MAKALA-KALAAN DALAM PAWIWAHAN DI SANGGAH GEDE DESA ADAT KEROBOKAN KECAMATAN KUTA UTARA KABUPATEN BADUNG OLEH: Ni Made Rai Yeni
[email protected] Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Pembimbing I Drs.I Gede Rudia Adiputra, M.Ag Pembimbing II Jro Ayu Ningrat, S.Ag.,M.Ag ABSTRAK Upacara keagamaan yang terbesar dalam Agama Hindu berjumlah lima golongan yang disebut dengan Panca Yajnya, yaitu : Dewa Yajnya, Pitra Yajnya, Rsi Yajnya, Bhuta Yajnya dan Manusa Yajnya. Upacara perkawinan termasuk dalam manusa yajnya. Pada upacara pawiwahan terdapat upacara Makala-kalaan yang mempunyai keunikan tersendiri. Desa Adat Kerobokan terdapat keunikan yaitu suatu Pawiwahan yang prosesi Upacara Makala-kalaan dilaksanakan di Sanggah Gede. Adapun signifikasi rumusan permasalahan tentang bentuk, fungsi, dan makna Makala-kalaan dalam Pawiwahan di Sanggah Gede Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Pemecahan rumusan masalah tentang Makala-kalaan dalam Pawiwahan di Sanggah Gede Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung dengan menggunakan metode kualitatif, menggunakan teknik pengumpulan data seperti observasi, wawancara, dokumentasi dan studi kepustakaan. Bentuk Makala-kalaan di sanggah gede, sarana yang dipakai meliputi : Pebersihan, Isuhisuh, Amel-amel, Sasak mentah, Satu tanding soroan,Lis babuu, padma, tirtha pabyakaonan, Kekeb, daksina, Tikeh dadakan, gegaluh, peras mejapit tumpeng 7, 11. Tempat pelaksanaannya di sanggah gede pada hari yang telah ditentukan, prosesi upacaranya dipimpin oleh pemangku yang diawali dengan separikramaning pemujaan oleh pemangku, pabyakaonan, panglukatan, menggigit lis, merobek tikeh dadakan, mengelilingi tetimpug, natab banten pekala-kalaan, terakhir mandi di sungai. Fungsi religius yaitu menyucikan bibit mempelai wanita dan mempelai laki-laki, fungsi sosial adanya interaksi sosial yang kuat dengan sistem menyama braya, fungsi biologis yaitu pemenuhan hasrat biologis untuk melakukan swadharma perkawinan dalam rumah tangga. Makna filosofis yaitu kesucian, kebersamaan, pengorbanan, makna moralitas tingkal laku yang harus diterapkan dalam menjalani kehidupan berumah tangga, dan makna penyatuan dua energi kama bang dan kama petak untuk melahirkan anak yang suputra, sehingga tercapainya keluarga yang harmonis, damai dan sejahtera. Kata Kunci : Makala-kalaan., Sanggah Gede., Pawiwahan PENDAHULUAN Sudharta dan Atmaja (2001: 62) disebutkan bahwa Manusia yadnya yaitu pengorbanan suci yang ditujukan untuk kesempurnaan hidup manusia. Kesempurnaan hidup manusia dapat
dilakukan dengan adanya penyucian diri manusia itu sendiri. Penyucian wajib dilaksanakan sebagai usaha untuk mengendalikan diri dan memperbaiki serta menyempurnakan karmanya terdahulu maupun sekarang. Upacara penyucian diri dapat dilakukan antara lain dengan upacara megedong-gedongan, upacara kelahiran, upacara peguntingan (menggunting rambut), otonan (peringatan hari kelahiran), matatah (potong gigi), pawiwahan (perkawinan). Menurut Sudarsana (2005: 2-3) disebutkan bahwa pawiwahan berasal dari kata wiwaha yang berarti meningkatkan kesucian dan spiritual. Upakara perkawinan dipergunakan berbagai sarana upacara, seperti berbagai jenis banten, tirtha, api atau dupha, kewangen, cecepan, penastan, tetabuhan (arak, berem) dan sebagainya. Menurut Titib (1990) dikatakan bahwa upacara perkawinan lazim disebut wiwaha samkara. Upacara ini dilakukan seseorang setelah menamatkan masa Brahmacari Asrama. Pendit (1995 :99) menjelaskan berbagai jenis perkawinan menurut ungkapan-ungkapan kitab suci Veda antara lain arsa-vivaha (perkawinan yang dilakukan, dan orang tua dari mempelai wanita menerima “mas kawin” dari pihak keluarga pria berupa seekor sapi atau sepasang lembu betina dan jantan. Prajavati-vivaha (pemberian mas kawin secara sukarela dan tulus hati dari keluarga orang tua pria kepada orang tua wanita). Mas kawin ini diterima dengan senang hati disertai dengan ucapan terimakasih, Gandharwa-vivaha (perkawinan yang dilaksanakan atas dasar suka sama suka, saling mencintai, dan kedua insan ini dinyatakan telah dewasa pasangan masing-masing serta dianggap syah oleh masyarakat). Rakshasa-vivaha (perkawinan yang agak ekstrim yakni dengan cara memaksa). Paisaca-vivaha (perkawinan pria dengan tuna susila atau prostitusi). Pada kalangan masyarakat khususnya generasi muda Hindu di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung upacara pawiwahan belumlah dapat dipahami secara benar, karena pengaruh globalisasi dan pengaruh-pengaruh dari agama luar yang sekarang telah meluas, sehingga generasi muda Hindu melakukan hal-hal yang belum boleh dilakukan seperti pergaulan yang tanpa kontrol. Selain faktor di atas, pada upacara pawiwahan terdapat upacara makala-kalaan yang mempunyai keunikan tersendiri. Pelaksanaan upacara makala-kalaan terlihat seperti anak balita yang berjualan (dagang-dagangan), mempelai pria dan wanita saling tawar menawar jualan, ada perobekan tikeh dadakan dengan keris, selain itu kedua mempelai dimandikan di sungai. Selain prosesi upacara makala-kalaan unik, di Desa Adat Kerobokan juga terdapat keunikan lain yaitu suatu Pawiwahan yang prosesi Upacara Makala-kalaan dilaksanakan di Sanggah Gede. Sehingga dari prosesi tersebut berakibat munculnya beberapa persoalan terkait dengan upacara makala-kalaan di Sanggah Gede serta penggunaan simbol tertentu sebagai cirri khas Desa Adat Kerobokan. Karena sebagaimana diketahui bahwa kedua mempelai itu disebut sebel dan tidak boleh memasuki kawasan suci seperti Sanggah Gede, namun menurut adat desa Kerobokan secara turun temurun diadakan di Sanggah Gede. Adapun signifikasi penelitian ini adalah berupaya mengungkap apakah bentuk, fungsi, dan makna makala-kalaan dalam Pawiwahan di Sanggah Gede Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Rumusan masalah dari penelitian makala-kalaan dalam Pawiwahan di Sanggah Gede Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung yaitu : bagaimana bentuk makala-kalaan dalam Pawiwahan di Sanggah Gede Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung?, apa fungsi makala-kalaan dalam Pawiwahan di Sanggah Gede Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung?, dan apa makna makala-kalaan dalam Pawiwahan di Sanggah Gede Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung?
METODE Menurut Suryabrata (2003 :10) disebutkan bahwa Metode adalah suatu cara untuk menghasilkan fakta-fakta dan teori-teori yang tersusun baik untuk mencapai tujuan. Metode dalam penelitian menjadi sangat penting untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Menurut Sudikin (2002 : 2) disebutkan bahwa penelitian kualitatif diharapkan mampu menghasilkan suatu uraian mendalam tentang ucapan, tulisan, dan perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok masyarakat, dan suatu organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif dan holistik. Penelitian jenis data kualitatif ini menggunakan informan yang merupakan sumber data berupa manusia yang dipilih secara purposif. Penentuan informan dalam penelitian dilakukan secara selektif yang layak untuk dijadikan sebagai informan yang tentunya mengetahui dan mampu memberikan informasi seluasluasnya tentang makala-kalaan di Saggah Gede. Penelitian mengenai Makala-kalaan dalam Pawiwahan di Sanggah Gede Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung menggunakan tekhnik Purposive Sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono,2011 : 85). Metode Pengumpulan Data merupakan suatu cara yang digunakan untuk memperoleh data atau mengumpulkan data. Dalam penelitian ini, tekhnik pengumpulan data yang dipergunakan adalah dengan observasi, interview (wawancara), dokumentasi, dan studi kepustakaan. HASIL PENELITIAN 1.1 Bentuk Makala-kalaan dalam Pawiwahan di Sanggah Gede Desa Adat Kerobokan Adapun pembahasan mengenai bentuk dari makala-kalaan dalam pawiwahan di Sanggah Gede yaitu : (1) Sarana makala-kalaan di Sanggah Gede, (2) Tempat dan Waktu Pelaksanaan makala-kalaan di Sanggah Gede, (3) Proses makala-kalaan di Sanggah Gede, dan (4) Pelaku makala-kalaan di Sanggah Gede. 1.1.1 Sarana Makala-kalaan di Sanggah Gede Sarana yang dipakai dalam makala-kalaan di Sanggah Gede yaitu: 1) Banten Pebersihan, yang terdiri dari : (1) Sisig adalah sebagai alat pembersihan gigi dan dibuat dari sejenis jajan atau jaja gina yang dibakar sampai hangus sehingga warnanya menjadi hitam. (2) Ambuh, adalah merupakan alat keramas atau pencuci rambut yang dari daun kembang sepatu yang disisir halus. (3) Kekosok putih, adalah merupakan alat untuk menggosok badan yang dibuat daripada tepung beras yang dicampur dengan kunir dan kunyit. (4) Minyak kelapa wangi, adalah dimaksud untuk meminyaki rambut. (5) Tepung Tawar, adalah sebagai alat untuk memudahkan (menawarkan) segala noda, dosa atau kotoran. Tepung Tawar terbuat dari daun dadap, kunir, dan beras yang ditumbuk menjadi halus. (6) Bija sebagai penyempurnaan bahan-bahan diatas, dengan penghargaan agar selalu mendapat rejeki, keselamatan serta terhindar dari segala macam bahaya. Biasanya disini dilengkapi dengan tetebus yang dibuat dari benang putih dan fungsinya sebagai alat pengikat. Bija terbuat dari beras yang dicuci bersih kemudian dicampur dengan bunga-bungaan yang harum serta disisir halus.
Pebersihan ini alasnya dipakai ceper dan tiap-tiap alat pebersihan seperti di atas masing-masing dialasi dengan sebuah celemik, yang semuanya ada dalam ceper tersebut. 2) Isuh-isuh merupakan sebuah ceper yang berisi sebutir telur ayam yang masih mentah, sapu lidi yang kecil, sapu dari serabut kelapa yang dijepit dengan bambu, sebuah base tulak (ramuan yang dibuat dari daun kayu tulak), kayu sirih, ilalang yang masih hijau, daun dadap, daun padang lepas; yang dialasi dengan sebuah tangkih. 3) Amel-amel yaitu sebuah limas yang berisi tiga lembar daun dadap, ujung dadap, padang lepas, dan seet mingmang dari ilalang, lalu semuanya diikat dengan benang tridatu (benang 3 warna yaitu warna merah, putih dan hitam). 4) Sasak mentah sebuah limas yang berisi tiga pulung nasi yang disirami dengan darah mentah, dan bumbu-bumbuan yang dihaluskan, yang disebut dengan istilah basa Rajang. 5) Satu tanding soroan yang terdiri dari : peras kecil, tulung sesayut, serta masing-masing berisi nasi lengkap dengan lauk pauknya, dan lain-lainnya. Soroan ini akan ditempatkan pada masing-masing arah atau mata angin (pangidering bhuana), yaitu: (1) Arah timur memakai nasi penek atau nasi pulung yang berwarna putih dan lauk pauknya juga dari daging ayam putih. (2) Arah selatan memakai nasi nasi penek merah serta daging ayam merah (siap biying). (3) Arah barat memakai nasi penek kuning dan daging ayam siyungan (ayam yang kakinya berwarna kuning), karena tidak ada ayam yang bulunya berwarna kuning. (4) Arah utara memakai nasi penek yang hitam dan dagingnya ayam hitam. (5) Arah tengah memakai nasi penek berumbun (gabungan dari keempat warna yaitu putih, kuning, merah dan hitam) dan dagingnya ayam berumbun. 6) Lis babuu (Lis amu-amuan), yang terdiri dari tangga menek tangga tuun, jan sesapi, lawat buah lawat nyuh, lilit linting, tulung, bingin, ancak, ambengan, tipat pusuh, tipat tulud, basing wayah, basing nguda, dinding payung, laad (terdiri dari buah, daun, sembah, siku, entud, kukun kambing, tampak nangkleng aneh), tipat lelasan, tipat lepas, takep jit, dan sabuk. 7) Sebuah padma, sejenis jejahitan dari busung yang gunanya untuk menciptakan tirtha yaitu tirtha pabyakaonan. 8) Kekeb (alat untuk menutupi nasi pada waktu menanak) tungku dan tiga buah tetimpug, yaitu dibuat dari seruas bambu yang pada ujungnya masih terdapat buku-bukunya dengan baik, sehingga kalau dibakar nanti akan dapat mengeluarkan suara atau meletus. 9) Peras mejapit dengan tumpeng 11 dan 17 10) Gegaluh sejenis jejahitan dibawah gegaluh di isi nasi cacahan 11) Daksina berisi don keladi 12) Tikeh dadakan, sebuah tikar kecil yang dibuat dari daun pandan yang masih hijau. 1.1.2 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Makala-kalaan di Sanggah Gede Tempat dan waktu pelaksanaan makala-kalaan di sanggah gede sesuai dengan tradisi yang telah berlangsung secara turun temurun. Tempat pelaksanaan makala-kalaan yang dilakukan di sanggah gede diyakini mempunyai makna untuk memperkenalkan mempelai wanita kepada leluhur sehingga mendapatkan ijin dari leluhur agar mempelai wanita secara sah bisa melaksanakan segala kegiatan upacara keagamaan. Waktu pelaksanaan makala-kalaan di sanggah gede yaitu dengan menanyakan dewasa ayu (hari baik) dalam melaksanakan upacara tersebut ke pemangku. Pemangku selanjutnya memberikan beberapa pilihan hari baik sehari atau
dua hari sebelum upacara mejaya-jaya dan biasanya dilakukan pada hari yang sama. Dalam mencari pedewasan, yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: sasih, penanggal dan panglong, wuku, wewaran, pewatekan, ingkel, dawuh, arah perjalanan, larangan-larangan yang patut dihindari dan tidak diperbolehkan, caru dewasa atau caru sasih. Pelaksanaan makala-kalaan di Sanggah Gede memang secara turun temurun sudah dilaksanakan seperti di atas, akan tetapi semenjak tahun 2011 ada perubahan pelaksanaan makala-kalaan yang semula dilakukan di sanggah gede menjadi di natar halaman rumah, sehingga sarana banten juga berubah, hal ini karena ada penyuluhan kepada Sarati dan pemangku se-Desa Adat Kerobokan. Realita yang ada di lapangan, masih adanya pelaksanaan upacara pawiwahan, makala-kalaan dilakukan di sanggah gede, menurut observasi peneliti belum adanya perubahan secara total. 1.1.3 Proses Makala-kalaan di Sanggah Gede Proses makala-kalaan di Sanggah Gede dilaksanakan di natar Sanggah Gede yang dipimpin oleh pemangku dengan urutan tata caranya yaitu: 1) Diawali dengan separikramaning pemujaan oleh pemangku yaitu menyucikan upakara makala-kalaan dan ditujukan kepada Bhatara Hyang Guru. Mempelai dalam posisi duduk di belakang pemangku. 2) Setelah itu kedua mempelai berdiri dan menuju ke tetimpug (sebagai simbol Sang Hyang Brahma) dengan posisi berdiri dan melaksanakan mebyakaonan sebagai fungsi menyucikan kedua mempelai, setelah itu mempelai bergantian menduduki sambuk kelapa dan di tendang ke belakang. Dalam hal ini dibantu oleh Sarati banten. 3) Prosesi panglukatan. Prosesi ini di lakukan setelah prosesi mabyakaonan, dan di pimpin oleh pemangku dengan menyirami kedua mempelai. Posisi kedua mempelai yaitu menunduk dan pemangku menyirami kedua mempelai dengan lis. Prosesi panglukatan ini juga merupakan prosesi pembersihan terhadap kedua mempelai. 4) Setelah selesai prosesi panglukatan, kedua mempelai secara bergantian menggigit Lis. Selanjutnya prosesi merobek tikeh dadakan dengan memakai keris. Prosesi perobekan tikeh dadakan dengan cara mempelai perempuan memegangi tikeh dadakan dan mempelai laki-laki menusuk sampai merobek tikeh dadakan tersebut. Simbol perobekan tikeh dadakan bermakna bahwa pemecahan selaput dara si wanita. 5) Selesai rangkaian tersebut, mempelai pria mengambil daksina berisi don keladi dan mempelai wanita membawa gegaluh, dan mengelilingi tetimpug tersebut sebanyak 3 kali ke arah kanan. Setelah selesai memutari tetimpug, gegaluh yang dipegang mempelai wanita di buang ke jaba sanggah gede, sedangkan daksina dan don keladi di buang di depan tetimpug. Gegaluh simbol dari mempelai wanita, dan daksina isi don keladi simbol dari mempelai pria. 6) Selanjutnya kedua mempelai duduk di belakang pemangku dan melakukan prayascita, mempelai duduk menghadap upakara. Selanjutnya pemangku memuja banten yang ada, mempelai bersembahyang lalu diupakarai dengan pembersihan, dan dilanjutkan dengan natab banten pakala-kalaan. Setelah natab, kedua mempelai mandi di sungai dan berganti pakaian yang bersih layaknya orang yang akan diupacarai.
1.1.4 Pelaku Makala-kalaan di Sanggah Gede Pelaku makala-kalaan di sanggah gede merupakan orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan makala-kalaan yaitu pemangku, Sarati banten, dan pengantin. 1) Pemangku merupakan orang suci dalam makala-kalaan, yang bertugas sebagai memimpin acara dari awal sampai akhir, dengan mengucapkan mantra-mantra untuk menyucikan sarana upakara, dan untuk berkomunikasi dengan Bhatara Hyang Guru. 2) Sarati Banten, merupakan orang yang mempersiapkan segala upakara yang diperlukan, dan untuk membantu pelaksanaan makala-kalaan di sanggah gede. 3) Kedua mempelai yang menjalani proses makala-kalaan di sanggah gede, tugasnya yaitu menuruti semua arahan yang diberitahu oleh pemangku. 2.1 Fungsi Makala-kalaan dalam Pawiwahan di Sanggah Gede Desa Adat Kerobokan Kata fungsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki beberapa arti : (1) jabatan (pekerjaan) yang dilakukan, (2) faal (kerja suatu bagian tubuh), (3) besaran yang berhubungan, jika besaran yang satu berubah maka besaran yang lain juga berubah, dan (4) kegunaan suatu hal (Tim-Penyusun, 2001 : 322). Fungsi makala-kalaan dalam Pawiwahan di Sanggah Gede yaitu : fungsi religius, fungsi sosial, dan fungsi biologis. 2.1.1 Fungsi Religius Pelaksanaan makala-kalaan di Sanggah Gede mempunyai fungsi religius yaitu agar mempelai wanita dapat melakukan aktivitas persembahyangan. Sarana makala-kalaan menyiratkan suatu gambaran dalam melakoni dan menjalani kehidupan berumah tangga, serta melahirkan sifat anak yang suputra, selain itu mantra yang diucapkan pemangku mempunyai fungsi religius antara lain untuk melebur semua kekotoran (sebel kandel) kedua mempelai dan permohonan restu dari leluhur di Sanggah Gede. 2.1.2 Fungsi Sosial Interaksi sosial dalam upacara pawiwahan khususnya dalam makala-kalaan di Sanggah Gede saat ini masih kondusif. Jika salah seorang anggota masyarakatnya (krama) melaksanakan upacara tersebut, anggota masyarakat (krama) yang lain ikut berpastisipasi membantu pelaksanaan upacara pawiwahan dan sekaligus sebagai saksi pelaksanaan makala-kalaan di Sanggah Gede yang biasanya disaksikan oleh kerabat mempelai terdekat. Adanya bantuan yang diberikan tidak hanya bersifat spiritual, namun juga berupa material. Bantuan yang diberikan dilandasi dengan rasa kebersamaan dan toleransi dengan konsep menyama braya. Konsep menyama braya di desa tersebut dengan ciri-cirinya yakni ada kedekatan di antara anggota masyarakatnya, memiliki kepedulian sosial antara satu dengan yang lainnya tanpa pamerih, dan berkumpul bersama untuk melaksanakan musyawarah. Konsep menyama braya yang merupakan kearifan budaya lokal yang dijiwai Agama Hindu dapat diterima dan diterapkan di Desa Adat Kerobokan sebagai upaya menjaga keharmonisan antar anggota masyarakatnya dan sampai sekarang masih tetap terjaga. Fungsi sosial selain adanya konsep menyama braya juga dalam makala-kalaan dalam pawiwahan yaitu memperoleh pengesahan atau status. Masyarakat Hindu Bali termasuk Desa
Adat Kerobokan, ditinjau dari segi kekerabatan menganut sistem kekerabatan patrilineal dengan menarik garis keturunan melalui garis ayah. Sistem patrilineal membawa konsekuensi istri dan anak-anaknya masuk kedalam kerabat suami. Pengesahan status tersebut di simbolkan dengan melaksanakan makala-kalaan di sanggah gede mempelai laki-laki, yang berfungsi mempelai wanita sudah sah untuk melakukan kegiatan upacara keagamaan di sanggah gede mempelai lakilaki 2.1.3 Fungsi Biologis Tim-Penyusun (1987:50) dikatakan bahwa manusia hidup berteman disebabkan oleh naluri dan unsur-unsur biologis. Naluri adalah kehendak yang menggerakkan tiap manusia dan hewan lainnya lepas dari pehitungan akal. Naluri itu antara lain: naluri melarikan diri, menjauhkan sesuatu pada diri sendiri, ingin mengetahui, keinginan berkelahi, membela atau mempertahankan diri, keinginan melakukan senggama atau kawin, keinginan beranak, keinginan memiliki, dan sebagainya. Upacara pawiwahan yang dilakukan di Desa Adat Kerobokan dapat berfungsi sebagai hasrat naluri dan biologis, dan tentunya kedua hasrat itu sebelumnya disucikan dengan melaksanakan makala-kalaan yaitu upacara penyucian terhadap kedua bibit mempelai sehingga diharapkan janin yang akan lahir menjadi anak suputra. Anak suputra adalah anak yang baik dan santun menurut ajaran Agama Hindu. Menurut Raka Mas (2002 : 98-106) menyebutkan bahwa ciri-ciri anak suputra yakni menghormati orang tua, berbudi luhur, mengikuti pendidikan dengan baik, menyelamatkan roh leluhur dari neraka, mengendalikan pikiran, perkataan, dan perbuatan, serta berbhakti pada Tuhan. Anak suputra yang dimaksud tidak hanya cerdas intelegensi (ririh) saja, juga kecerdasan budi (mapangrasa), serta cerdas spiritual (kedyatmikan). Dengan melahirkan keturunan nantinya dapat menyelamatkan arwah leluhur dan melanjutkan tradisi yang diwarisi oleh leluhur mereka di Desa Adat Kerobokan. 3.1 Makna Makala-kalaan dalam Pawiwahan di Sanggah Gede Desa Adat Kerobokan Makna berarti: (1) arti, (2) maksud pembicaraan atau penulis, yang diberikan kepada suatu pembahasan, makna denotasi, makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas hubungan lugas antara satuan bahasa dan wujud di luar bahasa seperti : orang, benda, tempat, sifat dan proses kegiatan (Tim-Penyusun, 2001 : 703). Adapun Makna Makala-kalaan dalam Pawiwahan di Sanggah Gede Desa Adat Kerobokan pembahasannya yaitu: (1) Makna Filosofis, (2) Makna Moralitas, (3) Makna Penyatuan. 3.1.1 Makna Filosofis Makala-kalaan dalam pawiwahan di Sanggah Gede memiliki makna filosofis yaitu : 1) Kesucian, hal ini terbukti karena proses makala-kalaan dilakukan untuk menyucikan benih kedua mempelai sehingga nanti nya dapat melahirkan anak yang suputra, dan kedua mempelai wajib menjaga benihnya masing-masing supaya tidak ternoda oleh pihak lain. 2) Kesetiaan, hal ini dapat dilihat pada prosesi penyobekan tikar (tikeh dadakan) dengan keris oleh mempelai pria yang bermakna pemecahan selaput dara si wanita dan ini mengandung arti bahwa seyogyanya hubungan kelamin hanya boleh dilakukan setelah resmi menjadi suami-istri yang sah. Sarana ini disertai simbol-simbol dengan tujuan mempelai dapat menepati harapan kedua pihak mempelai, keluarga dan masyarakat
3)
4)
untuk tetap setia sepanjang hidup serta tidak saling berzina terhadap lembaga perkawinan itu. Pengorbanan, yaitu meninggalkan masa remaja dan memasuki Grhasta Asrama. Mempelai harus benar-benar memahami bahwa hidup sesungguhnya adalah Yajnya. Yajnya bukan sekedar ritual, tetapi sebagai pranata sosial dengan beraneka ragam swadharma terhadap masyarakat, Negara dan agama. Kebersamaan, pasangan suami istri tidak boleh mementingkan diri sendiri. Hidup berumah tangga dan setiap permasalahan yang timbul dalam kehidupan berumah tangga harus diatasi dengan saling pengertian, sehingga terpelihara kehidupan yang harmonis, sejahtera dan bahagia lahir batin.
3.1.2 Makna Moralitas Pemaknaan moral atau moralitas dapat mencakup pengertian baik buruknya suatu perbuatan manusia (Poespoprojo, 1986: 102). Makala-kalaan dalam pawiwahan di Sanggah Gede mengandung nilai moral atau moralitas yang mengarah pada hakekat untuk menjadi manusia sujana dalam meningkatkan sraddha, bhakti nya dari Brahmacari ke Grahasta Asrama. Makala-kalaan dalam pawiwahan di sanggah gede Desa Adat Kerobokan mempunyai makna moralitas bahwa dalam melaksanakan setiap prosesi makala-kalaan, ada moral atau tingkal laku yang harus diterapkan dalam menjalani kehidupan berumah tangga, dan diharapkan moral kedua mempelai hidup bersama-sama dapat mengesampingkan ego masing-masing, saling berkata jujur sehingga dapat menciptakan kehidupan yang harmoni. Sapu lidi yang berjumlah tiga mengajarkan bahwa kedua mempelai bisa saling memperingati satu sama lain, dan saling mendukung. Pelaksanaan makala-kalaan di Sanggah Gede mempunyai menanamkan moral pada kedua mempelai agar selalu ingat pada leluhur dan menjalankan yajnya sesuai dengan tetuah dari orang tua dan tradisi yang ada di Desa Adat Kerobokan. 3.1.3 Makna Penyatuan Makna penyatuan dalam makala-kalaan di sanggah gede ada pada simbol Kelabang Kala Nareswari yang berarti penyatuan dua energi menjadi satu yaitu Kama Bang dan Kama Petak. Adanya penyatuan tersebut pasangan kedua mempelai yaitu menjalani kehidupan dalam satu wadah Grahasta Asrama serta dapat membina kerukunan, ketenteraman lahir batin, kebahagiaan dan kedamaian yang harmonis. SIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut : 1) Bentuk Makala-kalaan dalam Pawiwahan di Sanggah Gede Desa Adat Kerobokan terdiri atas sarana yang dipakai meliputi : Pebersihan, Isuh-isuh, Amel-amel, Sasak mentah, Satu tanding soroan yang terdiri atas : peras kecil, tulung sesayut, serta masingmasing berisi nasi lengkap dengan lauk pauknya, Lis babuu (Lis amu-amuan), yang terdiri tangga menek tangga tuun, jan sesapi, lawat buah lawat nyuh, lilit linting, tulung, bingin, ancak, ambengan, tipat pusuh, tipat tulud, basing wayah, basing nguda, dinding payung, laad (terdiri atas buah, daun, sembah, siku, entud, kukun kambing, tampak nangkleng aneh), tipat lelasan, tipat lepas, takep jit, dan sabuk. Sebuah padma, sejenis jejahitan dari busung yang gunanya untuk menciptakan tirtha yaitu tirtha pabyakaonan, Kekeb, daksina, Tikeh dadakan. Tempat pelaksanaannya di sanggah gede pada hari yang telah ditentukan, prosesi upacaranya dipimpin oleh pemangku yang diawali dengan separikramaning pemujaan oleh pemangku, setelah itu penganten melaksanakan
pabyakaonan, penglukatan, menggigit lis, merobek tikeh dadakan, mengelilingi tetimpug sebanyak tiga kali, natab banten pekala-kalaan, terakhir mandi di sungai. 2) Fungsi makala-kalaan dalam Pawiwahan di Sanggah Gede meliputi: fungsi religius yaitu berfungsi menyucikan bibit mempelai wanita dan mempelai laki-laki, sehingga nantinya dapat melahirkan keturunan suputra , fungsi sosial yaitu interaksi sosial yang kuat dengan sistem menyama braya dalam melaksanakan suatu perkawinan, dan fungsi biologis yaitu pemenuhan hasrat biologis untuk melakukan swadharma perkawinan dalam rumah tangga. 3) Makala-kalaan dalam pawiwahan di Sanggah Gede memiliki makna filosofis yaitu kesucian, kebersamaan, pengorbanan, makna moralitas bahwa dalam melaksanakan setiap prosesi makala-kalaan, ada moral atau tingkal laku yang harus diterapkan dalam menjalani kehidupan berumah tangga, sehingga dapat menciptakan kehidupan yang harmoni. Sapu lidi yang berjumlah tiga bermakna bahwa kedua mempelai bisa saling memperingati satu sama lain, dan saling mendukung. Pelaksanaan makala-kalaan di Sanggah Gede bermakna menanamkan moral pada kedua mempelai agar selalu ingat pada leluhur dan menjalankan yajnya sesuai dengan petuah dari orang tua dan tradisi yang ada di Desa Adat Kerobokan. Makna penyatuan yaitu menyatunya dua energi kama bang dan kama petak untuk melahirkan anak yang suputra, sehingga tercapainya keluarga yang harmonis, damai dan sejahtera. SARAN Mengingat penelitian ini begitu pentingnya fungsi serta makna yang terkandung pada makala-kalaan dalam pawiwahan di Sanggah Gede, maka pada kesempatan ini penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut : 1) Untuk melestarikan budaya dan tradisi keagamaan yang ada di masyarakat, terutama pada setiap rangkaian upacara agama yang telah dilakukan secara turun temurun, disarankan kepada umat Hindu generasi muda harus giat belajar. 2) Pemuka agama atau tokoh masyarakat disarankan juga memberikan pembinaan lebih intensif kepada generasi muda umat Hindu dapat memahami makna yang terkandung dalam setiap uparengga yang dipakai dalam upacara khususnya dalam upacara pawiwahan. 3) Di masa yang akan datang disarankan adanya penelitian yang mendalam berkaitan dengan sarana upakara dalam makala-kalaan, peneliti menyadari masih banyaknya kekurangan dalam penelitian ini dan terbatasnya kemampuan yang peneliti miliki. Untuk hal itu peneliti sarankan ada peneliti berikutnya yang mengkaji lebih dalam lagi tentang makala-kalaan dalam pawiwahan di Sanggah Gede Desa Adat Kerobokan. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih di berikan kepada dosen pembimbing I dan pembimbing II, para dosen penguji yang telah memberikan petunjuk dan arahan pada penelitian ini, serta kepada keluarga, sahabat, teman, dan pacar yang selalu setia memberikan support, dan bantuan dalam menyelesaikan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Pendit, Nyoman, S. 1995. “Hindu Dalam Tafsir Modern”. Yayasan Dharma Naradha Denpasar . Poespoprojo, W.L. 1986. Filsafat Moral. CV. Remaja Karya. Raka Mas, A.A.Gede. 2002. Perkawinan Yang Ideal. Surabaya : Paramitha. Sudarsana,IB Putu. 2005. Makna Upacara Perkawinan Hindu. Denpasar : Yayasan Dharma. Sudharta, Tjok Rai dan I.B.Oka Punia Atmaja. 2001. Upadesa Tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu.Surabaya :Paramitha. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta. Suryabrata, Sumadi. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Tim-Penyusun. 1987. Sosiologi Hindu. Jakarta: Yayasan Wisma Karma Titib, I Made. 1990. “Pedoman Upacara Suddhi –Wadani “. Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Kehidupan Beragama Terbesar di delapan Kabupaten Dati II di Bali.