KINETIKA PRODUKSI GAS DAN KECERNAAN IN VITRO PAKAN DENGAN PENAMBAHAN MINERAL ORGANIK HASIL INOKULASI DENGAN Saccharomyces cerevisiae DAN SUPLEMENTASI HIJAUAN BERTANIN
SKRIPSI GUMILANG KHAIRULLI
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKUTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
RINGKASAN GUMILANG KHAIRULLI. D24080387. 2012. Kinetika Produksi Gas dan Kecernaan in Vitro Pakan dengan Penambahan Mineral Organik Hasil Inokulasi dengan Saccharomyces cerevisiae dan Suplementasi Hijauan Bertanin. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
: Dr. Anuraga Jayanegara, S.Pt. M.Sc. : Dr. Ir. Panca Dewi Manu Hara Karti, M.Si. Ahmad Sofyan, S.Pt. M.Sc.
Mineral merupakan salah satu nutrien yang berperan penting dalam proses fisiologis ternak untuk pertumbuhan dan pemeliharaan kesehatan. Pemberian suplemen mineral melalui pakan ternak tidak hanya mencegah terjadinya defisiensi, tapi juga dapat menunjang produksi dan kesehatan ternak yang optimal. Suplementasi mineral organik yang mudah diserap oleh tubuh menjadi salah satu solusi penting untuk mengatasi ketidakcukupan ketersediaan mineral yang terdapat dalam tanaman hijauan atau rumput-rumputan alam untuk memenuhi kebutuhan fisiologis ternak. Penelitian ini dilakukan untuk mengamati pengaruh pemberian mineral mikro organik, hijauan sumber tanin dan kombinasinya terhadap produksi gas dan kecernaan in vitro. Penelitian ini menggunakan rumput raja (Pennisetum hybrid) sebagai kontrol, daun mimba (Azadirachta indica) sebagai hijauan sumber tanin dan monensin sebagai antibiotik. Pakan yang digunakan adalah gaplek yang disuplementasi mineral organik (hasil fermentasi dengan inokulum Saccharomyces cerevisiae) dan gaplek yang disuplementasi mineral anorganik. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 7 perlakuan dan 3 ulangan. Peubah yang diamati adalah kualitas fisik pakan fermentasi, kecernaan in vitro, jumlah protozoa, produksi amonia (NH3), konsentrasi gas metana (CH4), produksi asam lemak terbang (VFA) dan produksi gas. Perlakuan yang diujikan adalah P (P. hybrid), PO (P. hybrid + min. organik 3%), POA (P. hybrid + min. organik 3% + A. indica 2%), PM (P. hybrid + min. anorganik 3%), PMA (P. hybrid + min. anorganik 3% + A. indica 2%), PA (P. hybrid + A. indica 2%), PMO (P. hybrid + monensin 40 ppm). Suplementasi mineral anorganik (PM) menurunkan kecernaan bahan kering dari 63,95% menjadi 32,14 % (P<0,001). Suplementasi mineral organik (PO) dan mineral anorganik + A. indica (PMA) meningkatkan produksi asam butirat dibandingkan perlakuan kontrol dari 17,93 mM masing-masing menjadi 28,09 dan 25,89 (P<0,01). Suplementasi mineral organik + A. indica (POA) menurunkan total produksi gas dari 45,37 menjadi 41,55 ml (P<0,01). Kesimpulan penelitian ini adalah pemberian mineral organik hanya mempengaruhi pada produksi asam butirat dan menurunkan total produksi gas jika ditambah dengan hijauan sumber tanin. Kata kunci : Azadirachta indica, kecernaan, mineral organik, Pennisetum hybrid, produksi gas, Saccharomyces cerevisiae.
ABSTRACT Kinetics of Gas Production and Digestibility in Vitro of Feed by Addition of Organic Mineral Innoculated with Saccharomyces cerevisiae and Supplemented with Tanniniferous Forage Khairulli, G., A. Jayanegara, P. D. Karti, and A. Sofyan This research was aimed to observe the effect of organic micromineral, tanniniferous forage and its combination supplementation to gas production and in vitro digestibility.This research used king grass (Pennisetum hybrid) as control, leaves of neem (Azaditachta indica) as tanniniferous forage and monensin as antibiotic. A completely randomized design was applied to this research by using 7 treatments with 3 replications. Variables observed were physical quality of fermented feed, in vitro digestibility, number of protozoa, production of ammonia (NH3), concentration of methane (CH4), production of VFA, and gas production. The treatments were: P (P. hybrid), PO (P. hybrid + organic mineral 3%), POA (P. hybrid + organic mineral 3% + A. indica 2%), PM (P. hybrid + inorganic mineral 3%), PMA (P. hybrid + inorganic mineral 3% + A. indica 2%), PA (P. hybrid + A. indica 2%), PMO (P. hybrid + monensin 40 ppm). Results showed that inorganic mineral supplementation (PM) decreased digestibility of dry matter, i.e. from 63.95% to 32.14% (P<0.001). Organic mineral supplementation (PO) and inorganic mineral + A. indica (PMA) increased butyric acid production from 17.93 mM to 28.09 and 25.89 (P<0.01), respectively. Organic mineral supplementation + A. indica (POA) decreased total gas production from 45.37 to 41.55 ml (P<0.01). It can be concluded that organic mineral supplementation only affected butyric acid production and decreased total gas production when added with tanniniferous forage. Keywords : Azadirachta indica, digestibility, gas production, organic mineral, Pennisetum hybrid, Saccharomyces cerevisiae
KINETIKA PRODUKSI GAS DAN KECERNAAN IN VITRO PAKAN DENGAN PENAMBAHAN MINERAL ORGANIK HASIL INOKULASI DENGAN Saccharomyces cerevisiae DAN SUPLEMENTASI HIJAUAN BERTANIN
GUMILANG KHAIRULLI D24080387
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKUTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
Judul
Nama NIM
: Kinetika Produksi Gas dan Kecernaan in Vitro Pakan dengan Penambahan Mineral Organik Hasil Inokulasi dengan Saccharomyces cerevisiae dan Suplementasi Hijauan Bertanin : Gumilang Khairulli : D24080387
Menyetujui, Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
Dr. Anuraga Jayanegara, S.Pt. M.Sc NIP. 19830602 200501 1 001
Dr. Ir. Panca Dewi MHK, M.Si NIP. 19611025 198703 2 002
Pembimbing Anggota,
Ahmad Sofyan, S.Pt. M.Sc NIP. 19791005 200604 1 006
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr NIP. 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian: 3 Januari 2013
Tanggal Lulus
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 3 Mei 1988 di Tangerang, Banten. Penulis adalah anak kedua dari enam bersaudara dari pasangan Bapak H. Chaerul Abas dan Ibu Hj. Noni Nuryani. Mengawali pendidikan dasar di SDN Danau Batur, Kab. Tangerang sampai kelas 3 dilanjutkan di SDN Warung Danas, Kab. Cianjur. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dan menengah atas diselesaikan di SMP/SMA Muhammadiyah Cipanas, Kab. Cianjur. Kegiatan semasa SMP-SMA aktif berorganisasi di Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM). Tahun 2005 menjadi Ketua Departemen Muhadharah dan pada tahun 2006 sebagai Ketua Umum IRM. Pelatihan yang pernah diikuti diantaranya Taruna Melati I (2001) dan Pelatihan Administrasi IRM Jawa Barat (2005). Tahun 2008 diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) jurusan Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan. Selain sibuk dengan kuliah juga aktif di organisasi ekstra kampus Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Tahun 2008 menjabat sebagai Ketua Bidang Keilmuan dan tahun 2010 sebagai Ketua Umum. Saat ini masih menjabat sebagai Sekretaris Bidang Keilmuan DPD IMM Jawa Barat. Aktivitas di luar kegiatan kuliah adalah merintis komunitas Biopori dan Seni Melipat Kertas Origami.
Bogor, Desember 2012
Gumilang Khairulli D24080387
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmannirrahim. Alhamdulillah rabbil`alamin, segala puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT. atas kasih sayang, karunia, hidayah dan ridha-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian, seminar dan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Kinetika Produksi Gas dan Kecernaan in Vitro Pakan dengan Penambahan Organik Hasil Inokulasi dengan Saccharomyces cerevisiae dan Suplementasi Hijauan Bertanin” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini disusun dengan harapan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh pemberian mineral organik, hijauan bertanin dan kombinasinya terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik serta kinetika produksi gas antara pakan yang mengandung mineral organik dan pakan yang mengandung mineral anorganik dengan penambahan hijauan sumber tanin dan monensin. Mineral organik sangat dibutuhkan oleh ternak ruminansia untuk proses pencernaan di dalam organ rumen dan pascarumen agar
proses pencernaan dan metabolisme zat-zat
pencernaan
berlangsung secara optimal. Tanin yang digunakan pada penelitian ini berfungsi untuk menurunkan konsentrasi gas metana yang dihasilkan dari hasil pencernaan di dalam rumen. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam skipsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi kemajuan dunia peternakan dan sebagai rujukan untuk diadakannya penelitian berikutnya. Aamiin.
Bogor, Desember 2012
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ........................................................................................
i
ABSTRACT ...........................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP ................................................................................
v
KATA PENGANTAR ............................................................................
vi
DAFTAR ISI ..........................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ..................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xi
PENDAHULUAN ...................................................................................
1
Latar Belakang ............................................................................... Tujuan ............................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
3
Saccharomyces cerevisiae .............................................................. Mineral .......................................................................................... Tanin .............................................................................................. Rumput Raja (Pennisetum hybrid) .................................................. Mimba (Azadirachta indica) ........................................................... Gaplek .......................................................................................... Monensin ....................................................................................... Rumen ............................................................................................ Produksi Gas Metana ...................................................................... Metode in vitro Ruminansia ...........................................................
3 3 5 5 6 7 8 8 10 10
MATERI DAN METODE .......................................................................
12
Waktu dan Tempat ......................................................................... Materi ........................................................................................... Alat dan Bahan .................................................................. Metode .......................................................................................... Pembuatan Inokulum Saccharomyces cerevisiae .................. Formulasi Mineral .............................................................. Pembuatan Mineral Organik ............................................... Pembuatan Mineral Anorganik ........................................... Pengamatan ........................................................................ Pengambilan Cairan Rumen ............................................... Penghitungan Kecernaan in Vitro .........................................
12 12 12 13 13 13 13 14 14 14 14
Penghitungan Populasi Protozoa ........................................ Penghitungan Produksi Amonia ......................................... Penghitungan Konsentrasi Gas Metana .............................. Penghitungan Nilai Asam Lemak Terbang (VFA) .............. Gas Test ............................................................................... Rancangan Percobaan dan Analisis Data .......................................
15 15 15 16 16 17
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................
19
Kualitas Pakan Fermentasi ............................................................ Kecernaan in Vitro ........................................................................ Jumlah Protozoa ............................................................................ Produksi Amonia (NH3) ................................................................ Derajat Keasaman (pH) .................................................................. Konsentrasi Gas Metana (CH4) ....................................................... Produksi Asam Lemak Terbang (VFA) ......................................... Produksi Gas ...................................................................................
19 19 21 22 23 23 24 25
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................
27
Kesimpulan ................................................................................... Saran .............................................................................................
27 27
UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................
28
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
29
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Kebutuhan dan Keracunan Mineral ..................................................
4
2. Unsur-unsur Mineral yang Esensial dan Kadarnya dalam Tubuh ......
4
3. Kandungan Nutrien Rumput Raja (Pennisetum hybrid) ......................
5
4. Perlakuan pada Percobaan Produksi Gas ..........................................
18
5. Karakteristik Fisik Pakan Fermentasi dengan Inokulum Saccharomyces cerevisiae .................................................................
19
6. Jumlah Protozoa, Produksi Amonia (NH3), dan pH cairan rumen ................................................................................
22
7. Produksi Asam Lemak Terbang (VFA) ..............................................
24
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Nilai Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik .........
19
2. Konsentrasi Gas Metana (CH4) .........................................................
23
3. Kurva Produksi Gas selama 48 Jam ....................................................
25
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Analisis Ragam Kecernaan Bahan Kering ........................................
34
2. Analisis Ragam Kecernaan Bahan Organik ......................................
34
3. Analisis Ragam Jumlah Protozoa .....................................................
34
4. Analisis Ragam Produksi Amonia ....................................................
34
5. Analisis Ragam Konsentrasi Gas Metana .......................................
35
6. Analisis Ragam Nilai Volatile Fatty Acid ........................................
35
7. Analisis Ragam Produksi Gas Total .................................................
35
8. Analisis Ragam Kecepatan Produksi Gas .........................................
35
7. Komposisi media selektif .................................................................
36
8. Komposisi larutan buffer rumen untuk uji produksi gas in vitro .......
36
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan akan produk peternakan sebagai sumber protein hewani semakin meningkat setiap tahunnya, akan tetapi ketersediaannya belum dapat memenuhi permintaan konsumen. Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian mencatat pada tahun 2011 konsumsi daging sapi nasional mencapai 449 ribu ton. Produksi dalam negeri yang menopang konsumsi hanya mencapai 292 ribu ton, sisanya sebanyak 34.9% masih impor. Hal ini menjadi tantangan bagi semua pihak yang bergerak di sektor peternakan untuk meningkatkan produktivitas ternak agar program swasembada daging nasional dapat tercapai sesuai dengan target. Unsur mineral sangat penting dalam proses fisiologis ternak, terutama ternak ruminansia yang hampir seluruh hidupnya bergantung pada pakan hijauan. Hijauan pakan yang tumbuh di tanah yang rendah unsur mineral akan berkurang kandungan mineralnya, terutama jenis rumput. Akibatnya, ternak yang hidup di daerah tersebut akan mengalami defisiensi mineral. Rumput yang umum digunakan salah satunya adalah rumput raja (Pennisetum hybrid), akan tetapi mineral yang terkandung di dalamnya masih rendah. Suplementasi mineral organik diharapkan dapat memenuhi kebutuhan ternak sehingga produktivitas ternak meningkat. Bagi ternak ruminansia, mineral selain digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri juga untuk mendukung dan memasok kebutuhan mikroba yang hidup di dalam rumen. Apabila terjadi defisiensi mineral maka aktivitas fermentasi mikroba rumen tidak berlangsung optimal sehingga tingkat pemanfaatan pakan menjadi rendah yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas ternak. Mineral esensial makro dan mikro secara alami terdapat dalam rumputrumputan di alam, namun ketersediaannya tidak mencukupi kebutuhan fisiologis ternak karena beberapa faktor, seperti jenis dan kondisi tanah, jenis tanaman serta adanya mineral lain yang bersifat antagonis terhadap mineral tertentu yang dibutuhkan ternak. Mineral mikro diperlukan untuk pertumbuhan jaringan, homeostasis, fungsi enzim, dan regulasi sel. Meskipun mineral mikro ini diperlukan kurang dari 100 mg/kg pakan, tetapi konsentrasinya harus dipertahankan untuk memastikan
pertumbuhan, kesehatan, dan produktivitas yang optimum sehingga tidak terjadi defisiensi yang mengganggu proses pencernaan dalam tubuh ternak (McDowell, 1992). Hasil penelitian menunjukkan mineral anorganik dalam tubuh bersifat antagonis atau berinteraksi negatif satu dengan yang lain yang mengakibatkan penyerapan tidak maksimal. Selain itu, mineral anorganik mempunyai aktivitas biologis yang lebih rendah sehingga dikeluarkan dalam jumlah besar dan dapat mencemari lingkungan. Penambahan mineral anorganik ke dalam media pertumbuhan khamir Saccharomyces cerevisiae dapat meningkatkan nilai ketersediaan (bioavailability) mineral organik sehingga lebih mudah dimetabolisasi dalam tubuh ternak. Penggunaan S. cerevisiae juga dapat meningkatkan kualitas fisik dan meningkatkan kecernaan pakan. Selain berperan sebagai sektor yang menghasilkan pangan berupa daging dan susu, peternakan ruminansia juga mempunyai permasalahan yaitu emisi gas metana yang menyebabkan pemanasan global (Jayanegara et al., 2009e). Salah satu solusi yang dilakukan adalah dengan menambahkan hijauan bertanin yang berpotensi menurunkan produksi gas metana. Penambahan Azadirachta indica sebagai hijauan sumber tanin diharapkan dapat mengurangi produksi gas metana. Penggunaan monensin sebagai antibiotik dapat memberikan pengaruh positif untuk keseimbangan bakteri di dalam saluran pencernaan ruminansia juga untuk menekan pertumbuhan bakteri patogen dan meningkatkan populasi bakteri menguntungkan dalam saluran pencernaan sehingga dapat meningkatkan kecernaan, akan tetapi penggunaan antibiotik berakibat buruk bagi ternak karena resistensi ternak terhadap mikroorganisme patogen tertentu. Selain itu, residu dari antibiotik akan terbawa dalam produk ternak seperti daging, telur dan susu yang berbahaya bagi konsumen. Penggunaan mineral organik diharapkan dapat menjadi alternatif untuk menggantikan peran antibiotik, namun tetap memberikan manfaat yang sama. Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mengamati pengaruh pemberian mineral mikro organik, hijauan sumber tanin dan kombinasinya terhadap produksi gas dan kecernaan in vitro.
TINJAUAN PUSTAKA Saccharomyces cerevisiae Saccharomyces cerevisiae merupakan cendawan berupa khamir (yeast) sejati tergolong
eukariot
mempunyai
potensi
kemampuan
yang
tinggi
sebagai
imunostimulan, dan bagian yang bermanfaat tersebut adalah dinding selnya. Saccharomyces cerevisiae secara morfologi hanya membentuk blastospora berbentuk bulat lonjong, silindris, oval atau bulat telur yang dipengaruhi oleh strainnya. Berkembang biak dengan membelah diri melalui “budding cell”. Reproduksinya dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan serta jumlah nutrien yang tersedia bagi pertumbuhan sel. Saccharomyces cerevisiae yang mempunyai kemampuan fermentasi telah lama dimanfaatkan untuk pembuatan berbagai produk makanan dan sudah banyak digunakan sebagai probiotik (Agawane & Lonkar, 2004). Yiannikouris et al., (2006) juga melaporkan bahwa β-D-glucans pada dinding sel S. cerevisiae dapat mengikat aflatoksin yang diproduksi oleh A. flavus. Ternak domba yang diberikan ransum dengan pencampuran S. cerevisiae dengan Bioplus dapat meningkatkan bobot badan serta menurunkan konversi pakan (Ratnaningsih, 2000) dan hasil yang diperoleh menunjukkan korelasi yang positif yaitu dengan dosis 4 g/hari (1 g S. cerevisiae ekuivalen mengandung 14 x 1010 koloni) menghasilkan konversi pakan sebesar 6 kg/kg pertambahan bobot badan, namun tidak semua isolat S. cerevisiae dapat digunakan sebagai probiotik, karena harus melalui beberapa macam seleksi dan dari sejumlah khamir tersebut hanya sedikit yang dapat digunakan. Mineral Mineral dikenal sebagai bahan anorganik atau kadar abu. Bahan-bahan organik terbakar, akan tetapi zat anorganik tidak karena itu disebut sebagai abu. Mineral merupakan unsur kimia selain karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen yang dibutuhkan oleh tubuh. Mineral berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur di dalam tubuh. Unsur natrium, kalium, kalsium, magnesium dan fosfor terdapat dalam tubuh dengan jumlah yang cukup besar maka dikenal sebagai unsur mineral makro.
Unsur mineral lain yaitu besi, iodium, tembaga, dan seng terdapat dalam jumlah kecil dalam tubuh karena itu disebut trace element atau mineral mikro (Winarno, 2008). Tabel 1. Kebutuhan dan Keracunan Mineral Unsur
Jenis ternak
Cu
Sapi Domba Co Sapi Domba I Ternak besar Mn Sapi Zn Sapi Domba Se Sapi Domba Sumber: Tillman et al. (1986)
Kebutuhan mg/kg ransum 5-7 10 0,05-0,07 0,08 0,1 16-25 9 18-22 0,1 0,1
Keracunan mg/kg ransum 115 60 120 2000 900- >1200 1000 3-4 10
Unsur mineral makro merupakan unsur mineral pada tubuh yang terdapat dalam jumlah besar. Mineral makro dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg/hari. Mineral mikro merupakan mineral yang terdapat di dalam tubuh dalam jumlah yang kecil dan secara tetap terdapat dalam sistem biologis. Kebutuhan tubuh akan mineral mikro kurang dari 100 mg/hari. Mineral mikro memegang peranan penting untuk memelihara kehidupan, pertumbuhan dan reproduksi. Tabel 2. Unsur-unsur Mineral yang Esensial dan Kadarnya dalam Tubuh Makro Unsur Kalsium Fosfor Kalium Natrium Khlor Sulfur Magnesium
(Ca) (P) (K) (Na) (Cl) (S) (Mg)
% 1,5 1,0 0,2 0,16 0,11 0,15 0,04
Mikro Unsur Besi Seng Tembaga Mangan Yodium Kobalt Molibdum Selenium Khromium
(Fe) (Zn) (Cu) (Mn) (I) (Co) (Mo) (Se) (Cr)
mg/kg 20-80 10-50 1,5 0,2-0,5 0,3-0,6 0,02-0,1 1,4 1,7 0,08
Sumber: Tillman et al. (1986) Defisiensi mineral mikro dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan, pertumbuhan terganggu, menyebabkan ternak mati.
cepat
kurus, gangguan reproduksi bahkan dapat
Tanin Tanin merupakan salah satu senyawa sekunder yang terdapat pada lebih dari 135 spesies tanaman di Indonesia. Tanin dapat digunakan sebagai penyamak, bahan pengawet, bahan pewarna, obat tradisional dan bahan perekat (Susanti, 2000). Tanin diklasifikasikan sebagai tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin terkondensasi adalah tanin yang terjadi karena proses kondensasi flavanol. Tanin terkondensasi sering disebut proantosianidin yang merupakan polimer dari katekin dan epikatekin (Hedqvist, 2004). Tanin terhidrolisis yaitu jenis tanin yang jika terhidrolisis menghasilkan suatu asam polifenolat dan gula sederhana. Ada beberapa teori yang menjelaskan fungsi alami tanin pada tumbuhan yaitu salah satunya untuk menjaga dari serangan serangga dan hewan herbivora. Tanin dikenal sebagai senyawa antinutrisi karena berperan menurunkan kualitas bahan melalui pembentukan ikatan kompleks dengan protein. Ikatan antara tanin dan protein sangat kuat sehingga protein tidak mampu dicerna oleh sel tubuh. Keberadaan sejumlah gugus fungsional pada tanin akan menyebabkan terjadinya pengendapan protein. Selain membentuk kompleks dengan protein bahan pangan, tanin juga akan berikatan dengan protein mukosa sehingga mempengaruhi daya penyerapannya terhadap protein. Dampak antinutrisi tanin pada ternak ruminansia berawal dari proses mastikasi, selanjutnya tanin akan berikatan dengan protein saliva sehingga menurunkan palatabilitas pakan, akibatnya konsumsi pakan menurun. Setelah tanin masuk ke dalam rumen (pH 6,3-7) senyawa tersebut akan membentuk ikatan kompleks dengan protein, karbohidrat (selulosa, hemiselulosa, dan pektin), mineral, vitamin, dan enzim mikroba rumen. Rumput Raja (Pennisetum hybrid) Rumput Raja dapat dapat tumbuh di dataran rendah dengan tinggi (50- 1200 mdpl). Batang yang digunakan untuk stek sebaiknya yang berumur cukup tua yaitu yang sudah berumur bulan, panjang stek kira-kira 25-30 cm dan memiliki dua mata tunas. Rumput Raja memiliki batang yang keras dengan daun berbulu kasar serta memiliki bercak berwarna hijau muda.
Tabel 3. Kandungan nutrien rumput Raja (Pennisetum hybrid) Kandungan Nutrien Bahan Kering
(%) 21,2
Protein Kasar
13,5
TDN (Total Digestible Nutrient)
54
Serat Kasar
34,1
Sumber : Hendrawan, 2002 Penanaman rumput raja menggunakan stek harus diperhatikan yaitu tunas jangan sampai terbalik. Stek dapat langsung ditancapkan setengahnya ke dalam tanah tegak lurus atau miring dengan jarak tanamnya 1 x 1 m, untuk penanaman dengan menggunakan sobekan rumpun, perlu dibuat lubang sedalam 20 cm (Rukmana, 2005). Waktu tanam yang baik adalah pada awal sampai pertengahan musim hujan. Produksi hijauan rumput Raja dua kali lipat dari produksi rumput Gajah yaitu mencapai 200-250 ton rumput segar/hektar/tahun. Daun Mimba (Azadirachta indica) Tanaman mimba (Azadirachta indica) termasuk ke dalam anggota famili Meliacea. Tanaman ini biasanya dikenal dengan sebutan “Neem tree’. Tanaman ini merupakan tanaman tahunan yang berbentuk pohon dan dapat mancapai ketinggian 20 m. Daun mimba berupa daun majemuk, letak anak daun berhadapan dengan jumlah 9-17, berwarna hijau, anak daun berujung runcing dengan bagian tepinya bergerigi serta permukaan daun bagian atas mengkilat. Menurut Sukrasno dan Tim Lentera (2003) pengelompokkan mimba sebagai berikut: Divisi
:
Spermatophyta
Sub divisi
:
Angiospermae
Kelas
:
Dicotyledonae
Bangsa
:
Rutales
Suku
:
Meliaceae
Marga
:
Azadirachta
Jenis
:
Azadirachta indica A. Juss
Mimba dikenal dengan berbagai nama. Wilayah pasunda (Sunda) mimba lebih dikenal dengan nama nimbi. Masyarakat Bali dan Nusa Tenggara mimba dikenal dengan nama intaran. Ekstrak mimba dikenal memiliki sifat hambat makan terhadap lebih dari 80 spesies serangga. Mimba mengandung bahan aktif azadirachtin (C35H44O16). Mimba dapat mempengaruhi proses fisiologi atau pertumbuhan serangga. Mimba dapat pula mengakibatkan kemandulan pada organism sasaran. Tanaman ini berfungsi sebagai pohon pelindung atau penahan angin. Mimba mempunyai akar tunggang. Perbanyakan tanaman dilakukan melalui biji. Mimba dapat tumbuh baik di daerah panas dengan ketinggian 1-700 m dpl dan tahan cekaman air. Di daerah yang banyak hujan bagian vegetatif sangat subur, tetapi sulit untuk menghasilkan biji (generatif) (Kardinan, 2002). Gaplek Secara tradisional gaplek dibuat di Indonesia terutama oleh suku Jawa. Ubi kayu yang sudah dikupas kulitnya dibelah menjadi dua atau empat bagian kemudian dijemur. Proses penjemuran dapat dilakukan dengan cara menyebar bahan di atas atap, di atas tanah atau digantung. Inti dari proses pengolahan ubi kayu menjadi gaplek adalah menggunakan teknologi pengeringan. Gaplek mempunyai kandungan gizi yang sangat kurang terutama dalam hal protein. Untuk melengkapi kandungan gizi yang kurang tersebut perlu dilakukan substitusi dengan bahan makanan lain yang kaya protein (Hidayat et al., (2000). Untuk dapat disimpan lama singkong dipotong menjadi 2 sampai 4 bagian dan dijemur, dengan demikian kandungan airnya rendah dan tahan lebih lama. Singkong yang telah dikeringkan ini disebut gaplek dan dapat dipakai dalam ransum makanan hewan memamah biak. Gaplek dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk unggas (ayam), babi dan ruminansia. Tepung gaplek mengandung kurang lebih 13% air, 2,6% PK, 78,4% BETN, 3,6% SK, 1,1% LK, dan 1,4% abu. Kadar air protein dapat dicerna adalah kira-kira 2,1% (Lubis, 1992).
Monensin Monensin adalah senyawa aktif yang bersifat biologis yang dihasilkan oleh Streptomyces cinnamonensis (Holzer et al., 1979). Monensin termasuk senyawa polyether monocarboxylic ionophore. Monensin dianggap sebagai garam natrium dan menghambat pertumbuhan organisme gram positif. Menurut
Davis & Erhart (1976), monensin memperbaiki efisiensi
penggunaan makanan melalui beberapa mekanisme: 1) perubahan produksi asam dalam rumen, 2) perubahan konsumsi, 3) perubahan produksi gas dalam rumen, 4) perubahan kecernaan, 5) perubahan penggunaan protein, 6) perubahan kapasitas rumen dan laju pengosongan rumen. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa monensin memperbaiki efisiensi fermentasi rumen melalui peningkatan produksi asam propionat dan penurunan produksi asam asetat dan butirat. Perubahan asam rumen ini merupakan perubahan yang diinginkan dalam produksi ruminansia pedaging karena asam propionat lebih efisien penggunaannya dibandingkan dengan asam asetat atau butirat. Beberapa faktor yang menyebabkan propionat lebih efisien: 1) produksi propionat lebih efisien dibandingkan dengan produksi asetat, 2) propionat lebih efisien digunakan oleh jaringan, 3) propionat lebih fleksibel dibandingkan dengan asetat sebagai sumber energi, yaitu melalui siklus glukoneogenesis (Holzer, 1979). Adaptasi ternak terhadap monensin berpengaruh terhadap tingkat konsumsi. Pada ternak sapi yang mendapat monensin tanpa diberikan waktu untuk beradaptasi, konsumsinya menurun sampai 16%. Setelah adaptasi, penurunan konsumsi hanya 56% untuk ransum biji-bijian dan 3% hijauan. Rumen Rumen merupakan tabung besar dengan berbagai kantong yang menyimpan dan mencampur pakan hasil fermentasi mikroba. Kondisi dalam rumen adalah anaerobik dan hanya mikroorganisme yang paling sesuai dapat hidup di dalamnya. Tekanan osmosis dalam rumen serupa dengan tekanan aliran darah dan suhunya 3842°C. Cairan rumen berfungsi sebagai buffer dan membantu mempertahankan pH tetap pada nilai 6,8. Volume rumen pada ternak dewasa mempunyai proporsi lebih besar daripada bobot badan, volume untuk ternak ruminansia kecil adalah 10 liter atau lebih. Rumen pada ternak muda belum berkembang dan masih didominasi oleh
abomasum. Perkembangan bakteri rumen terjadi karena adanya kontaminasi dari lingkungan
dan
kontak
langsung
induknya,
sehingga
dengan
demikian
perkembangan populasi bakteri rumen akan terus meningkat seiring bertambahnya umur ternak. Mikroba rumen dan induk semang (ternak) hidup secara simbiosis. Secara umum terdapat empat jenis mikroorganisme rumen, yaitu bakteri (10 101011 sel/ml), protozoa (104-106/ml, fungi anaerob (103-105 zoospora/ml), dan bakteriofag (108-109 /ml). Bakteri mendegradasi selulosa, hemiselulosa, pati, protein dan sangat sedikit jumlah minyak untuk menghasilkan VFA dan protein mikroba di dalam rumen. Protozoa mencerna karbohidrat dan protein. Fungi memiliki peran dalam fermentasi rumen yaitu sebagai pencerna pakan berserat karena fungi membentuk koloni pada jaringan selulosa pakan. Rizoid fungi tumbuh jauh menembus dinding sel tanaman, sehingga pakan lebih terbuka untuk dicerna oleh enzim bakteri rumen (Kamra, 2005). Protozoa memiliki jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan bakteri. Ukuran tubuh protozoa lebih besar sehingga total biomassanya hampir sama dengan bakteri (McDonald et al., 2002). Protozoa bersifat fagosit aktif (pemangsa/predator) terhadap bakteri rumen terutama bakteri amilolitik. Bakteri amilolitik menempel granula pati dan sifat makan protozoa yang menelan partikel-partikel pati sehingga bakteri amilolitik ikut termakan bersama granula pati (Subrata et al., 2005). Produksi H2 dari hasil fermentasi akan dimanfaatkan oleh bakteri metanogen untuk diubah menjadi gas metana (CH4). Hal ini akan merugikan karena pembentukan gas metana merupakan proses pemborosan yang dapat mengurangi 6-10% gross energi dari pakan ketika diutilisasi oleh ternak ruminansia (Jayanegara, 2008a) yang seharusnya dapat dikonversi dalam pembentukan produk fermentasi. Keberadaan protozoa dalam rumen cukup penting, namun tidak mutlak dan cenderung merugikan sehingga perlu adanya proses defaunasi (proses penghilangan protozoa dari dalam rumen). Proses defaunasi berkaitan dengan peningkatan total bakteri terutama
amilolitik
dan
proteksi
protein
dari
degradasi
protozoa
sehingga
memungkinkan meningkatnya penyediaan energi dan protein untuk ternak (Subrata et al., 2005). Defaunasi menyebabkan turunnya mekanisme simbiosis antara metanogen dengan protozoa, sehingga hanya sedikit hidrogen yang dapat dikonversikan menjadi gas metana (Takahashi, 2006).
Produksi Gas Metana Pada sektor peternakan, gas metana (CH 4) yang dibentuk merupakan hasil fermentasi anaerob karbohidrat struktural maupun non struktural oleh metanogen (mikroba penghasil gas metana) di dalam rumen ternak ruminansia dan selanjutnya dikeluarkan ke atmosfer melalui proses eruktasi. Pembentukan gas metana di dalam rumen merupakan hasil akhir dari fermentasi pakan.
Pada prinsipnya, pembentukan gas metana di dalam rumen terjadi melalui reduksi CO2 oleh H2 yang dikatalisis oleh enzim yang dihasilkan oleh mikroba metanogenik menurut jalur reaksi seperti berikut: CO2 + 4H2 ===> CH4 + 2H2O ; ΔG0 = – 32,75 kJ/mol H2 Pembentukan gas metana melalui jalur metanogenesis rumen berpengaruh besar terhadap pembentukan produk-produk akhir fementasi di rumen terutama berpengaruh terhadap jumlah mol ATP yang terbentuk yang selanjutnya berpengaruh terhadap efisiensi produksi mikrobial rumen (Pinares-Patino et al., 2001). Populasi protozoa di dalam rumen berbanding langsung dengan produksi gas metana, artinya produksi gas metana berkurang apabila populasi protozoa rumen menurun. Dengan demikian, emisi gas metana dapat dikurangi dengan memberikan zat defaunator seperti tanin. Penurunan populasi protozoa dapat meningkatkan aktivitas bakteri amilolitik di dalam rumen, sehingga menghasilkan lebih banyak asam propionat dan lebih sedikit gas metana. Dengan demikian, defaunasi memberikan harapan untuk menurunkan kontribusi gas metana dari ternak ruminansia terhadap akumulasi gas rumah kaca antara lain berdasarkan sifat toksik terhadap bakteri metanogen, sehingga mengurangi reduksi CO2 oleh hidrogen, seperti senyawa asam lemak berantai panjang tidak jenuh (McDonald et al., 2002). Metode in Vitro Ruminansia Menurut Hungate (1966), metode in vitro adalah proses metabolisme yang terjadi di luar tubuh ternak. Prinsip dan kondisinya sama dengan proses yang terjadi di dalam tubuh ternak yang meliputi proses metabolisme dalam rumen dan abomasum. pH retikulo-rumen biasanya berkisar antara 5,5-7,0 dan bervariasi dengan rasio pemberian konsentrat. Metode in vitro (metode tabung) harus menyerupai sistem in vivo agar dapat menghasilkan pola yang sama, sehingga nilai yang didapat juga mendekati sistem in
vivo. Metode in vitro menurut Tilley & Terry (1963) adalah metode yang menyamakan kondisi lingkungan sama dengan kondisi di dalam rumen. Komposisi nutrisi bahan pakan pada umumnya ditentukan terutama oleh analisis kimia, namun hal ini tidak memberikan informasi yang cukup untuk menentukan nilai nutrisi bahan pakan yang sebenarnya. Sistem pengukuran gas secara in vitro membantu untuk mengukur nilai nutrisi suatu bahan pakan dan keakuratannya telah divalidasi dalam berbagai eksperimen. Produksi gas merupakan hasil fermentasi di dalam rumen dan dapat menggambarkan banyaknya bahan organik yang tercerna. Produksi gas yang semakin tinggi menunjukkan bahan pakan semakin baik dalam arti kecernaannya tinggi. Produksi gas dalam fermentasi secara umum proporsional terhadap hasil metabolisme mikroba, sehingga dapat digunakan untuk mengestimasi kecernaan. Teknik in vitro produksi gas memiliki beberapa keunggulan dibandingan metode in vitro lainnya yang didasarkan pada pengukuran residu. Produksi gas mencerminkan semua nutrient yang dapat difermentasi baik yang larut maupun yang tidak larut. Menke & Steingass (1988) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi produksi gas adalah jumlah substrat, kandungan air, sampel, ukuran partikel, ternak donor, tekanan atmosfer, dan preservasi cairan rumen. Tingkat degradasi
bahan pakan yang diberikan sangat tergantung pada
komposisi fisik dan kimia bahan pakan yang akan didegradasi, aktivitas mikroba rumen, dan ada tidaknya faktor-faktor pembatas seperti senyawa antinutrisi. Setiap bahan pakan yang
berbeda komposisi fisik dan kimia akan memberikan nilai
degradasi bahan kering dan produk fermentasi yang berbeda pula, tergantung pula oleh daya adaptasi mikroba rumen terhadap substrat yang masuk ke rumen, sehingga mikroba dapat bertahan hidup dan menunjang pertumbuhannya.
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2012. Lokasi penelitian bertempat di Laboratorium Kimia Analisis dan Mikrobiologi, UPT. Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia (BPPTK) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Materi Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Uji fisik kualitas pakan Uji fisik kualitas pakan membutuhkan alat-alat yaitu: kontainer plastik, box plastik, plastik, Erlenmeyer, gelas ukur, bunzen, sarung tangan, autoclave, timbangan, oven 105°C, tanur 550°C, gelas ukur 100 ml, pipet volumetrik, pengaduk, tissue, spatula, cawan porselen, termometer. Bahan yang digunakan untuk uji kualitas fisik adalah dedak padi, gaplek, inokulum yeast (Saccharomyces cereviceae), mineral mikro Fe (FeCl2), Mn (MnCl2), Cu (CuSO4), Co (CoCl2), Zn (ZnSO4), I (KI) dan aquadestilata.
b.
Proses pengambilan cairan rumen Proses pengambilan cairan rumen menggunakan aspirator dan spuit berselang untuk menyedot cairan rumen melalui fistula sapi, termos, kain saring, corong dan labu ukur.
c.
Gas test Analisis gas test menggunakan alat-alat yaitu: syringe, waterbath, timbangan analitik, spatula, kain saring, dispenser, tabung reaksi, sentrifuge, vortex, micropipet, gelas ukur, oven, labu ukur, pH meter, botol film dan corong. Bahan yang digunakan pada gas test adalah cairan rumen, daun Pennisetum hybrid, Azadirachta indica, monensin, buffer + media (larutan makromineral, mikromineral, resazurin, dan reducing.
Metode Pembuatan Inokulum Saccharomyces cerevisiae Saccharomyces cerevisiae yang digunakan berasal dari dua sumber yaitu tape untuk fermentasi pertama dan ATCC (American Type Culture Collection) untuk fermentasi kedua. Keduanya diperbanyak terlebih dahulu ke dalam Malt Extract Broth (MEB) selama 24 jam kemudian diperbanyak kembali ke dalam Malt Extract Agar (MEA) selama 24 jam dan dihitung populasinya. Formulasi Mineral Formulasi mineral dihitung berdasarkan kebutuhan ternak sapi per ekor per hari dan kadar mineral yang terkandung di dalam pakan dedak dan gaplek yang sudah difermentasi. Jumlah mineral yang akan diinokulasi ke dalam pakan ternak ditimbang kemudian dihomogenkan ke dalam aquadestilata yang sudah steril. Pembuatan Mineral Organik Mineral organik dibuat dengan metode fermentasi menggunakan inokulum S. cerevisiae yang diisolasi dari tape singkong (Manihot sp). Bahan pakan dedak dan gaplek, aquades, mineral anorganik (Fe=17,74 mg; Mn=27,84 mg; Cu=25,46; Co=0,60; Zn=47,33; I=3,81 mg) yang sudah dilarutkan dengan aquades, disterilkan menggunakan autoclave dengan suhu 121°C selama 15 menit. Semua bahan yang sudah steril kemudian dicampur hingga homogen dengan suasana yang dikondisikan steril. Bahan-bahan yang sudah dicampur hingga homogen disimpan di dalam box plastik yang disusun sesuai dengan perlakuan dan dimasukkan ke dalam kontainer plastik. Kondisi dibuat sedikit terbuka karena S. cerevisiae adalah mikroorganisme anaerob fakultatif. Pakan fermentasi yang digunakan untuk gas tes adalah pakan yang sudah disterilisasi dengan penambahan mineral dan inokulum S. cerevisiae ATCC. Pakan disimpan di dalam kotak plastik dengan ditutup rapat untuk memperkecil tingkat kontaminasi. Lama inkubasi proses fermentasi selama 7 hari, kemudian dikeringkan dengan oven 50-60°C dan digiling.
Pembuatan Mineral Anorganik Proses pembuatan mineral anorganik memakai bahan baku pakan gaplek yang ditambahkan dengan mineral anorganik (Fe, Mn, Cu, Co, Zn, dan I) kemudian dikeringkan dengan oven 50-60°C. Berbeda dengan pembuatan mineral organik, pembuatan mineral anorganik ini tidak mengalami proses fermentasi dengan inokulasi S. cerevisiae. Pengamatan Pengamatan bahan yang difermentasi dilakukan setiap hari dengan mencacat suhu ruang dan di dalam kontainer, embun yang timbul dan perkembangan jamur. Pengambilan Cairan Rumen Pengambilan cairan rumen menggunakan alat aspirator kemudian cairan rumen tersebut dimasukkan ke dalam termos yang suhunya telah disesuaikan. Cairan rumen berasal dari satu ekor sapi PO (Peranakan Ongole) berfistula. Pengambilan cairan rumen dilakukan sebelum sapi diberi pakan pada pukul enam pagi, kemudian cairan rumen dibawa ke laboratorium, disaring dengan menggunakan 3 lapis kain kasa dan ditampung. Penghitungan Kecernaan in Vitro Inkubasi 48 jam menghasilkan residu bahan pakan dalam syringe yang kemudian disaring menggunakan glass wool sehingga residu bahan pakan tertahan untuk selanjutnya diukur bahan kering dan bahan organik. Pengukuran bahan kering dilakukan dengan memanaskan residu pakan di dalam oven suhu 105 °C selama 24 jam, sedangkan pengukuran bahan organik dilakukan dengan memanaskan residu dalam tanur suhu 550 °C selama 5 jam. Perhitungan kecernaan bahan kering dan bahan organik berdasarkan metode yang dilakukan Blümmel et al., (1997) seperti yang dilakukan Sofyan (2011). % KcBK =
BK sampel – BK residu x 100% BK sampel
% KcBO =
BO sampel − (BK residu – BA residu) x 100% BO sampel
Keterangan: KcBK = Kecernaan Bahan Kering (%) KcBO = Kecernaan Bahan Organik (%) BK sampel = Berat bahan kering sampel (mg) BK residu = Berat bahan kering residu (mg) BO sampel = Berat bahan organik sampel (mg) BA residu = Berat abu residu (mg)
Penghitungan Populasi Protozoa Jumlah populasi protozoa yang ada di cairan rumen dihitung dengan menggunakan hemocytometer dengan pewarnaan menggunakan MFS (Methylgreen Formalin Salin) solution (Ogimoto & Imai, 1981). Komponen MFS solution terdiri dari 35% formaldehid solution 100 ml, aquades 900 ml, Methylgreen 0,6 g dan NaCl 8,0 g. Dari 1 ml sampel cairan rumen ditambahkan 5 ml MFS Solution. Cairan rumen sebanyak 1 ml dihitung jumlah protozoa dengan cara sampling yaitu 4 kotak, sedangkan setiap tepi masing-masing berjumlah 16 kotak kecil pada hemocytometer. Jumlah protozoa per ml (N) adalah N x 104 x faktor pengenceran (Ogimoto & Imai, 1981). Penghitungan Produksi Amonia Konsentrasi amonia diukur menggunakan spektrofotometri (Broderick & Kang, 1980) seperti yang dilakukan Sofyan (2011). Sampel cairan rumen-buffer diambil setelah inkubasi 48 jam sebanyak 0,4 ml ditambah 0,2 ml larutan A (10% sodium tungstat) dan 0,2 ml larutan B (H2SO4 1 N) disentrifugasi pada 3000 x g selama 15 menit dilanjutkan sentrifugasi pada 10.000 x g selama 10 menit. Sebanyak 10 µl supernatan diencerkan dengan 10 µl akuades, ditambah 2,5 ml larutan C (larutan fenol) dan 2,5 ml larutan D (sodium hypochlorida 5%). Larutan campuran dipanaskan pada suhu 40 °C selama 30 menit kemudian absorbansi sampel dibaca dengan spektofotometri dengan panjang gelombang (λ) 630 nm. Perhitungan kadar NH3 dihitung dengan persamaan kurva standar sebagai berikut: Y = 0,030X + 0,170 (R2=0,884) Keterangan:
Y = Absorbansi sampel X = Kadar NH3 (mg/100ml)
Penghitungan Konsentrasi Gas Metana Konsentrasi gas metana didapat dalam persentase gas metana dalam 10 ml gas yang dihasilkan saat release gas yaitu dalam jam 18 waktu inkubasi. Sampel
dianalisis dengan metode gas kromatografi menggunakan alat GC-14 Shimadzu dilengkapi dengan Proparak Q Column (50°C) dan detektor flame ionization detektor (150°C) (Petersen & Ambus, 2006). Penghitungan Nilai Asam Lemak Terbang (VFA) Pengukuran VFA dilakukan dengan metode gas chromatography (Frigens et al. (1998) seperti yang dilakukan oleh Sofyan (2011). Cairan rumen yang sudah disentrifuge dengan 3000 RPM selama 10 menit dari setiap perlakuan diambil sebanyak 0,5 ml kemudian ditambahkan 0,1 ml metaphospat. Sampel sebanyak 1µl diinjeksi ke dalam packed column tipe GP10% SP-1200/1% H3PO4 on 80/100 Chromosorb WAW (Supelco, Bellefonte, PA) pada GC (Shimadzu 8-A) yang dilengkapi dengan detector FID (Flame Ionization Detector). Hasil kurva yang tercatat pada kromatogram dianalisis untuk perhitungan konsentrasi VFA individual (asetat, propionat, butirat) dengan rumus sebagai berikut: Vi (mM) = Keterangan :
LAs LAst
x KVst (mM) Vi = Kadar VFA individual (mM) LAs = Luas area sampel pada kromatogram Last = Luas area standar dari VFA individual KVs = Konsentrasi VFA standar terdiri dari: asetat (40mM), propionat (10mM) dan butirat (10mM)
Gas Test Pakan yang dipakai untuk gas tes hanya pakan gaplek fermentasi dengan inokulum S. cerevisiae karena sudah diketahui kualitas fisik dan kimianya merupakan yang terbaik dibandingkan dengan pakan dedak. Sebelum diuji gas test terlebih dahulu dilakukan persiapan pembuatan reagen berupa buffer + media yang terdiri dari larutan makromineral, mikromineral, buffer, resazurin, dan reducing yang dicampur ke dalam aquades. Bahan kering pakan gaplek fermentasi dan yang bukan fermentasi terlebih dahulu disamakan. Pengukuran produksi gas berdasarkan metode Menke & Steingass (1988). Sampel pakan yang digunakan sebagai substrat dimasukkan ke dalam syringe dan diinkubasi pada suhu 39°C agar kondisinya sama seperti di dalam rumen. Medium fermentasi dibuat dengan mencampur cairan rumen dengan larutan buffer + media. Bahan tersebut dihomogenkan dalam labu Erlenmeyer sambil dialiri gas CO2, kemudian cairan rumen ditambahkan ke dalam labu Erlenmeyer tersebut. Larutan
yang berwarna kebiru-biruan akan berubah menjadi kemerah-merahan sampai tidak berwarna yang menunjukkan kondisi sudah anaerob. Larutan medium dimasukkan ke dalam syringe yang telah berisi substrat. Gas CO2 dialirkan beberapa saat untuk menjaga agar kondisinya tetap anaerob, selanjutnya ditutup dengan piston dan klip pada pipa syringe ditutup. Volume awal dibaca pada skala yang terdapat pada syringe dan dicatat sebagai V0, selanjutnya diinkubasi pada suhu 39°C. Blanko dibuat untuk koreksi dengan cara seperti di atas, namun tanpa penambahan bahan pakan. Kenaikan volume gas dicatat setelah inkubasi selama 1, 2, 4, 6, 8, 12, 24, 36, dan 48 jam. Pada saat tertentu bila volume gas sudah maksimum gas dikeluarkan dengan membuka klip dan volume dikembalikan ke posisi V0. Kinetika produksi gas dianalisis dengan menggunakan persamaan eksponensial yang dibuat oleh Ørskov & McDonald (1979) berikut: p = a+b (1 – e-ct) Nilai p (ml) adalah produksi gas kumulatif pada waktu t jam, sedangkan a, b, c merupakan konstanta dari persamaan eksponensial tersebut. Konstanta diartikan sebagai produksi gas dari fraksi yang mudah larut (a), produksi gas dari fraksi yang tidak larut namun dapat difermentasikan (b) dan laju reaksi pembentukan gas (c). Penghitungan konstanta dilakukan dengan menggunakan curve fitting program pada Microsoft Excel menggunakan metode Neway (Chen, 1994). Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 7 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diujikan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah kualitas pakan fermentasi, kecernaan in vitro, jumlah protozoa, konsentrasi amonia (NH3), konsentrasi gas metana (CH4), nilai VFA, dan produksi gas. Data kualitas pakan fermentasi dianalisis secara deskriptif. Data kecernaan in vitro, jumlah protozoa, konsentrasi amonia, konsentrasi gas metana, nilai VFA dan produksi gas yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan jika antar perlakuan menunjukkan berbeda nyata pada level P<0,05 dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Steel and Torrie, 1981).
Tabel 4. Perlakuan pada Percobaan Produksi Gas Perlakuan P PO POA PM PMA PA PMO
Total BK (mg) 380,00 391,45 399,17 391,17 398,14 380,01 387,72
Keterangan: P = Pennisetum hybrid PO = Pennisetum hybrid dan Mineral organik (3%) POA = Pennisetum hybrid, Mineral organik (3%) dan Azadirachta indica (2%) PM = Pennisetum hybrid dan Mineral anorganik (3%) PMA = Pennisetum hybrid, Mineral anorganik (3%) dan Azadirachta indica (2%) PA = Pennisetum hybrid dan Azadirachta indica (2%) PMO = Pennisetum hybrid dan Monensin (40 ppm)
HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Pakan Fermentasi Parameter kualitas fisik pakan fermentasi dievaluasi dari tekstur, aroma, tingkat kontaminasi jamur dan tingkat keasaman (pH). Dari kedua bahan pakan yang difermentasi, secara fisik gaplek dengan inokulum S. cereviasiae menunjukkan kualitas yang terbaik dari segi tekstur, aroma dan tidak timbulnya kontaminan seperti yang terjadi pada pakan dedak (Tabel 5). Pakan dedak masih menunjukkan adanya kontaminan yang timbul walaupun sebelumnya semua bahan sudah disterilisasi dan ditambah dengan inokulum S. cerevisiae. Tabel 5. Karakteristik Fisik Pakan Fermentasi dengan Inokulum S. cerevisiae Perlakuan Dedak 1 Dedak 2 Dedak 3
Tekstur Menggumpal Menggumpal Menggumpal
Aromaa + ++
Jamurb + + +
pH awal 5,97 5,90 5,85
pH akhir 5,43 5,40 5,40
Gaplek 1 Gaplek 2 Gaplek 3
Granula Granula Granula
++++ +++ ++
-
5,65 5,63 5,64
5,91 5,49 5,11
Keterangan : (a)aroma - = tidak harum; + = kurang harum; ++ = sedikit harum; +++ = harum; ++++ = sangat harum (b) jamur - = tidak berjamur; + = berjamur; ++ = banyak jamur; +++ = sangat banyak jamur
Derajat keasaman (pH) pada kedua bahan pakan tidak mengalami perubahan yang signifikan antara sebelum dan setelah fermentasi. Fermentasi menghasilkan produk alkohol yang mempunyai pH di atas 4. Berbeda dengan proses silase yang menghasilkan asam laktat yang menghasilkan pH di bawah 4. Berdasarkan hasil tersebut maka pakan yang digunakan untuk proses selanjutnya yaitu uji kecernaan dengan metode gas tes adalah gaplek. Kecernaan in Vitro Suplementasi mineral anorganik (PM) menurunkan (P<0,001) kecernaan bahan kering dibandingkan dengan tanpa suplementasi (P) sebesar 49,7%, sementara itu suplementasi mineral organik (PO) tidak menghasilkan perbedaan kecernaan (KCBK maupun KCBO) yang nyata dibandingkan dengan tanpa suplementasi (P). Hasil ini menunjukkan bahwa mineral organik lebih tersedia bagi proses pencernaan pascarumen daripada mineral anorganik. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Pott
et al., (1994) yang menyatakan bahwa ketersediaan biologis mineral organik (Znlisin dan Zn-metionin) lebih tinggi daripada ketersediaan biologis Zn dari sumber anorganik. Suplementasi mineral organik (PO) tidak memberikan pengaruh pada nilai kecernaan bahan organik. Berbeda dengan penelitian Prabowo et al. (1995) yang memperoleh hasil bahwa kecernaan bahan organik hasil suplementasi Zn-proteinat lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kecernaan bahan organik hasil suplementasi ZnSO4. Nilai kecernaan bahan organik berada pada kisaran 60,4463,7%. 70.00
63,95±8,50b 63,03±2,84b 61,32±5,49b 63,67±5,91 63,26±7,15 62,67±1,93 61,27±4,02
63,15±8,80b 60,20±4,07b 60,47±3,95b 63,64±7,41 60,55±3,20 60,44±4,25
kecernaan in vitro (%)
60.00 50.00 40.00
32,14± 13,57a
30.00 KCBO KCBK
20.00 10.00 0.00 P
PO
POA
PM
PMA
PA
PMO
perlakuan
Gambar 1. Nilai Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik Keterangan: P = Pennisetum hybrid (Ph); PO = Ph + mineral organik; POA = Ph + mineral organik + Azadirachta indica; PM = Ph + mineral anorganik; PMA = Ph + mineral anorganik + A. indica; PA = Ph + A .indica; PMO = Ph + monensin. Superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,001).
Suplementasi hijauan sumber tanin dan kombinasinya dengan mineral organik maupun anorganik (PA, POA dan PMA) tidak memberikan pengaruh pada nilai kecernaan (KCBK maupun (KCBO). Hal ini diduga karena level pemberian tanin yang sangat sedikit sehingga tidak memberikan efek pada penurunan nilai kecernaan. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Jayanegara et al., (2008d), pemberian tanin pada level 0,5 mg/ml dapat menurunkan kecernaan bahan organik. Respons berkurangnya kecernaan bahan organik memalui penambahan tanin sama halnya dengan berkurangnya produksi gas, yaitu tanin berinteraksi dan menghambat proses degradasi protein dan dan serat kasar (Makkar et al., 2007).
Suplementasi monensin (PMO) tidak memberikan pengaruh apapun pada kecernaan (KCBK maupun KCBO). Penelitian Siregar (1986) menunjukkan hal yang sama, pemberian kadar monensin yang berbeda pada ransum berbahan dasar jerami padi tidak menunjukkan adanya pengaruh pada kecernaan. Rust et al., (1978) menyatakan pengaruh monensin terhadap kecernaan bahan kering tergantung pada jenis atau kualitas ransum yang diberikan. Sapi yang mendapat ransum biji-bijian yang rendah kandungan proteinnya, pemberian monensin meningkatkan kecernaan bahan kering. Jumlah Protozoa Protozoa mempunyai sifat sebagai pemakan bakteri dan juga proteolisis sehingga dapat menurunkan efesiensi penggunaan nitrogen bagi inangnya. Protozoa juga berfungsi sebagai pencerna karbohidrat mudah larut seperti pati-patian yang banyak terdapat dalam konsentrat yang menjadi pakan utama pada sapi potong, namun protozoa juga bersifat merugikan karena sifatnya yang memangsa bakteri, akibatnya biomassa bakteri akan berkurang sehingga laju degradasi pakan dan suplai protein mikroba akan berkurang pula (Soetanto, 2004). Rataan populasi protozoa pada penelitian ini tercantum pada Tabel 6. Suplementasi mineral organik (PO) tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah protozoa. Hasil yang sama ditunjukkan oleh penelitian Adawiah et al., (2005) yang memberikan suplemen mineral organik pada ransum dalam rumen domba. Suplementasi A. indica sebagai hijauan bertanin (PA) tidak memberikan efek defaunasi. Hal ini diduga karena pemberian kadar tanin yang sangat sedikit sehingga tidak memberikan efek pada perlakuan. Tan et al. (2011) menyatakan bahwa penggunaan ekstrak tanin terkondensasi dari tanaman Leucaena mampu menurunkan populasi protozoa secara in vitro. Jumlah protozoa yang dihitung antara 2,68 x 1054,18 x 105 cfu/ml cairan rumen. Jumlah tersebut sama dengan kisaran normal rataan populasi protozoa pada berbagai ternak ruminansia yaitu 10 4-106 cfu/ml cairan rumen (Kamra 2005). Kamra (2005) menyatakan bahwa pengurangan jumlah protozoa di dalam cairan rumen dapat mengakibatkan turunnya aktivitas proteolisis, metanogenesis berkurang, peningkatan jumlah bakteri dan adanya peningkatan efisiensi konversi pakan terutama ransum yang mengandung serat tinggi.
Produksi Amonia (NH3) Setiap proses fermentasi asam amino dalam rumen akan selalu terbentuk amonia. Amonia tersebut merupakan sumber nitrogen yang utama dan sangat penting untuk sintesis protein mikroorganisme rumen. Konsentrasi amonia di dalam rumen merupakan keseimbangan antara jumlah yang diproduksi dengan yang digunakan oleh mikroorganisme dan yang diserap oleh rumen. Syahrir et al. (2008) menyatakan bahwa konsentrasi amonia yang rendah dalam cairan rumen dapat menggambarkan proses fermentasi yang berjalan baik sehingga amonia dimanfaatkan dengan baik. Rataan konsentrasi amonia yang dihasilkan secara in vitro ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah Protozoa, Nilai Produksi Amonia (NH3), dan pH Perlakuan P PO POA PM PMA PA PMO Nilai P
Protozoa (105 cfu/ml) 2,68±1,61 4,18±1,07 3,65±1,05 2,98±1,58 3,15±1,41 3,10±0,93 3,15±1,12 0,525
NH3 (mg/100ml) 2,59±1,96 4,38±2,52 3,89±2,36 2,61±1,81 4,71±1,35 4,53±1,78 4,68±1,00 0,295
pH 6,57±0,06 6,64±0,12 6,67±0,38 6,63±0,20 6,73±0,17 6,67±0,16 6,62±0,07 0,872
Keterangan: P = Pennisetum hybrid (Ph); PO = Ph + 3% mineral organik; POA = Ph + 3%mineral organik + 2%Azadirachta indica; PM = Ph + 2% mineral anorganik; PMA = Ph + 3% mineral anorganik + 2%A. indica; PA = Ph + 2% A. indica; PMO = Ph + 40 ppm monensin.
Suplementasi mineral organik (PO) dan kombinasinya dengan A. indica (POA) serta suplementasi monensi (PMO) tidak memberikan pengaruh terhadap produksi amonia. Produksi amonia yang dihasilkan sangat sedikit berkisar antara 2,59-4,71 mg/100 ml. Menurut Owens & Zinn (1988) produksi NH3 dalam rumen berkisar 7-12 mg/100 ml. Rendahnya produksi amonia yang dihasilkan diduga karena jumlah protein di dalam pakan dan suplemen sedikit. Prihandono (2001) menyatakan bahwa konsentrasi amonia mencerminkan jumlah protein ransum yang banyak di dalam rumen dan nilainya sangat dipengaruhi oleh kemampuan mikroba rumen dalam mendegradasi protein ransum.
Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman cairan rumen yang diukur setelah proses inkubasi menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan. Suplementasi mineral organik (PO) dan A. indica (PA) sebagai hijauan sumber tanin serta kombinasinya (POA) tidak memberikan pengaruh terhadap pH. Hasil yang sama juga terjadi pada suplementasi monensin (PMO). Nilai yang pH dihasilkan antara 6,576,73 dan nilai ini masih berada pada kisaran normal pH cairan rumen yaitu 6,8-7. Menurut Dehority (2004), pH normal rumen sekitar 5,5-7,0 dengan pemberian rasio pakan normal.
Konsentrasi Gas Metana (CH4) Suplementasi mineral organik (PO) dan kombinasinya dengan hijauan bertanin (POA dan PA) dan juga penambahan monensin (PMO) tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P>0,05) pada konsentrasi gas metana yang dihasilkan. Hasil ini diduga karena kadar tanin yang diberikan melalui penambahan hijauan A.
Konsentrasi Gas Metana (%)
indica sangat sedikit sehingga tidak mempengaruhi pada penurunan konsentrasi gas 18.00 16.00
14,47±0,10
14,73±0,47 15,93±0,03
14,39±0,57
15,69±1,59 15,05±0,09
13,02±1,56
14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 P
PO
POA
PM
PMA
PA
PMO
Perlakuan
Gambar 2. Konsentrasi Gas Metana (CH4) Keterangan: P = Pennisetum hybrid (Ph); PO = Ph + mineral organik; POA= Ph + mineral organik + Azadirachta indica; PM = Ph + mineral anorganik; PMA = Ph + mineral anorganik + A. indica; PA=Ph+A .indica; PMO = Ph + monensin.
metana. Penelitian Jayanegara et al., (2008c) menggunakan hay dan jerami yang disuplementasi Salix alba dengan kandungan total tanin 1,07% BK mampu menurunkan konsentrasi gas metana masing-masing sebesar 4,3% dan 6,1%. Hasil ini berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh Carulla et al., (2005), Puchala et al., (2005) dan Jayanegara et al., (2008c) dengan menggunakan jenis
hijauan bertanin dan perlakuan dapat menurunkan emisi metana dari sistem fermentasi rumen secara in vitro. Penurunan emisi gas metana dengan mekanisme (1) tidak langsung melalui penghambatan pencernaan serat yang mengurangi produksi H2 (Tavendale et al., 2005) dan (2) secara langsung menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri metanogen. Tanin terkondensasi menurunkan gas metana melalui mekanisme pertama seperti gagasan Tavandale et al., (2005), sedangkan tanin yang mudah terhidrolisis lebih berperan pada mekanisme yang kedua (Jayanegara, 2008a). Produksi Asam Lemak Terbang (VFA) Asam lemak terbang (VFA) merupakan produk utama yang dihasilkan oleh proses fermentasi dalam rumen. Nilai VFA juga merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat oleh mikroba rumen serta sebagai sumber energi utama bagi ternak ruminansia. Produksi VFA yang utama yaitu asam asetat, propionat, dan butirat yang dianggap sebagai faktor utama dalam mempengaruhi produksi ternak ruminansia (McDonald et al., 2002). Peningkatan produksi VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan difermentasi oleh mikroba rumen. Table 7. Produksi Asam Lemak Terbang (VFA) Perlakuan C3 38,05±3,33 48,06±5,22 36,10±7,16 39,90±3,38 45,30±0,86 38,55±0,82 41,47±1,74 0,14
VFA (mM) C4 17,93±1,28a 28,09±3,49b 18,77±3,24a 21,19±0,23a 25,89±1,25b 19,01±0,55a 20,36±0,30a 0,01
C2/C3 3,85±1,13 4,01±0,02 4,04±0,10 4,03±0,02 3,94±0,16 4,08±0,01 3,97±0,00 0,34
Total VFA 202,44±12,41 268,78±28,65 200,74±42,92 221,78±16,42 249,48±4,49 214,87±3,11 226,43±9,13 0,11
Keterangan: P=Pennisetum hybrid (Ph); PO=Ph+mineral organik; organik+Azadirachta indica; PM=Ph+mineral anorganik; anorganik+A. indica; PA=Ph+A .indica; PMO=Ph+monensin; C3=asam propionat; C4=asam butirat. Superskrip berbeda pada menunjukkan berbedasangat nyata (P<0,01)
POA=Ph+mineral PMA=Ph+mineral C2= asam asetat; kolom yang sama
P PO POA PM PMA PA PMO Nilai P
C2 146,46±7,81 192,63±19,93 145,87±32,52 160,68±12,81 178,29±4,10 157,31±2,84 164,61±7,08 0,15
Suplementasi mineral organik (PO) dan kombinasi mineral anorganik+A. indica menaikkan produksi asam butirat masing-masing sebesar 56,7% dan 44,4%. Sementara itu, tidak ada perbedaan produksi total VFA pada semua perlakuan. seperti yang dinyatakan oleh McDonald et al., (2002) bahwa produksi VFA total diantaranya dapat dipengaruhi oleh jenis dan bentuk makanan yang diberikan serta populasi dan aktivitas mikroba percerna karbohidrat, produksi VFA yang normal
rata-rata adalah 70-150 mM, sementara pada penelitian ini dihasilkan VFA total berkisar antara 200,74-268,78 mM. Tingginya nilai rataan produksi VFA pada semua perlakuan diduga karena gaplek mengandung karbohidrat yang fermentabel seperti pati dan gula. Menurut Ranjhan (1980), karbohidrat yang mudah difermentasi sangat cepat difermentasi dalam rumen, sedangkan selulosa dan hemiselulosa lebih lambat. Produksi Gas Gas test adalah sebuah metode uji alternatif yang dapat dipilih untuk mengukur kecernaan pada hewan ruminansia dengan hasil relatif lebih cepat serta tidak memerlukan hewan percobaan. Kelebihan metode ini selain dapat menghitung kecernaan bahan juga dapat digunakan untuk menentukan besarnya energi termetabolis (EM) serta dapat pula untuk menghitung produksi asam lemak terbang (VFA) yang merupakan asam lemak penentu produksi dan kualitas susu dan daging (Jayanegara dan Sofyan,
produksi gas (ml)
2008b). 45.0 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 0
5
10 P
15 PO
20
25
30
35
waktu inkubasi jam kePOA PM PMA
40 PA
45
50
PMO
Gambar 3. Kurva Produksi Gas selama 48 Jam Keterangan: P = Pennisetum hybrid (Ph); PO = Ph + mineral organik; POA = Ph + mineral organik + Azadirachta indica; PM = Ph + mineral anorganik; PMA=Ph+mineral anorganik + A. indica; PA = Ph + A .indica; PMO = Ph + monensin.
Kurva produksi gas selama 48 jam waktu inkubasi terdapat pada Gambar 3. Produksi gas semakin meningkat seiring dengan lamanya waktu inkubasi. Gas yang dihasilkan pada metode ini berasal dari fermentasi substrat secara langsung (CO 2 dan CH4) dan berasal dari produksi gas secara tidak langsung melalui mekanisme buffering VFA yakni berupa gas CO2 yang dilepaskan dari buffer bikarbonat yang diproduksi
selama proses fermentasi (Getachew et al., 1998). Produksi gas yang semakin
melambat menandakan laju produksi gas in vitro semakin berkurang dengan bertambahnya waktu inkubasi karena substrat yang difermentasi juga semakin berkurang. Produksi gas selama inkubasi 48 jam menunjukkan perlakuan dengan suplementasi mineral organik + A. indica (POA) lebih rendah dibandingkan dengan tanpa suplementasi (P). Sementara itu suplementasi A. Indica (PA) tidak mempengaruhi. Hal ini menunjukkan bahwa efek tanin pada penurunan produksi gas hanya bekerja apabila dikombinasikan dengan mineral organik. Suplementasi mineral organik (PO) dan monensin (PMO) tidak memberikan pengaruh terhadap produksi gas selama inkubasi 48 jam. Hasil yang sama ditunjukkan pada produksi gas maksimum (koefisien a+b). Suplementasi mineral organik + A.indica (POA) menurunkan produksi gas maksimum pakan kontrol (P) dari 45,37 menjadi 41,55 ml. Keberadaaan tanin dapat mengurangi produksi gas dalam sistem fermentasi in vitro karena interaksi tanin dengan komponen-komponen pakan yang berkontribusi terhadap produksi gas, khususnya protein dan serat (Makkar et al., 2007). Terhambatnya degradasi protein dan serat mengakibatkan terhambatnya produksi gas yang merupakan hasil samping dari proses fermentasi nutrien pada pakan. Respons yang serupa didapatkan oleh Getachew et al. (2008) yang melaporkan bahwa penambahan tanin dalam bentuk asam tanat dan asam galat menurunkan laju produksi gas in vitro. Sementara itu Hervas et al. (2000) melaporkan bahwa penambahan asam tanat menurunkan produksi gas maksimum (koefisien a+b). Pada penelitian ini suplementasi tanin hanya berpengaruh terhadap produksi gas maksimum hanya jika dikombinasikan dengan mineral organik (POA).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Suplementasi mineral organik, hijauan sumber tanin dan kombinasinya serta pemberian antibiotik berupa monensin tidak memberikan pengaruh terhadap kecernaan. Pemberian mineral organik hanya mempengaruhi pada produksi asam butirat dan menurunkan total produksi gas jika ditambah dengan hijauan sumber tanin. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan sumber pakan lokal dan hijauan sumber tanin lain dengan jumlah yang berbeda untuk mendapatkan kualitas fisik dan kimia pakan fermentasi yang baik dan tingkat kecernaan bahan organik dan bahan kering yang optimal serta produksi gas metana yang rendah agar tidak mencemari lingkungan.
UCAPAN TERIMA KASIH Bismillahhirrahmannirrahim. Tak ada kalimat terindah yang terucap selain pengakuan tanda syukur kepada Allah SWT. Yang Maha Pemberi, Maha Pengasih, Maha Penyayang dan sumber segala ilmu pengetahuan karena kasih sayang pertolonganNya skripsi dapat selesai dengan baik. Untaian shalawat dan salam tercurahkan untuk kekasihNya, Nabi Muhammad SAW. Ungkapan terima kasih yang teramat besar untuk Ayahanda Ibunda tercinta, H. Chaerul Abas dan Hj. Noni Nuryani yang dengan kasih sayang, bimbingan dan didikannya penulis dibesarkan serta selalu berdoa agar penulis menjadi anan yang berilmu, berakhlak mulia, cerdas berpikir, bijaksana dalam bertindak dan sukses dalam kebaikan di masa depan. Sanjungan dan doa untuk Ayah dan Ibu tercinta tak akan pernah terputus. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada seluruh dosen dan staff di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan atas bimbingan dan ilmunya yang bermanfaat untuk meningkatkan mutu kehidupan. Khusus untuk Dr. Anuraga Jayanegara, S.Pt.M.Sc selaku dosen pembimbing utama, Dr. Ir. Panca Dewi MHK, M.Si selaku dosen pembimbing akademik sekaligus pembimbing anggota dan Bapak Ahmad Sofyan, S.Pt. M.Sc selaku pembimbing anggota yang terus menemani selama penulis melaksanakan penelitian. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS selaku penguji seminar, Dr. Ir. Dwierra Evvyernie, MS, M.Sc, Ir. Sri Rahayu, M.Si, Ir. Lilis Khotijah, M.Si yang memberikan banyak masukan saat sidang. Terima kasih untuk Mas Andri Suwanto dan seluruh staff UPT. BPPTK LIPI Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta atas bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian. Terima kasih untuk rekan-rekan IMM Bogor yang telah memberikan khazanah ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Terima kasih untuk semua teman B13 dan GENETIC 45 yang menemani penulis semasa perkulihan di IPB. Terima kasih untuk seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis dan dunia pendidikan. Bogor, 3 Januari 2012 Penulis
DAFTAR PUSTAKA Adawiah, T. Sutardi, T Toharmat, W. Manalu, N. Ramli & U.H. Tanuwiria. 2007. Respons trhadap suplementasi sabun mineral dan mineral organik serta kacang kedelai sangria pada indicator fermentabilitas ransum dalam rumen domba. Med. Pet. 30: 63-70. Agawane, S.B. & P.S. Lonkar. 2004. Effect of probiotic containing Saccharomyces boulardii on experimental ochratoxicosis in broilers: Hematobiochemical studies. J. Vet. Sci. 5: 359-367. Blümmel, M., H. Steingass & K. Becker. 1997. The relationship between in vitro gas production, in vitro microbial biomass yield and 15N incorporation and its implications for the prediction of voluntary feed intake of roughages. Br. J. Nutr. 77: 911-921. Broderick, G. A. & J. H. Kang. 1980. Automated simultaneous determination of ammonia and total amino acids in ruminal fluid and in vitro media. J. Dairy Sci. 63:64-75. Carulla, J.E., M. Kreuzer, A. Machmüller & H.D. Hess. 2005. Supplementation of Acacia mearnsii tannins decreases methanogenesis and urinary nitrogen in forage-fed sheep. Aust. J. Agric. Res. 56: 961-970. Chen, X. (1994). Neway Program. International Feed Resources Unit. Rowett Research Institute, Backburn, Aberdeen. Davis, G.V. & A.B. Erhart. 1976. Effect of monensin and urea in finishing steer rations. J. Anim. Sci. 43:1-7. Dehority, B. A. 2004. Rumen Microbiology. Nottingham University Press, Nottingham. Direktorat Jenderal Peternakan. 2012. Pasokan Daging Sapi 2012 Aman. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/23/ly8fuf-dirjen peternakan-pasokan-daging-sapi-2012-aman.[2 April 2012]. Friggens, N.C., J. D. Oldman, R. J. Dewhurst, & G. Horgan. 1998. Proportions of volatile fatty acids in relation to the chemical composition of feed based on grass silage. J. Diary Sci. 81:1331-1344. Getachew, G., M. Blümmel, H. P. S. Makkar & K. Becker. 1998. In vitro gas measuring techniques for assessment of nutritional quality of feeds: a review. Anim. Feed Sci. Techno. 72: 261-281. Getachew, G., W., Pittroff, D. H. Putman, A. Dandekar, S. Goyal & E. J. De Peters. 2008. The influence of addition of gallic acid, tannic acid, or quebracho tannins to alfalfa hay on in vitro rumen fermentation and microbial protein synthesis. Anim. Feed Sci. Techno. 140:444-461.
Hendrawan. 2002. Kebutuhan gizi ternak ruminansia menurut standar fisiologisnya. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya, Malang. Hedqvist, H. 2004. Metabolism of soluble proteins by rumen microorganisms and the influence of condensed tannins on nitrogen solubility and degradation. Thesis. Swedish University of Agricultural Sciences, Uppsala. Hervas, G., P. Frutos, E. Serrano, A. R. Mantecon & F. J. Giraldez. 2000. Effect of tannic acid on rumen degradation and intestinal digestion of treated soya bean meals in sheep. J. Agric. Sci. 135: 305-310. Hidayat, M. S., M. Iskandar, & A. Faridi. 2000. Peningkatan kadar protein dan daya terima tepung gaplek dengan substitusi tepung kedelai. Usul Penelitian Hibah Bersaing. Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Jakarta. Holzer, Z., D. Ilan, & D. Levy. 1979. A note on the effects of monensin on the performance and on rumen metabolites of intake male cattle. Anim. Prod. 28:135-137. Hungate, R.E. 1966. The Rumen and Its Microbes. Academic Press, New York. Jayanegara, A. 2008a. Reducing methane emissions from livestock: nutritional approaches. Proceedings of Indonesian Students Scientific Meeting (ISSM), Institute for Science and Technology Studies (ISTECS) European, Netherlands. Jayanegara, A. & A. Sofyan. 2008b. Penentuan aktivitas biologis tannin beberapa hijauan secara in vitro menggunakan „Hohenheim Gas Test‟ dengan polietilen glikol sebagai determinan. Med. Pet. 31: 44-52. Jayanegara, A., A. Sofyan, H.P.S. Makkar & K. Becker. 2008c. Kinetika produksi gas, kecernaan bahan organik dan produksi gas metana in vitro pada hay dan jerami yang disuplementasi hijauan mengandung tanin. Med. Pet. 32: 120129. Jayanegara, A., H.P.S. Makkar & K. Becker. 2008d. Emisi metana dan fermentasi rumen in vitro ransum hay yang mengandung tanin murni pada konsentrasi rendah. Med. Pet. 32: 184-194. Jayanegara, A., N. Togtokhbayar, H.P.S. Makkar & K. Becker. 2009e. Tannins determined by various methods as predictors of methane production reduction potential of plants by an in vitro rumen fermentation system. Anim. Feed Sci. Technol. Kamra, D. N. 2005. Rumen microbial ecosystem. J. Current Sci. 89: 124-135. Kardinan, A. 2002. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta. Lubis, D. A. 1992. Ilmu Makanan Ternak. Cetak ulang. PT Pembangunan. Jakarta.
Makkar, H. P. S., G. Francis & K. Becker. 2007. Bioantivity of phytochemical in some lesser-known plants and their effects and potential applications in livestock and aquaculture production system. Animal 1: 1371-1391. McDonald, P., R. A. Edward, J. F. D. Greenhalgh, & C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th Edition. Scientific and Tech John Willey & Sons. Inc, New York. McDowell, L.R. 1992. Mineral in Animal and Human Nutrition. Academic Press, London. Menke, K.H. & H. Steingass. 1988. Estimation of the energetic feed value obtained from chemical analysis and in vitro gas production using rumen fluid. Anim. Res. Develop., 28: 7-55. Ogimoto, K & S. Imai. 1981. Atlas of Rumen Microbiology. Japan Scientific Societies Press: Tokyo. Ørskov, E.R. & I. McDonald. 1979. The estimation of protein degradability in the rumen from incubation measurements weighted according to rate of passage. J. Agric. Sci. 92: 499-503. Owens, F. N. & Zinn. 1988. Protein metabolism of ruminant animals. In: D.C. Church (Ed). The ruminant animal digestive physiology and nutrition prentice hall, Engelwood Cliffs, New Jersey. pp.227-249. Petersen S.O & Ambus P. 2006. Methane oxidation in pig and cattle slurry storages, and effects of surface crust moisture and methane availability. Nutrient Cycling in Agroecosystems. 74:1-11. Pinares, P. C., M. J. Ulyat, C. W. Holmes, T. N. Barry, & K. R. Lassey. 2001. Some rumen digestion characteristics and metana emission in sheep. In: Energy Metabolism in Animals. (Eds: A.Chwalibog and K. Jacobson). Proc. of The th 15 Symposium on Energy Metabolism in Animals. EAAAP Publ.,no. 103, Denmark. Pott, E.B., P.R. Henry, C.B. Ammerman, A.M. Merritt, J.B. Madison, & R.D. Miles. 1994. Relative bioavaibility of copper in a copper-lysine complex for chicks and lambs. Anim. Feed Sci. And Technol., 45:193-203. Prabowo, A., A. Djajanegara, D. Lubis, & I. Inounu, 1995. Manipulasi aktivitas pencernaan mikroba dengan mineral (Fe, Mn, Zn, Cu, Co, MO) pada domba: 2. Penelitian in vivo. Laporan Hasil-Hasil Penelitian APBN 1994/1995, Balitnak. Prihandono, R. 2001. Pengaruh suplementasi probiotik bioplus, lisinat Zn dan minyak lemuru (Sardinella longiceps) terhadap tingkat penggunaan pakan dan produksi fermentasi rumen domba. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Puchala, R., B.R. Min, A.L. Goetsch & T. Sahlu. 2005. The effect of a condensed tannin-containing forage on methane emission by goats. J. Anim. Sci. 83: 182-186. Ratnaningsih, A. 2000. Pengaruh pemberian Probiotik Saccharomyces cerevisiae dan bioplus pada ransum ternak domba terhadap konsumsi bahan kering, kecernaan dan konversi ransum (in vivo). Skripsi Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran . Bandung . Rukmana. 2005. Budidaya rumput unggul hijauan makanan ternak. Kanisius, Yogyakarta. Rust, S. R., F. N. Owens, J. H. Thornton & R. W. Font. 1978. Monensin and digestibility of feedlot rations. J. Anim. Sci. 47 (Suppl. 1) : 437. Siregar, H. C. H. 1986. Kecernaan bahan kering dan bahan organik dari ransum berbahan dasar jerami padi dengan kadar monensin yang berbeda pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis). Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sofyan, A. 2011. Efektivitas Inokulum Bakteri Asam Laktat dan Khamir dari Isolat Alami dengan Penambahan Dedak Padi Terhadap Kualitas Silase Rumput Raja (Pennisetum hybrid). Tesis. Sekolah Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Steel, R. G.D & J.H. Torrie. 1981. Principles and Procedural of Statistics, A. Biometrical Approach. 2nd Editon, McGraw – Hill Internasional Book Co. Tokyo. Subrata, A., L. M. Yusianti, & A. Agus. 2005. Pemanfaatan tanin ampas teh terhadap efek defaunasi, parameter fermentasi rumen dan sintesis protein mikroba secara in vitro. Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sukrasno & Tim Lentera. 2003. Mengenal lebih dekat mimba tanaman obat multifungsi. Jakarta: Agromedia Pustaka. Susanti, M. C. E. 2000. Autokondensat tanin dan penggunaan sebagai perekat kayu lamina. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soetanto, H. 2004. Mikrobiologi Rumen. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya, Malang. http://images.hendrawansoetanto.multiplycontent.com. [10 Januari 2013]. Syahrir, S., K. G. Wiryawan, A. Parakkasi, M. Winugroho, & O. N. P. Sari. 2009. The effectivity of Mulberry leaves to substitute concentrate in the in vitro ruminal system. Med. Pet. 32(2): 112-119. Tilley, J.M.A & R.A. Terry. 1963. A two-stage technique for the in vitro digestion of forage crops. J. Brit. Grassland Soc. 18:104-111.
Tan, H. Y., C. C. Sieo, N. Abdullah, J. B. Liang, X. D. Huang, & Y. W. Ho. 2011. Effects of condensed tannins from Leucaena on methane production, rumen fermentation and populations of methanogens and protozoa in vitro. J. Anim. Feed. Sci. 169: 185-193. Takahashi, J. 2006. Greenhouse gases emission and sustainable development of animal agriculture. http://ir.obihiro.ac.jp/dspace/bitstream.pdf. [16 Oktober 2012]. Tavendale, M.H., L.P. Meagher, D. Pacheco, N. Walker, G.T. Attwood & S. Sivakumaran. 2005. Methane production from in vitro rumen incubation with Lotus pedunculatus and Medicago sativa, and effects of extractable condensed tannin fractions on methanogenesis. Anim. Feed Sci. Technol. 123/124: 403-419. Tillman, H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, Prawirokusumo & Lebdosoekojo, 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-3. Penerbit Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta. Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Yiannikouris, A., G. Andre, l. Poughon, J. Francois, C.G. Dussap, G. Jeminet, G. Bertin & J.P. Jouany. 2006. Chemical and conformational study of the interactions involved in Mycotoxin complexation with beta-dglucans. Biomacromolecules 7: 1147-1155.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis Ragam Kecernaan Bahan Kering Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total
Derajat Bebas (db) 6 14 20
Jumlah Kuadrat (JK) 2332,378 404,296 2736,674
Kuadrat Tengah (KT) 388,730 28,878
F hit
Signifikansi (Sig.)
13,461
0,0001
Uji Lanjut Duncan Hasil Kecernaan Bahan Kering (P<0,01) Perlakuan
N
Subset 1 3,21393
2 3 3 3 3 3 3
PM PMO PA POA PO PMA P
2 6,01971 6,04710 6,13188 6,30300 6,31451 6,39498
Lampiran 2. Analisis Ragam Kecernaan Bahan Organik Komponen
Derajat Bebas (db)
Perlakuan Galat Total
6 14 21
Jumlah Kuadrat (JK) 36,755 189,052 81507,149
Kuadrat Tengah (KT) 6,126 13,504
F hit
Signifikansi (Sig.)
0,454
0,831
Lampiran 3. Analisis Ragam Jumlah Protozoa Komponen
Derajat Bebas (db)
Perlakuan Galat Total
6 14 21
Jumlah Kuadrat (JK) 4,378 11,421 240,187
Kuadrat Tengah (KT) 0,730 0,816
F hit
Signifikansi (Sig.)
0,894
0,525
Lampiran 4. Analisis Ragam Konsentrasi Amonia Komponen
Derajat Bebas (db)
Perlakuan Galat Total
6 13 20
Jumlah Kuadrat (JK) 15,882 25,009 347,596
Kuadrat Tengah (KT) 2,647 1,924
F hit
Signifikansi (Sig.)
1,37
0,295
Lampiran 5. Analisis Ragam Konsentrasi Gas Metana Komponen
Derajat Bebas (db)
Perlakuan Galat Total
6 14 21
Jumlah Kuadrat (JK) 11.113 5,531 3064,673
Kuadrat Tengah (KT) 1,852 0,790
F hit
Signifikansi (Sig.)
2,344
0,145
Lampiran 6. Analisis Ragam Nilai Volatil Fatty Acid Komponen
Derajat Bebas (db)
Perlakuan Galat Total
6 7 14
Jumlah Kuadrat (JK) 7432,219 3200,247 72974,912
Kuadrat Tengah (KT) 1238,703 457,178
F hit
Signifikansi (Sig.)
2,709
0,109
F hit
Signifikansi (Sig.)
5,971
0,004
Lampiran 7. Analisis Ragam Produksi Gas Total Komponen
Derajat Bebas (db)
Perlakuan Galat Total
6 12 19
Jumlah Kuadrat (JK) 48,954 16,399 39430,643
Kuadrat Tengah (KT) 8,159 1,367
Uji Lanjut Duncan Produksi Gas Total (P<0,01) Perlakuan
N
POA PMO PA P PM PO PMA
2 3 3 3 3 3 3
Subset 1 4,15479
2 4,51574 4,51705 4,53746 4,60834 4,70319 4,74393
Lampiran 8. Analisis Ragam Kecepatan Produksi Gas Komponen
Derajat Bebas (db)
Perlakuan Galat Total
6 14 21
Jumlah Kuadrat (JK) 0,235 0,526 0,924
Kuadrat Tengah (KT) 0,039 0,038
F hit
Signifikansi (Sig.)
1,040
0,441
Lampiran 9. Komposisi media selektif Nama Media Produsen Dosis
: : :
Malt Extract Broth Oxoid ® 20 g / liter akuadestilata
Formula dalam g/l Komponen Malt extract Mycological peptone Nama Media Produsen Dosis
Jumlah 17,0 3,0 : : :
Malt Extract Agar Oxoid ® 50 g / liter akuadestilata
Formula dalam g/l Komponen Malt extract Mycological peptone Agar
Jumlah 30,0 5,0 15,0
Lampiran 10. Komposisi larutan buffer rumen untuk uji produksi gas in vitro No. I II
III
IV
V
VI
Jenis reagen Akuadestilata Mineral makro Na2HPO4 KH2PO4 MgSO4 7.H2O H2O (sampai vol.) Mineral mikro CaCl2 2.H2O MnCl2 4. H2O CoCl2 6.H2O FeCl2 6.H2O H2O (sampai vol.) Buffer NaHCO3 (NH4) HCO3 H2O (sampai vol.) Resazurin Resazurin H2O (sampai vol.) Pereduksi NaOH (1 N) Na2S 7.H2O H2O (sampai vol.) Jumlah (I-VI)
Jumlah 474 127,980 0,729 0,793 0,076 127,980 0,064 0,008 0,006 0,001 0,001 0,064 127,980 4,479 0,512 127,980 0,659 0,001 0,659 26,730 1,125 0,160 26,730 1000,000
Satuan ml ml g g g ml ml g g g g ml ml g g ml ml Mg ml ml ml mg ml ml