i
LAJU PERTUMBUHAN, PENUTUPAN DAN TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP Enhalus acoroides YANG DITRANSPLANTASI SECARA MONOSPESIES DAN MULTISPESIES
ILHAM ANTARIKSA TASABARAMO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pertumbuhan, Penutupan dan Tingkat Kelangsungan Hidup Enhalus acoroides yang ditransplantasi secara Monospesies dan Multispesies adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor,
Februari 2016
Ilham Antariksa T NIM C551130091
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait
iv
RINGKASAN ILHAM ANTARIKSA T. Laju Pertumbuhan, Penutupan, dan Tingkat Kelangsungan Hidup Enhalus acoroides yang ditransplantasi secara monospesies dan multispesies. Dibimbing oleh MUJIZAT KAWAROE dan ROHANI AMBO RAPPE. Lamun adalah jenis tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang terdiri atas 2 famili, 12 genus, dan 60 spesies. Salah satu jenis lamun yang dominan ditemukan di perairan Indonesia adalah Enhalus acoroides. E. acoroides dapat membentuk padang lamun vegetasi tunggal (monospecies vegetation) dan vegetasi campuran (multispecies vegetation). Komposisi jenis lamun di perairan dapat mempengaruhi keberadaan biota-biota asosiasi di sekitarnya, seperti ikan herbivora dan avertebrata. Peningkatan aktifitas manusia, terutama aktifitas masyarakat pesisir di sekitar perairan akan memberikan efek negatif berupa kerusakan terhadap keberadaan padang lamun. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu usaha rehabilitasi untuk mengembalikan padang lamun yang mengalami kerusakan. Teknik transplantasi merupakan salah satu cara untuk merehabilitasi padang lamun tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis laju pertumbuhan, persentase penutupan, dan tingkat kelangsungan hidup lamun E. acoroides yang ditransplantasi secara monospesies dan multispesies. Penelitian ini dilaksanakan pada Agustus 2014 hingga Januari 2015 di Perairan Pulau Badi, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan perlakuan monospecies dan multispecies (2, 4 dan 5 spesies) dimana, E. acoroides dikombinasikan dengan lamun spesies lain seperti T. hemprichii, C. rotundata, H. ovalis, H. uninervis, dan S. isoetifolium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan rata-rata transplantasi E. acoroides tertinggi ditemukan pada monospesies dengan nilai 0.29 cm/hari. Perubahan tutupan rata-rata tertinggi ditemukan pada 2 spesies yaitu kombinasi lamun E. acoroides dan C. rotundata dengan nilai 0.10% per hari. Tingkat kelangsungan hidup tertinggi ditemukan pada 2 spesies dengan kombinasi E. acoroides dan H. ovalis dan 5 spesies pada kombinasi lamun E. acoroides, S. isoetifolium, C. rotundata, H. uninervis dan H. ovalis dengan nilai 100%. Kata kunci: Enhalus acoroides, Penutupan, Pertumbuhan, Tingkat kelangsungan hidup, Transplantasi Lamun
v
SUMMARY ILHAM ANTARIKSA T. Growth Rate, Covering Percentage, and Survival Rate of Enhalus acoroides Transplantated both in Monospecies and Multispecies Way. Supervised by MUJIZAT KAWAROE dan ROHANI AMBO RAPPE. Seagrass is a kind of angiospermae plant species that consists of 12 families, 12 genuses, and 60 species. One of dominated species found in Indonesia is Enhalus acoroides. This species can live to form single seagrass bed vegetation (monospecies vegetation) and even it can be mixed with others species (multispecies vegetation). Seagrass composition in coastal areas can be affected by surrounding associated species such as herbivorous fish and invertebrates. In growing human activities, especially coastal communities can be influenced negatively to seagrass beds. Hence, it is needed an effort to rehabilitate the affected seagrass. Transplantation technic is an effort to do rehabilitation. This research was to analyze growth rate, percent cover and survival rates of seagrass E. acoroides transplanted as monospecies and multispecies. This research was conducted on August 2014 to January 2015 in Badi Island waters, Pangkep Regency, Southeast Sulawesi. This research was an experimentally used a monospecies of E. acoroides and multispecies (2, 4, and 5 species) that combined to others species such as T. hemprichii, C. rotundata, H. ovalis, H. uninervis, dan S. isoetifolium. Research results showed that the highest average growth rate of transplanted E.acoroides was found in monospecies treatment with 0.29 cm/day. The highest average cover changing was found on two combined species, E. acoroides and C. rotundata, as high as 0.10% per day. Survival rates in highest were found on 2 combined treatment species, E. acoroides and H. ovalis, and 5 combined species such as E. acoroides, S. isoetifolium, C. rotundata, H. uninervis dan H. ovalis with value 100 percent, respectively. Keywords: Enhalus acoroides, cover, growth rate, survival rate, seagrass transplantation
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii
LAJU PERTUMBUHAN, PENUTUPAN DAN TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP Enhalus Acoroides YANG DITRANSPLANTASI SECARA MONOSPESIES DAN MULTISPESIES
ILHAM ANTARIKSA TASABARAMO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Dedi Shoedarma, DEA
ix
Judul Tesis : Laju Pertumbuhan, Penutupan dan Tingkat Kelangsungan Hidup Enhalus acoroides yang Ditransplantasi secara Monospesies dan Multispesies Nama : Ilham Antariksa Tasabaramo NIM : C551130091
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Mujizat Kawaroe, MSi Ketua
Prof Dr Ir Rohani Ambo Rappe, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Neviaty P Zamani, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 4 Januari 2015
Tanggal Lulus:
x
PRAKATA Puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan semesta alam pencipta langit dan bumi yang atas berkat rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis dengan judul “Pertumbuhan, Penutupan dan Tingkat Kelangsungan Hidup Enhalus acoroides yang ditransplantasi secara Monospesies dan Multispesies”. Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Kelautan dari Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangan pikiran dan tenaga terutama kepada Ibu Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M. si dan Prof. Dr. Ir. Rohani Ambo Rappe, M. Si sebagai pembimbing yang senantiasa memberikan arahan serta bimbingannya selama penyusunan penulisan Tesis ini, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA sebagai penguji yang telah banyak memberikan saran dan kritikan. Temanteman seangkatan IKL 2013 (Ikhsan, Albida, Lalang, Riska, Rhojim, Chandrika, Natsir, alumni FIKP UNHAS yang kuliah di IPB (Krisye, Adam, A. Haerul, Hendra, Syamsidar Gaffar, Putra dan Nurma) yang telah mengispirasi, menjadi teman diskusi, dan saudara seperantauan di Bogor sebagai sumber inspirasi maupun penyemangat bagi penulis. Keluarga tercinta (Ayahanda Laudi, Ibunda Mulyana, serta kedua adikku Sabdan anugrah dan Amrir umarah) yang telah memberikan doa, kasih sayang dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan Tesis ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Tesis ini masih terdapat kelemahan yang perlu diperkuat dan kekurangan yang perlu dilengkapi. Karena itu, dengan rendah hati penulis mengaharapkan masukan, koreksi dan saran untuk memperkuat kelemahan dan melengkapi kekurangan tersebut. .
Bogor, Februari 2016
Ilham Antariksa T
xi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xii
PENDAHULUAN
1
1
2
3
Latar Belakang
1
Rumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
4
Waktu dan Tempat Penelitan
4
Alat dan Bahan
4
Prosedur Penelitian
5
Analisis Data
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
10
Parameter Lingkungan Perairan
10
Laju Pertumbuhan E. acoroides
11
Pertumbuhan (jumlah daun) E. acoroides
14
Penutupan E. acoroides
15
Tingkat kelangsungan hidup E. acoroides
17
4
SIMPULAN
21
5
SARAN
21
DAFTAR PUSTAKA
21
LAMPIRAN
25
RIWAYAT HIDUP
32
DAFTAR TABEL 1 2 3
Skala Wentworth untuk mengklasifikasi partikel-partikel sedimen (Wentworth 1922) Nilai Paremeter suhu, salinitas, Do, dan arus Nilai Parameter Nitrat dan Fosfat Perairan
6 10 11
xii
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Diagram Alir Penelitian Transplantasi Lamun di Pulau Badi Peta Lokasi penelitian Pulau Badi Laju Pertumbuhan rata-rata E. acoroides ( mean±SE, n=3) Pola Pertumbuhan rata-rata Panjang daun E. acoroides Pertumbuhan (Jumlah) daun rata-rata E. acoroides Perubahan Penutupan rata-rata E. acoroides (mean±SE, n=3) Pola Penutupan rata-rata E. acoroides Tingkat Kelangsungan Hidup rata-rata E. acorides (mean±SE, n=3) Pola Tingkat Kelangsungan Hidup rata-rata E. acoroides Pola Tingkat Kelangsungan Hidup rata-rata E. acoroides pada (a) Monospesies, (b) 2 spesies, (c) 4 spesies dan (d) 5-spesies
3 4 12 13 14 15 16 18 19 20
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Analisis Tekstur Sedimen Data Pertumbuhan E. acoroides (cm/hari) Data Penutupan E. acoroides (%) Data Tingkat Kelangsungan Hidup E. acoroides (%) Desain Percobaan Penelitian Dokumentasi Kegiatan
25 26 28 29 30 30
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Lamun adalah jenis tumbuhan berbunga (Angiospermae) terdiri atas 2 famili, 12 genus dan 60 spesies yang hidup dan berkembang baik pada lingkungan perairan laut dangkal, estuaria yang mempunyai kadar garam tinggi, daerah yang selalu mendapat genangan air ataupun terbuka saat air surut pada subtrat pasir, pasir berlumpur, lumpur lunak dan karang (Kiswara & Hutomo 1985). Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem utama di perairan laut yang memiliki fungsi sangat penting, baik itu secara ekologis maupun ekonomis, yakni sebagai stabilitas dan penahan sedimen, memperlambat pergerakan arus dan gelombang, sebagai daerah feeding, nursery, dan spawning ground, tempat berlangsungnya siklus nutrient, serta sebagai “blue carbon” yang dapat menyerap karbon di atmosfer dan digunakan dalam proses fotosintesis (Duarte et al. 2005). Lamun jenis E. acoroides diperkirakan mampu menyerap dan menyimpan karbon sebesar 0.9 ton per hektar, dimana sebagian besar disimpan dibawah substrat (Supriadi et al. 2013). Di daerah tropis E. acoroides sangat efektif dan lama dalam hal membenamkan karbon dibandingkan dengan jenis lamun lainnya, hal ini disebabkan karena lamun yang memiliki ukuran batang, rhizoma, dan akar yang lebih besar cenderung mengembangkan biomassa tinggi dibawah substrat, oleh sebab itu mampu menyerap karbon yang lebih tinggi (Duarte et al. 2010). Pulau Badi merupakan salah satu gugusan Kepulauan Spermonde dengan luas daratan 9 km2 dan memiliki jumlah penduduk 2.906 jiwa. Padatnya jumlah penduduk di pulau Badi dengan sebagian besar penduduknya bermata pencaharian nelayan dengan aktivitas sehari-hari di kawasan pesisir berpotensi memberikan dampak negatif terhadap ekosistem lamun yang memiliki peranan penting di perairan. Pentingnya fungsi lamun belum banyak dipahami oleh masyarakat, sehingga banyak lamun yang rusak akibat aktivitas manusia. Menurut Vo et al. (2013), luas total padang lamun di Indonesia semula diperkirakan 30.000 kilometer persegi, namun telah menyusut sekitar 30-40 %. Penyebab kerusakan ekosistem lamun, antara lain: adanya reklamasi pantai, pencemaran (minyak, limbah pertanian, logam berat, dll), penangkapan ikan dengan cara destruktif (bom, sianida, pukat dasar), overfishing, dan pembuangan sampah organik (Grech et al. 2012). Oleh sebab itu, untuk memulihkan kondisi ekosisitem lamun yang semakin berkurang perlu dilakukan upaya rehabilitasi lamun, melalui kegiatan transplantasi lamun. Upaya tranplantasi lamun di Indonesia telah dilakukan oleh Kawaroe et al. (2008), yaitu transplantasi lamun jenis E. acoroides dan T. hempricii di Kepulauan Seribu dengan menggunakan metode ikat karung, plug, frame, dan diperoleh hasil yang baik dengan menggunakan metode plug dengan nilai sintasan pada kedua jenis lamun sebesar 100%. Selain itu, oleh Kiswara pada tahun 19992001 di Teluk Banten, dengan menggunakan teknik penanaman tunas tunggal lamun E. acoroides dan jenis-jenis lamun C. rotundata, C. serrulata, S. isoetifolium, H. uninervis dan T. hemprichii yang memakai teknik jangkar dan tanpa jangkar, diperoleh hasil yang bervariasi dengan keberhasilan sekitar 60% E.
2
acoroides dan 80% untuk C. serrulata, sementara jenis lainnya berkisar 20-40% (Kiswara 2004). E. acoroides merupakan lamun yang dapat membentuk padang lamun vegetasi tunggal (Monospesies vegetation) dan vegetasi campuran (Multispecies vegetation). Dalam melakukan transplantasi, upaya untuk meniru kondisi alami suatu ekosistem cukup penting agar bisa mengembalikan fungsi dari ekosistem tersebut, dan untuk menilai keberhasilan transplantasi lamun perlu menganalisis beberapa parameter seperti laju pertumbuhan, penutupan dan tingkat kelangsungan hidup lamun. Dengan demikian, data terkait dari parameterparameter tersebut dapat memberikan informasi penting agar dapat dijadikan alternatif dalam upaya rehabilitasi dan peningkatan kualitas perairan. Rumusan Masalah Ekosistem lamun memiliki peranan yang sangat penting baik itu diperairan maupun bagi kehidupan masyarakat pesisir, dimana lamun memiliki fungsi ekologis, fisik dan ekonomi. Salah satu jenis lamun yang paling banyak dan dominan ditemukan di perairan Indonesia adalah E. acoroides. Lamun E. acoroides dapat membentuk padang lamun vegetasi tunggal (Monospesies vegetation) dan padang lamun vegetasi campuran (Multispesies vegetation). Komposisi jenis lamun di perairan sangat mempengaruhi keberadaan biota-biota asosiasi di padang lamun seperti ikan herbivora dan avertebrata air yang bernilai ekonomis penting. Pulau badi memilki vegetasi lamun dan jenis lamun yang sangat sedikit, dimana hanya ditemukan 4 jenis lamun, yaitu T. hempricii, C. rotundata, H. uninervis dan H. ovalis. Aktivitas manusia di kawasan pesisir pulau merupakan salah satu penyebab kurangnya vegetasi lamun. Untuk mencegah dan memulihkan kondisi ekosistem lamun yang rusak perlu suatu upaya yaitu dengan kegiatan transplantasi lamun. Transplantasi lamun merupakan salah satu cara untuk memperbaiki dan merehabilitasi habitat padang lamun yang rusak sehingga bisa menciptakan padang lamun yang baru. Penelitian ini akan mencoba mentransplantasi jenis lamun E. acoroides secara monospesies dan multispesies. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah adalah menganalisis pertumbuhan, penutupan dan tingkat kelangsungan hidup lamun E. acoroides yang ditransplantasi secara monospesies dan multispesies. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian adalah sebagai bahan informasi dan acuan untuk melakukan kegiatan rehabilitasi pada kondisi lamun yang mengalami kerusakan khususnya di Pulau Badi dan umumnya di Indonesia
3
Diagram alir pada penelitian ini adalah sebagai berikut (Gambar 1):
Salah satu jenis Lamun yang dominan di Indonesia didominasi oleh jenis E. acoroides transplantasi
Penurunan Luasan Padang Lamun
Upaya Rehabilitasi Lamun
Transplantasi Lamun jenis E.acoroides secara monospesies dan multispesies (2-,4-,5- spesies)
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian Transplantasi Lamun di Pulau Badi
4
2 METODE Waktu dan Tempat Penelitan Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 sampai Januari 2015 di Perairan Pulau Badi, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan (Gambar 2). Analisis tekstur sedimen dilakukan di Laboratorium Geomorfologi Pantai, analisis nitrat dan fosfat pada air di Laboratorium Oseanografi Kimia Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan serta analisis nitrat dan fosfat pada sedimen dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin.
Gambar 2. Peta Lokasi penelitian Pulau Badi Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan selama penelitian ini adalah kuadrat berukuran 60 cm x 60 cm (jumlah grid adalah 16 dengan ukuran 15 cm x 15 cm), patok besi dengan panjang 30 cm, patok besi dengan panjang 15 cm, tali tis, penggaris/mistar, alat tulis menulis, stapler, alat selam dasar atau SCUBA, botol sampel, botol polyethylene, tabung reaksi spektrofotometer, termometer, handrefraktrometer, GPS, dan Kamera bawah air. Bahan-bahan yang digunakan adalah Lamun jenis E. acoroides, T. hemprichii, H. ovalis, H. uninervis, C. rotundata, S. isoetifolium, MnCl2, NaOH/KI, H2SO4, Na2S2O3, brucin, H3BO3 1%, P2O5, Asam sulfat, Asam ascorbic dan ammonium mlybdate, amilum, kertas Whattman, kertas label, kertas newtop, dan kantong sampel.
5
Prosedur Penelitian Pengambilan Parameter Fisika Dan Kimia Perairan Suhu Pengukuran suhu perairan dilakukan pada lokasi transplantasi lamun menggunakan termometer. Pengambilan data suhu air tersebut dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Salinitas Salinitas air laut diukur langsung di lapangan dengan menggunakan handrefractometer. Air laut diteteskan pada kaca handrefractometer kemudian kaca handrefractometer ditutup menggunakan penutup kaca. Bantuan cahaya akan mempermudah dalam pembacaan nilai salinitas sampel pada skala handrefractometer. Pengukuran diulangi sebanyak 3 kali untuk mendapatkan nilai rata-rata pengukuran salinitas. Arus Data arus pada penelitian ini merupakan data sekunder yang diambil dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Maritim Paotere Makassar. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) Oksigen terlarut diukur dengan metode titrasi Winkler di lokasi pengamatan. Contoh air laut diambil lalu direaksikan dengan pereaksi DO (MnCl2, NaOH/KI, H2SO4, Na2S2O3, amilum), sehingga didapatkan nilai kadar oksigen terlarut dari contoh air laut tersebut di lokasi transplantasi lamun dan diukur masing-masing 3 kali ulangan. Substrat (Tekstur sedimen) Pengambilan substrat dilakukan pada tiap-tiap lokasi transplantasi lamun kemudian tekstur sedimen dari subtrat tersebut akan dianalisis di laboratorium Geomorfologi Manajemen Pantai, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Tekstur sedimen dianalisis dengan menggunakan metode ayak untuk menentukan besar butir sedimen. Sampel yang telah diambil di lapangan kemudian dikeringkan di dalam oven. Setelah kering, sampel ditimbang sebanyak 100 g kemudian tiap hasil timbangan, diayak menggunakan ayakan bertingkat dengan berbagai ukuran (sieve net). Ukuran sedimen yang didapatkan, kemudian ditimbang untuk menentukan berat tiap-tiap ukurannya. Klasifikasi ukuran butir sedimen ditentukan menggunakan skala Wenworth (Wentworth 1922). Metode yang digunakan mengklasifikasikan substrat pasir dan lumpur dengan prosedur sebagai berikut: 1. Sampel sedimen yang telah kering ditimbang sebanyak ± 100 gram, lalu diayak menggunakan sieve net bertingkat selama 15 menit dengan gerakan konstan sehingga didapatkan pemisahan partikel sedimen berdasarkan masing-masing ukuran ayakan (2 mm, 1 mm, 0.5 mm, 0.25 mm, 0.125 mm, 0.063 mm dan < 0.063 mm
6
2. Sampel dipisahkan dari masing-masing ukuran ayakan hingga bersih lalu ditimbang % Berat = (Berat Hasil Ayakan / Berat awal) x 100% Pengklasifikasian pertikel-partikel sedimen digunakan skala Wenworth (Tabel 1): Tabel 1. Skala Wentworth untuk mengklasifikasi partikel-partikel sedimen (Wentworth 1922) Terminologi Diameter (mm) > 256 Kerikil Bolder (boulder 64 – 256 Bongkah (Cobble 4 – 64 Kerakal (Pebble 2–4 Kerikil (Granule) Pasir (Sand) Pasir sangat kasar (Very Coarse sand) 1 – 2 0.5 – 1 Pasir kasar (Coarse Sand) 0.25 – 0.5 Pasir Sedang (Medium Sand) 0.125 – 0.25 Pasir Halus (Fine Sand) Pasir Sangat Halus (Very Fine Sand 0.0625 – 0.125 Lanau (Silt) 0.0039 – 0.0625 Lumpur (Mud) Lempung (Clay < 0.0039 Nitrat dan fosfat di air dan sedimen Nitrat dan fosfat yang diambil yaitu pada kolom perairan dan sedimen. Sampel air laut dan sedimen diambil pada setiap lokasi, setelah itu kandungan nitrat dan fosfatnya akan dianalisis di Laboratoroium Oseanografi kimia fakultas ilmu kelautan dan perikanan Universitas Hasanuddin. Nitrat air Sampel air disaring menggunakan kertas Whattman, kemudian dipipet 5 ml ke dalam tabung reaksi yang selanjutnya ditambahkan dengan larutan brucin sebanyak 0.5 ml lalu diaduk. Kemudian ditambahkan 5 ml asam sulfat pekat lalu diaduk dan didiamkan beberapa menit sampai dingin. Larutan blanko dibuat dari 5 ml akuades. Kadar nitrat diukur dengan menggunakan spektrofotometer (pembacaan sampel maksimal 3.5 mg/l dan minimum 0,001 mg/l) DREL 2800 dalam satuan mg/l pada panjang gelombang 420 nm. Nilai nitrat yang tertera di layar spektrofotometer DREL 2800 kemudian dicatat. Nitrat sedimen Tambahkan 50 ml amilum asetat dengan pH 4.8 pada 5 gr sampel sedimen. Sampel dikocok selama 30 menit kemudian disaring. 5 ml hasil ekstraksi dipipet ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan dengan 0.5 ml brucin dan kemudian ditambahkan dengan 5 ml H2SO4. Hasil campuran kemudian dikocok dengan pengocok tabung sampai homogen dan dibiarkan selama 30 menit. Setelah itu, sampel dimasukkan kedalam spektrofotometer dengan panjang gelombang 432 nm. Penunjukan angka pada spektrofotometer kemudian dicatat.
7
Fosfat air Saring 25-50 ml air sampel dengan menggunakan kertas saring millipore 0.45 μm, kemudian 2.0 ml air sampel yang telah disaring dipipet, dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 2.0 ml H3BO3 1%, dan diaduk, lalu ditambahkan 3.0 ml larutan pengoksida fosfat (campuran antara Asam sulfat 2.5 M, asam ascorbic dan ammonium mlybdate) lalu diaduk. Sampel dibiarkan selama satu jam, agar terjadi reaksi yang sempurna. Kadar fosfat diukur dengan menggunakan spektrofotometer DREL 2800 dalam satuan mg/l pada panjang gelombang 420 nm. Nilai fosfat yang tertera di layar spektrofotometer DREL 2800 kemudian dicatat. Fosfat sedimen Masukkan 5 gr sampel sedimen ke dalam botol polyethylene kemudian ditambahkan 2 gr karbon aktif. Sampel dilarutkan dengan 2 ml pengekstrak olsen dan dikocok selama 30 menit lalu disaring ke dalam tabung reaksi. 5 ml larutan jernih dari tabung reaksi dipipet dan ditambah 5 ml pereaksi fosfat. Setelah itu, larutan standar dibuat dengan kepekatan 0 – 10 ppm P2O5 dengan cara memipet : 1.0 ; 2.0 ; 4.0 ; 8.0 ; 10.0 ml larutan standar P2O5 10 ppm kemudian diencerkan dengan pengekstrak olsen menjadi 2 ml. Sampel dan larutan standar masingmasing ditambahkan 5 ml pereaksi fosfat, kemudian dikocok dan dibiarkan selama 30 menit. Sampel kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 693 nm. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Transplantasi lamun E. acoroides pada penelitian ini dilakukan secara monosepesies, dan multispesies (2 spesies, 4 spesies, dan 5 spesies. Secara monospesies, lamun yang ditransplantasi adalah 1 jenis lamun yaitu E. acoroides (1 perlakuan), sedangkan secara 2, 4 dan 5 spesies lamun yang ditransplantasi adalah E. acoroides dan dikombinasikan dengan jenis lamun lain (T. hemprichii, C. rotundata, H. ovalis, H. uninervis, dan S. isoetifolium). Secara 2, 4 dan 5 spesies masing-masing memiliki 5 perlakuan kombinasi (Lampiran 5). Tiap-tiap perlakuan baik itu dari monospesies maupun 2, 4 dan 5 spesies memiliki 3 kali ulangan, sehingga total perlakuan adalah 48. Dalam penelitian ini, hanya jenis E. acoroides yang dijadikan sebagai obyek pengamatan untuk pengukuran laju pertumbuhan, tutupan dan tingkat kelangsungan hidup lamun. Penentuan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan kondisi kawasan yang memiliki padang lamun dengan hamparan yang jarang, telah mengalami keruskan dan memilik kondisi parameter lingkungan yang memungkinkan untuk melakukan transplantasi lamun. Pemasangan Kuadrat Pemasangan kuadrat dilakukan setelah penentuan lokasi transplantasi, dimana pemasangan kuadrat ini akan disesuaikan dengan luasan lokasi transplantasi. Pemasangan kuadrat dilakukan dengan menggunakan SCUBA untuk memudahkan proses pemasangan, dimana masing-masing kuadrat akan
8
diberi label terlebih dahulu. Kuadrat di pasang pada kedalaman yang relatif sama, dengan kisaran kedalaman 1 m -2.5 m. Pemasangan kuadrat menggunakan patok yang berukuran 30 cm, yang dipasangkan di kedua sisi transek agar transek tidak bergeser dari posisi penanamannya. Metode Transplantasi dan Kriteria Bibit Lamun Metode transplantasi yang digunakan adalah metode tunas tunggal untuk lamun E. acoroides, kumpulan tunas (sprig) untuk lamun T. hemprichii, C. rotundata, H. ovalis, H. uninervis, S. isoetifolium dengan menggunakan jangkar (Azkab 1999, Kiswara 2004). Tahapan yang dilakukan dalam melakukan transplantasi ini adalah dengan mengambil bibit lamun jenis E. acoroides, H. ovalis, H. uninervis, maupun S. isoetifolium dari lokasi donor (Pulau Barrang Lompo). Pulau Barrang Lompo dijadikan sebagai lokasi donor dikarenakan kepadatan untuk masing-masing jenis lamun tersebut yang cukup tinggi. Sementara itu, jenis T. hemprichii dan C. rotundata diambil dari Pulau Badi. Bibit lamun yang telah diambil dibersihkan dari substratnya kemudian dipotong pada bagian pertunasan yang memiliki daun, rimpang, dan akar. Masing-masing bibit lamun yang telah dipotong, ditanam pada kuadrat di tiap-tiap grid dari kuadrat tersebut, kemudian diberi patok untuk menahan bibit lamun agar tidak mudah tercabut dari substrat. Kriteria jenis lamun yang akan dijadikan bibit adalah sebagai berikut: E. acoroides harus memiliki panjang rhizoma 15 cm, panjang daun 30 cm, dan memiliki titik tumbuh (meristem) pada ujung rhizoma; T. hemprichii memiliki panjang rhizoma 10 cm dan meristem pada ujung rhizome,H. ovalis memiliki panjang rhizoma 20 cm, S. isoetifolium memiliki panjang rhizoma 10 cm, H. uninervis memiliki panjang rhizoma 10 cm, dan C. rotundata memiliki panjang rhizoma 10 cm. Pengukuran Pertumbuhan Lamun Parameter pertumbuhan lamun yang diamati adalah pertumbuhan daun lamun dan jumlah daun jenis E. acoroides. Pengamatan pertumbuhan dan jumlah daum lamun E. acoroides akan dilakukan setiap dua minggu. Pengukuran pertumbuhan lamun dengan menggunakan metode penandaan dengan memodifikasi dari metode (Short & Duarte 2001), yaitu dengan membuat lubang atau penanda pada daun lamun menggunakan stepler, kemudian pertumbuhannya diukur dari titik tumbuh lamun sampai penanda pada daun lamun tersebut. Laju pertumbuhan daun lamun dihitung menggunakan rumus: Pertumbuhan = Lt-Lo Δt Keterangan : Lt = Panjang daun setelah waktu t (cm) L0 = Panjang daun pada pengukuran awal (cm) Δt = selang waktu pengukuran (hari)
9
Pengukuran Tutupan Lamun Pengukuran tutupan lamun E. acoroides yang ditransplantasi dilakukan di lapangan berupa pemotretan plot transek secara tegak lurus dari atas dengan menggunakan kamera underwater, yang meliput plot transek dan label kode. Persen penutupan lamun akan dihitung dengan bantuan software Photoquad V1. Pengamatan perubahan tutupan lamun E. acoroides dilakukan tiap dua minggu. Luas tutupan lamun (%) pada plot transek dengan menggunakan rumus (Brower et al. 1990). C=
a A
x 100 %
Keterangan: a : luas yang tertutupi lamun dalam plot kuadrat A : luas plot kuadrat Pengukuran Tingkat Kelangsungan Hidup Lamun Pengambilan data tingkat kelangsungan hidup lamun E. acoroides yang ditransplantasi akan dilakukan setiap dua minggu. Pengukuran tingkat kelangsungan hidup lamun E. acoroides akan dilakukan setelah semua bibit lamun telah selesai ditanam kemudian didiamkan selama seminggu agar lamun yang di transplantasi bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya dan setelah itu pada minggu selanjutnya barulah dilakukan pendataan tingkat kelangsungan hidup dengan cara mencatat jumlah unit dan tegakan lamun E. acoroides yang masih hidup. Tingkat kelangsungan hidup ini dapat dihitung menggunakan rumus Royce (1972) : SR =
𝑁𝑡 𝑁𝑜
x 100
Keterangan : SR = Tingkat keberhasilan (%) Nt = Jumlah unit transplantasi pada waktu t (Minggu) N0 = Jumlah unit transplantasi pada waktu awal atau t = 0 Analisis Data Laju pertumbuhan, penutupan dan tingkat kelangsungan hidup antar perlakuan yang berbeda pada transplantasi lamun E. acoroides akan di jelaskan secara deskriptif. Data pola pertumbuhan, penutupan dan tingkat kelangsungan akan disajikan dalam bentuk grafik, sedangkan data laju pertumbuhan, dan penutupan lamun disajikan dalam bentuk diagram.
10
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Lingkungan Perairan Parameter lingkungan di lokasi penelitian memiliki peranan terhadap pertumbuhan, penutupan dan tingkat kelangsungan hidup lamun yang ditransplantasi. Hasil pengukuran parameter lingkungan perairan di lokasi penelitian adalah sebagai berikut: Suhu, Salinitas, DO dan Arus Hasil pengukuran parameter suhu, salinitas, Do dan arus dapat dilihat pada (Tabel 2). Tabel 2. Nilai Paremeter suhu, salinitas, Do, dan arus Parameter Nilai Nilai optimal Suhu (0C) 28-31 23-32 (Lee et al. 2007) Salinitas (ppt) 29-32 31-33 (Rattanachot & Prathep 2011) DO (mg/L) 5.59-6.67 Arus (m/detik) 0.01-0.25 0.02-0.5 (Fonseca & Kenworthy 1987) Suhu perairan pada penelitian ini berkisar antara 28-310C. Menurut Lee et al. (2007) suhu optimal untuk pertumbuhan lamun pada daerah tropis berkisar antara 23-32°C. Kodisi suhu yang melewati nilai optimum akan meyebabkan lamun tersebut mengalami stress dan akhirnya mati, karena lamun tersebut akan lebih banyak melakukan proses respirasi, sehingga tingkat fotosisntesisnya sangat rendah (Marsh et al. 1986, Staehr & Borum 2011). Selain suhu, salinitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi distribusi dan tingkat kelangsungan hidup pada lamun (Salo & Pedersen 2014). Salinitas perairan pada penelitian ini berkisar antara 29-32 ppt. Menurut Rattanachot & Prathep (2011) salinitas optimal pada pertumbuhan daun lamun E. acoroides berada pada nilai 31 ppt dan 33 ppt. Salinitas yang melebihi batas optimum dapat mengurangi biomassa lamun dan secara langsung membatasi pertumbuhan lamun dengan cara menghambat pembentukan fotosintesa dan protein (Flowers 1985, Walker 1985). Kemampuan lamun dalam mentolelir salinitas berbeda-beda sesuai dengan jenis lamun tersebut. Oksigen adalah salah satu komponen utama bagi tumbuhan dalam melakukan proses fotosintesis. Kandungan oksigen (Do) perairan pada penelitian ini berkisar antara 5.59-6.67 mg/L. Nilai kecepatan arus pada penelitian ini berkisar antara 0.01-0.25 m/detik. Menurut Schanz & Asmus (2003), kecepatan arus dapat mempengaruhi lebar daun lamun yang ditransplantasi. Hal ini disebabkan knopi lamun tersebut memiliki kemampuan mengurangi kecepatan arus di perairan (Fonseca & Kenworthy 1987). Menurut Fonseca & Kenworthy (1987) kecepatan arus antara 0.02-0.5 m/detik dapat mempengaruhi produksi daun lamun Z. marina. Substrat Tipe substrat dasar perairan pada penelitian ini adalah pasir dan pasir berlempung, dimana hasil analisis laboratorium ditemukan persentase kandungan
11
pasir berkisar antara 86-93% dan termasuk dalam kategori klas tekstur pasir dan pasir berlempung, sedangkan persentase kandungan debu berkisar antara 1-4%, dan pesentase kandungan liat berkisar antara 4-11% (Lampiran 1). Menurut Nienhuis et al. (1989), lamun dapat tumbuh pada substrat berpasir, lumpur berpasir, berlumpur, dan kadang-kadang ditemukan pada daerah pecahan karang mati. Nitrat dan Posfat Hasil pengukuran parameter nitrat dan posfat dapat dilihat pada (Tabel 3). Tabel 3. Nilai Parameter Nitrat dan Fosfat Perairan Nilai NNilai Optimal pada E. Acoroides (*) Parameter Air (mg/l) Sedimen Air Sedimen (ppm) (ppm) (mg/l) Nitrat 0.42-0.63 7.56-11.63 0.9 2.2 Fosfat 0.04-0.11 19.63-24.15 0.8 0.9 Sumber: (*) (Erftemeijer 1994) Nitrat dan fosfat merupakan salah satu unsur kimia yang dibutuhkan lamun untuk pertumbuhan dan produktivitas biomassa. Pada penelitian ini nilai nitrat yang ditemukan di perairan adalah 0.42-0.63, sedangkan nitrat pada sedimen berkisar antara 7.56-11.63. Nilai fosfat pada periran berkisar antara 0.040.11, sedangkan pada sedimen berkisar antara 19.63-24.15. Kandungan nitrat dan fosfat pada sedimen lebih tinggi dibandingkan nitrat dan fosfat pada kolom air. Menurut Erftemeijer & Middelburg (1993), nutrien yang dibutuhkan oleh lamun sebagian besar berasal dari sedimen berupa nitrat dan fosfat, dimana pengambilan unsur tersebut dilakukan oleh akar pada lamun yang digunakan sebagai nutrisi pertumbuhan. Laju Pertumbuhan E. acoroides Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan E. acoroides yang ditransplantasi secara monospesies adalah 0.29 cm/hari. Laju pertumbuhan E. acoroides pada 2 spesies paling tinggi ditemukan pada kombinasi antara lamun E. acoroides dan S. isoetifolium dengan nilai rata-rata 0.27 cm/ hari. Laju pertumbuhan E. acoroides pada 4 spesies paling tinggi ditemukan pada kombinasi antara lamun E. acoroides, C. rotundata, S. isoetifolium dan H. uninervis dengan nilai rata-rata 0.22 cm/hari, dan laju pertumbuhan tertinggi pada percobaan 5 pesies ditemukan pada perlakuan kombinasi antara lamun E. acoroides, S. isoetifolium, C. rotundata, H. uninervis dan H. ovalis dengan nilai rata-rata 0.19 cm/ hari (Gambar 3). Berdasarkan hasil tersebut, semakin banyak kombinasi antar spesies lamun yang ditransplantasi, laju pertumbuhan lamun E. acoroides ikut menurun. Hal ini diduga, terjadi persaingan interspesifik yaitu persaingan antara individu dari spesies lamun yang berbeda. Persaingan antara individu dapat mempengaruhi pertumbuhan dan reproduksi (Begon et al. 1996). Persaingan pada tumbuhan terjadi untuk mendapatkan ruang dan nutrisi. Transplantasi lamun E. acoroides
12
Laju pertumbuhan lamun (cm/hari)
secara monospesies (2, 4 dan 5 spesies) memiliki laju pertumbuhan yang baik pada saat saat di kombinasikan pada lamun-lamun berukuran kecil. 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10
0,05 0,00 Ea + Si + Cr + Hu + Ho
Ea + Th + Cr + Hu + Ho
Ea + Th + Si + Hu + Ho
Ea + Th + Cr + Si + Ho
Ea + Th + Cr + Si + Hu
Ea + Si + Hu + Ho
Ea + Cr + Si + Hu
Ea + Th + Hu + Ho
Ea + Th + Si + Ho
Ea + Th + Cr + Hu
EA+Ho
EA+Hu
EA+Si
EA+Cr
EA+Th
Monospesies
2 Spesies
4 Spesies 5 Spesies
Kombinasi Spesies
Gambar 3. Laju Pertumbuhan rata-rata E. acoroides ( mean±SE, n=3) Penelitian yang dilakukan oleh Duarte et al. (2000), keberdaadan E. acoroides dapat mengurangi pertumbuhan maupun tegakan lamun-lamun yang berukuran kecil seperti S. isoetifolium dan H. ovalis, hal ini disebabkan karena E. acoroides memenangkan persaingan dalam hal penyerapan nutrient di perairan maupun sediment. E. acoroides memiliki sistem perakaran yang kuat dan besar, sehingga memudahkan untuk mengambil nutrient yang lebih banyak di dalam sedimen, selain itu E. acoroides memiliki struktur tubuh yang besar dan kanopi daun yang luas sehingga memungkinkan memenangkan persaingan ruang dan mendapatkan cahaya untuk melakukan fotosintesis dibandingkan lamun-lamun berukuran kecil (Terrados et al. 1999). Berbeda dengan monospesies yang memiliki laju pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan 2, 4 dan 5 spesies, sehingga bisa diduga bahwa E. acoroides yang ditransplantasi secara monospesies tidak terjadi persaingan intraspesifik (persaingan antara spesies lamun yang sama). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Rattanachot (2008) yang menyatakan, tidak ada persaingan intraspesifik lamun E. acoroides pada kondisi monospesies.
13
Laju pertumbuhan lamun E. acoroides yang ditransplantasi sangat berbeda dengan laju pertumbuhan lamun alami. Penelitian yang dilakukan oleh Supriadi et al. (2006) menemukan bahwa laju pertumbuhan lamun E. acoroides di Pulau Barrang Lompo adalah 1.20 cm/hari, begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Rustam et al. (2014) bahwa pertumbuhan lamun E. acoroides di Pulau Pari selama musim peralihan adalah 3.9-5.6 cm/hari. Rendahnya laju pertumbuhan lamun E. acoroides yang ditransplantasi diduga disebabkan proses adaptasi terhadap lingkungan baru yang memiliki kondisi lingkungan yang berbeda, terutama kondisi substrat, dimana lokasi donor lamun E. acoroides memili substrat berlumpur, sedangkan pada lokasi transplantasi memiliki substrat pasir dan substrat pasir berlumpur. Menurut Kiswara (1992), E. acoroides dapat tumbuh pada substrat pasir, lumpur berpasir, berlumpur dan pasir berkoral yang selalu tergenang air. Pola pertumbuhan E. acoroides awalnya mengalami kenaikan pada minggu ke 12, setelah itu terus mengalami penurunan sampai akhir penelitian yaitu minggu ke 18 (Gambar 4). Hal ini diduga karena pada minggu ke 14 sampai minggu ke 18 (akhir Desember dan Januari) merupakan musim barat. Hal ini diduga karena pada minggu ke-14 hingga ke-18 (akhir Desember dan Januari) terpengaruh dengan adanya musim barat. Menurut Ilahude & Nontji (1999) selama musim tersebut (Desember hingga Februari), angin musim barat banyak mengangkut uap air di lautan dari laut cina selatan menuju ke perairan Indonesia sehingga menyebabkan intensitas hujan menjadi lebih tinggi. Pada saat hujan, salinitas dan kondisi cahaya berubah sehingga mempengaruhi pertumbuhan lamun E. acoroides.
Pertumbuhan Panjang daun (cm/hari)
0,45 0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 10
12
14
16
18
Minggu Monospesies
2 spesies
4 spesies
5 spesies
Gambar 4. Pola Pertumbuhan rata-rata Panjang daun E. acoroides
14
Pertumbuhan (jumlah daun) E. acoroides Bentuk pertumbuhan E. acoroides adalah mono-meristem leaf-replacing form, dimana secara terus menerus dapat menghasilkan jaringan daun pada rimpangnya. Daun-daun yang sudah lama akan digantikan oleh daun baru yang tumbuh diantara daun-daun yang sudah lama (Short & Duarte 2001). Jumlah daun rata-rata E. acoroides mengalami fluktuasi (Gambar 5). Jumlah daun rata-rata E. acoroides pada monospesies terus bertambah hingga minggu ke 12, yaitu dengan rata-rata 5 daun. Setelah itu, berkurang hingga minggu terakhir pengamatan. Jumlah daun E. acoroides pada 2 spesies terus mengalami peningkatan sampai minggu ke 14 dengan rata-rata jumlah daun adalah 5.03 daun, kemudian mengalami penurunan pada minggu berikutnya, sedangkan pada 4 spesies jumlah daun E. acoroides mengalami penurunan pada minggu ke 4 dengan jumlah daun rata-rata adalah 2.74 daun, setelah itu mengalami peningkatan pada minggu berikutnya sampai minggu ke 16 dengan rata-rata jumlah daun adalah 4.34 daun, dan pada minggu ke 18 mengalami penurunan jumlah daun.
Pertumbuhan daun (Jumlah)
6,00
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00 2
4
6
8
10
12
14
16
18
Minggu Monospesies
2-spesies
4-spesies
5-spesies
Gambar 5. Pertumbuhan (Jumlah) daun rata-rata E. acoroides Jumlah daun E. acoroides pada 5 spesies terus mengalami peningkatan sampai minggu ke 8 dengan jumlah daun rata-rata adalah 3.87 daun, dan mengalami penurunan sampai minggu ke 12, dan pada minggu berikutnya sampai minggu ke 16 mengalami peningkatan jumlah daun dengan nilai rata-rata 4.52 daun, kemudian mengalami penurunan pada akhir pengamatan dengan jumlah
15
daun rata-rata adalah 4.33 daun. Penelitian yang dilakukan oleh Rattanachot (2008) di Haad Chao Mai National Park, Thailand mengatakan bahwa jumlah daun tertinggi pada E. acoroides ditemukan pada bulan Februari 2007 adalah 4.8 daun/tunas, dan jumlah daun terendah pada bulan agustus 2006 dengan nilai 3.1 daun/tunas. Selain itu, jumlah daun tertinggi ditemukan pada bulan November 2006 sampai Maret 2007 ketika itu musim kemarau dan rendah di musim hujan (Agustus-Oktober 2006 dan Mei - Juli 2007). Penutupan E. acoroides E. acoroides memiliki morfologi daun yang berukuran besar, sehingga memiliki tutupan daun yang sangat luas pada perairan dibandingkan jenis lamun lainnya, dan memungkinkan untuk memperoleh cahaya dalam melakukan proses fotosintesis. Berdasarkan (Gambar 6), lamun E. acoroides yang ditransplantasi terus mengalami perubahan penutupan yang bernilai negatif (-), artinya terjadi pengurangan tutupan lamun tiap harinya. Kombinasi Spesies 5 Spesies 4 Spesies
Ea + Si + Cr + Hu + Ho
Ea + Th + Cr + Hu + Ho
Ea + Th + Si + Hu + Ho
Ea + Th + Cr + Si + Ho
Ea + Th + Cr + Si + Hu
Ea + Si + Hu + Ho
Ea + Cr + Si + Hu
Ea + Th + Hu + Ho
Ea + Th + Si + Ho
EA+Ho
EA+Hu
EA+Si
EA+Cr
EA+Th
Monospesies
Ea + Th + Cr + Hu
2 Spesies
0,04 Perubahan penutupan lamun (%)
0,02 0 -0,02 -0,04 -0,06 -0,08 -0,1 -0,12 -0,14 -0,16
Gambar 6. Perubahan Penutupan rata-rata E. acoroides (mean±SE, n=3) Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan rata-rata tutupan lamun pada monospesies adalah 0.071% per hari. Perubahan tutupan lamun tertinggi
16
pada 2 spesies ditemukan pada kombinasi antara E. acoroides dan C. rotundata dengan nilai rata-rata 0.10% per hari. Perubahan tutupan lamun tertinggi pada 4 spesies ditemukan pada kombinasi lamun E. acoroides, T. hempricii, H. uninervis dan H. ovalis dengan nilai rata-rata 0.048% per hari, dan pada 5 spesies perubahan tutupan lamun tertinggi ditemukan pada kombinasi antara E. acoroides, T. hempricii, S. isoetifolium, H. uninervis dan H. ovalis dengan nilai rata-rata 0.016% per hari (Gambar 6). Perubahan penutupan lamun E. acoroides yang ditransplantasi diduga disebabkan oleh kecepatan arus, proses adaptasi lamun dan ikan-ikan herbivora yang hidup pada lokasi tranplantasi. Menurut Van Katwijk & Hermus (2000) kecepatan arus yang kuat dapat menurunkan tutupan daun pada lamun. Seperti halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Schanz & Asmus (2003), yang mengatakan bahwa berkurangnya lebar daun lamun Zostera notii yang ditranplantasi disebabkan oleh kondisi arus yang sangat kuat, dimana pada penelitian tersebut membandingkan transplantasi lamun pada lokasi yang terlindung dan yang tidak terlindung oleh arus. Pola rata-rata penutupan E. acoroides yang ditransplantasi mengalami fluktuasi tiap minggunya (Gambar 7). Tutupan lamun E. acoroides pada monospesies dan multispesies (2, 4, dan 5 spesies) pada minggu ke-4 hingga ke-6 mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh kondisi arus yang cukup kuat membuat daun yang sudah tua semakin cepat luruh menjadi serasah. Selain itu, lamun yang ditransplantasi juga diketahui memiliki periode masa kritis sehingga pada awal-awal setelah tahap transplantasi tersebut lamun masih mencoba untuk beradaptasi di lingkungan yang baru. Penelitian yang dilakukan oleh Thangaradjou & Kannan (2008) menjelaskan bahwa tiga bulan periode pertama merupakan masa kritis bagi lamun yang ditransplantasi untuk mencoba melakukan adaptasi terhadap lingkungan.
Penutupan Lamun (%)
35 30 25 20 15 10 5 0 2
4
6
8
10
12
14
16
Minggu 1 spesies
2 spesies
4 spesies
5 spesies
Gambar 7. Pola Penutupan rata-rata E. acoroides
18
17
Ikan-ikan herbivora yang hidup pada lokasi transplantasi juga diduga dapat mempengaruhi tutupan lamun karena kebiasaan ikan-ikan tersebut untuk memakan daun dan epifit lamun. Penelitian Rappe (2010), menemukan ada 14 famili ikan yang biasa hidup di area lamun, seperti dari famili Gerreidae, Siganidae, Labridae, Pomacentridae, Nemipteridae, Gobiidae, Sphyraenidae, Muraenidae, Monachantidae, Tetraodontidae, Hemiramphidae, Serranidae, dan Acanthuridae. Hasil penelitian Latuconsina et al. (2013) mengatakan bahwa, ikan Siganus canaliculatus merupakan pemakan daun lamun, hal ini disebabkan karena ditemukannya larva gastropoda pada lambung Siganus canaliculatus karena gastropoda tersebut selama fase larva dan juvenil menempel (epifit) pada daun lamun. Tingkat kelangsungan hidup E. acoroides Hasil peneltian menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup rata-rata E. acoroides pada monospesies adalah 58.33%. Tingkat kelangsungan hidup E. acoroides tertinggi pada 2 spesies ditemukan pada kombinasi lamun E. acoroides dan H. ovalis dengan nilai rata-rata 100%. Tingkat kelangsungan hidup tertinggi pada 4 spesies ditemukan pada kombinasi lamun E. acoroides, T. hempricii, C. rotundata, H. uninervis dan perlakuan dengan kombinasi lamun antara E. acoroides, C. rotundata, S. isoetifolium dan H. uninervis dengan masing-masing memiliki nilai rata-rata 91,67%. Tingkat kelangsungan hidup tertinggi pada 5 spesies ditemukan pada kombinasi lamun E. acoroides, S. isoetifolium, C. rotundata, H. uninervis dan H. ovalis dengan nilai rata-rata 100% (Gambar 8). Tingginya tingkat kelangsungan hidup pada 2 spesies pada dengan kombinasi lamun E. acoroides dan H. ovalis dan percobaan 5 spesies ditemukan pada perlakuan dengan kombinasi lamun antara E. acoroides, S. isoetifolium, C. rotundata, H. uninervis dan H. ovalis, disebabkan karena akar lamun E. acoroides tersebut sudah mampu melekat pada substrat di lokasi trasnplantasi. E. acoroides merupakan lamun yang memiliki morfologi rhizoma yang kuat untuk menancapkan diri pada sedimen sehingga memungkinkan untuk bertahan hidup pada periode masa kritis saat ditransplantasi. Menurut Harah & Sidik (2013), E. acoroides memiliki akar dengan panjang mencapai 7.70-27.10 cm, sehingga dapat menancap secara kuat pada substrat. Selain itu, bantuan jangkar yang digunakan pada unit transplantasi sangat membantu penjalaran rhizoma lamun E. acoroides untuk beradaptasi pada substrat di lokasi transplantasi. Selanjutnya Vermaat et al. (1995) menyatakan bahwa, E. acoroides memiliki penjalaran rhizoma yang sangat lambat dibandingkan lamun jenis lainnya, dimana penjalaran rhizomanya adalah 0.015 cm/hari. Beberapa hasil penelitian transplantasi lamun dengan menggunakan jangkar menunjukkan tingkat keberhasilan yang baik. Seperti Lanuru (2011), menemukan tingkat kelangsungan hidup E. acoroides yang ditransplantasi di Labakkang dan Lae-lae selama satu bulan adalah 95-100% dan Zhang et al. (2015) yang melakukan transplantasi lamun Zostera marina dengan perlakuan kondisi substrat yang berbeda di Danau Swan, menemukan bahwa tingkat kelangsungan hidup pada Z. marina adalah 100%.
18
120
Tingkat Kelangsungan Hidup (%)
100
80
60
40
20
0 Ea + Si + Cr + Hu + Ho
Ea + Th + Cr + Hu + Ho
Ea + Th + Si + Hu + Ho
Ea + Th + Cr + Si + Ho
Ea + Th + Cr + Si + Hu
Ea + Si + Hu + Ho
Ea + Cr + Si + Hu
Ea + Th + Hu + Ho
Ea + Th + Si + Ho
Ea + Th + Cr + Hu
EA+Ho
EA+Hu
EA+Si
EA+Cr
EA+Th
Monospesies
2 Spesies
4 Spesies 5 Spesies
Kombinasi Spesies
Gambar 8. Tingkat Kelangsungan Hidup rata-rata E. acorides (mean±SE, n=3) Pola tingkat kelangsungan hidup lamun E. acoroides pada monospesies, 2 spesies, 4 spesies dan 5 spesies terus mengalami penurunan tiap 2 minggu (Gambar 9). Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antropogenik, seperti banyaknya jangkar kapal, erosi, sedimentasi yang tinggi, perubahan cuaca, kekeruhan, pertumbuhan epifit, dan invasi spesies (Erftemeijer & Lewis 2006, Höffle et al. 2011, Grech et al. 2012, Koch et al. 2013). Selain itu faktor hidrodinamika yang kuat dapat mengakibatkan lepasnya rhizoma lamun dari substratnya (Kirkman & Kuo 1990). Tingkat kelangsungan hidup E. acoroides pada monospesies mengalami penurunan tiap 2 minggu, dimana tingkat kelangsungan hidup lamun E. acoroides di awal pengamatan adalah 100% dan terus mengalami penurunan hingga akhir pengamatan menjadi 58.33% (Gambar 10).
19
120
Tingkat Kelangsungan Hidup (%)
100
80
60
40
20
0 2
4
6
8
10
12
14
16
18
Minggu 1 spesies
2 spesies
4 spesies
5 spesies
Gambar 9. Pola Tingkat Kelangsungan Hidup rata-rata E. acoroides Penurunan tingkat kelangsungan hidup E. acoroides pada monospesies disebabkan karena pada salah satu ulangan perlakuan mengalami penurunan jumlah unit tegakan, yang disebabkan karena jangkar kapal yang mengenai kuadrat pada monospesies, dan kuatnya arus dan gelombang menyebabkan jangkar penahan unit transplantasi mudah terangkat, sehingga beberapa unit lamun E. acoroides yang belum menancapkan rhizomanya akat mudah tergerus dan mati. Penelitian yang dilakukan oleh Walker et al. (1989), bahwa Pulau Rottnest kehilangan luasan padang lamun sebesar 5.4 Ha yang disebakan oleh jangkar kapal, dimana satu jangkar kapal tersebut dapat merusak luasan padang lamun sekitar 3-300 m2. Penurunan tinggkat kelangsungan hidup E. acoroides pada 2, 4 dan 5 spesies juga disebabkan oleh jangkar kapal serta gelombang dan arus yang kuat yang merusak kuadrat transplantasi. Selain itu, sedimentasi juga merupakan penyebab turunnya tingkat kelangsungan hidup E. acoroides, dimana sedimentasi yang terjadi pada lokasi transplantasi akan menutupi atau mengubur daun lamun E. acoroides sehingga menjadi penghambat dalam proses fotosintesis. Penelitian yang dilakukan oleh Duarte et al. (1997), bahwa E. acoroides dapat mengalami mortalitas sebesar 20% pada percobaan penguburan sedimen setebal 16 cm. Hal yang sama dilakukan oleh Mills & Fonseca (2003), yang menemukan bahwa terjadi kematian pada lamun Z. marina sebesar 75% diakibatkan oleh penguburan sedimen setebal 16 cm.
100 80 60 40 20 0 2
4
6
8
10 12 14 16 18
Tingkat Kelangsungan Hidup (%)
Tingkat Kelangsungan Hidup (%)
20
100 80 60 40 20 0
2
Minggu
4
6
Minggu
Monospesies
EA+Th
EA+Cr
EA+Hu
EA+Ho
100 80 60 40 20 0 4
6
EA+Si
(b)
8 10 12 14 16 18
Tingkat Kelangsungan Hidup (%)
Tingkat Kelangsungan Hidup (%)
(a)
2
8 10 12 14 16 18
100 80 60 40 20 0 2
4
6
Minggu
8 10 12 14 16 18 Minggu
Ea + Th + Cr + Hu
Ea + Th + Si + Ho
Ea + Th + Cr + Si + Hu
Ea + Th + Cr + Si + Ho
Ea + Th + Hu + Ho
Ea + Cr + Si + Hu
Ea + Th + Si + Hu + Ho
Ea + Th + Cr + Hu + Ho
Ea + Si + Cr + Hu + Ho
Ea + Si + Hu + Ho
(c)
(d)
Gambar 10. Pola Tingkat Kelangsungan Hidup rata-rata E. acoroides pada (a) Monospesies, (b) 2 spesies, (c) 4 spesies dan (d) 5spesies Faktor lain yang mempengaruhi penurunan tingkat kelangsungan hidup E. acoroides adalah karena keberadaan makroalga epifit yang menempel pada daun lamun. Penelitian yang dilakukan oleh Rappe (2012), makroalga epifit banyak dan lebih beragam ditemukan pada lamun E. acoroides, hal ini disebabkan karena E. acoroides memiliki ukuran yang besar dan berumur panjang. Banyaknya epifit pada daun lamun tersebut bisa menggagu proses fotosistesis melalui daun lamun tersebut. Hasil penelitian Ballesteros et al. (2007), alga merah Lophocladia lallemandii yang tumbuh sebagai epifit pada lamun Posidonia oceanica dapat
21
mengurangi kerapatan lamun, biomassa daun lamun, dan tingkat kelangsungan hidup lamu tersebut.
4 SIMPULAN Laju pertumbuhan lamun transplantasi jenis E. acoroides tertinggi ditemukan pada monospesies. Perubahan tutupan lamun tertinggi ditemukan pada 2 spesies yaitu kombinasi lamun E. acoroides dan C. rotundata. Tingkat kelangsungan hidup paling tinggi ditemukan pada 2 spesies yaitu kombinasi lamun E. acoroides dan H. ovalis dan 5 spesies pada kombinasi lamun E. acoroides, S. isoetifolium, C. rotundata, H. uninervis dan H. ovalis. Ditinjau dari segi pertumbuhan, efisiensi dan tingkat kemudahan melakukan transplantasi, E. acoroides lebih baik ditransplantasi secara monospesies, akan tetapi, untuk meningkatkan keanekaragaman hayati pada ekosisitem lamun, E. acoroides lebih baik ditransplantasi secara multispesies.
5 SARAN Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan mengkaji laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup lamun dari jenis lain (T. hemprichii, C. rotundata, H. ovalis, H. uninervis, dan S. isoetifolium). Dalam melakukan kegiatan transplantasi lamun, sebaiknya dimulai pada musim timur (Bulan Juni dan Juli), dimana pada musim ini kondisi gelombang dan arus stabil.
DAFTAR PUSTAKA Azkab MH. 1999. Petunjuk penanaman lamun. Oseana. 24(3):11-25 Ballesteros E, Cebrian E, Alcoverro T. 2007. Mortality of shoots of Posidonia oceanica following meadow invasion by the red alga Lophocladia lallemandii. Botan Mar. 50(1):8-13 Begon M, Harper J, Townsend C. 1996. Ecology: Individuals, Populations and Communities. Oxford (UK): Blackwell Science Brower J, Zar J, Von Ende C. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Dubuque (US): Brown Company Publisher. Duarte CM, Marbà N, Gacia E, Fourqurean JW, Beggins J, Barrón C, Apostolaki ET. 2010. Seagrass community metabolism: Assessing the carbon sink capacity of seagrass meadows. Global Biogeochemic Cycl. 24(4):1-8 Duarte CM, Middelburg JJ, Caraco NF. 2005. Major role of marine vegetation on the oceanic carbon cycle. Biogeoscien. 2(1):1-8 Duarte CM, Terrados J, Agawin NS, Fortes MD. 2000. An experimental test of the occurrence of competitive interactions among SE Asian seagrasses. MEPS. 197:231-240
22
Duarte CM, Terrados J, Agawin NS, Fortes MD, Bach S, Kenworthy WJ. 1997. Response of a mixed Philippine seagrass meadow to experimental burial. MEPS. 147:285-294 Erftemeijer P, Middelburg J. 1993. Sediment-nutrient interactions in tropical seagrass beds: a comparison between a terrigenous and a carbonate sedimentary environment in South Sulawesi (Indonesia). Marine Ecolog Progr Ser. 102 Erftemeijer PL. 1994. Differences in nutrient concentrations and resources between seagrass communities on carbonate and terrigenous sediments in South Sulawesi, Indonesia. Bull of Mar Scien. 54(2):403-419 Erftemeijer PL, Lewis RRR. 2006. Environmental impacts of dredging on seagrasses: a review. Marine Pollut Bull. 52(12):1553-1572 Flowers T. 1985. Physiology of halophytes. Plant and Soil. 89(1-3):41-56 Fonseca MS, Kenworthy WJ. 1987. Effects of current on photosynthesis and distribution of seagrasses. Aquat Botan. 27(1):59-78 Grech A, Chartrand-Miller K, Erftemeijer P, Fonseca M, McKenzie L, Rasheed M, Taylor H, Coles R. 2012. A comparison of threats, vulnerabilities and management approaches in global seagrass bioregions. Environment Resear Lett. 7(2):1-8 Harah ZM, Sidik BJ. 2013. Occurrence and Distribution of Seagrasses in Waters of Perhentian Island Archipelago, Malaysia. J of Fisher and Aquat Scien. 8(3):441 Höffle H, Thomsen MS, Holmer M. 2011. High mortality of Zostera marina under high temperature regimes but minor effects of the invasive macroalgae Gracilaria vermiculophylla. Estuar, Coast and Shelf Scien. 92(1):35-46 Ilahude A, Nontji A. 1999. Oseanografi Indonesia dan perubahan iklim global (El Nino dan La Nina). Puslitbang Oseanologi-LIPI Jakarta. Hlm.1-13 Kawaroe M, Jaya I, Indarto. 2008. Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun pada Jenis Enhalus acoroides dan Thallassia hemprichii di Kepulauan Seribu. LPPM-IPB. Kirkman H, Kuo J. 1990. Pattern and process in southern Western Australian seagrasses. Aquat Botan. 37(4):367-382 Kiswara W. 1992. Vegetasi lamun (seagrass) di rataan terumbu Pulau Pari, PulauPulau Seribu Jakarta. Oseanol Di Indones. 25:31-49 Kiswara W. 2004. Kondisi padang lamun (seagrass) di perairan Teluk Banten 1998-2001. Lembaga Penelitaian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.33 hal Kiswara W, Hutomo M. 1985. Habitat Dan Sebaran Geografik Lamun. Oseana. 10(1):21-30 Koch M, Bowes G, Ross C, Zhang XH. 2013. Climate change and ocean acidification effects on seagrasses and marine macroalgae. Global Change Biol. 19(1):103-132 Lanuru M. 2011. Bottom Sediment Characteristics Affecting the Success of Seagrass (Enhalus acoroides) Transplantation in the Westcoast of South Sulawesi (Indonesia). Di dalam: 3rd International Conference on Chemical, Biological and Environmental Engineering IPCBEE. 23 - 25 September 2011; Singapore IACSIT Press. hlm 97-102.
23
Latuconsina H, Rappe RA, Nessa MN. 2013. Asosiasi ikan baronang (Siganus canaliculatus Park, 1797) pada ekosistem padang lamun perairan Teluk Ambon Dalam. J Ikhtiol Indones. 13(1):35-53 Lee K-S, Park SR, Kim YK. 2007. Effects of irradiance, temperature, and nutrients on growth dynamics of seagrasses: a review. J of Experiment Marine Biol and Ecol. 350(1):144-175 Marsh JA, Dennison WC, Alberte RS. 1986. Effects of temperature on photosynthesis and respiration in eelgrass (Zostera marina L.). J of Experiment Marine Biol and Ecol. 101(3):257-267 Mills KE, Fonseca MS. 2003. Mortality and productivity of eelgrass Zostera marina under conditions of experimental burial with two sediment types. Marine Ecology Progress Series. 255:127-134 Nienhuis P, Coosen J, Kiswara W. 1989. Community structure and biomass distribution of seagrasses and macrofauna in the Flores Sea, Indonesia. Netherlands J of Sea Resear. 23(2):197-214 Rappe RA. 2010. Struktur Komunitas Ikan Pada Padang Lamun Yang Berbeda Di Pulau Barrang Lompo JITKT. 2(2):62-72 Rappe RA. 2012. Asosiasi Makroalga Epifit Pada Berbagai Jenis Lamun Di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Di dalam: Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VIII ISOI 2011. 25-27 September 2011; Makassar ISOI. hlm 8-16. Rattanachot E. 2008. The Effect of Shoot Density on Growth, Recruitment and Reproduction of Enhalus acoroides (Lf) Royle at Haad Chao Mai National Park, Trang Province, Thailand [Thesis]. Thailand: Prince of Songkla University. Rattanachot E, Prathep A. 2011. Temporal variation in growth and reproduction of Enhalus acoroides (Lf) Royle in a monospecific meadow in Haad Chao Mai National Park, Trang Province, Thailand. Botan Mar. 54(2):201-207 Royce W. 1972. Introduction to the Fishery Sciences. New-York. San-Fransisco, London: Academic Press. Rustam A, Bengen DG, Arifin Z, Gaol JL, Arhatin RE. 2014. Growth Rate And Productivity Dynamics Of Enhalus Acoroides Leaves At The Seagrass Ecosystem In Pari Islands Based On In Situ And Alos Satellite Data. IJReSES. 10(1):37-46 Salo T, Pedersen MF. 2014. Synergistic effects of altered salinity and temperature on estuarine eelgrass (Zostera marina) seedlings and clonal shoots. J of Experiment Marine Biol and Ecol. 457:143-150 Schanz A, Asmus H. 2003. Impact of hydrodynamics on development and morphology of intertidal seagrasses in the Wadden Sea. Marine Ecol Progr Series. 261(1):123-134 Short FT, Duarte CM. 2001. Methods for the measurement of seagrass growth and production. Global seagrass research methods.155-182 Staehr PA, Borum J. 2011. Seasonal acclimation in metabolism reduces light requirements of eelgrass (Zostera marina). J of Experiment Marine Biol and Ecol. 407(2):139-146 Supriadi S, Kaswadji RF, Bengen DG, Hutomo M. 2013. Potensi Penyimpanan Karbon Lamun Enhalus acoroides di Pulau Barranglompo Makassar.
24
Supriadi S, Soedharma D, Kaswadji RF. 2006. Beberapa Aspek Pertumbuhan Lamun Enhalus acoroides (Linn. F) Royle di Pulau Barranglompo Makassar. J Biosf. 23(1):1-8 Terrados J, Agawin NS, Duarte CM, Fortes MD, Kamp-Nielsen L, Borum J. 1999. Nutrient limitation of the tropical seagrass Enhalus acoroides (L.) Royle in Cape Bolinao, NW Philippines. Aquat Botan. 65(1):123-139 Thangaradjou T, Kannan L. 2008. Survival and growth of transplants of laboratory raised axenic seedlings of Enhalus acoroides (Lf) Royle and field-collected plants of Syringodium isoetifolium (Aschers.) Dandy, Thalassia hemprichii (Ehrenb.) Aschers. and Halodule pinifolia (Miki) den Hartog. J of Coast Conservat. 12(3):135-143 Van Katwijk M, Hermus D. 2000. Effects of water dynamics on Zostera marina: transplantation experiments in the intertidal Dutch Wadden Sea. Marine Ecol Progr Ser. 208:107-118 Vermaat J, Agawin N, Duarte C, Fortes M, Marba N, Uri J. 1995. Meadow maintenance, growth and productivity of a mixed Philippine seagrass bed. Marine ecol progress ser. Oldend. 124(1):215-225 Vo ST, Pernetta JC, Paterson CJ. 2013. Status and trends in coastal habitats of the South China Sea. Ocean & Coast Managem. 85:153-163 Walker D. 1985. Correlations between salinity and growth of the seagrass Amphibolis antarctica (Labill.) Sonder & Aschers., in Shark Bay, Western Australia, using a new method for measuring production rate. Aquat botan. 23(1):13-26 Walker D, Lukatelich R, Bastyan G, McComb A. 1989. Effect of boat moorings on seagrass beds near Perth, Western Australia. Aquat Botan. 36(1):69-77 Wentworth CK. 1922. A scale of grade and class terms for clastic sediments. The J of Geology.377-392 Zhang Q, Liu J, Zhang P-D, Liu Y-S, Xu Q. 2015. Effect of silt and clay percentage in sediment on the survival and growth of eelgrass Zostera marina: Transplantation experiment in Swan Lake on the eastern coast of Shandong Peninsula, China. Aquat Botan. 122:15-19
25
Lampiran 1. Analisis Tekstur Sedimen Ulangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pasir (%) 92 90 89 93 90 89 91 86 88
Debu (%) 3 4 2 3 3 2 1 4 1
Tekstur Liat (%) 5 6 9 4 7 9 8 10 11
LAMPIRAN
Klas Tekstur Pasir Pasir Pasir berlempung Pasir Pasir Pasir berlempung Pasir Pasir berlempung Pasir berlempung
26
Lampiran 2. Data Pertumbuhan E. acoroides (cm/hari) Perlakuan
M inggu 10
Minggu 12
Minggu 14
Minggu 16
Minggu 18
Monospesies
0.2975
0.3740
0.1686
0.1844
0.2174
EA+Th
0.2215
0.3171
0.2286
0.2885
0.1519
EA+Cr
0.2700
0.3101
0.1429
0.1083
0.1206
EA+Si
0.2881
0.3854
0.1720
0.2580
0.2247
EA+Hu
0.4027
0.2024
0.2188
0.1599
0.0921
EA+Ho
0.2602
0.3046
0.2193
0.1577
0.1020
Ea + Th + Cr + Hu
0.1004
0.1782
0.2474
0.0681
0.1175
Ea + Th + Si + Ho
0.3516
0.1548
0.1937
0.0849
0.0512
Ea + Th + Hu + Ho
0.2980
0.1490
0.1214
0.0908
0.1014
Ea + Cr + Si + Hu
0.3823
0.1857
0.2818
0.1576
0.0841
Ea + Si + Hu + Ho
0.3206
0.3437
0.2302
0.1377
0.0881
Ea + Th + Cr + Si + Hu
0.1944
0.2508
0.0667
0.0393
0.0226
Ea + Th + Cr + Si + Ho
0.2754
0.2802
0.2587
0.1214
0.1357
Ea + Th + Si + Hu + Ho
0.2419
0.1506
0.0048
0.2939
0.0619
Ea + Th + Cr + Hu + Ho
0.1534
0.1838
0.1029
0.1909
0.0690
Ea + Si + Cr + Hu + Ho
0.1937
0.3183
0.0833
0.1510
0.0599
28
Lampiran 3. Data Penutupan E. acoroides (%) Perlakuan
Minggu 2
Minggu 4
Minggu 6
Minggu 8
Minggu 10
Minggu 12
Minggu 14
Minggu 16
Minggu 18
Monospesies
26.07
21.54
19.38
20.76
18.83
25.93
25.73
25.42
17.09
EA+Th
12.51
13.18
7.55
7.78
8.17
12.43
12.38
13.05
9.94
EA+Cr
20.41
13.74
8.46
9.84
11.97
10.76
10.94
9.48
7.87
EA+Si
17.17
18.91
15.93
14.86
15.64
18.84
15.40
14.86
11.76
EA+Hu
13.05
10.55
7.56
8.78
9.29
12.01
8.90
9.44
6.39
EA+Ho
13.99
11.38
6.16
7.30
10.32
16.51
17.86
13.51
11.41
Ea + Th + Cr + Hu
6.78
7.77
4.70
5.34
5.70
4.86
6.16
6.04
4.89
Ea + Th + Si + Ho
7.78
7.41
4.32
4.12
5.87
4.83
5.65
4.77
2.45
Ea + Th + Hu + Ho
8.02
7.29
1.63
2.18
2.18
1.92
1.97
2.58
1.91
Ea + Cr + Si + Hu
5.37
5.04
3.48
4.43
6.23
5.84
6.43
7.49
5.21
Ea + Si + Hu + Ho
5.34
6.40
4.76
3.95
4.19
4.20
4.21
4.58
3.78
Ea + Th + Cr + Si + Hu
4.37
4.70
4.63
4.72
5.73
7.63
4.77
4.69
3.64
Ea + Th + Cr + Si + Ho
5.83
7.51
8.63
7.32
7.78
7.25
7.19
7.84
4.19
Ea + Th + Si + Hu + Ho
5.64
6.59
6.45
4.31
2.39
5.42
4.80
5.19
3.58
Ea + Th + Cr + Hu + Ho
5.49
5.21
4.43
3.64
4.16
4.54
4.55
4.22
4.91
Ea + Si + Cr + Hu + Ho
4.20
3.67
4.52
3.57
3.40
4.74
3.23
3.35
2.22
27
29
28
Lampiran 4. Data Tingkat Kelangsungan Hidup E. acoroides (%) Perlakuan
Minggu 2
Minggu 4
Minggu 6
Minggu 8
Minggu 10
Minggu 12
Minggu 14
Minggu 16
Minggu 18
Monospesies
100
93.75
89.58
87.50
85.42
77.08
70.83
66.67
58.33
EA+Th
100
91.67
87.50
87.50
79.17
66.67
66.67
66.67
62.50
EA+Cr
100
87.50
87.50
87.50
83.33
83.33
75.00
75.00
66.67
EA+Si
100
100.00
95.83
91.67
91.67
91.67
70.83
70.83
66.67
EA+Hu
100
100.00
100.00
100.00
82.14
77.98
68.45
68.45
66.67
EA+Ho
100
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Ea + Th + Cr + Hu
100
100.00
100.00
100.00
100.00
91.67
91.67
91.67
91.67
Ea + Th + Si + Ho
100
83.33
83.33
75.00
66.67
66.67
58.33
58.33
50.00
Ea + Th + Hu + Ho
100
83.33
83.33
83.33
75.00
75.00
75.00
75.00
66.67
Ea + Cr + Si + Hu
100
100.00
100.00
91.67
91.67
91.67
91.67
91.67
91.67
Ea + Si + Hu + Ho
100
100.00
100.00
91.67
75.00
75.00
75.00
75.00
75.00
Ea + Th + Cr + Si + Hu
100
100.00
100.00
100.00
77.78
66.67
66.67
66.67
55.56
Ea + Th + Cr + Si + Ho
100
100.00
100.00
100.00
88.89
77.78
77.78
77.78
77.78
Ea + Th + Si + Hu + Ho
100
100.00
100.00
91.67
83.33
83.33
83.33
83.33
83.33
Ea + Th + Cr + Hu + Ho
100
100.00
100.00
100.00
88.89
77.78
77.78
77.78
77.78
Ea + Si + Cr + Hu + Ho
100
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
30
Lampiran 5. Desain Percobaan Penelitian
Monospesies
Transplantasi Lamun E. acoroides
1 Spesies (E. acoroides)
2 Spesies
Multispesies
4 Spesies
5 Spesies
EA+TH EA+ Cr EA+Si EA+Hu EA+Ho
Ea+Th+Cr+Hu Ea+Th+Si+Ho Ea+Th+Hu+Ho Ea+Cr+Si+Hu Ea+Si+Hu+Ho
Laju Pertumbuhan Penutupan Tingkat kelangsungan Hidup
Ea+Th+Cr+Si+Hu Ea+Th+Cr+Si+Ho Ea+Th+Si+Hu+Ho Ea+Th+Cr+Hu+Ho Ea+Si+Cr+Hu+Ho
29
Parameter Lingkungan Suhu, Salinitas, Kecepatan Arus, DO, Substrat, Nitrat dan Fosfat (Air dan Sedimen)
30 30 Lampiran 6. Dokumentasi Kegiatan
Pengumpulan Bibit Lamun dari lokasi donor
Transplantasi Lamun E. acoroides pada kuadrat 60 cm x 60 cm
Pengukuran Laju Pertumbuhan dan Tingkat kelangsungan hidup Lamun E. acoroides
31
Perhitungan % tutupan Lamun E. acoroides dengan software Photoquad V1
Kondisi Lokasi Transplantasi Lamun
32
RIWAYAT HIDUP
Ilham Antariksa Tasabaramo dilahirkan pada tanggal 1 Juni 1989 di Bandung, Jawa Barat. Merupakan anak pertama dari tiga orang bersaudara dari Ayahanda La udi dan Ibunda Mulyana. Penulis menyelesaikan pendidikan formalnya Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Kolaka pada tahun 2007. Di tahun yang sama penulis diterima sebagai Mahasiswa di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Hasanuddin Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiwa Baru (SPMB). Pada Tahun 2013, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana di Institut Pertanian Bogor pada program studi Ilmu Kelautan. Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana IPB penulis melakukan penelitian mengenai „Laju Pertumbuhan, Penutupan dan Tingkat Kelangsungan Hidup Enhalus acoroides yang ditransplantasi secara monospesies dan multispesies”.