Masalah Batas-batas Bangsa 1 Usman Pelly (IKIP Sumatera Utara)
Abstract
In the first part of this article, the author presents theories about the concept of nation which has been developed since the early 20th century. By presenting these theories the author aims to reveal the ambiguities of the concept of nation that has been developed by various scholars. The explanation focuses only on certain group in the society, whereas the subject contains psychological and emotional values which are difficult to be examined objectively. Another prob-lem is the construction of the concept of nation based on more than one dis-course. The author describes further the explanation of the concept of nation from the anthropological viewpoints. Malinowski relates the concept of nation to the existence of ethnic groups. Leach and Barth revise Malinowski's concept in their discussion about ethnic boundaries. Within the political and historical discourses, the concept of nation relates to the objective and subjective relations with the state as developed by Mill and Renan. In the post Second World War, the concept of nation is associated with the emergence of nation-states,the presence of social awareness of colonialism and set upon many ethnic groups as stated by Anderson. At the end, the author depicts the problem faced by the Indonesian in their efforts to maintain the 1
Makalah untuk dipresentasikan pada Widyakarya Nasional “Antropologi dan Pembangunan,” 26-28 Agustus 1997, di Jakarta
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
1
existence of their nation-state and provides alternatives to solve the problem.
Pendahuluan Dalam sebuah diskusi panel yang disponsori oleh Euroseas (European Association for South East Asia Studies) bulan Juli 1994 yang lalu di Leiden, setelah saya me nyelesaikan presentasi, dan moderator mempersilahkan peserta untuk memulai diskusi, mendadak seorang yang bernama Dr. Martin van Bruismen mengajukan pertanyaan: 'Bagaimana perasaan anda sebagai seorang Minangkabau menjadi seorang Indonesia?' Saya menjawab dengan singkat, '...ya, saya bangga!'. 'Bagaimana dengan orang Jawa dan orang Ambon,apakah mereka sama bangganya?' '...Yah tentu saja' jawab saya ketus". 'Tetapi, apakah kebanggaan anda dan orang Ambon itu sama saja dengan orang Jawa?' Nah, saya mulai melihat ke arah mana pertanyaan itu akan menjurus. Dugaan saya itu benar saja setelah dia mulai menambahkan keterangan,'.... bukankah sebagai orang Jawa umpa manya, untuk sekian puluh tahun ini, mung-kin akan punya kesempatan yang lebih besar untuk menjadi presiden daripada anda, dan orang Ambon itu?' Saya langsung menjawab,'....mungkin saja, tetapi, apakah saudara pikir masalah 2
itu yang paling penting untuk kami selesaikan sekarang?' Saya sendiri, terus terang, menjadi tidak enak dihadapkan kepada pertanyaanpertanyaan yang tendensius semacam itu. Bukan karena sulit menjawabnya, tetapi, seakan kita dihakimi di negeri orang! Kejadian yang juga menarik adalah pada sebuah diskusi yang dilaksanakan oleh European Colloquim on Indonesian and Malaysia , di hari kedua setelah penganugerahan gelar Doctor HC kepada Bapak Sartono Kartodirjo di Humboldt University, Berlin, tanggal 20 Juni 1996. Seorang antropolog dari Itali yang katanya telah melakukan penelitian di Nias dan Flores, dengan lantang menyatakan bahwa menurut hasil penelitiannya,' .... Indonesia is not a nation, but only a state....' Keruan saja sejarawan Taufik Abdullah yang kebetulan hadir waktu itu mendadak berang. '.... Anda baru meneliti Nias dan Flores, dua dari ribuan pulau kami..., entah berapa lama di sana....telah berani mengambil kesimpulan seceroboh itu...! dst,...dst,...!' Walaupun saya sudah sejak tahun 70-an di Leknas Gondang mengenal Pak Taufik, tetapi baru kali itu saya 'menikmati' kemarahannya di dalam sebuah seminar internasional.
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
Begitulah masalah bangsa, apalagi pembicaraan menukik kepada masalah batas-batas bangsa, tidak hanya muskil, tetapi juga seakan 'menghakimi' kita, karena itu dapat menimbulkan salah kaprah dan kerawanan emosional. Tetapi bagaimanapun tulisan saya ini baru merupakan sebuah pengamatan awal mengenai masalah batas-batas bangsa, maka saya dapat berharap akan banyak mendapat masukan dan kritik. Tulisan ini yang dirasuki oleh pengalaman-pengalaman diatas, sebaiknya mungkin dimulai dengan catatan berkenaan dengan masalah batas-batas etnis, kemudian baru menyusul dengan batas-batas bangsa dan negara-bangsa (nation-state), akhirnya mengenai perspektif kehidupan bangsa ke depa n. Sebagai pengamatan awal sengaja ini belum memuat kesimpulan Batas -batas Etnik Kajian klasik Malinowski (1922, 1941) memandang kelompok etnik sebagai suatu kasatuan budaya dan teritorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan kedalam sebuah peta etnografi. Setiap kelompok memiliki batas-batas yang jelas (well-defined boundaries), memisahkan satu kelompok etnik dengan lainnya. Secara de -facto masing-masing kelompok itu memiliki budaya yang padu
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
(cultural homogenity). Menu-rutnya satu kelompok etnik dapat dibedakan dengan yang lain baik dalam organisasi kekerabatan, bahasa, agama (sistem kepercayaan), ekonomi, tradisi (hukum), maupun pola hubungan antar kelompok etnik, termasuk dalam pertukaran jasa dan pelayanan. Atas dasar kajian ini, Malinowski mengembangkan asumsi bahwa kelompok etnik merupakan prototipe 'bangsa' (nation). Dia menegaskan bahwa batas-batas suatu bangsa dapat dituangkan ke dalam sebuah peta etnografi2. Apabila asumsi Malinowski (1941) ini dapat diterima maka batas-batas suatu bangsa akan dapat ditentukan dengan sangat jelas (well-defined boundaries), karena masing-masing bangsa di samping memiliki batas-batas administrasi teritorial, juga memiliki batas-batas ' de facto ' budaya dan keturunan (ras). Sebab itu pula, suatu bangsa dengan bangsa lain menurut 2
Walaupun kajian Malinowski kaya dengan data tangan pertama dan muncul dari perspektif kelompok masyarakat yang ditelitinya, tetapi fokus studinya sangat terkait dengan interdependensi antar lembaga budaya (institution of cultures), bukan antar kelompok masyarakat setempat (lihat Levine dan Campbell, 1972:82-84).
3
kajian Malinowski ini, tidak hanya dapat dibedakan dari batas-batas teritorial, tetapi juga dari karakteristik budaya seperti organisasi sosial, bahasa, agama, sistem kepercayaan, ekonomi, hukum, dan pola kerjasama dengan bangsa lain. Seperti kelompok etnik, menurut menurut Malinowski, maka bangsa merupakan suatu satuan keturunan atau ras yang padu (homogen). Asumsi-asumsi Malinowski di atas, terutama yang menganalogikan batas-batas etnik dengan bangsa, mungkin sekali dipengaruhi oleh situasi Eropa sesudah revolusi Peran-cis dan perang Napoleon. Seperti yang akan dikemukakan kemudian dalam tulisan ini, munculnya bebe-rapa negara di Eropa seperti Jerman, Perancis, Itali dan Polandia banyak dikaitkan dengan kesatuan keturunan (ras), bahasa dan karakteristik budaya lainnya. Asumsi Malinoswki menge -nai batas-batas etnis di atas ternyata didukung oleh penemuan-penemuan dan kajian empiris yang dilakukan kemudian oleh Edmund Leach (1954), Jack Goody (1956), Frederik Barth (1969), atau Michael Moerman (1965, 1968). Seperti dinyatakan oleh Southall (1970) bahwa tidak seperti yang semula diduga oleh Malinowski, batasbatas kelompok etnis ternyata sangat ambigu dan sukar ditetapkan. Kelompok-kelompok etnik bukan selalu merupakan suatu kelompok (tribe) yang sederhana dengan
budaya yang tersusun rapi serta wilayah teritorial yang definitif, serta mudah dibedakan batas-batasnya satu dengan lain. Bahkan menurut Barth (1969) kelompok-kelompok etnik tidak hanya didasarkan pada teritorial yang ditempatinya atau suatu sistem rekrutmen baku yang diberlakukan, tetapi pada pernyataan dan pengakuan yang berkesinambungan mengenai identifikasi dirinya. Masih menurut Barth, batas-batas etnik dewasa ini telah melintasi kehidupan sosial budaya kelompok lain dan melahirkan pola tingkah laku dan hubungan sosial yang kompleks. Bagaimana mengidentifikasi, bahwa seorang itu adalah anggota kelompok tertentu? Jawabannya ialah apabila dia memiliki kriteria yang sama dalam penilaian dan pertimbangan (evaluation and judgement). Dua faktor inilah, menurut Barth yang paling fundamental yang memung-kinkan sesama mereka dapat melakukan 'playing the same game' yang disebutnya sebagai batas-batas sosial (social boundaries) (Barth 1969:15). Dengan demikian, maka batas-batas etnik yang paling penting menurut Barth adalah batas-batas sosial, walaupun masing-masing me-reka memiliki teritorial sendiri. Dengan demikian, maka batas-batas etnik yang paling penting menurut Barth adalah batas-batas sosial, walaupun masingmasing mereka memiliki teritorial sendiri.
4
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
Sementara itu, Levine dan Campbell (1972) mengurut jumlah kendala yang menyulitkan untuk menelusuri batas-batas etnik, seperti: 1). Adanya wilayah antar penetrasi komunitas etnik; 2). Terjadinya kesinambungan variasi dalam karakteristik budaya dan bangsa masing-masing kelompok etnik; 3).Kesukaran dalam mendapatkan persetujuan bersama terhadap batasbatas etnik dan label yang dipergunakan; 4.) Maraknya kehidupan lintas komunitas etnik, terutama di bidang ekonomi dan perdagangan; 5.) Adanya perubahan-perubahan identitas dan gaya hidup terutama di daerah perkotaan. Pada zona-zona pemukiman perkotaan, terutama di sekitar pusat perdagangan dan industri, karena ke padatan dan mobilitas penduduk yang tinggi serta persebaran anggota berbagai kelompok etnik, bermunculan pula berbagai 'pengelompokan pemu-kiman etnik segregatif' (enclave ethnic settlement cluster) (Pelly 1983). Keadaan ini tidak memung-kinkan untuk menarik garis kesinam-bungan batas-batas teritorial etnik. Sekarang, apa yang dapat dijadikan garis pembatas kelompok-kelompok etnik ini? Menurut Levine dan Campbell (1972) garis pembatas itu adalah 'ideologi etnik', seperti nama kelompok, kepercayaan (mitologi) terhadap keturunan dan asal usul. Beberapa karakteristik lainnya yang
memudahkan untuk membedakannya ialah dialek bahasa, ekologi kehidu-pan ekonomi (mode of subsistence), budaya material, organisasi sosial, agama dan gaya hidup. Seperti diketahui pula persebaran dan mobilitas sosial, telah mendorong terjadinya proses akulturasi antar etnik yang cukup 'intent'. Perkawinan antar etnik, multi bahasa, perkembangan teknologi komunikasi yang telah melahirkan budaya 'pop' dan elektronik telah mempertinggi kompleksitas kehidupan kelompokkelompok etnik dan jauh berbeda dari kehidupan zaman Malinowski.
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
5
Batas -batas Pengelompokan Bahasa dan Unsur Budaya Lainnya. Apa yang terbentuk dalam kehidupan masyarakat yang kompleks itu ialah sikap sosial yang menerima perbedaan-perbedaan yang ada, seperti dalam penggunaan berbagai bahasa (daerah) atau tumbuhnya situasi di mana orang dapat memakai lebih dari satu bahasa (multi languages), baik dalam interaksi antar individu maupun dalam pewarisan nilai budaya. Situasi ini akan menyukarkan anggota-anggota kelompok etnik dalam mempertahankan satu label etnik sebagai identitas diri atau untuk menetapkan siapa ' insider ' dan 'ekspresi' identitas gaya hidup telah ber-
langsung sepanjang waktu terutama karena pertumbuhan ekonomi dan perdagangan yang telah melintasi batas-batas komunitas etnik Apakah ini tanda-tanda suatu ' melting pot '? Tidak juga!. Tidak ada yang mencair dalam wadah kehidupan antar kelompok etnik. Masing-masing mereka tetap mempertahankan identitas etniknya. Yang terjadi adalah 'reduksi' (pengurangan) ekspresi etnik menjadi sangat kontekstual (Bruner 1974; Pelly 1983, 1995). Sebagaimana dikemu-kakan oleh Moynihan dan Glazer (1963) dalam kasus kehidupan antar etnik/ras di New York, bahwa melting pot (peleburan diri kelompok-kelompok etnik kecil ke dalam kelompok etnik dominan) tidak pernah terjadi. Menurut mereka ' melting pot ' itu hanyalah sebuah mitos. Yang terjadi ialah berkembangnya kehidupan budaya yang semakin majemuk (cultural pluralism). Masing-masing anggota kelompok 'menerima' dan 'memberi' suatu untuk melengkapi kebutuhan dan tuntutan lingkungan yang terus berubah. Perubahan-perubahan sosial dan budaya kehidupan etnik yang berjalan cepat itu menyebabkan sebagian anggota-anggota kelompok etnik tersebut atau meninggalkan teritorial etniknya, mengembara di negeri orang. Seperti orang-orang Yahudi di Eropa dan Amerika, orang Cina di Asia Tenggara, atau orang Minang-
kabau dan Batak di Indonesia. Munculnya istilah 'etnik diaspora' (anggota-anggota etnik yang tercerabut dari tanah leluhurnya dan tersebar di tempat lain), telah menambah kompleksnya fenomena kehidupan kelompok etnik (Safran 1991; Jusdanis 1991). Semua ini mempersukar untuk membuat garis batasbatas etnik yang jelas. Keadaan etnik diaspora ini sama sekali telah menepikan asumsi-asumsi Malinow ski bahwa batas-batas bangsa dapat ditelusuri seperti menelusuri batasbatas etnik.
6
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
Permasalahan Batas -batas Bangsa Kajian-kajian klasik antropo-logi dalam menelusuri batas-batas bangsa pada mulanya sangat terpe-ngaruh pada kajian batas-batas etnik, seperti yang dilakukan oleh Mali-nowski (1922). Padahal, tidak semua kebe radaan bangsa umpamanya, merupakan suatu 'given' seperti halnya kelompok etnik. Walaupun tidak dapat dibantah, bahwa sejarah kela -hiran bangsa (nation) di Eropa teruta-ma setelah revolusi Perancis dan perang Napoleon itu tidak dapat di-pisahkan dari kelahiran kelompok-kelompok etnik menjadi bangsa (nation) waktu itu sangat erat ka -itannya dengan kebangkitan suatu kelompok etnik (Rustow 1968):
'By nation mean an ethnic group that (1) share one or more identifying characteristics, such as language, religion, racial background, culture, and (2) is politically mobilized and for amenable to such mobilization'3 Kiranya dapat dimaklumi, apa bila konsep nasionalisme yang muncul dari sejarah pengalaman Eropa menekankan 'to make the boundaries of the state and those of the nation coincide' (Minoque 1967). Dengan berimpitnya batasbatas 'state' dan 'nation' (ethnic), maka akan tercipta kesetiaan (loyali-ty) yang kukuh kepada negara bangsa (nation state) yang bersangkutan (Koln,1968). Sejarah kebangkitan na -sionalisme di Eropa juga merujuk kepada perjuangan kemerdekaan kelompok-kelompok etnik dari domi-nasi kelompokkelompok (etnik) penjajah dalam usaha membentuk negara etnik yang berdaulat. Dalam beberapa kasus, batas3 Pengertian bangsa dan kebangsaan secara historis pada awalnya mengikuti model Eropa (early European models), lihat Encyclopedea of Sociology, vol. 3, Edgar F. Borgatta (ed.), MacMillan Publishing Company, NY, hal. 1333.
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
batas bangsa (nation boundaries) memang sepenuhnya merujuk kepada kelompok etnik tertentu yang dominan dalam suatu negara, seperti Thailand (negara orang Thai mendominasi kelompok minoritas lainnya seperti kelompok pegunungan Karen); Jepang (negara orang Jepang yang mendominasi kelompok etnik minoritas Ainu); begitu juga Rusia (negara orang Rusia yang mendominasi, kelompok etnik lainnya seperti Chechnya), dan seterusnya. Di sini, konsep bangsa dan negara sepenuhnya berimpit (coincide) dan merujuk kepada satu kelompok etnik yang dominan. Malahan contoh negara etnik yang paling ekstrim terdapat di negara bagian selatan Sudan, Eritrea atau Tibet. Di kedua negara ini keseluruhan kombinasi, faktor-faktor rasial, agama, bahasa, budaya, dengan teritorial berimpit. Dengan demikian, batas-batas bangsa dalam peta (map) sepenuhnya merupakan batasbatas budaya dan ras, etnik atau bangsa yang bersangkutan. Daya perekat kesatuan bangsa-bangsa tersebut adalah keseluruhan faktorfaktor teritorial, etnik budaya. Tetapi ironisnya, makin besar faktor-faktor yang berimpit (coincide) itu, disamping makin kukuh kesatuan mayoritas penduduknya tetapi juga semakin besar pula kemungkinan 'cacat sosial' (social fault) terhadap kelompok-kelompok etnik minoritas lain 7
yang bergabung dalam negara bangsa tersebut. Perkembangan Konsep Bangsa Gerakan anti kolonial abad XX yang merambah ke Asia, Ame rika Latin dan Afrika, menyebabkan perkataan bangsa memiliki arti dan konsep yang sangat 'ambigu', sama dengan arti dan konsep yang demokrasi. Kata bangsa yang diterjemahkan dari 'nation' berasal dari kata latin nasci yang berarti 'dila hirkan' (to be born). Pada awalnya berarti 'sekelompok orang yang lahir di suatu tempat yang sama' ( a group of people born in the same place). J. Stuart Mill (1861 : XVI), kemu-dian memperluas arti dan konsep bangsa dengan menyatakan, bangsa itu adalah: 'A portion of mankind if they are united among them-selves by common sympathies, which do not exist between them corporate which each other more willingly than other poeple desire to be under the same goverment, and desire that it should be goverment by them-selves or a portion themselves, exclusively'.
8
Para penulis dan ahli teori di bidang politik, ternyata sangat sedikit memberikan penjelasan me -ngenai arti dan konsep bangsa; ba-gaimana bangsa itu berkembang dan menemukan dirinya. Walaupun tidak dapat dipungkiri pula bahwa masalah bangsa seperti juga masalah demokrasi sangat penting dalam teori politik dan menjadi tema perdebatan polemik sesama mereka. Tetapi, orang lebih dapat memahami 'penje lasan' (explanation), dari pada 'definisi' (definition) dari kata bangsa itu. Para pakar membedakan antara karateristik obyektif dan karakteristik subyektif kebangsaan (nationhood). Karakteristik obyektif ialah wilayah teritorial, sejarah dan struktur ekonomi; sedang karakteristik subyektif, ialah kesadaran (consciousness), kesetiaan (loyalty) dan ke mauan (will) (Wright, 1942: 992; Rustow, 1992). Karakteristik obyektif untuk penjelasan (explanation). Ahli-ahli ilmu sosial, menambahkan bahasa, agama, pemerintah sendiri, dan beberapa faktor lingkungan lainnya, kepada karakteristik obyektif. Akan tetapi, aspek-aspek tersebut banyak yang menganggap sebagai faktor-faktor untuk mema jukan perasaan kebangsaan (nationhood). Menurut John S. Mill seperti yang diutarakan dalam definisi bangsanya, karakteristik subyektif le bih penting dan menentukan kesaANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
tuan dan kekukuhan suatu bangsa. Umpamanya Swiss, rakyatnya mempergunakan tiga bahasa yang berbeda, tetapi sebagai suatu bangsa, mereka tetap kompak dan bersatu. Berbeda dengan Irak dan Kuwait satu bahasa dan agama, tetapi terus menerus bermusuhan. Kebangsaan (nationalhood) adalah suatu bentuk loyalitas yang sifatnya fluktuatif, dapat turun dan naik. Berdasarkan pemikiran ini, adalah menarik untuk memperta-nyakan orang-orang yang masih berdo-misili, lahir dan kerja di Indo-nesia umpamanya, tetapi tidak memiliki kesadaran, kesetiaan dan kemauan untuk membangun Indo-nesia. Masih dapatkah mereka dikua -lifikasikan sebagai orang Indonesia? Dengan kata lain, apakah mereka yang memiliki karakteristik obyektif, tetapi tidak memiliki karakteristik subyektif, apakah mereka masih pula dapat dikategorikan sebagai orang Indonesia? Bagaimana sebaliknya, mereka yang tinggal di luar negeri, lahir di negeri asing dan berusaha di negeri itu, tetapi memiliki kesadaran, loyalitas dan kemauan membangun Indonesia. Apakah orang-orang semacam ini (di luar masalah KPT) dapat menyatakan dirinya sebagai orang Indonesia? Atau dengan pernyataan lain, siapa di antara mereka yang berada 'di dalam' dan siapa pula yang 'di luar' batas-batas bangsa itu? Kebangsaan bukanlah suatu 'state of
being' tetapi suatu 'state of becoming'; 'nationhood is a form of loyalty which is a matter of degree'. Dengan demikian, untuk meningkatkan 'degree' kebangsaan dapat dilakukan dengan meningkatkan kadar karakteristik subyektif (kesadaran, kesetiaan dan kemauan) dan dilengkapi dengan menyatukan unsur-unsur karakteristik obyektif (wilayah teritorial, sejarah dan ekonomi) (Lubis 1994). Apakah kedua macam karakteristik kebang-saan itu dapat dilihat sebagai batas-batas bangsa? Mengikuti batas-batas etnik Barth (1969) bukanlah karak-teristik objektif itu dapat dianggap sebagai batas-batas material, sedang-kan karakteristik subjektif sebagai batasbatas sosial suatu bangsa?
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
9
Negara Bangsa (Nation State) Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, negara bangsa merupakan 'penemuan baru' setelah Perang Dunia II, yang muncul dari gerakan kemerdekaan kelompok-kelompok etnik. 'Kebetulan', kelompok-kelompok etnik ini disatukan dalam satu kesatuan administrasi kolonial (tanpa kema-uan mereka), sebelum mereka memperoleh kemerdekaan4. Pada 4
Nasionalisme Indonesia pada tingkattingkat pertama, merujuk kepada nasionalisme sempit bersifat lokal, kedaerahan dan kesukuan (etnik) seperti
waktu mereka memproklamirkan kemerdekaan atau 'diberi' status kemerdekaan oleh bekas penjajah mereka, maka batas-batas bangsa yang dinyatakan merdeka itu adalah bekas wilayah kesatuan administrasi kolonial tadi. Oleh karena itu, batasbatas objektif bangsa itu adalah batas-batas historis satuan wilayah kolonial. Nasionalisme Indonesia, seperti juga negara-negara Asia Tenggara lainnya mempunyai basis historis pada kolonialisme (Kartodirdjo 1993:230). Dalam kasus India dan Pakistan umpamanya pada saatsaat kemerdekaan akan diumumkan (1947) orang-orang India Muslim di lembah sungai Indus (Barat) dan sungai Gangga (Timur) dibawah pimpinan Ali Jinnah memisahkan diri dan memproklamirkan kedua bagian anak benua itu sebagai 'na-tionstate' Pakistan yang merdeka. India 'terpaksa' menyatakan kemerdekaannya tanpa kedua bagian wila yah itu. Begitu juga dengan kasus Singapura yang memisahkan diri dari Malaysia. Atau, yang lebih spektakuler lagi, rubuhnya Uni Sovyet menjadi lusinan 'nation-state'. Memang, pendirian berbagai 'nation-state' pasca Perang Dunia II itu, ba-nyak serikat Ambon, Roekoen Minahasa, Pasundan, Soematra, Jawa dan lain-lain. Lihat S.Kartodirdjo Sejarah Pergerakan Nasionalisme, jilid 2, PT. Gramedia.
10
yang bersifat arbiter, rekayasa ektern dan imaginer (Anderson 1991). Banyak kelompok-kelompok etnik yang memisahkan diri sebelum atau sesudah nation-state itu Dalam beberapa kasus negarabangsa, seperti Indonesia, perasaan kebangsaan (nationalism) sebagai 'state of mind' (Koln 1944), telah lahir jauh sebelum negaranya (state) diproklamirkan. Setidaknya ada dua momen sejarah yang dapat dirujuk sebagai kelahiran 'bangsa' Indonesia. Pertama 'Manifesto Politik' oleh Perhimpunan Indonesia (PI) yang dicetuskan di negeri Belanda tahun 1927 (Ingleson 1993), dan yang kedua Sumpah Pemuda tahun 1928 yang diikrarkan dalam Kongres Pe-muda di Jakarta 1928. Kedua peristiwa sejarah ini telah merekat dan mengembangkan 'a sense of belongingness' semua kelompokkelompok etnik terhadap kepentingan bangsa yang dilahirkan itu (Brinton 1950). Seperti dinyatakan oleh Saafruddin Bahar (1995: 77) bahwa kelompok etnik adalah unsur fungsional yang melahirkan suatu bangsa. Memang yang berbahaya adalah perasaan etnosentrisme atau premordialisme yang mengukur sega la sesuatu dari kepentingan etnik dan kelompok premordialnya. Kebhine kaan entitas etnik baik dari segi aga ma, bahasa dan budaya merupakan aset yang berharga untuk meningANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
katkan kreatifitas dan dinamika. Kebhinekaan ini tidak akan mengancam kesatuan bangsa, sepanjang mereka merasa mendapat 'tempat' dan perla kuan dengan aturan main yang tidak diskriminatif. Apabila suatu kelompok etnik (bagaimanapun kecilnya) diperlakukan diskriminatif, maka mereka tidak merasa punya 'tempat' dalam kehidupan bangsa itu. Mereka mulai merasa dikeluarkan dari batas-batas bangsa itu, atau merasa berada diluar batas-batas bangsa itu, atau merasa berada diluar batas-batas bangsa itu, walaupun secara fisik mereka masih berada didalam wilayah teritorial bangsa yang bersangkutan. Dapat dimaklumi apabila Franz Magnis Suseno (1995:14) secara eksplisit menyatakan bahwa ketidakadilan sosial umpamanya adalah ancaman jangka panjang yang serius terhadap kesatuan dan persatuan sosial. Seperti diungkapkan sebelumnya, loyalitas terhadap kebangsaan itu adalah 'a matter of degree', bukan sesuatu 'given' (sesuatu yang sudah jadi) atau s' tate of being', tetapi sesuatu 'state of becoming'. Masalah yang melekat pada keadilan sosial adalah masalah pembentukan bangsa, yang dikenal sebagai 'nation and character building', sesuatu masalah integritas nasional, yang harus dikembangkan terus menerus (Moetoyib, 1995:452). Kapan seseorang atau suatu
kelompok berada pada posisi outside dan inside dari batas-batas bangsanya? Tergantung pada bagaimana mereka melihatt batas-batas bangsanya itu. Apabila mereka merasa tidak memiliki tempat yang wajar dalam 'nation state' itu, maka mereka merasa 'orang asing' di negerinya sendiri. Atau, ingin merebut kembali 'tempat' yang diperhitungkannya adalah miliknya sebelum bergabung ke dalam negara bangsa itu. Beberapa 'pemberontakan' dan pergolakan daerah dapat dirujuk pada preposisi ini.
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
11
Menghadapi masa depan kehidupan bangsa: belajar dari sejarah Pluralisme dan anti kolonialisme merupakan tonggak sejarah yang mendorong para pendiri (founding fathers) Republik Indonesia untuk bersikukuh menetapkan struktur 'nation-state' yang dilahirkan sebagai negara kesatuan yang merde -ka dan berdaulat. Dalam rentang sejarah kemerdekaan yang cukup panjang (52 tahun), arus globalisasi ternyata tidak melemahkan 'nation-state' Indonesia, seperti yang dira-malkan oleh para futurulog (Naisbitt 1994), walaupun menguatnya 'nation state' itu tidak terjadi dengan sendi-rinya. Bahkan menurut Korff (1994:44), globalisasi dengan ban-tuan teknologi
komunikasi, akan me-nemukan jati diri keanekaan dari masing-masing kelompok etnik pada sebuah negara kebangsaan. Earnest Renan seorang pemikir Perancis menjelaskan, walaupun 'common history' merupaka n salah satu dasar berdirinya suatu bangsa, tetapi Renan dengan jujur juga menyatakan: '...but it is important that some things be forgetten too, for until old wounds have healed, the sense of sharing a common heroic tradition will be lacking' (Benn, 1967:442). Kutipan diatas mengemukakan Benn untuk menunjukkan dua point yang dianggapnya sangat penting. Pertama, sejarah sebagai rumusan atau rekaman masa lalu bukanlah reproduksi steril tentang apa yang telah terjadi, tetapi dia lebih merupakan rekonstruksi dan reformulasi dari penulis atau penutur sejarah. Disamping sumber sejarah bukan hanya satu dan sering pula bertentangan, tetapi juga, kredibilitas penutur sejarah dipandang dari masingmasing kelompok masyrakat, sehingga kebenaran historis sering terkendala oleh faktor-faktor tersebut. Kedua, seperti yang dikemukakan Renan: 'something must be forgotten' dalam rangka mengobati
12
luka lama dan trauma. Seperti diulas kemudian oleh Lubis (1994), selama luka lama dan trauma masa lalu masih ditutup-tutupi dan tidak langsung ke sumber penyakitnya, dan bukan hanya mere-dam letupan keluarnya, maka cara ini hanyalah seperti mengobati kan-ker dengan handyplast warna warni. Pluralisme dan historis bukan berarti bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang tertumpu pada kesepa -katan historis antar 'kelompok etnik yang dominan' (dominant cultural group) dengan kelompok-kelompok minoritas, tetapi sebuah tekad etis dan historis untuk menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan kehidupan bersama (Suseno 1995). Seperti yang diungkapkan oleh Anwar Ibrahim (1996): "…Nation can actualy grow and prosper by ascepting the fact of cultural diversity, strengthening themselves by learning about their different as well as by reinforcing the values they share in common'. Negara-negara di Asia dalam menghadapi modernisasi dan indus trialisasi, menurut Juergeusmayer (1993) telah mengambil sikap yang sangat 'balance'. Mereka memodernisir diri tanpa meninggalkan
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
bahkan meningkatkan semangat moralitas agama dan budaya masingmasing yang disebutnya sebagai 'religious nationalism'. Pendapat ini dikuatkan oleh Anwar Ibrahim (199627): "…Our drive towards modernization and industriali-zation must be balanced by a firm belief in positive traditional value and a conciousness to protect the environment'. Nasionalisme Indonesia tidak hanya bertumpu pada rumusan formal suatu kon-stitusi atau konvensi filosofis yang sekuler, tetapi pada moral dan ajaran yang lebih kudus , yang dapat bertahan terhadap arus globalisasi. Demikianlah, batas-batas
bangsa (nation) tidak hanya dapat dilihat dari aspek-aspek material dan objektif, tetapi dapat juga dilihat dari aspek sosial dan subjektif. Sementara itu, yang juga tidak kalah pentingnya ialah persepsi orangorang yang ada dalam wadah bangsa itu. Apakah mereka masih merasa berada didalam atau sudah diluar batas-batas bangsa itu. Apakah mereka masih merasa berada di dalam atau sudah di luar batas-batas bangsa itu. Apabila sebuah negara bangsa (nation state) sebagai sesuatu yang sengaja diciptakan oleh sejarah dan loyalitas terhadapnya sebagai suatu 'a matter of degree', maka yang penting difikirkan ialah hanya bagai-mana meningkatkan loyalitas itu, tetapi juga mengapa ada orang yang harus meninggalkan loyalitas itu.
Kepustakaan Anderson, B. 1991 Imagined Communities: Reflections on Origin and Spread of Nationalism. London: Verso. Bahar, S. 1995 'Ketahanan Nasional Sebagai Doktrin Dasar Nasional: Basis, Posisi, dan Dukungan Teori', dalam Menanggapi Tantangan Masa Depan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Barth, F. 1969
Ethnic Groups and Boundaries: the Social Organization of Culture Difference. Boston: Little Brown.
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
13
Benn, S.I. 1967 'Nationalism' dalam The Encyclopedia of Philosophy, Paul Edwards, (ed). New York: MacMillan and the Free Press. Glazer, N. dan Patrick I.M. 1975 Beyond the Melting Pot: the Negros, Puerto Ricans, Jews, and Irish of New York City. Boston: MIT Press. Good, J.R. 1956 Social Organization of the Lo Wiili. Her Mayesty's Stationary Offices. Ibrahim, A. 1995 The Asian Renaissance. Singapore, KL: Times Books International. Ingleson, J. 1991 Perhimpunan Indonesia dan Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Grafiti Press. Juergenasmayor, M. 1992 The New Coldivac: Religious Nationalism Confronts the Secular State. Berkeley: University of California Press. Jusdanis, G. 1991 'Greek Americans and the Diaspora', Diaspora, 1(2) Fall 1991, p.209. Kartodirdjo, S. 1993 Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Kolonialisme sampai Nasionaisme. Jilid 2. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Koln, H 1967
The Idea of Nationalism: a Study in its Origins and Background. New York: MacMillan.
Korff, R. 14
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
1991
'Globalization and Urban Change', dalam Populasi 5(1): 36-46.
Leach, E.R. 1954 Political Systems of Highland Burma. London: G. Bell. Levine, R.A dan D.T. Campbell 1972 Ethnocentrism: Theories of Conflict, Ethnic Attitudes, and Group Behavior. New York: John Wiley & Sons, Inc. Malinowski, B. 1941a Argonouts of the Western Pacific. New York: Dutton. 1941b
'An Anthropological Analysis of War'. American Journal of Sociology pp 46, 521-550.
Mill, John Stuart 1956 Considerations on Repressentative Government. New York: Leberal Arts. Minoque, K. R 1967 Nationalism, New York: Basic Books. Moerman, Michael 1965 'Ethnic Identification in a Complex Civilization: Who are the Lue?.' American Antrhropologist, (67), 1215-30. Moerman, Michael 1967 'Being Lue: Uses and Abuse of Ethnic Identification', dalam J. Helm (ed.), Essays on the Problem of Tribe, Seattle: Univ. of Washington Press. Moetajib 1991
Reaktualisasi Pembauran Bangsa Guna Peningkatan Ketahanan Nasional, dalam Menanggapi Tantangan Masa Depan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
15
Naisbitt, John 1994 Global Paradox, Victoria: Allen and Unwin.
Pelly, Usman 1983 Urban - Migration in Indonesia, Ph.D. Dissertation, Urbana Champaign: University of Illinois. 1984
Wawasan Kebangsaan dalam Era Globalisasi, makalah Seminar Pengembangan Sumber Daya Manusia, Uniland, Medan.
1985
Urbanisasi dan Adaptasi, Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, Jakarta: LP3ES.
Rustan, Dankwart A 1968 'Nation', dalam International Encyclopedia of Social Science, David L. Sills (ed.) Vol. 11. hal.1-13. Sofran, William 1991 'Diasporas in Modern Societies: Myths of Homeland and Return', dalam Diaspora, Vol.1, No.1, spring 1991, p.83. Smith, Anthony D 1967 Theories of Nationalism, London: Duckwarth. Southall, A.W 1968 'Ethnic Incorparation among the Alur', dalam From Tribe to Nation in Africa, Scanton R.Cohen and J. Middleton (eds), Pa: Chandler. Wright, Q 1942 A Study of war, Vol & II, Chicago: University of Chicago Press.
16
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998