27
IV.
KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Cianjur termasuk dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat yang secara geografis terletak diantara 6021” – 7025” Lintang Selatan dan 106042”107025” Bujur Timur. Secara administratif, kabupaten Cianjur berbatasan di sebelah Utara dengan wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Purwakarta, sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Garut, dan bagian Selatan merupakan wilayah Samudera Indonesia. Wilayah Kabupaten Cianjur meliputi areal seluas 361.851 ha terdiri dari 32 Kecamatan, 6 Kelurahan dan 354 Desa. Secara geografis wilayah Kabupaten Cianjur terbagi ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu Cianjur Bagian Utara, Tengah dan Selatan. Cianjur Bagian Utara merupakan wilayah di kaki Gunung Gede dengan ketinggian 2.962 M di atas permukaan laut, sebagian besar merupakan daerah dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan dataran yang dipergunakan untuk areal perkebunan dan persawahan. Cianjur Bagian Tengah merupakan daerah yang berbukit-bukit dengan struktur tanah yang labil sering terjadi tanah longsor dan merupakan daerah yang rawan terjadi gempa bumi. Sedangkan dataran lainnya merupakan areal perkebunan dan persawahan. Cianjur Bagian Selatan merupakan daerah dataran rendah, serta terdapat banyak bukit-bukit yang diselingi oleh pegunungan yang melebar sampai ke daerah pantai Samudera Indonesia. Seperti halnya daerah Cianjur Bagian Tengah, Bagian Selatanpun tanahnya labil dan sering terjadi longsor. 4.2. Iklim Iklim di Kabupaten Cianjur umumnya bertipe iklim Af, kecuali sebagian wilayah Kecamatan Cidaun beriklim Am dan wilayah Gunung Gede beriklim Cf (tipe iklim menurut Koppen). Keadaan curah hujan di Kabupaten Cianjur menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk pada iklim basah yaitu type A dan type B dan sebagian kecamatan mempunyai tipe C dan D.
28
Gambar 5. Peta Administrasi Kabupaten Cianjur
29 4.3. DAS Kabupaten Cianjur memiliki banyak sungai yang terbagi menjadi dua Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Citarum dan DAS Cibuni-Cilaki. Sungai Citarum merupakan sungai utama yang mengalir ke bagian Utara dengan beberapa anak sungainya di Kabupaten Cianjur antara lain Sungai Cibebet, Sungai Cikundul, Sungai Cibalagung dan Sungai Cisokan. Sungai Citarum melintasi beberapa kecamatan mulai dari kecamatan Bojongpicung yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat sampai dengan Kecamatan Cikalongkulon yang berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta. Di beberapa daerah, air mengalir sepanjang tahun karena curah hujan cukup tinggi, sehingga pada musim kemarau tidak terlihat adanya kekeringan. Sungaisungai yang mengalir mempunyai pola dendritik. Waduk Cirata yang terdapat di wilayah Kabupaten Cianjur membendung Sungai Citarum dengan luas genangan mencapai 6.400 Ha. Selain sebagai sumber air, air yang terkumpul dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas sekitar 550 MW jam/tahun. Zona mata air di Kabupaten Cianjur terutama bersumber pada bagian lereng timur Gunung Gede, Gunung Wayang bagian Barat, Gunung Sembul dan Gunung Simpang bagian Selatan, serta Gunung Kuda bagian Selatan dan dataran tinggi Sukanagara-Campaka. 4.4. Penggunaan Lahan Tipe penggunaan lahan yang dominan di Kabupaten Cianjur berdasarkan data penggunaan lahan tahun 2007 adalah perkebunan dengan luas mencapai 91,901 ha atau 25.40 %. Perkebunan tersebar merata hampir di seluruh kecamatan terutama di bagian Selatan, Barat dan Utara wilayah kabupaten. Tipe penggunaan lahan kedua yang dominan adalah ladang dan semak belukar dengan proporsi luas masing-masing 17 % dan 16.97%. Ladang dan semak belukar banyak tersebar di bagian Selatan dan Tengah wilayah kabupaten. Tipe penggunaan lahan hutan yang masih ada di Kabupaten Cianjur adalah seluas 46,793 ha dengan sebaran di bagian Timur-Selatan wilayah kabupaten. Sawah irigasi dan tadah hujan banyak tersebar di bagian Utara dan Selatan wilayah kabupaten dengan luas total 66,411 ha atau setara 18.35 %. Tabel 8 dan gambar 6 di bawah ini menunjukkan luas dan sebaran penggunaan lahan di kabupaten Cianjur.
30 Tabel 8. Luas Penggunaan Lahan Kabupaten Cianjur tahun 2007 Penggunaan Lahan Kebun/Perkebunan Ladang Semak/Belukar Hutan Sawah Tadah Hujan Sawah Permukiman Tubuh Air Rawa Pasir Pantai Jumlah
Luas Ha 91,901 61,511 61,404 46,793 36,598 29,813 22,293 10,214 1,232 147 361,851
% 25.40 17.00 16.97 12.93 10.11 8.24 6.14 2.82 0.34 0.04 100.00
Sumber: Peta Penggunaan Lahan 2007
31
Gambar 6. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Cianjur tahun 2007
32 4.6. Kesesuaian Lahan Peta kesesuaian lahan untuk sawah menunjukkan sebaran area-area yang secara fisik dapat dibudidayakan untuk padi sawah. Kriteria kesesuaian lahan untuk sawah di kabupaten Cianjur mencakup criteria sesuai (S), agak Sesuai ($), dan tidak sesuai. Umumnya tanah-tanah di kabupaten Cianjur termasuk pada criteria cukup sesuai ($) yang banyak tersebar di bagian Utara dan Selatan Kabupaten Cianjur. Persawahan terdapat di daerah Cianjur-Ciranjang, daerah
sepanjang jalur aliran
sungai Citarum, Cikundul, Cisokan (Kadupandak) dan sedikit di Sindangbarang. Sebagian besar merupakan sawah berpengairan teknis dan pedesaan.
Faktor
ketersediaan air sangat mempengaruhi musim tanam. Umumnya sawah berpengairan teknis dan pedesaaan di Kabupaten Cianjur dapat ditanami minimal 2 x dalam setahun, bahkan di beberapa wilayah ada yang dapt ditanamai 3 x dalam setahun. Area yang termasuk pada kategori sesuai dimana kondisik biofisik mendukung bagi budidaya tanaman padi sawah hanya sedikit berada di bagian Selatan wilayah Kabupaten.
Tabel 9. Status Kesesuaian Lahan Kabupaten Cianjur Status Sesuai Cukup Sesuai Tidak Sesuai Jumlah
Luas ha 7,138 122,950 231,763 361,851
% 1.97 33.98 64.05 100.00
Berdasarkan tabel di atas luas kesesuaian lahan dengan criteria Cukup Sesuai merupakan status yang cukup dominan di Kabupaten Cianjur dengan proporsi 33.98 % atau 122.950 ha. Jika dibandingkan dengan total luas wilayah kabupaten, maka status tidak sesuai merupakan yang paling dominan dengan area 231.763 ha atau setara 64,05%. Area-area dengan status Sesuai hanya seluas 7.138 ha atau setara 1,97%.
33
Gambar 7. Peta Status Kesesuaian Lahan Kabupaten Cianjur (Sumber: Peta RePPProT)
34 4.7. Kawasan Hutan Kawasan hutan di Kabupaten Cianjur mencakup areal seluas 36% yang terdiri dari hutan lindung, taman nasional, cagar alam, taman wisata alam, hutan produksi terbatas dan hutan produksi. Kawasan hutan lindung tersebar di bagian timur wilayah kabupaten, yaitu di kecamatan Bojongpicung, Campaka Mulya, Pagelaran, Cikadu dan Naringgul dengan total hutan lindung 22,391 ha (6,19%). Kawasan cagar alam tersebar di bagian selatan wilayah kabupaten yaitu di kecamatan Naringgul dan Cidaun dengan luas area 14,117 ha. Kabupaten Cianjur memiliki taman nasional yaitu di kawasan sekitar Gunung Gede dengan luas 2,322 ha. Tabel berikut ini menunjukkan luas kawasan hutan di Kabupaten Cianjur.
Tabel 10. Luas Kawasan Hutan Kabupaten Cianjur Peruntukan Kawasan Areal Penggunaan Lain Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Hutan Lindung Taman Wisata Alam Cagar Alam Tubuh Air Taman Nasional Jumlah
Luas ha 266,271 28,320 26,214 22,391 133 14,117 2,083 2,322 361,851
% 73.59 7.83 7.24 6.19 0.04 3.90 0.58 0.64 100.00
Pemanfaatan kawasan hutan berdasarkan ketetapan Menteri Kehutanan terutama untuk pemanfaatan di luar bidang kehutanan memerlukan mekanisme tertentu tergantung jenis peruntukannya, misalnya berupa ijin pinjam pakai kawasan hutan maupun berupa tukar menukar kawasan hutan.
35
Gambar 8. Peta Kawasan Hutan Kabupaten Cianjur
36 4.8. Perijinan Perkebunan Perijinan perkebunan dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan di Kabupaten terdiri dari perkebunan dengan jenis tanaman Karet, Teh, Kina dan Coklat. Tanaman teh merupakan perkebunan dengan luas HGU yang paling dominan tersebar di kecamatan Pacet, Cugenang, Campaka, Cibeber, Sukanagara, Takokak, dan Warungkondang dengan luas total 23.369 ha. Sedangkan untuk tanaman karet, banyak tersebar di kecamatan Agrabinta, Cibinong, Cikalong Kulon dan Sindang Barang dengan luas 18.748 ha. HGU perkebunan Kina hanya terdapat di Cibinong dengan luas 1.641 ha dan HGU coklat terdapat di kecamatan Mande dan Cikalong Kulon dengan luas 496 ha. Berdasarkan data inventarisasi HGU Jawa Barat tahun 2006, perijinan perkebunan di Kabupaten Cianjur dari sisi lama waktu hak penggunaan dengan rentang waktu pemberian hak sekitar 25 tahun, bervariasi dari sisi masa berakhirnya hak, dan beberapa hak sudah habis masa ijinnya. Berikut ini tabel contoh perijinan HGU dengan masa berlakunya di kecamatan Cianjur.
Tabel 11. Contoh HGU Perkebunan dan Masa Berlakunya Ijin No.
NAMA PEMEGANG HAK
NOMOR SK
TGL BERAKHIR
LUAS (ha)
1
PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VIII (Persero)
08/HGU/DA/1973
31/12/1997
3,141
2
PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VIII (Persero)
08/HGU/DA/1973
31/12/1997
1,970
3
PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VIII (Persero)
124/HGU/BPN/1997
31/12/2022
1,794
4
PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VIII (Persero)
124/HGU/BPN/1997
31/12/2022
942
5
PT. HARTINDO PRATAMA INDAH
6
NV. FARMASI BINEKA KINA FARMA
7
01/HGU/DA/1984
31/12/2008
1,592
31/HGU/BPN/1998
31/12/2023
1,007
PT. BANYU SEGARA TRAD COY
32/HGU/DA/1982
31/12/2007
827
8
PT. CIBANCET
03/HGU/DA/1985
31/12/2009
520
9
PT. BETA RAYA INDONESIA
67/HGU/DA/1985
31/12/2010
123
10
PT. CIBOGO GEULIS
36/HGU/1973
31/12/1997
885
37
Gambar 9. Peta Perijinan HGU Perkebunan di Kabupaten Cianjur
38 4.9. Penduduk Berdasarkan data Potensi Desa Tahun 2008, jumlah penduduk Kabupaten Cianjur mencapai 2.140.339 jiwa. Bila dirinci berdasarkan jenis kelamin terdiri dari laki-laki 1.078.556 jiwa dan perempuan 1.061.783 jiwa dengan sex ratio 101.57 persen. Kepadatan rata-rata penduduk Kabupaten Cianjur 591 jiwa/km2. Kepadatan tertinggi terdapat di Kecamatan Cianjur 6.146 jiwa/km2 dan kepadatan terendah terdapat di Kecamatan Naringgul 168 jiwa/km2. Jika dilihat latar belakang pekerjaan penduduknya, maka dari total KK 597.568 di Kabupaten Cianjur sebanyak 65.77% diantaranya merupakan kelompok rumah tangga yang memiliki pekerjaan utama di bidang pertanian dengan komoditi utama yang diusahakan umumnya adalah Padi. Jika dilihat berdasarkan status pekerjaan di bidang pertanian, maka sebanyak 60.33% diantaranya merupakan KK pertanian yang bekerja sebagai buruh tani. 4.10. Ekonomi Indikator pembangunan di Kabupaten Cianjur dapat dilihat dari perkembangan persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan nilai PDRB atas dasar harga berlaku tahun 2010, sektor pertanian masih menjadi penyumbang terbesar yaitu 37.05 % dimana sebanyak 28.03%. berasal dari sumbangan sub sektor tanaman bahan makanan, dan sisanya dari sub sektor lainnya. Nilai sumbangan sektor pertanian dari tahun ke tahun semakin menurun, hal ini dapat dilihat dari sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB dalam kurun waktu tahun 2008 – 2010. Tahun 2008 sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB sebesar 39.35 %, kemudian menurun di tahun 2009 menjadi 38.58% dan tahun 2010 menjadi 37.05%. Penurunan ini terjadi juga pada sub sektor tanaman bahan makanan, dimana di tahun 2008 sumbangannya terhadap PDRB sebesar 29.95% dan menurun menjadi 28.03% di tahun 2010. Sektor kedua yang memberikan sumbangan paling besar adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran yaitu sebesar 24.7% yang nilai terbesarnya merupakan sumbangan sub sektor perdagangan, yaitu sebesar 18.35%. Laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Cianjur khususnya untuk sektor pertanian terjadi penurunan dari 8.06 % di tahun 2006 menjadi 5.33% di tahun 2010. Nilai PDRB Kabupaten Cianjur pada triwulan IV tahun 2010 atas dasar harga berlaku mencapai 4,673 trilyun, dengan PDRB terbesar dicapai oleh sektor pertanian sebesar 1,556 trilyun. Tabel berikut ini menunjukkan laju
39 pertumbuhan PDRB Kabupaten Cianjur menurut lapangan usaha periode tahun 20062010.
Tabel 12. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Cianjur atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2006 – 2010 LAPANGAN USAHA (1) 01. Pertanian
2006 (2) 8.06
2007 (3) 8.01
2008) (4) 5.97
2009*) (5) 5.08
2010**) (6) 5.33
7.56
7.53
4.19
5.97
3.81
1.2 Perkebunan
15.50
15.28
14.82
3.21
11.06
1.3 Peternakan
8.08
7.53
8.71
1.39
12.96
1.4 Kehutanan
14.44
14.08
12.89
3.11
(21.18)
1.5 Perikanan
12.61
13.26
20.33
4.03
6.86
02. Pertambangan dan penggalian
16.96
17.68
17.79
5.23
0,38
03. Industri pengolahan
17.78
19.19
19.42
4.43
12,25
04. Listrik, gas dan air bersih
15.44
16.71
10.96
11.30
11,44
05. Bangunan
15.11
16.27
16.73
6.55
7,84
06. Perdagangan, hotel dan restoran
15.30
15.50
18.22
10.72
19,06
07. Pengangkutan dan komunikasi
22.42
16.97
24.58
2.49
2,70
08. Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 09. Jasa-jasa
13.89
14.54
12.90
1.01
(0,54)
16.78
15.53
20.12
14.02
13,17
Produk Domestik Regional Bruto
12.78
12.45
13.56
7.19
9,66
1.1 Tanaman bahan makanan
Sumber : BPS Kab. Cianjur Tahun 2010 *) Angka Perbaikan **) Angka Sementara
4.11. Erosi Kerusakan yang timbul karena erosi dapat terjadi di dua tempat yaitu di lokasi erosi sendiri dan ditempat mengendapnya tanah karena erosi. Dampak di tempat kejadian erosi dapat berupa kehilangan lapisan tanah yang kaya akan hara sehingga terjadi penurunan kesuburan tanah. Turunnya kesuburan tanah berakibat turunnya produktivitas tanah, sehingga untuk menghasilkan output yang sama deiperlukan energy yang lebih besar. Akhirnya erosi mengakibatkan pemiskinan petani penggarap dan atau pemilik lahan (Arsyad, 2006). Tingkat erosi aktual di Kabupaten Cianjur umumnya berada di bawah 14 ton/ha/tahun. Sedangkan tingkat erosi yang dapat ditoleransikan maksimum mencapai angka 12 ton/ha/tahun.
40
Gambar 10. Peta Erosi Aktual di Kabupaten Cianjur (Sumber:hasil analisis)
41
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Derajat Kesesuaian Metode Boolean dan WLC 5.1.1. Aspek Biofisik Wilayah Sub faktor evaluasi kesesuaian lahan untuk sawah (tanaman pangan lahan basah/TPLB) menunjukkan sebaran kesesuaian lahan secara biofisik dimana untuk lahan sawah sebaran kelas S (sesuai) dan $ (agak sesuai) terdapat di bagian selatan dan utara kabupaten Cianjur serta sebagian lagi terdapat di bagian barat (Gambar 11a). Pada metode bolean combination, Kelas S dan $ diberi nilai 1 dan N diberi nilai 0, sedangkan pada metode WLC kelas S diberi nilai 5 dan $ dalam hal ini diberi nilai 3 yang keduanya menunjukkan derajat kesesuaian. Sedangkan kelas N (tidak sesuai) diberi nilai 0. Sub faktor akses lahan ke sumber air dihitung dengan kriteria jarak ke sungai. Hasil analisis menunjukkan nilai jarak terdekat - terjauh ke sungai adalah 20 m – 2000 m (Gambar 11b). Derajat kesesuaian pada metode boolean dibatasi dengan memberi nilai 1 untuk nilai <=jarak maksimum, sedangkan pada metode WLC dinilai dengan klasifikasi equal interval 5 kelas dengan nilai minimum 20 m dan maksimum 2000 m. Aspek keberlanjutan dapat ditunjukkan salah satunya dengan jumlah erosi aktual (A) yang lebih kecil dari nilai erosi yang dapat ditoleransi (tolerable soil loss/TSL). Secara teknis peta area dengan erosi aktual yang lebih kecil dari TSL diperoleh dengan melakukan operasi aritmatika spasial (pembagian) antara peta erosi aktual (Gambar 13a) dengan TSL. Jika hasil yang diperoleh (A/TSL) <= 1, maka unit pengamatan dianggap sesuai untuk ketersediaan lahan, sebaliknya jika A/TSL > 1, maka unit pengamatan dianggap tidak sesuai (Gambar 13b). Pada metode Boolean derajat kesesuaiannya menjadi 1 (A/TSL) <= 1 yang berarti sesuai, sedangkan untuk untuk A/TSL > 1 nilainya menjadi 0, yang berarti tidak sesuai. Untuk metode WLC derajat kesesuaian diklasifikasikan dengan skala 1-5 pada peta erosi aktual (A).
42
(a)
(b)
Gambar 11. Peta Kesesuaian Lahan Sawah (a) dan Peta Akses Lahan ke Sumber Air (b)
Secara spasial, tingkat erosi aktual yang tinggi tersebar di wilayah dengan bentuk lahan cenderung berbukit bergunung seperti yang pada gambar 12.a direpresentasikan dengan warna merah muda-merah, seperti di kaki gunung gede dan sebagian tersebar di bagian selatan dengan kondisi lahan yang berbukit. Gambar berikut ini menunjukkan grafik sebaran tingkat erosi, dimana erosi aktual dibawah 14 ton/ha/tahun merupakan erosi aktual yang dominan terjadi di Kabupaten Cianjur.
43
Gambar 12. Sebaran Statistik Tingkat Erosi Aktual di Kabupaten Cianjur
(a)
(b) Gambar 13. Peta Erosi Aktual (a) dan Peta Status Erosi (b)
44
5.1.2. Aspek Sosial Ekonomi Sub faktor penggunaan lahan yang terdiri dari 11 tipe penggunaan lahan, yang memiliki nilai bobot tertinggi 5 adalah sawah dan sawah tadah hujan, sedangkan yang memiliki nilai bobot terendah adalah hutan dan perkebunan. Gambar 14 menunjukkan peta penggunaan lahan dan hasil reklasifikasi-nya berdasarkan kesesuaian terhadap lahan pertanian. Gambar tersebut menunjukkan representasi peta dengan pewarnaan dari hijau – merah yang berarti semakin mendekati warna merah menunjukkan derajat kesesuaian yang semakin rendah. Sebaran penggunaan lahan dengan derajat kesesuaian yang rendah banyak terlihat di bagian selatan yang merupakan daerah dengan tipe penggunaan lahan hutan. Sedangkan warna hijau dibagian Utara, Tengah dan Selatan menunjukkan derajat kesesuaian yang tinggi dimana umunya berupa tipe penggunaan lahan sawah dn sawah tadah hujan. Sub faktor akses lahan ke pasar, dengan asumsi pusat pasar berada di pusat kecamatan dan pusat kota kabupaten, menunjukkan nilai jarak lahan pertanian dengan jarak terjauh kurang lebih 20.5 km. Sub faktor akses lahan pertanian ke jalan dinilai dengan mengukur jarak lahan pertanian dengan jarak terjauh lahan pertanian ke jalan sekitar 7.5 km.
5.1.3. Aspek Legal Sub faktor RTRW yang memiliki nilai tertinggi (5) adalah pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering, sedangkan tipe alokasi yang terendah nilainya (1) diantaranya adalah kawasan perkebunan. Sub faktor perijinan terdiri dari dua, yaitu kawasan hutan dan HGU perkebunan. Untuk kawasan hutan yang diberi nilai tertinggi (5) adalah areal penggunaan lain, sedangkan untuk HGU perkebunan, semuanya diberi nilai 5 kecuali yang telah dilalokasikan untuk perkebunan diberi nilai 0. Kedua data ini kemudian digabungkan menjadi sub faktor perijinan seperti dapat dilihat pada
45 gambar dibawah ini. Sub faktor tanah adat untuk kabupaten Cianjur tidak ditemukan sehingga dapat diabaikan.
Gambar 14. Peta Penggunaan Lahan dan Statusnya terhadap Ketersediaan Lahan Pertanian
5.2. Kendala Kendala menunjukkan kondisi yang tidak sesuai (bernilai nol) untuk semua sub faktor yang ada. Kendala yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah tubuh air (danau/situ/sungai) dan bangunan/permukiman dari sub faktor penggunaan lahan; kawasan lindung dari sub faktor RTRW, hutan lindung dari sub faktor perijinan kawasan hutan. 5.3. Hasil Analisis AHP untuk Nilai W dari Sub Faktor Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa sub faktor kesesuaian lahan merupakan sub faktor dengan bobot tertinggi (16,7%) dibandingkan dengan sub faktor lain. Sub faktor kedua adalah sub faktor akses lahan ke sumber air dengan bobot 12.4%. Sub faktor
46 yang memiliki bobot terendah adalah sub faktor penggunaan lahan. Tingginya bobot kesesuaian lahan menunjukkan bahwa dalam identifikasi ketersediaan lahan sawah, aspek fisik lahan memerlukan perhatian yang lebih banyak. Syarat kesesuaian lahan untuk sawah cenderung lebih spesifik jika dibandingkan dengan penggunaan lain, terutama dari sisi kemiringan lereng. Lahan sawah memerlukan area dengan bentuk lahan yang datar. Pada lokasi tertentu bentuk lahan dengan kemiringan lereng yang tidak datar akan memerlukan tindakan konservasi tertentu seperti pembuatan teras, dengan konsekuensi luas areal yang ditanami tidak dapat seluas jika berada di lahan datar (Arsyad, 2006). Selain itu faktor akses lahan terhadap sumber air juga memiliki bobot yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan faktor lain. Kondisi ini sangat sesuai dengan karakteristik lahan sawah yang memerlukan air yang lebih banyak dibandingkan tanaman pertanian lainnya. Hasil wawancara dengan petani di beberapa lokasi menunjukkan beberapa lokasi lahan sawah dengan jumlah musim tanam yang dipengaruhi oleh ketersediaan air. Semakin jauh jarak dari sumber air, kesempatan untuk mengolah tanah lebih dari satu kali musim tanam menjadi semakin berkurang. Nilai indeks konsistensi (CI) yang diperoleh adalah sebesar 0, sehingga nilai inkonsistensinya (CR) menjadi nol dan kriteria yang ditetapkan oleh Saati dimana CR < 10% menunjukkan bahwa inkonsistensi yang terjadi dianggap masih dapat diterima. Tabel berikut ini menyajikan rincian nilai bobot hasil analisis AHP.
Tabel 13. Nilai Bobot Sub Faktor berdasarkan AHP Sub Faktor
Nilai W
Kesesuaian lahan
0.167
RTRW
0.124
Akses ke sumber air
0.124
Akses ke jalan
0.115
Tingkat erosi
0.115
Akses ke pasar
0.101
Perijinan
0.099
Hak Tanah Adat
0.092
47 Penggunaan lahan aktual
0.063
Jumlah
1.000
Berdasarkan tabel tersebut di atas, maka persamaan WLC dapat ditulis menjadi
dimana WLC = weighted linear combination, W=bobot, C= kendala; X i =Nilai kesesuaian untuk setiap sub faktor, dengan rincian: X₁=Kemampuan/kesesuaian lahan, X₂=Akses lahan ke sumber air, X 3 =tingkat erosi,X 4 =penggunaan lahan saat ini, X 5 =akses lahan ke pasar,X 6 =akses lahan ke jalan, X 7 =RTRW, X 8 =Perijinan, X₉=Hak Tanah Adat 5.4. Analisis Ketersediaan dengan Model Booolean Combination Hasil analisis bolean combination dengan bentuk hubungan logikal AND menunjukkan sebaran ketersediaan lahan sawah dengan derajat kesesuaian 1 (Gambar 15). Secara spasial lahan-lahan yang tersedia untuk sawah dengan metode ini, tersebar di bagian utara, barat dan selatan wilayah Kabupaten Cianjur. Jika dilihat kondisi topografinya, area-area dimana lahan tersedia tersebut berada merupakan area dengan kelerengan cukup datar dengan bentuk lahan yang cenderung datar-landai. Pada area-area dengan bentuk lahan berbukit-bergunung terlihat secara jelas tidak terdapat lahan tersedia terutama di wilayah kabuaten bagian timur-selatan. Metode Boolean menunjukkan hasil analisis dengan hanya 1 kriteria untuk derajat kesesuaian menghasilkan area lahan tersedia yang relatif sedikit terutama karena faktorfaktor yang menjadi pendukung ketersediaan di nilai secara spasial dengan persyaratan logikal AND yang berarti mempersyaratkan setiap faktor harus bernilai 1 (sesuai) untuk menghasilkan satu unit spasial lahan tersedia. Jika ada satu saja faktor dari 9 faktor yang memiliki kriteria tidak sesuai (nilai 0) maka akan menghasilkan area dengan status tidak tersedia. Ditinjau dari sisi resiko dalam pengambilan keputusan metode ini cenderung menghasilkan keputusan dengan resiko terendah (menghindari resiko) (Eastmen, 2006) .
48
Gambar 15. Peta Ketersediaan Lahan untuk Sawah Metode Boolean
Luas total lahan tersedia yang dihasilkan dengan metode Boolean ini adalah 30,590 ha atau setara 8.45 % dari total luas wilayah kabupaten Cianjur. Angka ini menunjukkan hasil yang sangat jauh dengan luas areal sawah aktual yang menurut data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupten Cianjur mencapai luas sekitar 65 ribu
49 ha.. Hal ini berarti diantara lahan sawah aktual yang telah ada masih ada sekitar 35 ribu ha yang tidak dapat memenuhi syarat kesesuaian secara penuh, yang pada akhirnya dimungkinkan berimpilikasi pada tingkat produktivitas lahan yang cenderung lebih rendah. Gambar grafik berikut ini menunjukkan luas lahan tersedia berdasarkan kecamatan dengan metode Boolean.
5.000 4.500 4.000 3.500 3.000 2.500 2.000 1.500
Luas Analisis Luas Aktual
1.000 500 -
Gambar 16 Luas Lahan Tersedia untuk Sawah (ha) dengan metode Boolean
Grafik di atas menunjukkan bahwa sebaran luas lahan tersedia hasil analisis di 32 kecamatan cenderung lebih sedikit jika dibandingkan dengan luas lahan sawah aktual. Meskipun demikian masih ada 5 kecamatan di kabupaten Cianjur yang luas lahan hasil analisisnya lebih tinggi, seperti kecamatan Sindangbarang, Cidaun, Bojongpicung, Ciranjang dan Cugenang. Hasil ini juga menunjukkan bahwa dari 65.590 ha lahan sawah aktual yang ada maka terdapat hampir 50% dari luas tersebut tidak dapat memenuhi syarat kesesuaian penuh dari 9 faktor yang dijadikan sebagai bahan analisis. Gambar berikut ini menunjukkan sebaran spasial yang membandingkan sebaran sawah (irigasi dan tadah hujan) aktual dengan sebaran sawah hasil analisis boolean.
50
Gambar 17. Perbandingan Sebaran Sawah Aktual dengan Sawah hasil Analisis
51
Warna merah muda menunjukkan sebaran sawah hasil analisis dan warna hijau (tua dan muda) menunjukkan sawah aktual. Jika dilihat sebaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masih ada sawah (irigasi dan tadah hujan) aktual yang tidak memenuhi seluruh syarat kesesuaian dari 9 faktor. Dan sawah tadah hujan menunjukkan luas yang dominan dari sisi ketidaksesuaian sempurna dari 9 faktor yang ada. 5.5. Analisis Ketersediaan dengan Model Weighted Linear Combination (WLC) Hasil analisis WLC dengan nilai bobot (weight) sesuai dengan analisis AHP menghasilkan luas lahan tersedia dengan derajat ketersediaan antara nilai nol sampai dengan 3.96. Makin mendekati nilai 3.96 berarti makin tersedia. Berikut ini adalah hasil analisis WLC yang menunjukkan ketersediaan lahan pertanian sawah.
Dengan
menggunakan metode klasifikasi equal intervals dan jumlah kelas 5, maka diperoleh klasifikasi sebagai berikut.
Tabel 14. Simbol dan keterangan klasifikasi ketersediaan lahan sawah Simbol
Selang
Keterangan
3.45 – 3.96
Sangat Tersedia (ST)
3.03 – 3.45
Tersedia (T)
2.65 – 3.03
Cukup Tersedia (CT)
2.16 – 2.65
Kurang Tersedia (KT)
0.68 – 2.16
Sangat Kurang Tersedia (SKT)
Gambar 18 menunjukkan sebaran lahan tersedia untuk lahan pertanian sawah hasil analisis WLC. Dari peta tersebut terlihat gambaran ketersediaan lahan untuk pertanian Sawah di Kabupaten Cianjur. Secara spasial lahan dengan derajat ketersediaan Sangat Tersedia (ST) banyak tersebar di bagian wilayah selatan, barat dan utara kabupaten yang ditunjukkan dengan warna hijau tua. Ketersediaan lahan dengan derajat Sangat Kurang Tersedia (SKT) terlihat tersebar terutama di daerah dengan bentuk lahan antara berbukitbergunung, seperti terlihat jelas di bagian utara merupakan bagian punggung dari Gunung Gede. Selain itu terdapat bagian peta yang tidak berwarna menunjukkan area yang sama sekali tidak dapat dialokasikan untuk lahan pertanian (termasuk pada kategori kendala).
52 Berdasarkan sudut pandang tingkat resiko dalam decision support, derajat ketersediaan ST dan T bisa dikategorikan low risk (LR), KT dan SKT bisa dikategorikan high risk, sedangkan CT termasuk kategori moderate risk (MR). Berdasarkan Gambar.18 menunjukkan bahwa luas lahan sawah yang ada menurut data Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur jika dibandingkan dengan luas lahan tersedia hasil perhitungan dengan MCE (gabungan 2 kelas: ST+T) secara total 65.739 ha : 136.549 Ha. Jadi luas hasil perhitungan dengan analisis MCE surplus sekitar 70.813 ha. Jika dilihat perbandingan sebaran lahan per kecamatan, maka luas total lahan tersedia hasil analisis MCE umumnya jauh lebih besar, hanya di kecamatan Campaka dan Pagelaran yang luasnya lebih kecil. Luas lahan tersedia hasil analisis WLC yang menunjukkan angka lebih dari dua kali lipat areal lahan sawah aktual menunjukkan bahwa pada kondisi dimana kriteria kesesuaian dinilai dalam rentang bobot 1-5, maka areal tambahan di luar areal sawah aktual, jika akan diusahakan sebagai lahan sawah maka perlu diperhatikan konsekuensikonsekuensi yang harus dipenuhi sesuai dengan derajat kesesuaian yang akan dipilih. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan karakteristik dari setiap derajat kesesuaian hasil analisis WLC sehingga dapat dipertimbangkan resiko-resiko yang harus dihadapi ketika mengambil sebuah keputusan yaitu dalam menetapkan pilihan lahan tersedia hasil analisis yang akan dipakai (lihat Lampiran 7).
53
Gambar 18. Peta Ketersediaan Lahan untuk Sawah Metode WLC
54
12.000 10.000 8.000 6.000 4.000
LR=4+5
2.000
A
AGRABINTA BOJONGPICUNG CAMPAKA CAMPAKA MULYA CIANJUR CIBEBER CIBINONG CIDAUN CIJATI CIKADU CIKALONG KULON CILAKU CIPANAS CIRANJANG CUGENANG GEKBRONG HAURWANGI KADUPANDAK KARANGTENGAH LELES MANDE NARINGGUL PACET PAGELARAN PASIR KUDA SINDANGBARANG SUKALUYU SUKANAGARA SUKARESMI TAKOKAK TANGGEUNG WARUNGKONDANG
-
Gambar 19 Perbandingan Luas Lahan Sawah menurut Dinas Pertanian dan Hasil Analsis WLC 5.6. Validasi Model Validitas model matematik WLC dilakukan untuk mengetahui validitas penggunaan model yang telah ditetapkan, yaitu dengan menumpangtindihkan (overlay) peta ketersediaan lahan hasil analisis WLC dengan gabungan peta kendala. Model dianggap sahih (valid) jika seluruh area dengan derajat ketersediaan tidak sama dengan nol tidak bertumpangtindih dengan gabungan peta kendala. Gambar berikut menyajikan hasil analisis validasi model. Gambar 20 dan Tabel 15 di bawah menunjukkan hasil analisis tabulasi silang (crosstab) antara gabungan peta kendala dengan peta WLC. Legenda kolom 1 menunjukkan nilai piksel dari peta WLC, dimana nilai 1-5 berarti lahan tersedia (kategori 3-7) dan nilai nol berarti area kendala (kategori 2). Kolom kedua menunjukkan nilai piksel peta kendala, dimana nilai nol merupakan kendala/tidak tersedia (kategori 2) dan nilai 1 berarti bukan kendala/tersedia (kategori 3 -7)
55
Gambar 20. Hasil Tumpangtindih Analisis WLC dengan Peta Kendala
Tabel 15. Luas Lahan tersedia hasil Analisis Tumpangtindih Kategori
Luasan
Keterangan
(Hektar) 1
638148
0 | -1
2
74539
0| 0
3
19715
1| 1
4
49700
2| 1
5
81346
3| 1
6
80277
4| 1
7
56271
5| 1
Nilai piksel -1 pada kategori 1 merupakan background image/diabaikan. Validitas model dapat dilihat dengan membandingkan luas area kendala pada peta WLC (kategori 2: 0 0) dan luas pada peta kendala. Luas peta kendala disajikan pada tabel berikut.
56
Tabel 16. Luas Peta Kendala Kategori -1 0
Luasan (Ha)
Keterangan
638148 74539 sama dengan luas kategori 2 pada peta hasil tumpangtindih
1
287311
Berdasarkan hasil tersebut di atas, model WLC yang diperoleh dapat digunakan untuk perhitungan/analisis selanjutnya. 5.7. Perbandingan Hasil Ketersediaan Lahan Metode Boolean dan WLC Uraian mengenai hasil analisis ketersediaan lahan dari dua metode (Boolean dan WLC) menunjukkan hasil yang cukup berbeda, dimana luas ketersediaan lahan yang dihasilkan oleh analisis WLC jauh lebih luas jika dibandingkan dengan metode Boolean. Metode Boolean dengan logika AND mensyaratkan terpenuhinya status kesesuaian (1) untuk 9 faktor yang digunakan dalam analisis. Sedangkan pada metode WLC logika boolean dengan operator AND hanya digunakan pada area-area yang secara mutlak tidak dapat dikategorikan sebagai area sesuai, seperti area terbangun, tubuh air, kawasan lindung, dan lain-lain. Pada sisi lain, area-area yang dinilai sesuai diberi derajat kesesuaian dengan skala 1 – 5 yang menunjukkan tingkat resiko dalam pengambilan keputusan. Semakin tinggi nilainya menunjukkan derajat kesesuaian yang semakin tingggi dengan tingkat resiko yang semakin rendah.
57 5.000 4.500 4.000 3.500 3.000 2.500 2.000
Luas Aktual
1.500
Boolean
1.000
WLC_ST
500 AGRABINTA BOJONGPICUNG CAMPAKA CAMPAKA MULYA CIANJUR CIBEBER CIBINONG CIDAUN CIJATI CIKADU CIKALONG KULON CILAKU CIPANAS CIRANJANG CUGENANG GEKBRONG HAURWANGI KADUPANDAK KARANGTENGAH LELES MANDE NARINGGUL PACET PAGELARAN PASIR KUDA SINDANGBARANG SUKALUYU SUKANAGARA SUKARESMI TAKOKAK TANGGEUNG WARUNGKONDANG
-
Gambar 21. Grafik Perbandingan Luas Lahan Sawah Aktual, Analisis Boolean dan WLC Sangat Tersedia (ST) (ha)
Hasil analisis Boolean combination juga menunjukkan bahwa dari total luas lahan sawah eksisting 65 ribu ha, sekitar 35 ribu ha diantaranya berada pada lokasi yang jika dilihat berdasarkan 9 aspek yang menjadi dasar perhitungan ketersediaan lahan berada pada nilai kesesuaian di bawah 1. Demikian juga sebaliknya dengan hasil analisis WLC dimana luas lahan tersedia mencapai lebih dari 2 kali lahan sawah aktual. Hal ini juga menunjukkan bahwa masih ada areal potensial di luar area sawah aktual yang masih memungkinkan untuk diusahakan sebagai lahan sawah yang tentunya dengan tetap memperhatikan karakteristik yang ada pada area tersebut. 5.8 Aplikasi Analisis WLC dalam Redsitribusi Lahan Sawah Kabupaten Cianjur sebagai kabupaten lumbung beras di Jawa Barat jika dilihat dari sisi kecukupan supply/penawaran beras sangat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan beras lokal. Sebaliknya jika dilihat dari sisi proporsi rumah tangga tani antara yang memiliki lahan dengan yang berprofesi sebagai buruh tani masih menunjukkan
58 angka yang cukup siginifikan. Berdasarkan data potensi desa tahun 2008, dari total KK 597.568 di Kabupaten Cianjur sebanyak 65.77% diantaranya merupakan kelompok rumah tangga yang memiliki pekerjaan utama di bidang pertanian dengan komoditi utama yang diusahakan umumnya adalah Padi. Jika dilihat berdasarkan status pekerjaan di bidang pertanian, maka sebanyak 60.33% atau 237.119 KK diantaranya merupakan KK pertanian yang bekerja sebagai buruh tani. Kondisi ini secara kasar dapat menggambarkan bahwa masih ada sekitar hampir 60% dari KK tani yang memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani, terutama bagi petani-petani yang belum memiliki lahan pertanian, akses petani terhadap lahan perlu ditingkatkan yang salah satunya dengan program redistribusi lahan pertanian. Lahan sebagai obyek redistrisbusi perlu diidentifikasi ketersediaan aktual dan potensinya. Berikut ini tabel yang menunjukkan croos tabulation antara penggunaan lahan aktual dengan lahan tersedia hasil analisis WLC dengan derajat kesesuaian 4 dan 5 (Tersedia dan Sangat Tersedia).
Penggunaan Lahan Hutan Ladang Pasir Pantai Perkebunan Rawa Sawah Sawah Tadah Hujan Semak / Belukar Jumlah
Derajat Kesesuaian 4 5 T ST 1,598 519 25,532 11,961 21 24,805 5,344 484 92 7,985 19,017 9,001 15,698 9,628 2,373 79,053 55,003
Jumlah 2,117 37,493 21 30,149 575 27,001 24,698 12,001 134,056
Keterangan: T=Tersedia, ST=Sangat Tersedia
Berdasarkan tabel tersebut di atas dapat dilihat bahwa sawah (irigasi dan tadah hujan) aktual yang ada pada derajat kesesuaian 4 dan 5 seluas 51.699 ha, maka lahan tersedia untuk sawah (potensial) untuk diredistribusikan adalah seluas 82.356 ha. Potensi lahan sawah ini tentunya perlu diperhatikan kembali karakteristik biofisik, sosial ekonomi dan aspek legalnya. Tabel di atas juga menunjukkan bahwa untuk lahan tersedia (potensial)
59 kondisi aktual penggunaan lahannya bervariasi, dimana ladang termasuk pada jenis penggunaan lahan yang dominan, kemudian diikuti oleh perkebunan, semak belukar, hutan, dan pasir pantai. Secara umum ladang dan semak belukar cenderung lebih mudah untuk diusahakan untuk dikonversi terlebih dahulu ke sawah jika dibandingkan dengan hutan dan perkebunan. Pada lahan dengan tipe penggunaan hutan dan perkebunan perlu diperhatikan
aturan
legal
dalam
pengalihan
penguasaan/pengusahaan
dengan
memperhatikan tipe kawasan hutan untuk penggunaan hutan dan umur ijin HGU untuk perkebunan. Pada lahan perkebunan tentunya untuk perkebunan dengan umur ijin HGU yang telah habis dapat dipertimbangkan untuk dikonversi penguasaan maupun pengusahaanya menjadi lahan sawah. Jika diasumsikan semua aspek baik fisik, sosek dan aspek legal telah terpenuhi bagi pengusaahan lahan untuk sawah di area potensial tersebut di atas, maka dengan asumsi satuan luas lahan yang akan diredistribusi kepada petani seluas 1 ha/ KK, terdapat potensi peningkatan kesejahteraan petani sejumlah 82.356 KK atau setara 35.78 % dari total KK dengan profesi sebagai buruh. Tentu pada aplikasi yang sebenarnya akan banyak sekali aspek lain yang perlu dipertimbangkan.