BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Laju Pertumbuhan Harian Berdasarkan hasil pengamatan terhadap benih Lele Sangkuriang selama 42 hari masa pemeliharaan diketahui bahwa tingkat penggunaan limbah ikan tongkol dalam pakan buatan setiap periode (minggu) menghasilkan pertambahan rata-rata bobot individu yang berbeda (Lampiran 8). Bertambahnya bobot individu menunjukan pakan uji direspon oleh benih lele Sangkuriang. Rata-rata laju pertumbuhan harian ikan lele Sangkuriang tertinggi sebesar 1.24 gram diperoleh dari benih Lele Sangkuriang yang diberi pakan buatan dengan tingkat penggunaan limbah ikan tongkol sebesar 25 %, sedangkan rata-rata laju pertumbuhan harian ikan lele Sangkuriang terendah diperoleh dari benih lele Sangkuriang yang diberi pakan buatan dengan tingkat penggunaan limbah ikan tongkol sebesar 20 %, yaitu sebesar 0,69 gram (Lampiran 9). Berdasarkan data hasil analisis ragam, menunjukan bahwa penambahan limbah ikan tongkol dalam formulasi pakan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap laju pertumbuhan harian lele Sangkuriang (Lampiran 10). Hasil uji jarak berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95% menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan harian pada perlakuan kontrol dan penggunaan tepung limbah ikan tongkol sebesar 25% sedangkan penggunaan limbah ikan tongkol 20% dan 30% tidak memberikan pengaruh nyata (Tabel 7). Tabel 7. Rata-rata Laju Pertumbuhan Harian Benih Lele Sangkuriang Tingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan % Perlakuan Ikan Tongkol (%) A 0 1,15b B 20 0,69a C 25 1,24b D 30 0,74a Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95 % Rata-rata bobot individu benih lele Sangkuriang pada setiap perlakuan meningkat seiring dengan bertambahnya waktu pemeliharaan (Gambar 3).
22
Bobot Rata-rata Individu (g)
23
4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
A (0%) B (20%) C (25%) D (30%) 1
2
3
4
5
6
7
Periode (Minggu ke-) Gambar 3. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Ikan Lele Sangkuriang pada Setiap Periode Pengamatan Berdasarkan grafik diatas menunjukan bahwa perlakuan pakan C (penggunaan limbah ikan tongkol sebesar 25%) menghasilkan pertumbuhan yang tertinggi dengan rata-rata laju pertumbuhan lele Sangkuriang sebesar 1,24 dan kemudian diikuti oleh perlakuan A (tanpa penggunaan limbah ikan tongkol) sebesar 1,15, perlakuan D (penggunaan tepung limbah ikan tongkol 30% dalam pakan) sebesar 0,74 dan perlakuan B (penggunaan tepung limbah ikan tongkol 20% dalam pakan) sebesar 0,69. Pola peningkatan rata-rata bobot ikan mengikuti pola pertumbuhan sigmoid (Effendi, 1997), pertumbuhan pada fase awal dari hidup ikan mula-mula berjalan lambat kemudian pada fase tertentu pertumbuhan akan meningkat. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada periode awal, pertumbuhan berjalan lambat kemudian mulai meningkat dengan cepat pada periode-5 dan ke-6 atau pada hari ke-30 sampai hari ke-42 pemeliharaan. Hal ini diduga pada awal peiode benih lele Sangkuriang masih dalam tahap adaptasi dalam mencerna makanan yang diberikan. Perkembangan saluran pencernaan menyebabkan peningkatan kemampuan mencerna nutrient dalam pakan oleh benih lele Sangkuriang. Terjadinya
penambahan bobot
rata-rata benih
Lele Sangkuriang
mengindikasikan bahwa pakan yang diberikan telah memenuhi kebutuhan pemeliharaan (maintenance) benih lele Sangkuring. Hal ini didukung oleh Lovell (1989) yang menyatakan bahwa energi dari pakan akan digunakan oleh ikan untuk kebutuhan pemeliharaan (maintenance) dan selebihnya untuk pertumbuhan,
24
sehingga dengan terjadinya pertumbuhan maka dapat dipastikan bahwa kebutuhan pemeliharaan (maintenance) ikan untuk hidup telah terpenuhi. Kenaikan bobot ikan pada setiap perlakuan selama penelitian menunjukan bahwa seluruh ikan uji mengalami pertumbuhan. Hal ini disebabkan oleh kandungan energi dalam pakan yang dikonsumsi melebihi kebutuhan ikan untuk maintenance dan aktivitas tubuh lainnya. Kebutuhan energi untuk maintenance harus terpenuhi dahulu sebelum terjadinya pertumbuhan (Lovell 1989). Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran ikan baik bobot maupun panjang dalam satu periode tertentu. Secara fisik pertumbuhan adalah perubahan panjang, bobot dan lebar tubuh. secara kimia, perubahan dilihat dai peningkatan kandungan protein, lemak, karbohidrat abu dalam air dan air dalam tubuh ikan, Sedangkan secara energi, pertumbuhan dapat dilihat dari peningkatan energi dalam tubuh ikan (Halver, 2002). Menurut Alava dan Lim (1983) bahwa pakan yang komponennya terdiri dari dua atau lebih sumber protein dapat memicu pertumbuhan ikan selama penggabungan itu saling melengkapi sehingga akan memberikan hasil yang lebih baik daripada pakan yang hanya mengandung satu sumber protein. Menurut Afrianto dan Liviawaty (2005), untuk mencapai keseimbangan nutrisi dalam pakan, sebaiknya digunakan protein yang berasal dari sumber nabati dan hewani secara bersama-sama. Pada tingkat penggunaan tepung limbah ikan 20 % diperoleh laju pertumbuhan harian yang paling rendah. Hal ini disebabkan oleh kandungan serat kasar yang ada dalam pakan yang mengandung tepung limbah ikan tongkol sebesar 20 % berada diatas batas toleransi untuk benih lele sangkuriang yaitu sebesar 8,62 % (Tabel 7). Menurut Mudjiman (1994), toleransi serat kasar dalam pakan ikan adalah 8 %. Dengan demikian, pakan akan sulit dicerna, sehingga akan menghambat pertumbuhan walaupun kesehatan ikan tidak terganggu. Pemberian pakan dengan kandungan serat kasar yang tinggi dapat mengurangi laju pertumbuhan karena penyerapan zat makanan berkurang. Menurut Sriharti dkk. (1989), ikan tidak memiliki enzim yang dapat mencerna serat, oleh karena itu pakan dengan tingkat penggunaan 20 % tepung limbah ikan tongkol memiliki
25
laju pertumbuhan yang paling rendah dibandingkan perlakuan lainnya. Begitu juga dengan penggunaan tepung limbah ikan 30% diperoleh laju pertumbuhan harian menurun karena mengandung serat kasar sebesar 8, 22. Secara umum ikan dapat mentoleransi serat sebanayak 8% dalam pakan, tetapi kadar 3-5% serat merupakan kadar paling baik untuk mendukung pertumbuhan (NRC, 1993). Kadar serat yang lebih rendah akan mempermudah benih ikan lele Sangkuriang dalam mencerna dan menyerap sari-sari makanan. Serat kasar yang terdapat dalam pakan sebagian besar tidak dapat dicerna oleh ikan. Semakin kecil nilai serat kasar, maka akan lebih mudah dicerna. Serat sebenarnya tidak termasuk sebagai zat gizi yang diperlukan karena sulit dicerna, namun serat kasar dalam jumlah yang cukup diperlukan untuk membantu ikan dalam sistem ekskresi yaitu membentuk gumpalan kotoran/feses sehingga mudah dikeluarkan dari usus (Mudjiman, 1998). Hal ini didukung oleh Hepher (1988) yang menyatakan bahwa serat kasar dalam pakan akan meningkatkan gerak peristaltik usus, sehingga keberadaan serat cukup membantu hingga batas tertentu. Menurut Suryanti (2002) kemampuan benih ikan dalam mencerna pakan terutama pakan buatan sangat bergantung kepada kelengkapan alat pencernaan termasuk ketersediaan enzim pencernaan, sehingga jika pemberian pakan buatan tidak pada waktu yang tepat berdasarkan ketersediaan enzim pencernaannya, maka benih tidak mampu mencerna dan memanfaatkan pakan buatan secara optimal, sehingga pada masing-masing perlakuan mengalami pertumbuhan yang lambat dan tidak optimal. Selain itu juga pakan yang diberikan mengandung kadar protein rata-rata 20% (Tabel 8). Tabel 8. Kandungan Nutrisi Pakan pada Setiap Perlakuan Kandungan Pellet Air (%) Protein Kasar (%) Serat Kasar (%) Energi (%) A 6.67 20.37 7.08 4025 B 7.08 20.97 8.62 3997 C 5.89 21.19 8.08 3854 D 7.17 20.57 8.22 3901 Sumber : Hasil Analisis Proksimat Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak UNPAD 2013.
26
Menurut Mulyani (2004) pertumbuhan dan konversi pakan yang baik diperoleh apabila benih ikan diberi pakan dengan kadar protein 42%, hal ini diduga karena kadar protein pakan yang diberikan tidak memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan optimal benih ikan lele sangkuriang sehingga pertumbuhan ikan tidak terlalu optimum. Protein pakan sangat mempengaruhi pertumbuhan sebagai penyedia asam amino yang akan dimetabolisme oleh tubuh. Oleh karena itu, kelengkapan asam amino essensial dan asam amino non essensial dalam bahan pakan merupakan faktor yang penting dalam meningkatkan laju pertumbuhan. Kandungan protein yang tinggi tidak selamanya menjamin adanya asam amino esensial yang mencukupi kebutuhan untuk pertumbuhan ikan. Kelengkapan asam amino esensial dan asam amino non esensial dalam pakan dengan ketersediaan yang cukup memadai merupakan faktor yang sangat penting dalam meningkatkan pertumbuhan (Buwono, 2002). Watanabe (1998) menyatakan bahwa protein merupakan salah satu zat makanan yang dibutuhakan ikan sangat perlu dipenuhi guna mencapai pertumbuhan yang optimum. Menurut Hadi dkk (2009) menyatakan bahwa asam amino esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan adalah arginin, lisin dan histidin. Arginin merupakan asam amino yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan optimal ikan muda. Histidin merupakan asam amino esensial bagi pertumbuhan larva dan anakanak ikan. Histidin diperlukan untuk menjaga keseimbangan nitrogen dalam tubuh. Pakan dengan tingkat penggunaan 25 % tepung limbah ikan tongkol menghasilkan nilai laju pertumbuhan tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, hal ini karena perlakuan C mengandung protein yang lebih tinggi dibanding dengan perlakuan lain. Begitu juga dengan perlakuan A (kontrol) sama dengan pelakuan C tapi berbeda nyata dengan B dan D, selain itu juga karena perlakuan A dan C mengandung serat kasar dibawah toleransi sehingga pertumbuhannya lebih tinggi dibandingkan perlakuan B dan D. Menurut Alava dan Lim (1983) bahwa pakan yang komponennya terdiri dari dua atau lebih sumber protein dapat memicu pertumbuhan ikan selama
27
penggabungan itu saling melengkapi sehingga akan memberikan hasil yang lebih baik daripada pakan yang hanya mengandung satu sumber protein. Menurut Afrianto dan Liviawaty (2005), untuk mencapai keseimbangan nutrisi da dalam pakan, sebaiknya digunakan protein yang berasal dari sumber nabati dan hewani secara bersama-sama. 4.2 Rasio Konversi Pakan Lele Sangkuriang Rasio konversi onversi pakan adalah perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan berat badan. Rasio konversi onversi pakan menunjukkan efektivitas pemanfaatan pakan untuk diubah menjadi daging. Hasil penelitian menunjukan bahwa, perlakuan A (kontrol) dan perlakuan C (25% limbah ikan tongkol dalam pakan) menunjukan bahwa hasil nilai konversinya lebih renda rendah sedangkan perlakuan B (20% limbah ikan tongkol dalam pakan) dan D (30% limbah ikan tongkol dalam pakan) menunjukan nilai konversi yang tertinggi
Rasio konversi Pakan
(Gambar 4). 10.23
12
7.42
10 8 6 4
3.51 1.76
2 0 A (0%)
B (20%)
C (25%)
D (30%)
Penggunaan Limbah Ikan Tongkol (%) Gambar 4. Grafik Rata Rata-rata rata Konversi Pakan Benih Ikan Lele Sangkuriang untuk Berbagai Penggunaan Pengg Limbah Ikan Tongkol dalam Pakan Pada Gambar 6 terlihat bahwa rata-rata rata rata nilai konversi pakan tertinggi diperoleh pada perlakuan B (20% limbah ikan tongkol dalam pakan) yaitu 10,23 dan perlakuan D (30% limbah ikan tongkol dalam pakan), yaitu 7,42 ssedangkan yang paling rendah adalah pada perlakuan A (kontrol) yaitu 1,76 dan perlakuan C (25% limbah ikan tongkol dalam pakan) yaitu 3,51. Pakan dengan perlakuan A dan C menunjukan nilai konversi pakan yang baik bagi benih Ikan lele
28
Sangkuriang. Hal ini sejalan dengan pernyataan Pascual (1984) yang menjelaskan bahwa semakin rendah nilai konversi pakan, maka semakin baik karena jumlah pakan yang dihabiskan untuk menghasilkan berat tertentu adalah sedikit. Selanjutnya New (1986) menyatakan bahwa konversi pakan sangat diperlukan untuk mengetahui baik tidaknya mutu pakan yang diberikan pada ikan yang dipelihara. Rasio konversi pakan pada perlakuan A (kontrol) dan perlakuan C (25% limbah ikan tongkol dalam pakan) memiliki nilai yang cukup baik berkisar antara 1,76 – 3,51 sebagaimana yang dikemukakan oleh Mudjiman (2008) bahwa rasio konversi pakan buatan untuk udang dan ikan berkisar antara 2,0 sampai 2,5 semakin kecil rasio konversi pakan semakin efisien penggunaan pakannnya. Rendahnya nilai konversi pakan menunjukan optimalnya kemampuan ikan dalam mencerna dan mengabsorbsi pakan yang diberikan, sehigga mampu mengubah pakan secara optimal menjadi daging. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tingkat penggunaan tepung limbah ikan tongkol dalam pakan buatan berpengaruh nyata (Fhitung>Fhitung) terhadap konversi pemberian pakan (Lampiran 13). Berdasarkan
Hasil uji jarak berganda Duncan memperlihatkan bahwa
konversi pakan benih lele Sangkuriang pada perlakuan A (kontrol) dan perlakuan B (20% limbah ikan tongkol dalam pakan) berbeda nyata sedangkan perlakuan C (25% limbah ikan tongkol dalam pakan) dan perlakuan D (30% limbah ikan tongkol dalam pakan) tidak berbeda nyata (Tabel 9). Tabel 9. Rata-rata Konversi Pakan Benih Lele Sangkuriang Rasio Konversi Pakan Tingkat Penggunaan Perlakuan Data Limbah Ikan Tongkol (%) Data Asli Transformasi 1,76 A 0 7,60a 10,23 B 20 18,06b 3,51 10,62ab C 25 7,42 D 30 14,77ab Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh hurup yang tidak sama berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan taraf kepercayaan 95%.
29
Tabel 9 menunjukan bahwa konversi pakan selaras dengan laju pertumbuhan harian pada setiap perlakuan. Konversi pakan terbaik diperoleh pada pakan kontrol (perlakuan A) dan perlakuan C (25% limbah ikan tongkol dalam pakan) kemudian diikuti oleh perlakuan D (30% limbah ikan tongkol dalam pakan) dan perlakuan B (20% limbah ikan tongkol dalam pakan). Pakan kontrol A dan perlakuan C memiliki nilai konversi pakan terbaik dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, hal ini menunjukan bahwa perlakuan tersebut optimal untuk diberikan dan dapat dimanfaatkan serta dicerna dengan baik oleh benih lele Sangkuriang. Perlakuan B (20% limbah ikan tongkol dalam pakan) dan D (30% limbah ikan tongkol dalam pakan) rasio konversinya tinggi, hal ini terjadi karena serat kasar pada perlakuan B dan D melebihi batas toleransi. Menurut Nayoan (1993) bahwa makanan atau pakan yang berkadar serat tinggi akan menurunkan daya cerna protein dan energi. Selain itu juga menurut Helver (1989) serat kasar yang tinggi dan lemak yang tinggi dapat menurunkan konsumsi pakan. Selain faktor serat kasar pada setiap perlakuan sehingga mengakibatkan perlakuan B dan D pertumbuhannya lambat/kurang (konversi pakannya naik) adalah kadar abu, diperkirakan kadar abu yang terlalu tinggi pada pakan mengakibatkan daya cerna pakan oleh ikan lele kurang di manfaatkan oleh tubuhnya sehingga konversinya tinggi. Menurut Anggorodi (1994), abu merupakan zat-zat mineral sebagai suatu golongan dalam bahan makanan atau jaringan hewan ditentukan dengan membakar zat-zat organik dan kemudian menimbang sisanya. Suatu bahan pakan bila dibakar pada suhu 550 sampai 600OC selama beberapa waktu maka semua zat organiknya akan terbakar sempura menghasilkan oksida yang menguap yaitu berupa CO2, H2O dan gas-gas lain, sedangkan yang tertinggal tidak menguap adalah oksida mineral atau yang disebut abu. Menurtu Winarno (1997) abu adalah unsur mineral atau zat anorganik yang terkandung dalam pangan. Abu juga merupakan zat dalam bahan pangan selain air dan bahan organik. Abu dan mineral dalam tulang ikan berasal dari tulang-tulang ikan. Toleransi abu dalam pakan ikan maksimal 15% (Anonim, 2012) dalam www.scribd.com (2010), semakin tinggi abu dalam pakan semakin banyak jumlah
30
pakan yang tidak tercerna. Pada pakan B dan D sumbangan abu terbesar oleh tepung ikan yaitu sebesar 37,36% dan tepung limbah ikan tongkol sebesar 30,37%. Meningkatnya rasio konversi pakan sehingga pakan yang diberikan kurang dicerna oleh tubuh ikan pada setiap perlakuan dipengaruhi juga oleh kandungan garam (NaCl) yang terlalu tinggi dari limbah ikan tongkol hasil pemindangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian NaCl pada pakan yang terlalu banyak berakibat buruk pada penambahan bobot (Anonim, 2012). Selain itu juga dipengaruhi oleh kandungan phospor (P) dan calsium (Ca) yang terlalu tinggi dari tulang tepung ikan dan tepung limbah ikan tongkol. Kandungan phospor (P) dan calsium (Ca) dalam pakan yang terlalu tinggi mengakibatkan efisiensi pakan akan turun (Anonim, 2012). Menurut
Hernawati
(2000)
menyebutkan
bahwa
faktor
yang
mempengaruhi kualitas pakan adalah bahan baku yang digunakan dalam menyusun pakan, bahan baku yang terdapat dalam pakan merupakan sumber nutrisi yang sangat penting untuk ikan tetapi kegunaannya akan sangat rendah apabila bahan baku tersebut tidak dapat dicerna atau diserap oleh tubuh. Kualitas pakan yang baik yang disertai pemberian jumlah dan frekuensi yang tepat akan dapat menghasilkan konversi yang terbaik. Schmittou (1991) menyatakan bahwa konversi pakan berhubungan dengan beberapa faktor seperti mutu pakan, kuantitas pakan, spesies ikan, ukuran ikan dan kualitas air, sedangkan menurut Djajasewaka (1985) konversi pakan berhubungan dengan kualitas pakan, dimana kualitas pakan dipengaruhi oleh daya cerna atau daya serap ikan terhadap pakan yang dikonsumsi. Minggawati (2006) menyatakan bahwa konversi pakan dan laju pertumbuhan juga bergantung pada kandungan nutrien yang terdapat pada pakan, untuk memperoleh pertumbuhan yang optimal, pakan ikan harus mengandung gizi yang cukup. Makanan ikan sebagian besar dipergunakan sebagai sumber energi dan mempertahankan kondisi tubuhnya, sedangkan selebihnya digunakan untuk pertumbuhannya.
31
Penambahan limbah ikan tongkol pada formulasi pakan menghasilkan pakan yang relatif murah dibandingkan dengan pakan tanpa penambahan limbah ikan tongkol, dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Perhitungan Biaya Pakan
No
Nama Pakan
1
Tepung Ikan Limbah Ikan Tongkol Tepung bungkil Kedelai Tepung Jagung Kuning Dedak Halus Tapioka Vitamin Minyak Ikan Total Biaya
2 3 4 5 6 7 8
10,000
Pakan A (0%) Harga Pakan (Rp/kg) 4,075
Pakan B (20%) Harga Pakan (Rp/kg) 2,940
Pakan C (25%) Harga Pakan (Rp/kg) 2,560
Pakan D (30%) Harga Pakan (Rp/kg) 2,240
2,000
0
400
500
600
8,000
3,260
2,352
2,048
1,792
4,000 2,500 5,000 3,000 2,000
170 106 350 60 20 8,041
224 140 350 60 20 6,486
276 173 350 60 20 5,987
276 173 350 60 20 5,511
Harga Bahan (Rp/kg)
Berdasarkan Tabel 10. setelah dilakukan perhitungan kotor (belum termasuk biaya pemakaian listrik dan pembuatan alat) lebih murah pada perlakuan D sebesar Rp 5.511,- sedangkan perlakuan yang paling mahal pada perlakuan A sebesar Rp 8.401,-. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan dan kelangsungan hidup ikan (Effendi, 1997). Parameter kualitas air yang paling banyak berperan dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan adalah sushu, pH, oksigen terlarut dan amonia. Berdasarkan pengukuran
yang dilakukan
sebanyak 3 kali selama penelitian, yaitu hari ke-0, hari ke-21 dan hari ke-42 terhadap kualitas air (suhu, pH, DO dan Ammonia) pada setiap perlakuan berada dalam kondisi yang ideal untuk pertumbuhan benih ike lele sangkuriang (Lampiran 16), sehingga pertumbuhan ikan tidak
terganggu. Pakan sangat
32
menentukan hasil yang akan diperoleh dalam budidaya ikan, karena ikan yang diberi pakan dengan kualitas yang baik akan tumbuh dengan baik pula. Rata-rata suhu selama penelitian relatif stabil pada suhu 28,17 - 28,25 oC. Nilai tersebut masih dalam kisaran suhu ideal untuk pertumbuhan ikan lele sangkuriang. Suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menyebabkan pertumbuhan ikan tidak baik. Menurut Mahyuddin (2011), kisaran suhu ideal untuk pertumbuhan benih lele sangkuriang 22 - 34 oC. Kandungan oksigen terlarut (DO) selama penelitian berkisar antara 4,29 – 5,24 mg/L. Hal ini sesuai dengan Mahyuddin (2011), bahwa benih lele sangkuriang mampu hidup diperairan yang memiliki kandungan oksigen terlarut lebih besar dari 4 mg/L. Derajat keasaman (pH) selama penelitian antara 7,617,76 dan masih dalam kisaran normal untuk ikan lele menurut Mahyuddin (2011) yaitu 6,5-8,5. Kandungan ammonia selama penelitian berkisar antara 0,05-0,07 mg/L, kandungan tersebut masih dalam batas kewajaran. Kandungan ammonia yang terlalu tinggi akan menyebabkan kematian pada ikan. Menurut Effendie (2003), kandungan ammonia air tidak boleh dari 0,1 mg/L