KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II Desa Jago-jago, Kabupaten Tapanuli Tengah
Hasil BME
SRI SUNARTI PURWANINGSIH ENIARTI DJOHAN
CRITC – LIPI 2007 LIPI
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II Desa Katurai, Kabupaten Kepulauan Mentawai Hasil BME
DALIYO MASYHURI IMRON ARY WAHYONO
CRITC – LIPI 2007 LIPI
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II Desa Saibi Samukap dan Desa Saliguma Kabupaten Kepulauan Mentawai
DALIYO MASYHURI IMRON ARY WAHYONO
CRITC – LIPI 2007 LIPI
KATA PENGANTAR
Pelaksanaan COREMAP Fase II bertujuan untuk menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang, agar sumber daya laut ini dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara berkesinambungan, dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta mengurangi kemiskinan. Program ini telah berjalan selama 3 tahun atau pada pertengahan program. Keberhasilan COREMAP dapat dikaji dari aspek bio-fisik dan sosial ekonomi. Terjadinya peningkatan tutupan karang sebesar 2 persen per tahun merupakan indikator keberhasilan dari aspek bio-fisik. Sedangkan dari aspek sosial ekonomi diharapkan pendapatan per-kapita penduduk naik sebesar 2 persen per tahun dan terjadi peningkatan kesejahteraan sekitar 10.000 penduduk di lokasi program. Untuk mengetahui keberhasilan COREMAP perlu dilakukan penelitian benefit, monitoring, evaluation (BME) baik ekologi maupun sosial-ekonomi. Penelitian BME ekologi dilakukan setiap tahun untuk memonitor kesehatan karang, sedangkan BME sosialekonomi dilakukan pada tengah dan akhir program. BME sosialekonomi bertujuan untuk mengkaji pelaksanaan COREMAP di daerah dan mengumpulkan data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat, khususnya tingkat pendapatan untuk memantau dampak program COREMAP terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Hasil BME sosil ekonomi ini selain dapat dipakai untuk memantau perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya peningkatan pendapatan penduduk di lokasi COREMAP, juga dapat dipergunakan untuk melakukan evaluasi pengelolaan dan pelaksanaan program, baik di tingkat nasional, kabupaten maupun di tingkat lokasi. Dengan adanya evaluasi dan masukan-masukan bagi pengelola dan pelaksana program, diharapkan dalam sisa waktu yang ada sampai akhir program fase II, keberhasilan COREMAP dari indikator bio-fisik dan sosial-ekonomi dapat tercapai.
|
iii
Buku laporan ini merupakan hasil dari BME sosial-ekonomi yang dilakukan pada tahun 2007 di lokasi-lokasi Coremap di Indonesia Bagian Barat (lokasi Asian Development Bank/ADB). BME sosialekonomi ini dilakukan oleh CRITC-LIPI bekerjasama dengan tim peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan - LIPI (PPK-LIPI) dan beberapa peneliti sosial dari kedeputian IPSK - LIPI. Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan buku laporan melibatkan berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI yang telah memberikan dukungan kepada tim peneliti melakukan studi ini. Kepada para informan: masyarakat nelayan, ketua dan pengurus LPSTK dan POKMAS, Pokmaswas, pemimpin formal dan informal, tokoh masyarakat di Desa Jago-jago, kami ucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para pewawancara yang telah membantu pelaksanaan survai. Kami juga memberikan penghargaan setinggitingginya kepada semua narasumber dari berbagai unsur pengelola COREMAP di tingkat kabupaten: Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Unit pelaksana COREMAP di Kabupaten Tapanuli Tengah, CRITC Kabupaten Tapanuli Tengah dan berbagai pihak yang ada di daerah yang telah membantu memberikan data dan informasi. Pada akhirnya, kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna meskipun tim peneliti telah berusaha sebaik mungkin dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan laporan ini. Jakarta, Desember 2007 Direktur NPIU CRITC COREMAP II-LIPI
Prof. DR. Ono Kurnaen Sumadhiharga, MSc
iv
|
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR PETA, DIAGRAM DAN MATRIKS DAFTAR FOTO
iii v vii ix xi
BAB I
1 1 6 7 7 7 10 11
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan dan Sasaran 1.3. Metode Penelitian 1.3.1. Lokasi Penelitian 1.3.2. Pengumpulan Data 1.3.3. Analisa Data 1.4. Pembabakan Penulisan
BAB II PROFIL LOKASI PENELITIAN 2.1. Keadaan Geografis 2.2. Potensi Sumber Daya Alam 2.3. Sarana Prasarana 2.4. Program dan Kegiatan Pengelolaan SDL 2.5. Kependudukan
13 14 15 29 35 37 |
v
BAB III COREMAP DAN IMPEMENTASINYA 3.1. Pelaksanaan COREMAP Fase II: Permasalahan dan Kendala 3.1.1. Pengelolaan di Tingkat Kabupaten 3.1.2. Pelaksanaan dan Permasalahan COREMAP di Tingkat Desa 3.2. Pengetahuan dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Kegiatan/Program COREMAP BAB IV PENDAPATAN PENDUDUK DAN PERUBAHANNYA (T0 dan T1) 4.1. Pendapatan Penduduk (T0 dan T1) 4.2. Faktor yang Berpengaruh Terhadap Pendapatan 4.2.1. COREMAP 4.2.2. Program Pemerintah 4.2.3. Faktor Internal dan Eksternal
49 50 50 57 63
73 73 90 90 91 92
BABV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan 5.1.1. Permasalahan dan Kendala Pelaksanaan COREMAP 5.1.2. Perubahan Pendapatan Masyarakat dan Faktor yang Berpengaruh 5.2. Rekomendasi
103 103
DAFTAR PUSTAKA
111
vi
|
104 107 107
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Tabel 2.2.
Tabel 2.3.
Tabel 2.4. Tabel 3.1. Tabel 3.2. Tabel 3.3. Tabel 4.1. Tabel 4.2.
Jumlah dan Komposisi Penduduk Desa Jagojago, Tahun 2005 dan 2007
39
Komposisi Penduduk umur 7 tahun ke atas menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan, Desa Jago-jago 2005 dan 2007
40
Distribusi Penduduk Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, Desa Jago-jago 2005 dan 2007
44
Distribusi Kepemilikan Aset Rumah Tangga, Desa Jago-jago, Tahun 2005 dan 2007
46
Pengetahuan Responden tentang Program COREMAP Tahun 2005 dan Tahun 2007
65
Pengetahuan Responden tentang Kegiatan COREMAP di Desa Jago-jagi Tahun 2007
67
Keterlibatan Responden Dalam Kegiatan COREMAP di Desa Jago-jago Tahun 2007
69
Statistik Pendapatan Rumah Tangga Desa Jagojago Tahun 2005 dan 2007
75
Distribusi Rumah Tangga Menurut Kelompok Pendapatan Desa Jago-jago Tahun 2005 dan 2007
78
|
vii
Tabel 4.3. Tabel 4.4.
Tabel 4.5.
Tabel 4.6.
Tabel 4.7.
viii
|
Distribusi Pendapatan Menurut Lapangan Pekerjaan Desa Jago-jago Tahun 2005 dan 2007
80
Distribusi Rumah Tangga Nelayan Tangkap menurut Kelompok Pendapatan, Desa Jago-jago Tahun 2005 dan 2007 (Persentase)
84
Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim Desa Jago-jago, Tahun 2005 dan 2007
86
Distribusi Rumah Tangga Nelayan Menurut Kelompok Pendapatan dan Musim, Desa Jagojagi Tahun 2005 dan 2007
89
Harga Ikan di Desa Jago-jago, Tahun 2005 dan 2007
98
DAFTAR PETA, DIAGRAM DAN MATRIK
Peta 1.1.
Diagram 1.1.
Matriks 2.1 Matrik 3.1.
Peta Lokasi Pengamatan Tutupan Karang di Sitardas, Jago-jago
4
Perbandingan Persentase Tutupan Karang Hidup Tahun 2004 dan 2007 di Beberapa Titik Pengamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah
5
Program atau Kegiatan Pengelolaan SDL Menurut Stakeholders yang Terlibat
36
Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Fase II di Kabupaten Tapanuli Tengah
54
|
ix
x
|
DAFTAR FOTO
Foto 2.1.
Alat Transportasi Sungai
30
Foto 2.2.
Penjemuran Pucuk Nipah Kupas
41
Foto 2.3.
Pembuatan Kapal Kayu
42
Foto 2.4.
Penjemuran Ikan Teri
42
Foto 2.5.
Pembakaran Pepes Teri
42
Foto 2.6.
Bak Penampung Air
48
Foto 4.1.
Perahu Nelayan
93
|
xi
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
I
ndonesia Indoneisa merupakan negara kepulauan dengan 17.508 pulau besar dan kecil, dengan garis pantai sepanjang 81.000 kilometer persegi dan 63 persen wilayahnya merupakan perairan. Seperti halnya perairan di kawasan Indo-pacific lainnya, Indonesia merupakan pusat megadiversity kelautan dunia. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya laut, termasuk terumbu karang (coral reef). Dari luasan perairan di Indonesia, 40 persen di antaranya merupakan laut dangkal yang merupakan tumbuhnya terumbu karang. Menurut hasil evaluasi Bank Dunia, luasan terumbu karang adalah sekitar 75.000 kilometer yang merupakan 14 persen dari luas terumbu karang dunia (Ikawati, dkk, 2001:10). Berbagai terumbu karang ada di Indonesia. Keanekaragaman hayati tersebut merupakan kekayaan alam yang tiada ternilai. Terumbu karang mempunyai nilai yang cukup tinggi, tidak hanya sebagai tempat berlindung berbagai biota laut yang hidup di sekitarnya. Selain itu, terumbu karang merupakan tumpuan bagi sebagian besar nelayan karena mata pencaharian mereka sebagai penangkap ikan. Terumbu karang juga merupakan merupakan tempat berlindung hewan dan
|
1
tumbuhan serta merupakan sumber pangan dan obat-obatan bagi manusia. Penduduk pantai menggantungkan hidupnya pada pada sumberdaya kelautan ini. Sayangnya, ekosistem terumbu karang mulai rusak seiiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan lajunya pembangunan. Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI menunjukkan bahwa dari luasan terumbu karang tersebut hanya 6,20 persen saja yang dalam keadaan baik, sedangkan lebih dari 70 persen dalam kondisi sangat rusak dan sdang-sedang saja. Hampir 42 persen dalam kondisi rusak berat atau diambang kepunahan (Ikawati dkk, 2001: 15). Di sebagian tempat di Indonesia kondisi terumbu karang itu kini semakin kritis sehingga merupakan ancaman bagi biota laut seperti ikan, moluska, ekinodermata, rumput laut dan lain-lain. Kerusakan terumbu karang tersebut disinyalir karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran manusia akan pentingnya terumbu karang. Kerusakan terumbu karang cenderung disebabkan oleh ulah manusia antara lain penggunaan bom, jangkar kapal racun potasium sianida dan limbah. Kerusakan: penambangan atau pengambilan karang, penangkapan ikan (racun, bubu, peledak), pencemaran, pengembangan daerah wisata, pembangunan wilayah dan sedimentasi. Upaya untuk mengatasi kerusakan terumbu karang dan mengembangkan pola pemanfaatan terumbu karang secara lestari yang dilakukan oleh pemerintah melalui Proyek Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang atau yang lebih dikenal dengan nama COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Project). Proyek tersebut merupakan kejasama antara Pemerintah Indonesia dengan ADB dan World Bank. COREMAP dikenalkan di Indonesia sejak tahun 1998 dan diharapkan selesai tahun 2012. Tujuan utama dari program ini adalah untuk menyelamatkan dan memanfaatkan sumberdaya terumbu karang secara lestari dan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat. Proyek ini dilaksanakan di 10 provinsi yaitu Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Maluku dan Irian Jaya. Salah satu daerah yang menjadi sasaran 2
|
program di Provinsi Sumatera Utara ini adalah di Kabupaten Tapanuli Tengah. Salah satu lokasi COREMAP tersebut adalah Desa JagoJago, di Kecamatan Badiri. COREMAP mempunyai kegiatan yang berfokus pada lima komponen, yaitu: 1) peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat; 2) pengelolaan berbasis masyarakat; 3) pengembangan kelembagaan; 4) melakukakan penelitian, monitoring dan evaluasi, serta 5) penegakan hukum. Dalam komponen pengelolaan yang berbasis masyarakat, pembinaan terhadap masyarakat juga dilakukan melalui kegiatan alternatif seperti budidaya, pemandu wisata dan usaha kerajinan tangan yang ditujukan untuk peningkatan pendapatan. Pembinaan tersebut diberikan dengan bantuan pendanaan yang disalurkan melalui berbagai sistem yang telah ada di masyarakat. Selain itu, masyarakat juga diberi pengetahuan dan tekonologi rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang agar dapat dimanfaatkan secara lestari (Ikawati, dkk, 2001: 115). Pelaksanaan COREMAP di Kabupaten Tapanuli Tengah sudah berlangsung sekitar 2 tahun. Untuk mengevaluasi keberhasilan COREMAP dapat dilakukan dari berbagai aspek antara lain aspek fisik dan aspek sosial ekonomi. Dari aspek biofisik diharapkan kegiatan COREMAP akan meningkatkan tutupan karang paling tidak 2 persen per tahun. Pada tahun 2007 ini, CRTIC- LIPI telah melakukan evaluasi dari aspek biofisik di Kabupaten Tapanuli Tengah, termasuk Desa Jago-Jago. Hasil kajian ekologi yang dilakukan dengan menggunakan metode LIT pada tiga belas titik pengamatan tersebut menunjukkan bahwa ada perubahan dari kondisi tutupan karang di Kabupaten Tapanuli Tengah.
|
3
Peta 1.1 Peta Lokasi Pengamatan Tutupan Karang di Sitardas, Jago-Jago
Pada tahun 2004, tutupan karang berkisar antara 20 – 65 persen dengan persentase tertinggi di titik pengamatan di sekitar Teluk Sibolga (TPTL 04) dan tutupan terendah di TPTL 02. Pada tahun 2007, di beberapa titik pengamatan terjadi kenaikan tutupan karang, termasuk di TPTL 04 dekat Desa Jago-Jago. Namun demikian, secara keseluruhan terjadi penurunan tutupan karang sebanyak 5,33 persen. Kondisi tutupan karang di tiga belas titik pengamatan tersebut dapat dilihat pada diagram 1.1 berikut ini.
4
|
Diagram 1.1 Perbandingan Persentase Tutupan Karang Hidup Tahun 2004 dan 2007 di beberapa Titik Pengamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah
80 60 40 20 0
T-0 (2004)
13
11
TP TL
09
TP TL
07
TP TL
05
TP TL
TP TL
TP TL
TP TL
03
T-1 (2007)
01
%Tutupan
Perbandingan Persentase Tutupan Karang Hidup di Kab. Tapteng
Lokasi
Benefit Monitoring dan Evaluasi (BME) sosial-ekonomi merupakan salah satu cara untuk melakukan evaluasi keberhasilan COREMAP dari aspek sosial-ekonomi. Data dan informasi tentang pendapatan masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi dari hasil BME dibandingkan dengan data pendapatan yang telah dikumpulkan pada baseline studi sosial-ekonomi. Dampak COREMAP terhadap kesejahteraan masyarakat dapat dipantau dari hasil perbandingan antara data pendapatan masyarakat hasil baseline yang dilakukan pada awal program (T0) dan data pendapatan dari BME yang dilakukan pada tengah dan akhir program (T1 dan Tn) (Widayatun dkk, 2006: 6). Meskipun tujuan dan mekanisme pelaksanaan kegiatan COREMAP cenderung seragam, namun pada kenyataannya tingkat keberhasilan yang beragam. Hal ini menarik untuk memahai bagaimana pelaksanaan kegiatan COREMAP di daerah?, Kendala-kendala apa yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan tersebut? Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap COREMAP tersebut? Sesuai dengan salah satu tujuan COREMAP untuk meningkatkan pendapatan
|
5
penduduk, kemudian pertanyaan yang muncul adalah adakah perubahan tingkat pendapatan masyarakat? Faktor-faktor apa yang mempengaruhi ada tidaknya perubahan tingkat pendapatan tersebut? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, diperlukan suatu kajian BME sosial ekonomi agar dapat memantau pelaksanaan COREMAP dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat, khususnya peningkatan pendapatan.
1.2 Tujuan dan Sasaran Secara umum kajian BME sosial ekonomi ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan COREMAP di daerah dan mengumpulkan data mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat, khususnya tingkat pendapatan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya untuk memantau dampak pelaksanaan COREMAP terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Kajian BME sosial ekonomi tersebut dimaksudkan untuk memberikan masukan untuk evaluasi pelaksanaan COREMAP khususnya terkait dengan upaya pelestarian terumbu karang dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan Tujuan khusus dari kajian ini adalah: -
Mengidentifikasi permasalahan dan kendala pelaksanaan COREMAP di daerah, termasuk di dalamnya permasalahan yang dihadapi di tingkat kabupaten dan di tingkat lokasi yaitu Kecamatan Badiri, khususnya Desa Jago-Jago
-
Mengkaji pemahaman masyarakat mengenai COREMAP di daerah kajian.
-
Menggambarkan ada tidaknya perubahan tingkat pendapatan masyarakat untuk memantau dampak COREMAP terhadap kesejahteraan masyarakat, termasuk di dalamnya faktor-fktor yang mempengaruhi pendapatan masyarakat tersebut.
Sasaran dari penelitian BME ini adalah tersedianya data dan informasi tentang pendapatan masyarakat dan faktor-faktor yang 6
|
mempengaruhinya, yang dapat dipakai sebagai indikator untuk memantau dampak COREMAP terhadap kesejahteraan masyarakat. 1.3. Metode Penelitian 1.3.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan ini dilakukan di Desa Jago-jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Wilayah ini terletak di Teluk Sibolga atau Teluk Tapanuli yang merupakan salah satu kawasan untuk pelaksanaan kegiatan COREMAP di Provinsi Sumatera Utara. Menurut penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (antara lain lihat Noveria, dkk, 1999 dan Daliyo dan Ngadi, 2005) kondisi terumbu karang di perairan tersebut mengalami kerusakan. Untuk menjaga kelestarian terumbu karang di wilayah ini, COREMAP dilaksanakan di Kecamatan Sibolga, Barus dan Badiri. Di Kecamatan Badiri, desa yang merupakan lkasi pelaksanaan kegiatan COREMAP adalah Desa Jago-jago. Sesuai dengan tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pelaksanaan COREMAP dan dampaknya terhadap tingkat kesejahteraan penduduk, maka pelaksanaan penelitian di lokasi yang sama pada saat pengumpulan data dasar aspek sosial terumbu karang yang dilaksanakan pada tahun 2005. Meskipun Desa Jago-jago terdapat dua dusun nelayan, yaitu Jago-jago dan Sitardas, namun survai rumah tangga hanya dilakukan di Dusun Jagojago karena di Dusun Sitardas jumlah rumah tangga nelayan kurang dari 100. Namun demikian, peneliti juga melakukan kunjungan dan wawancara terhadap beberapa keluarga nelayan di Dusun Sitardas. 1.3.2. Pengumpulan data Data yang dikumpulkan dalam studi ini adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait seperti Bappeda, Kantor Statistik, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tapanuli Tengah, Kantor Kecamatan Badiri dan Dinas
|
7
Pendidikan Kecamatan Badiri, serta dari berbagai publikasi yang terkait. Data primer diperoleh dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survei terhadap 100 rumah tangga terpilih dengan menggunakan kuesioner berstruktur. Data yang diperoleh melalui kuesiner terdiri dari dua kategori, yaitu rumah tangga dan individu. Data rumah tangga meliputi karakteristik demografi anggota rumah tangga terdiri antara lain jumlah, umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan dari masing-masing anggota rumah tangga. Selain itu, data rumah tangga juga mencakup kondisi ekonomi rumah tangga meliputi pendapatan dan kepemilikian aset rumah tangga seperti alat produksi dan non produksi. Sementara informasi yang diperoleh dari data individu meliputi pengetahuan dan partisipasi responden dalam COREMAP. Selain itu, juga ditanyakan mengenai manfaat COREMAP untuk kehidupan ekonomi. Desa Jago-jago memiliki 523 kepala keluarga (KK), oleh karena itu pemilihan 100 rumah tangga dilakukan secara acak beraturan dengan mendatangi rumah tangga yang tinggal di setiap dua interval rumah. Responden untuk pertanyaan rumah tangga adalah kepala rumah tangga atau anggota rumah tangga yang dapat mewakili. Sementara untuk pertanyaan individu, responden dipilih secara acak dari anggota rumah tangga dewasa (berumur lebih dari 15 tahun ke atas) dan berada di tempat pada saat wawancara serta mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Untuk pengumpulan data kuantitatif, peneliti dibantu oleh 10 orang pewawancara yang dipilih dari masyarakat setempat. Mereka umumnya berpendidikan SLTA. Data primer dikumpulkan sendiri oleh peneliti melalui pendekatan kualitatif dengan menggunakan berbagai teknik yaitu wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion/FGD) dan observasi (pengamatan) ¾ Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) terhadap beberapa informan kunci yang dipilih secara purposive. Informan kunci yang berhasil
8
|
diwawancarai di tingkat Kabupaten Tapanuli Tengah adalah dari Dinas Kelautan dan Perikanan; di tingkat Kecamatan Badiri adalah Aparat Kecamatan Badiri, Dokter dan Petugas Puskesmas Kecamatan Badiri. Sedangkan wawancara mendalam di Desa Jago-jago dilakukan terhadap informan kunci termasuk kepala desa, sekretaris desa, tokoh masyarakat, anggota dan pengurus LPSTK, guru SD, tokoh pemuda, pengurus PKK, taoke, tekong (koordinator anak buah kapal/ABK), ABK, nelayan jaring, pemilik warung, pengumpul ikan, dan ibu-ibu. Untuk pemilihan informan diperoleh dengan cara snowballing artinya, informan diperoleh berdasarkan informasi dari informan sebelumnya untuk memperkaya informasi yang terkumpul. Wawancara juga dilakukan di Dusun Sitardas terhadap beberapa nelayan setempat dan juga pengurus LPSTK. ¾ FGD dilakukan dengan sekelompok nelayan jarring di Desa Jagojago. Setiap kelompok terdiri dari 6 orang yang memiliki latar belakang sosial ekonomi yang setara. Diskusi ditekankan pada aspek yang berkaitan dengan potensi sumber daya laut, khususnya terumbu karang, kondisi terumbu karang dan penyebabnya serta alternatif pemecahan masalah. Selain itu, diskusi juga difokuskan pada masalah pendapatan nelayan, faktor-faktor yang mempengaruhinya serta ada tidaknya perubahan dibandingkan dengan kondisi dua tahun yang lalu (2005) Diskusi dilakukan dengan menggunakan pedoman yang telah dipersiapkan sebelumnya. ¾ Observasi (pengamatan lapangan) dilakukan untuk lebih memahami secara komprehensif keadaan desa maupun permasalahan-permasalahan yang timbul berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya laut, khususnya terumbu karang. Pengamatan dilakukan di sekitar pemukiman dan sekitar desa. Dalam pengumpulan data, baik melalui survei maupun dengan pendekatan kualitatif tidak ditemui kendala yang cukup berarti. Masyarakat Jago-jago yang relatif homogen dilihat dari suku dan aktivitasnya serta lokasi permukiman yang mengelompok memudahkan dalam pengumpulan data. Penelitian dilaksanakan
|
9
pada pertengahan bulan Mei 2007 kebetulan pada saat musim ombak keras sehingga banyak nelayan yang tidak melaut. Dengan demikian pengumpulan data dapat dilaksanakan relatif cepat karena pada nelayan mudah ditemui baik pada siang maupun malam hari. Selain itu, kebiasaan masyarakat nelayan untuk pulang melaut di sore hari juga memudahkan peneliti untuk melakukan diskusi kelompok dan konfirmasi permasalahan mudah dilakukan. Namun demikian, dalam melaksanakan penelitian ada beberapa kendala yang dihadapi antara lain adalah: - Keterbatasan data sekunder terutama di tingkat desa. Data yang tersedia hanya terbatas pada selembar kertas yang berisi informasi tentang jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur tanpa dibedakan menurut jenis kelamin. Tidak berfungsinya kantor desa Jago-jago barangkali merupakan salah satu penyebab ketiadaan dokumentasi data-data penting tentang desa tersebut. - Kelemahan data tentang pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Ada kecenderungan masyarakat (responden) untuk mengecilkan pendapatan dan membesarkan jumlah pengeluaran rumah tangga. Kelemahan tersebut dapat dikurangi dengan melakukan pendalaman terhadap beberapa responden. Oleh karena sebagian besar pewawancara juga nelayan, hal ini membantu dalam memperoleh jawaban yang mendekati fakta sebenarnya. 1.3.3. Analisa Data Analisa data dilakukan dengan penekanan pada analisa deskriptif yang menggabungkan data kuantatif dan kualitatif. Data kuantitatif yang diperoleh dari hasil survei dianalisa dengan menggunakan tabulasi silang untuk melihat hubungan antara variabel-variabel yang diteliti. Sedangkan, data kualitatif dianalisa dengan teknik analisa isi (content analysis). Data kualitatif ini digunakan untuk memperkaya pemahaman tentang isu-isu pokok penelitian. Dengan demikian akan diperoleh gambaran yang utuh mengenai kondisi sosial ekonomi 10
|
masyarakat nelayan Desa Jago-jago dan pelaksanaan COREMAP serta dampaknya pada kehidupan masyarakat di di desa tersebut. 1.4. Pembabakan Penulisan Penulisan hasil penelitian mengenai “Laporan Benefit, Monitoring dan Evaluasi Kegiatan COREMAP Di Desa Jago-jago” dibagi ke dalam lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, tujuan penelitian dan metode penelitian, dan pembabakan penulisan. Bab dua memuat tentang profil Desa Jagojago yang mencakup uraian tentang kondisi geografis, potensi sumber daya alam, kependudukan, sarana dan prasarana serta kelembagaan yang mendukung dan/atau menghambat pengelolaan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Bab tiga, mendeskripsikan pelaksanaan COREMAP di lokasi penelitian serta kendala-kendala yang dihadapi. Bab selanjutnya (IV) lebih menekankan pada analisa kondisi pendapatan penduduk dan perubahannya serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam bahasan juga diuraikan tentang perubahan yang terjadi dibandingkan dengan kondisi tahun 2005. Laporan penelitian diakhiri dengan bab penutup (Bab V) yang merupakan kesimpulan dan rekomendasi dengan menekankan pada temuan pokok penelitian dan beberapa saran yang dapat dijadikan masukan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kegiatan COREMAP.
|
11
12
|
BAB II
PROFIL LOKASI PENELITIAN
Desa Jago-Jago terletak di daerah pantai yang terdiri dari wilayah daratan dan wilayah laut. Gambaran ini berpengaruh terhadap kehidupan penduduk dalam pemanfaatan sumber daya alam yang dipengaruhi oleh kondisi wilayah daerah tersebut, yakni sumber daya laut dan sumber daya darat. Adanya berbagai bencana yang menimpa Indonesia, termasuk kawasan Sibolga, juga berdampak terhadap kehidupan penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidup. Bagian ini akan menggambarkan profil Desa Jago-Jago saat ini, khususnya setelah dimulainya program COREMAP di desa ini. Program COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) yang intinya bertujuan untuk meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan dan rehabilitasi ekosistim terumbu karang agar terjadi keseimbangan antara pelestarian dan pemanfaatannya. Untuk mengetahui keberhasilan maupun kegagalan program ini, maka perlu diketahui gambaran kondisi Desa Jago-Jago pada saat ini baik yang mendukung maupun menghambat kegiatan yang sedang dilaksanakan. Ada beberapa faktor yang diperkirakan dapat mendorong maupun menghambat keberhasilan program COREMAP, yakni keadaan geografis, potensi sumber daya alam dan kondisi penduduk Desa Jago-Jago.
|
13
2.1. Keadaan Geografis Desa Jago-Jago, secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Badiri, yang terletak pada bagian barat kecamatan. Tiga sungai mengalir di wilayah desa ini, yang semuanya bermuara ke pantai Desa Jago-Jago, Teluk Sibolga dan Lautan Indonesia. Letak desa ini di sekitar garis katulistiwa, yaitu antara 1°32′ LU – 1°37′ LU dan 98°47′30” BT – 98°53′06” BT, di mana iklim tropis yang kuat mempengaruhinya. Kondisi ini berdampak terhadap pola pemanfaatan sumber daya alam yang ada di daerah ini (Daliyo & Ngadi 2007:8). Letak Desa Jago-Jago dengan ibu kota Kecamatan Badiri, yakni Desa Lopian, tidak jauh (sekitar 5 kilometer) dan mudah dicapai menggunakan kendaraan bermotor seperti becak motor. Begitupula dengan ibu kota Kabupaten Sibolga berjarak sekitar 21 kilometer, serta mudah dicapai menggunakan kendaraan umum ojek dan becak motor dari simpang jalan maupun Kota SIbolga. Batasan wilayah Desa Jago-Jago sebagian besar berbatasan dengan laut lepas yang berbatsan langsung dengan kawasan perairan Kepulauan Nias. Sedangan batas darat, yaitu sebelah utara berbatasan dengan Desa Aek Horsik, sebelah timur dengan Desa Hutabalang, sebelah selatan dengan Desa Lumut dan Desa Sitardas, dan sebelah barat dengan Teluk Tapanuli. Luas wilayah Desa Jago-Jago adalah sekitar 22,8 kilometer persegi, yakni sekitar 11 % dari total wilayah Kecamatan Badiri, yang memanjang dari arah timur ke barat. Dilihat dari sisi geografis, letak Desa Jago-Jago sebagian ada di sepanjang Pantai Sibolga dan sebagian lagi di daerah pulau yang terletak di bagian depan Pantai Sibolga. Letak desa ini menjadikan kawasan Desa Jago-jago terdiri dari daerah pantai dan daratan yang berbentuk dataran maupun pegunungan. Gambaran ini membentuk struktur wilayah yang diolah penduduk untuk kehidupannya, yakni di bagian wilayah perbukitan umumnya dimanfaatkan sebagai daerah perladangan dan perkebunan dan masyarakat pantai mencari ikan di laut. Berdasarkan penyebaran wilayahnya, desa ini terbagi atas tiga dusun, yakni Dusun I yang dianggap sebagai dusun induk yang berlokasi di 14
|
bagian pantai Desa Jago-Jago. Dusun ini merupakan pusat pemerintahan Desa Jago-Jago berada, yang letaknya dekat dengan Teluk Sibolga dan laut lepas. Akses transportasi untuk mencapai jalan raya provensi yang menghubungi desa ini dengan kota kabupaten dan kecamatan. Dusun II atau Dusun Sigubo berlokasi di antara wilayah pantai dan pegunungan, dilalui oleh Sungai Sigubo. Sementara itu, lokasi Dusun III yang dikenal dengan Dusun Aek Lumut berbatasan dengan Desa Lumut dan dilalui oleh Sungai Lumut. Wilayah terluas dari dusun ini adalah daratan dan penduduk umumnya bekerja di sektor perkebunan, yakni kebun kelapa dan karet. Letak Desa Jago-Jago tepat di garis katulistiwa sehingga dipengaruhi oleh iklim tropis. Dalam satu tahun tiga musim melintasi kawasan ini, yakni musim angin timur, angin barat dan angina pancaroba (peralihan). Musim angin timur antara bulan Desember hingga Maret yang ditandai dengan ombak beriak dan curah hujan rendah. Musim ini merupakan musim paling menyenangkan bagi masyarakat pantai, khususnya nelayan, karena banyak ikan dan dapat melaut setiap hari. Musim angin barat terjadi antara bulan Juni hingga September dengan ciri-ciri ombak besar, angin kencang, dan sering terjadi badai. Pada musim ini, ikan di sekitar Teluk Sibolga berkurang dan situasi alamnya sangat ditakuti nelayan, sehingga mereka banyak yang tidak mencari ikan dan beralih ke matapencaharian lain seperti berkebun dan mencari kayu nipah. Musim pancaroba (peralihan) adalah peralihan dari musim angin barat ke musim angin timur yang terjadi dua kali dalam satu tahun, yakni antara bulan Oktober – November dan bulan April hingga Mei. Pada bulan Oktober ditandai dengan ombak sedang, kadang kadang hujan, dan populasi ikan mulai banyak sehingga nelayan banyak yang melaut mencari ikan. Bulan April ombak mulai bergelombang, angin mulai kencang, dan ikan cenderung berkurang sehingga nelayan mulai jarang melaut. 2.2. Potensi Sumber Daya Alam Kondisi geografis kawasan Desa Jago-Jago yang terdiri dari wilayah daratan, perairan dan pantai membentuk sumber daya alam yang
|
15
terdiri dari sumber daya laut dan sumber daya darat. Kedua sumber daya alam tersebut berpotensi sebagai mata pencaharian penduduk, baik mata pencaharian pokok maupun alternative, bila terjadi perubahan cuaca yang tidak mungkin mereka melakukan salah satu dari kegiatan itu. Misalnya, bila cuaca laut memburuk penduduk tidak dapat melaut dan beralih ke kegiatan berkebun atau menderes karet. Begitupula penduduk yang biasa berkebun di wilayah perbukitan, yakni orang Nias, pada musim ikan sekali-kali mencoba mencari ikan di pinggir pantai atau pada jarak yang tidak jauh dari pantai. Selanjutnya akan menggambarkan potensi sumber daya darat dan sumber daya laut di Kawasan Jago-Jago dan sekitarnya.
Sumber Daya Darat Potensi sumber daya darat yang dapat dikembangkan di Desa JagoJago beragam sesuai dengan bentuk geografis daratannya, yakni perbukitan, pantai dan muara sungai.
a. Kawasan Perbukitan Dusun II (Dusun Sigubo), Dusun III (Dusun Aek Lumut), dan sebagian wilayah Dusun I (Dusun Jago-Jago) bagian perbukitan adalah lokasi perkebunan dan perladangan penduduk. Tanaman yang dominan di kawasan ini adalah kelapa sawit (elaeis gunieensis), karet (hevea brassiliensis), dan beberapa jenis tanaman pangan lainnya. Tanaman kelapa sawit terluas adalah milik perusahaan, sedangkan penduduk hanya sebagai pekerja perkebunan itu. Sementara itu, pohon karet merupakan tanaman rakyat yang tumbuh dengan sendirinya di tanah milik penduduk atau tanah ulayat keluarga. Pada saat ini telah ada penduduk yang melakukan penanaman kembali (revitalisasi) tanaman yang sudah tua atau menanam tanaman baru di tanah milik keluarga atau milik sendiri. Dengan meningkatnya harga karet dunia, mendorong penduduk untuk kembali menanam pohon karet yang telah lama ditinggalkan. Hasil penyadapan karet dikumpulkan di suatu tempat, kemudian satu kali dalam satu minggu
16
|
pengumpul getah karet datang dari Sibolga. Pengumpul ini akan menimbang di tempat pengumpulan getah, dan langsung dibawa ke pabrik. Khusus tanaman pangan, yakni sayuran dan sedikit padi umumnya dilakukan oleh orang Nias untuk konsumsi sendiri atau masyarakat setempat. b. Kawasan Pantai Kawasan ini terletak di sepanjang pantai di mana sebagian besar wilayahnya ditanami pohon kelapa (cocos nucifera), karena tanahnya cocok untuk tanaman itu. Hasil dari tanaman ini digunakan untuk kebutuhan sendiri, dan hanya satu – dua orang yang menjual ke luar kawasan ini. Pengiriman kelapa untuk dijual terutama dilakukan pada hari pasar di kota kecamatan. c. Kawasan Muara Sungai Kawasan ini terletak di muara sungai yang mengaliri Desa Jago-Jago dan banyak ditumbuhi pohon nipah atau bakau. Tanaman nipah sudah ada sejak dulu dan tumbuh dengan sendirinya. Manfaat nipah bagi masyarakat setempat sering digunakan untuk kayu bakar, penyangga bangunan rumah dan bagan, serta diproduksi untuk pembungkus tembakau lintingan. Pohon nipah ini merupakan salah satu mata pencaharian penduduk untuk menghidupi keluarga, terutama pada saat-saat tidak melaut atau tidak ada pekerjaan lain. Hingga saat ini pucuk nipah untuk pembungkus rokok dari Desa Jago-Jago masih dianggap terbaik yang dijual kepada taoke di Padang Sidempuan. Pengambil nipah umumnya adalah pekerjaan laki-laki, yang kemudian diproduksi menjadi pembungkus tembakau oleh kaum perempuan. Sumber Daya Laut Kawasan laut di sekitar Desa Jago-Jago berpotensi cukup tinggi, baik yang ada di laut lepas, maupun di sekitar pantai. Kawasan laut dapat dikategorikan ke dalam empat kawasan, yakni kawasan pantai,
|
17
kawasan terumbu karang, kawasan laut dalam dan kawasan hutan bakau (mangrove). Keempat kawasan ini mempunyai ekosistem tersendiri sesuai dengan kondisi dari lokasi tersebut. a. Kawasan Pantai Kawasan pantai yang ada di sepanjang pantai Dusun Jago-Jago pada saat ini masih dijumpai beragam jenis ikan seperti ikan kakap dan ikan belanak. Dilihat dari populasinya cenderung berkurang. Hal ini mungkin merupakan akibat adanya perusakan laut atau makin tingginya intensitas masyarakat pencari ikan. b. Kawasan Terumbu Karang Kawasan ini berada tidak jauh dari pantai yang banyak ditumbuhi berbagai jenis terumbu karang sebagai tempat ikan karang dan ekosistem laut lainnya berdiam. Lokasi terumbu karang di Kawasan Jago-Jago yang dikenal masyarakat nelayan, yaitu di sekitar Desa Sibusu, Desa Lawe, Desa Ketek dan Desa Jago-Jago. Sementara itu, lokasi terumbu karang yang paling banyak terjadi kerusakan adalah di sekitar Pulau Musala, Pulau Situngkus, Pulau Bakar, Pulau Batu-Peti dan Pulau Gue. Jenis terumbu karang yang banyak dijumpai di sini adalah karang jari, karang pato (seperti kancing), karang gadung (besar) dan karang pinggan-pinggan (sebesar niru). Di antara kumpulan terumbu karang tersebut, di lokasi karang gadung paling banyak dijumpai berbagai jenis ikan seperti ikan gabu, ikan kerapu dan ikan kakap. Ikan kerapu banyak terdapat di kawasan terumbu karang yang memanjang di sepanjang pantai. Pada saat ini, yakni sepanjang 20 tahun terakhir, keberadaan ikan di kawasan terumbu karang tersebut mulai berkurang. Kondisi ini diperkirakan karena adanya pengambilan ikan secara besar-besaran; khususnya nelayan luar Jago-Jago dengan menggunakan bom dan pukat harimau. Selain pengurasakan karena penangkapan ikan secara besar-besar, juga disebabkan oleh penambangan batu karang untuk bangunan rumah, jalan, tembok dan lainnya. Pada saat ini kegiatan penambangan batu
18
|
karang berkurang. Apabila ada yang mengambil akan dilakukan secara diam-diam c. Kawasan Laut Dlam Kawasan laut dalam berada pada wilayah laut yang mempunyai ke dalam tidak terhingga dan lokasinya agak jauh dari pantai Jago-Jago. Kawasan ini umumnya berada di luar lokasi terumbu karang, namun masih banyak terdapat berbagai jenis ikan karang maupun lainnya. Jenis ikan yang banyak dijumpai pada kawasan ini adalah ikan teri, ikan maning, ikan deman, ikan maco dan berbagai jenis ikan lainnya. Khusus untuk penangkapan ikan teri nelayan memasang bagan tancap yang biayanya cukup besar, yakni sekitar 25 juta rupiah. Pada saat ini mulai berkurang nelayan yang memasang bagan tancap untuk penangkapan ikan teri, hanya tinggal sekitar 10 bagan, karena harganya mahal dan banyaknya badai yang melanda kawasan ini. Pada bulan September hingga Oktober nelayan ikan teri paling banyak memperoleh hasil, yakni sekitar 10 kaleng biskuit kongguan ukuran besar per hari. d. Kawasan Hutan Bakau (mangrove) Hutan bakau banyak dijumpai di sekitar muara sungai yang ada di Desa Jago-Jago, yakni Sungai Badiri, Sungai Lumut/Aek Pinangsori dan Sungai Sigubo. Kawasan ini merupakan tempat berkembangbiaknya biota laut kepiting bakau (Scylla serrata) dan udang (Crustacean) yang saat ini populasinya berkurang sehingga habitat ini sulit ditemukan. Kondisi ini dikarenakan makin sedikitnya hutan bakau yang kondisinya pun mengkhawatirkan karena tidak terkontrolnya penebangan hutan tersebut oleh masyarakat, baik untuk pemenuh kebutuhan ekonomi, maupun bangunan rumah dan bagan. Permasalahan ini bila tidak cepat diatasi, maka dikhawatirkan akan berdampak terhadap kehidupan manusia dan biota laut yang berdiam dibawahnya.
|
19
Wilayah Pengelolaan Pada umumnya para nelayan Desa Jago-Jago melakukan penangkapan ikan tidak jauh dari pantai mengingat peralatan yang digunakan masih sederhana; kecuali pemilik bagan yang ditancapkan di laut dalam yang banyak arus laut masuk. Kawasan penangkapan ikan para nelayan berada di sekitar teluk Sibolga hingga laut lepas di Samudra Indonesia atau Samudra Hindia. Namun umumnya hanya di sekitar perairan Desa Jago-Jago, yaitu antara lain adalah di sekitar perairan pantai Desa Jago-Jago, Pulau Ungge (Unggas), Pulau Mursala, Pulau Bakar, Pulau Situngkus dan Pulau Batu Peti. Di antara pulau-pulau tersebut terdapat gugusan terumbu karang yang dianggap banyak dijumpai beragam ikan. Namun sepanjang 20 tahun ini telah banyak yang hancur karena penggunaan alat tangkap yang merusak seperti bom dan air mas. Adanya perubahan alat tangkap dan populasi ikan sangat berpengaruh terhadap wilayah tangkap nelayan Desa Jago-Jago. Sebagaimana yang digambarkan oleh Daliyo dan Ngadi (2007:91 – 94), bahwa dalam 20 tahun terakhir ini telah terjadi perubahan dalam pengelolaan sumber daya laut yang dapat dilihat dari dua periode yakni sebelum tahun 80-an dan sesudah tahun 80-an. Sebelum tahun 80-an, walaupun menggunakan perahu yang masih sederhana nelayan Desa Jago-Jago dalam mencari ikan telah sampai ke Pulau Mursala. Pada saat itu terumbu karang di sekitar Pulau Murasala belum rusak seperti saat ini sehingga populasi berbagai jenis ikan masih tinggi. Apabila melaut ke pulau tersebut, para nelayan walaupun hanya menggunakan alat pancing dan jala akan memperoleh hasil sekitar satu kwintal setiap melaut. Masuknya nelayan luar yang menggunakan perahu motor serta alat tangkap seperti bom dan pukat harimau sangat mematikan nelayan setempat karena populasi ikan mulai berkurang, sehingga mereka tidak lagi menangkap ikan di Pulau Mursala. Setelah tahun 80-an hingga saat ini wilayah tangkap nelayan Desa Jago-Jago hanya di sekitar desa, yaitu di sekitar Pulau Unggeh, Pulau Bakar dan Pulau Situngkus. Mereka yang ke Pulau Mursala sangat jarang karena populasi ikan terbatas dan jarak tempuh pun jauh. Apalagi dengan meningkatnya harga BBM dan kondisi alam yang 20
|
sering tidak bersahabat setelah terjadinya gempa di Aceh dan Nias yang berdampak hingga perairan Sibolga membuat nelayan makin jarang untuk melaut dengan jarak jauh. Kenaikan BBM dan berkurangnya populasi ikan sangat memukul nelayan, karena hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan modal melaut yang dikeluarkan (perincian lebih jelas dapat dilihat pada Bab IV). Dilihat dari sisi kawasan wilayah tangkap nelayan Desa Jago-Jago sangat terkait dengan keberadaan sumber daya laut tersebut berada, yakni kawasan terumbu karang, kawasan laut dalam, kawasan pantai dan kawasan laut lepas. Populasi ikan di kawasan tersebut memang makin berkurang, namun masih ada nelayan yang mencari ikan di kawasan tersebut, terutama pada musim teduh atau angin timur. Khusus untuk pencarian sumber daya laut di kawasan laut lepas, yaitu sejauh antara 30 mil hingga 150 mil, yang umumnya utnuk mencari teripang (swallow). Lokasi pencarian teripang terjauh di sekitar Pulau Nias dan Pulau Pini yang terletak antara Kawasan Tapanuli dan Provinsi Sumatra Barat. Untuk pergi ke lokasi ini harus siap dalam keuangan karena biasanya pergi sekitar satu bulan, bahkan lebih karena tergantung dengan hasil tangkapan. Lokasi nelayan pencari teripang yang terdekat adalah di sekitar Pulau Mursala dan biasanya hanya pergi untuk satu minggu. Nelayan Desa Jago-Jago yang mengambil teripang adalah penduduk Dusun I, yaitu ada dua kapal dengan kekuatan mesin 7 PK, yang setiap kapal memuat tiga orang.
Teknologi Pengambilan Sumber Daya Laut Berdasarkan jenis pengambilan sumber daya laut yang dilakukan oleh penduduk Desa Jago-Jago, teknologi yang digunakan dapat digolongkan ke dalam empat kategori, yaitu: teknologi penangkapan ikan, teknologi penangkapan teripang, teknologi pengambilan batu karang dan teknologi pengambilan kayu bakau. Keempat teknologi ini cara pelaksanaannya berbeda satu dengan lainnya dan kesamaannya bahwa masing-masing menggunakan media transportasi yang sama, yakni sampan atau kapal.
|
21
a. Teknologi penangkapan ikan Kawasan perairan sekitar Desa Jago-Jago kaya akan berbagai jenis ikan yang teknik penangkapannya berbeda satu dan lainnya. Seiring dengan perkembangan pengetahuan nelayan dalam penangkapan komoditas sumber daya laut, termasuk penangkapan ikan, nelayan desa ini juga mempunyai berbagai teknik dalam penangkapan ikan. Untuk itu mereka menggunakan berbagai teknologi atau alat pendukung agar dapat menghasilkan penangkapan ikan secara maksimum. Sampai saat ini para nelayan mencoba berbagai teknologi dalam penangkapan ikan seperti bagan untuk penangkapan ikan teri, jala penangkapan ikan di laut dangkal atau sekitar pantai, pancing untuk penangkapan ikan karang dan bubu khusus untuk penangkapan ikan kerapu. Bagan Tancap Nelayan bagan tancap dari tahun ke tahun mengalami penurunan dengan alasan tingginya biaya operasional dan seringnya terjadi bencana alam yang mengganggu kestabilan laut beserta komoditasnya, sehingga lebih sering mengalami kerugian daripada keuntungan. Pada saat dilakukan pengumpulan data dasar jumlah bagan yang dimiliki penduduk Desa Jago-Jago ada 18 unit dari 7 orang pemilik bagan (tauke), namun saat ini hanya ada 10 unit dari 5 tauke. Para pengolah ikan teri yang tadinya memiliki bagan dan sekarang tidak agar usahanya tetap jalan membeli dari pemilik bagan yang tidak mengolahnya. Setiap hari dia mengambil sendiri ke bagan, di mana biaya transportasi pengambilan ditanggung pembeli yakni sekitar Rp. 25.000,- per sekali ambil. Cara ini terpaksa dijalankan agar usaha produksi pengolahanikan teri (paskapanen) tetap jalan, walaupun sebenarnya lebih menguntungkan bila memiliki bagan sendiri karena tidak terikat dengan oreang lain (tauke). Bagan tancap yang dimiliki penduduk Desa Jago-Jago umumnya berukuran 12 X 12 meter hingga 15 X 15 meter yang ditancapkan di kawasan laut dalam. Pemasangan bagan tancap milik penduduk desa ini umumnya di sekitar perairan Desa Jago-Jago dan paling jauh di 22
|
perairan Desa Sitardas sekitar Pulau Situngkus, Pulau Bakar dan Pulau Unggas. Pemilik bagan tancap selain membangun bagan juga didukung oleh peralatan lain seperti jala/jaring yang ukurannya disesuaikan dengan luas bagan, perahu motor dan lampu petromaks (7 buah). Persiapan pendirian bagan dan teknologi pendukung aktivitas bagan membutuhkan biaya cukup besar, yakni sekitar 25 juta rupiah. Tingginya biaya pembuatan bagan juga dipengaruhi oleh meningkatnya harga kayu nibung yang digunakan untuk penyangga bagan karena cukup tahan lama di air laut. Dulu pohon nibung mudah diperoleh, bahkan tinggal ambil atau tidak mengeluarkan biaya kecuali biaya angkut. Namun saat ini harga kayu nibung sekitar Rp. 1.000,- per meter dan untuk satu bagan dibutuhkan 1000 meter kayu nibung sesuai dengan kedalaman jaring yang akan ditanam. Saat ini kekuatan bagan sangat sulit untuk diperkirakan karena tingginya intensitas badai dan bencana lain di kawasan ini. Untuk menjaga bagan dari pencurian yang sering dilakukan, terutama pada malam hari, para tauke mempunyai anak buah atau buruh nelayan yang disebut anak bagan. Tugas anak bagan adalah menunggu bagan, membersihkan perlengkapan dan membawa teri ke darat. Ada dua sistem pengupahan, yaitu diperhitungkan dengan sistem pembayaran dan sistem bagi hasil bila panen tiba. Sistem bagi hasil, misalnya teri yang diperoleh ada 5 kaleng biscuit kongguan menghasilkan Rp. 350.000,-. Hasil ini dipotong dengan pengeluaran anak bagan selama menjaga bagan, misalnya Rp. 80.000,- dan sisanya baru dibagi dua antara pemilik dan anak bagan. Terkadang kosong atau tidak menghasilkan apa pun, namun tauke tetap memberi makan dan rokok bagi pekerja yang diperhitungkan kemudian. Anak bagan tersebut sambil menunggu bagan sering juga melakukan kegiatan memancing ikan yang hasilnya dapat dimanfaatkan untuk diri sendiri. Apabila beruntung mereka dapat memancing ikan yang bernilai tinggi seperti ikan gabu, kerapu, bawal dan lainnya. Pancing Dalam usaha penangkapan ikan, di Desa Jago-Jago terbanyak adalah nelayan yang menggunakan teknik pancing yang ukurannya berbeda
|
23
sesuai dengan jenis ikan yang akan ditangkap. Teknologi ini adalah alat tangkap yang paling lama digunakan para nelayan di Desa JagoJago, yang dalam perkembangannya adalah dalam penggunakan mata kail yang disesuaikan dengan jenis ikan yang akan ditangkap. Pada umumnya penangkapan ikan dengan pancing dilakukan pada saat melakukan penangkapan ikan di sekitar kawasan terumbu karang, laut dalam atau pinggir pantai. Penggunaan teknologi memancing di kawasan terumbu karang terutama agar ikan yang ditangkap tetap hidup sesuai dengan permintaan pasar, antara lain adalah jenis ikan hias yang dijual dalam keadaan hidup dan berbagai ikan karang agar tetap segar sampai ke konsumen. Khusus untuk penangkapan ikan hias dan jenis ikan yang akan dijual dalam bentuk hidup, setelah tertangkap ikan tersebut langsung diletakkan ke bak air agar tetap bertahan hidup hingga ke konsumen. Mediator lain yang digunakan untuk mendukung kegiatan pemancingan adalah kapal atau sampan, baik yang menggunakan motor maupun tanpa motor. Pada dasarnya penangkapan ikan dengan cara memancing tidak banyak mengeluarkan biaya, karena setelah tiba di lokasi penangkapan kapal berhenti sehingga pemakaian BBM hanya untuk dari Desa Jago-Jago ke lokasi penangkapan (PP). Namun nelayan harus membawa cadangan BBM untuk mengantisipasi kemungkinan yang tidak dikehendaki seperti pindah lokasi dan bencana yang mengharuskan singgah di suatu tempat. Penangkapan ikan dengan menggunakan pancing biasanya hanya dilakukan secara individu mengingat kapal atau sampan yang digunakan kecil, paling besar bisa memuat tiga orang. Selain itu, bila pengikutnya banyak akan berdampak terhadap pendapatan yang diperoleh karena harus dibagi; walaupun nilai jualnya di pasaran cukup tinggi. Alat pancing oleh sebagian nelayan tidak dianggap merusak terumbu karang, namun karena kegiatan ini dilakukan biasanya dilakukan di kawasan terumbu karang maka bila tidak hati-hati mata pancing dapat tersangkut di karang dan ketika ditarik akan merusak ekosistem tersebut. Oleh karena itu, nelayan diharapkan hati-hati bila menggunakan alat pancing bila melakukan kegiatan di kawasan terumbu karang.
24
|
Jaring Teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan jaring tidak banyak dipakai oleh nelayan Desa Jago-Jago, yakni sekitar empat orang. Mereka yang menangkap ikan dengan jaring umumnya hanya di sekitar pantai atau di kawasan perairan laut dangkal. Caranya jaring ditarik dengan menggunakan perahu motor, kemudian jaring ditebar dan ditinggal pada lokasi yang diperkirakan akan banyak diperoleh ikan. Biasanya pagi hari ditinggal dan sore hari ditarik kembali ke pantai. Apabila banyak yang menebar jaring, maka di antara nelayan umumnya telah mengetahui lokasi mana jaring mereka ditebar agar tidak terjadi konflik antar nelayan. Alat lain yang digunakan sebagai pelengkap jaring adalah bola-bola pelampung yang diikatkan pada jaring agar tetap mengambang. Pada saat menarik jaring diperlukan tenaga tambahan, karena terasa berat bila terisi ikan dan sulit untuk ditarik sendiri. Untuk nelayan yang menggunakan jaring di perairan sekitar pantai biasanya tidak menggunakan sampan atau kapal. Mereka langsung terjun ke laut dan menarik jaring hingga lokasi yang dianggap strategis sebagai lokasi pemasangan jaring. Kegiatan ini biasanya juga dilakukan pada pagi hari setelah subuh dan sore hari ditarik kembali ke pantai. Komoditi SDL yang terjaring tidak hanya ikan, namun juga kepiting yang banyak dijumpai di pinggir pantai Desa Jago-Jago.
Bubu Nelayan Desa Jago-Jago yang menggunakan teknologi penangkapan ikan dengan bubu jumlahnya tidak banyak dan biasanya hanya mereka yang mencari ikan kerapu, kakap merah dan kepiting. Penggunaan alat tangkap bubu akan memperoleh hasil maksimum bila diletakkan pada air deras, yang menurut mereka adalah pada saat badai agar dapat mendorong ikan untuk masuk ke dalam bubu. Padahal untuk nelayan Desa Jago-Jago pada saat ini situasi yang demikian dihindari, terutama setelah banyak terjadi berbagai bencana yang sering membuat mereka takut melaut. Khusus untuk penangkapan ikan kerapu dan kakap mereka yang merupakan jenis
|
25
ikan karang, posisi peletakan bubu terbaik adalah di kawasan terumbu karang agar dapat memperoleh ihasil maksimal. Namun lokasi terumbu karang umumnya jauh dari pantai dan bila badai tiba sulit dicapai. Oleh karena itu, biasanya nelayan yang menggunakan bubu hanya untuk menangkap kepiting bakau yang banyak terdapat di tepi pantai yang banyak ditumbuhi pohon bakau. Penduduk desa ini belum ada yang bisa membuat bubu. Biasanya mereka membeli di pasar kecamatan, namun bila ingin kualitas baik di Kota Sibolga. Harga bubu kualitas biasa sekitar Rp. 50.000,- yag dapat digunakan sekitar empat bulan. Apabila nelayan dapat merehap atau memperbaiki kembali, bubu dapat digunakan untuk satu tahun. Bubu yang khusus untuk menangkap ikan kakap merah harganya cukup mahal, yakni sekitar Rp. 200.000,-, dan hanya dapat dibeli di Kota Sibolga. Bubu ini terbuat dari kawat yang khusus untuk menangkap ikan kakap merah. Pada saat ini nelayan bubu hanya ada lima orang.
Air mas Teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan air mas dilakukan untuk menangkap ikan hias an Lobster Mutiara yang banyak dijumpai di perairan kawasan terumbu karang. Penggunaan air mas lebih dikenal untuk pengambilan ikan hias, namun sebenarnya juga ada nelayan yang menggunakan untuk penangkapan lobster. Sebelum ada media air mas, penangkapan lobster menggunakan gancu. Air mas adalah sejenis racun yang dapat membuat lobster dan ikan-ikan hias tersebut pingsan. Setelah pingsan kemudian nelayan akan mengambil dan memasukkannya ke dalam bak air bersih hingga siuman. Setelah itu biasanya akan dibawa ke Sibolga untuk dijual ke pengumpul ikan hias. Pengambilan ikan dengan teknologi umumnya dilakukan oleh nelayan dari luar Desa Jago-Jago, dan dianggap sangat berdampak terhadap populasi jenis ikan tangkap lainnya. Nelayan merasa hasil tangkap mereka berkurang, namun pelaku pengguna teknologi sulit ditangkap karena belum ada badan hukum yang dapat menjeratnya. Hal ini disebabkan pelaku umumnya bekerja malam hari dengan
26
|
menggunakan kapal yang lebih ‘canggih’ dengan yang dimilik nelayan Desa Jago-Jago, sehingga sulit untuk ditangkap. b. Teknologi penangkapan teripang Nelayan teripang di Desa Jago-Jago tampaknya terdiri dari dua kelompok, yaitu: (1) kelompok nelayan pengambil teripang yang mempunyai surat ijin penangkapan dari Dinas Perikanan dan alat tangkap mereka cukup memadai untuk berjalan jarak jauh, dan (2) kelompok nelayan pengambil teripang yang menggunakan armada kapal sederhana dengan jarak tangkap di sekitar kawasan Desa Sitardas (Pulau Mursala). Kelompok pertama hanya ada satu rumah tangga yang menggunakan armada kapal motor mesin Yanmar 16 PK (KM Sumber Karya Baru GT 5) buatan tahun 1992 dengan ukuran kapal 11,7 x 2,5 x 0,7 meter. Kapal ini dilengkapi dengan peta perairan, computer, GPS, kompresor, dahar dan kacamata selam. Komputer digunakan untuk mengetahui kedalaman laut dan penyebaran teripang, sedangkan GPS digunakan untuk mengetahui posisi kapalwaktu akan membuang jangkar. Peralatan kompresor digunakan untuk menangkap teripang, dahar untuk membantu pernafasan ketika menyelam dan kacamata selam untuk menahan terpaan ombak. Kelengkapan peralatan ini membuat mereka dapat berlayar sejauh antara 30 hingga 150 mil, yaitu hingga perbatasan perairan Provinsi Sumatra Barat. Dilihat dari jenis teripang yang mereka dapat antara lain adalah teripang gajah, teripang coklat, teripang bantal, teripang kunyit, teripang pukat, teripang pasir, teripang kucing, teripang bakul, teripang nanas dan gamat (Daliyo dan Ngadi 2007:96). Di antara jenis teripang tersebut yang termahal adalah teripang gajah dengan nilai jual tertinggi untuk ukuran di atas 3 ons Rp.. 450.000,- per kg,. dan gamat ukuran besar Rp. 290.000,per kilogram. Penangkap teripang dalam konteks sederhana dari Desa Jago-Jago (Dusun I) ada dua kelompok (kapal) di mana setiap kelompok beranggotakan tiga orang sesuai dengan ukuran kapal yang digunakan yaitu hanya untuk tiga orang. Mesin kapal yang digunakan
|
27
berkekuatan 5,8 PK dan paling sering ke lokasi teripang di Pulau Mursala dengan waktu sekitar satu minggu untuk satu kali operasi. Selain mencari teripang mereka juga mencari lobster (udang karang) yang banyak dijumpai di kawasan tersebut. Jenis lobster yang biasa diperoleh adalah jenis lobster mutiara, lobster bamboo, lobster merah dan lobster biru, sedangkan teripang adalah jenis gamat, teripang bantal dan lainnya. Alat lain yang digunakan dalam penangkapan teripang dan lobster ini adalah kompresor dan kacamata penyelam. Setelah teripang ditangkap kemudian diletakkan dalam tangki berisi air agar tetap hidup hingga sampai di pantai. Pagi hari teripangteripang tersebut direbus dan dikeringkan dan malam hari kembali mencari teripang. Sedangkan lobster diusahakan untuk tetap hidup karena nilai jualnya tinggi bila diterima tauke dalam keadaan hidup. Kegiatan melaut ini dilakukan sekitar satu minggu dan kembali ke darat melalui Sibolga untuk menyerahkan lobster dan udang kepada tauke atau pedagang pengumpul di Kota Sibolga.
c. Teknologi pengambilan batu karang Penduduk Desa Jago-Jago sejak lama telah biasa mengambil batu karang untuk pondasi rumah, pembuatan jalan, tanggul dan berbagai bangunan lainnya. Kegiatan ini tampaknya mulai berkurang, mungkin terakhir yang terbanyak mengambil karang adalah untuk pembuatan tanggul-tanggul penahan ombak agar tidak masuk ke sungai Desa Jago-Jago. Berdasarkan pengakuan informan, batu karang yang diambil adalah terumbu karang yang sudah mati. Namun bila dilihat dari cara pengambilannya, yaitu mencongkel dengan menggunakan linggis disengaja maupun tidak sengaja dapat merusak karang yang masih hidup. Bahkan pada saat mencongkel karang mungkin saja secara tidak sadar akan menginjak karang yang masih hidup. Setelah batu karang tersebut terlepas atau tercongkel diangkut ke dalam sampan untuk dibawa ke darat atau lokasi di mana akan ada bangunan tanggul, jalan atau rumah.
28
|
d. Teknologi penebangan kayu bakau Hutan bakau banyak dijumpai di sepanjang muara sungai dan pantai sekitar Desa Jago-Jago. Telah lama penduduk desa ini menggunakan pohon bakau untuk penunjang kehidupan mereka, yaitu memasak makanan keluarga. Bagi mereka yang mempunyai usaha pengeringan ikan teri, pohon bakau sangat bermanfaat untuk pengolahan (perebusan) ikan teri tersebut. Adanya usaha untuk pelestarian hutan bakau dengan sanksi-sanksi yang ada berdampak terhadap berkurangnya penduduk yang melakukan penebangan pohon bakau. Namun bagi pengusaha teri menambah biaya proses perebusan karena tadinya hanya tinggal tebang atau memberi ongkos angkut bagi penebang pohon bakau, sekarang harus mengeluarkan biaya untuk membeli kayu bakar. Teknologi penebangan pohon bakau masih sederhana, hanya menggunakan alat golok dan perahu tanpa motor sebagai sarana tranportasi dari lokasi penebangan ke desa. Proses selanjutnya adalah memangkas dan memotong-motong pendek daunnya sekitar satu meter, kemudian dijemur. Setelah kering daun bakau siap digunakan sebagai bahan bakar untuk masak. 2.3. Sarana Prasarana Sarana dan prasarana yang ada di Desa Jago-Jago masih sangat terbatas, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan SDL dan kesejahteraan penduduk. Apakah mungkin karena jumlah penduduk desa ini masih sedikit, yakni 2.667 jiwa (data penduduk Januari 2007), sehingga perhatian untuk pembangunan desa masih rendah. Padahal bila dilihat dari sejarahnya, pada masa Belanda dan Jepang, desa ini merupakan kawasan strategis yang menghubungi Sibolga dengan Tapanuli Selatan melalui jalan laut dan sungai. Hal ini terlihat dengan adanya pos penjagaan yang mengawasi lalu lintas perahu dan kapal keluar Sibolga, baik menuju Tapanuli maupun daerah lain di luar Sibolga. Adanya pos ini lah yang memunculkan nama desa ini Jago-Jago yaitu asal kata jaga. Dalam kaitannya dengan pengelolaan SDL dan kesejahteraan penduduk, sesuai dengan sarana dan prasarana
|
29
yang tersedia di desa ini maka selanjutnya akan dideskripsikan tentang sarana transportasi, pendidikan, kesehatan, sarana umum dan ekonomi. a. Sarana transportasi Sarana dan prasarana transportasi yang ada di Desa Jago-Jago sejak penelitian data dasar aspek sosial Terumbu Karang tahun 2005 belum terlihat perubahan yang mencolok. Jalan yang menghubungi penduduk dengan masyarakat luar desa, wilayah kecamatan, kota kabupaten dan Tapanuli Selatan masih sama Foto 2.1. Alat Transportasi Sungai baik dari kondisi maupun jenis kendaraan yang digunakan1. Perubahan yang terlihat secara kasat mata adalah makin banyaknya jumlah ojek yang membuat rasa kecewa pelaku penambang becak motor (bentor). Mereka merasa kalah bersaing, karena calon penumpang yang sendiri atau akan bepergian untuk jarak jauh lebih memilih naik ojek yang dirasa lebih nyaman dan cepat. Akses transportasi lain untuk masuk Desa JagoJago adalah transportasi air melalui laut atau sungai. Namun dengan adanya transportasi darat, jalur laut mulai berkurang terutama pada saat cuaca buruk atau waktu-waktu akan tiba badai yang biasanya di atas pukul satu siang. Transportasi air ini masih sering digunakan untuk mencapai lokasi yang sulit dicapai dengan jalan darat seperti ke dusun yang terletak pada bagian pedalaman yang hanya dapat dilalui sungai, Teluk Tapanuli, Teluk Sibolga dan Desa Sitardas. Transportasi ke Teluk Sibolga walaupun telah ada transportasi darat, namun bila membawa 1
Lihat Daliyo dan Ngadi( 2007:19) yang telah menggambarkan tentang sarana dan prasarana Desa Jago-Jago.
30
|
hasil kebun (palawija, karet dll.), tangkapan SDL (ikan) atau produksi paskapanen (teri dan ebi) lebih mudah dan lebih murah bila menggunakan sampan. Begitupula dengan penduduk yang mempunyai lapangan pekerjaan mencari mengambil pohon nipah di hulu atau muara sungai akan lebih mudah menggunakan sampan. Di samping itu, transportasi air juga digunakan untuk jarak dekat yakni dari Dusun Jago-Jago ke pangkalan ojek dan bentor karena sampai saat ini jembatan penghubung antara dua tempat tersebut belum terealisasi dan baru pada tahap ‘wacana’. Namun bila jembatan tersebut terealisasi, tampaknya pemerintah desa maupun tingkat pemerintah yang lebih atas perlu mengantisipasi penyediaan lapangan kerja untuk mengalihkan kegiatan penarik sampan yang jumlahnya cukup banyak saat ini. Sarana transportasi yang tidak kalah pentingnya bagi nelayan adalah tempat penambatan kapal atau sampan, di mana mereka dapat melabuhkan sampan setelah melaut. Pada tahun 2006 COREMAP telah membangun sarana ini namun jarang digunakan nelayan karena lokasinya tidak tepat sebagai tempat kapal nelayan bersandar dan menurunkan hasil tangkapan. Oleh karena itu, saat ini tambatan perahu yang dibangun COREMAP lebih dimanfaatkan oleh perahu tambangan sedangkan perahu nelayan atau pencari ikan tetap tersebar di sepanjang pantai Dusun Jago-Jago. Mungkin sebaiknya dalam perencanaan pembangunan untuk tambatan perahu nelayan juga diikuti dengan tempat pelelangan atau turunnya hasil tangkapan nelayan. Selain itu, adanya tempat pelelangan ikan yang terkoordinir dengan baik mungkin saja dapat meningkatkan kehidupan ekonomi rumah tangga nelayan di Desa Jago-Jago yang sekarang makin terpuruk.
b. Sarana pendidikan Pendidikan sering dianggap sebagai salah satu indikator sosial dalam penentuan tingkat kesejahteraan penduduk. Makin sejahtera tingkat kehidupan seseorang makin tinggi perhatiannya untuk pendidikan anak atau anggota keluarganya, atau sebaliknya makin tinggi
|
31
pendidikan seseorang makin sejahtera kehidupannya karena lebih terbukanya peluang kerja yang memadai bagi mereka yang berpendidikan. Namun saat ini pemahaman terakhir kurang tampak karena penyediaan lapangan kerja tidak seiring dengan pertambahan penduduk usia kerja, sehingga terjadi peluapan tingkat pengangguran baik mereka yang tidak berpendidikan maupun berpendidikan. Terlepas dari permasalahan di atas, untuk meningkatkan kehidupan mereka maka seseorang membutuhkan pengetahuan baik secara formal maupun non formal. Untuk itu dbutuhkan sarana dan prasarana pendidikan formal maupun non formal yang dapat meningkatkan pengetahuan mereka dalam menata kehidupannya. Tampaknya untuk masyarakat di Desa Jago-Jago sarana dan prasarana untuk meningkatkan pengetahuan ini masih terbatas pada pendidikan formal dan itu pun hanya pada tingkat Sekolah Dasar Negeri (SDN) baik Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhamadiyah dan MI Albariah. Ketiga sarana pendidikan ini terletak di Dusun Jago-Jago, sehingga anak-anak dari dua dusun lain yang umumnya berada di wilayah perbukitan dengan berjalan kaki datang ke sekolah ini. Sarana dan prasarana SDN di Desa Jago-Jago pada tahun 2005, yakni setelah gempa, direnovasi dan kondisinya cukup memadai, baik dari sisi bangunan maupun tenaga pengajarnya. Jumlah guru walaupun belum seimbang dengan jumlah kelas (kelas I – VI), yakni lima orang, namun dapat dianggap memadai untuk daerah yang masih termasuk kategori desa tertinggal. Berbeda dengan MI Muhamadiyah maupun Albariah, tampaknya belum banyak menjadi perhatian pemerintah karena masih bersifat swadaya masyarakat sehingga gedung maupun pengajar sangat minim. Untuk setiap madrasah hanya mempunyai pengajar satu orang dengan jumlah murid di MI Muhamadiyah 50 orang dan MI Albariah 30 orang. Murid-murid ini umumnya hanya adalah anak-anak dari Dusun Jago-Jago yang dominan penduduknya beragama Islam. Dusun lain, terutama yang berpenduduk dominan orang Nias tidak ada yang sekolah di madrasah. Di Desa Jago-Jago dan sekitarnya belum ada sarana dan prasarana pendidikan non formal seperti kursus-kursus atau pelatihan-pelatihan
32
|
untuk kesiapan kerja. Bagi mereka yang ingin mengikuti pendidikan singkat atau kursus untuk menambah pengetahuan karena tidak dapat melanjutkan pendidikan setelah tamat SLTP atau SLTA harus ke kota Kabupaten Sibolga. Keinginan untuk melanjutkan pendidikan ini sering terhambat, karena terbentur dengan faktor biaya yang tidak hanya untuk biaya pendidikan namun juga transportasi. Mungkin untuk mengatasi masalah pendidikan bagi anak-anak putus sekolah ini perlu dipikirkan penyediaan balai-balai pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan desa setempat dan ketersedian lapangan pekerjaan yang ada di tingkat desa, kecamatan dan kabupaten. Kemudian, lokasi tempat pelatihan berada tidak jauh dari desa Jago-Jago; paling tidak di masih berada di Kecamatan Badiri.
c. Sarana kesehatan Pada tingkat desa, sarana kesehatan yang ada hanya Puskesmas Pembantu (Pustu) yang terletak di Desa Jago-Jago bagian daratan, yakni di jalan aspal arah ke kantor kecamatan. Pustu ini menerima pasien selama lima hari kerja (Senin – Jumat), yang dikelola oleh seorang tenaga medis (bidan). Biaya berobat antara Rp. 15.000,- - Rp. 20.000,-; tergantung dengan jenis penyakit dan obat yang dibutuhkan pasien. Pada hari-hari tidak di Pustu, bidan dpat menerima pasien di tempat bidan menginap (rumah bantuan karena gempa) di mana tersedia beberapa macam obat yang umum digunakan ketika sakit mendadak seperti obat luka, obat batuk dan obat sakit perut. Pos Persalinan Desa (Polindes) telah ada di bagian pulau Desa JagoJago, namun belumberfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan belum adanya bidan desa yang menetap di desa ini. Pada umumnya pertolongan persalinan masih dilakukan oleh penduduk setempat yang didaulat penduduk sebagai dukun beranak. Perempuan ini diawali karena secara kebetulan bisa menolong persalinan dan aktif pada berbagai kegiatan desa. Pelatihan persalinan baru diikutinya sehingga sekarang dia sudah berpredikat sebagai dukun terlatih. Khusus untuk pengobatan penyakit, penduduk masih ada yang pergi ke dukun kampung. Di desa ini ada dua orang dukun
|
33
pengobatan tradidional, yaitu dengan cara membaca doa-doa atau mantra dan memberi ramuan tradisional. Sarana kesehatan yang cukup lengkap dilihat dari perlatan dan petugas kesehatannya adalah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) tingkat kecamatan yang terletak di Desa Hutabalang. Staf Puskesmas ini terdiri dari : 1 orang pimpinan, 22 perawat (PNS dan honorer), 1 dokter umum, 1 dokter gigi, 1 pharmacy, 1 ahli gizi, 1 ahli kesehatan lingkungan, 4 bidan, dan 2 orang tata usaha2. Puskesmas ini beum dapat menerima rawat inap karena perlengkapan untuk rawat inap belum ada. Apabila dilihat dari sarana dan prasarana transportasi yang cukup lancar dari Desa Jago-Jago ke Puskesmas ini seharusnya tidak membuat penduduk Jago-Jago merasa sulit ke lokasi pelayanan kesehatan ini. Mungkin bagi penduduk yang ekonominya sulit sekali kendala untuk berobat ke Puskesmas muncul, karena biaya kendaraan yang harus dibayarkan selain biaya pengobatan. d. Sarana ekonomi Pada tingkat desa, sarana ekonomi yang tampak di Desa Jago-Jago terbatas pada penyediaan kebutuhan dasar rumah tangga dan sarana untuk melakukan kegiatan mata pencaharian penduduk. Warung kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan rumah tangga ada sekitar sepuluh warung yang tersebar di Desa Jago-Jago bagian pulau dan daratan. Sedangkan kedai minuman jumlahnya lebih banyak di bagian kepulauan, karena tampaknya keberadaan warung selain untuk makan-minum juga berfungsi sebagai tempat mangkal anak muda dan beristirahatnya orang-orang sepulang melaut. Untuk menarik pengunjung, warung minum ini juga terpasang televisi namun jarang digabung dengan VCD. Televisi hanya menyiarkan acara-acara televisi yang dapat tertangkat di desa tersebut. Warung yang terdapat di wilayah daratan ada dua, yaitu persis di pangkalan atau lokasi tambatan perahu penyebrangan. Khusus untuk warung makan yang juga menyediakan makanan terbuat dari ikan, umumnya membeli ikan segar dari nelayan atau pedagang pengumpul ikan. 2
Data ini berdasarkan catatan di Puskesmas Kecamatan Badiri Tahun 2007.
34
|
Pasar sebagai tempat bertemunya pembeli dan penjual belum ada di Desa Jago-Jago. Penduduk yang akan berbelanja atau menjual hasil bumi atau hasil karyanya akan melakukan transaksi di pasar terdekat, yaitu Pasar Hajoran di Kecamatan Tukka. Pada hari-hari pasar seperti ibu-ibu membuat kue dan berbagai jenis makanan untuk dijual ke pasar tersebut. Sedangkan pemilik warung akan berbelanja untuk mengisi kebutuhan warungnya. Jarak antara Desa Jago-Jago dengan Pasar Jajoran sekitar 7 kilometer, bila ditempuh dengan ojek biayanya sekitar Rp. 6.000,- untuk pulang-pergi. 2.4. Program dan Kegiatan Pengelolaan SDL Dalam beberapa tahun terakhir ini, Desa Jago-Jago mulai terlihat adanya beberapa program atau kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut yang dikelola pemerintah (DKP) maupun pihak swasta. Kegiatan tersebut adalah usaha tambak udang, COREMAP dan HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia). Pada setiap kegiatan atau program melibatkan beragam pemangku kepentingan (stakeholders) dari berbagai tingkatan yang dapat dilihat pada matriks 2.1 di bawah ini.
|
35
Matriks 2.1. Program atau Kegiatan Pengelolaan SDL Menurut Stakeholders yang Terlibat No.
Program/ Kegiatan Tambak udang
1.
Stakeholders Pengusaha Pekerja
Keterangan
• • • •
Masyarakat
2.
COREMAP
DKP tingkat kabupaten Konsultan ekonomi produktif (MPA)
• • • •
36
|
LSM
•
Aparat desa
•
LPSTK/Pokmas
•
Nelayan, pengolah pascapanen
•
Pedagang pengumpul
•
Berasal dari luar Desa Jago-Jago Buruh umumnya penduduk Desa JagoJago; Adapembagian kerja antara buruh perempuan dan laki-laki; Kawasan tambak makin luas dengan membeli tanah penduduk sekitar Mereka yang tidak terlibat pada kegiatan tambak sulit untuk masuk kawasan tambak dengan alasan tambak harus steril/bersih. KPA, Fasilitator (petugas lapangan) Dosen dari Universitas Nomensen, Medan Mahasiswa Nomensen sebagai pelaksana di lapangan dan meneliti kegiatan MPA untuk bahan skripsi Seharusnya berperan langsung untuk intervensi program di masyarakat, namun jrang berada di lokasi dengan berbagai alasan seperti belum ada SK atau desa ini mudah dijangkau dari kabupaten Peran aparat desa tumpang tindih dengn LPSTK karena ada anggota LPSTK juga aparat desa. Penggerak dan pengawas kegiatan COREMAP di desa Nelayan yang mengambil hasil SDL seperti teri, ikan dan SDL lain. Terbanyak adalah pengolah ikan teri dari bagan-bagan yang ada di sekitar Jago-Jago Penentu harga hasil SDL (basah maupun kering), ada yang di desa dan di Sibolga
3.
HNSI
Penambang sampan
•
Pegolah nipah
•
Masyarakat
• •
HNSI tingkat daerah/ kabupaten HNSI tingkat kecamatan/ desa
•
Nelayan
•
Masyarakat
•
Menyebrangkan penduduk dari wilayah darat ke wilayah pulau Terdiri dari penduduk yang mengambil nipah hingga mengolahnya menjadi daun nipah siap dijual ke Tapanuli Selatan atau pedagang. Untuk kegiatan ini ada pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan Penduduk Desa Jago-Jago Turut memprakasai untuk membentuk HNSI tingkat kecamatan atau desa Pada saat penelitian berlangsung, HNSI Desa Jago-Jago baru dibentuk yang diprakasai oleh seorang tokoh masyarakat desa namun dia bukan nelayan. Terlibat pada HNSI, karena kelompok ini khusus untuk nelayan. Pasda saat penelitian baru satu kali melakukan pertemuan untuk menyusun program atau kegiatan Belum banyak yang tahu tentang keberadaan HNSI karena baru terbentuk dan belum disosialisasikan
Sumber: Wawancara dengan informan tokoh masyarakat, pengelola COREMAP dan HNSI di Desa Jago-Jago
2.5. Kependudukan •
Jumlah dan Komposisi
Survai yang dilakukan pada tahun 2005 dan 2007 meliputi 100 rumah tangga yang tinggal di Desa Jago-jago. Pemilihan lokasi survai di Desa Jago-jago didasarkan pada pertimbangan bahwa penduduk yang bekerja sebagai nelayan jauh lebih banyak dibandingkan Desa Sitardas. Berdasarkan hasil survai pada tahun 2005 dan tahun 2007, tidak ada perubahan jumlah penduduk yang cukup berarti dari 100 rumah tangga sampel. Jika pada tahun 2005, jumlah anggota keluarga pada rumah tangga sampel adalah 536 jiwa, pada tahun 2007 anggota
|
37
rumah tangga sebanyak 537 jiwa. Hal ini berarti bahwa setiap satu rumah tangga terdiri atas lima atau enam jiwa. Jika dirinci berdasarkan jenis kelamin, pada tahun 2007 jumlah penduduk Desa jago-Jago terdiri dari 288 (53,6 persen) orang laki-laki dan 249 (46,4 persen) orang perempuan. Adapun rasio jenis kelamin adalah 115 yang berarti bahwa dalam 100 orang perempuan terdapat 115 lakilaki. Rasio jenis kelamin ini lebih besar dibandingkan dengan kondisi tahun 2005, yaitu 106 (Daliyo dan Ngadi, 2005). Dari 100 rumah tangga sampel pada survai yang dilakukan tahun 2005, 95 rumah tangga di antaranya kembali menjadi sampel pada survai yang dilaksanakan pada tahun 2007. Lima rumah tangga yang menjadi sampel pada tahun 2005 terpaksa diganti karena mereka pindah ke lain desa. Meskipun ada lima rumah tangga baru pada survai tahun 2007, nampaknya tidak mempengaruhi terhadap jumlah anggota rumah tangga sampel tahun ini. Secara keseluruhan, jumlah anggota rumah tangga tahun 2005 dan 2007 hanya berbeda 1 orang. Sementara jika dilihat dari struktur umur, ada sedikit perbedaan antara kondisi tahun 2005 dan 2007. Hal ini selain karena adanya kenaikan umur dari anggota rumah tangga seiring dengan berjalannya waktu. Selain itu, adanya perbedaan lima rumah tangga yang menjadi sampel kemungkinan juga mempengaruhi perbedaan struktur umur rumah tangga sampel dari tahun 2005 dan 2007. Jika pada tahun 2005, proporsi penduduk terbesar adalah kelompok umur 15- 19 tahun (17,4 persen), pada tahun 2007 kondisinya tetap sama, hanya proporsinya sedkit meningkat (18,2 persen) (Tabel 2.1).
38
|
Tabel 2. 1. Jumlah dan Komposisi Penduduk Desa Jago-jago, Tahun 2005 dan 2007 UMUR
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
0 - 4 5 - 9 10 - 14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 65 - 69 70 - 74 75 + Total
24 20 38 50 38 22 12 9 10 16 19 14 8 4 0 4 288
19 19 37 48 27 13 8 13 19 17 16 4 4 3 0 2 249
43 39 75 98 65 35 20 22 29 33 35 18 12 7 0 6 537
Sumber: Data Primer, Kajian BME Sosek, PPK-LIPI, 2007.
Tabel 1 menunjukkan bahwa kelompok penduduk usia muda (di bawah 15 tahun) sebanyak 29,3 persen, sedangkan usia produktif (1554 tahun) 62,2 persen dan kelompok usia kurang produktif (55 tahun ke atas) sebanyak 8 persen. Kondisi ini agak berubah dengan dibandingkan dengan tahun 2005. Perbedaan yang cukup jelas adalah pada kelompok umur usia muda. Pada tahun 2005, kelompok usia muda tersebut mencapai 34, 3 persen. Angka beban ketergantungan yang merupakan jumlah penduduk usia di bawah 15 tahun dan penduduk usia 65 tahun ke atas dibandingkan dengan penduduk usia produktif (15 – 64 tahun), menunjukkan angka yang relatif kecil, yaitu 38.8 persen. Artinya, bahwa setiap 100 orang usia produktif menanggung sekitar 39 orang yang tidak produktif. Masalahnya adalah, proporsi penduduk usia kerja yang berstatus bekerja hanya 35,9 persen. Apabila dikelompokkan menurut suku bangsanya, sebagian besar penduduk rumah tangga yang menjadi sampel dari penelitian ini
|
39
sebagian besar adalah Suku Batak, yang lainnya adalah Suku Minang dan Nias. Meskipun sebagian besar mereka adalah Suku Batak, namun pengaruh budaya melayu cukup kental. Hal ini terjadi karena semakin banyaknya orang Melayu yang bermukim di Desa Jago-Jago baik untuk bekerja ataupun karena adanya perkawinan dengan penduduk setempat. Kentalnya pengaruh budaya Melayu dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, dalam masyarakat muncul ungkapan ‘Bukan kapak sembarang kapak, kapaknya pembelah kayu. Bukan Batak sembarang Batak namun bataknya menjadi Melayu”. •
Pendidikan dan Ketrampilan
Mengenai tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan, data dari hasil survei rumah tangga menunjukkan bahwa sebanyak 13.2 persen ART mempunyai pendidikan SLTA ke atas. Dibandingkan dengan kondisi tahun 2005, proporsi ini meningkat sebanyak 3,1 persen, tahun 2005 hanya 9,9 persen. Proporsi ART yang berpendidikan tamat SLTP sebanyak 15,1 persen, tamat SD 37,8 persen, dan selebihnya belum/tidak tamat SD (31,7 persen) serta belum/tidak sekolah 2,1 persen (Tabel 2.2). Tabel 2.2. Komposisi Penduduk Uur 7 tahun Ke atas Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan, Desa Jago-Jago, 2007 Pendidikan tertinggi yang ditamatkan Belum/tidak sekolah Belum/tidak tamat SD SD tamat SLTP tamat SLTA tamat ke atas Jumlah
Laki-laki
Perempuan
4 84 97 42 29 256
6 67 83 30 34 220
Laki-laki + Perempuan 10 151 180 72 63 476
Sumber: Data Primer, Survai BME, PPK-LIPI, 2007
Tabel 2.2 juga menunjukkan bahwa tidak ada kesenjangan yang menyolok dalam pencapaian pendidikan antara laki-laki dan perempuan pada tingkat pendidikan SLTA ke bawah. Pada jenjang
40
|
pendidikan SLTA ke atas, proporsi perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 11,3 persen dan 15,5 persen. Alasan ekonomi cenderung umum dikemukakan sebagai sebab mengapa anak-anak perempuan cenderung tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi selepas mereka dari SLTA. Selain tingkat pendidikan, penduduk Desa Jago-jago juga mempunyai beberapa ketrampilan khusus yang dapat digunakan untuk menunjang kehidupannya. Adapun ketrampilan yang banyak dimiliki oleh penduduk adalah mengolah daun nipah, membuat kapal kayu, mencari ikan dan mengolah ikan. Ketrampilan penduduk yang terkait dengan nipah adalah mengolah daun ini untuk menjadi pembungkus rokok. Pengolahan pucuk nipah menjadi pembungkus rokok memerlukan ketelatenan tersendiri karena memerlukan proses yang relatif panjang. Adapun tahapantahapan yang harus dilalui antara lain adalah sebagai berikut: 1) pemotongan dan pengambilan pucuk nipah, 2) tutu, 3) pengupasan, 4) penjemuran, 5) pengikatan, 6) pengukusan, dan 7) pengepakan. Pucuk nipah yang sudah dipotong kemudian diambil lembar demi lembar. Lembaran daun nipah tersebut kemudian diambil lidinya dan daunnya dihaluskan. Setelah itu daun nipah tersebut dijemur.
Foto 2.2. Penjemuran Pucuk Nipah Kupas
Pekerjaan pemotongan dan pengambilan pucuk daun nipah dari hutan nipah biasanya dikerjakan oleh laki-laki, sementara perempuan biasanya mengerjakan tahapan tutu hingga pengepakan. Pengukusan dan pengepakan dilakukan oleh sendiri oleh taoke nipah.
Beberapa penduduk di Desa jago-jago memiliki ketrampilan membuat kapal kayu yang diperoleh secara turun temurun. Kapal-kapal tersebut dibuat berdasarkan pesanan yang dating baik dari dalam desa maupun dari luar desa. Pekerjaan membuat kapal ini dilakukan secara berkelompok. biasanya antara …..orang. Harga sebuah kapal kayu berkisar antara Rp. 5.000.000 tergantung dari bahan bakunya.
|
41
Semakin bagus bahan baku seperti kayu meranti semakin tinggi harga kapal tersebut. Menurut informasi dari beberapa pembuat kapal kayu, kayu meranti tersebut akhir-akhir ini sulit sekali didapatkan.
Foto 2.3. Pembuatan Kapal Kayu Ketrampilan mengolah ikan yang dimiliki oleh penduduk Desa JagoJago terutama adalah pengolahan ikan teri. Pengolahan ikan teri ini dimulai dari penangkapan ikan melalui yang dipasang di bagan. Setelah ikan dibawa pulang, kemudian direbus dan digarami. Tahap akhir dari pengolahan ikan ini adalah penjemuran ikan untuk menjadi ikan kering. Selain ketrampilan dalam membuat ikan teri kering, sebagian penduduk juga dapat mengolah ikan teri menjadi pepes. Pepes ikan teri tersebut dijual laku Rp. 1000 per bungkus
Foto 2.4. Penjemuran Ikan Teri
•
Foto 2.5. Pembakaran Pepes Teri
Pekerjaan (utama dan tambahan)
Berdasarkan survei 100 rumah tangga terlihat bahwa pada tahun 2007, proporsi terbesar dari 537 ART, statusnya adalah bekerja (35.9
42
|
persen atau 164 orang). Proporsi terbesar kedua (28,7 persen) masih berstatus sekolah. Sedangkan mereka yang tidak bekerja atau menganggur sebanyak 12.9 persen. Dan mereka yang mencari kerja sebanyak 10,3 persen. Sementara ART yang kegiatannya mengurus rumah tangga sebanyak 12,3 persen. Jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2005, terdapat penurunan proporsi ART yang bekerja. Pada tahun 2005, proporsi ART yang bekerja mencapai sekitar 54 persen, sementara pada tahun 2007 proporsi ART bekerja hanya 35.9 persen. Penurunan ini barangkali dikarenakan pada saat penelitian berlangsung terdapat beberapa orang penduduk yang tidak bekerja karena kondisi laut yang tidak memungkinkan sehingga mereka hanya di rumah saja. Padahal, pada saat penelitian kondisi laut relatif tenang. Batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kegiatan seminggu yang lalu. Dilihat dari lapangan pekerjaaan penduduk, nampak bahwa perikanan laut tetap merupakan lapangan pekerjaan yang banyak dilakukan oleh anggota rumah tangga sampel. Ada sedikit kenaikan dari persentase anggota rumah tangga (ART) yang bekerja di bidang perikanan laut. Informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa ada beberapa orang yang pada tahun 2005 belum bekerja, tahun 2007 ini mereka bekerja sebagai anak buah kapal (ABK). Selain bidang perikanan laut, pekerjaan di bidang industri pengolahan merupaka lapangan pekerjaan yang banyak dilakukan penduduk. Lapangan pekerjaan industri pengolahan meliputi usaha pengolahan daun nipah, pengolahan ikan, dan industri pembuatan kapal. Industri pengolahan daun nipah menjadi bungkus rokok merupaka lapangan pekerjaan yang banyak menyerap tenaga kerja terutama perempuan, meskipun upah yang diterima dari pekerjaan ini relatif rendah. Upah yang diterima oleh seorang pekerja mengambil daun muda nipah dengan membuang lidinya sekitar Rp. 2000 untuk 100 batang (1 ikat). Rata-rata dalam sehari seorang perempuan dapat mengambil pucuk daun nipah sekitar 100-150 batang, sehingga upah yang diterima oleh seorang pekerja dalam sehari rata-rata sekitar Rp. 3000. Karena pekerjaan ini tidak dilakukan setiap hari, dalam sebulan seorang pekerja memperoleh penghasilan sekitar Rp. 300.000.
|
43
Perubahan yang cukup signifikan terlihat pada persentase penduduk yang bekerja di pertanian tanaman pangan dan jasa. Jika pada tahun 2005, penduduk yang bekerja di bidang pertanian pangan hanya sekitar tiga persen, jumlah tersebut melonjak pada tahun 2007. Menurut informasi yang diperoleh di lapangan, adanya pembukaan lahan di daerah perbukitan. Sebagian lahan yang dibuka sebenarnya bukan milik warga Desa Jago-jago, namun mereka memberikan kepada penduduk Desa Jago-jago dengan sistem bagi hasil. Lahan tersebut pada umumnya ditanami mentimun dan cabe. Sementara perubahan pada bidang jasa, kemungkinan karena adanya kenaikan jumlah ART yang bekerja sebagai penyedia jasa angkutan (penyeberangan sungai maupun pengemudi becak motor). Pekerjaan penyeberangan sungai cukup diminati karena memberikan penghasilan yang lumayan. Dengan ongkos penyeberangan antara Rp. 500-1000, seorang penyedia jasa penyeberangan sungai memperoleh penghasilan sekitar Rp.20,000-25,000. Jika dibandingkan dengan penghasilan tahun 2005, relatif turun karena semakin banyaknya orang yang bekerja di bidang ini. Tabel 2.3. Distribusi Penduduk Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, Desa Jago-Jago, tahun 2005 dan 2007 Lapangan Pekerjaan Perikanan tangkap/laut Perikanan budidaya Pertanian tanaman pangan Pertanian tanaman keras Perdagangan Jasa Industri Pengolahan Lanilla Total
Tahun (Presentase) 2005 2007 29,7 33,5 1,0 3,1 3,1 11,2 4,2 2,5 18,8 14,9 4,7 11,8 29,2 21,5 9,4 1,9 100 (192) 100 (164)
Sumber: Daliyo dan Ngadi, 2005 dan Kajian BME Sosek, PPK-LIPI, 2007.
44
|
•
Kesejahteraan (TO dan T1)
- Pemilikan dan penguasaan asset produksi dan non produksi Informasi tentang kepemilikan asset produksi dan non produksi dapat menggambarkan kondisi kehidupan ekonomi penduduk setempat. Bagian ini akan menguraikan tentang kepemilikan asset rumah yang berupa asset produksi dan non produksi. Sesuai dengan pekerjaan utama yang paling banyak dilakukan penduduk adalah di sector perikanan, maka kepemilikan alat produksi perikanan akan dkemukakan terlebih dahulu. Tabel 2.5 menunjukkan bahwa dari 100 rumah tangga sampel, terdapat 29 perahu motor, sembilan di antaranya adalah perahu motor tempel. Dibandingkan dengan keadaan tahun 2005, terjadi penurunan, tahun 2005 jumlah perahu motor sebanyak 25. Perahu motor yang dimiliki oleh nelayan Desa Jago-Jago mempunyai ukuran yang bervariasi baik mesin maupun body yang bervariasi. Dari 20 perahu motor (dalam) sebagian besar (95 persen), mesinnya berukuran 5.5 PK, hanya satu yang mempunyai ukuran 3.8 PK. Ukuran body motor dalam ada yang empat meter (5 unit), lima meter (enam unit) dan enam meter sebanyak 8 unit. Dari sembilan motor temple, 6 di antaranya mempunyai mesin berukuran 5.5 PK, sedangkan tiga unit lainnya masing-masing berukuran lebih besar, yaitu 9.9 PK (satu unit) dan 15 PK (dua unit). Perahu tanpa motor yang dimiliki penduduk dari rumah tangga sampel sebanyak 25 unit. Jumlah ini meningkat sebanyak 7 unit jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2005. Perahu tanpa motor ini pada umumnya digunakan sebagai alat transportasi lintas sungai.
|
45
Tabel 2.4. Distribusi Kepemilikan Aset Rumah Tangga, Desa Jago-Jago, Tahun 2005 dan 2007. No
Jumlah
Jenis Aset Rumah Tangga A. Peralatan Produksi 1 Perahu Motor 2 Perahu tanpa motor 3 Keramba 4 Alat tangkap - Jaring - Bagan - Pancing - Bubu B. Tambak C. Lahan Pertanian Tanaman pangan dan /kebun D. Ternak E. Aset lainnya 1 Pekarangan dan rumah 2 Alat transportasi 3 Barang elektronik 4 Perhiasan 5 Tabungan uang
2005
2007
25 18 1
29 25 -
5 6 27 1
7 3 71 7 1
18 5
12 10
87 30 47 6 7
93 6 86 14 N/A
Sumber: Daliyo dan Ngadi, 2005 dan Kajian BME Sosek, PPK-LIPI, 2007
Alat tangkap yang banyak dimiliki oleh rumah tangga di Desa JagoJago adalah jaring dan pancing. Jumlah jaring yang ada sebanyak 7 unit yang dimiliki oleh emapt orang. Sebanyak empat orang memiliki masing-masing satu jaring, sedangkan tiga orang lainnnya maingmasing memiliki dua, tiga, dan empat unit jaring. Jenis jaring tersebut pada umumnya adalah jaring untuk penangkap udang, kepiting dan ikan besar. Jumlah pancing tercatat sebanyak tujuh puluh satu unit yang dimiliki oleh tujuh orang ART. Jenis pancing yang mereka miliki adalah pancing rawai. Jumlah pancing yang dimiliki cukup bervariasi antara 2 – 20 pancing, Dari 71 pancing tersebut, masing-masing orang memiliki dua orang memiliki pancing sebanyak 10 unit, dua orang lagi memiliki masing-masing 19 dan 20 unit pancing. Tiga orang lainnya masing-masing memiliki dua dan lima unit pancing.
46
|
Bagan merupakan alat tangkap yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Biaya pembuatan satu bagan dapat mencapai sekitar Rp. 10.000.000. Di Desa JagoJago terdapat dua orang mempunyai bagan, seorang memiliki dua bagan dan seorang lainnya hanya memiliki satu bagan.
- Kondisi permukiman dan sanitasi lingkungan Rumah-rumah penduduk cenderung mengelompok di tiga dusun. Di dusun I, sebagian rumah penduduk berada di bantaran sungai sampai pantai Teluk Sibolga. Rumah-rumah tersebut cenderung terendam air ketika air laut pasang. Jika air surut, sebagian air masih menggenang. Kondisi ini memudahkan berkembang biaknya nyamuk di lingkungan pemukiman penduduk. Bangunan rumah yang ada di Desa Jago-jago sebagian adalah rumah permanent yang berdinding tembok. Adapun lantainya cukup beragam sebagian besar adalah tegel atau semen, sedankan sebagian kecil sudah dikeramik. Lokasi desa yang cukup sulit karena dikelilingi oleh sungai dan teluk, menyebabkan harga-harga bangunan cukup mahal. Oleh karenanya, hanya orang-orang kaya saja yang mempunyai rumah permanen, berdinding tembok dan berlantai keramik atau tegel. Sebagian masyarakat mempunyai rumah yang semi permanen yaitu berdinding papan atau gedhek tetapi pondasinya dari karang mati. Menurut infomasi dari tokoh masyarakat setempat, pengambilan karang mati untuk pondasi bangunan terpaksa dilakukan oleh sementara penduduk karena susahnya mendapatkan batu untuk pondasi. Jika mereka harus membeli batu, biaya transportasinya cukup mahal. Beberapa rumah, terutama yang berada di dekat bantaran sungai atau teluk adalah rumah panggung. Rumah-rumah tersebut beratap seng dan berdinding papan. Rumah-rumah tersebut berdiri di atas air, bila air pasang tingginya mencapai sekitar satu meter. Oleh sebagian penduduk, bagian belakang rumah panggung tersebut digunakan sebagai WC karena kotoran akan langsung hanyut terbawa air. Bila waktu surut, pemandangannya sungguh tidak enak, karena selain
|
47
kelihatan kotoran-kotoran di bawah munculnya bau yang cukup menyengat.
rumah
panggung,
juga
Sebagian penduduk memperoleh air bersih dari mata air yang disalurkan memalui pipa yang merupakan bantuan dari pemerintah daerah melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Air tersebut ditampung ke dalam bak-bak penampung air sebelum disalurkan ke Foto 2.6. Bak Penampung Air rumah-rumah penduduk. Jika musim hujan, bak ini penuh dengan air, namun ketika musim kemarau aliran air sangat kecil sehingga distribusi air menjadi tersendat. Sebagian besar masyarakat belum memiliki fasilitas MCK. Jika air bersih didapatkan dari bak penampung air yang disalurka ke rumahrumah penduduk, maka untuk keperluan kakus mereka menggunakan sungai/pantai. Hanya beberapa rumah yang memiliki fasilitas WC baik yang mempunyai septi tank maupun WC cemplung. Sungai atau laut tidak hanya digunakan sebagai tempat pembuangan limbah manusia, tetapi juga dimanfaat oleh sebagian besar penduduk sebagai tempat pembuangan sampah. Jenis sampah yang paling banyak dibuang di pinggiran sungai adalah sampah daun nipah.
48
|
BAB III COREMAP DAN IMPLEMENTASINYA Dalam upaya membangun sosial-ekonomi masyarakat dan pelestarian terumbu karang di kawasan perairan Kabupaten Tapanuli Tengah, COREMAP mengembangkan berbagai program yang diimplementasikan pada beberapa lokasi di daerah pesisir dan kepulauan. Program ini terutama ditujukan untuk masyarakat nelayan yang diperkirakan mempunyai hubungan kuat dengan kehidupan sumber daya laut, khususnya ekosistem terumbu karang. Evaluasi program ini adalah kegiatan COREMAP fase II yang dimulai tahun 2004. Lokasi tahun pertama dari fase ini adalah Kecamatan Barus dan Kecamatan Badiri. BAB ini mendeskripsikan dan mengkaji program COREMAP di Desa Jago-Jago dan implikasinya terhadap masyarakat desa tersebut. Bab ini diawali dengan deskripsi tentang pelaksanaan program COREMAP pada tingkat kabupaten dalam implementasinya ke beberapa desa lain di wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah. Selanjutnya adalah deskripsi dan kajian pelaksanan program COREMAP di tingkat desa, yakni Desa Jago-Jago, yang baru berjalan selama empat tahun (2004 – 2007). Kajian di tingkat desa meliputi pengetahuan tentang COREMAP, bentuk kegiatan COREMAP, persepsi dan partisipasi masyarakat tentang kegiatan COREMAP, dan kelanjutan program tersebut. Tulisan ini diawali dengan gambaran tentang permasalahan pelaksanaan COREMAP dilihat dari tingkat kabupaten hingga tigkat desa sebagai ujung tombak pelaksanaannya. Kemudian dilanjutkan dengan kajian tentang persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap kegiatan COREMAP di Desa Jago-Jago.
|
49
3.1. Pelaksanaan COREMAP Fase II: Permasalahan dan Kendala 3.1.1.
Pengelolaan di tingkat kabupaten
Dalam pengelolaan COREMAP di daerah, personel yang bertanggung jawab terhadap Komponen COREMAP fase II, yakni CBM, Public Awareness, MCS dan CRITC, diangkat berdasarkan Keputusan Bupati Tapanuli Tengah Nomor 103/DKP/2007. Keputusan ini berisikan tentang Pembentukan Komite Pengarah Kabupaten dan Unit Pelaksana Kegiatan Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II Kabupaten Tapanuli Tengah. Dalam hal ini, bupati bertanggung jawab dalam pengelolaan terumbu karang di Kabupaten Tapanuli Tengah. Selain itu, dibentuk komite pengarah di tingkat Kabupaten terdiri dari Bappeda Kabupaten, DKP, Lanal, DPRD Komisi B, Polisi Air, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Dinas Pendidikan, Bagian Hukum dan Orta Setda, Kecamatan, Desa, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Namun pengelola COREMAP fase II ke tingkat masyarakat langsung dikelola oleh DKP sebagai Tugas Unit Pelaksana Kegiatan (PIU) yang tugasnya adalah: . - Melakukan koordinasi aspek perencaan dalam rangka memadukan perencanaan pembangunan kegiatan program COREMAP fase II dengan pembangunan daerah serta melakukan pemantapan perencanaan pembangunan kabupaten secara berkesinambungan; - Melaksanakan survei dalam rangka pembangunan COREMAP fase II; - Melaksanakan Pengendalian, Pemantauan dan Evaluasi terhadap kegiatan Program COREMAP fase II; - Membuat laporan perkembangan secara berkala sesuai dengan tahapan perencanaan dan tahapan pengendalian serta analisa kegiatan terkait dalam kegiatan COREMAP fase II.. Pada saat evaluasi ini dilakukan, program COREMAP fase II di Kabupaten Tapanuli Tengah telah berjalan selama empat tahun, yakni dari tahun 2004. Pada fase ke-II ini, hingga tahun 2007 program COREMAP fase II telah berjalan di lima kecamatan yakni Kecamatan
50
|
Badiri, Kecamatan Barus, Kecamatan Sosor Gadong, Kecamatan Sorkam, dan Kecamatan Tapian Nauli. Namun program tahun 2007 belum berjalan sepenuhnya karena kami datang pada kwartal ke-2 dan di tingkat kabupaten masih sibuk dengan kegiatan lain. Tahun 2004, DKP mengawali pertemuan dengan para stakeholders yang akan terkait dengan kegiatan COREMAP fase II untuk menyusun kegiatan yang akan dilaksanakan selama lima tahun. Para stakeholders yang terlibat selain DKP adalah LSM, LPSTK, pendamping dari Perguruan Tinggi Nomensen di Medan, dan penyuluh lapangan yang dikontrak oleh DKP. Pertemuan dengan para stakeholders tersebut berhasil disusun perencanaan program tingkat desa untuk lima tahun, yakni dari tahun 2004 dan berakhir tahun 2008. Pelaksanaan program ini di setiap desa dilaksanakan secara bertahap berdasarkan persetujuan bersama dengan kepengurusan COREMAP tingkat pusat sesuai dengan anggaran yang diajukan. Untuk Kabupaten Tapanuli Tengah ada dua program yang direncanakan untuk setiap desa, yakni pembangunan prasarana desa dan mata pencaharian alternatif (MPA). Khusus untuk kegiatan MPA, yang harus didahului dengan pembuatan proposal akan dibantu oleh LSM. Selanjutnya akan diuraikan kegiatan COREMAP fase II per tahun yang telah disusun DKP dan stakeholders terkait, kecuali tahun 2008 dan 2009 belum tertulis secara lengkap. Tahun 2004 lokasi yang ditentukan adalah Desa Jago-Jago dan Desa Sitardas untuk Kecamatan Barus, Desa Kinali dan Desa Kedae Gedong di Kecamatan Badiri. Sebelum pelaksanaan program, COREMAP fase II, pelaksana tingkat kabupaten bersama pimpinan desa membentuk dua kelompok LPSTK (Lembaga Pengelola Sumber Daya Terumbu Karang), yakni satu di Kecamatan Badiri dan satu di Kecamatan Barus, yang anggotanya dipilih oleh masyarakat desa tersebut. Pada tahun ini mulai diinformasikan tentang adanya kegiatan COREMAP fase II di masyarakat, khususnya anggota LPSTK. Kemudian, sesuai dengan rencana kegiatan COREMAP fase II, tahun ini diawali dengan pembangunan sarana yang berkaitan dengan kegiatan COREMAP dan kenelayanan, yaitu pondok informasi di Desa Kinali dan Desa Jago-Jago dan tambatan perahu di Desa Kedai
|
51
Gedang. Namun sayang, tambatan perahu di Desa Kedai Gedang hancur karena tsunami yang dampaknya sampai di Tapanuli Tengah. Sementara itu, pondok informasi di Desa Jago-Jago kurang dimanfaati kecuali untuk pertemuan anggota atau masyarakat karena desa ini tidak memiliki ruang yang luas sebagai tempat pertemuan. Tahun 2005, program COREMAP fase II cakupan lokasi yang akan diintervensi lebih luas, yakni selain dua kecamatan terdahulu ditambah dengan Kecamatan Sosor Gadong, Kecamatan Sorka, dan Kecamatan Tapian Nauli. Tahun ini tidak ada program yang jalan karena daerah ini terimbas oleh kejadian gempa di Nias pada awal tahun 2005. Pengaruh kejadian ini juga terlihat di Desa Jago-Jago dengan adanya bangunan yang rusak, bahkan penduduk ada yang meninggal. Akhirnya, Desa Jago-Jago juga mendapat bantuan dua bangunan rumah yang dibangun di wilayah desa bagian daratan. Rumah tersebut, satu digunakan untuk kantor desa dan satu lagi sebagian dihuni penduduk setempat dan sebagian lagi sering dipakai untuk tamu atau petugas yang datang ke desa ini. Misalnya mahasiswa diberi tugas oleh dosennya untuk memberi pakan ternak bantuan COREMAP fase II yang hasil uji coba tersebut sebagai bahan pembuatan skripsinya. Tahun 2006, ada beberapa kegiatan COREMAP fase II yang direncanakan di tiga kecamatan yakni Kecamatan Badiri, Kecamatan Baru, dan Kecamatan Tapian Nauli. Kegiatan pembangunan prasarana desa meliputi tambatan perahu di Desa Jago-Jago & Sitardas; pondok informasi di Desa Tapian Nauli; sumur bor di Desa Tapian Nauli, Desa Jago-Jago, dan Desa Sitardas; Tower komunikasi di Desa Jago-Jago. Tambatan perahu di Desa Jago-Jago tampaknya tidak digunakan oleh nelayan, namun untuk sampan tambangan yang menyebrangkan mereka dari daratan ke desa bagian pulau atau sebaliknya. Nelayan menurunkan ikan umumnya di bagian teluk wilayah pulau atau pinggir pantai yangmendekati tempat tinggalnya. Prasarana sumur bor sudah dibuat di Desa Jago-Jago dan Desa Sitardas, namun kondisinya sangat buruk baik dari kualitas air maupun bangunannya yang rapuh. Bangunan lain adalah tower komunikasi di Desa Jago-Jago telah berdiri, namun nasibnya sama
52
|
dengan prasarana lain yakni belum termanfaati dengan semestinya. Sementara itu, kegiatan MPA yang telah dilaksanakan adalah: demplot budidaya kepiting bakau di tiga desa, budidaya teripang di Desa Sitardas, pembesaran & pembenihan ikan lele di Desa JagoJago, dan ternak kambing & itik di Desa Jago-Jago dan Desa Tapian Nauli. Tahun 2007, kegiatan COREMAP fase II yang direncanakan dan telah dilaksanakan di tiga desa yakni Desa Sitardas, Desa Jago-Jago, dan Desa Tapian Nauli. Prasarana desa yang akan dibangun adalah pondok informasi di Desa Sitardas; gedung pertemuan di Desa JagoJago; dan MCK di Desa Jago-Jago, Desa Sitardas, dan Desa Tapian Nauli. Pada saat kami di sana, MCK sudah ada di Desa Sitardas dan sudah ada yang menggunakan. Tampaknya air dialirkan dari gunung karena pompa yang dibuat tidak ada air dan kalau ada pun kualitasnya tidak baik. Sementara pondok informasi di Desa Sitardas dan gedung pertemuan di Desa Jago-Jago pembangunannya belum dimulai. Kegiatan MPA di Desa Jago-Jago sama dengan apa yang telah diberikan pada tahun 2006, yaitu: budidaya kepiting bakau, pembebasaran dan pembenihan ikan lele, dan ternak kambing dan itik. Program MPA baru untuk Desa Jago-Jago namun belum dilaksanakan adalah demplot pengolahan hasil perikanan. Program baru di dua desa lainnya adalah pembesaran ikan lele di Desa Sitardas, demplot budidaya rumput laut di Desa Jago-Jago dan Desa Tapian Nauli. Tahun 2008 an tahun 2009 belum dibuat rencana kegiatan yang lebih rinci. Untuk tahun 2008, program COREMAP fase II direncanakan akan mulai dilakukan di Pulau Mursala yang diawali dengan pembangunan pondok informasi danjalan setapak di Desa Sitardas. Sementara kegiatan MPA adalah tambak. Kemudian, program MPA di tahun 2009 akan dilaksanakan di Desa Jago-Jago dan Desa Tapian Nauli, yakni kagiatan demplot ayam, ikan nila, dan ternak itik. Matriks 3.1. memperlihatkan kegiatan program COREMAP fase II di Kabupaten Tapanuli Tengah.
|
53
Matriks 3.1. Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Fase II Di Kabupaten Tapanuli Tengah Uraian 2004 Jago2, Sitardas, Kinali, Kedae Gedong
Lokasi fase II
Kecama tan fase II
Badiri, Barus
LPSTK Pokmas Prasaran a desa
2 Tambatan perahu Kedai Gedang tapi hancur karena tsunami; Pondok Informasi Desa Kinali & Jago2
Mata Pencaha rian Alternat if
Telah dilaksanakan 2005 2006 Jago2, Jago2, Sitardas, Sitardas, Tapian Nauli I Kinali, Kedae Gedong, Tapian Nauli I, Sosor Gadong, Pasar Tarandam, Botot Telur, Roban, Psr. Batu, Gerigis Badiri, Badiri, Baru, Barus, Tapian Nauli Sosor Gadong, Sorkam, Tapian Nauli 2 3 2 11 - Tambatan perahu Desa Jago2 & Sitardas; - Pondok informasi Desa Tapian Nauli; - Sumur bor Desa Tapian Nauli, Jago2, Sitardas; - Tower komunikasi Desa Jago2 - Demplot budidaya kepiting bakau (3 desa) kepiting; - Budidaya teripang di Desa Sitardas; - Pembesaran & pembenihan ikan lele di Desa Jago2; - Ternak kambing & itik di Desa Jago2 & Tapian Nauli I;
Sumber: DKP Kabupaten Tapanuli Tengah
54
|
Sedang dilaksanakan 2007 Jago2, Sitardas, Tapian Nauli I
Akan dilaksanakan 2008 2009 Jago-jago, JagoSitardas, Jago, Tapian Tapian Nauli I Nauli
Badiri, Baru, Tapian Nauli
Badiri, Barus, Tapian Nauli
Badiri, Barus
3 20 - Pondok informasi Desa Sitardas; - Gedung pertemuan Desa Jago2; - MCK di Desa Jago2, Sitardas, Tapian Nauli
3 25 - Pondok Informa si di P. Mursala dan jalan setapak di Desa Sitardas tambak ikan di JagoJago
3 29
- Pengembangan budidaya kepiting bakau (3 desa); - Pembesaran ikan lele di Desa Jago2 & Sitardas; - Pembenihan ikan lele di Desa Jago2; - Ternak kambing & itik di Desa Jago2 & Tapian Nauli I; - Demplot budidaya rumput laut di Desa Sitardas & Tapian Nauli I; - Demplot pengolahan hasil perikanan di Desa Jago2;
Demplot ayam Ikan nila itik
Dalam pelaksanan program COREMAP fase II yang telah direncanakan di lokasi Kabupaten Tapanuli Tengah tidak selamanya mulus. Para pelaksana di tingkat kabupaten merasa ada beberapa kendala yang akhirnya menimbulkan permasalahan dalam mengimplementasiskan program COREMAP di lokasi. Kendala yang muncul sejak program COREMAP fase II dilaksanakan, yakni tahun 2004 hingga tahun 2007, antara lain adalah: •
Bencana alam yang tiada hentinya;
•
Keterlambatan Dana;
•
Kualitas SDM dan pergantian personel ”job turnover” yang tinggi.
Bencana alam yang menimpa wilayah Sumatra Utara, tepatnya di Pulau Nias, merupakan kendala yang sangat memengaruhi pelaksanaan program COREMAP fase II di kawasan Tapanuli Tengah. Gempa bumi di Nias tahun 2005 membuat semua kegiatan COREMAP berhenti karena semua staf pemerintah di Tapanuli Tengah, termasuk pengurus COREMAP, tercurah pada aktifitas yang berkaitan dengan pascagempa. Akhirnya, pelaksanaan program COREMAP fase II baru berjalan kembali tahun 2006; walaupun masyarakat di wilayah tersebut masih sering merasakan gempa dalam skala kecil. Bahkan pada saat kami di lokasi (Desa Jago-Jago) juga merasakan datangnya gempa. Pelaksanaan program COREMAP fase II melibatkan stakeholder pendukung dari berbagai kompenen masyarakat, antara lain adalah LSM, Pemda, dan sektor swasta. Perekrutan anggota LSM sebagai tim pendamping menghadapi kendala antara lain karena rekruitmen berdasarkan sistem kontrak per tahun anggaran. Namun para stakeholders, terutama yang langsung akan berhubungan dengan masyarakat di lokalisasi, sulit melaksanakan tugas sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Kendala ini muncul karena adanya permasalahan pada anggaran untuk LSM dan staf DKP yang terlibat dalam program COREMAP fase II. Dana pelaksanaan seperti akomodasi, transportasi, dan honor mereka dimasukkan ke dalam
|
55
anggaran APBD, sehingga pelaksanaan untuk rekruitmen LSM dan pemantauan oleh staf DKP ke lokasi COREMAP fase II sangat tergantung pada turunnya atau waktu pengambilan anggaran oleh DKP. Situasi ini berdampak terhadap kontinuitas program COREMAP fase II di lokasi. Misalnya sampai akhir bulan Mei 2007 anggaran APBD untuk kegiatan COREMAP fase II belum turun, sehingga pendampingan ke masyarakat atau Pokmas tidak berjalan lancar. Pada akhirnya, dampak dari permasalahan tersebut terhadap masyarakat di mana program akan dilaksanakan adalah terganggunya kegiatan Pokmas, LPSTK, dan munculnya pertanyaan-pertanyaan tentang keberlanjutan program COREMAP. Sumber daya manusia pada tingkat kabupaten, khusus staf DKP, yang terlibat pada kegiatan COREMAP fase II, tampaknya belum bekerja secara maksimal. Hal ini disebabkan karena adanya pergantian pengurus yang mengikuti perubahan struktural di DKP. Misalnya pada tahun 2007 adanya pergantian kepala dinas DKP yang pada saat evaluasi baru memegang jabatan sekitar 3 bulan dan KPK baru memegang jabatan awal tahun 2007. Dampak dari pergantian pengurus ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan mempengaruhi pelaksanaan kegiatan COREMAP fase II di lokasi karena para pejabat ini masih baru dan belum pernah terlibat dalam kegitan COREMAP sebelumnya. Sementara itu, SDM pelaksana di lapangan, yakni LSM, kualitasnya cukup memadai dilihat dari tingkat pendidikannya yang umumnya adalah sarjana perikanan. Mereka direkruit setiap tahun per tahun anggaran. Untuk tahun 2007 status mereka belum jelas sehingga mereka tidak dapat bekerja secara maksimal. Mereka harus menunggu perpanjangan kontrak yang mengikuti sistem lelang sebagai prosedur penggunaan anggaran APBN maupun APBD.
56
|
3.1.2. Pelaksanaan dan permasalahan COREMAP di tingkat desa Dalam mengkaji pelaksanaan COREMAP di tingkat desa, tulisan berfokus pada desa kajian yakni Desa Jago-Jago. Pengelolaan COREMAP fase II tingkat desa juga melibatkan berbagai stakeholders, baik dari di tingkat desa maupun tingkat kabupaten. Para stakeholders tersebut adalah anggota LPSTK, masyarakat, LSM, dan staf DKP Kabupaten Tapanuli Tengah. Para stakeholders ini yang terlibat dalam pembentukan kelompok (Pokmas), merencanakan program, dan melaksanakan program yang telah disetujui bersama. Kegiatan COREMAP di Desa Jago-Jago diawali dengan pembentuk LPSTK (Lembaga Pengelola Sumber Daya Terumbu Karang) yang anggotanya dipilih dari masyarakat desa tersebut. Pemilihan anggota melalui pertemuan anggota masyarakat secara terbuka, dan ketua terpilih salah seorang staf desa, sementara anggota pengurus LPSTK dari berbagai unsur masyarakat desa itu. Dilihat dari sisi jenis pekerjaan pengurus ada pedagang, nelayan, pengumpul ikan, pemilik warung makanan, dan lainnya. Dilihat dari SDM pengurus COREMAP di Desa Jago-Jago kurang memadai. Misalnya ketua LPSTK bukan dari kalangan nelayan sehingga kurang memahami permasalahan nelayan. Orang ini dipilih lebih mengacu kepada statusnya, yakni sebagai perangkat desa. Pada saat ini LPSTK Desa Jago-Jago telah mendirikan tiga kelompok kerja, yaitu: (1) Pokmas Konservasi; (2) Pokmas Perempuan atau Jender; (3) Pokmas Ekonomi Produktif (MPA) yang dibentuk pada tahun kedua dari kegiatan Coremap fase II, yakni setelah dilakukan kajian Sosial-ekonomi oleh LIPI. Setiap Pokmas beranggotakan ratarata 15 orang atas kompromi bersama antara masyarakat yang berminat terhadap program ini dengan LPSTK. Berdasarkan informasi yang diperoleh, pada awalnya masyarakat Desa Jago-Jago banyak yang tidak berminat bergabung dalam Pokmas, namun setelah terbentuk dan ada yang menerima dana untuk kegiatan ekonomi muncul masyarakat yang menyatakan berminat untuk bergabung. Setelah Pokmas terbentuk, kemudian disusun struktur keanggotaan Pokmas yang terdiri dari ketua, bendahara dan anggota. Kegiatan
|
57
Pokmas adalah menyusun proposal untuk perencanaan program yang akan dilaksanakan dengan dibantu oleh pendamping dan LSM. Pembentukan LPSTK dan Pokmas tampaknya kurang disertai sosialisasi yang benar mengenai keberadaan COREMAP di desa ini. Ini terlihat dari pengetahuan pengurus LPSTK yang kurang memahami keberadaan COREMAP dan di antara mereka ada yang tidak berfungsi sesuai dengan kedudukannya. Pernyataan ini terutama dikemukakan dari mereka yang jarang diikutsertakan dalam kegiatan program, sehingga merasa hanya nama saja tercantum sebagai pengurus di kelompok tersebut. Situasi ini tentu memengaruhi kinerja kelompok, bahkan ada yang ingin tidak terlibat lagi dengan kegiatan COREMAP. Pengurus desa biasanya berkumpul ketika pengurus dari kabupaten datang dalam rangka penyampaian program yang akan dilaksanakan atau pelatihan yang berkaitan dengan program tersebut. Itu pun terkadang terbatas hanya pada anggota Pokmas yang terlibat. Misalnya ketika ada pelatihan pengeloahan makanan dari bahan dasar ikan seperti bakso dan kerupuk, maka yang berkumpul selain pimpinan juga anggota Pokmas perempuan. Bahkan akhir-akhir ini antara pengurus LPSTK semakin jarang mengadakan pertemuan. Apabila ada program akan dilaksanakan pun tidak semua pengurus bertemu dengan staf COREMAP tingkat kabupaten. Pada saat ini penerima “bantuan” atau pelaksana program masih terbatas, yang artinya tidak semua anggota akan terlibat program. Menurut pengurus LPSTK yang dipilih untuk melaksanakan program tahap awal, khususnya MPA, adalah mereka yang dianggap mau dan bisa melaksanakannya. Namun keputusan ini menimbulkan permasalahan di masyarakat, khususnya di dalam anggota kelompok Pokmas. Ada yang beranggapan, bahwa mereka yang terlibat dalam beberapa program yang dilaksanakan di Desa Jago-Jago adalah orang yang sama atau dari anggota keluarga yang “itu-itu saja”. Misalnya kegiatan MPA budidaya ikan lele diikuti oleh kepala keluarga, sementara MPA ternak itik petelur dilaksanakan istri atau anak perempuannya anggota Pokmas perempuan. Situasi ini menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat karena mereka ada juga yang menginginkannya. Dampak dari rasa ketidakadilan ini 58
|
munculnya rasa antipati dan tidak ingin mendukung kegiatan COREMAP. Hal ini tentu merupakan kendala lain untuk keberlanjutan program COREMAP ke depan untuk desa ini. Dalam hal ini, pengurus daerah (PIU) mengemukakan bahwa permasalahan ini akan diatasi dengan membentuk kelompok-kelompok baru, namun jika kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pokmas menunjukkan keberhasilan. Kegiatan sosialisasi COREMAP di Desa Jago-Jago dimulai tahun 2004 berdasarkan panduan LIPI. Kemudian, tahun 2005 dilakukan penjelasan tentang program-program Coremap dan tahun 2006 program mulai diwujudkan dengan didampingi oleh pihak ketiga. Tahun 2007 direncanakan untuk memberikan pembelajaran tentang management keuangan dan proses pengelolaan dana akan dilakukan oleh LPSTK. Sosialisasi keberadaan COREMAP di Desa Jago-Jago diawali dengan pemasangan billboard yang diletakkan pada jalan masuk desa atau pangkalan sampan. Pada umumnya kegiatan COREMAP sudah diketahui masyarakat, namun dampaknya belum dapat dirasakan sepenuhnya oleh mereka. Permasalahannya karena implementasi kepada masyarakat belum menyeluruh karena adanya kendala dalam pencairan dana dan koordinasi antara pengurus tingkat desa hingga kabupaten. Menurut pengurus, dana sering turun terlambat sehingga pelaksanaan program menjadi terlambat. Sementar dari sisi masyarakat muncul anggapan, bahwa dana yang turun kurang menyentuh masyarakat dan lebih banyak digunakan untuk pertemuan yang tidak melibatkan mereka. Misalnya pertemuan-pertemuan di tingkat “atas” atau pelatihan untuk “kelompok terbatas”di luar desa. Situasi ini menimbulkan konflik terselubung di dalam pengurus maupun masyarakat. Anggota pengurus yang merasa tidak pernah dilibatkan pada pelaksanaan program COREMAP bahkan ada yang keluar dari kepengurusan. Tidak adanya keterbukaan ini mengakibatkan masyarakat mulai tidak simpati dengan kegiatan COREMAP, dan kondisi ini tentu akan menjadi kendala bagi keberlanjutan program ke depan. Mereka berharap adanya keterbukaan tentang keberadaan program
|
59
COREMAP kepada masyarakat maupun pengurus, baik terkait dengan dana maupun program yang akan dilaksanakan. Pelatihan yang diadakan hanya melibatkan mereka yang menerima bantuan program COREMAP yang akan dilaksanakan di desa ini. Pada umumnya pelatihan dilaksanakan di luar Kota Sibolga, yakni Kota Medan. Misalnya pelatihan untuk kegiatan program pengembangan ikan lele dan itik petelor dilaksanakan di balai pengembangan peternakan di Medan. Mereka yang dikirim untuk mengikuti pelatihan tersebut sangat terbatas, yakni pelatihan ikan lele empat orang dan itik hanya dua orang. Diharapkan peserta pelatihan dapat menularkan pengetahuan yang didapat kepada anggota Pokmas lainnya. Sementara itu, pelatihan seperti pengolahan makanan dengan menggunakan bahan dasar ikan seperti bakso dan tepung ikan dilaksanakan di Desa Jago-Jago sehingga semua anggota Pokmas jender dapat berpartisipasi. Bahan dan peralatan untuk pelatihan dibawa oleh pelatih dari DKP Kabupaten Tapanuli Tengah. Setelah pelatihan selesai, semua alat-alat diserahkan kepada pengurus Pokmas. Namun sampai saat ini belum pernah dimanfaatkan oleh anggota dengan alasan tidak ada modal untuk menindaklanjuti hasil pelatihan. Dampak dari kegiatan tersebut hanya melekat pada saat pelatihan yang membuat peserta senang, namun untuk keberlanjutannya belum terlihat. Selain tidak ada dana, bahan dasar selain ikan yang diperlukan untuk membuat bakso dan tepung ikan pun masih sulit didapat. Pelaksanaan mata pencaharian alternatif (MPA) adalah kegiatan pengembangan itik petelor, budidaya kepiting bakau, budidaya ikan lele, dan pembesaran kambing. Pembentukan kelompok berdasarkan pertemuan antara masyarakat dengan LPSTK, sedangkan penentuan kegiatan berdasarkan kajian dari pendamping kegiatan dari Universitas Nomensen, Medan. Kemudian, seharusnya hasil dari kajian maka anggota kelompok membuat proposal dengan didampingi oleh LSM terpilih. Untuk keberlanjutan program, LSM dan LPSTK seharusnya menyusun atau mengatur cara menggulirkan hasil dari program ke masyarakat yang belum menerima, kemudian DKP akan melanjutkan bila program tersebut dianggap berhasil. Namun 60
|
AD/ART mengenai cara pengguliran ini belum ada, sehingga sampai saat ini belum jelas alur dari pengguliran program. Penyaluran dana untuk pelaksanaan kegiatan adalah melalui pendamping lapangan atau pihak ketiga yang besarnya tergantung dari program yang akan dilaksanakan. Total biaya maksimum 90 juta rupiah untuk semua tahap pelaksanaan program, dan tidak hanya untuk pembelian bahan yang akan diberikan ke masyarakat. Pelaksana kegiatan, yakni masyarakat terpilih, dalam pelaksanaan kegiatan akan didampingi LSM. Masyarakat yang terpilih untuk melaksanakan kegiatan ternak itik petelor adalah dari Pokmas jender sebanyak lima KK dan kelompok pembesaran kambing 12 KK dari Pokmas produksi. Pada saat kajian ini dilakukan, pemberian itik dan kambing sudah berjalan sekitar lima bulan namun belum ada hasilnya. Bahkan kambing yang diberikan sudah lima ekor yang mati. Permasalahannya karena pada saat kambing tersebut diberikan masih teramat kecil, yakni usia 3 bulan, sehingga akan lama besarnya. Menurut salah seorang staf DKP, kambing yang diberikan sengaja kecil agar waktu belajar untuk pemeliharaan dengan pemberian pakan yang berasal dari desa tersebut bisa lebih lama. Sementara itu, itik yang diberikan tampaknya kurang dipilih secara baik sehingga waktu yang dibutuhkan dalam pemeliharaan dengan pemberian pakan bahan lokal (talas) cukup lama. Menurut mahasiswa yang bertugas memberi pelatihan kepada masyarakat dalam pemberian pakan itik-itik tersebut seharusnya sudah bertelur. Waktu yang cukup lama dalam pemeliharaan kedua binatang ini membuat mereka yang menerima itik menjadi bosan dan capek mengikuti prosedur pemeliharan. Bahkan ada yang beranggapan lebih baik tidak menerima bantuan karena membuang waktu saja. Budidaya kepiting bakau dilaksanakan oleh Pokmas Produksi. Pertama kali diberikan kepada 10 KK yang ditanam di daerah sekitar bekas pos jaga namun tidak berhasil karena lokasi itu tidak cocok. Kemudian lokasi penanaman kepiting dipindah pada tempat yang tidak terlalu ramai dan dibuat agar kepiting bisa tenang disana. Pemeliharaannya diserahkan kepada seorang anggota Pokmas
|
61
Produksi yang dianggap sanggup baik dari segi dana maupun waktu. Pada saat kunjungan evaluasi dilakukan belum menunjukkan hasil. Kegiatan yang masih baru adalah budidaya ikan lele yang pemeliharaannya diserahkan pada LPSTK. Anggota LPSTK yang terlibat kegiatan ini ada empat orang dan diharapkan bila berhasil dapat ditularkan ke masyarakat. Hasil dari lele ini dapat digunakan untuk mengisi kas kelompok yang digunakan untuk keperluan pelaksanaan COREMAP ke depan. Untuk kegiatan konservasi, prasarana yang tersedia adalah pondok informasi, kapal, alat selam, dan snorkeling. Kondisi kapal pengawas tidak memadai karena kapasitas mesin kapalnya 15 PK, padahal kapal yang akan dihalau umumnya berkapasitas mesin jauh lebih tinggi. Kapal pengawas di Desa Jago-Jago yang diberi COREMAP masih ada, namun karena kondisinya kurang memadai dan mulai bocor maka hanya tertambat saja di tepi pantai dekat pondok informasi. Kapal tersebut lebih sering digunakan pada jarak dekat untuk mengangkut penduduk atau hasil bumi yang akan dibawa ke pasar. Bahkan bila ada peyugas yang akan keliling pulau atau ke Desa Sitardas akan menyewa kapal lain. Kondisi kapal ini juga sama di Desa Sitardas sehingga hanya ditambatkan saja, karena mereka biaya operasional tidak mencukupi. Permasalahan kapal ini merupakan kendala bagi LPSTK atau Pokmaswas dalam mengawasi kawasan laut Desa Jago-Jago dari para perusak terumbu karang atau pengambil SDL yang dilestarikan. Pondok informasi terletak di pinggir pantai di wilayah Dusun I. Sayangnya pondok tersebut kurang dimanfaatkan untuk kegiatan COREMAP dan belum ada tanda-tanda sebagai penyebaran informasi yang berkaitan dengan program COREMAP. Bahkan tangki air untuk keperluan pondok baru sebulan dipasang telah hilang. Kadang-kadang pondok informasi ini digunakan penduduk untuk berkumpul sebagai tempat pertemuan, karena desa belum memiliki gedung pertemuan. Misalnya ketika ada pertemuan anggota HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) dalam rangka pembentukan kelompok tersebut di Desa Jago-Jago mereka menggunakan pondok ini dengan alasan daripada tidak digunakan. Permasalahan ini sangat terkait dengan 62
|
dana operasional pemeliharaan yang dikatakan “tidak mencukupi”. Misalnya, pada tahun 2006 dana operasional keseluruhan prasarana yang dibangun Coremap sebesar 2 juta rupiah. Permasalahan lain, ketua kelompok bukan dari kalangan nelayan sehingga tampaknya kurang cekatan dalam melaksanakan tugas sebagai ketua Pokmas pengawas. Gambaran dari pelaksanaan COREMAP di Desa Jago-Jago, permasalahan yang muncul umumnya berkaitan dengan ketidakjelasan pengurus LPSTK atau pimpinan COREMAP dalam mengkomunikasikan program atau kegiatan COREMAP yang dilaksanakan di desa ini. Sementara itu, hubungan antara anggota LPSTK pun kurang harmonis karena semua kegiatan hanya didominasi beberapa orang atau tidak melibatkan semua anggota. Kondisi ini juga terjadi dalam lingkungan Pokmas. Dampak dari situasi ini menimbulkan kecurigaan dan kecemburuan antar anggota, sehingga kemungkinan dapat menimbulkan konflik internal. Konflik ini mulai terlihat dengan adanya beberapa anggota LPSTK yang keluar atau pasif terhadap pelaksanaan kegiatan COREMAP. Apabila tidak cepat ditengarai akan berpengaruh terhadap masyarakat, yakni berkurangnya tingkat partisipasi mereka dalam kegiatan COREMAP.
3.2. Pengetahuan dan Partisipasi Kegiatan/Program COREMAP
Masyarakat
Terhadap
Penduduk Desa Jago-jago pada umumnya pernah mendengar istilah COREMAP meskipun tidak mengetahui secara jelas tujuannya. Kegiatan COREMAP lebih dipahami sebagai upaya untuk melindungi terumbu karang dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Namun hasil dari kegiatan ini dianggap belum terlihat, karena selama ini kegiatan COREMAP masih pada tahap sosialisasi tentang terumbu karang. Misalnya tentang bentuk, jenis, kondisi, dan perlunya pelestarian terumbu karang. Sementara itu, kegiatan-kegiatan untuk peningkatan pendapatan keluarga belum terlihat karena masih terbatas pada pelatihan-pelatihan dan belum ada tindak lanjut yang nyata. Seandainya ada masyarakat yang tergabung dalam Pokmas Coremap
|
63
dan sudah melaksanakan kegiatan-kegiatan MPA tampaknya hanya menguntungkan anggota-anggota yang terlibat dan belum menyentuh masyarakat secara keseluruhan. Sebagaimana telah diuraikan di atas, program COREMAP di Desa Jago-Jago telah berlangsung sejak tahun 2005. Pada umumnya penduduk sudah mengetahui adanya COREMAP di desa ini bila dibandingkan dengan sebelum program dilaksanakan. Hal ini terlihat dari jawaban responden, bahwa pada saat dilakukan pengumpulan data dasar hanya 59 persen yang tahu keberadaan COREMAP di desa. Namun pada saat evaluasi hampir 100 persen responden telah mengetahui adanya COREMAP di desa ini. Begitupula dengan pengetahuan responden tentang kegiatan penyelamatan terumbu karang menunjukkan peningkatan sebelum dan sesudah program COREMAP masuk desa ini. Peningkatannya cukup menyolok, yakni tahun 2005 hanya 29 persen yang mengtahui kegiatan ini, namun tahun 2007 meningkat menjadi 68 persen. Hal ini menunjukkan walaupun masyarakat mulai apatis dengan COREMAP, namun mereka mengetahui adanya kegiatan penyelamatan terumbu karang di Desa Jago-Jago yang secara langsung adalah salah satu tujuan dari COREMAP. Pengetahuan tentang harusnya penduduk melindungi atau mengawasi daerah pesisir dan laut di sekitarnya tampaknya belum banyak diketahui masyarakat Jago-Jago. Pada tahun 2005 hal ini memang tidak ditanyakan, dan ketika tahun 2007 ditanyakan hanya 44,1 persen yang tahu. Mungkin pada sosialisasi COREMAP kecenderungannya lebih kepada pelestarian terumbu karang, namun perlindungan pesisir dan laut masih kurang. Apabila berbicara tentang pesisir seharusnya akan terkait dengan pelestarian hutan bakau atau nipah, sedangkan laut dengan perilaku nelayan dalam pengambilan SDL. Sebaiknya, terutama pengetahuan tentang wilayah pesisir, perlu lebih ditekankan karena seringnya terjadi gempa dan badai di laut yang bisa saja memengaruhi kehidupan mereka. Hal ini mengingat makin sempitnya hutan nipah yang ada di sepanjang pantai karena diambil untuk menutupi kebutuhan ekonomi keluarga. Padahal keberadaan hutan nipan dan bakau dapat mengurangi terjadinya bencana tsunami yang 64
|
sewaktu-waktu dapat menimpa kawasan tersebut. Oleh karena itu, untuk keberlanjutan hidup mereka kelak maka masyarakat setempat perlu mengawasi dan melindungi pantai dan laut di sekitarnya. Pengetahuan tentang COREMAP, usaha penyelamatan terumbu karang, dan perlindungan/ pengawasan pesisir & laut secara jelas dapat dilihat pada tabel 3.1. di bawah ini. Tabel 3.1. Pengetahuan Responden tentang Program Coremap Tahun 2005 dan Tahun 2007 N=100 No. 1.
Uraian 2005 2007 Pengetahuan tentang keberadaan COREMAP: 59,0 99,0 1. tahu 41,0 1,0 2. tidak tahu 2. Pengetahuan tentang adanya kegiatan 68,0 29,0 penyelamatan TK: 32,0 45,0 1. ada 26,0 2. tidak ada 3. tidak tahu 3. Pengetahuan tentang perlindungan/pengawasan pesisir & laut: 44,1 1. tahu 55,9 2. tidak tahu (100) Total responden Sumber: Data Primer, BME Sosial Ekonomi COREMAP – LIPI, 2007 Program COREMAP yang telah berlangsung sekitar tiga tahun dengan berbagai kegiatan, antara lain adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran pentingnya pelestarian terumbu karang, baik melalui sosialisasi maupun pertemuan antar kelompok masyarakat (Pokmas) yang dibentuk. Di samping kegiatan penyelamatan terumbu karang, terdapat delapan kegiatan COREMAP lainnya yang telah dilaksanakan di Desa Jago-Jago, yaitu:
|
65
pembentukan lembaga pengelola terumbu karang; 1. kegiatan peningkatan usaha ekonomi masyarakat; 2. kegiatan pelatihan; 3. kegiatan pendampingan; 4. kegiatan pembuatan rencana pemanfaatan dan pelestarian terumbu karang (RPTK); 5. kegiatan Pokmas konservasi; 6. kegiatan Pokmas Mata Pencaharian Alternatif atau Usaha Ekonomi Produktif; 7. Pokmas Jender Dari 68 responden yang mengetahui adanya kegiatan penyelamatan terumbu karang di desa ini namun tampaknya tidak semua mengetahui bentuk program atau kegiatan yang dilakukan COREMAP. Dari sembilan kegiatan di atas, kegiatan pembentukan lembaga pengelola terumbu karang dan kegiatan kelompok jender yang paling banyak diketahui responden. Mungkin ini disebabkan kedua kegiatan ini nyata terlihat oleh masyarakat, baik dalam bentuk kelembagaan maupun pemberian kepada pelaksana kegiatan. Misalnya pemberian itik petelor kepada beberapa perempuan yang tergabung dalam Pokmas Jender. Sementara responden yang mengetahui kegiatan seperti RPTK, peningkatan usaha ekonomi masyarakat, dan pendampingan umumnya di bawah 30 persen. Ketiga kegiatan ini umumnya tidak melibatkan banyak orang dan sampai ini belum memperlihatkan hasil nyata. Hal ini mungkin karena kurangnya sosialisasi dan terbatas mereka yang menerima bantuan. Misalnya untuk peningkatan ekonomi rumah tangga bantuan hanya diberikan kepada beberapa rumah tangga, sedangkan kegiatan pendampingan tidak jelas karena jarangnya pimpinan atau petugas pendamping datang ke desa ini. Lihat Tabel 3.2 tentang pengetahuan responden dalam kegiatan COREMAP.
66
|
Tabel 3.2. Pengetahuan Responden tentang Kegiatan COREMAP di Desa Jago-Jago Tahun 2007 No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Uraian Pengetahuan tentang pembentukan lembaga pengelola TK: 1. tahu 2. tidak tahu Total responden Pengetahuan tentang kegiatan usaha ekonomi masyarakat: 1. tahu 2. tidak tahu Total responden Pengetahuan tentang kegiatan pelatihan: 1. tahu 2. tidak tahu Total responden Pengetahuan tentang kegiatan pendampingan: 1. tahu 2. tidak tahu Total responden Pengetahuan tentang RPTK (rencana pemanfaatan & pelestarian TK): 1. tahu 2. tidak tahu Total responden Pengetahuan tentang Pokmas konservasi: 1. tahu 2. tidak tahu Total responden Pengetahuan tentang Pokmas MPA/UEP: 1. tahu 2. tidak tahu Total responden Pengetahuan tentang Pokmas Jender: 1. tahu 2. tidak tahu Total responden
% 54,4 45,6 (68) 23,5 76,5 (68) 30,9 69,1 (69) 25,0 75,0 (68) 16,2 83,8 (68)
57,4 42,6 (68) 35,3 64,7 (68) 54,4 45,6 (68)
Sumber: Data Primer, BME Sosial Ekonomi COREMAP – LIPI, 2007
Permasalahan ketidaktahuan masyarakat tentang kegiatan COREMAP mungkin karena kurangnya sosialisasi adanya kegiatan yang berkaitan dengan program COREMAP kepada masyarakat. Apabila program ini ingin dikembangkan dan diterima masyarakat, mungkin perlu ditataulang kegiatan sosialisasi yang lebih mengena dan dipahami mereka. Hal yang paling penting adalah penjelasan bahwa keberadaan
|
67
program COREMAP tidak sebagai ”charity” seperti program bantuan lain yang pernah ada di masyarakat. Hal ini mengingat masyarakat desa ini pernah terkena imbas kejadian gempa di Nias yang mendatangkan bantuan secara cuma-cuma kepada mereka. Situasi ini memengaruhi anggapan mereka, bahwa kegiatan ini adalah sama sebagai bantuan yang tidak perlu digulirkan ke orang lain. Kurangnya pengetahuan mereka mengenai dana bergulir ini terlihat dari 68 responden yang mengetahui kegiatan COREMAP, hanya enam responden mengetahui dana yang diberikan untuk pengembangan suatu usaha ke depan seharusnya digulirkan pada orang lain. Dalam kaitan dengan keterlibatan responden pada kegiatan COREMAP, tampaknya tidak semua responden yang mengetahui kegiatan ini terlibat. Berdasarkan jawaban responden dari masingmasing kegiatan, secara prosentase adalah pada kegiatan pelatihan (50 persen), penyusunan RPTK (45,5 persen), dan pendampingan (43,8 persen). Besarnya jawaban ini dapat dimengerti karena responden terpilih selain nelayan adalah juga pengurus COREMAP yang umumnya terlibat pada program awal dari kegiatan ini. Misalnya pengurus LPSTK akan terlibat dalam rencana pemanfaatan dan pelestarian terumbu karang dan pelatihan yang diberikan, baik dari tingkat kabupaten maupun provinsi. Sementara kegiatan lain seperti pembentukan lembaga pengelola terumbu karang, pengawasan pesisir & laut, konservasi, MPA, dan jender terbatas pada mereka yang terlibat dalam kelompok tersebut. Misalnya kegiatan itik petelor hanya melibatkan kelompok jender, konservasi hanya kelompok konservasi, dan MPA hanya kelompok ekonomi produktif. Tabel 3.2 di bawah ini memperlihatkan bahwa mereka yang tidak terlibat cukup tinggi dibanding dengan yang terlibat. Gambaran ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat Jago-Jago masih rendah dalam kegiatan COREMAP. Permasalahannya memang yang terlibat kegiatan COREMAP masih terbatas terkait dengan jumlah Pokmas hanya tiga yang beranggotakan sekitar 15 orang setiap Pokmas. Kemudian, anggota Pokmas terkadang ada yang terlibat dalam kegiatan COREMAP lain seperti pembentukan lembaga dan pelatihan. Sementara itu, anggota Pokmas pun tidak semua terlibat 68
|
pada kegiatan COREMAP yang dilaksanakan di desa itu karena umumnya hanya antara 5 hingga 11 anggota yang terlibat. Misalnya kegiatan itik petelor hanya melibatkan 5 anggota jender. Namun sayangnya penentuan penerima kegiatan tersebut kurang dijelaskan kepada anggota lain dan masyarakat, sehingga menimbulkan kecemburuan baik di antara anggota maupun masyarakat. Akhirnya, mereka yang terlibat dan mengikuti pelatihan di luar desa terkadang harus ”diam-diam” agar tidak konflik di antara mereka. Untuk lebih jelasnya jumlah responden yang terlibat kegiatan COREMAP di Desa Jago-Jago dapat dilihat pada tabel 3.2 di bawah ini. Tabel 3.3. Keterlibatan Responden Dalam Kegiatan COREMAP di Desa Jago-Jago Tahun 2007 No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Keterlibatan pada: Kegiatan peningkatan pengetahuan & kesadaran pentingnya pelestarian TK: 1. Terlibat 2. Tidak terlibat Total responden Kegiatan perlindungan/pengawasan pesisir & laut: 1. Terlibat 2. Tidak terlibat Total responden Kegiatan pembentukan lembaga pengelola TK: 1. Terlibat 2. Tidak terlibat Total responden Kegiatan MPA/UEP: 1. Terlibat 2. Tidak terlibat Total responden Kegiatan pelatihan: 1. Terlibat 2. Tidak terlibat Total responden Kegiatan pendampingan: 1. terlibat 2. tidak terlibat Total responden
N/% 17 (34,7) 32 (65,3) 49 (100)
9 (30,0) 21 (70,0) 30 (100) 11 (29,7) 26 (70,3) 37 (100) 6 (37,5) 10 (62,5) 16 (100) 10 (50,0) 10 (50,0) 20 (100) 7 (43,8) 9 (56,3) 16 (100)
|
69
7.
Kegiatan penyusunan RPTK: 1. terlibat 2. tidak terlibat Total responden Kegiatan Pokmas Konservasi: 1. terlibat 2. tidak terlibat Total responden Kegiatan Pokmas MPA/UEP: 1. terlibat 2. tidak terlibat Total responden Kegiatan Pokmas Jender: 1. terlibat 2. tidak terlibat Total responden
8.
9.
10.
5 (45,5) 6 (54,5) 11(100) 11 (28,2) 28 (71,8) 39 (100) 5 (21,7) 18 (78,3) 23 (100) 7 (20,6) 27 (79,4) 34 (100)
Sumber: Data Primer, BME Sosial Ekonomi COREMAP – LIPI, 2007 Keterangan: total responden yang menjawab keterlibatan ada yang tidak sama dengan total jawaban pengetahuan tentang kegiatan COREMAP karena ada responden yang tidak menjawab.
Pada dasarnya masyarakat yang tidak atau belum terlibat dalam kegiatan COREMAP ada yang berminat untuk ikut terlibat, khususnya kegiatan yang dapat meningkatkan ekonomi keluarga. Program yang diinginkan kebanyakan adalah kegiatan ekonomi yang diberi dana kontan untuk usaha atau kegiatan yang dapat menghasilkan uang. Misalnya tambahan dana buka warung atau dagang makanan dan ternak itik atau kambing seperti yang sudah diterima anggota masyarakat lain. Permasalahannya, umumnya mereka hanya melihat bentuk pemberian namun kurang memahami arti dibelakang dari pemberian tersebut. Oleh karena itu, sebelum pemberian bantuan kepada masyarakat atau anggota kelompok sebaiknya diberikan sosialisasi dibalik kegiatan yang akan mereka laksanakan agar tidak ada kegagalan atau kekecewaan pada si penerima. Selain itu untuk menghindari konflik yang mungkin saja terjadi di antara anggota kelompok atau masyarakat. Sementara itu, di antara yang menginkan terlibat dalam kegiatan COREMAP ada pula yang tidak ingin dengan berbagai alasan. Dalam hal ini, alasan yang mereka kemukakan dapat dikelompokkan dalam 70
|
dua kategori, yakni alasan ekonomi dan alasan sosial. Alasan ekonomi di antaranya karena kegiatan COREMAP dianggap tidak menguntungkan secara ekonomi, sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, dan tampaknya kondisi ekonomi masyarakat sebelum dan sesudah ada COREMAP sama saja atau tidak ada perubahan. Sementara alasan sosial karena tidak ada waktu, sudah tua, dan tujuan COREMAP tidak jelas. Mengacu kepada alasan yang dikemukakan oleh mereka yang tidak mau terlibat kegiatan COREMAP, tampaknya pengurus perlu lebih menggiatkan sosialisasi keberadaan COREMAP dan tujuannya kepada masyarakat secara umum secara lebih jelas dan terperinci. Selain itu, kegiatan yang dilaksanakan harus teratur sehingga tidak tampak hanya bersifat sementara atau menurut tidak ”hangat-hangat tai ayam”. Apabila dikaitkan dengan keadaan ekonomi keluarga dibandingkan sebelum dan sesudah ada kegiatan COREMAP di desa ini, umumnya mereka mengatakan sama saja bahkan lebih buruk dan sedikit sekali yang mengatakan lebih baik. Mereka yang mengatakan sama saja secara garis besar alasannya antara lain: •
tidak terlibat dan tidak pernah pernah menerima bantuan COREMAP;
•
program COREMAP tidak langsung menyentuh ke masyarakat dan tidak tepat sasaran dan sebaiknya bantuan adalah berupa uang saja;
•
program COREMAP belum mempunyai kebijakan yang pasti tentang penyelamatan terumbu karang, sehingga makin sulit memperoleh hasil laut;
•
usaha yang COREMAP
dilakukan
tidak
terkait
dengan
kegiatan
Sementara itu, mereka yang mengatakan kondisi ekonominya lebih buruk memberi alasan: •
pendapatan yang diperoleh jauh dari yang diharapkan, namun harga beli makin tinggi;
|
71
•
sejak COREMAP di bentuk di desa ini secara umum belum ada program yang betul-betul sampai ke masyarakat, hanya sebagian kecil masyarakat yang dapat;
•
sarana untuk berusaha lebih baik, namun hal ini tidak disebabkan karena bantuan COREMAP;
•
terumbu karang di kawasan ini makin sedikit sehingga nelayan makin sulit mencari ikan;
Gambaran dari pengetahuan dan keterlibatan masyarakat Jago-Jago dalam program dan kegiatan COREMAP, memperlihatkan walaupun sosialisasi keberadaan COREMAP telah diketahui masyarakat, namun dampaknya belum sepenuhnya dirasakan mereka. Permasalahannya karena sosialisasi dari implementasi program belum dilakukan secara menyeluruh, khususnya yang terkait dengan dana dan peserta kegiatan. Dari sisi pengurus, permasalahan ini terjadi karena terkait dengan turunnya dana yang sering terlambat sehingga pelaksanaan program pun menjadi terlambat. Sementara dari sisi masyarakat, ada anggapan bahwa dana yang turun kurang menyentuh masyarakat karena lebih banyak digunakan untuk pertemuan yang tidak melibatkan mereka. Dalam hal ini, masyarakat mengharapkan adanya keterbukaan, baik yang terkait dengan dana maupun program, kepada masyarakat maupun pengurus. Tidak adanya keterbukaan ini lah yang mengakibatkan mereka mulai tidak simpati dengan kegiatan COREMAP. Situasi ini secara tidak langsung akan menjadi kendala bagi kelanjutan program COREMAP di Desa Jago-Jago pada masa datang.
72
|
BAB IV
PENDAPATAN PENDUDUK DAN PERUBAHANNYA (T0 dan T1)
4.1. Pendapatan Penduduk (T0 dan T1)
B
esarnya pendapatan rumah tangga cukup bervariasi tergantung dari sumber pendapatan masing-masing rumah tangga tersebut. Dalam kajian ini, cara penghitungan pendapatan rumah tangga didasarkan pada lapangan pekerjaan yang menjadi sumber pendapatan bagi masing-masing rumah tangga tersebut (Daliyo dan Ngadi, 2007). Pada umumnya, pembagian pendapatan nelayan yang diperoleh melalui bekerja dengan atau pada orang lain menggunkan system bagi hasil. Penghitungan dilakukan dengan menjumlahkan semua hasil penjualan ikan kemudian dibagi sesuai dengan proporsi masingmasing. Dari hasil penjualan tersebut kemudian dikurangi biaya produksi seperti sewa perahu motor, pembelian minyak, spiritus, alat-alat lampu, kaca dan kaos lampu. Sisanya, dibagi sama rata untuk nelayan taoke dan pekerja. Berbeda halnya dengan nelayan yang bekerja sendiri. Hasil yang diperoleh selama melaut dikalikan dengan frekuensi melaut dalam satu bulan. Pendapatan bersih yang diterimanya adalah pendapatan yang diperoleh dikurangi dengan ongkos produksinya. Mengingat
|
73
bahwa penghasilan nelayan tidak menentu tergantung pada musim, maka informasi pendapatan nelayan juga dirinci berdasarkan masingmasing musim. Penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan sebagai buruh pengupas nipah dihitung dihitung sesuai dengan jumlah ikatan daun nipah yang telah dikupas. Pada umumnya, seorang buruh kupas nipah dapat mengerjakan sebanyak 15-20 ikat dalam satu minggu. Penghasilan mereka dalam satu bulan adalah perkalian dari jumlah ikat yang telah dikerjakan dan dikalikan dengan upah per ikat yang diterimanya. Sedangkan upah yang diterima oleh buruh pemotong nipah dihitung berdasarkan jumlah batang nipah yang telah berhasil dipotong. Dalam satu hari biasanya seorang pemotong nipah hanya dapat memotong sekitar 2 - 5 batang. Ongkos pemotongan nipah sekitar Rp. 20.000 per batang. Oleh karena pekerjaan ini tidak rutin dalam satu bulan, maka penghitungan pendapatan (per bulan) berdasarkan jumlah batang yang telah dipotong dalam satu minggu kemudian dikalikan empat. Sementara pendapatan yang diperoleh dari seorang tukang pembuat kapal kayu dihitung dengan sistem harian. Para tukang tersebut bekerja sehari penuh dari pagi hari sekitar jam 8.00 sampai sore hari (jam 16.00). Upah yang diterima oleh seorang tukang kayu sekitar Rp. 40.000. Dengan demikian, dalam satu bulan apabila mereka bekerja penuh maka penghasilannya mencapai Rp. 1.200.000. Hasil survai 100 rumah tangga di Desa Jago-Jago menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan rumah tangga terpilih di Desa Jago-Jago sekitar Rp. 901.900. Jumlah ini nampaknya relatif besar, namun jika dilihat dari pendapatan minimum dan maksimum nampak sekali kesejangan yang cukup menyolok. Pendapatan penduduk dari rumah tangga terpilih yang tertinggi mencapai Rp. 6.000.000 per bulan, sedangkan pendapatan yang terendah hanya Rp. 45.000. Besarnya kesenjangan ini kemungkinan besar dikarenakan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh anggota rumah tangga yang bersangkutan. Data yang ada menunjukkan bahwa pendapatan sekitar Rp. 6.000.000 per bulan adalah dari rumah tangga yang mempunyai sumber pendapatan sebagai nelayan teripang. 74
|
Jika dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh pada tahun 2005, terjadi penurunan yang cukup berarti. Pada tahun 2005, ratarata pendapatan rumah tangga per bulan mencapai sekitar Rp. 1.167.800 (Daliyo dan Ngadi, 2007), berarti terjadi penurunan sekitar Rp. 260.000. Pendapatan tertinggi yang diperoleh penduduk pada tahun 2005 mencapai lebih dari Rp. 9.000.000 per bulan, sedangkan pendapatan terendah sekitar Rp. 116.667. Jika dilihat dari pendapatan per kapita, Tabel 4.1 menunjukkan bahwa pendapatan per kapita penduduk Desa Jago-Jago pada tahun 2007 cenderung sangat kecil, sekitar Rp 186.800. Jumlah ini menurun jika dibandingkan pendapatan pada tahun 2005, yaitu sekitar Rp. 238.600. Jika mengacu kepada BPS tentang angka kemiskinan, terlihat jelas bahwa penduduk Desa Jago-Jago terutama dari rumah tangga terpilih termasuk dalam kategori miskin karena angka kemiskinan untuk daerah Provinsi Sumatera Utara berdasarkan pada pada harga yang berlaku adalah Rp. 660.000 per kapita (BPS Tapanuli Tengah, 2004). Tabel 4.1. Statistik pendapatan rumah tangga Desa Jago-Jago Tahun 2005 dan 2007 Jumlah Tahun 2005 Tahun 2007 Per Kapita 238.617 186.872 Rata-rata rumah tangga 1.167.860 951.020 Median rumah tangga 900.000 675.000 Minimum rumah tangga 116.667 45.000 Maksimum rumah tangga 9.160.000 6.000.000 Sumber: Daliyo dan Ngadi, 2007 dan Data primer, Survai BME Sosek, PPK-LIPI, 2007. Pendapatan
Berdasarkan pada pengelompokkan pendapatan rumah tangga responden (Tabel 4.2), sebagian besar (75 persen) rumah tangga terpilih mempunyai pendapatan di bawah Rp. 1.000.000, dan 35 persen di antaranya mempunyai rata-rata pendapatan di bawah Rp. 500.000. Kondisi ini menggambarkan bahwa rumah tangga di Desa Jago-Jago termasuk dalam kategori rumah tangga miskin. Kondisi ini
|
75
juga terindikasi dari jumlah penduduk yang menerima bantuan tunai langsung (BLT). Di Desa Jago-Jago terdapat 160 KK (40 persen) penerima BLT dari sekitar 360 rumah tangga yang ada. Jika dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2005, proporsi rumah tangga yang mempunyai rata-rata pendapatan di bawah Rp. 500.000, meningkat cukup tajam, lebih dari dua kali lipat (16 persen dan 35 persen). Menurunnya penghasilan rumah tangga bepengaruh terhadap penyebaran jumlah rumah tangga yang berpenghasilan rendah. Menurut informasi yang diperoleh, penurunan pendapatan dialami oleh banyak rumah tangga dari berbagai sumber pendapatan. Dari rumah tangga yang sumber pendapatannya dari perikanan misalnya, penurunan cenderung disebabkan oleh kurangnya hasil tangkapan para nelayan. Selain itu, penurunan pendapatan ini kemungkinan besar terjadi karena banyak nelayan yang tidak melaut karena pada saat itu sedang musim gelombang kuat (Bulan Mei). Dengan demikian, pendapatan masyarakat, khususnya nelayan, cenderung menurun. Penurunan pendapatan ini tidak hanya dirasakan oleh rumah tangga nelayan saja, tetapi juga rumah tangga yang sumber pendapatannya dai perdagangan. Sementara dari rumah tangga yang sumber pendapatannya dari perdagangan, penurunan lebih disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat dan melonjaknya jumlah para pedagang di desa Jago-Jago. Berikut adalah penuturan Pak Chan (seorang pemilik warung sembako) tentang rata-rata pendapatan rumah tangganya per bulan dibandingkan tahun 2005. …dibandingkan dengan dua tahun lalu, pendapatan kami dari usaha berdagang menurun. Hal ini terutama karena jumlah pembeli menurun,dan jumlah warung meningkat. Kalau dulu hanya sekitar 6 orang yang membuka warung, sekarang jumlah warung ada 11 (dua kali lipat). Selain itu, turunnya pendapatan saya karena pendapatan para nelayan juga turun. Sama-samalah... Turunnya pendapatan rumah tangga jka dibandingkan dengan kondisi tahun 2005 dirasakan oleh sebagian besar masyarakat sangat menyulitkan. Hal ini dikarenakan harga-harga barang-barang sudah 76
|
naik dengan tajam. Sebagai contoh, pada tahun 2007 harga bensin sudah mencapai Rp. 5.500 dan minyak tanah Rp. 2.500 sebelumnya hanya Rp. 1500. Jika dua tahun yang lalu, biaya melaut hanya sekitar Rp. 700.000, tahun ini biaya tersebut membengkak sampai sekitar Rp. 1.000.000. Demikian halnya dengan kebutuhan sehari-hari, harga bahan kebutuhan pokok juga sudah melonjak. Harga telor misalnya, jika dua tahun sbelumnya hanya Rp. 600 per buttir, tahun ini mencapai Rp. 800 per butir. Sementara harga beras mencapai Rp. 9000 per kilogramnya. Selain bahan kebutuhan pokok, ongkos tranportasi juga naik. Pada tahun 2005, ongkos becak motor ke Simpang hanya Rp, 2000 per orang, ongkos tersebut menjadi Rp. 3000 untuk tahun 2007. Dari Tabel 4.2 juga terungkap bahwa proporsi rumah tangga yang memiliki pendapatan di atas Rp. 1.000.000 semakin kecil. Dibandingkan dengan tahun 2005, proporsinya menunjukkan kecenderungan turun. Penurunan yang sangat tajam terjadi pada kelompok pendapatan antara Rp. 1.000.000 – Rp. 1.500.000. Pada kelompok pendapatan tersebut proporsinya berkurang hampir separoh. Kondisi yang berbeda pada rumah tangga yang mempunyai pendapatan antara Rp. 2.000.000 – Rp. 2.999.999, penurunan proporsi relatif kecil. Sementara pada kelompok pendapatan tinggi (di atas Rp. 3.000.000) proporsinya tetap sama dengan kondisi tahun 2005. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah rumah tangga dengan sumber pendapatan dari penjualan teripang. Nampaknya ratarata pendapatan mereka per bulan cukup stabil.
|
77
Tabel 4.2. Distribusi Rumah Tangga Menurut Kelompok Pendapatan Desa Jago-Jago, tahun 2005 dan 2007 Kelompok Pendapatan
Jumlah Tahun 2005 Tahun 2007 < 500.000 16 35 500.000 - 999.000 46 40 1.000.000 – 1.499.999 21 12 1.500.000 – 1.999.999 7 6 2.000.000 – 2.499.999 3 1 2.500.000 – 2.999.999 2 1 3.000.000 – 3.499.999 1 1 >/ 3.500.000 4 4 Sumber: Daliyo dan Ngadi, 2007 dan Data primer, Survai BME Sosek, PPK-LIPI, 2007. Pendapatan menurut Lapangan Pekerjaan Pendapatan penduduk dari rumah tangga terpilih di Desa Jago-Jago cukup variatif jika dilihat dari lapangan pekerjaan. Hasil survai dari 100 rumah tangga tersebut menunjukkan bahwa sumber pendapatan rumah tangga berasal dari berbagai lapangan pekerjaan, yaitu perikanan, pertanian, perdagangan, jasa, industri pengolahan dan lainnya. Dari berbagai lapangan pekerjaan tersebut, perikanan merupakan sumber pendapatan bagi 36,6 persen rumah tangga. Urutan kedua adalah sumber pendapatan yang berasal dari pekerjaan di bidang industri pengolahan 14, 9 persen. Selanjutnya, sumber pendapatan dari lapangan pekerjaan di sektor jasa 18.6 persen, pertanian 13,7 persen, dan perdagangan 11,8 persen. Hanya sebagian kecil rumah tangga yang mempunyai pendapatan dari sumber lain (1,9 persen), misalnya dari kiriman anak atau saudara. Pada tahun 2007, rata-rata pendapatan rumah tangga terpilih di Desa Jago-Jago sekitar Rp. 901.900. Berdasarkan hasil tabulasi silang menurut rata-rata pendapatan dan lapangan pekerjaan (Tabel 4.3), sektor perikanan merupakan sumber pendapatan terbesar 78
|
dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh dari sektor-sektor lainnya. Di sektor perikanan (tangkap dan budidaya), rata-rata pendapatan rumah tangga mencapai sekitar Rp. 1.256.700. Sebetulnya, tingginya rata-rata pendapatan rumah tangga dari sektor perikanan ini karena beberapa rumah tangga mempunyai anggota rumah tangga yang bekerja sebagai nelayan tangkap yang mencari penghasilan dari penangkapan ikan maupun teripang yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Seperti yang dituturkan oleh Pak Ag, seorang nelayan dan pedagang teripang. Dalam mencari teripang Pak Ag bekerja secara kelompok (3 orang). Dalam satu bulan hanya bekerja selama tiga minggu dengan perolehan per minggu sekitar Rp. 3.000.000 yang dibagi lima (3 orang teman dan 2 bagian untuk pemilik kapal). Jadi dalam satu bulan Pak Ag, mendapatkan penghasilan sekitar Rp. 1.900.000. Pendapatan dari sektor ini jauh lebih besar dibandingkan dari pendapatan yang diperoleh dari pertanian, terutama pertanian tanaman pangan. Rata-rata pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari pertanian tanaman pangan hanya sekitar Rp. 565.000. Rumah tangga yang mempunyai pendapatan dari pertanian ini biasanya merupakan petani tanaman keras (karet) dan sebagian petani tanaman pangan yang mengerjakan lahan yang mereka buka dengan menanam cabe, mentimun, dll. Pada saat penelitian ini berlangsung (bulan Mei) lahan untuk pertanian baru beberapa bulan dibuka sehingga penghasilan yang diperoleh belum maksimal. Meskipun demikian, usaha di bidang pertanian tanaman pangan merupakan usaha yang banyak dilakukan oleh rumah tangga di desa penelitian, terutama rumah tangga nelayan ketika pekerjaan kenelayanan tidak memberikan penghasilan seperti yang mereka harapkan.
|
79
Tabel 4.3. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Menurut Lapangan Pekerjaan, Desa Jago-Jago, tahun 2005 dan 2007 Tahun 2005 Lapangan Pekerjaan KRT
Rata-rata (Rp.)
Minimum (Rp.)
Tahun 2007 Maksimum (Rp.)
Rata-rata (Rp.)
Minimu m (Rp.)
Maksimu m (Rp.) 6.000.000
Perikanan
1.426.073
325.000
9.160.000
1.256.752
115.000
Pertanian
965.142
468.500
1.800.000
565.032
45.000
1.500.000
Perdagangan dan industri RT Jasa
1.049.073
116.666
3.700.000
791.750
50.000
2.591.666
717.222
641.666
825.000
618.303
70.000
1.350.000
Lainnya
729.055
350.000
908.000
260.000
260.000
260.000
Sumber: Data primer, Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2007
Tabel 4.3 juga mengungkapkan bahwa pendapatan yang diperoleh dari sektor perdagangan dan industri rumah tangga relatif tinggi, sekitar Rp. 791.700 per bulan. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah para pedagang dan mereka yang bekerja di industri pengolahan daun nipah. Upah yang diterima oleh seorang pekerja mengambil daun nipah dengan membuang lidinya sekitar Rp. 2000 untuk 100 batang (1 ikat). Rata-rata dalam sehari seorang perempuan dapat mengambil lembaran pucuk daun nipah sekitar 100150 batang, sehingga upah yang diterima oleh seorang pekerja dalam sehari rata-rata sekitar Rp. 3000. Karena pekerjaan ini tidak dilakukan setiap hari, dalam sebulan seorang pekerja memperoleh penghasilan sekitar Rp. 300.000. Sementara rumah tangga yang mempunyai sumber pendapatan dari sektor jasa mempunyai rata-rata pendapatan sekitar Rp. 618.000. Padahal, yang termasuk dalam kelompok ini antara lain adalah guru dan staf desa. Penghasilan yang mereka peroleh relatif minim, hampir separuh dari rata-rata pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari sektor perikanan. Cukup tingginya pendapatan dari sektor perikanan menunjukkan bahwa sektor perikanan cenderung lebih menjanjikan daripada sektor lain. 80
|
Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa dilihat dari jenis pekerjaan responden, dalam kurun waktu dua tahun terjadi perubahan proporsi penduduk yang melakukan jenis pekerjaan tertentu. Perubahan yang cukup signifikan terlihat pada proporsi penduduk yang bekerja di pertanian tanaman pangan dan jasa. Jika pada tahun 2005, penduduk yang bekerja di bidang pertanian pangan hanya sekitar tiga persen, jumlah tersebut melonjak pada tahun 2007 hingga mencapai 13 persen. Menurut informasi yang diperoleh di lapangan, adanya pembukaan lahan di daerah perbukitan telah memberikan peluang bagi penduduk setempat untuk bekerja di sektor pertanian, khususnya tanaman pangan. Sebagian lahan yang dibuka sebenarnya bukan milik warga Desa Jago-Jago, namun pemilik lahan memberikan kepada penduduk Desa Jago-Jago untuk mengolahnya dengan sistem bagi hasil. Lahan tersebut pada umumnya ditanami sayur-sayuran seperti mentimun, kacang panjang dan cabe. Perubahan jenis pekerjaan tersebut salah satunya disebabkan oleh menurunnya penghasilan yang diperoleh dari jenis pekerjaan yang dilakukannya. Sementara perubahan pada bidang jasa, kemungkinan karena adanya kenaikan jumlah ART yang bekerja sebagai penyedia jasa angkutan (penyeberangan sungai maupun pengemudi becak motor). Pekerjaan penyeberangan sungai cukup diminati karena memberikan penghasilan yang lumayan. Dengan ongkos penyeberangan antara Rp. 500-1000 per orang sekali jalan, seorang penyedia jasa penyeberangan sungai memperoleh penghasilan sekitar Rp.20.00025.000 per hari. Namun demikian, jika dibandingkan dengan tahun 2005, penghasilan yang diterima dari pekerjaan ini relatif turun karena semakin banyaknya orang yang bekerja sebagai penyedia jasa transportasi tersebut. Dengan semakin banyaknya jumlah mereka yang bekerja di bidang jasa penyeberangan maupun angkutan becak dirasakan sangat berpengaruh terhadap penghasilan rumah tangga mereka. Sementara ART yang bekerja di bidang perdagangan mengeluhkan bahwa menurunnya penghasilan mereka dikarenakan semakin banyaknya penduduk yang berusaha di bidang perdagangan. Hal yang sama juga dirasakan oleh rumah tangga yang menggantungkan
|
81
hidupnya dari industri pengolahan, khususnya pengolahan daun nipah. Meskipun upah memetik pucuk daun nipah naik, dari Rp 17.500 menjadi Rp. 20.000 per 100 batang, namun karena semakin banyaknya pekerja di bidang ini juga berpengaruh terhadap jumlah penghasilan yang mereka terima. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa pendapatan nelayan sangat dipengaruhi oleh adanya musim. Pada musim gelombang tenang, nelayan cenderung memperoleh banyak ikan atau hasil tangkapan lainnya. Sebaliknya, jika musim gelombang kuat pendapatan nelayan cenderung menurun karena menurunnya hasil tangkapan. Selain itu, pada musim gelombang kuat sebagian nelayan cenderung tidak melaut atau bahkan melakukan pekerjaan lain yang tidak terkait dengan kegiatan kenelayanan. Sebelum membahas pendapatan nelayan menurut musim, terlebih dahulu akan diuraikan tentang pendapatan nelayan, khususnya nelayan tangkap dengan tidak memerincinya menurut musim. •
Pendapatan nelayan
Bagian ini akan menguraikan tentang pendapatan kegiatan kenelayanan yang merupakan pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh responden di Desa Jago-Jago. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, pendapatan rumah tangga yang tertinggi bersumber dari lapangan pekerjaan perikanan. Pendapatan perkapita nelayan sekitar 232.500, lebih tinggi dari rata-rata pendapata perkapita secara keseluruhan (Rp. 186.800). Sedangkan rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan per bulan mencapai Rp. 1.083.200. Seperti yang juga telah dijelaskan sebelumnya, terdapat kesenjangan yang cukup tinggi antara pendapatan nelayan tertinggi dan pendapatan terendah. Pendapatan nelayan yang tertinggi mencapai Rp. 6.000.000 per bulan, sedangkan pendapatan nelayan terendah hanya Rp. 139.333 per bulan. Pada umumnya kelompok yang masuk berpendapatan tertinggi adalah nelayan pemilik bagan pancang dan atau nelayan teripang, sedangkan pendapatan terendah adalah nelayan miskin, biasanya nelayan pekerja/anak buah 82
|
kapal/ABK atau nelayan perorangan dengan alat tangkap yang sangat sederhana. Jika rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan terlihat sekitar Rp. 1.083.000, pada kenyatannya kemungkinan besar jauh dari jumlah tersebut karena pengaruh dari nilai tertinggi. Sementara jika pendapatan nelayan dilihat berdasarkan nilai mediannya, maka pendapatan rumah nelayan adalah Rp. 616.666. Jumlah ini kemungkinan besar mendekati kenyataan di lapangan, karena penghitungan nilai ini tidak terpengaruh oleh nilai terekstrim dari kasus yang ada. Dengan demikian dapat diungkapkan kemungkinan besar pendapatan nelayan berkisar antara jumlah tersebut Jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2005, rata-rata pendapatan rumah tangga jauh menurun, dari sekitar Rp. 1.400.000 menjadi sekitar Rp. 1.083.000. Salah satu kemungkinan terjadinya penurunan tersebut adalah karena menurunnya hasil tangkapan. Jika pada tahun 2007, jumlah pendapatan rumah tangga nelayan yang tertinggi Rp. 6.000.000, tahun 2005 jumlah pendpatan tertinggi mencapai Rp. 9.160.000. Sementara jumlah pendapatan rumah tangga nelayan terendah pada tahun 2005 adalah Rp. 325.000 (Daliyo dan Ngadi, 2005: 46), dua tahun kemudian jumlah ini turun menjadi Rp. 139.333. Menurut informasi dari beberapa nelayan, penurunan hasil tangkapan dikarenakan meningkatnya jumlah nelayan (termasuk yang dari luar daerah) yang mencari ikan di Teluk Sibolga dan penggunaan alat tangkap yang lebih canggih. Selain itu, tsunami yang melanda wilayah nagroe Aceh Darussalam dan Nias pada akhir tahun 2004 dianggap berpengaruh terhadap menurunnya penghasilan nelayan. Selain dianggap menurunkan populasi ikan di wilayah tersebut, bencana tsunami juga mempengaruhi kegiatan nelayan dalam mencari ikan. Beberapa nelayan mengaku bahwa setelah bencana tsunami tersebut keberanian mereka melaut cenderung menyusut. Jika sebelumnya mereka tetap melaut meskipun keadaan cuaca tidak mendukung, sekarang sebagian nelayan cenderung tidak melaut jika cuaca tidak bersahabat. Seperti telah diuraikan sebelumnya, rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan sudah di atas Rp. 1.000.000 per bulan, baik pada pada
|
83
tahun 2005 maupun 2007. Namun demikian, penyebaran pendapatan tidak merata, ada kesenjangan yang cukup menyolok antara proporsi rumah tangga yang memiliki pendapatan rendah (di bawah Rp. 500.000) dengan rumah tangga nelayan yang memiliki pendapatan tinggi (di atas Rp. 2.500.000) per bulan. Meskipun di setiap kategori pendapatan ada persentasenya, namun proporsi terbesar tetap mengelompok di bawah Rp. 1.000.000. Khusus untuk tahun 2007, hampir separoh pendapatan rumah tangga nelayan berada pada kategori pendapatan di bawah Rp. 500.000 (lihat Tabel 4.4) Tabel 4.4. Distribusi Rumah Tangga Nelayan Tangkap menurut Kelompok Pendapatan, Desa Jago-Jago, tahun 2005 dan 2007 (Persentase) Kelompok Pendapatan
Jumlah
Tahun 2005 Tahun 2007 < 500.000 11,4 46,3 500.000 - 999.000 40,9 26,8 1.000.000 – 1.499.999 22,7 9,8 1.500.000 – 1.999.999 11,4 2,4 2.000.000 – 2.499.999 2,3 2,4 >2.500.000 11,4 12,2 Jumlah 100 100 Sumber: Daliyo dan Ngadi, 2007 dan Data primer, Survai BME Sosek, PPK-LIPI, 2007. Dari Tabel 4.4 terungkap bahwa meskipun proporsi rumah tangga nelayan dengan pendapatan di bawah Rp. 500.000 meningkat tiga kali lipat, namun pada kelompok pendapatan tinggi (Rp. 2.500.000 ke atas) proporsinya justru meningkat meskipun hanya sedikit. Rumah tangga yang termasuk dalam kelompok pendapatan ini pada umumnya adalah rumah tangga nelayan kaya yang memiliki bagan pancang atau pemilik armada tangkap berkapasitas tinggi (sekitar 20 PK). Salah satu kemungkinan meningkatnya persentase kelompok pendapatan tinggi ini karena adanya kenaikan pendapatan sebagai 84
|
hasil dari tingginya harga jual ikan dan sejenisnya, khususnya teripang. Teripang merupakan hasil tangkapan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi bagi nelayan setempat. Hal ini tidak mengherankan jika pendapatan rumah tangga nelayan teripang lumayan tinggi. Menurut penuturan seoarang nelayan teripang, Pak Gus, meskipun hasil yang diperoleh cukup lumayan, namun untuk menangkap teripang juga dibutuhkan biaya yang cukup tinggi. Biaya yang harus dikeluarkan meliputi biaya untuk pembelian bensin sekitar 30 liter (a R. 5.500), minyak solar 60 liter (a Rp. 4.800), rokok sekitar Rp. 200.000, mie, beras, garam, dan lain-lain. Selain itu, setiap awak kapal dibekali uang jajan Rp 50.000 per orang yang harus dikembalikan lagi kepada majikan jika mereka sudah kembali dari melaut. Armada tangkap yang digunakan untuk menangkap teripang jug cukup mahal karena dibutuhkan perahu dengan mesin yang berkekuatan tinggi. Rata-rata pendapatan nelayan bervariasi menurut musim. Jika gelombang lemah, hasil tangkapan nelayan cenderung banyak. Hal ini dikarenakan pada saat gelombang lemah ini, yaitu pada musim angin timur biasanya merupakan musim banyak ikan. Selain itu, pada musim gelombang lemah, nelayan biasanya melaut sampai ke tengah lautan atau jarak yang relatif jauh. Sebaliknya ada kecenderungan pendapatan nelayan menurun pada saat pancaoba maupun ketika gelombang kuat. Pada saat gelombang kuat pendapatan nelayan cenderung paling sedikit. Pada musim gelombang kuat, frekuensi melaut nelayan cenderung berkurang, bahkan jika gelombang kuat sementara nelayan tidak melaut sama sekali. Hanya nelayan-nelayan tertentu yang mempunyai armada dengan mesin berkuatan besarbanin melaut. Sebagian dari nelayan bahkan beralih pekerjaan sebagai petani tanaman pangan. Pada saat gelombang kuat, rata-rata pendapatan nelayan hanya sekitar separoh dari pendapatan ketika musim banyak ikan. Pada musim pancaroba, yaitu peralihan antara musim gelombang kuat dan gelombang lemah, pendapatan nelayan berada di antara keduanya. Pada tahun 2007, pendapatan perkapita nelayan pada saat musim gelombang tenang (banyak ikan) mencapai sekitar Rp. 316.141,
|
85
sedangkan pada musim pancaroba mulai menurun menjadi Rp. 212.181 dan semakin menurun (Rp. 169.454) ketika musim gelombang kuat. Sementara rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan pada saat musim ombak tenang yaitu musim banyak ikan mencapai hampir Rp. 1.500.000 per bulan. Jumlah ini relatif besar, namun kenyataan di lapangan kemungkinan tidak sebesar ini. Hal ini mengingat besarnya kesenjangan antara pendapatan tertinggi dan terendah. Pendapatan nelayan tertinggi pada musim gelombang lemah ini mencapai Rp. 9.000.000, sedangkan pendapatan terendah hanya Rp.150.000. Pada musim gelombang lemah ini, hasil tangkapan melimpah sehingga kadang-kadang harga ikan menjadi turun. Hal ini juga yang menyebabkan mengapa penghasilan sebagian nelayan, khususnya nelayan tradisional, tidak begitu tinggi meskipun musim banyak ikan. Dua tahun sebelumnya (tahun 2005), rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan pada saat musim banyak ikan mencapai Rp.2.240.000 per bulan. Pendapatan rumah tangga nelayan tertinggi per bulan bahkan mencapai Rp. 16.600.000. pada waktu itu pendapatan rumah tangga nelayan terendah sebesar Rp. 340.000. Tabel berikut menggambarkan perbandingan rata-rata pendapatan nelayan berdasarkan musim antara tahun 2005 dan 2007. Tabel 4.5. Statistik pendapatan rumah tangga dari kegiatan kenelayanan menurut musim Desa Jago-Jago, tahun 2005 dan 2007 Pendapatan
Musim Ombak tenang 2005
Rata-rata rumah tangga Minimum Maksimum
2.244.000
Pancaroba
2007
2005
1.466.341
1.188.802
Ombak kuat
2007
2005
2007
989.652
845.418
793.609
340.000
150.000
325.000
120.000
150.000
38.000
16.605.000
9.000.000
9.375.000
5.000.000
4.500.000
6.000.000
Sumber: Daliyo dan Ngadi, 2007 dan Data primer, Survai BME Sosek, PPK-LIPI, 2007.
86
|
Pendapatan nelayan mulai berkurang ketika memasuki musim pancaroba. Rata-rata pendapatan nelayan pada musim ini sekitar Rp. 990.000. Pendapatan tertinggi Rp. 5.000.000, sedangkan pendapatan terendah hanya Rp. 120.000. Keadaan ini menggambarkan bahwa perubahan musim berdampak terhadap pendapatan rumah tangga nelayan. Jika dilihat median pendapatan nelayan, terlihat bahwa pada musim pancaroba, nilai median pendapatan nelayan adalah Rp. 550.000. Seperti halnya pada saat musim gelombang tenang, pada tahun 2005 pendapatan rumah tangga nelayan saat musim pancaroba juga lebih tinggi dibandingkan tahun 2007. Rata-rata pendapatan per bulan pada musim ini hanya hampir separoh dari pendapatan pada musim gelombang tenang, yaitu hampir Rp. 1.190.000. Jumlah ini masih selisih sekitar Rp. 200.000 lebih besar dari pada yang diperoleh nelayan pada tahun ini untuk musim yang sama. Meskipun pendapatan rumah tangga nelayan masih relatif besar, namun kenyataan sebenarnya mungkin tidak sebesar itu. Hal ini penghitungan nilai rata-rata pedapatan ini dipengaruhi oleh dua nilai yang cukup ekstrim yang itu pendapatan tertinggi Rp. 9.375.000 dan pendapatan terendah, Rp. 325.000 Pendapatan rumah tangga nelayan semakin berkurang ketika musim gelombang kuat. Pada tahun 2005, pendapatan rumah tangga nelayan sebesar Rp. 850.000. Pada waktu itu, pendapatan tertinggi sekitar Rp. 4.500.000, sedangkan pendapatan terendah hanya Rp. 150.000. Kuatnya gelombang nampaknya mempunyai dampak yang cukup signifikan terhadap pendapatan nelayan. Pada saat gelombang kuat merupkan masa ’paceklik’ bagi para nelayan. Kondisi ini juga masih ditemui pada tahun 2007, bahkan pendapatan yang diperoleh cenderung menurun dibandingkan dua tahun sebelumnya. Pada tahun 2007, rata-rata pendapatan menjadi sekitar Rp. 800.000. Meskipun secara umum tidak menunjukkan penurunan yang berarti dibandingkan tahun 2005, namun pendapatan rumah tangga nelayan terendah hanya Rp. 38.000, suatu jumlah yang sangat minim. Namun demikian, pendapatan rumah tangga nelayan tertinggi masih mencapai Rp. 6.000.000. Menurut informasi dari Pak AS yang merupakan nelayan teripang, pada saat musim gelombang kuat,
|
87
jumlah nelayan yang melaut cenderung berkurang, hanya nelayan dengan armada tangkap berkapasitas di atas 20 PK yang mampu melaut. Dengan demikian, tidak banyak pesaing dalam mencari ikan maupun teripang. Selain itu, karena terbatasnya hasil tangkapan membuat harga ikan laut da semacamnya melambung tinggi. Oleh karena itu, pada musim ini sementara nelayan juga memperoleh pendapatan yang relatif tinggi. Sementara nilai median pendapatan pada musim gelombang kuat adalah Rp. 500.0000. Jumlah ini hampir dua kali lipat lebih banyak jika dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2005. Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, kenaikan ini lebih disebabkan adanya kenaikan harga jual ikan dan sejenisnya. Jika rumah tangga nelayan diperinci berdasarkan kelompok pendapatan, dari Tabel 4.6 terungkap bahwa ada kecenderungan kenaikan proporsi pendapatan nelayan di bawah Rp. 500.000 seiring dengan adanya perubahan musim dari musim gelombang lemah, musim pancaroba dan musim gelombang kuat. Tabel 4.6 menunjukkan bahwa jika pada musim gelombang lemah, pendapatan nelayan menyebar di semua kategori pendapatan mulai dari di bawah Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 2.500.000 ke atas, pada kedua musim yang lain terjadi pergeseran. Pada kelompok pendapatan di bawah Rp. 500.000 proporsi rumah tangga nelayan naik dari 34 persen di musim gelombang lemah meningkat tajam menjadi 51 persen pada musim gelombang kuat. Keadaan menggambarkan semakin berkurangnya pendapatan rumah tangga nelayan. Gelombang kuat mempengaruhi pendapatan rumah tangga nelayan karena sebagian nelayan tidak melaut.
88
|
Tabel 4.6. Distribusi rumah tangga nelayan menurut kelompok pendapatan dan musim, Desa Jago-Jago tahun 2005 dan 2007 Pendapatan
< 500.000
Ombak Tenang 2005 2007 14,0 34,1
Musim Pancaroba
Ombak kuat
2005 14,0
2007 48,8
2005 37,2
2007 51,2
500.000 - 999.000 1.000.000 – 1.499.999 1.500.000 – 1.999.999
25,6 20,9 14,0
36,6 4,9 7,3
48,8 20,9 9,3
29,3 7,3 0
41,9 11,6 4,7
26,8 9,8 4,9
2.000.000 – 2.499.999 > 2.500.000 Jumlah
7,0 18,6 100
2,4 14,6 100
2,3 4,7 100
2,4 12,2 100
0,0 4,7 100
0 7,2 100
Sumber: Daliyo dan Ngadi, 2007 dan Data primer, Survai BME Sosek, PPK-LIPI, 2007.
Sebaliknya, pada kelompok pendapatan yang lebih tinggi cenderung proporsinya cenderung menurun. Proporsi kelompok pendapatan Rp. 2.500.000 ke atas, proporsi rumah tangga nelayan cenderung mengalami penurunan pada saat gelombang lemah atau tenang, dari 18,6 persen menurun menjadi 14,6. Pergeseran penyebaran proporsi pendapatan rumah tangga nelayan pada setiap ketegori pendapatan telah terjadi pada dua sebelumnya (tahun 2005). Pergeseran tersebut termasuk pada rumah tangga nelayan yang tergolong mempunyai pendapatan tinggi. Pada waktu itu, proorsi rumah tangga nelayan pada kelompok pendapatan rendah meningkat tajam, seiring dengan perubahan musim dari musim gelombang tenang ke gelombang kuat dan masa pancaroba. Pergeseran juga terjadi pada kelompok pendapatan tinggi meskipun perubahan tidak setajam pada kelompok pendapatan rendah. Jika proporsi rumah tangga yang memiliki pendapatan tinggi (di atas Rp. 2.500.000) turun pada saat gelombang pancaroba, namun proporsi rumah tangga yang berada pada kelompok pendapatan ini tetap sama pada musim gelombang kuat. Seperti yang
|
89
telah dibahas sebelumnya, kelompok berpendapatan tinggi ini pada umumnya nelayan teripang yang mempunyai armada tangkap cukup bagus. Selain itu, harga teripang selalu naik setiap saat, sehingga meskipun hasil tangkapan turun tetapi harga jual yang tetap tinggi menyebabkan pendapatan kelompok ini cukup stabil. Selain masalah musim, pendapatan rumah tangga nelayan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor. Uraian berikut ini adalah tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga. 4.2. Faktor yang Berpengaruh Terhadap Pendapatan Dari uraian tentang pendapatan rumah tangga, terungkap bahwa jika dibandingkan antara tahun 2005 dan 2007, kondisi rumah tangga terpilih dari aspek pendapatan mengalami perubahan. Meskipun ada beberapa rumah tangga yang memiliki pendapatan lebih baik dari dua tahun sebelumnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pendapatan sebagian besar rumah tangga tidak lebih baik. Hampir semua rumah tangga mengalami di semua lapangan pekerjaan. Kondisi pendapatan penduduk cenderung dipengaruhi oleh berbagai faktor. Beberapa faktor yang diduga turut berpengaruh terhadap perubahan pendapatan rumah tangga terpilih di Desa Jago-Jago antara lain karena adanya berbagai kegiatan seperti : 1) COREMAP, 2) Program Pemerintah lainnya, 3) Faktor lain 4.2.1. COREMAP Salah satu faktor yang diduga turut berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga terpilih adalah adanya program pengelolaan dan pelestarian terumbu karang atau yang lebih dikenal dengan sebutan COREMAP. Program ini merupakan upaya untuk melindungi terumbu karang dan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Kegiatan COREMAP yang dilakukan untuk perlindungan terumbu karang antara lain dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan perlunya menjaga dan melestarikan terumbu karang karena terumbu karang merupakan tempat ikan dan sumber daya laut yang lain yang 90
|
merupakan mata pencaharian masyarakat pesisir. Kegiatan COREMAP dimulai dengan adanya pembentukan kelompokkelompok masyarakat (pokmas-pokmas). Selain kegiatan yang berupa perlindungan terhadap terumbu karang yang pada akhirnya untuk meningkakan kesejahteraan masyarakat, COREMAP juga mengenalkan program mata pencaharian alternatif (MPA). Kegiatan ini ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menjadi sasaran program dengan pemberdayaan ekonomi agar masyarakat tidak mengeksploitasi sumber daya laut secara berlebihan. Pengaruh COREMAP secara terhadap pendapatan penduduk ada yang secara langsung tetapi ada pula yang secara tidak langsung. Pengaruh langsung dapat dilihat terutama pada rumah tangga-rumah tangga yang terlibat langsung dalam kegiatan COREMAP, khususnya dalam kegiatan MPA yang dilaksanakan melalui pokmas-pokmas. Salah satu dampak COREMAP yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga adalah dengan berkurangnya penggunaan obat bius (air mas) untuk menangkap ikan yang biasa dilakukan oleh nelayan luar. Dengan adanya pokmas pengawasan yang mampu ’menghalau’ pengguna obat bius tersebut maka ikan dan biota laut lainnya terlindungi. Kondisi ini sangat menguntungkan nelayan setempat karena target tangkapan mereka tidak mati sebagai akibat pembiusan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. 4.2.2. Program Pemerintah Di Desa Jago-jagi tidak ada progam pemerintah secara yang secara langsung berpengaruh terhadap pendapatan penduduk. Programprogram yang ada adalah berupa bantuan langsung seperti bantuan tunai langsung (BLT) dan beras untuk masyarakat miskin.
|
91
4.2.3. Faktor internal dan eksternal Selain COREMAP dan Program Pemerintah, ada faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga. Faktor-faktor tersebut adalah faktor faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi sumber pendapatan, teknologi alat tangkap (produksi dan wilayah tangkap), sedangkan faktor eksternal adalah perubahan iklim yang tidak menentu atau adanya bencana alam, seperti tsunami. a). Sumber pendapatan Sumber pendapatan rumah tangga mempunyai pengaruh yang cukup erat berkaitan dengan pendapatan. Dalam hal ini, sumber pendapatan yang berkelanjutan mampu memberikan kontribusi terhadap besar kecilnya pendapatan rumah tangga. Di Desa Jago-Jago, nelayan yang mempunyai usaha selain perikanan nampaknya sangat terbantu kehidupan ekonominya khususnya pada musim gelombang kuat yang merupakan masa paceklik atau pailit. Sebagian penduduk di Desa Jago-Jago memiliki sumber pendapatan dari usaha di pertanian tanaman keras maupun tanaman pangan. Dengan menyadap karet, pendapatan mereka cenderung terbantu. Usaha menyadap tanaman karet memberikan hasil yang cukup memadai. Hal ini dikarenakan dengan menyadap karet maka penghasilan yang diperoleh minimal Rp. 700.000. Beberapa nelayan yang mempunyai lahan pertanian, mempunyai tambahan pendapatan yang cukup signifikan, terutama pada saat nelayan sedang paceklik (tidak melaut). Namun demikian, karena pada umumnya lahan pertanian untuk tanaman pangan tersebut baru dibuka maka hasilnya belum banyak diharapkan. Menurut penuturan beberapa nelayan, meskipun saat ini hasil pertanian belum banyak namun ke depan akan sangat menguntungkan. Hal ini dikarenakan jenis sayur-sayuran yang mereka tanam cukup tinggi harganya sehingga dharapkan akan dapat memberikan hasil yang lumayan sebagai tambahan pendapatan mereka sebagai nelayan.
92
|
Selain sumber pendapatan dari pertanian, industri pengolahan daun nipah juga memberikan tambahan bagi rumah tangga nelayan. Pekerjaan pengolahan nipah ini cenderung dilakukan oleh perempuan. Meskipun penghasilan yang diperoleh dari pengolahan daun nipah ini sekitar Rp. 600.000 per bulan, hal ini dirasakan sangat menolong oleh sebagian besar nelayan terutama di saat gelombang kuat. b) Teknologi alat tangkap/ produksi dan wilayah tangkap Teknologi alat tangkap yang digunakan oleh para nelayan berpengaruh terhadap besaran pendapatan rumah tangga nelayan. Dalam melaut, sebagian besar nelayan di Desa Jago-Jago hanya menggunakan armada kapal dengan kapasitas mesin yang relatif kecil. Foto 4.1. Pada umumnya hanya perahu motor Perahu Nelayan dengan kapasitas mesin 5,5 PK (Honda, harganya Rp. 2.200.000 dan bila termsuk as dan lain-lain harga Rp. 2.350.000) dan 3,8 PK (honda atau robin). Mesin merek honda dan Robin sering digunakan pada mesin yang berkapasitas 3,8 PK. Harga mesin ini relatif mahal, sekitar Rp.1.500.000. Selain it ada juga mesin yang lebih murah mereknya Sumo atau Yamaco, harganya Rp. 600.000 buatan China. Sementara perahu yang biasanya digunakan untuk armada mesin 5,5 PK tersebut adalah perahu (boat) dengan panjang 6 meter dan lebar 80 cm. Harga perahu ini sekitar Rp. 700.000. Armada perahu denga mesin 5,5 PK ini biasanya digunakan untuk mencari teripang. Wilayah tangkap para nelayan teripang ini sampai ke Pulau Mursala. Sementara itu, alat tangkap/produksi yang sangat berpengaruh terhadap besaran jumlah pendapatan rumah tangga nelayan adalah bagan pancang. Di Dusun Jago-Jago ada 10 unit bagan pancang yang merupakan milik dari lima orang taoke/pengusaha setempat. Bagan
|
93
pancang ini biasanya digunakan untuk menangkap ikan teri. Harga bagan cukup mahal, menurut penuturan Pak Jf seorang pemilik bagan, harga satu unit bagan kurang lebih Rp. 10 juta. Sementara harga stromking aja sekarang Rp. 250.000. Biaya operasioanl bagan pancang ini juga cukup mahal karena memerlukan banyak peralatan seperti lampu stromking. Satu unit bagan memerlukan 7 lampu stromking, yang menghabiskan minyak tanah sebanyak 12 liter untuk semalam (Rp. 80.000). Tiap malam ’kaos’ lampu harus diganti, harga kaos lampu adalah Rp. 2950. Selain lampu-lampu, untuk mengoperasikan suatu bagan diperlukan juga keranjang untuk menampung ikan basah, dan wajan untuk merebus ikan teri. Dalam semalam, bagan dapat menghasilkan sekitar 5 kaleng teri. Lima kaleng teri tersebut kalau dijual per kaleng laku Rp. 7000 per kaleng. Dengan demikian, satu bagan dapat menghasilkan sebanyak Rp. 350.000. Hasil tersebut masih harus dikurangi biaya minyak sebesar Rp. 80.000. Sisanya (Rp. 270.000) dibagi dua antara pemilik bagan dan nelayan pekerja bagan. Dengan demikian dalam satu malam hasil yang diperoleh dari usaha bagan ini adalah Rp 135.000. Dalam satu minggu, satu unit bagan hanya dipasang enam kali (malam), sehingga satu minggu hasil yang diperoleh dari usaha ini adalah sekitar Rp. 810.000. Pendapatan yang diperoleh dalam satu minggu kira-kira Rp. 3.240.000. Perubahan pendapatan yang paling menonjol adalah karena harga SDL yang ditangkap bernilai ekonomis yang cukup tinggi. Meskipun secara kuantitas tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya, namun karena hasil jual hasil tangkapan tersebut tinggi, maka pendapatan penduduk cenderung naik. Padahal kalau dikonversikan dengan harga barang-barang kebutuhan sehari-hari, maka kenaikan tersebut tidak terlalu signifikan. Bagan yang marak sejak tahun 1975an, semakin lama semakin surut. Apalagi dengan maraknya penggunaan pukat harimau pada tahun 90an dirasakan cukup mempengaruhi pendapatan tidak saja nelayannelayan tradisional saja tetapi juga berdampak pada nelayan-nelayan 94
|
bagan. Selain penggunaan pukat harimau, penggunaan air emas untuk menangkap ikan hias dan ikan karang dirasakan sangat mengganggu pendapatan masyarakat nelayan. Penggunaan air emas dianggap mematikan ikan-ikan kecil dan terumbu karang sehingga populasi ikan berkurang. Hal ini menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan nelayan, khususnya nelayan tradisional. Perkembangan teknologi alat tangkap membuat nelayan-nelayan tradisional semakin terdesak. Menurut informasi yang disampaikan oleh beberapa nelayan tradisional, menurunnya pendapatan mereka karena alat-alat tangkap yang mereka miliki tidak mampu bersaing dengan milik nelayan luar yang semakin cangggih. Keterbatasan teknologi alat tagkap yang mereka miliki juga cenderung membatasi wilayah tangkap. Dengan alat tangkap yang sederhana kemampuan mereka hanya terbatas di wilayah yang dekat dan karena semakin banyaknya nelayan dengan berbagai alat tangkap membuat pendapatan semakin menurun. c) Biaya produksi Selain itu, biaya produksi juga merupakan salah satu faktor yang juga berpengaruh terhadap pendapaatan rumah tangga. Dengan naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) otomatis mempengaruh pandapatan rumah tangga, terutama pendapatan nelayan. Ongkos produksi yang tinggi yang harus dikeluarkan seringkali membuat nelayan hanya membawa uang yang terbatas. Selain itu, biaya produksi juga meningkat sejalan dengan semakin jauhnya wilayah tangkapan. Biaya produksi untuk mencari teg misalnya, cukup tinggi apalagi setelah kenaikan BBM. Menurut Pak Ag nelayan teripang yang biasanya mencari teripang sampai Rp. 1.000.000 padahal sebelumnya biaya yang dikeluarkan hanya Rp. 700.000. Biaya sebesar itu digunakan untuk membeli minyak (bensin) yang harganya Rp. 5.500 per liter, rokok 1 bungkus (a Rp. 5000), biaya operasi Rp. 20.000. Tingginya biaya produksi yang kadang-kadang tidak sebanding dengan hasil tangkapan yang diperoleh menyebabkan banyak nelayan untuk tidak melaut. Sementara untuk nelayan
|
95
pancing setiap melaut memerlukan kurang lebih Rp. 100.000. Biaya sebesar itu oleh sementara nelayan dirasa cukup berat apalagi dengan perolehan yang tidak memadai. Tingginya biaya produksi ini memaksa sebagian nelayan untuk tidak melaut. Menurut seorang tokoh masyarakat, Pak Art bahwa meskipun yang tercatat bekerja sebagai nelayan ada 160 KK, pada kenyataannya hanya tinggal 60 KK saja yang betul-betul bekerja sebagai nelayan. d) Kualitas SDM Pendapatan yang diperoleh rumah tangga nelayan juga dipengaruhi oleh sumber daya manusia yang melakukannya. Artinya, ketrampilan seseorang juga mempunyai peranan dalam menentukan perolehan hasil. Bila mereka mampu menghasilkan hasil tangkapan yang bernilai ekonomis tinggi, tentunya akan memperoleh pendapatan yang tinggi pula. Di Desa Jago-Jago, harga teripang cukup tinggi namun tidak semua nelayan mampu menangkap teripang. Hal ini dikarenakan untuk menangkapnya diperlukan modal yang cukup banyak tidak hanya kemampuan individu untuk menangkapnya tetapi diperlukan sarana dan prasarana yang memadai, misalnya armada dan dana untuk operasional. Di Desa Jago-Jago, hanya ada 10 nelayan penangkap teripang yang betul-betul pekerjaannya adalah menangkap teripang. Sementara nelayan-nelayan cenderung mencari teripang kalau kebetulan tidak mendapatkan ikan. Kualitas SDM nelayan terkait dengan sejarah kenelayanan di desa ini. Wawancara denga seorang tokoh masyarakat dperoleh keterangan bahwa pada dasarnya penduduk Jago-Jago adalah petani kebun. Baru pada tahun 90an ketika nelayan-nelayan Bugis datang ke tempat tersebut, penduduk setempat mengikuti mereka bekerja sebagai nelayan. Oleh karenanya, ketrampilan yang dimiliki nelayan setempat dianggap belum seperti nelayan-nelayan yang sudah menjalaninya sejak lama. Akibatnya, ketika dalam kondisi sulit seperti gelombang kuat atau semakin banyaknya nelayan dengan armada yang lebih canggih, mereka cenderung beralih pekerjaan.
96
|
Faktor eksternal Faktor eksternal yang juga turut berpengaruh terhadap besaran pendapatan rumah tangga nelayan antara lain adalah: pemasaran, permintaan terhadap hasil tangkap/produksi, musim/iklim dan degradasi sumber daya pesisir dan laut. a) Pemasaran: harga dan pemasaran Perubahan pendapatan rumah tangga nelayan dalam dua tahun juga terpengaruh oleh pemasaran hasil tangkapan. Pemasaran hasil merupakan salah satu hal yang penting dalam mempengaruhi pendapatan karena betapun banyaknya hasil tangkapan kalau tidak ada pemasaran tentu tidak dapat memberikan hasil yang berarti. Hasil tangkapan nelayan Desa Jago-Jago pada umumnya menjual hasil tangkapan langsung ke pedagang pengumpul yang ada di desa tersebut. Jenis ikan yang dijual kepada pengumpul biasanya ikan seperti balato, gabo, cumi-cumi dll. Selain ke pengumpul yang ada di desa, nelayan Desa Jago-Jago mempunyai akses yang cukup bagus untuk memasarka hasilnya baik ke Pasar Kajoran maupun langsung ke Kota Sibolga. Biaya yang harus dikeluarkan untuk transportasi ke kedua tempat tersebut relatif terjangkau. Kira-kira dengan uang kurang dari Rp. 10.000 sudah dapat pergi pulang. Pendeknya rantai pemasaran dapat membantu nelayan karena keuntungan yang dapat diterima oleh nelayan sendiri, lain halnya jika menjual lewat calo maka selisih harga yang ada tidak akan diterima oleh nelayan. Meskipun demikian, wawancara dengan beberapa nelayan diperoleh informasi bahwa meskipun ada selisih harga antara menjual hasil ke pengumpul desa dengan menjual langsung ke Kota Sibolga atau ke Pasar Kajoran, namun para nelayan lebih senang menjual hasil langsung ke pengumpul karena dirasanya lebih cepat, menghemat biaya dan tenaga. Harga dari masing-masing ikan yang dijual nelayan cenderung fluktuatif tergantung dari supply yang ada. Jika supply melimpah, maka harga ikan cenderung menurun. Berikut adalah jenis dan harga ikan yang biasa dibeli oleh pedagang ikan di tingkat desa
|
97
Tabel 4.7. Harga ikan di Desa Jago Jago, tahun 2005 dan 2007. No
Jenis ikan
Harga 2005
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Gambalo/balato Kerapu >1 kilogram Gabo besar > 3 ons Gabo kecil < 3 ons Tando besar > 3 ons Tando kecil < 3 ons Marang besar > 3 ons Marang kecil < 3 ons Tempi (tongkol kecil) Par-pari Cumi-cumi Lobster bambu Lobster merah Lobster mutiara
22.000 14.000 12.500 14.000 6.000 14.000 6.000 7.000
2007 12.000 20.000 14.000 10.000 14.000 10.000 14.000 10.000 8.000 6.000 125.000 175.000 180.000
Hargaikan kering Jenis Ikan Ikan teri super* Ikan teri kualitas no 3 Ikan maning super Ikan maning nomor 2
13.000 10.000 9.000 7.000
Catatan: sudah dikeringkan
Harga Tripang No
Jenis tripang
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
98
Tripang gajah Tripang gamat Tripang coklat Tripang bantal Tripang kunyit Tripang kulut Tripang pasir Tripang kucing Tripang swallow bakao Tripang nanas
|
Harga jual nelayan 2005 2007 225.000 450.000 110.000 290.000 22.000 40.000 10.000 25.000 35.000 30.000 45.000 75.000 110.000 125.000 110.000 250.000 270.000 500.000 110.000 125.000
Harga tripang melambung tinggi dalam jangka waktu dua tahun. Hal ini antara lain disebabkan oleh semakin sedikitnya pencari tripang dan semakin sedikitnya tripang. Dengan supply yang terbatas sementara permintaan terus meningkat, tidak mengherankan jika harga tripang naik hampir dua kali lipat dala waktu yang cukup singkat. b) Permintaan terhadap hasil tangkap/produksi Permintaan terhadap hasil tangkap/produksi juga berpengaruh terhadap pendapatan nelayan. Semakin tinggi permintaan akan ikan segar maupun ikan kering membuat harga komoditas tersebut melambung terutama jika persediaan terbatas. Munculnya restoranrestoran maupun warung-warung penjual ikan bakar di Kota Pandan maupun Sibolga telah menyebabkan banyaknya permintaan akan ikan dan sejenisnya. Hal ini memicu banyak nelayan untuk merespon permintaan pasar tersebut. Akibatnya, para nelayan harus saling bersaing dan mereka yang mempunyai armada dengan kapasitas mesin yang kuat mampu melaut ke wilayah tangkap yang apalagi bila musim gelombang kuat. Dengan demikian, nelayan yang kuat akan memperoleh pendapatan tinggi sementara nelayan miskin kurang memperoleh pendapatan yang memadai meskipun permintaan akan ikan dan sejenisnya tinggi. c) Musim/iklim Perubahan musim atau iklim sangat berkaitan dengan aktivitas kenelayanan, khususnya nelayan tangkap. Secara umum, ada tiga musim yang ada di wilayah ini, yaitu: musim angin timur musim angin barat dan musim angin peralihan. -
Musim angin timur
Musim ini berlangsung selama empat bulan, dimulai pada bulan Desember sampai dengan Maret. Pada musim ini ombak di laut relatif tenang, curah hujan juga tidak terlalu tinggi, hanya sekitar361 mm
|
99
(Daliyo dan Ngadi, 2006). Pada musim ini ikan dan sejenisnya relatif banyak. Pada musim ini merupakan masa puncak bagi para nelayan karena hasil tangkapan banyak pada masa-masa ini. -
Musim angin barat
Pada musim ini gelombang cukup kuat dan seringkali disertai dengan badai. Pada saat musim ini curah hujan juga tinggi, sekitar 455 mm. Besarnya ombak dan badai membuat tidak semua nelayan melaut. Kalaupun melaut biasanya mereka hanya di pinggiran pantai saja. Hanya nelayan dengan armada tangkap yang canggih yang mampu melaut ke wilayah tangkap yang jauh. Masa-masa ini merupakan masa paceklik bagi nelayan. Banyak nelayan yang beralih pekerjaan seperti mengolah lahan milik orang lain, membuka lahan untuk pertanian tanaman pangan, menjadi penderes pohon karet, pemotong nipah, atau hanya memperbaiki jala. Musim angin barat belangsung selama empat bulan, yaitu bulan Juni, Juli, Agustus dan Sepetember. - Musim pancaroba Masa ini berlangsung selama empat bulan namun tidak berkesinambungan karena terjadi dalam dua periode, yaitu pada bulan Oktober dan November ketika musim angin barat akan berganti dengan musim angin timur. Periode lain adalah pada bulan April dan Mei ketika musim angin timur akan berganti dengan musim barat. Gelombang laut pada musim ini tidak begitu kuat, hanya sedangsedang saja. Curah hujan tidak terlalu banyak dan ikan mulai atau masih banyak. Pada musim ini penghasilan nelayan biasanya di antara penghasilan pada musim gelombang kuat dan lemah. Selain musim, pendapatan nelayan juga dipengaruhi oleh bencana alam seperti gempa dan tsunami. Menurut informasi beberapa responden, setelah tsunami melanda Nagroe Aceh Darusallam dan Kabupaten Nias pada akhir tahun 2004, dirasakan oleh banyak nelayan berdampak pula pada hasil tangkapan mereka. Selain itu, seringnya gempa dan tidak menentunya cuaca (gelombang pasang) 100
|
Menurut informasi dari para nelayan sebelum ada tsunami setiap kali melaut mereka selalu mendapatkan hasil. Setelah kejadian tsunami itu, nelayan selain takut untuk mencari ikan ke wilayah yang lebih jauh, hasil tangkapan mereka sudah jauh berkurang. d). Degradasi sumberdaya pesisir dan laut Keterkaitan antara degradasi sumberdaya pesisir dan laut dengan pendapatan nelayan lebih kepada berkurangnya hasil tangkapan karena rusaknya terumbu karang sebagai tempat berlindung ikan-ikan dan sejenisnya. Kondisi karang di sekitar Desa Jago-Jago banyak yang telah hancur, seperti yang telah ditemukan oleh peneliti P2OLIPI (Daliyo dan Ngadi, 2005). Studi tersebut membuktikan bahwa sebagian kondisi fisik terumbu karang di Teluk Sibolga/Teluk Tapanuli sudah banyak yang rusak. Akibatnya, populasi ikan dan sejenisnya menurun, sehingga hasil tangkapan nelayan juga berkurang. Selain rusaknya terumbu karang, pantai di wilayah Desa Jago-Jago juga terkena erosi air laut (LPM-STPS, 2004 dikutip oleh Daliyo dan Ngadi, 2006). Hutan bakaupun sudah banyak yang rusak akibat pengambilan kayu bakau yang berlebihan untuk rumah tangga maupun usaha pengolahan ikan. Kerusakan pohon-pohon bakau ini berakibat pada berkurangnya populasi bakau, sehingga menyebabkan sumber daya laut seperti ikan, udang dan kepiting akan terganggu kehidupannya karena bakau merupakan tempat mereka bertelur dan berkembang biak. Maraknya penggunaan bom, air emas maupun pukat harimau di masa lampau dirasakan oleh banyak nelayan sebagai perusak sumber daya laut dan pesisir. Dengan rusaknya sumberdaya laut dan pesisir, termasuk terumbu karang telah menurunkan pendapatan masyarakat nelayan. Meskipun saat ini penggunaan alat tangkap yang merusak tersebut cenderung menurun, namun dampaknya masih dirasakan oleh sementara nelayan terutama yang mempunyai keterbatasan armada tangkap.
|
101
102
|
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
P
rogram pengelolaan terumbu karang atau COREMAP telah dilaksanakan di Desa Jago-jago sejak tahun 2004. Berbagai kegiatan seperti sosialisasi tujuan dan manfaat program maupun pembentukan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat telah juga dilaksanakan. Oleh karena itu untuk memonitor kondisi sosial ekonomi kelompok rumah tangga yang mendapat program bantuan dari COREMAP selama ini maka kajian ini diperlukan. Kajian ini ini ditujuan untuk mengetahui sejauh mana COREMAP telah dilaksanakan dan kendala-kendala yang dihadapi baik di tingkat kabupaten maupun di tingkat desa. Selain itu, kajian BME Sosial Ekonomi ini penting untuk dilakukan guna mengetahui dampaknya khususnya pada aspek pendapatan masyarakat.
5.1. Kesimpulan COREMAP telah dilaksanakan di Kabupaten Tapanuli Tengah sejak tahun 2004 yang difokuskan di Kecamatan Barus dan Kecamatan Badiri. Di Kecamatan Badiri, lokasi kegiatan ada di Desa Jago-Jago. Di Desa Jago-Jago sosialisasi kegiatan Coremap fase II dimulai tahun 2004 (tahun pertama) berdasarkan panduan LIPI; Tahun 2005
|
103
dilakukan penjelasan tentang program-program Coremap; Tahun 2006 program mulai diwujudkan dan mulai ada pihak ketiga sebagai pendamping; Tahun 2007 akan dilakukan pembelajaran tentang management keuangan; setelah Tahun 2007 rencananya proses pengelolaan dana akan dilakukan oleh LPSTK. Sosialisasi COREMAP dilakukan dengan memasang billboard yang diletakkan di gang masuk desa. Sebagian besar penduduk Desa Jagojago pernah mendengar istilah COREMAP meskipun tidak mengetahui secara jelas tujuan kegiatan COREMAP selain menjaga terumbu karang. Setelah kurang lebih dua tahun COREMAP dilaksanakan di Kabupaten Tapanuli Tengah, dua hal yang menjadi pokok perhatian. Pertama, sejauh mana pelaksanaan COREMAP di daerah dan apa permasalahan serta kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program tersebut, baik di tingkat kabupaten maupun di lokasi. Kedua, bagaimana dampak COREMAP bagi kesejahteraan masyarakat, khususnya peningkatan pendapatan masyarakat setempat? Berikut adalah isu-isu penting terkait dengan kedua hal tersebut. 5.1.1. Permasalahan dan Kendala Pelaksanaan COREMAP •
Di Tingkat Kabupaten
Isu yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan COREMAP adalah seringnya pergantian personel yang menangani program ini. Perubahan struktural di DKP Kabupaten, menyebabkan kurang maksimalnya kinerja staf yang terlibat pada kegiatan COREMAP II. Misalnya, ketika seorang staf yang juga menjadi pengurus COREMAP sedang menyusun atau melaksanakan suatu program, tiba-tiba yang bersangkutan digantikan oleh orang lain yang belum pernah terlibat COREMAP sebelumnya. Kondisi ini mempengaruhi pelaksanaan kegiatan COREMAP di lapangan karena para pejabat ini masih baru dan belum pernah terlibat kegitan COREMAP sebelumnya.
104
|
Pelaksanaan COREMAP juga terpengaruh dengan sistem anggaran yang ada. Kegiatan COREMAP yang multiyears cenderung terhambat karena dana yang belum turun. Padahal, kegiatan pendampingan tidak dapat berhenti meskipun belum ada dana. Apalagi masyarakat setempat sedang antusias melaksanakan kegiatan tersebut. Misalnya tahun 2007 sampai bulan Mei dana belum turun padahal pendampingan harus jalan terus. Selain itu, pemilihan LSM pendamping yang direkrut oleh DKP setempat dilakukan dengan menggunakan sistem kontrak per tahun anggaran. Pelaksanaan pendampingan terpaksa ditunda karena belum terpilihnya LSM dari hasil tender. Padahal tender belum dapat dilaksanakan kalau dana belum ada. Situasi ini berdampak terhadap kontinuitas program COREMAP di lokasi. Misalnya sampai akhir Bulan Mei 2007 anggaran APBD untuk kegiatan COREMAP belum turun, sehingga pendampingan ke masyarakat atau Pokmas tidak berjalan lancar. Sebetulnya, SDM pelaksana di lapangan (LSM) kualitasnya cukup memadai dilihat dari pendidikannya (sarjana perikanan). Namun karena mereka direkruit setiap tahun per tahun anggaran, untuk tahun 2007 status mereka belum jelas sehingga mereka tidak dapat bekerja secara maksimal. Mereka harus menunggu perpanjangan kontrak yang mengikuti sistem lelang sebagai prosedur penggunaan anggaran APBN maupun APBD. •
Di tingkat desa
COREMAP di Desa Jago-Jago telah dikenalkan sejak tahun 2004, dimulai dengan sosialisasi tentang tujuan dan mekanisme pelaksanaan kegiatan. Pada tahun 2004 itu juga telah dibentuk Lembaga Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) yang terdiri dari berbagai kelompok-kelompok masyarakat (Pokmas). Masing-masing Pokmas terdiri dari 60 kepala keluarga (KK). Para anggota Pokmas tersebut telah mendapatkan pelatihan sesuai dengan kegiatannya masing-masing. Setelah dua tahun dibentuk dan dilaksanakan sosialisasi, kegiatan-kegiatan Pokmas-pokmas tersebut baru mulai efektif pada tahun 2007.
|
105
Sebagian besar penduduk Desa Jago-Jago pernah mendengar istilah COREMAP meskipun tidak mengetahui secara jelas tujuan kegiatan COREMAP, selain untuk menjaga terumbu karang. Berbagai permasalahan muncul berkaitan dengan pelaksanaan COREMAP di desa ini. Permasalahan yang muncul di tingkat desa adalah adanya kecemburuan di kalangan penduduk terutama yang tidak masuk dalam kelompok masyarakat. Mereka yang tidak terlibat dalam kegiatan Pokmas merasa bahwa kegiatan COREMAP hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu. Padahal, sebagai sesama nelayan mereka merasa bahwa kegiatan COREMAP terutama yang berkaitan dengan MPA melibatkan semua penduduk, khususnya nelayan. Permasalahan yang muncul di dalam kelompok adalah adanya kecemberuan antara mereka yang sudah mendapatkan bantuan dan dan yang belum mendapatkan. Selain itu, kapasitas Ketua LPSTK dalam mengkoordinir pelaksanakan kegiatan yang terkait dengan COREMAP nampaknya belum memadai. Sementara isu yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan COREMAP adalah pendanaan dan koordinasi. Pengurus cenderung beranggapan bahwa ketelambatan dana mengakibatkan keterlambatan pelaksanaan program. Sementara dari masyarakat, terdapat anggapan bahwa COREMAP belum banyak menyentuh masyarakat banyak. Dana yang tersedia dianggap hanya digunakan untuk pertemuan yang tidak melibatkan mereka. Kondisi tersebut menimbulkan konflik terselubung antara pengurus dengan masyarakat. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan COREMAP terkait dengan masalah keterbukaan antara pengurus dan masyarakat baik dana maupun program. Kekurang terbukaan pengurus ini mengakibatkan masyarakat mulai tidak begitu perhatian terhadap kegiatan Coremap. Kondisi tersebut tentunya akan menjadi kendala bagi kelanjutan program Coremap ke depan.
106
|
5.1.2. Perubahan pendapatan berpengaruh
masyarakat
dan
faktor
yang
Pendapatan per kapita penduduk Desa Jago-jago pada tahun 2007 sangat kecil, sekitar Rp 186.800. Jumlah ini menurun dibandingkan pendapatan pada tahun 2005 (sekitar Rp. 230.000). Peningkatan pendapatan per kapita sebanyak dua persen nampaknya masih jauh dari harapan. Rata-rata pendapatan rumah tangga per bulan menurun dari Rp. 1.167.860 pada tahun 2005 menjadi Rp. 901.900. Penurunan penghasilan dikarenakan semakin menurunnya jumlah tangkapan yang diperoleh oleh nelayan. Sementara ART yang bekerja di bidang lain seperti perdagangan dan jasa mengeluhkan bahwa menurunnya penghasilan mereka dikarenakan semakin banyaknya penduduk yang berusaha di bidang tersebut. Jika dilihat sepintas, pendapatan rata-rata rumah tangga relatif tinggi, namun distribusinya sangat tidak merata. Pendapatan terndah hanya sebesar Rp. 45.000 sementara pendapatan rumah tangga tertinggi mencapai Rp. 6.000.000. • Nelayan (menurut musim) Pendapatan yang diperoleh khususnya dari perikanan (tangkap dan budidaya) relatif tinggi, mencapai Rp. 1.256.700. Bila pendapatan rumah tangga tersebut dirinci khusus dari pekerjaan sebagai nelayan saja terlihat bahwa pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan adalah Rp. 1.083.200, dengan pendapatan terendah adalah Rp. 139.333 dan tertinggi Rp. 6.000.000. Pendapatan nelayan berbeda-beda antar musim. Dibandingkan dengan pendapatan pada tahun 2005, pendapatan rumah tangga nelayan mengalami penurunan dan bervariasi antar musim. Jika musim gelombang kuat hasil tangkapan menurun karena nelayan tidak pergi melaut. Namun, demikian untuk sebagian nelayan yang tetap melaut pada saat gelombang kuat akan memperoleh hasil yang cukup tinggi karena meskipun tangkapan sedikit namun harga ikan melambung tinggi. Pada tahun 2007, pendapatan per kapita rata-rata pada saat gelombang kuat adalah Rp. 169.454, sedangkan pada saat
|
107
gelombang tenang mencapai Rp. 316.141. pada saat peralihan atau pancaroba, pendapatan per kapita per bulan rata-rata Rp. 212.181. Sementara pendapatan rumah tangga dari nelayan pada saat gelombang tenang dapat mencapai Rp. 1.466.341 dan pada saat gelombang kuat pendapatan rata-rata rumah tangga hanya Rp. 793.609, sedangkan pada saat pancaroba sedikit lebih tinggi yaitu Rp. 989.652. Rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan sudah di atas Rp. 1.000.000 per bulan, baik pada pada tahun 2005 maupun 2007. Namun demikian, distribusi pendapatan tidak merata, sebagian besar proporsi rumah tangga memiliki pendapatan rendah (di bawah Rp. 500.000). Sebagian rumah tangga nelayan memiliki pendapatan tinggi (di atas Rp. 2.500.000) per bulan. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah pemiiki bagan dan nelayan teripang. • Faktor-faktor yang berpengaruh (internal dan eksternal) Kecenderungan perubahan pendapatan masyarakat nelayan Desa Jago-jago disebabkan oleh adanya faktor-faktor sebagai berikut: ¾ Faktor alam Setelah terjadinya tsunami dan gempa bumi yang melanda Nangore Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias, dianggap oleh masyarakat Desa Jago-jago berimbas pada menurunnya hasil tangkapan mereka. Selain itu, seringnya terjadi gempa dan tidak menentunya cuaca (gelombang pasang, dll) menyebabkan sebagian besar nelayan enggan melaut, kecuali mereka yang mempunyai armada yang besar. ¾ Faktor ekonomi Tingginya pengeluaran nelayan untuk melaut karena meningkatnya harga BBM sedangkan hasil tangkapan tidak memadai, menyebabkan sebagian nelayan memilih untuk beralih ke pekerjaan lain yang dianggap lebih menjanjikan. Misalnya, sebagian nelayan lebih 108
|
memilih membuka kebun karet yang lama ditinggalkan atau membuka lahan baru untuk tanaman pangan. 5.2 . Rekomendasi Berdasarkan pada isu atau permasalahan yang muncul berkenaan dengan pelaksanaan COREMAP di DesaJago-jago berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, ada beberapa saran yang diajukan: • Pengelolaan di tingkat kabupaten -
Mengingat kegiatan pendampingan COREMAP dilakukan selama beberapa tahun (multi years) yang dianggarkan dalam APBD sebaiknya anggaran tersebut telah direncanakan turun pada awal tahun. Dengan demikian, tidak akan terjadi ’kemandekan’ pelaksanaan kegiatan dengan alasan ’dana belum turun’. Misalnya dalam perekrutan LSM pendamping dan fasilitastor yang harus mengikuti sistem tender seharusnya mulai pada awal tahun atau sebelum anggaran turun sesuai dengan anjuran pemerintah. Selain itu, belum adanya prosedur pelelangan jasa menyebabkan perekrutan LSM pendamping dan fasilitator menjadi terlambat.
-
Pemilihan LSM pendamping sebaiknya juga didasarkan pada pemilikan modal yang memadai untuk pelaksanaan kegiatan bila ada keterlambatan dana dari pemerintah. Hal ini dikarenakan kegiatan pendampingan cenderung berhenti bila anggaran berakhir. Padahal pendampingan ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga masyarakat merasa tidak didampingi secara tuntas. Masyarakat sebaiknya diberitahu mengenai permasalahan terhentinya pendampingan ini sehingga mereka tidak selalu menuntu bila hal ini terjadi.
|
109
•
Pengelolaan di tingkat lokasi
-
Perlu sosialisasi lebih luas kepada masyarakat terutama tentang kegiatan MPA sehingga tidak ada kecemburuan di dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan selama ini terlihat bahwa masyarakat umum maupun anggota kelompok merasa tidak begitu jelas mekanisme kegiatan MPA (pengguliran dana, urutan penerima bantuan dalam kelompok, teknik pelaksanaan kegiatan).
-
Pemberian modal awal untuk kegiatan MPA (misal itik dan kambing) sebaiknya yang sesuai dengan yang dijanjikan sehingga masyarakat dapat melihat hasilnya seperi yang diharapkan. Misalnya, itik yang semestinya sudah bertelur dalam jangka 3 bulan setelah diserahkan, pada kenyataannya itik tersebut belum bertelur meskipun sudah enam bulan dipelihara.
-
Perlunya sosialisasi pemberian pakan lokal kepada masyarakat langsung dari pendamping COREMAP bukan mahasiswa yang akan menggunakan hasil percobaan tersebut sebagai bahan skripsi. Sehingga, masyarakat atau kelompok yang dibimbing merasa memiliki dan dapat mempraktikannya secara langsung.
110
|
DAFTAR PUSTAKA
AMSAT, Ltd, 2002. Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP). ADB Phase II, Project Design Report. Augustina, IGP Antariksa, Titik Handayani. 2002. Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia; Studi Kasus: Kampung Yenkawir, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua. COREMAP LIPI, Jakarta. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Lingga. 2005. Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten Lingga. Laporan Kompilasi Data, 2005. Bulletin Faduru Ros Naine, Media Jembatan Pengelolaan Berbasi Masyarakat , 2005. Kehidupan Terumbu Karang Terancam, hal 1-3. Edisi I: November- Desember 2005. Bulletin Faduru Ros Naine, Media Jembatan Pengelolaan Berbasi Masyarakat , 2005. Mengenal Lebih Dekat Dengan COREMAP, hal 4-9. Edisi I: November- Desember 2005. Daliyo dan Ngadi, 2007. Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia. Desa Jago-Jago, Kecamatan Badiri Kabupaten Tapanuli Tengah. Jakarta: LIPI Press
|
111