LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012
KAJIAN LEGISLASI LAHAN DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN
Oleh : Muchjidin Rachmat Chairul Muslim Muhammad Iqbal
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012
RINGKASAN EKSEKUTIF Dalam pembangunan nasional pencapaian swasembada pangan selalu merupakan menjadi prioritas. Untuk pencapaian tujuan tersebut, salah satu sumberdaya pendukung utama adalah ketersediaan lahan sehingga perlu mendapat perhatian. Kemajuan di segala bidang/sektor telah meningkatkan permintaan terhadap lahan, dan untuk mendapatkan hak atas lahan tersebut, masing masing sektor/bidang telah mengeluarkan peraturan yang memungkinkan diperolehnya hak untuk mendayagunakan lahan tersebut. Konflik kepentingan dalam rangka memperebutkan penggunaan lahan akan terjadi. Untuk memenuhi melindungi lahan pertanian produktif agar tidak dengan mudahnya dikonversi telah disusun UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, namun demikian sektor diluar pertanian juga berusaha untuk menggunakan lahan yang ada, untuk itu masing masing sektor menerbitkan UU yang berkaitan dengan kepentingannya, yang didalamnya juga mengatur tentang pendayagunaan lahan. Aturan yang tercantum dalam produk hukum tersebut berpotensi terjadi tumpang tindih dan berebut dalam pemanfaatan lahan sesuai kepentingannya. Kondisi ini akan berakibat konversi pemanfaatan lahan pertanian dan dengan sendirinya secara langsung akan mengurangi penggunaan lahan untuk tanaman pangan dan secara langsung mempengaruhi produksi dan upaya swasembada pangan. Tujuan dari kajian adalah : (1)Mengevaluasi konsistensi dan sinkronisasi peraturan perundangan dibidang lahan dalam rangka pencapaian sasaran swasembada pangan, (2) Mengevaluasi implementasi peraturan perundangan dibidang lahan, dan (c ) Menganalisis dampak implementasi peraturan dibidang lahan terhadap pencapaian sasaran swasembada pangan. Dengan luas lahan sawah sekitar 8 juta ha saat ini kemampuan lahan untuk menyediakan pangan yang layak bagi penduduk berada pada batas kritis. Pada kondisi teknologi yang tidak berubah, keinginan untuk swasembada beras sebesar 10 juta ton pada tahun 2014 hanya akan tercapai apabila tersedian lahan sawah seluas 10 juta ha. Untuk itu pencegahan konversi dan diikuti oleh pencetakan sawah baru harus diupayakan secara serius. Dalam rangka pengamanan produksi pangan jangka panjang dan pengendalian konversi lahan telah disusun UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Secara garis besar UU 41/2009 tentang PLP2B berisi aturan/ketetapan tentang: (a) perlindungan lahan pertanian berkelanjutan, (b) pengaturan alih fungsi lahan, (c) keterkaitan dengan peraturan Lain, (d) sistem informasi lahan berkelanjutan, (e) pemberdayaan masyarakat, dan (f) sistem insentif dan sangsi. Konflik kepentingan dalam rangka memperebutkan penggunaan lahan akan terjadi. Dalam implementasinya terjadi kekurang sinkronan antara UU 41/2009 dengan UU lain berkaitan penggunaan lahan, seperti dengan UU 26 /2007 tentang Penataan Ruang, UU 2/2012Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, UU 1/2011 tentang Perumahan dan kawasan Permukiman, i
serta dengan sesama UU lingkup sektor pertanian seperti UU 18/2004 tentang Perkebunan, UU 13/2010 tentang Hortikultura, UU 28/2009 tentang Peternakan dan kesehatan Hewan serta dengan Prepres Perpres 54/2008 tentang penataan ruang kawasan JABODETABEKPUNJUR dan Perpres No. 32 tahun 2011 Tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI). Ketidaksinkronan terjadi antara UU 41/2009 dengan UU No 26 /2007 tentang Penataan Ruang berkaitan dengan cakupan jenis lahan yang akan dilindungi. Dalam UU 41/2009 mengamanatkan bahwa lahan yang dilindungi mencakup lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang surut dan non pasang surut (lebak) dan atau lahan tidak beririgasi, termasuk didalamnya lahan yang di cadangkan untuk pangan berkelanjutan yang berada di dalam atau diluar kawasan pertanian pangan. Lahan tersebut berada pada kawasan perdesaan dan atau perkotaan di wilayah kabupatan /kota. Sementara dalam UU 26/2007 dan diikuti oleh Perda RTRW Propinsi dan kabupaten Kota, kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan hanya di kawasan perdesaan. UU lain yang berpotensi mengeliminir berlakunya UU 41/2009 adalah UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Berdasarkan UU tersebut, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah harus menjamin tersedianya tanah untuk Kepentingan Umum, dan pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan oleh Pemerintah. Tanah untuk Kepentingan Umum mencakup 18 jenis yang mencakup hampir seluruh kebutuhan sarana umum. Dengan dasar tersebut atas nama kepentingan umum maka lahan pertanian yang berada dalam kawasan yang dilindungi dapat dikonversi. Pada sisi lain keberadaan UU NO 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman juga berpotensi besar menjadi dasar untuk terjadinya mengkonversi lahan pertanian. Dalam UU 1/2011 dikemukakan Pemerintah dan pemerintah daaerah sesuai dengan kewenangannya bertanggungjawab atas ketersediaan tanah untuk pembagunan perumahan dan kawasan permukiman, ditetapkan dalam RTRW. Implementasi UU 41/2009 di daerah sangat beragam, baik dalam pemahaman aparat daerah tentang materi UU 41/2009 dan implemtasinya di masing masing daerah yang tertuang dalam Perda RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota. Penetapan jenis dan luas lahan pertanian pangan yang akan dilindungi dalam Perda RTRW yang cenderung lebih mengutamakan kebutuhan akan lahan lahan dari sektor lain. Konflik kepentingan penggunaan paling kompleks terjadi di Jawa Barat sejalan dengan besarnya tuntutan akan lahan sejalan dengan kemajuan di sektor diluar pertanian. Permasalahan menjadi semakin rumit dengan masuknya kepentingan politis penguasa daerah. Pada kondisi demikian maka konversi lahan manjadi tidak terkontrol. Dari penelusuran terhadap Perda RTRW kabupaten/kota di Jawa Barat diidentifikasi : (a) hampir seluruh wilayah pemerintah kota tidak mengalokasikan lahan pertanian yang dilindungi untuk lahan pangan berkelanjutan, (b) terdapat kabupaten yang mengalokasikan lahan pertanian ii
pangan yang dilindungi lebih kecil dari luas sawah irigasi teknis yang ada, (c) alokasikan lahan pertanian pangan yang dilindungi seluruh lahan pertanian sawah irigasi teknis dan sebagian lahan sawah non teknis, (d) alokasi lahan pertanian pangan yang dilindungi mencakup seluruh lahan pertanian sawah, dan (e) hanya beberapa kabupaten yang mengalokasikan lahan pertanian pangan yang dilindungi mencakup seluruh lahan pertanian sawah irigasi dan sebagian lahan non sawah. Kondisi paling ideal terjadi di propinsi Bali, keberadaan lembaga adat yang kuat mengakar dan didukung oleh kebijakan pemerintah menyebabkan perlidungn lahan lebih terkontrol. Lembaga adat tidak saja telah berperan dalam menjaga lahan pertanian sawah di propinsi Bali tetapi bersifat mengkonservasi lahan sawah, karena keberadaan lahan sawah juga didukung oleh terpeliharanya sumber air dan jaringan air dengan baik. Kasus di Sumatera Selatan, terdapat potensi besar untuk perluasan areal sawah (pencetakan sawah) dan berkembangnya kegiatan perekonomian serta perkembangan industry Kelapa Sawit dengan nilai ekonomi yang tinggi, disatu sisi memberikan peluang adanya kegiatan pencetakan sawah dan di sisi lain alih fungsi lahan sawah menjadi kebun sawit dan perumahan. Di propinsi Sulawesi Selatan, potensi pertanian sawah lebih stabil karena permintaan konversi lahan relative kecil (hanya sekitar kota propinsi) sementara permintaan untuk pencetaan sawah baru juga masih cukup besar baik dari lahan kering, bekas tambak dan bekas kebun kakao yang gagal. Dalam penerapan UU 41/2009, aturan dalam UU tersebut dinilai kurang tegas dan terlalu longgar karena cenderung menyerahkan kewenangan penetapan dan pengaturan lahan sawah yang dilindungi kepada Perda RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota. Dengan banyaknya kepentingan akan lahan di masing masing daerah, maka dalam penyusunan Perda RTRW, maka penetapan penggunaan lahan cenderung terlebih dahulu memprioritaskan untuk kebutuhan sektor pembangunan lain, sehingga lahan pertanian yang dilindungi cenderung hanya sisa lahan setelah dikurangi kebutuhan untuk non pertanian tersebut. Pada kondisi demikian maka adanya UU 41/2009 dan selanjutnya dituangkan dalam Perda RTRW telah menjadi landasan /justifikasi kuat untuk terjadinya konversi lahan pertanian sesuai yang ditetapkan Perda. Dalam kaitan dengan tersebut, maka agar secara legal lahan pertanian pangan tidak banyak dikonversi, diperlukan pemantauan, pendampingan/advokasi pemerintah kepada daerah (Dinas pertanian dan Bappeda) dalam penyusunan Perda RTRW propinsi dan RTRW kabupaten/kota secara intensif sehingga daerah lebih peduli dalam menjaga keberadaan lahan untuk pangan untuk produksi pangan masyarakat. Pada bagian lain, adanya ketentuan masa pemberlakuan Perda RTRW selama jangka waktu 20 tahun dan RTRW dapat ditinjau kembali dilakukan satu kali dalam 5 tahun memungkinkan dalam jangka waktu tersebut terjadinya perubahan komitmen dalam alokasi lahan pertanian pangan yang dilindungi. Hal ini berarti terjadi ketidakpastian hukum tentang keberadaan lahan sawah yang dilindungi dalam jangka panjang. Idealnya UU 41/2009 lebih tegas dalam menetapkan dan iii
mengatur keberadaan lahan untuk pangan. UU/2009 juga seharusnya bukan hanya melindungi tetapi dapat mengarah kepada upaya mengkonservasi lahan pertanian pangan selamanya, melalui penetapan aturan yang lebih tegas dan memberikan arahan jaminan agar lahan sawah untuk produksi pangan tersebut terlindungi selamanya. Dengan menyerahkan pengaturannya kepada Perda RTRW, maka penerapan /pelaksanaan UU 41/2009 akan masih akan membutuhkan waktu panjang, karena untuk pelaksanaan UU 41/2009 memerlukan syarat: (a) terlebih dahulu telah diterbitkannya seluruh produk hukum turunan yang diamanatkan dari UU 41/2009 berupa Peraturan Pemerintah dan Permentan, (b) telah disusun Perda RTRW Propinsi dan Perda RTRW Kabupaten /Kota yang didalamnya berisi arahan tentang kawasan lahan pertanian yang dilindungi secara wilayah, (c) harus telah disusun peraturan/perda/perbup tentang rencana Detail Tataruang yang didalamnya memuat antara lain rencana lebih rinci setiap desa/blok, (d) perlunya terlebih dahulu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar dalam implementasinya tidak terjadi konflik, dan (e) lambatnya implementasi UU 41/2009 juga berkaitan dengan adanya aturan tentang sangsi dimana setiap pejabat pemerintahan yang berwenang menerbitkan izin pengalihfungsial lahan pertanian pangan berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan dapat dipidana dengan pidana penjara sangat berat.
iv