KUALITAS DAGING KELELAWAR DIBANDINGKAN DENGAN DAGING BABI, AYAM, DAN IKAN CAKALANG Abstrak TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Kualitas Daging Kelelawar Dibandingkan dengan Daging Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang. Dibimbing oleh RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU Penelitian eksplorasi ini bertujuan untuk mengkaji kualitas daging kelelawar dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan cakalang. Kualitas daging meliputi sifat fisik dan kimia daging. Sifat fisik yang diamati adalah derajat keasaman daging, daya mengikat air oleh protein daging, dan susut masak, sedangkan sifat kimia daging adalah analisis proksimat daging, asam amino, asam lemak, dan total kolesterol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pH daging kelelawar Pteropus alecto yang disembelih, daging kelelawar Pteropus alecto beku, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 6.44±0.08, 5.33±0.02, 5.97±0.06, 6.05±0.07, dan 5.57±0.04, dan daya mengikat air adalah 48.92%±2.95%, 32.63%±1.00%, 44.78%±0.68%, 45.78%±3.59%, dan 43.23% ±1.13%, sedangkan susut masak adalah 12.83%±.1.12%, 36.46%±1.39%, 19.45%±1.46%, 16.30%±1.12%, dan 27.32%±0.72%. Berdasarkan bahan segar maka kadar protein daging kelelawar Pteropus alecto, kelelawar Nyctimene cephalotes, dan kelelawar Rousettus amplexicaudatus secara berturut-turut adalah 20.48%, 21.73%, dan 21.08%, dan kadar air adalah 67.21%, 62.45%, dan 63.84%. Berdasarkan bahan kering, kadar protein Pteropus alecto, Rousettus amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturutturut adalah 48.97 %, 51.49%, 69.08%, 67.14%, dan 69.41%, kadar Lemak adalah 29.85%, 22.63%, 8.91%, 11.65%, dan 3.47%, kadar air adalah 5.76%, 7.54%, 9.92%, 8.27 %, dan 9.90%, kadar Ca adalah 10.62%, 2.09%, 1.09%, 1.36%, dan 1.83%, dan kadar P adalah 1.46%, 1.44%, 0.69%, 0.66%, dan 0.72%. Perbandingan saturated fatty acid (SFA), monounsaturated fatty acid (MUFA), dan poliunsaturated fatty acid (PUFA) untuk Acerodon celebensis adalah 17.21: 13.27:1, untuk Pteropus alecto adalah 23.36:13.13:1, untuk Rousettus amplexicaudatus adalah 6.51:4.88:1, untuk daging babi adalah 2.48:2.83:1, untuk daging ayam adalah 2:1.5:1, dan untuk ikan cakalang adalah 1.08:0.6:1. Perbandingan asam amino esensial dan nonesensial untuk daging Acerodon celebensis adalah 1.16:1, untuk daging Pteropus alecto adalah 0.98:1, untuk daging Rousettus amplexicaudatus adalah 1.05:1, untuk daging babi adalah 1.1:1, untuk daging ayam adalah 1.17:1, dan untuk ikan cakalang adalah 1.12:1. Kadar kolesterol untuk Pteropus alecto, Rousettus amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 284.20 mg, 234.75 mg, 287.54 mg, 192.88 mg, 263.15 mg, dan 138.21 mg. Kesimpulannya adalah Acerodon celebensis, Pteropus alecto, dan Rousettus amplexicaudatus memiliki kualitas fisik dan kimia daging sama dengan daging babi dan daging ayam, tetapi untuk SFA tinggi. Kata kunci : kualitas daging, kelelawar, babi, ayam.
58
Abstract TILTJE ANDRETHA RANSALELEH. Meat Quality of Fruit Bats Compared With Pork, Chicken and Skipjack. Under direction of RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI, PURWANTININGSIH SUGITA, dan WASMEN MANALU The purpose of this exploratory study was to assess the quality of bats meat as compared to pork, chicken, and tuna. The physical properties observed were pH,water holding capacity, and cooking loss. While the chemical properties observed were proximate analysis, amino acids, fatty acids, and cholesterol concentrations. The results showed that the pH of unfrozen Pteropus alecto meat, frozen Pteropus alecto meat, pork, chicken, and tuna were 6.44 ± 0.08, 5.33 ± 0.02, 5.97 ± 0.06, 6.05 ± 0.07, 5.57 ± 0.04, respectively. Water holding capacity for unfrozen Pteropus alecto meat, frozen Pteropus alecto meat, pork, chicken, and tuna were 48.92% ± 2.95%, 32.63% ± 1.00%, 44.78% ± 0.68%, 45.78% ± 3.59%, 43.23% ± 1.13, respectively. Cooking loss for unfrozen Pteropus alecto meat, frozen Pteropus alecto meat, pork, chicken, and tuna were 12.83% ± 1.12%, 36.46% ± 1.39%, 19.45% ± 1.46%, 16:30% ± 1.12%, 27.32% ± 0.72%, respectively. Based on the fresh matter, protein percentage of Pteropus alecto, Nyctimene cephalotes, and Rousettus amplexicaudatus were 20.48%, 21.73%, 21:08%, respectively, and water percentage were 67.21%, 62.45%, 63.84%, respectively. Based on dry matter, protein percentage of Pteropus Alecto, Rousettus amplexicaudatus, pork, chicken, and tuna were 48.97%, 51.49%, 69.08%, 67.14%, 69.41%, respectively, fat percentage were 29.85%, 22.63%, 8.91 %, 11.65%, 3:47%, respectively, water percentage were 5.76%, 7:54%, 9.92%, 8:27%, 9.90%, respectively, Ca percentage were 10.62%, 2:09%, 1.09%, 1.36%, 1.83%, and P percentage were 1.46% , 1.44%, 0.69%, 0.66%, 0.72%, respectively. Ratio of saturated fatty acid (SFA), monounsaturated fatty acid (MUFA), and poliunsaturated fatty acid (PUFA) for Acerodon celebensis was 17.21:13.27:1, for Pteropus alecto was 23.36:13.131, for Rousettus amplexicaudatus was 6.51:4.88:1, for pork was 2.48:2.83:1, for chicken was 2:1.5:1, and for tuna fish was 1.08:0.6:1. Ratio of essential amino acids and non essential amino acids for Acerodon celebensis was 1.16:1, for Pteropus alecto was 0.98:1, for Rousettus amplexicaudatus was 1.05:1, for pork was 1.1:1, for chicken was 1.17:1, and for Tuna was 1.12: 1. Cholesterol levels for Pteropus alecto, Rousettus amplexicaudatus, pork, chicken, and tuna were 284.20 mg, 234.75 mg, 287.54 mg, 192.88 mg, 263.15 mg, 138.21 mg, respectively. The conclusion were Acerodon celebensis, Pteropus alecto, and Rousettus amplexicaudatus have meat quality similar to pork and chicken. Keywords : meat quality, fruit bats, pork, chicken.
59
Pendahuluan Daging kelelawar hanya dikonsumsi oleh sebagian masyarakat (Brooke & Tschapka 2002, Lee et al. 2005, Mohd-Azlan et al. 2001, Jenkins & Racey 2008, Afolabi et al. 2009). Walaupun daging kelelawar tidak merupakan pangan yang umum dikonsumsi semua orang, informasi tentang kualitas dan nilai gizinya perlu diketahui. Dengan mengetahui nilai gizi, karakteristik fisik, dan kimia daging kelelawar maka kelelawar sebagai pangan asal hewan yang berkualitas dapat dipercaya. Untuk mengetahui posisi daging kelelawar sebagai bahan pangan yang berkualitas, perlu dibandingkan dengan daging ternak konvensional dan jenis ikan yang umum dijadikan sebagai bahan pangan dan diakui sebagai sumber protein yang tinggi, dengan komposisi asam amino yang lengkap, dan asam lemak yang seimbang. Salah satu bahan pangan dari ternak konvensional yang sudah dikenal antara lain daging babi dan daging ayam, sedangkan jenis ikan yang dipilih ialah ikan cakalang yang dikonsumsi hampir semua masyarakat, dan dapat dijangkau semua kalangan. Sifat-sifat fisik daging yang berhubungan dengan kualitas daging adalah derajat keasaman, daya mengikat air, susut masak (Aberle et al. 2001, Soeparno 2005), dan sifat kimia berhubungan dengan komposisi kimia, komposisi asam amino, komposisi asam lemak jenuh (SFA, saturated fatty acid), asam lemak tak jenuh rangkap satu (MUFA, monounsaturated fatty acid), asam lemak tak jenuh rangkap banyak (PUFA, polyunsaturated fatty acid ), dan kadar kolesterol total daging (Murray et al. 2003, Lawrie 2003) Informasi ilmiah tentang karakteristik fisik dan kimia daging ayam, daging babi, dan ikan sudah pernah dilakukan (Siagian et al. 2004, Morel et al. 2006, Rehfeldt et al. 2007, Florowski et al. 2006, Garcia et al. 2010, Kumar et al. 2011, Robb et al. 2000, Wijayanti et al. 2006, Adebiyi et al. 2011, Salakova et al. 2009), namun dilakukan secara terpisah-pisah oleh peneliti yang berbeda dengan kondisi yang berbeda pula. Informasi tentang kelelawar belum penah ada, oleh karena itu untuk mendapatkan informasi secara menyeluruh pada waktu, kondisi, dan tempat yang sama telah dilakukan penelitian tentang kualitas fisik dan kimia daging kelelawar, khususnya Acerodon celebensis, Pteropus alecto, dan Rousettus
60
amplexicaudatus yang dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan cakalang. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sifat-sifat fisik dan profil kimia daging kelelawar dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan cakalang sebagai sumber bahan pangan yang bernilai gizi tinggi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai informasi awal untuk kajian-kajian lanjutan tentang kelelawar dalam pengembangannya. Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Pengeringan sampel daging dan analisis karakteristik fisik daging dilakukan di laboratorium bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi, Manado. Analisis komposisi kimia daging dilakukan di Laboratorium Pusat Sumberdaya dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (LPPM IPB). Analisis komposisi asam lemak dan asam amino dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Baranangsiang, Institut Pertanian Bogor (IPB). Analisis kadar kolesterol total dilakukan di Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB. Penelitian ini dilaksanakan selama 8 bulan, yaitu bulan Juli 2011-Maret 2012. Bahan dan Alat Penelitian Penelitian pendahuluan untuk mengetahui kadar protein telah dilakukan pada tiga jenis kelelawar, yaitu P. alecto dari Pasar Bersehati Manado, Sulawesi Utara, N. cephalotes, dan R. amplexicaudatus yang berasal dari Desa Pakuure, Sulawesi Utara. Penelitian selanjutnya untuk mengkaji sifat kimia daging mengunakkan A. celebensis dan P. alecto dari Kolono, Sulawesi Tengah masingmasing sebanyak 10 ekor, dan R. amplexicaudatus dari Peonea, Sulawesi Tengah sebanyak 20 ekor, dan daging ayam, daging babi, serta ikan cakalang masingmasing sebanyak 3 kg yang berasal dari Pasar Bersehati Manado. Daging babi yang digunakan adalah bagian paha tanpa pemisahan bagian lemak, daging ayam dan kelelawar menggunakan seluruh karkas tanpa pemisahan bagian lemak. Untuk melihat sifat fisik, yaitu perubahan pH, daya mengikat air, dan susut masak,
61
diambil pada kelelawar P. alecto yang masih hidup kemudian disembelih sendiri dan kelelawar yang sudah dibekukan, sedangkan daging ayam dan daging babi diambil pada saat pemotongan, dan ikan cakalang diambil dalam keadaan sudah beku. Semua materi berasal dari Pasar Bersehati. Pengambilan sampel diambil pada pagi hari, yaitu saat pemotongan dilakukan. Zat-zat yang digunakan adalah aquades, n-heksan, petrolium benzena, dietil eter, etanol, amonia 25%, indikator fenolpltalein, NaOH 0.5 N, BF3 20%, NaCL jenuh, isooctana, Na2SO4 anhidrid, standar asam lemak, H2SO4, (NH4)2SO4, NH3, NaOH jenuh, HCL, H3BO3 2%, brom cresol green-methyl red, NH4OH, indikator pp, dan KMnO4. Peralatan yang digunakan adalah kamera digital, food processor, cool box, pH meter, beban besi 35 kg, timbangan kasar dan analitik, kapas bebas lemak, kertas saring whatman 41, stop wacth, dissecting set, termometer bimetal, oven, cawan perselin, cawan petri, vortex, desikator, seperangkat alat sohklet, sentrifuge, tabung reaksi, tabung majonnier, pipet mohr, 5 mL dan 10 mL, labu lemak, gelas ukur, gelas piala, vacuum rotary evoporator, lemari asam, high performance liquid chromatography (HPLC), gas chromatography (CG), atomic absorbance spektrophotometer (AAS) , dan spektrofotometer. Metode Penelitian Pada penelitian pendahuluan, karkas dari ketiga jenis kelelawar dibekukan dan dimasukkan ke dalam coolbox lalu dibawa ke Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pakan, IPB untuk dianalisis dalam bentuk bahan segar, sedangkan pada penelitian kedua, semua bahan daging dikeringkan di Laboratorium Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi, Manado, untuk mendapatkan bahan kering, selanjutnya dianalisis di laboratorium sesuai tujuan yang akan dicapai. Peubah yang diamati adalah uji komposisi kimia daging yang meliputi kadar air, kadar protein kasar, lemak kasar, kadar abu, kadar mineral Ca dan P, uji total kolesterol daging, analisis komposisi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh, analisis komposisi asam amino esensial dan nonesensial, uji karakteristik fisik dan kimia daging segar yang meliputi derajat keasaman daging (pH), kemampuan mengikat air oleh protein daging, dan susut masak. Analisisnya
62
mengikuti prosedur Association of Official Analytical Chemists (AOAC 1995) sebagai berikut. Kadar Air Prinsipnya adalah menguapkan air yang terdapat dalam sampel. Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 8 jam kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap. Persen air bahan dihitung dengan rumus : –
Air (%) Kadar Lemak Kasar
Prinsipnya melarutkan lemak yang terdapat dalam bahan dengan pelarut lemak. Sebanyak 5 g sampel disebar di atas kapas yang beralas kertas saring dan digulung membentuk timbel, lalu dimasukkan ke dalam labu sokhlet, kemudian nheksana dituangkan ke dalam alat labu sesuai ukuran yang dibutuhkan. Kondensator dan labu lemak dipasang, air dan listrik dihidupkan. Ekstraksi dilakukan selama 6 jam sampai larutan pelarut yang turun ke dalam labu jernih. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi. Lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven suhu 105°C. Selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Persen lemak kasar dihitung dengan rumus sebagai berikut : ( )
( ) ( )
Analisis Asam Lemak Menggunakan Gas Kromatografi Analisis dengan kromatografi gas didasarkan pada partisi komponenkomponen dari suatu cairan di antara fase gerak berupa gas dan fase diam berupa zat padat atau cairan yang tidak mudah menguap. Dalam analisis asam lemak, mula-mula lemak dihidrolis menjadi asam lemak, kemudian ditransformasi menjadi bentuk esternya yang bersifat lebih mudah menguap. Transformasi dilakukan dengan cara metilasi sehingga diperoleh metil ester asam lemak (FAME). Selanjutnya FAME dianalisis dengan kromatografi gas. Identifikasi tiap komponen dilakukan dengan membandingkan waktu retensinya dengan standar
63
pada kondisi analisis yang sama. Waktu retensi dihitung pada kertas rekorder sebagai jarak dari garis pada saat muncul puncak pelarut sampel ke tengah komponen yang dipertimbangkan. Penentuan kandungan komponen dalam contoh dilakukan dengan teknik standar internal. Luas puncak dari masing-masing adalah berbanding lurus dengan jumlah komponen dalam contoh. Prosedur analisisnya adalah sebanyak 20 g lemak ditimbang dalam tabung tertutup teflon ditambahkan 1 mL NaOH 0.5 N dalam metanol dan dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit. Selanjutnya ditambahkan 2 mL BF3 20%, dan dipanaskan lagi selama 20 menit, kemudian didinginkan. Setelah dingin ditambahkan 2 mL NaCl jenuh dan 1 mL isooktana dan dikocok dengan baik. Lapisan isooktana dipindahkan dengan bantuan pipet tetes ke dalam tabung yang berisi sekitar 0.1 g Na2SO4 anhidrat, dan dibiarkan selama 15 menit. Fase cairnya dipisahkan kemudian diinjeksikan ke kromatografi gas. Sebelum diinjeksikan, perangkat alat kromatografi diatur dengan menggunakan kolom Cyanopropil methyl sil (capilary column) sebagai fase diam, laju alir N2 sebagai fase gerak, suhu injektor 220ºC, dan suhu detektor 240ºC. Kemudian sebanyak 1 μL campuran standar FAME dinjeksikan ke alat kromatografi yang sudah diatur. Ditunggu sampai semua puncak sudah keluar, apabila semua puncak sudah keluar, maka contoh yang sudah dipreparasi diinjeksikan. Waktu retensi dan puncak masing-masing diukur dan dibandingkan dengan standar. Jumlah komponen dalam contoh dihitung sebagai berikut : (
)
100%
Dimanan : Ax = Area sampel, As = Area standar, C standar = Cone standar, V contoh = volume tera sampel. Analisis Kolesterol Daging Kolosterol daging ditentukan dengan menggunakan metode Leibermann Buchhard. Hasil pengukurannya adalah kadar kolesterol dalam mg/g. Sampel daging ditimbang sebanyak 0.1 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian diekstraksi dengal etanol dan n-heksana dengan perbandingan 3:1 sebanyak 8 mL. Kemudian diaduk sampai daging hancur dan homogen. Tabung dipanaskan dalam penangas air sampai mulai mendidih. Setelah dingin, filtratnya dimasukkan ke tabung sentrifuge dan disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 2500 rpm.
64
Supernatan yang terbentuk dimasukkan ke tabung reaksi dan diuapkan dengan dipanaskan dalam air mendidih sampai kering dan terbentuk residu. Residu kering dilarutkan dan dihomogenkan. Kemudian ditambah pereaksi Liebermann Burchard sehingga larutan berwarna hijau kebiruan, kemudian biarkan selama 15 menit di tempat yang gelap. Dengan cara yang sama dibuat larutan blangko sebanyak 0.4 mg. Hasil analisis ditera dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Perhitungan kadar kolesterol daging dilakukan dengan membandingkan absorbansnya dengan absorbans kolesterol standar. Jumlah kolesterol dihitung sebagai berikut :
Kadar Protein Kasar Prinsipnya penetapan nilai protein kasar dilakukan secara tidak langsung, analisis ini didasarkan pada penentuan kandungan nitrogen yang terdapat dalam bahan. Kandungan nilai protein dikalikan 6.25 sebagai angka konversi nilai nitrogen menjadi nilai protein. Nilai 6.25 sebagai asumsi bahwa protein mengandung 16% nitrogen. Penentuan nitrogen melalui tiga tahapan analisis kimia. (1) Destruksi, yaitu tahap penghancuran bahan menjadi komponen sederhana sehingga nitrogen dalam bahan terpisah dari ikatan organiknya, nitrogen tersebut kemudian diikat oleh H2SO4 menjadi (NH4)2SO4. (2) Destilasi, yaitu tahap pemisahan. Untuk melepaskan nitrogen dalam larutan hasil destruksi adalah dengan mengubah nitrogen dalam bentuk (NH4)2SO4 menjadi gas NH3 dengan pemberian NaOH jenuh yang terbentuk selanjutnya dikondensasi dengan kondensor, selanjutnya NH3 diikat oleh H3BO3 membentuk (NH4)3BO3. (3) Titrasi, yaitu tahap penetapan nilai nitrogen. Nitrogen dalam (NH4)3BO3 dititrasi dengan HCl. Sebanyak 0.25 g sampel ditimbang lalu dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 mL lalu ditambahkan selenium 0.25 dan 3 mL H2SO4 pekat, dan didestruksi selama 1 jam sampai larutan jernih. Setelah itu, didinginkan kemudian ditambahkan 50 mL aquadest dan 20 mL NaOH 40%, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu erlenmeyar yang berisi campuran 10 mL H3BO3 2% dan 2 tetes indikator Brom cresol Green-methyl red berwarna merah muda. Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 mL dan berwarna hijau
65
kebiruan, destilasi dihentikan dan destilat dititrasi dengan HCl 0.1 N sampai berwarna merah muda. Perlakuan yang sama dilakukan terhadap blangko. Selanjutnya untuk penetapan total nitrogen dihitung dengan rumus : (
)
Dimana: S = volume titran sampel (mL), B = volume titran blangko (mL), w = bobot sampel kering (mg), 14 = bobot atom nitrogen. Kadar protein diperoleh dengan mengalikan kadar nitrogen dengan faktor perkalian untuk berbagai bahan pangan berkisar 5.18 – 6.38. Untuk protein daging digunakan 6.25 (konversi nitrogen ke protein kasar). Analisis Asam Amino Menggunakan HPLC Penentuan kadar asam amino dimulai dari tahap hidrolisis protein, pengeringan dan penetapan asam amino menggunakan HPLC. Sebanyak 50 mg sampel yang kering dan halus dimasukkan ke dalam tabung pyrex 10 mL yang tertutup. Selanjutnya ditambahkan 5 mL HCl 6 N dan dialiri gas nitrogen murni, kemudian tabung ditutup dan diletakkan dalam oven dengan suhu 105ºC-110ºC selama 24 jam. Hasil hidrolisis dikeluarkan dalam oven, dibiarkan sampai suhu ruang, kemudian disaring dengan kertas saring whatman No. 41. Selanjutnya, dipipet 1 mL larutan ke dalam tabung 10 mL, dibekukan dengan es kering dan dikeringkan pada pengering vakum. Hasil hidrolisis yang sudah kering dilarutkan kembali dengan HCl 0.1N hingga volume 3 mL, diaduk dengan vortex sampai homogen, dan disaring dengan alat penyaring ukuran membran 0.22 µm. Sebanyak 100 mL (atau mikroliter) hasil saringan diinjeksikan pada alat yang akan digunakan. Larutan hasil saringan dapat dianalisis dengan menggunakan HPLC atau amino acid analyzer. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus
Dimana: l.a spl = l.a sd = kons.sd = vol.spl = BM AA =
luas area sampel masing-masing asam amino luas area standar masing-masing asam amino konsentrasi larutan standar volume sampel bobot molekul masing-masing asam amino
66
Kadar Abu Kadar abu adalah total mineral dalam bahan. Prinsipnya adalah membakar bahan dalam tanur sehingga semua unsur utama pembentuk senyawa organik (C, H,O, N) habis terbakar dan berubah menjadi gas dan sisanya adalah abu berwarna putih atau abu-abu yang merupakan kumpulan dari mineral-mineral. Sebanyak 1-5 g sampel ditimbang lalu dimasukkan ke dalam cawan porselin yang sudah diketahui bobot tetapnya. Sampel diarang di atas bunsen dengan nyala api kecil hingga berasap, selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur 600°C selama 2 jam sampai menjadi abu berwarna putih sampai abu-abu. Cawan yang berisi abu didinginkan dalam desikator dan dilakukan penimbangan sampai memperoleh bobot tetap. Persen abu dihitung dengan rumus: ( )
( ) ( )
Kadar Kalsium (Ca) Prinsipnya larutan kalsium klorida dalam ekstrak HCL akan mengendap dalam bentuk kalsium oksalat dalam larutan amonium oksalat dan buffet asam asetat. Sampel abu diencerkan dengan HCl pekat sebanyak 5 mL, kemudian dipanaskan sampai mengering. Abu yang telah kering ditambahkan 2 mL HCl pekat dan air panas, kemudian disaring. Filtrat hasil penyaringan dicuci dengan air panas dan dimasukkan ke dalam labu ukur, kemudian ditambahkan air suling. Hasil filtratnya disebut ekstrak HCl. Sebanyak 25 mL ekstrak HCl dimasukkan ke dalam gelas piala 400 mL, ditambahkan pereaksi chapman sampai 100 mL kemudian dipanaskan. Lalu ditambahkan larutan NH4OH pekat beberapa tetes sampai larutan berubah menjadi warna hijau. Larutan didiamkan selama satu malam. Endapan disaring, kemudian dicuci dengan air panas. Kemudian, endapan yang ada pada kertas saring dimasukkan ke dalam gelas piala, lalu ditambahkan sebanyak 25 mL H2SO4 4 N dan H2O sampai volume 150 mL. Larutan ini dipanaskan di atas penangas air hingga suhu larutan 80-90ºC. Larutan dititer dengan KMnO4 0.02 N sampai larutan berwarna merah jambu. Kemudian dibuat blangko dengan cara mengencerkan 8.5 mL HCl pekat hingga 100 mL. Lalu diambil 20 mL HCl encer sebagai blangko. Persen kalsium dihitung dengan rumus
67
( )
(
) (
Dimana : C N KMnO4
)
= faktor pengenceran, 28 = bobot setara CaO = Normalitas KMnO4.
Kadar Fosfor (P) Prinsipnya, ion fosfor dalam keadaan basa akan membentuk endapan kuning. Endapan ini akan larut dalam NaOH. Sebanyak 25 mL ekstrak HCl dimasukkan ke dalam gelas piala 400 mL, ditambahkan ammonium nitrat 5 g dan asam nitrat 5 mL. Kemudian dipanaskan
pada suhu 42ºC, dan ditambahkan
larutan ammonium hepta, hingga larutan berwarna kuning. Larutan didiamkan selama satu malam. Larutan disaring, kemudian dicuci dengan air. Endapan yang ada dimasukkan pada kertas saring dalam gelas piala, lalu ditambahkan 25 mL H2SO4 0.2 N, air suling sampai volume 100 mL, dan 2 tetes indikator pp hingga larutan berwarna merah jambu. Selanjutnya larutan dititer dengan HCL 0.1 N hingga larutan tidak berwarna. Persen fosfor dihitung dengan rumus : ( )
(
) (
)
Dimana : 0.1347 = Derajat Keasaman Daging (pH) Sampel daging yang telah dihaluskan sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam beaker glass, dan diencerkan dengan akuades sampai 100 mL, kemudian dicampur dengan menggunakan blender selama 1 menit. Setelah itu diukur dengan pH meter yang telah dikalibrasi. Daya Mengikat Air (Water Holding Capacity) Daya mengikat air diuji dengan menggunakan analisis daya mengikat air, yaitu modifikasi metode Hamm menggunakan beban yang terbuat dari besi seberat 35 kg. Sebanyak 0.3 g sampel daging diletakkan pada kertas saring dan dibebankan di antara dua plat selama 5 menit, daerah yang tertutup sampel daging yang telah pipih dan luas daerah basa di sekitarnya ditandai dan diukur. Daerah basah diperoleh dengan mengurangkan daerah yang tertutup sampel daging dari luasan total (luas daerah basah dan luas daerah yang tertutup sampel
68
daging). Kandungan air daging dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : (
)
Dimana : MgH2O = persen air bebas, Daya mengikat air (%) = kadar air total (%) – kadar air bebas (%) Susut Masak (Cooking Loss) Susut masak adalah perbedaan antara bobot daging sebelum dan sesudah dimasak yang dinyatakan dalam (%). Sampel daging sebanyak 100 g yang telah ditancapkan termometer bimetal, dimasukkan ke dalam air mendidih. Setelah termometer bimetal mencapai angka 81ºC, sampel daging diangkat dan didinginkan selama 60 menit dan ditimbang setiap 30 menit sampai bobotnya konstan.
69
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Fisik Daging Kelelawar, Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang Setelah hewan dipotong, fungsi hidup otot tidak langsung berhenti dan otot langsung menjadi daging, tetapi masih terjadi perubahan-perubahan fisik dan struktur yang dikenal sebagai proses perubahan otot menjadi daging. Beberapa karakteristik daging yang terjadi selama perubahan otot menjadi daging adalah perubahan pH daging, perubahan daya mengikat air oleh protein daging, perubahan warna daging, dan susut masak. Karakteristik daging merupakan sebagian parameter penentu kualitas daging yang dihasilkan. Pada penelitian ini, parameter sifat fisik daging yang diamati adalah pH daging, daya mengikat air, susut masak, dan kadar air. Rataan sifat fisik daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Rataan sifat fisik daging kelelawar babi, ayam, dan ikan cakalang Jenis daging dan Ikan Kelelawar 1
pH 6.44±0.08
Sifat Fisik DIA (%) Susut masak (%) 48.92±2.95 12.83±1.12
Kadar air (%) 67.10±3.87
Kelelawar 2
5.33±0.02
32.63±1.00
36.46±1.39
72.55±0.84
Babi
5.97±0.06
44.78±0.68
19.45±1.46
75.20±1.24
Ayam
6.05±0.07
45.78±3.59
16.30±1.12
73.72±2.36
Ikan cakalang
5.57±0.04
43.23±1.13
27.32±0.72
74.32±0.89
1
Daging kelelawar yang disembelih sendiri; 2 Daging kelelawar yang diambil di pasar tradisional Derajat Keasaman Daging (pH) Derajat keasaman daging dinyatakan dalam pH. Perubahan pH daging erat kaitannya dengan persediaan glikogen otot pada saat pemotongan. Tabel 7 menunjukkan bahwa rataan nilai pH daging kelelawar yang disembelih sendiri, daging babi, ayam, serta ikan cakalang masih dalam keadaan pH normal, sedangkan daging kelelawar yang dibekukan sudah mencapai titik isoelektrik daging. Daging kelelawar yang disembelih sendiri mempunyai nilai pH lebih tinggi (1.05) dari daging kelelawar yang dibekukan. Perbedaan pH ini disebabkan oleh penanganan yang berbeda. Berdasarkan pengamatan dan wawancara dengan pedagang bahwa daging kelelawar yang dibekukan berasal dari daerah Sulawesi Tengah sehingga harus mengalami proses transportasi selama 2-3 hari. Selain
70
lama transportasi, untuk menjaga agar daging tetap dalam kondisi baik sampai di lokasi penjualan, pengumpul kelelawar harus mengumpulkan kelelawar hasil buruan dalam kotak-kotak polietilen yang berisi es dan dibekukan, kemudian dikirim seminggu sekali. Akibatnya, lama waktu penjualan lebih dari satu minggu sehingga pada waktu dianalisis nilai pH daging kelelawar yang dibekukan sudah mencapai titik isoelektrik daging. Foegeding et al. (1996) menyatakan bahwa jaringan otot hewan pada saat masih hidup mempunyai pH 7.2-7.4, dan akan menurun setelah pemotongan. Secara normal, dalam waktu 6-8 jam pH daging akan turun secara bertahap dari 7.0 sampai 5.7 dan mencapai titik isoelektrik sekitar 5.4-5.6 pada 24 jam setelah pemotongan (Aberle et al. 2001). Titik isoelektrik adalah nilai pH pada saat protein memiliki jumlah muatan negatif yang sama dengan jumlah muatan positif. Pada kondisi ini, terjadi pemendekan sarkomer sehingga air cenderung akan didorong dan sifat-sifat fungsional protein, seperti kelarutan protein dan kemampuan membentuk gel dan emulsi juga hilang. Jika daging pada kondisi ini dimasak akan memiliki tekstur yang keras dan kering dengan citarasa yang hambar. Rataan nilai pH daging babi adalah 5.97±0.06. Nilai pH ini lebih rendah dari nilai pH daging kelelawar yang disembelih sendiri, namun lebih tinggi dari nilai pH daging kelelawar yang dibekukan. Nilai pH ini juga lebih tinggi dari nilai pH daging babi 24 jam setelah pemotongan, yaitu 5.49-5.54 seperti yang dilaporkan oleh Siagian et al. (2004), Morel et al. (2006), Rehfeldt et al. (2007). Florowski et al. (2006) melaporkan pH daging dari beberapa jenis babi yang diisimpan selama 48 jam adalah 5.54-5.52. Rataan nilai pH daging ayam adalah 6.05±0.06. Nilai pH ini lebih rendah dari pH daging kelelawar yang disembelih sendiri, namun lebih tinggi dari pH daging kelelawar yang dibekukan. Nilai pH ini juga lebih rendah dari nilai pH daging ayam 2 jam setelah dipotong yang dilaporkan Carcia et al.(2010), yaitu 6.50, namun lebih tinggi dari nilai pH daging ayam broiler 6 jam setelah pemotongan, yaitu 5.94 yang dilaporkan Dunn et al. (1993), dan Kumar et al. (2011), yaitu 5.87 untuk daging ayam yang dipotong di pasar tradisional. Karaoglu et al. (2004) melaporkan bahwa nilai pH daging ayam broiler 1-3 jam
71
setelah pemotongan ialah 6.40-6.12 dan menurun menjadi 5.95, saat 7 jam setelah pemotongan. Tingginya nilai pH daging kelelawar yang dipotong sendiri, babi dan ayam karena lama waktu pemotongan sampai dianalisis tidak lebih dari 3 jam. Pada kondisi ini, secara fisik penampakan daging masih baik dan proses rigor mortis belum selesai. Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa rigor mortis pada babi dan ayam berlangsung selama 30 menit sampai 4.5 jam. Menurut Lawrie (1995) bahwa setelah hewan mati terjadi penurunan pH daging
akibat perombakan
glikogen melalui proses glikolisis secara anaerobik yang menyebabkan terbentuknya asam laktat. Pada metabolisme anaerob, ion hidrogen yang dibebaskan pada proses glikolisis tidak dapat diikat oleh oksigen sehingga terjadi akumulasi ion hidrogen dalam otot. Ion hidrogen ini kemudian dipergunakan untuk mengubah asam piruvat menjadi asam laktat. Penimbunan asam laktat dalam daging menyebabkan peningkatan keasaman otot. Laju penurunan pH akan menentukan sifat fisik daging. Perubahan pH menyebabkan sebagian protein terdenaturasi dan perubahan muatan protein. Rataan nilai pH daging ikan cakalang adalah 5.57±0.04. Nilai pH ini hampir setara dengan nilai pH daging kelelawar yang dibekukan, namun lebih rendah dari pH daging kelelawar yang disembelih sendiri. Nilai pH ini juga lebih rendah dari nilai pH normal daging ikan segar yang dinyatakan oleh Robb et al (2000) bahwa pH daging ikan biasanya berkisar 7-7.5 dan dapat turun sampai 6.5, namun masuk ke dalam pH normal yang dilaporkan Haard (2000) bahwa ikan tuna dapat mencapai di bawah pH 5.5, sementara ikan lainnya memiliki pH 6.26.6. Rendahnya nilai pH ikan cakalang yang diambil di pasar diduga karena ikan cakalang telah diberikan es dan disimpan dalam waktu cukup yang lama. Wijayanti et al. (2006) melaporkan bahwa pH ikan cakalang yang disimpan selama 7 hari pada suhu 11ºC adalah 5.8 dan mulai naik 6.15-6.40 setelah hari ke8 sampai ke-10. Daya Mengikat Air oleh Protein Daging Daya mengikat air oleh protein daging didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan, seperti pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan
72
(Soeparno 2005). Daya mengikat air daging kelelawar yang dipotong sendiri, daging babi, daging ayam, dan ikan lebih tinggi dari daya mengikat air daging kelelawar yang dibekukan. Walaupun daging ayam dan daging babi berasal dari pasar, daya mengikat airnya hampir setara dengan daya mengikat air daging kelelawar yang dipotong sendiri. Hal ini karena pada waktu pengambilan sampel untuk dianalisis, daging ayam dan daging babi baru disembelih sehingga proses rigor mortis belum berakhir yang dibuktikan dengan masih normalnya nilai pH daging. Perbedaan daya mengikat air daging kelelawar yang dipotong sendiri dengan daging kelelawar yang dibekukan adalah 14.13%. Perbedaan daya ikat air ini terjadi karena perbedaan lama waktu pemotongan, yaitu
kelelawar yang
diambil di pasar sudah lama dipotong kemudian dibekukan untuk dipasarkan. Daya mengikat air daging ayam pada penelitian ini adalah 45.78%, lebih tinggi dari daging kelelawar yang dibekukan dan lebih rendah dari daging kelelawar yang disembelih sendiri. Daya mengikat air daging ayam ini juga lebih rendah dari daya mengikat air daging ayam bagian dada yang diukur dua jam setelah pemotongan, yaitu 64.79% yang dilaporkan oleh Carcia et al. (2010) dan Adebiyi et al. (2011) yaitu 59.43%. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena pH, lama waktu pengukuran sampel, dan jenis daging, yaitu pada penelitian ini menggunakan daging bagian paha dan waktu pengukuran tiga jam setelah pemotongan. Kumar et al. (2011) melaporkan bahwa pada pH 5.75, daya mengikat air oleh protein daging ayam segar yang dipotong di rumah potong adalah 40.50%. Daya mengikat air daging babi adalah 44.78%. Daya ikat air ini lebih tinggi dari daya mengikat air daging kelelawar yang dibekukan, dan lebih rendah dari daya ikat air daging babi yang dilaporkan oleh Budaarsa (1997), yaitu 66.60 pada pH 5.72. Menurunnya daya mengikat air daging kelelawar yang dibekukan disebabkan oleh hilangnya kemampuan protein daging untuk mengikat air oleh karena terjadinya perubahan ion-ion dalam protein daging setelah pemotongan. Lawrie (1985) mengatakan bahwa kemampuan protein untuk mengikat air disebabkan oleh karena banyaknya gugus reaktif protein. Dalam keadaan pH rendah karena banyak terbentuk asam laktat, gugus reaktif akan berkurang sampai mencapai titik terendah pada pH isoelektrik.
73
Susut Masak Daging Susut masak adalah kehilangan bobot selama daging mengalami pemasakan. Susut masak daging kelelawar yang disembelih sendiri, daging ayam, daging babi, dan ikan cakalang secara berturut-turut adalah 12.83%, 19.45%, 16.30%, dan 27.32%. Susut masak ini lebih kecil dari daging kelelawar yang dibekukan, yaitu 36.46%, walaupun demikian susut masak daging kelelawar yang dibekukan masih dalam batas standar umum, yaitu 1.5-54.5% (Soeparno 2005), dan masih lebih rendah dari susut masak daging kancil, yaitu 45.17% yang dilaporkan Rosyidi et al. (2010). Susut masak daging ayam lebih rendah dari susut masak daging ayam broiler bagian dada yang dilaporkan oleh Salakova et al. (2009), yaitu 26,4531.40% demikian juga dengan susut masak daging babi yang dilaporkan oleh Lee et al. (2000), yaitu 66%. Susut masak daging babi lebih rendah dari susut masak daging babi yang dilaporkan Morel et al. (2006), yaitu 27.70%. Besarnya susut masak yang dihasilkan berbeda-beda. Hal ini selain disebabkan oleh pH dan daya mengikat air, juga oleh perbedaan jenis daging. Shanks et al. (2002), Soeparno (2005) menyatakan bahwa besarnya susut masak dipengaruhi oleh banyaknya air yang keluar dari daging, lama simpan daging, kemampuan mengikat air oleh proten daging, dan pH akhir daging. Kadar Air Daging Kadar air merupakan komponen dalam daging yang berkaitan dengan kapasitas menahan air oleh protein daging dan susut masak. Semakin kecil kapasitas menahan air oleh protein daging akan semakin besar kadar air yang keluar dalam daging yang akan menyebabkan susut masak semakin besar. Ada tiga jenis air yang terikat dalam daging, yaitu pertama adalah air terikat sangat kuat secara kimia oleh gugus reaktif protein, kedua adalah air terikat lemah terhadap gugus hidrofilik (air dalam keadaan tidak bergerak), dan ketiga adalah air bebas yang berada di antara molekul protein. Air pertama dan kedua bebas dari perubahan molekul, sedangkan air ketiga akan menurun jika protein daging mengalami denaturasi (Aberle et al. 2001). Kadar air daging kelelawar yang disembelih sendiri, daging babi, ayam, ikan dan kelelawar yang dibekukan masing-masing adalah 76.10%, 75.20%,
74
73.72%, 74.32%, dan 72.55%. Kadar air kelelawar yang dibekukan lebih tinggi dari kadar air kelelawar yang disembelih sendiri. Hal ini menyebabkan susut masak juga lebih tinggi dan kapasitas menahan air menjadi rendah. Kadar air ikan cakalang masih dalam batas kadar air yang dilaporkan Sumsundari (2007) bahwa kadar air ikan tongkol adalah 79.52%, sedangkan daging babi adalah 76.40%86.20% (Susilo 2006). Komposisi Kimia Daging Kelelawar, Daging Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang Komposisi kimia akan menentukan nilai gizi dan kualitas daging. Gambaran komposisi kimia daging kelelawar dibandingkan dengan daging babi, daging ayam, dan ikan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Rataan komposisi kimia daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang
P. alecto*
Air 67.21
Komposisi Kimia (%) Protein Lemak Abu Ca 20.48 -
-
N. cephalotes*
62.45
21.73
-
-
-
-
R. amplexicaudatus*
63.84
21.08
-
-
-
-
Pteropus alecto**
5.76
48.97
29.85
10.17
10.62
1.46
R. amplexicaudatus**
7.54
51.49
22.63
8.49
2.09
1.44
Babi**
9.92
69.08
8.91
4.78
1.09
0.69
Ayam**
8.27
67.14
11.65
3.86
1.36
0.66
Ikan cakalang**
9.90
69.41
3.47
4.54
1.83
0.72
Jenis Daging
P
*Dalam basis segar dianalisis di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB; ** Dalam basis kering dianalisis di laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi LPPM.IPB, ; - Tidak diukur. Kadar protein daging segar dari P. alecto, N. cephalotes, dan R. amplexicaudatus adalah 20.4-21.73%, sedangkan kadar airnya adalah 62.45%67.21%. Rataan kadar protein ini relatif sama dengan kadar protein daging kancil, dan daging sapi, namun kadar airnya relatif lebih rendah. Rosjidi et al. (2010) melaporkan bahwa kadar air daging kancil adalah 76.33%, protein 21.42%, lemak 0.51%, dan abu 1.20%. Prasetyo et al. (2009) melaporkan bahwa kadar protein daging sapi segar adalah 21.08%, kadar air 75.90%, lemak 0.87%, dan abu 1.37%. Adegoke & Falede (2005) menyatakan bahwa komposisi kimia otot
75
mamalia terdiri atas air (65-80%), protein (16-22%), dan Lemak (1.5-13%). Berdasarkan basis kering, kadar air P. alecto dan N. cephalotes lebih rendah, sedangkan kadar lemak lebih tinggi dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat hubungan antara kadar lemak dengan kadar air. Kadar air yang tinggi akan menyebabkan penurunan kadar lemak dalam otot. Rendahnya kadar air daging dari ketiga jenis kelelawar dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan dalam penelitian ini selain karena jenis ternak juga aktivitas yang dilakukan. Diduga bahwa lemak yang tinggi akan digunakan sebagai cadangan energi untuk aktivitas terbang. Aberle et al. (2001) melaporkan bahwa secara umum, kandungan lemak dalam otot ditentukan oleh pakan, jenis ternak, umur, dan aktivitas yang dilakukan. Kadar protein daging kelelawar tampak paling rendah bila dibandingkan dengan kadar protein daging babi, ayam, dan ikan. Rendahnya kadar protein ini karena komposisi lemak yang tinggi dan kadar air yang rendah. Diduga bahwa selain lemak digunakan sebagai cadangan energi untuk terbang, kedua kelelawar ini sudah dewasa sehingga pertumbuhan kadar protein jaringan tubuh sudah mencapai konstan. Kadar abu, Ca, dan P kedua jenis kelelawar hasil penelitian ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan kadar abu, Ca, dan P daging babi, daging ayam, dan ikan. Tingginya kadar abu, Ca, dan P diduga karena pakan yang dikonsumsi di alam adalah pakan yang mengandung sumber mineral yang tinggi. Berdasarkan hasil pengamatan bahwa kedua jenis kelelawar ini makan buah berupa pisang, mangga, pepaya, semangka, jambu biji, dan jambu air. Jenis buah-buahan ini kaya akan vitamin dan mineral, terutama Ca, P, K, dan Fe (Israhadi 2008). Profil Asam Lemak Daging Kelelawar, Daging Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang Profil asam lemak daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 4. Asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh
(saturated fatty acid, SFA), asam lemak tak jenuh tunggal
(Monounsaturated fatty acid, MUFA), dan asam lemak tak jenuh ganda (Polyunsaturated fatty acid, PUFA). Asam lemak jenuh hanya memiliki ikatan tunggal di antara atom karbon penyusunnya, sementara asam lemak tak jenuh
76
memiliki paling sedikit satu ikatan ganda di antara atom-atom karbon penyusunnya. Tabel 4 Profil asam lemak kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang Asam Lemak (%) A. celebensis Asam lemak jenuh (SFA) Kaprat, C10:0 Laurat, C12:0 Miristat, C14:0 Palmitat, C16;0 Stearat, C18:0 Arakidat, C20:0 Behenat, C22:0 Lignoserat, C24:0 Asam lemak tak jenuh (MUFA) Miristoleinat, C14:1 Palmitoleinat, C16:1 Oleat, C18:1n9c Eikosenat, C20:1 Erukat, C22:1n9 Nervonat, C24:1 Asam lemak tak jenuh (PUFA) Linoleat, C18:2n6c Linolanat, C18:3n3c Eikosedienoat, C20:2 Eikosetrienoat, C20:3n6 Eikosetrienoat, C20:3n3 Arakidonat, C20:4n6 Eikosanpentaenoat (EPA), C20:5n3 Dekosaheksaenoat (DHA), C22:6n3
Jenis Daging dan Ikan P.alecto R.amplexicaudatus Babi
Ayam Ikan Cakalang
0.29 0.39 11.19 27.22 3.48 0.05 0.02 0.03
0.02 1.80 15.64 24.82 6.58 0.14 0.02 0.04
0 1.26 9.23 19.67 7.43 0.21 0.04 0.05
0 0.33 1.32 16.43 8.81 0.15 0.05 0.05
0 0.05 0.50 17.39 3.99 0.06 0.03 0.04
0 0.04 1.74 14.43 7.85 0.47 0.29 0.29
1.00 3.18 28.74 0.09 0.01 0.03
0.23 1.06 26.10 0.16 0 0.04
0.14 0.59 27.16 0.32 0.08 0.08
0 1.34 28.87 0.74 0.03 0.02
0.14 4.63 29.60 0.31 0.02 0.02
0.02 2.36 10.25 1.05 0.14 0.46
0.98 0.28 0.10 0.05 0.03 0.48 0.19 0.38
0.67 0.27 0.08 0.10 0.03 0.52 0.13 0.30
1.83 0.40 0.12 0.25 0.05 1.57 0.44 1.15
8.66 0.31 0.49 0.11 0.03 0.67 0.61 0.05
9.18 0.44 0.22 0.19 0 0.64 0.29 0.05
0.89 0.28 0.27 0.10 0.10 2.33 1.88 17.28
Asam lemak jenuh (SFA) yang terdeteksi ada delapan, yaitu asam kaprat (Capric acid), asam laurat (Lauric acid), asam miristat (Myristic acid), asam palmitat (Palmitic acid), asam stearat (Stearic acid), asam arakhidat (Arachidic acid), asam behenat (Behenic acid), dan asam lignoserat (Licnoceric acid). Asam lemak tidak jenuh (MUFA) adalah asam miristoleinat (Myristoleic acid), asam palmitoleinat (Palmitoleic acid), asam oleat (Oleic acid), asam eikosenat (Cis-11Eicosenoic acid), asam erukat (Erucic acid), dan asam nervonat (Nervonic acid), sedangkan asam lemak tak jenuh (PUFA) adalah: asam linoleat (Linoleic acid), asam linolenat (Linolenic acid), asam eikosedienoat (cis11-14-Eicosedienoic acid), asam eikosetrienoat (Cis-8,11,14-Eikosetrienoic acid, Cis-11,14,17Eikosetrienoic acid), asam arakidonat (Arachidonic acid), asam eikosapentaenoat
77
(Cis-5,8,11,14,17-Eicosapentaenoicacid), dekosaheksaenoat (Cis-4,7,10,13,16,19decosahexaenoic acid). Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa konsentrasi asam lemak jenuh tertinggi adalah asam palmitat, asam miristat, asam stearat, dan asam laurat. R. amplexicaudatus, P. alecto dan A. celebensis memiliki konsentrasi asam lemak palmitat dan asam miristat lebih tinggi dibandingkan dengan daging babi, ayam, dan ikan. Asam stearat tertinggi terdapat pada daging babi diikuti ikan cakalang, R. amplexicaudatus, P. alecto, ayam, dan A. celebensis. Asam laurat tertinggi terdapat pada P. alecto, R. amplexicaudatus, A. celebensis yang diikuti daging babi, ayam, dan ikan cakalang. Yu et al. (1995) melaporkan bahwa asupan asam laurat, asam palmitat, asam miristat secara signifikan meningkatkan total kolesterol, LDL-kolesterol, dan HDL-kolesterol plasma manusia, sedangkan asam stearat tidak meningkatkan total kolesterol, LDL-kolesterol dalam plasma. Imaizumi et al. (1993) juga menyatakan bahwa lemak murni yang mengandung asam stearat menghasilkan kolesterol lebih rendah dalam plasma. Tingginya konsentrasi asam palmitat dan miristat pada ketiga jenis kelelawar diduga karena kelelawar mengkonsumsi bahan pakan yang kaya akan kedua asam lemak ini. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi tempat kelelawar ditangkap diketahui bahwa yang menjadi sumber pakan adalah jambu air, jambu biji, pisang, pepaya, tetapi tidak menutup kemungkinan kelelawar mengkonsumsi buah cokelat dan buah kelapa muda, karena habitat kelelawar dikelilingi dengan tanaman kelapa sawit dan kakao. Lemak kakao sangat kaya dengan asam lemak palmitat, stearat, dan oleat. Lipp & Enklam (1998) melaporkan bahwa komposisi asam lemak buah kakao adalah asam palmitat 24.9%, asam stearat 37.3%, dan oleat 33.5%, sedangkan Indarti (2007) melaporkan bahwa lemak biji kakao mengandung asam palmitat sebesar 26.24%, asam stearat 43.23%, dan asam oleat 26.53%. Konsentrasi asam lemak jenuh tak tunggal (MUFA) tertinggi adalah asam lemak oleat (omega 9), yaitu 10.25-29.60%. Asam palmitoleinat (omega 7) hanya berkisar 0.59-3.18%, dan asam miristoleinat hanya berkisar
0.02-1.00%.
Konsentrasi asam oleat terbesar ada pada daging ayam, diikuti daging babi, A. celebensis, R. amplexicaudatus, P. alecto, dan ikan cakalang. Asam lemak oleat dan asam lemak palmitoleinat bukan merupakan asam lemak esensial dalam
78
makanan karena jaringan tubuh dapat menyisipkan ikatan rangkap pada posisi Δ9 ke dalam asam lemak jenuh bersesuian (Muray et al. 2002). Asam lemak oleat berperan dalam memperbaiki profil lipida dalam tubuh sehingga memberi pengaruh positif pada level kolesterol, dan mencegah risiko penyempitan pembulu darah (Grundy 1989). Konsentrasi asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) tertinggi adalah linoleat (omega 6) yang terdapat pada daging ayam, yaitu 9.18% dan daging babi 8.66%, sedangkan daging kelelawar hanya berkisar 0.67-1.83%, dan ikan cakalang hanya sebesar 0.89%. Konsentrasi asam lemak linolenat (omega 3) secara keseluruhan dalam daging kelelawar berkisar 0.27%-0.40%, daging babi 0.31%, ayam 0.44%, dan ikan 0.28%. Konsentrasi asam arakidonat untuk semua daging kelelawar, daging ayam, dan ikan berkisar 0.48-2.33%. Murray et al. (2002) menyatakan bahwa kebutuhan asam lemak arakidonat akan terpenuhi jika terdapat linoleat dalam makanan. Asam lemak tak jenuh ganda lain yang terdeteksi dari kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan adalah asupan eikosanpentaenoat (EPA) dan dokosahexaenoat (DHA) yang merupakan derivat asam lemak omega 3. Konsentrasi EPA tertinggi terdapat pada ikan cakalang, sedangkan pada ketiga jenis kelelawar berkisar 0.13-0.44%, daging babi 0.61%, dan ayam 0.29%. Demikian juga konsentrasi DHA tertinggi ada pada ikan cakalang, sedangkan pada ketiga jenis kelelawar berkisar 0.30-1.15% dan daging babi dan ayam sebesar 0.05%. Namun, kedua jenis asam lemak tak jenuh ganda ini kadarnya lebih tinggi dari daging kelinci yang dilaporkan Rosyidi et al. (2010). Walaupun proporsi asam lemak PUFA dibanding SAF dalam daging kelelawar, babi, ayam, dan ikan cakalang sangat kecil dalam daging, jumlah ini sangat berarti karena asam-asam lemak ini merupakan asam lemak esensial bagi nutrisi yang lengkap pada banyak spesies hewan, termasuk manusia. Murray et al. (2002) menyatakan bahwa pada sebagian tubuh hewan, semua ikatan rangkap dapat disisipkan pada posisisi Δ4, Δ5, Δ6, dan Δ9 yang dihitung dari ujung terminal karboksil, tetapi tidak pernah di atas posisi Δ9, sehingga hanya dapat mensintesis kelompok asam lemak Δ9 (omega 9) secara lengkap melalui penggabungan proses pemanjangan rantai dengan desaturasi, dan dalam keadaan defisiensi asam lemak esensial, asam
79
lemak dari PUFA dari kelompok Δ9 akan menggantikan asam lemak esensial dalam fosfolipid. DHA disintesis dari linolenat yang diperlukan bagi perkembangan otak (Murray et al. 2002). Rasio asam lemak tak jenuh dan asam lemak jenuh dalam makanan merupakan faktor utama dalam penurunan konsentrasi kolesterol plasma. Perbandingan SFA, MUFA, dan PUFA dalam penelitian ini untuk A. celebensis adalah 17.21: 13.27:1, untuk P. alecto adalah 23.36:13.13:1, untuk R. amplexicaudatus adalah 6.51:4.88:1, untuk daging babi adalah 2.48:2.83:1, untuk daging ayam adalah 2:1.5:1, dan untuk ikan cakalang adalah 1.08:0.6:1 Perbandingan kelompok omega 3 dengan kelompok omega 6 untuk A. celebensis, P. alecto, R. amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan dan ikan secara berturut-turut adalah 1:1.77, 1:1.76, 1:1.68, 1:63.33, 1:10, 5.96:1. Perbandingan asam lemak linolenat dan linoleat
untuk A. celebensis, P. alecto, R.
amplexicaudatus, daging babi, daging ayam, dan ikan masing-masing adalah 1:3.5 1: 2.48, 1:4.75, 1:26.24, 1:20.86, dan 1:3.17. Profil Kolesterol Total Daging Kelelawar, Daging Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang Kolesterol merupakan komponen struktural esensial yang membentuk membran sel serta lapisan eksternal lipoprotein plasma, juga merupakan prekursor semua senyawa steroid dalam tubuh, seperti kortikosteroid, hormon seks, asam empedu, dan vitamin D (Hard et al. 2003). Manusia membutuhkan 1.1 g kolesterol/hari untuk memelihara dinding sel dan fungsi fisiologis lainnya. Dari jumlah tersebut, kurang lebih 300 mg berasal dari makanan dan kurang lebih 700 mg berasal dari sintetis endogen di dalam tubuh (Murray et al. 2002, Hard et al. 2003). Total kolesterol daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 5. Konsentrasi kolesterol total dalam daging paling tinggi terdapat pada R. amplexicaudatus, diikuti A. celebensis, daging ayam, P. alecto, daging babi, dan ikan cakalang. Konsentrasi kolesterol ini lebih tinggi dari konsentrasi kolesterol daging kancil, yaitu 50 mg/100 g (Rosyidi et al. 2010). Walaupun demikian, total kolesterol kelelawar lebih rendah jika dibandingkan dengan total kolesterol dari kuning telur ayam kampung (1881.30 mg/100 g), ayam ras (1274.50 mg/100 g),
80
itik (2118.75 mg/100 g), (puyuh 2139.17 mg/100 g) yang dilaporkan Dwiloka (2003). Tabel 5 Perbandingan kolesterol total daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan (basis kering) Jenis daging Kelelawar A. celebensis P. alecto R. amplexicaudattus Babi Ayam Ikan cakalang
Konsentrasi (mg/100 gram 284.20 234.75 287.54 192.88 263.15 138.21
Tingginya kolesterol ketiga jenis kelelawar dan daging ayam diduga karena produksi kolesterol dalam hati berlebihan, juga pakan yang dikonsumsi mengandung asam lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi, sedangkan serat kasarnya rendah. Kolesterol dan lemak dalam pakan akan mempengaruhi kadar kolesterol dan lemak dalam darah, daging, dan lemak tubuh. Adanya serat dalam pakan akan menyebabkan kecernaan dan penyerapan kolesterol dan lemak menurun, namun asam lemak volatil meningkat. Peningkatan asam lemak volatil akan menghambat kerja enzim 3-hidroksi-3-metilglutaril-KoA (HMG-KoA) reduktase. Dengan demikian, biosintesis kolesterol terhambat. Budaarsa (1997) melaporkan kandungan kolesterol pada daging babi yang mendapatkan pakan berserat dari rumput laut lebih rendah, yaitu 195.30 mg/100 g daripada ternak yang tidak mendapatkan pakan berserat (tanpa rumput laut), yaitu 246.46 mg/100 g. Kolesterol disintesis oleh mamalia di hati dan disebarkan ke plasma darah dan jaringan lain. Jika kolesterol pangan dikurangi maka tubuh meningkatkan sintesis untuk mengimbangi kekurangannya, sebaliknya jika kolesterol dalam pangan tinggi, maka hati akan menurunkan sintesis kolesterol (Wilbraham et al. 1992). Profil Asam Amino Daging Kelelawar, Daging Babi, Ayam, dan Ikan Cakalang Asam amino diperlukan tubuh sebagai penyusun protein atau sebagai kerangka molekul-molekul penting zat pembangun. Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga harus didapatkan dari
81
bahan pangan. Komposisi asam amino esensial dan nonesensial kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan disajikan pada Tabel 6. Tabe l 6 Profil asam amino daging kelelawar, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang Asam Amino (%) Esensial Arginina Histidina Fenilalanina Isoleusina Leusina Lisina Metionina Treonina Tirosina Valina Nonesensial Asam Aspartat Asam Glutamat Alanina Glisina Serina
Jenis Daging dan Ikan A. celebensis P.alecto R.amplexicaudatus Babi Ayam
I. cakalang
3.77 1.25 2.32 2.27 4.25 3.81 1.31 2.44 1.77 2.73
3.47 1.09 2.02 1.98 3.15 4.35 1.12 2.08 1.53 2.27
4.53 1.84 3.08 2.66 3.64 5.38 1.89 3.28 2.52 2.74
4.58 2.63 2.93 2.65 3.51 5.27 2.02 3.19 2.41 2.64
5.03 2.27 3.14 2.92 3.83 5.78 2.18 3.36 2.52 2.92
4.35 4.95 2.98 2.82 3.73 5.62 2.27 3.35 2.45 2.90
5.04 8.63 3.69 4.22 2.47
4.38 7.53 3.32 3.99 2.16
5.98 9.15 4.14 2.99 2.98
5.88 9.14 3.92 2.72 2.78
6.46 10.04 4.32 3.00 2.99
6.33 9.24 4.35 3.28 2.77
Asam amino esensial yang harus dipenuhi dari pangan sehari-hari ialah isoleusina, leusina, lisina, metionina, fenilalanina, treonina, triptofan, tirosina, valina, arginina, dan histidina. Histidina dan arginina disebut sebagai "setengah esensial" karena tubuh manusia dewasa sehat mampu memenuhi kebutuhannya. Asam amino nonesensial adalah asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh sendiri, yaitu asam aspartat, asam glutamat, alanina, glisina, dan serina. Komposisi asam amino esensial dan nonesensial untuk
daging A.
celebensis adalah 24.15% dan 20.81% (dengan perbandingan 1.16:1), daging P. alecto 22.51% dan 22.91% (dengan perbandingan 0.98:1), daging
R.
amplexicaudatus 25.84% dan 24.43% (dengan perbandingan 1.05:1), daging babi 33.90% dan 30.51% (dengan perbandingan 1.1:1), daging ayam 31.43% dan 29.43% (dengan perbandingan 1.17:1), dan ikan cakalang 32.97% dan 29.42% (dengan perbandingan 1.12:1). Kandungan asam amino esensial dan nonesensial dari ketiga jenis kelelawar, daging ayam, daging babi, dan ikan cakalang berbeda-
82
beda. Lawrie (2003) menyatakan bahwa perbedaan urat daging, bangsa, dan umur hewan sangat mempengaruhi komposisi asam amino. Kandungan asam amino arginina tertinggi ditemukan pada daging ayam (5.03%), diikuti daging babi (4.58%), R. amplexicaudatus (4.53%), ikan cakalang (4.35%), A. celebensis (3.77%), dan P. alecto (3.47%). Asam amino leusina A. celebensis (4.25%) lebih tinggi dari R. amplexicaudatus (3.64%), P. alecto (3.15%), daging babi (3.51%), ayam (3.83%), dan Ikan cakalang (3.73%). Asam amino histidina tertinggi (4.95%) ada pada ikan cakalang, sedangkan pada ketiga jenis daging kelelawar (1.09-1.84%), dan daging babi (2.63%) relatif rendah. Kandungan asam amino fenilalanina tertinggi terdapat pada daging ayam (3.14%) diikuti R. amplexicaudatus (3.08%), A. celebensis (2.32%), P. alecto (2.02%), daging babi (2.93%), dan ikan cakalang (2.98%). Kandungan asam amino lisina paling tinggi pada daging ayam (5.78%) diikuti ikan cakalang (5.62%),
R.
amplexicaudatus (5.38%), daging babi (5.27%), P. alecto (4.35%),
A.
dan
celebensis (3.81%). Kandungan asam amino isoleusina tertinggi ada pada daging ayam (2.92%) diikuti ikan cakalang (2.82%),
R. amplexicaudatus (2.66%),
daging babi (2.65%), A. celebensis (2.27%), dan P. alecto (1.98%). Kandungan asam amino metionina tertinggi ada pada ikan cakalang (2.27%) diikuti daging ayam (2.18%), daging babi (2.02%), R. amplexicaudatus (1.89%), A.celebensis (1.31%), dan P. alecto (1.12%). Kandungan asam amino treonina pada daging A. celebensis (2.44%) dan P. alecto (2.08%) relatif lebih rendah dibanding R. amplexicaudatus (3.28%), daging babi (3.19%), daging ayam (3.36%), dan ikan cakalang (3.35%). Kandungan asam amino valina P. alecto lebih rendah (2.27%) dibandingkan dengan kedua jenis daging kelelawar, daging babi, ayam, dan ikan cakalang (2.67-2.92%). Nelson et al. (2000) menyatakan bahwa arginina berperan penting dalam pembelahan sel, sekresi testoteron, dan meningkatkan hormon pertumbuhan yang berpengaruh pada perototan, sedangkan histidina merupakan prekursor histamin yang berperan dalam sistem saraf, dan merupakan asam amino semiesensial karena dapat disintesis oleh tubuh, tetapi tidak mencukupi untuk pertumbuhan anak. Asam amino histidina dan arginina merupakan asam amino esensial bagi anak-anak. Fenilalanina merupakan kelompok asam amino aromatik yang
83
memiliki cincin benzena, sebagai penyampai pesan pada sistem saraf otak. Dalam keadaan normal, tubuh akan mengubah fenilalanina menjadi tirosin, yaitu asam amino untuk proses sintesis protein, adrenalin, noradrenalin, dan hormon tiroid. Leusina berperan penting dalam metabolisme protein dan diperlukan untuk pertumbuhan optimal bayi serta mendorong pemulihan otot setelah beraktivitas. Valina dan isoleusina adalah asam amino penyusun protein yang dikodekan DNA. Lisina adalah asam amino yang bersifat antivirus. Treonina adalah salah satu asam amino yang akan menghasilkan senyawa fosfotreonin yang penting pada biosintesis metabolisme sekunder. Metionina adalah asam amino yang berperan dalam proses transkripsi yang menerjemahkan urutan basa nitrogen di DNA untuk membentuk RNA. Glisina berperan dalam sistem saraf sebagai neorotransmiter pada sistem saraf pusat. Simpulan Nilai pH daging kelelawar yang disembelih, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang berada pada kisaran pH normal (5.57-6.44), sedangkan daging kelelawar yang diambil di pasar mencapai titik isoelektrik daging (5.33). Daya mengikat air daging kelelawar yang disembelih, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang lebih besar (43.23-48.92%) daripada daging kelelawar yang diambil di pasar (32.63%). Susut masak daging kelelawar yang diambil di pasar lebih besar (36.46%) daripada daging kelelawar yang disembelih, daging babi, daging ayam, dan ikan cakalang (12.83-27.32%). Komposisi kimia, kadar asam lemak, kadar kolesterol, dan kadar asam amino daging kelelawar tidak jauh berbeda dari daging ayam, daging babi, dan ikan cakalang, namun DHA dan EPA berbeda dari ikan cakalang. Saran Perlu penelitian lanjutan untuk membedakan nilai gizi kelelawar yang dibudidayakan dan kelelawar yang diambil di alam.
84
Daftar Pustaka Adebiyi OA, Adu OA, Olumide MD. 2011. Performance characteristies and carcass quality if broiler chicks under high stocking dencity fed vitamin E supplement diet. J Agric 6 (5):264-268. Adegoke GO, Falade KO. 2005. Quality of meat. J Food Agric Environ 3:87-90. Arain MA et al. 2010. Examination of properties of goat meat. Pakist J Nutr 9 (5): 422-425. Budaarta K. 1997. Kajian penggunaan rumput laut dan sekam padi sebagai sumber serat dalam ransum untuk menurunkan kadar lemak karkas dan kolesterol daging babi. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Dwiloka B. 2003. Efek kolesterolemik berbagai telur. Med Gizi Kel 27(2): 58-65. Florowski T, et al. 2006. Tecnological parametres in pig of two polish local breeds-Zlotnicka spotted and pulawska. Anim Sci Papers Reports 24 (3): 217-224 Garcia RG et al. 2010. Incidence and physical properties of PSE chiken meat in a commersial processing plant. Braz J Poult Sci 12:233-237. Grundy SM. 1989. Monounsaturated fatty acid and cholesterol metabolism implication for dietary recommendations. J Nutr 119:529-533 Imaizumi K, Abe K, Kuroiwa C, Sugano. 1993. Fat containing stearic acid increases fecal neutral steroid exretion and catabolism of low density lipoprotein without affecting plasma cholesterol concentration in hamsters fed a cholesterol-containing diet. J Nutr 123:1693:1702. Indarti E. 2007. Efek pemanasan terhadap rendaman lemak pada proses pengepresan biji kakao. J Rek Kim Lingk 6(2):50-54. Israhadi S. 2008. Manfaat tanaman buah. Bandung : Gramedia Karaoglu M et al. 2004. Effect of dietary probiotic on the pH and colour charateristics of carcasses, breast fillets and drumstick of broilers. Anim Sci 78:253-259. Kumar HTS et al. 2011. Effects of processing practices on the physico-chemical, microbiological and sensory quality of fresh chicken meat. Intl J Meat Sci :1–6. Lee S et al. 2000. Use of electrical conductivity to predict water holding capacity in post rigor pork. Meat Sci 55:385-389.
85
Lipp M, Enklam E. 1998. Review of cacao butter and alternative fats for use in chocolate. Part A. Compositiona data. Food Chem 62(1):73-97. Lonergan EH, Lonergan SM. 2005. Mechanism of water-holding capacity of meat: the role of postmortem biochemical and structural changes. Meat Sci 71:194-204. Morel PCH, Camden BJ, Purchas RW, Jans JAM, 2006. Evaluation of three pork quality prediction tools across a 48 hours post mortem period. Asia-Aust. J Anim Sci 19(2):266-272. Nelson DL, Cook MM, Lehninger. 2000. Prinsiples of Biochemistry. 3rd ED. New York : Worth publishing. Prasetyo A, Prasetyo T, Subandriyo. 2009. Tinjauan gizi, finansial dan mikrostruktur otot dari sapi glongkongan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Rehfeldt C, Tuchsherer A, Hartung M, Kuhn G. 2007. A second look at the influence of birth weigh on carcass and meat quality in pigs. Meat Sci 78:170-175. Rosyidi D, Gurnadi E, Priyanto R, Suryahadi. 2010. Kualitas daging kelinci. Med Pet 33(2): 95-102. Salakova A et al. 2009. Quality indicators of chiken Broiler raw and cooked meat depending on their sex. Actavet 78:497-504. Shanks BC, Wolf DM, Maddock RJ. 2002. Tecnical note : the effect of freezing on warner blatzler shear force valur of beef longissimus steak across several post mortem aging periods. J Anim Sci 80:2122-2125. Siagian PH, Priyanto R, Sembiring R. 2004. Kualitas daging babi dengan pemberian zeolit dan tepung darah sebagai sumber protein dalam ransum. Med Pet 27(1):1-11 Sumsundari S. 2007. Identifikasi ikan segar yang dipilih konsumen beserta kandungan gizi pada beberapa pasar tradisional di kota Malang. J Prot 14 (1) : 41-48 Susilo A. 2007. Karakteristik fisik daging beberapa bangsa babi. J Ilmu Teknol Hasl Ternak 2(2): 42:51. Yu S, Derr J, Eltherton TD, Kris-Eltrherton PM. 1995. Plasma cholesterol predictive equations demontrate that strearic acid is neural and monounsuturated fatty acids are hypocholesterolemic. Am J Clin Nutr 61 :1129:1139.