ANALISIS LAJU PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP KARANG Acropora spp., Hydnopora rigida, DAN Pocillopora verrucosa YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU KELAPA, KEPULAUAN SERIBU
SUDONO ISWARA
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
Analisis Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Karang Acropora spp.,
Hydnopora
rigida,
dan
Pocillopora
verrucosa
yang
Ditransplantasikan di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Semua sumber data dan
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2009
Sudono Iswara C24051236
RINGKASAN
Sudono Iswara. C24051236. Analisis Laju Pertumbuhan dan Kelangsugan Hidup Karang Acropora spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa yang Ditransplantasikan di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu. Dibawah bimbingan Ario Damar dan Beginer Subhan. Penelitian mengenai transplantasi karang ini berlokasi di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, Jakarta, selama enam bulan pengamatan, dimulai dari Maret 2009 hingga September 2009. Karang yang diteliti adalah karang jenis Acropora spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa. Fragmen karang dilekatkan dengan menggunakan semen kemudian diletakkan pada modul yang terbuat dari beton di kedalaman 2-5 meter. Pengamatan terhadap pertumbuhan karang dan parameter kualitas perairan dengan bantuan SCUBA dilakukan setiap dua bulan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui laju pertumbuhan karang serta parameter yang mempengaruhi transplantasi karang sehingga bisa diketahui tingkat keberhasilan dari metode transplantasi karang terhadap jenis yang ditanam. Secara umum kondisi perairan masih berada dalam kondisi cukup baik untuk pertumbuhan karang. Kisaran suhu 28-29° C, salinitas 30-32‰, kecerahan 100%, kecepatan arus 0,08-0,30 m/s, kekeruhan 1,1-1,7 NTU, nitrat 0,005-0,024 mg/l, ammonia 0,046-0,197 mg/l, ortophosphat 0,008-0,023 mg/l, dan sedimentasi 2,7123-5,8146 mg/cm2/hari. Kegiatan transplantasi karang di lokasi ini dapat dikatakan berhasil karena tingkat kelangsungan hidup dari ketiga karang tersebut berada di atas 50%. Selama enam bulan pengamatan karang jenis Acropora spp. memilliki tingkat kelangsungan hidup sebesar 78,44%, karang jenis Hydnopora rigida sebesar 74,19%, dan karang jenis Pocillopora verrucosa sebesar 61,11%. Kematian karang terbesar diakibatkan oleh meningkatnya kelimpahan makroalga yang diakibatkan oleh meningkatnya kesuburan perairan selama enam bulan pengamatan. Selama enam bulan pengamatan, pertumbuhan absolut ukuran panjang dan tinggi karang jenis Acropora spp. masing-masing mencapai 59 mm dan 42 mm. Laju pertumbuhan panjang dan tinggi rata-rata karang jenis Acropora spp. masing-masing mencapai 19 mm/2 bulan dan 14 mm/2 bulan. Fragmen transplantasi karang jenis Hydnopora rigida selama enam bulan mencapai 60 mm untuk pertumbuhan panjang dan 38 mm untuk pertumbuhan tinggi. Laju pertumbuhan panjang dan tinggi rata-rata karang jenis ini adalah sebesar 17mm/2 bulan untuk laju pertumbuhan panjang rata-rata dan 11 mm/2 bulan untuk laju pertumbuhan tinggi rata-rata. Pocillopora verrucosa selama enam bulan mencapai pertumbuhan ukuran panjang dan tinggi masing-masing sebesar 41 mm dan 31 mm. Fragmen jenis Pocillopora verrucosa memiliki laju pertumbuhan panjang rata-rata sebesar 14 mm/2 bulan dan laju pertumbuhan tinggi rata-rata sebesar 10 mm/2 bulan.
ANALISIS LAJU PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP KARANG Acropora spp., Hydnopora rigida, DAN Pocillopora verrucosa YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU KELAPA, KEPULAUAN SERIBU
SUDONO ISWARA C24051236
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PENGESAHAN SKRIPSI
Judul
: Analisis Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Karang Acropora spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa yang Ditransplantasikan di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu
Nama Mahasiswa : Sudono Iswara Nomor Pokok
: C24051236
Program Studi
: Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui : Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. NIP 19660428 199002 1 001
Beginer Subhan, S.Pi. M.Si. NIP 19800118 200501 1 003
Mengetahui : Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP 19660728 199103 1 002
Tanggal Lulus : 21 Desember 2009
PRAKATA
Puji syukur kepada Allah Bapa di Surga yang oleh karena kasih, berkat, dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul Analisis Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Karang Acropora spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa yang Ditransplantasikan di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu; disusun berdasar pada hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret 2009 hingga September 2009, dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih juga saya ucapkan sedalam-dalamnya kepada Dr. Ir. Ario Damar, M.Si selaku dosen pembimbing pertama dan Beginer Subhan, S.Pi., M.Si. selaku pembimbing kedua serta Dr. Ir. Yunizar Ernawati, M.S. selaku Komisi
Pendidikan
S1
yang telah
banyak
membantu
dalam
pemberian
bimbingan, masukan, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna namun penulis berharap bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Bogor, Desember 2009
Penulis
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1.
Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. dan Beginer Subhan, S.Pi., M.Si., masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing skripsi yang telah banyak membantu memberi arahan dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
2.
Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. sebagai koordinator utama program transplantasi terumbu karang di Kepulauan Seribu PKSPL-IPB yang telah mengizinkan penulis memperoleh kesempatan dan dana dalam penelitian ini.
3.
(Alm.) Dr. Ir. Unggul Aktani, M.Sc. dan Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. selaku pembimbing akademis selama penulis menempuh pendidikan di Manajemen Sumberdaya Perairan.
4.
Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. sebagai dosen penguji tamu dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati, M.S. sebagai Komisi Pendidikan S1 MSP atas arahan dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
5.
PKSPL-IPB, CNOOC, dan Kementerian Lingkungan Hidup atas bantuan dana, tenaga, dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini.
6.
Keluargaku terkasih, Papah, Mamah di surga, Ema di surga, Ci Fitri, Dewi di surga, Anthony, dan Yudith atas doa, cinta kasih, dukungan dan segalanya.
7.
Dr. Ir. Budhi Hascaryo, M.Si., Ir. Wazir Mawardi, M.Si., Bang Iman, Tim PKSPL-IPB lainnya, dan warga Kepulauan Seribu yang banyak membantu di lapangan, serta Bu Anna dan Kak Budi untuk bantuannya di Laboratorium Produktivitas Lingkungan Perairan.
8.
Segenap staff Tata Usaha MSP, terutama Mba Widar atas kesabaran dan arahannya.
9.
Tim Karang (Agus, Moro, Tia, Dhila, Adil, Ketuk) dan Lamun (Andra, Nota, Wira, Ikhsan, Mirza) atas kekompakan, kerjasama, kebersamaan, dan suka duka selama ini.
10. MSP’42 atas segalanya. I’m lucky being part of you guys. Keep solid. Terima kasih untuk segalanya, suka duka, kebersamaan, dukungan, dan semangat kalian. Biar kisah kita terus berlanjut hingga selamanya. 11. Fisheries Diving Club FPIK IPB atas pendidikan selam reguler dan bantuannya selama ini.
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tangerang, 29 Juli 1987 dari pasangan
Iswar
Lianawati. bersaudara.
Deni,
Penulis
S.E.
M.B.A.
merupakan
dan
anak
(Alm.)
pertama
Yanlian dari
4
Pendidikan formal penulis ditempuh di SD
Harapan Bangsa, Kota Modern, Tangerang (1999), SMP Harapan Bangsa, Kota Modern, Tangerang (2002), SMA Harapan Bangsa, Kota Modern, Tangerang (2005).
Penulis
kemudian melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).
Setahun
kemudian penulis diterima di mayor Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama
mengikuti
perkuliahan
penulis
berkesempatan
untuk
aktif
berorganisasi sebagai anggota Komisi I Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB (2007/2008); Koordinator Persekutuan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB (2007/2008);anggota Divisi Dana dan Usaha Komisi Kesenian Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB (2007/2008); dan anggota Divisi Sosial dan Lingkungan Himpunan Manajemen Sumberdaya Perairan (2007/2008); serta beberapa kepanitiaan lainnya.
Selain itu penulis
juga mengikuti beberapa seminar dan pelatihan baik dalam lingkup kampus maupun luar kampus. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi yang berjudul “Analisis Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Karang Acropora spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa yang Ditransplantasikan di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu”. dinyatakan lulus pada ujian skripsi tanggal 21 Desember 2009.
viii
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................
xiii
1. PENDAHULUAN ...................................................................... 1.1. Latar Belakang ................................................................ 1.2. Rumusan Masalah ............................................................. 1.3. Tujuan ............................................................................
1 1 2 3
2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 2.1. Terumbu Karang .............................................................. 2.2. Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang .................. 2.2.1. Cahaya dan kedalaman ......................................... 2.2.2. Suhu ................................................................... 2.2.3. Salinitas .............................................................. 2.2.4. Sedimen .............................................................. 2.2.5. Sirkulasi arus dan gelombang ................................. 2.2.6. Nutrien (nitrat, amonia, ortophosphat) ..................... 2.3. Cara Makan dan Sistem Reproduksi .................................... 2.4. Pertumbuhan dan Bentuk Koloni Karang .............................. 2.5. Transplantasi Karang ......................................................... 2.5.1. Pengertian dan pemanfaatan transplantasi karang .................................................................. 2.5.2. Metode transplantasi karang .................................. 2.6. Karang yang Diamati ......................................................... 2.6.1. Acropora spp. ........................................................ 2.6.2. Hydnopora rigida ................................................... 2.6.3. Pocillopora verrucosa ............................................. 2.7. Penelitian Transplantasi Karang di Indonesia .........................
4 4 5 5 6 6 7 8 9 9 11 16
3. METODE PENELITIAN ............................................................ 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................. 3.2. Alat dan Bahan ................................................................. 3.2.1. Fragmen karang .................................................... 3.2.2. Alat ...................................................................... 3.2.3. Bahan .................................................................. 3.3. Rancangan dan Konstruksi Penelitian .................................. 3.4. Jenis Data dan Informasi yang Diperlukan ........................... 3.4.1. Pengambilan dan penempatan sampel fragmen karang ................................................................. 3.4.2. Pengukuran pertumbuhan karang ............................ 3.5. Metode Analisis Data ......................................................... 3.5.1. Pengukuran pertumbuhan panjang dan tinggi ........... 3.5.2. Tingkat kelangsungan hidup ....................................
25 25 26 26 27 29 29 30
ix
16 17 18 18 19 20 21
30 31 31 31 32
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Kelapa ..................... 4.2. Tingkat Kelangsungan Hidup (survival rate/SR) Karang Hasil Transplantasi ............................................................ 4.3. Pertumbuhan Mutlak dan Laju Pertumbuhan Terumbu Karang ............................................................................ 4.3.1. Pertumbuhan mutlak .............................................. 4.3.2. Laju pertumbuhan .................................................
33 33
5. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 5.1. Kesimpulan ..................................................................... 5.2. Saran .............................................................................
50 50 51
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................
52
LAMPIRAN ..................................................................................
58
x
38 43 43 46
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Beberapa penelitian transplantasi terumbu karang di Indonesia .....
22
2.
Identifikasi karang Hydnopora rigida ..........................................
26
3.
Identifikasi karang Pocillopora verrucosa ....................................
27
4.
Alat yang digunakan dalam proses penempatan contoh, pengamatan dan pengambilan data pertumbuhan karang..............
27
Parameter lingkungan perairan yang diukur dan alat yang digunakan ..............................................................................
27
6.
Bahan yang digunakan dalam penelitian transplantasi karang .......
29
7.
Data parameter fisika dan kimia lokasi transplantasi di perairan Pulau Kelapa bulan Maret 2009 sampai September 2009 ..............
33
5.
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Polip karang (Goreau et al. 1979) ..............................................
4
2.
Siklus reproduksi seksual karang (Nybakken 1992) .....................
10
3.
Reproduksi aseksual pada hewan karang A. Pertunasan ekstratentakular, B. Pertunasan intratentakular (Suwignyo et al. 2005) ...................................................................................
11
4.
Siklus karbon (Goreau et al. 1979) .............................................
12
5.
Bentuk-bentuk pertumbuhan karang berdasarkan responnya terhadap tekanan lingkungan (Supriharyono 2007) ......................
13
Bentuk pertumbuhan (Life Form) karang (Castro & Huber 2007) .....................................................................................
16
Beberapa jenis Acropora sp. yang ditransplantasikan di Pulau Kelapa (Dok. PKSPL-IPB 2008) ..................................................
18
8.
Morfologi Hydnopora rigida (Kudus et al. 2003) ...........................
19
9.
Fragmen transplantasi Hydnopora rigida (Dok. PKSPL-IPB 2009) .....................................................................................
20
10. Morfologi Pocillopora verrucosa (Kudus et al. 2003) .....................
21
11. Fragmen transplantasi Pocillopora verrucosa (Dok. PKSPL-IPB 2009) ....................................................................................
21
12. Peta lokasi penelitian ...............................................................
25
13. Konstruksi modul karang dan penempelan fragmen karang pada modul transplantasi (PKSPL-IPB 2009, komunikasi pribadi) ..................................................................................
29
14. Fragmen karang transplantasi (PKSPL-IPB 2009, komunikasi pribadi) ..................................................................................
30
15. Kondisi modul transplantasi karang (Dok. PKSPL-IPB 2008) ..........
30
16. Metode pengukuran contoh fragmen karang ...............................
31
17. Modul transplantasi serta penghitungan panjang dan tinggi terumbu karang (Dok. PKSPL-IPB 2008) ....................................
31
18. Tingkat kelangsungan hidup .....................................................
38
19. Pertumbuhan mutlak fragmen jenis Acropora spp. (n0=280, nt=186), Hydnopora rigida (n0=280, nt=186), dan Pocillopora verrucosa(n0=280, nt=186) selama enam bulan (Maret 2009September 2009) .....................................................................
44
20. Laju pertumbuhan rata-rata panjang (Y ± SE) ............................
47
21. Laju pertumbuhan rata-rata tinggi (Y ± SE) ................................
47
6. 7.
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Tingkat kelangsungan hidup terumbu karang jenis Acropora spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa yang ditransplantasikan ....................................................................
59
2. Jumlah dan persentase karang mati terhadap penyebab kematian terumbu karang per pengamatan .................................
59
3. Persentase jumlah terumbu karang yang mati terhadap penyebab kematian selama enam bulan ......................................
59
4. Proses persiapan dan pembuatan modul transplantasi ..................
60
5. Alat-alat yang digunakan ...........................................................
61
6. Perangkap sedimen ..................................................................
62
7. Kondisi pada saat pengamatan ...................................................
63
xiii
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Hewan karang ditemukan di seluruh perairan dunia, tetapi hanya di daerah tropis terumbu karang dapat berkembang dengan baik. Terumbu terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat yang dihasilkan oleh organisme karang, alga berkapur dan organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken 1992). Di dunia terdapat dua kelompok karang yaitu karang hermafitik dan karang ahermafitik. Perbedaan kedua kelompok karang tersebut terdapat pada kemampuan karang hermafitik yang bersimbiosis dengan sel tumbuhan yang dinamakan zooxanthellae di dalam menghasilkan terumbu. Karang hermafitik hanya ditemukan di daerah tropis sementara karang ahermafitik tersebar di seluruh dunia (Dahuri et al. 1996). Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup tahun 1992 in Supriharyono (2007) memperkirakan luas terumbu karang yang ada di Indonesia menempati area sebesar 75. 000 km2 dari luas perairan Indonesia, tersebar dari bagian barat sampai ke perairan Kawasan Timur Indonesia. Diperkirakan sekitar 2/3 garis pantai Indonesia dilindungi oleh terumbu karang (Supriharyono 2007). Saat ini kondisi terumbu karang di Indonesia cukup memprihatinkan. Terumbu karang di bagian barat Indonesia dengan kondisi yang baik atau sangat baik (tutupan karang lebih 50%) hanya sekitar 23%, sementara bagian timur sekitar 45% (Burke et al. 2002 in Soedharma & Subhan 2007). Menurut Estradivari et al. (2007), secara umum terdapat sedikit kenaikan rerata penutupan karang keras di Kepulauan Seribu dari tahun 2004 (32,9%) ke 2005 (33,2%). Di Indonesia aktivitas-aktivitas berupa pembangunan di wilayah pesisir dewasa ini, seperti pertanian, pengerukan pantai, penangkapan ikan dengan racun dan bahan peledak, dan lainnya, didukung peristiwa-peristiwa alam, seperti badai, gempa bumi, kenaikan suhu (El Nino), telah menyebabkan semakin meluasnya kerusakan ekosistem terumbu karang. Untuk mengurangi kerusakan terumbu karang selain dilakukan secara alami, juga dapat dilakukan melalui metode rehabilitasi.
Soedharma dan
Subhan (2007) menyatakan bahwa banyak metode rehabilitasi yang telah dilakukan untuk memperbaiki kondisi terumbu karang Indonesia, seperti rockpile, biorock, ecoreef, reefball, dan transplantasi karang.
Pada saat ini
metode yang cukup banyak dilakukan adalah metode transplantasi karang.
2
Transplantasi karang merupakan suatu teknik penanaman karang baru dengan metode fragmentasi, dimana benih karang diambil dari suatu induk koloni tertentu (Soedharma & Arafat 2007).
Transplantasi karang berperan
sebagai katalis untuk pemulihan dengan meningkatkan tutupan koral hidup dan kompleksitas topografi pada terumbu karang (Sabater & Yap 2002).
Salah satu
kegunaan transplantasi karang yang cukup penting adalah dapat menambah karang dewasa ke dalam suatu populasi, sehingga dapat meningkatkan produksi larva di ekosistem terumbu karang yang rusak (Coremap 2006). Transplantasi karang saat ini masih dalam tahap pengkajian baik dilihat pada aspek ekologi maupun aspek ekonominya. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia dan negara-negara ASEAN seperti Filipina, Singapura, termasuk juga Indonesia telah melakukan kegiatan transplantasi karang untuk beberapa tujuan, diantaranya untuk rehabilitasi, penyelamatan spesies, pengembangan wisata bahari, dan memenuhi kebutuhan pasar akan karang hias (Ikawati et al. 2001). 1.2. Rumusan Masalah Hampir semua pulau di Kepulauan Seribu memiliki paparan pulau karang atau reef flat yang luas hingga 20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan dengan kedalaman bervariasi dari 50 cm pada pasang terendah hingga 1 m pada jarak 60 m hingga 80 m dari garis pantai.
Dasar rataan karang
merupakan variasi antara pasir, karang api, sampai karang batu hidup. Pada dasar laut, tepi rataan karang sering diikuti oleh daerah tubir dengan kemiringan curam, sehingga mencapai 70° mencapai dasar laut dengan kedalaman bervariasi dari 10 m hingga 75 m (Noor 2003). Burke et al. 2002 in Estradivari et al. 2007 menyatakan setidaknya 85% terumbu karang Indonesia dinyatakan memiliki kerusakan yang sangat tinggi terutama karena aktivitas manusia. Menurut Estradivari et al. (2007), kondisi terumbu karang Kepulauan Seribu sangat memprihatinkan, terutama di pulaupulau yang berdekatan dengan Jakarta (tutupan karang keras < 5%).
Di
Kepulauan Seribu berbagai ancaman menghampiri terumbu karang setiap harinya, diantaranya penangkapan berlebih dan merusak, polusi air laut, sampah, penambangan karang dan pasir, sedimentasi, serta pembangunan pesisir. Terlepas
dari
seluruh
aktivitas
masyarakat
yang
dapat
merusak
sumberdaya alam, terumbu karang sebenarnya sudah memiliki ancaman kerusakan. Ancaman ini datang secara alami, musim barat yang ditandai oleh
3
ombak dan arus kencang menjadi pemicu kehancuran karang besar menjadi patahan. Peningkatan suhu permukaan air laut selama beberapa bulan seperti yang pernah terjadi pada tahun 1983 dan 1998 juga mengakibatkan degradasi karang secara besar-besaran (Brown & Suharsono 1990; Warwick et al. 2000; in Estradivari et al. 2007). Terjadinya degradasi kondisi terumbu karang di sekitar Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, yang diakibatkan oleh penggalian pasir laut untuk keperluan pembangunan resort di pulau-pulau sekitar Pulau Kelapa, menyebabkan perlunya dilakukan kegiatan transplantasi karang di lokasi tersebut. Kegiatan tersebut bertujuan untuk memperbaiki kondisi terumbu karang di sekitar Pulau Kelapa. 1.3. Tujuan Penelitian
ini
dilakukan
dengan
tujuan
untuk
mengetahui
laju
pertumbuhan karang serta parameter yang mempengaruhi transplantasi karang jenis Acropora spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, sehingga bisa diketahui tingkat keberhasilan dari metode transplantasi karang terhadap jenis yang ditanam. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan dan membantu berbagai pihak untuk kegiatan rehabilitasi terumbu karang.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Terumbu Karang Terumbu
karang
(coral
reefs)
merupakan
kumpulan
masyarakat
(binatang) karang (reef corals), yang hidup di dasar perairan, yang berupa batuan kapur (CaCO3), dan mempunyai kemampuan yang cukup kuat untuk menahan gaya gelombang laut (Supriharyono 2007).
Terumbu karang
merupakan ekosistem yang terdapat khas di daerah tropis. Meskipun terumbu karang ditemukan di seluruh perairan dunia, tetapi hanya di daerah tropis terumbu karang berkembang dengan baik. Terumbu terbentuk dari endapanendapan masif terutama kalsium karbonat yang dihasilkan oleh organisme karang (filum Scnederia, klas Anthozoa, ordo Madreporaria Scleractinia), alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken 1988 in Dahuri et al. 1996).
Gambar 1. Polip karang. (Goreau et al. 1979)
Di dunia terdapat dua kelompok karang, yaitu karang hermatifik dan karang ahermatifik.
Perbedaan kedua kelompok karang ini terletak pada
kemampuan karang hermatifik di dalam menghasilkan terumbu. Kemampuan menghasilkan terumbu ini disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang yang bersimbiosis di dalam jaringan karang hermatifik. dinamakan zooxanthellae.
Sel-sel tumbuhan ini
Zooxanthellae hidup di jaringan-jaringan polip
karang dan menghasilkan fotosintesa. Hasil samping dari aktivitas fotosintesa tersebut
adalah
endapan
bangunannya khas.
kalsium
karbonat,
yang
struktur
dan
bentuk
Ciri ini akhirnya dipakai untuk menentukan jenis atau
5
spesies karang.
Karang-karang hermatifik hanya ditemukan di daerah tropis
sedangkan karang ahermatifik tersebar di seluruh dunia (Dahuri et al. 1996; Supriharyono 2007). Karang
batu
berhutang
kepada
simbiosis
mereka
dengan
alga
dinoflagellata dari genus Symbiodinium (zooxanthellae), yakni Symbiodinium microadriaticum (Barnes & Hughes 1999), sebagai pembangun terumbu karang. Alga ini hidup pada jaringan karang dengan kepadatan sangat tinggi (lebih dari 106/cm2) dan menyediakan hingga 90% nutrisi karang (Muscatine & Porter 1977 in Berkelmans & van Oppen 2006). 2.2. Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang Keanekaragaman,
penyebaran
dan
tergantung pada kondisi lingkungannya.
pertumbuhan
hermatypic
karang
Kondisi ini pada kenyataannya tidak
selalu tetap, akan tetapi seringkali berubah karena adanya gangguan, baik yang berasal dari alam atau aktivitas manusia. Gangguan dapat berupa faktor fisikkimia
dan
biologis.
Faktor-faktor
fisik-kimia
yang
diketahui
dapat
mempengaruhi kehidupan dan/atau laju pertumbuhan karang, antara lain adalah cahaya matahari, suhu, salinitas, dan sedimen.
Sedangkan faktor
biologis, biasanya berupa predator atau pemangsanya (Supriharyono 2007). 2.2.1. Cahaya dan kedalaman Mengingat hidupnya
binatang
bersimbiose
karang
dengan
(hermatypic zooxanthellae
atau yang
reef-building
corals)
melakukan
proses
fotosintesis, maka pengaruh cahaya (illumination) adalah penting sekali. Menurut Kanwisher and Wainwright (1967) in Supriharyono (2007) titik kompensasi binatang karang terhadap cahaya adalah pada intensitas cahaya antara 200-700 f.c. (atau umumnya terletak antara 300-500 f.c.). Sedangkan intensitas cahaya secara umum di permukaan laut 2. 500-5. 000 f.c. Mengingat kebutuhan tersebut maka binatang karang umumnya tersebar di daerah tropis (Supriharyono 2007). Berkaitan
dengan
pengaruh
cahaya terhadap karang, maka faktor
kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang.
Pada perairan yang
jernih memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam, sehingga binatang karang juga dapat hidup pada perairan yang cukup dalam. Namun secara umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 meter (Kinsman 1964 in Supriharyono 2007).
Distribusi vertikal terumbu
karang hanya mencapai kedalaman efektif sekitar 10 meter dari permukaan
6
laut.
Hal ini disebabkan karena kebutuhan sinar matahari masih dapat
terpenuhi pada kedalaman tersebut (Dahuri et al. 1996). Titik kompensasi bagi karang pada kedalaman dengan intensitas cahaya sekitar 15%-20% dari intensitas permukaan yang menyebabkan pertumbuhan karang sangat berkurang. Hal ini disebabkan oleh karena laju produksi primer sama dengan respirasi karang (Dahuri 2003). Kecerahan perairan Kepulauan Seribu sendiri berkisar antara 3-8 meter. Nilai kekeruhan Kepulauan Seribu bekisar 0,5-1,1 NTU (Dinas Perikanan DKI Jakarta & FPIK IPB 1997 in Mihardja & Pranowo 2001). 2.2.2. Suhu Suhu air merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan karang. Suhu yang baik untuk pertumbuhan karang adalah berkisar antara 25-29 °C (Wells 1954 in Supriharyono 2007), dengan batas minimum dan maksimum suhu berkisar antara 16-17 °C dan sekitar 36 °C (Kinsman 1964 in Supriharyono
2007).
Berkaitan
dengan
kisaran
suhu
optimum
untuk
pertumbuhan karang tersebut, maka layak apabila terumbu karang umumnya tumbuh di daerah tropis (Supriharyono 2007). Perkembangan mengenai pengaruh suhu terhadap binatang karang, lebih lanjut dilaporkan bahwa suhu yang mematikan binatang karang bukan suhu yang ekstrim, yaitu suhu minimum atau maksimum saja, namun lebih karena perbedaan perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami (ambient level) (Supriharyono 2007). Menurut Coles & Jokiel (1978) dan Neudecker (1981) in Supriharyono (2007) perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6 °C di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan mematikannya. 2.2.3. Salinitas Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 35‰, dan binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-36‰ (Kinsman 1964 in Supriharyono 2007). Pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan/atau pengaruh alam, seperti run-off, badai, dan hujan. Sehingga kisaran salinitas bisa sampai dari 17,5-52,5‰ (Vaughan 1919; Wells 1932; in Supriharyono 2007). Umumnya, terumbu karang tumbuh dengan baik di sekitar areal pesisir pada salinitas 30-35‰.
Meskipun terumbu karang mampu bertahan pada
7
salinitas di luar
kisaran tersebut, namun pertumbuhannya kurang baik
dibandingkan pada salinitas normal (Dahuri et al. 1996). Daya tahan terhadap salinitas setiap jenis karang tidak sama.
Sebagai
contoh Kinsman (1964) in Supriharyono (2007) mendapatkan bahwa Acropora dapat bertahan pada salinitas 40‰ hanya beberapa jam di West Indiesm sedangkan Porites dapat bertahan dengan salinitas 48‰. 2.2.4. Sedimen Pengembangan di daerah pantai dan aktivitas-aktivitas manusia lainnya, seperti pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, dan pembukaan hutan,
aktivitas
pertanian,
dapat
membebaskan
sedimen
(terrigenous
sediments) ke perairan pantai atau ke daerah terumbu karang.
Laju
sedimentasi biasanya bervariasi dari rendah ke tinggi, tergantung besar kecilnya dan kontinuitas aktivitas serta musim.
Suatu daerah yang tidak banyak
menerima limpahan sedimen dari sungai, seperti di daerah kepulauan, laju sedimentasinya cenderung rendah, terkecuali ada aktivitas yang merangsang terbentuknya sedimen, seperti pengerukan, pengeboman dan sebagainya. Namun, apabila perairan karang tersebut lokasinya berdekatan dengan muara sungai, yang pengelolaan lahan di atasnya buruk biasanya laju sedimentasinya tinggi, terutama ketika musim penghujan (Supriharyono 2007). Ada pula sedimen lain yang dikenal dengan carbonate sediment, yaitu sedimen yang berasal dari erosi karang-karang, baik secara fisik ataupun biologis (bioerosion).
Bioerosi biasanya dilakukan oleh hewan-hewan laut,
seperti bulu babi, ikan, bintang laut, dan sebagainya (Supriharyono 2007). Pengaruh sedimen terhadap pertumbuhan binatang karang dapat secara langsung maupun tidak langsung. Sedimen dapat langsung mematikan karang, yaitu apabila sedimen tersebut ukurannya cukup besar atau banyak sehingga menutupi polip (mulut) karang (Hubbard & Pocock 1972; Bak & Elgershuizen 1976; Bak 1978; in Supriharyono 2007).
Pengaruh tidak langsung adalah
melalui turunnya penetrasi cahaya matahari yang penting untuk fotosintesis alga
symbiot
karang,
yaitu
zooxanthellae, dan
banyaknya
energi
yang
dikeluarkan oleh binatang karang untuk menghalau sedimen tersebut, yang berakibat turunnya laju pertumbuhan karang (Pastorok & Bilyard 1985; Supriharyono 1986; in Supriharyono 2007).
Perairan yang sedimentasinya
tinggi atau keruh, keanekaragaman karang dan tutupan karang hidup (living coral cover) cenderung rendah (Supriharyono 2007).
8
Kemampuan karang dalam menangkal pengaruh sedimen berkaitan dengan ukuran fisik (diameter) hewan karang.
Semakin besar ukurannya,
semakin kecil peluang partikel sedimen menutupinya. Selain itu, sedimen yang kaya akan unsur hara akan menyebabkan peningkatan kesuburan di perairan sekitar terumbu karang dan mempercepat laju pertumbuhan makroalga. Biomassa makroalga yang besar dapat menutupi karang sehingga memiliki efek seperti halnya penutupan karang oleh partikel sedimen yang besar (Rachmawati 2001). Rachmawati
(2001)
menggolongkan
laju
sedimentasi
kedalam
tiga
2
kategori, yaitu kecil, bila laju kurang dari 10 mg/cm /hari, memberikan dampak dalam penurunan regenerasi, kelimpahan, dan keragaman spesies. Termasuk kedalam kategori sedang bila laju sedimentasi 10-50 mg/cm2/hari, dapat dianggap berbahaya karena terjadi proses destruktif secara besar-besaran. Bila laju telah melebihi 50 mg/cm2/hari dapat menimbulkan kematian komunitas karang dan kerusakan terumbu karang. Sedimentasi yang tinggi akan menyebabkan karang bekerja keras untuk membersihkan diri dari sedimen yang jatuh melekat pada karang.
Untuk
membersihkan diri karang akan mengeluarkan mukus secara terus menerus. Akibatnya karang tersebut harus mengeluarkan energi untuk membersihkan diri.
Apabila kecepatan sedimentasi lebih tinggi daripada kemampuan karang
membersihkan diri akhirnya karang akan mati (LIPI 2008). 2.2.5. Sirkulasi arus dan gelombang Arus diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dalam hal menyuplai makanan berupa mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses pembersihan dari endapan-endapan material dan menyuplai oksigen yang berasal dari laut lepas.
Oleh karena itu, sirkulasi arus sangat berperan penting dalam proses
transfer energi (Dahuri 2003). Arus berperan dalam pemindahan nutrien, larva, dan sedimen.
Karenanya kecepatan arus dan turbulensi memiliki pengaruh
terhadap morfologi dan komposisi taksonomi ekosistem terumbu karang (Rachmawati 2001). Rachmawati (2001) menyatakan bahwa gelombang yang cukup kuat akan menghalangi pengendapan sedimen pada koloni karang.
Struktur terumbu
karang yang masif, cukup kuat menahan gelombang yang besar. Pada daerah yang terkena gelombang yang cukup kuat, bagian ujung sebelah luar terumbu akan membentuk karang masif atau bentuk bercabang dengan cabang yang sangat tebal dan ujung yang datar.
Sebaliknya pada perairan yang lebih
9
tenang, akan terbentuk koloni yang berbentuk memanjang dan bercabang dengan cabang yang lebih ramping. 2.2.6. Nutrien (nitrat, amonia, ortofosfat) Nitrat (NO3) merupakan bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga dan dapat dimanfaatkan secara langsung (Effendi 2003). Amonia (NH3) merupakan salah satu bentuk nitrogen anorganik pada suatu perairan. Amonia merupakan salah satu senyawa kimia yang bersifat racun bagi biota perairan jika jumlahnya berlebihan di perairan. Kadar amonia yang tinggi bisa menjadi indikasi adanya pencemaran bahan organik Sumber amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) oleh mikroba dan jamur. Tinja dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia.
Sumber amonia yang lain
adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri, dan domestik. Amonia dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. avertebrata air lebih toleran terhadap toksisitas amonia dari pada ikan (Effendi 2003). Fosfor merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan alga akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan. Ortofosfat merupakan salah satu bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan
keberadaan
nitrogen
di
perairan
dapat
menstimulir
ledakan
pertumbuhan alga di perairan (Effendi 2003). 2.3. Cara Makan dan Sistem Reproduksi Zooxanthellae melakukan fotosintesis dan memberikan material organik yang mereka buat kepada karang inangnya. makan karang dari dalam.
Jadi, zooxanthellae memberi
Banyak karang mampu bertahan hidup dan
bertumbuh tanpa makan, selama zooxanthellae memiliki cukup cahaya matahari untuk berfotosintesis (Castro & Huber 2007). Meskipun karang mendapat banyak nutrisi mereka dari zooxanthellae, kebanyakan
makan
ketika
memiliki
kesempatan.
Karang
juga
dapat
menangkap zooplankton dengan menggunakan tentakel atau jaring mukus,
10
mencerna
materi
organik
di
luar
tubuh
dengan
menggunakan
filamen
mesentrial, atau menyerap material organik terlarut (dissolved organic matter/ DOM) dari perairan (Castro & Huber 2007). Binatang karang berkembangbiak secara aseksual dan seksual.
Secara
seksual atau kawin dilakukan melalui pemijahan atau pertemuan antara ovarium dan testes.
Berkaitan dengan sel kelaminnya, karang mungkin
hermaphrodite, dimana ovarium dan testes berada dalam satu individu polip, atau dioecious, yaitu ovarium dan testes berada dalam individu polip berbeda. (Supriharyono 2007) Pada karang dikenal dua macam pembuahan, yaitu (Supriharyono 2007): a. Telur-telur dibuahi di dalam gastrovascular cavity (viviparous), dan gonadnya berkembang di mesenterial chamber (biasanya untuk massive coral) atau di body
cavities
(untuk
branching
coral),
selanjutnya
membebaskan
produksinya berupa planula larva b. Telur-telur dibuahi di luar tubuh yaitu di dalam air laut (bukan viviparous). Namun berdasarkan penelitian beberapa peneliti, karang cenderung lebih banyak yang bukan viviparous daripada viviparous. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa karang, khususnya yang berasal dari Great Barrier Reef, lebih banyak mengadakan pembuahan di luar tubuh daripada yang mengerami planulae.
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa karang bereproduksi sepanjang tahun, namun adakalanya di daerah-daerah tertentu hal itu terjadi hanya pada waktu atau musim-musim tertentu (Supriharyono 2007).
Gambar 2. Siklus Reproduksi Seksual Karang. (Nybakken 1992)
Benih (zygote) hasil pembuahan di luar tubuh, akan terbawa arus dan terus berkembang sampai 2-3 hari, sampai menjadi benthic larva planula
11
sekitar 5-7 hari, dan setelah berumur sekitar 14-36 hari planula menempel (secara pertunasan aseksual atau ke substrat lain), dan akhirnya akan tumbuh menjadi induk koloni-koloni polip lainnya (Harrison et al. 1984 in Supriharyono 2007). Kejadian ini, yaitu menempel membentuk tunas oleh beberapa peneliti, seperti Stoddart (1983) in Supriharyono (2007), dipandang sebagai cara pembiakan aseksual, yaitu dengan cara pertunasan (budding), walaupun “tunas” ini sebenarnya merupakan individu polip yang dihasilkan secara seksual. Secara aseksual karang berkembang melalui fragmentasi dan pertunasan (Supriharyono 2007). Fragmentasi sering terjadi pada koloni yang mempunyai kecepatan tumbuh tinggi dan cabang-cabang dari koloni akan mudah patah oleh gangguan fisik maupun oleh sebab-sebab biologis. Fragmentasi dari jenis-jenis karang dengan kecepatan tumbuh yang tinggi akan menghasilkan dominasi suatu jenis pada suatu daerah dan jika terjadi kerusakan maka akan cepat pulih kembali (Coremap 2006).
Gambar 3. Reproduksi aseksual pada hewan karang A. Pertunasan ekstratentakular, B. Pertunasan intratentakular (Suwignyo et al. 2005).
2.4. Pertumbuhan dan Bentuk Koloni Karang Menurut definisi pertumbuhan karang merupakan pertambahan panjang linier, berat, volume, atau luas kerangka atau bangunan kapur (kalsium) spesies karang dalam kurun waktu tertentu (Buddemeier & Kinzie 1976 in Supriharyono 2007). Setiap koloni hermatypic corals mengandung alga (zooxanthellae) yang hidup bersimbiosis dengan koloni karang. Zooxanthellae yang hidup di koloni karang ini selain memproduksi karbon juga memproduksi kalsium karbonat (kapur) atau kalsifikasi, untuk membentuk bangunan karang. Sehingga karang jenis ini disebut reef building corals, atau jenis karang yang dapat membuat bangunan karang dari kapur (Supriharyono 2007).
Goreau & Goreau (1959)
dan Goreau (1959) in Supriharyono (2007) pernah menyatakan bahwa
12
zooxanthellae merupakan faktor yang esensial dalam proses kalsifikasi atau produksi kapur bagi hermatypic corals atau reef building corals. kalsifikasi ini tidak sama untuk setiap spesies.
Kecepatan
Spesies-spesies tertentu
tumbuhnya sangat cepat, yaitu bisa > 2 cm/bulan (umumnya branching corals), namun ada pula spesies karang (umumnya massive corals) yang tumbuhnya sangat lambat, yaitu hanya < 1 cm/tahun (Supriharyono 2007). Kalsifikasi adalah dasar fisiologi dari pertumbuhan rangka pada karang batu, dan merupakan pengukuran tidak langsung dari kondisi karang mengacu pada besarnya kematian karena pengaruh keterbalikan ketergantungan ukuran dan ketergantungan ukuran fekunditas yang positif (Elahi & Edmunds 2007). Pertumbuhan karang dicapai dengan peningkatan massa rangka calcareous dan jaringan hidup. Rangka karang tersusun seluruhnya dari aragonite, bentuk serabut crystalline dari kalsium karbonat (CaCO3); calcite, bentuk umum dari kalsium karbonat, tidak ditemukan (Goreau et al. 1979).
Gambar 4. Siklus karbon. (Goreau et al. 1979)
Karang tanpa zooxanthellae tumbuh sangat lambat dan tidak pernah membentuk bangunan kapur (Goreau 1961 in Supriharyono 2007). Selanjutnya menurut Supriharyono (2007), cahaya bersama-sama dengan zooxanthellae merupakan faktor lingkungan yang mengontrol distribusi vertikal karang, laju
13
kalsifikasi atau laju pembentukan terumbu, bentuk terumbu dan atoll, dan bentuk individu dari setiap koloni karang. Modularitas menawarkan potensi fleksibilitas yang besar dari bentuk pertumbuhan dan organisasi.
Modul individual dapat melakukan spesialisasi
fungsi dan morfologi untuk peran seksual atau pertahanan diri, sebuah kondisi yang dikenal sebagai polymorphism.
Bahkan modul dapat ditambahkan pada
berbagai bagian suatu organisme sehingga pertumbuhan bisa terjadi ke banyak arah.
Dengan cara ini, usaha yang besar dari pertumbuhan morfologi dapat
dihasilkan, dengan potensi untuk beradaptasi terhadap kondisi lingkungan lokal. Hal ini dikenal sebagai morphological plasticity dimana perbedaan bentuk koloni dari spesies yang sama disebut sebagai ecophenotypes. Sebagai contoh, pada karang scleractinian, bentuk koloni sangat dipengaruhi oleh energi gelombang dan pola gangguan, laju pertumbuhan, dan tingkatan cahaya, dan terumbu karang menunjukkan pola khusus zonasi dengan penambahan kedalaman. Morfologi rangka jelas bagian dari sejarah strategi hidup dari organisme sesile, dengan implikasi daya tahan predator, preferensi substrat, rezim hidrodinamika, dan menghadapi tekanan sedimentasi (Wood 1999).
Gambar 5. Bentuk-bentuk pertumbuhan karang berdasarkan terhadap tekanan lingkungan (Supriharyono 2007)
responnya
Terdapat beberapa macam bentuk umum pertumbuhan karang, di antaranya adalah globose, ramose, branching, digitatte plate, compound plate,
14
fragile branching, encrusting, plate, foliate, dan micro atoll.
Bentuk-bentuk
karang ini menurut beberapa peneliti dipengaruhi oleh beberapa faktor alam, terutama oleh level cahaya dan tekanan gelombang. Menurut Chappell (1980) in Supriharyono (2007) ada empat faktor lingkungan yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan karang, yaitu: 1. Cahaya. Ada tendensi bahwa semakin banyak cahaya, maka rasio luas permukaan dengan volume karang akan semakin turun. Kenaikan level cahaya akan mengubah kelompok karang dari yang berbentuk globose ke bantuk piring (plate). 2. Hydrodinamis Tekanan hydrodinamis seperti gelombang atau arus akan memberikan pengaruh terhadap bentuk terumbu karang. Ada kecenderungan bahwa semakin besar tekanan hydrodinamis, bentuk karang lebih mengarah ke bentuk encrusting. (Supriharyono 1987 in Supriharyono 2007). 3. Sedimen Ada kecenderungan bahwa karang yang tumbuh atau teradaptasi di perairan yang sedimennya tinggi, berbentuk foliate, branching, dan ramose. Sementara di perairan yang jernih atau sedimentasinya rendah lebih banyak dihuni oleh karang yang berbentuk piring (plate dan digitate plate). 4. Subareal exposure Sub-areal exposure yang dimaksud disini adalah daerah-daerah karang yang pada saat tertentu, seperti ketika pasang surut rendah, airnya surut sekali, sehingga banyak diantara karangnya yang mencuat ke permukaan air. Kondisi semacam ini biasanya bisa sampai berjam-jam, tergantung lama waktu pasang. Karenanya banyak diantara karang yang tidak bisa bertahan lama hidup pada kondisi semacam ini. Berkaitan dengan level exposure, semakin banyak jenis karang yang berbentuk globose dan encrusting. Disamping itu, satu tanda spesifik adanya subareal exsposure adalah banyaknya karang yang berbentuk micro atoll. Berdasarkan bentuk pertumbuhannya (life form), karang batu dapat dibagi atas karang Acropora dan karang non-Acropora (English et al. 1994). Bentuk pertumbuhan karang Acropora terdiri atas : 1. Acropora Branching (ACB) : merupakan jenis bercabang, paling sedikit mempunyai formosa.
percabangan
ke-2,
misalnya
Acropora
grandis,
Acropora
15
2. Acropora Encrusting (ACE) : berbentuk pipih/merayap, biasanya lapisan dasarnya (piringannya) dari bentuk-bentuk Acropora yang belum dewasa, misalnya Acropora palifera dan Acropora cuneata. 3. Acropora Submassive (ACS) : memiliki cabang pendek dan gemuk, bulat panjang dengan penampakan seperti tombol atau pejal padat terdapat tonjolan, misalnya Acropora palifera. 4. Acropora Digitate (ACD) : berbentuk menjari dengan dua percabangan seperti jari tangan, tipe ini termasuk Acropora humilis, Acropora digitifera, Acropora gemmifera. 5. Acropora Tabulate (ACT) : berbentuk seperti meja atau berupa lempengan datar horizontal, tampak seperti meja, misalnya Acropora hyacinthus. Bentuk pertumbuhan karang non-Acropora terdiri atas : 1. Coral branching (CB) : bentuknya bercabang menyerupai ranting pohon. Karang
ini
memiliki
cabang
dengan
ukuran
cabang
lebih
panjang
dibandingkan dengan ketebalan atau diameter yang dimilikinya, misalnya Seriatopora hystrix. 2. Coral massive (CM) : bentuknya seperti batu besar/tempurung/gundukan tanah yang padat. Umumnya berbentuk bulat dengan permukaan yang halus, misalnya Platygyra daedalea. 3. Coral encrusting (CE) : memiliki bentuk yang merayap, hampir seluruh bagian menempel dan menutupi substrat. Karang ini memiliki permukaan yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil. Contohnya yaitu Porites vaughani, Montipora undata. 4. Coral submassive (CS) : tampak seperti tombol yang menempel, seperti tiang-tiang kecil, kancing, atau irisan-irisan, bentuk kokoh dengan tonjolantonjolan atau kolom-kolom kecil. Contohnya yaitu Psammocora digitata. 5. Coral foliouse (CF) : karang ini tumbuh membentuk lembaran-lembaran seperti daun, berukuran kecil dan membentuk lipatan melingkar. Contonhya yaitu Marulina ampliata, Montipora aequituberculata. 6. Coral mushroom (CMR) : berbentuk seperti jamur/payung, menyendiri atau soliter, karang yang hidup bebas,
terdiri dari satu buah polip yang
berbentuk oval, memiliki banyak tonjolan dari tepi hingga pusat. Contohnya Fungia sp. 7. Millepora (CME) : merupakan karang api, memiliki bulu lembut, berwarna kuning, krem atau hijau, berbentuk pipih bercabang atau semi pejal, semua jenis karang api dapat dikenali dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar apabila disentuh.
16
8. Heliophora (CHL) : merupakan karang biru, berbentuk semi pejal atau pipih semi pejal, dapat dikenali dengan adanya warna biru pada rangkanya.
Gambar 6. Bentuk pertumbuhan (Life Form) karang (Castro & Huber 2007)
2.5. Transplantasi Karang 2.5.1. Pengertian dan pemanfaatan transplantasi karang Terumbu buatan merupakan salah satu upaya restorasi fisik dalam memperbaiki kondisi ekosistem terumbu karang, meliputi bongkahan batu kapur, beton yang didesain secara khsusus (seperti Reefballs) atau keramik (seperti Ecoreefs), hingga rangkaian kabel (seperti Biorock) yang menarik mineral (brusit dan aragonit). Untuk kegiatan restorasi, terumbu buatan harus dipertimbangkan kealamian dan penampilannya ketika ditumbuhi karang atau biota terumbu lainnya (Edwards & Gomez 2008). Transplantasi karang berarti penanaman dan penumbuhan koloni karang baru dengan metode fragmentasi, namun sebetulnya secara alami karang juga dapat memperbanyak diri dengan fragmentasi, khususnya untuk jenis-jenis karang
yang
mempunyai
percabangan
(Soedharma
&
Arafat
2007).
Transplantasi bertujuan untuk mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah mengalamai kerusakan atau untuk memperbaiki daerah terumbu karang yang rusak, terutama untuk meningkatkan keragaman dan persen penutupan (Harriot & Fisk 1988). Salah satu negara yang mengembangkan teknologi cangkok karang adalah Australia, selain untuk tujuan rehabilitasi juga berkaitan dengan pengembangan wisata bahari, memenuhi kebutuhan pasar akan karang hias. Di
17
taman laut Great Barrier Reef misalnya pencangkokan karang dilakukan untuk mempercepat
regenerasi
ekosistem
terumbu
karang
yang
rusak
akibat
Acanthaster plancii (Ikawati et al. 2001). Di Amerika Serikat, yaitu di Hawaii, transplantasi karang bertujuan untuk menumbuhkan kembali terumbu karang mati karena limbah di perairan. Sedangkan di Florida hal itu dilakukan untuk mempercepat dan memperbanyak tutupan karang. Di Filipina, penerapan transplantasi tersebut dilakukan untuk rehabilitasi karang yang rusak akibat pemboman ikan, sedangkan di Singapura tujuannya untuk menyelamatkan spesies yang habitatnya direklamasi (Ikawati et al. 2001). Tujuan kegiatan transplantasi yaitu perbanyakan koloni dengan bantuan manusia untuk rehabilitasi lahan-lahan kosong atau yang rusak agar dapat menciptakan komunitas baru dengan memasukkan spesies baru ke dalam ekosistem terumbu karang di daerah tertentu (Soedharma & Arafat 2007). Di masa mendatang transplantasi karang akan banyak kegunaan diantaranya untuk melapisi bangunan bawah laut sehingga lebih kokoh dan kuat, untuk pengambilan karang hidup bagi hiasan akuarium (Coremap 2006). 2.5.2. Metode transplantasi karang Secara umum transplantasi karang dinyatakan sukses dari sudut pandang biologis, dengan tingkat ketahanan hidup pada kasus berkisar antara 50-100%. Ketika koral ditransplantasikan pada habitat yang serupa dengan habitat dimana mereka dikoleksi (Harriot & Fisk 1988). Untuk mengurangi stress, karang yang akan ditransplantasi dilepaskan secara hati-hati dan ditempatkan dalam wadah plastik berlubang serta proses pengangkutan
dilakukan
di
dalam
air.
Sebaiknya
operasi
ini
hanya
menghabiskan waktu kurang lebih 30 menit untuk setiap tumpukan karang yang akan
dipindahkan.
Beberapa
teknik
untuk
melekatkan
karang
yang
ditransplantasi adalah semen, lem plastik, penjepit baja, dan kabel listrik plastik (Coremap 2006). Menurut Harriot & Fisk (1988) proses pengangkutan berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan transplantasi. Pengangkutan koral di atas dek kapal yang terlindung selama satu jam, tidak berbeda nyata dengan pengangkutan di dalam air.
Bila terkena udara selama dua jam, tingkat keberhasilan berkisar
antara 50-90% dan bila terkena udara selama tiga jam, maka tingkat keberhasilan menjadi 40-70%.
18
2.6. Karang yang Diamati 2.6.1. Acropora spp. Phylum : Coelenterata (Cnidaria) Kelas : Anthozoa Ordo : Scleractinia (Madreporaria) Famili : Acroporidae Genus : Acropora Acropora memiliki bentuk percabangan sangat bervariasi, mulai dari korimbosa, arboresen, kapitosa dan lain-lainya. Ciri khas dari marga ini adalah mempunyai axial koralit dan radial koralit. Bentuk radial koralit juga bervariasi dari bentuk tubular nariform, dan tenggelam. Marga ini mempunyai sekitar 113 jenis, tersebar di seluruh perairan Indonesia (Suharsono 2008). Genus Acropora memiliki jumlah jenis (spesies) terbanyak dibandingkan genus lainnya pada karang.
Karang jenis ini biasanya tumbuh pada perairan
jernih dan lokasi dimana terjadi pecahan ombak.
Bentuk koloni umumnya
bercabang dan tergolong jenis karang yang cepat tumbuh, namun sangat rentan terhadap sedimentasi dan aktivitas penangkapan ikan (Johan 2003).
Gambar 7. Beberapa jenis Acropora yang ditransplantasikan di Pulau Kelapa (Dok. PKSPL-IPB 2008)
Menurut
Johan
(2003), karakteristik
bentuk
rangka
kapur
Acropora antara lain ialah: • Koloni biasanya bercabang, jarang sekali menempel ataupun submasif. • Koralit dua tipe, axial dan radial. • Septa umumnya mempunyai dua lingkaran. • Columella tidak ada.
genus
19
• Dinding koralit dan coenosteum rapuh. • Tentakel umumnya keluar pada malam hari.
2.6.2. Hydnopora rigida Phylum : Coelenterata (Cnidaria) Kelas : Anthozoa Ordo : Scleractinia (Madreporaria) Famili : Merulinidae Genus : Hydnopora Spesies : Hydnopora rigida
Hydnopora rigida memiliki karakter berupa koloni yang bercabang dengan koralit berbentuk hydnoporoid kecil dengan sebaran yang tidak teratur (Suharsono 2008).
Koloninya tersusun berbentuk arborescent dan tidak
beraturan, pembagian besarnya rata dengan atau tanpa dasar yang merambat (DKP 2003; Coremap 2007). Montikula umumnya menyatu dengan tepi bagian bawah cabah dan tersusun dalam ridge menurun pada sisi percabangan pembagian utama.
Tebal batang utamanya adalah 7-12 mm (Kudus et al.
2003; Coremap 2007). Hydnopora rigida memiliki nama umum horn coral dan nama lokal karang tanduk (Kudus et al. 2003). Karang jenis ini berwarna coklat muda, krem, atau hijau (DKP 2003; Kudus et al. 2003; Coremap 2007; Suharsono 2008).
Ada beberapa spesies
karang lainnya yang dianggap mirip dengan Hydnopora rigida, yakni Hydnopora grandis, terutama koloni yang terbuka terhadap gelombang (Kudus et al. 2003), dan Hydnopora pilosa, dengan perbedaan terletak pada perambatan di dasar substrat (DKP 2003). Selain itu menurut Suharsono (2008) Hydnopora rigida secara sepintas sering keliru dengan Clavarina atau Scapophyllia.
Gambar 8. Morfologi Hydnopora rigida (Kudus et al. 2003)
20
Gambar 9. Fragmen transplantasi Hydnopora rigida (Dok. PKSPL-IPB 2009)
Lingkungan
hidup
Hydnopora
rigida
berada
di
terumbu
dangkal,
khususnya lagoon dan slope terumbu yang terlindung (Kudus et al. 2003; Coremap 2007).
Hydnopora rigida dijumpai pada kedalaman 1-7 m (DKP
2003). Secara global Hydnopora rigida tersebar di perairan Kepulauan Nicobar, perairan Fiji, perairan Indonesia, dan perairan sekitar Australia (DKP 2003). Suharsono (2008) menyatakan Hydnopora rigida memiliki sebaran di seluruh Indonesia, sangat umum dijumpai terutama di lereng terumbu. 2.6.3. Pocillopora verrucosa Phylum : Coelenterata (Cnidaria) Kelas : Anthozoa Ordo : Scleractinia (Madreporaria) Famili : Pocilloporidae Genus : Pocillopora Spesies : Pocillopora verrucosa
Pocillopora verrucosa memiliki diameter koloni yang jarang melebihi 0,5 m dan terdiri dari percabangan tegak lurus, yang jelas dapat dibadakan antara verrucae, tetapi pada bagian akhir dengan ukuran yang tidak teratur. Percabangan tebal dan lebih tipis pada habitat yang terlindung. Skeleton yang memutih memiliki warna percabangan utama merah-coklat (Kudus et al. 2003). Koloni Pocillopora verrucosa cepat mencapai ukuran besar.
Koloni dengan
percabangan tegak ke atas, gemuk pada pangkal dan agak melebar di bagian atas.
Percabangan membentuk kesan teratur.
Bintil-bintil tersebar merata
dengan ukuran yang tidak seragam (Suharsono 2008). Karang ini memiliki nama umum Pocillopora lokal dan nama lokal karang posilopora (Kudus et al. 2003).
21
Gambar 10. Morfologi Pocillopora verrucosa (Kudus et al. 2003)
Gambar 11.
Fragmen transplantasi Pocillopora verrucosa (Dok. PKSPL-IPB 2009)
Pocillopora verrucosa umumnya berwarna kuning pucat, krem, cokelat, cokelat muda, atau merah muda, kadang-kadang biru (Kudus et al. 2003; Suharsono 2008). Spesies yang dianggap serupa dengan Pocillopora verrucosa adalah Pocillopora meandrina, yang memiliki percabangan yang lebih pendek dan datar dengan verrucae lebih kecil (Kudus et al. 2003) Karang jenis ini tersebar di seluruh perairan Indonesia, umumnya berada di perairan Indonesia timur (Suharsono 2008).
Habitat dari Pocillopora
verrucosa berada dekat tubir yang berombak dan berarus, sebagian besar di lingkungan perairan dangkal dari bagian depan terumbu karang yang terbuka hingga tepian terumbu yang terlindung (Kudus et al. 2003). 2.7. Penelitian Transplantasi Karang di Indonesia Untuk mengetahui kecepatan pertumbuhan karang, berbagai penelitian tentang transplantasi karang telah dilakukan di Indonesia. Penelitian-penelitian ini banyak dilakukan oleh instansi-instansi yang bergerak dibidang khususnya terumbu karang, lembaga-lembaga non-profit, serta penelitian dari mahasiswa perguruan tinggi di Indonesia. Beberapa penelitian transplantasi yang pernah dilakukan di Indonesia disajikan dalam Tabel 1.
22
Tabel 1. Beberapa penelitian transplantasi terumbu karang di Indonesia.
Lokasi
Spesies
Lama Penelitian
Laju Pertumbuhan (mm/bulan)
SR (%)
Pengamatan
Substrat dan perlakuan
1
2
3
4
5
6
7
Pertambahan tunas dan perambatan pada substrat keramik
Substrat keramik, patok bambu. Fragmen dibersihkan.
Jumlah cabang dan perambatan pada substrat keramik
Substrat keramik. Fragmen dibersihkan.
Pengukuran pertumbuhan dengan Alizarin-Reds
-
Pemotongan berbeda
Substrat semen, jaring, dan besi. Fragmen dibersihkan.
Usia koloni berdasarkan potongan pada karang
Substrat semen, jaring, dan besi. Fragmen dibersihkan.
Posisi penanaman (vertikal dan horizontal)
Substrat semen, jaring, dan besi. Fragmen dibersihkan.
Rasio pertumbuhan lebar dan tinggi koloni karang
Substrat semen, jaring, dan besi. Fragmen dibersihkan.
Pulau Pari (Sadarun 1999)
Zona Windward, Leeward, dan goba Pulau Pari (Johan 2000) Pantai Selatan Bunaken (Supit 2000) Pantai Malalayang (Supit 2000) Zona Windward dan Leeward P.Pari (Haris 2000)
Acropora tenuis
32,6-33,3
90
A. formosa
45,8-46,3
83,33
A. hyachintus
43,8-44,4
100
A. divaricata
31,9-32,2
100
A. nasuta
47,9-48,1
100
A. yongei
48,8-49,1
100
A. aspera
33,0-33,3
100
A. digitifera
21,1-24,3
100
A. valida
49,0-41,2
100
A. glauca
20,1
100
A. formosa
3,7
89
1,6
97
4,2
90
5 bulan
A. donei
6 bulan
A. acuminata
P = 6,48 Pocillopora damicornis
P = 5,91 Sarcophyton trocheliophorum
P = 19,23
Lobophytum strictum
P = 15,95
Porites nigrescens
5 bulan
Montipora digitata
Selatan Pulau Pari (Aziz 2001)
-
83,33
4 bulan
Utara dan Selatan Pulau Pari (Cahyadi 2001)
Selatan Pulau Pari (Herdiana 2001)
-
6 bulan
P potong 13,2 P potong 16,8 P potong 13,1 P potong 11,2 P potong 16,8 P potong 14,3
atas = tengah = bawah = atas = tengah = bawah =
76,67 100 100 95 100 100 100
P = 90 ; L = 139 / P = 103 ; L = 82,2
83,33 / 66,67
A. intermedia
P = 104 ; L = 154 / P = 127 ; L = 213
83,33 / 79,17
A. intermedia
T = 2,5 ; P = 2,5
66,67
Millepora tenela
T = 2,8 ; L = 4,7
100
A. micropthalma 5 bulan
Trachypillia geoffroyi Wellsophyllia radiata
6 bulan T=6;L=9
33,33
T = 7 ; L = 12
66,67
23
1
2
3
A. formosa Selatan Pulau Pari (Alhusna 2002)
5 bulan Hydnopora rigida
Euphyllia sp. Selatan Pulau Pari (Subhan 2002)
Selatan Pulau Pari (Syahrir 2003)
Cynarina lacrymalis Plerogyra sinuosa Heliopora corerolea Tubipora musica Seriatopora hystrix
6 bulan
T = 4,2 ; D = 10,6 T = 2,5 ; D = 3,6 6 bulan
100
100
77,78 22,22 33,33
55,56
P. damicornis
T = 3,7 ; D = 5,4
100
M. foliosa
T = 4,9 ; D = 6
M. porites Pavona cactus
5 bulan
A. valensiennesi A. brueggenanni
2 bulan
A. formosa
T = 18,27 L = 23,14 T = 18,26 L = 26,53 T = 22,96 L = 26,99 T = 35,89 L = 48,00
; ; ; ;
6
7
Perbandingan laju petumbuhan koloni induk (1) dan koloni transplan (2)
Substrat semen, jaring, dan besi. Fragmen dibersihkan.
Laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup
Substrat semen, jaring, dan besi. Fragmen dibersihkan.
Rasio pertumbuhan diameter koloni dan tinggi koloni karang
Substrat semen, jaring, dan besi. Fragmen dibersihkan.
Laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup
Substrat gerabah jaring, dan besi. Fragmen dibersihkan.
100
100
H. rigida
Perairan Tabolong, Kupang (Kaleka 2004)
5
T = 7,4 ; D = 12,6
M. spumosa Pulau Pari (Prawidya 2003)
4 1. P = 8,3 ; L1 = 2,1 ; L2 = 2,3 2. P = 14,1 ; L1 = 16,7 ; L2 = 14,3 1. P = 4,6 ; L1 = 2,1 ; L2 = 2,5 2. P = 5,4 ; L1 = 6,1 ; L2 ; 5,1 T = 1,4 ; L = 2,7 ; P = 2,8 T = 0,3 ; L = 2,2 ; P = 1,1 T = 2,2 ; L = 1 ; P = 1,1
66,67 88,89 100 77,78 100
P=7
100
P = 6,25
100
P = 6,7
100
Laju pertumbuhan, pertambahan tunas, tingkat ketahanan hidup
Substrat beton.
Stasiun 1 L=5;T=3
-
L=9;T=3
-
L=5;T=3
-
L = 10 ; T = 3
-
(3 bulan) Stasiun 1 (5 bulan) Stasiun 2 (3 bulan) Stasiun 2 Bali (Alfaridy 2009)
(5 bulan)
Laju pertumbuhan
Acropora spp. Stasiun 3 L=4;T=3
-
L=8;T=3
-
L=4;T=2
-
L=8;T=2
-
(3 bulan) Stasiun 3 (5 bulan) Stasiun 4 (3 bulan) Stasiun 4 (5 bulan)
Substrat berupa batu besar. Fragmen dibersihkan.
24
1
Pulau Karya (Wibowo 2009)
2
3
P. verrucosa
5
P = 4,94; T = 3,70
76
P = 4,82; T = 4,11
92,75
P = 13; T = 7
53,33
P = 9; T = 8
76,12
P = 13; T = 10
63,41
3 bulan Stylophora pistillata Montipora spp.
Pulau Kelapa (Yudhasakti 2009)
4
Porites spp. S. pistillata
6 bulan (per dua bulan)
6 Laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup Laju pertumbuhan per dua bulan dan tingkat kelangsungan hidup
7 Substrat berupa modul dari beton. Fragmen dibiarkan alami. Substrat berupa modul dari beton. Fragmen dibiarkan alami.
3. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama sepuluh bulan dimulai dari bulan Desember 2008 hingga September 2009 di Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu.
Sepuluh
bulan penelitian tersebut dibagi menjadi dua bagian, yakni pada bulan Desember 2008 sebagai penelitian pendahuluan untuk mengetahui kondisi lapang dan mendapat gambaran dasar untuk merencanakan pengamatan selanjutnya yang dilakukan per dua bulan dimulai dari bulan Maret 2009 hingga September 2009.
Lokasi transplantasi karang yang dipakai sebagai lokasi
penelitian berada pada 05⁰39'31,5" LS dan 106⁰34'32,2" BT (Gambar 12). Lokasi transplantasi tersebut dipilih untuk memperbaiki kondisi ekosistem terumbu karang di sekitar Pulau Kelapa yang mengalami kerusakan akibat penggalian pasir laut, sebagai contoh penggalian pasir hingga 1.000 m3 untuk pembangunan resort di Pulau Kaliage Besar. Dampak yang paling terasa dari kegiatan penggalian pasir laut tersebut adalah sulitnya warga sekitar untuk memperoleh ikan-ikan karang (Ikawati et al. 2001).
Gambar 12. Peta lokasi penelitian.
26
Pelaksanaan penelitian terdiri dari tiga tahap, yaitu pengumpulan data, observasi lapangan, serta pengolaan dan analisis data. Selanjutnya dilakukan pengambilan data pertumbuhan fragmen karang transplantasi berupa ukuran dimensi panjang dan tinggi fragmen karang serta kualitas air dari lokasi transplantasi tersebut. 3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Fragmen karang Fragmen karang yang digunakan dalam penelitian transplantasi karang ini diperoleh dari pengumpul yang membudidayakan karang untuk kegiatan perdagangan. Karang yang digunakan merupakan keturunan kedua dari koloni induk sehingga legal untuk diperdagangkan sebagi karang hias. Fragmen yang ditransplantasi kemudian di tempelkan pada modul transplantasi (rak beton) dengan menggunakan semen.
Spesies yang ditransplantasikan merupakan
karang yang memiliki kelimpahan alami yang cukup luas di sekitar lokasi penelitian sehingga fragmen karang tersebut diharapkan dapat lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan dan mengurangi tingkat kematian fragmen karang. Karang
yang
ditransplantasikan
pada
lokasi
tersebut
terdiri
dari
delapanbelas genus, dengan tujuh genus mayoritas, diantaranya adalah Acropora, Hydnopora, dan Pocillopora.
Dari tujuh genus tersebut yang
digunakan sebagai objek penelitian adalah karang jenis Acropora spp. (Gambar 7.), Hydnopora rigida (Gambar 9.), dan Pocillopora verrucosa (Gambar 11.). Selain keterangan dari pengumpul karang hias, karang tersebut juga kembali diidentifikasi secara visual dengan membandingkannya dengan literatur Jenis-jenis karang di Indonesia milik Suharsono (2008) dan Corals of the world vol. 2 milik Veron (2000).
Hasil perbandingan dengan literatur tersebut
disajikan dalam Tabel 2. dan Tabel 3.
Tabel 2. Identifikasi karang Hydnopora rigida, Dana 1846. Ciri-ciri (Suharsono 2008)
Karang transplantasi
Koloni bercabang
√
Koralit berbentuk hydnoporoid kecil dengan sebaran tidak teratur
√
Warna kuning atau coklat muda
√
27
Tabel 3. Identifikasi karang Pocillopora verrucosa, Ellis & Solander 1786. Karang transplantasi
Ciri-ciri (Suharsono 2008) Percabangan tegak ke atas
√
Gemuk pada pangkal dan agak melebar pada bagian atas
√
Percabangan menimbulkan kesan teratur
√
Bintil tersebar merata dengan ukuran tidak seragam
√
Warna kuning atau coklat muda
√
3.2.2. Alat Alat yang digunakan untuk penelitian ini meliputi alat yang digunakan dalam
proses
penempatan
contoh,
pengamatan
dan
pengambilan
data
pertumbuhan karang serta pengamatan parameter lingkungan.
Tabel 4. Alat yang digunakan dalam proses penempatan contoh, pengamatan dan pengambilan data pertumbuhan karang. No.
Alat dan Bahan
Keterangan
1.
Peralatan selam SCUBA
Peralatan penyelaman
2.
Penggaris / Kaliper
Pengukuran dimensi karang
3.
Kamera bawah air
Keperluan dokumentasi
4.
Sabak dan kertas neotop
Pencatatan hasil pengamatan
5.
Personal Computer
Pengolahan data hasil pengamatan
6.
Pensil
Menulis data hasil pengamatan
Tabel 5. Parameter lingkungan perairan yang diukur dan alat yang digunakan. No
Parameter
Satuan
Alat yang digunakan
Metode
1.
Suhu
°C
Termometer air raksa
In situ
2.
Salinitas
‰
Hand refraktometer
Ex situ
3.
Kecerahan
%
Secchi Disc
In situ
4.
Turbiditas
NTU
Turbidimeter
Ex situ
5.
Kecepatan arus
m/s
Floating droudge dan stopwatch
In situ
6.
Kedalaman
Depth gauge
In situ
7.
Nutrien (Ammonia, Ortophosphat, Nitrat)
Spektrofotometri
Ex situ
8.
Laju sedimentasi
Sediment trap, kertas saring Millipore, vacuum pump
Ex situ
m mg / l mg / cm2 / hari
28
Parameter fisika dan kimia perairan yang diukur adalah suhu, salinitas, kecerahan,
kekeruhan,
kecepatan
arus,
kedalaman,
nutrien,
dan
laju
sedimentasi. Pengambilan data parameter fisika dan kimia secara in situ dan ex situ setiap dua bulan bersamaan dengan pengambilan data pertumbuhan karang. Pengukuran parameter secara langsung (in situ) dilakukan untuk mengukur parameter suhu perairan, kecepatan arus, kedalaman perairan, serta kecerahan perairan.
Pengukuran parameter suhu dengan menggunakan
termometer air raksa, kecepatan arus diukur dengan menggunakan floating droudge
dan
stop
watch,
dan
parameter
kecerahan
diukur
dengan
menggunakan secchi disc. Pengukuran kecerahan perairan dengan cara merata-ratakan kedalaman saat keping secchi pertama kali menghilang saat diturunkan (d1) dan kedalaman saat pertama kali keping secchi terlihat saat keping secchi dinaikkan (d2) kemudian dibagi dengan kedalaman perairan dan dikalikan 100 persen. Pengukuran kedalaman lokasi transplantasi karang dengan melihat depth gauge yang terdapat pada peralatan SCUBA. Pengukuran parameter secara tidak langsung (ex situ) dilakukan untuk pengukuran parameter salinitas, laju sedimentasi, turbiditas (kekeruhan), serta nutrien (ammonia, ortophosphat, nitrat).
Pengambilan contoh air dilakukan
menggunakan botol contoh pada kedalaman 2-5 meter yang kemudian disimpan di dalam cool box yang diberi es batu untuk mengawetkan contoh air, kemudian dilakukan Manajemen salinitas
analisis
di
Laboratorium
Sumberdaya dilakukan
Perairan, dengan
Produktivitas Institut
Lingkungan
Pertanian
menggunakan
Bogor.
hand
Departemen Pengukuran
refraktometer.
Kekeruhan/turbiditas diukur dengan menggunakan turbidimeter, kemudian nutrien (ammonia, ortophosphat, nitrat) diukur melalui proses spektrofotometri. Pengukuran laju sedimentasi dilakukan dengan menyaring partikel-pertikel tersuspensi yang terdapat di dalam sediment trap dengan menggunakan kertas saring millipore dan dibantu dengan menggunakan vacuum pump, kemudian di oven pada 105 oC untuk mendapatkan berat kering partikel tersuspensi yang terdapat di dalam sediment trap.
29
3.2.3. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Bahan yang digunakan dalam penelitian transplantasi karang. No.
Bahan
1.
Modul beton (80 cm x 40 cm x 35 cm)
Keterangan
2.
Semen
3. 4. 5.
Fragmen karang Resin, katalis, pewarna dan talk Tali nylon
Rak tempat contoh fragmen karang Penempel contoh fragmen karang pada modul beton Hewan percobaan Penomoran modul karang Pengikat nomor ke modul beton
3.3. Rancangan dan Konstruksi Penelitian Modul transplantasi berupa rak beton terbuat dari rangka besi yang diberi campuran semen dan pasir, lalu dicetak dengan menggunakan cetakan yang terbuat dari tripleks dengan dimensi panjang 60 cm, lebar 40 cm, dan tinggi 35 cm. Rak beton tersebut lalu di jemur selama 2-3 hari sampai kering dan siap digunakan sebagai substrat hidup karang. Modul tersebut sengaja dibuat lebih tinggi dari substrat alami untuk mengurangi pengaruh sedimentasi yang cukup tinggi di perairan tersebut terhadap terumbu karang yang ditransplantasikan. Karena
sedimentasi
sering
menyebabkan
kematian
dan
menghambat
pertumbuhan karang (Yap & Gomez 1985; Nagelkerken et al. 2000; in Soong & Chen 2003), menjaga fragmen di atas dasar dapat mengurangi kemungkinan mereka tertutupi oleh sedimen (Soong & Chen 2003).
Setiap modul
transplantasi memiliki enam lubang sebagai dudukan fragmen karang yang akan ditransplantasikan nantinya (Gambar 13. A).
Gambar 13.
Konstruksi modul karang dan penempelan fragmen karang pada modul transplantasi (PKSPL-IPB 2009, komunikasi pribadi).
30
Fragmen karang yang sudah diperoleh kemudian dipindahkan ke lokasi penelitian secara hati-hati dan sebisa mungkin dibawa di dalam air untuk mencegah stress pada karang. Fragmen karang diletakkan tepat pada lubang yang terdapat pada modul (Gambar 13. B). Proses penempelan tersebut dilakukan dengan menyemen fragmen karang di dalam air hingga menempel pada modul. Hal ini penting agar fragmen karang tersebut menempel kuat pada modul dan tidak mudah lepas akibat hempasan gelombang, arus, maupun predator.
Gambar 14.
Fragmen karang transplantasi (PKSPL-IPB 2009, komunikasi pribadi).
3.4. Jenis Data dan Informasi yang Diperlukan 3.4.1. Pengambilan dan penempatan sampel fragmen karang Lokasi penelitian berada di satu tempat yakni Pulau Kelapa dengan kedalaman 2-5 meter.
Jumlah modul berupa rak beton yang digunakan
mencapai 400 buah dengan enam individu karang di tiap modul. Jarak antara modul satu dengan modul lain adalah 1 meter (Gambar 15).
Gambar 15. Kondisi modul transplantasi karang. (Dok. PKSPL-IPB 2008)
31
3.4.2. Pengukuran pertumbuhan karang Pengukuran pertumbuhan karang meliputi panjang terpanjang koloni dan tinggi tertinggi koloni (Gambar 16.).
Pengukuran pertumbuhan karang
menggunakan jangka sorong (caliper) dan/atau penggaris dengan bantuan SCUBA (Gambar 17).
Gambar 16. Metode pengukuran contoh fragmen karang.
Gambar 17.
Modul transplantasi serta penghitungan terumbu karang (Dok. PKSPL-IPB 2008)
panjang dan tinggi
3.5. Metode Analisis Data 3.5.1. Pengukuran pertumbuhan panjang dan tinggi Pengukuran pertumbuhan panjang dan tinggi karang dilakukan setiap dua bulan sekali dengan menggunakan jangka sorong (caliper) dan/atau penggaris di dalam air. yang
ditransplantasikan
menggunakan rumus:
Untuk menghitung pencapaian pertumbuhan karang dari
data
hasil
pengukuran
dilakukan
dengan
32
=
−
Keterangan: β = Pertambahan panjang/tinggi fragmen karang yang ditransplantasikan Lt = Rata-rata panjang/tinggi fragmen karang yang ditransplantasikan Lo = Rata-rata panjang/ tinggi fragmen karang pada bulan ke-0 Untuk laju pertumbuhan karang yang ditransplantasikan, rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Sadarun 1999): − −
=
Keterangan: = Pertambahan panjang/tinggi fragmen karang yang ditransplantasikan Lt+1 = Rata-rata panjang/tinggi fragmen pada waktu ke-i+1 Lt = Rata-rata panjang/ tinggi fragmen pada waktu ke-i ti+1 = Waktu ke-i+1 ti = Waktu ke-i
3.5.2. Tingkat kelangsungan hidup Untuk menghitung tingkat kelangsungan hidup pada karang yang ditransplantasi menggunakan formula sebagai berikut: =
×
Keterangan: SR = Tingkat Kelangsungan Hidup Nt = Jumlah individu pada akhir penelitian N0 = Jumlah individu pada awal penelitian
%
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Kelapa Pola pertumbuhan terumbu karang sangat dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan perairan sekitarnya.
Parameter lingkungan yang berbeda akan
memiliki dampak yang berbeda pada pola pertumbuhan tiap jenis karang, baik dari segi morfologi dan fisiologi karang itu sendiri. Tiap parameter lingkungan memiliki peranan yang berbeda pada tiap karang dalam pertumbuhannya.
Tabel 7. Data parameter fisika dan kimia lokasi transplantasi di perairan Pulau Kelapa bulan Maret 2009 sampai September 2009 Baku Mutu yang diperbolehkan
Satuan
Maret 2009
Mei 2009
Juli 2009
September 2009
Salinitas
‰
31
31
30
32
*
Suhu
⁰C
29,3
28,7
28,3
28,7
*
Kekeruhan
NTU
1,5
1,1
1,1
1,7
Kecepatan Arus
m/s
0,13
0,10
0,30
0,08
-
Kedalaman
m
5
5
5
5
-
Persentase
%
100
100
100
100
-
mg/l
0,024
0,005
0,008
0,005
*
mg/l
0,008
0,017
0,023
0,011
*
*
Parameter
Alami, 33-34(1) Alami, 28-30(2) *
5
Kecerahan
Nutrien Nitrat Orthophosphat Ammonia Sedimentasi
mg/l 2
mg/cm /hari
0,148
0,197
0,056
0,046
2,7123
4,3168
5,8146
0,008 0,015 0,300 -
* MENKLH 2008 Keterangan
: Untuk terumbu karang; (1) Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5‰ salinitas ratarata musiman; (2) Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2⁰C dari suhu alami.
Berdasarkan parameter yang diamati pada perairan Pulau Kelapa (Tabel 7), beberapa parameter telah memenuhi kadar baku mutu yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk biota laut. Parameter tersebut adalah salinitas, temperatur, kekeruhan, dan kecerahan.
Sedangkan kandungan nitrat dan ortophosphat
pada lokasi tersebut sempat melebihi baku mutu kualitas air. Kondisi suhu perairan yang berada pada kisaran 28,3-29,3°C (Tabel 5) pada lokasi transplantasi tersebut berada pada kisaran suhu yang baik untuk pertumbuhan terumbu karang, yakni pada kisaran 25-29°C dengan batas
34
maksimum suhu sekitar 36°C. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air (Effendi 2003). Menurut Wells (1954) in Supriharyono (2007) suhu yang baik untuk pertumbuhan karang adalah berkisar antara 25-29 °C.
Sedangkan batas
minimum dan maksimum suhu berkisar antara 16-17 °C dan sekitar 36 °C (Kinsman 1964 in Supriharyono 2007).
Supriharyono (2007) menyatakan
bahwa suhu yang mematikan binatang karang bukan suhu yang ekstrim, yaitu suhu minimum atau maksimum saja, namun lebih karena perbedaan perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami (ambient level). Menurut Coles & Jokiel (1978) dan Neudecker (1981) in Supriharyono (2007) perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6 °C di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan mematikannya, sehingga kondisi suhu perairan di lokasi transplantasi masih tergolong baik untuk pertumbuhan karang. Kondisi salinitas di Pulau Kelapa dari bulan Maret 2009 hingga September 2009 berkisar pada nilai 30‰-32‰.
Dengan kisaran tersebut nilai salinitas
tersebut masih berada dalam kisaran yang baik untuk pertumbuhan terumbu karang secara baik yakni 30‰ sampai 35‰ (Dahuri 1996).
Daya tahan
terhadap salinitas setiap jenis karang tidak sama. Daya tahan terhadap faktorfaktor pembatas tersebutlah yang menyebabkan laju pertumbuhan tiap jenis karang tidaklah sama satu sama lain. Kecerahan
perairan
Kepulauan
Seribu
berkisar
antara
3-8
meter,
sedangkan kekeruhannya bekisar 0,5-1,1 NTU (Dinas Perikanan DKI Jakarta & FPIK-IPB 1997 in Mihardja & Pranowo 2001).
Kecerahan di lokasi tersebut
adalah 100% dikarenakan lokasi transplantasi karang berkisar hingga 5 m di bawah permukaan laut maka tingkat. Pada daerah bercahaya, fotosintesis oleh zooxanthellae bagaimanapun juga harus membuat laju kalsifikasi oleh karang yang lebih tinggi (Pearse & Muscatine 1971).
Pada karang hermatifik, hasil
fotosintesis dialirkan dari zooxanthellae ke jaringan karang dan lalu dipakai untuk berbagai kebutuhan nutrien: senyawa ini digunakan oleh karang untuk metabolisme dasar (respirasi) karang, untuk sintesis sel-sel baru dan sintesis produk ekstraseluler, seperti mukus dan acuan skeletal organik (Muscatine et al. 1984 in Rinkevich 1989).
Translokasi bukan hanya dapat menyediakan total
karbon harian untuk respirasi, tetapi juga sebagian kebutuhan karbon untuk kebutuhan metabolisme lainnya seperti bertumbuh (Rinkevich 1989). Berdasarkan hasil pengamatan pada bulan Maret 2009, Mei 2009, Juli 2009, dan September 2009 didapatkan kekeruhan berada pada nilai 1,5 NTU,
35
1,1 NTU, 1,1 NTU, dan 1,7 NTU.
Rendahnya tingkat kekeruhan di perairan
tersebut pada bulan Mei 2009 hingga Juli 2009 diakibatkan oleh faktor arus yang terjadi pada bulan Mei 2009 dan Juli 2009 sehingga sedimentasi dan material lainnya yang terdapat di perairan tersebut dapat lebih cepat melewati lokasi transplantasi. September
2009
Sedangkan meningkatnya tingkat kekeruhan pada bulan
yang dipengaruhi
oleh
Musim
Timur
diakibatkan
oleh
melambatnya kecepatan arus perairan tersebut dibandingkan pengamatan bulan-bulan sebelumnya. Dahuri (2003) menyatakan titik kompensasi bagi karang pada kedalaman dengan intensitas cahaya sekitar 15%-20% dari intensitas permukaan yang menyebabkan pertumbuhan karang sangat berkurang. Hal ini disebabkan oleh karena laju produksi primer sama dengan respirasi karang. Kecerahan perairan Kepulauan
Seribu
sendiri
berkisar
antara
3-8
meter
sementara
lokasi
transplantasi berkisar antara 2-5 meter, maka kecerahan di lokasi tersebut adalah 100%.
Kondisi tersebut sangat sesuai untuk pertumbuhan karang
mengingat jauh berada di atas titik kompensasi bagi karang untuk dapat terus bertumbuh. Parameter arus merupakan faktor fisik penting lainnya di perairan. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan terumbu karang faktor arus dapat berdampak baik dan buruk.
Baik apabila arus tersebut membawa bahan-bahan organik
yang diperlukan oleh karang dan zooxanthellae untuk pertumbuhannya, dan buruk apabila arus ternyata menyebabkan sedimentasi di perairan dan menutupi permukaan karang sehingga mengakibatkan lambatnya pertumbuhan terumbu karang, atau bahkan menyebabkan kematian karang. Kecepatan arus permukaan di Kepulauan Seribu berkisar antara 0,05-0,12 m/s (Dinas Perikanan DKI Jakarta & FPIK-IPB 1997 in Mihardja & Pranowo 2001).
Sedangkan jika dirata-ratakan antara arus permukaan dan arus
dibawah permukaan maka kecepatannya adalah 0,43 m/s (Mihardja & Pranowo 2001). Berdasarkan pengamatan didapatkan kisaran kecepatan arus di perairan lokasi transplantasi adalah sebesar 0,08 m/s sampai 0,3 m/s, yakni 0,13 m/s pada bulan Maret 2009, 0,1 m/s pada bulan Mei 2009, 0,3 m/s pada bulan Juli 2009, dan 0,08 m/s pada bulan September 2009 (Tabel 7.). Dibandingkan dengan pengamatan pada bulan-bulan lainnya, tingkat kecepatan arus pada bulan Juli 2009 di lokasi transplantasi tersebut merupakan yang terbesar.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi kecepatan
arus di suatu lokasi perairan, di antaranya adalah angin, musim, dan pengaruh arus bawah.
Lokasi transplantasi di Pulau Kelapa sendiri termasuk yang
36
bertubir dan menurut warga sekitar merupakan daerah ruaya dari ikan kakap sehingga memungkinkan adanya pengaruh arus bawah menyebabkan arus permukaan ikut menguat, selain dikarenakan faktor angin yang juga cukup kuat pada pengamatan di bulan Juli 2009 tersebut. Faktor sedimentasi juga merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan terumbu karang. Pada perairan Pulau Kelapa didapat kisaran sedimentasi yang terjadi
berkisar
antara 2,7123-5,8146
mg/cm2/hari.
Meningkatnya laju
sedimentasi terjadi akibat adanya pengadukan substrat yang diakibatkan oleh faktor adanya arus perairan yang lebih kuat dan membawa sedimen dari perairan sekitar lokasi transplantasi di bulan Juli 2009 dibandingkan pada bulan Mei 2009 (Tabel 7.). Dari data kecepatan arus dapat dilihat bahwa kecepatan arus pada bulan Juli 2009 meningkat dibandingkan kecepatan arus pada bulan Mei 2009, dimana laju sedimentasi dipengaruhi oleh kecepatan arus perairan.
Laju sedimentasi di
bulan September 2009 kembali meningkat diakibatkan oleh adanya pengaruh Musim Timur. Arus yang melambat dibandingkan bulan Juli 2009 menyebabkan sedimentasi yang dibawa besertanya mengendap ke dasar perairan. Keluar masuknya nutrien dan besarnya laju sedimentasi yang terjadi dalam suatu perairan turut dipengaruhi oleh kecepatan arus dan sirkulasi gelombang yang terdapat di perairan tersebut. akan
menghalangi
sedimentasi
yang
pengendapan berkisar
sedimen
Gelombang yang cukup kuat
pada
2,7123-5,8146
koloni
karang.
mg/cm2/hari
tersebut
Beban masih
tergolong kecil hingga dapat memberikan dampak dalam penurunan regenerasi, kelimpahan, dan keragaman spesies. Selain itu, sedimen yang kaya akan unsur hara akan menyebabkan peningkatan kesuburan di perairan sekitar terumbu karang dan mempercepat laju pertumbuhan makroalga (Rachmawati 2001). Meski sedimentasi yang terjadi masih tergolong kecil untuk mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang, terus meningkatnya nilai sedimentasi hingga bulan September 2009 akan mempengaruhi struktur komunitas biota lainnya dalam ekosistem terumbu karang.
Lohrer et al. (2004) in Mottaqui-Tabar
(2007) menyatakan sedikitnya tiga milimeter material limpasan dari darat cukup untuk secara signifikan mempengaruhi struktur komunitas makrobenthos yang kemudian menyebakan menurunnya jumlah individu, taksa, dan kepadatan di hampir seluruh spesies terumbu karang.
Suspensi sedimen juga mengurangi
visibilitas bahkan untuk ikan yang terutama bergantung pada identifikasi visual mangsa
mereka,
penyumbatan
insang,
dan
memiliki
konsekuensi
yang
37
signifikan terhadap tingkah laku dan fisiologi ikan (Dulvey et al. 1995 in Mottaqui-Tabar 2007). Selama pengamatan berlangsung didapatkan kandungan ammonia sebesar 0,148 mg/l pada bulan Maret 2009, 0,197 mg/l pada bulan Mei 2009, dan 0,056 mg/l pada bulan Juli 2009, serta 0,046 m/l pada bulan September 2009 (Tabel 7.).
Menurunnya kandungan ammonia pada bulan Juli 2009 diakibatkan oleh
hilangnya ammonia ke atmosfer seiring dengan meningkatnya kecepatan angin pada bulan Juli 2009 dibandingkan dengan bulan Maret 2009 dan Mei 2009 yang memiliki kecepatan arus terendah dibandingkan pada pengamatan di bulan lainnya, sementara menurunnya kadar ammonia pada pengamatan bulan September 2009 diakibatkan oleh meningkatnya suhu perairan di lokasi tersebut dibandingkan pada pengamatan suhu di bulan Juli 2009. Berdasarkan pengamatan pada bulan Maret 2009, Mei 2009, Juli 2009, dan September 2009 didapatkan kandungan nitrat sebesar 0,024 mg/l, 0,005 mg/l, 0,008 mg/l, dan 0,005 mg/l.
Pengamatan lain mengenai nutrien
dilakukan pula terhadap kadar ortophosphat di perairan tersebut. Kandungan nitrat pada bulan Maret 2009 sempat berada di atas nilai baku yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk biota laut. Didapatkan pula kadar ortophosphat yang terkandung pada bulan Maret 2009, Mei 2009, Juli 2009, dan September 2009 di perairan tersebut adalah 0,008 mg/l, 0,017 mg/l, 0,023 mg/l, dan 0,011 mg/l (Tabel 7).
Apabila
dibandingkan dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk biota laut, kandungan nitrat pada bulan Maret 2009, serta ortophosphat pada bulan Mei 2009 dan Juli 2009, telah melebihi baku mutu sehingga dapat memacu pertumbuhan alga di lokasi tersebut. Meski demikian nilai ortophosphat tersebut kembali menurun hingga di bawah nilai baku mutu pada bulan September 2009 setelah sebelumnya meningkat pada bulan Mei 2009 dan tertinggi pada bulan Juli 2009. Hal yang sama juga terjadi untuk nilai nitrat yang kembali menurun pada pengamatan berikutnya. Kebanyakan
nutrien
yang
dibutuhkan
oleh
terumbu
karang
dapat
didapatkan dari daur ulang materi biologis di sekitarnya, bahkan menurut Rahav et al. (1989) dan Atkinson et al. (1994) in Hoegh-Guldberg dan Williamson (1999), nitrogen daur ulang mewakili komponen yang signifikan dari kandungan nitrogen dari dinoflagellata simbiotik dalam terumbu karang, hingga 90-98% dari nitrogen berasal dari sumber internal. Meski mendaur ulang, nitrogen baru
38
juga harus diperoleh dari lingkungan untuk pertumbuhan asosiasi simbiotik seperti terumbu karang dan dinoflagellata (Hoegh-Guldberg & Williamson 1999). Meningkatnya
tingkat
nutrien
akibat
masukan
dari
darat
dapat
menimbulkan keberadaan makroalga di sekitar terumbu karang atau dekat pantai. Pada pengamatan di lapang telah terjadi pertumbuhan makroalga. Alga yang pertama kali ditemukan pada kebanyakan area terbuka terumbu karang seringkali berupa alga hijau berfilamen yang bertumbuh cepat dan alga biru kehijauan yang berbentuk “algal turf” yang kemudian diikuti perkembangan suksesi oleh berbagai alga lainnya (McClanahan 1997). Hal ini diduga terjadi karena kandungan nitrat dan ortophosphat di lokasi transplantasi sempat melebihi kadar baku mutu yang tercantum dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk biota laut.
4.2. Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate/SR) Karang Hasil Transplantasi Pada ketiga jenis karang yang ditransplantasikan di perairan Pulau Kelapa selama enam bulan pengamatan menunjukan nilai yang berbeda satu sama lainnya.
Meski ketiga jenis karang tersebut ditransplantasikan bersamaan,
karena adanya perbedaan sifat hidup masing-masing jenis karang sehingga dapat juga memicu tingkat tekanan yang berbeda pada masing-masing karang terhadap lingkungan mereka yang baru. Tingkat tekanan inilah yang kemudian mempengaruhi metabolisme karang tersebut untuk dapat beradaptasi.
SR (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Acropora
Hydnopora rigida
Pocillopora verrucosa
Terumbu Karang yang Ditransplantasikan Maret 2009
Mei 2009
Juli 2009
September 2009
Gambar 18. Tingkat kelangsungan hidup Acropora spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa.
39
Tingkat kelangsungan hidup paling besar hingga akhir pengamatan pada bulan September 2009 dimiliki oleh karang Acropora spp. dengan kelangsungan hidup sebesar 78,44%, diikuti Hydnopora rigida dengan tingkat kelangsungan hidup sebesar 74,19%, sedangkan tingkat kelangsungan hidup terendah dimiliki oleh karang jenis Pocillopora verrucosa sebesar 61,11% (Gambar 18.). Dari pengamatan per dua bulan, tingkat kelangsungan hidup Acropora spp. merupakan yang paling tinggi hingga akhir pengamatan.
Kelangsungan
hidup Acropora spp. adalah sebesar 92,38% pada bulan Mei 2009, 84,60% pada bulan Juli 2009, dan 78,44% pada akhir pengamatan di bulan September 2009. Hydnopora rigida memiliki tingkat kelangsungan hidup tertinggi kedua selama pengamatan. Kelangsungan hidup Hydnopora rigida mencapai 96,77% pada pengamatan di bulan Mei 2009, 77,42% pada bulan Juli 2009, dan 74,19% pada pengamatan di bulan September 2009. Tingkat kelangsungan hidup Pocillopora verrucosa adalah yang paling rendah dibandingkan karang lainnya pada akhir pengamatan.
Kelangsungan
hidup Pocillopora verrucosa adalah sebesar 77,78% pada bulan Mei 2009, 62,96% pada bulan Juli 2009, dan 61,11% pada akhir pengamatan di bulan September 2009.
Kematian Pocillopora verrucosa, dibandingkan dengan dua
jenis karang lainnya merupakan yang terbesar
terbesar bagi Pocillopora
verrucosa pada tiap pengamatan. Namun kematian terbesar karang ini terjadi pada bulan Mei 2009.
Kematian yang terjadi di bulan ini bahkan merupakan
kematian terbesar dibandingkan karang lainnya pada seluruh pengamatan. Kondisi perairan yang berbeda dengan kondisi habitat asal fragmen turut memacu tekanan lingkungan pada karang yang ditransplantasikan.
Tekanan
lingkungan adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pengaruh faktor eksternal maupun internal yang dipengaruhi oleh kondisi fisiologis dan aktivitas yang berpengaruh terhadap struktur dan proses-proses dalam populasi, komunitas, dan ekosistem terumbu karang akan mengalami tekanan lingkungan akan mengalami perubahan-perubahan dalam metabolisme, pertumbuhan, respon tingkah laku terhadap lingkungan dan biologi reproduksinya (Arafat 2005). Keberadaan makroalga yang tumbuh di sekitar fragmen dan modul juga mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup karang. Selain itu, dari pengamatan didapat bahwa kematian terbesar selama enam bulan pengamatan berupa death coral with algae (DCA) (Lampiran 2 dan 3).
Sedimentasi dan eutrofikasi
(penambahan nutrien) diduga menjadi penyebab utama dari degradasi terumbu karang di seluruh dunia (Ginsburg 1993 in McClanahan & Obura 1997).
40
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa makroalga dapat melebihi pertumbuhan karang, dan kompetisi diantara keduanya biasanya dimenangkan oleh alga (Chadwick 1988; Hughes 1989; in Tanner 1995). Energi yang dipakai karang dapat meningkat untuk memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh alga, seperti jaringan yang luka (Coyer et al. 1993 in Tanner 1995), atau dari pengeluaran energi secara aktif bersaing dengan alga, dan mencegah pertumbuhan alga menutupi karang (de Ruyter van Steveninck et al. 1988 in Tanner 1995). Biomassa makroalga yang besar dapat menutupi karang sehingga memiliki efek seperti halnya penutupan karang oleh partikel sedimen yang besar (Rachmawati 2001).
Untuk membersihkan diri dari sedimentasi, karang akan
mengeluarkan mukus secara terus menerus. Akibatnya karang tersebut harus mengeluarkan energi untuk membersihkan diri. Apabila kecepatan sedimentasi lebih tinggi daripada kemampuan karang membersihkan diri akhirnya karang akan mati (LIPI 2008). Selain karena alga, kematian juga terjadi akibat patahnya fragmen karang yang ditransplantasikan pada fragmen karang Acropora spp. Karang dengan life form branching seperti Acropora memiliki struktur yang berongga sehingga mudah patah apabila menghadapi gelombang yang kuat. Pada pengamatan selama enam bulan tersebut juga ditemukan bahwa terdapat empat buah fragmen yang terlepas atau hilang dari modul. Kejadian tersebut diduga diakibatkan oleh metode penempelan fragmen yang kurang baik pada substrat sehingga ketika terjadi gelombang di lokasi tersebut, fragmen tersebut terlepas dari substrat yang terbuat dari beton tersebut. Menurut Harriot & Fisk (1988) secara umum transplantasi karang dinyatakan sukses dari sudut pandang biologis, dengan tingkat ketahanan hidup pada kasus berkisar antara 50-100%.
Berdasarkan pengamatan, ketiga jenis
karang tersebut sesuai untuk ditransplantasikan di perairan tersebut. Apabila dilihat dari tingkat kelangsungan hidupnya, meskipun karang jenis Pocillopora merupakan jenis oportunis yang mampu bertahan pada zona yang selalu bergejolak, nyatanya memiliki tingkat kelangsungan hidup yang terendah dibandingkan karang lainnya.
Hal ini dapat mengindikasikan bahwa karang
jenis Pocillopora verrucosa belum bisa beradaptasi dengan baik untuk hidup pada lingkungan di perairan tersebut.
Indikasi yang sama juga terlihat pada
karang jenis Acropora spp. dan Hydnopora rigida yang masih terus mengalami kematian tiap pengamatannya.
41
Pengamatan lain (Yudhasakti PK, 23 November 2009, komunikasi pribadi) pada lokasi dan waktu bersamaan dilakukan penelitian terhadap Montipora spp., Porites spp., dan Stylophora pistillata.
Pada akhir pengamatan di bulan
September 2009, karang jenis Montipora spp. memiliki tingkat kelangsungan hidup sebesar 53,33%, 76,12% untuk Porites spp., dan 63,41% untuk Stylophora pistillata.
Dibandingkan dengan pengamatan tersebut, didapatkan
tingkat kelangsungan hidup tertinggi dicapai oleh Acropora spp. dan yang terendah dicapai oleh Montipora spp. Faktor lain adalah adanya keberadaan ikan predator yang merupakan ikan indikator kondisi terumbu karang.
Hourigan et al. (1988) menyatakan ikan
kepe-kepe sangat mungkin untuk menjadi indikator lingkungan terumbu karang karena hubungannya sangat erat dengan substrat karang hidup.
Menurut
Crosby and Reese (1996), Chaetodontidae pemangsa karang merupakan indikator yang ideal karena ikan ini memangsa karang secara langsung. Lebih lanjut, ikan kepe-kepe menujukkan tingkat kesukaan pada spesies karang tertentu sehingga akan sangat sensitif apabila terjadi perubahan suatu sistem terumbu karang. Selain itu, karena ikan kepe-kepe sangat teritorial maka akan sangat mudah memantaunya secara periodik.
Namun, tidak semua jenis
Chaetodontidae dapat dijadikan biota indikator.
Misalnya yang bersifat
planktivor tidak sensitif terhadap perubahan terumbu karang, atau omnivor memakan invertebrata selain karang dan alga sehingga sangat susah untuk mendeteksi kebiasaan makananya yang selalu berubah dan oportunis (Reese 1995). Pada pengamatan terhadap ikan karang ditemukan adanya suksesi ikan pemangsa
karang
berupa
spesies
Chaetodon
octofasciatus
pada
lokasi
transplantasi di Pulau Kelapa ini (Utami TS, 25 Oktober 2009, komunikasi pribadi). Menurut Bawole et al. (1999) kehadiran yang dominan dari Chaetodon octofaciatus perubahan.
mengidikasikan Melalui
bahwa
pengamatan,
terumbu terlihat
karang bahwa
sudah
mengalami
populasi
Chaetodon
octofaciatus pada bulan Maret 2009 terdapat 12 individu/100 m2 untuk pengamatan pada Stasiun I dan 5 individu/100 m2 untuk pengamatan pada Stasiun
II. Pengamatan
pada bulan
Mei 2009
menunjukkan
terjadinya
penurunan kelimpahan Chaetodon octofaciatus menjadi 7 individu/ 100 m2 pada Stasiun I dan meningkat menjadi 7 individu/ 100 m2 pada Stasiun II. Turunnya kelimpahan ikan ini pada kedua stasiun terjadi pada pengamatan di bulan Juli 2009 menjadi 4 individu/100 m2 untuk Stasiun I dan 6 individu/100 m2 untuk Stasiun II. Kelimpahan Chaetodon octofaciatus pada pengamatan di bulan
42
September 2009 tetap 4 individu/100 m2 untuk pengamatan baik pada Stasiun I dan kembali menurun menjadi 4 individu/100 m2 untuk Stasiun II (Utami TS, 25 Oktober 2009, komunikasi pribadi). Adrim et al. (1991) menyatakan bahwa di Kepulauan Seribu, ikan yang memiliki nama lokal ikan strip delapan ini memiliki kelimpahan yang cukup tinggi dibandingkan dengan jenis lain dari famili Chaetodontidae. Menurut Madduppa (2006), Chaetodon octofaciatus merupakan pemakan karang sejati (obligate coralivor). Penelitian yang dilakukannya di Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu, menunjukkan bahwa jenis karang Acropora dan Pocillopora merupakan pilihan utama pemangsaan Chaetodon octofaciatus dengan Indeks Pilihan (E) lebih besar dari 0,5. Pengamatan terhadap tingkat pemangasaan tersebut juga menunjukkan ikan ini sangat menyukai karang Acropora, yang artinya Chaetodon octofaciatus kemungkinan besar dapat dijadikan indikator bagi area terumbu karang yang kaya akan keberadaan karang Acropora. Hal ini ditunjukkan dari hubungan antara kepadatan karang Acropora dan pemangsaannya memberikan nilai koefisien determinasi sebesar 0,98 artinya hubungannya sangat kuat. Semakin padat karang Acropora maka makin tinggi pula pemangsaan yang dilakukan oleh Chaetodon octofaciatus. Banyak penelitian yang dilakukan terhadap ikan karang jenis ini, termasuk Madduppa (2006) menyatakan adanya hubungan positif antara kelimpahan Chaetodon octofaciatus dengan persentase karang hidup.
Perbandingan yang
kontras, Roberts & Ormond (1987) menunjukkan bukti yang bertentangan pada penelitiannya dimana kelimpahan obligate corallivores memiliki korelasi yang rendah terhadap tutupan karang. Salah satu faktor yang diduga menyebabkan kelimpahan ikan ini terus menurun adalah pengaruh sedimentasi di perairan ini.
Melalui pengamatan
terhadap faktor fisika diketahui bahwa nilai sedimentasi terus meningkat tiap pengamatannya.
Sedimentasi yang terjadi dapat mempengaruhi ikan dalam
mengenali mangsa, penyumbatan insang, bahkan dalam perilaku dan fisologi ikan tersebut (Dulvey et al. 1995 in Mottaqui-Tabar 2007). Ghaffar et al. (2005) menduga bahwa terdegredasinya kualitas dari polip terumbu karang yang mengalami tekanan, akan menghasilkan menurunnya kelimpahan dan keberagaman dari berbagai spesies dan secara konsekuen, akan meningkatkan luasan wilayah, pola pemangsaan, tingkat pemangsaan dan menghadapi permasalahan ketika pasangannya mencoba mencukupi asupan nutrisi mereka dengan memperluas wilayahnya untuk mencakup lebih banyak koloni terumbu karang.
43
Berkurangnya ketersediaan makanan pilihan utamanya, terlebih Acropora spp. dengan bentuk pertumbuhan bercabang yang juga sebagai tempat yang aman bagi Chaetodon octofaciatus untuk hidup, menyebabkan terjadinya migrasi
atau
perluasan
wilayah
ke
luar
lokasi
transplantasi
sehingga
kelimpahannya di lokasi transplantasi terus berkurang selama pengamatan berlangsung. 4.3. Pertumbuhan Mutlak dan Laju Pertumbuhan Terumbu Karang 4.3.1. Pertumbuhan mutlak Dimensi pertumbuhan yang diukur adalah panjang dan tinggi fragmen karang yang di transplantasikan. Pertumbuhan yang terjadi baik panjang dan tinggi akan berbeda-beda tergantung pada jenis karang, bentuk koloni dan percabangannya, ukuran fragmen awal, kondisi lingkungan perairan dan sifat pertumbuhan dari masing-masing spesies.
Pengaruh dari berbagai faktor
tersebut akan memberikan respon yang berbeda terhadap tingkah laku pertumbuhan
koloni.
Adanya
perbedaan
pertumbuhan
pada
menyebabkan terjadinya bentuk morfologi yang berbeda-beda.
karang
Suatu jenis
karang dari genus yang sama dapat mempunyai bentuk pertumbuhan yang berbeda-beda. Satu jenis yang sama tetapi menempati area yang berbeda akan mempunyai bentuk morfologi yang berbeda pula (Veron 1986 in Pratama 2005). Selama enam bulan pengamatan, Acropora spp. memiliki pertumbuhan mutlak sebesar 59 mm untuk panjang dan 42 mm untuk tinggi (Gambar 19.). Pengaruh life form untuk Acropora spp. tidak dapat dijabarkan dikarenakan genus Acropora memiliki beberapa life form khusus yang tidak diamati secara spesifik.
Bentuk life form Acropora yang ditransplantasikan di Pulau Kelapa
didominasi oleh Acropora dengan life form Acropora branching. Pada karang Acropora dengan life form Acropora branching,
Yarmanti
(2002) melakukan penelitian terhadap Acropora formosa pada kedalaman 3 meter dan 10 meter selama empat bulan. Pada kedalaman 3 meter didapatkan panjang (ukuran fragmen karang dari substrat sampai puncak)
Acropora
formosa mencapai 45,5 mm dan 75,2 mm untuk lebarnya. Pada kedalaman 10 meter didapatkan pertambahan panjang (ukuran fragmen karang dari substrat sampai puncak) mencapai 30,5 mm dan 46,0 mm untuk lebarnya. Hal tersebut mengindikasikan karang Acropora formosa bertumbuh lebih baik pada perairan yang dangkal. Hasil penelitian ini juga memiliki pola pertumbuhan yang sama seperti karang jenis Acropora spp. yang ditransplantasikan di Pulau Kelapa, dimana pertumbuhan panjang (Yarmanti (2002) menganggapnya sebagai lebar)
44
lebih besar daripada pertumbuhan tinggi (Yarmanti (2002) menganggapnya sebagai panjang). Nilai pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan Acropora spp. yang ditransplantasikan di Pulau Kelapa diduga diakibatkan oleh aktivitas pembersihan fragmen karang sehingga pertumbuhan karang menjadi lebih baik.
Pertumbuhan (mm)
60 50 40 30 20 10 0 Acropora
Hydnopora rigida
Pocillopora verrucosa
Terumbu Karang yang Ditransplantasikan Panjang
Tinggi
Gambar 19. Pertumbuhan mutlak fragmen jenis Acropora spp. (n0=280, nt=186), Hydnopora rigida (n0=15, nt=12), dan Pocillopora verrucosa (n0=46, nt=24) selama enam bulan (Maret 2009September 2009).
Hydnopora rigida memiliki tingkat pertumbuhan mutlak karang sebesar 60 mm untuk panjang dan 38 mm untuk tinggi (Gambar 19).
Hydnopora rigida
merupakan karang yang bertipe bentuk pertumbuhan bercabang menyerupai ranting pohon. Karang ini memiliki cabang dengan ukuran cabang lebih panjang dibandingkan dengan ketebalan atau diameter yang dimilikinya. Hasil penelitian di Pulau Kelapa ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Penelitian terhadap Hydnopora rigida oleh Alhusna (2003) pada kedalaman 3 meter menyatakan bahwa selama 154 hari penelitian pertumbuhan panjang (ukuran fragmen karang dari substrat sampai puncak) karang ini mencapai 25,4 mm dan 24,3 mm untuk lebar I (antar cabang), serta 20,3 mm untuk lebar II (tiap cabang).
Sementara Prawidya (2003) mengungkapkan pertumbuhan
absolut yang dicapai oleh karang jenis Hydnopora rigida yang ditransplantasikan di kedalaman 5 meter selama lima bulan penelitiannya adalah sebesar 35,89 mm untuk pertumbuhan panjangnya dan 48,00 mm untuk pertumbuhan tingginya.
Pertumbuhan tinggi yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan
panjang pada transplantasi di Pulau Kelapa diduga terjadi karena posisi modul yang mengikuti kontur dasar laut serta kecepatan arus dan turbulensi
45
mengakibatkan pertumbuhan secara horizontal lebih dominan dibandingkan pertumbuhan secara vertikal. Pocillopora verrucosa cenderung memiliki life form coral submassive dimana koloni ini juga ditandai dengan pertumbuhan koloni lebih dominan ke arah horisontal daripada vertikal namun dengan bentuk tampak seperti tombol yang menempel, seperti tiang-tiang kecil, kancing, atau irisan-irisan, bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil. Hal tersebut terlihat dari tingkat pencapaian panjang mencapai 41 mm sedangkan pencapaian tinggi hanya mencapai 31 mm (Gambar 19). Hasil penelitian lainnya terhadap Pocillopora verrucosa di Pulau Karya menunjukkan hasil yang sama dalam pola pertumbuhan namun lebih kecil apabila dibandingkan dengan pengamatan di Pulau Kelapa.
Lebih besarnya
ukuran Pocillopora verrucosa dikarenakan waktu transplantasi yang lebih lama dibandingkan pengamatan yang dilakukan pada Pulau Karya.
Pengamatan
dilakukan terhadap karang jenis ini di lokasi transplantasi Pulau Karya pada kedalaman yang sama.
Pada pengamatan selama tiga bulan yang dilakukan
Wibowo (2009), pencapaian pertumbuhan karang jenis Pocillopora verrucosa mencapai
9,15 mm untuk
pertumbuhan
panjang dan 8,49
mm untuk
pertumbuhan tinggi. Kecepatan arus dan turbulensi memiliki pengaruh terhadap morfologi ekosistem terumbu karang.
Hal ini terlihat dari pertumbuhan karang jenis
Acropora spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa. Hydnopora rigida dan sebagian besar spesies dari genus Acropora yang ditransplantasikan memiliki life form coral branching dimana seharusnya pertumbuhan secara vertikal lebih dominan dibandingkan pertumbuhan secara horizontal, namun pada pengamatan di lapang di dapat hasil bahwa pertumbuhan karang tersebut lebih
dominan
secara
horizontal
daripada
pertumbuhan
secara
vertikal.
Sementara untuk Pocillopora verrucosa yang memiliki life form sub massive, pertumbuhan panjang akan lebih dominan daripada pertumbuhan tinggi. Hasil yang berbeda didapatkan pada pengamatan terhadap karang jenis Montipora spp., Porites spp., dan Stylophora pistillata di lokasi dan waktu yang sama. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan life form di antara karangkarang tersebut. Pertumbuhan mutlak panjang rata-rata karang jenis Montipora adalah 62 mm dan 24 mm untuk pertumbuhan mutlak rata-rata tinggi. Karang jenis Porites mengalami pertumbuhan mutlak rata-rata sebesar 26 mm untuk pertumbuhan panjang dan 27 mm untuk pertumbuhan tinggi.
Stylophora
46
pistillata memiliki nilai pertumbuhan mutlak sebesar 41 mm untuk panjang dan 37 mm untuk tinggi (Yudhasakti PK, 23 November 2009, komunikasi pribadi). 4.3.2. Laju pertumbuhan Karang dengan life form berbeda akan memiliki laju pertumbuhan (Linear extension) yang berbeda pula. Karang branching dengan polipnya yang kecil, memiliki struktur rangka yang berongga sehingga mudah patah. pertumbuhan karang jenis ini umumnya cenderung vertikal.
Untuk
Karang dengan
polip besar seperti karang masif dimana strukturnya lebih padat dan kuat, memiliki pertumbuhan yang cenderung horisontal tetapi tingkat pertambahan volumenya lebih besar dari karang branching (Pratama 2005). Acropora spp. pada bulan Maret 2009-Mei 2009 memiliki laju pertumbuhan panjang sebesar 19 mm/2 bulan dan 15 mm/2 bulan untuk tinggi. pengamatan
di
bulan
Mei
2009-Juli
2009
dibandingkan
dengan
Pada laju
pertumbuhan di bulan Maret 2009-Mei 2009 didapat hasil terjadi penurunan laju pertumbuhan karang baik untuk panjang dan tinggi. Untuk laju pertumbuhan panjang karang didapat
laju sebesar 17 mm/2
bulan
dan
untuk
laju
pertumbuhan tinggi karang didapat laju pertumbuhan sebesar 12 mm/2 bulan. Laju tersebut kemudian kembali meningkat pada pengamatan di bulan Juli 2009-September 2009 yakni menjadi 20 mm/2 bulan untuk panjang dan 13 mm/2 bulan untuk tinggi.
Berdasarkan pengamatan selama enam bulan
tersebut didapat rata-rata pertumbuhan yang terjadi adalah sebesar 19 mm/2 bulan untuk panjang dan 14 mm/2 bulan untuk tinggi (Gambar 20. dan Gambar 21.). Penelitian lain yang lebih spesifik mengenai Acropora telah umum dilakukan, diantaranya oleh Yarmanti (2002). Salah satu jenis karang Acropora yang sering dijadikan bahan penelitian adalah Acropora formosa.
Yarmanti
(2002) melakukan perlakuan terhadap kedalaman, yakni pada kedalaman 3 meter dan 10 meter.
Pada kedalaman 3 meter didapatkan laju pertambahan
lebar rata-rata mencapai 18,8 mm/bulan dan laju pertambahan tinggi rata-rata 11,4 mm/bulan. Pada kedalaman 10 meter didapatkan pertambahan lebar ratarata sebesar 11,5 mm/bulan dan 7,60 mm/bulan untuk pertambahan tinggi rata-ratanya.
47
35
Pertumbuhan (mm/2 bulan)
30 25 20 15 10 5 0 Maret 2009-Mei 2009
Mei 2009-Juli 2009
Juli 2009-September 2009
Waktu Pengamatan Acropora
Hydnopora rigida
Pocillopora verrucosa
Gambar 20. Laju pertumbuhan rata-rata panjang (Y ± SE).
35
Pertumbuhan mm/2 bulan)
30 25 20 15 10 5 0 Maret 2009-Mei 2009
Mei 2009-Juli 2009
Juli 2009-September 2009
Waktu Pengamatan Acropora
Hydnopora rigida
Pocillopora verrucosa
Gambar 21. Laju pertumbuhan rata-rata tinggi (Y ± SE).
Laju pertumbuhan karang jenis Hydnopora rigida selama enam bulan, sejak Maret 2009 hingga September 2009, rata-rata mencapai 17 mm/2 bulan untuk tingkat pencapaian panjang dan 11 mm/2 bulan untuk tingkat pencapaian tinggi (Gambar 20. dan Gambar 21.).
Penelitian Alhusna (2003) terhadap
Hydnopora rigida mendapatkan laju pertumbuhan panjang rata-rata adalah sebesar 5,4 mm/bulan, 6,1 mm/bulan untuk laju pertambahan lebar I rata-rata, dan 5,1 mm/bulan untuk laju pertumbuhan lebar II.
Sementara Prawidya
(2003) mengungkapkan laju pertumbuhan rata-rata yang terjadi adalah sebesar
48
7,19 mm/bulan untuk laju pertumbuhan tinggi rata-rata dan 9,60 mm/bulan untuk laju pertambahan lebar rata-rata. Nilai laju pertumbuhan panjang tertinggi karang jenis Hydnopora rigida terjadi pada bulan Mei 2009 hingga Juli 2009 sebesar 24 mm/2 bulan dan nilai terendah terjadi pada bulan Juli 2009 hingga September 2009 sebesar 11 mm/2 bulan.
Laju pertambahan tertinggi dan terendah juga terjadi pada bulan Mei
2009 hingga Juli 2009 dan Juli 2009 hingga September 2009 sebesar 14 mm/2 bulan untuk tertinggi dan 7 mm/2 bulan untuk terendah (Gambar 20. dan Gambar 21.).
Meningkatnya nilai laju pertumbuhan panjang dan tinggi pada
bulan Mei 2009 hingga Juli 2009 dianggap dapat menunjukan parameter lingkungan pada saat itu sangat mendukung pertumbuhan fragmen karang tersebut, diduga pula kemampuan adaptasi dari fragmen karang terhadap lingkungannya saat tersebut telah meningkat. Laju
pertumbuhan
pertumbuhan
tinggi
panjang
karang
lebih
Pocillopora
besar
dibandingkan
verrucosa
dalam
dengan kurun
laju
waktu
pengamatan selama enam bulan, sejak Maret 2009 hingga September 2009. Laju pertumbuhan rata-rata mencapai 14 mm/2 bulan untuk tingkat pencapaian panjang dan 10 mm/2 bulan untuk tingkat pencapaian tinggi (Gambar 20. dan Gambar 21.).
Laju pertumbuhan rata-rata karang Pocillopora verrucosa pada
kedalaman yang sama di Pulau Karya dalam kurun waktu tiga bulan pengamatan adalah sebesar 4,94 mm/bulan untuk panjang karang dan 3,70 mm/bulan untuk tinggi karang (Wibowo 2009). Pola yang terjadi pada laju pertumbuhan Pocillopora verrucosa adalah terus menurun baik untuk nilai panjang maupun tingginya. Laju pertumbuhan panjang dan tinggi tertinggi terjadi pada bulan Maret 2009 hingga Mei 2009 yakni 16 mm/2 bulan untuk panjang dan 13 mm/2 bulan untuk tinggi. Sejak bulan Mei 2009 hingga Juli 2009 dan Juli 2009 hingga September 2009, nilai laju
pertumbuhan
baik
untuk
panjang
dan
tingginya
terus
mengalami
perlambatan hingga nilai laju pertumbuhan terendah pada bulan Juli 2009 hingga September 2009 yakni 11 mm/2 bulan untuk panjang dan 6 mm/2 bulan untuk tinggi (Gambar 20 dan Gambar 21). Kondisi seperti ini diduga terjadi karena belum mampunya fragmen karang jenis ini untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi, mengingat perbedaan kualitas habitat antara habitat asalnya dan habitat lokasi transplantasi. Persaingan dengan makroalga yang melimpah di lokasi tersebut juga
turut
mempengaruhi
kemampuan
karang untuk
bertumbuh
secara
maksimal dikarenakan energi yang dimiliki oleh karang sebagian besar
49
digunakan untuk membersihkan diri. Mc cook 2001 in Jompa & Mc cook 2003 menyatakan saat alga mendominasi ruang maka karang yang tumbuh akan sedikit, tetapi sebaliknya saat karang yang mendominasi ruang maka alga yang tumbuh akan sedikit. Harrison & Ward (2001) juga menyatakan meningkatnya konsentrasi nutrien nitrogen dan phosphor dapat menyebabkan tekanan pada terumbu karang, menyebabkan perubahan kalsifikasi karang dan laju pertumbuhan, dan mengurangi kalsifikasi terumbu karang.
Selain faktor tersebut, kematian
karang yang sangat besar juga mempengaruhi nilai laju pertumbuhan rata-rata dari karang ini. Dari pengamatan terhadap ketiga jenis karang tersebut, berdasarkan bentuk
pertumbuhannya,
Acropora
yang
didominasi
life
form
Acropora
branching memiliki laju pertambahan panjang sebesar 19 mm/2 bulan, lebih besar dibandingkan Hydnopora rigida yang memiliki life form coral branching dengan laju pertambahan panjang sebesar 17 mm/2 bulan. Sementara untuk bentuk
pertumbuhan
sub-massive,
laju
pertambahan
rata-rata
panjang
Pocillopora verrucosa hanya mencapai 14 mm/2 bulan. Dibandingkan di antara ketiganya Acropora spp. merupakan karang yang memiliki laju pertumbuhan panjang terbesar dibandingkan kedua jenis karang lainnya. Serupa dengan laju pertambahan panjang, laju pertambahan tinggi ratarata terbesar diraih oleh Acropora spp. dengan 14 mm/2 bulan, lebih besar dibandingkan laju pertumbuhan tinggi rata-rata Hydnopora rigida yang hanya sebesar 11 mm/2 bulan dan Pocillopora verrucosa dengan pertambahan tinggi rata-rata terkecil dibandingkan dua karang jenis lainnya yakni hanya sebesar 10 mm/2 bulan. Pengamatan terhadap karang jenis Montipora spp., Porites spp., dan Stylophora pistillata juga dilakukan pada lokasi dan waktu yang sama dan menunjukan pola yang berbeda dengan penelitian ini, bergantung kepada life form masing-masing karang tersebut.
Berdasarkan pengamatan tersebut,
karang jenis Montipora memiliki laju pertumbuhan rata-rata sebesar 13 mm/2 bulan untuk panjang dan 7 mm/2 bulan untuk tinggi.
Karang jenis Porites
mengalami laju pertumbuhan rata-rata sebesar 9 mm/2 bulan untuk panjang dan 8 mm/2 bulan untuk tinggi. Pengamatannya terhadap Stylophora pistillata menunjukkan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 13 mm/2 bulan untuk panjang dan 10 mm/2 bulan (Yudhasakti PK, 23 November 2009, komunikasi pribadi).
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Tingkat kelangsungan hidup (survival rate) tiap jenis karang berbeda tiap jenisnya.
Dari
ketiga
jenis
karang
yang
ditransplantasikan,
tingkat
kelangsungan hidup pada akhir pengamatan paling besar dimiliki oleh Acropora spp. dengan 79,42% sedangkan tingkat kelangsungan hidup terendah dimiliki oleh karang jenis Pocillopora verrucosa sebesar 61,11%. memiliki tingkat kelangsungan hidup sebesar 74,19%.
Hydnopora rigida
Berdasarkan kondisi
tersebut dapat disimpulkan pula bahwa perairan tersebut cukup baik untuk transplantasi ketiga jenis karang tersebut yang ditandai dengan kelangsungan hidup seluruhnya berada di atas kisaran 50%. Kematian terbesar selama enam bulan diakibatkan makroalga. Karang jenis Acropora spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa, ketiga
karang tersebut
mengalami
pertumbuhan
yang positif.
Tingkat
pencapaian pertumbuhan Acropora spp. selama enam bulan mencapai 59 mm untuk panjang dan 42 mm untuk tinggi dengan laju pertumbuhan sebesar 19 mm/2 bulan untuk panjang dan 14 mm/2 bulan untuk tinggi.
Lalu, tingkat
pencapaian pertumbuhan Hydnopora rigida mencapai 60 mm untuk panjang dan 38 mm untuk tinggi dengan laju pertumbuhan sebesar 17 mm/2 bulan dan 11 mm/2 bulan untuk tinggi. Tingkat pencapaian Pocillopora verrucosa mencapai 41 mm untuk panjang dan 31 mm untuk tinggi dengan laju pertumbuhan mencapai 14 mm/2 bulan untuk panjang dan 10 mm/2 bulan untuk tinggi. 5.2. Saran Ada beberapa hal yang harus lebih diperhatikan apabila dilakukan penelitian lainnya di bidang transplantasi karang ke depannya agar lebih optimal. Beberapa hal tersebut adalah : 1.
Perlu dilakukan penelitian untuk penentuan waktu terbaik melakukan kegiatan transplantasi untuk mengurangi lepasnya fragmen dari substrat akibat pengaruh alami, misalnya karena arus perairan yang kuat.
2.
Perlu adanya pengambilan data lingkungan yang lebih mewakili, sehingga pengaruh parameter lingkungan terhadap sifat fisiologi hewan karang, dan sifat morfologi koloni karang, dan pertumbuhan karang dapat diamati lebih spesifik.
3.
Pertumbuhan fragmen transplan lebih baik dibandingkan dengan karang alami (tanpa adanya perlakuan).
51
4.
Melihat pengaruh pertumbuhan makroalgae di sekitar lokasi transplantasi dan pemangsaan ikan karang terhadap pertumbuhan beberapa model koloni.
5.
Melihat pengaruh kegiatan transplantasi itu sendiri terhadap ekosistem terumbu karang sekitarnya.
6.
Perlu
dilakukan
pengamatan
yang
lebih
lama
untuk
kecenderungan pola pertumbuhan untuk waktu yang lebih lama.
mengetahui
DAFTAR PUSTAKA
Adrim M, Hutomo M, dan Suharti SR. 1991. Chaetodontoid fish community structure and its relation to reef degradation at the Seribu Islands reefs, Indonesia, p. 163-174. In: Proceeding of the regional symposium on living resources in coastal areas. Alhusna IS. 2003. Studi laju pertumbuhan induk koloni dan fragmen transplan pada transplantasi karang spesies Acropora formosa dan Hydnopora rigida di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Pertanian dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 55 hlm. Arafat D. 2005. Tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan karang (Hydnopora rigida dan Lobophyllia hemprichii) hasil fragmentasi buatan pada bak terkontrol [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 78 hlm. Aziz A.M. 2002. Tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan dan rasio pertumbuhan jenis karang batu dan karang api yang ditransplantasikan di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 80 hlm. Barnes RSK & Hughes RN. 1999. An introduction to marine ecology 3rd Ed. Blackwell Publishing. 117-141 p. Bawole R, Eidman M, Bengen DG, & Suharsono. 1999. Distribusi spasial ikan Chaetodontidae dan peranannya sebagai indikator kondisi terumbu karang di perairan Teluk Ambon. Jurnal ilmu-ilmu perairan dan perikanan Indonesia, VI (1) : 1-13. Cahyadi B. 2001. Laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup transplantasi karang Porites nigrescens dan Montipora digitata di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 88 hlm. Castro P & Huber ME. 2007. Marine biology (Sixth Edition). McGraw-Hill Companies, Inc. New York. United States of America. p. 297-322. [Coremap] Coral Reef Rehabilitation and Management Program. 2006. Modul transplantasi karang sederhana pada Pelatihan Ekologi Terumbu Karang 22-24 Agustus 2006. Modul. Yayasan Lanra Link Makssar. Makassar. 7 p. [Coremap]. 2007. Katalog jenis karang Sulawesi Selatan. Coremap II dan Pusat Penelitian Terumbu Karang Universitas Hasanudin. Makassar. Crosby MP & Reese ES. 1996. A manual for monitoring coral reefs with indicator species : Butterflyfishes as indicator of change on Indo Pacific
53
reefs. Office of Ocean and Coastal Resource Management, National Oceanic and Atmospheric. Silver Spring. MD. 45 p. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, & Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. P.T. Pradnya Paramita. Jakarta. xxiv + 305 p. Dahuri R. 2003. Paradigma baru pembangunan indonesia berbasis kelautan. orasi ilmiah. Institut Pertanian Bogor. Bogor. ix + 233 p. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Pengenalan jenis-jenis karang di kawasan konservasi laut. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan. 51 p. Edwards AJ & Gomez ED. 2008. Konsep dan panduan restorasi terumbu : membuat pilihan bijak di antara ketidakpastian. [Terjemahan dari Reef restoration concepts and guidelines : making sensible management choices in the face of uncertainty]. Yusri, Estradivari S, Wijoyo NS, & Idris (penerjemah). Yayasan TERANGI. Jakarta. 38 p. Effendi H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm. Elahi R & Edmunds PJ. 2007. Tissue age affects calcification in the scleretinian coral Madracis mirabilis. Biol. Bull. 212:20-28. English S, Wilkinson C, & Baker V. 1994. Survey manual for tropical marine resources. Australian Institute Marine Science. Estradivari, Syahrir M, Susilo N, Yusri S, & Timotius S. 2007. Terumbu karang Jakarta : Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2004-2005). Yayasan TERANGI. Jakarta. ix + 87 p. Ghaffar MA, Ng MY, Adziz KAA, & Arshad A. 2005. Linking the feeding regime of Chaetodon octofasciatus to the coral health in Redang Island, Malaysia. Coral marine science 30(1):276-282. Goreau TF, Goreau NI, & Goreau TJ. 1979. Corals and coral reefs. Scientific American, Inc. 124-136 p. Harriot VJ & Fisk DA. 1988. Coral transplantation as reef management option, p. 375-379. In: Proc. 6th. Intl Coral Reef Symp. 2. Haris
A. 2001. Laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup fragmentasi buatan karang lunak di Pulau Pari Kepulauan Seribu, Jakarta [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 87 hlm.
Harrison PL & Ward S. 2001. Elevated levels of nitrogen and phosphorus reduce fertilisation success of gametes from sleretinian reef coral. Marine Biology. 139:1057-1058. Herdiana Y. 2001. Respon pertumbuhan serta keberhasilan transplantasi koral terhadap ukuran fragmen dan posisi penanaman pada dua spesies
54
karang Acropora micropthalma dan Acropora intermedia di perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor. 87 hlm. Hoegh-Guldberg O & Williamson J. 1999. Avaiability of two forms of dissolved nitrogen to the Pocillopora damicornis and its symbiotic zooxanthellae. Marine Biology. 133:561-570. Hourigan TF, Tricas TC, & Reese ES. 1988. Coral reef fishes as indicators of environmental stress in coral reefs, p. 107-135. In: Soule DF & Kleppel GS (Editor). Marine organisms as indicators. Springer Verlag. New York. Ikawati Y, Hanggarawati PS, Parlan H, Handini H, & Siswodihardjo B. 2001. Terumbu karang di Indonesia. Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta. Johan O. 2000. Tingkat keberhasilan transplantasi karang batu di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta [tesis]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 89 hlm. Johan O. 2003. Sistematika dan teknik identifikasi karang. 8 p. In: Training Course: Karakteristik Biologi Karang 7-12 Juli 2003. PSK-UI, Yayasan TERANGI, dan IOI-Indonesia. Jompa J & Mc cook LJ. 2003. Contrasting effects of turf algae on corals: massive Porites spp. are unaffected by mixed-species turfs, but killed by the red alga Anotrichium tenue. Marine Ecology Progress Series. 258:79–86. Kaleka D. 2004. Transplantasi karang batu marga Acropora Pada substrat buatan di perairan Tablolong Kabupaten Kupang. Makalah. [27 Oktober 2009] Kudus UA, Kusumo S, & Wijaya I. 2003. Panduan pengenalan jenis-jenis karang hias yang diperdagangkan. AKKII. Jakarta. iv + 42 p. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2008. Bercocok tanam karang dengan transplantasi. LIPI Press, Jakarta. Madduppa HH. 2006. Kajian ekobiologi ikan kepe-kepe (Chaetodon octofaciatus, Bloch 1787) dalam mendeteksi kondisi terumbu karang di Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu, Jakarta [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 100 hlm. McClanahan TR. 1997. Primary succession of coral-reef algae: Differing patterns on fished versus unfished reefs. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 218:77-102. McClanahan TR & Obura D. 1997. Sedimentation effects on shallow coral communities in Kenya. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 209:103-122. [MENKLH] Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2008. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 (Lampiran 3) Tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta
55
Mihardja DK & Pranowo WS. 2001. Kondisi perairan Kepulauan Seribu : Laporan pelengkap dalam rangka penyusunan laporan akhir penyusunan tata ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu. Bappeda Propinsi DKI Jakarta Bekerjasama dengan Lembaga Penelitian – ITB. Laporan Akhir. Pusat Penelitian Kelautan (PPK) Bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kepariwisataan (P2PAR) Institut Teknologi Bandung. Bandung. 34 hlm. Noor A. 2003. Analisis kebijakan pengembangan marikultur di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 222 hlm. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan. Gramedia Pustaka Tama. Jakarta. 480 hlm. Pearse VB & Muscatine L. 1971. Role of symbiotic algae (zooxanthellae) in coral calcification. Biol. Bull. 141:350-363. Pratama J. 2005. Tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan karang Pocillopora, Seriatopora, dan Heliopora dalam transplantasi karang di Pulau Pari, Kepulauan Seribu [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Pertanian dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 81 hlm. Prawidya R. 2003. Tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan dan rasio pertumbuhan beberapa jenis karang batu (stony coral) yang ditransplantasikan di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Pertanian dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 49 hlm. Rachmawati R. 2001. Terumbu buatan (Artificial Reef). Pusat Riset Teknologi Kelautan Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 50 p. Reese ES. 1995. The use of indicator species to detect change on coral reefs : butterflyfishes of the family Chaetodontidae as indicators for Indo-Pacific coral reefs, p. 19-23. In: Coral Reef Symposium on Monitoring methods. Annapolis. Maryland. Rinkevich B. 1989. The contribution of photosynthetic products to coral reproduction. Marine Biology. 101:259-263. Roberts CM & Ormond RFG. 1987. Habitat complexity and coral reef fish diversity and abundance on Red Sea fringing reefs. Mar. Ecol. Prog. Ser. 41:1-8. Sabater MG & Yap HT. 2002. Growth and survival of coral transplants with and without electrochemical deposition of CaCO3. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 272:131-146. Sadarun 1999. Transplantasi karang batu di Kepulauan Seribu Teluk Jakarta [tesis]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 67 hlm. Soedharma D & Subhan B. 2007. Transplantasi karang saat ini dan tantangannya di masa depan pada Prosiding Musyawarah Nasional
56
Terumbu Karang I. Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang. Coremap II. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Soedharma D & Arafat D. 2007. Perkembangan transplantasi karang di Indonesia, p. 5-14. In: Soedharma D, Rahardjo MF, Susilawati SE, dan Arafat D (eds.) Prosiding seminar transplantasi karang : Membuka wawasan masyarakat mengenai transplantasi karang untuk menumbuhkan kepedulian terhadap ekosistem terumbu karang. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB – Fisheries Diving Club IPB. Bogor. Soong K & Chen TA. 2003. Coral transplantation: Regeneration and Growth of Acropora fragments in a nursery. Restoration Ecology. 11(1):1-10. Subhan B. 2002. Tingkat ketahanan hidup dan laju pertumbuhan karang jenis Euphyllia sp (Dana 1846), Plerogyra sinosa (Dana 1846) dan Cynarina lacrymalis (Edwards and Haime 1848) yang ditransplantasikan di perairan Pulau Pari, Jakarta [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suharsono. 2008. Jenis-jenis karang di Indonesia. LIPI Press. Jakarta. iv + 372 p. Supit B. 2000. Laju Pertumbuhan Karang Batu Pocillopora damicornis di Pantai Selatan Pulau Bunaken dan Pantai Malalayang Dua Teluk Manadov[skripsi]. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan, Universitas Sam Ratulangi. [terhubung berkala]. http://www.digilib.stiekesatuan.ac.id [27 Oktober 2009]. Supriharyono. 2007. Pengelolaan ekosistem Djambatan. Jakarta. x + 129 p.
terumbu
karang.
Penerbit
Suwignyo S, Bambang W, Yusli W, & Majariana K. 2005. Avertebrata Air. Penebar Swadaya. Jakarta. 55-59p. Syahrir, M. 2003. Studi pertumbuhan dan kelangsungan hidup karang Scleretenia, Coenohecalia, dan Stolonifera yang ditransplantasikan di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 72 hlm. Tabar AM. 2007. Impact of terrigenous sediment on coral reef fish in Southeast Sulawesi [Master Dissertation]. Department of Marine Ecology. University of Gothenburg. 12 hlm. Tanner JE. 1995. Competition between scleretinian corals and macroalgae : An experimental investigation of coral growth, survival and reproduction. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 190:151-168. Veron JEN. 2000. Corals of the world vol. 2. Australia Institute of Marine Science. viii + 429 p. Wibowo AS. 2009. Analisis kecepatan pertumbuhan dan tingkat keberhasilan transplantasi karang Stylophora pistillata dan Pocillopora verrucosa di perairan Pulau Karya, Kepulauan Seribu. 69 hlm.
57
Wood R. 1999. Reef evolution. Oxford University Press, Inc. New York. xi + 414 p. Yarmanti KD. 2002. Studi laju pertumbuhan dan tingkat ketahanan hidup karang batu spesies Acropora nobilis dan Acropora formosa pada dua kedalaman yang berbeda di Pulau Pari, Kepulauan Seribu [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 65 hlm.
59
Lampiran 1.
Tingkat kelangsungan hidup terumbu karang jenis Acropora spp., Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa yang ditransplantasikan Tingkat Kelangsungan Hidup Karang
Genus Karang
Jumlah Individu Awal (n0)
Acropora spp. Hydnopora rigida Pocillopora verrucosa
Lampiran 2.
Waktu Pengukuran Maret 2009 SR n (%)
n
SR (%)
n
SR (%)
September 2009 SR n (%)
Mei 2009
Juli 2009
Jumlah Individu Akhir (nt)
SR (%)
617
617
100
570
92,38
522
84,60
484
78,44
484
78,44
29
31
100
30
96,77
24
77,42
23
74,19
23
74,19
54
54
100
42
77,78
34
62,96
33
61,11
33
61,11
Jumlah dan persentase karang mati terhadap penyebab kematian terumbu karang per pengamatan Mei 2009 (n)
Juli 2009 (n)
September 2009 (n)
Jenis Karang DCA
Patah
DCA
Patah
DCA
Patah
43
3
42
6
33
5
-
-
5
-
1
-
12
-
8
-
1
-
94,83
5,17
90,16
9,84
87,50
12,50
Acropora spp. Hydnopora rigida Pocillopora verrucosa Persentase
Lampiran 3.
Persentase jumlah terumbu karang yang mati terhadap penyebab kematian selama enam bulan
Jenis Karang
DCA
Persentase
Patah
Persentase
Acropora spp.
118
89,39
14
10,61
5
100
-
0
21
100
-
0
139
90,85
14
9,15
Hydnopora rigida Pocillopora verrucosa Jumlah individu (n) mati
60
Lampiran 4. Proses persiapan dan pembuatan (Dokumentasi : PKSPL-IPB 2009)
Persiapan cetakan modul
modul
transplantasi
Penjemuran cetakan setelah dilapisi resin
Pencetakan Modul Transplantasi
Pengangkutan modul ke lokasi transplantasi
Penjemuran modul yang telah dicetak
Penurunan modul transplantasi ke laut
Penyusunan modul transplantasi
Kondisi modul di lokasi transplantasi
Pemasangan fragmen karang
61
Lampiran 5. Alat-alat yang digunakan
62
Lampiran 6. Perangkap sedimen
Pemasangan perangkap sedimen di lokasi transplantasi (Dokumentasi PKSPL-IPB 2009)
Konstruksi perangkap sedimen
63
Lampiran 7. Kondisi pada saat pengamatan (Dokumentasi : PKSPL-IPB 2009)
A. Penyebab kematian terumbu karang
B. Makroalga pada modul transplantasi terumbu karang
C. Contoh modul karang Acropora spp. yang sama pada awal pengamatan di bulan Maret 2009 (kiri) dan akhir pengamatan di bulan September 2009 (kanan)
64
D. Contoh modul karang Hydnopora rigida yang sama pada awal pengamatan di bulan Maret 2009 (kiri) dan akhir pengamatan di bulan September 2009 (kanan)
E. Contoh modul karang Pocillopora verrucosa yang sama pada awal pengamatan di bulan Maret 2009 (kiri) dan akhir pengamatan di bulan September 2009 (kanan)