Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
RANSUM BERBASIS KULIT BUAH KAKAO DIPERKAYA MINERAL: TINJAUAN PADA KECERNAAN DAN FERMENTASI RUMEN IN VITRO (Cacao Pod Based Ration Enriched with Mineral: Evaluation on Digestibility and Rumen Fermentation In Vitro) WISRI PUASTUTI, D. YULISTIANI dan SUPRIYATI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT The utilization of cacao pod as an alternative feed can reduce dependency on grass as feed resource for ruminants. The reseach was conducted with an objective to evaluate digestibility and fermentation of ration based on cacao pod that enriched with Zn-organic. The ration consists of 50% King grass or cacao pod as basal diet and 50% concentrate. Cacao pod basal diet was untreatment or treated with urea (ammonia treatment). The ration was formulated in iso energy and iso protein (TDN 75% and CP 16%). Five rations were formulated as follows: R0 = grass + concentrate; R1 = untreated cacao pod + concentrate + 1% urea; R2 = untreated cacao pod + concentrate + 1% urea + 60 ppm Zn organic; R3 = ammoniated cacao pod + concentrate + 1% urea; R4 = ammoniated cacao pod + concentrate + 1% urea + 60 ppm Zn ogganic. The experiment was conducted using randomized complete design with 5 replications. The results show that the ration based on grass (R0) produce less NH3-H concentration (P < 0.0001) than other ration (R1-R4), i.e. R0 = 3,17 < R1 = 4,07; R2 = 3,84 < R3 = 4,53; R4 = 4,66 mM. In contrast, R1-R4 produce lower in vitro dry matter digestibility (P<0,0001) than R0, i.e. R1 = 57,09; R2 = 57,13; R3 = 56,34; R4 = 59,11% vs R0 = 70,96%. However, total VFA production was not significantly different. From this study can be concluded that proportion of grass in ration could be substituted by cacao pod, although ration based on cacao pod produced lower dry matter digestibility than ration based on grass but its VFA production was similar. Key Words: Cocoa Pod, Digestibility, Fermentation, In Vitro ABSTRAK Pemanfaatkan kulit buah kakao (KBK) sebagai bahan pakan alternatif dapat mengurangi ketergantungan pada rumput sebagai sumber pakan untuk ruminansia. Penelitian bertujuan untuk mempelajari kecernaan dan fermentasi ransum berbasis KBK sebagai bahan pakan alternatif pengganti rumput yang diperkaya dengan Zn organik. Ransum terdiri atas 50% rumput raja atau biomasa KBK dan 50% konsentrat. Biomasa KBK terdiri atas KBK asli dan amoniasi. Ransum dasar disusun iso energi dan iso protein (TDN 75% dan PK 16%). Lima ransum percobaan berbasis biomasa KBK adalah: R0 = Rumput + konsentrat; R1 = KBK asli + konsentrat + 1% urea; R2 = KBK asli + konsentrat + 1% urea + 60 ppm Zn organik; R3 = KBK amoniasi + konsentrat + 0,5% urea; R4 = KBK amoniasi + konsentrat + 0,5% urea + 60 ppm Zn organik - Percobaan in vitro dilakukan mengikuti rancangan acak lengkap dengan 5 kali ulangan. Ransum berbasis rumput (R0) menghasilkan kadar N-NH3 yang paling rendah (P < 0,0001) dibandingkan dengan ransum lainnnya (R1-R4) yaitu R0 = 3,17 < R1 = 4,07; R2 = 3,84 < R3 = 4,53; R4 = 4,66 mM, sebaliknya R1-R4 menghasilkan kecernaan BK in vitro yang menurun (P<0,0001) yaitu R0 = 70,96 vs R1 = 57,09; R2 = 57,13; R3 = 56,34; R4 = 59,11%. Namun demikian VFA total yang dihasilkan tidak menunjukkan perbedaan. Kesimpulannya adalah proporsi rumput dalam ransum dapat digantikan oleh biomasa KBK, walaupun ransum berbasis KBK menghasilkan kecernaan BK in vitro yang lebih rendah tetapi produk VFA yang dihasilkan serupa. Kata Kunci: Ransum, Kulit Buah Kakao, Kecernaan, Fermentasi, In Vitro
442
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
PENDAHULUAN Hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali DKI Jakarta, menghasilkan kakao. Maka tak salah bila Indonesia menduduki peringkat ke dua dunia atau utama di wilayah Asia Oceania sebagai produsen kakao dengan produksi 425 ribu ton diikuti Papua New Guinea dan Malaysia (LRPI, 2009). Produksi biji kakao tersebut diikuti dengan kulit buah kakao yang berlimpah. Perbandingan komposisi antara kulit buah, biji kakao dan plasenta adalah masing-masing 74 : 24 : 2 (segar) atau 50,8 : 47,2 : 2 (kering) (HARYATI dan MARDJOSUWITO, 1984). Berdasarkan komposisi tersebut maka dari produksi kakao sebesar 425 ribu ton setiap tahun akan tersedia minimal 1.310.000 ton kulit buah kakao (KBK) segar atau 395.000 ton KBK kering. Kulit buah kakao memiliki kandungan protein yang bervariasi dan mendekati kandungan protein dari rumput. Menurut laporan yang dikumpulkan oleh SMITH (2009) KBK yang dikeringkan mengandung sekitar 6 – 10% protein, 24 – 42% serat kasar, 49 – 64% BETN, 9 – 16% abu. Sampai saat ini KBK belum banyak dimanfaatkan sebagai bahan pakan kecuali sebagai pupuk. Namun demikian, penempatan KBK di sekitar kebun lebih banyak mengotori lingkungan perkebunan bahkan menimbulkan banyak masalah terhadap tanaman perkebunan dibandingkan dengan manfaatnya sebagai pupuk. Menumpuknya KBK menimbulkan pembusukan karena kelembaban dan temperatur yang tinggi, bahkan cendawan mikotoksin Phytopthora palmivora (Butler) dapat berkembang dengan baik. Cendawan ini dilaporkan dapat menjadi hama dan penyakit busuk buah, hawar daun dan kanker batang pada tanaman kakao (LOPEZ et al., 1984). Oleh karena itu, untuk memanfaatkan KBK sebaiknya dikeluarkan dari lokasi perkebunan agar tanaman kakao terhindar dari penyakit tersebut. Disamping diolah menjadi pupuk, KBK juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak untuk menggantikan sumber-sumber pakan konvensional. Penggunaan KBK sebagai pakan pengganti rumput dapat mengurangi dampak negatif dari pembusukan kulit buah kakao, mengatasi masalah kekurangan rumput pada musim kemarau dan mengurangi waktu
petani mencari rumput, sehingga waktu yang ada bisa dimanfaatkan untuk kegiatan lain yang lebih produktif. Berdasarkan aspek nutrien KBK memiliki kandungan lignin yang tinggi (38,78%) sehingga dapat mempengaruhi daya cerna. KBK juga mengandung alkaloid theobromin (3,7-dimethyl xanthine) sebanyak 0,17 – 0,22% (WONG dan HASAN, 1988) atau 1,5-4 g/kg bahan kering, kafein (1,3,7-trimetilxanthine) sebanyak 1,8 – 2,1% dan juga mengandung tanin (GOENADI dan PRAWOTO, 2007). Adanya senyawa theobromin pada KBK dilaporkan memiliki efek negatif, karena dapat menghambat pertumbuhan mikroba rumen sehingga menurunkan kemampuan mencerna serat dan menyebabkan diare. Respon negatif muncul pada saat konsumsi theobromin lebih dari 300 mg/kg bobot hidup dengan indikasi penurunan konsumsi dan bobot hidup (EFSA, 2008). Adanya kafein diketahui mempunyai efek diuretik. Tanin dilaporkan dapat mengendapkan protein dan karbohidrat sehingga mempengaruhi ketersediaan nutrien KBK (PURNAMA, 2004). Pada KBK dilaporkan memiliki kadar lignin dan tanin masing-masing sebesar 23,65 dan 0,84% untuk KBK sehingga memiliki kecernaan bahan kering rendah yaitu 29,27% (RINDUWATI dan ISMARTOYO, 2002). Biomasa KBK juga bersifat tidak tahan lama bila disimpan dalam keadaan segar sehingga perlu penanganan tersendiri bila digunakan sebagai pakan ternak. KBK yang disimpan lebih dari 24 jam menjadi mudah berjamur di bawah kondisi lembab, sehingga menyebabkan tidak palatabel (OLUBAJO et al., 2009). Upaya meningkatkan nilai nutrisi KBK dan mengatasi berlimpahnya produksi KBK perlu dilakukan pengolahan seperti amoniasi. Amoniasi merupakan pengolahan secara alkali dengan penambahan urea. Urea sering digunakan untuk meningkatkan kecernaan pakan serat melalui proses amoniasi (VAN SOEST, 2006). Proses amoniasi dengan menggunakan urea lebih mudah, murah dan lebih aman dibandingkan proses alkali lainnya dan dapat meningkatkan kadar N (nitrogen). Meningkatnya kadar N asal urea dapat mensuplai kebutuhan N bagi mikroba rumen. Agar ternak dapat memanfaatkan secara optimal bahan pakan yang memiliki kecernaan rendah, maka penambahan sejumlah mineral perlu dilakukan. Penambahan mineral Zn-
443
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
metionin dalam pakan dapat meningkatkan kecernaan komponen serat kasar tinggi (HARYANTO et al., 2002). Meningkatnya kecernaan mengindikasikan adanya peningkatan aktivitas fermentasi mikroba rumen, dimana unsur seng berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan mikroba rumen. Berdasarkan pemahaman di atas maka tujuan penelitian adalah untuk mempelajari kecernaan dan fermentasi ransum berbasis KBK sebagai bahan pakan alternatif pengganti rumput melalui suplementasi Zn organik. MATERI DAN METODE Kegiatan diawali dengan menyiapkan biomasa KBK. Biomasa KBK selanjutnya dicacah untuk memperkecil ukuran. Pada pengolahan amoniasi, KBK yang sudah dicacah dicampur secara homogen dengan urea teknis sebanyak 1,5% (b/b). Campuran dimasukkan ke dalam wadah dan ditutup untuk menjaga kondisi anaerob selama 7 hari (LACONI, 1998). Setelah 7 hari biomasa KBK selanjutnya dikeringkan. Biomasa KBK yang tanpa diolah (KBK asli) setelah dicacah langsung dikeringkan. Keduanya, KBK asli maupun amoniasi setelah kering kemudian digiling untuk keperluan formulasi ransum percobaan. Ransum terdiri atas 50% rumput/biomasa KBK dan 50% konsentrat. Rumput yang digunakan adalah rumput raja yang digiling. Ransum dasar disusun iso energi dan iso protein (TDN 75% dan PK 16%). Pada ransum berbasis KBK asli ditambahkan urea 1% dan ransum berbasis KBK amoniasi ditambahkan urea 0,5%, guna menjamin ketersediaan amonia rumen. Penambahan mineral Zn dilakukan untuk meningkatkan kecernaan pakan. Mineral Zn organik merupakan hasil sintesis ZnSO4 melalui fementasi media beras dengan mikroba Sacharomyces cerevisiae. Susunan ransum percobaan berbasis biomasa KBK disajikan adalah: R0 = Rumput + konsentrat R1 = KBK asli + konsentrat + 1% urea R2 = KBK asli + konsentrat + 1% urea + 60 ppm Zn organik R3 = KBK amoniasi + konsentrat + 0,5% urea
444
R4 = KBK amoniasi + konsentrat + 0,5% urea + 60 ppm Zn organik Konsentrat disusun dari dedak padi halus 30,3%, jagung giling 24,2%, polar 19,2%, bungkil kedelai 24,2% dan tepung ikan 2,1%. Ransum percobaan diuji kecernaan BK in vitro selama 48 jam mengikuti metode TILLEY dan TERRY (1969) dan pengukuran fermentabilitas dilakukan pada waktu 3 jam setelah fermentasi in vitro. Pengukuran parameter fermentabilitas meliputi pH (menggunakan pH Meter), kadar NH3 dengan mikrodifusi Conway dan VFA diukur dengan teknik kromatografi gas (DEPT. DAIRY SCI., 1966). Percobaan dilakukan mengikuti rancangan acak lengkap dengan 5 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan program linier dan uji nilai tengah Duncan (SAS, 1997). HASIL DAN PEMBAHASAN Biomasa KBK yang diamoniasi digunakan sebagai bahan pengganti rumput dalam formulasi ransum. Komposisi rumput dalam ransum sejumlah 50% kesemuanya digantikan oleh KBK. Hasil pengujian kecernaan bahan kering (BK) ransum in vitro selama 2 X 24 jam di dalam rumen dan fermentabilitas ransum diukur setelah fermentasi 3 jam. Pengambilan sampel untuk mengukur produk fermentasi ransum di dalam rumen dilakukan setelah 3 jam dengan asumsi sama dengan waktu 3 jam setelah pemberian pakan. Penentuan waktu pengukuran ini berdasarkan petunjuk SUTARDI (1994) bahwa proses fermentasi di dalam rumen berlangsung optimal setelah antara 2 – 6 jam setelah pemberian pakan dan yang dilakukan oleh ADAWIAH (2005) serta PUASTUTI et al. (2006). Ketersediaan N-NH3 dan derajat keasaman dalam rumen (in vitro) Derajat keasaman di dalam rumen sangat penting untuk mendukung bioproses mikroba rumen. Nilai pH cairan rumen pada ransum berbasis rumput maupun KBK berada pada kisaran pH netral (Tabel 1). Nila pH cairan rumen dipengaruhi oleh perbedaan ransum percobaan (P < 0,0122) dan tertinggi pada ransum R4 yang mengandung KBK amoniasi
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
Tabel 1. Ketersediaan N-NH3 dan derajat keasaman dalam rumen (in vitro) Parameter
R0
R1
R2
R3
R4
Pr > F
pH
6,574ab
6,464abc
6,346bc
6,324c
6,692a
0,0122
N-NH3 (mM)
3,178c
4,076b
3,844b
4,532a
4,662a
0,0001
Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata; R0 = Rumput + Konsentrat (Kontrol positif); R1 = Biomasa KBK asli + Konsentrat; R2 = Biomasa KBK asli + Konsentrat + Zn-Organik; R3 = Biomasa KBK amoniasi + Konsentrat; R4 = Biomasa KBK amoniasi + Konsentrat + Zn-Organik
dan adanya tambahan urea turut mengkontribusi sifat alkali cairan rumen melalui perombakan amonium. Adanya suplementasi Zn organik tidak memberikan pengaruh terhadap nilai pH. Secara keseluruhan nilai pH menunjukkan kondisi rumen yang normal, seperti yang dipalorkan oleh ORSKOV dan RYLE (1990) nilai pH cairan rumen yang normal adalah 6,0 – 7,3. Produksi N-NH3 di dalam rumen bergantung pada sumber dan jumlah protein yang didegradasi. Ransum berbasis rumput (R0) menghasilkan kadar N-NH3 yang paling rendah (P < 0,0001) dibandingkan dengan ransum lainnnya (R1-R4). Kadar N-NH3 pada R1-R4 disebabkan oleh adanya tambahan urea dan atau proses amoniasi pada KBK (3,17 vs 4,07; 3,84; 4,53; 4,66 mM). Secara keseluruhan kadar N-NH3 relatif rendah, karena waktu fermentasi 3 jam diduga belum cukup waktu bagi mikroba rumen untuk merombak sumber protein pakan, terutama sumber protein yang tahan degradasi (bypass rumen). Pada percobaan ini R0 tidak mengandung urea, ransum R1-R4 mengandung KBK yang mengandung protein tahan degradasi rumen. Rekomendasi minimal ketersediaan N-NH3 di dalam rumen sebesar 3,57 mM untuk mendukung aktivitas mikroba rumen (SATTER dan SLYTER, 1974), atau dalam kisaran 4-12 mM (SUTARDI, 1994). Produksi NH3 yang lebih tinggi dihasilkan dari ransum berbasis KBK amoniasi (R3, R4) dibandingkan dengan KBK asli (R1, R2) baik disuplementasi Zn organik maupun tidak yaitu (4,53mM; 4,66 mM vs 3,17 mM; 4,08 mM). Suplementasi Zn organik belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap aktivitas mikroba rumen sehingga kadar N-NH3 yang dihasilkan juga tidak berbeda. Selain adanya tambahan urea, amoniasi dengan urea pada KBK mampu menyediakan nitrogen bukan protein (NPN) untuk menyediakan N-NH3 dalam waktu cepat.
Konsentrasi N-NH3 akan meningkat dengan penggunaan urea dalam ransum hingga waktu 3 jam pertama setelah pemberian pakan (KOZLOSKI et al., 2000). Kecernaan BK dan produksi VFA dari ransum berbasis biomasa kulit buah kakao (in vitro) Penggunaan biomasa KBK sebagai pengganti rumput menghasilkan kecernaan BK in vitro yang menurun (R0 vs R1-R4) seperti pada Gambar 1. Menurunnya kecernaan BK diduga karena kadar serat ADF dari KBK (57,86%) lebih tinggi dibandingkan dengan serat ADF rumput (47,16%). Amoniasi KBK dan suplementasi Zn organik belum menghasilkan kecernaan BK in vitro yang berbeda dibandingkan dengan KBK asli (R3, R4 vs R1, R2) . Keadaan ini mengindikasikan bahwa ikatan lignin pada KBK tidak peka terhadap amoniasi. Hal ini diduga karena KBK mengandung ester yang rendah dan gugus methoxyl yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumput-rumputan. Dibandingkan dengan ikatan ester, ikatan antara lignin karbohidrat dengan gugus methoxyl lebih sulit dipotong oleh alkali sehingga adanya proses amoniasi pada KBK menjadi kurang efektif dibandingkan dengan amoniasi rumput-rumputan (TUAH dan ORSKOV, 2007). Adanya lignin yang tinggi (23,65%) dan senyawa sekunder tanin sebesar 0,84% dapat menurunkan kecernaan bahan kering (RINDUWATI dan ISMARTOYO, 2002). Di sisi lain adanya suplementasi Zn organik belum efektif meningkatkan pertumbuhan mikroba rumen, sehinga aktivitas fermentasi di dalam rumen juga tidak meningkat, yang ditunjukkan dengan produk fermentasi VFA total yang tidak berbeda. Secara keseluruhan
445
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
80,00 70,98a
70,00 57,69b
60,00
57,13b
56,34b
59,11b
50,00 40,00
30,62
31,22
34,13
30,82 27,31
30,00 20,00 R0
R1
R2
R3
Ransum
R4 KBK (%) VFA Total (mM)
Gambar 1. Kecernaan BK dan VFA total dari ransum berbasis biomasa KBK
produksi VFA relatif rendah, karena pengukuran produk fermentasi dilakukan pada 3 jam setelah inkubasi dalam rumen. Biomasa KBK mengandung serat ADF yang tinggi sehingga waktu 3 jam inkubasi dalam cairan rumen belum cukup kesempatan untuk didegradasi oleh mikroba rumen. Semakin lama waktu tinggal pakan di dalam rumen dapat memberikan kesempatan pada mikroba untuk mendegradasi pakan. Rendahnya kadar VFA juga disebabkan oleh rendahnya kadar NNH3 dalam rumen untuk mencukupi kebutuhan minimum bagi sintesis protein mikroba rumen yaitu 3,57 mm (SATTER dan SLYTER, 1974) sementara kebutuhan optimal untuk efisiensi energi sebesar 7 – 8 mm (ERWANTO et al., 1993).
Dilihat dari proporsi VFA pada Tabel 2, menunjukkan bahwa kelima ransum percobaan mengandung sumber energi dari serat tinggi, yang ditunjukkan dengan proporsi C2 yang lebih tinggi dibandingkan C3 seperti pada nilai rasio C2 : C3 yakni rata-rata 3. Kesemua proporsi C2, C3 dan nC4 tidak menunjukkan perbedaan karena pemberian rumput atau KBK. Hanya pada proporsi iC4 dan iC5 yang berbeda karena perbedaan rumput dan KBK dalam ransum. Pada ransum berbasis rumput (R0) menghasilkan proporsi iC4 dan iC5 yang lebih tinggi dibandingkan ransum berbasis KBK (R1-R4) memperjelas bahwa protein dari KBK sebagian besar tahan degradasi rumen yang disebabkan oleh tingginya kadar tanin.
Tabel 2. Nilai ratan VFA ransum berbasis biomasa KBK (in vitro) Uraian C2 (%) C3 (%) iC4 (%)
R0 69,56 23,61 1,22a
R1 70,73 23,16 0,85b
R2 71,52 23,43 0,73b
R3 70,91 23,15 0,80b
R4 73,68 21,09 0,80b
Pr > F 0,1914 0,1390 0,0124
nC4 (%) iC5 (%) C2 : C3
3,54 1,58a 2,98
4,00 1,27b 3,06
3,81 1,16b 3,07
3,90 1,23b 3,07
3,54 0,88c 3,52
0,7498 0,0002 0,1095
Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata; R0 = Rumput + Konsentrat (Kontrol positif); R1 = Biomasa KBK asli + Konsentrat; R2 = Biomasa KBK asli + Konsentrat + Zn-Organik; R3 = Biomasa KBK amoniasi + Konsentrat; R4 = Biomasa KBK amoniasi + Konsentrat + Zn-Organik
446
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
KESIMPULAN Penggunaan biomasa KBK sebagai pengganti rumput menghasilkan kecernaan BK in vitro ransum yang lebih rendah. Melalui proses amoniasi pada KBK dan suplementasi Zn organik belum meningkatkan kecernaan BK ransum. Secara umum ransum berbasis rumput dan KBK baik yang diamoniasi maupun KBK asli, baik yang disuplementasi Zn organik maupun tidak menghasilkan aktivitas bioproses di dalam rumen yang tidak berbeda sehingga diperoleh produk VFA yang serupa. DAFTAR PUSTAKA ADAWIAH. 200. Respons produktivitas dan kualitas susu pada suplementasi sabun mineral dan mineral organik serta kacang kedelai sangrai dalam ransum ternak ruminansia. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. DEPARTMENT OF DAIRY SCIENCE. 1966. General Laboratory Procedure. University of Wisconsin, Madison. EFSA. 2008. Theobromine as undesirable substance in animal feed. Scientific opinion of he panel on contaminants in the food chain. The EFSA J. 725: 1 – 66. GOENADI, D.H. dan A.A. PROWOTO. 2007. Kulit buah kakao sebagi bahan pakan ternak. Makalah Seminar dan Ekspose Sistem Integrasi Tanaman Pangan dan Ternak. Bogor, 22 – 23 Mei 2007. KP Muara, Bogor. HARYANTO, B., D. LUBIS, A. THALIB, SUPRIYATI dan S.N. JARMANI. 2002. Studi manipulasi rumen untuk meningkatkan nilai nutrisi pada domba. Laporan Penelitian Balai Penelitian Ternak, Bogor. HARYATI, T. dan B. MARDJOSUWITO. 1984. Pemanfaatan Limbah Cokelat sebagai Bahan Dasar Pembuatan Pektin, Menara Perkebunan. Balai Penelitian Perkebunan, Bogor. KOZLOSKI, G.V., H.M.N. RIBEIRO and J.B.T. ROCHA. 2000. Effect of the substitution of urea for soybean meal on digestion in steer. Can, J. Anim. Sci. 80: 713 – 719. LACONI, E.B. 1998. Peningkatan Mutu Pod Cacao Melalui Amoniasi dengan Urea dan Biofermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium serta Penjabarannya ke dalam Formulasi Ransum Ruminansia. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LOPEZ, A.S., H.I.S. FERREIRA, A.L. AIRTON and P. OMEU. 1984. Present status of cocoa by product utilization in Brazil. Proc. International Cocoa Research Conference. Lome Togo, Brazil. LRPI (Lembaga Riset Perkebunan Indonesia). 2009. Kakao Indonesia dikancah perkakaoan dunia. http://www.ipard.com/art_perkebun/nov5-04_ her-I.asp. (2 Februari 2008) OLUBAJO, F.O., M.M. ASONIBARE and E.O. AWOLUMATE. 2009. Cocoa-pod silage and cocoa-pod grass silage in goat and sheep nutrition. http://www.ilri.org/InfoServ/Web pub/Fulldocs/X5490e/x5490e0t.hm. (29 Januari 2007). ORSKOV, E.R. and M. RYLE. 1990. Energy Nutrition in Ruminant. Elsevier Appl. Sci., London. PUASTUTI, W., I-W. MATHIUS dan D. YULISTIANi. 2006. Bungkil kedelai terproteksi cairan batang pisang sebagai pakan imbuhan ternak domba: In sacco dan in vivo. JITV 11: 106 – 115. PURNAMA, I.N. 2004. Kajian Potensi Isolat Kapang Pemecah Ikatan Tanin pada Kulit Buah Kakao (Theobromti cacao L). Skripsi. Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Departemen Ilmu Nutrisis dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. RINDUWATI dan ISMARTOYO. 2002. Karakteristik degradasi beberapa jenis pakan (in sacco) dalam rumen ternak kambing. Bull. Nutrisi dan Makanan Ternak 31: 1 – 14. SAS.
1997. SAS/STAT Guide for Personal Computer. Ver:6.12 Edit. SAS Institute Inc. Cary, NC.
SATTER. LD. and L.L. SLYTER. 1974. Effect of ammonia concentration on rumen microbial protein production in vitro. Brith. J. Nutr. 32: 199 – 208. SMITH, O.B. 2009. Solution to the practical problems of feeding cocoa-pods to ruminants. http://www.ilri.or/InfoServ/Webpub/Fulldocs/ X5490e/x5490e0w.htm. (29 Januari 2009) SUTARDI, T. 1994. Peningkatan Produksi Ternak Ruminansia melalui Amoniasi Pakan Serat Bermutu Rendah, Defaunasi dan Suplementasi Sumber Protein Tahan Degradasi dalam Rumen. Laporan Penelitian Hibah Bersaing 1993/1994. Institut Pertanian Bogor, Bogor. TILLEY J.M. and R.A. TERRY. 1969. A two stage technique or in vitro digstion of forage crops. J. Br. Grassland Society 18: 104 – 111.
447
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
TUAH, A.K. and E.R. ORSKOV. 2007. The degradation of untreated and reated maize cobs and cocoa pod husk in the rumen. http://www.ilri.org/InfoServ/Webpub/Fulldocs /X5490e/x5490e0t.hm. (16 Juli 2007)
WONG, H.K. and O. ABU HASAN. 1988. Nutritive value and rumen fermentation profile of sheep fed of fresh or dried cocoa pod husk based diets. J. Mardi Res. 16(2): 147 – 154.
VAN SOEST, P.J. 2006. Rice straw the role of silica and treatment to improve quality. J. Anim. Feed Sci. Tech.130: 137 – 171.
DISKUSI Pertanyaan: Penambahan urea tidak perlu lagi, hasil pada invitro terlalu rendah, untuk kecernaan yang tinggi, disarankan gambar dipisah. Jawaban: Penambahan urea agar N lebih tersedia di dalam rumen, karena kulit kakao yang diberikan hanya 50%. Fermentasi dimulai 3 jam setelah perlakuan.
448