LAPORAN AKHIR KAJIAN LEGISLASI LAHAN DAN AIR MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN (LANJUTAN)
Oleh: Muchjidin Rachmat Tri Pranadji Mewa Ariani Chaerul Muslim Cut Rabiatul Adawiyah
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013
RINGKASAN EKSEKUTIF Pendahuluan 1) Ketersediaan lahan dan air untuk pangan menghadapi tekanan akibat persaingan penggunaannya dengan banyak sektor yang masing masing bertumbuh sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Pertumbuhan ekonomi di semua sektor telah meningkatnya permintaan lahan dan air, terjadi konflik memperebutkan lahan dan air. Lahan pertanian banyak dikonversi dan terjadi degradasi lahan dan air. 2) Untuk mendapatkan hak atas lahan dan air tersebut, masing-masing sektor/bidang telah menyusun peraturan yang memungkinkan diperolehnya hak lahan dan air tersebut. Di bidang lahan, telah diterbitkan beberapa UndangUndang (UU) dan turunannya, seperti UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B); UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, UU No. 28/2009 Perumahan dan kawasan permukiman, UU No. 13/ 2010 tentang Hortikultura dan UU lainnya. Di bidang air, ada dua UU penting yang berkaitan dengan pengairan, yaitu UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air; UU No. 11/1974 tentang pengairan. 3) Berbagai kebijakan dan aturan yang dituangkan dalam produk hukum tersebut pada hakekatnya ditujukan dalam rangka pemenuhan dan akses secara legal dari masing masing pihak dalam memanfaatkan lahan dan air. Kebijakan tersebut dapat selaras atau berbenturan satu dengan yang lainnya. 4) Tujuan penelitian adalah: a) Mengevaluasi konsistensi dan sinkronisasi peraturan perundangan dibidang lahan dan air; b) Mengevaluasi implementasi peraturan perundangan dibidang lahan dan air; dan c) Menganalisis dampak implementasi peraturan dibidang lahan dan air. Ketiga hal ini terutama dikaitkan dalam upaya pencapaian sasaran swasembada pangan. 5) Penelitian ini dilaksanakan di beberapa Provinsi dengan mempertimbangkan: (a) tingkat ancaman terhadap konversi lahan; (b) potensi bagi pengembangan areal/perluasan areal; dan (c) program pembangunan ke depan berkaitan dengan kawasan pengembangan dalam MP3EI. Atas dasar itu, kajian dilaksanakan di beberapa Provinsi dan Kabupaten/Kota yaitu di Provinsi Jawa Barat, DIY, Jawa Timur, Bali, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. 6) Data yang digunakan mencakup data dan informasi sekunder dan primer. Data/informasi sekunder berupa: (1) data nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota tentang luas lahan dan air, dan (2) berbagai peraturan perundangan yang terkait dengan lahan dan air ditingkat pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi yang terkait dengan lahan dan air dari pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota. Data primer diperoleh dari berbagai xi
sumber yaitu kelompok tani, dan sumber informasi kunci lainnya yang relevan. Penggalian data dan informasi dilakukan dengan diskusi, wawancara, observasi ke lapangan, dan hasilnya dianalisis secara deskriptif kualitatif. Konsistensi Dan Sinkronisasi Perundangan Dibidang Lahan Dan Air, 7) Pengaturan tentang lahan terutama berkaitan dengan hak atas lahan dan air, diatur oleh banyak UU atau peraturan, seperti Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UU No. 5/1960) terutama berkaitan dengan hak atas tanah; UU No. 26 /2007 tentang Penataan Ruang; UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; UU No. 1/2011 tentang Perumahan dan kawasan Permukiman, serta beberapa UU lingkup sektor pertanian seperti UU No. 18/2004 tentang Perkebunan, UU No. 13/2010 tentang Hortikultura, UU No. 28/2009 tentang Peternakan dan kesehatan Hewan, Perpres No. 54/2008 tentang penataan ruang kawasan JABODETABEKPUNJUR dan Perpres No. 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI). Disamping UU yang sangat terkait dengan aspek lahan dan pertanian adalah UU No. 41/2009 tentang PLP2B, sedangkan terkait dengan aspek air adalah UU NO. 41 tentang Sumber Daya Air. Walaupun demikian diantara UU tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena berbicara masalah lahan otomatis juga membicarakan masalah air dan sebaliknya. 8) Konsisten dan sinkronisasi UU terkait lahan ditunjukkan seperti dalam penerapan UU No. 41/2009 tentang PLP2B yang bermuara adanya konflik kepentingan pemanfaatan lahan oleh seluruh pemangku kepentingan pembangunan yang menggunakan lahan. Bentuk kesepakatan dari konflik kepentingan tersebut selanjutnya tertuang dalam dokumen Peraturan nasional dan Perda RTRW Provinsi dan Perda RTRW Kabupaten/Kota yang mengatur tata ruang pembangunan termasuk pemanfaatan lahan. Kecepatan penerapan UU No. 41/2009 dimulai dari keberadaan Perda RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota. 9) Konsistensi dan sinkronisasi peraturan perundangan terkait diperolehnya jaminan ketersediaan pemanfaatan air terdapat pada beberapa UU diantaranya pada UU No. 41/2009 tentang Perlindungan LP2B yaitu pada Pasal 33: (a) pemanfaatan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan dengan menjamin konservasi tanah dan air, (b) tanggung jawab pelaksanaan konservasi sumberdaya air (Pasal 33 ayat 2 dan ayat 3), dan (c) kewajiban masyarakat dalam mencegah rusaknya irigasi (Pasal 34 ayat 1). Dalam UU tentang Pangan (UU No. 18/2012) juga mengatur tentang jaminan penyediaan lahan dan air untuk produksi pangan. Dalam Pasal 18 (ayat 1: pengaturan, pengembangan dan alokasi lahan pertanian dan sumberdaya air untuk produksi pangan, kemudian pada Pasal 22 (ayat 11): ancaman kegagalan produksi pangan akibat degradasi sumberdaya lahan dan air. xii
10) Penataan ruang dan pengelolaan sumber daya air merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling mempengaruhi. Pengelolaan sumber daya air dan lahan harus selaras dan terpadu, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air bahwa rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah, sebagaimana dalam Pasal 59 (ayat 4) berbunyi “Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau penyempurnaan rencana tata ruang wilayah”. Sejalan dengan hal ini, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang menegaskan bahwa pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lain. Implementasi Peraturan Perundangan Dibidang Lahan Dan Air 11) Secara nasional sampai tahun 2013, dari 33 Provinsi, 17 Provinsi yang telah menyelesaikan dan menerbitkan Perda RTRW. Dari 491 Kabupaten/Kota, 306 kabupaten kota yang menyelesaikan Perda RTRW (249 Perda RTRW kabupaten dari total 398 kabupaten dan 57 Perda RTRW kota dari 93 kota). Wilayah di lokasi penelitian, Provinsi Jatim, Jabar, Bali, DIY dan Sulsel yang sudah menyelesaikan Perda RTRW, namun Perda RTRW di Sulsel belum memasukkan aspek LP2B. Demikian pula, belum semua Kabupaten/Kota lokasi penelitian menyelesaikan RTRW. Padhal setelah RTRW diperlukan rancangan detail wilayah. Sampai saat ini walaupun hampir semua lokasi sudah mencadangkan lahan untuk LP2B, namun belum ada yang disyahkan dalam bentuk peraturan daerah. Kendala utama hal tersebut adalah belum selesainya penyusunan mekanisme, sumber dana dan besaran insentif bagi petani yang lahannya termasuk kegiatan LP2B. 12) Implementasi UU No. 41/2009 di daerah sangat beragam, baik dalam pemahaman aparat daerah tentang materi UU No. 41/2009 dan implemtasinya di masing-masing daerah yang tertuang dalam Perda RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota. Penetapan jenis dan luas lahan pertanian pangan yang akan dilindungi dalam Perda RTRW yang cenderung lebih mengutamakan kebutuhan akan lahan dari sektor lain. Konflik kepentingan penggunaan sangat komplek seperti yang terjadi di Jawa Barat sejalan dengan besarnya tuntutan akan lahan sejalan dengan kemajuan di sektor diluar pertanian. Permasalahan menjadi semakin rumit dengan masuknya kepentingan politis penguasa daerah. Pada kondisi demikian maka konversi lahan manjadi tidak terkontrol. 13) Telah ada UU Sumber Daya Air (2004) beserta peraturan pemerintah (PP) dan keputusan presiden (Kepres) dan peraturan presiden (Perpres). yang diluncurkan pada tahun berikutnya. Namun aturan tersebut belum banyak xiii
ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah baik dalam peraturan gubernur maupun peraturan daerah. Demikian pula telah ada peraturan terkait dengan kewenangan daerah irigasi, yaitu; 1) Kewenangan pusat, apabila daerah irigasi termasuk lintas Provinsi, lintas Kabupaten/Kota dan utuh Kabupaten/Kota, 2) Kewenangan Provinsi, apabila daerah irigasi termasuk lintas Kabupaten/Kota dan utuh Kabupaten/Kota dan 3) Kewenangan Kabupaten/Kota apabila utuh Kabupaten/Kota dan diatur oleh masing-masing wilayah. Namun, pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota belum sepenuhnya melaksanakan hal tersebut. Sampai saat ini dominan pemerintah pusat yang melaksanakan pengelolaan sumber daya air, termasuk hanya Tim Komisi Air/Tim Dewan Sumber Daya Air yang melakukan perencanaan, pelaksanaan dan monitoring pengelolaan air dengan menggunakan dana APBN. 14) Kasus di Provinsi Bali, implementasi peraturan tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan. Namun aturan tata guna air dan kelembagaannya telah diatur dalam peraturan gubernur tentang Subak sejak tahun 1972 (sebelum adanya UU sumberdaya air) dan telah diperbaharui pada tahun 2012. Dampak Implementasi Peraturan Dibidang Lahan Dan Air 15) Luasan lahan pertanian yang dicadangkan sebagai lahan pangan pertanian berkelanjutan beragam antar Provinsi. Sebagai gambaran, di Provinsi Bali dan Jawa Timur, memberi toleransi konversi lahan pertanian hanya 10%, namun dibeberapaPemerintah daerah di Provinsi Bali memberi ruang untuk konversi lahan hanya 10 % dari total lahan. Di Jawa Barat, semua pemerintahan kota tidak mengalokasikan lahan pangan berkelanjutan sedangkan di kabupaten, sebagian besar lahan yang dilindungi hanya lahan sawah beririgasi dan lebih kecil dari luas lahan irigasi yang ada. 16) Konversi lahan sawah tampanya masih terus terjadi. Belum adanya RTRWR sebagai kelanjutan dari RTRW dan juga belum adanya RTRW maka secara hukum masih dimungkinkan akan terjadi konversi lahan pertanian. Beberapa kasus dari hasil wawancara dengan stakeholder di lapangan, substansi yang digunakan untuk acuan penyusunan RPJM adalah janji-janji Gubernur/Bupati pada waktu kampanye, tidak sepenuhnya didasarkan pada potensi dan pengembangan wilayah kedepan. 17) Pengelolaan sumber daya air dominan dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah hampir dapat dikatakan tidak melaksanakan wewenangnya. Hal ini berdampak pada kerusakan jaringan irigasi, sedimentasi waduk tinggi, kerusakan DAS, dan lainnya. Bahkan terjadi juga alih fungsi pemanfaatan waduk/jaringan irigasi yangs eharusnya khusus untuk pertanian lahan sawah, namun juga digunakan untuk perikanan, tambang dan lainnya. Pembiaran jaringan irigasi yang dilakukan beberapa tahun akan mempermudah terjadinya konversi lahan sawah untuk penggunaan lainnya. xiv
18) Di Provinsi Bali, pengaturan air irigasi berpedoman pada kelembagaan SUBAK, dimana sumberdaya air dilindungi/di sakralkan dan sebagai wisata alam dan budaya. Adanya sistem insentif (alokasi APBD dari Kab. Badung) ke Kabupaten/Kota sekitarnya kecuali Kota denpasar dan Kab. Gianyar) dari kabupaten hilir/penerima manfaat wisata ke kabupaten hulu dan pemelihara objek wisata berdampak positip pada kelestarian sumberdaya air terutama yang berada di hulu. Kesimpulan 19) Dalam rangka produksi pangan pokok terutama beras ketersediaan lahan sudah berada pada tahap kritis, sehingga untuk pemenuhan kedepan perlu diupayakan perlindungan terhadap lahan sawah yang ada dan diimbangi dengan perluasan/pencetakan lahan sawah baru. 20) Kemajuan di segala bidang/sektor telah berakitan meningkatnya permintaan/tuntutan terhadap lahan. Konflik kepentingan dalam rangka memperebutkan penggunaan lahan terjadi, sehingga kejadian konversi lahan pertanian ke penggunaan lahan pertanian tidak dapat dielakkan. Untuk mendapatkan hak atas lahan dan air tersebut, masing masing sektor/bidang telah mengeluarkan peraturan yang memungkinkan diperolehnya hak untuk mendayagunakan lahan tersebut. 21) Dalam rangka pengamanan produksi pangan jangka panjang dan pengendalian konversi lahan telah disusun UU No. 41/2009 tentang UU No. 41/ 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Ketidak harmonisan dalam rangka perebutan lahan bagi produksi pangan (UU No. 41/2009 tentang PLP2B), Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (UU No 2/1012), lahan untuk perumahan dan kawasan permukiman (UU 1/2011), lahan untuk produksi perkebunan (UU No. 18/2004), lahan untuk Hortikultura (UU No. 13/2010), lahan untu peternakan (UU No. 28/2009), dan lainnya. 22) Ketidaksinkronan terjadi antara UU No. 41/2009 dengan Perda RTRW berkaitan dengan cakupan dan luasan jenis lahan yang akan dilindungi. Dalam UU No. 41/2009 mengamanatkan bahwa lahan yang dilindungi lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang surut dan non pasang surut (lebak) dan atau lahan tidak beririgasi, termasuk didalamnya lahan yang di cadangkan untuk pangan berkelanjutan yang berada di dalam atau diluar kawasan pertanian pangan. Lahan tersebut berada pada kawasan perdesaan dan atau perkotaan di wilayah kabupatan /kota. Sementara dalam Perda RTRW Provinsi dan kabupaten Kota, terjadi keragaman cakupannya dan sebagian besar hanya mengarah kepada lahan sawah irigasi teknis dan lahan beririgasi. 23) Ketidak sinkronan tersebut bermula amanat yang tertuang dari UU No. 41/2009 tersebut, yaitu: xv
a. UU No. 41/2009 terlalu longgar memberikan kewenangan pengaturan dan penetapan lahan yang akan dilindungi kepada RTRW wilayah. Dengan adanya banyak kepentingan terdapat kecenderungan lahan pertanian pangan yang dilindungi hanya sisa lahan setelah dikurangi kebutuhan untuk non pertanian, b. pada kondisi demikian maka adanya UU No. 41/2009 dan selanjutnya dituangkan dalam Perda RTRW menjadi landasan/justifikasi kuat untuk terjadinya konversi lahan pertanian sesuai yang ditetapkan perda, dan c. Seharusnya UU No. 41/2009 lebih tegas bulan lagi melindungi tetapi mengkonservasi lahan pertanian pangan, dengan menetapkan aturan lahan yang harus dikonservasi. Dengan istilah mengkonservasi berarti bukan hanya lahan pertanian yang dilindungi tetapi juga mempertahankan sarana prasarana pendukung keberadaan lahan pertanian pangan tersebut sampai kapanpun. 24) Dalam kaitan itu, agar secara legal lahan pertanian pangan tidak banyak dikonversi diperlukan pemantauan, pendampingan/advokasi kepada daerah dalam penyusunan Perda RTRW secara intensif. 25) Luas lahan yang dicadangkan untuk lahan pangan pertanian berkelanjutan bervariasi antar wilayah, padahal seharusnya semua luas lahan sawah beririgasi dan sebagian lahan kering dapat dicadangkan untuk LP2B. Hal ini berdampak pada proses konversi lahan yang terus berjalan. Pemerintah daerah belum melaksanakan wewenangnya terkait dengan pengelolaan air irigasi, sehingga banyak jaringan irigasi rusak sedimentasi yang tinggi di waduk, DAS dan lainnya. Pada beberapa kasus, pengalihan fungsi waduk, tidak hanya untuk kegiatan pertanian lahan sawah tetapi juga untuk perikanan, tambang dan lainnya. 26) Walaupun terdapat banyak UU dan peraturannya terkait sumber daya lahan dan air, namun belum semua Provinsi dan Kabupaten/Kota menindak lanjutinya. Belum semua wilayah menyelesaikan RTRW, bahkan belum ada pemerintah daerah yang mengimplementasikan UU LP2B secara detail (dimana lokasi lahan, milik siapa dan sebagainya). Demikian pula, UU sumber daya air juga belum banyak yang ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah. 27) Implementasi UU No. 41/2009 akan masih akan membutuhkan waktu panjang, karena implementasi UU No. 41/2009 memerlukan syarat: a. telah diterbitkannya seluruh produk hukum turunan yang diamanatkan dari UU No. 41/2009 berupa Peraturan Pemerintah (PP) dan Permentan, b. harus terlebih dahulu telah disusun Perda Tata Ruang Provinsi dan selanjutnya Perda Tata Ruang Kabupaten/Kota yang didalamnya berisi arahan tentang kawasan lahan pertanian yang dilindungi secara wilayah, dan c. harus telah disusun peraturan/perda/perbuptentang rencana Detail Tataruang yang didalamnya memuat antara lain rencana lebih rinci setiap xvi
desa/blok. Disamping itu langkah penting lain adalah pentingnya kegiatan sosialisasi secara terus menerus kepada masyarakat agar dalam implementasinya tidak terjadi konflik. 28) Lambatnya implementasi UU No. 41/2009 juga berkaitan dengan adanya aturan tentang sangsi dimana setiap pejabat pemerintahan yang berwenang menerbitkan izin alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan tidak sesuai dengan ketentuan dapat dipidana dengan pidana penjara sangat berat. 29) Telah ada konsistensi dan sinkronisasi antar UU terkait sumber daya air dan UU lainnya, walaupun penekanannya berbeda antar UU. Agar masing-masing undang-undang dapat diimplementasikan dengan baik, tanpa ada kerancuan maka sosialisasi UU perlu terus dilakukan ke masyarakat. Sosialisasi dilakukan oleh pemerintah daerah tidak cukup hanya kepada para kepala dinas/badan akan tetapi juga kepada semua elemen masyarakat, misal melalui gapoktan, LSM, dan sebagainya. 30) Pemerintah daerah (gubernur/bupati) belum banyak yang mengimplementasikan tindak lanjut peraturan di bidang lahan dan air. Kalaupun telah menyusun Pergub/Perda terkait sumber daya air namun peraturan tersebut belum dilaksanakan secara optimal. Masalah air masih dianggap belum penting, masih konsentrasi di bidang lahan sehingga belum sepenuhnya melaksanakan tugas di bidang air yang menjadi kewenangannya. Kerusakan sarana prasarana irigasi akan semakin parah, tata guna air juga semakin tidak seimbang (pertanian/industri/air minum). Oleh karena itu, masalah lahan dan air perlu dicermati kembali oleh para pengambil kebijakan untuk dapat dengan segera dilakukan penanganan secara komprehensif dan intensif. Selain itu juga diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah termasuk lembaga legislasi daerah untuk hal tersebut untuk penguatan swasembada pangan nasional. Implikasi Kebijakan 31) Penerapan/pelaksanaan UU No. 41/2009 perlu dipercepat derngan cara: a) Segera diterbitkan seluruh produk hukum turunan yang diamanatkan dari UU No. 41/2009 berupa Peraturan Pemerintah dan Permentan, b) Daerah diperingatkan untuk segera menyusun Perda RTRW ( Provinsi dan Kabupaten/Kota) c) Harus pula disusun peraturan/perda/perBup tentang rencana Detail Tataruang yang didalamnya memuat antara lain rencana lebih rinci setiap desa/blok. d) Dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar dalam implementasinya tidak terjadi konflik. Sosialisasi tidak cukup hanya kepada para kepala dinas/badan akan tetapi juga kepada semua elemen masyarakat, misal melalui gapoktan, LSM, dan sebagainya. xvii
e) Kordinasi konsistensi dan sinkronisasi antar peraturan yang terkait sumber daya air dan UU lainnya, Dengan ditetapkannya perda RTRW disamping diperoleh kepastian lahan pertanian pangan yang dilindungi juga merupakan titik awal alokasi sebagian lahan yang legal untuk dikonversi.Agar alokasi lahan pertanian yang legal akan dikonversi tersebut dapat diminimal maka secara dini perlu pemantauan, pendampingan/advokasi kepada daerah (Dinas pertanian dan Bappeda) dalam penyusunan Perda RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota lebih peduli dalam melindungi lahan pertanian pangan. Pada masa transisi dari pemberlakuan UU No. 41/2009 tersebut, memungkinkan terjadinya konversi lahan. Pada masa transisi sebelum UU No. 41/2009 benar benar diterapkan perlu diterbitkan aturan (Perpres/ Permentan) Tentang Pelarangan Konversi Lahan Pertanian Pangan Produktif. Pada hakekatnya pemberlakuan UU No. 41/2009 tidak akan dapat mencegah konversi lahan, bahkan konversi lahan menjadi legal sesuai UU dan Perda RTRW. Pada kondidi demikian lahan pertanian pangan akan berkurang dan mempengaruhi produksi pangan dan program swasembada pangan/beras. Untuk itu program perluasan lahan untuk produksi pangan harus mendapat perhatian lebih serius. Salah satu aspek penting yang harus disiapkan menjelang diberlakukannya UU No. 41/2009 adalah penyiapan sistem insentifnya. Keberhasilan dalam penerapan UU No. 41/2009 tentang LP2B sangat bergantung kepada pengetahuan dan selanjutnya komitmen dari seluruh komponen masyarakat terutama pengambil kebijakan pembangunan akan pentingnya penyediaan pangan masa depan dan keberadaan lahan pertanian untuk memproduksi pangan tersebut. Dengan terbangunnya kesadaran dan komitment akan arti stategis ketersediaan lahan untuk pangan akan terjadi saling mengawasi, saling mengingatkan dan saling koreksi berkaitan dengan kegiatan yang menyangkut pengrusakan, konversi dan penghilangan lahan pertanian pangan di masyarakat.
32)
33)
34)
35)
36) Indikator keberhasilan dari terbangunnya komitmen tersebut tertuang dengan adanya: (a) kebijakan/program pembangunan yang meminimalkan terjadinya konversi lahan pertanian pangan, kegiatan yang meningkatkan optimalisasi produktivitas lahan pertanian pangan dan perluasan lahan pertanian pangan, dan (b) terbangunnya kearifan masyarakat yang melindungi lahan pertanian pangan secara berkelanjutan. Langkah awal dari upaya membangun komitment harus berasal dari pengambil kebijakan mulai dari tingkat pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, kecamatan sampai desa, Untuk itu perlu dibangun lembaga/institusi di setiap tingkatan (pusat sampai daerah) yang berfungsi dalam mensosialisasikan, mengawasi penerapan dan menyelesaikan permasalahan kerkaitan dengan penyediaan lahan pangan berkelanjutan. xviii
Dalam kaitan itu Kementerian Pertanian dan jajarannya memfasilitasi keberadaan lembaga dan terbangunnya forum-forum dalam rangka terbangunnya komitmen masyarakat dalam menjaga ketersediaan lahan pertanian berkelanjutan.
xix