1
KONSTRUKSI SOSIAL TATTOO ARTIST : STUDI KASUS PADA STUDIO TATO DI LEGIAN, KUTA OLeh: I Wayan Willy Saputra 1), Ikma Citra Ranteallo 2), Imron Hadi Tamim 3) Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Udayana Email:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konstruksi sosial tattoo artist di studio tato di Legian, Kuta. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan menggunakan dua sumber data yaitu data primer dan data sekunder yang dikumpulkan dengan menggunakan metode observasi partisipasi. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann dan data didapatkan melalui mengamati dan mewawancarai para informan di studio tato. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan terdapat tiga produk konstruksi sosial tattoo artist, yaitu 1).Tattoo artist sebagai sebuah ekspresi seni, 2).Tattoo artist sebagai penyedia jasa. 3).Tattoo artist sebagai identitas diri. Kata Kunci : Konstruksi Sosial, Tato, Tattoo Artist, Seni.
1.
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Tato pada umumnya merupakan seni merajah tubuh dengan berbagai macam objek, baik gambar, simbol maupun tulisan-tulisan, bahkan replika foto. Tato selalu diasosiasikan dengan kriminalitas, banyak penjahat yang memakai tato ditubuhnya sebagai lambang keberanian dan kejantanan mereka. Media massa kerap menampilkan tato yang ada pada tubuh penjahat atau orang yang dijadikan tersangka. Hal ini secara tidak langsung mengkondisikan masyarakat untuk selalu mengkaitkan tato dengan kriminalitas. Pada era orde baru ketika rezim yang berkuasa ketika itu, banyak orang-orang bertato menjadi sasaran pembunuhan yang dilakukan untuk membersihkan para kriminal di masyarakat. Para kriminal yang memang rata-rata bertato tersebut dibunuh dengan terorganisir dan rapi, hal ini dimaksudkan sebagai ancaman terhadap golongan segmen masyarakat tertentu. Walaupun begitu, dunia tato tidak surut langkah, sekarang banyak penato professional yang benar-benar mengantungkan nafkah
mereka pada kegiatan membuat gambar pada tubuh seseorang dengan jarum dan tinta ini. Seiring perkembangan jaman tato menjadi salah satu cabang seni, para penato professional kini terus berkembang jumlahnya disertai dengan perkembangan alat-alat yang canggih dan juga pengerjaannya yang tepat dan higienis. Pada perkembangannya kemudian tato membuka banyak jalan inovatif bagi ekspresi personal, tato menjadi bagian dari revolusi budaya yang menjadi mode bersama-sama dengan music rock ‘n’ roll, narkotika kriminalitas dan gerakan perdamaian. Dalam konteks inilah tubuh tiba-tiba menawarkan potensi baru sebagai permukaaan untuk dilukisi, disablon, dilobangi atau ditato (Marianto & Bhari, 2004:26). Seniman dibalik pembuat goresan-goresan tato inilah kini disebut sebagai tattoo artist. Pekerjaan sebagai tattoo artist merupakan sebuah bentuk konstruksi sosial melalui sebuah pemahaman akan masyarakat disekitarnya, pemahamannya adalah subjektif artinya dianggap benar atau begitulah sesuai yang dipersepsikan manusia. Dunia kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagai kenyataan yang
2
ditafsirkan manusia maka apa yang dilihat sehari-harinya merupakan suatu kenyataan apa yang dialami manusia (Berger & Luckmann, 1990:28). Tattoo artist berkembang seiring dengan mulai dikomersialkannya seni tato tersebut, seni tato yang kini sudah dianggap hal yang bukan lagi menyimpang merupakan bentuk sebuah realitas sosial yang merupakan sebuah konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu atau manusia bebas yang melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain (Berger & Luckmann, 1990:22). Individu menjadi penentu dalam dunia sosial dimana tattoo artist sekarang mulai berkembang di tengah masyarakat. Melalui publikasi massa, film, radio dan televisi dan juga internet, tato mengalami banyak perubahan stigma, dimana cenderung negatif berubah menjadi sebuah stigma dalam seni menggambar pada media kulit yang kini sifatnya lebih positif, batasan-batasan kognitif dan normatif tentang realitas yang diciptakan di kota dengan cepat menyebar di seluruh masyarakat (Raharjo, 2011:10). Perkembangan seni tato membutuhkan sebuah professionalitas agar kedepannya seni tato menjadi lebih bernilai positif bagi masyarakat dan bisa diterima sebagai sebuah gaya hidup bagi masyarakat modern di Bali. Salah satu seminar yang diadakan di gedung Creative Network International (CNI) Kabupaten Badung pada tanggal 27 Februari 2012 misalnya, membahas mengenai “Pentingnya Kesehatan dan Kebersihan Dalam Bekerja” Seminar yang diadakan oleh Bali Tattoo artist Club (BTAC) bekerja sama dengan Komisi penanggulangan AIDS(KPA) dan Dinas Kesehatan Kabupaten Badung ini juga mensosialisasikan pentingnya standarisasi untuk peralatan tato yang steril. Menurut Sudikerta (Ketua KPA) “Dengan peralatan tato yang steril tentunya tattoo artist bias bekerja dengan nyaman dan kesehatan klien juga bias terjamin. Dengan seminarseminar ini diharapkan nantinya, studiostudio tato di Bali bisa menerapkan standar sterilisasi internasional, utamanya bagi tattoo artist itu sendiri. Selanjutnya, diharapkan masa depan usaha studio tato sendiri sangat riskan terjadi penyebaran
penyakit, oleh karena itu diperlukan upaya prefentif atau pencegahan dari Bali Tatoo Artist Club (BTAC) Bekerja sama dengan Dinas Kesehatan, serta diperlukan ketentuan mengenai standar sterilitas peralatan tato. BTAC juga perlu membuat kesepakatan dengan dinas kesehatan Badung mengenai penanganan limbah tato yang riskan dengan penularan penyakit apabila tidak segera ditangani (Magic Ink, No.27, 2012). Sebagai penyedia jasa tentu banyak bentuk konstruksi sosial bagi tattoo artist sehingga memilih menekuni profesi ini sebagai sebuah pekerjaan professional. Hal inilah ingin diangkat atau dikaji lebih mendalam dalam sebuah tulisan yang berjudul Konstruksi Sosial Tattoo Artist : Studi Kasus Pada Studio Tato di Legian, Kuta.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang diangkat dalam tulisan ini: Bagaimanakah bentuk konstruksi sosial tattoo artist di Legian, Kuta?
2.
KAJIAN PUSTAKA
Tato adalah pengindonesiaan dari kata tattoo artinya adalah goresan, desain, gambar, atau lambang yang dibuat pada kulit secara permanen. Pembuatan gambar permanen pada tubuh secara garis besar dilakukan dengan dua cara: 1) retas tubuh, yaitu menggoreskan permukaan kulit dengan benda tajam sehingga menimbulkan luka, dan ketika luka ini sembuh terbentuklah tonjolan pada permukaan kulit; 2) melubangi permukaan kulit dengan benda yang runcing sesuai dengan gambar yang diinginan, lalu melalui lubang itulah tinta/ zat cair berwarna dimasukan dalam permukaan kulit (Marianto & Bhari, 2004:2). Makna tato terbentuk dari sebuah pengalaman dalam masyarakat itu sendiri, dimana didalamnya terdapat realitas-realitas yang dipandang secara subjektif, objektif, dan simbolik sehingga masyarakat dapat dipandang sebagai realitas subjektif maupun realitas objektif (Berger & Luckmann, 1990:29). Sebagai tattoo artist, tato dimaknai dari tiga aspek, yaitu seni, bisnis, dan identitas sedangkan bagi non
3
tattoo artist dimaknai dari dua, yaitu aspek seni dan identitas. Proses masyarakat mengenal suatu budaya baru terdapat tiga momen simultan yakni adanya eksternalisasi (dunia sosiokultural sebagai produk manusia) objektivasi (interaksi sosial dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi) dan internalisasi (individu mengindentifikasikan diri dengan lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya). Karena itulah muncul istilah masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat (Berger, 1994:10). Dalam halnya sebuah hubungan sosial yang terbentuk karena adanya sebuah keyakinan bahwa masyarakat akan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan hal baru yang terdapat di dalamnya termasuk disini adalah seni tato, dimana tattoo artist sebagai subjek baru dalam sebuah hubungan individu sebagai penyedia jasa di dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial yang terjadi karena adanya sebuah proses eksternalisasi dialami oleh seorang tattoo artist, dimana mereka merubah sebuah tatanan profesi jasa yang ada dan menyesuaikan dengan tatanan yang baru. Tatanan baru yang dimaksud adalah sebuah sebuah pergeseran kebudayaan dari sebuah hal tradisonal menjadi sebuah hal yang modern, dimana masyarakat sudah tidak asing lagi dengan adanya globalisasi di semua aspek kehidupan mereka. Kenyataan yang terbentuk akibat dari sebuah pengetahuan dengan kata lain bahwa pengetahuan menekuni analisa pembentukan kenyataan oleh masyarakat. (Berger & Luckmann, 1990:4). Maka tujuan tattoo artist dapat dilihat dari sebuah kenyataan sosialnya dalam masyarakat terdapat tiga aspek, yaitu dari aspek seni, aspek identitas, dan bisnis.
3.
METODELOGI PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang ditujukan untuk memahami sebuah fenomena tentang apa yang dialami oleh
sebuah subjek penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suat konteks yang alamiah. Sumber data yang digunakan oleh penulis ada dua. Pertama sumber data primer yakni data yang didapat merupakan hasil dari pengamatan dan keterlibatan langsung penulis dalam kegiatan tattoo artist selama penulisan penelitian ini. Kedua data sekunder, yakni data yang didapat melalui library research, di mana data-data tambahan tersebut akan dikumpulkan melalui studi kepustakaan, dengan menggunakan bahan-bahan pustaka seperti buku, jurnal akademik, surat kabar, serta melalui media internet. Unit analisis pada penelitian ini adalah tattoo artist yang berada di Legian Kuta, tattoo artist tersebut ialah Buch Tattoo, Malen Tattoo dan Nikz Tattoo. Ketiga tattoo artist tersebut mempunyai latar belakang pendidikan yang berbeda, usia dan juga asal yang berbeda namun bekerja pada sebuah studio tattoo yang sama yakni di Legian Kuta. Daerah Legian dipilih karena merupakan daerah wisata yang perkembangan dunia seni tatonya lebih cepat dari daerah lain di Bali. Penelitian ini dianalisi menggunakan teori konstruksi sosial yang dikemukakan oleh Berger dan Luckmann. Penentuan informan dalam penelitian ini didasari pada pertimbangan tertentu, yaitu studio tato yang dipilih adalah Familia tattoo Bali di Legian, Kuta karena para tattoo artists dan yang bekerja di Familia tattoo Bali dapat mewakili variasi data yang dibutuhkan terkait tattoo artists, yaitu variasi berdasarkan pendidikan, usia, dan aliran dan daerah Legian yang menjadi tempat perkembangan seni tato yang lebih maju karena merupakan daerah tujuan wisatawan asing. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan observasi partisipasi dan wawancara
4
dengan sepuluh orang yang terdiri dari: Tiga orang informan kunci (tattoo artists); Tiga orang staff tattoo artists; Empat orang non tattoo artists. Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen-dokumen penunjang yang berkaitan dengan penelitian ini sehinngga bisa menambah informasi terkait penelitian ini. Dokumen tersebut ialah berupa bukubuku, dan internet maupun majalahmajalah yang berkaitan dengan penelitian ini. Data-data yang didapatkan kemudian dianalisis, diolah dan disusun secara sistematis sehingga kesimpulan dari pembahasannya merupakan jawaban dari permasalahan yang diangkat.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
KONSTRUKSI SOSIAL TATTOO ARTIST
Bentuk konstruksi sosial tattoo artists dikaji berdasarkan tiga bentuk yaitu: Tattoo Artist sebagai ekspresi seni, Tattoo Artist sebagai penyedia jasa, Tattoo Artist sebagai identitas diri.
4.1.1. TATTOO ARTIST SEBAGAI EKSPRESI SENI
.Sebagai sebuah aliran dalam bidang seni hal ini adalah sebuah proses eksternalisasi dimana hasil ekspresi manusia terhadap dunianya, ekspresi diri manusia merupakan sifat dasar manusia dalam membentuk dunia sosiokulturalnya. Dunia yang dibentuk merupakan tempat mencurahkan diri sehingga menemukan dunia dan budaya nonmaterial yang membentuk hubungan kesinambungan antara manusia dengan sesamanya, sehingga ia menghasilkan suatu dunia, yakni dunia sosial (Berger, 1994:8-9). Bentuk konstruksi eksternalisasi yang dimaksud di sini adalah timbulnya/terbangunnya rasa (dari dalam diri seorang tattoo artist) suka, senang, hobi, dan ketertarikan terhadap seni tato itu sendiri Berdasarkan hasil wawancara dengan tattoo artists, dapat diketahui halhal sebagai berikut:
Mengenai pilihan hidup untuk berprofesi sebagai tattoo artist: “Hal tersebut berawal dari hobi menggambar dan bagi saya seni tato itu akan dibawa sampai mati artinya karya saya itu akan dibawa mati kekal dibawa oleh penikmat tato”. (Wawancara dengan Buch; 32 Tahun, Laki-laki, tattoo artists pada Familia Tattoo Bali, di Legian Kuta,Tanggal 1 Juni 2015). Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa profesi sebagai tattoo artists merupakan profesi yang dilakukan karena memiliki minat, bakat, serta keahlian mereka dibidang seni lukis/ menggambar. Selain itu, terdapat pula rasa bangga pada tato yang dihasilkan karena tato tersebut permanen dikulit klien selamanya, hal ini tentunya berbeda dengan seni lukis di kertas maupun di kanvas yang dapat dijual/beralih ke orang lain. Terkait dengan sebab awal ketertarikan pada seni tato dan bagaimana awalnya mempelajari seni tato, tattoo artists mengungkapkan bahwa: “….awalnya belajar dari teman yang memperkenalkan alat tato kepada saya sampai akhirnya mengajarkanya tato pada saya hingga [sampai akhirnya] menjadi hobi di sela-sela kesibukan waktu masih kuliah”. (Wawancara dengan Buch; 32 Tahun, Laki-laki, tattoo artists pada Familia Tattoo Bali, di Legian Kuta,Tanggal 1 Juni 2015). Bentuk Konstruksi eksternalisasi yang dibangun dan terbentuk merupakan perkembangan dari pengetahuan yang telah ada sebelumnya, hal ini dapat diketahui dari tattoo artist yang mempelajari seni tato secara otodidak yaitu dengan mengamati kegiatan dan bergaul dengan tattoo artist, atau dipelajari dari tattoo artists yang senior (lebih dahulu menguasai seni tato). Oleh karena tidak didasarkan pada pendidikan formal, maka timbul pertanyaan terkait dengan status seniman tattoo artists yang dalam hal ini: “….karena sama-sama membuat karya seni, cuma bedanya pelukis dan tato artist cuma beda di kanvas dan di kulit”.
5
(Wawancara dengan Malen; 21 Tahun, Laki-laki, tattoo artists pada Familia Tattoo Bali, di Legian Kuta,Tanggal 1 Juni 2015). Seni memang sangat luas, tidak dapat dipungkiri bahwa yang paling diperlukan dalam berkarya adalah minat dan bakat, sehingga apabila minat dan bakat yang kuat telah melekat pada seorang seniman maka tidak perlu disangsikan lagi status senimannya, keahlianpun akan dengan mudah diraih/dikuasai. Namun disisi lain, terdapat aspek bisnis yang juga tidak terlepas dari kesejahteraan tattoo artists karena pada hakekadnya orang bekerja tentu agar mendapatkan upah yang layak demi kelangsungan hidup pribadi maupun keluarganya. Hal inilah yang seringkali membatasi tattoo artists dalam mengembangkan nilai-nilai seni terhadap hasil karyanya. Sinergi dan keseimbangan antara kualitas nilai-nilai seni yang dihasilkan, dapat sejalan dengan keuntungan bisnis yang diinginkan apabila tattoo artists menetapkan rule play pada klien, seperti misalnya pada pengaturan batas terendah harga tawar klien yang disesuaikan dengan tinta dan perlengkapan yang digunakan, karena pembuatan tato berawal dari hati dan hasil terbaik (seni) yang dihasilkan tergantung dari keikhlasan yang dapat menciptakan profesionalisme dengan sendirinya. Oleh karena itulah konstruksi sosial tattoo artists berawal dari dalam diri (internal) tattoo artists itu sendiri.
4.1.2. TATTOO ARTIST SEBAGAI PENYEDIA JASA
Dalam sebuah konstrusksi sosial terdapat bentuk Internalisasi, dimana internalisasi merupakan bentuk individu mengidentifikasikan diri dengan berbagai lembaga sosial atau organisasi sosial dimana individu menjadi anggotanya. Internalisasi merupakan peresapan kembali realitas oleh manusia dan mentransformasikannya kembali dari struktur-struktur dunia objektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subjektif (Berger, 1994:9). Bentuk sebuah internalisasi bagi tattoo artist itu sendiri yakni hasil yang diciptakan dalam realitasnya sebagai seniman tato, sebuah
pekerjaan atau sebagai sebuah bisnis dalam pelayanan jasa. Bagi klien golongan tertentu khususnya orang-orang dengan kekayaan diatas rata-rata, seni tato menjadi daya tarik tersendiri. Menurut Fisher (2002:96) terdapat dua faktor terkait hal tersebut, yaitu peningkatan simultan dalam jumlah yang relatif lebih dari satu secara bersamaan dan visibilitas yang juga meningkat. Trend tato sering dikaitkan dengan gaya hidup dan tingkatan sosial seseorang, sehingga makin tinggi tingkat sosialnya semakin mahal pula tato yang dibuat agar dapat diperlihatkan dalam lingkungan kelas sosialnya. Hal inilah yang sering dimanfaatkan oleh tattoo artists dalam membangun konstruksi sosial. Tattoo artists sering dihadapkan pada konflik antara mencari keuntungan bisnis dengan idealisme dan tanggung jawab moral dalam menghasilkan sebuah karya seni. Hal ini disatu sisi terkait dengan kesejahteraan tattoo artists itu sendiri dan terkait pula dengan beban tanggung jawab terhadap idealismenya maupun terhadap kesehatan dan keselamatan klien disisi lain. Klien tentunya tidak akan berfikir sejauh ini, dan akan memutuskan untuk mencari tattoo artists lain apabila tato yang akan dibuat tidak sesuai dengan keinginannya, sedangkan tattoo artists mengemban tanggung jawab moral yang berat, khususnya terkait dengan muatan-muatan politis, agama, aliran-aliran kepercayaan diluar nilai-nilai seni dan apabila dipaksakan menghasilkan karya dengan setengah hati (mengorbankan idealisme) tentunya akan mengurangi nilai-nilai seni dari tato itu sendiri. (Fisher, 2002:99). Sebagai salah satu aktivitas bisnis, studio tato perlu mempertimbangkan tentang kebersihan dari alat dan bahan yang digunakan sebelum menato tubuh seseorang. Karena sterilitas dari bahan dan alat yang digunakan menjadi hal yang sangat dipertimbangkan dalam industri tersebut. Diantara semua hal tersebut, yang terpenting dalam membangun konstruksi sosial terkait dengan bisnis ini adalah menciptakan/membangun kepercayaan klien untuk di tato. Klien biasanya merasakan kecemasan sebelum di tato
6
karena khawatir terhadap hasilnya, rasa sakit saat di tato, atau hal-hal lain yang menimbulkan keraguan untuk di tato. (Fisher, 2002:96). Untuk itulah diperlukan prosedur/ rule play yang jelas antara tattoo artists dengan klien sebelum dilakukannya tato, yang dalam hal ini menurut tattoo artists bahwa prosedur yang dijalankan oleh tattoo artist terhadap kliennya pada Familia tattoo Bali di Legian, Kuta: “….diawali dengan konsultasi desain, apabila sudah yakin dengan gambar dan sudah ada kecocokan, barulah deal[menyepakati] harga dan paling penting kondisi klien harus sehat dan sesudah selesai ditato diharapkan untuk merawat dengan menggunakan antiseptic untuk hasil maksimal”. (Wawancara dengan Buch; 32 Tahun, Laki-laki, tattoo artists pada Familia Tattoo Bali, di Legian Kuta,Tanggal 1 Juni 2015). Terkait dengan membangun hubungan baik dengan klien: “….tetap mengobrol [berkomunikasi] dengan klien ketika pengerjaan tato dan juga membuatkannya sebagus mungkin”. (Wawancara dengan Nikz; 32 Tahun, Laki-laki, tattoo artists pada Familia Tattoo Bali, di Legian Kuta,Tanggal 1 Juni 2015). Bentuk konstruksi internalisasi terjadi karena adanya interaksi sosial yang mengakibatkan timbulnya kepercayaan diantara mereka. Disatu sisi terdapat kesepakatan diantara tattoo artists pada Familia Tattoo Bali di Legian, Kuta untuk menerapkan prosedur yang sama pada setiap klien sehingga menimbulkan keikhlasan dan profesionalisme dalam bekerja sepenuh hati, dan disisi lain dengan adanya prosedur tersebut klien dapat diyakinkan akan mendapatkan hasil terbaik dari penampilan tato yang diinginkan walaupun dengan harga yang relatif mahal, hal ini berimplikasi pada popularitas tattoo artists dikalangan penikmat tato maupun di media sosial para klien. Internalisasi tidak hanya terbentuk dari interaksi sosial yang
dilakukan oleh tattoo artists dengan kliennya namun juga antar tattoo artists karena di dunia bisnis, apabila hal ini tidak dibangun akan terjadi ketimpangan misalnya dalam hal selisih harga yang sangat jauh antar tattoo artists atau studio tato yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, implikasi selanjutnya pastilah terhadap menurunnya kualitas yang dihasilkan, bahkan dapat berimplikasi pada kesehatan dan keselamatan klien. Tattoo artists dalam menjalankan usahanya tidak akan terlepas dari peran staff / asisten tattoo artist, yaitu orangorang yang berkecimpung dalam dunia seni tato sebagai asisten/staf tattoo artists. Berikut akan dipaparkan hasil wawancara dengan staff tattoo artists: “Saya bekerja jadi asisten tukang tato karena kebetulan ada saudara di Legian yang bekerja di studio tato dan mengajak saya ikut bekerja disini, awalnya saya tidak mengenal seni tato namun karena bekerja di studio tato saya mulai mengenal dunia seni tato. Prosedur yang diutamakan saat bekerja,ramah dan memberikan pelayan terbaik sehingga klien akan bertambah. Tato banyak mengalami perkembangan disini dari tattoo artist sampe studio tato sudah ramai sekali. Kesejahteraan..Ya jelas, karena penghasilan saya jauh meningkat”. (Wawancara dengan Ferdi, 23 Tahun, Laki-laki, berasal dari Tabanan, beralamat di Kuta, staf/asisten tattoo artists pada Budhaface di Legian, Kuta, Tanggal 1 Juli 2015). “Saya bekerja disini karena diajak saudara saya seorang tattoo artis, saya mengenal seni tato sejak SMA dan suka bertato sampai sekarang. Prosedur utama dalam bekerja, memberikan pelayanan yang baik pada costumer dan juga menjadi asisten yang baik bagi tattoo artist. Perkembangan tato saat ini semakin populer bisa dilihat banyak banget [sangat banyak] artist tato dan studio-
7
studio baru yang buka, mereka semua rata rata berskil. Kesejahteraan.. Iya penghasilan saya meningkat, tapi disaat tamu sepi ya penghasilan saya juga sedikit”. (Wawancara dengan Vebri, 25 Tahun, Laki-laki, berasal dari Tabanan, beralamat di Kediri, Tabanan, staf/asisten tattoo artists pada Familia Tattoo Bali di Legian, Kuta, Tanggal 1 Juli 2015). Sebagai staff, mereka juga mempunyai andil untuk menentukan harga bagi klien mereka, karena staff mempunyai tugas mengarahkan dan mendiskusikan perihal tentang prosedur dan hasil kerja para tattoo artists. “Kalo [kalau] harga tato [ditentukan] berdasarkan besarnya gambar, desainnya dan juga warna. tapi setiap studio tato mempunyai harga sendiri, kalo [kalau] kita harga minimal untuk tato ukuran kecil Rp. 600.000, untuk harga maksimal sebagai patokan kita charge[tentukan] Rp.20.000.000 untuk full back dan full sleve [penuh di tangan], tapi tergantung tawar-menawar nantinya [negosiasi]. Ya.. semakin rumit dan besar semakin mahal, tentu kita bedakan kok harga bule[wisatawan asing] dan lokal[wisatawan domestik] ya.. bedanya kira-kira 50 persen, karena kita besar dari lokal juga [popularitas dari lokal]”. (Wawancara dengan Kopi, 29 Tahun, Laki-laki, berasal dari Tabanan, beralamat di Kediri, Tabanan, staf/asisten tattoo artists pada Familia Tattoo Bali di Legian, Kuta, Tanggal 1 Juli 2015). Berdasarkan hasil wawancara dapat dilihat harga nominal tato yang sangat mahal terutama bagi kalangan ekonomi menengah kebawah. Namun harga tersebut bersifat tentatif (tidak tetap/tidak pasti) tergantung juga dari hasil negosiasi antara klien dengan tattoo artists. Disini dapat dilihat bagaimana sebuah bentuk internalisasi harus bisa beradaptasi dengan keadaan dan realitas sosialnya. Tattoo artists bersifat fleksibel dan dinamis
(tidak statis) mengikuti perkembangan jaman, perekonomian, nilai tukar mata uang negara asing, serta faktor-faktor lain seperti kedekatan emosional tattoo artists dengan klien, dan pertimbangan klien merupakan penduduk lokal/ domestik yang banyak membawa perannya sebagai sales promotion yang handal di lingkungan sekitar maupun ditingkat nasional sehingga dianggap dapat meningkatkan popularitas tattoo artists. Internalisasi berlangsung karena adanya upaya untuk identifikasi menimbulkan konsekuensi hak dan kewajiban dalam hubungannya dengan bisnis yang mereka jalankan. Konsekuensi dari diterimanya upah tentunya menjadikan adanya kewajiban yang harus diemban asisten tattoo artists, diantaranya: melayani klien dalam proses awal seperti misalnya terkait dengan harga dan jadwal tattoo artists, menjaga kebersihan dan memenejemen studio, melayani dan membuat nyaman klien selama pengerjaan tato, intinya mereka diwajibkan membantu pekerjaan tattoo artists sebelum, saat, dan setelah proses tato berlangsung.
4.1.3. TATTOO ARTIST SEBAGAI IDENTITAS DIRI
Identitas yang merupakan hasil dari objektivasi merupakan hasil produk manusia, kemudian berada di luar dirinya, namun produk yang dihasilkan tidak langsung dapat diserap kembali ke dalam kesadarannya. Kebudayaan berada di luar subjektivitas manusia, menjadi dunianya sendiri dan dunia yang diproduksi manusia memperoleh sifat realitas objektif (Berger, 1994:12). Hal ini dapat dikaji berdasarkan konstruksi sosial tattoo artists yang sangat erat kaitannya dengan identitas tattoo artists. Tato sebagai identitas merupakan perwujudan dari diri seseorang atau sebagai simbol untuk menggambarkan diri seseorang berdasarkan maksud dan tujuan dari tato yang dimilikinya. Selain itu, dalam ranah komunitas dan lingkungan sosial, tato pun menjadi identitas mereka yang menunjukkan bahwa mereka sebagai pencinta dan penggemar tato. Bagi tattoo artists, objektivitas terkait pembentukan identitas ini sangatlah penting mengingat dalam penciptaan
8
karya seni tidaklah hanya membutuhkan nilai-nilai seni dan nilai bisnis semata, namun mereka membutuhkan identitas dan pelembagaan sebagai seorang seniman yang dapat dibanggakan di lingkungan masyarakat sekitar maupun di seluruh dunia. Bagi penciptanya, tato dimaknai sebagai bentuk dari ekspresi, sebagai kreativitas berhubungan dengan berbagai hasil karya tato yang mereka buat sehingga bagi tattoo artist tato dapat dimaknai sebagai identitas gaya hidup yang merupakan perwujudan dari keputusan mereka untuk terjun lebih dalam dalam seni tato. Identitas terkait dengan pembentukan karakter dan idealisme tattoo artists dalam bekerja, pembentukan karakter dan idealisme ini dapat terbentuk melalui komunitas sosial, kontes-kontes yang pernah diikuti, serta pergaulan baik secara langsung maupun melalui media sosial di masyarakat yang dalam hasil wawancara dapat dipaparkan sebagai berikut: Terkait dengan media yang digunakan untuk mempromosikan hasil karyanya : “….yang utama sosial media, seperti saya sukanya instagram dan forum-forum online tato dan juga komunitas tattto artist, saya tergabung di Bali Tattoo artist Club dan pernah mengikuti kontes beberapa kali, pernah juga sekali juara di katagori black and grey saat acara NK 13 tattoo contest 2013”. (Wawancara dengan Buch; 32 Tahun, Laki-laki, tattoo artists pada Familia Tattoo Bali, di Legian Kuta,Tanggal 1 Juni 2015). “Instagram dan facebook serta pernah memenangkan kontes, dapat juara 2 di color kategori smoking goods festival 2015”. (Wawancara dengan Malen; 21 Tahun, Laki-laki, tattoo artists pada Familia Tattoo Bali, di Legian Kuta,Tanggal 1 Juni 2015). Dari wawancara tersebut dapat diketahui bahwa objektivasi memerlukan tatanan sebuah komunikasi verbal maupun non verbal dalam mempopulerkan dan membangun bisnis tato. Komunikasi verbal yaitu langsung antar klien, antar
tattoo artists, dan antara klien dengan tattoo artists. Sedangkan komunikasi non verbal yaitu komunikasi dengan perantara media massa yang meliput konteskontes/pagelaran tattoo fashion, maupun melalui media sosial. Selain melalui komunikasi tersebut, tattoo artists haruslah mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat dilingkungannya yaitu keluarga, hal inilah yang berperan dalam pembentukan karakter dan idealisme tattoo artists sehingga dapat bertahan dan bahkan terus dikembangkan sampai saat ini. Identitas tattoo artists juga tercermin dari aliran-aliran yang dikuasai seperti: Amerika Traditional, Realism, Ilustrasi, New School, Lettering, Neotraditional, Tradisional Jepang, serta aliran-aliran lainnya. Seni tato memiliki kesamaan dengan aliran-aliran seni rupa pada umumnya. Namun aliran tidaklah membatasi tattoo artists untuk bergaul hanya pada komunitas sealiran saja, faktanya seorang tattoo artists justru harus bergaul dan bekerja dengan tattoo artists beda aliran dalam sebuah studio untuk melengkapi dan saling mengisi, karena klien sangat mengharapkan untuk dapat dengan bebas memilih gambar apa yang diinginkan tanpa bertanya apakah spesialis aliran A atau spesialis aliran B ada disini atau tidak. Pembangunan karakteristis spesialisasi yang dikuasai setiap tattoo artists berbeda-beda dalam alirannya, hal ini tidak begitu saja terbangun namun dibutuhkan pengalaman dan proses belajar yang relatif lama dalam menemukan suatu bentuk objektivasi yang berkembang berdasarkan sosialisasi yang akan membentuk identitas tattoo artists.
4.2.
KONSTRUKSI SOSIAL TATTOO ARTIST OLEH NON TATTO ARTIST
Masyarakat sebagai kenyataan objektif, terjadi melalui pelembagaan dan legitimasi. Pelembagaan (institusionalisasi), terjadi dari aktivitas yang dilakukan individu-individu manusia, dan dilakukan karena mereka tidak memiliki dunia sendiri, serta harus membangun dunianya sendiri. Ini karena manusia menempati kedudukan yang khas, yang berbeda dengan binatang.
9
Artinya, manusia tidak memiliki dunia seperti halnya dunia binatang yang terbatas pada suatu distribusi geografis yang khas dan bersifat tertutup (Berger & Luckmann 1990:66-67). Masyarakat adalah kenyataan objektif dan manusia adalah produk sosial Jika dalam proses ini ada satu momen diabaikan maka mengakibatkan terjadinya pergesekan di dalam masyarakat. Non tattoo artists adalah masyarakat diluar tattoo artists yang dianggap selalu tahu apa yang dilakukannya dan mengapa melakukannya (yang dalam hal ini adalah tato). Disini orang awampun dapat dianggap sebagai subjek dan objek pengetahuan sekaligus. Karena orang awam dianggap memiliki kemampuan memahami realitas sekelilingnya dan mampu menggunakan pemahaman itu untuk bertindak (menato atau tidak menato kulitnya). (Wirawan, 2012: 303).
4.2.1. KLIEN
Klien sebagai bagian dari bentuk objektivasi memiliki motivasi untuk ditato dengan bermacam-macam tujuan, mulai untuk keperluan ritual, atau sebagai tanda peringatan atas sesuatu sampai yang cuma ikut-ikutan tren, tato dapat dapat pula untuk mengekspresikan keriangan atau kesedihan. Seseorang ditato untuk membayar nadarnya atau mensimbolisasikan satu visi pada tubuhnya, selain itu tato juga bisa sebagai sarana komunikasi misalnya untuk mengatakan mengenai satu perbuatan berani, keberhasilan. Tato juga merupakan suatu bentuk protes atau sebuah bentuk perlawanan, semakin banyaknya fungsi tato itu banyak pula melahirkan tattoo artist di tengah masyarakat. Yang jelas tato bersifat multi-dimensional, sebab alasan mengapa orang menato dan ditato ternyata sangat beragam. Selain itu ada ternyata orang yang ditato dan menato merasa ingin melakukannya lagi. Dapat pula perasaan ditato dan menato ternyata bagi sebagian orang mempunyai kepuasan tersendiri karena manusia menafsirkan dunianya lewat simbolsimbol. (Peursen, 1988:227). Wawancara dilakukan dengan dua narasumber non tattoo artists yang dapat
dikategorikan sebagai klien, yaitu KD dan JN yang dipaparkan sebagai berikut: “Iya.. saya tahu tentang tato, tato itu seni yang mahal, kalau yang bagus ya mahal, saya punya tato di lengan saya bergambar tribal yang dibuat oleh teman saya , gratis.. karena dulu teman masih belajar buat tato, saya jadi percobaan saja, gambarnya terserah dia. Menurut saya tattoo artists itu pekerjaan yang hasilnya lumayan ya.. apalagi kalau di Kuta, banyak turis-turis mau bertato”. (Wawancara dengan KD; 34 Tahun, Laki-laki, berasal dari Jembrana, beralamat di Jl. Dalung Permai, Tanggal 1 Juni 2015). “Tahu tentang tato karena saya juga bertato. Tato itu sebuah seni melukis tubuh. Saya punya banyak tato di lengan, di dada, dan di seputaran paha, gambarnya yang Jepang-Jepang, kayak[seperti] ikan koi, topeng Jepang dan bunga teratai yang dibuat waktu masih sekolah SMA, tato pertama di paha, buatnya di Jiwic Tattoo di Denpasar.. saya memilih motif itu karena suka aja melihat gambarnya. Tattoo artists menurut saya adalah pekerjaan yang keren ya.. bisa membuat gambar yang keren-keren[bagus]”. (Wawancara dengan JN; 23 Tahun, Laki-laki, asal dari Denpasar, beralamat di Kerobokan, Tanggal 1 Juni 2015). Konstruksi sosial tattoo artists dikalangan klien dilihat berdasarkan hasil wawancara diatas, merupakan suatu konstruksi sosial yang timbul dikarenakan oleh lingkungan pergaulan sekitar yang kemudian berpengaruh terhadap klien untuk melukiskan gambar-gambar tertentu di kulitnya. Pandangan mereka terhadap tattoo artists tidaklah sedalam pandangan tattoo artists dalam memaknai nilai-nilai seni yang terkandung dalam sebuah karya, klien juga sangat jarang ada yang mengamati perkembangan profesi tattoo artists karena kebanyakan dari mereka melihat tato sebagai objek yang disukai dan ingin menatonya dikulit, dan sebagian
10
lagi karena trend dilingkungan sekitar mereka.
4.2.2. NON KLIEN
Non Klien sebagai bentuk dari internalisasi dari sebuah pemahaman tentang bagaimana tattoo artist membentuk identitasnya disini adalah golongan minoritas dalam bentuk konstruksi sosial tattoo artists. Keberadaannya tetap memiliki arti penting dalam perkembangan tattoo artists, non klien yaitu orang-orang yang sama sekali tidak memiliki tato dikulit mereka, namun mereka tetap bergaul dan berada pada area komunitas dan tetap berinteraksi secara berkelanjutan dengan tattoo artists melalui komunikasi verbal maupun non verbal dalam pergaulan keseharian, media massa maupun media sosial sehingga dapat berimplikasi pada popularitas tattoo artists itu sendiri. Hal ini dapat terjadi karena media sosial memiliki karakteristikkarakteristik, antara lain : 1. Transparansi: Keterbukaan informasi karena konten media sosial ditujukan untuk konsumsi publik atau sekelompok orang. 2. Dialog dan komunikatif: Terjalin hubungan dan komunikasi interaktif menggunakan ragam fitur, misalnya antara “ Brand Bisnis” dengan para “fans”nya. 3. Jejaring relasi: Hubungan antara pengguna layaknya jaring-jaring yang terhubung satu sama lain dan semakin kompleks seraya mereka menjalinm komunikasi dan terus membangun pertemanan. Komunitas jejaring sosial memiliki peranan kuat yang akan mempengaruhi audiensnya (influencer). 4. Multi Opini: setiap orang dengan mudahnya beragumen dan mengutarakan pendapatnya. 5. Multi Form: Informasi disajikan dalam ragam konten dan ragam channel, wujudnya dapat berupa : social media press release, video news release, portal web dan elemen lainnya. 6. Kekuatan promosi online media: media sosial dapat dipandang sebagai tool yang memunculkan peluangpeluang guna mewujudkan visi misi organisasi. (Sulianta, 2015:7).
Berikut adalah persepsi kalangan non klien terhadap tattoo artists: “Saya mengetahui tentang tato, yang dibuat dengan jarum dan tinta. Menurut saya tato itu seni dan hobi ya.. saya kebetulan tidak bertato, mahal soalnya[harganya] ”. Saya punya tetangga tattoo artists, teman face book dan instagram juga ada yang tattoo artists, dan mungkin suatu saat nanti saya akan menato kulit saya.. banyak gambar bagus, tapi masih nunggu alasan yang tepat. Persepsi tentang tato artist : “ya.. pekerjaan yang banyak uangnya.” (Wawancara dengan WN; 30 Tahun, Laki-laki, berasal dari Karangasem, beralamat di Sesetan, Tanggal 1 Juni 2015). “Ya.. saya tahu tentang tato, tato itu sebuah seni yang susah dan tidak semua orang bisa. Saya tidak punya tato, ngga berani buat tato.. takut sakit, takut kena penyakit kulit. Di facebook, bbm, line, saya selalu punya teman tattoo artists dan suka mengamati hasil karya yang mereka pamerkan. Persepi tentang tato artist: sebuah pekerjaan yang jarang orang bisa sih menurut saya, karena perlu banyak pengalaman”. (Wawancara dengan VG; 24 Tahun, Laki-laki, berasal dari Karangasem Selat, beralamat di Denpasar, Tanggal 1 Juni 2015). Pandangan non klien terhadap tattoo artists saat ini sangat positif dengan memandang tato sebagai seni lukis tubuh yang indah dan sangat wajar apabila kemudian menjadi suka mengamati lukisan-lukisan di kulit tersebut. Tato telah mengubah stigma masyarakat dari negatif dalam sejarahnya menjadi seni kendahan yang multi dimensional karena pandangan dan tujuan yang berbeda-beda dalam menato maupun ditato ataupun pilihan untuk tidak sama sekali menato kulitnya. Fakta inilah yang mebuat tato menjadi satu cabang seni tersendiri dan ia punya wilayah, tata-cara dan kecenderungankecenderungan artisitik dan kreativitas sendiri.
11
5. KESIMPULAN
Dari pemaran pada bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk dari konstruksi sosial tattoo artist di Legian, Kuta : Tattoo artist mempunyai konstruksi sosial melalui tiga proses yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Tattoo Artist Sebagai Ekspresi Seni adalah bentuk proses eksternalisasi bagi tattoo artist yang mempunyai makna sebagai dunia seni bagi tattoo artist itu sendiri, tattoo artist menciptakan dunia sosial mereka sendiri melalui bidang seni yang mereka tekuni dan melahirkan bentuk seni dalam bidang jasa. Tattoo Artist Sebagai Penyedia Jasa bagi tattoo artist itu sendiri yakni hasil yang diciptakan dalam realitasnya sebagai sebuah bentuk obyektivasi dalam pekerjaan atau sebagai sebuah bisnis dalam pelayanan jasa. Bisnis yang dibentuk itu sendiri merupakan hasil dari proses pengalaman, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau dunia sosial di dalam masyarakat. Tattoo Artist Sebagai Identitas Diri merupakan proses internalisasi tattoo artist itu sendiri dalam hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi yang menghasilkan realitas objektif bagi masyarakat yang memandang tattoo artist sebagai sebuah identitas diri , identitas sebagai seniman dan penggemar dalam dunia seni tato.
5.1. SARAN
Disarankan agar tattoo artists tidak hanya mementingkan nilai ekonomis terhadap hasil karyanya, namun juga agar lebih mementingkan nilai-nilai seni dengan tetap mengedepankan kualitas terbaik dan mempertahankan karakteristik dan idealisme sebagai seorang seniman.
5.2. REKOMENDASI
Perubahan stigma serta konstruksi sosial yang dibangun tattoo artists tidaklah sesuatu hal yang mudah dan cepat untuk dapat dilakukan selama ini, untuk itu direkomendasikan : Bagi Pemerintah untuk dapat mengatur serta mengendalikan para tattoo artists agar tetap
mengutamakan kesehatan dan keselamatan klien. Membuka fasilitas pendidikan formal yang berbasis teori ataupun berbasis keterampilan untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang seni tato. Bagi media sosial dan media massa untuk dapat mendukung perkembangan trend tato serta lebih selektif dalam menyaring berita-berita, sehingga kinerja buruk dari satu tattoo artists tidak mempengaruhi tattoo artists lainnya. Bagi tokoh-tokoh masyarakat dan masyarakat pada umumnya untuk mendukung dengan tidak melarang serta tidak membatasi trend tato dan perkembangan tattoo artists dalam mengembangkan keahliannya, sehingga regenerasi terhadap tattoo artists dapat dikembangkan sesuai minat dan bakatnya. Bagi peneliti selanjutnya untuk lebih dikaji secara mendalam terkait dengan bagaimana konstruksi sosial tattoo artists dibentuk dan akibat/ dampaknya terhadap eksistensi tato, sehingga diharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi demi tercapainya penelitian yang holistik.
6. DAFTAR PUSTAKA BUKU BACAAN
Berger, P. L , Luckmann, T. (1966). Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Terjemahan oleh Hasan Basari. (1990). Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia. Berger. P. L. (1994). Langit Suci Agama Sebagai Realitas Sosial, Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia. Fisher, Jill A. (2002). Tattooing The Body, Marking Culture. London: SAGE Publications. Marianto, M.D & Barry, S. (2000). Tato. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia. Peursen, van C.A. Kebudayaan. Kanisius.
(1988). Strategi Yogyakarta:
12
Wirawan, I.B. (2012). Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Prenadamedia.
MAJALAH
Anonim. “Seminar Sehari Bali Tattoo Artis Club”. Magic Ink, No.27, 2012. Raharjo, A.S. “Seni Tato Modern Di Indonesia”, Magic Ink, No.19, 2011.