap bahasa, yaitu motivasi instrumental dan integratif. Motivasi instrumental mencakupi motif kebermanfaatan, memusatkan perhatian pada keuntungan yang dapat digapai, keinginan untuk mencapai pengakuan sosial atau keuntungan ekonomi melalui pengetahuan bahasa asing, orientasi diri, peningkatan diri, atau kebutuhan untuk berprestasi. Motivasi instrumental dapat berupa alasan profesionalitas, status, prestasi, keberhasilan pribadi, peningkatan diri, aktualisasi diri, atau dasar keamanan dan bertahan hidup. Sementara itu, motivasi integratif mencakupi aspek sosial dan interpersonal dalam orientasi, hubungan konseptual dengan kebutuhan untuk berafiliasi, keinginan menjadi anggota representatif dari komunitas bahasa lain, identifikasi dengan kelompok bahasa dan aktivitas kebudayaan mereka, dan bagian dari keinginan untuk mengetahui lebih tentang, untuk berinteraksi dengan, dan mungkin untuk membaurkan dirinya sendiri dalam, kebudayaan lain. Ada sejumlah faktor yang turut membentuk sikap bahasa dan yang perlu dipertimbangkan dalam penelitian sikap bahasa, yaitu usia, jender, sekolah, kemampuan, penggunaan bahasa, latar kebudayaan, kontak bahasa, dan kebijakan pemerintah. Pengaruh berbagai faktor tersebut tidak akan jelas kelihatan secara langsung, tetapi penting kiranya untuk mempertimbangkan situasi dari perspektif itu. Beberapa faktor perlu untuk dipertimbangkan secara bersamaan dan juga beberapa faktor dapat saling berpengaruh satu sama lain. Penelitian sikap bahasa tertuju pada tingkat yang berbeda-beda. Pertama, sikap bahasa terhadap bahasa atau ragam bahasa itu sendiri, misalnya mencakupi sikap negatif atau positif. Kedua, sikap terhadap bahasa/ragam bahasa dan penuturnya, misalnya sikap terhadap dialek daerah; sikap terhadap aksen: ciri variabel dalam bahasa orang itu sendiri; sikap terhadap sosiolek: usia, kelas sosial, profesi, dan etnisitas; sikap terhadap “bahasa asli” di daerah tertentu;
46
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
sikap terhadap bahasa imigran. Ketiga, sikap yang dimanifestasikan dalam ragam bahasa, misalnya penggunaan bahasa lisan, penggunaan bahasa tulis (keberaksaraan, kesastraan), penggunaan bahasa publik dan pribadi dan lebih spesifik ranah penggunaan bahasa; penggunaan bahasa di dunia pendidikan: bahasa pengajaran, pendidikan bilingual, pembelajaran bahasa asing; penggunaan bahasa dalam ranah agama. Menurut Schiffman (1997), kini harus mulai dipertimbangkan terjadinya perubahan dalam penelitian sikap bahasa. Dulu penelitian sikap bahasa menunjukkan sebuah pola (sikap). Kini penelitian sikap bahasa beranjak menuju penelitian perubahan sikap bahasa. Kajian bilingualisme dan sistem sekolah imersi mengakibatkan munculnya minat pada perubahan sikap, yaitu melihat apakah perubahan pola persekolahan mengakibatkan perubahan masyarakat dominan terhadap masyarakat minoritas. Penelitian ini menggunakan konsep sikap dalam pandangan mentalist dengan mempertimbangkan motivasi integratif dan instrumental yang dikemukakan Baker. Alasannya, jika menggunakan pandangan behaviorist, pengumpulan data setidaknya harus melibatkan pengamatan karena perilaku yang menunjukkan sikap dapat diamati. Padahal, modell penelitian yang digunakan tidak memungkinkan peneliti melakukan pengamatan perilaku pengguna bahasa Lampung. PAPARAN HASIL ANALISIS DATA Ada tujuh pertanyaan yang diajukan kepada kelompok responden berkaitan dengan sikap bahasa ini. Berdasar tujuh pertanyaan itu analisis data penelitian ini dilakukan. Pertama, apakah Anda tertarik membaca/menulis dalam bahasa daerah Anda? Apa alasannya? Hasil analisis data menunjukkan 87,5% responden tertarik, sedangkan 35% tidak tertarik untuk membaca/menulis dalam bahasa daerah mereka. Kelompok responden yang tertarik membaca/menulis dalam bahasa daerah mereka memiliki alasan bahwa mereka ingin menjadi anggota orang Lampung yang “melek aksara” dalam bahasa Lampung. Mereka merasa bahwa bahasa Lampung adalah bahasa milik kelompoknya dan mereka bangga akan bahasanya itu. Bahkan, di antara mereka ada yang menyatakan keinginannya untuk menjaga bahasanya sebagai warisan dan kebudayaan leluhur mereka. Sementara itu, kelompok responden yang tidak tertarik untuk membaca/menulis dalam bahasa daerah mengatakan bahwa mereka lebih suka membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan memiliki pemakaian yang lebih luas dibanding bahasa Lampung. Mereka berpendapat bahwa jika mereka hanya menggunakan bahasa Lampung, tidak akan bisa berkomunikasi dengan kelompok etnis lain. Padahal, di Lampung sangat banyak kelompok etnis yang hidup berdampingan dalam satu wilayah. Bahkan, beberapa dari kelompok ini mengaku bahwa mereka mengajari anak-anak mereka sejak kecil di rumah dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dari hasil pengamatan sepintas, mereka, terutama yang tinggal di perkotaan, tampak sangat bangga ketika menjelaskan kepada peneliti bahwa anak-anak mereka yang masih kecil-kecil berinteraksi sehari-hari dalam bahasa Indonesia. Mereka menganggap itu sebagai suatu kelebihan di banding anak-anak lain yang belum bisa berbahasa Indonesia dan baru bisa berbahasa daerah. Kedua, dalam bahasa apa seharusnya anak-anak belajar membaca dan menulis (di sekolah)? Menurut Anda, sebaiknya bahasa apa yang diajarkan di sekolah? Apa alasannya? Hasil analisis data menunjukkan bahwa 61% responden setuju bahawa bahasa Indonesia yang harus diajarkan di sekolah, 33% menyatakan bahasa daerah seharusnya diajarkan di sekolah bersejajar dengan bahasa Indonesia, dan 6% menyatakan bahasa daerahlah yang seharusnya diajarkan untuk program baca-tulis.
47
Katubi
Responden yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang layak diajarkan di sekolah memiliki lima alasan sebagai berikut. Pertama, bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu, yang menyatukan mereka dengan berbagai kelompok etnis di Lampung dan di Indonesia. Kedua, sebagian besar orang di Indonesia menggunakan bahasa Indonesia. Ketiga, buku-buku sekolah dan berbagai kepustakaan lain tersedia dalam bahasa Indonesia. Keempat, mempelajari bahasa Indonesia lebih mudah dibanding mempelajarai bahasa daerah, apalagi belajar membaca dan menulis dalam bahasa daerah. Kelima, kita dapat menggunakan bahasa Indonesia di mana saja sehingga bahasa Indonesia adalah bahasa yang baik untuk dipelajari. Bahasa Indonesia harus diajarkan di sekolah sehingga anak-anak menjadi lancar dan cerdas. Bahkan, ada responden dalam konteks ini yang menyatakan bahwa, “Bahasa Indonesia lebih baik.” “Sekali kita bisa membaca dalam bahasa Indonesia, kita dapat membaca dalam bahasa sendiri. Tidak menjadi masalah. Ini tidak terlalu sulit.” Kelompok responden yang menyatakan pentingnya anak-anak diajari baca-tulis dalam bahasa daerah yang sejajar dengan bahasa Indonesia beralasan bahwa untuk menjaga keseimbangan anak-anak mereka sebagai orang Lampung dan orang Indonesia. Tujuannya agar anak-anak mereka mengerti mereka sebagai orang Lampung. Namun, mereka juga tidak ingin anak-anak mereka hanya mampu berbahasa Lampung. Karena itu, mereka menginginkan bahasa Indonesia juga diajarkan kepada anak-anak Lampung. Sementara itu, responden yang menginginkan bahasa daerah diajarkan di sekolah beralasan bahwa hal itu akan membantu menjaga identitas kelompok etnis mereka dan melengkapi penguasaan bahasa. Kelompok di Sekayu menyatakan bahwa, “Kita takut ragam bahasa lokal sini akan hilang. Di sekolah dasar, bahasa ragam Lampung Pesisir diajarkan, sehingga mereka tidak benar-benar memahami ragam bahasa daerah yang lain dan ini bukan bahasa Lampung asli.” Di luar hubungan bahasa daerah dan bahasa Indonesia, ada 15% responden yang menginginkan bahasa Inggris diajarkan di sekolah dan 3% menjelaskan bahwa bahasa Arab seharusnya diajarkan di madrasah. Bahasa Inggris dianggap sebagai bahasa penting untuk dipelajari karena bahasa Inggris adalah bahasa internasional. Para orang tua ingin anak-anak mereka dapat berbahasa Inggris untuk melanjutkan pendidikan mereka dan membantu mengembangkan diri mereka demi masa depannya. Mereka merasa penting menguasai bahasa Inggris untuk membaca petunjuk pada peralatan atau produk yang baru. Sementara itu, kelompok yang menganggap perlunya bahasa Arab diajarkan di madrasah agar anak-anak dapat membaca dan menulis dalam bahasa Arab karena kitab suci orang Islam ditulis dalam bahasa Arab. Ketiga, sebaiknya anak-anak menggunakan bahasa apa? Hasil analisis data menunjukkan 58% menyatakan bahwa alangkah lebih baik anak-anak mereka belajar berbicara bahasa daerah mereka. 24% menambahkan bahwa anak-anak juga harus belajar menggunakan bahasa Indonesia di samping bahasa daerah. 18% memberikan pernyataan bersyarat, “Jika anakanak tinggal di rumah, mereka harus belajar bahasa daerah; jika mereka pergi ke kota, mereka memerlukan penguasaan bahasa Indonesia.” Keempat, orang di daerah Anda menggunakan bahasa apa kalau mereka marah? Hasil analisis data menunjukkan bahwa 100% responden mengatakan bahwa mereka selalu menggunakan bahasa daerah ketika marah. Hal itu berarti bahwa penggunaan bahasa dalam ranah privat masih menggunakan bahasa daerah. Kelima, kalau Anda menceritakan sesuatu yang lucu atau sedang bercanda, bahasa apa yang Anda pakai? Hasil analisis data menunjukkan bahwa 100% responden mengatakan bahwa mereka selalu menggunakan bahasa daerah ketika menceritakan hal yang lucu atau bercanda. Hal ini memiliki kesamaan argumen dengan pertanyaan keempat, yakni dalam ranah privat mereka masih mempertahankan bahasa Lampung.
48
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
Keenam, apakah Anda pernah merasa malu memakai bahasa asli sini (bahasa daerah Lampung dengan ragamnya)? Hasil analisis data menunjukkan bahwa 92% responden menyatakan bahwa mereka tidak pernah berada dalam situasi yang membuat mereka malu menggunakan bahasa daerah. Namun, 8% kelompok responden diJabung menyatakan bahwa mereka merasa malu menggunakan ragam bahasa daerah mereka sendiri ketika mereka pergi ke daerah lain. “Lebih baik menggunakan bahasa yang dipahami tiap orang, biar sepaham, yaitu bahasa Indonesia.” Ketujuh, bahasa apa yang Anda sukai untuk digunakan? Hasil analisis data menunjukkan 85% responden menyatakan bahwa mereka lebih menyukai bahasa Lampung. Sementara itu, 15% kelompok responden di Jabung, Negeri Kepayungan, dan Kota Besi lebih menyukai menggunakan bahasa daerah Lampung. Responden di Jabung yang menggunakan ragam bahasa Lampung Jabung lebih menyukai menggunakan bahasa Indonesia agar bisa saling megerti di antara berbagai kelompok pada orang Lampung sendiri. Begitu pun kelompok responden di Negeri Kepayungan yang menggunakan ragam bahasa Lampung Pesisir/Pubian menyatakan bahwa mereka lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dalam situasi percampuran antarkelompok etnis. Respons kelompok responden di Kota Besi, yang menggunakan ragam bahasa Lampung Peminggir/Belalau dapat disimpulkan, “secara emosional, kami senang menggunakan bahasa kami sendiri; tetapi dari segi kegunaan dan kepraktisan, kami memilih bahasa Indonesia.” KEBUTUHAN YANG DIRASAKAN UNTUK KEPUSTAKAAN DALAM BAHASA DAERAH Ada dua aspek yang dibahas pada bagian ini, yaitu pengetahuan dan kepemilikan kepustakaan dalam bahasa Lampung, serta respons terhadap kepustakaan berbahasa daerah dan Indonesia. Keberadaan Kepustakaan dalam Bahasa Daerah Sebanyak 54% responden melaporkan bahwa mereka pernah melihat kepustakaan dalam bahasa daerah mereka; 40% menyatakan bahwa tidak ada kepustakaan dalam bahasa daerah; 6% menyatakan bahwa mereka memiliki kepustakaan dalam aksara lama, tetapi tidak ada yang dalam aksara Latin. Kepustakaan yang mereka miliki (di samping buku-buku berdasar kurikulum sekolah) berisi nyanyian, puisi tradisional, buku-buku tradisi lokal, atau cerita yang diterbitkan dalam bahasa daerah, yang mencakupi ragam Kayu Agung Asli, Kayu Agung, Komering, Daya, Pesisir, Pubian, Abung, dan Menggala. Banyaknya responden yang menyatakan bahwa mereka pernah melihat kepustakaan dalam bahasa daerah karena di Provinsi Lampung, bahasa Lampung diajarkan sebagai bagian dari kurikulum sekolah kepada anak-anak mulai dari SD sampai SMP. Buku pelajaran ditulis dalam aksara Lampung dengan transkripsi bahasa Indonesia. Hal yang menarik ialah manyarakat tidak mengetahui dengan jelas, dalam dialek manakah buku-buku ajar bahasa Lampung itu ditulis. Apakah buku-buku ajar itu diterbitkan dalam dialek yang berbeda bergantung pada wilayahnya? Kelompok Pubian menyatakan bahwa kurikulum yang dikembangkan di sekolah adalah dialek Abung “karena (orang yang berpengaruh terhadap pembuatan kurikulum) adalah secara etnisitas orang Abung”. Kelompok di Sekayu menyatakan bahwa dialek Lampung Pesisir yang diajarkan di sekolah mereka, tetapi tidak menyebut secara khusus ragam bahasa Lampung Pesisir mana yang diajarkan. Respons terhadap Buku-buku Berbahasa Daerah Berkaitan dengan keinginan menerbitkan buku-buku dalam bahasa daerah, 50% responden menyatakan bahwa buku-buku tentang kesehatan atau pertanian seharusnya ada dalam bahasa daerah meskipun 2% responden menyatakan bahwa itu hanya untuk anak-anak saja. Alasan mereka adalah buku-buku dalam bahasa daerah lebih mudah dipahami dan akan mendatangkan
49
Katubi
keuntungan bagi masyarakat dan membantu pengembangan kebudayaan mereka. Sementara itu, 48% responden menyatakan bahwa akan lebih bagus jika memiliki buku-buku, baik dalam bahasa daerah maupun dalam bahasa nasional, Indonesia. Ketika diajukan pertanyaan: jika isi buku yang ditulis sama, lebih memilih ditulis dalam bahasa daerah atau dalam bahasa Indonesia? Sebanyak 71% responden memilih buku-buku dalam bahasa daerah dibanding dalam bahasa Indonesia jika isinya sama. Alasan memilih buku dalam bahasa daerah adalah mereka akan lebih mudah untuk memahami dan menyerap isinya dibanding buku-buku dalam bahasa lain; karena ditulis dalam bahasa daerah, mereka dapat memahami keseluruhan dan maknanya tidak akan menyimpang; buku-buku berbahasa daerah lebih sesuai dengan masyarakat mereka; sehingga bahasa daerah mereka tidak akan mati; bukubuku dalam bahasa daerah “lebih dekat dengan hati mereka.” Sebanyak 22 % responden memilih dalam bahasa Indonesia. Ada sejumlah alasan untuk jawaban ini. Pertama, bahasa Indonesia adalah bahasa nasional. Kedua, buku yang ditulis dalam bahasa Indonesia mudah dibaca dan mudah dipahami. Ketiga, jika buku ditulis dalam bahasa Lampung, aksara Lampung sulit membacanya, sedangkan tidak semua orang Lampung mampu membaca tulisan dalam aksara Lampung. Keempat, bahasa Indonesia jauh lebih mudah, siap diajarkan, dan sudah banyak buku yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Kelima, bahasa daerah terlalu rumit—buku-buku dalam bahasa Indonesia lebih mudah dipahami. Karena itu, akan terlalu banyak masalah untuk menulis dan menerbitkan buku-buku dalam bahasa daerah Lampung. Bahkan, ada yang menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak memerlukan bukubuku dalam bahasa daerah karena mereka dapat membaca dalam bahasa Indonesia dengan baik. Sementara itu, sebanyak 7% responden menginginkan buku-buku dalam kedua bahasa, yaitu bahasa Lampung dan bahasa Indonesia. Alasannya untuk menjaga keseimbangan kehidupan mereka dalam dua bahasa karena mereka hidup dalam dua bahasa itu. Ketika ditanya jenis buku apa yang mereka inginkan ada dalam bahasa daerah Lampung? Secara berurutan, mereka menginginkan bahasa Lampung digunakan untuk menulis lagu-lagu, kamus atau buku-buku tentang bahasa lokal, buku-buku dalam sejarah lokal, cerita daerah, bukubuku tentang doa dan agama, serta buku-buku tentang tradisi dan kebudayaan lokal. SIKAP TERHADAP TEKS RAGAM BAHASA LAMPUNG API DAN NYO Data untuk bagian ini diperoleh berdasar RA-RTT (Rapid Appraisal-Recorded Text Test), yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu teks yang berasal dari rekaman ragam bahasa Lampung Api dan ragam bahasa Lampung Nyo. Baik kelompok pemakai ragam bahasa Lampung Api maupun pemakai ragam bahasa Lampung Nyo diminta untuk mendengarkan kedua rekaman tersebut. Setelah itu, mereka diminta untuk menjawab pertanyaan yang berupa “penilaian” ragam bahasa. Aktivitas ini dilakukan secara berkelompok sehingga jawaban yang dikemukakan dalam tulisan ini adalah jawaban berdasar kesepakatan antaranggota kelompok responden itu sendiri. Dalam kesepakatan itu mereka memunculkan satu jawaban saja. Tujuan pengumpulan data ini ialah untuk mengetahui sikap penutur bahasa Lampung, baik dari kelompok ragam bahasa Lampung Api maupun Lampung Nyo, terhadap kedua ragam bahasa tersebut. Tabel 2: Sikap terhadap Teks Ragam Bahasa Lampung Api Tempat Pengumpulan Data
Apakah pencerita berbicara dalam bahasa Lampung dengan baik? ika tidak, kenapa tidak?
Api: Sukaraja/ Talang Padang
Ya
50
Apakah bahasa dalam cerita ini termasuk ragam tinggi, menengah, atau rendah? Tinggi
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
Api: Kandang Besi/ Kota Agung Api: Negeri Kapayungan/ Pubian Api: Banjar ketapang/ Sungkai Selatan Api: Kota Besi/ Batu Brak Api: Banjar Agung/ Pesisir Tengah Api: Buay Nyerupa/ Sukau Api: Mesir Udik/Bahuga Jabung/ Jabung
Nyo: Nibung/Gunung Pelindung Nyo: Blambangan Pagar/ Abung Selatan Nyo: Nyampir/ Bumi Agung Nyo: Ujung Gunung/Menggala
Ya; bahasa Lampung murni
-
Ya
Sangat tinggi
Ya; formal dan santun
Tinggi
Tidak; campuran terlalu banyak bahasa Indonesia, seperti orang masih belajar bahasa Lampung Ya
Menengah
Ya
Tinggi
Ya
--
Ya
Netral; tetapi ini termasuk ragam rendah jika berbicara dalam ragam Jabung --
Ya, untuk wilayah si pencerita
Tinggi
Ya
Mungkin termasuk tinggi
Ya
--
Ya
Menengah ke rendah (karena cerita ini tentang anak-anak)
Hal itu menunjukkan bahwa baik pemakai ragam bahasa Lampung Api maupun Lampung Nyo menganggap baik terhadap ragam bahasa Lampung Api yang didengarnya. Dalam hal ini tidak terjadi pembuatan stereotif terhadap ragam bahasa sendiri maupun ragam bahasa lain. Tabel 3: Sikap terhadap Teks Ragam Bahasa Lampung Nyo Tempat Pengumpulan Data Api: Sukaraja/ Talang Padang Api: Kandang Besi/ Kota Agung Api: Negeri
Apakah pencerita berbicara dalam bahasa Lampung dengan baik? Jika tidak, kenapa tidak? Ya
Apakah bahasa dalam cerita ini termasuk ragam tinggi, menengah, atau rendah? --
Ya
--
Ya
Rendah 51
Katubi
Kapayungan/ Pubian Api: Banjar ketapang/ Sungkai Selatan Api: Kota Besi/ Batu Brak Api: Banjar Agung/ Pesisir Tengah Api: Buay Nyerupa/ Sukau Api: Mesir Udik/Bahuga Jabung/ Jabung
Ya; ragam tinggi santun
Tinggi
Tidak; terlalu rendah dalam ragam di sini Tidak dapat menilai
Rendah
Tidak dapat menilai
Tidak dapat menilai
Ya
Menengah
Rendah
Ya; untuk daerah pencerita Mungkin “bagus” tetapi sendiri, tetapi tidak patut di tidak yakin sini Nyo: Ya, untuk daerah asal Menengah (“normal’) Nibung/Gunung pencerita itu Pelindung Nyo: Ya Menengah, tetapi Blambangan menggunakan pronomina Pagar/ Abung santun Selatan Nyo: Nyampir/ Ya -Bumi Agung Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar kelompok responden, baik dari pemakai ragam bahasa Lampung Api maupun ragam bahasa Lampung Nyo, menganggap ragam bahasa Lampung Nyo yang didengarnya sebagai ragam bahasa yang baik. PENUTUP Kajian sikap bahasa ini terarah pada dua hal. Pertama, sikap bahasa orang Lampung terhadap terhadap bahasa Lampung dan ragam bahasa Lampung itu sendiri, misalnya mencakupi sikap negatif atau positif. Kedua, sikap yang dimanifestasikan dalam ragam bahasa, misalnya penggunaan bahasa lisan, penggunaan bahasa tulis (keberaksaraan, kesastraan), penggunaan bahasa pada ranah publik dan pribadi dan lebih spesifik ranah penggunaan bahasa; penggunaan bahasa di dunia pendidikan: bahasa pengajaran, pendidikan bilingual, dan pembelajaran bahasa asing. Karena penelitian ini menggunakan model Rapid Appraisal Research, hasil analisis data penelitian ini, seperti telah dikemukakan di atas, diformulasikan dalam bentuk hipotesis yang bisa dibuktikan dalam penelitian yang lebih mendalam. Ada tiga hipotesis yang bisa dirumuskan. Pertama, orang Lampung memiliki sikap positif terhadap bahasa Lampung. Kedua, berkaitan dengan fungsi integratif, orang lampung memiliki sikap positif terhadap bahasa Lampung. Ketiga, berkaitan dengan fungsi instrumental, orang Lampung memiliki sikap negatif terhadap bahasa Lampung dan memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Salah satu hal penting dari hasil penelitian ini, terutama dalam kaitannya dengan pengembangan bahasa, adalah orang Lampung pada umumnya belum menyadari tujuan pengembangan bahasa etnik mereka, selain sekadar menjaga warisan budaya. Misalnya, meskipun bahasa daerah diajarkan di sekolah sebagai mata pelajaran—sebagian besar dalam
52
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
hubungannya dengan baca-tulis aksara Lampung—tampak tidak adanya kesadaran umum tentang bagaimana belajar membaca dan menulis dengan baik dalam bahasa daerah dapat memberi keuntungan kepada anak ketika mereka mulai belajar membaca dalam bahasa Indonesia, yang merupakan bahasa kedua yang baru dipelajari secara serius ketika mereka masuk sekolah. Hasil analisis sikap bahasa dengan menggunakan RA-RTT (Rapid Appraisal-Recorded Text Test) menunjukkan tidak adanya ragam tunggal yang dianggap sebagai ragam terbaik atau ragam yang dapat dijadikan acuan untuk keseluruhan bahasa Lampung. Hal ini merupakan petunjuk tentang kemungkinan adanya kesulitan untuk melakukan pembakuan bahasa Lampung. CATATAN * Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan makalah. i
Makalah hasil penelitian lapangan itu antara lain dapat disebutkan sebagai berikut.
Katubi. 2006. “Lampungic Languages: looking for new evidence of possibility of language shift in Lampung and the question of its reverse.” Paper presented at the Tenth International Conference on Austronesian Linguistics. Puerto Princesa, the Philippines, 17—10 January. Hanawalt, Charli, Katubi, Karl Anderbeck. 2005. “Cheaper by the Dozen? Reassessing Linguistic Diversity in the Lampungic Language Cluster” pare presented at the International Conference on Association for Linguistic Typology 6th Biennial Meeting, 21-25 Juli 2005, di Padang, Indonesia. Anderbeck, Karl. 2005. ”Aji: One language from twelve: a brief description of an interesting Malay dialect in South Sumatera.” Paper presented at the Ninth International symposium on Malay/Indonesian Linguistics. Maninjau, west Sumatera, Indonesia 27—29 July. Anderbeck, Karl. 2006. “An Initial Reconstruction of Proto-Lampungic: phonology and basic vocabulary.” Paper presented at the Tenth International Conference on Austronesian Linguistics. Puerto Princesa, the Philippines, 17—10 January.
PUSTAKA ACUAN Abdurarahman, Sofjan dan Collin Yalop. 1979. “A Brief Outline of Komering Phonology and Morphology.” Dalam Amran Halim (ed.). Miscellaneous Studies in Indonesian and Languages in Indonesia Part VI. Jakarta: Badan Penyelenggara Seri Nusa. Hlm. 11--18. Baker, Colin. 1992. Attitudes and Language. Adelaide: Multilingual Matters Ltd. Bergman, Ted G. 1991. “rapid Appraisal of Languages.” Notes on Literature in Use and Language Programs 28. Dallas: SIL International. Hlm. 3--11. Da Silva, Norval. 2001. “Language Attitude Change among the Tembe People of Brazil.” Dalam Notes on Sociolinguistics 6.2 hlm. 59--64. Fasold, Ralph W. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Blackwell Publishers. Gani, Zainal Abidin et al. 1986. Morfologi dan Sintaksis Bahasa Kayu Agung. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Gunarwan, Asim. 1994. “The Encroachment of Indonesian upon the Home Domain of the Lampung Language Use: A Study of the Possibility of a Minor-Language Shift.” Paper presented at the Seventh International Conference on Austronesian Linguistics. Leiden, 22—27 August. 53
Katubi
Gunarwan, Asim. 1999. “Pembalikan Pergeseran Bahasa Lampung: Mungkinkah?” Makalah disampaikan pada Seminar Bahasa dan Tulisan Lampung. Bandar Lampung, Indonesia, 23 Oktober. Gunarwan, Asim. 2001. “Beberapa Kasus Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa: Implikasinya pada Pembinaan Bahasa Lampung.” Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pembinaan Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah. Bandar Lampung, 29--30 Oktober. Hadikusuma, Hilman. 1988. Bahasa Lampung. Jakarta: Fajar Agung. Hadikusuma, Hilman. 1994. Lampung/Indonesia Dictionary. Bandar Lampung. Shiffman, Harold F. 1997. “The Study of Language Attitude.” Language Policy Course Lecture Notes. Philadelphia: University of Pennsylvania. Online URL: http://ccat.sas.upenn.edu/~haroldfs/540/attitudes/attitude.html. Suhardi, Basuki. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjana dan Mahasiswa di Jakarta. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Mitani, Yasuyuki. 1980. “Languages of Sumatra.” Dalam Tsubouchi et al. (eds). South Sumatra: Man and Agriculture. Kyoto: Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University. Udin, Nazarudin et al. 1990. Sistem Morfologi Verba Bahasa Lampung Dialek Abung. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Walker, Roland W. 1991. “Measuring Language Attitudes and Language Use.” Dalam Notes on Sociolinguitics 28: 12--18. Walker, Dale F. 1975. “A lexical Study of Lampung Dialects.” Dalam J.W.M. Verhaar (ed.). Miscellaneous Studies in Indonesian and Languages in Indonesia. Jakarta: Lembaga Bahasa, Universitas katolik Atma Jaya. Hlm. 11--20. Wetherill, G. Barrie. 1997. Research Design and Analysis. LinguaLinks Version 5. [CD-ROM]. Dallas: Summer Institute of Linguistics, Inc.
Katubi
[email protected] Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB)-LIPI
54
Linguistik Indonesia Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 55-67
Copyright 2010 by Masyarakat Linguistik Indonesia
LEKSIKON AKTIVITAS MATA DALAM TOPONIM DI JAWA BARAT: KAJIAN ETNOSEMANTIK Nani Darheni* Balai Bahasa Bandung Abstract The language is a product of the development of a culture that has the strength and uniqueness realized in the lexicon. The development of Sundanese repertoire was determined by time and the social situation in West Java. It is evident in the naming of places and streets that are associated with sociohistorical factors and geographic activities. This study aims to describe (a) the toponym in West particularly the lexicon of sensation verbs of sight; (b) the meaning of the toponym forming; (c) the relation of meaning based on its meaning components, and (d) the relationship between the lexicon of sensation verbs of sight in West Java Toponyms and the socio-cultural factors in West Java community. In addition, the purpose of this study was to explore a number of lexeme expressing the sensation verbs of sight ‘lihat’ in Sundanese. The number of lexeme contributes to the vocabulary of the branch of the Austronesian language family. Sundanese has 34 sensation verbs of sight tenjo/nenjo, tempo/nempo, sawang/nyawang, pelong/melong, neuleu, ningal, ngintip, noong; whereas, Indonesian has lihat with the components of intip, intai, and pandang. The data were collected from respondents, Sundanese dictionary, some tabloids, magazines, internet, and the monograph of Bandung city. Key words: The Lexicon of Activity in the Eyes, the Sundanese Language, Toponym in West of Javanesse, Ethnosemantics Study
PENDAHULUAN Jika berbicara tentang aktivitas mata dalam bahasa Sunda, tidak terlepas dari pembicaraan tentang kegiatan manusia sehari-hari terutama yang melibatkan mata. Chaer (1994) mengemukakan bahwa banyaknya unsur leksikal dalam suatu medan makna antara bahasa yang satu dan bahasa yang lain tidak sama jumlahnya karena hal tersebut berkaitan erat dengan sistem budaya masyarakat pemilik bahasa itu. Melalui bahasa, manusia tidak hanya mengekspresikan pikirannya, tetapi juga dapat mengonseptualisasikan dan menafsirkan dunia yang melingkupinya. Kajian bahasa, khususnya etnolinguistik, berkompeten terhadap kajian keberadaan manusia sebagai pemilik bahasa (Mahsun, 2005:81). Untuk menguak perilaku kultural suatu masyarakat, dapat dilakukan berbagai cara, di antaranya melalui kajian terhadap terminologi tertentu yang terdapat dalam bahasa yang digunakan masyarakat tersebut. Hal itu disebabkan bahasa merupakan hasil kebudayaan yang dapat menggambarkan hasil kebudayaan masyarakat tuturnya. Kekayaan dan kekhasan kebudayaan akan tercermin di dalam leksikonnya sehingga leksikon suatu bahasa dapat mencerminkan masyarakatnya. Kajian suatu bahasa dan maknanya akan memungkinkan diketahuinya cara pandang terhadap kenyataan yang ada di kalangan pendukung atau pemakai suatu bahasa. Penggunaan evidensi (bukti) kebahasaan untuk menguak perilaku penuturnya sangatlah dimungkinkan karena struktur bahasa, seperti dinyatakan Sapir-Whorf dan dirumuskan kembali oleh Clark dan Clark (bandingkan dengan Whorf 1966 dan Clark dan Clark 1977), mempunyai pengaruh terhadap cara berpikir seseorang. Dengan kata lain, cara manusia memandang makna kehidupan terekam dalam struktur bahasanya, di samping terekam dalam mitos, syair-syair kepahlawanan, atau sistem hukum tradisional (Soedjatmoko, 1994). Berkaitan dengan budaya masyarakat Sunda di Jawa Barat, kajian ini sangat beralasan untuk dilakukan mengingat bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang di dalamnya
Nani Darheni
terwadahi unsur-unsur kebudayaan lainnya. Melalui bahasa sebagian besar pengetahuan diperoleh, disimpan, dirumuskan kembali, dan digunakan (Nababan, 1992). Bahasa juga merupakan produk perkembangan sebuah budaya yang memiliki kekuatan dan keunikan yang diwujudkan di dalam leksikon. Dalam bahasa Sunda dikenal berbagai leksikon, contohnya leksikon aktivitas yang berhubungan dengan indera mata yang terdapat dalam khazanah kosakata bahasa Sunda. Perkembangan zaman dan situasi sosial masyarakat di Jawa Barat berdampak pada perkembangan leksikon bahasa Sunda. Menurut Husen (1980), bahasa Sunda mengalami perubahan setelah Perang Dunia II dan setelah Perang Kemerdekaan Indonesia. Dalam hal kosakata, bahasa Sunda mendapat pengaruh dari bahasa Indonesia dan bahasa asing; pengaruh itu terutama terlihat dalam istilah ilmu dan teknologi yang digunakan dalam berbagai pemakaian bahasa Sunda, baik dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tulis. Penelitian mengenai bahasa Sunda telah dilakukan oleh beberapa ahli bahasa, misalnya, morfologi bahasa Sunda dilakukan oleh Prawirasumantri (1979) dan Sutawijaya (1980), sintaksis bahasa Sunda oleh Hardjasudjana (1977), dan kosakata bahasa Sunda oleh Husen (1980), sedangkan kajian semantis bahasa Sunda--khususnya kajian medan makna--sepengetahuan penulis belum ada yang melakukan. Sebagai gambaran verba aktivitas yang dilakukan organ mata/indera penglihatan manusia dalam bahasa Sunda dapat diwujudkan dalam beberapa leksikon, misalnya, tenjo (nenjo), sawang (nyawang), pelong (melong), tempo (nempo), dan jeleu (neuleu). Penelitian ini bertujuan untuk (a) mendeskripsikan toponim bahasa Sunda di Jawa Barat yang mengandung verba aktivitas mata beserta kata yang mengikutinya; (b) makna pembentuk toponim tersebut; (c) relasi makna berdasarkan komponen maknanya; dan (d) hubungan toponim yang mengandung verba aktivitas mata dengan faktor sosial budaya masyarakat di Jawa Barat. Selain itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan mendeskripsikan sejumlah leksem pengungkap makna ‘aktivitas pancaindera mata’ bahasa Sunda. Dengan diketahuinya sejumlah leksem itu, kekayaan kosakata bahasa Sunda dapat diungkapkan sehingga bermanfaat untuk menambah wawasan kekayaan kosakata bahasa-bahasa serumpun, bahasa Austronesia. Sehubungan dengan itu, kajian ini menggunakan evidensi dalam bahasa Sunda untuk menyoroti perilaku komunal masyarakat pemakainya, khususnya yang berhubungan dengan konsep hakikat pandangan masyarakat tersebut terhadap keberadaannya dalam menyatakan konsep tentang aktivitas mata (indera penglihatan). METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penganalisisan data adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif, yaitu metode berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada pengguna-penggunanya. Metode deskriptif ini dipakai untuk memaparkan hasil temuan yang diperoleh dalam penelitian berupa penggambaran nama tempat secara sistematis dan faktual berdasarkan data yang dikumpulkan. Langkah kerja yang dilakukan dalam pengumpulan data ialah (1) pendataan toponim yang mengandung morfem aktivitas indera mata dari berbagai sumber, (2) pencarian makna dari kamus dan sumber lain, (3) pengumpulan informasi mengenai makna aktivitas mata dalam bahasa Sunda yang terdapat dalam toponim tersebut dari tokoh masyarakat, terutama untuk nama yang terasa asing. Pendeskripsian dan penganalisisan dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu teknik penandaan komponen makna dan/atau penggambaran dalam sebuah tabel dari leksem-leksem yang memiliki komponen makna bersama. Dengan tabel itu dapat ditemukan komponen makna spesifik. Kemudian, langkah yang terakhir ialah penyajian dalam glos (keterbacaan makna). Penyusunan glos ini sebagai tahap penyusunan makna untuk menjadi lema/entri kamus. Data yang digunakan dalam tulisan ini berasal dari sumber tulisan berupa kamus berbahasa Sunda, yaitu (a) Kamus Bahasa Sunda-Bahasa Indonesia (Sumantri dkk., 1994); (b) 56
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
Kamus Dwibahasa Indonesia-Sunda (Umsari, 2001); (c) Kamus Bahasa Sunda Buhun (Elis Suryani S.N. dan A. Marzuki, 2005); (c) Kamus Bahasa Sunda Kuno Indonesia (Suryani, Elis, N.S. dan Undang Ahmad Darsa, 2003); (d) Kamus Umum Basa Sunda (diperoleh dari buku Kantor Pos dan Giro), dan (e) sumber data lisan (diperoleh dari surat kabar, tabloid, majalah, internet, dan juga monografi Kota Bandung yang memuat informasi yang diperlukan). Data diambil dengan teknik pencatatan dan pengartuan. TEORI LANDASAN Toponim Penamaan tempat di Jawa Barat tidak pernah terlepas dari berbagai aspek atau berbagai fenomena geografi yang hadir di balik nama tempat tersebut, karena pemberian nama tempat itu tentunya berdasarkan pengalaman dan pertimbangan dari manusia itu sendiri. Ada dua pengalam yang dipertimbangkan untuk nama tempat itu. Pertama, pertimbangan yang dihasilkan oleh proses-proses alam dan nama dari hasil rekayasa manusia. Kedua, pemberian nama tempat mungkin didasarkan pada gagasan, harapan, cita-cita, dan citra rasa manusia terhadap tempat tersebut agar sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Di samping itu, juga ada yang didasarkan sesuai dengan ciri atau sifat yang telah diberikan oleh alam itu sendiri (Given). Fenomenafenomena yang spesifik atau domianan biasanya terpilih menjadi nama tempat di mana fenomena itu hadir atau pernah hadir di tempat tersebut. Nama merupakan kata yang menjadi label bagi setiap makhluk, benda, aktivitas, dan peristiwa di dunia ini dan nama muncul dalam kehidupan manusia yang kompleks dan beragam. Ketika seorang anak manusia lahir, properti yang pertama diberikan ialah nama diri (antoponim) karena dengan nama itu mulailah terbangun suatu jaringan komunikasi. Ketika mendiami suatu wilayah, manusia cenderung memberi nama pada semua unsur geografi, seperti nama sungai, gunung, lembah, pulau, teluk, laut, atau selat yang berada di wilayahnya atau yang terlihat dari wilayahnya. Bahkan, manusia juga cenderung memberi nama pada daerah yang ditempatinya, seperti nama permukiman, nama desa, nama kampung, nama hutan, nama nagari, sampai nama kota. Tujuan pemberian nama pada unsur geografis itu ialah untuk diidentifikasi, dijadikan patokan, atau dijadikan sebagai sarana komunikasi antarsesama manusia. Oleh karena itu, namanama unsur geografi sangat terkait dengan sejarah permukinan manusia. Nama unsur geografi atau nama geografis disebut toponim. Subbidang ilmu yang menyelidiki nama tempat disebut toponimi. Dalam Kridalaksana (1982:170) dijelaskan bahwa toponimi merupakan cabang onomastika yang menyelidiki nama tempat. Onomastika merupakan penyelidikan tentang asal usul bentuk dan makna, nama diri, terutama nama orang dan tempat. Cabang lain onomastika ialah antroponimi, yaitu yang menyelidiki nama orang (Kridalaksana, 1982:116). Etnolinguistik Ilmu yang mengkaji hubungan antara bahasa dan budaya di Amerika dinamakan antropologi linguistik (dengan variannya linguistik antropologi) dan dipelopori oleh Franz Boas, sedangkan di Eropa dipakai istilah etnolinguistik (Duranti,1997:1--2). Di Indonesia dikenal juga istilah linguistik budaya (Riana, 2003:8). Pada dasarnya antropologi linguistik, linguistik antropologi, etnolinguistik, atau linguistik budaya secara umum memiliki kesamaan (Duranti, 1997:9 dan Crystal, 1985:20). Jika terdapat perbedaan, itu hanyalah masalah sudut pandang. Melalui pendekatan antropologi linguistik, dapat dicermati apa yang dilakukan orang dengan bahasa dan ujaran-ujaran yang diproduksi, diam, dan gestures yang dihubungkan dengan konteks pemunculannya (Riana, 2003:8). Malinowski dalam Halliday (1978:4) mengemukakan bahwa melalui antropolingistik kita dapat menelusuri bagaimana bentuk-bentuk linguistik dipengaruhi oleh aspek budaya, sosial, mental, dan psikologis, apa hakikat sebenarnya dari bentuk dan makna serta bagaimana hubungan keduanya. Frans Boas merupakan salah seorang yang juga berkontribusi dalam
57
Nani Darheni
pengembangan antropologi linguistik. Gagasannya sangat berpengaruh terhadap Sapir dan Whorf sehingga melahirkan konsep relativitas bahasa. Menurut Boas, bahasa tidak dapat dipisahkan dari fakta sosial budaya masyarakat pendukungnya. Salah satu kontribusi Sapir, dalam Foley (1997:49), yang sangat terkenal adalah analisis terhadap kosakata suatu bahasa sangat penting untuk menguak lingkungan fisik dan sosial di mana penutur suatu bahasa bermukim. Alwasilah (1990:80--81) menyatakan bahwa pada pokoknya gagasan Whorf ialah pandangan kita akan dunia, cara kita mengategorikan pengalaman dan mengonseptualisasi lingkungan kita secara efektif ditentukan oleh bahasa kita. Pandangan ini dipengaruhi oleh Sapir yang menyatakan bahwa manusia tidak hidup sendirian dalam dunia nyata, tidak pula dalam dunia kegiatan sosial. Akan tetapi, sesungguhnya manusia ada dalam kekuasaan bahasa tertentu yang telah menjadi alat untuk bereksprsi bagi masyarakatnya. Dari pendapat-pendapat tersebut dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara bahasa dan budaya. Pendapat yang spesifik mengenai bahasa dan budaya, khususnya nama, dinyatakan oleh Djajasudarma (1993:30) yang menyatakan bahwa studi bahasa pada dasarnya merupakan peristiwa budaya. Melalui bahasa, manusia menunjuk dunianya. Dunia penuh dengan nama dan manusia tidak hanya memberikan nama pada sesuatu, tetapi juga makna. Sibarani (2006:12) memerinci hal-hal yang diamati dalam antropolinguistik, yaitu (1) menganalisis istilah-istilah budaya dan ungkapan, (2) menganalisis proses penamaan, (3) menganalisis kesopansantunan, (4) menganalisis konsep budaya dari unsur-unsur bahasa, (5) menganalisis etnisitas dari sudut pandang bahasa, dan (6) menganalisis cara berpikir melalui strukur bahasa. Komponen Semantik Analisis semantik merupakan hal penting untuk dilakukan karena dapat menyumbangkan halhal yang menarik, khususnya jika dilihat dalam kaitannya dengan aspek kultural masyarakat pemakainya. Pada kesempatan ini akan dibahas leksikon yang menyatakan aktivitas pancaindera mata dalam bahasa Sunda. Leksikon pengungkap aktivitas pancaindera itu berkategori verba yang tercakupi dalam sebuah medan makna (semantic field). Kridalaksana (2001) mengatakan bahwa medan makna merupakan bagian dari bidang kehidupan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Sebagai contoh kata tempo ‘lihat’ memiliki anggota leksem sawang ‘pandang’, ngintip ‘intip’, ngincer ‘intai’, toong ‘intai (bisa lewat lubang pintu)’ dengan makna variasi lingkup pemakaiannya; sedangkan dalam bahasa Indonesia (kemungkinan juga Melayu) aktivitas ‘melihat’ dinyatakan dengan leksem lihat (yang memiliki anggota intip, intai, pandang). Penelitian ini merupakan kajian bidang semantik (linguistik) dan etnologi sehingga dimasukkan ke dalam penelitian etnolinguistik. Sebagai landasan kerja digunakan teori yang berkaitan dengan analisis komponen leksikal seperti yang dikemukakan oleh Nida (1975) dalam Componential Analysis of Meaning. Selain itu, digunakan pula beberapa teori pelengkap dari Lehrer (1974), Kridalaksana (2001), Tampubolon (1979), dan Aminuddin (1988). Menurut Nida (1975:32), makna sebuah kata dapat diidentifikasi berdasar kontras dengan makna kata yang lain. Larson (1984) yang diterjemahkan oleh Kancanawati (1989:83) menyebutkan bahwa makna sebuah unsur leksikal dapat ditemukan dengan mempelajari unsur itu dalam kontras dengan unsur yang lain yang mempunyai hubungan dekat, misalnya dengan mengelompokkan unsur-unsur itu. Dengan itu, dapat digambarkan komponen makna bersama (shared meaning) dan komponen makna kontrastifnya. Seperti dikatakan Leech (1974:8) bahwa makna dapat ditemukan melalui pengelompokkan dan kontras. Dalam teori semantik dikenal beberapa relasi semantik, di antaranya relasi sinonimi, antonimi, hiponimi. Kaitannya dengan makalah ini, analisis relasi makna yang dibahas ialah relasi hiponimi yang juga disebut dengan relasi inklusi.
58
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
RELASI MAKNA BERDASARKAN KOMPONEN MAKNA Leksikon Pengungkap Makna ‘Aktivitas Mata’ Bahasa Sunda Berdasarkan analisis komponen makna leksikon-leksikon yang berkonsep ‘aktivitas indera mata’ dalam bahasa Sunda dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
Aktivitas Mata yang Berkomponen makna ‘Bersasaran’ Leksikon yang mengungkapkan makna aktivitas mata dengan komponen makna ‘bersasaran’ dipilah menjadi dua, yaitu (a) bersasaran yang disengaja dan (b) bersasaran yang tidak disengaja. (a) Aktivitas Mata Berkomponen Makna ‘Bersasaran + Disengaja’ Leksikon yang mengungkapkan ‘aktivitas mata’ dengan kmponen makna ‘bersasaran yang disengaja’ berjumlah 21. Klasifikasi leksikon tersebut tampak dalam tabel berikut ini. No.
Komponen Pembeda
Leksem Anggota
1. 2.
melihat secara umum melihat dengan cermat
3.
melihat dengan sembunyi
4.
melihat dan hadir
tonton, tempo, tenjo, sawang taliti (nitenan), telek, awas, pelong, tempo, sipit (nyipitkeun mata), pariksa intip, incer, meleng, impleng, toropong, keker, toong longok/layad, tenjo, saksi/nyaksian
(b) Aktivitas Mata Berkomponen Makna ‘Bersasaran + Tak Disengaja’ Leksem-leksem yang berada dalam medan makna pengungkap aktivitas mata yang berkomponen makna ‘bersasaran tidak disengaja’ berjumlah 6. Keenam leksem itu dapat dilihat dalam tabel berikut ini..33333akna dari anggota leksem dalam satu medan (kelompoknyajumlah No. 1. 2.
Komponen Pembeda objek sasaran umum objek sasaran khusus
Leksem Anggota nyaho, timu/nimu nimukeun, kanyahoan, kapergok, kapanggih
Aktivitas Mata yang Berkomponen Makna ‘Tak Bersasaran’ Leksem-leksem yang berada dalam medan makna pengungkap aktivitas mata yang berkomponen makna ‘tidak bersasaran’ berjumlah 6. Keenam leksem itu dapat dilihat dalam tabel klasifikasi berikut ini. medan (kelompoknya) No. Komponen Pembeda Leksem Pembeda melihat dengan bola mendelong, puncereng, pendelik, polotot 1. mata takbergerak melihat dengan bola culak-cileuk, gurulang-gorolong 2. mata berbergerak Catatan: Setiap leksem masih memiliki komponen makna spesifik sebagai pembeda makna dari anggota leksem satu medan (kelompoknya). Leksikon Verba/Aktivitas Mata pada Toponim di Jawa Barat Leksikon aktivitas mata yang diperoleh dari toponim Jawa Barat sangat terbatas, meliputi leksikon (1) sawang, [nyawang] ’memandang ke/dari kejauhan’, (2) pelong [melong] ‘melihat lama ke orang lain agar memperoleh kejelasan karena senang atau merasa kenal’, (3) tenjo [nenjo] ‘lihat’ dan bentuk halusnya leksikon tingal yitu ningal (paningal ‘penglihatan’). Berikut ini terdapat data yang memuat (a) aktivitas mata bahasa Sunda yang terdapat dalam toponim
59
Nani Darheni
Jawa Barat beserta kata yang mengikutinya dan (b) makna pembentuk toponim. Leksikon ini digunakan untuk penamaan tempat-tempat di Jawa Barat yang penggunaannya dilakukan secara bervariasi dengan leksikon [verba + (adjektiva, adverbia, atau nomina)] sebagaimana terdapat pada data di bawah ini. Verba Telek = telek ‘melihat dengan teliti’ Kata telek bermakna ‘teliti’ atau ‘melihat secara saksama’ Telek menjadi nama jalan di kelurahan Cijagra, Kecamatan Lengkong, Wilayah Karees Kota Bandung. Verba + Adjektiva Melong Asih = melong ‘melihat’ + asih ‘sayang’ Melong Asih bermakna ‘melihat orang lain secara lama agar lebih jelas karena merasa mengenal orang yang dilihatnya’ atau bisa pula bermakna ‘memandang karena sayang sehingga si pemandang terkesima’. Melong asih merupakan nama kelurahan yang terdapat di Kecamatan Cimahi Selatan, Wilayah Cimahi. Selain nama kelurahan, melong asih juga merupakan nama jalan yang terdapat di Kelurahan Cijerah, Kecamatan Bandung Kulon, Wilayah Bandung. Melong Dalam = melong ‘melihat’ + dalam ‘dalam’ Melong Dalambermakna ‘melihat orang lain dengan dalam-dalam’ atau ‘melihat orang dalam’; atau ‘memandang orang lain secara mendalam’. Melong dalam merupakan nama gang yang terletak di Desa Sukapura, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Tenjoayu = tenjo ‘melihat’ + ayu ‘cantik’ Tenjoayu bermakna ‘melihat dengan mengarahkan pandangan dari dalam ke luar dari tempat yang dibatasi’ atau ’melihat sesuatu secara cantik atau secara indah’. Tenjoayu merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Verba + Adverbia Melong Kaler = melong ‘melihat’ + kaler ‘utara’ Melong Kaler bermakna ‘melihat ke utara secara mendalam’ atau ‘melihat secara mendalam arah utara’. Melong Kaler merupakan nama jalan yang terletak di kelurahan Paledang, Kecamatan Lengkong, Wilayah Bandung. Melong Kidul = melong ‘melihat’ + kidul ‘selatan’ Melong Kidul bermakna ‘melihat ke selatan secara mendalam’ atau ‘melihat secara mendalam arah selatan’. Melong Kidul merupakan nama jalan yang terletak di kelurahan Paledang, Kecamatan Lengkong, Wilayah Bandung. Melong Tengah = melong ‘melihat + tengah ‘tengah’ Melong Tengah bermakna ‘melihat ke tengah secara mendalam’ atau ‘melihat bagian tengah dalam-dalam’. Melong tengah merupakan nama jalan yang terletak di kelurahan Paledang, Kecamatan Lengkong, Wilayah Bandung. Verba + Nomina Tenjonagara = tenjo ‘melihat’ + nagara ‘negara’ Tenjonagara bermakna ‘melihat-lihat keadaan negara’ atau ‘melihat-lihat keadaan negeri (kota)’.
60
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
Tenjonagara merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya. Tenjonagara bermakna ‘negeri atau tanah yang jelas batas-batasannya, didiami oleh rakyat yang sebangsa, dan yang diurus dan diatur oleh pemerintah yang sah’. Tenjowaringin = tenjo ‘melihat’ + waringin ‘beringin’ Tenjowaringin bermakna ‘melihat-lihat tanaman beringin’ atau ‘mengamat-amati pohon beringin’Tenjowaringin merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Tenjolaut = tenjo ‘melihat’ + laut ‘laut’ Tenjolaut ‘melihat-lihat laut’ atau ‘melihat-lihat keadaan laut’. Tenjolaut merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Bandung.. Nomina + Verba Karangpaningal = karang ’tanah, halaman’ + tingal ‘lihat, penglihatan’ Karangpaningal ‘karang tempat melihat’, ‘tempat untuk melihat’, atau ‘tanah atau halaman untuk melihat musuh’. Karangpanigal merupakan nama desa yang terletak Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis. Karangpaningal bermakna ‘tempat, tanah, atau halaman untuk melihat’ terutama untuk melihat musuh yang dating. Gelap Nyawang = gelap ’halilintar’ + sawang ‘melihat’ Gelap Nyawang berarti ‘melihat halilintar’ Gelap Nyawang merupakan nama jalan yang terletak di Kelurahan Lebak Gede, Kecamatan Coblong, Wilayah Bojonegara, Kota Bandung. Gelap nyawang bermakna ‘memandang halilintar’ Hubungan Toponim yang Mengandung Verba Aktivitas Mata dengan Faktor Sosial Budaya Masyarakat di Jawa Barat Berbagai keunikan makna aktivitas mata dalam bahasa Sunda, terutama dalam toponim di Jawa Barat, memunculkan berbagai terminologi yang menunjukkan aktivitas tangan. Ada beberapa landasan dari leksikon mata bahasa Sunda yang dapat dijadikan sebagai landasan berpijak yaitu orang Sunda selalu mengutamakan kebersamaan dan kekeluargaan dalam berperilaku hidup dan bermasyarakat. Aktivitas mata bagi orang Sunda mencerminkan pola pikir atau pandangan etnis Sunda yang penuh rasa kasih sayang (asih) di samping rasa peduli (tenggang rasa) antarwarga masyarakat di Jawa Barat. Hal itu dibuktikan dengan toponimi kata Melong Asih ’melihat dengan kasih sayang’ atau ‘melihat tempat berkasih sayang’, Tenjoayu ‘melihat yang cantik’ atau ‘tempat melihat orang cantik’, dan Tenjojaya ‘melihat kejayaan/kemenangan’ atau ‘tempat melihat kejayaan’ Temuan Metabahasa komponen makna merupakan kode verbal yang digunakan untuk mengungkapkan konsep komponen makna sebagai pembeda antarleksem. Untuk analisis komponen terhadap leksem pengungkap aktivitas indera mata ini digunakan metabahasa yang terungkap dalam pemberiaan makna terhadap suatu leksem, yaitu sebagai berikut. BOLA MATA
: posisi di tengah/di samping, keadaan bergerak/tak bergerak KELOPAK MATA : melebar, terbuka normal, menyipit ARAH PANDANGAN/TATAPAN : ke depan, ke atas, ke samping, tetap, berubah-ubah MOTIVASI/PENYEBAB : rasa marah, heran, tertarik, ingin tahu, tidak setuju, bingung, terkejut, tidak suka, khawatir, pasrah, curiga
61
Nani Darheni
TUJUAN
: memilih, menilai, memuaskan, menakut-nakuti, mengetahui arah/sesuatu, menentang, mengetahui apa yang dilakukan, melihat keadaan orang/suasana, membuktikan kebenaran, supaya tepat sasaran, mengawasi sasaran, menangkap sasaran, mengontrol, memeriksa, memeriksa kelengkapan, melacak, membuka jalan, menjadi saksi, menjelaskan, mempermaikan.
ANALISIS Leksikon aktivitas mata dalam bahsa Sunda dapat dibedakan menjadi tujuh bentuk, yaitu melihat, memandang, meneliti, mengintai, melotot, melirik, dan menatap. (a) [MELIHAT]
: nenjo ’melihat sesuatu dengan mata mengarah ke suatu benda/barang’. Bola mata (- gerak), kelopak mata (- gerak), arah pandangan ke depan, motivasi tertarik, dan tujuan ingin mengetahui sesuatu. nempo ’melihat sesuatu dengan cara menunjukkan atau mengarahkan penglihatan dari tempat yang dibatasi. Bola mata (+ gerak), kelopak mata (- gerak), arah pandangan ke depan, motivasi tertarik, dan tujuan ingin mengetahui sesuatu. melong ’melihat lama ke orang lain karena senang atau merasa kenal. Bola mata (- gerak), kelopak mata (+ gerak), arah pandangan ke depan, motivasi tertarik, dan tujuan ingin mengetahui sesuatu. meleng ’melihat dengan penuh perhatian dengan menggunakan mata batin’. Bola mata (- gerak), kelopak mata (- gerak), arah pandangan ke depan, motivasi tertarik, dan tujuan ingin mengetahui sesuatu.
(b) [MEMANDANG] : nyawang ’melihat ke kejauhan (pemandangan) dan sambil memusatkan penglihatan ke salah satu tempat atau barang. Bola mata (- gerak), kelopak mata terbuka normal, arah pandangan ke depan, motivasi tertarik, dan tujuan ingin menilai sesuatu. (c) [MENELITI]
: naliti ’memeriksa dengan penuh ketelitian’. Bola mata (+ gerak), kelopak mata terbuka normal, arah pandangan berubah-ubah, motivasi tertarik, dan tujuan ingin mengetahui sesuatu. nitenan ’mengawasi atau meneliti sampai ke hal-hal yang inti permasalahan’. Bola mata (+ gerak), kelopak mata terbuka normal, arah pandangan berubah-ubah, motivasi tertarik, dan tujuan ingin mengetahui sesuatu. nelik ’mengawasi atau meneliti sampai ke inti permasalahan’ Bola mata (+ gerak), kelopak mata terbuka normal, arah pandangan berubah-ubah, motivasi tertarik, dan tujuan ingin mengetahui sesuatu.
62
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
(d) [MENGINTAI]
: noong ’melihat secara sembunyi-sembunyi’ Bola mata (+ gerak), kelopak mata terbuka normal atau menyipit, arah pandangan berubah-ubah, motivasi ingin tahu atau curiga, dan tujuan ingin mengetahui atau melihat sesuatu.
(e) [MELOTOT]
: molotot ’melihat sesuatu dengan cara membelalakan mata sekuatnya’. Bola mata (- gerak), kelopak mata terbuka lebar, arah pandangan tajam ke depan, motivasi marah atau takut, dan tujuan ingin menakut-nakuti. mendelik’melihat seseorang dengan melotot’ Bola mata (- gerak), kelopak mata terbuka lebar, arah pandangan tajam ke depan, motivasi marah atau takut, dan tujuan ingin menakut-nakuti. mendeleng ’melihat seseorang dengan melotot’. Bola mata (gerak), kelopak mata terbuka lebar, arah pandangan tajam ke depan, motivasi marah atau takut, dan tujuan ingin menakutnakuti. ngadelek ’molototan/memelototi’. Bola mata (- gerak), kelopak mata terbuka lebar, arah pandangan tajam ke depan, motivasi marah atau kecewa, dan tujuan ingin menakutnakuti atau menentang.
(f) [MELIRIK]
: peletet/meletet, palatat-peletet ’melihat dengan melirik-lirik sambil memberi harapan’. Bola mata (+ gerak), kelopak mata terbuka biasa, arah pandangan berubah-ubah ke kiri dan ke kanan, motivasi tertarik, dan tujuan ingin melihat keadaan.
(g) [MENATAP]
: perong/merong/mencorong ’melihat dengan lama seperti ada niat yang kurang baik’. Bola mata (- gerak), kelopak mata terbuka normal, arah tetap, motivasi ingin tahu, dan tujuan ingin sesuatu.
PENUTUP Berdasarkan pengamatan melalui analisis komponen dan relasi hiponimik, dapat ditemukan 32 leksem berkonsep ‘aktivitas mata’ dengan komponen bersama MELIHAT. Leksem-leksem tersebut masih dapat dikelompokkan dan dirinci lagi berdasarkan komponen makna bersama dan komponen makna spesifiknya. Sayangnya, komponen makna tersebut tidak selalu dikenali atau tidak selalu dapat dibedakan oleh generasi sekarang sehingga penamaan atau penggunaan suatu leksikon yang berkenaan dengan aktivitas mata mulai berkurang.
CATATAN * Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan makalah.
63
Nani Darheni
DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Corbeil, Jean-Claude, et.al. 2004. Kamus Visual Indonesia-Inggris. Canada: QA International. Cruse, D. Alan. 2000. Meaning in Language: An Introduction to Semantics and Pragmatics. Oxford: New York. Crystal, David.1985. A Dictionary of Linguistics and Phonetics (ed.). Oxford Basil, Blackwell, London: Andre Deutch. Dinas Informasi dan Komunikasi, Pemerintah Kota Bandung. 2000. Selayang Pandang Kota Bandung. Bandung. Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford: Blackwell Published. Halliday, M.A.K. 1978. Language and Social Semiotics: The Social Interpretation of Language and Meaning. London:Edward Arnold. Hardjasaputra, A. Sobana (ed.) 2002. Sejarah Kota Bandung 1810--1945. Bandung: Pemerintah Kota Bandung. Kridalaksana, Harimurti. 1994. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Kulsum, Umi, dkk. 2008. Nama Tempat di Kota Bandung yang Berhubungan dengan Air: Tinjauan Antropolinguistik. Bandung: Balai Bahasa Bandung. Kunto, Haryono. 1985. Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung: PT. Granesia. Lembaga Basa dan Sastra Sunda. 1976. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Tarate. Neufeldt, Victoria, et.al. 1993. Webter’s New World Dictionary. Jakarta: Modern Press. Palmer, F.R. 1989. Semantik. Diterjemahkan oleh Abdullah Hasan. Kuala Lumpur: Malaysia. Panitia Kamus Lembaga Basa dan Sastra Sunda. 1995. Kamus Umum Bahasa Sunda. Bandung: Tarate. Pateda, Mansyur. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta. Riana, I Ketut. 2003. “Linguistik Budaya: Kedudukan dan Ranah Pengkajiannya”, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap pada Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Denpasar: Universitas Udayana. Rosidi, Ajip dkk. 2000. Ensiklopedia Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya. Jakarta: Pustaka Jaya. Sibarani, Robert dan Henry Guntur Tarigan (Penyunting). 1993. Makna Nama dalam Bahasa Nusantara: Sebuah Kajian Antropolinguistik. Bandung: Bumi Siliwangi. Sibarani, Robert. 2006. “Antropolinguistik dan Semiotika”, dalam Teuku Kemal Fasya dkk (ed.). Kata dan Luka kebudayaan. Medan: Usupress. Sugono, Dendy, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka. Sumantri,
Maman. 1985. Kamus Sunda-Indonesia. Pengembangan Bahasa.
Jakarta: Pusat
Pembinaan
Surjadi, A. 2006. Masyarakat Sunda: Budaya dan Problema. Bandung: Alumni.
64
dan
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
Suryani, Elis N.S. dan A. Marzuki. 2005. Kamus Bahasa Sunda Buhun. Jatinangor: Alqaprint. Suryani, Elis N.S. dan Undang Ahmad Darsa. 2003. Kamus Bahasa Sunda Kuno Indonesia. Jatinangor: Alqaprint. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Umsari, Oyon Sofyan. 2001. Kamus Dwibahasa Indonesia-Sunda. Bandung: Geger Sunter. LAMPIRAN DATA LEKSIKON AKTIVITAS MATA Citenjo Citenjo merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Cibingbin, Kabupaten Kuningan. Citenjo terbentuk dari ci- (BS) yang bermakna air serta tenjo (BS) yang bermakna lihat. Gelap Nyawang Gelap nyawang merupakan nama jalan yang terletak di Kelurahan Lebak Gede, Kecamatan Coblong, Wilayah Bojonegara, Kota Bandung. Gelap nyawang terbentuk dari kata gelap (BS) yang bermakna halilintar dan nyawang (BS) yang bermakna memandang. Karangpaningal Karangpanigal merupakan nama desa yang terletak Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis. Karangpaningal terbentuk dari dua kata, yakni karang (BS) bermakna halaman dan bentukan paningal (BS) bermakna penglihatan. Kata paningal berasal dari prefiks pa- + tingal ‘lihat’. Karangpaningal berarti ‘tempat melihat’ Melong Melong merupakan nama jalan yang terletak di Kelurahan Paledang, Kecamatan Lengkong, Wilayah Bandung. Melong juga terletak di Kelurahan Melong, Kecamatan Cimahi Selatan, Wilayah Cimahi. Selain itu, melong juga terletak di Desa Melong, Kecamatan Cimahi Selatan, Kabupaten Bandung. Kata melong dalam bahasa Sunda bermakna ‘melihat’. Melong Asih Melong asih merupakan nama kelurahan yang terdapat di Kecamatan Cimahi Selatan, Wilayah Cimahi. Selain nama kelurahan, melong asih juga merupakan nama jalan yang terdapat di Kelurahan Cijerah, Kecamatan Bandung Kulon, Wilayah Bandung. Melong asih terbentuk dari kata melong (BS) yang bermakna ‘melihat’ dan asih (BS) yang bermakna ‘sayang’. Melong Cijerah Melong Cijerah merupakan nama jalan yang terletak di Kelurahan Cijerah, Kecamatan Bandung Kulon, Wilayah Bandung. Melong Cijerah berasal dari kata melong (BS) dan kata cijerah (BS). Kata melong bermakna ‘melihat’ dan kata cijerah yang terbentuk dari ci- bermakna ‘air’‘ dan jerah bermakna ‘curam’. Melong Dalam Melong dalam merupakan nama gang yang terletak di Desa Sukapura, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Melong dalam berasal dari kata melong dan dalam. Kata melong (BS) bermakna melihat dan kata dalam (BI) menunjukkan ‘mendalam’. Melong Green Melong green merupakan nama jalan yang terletak di kelurahan Paledang, Kecamatan Lengkong, Wilayah Bandung. Melong green terbentuk dari kata melong (BS) yang bermakna melihat dan green (B. Inggris) yang bermakna hijau.
65
Nani Darheni
Melong Kaler Melong kaler merupakan nama jalan yang terletak di kelurahan Paledang, Kecamatan Lengkong, Wilayah Bandung. Melong kaler terbentuk dari kata melong (BS) yang bermakna melihat dan kaler (BS) yang bermakna arah utara. Melong Kidul Melong kidul merupakan nama jalan yang terletak di kelurahan Paledang, Kecamatan Lengkong, Wilayah Bandung. Melong kadul terbentuk dari kata melong (BS) yang bermakna melihat dan kidul (BS) yang bermakna arah selatan. Melong Tengah Melong tengah merupakan nama jalan yang terletak di kelurahan Paledang, Kecamatan Lengkong, Wilayah Bandung. Melong kaler terbentuk dari kata melong (BS) yang bermakna melihat dan tengah (BS) yang bermakna arah tengah. Telek Telek merupakan nama jalan yang terletak di kelurahan Cijagra, Kecamatan Lengkong, Wilayah Karees Kota Bandung. Kata telek (BS) bermakna ‘teliti’. Tenjo Tenjo merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Teno, Kabupaten Bogor. Tenjo berasal dari bahasa Sunda yang bermakna ‘melihat’. Tenjoayu Tenjoayu merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Tenjoayu terbentuk dari kata tenjo (BS) yang bermakna lihat/melihat dan ayu (BJ) yang bermakna cantik. Tenjojaya Tenjojaya merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang dan Kecamatan Cibadak (Kabupaten Sukabumi.Tenojaya terbentuk dari dua kata, yaitu tenjo (BS) yang bermakna lihat/melihat dan jaya (BS) yang bermakna ‘unggul’. Tenjolaya Tenjolaya merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Pasirjambu dan Cicalengka, Kabupaten Bandung dan Kecamatan Cicurug (Kabupaten Sukabumi). Tenjolaya terbentuk dari kata tenjo (BS) yang bemakna melihat dan kata laya (BS) yang bermakna ‘mati’. Tenjolayar Tenjolayar merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka dan Kecamatan Mandirancan (Kabupaten Kuningan). Tenjolayar terbentuk dari kata tenjo dan layar. Kata tenjo (BS) bermakna melihat dan layar (BS) yang bermakna ‘kain putih yang lebar dan berada di atas perahu’. Tenjolaut Tenjolaut merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Bandung. Tenjolaut terbentuk dari kata tenjo (BS) bermakna melihat dan laut (BI). Tenjomaya Tenjomaya merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Tenjomaya berasal dari kata tenjo (BS) yang bermakna lihat dan maya (B. Kawi) yang bermakna ‘samar-samar’. Tenjonagara Tenjonagara merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya. Tenjonagara dibentuk oleh kata tenjo (BS) yang bermakna lihat dan nagara (B. Sanskerta) yang bermakna negeri atau tanah yang jelas batas-batasannya, didiami oleh rakyat yang sebangsa, yang diurus dan diatur oleh pemerintah yang sah.
66
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
Tenjowaringin Tenjowaringin merupakan nama desa yang terletak di Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Tenjowaringin terbentuk dari kata tenjo (BS) yang bermakna lihat/melihat dan waringin (BJ) yang bermakna pohon beringin.
Leksikon Aktivitas Mata dalam Bahasa Sunda Verba aktivitas mata dalam bahasa Sunda meliputi leksikon berikut ini.
(1) tenjo, nenjo bermakna ‘melihat’ (2) sawang, nyawang bermakna ’mandang ke/dari kejauhan’ (3) pelong, melong bermakna ‘melihat lama ke orang lain agar memperoleh kejelasan, karena senang atau merasa kenal’ (4) tonton, nonton (5) titen, niten (6) pariksa, mariksa (7) awas, ngawas, ngawaskeun (8) taliti, naliti (9) telek, nelek ‘melihat dengan teliti’ (10) ilik, ngilikan, ulak-ilik (11) longok, ngalongok (12) saksi, nyaksi, nyaksian (13) tempo, nempo ‘menunjukan atau mengarahkan penglihatan dari tempat yang dibatasi, dari dalam ke luar’ (14) paluruh, maluruh (15) layad, ngalayad (16) keker, ngeker (17) teang, neangan (18) panggih, manggih, manggihan (19) timu, nimu (20) peleng, meleng; impleng, ngimpleng (21) toong, noong; (22) intip, ngintip (23) polotot, molotot (24) pencerong, mencerong (25) pendeleng, mendeleng (26) delek, ngadeleK (27) poreret, moreret (28) kicep, ngicep, kicap-kicep (29) dilak, ngadilak (30) kedip, ngedip, kedap-kedip (31) cilek, nyilek (32) reret (33) palatat-peletet
(34) teuteup, neuteup
Nani Darheni
[email protected] Balai Bahasa Bandung
67
Linguistik Indonesia Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 69-75
Copyright 2010 by Masyarakat Linguistik Indonesia
VERBA TRANSITIF DAN OBJEK DAPAT LESAP DALAM BAHASA INDONESIA Tri Mastoyo Jati Kesuma* Universitas Gadjah Mada Abstract Membeli ‘to buy’ and membawa ‘to carry’, for examples, are transitive verbs in Indonesian. Those are verbs which need an object (O). But, the fact, not all of transitive verbs need an O, at least in Indonesian. There is two transtitive verb types which do not need an O. The first type is transitive verbs with a specific O, such as melahirkan ‘to give birth’. The second is transitive verbs which express a feeling, such as memuaskan ‘to satisfy’, mengecewakan ‘to unsatisfy’. Key words: intransitive verb, transitive verb, object, deletable object
PENGANTAR Verba dapat dipilah menjadi dua jenis, yaitu verba transitif dan verba intransitif. Perbedaan antarkedua jenis verba itu terletak pada fungsi Objek (O). Verba transitif adalah verba yang didampingi oleh fungsi O, sedangkan verba yang menghindari fungsi O disebut verba intransitif. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua verba transitif yang mengisi fungsi P didampingi oleh fungsi O secara wajib. Dalam klausa Saya sedang membaca buku, misalnya, fungsi O (buku) tidak harus hadir. Fungsi O itu dapat dilesapkan tanpa merusak keberterimaan klausa sisanya: Saya sedang membaca. Persoalannya adalah verba transitif manakah yang fungsi O pendampingnya dapat lesap? Persoalan itulah yang dibahas dalam makalah ini. Ada dua hal yang dibahas, yaitu seluk-beluk verba yang bila mengisi fungsi P menuntut hadirinya fungsi O dan fungsi O dapat lesap (deletable object) dalam bahasa Indonesia. Kedua hal ini merupakan masalah sintaksis struktural, suatu kancah yang sudah berabad-abad lamanya menjadi limpahan pengamatan di dalam dunia linguistik (Kaswanti Purwo dan Anton, 1985:1). Oleh karena itu, dalam makalah ini kedua hal itu dibahas dalam perspektif sintaksis struktural. VERBA INTRANSITIF DAN VERBA TRANSITIF Verba adalah kategori yang dominan berfungsi sebagai Predikat (P) dalam klausa. Di dalam klausa, fungsi P itu merupakan pusat struktur fungsional klausa (Verhaar, 1981:81). Fungsi P itu mempunyai peranan atau kedudukan yang melebihi fungsi(-fungsi) sintaktis yang lain karena selalu hadir di dalam klausa dan keselaluhadirannya itu menentukan pemunculan fungsi(-fungsi) sintaktis yang lain. Misalnya, subjek (S) berhubungan langsung dengan P, tetapi dengan objek (O) atau keterangan (K) hanya tak langsung, yaitu melalui P klausa (lih. Verhaar, 1981:81). Verba bersifat sentral di dalam klausa, artinya semua konstituen yang lain dianalisis dalam hubungannya dengan verba (lih. Cook, 1989:153). Sentral yang dimaksudkan dalam arti verbalah yang pertama-tama menentukan adanya berbagai struktur konstruksi dalam bahasa yang bersangkutan beserta perubahannya (Sudaryanto, 1983:6). Selaras dengan Chafe (1970:9697; Kaswanti Purwo, 1989:16; Cook, 1979:39), verba itu menentukan (kategori) nomina(l) apa yang mendampinginya, hubungan apa nomina itu dengannya, dan bagaimana nomina itu ditetapkan secara semantis. Verba itulah yang merupakan penentu adanya pendamping tertentu di dalam klausa dan bersama dengan verba itu membentuk klausa yang bersangkutan (lih. Sudaryanto dkk., 1991:11). Bila dilihat dari banyaknya argumen, yaitu konstituen yang bersama-sama verba membentuk klausa (bdk. Kridalaksana, 2008:19), verba dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
Tri Mastoyo Jati Kesuma
verba intransitif dan verba transitif. Verba intransitif adalah verba yang tidak memerlukan O. Dalam bahasa Indonesia, verba intransitif itu, secara morfemis, berupa verba dasar (misalnya tenggelam, naik, timbul), verba berafiks ber- (misalnya berlari, berjalan, berpakaian), verba berafiks ber-kan (misalnya berdasarkan, beralaskan, berlarian), verba berafiks ter- (misalnya tersenyum, teringat, tertawa), dan verba berafiks ke-an (misalnya kelaparan, ketahuan, ketahuan). Dalam membentuk klausa, meskipun tidak memerlukan O, di antara verba intransitif ada yang menghadirkan fungsi pelengkap (Pl) secara wajib, ada yang tidak menghadirkan Pl, dan ada yang menghadirkan Pl secara manasuka. Berikut ini adalah contoh verba intransitif dalam bahasa Indonesia dari ketiga subkategori itu menurut Alwi dkk. (1993:101-102). a. Verba intransitif yang ber-Pl wajib beratapkan berkata (bahwa) berdasarkan berkesimpulan berlandaskan berpandangan (bahwa) bersendikan berpesan (bahwa)
kejatuhan kehilangan merupakan
b. Verba intransitif yang tak ber-Pl berdiri menghijau berlari tenggelam membaik terkejut memburuk terkicuh membusuk timbul
duduk kelaparan kesiangan kedinginan kemalaman
c. Verba intransitif yang ber-Pl manasuka beratap naik berharga berbaju berhenti bercat berpakaian berdinding merasa berpagar
ketahuan kehujanan kecopetan berpintu berpola
Verba transitif adalah verba yang memerlukan fungsi O (Kridalaksana, 1985:54). Berdasarkan jumlah argumen yang hadir dalam pembentukan klausa, verba transitif itu dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu verba monotransitif dan verba dwitransitif. Dalam membentuk klausa, verba monotransitif menghadirkan dua argumen. Dalam bahasa Indonesia, kedua verba jenis verba transitif itu secara morfemis berupa verba berafiks me- (misalnya membawa, membahas, mengambil), berafiks memper- (misalnya memperbesar, memperistri, mempertajam), berafiks me-kan (misalnya mengerjakan, menyelesaikan, mengambilkan, membuatkan), berafiks memper-kan (misalnya mempermaikan, mempersoalkan), berafiks me-i (misalnya mengurangi, melindungi, mengirimi, mengajari), dan berafiks memper-i (misalnya memperbaiki, memperbarui, mempengaruhi). VERBA TRANSITIF BER-O DAPAT LESAP O termasuk ke dalam valensi verba transitif (bdk. Cook, 1979:202). Oleh karena itu, O merupakan fungsi inti (nuclear functions) dalam klausa aktif yang fungsi P-nya berupa verba transitif. O itu dituntut hadir dalam klausa aktif yang fungsi P-nya berupa verba transitif (lih. Alwi dkk., 1993:368). O adalah konstituen yang melengkapi verba transitif dalam klausa (lih. Kridalaksana, 2008:166). O memiliki empat ciri, yaitu (a) berwujud nomina, frasa nominal, atau klausa; (b) berada langsung di belakang P, (c) dapat menjadi fungsi S akibat pemasifan klausa, dan (d) dapat diganti pronomina terikat -nya (Alwi dkk., 1993:370; Sudaryanto, 1983:80). Contoh O itu adalah konstituen bau khas yang barangkali tak terhapus dalam sewindu dan sebuah benda
70
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
yang masih tertutup oleh kain putih dan sebuah benda yang masih tertutup oleh kain putih dalam klausa (1) dan (2) berikut: (1) Aku mencium bau khas yang barangkali tak terhapus dalam sewindu. (2) Ayah mengangsurkan sebuah benda yang masih tertutup oleh kain putih. O biasanya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu O langsung (OL) dan O tak langsung (OTL) (lih. misalnya dalam Kaswanti Purwo dan Anton, 1985:1-36; Kridalaksana dkk., 1985:152-153; Aarts, 1997:15-20). OL adalah nomina atau frasa nominl yang melengkapi verba transitif yang dikenai oleh perbuatan dalam P verbal atau yang ditimbulkan sebagai hasil perbuatan yang terdapat dalam P verbal (Kridalaksana, 2002:52). OTL itu mengacu kepada entitas yang menderita aktivitas atau proses yang dinyatakan oleh verba pengisi fungsi P (lih. Aarts, 1997:15). Contoh OL itu adalah konstituen anak sulungnya dalam klausa berikut: (3) Tuanlaem memanggil anak sulungnya. OL Kridalaksana dkk. (1985:152 bdk Kridalaksana, 2002:52), membedakan OL menjadi dua jenis, yaitu OL afektif dan OL efektif. OL afektif adalah OL yang dikenai oleh perbuatan yang terdapat dalam P verbal, tetapi tidak merupakan hasil perbuatan itu. Contohnya adalah konstituen buku dan jalan dalam klausa berikut: (4) Mereka membaca buku. OL afektif (5) Anak-anak menyeberangi sungai. OL afektif OL efektif adalah OL yang ditimbulkan sebagai hasil perbuatan yang terdapat dalam P verbal. Contoh OL efektif adalah konstituen rumah dan nasi dalam klausa berikut: (6) Mereka membangun rumah. OL efektif (7) Ibu memasak nasi. OL efektif OTL adalah nomina adau frasa nominal yang menyertai verba transitif dan menjadi penerima atau diuntungkan oleh perbuatan yang terdapat dalam P verbal (Kridalaksana dkk., 1985:153). Contoh OTL itu adalah konstituen baju dalam klausa berikut: (8) Ibu membuatkan saya baju. OTL Untuk menyebut OL dan OTL, Ramlan (1987:93, 95) menggunakan istilah O1 dan O2. Ciri fungsi O1 adalah (a) selalu terletak di belakang P yang terdiri atas kata verbal transitif dan (b) menduduki fungsi S dalam klausa pasif. Sementara itu, O2 mempunyai persamaan dengan O1, yaitu selalu terletak di belakang P, tetapi kalau klausanya diubah menjadi klausa pasif, O2 selalu terletak di belakang P sebagai pelengkap (Pl). Contohnya sebagai berikut: (9) (9a)
Pak Sastro membelikan anak itu baju baru. S P O1 O2 Anak itu dibelikan baju baru oleh Pak Sastro. S P Pl K
Dalam Alwi dkk. (1993:369-370), OTL atau O2, yaitu konstituen baju baru (dalam contoh (9)), baik dalam klausa aktif maupun pasif, disebut Pl karena dalam kedua jenis klausa itu selalu berada langsung di belakang fungsi P jika tidak ada fungsi O dan di belakang fungsi O kalau fungsi O itu hadir. 71
Tri Mastoyo Jati Kesuma
Samsuri (1985:173) menggunakan istilah O dan bekas O (object chomeur) untuk menyebut OL dan OTL. Ihwal kedua O itu, Samsuri menyajikan contoh berikut. (10) a. Ahmad membelikan Dullah seekor kambing. b. Ibu menggorengkan ayah kerupuk udang. Menurut Samsuri, frasa nominal Dullah dan ayah tersebut merupakan fungsi O, sedangkan frasa nominal seekor kambing dan kerupuk udang merupakan bekas O. Alasan Samsuri adalah kedua frasa nominal pertama dapat ditopikalisasikan (lihat (10a)), sedangkan dua yang lain tidak dapat ditipikalisasikan (lihat (10b)). (10a) a1. a2. b1. b2.
Dullah dibelikan seekor kambing oleh Ahmad. Dullah dibelikan (oleh) Ahmad seekor kambing. Ayah digorengkan kerupuk udang oleh ibu. Ayah digorengkan (oleh) ibu kerupuk udang.
(10b) a1. a2. b1. b2.
*Seekor kambing dibelikan Ahmad Dullah *Seekor kambing dibelikan Ahmad Dullah. *Kerupuk udang digoreng (oleh) ibu ayah. *Kerupuk udang digorengkan (oleh) ibu ayah.
Sudaryanto (1983:80) membedakan fungsi O dari semi O (SmO). O adalah fungsi sintaktis yang (a) kecuali diisi oleh nomina, juga oleh klitik –nya, (b) merupakan fungsi peserta bagi fungsi P yang diisi verba polimorfemis berafiks meN-, dan (c) pengisinya dapat mengisi fungsi S dalam parafrasa pasifnya (Sudaryanto, 1983:80). Fungsi O dituntut hadir dalam klausa yang fungsi P-nya diisi oleh verba polimorfemik meN-, memper-, meN-kan, meN-i, memperkan, dan memper-i. Contohnya sebagai berikut: (11) (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) (j) (k) (l)
P menggunting memutar balik membolak-balik memperalat memperolok-olok menggambarkan mengemukakan mempertahankan memperjualbelikan menyusuri memperbaiki mempertakut-takuti
O kertas kenyataan buku harian adik tirinya temannya kejadian itu masalahnya negara barang-barang bekas pantai kelakuan saya
SmO adalah fungsi peserta bagi P yang hanya memiliki salah satu ciri O (entah hanya dapat berupa morfem –nya yang anaforis, entah hanya dapat mengisi fungsi S dalam kalimat lain dengan informasi yang sama), padahal verba pengisi fungsi P-nya memiliki ciri yang sama pula (berafiks meN-) (Sudaryanto, 1983:80). Fungsi SmO merupakan pendamping fungsi P yang pengisinya berupa verba polimorfemis yang selalu menyertakan afiks –i atau –kan dengan akar atau dasar yang tidak direduplikasikan. Contohnya sebagai berikut: (12) (a) (b) (c)
P menyerupai melebihi memuaskan
SmO ayah Ali hati saya
72
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
OL dan OTL hadir dalam klausa yang mengandung verba yang bervalensi tiga (Kaswanti Purwo, 19845:11). Klausa itu sering pula dilabeli klausa berobjek ganda (Suhandano, 1997:71-76; Kaswanti Purwo, 1985:11). Di dalam teori sintaksis Verhaar (1981:71), tidak ada pengertian “objek ganda”; hanya ada satu O saja: konstituen manakah di dalam klausa aktif yang dapat dijadikan S di dalam klausa pasif itulah yang menduduki fungsi O (lih. Kaswanti Purwo dan Anton, 1985:26-27). Selaras dengan pandangan Verhaar itu, dalam tulisan ini pun hanya diakui adanya satu jenis fungsi O. Fungsi lain yang perilakunya mirip dengan fungsi O itu disebut pelengkap (Pl) (lih. Alwi dkk., 1993:369-370). Telah disebutkan bahwa verba transitif adalah verba yang memerlukan O. Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua verba transitif memerlukan O. Dari hasil penelusuran diketahui bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat sejumlah verba transitif yang dalam membentuk klausa tidak memerlukan O secara wajib. Hal terakhir itu terjadi karena dua alasan. Alasan pertama adalah O sudah disebut konteks sebelumnya. Contohnya sebagai berikut: (13) Bapak masuk dan menendang kursi yang diduduki Ripin. Ripin terkejut, terjaga, dan mendapati tangan kekar Bapak memuntir daun telinga kanannya. Dengan kasar Bapak menyeretnya ke arah sumur, dan perintah Bapak kemudian tidak perlu dikatakan lagi. Ripin mengambil air wudhu dan bergegas shalat ashar. Sehabis shalat ashar, Bapak sudah menunggu ø di meja makan. (14) Kalau bapaknya Dikin lewat depan rumah, Mak suka mengintip ø dari belakang pintu. Dalam kedua kutipan tersebut O, yang seharusnya diisi Ripin (dalam (13)) dan bapaknya Dikin (dalam (14)) tidak hadir meskipun verba pengisi P, yaitu menunggu (dalam (13)) dan mengintip (dalam (14)), adalah verba transitif. Ketidakhadiran O tersebut, yang dilambangkan dengan zero (ø)), terjadi karena kedua O tersebut telah disebut dalam kalimat atau klausa sebelumnya (meskipun dalam kalimat atau klausa sebelumnya konstituen yang dimaksud tidak berfungsi sebagai O, tetapi S). Alasan kedua adalah verba transitif yang memerlukan kehadiran O bertipe tertentu. Dalam bahasa Inggris, menurut Lehrer (1970:227-253), ada empat tipe verba yang O-nya dapat dilesapkan (deletable objects), yaitu verba tipe I (misalnya drive ’menyetir’, drink ’minum’), tipe II (misalnya act ’main’, compose ’mengarang’), tipe III (misalnya call ’memanggil’, refuse ’menolak’), dan tipe IV (misalnya attack ’menyerang’, pull ’menarik’). Dalam bahasa Indonesia juga terdapat verba transitif seperti yang ditunjukkan oleh Lehrer, tetapi jenis dan cirinya berbeda. Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat dua tipe verba transitif yang tidak memerlukan O secara wajib sehingga O itu dapat (di)lesap(kan). Verba transitif tipe pertama, yang dalam Lehrer termasuk dalam verba transitif tipe I dan II, adalah verba transitif yang menyatakan kekhasan O. O yang dituntut hadir dalam verba tipe ini khas sehingga tanpa dihadirkan pun sudah dapat dipahami. Verba transitif yang dimaksud adalah sebagai berikut: (15) Verba Transitif melahirkan mencangkul memasak menyopir menyetir membajak menjahit mencuci membaca mengajar
O dapat Lesap (anak) (tanah) (makanan, sayur) (mobil, kendaraan) (mobil, kendaraan) (sawah) (baju, celana, pakaian) (baju, celana, pakaian) (buku, novel, roman, cerpen, surat) (siswa, mahasiswa)
73
Tri Mastoyo Jati Kesuma
mengarang menulis menggambar melukis menyeterika mendengar
(cerpen, novel, roman) (surat, buku) (orang, binatang, pemandangan) (gambar, pemandangan) (pakaian) (bunyi, suara)
Verba transitif tipe kedua adalah verba transitif yang menyatakan perasaan (bdk. Charlie, 2007:91). Verba transitif jenis ini berafiks me-kan dengan bentuk dasar berupa adjektiva atau verba keadaan. Verba transitif jenis ini terdiri atas dua subtipe. Verba subtipe pertama memiliki ciri: dapat disertai O dan dapat dipasifkan. Berikut disajikan contohnya: (16) Verba Transitif meyakinkan mengawatirkan mengejutkan mengecewakan memuaskan merepotkan menyegarkan
O dapat Lesap (orang) (kita) (saya) (kita semua) (semua pihak) (semua orang) (kita)
Ciri verba subtipe kedua adalah dapat disertai O, tetapi tidak dapat dipasifkan. Contohnya sebagai berikut: (17) Verba Transitif membahagiakan membahayakan membingungkan membosankan mencurigakan menggelikan menggelisahkan menggembirakan mengharukan mengherankan menjemukan menjengkelkan menjijikkan mengagumkan mengesankan melegakan melelahkan meletihkan memalukan mengerikan memprihatinkan menyakitkan menyedihkan menyenangkan menyeramkan menyulitkan memberatkan
O dapat Lesap (orang) (kita) (saya) (kami) (kita) (saya) (hati saya) (saya) (kita) (saya) (saya) (saya) (saya) (saya) (saya) (semua pihak) (saya) (saya) (saya) (saya) (kita) (hati) (saya) (saya) (saya) (kita) (terdakwa)
74
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
SIMPULAN Dalam konsteks tertentu dimungkinkan O tidak hadir dalam konstruksi klausa transitif. Ketidakhadiran itu dapat terjadi karena verba transitif yang menuntut hadir berwatak tertentu. Verba transitif yang menyatakan perasaan, misalnya, tidak menuntut kehadiran O secara wajib. CATATAN * Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan makalah.
DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan dkk. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Aarts, Bas. 1997. English Syntax and Argumentation. Houndmills: Macmillan Press, Ltd. Cook, Walter A.A.. 1979. Case Grammar: Development of the Matrix Model (1970-1978). Washington D.C.: Georgetown University Press. ---------. 1989. Case Grammar Theory. United States of America: Georgetown Press. Chafe, Wallace L. 1970. Meaning and The Structure of Language. Chicago: The University of Chicago Press. Charlie, Lie. 2007. “Kalimat Tanpa Objek atau Pelaku” dalam Majalah Intisari No. 527 Juni 2007, hal. 90-91. Kaswanti Purwo, Bambang dan Anton M. Moeliono. 1985. “Analisis Fungsi Subjek dan Objek: Sebuah Tinjauan” dalam Kaswanti Purwo, Bambang (ed.), 1985. Kaswanti Purwo, Bambang (ed.). Untaian Teori Sintaksis 1970-1980-an. Jakarta: Arcan. Kaswanti Purwo, Bambang. 1989. "Tata Bahasa Kasus dan Valensi Verba" dalam Kaswanti Purwo, Bambang, peny. 1989a PELLBA II. Yogyakarta: Yayasan Kanisius, hlm. 1-23. Kridalaksana, Harimurti dkk. 1985. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia: Sintaksis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kridalaksana, Harimurti. 2002. Struktur, Kategori, dan Fungsi dalam Teori Sintaksis. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. ---------. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Lehrer, Adrienne. 1970. ”Verbs and Deletable Objects” dalam Lingua 25 (1970), hal. 227-253. Ramlan. M. 1987a (edisi I, 1981). Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: C.V. Karyono. Samsuri. 1985. Tata Kalimat Bahasa Indonesia. Jakarta: Sastra Hudaya. Sudaryanto. 1983 (disertasi 1979 yang diterbitkan). Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia: Keselarasan Pola-Urutan. Jakarta: ILDEP-Djambatan. Sudaryanto dkk. 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Suhandano. 2002. “Konstruksi Objek Ganda dalam Bahasa Indonesia” dalam Jurnal Humaniora Volume XIV No. 1/2002, hal. 70-76. Verhaar, J.W.M. 1981. Pengantar Lingguistik. Jilid I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Tri Mastoyo Jati Kesuma
[email protected] Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada 75
Linguistik Indonesia Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 77-84
Copyright 2010 by Masyarakat Linguistik Indonesia
ANALISIS SEMIOTIK KULTURAL PANTUN BAHASA INDONESIA-MAKASSAR: DARI BILINGUALISME KE MULTIKULTURALISME Ery Iswary* Universitas Hasanuddin Abstract This paper identifies and analyzes the cultural symbols based from the text of bilingual pantun (traditional poetry) Indonesian-Makassarese by a Chinese origin writer, Ang Bang Tjiong. The cultural symbols that were identified based on Peirce’s trilogies i.e.index, icon, and symbol. The purpose of this paper is to view the pantun texts and analyze the symbols that used in the pantun texts, to explore cross culture local-global that indicated (Makassarese, Malay, China) in form of hybridity and interaction from multiculturalism perspective. The qualitative descriptive method and multiculturalism perspective on language was applied to examine the pantun texts; the cultural semiotic framework was used to analyze the data. The results of the data analyzes indicated that the bilingual pantun Malay-Makassarese shows hybridities aspects of Indonesian-Makassarese-China in the form of language performance was used in all pantun texts. The results of lexical analyzes explicitly expressed cross cultural between cultural symbols and iconic in Malay-Makassarese-Chinese. Cultural symbols such as Makassarese’s icon was reflected by lexical options, for example, words such as karaeng ‘King’, jonga ‘deer’, aksuling-suling ‘to flute’, lipak sakbe ‘silk saroong’, and some places with the Makassar setting (i.e. Malino, Bonto Tangga, parigi).The Chinese’s cultural symbols and icon could be seen by using lexical such as Nona, Toke, red color, China Kampoong. While Malay’s symbols and icon indicates by using the lexical like tuan, bulan purnama, inta, pinang, sirih, etc. Each symbol and iconused from each culture showed the cultural values significant in their communities. However, symbols like index are not found in the pantun text. The research of bilingual pantun text from hibridity and Multiculturalism aspects (MalayIndonesian-Makassarese-China) suggests the observation and language and culture research of local-global community and solidarity in the country. Meanwhile, hibridity and multiculturalism phenomena in Indonesian and Makassarese in the pantun text can support the empowerment of Indonesian and local language (Makassarese) to survive. Key words: cultural semiotic, pantun text, symbol, icon, hibridity, multiculturalism, Makassarese
PENGANTAR Pantun merupakan salah satu produk sastra yang sangat dikenal dalam bahasa-bahasa nusantara. Pada umumnya pantun terdiri atas empat larik atau empat baris dan terdiri atas sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama biasanya berkaitan dengan alam (mencirikan budaya masyarakat pendukungnya) dan seringkali tidak mempunyai hubungan dengan bagian kedua. Dua baris terakhir merupakan isi yang merupakan tujuan dari pantun tersebut(Agni, 2009:6). Pantun berfungsi sebagai alat pemelihara bahasa dan sebagai media mengasah pikiran untuk lebih kreatif. Disamping itu, untuk berpantun biasanya lebih mengarah kepada berpikir asosiatif secara spontanitas karena merupakan arena permainan kata-kata sekaligus sebagai penyampai pesan. Masalah yang akan dikaji dalam kertas kerja ini mengidentifikasi, menganalisis, dan menginterpretasi simbol-simbol kultural yang bersumber dari teks pantun bilingual (dwibahasa) Melayu-Makassar yang ditulis oleh seorang keturunan Cina (Karya Ang Bang Tjiong). Simbolsimbol kultural yang akan diidentifikasi adalah simbol-simbol yang berazaskan pada trilogi
Ery Iswary
Peirce yaitu indeks, ikon dan simbol. Kertas kerja ini bertujuan untuk mendeskripsikan teks pantun dan menganalisis simbol dalam pantun dwibahasa Melayu-Makassar yang digunakan dalam pantun tersebut. KONSEP BILINGUALISME, MULTIKULTURALISME, DAN SEMIOTIK KULTURAL Bilingualisme adalah penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau oleh suatu masyarakat (Kridalaksana, 1984:29). Kridalaksana membedakan bilingualisme menjadi 3 jenis yaitu: 1. Bilingualisme koordinat : bilingualisme dengan dua sistem bahasa atau lebih yang terpisah (seseorang yang bilingual koordinat ketika menggunakan satu bahasa tidak menampakkan unsur-unsur dari bahasa lainnya; tidak terjadi pencampuran sistem). 2. Bilingualisme majemuk : bilingualisme dengan dua sistem bahasa atau lebih yang terpadu (sering mengacaukan unsur-unsur kedua bahasa/ atau lebih dari bahasa yang dikuasainya). 3. Bilingualisme subordinat : bilingualisme dengan dua sistem bahasa atau lebih yang terpisah tetapi masih terdapat proses penerjemahan (biasanya masih mencampurkan konsep-konsep bahasa pertama ke dalam bahasa kedua). Perkembangan global mengakibatkan melunturnya batas-batas geografis di antara negara-negara dan menyebabkan arus perpindahan manusia dari satu negara menuju negara lain semakin lebih mudah. Kondisi ini mengakibatkan hadirnya multikultural dalam sebuah negara.Gerakan-gerakan multikultural yang pertama-tama muncul di Kanada dan Australia sekitar awal tahun 1970-an dalam beberapa hal dipicu oleh semakin kuatnya ketertarikan para akademisi barat terhadap studi-studi kultural di berbagai belahan dunia. Multikulturalisme adalah suatu ideologi yang mengedepankan pentingnya pengakuan dan toleransi atas keragaman. Sebagai sebuah ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang mencakup kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, serta berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan (Suparlan, 2008:4). Parekh (dalam Piliang, 2007:2) berpendapat bahwa multikulturalisme harus dipahami bukan sebagai doktrin tetapi sebagai suatu perspektif atau suatu cara pandang kehidupan manusia dengan menawarkan 3 prinsip utama. Petama, bahwa manusia secara kultural berada dalam suatu masyarakat yang mengorganisasikan kehidupan dan hubungan-hubungan sosial serta memandang dunia dari suatu budaya yang membentuknya. Kedua, perbedaan budaya mewakili berbedanya sistem makna dan visi-visi tentang kehidupan yang baik; memerlukan budaya lain untuk membantu memahami budayanya sendiri dengan lebih baik dan menjaganya agar tidak mengabsolutkan dirinya sendiri. Ketiga, setiap budaya secara internal bersifat plural dengan arus pemikiran yang berubah dan tetap menghadirkan identitasnya. Menurut Raymond Williams amat sulit menemukan definisi multikulturalisme. Selain menunjuk kepada kemajemukan budaya, multikulturalisme juga mengacu kepada sikap khas terhadap kemajemukan budaya tersebut (dalam Lubis,2010:2). Menurutnya ada lima tipe multikulturalisme,yaitu (1) Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada visi masyarakat sebagai tempat kelompok-kelompok budaya yang berbeda menjalani hidup mandiri dan terlibat dalam interaksi sebagai syarat hidup bersama; (2) Multikulturalisme akomodatif, mengacu kepada visi masyarakat yang bertumpu pada satu budaya dominan dengan penyesuaian dan pengaturan untuk kebutuhan budaya minoritas; (3) Multikulturalisme mandiri¸ mengacu kepada kelompok-kelompok budaya besar mencari kesetaraan dengan dominan dan bertujuan menempuh hidup mandiri dalam kerangka politik kolektif yang dapat diterima; (4) Multikulturalisme kritis atau interaktif, mengacu kepada masyarakat tempat kelompok 78
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
kultural kurang peduli untuk menempuh hidup mandiri dan peduli dalam menciptakan suatu budaya kolektif yang mencerminkan dan mengakui perspektif mereka yang berbeda-beda; (5) Multikulturalisme kosmopolitan, mengacu kepada visi masyarakat yang berusaha menerobos ikatan-ikatan kultural dan membuka peluang bagi individu yang tidak terikat dengan budaya khusus secara bebas bergiat dalam eksperimen antar kultur dan mengembangkan satu budaya milik mereka sendiri. Prinsip-prinsip multikulturalisme versi Parekh di atas, yakni prinsip yang menyatakan bahwa perbedaan budaya mewakili berbedanya sistem makna dan visi tentang kehidupan yang baik; memerlukan budaya lain untuk membantu memahami budayanya sendiri dengan lebih baik, dan menjaganya agar tidak mengabsolutkan dirinya sendiri. Di samping itu, prinsip yang menyatakan setiap budaya secara internal bersifat plural dengan arus pemikiran yang berubah dan tetap menghadirkan identitasnya, sejalan dengan fenomena penggunaan bahasa dalam pantun bilingual ini yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Makassar dalam setiap larik dan baitnya secara setara (seimbang). Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pengakuan dan toleransi atas keragaman bahasa dan budaya juga dapat diimplementasikan melalui penggunaan bahasa dalam pantun. Di balik penggunaan bahasa dalam pantun bilingual juga mengindikasikan adanya interaksi dua bahasa yang sekaligus mengindikasikan munculnya simbol-simbol kultural sebagai identitas masing-masing dari tiga kultur yaitu Makassar, Melayu, dan Cina (multikultur). Adapun tipe multikulturalisme yang tampak dalam pantun bilingual merupakan perpaduan antara multikulturalisme kritis/interaktif dan multikulturalisme kosmopolitan. Fenomena hibridasi bahasa dan budaya yang tercermin dalam pantun bilingual ini sangat menarik dikaji dari perspektif semiotik oleh karena fenomena bilingualisme dan multikulturalisme ini juga menguak sistem tanda yang berkaitan satu sama lain yang bersifat konvensional. Di samping itu, membutuhkan interpretasi dan inferensi dalam konteks kultural untuk memperoleh makna yang terkandung di dalamnya. Pendekatan semiotik kultural digunakan untuk kajian ini oleh karena semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia, yang mana tanda-tanda tersebut haruslah dimaknakan (Hoed, 2007:3). Sedangkan semiotik kultural adalah kajian semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu (Sobur, 2001:101). Konsep tanda yang dijadikan acuan dalam kertas kerja ini adalah trilogi tanda Peirce yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon merupakan tanda yang dapat menggambarkan ciri utama sesuatu, yang menyerupai apa yang direpresentasikannya (konsep persamaan). Indeks adalah tanda yang hadir secara asosiatif akibat terdapatnya hubungan ciri acuan yang sifatnya tetap (hubungan kausal). Adapun simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang lainnya berdasarkan kesepakatan (konvensi). Hoed (2007:22) menyatakan bahwa dalam melihat kebudayaan sebagai signifying order dapat dibedakan empat faktor yang perlu diperhatikan dan berkaitan satu sama lain, yaitu: 1. 2. 3. 4.
Jenis tanda (ikon, indeks, symbol) Jenis sistem tanda (bahasa, music, gerakan tubuh) Jenis teks (percakapan, lirik lagu, pantun) Jenis konteks/situasi yang mempengaruhi makna tanda (psikologi, social, kultural, historis)
METODE PENELITIAN Sumber Data Sumber data untuk kertas kerja ini adalah pantun yang dikarang oleh Ang Bang Tjiong. Pantun-pantun yang berjumlah kurang lebih 200 bait ini dirangkum dalam bentuk sebuah buku
79
Ery Iswary
pantun yang dinamakannya “Buku Pantun Melayu-Makassar”. Larik-larik dan bait-bait dalam pantun memiliki nilai estetika tersendiri jika dibandingkan dengan pantun yang murni berbahasa Indonesia atau Makassar lainnya. Semua larik dan bait pantun merupakan hibridasi penggunaan bahasa Indonesia dan Makassar yang sangat harmonis. Ang Ban Tjiong tidak hanya berupaya menciptakan persajakan berdasarkan bahasa Melayu, tetapi juga lebih menyesuaikannya dengan diksi bahasa Makassar sesuai dengan pesan yang ingin diungkapkannya. Ang Ban Tjiong memilih kataMelayu (Indonesia) dan menyambungnya dengan kata Makassar lalu menyusunnya dalam larik dan menjadi bait. Beliau membuat persajakan dengan gaya “aaaa” Meskipun kadang-kadang tidak taat azas seperti pantun pada umumnya agar yang dipilihnya dapat menyatu dengan pilihan kata Melayu yang digunakan pada setiap awal baris dan bahasa Makassar di akhir. Dengan demikian, setiap rangkaian kata dalam satu larik tercipta rangkaian nada yang harmonis antara bahasa Melayu dan bahasa Makassar. Pantun ini juga agak unik karena diciptakan sebagai media bercerita dan mengungkapkan berbagai hal yang dirangkum menjadi sebuah rangkaian pantun yang saling berkaitan, antara lain perasaan cinta antara gadis dan pemuda, kekayaan dan kemiskinan, nasihat kehidupan, dan kondisi sosial budaya Makassar, dan sebagainya. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Data pantun yang akan dijadikan sampel diseleksi sesuai dengan kebutuhan analisis data 2. Menseleksi bait-bait pantun yang dianggap representatif dan mengindikasikan adanya penggunaan simbol, ikon , maupun indeks. 3. Mengklasifikasi dan menganalisis penggunaan leksikal yang mengisyaratkan unsur-unsur simbol, ikon, indeks dan menghubungkannya dengan latar belakang budaya Makassar, Melayu, Cina. 4. Mengintrerpretasi dan membuat inferensi terhadap penggunaan simbol dan ikonikon yang ditemukan berdasarkan konteks budaya masing-masing. DESKRIPSI DAN ANALISIS PANTUN BILINGUAL Jenis teks yang dianalisis adalah analisis teks pantun berbahasa Indonesia-Makassar yang mengindikasikan adanya unsur multikultural yang terefleksi dari penggunaan bahasa dan penggunaan diksi yang digunakan dalam pantun. Data pantun yang dianalisis sebagai objek kajian sebanyak 200 bait yang terangkum dalam sebuah buku berjudul “Pantun MelayuMakassar” karya Ang Bang Tjiong. Fenomena bilingualisme terindikasi melalui penggunaan dua bahasa dalam keseluruhan pantun yaitu bahasa Indonesia (Melayu) dan bahasa Makassar secara konsisten secara seimbang pada setiap larik dan bait. Sedangkan fenomena multikulturalisme dan hibriditas terindikasi melalui penggunaan leksikal yang terhibridasi dengan memunculkan ikon-ikon budaya Makassar, Melayu, dan Cina. Analisis data menggunakan kerangka trilogi Peirce (simbol, ikon, dan indeks) dengan mengidentifikasi penggunaan leksikal/diksi, baik berupa kata maupun frase untuk setiap larik dan bait yang mengindikasikan adanya penggunaan simbol. Analisis dan interpretasi makna simbol didasarkan pada wawasan kultural dan konvensi yang telah terbentuk dalam masyarakat; analisis dan interpretasi penggunaan simbol berupa ikon didasarkan adanya prinsip kesamaan atau analogi penggunaan leksikal dengan latar belakang budaya Makassar, Melayu, atau Cina. Sedangkan analisis dan interpretasi simbol berupa indeks didasarkan atas adanya penggunaan leksikal yang mengindikasikan adanya hubungan kausal (sebab akibat). Hasil analisis data teks pantun mengindikasikan bahwa teks pantun Melayu-Makassar mengindikasikan adanya unsur hibriditas bahasa Melayu-Makasar-Cina dalam bentuk
80
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
performansi bahasa yang digunakan dalam keseluruhan teks pantun dengan menggunakan dua bahasa secara berselang-seling yaitu bahasa Melayu dan bahasa Makassar pada setiap larik dan bait pantun. Berdasarkan hasil analisis penggunaan leksikal dalam teks pantun dwibahasa menyiratkan simbol kultural yang terindikasi dari aspek ikonik dan simbol budaya yang memunculkan adanya unsur interaksi dan hibriditas bahasa/budaya Melayu-Makassar-Cina. Berdasarkan hasil analisis jenis tanda dalam pantun bilingual, ditemukan beberapa bentuk ikon yang masing-masing mengindikasikan ikon-ikon kultural. Adapun teks yang dipilh sebagai representasi data dapat dideskripsi seperti berikut: 1.
Masuk di hutan akboya jonga Mesti membawa kongkong pajonga Eloknya nona sangkamma bunga Jadikan rumah tuli sumanga
’Masuk di hutan mencari rusa’ ’Mesti membawa anjing pemburu rusa’ ’Eloknya nona seperti bunga’ ’Jadikan rumah selalu bersemangat’
2.
Bagusnya bunga lango-langona Dicium wangi nyamang rasanna Eloknya nona tena callanna Bulan purnama erok rapanna
’Bagusnya bunga merah jambunya’ ’Dicium wangi semerbak baunya’ ’Eloknya nona tanpa cela’ ’Bulan purnama perumpamaannya’
3.
Bagusnya kain bunga-bunganna Ibarat mangga moncongbulona Manisnya nona muri-murina Ibarat intan kalakbbiranna
’Bagusnya kain bunga-bunganya’ ’Ibarat mangga warna hijaunya’ ’Manisnya nona senyumannya’ ’Ibarat intan kemuliannya’
4.
Di atas gunung aksuling-suling Di samping kembang attammu liling Matanya nona napunna njalling Hatiku tobat kummaling-maling
‘Di atas gunung berseruling’ ‘Di samping kembang sekelilingnya’ ’Matanya nona jika memandang’ ’Hatiku tobat penuh rasa’
5.
Main bola akkasuk gatta Bola disepak aklanta-lanta Jikalau nona ilalang patta Makin dipandang ammesok mata
’Main bola berkasut karet’ ’Bola disepak terpental-pental’ ’Jikalau nona di dalam peta’ ’Makin dipandang menarik mata’
6.
Naik auto ke Pangkajekne Anak desa akjekne-jekne Di dunia ini jai baine Nona seorang anggerang tekne
’Naik mobil ke Pangkaje’ne’ ’Anak desa berenang-renang’ ’Di dunia ini banyak perempuan’ ’Nona seorang membawa suka’
7.
Sarung sutera nijaik-jaik Dalam rumah tukang manjaik Nona seorang minang kungai Paling kupuji bajik pakmaik
’Sarung sutra dijahit-jahit’ ’Dalam rumah tukang menjahit’ ’Nona seorang paling kusuka’ ’Paling kupuji baik hati’
8.
Kota Makassar butta Jumpandang Darah Makassar mate ri Padang Melihat nona make salendang Hatiku bingung erok anngondang
’Kota Makassar tanah Jumpandang’ ’Darah Makassar mati di Padang’ ‘Melihat nona memakai selendang’ ‘Hatiku bingung hendak mengejar’
9.
Tinggi gunung kota Malino Intan jamarro bulaeng tikno Saya hidup empo ri lino Zonder nona rasanya sino
‘Tinggi gunung kota Malino’ ‘Intan jamarro emas murni’ ‘Saya hidup tinggal di dunia’ ‘Tanpa nona rasanya sepi’
10. Orang Dayak anngerang pana Anak hartawan ri kampong Cina 81
‘Orang Dayak membawa pana’ ‘Anak hartawan di kampung Cina’
Ery Iswary
Harta itu niak boyanna Cinta itu tak tena ballianna
‘Harta itu bisa dicari’ ‘Cinta itu tak dapat dibeli’
11. Kata jonga ’rusa’ dan kongkong pajonga ’anjing pemburu rusa’ merupakan ikon budaya Makassar. Tradisi berburu rusa merupakan kegiatan yang sering dilakukan orang Makassar zaman dahulu. Tujuan diadakannya kegiatan berburu rusa bukan hanya untuk memperoleh daging rusa tetapi sekaligus sebagai media silaturahmi antar keluarga sang pemburu rusa, oleh karena pada saat para suami berburu, maka para anak dan istri saling bercengkerama satu sama lain. Kata aksuling-suling ’berseruling’ merupakan kegiatan yang sering dilakukan para penggembala di Makassar saat menunggu kerbau mereka makan rumput. Kata ”sarung sutra” adalah ikon Makassar karena merupakan ciri khas produk tenunan khas Makassar. Sarung sutra merupakan hasil keterampilan tenunan, yang pada zaman dahulu merupakan keterampilan yang harus dimiliki kaum perempuan. Selain itu, ikon Makassar berupa tempat terindikasi dengan adanya penggunaan nama-nama tempat yang ada di Makassar seperti Pangkajekne, Makassar, Jumpandang, Malino. Ikon Cina diindikasikan dengan penggunaan kata nona secara berulang-ulang ;dan kasut gatta ’sandal jepit’ yang biasanya buatan Cina. Dalam data lain juga ditemukan kata Toke, Kampong Cina, warna merah, yang merupakan leksikal-leksikal yang mengindikasikan kultur Cina. 11.
Sunting mas tena anggakna Jikalau hilang paramatana Surat-menyurat tena balena Jikalau jauh batangkalenna
‘Sunting mas tidak berharga’ ‘Jika hilang permatanya, ‘Surat menyurat tak ada enaknya’ ‘Jikalau jauh bagtang tubuhnya’
12.
Pinang muda nibatta-batta Makan sirih nikota-kota Siang dan malam akjekne mata Dapat pikiran passingainta
‘Pinang mudah dibelah-belah’ ‘Makan sirih dikunyah-kunyah’ ‘Siang malang berlinang airmata’ ‘Dapat pikiran kisah cinta kita’
13.
Jikalau kita jai dowetta Juga pun tinggi kaporeanta Ibarat raja tumapparenta Duduk bertahta ri kalompoanta
‘Jika kita banyak uang’ ‘Juga pun tinggi keahliannya’ ‘Ibarat Raja yang memerintah’ ‘Duduk bertahta dikebesarannya’
Ikon Melayu ditemukan kata-kata seperti bulan purnama, intan, tuan, sunting, pinang, sirih, Raja, tahta yang mana kata-kata ini sangat familiar dalam budaya melayu oleh karena itu kata-kata ini berasosiasi dengan nilai-nilai yang berlatarbelakang budaya dan masyarakat Melayu. Berdasarkan hasil analisis data pantun tidak ditemukan simbol berupa indeks. Data pantun lainnya yang memperlihatkan penggunaan simbol-simbol yang berakar dari budaya Makassar dapat terindikasi melalui penggunaan leksikal dalam pantun berikut: 14.
Naiklah perahu akboya gosse Di atas gunung aklamung ase Biarpun nona tau kamase Saya datang akmase-mase
‘Naiklah perahu mencari rumput laut’ ‘Di atas gunung menanam padi’ ‘Biarpun Nona orang miskin’ ‘Saya datang mengiba diri’
15.
Lemasnya cinta kuntui jekne Kuatnya sama burak-burakne Cinta itu anngerang tekne Senangkan hati burakne-baine
‘Lemasnya cinta ibarat air’ ‘Kuatnya sama laki-laki’ ‘Cinta itu nggerang tekne’ ‘Senangkan hati laki-laki perempuan’
82
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
Hasil analisis simbol mengindikasikan bahwa pemilihan leksikal yang digunakan dalam pantun juga menyimbolkan eksistensi laki-laki dan perempuan. Simbol yang berasosiasi dengan laki-laki adalah main bola (data 5), perahu (data 13), air (data 14). Adapun simbol yang berasosiasi dengan perempuan adalah bunga dan rumah (data 1),bulan purnama (data 2), intan (data 3 ) , sunting mas dan permata (data 11). PENUTUP Setiap simbol dan ikon yang digunakan dalam masing-masing budaya tersebut memuat nilainilai kultural tersendiri yang dianggap signifikan dalam komunitasnya. Pengkajian teks pantun dwibahasa dari aspek hibriditas dan multikulturalisme (Melayu-Makassar-Cina) akan memperkaya khasanah pengkajian bahasa dan budaya dalam komunitas lokal-global dan dapat memperkukuh solidaritas antar bangsa dan Negara. Analisis tentang identitas kultural yang berbeda merupakan saluran menuju warisan kebangsaan di mana salah satu warisan kebangsaan tersebut adalah bahasa. Bahasa yang digunakan sebagai medium pengungkapan atau alat ekspresi untuk mengetahui bukti sejarah sebagai konteks suatu pemahaman identitas suatu budaya. Identitas budaya yang muncul dalam suatu komunitas bukan hanya sebagai warna kelokalan tetapi juga sebagai ekspresi budaya yang menawarkan alternatif pencitraan dalam masyarakat.
CATATAN * Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan makalah.
DAFTAR PUSTAKA Afid dan Witoelar, Wimar. 4 Maret 2007. Soal Multikulturalisme. http://paramadina.wordpress.com Budianta, Melani. 2008. Sastra dan Interaksi Lintas Budaya. Jakarta: Majalah Maya Pusat Bahasa. [15 Agustus 2008]. Eriyanto. 2003. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Jogjakarta: LkiS. Fairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. USA: Addison Wesley Longman. Inc. Harahap, Ahmad Rivai. 2006. Multikulturalisme dan Penerapannya dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Bergama. Medan : LPKB Perwakilan Medan. Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Ibrahim, Syukur (ed). 2002. Semiotik. Surabaya: Airlangga University Press. Mahpur, Mohammad. 2008. Hibriditas dan Menyoal Kearifan Lokal. PUSPeK Averroes. [8 Maret 2008] Maslikhah. 2007. Qua Vadis Pendidikan Multikultur Rekonstruksi Sistem Pendidikan Berbasis Kebangsaan. Salatiga: STAIN Salatiga Press.
83
Ery Iswary
Paeni, dkk. 2003. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia. Parekh, Bhikhu. 2008. Rethinking Multiculturalism Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Jogjakarta : Kanisius. Piliang. 2007. Sastra Multikultural. Hangtuah Digital Library. [8 Februari 2007] Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Sobur, Alex. 200 Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sufyanto. 2007. Refleksi HUT RI ke-62, Ber(Indonesia) dengan Kesadaran Multikultural. www.surya.co.id/web.[ 16 Agustus 2007] Suparlan, Parsudi. 2008. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. http://averroes.or.id. [9 Mei 2008]
Ery Iswary
[email protected] Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
84
Linguistik Indonesia Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 85-96
Copyright 2010 by Masyarakat Linguistik Indonesia
LANGUAGE CHANGE IN BUGIS SOCIETY Murni Mahmud* Universitas Negeri Makassar Abstract Makalah ini membahas kemungkinan peralihan bahasa dalam masyarakat Bugis, bagaimana prospek pemakaian bahasa Bugis dan bahasa Indonesia di masa yang akan datang, dan kemungkinan punahnya bahasa Bugis yang disebabkan oleh semakin banyaknya pemakaian bahasa Indonesia, terutama bagi generasi muda. Makalah ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2005 sebagai bagian dari studi tentang kesopanan dalam masyarakat Bugis. Penelitian dilakukan pada dua komunitas Bugis. Yang pertama di daerah pedesaan di kecamatan Awangpone, Bone dan yang kedua adalah di daerah perkotaan yaitu Parepare. Pada kedua komunitas itu, terdapat pola pemakaian bahasa yang berbeda. Bahasa Bugis lebih banyak dipakai di daerah pedesaan sedangkan di daerah perkotaan, bahasa Indonesian lebih dominan. Meskipun demikian, kepunahan bahasa Bugis tidak akan terjadi di masa yang akan datang. Fakta menunjukkan bahwa masyarakat Bugis masih memilih menggunakan bahasa Bugis daripada bahasa Indonesia untuk kepentingan tertentu, misalnya untuk memperlihatkan kesopanan mereka. Kata kunci: kepunahan bahasa, peralihan bahasa, bahasa Bugis, bahasa Indonesia, bahasa Bugis-Indonesia, kesopanan
INTRODUCTION The Bugis is one of the largest ethnic groups in Eastern Indonesia. Nowadays, the Bugis population totals approximately three million people. The Bugis homeland is the south-western peninsula of Celebes island—or Sulawesi. However, the Bugis people can be found in other areas in Indonesia such as Kalimantan, Southeast Sulawesi, Maluku, East Nusatenggara, Irian (New Guinea), Jambi (eastern Sumatra), and even in Java (especially Jakarta) (Hugo, 1982:65). The Bugis have a rich cultural, religious, and social system. Their cultural norms are concepts of ade’ ‘culture’ or pangngaderreng ‘system of conduct’, siri’ na pessé ‘shame and compassion’, and the symbolism of sarung sutra ‘silk sarong’ that should be followed by the Bugis to maintain a real Bugis identity. Another important aspect is religion, which is unique as it blends the Bugis cultural and religious systems. Other important facets of the Bugis social system are social status, age, and gender differences. One important issue regarding Bugis people is the ways they communicate. Bugis people are bilingual. They use two dominant languages. The first one is Bugis, their traditional language, and the second one is Indonesian, their national language. In both of the areas of my fieldwork, Bugis is the main local language. In addition, residents use Indonesian. The issue can threaten the future of Bugis language, in which Bugis people prefer to use Indonesian rather than Bugis language. This paper explores this possibility. What are the reasons for Bugis people to use Indonesian over Bugis language? And how can Bugis people maintain their communicative ways in order that their Bugis language will not extinct in the future? METHOD The data for this paper were partly taken from my Ph.D thesis, which was based on the fieldwork that I conducted for one year in 2005 in two different Bugis communities; one is in the rural area, Awangpone, Kabupaten Bone, and another in the urban area, Parepare.
Murni Mahmud
To collect data, I employed ethnography of communication using some strategies such as participant observation, informal interview, and recording conversations. Two groups of respondents were involved in this research. The first group was interviewed about the concept of politeness. They included adat ‘cultural’ leaders, religious leaders, and professional workers aged from 23 to 73 years old, both men and women. The second group of respondents was those whose conversations were recorded. There were 241 respondents: 136 respondents from Awangpone and 105 from Parepare To obtain spoken Bugis language, I recorded a variety of conversations between men and women using tape recorders. Conversations were recorded in three contexts: single-sex settings (male and male or female and female) and mixed-sex settings (female and male) in a variety of both in formal and informal settings. Aspects like age and social status were examined in both similar and different age groups. In each setting, conversations were recorded among informants of similar age and status, similar age but different status, different age but similar status and different age and status. Most conversations were recorded naturally; however, informants were informed in advance. Therefore, most of them already knew my research purpose beforehand. The conversations were recorded in formal settings such as in offices and schools and in informal settings such as in families and neighborhood. In informal settings, for examples, conversations were between parents and children, husbands and wives, brothers and sisters, and between people in the neighborhood. The topics they discussed included family matters, family relations, daily activities, careers and jobs, and talking about other people. In formal settings, conversations were between teachers, between headmasters and teachers, and between office workers. The topics included school activities, family matters, careers and jobs, hobbies, and other people. People recorded were from different status levels. Participants included housewives, graduate students, office workers, teachers ranging from 15 to 50 years old. BUGIS LANGUAGE The Bugis belong to the great family of Austronesian peoples (Pelras, 1996:1). Their language is one of the four major language groups in South Sulawesi, the other three being Mandar, Toraja, and Makassar, which are all western Austronesian languages. Most kabupaten ‘districts’ in South Sulawesi are dominated by Bugis speakers: Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, Barru, Sinjai, and Parepare. People in some districts such as Bulukumba, Pangkep, and Maros speak both Bugis and Makassar. Although there are some differences in dialects and expressions, most Bugis speakers can understand each other. Pelras (1996:12) notes that the Bugis still distinguish themselves according to their former major states (Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng) or a group of petty states (those around Parepare and Suppa’ on the west coast and those around Sinjai in the South). The languages of these areas, with their relatively minor differences from one another, have been largely recognized by linguists as the constituting dialects. Grimes and Grimes (1987:31) lists ten dialects of Bugis: Luwu, Wajo, palakka (Bone), Enna (Sinjai), Soppeng, Sidenreng, Parepara, Sawitto (Pinrang), Tallumpanua (Campalagian) and ugi’ riawa (pasangkayu). Bahasa Makassar is spoken in other districts in South Sulawesi such as Jeneponto, Gowa, Takalar, Bantaeng, and Selayar. There are other languages spoken in other districts such as bahasa massénréng pulu’ spoken in Enrekang and bahasa Taé’ spoken in Luwu (map 1). In the provincial capital of Makassar, language use is varied.
86
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
Map 1: Languages spoken in South Sulawesi
LANGUAGES USED BY BUGIS SPEAKERS Grosjean (1982:vii) estimates that ‘half the world’s population is bilingual and that bilingualism is present in practically every country of the world’. Bugis people are also bilingual. They use two dominant languages, either Bugis or Indonesian in different communicative situations. Interestingly, Indonesian used by Bugis speakers is not usually the standard formal Indonesian, identified by Sneddon (2003:121) as: [T]he language of government and administration, and of formal situations (such as speeches, lectures and writing. It is the language of the mass media (television and radio, newspapers, and magazines) and of most novels. It is the medium of education at all levels and is expected to be mastered by educated Indonesians. Indonesian used is usually mixed with words or phrases or dialects from regional languages. This is a type of informal Indonesian that is referred to as bahasa sehari-hari ‘everyday language’ (Sneddon, 2003:10). Quinn (2006:6) notes that this informal Indonesian is used in conversation and is characterized by the dropping of certain affixes, especially the prefix ber-, and the liberal borrowing of idioms from local languages. Errington (1998:98) refers it to as bahasa gado-gado, a phrase translated as ‘language salad’, a mixed bilingual JavaneseIndonesian whereas Buchori (1994:26) translates it as ‘hybrid language’, a phrase refers to the mixture of the use of Indonesian with some other terms from other foreign languages, such as Arab, English, Dutch, or German. The Bugis people also typically use a mixed language, either Bugis with Indonesian, in which Bugis is the main language with some additional Indonesian, or Indonesian with Bugis in which speakers mostly use Indonesian but add some Bugis expressions. In other words, the
87
Murni Mahmud
Indonesian used here is influenced by the local Bugis dialect and is specifically used in South Sulawesi. This can be easily recognized by the use of Bugis affixes such as –ki’, -ko, na-, -ji, mi, etc. This Bugis-Indonesian is not only found in Bugis communities in South Sulawesi, but also in other parts of Indonesia which have Bugis residents. Other ethnic groups in South Sulawesi, such as the Makassar, Mandar, or Toraja also use this mixed-Indonesian. I observed there was a different pattern of use in Bugis and Indonesian in my two fieldwork areas. In Awangpone, the rural area, Bugis was preferred over Indonesian. Only in certain situations was Indonesian used. In Parepare, the urban area, Indonesian was chosen more frequently than Bugis, although Bugis was also used in certain situations. In both areas, Awangpone and Parepare, the Bugis speakers mostly used BugisIndonesian in both informal and formal settings. In Awangpone, Bugis was used in both informal and formal situation, although it was mostly used in informal situations. A standard Indonesian was mostly used in formal settings, but such occurrences were quite rare. An interesting aspect to note in Awangpone is that the Bugis Indonesian was predominated by the Bugis language, with some Indonesian phrases or terms added. In Parepare, the Bugis speakers used Indonesian or Bugis-Indonesian in both formal and informal settings. Bugis was used mostly in informal settings whereas in formal settings, speakers use Indonesian or BugisIndonesian. In contrast to Awangpone, Bugis-Indonesian in this area was predominantly influenced by the Indonesian language. Examples can be seen in the following four extracts: Extract 1: Marwiah and her sister Marwiah (M, 27) was asking her sister, Amna (A, 22), why she had forgotten to reheat the soup for their dinner. A: (pointing to the pan in the kitchen) kero dé’pa. Uwallupai patoppo’i’ ‘that is over there. Not yet. I forgot to reheat it’ M: mai dé’ mupatoppo’i? aa? ‘why didn’t you reheat it?’ Extract 2: Asking for information in a school Marwiah was asking questions to Ibu Salma (S, 40), a newly-met teacher from another school about the activities in that school. W: masih semester orang? (Indonesian is identified with Comics Sans font). ‘are people [students] still in semester?’ S: iya ‘yes’ W: oh, sampai kapan? ‘oh, until when?’ S sampai Kamis ‘till Thursday’ The above two extracts were recorded in two different settings in Parepare. Marwiah’s choice of language was influenced by the settings. In extract 1, she was speaking in Bugis to her sister, Amna, at home in the kitchen whereas in extract 2, she was speaking Indonesian to her fellow teacher, Ibu Salma, at one of the schools in Parepare. Marwiah spoke Bugis in the family and Indonesian in the setting of the school. Urban Bugis speakers like Marwiah tended to speak formal Indonesian in formal settings. Conversely, rural Bugis speakers were much more likely to choose Bugis. The following two extracts in the conversations of Aslinah (A, 30) with different interlocutors in different settings show as follows:
88
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
Extract 3: Aslinah and her mother Aslinah was talking to her mother, Hatijah (H, 52) in the kitchen. Her mother asked her who had finished eating the cooked rice. A: cappu’ni ‘Is it finished’ H: hm, cappu’ni? Iga manréi? ‘hm, it is finished? Who ate that?’ Extract 4: Aslinah and her female school principal Aslinah was talking about the school plans to her school principal, Haji Yuni (HY, 55) in the school, about the school plans for Isra’ Mi’raj ‘an Islamic festival celebrating the journey of the Prophet Muhammad to receive pray regulation’. HY: jadi ..yé..rencana yaé lo’ki’ no’ kuro pa’ ka pangngobbi’ no’ mammiraje’ di anu..Rapika ‘So, this plan here, we [i.e. you] want to go there because there was an invitation for Isra’ Mi’raj there, Rapika [their friend]’ A: iyé’ ‘yes’ HY: ku di bolaé hari Jumat. Tanggal dua dua ‘at home on Friday. On the 22nd’ A: macella’ to tanggala’é ‘the date is red [it is on holiday]’ In extract 3, like Marwiah in extract 1 above, Aslinah used Bugis at home to communicate with a family member. In extract 4, where she was talking to her school principal, she did not use formal Indonesian like Marwiah in extract 2 above. Rather, she used mixed Bugis-Indonesian, predominated by Bugis language. The above four extracts show that the setting or the context influences language choice. Speaking at home and speaking at office require different language choices. Bugis in this case is more suitable to be used in family setting whereas in an official setting, Indonesian, though still very influenced by Bugis in the rural setting, is preferred. Wei observed (1998:156) that: Only one of the co-available languages or language varieties was appropriate for a particular situation and that speakers needed to change their choice of language to keep up with the changes in situational factors in order to maintain that appropriateness. Therefore, it can be stated that choice of which language to use in the two Bugis communities I studied, Awangpone and Parepare, is influenced by setting. In general, Bugis is used in informal settings, such as in families or neighborhoods, whereas Indonesian is used mostly in formal settings such as in schools or offices. As observed, there are also several settings in which Bugis is preferable than Indonesian. Wedding party and any kinds of traditional activities demand the use of the Bugis language rather than Indonesian. Setting alone is not enough however. Within setting, other factors may become reasons to switch their languages from Bugis to Indonesian or vice versa, such as the topics discussed, the type of the activity within the settings, or the need to emphasize ideas (Mahmud, 2008:91).
89
Murni Mahmud
LANGUAGE CHOICES AND IDENTITY Speaking Bugis can be used to show the Bugis identity of the Bugis speakers, so that those who speak Bugis are those who are identified as Bugis speakers whereas those who speak Indonesian are those who are not Bugis. This is in relation to Errington’s (1986:330) statements that native languages (and their dialects) can be salient symbols of ethnic identity and community membership, primary means for mediating social relations, and indispensable vehicles for (or obstacles to) effective, efficient communication. This may also influence interaction in the Bugis community. This aspect is stressed by Marwiah (27), another female informant in Parepare, who commented: Tadi di pasar, kenapa saya cenderung pake bahasa Bugis, kalau kita pake bahasa Indonesia, dia akan berpikir, penjual akan berpikir, tania naseng tau Parepare yaé. Dipatolo-toloimaki’ apa to. Just now in the market, why I tended to use Bugis, if we use Indonesian, they will think, the seller will think, I am not originally from Parepare. I will be treated badly later. By using Bugis, she wanted to show her identity as a person who was originally from Parepare, which was useful in bargaining with the sellers in the market. In the Bugis society, regional origins of Bugis speakers can be easily recognized by their logat ‘dialects’ and vocabulary choice. Bugis speakers from Bone, for example, are commonly known to mallagu-lagu (having very dramatic intonation and stress). When the Bugis speakers in Bone speak, other listeners can easily identify them as orang Bone or to-Bone ‘Bone people’. This can also be seen by the choice of words that are not present in the Bugis used by Bugis speakers from other regions in South Sulawesi. In this way, speaking Bugis can show one’s overall identity as Bugis, while regional differences can indicate home area. To some extent, however, there is a current tendency for urban Bugis speakers to mostly speak Indonesian, especially standard Indonesian, without the influence of local Bugis dialects. In this way, Bugis speakers are trying to show their national identity as Indonesian. TO BE MAJU As discussed above, most Bugis speakers in the urban area choose to speak Indonesian rather than Bugis. One of the reasons is the desire not to be left behind or the need to be maju ‘modern’. Haji Ros (43), an informant in Parepare, mainly uses Bugis when speaking to her mother and grandmother, but she stresses the importance of using Indonesian with her children in order that they are not left behind. She states ‘Kapan trus-trus memakai bahasa Bugis, anakanak di sekolah ketinggalan’ ‘When I always use Bugis, my children at the school will be left behind’. Therefore, she mostly speaks Indonesian at work and at home with her children. The same phenomenon can be seen in Bone. Although Bugis people in the rural area mostly use Bugis in many situations, children are often addressed in Indonesian, at home as well as at school. An example is seen in extract 5 below: Extract 5: Wahyuni and son Ibu Wahyuni (W, 36) was talking to her son at home. Her son, Alif (A, 10) wanted to be recorded too. A: mauka’ bicara! ‘I want to talk’ W: bicarami. Menyanyiki’ palé’ kudengari’. ‘Just talk. We [i.e. you] sing anyway. I will listen to it’
90
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
Although Ibu Wahyuni usually speaks in Bugis in informal situations, in the above extract, she used Indonesian to her son, although it was a type of informal Indonesian. Therefore, with the growth of education in Bugis society, the need to use Indonesian is also increasing. This is particularly noticeable in Parepare, an urban area with much recent development, especially in education. In Awangpone, this need is greater in formal settings such as in schools or offices, where education has an important role. Therefore, Indonesian is much more used in formal settings in both areas of my fieldwork. TO BE POLITE Although there is a strong tendency for Bugis speakers in both areas to use Indonesian for the sake of being maju, the need to be polite by using Bugis or Indonesian become their reasons for speaking both languages. To some extent, speaking either Bugis or Indonesian can become a way to be polite to talk to different interlocutors in different situations (Mahmud, 2008:87-89). Another reason to maintain the use of Bugis language is the need to be polite and respectful towards older people in Bugis society. In Awangpone, Bugis is used to speak to older people in both formal and informal settings. Only if there are some important reasons, such as a need to emphasize ideas or the topics discussed, do they use Indonesian. The same is true in Parepare. Haji Mariani (45), a female informant in Parepare, commented on her choice of language as follows: Kalau dengan orang-orang tua gitu, orang-orang tua yang saya anggap, bahwa itu lebih sopan kalau dengan berbahasa Bugis. Kalau berbahasa Indonesia, kadangkadang dia tidak pahami. If I talk to older people, people whom I respect, it will be more polite to speak Bugis. If I talk in Indonesian, they sometimes do not understand. The older generation may also not be very fluent in Indonesian. Therefore, to younger people, speakers sometimes use Indonesian whereas to older people, Bugis is a good choice. This is based on the idea that younger people are more exposed to urban life-styles and accustomed to use the national language rather than using their mother tongue or traditional language. Speaking Indonesian to older people is sometimes regarded as impolite. Older people may feel self offended due to the use of Indonesian, as they may not be able to use or understand Indonesian well. In order to avoid being misleading or misjudging over these different interlocutors, Bugis language is preferable than Indonesian. Older people are undoubtedly familiar with Bugis language. Due to Bugis hierarchical nature, aspects of social status of speakers and addressee are also taken into consideration in the choice of language. In Awangpone, Bugis is usually chosen when talking to people who have a high traditional status, such as noble or religious status, whereas for those who have educational or occupational status, Indonesian is preferable. In Parepare, Indonesian is usually chosen when speaking to a person of any type of social status. Nevertheless, the above tendencies interact with other factors, such as the need to emphasize ideas, or the topics, which also influence choice of code. The most common influence on language choice is the educational and occupational status of speakers and addressees. Speaking to the educated people, especially to those who hold prestigious/professional occupations may encourage Bugis speakers to use Indonesian whereas speaking to non-educated people usually leads to Bugis being chosen. This is based on the idea that educated people are mostly exposed to Indonesian, such as in their schools or offices, whereas those who are non-educated are mostly exposed to traditional life where traditional language is used. In an urban setting such as Parepare, Indonesian is typically used in informal
91
Murni Mahmud
as well as formal settings due to the great exposure of Bugis speakers in Parepare in general modern life, which is characterized by the growth of education and professional occupations. In Awangpone, the rural area, speaking Indonesian is also common in formal settings but in informal settings, which are mostly dominated by non-educated speakers, or people with low education or occupational status, the use of Bugis is more common than Indonesian. An example of this is the language switch of the participants when speaking to me as the researcher. During my fieldwork, Bugis speakers preferred speaking Indonesian to me. An example is in extract 6 below: Extract 6: Asking about earrings Ibu Wahyuni (W, 36) was talking to Puang Aji Masi (PAM, 50) on the veranda about PAM’s experience when she performed hajj. Ibu Wahyuni was asking about the earrings PAM had bought in Mecca which she was wearing at the time. W: siyaga gerang yétu giwatta’, Daéng? ‘how many grams are your earrings, Daéng?’ PAM: duwa gerang aruwa kaca ‘two grams and eight [carats]’ W: na duwa? ‘for both? [for left and right earrings]’ PAM: iyé’ ‘yes’ W: gello’ dita! ‘they look nice!’ PAM: (trying to remember the price) masuli’, siyagaro? ‘[they are] expensive. How much are they?’ W: yakko’ Afiah lo’ ménré’ matu’, anu lo’ wassuro melli ‘if Afiah wants to go later [to perform hajj in Mecca], I want to ask [her] to buy [something]’ PAM:siyanu kennana yédé, lebbi telluratu’ ‘these are about three hundred thousand [rupiah]’ W: (asking me) ada kita beli? ‘did you buy any [earrings]? [when you performed hajj]’ Ibu Wahyuni spoke Bugis to PAM. However, when she addressed me, the researcher, she shifted into Indonesian. She asked me, ada kita beli? ‘Did we [i.e. you] buy anything? [earrings]’. She chose Bugis-Indonesian since she knew my educational background as the researcher and my hajj status. The use of the Indonesian pronoun kita is a typical characteristic of Bugis speakers using Indonesian. In Bugis society, the use of kita, instead of other Indonesian pronouns such as kau, kamu, or kami is widely used to refer to the first, second, and the first plural exclusive categories and these can become a means of politeness. In the above extract, the use of either Bugis or Indonesian can become a strategy to be polite to each different speaker. It is more polite to use Bugis language to older people with traditional status, especially if they are still relatives and talking in the very informal situation. The use of Indonesian by Wahyuli to Puang Aji Masi conversely will not cause any problems as both speakers know Indonesian. In fact, it is a way of showing respect to another speaker. Below are some extracts of conversations by one speaker in Parepare, Haji Erna (HE, 29), which show the tendency of choosing Indonesian or Bugis for the sake of respecting different interlocutors.
92
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
Extract 7: Asking a becak driver In this extract, Haji Erna was speaking to an older becak ‘pedicab’ driver, Sanu (S, 55) in Bugis. She was bargaining about the price to get to Lasinrang street. HE: tassiaga lokka di Lasinrang? ‘How much to pay to go to Lasinrang [a name of street]’ S: tellusse’bu ‘Three thousand rupiah’ HE: dua se’bbuna di’? ‘just two thousand, okay?’ HE used Bugis, tassiaga lokka di Lasinrang? ‘how much to pay to go to Lasinrang?’ to ask the driver. When they agreed on the price, she turned to me and said in Indonesian, dua ribu kak ‘two thousand, kak’. When I asked why she used Bugis with the driver, she stated that it was mainly because she was talking to an older person whom she had to respect, despite her high status as a teacher and a hajj. Extract 8: A mother and a daughter The daughter, Haji Erna (HE, 29) is a teacher and has high educational background was talking to her mother, Haji Samsidar (HS, 59). HE: tajenni sinring, tajenni @@ ‘Wait for Sinring, just wait@@’ HS: nengka makkeda tajenni Sinring ‘Why [did he] say wait for Sinring?’ HE: dé’, ku karo siruntu’ ku warung sé’dié riolona sikolaé makkedaka maga ngaré’toi oroané ta’pa... ‘No. there is one there. I met at the shop in front of my house I said what happened to that man so he becomes...’ The important thing to note in the above extract is the use of Bugis language, although HE uses Indonesian, most of the time both in formal and informal situations. This is influenced by her need to signal her respect to her mother and the informality of the situation. Extract 9: Talking about jobs at home Marwiah (W, 27) and Haji Erna (HE, 29) were talking at Pak Haris’s house about the requirements for teachers to get further promotion. Pak Haris (H, 52) is a supervisor of the school in Parepare. Marwiah and HE are teachers who will have to get further promotion and will be supervised by Pak Haris. H: itu di- disana itu di..SMK itu banyak kenal saya ‘there at..at SMK [Sekolah Menengah Kejuruan-—Vocational School], many people know me’ HE: hm.. H: termasuk kepala sendiri, Pak Fatahuddin, Saya yang memegang kunci ‘Including the school principal, Pak Fatahuddin. I hold the key’ W: Pak Fatahuddin? Iya.. ‘Pak Fatahuddin? Yes..’ H: sekarang sudah diampra itu! ‘Now [the promotion form] has been scheduled’ HE: sudah dibuatmi Pak? Nama saya termasuk diantaranya kemarin. Ada sedikit masalah dengan ijazah S2-nya ‘It is already done Pak. My name was included yesterday. There was a little problem with my S2 [master] certificate’ H: oh, iya ‘Oh yes’ 93
Murni Mahmud
HE: belum di.. apa? Dilegalisir. Persoalannya, kalau mau dilegalisir mesti di Australia @@, jama-jamang ‘the certificate] has not been..umm.. legalized. The problem if I want to legalize it, it should be in Australia. It causes too much work’ The extract above was an example of a conversation in an informal setting in Parepare. Besides the influence of the topic, the choice of Indonesian in the whole conversation was much influenced by the social status of the speakers. Both speakers, Haji Erna and Pak Haris, despite their age differences, have similar backgrounds in terms of education and occupation, and Indonesian is certainly known by both of them. As explained before, Bugis people use a typical informal Indonesian, a mixture of Bugis and Indonesian or the inclusion of Bugis words or expressions in Indonesian. The other characteristics is the use of Bugis pronouns, in which the Bugis pronouns added to Indonesian can encode more polite language. See the two examples below: Extract 10: A research assistant HE was talking to Marwiah (W, 27) about my need for a research assistant. They are both high school teachers and close friends. HE asked Marwiah if she was available to become my research assistant and discussed the payment for her. HE: ajukanki’ bédéng penawaran brapa mau dibayarki’? ‘we [i.e. you] make a request anyway, how much are we [i.e. you] going to be paid?’ W: (to Haji Erna and me) wéé, kak! Janganmi.. ‘kak [older sister!]! there is no need [to be paid]’ HE asked Marwiah to say how much salary she wanted for each month as my research assistant. She used the Bugis pronoun ki’ in ajukanki’ and dibayarki’ in her mainly Indonesian. Although both speakers are friends, and HE was senior in age and status, she used distant pronouns. This was influenced by my presence as a researcher; the conversation was directed to me. In the above extract, the Bugis pronoun –ki’ was added to HE’s Indonesian, which made her speech more polite. Compare, for example, when HE said kamu ajukan or kamu dibayar, in which Indonesian pronoun kamu was used. The use of kamu, the Indonesian pronoun is not polite in that context. The use of Bugis pronoun –ki could make HE’s utterance was more polite than when she used Indonesian at all. As explained before this is a typical Bugis Indonesian used in daily conversation. Even in more formal settings, Bugis pronouns can be mixed with Indonesian to make speech more polite. See extract 10 below: Extract 11: Agreeing to swap classes HE was talking to Pak Bakri (B, 37), her male colleague, in the school about the need to swap their classes. Pak Bakri asked if he could teach in the first section because his subject was sport which may be dangerous for students to conduct in later hours. B: saya mau bawa ke (lapangan) ‘I want to take [the students] to the field [for sport]’ HE: (oh boleh-boleh) ‘yes, okay, okay’ B: karena atletik kalau dengan lari jam-jam sembilan bah- resikonya besar, (bisabisa dia..) ‘because [for] athletics, running at nine o’clock carries a huge risk, they can [get hurt]’ HE: (éh, iya-iya), oh, jadi pariwisata dua olahraga, jam olahraga itu? ‘yes, yes! oh, so, class two tourism has sport class, is it time for sport ?’ B: iya jam pertama ‘yes, the first hour’ HE: bisa-bisa ‘okay’
94
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
supaya langsung saja, lagi pula materinya ndak (terlalu anu) ‘so it can be done directly [I can teach them sport directly], and also the materials are not too much’ HE: (oh iya), udah selesaimaki’ ‘oh, yes, have you finished it?’ B: iyé’ saya tinggal itu ‘yes. I have left [the students] there’ HE: kalau mauki’ ambil waktu agak lama bisaji ‘if we [i.e. you] are going to take more time, it is okay too’ B:
In the above extract, HE could have used Indonesian pronouns as a whole showing her standard Indonesian by saying kamu udah selesai? or kalau kamu mau? However, these latter expressions sounded less polite and in order to make it more polite, the speaker HE added Bugis pronoun –ki to her Indonesian. This can be seen in udah selesaimaki’ ‘Have you finished it?’ and in kalau mauki’ ‘If we [i.e. you] are going’. The use of Bugis pronouns in addition to Indonesian that can be seen in extract 10 and 11 above is a strategy of to be polite by Bugis people. Therefore, Bugis people who need to be polite may choose this Bugis-Indonesian to talk. CONCLUSION In this paper, I have explored the tendency of using Bugis language and Indonesian by Bugis people and its relation to the possibility of language change in Bugis society. This is based on the fact that in today’s Bugis society, Indonesian is mostly used rather than Bugis languages in their daily conversations. This phenomenon particularly happened among the younger generations in the urban area of my fieldwork. In the two different Bugis communities I observed, there is a different pattern of their language use. Bugis is mostly used in rural area whereas Indonesian is mostly used in urban area. However, influenced by some reasons, they may switch to either Bugis or Indonesian. Some of those reasons are the type of activity, the need to emphasize ideas, and the topics being discussed, and some aspects of the speakers’ background such as their level of familiarity, their age, profession, and social status. These language choices may question about the future of Indonesian and Bugis language among Bugis people. In the urban area, Indonesian is mostly used whereas in the rural area where Bugis language is dominant, Bugis speakers also preferred using Indonesian in several situations. One of the reasons for using Indonesian is the need to be maju ‘modern’. It is important for them to keep track on modern development. The use of Indonesian in this case is an important media for not being left behind, which is influenced by recent development of information, education, and technology. Therefore, in both observed areas, Indonesian is mostly used in the conversations between children and parents or among younger generations in order to keep track on those modern development. These phenomena may trigger the possibility of language change in Bugis society. It is questioned whether Bugis language will become an endangered language and possibly will extinct in the future. Based on the result of the research, however, it is found that although Indonesian is mostly used among younger generations. Bugis will not be endangered. Bugis language is still used by many speakers to be polite and respectful. In the urban area, for example, where Bugis speakers mostly use Indonesian, the need to be polite and to preserve the Bugis identity encourage Bugis speakers to use Bugis instead of Indonesian. In several situations in the rural and urban area, the use of Bugis is more acceptable than Indonesian. Speaking to different interlocutors, familiarity, and context of the conversations may lead to the use of Bugis rather than Indonesian. Even if they have to use Indonesian, the use of Bugis dialects or Bugis words (e.g. Bugis pronouns) in addition to their Indonesian is still noticeable in order to be polite. In fact, the use of Indonesian, Bugis or mixed Bugis-Indonesian can
95
Murni Mahmud
become a symbol of national and regional identity of Indonesian people which contributes to the rich and unique characteristics of Indonesian society. NOTE * The author would like to thank an anonymous reviewer for very helpful comments on the earlier draft.
REFERENCES Buchori, Mokhtar. 1994. Sketches of Indonesian Society: A Look from within. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta-Press and The Jakarta Post. Errington, J. Joseph. 1986. ‘Continuity and Change in Indonesian Language Development’, The Journal of Asian Studies, 45(2): 329-353. Errington, J. Joseph. 1998, Shifting Languages: Interaction and Identity in Javanese Indonesian, Cambridge University Press, UK. Grimes, Charles E., and Barbara D. Grimes. 1987 Languages of South Sulawesi. Canberra: Research School of Pacific Studies. Grosjean, Francois. 1982. Life with Two Languages: An Introduction to Bilingualism. Cambridge: Harvard University Press. Hugo, Graeme J. 1982. ‘Circular Migration in Indonesia.’ Population and Development Review 8(1): 59-83.
Mahmud, Murni. 2008. ‘Speaking Bugis and Speaking Indonesian in Bugis Society’. RIMA (Review of Indonesia and Malay Affairs), Volume 42, number 2 2008, pp: 67-92. Pelras, Christian. 1996. The Bugis. Cambridge, Massachussets: Blackwell Publishers. Quinn, George. 2006. ‘Bahasa Indonesia: The Indonesian
, Accessed 3 October 2006.
Language’,
Sneddon, James. 2003, The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society, A UNSW Press Book, Kensington NSW. Wei, Li. 1998. ‘The 'Why'' and 'How' Questions in the Analysis oof Conversational CodeSwitching.’ In Peter Auer (ed.). Code-switching in conversation: language, interaction, and identity. USA and Canada: Routledge, pp 156-176.
Murni Mahmud [email protected] FBS Universitas Negeri Makassar 96
Linguistik Indonesia Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 97-99
Copyright 2010 by Masyarakat Linguistik Indonesia
Resensi Buku Judul Penulis Penerbit Tebal
: : : :
Language Testing and Assessment: an Advanced Resource Book Glenn Fulcher dan Fred Davidson London: Routledge. 2007 403 halaman Patrisius Istiarto Djiwandono Universitas Ma Chung
PENDAHULUAN Pertanyaan paling krusial dalam tindakan mengetes kemampuan berbahasa senantiasa berkisar pada seberapa yakin kita bisa mengklaim bahwa skor yang kita peroleh dari seorang pebelajar mencerminkan kecakapan berbahasanya. Pertanyaan ini sederhana, namun untuk menjawabnya diperlukan penguasaan konsep-konsep yang matang tentang tes, dan lebih penting lagi adalah penyikapan yang tepat terhadap tes dan segala kompleksitasnya. Buku yang ditulis oleh dua pakar tes bahasa ini menyingkap sedikit lebih lebar cakrawala kajian kritis di balik konsepkonsep tradisional tes ISI BUKU Buku yang cukup tebal (404 halaman) ini memilah gagasan besar tentang tes bahasa ke dalam 3 bagian, yakni Section A, B dan C. Bagian pertama memperkenalkan konsep-konsep kunci dalam tes bahasa, berlanjut ke artikel-artikel ilmiah dari para pakar yang menancapkan tonggaktonggak bangunan teoretis bidang tes bahasa, dan berujung pada bagian terakhir yang berisi kegiatan-kegiatan berorientasi praktis evaluatif yang mengajak pembaca bersifat kritis terhadap beberapa masalah tes bahasa. Susunannya yang demikian membuatnya cocok untuk pembaca yang tidak sekedar hanya ingin menelaah muatan teoretis namun juga ingin mendalami teknikteknik pengembangan tes bahasa dengan segala kompleksitasnya. Para penulis mengawali uraiannya dengan konsep kunci yang senantiasa menjadi elemen utama dalam setiap upaya pengukuran, yakni kesahihan (validitas). Setelah sejenak memamparkan konsep-konsep validitas yang sudah umum dikenal, mereka mengupas konsep yang dianjurkan oleh Samuel Messick. Tidak seperti pandangan tradisional yang cenderung fragmentaris, Messick berpendapat bahwa konsep validitas adalah konsep terpadu yang menyatukan kerangka teori dengan data empiris untuk menelurkan satu perampatan yang dapat dipertanggungjawabkan tentang skor yang diperoleh pada suatu tes bahasa. Messick bahkan menganggap penting untuk mempertimbangkan konsekuensi apa yang dihadapi oleh masyarakat luas sehubungan dengan penafsiran seperangkat skor dari suatu tes bahasa. Pesan penting dari bagian ini adalah bahwa sebagaimana upaya memastikan kesahihan penafsiran suatu tes adalah proses yang berkelanjutan, demikian pula konsep tentang validitas itu berkembang dari waktu ke waktu. Semakin ke depan, pengembangan konsepnya pun semakin meluas pada dampak penafsiran terhadap masyarakat yang menggunakan suatu sistem tes bahasa. Bagian berikutnya dengan jeli mengupas perbedaan antara tes skala besar dengan tindak instruksional di kelas. Tes skala besar seperti TOEIC atau TOEFL umumnya berorientasi norma, sementara tindak instruksional di kelas kebanyakan berorientasi pada penguasaan tujuan-tujuan belajar. Lebih jauh lagi, jika tes skala besar sangat mengutamakan obyektivitas, independensi antar butir, kemandirian peserta, diskriminasi kemampuan oleh butir-butir tes, dan masa keajegan kemampuan (setidaknya 2 tahun), maka praksis pembelajaran di kelas lebih mengutamakan pengenalan mendalam sang guru terhadap muridnya, keterkaitan antar kegiatankegiatan belajar, kolaborasi antar pemelajar, perlakuan yang jauh dari diksriminatif untuk semua
Patrisius Istiarto Djiwandono
pemelajar dengan masing-masing tingkat kecakapannya, dan upaya untuk secepatnya meningkatkan kecakapan pemelajar. Pada satu titik, perbedaan ini harus disadari dan disikapi dengan bijaksana oleh para pendidik sehingga tidak menimbulkan dampak yang merugikan bagi cita-cita pembelajaran. Pembahasan pada unit berikutnya memantapkan model-model kecakapan komunikatif atau kompetensi komunikatif, yang berturut-turut dipaparkan secara kronologis. Uraian berawal dari model terdahulu, yakni oleh Canale dan Swain pada era 1980an, Bachman dan Palmer di tahun 1990, dan Celce Murcia dkk di pertengahan dekade 90 an. Yang menarik dari kesemua model ini adalah bahwa aspek-aspek yang mempengaruhi performance atau penggunaan bahasa senantiasa diperhitungkan. Pada gilirannya, model-model ini menjadi penting sebagai landasan utama dalam membuat penafsiran yang benar tentang hasil suatu tes bahasa. Kekurangan dari Unit ini adalah terputusnya alur pikir dari Unit 1. Seharusnya, dari segi keterkaitan pesan, Unit 3 ini sebaiknya melanjutkan Unit 1 tentang penyikapan yang tepat terhadap konsep validitas, kemudian beranjak pada tataran yang lebih praktis tentang pembelajaran sebagaimana diungkap di Unit 2. Unit 4, 5 dan 6 mengupas secara terperinci bagaimana menulis soal dan menentukan tugas dalam tes bahasa sampai pada pembuatan prototipe tes. Unit ini diawali dengan konsep kunci tentang spesifikasi tes, yang ternyata lebih dari sekedar daftar tentang jumlah soal, bentuk soal, alokasi waktu dan kunci jawaban. Sebuah spesifikasi tes yang baik memungkinkan orang lain membuat tes dengan isi yang berbeda namun dengan tingkat kesulitan dan tujuan yang sama. Pada Unit 5 kedua penulis dengan lugas membongkar anggapan yang sudah relatif berakar tentang konsep authenticity dan format pilihan ganda. Dengan berpijak pada konsep Evidence-Centred Design (ECD), mereka berpendapat bahwa yang terpenting adalah bagaimana penalaran yang meyakinkan digunakan untuk mendukung penafsiran suatu hasil tes. Ini hal baru yang patut disimak oleh pemerhati dan pakar tes bahasa, yang selama ini mungkin sudah merasa nyaman dengan konsep authenticity dan tes langsung atau tes tak langsung. Unit A7 mengupas berbagai pendekatan dalam penskoran tes, termasuk pendekatan klasik dan pendekatan Teori Respons Butir yang lebih berdaya dalam mengatasi kelemahan pendekatan tradisional. Hal baru yang pantas disimak disini adalah bagaimana menentukan skor ambang (cut score) dengan metode berpusat pada tes dan metode berpusat pada pemelajar. Ini masih ditambah dengan kajian kritis terhadap skala yang dipopulerkan oleh The Common European Framework of Reference. Namun sayang, konsep-konsep yang relatif berat ini dipadatkan hanya dalam 15 halaman, sehingga pembaca yang belum menguasai benar konsepkonsep analisis butir tes secara tradisional akan sedikit kewalahan untuk memahami unit ini dengan tuntas. Pengupasan yang lebih terperinci seperti oleh McNamara (1996) mungkin akan membantu pemahaman tentnag Teori Respons Butir, sementara analisis tradisional terhadap butir tes bisa dimantapkan dengan membaca karya Brown (1996). Dua unit berikutnya membahas aspek administratif dan etika yang terasa agak menjauh dari fokus ketika pembaca sampai pada Unit 10, yaitu tentang argumen untuk mendukung kesahihan interpretasi hasil tes. Sekali lagi, rasanya akan lebih baik Unit 10 disajikan segera setelah uraian padat tentang berbagai pendekatan dalam penskoran tes. Unit 10 sendiri secara panjang lebar menguraikan bagaimana membangun argumen untuk memastikan kesahihan interpretasi hasil tes, bahkan juga ketika menentukan spesifikasi tes. Berpijak pada konsep Toulmin tentang argumen, bagian ini benar-benar mengandalkan logika berpikir yang jauh melebihi sekedar menyimak paparan angka-angka statistik. Sekali lagi inti pesan tentang ketidaklanggengan validitas penafsiran diulang disini: bahwa penafsiran suatu hasil tes sejatinya hanya sahih untuk konteks tertentu dan dalam kurun waktu tertentu selama ada bukti dan bangunan teori yang relevan dan mendukungnya. Section B menyajikan artikel-artikel yang menandai lahirnya tonggak-tonggak penting dalam perkembangan ilmu tes bahasa. Dua artikel pertama menelaah konsep validitas dan
98
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
penerapan konsep validitas dalam pembelajaran kelas, disusul beberapa artikel penting lainnya mulai dari konsep kompetensi komunikatif, spesifikasi tes, sampai argumen sebagai kekuatan validitas. Artikel utama disajikan dalam beberapa penggalan, dan diselingi dengan pertanyaan reflektif dan tugas praktis yang mengajak pembaca menerapkan konsep-konsep tersebut sekaligus mengkritisinya. Salah satu bagian mengupas makalah Alderson dan Wall pada tahun 1993 yang dengan sangat kritis meninjau konsep washback (pengaruh tes terhadap praksis pembelajaran oleh guru) dan berujung pada argumen bahwa konsep tersebut adalah semata masalah penyikapan publik, bukan ciri inheren suatu tes sebagaimana sering disuarakan. Dengan tatanan yang selaras dengan Section A, bagian ini dimaksudkan membantu pembaca menjembatani pengetahuan mereka tentang latar belakang teori dan penerapannya secara nyata. Section C berorientasi sangat praktis dengan menyuguhkan kasus-kasus seputar tes bahasa kemudian mengajak pembaca menggumuli pertanyaan-pertanyaan yang bermuara pada tindak penelitian atau kajian analitis dan argumentatif tentang masalah-masalah krusial dalam kasus tersebut. Sebagian besar kasus dan pengantar ke soal mengacu pada beberapa bagian yang memuat teori-teori penting di kedua Section sebelumnya, sehingga terasa sekali saling keterkaitan antar Section di buku ini. KOMENTAR Secara keseluruhan, buku ini tidak menjanjikan teknik statistik canggih untuk membangun atau menganalisis tes bahasa, namun lebih banyak menawarkan gugusan teori fundamental dan penyikapan yang tepat terhadap hasil tes bahasa. Dengan konfigurasi materi yang sedemikian padat dengan kajian teori, buku ini pantas disimak oleh pakar-pakar tes bahasa yang ingin melihat lebih jauh daripada sekedar taburan angka-angka hasil analisis statistik, jauh ke arah implikasi sosial suatu tes, bahkan sedikit menukik pada perenungan filosofis di balik tindakan tes kecakapan berbahasa. Sifat isinya yang sedemikian sarat dengan paparan teori fundamental dan tinjauan kritis terhadap konsep-konsep umum pengetesan membuat buku ini cocok untuk para pemikir, penyusun kebijakan tentang tes, atau peneliti yang khusus bertekun dalam dunia pengetesan bahasa. Oleh karena itu, tepatlah sub judul yang dipakai oleh kedua penulis, yakni “an advanced resource book”. Seorang praktisi tes bahasa yang sudah sedikit banyak menguasai prinsipprinsip dasar tes bahasa akan memperoleh sudut pandang baru yang jauh lebih dalam dan lebih kritis ketika membaca buku ini.
DAFTAR PUSTAKA Brown, J. D. (1996). Testing in language programs. New Jersey: Prentice Hall. McNamara, T. (1996). Measuring second language performance. Harlow, Essex: Addison Wesley Longman.
Patrisius Istiarto Djiwandono [email protected] Universitas Ma Chung 99
Linguistik Indonesia Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010, 101-103
Copyright 2010 by Masyarakat Linguistik Indonesia
Resensi Buku Judul
: World Englishes the Study of New Linguistic Varieties. Key Topics in Sociolinguistics Penulis : Rajend Mesthrie dan Rakesh M. Bhatt Penerbit : New York: Cambridge University Press. 2008 Tebal : 276 halaman Riani Balai Bahasa Yogyakarta PENDAHULUAN Bahasa Inggris telah mendunia menjadi bahasa internasional. Perkembangan bahasa Inggris menjadi bahasa internasional dimulai dengan masa kolonialisme. Pengaruh kolonialisme dan imprelialisme tidak hanya dari segi politik dan kekuasaan saja tapi juga mempengaruhi penggunaan bahasa Inggris. Pemakaian bahasa Inggris sedikit-sedikit mulai mengalami pergeseran dan adaptasi dengan budaya dan bahasa masyarakat tempat kolonialisme. Era globalisasi informasi melalui media internet turut juga memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Perspektif variasi linguistik semakin kaya akan corak dan warna yang diakibatkan dengan sentuhan-sentuhan budaya dan bahasa setempat melalui teknologi informasi. Buku ini menyoroti secara sekilas perkembangan bahasa Inggris yang diakibatkan era globalisasi. Selain itu, buku ini secara khusus membahas perkembangan bahasa Inggris di daerah kolonial Inggris: Afrika Barat dan Timur, Kepulauan Karibia dan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Perkembangan bahasa Inggris dianggap telah mengalami metamorfosis akibat sumbangan berbagai variasi di bidang morfologi dan struktur, pola penggunaan, kosa kata dan aksen. Kemetamorfosisan bahasa Inggris ditandai dengan banyaknya variasi bentukan bahasa Inggris seperti bahasa Inggris Singapur, Inggris India, Ingris Malaysia dan lain-lain. Dari berbagai variasi ini memunculkan istilah baru yaitu new Englishes yang mensimbolkan bahasa Inggris tidak lagi memiliki satu bentuk dari barat tapi bahasa Inggris telah menjadi milik dunia dengan berbagai variasi-varisi linguistik yang unik sumbangan dari berbagai budaya, bahasa dan sosial lokal khususnya dari Asia dan Afrika. ISI BUKU Buku ini terdiri dari tujuh unit dengan dilengkapi dengan glosarium, ilustrasi dan tabel-tabel. Selain itu, pada akhir setiap bab dilengkapi dengan pertanyaan. Pertanyaan ini bermanfaat bagi penelitian lebih jauh dan untuk memperdalam topik yang disajikan pada setiap unit. Di setiap unit juga diberikan referensi bahan bacaan yang diacu pada unit bersangkutan untuk memberi informasi tambahan pada pembaca untuk memperdalam topik bahasan. Pada unit satu diuraikan tentang sejarah perkembangan bahasa Inggris. Bahasa Inggris dipandang sebagai bahasa yang kompleks dengan menyoroti peranan bahasa Inggris dalam topik sejarah linguistik, makro-sosiolinguistik, studi politik dan ideologi, dan studi budaya dan literasi. Selanjutnya, pada unit ini juga dibahas asal mula dan definisi istilah Englishes dan disertai dengan berbagai variasinya ditinjau dari aspek sosiolinguistik dan pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Pada bagian akhir bab ini dibahas sekilas tentang kontroversi dalam pembelajaran bahasa Inggris yaitu antara istilah native speaker (penutur asli) dan non native speaker (bukan penutur asli). Pada unit dua dibahas tentang ciri-ciri struktural dari New Englishes ditinjau dari aspek morfologi dan sintaksis frase. Sebelum mengungkap keanekaragaman variasi, diuraikan terlebih
Riani
dahulu metode penelitian yang digunakan untuk mendeskripsikan ciri-ciri struktural morfologi dan sintaksis frase. Selanjutnya dibahas tentang istilah-istilah dan bidang-bidang studi yang berkaitan dengan variasi ciri-ciri struktural. Disingung pula variasi ciri-ciri struktural morfologis dan sintaksis pada frase kata benda, kata kerja dan kata fungsi yang lainnya. Unit tiga masih merupakan kelanjutan pembahasan pada unit dua yaitu ciri-ciri struktural New Englishes yang mengkhusukan pada sintaksis klausa- silang dan teori sintaksis. Unit ini mencakup tentang ciri-ciri variasi linguistik pada susunan kata, klausa relatif, bentuk pasif, perbandingan, dan lain-lain. Selain itu dibahas juga teknis-teknis statistik untuk mengungkapkan pola-pola sosial dan struktural dalam New English. Unit empat juga melanjutkan bahasan pada unit tiga dengan fokus pembahasan pada leksis dan fonologi. Pada bagian ini dibahas tinjauan ringkas mengenai pengaruh leksis kosa kata Afrika dan Asia terhadap pembendaharaan kosa kata bahasa Inggris. Pengaruh fonetik dan fonologi lokal Asia dan Afrika berkembang menjadi varian-varian baru fonetik dan fonologi bahasa Inggris yang unik. Unit lima membahas tentang pengaruh budaya dan nilai lokal terhadap bentuk pragmatik dan wacana bahasa Inggris baru. Pengaruh ini memberikan perubahan dalam fungsi-fungsi pragmatik yang meliputi partikel wacana, tindak tutur dan struktur wacana. Sehingga produksi sosial wacana ataupun pragmatik lebih mencerminkan bahasa Inggris lokal yang telah diadaptasikan norma-norma linguistik dari komunitas multilingual setempat. Unit enam membahas tentang isu-isu kontak bahasa dan pemerolehan bahasa dalam penelitian bahasa Inggris Baru. Permasalahan pemerolehan bahasa muncul dari kondisi pembelajar yang berada dalam lingkungan bilingualisme tapi dikondisikan untuk menguasai bahasa Inggris seperti kemampuan penutur asli dengan tidak mengidahkan varian-varian linguistik yang mempengaruhi bahasa Inggris baru. Sehingga kondisi ini memunculkan kesenjangan paradigma anatara teori dan implementasi pemerolehan bahasa dengan varianvarian baru bahasa Inggris baru. Dari kesenjangan tersebut mendorong adanya inovasi-inovasi teori pemerolehan bahasa dengan mempertimbangkan varian-varian baru aspek linguistik bahasa Inggris baru. Permasalahan lain yang juga didiskusikan adalah tingkat kontak bahasa dan transmisi bahasa lokal dengan bahasa Inggris. Cakupan diskusi meliputi penelitian historis bahasa Inggris baru yang digunakan oleh pelaut, misionaris, tentara, dan guru. Unit tujuh mengungkapkan trend-trend dalam penyebaran bahasa Inggris di dunia. Aspek-aspek yang dibahas adalah beberapa permasalahan dalam bidang pendidikan serta bidang-bidang lainnya misalnya dalam komunikasi udara, perubahan bahasa Inggris di Eropa, perkembangan bahasa Inggris sebagai bahasa yang digunakan dalam perusahaan internasional. Selain itu, penyebaran bahasa Inggris bersinggungan dengan retensi bahasa internasional lainnya seperti bahasa Cina dalam kaitannya dengan imperialisme budaya. KOMENTAR Buku ini lebih bersifat pengantar untuk penelitian mengenai pengaruh varian-varian linguistik lokal terhadap bahasa Inggris. Pengaruh ini menciptakan bahasa Inggris baru (new Englishes) yang mempengaruhi paradigma pengajaran bahasa Inggris khususnya di daerah Asia dan Afrika. Perkembangan dan penyebaran bahasa Inggris tidak terlepas pula dari pengaruh budaya setempat sehingga kondisi tersebut menjadi lahan yang kaya untuk diteliti dalam kajian sosiolinguistik. Buku ini juga memperkaya kajian sebelumnya tentang trend perkembangan bahasa Inggris oleh David Crystal dalam bukunya English as a Global Language. Kemungkinan trend yang mungkin terjadi adalah bahasa Inggris lebih bersifat lokal karena pengaruh-pengaruh dari kontak bahasa dengan bahasa lainnya di dunia. Selain itu, buku ini bermanfaat bagi guru bahasa Inggris untuk mengetahui trend perkembangan bahasa Inggris dan variasinya. Dengan memahami berbagai permasalahan dan trend perkembangan bahasa Inggris baru memungkinkan guru untuk menerapkan inovasi-inovasi terbaru dalam teori pemerolehan bahasa dengan mempertimbangkan keunikan variasi-variasi unik linguistik bahasa Inggris baru. 102
Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 1, Februari 2010
DAFTAR PUSTAKA Crystal, David. 2003. English as a Global Language. Cambridge: Cambridge University Press. Tagliamonte, Sali A. 2006. Analysing Sosiolinguistics Variation. Cambridge: Cambridge University Press.
Riani [email protected] Balai Bahasa Yogyakarta
103
FORMAT PENULISAN NASKAH Naskah, yang diketik dengan menggunakan MS Word, dikirimkan ke Redaksi, melalui e-mail [email protected] atau dalam bentuk disket dan satu printout. Panjang naskah, termasuk daftar pustaka, adalah minimal 15 halaman dan maksimal 30 halaman, dengan spasi rangkap. Naskah disertai dengan abstrak sekitar 150 kata dan diletakkan setelah judul naskah dan afiliasi penulis. Abstrak untuk naskah dalam bahasa Indonesia ditulis dalam bahasa Inggris; abstrak untuk naskah bahasa Inggris ditulis dalam bahasa Indonesia. Kutipan hendaknya dipadukan dalam kalimat penulis, kecuali bila panjangnya lebih dari tiga baris. Dalam hal ini, kutipan diketik dengan spasi tunggal, diberi indensi sepuluh huruf, centered, dan tanpa tanda petik. Nama penulis yang disitir atau dirujuk hendaknya ditulis dengan urutan berikut: nama akhir penulis, tahun penerbitan, dan nomor halaman (bila diperlukan). Misalnya, (Radford 1997), (Radford 1997:215). Daftar pustaka ditulis berdasarkan abjad dengan urutan berikut: Untuk buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5) tahun penerbitan, (6) titik, (7) judul buku dalam huruf miring, (8) titik, (9) kota penerbitan, (10) titik dua/kolon, (II) nama penerbit, dan (12) titik. Contoh: Hutabarat, Samuel. 1995. Pemerolehan Fonem Bahasa Batak Karo pada Anak-anak Usia Tiga Tahun. Jakarta: Gramedia. Gass, Susan M. dan. Jacqueliyn Schachter, eds. 1990. Linguistic Perspectives on Second Language Acquisition. Cambridge: Cambridge University Press. Untuk artikel: (I) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5) tahun penerbitan, (6) titik, (7) tanda petik buka, (8) judul artikel, (9) titik, (10) tanda petik tutup, (11) nama jumal dalam huruf miring, (12) volume, (13) nomor, dan (14) titik. Bila artikel diterbitkan di sebuah buku, berilah kata "Dalam" sebelum nama editor dari buku tersebut. Buku ini harus pula dirujuk secara lengkap dalam lema tersendiri. Contoh: Gleason, Jean Berko. 1998. "The Father Bridge Hypothesis." Journal of Child Language, Vol. 14, No.3. Wahab, Abdul. "Semantik: Aspek yang Terlupakan dalam Pengajaran Bahasa." Dalam Dardjowidjojo, 1996. Catatan ditulis pada akhir naskah (endnote), tidak pada akhir halaman (footnote).