LAPORAN PRATIKUM TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH STRUKTUR BENIH DAN TIPE PERKECAMBAHAN
NAMA : AMUL HEKSA BAJAFITRI NIM : 125040201111131 KELOMPOK : JUMAT 11.00 ASISTEN : INTAN RATRI PRASUNDARI
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Materi 1 Pengenalan Anatomi dan Morfologi Biji Tanaman Gambar
Dikotil (Buncis)
Monokotil (Jagung)
Irisan Melintang
Irisan membujur
Utuh
Materi 2 Tipe Perkecambahan Tabel 1 Panjang Tanaman Hari
Tipe Biji
1
2
3
4
5
6
7
Monokotil
0
0
0
0,5
2,5
3
5,5
Dikotil
0
0,5
2,5
4,5
14,5
18
24,5
Tabel 2 Panjang Akar (sesetelah 7 hari pengamatan) Tipe Biji
Panjang Akar (cm)
Monokoti
6,5
Dikotil
8
Tabel 3 Dokumentasi Tipe Perkecambahan
Tipe Biji Monokotil
Dikotil
1
2
3
Hari 4
5
6
7
4.2 Pembahasan 4.2.1 Struktur Benih Pada Praktikum kali ini dilakukan pengamatan terhadap struktur benih jagung dan benih buncis, masing-masing untuk mewakili biji monokotil dan dikotil. Secara struktural, biji jagung yang telah matang terdiri atas empat bagian utama,
yaitu
perikarp,
lembaga, endosperm, dan tip kap (Gambar 1). merupakan
Perikarp lapisan
pembungkus biji, Pada taraf tertentu lapisan ini membentuk membran yang dikenal sebagai kulit biji atau testa/aleuron yang secara morfologi adalah bagian endosperm (Inglett, 1987 dalam Suarni 2004). Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji jagung, yaitu sekitar 85%, hampir seluruhnya terdiri atas karbohidrat. Lembaga merupakan bagian yang cukup besar, terdiri atas plumula, radikel, dan skutelum (Mertz, 1972 dalam Suarni 2004). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, biji jagung utuh berbentuk bulat dengan pangkal lancip dan bagian tengah cekung serta berwarna kuning atau orange dibagian samping dan putih di bagian yang cekung. Ketika dipotong melintang biji berbentuk bulat lonjong. Namun ketika dipotong membujur biji berbentuk oval lonjong, Dari pengamatan bagian benih jagung bagian yang teramati paling jelas yaitu kulit biji (aleuron), endosperm, serta embrio. Dapat diamati bahwa kulit biji jagung menabal dan tidak dapat dipisahkan dari endospermnya. Jagung hanya memiliki satu keeping biji, karena hal itulah jagung digolongkan sebagai tanaman monokotil. Biji buncis dapat berbentuk bulat, agak bulat atau mengginjal. berwarna putih, hitam ungu, coklat atau merah bintik putih. Panjang biji 5-20 mm dengan bobot biji 15-0,8 gram (Rukmana, 1998).Dari hasil pengamatan benih buncis yang digunakan memiliki bentuk mengginjal dengan warna kulit biji hitam keunguan
dan warna daging biji putih keruh. Dapat teremati juga bagian-bagian struktur buncis berupa kulit biji, kotiledon, hilum dan embrio. Hilum merupakan suatu bagian yang berfungsi untuk memasukkan air dan O 2. Embrio pada biji tumbuhan dikotil seperti buncis, melekat pada kotiledon disebut kuncup embrionik. Kaulikulus terdiri dari hipokotil (“hypo”= di bawah) yaitu bagian bawah (pangkal) yang melekat pada kotiledon dan epikotil (“epi”= di atas), yang terdapat di sebelah atas hipokotil. Epikotil akan tumbuh menjadi batang dan daun serta hipokotil akan tumbuh menjadi akar. Pada ujung epikotil terdapat plumula (pucuk lembaga) yang terdiri dari ujung tunas dengan sepasang pucuk daun. Sedangkan pada bagian pengkal hipokotol terdapat radikula (Kemdiknas, 2013). Biji buncis tergolong tanaman dikotil, terlihat dari keping bijinya yang berjumlah dua buah.
Gambar 2 : Struktur biji buncis (Campbell, 2012)
4.2.2 Tipe Perkecambahan Pada praktikum tipe perkecambahan, pengamatan masih dilakukan pada benih jagung dan benih buncis, masing-masing untuk mewakili biji monokotil dan dikotil. Kali ini dilakukan pengamatan dengan menggunakan parameter panjang tanaman yang diukur selama tujuh hari, panjang akar saat hari ketujuh setelah tanam, dan tipe perkecambahan. Penanaman dilakukan di tanah pasir pada dua wadah gelas mineral, masing-masing gelas ditanami dua benih yang sama. Namun, pengamatan parameter hanya dilakukan pada satu tanaman pergelas yang pertumbuhannnya paling bagus. Terdapat dua tipe perkecambahan yaitu tipe perkecambahan hypogeal dan epigeal.
Hipogeal adalah pertumbuhan
memanjang
dari
epikotil
yang
meyebabkan plumula keluar menembus kulit biji dan muncul di atas tanah.
Kotiledon relatif tetap posisinya. Pada tipe perkecambahan epigeal, hipokotillah yang tumbuh memanjang akibatnya kotiledon dan plumula terdorong sampai ke atas permukaan tanah. Tanaman jagung menunjukkan tipe perkecambahan hipogeal dimana kotiledonnya tetap berada di dalam tanah saat berkecambah. Benih jagung yang ditanam menunjukkan perkecambahan yang relatif lambat, dapat diamati bahwa baru hari keempat setelah tanam benih jagung tersebut menunjukkan tanda-tanda perkecambahan. Pertumbuhannnya pun relative lambat hingga hari ke tujuh pengamatan, tingginya hanya mencapai 5,5 cm dengant panjang perakaran 6 cm. Hal tersubut dapat diakibatkan fase dormansinya yang belum terpatahkan. Lopez dkk (2011) menyatakan bahwa dormansi benih dianggap sebagai kegagalan benih untuk menyelesaikan perkecambahan dibawah kondisi yang menguntungkan disebabkan oleh berbagai faktor seperti genetic dan lingkungan serta faktor morfologis dan fisiologis benih itu sendiri yang meliputi zat yang terkandung dalam benih yang melindungi atau menutupi benih sehingga menghalangi masuknya air ke benih juga keseimbangan hormon tanaman itu sendiri (asam absisat dan giberelin). Lopez dkk (2011) juga menyebutkan bahwa salah satu metode pematahan dormansi jagung yang paling baik yaitu skarifikasi. Metode lain pematahan dormansi benih jagung yang dapat digunakan yaitu priming. Priming adalah proses hidrasi terkendali diikuti dengan pengeringan yang memungkinkan benih untuk menyerap air dan mulai proses biologis internal yang diperlukan untuk perkecambahan. Berdasarkan penelitian Soleimanzadeh (2013), priming benih dengan air , KH2 PO4 , ZnSO4 , dan KNO 3 menghasilkan persentase dan tungkat perkecambahan yang lebih tinggi selain itu perlakuan priming dengan H2O selama 18 jam juga merupakan alternatif teknik ramah lingkungan untuk meningkatkan perkecambahan biji dan komponen hasilnya. Berbeda dengan benih jagung yang ditanam, benih buncis menunjukkan perkecambahan dan pertumbuhan yang lebih cepat. Benih buncis yang ditanam mulai berkecambah pada hari kedua setelah tanam. Buncis yang diamati menunjukkan tipe perkecambahan epigeal dimana kotiledon terlihat naik ke atas permukaan tanah. Dapat diperhatikan bahwa kotiledon yang merupakan cadangan makanan benih pada tanaman buncis yang naik ke atas permukaan tanah perlahan-
lahan mengkerut dan pada akhirnya lepas dari batang. Hal ini menunjukkan bahwa
pada
fase
awal
pertumbuhan
pasca
perkecambahan,
tanaman
memanfaatkan cadangan makanan di kotiledon untuk tumbuh dan bertahan hidup hingga ia mampu memproduksi makanannya sendiri melalui proses fotosintesis. Pertumbuhannya buncis pun pun sangat cepat dibandingkan jagung, hingga hari ke tujuh tinggi tanaman terus mengalami peningkatan hingga mencapai angka 24,5 cm. Jika diperhatikan perakarannya, panjang akar buncis pada hari ketujuh mencapai 8 cm.
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum, dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan struktur benih dan tipe perkecambahan antara tanaman monokotil (jagung) serta tanaman dikotil (buncis). Tanaman monokotil (jagung) memiliki struktur benih berkeping tunggal dan mengalami tipe perkecambahan hypogeal, dimana saat perkecambahan kotiledonnya tetap berada di dalam tanah. Tanaman dikotil (buncis) memiliki struktur benih berkeping dua dan mengalami tipe perkecambahan epigeal yang ditandai dengan naiknya kotiledon ke atas permukaan tanah. Dari pengamatan, diperoleh
gambaran bahwa
buncis mengalami
perkecambahan yang lebih baik dibandingkan jagung pada perlakuan yang sama. Hal ini dimungkinkan karena kuatnya dormansi jagung sehingga sulit dipatahkan. Terdapat beberapa metode untuk memecah dormansi pada benih jagung diantaranya perlakuan skarifikasi dan priming.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell. 2012. Biologi 2. Jakarta : Erlangga Kemdiknas. 2013. bse.kemdiknas.go.id/buku/20090904004937/pdf/02_bab1.pdf 7102 aret 72diakses López, Adriana Natividad Avendaño et al. 2011. Seed Dormancy in Mexican Teosinte. Crop Science, Vol. 51, September–October 2011, p:2056-2066 Rukmana, R. 1998. Bertanam Buncis. Kanisius Yogyakarta. Soleimanzadeh, Hossein. 2013. Effect Of Seed Priming On Germination and yield Of Corn. International Journal of Agriculture and Crop Sciences, Vol. 5 (4), 2013, 366-369. Suarni dan S. Widowati. 2004. Struktur, Komposisi, dan Nutrisi Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor.