TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN LAJU PERTUMBUHAN Enhalus acoroides YANG DITRANSPLANTASI DENGAN METODE STAPLE PADA APO (Alat Pemecah Ombak) DAN TANPA APO DI KABUPATEN PANGKEP
SKRIPSI
Oleh:
JUMNIATY. S
JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013 i
TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP DAN LAJU PERTUMBUHAN Enhalus acoroides YANG DITRANSPLANTASI DENGAN METODE STAPLE PADA APO (Alat Pemecah Ombak) DAN TANPA APO DI KABUPATEN PANGKEP Oleh:
JUMNIATY. S
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin
JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013
ii
ABSTRAK Jumniaty S. L111 09 263. Tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan Enhalus acoroides yang ditransplantasi dengan metode staple APO (alat pemecah ombak) dan tanpa APO di kabupaten Pangkep. Di bawah bimbingan Mahatma Lanuru sebagai pembimbing utama dan Rohani AR selaku pembimbing anggota. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektifitas APO bambu dalam mengurangi energi gelombang yang tiba di area penanaman lamun (area transplantasi) dan pengaruh APO dalam meningkatkan keberhasilan dari lamun yang ditransplantasi dengan metode staple dan Ruang lingkup penelitian ini adalah tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan lamun (pertambahan panjang daun lamun) dan penambahan jumlah daun baru. Parameter oseanografi yang diukur adalah suhu, salinitas, kekeruhan, Total Suspended Solid (TSS), sedimen, laju akresi/erosi sedimen, arah dan kecepatan arus, dan gelombang, Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan September sampai awal Desember 2012. Pengambilan data laju pertumbuhan daun lamun Enhalus acoroides baik pada daun tua maupun daun muda untuk tiap lokasi penelitian yaitu APO dan tanpa APO dilakukan setiap minggu selama 4 minggu. Untuk tingkat kelangsungan hidup lamun diukur dari awal penelitian sampai akhir penelitian. Dan penambahan jumlah daun baru diukur setiap minggu selama 6 minggu. Berdasarkan uji t-student didapatkan bahwa APO bambu efektif meredam gelombang. Untuk pengaruh APO terhadap tingkat keberhasilan lamun yang ditransplantasi dengan metode staple tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata. Parameter oseanografi meliputi suhu, salinitas, kekeruhan, TSS, sediman, laju akresi/erosi sedimen, arah dan kecepatan arus, dan gelombang di kedua lokasi masih dalam untuk rentang pertumbuhan lamun Enhalus acoroides.
Kata kunci : Lamun Enhalus acoroides, tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan, APO (alat pemecah ombak), APO bambu.
iii
HALAMAN PENGESAHAN Judul Skripsi
: Tingkat Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan Enhalus acoroides yang Ditransplantasi dengan Metode Staple pada APO (Alat Pemecah Ombak) dan Tanpa APO Di Kabupaten Pangkep.
Nama Mahasiswa
: Jumniaty. S
Nomor Pokok
: L111 09 263
Jurusan
: Ilmu Kelautan
Skripsi telah diperiksa dan disetujui oleh : Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
Dr. Mahatma Lanuru, ST, M. Sc NIP. 197010291995031001
Dr. Ir. Rohani Ambo Rappe, M.Si NIP. 19690913 199303 2004
Mengetahui : Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Ketua Jurusan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Andi Niartiningsih, MP NIP. 196112011987032002
Tanggal Lulus:
Dr.Ir. Amir Hamzah Muhiddin, M.Si NIP. 196311201993031002
Mei 2013
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis, lahir pada tanggal 16 Juni 1990 di Benteng, Kabupaten
Kepulauan
Selayar,
Sulawesi
Selatan,
merupakan anak ke 7 dari 9 bersaudara dari pasangan Sunusi dan Bau. Sebelum masuk ketingkat Universitas penulis telah menempuh berbagai pendidikan formal yakni pada tahun 2002 lulus Madrasah Ibtidaiyah Negeri Benteng, tahun 2005 lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Benteng, dan tahun 2008 lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Benteng Kab. Kepulauan Selayar. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikan di fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin Makassar melalui jalur SNMPTN. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten dibeberapa mata kuliah, pengurus Mushallah Bahrul Ulum (MBU), bergabung di Marine Science Diving Club (MSDC), dan mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) Gelombang 82 di Desa Wiring Tasi Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang. Selain itu, penulis juga melakukan Praktek Kerja Mandiri (PKM) di Desa Wiring Tasi dengan judul Identifikasi Jenis dan Tingkat Kerapatan Padang Lamun di Perairan Desa Wiring Tasi, Kecamatan Suppa, Kabupaten Pinrang. Penulis kemudian melakukan penelitian untuk menyelesaikan tugas akhir di jurusan Ilmu Kelautan dengan judul Tingkat Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan
Enhalus acoroides yang Ditransplantasi dengan Metode
Staple pada APO (Alat Pemecah Ombak) dan tanpa APO di Kabupaten Pangkep.
v
KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum Wr.Wb Alahmdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Salawat dan salam tak lupa penulis persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membimbing dan mengarahkan manusia menuju keselamatan dan kesejahteraan dunia dan akhirat. Dalam penyusunan skripsi ini banyak kendala dan hambatan yang penulis hadapi, namun berkat adanya, saran, kritik, koreksi dan motivasi dari berbagai pihak,
maka
skripsi
ini
dapat diselesaikan.
Oleh
karena
itu, penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Ibunda dan Ayahanda yang tercinta, atas segala do’a restu, nasehat, bimbingan dan kasih sayangnya yang begitu berlimpah kepada penulis.
2.
Bapak Dr. Mahatma Lanuru, ST, M. Sc dan Dr. Ir. Rohani AR., M.Si, selaku pembimbing penulis dalam kegiatan penelitian ini, atas seluruh bantuan, petunjuk, saran, dan motivasi dan bimbingan yang telah diberikan baik dari awal penelitian hingga selesainya skripsi ini.
3.
Tim penguji Prof. Dr. Ir. Ambo Tuwo, DEA., Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.Si, Dr. Inayah Yasir, M. Sc, dan Dr. Ir. Muh. Hatta, M.Si atas saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.
4.
Bapak Dr. Muhammad Lukman, ST. M. Sc selaku pembimbing akademik yang senang hati membantu serta membimbing saya.
vi
5.
Prof.Dr. Ir. A Niartiningsih, MP selaku Dekan Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan.
6.
Dr. Ir. Amir Hamzah Muhiddin, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ilmu Kelautan.
7. Terima kasih kepada bapak Dr. Supriadi, ST. M. Si, Dr. Khaerul amri, ST. M. Stud. Dan Prof. Dr. Amran Saru, ST. M.Si Atas arahan yang telah diberikan selama penelitian. 8. Terima kasih kepada seluruh dosen pengajar di jurusan ilmu kelautan yang telah memberikan dan membagi pengetahuannya kepada penulis. 9. Terima kasih kepada teman-teman (Nurwahidah, Eko yunianto, Tarsan, Chudo, dan Steven) yang telah membantu saya selama di lapangan atau telah menjadi teman dalam bertukar pikiran dengan saya dalam proses penulisan Skripsi ini. 10. Teman-teman mahasiswa ilmu kelautan Universitas Hasanuddin khususnya angkatan 2009 yaitu Trie, Lisda, Upik, Arnie, Novi, Jesy, Dillah, Imma, Ifha, Cana, Mayang, dan teman-teman saya yang lain tanpa terkecuali yang telah membantu dan menyemangati saya. 11. Seluruh rekan, sahabat serta pihak-pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu atas segala bantuannya dalam hal moril maupun materil, semoga kita selalu dalam ridho Allah SWT. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat berterima kasih bila ada kritikan, dan masukan yang bersifat membangun guna perbaikannya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Wassalamu alaikum Wr. Wb.
Makassar, Penulis
vii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................................. x DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi I. PENDAHULUAN............................................................................................... 1 A.
Latar Belakang .......................................................................................... 1
B.
Tujuan dan Kegunaan ............................................................................... 2
C. Ruang Lingkup .......................................................................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................... 3 A.
Lamun ....................................................................................................... 3 1.
Deskripsi Lamun .................................................................................... 3
2.
Fungsi Lamun ........................................................................................ 3
B.
Enhalus acoroides..................................................................................... 4
C. Transplantasi Lamun ................................................................................. 6 1.
Pembibitan/pembenihan (Seed/ Seeding).............................................. 6
2.
Metode sprig dengan jangkar atau tanpa jangkar .................................. 7
3.
Metode plug ........................................................................................... 7
D. Pertumbuhan Lamun ................................................................................. 7 E.
Alat Pemecah Ombak (APO)..................................................................... 8
F.
Parameter Penunjang Kehidupan Lamun.................................................. 8 1.
Suhu ...................................................................................................... 8
2.
Salinitas ................................................................................................. 9
3.
Kekeruhan ............................................................................................. 9
4.
Sedimen ................................................................................................ 9
5.
Sedimentasi ......................................................................................... 10
6.
TSS (Total Suspended Solid) .............................................................. 11
7.
Arus ..................................................................................................... 11
8.
Gelombang .......................................................................................... 12
III. METODE PENELITIAN................................................................................. 13 A.
Waktu Dan Tempat ................................................................................. 13
B.
Alat dan Bahan........................................................................................ 13 1.
Di Lapangan ........................................................................................ 13
2.
Di laboratorium .................................................................................... 14
C. Prosedur Kerja ........................................................................................ 15 viii
1.
Penentuan Lokasi Penelitian ............................................................... 15
2.
Pemasangan APO ............................................................................... 15
3.
Pengambilan Material Lamun (transplant) ........................................... 15
4.
Transplantasi Lamun ........................................................................... 16
D. Pengolahan Data .................................................................................... 20 1.
Tingkat Kelangsungan Hidup Lamun yang Ditransplantasi .................. 20
2.
Laju Pertumbuhan Daun Lamun .......................................................... 20
3.
Gelombang .......................................................................................... 21
4.
Efektivitas APO.................................................................................... 21
5.
Kecepatan Arus ................................................................................... 22
E.
Analisis Statistik ...................................................................................... 22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 23 A.
Parameter Oseanografi ........................................................................... 23 1.
Suhu dan Salinitas ............................................................................... 23
2.
Kekeruhan ........................................................................................... 23
3.
TSS ..................................................................................................... 24
4.
Sedimen .............................................................................................. 25
5.
Laju Erosi Sedimen.............................................................................. 26
6.
Arah dan Kecepatan Arus .................................................................... 28
7.
Gelombang .......................................................................................... 29
B.
Keberhasilan lamun yang diTransplantasi ............................................... 31 1.
Tingkat Kelangsungan Hidup ............................................................... 31
2.
Laju Pertumbuhan Panjang Daun Enhalus acoroides .......................... 32
3.
Jumlah Daun Baru ............................................................................... 38
C. Pengaruh APO (Alat Pemecah Ombak) Terhadap Sintasan dan Pertumbuhan Enhalus acoroides ............................................................ 40 1.
Lebar APO ........................................................................................... 40
2.
Desain APO......................................................................................... 40
V. PENUTUP ..................................................................................................... 42 A.
Simpulan ................................................................................................. 42
B.
Saran ...................................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 43
ix
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Skala Wentworth untuk mengklasifikasikan partikel-partikel sedimen (Hutabarat dan Evans, 2000). ........................................................................ 10 2. Kategori Tingkat Efektifitas APO yang didasarkan pada Nilai Efisiensi .......... 22 3. Hasil pengukuran arah dan arus selama seminggu........................................ 28
x
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Morfologi tegakan lamun jenis Enhalus acoroides (Waycott et al. 2004). ........ 5 2. Peta Lokasi Penelitian ................................................................................... 13 3. Rata-rata nilai suhu dan salinitas pada APO dan tanpa APO ........................ 23 4. Rata-rata nilai kekeruhan pada APO dan tanpa APO................................... 24 5. Rata-rata nilai TSS pada APO dan tanpa APO .............................................. 25 6. Nilai diameter sedimen pada APO dan tanpa APO ........................................ 26 7. Laju sedimentasi yang ada di belakang APO dan tanpa APO ........................ 27 8. Grafik rata-rata nilai gelombang signifikan yang diukur selama seminggu berturut-turut (Hasil uji t-test menunjukkan perbedaan nyata antara yang dilindungi APO dan tanpa APO ..................................................................... 29 9. Tingkat kelangsungan hidup lamun yang ditransplantasi dengan metode Staple (Hasil uji t-test menunjukkan tingkat kelangsungan hidup tidak berbeda nyata antara APO dan tanpa APO) ............................................................... 31 10.Rata-rata perubahan panjang daun tua Enhalus acoroides yang ditransplantasi dengan metode Staple antara APO dan tanpa APO) ............. 33 11.Rata-rata perubahan panjang daun muda Enhalus acoroides yang ditransplantasi dengan metode Staple antara APO dan tanpa APO .............. 33 12.Rata-rata perubahan panjang daun tua yang dibandingkan dengan daun muda Enhalus acoroides yang ditransplantasi dengan metode Staple pada APO .............................................................................................................. 34 13.Rata-rata perubahan panjang daun tua yang dibandingkan dengan daun muda Enhalus acoroides yang ditransplantasi dengan metode Staple pada APO .............................................................................................................. 35 14.Rata-rata laju pertumbahan panjang daun tua Enhalus acoroides yang ditransplantasi dengan metode Staple antara APO dan tanpa APO. ............. 36 15.Rata-rata laju pertumbahan panjang daun muda Enhalus acoroides yang ditransplantasi dengan metode Staple antara APO dan tanpa APO. ............. 37
xi
16.Rata-rata laju pertumbuhan panjang daun tua dan muda Enhalus acoroides yang ditransplantasi dengan metode staple (Hasil uji t-test menunjukkan laju pertumbuhan panjang daun Enhalus acoroides tidak berbeda nyata antara APO dan tanpa APO). ................................................................................... 38 17.Rata-rata pertambahan daun baru pada lamun yang ditransplantasi dengan metode Staple (Hasil uji t-student menunjukkan pertambahan daun baru tidak berbeda nyata antara APO dan tanpa APO) ........................ 39
xii
1
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lamun adalah tumbuhan berbunga yang sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup terbenam di bawah permukaan air laut. Tumbuhan ini kadangkadang membentuk komunitas yang lebat yang disebut padang lamun. Padang lamun ini merupakan ekosistem yang sangat tinggi produktfitasnya dan merupakan sumber daya laut yang penting baik secara ekologi maupun ekonomi (Nontji, 2002). Beberapa fungsi ekologi padang lamun adalah sebagai penghasil bahan organik, mengikat sedimen dan menstabilkan substrat, daerah pemijahan, daerah asuhan, daerah mencari makan, sebagai daerah perlindungan berbagai jenis biota, dan sebagai peredam ombak. Sedangkan secara ekonomi padang lamun dapat dimanfaatkan sebagai tempat budidaya, sumber bahan aktif untuk obat-obatan, dan lain-lain (Den Hartog, 1977, Nontji , 2010 dalam Tuwo, 2011). Keberadaan ekosistem lamun tidak terlepas dari gangguan atau ancaman. Ancaman-ancaman ini baik berupa ancaman alami seperti badai maupun aktivitas manusia seperti pengerukan, reklamasi, dan pencemaran yang dapat merusak ekosistem lamun (Tuwo, 2011). Selain itu adanya dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut akan menimbulkan efek negativ terhadap padang lamun karena akan terjadi peningkatan kedalaman yang mengakibatkan kurangnya cahaya yang masuk ke perairan, meningkatnya energi gelombang dan terjadinya perubahan arus yang mengakibatkan terjadinya erosi, peningkatan kekeruhan, dan lain-lain juga merusak ekosistem lamun (Short dan Neckles, 1998). Rusak atau hilangnya padang lamun dapat mengakibatkan terjadinya pengikisan di pantai oleh ombak dan arus yang meningkat.
2
Karena hal tersebut di atas maka perlu dilakukan pengelolaan lamun yang efektif dan berkelanjutan. Salah satu strategi pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan untuk membantu pemulihan kerusakan lamun adalah restorasi. Jenis restorasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah transplantasi lamun dengan menggunakan metode staple. Alasan dipilihnya metode transplantasi ini karena menurut Davis dan Short (1997) metode staple memiliki tingkat kelangsungan hidup lamun yang ditransplantasi tinggi. Dalam penelitian ini, peneliti ingin membandingkan metode staple tanpa APO (Alat Pemecah Ombak) dengan metode staple yang dikombinasikan dengan APO terhadap kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan lamun yang ditransplantasi. B. Tujuan dan Kegunaan Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1. Efektivitas APO dalam mengurangi energi gelombang yang tiba di area penanaman lamun (area transplantasi). 2. Pengaruh APO dalam meningkatkan keberhasilan dari lamun yang ditransplantasi dengan metode staple Data dan informasi yang diperoleh dari penelitian ini nantinya dapat digunakan untuk upaya restorasi padang lamun yang telah mengalami kerusakan melalui transplantasi. C. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian ini adalah mengukur tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan lamun (pertambahan panjang daun lamun). Parameter oseanografi yang diukur adalah suhu, salinitas, kekeruhan, TSS, sedimen, laju akresi/erosi sedimen, arah dan kecepatan arus, dan gelombang.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Lamun 1.
Deskripsi Lamun Lamun merupakan kelompok tumbuh-tumbuhan berbunga yang terdapat
di lingkungan laut dan hidup pada habitat perairan dangkal. Lamun memiliki tunas berdaun tegak dan tangkai-tangkai yang merayap serta memiliki bunga, buah dan biji. Selain itu lamun juga memiliki akar dan sistem internal untuk mengangkut gas dan za-zat hara (Romimohtarto dan Juwana, 2000). Lamun hidup di perairan yang agak berpasir namun sering pula dijumpai di terumbu karang. Kadang-kadang lamun membentuk komunitas yang cukup lebat yang disebut padang lamun. Padang lamun merupakan ekosistem penting tetapi pemanfaatan secara langsung tumbuhan ini belum banyak dilakukan untuk kebutuhan manusia. Berbeda dengan tumbuhan berbunga di darat yang jenisnya banyak, tumbuhan berbunga di laut jenisnya sedikit. Terdapat 12 jenis lamun di perairan Indonesia yang tergolong kedalam 7 marga, yaitu tiga marga dari suku Hydrocharitaceae (Enhalus, Thalassia, dan Halophila) dan empat marga dari suku
Potamogetonaceae
(Halodule,
Cymodocea,
Syrongodium
dan
Thalassodendron) (Nontji, 2002). 2.
Fungsi Lamun Menurut Philips dan Menez (1988); Fortes (1990) dalam Tangke (2010)
fungsi dari komunitas lamun pada ekosistem perairan dangkal yang telah dikemukakan oleh peneliti dari berbagai belahan bumi antar lain: 1. Stabilisator perairan dengan fungsi system perakarannya sebagai perangkap dan penstabil sedimen dasar sehingga perairan menjadi lebih jernih.
4
2. Lamun menjadi sumber makanan langsung untuk berbagai jenis biota laut (ikan dan non ikan). 3. Lamun sebagai produser primer. 4. Komunitas lamun menyediakan tempat hidup dan perlindungan untuk spesies hewan. 5. Lamun memegang fungsi utama dalam daur zat hara, khususnya yang dibutuhkan oleh algae epifit. B. Enhalus acoroides Enhalus acroides adalah jenis lamun terbesar di daerah tropis yang memiliki daun berbentuk pita yang panjang serta apabila air surut rendah maka akan terekspos. Enhalus memiliki bunga jantan yang berwarna putih dengan tangkai yang pendek sedangkan bunga betina mempunyai tangkai yang panjang dengan kelopak kemerah-merahan dan mahkota yang putih serta mempunyai buah yang berambut. Biji pada Enhalus di manfaatkan oleh penduduk Pulau Seribu sebagai bahan makanan dengan cara dikumpulkan dan dimasak seperti kita menanak nasi (Nontji, 2002). Menurut Den Hartog (1977) Enhalus acroides dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Regnum: Plantae Divisio : Angiospermae Classis : Liliopsida Ordo : Hydrocharitales Familia : Hydrocharitaceae Genus: Enhalus Species : Enhalus acoroides (Linnaeus f.) Royle
5
Gambar 1. Morfologi tegakan lamun jenis Enhalus acoroides (Waycott et al. 2004).
Enhalus acoroides memiliki akar rimpang yang berdiameter 13,15-17,20 mm yang tertutup dengan rambut-rambut kaku dan keras. Lamun ini mempunyai akar seperti tali, berjumlah banyak, tidak bercabang, dan panjangnya antara 18,50-157,65 mm serta diameternya antara 3-5 mm. Bentuk daunnya seperti sabuk, tepinya rata, dan ujungnya tumpul, panjang daun 65-160 cm dan lebar antara 1,2-2 cm. Enhalus acoroides tumbuh di perairan dangkal sampai kedalaman 4 meter pada substrat berpasir, pasir lumpur atau lumpur. Lamun jenis ini mempunyai kecenderung untuk selalu membentuk vegetasi murni dan kelimpahannya rendah bila tumbuh di daerah pasang surut (Kiswara, 1992). Enhalus acoroides memiliki akar yang kuat yang berfungsi untuk menahan sedimen dari arus, ombak, dan badai. Akar ini juga dapat mengikat dan menembus sedimen akan tetapi jika ombak menyapu dengan sangat kuat maka akar ini tidak akan mampu bertahan dan akan terlepas hingga akhirnya terdampar di pinggir pantai. Selain itu, akar lamun juga berfungsi sebagai penyerap nutrien yang terdapat dalam sedimen. Kondisi seperti ini dapat memberikan keuntungan bagi vegetasi lamun pada massa air yang memiliki kandungan unsur-unsur nutrien yang rendah (Susetiono, 2004 dalam Badria, 2007).
6
C. Transplantasi Lamun Restorasi adalah membuat kembali padang lamun pada suatu lokasi yang direkomendasikan untuk mendukung padang lamun yang pernah ada. Transplantasi adalah memindahkan dan menanam di tempat lain; mencabut dan memasang pada tanah lain atau situasi lain (Bethel, 1961 dalam Azkab, 1999). Transplantasi merupakan salah satu cara untuk memperbaiki atau mengembalikan habitat yang telah mengalami kerusakan. Menurut Azkab (1999), beberapa ahli dari luar negeri yang pernah melakukan metode transplantasi adalah Addy tahun 1947 pada jenis Zostera marina, Fuss dan Kelly pada jenis Thalassia testudinum dan Halodule wrightii, dan Thorhaug pada tahun 1974 pada jenis Thalassia testudium . Metode-metode
transplantasi
lamun
yaitu
transplantasi
melalui
pembibitan/ pembenihan (Seed/Seeding), transplantasi dengan metode tanpa sedimen (sprig) dengan jangkar atau tanpa jangkar (Sprigs anchored and unanchored) dan metode dengan sedimen (plug) (Azkab, 1999). 1.
Pembibitan/pembenihan (Seed/ Seeding) Biji umumnya diambil dari buah yang sudah tua. Buah dipotong dari
tangkainya dan dibuka maka akan terlihat 4 atau 5 biji. Biji ini segera ditanam di lapangan atau di laboratorium dan disiram dengan air laut yang mengalir (Thorhaug, 1974). Kelebihan dari metode dengan bibit adalah jika telah ditemukan bibit yang cocok maka dapat dengan mudah dan cepat untuk ditebar pada area yang luas sedangkan kekurangannya jumlah bibit yang banyak ini akan lebih mudah dimangsa oleh predator pemakan bibit lamun dan hanya sedikit bibit lamun yang ditebar dapat tumbuh menjadi dewasa (Olesen, 1999).
7
2.
Metode sprig dengan jangkar atau tanpa jangkar Pada
metode
transplantasi
sprig
(jangkar atau
tanpa jangkar)
pengambilan bibit tanaman dengan pisau dan ditransplantasi tanpa substrat. Contoh metode tranplantasi lamun tanpa substrat dengan menggunakan jangkar adalah metode staple yang telah banyak digunakan secara luas dan menghasilkan tingkat kelangsungan hidup lamun yang ditranplantasi tinggi. Pada metode ini tegakan lamun dipasangi jangkar secara satu persatu dan penanaman pada daerah subtidal (daerah yang selalu tergenang air laut meskipun surut terendah) (Davis dan Short, 1997). 3.
Metode plug Untuk metode plug, pengambilan bibit tanaman dengan menggunakan
patok paralon (diameter 10 cm untuk jenis Halodule, Zostera dan Thalassia serta Syringodium dengan diameter 15-20 cm) lalu dipindahkan dengan substratnya. Pada metode ini tanaman bersama substratnya ditransplantasi pada lubang yang sama dengan kedalaman 15-20 cm (Azkab, 1999). D. Pertumbuhan Lamun Pertumbuhan daun lamun yang berbeda-beda antara lokasi terjadi karena kecepatan atau laju pertumbuhan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti fisiologi dan metabolisme dan faktor eksternal seperti zat-zat hara, tingkat kesuburan substrat dan parameter lainnya (Supriadi dkk, 2006). Pertumbuhan daun lamun dapat dilihat pada pertambahan panjang bagian-bagian tertentu seperti daun dan rhizoma. Untuk pertumbuhan rhizoma lebih sulit diukur karena umumnya rhizoma berada dibawah substrat. Sedangkan untuk pertumbuhan daun relatif lebih mudah diamati karena daun lamun berada diatas substrat (Brouns, 1985 dalam Irwanto, 2010). Di
Indonesia, penelitian
tentang laju pertumbuhan dan tingkat
kelangsungan hidup Enhalus acoroides yang ditransplantasi dengan metode plug
8
pernah dilakukan oleh Irwanto (2010) di Pulau Barrang Lompo Provinsi Sulawesi Selatan. Dari hasil penelitian tersebut di dapatkan laju pertumbuhan daun muda pada lamun yang ditransplantasi yaitu 0,78 cm/hari dan pada daun tua yaitu 0,56 cm/hari. Selain itu, Azkab (1988) di Pulau Pari dengan jenis yang sama juga menemukan laju pertumbuhan panjang daun muda lebih cepat dibandingkan dengan daun tua yaitu daun muda 0,78 cm/hari sedangkan daun tua 0,56 cm/hari. E. Alat Pemecah Ombak (APO) APO adalah singkatan dari Alat Peredam/Pemecah Ombak yang terbuat dari bambu. APO merupakan salah satu instrumen yang digunakan dalam upaya rehabilitasi daerah pesisir dan lautan. Disamping itu APO juga berfungsi sebagai penahan sedimen. Hasil sedimentasi yang terbentuk menyebabkan pantai dapat bertambah lebar ke arah laut, sehingga pantai tersebut dapat berfungsi sebagai media penanaman mangrove (Bappedal, 1999 dalam Dewi, 2004). Alat pemecah ombak (APO) pada mangrove berfungsi melindungi bibit mangrove dari serangan gelombang semasa pertumbuhannya. APO ini diletakkan di depan tanaman bakau yang akan dilindungi. Gelombang yang datang dari laut lepas akan mengalami difraksi dan refleksi setelah mengenai APO. Untuk gelombang terdifraksi memungkinkan adanya sedimen yang terbawa ke daerah yang terlindungi sedangkan terjadinya gelombang refleksi dapat menyebabkan berkurangnya energi gelombang jika mengenai APO. Maka bibit mangrove yang ditanam dapat terlindungi dari gelombang yang relatif besar (Yulistiyanto, 2009). F.
Parameter Penunjang Kehidupan Lamun
1.
Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam proses
kehidupan dan penyebaran organisme. Kisaran temperatur suhu yang optimal
9
untuk spesies lamun adalah 28-300C. Pengaruh suhu di perairan sangat besar, yaitu mempengaruhi proses-proses fisiologi seperti proses fotosintesis, laju respirasi pertumbuhan dan reproduksi. Proses-proses fisiologi ini akan menurun tajam apabila temperatur perairan berada diluar kisaran optimum tersebut (Nyabakken, 1992). 2.
Salinitas Setiap lamun mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam
mentolerir salinitas tergantung jenisnya akan tetapi umumnya dapat mentolerir salinitas kisaran 10-40%0. Kisaran optimum toleransi terhadap salinitas air laut adalah 35%0. Jika terjadi penurunan salinitas maka akan mengakibatkan menurunnya kemampuan spesies lamun untuk melakukan proses fotosintesis (Dahuri dkk, 2001). 3.
Kekeruhan Suatu ukuran bias cahaya di dalam air yang disebabkan oleh adanya
partikel koloid dan suspensi dari suatu polutan yang terkandung dalam air disebut kekeruhan air. Kekeruhan dapat menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Penyebab kekeruhan adalah adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi serta larut baik berupa lumpur dan pasir halus maupun plankton dan mikroorganisme lain (Effendi, 2003). Menurut Bengen (2004) Enhalus acroides tumbuh pada substrat berlumpur dan perairan yang keruh. 4.
Sedimen Pada umumnya hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun,
mulai dari substrat berlumpur sampai sampai dengan berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di substrat lumpur sampai berpasir yang berada diantara hutan mangrove dan terumbu karang (Bengen, 2004).
10
Untuk lamun jenis Enhalus acoroides dapat hidup pada substrat pasir berlumpur sampai pasir kasar di daerah perairan dangkal sampai estuaria (Tomascik et al., 1997 ). Dalam menentukan jenis sedimen atau substrat digunakan skala Wentworth untuk mengklasifikasikannya (Tabel 1). Tabel 1. Skala Wentworth untuk mengklasifikasikan partikel-partikel sedimen (Hutabarat dan Evan, 2000).
Keterangan Boulders Gravel (kerikil) Very coarse sand (Pasir sangat kasar) Coarse sand (Pasir Kasar) Medium sand (Pasir Sedang) Fine sand ( Pasir Halus) Very fine sand (Pasir Sangat Halus) Silt (Lanau) Clay (Lempung) Dissolved material
5.
Ukuran (mm) >256 2 - 256 1-2 0.5 - 1 0.25 - 0.5 0.125 - 0.25 0.0625 - 0.125 0.002 - 0.0625 0.0005 - 0.002 <0.0005
Sedimentasi Di wilayah pesisir/pantai terjadinya banyak erosi disebabkan oleh
konstruksi yang dibangun di pantai, seperti jetti pelabuhan atau pemecah gelombang. Umumnya konstruksi tersebut akan mengahadang aliran litoral alami di wilayah pantai tersebut, maka pemasukan pasir ke pantai di bagian hilir aliran litoral tersebut akan terganggu. Kondisi seperti ini akan memicu proses erosi di wilayah pantai tersebut. Terjadinya proses erosi di suatu tempat maka akan terjai proses sedimentasi di tempat lain. Karena materi yang tergerus oleh aktivitas gelombang akan diangkut oleh aliran litoral dan dideposito di daerah lain. Arti aliran litoral ini adalah gerakan pasir yang terdapat di daerah litoral (kawasan pantai yang dipengaruhi oleh pasut). Selain itu, beberapa parameter lingkungan yang mempengaruhi proses sedimentasi dan erosi yaitu gelombang, arus menyusur pantai dan arus meretas pantai, pasut, angin, dan lain-lain (Dahuri dkk, 2001).
11
Menurut Goudie (1981) sedimentasi merupakan salah satu faktor alami yang mengakibatkan terjadinya akresi selain yang diakibatkan oleh pemadatan sedimen pantai. Dimana, akresi adalah majunya garis pantai ke arah laut atau peristiwa majunya daratan (Hadisumarno, 1981 dalam Hermanto dan Suwartana, 1986). 6.
Total Suspended Solid (TSS) Salah satu parameter yang digunakan dalam pengukuran kualitas air
adalah Total Suspended Solid (TSS). Pengukuran TSS didasarkan pada berat kering partikel yang terperangkap oleh filter yang umumnya memiliki ukuran pori tertentu. Biasanya digunakan filter yang berukuran pori 0,45 μm (Clescerl, 1905). Kandungan TSS mempunyai hubungan erat dengan kecerahan perairan. Hal ini terjadi karena keberadaan padatan tersuspensi akan menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke perairan sehingga hubungan TSS dan kecerahan menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik (Blom, 1994). Umumnya semakin kearah laut nilai TSS semakin rendah. Hal ini terjadi karena padatan tersuspensi ini disuplay oleh daratan melalui sungai. Keberadaan padatan tersuspensi dapat berdampak posistif jika tidak melebihi standar yang telah ditentukan oleh Kementrian Lingkungan Hidup tentang toleransi sebaran suspense baku mutu kualitas air yaitu 70 mg/l (Herfinalis, 2005). Keberadaan partikel tersuspensi didalam kolom air menyebabkan perairan menjadi keruh yang dapat menghalangi cahaya masuk ke perairan sehingga proses fotosintesis lamun dapat terganggu. 7.
Arus Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat
disebabkan oleh tiupan angin karena perbedaan dalam densitas air laut atau disebabkan oleh gerakan bergelombang panjang (pasut) (Nontji, 1993). Menurut Romomohtarto dan Juwana (2001) bahwa arus laut permukaan merupakan
12
pencerminan langsung dari pola angin yang bertiup pada waktu itu, jadi arus permukaan ini digerakkan oleh angin. Kaharuddin (1994), menyatakan arus sebagai media transportasi sedimen yang dapat ditemukan di daerah pantai sebagai hasil dari pada bentukan gelombang, pasang surut atau pecahan arus dari lepas pantai yang energinya sudah berkurang. Arus-arus tersebut menyebarkan material sedimen sepanjang pantai, bahkan dapat mengangkut sedimen lebih jauh yang tidak behubungan dengan pembentukan delta. Arus perairan menjadi salah satu faktor pembatas bagi produktivitas padang lamun. Lamun berproduktivitas maksimal menghasilkan standing crop pada saat kecepatan arus 0,5 m/s (Dahuri dkk, 2001). 8.
Gelombang Gelombang selalu menimbulkan ayunan air yang melakukan pergerakan
tanpa henti-hentinya pada lapisan permukaan air laut dan jarang dalam keadaan diam sama sekali. Selain itu, pada cuaca yang tenang sekalipun sudah akan menimbulkan adanya riak gelombang dan sebaliknya jika terjadi badai yang besar dapat menimbulkan gelombang besar yang mengakibatkan kerusakan yang hebat (Hutabarat dan Evans, 2000). Gelombang yang ada dipermukaan laut umumnya terbentuk karena adanya alih energi dari angin kepermukaaan laut atau pada saat terjadinya gempa di dasar laut. Gelombang ini merambat ke segala arah membawa energy yang kemudian dilepaskan ke pantai dalam bentuk hempasan ombak (Dahuri dkk, 2001).
13
III. METODE PENELITIAN A. Waktu Dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September – Desember 2012 di pesisir Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan. Analisis Total Suspended Solid (TSS) dilakukan pada laboratorium Oseanografi Kimia, dan analisis sedimen dilakukan pada Laboratorium Geomorfologi Pantai, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian
B. Alat dan Bahan 1.
Di Lapangan Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat selam dasar
berfungsi sebagai alat bantu saat melakukan pengamatan, GPS berfungsi untuk
14
menentukan koordinat lokasi pengambilan data, layang-layang arus berfungsi untuk mengukur arus, tiang skala berfungsi untuk mengukur gelombang, Stopwatch berfungsi untuk mengukur kecepatan arus, kompas bidik berfungsi untuk mengukur sudut layang-layang arus terhadap arus, sabak berfungsi alat menulis dalam air laut agar tidak mudah terhapus di dalam air laut, ember berfungsi untuk menyimpan sampel, water quality checker sebagai alat untuk mengukur suhu, dan kekeruhan, Handrefraktometer berfungsi untuk mengukur salinitas, underwater camera berfungsi untuk mendokumentasikan kegiatan penelitian, kantong sampel digunakan untuk menyimpan sampel sedimen, pipa berfungsi sebagai penanda (plot) yang memudahkan dalam pengamatan, bambu berfungsi sebagai bahan dasar pembuatan APO, patok yang terbuat dari bambu berfungsi sebagai alat yang memudahkan dalam melakukan pengamatan pertumbuhan lamun, tegel berfungsi sebagai alat untuk mengukur laju akresi/erosi sedimen, dan botol sampel untuk menyimpan sampel air. Sedangkan bahan yang digunakan adalah lem berfungsi untuk melekatkan pipa yang dijadikan sebagai plot, aquades berfungsi untuk mensterilkan alat yang digunakan, dan lamun. 2.
Di laboratorium Untuk pengukuran TSS dilakukan di laboratorium Oseanografi Kimia
dan untuk pengukuran sedimen di lakukan di laboratorium Geomorfologi dan Manajemen Pantai. Alat yang digunakan adalah spektrofotometer, erlenmeyer 100 ml, gelas ukur 50 ml, gelas piala 100 ml, karet Bulp, cawan Goch atau alat penyaring lain yang dilengkapi pengisap atau penekan (Filtering Flash), tempat khusus untuk menaruh kertas saring yang terbuat dari baja nir karat atau aluminium foil, oven untuk pemanasan pada suhu 103-105 oC, desikator, neraca analitik dengan
15
kapasitas 200 gram dan ketelitian 0,1 mg, penjepit/pinset, serta ayakan sedimen untuk mengukur butiran sedimen. Sedangkan bahan yang digunakan pada laboratorium adalah kertas saring Wathman yang berpori 0,45 μm. C. Prosedur Kerja Berikut ini adalah prosedur kerja dalam penelitian ini : 1.
Penentuan Lokasi Penelitian Daerah donor (daerah lamun induk) yang dipilih adalah daerah yang
mempunyai lamun Enhalus acoroides dengan tingkat kerapatan yang tinggi sedangkan untuk daerah transplantasi dicari lokasi yang tidak ada lamun. 2.
Pemasangan APO APO yang digunakan dalam penelitian ini, berada di depan area
penanaman yang berfungsi untuk melindungi lamun yang ditransplantasi dari gelombang yang besar (mengurangi kekuatan gelombang). Tipe APO yang digunakan adalah awalnya APO pancang yang telah dikembangkan oleh Thaha et al (2009) yaitu serangkaian bambu diikat berdiri dan dipancang dalam tanah atau sedimen dasar serta mempertimbangkan stabilitas dan arah datangnya gelombang. Akan tetapi APO pancang ini tidak mampu menahan hempasan gelombang maka diganti dengan APO yang ditancapkan satu persatu kedalam tanah. Lebar APO yang digunakan adalah 10 m dan tingginya 1,5 m. 3.
Pengambilan Material Lamun (transplant) Dalam penelitian ini jenis lamun yang ditransplantasi adalah Enhalus
acoroides karena jenis lamun ini mendominasi lokasi penelitian. Selain itu jenis ini juga memiliki sistem perakaran yang kuat dan merupakan lamun terbesar sehingga mudah untuk diamati. Material lamun diambil dari lamun donor yang sehat dan berlokasi di sekitar lokasi penelitian. Material lamun diambil satu persatu dengan tangan
16
untuk mengurangi atau meminimalisir kerusakan yang terjadi pada lamun induknya. Setiap tegakan material lamun yang akan ditransplantasi mempunyai daun sehat 3 atau 4. Material lamun yang sudah diambil disimpan dalam ember besar yang diisi dengan air laut untuk menghindari kekeringan selama pengangkutan ke lokasi transplantasi dan harus ditanam secepat mungkin (tidak lebih dari 24 jam dari pengambilan). 4.
Transplantasi Lamun Jenis transplantasi lamun yang digunakan pada penelitian ini adalah
transplantasi dengan menggunakan metode staple dan metode staple yang dikombinasikan dengan APO (Alat Pemecah Ombak). a.
Metode Staple Pada metode ini, material lamun ditransplantasi tanpa substratnya. Satu
unit material transplant terdiri dari dua tegakan lamun dewasa yang ditempatkan dalam sebuah lubang kecil pada substrat (dalamnya kira-kira 8 cm) lalu ditutup dengan substrat yang sama. Agar tidak terbawa arus atau gelombang, setiap unit material lamun dipasangi jangkar yang terbuat dari bambu yang dibengkokkan sampai berbentuk “U” dan dibenamkan ke dalam sedimen. Alasan bambu yang dijadikan jangkar karena bambu merupakan material “biodegrable” sehingga tidak mencemari lingkungan perairan. Selain itu bambu juga relatif lebih murah dan tidak berbahaya bagi manusia. Bambu ini, sebaiknya direndam selama 48 jam agar bambu penuh/jenuh dengan air dan untuk mengurangi daya apung sebelum digunakan. Dan setiap plot ditanam 10 unit material transplant dan jumlah plot yang ditanami yaitu 4 plot dibelakang APO dan 4 plot yang tidak terdapat APO.
17
b.
Metode Staple yang Dikombinasikan dengan APO (Alat Pemecah Ombak) Metode
pengambilan
material
lamun
(transplant)
dan
metode
penanaman lamun sama persis dengan metode staple yang dijelaskan sebelumnya
yang membedakannya
ditempatkan
didepan
area
adalah pemakaian dua APO yang
penanaman
untuk
melindungi
lamun
yang
ditransplantasi. Jarak antara lokasi yang ada APO dengan yang tidak ada APO adalah ± 6 meter dan jarak antara APO dengan plot yang ada dibelakang APO adalah ± 1 meter. c.
Monitoring Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Lamun yang Ditransplantasi Tingkat kelangsungan hidup lamun yang ditransplantasi dihitung
sebagai persentase lamun yang masih hidup sampai dengan akhir penelitian. Jumlah daun dihitung jika ada daun baru yang muncul saat penelitian berlangsung. Sedangkan untuk pengukuran pertumbuhan panjang daun lamun digunakan metode Zieman (1974) dalam Kiswara (1997). Pada setiap plot yang telah ditentukan dipilih pilih 5 tegakan lamun secara acak. Kemudian, patok sepanjang 30cm ditancapkan ke substrat sebagai standar awal pengukuran pertumbuhan daun lamun dan batas ujung patok sejajar dengan jarak referensi yang telah ditentukan pada masing-masing tegakan. Untuk masing-masing tegakan lamun dipilih satu helaian daun (daun tua dibagian luar dan daun muda dibagian dalam). Setelah itu di setiap tegakannya dilubangi sejajar dengan ujung patok. Penandaan dilakukan setelah enam minggu penanaman dan dilakukan untuk mengukur pertumbuhan daun lamun. Pengukuran pertama untuk pertumbuhan
daun
lamun
dilakukan
satu
minggu
setelah
penandaan.
Pengukuran kedua dan seterusnya dilakukan setiap minggu setelah pengukuran pertama.
18
d.
Monitoring Kondisi Oseanografi Perairan Untuk monitoring kondisi oseanografi perairan pada lokasi penelitian
dilakukan bersamaan dengan pengamatan tingkat kelangsungan hidup, jumlah daun, dan pertumbuhan daun lamun yang ditransplantasi. Berikut ini parameter oseanografi yang diukur adalah: 1)
Suhu dan kekeruhan Pengukuran parameter suhu dan kekeruhan menggunakan water
quality cheker. 2)
Salinitas Cara pengukuran parameter ini yaitu dengan mengambil air lalu
dengan tangan teteskan air laut pada kaca handrefraktometer kemudian tutup kaca handrefraktometer. Setelah itu, arahnya ke cahaya matahari dan catat hasil pembacaan. 3)
Arah dan kecepatan arus Penentuan kecepatan arus menggunakan layang-layang arus.
Untuk pengukurannya dilakukan dengan menetapkan jarak tempuh layanglayang arus sejauh 5 meter, kemudian mengukur waktu tempuh layang-layang arus tersebut dengan menggunakan stopwatch atau alat penghitung waktu sejenisnya. Dan pengukuran arah arus dilakukan dengan menggunakan kompas bidik, yakni dengan menentukan posisi awal layang-layang arus saat dilepas sampai layang-layang arus tersebut berhenti. 4)
Gelombang Pengukuran gelombang dilakukan dengan menggunakan tiang
skala dan pengukuran dilakukan di belakang APO dan daerah tanpa APO selama seminggu dengan tiga kali pengukuran sehari dilakukan saat menjelang pasang. Untuk pengamatan gelombang dilakukan dengan mencatat puncak dan
19
lembah gelombang yang datang pada tiang skala selama masing-masing 17 kali dan mengukur waktu pengamatan dengan menggunakan stopwatch. 5)
Sedimen Pengambilan substrat (sedimen) di lapangan menggukanan skop
pada setiap stasiun. Adapun sampel substrat tersebut kemudian disimpan dalam kantong sampel yang telah diberi label. Penentuan tipe substrat dilakukan dengan cara substrat yang diambil dikeringkan terlebih dahulu dan kemudian diayak dengan sieve net yang berdiameter. Hasil ayakan ditimbang dengan timbangan elektrik dan datanya digunakan untuk menentukan besar butir berdasarkan skala wenworth. 6)
Laju Akresi/Erosi Laju akresi/erosi diukur dengan menggunakan plat tegel yang
diletakkan pada dasar perairan. Plat ini diletakkan dengan cara dikubur dengan kedalaman yang telah ditentukan. Setelah itu, dibiarkan selama seminggu kemudian diukur ketebalan sedimen yang ada diatas plat tegel dengan menggunakan penggaris besi sebanyak 3 kali pengukuran dengan titik-titik yang berbeda per tegelnya. 7)
Total Suspended Solid (TSS) Prosedur pengambilan sampel air laut pada TSS yaitu cara
pengambilan sampel air laut yaitu bagian air yang berada diantara permukaan dan dasar perairan dengan menggunakan botol 100 ml pada lokasi transplantasi. Setelah itu botol yang berisi sampel air laut dibawa ke Laboratorium Oseanografi Kimia untuk dilakukan analisis kandungan TSSnya. Setelah di laboratorium, kertas saring yang akan digunakan ditimbang terlebih dahulu sebelum digunakan. Kertas saring yang telah ditimbang berat kosongnya dipasang pada alat penyaring lalu dituang air sampel sebanyak 250 ml. Air sampel yang telah dituang diukur kembali dengan menggunakan
20
tabung ukur sedangkan kertas saring disimpan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan yang berisi kertas saring ini dikeringkan dalam oven dengan suhu 103-105 oC selama 1 jam lalu dinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang dengan neraca analitik. D. Pengolahan Data 1.
Tingkat Kelangsungan Hidup Lamun yang Ditransplantasi Untuk menghitung tingkat kelangsungan hidup yang ditransplantasi
digunakan rumus yang dikemukakan oleh Effendie (1978) dalam Widiastuti (2009) yaitu :
SR =
t
× 100 %
Keterangan : SR = tingkat kelangsungan hidup (%) Nt = jumlah tegakan lamun yang masih hidup pada akhir penelitian N0 = jumlah tegakan lamun yang ditransplantasi pada awal penelitian 2.
Laju Pertumbuhan Daun Lamun Laju pertumbuhan daun lamun yang ditransplantasi digunakan rumus
(Supriadi, 2003 ) sebagai berikut :
P
:
Lt - Lo t
Keterangan : P = Laju pertumbuhan panjang daun (mm) Lt = Panjang daun setelah waktu t (mm) Lo = Panjang daun pada pengukuran awal (mm) t = Selang waktu pengukuran (hari)
21
3.
Gelombang Tinggi gelombang signifikan dihitung dengan cara menghitung tinggi
gelombang rata-rata dari 1/3 tinggi gelombang yang terbesar setelah diurutkan dari seluruh gelombang yang terjadi dalam periode tertentu. Atau rumus yang digunakan adalah : H 1/3 = nilai rata-rata dari 1/3 jumlah gelombang terbesar. Keterangan : H1/3= Tinggi ombak signifikan 4.
Efektivitas APO Efektivitas APO diketahui dari nilai efesiensi energi ombak yang
melewati APO. Rumus yang digunakan sebagai berikut (Sumadji, 1980 dalam Dewi, 2004):
E 1 sAPO x 100% E ssAPO Keterangan : : Efesiensi APO
ESAPO : energi ombak setelah melewati APO EssAPO : energi ombak sebelum melewati APO Berdasarkan hasil perhitungan efisiensi diatas, maka kategori tingkat efektivitas APO di bagi menjadi 4 (Tabel 2) dengan asumsi bahwa niai lebih besar dari 0% menunjukkan bahwa APO telah efektif meredam energi ombak (Dewi, 2004).
22
Tabel 2. Kategori Tingkat Efektifitas APO yang didasarkan pada Nilai Efisiensi (Dewi, 2004)
5.
Nilai Efisiensi (%)
Kategori
0,01 – 24,99 25,00 – 49,99 50,00 – 74,99 > 75,00
Kurang Efektif Cukup Efektif Efektif Sangat Efektif
Kecepatan Arus
Keterangan : V= Kecepatan arus (m/detik) S = Panjang lintasan layang – layang arus (m) t = Waktu tempuh layang – layang arus (detik) E.
Analisis Statistik Data tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan lamun yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan uji t (t-test) dengan tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05). Untuk melihat efektivitas APO bambu yang digunakan, maka akan dilakukan uji t terhadap tinggi gelombang yang melewati APO dan gelombang tanpa APO.
23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Parameter Oseanografi 1.
Suhu dan Salinitas Rata-rata kisaran suhu di lokasi APO dan tanpa APO relatif sama
karena jarak lokasi yang saling berdekatan. Suhu di lokasi penelitian berkisar antara 31-32,12 0C (Gambar 3) dan tergolong suhu yang masih memperbolehkan lamun untuk tumbuh. Menurut Phillips dan Menez (1988) lamun dapat mentolerir suhu perairan antara 26-36 0C, akan tetapi suhu optimum untuk fotosintesis lamun berkisar 28-30 0C. 34.50 34.00 33.50 33.00 32.50 32.00 31.50 31.00 30.50 30.00 29.50 A
T.A SUHU (0 C)
A
T.A SALINITAS (‰)
Gambar 3. Rata-rata nilai suhu dan salinitas pada APO (A) dan tanpa APO (T.A)
Berdasarkan gambar diatas rata-rata nilai salinitas di lokasi penelitian antara APO dan tanpa APO berkisar 33,4 ‰ dan tergolong salinitas yang mendukung pertumbuhan lamun. Menurut Dahuri dkk (2001) lamun memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mentolerir salinitas tergantung jenisnya akan tetapi umumnya dapat mentolerir salinitas kisaran suhu 10-40 ‰. 2.
Kekeruhan Hasil pengukuran kekeruhan selama 4 kali (Lampiran 6) didapatkan
rata-rata nilai yang di lindungi APO memiliki tingkat kekeruhan sebesar 4,75
24
NTU sedangkan tanpa APO sebesar 8,25 NTU (Gambar 4). Perbedaan rata-rata kekeruhan ini terjadi karena dengan adanya APO, gelombang dan arus yang menjadi penyebab partikel sedimen melayang di kolom air mengalami peredam sedangkan
tanpa
APO
tidak.
Nilai
kekeruhan
yang
didapatkan
tidak
mempengaruhi pertumbuhan lamun karena masih berada dalam ambang batas toleransi terhadap pertumbuhan lamun dan cahaya matahari yang diterima oleh lamun masih cukup baik untuk melakukan proses fotosintesis. Menurut KEPMEN-LH (1998) tentang standar baku mutu kekeruhan air laut untuk biota laut dan tumbuhan lamun adalah 5-30 NTU.
Kekeruhan (NTU)
10 8 6 4 2 0 A
T.A
Gambar 4. Rata-rata nilai kekeruhan pada APO (A) dan tanpa APO (T.A)
Kekeruhan terjadi akibat partikel sedimen yang melayang di kolom air yang disebabkan oleh ukuran partikel yang terlalu kecil. Menurut Wibisono (2005) ukuran partikel yang kecil dan halus akan susah mengendap oleh karena itu semakin tinggi kekeruhan akan menyebabkan rendahnya laju sedimentasi yang terjadi di suatu perairan. 3.
TSS Hasil pengukuran TSS selama 2 kali (Lampiran 6) diperoleh rata-rata
nilai TSS pada APO sebesar 51,1 mg/L dan tanpa APO sebesar 56,6 mg/L (Gambar 5). Hasil yang diperoleh ini memang lebih tinggi dari standar baku mutu yang diperbolehkan untuk biota laut yang ditetapkan oleh peraturan Gubernur
25
Sulawesi Selatan Nomor 69 (2010) yaitu untuk lamun sebesar 20 mg/L, akan tetapi nyatanya lamun Enhalus acoroides masih dapat tumbuh di lokasi penelitian. Hal ini disebabkan oleh kedalaman perairan yang dangkal pada saat surut terendah sehingga cahaya matahari yang masuk keperairan masih cukup untuk proses fotosintesis. 100.0 TSS (mg/L)
80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 A
T.A
` Gambar 5. Rata-rata nilai TSS pada APO (A) dan tanpa APO (T.A)
4.
Sedimen Berdasarkan pengukuran diameter sedimen dengan menggunakan
metode ayakan didapatkan bahwa rata-rata nilai diameter sedimen yang mendominasi kedua lokasi yaitu pada APO didominasi oleh ukuran diameter partikel sedimen 0,125 mm dengan persen berat 81,331 % sedangkan tanpa APO juga didominasi oleh ukuran diameter sedimen 0,125 mm dengan persen berat 52,507 % (Gambar 6). Menurut skala Wentworth dalam Hutabarat dan Evans (2000) ukuran diameter sedimen 0,125-0,25 mm termasuk kedalam pasir halus (find sand).
26
100.000 % Berat
80.000 60.000 40.000
APO
20.000
T.APO
0.000 2
1
0,5
0,25 0,125 0,063
< 0,063
Ukuran Sieve Net (mm) Gambar 6. Nilai diameter sedimen pada APO dan tanpa APO
Enhalus acoroides mampu tumbuh pada daerah yang didominasi oleh pasir halus. Menurut Dahuri (2003), bahwa E. acoroides merupakan jenis lamun yang paling umum ditemukan pada sedimen halus hingga berlumpur tetapi pada sedimen kasar E. acoroides masih tetap dapat tumbuh sebab akar-akarnya panjang dan kuat hingga mampu menyerap makanan dengan baik dan dapat berdiri dengan kokoh. 5.
Laju Akresi/Erosi Sedimen Pada Gambar 7 dan Lampiran 6 terlihat bahwa sedimen mengendap
(Akresi) pada minggu 1 baik pada lokasi APO maupun tanpa APO. Pada minggu ke-2 terjadi erosi sedimen dasar. Sedangkan minggu ke-3, pada APO sedimen terlihat stabil dan tanpa APO mengalami erosi sedimen dasar. Terjadinya perbedaan
laju
akresi/erosi
sedimen
pengambilan data yang berbeda-beda.
mungkin
disebabkan
oleh
waktu
27
Laju Akresi/Erosi Sedimen (cm/hari)
0.25 0.2 0.15 0.1
APO T.APO
0.05 0 -0.05
Minggu 1
Minggu 2
Minggu 3
-0.1 Gambar 7. Laju Akresi/Erosi yang ada di belakang APO dan tanpa APO
Pengambilan data untuk minggu 1 dilakukan saat terjadinya surut, dimana perairan relatif tenang sehingga pergerakan sedimen tidak terlalu tinggi. Pada minggu ke-2 dan ke-3, pengambilan data dilakukan saat peralihan surut menuju pasang, dimana mulai adanya kekuatan arus dan gelombang. Untuk minggu ke-2, terjadi erosi sedimen dasar pada kedua lokasi karena APO mengalami kerusakan sehingga energi gelombang dan arus dapat masuk ke area penanaman. Pada minggu ke-3, yang dilindungi APO, sedimen terlihat stabil karena gelombang dan arus yang melewati APO mengalami peredaman sehingga pergerakan sedimen berkurang. Sedangkan untuk daerah tanpa APO pada minggu ke-3 mengalami erosi sedimen dasar karena tidak ada pelindung sehingga kekuatan gelombang dan arus bebas masuk ke daerah transplantasi yang menyebabkan sedimen menjadi tidak stabil. Lokasi penelitian termasuk kedalam lokasi yang dipengaruhi oleh pasang surut sehingga salah satu arus yang berperan adalah arus pasang surut dan sedimen yang mendominasi di lokasi tergolong pasir halus sehingga sedimen ini susah mengendap dan mudah untuk tererosi. Menurut Triatmodjo (1999) bahwa pada waktu titik balik yaitu di sekitar air pasang dan air surut terendah, kecepatan aliran kecil sehingga sebagian sedimen mengendap,
28
sebaliknya di sekitar periode air surut dan air pasang, kecepatan aliran besar sehingga sedimen yang tadinya mengendap akan tererosi kembali 6.
Arah dan Kecepatan Arus Pengukuran arah dan kecepatan arus diukur selama seminggu berturut-
turut dengan satu kali pengukuran disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Hasil pengukuran arah dan arus selama satu minggu ARAH DAN KECEPATAN ARUS TANGGAL
KECEPATAN (m/det)
ARAH
A
T.A
A
TA
11-Nov
0.035
0.043
40°NE
20°NE
12-Nov
0.042
0.068
40°NE
30° NE
13-Nov
0.042
0.069
40°NE
50°NE
14-Nov
0.038
0.059
80°NE
100°SE
15-Nov
0.041
0.057
80°NE
90°NE
16-Nov
0.023
0.054
40°NE
70°NE
17-Nov
0.029
0.070
80°NE
100°SE
18-Nov
0.030
0.091
40°NE
100°SE
Hasil diatas menunjukkan bahwa kecepatan arus yang didapatkan pada APO lebih rendah, berkisar antara 0,023 sampai 0,042 m/detik dari pada tanpa APO yang berkisar antara 0,043-0,091 m/det. Perbedaan ini terjadi karena gelombang yang melewati APO mengalami peredaman sedangkan tanpa APO tidak, sehingga hal ini dapat mempengaruhi pergerakan massa air yang melewati APO. Menurut Hutabarat dan Evans (1986), arus pantai timbul karena adanya pergerakan massa air yang terjadi sepanjang perairan pantai seperti ombak, pasang surut, arus sungai dan pengaruh arus laut atau arus musiman yang keadaannya sudah terpecah-pecah. Kisaran kecapatan arus APO dan tanpa APO termasuk kisaran arus yang sangat lambat. Hal ini berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Mason (1981) bahwa berdasarkan kecepatan arusnya maka perairan dapat
29
dikelompokkan menjadi berarus sangat cepat (>1 m/detik), cepat (0,5-1 m/det), sedang (0,25-0,50), lambat (0,1-0,25 m/det), dan sangat lambat (<0,1 m/det). Untuk pertumbuhan lamun masih termasuk kisaran kecepatan arus yang masih dapat ditoleransi untuk lamun tumbuh. Menurut Dahuri dkk (2001) lamun mempunyai kemampuan maksimal pada saat kecepatan arus sekitar 0,5 m/detik. Perbedaan rata-rata tingkat kecepatan arus yang APO dan tanpa APO tidak mempengaruhi pertumbuhan lamun secara signifikan karena kecepatan arus yang bisa diredam oleh APO masih dapat menggerakkan sedimen walaupun pergerakannya tidak seperti pergerakan sedimen yang tidak dilindungi APO. Hal ini terjadi karena ukuran sedimen yang mendominasi yang dilindungi APO tergolong pasir halus sehingga untuk mengendap atau stabil membutuhkan waktu. 7.
Gelombang Hasil pengukuran gelombang signifikan yang diukur setiap hari selama
Tinggi gelombang signifikan (cm)
seminggu dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
25 20 15 10
APO T.APO
5 0 1
2
3
Pengukuran
Gambar 8. Grafik rata-rata nilai gelombang signifikan yang diukur selama seminggu berturut-turut (Hasil uji t-test menunjukkan perbedaan nyata antara yang dilindungi APO dan tanpa APO
30
Hasil uji t-test yang telah dilakukan, menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara tinggi gelombang yang melewati APO dan tanpa APO pada setiap pengukuran selama seminggu berturut-turut dengan 3 pengukuran dalam sehari akan tetapi jika hasil pengukuran dengan 3 kali pengukuran ini digabungkan menunjukkan adanya perbedaan secara nyata. Rata-rata tinggi gelombang signifikan dengan 3 kali pengukuran didapatkan yang melewati APO antara 9-19 cm sedangkan tanpa APO antara 11-25 cm dengan efek peredaman sebesar 20,43 %. Pengukuran ini dilakukan saat menuju pasang dengan selang waktu antara pengukuran 1 dengan ke-2 selama ±1 jam begitu pula antara pengukuran kedua dengan ke-3. Hasil yang didapatkan ini membuktikan bahwa APO bambu yang digunakan ternyata mampu meredam gelombang karena gelombang yang mengenai APO mengalami refleksi, sehingga gelombang yang melewati APO mengalami peredaman yang menyebabkan sedimen di daerah yang terlindungi terlihat stabil. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yulistiayanto (2009) bahwa terjadinya refleksi gelombang oleh APO menyebabkan berkurangnya energi gelombang menuju pantai. Peletakan APO di depan area penanaman lamun selain menyebabkan terjadinya refleksi (pemantulan) gelombang juga menyebabkan terjadinya difraksi gelombang. Difraksi gelombang (pembelokan gelombang) ini terjadi setelah gelombang mengenai APO. Hal ini sesuai dengan pendapat Triatmodjo (1999) bahwa fenomena difraksi terjadi apabila gelombang yang datang terhalang oleh suatu
rintangan
seperti
pemecah
gelombang atau pulau,
maka akan
menyebabkan gelombang tersebut membelok disekitar ujung rintangan dan akan masuk di daerah yang terlindungi di belakangnya.
31
B. Keberhasilan lamun yang diTransplantasi 1.
Tingkat Kelangsungan Hidup Jenis transplantasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
staple. Metode staple adalah metode transplantasi lamun tanpa menggunakan substrat, dimana metode ini menggunakan jangkar yang berfungsi sebagai penahan transplant agar tidak terbawa oleh arus dan gelombang. Selain itu, dalam penelitian ini dilakukan uji coba penggunaan APO (Alat Pemecah Ombak) yang salah salah satu tujuannya untuk meningkatkan tingkat kelangsungan hidup lamun transplant. Tingkat kelangsungan hidup diukur dari jumlah unit transplantasi waktu penanaman awal dan penanaman akhir pada interval waktu yang telah ditentukan. Dari Lampiran 1 dapat dilihat bahwa rata-rata tingkat kelangsungan hidup transplantasi lamun di APO 60% sedangkan tanpa APO
Rata-rata Tingkat Kelangsungan Hidup (%)
65%. 80 70 60 50 40 30 20 10 0 APO
T.APO
Gambar 9. Tingkat kelangsungan hidup lamun yang ditransplantasi dengan metode Staple (Hasil uji t-test menunjukkan tingkat kelangsungan hidup tidak berbeda nyata antara APO dan tanpa APO)
Hasil uji t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata tingkat kelangsungan hidup Enhalus acoroides yang ditransplantasi dengan metode Staple selama 3 bulan penanaman antara APO dan tanpa APO (Gambar 9). Hal ini disebabkan oleh APO bambu yang digunakan hanya mampu meredam gelombang yang berasal dari arah barat sedangkan di lokasi penelitian arah
32
gelombang berasal dari tiga arah yaitu arah barat, barat daya, dan barat laut sehingga gelombang dapat masuk ke area transplantasi. Arah ini berdasarkan hasil pengamatan langsung di lapangan dan hasil pengukuran arah arus pada daerah
dengan
APO
dan
tanpa
APO
yang
arahnya
antara
200NE
(Northeas/Timur laut) sampai 1000SE (Southeast/Tenggara) (Tabel.3). Arah ini berasal dari barat daya dan barat laut. Menurut Lanuru dkk (2012) lebar APO bambu 10 m hanya mampu melindungi gelombang yang datang dari arah barat sedangkan gelombang yang berasal dari arah barat daya dan barat laut tetap dapat merambat ke dalam area penanaman. Selain itu, dalam penelitian ini terlihat bahwa metode staple sudah cukup kuat menahan lamun dari hempasan gelombang dan arus yang terlihat dari tingkat kelangsungan hidup lamun yang tinggi meskipun di area tanpa APO. 2.
Laju Pertumbuhan Panjang Daun Enhalus acoroides
a.
Pola Perubahan Panjang Daun Enhalus acoroides pada APO dan Tanpa APO Rata-rata pola perubahan panjang daun tua antara APO dan tanpa APO
selama 4 minggu dengan 4 ulangan (Gambar 10) didapatkan bahwa daun tua pada APO perubahan panjang daunnya lebih tinggi daripada tanpa APO yang terlihat pada minggu 2 sampai 4.
33
Perubahan Panjang Daun Tua (cm/minggu)
14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 APO
4.00
T.APO
2.00 0.00 1
2
3
4
Minggu Gambar 10. Rata-rata perubahan panjang daun tua Enhalus acoroides yang ditransplantasi dengan metode Staple antara APO dan tanpa APO.
Sedangkan
rata-rata
perubahan
panjang
daun
muda
yang
ditransplantasi pada APO dan tanpa APO didapatkan bahwa pada minggu 1, 2, dan 3 terlihat perubahan panjang daunnya sama akan tetapi pada minggu ke-4 APO telah menunjukkan adanya perbedaan (Gambar 11), dimana pada APO
Perubahan Panjang Daun Muda (cm/minggu)
pertambahan panjang daunnya melebihi tanpa APO. 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00
APO
4.00
T.APO
2.00 0.00 1
2
3
4
Minggu Gambar 11. Rata-rata perubahan panjang daun muda Enhalus acoroides yang ditransplantasi dengan metode Staple antara APO dan tanpa APO
34
Perbedaan pola perubahan panjang daun baik daun tua maupun daun muda antara APO yang dibandingkan dengan tanpa APO tidak menunjukkan perbedaan secara signifikan berdasarkan uji t-test sehingga pola perubahan ini dianggap sama antara APO dan tanpa APO. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran parameter oseanografi yang didapatkan pada APO dan tanpa APO yang masih dalam rentang pertumbuhan Enhalus acoroides. b.
Pola Perubahan Panjang Daun Tua Enhalus acoroides dibandingkan dengan Daun Muda pada APO dan Tanpa APO
yang
Hasil pengukuran perubahan panjang daun tua yang dibandingkan dengan daun muda pada APO dan tanpa APO dapat dilihat pada Gambar 12 dan
Perubahan Panjang Dun pada APO (cm/minggu)
13.
16.00 14.00 12.00 10.00 8.00
TUA
6.00
MUDA
4.00 2.00 0.00 1
2
Minggu
3
4
Gambar 12. Rata-rata perubahan panjang daun tua yang dibandingkan dengan daun muda Enhalus acoroides yang ditransplantasi dengan metode Staple pada APO
Perubahan Panjang Daun Pada T.APO (cm/minggu)
35
16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00
TUA
4.00
MUDA
2.00 0.00 1
2
3
4
Minggu Gambar 13. Rata-rata perubahan panjang daun tua yang dibandingkan dengan daun muda Enhalus acoroides yang ditransplantasi dengan metode Staple pada T. APO
Pola rata-rata perubahan panjang daun tua yang dibandingkan dengan daun muda pada APO dan tanpa APO terlihat tidak adanya perbedaan nyata (uji t) pada minggu 1 sampai 3 di APO dan tanpa APO.Tidak adanya perbedaan ini mungkin dikarenakan daun muda pada APO dan tanpa APO yang sebagian merupakan daun yang baru muncul sehingga pertumbuhannya masih dalam penyesuian sampai pada tahap kestabilan. Sedangkan pada minggu ke-4, daun muda lebih cepat tumbuh daripada daun tua. Hal ini terjadi karena pada minggu ke-4 daun muda telah melewati tahap penyesuaian sehingga pertumbuhan telah menunjukkan peningkatan sedangkan pada daun tua perubahan panjang daunnya mulai lambat karena umurnya yang sudah tua. Menurut Erftemeijer and Middelburg (1993), daun baru dan daun muda aktif melakukan pertumbuhan panjang sedang daun tua sudah kurang aktif melakukan pertumbuhan.
36
c.
Dinamika Laju Pertumbuhan Mingguan Panjang acoroides antara APO dan Tanpa APO
Daun
Enhalus
Pola rata-rata laju pertumbuhan panjang daun Enhalus acoroides baik tua maupun muda antara APO dan tanpa APO setiap minggu dapat dilihat pada
Rata-rata laju pertumbuhan panjang daun tua (cm/hari)
Gambar 14 dan 15. 0.50 0.45 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00
APO T.APO
1
2
3
4
Minggu
Gambar 14. Rata-rata laju pertumbahan panjang daun tua Enhalus acoroides yang ditransplantasi dengan metode Staple antara APO dan tanpa APO.
Pola laju pertumbuhan mingguan panjang daun tua Enhalus acoroides pada APO dan tanpa APO (Gambar 14) menunjukkan bahwa pada minggu 1 pola laju pertumbuhannya terlihat sama. Minggu ke-2 dan 3 laju pertumbuhannya mulai berbeda dan melambat dari minggu 1, dimana pada minggu ini laju pertumbuhan panjang daun tua APO lebih tinggi dari pada tanpa APO. Pada minggu ke-4 menunjukkan laju pertumbuhan pada APO melambat sedangkan tanpa APO menunjukkan laju pertumbuhan yang sedikit meningkat.
Rata-rata laju pertumbuhan panjang daun muda (cm/hari)
37
0.70 0.60 0.50 0.40 0.30
APO
0.20
T.APO
0.10 0.00 1
2
3
4
Minggu
Gambar 15. Rata-rata laju pertumbahan panjang daun muda Enhalus acoroides yang ditransplantasi dengan metode Staple antara APO dan tanpa APO.
Pola laju pertumbuhan mingguan panjang daun muda Enhalus acoroides pada APO dan tanpa APO (Gambar 15) menunjukkan pola laju pertumbuhan panjang daun yang terus meningkat dan aktif, dimana pada APO laju pertumbuhan panjang daunnya lebih tinggi daripada tanpa APO di minggu ke-2 sampai 4. Meningkat dan menurunnya laju pertumbuhan panjang daun pada kedua lokasi kemungkinan di sebabkan oleh parameter oseanografi yang tidak terukur saat penelitian seperti unsur hara, kecerahan, dan lain-lain. Menurut Azkab (1999) dalam Faiqoh (2006) bahwa pertumbuhan dan tingkat produksi daun lamun memiliki kaitan yang erat dengan karakteristik dan dinamika unsur hara dimana pada keadaan tertentu, naiknya unsur-unsur hara secara kuantitatif dapat menaikkan laju pertumbuhan dan produksi daun lamun. d.
Laju Pertumbuhan Panjang Daun Enhalus acoroides antara APO dan Tanpa APO Hasil uji t yang telah dilakukan menunjukkan tidak adanya perbedaan
laju pertumbuhan antara Enhalus acoroides yang ditransplantasi dengan metode staple yang dilindungi APO dan T.APO (Lampiran 2) selama 4 minggu
38
berdasarkan uji t-test menunjukkan tidak adanya perbedaan laju pertumbuhan. Rata-rata laju pertumbuhan daun tua yaitu dilindungi APO sebesar 0,40 cm/hari sedangkan tanpa APO sebesar 0,40 cm/hari. Dan untuk rata-rata laju pertumbuhan daun muda yaitu sebesar 0,49 cm/hari sedangkan tanpa APO sebesar 0,48 cm/hari (Gambar 16).
Rata-rata laju pertumbuhan panjang daun (cm/hari)
0.60 0.50 0.40 0.30
APO
0.20
T.APO
0.10 0.00 TUA
MUDA
Gambar 16. Rata-rata laju pertumbuhan panjang daun tua dan muda Enhalus acoroides yang ditransplantasi dengan metode staple (Hasil uji t-test menunjukkan laju pertumbuhan panjang daun Enhalus acoroides tidak berbeda nyata antara APO dan tanpa APO).
Di Indonesia, penelitian tentang laju pertumbuhan panjang daun Enhalus acoroides yang ditransplantasi dengan metode plug pernah dilakukan oleh Irwanto (2010) di pulau Barrang Lompo provinsi Sulawesi Selatan dengan tiga kali ulangan menemukan laju pertumbuhan daun muda lebih cepat dari pada daun tua yaitu untuk daun muda berkisar antara 0,51-0,78 cm/hari sedangkan daun tua berkisar 0,36-0,56 cm/hari. Selain itu, Azkab (1988) di Pulau Pari dengan jenis yang sama juga menemukan laju pertumbuhan panjang daun muda lebih cepat dibandingkan dengan daun tua yaitu daun muda 0,78 cm/hari sedangkan daun tua 0,56 cm/hari. 3.
Jumlah Daun Baru Salah satu parameter keberhasilan lamun yang ditransplantasi adalah
pertambahan jumlah daun baru yang muncul. Pertambahan daun baru pada
39
lamun transplantasi terjadi karena mulai gugurnya daun secara berangsur-
Rerata Pertambahan Daun Baru (Lembar)
angsur. Daun yang telah gugur tersebut akan digantikan dengan daun baru.
10 8 6 4 2 0 APO
T.APO
Gambar 17. Rata-rata pertambahan daun baru pada lamun yang ditransplantasi dengan metode Staple (Hasil uji t-student menunjukkan pertambahan daun baru tidak berbeda nyata antara APO dan tanpa APO)
Hasil uji t-student yang telah dilakukan tidak terdapat perbedaan nyata antara jumlah daun baru pada lamun transplantasi yang dilindungi APO dan tanpa APO selama 3 bulan penanaman dengan 6 minggu pengamatan. Hal ini terjadi, karena jarak lokasi transplantasi lamun yang APO dan tanpa APO yang tidak terlalu jauh (±6m) dan kedalaman perairan serta letak lokasi transplantasi yang relatif sama yaitu di daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut sehingga jika terjadi surut terendah, lamun transplant baik yang APO dan tanpa APO akan terekspos (terpapar) oleh sinar matahari secara bersamaan. Tereksposnya (terpaparnya) lamun yang ditransplantasi dapat menyebabkan daun lamun tersebut menjadi kering (rusak) atau akan terpotong sedikit demi sedikit secara alami karena umur daun yang sudah makin tua lalu gugur. Sebelum daun tua gugur (mati), daun baru akan muncul untuk mengganti daun yang akan gugur. Menurut Supriadi dkk (2006) umumnya daun lamun terpotong disebabkan karena sudah tua atau karena kering pada saat terpapar sinar matahari dan kemampuan lamun mengganti daun yang gugur adalah kecepatan pulih daun, yaitu banyaknya daun baru yang muncul dalam jangka waktu tertentu.
40
Daun yang baru muncul ini akan melanjutkan peran daun yang sebelumnya yaitu melakukan proses fotosintesis dan penyerapan nutrisi melalui daun. Selain itu, daun yang akan gugur akan memindahkan unsur haranya ke daun yang masih aktif. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mcroy dan Barsdate (1970) dalam Kiswara (1995) bahwa lamun mempunyai kemampuan mengambil nutrisi melalui daun dan akarnya. Dan menurut Erftemeijer (1993) dalam Hamid (1996) daun lamun sebelum mati terlebih dahulu akan memindahkan unsur haranya ke daun yang sedang aktif tumbuh dan aktivitas berfotosintesis daun E. acoroides akan semakin menurun bila daun tersebut semakin tua. C. Pengaruh APO (Alat Pemecah Ombak) Terhadap Tingkat Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Enhalus acoroides. Berdasarkan hasil pengukuran didapatkan bahwa tidak ada perbedaan (uji t-test) sintasan dan pertumbuhan Enhalus acoroides antara APO dan tanpa APO. Hal ini terjadi karena kondisi fisik yang tidak berbeda jauh dan masih dalam ambang batas toleransi untuk pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup lamun E. acoroides. Faktor-faktor yang mempengaruhi tidak adanya perbedaan ini, yaitu: 1.
Lebar APO Lebar APO hanya mampu melindungi lamun dari parameter oseanografi
yang berasal dari arah barat sedangkan arah barat laut dan barat daya masih dapat masuk kearea penanaman menyebabkan tidak terdapatnya perbedaan baik dari segi sintasan maupun pertumbuhan. 2.
Desain APO Desain APO yang digunkan pada awal penelitian adalah desain yang
diperkenalkan oleh Thaha et. al (2009) yaitu serangkaian bambu yang dipancang ke dalam tanah atau sedimen dasar akan tetapi karena terjadi gelombang yang
41
cukup besar sekitar tanggal 12-15 September yang dapat merobohkan APO menyebabkan desain APO diganti menjadi metode tancap satu persatu. Pada penelitian ini, desain APO dengan metode tancap satu persatu terbukti efektif meredam gelombang dan arus. Ini terbukti dari pengukuran laju erosi sedimen (Gambar 7) pada minggu ke-3, dimana pada APO sedimennya terlihat stabil sedangkan tanpa APO terjadi erosi sedimen dasar. Akan tetapi desain ini kurang efektif melindungi lamun dari segi pertumbuhan. Hal ini terjadi karena desain yang digunakan dalam penelitian ini hanya mampu meredam gelombang sebesar 20,43% (Lampiran 4) dari rata-rata semua pengukuran, dimana efek yang dihasilkan kurang efektif berdasarkan kategori tingkat efektivitas APO (Tabel 2), sehingga efek ini kurang memberikan pengaruh terhadap parameter oseanografi di daerah yang terlindungi. Ini terbukti dari hasil pengukuran suhu, salinitas, kekeruhan, sedimen, laju akresi/erosi sedimen, dan TSS yang tidak terlalu berbeda jauh antar APO dan tanpa APO.
42
V. PENUTUP A. Simpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Pesisir Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkep maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. APO bambu yang digunakan dalam penelitian ini terbukti efektif dalam mengurangi energi gelombang yang tiba di area penanaman lamun sehingga sedimen terlihat stabil di daerah yang terlindungi. 2. Pengaruh APO (Alat Pemecah Ombak bambu) tidak signifikan terhadap tingkat keberhasilan (tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan) lamun Enhalus acoroides yang ditransplantasi dengan menggunakan metode Staple. Hal ini menunjukkan bahwa APO bambu yang digunakan dalam penelitian kurang efektif dalam melindungi lamun yang ditranplantasi. B. Saran Dalam penelitian ini, desain APO yang digunakan hanya mampu meredam gelombang 20,43 % sehingga dalam penelitian selanjutnya diharapkan desain APO diperbaiki agar efek peredaman yang dihasilkan lebih efektif. Direkomendasikan jika menggunakan APO dalam melakukan restorasi lamun, maka perlu ditempatkan minimal 3 buah APO atau APO diperpanjang dan dibuat melengkung, sehingga gelombang yang datang dari berbagai arah dapat terlindungi.
43
DAFTAR PUSTAKA Azkab, M.H. 1999. Petunjuk penanaman lamun. Oseana. Volume XXIV, nomor 3: 11-25. Badria, S., 2007. Laju Pertumbuhan Daun Lamun (Enhalus acroides) pada Dua Substrat Yang Berbeda Di Teluk Banten (Skripsi). Program Studi Ilmu dan Teknologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bengen, D. G. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Dan Laut. IPB. Bogor. Blom G., E.H.S. Van Duin, dan L. Lijklema. 1994. Sediment Resuspencion and Light Condition in some shallow Dutch lakes. Water Science and Technology. Calumpong, H.P., M.S. Fonseca. 2001. Seagrass Transplantation And Other Seagrass Restoration Methods. In: Short, F.T., Coles, R.G (Eds), Global Seagrass Research Methods. Elsivier, Amsterdam, pp. 425-443. Clescerl, Leonore S.(Editor), Greenberg, Arnold E.(Editor), Eaton, Andrew D. (Editor). 1905. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater (20th ed.) American Public Health Association, Washington, DC. Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Putaka Utama, Jakarta. Dahuri, R., J. Rais, P.S. Ginting, dan J.M. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. Davis, R.C. and F. T. Short. 1997. Restoring eelgrass, Zostera marina L., habitat using a new transplanting technique: the horizontal rhizome method. Aquatic Botany 59, 1–15. Den Hartog 1977. Structure, Function and Clasification in Seagrasess Communities. Marcell Dekker. New York. Dewi, I.P., 2004. Kajian Efektifitas Alat Peredam Ombak (APO) di Pulau Sagara Kabupaten Pangkep (Skripsi). Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP. Universitas Hasanuddin. Makassar. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya Dan Lingkungan Perairan. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Kanisius. Erftemeijer P I. A. and J.J. Middelburg. 1993. Sediment-nutrient Interactions in Tropical Seagrass Beds: a Comparison Between a Terrigenous and a Carbonate Sedimentary Environment in South Sulawesi (Indonesia). Marine Ecology Progress Series, Vol, 102: 187-198. Netherlands Institude of Ecology, Centre for Estuarine and Coastal Ecology. Netherland.
44
Faiqoh, E. 2006. Laju Pertumbuhan dan Produksi Daun Enhalus acoroides (L.F) Royle di Pulau Burung, Kepulauan Seribu, Jakarta (Skripsi). Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Goudie, A. 1981. Geomorphology Technique-Coastal Process. George Allan dan Unwin LTD, London. hal: 412. Hamid, A. 1996. Peranana Faktor Lingkungan Perairan Terhadap Pertumbuhan Enhalus acoroides (L.f) Royle di Teluk Grenyang-Bojongara Kabupaten Serang, Jawa Barat (Tesis). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Helfinalis. 2005. Kandungan total suspended solid dan sedimen dasar di perairan Panimbang. Makara, Sains, Vol 9, No. 2 : 45-51. Hermanto, B. dan A. Suwartana. 1986. Perubahan garis pantai pulau Ambon dari tahun 1898-1982. Oseanologi di Indonesia, No. 21: 21-36. Hutabarat, S., dan S.M. Evans. 1986. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. Hutabarat, S., dan S.M. Evans. 2000. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. Irwanto, N. 2010. Laju Pertumbuhan dan Tingkat Kelangsungan Hidup Enhalus acoroides yang Ditransplantasi dengan Metode Plug Di Pulau Barrang Lompo (Skripsi). Jurusan Ilmu Kelautan. FIKP. Universitas Hasanuddin. Makassar. Kaharuddin, 1994. Marine Sediment and Preparation. Jurusan Geologi. Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. Kiswara, W. 1992. Vegetasi lamun (Seagrass) di rataan terumbu Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu, Jakarta. Oseanologi. Indonesia. No. 25:31-49. Kiswara, W. 1995. Kandungan hara dalam air antara dan air permukaan padang lamun pulau Barrang Lompo dan Gusung Talang, Sulawesi Selatan. Dalam Prosiding Seminar Kelautan Nasional, Jakarta, 15-16 Nopember 1995. Panitia Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan Serta Industri Maritim, Jakarta. Kiswara, W. 1997. Pertumbuhan dan produksi daun Enhalus acoroides di Pulau Mapor, Kepulauan Riau. Dalam Prosiding Seminar Nasional Biologi XV. Lampung, 1997. Universitas Lampung, Badarlampung. Hal. 1448-1452. Lanuru, M., A. Saru. Supriadi, dan K. Amri. 2012. Transpantasi Sebagai Salah Satu Metode Untuk Restorasi Lamun Dan Meningkatkan Ketahanan Lamun Terhadap Climate Change. (Laporan Akhir). Riset unggulan berbasis Program studi Ilmu Kelautan. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Mason, C. F. 1981. Biology Of Freswater Pollution Logman. London.
45
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Nybakken, J.W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta. Olesen, B., 1999. Reproduction in Danish Eelgrass (Zostera marina L) stands : size-dependence and biomass partitioning. Aquatic Botany 65:209-219. Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 69. 2010. Baku Mutu dan Kriteria Kerusakan Lingkungan Hidup. BLDH. Provinsi Sulawesi Selatan. Phillips, R. C. 1980. Planting Guidelines For Seagrasses. Coastal Engineering Technical Aid No. 82, U. S. Army, Corps Of Engineers, Virginia, 28p. Romimohtarto, K. dan S. Juwana. 2001. Biologi Laut (Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut). Djambatan. Jakarta. Short, F.T. and H.A. Neckles. 1998. The effects of global climate change on seagrasses. Aquatic Botany 63: 169-196. Supriadi. 2003. Produktivitas Lamun E. acoroides (Linn. F) Royle dan Thalassia hemprichii (Enrenb) Ascherson di Pulau Barrang Lompo Makassar (Tesis). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Supriadi., D. Soedharma, dan R.F. Kaswadji. 2006. Beberapa aspek pertumbuhan lamun E. acroides (Linn.F) Royle di Pulau Barrang Lompo Makassar. Biosfera 23 (1) : 1-8. Tangke, U. 2010. Ekosistem padang lamun (manfaat, fungsi, dan rehabilitasi). Jurnal Ilmiah agribisnis dan perikanan (agrikan UMMU-Ternate). Vol. 3 edisi 1. Thorhaug, A. 1974. Transplantation of the seagrass Thalassia testudinum Konig. Aquaculture 4 (2): 177-183. Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji, and M.K. Moosa. 1997. The Ecology of The Indonesian Seas Part Two. Periplus Edition. Singapore. Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset. Yogyakarta. Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir Dan Laut. Brilian Internasional. Indonesia. Yulistiyanto, B. 2009. Mangrove Dengan Alat Pemecah Ombak (APO) Sebagai Perlindungan Garis Pantai. Dalam Proseding pada Seminar Nasional Manajemen Sumberdaya Air Partisipasif Guna Mengantisipasi Dampak Perubahan Iklim Global, Yogyakarta, 8 Agustus 2009. Yogyakarta Jurusan Teknik Sipil Dan Lingkungan FT-UGM, Yogyakarta. hal. 1-10. Waycott, M., K. McMahon, J. Mellors, A. Calladine, and D. Kleine. 2004. A Guide to Tropical Seagrasses of the Indo-West Pacific. James Cook University, Townsville-Queensland-Australia.
46
West, R.J., N.E. Jacobs, D.E. Roberts. 1990. Experimental transplanting of seagrasses in Botany Bay, Australia. Marine Pollution Bulletin 21:197-203. Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Widiastuti, I.M. 2009. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup (Survival Rate) ikan mas (Cyprinus carpio) yang dipelihara dalam wadah terkontrol dengan padat penebaran berbeda. Media Litbang Sulteng 2 (2) : 126-13.
47