CARU PANGALANG SASIH DI DESA ADAT MENGWI KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG ( Kajian Filosofis Hindu ) Oleh : NI MADE SURATNI NIM : 09.1.4.4.1.0181
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Pembimbing I Drs. I Wayan Redi, M.Ag Pembimbing II I Made Dwitayasa, S.Ag, M.Fil.H ABSTRAK Kebudayaan Bali adalah sarana untuk menerapkan dan mewujudkan ajaran Hindu di Bali yang inti ajarannya adalah Sanatana Dharma yakni Satyam, Siwam, Sundaram artinya Bali dibangun dengan menegakkan kebenaran, kesucian yang dilandasi keharmonisan dan keindahan. Setiap kegiatan yang dilaksanakan sangat beragam jenis maupun bentuknya. Keragaman jenis dan bentuk upacara yadnya sesungguhnya merupakan penjabaran dari lima jenis pokok yadnya yang disebut Panca Yadnya (Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya dan Bhuta Yadnya), diantara upacara tersebut terdapat upacara caru pengalang sasih yang merupakan bagian dari upacara bhuta yadnya yang pelaksanaannya dilaksanakan setiap bulan sekali yaitu pada tilem dengan caru yang berbeda-beda. Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan tiga masalah yakni : 1) bagaimana bentuk caru pengalang sasih ? 2) Apa fungsi caru pengalang sasih? 3) Makna apa yang terkandung dalam caru pengalang sasih di Desa Adat Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Penelitian ini bertujuan : 1) Untuk mengetahui bentuk caru pengalang sasih. 2) Untuk mengetahui fungsi caru pengalang sasih. 3) Untuk memahami makna yang terkandung dalam caru pengalang sasih di Desa Adat Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Teori yang digunakan untuk membedah permasalahan dalam penelitian ini yakni teori fungsional struktural untuk menganalisis tentang fungsi caru pengalang sasih, teori simbol untuk membedah makna yang terkandung dalam caru pengalang sasih dan teori religi untuk menganalisis tentang bentuk caru pengalang sasih. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengambil lokasi di Desa Adat Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Pengumpulan data dengan melakukan observasi langsung. Selain itu juga dilakukan wawancana mendalam, studi kepustakaan dan studi dokumen serta analisis data. Hasil penelitian ini dikemukakan yakni bentuk caru pengalang sasih menggunakan sarana yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, berasal dari binatang maupun dari unsur-unsur alam lainnya. Prosesi dalam penyembelihan binatang diawali dengan pengucapan mantra (saha). Saat mempersembahkan sesuai dengan etika mecaru saat sandikala dan tengah ai tepet. Ditinjau dari fungsinya caru pengalang sasih sebagai fungsi penyucian, fungsi nyomya bhuta kala dan fungsi religius. Sedangkan dari makna
caru pengalang sasih bermakna persembahan, makna keharmonisan, makna etika, makna keseimbangan, makna penyupatan dan makna filosofis. Kata Kunci : Caru Pengalang Sasih
PENDAHULUAN Kebudayaan Bali adalah sarana untuk menerapkan dan mewujudkan ajaran Agama Hindu di Bali. Agama Hindu di Bali adalah nafas kebudayaan Bali inti ajarannya adalah Sanatana Dharma yaitu Satyam, Siwam, dan Sundaram, artinya Bali dibangun dengan cara menegakkan kebenaran dan kesucian yang dimiliki oleh budaya masyarakat landasannya adalah keharmonisan dan keindahan. Inti sari ajaran agama Hindu, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi tiga bagian yang disebut dengan Tri Kerangka Dasar yaitu : Tattwa, Susila dan Upacara , ke tiga sangat berhubungan antara satu dengan yang lainnya, serta tidak dapat dipisah-pisahkan. Upacara keagamaan beragam bentuk dan jenisnya. Keragaman bentuk dan jenis upacara sesungguhnya merupakan penjabaran dari lima jenis yadnya yang disebut panca yadnya, yaitu : Dewa yadnya, Pitra yadnya, Rsi yadnya, Manusa yadnya, dan Bhuta yadnya. Diantara upacara tersebut terdapat caru pengalang sasih yang merupakan bagian dari upacara bhuta yadnya, dimana keunikannya dilaksanakan setiap satu bulan sekali yaitu setiap tilem dengan upakara yang berbeda-beda sesuai dengan sasih yang dicaruinya. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan tiga masalah antara lain: 1) Bagaimanakah bentuk Caru pangalang sasih di Desa Adat Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung? 2) Apa fungsi Caru Pangalang sasih di Desa Adat Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung? 3) Apa Makna yang terkandung dalam Caru Pangalang sasih di Desa Adat Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung? Tujuan penelitian ini adalah 1) Untuk mengetahui bentuk Caru pangalang sasih yang dilaksanakan di Desa Adat Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, 2) Untuk mengetahui fungsi pelaksanaan Caru Pangalang sasih yang dilaksanakan di Desa Adat Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, 3) Untuk memahami Makna yang terkandung dalam Caru Pengalang sasih yang dilaksanakan di Desa Adat Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Manfaat penelitian secara teoretis dapat memberikan kontribusi bagi kelestarian nilai sepiritual sebagai dasar menanamkan keyakinan yang lebih tinggi terhadap pelaksanaan upacara keagamaan yang dapat meningkatkan kualitas serta kemampuan peneliti dalam penelitian.
METODE Lokasi penelitian diadakan di Desa Adat Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Jenis penelitian yang dilakukan dalam konteks penelitian caru pengalang sasih adalah penelitian lapangan (field research) dengan analisis kualitatif, dalam penelitian ini memilih penelitian lapangan karena seluruh informasi yang dikumpulkan berasal dari objek (lapangan) yang perlu di observasi serta tidak dapat dinyatakan dengan angka. Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah menggunakan gabungan antara data primer dan data sekunder, antara data primer dengan data sekunder saling melengkapi. Data primer dalam penelitian ini adalah Data yang diperoleh dari hasil observasi di lapangan dan data dari hasil wawancara dengan informan. Dalam penelitin ini peneliti menggunakan teknik purposive (purposive sampling) dan snowball sampling (bola salju). Teknik purposive sampling yaitu penentuan informan berdasarkan kemampuan informan bersangkutan. Untuk dapat memberikan data yang diperlukan sesuai dengan tujuan penelitian maka dalam penelitian ini peneliti pergunakan adalah dengan Metode observasi, Metode wawancara, metode kepustakaan dan metode dokumentasi.
HASIL PENELITIAN 1. Bentuk Caru Pangalang Sasih Sarana caru pangalang sasih yakni serana atau perlengkapan dari caru tersebut hal ini ada yang berasal dari tumbuh – tumbuhan seperti dari daun, buah, bunga. Ada juga yang berasal dari hewan baik yang hidup di air maupun di darat, begitu juga dari unsure-unsur alam lainnya. Prosesi caru pangalang sasih dalam penyembelihan binatang diawali dengan mantra (saha) atau puja mantra untuk memberikan penyupatan dan supaya terhindar dari dosa. Pembuatan ulam caru diolah sesuai dengan kebutuhan ditata menurut ketentuan. Pelaksanaan caru pangalang sasih di Desa Adat Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung dilaksanakan setiap bulan yaitu pada Tilem Sasih bersangkutan, dengan upakara yang berbeda-beda sesuai dengan sasih yang dicaruinya. Tempat pelaksanaannya yaitu di pintu depan angkul-angkul rumah (di lebuh). Waktu pelaksanaannya dilaksanakan pada sandikala (jam 6 sore) yaitu pergantian sore menjelang malam. 2.
Fungsi Caru Pangalang Sasih - Fungsi Penyucian Bagi umat Hindu di Bali cara memperoleh kesucian dilakukan dengan ritual atau yadnya, karena dengan kesucian dapat mendekatkan diri dengan Ida Sanghyang Widhi Wasa, karena Beliau bersifat Maha Suci dan tempat suci merupakan jalan menuju kesucian. Terkait dengan fungsinya sebagai penyucian caru pangalang sasih dipakai sarana untuk melepaskan unsur-unsur mala, leteh, dan reged, yang diakibatkan oleh Bhuta kala. Banten yang berfungsi sebagai penyucian dalam caru pengalang sasih adalah :
- Banten Durmanggala. Durmanggala berarti kekotoran atau keletehan. Durmanggala dipersembahkan untuk memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau manifesasinya agar kekotoran atau keletehan yang ada dalam diri dan keluarga atau pekarangan rumah kita dapat dihilangkan, sehingga menjadi bersih dan suci. - Banten Prayascita Bantenprayascita mengandung pengertian penyucian, mensucikan atau membersihkan. Dipersembahkan kehadapan Sang Hyang Guru
Saraswati, Sang Hyang Agni agar beliau berkenan menyucikan rumah atau diri orang yang mengalami kekotoran. - Banten Byakala Byakala terdiri dari kata bya dan kala. Bya artinya biaya atau upah dan kala adalah nama sebutan untuk para bhutakala-bhutakali yaitu unsur kekuatan negatif atau tidak baik karena mempunyai sifat sering menganggu, menimbulkan bencana, kekalutan pikiran dalam perjalanan hidup yang dirasakan manusia, sehingga perasaan dan pikirannya ikut terpengaruh jadi kotor atau terganggu. Byakala merupakan sarana atau alat yang dikorbankan dalam suatu upacara kepada para bhutakalabhutakali agar tidak menganggu manusia dalam kehidupannya. Byakala merupakan sarana untuk memohon pembersihan dan penyucian terhadap godaan bhutakala-bhutakali agar akibat yang ditimbulkan berupa kekotoran dapat dihilangkan. -
Fungsi Nyomnya Bhutakala Bhuta Kala memiliki dua sifat yakni sifat baik dan buruk. Sifat buruk yang merugikan kehidupan diusahakan untuk dapat dinetralisir agar sifat bhuta kala menjadi baik, yang ganas menjadi lembut, dengan dipersembahkan upacara caru. Pada caru pangalang sasih yang berfungsi Nyomya Bhutakala adalah :
-
1. Prakpak (daun kelapa yang sudah kering) bahasa Balinya Danyuhprakpak yang sudah berisi api adalah sebagai simbul suci dari kekuatan “teja” yang berfungsi sebagai penyomnya untuk mengembalikan kekuatan Panca Maha Bhuta yang berasal dari unsur “teja” agar terciptanya keseimbangan antara bhuana agung dan bhuana alit. 2. Kekeplugan yang dibuat dari pelepah pinang sebagai simbol kekuatan “akasa” berfungsi untuk nyomya kekuatan bhuta kala yang bersifat negatif untuk dikembalikan ke unsur “akasa” supaya terciptanya keseimbangan antara bhuana agung dan bhuanaalit. 3. Tulud yang terbuat dari kayu atau bambu adalah sebagai simbol suci dari kekuatan “bayu” berfungsi untuk mengembalikan kekuatan Panca Maha Bhuta yang berasal dari unsur “bayu” agar terciptanya keseimbangan antara bhuana agung dan bhuana alit. 4. Sapu lidi berjumlah 12 helai / katih dipergunakan dalam mralina caru adalah sebagai simbol suci dari kekuatan “pertiwi” berfungsi untuk mengembalikan kekuatan Panca Maha Bhuta, yang berasal dari unsur “pertiwi” agar terciptanya keseimbangan bhuana agung dan bhuana alit. 5. Arak berem sebagai sarana tetabuhan merupakan simbol penyomnya kekuatan bhuta kala yang bersifat negatif untuk dikembalikan ke unsur “apah” agar terciptanya keseimbangan bhuana agung dan bhuana alit. Fungsi Relegius Upacara caru pangalang sasih merupakan sebagai sarana pembersihan alam beserta isinya dari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh pengaruhpengaruh buruk (bhuta kala) sehingga menjadi keharmonisan (bhuta hita)
artinya secara relegius para bhuta kala yang mengganggu kehidupan manusia dibuat suatu upacara bhuta yadnya yang berupa caru. 3.
Makna Caru Pengalang Sasih - Makna Persembahan Semua sarana dalam upacara caru pengalang sasih memiliki kedudukan penting sebagai persembahan. Persembahan dimaksudkan sebagai ucapan rasa bersyukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa penetralisir kekuatan-kekuatan negatif dari bhutakala yang menganggu kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan Caru Pangalang Sasih yakni :
- Banten pengulapan berarti pemanggilan atau memanggil bhutakala agar segera datang, karena akan diberikan persembahan caru dengan harapan supaya tidak menganggu serta memberikan keselamatan. - Banten Sesayut Pengambian “Nyayut” yang berarti mempersilahkan dan menstanakan, karena sayut merupakan simbul dari lingga ista dewata sedangkan pengambean berasal dari kata ambe yang berarti ngaug atau mempersatukan. Jadi sesayutpengambian berarti mempersilahkan Ista Dewata untuk bersatu atau melinggih di dalam yadnya yang dipersembahkan. - Tetimpug Tetimpug yang dibuat dari tiga potong ruas batang bambu empet bila dibakar mengeluarkan letusan dan letusannya diusahakan supaya berbunyi tiga kali yang bermakna untuk memanggil bhutakalabhutakali untuk diberikan persembahan berupa caru dan sesudahnya agar kembali ke tempat asalnya semula. -
Makna Keharmonisan Keharmonisan dalam Hindu dapat dilihat dari konsep Tri Hita Karana yang diajarkan umat Hindu untuk menjaga keseimbangan dan hubungan yang harmonis dengan Tuhan (parhyangan), hubungan harmonis sesama manusia (pawongan) dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan (palemahan) makna dari upacara caru pengalang sasih adalah untuk mengharmoniskan umat manusia dengan lingkungan yaitu melalui Bhuta yadnya.
-
Makna Etika Agama Hindu memiliki tiga kerangka dasar yakni tattwa (filsafat), etika (susila) dan ritual (upacara). Orang yang berprilaku baik sesuai dengan peraturan bertingkah laku disebut orang tata susila atau etika. Etika tampak lebih menekan pada bertingkah laku yang baik dan mulia. Dalam mempersembahkan yadnya diperlukan pengendalian diri, pengendalian diri yang ketika beryadnya, karena yadnya buka ditentukan oleh kuantitas (banyan sedikitnya) tetapi dipengaruhi oleh kualitas (bobot) kesuciannya. Oleh karena itu dalam melaksanakan yadnya baik itu caru pangalang sasih di Desa Adat Mengwi dari merencanakan, mempersiapkan bahan dan pelaksanaannya dilandasi oleh etika.
-
Makna Keseimbangan Masyarakat Hindu di Bali diwariskan konsep dualitas (rwa bhineda) yakni ada dua yang berbeda atau berlawanan perbedaan tersebut harus dijaga keseimbangannya antara bhuana agung dan bhuana alit dengan melaksanakn berbagai yadnya, dan salah satu diantaranya caru pengalang sasih. Yang bermakna menyeimbangkan sehingga terciptanya Moksartam Jagadhita ya ca iti Dharma.
-
Makna Penyupatan Pembunuhan terhadap mahkluk-mahkluk termasuk melakukan upacara caru pengalang sasih adalah berdasarkan atas yadnya, tidak termasuk himsa karma, melainkan sebaliknya termasuk perbuatan kebajikan (subha karma) karena memiliki tujuan sebagai pengruat (penyupatan) terhadap binatang, tumbuh-tumbuhan agar nantinya pada saat reinkarnasi diharapkan lahir menjadi manusia.
-
Makna Filosofis Pelaksanaan caru pangalang sasih sangat erat kaitannya dengan tattwa karena penalaran dalam pencapaian kebenaran berdasarkan rasio (akal) ketulusan hati, kemantapan dan kesucian hati, pemikiran-pemikiran filsafat dijadikan pedoman dalam rangka aktivitas keagamaan.
SIMPULAN 1. Bentuk caru pengalang sasih menggunakan sarana yang memiliki satu kesatuan yang integral. Sarana-sarana yang diperlukan untuk upacara baik itu berasal dari tumbuh-tumbuhan, hewan yang hidup di darat maupun di air, begitu juga hewan berkaki dua maupun kaki empat dan unsur lainnya. Pelaksanaannya setiap bulan yaitu pada tilem dengan bantennya yang berbeda-beda, sesuai dengan sasih yang dicarui. Tempat dan waktu pelaksanaannya dilakukan di lebuh saat petang menjelang malam (sandikala) atau tengah ai tepet. 2. Fungsi upacara caru pengalang sasih di Desa Adat Mengwi meliputi fungsi penyucian, fungsi nyomya bhuta kala dan fungsi religius. Fungsi penyucian dipakai sarana untuk menyucikan atau melepaskan unsur-unsur mala, leteh dan reged yang diakibatkan oleh bhuta kala. Dalam fungsi nyomya bhutakala caru pengalang sasih dipergunakan untuk menetralisir kekuatan-kekuatan para bhutakala yang menganggu dan membahayakan kehidupan manusia, sehingga sifat bhutakala yang buruk berubah menjadi kebajikan. Fungsi religius sebagai sarana pembersihan alam beserta isinya dari sifat buruk bhutakala menjadi keharmonisan (bhuta hita). 3. Makna upacara caru pengalang sasih meliputi makna persembahan, makna keharmonisan, makna etika, makna keseimbangan, makna penyupatan dan makna filosofis. Makna persembahan dimaksud sebagai ucapan rasa bersyukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa penentralisir kekuatan – kekuatan negatif dari bhuta kala. Makna keharmonisan dapat dilihat dalam Tri Hita Karana yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, hubungan
manusia dengan lingkungan. Terkait dengan caru pengalang sasih hubungan manusia dengan lingkungan (bhuta yadnya), makna etika dalam melaksanakan yadnya harus dilandasi dengan etika dari menyiapkan bahan upacara sampai pelaksanaannya. Makna keseimbangan yakni menjaga keselarasan dan keharmonsan antara bhuana agung dan bhuana alit, sedangkan dalam makna penyupatan yakni membantu memberikan jalan kelepasan kepada binatang korban agar kualitas rohnya meningkat ketika bereinkarnasi kembali ke dunia. Makna filosofis dalam penalaran, pencapaian kebenaran harus berdasarkan akal.
SARAN Upacara caru pangalang sasih merupakan bagian dari upacara bhuta yadnya dan salah satu bentuk pengamalan agama yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Desa Adat Mengwi. Mengingat semua kelengkapan ritual keagamaan memiliki kedudukan penting dan nilai filosofis, melalui penelitian ini dikemukakan beberapa saran sebagai berikut : 1. Diharapkan kepada peneliti lain untuk meneliti aspek-aspek lain yang belum dijangkau dalam penelitian caru pangalang sasih. 2. Diharapkan dalam melaksanakan aktivitas keagamaan harus sesuai dan mengacu pada otoritas Veda dengan dilandasi oleh wawasan penalaran yang luas sehingga adanya keseimbangan antara pemahaman tattwa, susila dan pelaksanaan upacara. 3. Diharapkan dapat mendorong intelektual dan generasi muda untuk menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran terhadap berbagai aktivitas ritual terutama kesadaran akan pentingnya nilai-nilai dan makna simbolis yang terkandung dalam berbagai upacara agama Hindu yang bermuara pada usaha meningkatkan pengalaman ajaran agama Hindu.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa karena atas asung kerta wara nugraha-Nya skripsi yang berjudul “Caru Pangalang Sasih di Desa Adat Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung (Kajian Filosofis Hindu)” dapat terselesaikan. Tersusunnya karya tulis ini bukanlah hasil pemikiran sendiri, akan tetapi berkat dan dukungan berbagai pihak, maka melalui kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada : 1. Prof. Dr. I Made Titib, Ph.D., Rektor IHD Negeri Denpasar atas segala fasilitas dan kemudahan yang diberikan selama ini. 2. Dr. Drs. I Made Suweta, M.Si., Dekan Fakultas Brahma Widya IHD Negeri Denpasar atas dorongan dan support serta kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan ini. 3. Dra. Ni Wayan Sumertini, M.Ag., Kejur Filsafat Hindu yang telah memberikan pelayanan akademika dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. 4. Drs. I Wayan Redi, M.Ag., Pembimbing I yang telah dengan tekun dan teliti memberikan masukan dan bimbingan serta penajaman dalam penelitian ini.
5.
I Made Dwitayasa, S.Ag., M.Fil.H., Pembimbing II yang telah tekun dan sabar memberikan arahan dan bimbingan. 6. Para Dosen Penguji yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu memberikan arahan dalam menyelesaikan penelitian ini. 7. Para Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu memberikan motivasi dalam menyelesaikan penelitian ini. 8. Bapak/ Ibu Pejabat Struktural beserta staf lingkungan Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar atas partisipasi dan kerjasamanya, sehingga Program Akademik berjalan dengan lancar. 9. Bapak / Ibu staf pegawai perpustakaan Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar yang telah memberikan fasilitas berupa peminjaman buku sebagai referensi dalam penelitian ini. 10. Bapak / Ibu informan dan semua pihak yang telah membantu peneliti dalam usaha mengumpulkan data di lapangan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. 11. Seluruh anggota keluarga yang telah memberikan motivasi serta dukungan moril, sehingga penelitian ini bisa terselesaikan. 12. Kepada seluruh sahabat yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas saran dan kritik demi kesempurnaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Ardika, I Wayan. 2006. Membangun Budaya Rohani pada satu Peradaban dalam Serasehan Bidang Agama dan Budaya. Denpasar: Badan Diklat Provinsi Bali. Arwati, Ni Made Sri. 1992. “Caru”. Denpasar: Upada Sastra. Bungin, Burhan. 2001. Metode Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. Donder, I Ketut. 2007. Kosmologi Hindu. Paramita Surabaya. Dwitayasa, I Made. 2008. Caru Rsigana Dalam Prosesi Mlaspas Parahyangan di Desa Pakraman Bayad Tegallalang Gianyar. Denpasar, Skripsi IHDN. Gie, The Liang. 1996. Filsafat Seni Sebuah Pengantar. Yogyakarta: PUBIB. Gorda, 1997. Metode Penelitian Ilmu Sosial Ekonomi. Denpasar. Widya Kriya Gunatama. Griya, I Wayan. 1981. “Beberapa Segi Tentang Masyarakat dan Sistem Sosial”. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. Hadi, Sutrisno, 1986. Metodologi Research, Yogyakarta: Fakltas Psikologi Universitas Gajah Mada. Hasan, Iqbal. 2000. Pokok-Pokok Materi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta : Indonesia Ghalia. Iskandar, 2008. Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial. Jakarta : GP Press. Iqbal, Hasan, 2002. Pokok-Pokok Metodelogi dan Aplikasi, Jakarta : Ghalia Indonesia. Koentjaraningrat, 1985. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia. Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan Mentalitas dan Pengembangan. Jakarta : PT. Gramedia.
Majelis Pembina Lembaga Adat Daerah Tingkat I Bali. 1991. “Desa Adat Pusat Pembina Budaya Bali”. Denpasar: Proyek Bimbingan dan Penyuluhan Kehidupan Beragama Propinsi Bali. Mantra, I.B. 1997. Tata Susila Hindu Dharma. Cetakan II. Jakarta: PT. Gramedia. Margono, S. 2004. Metode Penelitian, Jakarta : PT. Bhineka Cipta. Markandeya, Ida Bagus Dwi. 2011. Caru Panca Kelud di Desa Pekraman Demulih Susut Bangli, Denpasar, Skripsi. IHDN. Miarta, I Wayan. 2004. Upacara Mapeselang Pada Karya Ngenteg Linggih di Pura Panti Pasek Gelgel Beng Gianyar Sebagai Visualisasi Ajaran Siwalingga (Analisis Bentuk, Fungsi dan Makna) Tesis. Denpasar: Program Pasca Sarjana Institut Hindu Dharma Negeri. Moleong, Lexy. J. 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung. PT. Remaja. MPLA. 1992/1993. Desa Adat dan Kepariwisataan di Bali. Denpasar: Proyek Pemantapan Lembaga Adat. Nasution, Harun, 1973, Filsafat Agama, Bulan Bintang. Ngurah, I Gusti Made, dkk., 1998. Buku Pendidikan Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi. Surabaya: Paramita. Pendit, Nyoman S. 1995. Hindu Dalam Tapsir Modern. Denpasar. Pudja. Gede. 1980. Sarasamuscaya. Jakarta: Mayasari. Pudja, 1985. Pengantar Agama Hindu. Jakarta : Mayasari. Pudja, 2005. Bhagawad Gita, Surabaya : Paramita Pudja. G.Tjokorda Rai Sudarta. 2004. Manawa Dharma Sastra, Surabaya : Paramita. Punyatmaja, I.B. Oka. 1984. Sila Krama. Denpasar: Parisuda Hindu Dharma Pusat. Purwita, Ida Bagus. 1985. Desa Adat dan Banjar di Bali. Redana, 2006. Panduan Praktis Penulisan Karya Ilmiah dan Proposal Riset, Denpasar. IHDN. Somvir. 2001. Mutiara Veda untuk Kehidupan Sehari-hari. Surabaya: Paramita. Sudarsana, I.B. Putu. 2001. Makna Upacara Bhuta Yadnya. Denpasar : Yayasan Dharma Acarya. Surpha, I Wayan. 1984. Pengantar Hukum Hindu. Denpasar. Suprha, 2002. Seputar Desa Pakraman Dan Adat Bali. Denpasar: Balai Pustaka. Subagyo, P. Joko. 1999. Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Sudarsana, I.B.Putu. 2008. Ajaran Agama Hindu Makna Upacara Bhuta Yadnya. Denpasar Yayasan Dharma Acarya. Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kwalitatif, Bandung : Alfa Beta. Sugiyono, 2006, Metode Penelitian Kwantitatif, Kwalitatif dan R & D, Bandung : Alfa Beta Suharsini, Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi V). Jakarta : Rineka Cipta. Suprayono, Imam Tabroni. 2003. Metodelogi Penelitian Sosial Agama. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Suryabrata, Sumadi. 2003. Metodelogi Penelitian. Jakarta : Raja Grafindo. Swastika, I Ketut Pasek. 1994. Caru. Denpasar : CV. Kayumas Agung. Swastika, 2008. Bhuta Yadnya. Denpasar: Pustaka Bali Post.
Team Penyusun. 1993. Kamus Bali Indonesia. Dinas Pendidikan Dasar Pemerintah daerah Tingkat I Bali. Team Penyusun. 1995. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Team Penyusun. 1991. Desa Adat dan Pelestarian Lingkungan Hidup. Proyek. Team Penyusun, 1995. Bimbingan dan Penyuluhan Kehidupan Beragama Propinsi Bali. Team Penyusun, 1997. Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti Toyawisuda, Pande Putu. 2009. Esensi Anjing Bang Bungkem dalan Caru Panca Sanak di Desa Pakraman Suralaga, Desa Abian Tuwung, Kediri, Tabanan. Denpasar : Skripsi IHDN. Triguna, Ida Bagus Gde Yudha. 2000. Teori Tentang Simbul. Denpasar. Widya Dharma. Wiana, I Ketut. 1995. Yadnya dan Bhakti Dari Sudut Pandang Hindu. Surabaya: Paramita. Wiana, I Ketut, 2001. Makna Upacara Yadnya Dalam Agama Hindu. Jakarta: PT. Pustaka Manik Geni. Wiana, I Ketut, 2002. Makna Upacara Yadnya dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita. Wijayananda, Ida Pandita Empu Jaya. 2004. Makna Filosofis Upacara dan Upakara. Surabaya : Paramita. Wikarman, I Nyoman Singin. 2006. Caru Pelemahan dan Sasih. Surabaya : Paramita. Zuriah, Nurul. 2006. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Teori Aplikasi. Jakarta : Bumi Aksara.