MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) merupakan organisasi profesi yang bertujuan mengembangkan studi ilmiah mengenai bahasa. PENGURUS MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA Ketua Wakil Ketua Sekretaris Bendahara
: : : :
Faizah Sari, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Rindu Parulian Simanjuntak Siti Wachidah, Universitas Negeri Jakarta Katharina Endriati Sukamto, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
DEWAN EDITOR Utama : Bambang Kaswanti Purwo, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Pendamping : Faizah Sari, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Anggota : Bernd Nothofer, Universitas Frankfurt, Jerman; Ellen Rafferty, University of Wisconsin, Amerika Serikat; Bernard Comrie, Max Planck Institute; Tim McKinnon, Jakarta Field Station MPI; A. Chaedar Alwasilah, Universitas Pendidikan Indonesia; E. Aminudin Aziz, Universitas Pendidikan Indonesia; Siti Wachidah, Universitas Negeri Jakarta; Katharina Endriati Sukamto, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; D. Edi Subroto, Universitas Sebelas Maret; I Wayan Arka, Universitas Udayana; A. Effendi Kadarisman, Universitas Negeri Malang; Bahren Umar Siregar, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Hasan Basri, Universitas Tadulako; Yassir Nasanius, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Dwi Noverini Djenar, Sydney University, Australia; Mahyuni, Universitas Mataram; Patrisius Djiwandono, Universitas Ma Chung; Yanti, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. JURNAL LINGUISTIK INDONESIA Linguistik Indonesia diterbitkan pertama kali pada tahun 1982 dan sejak tahun 2000 diterbitkan tiap bulan Februari dan Agustus. Linguistik Indonesia telah terakreditasi berdasarkan SK Dirjen Dikti No. 64a/DIKTI/Kep/2010, 1 November 2010. Jurnal ilmiah ini dibagikan secara cuma-cuma kepada para anggota MLI yang keanggotaannya umumnya melalui Cabang MLI di pelbagai Perguruan Tinggi, tetapi dapat juga secara perseorangan atau institusional. Iuran per tahun adalah Rp 125.000 (anggota dalam negeri) dan US$30 (anggota luar negeri). Keanggotaan institusional dalam negeri adalah Rp 150.000 dan luar negeri US$50 per tahun. Naskah dan resensi yang panduannya dapat dilihat di www.e-li.org dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian belakang sampul jurnal. ALAMAT Masyarakat Linguistik Indonesia Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya JI. Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930, Indonesia e-mail:
[email protected], Tel./Faks.: +62 (0)21 571 9560
Daftar Isi Budaya Inti, Sikap Bahasa, dan Pembangunan Karakter Bangsa: Kasus Penutur Bahasa-Bahasa Daerah Utama di Indonesia E. Aminudin Aziz .............................................................................. 115 Plagiarisme dalam Kata-Kata Mahasiswa: Analisis Teks dengan Pendekatan Fungsional Siti Wachidah ................................................................................... 141 The Sentence Connectors in Academic English and Indonesian Yassir Nasanius ............................................................................... 155 Adakah Konsep Finit dalam Bahasa Sunda? Eri Kurniawan .................................................................................. 171 Exploring Power and Solidarity Semantic in Translation of Cultural Terms of Address in the Bible Frans I Made Brata ......................................................................... 187 Resensi: Editor: Kecskes, Istvan; Linguistic Politeness Research Group Discursive Approaches to Politeness Diresensi oleh Mahardhika Zifana .............................................................207 Jelajah Linguistik: Klausa Kecil dalam Bahasa Indonesia Yassir Nasanius ..........................................................................................209 Bincang antara Kita dari Dunia Maya: Ihwal Afiks Penanda Gender Bahasa Indonesia ..............................211 Persoalan Jender dalam Bahasa Indonesia .....................................212 Indeks ......................................................................................................... 215
Linguistik Indonesia, Agustus 2013, 115-139 Copyright©2013, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Tahun ke-31, No. 2
BUDAYA INTI, SIKAP BAHASA, DAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA: KASUS PENUTUR BAHASA-BAHASA DAERAH UTAMA DI INDONESIA E. Aminudin Aziz* Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] Abstrak Ada tiga hal yang dibahas dalam tulisan ini, yakni nilai budaya inti, sikap dan pemertahanan bahasa, dan pembangunan karakter. Dengan menggunakan teori yang dicetuskan oleh Smolicz dan Secombe (1985), pada penelitian yang dilaporkan di tulisan ini dikembangkan sebuah kerangka instrumen yang memungkinkan kita memahami nilai budaya inti para responden. Mereka berasal dari penutur empat bahasa utama di Indonesia, yakni Jawa, Sunda, Minang, dan Batak, dan berpartisipasi secara sukarela. Masing-masing diberi angket dan apabila diperlukan akan diwawancarai untuk klarifikasi lebih lanjut tentang jawaban-jawaban yang mereka telah berikan. Analisis menunjukkan bahwa setiap kelompok memandang nilai budaya inti mereka secara berbeda-beda. penutur bahasa Jawa meyakini bahasa Jawa adalah nilai budaya inti mereka. Untuk menjadi orang Sunda yang sesungguhnya, para responden menyatakan bahwa orang Sunda harus tinggal di Tatar Pasundan, memeluk agama Islam, dan dapat bertutur dalam bahasa Sunda. musik tradisional kecapi suling dan Cianjuran budaya orang Sunda yang hakiki. penutur bahasa Minang memandang kemampuan untuk mengapresiasi – melalui memasak dan menikmati — masakan tradisional Padang-lah yang menjadikan diri mereka sebagai orang Minang yang sesungguhnya. penutur bahasa Batak menyatakan bahwa mereka belum menjadi seorang Batak tulen kalau mereka belum mengetahui, merasa, dan benar-benar memahami cara dan gaya orang Batak bertutur, termasuk pada nada, irama, dan tekanan mereka dalam bertutur. Kata kunci: budaya inti, jati diri, keindonesiaan
Abstract This article addresses three main issues in relation to culture’s core values, language attitude and maintenance, and character building. Using a theory previously developed by Smolicz and Secombe (1985), this study deviced instruments that enabled us to understand respondents’ perceptions about their culture’s core values. The respondents were recruited voluntarily from four major speakers of local languages in Indonesia, including speakers of Javanese, Sundanese, Minangnese, and Bataknese. They were given a set of questionnaires and when relevant were interviewed to further clarify their responses. The analyses found that each group viewed their culture’s core values differently, i.e. Javanese see language as their core cultures. Sundanese believe that a real Sundanese will stay in the Sundanese Land, embrace Islam, and speak in Sundanese. They also regard traditional music of kecapi suling and Cianjuran as the real Sundanese culture. On the other hand, Minang language speakers believed that it is the ability to appreciate — through making and tasting — traditional food that has made them true Minangnese. Meanwhile, it is strongly believed that you cannot become a true Bataknese until you know, feel, and fully understand the ways people of Batak origins speak, including tone, pitch, and intonation. Keywords: core-culture, characters, Indonesian-ness
E. Aminudin Aziz
PENGANTAR Merebaknya diskusi tentang pendidikan karakter di Indonesia akhir-akhir ini tidak dapat dilepaskan dari gelombang deras pengaruh globalisasi. Bukan hanya yang terkait dengan perekonomian, globalisasi juga justru merambah ke relung-relung mikrokultur individu. Kita menyaksikan, misalnya, jenis dan gaya pakaian yang dikenakan seseorang, makanan yang disantapnya, dan perabot rumah tangga yang digunakannya sudah bukan lagi merefleksikan suasana lokal, melainkan sudah berganti ke gaya global. Hal yang sama kita juga temukan pada jenis bahasa yang digunakan saat seseorang berkomunikasi dengan mitra tuturnya. Di sini, pengaruh global tersebut juga jelas menandai cara berbahasa yang bersangkutan, di samping jenis bahasanya tadi. Bagi sebagian bangsa Indonesia, gejala tadi dipandang sebagai sebuah keniscayaan. Adaptasi, bahkan adopsi kebudayaan seperti itu merupakan bagian yang harus diterima oleh masyarakat sebagai dampak dari menguatnya interaksi dengan warga masyarakat lainnya, termasuk warga masyarakat global. Di sisi lain, tidak kurang warga masyarakat Indonesia yang justru mengkhawatirkan model perubahan perilaku tadi, dan menunjuknya sebagai wujud dari penggerusan budaya leluhur, yang mereka yakini memiliki nilai-nilai luhur yang harus senantiasa dipertahankan. Khusus yang terkait dengan penggunaan bahasa oleh masyarakat penutur bahasa-bahasa daerah di Indonesia, perubahan pola dan perilaku para penutur tersebut setidaknya dapat dikaitkan dengan dua situasi kebahasaan yang mereka hadapi. Di satu sisi, para penutur bahasa daerah di Indonesia mesti berhadapan dengan tuntutan untuk menggunakan bahasa nasional, bahasa Indonesia, yang menjadi media komunikasi dalam layanan-layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan layanan publik lainnya. Ketidakmampuan menggunakan bahasa Indonesia akan berdampak pada tereliminasinya yang bersangkutan untuk mengakses layananlayanan publik yang dirancang dan bersifat ‘nasional’ itu. Sementara itu, tidak semua lapisan masyarakat penutur bahasa daerah di wilayah Indonesia mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia, terutama generasi lanjut yang tinggal di pedesaan. Pada sisi lain, bahasa Indonesia telah dideklarasikan sebagai salah satu identitas bangsa Indonesia sejak 28 Oktober 1928, di samping sebagai bangsa dan bertanah air Indonesia. Lalu, apakah hal ini berarti bahwa mereka yang belum bisa berbahasa Indonesia tadi menjadi “kurang Indonesia”? Tantangan kedua yang harus dihadapi para penutur bahasa daerah (dan bahasa Indonesia) tadi adalah tuntutan untuk mempelajari dan menggunakan bahasa asing pada berbagai situasi komunikasi. Bukan hanya karena alasan instrumental, sering kali mereka menggunakan bahasa asing itu sebagai bentuk unjuk gengsi. Pada kondisi seperti ini, tidak jarang ditemukan gejala berbahasa berupa alih - atau ganti - kode. Tentu saja, pada situasi multilingual seperti di Indonesia ini, gejala-gejala berbahasa seperti itu akan dipandang wajar, apalagi ditambah dengan situasi dan tuntutan global seperti yang sudah disebutkan tadi. Akan tetapi, masalah yang sebenarnya dipersoalkan sesungguhnya bukan melulu terkait dengan dua tantangan situasi berbahasa tadi, yang memang dianggap wajar dan mesti dihadapi oleh setiap penutur bahasa dalam situasi multilingual mana pun. Yang justru dipertanyakan adalah apakah perilaku berbahasa seperti itu justru telah menyiratkan lunturnya jati diri penutur bahasa-bahasa daerah (dan bahasa Indonesia) tentang bahasa (dan budaya)-nya? Makalah ini memaparkan sebuah hasil kajian pendahuluan terkait dengan persepsi para penutur bahasabahasa daerah tentang bahasanya dilihat dari konsep nilai budaya inti (culture’s core values) seperti pernah digagas oleh J.J. Smolicz dan M.J. Secombe (1985). Namun, berbeda dengan kajian terhadap tiga bahasa utama, yakni Jawa, Minang, dan Batak, kajian dalam kasus bahasa Sunda telah diikuti dengan kajian yang lebih intensif dan ternyata menghasilkan perspektif baru. Pada bagian akhir makalah ini disajikan bagaimana implikasi persepsi para penutur bahasa daerah tersebut terhadap pembangunan karakter masyarakat dalam kerangka pembangunan jati diri nasional bangsa Indonesia.
116
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
Bahasa Indonesia dan Nilai Keindonesiaan Merujuk pada fakta sejarah kelahiran bangsa Indonesia, setidaknya ada tiga situasi yang telah membangun keindonesiaan masyarakat Indonesia. Pertama, bangsa Indonesia dibangkitkan dari situasi sebagai negara yang sedang dijajah. Sejarah panjang penjajahan di Indonesia yang melewati lebih dari tiga abad oleh bangsa yang berbeda menyuguhkan data kepada kita akan munculnya keanekaragaman sikap warga masyarakat terhadap bangsa-bangsa penjajah tadi. Ada warga masyarakat yang memilih kooperatif dengan penjajah, baik karena alasan ekonomi, sosial, maupun politik. Akan tetapi, tidak sedikit—dan ini justru yang jumlahnya jauh lebih banyak—yang menentang lalu bertekad melawan para penjajah tadi. Yang mereka perjuangkan adalah kemerdekaan tanah air dan seluruh aspek kehidupannya. Situasi ini tentu saja memberikan pengaruh yang berbeda kepada masing-masing kelompok dikaitkan dengan penemuan ciri dan jati diri keindonesiaan yang ingin dibangunnya. Situasi selanjutnya adalah adanya keanekaragaman suku bangsa yang memiliki segala macam nilai budaya, kearifan, dan nilai-nilai filosofi kehidupan yang berbeda-beda. Perbedaan perspektif, cara berpikir, dan bertindak yang dimiliki oleh masing-masing suku bangsa ini tidak jarang menjadi faktor yang sangat potensial menggagalkan cita-cita membangun satu Indonesia yang jaya. Kondisi ini tidak hanya muncul ketika bangsa Indonesia masih ada dalam situasi sebagai negara terjajah, tetapi juga dapat ditemukan dan justru tampak lebih mengkhawatirkan pada situasi pascakemerdekaan, ketika (sebagian) otonomi diberikan kepada pihak pemerintah daerah. Khusus terkait dengan politik dan perencanaan bahasa, misalnya, setiap daerah sepertinya berlomba untuk mengedepankan sentimen bahasa daerah, dengan dalih pemeliharaan dan pemuliaan bahasa daerah. Akibatnya, keindonesiaan yang tengah dibangun sebagai sebuah keutuhan dari bangsa Indonesia melalui bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara yang berfungsi sebagai bahasa persatuan itu menghadapi ancaman yang tidak kurang bahayanya. Keindonesiaan juga dibangun di atas fakta kebhinekaan bahasa. Ada lebih dari 700 bahasa daerah yang hidup dan digunakan oleh masyarakat bangsa Indonesia. Bahasa-bahasa daerah tersebut tentu memiliki nilai ikatan emosional yang begitu tinggi dan kuat, serta amat berharga bagi para penuturnya. Tentu tidak mudah bagi siapa pun untuk melepaskan ikatan emosional para penutur ini, agar mereka serta merta beralih ke — dan menjadi penutur sejati — bahasa Indonesia. Bagaimana pun, pengikraran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 merupakan gerakan yang sangat elitis para pemimpin organisasi pemuda (daerah) yang saat itu tengah berjuang gigih meraih kemerdekaan. Bagaimana pun, saat itu, istilah bahasa Indonesia belumlah dikenal luas, sebab yang ada adalah bahasa Melayu, yang memiliki fungsi sebagai lingua franca. Kekayaan budaya masyarakat lebih banyak ditulis pada bahasa daerah, bahkan perkembangannya jauh melebihi karya-karya yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Kondisi seperti itu, sesungguhnya berpotensi kuat menimbulkan sentimen negatif dari para penutur bahasa non-Melayu, mengingat jumlah penutur bahasa-bahasa daerah lain, seperti bahasa Jawa dan Sunda jauh lebih banyak. Ternyata, sentimen ini, walaupun sampai beberapa waktu lalu tidak begitu kentara, akhirnya muncul juga ketika Pemerintah memberikan otonomi kepada daerah. Dari kondisi seperti itu, maka secara faktual akan relatif sulit untuk menentukan kadar keindonesiaan yang bisa dijadikan indikator umum dan bisa digunakan untuk mengukur manamana dan apa yang sesungguhnya menggambarkan dan bisa disebut sebagai jati diri bangsa Indonesia itu. Namun, semboyan yang dipegang dan tertuang dalam Bhinneka Tunggal Ika memberikan inspirasi bahwa sesungguhnya keindonesiaan itu adalah keanekaragaman yang dilihat sebagai sebuah kesatuan. Akan tetapi, hal ini pun bukan berarti tanpa masalah, mengingat keanekaragaman senantiasa rentan dengan perpecahan. Gejala alih kode yang muncul pada para penutur bahasa Indonesia yang begitu mudahnya beralih ke dalam bahasa asing, penggunaan bahasa asing pada tahap awal persekolahan, seperti di sekolah-sekolah yang dulu berlabel Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), penggunaan bahasa asing pada papan-papan nama, dan kasus-kasus
117
E. Aminudin Aziz
lainnya, merupakan contoh-contoh pelemahan daya hidup bahasa Indonesia. Di satu sisi, ini dapat dipandang sebagai lemahnya posisi politik bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Namun, di sisi lain, gejala ini bisa merupakan indikasi bahwa sesungguhnya memang bahasa Indonesia belum berurat berakar dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Dengan kata lain, dari gejala yang tampak tersebut, patut diduga bahwa bahasa Indonesia sesungguhnya memang belum (atau bukan!) merupakan bagian dari budaya inti masyarakat bangsa Indonesia. Akibatnya, pembangunan dan penguatan jati diri bangsa Indonesia yang digalang melalui bahasa Indonesia pun, bisa jadi, tidak akan memberikan hasil yang paling optimal. Banyak hasil penelitian (misalnya, lihat Morita 2005) yang menunjukkan bahwa penguatan jati diri yang tidak didasarkan pada nilai budaya inti sebuah masyarakat sangat rentan untuk tidak berhasil, sebab ia akan mudah luntur bahkan berpeluang hilang dari individu. Budaya Inti dan Pemertahanannya Pandangan sebuah anggota masyarakat tentang budaya inti mereka terkait erat–sadar atau pun tidak— dengan upaya yang mereka tunjukkan untuk mempertahankan bahasa mereka. Sejumlah penelitian terkait hal ini banyak dilakukan di negara-negara yang multikultural. Kehidupan masyarakat imigran di Australia, misalnya, merupakan contoh sangat baik untuk melihat gejala dimaksud (lihat, misalnya, laporan Callan dan Gallois [1982] tentang sikap bahasa para imigran Italia dan Yunani di Australia; Pauwels [1986] tentang imigran Jerman dan Belanda di Australia; Bettoni dan Gibbons [1988] tentang imigran Italia di Sydney dan Putz [1991] tentang imigran Jerman di Canberra; Forrest & Dunn [2006] tentang orang-orang Inggris di Australia). Hal yang sama kita juga temukan pada kasus-kasus imigran di Kanada (Auer, 1991), Amerika (Hakuta dan D’Andrea, 1992), di New Zealand (Holmes dkk, 1993). Contoh lain yang melihat dari aspek tingginya tingkat mobilitas masyarakatnya dapat ditemukan pada penelitian terhadap masyarakat China minoritas di beberapa negara. Banyaknya penutur asli bahasa China yang bermigrasi ke berbagai benua di dunia termasuk Amerika (Farris, 1992), Eropa (Itali dan Inggris), Asia (Thailand), dan Australia menarik perhatian para peneliti sosiolinguistik terutama terkait pemertahanan identitas budaya inti (Smolicz, 2001; Mleczko, 2011; Delargy, 2007; Morita, 2005). Terdapat dua hal utama yang kerap dihadapi para imigran, seperti dilaporkan oleh Portes dan Rambaut (2001 dikutip dalam Zhang, 2008:1) yaitu pertama, terkait dengan pemertahanan bahasa asli atau peralihan bahasa ke bahasa yang digunakan di negara tuan rumah; kedua, terkait dengan pelestarian budaya asli atau pengadopsian budaya negara tuan rumah. Nilai-nilai budaya seperti agama, keluarga, dan bahasa dikenal merupakan kekuatan pemersatu atau identitas nasional China. Namun, ketika sudah berada di negara tujuan imigrasi, nilai-nilai budaya inti yang sudah melekat tersebut seakan terpertaruhkan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Morita (2005) terhadap orang China yang bermigrasi ke Thailand terungkap bahwa fenomena yang muncul bukan pemertahanan nilai budaya inti melainkan asimilasi meski dinyatakan bukan asimilasi penuh. Asimilasi ini terjadi karena menurut Reynolds (1991 dikutip Morita (2005:119) bagi penutur dari mana pun yang berada di Thailand dan menginginkan statusnya atau kewenangannya diakui oleh masyarakat Thailand harus acuh terhadap simbol-simbol ke-Thailand-an. Asalkan dapat berbicara dalam dialek Thai yang tanpa aksen dan hidup dengan gaya hidup orang Thailand, seseorang sudah menjadi orang Thailand. Dalam praktik beraneka ragama, beberapa orang China menyembah Budha padahal dalam kepercayaan asli orang China, Tuhan mereka bukan Budha melainkan dewa-dewa. Kebiasaan demikian dipengaruhi oleh keyakinan yang dianut oleh orang Thailand yang menyembah Budha. Dalam nilai budaya keluarga, orang China memiliki konsep keluarga besar. Hal ini kontras dengan orang Thailand yang memiliki konsep keluarga kecil. Nilai budaya keluarga tersebut kemudian bergeser sehingga menyerupai budaya keluarga di Thailand. Demikian halnya dari sisi nilai budaya bahasa. Di Thailand termasuk di negara-negara Asia Tenggara lainnya, fenomena pergeseran bahasa dalam komunitas imigran China merupakan hal
118
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
yang lumrah terjadi. Bagi orang China di Thailand, bahasa China tidak lagi dipandang ideologis tetapi lebih ke arah kegunaan praktis. Lemahnya pemertahanan nilai-nilai budaya inti termasuk agama dan bahasa juga terlihat jelas pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Mlezcko (2011) pada generasi kedua dari para imigran China di Italia. Dalam hal agama, orang Italia dikenal sangat kental Katoliknya. Namun, tidak ditemukan adanya konversi agama besar-besaran dari Budha ke Katolik; yang terjadi ialah ketidakajegan ibadah yang dilakukan orang China. Ajaran Konfusianisme yang merupakan akar dari nilai budaya China hanya hadir sebagai sebuah gaya hidup bukan sebagai sebuah keyakinan. Terkait dengan ihwal nilai budaya bahasa, tampak adanya upaya pemertahanan bahasa yang dilakukan oleh komunitas China di Italia. Misalnya, meskipun mereka dipaksa untuk menguasai bahasa Italia, keinginan untuk juga meningkatkan kemampuan berbahasa China tetap kuat. Mereka mengasah kemampuan berbahasa China mereka dengan mengikuti kelas Minggu atau sekolah akhir pekan. Sayang sekali, sekolah ini tak berumur panjang. Karena permasalahan ekonomi, sekolah ini akhirnya ditutup. Strategi lain yang ditempuh untuk mempertahankan nilai budaya bahasa ialah dengan melakukan kunjungan reguler ke negara China. Namun, strategi ini hanya bisa terealisasi apabila orang China sudah berkewarganegaran Italia sehingga tidak bermasalah dengan visa. Banyaknya hambatan yang muncul dalam upaya pemertahanan ini menyebabkan rendahnya kemampuan berbahasa China para remaja. Hal ini berdampak psikologis yang menyebabkan mereka mengalami kegalauan identitas. Pemertahanan identitas budaya inti China terlihat intensif dilakukan oleh para imigran China di Irlandia Utara (Delargy, 2007) dan imigran China di Amerika (Zhang, 2008). Di Irlandia Utara, Pemerintah melalui Departemen Perdagangan memfasilitasi dibukanya kelaskelas bahasa China dari mulai tingkat TK sampai dengan Sekolah Menengah. Pada tahun 2001 dibentuk Mandarin Speakers’ Association (MSA) yang salah satu programnya ialah memberikan pelayanan berupa jasa penerjemahan terutama dalam bidang kesehatan bagi para imigran China yang bahasa Inggrisnya masih pada tingkat dasar. Di Amerika, menurut Zhang (2008), para orang tua generasi kedua menunjukkan sikap positif terhadap nilai budaya bahasa. Mereka memandang bahwa menguasai bahasa China dapat meningkatkan kemampuan kognitif generasi penerus mereka dan menjadi nilai tambah bagi karir mereka di masa depan, mengingat bahasa China merupakan salah satu bahasa resmi yang digunakan di PBB dan kini diakui secara meluas sebagai bahasa asing di Amerika. Upaya pemeliharaan bahasa Cina di Amerika berbanding lurus dengan besarnya harapan orang tua akan sukses anaknya dalam pendidikan di masa depan. Upaya-upaya yang dilakukan oleh para orang tua untuk mempertahankan bahasa China ialah dengan cara menggunakan dan mengajarkan bahasa, serta memajankan anak secara langsung kepada penggunaan bahasa China dalam lingkungan tertentu. Adanya upaya pemertahanan nilai budaya bahasa juga ditemukan oleh Smolicz (2001) di masyarakat minoritas China di Australia. Di Australia, orang China masih memiliki hasrat untuk mengetahui bahasanya dan meningkatkan kemampuan literasi mereka, karena mereka yakin bahwa bahasa merupakan salah satu unsur dasar dari identitas ke-China-an mereka. Fakta ini menunjukkan adanya tingkat pemertahanan bahasa yang tinggi dari orang-orang China di Australia yang tidak ditemukan pada masyarakat China di Thailand (Morita, 2005) atau Italia (Mleczko, 2011). STUDI KALI INI Pada tulisan ini disajikan data dari dua penelitian yang dilakukan penulis terhadap empat bahasa daerah utama di Indonesia. Kedua studi ini memiliki fokus yang sama, yaitu upaya untuk mengungkap fenomena penggunaan bahasa oleh masing-masing responden, sikap bahasa, dan persepsi mereka tentang nilai budaya inti pada masing-masing budaya mereka. Studi #1 meliputi penutur dari bahasa-bahasa Jawa, Sunda, Minang, dan Batak, sedangkan Studi #2
119
E. Aminudin Aziz
terbatas pada penutur bahasa Sunda. Studi #2 ini merupakan upaya yang penulis lakukan untuk menyibak lebih jauh fenomena keyakinan orang Sunda terhadap nilai budaya intinya. Studi #1 Data yang dilaporkan pada Studi #1 ini merupakan hasil dari serangkaian kajian yang dilakukan penulis terhadap empat kelompok penutur bahasa daerah utama di Indonesia: Jawa, Sunda, Minang, dan Batak, yang semuanya berjumlah 58 orang. Semua responden adalah orang dewasa, berusia di atas 35 tahun, memiliki pekerjaan tetap sebagai pegawai negeri sipil atau wiraswasta. Jumlah responden untuk masing-masing kelompok penutur bahasa daerah tidak diwakili secara merata: Jawa 21 orang, Sunda 17 orang, Minang, 9 orang, dan Batak 11 orang. Selain itu, jumlah responden ini relatif kecil dibandingkan dengan jumlah seluruh penutur masing-masing bahasa daerah itu. Masing-masing responden ini hanya dikelompokkan menurut kategorisasi bahasa daerah yang mereka akui sebagai bahasa pertama mereka dengan tidak melihat jenis dialek yang mereka gunakan, atau daerah asal mereka. Misalnya penutur bahasa Jawa tidak dikelompokkan menjadi kelompok penutur dialek Yogyakarta, Surabaya, Semarang, atau lainnya. Demikian pula untuk penutur bahasa Sunda, mereka tidak dikelompokkan ke dalam penutur bahasa Sunda dialek Priangan, Purwakarta, Banten, atau lainnya. Hal yang sama berlaku pula untuk penutur bahasa daerah Minang dan Batak.
1. 2. 3. 4.
Tabel 1. Data Responden menurut Jenis Kelamin, Usia, dan Pekerjaan Jenis Kelamin Pekerjaan Kelompok Responden Usia L P PNS Wiraswasta Penutur Bahasa Jawa 13 8 36 – 63 15 6 Penutur Bahasa Sunda 11 6 40 – 60 14 3 Penutur Bahasa Minang 5 4 35 – 50 6 3 Penutur Bahasa Batak 8 3 37 – 55 7 4 Jumlah 37 21 42 16
Kepada para responden ditanyakan tiga hal pokok, yang meliputi: a) identitas diri yang terkait usia dan pekerjaan; b) penggunaan bahasa dalam seting komunikasi yang berbeda-beda, c) persepsi diri para responden tentang hakikat identitas dan keanggotaan dalam kelompok (lihat Lampiran). Data diambil dengan meminta para responden mengisi angket yang sudah disiapkan. Pengisian data pada angket ini dilakukan secara sukarela, dengan meminta bantuan seorang mitra ketika peneliti sedang bertugas ke wilayah penutur bahasa-bahasa daerah tersebut. Akan tetapi, khusus untuk penutur bahasa Sunda, data diambil dari mitra peneliti yang secara kebetulan berinteraksi dengan peneliti dan bersedia menjadi responden. Apabila dimungkinkan, wawancara lanjutan akan dilakukan untuk mengetahui lebih jauh justifikasi responden terhadap jawaban yang telah diberikannya. Namun, kerahasiaan nama dan identitas responden tetap dijaga. Tabel 1 memberikan gambaran tentang distribusi para responden menurut latar belakang bahasa, jenis kelamin, usia dan pekerjaan mereka masing-masing. Bagian berikutnya akan menyajikan temuan penelitian ini, yang akan dibagi ke dalam dua pokok pembahasan sesuai dengan hakikat masalah yang diungkap, yakni a) pilihan bahasa yang mereka gunakan ketika bertutur, b) persepsi tentang nilai budaya inti. Pembahasan tentang pilihan bahasa didahulukan mengingat fenomena inilah yang lebih tampak di permukaan dan lebih mudah diamati. Kemudian, disusul dengan paparan tentang nilai budaya inti, yang justru mampu menjelaskan fenomena perilaku berbahasa para responden yang muncul di permukaan itu. Pilihan Bahasa Tabel 2 menunjukkan jawaban dari masing-masing kelompok responden terkait dengan bahasa yang mereka gunakan ketika bertutur dengan lingkungan terdekatnya, baik di rumah maupun di luar rumah. Dengan merujuk kepada data di Tabel 2 itu, kita dapat menemukan pola pilihan
120
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
bahasa para responden dari masing-masing penutur bahasa daerah dalam seting komunikasi yang berbeda-beda. Walaupun dengan rentangan persentase yang tidak sama, semua responden dari latar belakang bahasa daerah yang berbeda menyatakan bahwa ketika mereka berkomunikasi dengan suami/istri, bahasa daerah merupakan pilihan pertama. Tampaknya, alasan emosional yang dikandung oleh bahasa pertama para penutur memainkan peran yang sangat penting. Bagaimana pun, komunikasi dengan menggunakan bahasa daerah kepada orang yang memiliki kedekatan emosi sangatlah beralasan, sebab bahasa yang sama-sama dipahami secara utuh oleh kedua belah pihak pasti akan lebih mampu mengungkapkan perasaan pihakpihak yang terlibat dalam komunikasi. Apalagi kalau fungsi afektif dan emotif bahasa itu hendak disampaikan kepada mitra tutur yang sangat dekat, seperti terhadap suami/istri. Kenyataan ini berlaku, mengingat para responden memiliki pasangan hidup dari latar belakang bahasa yang sama. Tentu saja, gejala ini akan bisa berbeda manakala pasangan suami-istri itu berasal dari/memiliki latar belakang bahasa yang berbeda (lihat, misalnya, penelitian Pauwels, 1986 tentang pola berbahasa pada suami-istri eksogamis di Australia). Pilihan bahasa yang digunakan ketika berkomunikasi dengan suami/istri tadi relatif berbeda dengan ketika para responden tadi bertutur kepada anak. Pada situasi ini, para responden dengan latar belakang bahasa Jawa tampak lebih memilih bahasa Jawa sebagai media untuk berkomunikasi (81%). Sementara itu, hanya sekitar sepertiga responden dengan latar belakang bahasa Sunda (35.3%) dan bahasa Batak (36%) yang masih menggunakan bahasa daerah masing-masing kepada anaknya. Para responden berbahasa daerah Minang masih cukup besar (66.7%) yang menggunakan bahasa asli mereka kepada anak-anaknya. Data tersebut mengindikasikan bahwa para penutur bahasa Jawa masih relatif lebih kuat mempertahankan bahasanya dibandingkan dengan para penutur bahasa lainnya. Dengan demikian, disadari atau tidak, bahasa Jawa akan lebih mungkin untuk menjadi bagian dari warisan budaya bagi generasi berikutnya, dan hal ini memperkuat daya hidup bahasa Jawa di dalam lingkungan penuturnya. Situasi ini diperkuat dengan kebiasaan para penutur bahasa Jawa yang hanya menggunakan bahasa Jawa kepada para pembantu rumahnya, yang ternyata berbeda dengan cara responden lainnya berkomunikasi dengan mitra tutur dari kalangan pembantu rumah tangga. Rumah, sesungguhnya merupakan tempat yang paling kondusif untuk menyemaikan budaya ‘asli’ orang tua kepada anak-anaknya (Callan & Gallois, 1982; Lyon & Ellis, 1991; Roberts, 1991; Persky & Birman, 2005; Lanza & Svendsen, 2007). Wawancara dengan para responden penutur bahasa Sunda menemukan fakta bahwa sebagian besar dari mereka enggan menggunakan bahasa Sunda terhadap anak-anaknya, karena mereka sendiri merasa tidak yakin bahwa bahasa Sunda mereka pantas untuk digunakan kepada anak-anak mereka. Umumnya, mereka menyatakan tidak “percaya diri”— apakah bahasa Sunda mereka cocok dengan ‘undak-usuk basa Sunda’ seperti yang diajarkan sesuai tradisi. Mereka sangat percaya bahwa apabila contoh berbahasa yang kurang baik dipraktikkan di rumah, hal itu akan terbawa ke dalam lingkungan anak-anak. Oleh karena itu, daripada mereka harus menghadapi resiko kesalahan seperti itu, mereka lebih baik menggunakan bahasa Indonesia, yang mereka pandang lebih ‘netral’. Selain itu, mereka juga tidak mau terjebak dalam polemik untuk secara membabi buta mempertahankan bahasa daerah padahal, secara fungsional di lingkungan tempat mereka hidup dan juga anak-anaknya bersekolah dan bekerja, bahasa Indonesia jauh lebih sering digunakan (Roberts, 1991; Lyon&Ellis, 1991; Wei, 2009).
121
E. Aminudin Aziz
Tabel 2. Distribusi Jawaban para Responden tentang Pilihan Bahasa Situasi Berbahasa 1.
Penutur Bhs Jawa
Penutur Bhs Sunda
Penutur Bhs Minang
Penutur Bhs Batak
Bahasa yang digunakan di rumah ketika berbicara dengan: Jw (19)/Ind (2) Sd (12)/Ind. (5) Mg (9)/Ind. (-) Bk (8)/Ind. (3) a. Suami/Istri Jw (17)/Ind (4) Sd (6)/Ind. (11) Mg (6)/Ind. (3) Bk (4)/Ind. (7) b. Anak Jw (21)/Ind (-) Sd (9)/Ind. (8) Mg (2)/Ind. (4) Bk (2)/Ind. (2) c. Pembantu Rumah Tangga 2. Bahasa yang digunakan di sekitar rumah, dengan tetangga yang: Jw (21)/Ind (-) Sd (10)/Ind. (7) Mg (7)/Ind. (2) Bk (6)/Ind. (5) a. Berbahasa daerah sama Jw (-)/Ind (21) Sd (-)/Ind. (17) Mg (-)/Ind. (9) Bk (-)/Ind. (11) b. Berbahasa daerah beda 3. Bahasa yang digunakan di tempat bekerja: a. Kepada atasan Jw (9)/Ind (12) Sd (15)/Ind. (2) Mg (-)/Ind. (9) Bk (-)/Ind. (11) b. Kepada sejawat Jw (11)/Ind (10) Sd (7)/Ind. (10) Mg (2)/Ind. (7) Bk (3)/Ind. (8.) c. Kepada bawahan atau staf Jw (7)/Ind (14) Sd (6)/Ind. (11) Mg (4)/Ind. (5) Bk (-)/Ind. (11) lainnya 4. Bahasa yang akan digunakan ketika sedang berbicara bahasa daerah, lalu muncul orang lain yang tidak berbahasa daerah sama: 18 6 2 2 a. Terus berbicara dalam bahasa daerah 3 11 7 9 b. Beralih ke dalam bahasa Indonesia 5. Bahasa yang akan digunakan ketika sedang berbicara dalam bahasa Indonesia lalu muncul orang lain yang berbahasa daerah sama, tetapi mitra tutur tidak mengerti: a. Tetap menggunakan 4 16 8 11 bahasa Indonesia b. Beralih ke dalam bahasa 17 1 1 daerah 6. Bahasa yang akan dipakai ketika harus melayani pihak luar yang berbahasa daerah sama: 1 14 6 9 a. Bahasa Indonesia 20 3 3 2 b. Bahasa daerah Keterangan: 1. Ind.: Indonesia; Jw: Bahasa Jawa; Sd: Bahasa Sunda; Mg: Bahasa Minang; Bk: Bahasa Batak 2. Angka-angka dalam tanda kurung menunjukkan jumlah responden yang menjawab sesuai dengan pilihan tersebut.
Dengan demikian, mereka lebih berpikir dan berpandangan pragmatis dan fungsional dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa terhadap anak-anaknya. Tampak jelas di sini bahwa orang tua yang berbahasa Sunda tidak dengan serta merta akan mewariskan kompetensi berbahasa Sunda itu kepada generasi berikutnya, walaupun mereka tetap memandang bahwa bahasa Sunda merupakan salah satu ciri penting sebagai orang Sunda. Hal ini bisa kita bandingkan dengan sikap para orang tua di Western Isles, Skotlandia (Roberts, 1991) dan di 122
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
Welsh (Lyon dan Ellis, 1991), yang lebih mementingkan penggunaan bahasa Inggris daripada bahasa ibu/pertama mereka, mengingat kebijakan penggunaan bahasa secara bilingual di sekolah-sekolah mulai tingat SMP. Fenomena penggunaan bahasa oleh orang Sunda yang mirip sama ketika mereka bertutur dengan pihak luar, kita temukan pada komunikasi para responden ini dengan para pembantu rumah tangganya; mereka lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia daripada harus berbahasa Sunda. Situasi ini dapat memperkuat dugaan bahwa bahasa Sunda memiliki daya hidup yang relatif lemah, dan dikhawatirkan tidak dapat bertahan lebih lama daripada yang ditemukan pada kasus bahasa Jawa. Penutur bahasa Batak memiliki kemiripan dengan penutur bahasa Sunda dalam hal bertutur dengan anak-anak mereka. Para responden kelompok ini lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah mereka. Alasan yang umumnya muncul juga tidak terlalu berbeda dengan yang disampaikan oleh responden berbahasa Sunda. Namun, mereka ini memiliki obsesi yang agak berbeda terhadap anak-anak mereka. Dalam menjalani kehidupannya, para responden ini ternyata menginginkan agar anak-anak mereka lebih fasih berbahasa Indonesia (dan kalau mungkin bahasa asing), sehingga mereka dapat lebih bertahan hidup di Jakarta (penelitian ini sendiri diambil datanya di kota Medan, Sumatra Utara). Dengan kata lain, alasan ekonomi justru mendorong para responden untuk lebih memilih bahasa yang lebih fungsional (Wei, 2009). Kasus yang mirip seperti ini bisa kita temukan pada anggota masyarakat Italia yang sudah dewasa di Toronto, Kanada yang lebih memilih bahasa Inggris daripada bahasa Italia, sekalipun sebenarnya sikap bahasa mereka terhadap bahasa Italia tetap positif (Auer, 1991) dan kasus di Montreal serta Vancouver (Mok, 2010). Bagi penutur bahasa Minang, bahasa daerah mereka masih intensif digunakan ketika berkomunikasi dengan anak-anak mereka di lingkungan rumah. Mereka masih memiliki pandangan bahwa bahasa daerah merupakan salah satu identitas yang perlu dipertahankan, walaupun bukan satu-satunya. Namun, mereka juga memiliki rasa khawatir bahwa bahasa daerah mereka tidak bisa dipertahankan kalau melihat gejala bahwa di antara anak-anak mereka, dalam komunikasinya, mereka lebih memilih berbahasa Indonesia. Hanya saja, berdasarkan hasil wawancara, mereka tidak bisa (dan tidak akan!) memaksa agar anak-anak mereka benarbenar berbahasa daerah. Ini tiada lain karena mereka menyadari bahwa sangat mungkin tantangan hidup ke depan akan jauh lebih berat, daripada hanya berpikir untuk mempertahankan bahasa daerah. Namun, sebagai penutur asli bahasa daerah Minang, mereka tetap memiliki sentimen yang cukup kuat sehingga berharap bahwa bahasa Minang akan tetap hidup di tengahtengah masyarakat yang berasal dari Sumatra Barat pada umumnya. Fenomena berbahasa di atas dapat dikaitkan dengan upaya — sadar atau pun tidak sadar — oleh penutur sebuah bahasa dalam kaitannya dengan pemertahanan bahasa di lingkungan terkecil keluarga inti. Bagaimana pun, keluarga inti ini memiliki peran yang paling penting dalam menjamin terpeliharanya daya hidup dan keberlangsungan sebuah bahasa. Apalagi, kalau bahasa itu dipandang sebagai simbol dan nilai inti dari budaya anggota keluarga (Persky & Birman, 2005; Forrest & Dunn, 2006; Bachika, 2011). Melihat gejala seperti ditunjukkan oleh data di atas, kita akan memiliki keyakinan bahwa dibandingkan dengan tiga bahasa lainnya, maka bahasa Jawa memiliki daya hidup yang jauh lebih terjamin, disusul oleh bahasa Minang dan bahasa Batak. Hal ini mengingat bahasa Jawa digunakan oleh para penutur dengan sikap bahasa yang jauh lebih positif dan lebih kuat, sehingga lingkungan tersebut sangat baik untuk tumbuh, berkembang, dan bertahannya bahasa tersebut. Sementara itu, bahasa Sunda memiliki lingkungan yang tidak terlalu kondusif untuk dapat terus bertahan dalam periode yang lama. Dengan demikian, patut dikhawatirkan bahwa bahasa Sunda ini akan mengalami kepunahan yang lebih cepat. Fenomena yang tidak terlalu berbeda kita temukan pada situasi komunikasi di luar lingkungan rumah (pertanyaan nomor 2-6 pada angket). Para penutur bahasa Jawa agaknya tetap bertahan dan bersikap konservatif dalam penggunaan bahasanya, yakni mereka lebih
123
E. Aminudin Aziz
konsisten dalam menggunakan bahasa daerahnya. Dengan mitra tutur yang berlatar belakang bahasa daerah yang sama, dalam kehidupan bertetangga, kepada atasan, dan kepada sejawat, mereka lebih memilih menggunakan bahasa Jawa daripada bahasa lainnya. Bahkan, ketika sedang berbahasa Indonesia sekalipun, kalau mereka bertemu dengan mitra yang bertutur bahasa Jawa, mereka (71%) memilih beralih ke bahasa Jawa. Pada angket dinyatakan secara jelas bahwa mitra tutur yang sebelumnya sedang berbicara dengan mereka sebetulnya tidak mengerti bahasa daerah mereka. Namun, para responden penutur bahasa Jawa, tidak mempedulikannya. Pada satu sisi, ini dapat dilihat sebagai sikap positif penutur bahasa Jawa terhadap bahasanya, tetapi di sisi lain hal itu menunjukkan kurang sensitifnya para responden terhadap mitra tutur yang lainnya. Kasus yang mirip dapat ditemukan pada jawaban terhadap pertanyaan nomor 4 yang menggambarkan situasi percakapan yang melibatkan pihak lain yang tidak berbahasa daerah sama. Para responden berbahasa Jawa lebih memilih melanjutkan bertutur dengan bahasa Jawa (85.7%) sekalipun pihak lain yang muncul kemudian pada situasi komunikasi itu tidak berbahasa Jawa. Dalam konteks pelayanan publik pun, para responden berbahasa Jawa ini lebih memilih menggunakan bahasa daerah ketika mereka berinteraksi dengan pihak yang berbahasa daerah sama (95%). Data ini jauh berbeda dengan jawaban dari para responden yang berbahasa Sunda, Minang, dan Batak. Mereka ini, dalam melayani publik, lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia daripada menggunakan bahasa daerahnya sendiri. Ketika ditelusuri lebih jauh tentang hal ini melalui wawancara, para responden dari tiga bahasa daerah ini menyatakan bahwa mereka “menyadari bahwa ini adalah ranah publik dan, oleh karena itu, sebagai pelayan publik, ada kewajiban untuk menggunakan bahasa Indonesia”. Ada juga yang menyatakan bahwa “ini kan situasinya lebih resmi, jadi kita gunakan bahasa resmi saja”. Artinya, para penutur bahasa ini ingin lebih mengedepankan etika publik daripada sentimen terhadap bahasa daerahnya, di samping tentunya terkait dengan jejaring sosial yang mereka ingin pertahankan (Lanza & Sevendsen, 2007; David & Bar-Tal, 2009). Kecuali pada situasi berkomunikasi kepada atasan yang dilakukan oleh penutur bahasa Sunda yang akan lebih banyak menggunakan bahasa Sunda, pada situasi lainnya, baik penutur bahasa Sunda, Minang, dan Batak akan memilih bahasa Indonesia sebagai alat berkomunikasi di luar rumah. Ini tentu saja sangat berbeda dengan fenomena yang ditemukan pada para responden penutur bahasa Jawa yang akan lebih memilih menggunakan bahasa Jawa. Data ini menunjukkan bahwa para penutur bahasa Sunda, Minang, dan Batak sangat mudah untuk melakukan alih kode. Namun, tidak demikian halnya untuk para penutur bahasa Jawa yang tampak lebih ‘setia’ dengan bahasa daerahnya. Para penutur bahasa Sunda, Minang, dan Batak, akan dengan mudah beralih ke dalam bahasa Indonesia ketika mereka disambangi oleh pihak lain yang tidak berbahasa daerah sama dengan mereka, walaupun mulanya mereka sedang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerahnya (lihat data jawaban untuk pertanyaan nomor 4). Hal yang sama kita temukan untuk jawaban terhadap pertanyaan nomor 5. Di sini, para penutur ketiga bahasa daerah tersebut memilih untuk melanjutkan bertutur dalam bahasa Indonesia, sekalipun ada sejawatnya yang berbahasa daerah sama dengan mereka muncul ke hadapan mereka. Sampai sejauh tertentu, situasi seperti ini menunjukkan bahwa ketiga masyarakat penutur bahasa daerah tersebut tampak lebih terbuka untuk berbahasa dengan menggunakan bahasa yang bukan bahasa daerahnya. Dengan keterbukaan seperti ini, maka dapat diprediksi bahwa mereka pun akan dapat lebih mudah menyesuaikan diri untuk bergaul dengan pihak luar. Lebih jauh, kita pun dapat menduga bahwa apabila ada perubahan dari luar, maka mereka akan lebih mudah menerima, sebab bisa saja mereka bersikap sangat pragmatis dan/atau praktis. Tingkat adaptabilitas mereka juga mungkin lebih tinggi. Namun, hal ini tidak berarti bahwa para penutur bahasa Jawa tidak terbuka, sukar bergaul, dan tidak adaptif terhadap perubahan. Hanya saja, mereka jauh lebih peduli akan nilai yang dibawa oleh bahasanya bila dibandingkan dengan ketiga kelompok responden penutur bahasa lainnya itu (lihat pembahasan tentang Nilai Budaya Inti di bawah).
124
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
Bila dibandingkan dengan kasus yang ditemukan oleh Morita (2005) ketika mengkaji nilai inti masyarakat penutur bahasa China di Thailand, maka para penutur bahasa Jawa ini telah melihat bahasa Jawa sebagai bagian dari identitas dirinya sebagai masyarakat Jawa. Persoalan alih kode dari satu bahasa ke bahasa lainnya, terlebih dari bahasa yang memiliki ikatan emosional dengan penuturnya seperti bahasa daerah, sebetulnya dapat dipandang sebagai bentuk tinggi rendahnya ‘penghargaan’ penutur bahasa tersebut kepada salah satu wujud warisan nilai budayanya (bandingkan dengan temuan Stelzel & Seligman, 2009). Bagaimana pun, bahasa ibu, yang seringkali menjadi bahasa daerah seseorang, merupakan alat dan sekaligus kekayaan yang paling utama dan pertama kali diperoleh oleh seorang manusia. Dengan bahasanya itulah ia hidup, berkembang, dan bertahan di masa-masa awal kehidupannya. Bahasa ibu/bahasa pertama akan senantiasa fungsional, sebab ia akan senantiasa mampu menyampaikan dan memenuhi keperluan untuk ragam dan seting komunikasi seorang individu dengan lingkungannya. Dengan demikian, akan sangat masuk akal apabila seorang penutur bahasa pertama (bahasa daerah) berupaya memuliakan bahasa pertamanya. Ia pasti sangat yakin bahwa jati dirinya dan cara pandangnya tentang dunia, sebagian, dibentuk oleh bahasa yang ia pelajari sejak semula (Whorfian hypotheses). Selain menjadi alat komunikasi fungsional, bahasa juga akan dicerna oleh penuturnya sebagai pembentuk gerak langkahnya. Cara pandang seseorang tentang dunia, mungkin, tidak akan terlalu beraneka ragam atau teramat jauh (visioner) manakala bahasa pertamanya tidak memungkinkannya berinteraksi dan menggunakan bahasanya itu secara optimal. Pada kaitan ini, bahasa daerah/bahasa pertama justru bisa menjadi sekat pembatas bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas seorang penutur bahasa. Tentang Budaya Inti Persepsi para responden terkait dengan budaya intinya ditunjukkan pada Tabel 3. Data pada tabel ini menggambarkan jawaban para responden sesuai dengan urutan atau tingkat kepentingan masing-masing aspek budaya. Pada angket, setiap responden diminta untuk mengurutkan aspek-aspek budaya yang diberikan menurut kuat-lemahnya ikatan mereka terhadap aspek budaya tersebut. Sebuah aspek budaya yang dinilai paling kuat/mampu mengaitkan dirinya dengan budaya asli mereka, maka aspek tersebut akan ditempatkan pada urutan paling tinggi, dan sebaliknya. Dengan kata lain, aspek budaya tersebut mesti dinilai para responden dalam kaitannya dengan kemampuan untuk menisbatkan (asosiasi) mereka terhadap budaya tertentu. Pada Tabel 3 tampak bahwa responden berlatar belakang bahasa Jawa melihat aspek kemampuan berbahasa daerah (Jawa), menari/menyanyi lagu-lagu tradisi, pakaian adat, dan musik tradisional merupakan prediktor yang paling baik untuk menisbatkan mereka kepada budaya Jawa. Dengan kata lain, mereka merasa menjadi sebagai orang Jawa yang sesungguhnya manakala aspek-aspek budaya itu dekat bahkan melekat pada mereka. Adapun kenangan dengan daerah asal, saat-saat perayaan hari besar agama atau tradisional, dan kesamaan agama tidak merupakan aspek budaya yang melekatkan mereka terhadap budaya nenek moyangnya. Tampaknya, aspek keagamaan tidak dipandang menjadi bagian inti dari budaya mereka karena agama memang bersifat universal; ia tidak bisa diasosiasikan dengan budaya tertentu (bandingkan dengan temuan Joseph, 2005 dan Morita, 2005). Ini ternyata berlaku bukan hanya bagi para responden dengan latar belakang berbahasa Jawa, tetapi juga berlaku untuk ketiga kelompok responden lainnya. Terkait dengan bahasa sebagai nilai budaya inti bagi masyarakat penutur bahasa Jawa, kita tampaknya diberi informasi yang cukup kuat untuk sampai pada kesimpulan bahwa sikap dan perilaku berbahasa para penutur bahasa Jawa erat kaitannya dengan pengakuan mereka tentang budaya inti ini. Data yang kita miliki pada bagian terdahulu tentang sikap dan pilihan berbahasa para responden yang berlatar belakang bahasa Jawa dikuatkan oleh data sekarang ini tentang persepsi mereka mengenai budaya inti. Sangat tidak mungkin seseorang yang tidak menjadikan bahasa sebagai salah satu inti budayanya yang paling kuat dan bernilai tinggi, lalu ia berpikir dan bertindak begitu positif tentang bahasanya. Yang paling logis adalah mengaitkan
125
E. Aminudin Aziz
gejala berbahasa itu dengan keyakinan yang secara kuat dipegang oleh penutur bahasa. Dengan kata lain, bahasa daerah, bagi penutur bahasa Jawa, merupakan salah satu ciri hakiki yang menisbatkan mereka sebagai orang Jawa yang sesungguhnya. Responden berbahasa Sunda melihat musik tradisional sebagai bagian paling dalam (unsur inti) dari budayanya, diikuti dengan suasana kehidupan di daerah asal. Baru kemudian diikuti oleh kemampuan berbahasa Sunda. Data ini bagaimana pun menarik untuk ditelusuri, mengingat jawaban ini relatif berbeda dengan yang diberikan oleh ketiga kelompok responden lainnya. Ketika ditanyakan lebih lanjut kepada para responden tentang jenis musik yang mereka maksudkan dalam jawaban itu, mereka menunjuk pada musik jenis kecapi suling atau Cianjuran. Walaupun mereka mengakui bahwa mereka tidak bisa memainkan alat musik itu, atau apalagi menyanyikan tembang Cianjuran, senandung yang dikeluarkan kedua alat musik itu seolah-oleh menjadi magnet yang menarik mereka kepada jati diri sebagai orang Sunda yang sesungguhnya. Pada musik kecapi suling dihadirkan gambaran tentang keindahan alam raya daerah Pasundan yang hijau, sawah di mana-mana dikelilingi gunung gemunung, air sungai dan kolam yang selalu gemericik. Bagi mereka, itulah sesungguhnya ‘kehidupan’ bagi dan sebagai orang Sunda, yang senantiasa damai dan tenang berada di lingkungan alam seperti itu. Senandung yang dilantunkan melalui Cianjuran seolah ‘memanggil’ ruh orang-orang Sunda agar ingat akan tanah leluhur mereka yang indah. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau pernyataan tentang isi musik kecapi suling dan tembang Cianjuran ini ternyata paralel dengan penempatan aspek “kehidupan daerah asal” (pertanyaan nomor 10 pada angket) yang menduduki urutan kedua terpenting sebagai prediktor bagi orang Sunda. Tabel 3. Penilaian Responden tentang Aspek-aspek Budaya menurut Urutan Kepentingannya Urutan Kepentingan menurut para Penutur Bahasa Aspek-aspek Budaya Jawa Sunda Minang Batak 1. Kemampuan berbahasa daerah 1 3 3 4 2. Ketika berpakaian adat 3 7 2 5 3. Ketika sedang menari/menyanyi tradisi (kemampuan 2 4 5 2 menyanyi atau menari) 4. Ketika mendengar musik tradisional 4 1 4 3 5. Ketika sedang menyantap makanan khas daerah asal 7 5 1 8 6. Ketika mendengar intonasi/gaya bicara bahasa daerah 5 6 8 1 asal 7. Ketika memiliki kesamaan agama 10 9 7 10 8. Ketika asal daerah dikenali 6 8 9 7 9. Ketika merayakan hari besar agama atau tradisional 9 10 10 9 10. Ketika sedang mengenang kehidupan di daerah asal 8 2 6 6 Dalam kehidupan keseharian orang Sunda, kita bisa menemukan sejumlah kenyataan yang dapat mendukung pernyataan para responden ini. Pada masyarakat Sunda ada peribahasa yang berbunyi bengkung ngariung, bongkok ngaronyok yang secara awam lebih banyak ditafsirkan/dimaknai agar ‘tetap ada di lingkungan sendiri, apa pun yang akan terjadi’. Pemaknaan awam ini banyak, bahkan sangat kuat, mempengaruhi pola pikir orang Sunda pada umumnya, sehingga akibatnya orang Sunda banyak yang enggan merantau ke wilayah yang agak jauh dari daerah tempatan. Mereka banyak yang mencukupkan diri dengan kehidupan di lingkungan sendiri, walaupun kondisi hidupnya sangat pas-pasan. Bahkan, kalaupun mereka ‘terpaksa’ harus merantau ke luar daerah, adakalanya mereka tidak merasa betah dan/atau kerasan hidup di perantauan, sehingga mereka sering pulang ke daerah asal. Ini tentu saja, secara ekonomis, bukan merupakan sikap positif bagi seseorang yang sedang mencari sumber kehidupan, sebab terlalu sering pulang kampung adalah perilaku ekonomi biaya tinggi, apalagi 126
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
kalau usaha di perantauan belum memberikan hasil yang baik dan bisa mencukupi seluruh biaya yang harus dipenuhi. Yang lebih menarik untuk dicermati adalah pernyataan yang terangkum dalam Tabel 3 tadi tentang posisi bahasa Sunda dalam pandangan orang Sunda sendiri. Mereka menempatkan bahasa Sunda tidak sebagai bagian paling inti dari jati diri orang Sunda, sehingga kemampuan berbahasa Sunda pun dinilai tidak terlalu penting. Fakta ini sejalan dengan sikap bahasa yang ditunjukkan oleh para responden, seperti telah dinyatakan pada bagian di atas tadi. Para penutur bahasa Sunda sangat mudah beralih kode dan memilih bahasa Indonesia ketika berkomunikasi yang melibatkan pihak lain yang bukan orang Sunda. Di sini, kita bisa menduga dengan sangat kuat bahwa sikap itu diambil karena memang sesungguhnya kemampuan berbahasa Sunda nyata-nyata bukan merupakan nilai initi dari jati diri sebagai orang Sunda. Kalaupun masih merupakan bagian dari pusaran inti budaya, bahasa Sunda hanyalah menduduki urutan ketiga setelah sentimen terhadap musik dan suasana kehidupan desa. Dengan demikian, gejala berbahasa yang ditunjukkan oleh para penutur dengan latar belakang bahasa Sunda, baik dalam hal pilihan bahasa maupun alih kode, sebaiknya dilihat dan dijelaskan dari sudut pandang ini, sebab pengakuan tentang nilai inti budaya ini mampu memberikan informasi yang jauh lebih akurat tentang hakikat gejala/perilaku berbahasa yang sedang ditunjukkan oleh penutur sebuah bahasa (Smolicz & Secombe, 1985). Berbeda dengan kelompok responden lainnya, para responden berlatar belakang penutur bahasa Minang melihat aspek budaya yang paling hakiki dan melekat menjadi bagian inti budayanya adalah kemampuan menghargai cita rasa makanan tradisional. Bagi mereka, kepiawaian membuat masakan khas Minang dan bisa membedakannya dengan jenis dan rasa masakan dari daerah lain menjadi salah satu penentu yang paling dominan untuk bisa dikatakan sebagai orang Minang. Ciri ini disusul dengan kenangan tentang gaya kehidupan daerah asal, yang salah satunya ditandai dengan desain pakaian adat, dan musik tradisional. Menyusul adalah aspek budaya yang terkait dengan tarian dan nyanyian. Sejauh tertentu, kedua ciri yang terkait dengan makanan dan aspek rumah adat sebagai salah satu kenangan akan tanah leluhur bisa kita temukan menjadi satu kesatuan, seperti yang kita temukan pada bentuk atau hiasan di rumah-rumah makan orang-orang keturunan Minang. Ada sebuah ilustrasi yang sangat relevan terkait dengan pengakuan orang-orang Minang ini. Pada suasana menjelang perayaan Idul Fitri 1432 Hijriyah, secara tidak disengaja, di sebuah stasiun televisi swasta, saya menyaksikan sebuah iklan layanan masyarakat. Isi iklan itu sebetulnya permohonan maaf yang ingin disampaikan oleh jajaran direksi dan staf sebuah Badan Usaha Milik Negara. Yang menarik adalah penggunaan kisah dengan latar belakang seorang pemuda Minang yang didorong (baca: dipaksa) segera hidup mandiri. Pemuda itu kemudian meminta izin untuk merantau jauh. Ternyata, usaha yang ia tempuh adalah membuka usaha rumah makan dengan gaya khas Minang. Pada saat berikutnya, ia kemudian diingatkan akan tanah leluhurnya di Minang, dan seperti dipanggil oleh kekuatan tanah leluhur itu, maka pemuda itu kemudian kembali ke kampung halamannya untuk menemui keluarga dan menyatakan bahwa ia kini telah berhasil. Tentu saja, memahami iklan seperti ini dari sudut pandang dan teori budaya inti akan memberikan gambaran yang semakin menguatkan pandangan kita bahwa memang bagi orang Minang, hal yang dipandang paling hakiki sebagai jati dirinya dimulai dari kemampuan menghayati dan menghargai cita rasa makanan khas orang Minang itu, yang dalam iklan itu direfleksikan dengan dibukanya sebuah rumah makan. Tampaknya, dalam cita rasa makanan itu terkandung kekuatan yang memberi semangat untuk mudah dikenali oleh sesama ‘orang Awak’, khususnya ketika mereka berada di perantauan. Dari makanan itulah sesungguhnya telah dialirkan ‘darah’ asli untuk tumbuh dan berkembang sebagai seorang orang Minang yang sebenarnya. Pada konsep seperti ini juga dapat kita lihat betapa simbol makanan bisa menjadi alat ‘pemersatu’ orang-orang Minang (Bachika, 2011). Konsep ini tidak dimiliki oleh para penutur bahasa lain.
127
E. Aminudin Aziz
Seperti halnya penutur bahasa Sunda, kemampuan berbahasa daerah ditempatkan oleh orang Minang pada urutan ketiga di antara aspek-aspek yang menisbatkan mereka sebagai orang Minang yang sesungguhnya. Data ini sesuai dengan situasi yang digambarkan di bagian terdahulu, terkait dengan pilihan bahasa yang diambil oleh penutur bahasa Minang ketika mereka berada pada situasi komunikasi yang berbeda-beda. Bagi orang Minang, bahasa daerah bukanlah aspek budaya yang harus dipandang lebih penting daripada menghayati dan menghargai cita rasa makanan dan gambaran akan kampung halaman, bila jati diri ke-Minangan hendak kita nisbatkan kepada mereka. Orang Minang umumnya dikenal sebagai penganut agama Islam yang taat. Akan tetapi, dalam konteks penilaian mereka tentang budaya inti, agama tidak mereka kaitkan dengan aspek budaya. Bagi mereka, agama adalah sesuatu yang sakral, bukan merupakan bagian dari budaya, sebab agama memang harus dipandang sebagai aspek kehidupan yang memiliki nilai-nilai universal. Oleh karena itu, bicara tentang agama adalah bicara sesuatu yang sangat transendental; ia tidak merupakan sifat dari sebuah budaya tertentu. Keyakinan ini mereka tunjukkan dengan menempatkan hal-hal yang terkait dengan agama pada urutan bawah yang menisbatkan mereka dengan latar budayanya. Sekalipun mereka menyadari bahwa ketaatan beraneka ragama merupakan salah satu ciri mereka, tampaknya mereka memahami masalah agama ini bukan merupakan milik khas mereka. Lain padang, lain belalang. Lain orang Jawa, Sunda, dan Minang, lain pula orang Batak dalam melihat budaya inti masyarakatnya. Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa para responden Batak memandang logat berbahasa sebagai jati diri yang paling melekat pada mereka sebagai orang Batak dibandingkan dengan aspek budaya lainnya. Tampaknya, logat berbahasa terdengar sangat khas bagi mereka, sehingga efeknya sangat meresap pada pikiran dan perasaan mereka. Akibatnya, mereka melihat bahwa sentimen inilah yang bisa menjadi ciri yang paling khas sebagai orang Batak. Pada saat orang Batak bertutur, kita bisa mendengar ragam bertutur yang memang khas, terutama dalam karakter nada dan intonasi. Sepertinya, seorang mitra tutur yang bukan berasal dari Batak pun akan dengan mudah mengidentifikasi logat berbahasa ini, apalagi bagi orang Batak sendiri. Dengan demikian, ciri yang paling mudah dikenali seperti inilah yang kemudian oleh penutur bahasa Batak dipandang sebagai penanda utama seseorang sebagai pemilik budaya orang Batak asli. Hal ini seiring dengan pengakuan para responden yang menempatkan kemampuan menyanyi atau menari tradisi dan penghayatan terhadap lantunan musik tradisional pada urutan kedua dan ketiga, sebagai penisbat mereka dengan budaya leluhur orang-orang Batak. Akan tetapi, ada yang menarik terkait dengan data tentang penempatan kemampuan menyanyi atau menari tradisi sebagai salah satu ciri budaya inti yang sangat kuat bagi bagi orang Batak ini. Biasanya, aktivitas menari atau menyanyi tradisi ini banyak dilakukan dalam kaitan dengan perayaan hari besar agama atau tradisional. Namun, anehnya, para responden justru tidak melihat hal terakhir ini menjadi bagian dalam (inti) dari nilai budayanya. Semua responden dari keempat kelompok memiliki pandangan yang sama tentang agama ini, yakni tidak menjadikannya sebagai nilai inti dari budaya mereka masing-masing. Dengan demikian, persepsi tentang budaya inti tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan aspek agama atau kepercayaan yang sifatnya universal ini (bandingkan dengan hasil kajian Joseph, 2004 dan Morita, 2005). Masyarakat Batak dikenal sebagai salah satu komunitas yang memiliki ragam budaya yang banyak dan juga unik. Tarian, nyanyian, dan musik adalah tiga di antara unsur budaya yang sangat kentara dan populer di antara masyarakat Batak. Tidak mengherankan kalau pada akhirnya para responden dalam penelitian kali ini pun secara nyata mengungkapkan bahwa aspek-aspek budaya itu memang merupakan bagian-bagian inti dari budayanya. Dengan kata lain, menjadi seorang Batak yang ‘betulan’ haruslah memiliki kemampuan untuk menyanyi, menari, atau menghayati unsur-unsur inti budaya ini (bandingkan dengan kasus para penutur bahasa Sunda di atas).
128
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
Terkait dengan bahasa daerah, para responden menempatkan kemampuan berbahasa daerah pada urutan keempat dari rangkaian inti jati diri mereka. Artinya, bahasa Batak, bagi orang Batak, tidak memiliki nilai yang sangat hakiki untuk dijadikan prediktor dan sekaligus indikator bahwa seseorang itu menjadi orang Batak betulan. Hal yang sama berlaku juga untuk aspek-aspek yang terkait dengan asal-usul daerah, yang tidak dipandang sebagai sesuatu yang penting untuk dijadikan penentu ke-Batak-an seseorang. Hal ini tentu saja berbeda dengan tiga aspek budaya yang telah disebut di atas tadi, yang memang melekat kuat sebagai unsur utama dari budaya inti orang Batak. Maka, sangat bisa dipahami kalau kita ternyata banyak sekali orang Batak yang merantau ke tempat yang jauh dari kampung halamannya untuk mengadu nasib. Sebab, bagi mereka, meninggalkan daerah asal tidak mengurangi sedikit pun rasa diri sebagai orang Batak. Studi #2 Fenomena yang ditemukan pada Studi #1 untuk kasus penutur bahasa Sunda ditindaklanjuti dengan melaksanakan penelitian lebih mendalam, melibatkan lebih banyak responden dan instrumen yang lebih luas cakupannya. Pada Studi #2 ini terlibat 808 orang responden yang berasal dari berbagai latar belakang pekerjaan, ragam usia, dan tempat domisili. Tabel 4 berikut ini memberikan gambaran tentang para responden. Jumlah Responden Usia
Status Perkawinan
Pekerjaan
Daerah Asal dan Tempat Tinggal Bandung Raya Priangan Timur Wilayah Cirebon Wilayah Subang Wilayah Cianjur Data Tidak Jelas
Tabel 4. Data Responden untuk Studi #2 808 orang 442 laki-laki 358 perempuan 8 data tidak tersedia 12 – 89 tahun < 25 tahun 148 25 – 45 tahun 423 > 45 tahun 231 Data tidak jelas 6 Menikah 617 Tidak Menikah 154 Pernah Menikah 24 Data tidak jelas 13 PNS/Karyawan Swasta 222 Guru/Dosen 110 Wiraswasta/Karyawan 366 (Maha)siswa 83 Data tidak jelas 27 Jumlah Menurut Tempat Jumlah Menurut Daerah Asal Tinggal 76 62 175 218 167 168 231 219 122 121 37 12
Dari data di atas ditemukan adanya sejumlah data yang masuk kategori tidak jelas/tidak tersedia. Hal ini terjadi karena para responden tidak memberikan data pada angket yang diberikan kepadanya. Sementara itu, pembagian wilayah asal dan tempat tinggal terdiri atas lima, yaitu Bandung Raya, yang meliputi Kota/Kabupaten Bandung, Bandung Barat dan Cimahi. Para responden dari wilayah Priangan Timur meliputi Kota/Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, dan Kabupaten Sumedang. Dari wilayah Subang meliputi Kabupaten Subang dan Purwakarta. Responden dari wilayah Cirebon berasal dari Kota/ 129
E. Aminudin Aziz
Kabupaten Cirebon dan Majalengka, dan responden dari wilayah Cianjur berasal dari Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi. Selain meminta responden mengisi data terkait dengan jati dirinya, angket yang disampaikan kepada para responden juga meminta mereka untuk menyediakan data yang bersifat penilaian dan persepsi mereka terkait dengan a) kompetensi berbahasa Sunda mereka, b) situasi dan pilihan berbahasa dalam kehidupan sehari-hari, c) hakikat sebagai orang Sunda, dan d) penilaian tentang penting-tidaknya bahasa Sunda bagi mereka. Temuan Studi #2 Lebih dari 80% responden menyatakan bahwa kompetensi berbahasa mereka untuk keempat jenis keterampilan berbahasa masih sedang sampai baik, dengan kemampuan membaca menduduki tingkat tertinggi diikuti keterampilan mendengarkan, berbicara, dan menulis. Sementara itu, yang menyatakan memiliki kompetensi sangat bagus di satu sisi dan sangat kurang di sisi lain secara berturut-turut berkisar di antara 8-10% dan di bawah 4%. Ketersediaan bahan-bahan bacaan berbahasa Sunda, walaupun dalam jumlah yang sangat terbatas, seperti surat kabar, majalah, atau bacaan lainnya di lingkungan kehidupan mereka menjadi tantangan untuk terus memahami bahasa Sunda. Hal ini berbeda dengan ketiadaan tuntutan untuk menulis dalam bahasa Sunda dalam kehidupan mereka, yang telah membuat mereka malas dan tidak tertantang untuk menggunakan bahasa Sunda secara tertulis. Namun, dalam konteks situasi yang sangat terbatas, seperti menulis teks singkat (SMS) atau mengerjakan tugas-tugas pelajaran bahasa Sunda di sekolah bagi responden pelajar, mereka masih juga menggunakan bahasa Sunda. Tuntutan untuk dapat mendengarkan dan memahami mitra tutur dalam komunikasi di lingkungan kehidupan sehari-hari yang mayoritas berbahasa Sunda dan menanggapinya dengan bahasa yang sama menjadi catatan tersendiri bagi para responden dalam mempertahankan keberlangsungan komunikasi dan memelihara kompetensi bahasanya. Mereka tidak serta merta berpindah untuk menggunakan bahasa Indonesia, walaupun sering kali mereka dihadapkan pada kerisauan memilih ragam atau tingkatan bahasa Sunda yang paling tepat untuk digunakan. Ini terjadi terutama sewaktu mereka berhadapan dengan mitra tutur yang lebih tua, lebih dihormati, atau yang tidak mereka kenali dengan baik. Demikian juga kalau mereka sedang berada dalam situasi yang lebih formal. Bahkan, sejumlah responden menyatakan hampir tidak sanggup kalau harus bertutur dengan menggunakan bahasa Sunda dalam forum-forum yang lebih formal tersebut. Akibatnya, mereka akan segera beralih ke dalam bahasa Indonesia. Kegalauan seperti ini umumnya dihadapi oleh para responden yang berusia muda, sedangkan para responden yang lebih tua berbahasa lebih leluasa, bebas, dan lugas tanpa merasa dibebani oleh pilihan-pilihan akan ragam atau tingkatan bahasa yang tersedia: halus-sedang-kasar. Fenomena yang menunjukkan kegalauan memilih ragam bahasa juga tampak dalam pola komunikasi antara para responden dengan mitra tuturnya di dalam rumah. Walaupun dengan suami atau istri para responden masih lebih banyak menggunakan bahasa Sunda (85%), ternyata intensitas penggunaan bahasa Sunda terhadap anak-anak mereka tergolong rendah. Namun, hal ini tidak berarti bahwa para orang tua lebih memilih bahasa Indonesia saat bertutur kepada anakanaknya, sebab proporsi penggunaan bahasa Sunda masih lebih besar dibandingkan dengan proporsi penggunaan bahasa Indonesia. Fakta yang sangat jelas adalah bahwa para orang tua memiliki rasa khawatir yang cukup tinggi, kalau-kalau mereka bertutur dengan anak-anaknya dengan ragam yang tidak tepat, yang kemudian akan diikuti oleh anak-anak mereka dalam bertutur sehari-hari. Anak-anak mereka juga sungguh menyadari bahwa penggunaan bahasa Sunda dalam lingkungan keluarga sangat diperlukan untuk terus menjaga nilai-nilai budaya leluhur mereka sebagai orang Sunda. Sikap positif dari para responden terhadap nilai bahasa Sunda bagi mereka sebagai orang Sunda seperti ini menjadi modal yang kuat untuk melangsungkan keberadaan bahasa Sunda di tengah-tengah kehidupan mereka dan menjamin kehidupan bahasa Sunda ini ke depan. Para responden bahkan memandang sangat perlu untuk mewariskan bahasa Sunda ke generasi berikutnya, mengingat dalam bahasa Sunda terdapat
130
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
nilai-nilai luhur dan mencerminkan jati diri orang Sunda, di samping memang mereka hidup di Tatar Sunda. Hilangnya bahasa Sunda dari Tatar Sunda, mereka yakini merupakan sebuah bentuk dari hilangnya orang Sunda. Namun, sikap positif terhadap bahasa Sunda yang dikemukakan oleh para responden itu, ketika diperiksa dari pernyataan pada bagian lain dari angket, menunjukkan hal yang relatif berbeda, walaupun bukan berarti bertentangan. Ketika kepada para responden ditanyakan dalam kondisi apa mereka merasa menjadi orang Sunda yang sesungguhnya, jawaban mereka justru lebih menunjuk pada keberadaan mereka di Tatar Pasundan dan menjadi pemeluk agama Islam, baru diikuti dengan pernyataan terkait dengan kemampuan menggunakan bahasa Sunda (lihat data di Tabel 5). Pengakuan mereka ini menujukkan bahwa tingkat kepentingan bahasa Sunda dan kemampuan menggunakan bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari tidaklah sepenting dibandingkan dengan untuk tetap hidup dan berada di tanah Sunda. Ini ternyata, kalau kita amati, sejalan dengan fenomena yang kita temukan di masyarakat Sunda sendiri. Mereka sangat jarang yang pergi jauh merantau ke tanah seberang dan menetap hidup di sana. Walaupun memang ada yang merantau, keterkaitan dengan tanah leluhur di Tatar Pasundan sangat jelas terwujud dari, misalnya, seringnya mereka kembali ke Tanah Pasundan. Bisa jadi, pepatah yang menyatakan bahwa hujan batu di tanah sendiri lebih baik daripada hujan emas di tempat lain menjadi salah satu ‘pedoman’ bagi para penutur bahasa Sunda. Pepatah ini tampaknya juga sejalan dengan peribahasa Sunda yang menyatakan bengkung ngariung, bongkok ngaronyok, seperti dikemukakan pada paparan di atas. Filosofi ini tentu saja berbeda dengan para penutur bahasa utama lainnya, seperti telah digambarkan di atas, baik bagi penutur bahasa Jawa, Minang, maupun Batak. Tabel 5. Persepsi orang Sunda tentang Hakikat sebagai Orang Sunda Nilai Total Urutan Urutan No. Aspek Budaya Rata-rata Persen (rata-rata) (persen) Hidup di Tatar Pasundan 2.02 75.23 1 1 1 Mampu bertutur dalam bahasa 2.07 65.82 2 3 2 Sunda dengan fasih Memeluk agama Islam 2.56 70.43 3 2 3 Mendidik /mewarisi keturunan 2.57 61.87 4 4 4 dengan (menggunakan) bahasa Sunda Mampu menikmati makanan 3.18 52.47 5 5 5 khas Sunda Mampu menikmati alunan musik 3.90 41.95 6 6 6 tradisional Sunda Menikah dengan sesama Sunda 4.01 41.38 7 7 7 Mampu melantunkan lagu-lagu 4.48 35.82 8 8 8 Sunda Mampu membaca naskah/tulisan 5.11 34.34 9 9 9 Sunda Memakai pakaian Sunda 5.68 25.41 10 10 10 Catatan: Nilai rata-rata dihitung berdasarkan penilaian yang diberikan responden tentang sebuah aspek budaya dan jati diri sebagai orang Sunda (kolom 2), yang diurutkan dari 1-10. Angka 1 menunjukkan urutan paling penting, angka 10 paling tidak penting. Terkait dengan nilai pentingnya beraneka ragama Islam bagi penutur bahasa Sunda, tampaknya perlu diberi catatan khusus. Pengaruh agama Islam terhadap orang Sunda tampaknya lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh agama-agama lain yang masuk ke Indonesia. Patut diduga bahwa orang Sunda zaman dulu lebih melihat kecocokan nilai-nilai yang ditawarkan 131
E. Aminudin Aziz
agama Islam kepada mereka dengan nilai-nilai yang dianut dan dipercayai serta ditemukan dalam masyarakat Sunda. Dengan demikian, nilai-nilai agama Islam lebih mudah diadopsi oleh orang Sunda. Namun, pengaruh agama lain pun, terutama Hindu, ditemukan juga dalam sebagian kecil kehidupan masyarakat Sunda. Yang justru menarik untuk diamati dari hasil Studi #2 ini adalah berbedanya persepsi para responden di Studi#1 dengan persepsi para responden Studi #2 terkait dengan nilai budaya inti. Para responden di Studi #1 melihat bahwa musik tradisional Sunda kecapi suling merupakan penggerak utama yang mampu membangkitkan kesadaran mereka sebagai orang Sunda, karena lantunan musik itu mampu mengingatkan mereka pada daerah asal. Perbedaan pandangan seperti ditemukan pada dua studi ini sebetulnya bukan merupakan sebuah bentuk data yang berlawanan satu sama lain. Studi #2, dalam hal ini, justru menegaskan persepsi yang ditunjukkan oleh para responden di Studi #1 yang jumlahnya amat terbatas. Kehidupan yang ditemukan di Tatar Pasundan tergambar pasti dan sempurna dalam alunan musik tradisonal kecapi suling. Oleh karena itu, mereka terpanggil untuk rindu dan bahkan tetap hidup di Tatar Pasundan itu, hal mana ditegaskan oleh para responden #2 yang mencakup jumlah cukup besar dan mewakili para penutur bahasa Sunda di berbagai wilayah. Seperti dikemukakan pada paparan dan dan terlihat pada data di Tabel 5, para responden memiliki sikap yang sangat positif terhadap bahasa Sunda. Namun, mereka menempatkan nilai pentingnya bahasa Sunda tersebut pada urutan ketiga, sebagai indikator utama untuk menunjuk pada jati diri orang Sunda yang sesungguhnya. Data ini persis sama dengan hasil yang diperoleh dari studi #1. Artinya, walaupun bahasa Sunda itu dipandang penting dan memiliki peran khusus bagi orang Sunda, untuk tetap menjadi orang Sunda yang sesungguhnya, mereka tetap akan lebih memilih tinggal di Tatar Pasundan, sekalipun mereka tidak berbahasa Sunda lagi. Kondisi ini akan berdampak luas dan berpengaruh kuat terhadap upaya pemertahanan bahasa Sunda di kalangan orang Sunda. Gejala alih bahasa akan semakin menguat dan meluas di tengah deras dan kuatnya pengaruh bahasa-bahasa lain. Peralihan ini bukan hanya ditemukan pada praktik bahasa lisan tetapi juga pada bahasa tulisan, yang memang ditunjukkan oleh para penutur bahasa Sunda dari berbagai tingkat usia dan ragam status sosialnya. Apabila gejala alih dan/atau campur bahasa ini berlanjut, maka pertarungan kekuatan antara bahasa Sunda di satu sisi dan bahasa lainnya (bahasa Indonesia dan bahasa asing) di sisi lain tidak akan bisa dihindarkan. Bagaimana pun, pengguna bahasa pada akhirnya akan lebih memilih bahasa yang paling fungsional. Kebijakan bahasa yang dirancang mulai tingkat keluarga, masyarakat dan bahkan oleh pemerintah akan banyak menemukan kendala manakala tidak mampu melihat keterkaitan emosional para penutur bahasa dengan bahasanya. Membangun Karakter Keindonesiaan Persepsi yang begitu beraneka ragam yang ditunjukkan oleh para responden dari keempat kelompok penutur bahasa daerah seperti dinyatakan pada pembahasan di atas memberikan isyarat akan kompleksitas usaha yang harus dilakukan dalam membangun karakter kebangsaan, yang disebut Indonesia. Memang benar bahwa keempat kelompok masyarakat yang terlibat dalam penelitian ini hanya merupakan bagian kecil dari keseluruhan konstituen keindonesiaan ini. Namun, perlu kita sadari bahwa keempat kelompok masyarakat ini sesungguhnya merupakan bagian terbesar dari seluruh penduduk warganegara Indonesia. Dengan demikian, keberhasilan membangun dan membina karakter kebangsaan terhadap mereka akan memudahkan upaya membangun yang lainnya. Sebalikya, kegagalan membina karakter mereka akan berdampak kepada semakin sulitnya menjayakan nilai-nilai keindonesiaan itu. Namun, seperti dinyatakan tadi, kalau upaya membangun karakter kebangsaan itu dilakukan melalui sentuhan terhadap nilai-nilai inti dari budaya masing-masing, maka hal itu akan menghadapi berbagai kendala, walaupun upaya tersebut bukan sesuatu yang mustahil. Pada bagian ini, penulis hanya akan melihat bagaimana peran bahasa (baik daerah maupun nasional) bisa optimal dalam membangun karakter kebangsaan tersebut.
132
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
Dengan keyakinan bahwa fungsi hakiki bahasa adalah sebagai alat untuk menyampaikan gagasan dan juga mempertahankan diri/kelangsungan hidup, maka sudah semestinya bahasa juga dijadikan media untuk membangun karakter kebangsaan. Setiap orang yakin bahwa bahasa merefleksikan watak penuturnya, yang pada gilirannya merefleksikan masyarakat dan bangsa secara keseluruhan. Dalam bahasa—melalui analisis yang seksama dan mendalam—kita menemukan ciri-ciri ketegasan, kelembutan, ke(tak)santunan, kebrutalan, bahkan perasaan sedih, bahagia, kecewa, marah, atau harapan mendalam yang dimiliki para penuturnya. Mengingat potensi yang amat beraneka ragam ini, maka dalam kaitan dengan pembinaan karakter kebangsaan, bahasa dapat diperankan secara optimal sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya. Dua hal bisa kita kemukakan di sini, yakni bahasa terbangun atas struktur dan makna. Struktur merupakan wujud ‘lahir’, sedangkan makna (yang direalisasikan atau dibawa melalui leksikon) merupakan wujud ‘batin’. Oleh karena itu, kita akan uraikan bagaimana kedua wujud itu dapat mempengaruhi pembangunan karakter seseorang. Untuk membentuk karakter yang kuat, kokoh, dan tegas, penggunaan struktur tuturan yang efisien dan leksikon yang tidak memiliki makna bersayap bisa menjadi pilihan pertama. Efisiensi ini dapat dicapai, misalnya, melalui penggunaan struktur tuturan yang sederhana (walaupun bukan berarti harus selalu dalam bentuk kalimat pendek-pendek berupada kalimat sederhana), pola wacana yang tidak berbelit-belit, dan tidak banyak mengandung pemagaran (hedges). Tuturan yang langsung dapat dimaknai tanpa harus banyak membuat tafsir lain tentunya akan menunjukkan ketegasan maksud tuturan tersebut. Dengan cara seperti ini, tuturan yang dihasilkan dapat memberikan kesan tegas dan kuat (assertive) penuturnya. Namun, hal ini tidak berarti bahwa tatakrama berbahasa dalam wujud kesantunan tidak diperhatikan. Setiap pengguna bahasa, bagaimana pun, harus tetap peduli dan secara seksama memperhatikan lingkungan pertuturan yang menyertai tuturannya. Ungkapan berikut ini bisa menjadi contoh. a) Saya tidak setuju. b) Kayaknya, saya kurang sependapat dengan gagasan itu. c) Mohon maaf, tampaknya saya agak keberatan untuk bisa menyetujui gagasan ini. d) Saya punya pendapat yang agak berbeda, walaupun beberapa esensinya mirip juga dengan pendapat tadi e) Tampaknya gagasan itu bisa dipertimbangkan, kalau yang lain juga bisa menyetujuinya. Contoh pada a)-d) di atas tentu saja bisa dan pasti akan digunakan pada situasi yang berbeda-beda. Tidak semua pihak akan dengan cepat memahami maksud yang dikandung oleh masing-masing tuturan tersebut. Namun, terkait dengan pembinaan karakter dan tujuan untuk menunjukkan sikap, contoh a) dan b) lebih pantas untuk diutarakan pada situasi yang ingin menunjukkan ketegasan dan sikap yang lebih pasti, walaupun kadar ketegasan dari kedua contoh ini masih tetap berbeda. Melalui tuturan a), penutur secara lugas menyatakan ketidaksetujuannya, sementara pada contoh b) masih mengandung pemagaran untuk ‘melindungi’ penutur dari berbagai dampak kurang baik. Contoh c) memberi isyarat ‘ketidaksetujuan’ penutur terhadap gagasan yang dimaksudkan, tetapi, isyarat itu hanya akan bisa ‘ditangkap’ oleh mitra tutur yang sudah kompeten. Begitu pula untuk contoh d) dan e) yang untuk bisa memahami isinya perlu memperoleh penafsiran lebih mendalam. Karakter jujur dapat dibangun dan dikembangkan melalui penggunaan konstruksi bahasa yang tidak banyak mengandung eufemisme. Namun, hal ini tidak langsung berarti bahwa eufemisme dalam berbahasa menjadi haram digunakan. Yang benar adalah penggunaan eufemisme akan harus sangat kontekstual, khususnya untuk kasus-kasus berbahasa yang ditengarai bakal memiliki dampak tidak nyaman pada pihak mitra tutur berupa ketersinggungan. Brown &Levinson (1987) menyebut tindak komunikasi seperti ini sebagai tindakan yang berpotensi mengancam wajah (face-threatening acts). Dengan kata lain, penggunaan eufemisme dengan proporsi dan dalam situasi yang tepat justru akan menjadi bumbu penyedap suasana komunikasi yang dibangun itu. Eufemisme yang digunakan oleh pihak penguasa tentang sebuah
133
E. Aminudin Aziz
kasus kelaparan yang dikatakan dengan ‘rawan daya beli’ atau ‘gizi buruk’, kebodohan dengan ‘rendah literasi’ merupakan contoh ketidakjujuran pihak penguasa terhadap rakyatnya, yang sekaligus akan menjadi media pembodohan dan penipuan terhadap rakyat itu sendiri. Pola kalimat aktif, yang secara jelas mengidentifikasi subjek pelakunya, dapat menjadi saluran untuk membangun watak penutur yang bertanggung jawab. Ini agak berbeda dengan pola kalimat pasif yang tidak menginginkan kehadiran pelaku yang sesungguhnya; yang baru jelas setelah pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi itu memahami konteks pertuturan yang sedang terjadi. Tentu saja, kombinasi penggunaan struktur kalimat aktif dan pasif akan menjadi pilihan yang harus dibuat penutur, sebab hal itu akan menujukkan kepiawaiannya dalam berbahasa. Selain itu, adanya kejelasan pertuturan yang menujukkan hubungan antara penutur, subjek kalimat, dan fokus pembicaraan (speaker-topic-comment relations) dapat menakar wujud dan tingkat tanggung jawab yang dimaksudkan tadi. Dalam hal ini, penutur akan senantiasa memiliki rujukan yang jelas ketika dia bertutur, baik yang terjadi mengenai dirinya maupun mengenai pihak-pihak di luar dirinya. Konteks pertuturan akan senantiasa dihadirkan, sehingga mitra tutur akan mudah mengikuti lalu memahami isi pembicaraan yang sedang terjadi. Sikap lembut, rasa hormat, ramah, dan rendah hati dapat tergambar pada penggunaan leksikon yang dipilih secara apik. Ironi, sarkasme, dan disfemisme dalam tuturan merupakan sumber-sumber pemicu untuk timbulnya kesan kurang atau bahkan tidak baik tentang penutur. Penutur akan dianggap kasar, tidak sopan, dan sombong, karena telah menyinggung, melecehkan, dan mempermalukan mitra tutur pada saat komunikasi berlangsung. Penutur seolah-olah tidak mampu merasakan bahwa hal yang sama akan dirasa tidak nyaman juga kalau terjadi kepada dirinya (lihat Aziz, 2000 dan 2008 tentang prinsip ‘berbagi rasa’ dalam tindak komunikasi yang santun). Dengan demikian, pemilihan kata yang sesuai dengan konteks dan situasi pertuturan akan menjadi saluran tersendiri bagi penutur dalam membentuk dirinya dan memberikan dampak pemahaman terhadap mitra tuturnya. Pencarian kosakata yang tepat memerlukan kecerdasan tersendiri, demikian pula memahami konteks pertuturan yang terjadi; ia perlu dikaji supaya tidak salah dalam memutuskan kosakata yang tepat untuk dipakai pada konteks tersebut. Pada gilirannya, cara seperti ini lambat laun akan membentuk sikap hati-hati pula. Keberhasilan pembinaan karakter melalui bahasa akan sangat bergantung kepada adanya contoh yang diberikan oleh lingkungan pengguna dan penggunaan bahasa itu sendiri. Peran tokoh-tokoh anutan, baik itu pemimpin formal maupun informal, mulai lingkungan keluarga, masyarakat, tempat bekerja, menjadi sangat sentral dan instrumental. Dengan demikian, sinergi antarunsur masyarakat sangat diperlukan. Melalui proses belajar mengajar di dalam kelas, para guru tidak lagi mengajarkan contoh-contoh berbahasa dan perilaku yang memiliki kesan konsumtif, tetapi justru menghadirkan konteks yang menunjukkan sikap kerja keras, penuh perjuangan, dan daya tahan. Contoh yang sama harus diambil oleh para penulis buku teks untuk anak-anak sekolah. Para penguasa dan tokoh masyarakat tidak lagi berbahasa yang mengundang timbulnya kecurigaan masyarakat akan ketidakjujuran serta ketidakmampuannya memberikan pelayanan yang prima kepada warga masyarakat. Para penegak hukum tidak lagi bermain dengan kosakata yang menunjukkan seolah-olah kesalahan itu dapat dibungkus dengan berbagai dalih sehingga bisa menjadi hal yang benar setelah bersilat lidah. Para penyair tidak terus tergiur untuk meninabobokan masyarakat dengan bujuk rayu dan romantisme kehidupan yang sesungguhnya kosong tanpa isi. Para orator tidak lagi membius massa dengan janji-janji yang sesungguhnya tidak akan bisa dipenuhi, yang akibatnya kelak justru akan menghilangkan kepercayaan masyarakat sebab merasa dibohongi. Atau sebaliknya, mereka justru menghasut massa untuk tidak mempercayai pihak lain yang berseberangan kepentingan dengan dirinya. Singkatnya, semua unsur masyarakat harus berderap-langkah sama menggunakan bahasa yang berkarakter, yang padat berisi, yang memberikan semangat dan daya juang tinggi, memancarkan sikap jujur, santun, kuat, dan bertanggung jawab. Dalam kaitan
134
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
inilah sesungguhnya bahasa dapat berperan dan bisa memberikan sumbangsih yang teramat besar dalam membangun, membentuk, memoles, dan mencitrakan watak dan jati diri bangsa yang diharapkan. SIMPULAN Dari pembahasan terhadap kasus-kasus di atas, dapat kita ambil sejumlah simpulan berikut ini. Kencangnya pengaruh lingkungan, baik lokal maupun global akan mempengaruhi sikap anggota masyarakat, termasuk dalam sikap berbahasa. Nilai-nilai budaya inti yang dimiliki anggota sebuah masyarakat memiliki andil yang kuat terhadap perilaku mereka. Hal ini, misalnya, bisa terkait dengan upaya mengidentifikasi diri, mengasosiasikan dirinya dengan budaya leluhurnya, mempertahankan agar akar-akar budayanya tumbuh atau justru membiarkannya menghilang, dan juga upaya untuk membina jati diri serta watak yang diharapkannya. Para penutur bahasa daerah utama di Indonesia, seperti Jawa, Sunda, Minang, dan Batak, memiliki sikap yang berbeda-beda ketika dihadapkan kepada situasi berbahasa yang menuntutnya membuat pilihan berbahasa daerah atau bahasa Indonesia, baik pada lingkungan di dalam rumah maupun di luar rumah. Sikap bahasa seperti ini dapat dikaitkan dengan persepsi mereka tentang budaya inti mereka. Semakin tinggi penilaian mereka terhadap posisi bahasa dalam pusaran budaya inti, maka semakin kuat dan sentimen mereka terhadap bahasanya, dan tentu sebaliknya. Masyarakat yang memandang bahasa sebagai bagian yang paling hakiki dari budaya intinya akan berupaya sekuat tenaganya untuk melestarikan bahasanya, sebab ia merupakan bagian terpenting dari eksistensinya sebagai warga masyarakat tersebut. Dengan demikian, kelangsungan hidup bahasa tersebut dapat lebih terjamin. Sebaliknya, masyarakat yang tidak memandang bahasa sebagai bagian paling penting yang menisbatkan dirinya dengan budaya masyarakatnya, mereka akan sangat pragmatis. Artinya, bahasa mereka akan dipertahankan sepanjang bahasa itu berperan fungsional. Dalam kaitan dengan pembinaan dan pendidikan karakter, bahasa dapat berperan sangat optimal untuk digunakan sebagai media pembinaan dan pendidikani. Melalui pengemasan struktur dan leksikon pada saat berbahasa, seorang penutur dan penulis, walaupun dampaknya baru akan dirasakan dalam jangka waktu yang agak lama, dapat mempengaruhi pola pikir mitra tuturnya atau pembacanya. Sajian contoh-contoh berbahasa yang menggambarkan optimisme, kerja keras, daya juang, keteguhan prinsip, dan karakter atau watak positif lainnya akan memberikan inspirasi kepada pembaca untuk berperilaku seperti itu. Sebaliknya, model berbahasa yang menghadirkan sikap picik, lemah, pesimistis, pasrah, peragu, boros, khianat, munafik, dan watak jelek lainnya akan bisa menjadi gambaran yang bisa juga diikuti oleh para pembaca atau mitra tutur lainnya. Dalam hal ini, sebagai alat, bahasa memiliki dua fungsi seperti layaknya pedang bermata dua, yang sama-sama potensial. Bila digunakan untuk memberikan gambaran watak berisi karakter baik, maka bahasa akan tampil sebagai pupuk untuk persemaian watak-watak kebaikan. Sebaliknya, apabila bahasa hanya digunakan sebagai alat propaganda ketidak-baikan, ketidakjujuran, kebrutalan, kepasrahan, dan hasutan, maka bahasa bisa secara membabi buta memangsa warga masyarakat sehingga akhirnya terbentuk pula karakter-karakter negatif. Yang perlu diupayakan sekarang adalah bagaimana agar penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari kita justru didominasi oleh gambaran berbahasa yang berkarakter positif untuk mendukung pembentukan jati diri insani yang terpuji. CATATAN *
Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan makalah ini.
135
E. Aminudin Aziz
RUJUKAN Auer, Peter. 1991. “Italian in Toronto: a preliminary comparative study on language use and language maintenance”. Multilingua. Vol. 10 (4), 403-440. Aziz, E. Aminudin. 2000. Refusing in Indonesian: Strategies and politeness implications. Tesis Ph.D. Department of Linguistics, Monash University (tidak diterbitkan). Aziz, E. Aminudin. 2008. “Horison baru teori kesantunan berbahasa”. Pidato Pengukuhan E. Aminudin Aziz sebagai Guru Besar Linguistik pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Bachika, Reimon. 2011. “Symbolism and values: Rationality and irrationality of culture”. Current Sociology. Vol. 59 (2), 200-213. Bettoni, Camilla. and J. Gibbons. 1988. “Linguistic purism and language shift: A guise-voice study of the Italian community in Sydney”. International Journal of Sociology of Language. Vol. 72, 15-35. Brown, Penelope. and S.C. Levinson. 1987. Politeness: some universals in language usage. Cambridge: CUP. Callan, Victor J. and C. Gallois. 1982. “Language attitudes of Italo-Australian and GreekAustralian bilinguals”. International Journal of Psychology. Vol. 17, 345-358. David, Ohad and D. Bar-Tal. 2005. “A sociological conception of collecting identity: The case of national identity as an example”. Personality and Social Psychology Review. Vol. 13 (4), 354-379. Delargy, Mary. 2007. “Language, culture and identity: The Chinese community in Northern Ireland”, dalam Craith, Mairead Nic (Editor). Language, power, and identity politics. New York: Palgrave Macmillan, 123-145. Farris, Catherine S. 1992. “Chinese preschool codeswitching: Mandarin babytalk and the voice of authority”. Journal of Multilingual and Multicultural Development. Vol. 13 (1-2), 187-213. Forrest, James and K. Dunn. 2006. “’Core’ culture hegemony and multiculturalism: Perceptions of priviliged position of Australians with British backgrounds”. Ethnicities. Vol. 6 (2), 203-230. Hakuta, Kenji and D. D’Andrea. 1992. “Some properties of bilingual maintenance and loss in Mexican background high-school students”. Applied Linguistics. Vol. 13 (1), 72-99. Holmes, Janet dkk. 1993. “Language maintenance and shift in three New Zealand speech communities”. Applied Linguistics. Vol. 14 (1), 1-24. Joseph, John E. 2004. Language and identity: National, ethnic, religious. NY: Palgrave Macmillan. Lanza, Elizabeth and B.A. Svendsen. 2007. “Tell me who your friends are and I might be able to tell you what language(s) you speak : social network analysis, multilingualism, and identity”. International Journal of Bilingualism. Vol. 4 (3), 275-300. Lyon, Jean and N. Ellis. 1991. “Parental attitudes towards the Welsh language”. Journal of Multilingual and Multicultural Development. Vol. 12 (4), 239-251. Mleczko, Agata. 2011. Identity formation as a contemporary adaptation strategy: Chinese immigrants in Italy. European Education. Vol. 42 (4), 25-48.
136
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
Mok, Diana. 2010. “The spatiality and cost of language identity”. International Regional Science Review. Vol. 33 (3), 264-301. Morita, Liang Chua. 2005. “Three core values (religion, family, and language) of the Chinese in Thailand”. Studies in Language and Culture. Vol. 27(1), 109-131. Pauwels, Anne. 1986. “Diglossia, immigrant dialects and language maintenance in Australia: The case of Limburgs and Swabian”. Journal of Multilingual and Multicultural Development. Vol. 7 (1), 13-30. Perskey, Irena and D. Birman. 2005. “Ethnic Identity in acculturation research: A study of multiple identities of Jewish refugees form the former Soviet Union”. Journal of Cross-curtural Psychology. Vol. 36 (5), 557-572. Pűtz, Martin. 1991. “Language maintenance & language shift in the behaviour of GermanAustralian migrants in Canberra”. Journal of Multilingual and Multicultural Development. Vol. 12 (6), 477-492. Roberts, Alasdair. 1991. “Parental attitudes to Gaelic-medium education in the Western Isles of Scotland”. Journal of Multilingual and Multicultural Development. Vol. 12 (4), 253269. Smolicz, Jerzy J. and M.J. Secombe. 1985. “Community languages, core values and cultural maintenance: The Australian experience with special reference to Greek, Latvian, and Polish groups”. Dalam M. Clyne (ed.). Australia—meeting place of languages. Pacific Linguistics, C-92, 11-38. Stelzl, Monika and C. Seligmen. 2009. “Multiplicity across cultures: Multiple national identities and multiple value systems”. Organization Studies. Vol. 30 (9), 959-973. Wei, Pan. 2009. “Core social values in contemporary societies”. Diogenes. Vol. 221, 53-73. Zhang, Donghui. 2008. “Between two generations language maintenance and acculturation among Chinese immigrant families”, dalam Gold, Steven J. dan Rubén G. Rumbaut (Ed.). The New Americans recent immigration and American society. LFB Scholarly Publishing LLC.
137
E. Aminudin Aziz
Lampiran: Angket Petunjuk. Angket ini merupakan bagian dari penelitian yang sedang dilakukan terkait dengan sikap bahasa, pemertahanan bahasa, dan persepsi Anda tentang budaya inti. Berilah tanda √ pada kotak yang disediakan. Isilah sesuai dengan informasi yang dimintakan. Tidak ada informasi yang terkait dengan pribadi Anda akan diungkapkan dalam penelitian ini. Terima kasih atas kerja sama Anda. A. Identitas responden 1. Jenis kelamin 2. Usia 3. Pekerjaan 4. Bahasa pertama 5. Status perkawinan 6. Anak
: Laki-laki Perempuan : ____ tahun : ________________ : ________________ : Kawin Belum kawin : Ada Tidak ada
B. Isilah dengan informasi yang biasa Anda alami atau lakukan 1. Bahasa yang digunakan di rumah ketika berkomunikasi dengan a. Istri/suami : ___________________________ b. Anak : ___________________________ c. Pembantu : ___________________________ 2. Bahasa yang digunakan di lingkungan rumah dengan tetangga yang a. Berbahasa pertama sama : ___________________ b. Berbahasa pertama berbeda : ___________________ 3. Bahasa yang digunakan di tempat bekerja a. Kepada atasan b. Kepada sejawat c. Kepada bawahan/staf lainnya
: ___________________ : ___________________ : ___________________
4. Anda sedang di tempat bekerja, berbicara dengan sejawat dengan menggunakan bahasa daerah Anda. Lalu ada sejawat Anda lainnya, tetapi tidak memahami bahasa daerah Anda. Bahasa apa yang akan Anda gunakan ketika ingin melibatkannya dalam berkomunikasi? a. Meneruskan berbicara dengan bahasa daerah b. Beralih menggunakan bahasa Indonesia 5. Anda sedang berbicara dengan salah seorang teman Anda, menggunakan bahasa Indonesia. Tiba-tiba muncul seorang teman Anda yang berbahasa daerah sama dengan Anda. Ketika akan menyapa dan membuat obrolan kecil dengan teman yang baru datang tersebut Anda: a. Akan tetap menggunakan bahasa Indonesia b. Beralih untuk berbicara menggunakan bahasa daerah 6. Anda sedang di tempat bekerja. Ada pihak luar yang harus Anda layani dan Anda tahu bahwa mereka berbahasa daerah sama dengan Anda, maka Anda: a. Akan menggunakan bahasa Indonesia b. Akan menggunakan bahasa daerah
138
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
C. Berikut ini adalah aspek-aspek budaya yang dapat menjadi indikator keanggotaan Anda terhadap suku bangsa/komunitas masayarakat Anda. Isilah menurut tingkat kepentingannya menurut Anda sendiri. 1 = paling penting 10 = paling tidak penting Kemampuan berbahasa Berpakaian adat Kemampuan menyanyi/menari adat Mendengarkan musik tradisional Mendengar intonasi berbicara bahasa daerah Mencicipi makanan khas masyarakat Kesamaan agama Kesamaan asal daerah Merayakan hari besar agama/tradisional Ingatan/kenangan kehidupan di desa
139
Linguistik Indonesia, Agustus 2013, 141-154 Copyright©2013, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Tahun ke-31, No. 2
PLAGIARISME DALAM KATA-KATA MAHASISWA: ANALISIS TEKS DENGAN PENDEKATAN FUNGSIONAL Siti Wachidah* Universitas Negeri Jakarta
[email protected] Abstrak Artikel ini melaporkan hasil analisis teks terhadap pernyataan mahasiswa tentang plagiarisme.Tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman yang analitis tentang konsep plagiarisme dalam karya akademik menurut pemahaman mahasiswa.Responden terdiri atas 47 mahasiswa dari tujuh perguruan tinggi di pulau Jawa, Sumatra, Bali, dan Sulawesi, yang sedang mengerjakan skripsinya.Data terdiri atas pernyataan-pernyataan yang mereka tuliskan untuk menjawab empat pertanyaan kuesioner tentang definisi plagiarisme, bentuk tindakan plagiarisme, sikap terhadap tindakan plagiarisme, dan penyebab tindakan plagiarisme. Analisis dilakukan pada aspek transitivitas dengan menggunakan pendekatan fungsional sistemik untuk mengidentifikasi unsur proses, partisipan, dan lingkup situasi plagiarisme. Dengan cara ini, konsep plagiarisme dipahami tentang bentuk tindakan, sasaran, dan cara melakukan tindakan plagiat, dapat diidentifikasi secara jelas. Penelitian ini menemukan bahwa mahasiswa memiliki pemahaman yang baik tentang bentuk tindakan dan sasaran plagiarisme, namun terkait dengan cara, pemahaman mahasiswa masih tidak lengkap atau bahkan tidak tepat. Penelitian ini menunjukkan adanya tanda baik, yaitu bahwa plagiarisme secara umum dikaitkan dengan makna yang tidak baik, dan penyebab yang biasanya karena adanya keterpaksaan karena hal-hal di luar kendali penulis. Kata kunci: plagiarisme, transitivitas, tindakan, objek, lingkup situasi
Abstrack The study analyses students’ statements about plagiarism. The aim was to obtain an analytical understanding about their concepts of plagiarism in, particularly, academic writing. Respondents were 47 students of seven different universities in Java, Sumatra, Bali, and Sulawesi who were currently woking on their skripsi. The data consisted of statements they wrote to answer four open questions, including definitions of plagiarism, plagiarism practices they knew, their views of advantages and diadvantages of plagiarism, and reasons of plagiarism.The statements were analysed for their transitivity aspects by using the systemic functional linguistic procedure to identify the processes, participants, and circumstances. In this way, the particular acts of plagiarism, the objects of plagiarism, and the circumstances of plagiarism can be vividly specified. The study found that the students had good understanding concerning the acts and objects of plagiarism, but incomplete or incorrect understanding concerning the circumstances of plagiarism. It is a good sign thoughthat plagiarism was generally associated with words with unfavorable meanings, the occurrence of which being driven by circumstances beyond the students’ control. Keywords: plagiarism, transitivity, acts, objects, circumstances
PENDAHULUAN Dalam pandangan Vygotsky (1986:212), makna kata merepresentasikan isi pikiran orang yang mengucapkannya. Dalam pandangan linguistik fungsional sistemik (Halliday dan Mattiessen, 2004:168-306), pengungkapan makna dalam bentuk kata-kata mencerminkan proses yang dialami manusia, secara fisik, mental, verbal, dsb. Proses dibentuk oleh tiga unsur, yaitu prosesnya itu sendiri, partisipan yang terlibat dalam proses, dan sirkumstansi yang melingkupi
Siti Wachidah
proses. Dengan cara pandang tersebut, kata-kata yang digunakan dalam pernyataan tentang konsep plagiarisme dapat dianalisis untuk mengidentifikasi jenis-jenis tindakan plagiat yang dilakukan, objek yang menjadi sasaran tindakan plagiat, dan lingkup situasi dari tindakan plagiat. Pengetahuan tentang pemahaman mahasiswa tentang konsep plagiarisme secara analitis dan spesifik seperti ini diperlukan sebagai dasar untuk membuat rancangan pembelajaran yang tepat yang dapat membantu mahasiswa mengindari plagiarisme. Konsep plagiarisme perlu dipahami secara jelas dan lengkap oleh setiap penulis karena suatu tindakan plagiat, baik disengaja maupun tidak, dapat berakibat fatal terhadap karir seorang penulis. Pernah terjadi di Amerika Serikat, akibat melakukan tindakan plagiat, seorang penulis buku yang tersohor dan seorang reporter salah satu koran terbesar di dunia, New York Times, jatuh dan kehilangan karir cemerlangnya (Hansen, 2003). Di kalangan perguruan tinggi, plagiat juga dianggap sebagai tindakan tercela dan melukai nilai integritas dan kejujuran yang seharusnya dimiliki akademisi atau ilmuwan (Jones, 2011; Larkin dan Francis, 2012). Akibat fatal dari pelanggaran etika tersebut setidaknya telah dialami oleh seorang profesor dari sebuah perguruan tinggi ternama di Indonesia ketika tindakan plagiatnya diberitakan di berbagai media cetak dan elektronik nasional dengan namanya disebut secara terang-terangan (lihat a.l. Harjono, 2009; Nugrahanto, 2010). Bagi mahasiswa tindakan plagiat dapat berakikat dikeluarkan dari perguruan tinggi atau tidak lulus dari suatu mata kuliah (Davies, 2008). Lipson (2008:42) menggunakan istilah “a high crash” untuk menggambarkan betapa berat hukuman masyarakat terhadap penulis yang melakukan tindakan plagiat. Perhatian masyarakat akademik terhadap masalah plagiarisme di perguruan tinggi semakin besar antara lain karena semakin banyak kasus mahasiswa melakukan tindakan plagiat (Scanlon dan Neumann, 2002; Gerhardt, 2006; Davies, 2008; Kohl, 2011). Kasus plagiat juga banyak ditemukan dalam karya tulis mahasiswa asing yang kuliah di negara-negara barat yang sudah sangat disiplin menindak pelaku plagiarisme (Davies, 2008; Marshall dan Garry, 2005, 2006). Beberapa penelitian menemukan bahwa mahasiswa secara sengaja melakukan tindakan plagiat untuk menghasilkan karya tulisnya karena memang menganggap bahwa plagiat bukan masalah pelanggaran yang serius dan seharusnya tidak perlu diberi sanksi (Marshall dan Garry, 2006; Bamford dan Sergiou, 2005; O’Dwyer et al., 2010). Mereka berpendapat bahwa plagiat terjadi karena adanya kesenjangan antara tuntutan terhadap kualitas dan kemampuan yang dimiliki mahasiswa untuk dapat memenuhinya, antara lain pengelolaan waktu yang kurang baik, banyaknya tugas yang harus selesai pada waktu yang sama, ketidaksiapan menghadapi tuntutan pendidikan tinggi, memiliki penguasan bahasa pengantar yang belum memadai untuk menghasilkan karya ilmiah (Bamford dan Sergiou, 2005; Davies, 2008; O’Dwyer et al., 2010; Kohl 2011). Ketidakpahaman tentang plagiarisme, termasuk karena masalah budaya yang berbeda, juga menjadi penyebab terjadinya plagiat (Marshall dan Gary, 2005; Martin, 1994; Bamford dan Sergiou, 2005; McKenzie, 2000). Di tengah perdebatan apakah tindakan plagiat merupakan pelanggaran berat yang harus ditindak atau tindakan yang harus dapat dimaklumi, pemerintah Indonesia menunjukkan sikap yang tegas dan komitmen yang tinggi untuk menekan terjadinya tindakan plagiat dalam karya ilmiah, dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Dalam peraturan pemerintah tersebut, tindakan plagiat didefinisikan di Pasal 1 Ayat 1, sebagai berikut. Plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karena ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai. Cara mengutip yang dianggap plagiat disebutkan di Pasal 2, yaitu ‘tanpa menyebutkan sumber dalam catatan kutipan’ dan ‘tanpa menyatakan sumber secara memadai’. Apa yang dimaksud dengan ‘memadai’ dalam aturan tersebut, tidak dijelaskan dan juga tidak disebutkan kriterianya. 142
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
Hal ini kemungkinan karena peraturan tersebut memang tidak dimaksudkan untuk memberikan paparan rinci tentang plagiarisme, sebagaimana disiratkan oleh salah satu penyataan yang digunakan untuk menyebutkan jenis tindakan plagiat di Pasal 2, yaitu ‘meliputi tetapi tidak terbatas pada.’ Berdasarkan berbagai pemaparan dan panduan tentang plagiat dan cara pencegahannya (a.l. Lipson, 2008; Roig, 2006; Mason, 2009; Harries, 2004) maupun panduan yang diterbitkan online di situs jejaring berbagai perguruan tinggi (lihat a.l. University of Melbourne; University of New York; Griffith University; University of Birmingham), sedikitnya ada tiga bentuk pelanggaran dalam pengutipan bahan dari karya orang lain, yaitu (1) tidak menyebutkan sumbernya dengan benar dan lengkap pada teks maupun dalam daftar rujukan, (2) tidak menggunakan tanda kutip pada kutipan langsung, dan (3) menggunakan kata-kata atau tata bahasa dari sumbernya dalam jumlah yang melampaui kepatutan. Dalam temuan Turnitin (2012), masing-masing jenis pelanggaran tersebut tidak selalu berfungsi secara sendiri-sendiri tetapi secara bersama-sama. Menurut Roig (2006) sedikitnya ada sepuluh macam tindakan plagiat yang dilakukan dengan cara melanggar satu atau lebih dari satu tindakan plagiarisme, sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Bentuk-bentuk Plagiarisme menurut Roig (2006) No. 1.
2.
3. 4. 5.
6. 7.
8.
Bentuk Plagiarisme dalam Sitiran dan Kutipan Menyalin pernyataan yang bukan merupakan pengetahuan umum dari orang lain, sebagian atau keseluruhan, dengan cara mengurangi dan/atau menambah kata-kata sendiri, atau menggantinya dengan kata yang hampir sama, tanpa menyebutkan sumbernya dengan lengkap dan benar. Mengutip kalimat, frasa, dan kata tentang suatu konsep atau fakta yang belum menjadi pengetahuan umum persis dari sumbernya (verbatim) tanpa memberi tanda kutip meskipun menyebutkan sumber rujukan secara lengkap dan benar. Mengutip kalimat, frasa, dan kata tentang suatu konsep atau fakta yang belum menjadi pengetahuan umum persis dari sumbernya tanpa menyebutkan sumber rujukan secara lengkap dan benar. Mengutip dari sumbernya kalimat demi kalimat, atau paragraf demi paragraf tanpa menggunakan tanda petik meskipun menyebutkan sumbernya secara lengkap dan benar. Mengambil sebagian pernyataan orang lain yang bukan merupakan pengetahuan umum, mengubah cara penyampaiannya secara keseluruhan dengan tata bahasa dan kata-kata yang tidak sama, tanpa menyebutkan sumbernya secara lengkap dan benar. Mengutip kalimat, frasa, dan kata konsep persis dari sumbernya dengan menyebutkan sumber rujukan secara lengkap dan benar tetapi tanpa menggunakan tanda kutip. Mengambil sebagian pernyataan orang lain, menyebutkan sumbernya dengan benar, tetapi hanya mengubah sedikit kata-kata atau tata bahasanya (misalnya, aktif ke pasif, ‘cause’ ke ‘reason’) meskipun dengan menyebutkan sumbernya secara lengkap dan benar. Dalam meringkas atau memparafrasa pernyataan orang lain masih tetap menggunakan struktur kalimat persis dengan yang digunakan sumbernya, meskipun telah menyebutkan sumbernya dengan benar dan lengkap. 143
Kriteria yang dilanggar (1) dan (2)
(2)
(1) dan (2) (2) (1)
(2) (3)
(3)
Siti Wachidah
No. 9.
10.
Bentuk Plagiarisme dalam Sitiran dan Kutipan Mengambil atau menggunakan gagasan (a.l. penjelasan, pendapat, teori, kesimpulan, hipotesis, metafora) orang lain, sebagian atau keseluruhan, dengan kata-kata sendiri tanpa menyebutkan sumber secara lengkap dan benar. Mengambil atau menggunakan gagasan yang disampaikan secara kasual (a.l. ngobrol), termasuk oleh orang biasa atau yang tidak memiliki kredibilitas keilmuan (a.l. teman, tukang sapu) tanpa menyebutkan sumber tersebut.
Kriteria yang dilanggar (1)
(1)
Selain melanggar kepatutan dalam pengutipan, menerbitkan karya orang lain atau karya sendiri yang telah diterbitkan sebelumnya juga merupakan tindakan plagiat (juga lihat Davies, 2008). Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tersebut, setiap perguruan tinggi di Indonesia bertanggung jawab untuk memastikan bahwa dosen maupun mahasiswa memahami apa yang dimaksud dengan plagiat serta mampu dan mau untuk tidak melakukannya. Pembelajaran untuk menghindari tindakan plagiat perlu menjadi bagian yang penting dalam semua mata kuliah, terlebih lagi mata kuliah tentang menulis akademik. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pemahaman mahasiswa tentang konsep dan praktik plagiat, dalam rangka melakukan analisis kebutuhan yang diperlukan untuk merancang program pembelajaran penulisan karya ilmiah. Permasalahan penelitian ini dirumuskan dalam empat pertanyaan tentang pemahaman mahasiswa tentang plagiarisme berikut ini. 1. Bagaimana pemahaman mahasiswa tentang plagiarisme? 2. Bagaimana sikap mahasiswa terhadap plagiarisme? METODE PENELITIAN Responden terdiri dari 47 mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dari tujuh universitas negeri di empat pulau besar di Indonesia, Jawa, Sumatra, Bali, dan Sulawesi yang sedang dalam proses mengerjakan skripsinya. Kriteria ini diperlukan untuk memastikan bahwa mereka telah mendapatkan pelatihan formal tentang plagiarisme. Berbeda dengan penelitian lain yang menganalisis persepsi atau pemahaman responden tentang plagiarisme berdasarkan isi pernyataan secara umum (a.l. Bamford dan Sergio, 2005; Davies, 2008; Marshall dan Garry, 2005, 2006; Yusof dan Masrom, 2011), penelitian ini meneliti kata-kata yang sebenarnya digunakan dalam setiap pernyataan mahasiswa tentang plagiarisme. Analisis ini dimaksudkan untuk dapat mengungkap setiap aspek tindakan plagiat secara lebih rinci dan spesifik, yaitu (1) tindakan verbal apa saja yang menurut mahasiswa merupakan tindakan plagiat, (2) sasaran tindakan plagiat, dan (3) cara melakukan tindakan plagiat. Untuk mendapatkan pernyataan responden tentang tindakan plagiat, digunakan dua pertanyaan berikut ini. 1. Apa yang dimaksud dengan plagiarisme dalam karya ilmiah? 2. Sebutkan bentuk-bentuk tindakan plagiat dalam kutipan dalam karya ilmiah yang Anda ketahui. Didasari oleh pandangan bahwa plagiarisme adalah suatu bentuk tindakan, pernyataan mahasiswa untuk menjawab pertanyaan pertama dianalisis secara rinci pada aspek transitivitasnya dengan menggunakan teori proses dalam tradisi linguistik fungsional sistemik (Halliday, 1994; Halliday dan Matthiessen, 2004). Hal ini didasari oleh pandangan bahwa plagiarisme adalah suatu bentuk tindakan. Dari sebanyak 47 mahasiswa memberikan pernyataannya untuk merespon pertanyaan pertama diperoleh 58 pernyataan. Menurut pandangan linguistik fungsional sistemik, proses terdiri atas tiga bagian, yaitu prosesnya itu sendiri, orang/benda/fakta yang terlibat dalam proses tersebut, dan situasi kondisi
144
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
yang melingkupi proses, seperti waktu, tempat, tujuan, alasan, dsb. Satuan bahasa yang digunakan untuk menyatakan satu proses adalah klausa yang merupakan bangunan transitivitas yang terdiri atas unsur verba yang menyatakan proses, unsur nomina yang menyatakan orang/benda/fakta yang terlibat, dan unsur adverbia atau frasa preposisional yang menyatakan situasi dan kondisi proses. Dari 58 pernyataan tersebut diperoleh 76 klausa yang masing-masing menyatakan satu tindakan plagiat. Dengan analisis transitivitas dapat ditemukan apa yang diketahui mahasiswa tentang setiap aspek tindakan plagiat, yaitu bentuk, sasaran, dan cara tindakan plagiat. Soal kedua yang berupa instruksi untuk menyebutkan bentuk-bentuk plagiat sebenarnya akan menghasilkan respon yang tidak terlalu berbeda dengan respon terhadap soal nomor 1, karena jawaban terhadap pertanyaan tersebut juga akan menyebutkan suatu tindakan plagiat dalam kutipan dalam karya ilmiah. Sebanyak 64 pernyataan yang disebutkan responden untuk merespon soal tersebut diperlukan untuk memperkuat pemahaman kita tentang apa yang diketahui mahasiswa tentang tindakan plagiat. Pernyataan mahasiswa tentang konsep plagiarisme perlu dikaitkan dengan tingkat pemahaman mereka tentang praktik plagiarisme yang benar-benar terjadi dalam karya ilmiah. Tingkat pemahaman mahasiswa tersebut diukur dengan memberikan kuesioner yang terdiri dari sepuluh butir pernyataan deskriptif tentang praktik plagiarisme yang ditemukan Roig (2006) sebagaimana tertera di Tabel 1, dengan empat pilihan jawaban, yaitu (1) sangat dipahami, (2) cukup dipahami, (3) kurang dipahami, dan (4) belum dipahami. Sikap mahasiswa terhadap plagiarisme diteliti melalui pernyataan-pernyataan yang mereka sebutkan untuk menjawabkan dua pertanyaan berikut ini. 3. Sebutkan hal-hal positif dan negatif tentang plagiarisme dalam karya ilmiah. 4. Sebutkan beberapa hal yang menyebabkan banyak penulis karya ilmiah melakukan tindakan plagiat. Dari soal ketiga diperoleh 43 pernyataan; sebanyak 22 menyatakan segi positif dari plagiarisme, sedangkan 18 lainnya menyatakan tidak ada hal-hal positif dari tindakan plagiat, satu menyatakan tidak tahu, satu menyatakan boleh tetapi dengan syarat menggunakan kata-kata sendiri, dan satu lagi dengan syarat menyebutkan sumber rujukan (yang tentunya tidak dapat lagi dianggap plagiarisme). Dari soal nomor 4 diperoleh 19 pernyataan tentang penyebab mahasiswa melakukan tindakan plagiat. Informasi tentang apa yang mahasiswa ketahui tentang penyebab tindakan plagiat juga diperlukan untuk melengkapi gambaran tentang sikap mahasiswa terhadap tindakan plagiat. HASIL PENELITIAN Temuan penelitian ini terdiri atas pemahaman mahasiswa tentang bentuk tindakan, objek, dan cara melakukan tindakan plagiat, sikap mahasiswa tentang tindakan plagiat, dan penyebab penulis melakukan tindakan plagiat. Permasalahan 1: Bagaimana Pemahaman Mahasiswa tentang Plagiarisme? Dengan menggunakan konsep ‘proses’ menurut linguistik fungsional sistemik, pemahaman mahasiswa tentang plagiarisme terlihat pada pernyataan mereka tentang tiga aspek tindakan plagiarisme, yaitu (1) tindakan verbal plagiat, (2) sasaran tindakan plagiat, dan (3) cara melakukan tindakan plagiat. Tindakan Plagiat Terlihat dalam diagram pada Gambar 2, dari 76 klausa tentang makna plagiarisme, ada delapan belas macam kata kerja yang mengungkapkan bentuk tindakan plagiat. Yang paling sering disebutkan adalah menjiplak, yang disebutkan sebanyak tiga belas kali atau 17%. Yang kedua mengambil, yang disebutkan sebanyak sepuluh kali atau 13%. Yang ketiga adalah mengutip, yang disebutkan sebanyak delapan kali, atau 11%. Keempat adalah menyalin, yang disebutkan 145
Siti Wachidah
sebanyak tujuh kali, atau 9%. Pada peringkat berikutnya adalah kata mengakui dan menggunakan, yang sama-sama disebutkan sebanyak enam kali, atau 8%. Kata mengkopi disebutkan sebanyak empat kali, atau 5%. Disebutkan sebanyak tiga kali atau 4% adalah empat kata, yaitu menuliskan, meniru, mencuri, dan mencontek. Kata mencaplok, menduplikat, dan mencontoh disebutkan masing-masing sebanyak dua kali atau 3%. Kata-kata menamakan, memasukkan, menyitir, dan menyadur masing-masing hanya sekali disebutkan atau 1%. Gambar 1. Tindakan Plagiat dan Frekuensi Penyebutannya
Dari temuan tersebut, dapat dikatakan bahwa pada umumnya mahasiswa memiliki pemahaman yang tidak salah tentang bentuk tindakan plagiat. Kata yang menduduki peringkat tertinggi adalah menjiplak, yang memang bermakna menyalin dengan cara yang tidak dapat dibenarkan. Kata-kata lain yang juga mengindikasikan tindakan menyalin yang tidak dibenarkan adalah mencuri, mencontek, mencaplok, dan menduplikat. Semua kata tersebut mengindikasikan makna negatif terhadp tindakan plagiarisme. Kata-kata mengutip, menyalin, mengakui, menggunakan, menuliskan, mencontoh, memasukkan, menyitir, dan menyadur masing-masing memang memiliki makna netral, namun dengan penyebutan cara tidak benar akan menjadi tindakan plagiat, yang tidak bisa diterima. Kata mengkopi meminjam kata bahasa Inggris yang artinya manyalin. Hanya kata menamakan yang mungkin kurang tepat untuk dimaknai sebagai tindakan plagiat. Objek Tindakan Plagiat Dari 76 klausa tentang makna plagiarisme, disebutkan tiga belas macam sasaran plagiat. Tampak dalam Gambar 3, jenis-jenis pernyataan yang disebutkan menjadi sasaran plagiat adalah ide, pernyataan, kata, gagasan, pendapat, pemikiran, teori, konsep, dan pernyataan lisan. Kata-kata yang digunakan untuk menyebutkan sasaran plagiarisme tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu berdasarkan bentuk bahasa yang digunakan (pernyataan, kata, pernyataan lisan) dan berdasarkan isi makna yang diutarakan (ide, gagasan, pendapat, pemikiran, teori, dan konsep). 146
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
Gambar 2. Jenis Pernyataan yang Diplagiat
Namun sebaliknya, terkait dengan bentuk bahasa yang digunakan, mahasiswa menggunakan istilah yang sangat umum, yaitu pernyataan atau sebaliknya sangat spesifik, yaitu kata. Satuan-satuan di antara keduanya, yaitu frasa, klausa, ungkapan, tidak ada yang disebutkan. Di samping sasaran tindakan plagiat dalam bentuk kutipan, disebutkan juga sasaran yang berupa karya secara utuh, yaitu karya, hasil karya, karya tulis, tulisan, karya ilmiah/akademik, penelitian, tugas, dan hak cipta. Temuan tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki pemahaman yang baik tentang objek-objek yang biasa menjadi sasaran plagiat. Cara Melakukan Tindakan Plagiat Pernyataan responden tentang tindakan plagiat yang dilengkapi dengan cara melakukannya hampir semuanya mengenai tindakan plagiat dalam kutipan. Hanya pernyataan ‘tidak disebutkan dalam Daftar Pustaka’ yang tidak langsung terkait dengan penyebutan rujukan pada sitiran atau kutipan. Sebagaimana telah disebutkan di bagian Pendahuluan, ada tiga bentuk tindakan plagiat dalam mengutip, yaitu (1) sumber tidak disebutkan secara benar dan lengkap, (2) kutipan verbatim tidak diletakkan antara tanda petik, dan (3) menggunakan kosa kata dan tata bahasa dari sumber dalam jumlah yang melampaui kepantasan. Sebagaimana terlihat dalam Tabel 2, ternyata tidak satu pun mahasiswa menyebut bentuk tindakan plagiat (2) dan (3). Hampir semuanya menyebutkan pentuk tindakan plagiat yang pertama, yaitu sebanyak 39 dari 58 pernyataan (67%). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan tanda petik dalam kutipan dan porsi teks yang dapat diambil dari sumber masih luput dari perhatian mahasiswa. Ada kemungkinan juga mereka belum mengetahui kedua kriteria pelanggaran plagiarisme tersebut. Selain ketiga cara plagiat tersebut, ada beberapa cara lain yang disebutkan yang justru tidak dapat dijadikan sebagai kriteria plagiat. Pernyataan bahwa plagiat adalah cara pengutipan dan penyitiran yang ‘tidak benar’ mengindikasikan pemahaman yang terlalu umum dan tidak lengkap, yang kemungkinan justru diutarakan karena memang belum mengetahu praktik-praktik yang dapat dinyatakan sebagai tindakan plagiat. Kekurangpahaman mahasiswa terhadap makna
147
Siti Wachidah
plagiat terlihat pada cara-cara lain yang disebutkan, yaitu ‘izin dari sumber’, ‘tanpa mengubah kalimat’. Berdasarkan analisis terhadap cara-cara plagiarisme tersebut dapat dikatakan bahwa pemahaman mahasiswa tentang plagiarisme belum dapat dikatakan lengkap dan rinci. Pemahaman masih terbatas pada segi penyebutan sumber rujukan saja. Penggunaan kutipan dan kelayakan porsi penggunaan kata dan tata bahasa dari sumber belum menjadi bagian dari pemahaman mahasiswa. Ada juga pemahaman yang tidak benar, yaitu bahwa untuk tidak plagiat penulis harus meminta izin dari penulis sumber rujukan.
1. 2. 3.
4. 5. 6. 7. 8. 9.
Tabel 2. Cara-cara Plagiat Jumlah Cara Plagiat Penyebutan Sumber pernyataan yang dikutip tidak 39 disebutkan secara benar dan lengkap Kutipan langsung (verbatim) tidak 0 diletakkan antara tanda petik Kutipantidak langsung menggunakan 0 tata bahasa dan/atau kosa kata yang sebagian besar digunakan dalam teks sumber Kutipan dan sitiran dilakukan dengan 2 tidak benar Kutipan dan sitiran dilakukan tanpa 8 seizin sumber Plagiat dilakukan serasa sengaja atau 1 tidak sengaja Sumber tidak disebutkan dalam Daftar 1 Pustaka Sitiran dan kutipan dilakukan tanpa 1 mengubah kalimat Plagiat dilakukan dalam bentuk 1 maupun isi pesan
Persentase Penyebutan 67% 0% 0%
3% 14% 2% 2% 2% 2%
Ketidak-lengkapan pemahaman mahasiswa tentang plagiarisme juga terlihat dari pernyataan mereka tentang bentuk-bentuk tindakan plagiat. Dari 52 bentuk tindakan plagiat dalam kutipan yang disebutkan responden, ditemukan bahwa tidak satupun pernyataan yang mencakup secara lengkap ketiga bentuk tindakan plagiat. Hanya empat pernyataan yang mencakup dua kriteria, yang semuanya mencakup tindakan plagiat (1), yaitu tidak menyebutkan nama sumber. Sebagai contoh adalah pernyataan Mahasiswa 5 dari Universitas 1, dan Mahasiswa 4 dari Universitas 3. Tidak mencantumkan sumber dokumen/pernyataan; penggunaan kalimat langsung dari sumber tanpa ada tanda baca yang sesuai. (U1-5) Mengutip tulisan/gagasan orang lain tanpa mencantumkan/menyebutkan sumbernya; ... Memakai tulisan/gagasan orang lain secara keseluruhan tanpa menggunakan tanda kutip. (U3-4) Sebanyak delapan belas pernyataan mencakup hanya 1 kriteria, yang semuanya juga sama, yaitu bentuk tindakan (1), tidak menyebutkan sumber rujukan. Tidak mencantumkan sumber ketika meng”quote”. (U1-1) Tidak mencamtumkan referensi dari sumber. (U2-2) Menjiplak idea atau gagasan berupa kata, phrasa, kalimat atau paragraph tanpa menyebutkan atau menyantumkan sumbernya. (U3-5) 148
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
Sebanyak sepuluh pernyataan tidak menyebutkan bentuk plagiarisme secara tidak lengkap atau tidak menyebutkan suatu cara secara spesifik, seperti beberapa contoh berikut ini. Mengcopy gagasan orang di dalam karya tulis yang dibuat.(U1-4) Penggunaan kalimat langsung dari sumber tanpa ada tanda baca yang sesuai. (U1-5) Mengutip kalimat, frasa, dan kata konsep. (U4-4) Mengambil ungkapan/istilah orang lain dan menganggap sebagai miliknya. (U6-2) Sebanyak sebelas pernyatakan menyebutkan kriteria plagiarisme secara tidak benar. Menjiplak isi tanpa ada perbedaan sama sekali. (U1-7) Mengambil kutipan tanpa seizin penulis aslinya. (U4-9) Mengambil cuplikan artikel tanpa merubah isi dan tanpa mencantumkan sumber. (U6-2) Menjiplak isi karya ilmiah milik orang lain tanpa menambahkan pendapat sendiri . (U7-4) Berbagai temuan yang terungkap melalui jawaban responden terhadap pertanyaan terbuka yang kedua tersebut menunjukkan indikasi yang tidak jauh berbeda dengan temuan yang terungkap dari pernyataan definisi plagiarisme yang dibuat mahasiswa di atas. Pemahaman mahasiswa pada umumnya tentang plagiarisme masih bersifat parsial atau tidak utuh, dan masih terlalu umum atau tidak menunjuk pada cara yang spesifik. Sebagian justru masih memiliki pemahaman yang keliru dan bahkan ada juga masih belum tahu. Temuan melalui kuesioner tentang tingkat pemahaman mahasiswa terhadap praktik plagiarisme semakin menguatkan temuan penelitian ini bahwa pada umumnya mahasiswa belum memiliki pemahaman yang lengkap dan benar tentang tindakan plagiat. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, tingkat pemahaman mahasiswa tentang praktik plagiarisme diperoleh melalui sepuluh pertanyaan tertutup untuk mengukur sudah berapa lama mereka mengetahui bahwa butir-butir pernyataan yang ada dalam kuesioner adalah praktik plagiarisme. Dengan menghitung rata-rata persentase jumlah jawaban yang diperoleh di setiap butir ditemukan 48% sangat dipahami, 22% cukup dipahami, 23% kurang dipahami, dan 7% belum dipahami (lihat Gambar 1). Gambar 3. Tingkat Pemahaman Mahasiswa terhadap Praktik Plagiarisme secara Keseluruhan
149
Siti Wachidah
Temuan yang menunjukkan bahwa masih kurang dari 50% bentuk-bentuk plagiarisme yang dibaca mahasiswa dalam kuesioner sangat dipahami mahasiswa menunjukkan adanya kemiripan dengan temuan-temuan yang telah dipaparkan sebelumnya, yaitu tingkat pemahaman yang masih jauh dari seharusnya. Permasalahan 2: Bagaimana Sikap Mahasiswa terhadap Plagiarisme? Sikap mahasiswa terhadap plagiarisme diukur dari pernyataan responden tentang hal-hal positif dan hal-hal negatif tentang plagiarisme dalam karya ilmiah dan beberapa hal yang menurut mereka menjadi penyebab idlakukannya tindakan plagiat. Hal-hal Positif dan Negatif tentang Plagiarisme dalam Karya Ilmiah Dari 43 pernyataan yang disebutkan responden, dua puluh dua menyatakan segi positif dari plagiarisme, sedangkan delapan belas lainnya mengatakan tidak ada, satu tidak tahu, satu dengan syarat menggunakan kata-kata sendiri, dan satu lainnya dengan syarat menyebutkan sumber rujukan (yang tentunya tidak dapat lagi dianggap plagiarisme). Dari dua puluh dua jawaban tentang hal-hal positif dari plagiarisme, semuanya dapat diwakili oleh pernyataan Mahasiswa 4 dari Universitas 5 berikut ini. Saya rasa tidak ada hal-hal positif dalam hal plagiarisme ini. Hanya akan mengun tungkan orang yang melakukan plagiat saja. (U5-4) Tidak ada, terkecuali memudahkan penulis karya ilmiah cepat bekerja tanpa susah payah. Pernyataan Mahasiswa 6 Universitas 4 berikut ini mewakili pernyataan tentang bentuk keuntungan plagiarisme, yang dinyatakan oleh 16 mahasiswa. Memudahkan penulis untuk merumuskan ide-ide dan menyusun kerangka berpikirnya. (U4-6) Selain itu, lima mahasiswa menyatakan segi positif plagiarisme lain, yaitu meningkatkankualitas bahasa dan mutu informasi yang disampaikan, seperti contoh berikut ini. Membuat kalimat/pernyataan pemulis terlihat bagus (sophisticated), dan seolah-olah menunjukkan penulis benart-benar expert. (U1-6) Dapat menguatkan karya yang kita buat karena disertai dengan pendapat orang lain yang lebih tinggi pengetahuannya dan menambah wawasan. (U4-6) Melengkapi kekurangan pada karya pelaku plagiarisme. (U5-5) Temuan ini menunjukkan bahwa masih banyak mahasiswa menganggap plagiarisme bukan sebagai bentuk kejahatan intelektual yang harus dijauhi, tetapi sebagai tindakan yang dapat dibenarkan hanya agar tugas-tugasnya mendapat nilai baik dari dosen. Tujuan pragmatis jangka pendek tersebut dapat membuat mereka lupa akan akan risiko yang timbul dalam jangka panjang. Sebaliknya, pernyataan negatif mahasiswa tentang plagiarisme, sebagaimana dipaparkan di Tabel 3 menunjukkan bahwa mahasiswa memiliki pemahaman yang baik tentang risiko dan dampak jangka panjang plagiarisme.Dari berbagai pernyataan negatif tentang plagiarism tersebut terlihat adanya kecenderungan yang lebih besar ke arah negatif daripada positif. Hal ini menunjukkan adanya pemahaman umum bahwa plagiarisme dianggap bukan hal yang patut dilakukan dalam penulisan karya ilmiah.
150
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
Tabel 3. Pernyataan Negatif tentang Plagiarisme No. Pernyataan Negatif tentang Plagiarisme Jumlah Pernyataan 1 Mengembangkan sikap tidak jujur, malas, tidak percaya diri; 16 tidak menghargai karya orang lain 2. Mematikan kreativitas/kemampuan mengembangkan ide 14 3. Kejahatan intelektual 12 4. Tidak berdampak pada perkembangan individu 8 5. Informasi atau data tidak benar 4 6. Hasil penelitian tidak valid dan tidak original 4 7. Mematikan etos berkarya orang akademik 4 8. Hasil karya tidak dihargai 3 9. Menghambat perkembangan ilmu pengetahuan 3 10. Merugikan pemilik asli karya yang dirujuk 2 11. Hilangnya kepercayaan publik terhadap mutu lulusan 2 12. Mengembangkan potensi untuk tidak jujur di pekerjaannya nanti 1 13. Merusak nama baik 1 14. Merendahkan moral bangsa 1 15. Menurunkan minat menulis karena takut diplagiat 1 Penyebab Tindakan Plagiat Penelitian ini menemukan sembilan hal yang menurut responden menjadi penyebab terjadinya tindakan plagiat (lihat Tabel 4). Dengan asumsi bahwa frekuensi jawaban dapat merepresentasikan tingkat intensitas kejadian yang dialami mahasiswa, dapat disimpulkan bahwa penyebab yang paling besar adalah sikap pragmatis untuk asal jadi atau cepat selesai, serta terbatasnya kemampuan membaca dan menulis karya tilmiah. Sebaliknya, ketidaksengajaan dan kemudahan akses untuk melakukan plagiat bukan menjadi alasan mahasiswa melakukan plagiat. Keterbatasan waktu mengerjakan tugas dan ketidaktahuan cara mengutip dan plagiarisme menduduki peringkat tengah. Dengan masalah sanksi pada peringkat ketujuh dapat diartikan bahwa sanksi belum menjadi isu penting yang terkait dengan tindakan plagiat. Tabel 4. Penyebab Dilakukannya Plagiarisme No. 1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Penyebab Rasa malas, tidak mau repot, ingin mudah, ingin cepat selesai Kurang mencari dan membaca sumber pustaka, ketidak mampuan menulis, rendahnya minat untuk menulis, tuntutan dosen yang terlalu tinggi Keterbatasan waktu mengerjakan tugas, terlalu banyak tugas yang harus selesai pada waktu bersamaan, Tidak mengetahui cara mengutip dengan benar, keterbatasan pengetahuan tentang plagiarisme Kurang percaya diri, ingin mendapatkan hasil yang memuaskan, terpaksa, dituntut cepat lulus Referensi tidak ada atau sulit didapatkan Tidak adanya tindakan tegas atau sangsi, tidak menyadari sanksinya Ketidak-sengajaan Kemudahan akses untuk melakukan plagiarisme
151
Jumlah Pernyataan 27 22 15 13 5 4 3 1 1
Siti Wachidah
PEMBAHASAN Analisis transitivitas terhadap semua pernyataan responden mahasiswa tentang konsep dan praktik plagiarisme telah menunjukkan bahwa plagiarisme belum dipahami secara utuh dan jelas oleh mahasiswa pada umumnya. Pemahaman mahasiswa tentang plagiarisme sudah baik dalam terkait dengan jenis-jenis tindakan plagiat dan bahan yang menjadi sasaran plagiat, namun tentang cara tindakan plagiat dilakukan, pemahaman mahasiswa rata-rata masih belum utuh atau lengkap. Cara yang umum diketahui dengan sangat baik hanya satu yaitu dengan tidak menyebutkan rujukannya, baik di dalam teks maupun dalam dalam daftar pustaka. Dua hal penting yang harus dilakukan untuk tidak plagiat tidak banyak tersebut dalam pernyataan mahasiswa, yaitu penggunaan tanda kutip pada kutipan langsung dan kepatutan dalam hal jumlah atau porsi dari isi makna dan unsur kebahasaan yang dapat diambil dari sumber rujukan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ketidaktepatan pemahaman tentang plagiarisme terletak pada aspek yang justru berisiko mengarah pada tindakan plagiat, yaitu cara melakukannya. Dibandingkan dengan temuan-temuan dari penelitian sebelumnya, antara lain yang dilaksakan oleh Marshall dan Gary (2005) dan Yusof dan Masrom (2011), temuan ini mengungkapkan lebih banyak informasi tentang pemahaman mahasiswa tentang plagiarisme secara lebih rinci dan spesifik. Dengan demikian, temuan ini dapat memberikan sumbangan nyata untuk dipertimbangkan dalam menentukan materi pembelajaran yang diperlukan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa menghindari tindakan plagiat dalam menghasilkan karya ilmiah. Analisis fungsional terhadap konstruksi kata-kata yang digunakan dalam membuat pernyataan tentang plagiarisme terbukti mampu mengungkapkan secara spesifik aspek-aspek dalam penulisan karya ilmiah yang masih perlu dipelajari mahasiswa. Dalam hal sikap terhadap tindakan plagiat, penelitian ini menemukan bahwa mahasiswa pada umumnya memiliki sikap negatif terhadap plagiarisme dengan menyebutkan berbagai akibat negatif yang dapat ditimbulkannya, yang bukan hanya terbatas pada karya ilmiah yang dihasilkan, tetapi lebih jauh lagi, yaitu pada menurunnya kualitas kemanusiaan dan profesionalisme penulisan karya ilmiah. Temuan ini berbeda dengan temuan Marshall dan Garry (2006) dan Davies (2008), bahwa mahasiswa asing bukan penutur bahasa Inggris cenderung menganggap plagiarisme bukan sebagai pelanggaran berat. Segi positif yang disebutkan oleh beberapa mahasiswa lebih tepat dikaitkan dengan kekurangan dalam penguasaan bahasa tulis atau bahasa pengantar yang digunakan, sebagaimana temuan Bamford dan Sergiou (2005). Berbagai penyebab mahasiswa melakukan tindakan plagiat yang terungkap dalam penelitian ini pada umumnya karena faktor yang disebabkan oleh kesalahan yang dapat diperbaiki, seperti keterabatasan waktu, sikap yang kurang baik, ketidakmampuan mengelola waktu, dan kesulitan memperoleh rujukan. Temuan ini tidak terlalu berbeda dengan temuan Marshall dan Gary (2005, 2006), Davies (2008), dan Bamford dan Sergiou (2005). Hal ini cukup melegakan karena berbagai hal yang disebutkan responden sebagai penyebab tindakan plagiat bukan karena faktor yang tertanam dalam budaya yang membenarkan tindakan plagiat, sebagaimana temuan McKenzie (2000), Park (2003), dan Marshall dan Garry (2006). SIMPULAN Telah terbukti melalui penelitian ini bahwa linguistik, termasuk cabang ilmu linguistik fungsional sistemik, dapat memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap perbaikan mutu pendidikan. Bahkan dapat dikatakan bahwa peran linguistik dalam pendidikan adalah suatu keniscayaan mengingat peran sentral yang dimainkan oleh bahasa bagi perkembangan manusia, dalam berbagai segi hidupnya: inteletual, psikologis, spiritual, fisik, sosial, dll. Melalui analisis terhadap aspek transitivitas dari pernyataan-pernyataan mahasiswa tentang plagiarisme dengan menggunakan pendekatan linguistik fungsional sistemik, telah terungkap secara spesifik aspekaspek apa saja yang telah mereka pahami dan belum pahami tentang plagiarisme, maupun sikap mereka terhadap praktik pelangggaran kode etik keilmuan ini. Dengan analisis langsung pada
152
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
setiap kata dalam pernyataan mahasiswa tentang plagiarisme, semua temuan penelitian ini sepenuhnya berdasarkan pada makna kata-kata yang dinyatakan sendiri oleh mahasiswa, dan bukan berdasarkan interpretasi subyektif peneliti. Hal ini mengimplikasikan bahwa temuan penelitian ini dapat menjadi rujukan yang dapat dipercaya untuk menentukan materi apa saja yang perlu dicakup dalam mata pelajaran menulis akademik, terutama dalam cara pengutipan yang benar dan terhindar dari tindakan plagiat. CATATAN *
Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan makalah ini.
DAFTAR RUJUKAN Bamford, Jan and Sergiou, K. 2005. International students and plagiarism: an analysis of the reasons for plagiarism among international foundation students. Investigations in University Teaching and Learning 2(2):17-22. City University of New York. Avoding and detecting plagiarism: a guide for graduate students and faculty. Tersedia pada Rabu, 24 Juli 2013 di http://www.gc.cuny.edu/CUNY_GC/ media/CUNY-Graduate-Center/PDF/Policies/General/AvoidingPlagiarism.pdf?ext=.pdf Davies, Alison. 2008. Attitudes and drivers behind student plagiarism. Birmingham Education, Theory and Action (BETA) 1 (2):17-19. Gerhardt. Deborah R. 2006. Plagiarism in Cyberspace: Learning the Rules of Recycling Content With a View Towards Nurturing Academic Trust in an Electronic World. RICH. J.L. & TECH. 12 (3). Artikel 10.http://law.richmond.edu/jolt/v12i3/article10.pdf Griffith University. Issues of academic integrity. Tersedia pada Rabu, 24 Juli 2013 dihttp:// www.griffith.edu.au/__data/assets/pdf_file/0009/119466/GPG-IAI.pdf Halliday, Michael A.K. and Matthiessen, M.I.M. 2004. An introduction to functional grammar. London: Arnold. Hansen, Brian. 2003. Combating plagiarism. The CQ Researcher 13(32):773-796. Harjono, Yulvianus. 2009. Profesor HI Unpar Diduga Lakukan Plagiat. Kompas.com. Diakses pada Selasa, 9 Februari 2010 | 17:04 WIB Harris, Robert. 2004. Anti-Plagiarism Strategies for Research Papers. Diunduh pada tanggal 1 November 2012, dari http://faculty.ksu.edu.sa/alshayban/Plagiarism/Anti-plagiarism.pdf Jones, Lars R. 2001. Academic integrity and academic dishonesty: A handbook about cheating and plagiarism. Tersedia online di www.fit.edu/current/documents/plagiarism.pdf Kohl, Kerstin E. 2011. Fostering academic competence or putting students under general suspicion? Voluntary plagiarism check of academic papers by means of a web-based plagiarism detection system. ALT-C 2011 Conference Proceedings Larkin, Charlotte and Francis, A. 2012. Academic integrity and plagiarism. International Journal of Business, Humanities, and Technology 2(1): 1-7. Lipson, Charles. 2008. Doing honest working in college: how to prepare citations, avoid plagiarism, and achieve real academic success. (Edisi kedua). Chicago: The University of Chicago Press.
153
Siti Wachidah
Marshall, Stephen and Garry, M. 2005. How well do students really understand plagiarism?. Diunduh pada Selasa 23 Juli 2013 dari http://www.ascilite.org.au/conferences/ brisbane05/proceedings.shtml Marshall, Stephen and Garry, M. 2006. NESB and ESB students’ attitudes and perceptions of plagiarism. Paper diserahkan kepada the 2005 Asia Pacific Educational Integrity Conference, Newcastle, Australia. Martin, Brian. 1994. Plagiarism: A misplaced emphasis. Journal of Information Ethics 3(2):36-47. Mason, Peter R. 2009. Plagiarism in Scientific Publications. [Versi Elektronik]. J Infect Developing Countries 2009; 3(1):1-4. Diunduh pada tanggal 2 Desember 2012 dari http://www. google.co.id/ McKenzie, Cameron. 2000. Plagiarism: A cultural aspect. Tersedia di http://www.vccaedu.org/ inquiry/inquiry-spring2000/i-5l-guiliano.html. Nugrahanto, Pradipta. 2010. Gelar Profesor Banyu Juga akan Dicopot. detikNews. Selasa, 09/02/2010 17:12 WIB O’Dwyer, Michele, Risquez, A., and Ledwith, A. (2010). Entrepreneurship education and plagiarism: tell me lies, tell me sweet little lies. http://ulir.ul.ie/handle/10344/1038 Office of Student Judicial Affairs, University of California, Davis (n.d.) Avoiding PLAGIARISM: Mastering the Art of Scholarship. Diunduh dari, pada tanggal 16 November 2012 melalui alamat jejaring http://sja.ucdavis.edu/files/plagiarism.pdf Park, Chris. 2003. In other (people’s) words. Plagiarism by university students - literature and lessons. Assessment & Evaluation in Higher Education 28:471-488. Roig, Miguel. 2001. Plagiarism and paraphrasing criteria of college and university profesors. Ethics & Behaviour 11:307-323. Roig, Miguel. 2006. Avoiding plagiarism, self-plagiarism, and other questionable writing practices: A guide to ethical writing. Diunduh pada Desember 26, 2012, dari http:// www.cse.msu.edu/~alexliu/plagiarism.pdf. Scanlon, Patrick M. and Neumann, D.R. 2002. Internet plagiarism among college students. Journal of College Student Development 43:374-385. Turnitin.com. 2012. White Paper: the Plagiarism Spectrum, Instructor Insights into the 10 Types of Plagiarism. University of Birmingham. Plagiarism. Tersedia Rabu 24 Juli 2013 di https://intranet.birmingham. ac.uk/as/studentservices/conduct/plagiarism/index.aspx University of Melbourne. Academic honesty and plagiarism. Tersedia Rabu 24 Juli 2013 di http://academichonesty.unimelb.edu.au/plagiarism.html#3 Vygotsky, Lev S. 1986. Thought and Language. Cambridge: the MIT Press.
154
Linguistik Indonesia, Agustus 2013, 155-169 Copyright©2013, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Tahun ke-31, No. 2
THE SENTENCE CONNECTORS IN ACADEMIC INDONESIAN AND ENGLISH Yassir Nasanius* Atma Jaya Catholic University of Indonesia
[email protected] Abstract Sentence connectors are a well-recognized feature of academic English. There is, however, little research on sentence connectors that has been undertaken in academic Indonesian. The present study attempted to establish whether sentence connectors in academic Indonesian are as common as those in academic English. As many as nine articles published in Linguistik Indonesia in 2009 were used as samples and were examined to determine the occurrences of sentence connectors in academic Indonesian. The results of the study indicated that sentence connectors in academic Indonesian were as common as those in academic English. In fact, the writers of academic Indonesian tended to use sentence connectors more frequently than their counterparts in English. That is, Swales and Feak (2004) found that on average over two sentence connectors occurred in every page of academic text written in English, while the present research found that on average over five sentence connectors occurred in every page of academic texts written in Indonesian. Keywords: sentence connectors, academic English, academic Indonesian
Abstrak Penaut kalimat (sentence connector) merupakan fitur yang sangat penting di dalam tulisan akademis bahasa Inggris. Akan tetapi, kajian tentang penaut kalimat dalam tulisan akademis bahasa Indonesia belum banyak dilakukan. Makalah ini mencoba menelusuri apakah pemakaian penaut kalimat dalam tulisan akademis bahasa Indonesia sama banyaknya seperti dalam tulisan akademis bahasa Inggris. Sebanyak sembilan makalah yang diterbitkan dalam jurnal Linguistik Indonesia pada 2009 digunakan sebagai sampel dan ditelusuri untuk mengidentifikasi pemakaian penaut kalimat dalam tulisan akademis bahasa Indonesia. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa pemakaian penaut kalimat dalam tulisan akademis bahasa Indonesia sama banyaknya seperti dalam tulisan akademis bahasa Inggris. Bahkan, penulis bahasa Indonesia dapat dikatakan menggunakan penaut kalimat lebih banyak daripada penulis bahasa Inggris. Dengan kata lain, sementara Swales and Feak (2004) menemukan bahwa secara rerata lebih dari dua penaut kalimat digunakan dalam tulisan akademis bahasa Inggris, di dalam penelitian ini secara rerata lebih dari lima penaut kalimat ditemukan dalam setiap tulisan akademis bahasa Indonesia. Keywords: penaut kalimat, tulisan akademis bahasa Inggris, tulisan akademis bahasa Indonesia
INTRODUCTION Sentence connectors such as however, in addition, and consequently have been regarded as an important element in academic writing. Arapoff (1968) argued that “sentence connectors deserve much more study than they have been previously given. For one thing, these expressions occur frequently in writing ... roughly 50 of the 1000 commonly used words in written English are sentence connectors” (p. 273). Their important and frequent use in academic writing has attracted many researchers to investigate how writers use sentence connectors. Pastor (2013), for example, attempted to establish whether sentence connectors were used differently across different sections of research papers by native English speakers and non-
Yassir Nasanius
native English speakers. Sentence connectors have been found by Jasim (2005) to be problematic to the learners of English in general and the Iraqi learners at college level in particular. The importance of sentence connectors can also be seen through their inclusion in the majority of textbooks on academic writing. For example, in their famous textbook on academic writing, Swales and Feak (2004) argued that writers of academic texts should pay attention to what they refer to as “flow—moving from one statement in a text to the next” (p. 26) to help their readers follow their texts easily. That is, writers should attempt to maintain the flow by establishing a clear connection of their ideas in the text they write. To establish clear relationships between ideas in a text, the chief means that academic writers use are sentence connectors. Compare, for example, the paragraph in (1) and the paragraph in (2). (1)
(2)
There are three main reasons for using a study timetable. You will avoid last-minute emergencies. You will be better organized. A timetable will enable you to make sure that you divide your time fairly between different papers. You will also be more likely to produce better work. Many students do not plan their time carefully. They believe that planning their time will make their lives too regimented. This is a possibility. It can be prevented by having a flexible attitude. There are three main reasons for using a study timetable. Most importantly, you will avoid last-minute emergencies because you will be better organized. In addition, a timetable will enable you to make sure that you divide your time fairly between different papers. You will also be more likely to produce better work. However, many students do not plan their time carefully. They believe that planning their time will make their lives too regimented. Although this is a possibility, it can be prevented by having a flexible attitude.
As we can see, the paragraph in (2) is much easier to follow than the paragraph in (1). The reason for this is that the paragraph in (2) contains sentence connectors such as most importantly, in addition, because, however, and although, which make the sentences flow from one to another smoothly. The paragraph in (1), however, does not contain any sentence connectors, which make the text difficult to read. Since sentence connectors are responsible for the flow of the texts, it is interesting to see if academic writers make use of them when they create their texts. Swales and Feak (2004) conducted a small-scale project on sentence connectors. They examined the occurrence of sentences connectors in academic papers in three journals (i.e., College Composition and Communication, English for Specific Purposes, and Research in the Teaching of English) and selected as their sample of sentence connectors from 12 articles in these three journals. By conducting this investigation, they attempted to achieve three objectives. First, they would like to establish whether sentence connectors were frequently used in written academic texts. Based on the analysis of the data they collected, they found a total of 467 sentence connectors; eleven articles used sentence connectors with some frequency, with totals ranging from 24 to 58, and one article used only nine sentence connectors. Based on this result, they argued that sentence connectors are quite common in academic English. Second, they would like to identify the types of sentence connectors that occur in written academic texts. As many as 70 different sentence connectors were found in the sample they examined, with however and enumerators such as first or second occupying the highest and second highest places as the most frequently-used sentence connectors. The following table shows the ten most-frequently used sentence connectors in academic English (adapted from Swales and Feak, 2004, 318).
156
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
Table 1. Frequency of Sentence Connectors in Academic English Rank Sentence Connectors Total Occurrence however 62 1 first, second, etc. 52 2 thus 33 3 also 30 4 for example 29 5 in addition 20 6 finally 19 7 therefore 16 8 on the other hand 14 9 then 12 10 Third, since sentence connectors may occur in initial, medial, or final position, they also would like to know the position of sentence connectors when they occur in the texts. For this purpose, Swales and Feak (2004) established four categories, i.e., category A (occurrence 100% in initial position), category B (occurence 75-99% in initial position), category C (occurrence 50-74% in initial position), and category D (occurrence 25-49% in initial position), as seen in the following table (quoted from Swales and Feak, 2004, 319). Table 2. Positional Categories of Sentence Connectors Category Sentence Connectors Occurrence first, second, etc. A In addition nevertheless 100% in initial position finally that is as a result morever B thus in particular 75-99% in initial position in fact in other words of course however C for instance 50-74% in intial position on the other hand furthermore Also D For example 25-49% in intial position Therefore then Furthermore, they found that the position of sentence connectors does not depend on the function of the sentence connectors. For example, the sentence connector however has the same function as nevertheless, but they fell into different categories. That is, nevertheless belongs to category A, namely it occurs only in initial position, while however belongs to category C, namely although it quite frequently occurs in initial position, it can occur in medial as well as final position. In this present paper, I attempt to replicate Swales and Feak’s (2004) mini-project by examining sentence connectors in academic Indonesian. Using their research as a model, I would like to achieve three goals in this paper. First, it seeks to determine whether sentence connectors are common in Indonesian academic articles. Second, it seeks to reveal the 157
Yassir Nasanius
commonest sentence connector that is used in academic Indonesian. Lastly, it seeks to determine the position that can be occupied by sentence connectors in academic Indonesian. RESEARCH QUESTIONS As mentioned in the introduction, there are three main purpose of this research. That is, it seeks to provide answers to the following research questions. 1. Are sentence connectors common in academic articles written in Indonesian? 2. What is the commonest sentence connector that occurs in academic Indonesian? 3. Can sentence connectors in academic Indonesian occur in sentence-medial and sentence-final position as well as in sentence-initial position? REVIEW OF RELATED LITERATURE Sentence Connectors in English and in Indonesian Sentence connectors, also called linking words and phrases (Swales and Feak, 2004) and signalling words and phrases (Gillett, Hammond, and Martala, 2009), refer to the expressions used to connect clauses within sentences, as illustrated in (3), and to connect sentences within paragraphs, as illustrated in (4). (3) (4)
Although the paper is generally well-written, there are many grammatical mistakes in it. The paper is generally well-written. However, there are many grammatical mistakes in it.
According to Sneddon, Adelaar, Djenar, and Ewing (2010), sentence connectors in Indonesian are of two types. The first type, conjunctions, is used to to connect clauses within sentences, as illustrated in (5), and the second type, sentence linkers, to connect sentences within paragraphs, as illustrated in (6). (5) (6)
Makalah itu ditulis dengan baik, tapi ada kesalahan pengutipan di dalamnya. Paper that was.written with good but exist mistake quoting inside.it “The paper was well-written, but there were some mistakes in quoting in it.” Makalah itu ditulis dengan baik. Namun, ada kesalahan pengutipan di dalamnya. Paper that was.written with good however exist mistake quoting inside.it “The paper was well-written. However, there were some mistakes in quoting in it.”
Types of Sentence Connectors in English and in Indonesian Sentence connectors in English and Indonesian can be categorized into several types based on the function they fullfill, as we can see in the following table (based on Gillett, Hammond, and Martala, 2009, 105, and Sneddon, Adelaar, Djenar, and Ewing, 2010, 351-371). Table 3. Categories of English Sentence Connectors Based on Function Functions Addition
Sentence Connectors in English apart from this, as well as, besides, furthermore, in addition, moreover, nor, not only ... but also, too, what is more
158
Sentence Connectors in Indonesian lagi pula ‘further, what’s more’, di samping itu ‘besides that’ juga ‘also’, selain itu ‘besides that, apart from that’, kecuali itu ‘besides that’, selanjutnya ‘further’, bahkan ‘moreover, even’, apalagi ‘moreover, besides’, malah, malahan ‘moreover, what’s more’
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
Functions Cause and effect
Sentence Connectors in English accordingly, as a consequence, as a result, because (of this), consequently, for this reason, hence, in order to, owing to this, so, so that, therefore, this leads to, thus
Comparison/ similar ideas Condition
in comparison, in the same way, likewise, similarly if, in that case, provided that, unless
Contradiction
actually, as a matter of fact, in fact although, but, despite, in spite of, even so, however, in contrast, in spite of this, nevertheless, on the contrary, on the other hand, whereas, yet
Contrast/opposite ideas
Emphasis
Examples Explanation/ equivalence
chiefly, especially, importantly, indeed, in detail, in particular, mainly, notably, particularly for example, for instance, such as, thus, as follows in other words, namely, or rather, this means, to be more precise
159
Sentence Connectors in Indonesian karena, oleh karena ‘because’, sebab, oleh sebab ‘because’, lantaran ‘because’, gara-gara ‘because’, mentang-mentang ‘just because’, kalaukalau ‘lest’, supaya, agar, agar supaya ‘so, so that’, untuk, guna ‘to, in order to’, akibatnya ‘as a result, consequently’, alhasil, walhasil ‘the result is, consequently’, jadi ‘thus, therefore’, maka ‘consequently, thus, so’, maka dari itu ‘as a result of that’, makanya ‘consequently, no wonder’, oleh karena itu ‘therefore, because of that’, oleh sebab itu ‘therefore, because of that’ seperti, sebagaimana ‘in the same way, similarly’ kalau, jika, jikalau ‘if’, bila, apabila, bilamana ‘when, whenever, if’, asal, asalkan ‘provided that’, seandainya, andaikata, sekiranya ‘supposing that, if’ sebenarnya ‘actually’ meski, meskipun, walau, walaupun, sekalipun kendati, kendatipun, biarpun sungguhpun ‘although’, alih-alih ‘rather than, instead of’, melainkan, tetapi ‘but rather, instead’, namun, namun demikian ‘despite that, nevertheless’, walaupun demikian, namun begitu ‘despite that, nevertheless’, meskipun demikian, meskipun begitu ‘despite that, nevertheless’, biarpun demikian, biarpun begitu ‘despite that, nevertheless’, akan tetapi ‘but, nevertheless, still’, sebaliknya ‘on the contrary, on the other hand’ utamanya ‘in particular, mainly’
misalnya ‘for example, for instance’, umpamanya ‘for example, for instance’ dengan kata lain ‘in other words’, yaitu/yakni ‘namely’, artinya’this means’
Yassir Nasanius
Functions Generalization
Stating the obvious Summary/ conclusion Support Time/order
Sentence Connectors in English as a rule, for the most part, generally, in general, normally, on the whole, in most cases, usually clearly, naturally, obviously, surely finally, in brief, in conclusion, in short, in summary, overall, to conclude actually, as a matter of fact, in fact, indeed at first, eventually, finally, first(ly), in the first/second place, initially, lastly, later, next, prior to, second(ly)
Sentence Connectors in Indonesian pada umumnya, umumnya ‘in general’, secara keseluruhan ‘on the whole’ jelas ‘clearly’, tentunya’obviously’ akhirnya ‘finally’, dengan singkat ‘in brief’, sebagai penutup ‘in conclusion’ dalam kenyataannya ‘as a matter of fact’, sebenarnya, sesungguhnya ‘in fact’ sebelum ‘before’, sesudah, setelah, sehabis ‘after’, sejak ‘since’, sampai ‘until’, ketika, waktu, tatkala ‘when’, kemudian ‘afterwards, later’, sesudahnya, sesudah itu ‘after that’, sebelumnya, sebelum itu ‘beforehand, before that’, sementara itu ‘in the meantime, at the same time’, lalu, lantas ‘then’
METHODOLOGY Source of Data To provide answers to the research questions, I examined the occurrence of sentence connectors in academic papers published in Linguistik Indonesia. The data sample consisted of six articles in the February issue of the 2009 volume and three articles in the August issue of the 2009 volume. Actually there were eleven articles in the February and August issues of the 2009 volume, but two articles were not included in the data sample because they were written in English instead of Indonesian. Data Collection and Analysis The data sample examined in the present research amounted to 135 pages of text, comprising nine articles. To enable me to provide answers to the research questions, first of all I sought to identify the occurrence of the sentence connectors in academic Indonesian. For the purpose of this study, the category of sentence connector was interpreted quite broadly. For example, I included items such sejauh ini ‘so far’, itulah sebabnya ‘that is why’, and masalahnya ‘the problem’ that may be analyzed as sentence adverbs by other scholars. After identifying all the sentence connectors that occur in each text, I classified them into different types of sentence connectors. Finally, having identified a number of different types of sentence connectors, I examined the position of each connector when it occurs in the text. FINDINGS AND DISCUSSION Are Sentence Connectors Common in Academic Articles Written in Indonesian? In order to answer the above question, a sample amounted to approximately 105 running pages of text from nine papers was examined. The result is shown in the appendix (the papers were labelled as Papers A to K). A total of 553 sentence connectors occurred in the sample. This means that on average there were over five sentence connectors per page. Eight of the papers used
160
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
sentence connectors with quite high frequency, with totals ranging from 33 to 124. One paper in the sample used only fourteen sentence connectors. The low frequency of sentence connectors in this paper may be due to the length of the paper which consisted of only seven pages, as well as the fact that the paper was filled with many commentaries that do not require sentence connectors to maintain the flow. If we compare the occurrence of sentence connectors in academic English and Indonesian, it turns out that sentence connectors are quite common in academic Indonesian. In fact, the writers of academic Indonesian used sentence connectors more frequently than their counterparts in English. That is, Swales and Feak (2004) found that on average over two sentence connectors occurred in every page of academic text written in English, while the present research found that on average over five sentence connectors occurred in every page of academic texts written in Indonesian. What Is the Commonest Sentence Connector that Occurs in Academic Indonesian? As many as 74 different sentence connectors occurred in the sample. Table 4 presents the list of sentence connectors in decreasing frequency. Rank 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
18
Table 4. Frequency of Sentence Connectors Sentence Connector Total of Occurrence karena ‘because’ 55 (te)tapi ‘but’ 49 (oleh) karena itu/(oleh) sebab itu ‘therefore, because of that’ 34 misalnya ‘for example’ 30 sedangkan ‘while’ 28 namun ‘however’ bila ‘when’ 23 yaitu/yakni ‘namely’ 20 dengan demikian ‘therefore’ 18 Sehingga ‘so that’ 17 jadi ‘therefore’ 16 sebaliknya ‘in contrast’ seperti ‘such as’ 13 apabila ‘if’ 12 sementara itu ‘in the mean time’ jika ‘if’ 11 setelah ‘after’ artinya ‘it means’ walau(pun) ‘although’ 10 sebagai contoh ‘for example’ bahkan ‘even so 8 pertama ... kedua ‘first, second’ ketika ‘when’ 7 sekalipun ‘although’ sebelum ‘before’ 6 selain ‘besides’ selain itu ‘besides that’ di samping itu ‘besides that’ walaupun demikian ‘even so’ meskipun ‘although’ 5
161
Yassir Nasanius
Rank Sentence Connector 19 selanjutnya ‘next’ kalau(pun) ‘even though’ kemudian ‘then’ tatkala ‘when’ bilamana ‘if’ 20 agar ‘so that’ dengan kata lain ‘in other words’ akibatnya ‘as a result’ sementara ‘while’ dalam hal ini ‘in this case’ pada satu pihak ‘on one hand’ pada pihak lain ‘on the other hand’ 21 seandainya ‘if only’ setelah itu ‘after that’ dalam hal ini ‘in this case’ di samping ‘besides’ sebagaimana ‘as’ masalahnya ‘the problem is’ lalu ‘then’ akan tetapi ‘however’ 22 lebih lanjut ‘furthermore’ oleh karena ‘because’ maksudnya ‘what is meant’ tambahan lagi ‘furthermore’ lebih jauh ‘furthermore’ secara singkat ‘in brief’ perbedaanya ‘the difference is’ lagi pula ‘in addition’ secara umum ‘in general’ pada intinya ‘in essence’ pada prinsipnya ‘in principle’ kendati ‘although’ akhirnya ‘finally’ terlebih lagi ‘furthermore’ meskipun demikian ‘even so’ sejak ‘if’ umumnya ‘in general’ meskipun begitu ‘even so’ intinya ‘in essence’ pada umumnya ‘in general’ sebab ‘because’ karenanya ‘because of that’ dengan kata lain ‘in other words’ dalam kenyataannya ‘in fact’
Total of Occurrence 4
3
2
1
As we see from the above table, karena ‘because’ occurs as the commonest sentence connector in academic Indonesian, followed by (te)tapi ‘but’ in the second place and (oleh) karena itu/(oleh) sebab itu ‘because of that’ in the third place. The result is different from what Swales and Feak (2004) found with their English sample, i.e., however, enumerators such as first or
162
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
second, and thus occupying the highest, second highest, third highest places as the most frequently-used sentence connectors in academic English. This seems to suggest that Indonesian academic writers expressed the cause and effect notion heavily in their texts through the use of karena ‘because’, while academic writers in English preferred the contrasting notion through the use of however. It is intesting to note that the sentence connector sebab ‘because’, the semantic equivalent of karena ‘because’, was very seldom used in the sample texts although the two are synonymous. That is, sebab only occurred one time, which is in stark contrast with karena, which occurred as the commonest sentence connector that appeared in the sample texts. Another interesting finding is that namun, the Indonesian equivalent of however, was far more frequently used than its semantic counterpart, akan tetapi, which occurred only twice in the sample texts. The facts seem to suggest that although certain connectors are semantically equivalent, there are striking differences in the frequency with which individual sentence connectors are used in academic texts. This is also true with English. As reported by Swales and Feak (2004), although the sentence connectors however and nevertheless are semantically equivalent, however was more than five times as frequent as nevertheless. In other words, an certain sentence connector can be much more ‘popular’ than another sentence connector, although both are semantically equivalent. Can Sentence Connectors in Academic Indonesian Occur in Sentence-Medial and SentenceFinal Position as Well as in Sentence-Initial Position? Let us now turn to the positional data. Based on the sample collected, of the 74 sentence connectors found, there were 48 sentence connectors that only occurred in initial position (65%); five sentence connectors only occurred in medial position (7%); and there were 21 sentence connectors that occurred in both initial position and medial position (28%); and there was no sentence connector that occurred in final position. Consider the following table, which consists of category A, i.e., sentence connectors that occurred only in initial position; category B, i.e., sentence connectors that only occurred only in medial position; and category C, sentence connectors that occurred in both initial position and medial position. Table 5. Positional Categories of Sentence Connectors in Academic Indonesian Category Sentence Connectors A (oleh) karena itu/(oleh) sebab itu ‘therefore, because of that’ dengan demikian ‘therefore’ jadi ‘therefore’ sebaliknya ‘in contrast’ sementara itu ‘in the mean time’ artinya ‘it means’ sebagai contoh ‘for example’ pertama ... kedua ... ‘first, second’ selain itu ‘besides that’ di samping itu ‘besides that’ walaupun demikian ‘even so’ selanjutnya ‘next’ kemudian ‘then’ tatkala ‘when’ dengan kata lain ‘in other words’ akibatnya ‘as a result’ sementara ‘while’ dalam hal ini ‘in this case’ pada satu pihak ... pada pihak lain ... ‘on one hand, on the other hand’
163
Yassir Nasanius
Category
B
C
Sentence Connectors setelah itu ‘after that’ di samping ‘besides’ masalahnya ‘the problem is’ lalu ‘then’ akan tetapi ‘however’ lebih lanjut ‘furthermore’ oleh karena ‘because’ maksudnya ‘what is meant’ tambahan lagi ‘furthermore’ lebih jauh ‘furthermore’ secara singkat ‘in brief’ perbedaanya ‘the difference is’ lagi pula ‘in addition’ secara umum ‘in general’ pada intinya ‘in essence’ pada prinsipnya ‘in principle’ kendati ‘although’ akhirnya ‘finally’ terlebih lagi ‘what’s more’ meskipun demikian ‘even so’ sejak ‘since’ umumnya ‘in general’ meskipun begitu ‘even so’ intinya ‘in essence’ pada umumnya ‘in general’ karenanya ‘because of this’ dengan kata lain ‘in other words’ dalam kenyataannya ‘in fact’ yaitu/yakni ‘namely’ sehingga ‘so that’ seperti ‘such as’ agar ‘so that’ sebab ‘because’ karena ‘because’ (te)tapi ‘but’ misalnya ‘for example’ sedangkan ‘while’ namun ‘however’ bila ‘when’ apabila ‘if’ jika ‘if’ setelah ‘after’ walau(pun) ‘although’ bahkan ‘even so’ ketika ‘when’ sekalipun ‘although’ sebelum ‘before’ selain ‘besides’ meskipun ‘although’ kalau(pun) ‘although’
164
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
Category
Sentence Connectors bilamana ‘if’ seandainya ‘if’ dalam hal ini ‘in this case’ sebagaimana ‘as’
It should be noted that sentence connectors such as kendati ‘although’ and sebab ‘because’ were classified as belonging to category A and category B respectively because they occurred only one time in the sample texts. If we consider other samples, they can also be classified as belonging to other categories. For example, if we examine its use in newspapers and magazines, the sentence connector sebab may also be classified as category C, namely sentence connectors that can occur in both initial position and medial position. As illustrated in the following example, the sentence connector sebab can occur in initial position, in addition to medial position. (7)
Chaniago mengatakan belum bisa memastikan bagaimana cara sopir bus itu Chaniago say not.yet can be.certain how way driver bus that menyelamatkan diri saat kecelakaan. Sebab, sopir masih dalam perawatan. save himself when accident cause driver still in care “Chaniago said that he was not certain yet how the bus driver saved himself in the accident. This is because he was still in intensive care.”
CONCLUSION This study has demonstrated that (i) sentence connectors in academic Indonesian are as common as those in academic English, (ii) the sentence connector karena ‘because’ is the commonest sentence connector found in academic Indonesian, and (iii) sentence connectors in academic Indonesia may appear in three types of position, namely (a) in initial position only, (b) in medial position only, and (c) in both initial and medial position. The present study only examined nine articles from a single linguistic journal (i.e., Linguistik Indonesia), and therefore the results need to be viewed with caution. Further research with more sample texts from a variety of lingustic journals should be conducted to verify whether the results of the present study are consistent. NOTE
I would like to thank an anonymous reviewer for very helpful comments on the earlier draft.
REFERENCES Arapoff, Nancy. 1968. “The Semantic Role of Sentence Connectors in Extra-Sentence Logical Relationships.” TESOL Quarterly 2.4, 243-252. Pastor, Maria. L. C. 2013. “A contrastive study of the variation of sentence connectors in academic English.” Journal of English for Academic Purposes 12.3, 192-202. Gillett, Andy, Angela Hammond, and Mary Martala. 2009. Inside Track: Successful Academic Writing. London: Pearson Longman. Jasim, Basim. Y. “Recognition and Production of Sentence Connectors at College Level.” Journal of Education and Science 12.2, 13-31. Sneddon, James N., Alexander Adelaar, Dwi N. Djenar, and Michael Ewing. 2010. Indonesian Reference Grammar (2nd edition). Crows Nest NSW, Australia: Allen & Unwin. Swales, John. M. and Christine B. Feak. 2004. Academic Writing for Graduate Students: Essential Tasks and Skills (2nd edition). Ann Arbor: The University of Michigan Press.
165
Yassir Nasanius
APPENDIX No.
Sentence Connectors
01
karena ‘because’ bahkan ‘even so’ Sehingga ‘so that’ seandainya ‘if only’ jadi ‘therefore’ lebih lanjut ‘furthermore’ (te)tapi ‘but’ dengan demikian ‘therefore’ sebaliknya ‘in contrast’ apabila ‘if’ bila ‘if’ sedangkan ‘while’ selanjutnya ‘next’ walaupun ‘although’ namun ‘however’ kalau(pun) ‘although’ Jika ‘if’ setelah ‘after’ oleh karena ’because’ agar ‘so that’ maksudnya ‘what is meant’ kemudian ‘next’ sebelum ‘before’
02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
List of Sentence Connectors Found in Nine Papers Paper A (14 pages)
5
Paper B (12 pages)
1
Paper C (14 pages)
16
Paper D (12 pages)
8
1
Paper E (15 pages)
1
Paper F (6 pages)
Paper G (13 pages)
3
Paper H (11 pages)
4
2
10
2
1
1
5
2
1
1
5
1
Paper I (18 pages)
17 5
1
1
2
1
1
5
24
1
4
1 8
3
3
3
8
1
1
3
6
4
2
2
1
8 5
10
1
9
3
4
2
1
3
1
3
5
3
3
1 1
1 3
3
6 1
3
2
1 4
1
7
1 13
2
2
2
1
4
5
1
1
2
3 1
1
1
1 3 1 1
2
1
3
1
166
1
1
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
No.
Sentence Connectors
24
setelah itu ‘afterwards’ sementara itu ‘in the meantime’ (oleh) karena itu/(oleh) sebab itu ‘because of that’ pertama, kedua ... ‘firstly, secondly ...” dalam hal ini ‘in this case’ di samping ‘besides’ tambahan lagi ‘furthermore’ dengan kata lain ‘in other words’ sebagaimana ‘as’ ketika ‘when’ akibatnya ‘as a result’ lebih jauh ‘furthermore’ sementara ‘while’ secara singkat ‘in short’ selain ‘besides’ masalahnya ‘the problem is’ lalu ‘next’ perbedaannya ‘the difference is’ yakni/yaitu ‘namely’ sebagai contoh ‘as an example’
25 26
27
28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43
Paper A (14 pages)
1
Paper B (12 pages)
1
Paper C (14 pages)
Paper D (12 pages)
Paper E (15 pages)
3
2
4
3
5
9
3 3
1
8
2
Paper F (6 pages)
Paper G (13 pages)
3
Paper H (11 pages)
Paper I (18 pages)
2
4
1
1
1 1
1 1 1 1
2
2 3 2
4 1
1 2
1
1 1
1
1
2
1
2 2 1 3
1
3
2
167
8
1
3
2
1
4
1
2 1
Yassir Nasanius
No.
Sentence Connectors
44
lagi pula ‘in addition’ secara umum ‘in general’ pada intinya ‘in essence’ pada prinsipnya ‘in principle’ kendati ‘although’ akhirnya ‘finally’ misalnya ‘for example’ artinya ‘it means’ selain itu ‘in addition’ tatkala ‘when’ terlebih lagi ‘what’s more’ di samping itu ‘in addition’ seperti ‘such as’ meskipun demikian ‘even so’ akan tetapi ‘however’ meskipun ‘although’ sejak ‘since’ umumnya ‘in general’ meskipun begitu ‘even so’ intinya ‘in essence’ walaupun demikian ‘even so’ dalam hal ini ‘in this case’
45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65
Paper A (14 pages)
Paper B (12 pages)
1
Paper C (14 pages)
Paper D (12 pages)
Paper E (15 pages)
4
5
1
Paper F (6 pages)
Paper G (13 pages)
Paper H (11 pages)
Paper I (18 pages)
5
5
10
1 1 1 1 1
6
3
1
2
3
1
2 1
2
1 1
3
1
1
1
2
1 2
2
1 1
1 1
4 1 1 1 1 6 3
168
1 4
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
No.
Sentence Connectors
66
pada umumnya ‘in general’ sebab ‘because’ karenanya ‘because of this’ bilamana ‘when’ sekalipun ‘although’ dengan kata lain ‘in other words’ dalam kenyataannya ‘in fact’ pada satu pihak ‘on one hand’ pada pihak lain ‘on the other hand’ Total
67 68 69 70 71 72 73 74
Paper A (14 pages)
Paper B (12 pages)
Paper C (14 pages)
Paper D (12 pages)
Paper E (15 pages)
Paper F (6 pages)
Paper G (13 pages)
1
Paper H (11 pages)
Paper I (18 pages)
1 1 4 7 1 1 3 3
85
48
92
44
169
54
14
59
33
124
Linguistik Indonesia, Agustus 2013, 171-185 Copyright©2013, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Tahun ke-31, No. 2
ADAKAH KONSEP FINIT DALAM BAHASA SUNDA? Eri Kurniawan* Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] Abstrak Makalah ini menyajikan bukti bahwa tidak ada manifestasi morfologis untuk kefinitan dalam bahasa Sunda. Makalah ini juga menghadirkan bukti bahwa pemarkah temporal/aspektual tidak berkorelasi dengan kefinitan sebuah klausa, membantah klaim Kana (1986) dan Arka (2000, 2011) untuk bahasa Indonesia. Verba modal dan fitur kesesuaian persona pun terbukti tidak berkaitan dengan konsep finit.Meskipun demikian, penulis ini berargumen bahwa terdapat konsep finit dalam bahasa Sunda. Polanya mirip dengan bahasa-bahasa lain, di mana konsep finit bertemali dengan distribusi subjek kentara. Lebih khusus lagi, penulis berargumen bahwa keberadaan fitur [finit]-lah yang bertanggung jawab terhadap kemunculan subjek kentara dalam klausa finit. Implikasinya, garis pembeda komplemen klausal yang didasarkan pada kefinitan bisa dibuat.Komplemen indikatif merupakan klausa finit karena subjek kentara bisa muncul, sementara komplemen kendali dan raising nonfinit karena subjek kentara tidak dibolehkan muncul. Kata kunci: bahasa Sunda, bahasa Indonesia, kefinitan, subjek kentara, komplemen klausal
Abstract This paper presents an argument that there are no overt morphological manifestations of finiteness in Sundanese. It also provides pieces of evidence that temporal/aspectual auxiliaries do not determine finiteness, as opposed to Kana’s (1986) and Arka’s (2000, 2011) claim for Indonesian. Nor are person agreement and modality shown to correlate with a finiteness opposition. Nevertheless, this paper argues that finiteness seems to be at work in Sundanese and that it patterns like other languages to account for the distribution of overt subjects. More specifically, it is proposed that it is the presence of an abstract [finite] feature that licenses an overt subject in a finite clause. As an implication, this establishes a clear-cut dividing line in terms of finiteness along which clausal complements are differentiated. An indicative complement clause is finite owing to their ability of licensing an overt subject, whereas raising and control complements are all non-finite due to the inadmissibility of an overt subject. Keywords: Sundanese, Indonesian, finiteness, overt subjects, complement clauses
PENDAHULUAN Sekalipun istilah finit sudah lama dipakai dalam banyak literatur tata bahasa, definisi sejati dari finiteness atau konsep finit belum bisa terungkap dengan jelas, (lihat Cowper 2002). Sauter dkk. (1968), misalnya, menyebutkan bahwa istilah finit bersumber dari kata Latin finites, yang berarti definit atau merujuk pada persona tertentu. Menurut Nikolaeva (2007:1), konsep finit ini awalnya dipakai untuk pronomina persona, tetapi kemudian merujuk pada nomina yang menunjukkan fitur persona dan jumlah. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan mengapa, sampai detik ini, konsep finit selalu bertemali dengan fitur morfosintaksis yang berkaitan dengan persesuaian persona dan jumlah tetapi mari simak contoh berikut dari bahasa Inggris.1 (1) Ujang writes journal articles every year. ‘Ujang menulis artikel jurnal setiap tahun.’ (2) Bill asked Ujang to write journal articles every year. ‘Bill meminta Ujang untuk menulis artikel jurnal setiap tahun.’
Eri Kurniawan
Yang perlu dicermati di sini adalah bentuk morfologis dari verba write ‘menulis’ pada (1) dan (2). Kata write (1) bermarkah (dengan sufiks–s) untuk menunjukkan konjugasi kala kini (present tense) dan persesuaian persona (person agreement). Lain halnya dengan (1), write (2) muncul dalam bentuk dasarnya, dengan tidak bermarkah. Dalam literatur linguistik, writes disebut dengan verba finit, sementara to write verba nonfinit. Dengan kata lain, kalimat (1) mengandung klausa finit dan kalimat (2) mengandung klausa nonfinit. Dari ilustrasi ini, kita bisa menyimpulkan bahwa konsep finit bisa dikaitkan dengan fitur kala dan persesuaian (persona/jumlah). Distribusi pun bisa dijadikan sebagai salah satu diagnostik untuk mendeteksi klausa finit. Matthew (1997:29) mendefinisikan verba finit sebagai kata yang bisa berdiri sendiri dalam klausa mandiri, seperti yang tertuang dalam contoh berikut. (3) a. Ujang prays every day. ‘Ujang berdoa setiap hari.’ b. *Ujang to pray every day. ‘Ujang untuk berdoa setiap hari.’ c. Father encourages Ujang to pray every day. ‘Bapak mendorong Ujang untuk berdoa setiap hari.’ Verba prays dikategorikan finit karena bisa berdiri sendiri dalam kalimat sederhana (3a), sementara to pray adalah verba nonfinit karena tidak bisa berdiri sendiri dalam klausa inti, seperti terlihat pada kalimat tidak gramatikal (3b). Status nonfinit to pray ini dibuktikan dengan kalimat (3c), di mana to pray muncul dalam anak kalimat, karakteristik tipikal dari verba nonfinit.2 Kriteria lain yang berkorelasi dengan adanya klausa finit dalam sebuah bahasa adalah kehadiran subjek yang memiliki kasus nominatif. Sudah menjadi anggapan umum bahwa verba finit memiliki kemampuan untuk memberikan kasus nominatif pada subjek. Perhatikan contoh di bawah ini. (4) a. Father believes that he/*him prays every day. ‘Bapa percaya bahwa dia berdoa setiap hari.’ b. Father expects him/*he to pray every day. ‘Bapa mengharapkan dia untuk berdoa setiap hari.’ Kata him (4a) yang merupakan argumen nominal yang memiliki kasus akusatif tidak boleh muncul sebagai subjek anak kalimat karena verbanya finit, yakni prays. Sebaliknya, argumen nominal yang memiliki kasus nominatif, yakni he, tidak bisa menjadi subjek untuk anak kalimat (4b) karena verbanya nonfinit, to pray. Singkatnya, hanya verba finit yang membolehkan subjeknya memiliki kasus nominatif. Selain fitur kala dan persesuaian, modalitas menjadi salah satu penentu adanya verba atau klausa finit dalam suatu bahasa. Lee (2009), dalam disertasinya mengenai konstruksi kendali finit dalam bahasa Korea, berargumen bahwa pemarkah finit dalam Korea itu adalah sufiks modalitas pada nomina atau modalitas pada konjungsi klausa komplemen (complementizer).3 (5) a. Minho-nun [caki-ka ku sang-ul tha-(*ss)]-leyko M-TOP sendiri-NOM DET hadiah-ACC meunang-PAST-COMP ayssu-ess-ta. berusaha-PAST-DECL ‘Minho berusaha memenangkan hadiah.’ b. Emeni-nun [Mina-ka na-wa hammkkey ka-(*ss)]-tolok ibu-TOPM-NOM saya-dengan bersama pergi-COMP helakha-si-ess-ta. izin-HON-PAST-DECL ‘Ibu mengizinkan Mina pergi dengan saya.’ c. Swuni-ka ka-(*ss)-ya Minho-to ka-n-ta. S-NOM pergi-PAST-hanya.jika M-juga pergi-PRES-DECL ‘Minho pergi hanya jika Swuni juga pergi.’
172
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
(5a-b) mengandung klausa sematan (dalam tanda kurung) yang berfungsi sebagai komplemen dari klausa inti. (5c) mengandung klausa adverbial. Yang perlu digarisbawahi, dalam hal ini, adalah bahwa subjek klausa sematan di setiap contoh di atas memiliki pemarkah kasus nominatif, seperti yang terlihat pada glos. Hal ini menunjukkan bahwa semua kalimat ini berisikan klausa finit, ditandai dengan adanya subjek nominatif. Yang menjadi pertanyaan: apa yang memberikan kasus nominatif kepada argumen subjek? Perhatikan bahwa –ss pemarkah kala lampau tidak dibolehkan hadir dalam klausa. Ini mengindikasikan bahwa fitur kala tidak berkorelasi dengan subjek nominatif. Lee mengklaim bahwa pemarkah modalitaslah yang relevan di sini, bukan pemarkah kala. Partikel leyko (5a) merupakan konjungsi klausa komplemen yang mengandung makna modalitas intensi atau keinginan. Tolok (5b) bermakna modalitas keharusan, sementara pemarkah subordinasi –ya (5c) membawa makna modalitas kondisional. Kendati penelitian mengenai konsep finit4 telah banyak dilakukan di pelbagai bahasa, kebanyakan berkenaan dengan bahasa-bahasa yang memiliki infleksi kala (Hu, Pan, and Xu 2001). Masih relatif sedikit penelitian yang dilakukan dalam bahasa tanpa kala seperti bahasabahasa di Indonesia. Dalam telaahnya mengenai bahasa Arab dialek Jordania, Al-Aqarbeh (2011) menelisik apakah konsep finit merupakan sesuatu yang signifikan mengingat fakta bahwa bahasa Arab tidak memiliki sistem kala. Berdasarkan jenis dan karakteristik klausa komplemen, dia berkesimpulan bahwa finit bukanlah kategori yang relevan dalam bahasa Arab dialek Jordania. Makalah ini ditujukan untuk mengungkap fitur apa (kala, persesuaian, atau modalitas) yang bisa menandakan adanya konsep finit dalam bahasa Sunda. Kalau tidak ada fitur yang berkorelasi positif dengan konsep finit, apakah konsep semacam itu dimiliki oleh bahasa Sunda? Makalah disusun sebagai berikut.Bagian 2 menggambarkan secara ringkas aspek morfosintaksis dasar bahasa Sunda untuk memberikan latar belakang terhadap penting tidaknya pembahasan konsep finit dalam bahasa ini. Bagian 3 akan mengupas dua proposal mengenai konsep finit dalam bahasa Indonesia yang akan diterapkan ke dalam bahasa Sunda untuk menakar apakah klaim yang sama bisa berlaku dalam bahasa Sunda. Bagian 4 membahas inti dari makalah ini, yakni (i) mengevaluasi fitur morfosintaksis apa yang relevan dengan konsep finit dalam bahasa Sunda; dan (b) ketika pemarkah morfologi finit tidak ada, apakah bahasa masih memiliki konsep finit? Bagian terakhir berisikan kesimpulan. PROFIL TIPOLOGIS BAHASA SUNDA Ada sebilangan karakteristik morfosintaksis bahasa Sunda yang penting untuk dijabarkan agar memudahkan memahami struktur bahasa Sunda yang tersaji dalam makalah ini. Pertama, laiknya bahasa-bahasa serumpun semisal bahasa Indonesia, Jawa dan Madura, susunan kata dalam bahasa Sunda pada umumnya adalah SPO (Subjek-Predikat-Objek), di mana subjek muncul sebelum predikat dan objek (kalau ada) muncul sesudahnya. (6) Amung meuncit domba. ‘Amung menyembelih domba.’ (7) Abah nitah Amung (pikeun) meuncit domba. ‘Handi menyuruh Amung (untuk) menyembelih domba.’ Kedua, seperti halnya dalam bahasa Indonesia, tidak ada pemarkah kasus pada nomina dan pemarkah kala pada verba dalam bahasa Sunda. Amung sebagai subjek (6) dan Amung sebagai objek (7) tidak ada bedanya.Tidak ada yang memarkahi argumen sebagai subjek atau objek. Begitu pun, verba meuli ‘membeli’ dalam klausa mandiri (6) ataupun klausa sematan (7) tidak memiliki tanda kala, yang menunjukkan apakah aktivitas penyembelihan domba itu berupa kebiasan, rencana masa depan, atau kejadian masa lampau. (6-7) menjadi bukti bahwa bahasa Sunda tidak memiliki pemarkah kasus dan kala. Implikasinya, menjadi kabur atau tidak jelas apakah verba berupa finit atau nonfinit.
173
Eri Kurniawan
Meskipun miskin pemarkah kasus dan kala, bahasa Sunda memiliki pemarkah persesuaian jumlah, fitur morfosintaksis yang menandai persesuaian antara predikat/verba dengan subjeknya dalam jumlah. Dalam konteks Sunda, pemarkah jumlah ini muncul apabila argumen aktor dan predikatnya jamak. Inilah fitur yang membedakan bahasa Sunda dengan bahasa-bahasa di sekitarnya. (8) a. Maranéhna keur naréangan budak nu leungit. ‘Mereka sedang mencari anak yang hilang.’ b. Budak nu leungit téh keur ditaréangan ku maranéhna. ‘Anak yang hilang sedang dicari oleh mereka.’ Verba téang (8a) diberi sisipan –ar, yang menjadikan verba tersebut menjadi jamak, sesuai dengan subjeknya yang juga jamak. Hal yang sama bisa diamati pada (8b) di mana verba jamak bersesuai dengan argumen aktor yang diawali dengan preposisi ku ‘oleh’. Perlu dicatat bahwa, dalam konteks ini, verba tidak menyesuaikan fiturnya dengan subjek budak nu leungit, melainkan dengan aktornya maranéhna. Selain fitur persesuaian jumlah, bahasa Sunda pun memiliki infleksi berupa persesuaian persona, yakni fitur morfosintaksis di mana predikat dibubuhi pemarkah untuk menunjukkan bahwa argumennya berupa persona ketiga, semisal dia atau mereka. Seperti halnya persesuaian jumlah, pemarkah persona ini pun sifatnya tidak wajib ada. Artinya, tidak adanya pemarkahan apa-apa pada predikat argumennya berupa persona ketiga tidak membuat kalimatnya menjadi tidak gramatikal. (9) a. Ujang teu nyahoeun yén siAmung téh jéger terminal. ‘Ujang tidak tahu bahwa Amung itu preman terminal.’ b. Ujang jeung adina teu nyarahoeun yén siAmung téh jégerterminal. ‘Ujang dan adiknya tidak tahu bahwa Amung itu preman terminal Munculnya sufiks pronominal persona ini bisa dengan subjek tunggal(9a) atau jamak (9b). Perhatikan pada (9b) bahwa sisipan jamak dan sufiks pronominal persona bisa hadir berdampingan dalam satu predikat. Kalimat di bawah ini menunjukkan bahwa apabila sufiks persona ini muncul dengan subjek bukan persona ketiga, maka kalimat yang dihasilkan tidaklah gramatikal. Hal ini menjadi bukti bahwa sufiks–eun betul-betul pemarkah persona ketiga. (10) *Kuring/manéh teu nyahoeun yén si Amung téh jéger terminal. ‘Saya/kamu tidak tahu bahwa Amung itu preman terminal.’ Karakteristik lain dari bahasa Sunda, yakni adanya sistem diatesis (voice), merupakan fitur bahasa-bahasa di rumpun Austronesia (Wouk and Ross 2002). Sistem diatesis ini ditandai dengan awalan pada verba. Sebagaimana lazimnya bahasa-bahasa di Indonesia, terdapat dua jenis diatesis dalam bahasa Sunda: aktif dan pasif. Verba dalam kalimat yang berdiatesis aktif diawali dengan morfem nasal. (11) Amung miceun sapatu ka solokan. ‘Amung membuang sepatu ke sungai.’ Dalam kalimat aktif seperti (11), argumen nominal (Amung), yang muncul mendahului verba biasanya memiliki fungsi semantik sebagai aktor/pelaku, sementara argumen sapatu, yang mengikuti verba memiliki fungsi penderita. Jenis diatesis yang kedua, yakni pasif, dicirikan dengan munculnya prefix di- (identik dengan pemarkah pasif bahasa Indonesia) pada verba. Secara umum, argumen yang mendahului verba pasif ini memiliki fungsi semantik sebagai non-aktor atau penderita, dan aktor (kalaupun dihadirkan) biasanya muncul setelah verba karena aktor dalam konstruksi pasif bersifat opsional. Aktor ini berada dalam bingkai frasa berpreposisi, ditandai dengan adanya preposisi ku ‘oleh’.
174
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
(12) Sapatu dipiceun (ku) Amung. ‘Sepatu dibuang oleh Amung.’ Pada bagian selanjutnya akan dibahas penelitian mengenai konsep finit dalam bahasa Indonesia. Diagnostiknya akan diterapkan ke dalam bahasa Sunda untuk melihat apakah usulan yang sama berlaku dalam bahasa Sunda. FINIT DALAM BAHASA INDONESIA Seperti yang dikemukakan di bagian awal, penelitian ihwal konsep finit itu berkutat pada bahasa-bahasa yang memiliki infleksi berupa sistem kala dan persesuaian sebagaimana yang terdapat pada bahasa Inggris. Masih sedikit yang menelisik adanya finit dalam bahasa di luar kategori tersebut. Untuk mengisi kekosongan tersebut, Kana (1986) dan Arka (2000, 2011) meneliti bahasa Indonesia dan menyimpulkan bahwa bahasa Indonesia mempunyai konsep finit sekalipun tidak ada infleksi kala/persesuaian. Finit dalam bahasa Indonesia, menurut mereka, terungkapkan dengan kata yang mengandung makna temporal seperti akan, sudah dan sedang. Verba-verba ini bisa muncul dalam klausa finit, seperti dalam klausa mandiri. (13) Mereka (sedang/telah) makan. (Arka 2011:74) Pemarkah finit juga bisa hadir dalam klausa komplemen pertanyaan dan komplemen yang disebut raising.5 (14) Tetapi saya belum tahu [apakah saya (akan) mampu mengungguli Irene]. (Arka 2000:4) (15) a. Penonton tanpa tiket diperkirakan [(akan) membanjiri Belanda]. (Arka 2000:4) b. Mereka menduga saya [akan datang hari ini]. (Kana 1986:244) Dengan berasumsi bahwa pemarkah temporal seperti itu dimaksudkan sebagai penentu status finit dalam sebuah klausa, klausa sematan pada konstruksi kendali bisa dianggap klausa nonfinit karena tidak membolehkan adanya pemarkah temporal, meskipun secara semantik dimungkinkan. (16) a. Para ibu juga ingin [mengubah penampilannya]. b. *Para ibu ingin [akan mengubah penampilannya]. (Arka 2000: 4) Sekalipun klausa sematan mengandung makna kala depan, kemunculan kata akan tidak diharapkan, sehingga kalimat menjadi tidak berterima (16b). Yang wajib dicatat, menurut Arka, walaupun keberadaan pemarkah temporal ini sifatnya opsional, seperti yang terlihat dengan adanya tanda kurung pada (14), tetetapi kemunculannya pada klausa nonfinit sangat tidak diharapkan. Itulah yang menyebabkan mengapa (16b) tidak gramatikal. Arka menamai fenomena ini sebagai kendala kefinitan (finiteness constraints). Di bawah ini contoh konstruksi lain yang dinamakan klausa sematan mini (small clause) yang dianggap Arka sebagai klausa nonfinit. (17) a. Orang itu mendorong saya [jatuh]. b. *Orang itu mendorong saya [akan/sedang/sudah jatuh]. (Arka 2011:76) Klausa sematan mini ditilik sebagai nonfinit karena keberadaan pemarkah finit seperti akan/sedang/sudah di dalam klausa tersebut tidak diharapkan, seperti terlihat pada (17b). Seiring dengan proposal Arka, Kana (1986) berasumsi bahwa pemarkah merupakan indikator finit dalam bahasa Indonesia. Menurutnya, indikator ini membagi klausa adverbial menjadi dua jenis: finit dan nonfinit. Klausa finit diawali dengan konjungsi seperti karena, sedangkan klausa nonfinit diawali dengan sesudah, sebelum, sambil, dengan, tanpa, dan lainnya. Berikut ini adalah beberapa contoh dari Kana. (18) Klausa adverbial finit a. Karena sudah menang dalam pertandingan, hadiah diberikan kepada Amir. b. Saya dikirimi kamus itu, karena tidak akan dipakainya lagi. (Kana 1986:307) (19) Klausa adverbial nonfinit a. Sambil bermain, gadis itu jatuh. b. Amir diberi hadiah itu sesudah dibeli di toko. (Kana 1986:304-305) 175
Eri Kurniawan
Selain pemarkah temporal, Arka (2011) menyarankan bahwa verba modal juga merupakan indikator finit, sebagaimana halnya dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris, apabila verba utama (swim) berdampingan dengan modal (could), maka modallah yang diberi markah kala. (20) When I was young, I could swim for an hour without stopping. ‘Ketika saya muda, saya bisa berenang selama satu jam tanpa henti.’ Apabila verba utamanya yang justru diberi markah kala seperti pada contoh di bawah ini, kalimat menjadi tidak gramatikal. (21) *When I was young, I could swam for an hour without stopping. Arka (2011) menyebutkan bahwa kemunculan verba modal dalam klausa bisa mengindikasikan adanya konsep finit. Apabila sebuah klausa bisa memuat modal, maka klausa tersebut finit. Apabila tidak, maka nonfinit. Berikut adalah contoh klausa finit (22a) dan nonfinit (22b). (22) a. Saya belajar [agar bisa menembak]. b. *Saya belajar [bisa menembak]. Status finit atau tidaknya klausa di atas dibuktikan dengan boleh tidaknya modal bisa muncul dalam klausa sematan. Singkat kata, Kana dan Arka mengajukan proposal bahwa terdapat konsep finit dalam sistem klausa bahasa Indonesia yang ditandai dengan boleh-tidaknya pemarkah temporal seperti akan atau sedang dan verba modal seperti harus atau bisa muncul dalam sebuah klausa. Kedua diagnostik ini, beserta diagnostik lainnya, yang dibahas pada bagian sebelumnya, yakni pemarkah persesuaian, akan diterapkan ke dalam data bahasa Sunda untuk memastikan apakah bahasa Sunda memiliki konsep finit, sebagaimana proposal Kana dan Arka dalam bahasa Indonesia. KONSEP FINIT DALAM BAHASA SUNDA Bagian ini akan menjawab dua pertanyaan krusial: (i) apakah ada fitur morfosintaksis yang berkorelasi positif dengan keberadaan konsep finit dalam bahasa Sunda? dan (ii) kalau ternyata tidak ada, apakah konsep finit masih relevan dalam bahasa Sunda? Korelasi Finit dengan Fitur Morfosintaksis Bagian ini menelisik apakah ada korelasi antara fitur morfosintaksis (kala, persesuaian, pemarkah temporal, dan modalitas) dengan kefinitan sebuah klausa. Pemarkah Temporal Sebagaimana halnya bahasa Indonesia, bahasa Sunda memiliki sebilangan pemarkah temporal yang tentunya bertugas untuk menyampaikan informasi mengenai waktu atau aspek. Pemarkah semacam ini tentunya bisa hadir dalam klausa mandiri, seperti tergambar dalam contoh berikut. (23) a. Ipah geus balik deui ka lemburna. ‘Ipah sudah kembali lagi ke kampungnya.’ b. Ujang keur nyieun langlayangan. ‘Ujang sedang membuat layang-layang.’ c. Amung rék nyaba ka Sumatra. ‘Amung akan merantau ke Sumatra.’ Dengan menggunakan asumsi Kana dan Arka, kita bisa menyebutkan bahwa semua kalimat (23) adalah contoh kalimat finit. Simpulan seperti ini terbilang tidak kontroversial karena secara umum klausa mandiri merupakan klausa finit. Implikasinya, klausa sematan yang bisa mengandung pemarkah temporal juga harus dipandang sebagai klausa finit. (24) a. Ujang ngusahakeun [(rék) indit ka dayeuh]. (kendali) ‘Ujang mengusahakan akan pergi ke kota.’
176
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
b. Ujang dianggap (ku) bapana [(rék) indit ka dayeuh]. (raising) ‘Ujang dianggap oleh bapaknya akan pergi ke kota.’ Dengan mengadopsi asumsi bahwa rék ‘akan’ adalah pemarkah finit, maka (24a) merupakan contoh komplemen kendali finit dan (24b) raising finit. Walaupun keberadaan kedua jenis komplemen tersebut agak kurang lazim dalam bahasa-bahasa rumpun Austronesia, kedua komplemen finit itu bukanlah anomali. Akan tetetapi, bermodalkan asumsi di atas, kita akan menghadapi potensi masalah. Dalam literatur linguistik, komplemen kendali terbagi dua tipe: kendali subjek (15a) dan kendali objek (25b).6 Masing-masing jenis kendali ini rupanya memiliki perilaku atau karakteristik yang berlainan berkaitan dengan pemarkah temporal rék. Komplemen kendali subjek membolehkan kehadiran rék seperti pada (24a) dan (25a), tetapi tidak demikian halnya dengan kendali objek. Keberadaan rék tidak bisa diterima sama sekali (25b). (25) a. kendali subjek Kuring geus jangji ka pamajikan [rék nyobaan masakan Jepang]. ‘Saya sudah berjanji kepada istri akan mencoba masakan Jepang.’ b. kendali objek *Kuring ngolo pamajikan [réknyobaan masakan Jepang]. *‘Saya membujuk istri akan mencoba masakan Jepang.’ Seperti disebutkan di atas, secara tipologis, keberadaan komplemen kendali finit tidaklah aneh (lihat Landau 2004 untuk tipologi kendali finit). Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah perbedaan perilaku kendali subjek dan objek. Apabila asumsi bahwa rék merupakan salah satu indikator finit, maka kita terpaksa harus mengatakan bahwa klausa sematan pada konstruksi kendali subjek bersifat finit, sementara klausa sematan kendali objek bersifat nonfinit. Pembagian kendali seperti ini, sepengetahuan penulis, belum pernah terdengar. Berbeda dengan Kana dan Arka, penulis ingin mengajukan bahwa pemarkah temporal, semisal rék dan sejenisnya, bukanlah pemarkah finit. Mereka hanyalah refleks morfologis dari makna terporal yang terkandung pada klausa sematan. Secara makna, seperti yang pernah disinggung oleh Arka, komplemen nonfinit mengandung kala semantik (semantic tense) dengan orientasi masa depan (lihat Stowell 1982). Hanya saja, karena klausanya nonfinit, kala depan (future tense) tersebut tidak direalisasikan. Penulis berpendapat bahwa kata seperti rék hanyalah pemarkah aspektual, yang dimungkinkan hadir dalam pelbagai jenis klausa, termasuk klausaklausa yang dikategorikan nonfinit, seperti contoh dalam bahasa Inggris pada (26). (26) a. The thief was believed [to have murdered the princess in the palace]. ‘Pencuri itu dipercaya telah membunuh putri di istananya.’ b. John is assumed [to be working on his final project]. ‘John dianggap sedang mengerjakan projek finalnya. Seperti yang terlihat di atas, pemarkah aspektual semisal perfective (26a) dan progressive (26b) bisa muncul sekalipun dalam klausa nonfinit, yang ditandai dengan pemakaian to infinitive. Kalau rék dikategorikan sebatas pemarkah aspektual, yang tidak ada korelasinya dengan status finit sebuah klausa, perbedaan yang ditunjukkan pada (25) tidak ada urusannya dengan konsep finit. Tentunya, ada faktor lain di luar penjelasan finit yang bisa menjelaskan perbedaan tersebut. Dengan adanya asumsi bahwa pemarkah temporal adalah penentu finit, Kana harus membagi klausa adverbial dalam bahasa Indonesia menjadi dua jenis: klausa adverbial finit dan nonfinit, hanya berdasarkan apakah klausa tersebut bisa menghadirkan pemarkah temporal atau tidak. Klausa adverbial finit yang bisa mengandung pemarkah temporal, sementara klausa adverbial nonfinit tidak membolehkan adanya pemarkah tersebut. Dalam bahasa Sunda, pembagian seperti itu tidak diperlukan karena kemunculan pemarkah ini bisa diamati dalam berbagai jenis klausa adverbial.
177
Eri Kurniawan
(27) a. Pamaén bola, saméméh rék tanding, heuay heula geura. ‘Pemain (sepak) bola, sebelum bertanding, menguap terlebih dahulu.’ (http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg35838.html) b. Nalika keur kakandungan, harita kuring ngarenghik. ‘Ketika saya hamil, dulu saya merengek.’ (http://m.fikminsunda.com/index.php?naskah=anyar&prung=250242435017331_319 852388056335) c. Maranéhanana ngarasa dosa kulantaran geus jalir jangji. ‘Mereka merasa berdoa karena sudah melanggar janji. (http://su.wikipedia.org/wiki/Talaga_Remis) d. Siti keur diuk di tempat biasa, sabari keur maca buku. ‘Siti sedang duduk di tempat biasa sambil membaca buku.’ (http://senyndriani18.blogspot.com/) Berdasarkan bukti data di atas, mengingat bahwa pemarkah temporal/aspektual bisa ditemui di pelbagai jenis klausa adverbial, pembagian finit-tidaknya klausa adverbial dengan kriteria pemarkah jenis ini tidaklah bisa dipertahankan. Ada fakta unik dalam bahasa Sunda yang memperkuat analisis penulis bahwa kata-kata seperti (eun)geus ‘sudah’, (eu)keur ‘sedang’, atau (é)rék ‘akan’ hanyalah pemarkah aspektual, bukan indikator finit. Dalam bahasa Sunda, pemarkah aspektual ini bisa berdampingan satu sama lain, satu anomali kalau pemarkah seperti itu dianalisis sebagai pemarkah finit. (28) a. Alam geus rék mimitian poék. ‘(Alam) sudah mulai gelap.’ (http://jhonsundanesse.blogspot.com/2012/10/sore-maju-ka-peuting.html/) b. Karajaan Sunda geus rék runtag. ‘Kerajaan Sunda akan runtuh.’ (http://fathandino.blogspot.com/2012/03/loba-situs-di-narimbang-conggeangmakam.html) Rangkaian geus rék menandakan kejadian yang secara temporal bermula pada satu titik di masa lampau dan terus berlanjut sampai masa yang akan datang. Makna khusus ini hanya bisa dijelaskan secara alamiah apabila kata-kata seperti geus/rék diposisikan hanya sekadar pemarkah aspektual. Oleh karena itu, keberadaannya dalam sebuah klausa tidak mesti dikorelasikan dengan finit-tidaknya sebuah klausa. Pemisahan pemarkah aspektual dengan kefinitan ini bisa menjelaskan mengapa pemarkah semacam ini bisa didapati dalam komplemen nominalisasi, yang secara umum sifatnya nonfinit. (29) Bapa masih teu panuju ngeunaan [rék dikirimna Ujang ka Suriah]. ‘Bapak masih tidak sepakat mengenai akan dikirimnya Ujang ke Suriah.’ Perlu dicatat bahwa, dalam konteks lintas bahasa, data menunjukkan bahwa komplemen nominalisasi yang finit itu sangatlah jarang. Oleh karena itu, fakta pada (29) menjadi masalah bagi analisis yang mengaitkan pemarkah temporal/aspektual dengan kefinitan sebuah klausa. Persesuaian Kajian literatur ihwal finit dalam bahasa-bahasa di dunia mengindikasikan bahwa fitur persesuaian persona bisa menjadi penentu adanya finit dalam sebuah klausa (lihat proposal George dan Kornfilt 1981untuk bahasa Turki). Seperti dikemukakan di bagian awal, bahasa Sunda berbeda dengan bahasa sekitar dengan memiliki pemarkah persesuaian persona, dengan pembubuhan sufiks–eun pada predikat. Sayangnya, dalam bahasa Sunda, kemunculan pemarkah persesuaian tidak berbanding lurus dengan finit atau tidaknya sebuah klausa. Hal ini dikarenakan pemarkah tersebut tidak bisa membedakan beragam jenis klausa komplemen.
178
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
Bahkan, pemarkah persesuaian persona rupanya bisa ditemui dalam komplemen nominalisasi, seperti terlihat pada data di bawah ini. (30) a. Ujang yakin [yén pamajikanna bakal resepeun kana dewegan]. ‘Ujang yakin bahwa istrinya akan menyukai kelapa muda.’ b. Ujang dianggap [geus nyahoeun kajadian kamari]. ‘Ujang dianggap sudah mengetahui kejadian kemarin.’ c. Ujang diolo [sangkan daék-eun ng-ala dewegan]. ‘Ujang dibujuk agar mau memetik kelapa muda.’ d. Ujang langsung nuduh adina[saenggeus apaleun laptop-na leungit]. ‘Ujang langsung menuduh adiknya setelah mengetahui laptonya hilang.’ e. Ujang masih kénéh teu percaya ngeunaan [daékeunna Imas dikawin ku Ohang]. ‘Ujang masih tidak percaya mengenai kemauan Imas untuk dinikahi Ohang.’ Seperti yang terlihat di atas, pemarkah persesuaian persona bisa hadir dalam komplemen indikatif seperti pada (30a), komplemen raising (30b), komplemen kendali (30c), klausa adverbial (30d) dan komplemen nominalisasi (30e). Fakta ini menjadi bukti penting bahwa proposal yang menghubungkan fitur persesuaian dengan kefinitan sebuah klausa tidak bisa diterapkan dalam bahasa Sunda. Verba Modal Seperti disebutkan sebelumnya, Arka (2011) menganalisis verba modal sebagai pemarkah finit. Keberadaannya dalam sebuah klausa menandakan bahwa klausa tersebut finit. Atas dasar distribusi verba modal dalam bahasa Sunda, korelasi antara (tidak)dibolehkannyaverba modal dengan keberadaan finit tidak bisa dipertahankan. Dalam bahasa Sunda, verba modal bisa didapati di beragam konteks, seperti komplemen raising (31a), kendali (31b) dan bahkan nominalisasi (31c). (31) a. Maranéhna tangtu [perlu datang ka acara paturay tineung di sakola]. ‘Mereka tentu perlu datang ke acara perpisahan di sekolah.’ b. Manéhna dipaksa [kudu nginjeumkeun duit ka babaturanna]. ‘Dia dipaksa harus meminjamkan uang kepada temannya.’ c. ‘Masarakat teu satuju ngeunaan [perlu dicabutna subsidi BBM ku pamaréntah]. ‘Masarakat tidak setuju mengenai perlu dicabutnya subsidi BBM oleh pemerintah.’ Begitu pun, verba modal bisa ditemukan dalam klausa adverbial, seperti dalam contoh berikut ini. (32) a. [Saencan bisa nyieun buku], tong ngaku-ngaku pangarang. ‘Sebelum bisa membuat buku, jangan mengaku-aku penulis.’ b. Ujang dititah masak ku pamajikanna, sabari kudu ngasuh budak. ‘Ujang disuruh masak oleh istrinya sambil harus mengasuh anak.’ Usulan bahwa pemarkah temporal/aspektual dan verba modal menjadi indikator kefinitan klausa akan menghadapi kesulitan untuk menjelaskan fakta di mana kedua jenis kata tersebut bisa muncul bersamaan dalam sebuah klausa. (33) a. Mesin téa téh moal perlu maké operator sabab sagala rupana otomatis. ‘Mesin itu tidakakan perlu menggunakan operator sebab semuanya otomatis.’ b. Motor téh geus kudu dioméan deui. ‘Motor itu harus sudah diperbaiki lagi.’ c. Pamajikan téh encanmeunang dibawa balik ti rumah sakitna. ‘Istri belum boleh dibawa pulang dari rumah sakit.’ Perhatikan bahwa modal mengikuti pemarkah temporal/aspektual, susunan kata yang cukup janggal apabila modal dianggap memuat kala, lalu dikorelasikan kefinitan klausa. Oleh karena
179
Eri Kurniawan
itu, lebih masuk akal apabila verba modal tidak dihubungkan dengan finit tidaknya sebuah klausa. Dengan kata lain, modalitas dalam bahasa Sunda (dan mungkin juga dalam bahasa Indonesia) bukanlah indikator finit. Memang ada sebilangan konteks di mana verba modal tidak dibolehkan muncul dalam sebuah klausa, seperti yang diklaim oleh Arka (2011) dengan contoh (22), diulang di bawah. (34) a. Saya belajar [agar bisa menembak]. b. *Saya belajar [bisa menembak]. Arka mengklaim bahwa klausa komplemen seperti di atas (34b) merupakan klausa nonfinit karena tidak membolehkan munculnya modal bisa. Contoh serupa bisa ditemukan dalam bahasa Sunda. (35) a. Kuring diajar némbak. b. *Kuring diajar bisa némbak. *‘Saya belajar bisa menembak.’ Ketidakmungkinan munculnya modal dalam hal ini bisa dikaitkan dengan ukuran komplemen. Dalam literatur linguistik, sudah menjadi asumsi yang standar bahwa klausa memiliki ukuran struktur yang bervariasi, tergantung pada jenis dan jumlah elemen yang bisa dimuatnya. Misalnya, sebuah klausa lengkap yang bisa memuat argumen subjek, pemarkah temporal/aspektual, modal, dan sejenisnya dipandang berkategori CP (Complementizer Projection)—klausa dengan projeksi lengkap dan diawali dengan konjungsi klausa sematan semisal bahwa. Asumsinya, semakin dibatasi atau semakin sedikit jenis dan jumlah elemen yang bisa dimuat, semakin kecil ukuran klausanya. Maka, dalam hal ini, bisa diasumsikan bahwa klausa seperti pada (35b) hanyalah klausa kecil (misalnya, berkategori verbal projection—proyeksi verba saja) sehingga wajar kalau klausa tersebut tidak bisa memuat verba modal apapun. Artinya, tidak bolehnya sebuah modal muncul dalam sebuah klausa bisa dijelaskan dengan penjelasan ukuran klausa, tidak perlu melibatkan konsep finit. Terlebih, ada sejumlah konteks klausa di mana satu-satunya modal yang dibolehkan hanyalah bisa. Salah satunya adalah klausa komplemen untuk predikat desideratif seperti hayang ‘mau/ingin’. (36) Kamar téh hayang [geura (bisa)(*kudu/perlu/meunang) dieusian]. ‘Kamar itu ingin bisa segera bisa diisi.’ Kemunculan verba modal lain menyebabkan kalimat menjadi tidak gramatikal. Hal ini menimbulkan masalah bagi analisis yang memakai konsep ukuran klausa karena kalau memang betul ukuran yang krusial, maka seharusnya semua jenis modal tidak boleh muncul. Akan tetapi, kenyataannya, modal bisa dibolehkan. Untuk mengatasi masalah ini, penulis mengadopsi usulan Englebretson (2003), yang intinya mengasumsikan bahwa kata bisa itu bukanlah modal, tetetapi verba leksikal. Menurutnya, bisa itu sebenarnya bentuk verba yang sudah tergramatikalisasi dari verba yang mengungkapkan ‘kemampuan’. Berikut contoh dari Englebretson (2003:144). (37) Intinya dia malam itu nggak bisa nemui saudaranya itu. Englebretson menjelaskan bahwa bisa dalam konteks ini mengindikasikan bahwa pelaku, yakni dia, tidak memiliki kemampuan untuk merealisasikan pekerjaan menemui seseorang. Di sini, bisa tidak mengandung makna modalitas kemungkinan. Bukti lain yang mendukung asumsi bahwa bisa bukanlah modal adalah fakta bahwa bisa dapat berdampingan dengan verba modal lainnya seperti kudu ‘harus’ atau perlu. Perhatikan bahwa kalimat menjadi tidak gramatikal apabila lebih dari satu modal muncul dalam sebuah klausa (38b, d) (38) a. Si Ujang kudu bisa ngungkabkeun rarasaan manéhna ka Enéng. ‘Ujang harus bisa mengungkapkan perasannya kepada Eneng.’
180
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
b. *Si Ujang kudu perlu ngungkabkeun rarasaan manéhna ka Enéng. *‘Ujang harus perlu mengungkapkan perasannya kepada Eneng.’ c. Manéhna perlu bisa basa Arab mun hayang digawé di Mekah. ‘Dia perlu bisa berbahasa Arab kalau mau bekerja di Mekah.’ d. *Manéhna perlu meunang basa Arab mun hayang digawé di Mekah. *‘Dia perlu boleh berbahasa Arab kalau mau bekerja di Mekah.’ Hal yang sama tidak mungkin terjadi dalam bahasa di mana modal mengandung kala, dan oleh karena itu finit. Berikut adalah contoh dari bahasa Inggris di mana modal selalu bertemali dengan sistem kala. (39) a. *A man also must can take care of the house.’ b. *He needs can speak Arabic if he wants to work in Mecca.’ Kesimpulannya, hadir atau tidaknya sebuah modal dalam klausa tidaklah berbanding lurus dengan status kefinitan sebuah klausa. Ketidakmungkinan sebuah modal dalam klausa sematan bisa jadi disebabkan ukuran klausanya yang kecil, sehingga tidak memiliki ruang yang memadai untuk memuat elemen lain selain verba dan argumennya. Kefinitan Struktural Seperti dijelaskan di bagian muka, salah satu ciri khas klausa finit adalah adanya subjek nominatif. Secara umum, berdasarkan data lintas bahasa, keberadaan subjek dengan kasus nominatif ini dimungkinkan karena adanya fitur kala, persesuaian atau modalitas. Akan tetapi, dalam bahasa Sunda, korelasi tersebut tidak ditemukan. Keberadaan pemarkah temporal/ aspektual, pemarkah persesuaiandan verba modal tidak berbanding lurus dengan kemunculan subjek nominatif dalam sebuah klausa. Pada contoh berikut ditunjukkan bahwa pemarkah temporal/aspektual tidak berkorelasi positif dengan kemunculan subjek dalam klausa sematan. (40) a. Iroh geus mutuskeun [rék ngajual harta warisanna]. ‘Iroh sudah memutuskan akan menjual harta warisannya.’ b. *Iroh geus mutuskeun [manéhna rék ngajual harta warisanna]. Apabila verba bantu seperti rék ‘akan’ berhubungan erat dengan kemunculan subjek, maka kalimat (40b) seharusnya gramatikal. Akan tetapi, buktinya tidak. Artinya, pemarkah semacam ini tidak ada kaitannya dengan muncul atau tidaknya subjek pada sebuah klausa. Hal yang sama berlaku untuk pemarkah persesuaian. Baik persesuaian persona (sufikseun) maupun persesuaian jumlah (infiks-ar/al) tidak bisa dikaitkan dengan keberadaan subjek dalam sebuah klausa. (41) a. Ujang dianggap [geus nyahoeun kajadian kamari]. ‘Ujang dianggap sudah mengetahui kejadian kemarin.’ b. *Ujang dianggap [manéhna geus nyahoeun kajadian kamari]. ‘Ujang dianggap sudah mengetahui kejadian kemarin.’ (42) a. Barudak dititah [sina dialajar ngaji]. ‘Anak-anak disuruh untuk belajar mengaji.’ b. *Barudak dititah [sina manéhna dialajar ngaji]. ‘Anak-anak disuruh untuk belajar mengaji.’ Seperti yang terlihat secara jelas dari data (41-42), kehadiran pemarkah persesuaian (persona/jumlah) tidak berkorelasi positif dengan kemunculan subjek. Kemunculan subjek pada klausa tertentu justru membuat kalimat menjadi tidak berterima, terlepas dari adanya fitur persesuaian.
181
Eri Kurniawan
Yang terakhir adalah modalitas.Di bagian sebelumnya sudah ditunjukkan bahwa modal tidak ada kaitannya dengan finit tidaknya sebuah klausa.Karena konsep finit ini erat kaitannya dengan keberadaan subjek, maka bisa diprediksi bahwa modalitas tidak berkorelasi dengan keberadaansubjek.Prediksi ini terbukti akurat, seperti yang terlihat pada data di bawah ini. (43) a. Ujang dianggap [kudu nganteurkeun adina ka bandara]. ‘Ujang dianggap harus mengantarkan adiknya ke bandara.’ b. *Ujang dianggap [manéhna kudu nganteurkeun adina ka bandara]. ‘Ujang dianggap harus mengantarkan adiknya ke bandara.’ (44) a. Barudak dipaksa [kudu mareuli buku teks ti guruna]. ‘Anak-anak dipaksa harus membeli buku teks dari gurunya.’ b. *Barudak dipaksa [manéhna kudu mareuli buku teks ti guruna]. ‘Anak-anak dipaksa harus membeli buku teks dari gurunya.’ Pertanyaannya sekarang adalah (i) apakah konsep finit masih relevan sekalipun tidak ada fitur morfosintaksis yang berkorelasi positif dengan kefinitan klausa dan (ii) kalau jawabannya ya, bagaimana konsep finit dimanifestasikan di dalam bahasa Sunda? Untuk pertanyaan pertama, jawabannya sudah tersedia dari penelitian sebelumnya terhadap bahasa-bahasa yang tidak memiliki infleksi atau yang tidak memiliki manifestasi konsep finit secara morfologis. Rice (1989), misalnya, menyebutkan bahwa dalam bahasabahasa Slave (tidak memiliki infleksi), konsep finit direfleksikan secara struktural, tidak secara morfologis. Sejalan dengan Rice, Huang (1984), dalam penelitiannya terhadap bahasa China, berpendapat bahwa konsep finit secara struktural bisa diamati dalam bahasa China dan finit ini berkorelasi dengan kemunculan subjek. Untuk pertanyaan kedua, penulis akan mempertimbangkan usulan Huang dalam bahasa China bahwa konsep finit berbanding lurus dengan kemunculan subjek, sekalipun tidak ada fitur morfosintaksis yang relevan dengan kefinitan klausa. Mari awali dengan memperhatikan klausa mandiri berikut. (45) a. Manéhna keur ngumbahan wadah. ‘Dia sedang mencuci piring.’ b. Wadah keur dikumbahan ku manéhna. ‘Piring sedang dicuci oleh dia.’ Argumen subjek yang kentara (overt) semisal manéhna ‘dia’ selalu dibolehkan hadir dalam klausa mandiri dan pada umumnya klausa mandiri ditilik sebagai klausa finit. Oleh karena itu, penulis mengajukan usulan bahwa konsep finit dalam bahasa Sunda teridentifikasi secara struktural melalui boleh tidaknya subjek kentara muncul dalam sebuah klausa. Apabila sebuah klausa membolehkan kemunculan subjek, klausa tersebut finit. Kalau tidak, maka nonfinit. Penulis berasumsi bahwa ada fitur (abstrak) [finit] yang bertanggung jawab terhadap ada tidaknya finit dalam klausa. Apabila fitur ini hadir, maka subjek kentara dibolehkan muncul dan klausa menjadi finit. Sebaliknya, ketika fitur ini tidak ada, maka subjek kentara dilarang muncul dan klausa yang bersangkutan menjadi nonfinit. Contoh klausa sematan finit adalah klausa indikatif yang biasanya diawali dengan konjungsi klausa sematan yén/(wi)réhna ‘bahwa’. (46) a. Ujang teu apaleun [yén manéhna keur ngumbahan wadah]. ‘Ujang tidak tahu bahwa dia sedang mencuci piring.’ b. Bapa ngawartosan [wiréhna anjeunna bade angkat ka tanah suci taun payun]. ‘Bapak memberi tahu bahwa dirinya akan pergi ke tanah suci tahun depan. Keberadaan subjek manéhna dan anjeunna ‘dia’ dalam dua contoh di atas dimungkinkan karena adanya fitur abstrak [finit] sehingga dua klausa tersebut menjadi klausa finit. Sekarang, bagaimana dengan klausa sematan jenis lain seperti komplemen raising dan kendali yang umumnya bersifat nonfinit? (47) a. Ujangj dianggap [(*manéhna)i/*j rék meuncit domba engké soré]. ‘Ujang dianggap akan menyembelih domba nanti sore.’
182
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
b. Ujangi di-titah [pikeun (*manéhna)i/*j meuncit domba engké soré]. ‘Ujang disuruh untuk menyembelih domba nanti sore.’ Terlihat jelas bahwa rupanya kemunculan subjek kentara dalam klausa komplemen raising (47a) dan komplemen kendali (47b) membuat kedua kalimat tersebut menjadi tidak gramatikal. Artinya, kedua jenis klausa sematan tersebut melarang kemunculan subjek kentara. Klausa yang bersangkutan tentu saja memiliki subjek. Hanya sifatnya harus implisit atau null subject. Subjek implisit inilah yang menjadi ciri khas dari komplemen raising dan kendali dalam sebagian besar bahasa-bahasa di dunia. Pertanyaannya, apa yang melarang kemunculan subjek kentara di kedua jenis klausa tersebut? Jawabannya sederhana. Ketiadaan fitur abstrak [finit]-lah yang membuat klausa tidak mempunyai kemampuan untuk memuat subjek kentara, sehingga kedua jenis klausa komplemenini menjadi nonfinit. Adapun klausa utama yang memuat subjek kentara, yakni Ujang, dianggap mengandung fitur [finit] yang membolehkan subjeknya untuk direalisasikan secara morfologis. Karakterisasi kefinitan klausa dengan fitur abstrak [finit] ini mampu menjelaskan mengapa ada kontras antara klausa mandiri, klausa inti dan indikatif dengan klausa komplemen raising dan kendali. Yakni, mengapa subjek kentara dibolehkan muncul dalam klausa jenis pertama dan tidak dibolehkan dalam klausa jenis kedua. Fitur [finit] yang dimanifestasikan dengan boleh-tidaknya kehadiran subjek kentara inilah yang menjadi penentu finit tidaknya sebuah klausa. Keuntungan dari proposal yang penulis ajukan sangatlah terang benderang. Sekalipun tidak ada fitur morfosintaksis seperti kala, persesuaian dan modalitas yang secara sistematik berkorelasi dengan kefinitan, konsep finit masih tetap relevan dalam bahasa Sunda. Buktinya nampak jelas dengan adanya kontras antara klausa yang membolehkan subjek kentara dengan yang tidak. SIMPULAN Tulisan ini menjawab dua pertanyaan krusial: i) apakah ada fitur morfosintaksis yang berkorelasi positif dengan keberadaan konsep finit dalam bahasa Sunda dan ii) kalau tidak ada, bagaimana konsep finit dimanifestasikan? Untuk pertanyaan pertama, jawabannya sudah jelas. Tidak ada fitur mofosintaksis yang menjadi pemarkah finit. Pemarkah temporal/aspektual bisa hadir dalam berbagai klausa komplemen, sehingga tidak bisa membedakan mana klausa finit dan mana yang nonfinit. Temuan ini menyangkal proposal dari Kana (1986) dan Arka (2000, 2011) yang menghubungkan kemunculan pemarkah temporal/aspektual dengan finit atau tidaknya sebuah klausa. Pemarkah infleksi berupa pemarkah persesuaian persona dan jumlah pun terbukti tidak bertemali dengan kefinitan klausa. Meskipun demikian, terdapat konsep finit dalam bahasa Sunda yang dimanifestasikan secara struktural. Ini ditandai dengan dibolehkannya subjek kentara (overt subject) dalam klausa. Apabila sebuah klausa membolehkan kemunculan subjek kentara, maka klausa tersebut finit. Kalau sebaliknya, klausanya nonfinit. Penulis mengajukan bahwa fitur abstrak [finit] lah yang menentukan apakah sebuah klausa bisa mengandung subjek kentara atau tidak. CATATAN *
Penulis berterima kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan makalah ini.
1
Singkatan yang dipakai dalam tulisan ini: 3: Persona Ketiga, ACC: (Kasus) Akusatif, AV: Active Voice (diatesis aktif), COMP: Complementizer (konjungsi lekatan), DECL: Deklaratif, DEF: Definit, DET: Determiner, HON: Honorifik, INFIN: Infinitif, NOM: (Kasus) Nominatif, PART: Partikel, PAST: Past Tense (kala lampau), PL: Plural (jamak), PRES: Present Tense (kala kini), PROG: Progresif, PV: Passive Voice (diatesis pasif), REL: Relativizer, TOP: Pemarkah Topik.
183
Eri Kurniawan
2
Tentunya, ada kekecualian untuk konsep finit berdasarkan distribusi ini. Dalam bahasa Rusia, misalnya, verba nonfinit bisa muncul dalam klausa sederhana. (i) Sonja [budet [zanimat’sja jogoj] i [begat’ po utram]]. Sonja akan lakukan.INFIN yoga dan lari.INFIN pada pagi ‘Sonya akan melakukan yoga dan lari setiap pagi.’ (Bailyn 2012: 27) Perhatikan bahwa glos untuk verba dibubuhi dengan INFIN yang berarti infinitif atau nonfinit. Artinya, verba dalam kalimat ini keduanya nonfinit. Baylin menuturkan bahwa verba nonfinit memiliki ciri yang serupa dengan verba finit yakni bisa muncul dalam klausa koordinatif, seperti pada (i). Meskipun demikian, karakterisasi konsep finit secara distribusi bisa ditilik akurat karena bisa mewakili karakteristik finit di sebagian besar bahasa di dunia. 3
Konstruksi kendali adalah sebuah struktur kalimat kompleks di mana subjek yang dilesapkan pada klausa sematan harus merujuk/koindeks dengan subjek pada klausa utama. Dengan kata lain, subjek pada klausa utama menjadi pengendali rujukan subjek pada klausa sematan. Perhatikan contoh berikut. (ii) Ujangi berusaha [untuk PROi/*j menulis buku tata bahasa Sunda dalam satu semester]. Seperti yang ditunjukkan pada koindeksasi, subjek klausa sematan yang diwakili PRO (istilah khas yang disematkan kepada subjek klausa sematan yang dilesapkan pada konstruksi kendali) wajib merujuk pada subjek pada klausa utama, yakni Ujang. Apabila tidak, yakni rujukan subjek pada kedua klausa tidak sama, kalimat (ii) di atas berubah menjadi tidak gramatikal. 4
Penelitian ini didanai oleh the National Science Foundation dengan nomor grant 1123769.
5
Raising merujuk pada sebuah konstruksi kalimat di mana sebuah argumen yang berasal dari klausa sematan raise (naik) ke klausa inti karena ada fitur morfosintaksis yang mesti dipenuhi, yakni kasus nominatif pada predikat inti. Contoh sederhana konstruksi raising adalah sebagai berikut. (iii) Ujang nampak [Ujang sedang kebingungan]. Ujang yang bermula sebagai subjek klausa sematan ‘terpaksa’ harus naik ke klausa inti karena predikat nampak mempunyai kasus nominatif yang harus diserahkan dan Ujang naik untuk menerima kasus tersebut. 6
Perbedaan antara kendali subjek dan kendali objek terletak pada status gramatikal argumen pengendali, argumen nominal pada klausa utama. (iv) Ujangi berusaha [untuk PROi/*j menulis buku tata bahasa Sunda dalam satu semester]. (v) Amungi menyuruh Ujangj [untuk PRO*i/j menulis buku tata bahasa Sunda dalam satu semester]. Pada kendali subjek (iv), subjek (PRO) pada klausa sematan harus merujuk pada subjek pada klausa utama, sementara pada kendali objek (v), subjek klausa sematan merujuk pada objek klausa utama.
DAFTAR PUSTAKA Al-Aqarbeh, Rania. 2011. “Finiteness in Jordanian Arabic: A Semantic Morphosyntactic Approach.” Doctoral Diss., the University of Kansas. Arka, I Wayan. 2000. “Control Theory and Argument Structure: Explaining Control into Subject in Indonesian.” Paper presented at the 4th International Malay and Indonesian Symposium, Jakarta. Arka, I Wayan. 2011. “On Modality and Finiteness in Indonesian: Complexities of -nya Nominalisation”. Workshop on TAM markers and evidentiality in Indonesian Languages, Tokyo University of Foreign Studies, 17-18 February 2011, http://lingdy.aacore.jp/en/contact/index.html. Bailyn, John F. 2001. The Syntax of Russian. New York: Cambridge University Press. Cowper, Elizabeth. 2002. “Finiteness.” Manuscript. University of Toronto.
184
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
Englebretson, Robert. 2003. Searching for Structure: The Problem of Complementation in Colloquial Indonesian Conversation. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. George, Leland M. and Jaklin Kornfilt. 1981. “Finiteness and Boundedness in Turkish.” In Binding and Filtering, edited by Frank Heny, 105-128. London: Croomhellm Ltd. Hu, Jianhia, Haihua Pan, and Liojiong Xu. 2001. “Is There a Finite vs. Nonfinite Distinction in Chinese?’ Linguistics 39:1117–1148. Huang, C.-T. James. 1984. “On the Distribution and Reference of Empty Pronouns.” Linguistic Inquiry 15, 531–574. Kana, Marit. 1986. “Grammatical Relations in Bahasa Indonesia.” Doctoral Diss., Cornell University. Lee, Kumyoung. 2009. “Finite Control in Korean.” Doctoral Diss., University of Iowa. Matthews, Peter H. 1997. The Concise Oxford Dictionary of Linguistics.Oxford: Oxford University Press. Nikolaeva, Irina. 2007. Finiteness: Theoretical and Empirical Foundations. Oxford: Oxford University Press. Rice, Keren. 1989. A Grammar of Slave. Berlin: Mouton. Souter, Alexander. et al. (eds.). 1968. Oxford Latin Dictionary, vol. 1. Oxford: Clarendon Press. Stowell, Tim. 1982. “The Tense of Infinitives.” Linguistic Inquiry 13:561–570. Wouk, Fay and Malcolm Ross (ed.). 2002. The History and Typology of Western Austronesian Voice Systems. Australian National University. “Aya Cinta di Pondok Pasantren,” accessed March 20, 2013, http://senyndriani18. blogspot.com/. Kuz, Rudya. “Rusras,” accessed March 20, 2013, http://m.fikminsunda.com/index.php? naskah=anyar&prung=250242435017331_319852388056335. “Loba Situs di Narimbang Conggeang Makam Para Embah jeung Kabuyutan,” accessed March 20, 2013, http://fathandino.blogspot.com/2012/03/loba-situs-di-narimbang-conggeangmakam.html. “Re: [Urang Sunda] Persib Bandung Pikahariwangeun!!!” accessed March 20, 2013, http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg35838.html. “Sore Maju ka Peuting,” accessed March 20, 2013, http://jhonsundanesse.blogspot.com/2012/ 10/sore-maju-ka-peuting.html. “Talaga Remis,” accessed March 20, 2013, http://su.wikipedia.org/wiki/Talaga_Remis.
185
Linguistik Indonesia, Agustus 2013, 187-205 Copyright©2013, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Tahun ke-31, No. 2
EXPLORING POWER AND SOLIDARITY SEMANTIC IN TRANSLATION OF CULTURAL TERMS OF ADDRESS IN THE BIBLE Frans I Made Brata* Universitas Udayana
[email protected]
Abstract This paper presents the types of meanings in the translation of English Luke’s Bible in Balinese. The Tu-Vous combined with attitude in the Appraisal Theory are utilized to evaluate the word choice of terms of address done by the translator. The results are as follows: (1) Pronouns and nouns employed among characters with different social stratification were related to power semantic. (2) Pronouns and nouns employed among characters in the same social stratification were related to solidarity semantic. (3) The addresser’s attitude, either positive [+], or negative [-] in a communication situation results in meaning shift in translation. Keywords: terms of address, Balinese, power semantic, solidarity semantic
Abstrak Makalah ini membahas tipe-tipe makna dalam terjemahan Injil Lukas: Inggris-Bali. Teori Tu-Vous yang dipadukan dengan ‘attitude’ dalam teori Apraisal digunakan untuk mengevaluasi pilihan kata dalam sistem sapaan yang dilakukan penerjemah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Penggunaan pronomina dan nomina pada pelibat yang berstratifikasi sosial yang berbeda mengandung Makna Kuasa. (2) Penggunaan pronomina dan nomina pada pelibat yang berstratifikasi sosial yang sama berbeda mengandung Makna Solidaritas. (3) Sikap penyapa, baik yang bersifat positif [+], maupun negatif [-] dalam suatu situasi komunikasi mengakibatkan pergeseran makna dalam penerjemahan. Kata kunci: sistem sapaan, bahasa Bali, makna kuasa, makna solidaritas
INTRODUCTION The non-honorific and honorific speech levels in Balinese have instigated the translation equivalents of English pronouns Balinese language to be more expressive, reflecting the norms and cultural values adhered to by its speakers. The non-honorific uses rough words and the honorific uses middle, humble and refined words. The different social stratification of speakeraddressee affects the lexical choice done by a translator. It makes the intrasystem cohesion allows the equivalents of the personal pronouns I – you- he/she to vary linguistically, as far as attitude is concerned, with the following dimensions: (1) affect-appreciation: icang – cai/ia Nonhonorific “Rough” and titiang – iratu/ipun-ida Honorific “Humble-Refined”; and (2) judgment: tiang – ragane / dane Honorific “Middle”. However, the intersystem cohesion allows the personal pronouns I – you – he/she, as far as the interpersonal relational communication situation is concerned, to shift from pronouns to nouns or from the linguistic domain to the social domain. Closely related to the function of translating, the Bible expects the reader to acquire informative comprehension of its existence is insufficient, as Kraft (2000:271) points out: It would be wrong to think … that the response of the receptors in the second language is merely in terms of comprehension of the information, for communication is not merely informative. It must be expressive and imperative if
Frans I Made Brata
it is to serve the principle purposes of communication such as those found in the Bible. In compliance with the ideology of evangelization in the Bible translation, the above quotation suggests that the Bible translation does not only function to transfer message from the source language (SL) massage to the target language (TL), but also to present the massage in such a way that the readers would respond to the expressive forms similarly as the readers in the source language would respond. It is then expected that the readers will implement the provided imperative forms in real actions. Closely related to the function of the Bible translation, the question that arises is what meaning is implemented in the translation terms of address in English Luke’s Bible which was translated into Balinese language? This paper aims to answer this question. REVIEW OF RELATED LITERATURE The previous studies on religion have mainly focused on the translation product. They have been discussed from genitive, objective and affective aspects in religious texts (Farghal and Al-Masri, 2000). What has been interesting from the affective aspect is that the background of the belief and religion adhered to by the readers positively correlate with their way or ideology of receiving and comprehending religious translation texts (Brata, 2010a). However, the function of translating has not been discussed yet. The function of translating the sensitive text is not merely for the accurateness of the linguistic forms, but the intelligibility and acceptability are critical. The ways the translator mediates the source language message into the intended reader can be seen from the semantic force of the words he/she uses. Whether or not his/her translation aim is successful depends on how he/she is capable to manipulate the vocabularies available in the target language. Power and Solidarity Semantic There are two matters to consider when translating English to Balinese pronoun which is due to the lack of a one-to-one correspondence. First, prescriptively the translator has to choose the correct form of the target language. The choice of the lexical items depends upon who is talking to whom. Second, descriptively there is extended usage of pronouns triggered by the speaker’s attitude. Disregard to power, it is common that speaker’s emotion or feeling arises in a certain communication situation often involve a significant shift from honorific forms (V) to nonhonorific forms (T). Braun (1988:15) states that: In the middles ages, European T/V usage was governed by a “power semantic”, as the authors now call it; superiors received V, inferiors received T so that nonreciprocity and asymmetry were common. …. The criterion now was whether speakers had something in common (T pronoun) or not (V pronoun). Later, the selection of T and V came to be determined by factors other than power. This re-evaluation of social feature is called “solidarity semantic”, it led to reciprocity of terms of address with mutual T in the case of intimacy and mutual V in the case of distance …. In communication situation, power semantic intended in terms of address refers to the non-reciprocal linguistic variations chosen between the addresser and addressee resulting from asymmetrical relation (Braun, 1998:13, 15-16). As a teacher who is teaching in the class room, Yusuf will address his students using the pronoun kamu (you) (using the form ‘T’) or their proper names Amir, Hasan and so forth. However, the students, Amir and Hasan, when conversing with their teacher, will address him using the role noun Bapak (using the form ‘V’) rather than the pronoun kamu or the proper name Yusuf. In addition, the students, Amir and Hasan, when conversing, will address one another using their proper names. The progression of interaction between the addresser and addressee in their asymmetrical and non-reciprocal relation is stated by
188
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
Braun (1988) to contain the power semantic. Furthermore, the reciprocal and symmetrical relation between the addresser and the addressee is stated to contain solidarity semantic. Terms of address forms are words and phrases used for addressing (Braun, 1988:5). The words or phrases chosen by the addresser (A1) to address the addressee (A2), or someone spoken about (A3) in a verbal communication even reflects the norms and cultural values they adhere to. In regard to the Honorific and non-honorific Balinese forms of address, the profile of the pronoun and noun of the target language and source language can be compared to and matched with one another in the flowing table: Table1. Profile of the Pronoun and Noun of the Source Language and Target Language
Modified from Brata (2010a: 31, Brata 2010b: 144, Brata 2011a : 93, and Brata 2011b : 31) Source Target Languag e (TL) Language Pronoun Noun (SL) Non Honorific (H) Non Honorific Honorific Honorific (NH) (H) (NH) Rough Middle Humble Refined Rough (Ro) (Ro) (M) (H) (Re) ‘I’ icang tiang titiang ulun Aji kai gelah Guru manira ‘you’ cai ragane, Iratu Guru iba jerone cening ‘he/she’ Ia dane ipun Ida -
As shown in Table 1, Balinese distinguishes different kinds of pronoun used in different speech levels, while English does not do so. This suggests that English and Balinese are two linguistic and cultural systems which are totally different from each other. Therefore, when translating pronouns from a source language which does not have speech level distinction such as English to a target language which has speech level distinction such as Bali, the translator should know what sub dimension of linguistic variation forms are most suitable. In addition to the social stratification, the attitude of the addresser to the addressee also determines in a communication situation what linguistic variations which are related to the forms of both NH and H should be chosen in the TL. This means that the translator is not only responsible for transferring linguistic meaning from the SL to the TL, but is also responsible for transferring cultural meaning. The meaning of a word can only be understood if it is expressed in the culture where it is used. Such a cultural meaning can be expected to raise the reader’s response. THEORETICAL FRAMEWORK In the micro level, the theory of Tu – Vous can be developed with the theory of attitude, part of the Appraisal Theory in Systemic Functional Linguistics. Both T and V are linguistic forms (phonological, morphological, and syntactical). Brown and Gilman (1960) state that T-V, or V- T imply that there is a distance between the addresser and the addressee, and that T-T or V-V imply that there is no social distance between the addresser and the addressee. It is common in Balinese culture that Balinese people use sor-singgih when communicate with one another. When superior speaks to inferior the forms of T-V are identical with the forms of Non Honorific-Honorific in the TL. In the other hand, when inferior speaks to superior the forms V-T are identical with the forms of Honorific – Non Honorific. As far as the Balinese version of the Bible is concerned, Brown and Gilman (1960:25) state that: 1. The power semantic refers to the nuance of meaning implied by the form of linguistic variation chosen in the asymmetrical relation between the addresser and the addressee. Such an asymmetrical relation causes the non-reciprocal terms of address to vary: Non Honorific-Honorific, or Honorific-Non-Honorific in the TL.
189
Frans I Made Brata
2. The solidarity semantic refers to the nuance of meaning implied by the form of linguistic variation chosen in the symmetrical relation between the addresser and the addressee. Such a symmetrical relation causes the forms of linguistic variants reciprocal: Non Honorific-Non Honorific, or Honorific-Honorific in the TL. Referring to power and solidarity semantic in terms of address, the two meanings mentioned above can be explored from the dimensions and sub-dimensions of the addresser’s attitude. Attitude refers to the addresser’s feeling or emotion towards the addressee or someone spoken about which is reflected from the forms of terms of address chosen (Braun, 1988:65,294). Martin (2000:160) classifies attitude into three dimensions. They are affect, appreciation, and judgment. As the main part of the Appraisal Theory, attitude is related to: those utterances which can be interpreted as indicating that some person, thing, situation, action, event or state of affairs is to be viewed either positively or negatively (White, 2001:1). In compliance with the development of the Appraisal Theory, Hope and Read (2004) and Hong (2007) classify the three parts mentioned above into several subsections both positively [+] and negatively [-], as can be seen from the following table: Tablel 2. Attitude in Appraisal Theory Combined from Hope and Jonathan Read (2004), Hong (2007) and Brata (2011b) Affect
A T T I T In/security : (emotion of eco-social well-being)
U
D
E
Un/happiness : (affair of the heart) Dis/satisfaction : (emotions associated with the pursuit of goals) Appreciation
Reaction
Impact Quality
Composition
Balance Complexity
Valuation Judgment
Social Esteem
Normality: (how unusual someone is) Capacity : (how capable they are) Tenacity : (how resolute they are)
Social Sanction
Veracity : (how truthful someone is) Propriety : (how ethical someone is)
190
[+] confidence, [+] trust [-] anxiety, [-] fear [+] happiness, [+] love [-] sadness, [-] anger [+] curiosity, [-] respect [-] ennui, [-] displeasure [+] exciting [-] tedious [+] good [-] nasty [+] unified [-] discordant [+] simple [-] simplistic [+] profound [-] shallow [+] fortunate [-] hopeless [+] powerful [-] week [+] resolute [-] reckless [+] truthful [-] dishonest [+] ethical [-] immoral
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
Affect, appreciation, and judgment are the three dimensions of attitude which are related to the addresser’s feeling for the addressee or someone spoken about. Furthermore, Martin (2000: 324-325) affirms that every dimension has its own focus. Affect, that is, expressing a person’s feelings, refers to the addresser’s personal emotion which is more subjective. Explicitly, Braun (1988:24) in “Forms of Address Characterizing the Speaker”, states that: Whenever variation in address behavior is strong, the use of a certain form may give more information about the person of the speaker than about the addressee or the relationship between the two. Like a language variety as a whole, an address variety is part of the voluntary or involuntary self-presentation of speakers. From what was stated above it can be affirmed that the form of T-V or Non HonorificHonorific chosen by the addresser may mean that the addresser places himself superior than the addressee. “Appreciation…. which is the evaluation of phenomenon in a society”, refers to the appraisal expression provided by the addresser of what has been done by someone. It can be more clearly observed from an inverted address term of noun as stated by Braun (1988:265): Address inversion” refers to the use of nominal variant which, in its lexical content, implies features suiting the person of the speaker rather than the addressee. More often, this is found with kinship terms (e.g, a father addressing a child as ba:ba ‘father’ in Arabic), but the same principle is occasionally applied to forms denoting status or role, e.g., a teacher addressing a pupil u maistru ‘teacher’ in Italian dialect. In address inversion, speakers employ forms which are, or could be, directed to themselves. Even fictive use of address inversion is possible. Similar to Arabic, it is considered unusual for Balinese to address someone who is deeply honored by using pronoun terms of address you. The second person role teacher or a term indicating kinship brother or sister will be used as an exchange. Judgment: “expressing moral judgment of people’s behavior” is objective in nature as it is connected with how someone’s behavior closely related to the socio-culture of the environment where he/she lives is evaluated. As far as the non-reciprocal asymmetrical relation is concerned, it may be concluded that the power semantic of Non Honorific-Honorific is identical with the affect in the progression of top down vertical interaction. Power semantic of Honorific-Non Honorific is identical with the appreciation dimension of attitude in the progression of down up vertical interaction. Then the solidarity semantic of Non Honorific-Non Honorific or Honorific-Honorific is identical with the judgment. The way in translating Bible has developed from era to era to meet what is needed by Christians. They are from different parts of the world with their different cultures and language. The focus of the Bible translation is not only on literal equivalence for the sake of its accuracy. However, it is more on the response provided by the reader through dynamic/functional equivalence. Its functional equivalence and reader oriented (Brata, 2011:33) can be seen in the flowing figure: Figure1. Process of the Dynamic / Functional Equivalence S
M1
R1 R
R
M S2
S
191
R2
Frans I Made Brata
In the macro level, the dynamic equivalence gives more emphasis on how the two receptors (R1 and R2) give the same response to the translation effect as R1 gives response to message (M1). It is also expected that R2 gives similar response to M2 (compare the two arrows going in the direction of R1 R2). What is given priority in the dynamic equivalence is that the response given by the SL reader is similar to that given by the TL reader. It means that what was stated in a text must be translated into what is meant in the context. As ‘Word of God’, it lies in the impact of the concepts embodied in the linguistic forms on the reader response (Craft, 2000:272, Brata, 2011a:94, and Brata, 2011b:34). In general we can say that the theory of dynamic equivalence is based on the emphasizing on meaning rather than form. Adapting the source language message by changing the target language form means that the translation is hoped to have the same response as evoked by the original reader. Larson (1998: 6) stated that the best translation is the best which: 1. uses the normal language forms of the receptor language, 2. communicates, as much as possible, to the receptor language speakers the same meaning that was understood by the speaker of the source language, and 3. maintains the dynamics of the original source language text. Since translation is possible due to the each language in a culture has its own local genius, it means that any unknown lexical concept in a source language can be expressed in another. Further, Craft (2000:274) presented the dynamic equivalence translating process that has gone beyond the formal correspondence. Figure 2: The Dynamic Equivalence of translating illustrated by Kraft (2000:275) Original Cultural Matrix Source
Message
Cultural Matrix
Receiver M
Linguistic forms
(1) Linguistic and cultural analysis of the original total situation (including the personal factors)
R
(6) Rewriting the material in the appropriate style (forms) of the receptor language to produce a dynamically equivalent effect of the hearers.
(2) Decoding of the essential elements of the message (not simply of the individual words)
(5) Re-encoding the material in the receptor language in such a way as to make implicit the information that this language requires (allows) to be implicit
(3) Paraphrase the material in such a way as to make explicit all implicit information
(4) Translating this explicit paraphrase literally into the receptor language
192
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
EXPLORING POWER AND SOLIDARITY SEMANTIC OF CULTURAL TERMS OF ADDRESS IN THE BIBLE It is not easy to obtain the response provided by the SL reader resembles that given by the TL reader as there is no absolute correspondence between two linguistic and cultural systems which are completely different. This is supported by what is stated by Kraft (2000:271) as follows: …. in terms of degree to which the receptors of the message in the receptor language respond to it substantially the same manner as the receptors in the source language [responded to the original]. This response can never be identical, for the cultural and historical settings are too different, but there should be a high degree of equivalence of response, or the translation will have failed to accomplish its purpose. Based on the degree of the closest similarity in the response given, empirically, the Bible has been translated into 822 languages out of 3000 local languages Nida and Taber (1969) including Balinese language (1975, 1990). As the experts of the Bible translation, Nida and Taber (1969:24) highlight that: That is to say, a translation of the BIBLE must not only provide information which people can understand but must present the message in such a way that people can feel its relevance (the expressive element in communication) and then respond to it in action (the imperative function). To unfold the expressive elements in a SL and the nuance of its imperative meaning, Sembiring (2005) states that any correct translation must always be preceded by a correct exegesis. In a communication situation, such an exegesis can be achieved by asking who the speaker is; to whom he/she speaks; what is intended by what is stated? (p. 758).The process of exegesis can be used to investigate the addresser’s attitude in accomplishing the interpersonal relation implemented in the form of the linguistic variation selected. The power and solidarity semantic are implied in the various linguistic forms. POWER SEMANTICS Unlike propositional meaning, Baker (1992:13) states that Expressive meaning cannot be judged as true or false. This is because expressive meaning relates to the speaker’s feeling or attitude rather than to what words and utterances refer to. The expressive meaning of the sor-singgih the Balinese language contains has caused the SL pronouns to vary and have more explicit equivalents in the TL. The forms of variation of terms of address represent the addresser’s attitude in the progression of both vertical and horizontal interaction. In the progression of vertical interaction, there is a non-reciprocal asymmetrical interpersonal relation which contains power semantic. The power semantic in the form of Non Honorific-Honorific is identical with the affect in the progression of up down vertical interaction. The power semantic in the form of Honorific-Non Honorific is identical with the appreciation in the progression of down up interaction. Affect The vertical down interaction can be identified when the addresser uses the form Non =Honorific to the addressee as in (01):
193
Frans I Made Brata
(01) Before he left, he called his ten servants (01) Satondene ida mamargi, ida ngandikain and gave them each a gold coin and told parekan idane adasa, suang-suang them, 'See what you can earn with this kapaica pipis mas pada maketeng, while I am gone.' (Luk. 19:13) kadulurin pangandika kene: 'Anggonja pipise ene madagang, sanun icange di paluasan.' (Luk. 19:13) Field of Discourse The nobleman calling his ten servants
Participants of Discourse A1: a nobleman (title) A2: a servant (social status)
Means of Discourse
Affect A1
Statement, Non-Honorific
Terms of address variation SL: I TL: icang(e)
A2
The parable of the golden money in (01) tells us about a man of a high rank who was going into a far country to be appointed a king. Before leaving he gave his servants some amount of money. Being generous [affect: insecurity, - anxiety], he told them, as in Luk. 19: 13: ‘See what you can earn with this while I am gone’ (Brata, 2011b: 35). SL: … while I am gone TL: …, sanun icang(e) (NH) Ro di paluasan …, while I am away The singular pronoun I related to the superior talked to inferior is translated into icang using the Non Honorific. Appreciation The vertical up interaction can be identified when the addresser uses the form Honorific to the addressee as in (02) below: (02) Now, his countrymen hated him, and so (02) Nanging rakyat idane tusing demen teken they sent messengers after him to say, ida, kanti ngutus utusan buar ngetut ‘We don’t want this man to be our king. pamargin idane, lakar nguningayang: (Luk. 19:14) ‘Titiang sareng sami nenten pacing sairing, yening anake punika jaga madeg ratu, dados rajan titiange.’ (Luk. 19:14) Field of Discourse The nobleman went to a new country
Means of Discourse A1: The servants Appreciation Statement, (social status) A2 Honorific, A2: The Monologue nobleman (title) A1 Discourse Participants
Terms of address variation SL: we TL: titiang sareng sami
When the nobleman arrived in a new country, some citizens sent a delegation after him [appreciation: impact, - tedious] and said, as in (02): SL: We … to be our king TL: Titiang (H: Hu) (sareng sami) ... jaga madeg ratu We all together … will become a king The plural pronoun we related to the inferior talked to the superior is translated into titiang using the Honorific: Humble.
194
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
Affect – Appreciation The affect-appreciation means that the addresser uses the form Non Honorific as stated in Luke (19:19), and the form of Honorific as stated in Luke (19:20), which can be exemplified in example (03) below: (03)To this one he said, ‘You will be in charge of five cities.’ (Luke.19:19). Another servant came and said, ‘Sir, here is your gold coin; I kept it hidden in a handkerchief. (Luk. 19:20). Field of Discourse The second servant receiving the golden money from his master
(03) Ida anake ngadika teken ia kene: ‘Icang maang cai ngamong kota lelima’. Iparekan ane lenan takut nangkil tur matur; ‘Inggih ratu, puniki jinah druene aturang titiang ring iratu; jinah druene. Sampun kaput titian antuk saputangan tur sepal titian. (Luk. 19:20)
Discourse Participants A1: a noble man (title) A2: a servant (social status)
Means of Discourse
Affect A1 A2
Statement, Non Honorific, Dialogue, Turn taking
Terms of address variation SL: You TL : A1 cai A2 iratu
The parable golden money mentioned above was told by Jesus to his pupils about the three servants receiving the golden money from their master. In example (03), the second servant was that who was loyal to his master. Being loyal, the noble man (affect: happiness, + love) happily gave reward to his servant, as stated in Lukas (19:19): SL: You will be in charge of five cities. TL: Icang (NH) R maang cai (NH) R ngamong kota lelima I will give you the authority to manage five cities. The pronouns I-you are translated into icang-cai using the Non-honorific form as the nobleman who came from the superior, due to his title, talked to his servant coming from the inferior due to his social status. Then, as stated in Luke (20: 20), the third servant came. He believed that his master was honest. He wished to show his loyalty to his master [appreciation, reaction, impact, + exciting) and then said: SL: I kept it hidden in a handkerchief. TL: jinah druene aturang titiang (H) ring iratu (R) Here is the money sir, I am returning it to you again. Field of Discourse The third servant receiving the golden money from his master
Discourse Participants A1: a servant Appreciation (social status) A2 A2:a nobleman (title) A1
Means of Discourse Statement: Non-honorific, Dialogue: turn taking
Terms of address variation SL: I – you TL: A1 titiang A2 iratu
It is common that Balinese people use the form of Humble-Refined or the form of respect if a servant talks to a nobleman. This cannot be separated from the culture (ideology) adhered to that “memarek” (serving a nobleman) is an obligation which has been inherited from generation to generation. From the three examples above, the explicitness of such expressive meaning can be cohesively observed from the linguistic variations chosen in the TL. As far as the textual meaning of linguistic domain is concerned, the linguistic variation of pronoun is made metaphorical to highlight the nuance of power semantic, as can be seen from example (04), and (05) below.
195
Frans I Made Brata
(04) “I am Gabriel, “the angel answered. “I (04) Sang Malaekat raris masaur: “Manira stand in the presence of God, who sent ene Sang Gabriel. Manira ene parekan me to speak to you and tell you this Ida Sang Hyang Widi Wasa. Ida ane good new. ngutus manira buat nekedang orta (Luk. 1:19) kaliangane ene teken kita (Luk.1:19) Field of Discourse The birth of John, the Baptist, was notified
Discourse Participants: Social Stratification/Attitude A1: the Angel, Affect as the God’s A1 delegate (title) A2: Zakaria, the Selected Man A2 (social status)
Means of Discourse
Terms of address variation Statement, SL: I – you Particular terms of TL: manira, kita address, Monologue
Sterility is a reproach for a Jewish woman as Elizabeth, Zakaria’s wife. Although Zakaria was a priest, it was extremely difficult for him to believe in the birth of Jesus, the Baptist for two reasons. The first reason was that they were too old and the second reason was that their prayers had not been replied yet. Suddenly, an angel told Zakaria (affect, security, + confidence): SL : I am Gabriel TL : Manira (metaphor) ene Sang Gabriel I am Gabriel What was emphasized was His role rather than His name, Gabriel. His role as the God’s delegate was given more emphasis as can be seen from the following sentence: SL: I stand in the presence of God, who sent me TL: Manira (metaphor) ene parekan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Ida ane ngutus manira I am (the king) this is the God’s servant He sent me What was stated by Gabriel meant that, through His role, He wished to assure Zakaria that “the good news” he brought from God contained imperative meaning with dimensions [affect, security, + confidence] as instructed by God. I was translated into a particular terms of address manira, similar to the terms of address used to address God or King in old literary works (Kersten, 1984:403). The power semantic as a consequence of the domination of a world’s king [affect, security, - confidence] was not highlighted. What was emphasized was the Power of God. (05) “Jerusalem, Jerusalem! You kill the (05) Ih Kota Yerusalem. Iba nyedayang prophets, you stone the messengers paranabine muah nimpungin aji batu God has sent you! How many times I utusan Ida Sang Hyang Widi Wasa ane wanted to put my arms round all your ngrauhin iba. Ping kuda-kuda Kai people, just as a hen gathers her chicks makeneh munduhang tur ngelut rakyat under her wings, but you would not let ibane, buka panginane munduhang me! (Luk. 13:34). pitiknyane di batan kampidne, nanging tambakin iba. (Luk.13:34) Field of Discourse Participants: Discourse Social Stratification/Attitude Jesus’ Love for A1: Jesus ((title) Affect Jerusalem A2: People of A1 Jerusalem (social status) A2
196
Terms of address variation Statement: SL: I – you Particular terms of TL: kai - iba address, Monologue Means of Discourse
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
To address a city of Jerusalem seems confusing. The metonymy means People of Jerusalem. The story begins with Jesus’ warning towards the people of Jerusalem. Jerusalem was well known as a killer of prophets. Jesus classifies himself as one of the prophets. What was stated by Jesus below leads into a statement of love and concern for the people of Jerusalem. However, being unhappy with the situation, He shouted to them [affect, unhappiness, + love] as in (05): SL: … I wanted to put my arms round all your people TL: … Kai (NH, Ro) makeneh munduhang tur ngelut rakyat iba(ne) (NH Ro) Similar to manira – kita, or kai – iba are dyad archaic rough word implying power. In examples (01), (02), (03), (04), and (05) intra system shifts can be observed to take place. “ … intra system shift involves the shift which occurs within a system” (Molina & Albir, 2002:441). In this case, the intra system refers to the cohesive shift of grammatical category of the SL pronoun system which contains propositional meaning. In other word, the SL pronoun system shifts to the TL one which contains sor-singgih. The shift taking place in the linguistic domain causes the meaning of TL to be more expressive. In addition to the intra system shift taking place among pronouns, the translator’s exegesis is also implemented coherently in TL social domain. It can be seen from the following examples. Examples (06), (07) showing distance, and (08), (09), (10) showing closed relationship between participants. (06) A voice said from the cloud, “This is my (06) Tumuli wenten sabda saking genah son, whom I have chosen-listen to him!” megane punika, sapuniki: “Ene suba (Luk. 9:35) Putran Ulun ane selik Ulun. Idepangja pangandikan Idane.” (Luk. 9:35) Field of Discourse Jesus is talking about His misery
Discourse Participants: Social Stratification/Attitude A1:Voice Affect from the A1 cloud, God (title) A2:A crowd of people A2 (social status)
Means of Discourse
Terms of address variation
Statement: SL : my Particular terms of TL : Ulun address, Monologue
According to the Jewish, the cloud appearing from the sky as in example (06) indicates the God’s existence. A voice from a cloud might mean God saying: SL: This my son, ….. TL: Ene suba Putran Ulun ( the Ruler) NH This is My Son Progression of top down vertical interaction between God and His mankind from pronoun to noun Ulun contains imperative meaning [affect, confidence, - anxiety] and is immediately followed by imperative verbs chosen-listen. The grammatical shift from the personal pronoun my to the noun Ulun due to His title in the form of Non-honorific gives more emphasis on the addresser’s meaning of power semantic.
197
Frans I Made Brata
(07) Herod said. ” I had John’s head cut off; (07) Ida Sang Prabu Herodes ngandika but who is this man I hear these things sapuniki: “Dane Yohanes suba punggal about?” And he kept trying to see Jesus. gelahe. Dadinne nyenke sasajaane (Luk. 9:9) Anake ene, ene dingeh gelahe nglaksanayang sakancan paundukane ento?” Ida sang prabu ngusahayang pisan mangda nyidayang kapanggih ring Ida Hyang Yesus. (Luk. 9:9) Field of Discourse Herod’s confusion
Discourse Participants: Social Stratification/Attitude A1: Herod, a Affect king (title) A1 A2:A crowd of people (social status) A2
Terms of address variation Statement: SL : I Particular terms of TL : gelah address, Monologue Means of Discourse
The story tells us about Herod, the local king, who heard about what Jesus were doing. He was very confused because he had killed John the Baptist that he thought was Him. To convince his people he said ‘I had John’s head cut off’, [affect: emotion of eco-social well being, - fear]. However, it does not mean that Herod did the killing personally. He had someone to do it. SL: I had John’s head cut off TL: Dane Yohanes suba punggal gelah(e) (NH Ro metaphor) John had been killed by the king Similar to ulun the ruler, the archaic word of the role gelah the king was used to focus on power. In addition to title, the shift from pronoun to role noun, as exemplified by the following example (08) is also identified. (08) “Why do you call me, ‘Lord, Lord,’ and (08) “Ngudiang cening nyambat-nyambat don’t do what I tell you? (Luk, 6: 46). Guru: ‘Ratu Panembahan, Ratu Everyone who comes to me and listens to Panembahan,’ nanging tusing pesan my words and obeys them – I will show nglakonin pitutur Gurune? Sakancan you what he is like. (Luk. 6:47) anake ane teka sid Gurune muah madingelang pitutur Gurune laut lakonina, jani Guru ngorahin cening, anake ento satmaka buka kene. (Luk. 6:47) Field of Discourse Participants: Discourse Social Stratification/Attitude Obeying Jesus’ A1: Jesus Affect commands (title) A1 A2: A crowd of people (social status) A2
Means of Discourse Statement: Kinship terms Monologue
Terms of address variation SL : I TL: Guru SL: you TL: cening
Actually, the rhetorical statement in example (08) is merely a warning provided by Jesus to those who did not do what He taught [affect, dissatisfaction, + curiosity]. The warning ‘obedience leads to success, disobedience ends in failure’ provided by Jesus to those who doubted His role was stated [confidence] as follows:
198
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
SL: I will show you… TL: Guru (Guru) ngorahin cening (anak) …. The teacher tells me In the SL pronoun system, there was no meaning component which distinguished symmetrical form from asymmetrical form. What was expected from the shift in grammatical category from the pronoun I to the superior role noun (Guru) made by the translator was that the response given by the reader was the same as that given by the native reader. Apart from the shift from the pronoun to the role noun, a shift to the noun of kinship system is also identified as illustrated by example (09) below: (09) …. And the Holy Spirit came down upon (09) …..tur Roh Ida Sang Hyang Widi Wasa him in bodily form like a dove. And a tumurun marupa pangiber paksi darane voice came from heaven. “You are my neduninn Ida. Samaliha wenten sabda own dear Son. I am pleased with you.” saking suarga sapuniki: “Cening mula (Luk. 3:22) putran Aji ane saying. Tuah Cening ane ledangin Aji.” (Luk. 3:22) SL: You are my own dear son. TL: Cening (kinship term) mula Putran Aji ane sayang You are my son whom I love so much As illustrated in example (09), the concept of pronoun meaning which is unknown in the source language was translated into the concept of fictive kinship noun (non-blood relation) known in TL. Braun (1988:9) states: ‘When a kinship term is used for addressing someone who is not related to the speaker in one way or other, this is called a fictive use of KT (kinship term)’. What was intended by the shift from the second pronoun you to the noun of fictive kinship (cening) was to give emphasis on the addresser’s power semantic. What is interesting in the attitude with affect-appreciation in the Luke’s Bible is the use of inversion terms of address in reciprocal asymmetrical relation, as illustrated by example (10): (10) … neither do I consider myself worthy to (10) ….. kadi asapunika taler tiang newek tan come to you in person. Just give the pisan pantes nangkil ring ajeng Guru. order, and my servant will get well Sakewanten wenten wecanan Guru (Luk. 7:7). akecap, sinah parekan titiange seger. Jesus was surprised when he heard (Luk. 7:7) this; he turned round and said to the Riwau Ida Hyang Yesus miring crowd following him, “I have never aturnyane punika, Ida kalintang angob. found such faith as this, I tell you, not Ida raris maksian ring anake sane ngiring even in Israel!” (Luk. 7:9) Ida, sarwi ngandika sapuniki: “Sasajaane Guru ngorahang teken ragane, tusing taen Guru mangguh kapracayan ane amone gedene, yadiastun di pantaran anak Israele.” (Luk. 7:9) Field of Discourse Participants Discourse A Roman’s A1: A Roman Appreciation officer stated officer (social A2 his faith to Jesus status) A2: Jesus (title) A1
199
Means of Discourse Statement: Kinship terms, turn taking
Terms of address variation SL: you TL: Guru
Frans I Made Brata
Braun (1988:12) states that: Address inversion is a special pattern of nominal address … Address inversion is the use of a term, mostly a Kinship Term, which does not (as would be usual) express the addressee’s, but the speaker’s role in the dyad, e.g. a mother addressing a child as mama. This phenomenon may occur with fictive kinship. The address inversion can be identified in Luke 7:7 and in Luke 7:9. In Luke 7:7, a Roman officer felt that it was improper for him to see Jesus. He felt that there was power over his power [appreciation, reaction, quality]. The officer thought that it was too noble for Jesus to come to his house [+ respect]. When Jesus came to see him, respect for Jesus was expressed as follows: SL: … to come to you in person TL: …nangkil ring ajeng Guru …come before Teacher There is shift of grammatical category from the pronoun you to the title noun Guru used in the interpersonal relation of an inferior Roman officer to address superior Jesus. It was made to highlight the meaning of respect expressed to Jesus due to His power (healing power). Then, as far as the same periscope is concerned, Jesus felt surprised at as well as satisfied with the great faith expressed through what was said by a Jewish officer who usually refused His power. Furthermore, He had never seen such a great faith expressed by Jewish people. His satisfaction was expressed to the crowd surrounding Him [affect, satisfaction, +love], as exemplified by Luke 7:9 as follows: SL: … I tell you TL: …Guru (role) ngorahang teken ragane, … Teacher has told you Field of Discourse Participants: Discourse Social Stratification/Attitude Jesus Healed a A1: Jesus Affect Roman officer (title) A1 servant A2: A Roman’s officer (social A2 status)
Means of Discourse Statement: Kinship terms Turn-taking
Terms of address variation SL: I TL: Guru
The top down vertical interaction took place between Jesus and His followers. It contains the power semantic [affect, happiness, +love] as Jesus was happy that the great faith expressed by an inferior Jewish officer was great. The shift of grammatical category taking place in the equivalent of the pronoun I to the noun Guru gives emphasis on the power semantic in the relational relation between the teacher and his followers. What is interesting is that the asymmetrical interpersonal relation between the addresser and addressee I-you uses the role reciprocal dyad Guru. Similarly, the shift from the first pronoun to the role noun also takes place in SL, as exemplified by the shift from I tell you to The President of USA tell you, or in Balinese teacher tell you. The inter system shift from SL to TL can be identified in examples (06), (07), (08), (09) and (10). Such an inter system shift is classified as coherence shift resulting from the difference focus of point of view (change in cognitive point of view) between the SL culture and TL culture. The SL pronoun system containing propositional meaning shifts to the TL noun system containing the power semantic, as in terms of address of title, role, fictive kinship, and respect. Both cohesive and coherence shifts made by the translator were intended to evoke the reader’s translation effect.
200
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
SOLIDARITY SEMANTIC In horizontal interaction progression, there is what is referred to as reciprocal symmetrical interpersonal relation containing the solidarity semantic. The solidarity semantic in the form of Honorific-Honorific, or Non Honorific-Non Honorific is identical with judgment. Judgment What is meant by judgment is that both the addresser and the addressee employ either the reciprocal form Honorific-Honorific or Non Honorific-Non Honorific. In formal communication situation at the court, reciprocal symmetrical relation was identified. The dialogue was initiated by rhetorical questions addressed by a judge, Pilate. (11) Pilate asked him, “Are you the king of (11) Gubernur Pilatus mataken ring Ida: the Jews?” “You say it, answered “Apake saja jerone ene Ratun wong Jesus. Yahudine?” Pasaur Ida Hyang Yesus: (Luk. 23:3) “Ragane sane ngandikayang kadi asapunika.” (Luk. 23:3) Field of Discourse Birth of John, the Baptist, was notified; Pilate was in doubt about who actually Jesus was The birth of John, the Baptist, was notified Pilate was in doubt who actually Jesus was
Participants of Discourse: Social Stratification/Attitude A1: Pilate Judgment (position) A2: Jesus A1 A2 (title)
Means Terms of address of Discourse variation Question, SL: you Form of TL: jerone Respect, Dialogue
A1: Jesus (title) A2: Pilate (position)
Statement, Honorific, Dialogue: (conversation)
Judgment A1
A2
SL: you TL: ragane
In example (11) the position of Jesus as the accused suspected to break three things: (a) teaching things misleading the Jewish nation, (b) paying tax to the King, (c) stating that he himself, Christ, was a king. The rhetorical question addressed by Pilate, a Governor who also acted as Chief of the Religious Court, [judgment, normality (how unusual someone one is) hopeless] to Jesus was as follows: SL: Are you the king of the Jews?” TL: Apake saja jerone H ene Ratun wong Ya hudine? Are you the real King of Jewish? Jesus answered: SL: You say it TL: Ragane H sane ngandikayang kadi asapunika Do you say it In the turn-taking dialogue above the equivalent of you is in the form of Honorific: jerone and ragane, both of which are the forms of Honorific reciprocal: Middle Refined. The difference is that jerone is used to address a foreigner or someone who is unknown (Kersten, 1984:312). It was the first time for Pilate to meet Jesus at the session conducted at court. Jesus, on the other hand, used ragane to address Pilate, for two reasons. The first reason was that the atmosphere at court was formal. The second reason was that you may be made identical with ‘It is you yourself say it’ (Sembiring, 2005:701). The form of variation of address term of ragane ‘engkau’ or ‘anda’ chosen to address the Chief of Supreme Court was intended to place Him-self to be equal with (symmetrical) or at least not under the Pilate’s position [judgement, +powerful]. It is in compliance with what was accepted in the Christian theological ideology.
201
Frans I Made Brata
In addition to the form Honorific-Honorific, the form Non Honorific-Non Honorific was also identified in the non formal communication between the two criminals crucified at the same time as Jesus, as illustrated in example (12): (12) The other one, however, rebuked him, (12) Nanging anake corah sane lianan raris saying. “Don’t you fear God? You nglemekin timpalipune punika sapuniki: received the same sentence he did (Luk. “Tusingke cai takut teken Ida Sand 23:40) Hyang Widi wasa? Iraga jani patuh Ours, however, is only right because we paturu ngemasin ukuman. (Luk. 23:40) are getting what we deserve for what we Iraga tenenan sube pantes ngemasin did; but he has done no wrong. (Luk. ukuman, sawireh iraga nampi 23:41) karmapalan iragane. Nanging Anake ene tusing ngelah pelih. (Luk. 23:41) Field of Discourse Participants: Discourse Social Stratification/Attitude Pilate sentenced A1: the criminal Judgment Jesus to death on the left (social status) A1 A2 A2: the criminal on the right (social status) Pilate A1: the criminal Judgment Sentenced Jesus on the right to death A2: the criminal A1 A2 on the left
Means of Discourse Rhetorical question, Non Honorific, Dialogue
Terms of address variations SL: you TL: cai
Statement, Form of Non-honorific, Dialogue
SL : you TL : cai
Example (12) illustrates the event when Pilate decided to sentence Jesus, the crucified, to death. There were also two other criminals, one on his right and the other on his left. They were crucified as they were suspected of rebelling against the Roman government. The criminal on the right warned the one on the left for using insulting language as expressed in the following rhetorical question: SL: Don’t you fear God? TL: Tusing cai NH takut teken Ida Sang Hyang Widi Wasa? Don’t you fear God? Hearing that, the criminal on the left said: SL: …. because we are getting what we deserve for what we did; TL: …. sawireh iraga NH nampi karmapalan iragane It is time for us to accept what we have done. As far as the turn-taking of the two officials mentioned above is concerned, you is translated into cai and iraga, both of which are Non-honorific forms. The difference is that the former is the pronoun form of the second person singular and the later is the pronoun form of the second person plural. Iraga (we) is classified as the form of Non-honorific, as it cannot be used to address someone who is honorable (Kersten, 1984:481). Shift of Meaning Triggered by the Addresser’s Attitude What is meant by the shift of meaning triggered by the addresser’s attitude is the change in grammatical category made by the translator when rendering linguistic meaning to social meaning coherently (Brata, 2011b:40-41). It depends on situational context. Such a shift was identified from the addresser’s attitude of appreciation to affect, from affect to appreciation, and from appreciation to judgment.
202
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
Shift from Appreciation to Affect Prescriptively, someone coming from the inferior class should have used the form of Honorific to address someone coming from the superior class. However, it is not done as illustrated by the following example (13). (13) The people stood there watching while the 13) Anake akeh pada majujuk tur mabalih, Jewish leaders made fun of him: “He sadaweg para pemimpin Yahudine pada saved others; let him save himself if he is minjulin Ida, sapuniki pangucapnyane: the Messiah whom God has chosen!” “Anak lenan suba pada tulungina. Yen (Luk. 23:35) saja ia Sang Prabu Ane Kajanjian baan Ida Sang Widhi Wasa, ane jani apanga tulungina ibanne!” (Luk 23:35) Field of Discourse The event when Jesus was crucified
Participants of Discourse: Social Stratification/Attitude A1: the Jewish Affect (inferior) A1 A2: Crowd of : A3 people (inferior) A2
Means of Discourse Statement, LH, monologue
Terms of address variations SL: he TL: ia
Luke (23:35) told that Jesus was on the cross. The focus in such a situational context is the terms of address used to address Jesus by the Jewish people intended for the crowd. As the Jewish people did not believe in who actually Jesus was [-anxiety], the insulting language or satires which should have been used to address Jesus were used to address the crowd as illustrated in the following example: SL: if he is the Messiah … TL: Yen saja ia (NH) Sang Prabu … If he were actually a King … The insulting language used by the Jewish people to address Jesus who was being crucified [affect], due to their disbelief [insecurity], resulted in their anxiety [-anxiety]. Descriptively, the addresser’s attitude with negative sub dimension [-] was implemented in the translation of he into the form Non-honorific ia. Affect to Appreciation Unlike example (13), the negative addresser’s attitude [-] shifts to attitude with positive [+] in the situational context, as illustrated in example (14). (14) And he said to Jesus, “Remember me, (14) Raris ipun matur ring Ida Hyang Yesus: Jesus, when you come as King!” “Inggih Ratu Hyang Yesus, elingangja (Luk. 23:42) titiang yening iratu sampun madeg Ratu. (Luk. 23:42) Field of Discourse Change in attitude of an official towards Jesus
Participants of Discourse: Social Stratification/Attitude A1: the criminal Appreciation on the right A1 (inferior) A2: The Crucified Jesus A2 (superior)
203
Means of Discourse Statement, Honorific, Monologue
Terms of address variation SL: me – you TL: titiang - iratu
Frans I Made Brata
Cleopas, one of Jesus’ followers, did not recognize that Jesus had involved himself in their conversation. Jesus asked what they were conversing on the way home to Emaus. Being hopeless [social esteem, normality, - hopeless], Cleopas was in doubt about the resurrection of Jesus. He was deemed ‘foreigner’ [judgment] as stated in Luke 24:18. SL: Are you TL: Punapi wantah Jerone (H Middle) Is it true that you are the only foreigner …….?
the only man …? kawentenke …,?
The terms of address jerone is used to address someone who is unknown (Kersten, 1984: 312), Prescriptively, Cleopas should have addressed Jesus using the form Honorific: Refined iratu. The addresser’s attitude with negative sub dimension [- hopeless] caused you to be translated into jerone, as Jesus was someone who was unknown. The shift of the addresser’s attitude with positive sub dimension to attitude with negative sub dimension and vice versa, which was identified in examples (13), and (14) triggered by the addresser’s attitude.
CONCLUSION Transferring the message of the source language into a target language of the cultural terms of address in the Bible is not merely a matter of linguistic transfer, but of cultural transfer. The translator implemented the target language distinctive forms for representing certain emotive meaning. Asymmetrical relation and non-reciprocal dyad in turn-taking between superior and inferior was meant not only to emphasize self representation of the speaker’s role, but also conveying the meaning of power. Besides a rhetorical question, shifts in grammatical category from pronoun to noun / metaphor were often used with the meaning of imperative rather than informative. Meanwhile, in a dialogue reciprocal use of terms of address variants signaled meaning of solidarity, either mutual distance (by using variants in pronominal forms), or intimacy (by using variants in nominal forms). In addition, speaker’s attitude in a certain communication situation had neglected the addressee’s social status that resulted in shifts into degrees of distance or intimacy. Transferring cultural concept through selection of vocabularies in translation has made the translation not only accurate, and intelligible, but also acceptable in accordance with the linguistics norms and cultural value of the target language. In addition, not less important is that it was meant to have an impact to the intended reader.
NOTE *
I would like to thank an anonymous reviewer for very helpful comments on the earlier draft and valuable suggestions for the improvement of this paper. Any shortcomings remaining, however, are my own responsibility.
REFERENCES Baker, Mona 1992. In Other Words: A Coursebook on Translation. London: Sage Publication. Brata, Frans I Made. 2010a. “Terjemahan Sistem Sapaan Budaya Religi dalam Injil Lukas”. Unpublished disertation. Denpasar: Universitas Udayana. Brata, Frans I Made. 2010b. “Textual and Contextual Meanings in Translation.” Linguistika 17.33, 143-149. Brata, Frans I Made. 2011a. “Eksplisitasi Makna Pronomina Persona dalam Penerjemahan Teks Budaya Religi.” Pustaka XI.1, 92-104.
204
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
Brata, Frans I Made. 2011b. “Attitude, Word Choice, and Their Representations in EnglishBalinese Translation.” In: UNISSULA Journal, 29-42. Braun, Friederike. 1988. Terms of Address Problems of Patterns and Usage in Various Languages and Cultures. New York: Mouton. http://books.google.co.id Brown, Roger W. and Albert Gilman. 1960. “The Pronouns of Power and Solidarity”. Dalam J.A. Fishman (penyunting). Readings in Sociology of Language. Paris: Mouton. Farghal, Mohammed and Al-Masri, Mohammed. 2000. “Reader Responses in Quranic Translation” Perspectives: studies in Translatology, Vol. 8. No. 1, 27-39. Hong, Qian. 2007. “Investigating Unfaithful Translations via the Appraisal Theory – A Case Study of the Translations of Public Notices.” Online Address: www.wartahpi.org/ conference-program.pdf. Retrieved on June 05, 2009. Hope, David and Jonathan Read. 2004. “Appraisal Theory: (brief) overview of Systemic Functional Linguistic.” http://www.cogs.susx.ac.uk Kersten, Johannes P.1984. Bahasa Bali. Kamus Bahasa Lumrah. Ende – Flores: Nusa Indah. Kraft, Charles. H. 2000. Christianity in Culture: A Study in Dynamic Biblical Theologizing in Cross-Cultural Communication. New York: Orbis Book. Larson, Mildred. L. 1998. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-Language Equivalence. Lanham. New York. Oxford: University Press of America, Inc. Martin, J.R. 2000. Beyond Exchange: Appraisal Systems in English: Evaluation in Text. Oxford: University Press. Molina, Lucia & Albir, A.Hurtado. 2002. “Translation Technique Revisited: A Dynamic and Functionalist Approach”. Meta XLVII.4, 499-512. http://www.erudit.org Nida, Eugene and Taber, Charles 1969 (1974). Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J. Brill. Sembiring, Mehamat K. 2005. Pedoman Penafsiran Alkitab Injil Lukas: Diadaptasi dari A Handbook on The Gospel of Luke, karya J.Reiling dan J.L. Swellengrebel; dan A Translator’s Guide to the Gospel of Luke, karya Dr. Robert Bratcher. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia dan Yayasan Karuna Bakti Budaya Indonesia. White, Peter. Introductory Guide to Appraisal. 2001. Retrieved on June 05, 2009. http://www. grammatics.com.
205
Linguistik Indonesia, Agustus 2013, 207-208 Copyright©2013, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Tahun ke-31, No. 2
RESENSI BUKU Judul Editor Penerbit Tebal
: Discursive Approaches to Politeness : Kecskes, Istvan; Linguistic Politeness Research Group : Walter de Gruyter GmbH & Co. KG, Berlin/Boston. 2011. : 263 Halaman Mahardhika Zifana Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
Konsep kesantunan (politeness) merupakan ranah yang tak pernah berhenti menyumbangkan gagasan-gagasan penelitian dalam Linguistik, khususnya bidang Pragmatik. Buku ini seakan memberikan konfirmasi tentang luasnya cakupan ranah kesantunan melalui gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh Linguistic Politeness Research Group (LPRG) di dalam buku ini. Secara khusus, LPRG mengemukakan bahwa gagasan yang hendak mereka apungkan melalui buku ini mencoba untuk mendekatkan ranah kesantunan dengan pendekatan wacana. Selama beberapa tahun terakhir, gagasan pendekatan wacana telah berkembang dengan pesat. Sekurangnya, ini terkonfirmasi oleh munculnya karya-karya di bidang lain yang mengeksplorasi pendekatan wacana (mis. Hepburn & Wiggins, 2007; dan Kieran dkk., 2004). Gambaran umum dari pendekatan wacana ini juga diulas dan diperkaya kembali oleh Sara Mills pada bagian awal buku ini. Secara ringkas, Mills menjelaskan bahwa gagasan pendekatan wacana untuk analisis kesantunan berkaitan dengan analisis kontekstual terhadap kesantunan itu sendiri. Artinya, fokusnya tertuju pada makna bahasa yang digunakan untuk partisipan, dalam hal ini pembicara dan pendengar: apakah partisipan sendiri mengklasifikasikan ucapan-ucapan tertentu sebagai santun atau tidak santun, bagaimana mereka menilai orang lain, dan informasi dan isyarat apa yang menginformasikan keputusan tentang apakah seseorang telah berlaku santun atau tidak santun. Dalam hal ini, buku ini tampak mencoba melakukan pergeseran analisis kesantunan dari sistem pilihan yang dibuat oleh pembicara, ke analisis kesantunan berbicara yang berdasarkan konteks tertentu. Pendekatan wacana ini mungkin tidak serapi gagasan Brown dan Levinson (1987), tetapi esai Mills dalam kumpulan tulisan ini menunjukkan bahwa analisis ini lebih mampu menembus kerumitan perilaku komunikatif yang dilatarbelakangi unsur budaya, terutamka dalam konteks masyarakat tutur tertentu. Secara lebih operasional, Jonathan Cullpepper melanjutkan uraian umum Mills melalui contoh pendekatan ini dalam kajian kesantunan dengan menjadikan prosodi sebagai subjek studi. Dalam tataran operasional yang diistilahkan Cullpepper sendiri sebagai eclectic, kita bisa melihat bahwa prosodi dapat berkontribusi dalam menentukan level kesantunan. Walau demikian, contoh yang diberikan Cullpepper ini tidak mencakup pandangan interaksional. Ini tentunya berbeda dengan kajian kesantunan dan prosodi yang menggunakan pendekatan berbeda, atau terhadap pembicara dengan keterbatasan tertentu (mis. Monetta dkk, 2008:415). Selanjutnya, Sandra Harris, Jodie Clark, dan Louise Mullany lebih mengalaborasi aplikasi pendekatan wacana untuk analisis kesantunan dengan menggunakan latar-latar tempat sebagai contoh. Sangat menarik untuk mencermati bagaimana pendekatan ini digunakan untuk menganalisis kesantunan di ruang-ruang publik yang universal, seperti ruang sidang dan tempat kampanye. Secara khusus, Harris menekankan bahwa gagasan yang digunakannya sebagai contoh dalam buku ini dilatarbelakangi gagasan Bargiela-Chiappini (2003), salah seorang linguis yang menyarankan untuk mundur dari gagasan face dalam Brown dan Levinson (1987), dan kembali ke versi Goffman (1955), yang dianggap sebagai versi aslinya. Sayangnya, Harris sendiri tidak merinci dengan jelas operasionalisasi pendekatan wacana ini dalam konteks yang lebih luas.
Resensi Buku
Kemudian, sungguh menarik pula untuk memperhatikan bagaimana Grainger memaparkan penanganan strategi kesantunan tertentu, seperti indirectness, secara lebih rinci. Grainger sangat menekankan pemahaman dalam kontak antarbudaya, seiring dengan arus pendekatan wacana dalam kajian kesantunan. Grainger memungkas esainya dengan opini yang bijak bahwa implikasi gagasannya bagi teori kesantunan dan penelitian secara umum, adalah bahwa sesungguhnya kita mengambil pandangan berharga dari tiga ‘gelombang’ teori kesantunan. Hasil yang diharapkannya ialah adanya analisis interaksional yang sangat kaya data. Bagian selanjutnya dari Bethan L. Davies dan Andrew John Merrison semakin membuat buku ini menarik. Davis mencoba memperkuat nilai evaluasi dalam analisis kesantunan. Adapun Merrison menekankan penerapan metodologi interaksionis dalam studi kesantunan. Kontribusi keduanya di dalam buku ini tentu menambah luas perspektif untuk kajian kesantunan. Secara umum, kemunculan buku ini dapat dianggap sebagai ‘oase’ di tengah interpretasi dan analisis pragmatik yang didominasi oleh pandangan linguistik Eropa-Amerika. Gagasan lama yang sempat tenggelam, agar penelitian Pragmatik secara langsung menggunakan data tuturan yang sesungguhnya (dan dalam bahasa aslinya), mungkin dapat terangkat kembali melalui buku ini. Sebelum munculnya buku ini, Mills (dan Kadar, 2011) sudah pernah memunculkan kritik terhadap gagasan Brown dan Levinson. Sasaran kritik Mills dan Kadar ialah gagasan bahwa model Brown dan Levinson bersifat universal. Pun sebelumnya, Mills (2004) telah menganggap bahwa gagasan Brown dan Levinson menyamaratakan asumsi tentang kesantunan terhadap semua masyarakat tutur. LPRG ini tampaknya mencoba menyelaraskan Mills dengan linguis-linguis lain yang tidak sejalan dengan gagasan Brown dan Levinson, hingga muncullah buku ini. Pendekatan wacana pada hakikatnya tertuju kepada data otentik yang digali dari komunikasi yang berlangsung secara alami. Fakta menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan pada bahasa-bahasa Eropa, Amerika, dan Asia. Strategi Kesantunan dari Brown & Levinson yang menjadi target kritik secara umum dalam buku ini, harus diakui, memang tampak individualistik dan mencerminkan budaya Barat. Kritik ini juga ada dalam Aziz (2008). Kehadiran buku ini mungkin dapat lebih memperkaya perspektif dalam kajian terhadap kesantunan. REFERENSI Aziz, E. Aminudin. 2012. Tiga Dimensi Kesantunan Berbahasa: Tinjauan Terkini. Tersedia: http://aminudin.staf.upi.edu/2012/02/17/tiga-dimensi-kesantunan-berbahasa-tinjauanterkini/ [Akses 1 Maret 2013] Brown, Penelope and Levinson, Stephen C. 1987. Politeness: some universals in language usage. Cambridge: Cambridge University Press. Hepburn, Alexa and Wiggins, Sally. (Eds.) 2007. Discursive research in practice: New approaches to psychology and interaction. Cambridge: Cambridge University Press Kadar, Daniel Z. and Mills, Sara. (eds.). 2011. Politeness in East Asia. Cambridge: Cambridge University Press. Kieran, Carolyn, Forman, Ellice A., and Sfard, Anna. 2003. Learning discourse : discursive approaches to research in mathematics education. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers Linguistic Politeness Research Group (ed.). 2011. Discursive Approaches to Politeness (Mouton series in pragmatics; 8). Berlin/Boston: Walter de Gruyter GmbH & Co. KG. Mills, Sara. 2004. Discourse. London: Routledge, 2nd edition. 208
Linguistik Indonesia, Agustus 2013, 209-210 Copyright©2013, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Tahun ke-31, No. 2
JELAJAH LINGUISTIK Rubrik ini membuka peluang untuk saling berbagi di antara kita tentang beberapa kemungkinan topik ini: a. pencanangan metode penelitian linguistik yang belum lazim digunakan b. daur-ulang metodologi penelitian linguistik c. persoalan data yang – meskipun barangkali belum ditemukan pemecahannya – penelusurannya berpeluang membuka sesuatu yang baru yang belum pernah menjadi perhatian peneliti terdahulu d. penerapan teori linguistik tertentu untuk menjelaskan data bahasa seperti bahasa Indonesia yang membuat peneliti mempersoalkan teori yang bersangkutan
KLAUSA KECIL DALAM BAHASA INDONESIA? Yassir Nasanius Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
[email protected] Dalam bahasa Indonesia terdapat dua kemungkinan predikat seperti di bawah ini. (1) Ali mencintai Siti. (2) a. Ali seorang guru. b. Siti cantik. c. Ali dan Siti di rumah. Kalimat seperti pada (1) lazim disebut kalimat yang berpredikat verba, sedangkan kalimat seperti pada (2) kalimat yang berpredikat bukan verba. Kalimat seperti pada (2) sangat merepotkan bila dianalisis dengan Tata Bahasa Generatif (TBG). Perhatikan, misalnya, versi awal TBG (Chomsky, 1965) yang menyatakan bahwa kalimat dianalisis sebagai S → NP VP (atau versi mutahir TBG yang menyatakan bahwa kalimat dianalisis sebagai TP → NP T’; T’ → T VP). Analisis ini menyebutkan bahwa predikat harus diisi oleh VP. Dengan kata lain, tidak ada kaidah-kaidah seperti (3)-(5) untuk menghasilkan kalimat-kalimat pada (2). (3) S → NP NP (4) S → NP adjP (5) S → NP PP Di dalam banyak bahasa kalimat-kalimat berpredikat bukan verba seperti pada (2) tidak dapat digunakan sebagai kalimat yang berdiri sendiri. Di dalam bahasa Inggris, misalnya, kalimatkaliamat (6)-(8), sebagai padanan dari (2), berikut ini tidak gramatikal. (6) *Ali a teacher (7) *Siti pretty* (8) *Ali dan Siti at home Konstruksi-konstruksi seperti (6)-(8) hanya gramatikal dalam bahasa Inggris bila berfungsi sebagai klausa kecil (small clause).i Klausa kecil dapat didefinisikan sebagai klausa yang tidak berpredikat verba (verbless clause) seperti contoh (9) di bawah ini yang dikutip dari Balasz (2012:1). (9) Marcellus considered [Harold a great con man] Di dalam analisis TBG, (9) dihasilkan melalui kaidah-kaidah berikut ini, yaitu kalimat terdiri atas NP dan VP; VP terdiri atas V dan SC (small clause); dan SC terdiri atas NP dan NP.
Jelejah Linguistik
(10) (11) (12)
S → NP VP VP → V SC SC→ NP NP
Pertanyaan yang menarik untuk pemerhati sintaksis bahasa Indonesia. Apakah kalimat seperti Ali seorang guru dihasilkan oleh (a) kaidah (3) S → NP NP atau (b) kaidah (12) SC→ NP NP? Kalau memilih opsi (a), berarti untuk menghasilkan kalimat dalam bahasa Indonesia perlu ada kaidah (3)-(5) di samping kaidah (10). Kalau memilih opsi (b), berarti kalimat bahasa Indonesia perlu dianalisis terdiri atas dua jenis, yaitu (a) kalimat berpredikat verba yang dihasilkan melalui kaidah (10) dan (b) kalimat berklausa kecil, yaitu kalimat yang berpredikat bukan verba, yang dihasilkan dari kaidah berikut. (13)
SC→ NP NP/AdjP/PP CATATAN
i
Potts dan Roeper (2005) menyatakan bahwa klausa kecil dalam bahasa Inggris dapat berfungsi sebagai kalimat yang berdiri sendiri bila digunakan dalam dua macam konteks. Pertama, klausa kecil digunakan dalam konstruksi yang disebut Potts dan Roeper sebagai Expressive Small Clauses seperti contoh (i) berikut ini. (i) You idiot! Kedua, klausa kecil yang digunakan oleh anak-anak seperti contoh (ii). (ii) Me happy.
REFERENSI Balasz, Julie. 2012. The Syntax of Small Clauses. Unpublished Thesis. Cornell University. Chomsky, Noam. 1965. Aspects of the Theory of Syntax. MIT Press, Cambridge, Mass. Potts, Christopher and Roeper, Tom. 2005. The Narrowing Acquisition Path: From Expressive Small Clauses to Declaratives. To appear in Ljiljana Progovac, Kate Paesani, Eugenia Casielles, Ellen Barton, eds., The Syntax of Nonsententials: Multi-Disciplinary Perspectives. John Benjamins.
210
Linguistik Indonesia, Agustus 2013, 211-214 Copyright©2013, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Tahun ke-31, No. 2
BINCANG ANTARA KITA DARI DUNIA MAYA IHWAL AFIKS PENANDA GENDER BAHASA INDONESIA From:
[email protected] On Behalf Of mido_ardian Sent: Friday, February 24, 2012 3:40 PM To:
[email protected] Subject: [mlindo] IIhwal afiks penanda gender bahasa Indonesia
Saya ingin bertanya tentang afiks serapan bahasa Indonesia terkait gender, seperti -wan (pada sastrawan, bahasawan, fisikawan, dll.), -wati (pada karyawati, peragawati, dll.), -man (seniman), dan afiks bergenus pria-wanita lainnya. Jika dicermati, dikotomi gender tersebut terkadang membingungkan antara bias gender ataukah netral. Sementara itu, kita juga memiliki afiks yang lebih bersifat netral tanpa harus membedakan gender, seperti afiks pe- (untuk afiks yang menyatakan 'pelaku') pada kata pebalap, pekamus, pesenam, dll. Misalkan saya mereka-reka bentuk kata jadian baru dengan menggunakan afiks pe- sebagai afiks pembentuk nomina yang bergenus netral, bisakah istilah wartawan diganti menjadi pewarta (menurut saya ini lebih netral), dan berturut-turut istilah yang memiliki kecenderungan untuk bias gender juga digantikan, seperti pekarya (karyawan/karyawati), peseni (seniman), dll. Bagaimana tanggapan grup ini? Mohon penjelasannya. Salam, Ardian From:
[email protected] On Behalf Of Aisyah Novanarima Sent: Friday, February 24, 2012 10:22 PM To:
[email protected] Subject: Re: [mlindo] IIhwal afiks penanda gender bahasa Indonesia
Mas/ Pak, jika karyawan dan karyawati diganti menjadi 'pekarya', apakah tidak membuat pembaca dan pengguna bahasa "tertukar" dengan pembuat karya (seni/arsitektur) meskipun sudah ada 'peseni' ? From:
[email protected] On Behalf Of Steve Erman Bala Sent: Saturday, February 25, 2012 10:29 AM To:
[email protected] Subject: [mlindo] Re: IIhwal afiks penanda gender bahasa Indonesia
Masalah gender sebenarnya hanya masalah kebutuhan untuk membedakan. Tidak semua kata perlu diberi -wan/-wati. Sementara itu, tidak semua kata juga perlu penetral. Apakah kita membutuhkan "petani wanita", atau "petani" saja. Ini soal kebutuhan. Bahasa mencerminkan kebutuhan masyarakat penuturnya. Stephanus Erman Bala
Diskusi Ilmiah
PERSOALAN JENDER DALAM BAHASA INDONESIA From: "Yassir Nasanius"
Date: Wed, 18 Jan 2012 15:32:19 +0700 To: <[email protected]> Subject: [mlindo] Persoalan Jender dalam Bahasa Indonesia
Dear rekan-rekan di milis MLI, Ketika membaca surat kabar, saya sering bertanya-tanya apakah subjek berita tersebut seorang perempuan atau pria, terutama kalau nama dari subjek bisa ditafsirkan wanita atau pria. Sebagai contoh, perhatikan salah satu petikan berita di Kilas Metro di halaman 26 surat kabar KOMPAS edisi 18 Januari 2012. Saya mengira subjek berita ini adalah perempuan karena terpengaruh namanya, yaitu 'Herlian,' sedangkan Prof. Bambang Kaswanti menduga dia adalah laki-laki karena frasa 'memukuli Herlian' (mungkin karena perempuan jarang dipukuli). Keambiguan ini memang terjadi karena kata ganti 'dia' tidak mengidentifikasi jender dalam bahasa Indonesia, tidak seperti halnya dalam bahasa Inggris. Mohon pendapat rekan-rekan bagaimana mengidentifikasi jender dalam kasus seperti ini. Herlian (23) digiring sejumlah warga ke Kantor Polsek Koja Selasa siang. Dia kepergok sedang mencuri satu pemutar VCD dari rumah kontrakan yang sedang ditinggalkan penghuninya. Aksinya tersebut diketahui Asmin (39), penghuni kontrakan itu. Peristiwa itu terjadi saat Amin baru saja pulang menggarap sawah di kawasan Cilincing. "Saya sendiri yang melihat dia membawa tas dari kamar kontrakan saya. Langsung saya cegat dia untuk menunjukkan isi tasnya, dan ternyata di dalamnya ada VCD milik saya," tuturnya. Karena itu, Asmin mengaku, langsung meneriakinya maling. Warga setempat pun langsung menyergap dan memukuli Herlian, sebelum menggiringnya ke kantor polisi. From: [email protected] on behalf of Agus Santoso Sent: Rabu 18/01/2012 19:17 To: [email protected] Subject: Re: [mlindo] Persoalan Jender dalam Bahasa Indonesia
Saya merasa Herlian adalah seorang laki2 karena mendapatkan perlakuan "keras". Setelah saya berkonsultasi dgn Dr. Google, saya lebih diyakinkan bahwa nama Herlian adalah nama untuk laki-laki. Meskipun ada juga entry yg mengarah pada nama seorang wanita. Di kantor saya ada karyawan dengan nama Mulyani. Dalam sebuah ritret, Mulyani dikelompokkan (oleh HRD) dengan karyawan wanita. Namun, ketika sampai di tempat tujuan, semua peserta ritret yg wanita keberatan. Terutama teman kamar Mulyani. Mengapa? Karena Mulyani adalah seorang laki-laki. Panggilan populernya adalah Pak Mul. Saya juga memiliki teman dengan nama Ria Pardede yang juga seorang pria. Juga Atiek yang seorang pria. Juga Anti yang seorang laki-laki. Di Bali, saya memiliki teman wanita dengan nama Liliek. Ternyata banyak "kesalahan" pemakaian nama ya. Siapa yang salah? Salam, GAS
212
Linguistik Indonesia, Tahun ke-31, No. 2, Agustus 2013
From: "Yassir Nasanius" Date: Wed, 18 Jan 2012 19:30:06 +0700 To: <[email protected]> Subject: RE: [mlindo] Persoalan Jender dalam Bahasa Indonesia
Dear Pak Agus, Terima kasih telah memberi tanggapan atas pertanyaan saya. Yang menarik untuk saya, ketika nama-nama yang ambigu jender ini terdapat dalam teks, bagaimana membuatnya tidak ambigu jender? Ini karena pemakaian 'dia' dalam bahasa Indonesia tidak dapat dijadikan petunjuk kejelasan jender. Di dalam bahasa Inggris, setelah penyebutan nama yang ambigu jender ini, penulis/penutur harus jelas menunjukkan jender dengan memilih menggunakan pronomina 'she' atau 'he'. Salam karib, Yassir From: [email protected] On Behalf Of Agus Santoso Sent: Wednesday, January 18, 2012 7:34 PM To: [email protected] Subject: Re: [mlindo] Persoalan Jender dalam Bahasa Indonesia
Mungkin teks bisa diperbaiki sbb: Herlian, seorang pria berusia 23 tahun, digiring sejumlah warga ke Kantor Polsek Koja Selasa siang. Dia kepergok sedang mencuri satu pemutar VCD dari rumah kontrakan yang sedang ditinggalkan penghuninya... Salam, GAS From: [email protected] On Behalf Of Yassir Nasanius Sent: Wednesday, January 18, 2012 7:35 PM To: [email protected] Subject: RE: [mlindo] Persoalan Jender dalam Bahasa Indonesia
Setuju, Pak. Semoga para penulis berita di surat kabar paham pentingnya pengidentifikasian jender ini sehingga tidak membingungkan pembaca mereka. Salam, Yassir From: [email protected] On Behalf Of Agus Santoso Sent: Wednesday, January 18, 2012 7:53 PM To: [email protected] Subject: Re: [mlindo] Persoalan Jender dalam Bahasa Indonesia
Betul, Pak Yassir. Kita seharusnya menyediakan konteks yang jelas terhadap istilah yang kita pakai. Seperti dalam thesis, jika kita menggunakan kata baru yang unik untuk pertama kalinya, kata itu harus dijelaskan sehingga tidak menyebabkan keambiguan nantinya. Salam, GAS
213
Diskusi Ilmiah
From: [email protected] On Behalf Of Lusi Sent: Tuesday, January 24, 2012 9:13 AM To: [email protected] Subject: Re: [mlindo] Persoalan Jender dalam Bahasa Indonesia
menarik sekali diskusi ttg jender yg ambigu ini. Terkait dgn konteks, apakah mungkin para penulis berita itu menemui kesulitan ketika harus menulis dengan ruang teks yang terbatas? salam, Lusi From: [email protected] On Behalf Of Bambang Kaswanti Purwo Sent: Tuesday, January 24, 2012 11:03 AM To: [email protected] Subject: RE: [mlindo] Persoalan Jender dalam Bahasa Indonesia
Persoalannya kiranya bukan “ruang teks yang terbatas” tetapi kekurangpekaan penulis berita karena [sistem] bahasa kita memang tidak menuntut penuturnya untuk peka terhadap perbedaan gender. Kalau kepekaan itu disadari, tentunya tidak akan menulis dengan cara [A], melainkan cara [B] atau [C], atau kemungkinan yang lain lagi, tanpa memakan ruang. bk [A] Herlian (23) digiring sejumlah warga ke Kantor Polsek Koja Selasa siang. Dia kepergok sedang mencuri satu pemutar VCD dari rumah kontrakan yang sedang ditinggalkan penghuninya. [B] [Agus Santoso, Rabu 18/01/2012 19:33] Herlian, seorang pria berusia 23 tahun, digiring sejumlah warga ke Kantor Polsek Koja Selasa siang. Dia kepergok sedang mencuri satu pemutar VCD dari rumah kontrakan yang sedang ditinggalkan penghuninya... [C] Herlian (23) digiring sejumlah warga ke Kantor Polsek Koja Selasa siang. Lelaki itu kepergok sedang mencuri satu pemutar VCD dari rumah kontrakan yang sedang ditinggalkan penghuninya. From: [email protected] On Behalf Of Lusi Sent: Sunday, January 29, 2012 7:46 AM To: [email protected] Subject: Re: [mlindo] Persoalan Jender dalam Bahasa Indonesia
terima kasih atas pencerahannya, Pak.... informasi yang sangat bermanfaat. salam, Lusi
_
214
Linguistik Indonesia, Agustus 2013, 215-217 Copyright©2013, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
INDEKS PENULIS Adnyani dan Hadisaputra Amir Aziz Bowden Brata Fasya dan Suhendar Ibrahim Kurniawan Nasanius Wachidah
65 43 115 1 187 81 15 171 155 141
Indeks
INDEKS SUBYEK Adakah Konsep Finit dalam Bahasa Sunda? bahasa Sunda 171, 173, 174, 175, 176, 178, 179, 180, 181, 182, 183, bahasa Indonesia 171, 173, 174, 175, 176, 177, 180 kefinitan 171, 175, 176, 178, 179, 180, 181, 182, 183 subjek kentara 171, 182, 183 komplemen klausal 171
171
Akronim yang Berfonotaktik Tidak Lazim dalam Bahasa Indonesia akronim 187, 188, 189, 191, 192, 193, 194, 195, 198 fonotaktik 187, 188, 189, 191, 192, 193, 195, 196, 197, 198 suku kata 187, 188, 189, 191, 192, 193, 195, 196, 197, 198
187
Budaya Inti, Sikap Bahasa, dan Pembangunan Karakter Bangsa: Kasus Penutur Bahasa-Bahasa Daerah Utama di Indonesia budaya inti 115, 118, 119, 120, 124, 125, 127, 128, 129, 132, 135, 138, jati diri 115, 116, 117, 118, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 135, keindonesiaan 115, 117, 132,
115
Exploring Power and Solidarity Semantic in Translation of Cultural Terms of Address in the Bible 187 terms of address 187, 188, 189, 190, 191, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204 Balinese 187, 188, 189, 191, 193, 195, 200, 205 power semantic 187, 188, 189, 191, 193, 195, 196, 197, 198, 199 solidarity semantic 187, 188, 189, 190, 191, 193, 201 Language and Basic Education in Indonesia local language 1, 2, 3, 4, 10, 12 education 1, 2, 3, 4, 7, 10, 12, 13 Indonesian educational system 1, 3
1
Pemerolehan Negasi Seorang Anak Dwibahasa Indonesia-Jerman pada Umur 1;2 sampai 3;0 pemerolehan 65, 66, 68, 69, 79 dwibahasa 65, 66, 79 negasi 65, 66, 67, 69, 74, 75, 76, 77, 78, 79 Plagiarisme dalam Kata-Kata Mahasiswa: Analisis Teks dengan Pendekatan Fungsional plagiarisme 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152 transitivitas 141, 144, 145, 152 tindakan 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152 objek 141, 142, 146, 147 lingkup situasi 141, 142 Representasi Kekuasaan dalam Tuturan Elit Politik Pascareformasi: Pilihan Kata dan Bentuk Gramatikal kekuasaan 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 60, 62 pengungkapan 43, 58 elit politik 43, 44, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 62 The Sentence Connectors in Academic English and Indonesian sentence connectors 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 164, 166, 167, 168, 169 academic English 155, 156, 157, 164, 166, 168, 169 academic Indonesian 155, 157, 158, 160, 164, 166, 167, 168
216
65
141
43
155
Linguistik Indonesia, Tahun ke-29, No. 2, Agustus 2011
Tiga Tataran Ergativitas dalam Bahasa Tae’ 15 ergatif 15, 16, 19, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 31, 32, 33, 34, 35, 37, 38, 39 absolutif 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 25, 28, 29, 30, 32, 34, 35, 36, 39 relasi sintaktis 15, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39 Variabel Sosial sebagai Penentu Penggunaan Makian dalam Bahasa Indonesia 81 variabel sosial 81, 82, makian 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102 karakteristik penutur 81
217
Terima Kasih Redaksi Linguistik Indonesia mengucapkan terima kasih kepada para mitra bebestari yang telah berkenan mereview artikel-artikel yang diterbitkan dalam Linguistik Indonesia edisi Februari dan Agustus 2013, yaitu: 1. Bambang Kaswanti Purwo
Unika Atma Jaya
2. Faizah Sari
Unika Atma Jaya
3. Patrisius Istiarto Djiwandono
Universitas Ma Chung
4. Katharina Endriati Sukamto
Unika Atma Jaya
5. Siti Wachidah
Universitas Negeri Jakarta
6. Yassir Nasanius
Unika Atma Jaya
7. Yanti
Unika Atma Jaya
8. Frederick John Bowden
Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, Jakarta Field Station
9. Timothy McKinnon
Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, Jakarta Field Station
10. Rindu Parulian Simanjuntak Jakarta, Agustus 2013 Redaksi Linguistik Indonesia
Peneliti Lapangan
FORMAT PENULISAN NASKAH Naskah diketik dengan menggunakan MS Word dikirimkan ke Redaksi melalui e-mail [email protected] atau dalam bentuk disket dan satu printout. Panjang naskah, termasuk daftar pustaka, adalah minimal 15 halaman dan maksimal 30 halaman, dengan spasi tunggal dan jenis huruf Times New Roman 11 point. Naskah disertai dengan abstrak sekitar 150 kata dan kata kunci (keywords) maksimal tiga kata. Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa: bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, diletakkan setelah judul naskah dan afiliasi penulis. Kutipan hendaknya dipadukan dalam kalimat penulis, kecuali bila panjangnya lebih dari tiga baris. Dalam hal ini, kutipan diketik dengan spasi tunggal, menjorok ke dalam (indented) sepuluh karakter, letak tengah (centered), dan tanpa tanda petik. Nama penulis yang dirujuk hendaknya ditulis dengan urutan berikut: nama akhir penulis, tahun penerbitan, dan nomor halaman (bila diperlukan); misalnya, (Radford 1997), (Radford 1997:215). Catatan ditulis pada akhir naskah (endnote), tidak pada bagian bawah halaman (footnote). Setiap rujukan baik artikel maupun buku tanpa dipilah-pilah jenisnya, diurutkan menurut abjad berdasarkan nama akhir, tanpa diberi nomor urut. Untuk buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5) tahun penerbitan, (6) titik, (7) judul buku cetak miring, (8) titik, (9) kota penerbitan, (10) titik dua (colon), (11) nama penerbit, dan (12) titik, seperti pada contoh berikut: Gass, Susan M. dan J. Schachter. 1990. Linguistic Perspectives on Second Language Acquisition. Cambridge: Cambridge University Press.
Thornbury, Scott. 2005. Beyond the Sentence: Introducing Discourse Analysis. Oxford: Macmillan.
Untuk artikel dalam jurnal: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5) tahun penerbitan, (6) titik, (7) tanda petik buka, (8) judul artikel, (9) titik, (10) tanda petik tutup, (11) nama jurnal cetak miring, (12) volume, (13) titik, (14) nomor (kalau ada), (15) koma, (16) spasi, (17) halaman, (18) titik, seperti pada contoh berikut: Chung, Sandra. 1976. “An Object-Creating Rule in Bahasa Indonesia.” Linguistic Inquiry 7.1, 41-87. Steinhauer, Hein. 1985.“Number in Biak. Counterevidence to Two Alleged Language Universals.” Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkenkunde 141.4, 462-485. Untuk artikel dalam buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) nama pertama, (4) titik, (5) tahun penerbitan, (6) titik, (7) tanda petik buka, (8) judul artikel, (9) titik, (10) tanda petik tutup, (11) berilah kata "Dalam", (12) titik dua, (13) nama editor disusul (ed.), (14) koma, (15) halaman, (16) titik. Buku ini harus pula dirujuk secara lengkap dalam lema tersendiri, seperti pada contoh berikut: Dardjowidjojo, Soenjono. 2007. “Derajat Keuniversalan dalam Pemerolehan Bahasa.” Dalam: Nasanius (ed.), 233-261. Nasanius, Yassir. (ed.). 2007. PELBBA 18. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Jika ada lebih dari satu artikel oleh pengarang yang sama, nama pengarangnya ditulis ulang secara lengkap, dimulai dengan tahun terbitan yang lebih dulu, mengikuti contoh ini: Shibatani, Masayoshi. 1977. “Grammatical Relations and Surface Cases.” Language 53, 789- 809. Shibatani, Masayoshi. 1985. “Passives and Related Constructions: A Prototype Analysis.” Language 61, 821-848.