POTENSI LAMUN JENIS Enhalus acoroides DAN Thalassia hemprichii DARI PULAU PRAMUKA, DKI JAKARTA SEBAGAI BIOANTIFOULING
CITRA SATRYA UTAMA DEWI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Potensi Lamun Jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dari Pulau Pramuka, DKI Jakarta Sebagai Bioantifouling” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Citra Satrya Utama Dewi NIM C551090041
3
ABSTRACT
CITRA SATRYA UTAMA DEWI. Potential Bioactive of Enhalus acoroides and Thalassia hemprichii for BIOANTIFOULING in Pramuka Island, DKI Jakarta. Under direction of DEDI SOEDHARMA and MUJIZAT KAWAROE. Biochemically, seagrass has natural antifouling compounds potential to substitute harmful compund of TBT (tributhyl tin) in the antifouling paint. The aim of this study was to explore potential seagrass as bioantifouling materials. Particulary of Thalassia hemprichii and Enhalus acoroides extraction was performed using two solvents: methanol (polar) and n-hexane (non-polar). The results showed that extracts of Thalassia hemprichii and Enhalus acoroides contains flavonoids, a chemical compound potential as bioantifouling. Based on toxicity tests using Brain Shrimp Lethal Toxic (BSLT) method, methanol extract of Enhalus acoroides was more toxic (5.74 ppm) than n-hexane extract (1309.42 ppm). Biofilm inhibitory activity assay showed that inhibition performance seagrass extract (200 mg/ml) were weak (1.00 mm) to moderate (5.33mm). Key words: seagrass; bioantifouling; TBT; biofilm inhibitory activity assay
5
RINGKASAN
CITRA SATRYA UTAMA DEWI. Potensi Lamun Jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii Dari Pulau Pramuka, DKI Jakarta Sebagai Bioantifouling. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA dan MUJIZAT KAWAROE. Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki kemampuan beradaptasi untuk hidup di laut. Keragaman jenis lamun di Kepulauan Seribu dilaporkan ada delapan jenis, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, Halophila minor, Syringodium isoetifolium, dan Halodule uninervis (Mardesyawati dan Anggraeni 2009). Sejak dekade terakhir beragam penelitian bioteknologi telah mulai dilakukan untuk mengeksplorasi lamun, guna mengetahui potensi bahan bioaktif yang terkandung di dalamnya. Qi et al. (2008) melakukan pengujian terhadap lamun jenis Enhalus acoroides yang hasilnya menunjukkan bahwa jenis tersebut mengandung bahan aktif potensial untuk menghambat proses penempelan larva (antilarva) Bugula neritina pada bagian daunnya, serta menghambat proses predasi daun (antifeedant) oleh Spodoptera litura. Potensi lamun sebagai antifeedant dan anti-larva menimbulkan dugaan bahwa lamun dapat digunakan sebagai bahan baku subtitusi senyawa kimia tributyl tin (TBT), yang umum digunakan sebagai campuran cat antifouling. Cat antifouling tersebut umum digunakan untuk mengatasi masalah organisme penempel (biofouling), namun tidak ramah lingkungan, sehingga mengakibatkan dampak negatif pada ekosistem (Darmayanti 1994). Salah satu contoh dampak negatif pada ekosistem, adalah indikasi terganggunya organ reproduksi (imposex) pada Thais sp. yang ditemukan di Perairan Pelabuhan Ratu (Soedharma dan Fauzan 1996) dan di Pantai Barat Semenanjung Malaysia (Yusuf et al. 2011). Sejak 17 September 2008, Organisasi Maritim Internasional (IMO) melarang pemakaian cat dengan campuran TBT untuk cat kapal, oleh karena itu pencarian bahan antifouling yang ramah lingkungan (bioantifouling), khususnya yang berasal dari lamun dibutuhkan. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis kandungan golongan senyawa bioaktif lamun; (2) menganalisis toksisitas bahan bioaktif lamun; dan (3) menganalisis potensi lamun sebagai penghambat biofouling (bioantifouling). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa rendemen yang dihasilkan oleh lamun jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii meningkat seiring dengan kepolaran pelarut. Nilai rendemen kedua jenis lamun yang diekstraksi dengan pelarut polar (methanol) lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang diekstraksi dengan pelarut non polar (n–heksana), artinya Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii mengandung senyawa polar lebih banyak dari pada senyawa non polar. Hasil uji fitokimia, menunjukkan bahwa ekstrak metanol dari Enhalus acoroides mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, benedict, dan ninhidrin. Ekstrak metanol lamun jenis Thalassia hemprichii diketahui mengandung senyawa golongan alkaloid, steroid, flavonoid, benedict dan ninhidrin. Uji
7
fitokimia yang dilakukan terhadap ekstrak n–heksana dari Enhalus acoroides menunjukkan bahwa ekstrak tersebut mengandung senyawa pada golongan flavonoid dan gula pereduksi, sementara uji yang dilakukan terhadap ekstrak Thalassia hemprichii menunjukkan ketersediaan senyawa bioaktif pada golongan alkaloid, steroid, flavonoid, dan gula pereduksi. Berdasarkan uji toksisitas terhadap organisme uji Artemia, diketahui bahwa Enhalus acoroides yang diekstrak dengan menggunakan metanol mengandung bahan bioaktif sangat toksik, yaitu 5,74 ppm, sementara ekstrak nheksana dari jenis yang sama tingkat toksisitasnya sangat rendah (tidak toksik), yaitu 1309,42 ppm. Hasil uji aktivitas hambat ekstrak lamun terhadap bakteri biofilm terpilih jenis Vibrio spp. dengan konsentrsai 200 mg/ml menunjukkan ekstrak Thalassia hemprichii yang diujikan terhadap bakteri Vibrio 4-3 MA membentuk zona hambat terbesar, yaitu 5.33 mm. Nilai zona hambat tersebut termasuk dalam golongan aktivitas sedang.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
9
POTENSI LAMUN JENIS Enhalus acoroides DAN Thalassia hemprichii DARI PULAU PRAMUKA, DKI JAKARTA SEBAGAI BIOANTIFOULING
CITRA SATRYA UTAMA DEWI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
11
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis;
Dr. Hawis Madduppa, M.Si
Judul Tesis
:Potensi Lamun Jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii Dari Pulau Pramuka, DKI Jakarta Sebagai Bioantifouling
Nama
: Citra Satrya Utama Dewi
NIM
: C551090041
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA Ketua
Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc
Dr. Ir. Dahrulsyah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian : 19 Oktober 2012
Tanggal Lulus :
13
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas semua nikmat iman dan islam yang dikaruniakan sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang penulis pilih dalam penelitian yang dilakukan sejak Maret 2011 ini adalah bioaktivitas lamun, dengan judul Potensi Lamun Jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dari Pulau Pramuka, DKI Jakarta Sebagai Bioantifouling. Lamun merupakan sumber daya hayati laut yang tersebar hampir diseluruh pantai Indonesia, namun masih sangat kurang informasi pemanfaatannya selain mafaat ekologis. Sejak akhir Tahun 1990-an, penelitian pemanfaatan lamun mulai banyak dilakukan, dan beberapa menunjukkan lamun potensial sebagai antibakteri, antijamur, dan antilarva. Potensi lamun tersebut menimbulkan dugaan bahwa lamun dapat dimanfaatkan sebagai bioantifuling. Oleh karena itu penelitian awal ini dilakukan untuk mengkaji potensi lamun sebagai bioantifuling. Semoga sedikit pemaparan ilmiah hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan dunia kelautan.
Bogor, Desember 2012
Citra Satrya Utama Dewi
15
UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini tidak akan dapat terlaksana dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis sangat berterimakasih kepada : 1. Papa, Mama, dan Amelia Satrya Assyifa, anakku atas doa, restu, dan kesabarannya, sehingga penulis dapat terus bertahan dan berjuang untuk menuntut ilmu serta menuntaskannya. 2. Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA dan Dr. Ir. Mujizat Kawaroe selaku komisi pembimbing tesis yang tidak sekedar memberikan masukan dan saran dalam pelaksanaan penelitian, namun juga bimbingan dan diskusi dengan kehangatan seorang Bapak dan Ibu sekaligus pendidik, sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan menulis tesis. 3. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc selaku Ketua Program Studi Ilmu Kelautan yang memberikan masukan serta dorongan, sehingga semangat menyelesaikan tesis terus menyala tanpa henti. 4. Dr. Hawis Madduppa, M.Si selaku penguji luar pembimbing, atas saran dan masukan agar tesis ini menjadi lebih baik. 5. Laboratorium Mikrobiologi Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI yang telah memberikan izin untuk menggunakan koleksi isolat bakteri biofilm dan fasilitas penelitian yang lainnya. 6. Keluarga Bagian Hidrobiologi Laut, Departemen ITK, FPIK – IPB atas kerjasama berbasis kekeluargaan dan beasiswa yang telah diberikan selama penulis menempuh studi. 7. Abang, mbak, adinda, sahabat kelu*warga besar ITK untuk pelajaran “bertahan hidup” yang baik sebagai anak rantau, sehingga penulis dapat menikmati masa-masa menjadi mahasiswa seutuhnya. 8. Kanda, ayunda, dan adinda keluarga HMI untuk pelajaran Nilai Dasar Perjuangan Islam (NDPI), terutama Kanda OP untuk praktikum NDPI yang sangat aplikatif. 9. Keluarga Siaga (Siap Antar Jaga): Beginer Subhan, M.Si, Dondy Arafat, M.Si, Fadhilah Rahmawati, S.Pi, Safrina Dyah Hardiningtyas, M.Si, Yuliana F. Syamsuni, M.Si, Lumban Nauli Lumban Toruan, M.Si, Heidi Retnoningtyas, S.Pi, M. Fahmi Fauzi, S.Pi, M. Ince A. Akbar, S.Pi, Febrina Desrianti, M.Si, Auhadillah Azizi, M.Si, dan Rahmi Purnomowati, M.Si atas limpahan kasih sayang, serta segenap bantuan jiwa dan raga yang tak tergantikan, sehingga penulis dapat melewati masa kritis, lalu bangkit dan menyelesaikan tesis. 10. Semua pihak yang turut membantu penelitian dan penulisan tesis yang tidak memungkinkan untuk dituliskan satu per satu.
17
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jember pada 27 Januari 1984, anak tunggal dari bapak Rahmat Utomo dan ibu Ratna Satrya Indra Dewi. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 2 Bondowoso pada Tahun 2002, kemudian melanjutkan pendidikan sarjana di IPB, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis menyelesaikan program sarjana di Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) pada Tahun 2007. Pada Tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana di Mayor Ilmu Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB. Sejak Tahun 2007 hingga sekarang penulis tercatat sebagai asisten dosen di Bagian Hidrobiologi Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK – IPB. Dalam kurun waktu tersebut, penulis bertanggung jawab untuk membantu kegiatan praktikum mata kuliah Ekologi Laut Tropis, Keanekaragaman Hayati Laut, dan Biologi Laut. Penulis tercatat aktif pada forum taksonomi kelautan Indonesia, dan terlibat dalam pelatihan yang diadakan Tahun 2009 di Jakarta dan 2010 di Sanur, Bali. Pada Tahun 2010 penulis terpilih sebagai delegasi IPB bergabung dalam Pelayaran Kebangsaan Indonesia Muda, kegiatan tersebut diadakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional, dengan menggunakan Kapal Penelitian LIPI, Baruna Jaya VIII.
19
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii DAFTAR TABEL ..................................................................................................23 DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... 25i DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xviii 1. PENDAHULUAN ..............................................................................................1 1.1.
Latar Belakang ..........................................................................................1
1.2.
Rumusan Masalah .....................................................................................1
1.3.
Tujuan dan sasaran ....................................................................................3
2. TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................5 2.1.
Lamun .......................................................................................................5
2.2.
Potensi Bioaktif Lamun ............................................................................7
2.3.
Senyawa Antifouling .................................................................................9
2.4.
Biofouling ................................................................................................10 2.4.1. Makrofouling................................................................................11 2.4.2. Mikrofouling ................................................................................12
2.5.
Ekstraksi Senyawa Bioaktif ....................................................................14
2.6.
Uji Fitokimia ...........................................................................................15
2.7.
Uji Toksisitas ..........................................................................................18
2.8.
Uji Bioantifuling .....................................................................................19
3. METODOLOGI ................................................................................................21 3.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................21
3.2.
Alat dan Bahan ........................................................................................22
3.3.
Metode Penelitian ...................................................................................23 3.3.1. Koleksi contoh lamun ..................................................................23 3.3.2. Ekstraksi komponen bioaktif contoh lamun ................................25 3.3.3. Uji fitokimia ekstrak contoh lamun .............................................25 3.3.4. Uji toksisitas.................................................................................27 3.3.5. Uji bioantifuling ...........................................................................28
3.4.
Analisis Data ...........................................................................................30
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................................31
21
4.1.
Koleksi Contoh Lamun ........................................................................... 31
4.2.
Senyawa Bioaktif Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii ........... 33
4.3.
Golongan Senyawa Fitokimia ................................................................ 35
4.4.
Toksisitas Senyawa Bioaktif Lamun ...................................................... 37
4.5.
Uji bioantifuling ..................................................................................... 41
V. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 47 5.1.
Kesimpulan ............................................................................................. 47
5.2.
Saran ....................................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 49 LAMPIRAN .......................................................................................................... 55
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Kategori toksisitas bahan ………………………………………………
19
2. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian ……………………..
22
3. Hasil analisis kualitas perairan Pulau Pramuka, DKI Jakarta (Maret 2011) ……………….
32
4. Berat ekstrak kasar Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii ……..
34
5. Hasil identifikasi kandungan golongan senyawa lamun jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii ………………………………………...
37
6. Nilai toksisitas ekstrak lamun terhadap hewan uji Artemia salina ……...
39
7. Hasil pengujian aktivitas hambat biofilm Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada konsentrasi 20mg/ml ………………………
43
8. Hasil pengujian aktivitas hambat biofilm Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada konsentrasi 200mg/ml ……………………..
44
23
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Empat habitat unik bagi lamun tropis .....................................................
5
2.
Senyawa murni hasil purifikasi dan ilusidasi lamun jenis Thalassia testudinum, flavones glycoside liteolin 7-O-β-glucopyransyl-2-sulfate .
8
3.
Proses penempelan biofouling pada substrat padat di laut. ....................
11
4.
Tahapan penempelan bakteri biofilm pada substrat di laut.....................
12
5.
Lokasi koleksi contoh lamun ..................................................................
21
6.
Diagram alir penelitian............................................................................
24
7.
Proses koleksi dan persiapan contoh lamun ............................................
24
8.
Proses ekstraksi dan pasta rendemen lamun .........................................
25
9.
Proses kegiatan uji fitokimia ...................................................................
27
10.
Proses kegiatan uji toksisitas ..................................................................
28
11.
Bagan alir seleksi bakteri uji ...................................................................
29
12.
Proses mendapatkan bakteri terpilih .......................................................
30
13.
Proses uji aktivitas hambat biofilm .........................................................
30
14.
Foto lamun (A) Enhalus acoroides dan (B) Thalassia hemprichii .........
31
15.
Rendemen ekstrak Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii ..........
35
16.
Grafik regresi hubungan log konsentrasi dan mortalitas A. salina dalam nilai probit dari A) Ekstrak n-heksana Thalassia hemprichii; B) Ekstrak n-heksana Enhalus acoroides; C) Ekstrak methanol Thalassia hemprichii; D) Ekstrak methanol Enhalus acoroides .............................
40
(a) Koloni bakteri Vibrio spp. hasil seleksi dengan menggunakan media TCBS; (b) Hasil identifikasi dengan metode pewarnaan gram bakteri Vibrio spp. hasil seleksi ...........................................................
42
17.
25
18.
19.
Hasil uji aktivitas hambat biofilm Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada konsentrasi 20mg/ml; Kertas cakram ditetesi Hex) pelarut n-heksana; Met) pelarut methanol; 1) Ekstrak Enhalus acoroides dengan pelarut methanol; 2) Ekstrak Thalassia hemprichii dengan pelarut methanol; 3) Ekstrak Enhalus acoroides dengan pelarut n-heksana; 4) Ekstrak Thalassia hemprichii dengan pelarut n-heksana..
43
Hasil uji aktivitas hambat biofilm Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada konsentrasi 200mg/ml; Kertas cakram ditetesi 1) Ekstrak Enhalus acoroides dengan pelarut methanol; 2) Ekstrak Thalassia hemprichii dengan pelarut methanol; 3) Ekstrak Enhalus acoroides dengan pelarut n-heksana; 4) Ekstrak Thalassia hemprichii dengan pelarut n-heksana ........................................................................
44
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Hasil uji anova dua arah data rendemen ekstrak lamun ................................ 56 2. Data jumlah artemia yang mati, setelah uji toksisitas dengan empat konsentrasi ...................................................................................................... 57 3. Tabel Probit ..................................................................................................... 58 4. Contoh Perhitungan LC50 ................................................................................ 59 5. Hasil pengukukuran diameter zona hambat ekstrak Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii konsentrasi 20mg/ml terhadap biofilm .................. 60 6. Hasil pengukukuran diameter zona hambat ekstrak Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii konsentrasi 200mg/ml terhadap biofilm ................ 61
27
1. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Lamun
(seagrass)
merupakan
satu-satunya
tumbuhan
berbunga
(Angiospermae) yang memiliki kemampuan beradaptasi untuk hidup di laut. Keragaman jenis lamun di Kepulauan Seribu dilaporkan ada delapan jenis, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, Halophila minor, Syringodium isoetifolium, dan Halodule uninervis (Mardesyawati dan Anggraeni 2009). Sejak dekade terakhir beragam penelitian bioteknologi telah mulai dilakukan untuk mengeksplorasi lamun, guna mengetahui potensi bahan bioaktif yang terkandung di dalamnya. Qi et al. (2008) melakukan pengujian terhadap lamun jenis Enhalus acoroides yang hasilnya menunjukkan mengandung bahan aktif potensial untuk menghambat proses penempelan larva (antilarva) gastropoda jenis Bugula neritina pada bagian daunnya, serta menghambat proses predasi daun (antifeedant) oleh Spodoptera litura. Potensi lamun sebagai antifeedant dan antilarva menimbulkan dugaan bahwa lamun dapat digunakan sebagai bahan baku subtitusi senyawa kimia tributyl tin (TBT), yang umum digunakan sebagai campuran cat antifouling. Cat antifouling tersebut umum digunakan untuk mengatasi masalah organisme penempel (biofouling), namun tidak ramah lingkungan, sehingga mengakibatkan dampak negatif pada ekosistem (Darmayanti 1994). Salah satu contoh dampak negatif pada ekosistem, adalah indikasi terganggunya organ reproduksi (imposex) pada Thais sp. yang ditemukan di Perairan Pelabuhan Ratu (Soedharma dan Fauzan 1996), dan di Pantai Barat Semenanjung Malaysia (Yusuf et al. 2011). Sejak 17 September 2008, Organisasi Maritim Internasional (IMO) melarang pemakaian cat dengan campuran TBT untuk cat kapal, oleh karena itu pencarian bahan antifouling yang ramah lingkungan (bioantifouling), khususnya yang berasal dari lamun dibutuhkan. 1.2.
Rumusan Masalah Biofouling merupakan suatu istilah bagi organisme yang hidup menempel
pada setiap substrat padat yang diletakkan di laut. Proses penempelan organisme 29
diawali dengan keberadaan material organik yang memicu adanya penempelan mikrofouling,
kemudian
diikuti
dengan
penempelan
larva
organisme
makrofouling. Organisme mikrofouling umumnya terdiri dari bakteri dan jamur (biofilm) serta diatom (peryphyton), sementara makrofouling umumnya berasal dari golongan alga dan larva avertebrata. Perlahan namun pasti, biofouling akan menimbulkan masalah pada material substrat padat tersebut, sehingga mengakibatkan kerugian bagi industri maritim.
Laju penempelan biofouling pada substrat kayu lebih cepat jika
dibandingkan dengan substrat fiber, karena permukaan kayu lebih kasar jika dibandingkan dengan fiber, sehingga materi organik lebih mudah menempel pada permukaan kayu. Pada umumnya, biofouling yang menempel pada substrat fiber hanya jenis mikrofouling saja, sehingga dapat diatasi dengan pencucian sarana dan prasarana sementara biofouling yang menempel pada substrat kayu lebih beragam, yaitu mikrofouling dan makrofouling, sehingga harus diatasi dengan pencucian dan pengerokan. Masalah yang ditimbulkan akibat biofouling ini pada awalnya diatasi dengan penggunaan cat yang dicampur dengan senyawa TBT (tributhyl tin) dan unsur logam berat lain, seperti Selenium (Sn), Timbal (Pb). Cat dengan tambahan TBT dan logam berat ini pada awalnya banyak digunakan untuk mengatasi masalah
biofouling
pada
industri
maritim,
dan
semakin
berkembang
penggunaannya pada Tahun 1970. Aplikasi cat dengan tambahan senyawa TBT ternyata berdampak negatif pada lingkungan perairan, sehingga mendorong Oganisasi Maritim Internasional (IMO) melarang pemakaian bahan tersebut untuk cat kapal yang secara efektif dimulai 17 September 2008. Oleh karena itu pencarian bahan antifouling non-toksik yang ramah lingkungan (bioantifouling) sangat dibutuhkan saat ini. Lamun (seagrass) merupakan salah satu organisme laut yang diduga potensial sebagai bahan bioantifouling, bahkan Zoostera marina dan Thalassia testudinum diketahui mengandung senyawa murni golongan flavonoid, yang potensial menghambat pertumbuhan jamur pembentuk biofilm.
Potensi
penghambat pertumbuhan biofilm diduga juga dapat diisolasi dari lamun jenis Thalassia hemprichii dan Enhalus accoroides yang tumbuh di Indonesia, terutama
di Kepulauan Seribu, DKI – Jakarta, sehingga pada penelitian ini perlu dikaji lebih lanjut mengenai golongan senyawa yang terkandung di dalam ekstrak kasar contoh lamun serta potensi senyawa bioaktif lamun sebagai bioantifouling. 1.3. Tujuan dan sasaran Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Menganalisis kandungan golongan senyawa bioaktif yang diekstrak dari Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii; 2) Menganalisis toksisitas bahan bioaktif yang diekstrak dari Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii; dan 3) Menganalisis potensi bioantifouling dari ekstrak Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Sasaran dari penelitian ini adalah diperolehnya informasi jenis lamun yang potensial dan jenis pelarut yang efektif digunakan sebagai bioantifouling dari Pulau Pramuka, DKI Jakarta.
31
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Lamun Lamun yang umum disebut sebagai “samo-samo” oleh masyarakat lokal
Kepulauan Seribu diketahui memiliki akar, batang, daun, bunga dan buah sejati seperti tumbuhan monokotil lain di darat.
Lamun dapat hidup membentuk
hamparan luas yang biasa disebut dengan padang lamun.
Padang lamun
berdasarkan komposisi jenis penyusunnya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: padang lamun homogen, yang terdiri dari satu spesies, dan padang lamun heterogen yang tersusun lebih dari satu spesies. Lamun dapat hidup, tumbuh dan berkembang biak dengan baik di habitat perairan laut dangkal, estuaria dengan kadar garam tinggi, serta di daerah yang selalu mendapat genangan air ketika surut. Waycott et al. (2004) memaparkan pada dasarnya cahaya matahari dan masukan nutrien merupakan faktor utama yang membatasi sebaran dan habitat hidup lamun. Waycott et al. (2004) membagi habitat hidup lamun di wilayah tropis menjadi empat bagian, yaitu: river estuary, coastal, deep water, dan reef. Empat habitat unik lamun tropis tersebut dapat dilustrasikan seperti pada Gambar 1:
Sumber: Waycot et.al. (2004)
Gambar 1 Empat habitat unik bagi lamun tropis Jumlah jenis lamun yang telah ditemukan di dunia hingga saat ini adalah 58 jenis, yang termasuk ke dalam 12 marga.
Sembilan marga lamun yang
ditemukan, tergolong dalam Famili Potamogetonaceae, dan tiga marga lamun yang lainnya masuk dalam Famili Hydrocharitaceae. Sebaran geografik lamun di
33
dunia dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu di daerah tropis dan sub tropis. Den Hartog dan Kuo (2006) memaparkan bahwa di daerah tropis terdapat tujuh marga lamun yang umum ditemukan, yaitu Halodule, Cymodocea, Syringodium, Thalassodendron, Enhalus, Thalassia, dan Halophila, sedangkan di daerah sub tropis ditemukan dua marga yang umum yaitu, Zostera dan Posidonia. Tiga marga yang lain, Heterozostera dan Amphibolis hanya ditemukan di perairan sub tropis belahan bumi selatan, sedangkan Phyllospadix hanya ditemukan di perairan Pasifik utara. Keragaman jenis lamun di Indonesia cukup banyak, lamun yang telah ditemukan hingga saat ini ada 12 jenis yang termasuk ke dalam tujuh marga yaitu: Enhalus, Halophila, Thalassia, Cymodocea, Halodule, Syringodium, dan Thalassodendron (Tomascik et al. 1997). Kiswara et al. (1997) memaparkan bahwa jenis lamun yang ditemukan di perairan Indonesia bagian timur lebih banyak jika dibandingkan dengan di Indonesia bagian barat. Di Indonesia bagian timur dapat ditemukan 12 jenis lamun, sedangkan di Indonesia bagian barat hanya sembilan
jenis
lamun,
bahkan
lamun
jenis
Thalassodendron
ciliatum
penyebarannya terbatas hanya di Indonesia bagian timur. Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau pulau kecil yang tersebar di bagian utara DKI Jakarta.
Mardesyawati dan Anggraeni (2009) melaporkan
bahwa jenis lamun di Kepulauan Seribu terdiri dari Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, Halophila minor, Syringodium isoetifolium, dan Halodule uninervis.
Pada
penelitian lain di Kepulauan Seribu, diketahui bahwa jenis lamun yang memiliki penyebaran luas di Kepulauan Seribu adalah Thalassia hemprichii (Kawaroe dan Jaya 2004). Penelitian penelitian yang dilakukan di ekosistem lamun selama ini menunjukkan bahwa lamun memiliki peranan sebagai (1) produsen primer di laut dangkal; (2) habitat hidup biota; (3) perangkap sedimen; dan (4) pendaur zat hara (Azkab 1999). Ekosistem lamun telah lama diketahui memiliki peranan penting dalam memberikan tempat perlindungan bagi organisme penempel yang hidup di batang dan daun lamun, selain itu ekosistem lamun juga menyediakan makanan
serta menjadi daerah asuhan bagi ikan ikan herbivora dan organisme herbivora lainnya (Kikuchi dan Peres 1977 in Azkab 1999). 2.2.
Potensi Bioaktif Lamun Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, kajian dan penelitian
dengan menggunakan lamun sebagai objek penelitian mulai merambah pada bidang bioteknologi dan bioprospecting. Eksplorasi senyawa bioaktif dan potensi lamun mulai dilakukan pada beberapa dekade terakhir, tidak hanya di negara maju, eksplorasi ini juga dilakukan di Indonesia. Enhalus acoroides merupakan salah satu jenis lamun tropis dengan morfologi yang besar, Elfahmi (1997) melakukan penelitian dengan menggunakan jenis lamun tersebut, hasilnya menunjukkan bahwa Enhalus acoroides mengandung senyawa golongan triterpenoid, steroid, tannin, dan flavonoid. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa ekstrak n-heksan dari Enhalus acoroides mengandung senyawa stigmasta-3,5-diena-7-on atau sakarostenon yang bercampur dengan asam palminat, ekstrak etil asetat dari Enhalus acoroides mengandung senyawa stigmat,5-22-dien-3-ol, dan ekstrak methanol dari Enhalus acoroides mengandung senyawa 5,7,3,4-tetrahidroksi glikosida flavon dan 5,7,3trihidroksiglikosida flavon. Qi et al. (2008) memaparkan bahwa Enhalus acoroides yang dikoleksi dari Cina, dan diekstrak dengan etanol diketahui mengandung 11 senyawa murni yang tergolong dalam golongan flavonoid dan steroid. Beberapa senyawa murni yang tergolong kedalam golongan flavonoid tersebut diduga memiliki potensi sebagai antifouling karena terbukti toksik bagi larva-larva biota penempel, Bugula neritina (Qi et al., 2008).
Enhalus acoroides juga dilaporkan mengandung
senyawa bioaktif golongan fenolik yang cenderung potensial sebagai antioksidan (Raja-Kannan et al. 2010). Thalassia testudinum yang dikoleksi dari Kepulauan Bahama, dilaporkan memiliki senyawa bioaktif dengan potensi sebagai bahan baku antibiotik alami (Jensen et al. 1998). Jensen et al. (1998) melaporkan bahwa senyawa bioaktif terus diisolasi dan diilusidasi dengan metode HPLC menghasilkan senyawa murni flavones glycoside liteolin 7-O-β-Dglucopyransyl-2-sulfate (Gambar 2), senyawa ini diketahui termasuk kedalam golongan flavonoid. Senyawa tersebut menurut 35
Jensen et al. (1998) juga mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme penempel, jamur jenis Schizichytrium aggregatum.
Sumber: Jensen et al. (1998)
Gambar 2 Senyawa murni hasil purifikasi dan ilusidasi lamun jenis Thalassia testudinum, flavones glycoside liteolin 7-O-β-glucopyransyl-2-sulfate Thalassia hemprichii yang dikoleksi dari Pamban, Tamil Madu, India diketahui mengandung senyawa bioaktif potensial sebagai antibakteri, antifungi, antiprotozoa, antiviral, antifertility, dan yang bahan obat-obatan yang berpengaruh pada sistim cardiovascular (Laksmi et al. 2006). Raja-Kannan et al. (2010) memaparkan Thalassia hemprichii juga memiliki potensi bioaktif sebagai antioksidan dan mengandung senyawa golongan fenolik. Syringodium isoetifolium merupakan salah satu jenis lamun yang dianalisis komponen bioaktifnya oleh Raja-Kannan (2010), dan hasil analisisnya menunjukkan lamun tersebut mengandung senyawa fenolik, serta potensial sebagai bahan antioksidan.
Lakshmi et al. (2006) melaporkan Syringodium
isoetifolium dari wilayah India, potensial sebagai antibaktetri, karena mampu menghambat bakteri Stapilococcus aureus, Escheria coli, Streptococcus fecalis, Pseudomonas aeruginosa. Lamun dengan bentuk seperti lidi ini juga memliki potensi sebagai antijamur dan antivirus (Lakshmi et al. 2006). Zostera marina, Cymodocea nodosa, dan Ruppia cirrhosa merupakan jenis lamun yang tidak lazim ditemui di daerah tropis, namun ketiga lamun tersebut juga telah dikaji potensi bioaktifnya.
Zostera marina dilaporkan
mengandung senyawa aromatik zosteric acid, yaitu senyawa murni yang
dipurifikasi dari ekstrak methanol Zostera marina (Zimmerman et al. 1997 dalam Arlyza 2007).
Cymodocea nodosa dan Ruppia cirrhosa, kedua jenis lamun
tersebut dilaporkan oleh El-Hady et al. (2007) memiliki ekstrak metanol yang potensial sebagai antibakteri dan antifungi. 2.3.
Senyawa Antifouling Cat yang mengandung TBT terbukti mampu mengatasi masalah biofouling
di laut, namun ternyata solusi praktis ini berdampak negatif pada lingkungan di sekitarnya (Darmayanti 1994). Salah satu contoh dampak negatif pada ekosistem, adalah indikasi terjadinya imposex pada organisme uji, Thais sp. (Soedharma dan Fauzan 1996; Yusuf et al. 2011), sehingga muncul larangan untuk menggunakan cat tersebut sejak Tahun 2008 (Delauney et al. 2009). Penelitian bioprospeksi kelautan untuk mendeteksi bahan aktif alami antifouling di Australia, sudah dikembangkan sejak tahun 1995. Senyawa bioaktif yang digunakan berasal dari organisme laut jenis alga dan spons. Jenis alga Delisea pulchra diketahui mengandung senyawa furanones, yaitu senyawa non polar halogen yang mampu mengurangi jumlah populasi teritip (Wetherbee 2004 dalam Arlyza 2007). Anonimus (1995) dalam Arlyza (2007) mengemukakan lactone dan furanon merupakan komponen yang berperan sebagai antifouling, yaitu berupa gugusan oksigen kecil yang mengandung cincin hidroksil. Bahaya dan larangan penggunaan cat antifouling dengan campuran TBT dan logam berat di Indonesia menjadi pemicu bagi para peneliti untuk melakukan kajian dan penelitian awal guna menemukan senyawa bioaktif antifouling namun ramah lingkungan (bioantifouling). Sabdono dan Radjasa (2006) mengisolasi dan mengkultur bakteri yang berasosiasi dengan Sarcophyton sp. kemudian melakukan uji bioaktif senyawa yang dihasilkan, hasilnya bakteri asosiasi tersebut memiliki potensi untuk menghambat aktivitas bakteri biofilm. Pada penelitian yang lain, Sabdono (2007) memaparkan bahwa bakteri Pelagiobacter variabilis mengandung senyawa bioaktif yang potensial menghambat aktivitas bakteri biofilm dan juga terbukti mampu menghambat penempelan bernakel pada kayu uji yang direndam di laut selama satu bulan. Spons jenis Callyspongia pulvinata diketahui mengandung senyawa bioaktif yang mampu menghambat pertumbuhan Nitzchia paleaceae dan cacing 37
tabung (Hydroides elegans), potensi antifouling ini juga dimiliki oleh spons jenis yang lain, yaitu Dendrila nigra, Axinella donai, dan Clathria gorgonoides (Selvin dan Lipton 2002). Bakteri yang hidup di laut ataupun yang hidup bersimbiosis (simbion) dengan organisme makro, juga memiliki potensi sebagai penghasil senyawa bioaktif antifouling. Pseudmonas sp. merupakan salah satu bakteri yang diisolasi dari air laut permukaan, potensial sebagai antifouling karena mampu menghambat pertumbuhan spora Ulfa lactuca (Burgess et al. 2003).
Pseudoalteromonas
tunicata adalah bakteri yang diisolasi dari tunicate Ciona intestinalis, bakteri ini mengandung senyawa aktif sebagai antifouling yang mampu menghambat pertumbuhan spora alga, bakteri, jamur dan diatom. 2.4.
Biofouling Biofouling merupakan istilah umum yang digunakan untuk semua jenis
organisme laut yang hidup menempel pada permukaan substrat, organisme penempel pada umumnya menempel hanya pada substrat yang disukainya (Wahl 1989).
Organisme penempel atau yang biasa disebut biofouling ini akan
menempel pada semua benda padat yang terendam di laut, terutama yang tidak dilapisi oleh lapisan antifouling. Benda–benda padat tersebut dapat berupa bahan kayu, besi atau logam, fiber, dan beton. Proses penempelan organisme laut pada substrat keras ini dapat dibagi menjadi lima tahapan (Delauney et al. 2009), yaitu: (1) Terjadinya proses turbulensi massa air yang mengakibatkan adanya adsorbsi bahan organik dan inorganik pada permukaan substrat; (2) Bahan organik dan inorganik yang teradsorbsi di permukaan substrat tersebut mengandung sel mikroba, baik itu bakteri ataupun jamur, serta mampu menjadi media yang baik untuk pertumbuhan mikrobakteri tersebut; (3) Pertumbuhan mikroba yang terus berkembang akan membentuk koloni sehingga terbentuklah lapisan biofilm; (4) Lapisan biofilm yang terbentuk akan memicu adanya penempelan spora alga dan larva organisme bentik; (5) Pada fase inilah larva dan spora akan berkembang dengan pesat sehingga permukaan substrat akan penuh ditempeli oleh biofouling. Ilustrasi proses penempelan biofouling pada substrat padat di laut dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber : Abarzua dan Jakubowski (1995)
Gambar 3 Proses penempelan biofouling pada substrat padat di laut Biofouling dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu mikrofouling dan makrofouling. Boesono (2008) menjelaskan bahwa organisme penempel pada substrat kayu jati dan kayu bangkirai yang direndam di laut selama 2 bulan didominasi oleh makrofouling, yaitu organisme filum crustacea dan moluska, seperti Balanus, Bankia, dan Ligia. Mikrofouling pada umumnya merupakan susunan koloni bakteri, jamur, diatom, cyanobacter, dan jenis uniseluler alga yang lainnya. Koloni diatom, cyanobacter, dan uniseluler alga biasa disebut sebagai peryphyton, sementara koloni jamur dan bakteri umum disebut sebagai biofilm. 2.4.1. Makrofouling Makrofouling oleh Callow dan Callow (2002) dibedakan menjadi dua macam, yaitu makrofouling lunak dan keras. Makrofouling lunak contohnya soft coral, spons, anemon, tunikata, dan hydroid, sementara contoh yang keras adalah bernakel, kerang, dan cacing tabung. Kerang hijau menempel pada substrat dengan bantuan senyawa yang disekresikan oleh tubuhnya.
Senyawa tersebut lengket seperti lem, disebut
sebagai protein dyhidroxypenylalanine yang masuk pada golongan polipeptida (Callow dan Callow 2002).
Bernakel, juga mampu mensekresikan senyawa
dengan sifat yang sama, namun diketahui sebagai senyawa hydrophobic protein (Callow dan Callow 2002).
Larva bernakel (cyprid) memiliki cambuk dan
berenang bebas, kemudian akan memilih lokasi yang baik untuk melekat dengan 39
menggunakan antennules. Salah satu bagian organ larva, yang umum disebut antennules tersebut menghasilkan cairan untuk menandai lokasi lalu kemudian menempel. Callow dan Callow (2002) memaparkan Enthemorpha, merupakan salah satu jenis golongan makroalga yang menempel pada substrat dilaut sejak fase spora. Spora makroalga tersebut memiliki cambuk yang dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk menempel pada substrat, karena mengeluarkan glycoprotein, yaitu senyawa yang disekresikan dari bagian apparatus golgi spora alga. 2.4.2. Mikrofouling Mikrofouling merupakan susunan koloni bakteri, jamur, diatom, cyanobacter, dan jenis uniseluler alga yang lainnya. Koloni diatom, cyanobacter, dan uniseluler alga biasa disebut sebagai peryphyton, sementara koloni jamur dan bakteri umum disebut sebagai biofilm. Biofilm pada umumnya didominasi oleh bakteri yang memiliki kemampuan untuk menempel pada substrat keras di laut. Penempelan biofilm pada permukaan substrat di laut juga melewati beberapa fase, yaitu (1) pelekatan bakteri yang bersifat planktonik di permukaan substrat, dengan menggunakan bulu atau cambuknya (flagel); (2) pembentukan koloni sederhana antara bakteri bakteri sejenis; (3) pembentukan koloni bakteri biofilm yang semakin besar dan kondisi individu bakteri lebih matang (Armitage 2005). Tahapan penempelan bakteri biofilm tersebut ditampilkan pada Gambar 4.
Sumber : Amirtage (2005)
Gambar 4 Tahapan penempelan bakteri biofilm pada substrat di laut Proses awal pelekatan biofilm pada substrat keras dipengaruhi oleh dua hal, yaitu (1) sifat fisika bahan sehingga terjadi reaksi kohesi dan adhesi morfologi bakteri dengan struktur substrat; (2) respon fisiologis bekteri terhadap
nutrisi yang tersedia (Czaczyk dan Myszka 2007). Respon fisiologis tersebut berupa sekresi Ekstracelluler Polysakaruda Substance (EPS) oleh bakteri melalui satu atau dua katub memanjang yang terdapat di bagian ujung tubuhnya. EPS telah diketahui sebagai penyusun utama koloni bakteri biofilm, yang mengandung protein, nukleid acid, lipid, dan hampir 97% polysakarida (Vu et al. 2009). Vu et al. (2009) memaparkan setiap bakteri penyusun biofilm memiliki kemampuan untuk mensekresikan EPS yang berbeda berdasarkan komposisi dan sifat kimianya.
Asam kolanat merupakan salah satu jenis EPS fleksibel yang
diproduksi oleh bakteri biofilm Pseudomonas aeruginosa, sementara Vibrio cholera diketahui mensekresikan EPS berupa senyawa galaktoglukan (Vu et al. 2009). Salah satu faktor yang berpengaruh dalam proses koloni bakteri biofilm, selain EPS adalah adanya quorum sensing.
Quorum sensing merupakan
mekanisme komunikasi antar sel yang dimiliki bakteri untuk memastikan kecukupan jumlah sel sebelum melakukan respon biologi tertentu (Hentzer et al. 2002). Hentzer et al. (2002) memaparkan quorum sensing setiap sel bakteri dapat bersamaan menghasilkan molekul sinyal, sehingga bakteri dengan molekul sinyal yang sama dapat saling mendekat, kemudian membentuk koloni dan membentuk biofilm. Vibrio spp. adalah jenis bakteri yang bersifat halofil, sehingga umum ditemukan di laut dan merupakan salah satu jenis bakteri biofilm yang mampu menghasilkan EPS. Bakteri ini dapat hidup optimal pada salinitas 20-40 ppm, pH 4-9, serta bersifat anaerobik fakultatif (Hikmah 2011). Toleransi terhadap selang salinitas yang lebar tersebut, membuat Vibrio spp. menjadi jenis bakteri kosmopolitan di laut. Vibrio spp. diketahui sebagai bakteri gram negatif, dengan bentuk sel batang, dan ukuran sekitar 2-3 µm, serta bergerak dengan menggunakan cambuk di salah satu ujung selnya (Feliatra 1999). Vibrio diketahui memiliki kemampuan menghasilkan biofilm, dan kemampuan tersebut dipengaruhi oleh struktur morfologi sel dan komponen regulator sel (Yildiz and Visick 2009). Morfologi sel yang mempengaruhi, adalah keberadaan dan fungsi flagel, pili serta kemampuan sintetis EPS, sedangkan komponen regulator sel, meliputi quorum
41
sensing dan sinyal C-di-GMP (Yildiz and Visick 2009). Yildiz and Visick (2009) mengungkapkan, keberadaan flagel dan pili membantu pergerakan bakteri untuk membentuk koloni antar bakteri, flagel dan pili kemudian membantu koloni untuk menemukan substrat yang cocok untuk menempel.
Pada saat koloni bakteri
tersebut menempel di permukaan, flagel dan pili lepas, kemudian bakteri mulai membentuk biofilm. Komunikasi antar bakteri terjadi dengan mekanisme quorum sensing, sehingga terjadi sekresi enzim yang mendeteksi autoinduncer sesama jenis Vibrio (Waters et al. 2008). Vibrio cholera mengandung enzim yang dihasilkan ketika mekanisme quorum sensing terjadi adalah CAI-1, (5)-3-hydroxytridecan-1-one dan AL-2, (25,45)-metyl 2,3,4 –tetrahydroxy tetrahydrofuranborate (Waters et al. 2008). Waters et al. (2008) juga menjelaskan, protein 3’ 5’ cyclic diguanylic acid (c-di-GMP) merupakan salah satu komponen yang membantu komunikasi intraseluler, yang membawa pesan mengenai kondisi lingkungan disekitar sel. Cdi-GMP pada Vibrio diketahui mampu memicu peningkatan densitas sel dalam koloni, serta mengontrol pembentukan biofilm. 2.5.
Ekstraksi Senyawa Bioaktif Ekstraksi merupakan salah satu proses pemisahan satu atau lebih
komponen senyawa dari sumbernya, agar diperoleh komponen dari suatu bahan yang diinginkan. Khopkar (2003) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi ekstraksi, yaitu: lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Jenis pelarut yang digunakan juga harus diperhatikan titik didih, sifat korosif, sifat toksik dan daya melarutkannya. Berdasarkan jenis pelarutnya, ekstraksi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: aqueos phase, dengan menggunakan air dan organic phase dengan menggunakan pelarut organik. Berdasarkan metode kerjanya, ekstraksi dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: (1) Penekanan mekanik; (2) Menggunakan pelarut; (3) Pemanasan. Selama proses maserasi, pelarut akan menembus dinding sel sehingga senyawa bioaktif akan larut, proses osmoregulasi kemudian akan terjadi. Larutan pekat di dalam sel akan didesak keluar terus menerus sampai keseimbangan konsentrasi larutan di dalam dan di luar sel terjadi.
Tahapan yang dilakukan pada saat proses ekstraksi, adalah penghancuran bahan, perendaman dengan pelarut, penyaringan dan pemisahan. Penghancuran bertujuan agar dapat mempermudah pengadukan, dan kontak bahan dengan pelarutnya pada saat proses perendaman. Bahan kemudian direndam dalam pelarut, seperti n-heksana (non polar), etil asetat (semi polar), dan metanol (polar), proses perendaman ini disebut dengan maserasi. Prinsip pelarutan yang dipakai pada metode ini adalah like dissolve like artinya pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut non polar akan melarutkan senyawa non polar. Tahap pemisahan yang terdiri dari penyaringan dan evaporasi. Untuk memisahkan pelarut dengan senyawa bioaktif yang terikat dilakukan evaporasi, sehingga pelarutnya akan menguap dan diperoleh senyawa hasil ekstraksi yang dihasilkan (Khopkar 2003). Harbone (1987) menjelaskan bahwa hasil ekstrak yang diperoleh bergantung pada beberapa faktor, yaitu kondisi alamiah senyawa, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, lama waktu ekstrak, kondisi dan waktu penyimpanan dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel. Komponen aktif dari senyawa yang diekstrak sangat bergantung pada kepolaran pelarutnya, misalnya senyawa yang terikat pada pelarut polar antara lain alkaloid, asam amino, polihidrosisteroid, dan saponin (Riguera 1997) 2.6.
Uji Fitokimia Uji fitokimia merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui aneka
golongan senyawa organik yang dihasilkan oleh organime sebagai bentuk metabolit sekunder. Tujuan dan manfaat dari melakukan uji fitokimia adalah untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditujukan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987). a) Alkaloid Alkaloid pada umumnya mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sitem siklik. Alkaloid biasanya tanpa warna, seringkali bersifat tropis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (missal nikotina pada suhu kamar). Alkaloid merupakan turunan yang paling 43
umum dari asam amino.
Secara kimia, alkaloid merupakan suatu golongan
heterogen (Harborne 1987). b) Steroid Steroid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehid atau asam karboksilat. Steroid dapat dipilah menjadi sekurangkurangnya empat senyawa, yaitu triterpenoid, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Senyawa triterpenoid yang terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi adalah fitosterol yang terdiri dari sitosterol, stigmasterol, dan kaempsterol (Harborne 1987). Steroid dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21, seperti sterol, sapogenin, glikosida jantung, dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpena, yaitu lanosterol dan sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987). c) Flavonoid Menurut strukturnya, semua flavonoid merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat pada tumbuhan Primula. Flavonoid dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid ini berupa senyawa fenol, oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak (Harborne 1987).
Flavonoid
mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi, oleh karena itu menunjukkan pita serapan pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak. Flavonoid terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Harbone (1987) menyatakan golongan senyawa flavonoid terdiri dari sepuluh kelas, yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavanol, khalkon, auron, flavonon dan isoflavon. d) Saponin Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa. Pembentukan busa yang baik sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau sewaktu memekatkan
ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan adanya saponin. Saponin jauh lebih polar dari pada sapogenin karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987). e) Karbohidrat Karbohidrat berguna untuk mencegah timbulnya ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan berguna untuk membantu metabolisme lemak dan protein dalam tubuh. Karbohidrat dibentuk dari reaksi CO2 dan H2O dengan bantuan sinar matahari melalui proses fotosintesis dalam sel tanaman yang berklorofil.
Karbohidrat
dalat
dikelompokkan menjadi
monosakarida, oligosakarida dan polisakarida. Monosakarida merupakan molekul yang terdiri dari lima atau enam atom C, sedangkan oligosakarida merupakan polimer dari 2-10 monosakarida dan pula umumnya polisakarida merupakan polimer yang terdiri lebih dari 10 monomer polisakarida (Winarno 1997). Karbohidrat dengan zat tertentu akan menghasilkan warna tertentu yang dapat digunakan untuk analisa kualitatif. Bila karbohidrat direaksikan dengan larutan naftol dalam alkohol, kemudian ditambahkan H2SO4 pekat secara hati-hati, pada batas akan terbentuk furfural yang berwarna ungu. Reaksi ini disebut Molisch dan merupakan reaksi umum bagi karbohidrat (Winarno 1997). f) Gula pereduksi Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor satu (anomerik), sedangkan pada fruktosa (ketosa) terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1 pada gugus glukosanya (Winarno 1997). Gula pereduksi teroksidasi oleh zat pengoksidasi lemah, seperti larutan Benedict dan Fehling (reduksi Cu2+ menjadi Cu+) dan pereaksi Tollens (reduksi Ag+ menjadi Ag). Beberapa dari reaksi ini digunakan sebagai uji klinis untuk mendeteksi gula dalam air seni yang menunjukkan penyakit diabetes. g) Peptida Dua asam amino berikatan melalui suatu ikatan peptida (-CONH-) dengan melepas sebuah molekul air. Reaksi keseimbangan ini cenderung untuk berjalan ke arah hidrolisis daripada sintesis. Pembentukan ikatan tersebut memerlukan
45
banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis tidak memerlukan energi. Gugus karboksil suatu asam amino berkaitan dengan gugus amino dari molekul asam amino lain menghasilkan suatu dipeptida dengan melepaskan molekul air. Dipeptida masih mempunyai gugus amino dan karboksil bebas sehingga dapat bereaksi dengan dipeptida-dipeptida lainnya membentuk peptida dan akhirnya membentuk molekul protein (Winarno 1997). h) Asam amino Bila suatu protein dihidrolisis dengan asam, alkali, atau enzim maka akan dihasilkan campuran asam-asam amino. Sebuah asam amino terdiri dari sebuah gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen dan gugus R yang terikat pada atom C, yang dikenal sebagai karbon alfa, serta rantai cabang gugus R. Semua asam amino berkonfigurasi alfa dan hanya konfigurasi l, kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam amino L yang merupakan komponen protein (Winarno 1997). Ninhidrin adalah peraksi yang digunakan secara luas untuk mengukur asam amino secara kuantitatif. 2.7.
Uji Toksisitas BSLT (Brain Shrimp Lethal Toxic) merupakan salah satu uji yang banyak
dilakukan untuk menguji bahan-bahan yang bersifat sitotoksik (uji toksisitas), dengan menggunakan larva udang (Artemia salina Leach).
Metode ini pada
umumnya digunakan untuk penapisan awal senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak tanaman karena murah, cepat dan mudah, dan dapat dipercaya. Artemia yang digunakan sebagai bahan uji dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu stadia larva dan stadia dewasa. Stadia larva yang paling umum digunakan adalah larva 24-48 jam setelah menetas. Konsentrasi letal untuk kematian 50% setelah 6 jam perlakuan (akut LC50) atau konsentrasi letal untuk kematian 50% setelah 24 jam perlakuan (kronik LC50) dapat diartikan sebagai ukuran toksisitas kandungan racun suatu bahan (Meyer et al. 1982). Tingkat toksisitas suatu bahan aktif dapat dilihat pada Tabel 1. Artemia salina merupakan jenis udang planktonik dengan toleransi kadar garam yang luas, antara 15 – 300 per mil, suhu antara 26 – 31 0C, dan pH perairan antara 7,3 – 8,4 (Djarijah 2006). Selang toleransi Artemia salina yang luas terhadap salinitas menyebabkan udang ini umum disebut sebagai brine shrimp.
Artemia merkembang biak dengan cara bertelur, dan setiap individu bersifat biseksual. Usia Artemia dapat mencapai enam bulan (180 hari), dan dikatakan dewasa ketika mencapai usia 141 hari. Artemia betina yang sudah dewasa dapat bertelur sebanyak 50 hingga 300 telur setiap kali bertelur, dan mereka bertelur setiap 4 – 5 hari sekali. Telur-telur Artemia dapat disimpan dalam suhu ruang, dan ditetaskan jika dibutuhkan, telur tersebut akan menetas menjadi naupli pada kurun waktu 24 – 36 jam. Artemia salina dipilih sebagai obyek uji toksisitas yang efektif dan sederhana dalam ilmu biologi dan toksikologi (Meyer et al. 1982), karena kemudahan dalam menetaskan telur menjadi larva, pertumbuhan yang cepat dari larva serta mudah dalam mempertahankan populasi dalam kondisi laboratorium. Tabel 1 Kategori toksisitas bahan Kategori
LC50 (µg/ml)
Sangat toksik
< 30 30 – 1000
Toksik Tidak toksik
>1000
Sumber: Meyer et al. (1982)
2.8.
Uji Bioantifouling Uji bioantifouling dilakukan secara invitro, dengan mengamati aktivitas
hambat ekstrak lamun terhadap bakteri pembentuk biofilm. Uji aktifitas hambat dilakukan untuk mengetahui kemampuan dari suatu senyawa bioaktif guna menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang diuji (Schlegel dan Schmidt 1994). Pengujian ini dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu teknik tabung pengenceran (tube dilution technique) dan metode difusi agar (agar diffusion method).
Aktivitas antimikroba dilakukan dengan mengukur diameter
hambatannya, yaitu daerah bening yang terbentuk di sekitar kertas cakram. Bell (1984) menjelaskan bahwa suatu senyawa dikatakan memiliki aktivitas antibakteri apabila diameter hambatan yang terbentuk lebih besar atau sama dengan 6mm. Aktivitas antibakteri dari suatu senyawa dikatakan tinggi jika memiliki konsentrasi penghambat kecil, namun diameter hambatnya besar.
47
David dan Strout (1971) memaparkan ketentuan kekuatan antibiotikantibakteri sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti sangat kuat, daerah hambatan 10-20 mm (kuat), daerah hambatan 5-10 mm (sedang), dan daerah hambatan kurang 5 mm (lemah).
Faktor yang mempengaruhi ukuran
daerah penghambatan, yaitu sensitivitas organisme, medium kultur, kondisi inkubasi, dan kecepatan difusi agar. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan difusi agar, yaitu konsentrasi mikroorganisme, komposisi media, suhu inkubasi, dan waktu inkubasi (Schlegel dan Schmidt 1994).
3. METODOLOGI
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini diawali dengan melakukan koleksi contoh lamun segar di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (Gambar 5).
Gambar 5 Lokasi koleksi contoh lamun di Pulau Pramuka, DKI Jakarta Contoh lamun segar yang diperoleh kemudian dikeringkan alami, dijemur dibawah sinar matahari kemudian diekstraksi di Laboratorium Kering, Bagian Hidrobiologi Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK – IPB. Ekstrak lamun kemudian diuji, meliputi uji fitokimia, uji toksisitas dengan menggunakan metode Brain Shrimp Lethal Toxic (BSLT), dan uji bioantifouling dengan mekanisme aktivitas hambat bakteri.
Uji fitokimia dilakukan di
Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Teknologi Hasil Perairan FPIK – IPB, dan uji bioantifouling dilakukan di Laboratorium mikrobiologi Pusat Penelitian Oseanografi (P2O – LIPI), sementara uji toksisitas dengan metode BSLT dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia FMIPA – IPB. Proses pengambilan contoh lamun segar, ekstraksi dan evaporasi, serta pelaksanaan uji fitokimia dilakukan sejak Maret – April 2011, sementara pelaksanaan uji toksisitas serta uji bioantifouling dilakukan pada April – Mei
49
2012.
Selama selang waktu tersebut, ekstrak kasar contoh lamun disimpan
didalam botol vial dan diletakkan didalam freezer. 3.2. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian besar (Tabel 2), yaitu alat dan bahan untuk pengambilan contoh lamun, untuk ekstraksi, dan perlakuan uji. Perlakuan uji yang dilakukan meliputi uji fitokimia, uji toksisitas, dan uji bioantifouling. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian Tahapan
1. Pengambilan contoh lamun
2. Ekstraksi bahan bioaktif
Alat Masker Snorkel Plastik Pisau selam Alat gelas Evaporator shaker bath Kertas saring (Whatman) Timbangan
Bahan
Contoh lamun Methanol n - heksana
3. Uji Fitokimia
a. alkaloid
Tabung reaksi, Pipet, Gelas piala
b. Steroid
Tabung reaksi, Pipet, Gelas piala
c. Flavonoid
Tabung reaksi, Pipet, Gelas piala
d. Saponin e. Molish f. Benedict g. Biuret h. Ninhidrin
Tabung reaksi, Pipet, Gelas piala Tabung reaksi, Pipet, Gelas piala Tabung reaksi, Pipet, Gelas piala Tabung reaksi, Pipet, Gelas piala
asam sulfat 2N pereaksi meyer pereaksi dragendorf pereaksi wagner klorofom anhidrida asetat asam sulfat pekat magnesium amil alkohol alkohol HCL 2N Asam sulfat pekat Pereaksi molisch Pereaksi benedict Pereaksi biuret Larutan ninhidrin
Tabel 2 (Lanjutan) Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian Tahapan
Alat Aerator
4. Uji toksisitas BSLT
5. Uji aktivitas hambat biofilm (antimikrofouling)
Lampu Pipet volumetric Wheel/Tabung reaksi Hotplate Tabung reaksi Kapas Alumunium foil Autoklaf Gelas ukur Sudip Jarum ose Inkubator Bunsen Cawan petri Referigrator Vortex Paper disc
Bahan Ekstrak sampel Telur Artemia salina Air laut steril Biakan bakteri biofilm Marine Agar Aquades TCBS Agar
3.3. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu koleksi contoh lamun, ekstraksi contoh lamun, uji fitokimia, uji toksisitas dengan metode BSLT, dan uji bioantifouling. Tahapan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 6. 3.3.1. Koleksi Contoh Lamun Proses koleksi dan preparasi contoh lamun ditampilkan dalam bentuk foto pada Gambar 7. Metode koleksi contoh lamun pada penelitian ini diadopsi dari El-Hady et al. (2007) dan Jensen et al. (1998). El-Hady et al. (2007) memaparkan teknik penanganan contoh daun lamun segar diambil langsung dari habitatnya, kemudian dibersihkan dari organisme penempel (epifit), setelah bersih dari epifit daun lamun dikeringkan alami sampai berat daun lamun menjadi konstan dan ditimbang dengan berat 50 gram. Contoh daun lamun ini diambil sebanyak tiga kali ulangan pada setiap spesiesnya.
51
Tahapan
Keluaran
KOLEKSI CONTOH LAMUN
Contoh lamun yang digunakan sebagai bahan ekstraksi
Ekstraksi bioaktif lamun dengan metode bertingkat
1. Rendemen ekstrak lamun 2. Informasi jenis pelarut yang efisien
Uji Fitokimia
Kandungan golongan senyawa kimia dalam ekstrak kasar lamun
Uji Toksisitas dengan metode BSLT
1. Nilai LC50 dari ekstrak kasar lamun 2. Informasi jenis ektsrak yang bersifat toksik
Uji Bioantifouling, dilakukan secara invitro terhadap bakteri pembentuk biofilm
1. Diameter zona hambat 2. Informasi jenis ekstrak yang potensial sebagai bioantifouling
Gambar 6 Skema tahapan penelitian
Gambar 7 Proses koleksi dan persiapan contoh lamun
3.3.2. Ekstraksi komponen bioaktif contoh lamun Proses ekstraksi contoh lamun yang dilakukan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 8. Contoh lamun yang telah siap diekstraksi, ditimbang masing masing seberat 50gram, kemudian direndam pelarut non polar, n-hexana (75 ml) dengan perbandingan 1:1,5 (b/v) di dalam botol kaca, lalu dimaserasi selama 24 jam (El-Hady et al. 2007; Jensen et al. 1998). Larutan contoh lamun kemudian difiltrasi dengan menggunakan kertas saring. Filtrat contoh lamun yang terisisa kemudian direndam kembali dengan pelarut polar, methanol (75 ml) dengan perbandingan 1:1,5 (b/v) di dalam botol kaca, lalu dimaserasi selama 24 jam. Setelah 24 jam, larutan contoh lamun difiltrasi dengan menggunakan kertas saring. Larutan contoh lamun hasil filtrasi kemudian dievaporasi dengan menggunakan Rotary evaporator yang diaplikasikan pada suhu 500C, sehingga diperoleh ekstrak kasar lamun dalam bentuk pasta. Pasta ekstrak kasar lamun kemudian ditimbang agar dapat diketahui prosentase rendemen yang diperoleh.
Gambar 8 Proses ekstraksi dan hasil ekstraksi lamun 3.3.3. Uji Fitokimia ekstrak contoh lamun Uji fitokimia merupakan salah satu uji kualitatif untuk mengetahui golongan senyawa yang tekandung dalam suatu organisme. Rangkaian proses uji fitokimia selama penelitian ditampilkan pada Gambar 9. Ada delapan golongan senyawa yang akan diuji pada tahap ini, yaitu: a) Alkaloid.
Sejumlah ekstrak dilarutkan ke dalam beberapa tetes asam
sulfat 2N, kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid, yaitu meyer, dragendorf, dan wagner. Uji ini positif jika terbentuk endapan warna putih pada larutan yang ditambahkan pereaksi meyer, endapan coklat pada yang 53
ditambahkan pereaksi dragendorf, dan endapan merah hingga jingga pada yang ditambahkan pereaksi wagner. b) Steroid. Sejumlah ekstrak dilarutkan ke dalam 2 ml kloroform, kemudian ditambahkan 10 tetes anhidrida asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Uji ini positif jika larutan yang dihasilkan membentuk warna merah di awal kemudian berubah menjadi biru atau hijau di akhir pengujian. c) Flavonoid.
Sejumlah ekstrak ditambahkan bubuk magnesium (Mg)
sebanyak 0,1 mg, kemudian ditambahkan larutan amil alcohol sebanyak 0,4 ml, selanjutnya ditambahkan kembali alkohol sebanyak 4 ml dan dikocok.
Uji flavonoid positif jika larutan membentuk lapisan amil
alkohol dengan warna merah, kuning, atau jingga. d) Saponin.
Sejumlah ekstrak dilarutkan dengan akuades kemudian
dipanaskan, jika muncul busa dan bertahan hingga 30 menit maka uji dilanjutkan dengan menambahkan 1 tetes HCl 2N. Uji saponin positif jika larutan mampu mempertahankan busa. e) Molisch. Sejumlah ekstrak lamun dilarutkan dengan akuades, lalu diambil 1 ml dan ditambahkan 2 tetes pereaksi molisch serta 1 ml larutan asam sulfat (H2SO4) pekat. Uji ini positif jika ditandai dengan terbentuknya kompleks warna ungu diantara dua lapisan. f) Benedict. Sejumlah ekstrak lamun dilarutkan dengan akuades, kemudian diambil delapan tetes dan dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi benedict, lalu dididihkan selama lima menit.
Uji benedict positif jika larutan
membentuk warna hijau, kuning, atau membentuk endapan warna merah bata. g) Biuret. Uji ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan senyawa peptida. Sejumlah ekstrak lamun yang dilarutkan dengan akuades diambil sebanyak 1 ml, kemudian ditambahkan 4 ml pereaksi biuret, lalu dikocok. Uji ini positif jika larutan membentuk warna ungu. h) Ninhidrin.
Uji ninhidrin dilakukan untuk mengetahui keberadaan
golongan senyawa asam amino. Sejumlah ekstrak lamun yang dilarutkan dengan akuades diambil 2 ml, kemudian ditambahkan beberapa tetes
pereaksi ninhidrin 0,1% dan dipanaskan selama 10 menit. Uji ini positif jika terbentuk larutan dengan warna biru.
Gambar 9 Proses kegiatan uji fitokimia
3.3.4. Uji toksisitas Uji toksisitas ini dilakukan dengan mengadopsi dan memodifikasi metode uji toksisitas dengan menggunakan larva Artemia salina (Meyer et al. 1982). Larva Artemia salina ini dipelihara pada air laut yang telah difilter selama 24 jam pada suhu 28 0C, kemudian setiap 10 larva dipindahkan ke dalam masing-masing wheel yang telah diisi air laut hasil filtrasi sebanyak 2 ml. Untuk menguji toksisitas ekstrak kasar lamun, ekstrak diencerkan menggunakan air steril (aquades) hingga konsentrasi 10 ppm, 100 ppm, 500 ppm, dan 1000 ppm, kemudian diteteskan kedalam masing masing wheel yang telah diisi Artemia. Sebagai kontrol digunakan satu wheel tambahan tanpa penambahan ekstrak kasar lamun, setelah 24 jam, masing masing wheel kembali diamati, dihitung, dan dicatat jumlah larva yang hidup. Data yang digunakan dalam perhitungan BSLT adalah data Artemia yang mati, kemudian data tersebut dikonversi kedalam bilangan logaritma dari Tabel Probit (Lampiran 2). Perolehan nilai dari Tabel Probit dan nilai konsentrasi ekstrak yang digunakan kemudian dimasukan ke dalam persamaan regresi, sehingga diperoleh nilai konsentrasi LC 50. Ilustrasi proses uji toksisitas pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 10.
55
Gambar 10 Proses kegiatan uji toksisitas
3.3.5. Uji bioantifouling Uji bioantifouling dilakukan secara invitro, dengan mengamati aktivitas hambat ekstrak lamun terhadap bakteri pembentuk biofilm. Uji aktivitas hambat biofilm ini diawali dengan melakukan selekesi bakteri uji, seperti yang dipaparkan dalam Gambar 11. Bakteri pembentuk biofilm yang digunakan adalah genus Vibrio, hal ini mengacu pada hasil penelitian Mayavu et al. (2009) dan Yildiz and Visick (2009) yang menyatakan Vibrio spp. adalah bakteri pembentuk biofilm dan dapat memicu pembentukan fouling. Bakteri Vibrio spp. yang digunakan dalam penelitian diseleksi dari isolat bakteri koleksi Laboratorium Mikrobiologi P2O – LIPI. Seleksi bakteri dilakukan untuk mendapatkan bakteri Vibrio sp. pembentuk biofilm tertinggi dengan menggunakan metode Biofilm Formation Assay (Ramage et al. 2001). Isolat bakteri pembentuk biofilm terpilih kemudian diremajakan kembali dalam media Marine agar, berikutnya dikultur pada media selektif Thiosulfat Citrate Bile Sucrose (TCBS) untuk mendapatkan genus Vibrio (Feliatra 1999), proses ini dapat dilihat pada Gambar 12.
Isolat bakteri pembentuk biofilm, koleksi Laboratorium mikrobiologi P2O LIPI
Seleksi isolat bakteri Vibrio spp. dengan menggunakan media agar selektif TCBS
2 isolat bakteri uji Vibrio spp.
Identifikasi awal bakteri, dengan metode pewarnaan gram (+/-) Gambar 11 Alur skematik seleksi bakteri uji Uji aktivitas hambat biofilm ini menggunakan metode difusi agar yang diadopsi dari Jensen et al. (1998) dan El-Hady et al. (2007), yaitu bakteri terpilih dikulturkan pada media marine agar dan diletakkan pada masing masing cawan petri, kemudian didiamkan selama 1 jam pada suhu 28 0C. Pada saat yang bersamaan, kertas cakram yang telah disiapkan dicelupkan kedalam ekstrak lamun dengan konsentrasi 200 mg/ml dan 20mg/ml, kemudian didiamkan selama 1 jam agar pelarut menguap. Kertas cakram yang sudah dicelupkan diletakan pada media agar yang telah disebar bakteri biofilm terpilih, kemudian diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37 0C. Aktivitas hambat ekstrak lamun diukur berdasarkan diameter zona bening yang terbentuk. Proses uji aktivitas hambat biofilm selama penelitian ini ditampilkan pada Gambar 13.
57
Gambar 12 Proses mendapatkan bakteri terpilih
Gambar 13 Proses uji aktivitas hambat biofilm 3.4. Analisis Data Data rendemen hasil ekstraksi lamun dianalisis dengan menggunakan uji anova dua arah, kemudian dilanjutkan dengan uji F, untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap hasil ekstraksi.
Hasil uji fitokimia, berupa golongan
senyawa yang terkandung dalam ekstrak lamun dianalisis secara deskriptif. Data hasil uji toksisitas BSLT dianalisis dengan menggunakan analisis regresi, untuk mengetahui keeratan hubungan antara mortalitas Artemia salina dengan log konsentrasi ekstrak lamun yang diberikan.
Hasil uji anti bakteri biofilm
(bioantifouling) berupa nilai diameter zona hambat bakteri biofilm dianalisis secara deskriptif.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Koleksi Contoh Lamun Koleksi contoh lamun yang diambil adalah jenis Enhalus acoroides dan
Thalassia hemprichii (Gambar 14).
Kedua jenis lamun tersebut dapat
diklasifikasikan (Waycott et al. 2004) sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Magnoliophyta (Angiospermae) Class : Liliopsida Sub-class : Alismatidae Order : Alismatales Family : Hydrocharitaceae Genus : Thalassia Spesies : Thalassia hemprichii Genus : Enhalus Spesies : Enhalus acoroides Enhalus acoroides merupakan jenis lamun yang mudah dikenali, karena memiliki morfologi daun yang besar, lebar, dan keras.
Pertumbuhan daun
Enhalus acoroides sangat unik karena langsung dari rhizoma yang tebal dan keras dengan garis garis hitam. Thalassia hemprichii memiliki ciri khusus berupa ujung daun yang membundar dengan bercak merah, dan memiliki pertumbuhan daun tidak langsung dari akarnya, namun dari stem vertikal (Waycott et al. 2004). A
B
Gambar 14 Foto lamun (A) Enhalus acoroides dan (B) Thalassia hemprichii.
59
Kedua jenis lamun ini dipilih karena telah terbukti pada penelitian sebelumnya mengandung senyawa bioaktif (El-Hady et al. 2007; Elfahmi et al. 1997; Jensen et al. 1998; Lakshmi et al. 2006; Raja-Kanan et al. 2010; Qi et al. 2008; Mayavu et al. 2009), sehingga diduga memiliki potensi lebih besar sebagai bioantifouling.
Alasan lain penyebab digunakannya Enhalus acoroides dan
Thalassia hemprichii dalam penelitian, karena distribusi kedua jenis lamun tersebut di Indonesia sangat luas. Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dapat ditemui di perairan Indonesia, seperti Pulau Belitung (Fahmi et al. 2010), Kepulauan Seribu (Mardesyawati dan Anggraeni 2009), Teluk Gilimanuk, Bali (Dewi et al. 2008), dan Pantai Molas, Manado (Maabuat et al. 2012). Pertumbuhan dan perkembangbiakan lamun dipengaruhi oleh kondisi kualitas perairan, seperti suhu, salinitas, dan nutrien.
Madigan et al. (2000)
memaparkan produksi senyawa metabolit sekunder organisme merupakan salah satu mekanisme pertahanan diri yang meningkat produksinya seiring dengan tekanan lingkungan yang terjadi disekitarnya. Data kualitas air yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Lumban-Toruan (2011), meliputi suhu, salinitas, pH, DO, fosfat, nitrat dan ammonia, hasil analisis parameter tersebut menunjukkan nilai yang masih berada dalam kisaran nilai baku mutu kualitas perairan untuk biota laut menurut Kepmen – LH 51 Tahun 2004 (Tabel 3). Tabel 3 Hasil analisis kualitas perairan Pulau Pramuka, DKI Jakarta (Maret 2011) No
Parameter
Satuan
Pramuka Barat
Pramuka Timur
Baku Mutu
1
Suhu
o
C
29,5
29,5
28 - 30
2
Salinitas
ppm
34,2
34,3
33 - 34
3
pH
8
8,1
7 – 8,5
4
DO
mg/L
10
8,8
>5
6
Fosfat (PO4)
mg/L
0
0,17
0,015
7
Nitrat (NO3)
mg/L
0,02
0,02
0,008
8
Amonia (NH3)
mg/L
0,07
0,22
0,3
Sumber Keterangan
: Lumban-Toruan (2011) : Baku mutu berdasarkan Kepmen - LH 51 Tahun 2004 (untuk biota laut)
Suhu perairan Pulau Pramuka pada saat pengambilan contoh air, adalah o
29.5 C (Tabel 3), kondisi ini masih tergolong baik untuk lingkungan hidup lamun.
Philips dan Menez (1988) memaparkan bahwa lamun akan tumbuh
optimal pada air laut dengan suhu 28 – 30 oC. Salinitas perairan di sisi barat dan timur Pulau Pramuka, adalah 34.2 ppm dan 34.3 ppm, nilai ini masih berada dalam selang toleransi pertumbuhan dan perkembangan lamun.
Lamun akan
tumbuh dan berkembang dengan optimal pada perairan dengan salinitas 24 – 35 ppm (Hilman et al. 1989). Derajat keasaman (pH) di sisi barat dan timur perairan Pulau Pramuka pada Maret 2011, adalah 8 dan 8.1, nilai ini tergolong baik untuk pertumbuhan lamun. Hal ini karena lamun akan tumbuh dan berkembang dengan baik pada peraian dengan pH 7.3 – 9.0 (Burrell dan Schubell 1977). Hasil analisis diatas diambil pada Maret 2011, bulan ini termasuk pada musim peralihan.
Walaupun data kualitas perairan yang diperoleh hanya
mewakili satu musim saja, data tersebut masih dapat digunakan, karena kondisi kualitas fisika dan kimia perairan di Pulau Pramuka pada ketiga musim yang berbeda (timur, barat, dan peralihan) menurut Triyulianti (2009) tidak berbeda nyata. Analisis kualitas air diatas menunjukkan bahwa kualitas perairan di Pulau Pramuka pada saat pengambilan contoh lamun dalam kondisi yang baik dan tidak memberikan tekanan lingkungan terhadap lamun.
4.2.
Senyawa Bioaktif Lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii Berat basah contoh Enhalus acoroides yang dikeringkan dan digunakan
dalam penelitian akan menyusut hingga 31,6± 0,04%, sementara Thalassia hemprichii menyusut hingga 95,5±0,016%.
Rendemen yang dihasilkan oleh
lamun jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii hasil penelitian akan meningkat seiring dengan kepolaran pelarut. Jumlah rendemen ekstrak kedua jenis lamun yang diekstraksi dengan pelarut metanol lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang diekstraksi dengan pelarut n-heksana (Tabel 4).
Hal ini menunjukkan Enhalus acoroides dan
Thalassia hemprichii yang dikoleksi dari Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta mengandung senyawa bioaktif bersifat polar lebih banyak daripada yang
61
bersifat non polar. Tingginya potensi ikatan hidrogen yang terbentuk pada pelarut metanol, menyebabkan zat bioaktif yang terkandung dalam Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii lebih mudah larut didalamnya, sehingga lebih banyak zat bioaktif yang diperoleh dari proses ekstraksi. Tabel 4 Berat ekstrak kasar Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii Berat ekstrak (g) Spesies
Enhalus acoroides (n=3)
Berat Contoh
Ekstrak
Ekstrak n –
(g)
Metanol
heksana
50
1,36±0,058
0,16±0,04
50
1,50±0,086
0,16±0,016
Thalassia hemprichii (n=3)
Nilai berat yang disajikan pada Tabel 4 digunakan untuk menghitung rendemen, yaitu perbandingan nilai berat ekstrak yang dihasilkan dengan berat awal contoh daun lamun kering dalam persen (%). Rendemen ekstrak kasar lamun jenis Enhalus acoroides, dengan pelarut n-heksana adalah 0,32%, sedangkan dengan pelarut metanol adalah 2,71%. Rendemen ekstrak kasar lamun jenis Thalassia hemprichii dengan pelarut n-heksana adalah 0,32%, sementara dengan pelarut metanol adalah 2,99% (Gambar 15). Nilai rendemen kedua jenis lamun yang diekstraksi dengan pelarut polar (methanol) lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang diekstraksi dengan pelarut non polar (n-heksana).
Nilai rendeman hasil penelitian kemudian dianalisis
dengan melakukan uji anova (Lampiran 1), dan dilanjutkan dengan uji F untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap rendemen ekstrak. Hasil uji F yang dilakukan, menunjukkan faktor pelarut memiliki pengaruh yang nyata terhadap nilai rendemen, sedangkan jenis lamun tidak berpengaruh nyata terhadap nilai rendemen.
3.50 3.00
Rendemen (%)
2.50 2.00 metanol 1.50
n - heksana
1.00 0.50 0.00 Enhalus acoroides
Thalassia hemprichii
Sumber: Diolah dari Tabel 4
Gambar 15 Rendemen ekstrak Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii Faktor kepolaran pelarut merupakan peran penting dalam menentukan nilai besaran rendemen dari ekstrak suatu organisme, karena jenis pelarut dengan kepolaran yang berbeda akan melarutkan zat aktif dari dalam organisme yang berbeda pula. Khopkar (2003) menyebutkan bahwa kelarutan suatu zat pada pelarut tertentu sangat bergantung pada kemampuan zat tersebut untuk membentuk ikatan hidrogen.
Pelarut n–hekasana merupakan senyawa
hidrokarbon yang memiliki rantai lurus sehingga tidak dapat larut dalam air, sementara metanol merupakan senyawa yang memiliki bobot molekul rendah sehingga mudah membentuk ikatan hidrokarbon dan mudah larut dalam air. Tingginya potensi ikatan hidrogen yang terbentuk pada pelarut metanol, menyebabkan zat bioaktif yang terkandung dalam Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii lebih mudah larut didalamnya, sehingga lebih banyak zat bioaktif yang diperoleh dari proses ekstraksi. Pengaruh faktor kepolaran pelarut terhadap rendemen hasil ekstraksi juga terjadi pada penelitian eksplorasi bahan bioaktif dari karang lunak jenis Sarcophyton sp. dan Sinularia sp. yang dilakukan oleh (Soedharma et al. 2009). Pada penelitian yang dilakukan Soedharma et al. 2009 disebutkan bahwa
63
rendemen ekstrak metanol karang lunak jenis Sarcophyton sp dan Sinularia sp. adalah 2,55% dan 1,56%, dan rendemen ekstrak n-heksana adalah 0,42% dan 1,38%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil ekstraksi yang dilakukan terhadap organisme laut, baik tumbuhan ataupun hewan, dipengaruhi oleh faktor kepolaran dari pelarut yang digunakan. Semakin polar sifat pelarut yang digunakan, maka hasil rendemen ekstraksi akan semakin banyak. 4.3.
Golongan Senyawa Fitokimia Golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak lamun jenis Enhalus
acoroides dan Thalassia hemprichii ditampilkan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil uji fitokimia, diketahui bahwa ekstrak metanol dari Enhalus acoroides mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, banedict, dan ninhidrin.
Ekstrak
metanol lamun jenis Thalassia hemprichii diketahui mengandung senyawa golongan alkaloid, steroid, flavonoid, benedict dan ninhidrin. Uji fitokimia yang dilakukan terhadap ekstrak n-heksana dari Enhalus acoroides menunjukkan bahwa ekstrak tersebut mengandung senyawa pada golongan flavonoid dan benedict, sementara uji yang dilakukan terhadap ekstrak Thalassia hemprichii menunjukkan ketersediaan senyawa bioaktif pada golongan alkaloid, steroid, flavonoid, dan benedict. Seluruh
ekstrak
lamun
dengan
pelarut
n-heksana
dan
metanol
memperlihatkan respon positif terhadap uji flavonoid dan uji benedict (Tabel 5). Hal ini menunjukkan seluruh ekstrak lamun mengandung senyawa bioaktif golongan flavonoid dan gula pereduksi. Flavonoid diketahui sebagai salah satu golongan senyawa fenol alam terbesar dan banyak ditemui umumnya pada jenis tumbuhan (Markham 1988). Flavonoid diduga berperan aktifsebagai antifouling, karena isolat senyawa flavonoid dari Thalassia testudinum terhadap penempelan organisme. Winarno (1997)
menyebutkan gula
pereduksi
menunjukkan
keberadaan gugus hidroksil (OH) pada sebuah senyawa, sementara Anonimus (1995) in Arlyza (2007) mengemukakan keberadaan cincin hidroksil (OH) dalam senyawa flavonoid yang berperan sebagai antifouling.
Mekanisme senyawa
flavonoid
pembentuk
dalam
menghambat
pertumbuhan
bakteri
biofilm
disebabkan oleh keberadaan gugus OH yang dapat berikatan dengan protein
dalam membran sel bakteri, sehingga membran sel pecah dan seluruh organel sel keluar dan berdampak pada kematian sel (Scheuer 1994). Tabel 5 Hasil identifikasi kandungan golongan senyawa lamun jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii Uji Fitokimia
n-heksana (non polar) Enhalus acoroides
Thalassia hemprichii
Metanol (polar) Enhalus Thalassia acoroides hemprichii
Alkaloid
-
+
+
+
Steroid
-
+
-
+
Flavonoid
+
+
+
+
Saponin
-
-
-
-
Molisch
-
-
-
-
Benedict
+
+
+
+
Biuret
-
-
-
-
Ninhidrin
-
-
+
+
(+) : Mengandung golongan senyawa yang diuji ( - ) : Tidak mengandung golongan senyawa yang diuji
Robinson (1995) menjelaskan bahwa senyawa pada golongan alkaloid pada umumnya potensial dimanfaatkan sebagai antibakteri dan bahan obat obatan analgesik. Senyawa pada golongan ini diduga mampu mengganggu komponen penyusun peptidoglikan, sehingga dinding sel bakteri tidak tersusun dengan utuh, kemudian menyebabkan kematian. Golongan senyawa lain yang juga ditemukan adalah steroid. Golongan senyawa steroid merupakan salah satu jenis senyawa sterol yang mudah ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi, meskipun pada periode penelitian awal senyawa sterol diduga hanya ditemukan pada ekstrak hewan saja (Harbone 1987). Ekstrak yang mengandung senyawa golongan steroid ini memiliki potensi sebagai antibakteri dan antifungi, dengan mekanisme merusak membran sel bakteri, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri (Cowan 1999). Vickery dan vickery (1981) pada bukunya juga memaparkan bahwa senyawa golongan steroid sangat potensial menghambat pertumbuhan bakteri dengan mekanisme peningkatan permeabilitas membran sel kemudian terjadi kebocoran sel dan bagian intrasel akan terhambur keluar.
65
Uji ninhidrin menunjukkan hasil positif pada lamun yang diekstrak dengan pelarut metanol, artinya lamun mengandung senyawa asam amino dan dapat larut pada pelarut metanol. Hasil uji ninhidrin sesuai dengan hasil penelitian Setyati et al. (2005) yang memaparkan Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii mengandung asam amino sebesar 7,65% dan 8,35%. Uji fitokimia yang dilakukan menunjukan bahwa Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii yang dikoleksi dari Pulau Pramuka, DKI Jakarta mengandung senyawa bioaktif golongan flavonoid. Senyawa bioaktif golongan flavonoid selama ini diduga memiliki potensi sebagai bahan bioantifouling (Anonimus 1995 in Arlyza 2007). Uji ini menunjukan bahwa Enhalus acoroides Thalassia hemprichii memiliki potensi sebagai bioantifouling.
4.4.
Toksisitas Senyawa Bioaktif Lamun Hasil uji toksisitas yang dilakukan terhadap hewan uji Artemia salina
menunjukkan hasil yang beragam tingkat toksisitasnya, dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai hasil uji toksisitas tersebut diperoleh dengan menggunakan nilai konsentrasi ekstrak lamun dan mortalitas hewan uji (Lampiran 2).
Kedua besaran nilai
tersebut kemudian dikonversi menjadi bilangan logaritma dengan bantuan tabel probit (Lampiran 3), lalu dihitung dan diregresikan untuk memperoleh nilai LC50 (Lampiran 4), sehingga diperoleh bentuk grafik yang sigmoid. Konsentrasi ekstrak lamun yang diaplikasikan terhadap organisme uji Artemia salina adalah 10, 100, 500, dan 1000 ppm. Data log konsentrasi ekstrak lamun dan mortalitas probit A. salina yang diperoleh kemudian dihubungkan dan dilihat korelasinya dengan grafik regresi (Gambar 16). Melalui persamaan dari grafik regresi yang terbentuk, diperoleh nilai toksisitas LC 50 (Tabel 6). Nilai toksisitas LC50 tertinggi diperoleh dari ekstrak n-heksana Enhalus acoroides, yaitu 1309,42 ppm, sementara nilai terendah diperoleh dari ekstrak metanol Enhalus acoroides, yaitu 5,74 ppm. Hal ini menujukkan bahwa ekstrak n-heksana Enhalus acoroides bersifat tidak toksik, sementara ekstrak metanol Enhalus acoroides bersifat sangat toksik (Meyer et al. 1982).
Tabel 6 Nilai toksisitas ekstrak lamun terhadap hewan uji Artemia salina Ekstrak n – heksana T. hemprichii
E. acoroides
Ekstrak metanol T. hemprichii
E. acoroides
Konsentrasi (ppm) 10 100 500 1000 10 100 500 1000 Konsentrasi (ppm) 10 100 500 1000 10 100 500 1000
Log Konsentrasi 1 2 2,7 3 1 2 2,7 3 Log Konsentrasi 1 2 2,7 3 1 2 2,7 3
Persen Mortalitas 13,33 23,33 36,67 66,67 6,67 23,33 33,33 50,00 Persen Mortalitas 33,33 43,33 56,67 66,67 56,67 60,00 66,67 80,00
Prob it 3,87 4,26 4,64 5,41 3,45 4,26 4,56 5,00 Prob it 4,56 4,82 5,15 5,41 5,15 5,25 5,41 5,84
LC50 (ppm) 707,22
1309,42
LC50 (ppm) 165,45
5,74
Sumber : Diolah dari Lampiran 1, dengan menggunakan Tabel Probit pada Lampiran 2
Persamaan yang terbentuk dari hubungan log konsentrasi ekstrak lamun dengan mortalitas probit adalah sebagai berikut 1) y = 0,678x+3,068 (R²=0,842) untuk ekstrak n-heksana Thalassia hemprichii; 2) y=0,726x+2,737 (R²=0,975) untuk ekstrak n-heksana Enhalus acoroides; 3) y=0,407x+4,097 (R²=0,947) untuk ekstrak metanol Thalassia hemprichii; 4) y=0,290x+4,78 (R²=0,719) untuk ekstrak metanol Enhalus acoroides (Gambar 16). Berdasarkan empat persamaan diatas diperoleh dua nilai koefisien korelasi (R 2) yang hampir mendekati 1, yaitu 0,947 untuk ekstrak n-heksana Enhalus acoroides dan 0,975 untuk ekstrak metanol Thalassia hemprichii, artinya konsentrasi kedua ekstrak tersebut dengan nilai mortalitas A. salina mempunyai hubungan yang sangat erat, dimana semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan semakin besar pula jumlah A. salina yang mengalami kematian.
67
6.00
5.00
5.00
4.00
4.00
3.00
Probit
Probit
6.00
y = 0.678x + 3.068 R² = 0.842
2.00
3.00 2.00
1.00
1.00
0.00
0.00 0.00
2.00
4.00
y = 0.726x + 2.737 R² = 0.975 0.00
Log Konsentrasi
2.00
4.00
Log Konsentrasi
(B) 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
6.00 5.80
y = 0.407x + 4.097 R² = 0.947
Probit
Probit
(A)
y = 0.290x + 4.78 R² = 0.719
5.60 5.40 5.20 5.00
0.00
2.00
4.00
Log Konsentrasi
0.00
2.00
4.00
Log Konsentrasi
(C) (D) Gambar 16 Grafik regresi hubungan log konsentrasi dan mortalitas A. salina dalam nilai probit dari A) Ekstrak n-heksana Thalassia hemprichii; B) Ekstrak n-heksana Enhalus acoroides; C) Ekstrak methanol Thalassia hemprichii; D) Ekstrak methanol Enhalus acoroides Thalassia hemprichii yang diekstrak dengan pelarut methanol dan nheksana, serta Enhalus acoroides yang diekstrak dengan pelarut methanol diketahui masuk dalam kategori toksik dan sangat toksik.
Data tersebut
menunjukkan adanya korelasi positif dengan hasil uji fitokimia, yang menunjukkan bahwa didalam ketiga ekstrak kasar tersebut terkandung senyawa bioaktif yang dapat bersifat toksik bagi sel organisme, yaitu senyawa golongan flavonoid, steroid, dan alkaloid. Hal ini didukung oleh Jensen et al. (1998) yang melaporkan bahwa senyawa bioaktif golongan flavonoid (flavones glycoside liteolin 7-O-βDglucopyransyl-2-sulfate), yang diisolasi dari Thalassia testudinum bersifat toksik dan mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme penempel, jamur jenis Schizichytrium aggregatum.
Zimmerman (1997) in Arlyza (2007)
mengemukakan pendapat yang sama, bahwa senyawa golongan fenolik flavonoid
(p-sulfoxy
cinnamic),
yang terkandung dalam
Zoostera
marina,
dapat
menghambat pertumbuhan biota penempel di laut. Golongan senyawa steroid bersifat toksik bagi organisme, karena dapat meningkatkan permeabilitas sel organisme uji, sehingga membran sel menipis, kemudian terjadi kebocoran sel, dan bagian intra sel organisme akan terhambur keluar (Vickery dan vickery 1981). Teori ini didukung oleh Cowan (1999) yang mengemukakan hasil penelitiannya bahwa senyawa golongan steroid ini memiliki potensi sebagai antibakteri dan antifungi, dengan mekanisme merusak membran sel bakteri, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri. Senyawa alkaloid merupakan salah satu golongan senyawa yang diketahui bersifat toksik terhadap hewan uji, yaitu dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan, sehingga dinding sel bakteri tersusun tidak beraturan (Robinson 1995).
Ekstrak dengan kandungan senyawa golongan alkaloid
memiliki potensi dimanfaatkan sebagai bahan baku farmasi (Robinson 1995) Ekstrak methanol Enhalus acoroides hasil penelitian (5,74 ppm) termasuk dalam golongan sangat toksik (Meyer et al. 1982), dan memiliki tingkat toksisitas lebih tinggi daripada ekstrak metanol lamun jenis Thalassia hemprichii (165,45 ppm), bahkan lebih tinggi dari ekstrak metanol karang lunak jenis Sarcophyton sp. dan Sinularia sp., yaitu 45,15 ppm dan 201,93 ppm (Soedharma et al. 2009). Ekstrak Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dengan pelarut n-heksana hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak tersebut relatif lebih toksik jika dibandingkan dengan ekstrak n-heksana dari Ulfa reticulata. Ini terjadi karena nilai LC50 ekstrak n-heksana Ulfa reticulata, adalah 6367,95 ppm (Tamat et al. 2007), nilai ini berada jauh diatas nilai LC50 dari Ekstrak n-heksana Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii.
Komponen toksik yang terkandung dalam contoh-contoh ekstrak lamun, jika diberikan pada Artemia salina sebagai hewan uji dapat menyebabkan kematian. Kematian tersebut terjadi karena Artemia salina merupakan hewan yang mengkonsumsi bahan-bahan organik, sehingga seluruh komponen dari ekstrak lamun akan dikonsumsi dan terakumulasi didalam tubuhnya. Loomis (1978) menyebutkan bahwa akumulasi komponen toksik di dalam tubuh Artemia salina akan terus meningkat seiring pertambahan waktu, sehingga menyebabkan kematian.
69
4.5.
Uji bioantifouling Uji bioantifouling dilakukan dengan teknik invitro, menggunakan metode
aktivitas hambat bakteri. Bakteri yang digunakan adalah bakteri Vibrio spp. yang diseleksi dari isolat bakteri pembentuk biofilm koleksi P2O LIPI. Seleksi bakteri Vibrio spp. dilakukan dengan menggunakan media TCBS, bakteri pembentuk biofilm jenis Vibrio spp. akan membentuk koloni berwarna kuning terang pada media tersebut (Gambar 17a). Identifikasi awal jenis bakteri dilakukan dengan metode gram positif – gram negatif, dan hasil uji tersebut menunjukkan bahwa dua bakteri Vibrio spp. merupakan bakteri gram negatif, ditunjukan dengan warna merah muda pada Gambar 17b.
(a) (b) Gambar 17 (a) Koloni bakteri Vibrio spp. hasil seleksi dengan menggunakan media TCBS; (b) Hasil identifikasi dengan metode pewarnaan gram bakteri Vibrio spp. hasil seleksi. Aktivitas hambat biofilm ekstrak lamun pada konsentrasi 20 mg/ml terhadap bakteri uji Vibrio 4-3 dan 15-3 menunjukkan hasil yang kurang memuaskan, karena zona bening yang terbentuk hampir tidak tampak (Gambar 18). Diameter rata-rata zona bening kurang dari 1 mm (Tabel 7), nilai tersebut menunjukkan bahwa aktivitas hambat ekstrak lamun terhadap bakteri pembentuk biofilm tergolong lemah (Bell 1984).
Feliatra (1999) menjelaskan Vibrio memiliki
kecenderungan sebagai bakteri gram negatif, sementara Branen dan Davidson (1993) memaparkan bakteri gram negatif umumnya sensitif terhadap senyawa yang bersifat polar.
Tabel 7
Hasil pengujian aktivitas hambat biofilm Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada konsentrasi 20mg/ml
Lamun Ekstrak n – heksana Thalassia hemprichii Enhalus acoroides Ekstrak metanol
Diameter Zona Hambat (mm) Bakteri Vibrio 4 - 3 Bakteri Vibrio 15 – 3 0,7 0,8
0,3 Bakteri Vibrio 15 – 3
Bakteri Vibrio 4 - 3
Thalassia hemprichii Enhalus acoroides (Kontrol)
0,2
1,2 0,7 Bakteri Vibrio 15 – 3
Bakteri Vibrio 4 - 3
n – heksana Metanol
0,2 0,2
0 0
0 0
Sumber : Diolah dari Lampiran 5.
Zona hambat yang terbentuk dari hasil uji aktivitas hambat biofilm Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada konsentrasi 20mg/ml ditampilkan pada Gambar 18. Bakteri Biofilm Vibrio 4 – 3
Bakteri Biofilm Vibrio 15 – 3
Gambar 18 Hasil uji aktivitas hambat biofilm Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada konsentrasi 20mg/ml; Kertas cakram ditetesi Hex) pelarut n-heksana; Met) pelarut methanol; 1) Ekstrak Enhalus acoroides dengan pelarut methanol; 2) Ekstrak Thalassia hemprichii dengan pelarut methanol; 3) Ekstrak Enhalus acoroides dengan pelarut n-heksana; 4) Ekstrak Thalassia hemprichii dengan pelarut nheksana
71
Aktivitas hambat biofilm ekstrak lamun pada konsentrasi 200 mg/ml menunjukkan hasil yang lebih baik dari konsentrasi sebelumnya (20 mg/ml), zona bening yang terbentuk terlihat variatif (Gambar 19), dengan diameter beragam, namun rata-rata masih kurang dari 5 cm (Tabel 8).
Nilai-nilai tersebut
menunjukkan bahwa aktivitas hambat ekstrak lamun dengan konsentrasi 200 mg/ml tergolong lemah hingga sedang (Bell 1984). Tabel 8 Hasil pengujian aktivitas hambat biofilm Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada konsentrasi 200mg/ml. Lamun Ekstrak n – heksana Thalassia hemprichii Enhalus acoroides Ekstrak metanol Thalassia hemprichii Enhalus acoroides
Diameter Zona Hambat (mm) Bakteri Vibrio 4 - 3 Bakteri Vibrio 15 - 3 3.67 3.67 5.00 2.33 Bakteri Vibrio 4 - 3 Bakteri Vibrio 15 - 3 5.33 1.33 3.67 1.00
Sumber : Diolah dari Lampiran 6.
Hasil uji aktivitas hambat biofilm dari ekstrak lamun dengan konsentrasi 200mg/ml dapat dilihat pada Gambar 19. Bakteri Biofilm Vibrio 4 – 3
Bakteri Biofilm Vibrio 15 – 3
Gambar 19. Hasil uji aktivitas hambat biofilm Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada konsentrasi 200mg/ml; Kertas cakram ditetesi 1) Ekstrak Enhalus acoroides dengan pelarut methanol; 2) Ekstrak Thalassia hemprichii dengan pelarut methanol; 3) Ekstrak Enhalus acoroides dengan pelarut n-heksana; 4) Ekstrak Thalassia hemprichii dengan pelarut n-heksana.
Jika data hasil uji aktivitas hambat biofilm diperhatikan lebih lanjut, diketahui nilai diameter zona hambat biofilm yang terbentuk dari seluruh ekstrak terhadap bakteri uji Vibrio 4-3 MA lebih besar jika dibandingkan dengan zona hambat yang terbentuk pada bakteri uji Vibrio 15-3 MA. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas bertahan bakteri uji Vibrio 15-3 MA lebih baik, karena mampu melawan ekstrak lamun yang terkandung dalam kertas cakram, sehingga nilai zona hambat yang terbentuk disekitar kertas cakram rendah. Berdasarkan data yang diperoleh dan ditampilkan pada tabel diatas, secara umum diketahui ektrak lamun yang menggunakan pelarut metanol cenderung menghasilkan nilai zona hambat yang lebih besar jika dibandingkan dengan ekstrak lamun yang menggunakan pelarut n-heksana.
Hal ini menunjukkan
bahwa pelarut metanol lebih potensial dan efektif digunakan untuk ekstraksi senyawa bioaktif lamun, karena dapat menghambat aktivitas bakteri biofilm. Sensitivitas bakteri gram negatif terhadap senyawa polar disebabkan oleh adanya membran luar, yaitu sebuah lapisan tambahan pada dinding sel. Membran luar tersusun atas lipopolisakarida, porin, dan lipoprotein, keberadaaan molekul protein tersebut memudahkan difusi pasif senyawa hidrofilik dengan berat molekul rendah, seperti senyawa golongan alkaloid dan flavonoid (Jawet 1998). Ekstrak Enhalus acoroides baik yang dilarutkan dengan metanol ataupun dengan heksana, menurut data hasil penelitian yang diperoleh cenderung mambentuk zona hambat yang lebih luas jika dibandingkan dengan ekstrak Thalassia hemprichii. Hal ini diduga disebabkan oleh bentuk morfologi daun Enhalus acoroides yang lebih besar, luas, dan tebal, sehingga mampu menyimpan bahan bioaktif lebih banyak. Bentuk morfologi daun lamun Enhalus acoroides yang lebar, banyak dimanfaatkan oleh organisme di alam untuk menempel dan juga untuk makanan, dalam kondisi tekanan alam berupa predasi dan persaingan tempat hidup tersebut Enhalus acoroides akan menghasilkan senyawa bioaktif (metabolit sekunder) sebagai bentuk pertahanan diri dari predator dan organisme lain. Uji bioantifouling dengan menggunakan ekstrak metanol lamun terhadap bakteri pembentuk biofilm genus Vibrio sp. sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh Mayavu et al. (2009), hasilnya menunjukkan bahwa ektrak metanol
73
Cymodocea serrulata dan Syringodium isoetifolium membentuk zona hambat dengan diameter 3 mm, dan 6 mm. Hal ini menunjukkan bahwa lamun jenis Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides memiliki potensi yang lebih baik dari jenis Cymodocea serrulata untuk menghambat aktivitas bakteri pembentuk biofilm Vibrio spp. .
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah: 1) Hasil uji fitokimia ekstrak Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii menunjukkan adanya kandungan gula pereduksi dan senyawa bioaktif dari jenis flavonoid; 2) Hasil iji toksisitas menunjukan bahwa ekstrak metanol Enhalus acoroides bersifat sangat toksik dengan nilai LC50 5,74 ppm, sedangkan ekstrak n-heksana Enhalus acoroides bersifat tidak toksik ditunjukkan dengan nilai LC50 1309,42 ppm; 3) Ekstrak kasar lamun pada konsentrasi 200 mg/ml memiliki kemampuan menghambat aktivitas biofilm pada kategori lemah hingga sedang. 5.2. Saran Saran dari penelitian ini, adalah perlu dilakukan eksplorasi pemanfaatan lamun pada bagian batang dan rhizoma, agar pemanfaatan potensi bioprospeksi dari lamun lebih optimal, serta isolasi dan purifikasi senyawa golongan flavonoid dari lamun yang potensial sebagai bioantifouling. Identifikasi bakteri pembentuk biofilm sebaiknya dilakukan hingga tingkat spesies, dan hewan uji yang digunakan untuk uji toksisitas, sebaiknya menggunakan organisme penempel, antara lain Balanus sp..
75
DAFTAR PUSTAKA
Abarzua S, Jakubowski S. 1995. Biotechnological investigation for the prevention of biofouling. I. Biological and biochemical principles for the prevention of biofouling. Mar Ecol, Vol 123; 301 – 312. Armitage JP. 2005. Understanding the development and formation of biofilm. Unpublish Paper. Department of Biochemistry, University of Oxford. Arlyza IS. 2007. Bahan bioaktif dari organisme laut sebagai pengendali biota penempel. Oseana, Vol 32(1); 39 – 48. Azkab MH. 1999. Pedoman inventarisasi lamun. Oseana, Vol 24(1); 1 -16. Bell SM. 1984. Antibiotic sensitivity testing by CDS methods. Di dalam: Hertwig N, editor. Clinical Microbiology Up Date Pragramme. New South Wales. The Price Wales Hospital. Boesono H. 2008. Pengaruh lama perendaman terhadap organisme penempel dan modulus elastisitas pada kayu. Jurnal Ilmu Kelautan, Vol 13(3); 177 – 180. Branen AL, Davidson PJ. 1993. Antimicrobial in Foods. New York: Marcel Dekker. Burgess JG, Boyd KG, Amstrong E, Jiang Z, Yan L, Berggren M, May U, Pisacane T, Granmo A, Adams DR. 2003. The development of a marine natural product – based antifouling paint. Biofouling, suppl: 197 – 205. Burrell DC dan Schubel JR. 1977. Seagrass ecosystem oceanography. Di dalam: McRoy P dan Mc Millan C (eds). Seagrass Ecosystem: a Scientific Perspective. New York : Marcel Dekker. Callow ME, Callow JA. 2002. Marine biofouling: a sticky problem. Biologist, Vol 49(1). Cowan MM. 1999. Plant products as antimicrobial agents. Clin microbio Reviews, Vol 2(4); 69 – 72. Czaczyk K, Myszka K. 2007. Biosynthesis of extracellular polymeric substance (EPS) and its role in microbial biofilm formation. Polish J. Environ Stud, Vol 16(6); 799 – 806. Darmayanti, Y. 1994. Environtmental impact of antifouling system: The use of tributhyltin. Oseana, Vol 19(2); 9 – 16. Delauney L, Compere C, Lehaitre M. 2009. Biofouling protection for marine enviromental sensors. Osean Science Discussions, Vol 6; 2993 – 3018.
77
Den Hartog, Kuo CJ. 2006. Taxonomy and Biogeography of Seagrasses. Di dalam: Larkum AWD, Orth RJ, Duarte CM, editor. Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation. Netherlands: Springer. Dewi CSU, Kawaroe M, Aziz A. 2009. Struktur Komunitas Moluska Pada Padang Lamun di Teluk Gilimanuk, TN. Bali Barat. SEMNASKAN VI. FPIK - UB. Malang. El-Hady HA, Daboor SM, Ghoniemy AE. 2007. Nutritive and antimicrobial profiles of some seagrasses from Bardawil Lake, Egypt. Egyptian Journal Of Aquatic Research, Vol 33(3); 103 – 110. Elfahmi, Sodiro I, Ruslan K. 1997. Telaah fitokimia dan uji hayati pendahuluan lamun Enhalus accorides (L. F.) Royle. [tesis]. Bandung: Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung. Fahmi S, Dewi CSU, Salami H. 2010. Struktur Komunitas dan Biomassa Lamun di Perairan Pulau Belitung. Makalah Ilmiah. PIT ISOI VII. Hotel Santika, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka-Belitung. 6 – 7 Oktober 2010. Feliatra. 1999. Identifikasi bakteri patogen (Vibrio sp.) di perairan Nongsa Batam Propinsi Riau. Jurnal Natur Indonesia, Vol 11(1); 28 – 33. Harbone JB. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Methods. Hentzer M, Riedl K, Rasmussen TB, Heydorn A, Anderson JB, Parsek MR, Rice SA, Eberl L, Molin S, Hoiby N, Kjelleberg S, Givskov M. 2002. Inhibition of quorum sensing in Pseudomonas aeruginosa biofilm bacteria by a halogenated furanone compound. Microbiology (148). 87 – 102. Hikmah A. 2011. Isolasi dan identifikasi bakteri Vibrio cholera pada kerang di tempat pelelangan ikan (TPI) wilayah sidoarjo. Unpublish artikel. Surabaya: Fakultas Kedokteran Hewan, UNAIR. Hillman K, Walker DJ, Larkum AWD, dan McComb AJ. 1989. Productivity and nutrient limitation of seagrasses. Di dalam: Larkum AW, McComb AJ, dan Shepherd SA (eds). Biology of Seagrasses. Netherland: Elsevier Science Publishers. Jawet E. 1998. Obat-obatan kemoteuratika. Staf Dosen Fakultas Kedokteran UNSRI, penerjemah; Katzung, BG, edtitor. Jakarta: Farmakologi Dasar dan Klinik. Terjemahan dari: Basic and Clinical Pharcology. Jensen PR, Jenlins KM, Porter D, Fenical W. 1998. Evidence that a new antibiotic flavone glycoside chemically defends the seagrass Thalassia testudinum against zoosporic fungi. AEM, Vol 64(4); 1490 – 1496.
Kawaroe M, Jaya I. 2004. Pemetaan Bioekologi Padang Lamun (Seagrass) di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Laporan. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Khopkar SM. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI – Press. Kiswara W, Azkab MH, Purnomo LH. 1997. Komposisi Jenis dan Sebaran Lamun di Kawasan Cina Selatan. Di dalam Suyarso, editor. 1997. Atlas Oseanologi Laut Cina Selatan. Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia – Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lakshmi V, Goel AK, Srivastava MN, Kulshreshta DK, Raghubir R. 2006. Bioactivity of marine organism: part IX – screening of some marine flora from Indian Coasts. IJEB, Vol 44; 137 – 141. Loomis TA. 1978. Essential of Toxicology. London: Henry Kimpton Publisher. Lumban-Toruan, LN. 2011. Pendugaan Kualitas Ekosistem Terumbu Karang Di Kepulauan Seribu Dengan Menggunakan Proporsi Foraminifera Bentik Sebagai Bioindikator. [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Maabuat PV, Sampekalo J, Simbala HEI. 2012. Keanekaragaman lamun di pesisir Pantai Molas, Kecamatan Bunaken, Kota Manado. J. Bios Logos. Vol 2(1): 20 – 27. Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 2000. Brock biology of microorganisms. Ed ke-9. USA: Prentice Hall, Inc. Mardesyawati A, Anggraeni K. 2009. Persen Penutupan dan Jenis Lamun di kepulauan Seribu. Di dalam Estradivari, Setyawan E, Yusri S, editor. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2003 – 2007). Jakarta. Yayasan TERANGI. Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Kosasih P, penerjemah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Mayavu P, Sugesh S, Ravindran VJ. 2009. Antibacterial activity of seagrass species againts biofilm forming bacteria research. JM, Vol 4(8); 314-319. Meyer BN, Ferigni NR, Putnam JE, Jacobsen LB, Nicholas DE, Laughlin JL. 1982. Brine shrimp: a convenient general bioassay for active plant constituents. Planta medica, Vol 45(3); 31 – 34.
79
Prabhakaran S, Rajaram R, Balasubramanian V, Mathivanan K. 2012. Antifouling potential of extracts from seaweeds, seagrasses, and mangroves againts primary biofilm forming bacteria. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine, S316 – S322. Phillips RC dan Menez EG. 1988. Seagrasses. Washington DC: Smithsonian Institution Press. Qi Shi-Hua, Si Zhang, Pei-Yuan Qian, Bin-Gui Wang. 2008. Antifeedant, antibacterial, and antilarval compounds from the South China Seagrass Enhalus acoroides. In Press. Botanica Marina, Vol 51. Raja-Kannan RR, Arumugam R, Meenakhshi S, Anantharaman P. 2010. Thin layer chromatography analysis of antioxidant constituents from seagrasses of Gulf of mannar biosphere reserve, South India. IJCRGG. Vol (2)3; 1526 – 1530. Ramage G, Walle KV, Wickes BL, Lopez-Ribot JL. 2001. Characteristics of biofilm formation by Candida albicans. Rev Iberon Micol, Vol 18; 163 – 170 . Riguera R. 1997. Isolating bioactive compound from marine organism. J Mar Biotechnol, Vol 5(2); 187 – 193. Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung: ITB Press. Sabdono A, Radjasa OK. 2006. Antifouling activity of bacteria associated with soft coral Sarcophyton sp. against marine biofilm forming bacteria. COASTDEV, Vol 10(1); 55 -62. Sabdono A. 2007. Pengaruh ekstrak antifouling bakteri karang Pelagiobacter variabilis strain USP3.37 terhadap penempelan bernakel di Perairan Pantai Teluk Awur, Jepara. Ilmu Kelautan, Vol 12(1); 18-23. Scheuer HS. 1994. Produk Alami Lautan. Semarang: IKIP Semarang Press. Schlegel HG dan Schmidt K. 1994. Mikrobiologi Umum. Baskara, T, Penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Selvin J, Lipton AP. 2002. Development of a rapid “mollusk foot adherence bioassay” for detecting potent antifouling bioactive compounds. Current science, Vol. 83(6); 735 – 737. Setyati WA, Subagiyo S, Ridlo A. 2005. Potensi berbagai jenis lamun sebagai sumber makanan kesehatan: Analisis Proximat. Indonesian Journal of Marine Sciences. Vol (2)10.
Soedharma D, Effendi H, Kawaroe M. 2009. Fragmentasi buatan karang lunak (Sinularia dura, Lobophytum strictum, dan Sarcophyton roseum) di pulau pramuka, kepulauan seribu. [Laporan Akhir - Riset Insentif Terapan]. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Soedharma D, Fauzan A. 1996. Imposex pada Neogastropoda (Thais sp.) sebagai akibat kontiminasi tributylin (Senyawa Sn) dari cat pelapis kapal di sekitar Pelabuhan Ratu Jawa Barat. Jurnal Ilmu Ilmu Periaran dan Perikanan Indonesia, Vol 4(1); 45 – 53. Tamat SR, Wikanta T, Maulina LS. 2007. Aktivitas antioksidan dan toksisitas senyawa bioaktif dari ekstrak rumput laut hijau Ulfa reticulata Forsskal. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol 5(1): 31 – 36. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas. Part II. Chapter 13 – 23. Periplus Edition (HK) Ltd. Triyulianti I. 2009. Bioaktivitas ekstrak karang lunak Sinularia sp. dan Lobophytum sp. hasil fragmentasi di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Vickery ML, B. Vickery. 1981. Secondary plant Methabolism. London: The Macmilan Press. Vu B, Chen M, Crawford RJ, Ivanasa EP. 2009. Bacterial ekstracellular polysaccharydes involved in biofilm formation. Molecules, Vol 14; 2535 – 2554. Wahl M. 1989. Review Marine Epibiosis. I. Fouling and Antifouling: Some Basic Aspect. MEPS, Vol 58; 175 – 189. Waters CM, Lu W, Rabinowitz JD, BL. Bassler JD. 2008. Quorum sensing controls biofilm formation in Vibrio cholerae trhough modulation of cyclic Di-GMP levels and repression of vpsT. JB, Vol 19(7). Waycott M, McMahoon K, Mellors J, Calladine A, Kleine D. 2004. A Guide Tropical Seagrasses of The Indo-West Pacific. Townsville: James Cook University. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia.
Yildiz FH, Visick KL. 2009. Vibrio biofilms: Somuch the same yet so different. Trends in Microbiology, Vol 17(3).
81
Yusuff M, Zulkifli SZ, Ismail A. 2011. Imposex study on Thais tuberose from port and non-port areas along the west coast of Penisular Malaysia. EKOMAR, Vol 2: 1 – 9.
LAMPIRAN
83
Lampiran 1. Hasil uji anova dua arah data rendemen ekstrak lamun Anova: Two-Factor With Replication SUMMARY Count
E.a 3
Sum
0.484275
Average
0.161425 0.001315 876
Variance
0.036275 Count
3
Sum
4.0698
Average
1.3566 0.003369 803
Variance
0.05805
T.h
Total
3 0.4801 5 0.1600 5 0.0002 54 0.0159 5
6 0.9644 25 0.1607 38 0.0006 29
3 4.4919 75 1.4973 25 0.0073 23 0.0855 75
6 8.5617 75 1.4269 63 0.0102 18
Total Count Sum Average Variance
6 4.554075 0.759012 5 0.430407 255
6 4.9721 25 0.8286 88 0.5395 22
ANOVA Source of Variation
Within
SS 4.809977 252 0.014563 817 0.015144 307 0.024526 323
Total
4.864211 699
Sample Columns Interaction
Df 1 1 1 8
11
MS 4.8099 77 0.0145 64 0.0151 44 0.0030 66
F 1568.9 19 4.7504 28 4.9397 73
Pvalue 1.81E10 0.0609 05 0.0569 54
F crit 5.3176 55 5.3176 55 5.3176 55
Lampiran 2. Data jumlah Artemia salina yang mati, setelah uji toksisitas dengan empat konsentrasi
Konsentrasi (ppm) 10 100 500 1000 Konsentrasi (ppm) 10 100 500 1000
Pelarut n- heksana Ekstrak lamun jenis Thalassia hemprichii ulangan 1 ulangan 2 ulangan 3 2 1 1 3 2 2 3 4 4 7 7 6 Ekstrak lamun jenis Enhalus acoroides ulangan 1 ulangan 2 ulangan 3 0 0 2 1 2 4 2 3 5 7 4 4
rata rata 1 2 4 7 rata rata 1 2 3 5
Pelarut Metanol Konsentrasi (ppm) 10 100 500 1000
Ekstrak lamun jenis Thalassia hemprichii ulangan 1 ulangan 2 ulangan 3 2 2 6 4 3 6 6 5 6 6 6 8
rata rata 3 4 6 7
Konsentrasi (ppm)
Ekstrak lamun jenis Enhalus acoroides ulangan 1 ulangan 2 ulangan 3
rata rata
10 100 500 1000
4 5 7 8
6 5 6 8
85
7 8 7 8
6 6 7 8
Lampiran 3. Tabel Probit
Lampiran 4. Contoh Perhitungan LC50 Ekstrak metanol
Konsentrasi (ppm)
T. hemprichii
Log Konsentrasi
10 100 500 1000
1 2 2,7 3
Persen Mortalitas 33,33 43,33 56,67 66,67
Probit
LC50 (ppm)
4,56 4,82 5,15 5,41
Pada ekstrak dengan konsentrasi 100 ppm Persen mortalitas
=
Jumlah artemia yang mati x 100% Jumlah populasi
= =
4/10 x 100% 43,33%
Dari grafik hubungan antara log konsentrasi (sumbu x) dengan nilai probit sumbu y didapatkan persamaan Y = 0,407x + 4,097 Penentuan LC50 (Konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian sebesar 50%) 50% nilai probit (y) = 5 (dilihat dari table probit (lampiran 2)) Y 5 x x
= 0,407x + 4,097 = 0,407x + 4,097 = (5 – 4,097) / 0,4097 = 2,204
anti log dari x = 2,204 LC50 = x = 165,45
87
165,45
Lampiran 5.
Hasil pengukukuran diameter zona hambat ekstrak Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii konsentrasi 20 mg/ml terhadap biofilm
Lamun Ekstrak n - heksana T. hemprichii
E. acoroides Ekstrak metanol T. hemprichii
E. acoroides
Diameter Zona Hambat (mm) Bakteri Vibrio 4 - 3 Bakteri Vibrio 15 - 3 0 0 1 0,5 1 0 0,67 0,17 1 0,5 1 0,5 0,5 0 0,83 0,33 Bakteri Vibrio 4 - 3 Bakteri Vibrio 15 – 3 0,5 0 2 0 1 0,5 1,17 0,17 0,5 3 1 0,5 0,5 0,5 0,67 1,33
Lampiran 6.
Hasil pengukukuran diameter zona hambat ekstrak Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii konsentrasi 200 mg/ml terhadap biofilm
Lamun (200mg/ml) Ekstrak n - heksana
T. hemprichii
E. acoroides
Ekstrak metanol
T. hemprichii
E. acoroides
Diameter Zona Hambat (mm) Bakteri Vibrio 4 - 3 Bakteri Vibrio 15 - 3 4
2
6
1
4
2
4,67
1,67
4
2
5
3
5
3
5
2,67
Bakteri Vibrio 4 - 3
Bakteri Vibrio 15 – 3
5
2
4
3
2
3
3,67
2,67
4
2
6
1
4
1
4,67
1,33
89