ANALISIS HUBUNGAN ANTARA KONSENTRASI KARBON ORGANIK DI SEDIMEN DENGAN LAJU PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA LAMUN Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii
SKRIPSI
OLEH : NASDWIANA
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016 i
ABSTRAK NASDWIANA. L11112260. Analisis Hubungan antara Konsentrasi Karbon Organik di Sedimen dengan Laju Pertumbuhan dan Biomassa Lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Dibimbing oleh MUH. FARID SAMAWI dan KHAIRUL AMRI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tekstur sedimen, karbon organik, laju pertumbuhan lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii, serta biomassa lamun pada pulau dan titik yang berbeda. Selain itu untuk menganalisis hubungan tekstur sedimen dengan konsentrasi karbon organik dan biomassa lamun terhadap laju pertumbuhan Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan februari 2016 sampai Mei 2016, di bagian selatan Pulau Bone Tambung, Pulau Barrang Lompo bagian timur dan bagian barat Pulau Langkai. Tahap penelitian dimulai dengan penandaan lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii di lapangan, kemudian mengukur laju pertumbuhan, dilanjutkan dengan pengukuran biomassa dan proses pembakaran untuk mengetahui kandungan karbon organik sedimen serta pengayakan untuk mengetahui tekstur sedimen. Hasil penelitian yang didapatkan yaitu perbedaan karbon organik sedimen berdasarkan pulau dan titik Menunjukkan korelasi yang lemah. Hal ini di akibatkan karena kondisi arus pasang surut yang mempengaruhi distribusi dan tekstur sedimen, untuk perbedaan laju pertumbuhan Enhalus acoroides berdasarkan pulau tidak signifikan, sedangkan perbedaan titik sangat signifikan. Untuk pertumbuhan Thalassia hemprichii pada pulau yang berbeda memiliki korelasi kuat, sedangkan berdasarkan titik menunjukkan korelasi lemah dan tidak signifikan, hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi substrat pulau. Sedangkan perbedaan biomassa Enhalus acoroides berdasarkan pulau dan titik menunjukkan korelasi yang lemah, dan tidak signifikan. Perbedaan biomassa Thalassia hemprichii pada pulau yang berbeda menunjukkan hasil yang signifikan. Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa Pulau Barrang Lompo dan Langkai berpengaruh signifikan. Hasil analisis hubungan karbon organik dengan tekstur sedimen memiliki korelasi yang lemah dan tidak signifikan, sama halnya dengan pengaruh karbon organik dan biomassa lamun dengan laju pertumbuhan lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Sedangkan hubungan biomassa Thalassia hemprichii terhadap laju pertumbuhan Thalassia hemprichii memiliki korelasi kuat dan berpengaruh signifikan. Kata Kunci : Laju Pertumbuhan, Karbon organik, Biomassa, Sedimen, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii
ii
ANALISIS HUBUNGAN ANTARA KONSENTRASI KARBON ORGANIK DI SEDIMEN DENGAN LAJU PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA LAMUN Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii
Oleh : NASDWIANA
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2016
iii
HALAMAN PENGESAHAN Judul Skripsi
: Analisis Hubungan antara Konsentrasi Karbon Organik di Sedimen dengan Laju Pertumbuhan dan Biomassa Lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii.
Nama Mahasiswa
: Nasdwiana
Nomor Pokok
: L111 12 260
Program Studi
: Ilmu Kelautan
Skripsi telah diperiksa dan disetujui oleh :
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Muhammad Farid Samawi, M.Si NIP.19650810 199103 1 006
Dr. Khairul Amri, ST., M.Sc.Stud. NIP. 19690706 199512 1 002
Mengetahui, Dekan
Ketua Program Studi
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc. NIP. 19670308 199003 1 001
Dr. Mahatma Lanuru, ST. M.Sc. NIP. 19701029 199503 1 001
Tanggal Lulus :
Agustus 2016
iv
RIWAYAT HIDUP Nasdwiana dilahirkan pada tanggal 29 April 1995 di Bone-Bone, Kabupaten Luwu Utara. Anak kedua dari tiga
bersaudara,
Putri
pasangan
Ayahanda
Nasroni,S.Pd. dan Ibunda Siti Fatimah. Pada tahun 2000 penulis memulai pendidikan formal di Sekolah Dasar Negeri 133 Tokke (2000-2006), setelah itu melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Malangke, kemudian Penulis melanjutkan Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Bone-Bone pada tahun 2009 dan selesai pada tahun 2012. Penulis diterima sebagai Mahasiswa di Universitas Hasanuddin Makassar, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Jurusan Ilmu Kelautan pada tahun 2012 melalui Jalur SNMPTN tertulis. Selama menjadi Mahasiswa, penulis pernah menjadi assisten pada praktikum Avertebrata Laut dan Oseanografi Kimia, serta mengikuti pertukaran Pelajar di Universitas Padjajaran Bandung pada semester ganjil 2014/2015. dibidang Keorganisasian, penulis pernah menjadi Anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu Kelautan dan Perikanan periode 2012-2014. Penulis melakukan rangkaian tugas akhir yaitu Praktek Kerja Lapang di BPPBAP Maros dan mengikuti penelitian peneliti asing di Kota Makassar, serta melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Internasional di Malaysia–Thailand. Dan melakukan penelitian dengan judul “Analisis Hubungan antara Konsentrasi Karbon Organik di Sedimen dengan Laju Pertumbuhan dan Biomassa Lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii “ pada tahun 2016.
v
UCAPAN TERIMA KASIH Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Alhamdulillahirabbil Alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkah dan limpahan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Hubungan antara Konsentrasi Karbon Organik di Sedimen dengan Laju Pertumbuhan dan Biomassa Lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari program studi Ilmu Kelautan. Proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai kesulitan, dan hambatan mulai dari pengumpulan literatur, pengerjaan di lapangan, pengerjaan sampel sampai pada pengolahan data maupun proses penulisan. Namun dengan penuh
semangat
dan
kerja
keras
serta
ketekunan
sebagai
mahasiswa,
Alhamdulillah akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Hal tersebut tidak terlepas dari berbagai pihak yang telah membantu, memberi kritik dan saran yang sangat bermanfaat dalam pembuatan dan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada : 1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Nasroni, S.Pd. dan Ibunda Siti Fatimah yang telah mencurahkan seluruh kasih dan sayangnya dengan sepenuh hati mendoakan dan memberi motivasi, semangat, nasehat dan dukungan yang tiada henti, serta pengorbanan yang luar biasa, yang sampai kapanpun tak dapat terbalaskan. Semoga Allah SWT Senantiasa menyertaimu Ayah dan Ibu. 2. Kakak Tercinta Sundarika Nastitin yang selalu memberikan dukungan dan semangat. Serta Adikku Nastry Fardhana. 3. Bapak Prof. Dr. Ir Jamaluddin Jompa, M.Sc selaku Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin beserta seluruh stafnya.
vi
4. Bapak Dr. Mahatma Lanuru, ST, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Kelautan UNHAS beserta seluruh stafnya. 5. Dr. Ir. Muhammad Farid Samawi, M.Si selaku Pembimbing Utama dan Bapak Dr. Khairul Amri, S.T. M.Sc. Stud. sebagai pembimbing anggota yang telah mendorong, membantu, dan mengarahkan penulis hingga penyelesaian skripsi ini. 6. Bapak Dr. Khairul Amri, S.T., M.Sc. Stud. selaku pendamping akademik yang telah memberi saran, motivasi, membantu dan membimbing penulis selama menuntut ilmu di Kelautan. 7. Dr. Dominik Kneer dari AWI-Germany terima kasih telah mengikutkan penulis dalam penelitian ini dan telah membantu mendanai penulis selama penelitian. 8. Bapak Dr. Supriadi, S.T., M.Sc., Dr. Wasir Samad, S.Si., M.Si., dan Ibu Dr. Ir. Shinta Werorilangi., M.Sc., selaku Penguji yang telah memberi banyak kritik dan saran serta bantuan dalam penelitian ini. 9. Team Seagrass Muhammad Afrisal dan Tom Van Der Meer yang telah bekerjasama dan memberi bantuan, serta semangat yang tiada henti dalam bekerja di lapangan maupun di Laboratorium selama penelitian. 10. Kawan Seperjuangan IK ANDALAS (Ilmu Kelautan 2012) yang luar biasa membantu, mendukung, menyemangati dan menemani hari-hari di kampus. terkhusus teman baikku Andi Sompa, Marini Soeid, Khusnul Khatimah, Turissa Pragunanti, Jumiati, Nurul Fitri Hayati, Sriayuwandira, Naomi Pakambanan, Ratnawati Nurtsani, Nuryamin, Fismatman Ruli, Andi Riandika, Muh. Syukri, Muh. Sadik, Tri Ryan Chandra, Heri Aprianto, Andi Reski setiawan, Awaluddin dan seluruh personil ANDALAS yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu. 11. Pak Usman, Pak Edi, Pak Ridwan dan Ka Rudi yang telah membantu penulis dalam hal transportasi ke Pulau Bone Tambung, Barrang Lompo dan Langkai, serta
vii
seluruh masyarakat Pulau yang telah membantu penulis selama penelitian dilapangan. 12. Senior-Senior Ilmu Kelautan kanda Sry Swarni Abu Bakar, Asirwan, Mustono, Muh. Afdal, Widyastuti, yang telah banyak memberi masukan dan bantuan. 13. Pak Gatot, Pak Sapril dan Ibu Surya, yang telah banyak membantu dalam pengurusan berkas dan menyediakan tempat belajar. 14. Seluruh keluarga, rekan, dan sahabat tanpa terkecuali yang tak bisa penulis tuliskan lagi, yang telah banyak membantu penulis dan memberi motivasi kepada penulis. Penulis juga mengucapkan permohonan maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan yang pernah penulis lakukan, karena layaknya penulis sebagai manusia biasa yang tak akan pernah luput dari salah dan khilaf. Akhirnya, penulis berharap bahwa apa yang disajikan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Dan semoga segalanya dapat berberkah serta bernilai Ibadah di sisi-Nya. Aamiin Yarobbal Alamiin. Terima Kasih Penulis,
NASDWIANA
viii
DAFTAR ISI Abstrak……………………………………………………………………………………….ii Daftar Isi …………………………………………………………………………………….ix Daftar Tabel ………………………………………………………………………………..xi Daftar Gambar……………………………………………………………………………..xii Daftar Lampiran …………………………………………………………………………..xiii I. PENDAHULUAN ………………………………………………………………………....1 A.
Latar Belakang ....................................................................................................... 1
B.
Tujuan dan Kegunaan........................................................................................... 2
C.
Ruang Lingkup ....................................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................4 A.
Karbon Organik di perairan .................................................................................. 4
B.
Siklus Karbon Organik .......................................................................................... 5
C.
Tekstur Sedimen .................................................................................................... 6
D.
Arus dan Pasang Surut......................................................................................... 8
E.
Lamun ...................................................................................................................... 9
F.
Fungsi Ekosistem Padang Lamun .................................................................... 12
G.
Hubungan Karbon Organik pada Sedimen dengan Pertumbuhan Lamun . 13
III. METODOLOGI PENELITIAN .............................................................................14 A.
Waktu dan Tempat .............................................................................................. 14
B.
Alat dan Bahan..................................................................................................... 15
C.
Prosedur Kerja Penelitian ................................................................................... 16
D.
Analisis Data......................................................................................................... 20
E.
Diagram Alir Penelitian ....................................................................................... 21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................................22 A.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................................. 22
B.
Karbon Organik Sedimen ................................................................................... 24 ix
C.
Tipe Butiran sedimen .......................................................................................... 25
D.
Biomassa dan Laju Pertumbuhan Enhalus acoroides ................................... 26
E.
Biomassa dan Laju Pertumbuhan Lamun Thalassia hemprichii .................. 29
F.
Hubungan Karbon Organik, Tekstur, dan Biomassa dengan Laju Pertumbuhan lamun ............................................................................................ 31
V. KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................................33 A.
Kesimpulan ........................................................................................................... 33
B.
Saran ..................................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................35 LAMPIRAN ................................................................Error! Bookmark not defined.
x
DAFTAR TABEL Tabel 1. Skala Wenworth (Hutabarat and Evans, 1984) ………………………………7 Tabel 2. Tingkat sortasi sedimen (Folk and Ward, 1957) ……………………………..8
xi
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Segitiga Tekstur (Triadmojo, 1999) .........................................................8 Gambar 2. Enhalus acoroides (www.seagrasswatch.org) ....................................... 10 Gambar 3. Thalassia hemprichii (www.seagrasswatch.org) .................................... 11 Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian........................................................................... 14 Gambar 5. Metode penandaan lamun (Short & Duarte, 2001) ................................ 17 Gambar 6. Skema prosedur alur penelitian ……………………………………………21 Gambar 7. Karbon organik sedimen ....................................................................... 24 Gambar 8. Ukuran butir sedimen ............................................................................ 25 Gambar 9. Biomassa Enhalus acoroides….………………………………………..….27 Gambar 10. Laju Pertumbuhan Enhalus acoroides……………………………..…….28 Gambar 11. Biomassa Thalassia hemprichii…………………………………..……….29 Gambar 12. Laju Pertumbuhan Thalassia hemprichii…………………………………30
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Biomassa Lamun……………………………………………………. 39 Lampiran 2. Data karbon organik sedimen……………………………………………. 30 Lampiran 3. Data laju pertumbuhan lamun……………………………………………. 41 Lampiran 4. Karbon organik…………………………………………………………….. 42 Lampiran 5. Tekstur sedimen…………………………………………………………… 43 Lampiran 6. Biomassa Enhalus acoroides.………………………………………...…..45 Lampiran 7. Laju pertumbuhan Enhalus acoroides …………………………….……..46 Lampiran 8. Biomassa Thalassia hemprichii…………………………………………...47 Lampiran 9. Laju Pertumbuhan Thalassia hemprichii…………………………………49 Lampiran 10. Analisis korelasi……………………………………………………….......51 Lampiran 11. Foto-foto kegiatan………………………………………………………...52
xiii
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Perairan Kepulauan Spermonde merupakan wilayah yang memiliki sumber
hayati laut yang sangat kompleks, salah satunya yaitu ekosistem lamun yang sangat luas, dan beranekaragam (Jompa et al., 2005). Lamun merupakan tumbuhan yang menyesuaikan diri hidup terbenam di laut dangkal, lamun memiliki akar rimpang (rhizoma) yang mencengkeram dasar laut dan substrat, sehingga dapat membantu untuk pertahanan pantai dari ombak dan gelombang, selain itu lamun merupakan penangkap sedimen dan pendaur zat hara yang sangat dibutuhkan untuk berbagai organisme laut (Nontji, 2002). Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa karbon organik banyak terdapat pada biomassa lamun, sehingga tumbuhan lamun tersebut dapat membuat tanah atau sedimen menjadi kaya akan kandungan karbon organik (Fourqurean et al., 2012). Ketersediaan karbon organik di perairan dianggap penting karena dapat digunakan sebagai mitigasi perubahan iklim. Ekosistem pesisir menyimpan cukup besar karbon organik. Analisis kandungan karbon organik di rawa dan mangrove telah banyak diketahui dan diperkirakan, akan tetapi untuk padang lamun belum dapat dipastikan (Fourqurean et al., 2012). Ekosistem lamun memiliki banyak peranan penting, menurut Costanza et al., (1997), fungsi dari ekosistem lamun yaitu sebagai produsen primer biota laut; sebagai tempat tinggal (habitat) untuk organisme perairan; akar lamun yang berfungsi sebagai perangkap sedimen dan menghambat erosi, serta dapat menstabilkan dasar perairan. Daun lamun yang lebat juga dapat memperlambat gerakan air yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang. 1
Kandungan karbon organik dalam sedimen digunakan oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis sebagai bahan makanan. Banyak tidaknya karbon organik dapat berpengaruh terhadap berjalannya rantai makanan dan proses pertumbuhan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian tentang karbon organik pada sedimen di substrat lamun perlu dilakukan, terutama untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi karbon organik di sedimen dengan laju pertumbuhan lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii . B.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan untuk :
1.
Mengetahui tekstur dan kandungan karbon organik sedimen pada pulau dan titik yang berbeda
2.
Mengetahui laju pertumbuhan lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada pulau dan titik yang berbeda
3.
Mengetahui biomassa lamun di bawah substrat pada pulau dan titik yang berbeda
4.
Menganalisis hubungan tekstur sedimen dengan konsentrasi karbon organik, hubungan karbon organik dan biomassa lamun terhadap laju pertumbuhan Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai informasi mengenai peranan
konsentrasi karbon organik pada sedimen terhadap laju pertumbuhan dan biomassa lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii untuk dapat digunakan sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya.
2
C.
Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian mencakup pengukuran kandungan karbon organik
pada sedimen di daerah padang lamun multi spesies , pengukuran laju pertumbuhan dan biomassa Lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii di tiga lokasi yaitu Pulau Barrang Lompo, Bone Tambung, dan Langkai berdasarkan titik dengan tiga kali ulangan. Parameter yang diukur meliputi ukuran besar butir sedimen (pengayakan), pengukuran kandungan karbon organik melalui proses pengabuan sedimen dan pengukuran biomassa lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii yang terdapat di dalam sedimen.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Karbon Organik di perairan Bahan organik adalah kumpulan beragam senyawa-senyawa organik
kompleks yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi, baik berupa humus hasil humifikasi maupun senyawa-senyawa anorganik hasil mineralisasi dan termasuk juga mikrobia heterotrofik dan ototrofik yang terlibat dan berada didalamnya (Madjid, 2008). Karbon dan fosfat adalah salah satu unsur penyusun senyawa organik di perairan. Kedua unsur ini merupakan sumber energi dan bahan makanan bagi mikroorganisme yang hidup di perairan. Karbon organik dan fosfat merupakan salah satu indikasi kesuburan perairan tetapi bila kandungannya melebihi baku mutu akan berpengaruh pada kualitas perairan (Sri et al., 2014). Menurut Effendi (2007) semua bahan organik mengandung karbon (C) berkombinasi dengan satu atau lebih elemen lainnya. Beberapa ekosistem paling produktif di bumi dapat menghambat penerapan skema konservasi karbon di laut. Remineralisasi karbon organik (Corg) di simpan dalam ekosistem darat karena menyumbang 8-20% dari emisi gas rumah kaca. Pentingnya fluks ini untuk mengurangi perubahan iklim, maka dilakukan upaya untuk melindungi sumber karbon organik terrestrial melalui konservasi habitat tumbuhan pesisir, dan habitat tumbuhan pesisir didominasi oleh karbon organik yang terdapat pada tanah atau sedimen (Fourqurean et al., 2012). Stabilitas yang dihasilkan dari sedimen sebagian besar bersifat anaerob, sehingga karbon organik dapat bertahan selama ribuan tahun dan penyimpanan karbon organik lebih dalam dari 1 m di dalam sedimen (Fourqurean et al., 2012).
4
B.
Siklus Karbon Organik Menurut Janzen (2004), laut mengandung sekitar 36.000 gigaton karbon, di
mana sebagian besar dalam bentuk ion bikarbonat. Karbon anorganik yaitu senyawa karbon tanpa ikatan karbon-karbon atau karbon-hidrogen, Pertukaran karbon ini menjadi penting dalam mengontrol pH di laut dan juga dapat berubah sebagai sumber (source) atau lubuk (sink) karbon. Karbon siap untuk saling dipertukarkan antara atmosfer dan lautan. Pada daerah upwelling, karbon dilepaskan ke atmosfer. Sebaliknya, pada daerah downwelling karbon (CO2) berpindah dari atmosfer ke lautan. Pada saat CO2 memasuki lautan, asam karbonat terbentuk: CO2 + H2O ⇌ H2CO3
Reaksi ini memiliki sifat dua arah, mencapai sebuah kesetimbangan kimia, reaksi lainnya yang penting dalam mengontrol nilai pH lautan adalah pelepasan ion hidrogen dan bikarbonat. Reaksi ini mengontrol perubahan yang besar pada pH: H2CO3 ⇌ H+ + HCO3−
Dalam siklus ini terdapat empat reservoir karbon utama yang dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfer, biosfer teresterial (biasanya termasuk pula freshwater system dan material non-hayati organik seperti karbon tanah (soil carbon)), lautan (termasuk karbon anorganik terlarut dan biota laut hayati dan non-hayati), dan sedimen (termasuk bahan bakar fosil). Pergerakan tahuan karbon, pertukaran karbon antar reservoir, terjadi karena proses-proses kimia, fisika, geologi, dan biologi yang bermacam-macam. Lautan mengandung kolam aktif karbon terbesar dekat permukaan Bumi, namun demikian laut dalam bagian dari kolam ini mengalami pertukaran yang lambat dengan atmosfer (Houghton, 2005). 5
C.
Tekstur Sedimen Menurut Bhatt (1978), sedimen yaitu lepasnya puing-puing endapan padat
pada permukaan bumi yang dapat terkandung di dalam udara, air atau es dibawah kondisi normal. Sedimentasi adalah proses yang meliputi pelapukan, transportasi, dan pengendapan. Batuan sedimen adalah batuan yang dibentuk oleh sedimen. Tekstur sedimen yaitu hubungan bersama antara ukuran butir dalam batuan dan pada umumnya ukuran butir ini dapat diamati dengan menggunakan mikroskop. Komposisi sedimen merupakan acuan terhadap mineral-mineral dan struktur kimia dalam batuan. Sedimen memiliki rasio luas permukaan/ massa yang besar sehingga mempunyai kapasitas yang besar dalam mengikat bahan anorganik (U.S. EPA 1995 dalam werorilangi, 2012) Menurut penelitian yang dilakukan Kusnida D. et al. (2014) menunjukkan bahwa analisis sedimen permukaan dasar laut perairan selatan Selat Makassar dan Spermonde, sedimen didominasi oleh fraksi halus hingga sedang, yakni lanau, lanau pasiran, pasir lanauan, pasir, dan pasir sedikit kerikilan. Persentase setiap fraksi adalah sebagai berikut: fraksi lempung berkisar antara 0,0 - 10,3 %, fraksi lanau 0,0 - 93,8 %, fraksi pasir 0,9 - 100,0 %, dan fraksi kerikil 0,0 - 0,2 %. Butiran umumnya berasosiasi dengan fragmen terumbu karang, fragmen cangkang dan mikrofauna (foraminifera), serta di tepian selatan daratan Sulawesi. Sedimen berasal dari sungai-sungai di Sulawesi selatan, yang dekat dengan batuan sumber. Berdasarkan hal tersebut, Kusnida D., et al (2014) menyimpulkan bahwa sebaran fraksi sedimen kasar dikontrol oleh proses arus atau energi yang tidak stabil, kondisi turbulensi, dan gelombang yang terjadi. Sementara sebaran fraksi sedimen halus dikontrol oleh energi yang relatif stabil dan tenang, serta keberadaan jauh dari batuan sumber.
6
Besar butir adalah ukuran (diameter dari fragmen batuan), skala pembatasan yang dipakai adalah “skala Wentworth” untuk mengklasifikasikan partikel-partikel sedimen dibawah ini : Tabel 1. Skala Wentworth (Hutabarat and Evans, 1984) Kelas Ukuran Butir Boulders (Kerikil Besar) Gravel (Kerikil Kecil) Very coarse sand (Pasir Sangat Kasar) Medium sand (Pasir Sedang) Fine sand (Pasir Halus)
Diameter Butir (mm) > 256 2 – 256 1–2 0,25 – 0,5 0,125 – 0,25
Very fine sand (Pasir Sangat Halus)
0,0625 – 0,125
Silt (Debu)
0,002 – 0,0625
Clay (Lempung)
0,0005 – 0,002
Dissolved material (Material Terlarut)
< 0,0005
Material sedimen hasil erosi ukuran jenis partikelnya bermacam-macam, ada yang halus ada yang kasar dan ada yang berat ada yang ringan. Dengan demikian letak pengendapan sedimen akan berbeda-beda, karena pengendapannya bersifat selektif (Triadmodjo, 1999). Analisis pemilahan butiran (sortasi) adalah derajat atau tingkat keseragaman butir sedimen atau kecenderungan tingkat keseragaman dari berbagai macam ukuran butiran sedimen. Derajat atau nilai sortasi sangat dipengaruhi oleh proses transportasi serta aktifitas arus dan gelombang. Komar (1976) menyatakan bahwa sediman dengan nilai sortasi yang baik umumnya mengalami penyortiran oleh gelombang dan arus untuk jangka waktu yang lama. Sedimen sepanjang pantai umumnya tersortasi dengan baik dimana partikel-partikel sedimen telah dipisahpisahkan berdasarkan ukuran sebagai akibat dari aksi gelombang dan arus. Sedimen dengan nilai sortasi jelek, terdiri
dari ukuran partikel sedimen yang
berbeda-beda dengan variasi yang cukup luas. 7
Tabel 2. Tingkat sortasi sedimen (Folk and Ward, 1957) No. 1 2 3 4 5 6 7
Nilai < 0.35 0.35 - 0.5 0.5 - 0.71 0.71 - 1.00 1.00 - 2.00 2.00 - 4.00 > 4.00
Tingkat Sortasi Sangat baik Baik Baik Menengah Menengah Jelek Sangat Jelek Amat Jelek
Menurut Triatmodjo (1999) Untuk dapat mengelompokkan pembatasan fraksi masing-masing tekstur tanah dapat digambarkan dengan jelas dalam gambar yang berbentuk segitiga tekstur. Titik sudutnya menunjukkan 100 % salah satu fraksi, sedang tiap sisi mengambarkan % berat masing-masing fraksi mulai 0 % sampai 100 %, segitiga ini terbagi atas 13 bidang atau zona yang menunjukkan masingmasing tekstur tanah.
Gambar 1. Segitiga Tekstur (Triadmojo, 1999) D.
Arus dan Pasang Surut Sirkulasi atau dinamika pada air laut selalu terjadi secara berkelanjutan.
Sirkulasi dapat terjadi di permukaan maupun di kedalaman, salah satu bentuk dari
8
sirkulasi tersebut adalah arus laut. Arus laut merupakan pergerakan massa air laut secara horizontal maupun vertikal dari satu lokasi ke lokasi lain untuk mencapai kesetimbangan dan terjadi secara kontinu (Marpaung dan Prayogo, 2014). Arus membuat kolom air tercampur dengan baik, mempengaruhi sebaran suhu dan salinitas, membawa ke permukaan nutrien yang berguna untuk pertumbuhan tanaman air dan membawa pasokan oksigen ke perairan yang lebih dalam (Tait dan Dipper, 1998 dalam Amri, 2012). Hubungan antara faktor hidrodinamika seperti kecepatan arus dan paparan gelombang dengan padang lamun bersifat timbal balik yang saling mempengaruhi Amri (2012). Adanya sedimen berukuran kasar menunjukkan bahwa arus dan gelombang pada daerah itu relatif kuat, fraksi kasar umumnya diendapkan pada daerah terbuka yang berhubungan dengan laut lepas, sedangkan sedimen halus diendapkan pada arus dan gelombang yang benar-benar tenang. Selain dipengaruhi oleh arus utama, arus yang ada di sekitar pulau-pulau kecil juga dipengaruhi oleh siklus pasang surut (Amri, 2012). Pasang surut menurut Triatmodjo (1999) adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Distribusi ukuran butir dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis agen transportasi, gelombang, pasang surut, angin lokal dan badai episodik yang masing-masing memiliki karakteristik spasial dan temporal sendiri (Liu et al, 2000). E.
Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbungan (Angiospermae) yang
hidupnya menyesuaikan diri terbenam di dalam laut. tumbuhan ini tumbuh subur terutama di daerah perairan terbuka pasang surut yang memiliki dasar berupa
9
lumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati, sampai dengan kedalaman 4 meter (Nontji, 2002).
Gambar 2. Enhalus acoroides (www.seagrasswatch.org) Klasifikasi Enhalus acoroides (Den Hartog, 1970) : Kingdom : Plantae Divisio : Angiospermae Classis : Liliopsida Ordo : Hydrocharitales Familia : Hydrocharitaceae Genus : Enhalus Species : Enhalus acoroides Enhalus acoroides merupakan jenis lamun yang mampu membentuk daerah padang lamun yang luas, dan banyak biota laut yang menjadikan padang lamun sebagai habitat (Waycott et. al., 2004). Secara morfologis, Lamun ini memiliki akar yang kuat dengan rhizoma berwarna hitam dan kaku,. Daun-daunnya dua pasang atau tiga dalam pelepah bonggol (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Lamun ini didapatkan pada perairan yang terlindung dengan substrat yang terdiri dari pasir atau lumpur (Phillips dan Menez 1988).
10
Gambar 3. Thalassia hemprichii (www.seagrasswatch.org) Klasifikasi Thalassia hemprichii (Den Hartog, 1970) : Kingdom : Plantae Divisio : Angiospermae Classis : Liliopsida Ordo : Hydrocharitales Familia : Hydrocharitaceae Genus : Thalassia Species : Thalassia hemprichii Thalassia hemprichii merupakan salah satu jenis lamun yang tumbuh di perairan tropik dan penyebarannya cukup luas (Thomascik et al, 1997). Menurut Kiswara (1992) lamun jenis ini sangat umum dan banyak ditemukan di daerah rataan terumbu, baik yang tumbuh sendiri-sendiri (monospesifik) maupun yang tumbuh bersama-sama dengan lamun jenis lain atau tumbuhan lain (mixed vegetation). Fortes (1990) mengatakan bahwa Thalassia hemprichii mempunyai rimpang (rhizoma) yang berwarna coklat atau hitam dengan ketebalan 1 – 4 mm dan panjang 3 – 6 cm. Setiap nodus ditumbuhi oleh satu akar dimana akar dikelilingi
11
oleh rambut kecil yang padat, setiap tegakan mempunyai 2 – 5 helaian daun dengan apeks daun yang membulat, panjang 6 – 30 cm dan lebar 5 – 10 mm. Thalassia hemprichii memiliki toleransi yang baik, mampu hidup pada suhu 40°C dan juga pada salinitas rendah. Thalassia hemprichii mampu tumbuh dengan cepat dan tersebar luas di perairan Indonesia, sehingga sangat berguna sebagai sumber makanan bagi kura-kura, dugong, dan ikan herbiivora. Lamun ini dapat tumbuh di substrat karang keras dan pada substrat berlumpur, terutama di daerah pasang surut (Short et al, 2010) F.
Fungsi Ekosistem Padang Lamun Ekosistem padang lamun memiliki fungsi ekologi yang penting bagi wilayah
pesisir, yaitu : (1) Sebagai penghasil bahan organik dan pemompa zat hara dari dasar perairan ke dalam kolom perairan, lamun dapat menghasilkan sekitar 45,7 ton setara bahan organik kering per ha setiap tahunnya, dengan bahan organik atau energi yang besar, padang lamun dapat berperan sebagai tempat pembesaran berbagai jenis organisme yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, (2) Mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, karena system pengakarannya yang padat dan saling menyilang, (3) Sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan memijah berbagia jenis biota laut. Padang lamun dianggap mempunyai nilai ekonomis yang tidak terlalu penting, namun setelah ditemukan beberapa bahan aktif yang berasal dari daun lamun. Ekosistem lamun dapat dimanfaatkan sebagai : (1) tempat kegiatan budidaya laut berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram; (2) tempat rekreasi atau pariwisata; (3) sumber pupuk hijau; (4) sumber bahan aktif untuk obat-obatan dan kosmetik; (5) sumber bahan pangan (Nontji, 2009).
12
G.
Hubungan Karbon Organik pada Sedimen dengan Pertumbuhan Lamun Hasil penyerapan karbon oleh lamun pada proses fotosintesis disimpan atau
dialirkan ke beberapa kompartemen, salah satunya adalah dalam bentuk biomassa, baik di atas
maupun di bawah substrat. Penyimpanan karbon pada biomassa,
terutama bagian bawah substrat membuat peran lamun bertambah penting karena akan tersimpan dalam jangka waktu yang lama (Kiswara & Ulumuddin, 2009). Unsur–unsur hara penyusun tanaman hasil penelitian para ahli telah menunjukkan bahwa tanaman terdiri dari air ( ± 90%) dan bahan kering atau dry matter (± 10%). Bahan kering terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik (Fauzi, 2009). Menurut analisa kimia, bahan organik terdiri dari karbon (C) : sekitar 47%, hidrogen (H): sekitar 7%, oksigen (O): sekitar 44%, nitrogen: sekitar 0,2%, sedangkan 2 % bahan anorganik (persenyawaan anorganik) adalah merupakan bagian-bagian mineral atau abu (Fauzi, 2009) Kapasitas tinggi padang lamun untuk menyimpan karbon telah dijelaskan hasil dari tingginya produksi utama padang lamun dan kapasitasnya untuk menyaring partikel dari kolom air dan menyimpannya di tanah, dikombinasikan dengan tingkat dekomposisi rendah dalam tanah lamun miskin oksigen dan kurangnya cahaya di bawah tanah (Janzen, 2004). Mengingat pentingnya ekosistem lamun dalam menyimpan karbon lautan, memperkirakan besarnya kolam karbon organik memberikan langkah pertama untuk pemahaman kita tentang dampak potensial dari pelepasan CO2 yang tersimpan dari merendahkan padang rumput laut anggaran CO2 di atmosfer. Kerugian luas dan percepatan padang lamun menggarisbawahi pentingnya memahami pentingnya ekosistem ini kaya akan karbon untuk karbon organik pada skala global (Janzen, 2004).
13
III. METODOLOGI PENELITIAN
A.
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2016 sampai Mei 2016
dengan lokasi pengambilan data lapangan dilakukan di Pulau Barrang Lompo, Pulau Bone Tambung dan Pulau Langkai. Penelitian ini meliputi beberapa tahapan penelitian yaitu : Persiapan, Observasi, penentuan stasiun, pengumpulan data sekunder, pengambilan data dan sampel, analisa sampel dan analisis data. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Oseanografi Fisika dan Geomorfologi Pantai, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian
14
Lokasi stasiun pengamatan ditentukan berdasarkan hasil observasi awal yang telah dilakukan. Stasiun pengukuran pada wilayah yang terdapat lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Pada setiap pulau ditentukan tiga titik pengambilan sampel yaitu dekat pantai (beach), Bagian tengah (middle) dan dekat dengan terumbu karang (reef). Penentuan titik di Pulau Barrang Lompo, Bone Tambung dan Pulau Langkai
didasari karena kondisi lamunnya yang luas dan
terdapat jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii (mix vegetation). Posisi geografis pengambilan sampel di Pulau Bone Tambung terletak dibagian timur pulau yaitu bagian beach berada pada LS 05º02‟12” dan BT 119º16‟43”, bagian middle LS 05º02‟12 dan BT 119º16‟44”, untuk reef LS 05º02‟11” dan BT 119º16‟47”. Untuk pengambilan sampel di Pulau Barrang Lompo terletak di bagian selatan yaitu pada posisi geografis bagian beach LS 05º03‟08” dan BT 119º19‟42”, middle berada pada posisi LS 05º03‟12” dan BT 119º19‟41”, posisi reef LS 05º03‟16” dan BT 119º19‟39”. Sedangkan posisi pengambilan sampel di Pulau Langkai terletak di bagian barat pulau yaitu titik beach terletak pada LS 05º01‟58” BT 119º05‟27”, untuk middle LS 05º01‟58” BT 119º05‟23”, dan untuk reef LS 05º01‟59” BT 119º05‟19”. B.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu GPS untuk menentukan posisi
lokasi penelitian, core untuk mengambil sampel sedimen, kantong sampel sebagai wadah untuk menyimpan daun lamun dan sedimen, meteran untuk mengukur sampel yang akan di ambil, palu untuk memukul core, oven untuk mengeringkan sedimen, aluminium foil sebagai wadah sedimen, nampan sebagai tempat untuk memisahkan sedimen dan lamun, penggaris untuk mengukur panjang daun lamun, bambu untuk penanda titik lokasi leaf marking, jarum suntik untuk melubangi daun
15
lamun, alat tulis untuk mencatat data sementara, sieve net dengan diameter 0,063 2 mm untuk mengayak sampel sedimen, sikat untuk membersihkan sisa sampel, dan cawan petri sebagai wadah sedimen. C.
Prosedur Kerja Penelitian Prosedur penelitian terbagi dalam beberapa tahap seperti berikut :
1.
Tahap persiapan Tahapan ini meliputi studi literatur untuk membantu dalam proses penyusunan
metode penelitian, konsultasi dengan pembimbing, survei dan observasi awal kondisi lamun di lapangan untuk menentukan lokasi pengambilan sampel, serta mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan selama penelitian. 2.
Penentuan titik sampling Lokasi sampling adalah sepanjang paparan terumbu yang masih ditumbuhi
lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii, dari tiga pulau yang telah ditentukan. Tiga titik sampling yang akan ditentukan berada dalam satu garis tegak lurus dengan pantai. Setelah ditentukan kemudian titik sampling dibagi atas daerah dekat pantai, bagian tengah dan dekat terumbu karang, lalu masing-masing titik pengambilan sampel dicatat titik koordinatnya dengan menggunakan GPS. 3.
Pengukuran laju pertumbuhan daun lamun (Leaf Growth) Pengukuran laju pertumbuhan daun lamun dilakukan dengan metode leaf
marking (Short and Duarte, 2001). Dipilih 5-10 tegakan dalam area titik sampling dan ditandai dengan cable tie. Daun dari tegakan yang dipilih kemudian disusun berurut dengan daun tertua berada pada bagian terluar. Pada jarak ± 3-4 cm dari ujung daun yang berada paling luar (daun tertua), daun dilubangi berbentuk segitiga sehingga semua daun dalam tegakan terdapat bekas jarum. 16
Gambar 5. Metode penandaan lamun (Short & Duarte, 2001) Lubang pada daun lamun terluar menjadi lubang standar (L0) dalam perhitungan pertumbuhan daun kedua, ketiga, keempat, dst. karena daun terluar memiliki nilai terendah. Setelah 14 hari untuk Thalassia hemprichii dan 23 hari untuk Enhalus acoroides semua daun dalam tegakan yang telah ditandai dipotong dengan menggunakan gunting pada bagian dasar daun. Pengukuran pertumbuhan dilakukan
dengan
menggunakan
mistar
berskala
(dalam
mm)
dengan
membandingkan jarak antara lubang penyusun dasar segitiga pada daun tua (L0) dengan lubang yang sama pada daun kedua, ketiga, dst (Lt).
Pengukuran ini
dilakukan untuk setiap helaian daun dalam satu tegakan yang ditandai. Laju pertumbuhan lamun didapatkan dengan membagi hasil pengukuran pertumbuhan daun lamun dengan jumlah hari sejak ditandainya daun lamun (Short and Duarte, 2001). Laju pertumbuhan daun lamun dihitung dengan menggunakan rumus:
17
Keterangan : P
= Laju pertumbuhan panjang daun (mm)
Lt
= Panjang daun setelah waktu t (mm)
Lo
= Panjang daun pada pengukuran awal (mm)
∆t
= Selang waktu pengukuran
4.
Pengambilan sampel sedimen Pengambilan sampel sedimen dilakukan dengan menggunakan alat core, di
setiap pulau terdapat tiga titik yaitu beach, middle dan reef. selanjutnya sedimen diambil di daerah penandaan sampel lamun, dengan menggunakan core berukuran 40 cm, sampel yang diambil sebanyak 5 cm teratas dengan tiga kali ulangan di setiap titik kemudian dimasukkan kedalam kantong sample yang telah diberi label, prosedur yang sama dilakukan untuk titik sampel yang lainnya. 5.
Prosedur pengukuran biomassa lamun Sedimen yang telah diambil dibersihkan dan dipisahkan dari biomassa lamun,
yang terdiri dari akar, rhizoma, batang dan daun lamun, setelah itu dicuci bersih dan masing-masing disimpan pada kantong aluminium foil. Kemudian sedimen dan biomassa lamun dikeringkan di dalam oven dengan suhu 60ºC sampai sedimen dan biomassa kering. Setelah itu timbang berat kering sampel lalu kurangi dengan berat kantong. 6.
Prosedur metode pengayakan Sebelum dilakukan proses pengayakan sampel terlebih dahulu dibersihkan
dan dipisahkan dari akar rhizoma dan daun lamun serta dari sisa-sisa cangkang hewan, lalu dimasukkan kedalam oven dengan suhu rendah sampai kering, kemudian ditimbang sebanyak 100 gram sebagai berat awal, kemudian dimasukkan kedalam sieve net yang telah tersusun secara berurutan dengan ukuran 2 mm, 1 mm, 0,5 mm, 0,25 mm, 0,125 mm, 0,063 mm dan < 0,063 mm untuk diayak. 18
Setelah diayak, sampel sedimen dipisahkan berdasarkan ukuran sieve net kemudian ditimbang dan di analisis dengan aplikasi excel gradistat setelah itu diklasifikasikan kedalam skala Wenworth (Hutabarat dan Evans, 1984). prosedur tersebut dilakukan untuk masing-masing pengamatan. 7.
Prosedur analisa kandungan karbon organik Analisis kandungan bahan organik dilakukan dengan menggunakan metode
Loss On Ignition (LOI) (ASTM, 2000). Metode LOI bertujuan untuk mengetahui kandungan bahan organik (karbon organik) total dalam sedimen sehingga diketahui lingkungan pengendapan, proses kejadian sedimen berdasarkan kandungan karbon organik. Metode ini dilakukan di laboratorium dengan proses analisa setiap 5 cm lapisan sedimen core pada kedalaman tertentu. sampel sedimen yang telah dikeringkan di oven pada suhu rendah, kemudian masing-masing sampel ditimbang sebanyak 5 gram, lalu di simpan pada cawan yang telah diberi label, proses pengabuan menggunakan tanur dengan suhu 650°C selama 3 ½ jam. Setelah itu didinginkan dengan suhu kamar lalu ditimbang kembali. Tahapan analisis kandungan bahan organik total, dilakukan menggunakan metode pengabuan yang mengacu pada metode LOI menurut ketetapan Allen et al. (1974) dengan persamaan sebagai berikut : LOI = Wo – Wt x 100 % Wo Dimana :
LOI = loss on ignition (%) Wo = berat awal (gram) Wt = berat akhir (gram)
19
Berdasarkan buku panduan untuk pengukuran cadangan karbon tanah gambut (Agus et al., 2011), Kandungan karbon organik diasumsikan 1/1.724 dari kandungan bahan organik total tanah. D.
Analisis Data Data diolah dengan menggunakan Excel untuk melihat laju pertumbuhan
lamun, % karbon organik dan biomassa lamun. Sedangkan untuk analisis secara statistik, digunakan SPSS 16, untuk mengetahui perbedaan laju pertumbuhan lamun, biomassa dan karbon organik sedimen disetiap pulau menggunakan analisis Two-Way Anova, dan untuk mengetahui hubungan antara laju pertumbuhan, biomassa dan karbon organik dilakukan uji korelasi.
20
E.
Diagram Alir Penelitian
Mulai
Persiapan
Penentuan titik sampling
Sedimen
Tekstur
Penandaan Lamun
Pengambilan Sampel
Lamun
Biomassa below ground
Corg
Panjang dan lebar daun
Pengolahan Data Analisis Data
Two-Way Korelasi
Pembahasan
Selesai
Gambar 6. Skema prosedur alur penelitian
21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian a. Bone Tambung Pulau Bone Tambung terletak di sebelah barat laut Kota Makassar dengan
jarak ± 17,2 km dan merupakan pulau karang seluas ± 5,4 ha. Di sebelah utara berbatasan dengan Pulau Badi (Kab. Pangkep), sebelah timur dengan Pulau Barrang Lompo, sebelah tenggara dengan Pulau Barrang Caddi, sebelah Selatan dengan Pulau Kodingarengkeke, dan di sebelah barat dengan Pulau Langkai dan dan Pulau Lumu-Lumu. Secara geografis Bone Tambung terletak pada posisi BT 0
0
119 16‟ 38„„ dan LS 05 02‟11‟„. Pulau ini memiliki tinggi dari permukaan laut ± 4 meter. Pada sisi barat dapat ditemui gundukan pasir setinggi kurang lebih 4 meter yang diakibatkan oleh pengaruh ombak besar pada musim barat. Jenis sedimen penyusun pulau terdiri dari ± 90% pasir kasar dan halus yang labil. Di pulau karang ini tidak ditemukan sumber air tawar (Jompa, 1996). Pulau ini berbentuk bulat, dengan luas 5 ha, atau berjarak 18 km dari Makassar. dengan kedalaman lebih dari 40 meter (kurang lebih 900 M dari pantai), perairan sebelah barat terdapat rataan terumbu karang, pada bagian luar sekitar 1 km terdapat terdapat kedalaman besar dari 20 M, dan pada sebelah darat daya sekitar 1 km terdapat daerah yang sangat dangkal dengan kedalaman kurang dari 5 meter dengan rata-rata suhu 33ºC pada siang hari. Menurut Burhanuddin et al. (2004), Pulau Bone Tambung merupakan salah satu pulau yang memiliki terumbu karang yang relatif lebih luas. Selain itu, Pulau merupakan salah satu pulau di Kepulauan Spermonde yang memiliki Daerah Perlindungan Laut (DPL). Biota lautnya beragam dan hidup pada ekosistem laut terumbu karang dan padang lamun. 22
b. Barrang Lompo Secara Geografis Barrang Lompo terletak pada posisi BT 119º19‟48‟ dan LS 05º03‟12”. Pulau Barrang Lompo termasuk dalam Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar, terletak di sebelah barat kota Makassar berjarak sekitar 11.9 km. di sebelah tenggara berbatasan dengan Kota Makassar, di bagian selatan berbatasan dengan Pulau Barrang Caddi dan bagian barat dengan Bone Tambung. Lapisan tanah di pulau ini di dominasi pasir, tetapi terdapat pula lapisan tanah yang subur di bawahnya, sehingga menjadi lahan yang baik untuk tumbuhnya berbagai macam tanaman. Tetapi kondisi perairan di setiap pinggiran pantai sangat banyak kita temukan tumpukan sampah-sampah plastik dan berbagai sampah rumah tangga lainnya. Pengambilan titik sampel terletak di bagian selatan pulau, dengan suhu ratarata perairan pulau ini yaitu berkisar 30 – 33 ºC pada siang hari. Kedalaman ratarata muka air laut pada siang hari yaitu 49-68 cm. c. Langkai Letak Posisi geografis Pulau Langkai yaitu LS 119º05‟39” BT 05º01‟56” . pulau ini berjarak 36 km dari Kota Makassar, dan merupakan salah satu dari tiga pulau terluar Makassar dan termasuk Kelurahan Barrang Caddi, Kecamatan Ujung Tanah. Posisi pulau ini berada 5,5 km di selatan Lanjukang, dan luas mencapai lebih dari 27 ha., dengan rataan terumbu yang mengelilingi seluas 142 ha. Perairan timur pulau ini memiliki kedalaman lebih dari 30 m, di beberapa tempat dijumpai kedalaman kurang dari 10 m. Pada perairan barat, dengan jarak kurang darl 2 km dari dataran terumbu, kita dapat menjumpai perubahan kedalaman yang drastis mencapai lebih dari 200 m, dan memilki suhu 33ºC pada siang hari.
23
Sekeliling Pulau Langkai merupakan paparan terumbu (reef flat) yang luas ke arah selatan–barat dan utara. Sedangkan sisi timurnya cukup dalam bagi pertumbuhan karang ditambah lagi dengan laju sedimentasi substrat pasir dan kegiatan pelayaran lokal sehingga terumbu karang tidak berkembang. Pengambilan sampel terletak pada bagian barat Pulau Langkai. B.
Karbon Organik Sedimen Berdasarkan buku panduan untuk pengukuran cadangan karbon tanah (Agus
et al. 2011), bila analisis laboratorium hanya menghasilkan kandungan bahan organik dengan menggunakan metode LOI maka kandungan karbon organik sedimen diasumsikan (1/1.724) dari kandungan bahan organik total. Data hasil karbon organik dalam sedimen pada 5 cm teratas terdapat pada Gambar 7:
% Karbon organik sedimen
0.9
0.8 0.7 0.6
0.5 0.4
0.694 0.645 0.620
0.494 0.399 0.394
0.517 0.490
Beach
0.368
Middle
0.3
Reef
0.2 0.1 0.0 Bone Tambung Barrang Lompo
Langkai
Gambar 7. Karbon organik sedimen Hasil dari pengukuran karbon organik di setiap pulau menunjukkan persentase tertinggi terdapat di Pulau Bone Tambung yaitu sebesar 1,127 %. dan terendah terdapat di Pulau Barrang Lompo yaitu 0,741 % (Lampiran 4). Untuk titik tertinggi di temukan pada titik beach yaitu sebesar 0,926 %, dan titik terendah terdapat pada titik middle yaitu 0,852 % (Lampiran 4).
24
Hal tersebut diatas dapat disebabkan karena bagian beach merupakan bagian yang terdekat dengan daratan sedangkan sumber utama bahan organik berasal dari daratan, yaitu dipengaruhi dengan adanya faktor antropogenik seperti buangan limbah pabrik dan industri maupun sampah-sampah organik. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan kandungan karbon organik sedimen di Pulau Bone Tambung, Barrang Lompo dan Langkai, serta di titik beach, middle dan reef tidak signifikan (p>0,05) (lampiran 4), serta memiliki korelasi lemah (r = 0,327) (lampiran 4). Hal ini diduga di akibatkan karena kondisi pola dan kecepatan arus pasang surut yang mempengaruhi distribusi dan tekstur sedimen. Hal ini sesuai dengan yang pernyataan Manengkey (2010) bahwa tinggi dan rendahnya kandungan bahan bahan organik dalam sedimen diakibatkan oleh gelombang yang membongkar material sedimen yang terbawa oleh arus ataupun pasang surut, apabila arus kencang maka partikel-partikel sedimen yang halus akan terbawa ke laut dalam, sedangkan partikel kasar akan mengendap. C.
Tipe Butiran sedimen Hasil pengukuran ukuran besar butir sedimen disetiap titik 5 cm teratas di
Pulau Bone Tambung, Barrang Lompo dan Pulau Langkai disajikan pada Gambar 8.
Ukuran Butir sedimen (mm)
0.8 0.655
0.7 0.6 0.5 0.4
0.494 0.448 0.380
0.533 0.423
0.686 0.498 0.459
Beach Middle
0.3
Reef
0.2 0.1 0 Bone Tambung
Barrang Lompo
Langkai
Gambar 8. Ukuran butir sedimen
25
Berdasarkan analisis statistik, Ukuran besar butir sedimen terbesar terdapat di Pulau Langkai dengan nilai rata-rata 0,548 mm, sedangkan untuk ukuran besar butir terendah terdapat di Pulau Bone Tambung dengan nilai rata-rata 0,441 mm (Lampiran 5). Perbedaan tekstur sedimen berdasarkan lokasi pengambilan sampel di Pulau Bone Tambung, Barrang Lompo dan Langkai menunjukkan korelasi yang tinggi (r = 0,702) (Lampiran 5), hal ini dapat disebabkan karena distribusi dan tekstur sedimen yang didominasi oleh pasir sedang – sangat kasar (Gambar 8). Ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Kusnida et al. (2014) bahwa batuan sedimen di sekitar pulau-pulau Spermonde yaitu berupa sedimen lanau dari fraksi sedang – sangat kasar. Selain itu, tekstur sedimen sangat dipengaruhi oleh pola dan kecepatan arus, hal ini diduga apabila arus kencang maka partikel-partikel kecil akan tersuspensi dan terbawa oleh arus, sedangkan partikel yang besar akan mengendap dan tertinggal dipesisir dan di perairan dangkal, hal tersebut dapat dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan Jalil (2013) yang menunjukkan pola dan kecepatan arus di Kepulauan Spermonde pada saat pasang memasuki Pulau Langkai dengan kecepatan 0,10 m/detik dan mengalami pembelokan kearah timur laut setelah melewati Pulau Barang Lompo dan Bone Tambung. Sedangkan pada saat suruh arus yang berasal dari utara menuju ke barat daya melewati Pulau Barrang Lompo dan Bone Tambung dengan kecepatan 0,01 m/detik dan arus menguat ketika melewati Pulau Langkai mencapai 0,04 m/detik. D.
Biomassa dan Laju Pertumbuhan Enhalus acoroides 1.
Biomassa Enhalus acoroides Hasil pengukuran data biomassa Enhalus acoroides disajikan pada
Gambar 9.
26
Biomassa Enhalus acoroides (gr/ m2)
800 700 600 500 374.90
400
Middle
300
241.68
200 100
Beach
83.70 73.09 0.00
113.18 77.81 41.26
Reef
2.36
0 Bone Tambung Barrang Lompo
Langkai
Gambar 9. Biomassa Enhalus acoroides Hasil dari pengukuran data biomassa lamun yang terdapat di bawah substrat, menunjukkan bahwa biomassa terbanyak terdapat di Pulau Langkai yaitu 0206,31 gr/m2, sedangkan biomassa paling sedikit terdapat di Pulau Bone Tambung yaitu 52,26 gr/m2 (lampiran 6). Hal ini dapat disebabkan karena pengaruh tekstur sedimen yang paling besar terdapat di Pulau Langkai (lampiran 5). Salah satu adaptasi lamun yaitu mengumpulkan banyak biomassa di bawah substrat agar dapat mencengkram sedimen dengan kuat, terutama pada substrat kasar yang tergolong labil akibat adanya pengaruh arus dan gelombang. Hasil analisis statistik didapatkan bahwa perbedaan biomassa Enhalus acoroides berdasarkan pulau dan titik menunjukkan keterkaitan yang lemah (r=0,207) (Lampiran 6), dan tidak signifikan (p>0.05) (lampiran 6). Penelitian yang dilakukan di oleh Christon, et al. (2012) di Pulau Pari Kepulauan Seribu, menunjukkan bahwa Enhalus acoroides tumbuh lebih banyak di daerah yang didominasi oleh substrat halus (lanau) dibandingkan dengan pasir kasar, hal itu mempengaruhi pertumbuhan Enhalus acoroides terutama terhadap produksi dan biomassa lamun. Sama halnya dengan penelitian Supriadi (2003) di Pulau Barrang Lompo yang menunjukkan bahwa Enhalus acoroides tumbuh lebih subur di Substrat halus dibandingkan dengan substrat kasar.
27
2.
Laju Pertumbuhan Enhalus acoroides Hasil
Pengukuran
laju
pertumbuhan
lamun
Enhalus
acoroides
diperlihatkan pada Gambar 10.
Laju Pertumbuhan Ea (%/hari)
4.0 3.5 3.0 2.5
2.87
2.56 2.27 2.04
2.0
2.33 1.95
2.612.50 2.26
Beach Middle
1.5
Reef
1.0 0.5 0.0 Bone Tambung Barrang Lompo
Langkai
Gambar 10. Laju pertumbuhan Enhalus acoroides Pengukuran laju pertumbuhan lamun Enhalus acoroides di tiga pulau menunjukkan pola yang sama, yaitu laju tercepat terdapat di bagian Beach, Middle, kemudian reef. Dari ketiga lokasi, Pulau Langkai memiliki Laju tertinggi yaitu 2,46 %/hari, sedangkan laju terendah terdapat di Pulau Bone Tambung sebesar 2,29 %/hari, untuk titik laju pertumbuhan tertinggi di temukan pada titik Beach yaitu 2,68 %/hari, dan laju terendah terdapat pada titik reef sebesar 2,08 %/hari (lampiran 7). Analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan laju pertumbuhan Enhalus acoroides berdasarkan pulau tidak signifikan (p>0,05) (Lampiran 7), sedangkan perbedaan laju pertumbuhan Enhalus acoroides berdasarkan titik sangat signifikan (p=008) (Lampiran 7). Uji lanjut LSD menunjukkan perbedaan yang signifikan antara beach dan reef (Lampiran 7). Hal tersebut diduga karena karena salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan lamun yaitu ketersediaan nutrien, sedangkan sumber utama nutrien yaitu berasal dari daratan, dan beach merupakan titik terdekat dari daratan. hal tersebut diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan Supriadi (2003), bahwa
28
Enhalus acoroides dapat tumbuh lebih baik di daerah di dekat pantai dibandingkan yang tumbuh di laut terbuka. E.
Biomassa dan Laju Pertumbuhan Lamun Thalassia hemprichii 1. Biomassa Thalassia hemprichii Hasil pengukuran biomassa Thalassia hemprichii terdapat pada Gambar 11 berikut ini :
Biomassa Thalassia hemprichii (gr/ m2)
800
700 600
508.12 466.85
500 400 300 200 100
377.26
Beach Middle
281.76
Reef
193.34 95.49
101.39 31.83 18.86
0 Bone TambungBarrang Lompo
Langkai
Gambar 11. Biomassa Thalassia hemprichii Biomassa Lamun di bawah substrat terdiri dari akar, rhizoma dan daun tua. hasil pengukuran biomassa lamun Thalassia hemprichii di bawah substrat, biomassa terbanyak terdapat di Pulau Langkai, sebesar 418,9 gr/m2. Dan terendah terdapat di Pulau Barrang Lompo yaitu 50,69 gr/m2 (Lampiran 8). Analisis statistik mengenai perbedaan biomassa Thalassia hemprichii berdasarkan pulau menunjukkan hasil yang signifikan (p=0,006) (Lampiran 8). Uji lanjut LSD dilakukan untuk melihat perbedaan antar pulau, hasil menunjukkan bahwa pulau yang berbeda signifikan yaitu Barrang Lompo dan Langkai (p=0.0,02) (lampiran 8). Biomassa Thalassia hemprichii di bawah substrat yaitu terdiri dari akar rhizoma dan daun, tetapi paling banyak terdapat pada rhizoma atau rimpang
29
dibandingkan dengan daun atau pelepah daun (Christon, et al. 2012).
Hal ini
diduga dapat disebabkan adanya pengaruh tekstur sedimen, pada Gambar 8 menunjukkan bahwa ukuran besar butir sedimen yang paling besar terdapat di Pulau Langkai. Salah satu adaptasi lamun yaitu mengumpulkan banyak biomassa di bawah substrat agar dapat mencengkram sedimen dengan kuat, terutama pada substrat kasar yang tergolong labil akibat adanya pengaruh arus dan gelombang. 2. Laju Pertumbuhan Thalassia hemprichii Hasil pengukuran laju pertumbuhan Thalassia hemprichii dapat dilihat pada Gambar 12.
Laju Pertumbuhan Th (%/hari)
7.0
6.19
6.0 5.0
4.62 4.074.24
4.81 4.35
4.0
3.853.61 3.37
Beach
Middle
3.0
Reef
2.0 1.0 0.0 Bone Tambung Barrang Lompo
Langkai
Gambar 12. Laju Pertumbuhan Thalassia hemprichii Pengukuran laju pertumbuhan Thalassia hemprichii tertinggi terdapat di daerah Barrang Lompo yaitu 5,12 %/hari. Sedangkan laju pertumbuhan terendah terdapat di Pulau Langkai sebesar 3,61 %/hari, untuk Laju pertumbuhan berdasarkan titik, laju tertinggi terdapat pada titik reef yaitu 4,72 %/hari. Sedangkan titik terendah pada bagian beach dengan 4,09 %/hari (lampiran 9). Analisis statistik menunjukkan perbedaan pertumbuhan Thalassia hemprichii berdasarkan pulau memiliki korelasi yang kuat (r=0,723) (Lampiran 9) dan signifikan (p=0,000) (Lampiran 9), sedangkan perbedaan laju pertumbuhan Thalassia hemprichii berdasarkan lokasi titik tidak signifikan (p>0,05) (Lampiran 9). Uji lanjut
30
LSD dilakukan untuk melihat perbedaan setiap pulau, hasil menunjukkan bahwa Pulau Bone Tambung, Barrang Lompo dan Langkai berbeda secara signifikan (p<0,05) (Lampiran 9). Hal tersebut dikarenakan Thalassia hemprichii tumbuh lebih baik di daerah yang memiliki substrat yang lebih kasar, sedangkan di Pulau Langkai memiliki ukuran besar butir lebih besar di bandingkan dengan Bone Tambung dan Barrang Lompo (Lampiran 5). Hal ini sejalan dengan pernyataan Takaendengan dan Azkab (2010) bahwa Thalassia hemprichii merupakan jenis tumbuhan yang tumbuh subur pada substrat pasir (kasar) dan patahan karang mati, jauh dari pantai dan selalu digenangi air. F.
Hubungan Karbon Organik, Tekstur, dan Biomassa dengan Laju Pertumbuhan lamun Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa hubungan karbon organik dengan
tekstur sedimen memiliki korelasi yang lemah dan tidak searah (Lampiran 10). Hal ini dapat disebabkan karena kandungan karbon organik tidak hanyak dipengaruhi oleh tekstur sedimen atau ukuran besar butir, tetapi tergantung kondisi dari lingkungan perairan tersebut apakah berdekatan dengan daratan sebagai sumber utama dari bahan organik, atau juga dapat dipengaruhi oleh adanya faktor antropogenik yang menyebabkan buangan sampah organik maupun anorganik. Selain itu, kandungan bahan organik di sedimen juga dapat diakibatkan oleh gelombang yang membongkar material sedimen yang terbawa oleh arus ataupun pasang surut (Manengkey, 2010). Hubungan antara karbon organik dengan laju pertumbuhan lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii tidak berpengaruh secara signifikan (p>0,05) (Lampiran 10) dan memiliki korelasi yang lemah (Lampiran 10). Hal ini dapat
31
disebabkan karena konstribusi kandungan karbon organik yang terdapat di dalam sedimen sangat kecil dalam mempengaruhi laju pertumbuhan daun lamun. Menurut Azkab (1988) menyatakan bahwa laju pertumbuhan lamun sangat dipengaruhi oleh adanya faktor suhu, ketersediaan nutrien, intensitas cahaya dan Photosynthetically Active Radiaiton (PAR). Untuk hubungan biomassa Enhalus acoroides dengan laju pertumbuhan Enhalus acoroides memiliki korelasi yang lemah, juga tidak signifikan (p>0,05) (Lampiran 10). Hal tersebut dapat disebabkan karena biomassa di bawah substrat terdiri dari akar dan rhizoma, sedangkan laju pertumbuhan merupakan laju panjang daun lamun jadi biomassa di bawah substrat dengan laju pertumbuhan tidak berhubungan secara langsung atau tidak besar pengaruhnya terhadap laju perpanjangan daun lamun Enhalus acoroides. Sedangkan
pengaruh
biomassa
Thalassia
hemprichii
terhadap
laju
pertumbuhan Thalassia hemprichii memiliki korelasi kuat yaitu 0,420 (Lampiran 10), dan berpengaruh signifikan (p=0,029) (Lampiran 10), tetapi tidak searah (Lampiran 10). Kemungkinan yang terjadi yaitu biomassa Thalassia hemprichii dibawah substrat terdiri dari akar, rhizoma dan daun atau pelepah dauh, Namun kandungan biomassa terbanyak terdapat pada akar dan rhizoma (rimpang), hal ini diduga karena di dalam substrat terdapat banyak unsur hara yang diserap oleh akar dan rimpang yang mempengaruhi pertumbuhan, tingginya pertumbuhan lamun akan mempengaruhi produksi dan biomassa lamun (Christon, et al. 2012).
32
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan :
1.
Perbedaan karbon organik sedimen berdasarkan pulau dan titik Menunjukkan korelasi yang lemah. Hal ini di akibatkan karena kondisi arus pasang surut yang mempengaruhi distribusi dan tekstur sedimen.
2.
Perbedaan laju pertumbuhan Enhalus acoroides berdasarkan pulau tidak signifikan, sedangkan perbedaan titik sangat signifikan. Untuk pertumbuhan Thalassia hemprichii pada pulau yang berbeda memiliki korelasi kuat, sedangkan berdasarkan titik menunjukkan korelasi lemah dan tidak signifikan, hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi substrat pulau.
3.
Perbedaan biomassa Enhalus acoroides berdasarkan pulau dan titik menunjukkan korelasi yang
lemah, dan tidak signifikan. Sedangkan
perbedaan biomassa Thalassia hemprichii pada pulau yang berbeda menunjukkan hasil yang signifikan. Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa pulau Barrang Lompo dan Langkai berpengaruh signifikan. 4.
Hubungan karbon organik dengan tekstur sedimen memiliki korelasi yang lemah dan tidak signifikan, sama halnya dengan pengaruh karbon organik dan biomassa lamun dengan laju pertumbuhan lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Sedangkan hubungan biomassa Thalassia hemprichii terhadap laju pertumbuhan Thalassia hemprichii memiliki korelasi kuat dan berpengaruh signifikan.
33
B.
Saran Untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan prosedur yang berbeda
agar dapat dilakukan perbandingan, selain itu proses pengambilan data dan ulangan yang lebih banyak agar data lebih akurat.
34
DAFTAR PUSTAKA Agus, F., Hairiah, K., and Mulyani, A. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon Tanah Gambut. Petunjuk Praktis. World Agroforestry Centre-ICRAF, SEA Regional Office dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Bogor, Indonesia. 58 p. Allen, S.E., Grimshaw, H.M., Parkinson, J.A. and Quarmby, C. 1974. Analysis of Soil in Chemical Analysis of Ecological Materials. Oxford, Blackwell Scientific Publication,Oxford. Amri, K. 2012. Sinekologi Padang Lamun Akibat Tekanan Antropogenik: Studi Kasus Pulau Barrang Lompo dan Bonebatang Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan. Institut Pertanian Bogor ASTM, 2000. Standart test methods for moisture, ash, and organic matter of peat and other organic soils. Method D 2974-00. American society for testing and materials. West Conshohocken, PA. Bhatt, J.J. 1978. Oceanography: Exploring the Planet Ocean. New York : D. Van Nostrand Company Burhanuddin, S. 2004. Wisata Bahari di Kepulauan Spermonde Makassar. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta Costanza, R., Agre, R., De Groot, S., Farber, M., Grasso, B., Hannon, S., Naeem, K., Limbung, J., Paruelo, R.V., O‟Neill, R., Raskin, P., Sutton, M. van den Belt. 1997. The Value of the World‟s Ecosystem Services and Natural Capital. Nature, Vol.387(5): 253-260. Christon, Djunaedi, O.S., and Purba, N.P. 2012. Pengaruh Tinggi Pasang Surut terhadap Pertumbuhan dan Biomassa Daun Lmaun Enhalus acoroides di Pulau Pari Kepulauan Seribu Jakarta. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas padjajaran. Bandung Den Hartog, C. 1970. Seagrassess of the World. North Holland Punlishing c o., Amsterdam, London pp. 272. Effendi, H. 2007, Telaah Kualitas Air, Kanisius, Yogyakarta. Fauzi, A. 2009. Analisa Kadar Unsur Hara Karbon Organik Dan Nitrogen Di Dalam Tanah Perkebunan Kelapa Sawit Bengkalis Riau. Tugas akhir. USU Repository. Folk, R.L. and Ward, W.C. 1957. Brazos River bar, a study in the significance of grainsize parameters. J. of Sedimentary Petrologi, 27:3-26. Fortes, M.D. 1990. Seagrasses A Resources unknown in the Asean region Association of Southeast Asian Nations/United States Coastal Resources Management Project Education Series 6.
35
Fourqurean, J.W., Gary A. Kendrick, Laurel S. CollinsC, Andolph, R., Chambers, M. and Mathew A. Vanderklift. 2012. Carbon, nitrogen and phosphorus storage in subtropical seagrass meadows: examples from Florida Bay and Shark Bay. Marine and Freshwater Research. Csiro Publishing Fourqurean, J.W., 2012. Seagrass Ecosystem as a Globally Significant Carbon stock. Articles, Vol.5. Nature Geoscience. Habibi, M.A., Maslukah L., Wulandari S.Y. 2014. Studi Konsentrasi Fospat Bioavailable dan Karbon Organik Total (KOT) Dalam Sedimen di Perairan Benteng Portugis, Jepara. Universitas Diponegoro. Jurnal Oseanografi. Vol. 3. No. 4, hal 690-697. Hutabarat, S. dan Evans, S.M. 1984. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia Press. Jakarta Houghton, R.A. 2005. The contemporary carbon cycle. Pages 473-513 in W. H. Schlesinger, editor. Biogeochemistry. Elsevier Science. Jalil, A.R. 2013. Distribusi kecepatan arus pasang surut pada muson peralihan barat-timur terkait hasil tangkapan ikan pelagis kecil di Perairan Spermonde. Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin Janzen, H. H. 2004. Carbon cycling in earth systems—a soil science perspective. In Agriculture, ecosystems and environment, 104, 399 – 417. Jompa, J. 1996. Monitoring and Assessment of Coral Reefs On Spermonde Archipelago, South Sulawesi. Thesis. MC Master – Canada. Jompa, J., Moka, W., dan Yanuarita, D. 2005. Kondisi Ekosistem Perairan Kepulauan Spermonde Keterkaitannya dengan Pemanfaatan sumberdaya Laut di Kepulauan Spermonde. Divisi Kelautan Pusat Kegiatan Penelitian, Universitas Hasanuddin. Makassar Kiswara, W. dan Ulumuddin, YI. 2009. Peran vegetasi pantai dalam siklus karbon global: mangrove dan lamun sebagai rosot karbon. Workshop Ocean and climate change. Laut sebagai pengendali perubahan iklim: peran laut Indonesia dalam mereduksi percepatan proses pemanasan global. Bogor 4 Agustus 2009 Kiswara, W. 1992. Community Structure and Biomass Distribution of Seagrass at Banten Bay, West Java. Indonesia. Komar, P.D. 1976. Beach Processes and sedimentation. New Jersey: Prentice-hall Inc, Englewood Cliffs Kusnida, D., Rahadiawan, R. dan Arifin L. 2014. Distribusi Sedimen Permukaan Dasar Laut dan Jenis Mineral Lempung di Cekungan Spermonde, Sulawesi Selatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan. Bandung Larasanti, M., Lestari, F., and Zen, L.W. 2015. Kajian Biomassa Lamun di Kawasan Konservasi Laut Daerah Desa Malang Rapat Kabupaten Bintan. Jurusan Menejemen Sumberdaya Perairan. FIKP. Umrah. Tanjungpinang 36
Liu, J.T., Huang, J.S., Hsu, R.T. and. Chyan, J.M. 2000. The coastal depositional system of a small mountainnous river: a perspective from grainsize distributions. Marine Geology,165:63–86. Madjid, A. 2008, Bahan Organik Tanah (online). (www.unsri.ac.id), diakses 27 Januari 2016, Pukul 13.00 WITA, Makassar. Marpaung, S., dan Prayogo, T. 2014. Analisis Arus Geostropik Permukaan Laut Berdasarkan Data Satelit Altimetri. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. LAPAN Menengkey, W. K. H. 2010. Kandungan Bahan Organik Pada Sedimen Di Perairan Teluk Buyat dan Sekitarnya. Jurnal Vol. VI-3. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. UNSRAT. Manado. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan.5 Jakarta Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Cetakan ketiga. Penerbit Djambatan, Jakarta: 367 hal. Nontji, A. 2009. Rehabilitasi Ekosistem Lamun dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir. Lokakarya Nasional 1 Pengelolaan Ekosistem Lamun. Jakarta Phillips RC, EG Menez. 1988. Seagrasses. Washington DC : Smithsonian Institution Press. Rohmimohtarto, K. and Juwana. S. 2001. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. LIPI. Jakarta Sari, T.A., Atmojo, W., Zuraida R. 2014. Studi Bahan Organik Total (BOT) Sedimen Dasar Laut di Perairan Nabire, Teluk Cendrawasih, Papua. Universitas Diponegoro. Jurnal Oseanografi. Vol. 3, No 1, Hal. 81-86. Sarwono, J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Graha Ilmu: Yogyakarta Supriadi. 2003. Produktivitas Lamun Enhalus acoroides (Linn.F) Royle dan Thalassia hemprichii (Ehrenb.). Ascherson di Pulau Barrang Lompo Makassar. Institut Pertanian Bogor Short, F.T., Carruthers, T.J.R., Waycott, M., Kendrick, G.A., Fourqurean, J.W., Callabine, A., Kenworthy, W.J. & Dennison, W.C. 2010. Thalassia hemprichii. The IUCN Red List of Threatened Species 2010: Downloaded on 25 February 2016 Short, F.T. and Duarte, C.M. 2001. Methods for the measurement of seagrass growth and production. In : Global Seagraas Research Methods. (eds: Short FT, Coles RG, Short CA. Elsevier. Amsterdam. Netherland Takaendengan, K, dan Azkab, M.H, 2010. Struktur Komunitas Lamun Di Perairan Pulau Talise, Sulawesi Utara. Jurnal Oseanologi dan Limnologi –LIPI, Sulawesi Utara Volume 36. No 1 85-95.
37
Triatmodjo, B. 1999.Teknik Pantai. Beta Offset. Yogyakarta. Tomascik, T.A. Mah, J., Nontji, A. and Moosa, M.K. 1997. The Ecology of The Indonesian Seas. Part Two. Published by Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore] Waycott, M., Mc Mahon, K., Mellors. J., Calldine, A, Kleine, D. 2004. A Guide to Seagrass of The Indo-West Pacific. James Cook University. Townsville Werorilangi, S. 2012. Spesiasi Logam : Bioavailabilitas bagi Biota Bentik dan Pola Sebaran Spasial di Sedimen Perairan Pantai Kota Makassar. Pascasarjana. Universitas Hasanuddin. Makassar
38
39