SUBSTITUSI GAMAL (Gliricidia sepium) DENGAN KALIANDRA (Calliandra calothyrsus) PADA RANSUM TERHADAP KECERNAAN INVITRO A. A. Ayu Sri Trisnadewi, I G. L. O. Cakra, I W. Wirawan, I Made Mudita, dan N. L. G. Sumardani Fakultas Peternakan Universitas Udayana JL. P. B Sudirman Denpasar
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggantian gamal dengan kaliandra (Calliandra calothyrsus) pada ransum terhadap degradasi rumen secara in-vitro. Penelitian mengunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari lima perlakuan dan tiga kali ulangan sehingga terdapat 15 unit percobaan. Adapun kelima perlakuan tersebut adalah: perlakuan A (ransum basal + 20% gamal), B (ransum basal + 15 % gamal + 5% kaliandra), C (ransum basal + 10% gamal + 10% kaliandra ), D (ransum basal + 5% gamal + 15 % kaliandra ), dan E (ransum basal + 20% kaliandra ). Peubah yang diamati adalah: degradasi ransum dalam cairan rumen in-vitro (kecernaan bahan kering [KCBK], kecernaan bahan organik [KCBK]), degradasi ransum dalam pepsin in-vitro (KCBK, KCBO), kadar ammonia, kadar VFA (Vollatyl Fatty Acid) dan pH cairan rumen in-vitro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggantian daun gamal dengan daun kaliandra sampai tingkat 20% dalam ransum, dapat menurunkan kecernaan bahan kering dan organik dalam rumen, tetapi sebaliknya meningkatkan kecernaan bahan kering dan organik dalam pepsin in-vitro. Disamping itu dapat menurunkan kadar N-NH3 dan VFA, tetapi meningkatkan pH cairan rumen invitro. Dapat disimpulkan bahwa tanin kaliandra dapat dipakai sebagai agen proteksi dari degradasi mikroorganisme rumen in-vitro di dalam ransum, dan penggunaan kaliandra sampai 20% dalam ransum sebagai protek protein ransum dapat menghasilkan kecernaan bahan kering dan bahan organik pepsin in-vitro tertinggi. Kata kunci: tanin kaliandra, kecernaan, kadar amonia, kadar VFA, pH THE SUBSTITUTION OF GLIRICIDIA (Gliricidia sepium) WITH CALLIANDRA (Calliandra calothyrsus) IN RATION TO IN-VITRO RUMEN DEGRADATION ABSTRACT The research was aimed to study the subtitution of Gliricidia sepium by caliandra (Calliandra calothyrsus) in ration to in-vitro rumen degradation. The research used completely randomized design (CRD) that consist of five treatments and three replicates, so it has 15 unit trial. The treatments were: A (basal ration+20% gliricidia), B (basal ration+15% gliricidia+5% calliandra), C (basal ration+10% gliricidia+10% calliandra), D (basal ration+5% gliricidia+15% calliandra), and E (basal ration+20% calliandra). Variables observed were: ration degradation in rumen liquid in-vitro (digestibility of dry matter and organic matter), rumen degradation in pepsin in-vitro (digestibility of dry matter and Prosiding Semnas II HITPI
Page 352
organic matter), ammonia level, VFA (Vollatyl Fatty Acid) level and acidity level (pH). The result of the research showed that the changing of gliricidia with calliandra up to 20% could reduce the dry matter and organic digestibility in liquid rumen in-vitro, but increase the dry matter and organic digestibility in pepsin in-vitro. N-NH3 dan VFA level were increase, but decrease the acidity level (pH) rumen liquid in-vitro. It can be concluded that tanin of calliandra could use as an agent protection from microorganism rumen in-vitro in the ration, and the using of calliandra up to 20% in ration yielding the highest dry matter and organic matter pepsin in vitro. Key words: tannin calliandra, digestibility, amonia, VFA and pH level PENDAHULUAN Sampai saat ini acuan yang dipakai dalam menentukan kebutuhan protein untuk ternak ruminansia, masih berdasarkan kandungan protein kasar dan kecernaan protein kasar yang diukur melalui selisih antara N-pakan dengan Nfeses. Cara pendekatan ini tampaknya mengabaikan kenyataan yang sebenarnya terjadi pada pencernaan ruminansia, yaitu mengabaikan adanya proses fermentasi pada reticulo-rumen yang dilakukan oleh mikroba rumen. Sehingga sering dijumpai bahwa pemberian pakan konsentrat tidak memberikan respon terhadap pertumbuhan terutama pada konsentrat yang banyak mengandung protein yang mudah terdegradasi di dalam rumen. Hal ini terjadi karena semua protein pakan itu dirombak dalam rumen oleh mikroba rumen sehingga hampir tidak ada yang lolos dari rumen. Sebagaimana kita ketahui bahwa hewan inang ternyata untuk pertumbuhannya tidak cukup hanya dengan mengandalkan sumber protein dari protein mikroba, tetapi juga memerlukan protein yang berasal dari pakan yang lolos dari degradasi rumen (protein by-pass). Apabila dilihat dari kondisi fisiologi dan anatomi saluran pencernaan ternak ruminansia, maka komponen N pakan ada yang terdegradasi di dalam rumen untuk kepentingan pertumbuhan mikroba (sintesis protein mikroba) dan ada yang diserap melalui dinding rumen untuk diserap dalam bentuk amonia. Selanjutnya mikroba dapat digunakan sebagai sumber protein mikroba dalam usus halus bersama dengan protein pakan yang lolos dari rumen. Pendekatan kebutuhan RDP (Rumen Degradable Protein) dan UDP (Undegradable Dietary Protein) yang dikembangkan oleh ARC (1984) merupakan suatu pendekatan yang memisahkan kebutuhan protein untuk mikroba yang berperan dalam degradasi pakan di dalam rumen dan kebutuhan ternak berupa protein yang lolos dari degradasi dalam rumen. Tingkat kelarutan dan degradasi protein pakan sangat mempengaruhi ketersediaan nitrogen dalam rumen. Sumber protein mudah terdegradasi (RDP) akan menghasilkan ketersediaan nitrogen yang tinggi dalam rumen dan menunjang sintesis protein mikroba rumen. Sedangkan sumber protein yang tidak terdegradasi dalam rumen (UDP) tidak menyediakan N dalam rumen dan tidak menunjang pertumbuhan mikroba rumen. Komponen protein yang terkandung dalam bahan pakan didominasi oleh fraksi yang mudah terdegradasi dalam rumen kecuali kaliandra. Berdasarkan pernyataan diatas maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian tentang perbandingan RDP dan UDP yang optimal dalam mendukung sintesis protein mikroba sehingga dapat meningkatkan efesiensi penggunaan
Prosiding Semnas II HITPI
Page 353
protein dalam rumen. Dengan menggunakan kaliandra untuk membatasi degradasi protein dalam rumen, maka diharapkan ternak inang dapat menerima pasokan protein pakan yang lebih tinggi untuk pembentukan daging. MATERI DAN METODE Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Materi Penelitian Bahan ransum seperti daun kaliandra, daun gamal, jerami padi, dedak padi, dan casava dikeringkan terlebih dahulu kemudian dihaluskan. Cairan rumen yang digunakan diambil dari isi rumen ternak sapi yang dipotong di rumah potong hewan di Pesanggaran, Denpasar. Untuk mendapatkan cairan rumen yang segar dalam pengangkutannya menggunakan termos air panas sehingga panasnya dapat dipertahankan. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 (lima) perlakuan dan 3 (tiga) ulangan, sehingga secara keseluruhan terdapat 15 (5x3) unit perlakuan. Adapun kelima perlakuan tersebut adalah: Perlakuan A (ransum basal + 20% gamal), B (ransum basal + 15 % gamal + 5% kaliandra), C (ransum basal + 10% gamal + 10% kaliandra ), D (ransum basal + 5% gamal + 15 % kaliandra ), dan E (ransum basal + 20% kaliandra). Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan yang digunakan dalam Bahan Perlakuan A B C Kaliandra 0 5 10 Gamal 20 15 10 Dedak padi 10 10 10 Ubi kayu 10 10 10 Rumput Gajah 60 60 60 Jumlah 100 100 100
Pembuatan Ransum D 15 5 10 10 60 100
E 20 0 10 10 60 100
Peubah yang diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah : 1. Degradasi ransum dalam cairan rumen in-vitro (KCBK, KCBO) 2. Degradasi ransum dalam pepsin in-vitro (KCBK, KCBO) 3. Kadar ammonia, kadar VFA dan pH cairan rumen in-vitro Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam, dan apabila terdapat hasil yang berbeda nyata (P<0,05) diantara perlakuan maka analisis dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ)/Honestly Significant Difference (HSD) (Sastrosupadi, 2000). Prosiding Semnas II HITPI
Page 354
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya persentase kaliandra sebesar 5%, 10%, 15%, dan 20% dalam ransum atau masing-masing perlakuan B, C, D, dan E menyebabkan menurunnya kecernaan/degradasi bahan kering rumen in-vitro secara nyata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan A. Hal ini disebabkan adanya kandungan tanin pada kaliandra karena tanin dapat mengikat protein, selulosa dan hemiselulosa sehingga aktivitas enzim protease dan enzim selulase menjadi terhambat. Meningkatnya persentase tanin pada ransum menyebabkan karbohidrat dan protein dalam ransum diikat oleh tanin yang ada pada kaliandra, sehinggga karbohidrat dan protein sulit didegradasi oleh mikroorganisme rumen dan aktivitas enzim terhambat. Akibatnya degradasi atau kecernaan bahan kering rumen in-vitro semakin menurun sehingga ketersediaan karbohidrat dan protein untuk mikroorganisme juga menurun. Menurut Jayanegara dan Sofyan (2008) bahwa keberadaan tanin berdampak positif jika ditambahkan pada pakan yang tinggi akan protein baik kuantitas maupun kualitas. Hal ini disebabkan protein yang berkualitas tinggi dapat terlindungi oleh tanin dari degradasi mikrooragisme rumen sehingga lebih tersedia pada saluran pencernaan pasca rumen. Disisi lain, kemampuan tanin untuk membentuk kompleks dengan protein berpengaruh negatif terhadap fermentasi rumen dalam nutrisi ternak ruminansia. Ini dapat dilihat dari hasil penelitian pada perlakuan A dengan persentase gamal paling tinggi (20%) menghasilkan kecernaan bahan kering tertinggi, dan kecernaan bahan kering semakin menurun dengan meningkatnya persentase kaliandra dalam ransum. Selanjutnya Smith et al. (2005) disitasi Jayanegara dan Sofyan (2008) menyatakan tanin dapat berikatan dengan dinding sel mikroorganisme dan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme atau aktivitas enzim. Tanin juga dapat berinteraksi dengan protein yang berasal dari pakan dan menurunkan ketersediaannya bagi mikroorganisme rumen (Tanner et al. 1994 dalam Jayanegara dan Sofyan, 2008). Menurunnya kecernaan bahan kering dapat juga disebabkan oleh menurunnya aktivitas mikroba, yang disebabkan oleh adanya tanin. Tabel 2.
Pengaruh Penggantian Daun Gamal dengan Kaliandra terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik, N-NH3, VFA, dan pH In-vitro
Peubah KCBK Rumen (%) KCBO Rumen (%) KCBK Pepsin (%) KCBO Pepsin (%) N-NH3 (mM) VFA (mM) pH
A 38,85a) 41,21a 58,01c 59,33c 12,84a 146,11a 5,74d
B 37,44b 39,63b 59,51b 60,26bc 11,80b 140,78b 5,98c
Perlakuan1) C 35,05c 36,75c 59,74b 60,53bc 11,14c 134,39c 6,25b
D 32,72d 35,18d 60,92b 62,72ab 10,93cd 122,44d 6,33ab
E 27,57e 29,66e 62,65a 64,85a 10,57d 106,56e 6,48a
Keterangan: 1) A (ransum basal + 20% gamal), B (ransum basal + 15 % gamal + 5% kaliandra), C (ransum basal + 10% gamal + 10% kaliandra ), D (ransum basal + 5% gamal + 15 % kaliandra ), dan E (ransum basal + 20% kaliandra ) 2) Nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Prosiding Semnas II HITPI
Page 355
Kecernaan bahan organik dalam rumen in-vitro juga menurun secara nyata (P<0,05) dengan adanya pemberian perlakuan B, C, D, dan E atau perlakuan dengan penggantian daun gamal dengan daun kaliandra sebesar 5%, 10%, 15%, dan 20% dalam ransum. Penurunan kecernaan bahan organik disebabkan karena menurunnya kecernaan bahan kering. Sutardi (1980) menyatakan bahwa bahan organik berkaitan erat dengan bahan kering karena bahan organik merupakan bagian dari bahan kering. Selanjutnya Tillman et al. (1998) juga menyatakan bahwa
sebagian besar bahan organik merupakan komponen bahan kering. Jika koefisien cerna bahan kering sama, maka koefisien cerna bahan organiknya juga sama. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan KCBK sehingga KCBO juga menurun. Hal sebaliknya terjadi pada kecernaan bahan kering dalam pepsin in-vitro, dimana terjadi peningkatan yang signifikan (P<0,05) dibandingkan dengan kecernaan bahan kering dalam cairan rumen. Nilai kecernaan bahan kering dalam pepsin pada perlakuan A adalah 58,01% dan pemberian perlakuan B, C, D, dan E meningkatkan kecernaan bahan kering dalam pepsin menjadi 59,51%, 59,74%, 60,92%, dan 62,65% atau masing-masing sebesar 2,59%, 2,98%, 5,02% dan 8,00% lebih tinggi daripada perlakuan A. Menurut Jayanegara dan Sofyan (2008), kompleks ikatan tanin-protein dapat lepas pada pH rendah di pasca rumen (abomasum) dan protein dapat didegradasi oleh enzim pepsin sehingga asamasam amino yang dikandungnya tersedia bagi ternak. Hal ini menjadikan tanin sebagai salah satu senyawa untuk memanipulasi tingkat degradasi protein dalam rumen. Peningkatan kecernaan bahan kering juga diikuti dengan cenderung meningkatnya kecernaan bahan organik dalam pepsin walaupun antara perlakuan A dengan perlakuan B, dan C tidak berbeda nyata (P>0,05), tetapi perlakuan A menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dengan perlakuan D dan E. Di dalam rumen protein difermentasi menjadi amonia (N-NH3), gas karbondioksida (CO2) dan metan (CH4). Amonia merupakan sumber nitrogen (N) utama bagi bakteri mengingat sebagian besar (82%) bakteri mampu memanfaatkan amonia sebagai sumber N. Disamping itu 40-60% N pakan akan diubah menjadi amonia oleh mikroba rumen dan 50-70% amonia yang dihasilkan dimanfaatkan untuk sintesis protein mikroba rumen (Sutardi, 1995 dalam Putra, 2006). Namun tingkat kelarutan dan degradasi protein pakan sangat mempengaruhi ketersediaan nitrogen dalam rumen. Sumber protein mudah terdegradasi (RDP) akan menghasilkan ketersediaan nitrogen dalam rumen. Sedangkan sumber protein yang tidak terdegradasi dalam rumen (UDP) tidak menyediakan N dalam rumen dan tidak mempengaruhi pertumbuhan mikroba rumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar N-NH3 rumen in-vitro menurun secara nyata (P<0,05) dengan meningkatnya persentase kaliandra dalam ransum atau pemberian perlakuan B, C, D, dan E. Hal ini disebabkan karena adanya tanin yang membentuk senyawa kompleks tanin-protein dan taninkarbohidrat yang tidak dapat didegradasi oleh mikroba rumen, sehingga lebih banyak yang lewat rumen. Kemudian ikatan tanin itu dapat pecah dalam abomasum dengan kondisi pH rendah dan diserap di pasca rumen, sehingga protein dan karbohidrat dapat langsung dimanfaatkan oleh ternak inang itu sendiri. N-NH3 merupakan hasil perombakan dari protein, sedangkan VFA merupakan hasil perombakan dari karbohidrat. Karbohidrat akan difermentasi
Prosiding Semnas II HITPI
Page 356
oleh mikroba rumen membentuk VFA yang merupakan sumber energi siap pakai bagi mikroba rumen atau induk semang. Pembentukan VFA dalam rumen sangat penting mengingat 70-85% energi ruminansia bersumber dari VFA (Ginting, 2005 dalam Mudita, 2008). Kadar VFA rumen in-vitro juga menurun secara nyata (P<0,05) dengan pemberian perlakuan B, C, D, dan E. Penurunan ini disebabkan karena perombakan karbohidrat terlarut oleh mikroba rumen menurun dengan adanya tanin pada kaliandra, dimana tanin tidak hanya berikatan dengan protein tetapi juga dengan senyawa lain seperti karbohidrat. Tanin merupakan senyawa polifenol kompleks yang mempunyai sifat dapat berikatan dengan protein atau polimer lainnya seperti selulosa, hemiselulosa dan pektin membentuk suatu ikatan kompleks yang stabil, sehingga dapat menghambat kerja enzim protease (tripsin dan khimotripsin) dan enzim selulase. Tetapi penurunan kadar VFA rumen invitro hasil penelitian yang berkisar 106,56-146,11 mM masih dalam kisaran normal karena menurut Sutardi (1995) dalam Putra (2006), kadar VFA optimal yang dibutuhkan rumen untuk optimalisasi sintesis protein mikroba dan proses degradasi pakan berkisar antara 80-160 mM. Berdasarkan hasil penelitian, pemberian perlakuan B, C, D, dan E menyebabkan peningkatan nilai pH rumen in-vitro secara nyata (P<0,05) masingmasing 5,98; 6,25; 6,33; dan 6,48 dibandingkan perlakuan A yang besarnya 5,74. Peningkatan pH disebabkan karena menurunnya perombakan karbohidrat terlarut dalam ransum dengan adanya tanin pada kaliandra. Walaupun berbeda nyata dengan perlakuan A tetapi nilainya masih dalam kisaran pH normal yaitu 5,5-7,2 (Owen dan Goetsch, 1988). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan: Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. tanin kaliandra dapat dipakai sebagai agen pelindung dari degradasi mikroorganisme rumen in-vitro di dalam ransum. 2. Fpenggantian daun gamal dengan daun kaliandra dalam ransum, dapat menurunkan kecernaan bahan kering dan organik dalam rumen, tetapi sebaliknya meningkatkan kecernaan bahan kering dan organik dalam pepsin. Disamping itu dapat menurunkan kadar N-NH3 dan VFA, tetapi meningkatkan pH cairan rumen. 3. penggunaan kaliandra sampai 20% dalam ransum sebagai protek protein ransum dapat menghasilkan kecernaan bahan kering dan bahan organik pepsin in-vitro tertinggi Saran: Agar sumber protein dan karbohidrat ransum tidak terdegradasi oleh mikroorganisme rumen maka perlu diproteksi dengan tanin kaliandra agar dapat dimanfaatkan lebih optimal oleh ternak ruminansia. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih karena penelitian ini dapat terlaksana berkat bantuan dana dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Prosiding Semnas II HITPI
Page 357
Universitas Udayana melalui dana penelitian Dosen Muda DIPA Universitas Udayana. DAFTAR PUSTAKA Jayanegara, A., dan A. Sofyan. 2008. Penentuan Aktivitas Biologis Tanin Beberapa Hijauan secara in vitro Menggunakan „Hohenheim Gas Test” dengan Polietilen Glikol sebagai Determinan. Media Peternakan Vol. 31 No. 1. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Mudita, I M. 2008. Sintesis Protein Mikroba Rumen Sapi Bali yang Diberi Ransum Komplit Berbasis Jerami Padi Amoniasi Urea dengan Suplementasi Multi Vitamin-mineral. Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana. Denpasar. Owens, F.N. dan A. L. Goetsch. 1988. Ruminal Fermentation. In D.C. Church Ed. The Ruminant Animal Digestive Physiology and Nutrition. A Reston Book. Prentice Hall. Eglewood Cliffs, New Jersey. Putra, S. 2006. Perbaikan mutu pakan yang disuplementasi seng asetat dalam upaya meningkatkan populasi bakteri dan protein mikroba di dalam rumen, kecernaan bahan kering dan nutrien ransum sapi bali bunting, Majalah Ilmiah Peternakan. Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Denpasar 9 (1): 1-6. Sastrosupadi, A. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Edisi Revisi. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan keenam. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 358
PEMANFAATAN DAUN KETELA POHON (Manihot esculenta Crantz),DAUN PEPAYA(Carica papaya L), ATAU DAUN SALAM (Syzygium polyanthum Walp) SEBAGAI SUPLEMENTASI BUMBU TERHADAP KUALITAS DAGING BETUTU ITIK Andi Udin Saransi1 , Tjokorda Gede Belawa Yadnya 2 , A.A.M.Semariyani3 , dan Ni Made A.Suardani3 1 Laboratorium Nutrisi Makanan Ternak, 2 Laboratorium Biokimia, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, 3 Laboratorium Kimia, Fakulats Pertanian, Universitas Warmadewa.
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemanfaat Daun Ketela Pohon (Manihot esculenta Crantz), Daun Pepaya (Carica papaya L), atau Daun Salam (Syzygium polyanthum Walp) sebagai suplementasi bumbu terhadap kualitas betutu daging itik. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dengan suplementasi bumbu: penambahan daun ketela pohon (perlakuan A), penambahan daun pepaya (perlakuan B), atau penambahan daun salam (perlakuan C). Masing-masing perlakuan diulang tiga kali sehingga diperoleh 9 unit percobaan. Pengamatan dilakukan secara obyektif dan subyektif. Pengamatan dilakukan secara obyektif meliputi: pH, kadar air, daya ikat air, protein dan total kolesterol, sedangkan pengamatan secara subyektif meliputi: warna, citarasa, tekstur, aroma dan penerimaan secara keseluruhan. Hasil pengamatan secara obyektif menunjukkan bahwa penambahan ketela pohon pada bumbu menghasilkan angka tertinggi pada pH, kadar kolesterol dan mikroba serta angka terendah pada protein. Penambahan daun pepaya pada bumbu menghasilkan angka tertinggi pada kadar air, daya ikat air dan kadar protein, serta angka terendah pada pH dan total mikroba. Penambahan daun salam pada bumbu itik memberikan angka tertinggi pada tekstur dan nilai trendah pada kadar air, daya ikat air dan kolesterol. Dari hasil pengamatan secara subyektif menunjukkan bahwa penambahan daun ketela pohon pada bumbu menghasilkan angka tertinggi pada warna, citarasa dan penerimaan secara keseluruhan serta angka terendah pada aroma dan tekstur. Penambahan daun pepaya pada bumbu menghasilkan betutu itik dengan angka tertinggi pada aroma dan angka terendah pada warna daging. Penambahan daun salam pada bumbu menghasilkan betutu itik dengan angka tertinggi pada tekstur dan angka terendah pada citarasa dan penerimaan secara keseluruhan. Kata kunci : Daun Ketela Pohon, daun salam, daun pepaya, suplementasi bumbu, kualitas daging betutu THE UTILIZATION OF CASSAVA LEAVE (Manihot esculenta Crantz), PAPAYA LEAVE (Carica papaya L), OR SALAM LEAVE (Syzygium polyanthum Walp) AS SPICES SUPPLEMENTATION ON THE QUALITY OF DUCK BETUTU ABSTRACT This study was carried out to know the effect of using cassava leave Prosiding Semnas II HITPI
Page 359
(manihot esculenta crantz), papaya leave (carica papaya l), or salam leave (syzygium polyanthum walp) as spices supplementation on the quality of duck betutu. The research was using completely randomized design (CRD) with three treatments and spices supplementation: additional of cassava leaves (A treatment), papaya leaves (B treatment), or salam leaves (C treatment). Each treatment replicated 3 (three) times to obtain 9 (nine) units of experiment. An objective and subjective observation had been executed in the research. The objective observation consists of: pH, water level, water holding capacity, protein and total cholesterol. Meanwhile, subjective observation consists of: colour, taste, texture, aroma, and as a whole. The objective result showed that additional of cassava leaves on spices gave highest score on pH, cholesterol concentrate and microbe but protein showed the lowest. Additional of papaya leaves on spices showed highest score on water level, water holding capacity and protein concentrate but lowest on pH dan total microbe. Additional of salam leaves on duck spices gave highest score on texture but lowest score on water level, water holding capacity and cholesterol. The subjective result of observation showed additional of cassava leaves on spices gave highest score on colour, taste and as whole but lowest score of aroma and texture. Additional of papaya leave on spices produced duck betutu with highest score of aroma but lowest score of meat colour. Additional of salam leave on spices produced duck betutu with highest score on texture but lowest score on taste and as a whole. Keywords: cassava leave, salam leave, papaya leave, spices supplementation and betutu quality PENDAHULUAN Perhatian terhadap kebutuhan protein hewani semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan pendapatan masyarakat. Penyediaan protein hewani bisa berasal dari daging ayam, sapi, kerbau, kambing, ataupun itik. Pada ternak itik tidak hanya diperoleh dari telur, tapi juga dagingnya bisa didapat dengan harga terjangkau. Pada daging bisa diperoleh dari itik fase pertumbuhan, dewasa ataupun yang telah afkir. Daging itik afkir mempunyai kekurangan yaitu dagingnya alot, berlemak dan berbau amis. Jika ingin merubah daging alot menjadi empuk bisa diupayakan dengan pemberian zat atau bahan pengempuk pada daging, misalnya pemberian enzim papain pada daging (Murtidjo, 1992), atau penambahan daun salam sehingga dapat meningkatkan kualitas daging itik afkir (Belawa dan Candrawati, 2004), Belawa (2001) mencoba pemberian ransum yang mengandung serat berbeda dikombinasikan dengan daun pepaya dapat meningkatkan daya ikat air, dan tekstur daging serta menurunkan massa susut daging. Pemberian daun ketela pohon dalam ransum yang dapat meningkatkan kualitas daging itik pada fase pertumbuhan. Belawa, et al. (2007) mendapatkan pemberian daun pepaya (Carica papaya L.) dalam ransum dengan sumber serat berbeda disuplementasi starbio dapat memperbaiki kualitas daging dan menurunkan kadar kolesterol darah itik Bali. Secara umum dalam pembuatan betutu, masyarakat mempergunakan daun salam pada bagian dalam karkas bersama dengan bumbu agar menghasilkan
Prosiding Semnas II HITPI
Page 360
daging olahan yang mempunyai cita rasa dan tekstur yang lembut, dan kadangkadang masyarakat ada yang menggunakan daun pepaya atau daun ketela pohon sebagai pengganti daun salam. Untuk mengetahui diantara ketiga daun yang digunakan untuk menghasilkan daging betutu dengan nilai gizi yang lebih baik, dengan nilai obyektif dan subyektif lebih baik, maka dilakukan percobaan dengan judul Pemanfaatan Daun Ketela Pohon (Manihot Esculenta Crantz),Daun Pepaya(Carica Papaya L), Atau Daun Salam (Syzygium Polyanthum Walp) Sebagai Suplementasi Bumbu Terhadap Kualitas Daging Betutu Itik MATERI DAN METODE Bahan baku yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah itik Bali afkir umur 2 tahun yang diperoleh dari pengepul itik, yaitu UD. Merta Sari, Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Gianyar Bali. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan, yaitu penambahan Daun Ketela Pohon (Manihot Esculenta Crantz), Daun Pepaya(Carica Papaya L), dan Daun Salam (Syzygium Polyanthum Walp). Masing-masing perlakuan diulang empat kali sehingga didapat 12 unit percobaan. Untuk satu karkas itik dibutuhkan 2 sendok makan air asam Jawa, 3 siung bawang putih, 5 siung bawang merah, 1 sendok makan merica, 5 buah cabe, 1 potong kunyit, ½ potong jahe, ½ potong kencur, ½ potong lengkuas, 3 batang sereh yang dimemarkan, sedikit pala, gula merah secukupnya dan bumbu penyedap, bila diperlukan tambahkan terasi (Murtidjo, 1992). Proses pembuatan betutu, itik disembelih, perdarahan dikurangi seminimal mungkin kemudian dicelupkan ke dalam air hangat lalu bulunya dibersihkan, toreh bagian bawah perutnya, isi jeroan dikeluarkan hingga bersih. Selanjutnya karkas itik dilemaskan dengan cara diremas perlahan dengan asam, kunir, terasi dan garam. Daun ketela pohon dicampurkan ke bumbu yang sudah dihaluskan dimasukkan di dalam rongga dada perut karkas sebagian bumbu dibalurkan pada permukaan karkas itik dengan minyak kelapa secukupnya. Hal yang sama dilakukan dengan mengganti daun ketela pohon dengan daun papaya maupun daun salam, letakkan diatas kertas aluminium lalu dibungkus dengan tiga lapis daun pisang. Karkas di kukus selama 6 jam dengan nyala sedang pada kompor gas, dilanjutkan dengan ”dinyanyah” selama 2 jam di atas teflon hingga menghasilkan Betutu itik yang siap untuk dihidangkan. Untuk mengetahui karakteristik betutu itik dari masing-masing perlakuan diamati secara obyektif terhadap derajat keasaman, kadar air, daya ikat air, susut masak, protein, kolesterol dan total mikroba. Pengamatan secara subyektif dilakukan terhadap warna, cita rasa, aroma, tekstur dan penerimaan secara keseluruhan. HASIL DAN PEMBAHASAN Perlakuan terhadap pemanfaatan daun ketela, daun pepaya dan daun salam yang ditambahkan pada bumbu dalam pembuatan betutu itik berpengaruh nyata (P<0,05) hingga sangat nyata (P<0,01) nilai rata-rata dari uji obyektif terhadap pH, kadar air, daya ikat air, protein, kolesterol dan total mikroba yang ditunjukkan
Prosiding Semnas II HITPI
Page 361
pada Tabel 1 Tabel 1. Rata-rata nilai pH, kadar air, daya ikat air, protein, kolesterol dan total mikroba betutu itik karena pengaruh perlakuan pemanfaatan daun ketela, daun pepaya dan daun salam (%) (mg/100g) (x10 1 ) pH Perlakuan Kadar Daya Total Kolesterol Air Ikat Air Protein Mikroba Daun Ketela 6,33 a 51,99 b 35,75 b 17,16 c 294,32 a 4,70 a Daun Pepaya 5,95 b 52,98 a 36,12 a 19,16 a 232,88 b 3,07 c Daun Salam 6,16 a 51,83 b 35,04 c 18,12 b 231,84 b 3,80 b BNT 5 % 0,18 0,79 0,20 0,26 27,71 0,53 Keterangan
: Huruf yang sama dibelakang nilai rata-rata pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05).
Pemanfaatan daun ketela, daun pepaya dan daun salam yang disuplementasikan dengan bumbu berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap pH betutu itik. Nilai rata-rata pH betutu itik akibat penambahan daun ketela, daun pepaya dan daun salam. Daun ketela memberikan angka tertinggi pH betutu itik yang berbeda nyata dengan perlakuan daun pepaya dan berbeda tidak nyata dengan perlakuan daun salam. Derajat keasaman (pH) tertinggi diperoleh pada perlakuan penambahan daun ketela yaitu 6,33 dan terendah diperoleh pada perlakuan dengan pemanfaatan daun pepaya yaitu 5,95. Peningkatan pH pada pemanfaatan daun ketela disebabkan menurunnya kandungan protein pada daun ketela yang menyebabkan meningkatnya derajat keasaman oleh gugus amina yang didukung dengan aktifitas enzim yang optimum pada pH rataan 6,25 (Winarno, 1983). pH optimum enzim mempunyai stabilitas yang tinggi, perubahan keaktifan enzim akibat perubahan pH lingkungan yang disebabkan terjadinya perubahan ionisasi enzim, substrat atau kompleks enzim substrat . Pemanfaatan daun ketela, daun pepaya dan daun salam pada betutu itik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar air betutu itik. Perlakuan daun pepaya memberikan angka tertinggi 52,98% yang berbeda nyata dengan perlakuan daun ketela dan daun salam (Tabel 1). Laju reaksi enzimatik yang baik pada perlakuan daun papaya, pada kadar air yang rendah terjadi halangan dan rintangan, sehingga baik difusi enzim atau substrat terhambat, akibatnya hidrolisis hanya terjadi pada bagian substrat yang langsung berhubungan dengan enzim (Winarno, 1984). Pengaruh pemanfaatan daun ketela, daun pepaya dan daun salam pada betutu itik berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap daya ikat air betutu itik. Angka tertinggi pada pemanfaatan daun pepaya yang berbeda nyata dengan perlakuan daun ketela dan daun salam terhadap daya ikat air betutu itik. Daya ikat air tertinggi diperoleh pada perlakuan pemanfaatan daun pepaya yaitu 36,12% dan terendah diperoleh pada perlakuan pemanfaatan daun salam yaitu 35,04%. Tingginya daya ikat air pada penambahan daun pepaya disebabkan karena kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan air selama proses pemanasan dan denaturasi protein. Menurut Purnomo dan Padaga (1989) daya ikat air merupakan kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan air selama mengalami perlakuan dari luar seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan dan pengolahan, lebih lanjut dijelaskan bahwa daya ikat air
Prosiding Semnas II HITPI
Page 362
berpengaruh terhadap sebagian besar sifat fisik daging seperti warna, tekstur, kesegaran, sari minyak dan keempukan. Daya ikat air menentukan juga rasa (Palatability) dan berat akhir dari produk yang dihasilkan. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam terlihat bahwa pemanfaatan daun ketela, daun pepaya dan daun salam pada betutu itik berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar protein betutu itik. Pemanfaatan daun pepaya memberikan angka tertinggi kadar protein pada betutu itik yang berbeda nyata dengan perlakuan daun ketela dan daun salam. Kadar protein tertinggi diperoleh pada pemanfaatan daun pepaya yaitu 19,16% dan terendah diperoleh pada pemanfaatan daun ketela yaitu 17,16%. Pemanfaatan daun pepaya dapat meningkatkan kerja enzim proteolitik yang dimiliki oleh enzim papain yang mengkatalis reaksi-reaksi hidrolisis suatu substrat protein (Sriyani, 2003), sedangkan pada daun ketela tidak mempunyai kemampuan untuk menghidrolisis protein, sehingga kadar proteinnya lebih rendah daripada pemberian daun salam. Enzim papain mempunyai keaktifan sintetik, disamping keaktifan untuk memecah protein, papain mempunyai kemampuan membentuk ”protein” baru atau senyawa yang menyerupai protein yang disebut plastein dari hasil hidrolosis protein (Winarno, 1984). Dari Tabel 1 diatas perlakuan pemanfaatan daun ketela memberikan angka tertinggi kadar kolesterol pada daging betutu itik yang berbeda nyata dengan daun pepaya dan daun salam. Kadar kolesterol tertinggi diperoleh pada perlakuan pemanfaatan daun ketela yaitu 294,32 mg/100g dan terendah diperoleh pada pemanfaatan daun salam yaitu 231,84 mg/100g. Menurut Thomas (1989), di dalam daun salam mengandung minyak atsiri, tanin dan alkaloid. Diantara ketiga zat tersebut, tanin mengikat lemak/kolesterol sehingga kadar kolesterol yang terdapat daging betutu menurun. Belawa dan Candrawati (2004) melaporkan bahwa pemberian daun salam dalam ransum itik dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah itik, selanjutnya, Belawa et al., 2007 juga melaporkan kalau pemberian daun salam dalam ransum yang mengandung silage serbuk gergaji kayu dapat menurunkan kolesterol pada daging itik. Demikian juga dikarenakan peningkatan kadar protein pada pemberian daun pepaya akan meningkatkan ketersediaan lipoprotein sebagai pembentuk HDL dan LDL, sehingga total kolesterol yang dihasilkan lebih tinggi. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam terlihat bahwa perlakuan pemanfaatan daun ketela, daun pepaya dan daun salam pada betutu itik berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap total mikroba betutu itik. Total mikroba tertinggi diperoleh pada perlakuan pemanfaatan daun ketela yaitu 4,07 × 101 dan terendah diperoleh pada perlakuan daun pepaya yaitu 3,07 × 101 . Total mikroba dapat ditekan dengan daun papaya karena terdapat Alkaloid Carpain (C 14 H25 NO 2 ) dengan rasa pahit yang mempunyai kemampuan untuk membunuh amuba (Widodo, 2005), sedangkan pada daun salam terdapat Seskuiterpen Lakton yang mengandung Fenol dapat menghambat pertumbuhan Escherichia Coli, Staphylococcus Aerus, Vibrio Cholera dan Salmonela Sp. dan pada ketela pohon mengandung tanin yang mempunyai efek Coccidiostat (Wahyudi, 2005). Ternyata alkaloid Carpain mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan mikroba lebih besar daripada Seskuiterpen Lakton atau tanin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemanfaatan daun ketela,
Prosiding Semnas II HITPI
Page 363
daun pepaya dan daun salam pada betutu itik berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai rata-rata kesukaan panelis kepada warna, cita rasa, aroma, tekstur dan penerimaan secara keseluruhan (pengujian subyektif) disajikan pada Tabel 2. Tabel 2.
Rata-rata kesukaan panelis (uji hedonik) pada warna, cita rasa, aroma, tekstur dan penerimaan secara keseluruhan betutu itik karena pengaruh perlakuan pemanfaatan daun ketela, daun pepaya dan daun salam. Rata-rata Uji Hedonik/organoleptik Perlakuan Penerimaan Warna Cita Rasa Aroma Tekstur keseluruhan Daun Ketela 6,45 a 6,70 a 4,68 c 4,85 c 6,50 a Daun Pepaya 5,33 b 6,12 a 6,33 a 5,83 b 6,13 b Daun Salam 6,10 a 5,22 b 5,55 b 6,23 a 5,30 c BNT 5 % 0,38 0,76 0,36 0,24 0,22 Keterangan :
Huruf yang sama dibelakang nilai rata-rata pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05)
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam terlihat bahwa perlakuan pemanfaatan daun ketela, daun pepaya dan daun salam pada betutu itik berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap warna betutu itik.Tingkat kesukaan panelis terhadap warna betutu itik tertinggi diperoleh dari perlakuan pemanfaatan daun ketela dengan skor penilaian 6,45 (sangat suka-amat sangat suka), sedangkan skor terendah diperoleh dari perlakuan penambahan daun pepaya dengan skor penilaian 5,33 (agak suka-suka). Faktor yang dapat mempengaruhi penentu utama warna daging yaitu konsentrasi pigmen daging mioglobin (Lawrie, 1995). Warna daging juga ditentukan oleh pigmen karoten yang bersumber Vitamin A. Menurut Thomas (1989), kandungan Vitamin A pada daun ketela pohon adalah 11.000 SI. Kalie (2003) dalam Sriyani (2003), kandungan vitamin A pada daun pepaya adalah 18.250 IU, sedangkan pada daun salam adalah 6.185 IU (Kumalaningsih, 2008), disamping pigmen, warna daging juga dipengaruhi oleh daya ikat air, dengan meningkatnya daya ikat air akan menyebabkan keadaan serabut otot menjadi besar dan lebih banyak cahaya yang diserap daripada yang dipantulkan oleh permukaan daging (Forrest et al., 1975). Cita rasa betutu itik tertinggi diperoleh dari perlakuan pemanfaatan daun ketela dengan skor penilaian 6,70 (sangat suka - amat sangat suka), sedangkan skor terendah diperoleh dari perlakuan pemanfaatan daun salam dengan skor penilaian 5,22 (agak suka-suka). Daun ketela menghasilkan cita rasa tertinggi yang berbeda tidak nyata dengan pemberian daun pepaya, dan berbeda nyata dengan perlakuan penambahan daun salam karena pada daun pepaya dan daun salam mengandung alkaloid yang menyebabkan rasanya kurang enak daripada ketela pohon. Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma betutu itik tertinggi diperoleh dari perlakuan pemanfaatan daun pepaya dengan skor penilaian 6,33 (sangat sukaamat sangat suka), sedangkan skor terendah diperoleh dari perlakuan pemanfaatan daun ketela dengan skor penilaian 4,68 (agak tidak suka-agak suka). Penambahan daun pepaya menghasilkan aroma yang lebih baik dibanding perlakuan lainnya, karena dalam proses pemanasan aroma daging dan aroma bumbu masih dapat dipertahankan. Bumbu berperan sangat penting untuk meningkatkan cita rasa,
Prosiding Semnas II HITPI
Page 364
daya cerna dan memberikan rasa dan aroma yang khas dan bahkan juga digunakan untuk menyembunyikan citarasa yang tidak diinginkan. Tekstur betutu itik tertinggi diperoleh dari perlakuan pemanfaatan daun salam dengan skor penilaian 6,23 (sangat suka-amat sangat suka), sedangkan skor terendah diperoleh dari perlakuan pemanfaatan daun ketela dengan skor penilaian 4,85 (agak tidak suka-agak suka). Penambahan daun salam menghasilkan tekstur daging yang lebih baik daripada perlakuan yang lainnya, karena dalam daun salam mengandung minyak atsiri, sehingga dalam proses pemanasan dapat membantu memutuskan ikatan sulfahidril (-SH) sehingga jaringan kolagen berubah menjadi elastin dan lebih mudah untuk dipotong atau dicerna (Girindra, 1990). Keempukan daging ditentukan oleh tiga komponen yaitu struktur miofibril dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan ikatan silangnya dan daya ikat air oleh protein daging serta jus daging (Soeparno, 1992). Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap penerimaan secara keseluruhan betutu itik tertinggi diperoleh dari perlakuan pemanfaatan daun ketela dengan skor penilaian 6,50 (sangat suka-amat sangat suka), sedangkan skor terendah diperoleh dari perlakuan pemanfaatan daun salam dengan skor penilaian 5,30 (agak suka-suka). Ternyata pemberian daun ketela pohon memberikan yang lebih baik daripada pemberian daun salam atau daun pepaya. Sutji dan Sulandra (1994) menyatakan penerimaan secara keseluruhan merupakan gabungan dari variabel uji organoleptik suatu produk daging, sehingga dengan adanya komponen variabel-variabel daging yang baik akan meningkatkan nilai secara keseluruhan daging tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemanfaatan daun ketela, daun pepaya dan daun salam pada betutu itik berpengaruh nyata (P<0,05) hingga sangat nyata (P<0,01) terhadap seluruh variabel yang diamati meliputi variabel obyektif dan subyektif. Dari hasil penilaian obyektif dan subyektif dapat diketahui karakteristik daging betutu itik secara keseluruhan. Penilaian karakteristik daging betutu itik yang mencakup karakteristik fisik, kimia dan biologi (total mikroba) dapat dilihat dari Tabel dan 2. Karakteristik fisik berupa variabel kadar air, daya ikat air dan seluruh variabel subyektif. Karakteristik kimia berupa variabel pH, kadar protein dan kadar kolesterol, sedangkan variabel biologi yang diteliti dalam penelitian ini adalah total mikroba. Dari Tabel 1 dan 2 dapat dilihat bahwa karekteristik fisik daging betutu itik yang ditambah daun pepaya menghasilkan daya ikat air dan aroma yang tertinggi, sedangkan tekstur daging betutu itik terbaik dihasilkan pada pemanfaatan daun salam, dan penerimaan secara keseluruhan hasil terbaik diperoleh pada pemanfaatan daun ketela. Karekteristik kimia daging betutu itik yang ditambah daun pepaya menghasilkan kadar protein tertinggi, sedangkan kadar kolesterol yang paling rendah dihasilkan pada pemanfaatan daun salam. Karakteristik biologi total mikroba daging betutu itik terbaik diperoleh pada pemanfaatan daun pepaya. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara obyektif, betutu itik yang dihasilkan dengan pemanfaatan daun pepaya memberikan nilai
Prosiding Semnas II HITPI
Page 365
protein tinggi dan kolesterol serta total mikroba terendah dibanding daun ketela ataupun daun salam. Namun secara subyektif, pemanfaatan daun ketela pohon lebih diminati dengan skor penilaian tertinggi pada warna, cita rasa dan penerimaan secara keseluruhan. DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1990. Official Methods of The Association of Official Analysical Chemests (AOAC) 15th , Washington, DC. Arka, I.B., 1984. Pengaruh Umur, ransum dan kastrasi terhadap kualitas Karkas dan Daging Sapi Bali. Disertasi Pasca Sarjana Universitas Padjajaran. Bandung Arka, I.B., Margawani, K.R., Swacita. I.B.N., dn Wisna, W.B., 1994. Ilmu Kesehatan Daging. Penuntun Praktikum Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, PSKH Universitas Udayana, Denpasar Belawa Y.T.G. dan D.P.M.A Candrawati. 1999. Pengaruh Penggantian Dedak Padi dengan Sekam atau Serbuk Gergaji Kayu yang disuplementasikan dengan Starbio terhadap Efisiensi Penggunaan Ransum, kadar asam urat darah dan kadar karkas Itik Bali. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan,Universitas Udayana. Belawa, T.G.B, Ni M.S. Sukmawati danI Kt.M.Budiasa. 2007. Pengaruh Pemberian Serbuk Gergaji Kayu yang Diamoniasi Urea Terfermentasi terhadap Penampilan Itik Bali. Prosiding Seminar Nasional AINI VI, Kerjasama Fakultas Peternakan, Univ. Gadjah Mada, Yogyakarta dengan AINI, ISBN : 978-979-16617-0-6.26-27 Juli 2007. Belawa, T.G.B. 2001. Kualitas Daging Betutu dan Sayur Ares (Sayur Batang Pisang) Itik Bali yang Diberikan Ransum dengan Tingkat Serat Kasar yang Berbeda dan Starbio . Buletin Peternakan Terakreditasi, ISSN : 01264400. Fakultas Peternakan, Univ. Gadjah Mada, Yogyakarta. Belawa, Y.T.G. dan DPMA. Candrawati. 2004. Pengaruh Pemberian Daun Salam dalam ransum dengan Sumber Serat yang Berbeda dan Starbio terhadap Kualitas Daging dan Kadar Kolesterol Darah Itik. Prosiding Seminar Nasional, Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Lokal untuk Mendukung Pembangunan Pertanian, ISBN : 979-3566-26-4, BPTP Bali. Buckle. K.A., G.R. Davey, M.J. Eyles, G.H. Fleet and W.G. Murial. 1979. Food Borne Microorganism of Public Healt Significance. Specialist Course for Food Industry. Volume I. The University of New South Wales. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, M. Wooton. 1985. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia, Jakarta Dharmawan, T. 2002. Potensi dan Kendala Pengembangan Industri Pangan di Indonesia. Makalah Seminar Nasional PATPI, Malang 30-31 Juli 2002. Dwidjoseputro, D. 1990. Dasar – Dasar Mikrobiologi. Djambatan, Jakarta. Forrest, J.C., E.D. Aberle., H.B. Hedrik, M.D.Judge and R.A Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San Fransisco. Harmond, E. 1982. Laboratory Method of Sensory Evaluation of Food Research Canada Department of Agriculture Publication. Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, S. Lebdosukojo, A. D. Tillman. 1980, Tabel Komposisi Bahan Makanan Ternak Untuk Indonesia, Universitas Gadjah
Prosiding Semnas II HITPI
Page 366
Mada, Yogyakarta Ivan, Clack, White., 1974. Kjeldahl Nitrogen Determination, University of New England, Australia. Kumalaningsih, S. 2008. Antioksidan SOD (Super Oksida Dismutase), Anti Oxidant Centre.Com. Http://Anti Oxidant Centre.com/Index php. Option = Com res & feed = RSSZO & No html=1 (10 Januari 2008). Lapedes, D.N., 1982. Encyclopedia of Food, Agriculture & Nutrition. Butterworth & Co Publisher Ltd, New York Larmound, E. 1977. Method for Sensory Evaluation of Food Department of Agric Ottawa-Canada. Lawrie.1979. Meat Science. Pergomen Press. Oxford London. Edenburgh. New York, Toronto. Murtidjo, B.A. 1992. Mengelola Ternak Itik. Kanisius, Jakarta. Purnomo, MC. Dan H. Padaga. 1989. Ilmu Daging. Penerbit Universitas Brawijaya, Malang. Ratnawati, Ni M. 1996. Pengaruh Ragam Bahan Pembungkus dan Lama Penyimpanan pada Suhu Kamar tehadap Karakteristik Betutu Ayam. Skripsi Fapet Unud. Saransi. U. A., D. Purnamasari, I. M. Sunastra. 1996. Penentuan Kolesterol, Laboratorium Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar. Sediaoetama. A.D. 2000. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi, Dian Rakyat, Jakarta. Siregar, A.P., Cumming and D.J. Farrel. 1982. The Nutrion of Meat. Tipe Ducks II The Effect of Fibre on Biological Performance and Carcass Characteristics. Aust. J. Agric. Res. 33 : 877-886. Sjarif. J., 2005, Diet Kolesterol, Klinik Keluarga Unocal Sepinggan Balikpapan. http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg01113.htm Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sriyani, Ni Luh Pt. 2003. Pengaruh Tingkat Pemberian Daun Pepaya terhadap Kualitas Daging Kambing. Thesis S2 Pasca Sarjana, Fakultas Peternakan, Univ. Gadjah Mada, Yogyakarta. Steel, R.G.D and J.M Torrie. 1989. Principles and Procedure of Statistic. Mc. Graw-Hill Co. Inc. New York. Toronto, London. Sudarmadji, S., R. Kasmidjo, Sardjono, D. Wibowo, S. Margino, E. S. Rahayu., 1989, Mikrobiologi Pangan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Sudipta, M. 1992. Pengaruh Penambahan Enzim Papain Pada Pengolahan Betutu Itik Afkir, Skripsi, Program Studi Tekhnologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, Denpasar. Sugita. M., 2009. Betutu Bebek Makanan Tradisional Bali, Universitas Udayana, Denpasar. http://traditionalcuisine.unud.ac.id/ind/wp-content/uploads/2009 /02/betutu-bebek.pdf Sutji, Ni N dan I W Sulandra. 1994. Pengaruh Pemberian Batang Pisang dalam Ransum Terhadap Penampilan Ternak Babi. Laporan Penelitian, Fakultas Peternakan, Univ. Udayana, Denpasar, Bali. Thomas, A.N.S. 1989. Tanaman Obat Tradisional 2. Kanisius, Yogyakarta. Wahyudi, J. 2005. Daun Salam Sebagai Obat (Iklan Mini) Info Nutrisi.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 367
(Http:/www.mail-arelive.com/iklan-mini@Yahoo group.Opini/msg 64123html (24 Mei 2007). Widodo, W. 2005. Tanaman Beracun dalam Kehidupan Ternak. Universitas Muhammadiyah Malang. Winarno, F. G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 368
PEMANFAATAN LIMBAH PENGOLAHAN BUAH MERAH PADA SISTEM PEMELIHARAAN BABI SECARA PASTURA Diana Sawen, Bernaddeta Wahyuni Irianti Rahayu dan Iriani Sumpe Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPPK) Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari Jl. Gunung Salju Amban Manokwari (98314); Email:
[email protected];
ABTRACT A study had been conducted during the month of April 2013, to examine the use of buah merah waste processing. Pigs contribute as important socialcultural and economic values to Dani people. Pigs cannot be separated from their daily lives for generations. The experiment was conducted to known the effect of 3 different additional feed using waste buah merah (control, seed buah merah and seed plus juice buah merah) using 15 growing pig. Result showed that pigs given seeds plus juice buah merah to show the highest body weight during the observations. With the average of 0,41 kg body weight per day. The farmes use buah merah seed and juice for their pigs 2 time a day, morning and afternoon. Keywords: utilization, buah merah waste processing, local pigs ABSTRAK Suatu penelitian telah dilakukan pada bulan April 2013, untuk mengetahui pemanfaatan limbah hasil pengolahan buah merah pada sistem pemeliharaan ternak babi secara pastura di Kampung Umpakalo Jayawijaya. Bagi masyarakat suku Dani di Lembah Baliem Kabupaten Jayawijaya, babi memiliki nilai penting secara sosial budaya dan ekonomi. Babi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keseharian mereka secara turun temurun. Penelitian menggunakan metode eksperimen dengan percobaan lapangan untuk mengukur pertambahan bobot badan. Eksperimen dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari tiga perbedaan pakan tambahan menggunakan limbah buah merah (kontrol, biji buah merah dan biji + sari buah merah). Jumlah sampel ternak sebanyak 15 ekor babi lokal fase grower. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya kecenderungan peningkatan berat badan pada perlakuan dengan penambahan biji + sari buah merah. Pertambahan bobot badan harian yang diperoleh dari semua perlakuan adalah 0,41 kg. Hal ini karena sari buah merah mengandung betakaroten dan tokoferol yang lebih tinggi sehingga sangat membantu dalam pertumbuhan ternak di samping pakan lainnya yang dikonsumsi. Limbah buah merah sangat potensial untuk dikembangkan sebagai pakan. Kata kunci: pemanfaatan, limbah pengolahan buah merah, babi lokal PENDAHULUAN Bagi masyarakat asli Papua termasuk suku Dani di Lembah Baliem di Kabupaten Jayawijaya, babi mempunyai nilai penting secara sosial budaya dan ekonomi. Ternak ini mempunyai peranan penting dalam adat istiadat, seperti sebagai mas kawin, pembayaran “denda”, nilai tukar, alat perdamaian, hidangan
Prosiding Semnas II HITPI
Page 369
saat acara pesta adat dan keagamaan. Teknik budidaya ternak umumnya disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Di daerah perkotaan umumnya babi dikandangkan sepanjang hari, pada daerah perkampungan, sistem pemeliharaan dilakukan secara semi intensif yaitu pada malam hari dikurung dan pagi hingga sore hari diumbar. Tidak seluruhnya pakan diberi oleh peternak, babi juga mendapat pakan dari lingkungan umbaran. Lingkungan umbaran yang ada di daerah ini yaitu hutan sengon (Paraserianthes falcataria), padang rumput alam, pinggiran jalan, parit, pinggiran kolam dan sekitar pemukiman. Di lingkungan umbaran ini babi mendapat sumber protein dari cacing, serangga, ulat dan siput. Di samping itu babi juga menyukai memakan batang pisang, rumput dan hijauan lain (Rahayu, 2012). Hijauan yang dimakan oleh ternak ini relatif cukup banyak karena jika ditinjau waktu yang digunakan selama umbaran cukup lama, di samping itu kadang-kadang peternak tidak memberi pakan tambahan yang memadai. Selain bahan pakan yang diperoleh dari lokasi umbaran, saat musim buah merah babi makan limbah buah merah yang terdiri dari biji buah merah dan lapisan (Rahayu dkk,, 2012). Lembah Baliem merupakan salah satu pusat penyebaran tanaman buah merah (Budi dan Paimin, 2005). Pada saat musim panen yang terjadi sekitar 2 bulan yang terjadi 2-3 per tahun, masyarakat akan menjual buah, mengolah buah merah untuk dikonsumsi ataupun dijual. Terkait dengan kandungan yang paling menonjol dari buah merah adalah antioksidan yang fungsi untuk memperbaiki kondisi kesehatan (stamina) maka akan memberi pengaruh yang positip terhadap penampilan ternak salah satunya terhadap pertambahan berat badan. Sampai sejauh mana pengaruh pola pemeliharaan yang terkait dengan pemanfaatan limbah pengolahan buah merah dan pemeliharaan secara pastura atau memanfaatkan rumput dan hijauan di atas perlu dikaji lebih mendalam. Hal ini mengingat pemeliharaan ini telah dilakukan secara turun menurun dan masih terus dilakukan di daerah perkampungan termasuk di kampung Umpakalo dimana masih tersedia lahan yang memadai, sistim pemagaran yang baik dan terbatasnya waktu dan tenaga serta biaya dari peternak untuk memelihara secara intensif. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Kampung Umpakalo Distrik Kurulu Kabupaten Jayawijaya selama bulan April 2013. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif eksperimen dengan melakukan percobaan lapangan pada ternak babi untuk mengukur pertambahan berat badan. Khusus untuk pengukuran pertambahan bobot badan (PBB), pelaksanaannya 10 hari yaitu 3 hari adaptasi perlakukan, hari 4 penimbangan BB awal dan BB akhir pada hari ke 10. Perlakuannya yaitu : P0= Kontrol (tanpa penambahan buah merah), P1 = penambahan biji buah merah utuh, P2= penambahan biji tumbuk, P3= penambahan biji utuh+sari buah merah dan P4= penambahan biji tumbuh +sari buah merah. Jumlah ternak yang digunakan sebanyak 15 ekor. PBB diukur berdasarkan selisih BB minggu ke 3 dan minggu 1 setelah babi diberi pakan tambahan Limbah Buah merah.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 370
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Usaha Peternakan Babi di Umpakalo Sejumlah besar usaha peternakan yang dilakukan oleh para peternak babi di Lembah Baliem secara umum termasuk di Kampung Umpakalo masih bertumpu pada usaha peternakan rakyat. Hal ini karena usaha tersebut relatif dalam skala kecil dengan sistem pemeliharaan yang semi intensif berdasarkan kearifan lokal budaya suku Dani. Jenis babi yang dipelihara atau diusahakan adalah babi lokal. Sistem perkandangan yang dimiliki oleh para peternak di daerah ini yaitu laleken dan silimo. Potensi Sumberdaya Pakan Penggunaan atau pemanfaatan jenis bahan makanan dalam suatu usaha peternakan juga sangat tergantung pada potensi suatu daerah termasuk juga penggunaan jenis limbah pertanian terutama yang berasal dari lahan-lahan pertanian. Kabupaten Jayawijaya telah dikenal sebagai daerah penghasil buah merah yang sangat potensial (Budi dan Paimin, 2005). Masyarakat secara umum memanfaatkan buah merah untuk dikonsumsi sebagai makanan sehari-hari dan minyaknya untuk dijual, sedangkan limbahnya biasa diberikan pada ternak-ternak babi. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa limbah-limbah pengolahan buah merah ini diberikan secara kontinyu ketika musim buah merah di daerah tersebut. Limbah hasil pengolahan yang biasa diberikan terdiri dari biji utuh, dan pasta buah merah. Di daerah yang banyak buah merah seperti Distrik Kelila, umumnya babi diberi biji dan sari buah merah. Pakan utama yang diberikan untuk ternak babi di daerah ini adalah ubi jalar, singkong, ubi rambat dan daun-daun ubi jalar. Selain itu ketika diumbar, ternak babi ini banyak mengkonsumsi jenis-jenis hijauan yang ada di sekitar areal pemukiman atau tempat umbarannnya. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan identifikasi yang dilakukan, dapat dijelaskan bahwa hijauan pakan yang dikonsumsi terdiri dari rumput, legum dan hijauan non pakan. Secara proporsional, rumput lebih dominan di areal umbaran yang ada dan beberapa diantaranya merupakan jenis-jenis yang potensial bagi ternak, misalnya Setaria sp, Panicum repens, paspalum conjugatum dan lain-lain. Sedangkan legum yang ditemukan hanya Desmodium velutinum, dan selain itu hijauan non pakan. Kemungkinan serat-serat dari hijauan pakan yang dikonsumsi ini, digunakan untuk membantu proses absorbsi atau penyerapan zat-zat makanan di dalam ususnya. Walaupun secara fisiologi, sebenarnya ternak babi merupakan hewan monogastrik atau berlambung tunggal. Melihat potensi hijauan yang ada, cukup potensial jika dikembangkan sebagai hijauan pakan unggul lokal yang juga dapat dimanfaatkan oleh ternak lainnya seperti sapi, kambing, domba atau kelinci termasuk ayam buras. Dapat juga dilakukan penanaman beberapa jenis leguminosa unggul untuk mengimbangi jenis rumput yang sudah ada, selain itu juga bermanfaat untuk kesuburan tanah di sekitarnya. Selain itu, ada pula limbah pertanian dan limbah rumah tangga juga diberikan. Limbah pertanian yang biasa diberikan sebagai pakan bagi ternak babi adalah jerami-jerami kacang tanah, kacang panjang, jagung, batang pisang dan lain-lain. Limbah rumah tangga yang juga diberikan pada ternak babi adalah sisa-
Prosiding Semnas II HITPI
Page 371
sisa batang dan daun sayuran yang tua, kulit pisang, kulit singkong, limbah pengolahan buah merah dan sisa-sisa makanan yang dikonsumsi oleh manusia. Pakan lainnya yang merupakan sumber protein yaitu cacing yang diperoleh dari sekitar umbaran dan juga ikan yang bisa diperoleh dari pinggiran kolam ikan ketika berkubang. Pertambahan Berat Badan Pengukuran PBB ternak pada babi fase pertumbuhan (2-4 bulan), unisex (tak memandang kelamin), jumlah pakan perlakuan yang diberi sebanyak 200 gram, diberikan pagi hari sebelum diumbar. Jumlah ulangan 3 kali, penentuan babi secara acak purposif yaitu babi yang memenuhi kriteria umur dan sehat. Tabel 1. Pertambahan bobot badan babi setelah diberikan limbah buah merah Perlakuan PBB (kg)/ Ulangan Rata-rata 1 2 3 Harian (kg) Kontrol 0,2 0,5 2 0,270 Biji buah merah 1,5 0,75 2 0,425 Biji dan sari buah 2,75 0,5 2 0,525 merah Rata-rata 0,407 Pertambahan berat badan harian seluruh perlakuan badan adalah 0,407 kg. Ini jauh lebih rendah dari pernyataan Budaarsa (2012) yang menyatakan pertambahan berat badan harian pada babi usia pertumbuhan fase grower (2-4 bulan) adalah berkisar 0,7 sampai dengan 1 kg per hari. Namun Pertamabahan berat badan tersebut tidak terlalu berbeda dari pernyataan AKK (1991) pada fase pertumbuhan II yang berkisar 4,0 s/d 5,5 kg per minggu. Variasi pertumbuhan disebabkan perbedaan genetik ternak dan kualitas pakan. Babi yang dipelihara adalah babi lokal, yang memmpunyai kekhasan pertumbuhan lebih lambat dibanding babi ras. Dari pemeliharaan yang ada, ternak banyak memgkonsumsi serat kasar cukup banyak yaitu rumput-rumputan di areal umbaran, limbah sayur, batang pisang dan lain-lain. Babi mempunyai kemampuan yang terbatas dalam mencerna serat kasar yang mengandung selulosa dan lignin. Serat kasar bagi babi berfungsi untuk menstimulir sekresi enzim dan gerak peristaltik saluran pencernaan. Serat kasar yang terlalu banyak terutama pada babi muda, akan mengganggu pencernaan. Rendahnya pertumbuhan ini juga dipicu dari minimnya kandungan protein yang berfungsi dalam pembentukan sel dari jaringan tubuh pada pertumbuhan babi muda (AAK, 1981). Karbohidrat sebagai sumber energi adalah ubi jalar. Alcantara (1980) menyatakan bahwa ubi-ubian seperti singkong dan ubi jalar memiliki kandungan energi menengah, sedang biji-bijian sereal dan produk jagung, gandum, sorgum dan lain biji-bijian sereal mempunyai nilai tinggi karena mengandung banyak pati. Berdasarkan data penelitian, kecenderungan pertambahan berat badan tertinggi pada penambahan pakan perlakuan biji dan sari buah merah, kemudian yang diberi biji buah merah dan yang terendah adalah perlakuan kontrol. Namun pada uji varian tidak terdapat pengaruh yang nyata pada ketiga perlakuan. Lebih tingginya pertumbuhan pada babi ini seiring tambahan sari buah merah yang Prosiding Semnas II HITPI
Page 372
dikonsumsi. Babi mengkonsumsi limbah buah merah (biji) adalah dengan mengulum dan mengunyah hingga sari yang melapisi biji buah merah habis. Babi akan meninggalkan serat biji yang tersisa. Sari buah merah adalah produk utama pengolahan buah merah di daerah kampung Umpakalo. Sari buah merah biasanya dikonsumsi masyarakat sebagai saus saat menyantap ubi jalar dan sayur-sayuran (Rahayu, 2012). Sari buah merah mengandung minyak dan pasta yang mempunyai kandungan betakaroten dan tokoferol yang lebih tinggi dibanding biji buah merah. Nuriandarwulan, et al (2006) melaporkan kandungan total karoten (vitamin A) pada pengolahan tradisional untuk minyak dan biji buah merah adalah 10.022 ppm dan 227,51 ppm dan kandungan tokoferol (vitamin E) pada minyak dan biji buah merah adalah 5033 ppm dan 171,34 ppm. Rahayu dkk (2012) melaporkan kandungan vitamin A dan E biji buah merah sebesar 124,3 IU dan 7,9 mg. Hasil ini lebih rendah dari laporan Sarwono (2006) dalam Limbongan dan Afrizal (2009), alfa karoten sebesar 130 IU dan Vitamin E sebesar 21,20 mg tiap 100 gram minyak buah merah. Kandungan kalsium biji buah merah yang diberikan pada babi di kampung Umpakalo sebesar 1,43%. Jumlah ini dapat mencukupi kebutuhan kalsium pada babi dengan berat badan 20 s/d 35 kg yaitu 0,6%. Betakaroten, tokoferol, dan juga kalsium merupakan antioksidan yang sangat penting. Betakaroten berfungsi memperlambat berlangsungnya flek pada arteri sehingga aliran darah ke jantung dan ke otak menjadi lancar tanpa hambatan. Tokoferol adalah senyawa yang berperan dalam memperbaiki sistem kekebalan tubuh dan mengurangi mobiditas dan mortalitas sel jaringan. Kalsium sangat penting dalam metabolisme tubuh untuk memperbaiki kondisi kesehatan. Kalsium berfungsi sebagai kofaktor dalam mempercepat dan memperbaiki proses metabolisme tubuh (Parakasi, 1981). Buah merah juga mengandung omega 3 (linolenat) dan omega 9 (oleat). Sebagai asam lemak tak jenuh, omega 3 dan omega 9 yang mudah dicerna dan diserap sehingga memperlancar proses metabolisme (Sarunggalo, 2008). Sari buah merah meluruhkan LDL (kolesterol yang menyebabkan penyumbatan di pembuluh darah dan meningkatkan HDL (kolesterol yang memperlancar peredaran darah) sehingga terjadi keseimbangan kolesterol dalam darah (Nurheni, S.P dkk., 2007). Lancarnya proses metabolisme dapat menunjang penampilan ternak salah satunya pertumbuhan. Beta karoten (pro vitamin A) juga banyak di sayuran dan buah-buahan dan ubi jalar, makanan utama babi di lokasi penelitian. KESIMPULAN 1. Penambahan limbah buah merah berupa biji yang dicampur dengan sari buah merah cenderung meningkatkan pertambahan bobot badan babi sebesar 0,41 kg per hari. 2. Pemeliharaan secara pastura dapat membantu mencukupi kebutuhan pakan babi baik dari jumlah maupun kualitasnya. DAFTAR PUSTAKA AAK. 1981. Pedoman beternak babi. Seri Budidaya. Kanisius, Yogyakarta.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 373
Alcantra, P.F,.1980. Aplied Swine Nutrition : Pork Production Manual (edited by Melenio G Supnet) University Of The Philippinnes At Los Bannos College Of Agriculture College. Laguna. Philipines Logo, 2012. Logo N, 2012. Analisis Faktor Teknis dan Non Teknis Yang mempengaruhi Usaha Beternak Babi Di Wamena Kabupaten Jaya Wijaya. Skripsi Sarjana Peternakan. Program Studi Peternakan Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Negeri Papua. Manokwari. Limbongan, J dan Afrisal Malik, 2009. Peluang dan Pengembangan Buah Merah (Pandanus Conoideus.Lamk.) di Provinsi Papua. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 28 (4) halaman 27 – 41 Nurheni S P, N. Andarwulan, D Herawati, B P Priyosoeryanto. 2007. Manfaat Buah Merah Untuk Meningkatkan Kualitas Kesehatan: Studi Sifat Fungsional Terhadap Peningkatan Sistem Imun Dan Penghambatan Proliferasi Sel Kanker. Laporan Penelitian. Lab. Biokimia Pangan dan Gizi, Lab. Patologi dan Anatomi FKH IPB. Bogor. Nuriandarwulan, N., N.S. Palupi dan Susanti, 2006. Pengembangan Metode Ekstraksi dan Karakteristik Ekstrak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam). Proceding Seminar Nasional PATPI, 2-3 Agustus 2003, Yogyakarta. Hal 504-511 Rahayu.B.W.I, 2012. Teknik Budidaya Ternak Babi Pada Suku Dani Di Kampung Umpakalo Kecamatan Kurulu Kabupaten Jaya Wijaya. Laporan Penelitian. Jurusan Produksi Ternak. Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Negeri Papua. Manokwari. Rahayu B.W.I, D. Nurhayati dan I. Sumpe., 2012. Limbah Buah Merah (Pandanus Conoideus Lam) Dalam Meningkatkan Pertumbuhan dan Status Kesehatan Babi di Kampung Umpakalo (Pemekaran Kampung WagaWaga) Kabupaten Jaya Wijaya. Laporan Penelitian Hibah Kompetensi tahun pertama. Universitas Negeri Papua. Manokwari. Sarunggallo, Z. L., Murtiningrum,, A. Taher dan A. Faisol. 2008. Komposisi Kimia Beberapa Kultivar Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam) asal Papua. Proceding Seminar Nasional Pengembangan Agroindustri Berbasis Sumber Daya Lokal untuk Mendukung Daya Tahan Pangan. 14 Agustus 2008. Universitas Brawijaya Malang. Sihombing, D,T.H. 2006. Ilmu Beternak Babi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 374
PEMANFAATAN STANDINGHAY RUMPUT KUME AMONIASI DENGAN PENAMBAHAN ZnSO4 DAN Zn-Cu ISOLEUSINAT DALAM RANSUM UNTUK MENGOPTIMALKAN KONSUMSI, KECERNAAN DAN KADAR GLUKOSA DARAH SAPI BALI DARA Erna Hartati, A. Saleh dan E.D. Sulistijo Fakultas Peternakan, Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Universitas Nusa Cendana, Kupang Jl. Adisucipto, Penfui, Kupang 85001, Fax (0380) 822248 Penulis korespondensi email:
[email protected]
ABSTRAK Suatu penelitian telah dilakukan bertujuan mengevaluasi pemanfaatan standinghay rumput kume amoniasi dengan penambahan ZnSO 4 dan Zn-Cu isoleusinat dalam ransum basal yang dapat mengoptimalkan peningkatan konsumsi dan kecernaan zat-zat makanan serta kadar glukosa darah. Penelitian menggunakan enam belas ekor sapi Bali dara dan secara acak dikelompokkan ke dalam empat perlakuan pakan yaitu: R0 =Standinghay rumput kume amoniasi + konsentrat (60:40); R1 = R0 + 150 mg ZnSO 4/ kg BK konsentrat + 1 % Zn-Cu isoleusinat/kg BK ransum; R2 =R0 + 150 mg ZnSO 4/ kg BK konsentrat + 2 % ZnCu isoleusinat/kg BK ransum; R3 =R0 + 150 mg ZnSO 4 /kg BK konsentrat + 3 % Zn-Cu isoleusinat/kg BK ransum. Ransum basal terdiri dari standinghay rumput kume amoniasi dan konsentrat dengan kandungan protein 17% dan Total Digestible Nutrient (TDN) 78%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan ZnSO4 dan Zn-Cu isoleusinat berpengaruh sangat signifikan (P<0.01) terhadap peningkatan konsumsi dan kecernaan zat-zat makanan, dan berpengaruh signifikan (P<0.05) terhadap peningkatan kadar glukosa darah. Hasil terbaik terhadap konsumsi dan kecernaan zat-zat makanan dan kadar glukosa darah dicapai pada level penambahan ZnSO 4 dan Zn-Cu isoleusinat 150 mg ZnSO 4 /kg BK konsentrat dan 3 % Zn-Cu isoleusinat/kg BK ransum, akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara penambahan 3% dan 2% Zn-Cu isoleusinat/kg BK ransum. Dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan standinghay rumput kume dengan penambahan 150 mg ZnSO 4 /kg BK konsentrat dan 2 % ZnCu isoleusinat/kg BK ransum dapat mengoptimalkan konsumsi dan kecernaan zatzat makanan serta kadar glukosa darah Kata Kunci: Sapi Bali dara, Zn-SO4 , Zn-Cu Isoleusinat, kecernaan, glukosa darah
UTILIZATION OF AMMONIATED OF KUME GRASS STANDINGHAY WITH SUPPLEMENTATION OF ZNSO4 AND ZN-CU ISOLEUSINATE IN RATION TO OPTIMALISATION CONSUMPTION, DIGESTIBILITY AND GLUCOSA CONCENTRATION OF YOUNG FEMALE BALI CATTLE ABSTRACT An experiment was conducted to evaluate utilization of ammoniated of kume grass standinghay with supplementation of ZnSO 4 and Zn-Cu isoleusinate in ration to consumption, digestibility and glucosa concentration of young female BalicCattle. The experimental design used was completely randomized block
Prosiding Semnas II HITPI
Page 375
design. The experimental animal were randomly assigned into four group of treaments diet were formulated as: R0 = 60% ammoniated “kume“ grass standinghay + 40% concentrate; R1 = R0 + 150 mg ZnSO 4 /kg DM concentrate + 1% Zn-Cu isoleucinate; R2 = R0 + 150 mg ZnSO 4 /kg DM concentrate + 2 % ZnCu isoleucinate; R3 = R0 + 150 mg ZnSO 4 /kg DM concentrate + 3 % Zn-Cu isoleucinate. The basal diet consisted of ammoniated “kume“ grass standinghay, while concentrate consisted of corn meal, rice bran, coconut cake, fish meal, lemuru oil and premix. The crude protein content of basal diet was 17%, while total digestible nutrients (TDN) was 78%. The supplementation of ZnSO4 and ZnCu isoleucinate in the diet increase higly significantly (P<0.01) dry and organic matter, crude protein, crude fiber consumption and digestibility, glucose concentration. The highest consumption, digestibility and glucose concentration was achieved at level of 150 mg ZnSO 4 kg /DM concentrate and 2% Zn-Cu isoleucinate/ kg DM concentarate in the basal diet. Key Word: Young female Bali cattle, Zn-SO4 , Zn-Cu Isoleusinat,digestibility, glucosa concentration PENDAHULUAN Dalam upaya peningkatan produktivitas ternak sapi di Nusa Tenggara timur (NTT) masih dihadapkan pada masalah ketersediaan pakan, khususnya pada tiga bulan menjelang akhir musim kemarau sekalipun produksi rumput masih cukup tinggi, tapi hanya tersedia dalam bentuk standinghay. Pada kondisi ini kualitasnya sangat rendah ditandai dengan kandungan neutral diterjen fiber (NDF) sebesar 88,98%, protein kasar 2,56%, serat kasar 38,75% dan nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro masing-masing sebesar 45,86% dan 48,69% dan tingkat kelarutan rendah yaitu 21,89% (Hartati dan Katipana, 2006), lemak dan seng (Zn) serta tembaga (Cu) juga rendah masingmasing 1,90% dan 4.42-6.27 mg/kg BK dan 9.8-15 mg/kg BK (Hartati, dkk., 2007; Hartati, dkk., 2009b). Oleh sebab itu perlu terobosan teknologi dan salah satu teknologi tepat guna adalah teknologi amoniasi. Dari berbagai penelitian amoniasi terhadap rumput berkualitas rendah berhasil meningkatkan ketersediaan nitogen (N) dan meningkatkan kecernaan sehingga tersedia kerangka karbon (C) dan energi yang dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan mikroorganisme dalam rumen dalam upaya optimalisasi produktivitas ternak. Selain kandungan protein dan energi untuk optimalisasi sintesis dan pertumbuhan mikroba rumen juga dibutuhkan mineral Zn dan Cu. Thalib et al. (2000) menyatakan bahwa untuk meningkatkan aktivitas bakteri dalam mencerna serat pakan diperlukan zat faktor pertumbuhan dalam bentuk campuran vitamin dan mineral (Cu dan Zn). Sementara Durand dan Kawashima (1980) melaporkan bahwa seng berpotensi sebagai faktor pembatas pertumbuhan mikroba rumen. Seng dibutuhkan dalam jumlah yang cukup tinggi sekitar 130-220 ppm untuk pertumbuhan mikroba rumen (Hungate, 1966), sedangkan kebutuhan Zn bagi ternak ruminansia pada masa pertumbuhan 40-50 ppm (NRC, 1988). Untuk memenuhi kebutuhan Zn bagi mikroba rumen maupun ternak tidak cukup hanya dari pakan yang diberikan karena menurut Little (1986) dan NAS (1980), kandungan seng pakan hijauan daerah tropis rendah yaitu berkisar antara 20 sampai 38 mg/kg bahan kering. Rendahnya kandungan Zn dan Cu dalam ransum
Prosiding Semnas II HITPI
Page 376
menyebabkan pertumbuhan mikroba rumen terganggu. Berdasarkan kondisi tersebut dalam penelitian ini telah dilakukan amoniasi terhadap standinghay rumput kume dan dengan penambahan 150 mg ZnSO 4 /kg BK konsentrat dan berbagai level Zn-Cu isoleusinat/kg BK ransum bertujuan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap peningkatan konsumsi dan kecernaan zat-zat makanan serta kadar glukosa darah. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yaitu dua minggu untuk periode adaptasi dan 10 minggu untuk periode koleksi dan analisis data. Penelitian menggunakan 16 ekor sapi Bali dara umur 15-18 bulan. Ransum basal yang digunakan terdiri dari standinghay rumput kume amoniasi dan konsentrat dengan perbandingan 60:40%. Konsentrat disusun dari bahan lokal yang tersedia terdiri dari jagung kuning, dedah halus, bungkil kelapa, tepung ikan, minyak lemuru, garam dan premix dengan kandungan protein 17,07% dan TDN 78,16% (Tabel 1). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah suplementasi 150 mg ZnSO 4 /kg BK konsentrat (hasil terbaik penelitian Hartati dkk. 2009a) dan Zn-Cu isoleusinat pada konsentrasi 3000 ppm Zn dan 500 ppm Cu (hasil terbaik penelitian Hartati, dkk. 2009b) pada level 1, 2 dan 3 % / kg BK ransum dengan susunan perlakuan sebagai berikut: R0 = Standinghay rumput kume amoniasi + konsentrat (60:40); R1 =R0 + 150 mg ZnSO 4 / Kg BK konsentrat + 1 % Zn-Cu isoleusinat /kg BK ransum; R2 = R0 + 150 mg ZnSO 4 / kg BK konsentrat + 2 % Zn-Cu isoleusinat . kg BK ransum dan R3 = R0 + 150 mg ZnSO 4 / kg BK konsentrat + 3 % Zn-Cu isoleusinat /kg BK ransum. Tabel 1. Komposisi Formula Konsentrat Jenis bahan pakan Komposisi PK BP (BP) (%) (%) Jagung kuning 46.25 10,00 Dedak halus 20,50 10,89 Bkl. Kelapa 23,00 23,10 Tpg. Ikan 8,00 61,20 Minyak lemuru 1,50 Garam dapur 0,25 Premix 0,50 Jumlah
TDN BP (%) 91,00 66,00 74,00 69,00 -
PK (%) Konsentrat 4,63 2,23 5,31 4,90 17,07
TDN (%) Konsentrat 42,09 13,53 17,02 5,52 78,16
Sumber: (Hartati, dkk., 2009b)
Ternak dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan berat badan sebagai ulangan. Standinghay rumput kume amoniasi diberikan 2 kali sehari sesudah konsentrat dan suplement habis dikonsumsi yaitu jam 8.00 pagi dan jam 13.00 siang yang disediakan ad libitum, sedangkan konsentrat mengandung minyak lemuru diberikan 2 kali sehari yaitu jam 7.00 pagi dan jam 12.00 siang. Suplementasi ZnSO 4 dan Zn-Cu isoleusinat dilakukan 1 kali sehari yaitu jam 7.00 pagi bersamaan dengan pemberian konsentrat. Air minum disediakan ad libitum. Sampel darah untuk mengetahui kadar glukosa darah dilakukan 3 jam Prosiding Semnas II HITPI
Page 377
sesudah makan. Parameter yang diukur konsumsi dan kecernaan bahan kering, bahan organik, protein dan serat kasar dan kadar glukosa darah sapi Bali dara. Pengukuran konsumsi zat-zat makanan diperoleh dari selisih zat-zat makanan yang diberikan dengan zat-zat makanan yang tersisa selama 24 jam. Pengukuran absorbsi Zn dan Cu diperoleh dari selisih Zn dan Cu yang dikonsumsi dengan yang terkandung dalam feses. Kadar Zn dan Cu dalam pakan dan feses ditentukan menggunakan AAS. Pengukuran kadar glukosa darah menggunakan Spektrofotometer. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Duncan menggunakan program SPSS Release 17. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering dan Zat-zat Makanan Nilai rataan konsumsi bahan kering dan zat-zat makanan pada perlakuan yang berbeda disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rataan Konsumsi Zat-zat Makanan pada Berbagai Perlakuan Jenis Konsumsi (ekor/hr)
Jenis Perlakuan R0 R1 a
3.87 ± 0.15
R2 a
4.28 ± 0.12
R3 b
4.34 ± 0.17b
Bahan Kering (kg)
3.33 ± 0.33
Bahan Organik (kg)
3.62 ± 0.30a
3.60 ± 0.14a
3.99 ± 0.11b
4.09 ± 0.16b
Protein Kasar (kg)
0.43 ± 0.06a
0.43 ± 0.03a
0.47 ± 0.02 a
0.46 ± 0.03 a
Serat Kasar (kg)
0.79 ± 0.03a
0.78 ± 0.02a
0.89 ± 0.01b
0.90 ± 0.01b
BETN(kg)
2.23 ± 0.19a
2.22 ± 0.85a
2.47 ± 0.69b
2.57 ± 0.10b
TDN (kg)
2.22 ± 0.24a
2.21 ± 0.16a
2.81± 0.07b
2.89 ± 0.14b
Seng (mg)
260.48 ± 48.29 a
310.09 ± 24.46 a
368.20 ± 26.34 a
426.83 ± 42.32 a
13.77 ± 1.86 a 14.47 ± 0.85 a 16.12 ± 0.78 a 17.14 ± 1.23 a Cu (mg) Keterangan: Superscrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0.05)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat signifikan (P<0.01) terhadap peningkatan konsumsi bahan kering (BK), bahan organik (BO), serat kasar (SK) dan BETN. Perlakuan juga berpengaruh sangat signifikan (P<0.01) terhadap konsumsi Zn dan Cu (Tabel 2). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa ternak sapi yang mendapat ransum basal standinghay rumput kume amoniasi dan konsentrat tanpa dan yang disuplementasi dengan 150 mg ZnSO4/kg BK konsentrat dan Zn-Cu isoleusinat/kg BK ransum pada level 2 dan 3% terdapat perberbedaan yang signifikan (P<0.05) terhadap peningkatan konsumsi BK, BO, SK, BETN dan energi. Hal ini disebabkan karena konsumsi protein pada sapi yang mendapat perlakuan R2, R3 satu sama lain cenderung terjadi peningkatan (P<0.06). Konsumsi PK tertinggi diperoleh ternak yang mendapat ransum yang disuplementasi 150 mg ZnSO4/kg BK konsentrat dan 3 % Zn-Cu isoleusinat/kg BK ransum yaitu sebesar 0.464 ± 0.03 kg/hr. Konsumsi PK tersebut lebih besar dari yang direkomendasikan NRC (1970) sebesar 390 g/hr pada sapi betina yang belum pernah beranak berat 150 kg dengan pertambahan berat badan 0.50 kg/h (NRC, 1970). Secara teoritis tingkat konsumsi BK sangat dipengaruhi oleh kebutuhan energi, kapasitas rumen disamping bentuk fisik dan Prosiding Semnas II HITPI
Page 378
kandungan zat-zat makanan dalam ransum Disamping itu perbedaan konsumsi BK, BO, SK, BETN dan energi tersebut disebabkan karena pengayaan dengan asam amino isoleusinat pada mineral organik yang dapat meningkatkan kecernaan SK secara signifikan (P<0.05). Keadaan ini menyebabkan laju alir pakan lebih cepat dan ternak akan mengkonsumsi ransum kembali, akibatnya konsumsi bahan kering meningkat. Perbedaan tersebut disebabkan karena terjadi peningkatan konsumsi energi dan protein. Hasil penelitian ini sesuai pernyataan yang dikemukakan Villalba dan Provenza (1997) dalam Manafe dkk. (2009) bahwa kandungan protein atau nitrogen akan menentukan jumlah ransum yang dikonsumsi. Sementara Sentana (2005) menyatakan bahwa ternak akan berhenti makan apabila kebutuhan energinya sudah terpenuhi, sekalipun kapasitas rumen belum penuh. Pada penelitian ini terlihat bahwa konsumsi BK, BO, SK, BETN dan Energi tertinggi dicapai ternak yang mendapat suplementasi 150 mg ZnSO4/kg BK konsentrat dan 3% Zn-Cu isoleusinat. Berarti pada perlakuan ini proses fermentasi sudah optimal, ternak sudah berupaya memenuhi kebutuhan energi dan zat-zat makanan lainnya untuk hidup pokok dan produksi yang tercermin pada pertambahan berat badan sapi meningkat 27% dibandingkan dengan sapi mendapat ransum basal tanpa disuplementasi ZnSO4 dan Zn-Cu isoleusinat. Pada hasil penelitian ini juga dapat dilihat bahwa perlakuan sangat signifikan (P<0.01) berpengaruh terhadap peningkatan konsumsi SK. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa ternak sapi yang mendapat ransum standinghay rumput kume amoniasi tanpa dan yang disuplementasi dengan 150 mg ZnSO4/kg BK konsentrat dan yang mendapat suplementasi 1% Zn-Cu isoleusin terdapat perbedaan peningkatan konsumsi SK antara R0-R2 dan R3akan tetapi antara R2R3 tidak berbeda. Kemungkinan hal tersebut disebabkan adanya peningkatan jumlah koloni bakteri dalam rumen dengan penambahan ZnSO4 dan Zn-Cu isoleusinat sebagai sumber Zn, Cu dan isoleusin (asam amino berantai cabang sebagai sumber kerangka C bagi sintesis bakteri selulolitik) Konsumsi Bahan Ekstrak Tanpa N (BETN) juga dapat dilihat bahwa perlakuan berbengaruh sangat signifikan (P<0.01) terhadap peningkatan konsumsi BETN. Hasil uji lanjut R0-R2 dan R3 serta R1-R2 dan R3 terdapat perbedaan konsumsi BETN yang signifikan (P<0.05). Dengan kata lain terjadi peningkatan konsumsi BETN pada ternak yang mendapat ransum basal standinghay rumput kume amoniasi dan ransum yang mendapat suplementasi 150 mg ZnSO4/kg BK konsentrat dan Zn-Cu isoleusinat pada level 2% dan 3% dari bahan kering ransum. Berarti pada ransum tersebut tersedia BETN cukup tinggi sebagai sumber karangka C dan bersama-sama dengan sumber N dari protein yang cukup tinggi pula, serta tersedia Zn dan isoleusin yang cukup diduga dapat mengoptimalkan proses fermentasi dalam rumen. Berdasarkan hasil perhitungan konsumsi TDN ransum percobaan, pengaruh perlakuan sangat signifikan (P<0.01) terhadap konsumsi TDN. Hasil uji lanjut menunjukkan antara R1-R3 dan R2 terdapat perbedaan signifikan (P<0.05) terhadap peningkatan konsumsi TDN, sedangkan antara R2-R3 tidak berbeda. Peningkatan konsumsi TDN pada ransum yang disuplementasi 150 ZnSO4/kg BK konsentrat dan 2% dan 3% Zn-Cu isoleusinat relatif sama yaitu 2.81 dan 2.88 kg. Konsumsi TDN pada ransum tersebut berada pada level di atas kebutuhan untuk hidup pokok pada sapi betina yang belum pernah beranak berat badan 150 kg
Prosiding Semnas II HITPI
Page 379
dengan pertambahan berat badan 0.5 kg/hr yaitu sebesar 2.3 kg (NRC, 1970). Berati konsumsi TDN berada pada level yang cukup, maka hal tersebut mengindikasikan bahwa kebutuhan energipun cukup bagi pertumbuhan ternak. Kecernaan Bahan Kering dan Zat-zat Makanan Suplementasi 150 mg ZnSO4/kh BK konsentrat dan Zn-Cu isoleusinat dari BK ransum pada ransum basal standinghay rumput kume amoniasi dan konsentrat berpengaruh signifikan (P<0.01) terhadap peningkatan kecernaan BK, BO, PK dan BETN, sedangkan terhadap peningkatan kecernaan lemak tidak signifikan (Tabel 3). Hasil analisis uji lanjut memperlihatkan bahwa antara perlakuan R1- R2 dan R3 memperlihatkan perbedaan yang signifikan (P<0.05) pada peningkatan kecernaan BK namun antara perlakuan R3-R2 tidak menunjukkan perbedaan. Hal ini disebabkan karena cukup tersedia protein dan BETN dalam ransum masingmasing sebagai sumber N dan C untuk sintesis mikroorganisme dalam ransum yang berdampak terhadap peningkatan proses fermentasi dalam rumen. Disamping itu ransum yang disuplementasi 150 mg ZnSO4/kg konsentrat dan ZnCu isoleusinat/kg BK ransum pada level 2 dan 3% yaitu perlakuan R2 dan R3 cukup tersedia mineral Zn dan Cu yang peranannya cukup besar dalam sintesis mikroorganisme dalam rumen. Peningkatan kecernaan BK paling tinggi pada perlakuan R3, namun tidak berbeda dengan perlakuan R2. Telah terjadi peningkatan kecernaan BK sebesar 20.33% dibandingkan dengan sapi yang mendapat perlakuan R0 yaitu sapi yang mengkonsumsi standinghay rumput kume amoniasi dan konsentrat. Peningkatan kecernaan BK tersebut diduga karena sintesis protein mikroba dalam rumen cenderung meningkat akibat penambahan 150 mgZnSO4/kg BK konsentrat sesuai yang dilaporkan Hartati dkk. (2007; 2008b). Tabel 3. Rataan Kecernaan Zat-zat Makanan pada Berbagai Perlakuan Jenis Kecernaan Jenis Perlakuan (%) R0 R1 R2 R3 a a b Bahan Kering 60.97 ± 2.05 61± 3.27 71.98 ± 1.78 73.37 ± 2.70 b 64.31 ± 1.13 a 64.66 ± 2.62 a 74.25 ± 1.43 b 75.43 ± 2.54 b Bahan Organik Protein Kasar 58.49 ± 7.83 a 56.69 ± 5.70 a 72.72 ± 1.68b 73.37. ± 5.16 b Serat Kasar 57.99 ± 0.85 a 61.25 ± 3.84a 71.49 ± 1.38b 72.86 ± 4.42 b 63.77 ± 6.68 a 58.03 ± 3.77 a 63.90 ± 2.26a 62.07 ± 5.81 a Lemak BETN 67.65 ± 0.61 a 67.67 ± 1.93 a 76.24 ± 2.68 b 77.61 ± 1.61 b Keterangan: Superscrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0.05)
Suplementasi 150 mg ZnSO4/kg BK konsentrat dan Zn-Cu isoleusinat/kg ransum berpengaruh sangat signifikan (P<0.01) terhadap peningkatan kecernaan PK. Hasil uji lanjut antara perlakuan R0-R2 dan R3 dan R1-R2 dan R3 memperlihatkan perbedaan yang signifikan (P<0.05). Artinya suplementasi 150 mg ZnSO4/kg BK konsentrat dan Zn-Cu isoleusinat/kg ransum dapat meningkatkan kecernaan PK. Kecernaan tertinggi pada sapi dara yang mendapat perlakuan R3 (72.86%), namun tidak berbeda dengan R2 yaitu pada sapi yang mengkonsumsi standinghay rumput kume amoniasi dan konsentrat yang Prosiding Semnas II HITPI
Page 380
disuplementasi dengan 150 mg ZnSO4/kg BK konsentrat dan 2% Zn-Cu isoleusinat/kg ransum dengan kenaikan kecernaan sebesar 20.4%. Kemungkinan hal tersebut disebabkan karena suplementasi pada level 3% Zn-Cu isoleusinat telah terjadi inkorporasi isoleusin yang terkandung dalam Zn-Cu isoleusinat ke dalam protein mikroba yang menyebabkan peningkatan sintesis dan pertumbuhan mikroba rumen terutama bakteri. Sesuai pernyataan Sutardi (1976) bahwa dengan menggunakan C14 sebagai perunut memperlihatkan bahwa terjadi inkorporasi kerangka karbon dari valin, leusin dan iso leusin ke dalam protein mikroba rumen berturut-turut 31, 25, dan 29%. Hasil penelitian ini mendukung pernyataan Clark et al., (1992) dalam Zain (1999) bahwa penambahan asam amino dalam ransum dapat memaksimalkan sintesis protein mikroba rumen terutama bakteri dibandingkan dengan penambahan urea sebagai sumber nitrogen. Selanjutnya dinyatakan oleh Griswold et al., (1996) dalam Zain (1999) bahwa penambahan asam amino atau peptide cenderung meningkatkan jumlah bakteri selulolitik. Hal ini membuktikan bahwa kerangka karbon bercabang hasil dekarboksilasi dan deaminasi asam amino dalam rumen sangat diperlukan bagi pertumbuhan mikroba dalam rumen untuk sintesis bakteri selulolitik yang berperan dalam mencerna SK. Seperti yang dilaporkan untuk optimalisasi pertumbuhan bakteri selulolitik seperti B. succinogenes, Ruminococcus albus dan R. flafacient membutuhkan asam lemak bercabang (Baldwin dan Allison, 1983). Asam lemak bercabang yaitu asam iso butirat, 2 metil butirat dan iso valerat berturut-turut diperoleh dari proses dekarboksilasi dan deaminasi asam amino berantai cabang valin, leusin dan isoleusin. Disamping itu Hartati dkk. (2007) merekomendasikan bahwa penambahan 150 mg ZnSO4/kg BK PPG dapat memacu pertumbuhan mikroba rumen tercermin pada peningkatan alantoin urin. Diduga suplementasi ZnSO4 dapat meningkatkan aktivitas karboksi peptidase yang berperan mencerna protein di pasca rumen. Selain itu suplementasi 1, 2 dan 3% Zn-Cu isoleusinat selain diharapkan sebagai sumber Zn dan Cu organik yang mudah diserap di pasca rumen, juga penambahan isoleusinat dalam proses pembuatan mineral organik tersebut juga dapat sebagai sumber asam amino BCAA. Melalui dekarboksilase dan deaminasi membentuk BCFA sebagai sumber kerangka C bercabang dalam sintesis bakteri selulolitik dan non selulolitik yang berperan dalam mencerna serat dan non serat Suplementasi 150 mg ZnSO4/kg BK konsentrat dan Zn-Cu isoleusinat/kg ransum pada ransum basal standinghay rumput kume amoniasi dan konsentrat berpengaruh sangat signifikan (P<0.01) terhadap kecernaan BETN. Hasil uji lanjut menunjukkan antara R1-R2 dan R3 memperlihatkan perbedaan yang signifikan (P<0,05), akan tetapi antara perlakuan R2 dan R3 tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Telah terjadi peningkatan kecernaan BETN pada R2 dan R3 yaitu masing-masing sebesar ...% dan.....% dibandingkan dengan sapi dara yang mendapat ransum tanpa disuplementasi dengan 150 mg ZnSO4/kg BK konsentrat dan Zn-Cu isoleusinat/kg BK ransum. Demikian pula pengaruh suplementasi 150 mg ZnSO4/kg BK konsentrat dan Zn-Cu isoleusinat/kg ransum pada ransum basal standinghay rumput kume amoniasi dan konsentrat terhadap kecernaan SK sangat signifikan (P<0.01) dan trennya peningkatannya seirama. Oleh karena tidak terdapat perbedaan antara R2 dan R3, maka dapat disimpulkan bahwa ransum yang sudah kecukupan Zn masih diperlukan suplementasi 2% Zn-
Prosiding Semnas II HITPI
Page 381
Cu isoleusinat/kg BK ransum untuk optimalisasi fermentasi dalam rumen dan kecernaan zat-zat makanan di pasca rumen, disamping diharapkan sebagai sumber Zn dan Cu organik yang memiliki nilai hayati tinggi.yang ideal untuk proses fermentasi di dalam rumen. Hasil yang dilaporkan Hartati dkk. (2011) menunjukkan bahwa suplementasi kombinasi 150 mg ZnSO4/kg BK konsentrat dan Zn-Cu isoleusinat pada 3000 ppm Zn dan 500 ppm Cu dalam ransum basal standinghay rumput kume amoniasi dan konsentrat mampu merubah pola fermentasi lebih mengarah pada sintesis C3 yang didukung oleh penurunan nisbah C2:C3 yang signifikan (P<0,05) (Gambar 3). Kondisi ini tercermin pada peningkatan kadar glukosa darah pada ternak yang mengkonsumsi ransum tanpa dan dengan penambahan konsentrat berbeda signifikan (P<0,05), akan tetapi penambahan konsentrat pada level berbeda satu sama lain tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Peningkatan kadar glukosa darah pada ransum basal yang disuplementasi 150 mg ZnSO4/kg BK konsentrat dan Zn-Cu isoleusinat pada level 1, 2 dan 3% berhubungan erat dengan peningkatan produksi C3. Pernyataan ini sesuai dengan yang dilaporkan Ashes et al. (1987) bahwa C3 merupakan salah satu sumber utama pembentukan glukosa pada ternak ruminansia. Lebih kurang 50% glukosa pada ternak ruminansia berasal dari C3 (Brockman, 1993) yang merupakan sumber energi utama bagi organ-organ tubuh yang penting seperti otak, syaraf, kelenjar susu dan janin. Oleh sebab itu suplementasi yang dapat meningkatkan sintesis C3 sangat bermanfaat bagi ternak ruminansia karena dapat meningkatkan ketersediaan energi untuk meningkatkan produktivitas ternak. Disamping itu ransum penelitian mengandung minyak yang dapat meningkatkan produksi C3 disamping mengurangi kehilangan energi dalam bentuk metan seperti yang dilaporkan Hartati (2000b). 7.5 7.0
6.5
nibah_C2:C3
6.0
Glukosa (mg/dl)/10)
5.5 5.0
Nisbah C2/C3 dan Glukosa
4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 R0
R1
R2
R3
Gambar 3. Pengaruh Perlakuan terhadap Nisbah C2:C3 dan Kadar Glukosa Darah KESIMPULAN DAN SARAN Pemanfaatan standinghay rumput kume amoniasi dengan penambahan 150 mg ZnSO4/kg BK konsentrat dan Zn-Cu isoleusinat/ kg BK ransum dalam ransum dapat mengoptimalkan konsumsi dan kecernaan BK, BO, PK, SK dan BETN serta kadar glukosa darah pada level 2 % pada sapi bali dara. Oleh sebab itu disarankan agar dalam pemanfaatan standinghay rumput
Prosiding Semnas II HITPI
Page 382
amoniasi perlu penambahan 150 mg ZnSO4/kg BK konsentrat dan Zn-Cu isoleusinat pada level 2 %/kg BK ransum dan diuji cobakan pada sapi dara atau induk sapi bali bunting yang dipelihara semi intensif. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada DP2M, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang telah menyediakan dana penelitian. DAFTAR PUSTAKA Durand, M dan R. Kawashima, 1980. Influence of Mineral in the Rumen Microbial Digestion , In: Y. Ruckebusch and P. Thivend (Edit.) Digestive Physiology and Metabolism in Ruminants, AVI. Publishing Company, Inc. Connecticut Hartati, E.dan N.G.F. Katipana. 2006. Sifat Fisik, Nilai Gizi dan Kecernaan In Vitro Standinghaylage Rumput Kume Hasil Fermentasi Menggunakan Gula Lontar dan Feses Ayam. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006. hal: 885-890 Hartati, E., N.G.F. Katipana dan A. Saleh. 2007. Manfaat pakan padat gizi yang mengandung minyak lemuru dan seng untuk perbaikan mutu fetus sapi Bali pada akhir kebuntingan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Fapet Undana, Kupang. Hartati, E. 2008. Efek Suplementasi Minyak lemuru dan ZnSO 4 pada Ransum Mengandung Pod Cacao dan Urea terhadap Absorpsi Zn dan Pertumbuhan Sapi Jantan. Jurnal Produksi Ternak. UNSOED. 10: 50-54 (Akreditasi No. 56/DIKTI/Kep/2005) Hartati, E., A. Saleh dan E.D. Sulistidjo.. 2009a. Pengaruh Level Penambahan Seng pada Pakan Padat Gizi Mengandung Minyak Lemuru terhadap Pertumbuhan dan kondisi Fetus Sapi Bali pada Akhir Kebuntingan. Jurnal Produksi Ternak, UNSUD Periode Mei 2009 Hartati, E., A. Saleh dan E.D. Sulistidjo. 2009b. Optimalisasi Proses Fermentasi Rumen dan Pertumbuhan Sapi Bali melalui Suplementasi Zn-Cu Isoleusinat dan ZnSO4 pada Ransum Berbasis Standinghay Rumput Kume (Andropogon timorensis) Amoniasi. Laporan Penelitian Fondamental Fakultas Peternakan, Undana, Kupang. Hartati, E., A. Saleh dan E.D. Sulistidjo. 2011. Suplementasi Zn-Sulfat Dan ZnCu Isoleusinat Dalam Ransum Berbasis Pakan Lokal Untuk Peningkatan Produktivitas Dan Kekebalan Tubuh Sapi Bali. Laporan Penelitian Hibah Kompetitif Penelitian Strategis Nasional. Fakultas Peternakan, Undana, Kupang Hungate, R.E. 1966. The Rumen and Its Microbes. New York: Academy Press Little, D. A. 1986. the Mineral Content of Ruminant Feed and the Potensial for Mineral Supplementation in South-East Asia with Particular Reference to Indonesi. In R. M. Dixon Ed. Ruminant Feeding Systems utilizing Fibrous Agricultural Resideus, Canberra. Manafe, J. . N.G.Katipana dan E. Hartati. 2009. Kinetika Perombakan Protein
Prosiding Semnas II HITPI
Page 383
Limbah Organik di dalam Rumen Berdasarkan Persamaan MichaelisMinten dan Manfaatnya bagi Ternak Ruminansia. Seminar Hasil Penelitian. Undana , Kupang. National Academy of Sciences (NAS). 1980. Mineral Tolerance of domestic Animals. Washington. National Research Caouncil (NRC). 1988. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. Sixth Revised Ed. National Academy Press, Washington. Thalib, A., B. Haryanto, S. Kompiang, I.W. Mathius, dan A. Aini. 2000. Pengaruh Mikromineral dan Fenilpropionat terhadap Performans Bakteri Selulolitik Coccid dan Batang dalam Mencerna Serat Hijauan Pakan. J. Ilmu Ternak dan Vet., 5(2): 92-99. Zain, M. 1999. Substitusi Rumput dengan Sabut Kelapa Sawit dalam Ransum Pertumbuhan Domba: Pengaruh Amoniasi, Defaunasi dan Suplementasi Analog Hidroksi Metionin serta Asam Amino Bercabang. Disertasi. Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor
Prosiding Semnas II HITPI
Page 384
PENGARUH ENERGI –PROTEIN RANSUM TERHADAP KARKAS DAN ORGAN DALAM AYAM KAMPUNG UMUR 35 MINGGU G.A.M. Kristina Dewi1 , R.R. Indrawati2 , Ni M. Laksmiwati3 , I Made Wirapartha 4 dan M. Dewantari5 1,2,3,4 Laboratorium Ternak Unggas,5 Laboratorium Statistika Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT The experiment was conducted to determine the effect of energy-protein rations to carcass and inners organ of 35 week ages of Kampung chicken had been carried out for 15 week. The method was used completed randomized design with 4 treatmnes and 4 replikated of 3 bird each, the total 48 bird used to gave ration: 3100 kcal/kg ME – 22% protein ( RA) ; 3000 kcal/kg ME – 20% protein (RB); 2900 kcal/kg ME – 18% protein (RC) and 2800 kcal/kg ME – 16% protein (RD). The diet and drinking water were available all time (adlibitum). Data obtained was analyzed using analysis of covariance and followed by Duncan‟s multiple range test from (Steel and Torrie, 1990). Result showed that final body weight, carcass weight, carcass percented, caracteristic of fisic carcass, inner organs, abdominal fat, carcass colour of kampung chickens non significant effect (P>0.05) with using treatment ration RA, RB, RC and RD. But only the caracteristic of fisic carcass (skin percentage) of treatment RB, RC gave significat effect (P<0.05) than RA, RD. It is councluded that : the effect of treatment rations with energy 3100 kcal/kg ME –21 % protein until 2800 kcal /kg ME– 16% protein at 35 week ages of kampung chickens can gave non significant effect (P>0.05) for final body weight, carcass weight, carcass percented, caracteristic of fisic carcass, inner organs, carcass colour, abdominal fat, of Kampung chicken. Only the caracteristic of fisic carcass (skin percentage) of treatment RB, RC gave significant effect (P<0.05) than RA, RD. Key words : Kampung chickens, energy , protein, carcass, inners organ.
ABSTRAK Penelitian yang bertujuan untuk mempelajari pengaruh energi-protein ransum terhadap karkas dan organ dalam ayam kampung umur 35 minggu, penelitian ini telah dilakukan selama 15 minggu, menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan, 4 ulangan dan setiap unit percobaan terdiri dari 3 ekor ayam kampung, sehingga digunakan sebanyak 48 ekor. Perlakuan ransum yang diberikan: RA :ransum dengan energi termetabolis 3100 kkal/kg dan 22% protein kasar; RB :ransum dengan energi termetabolis 3000 kkal/kg dan 20% protein kasar, RC: ransum dengan energi termetabolis 2900 kkal /kg dan 18% protein kasar; RD: serta ransum dengan energi termetabolis 2800 kkal /kg dan 16%protein kasar. Ransum dan air minum diberikan adlibitum. Data yang diperoleh dianalisis ragam dan apabila diantara perlakuan berbeda nyata (P< 0.05) maka diuji lanjut dengan uji jarak berganda Duncan‟s (Steel dan Torrie, 1990). Hasil yang diperoleh berat badan akhir, berat karkas ,persentase karkas, warna karkas, organ dalam, lemak abdomen pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) antar perlakuan RA, RB, RC dan RD. Terdapat perbedaan
Prosiding Semnas II HITPI
Page 385
yang nyata pada persentase lemak karakteristik fisik karkas antara perlakuan RB,RC dibanding RA, RD (P<0,05). Kesimpulan penelitian ini adalah pengaruh perlakuan ransum 3100 kkal/kg ME - 21% protein sampai 2800 kkal/kg ME 16% protein pada ayam kampung umur 35 minggu, tidak memberikan pengaruh nyata terhadap bobot karkas, persentase karkas, karakteristik fisik karkas (daging dan tulang), warna karkas, persentase organ dan lemak abdominal ayam kampung. Sedangkan karakteristik fisik karkas ( persentase Kulit) berbeda nyata (P<0,05) pada perlakuan RB, RC dibanding RA, RD. Kata kunci : Ayam kampung ,energi, protein, karkas, organ dalam .
PENDAHULUAN Salah satu usaha untuk meningkatkan produksi ternak adalah pakan (ransum) yang berasal dari tanaman berupa jagung, kedelai,bungkil kedelai, dedak padi, sorgum, gandum, minyak kelapa, minyak sawit, kaliandra, ampas kelapa, ampas tahu dan lain-lainya. Menurut Undang- Undang No. 18 Tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan maupun UU no 18 Tahun 2012 tentang pangan, mengamanatkan bahwa penyediaan pangan (termasuk daging) harus mengutamakan produksi dalam negeri dan kemampuan kerakyatan. Sehingga salah satu ternak unggas lokal yang dapat dikembangkan adalah ayam kampung . Ayam kampung sangat penting didalam meningkatkan gizi dan pendapatan masyarakat dari daging maupun telurnya. Pemeliharaannya tidak memerlukan persyaratan berat, karena telah beradaptasi dengan lingkungan dan memiliki daya tahan terhadap penyakit dibandingkan ayam ras (Nitis, 2006). Menurut hasil sensus Badan Pusat Statistik (2011) bahwa Provinsi Bali memiliki populasi ternak unggas yang berasal dari ayam kampung adalah sebesar 4.336.174 dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 4.454.924 ekor . Produktivitas ayam kampung masih rendah menurut Supriyatna et al. (2005) disebabkan pemeliharaannya masih bersifat tradisional, jumlah pakan diberikan tidak mencukupi dan pemberian pakan yang belum mengacu kepada kaidah ilmu nutrisi, belum memperhitungkan kebutuhan zat-zat makanan untuk berbagai tingkat produksi. Penyusunan ransum ayam kampung masih menggunakan rekomendasi standar ayam ras baik Scott et al. (1982) maupun NRC (1994). Menurut Scott et al. (1982) kebutuhan energi termetabolis ayam tipe ringan umur dari 1- 35 minggu antara 2600-3100 kkal/kg dan protein pakan antara 18-24%, sedangkan menurut NRC (1994) kebutuhan energi termetabolis dan protein masing-masing 2900 kkal/kg dan 18%. Sedangkan standar kebutuhan energi dan protein untuk ayam kampung yang dipelihara di daerah tropis belum direkomendasi. Sehubungan dengan hal diatas telah dilakukan penelitian pengaruh energi-protein ransum terhadap karkas dan organ dalam ayam kampung umur 35 minggu. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh energi-protein ransum terhadap karkas ayam kampung dan organ dalam ayam kampung umur 35 minggu.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 386
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memperoleh susunan ransum yang memiliki kandungan energi-protein yang sesuai dengan kebutuhan ayam kampung untuk produksi karkas dan organ dalam pada umur 35 minggu . MATERI DAN METODE Lokasi dan Materi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Peguyangan, Denpasar Timur Kota Denpasar Bali, selama 15 minggu. Penelitian ini menggunakan ayam kampung dengan bobot rata-rata 1120.19 ± 2.70 g, sebanyak 48 ekor diperoleh dari peternak di desa Marga, Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali. Metode penelitian Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan empat ( 4 ) perlakuan dan empat ( 4 ) ulangan dimana masing-masing unit percobaan terdiri dari 3 ekor ayam. Perlakuan yang diberikan : RA : ransum mengandung energi termetabolis 3100 kkal/kg dan 22% protein kasar RB : ransum mengandung energi termetabolis 3000 kkal/kg dan 20% protein kasar RC : ransum mengandung energi termetabolis 2900 kkal /kg dan 18% protein kasar RD : ransum mengandung energi termetabolis 2800 kkal /kg dan 16%. protein kasar Tabel 1. Komposisi Bahan dan Komposisi Zat-Zat Makanan Ransum Percobaan Komposisi Bahan (%) Jagung kuning Kacang kedelai Bungkil kelapa Tepung ikan Dedak Padi Minyak Bimoli Premix Garam dapur
RA 48.15 27.70 8.88 7.95 6.53 0.35 0.25 0.20
Komposisi zat –zat makanan ME (kkal/kg)* Protein kasar (%)* Serat kasar (%)* Kalsium (%)* Pospor (%) * Arginin ** Sistin** Lisin** Metionin**
3100 22 4.73 0.58 0.47 1.78 0.37 1.52 0.46
Perlakuan RB RC 50.70 50.80 20.00 14.00 12.00 11.90 7.40 6.59 9.05 15.91 0.40 0.30 0.25 0.30 0.20 0.20
3000 20 5.02 0.53 0.44 1.64 0.32 1.31 0.41
2900 18 5.33 0.47 0.40 1.50 0.30 1.13 0.39
RD 54.00 6.90 16.20 5.60 16.40 0.30 0.40 0.20
2800 16 5.63 0.40 0.36 1.38 0.28 0.90 0.35
**Perhitungan berdasarkan Standar Scott et al. (1982) *Hasil analisis lab. Nutrisi dan M akanan Ternak UNUD (2011).
Prosiding Semnas II HITPI
Page 387
Variabel yang diamati : Dalam penelitian ini variabel yang diamati adalah: bobot badan akhir, bobot karkas, persentase karkas, komposisi fisik karkas, warna karkas, organ dalam dan persentase lemak abdominal. Analisis data Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam. Untuk mengetahui perbedaan pengaruh antara perlakuan dilakukan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Torrie, 1990). HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Terhadap Persentase Karkas Rataan berat potong ayam kampung umur 35 minggu yang diberi ransum energi dan protein dapat dilihat pada Tabel 2. Rataan berat potong ayam yang mendapat perlakuan RA, RB, RC dan RD sebesar 1124,20 g/ekor. Ayam kampung yang mendapat perlakuan RA, RB,RC dan RD berturut-turut 1125,73, 1122,02, 1120,65 dan 1128,39 secara statistik tidak berbeda nyata (P>0.05). Pada Tabel 2 diperoleh rataan berat karkas tertinggi diperoleh ayam yang mendapat perlakuan RA sebesar 759,42g/ekor dan yang terendah pada perlakuan RB sebesar 753,99 g/ekor. Ayam kampung yang mendapat perlakuan RD lebih tinggi dari perlakuan RB dan RC secara statistik tidak berbeda nyata (P>0.05). Rata-rata persentase karkas ayam broiler pada perlakuan RA adalah 67,46 (Tabel 2 ). Ayam yang mendapat ransum dengan perlakuan RB terendah persentase karkasnya, sebesar 67,20%. Hasil sidik ragam menunjukkan ayam kampung yang mendapat perlakuan RA, RB, RC dan RD tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap persentase karkas. Hal ini disebabkan karena karkas diukur berdasarkan bobot hidup, peningkatan bobot badan akhir. Karakteristik fisik karkas pada persentase (daging dan tulang ) dari ayam kampung tidak terdapat perbedaan yang nyata (P >0.05), sedangkan persentase kulit perlakuan RA, RD berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan RB dan RC. Pada Tabel 2 terlihat persentase kulit dari karakteristik fisik karkas pada perlakuan RA, RD lebih rendah dari perlakuan RB dan RC. Warna karkas ayam kampung umur 35 minggu yang mendapat perlakuan RA, RB, RC dan RD berturut-turut 7,80; 8,20; 7,50 dan 7,90 tetapi tidak berbeda nyata (P >0,05) (Tabel 2). Secara keseluruhan pengaruh pemberian ransum dengan energi-protein dari 3200 kkal/kg ME – 22 % protein sampai dengan 2800 kkal/kg ME – 16% protein tidak berbeda nyata terhadap Bobot Badan, Berat Karkas, Persentase karkas,Karakteristik Fisik Karkas , Warna Karkas ayam broiler umur 35 minggu. Sesuai dengan Scott et al. (1992) kebutuhan energi dan protein untuk pertumbuhan yang optimum dari ternak ayam tipe ringan menggunakan selang kebutuhan energi metabolis dari 2800-3400 kkal/kg ransum dan kebutuhan protein antara 18.10% – 24.8%. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Dewi (2010) produksi daging, tulang dan bagian-bagian tubuh yang lainnya dari ayam kampung 2-10 minggu, tumbuh dengan kecepatan berbeda sesuai dengan meningkatnya umur. Komponen fisik karkas (persentase kulit) pada ayam kampung yang
Prosiding Semnas II HITPI
Page 388
mendapat perlakuan RB dan RC nyata (P< 0,05) lebih tinggi dari ayam kampung yang mendapat perlakuan RA dan RD. Hal ini disebabkan pengaruh perlakuan energi metabolik 3000 kkal/kg ME – 20% protein dan 2900 kkal/kg ME – 18% protein dalam ransum memberikan karakterstik fisik kulit karkas lebih tinggi dari perlakuan RA dan RD. Mungkin ayam kampung pada umur 35 minggu sudah menyimpan lebih banyak lemak di bawah kulitnya sehingga prosentase komponen fisik karkas (kulit) ayam kampung RB dan RC lebih tinggi. Menurut Young et al. (2001) melaporkan bahwa kandungan energy- protein daging dipengaruhi oleh nutrisi, umur, kelamin, bobot potong, bagian karkas ayam broiler dan kualitas karkas (Zuidhof, 2004). Warna karkas ayam kampung yang diperoleh pada penelitian ini tidak dipengaruhi oleh perlakuan ransum RA, RB, RC dan RD. Warna karkas ayam kampung diakibatkana ransum yang mengandung xantofil berwarna kuning, sehingga daging karkas berwarna kekuningan tidak pucat (Mulyantini, 2010) atau ayam mengkonsumsi betakarotin berasal dari jagung kuning. Tabel 2. Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Badan, Berat Karkas, Persentase karkas, Karakteristik Fisik Karkas , Warna Karkas, Persentase Organ Dalam dan Lemak Abdominal Perlakuan Variabel RA RB RC RD a a a Bobot badan akhir (g/ekor) 1125,73 1122.02 1120,65 1128,39a a a a Berat Karkas (g/ekor) 759,42 753,99 755,54 758,84a a a a Persentase karkas (%) 67,46 67,20 67,42 67,25a Karakteristik fisik karkas Daging (%) 50,90a 50,20 a 50.20a 50,40a Kulit (% ) 25,50a 26,11b 26,05b 25,72a a a a Tulang (% ) 23,60 23,69 23,70 23,88a Warna karkas (%) 7.80a 8,20a 7,50a 7,90a Organ dalam Hati (%) 3,39ª 3,12ª 3,11ª 2,98ª Empedu (%) 0,29ª 0,28ª 0,28ª 0,27ª Pankreas (%) 0,38ª 0,39ª 0,38ª 0,37ª Lien (%) 0,23a 0,21a 0,24a 0,26a Jantung (%) 0,27a 0,29a 0,31a 0,29a a a a Lemak Abdomen (%) 0,40 0,33 0,35 0,42a Keterangan : Superskrip yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada (P<0.05) Perlakuan RA : ransum dengan kandungan energi termetabolis 3100 kkal/kg dan protein kasar 22%, RB : ransum dengan enrgi termetabolis 3000 kkal/kg dan protein kasar 20%, RC : ransum energi termetabolis 2900 kkal /kg dan protein kasar 18%, dan RD : diberikan ransum dengan kandungan energi termetabolis 2800 kkal /kg dan protein kasar 16%.
Pengaruh perlakuan Terhadap Persentase Organ Dalam dan Lemak Abdominal Rata-rata persentase hati dari ayam kampung yang mendapat perlakuan ransum dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2. dapat dilihat bahwa ayam kampung yang mendapat ransum dengan perlakuan RA, RB, RC dan RD memiliki persentase hati berturut-turut 3,39 %; 3,12% ; 3,11% dan 2,98% tidak
Prosiding Semnas II HITPI
Page 389
berbeda nyata (P > 0.05). Perlakuan RA memiliki persentase hati lebih tinggi dari RB, RC dan RD. Rataan persentase empedu yang tertinggi diperoleh ayam yang mendapat perlakuan RA sebesar 0,20% . Ayam kampung mendapat perlakuan RB, RC dan RD masing-masing sebesar 0.28 %; 0,28% dan 0,27% lebih rendah dari ayam kampung mendapat perlakuan RA, namun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Rataan persentase pankreas ayam kampung yang mendapat perlakuan RA, RB, RC dan RD masing-masing 0,38%; 0,39 % ; 0,38% dan 0,37%. Ayam kampung mendapat perlakuan RB memiliki persentase Pankreas tertinggi 0,39% dan perlakuan RD mendapatkan persentase pankreas terendah 0,37%. Namun secara statistik perlakuan RA, RB, RC dan RD tidak berbeda nyata (P >0,05). Rataan persentase lien yang diperoleh ayam kampung mendapat perlakuan RA sebesar 0,23%, RB sebesar 0,21%, RC sebesar 0,24% dan RD sebesar 0,26% secara statistik tidak berbeda nyata (P >0,05). Pada Tabel 2. terlihat pengaruh perlakuan RA, RB, RC dan RD terhadap persentase jantung ayam kampung umur 35 minggu adalah 0,27%, 0,29%, 0,31% dan 0,29% secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Rataan lemak abdominal yang tertinggi diperoleh ayam yang mendapat perlakuan RC sebesar 2,55%. Ayam kampung mendapat perlakuan RA, RB, dan RD masing-masing sebesar 2,48%, 2,33% dan 2,21% lebih rendah dari ayam kampung mendapat perlakuan C, namun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Menurut Husmaini (2000) dan Dewi, (2010) penggunaan level energi 3100 kkal/kg sampai 2800 kkal/kg dan 22% dan 28% protein sampai 16% dalam ransum tidak berbeda nyata terhadap organ dalam ayam kampung umur 10 minggu. Melihat hasil dari pengaruh perlakuan terhadap persentase organ dalam dan lemak abdominal ayam kampung umur 35 minggu. Hasil yang sama diperoleh dengan hasil penelitian (Oktoviana, 1997) bahwa penggunaan minyak kelapa dan lemak sapi sampai tingkat 50% pengganti jagung tidak berpengaruh nyata terhadap persentase organ dalam dan lemak abdominal ayam broiler. Organ dalam pada unggas adalah sebagai penunjang dalam pencernaan terdiri dari Pankreas, Hati, Empedu Lien, Jantung (North, 1998). Hati terdiri dari dua lobus besar, berwarna merah coklat dan terletak di dekat empedal dan usus halus. Hati menghasilkan empedu berupa cairan alkalin hijau yang disimpan dalam kantong empedu dan terletak di bawah lobus kanan hati (Tanudimaja, 1977). Selanjutnya hati bekerja sebagai alat penjaringan zat makanan yang telah diabsorbsi, sebelum zat makanan ini masuk kesirkulasi umum. Fungsi hati lainnya menyimpan glycogen dan merubah sisa-sisa pembakaran putih telur menjadi asam urine dan bahan-bahan lain yang akan keluar melalui ginjal (Tanudimaja, 1977). Lemak abdomen adalah lemak yang terdapat di daerah perut, termasuk lemak empedal. Lemak yang berlebihan tidak disukai konsumen karena lemak abdomen akan dibuang sebagai limbah pada waktu pemasakan (Nieto, 1995 dan North, 1998). Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penimbunan lemak abdomen ayam antara lain : temperatur ruang kandang, tingkat energi ransum, jenis kelamin dan umur (Deaton et al., 1985).
Prosiding Semnas II HITPI
Page 390
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pengaruh perlakuan ransum 3100 kkal/kg ME - 21% protein sampai 2800 kkal/kg ME - 16% protein pada ayam kampung umur 35 minggu tidak memberikan pengaruh nyata terhadap bobot karkas, persentase karkas, karakteristik fisik karkas (daging dan tulang), warna karkas, persentase organ dan lemak abdominal ayam kampung. Sedangkan karakteristik fisik karkas ( persentase kulit) berbeda nyata (P<0,05) pada perlakuan RB, RC dibanding RA, RD. Saran Dari hasil penelitian ini dapat disarankan menggunakan ransum RA, RB, RC dan RD dapat dicobakan untuk meningkatkan persentase karkas ayam kampunng umur 35 minggu. UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini kami mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan Dana Hibah Bersaing Tahap III yang didanai oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi melalui LPPM Universitas Udayana, juga semua staf dan pimpinan LPPM Universitas Udayana serta teman-teman dosen, pegawai dan mahasiswa yang telah terlibat dalam kegiatan ini. DAFTAR PUSTAKA Deaton , J. W. and B. D. Lott. 1985. Age and dietary energy effect on abdominal fat deposition. Poul. Sci. 64 : 2161 – 2164. Dewi, G.A.M.K. 2010. Pengaruh penggunaan level energi – protein ransum terhadap produksi karkas ayam kampung. Prosiding Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal Ke IV. Hal: 222-228. Direktorat Jenderal Peternakan , 2011. Statistik Peternakan. Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. Husmaini, 2000. Pengaruh peningkatan level protein dan energi ransum saat refeeding terhadap performans ayam buras. Jurnal Petenakan dan Lingkungan. Vol. 6 :01. Nitis , I M .2006. Peternakan Berwawasan Kebudayaan. Cetakan Pertama , Arti Foundation, Denpasar. Nieto, R. C. Prieto, I. Fernandez – Figares and J.F. Aguilera, 1995. Effect of dietary protein quality on energy metabolism in growing chickens. British Journal of Nutrition 74, 163 – 172 North, M. O. 1995. Commercial Chicken Production Manual. 6 rd Ed. Avi Publishing Company , Inc. west Port, Connecticut. National Research Council, 1994. Nutrien Requirements of Poultry. National Academy of Sciences, Washington,DC. Mulyantini , N.G.A. 2010. Ilmu Manajemen Ternak Unggas. Cetakan I, Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 391
Oktoviana, J. 1997. Pengaruh Pemberian Tepung Biji Asam (Tamarindus indica) sebagai Pengganti Jagung Terhadap Panjang dan Bobot Saluran Pencernaan Ayam Pedaging. Sekripsi Fapet Undana, Kupang. Scott, M. L., M. C. Nesheim and R. J. Young. 1992. Nutrition of The Chicken. M. L. Scott and Associates. Ithaca, New York. Steel, R. G. D. and J. H. Torrie. 1990. Prinsip dan Prosedur Statistik. Suatu Pendekatan Biometrik. Alih Bahasa Ir.B. Soemantri. Ed II. Gramedia Jakarta. Supriyatna Suprijatna, E., W. Serengat dan S. Kismiati. 2005. Pertumbuhan organ reproduksi ayam buras dan dampaknya terhadap produksi telur pada emberian ransum dengan taraf protein berbeda pada saat pertumbuhan. Prosiding Seminar Nasional Revitalisasi Bidang Kesehatan Hewan dan Manajemen Peternakan Menuju Ekonomi Global. Fakultas Kedokteran Hewan .Universitas Airlangga. Surabaya. Tanudimadja, K. 1977. Anatomi Veteriner VII. : Anatomi dan Fisiologi Ayam. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Young, L. L., J. K. North Cutt, R. J. Buhr, C. E. Lyon, and G. O. Ware, 2001. Effect of age, sex, and duration of post mortem aging on percentage yield of parts from broiler chicken carcasses. Poultry Sci. 80: 376-379. Zuinhof, M. J. R, H. McGovern, B. L. Schneider, J. J. R. Feddes, F. E. Robinson, and D. R. Korver . 2004. Implications of preslaughter feeding cues for broiler behaviour and carcass quality livestock development division, pork, poultry and dairy branch, alberta agriculture, food and rural development. Poultry Res. 13: 335 – 341.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 392
PENGARUH PENGGUNAAN Indigofera falcata SEBAGAI PENGGANTI KONSENTRAT DALAM RANSUM SAPI PERAH BERBASIS JERAMI PADI TERHADAP PRODUKSI ASAM LEMAK TERBANG DAN NH3 Gilang N. Ambisi, Tidi Dhalika, dan Mansyur Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung – Sumedang Km. 21, Jawa Barat 40600 Email : mansyur_fapet @unpad.ac.id
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan Indigofera falcata ransum sapi perah berbasis jerami padi terhadap produksi ALT dan NH3 . Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Perlakuannya adalah penggunaan Indigofera falcata dalam ransum sapi perah berbasis jerami padi, yaitu Perlakuan R1 (jerami padi 7%, konsentrat 60%, dan Indigofera falcata 33%), R2 (jerami padi 15%, konsentrat 45%, dan Indigofera falcata 40%), R3 (jerami padi 23%, konsentrat 30%, dan Indigofera falcata 47%), R4 (jerami padi 30%, konsentrat 15%, dan Indigofera falcata 55%), dan R5 (jerami padi 38%, konsentrat 0%, dan Indigofera falcata 62%). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan. Ransum perlakuan memberikan pengaruh terhadap ALT dan NH3 . Hasil terbaik diperoleh pada perlakuan R3 yang menghasilkan ALT dan NH3 sebesar 116,5 dan 3,20 mM, berturut-turut. Kata kunci : Indigofera falcata, konsentrat, jerami padi, Asam Lemak terbang, NH3 THE EFFECT OF Indigofera falcata UTILIZATION AS CONCENTRATE REPLACED BASED RICE STRAW IN DAIRY RATION ON VFA AND NH3 PRODUCTION ABSTRACT The research was carry out to know the effect of Indigofera falcata utilization as concentrate replaced base rice straw in dairy ration on VFA and NH 3 production. A complete random design was used in this research the treatment were Indigofera falcata utilization as concentrate replaced, i.e. R1 (R1 (rice straw 7%, concentrate 60%, dan Indigofera falcata 33%), R2 (rice straw 15%, concentrate 45%, dan Indigofera falcata 40%), R3 (rice straw 23%, concentrate 30%, dan Indigofera falcata 47%), R4 (rice straw 30%, concentrate 15%, dan Indigofera falcata 55%), dan R5 (rice straw 38% concentrate 0%, dan Indigofera falcata 62%). This treatment were replaced four time. Data were analysis by Varian Analysis and different between mean treatments were analysis by Duncan Multiple Range Test. The result showed that treatment affected on VFA dan NH3 production. The best VFA and NH3 production was given by R3 ration, i.e. R3 (rice straw 23%, concentrate 30%, dan Indigofera falcata 47%) respectively. Keyword : Indigofera falcata, concentrate, rice straw, VFA, NH3 Prosiding Semnas II HITPI
Page 393
PENDAHULUAN Upaya untuk menekan biaya pakan terutama konsentrat telah banyak dilakukan, diantaranya dengan menggunakan bahan pakan penyusun ransum yang berasal dari limbah pertanian dan hasil ikutan dari industri pertanian yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, akan tetapi seiring dengan banyaknya permintaan kebutuhan bahan pakan penyusun konsentrat diikuti pula dengan meningkatnya harga-harga bahan pakan penyusun konsentrat tersebut terutama bahan pakan sumber protein. Salah satu alternatif bahan pakan sumber protein yang belum dieksplorasi potensinya adalah tanaman Indigofera falcata. Penggunaan jerami padi dalam ransum tidak dapat dipungkiri pada daerah-daerah yang lahan pertaniannya luas. Indigofera falcata merupakan salah satu hijauan yang mengandung karbohidrat struktural dan karbohidrat non struktural. Ransum ternak ruminansia sebagian besar terdiri dari hijauan yang mengandung karbohidrat struktural berupa serat kasar (selulosa dan hemiselulosa) dan karbohidrat non struktural yang mudah terfermentasi (gula dan pati), yang kemudian keduanya akan terfermentasi menjadi asam lemak terbang (ALT), dan (Van Soest, 1994). Asam lemak terbang (ALT) dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme rumen yang membantu mencerna serat kasar dalam rumen serta sebagai sumber kerangka karbon bagi pembentukan protein mikroba (Sakinah, 2005). Kombinasi antara leguminosa Indigofera falcata dan jerami padi yaitu 62% : 38% (100% hijauan), dapat memenuhi kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan sapi perah untuk hidup pokok dan produksi. Pakan serat (sumber hijauan) akan menghasilkan lebih banyak asetat dari pada propionat sehingga lebih sesuai untuk ternak yang dipelihara untuk tujuan produksi air susu. Konsentrasi ALT yang relatif tinggi atau rendah menunjukan pola fermentasi yang terlihat jelas pada pakan hijauan tetapi kurang terlihat pada pakan konsentrat (France dan Dijikstra, 2005) Konsentrasi ALT total yang layak bagi kelangsungan hidup ternak adalah 70-150 mM (McDonald, dkk., 2002). Dengan titik optimumnya adalah 110 mM (Suryapratama, 1999). Amonia (NH3 ) merupakan hasil metabolisme protein dan nitrogen bukan protein. Ketersediaan protein yang tinggi dari Indigofera falcata mengakibatkan pertumbuhan mikroba dalam rumen akan tumbuh optimal karena hasil degradasi protein pakan oleh mikroba rumen selain menghasilkan konsentrasi NH3 yang tinggi juga akan menjadi sumber makanan bagi mikroba dalam rumen untuk pertumbuhan dan perkembangannya bersama dengan kerangka karbon yang dihasilkan ALT menjadi protein mikrobial (Preston dan Leng, 1987). MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Unversitas Padjadjaran, Kabupaten Sumedang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2013. Bahan penelitian adalah Leguminosa Indigofera falcata umur 4 bulan, Konsentrat yang diperoleh dari Koperasi Peternak Bandung Utara (KPSBU), Jerami padi, cairan rumen sapi perah dari tempat pemotongan hewan Ciroyom, dan Saliva buatan yang dibuat berdasarkan metode McDougall. Kandungan zat makanan yang digunakan untuk Prosiding Semnas II HITPI
Page 394
penelitian di analisis kandungan zat makanannya. Tabel 1. Kandungan Zat Makanan Indigofera falcata, Jerami Padi, dan Konsentrat Analisis Bahan Kering (%) Protein Kasar (%BK) Serat Kasar (%BK) Lemak Kasar (%BK) BETN (%BK) TDN (%BK) Energi (Kkal/Kg) Abu (%BK) Ca (%BK) P (%BK) ADF(%BK) NDF(%BK) Lignin(%BK)
Indigofera falcata 89,47 27,60 15,13 5,55 41,75 70,60 3788,00 9,97 0,28 0,07 12,30 21,83 4,22
Jerami Padi 91,53 4,25 33,63 0,79 42,87 45,56 3070,00 15,77 0,54 0,13 44,90 53,19 19,57
Konsentrat 91,19 15,24 16,17 8,98 49,75 77,27 4204,00 9,86 0,86 0,32 11,52 18,91 1,13
Sumber : Laboratorium Ternak Ruminansia dan Kimia M akanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran (2012)
Ransum Penelitian Ransum penelitian dihitung berdasarkan berat badan sapi perah laktasi 350 kg, konsumsi bahan kering 8,1 kg, kebutuhan protein untuk hidup pokok 721 gr, produksi susu 12,65 kg, lemak susu 4%, dan kebutuhan protein 79 gr/kg susu (Kearl. L. C., 1982). Ransum penelitian dibuat berdasarkan 100% bahan kering. Ransum di susun sebanyak lima perlakuan yang berbeda. Tabel 2. Ransum Penelitian Bahan Penelitian Jerami Padi Kosentrat Indigofera falcata Jumlah
R1 R2 R3 R4 R5 ----------------------------------------%---------------------------7,00 15,00 23,00 30,00 38,00 60,00 45,00 30,00 15,00 00,00 33,00 40,00 47,00 55,00 62,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Selanjutnya kandungan zat makanan ransum penelitian dihitung berdasarkan kandungan zat makanan dari masing-masing bahan penyusun ransum penelitian sesuai persentase dari tiap perlakuan. Tabel 3. Kandungan Zat Makanan RansumPenelitian Analisis Bahan Kering (%) Protein Kasar (%BK) Serat Kasar (%BK) Lemak Kasar (%BK) BETN (%BK) TDN (%BK) Energi (Kkal/Kg) Abu (%BK) Ca (%BK) P (%BK) ADF (%BK) NDF(%BK) Lignin(%BK)
Prosiding Semnas II HITPI
R1 90,65 18,55 17,05 7,27 46,63 72,85 3987,34 10,31 0,65 0,22 14,11 22,27 3,44
R2 90,55 18,54 18,37 6,38 45,52 69,85 3867,50 10,79 0,58 0,19 16,84 25,22 5,13
R3 90,46 18,52 19,70 5,48 44,41 66,84 3747,66 11,27 0,51 0,16 19,56 28,17 6,82
R4 90,35 18,74 20,83 4,64 43,29 64,09 3635,00 11,69 0,45 0,13 21,96 30,80 8,36
R5 90,25 18,73 22,16 3,74 42,18 61,08 3515,16 12,17 0,38 0,09 24,69 33,75 10,05
Page 395
Peubah yang Diukur Peubah yang diukur adalah Asam Lemak Terbang (ALT) dengan menggunakan metode Steam Destilation, dan NH3 dengan teknik Mikrodifusi Conway. Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Adapun masing- masing perlakuan tersebut adalah sebagai berikut : R1 : jerami padi 7% + konsentrat 60%+ Indigofera falcata 33% R2 : jerami padi 15% + konsentrat 45% + Indigofera falcata 40% R3 : jerami padi 23% + konsentrat 30% + Indigofera falcata 47% R4 : jerami padi 30% + konsentrat 15% + Indigofera falcata 55% R5 : jerami padi 38% + konsentrat 0% + Indigofera falcata 62% Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali, sehingga didapat 20 unit percobaan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan ALT Data hasil penelitian yang telah dilakukan pada berbagai perlakuan campuran antara jerami padi, konsentrat, dan Indigofera falcata terhadap kandungan ALT berkisar antara 62,50-146,00 mM. Kandungan ALT hasil penelitian ini masih berada pada kisaran normal. Konsentrasi ALT total yang layak bagi kelangsungan hidup ternak adalah 70-150 mM (McDonald, dkk., 2002). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kandungan ALT rumen sapi dilakukan uji Sidik Ragam yang dilampirkan pada Lampiran 1. Hasilnya menunjukkan bahwa penggunaan Indigofera falcata dalam ransum sapi perah berbasis jerami padi memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kandungan ALT. Hal ini dikarenakan proporsi hijauan dalam ransum semakin meningkat mengakibatkan pH rumen berada pada kisaran normal yaitu antara 6,0 – 7,0 yang akan merangsang pertumbuhan bakteri optimal untuk merombak karbohidrat dalam pakan sehingga menghasilkan produksi ALT yang lebih tinggi. Konsentrasi ALT yang relatif tinggi atau rendah menunjukkan pola fermentasi yang terlihat jelas pada pakan hijauan tetapi kurang terlihat pada pakan konsentrat (France dan Dijikstra, 2005). Tabel 4. Uji Jarak Berganda Duncan Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan ALT Perlakuan Rataan Nilai ALT Signifikasi (0,05) (mM) R1 62,50 a R2 98,75 b R3 116,50 c R4 135,75 d R5 146,00 d Keterangan : huruf yang berbeda ke arah kolom menunjukkan hasil yang berbeda nyata.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 396
Hasilnya menunjukkan bahwa antara perlakuan R1 sampai dengan R4 terdapat perbedaan kandungan ALT, sedangkan antara R4 dan R5 kandungan ALT kedua perlakuan tersebut menunjukkan hasil berbeda tidak nyata. Berdasarkan kandungan ALT pada setiap perlakuan dapat diketahui bahwa penggunaan Indigofera falcata sampai taraf 55% memberikan pengaruh terhadap penurunan kandungan ALT. Hal ini diduga karena peningkatan proporsi jerami padi serta penurunan proporsi konsentrat dalam ransum. Semakin banyak proporsi jerami padi dalam ransum, kadar silika dan lignin yang tersedia akan semakin banyak dan mengikat hemiselulosa dan selulosa sehingga kecernaannya rendah. Bahan pakan dengan kandungan serat yang tinggi, maka akan semakin rendah daya cernanya yang akan berdampak pada penurunan produksi ALT yang dihasilkan. Seperti yang dikemukankan oleh Salawu, dkk,. (1997) bahwa tinggi rendahnya konsentrasi ALT dipengaruhi oleh rasio antara konsentrat dan hijauan pakan, tipe karbohidrat pakan, bentuk fisik pakan, kandungan serat kasar, serta jenis dan jumlah mikroorganisme juga mempengaruhi konsentrasi ALT. Perlakuan R1 memberikan pengaruh nyata paling kecil dibandingkan perlakuan lainnya. hal ini memperlihatkan bahwa imbangan hijauan dengan konsentrat (40% : 60%) yang mengalami proses fermentasi oleh mikroba rumen belum dapat memenuhi kandungan ALT yang dibutuhkan oleh sapi perah. Konsentrasi ALT total yang layak bagi kelangsungan hidup ternak adalah 70-150 mM (McDonald, dkk., 2002). Tingginya konsentrat dalam ransum R1 mengakibatkan penurunan pH rumen antara 4,5 sampai 5. pH rendah ini akan menghambat pertumbuhan bakteri selulolitik, sehingga akan menghambat pencernaan hijauan yang berdampak pada penurunan produksi ALT yang dihasilkan. Pada perlakuan R2 menunjukan hasil yang berbeda dengan perlakuan R1. Peningkatan penambahan Indigofera falcata pada tingkat 40% dalam ransum sapi perah berbasis jerami padi memberikan peningkatan produksi ALT dalam rumen. Produksi ALT yang dihasilkan sudah layak untuk kelangsungan hidup ternak yaitu sebesar 98,75 mM. Hal ini karena terjadinya peningkatan sumber hijauan dalam susunan ransum sapi perah. Peningkatan proporsi hijauan tersebut sudah memperlihatkan pertumbuhan bakteri seluloitik yang lebih baik. Perlakuan R3 menujukkan hasil paling baik. Konsentarsi ALT pada perlakuan R3 paling mendekati konsentarsi ALT optimal yaitu 116,5 mM. Konsentrasi ALT total yang optimal adalah 110 mM (Suryapratama, 1999). Penggunaan Indigofera falcata dalam ransum R3 berdampak pada peningkatan kandugan ALT dalam rumen. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan karbohidrat pada Indigofera falcata lebih mudah tercerna dibandingkan dengan ketersediaan karbohidrat dalam konsentrat. Menurut penelitian yang dilakukan Sakinah (2005), semakin sedikit protein dan karbohidrat yang mudah larut dalam pakan, maka produksi ALT yang dihasilkan akan sedikit pula. Penurunan ALT diduga berhubungan dengan peningkatan kecernaan nutrien. Selain dari karbohidrat, ALT dapat pula diperoleh dari perombakan protein ransum (Forbes dan France, 1993). Penggunaan Indigofera falcata sampai taraf 47% dalam ransum menambah kandungan karbohidrat yang mudah larut dan mudah dicerna. Zat makanan makanan tersebut lebih mudah dirombak dan dimanfaatkan oleh mikroba, sehingga proses fermentasi dapat berlangsung optimal dan menghasilkan
Prosiding Semnas II HITPI
Page 397
ALT yang lebih tinggi. Meskipun penggunaan jerami padi dalam ransum R3 lebih tinggi daripada R2, akan tetapi dapat menghasilkan kandungan ALT yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa penggunaan jerami padi pada batas-batas tertentu masih dapat ditolerir sepanjang diberikan tidak sebagai pakan tunggal. Pada saat diberikan sebagai pakan feed complete dengan bahan pakan yang mempunyai kualitas nutrien yang baik kecernaan ransum secara total tidak akan terganggu. Maka fungsi jerami disini sebagai trigger untuk merangsang pertumbuhan bakteri selulolitik untuk mencerna serat kasar dalam ransum dan menjaga agar pH rumen berada pada kisaran normal yaitu antara 6,0-7,0, sehingga menghasilkan produksi ALT yang optimal. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan NH3 Data hasil penelitian yang telah dilakukan pada berbagai perlakuan campuran antara jerami padi, konsentrat, dan Indigofera falcata terhadap kandungan NH3 berkisar antara 1,34-3,20 mM. Konsentrasi NH3 sebesar 3,57 mM di dalam cairan rumen dapat dikatakan optimum untuk menunjang sintesa protein mikroba rumen (Satter dan Slyter, 1974). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kandungan NH3 rumen sapi dilakukan uji Sidik Ragam yang dilampirkan pada Lampiran 2. Hasilnya menunjukkan bahwa penggunaan Indigofera falcata sebagai pengganti konsentrat dalam ransum sapi perah berbasis jerami padi memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kandungan NH3 . Hal ini dikarenakan sumbangan protein dari setiap bahan penyusun ransum berbeda-beda sehingga menghasilkan kandungan zat makanan yang berbeda. Dalam rumen, protein pada ransum akan mengalami degradasi oleh mikroba rumen menjadi asam amino serta polipeptida menjadi peptida berantai pendek yang diikuti dengan proses deaminasi yang mendegradasi asam amino menjadi amonia (Orskov, 1982; Preston dan Leng, 1987). Meskipun memiliki nilai protein kasar yang sama, akan tetapi proses degradasi protein dalam rumen sapi oleh mikroba menunjukkan hasil yang berbeda. Seperti yang dikemukakan oleh Haryanto (1994), bahwa tinggi rendahnya konsentrasi amonia ditentukan oleh tingkat protein pakan yang dikonsumsi, derajat degrabilitas, lamanya makanan berada di dalam rumen, dan pH rumen. Tabel 5. Uji Jarak Berganda Duncan Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan NH3 Perlakuan Rataan Nilai ALT Signifikasi (0,05) (mM) R5 1,35 a R4 1,68 b R1 1,90 c R2 2,33 d R3 3,20 e Keterangan : Huruf yang berbeda ke arah kolom menunjukkan hasil yang berbeda nyata.
Konsentrasi amonia pada perlakuan R5 masih relatif rendah yaitu 1,35 mM dibandingkan dengan perlakuan R4. Imbangan jerami padi dan Indigofera falcata sampai taraf 38% : 62% menggantikan konsentrat belum dapat memenuhi konsentrasi NH3 yang dibutuhkan oleh mikroba untuk proses sintesa protein. Prosiding Semnas II HITPI
Page 398
Meskipun pada setiap perlakuan memiliki nilai protein kasar yang sama, tetapi nilai biologis dari ransum tersebut berbeda. Hal ini ditunjukkan oleh konsentrasi NH3 . Semakin tinggi NH3 dalam rumen, maka protein yang dapat dicerna semakin baik. Berarti ini menujukkan bahwa sumbangan protein dari jerami padi sangat sulit untuk didegradasi oleh mikroba rumen. Tingginya jerami padi dalam ransum R5 diduga menjadi penyebab rendahnya konsentrasi NH3 yang dihasilkan. Sumbangan protein dari jerami padi sulit untuk didegradasi oleh mikroba rumen. Faktor yang menyebabkan protein jerami sulit untuk didegradasi dan digunakan sebagai sumber protein mikrobial karena tingginya kadar silika, dan lignin yang mengikat hemiselulosa dan selulosa. Komponen penyusun bahan berserat tersebut mengandung lignin, maka semakin tinggi kandungan serat dalam bahan makanan, kandungan lignin juga mengikat (Prasetyo, 2013). Georing dan Van Soest (1970) menyatakan bahwa toleran ternak terhadap lignin dalam ransum maksimal 7%. Lignin yang terdapat dari jerami padi ransum R5 akan melindungi protein jerami sehingga mikroba sulit untuk mendegradasi dan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mendegradasi protein jerami padi. Seperti yang dinyatakan Utomo (2004), waktu yang dibutuhkan jerami padi untuk dicerna dalam saluran pencernaan sekitar 81,67 jam dan di dalam rumen 62,09 jam. Dengan demikian pencernaan jerami padi membutuhkan waktu relatif lama akibat adanya komponen serat yaitu lignin dan silika dari jerami padi. Perlakuan R4 menujukan berbeda nyata dengan R5. Konsentrasi NH3 yang dihasilkan masih rendah yaitu 1,68 mM. Diduga proporsi jerami padi dalam ransum R4 masih relatif tinggi penggunaannya, sehingga sumbangan protein dari protein jerami padi ransum R4 sulit didegradasi oleh mikroba dan menghasilkan konsentrasi NH3 yang rendah. Meskipun terjadi peningkatan konsentrasi NH3 dalam rumen sebessar 0,33 mM, karena proporsi jerami padi menurun digantikan dengan konsentrat sehingga adanya sumbangan protein dari konsentrat yang lebih mudah didegradasi oleh mikroba. Seperti yang dinyatakan Tilman (1998) bahwa konsentrat adalah pakan ternak yang mengandung serat kasar rendah, energi dan BETN yang tinggi serta mudah dicerna oleh ternak. Pada perlakuan R1 terjadi peningkatan kadar amonia dalam rumen lebih tinggi dibandingkan R4. Rendahnya proporsi jerami padi dalam ransum (7% jerami padi) berdampak pada rendahnya kandungan lignin ransum. Meskipun sumbangan protein dari konsentrat tinggi, akan tetapi konsentrasi amonia dari hasil degradasi mikroba didalam rumen masih belum mencapai titik optimal yaitu 1,90 mM. Diduga karena tingginya proporsi konsentrat (60%) dalam ransum menurunkan pH didalam rumen sehingga pertumbuhan bakteri selulolitik menjadi terhambat. Tinggi rendahnya konsentrasi amonia ditentukan oleh tingkat protein pakan yang dikonsumsi, derajat degrabilitas, lamanya makanan berada di dalam rumen, dan pH rumen (Haryanto, 1994). Perlakuan R2 menunjukan hasil berbeda nyata dengan R1. Produksi amonia yang dihasilkan lebih tinggi mengalami kenaikan sebesar 0,43 mM. Penurunan penggunaan konsentrat digantikan oleh jerami padi dan Indigofera falcata dalam ransum memberikan sumbangan protein dari Indigofera falcata yang lebih mudah larut dan didegradasi oleh mikroba rumen dibandingkan konsentrat. Selain itu, peningkatan proporsi hijauan dalam ransum memberikan keadaan rumen mendekati kondisi pH optimal yaitu antara 6,0-7,0 sehingga
Prosiding Semnas II HITPI
Page 399
pertumbuhan bakteri menjadi lebih baik. Ransum R3 menunjukan hasil berbeda nyata dengan R2 dan menghasilkan konsentrasi NH3 paling baik yaitu 3,2 mM. Penggunaan konsentrat 30% dicampur oleh jerami padi 23% dan Indigofera falcata 47% dapat meningkatkan konsentrasi NH3 sebesar 0,87 mM. Meskipun kandungan lignin lebih besar dari perlakuan R1 dan R2 yaitu 6,82% akan tetapi masih dapat menghasilkan produksi amonia yang mendekati titik optimum yaitu 3,57 mM. Konsentrasi NH3 sebesar 500mg/100ml (setara dengan 3,57 mM) di dalam cairan rumen dapat dikatakan optimum untuk menunjang sistesa protein mikroba rumen (Satter dan Slyter, 1974), sedangkan kadar NH3 yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal berkisar antara 4-12 mM (Erwanto, dkk., 1993). Produksi amonia bergantung pada kelarutan protein ransum, lamanya makanan berada dalam rumen, dan pH cairan rumen. Kadar amonia dalam rumen erat kaitannya dengan kecepatan proses degradasi protein. Kecepatan degradasi protein bergantung pada jenis protein dan tingkat kelarutannya dalam rumen. Semakin tinggi tingkat kelarutan protein tersebut maka akan semakin cepat proses degradasi protein menjadi amonia. Selain itu, keadaan pH rumen yang menjamin untuk pertumbuhan mikroba yaitu 6,0-7,0 akan lebih mudah mendegradasi pakan rumen dalam rumen (Bondi, 1987) KESIMPULAN Penggunaan Indigofera falcata sebagai pengganti konsentrat pada ransum sapi perah berbasis jerami padi mempunyai pengaruh terhadap produksi ALT dan NH3 . Pada perlakuan jerami padi 23%, konsentrat 30%, dan Indigofera falcata 47% merupakan persentase terbaik dari penggunaan Indigofera falcata yang menghasilkan produksi ALT dan NH3 yang optimal. Guna mendapatkan hasil yang optimal, penggunaan Indigofera falcata sebagai pengganti konsentrat dalam ransum sapi perah berbasis jerami padi maka disarankan menggunakan susunan ransum dengan imbangan jerami padi 23%, konsentrat 30%, dan Indigofera falcata 47%. DAFTAR PUSTAKA
Bondi, A. A. 1987. Animal Nutrition. John Wiley and Sons Publ. New York. Erwanto, T. Sutardi, D. Sastradipradja, and M. A. Nur. 1993. Effect of Ammoniated Zeolit on Metabolic Parameters of Rumen Microbes. Indon. J. Trop. Agric. 5(1):5. Forbes JM, France J. 1993. Quantitative Aspect of Ruminant Digestion and Metabolism. London: CABI. France J, Dijkstra . 2005. Volatile fatty acid production. Di dalam: Forbes JM and France J, editors. Quantitative Aspects of Ruminant Digestion and Metabolism. Wallingford: Cab International. Goering, H. K., and P. J. Van Soest. 1970. Forage Fiber Analisys. Agricultural Hand Book 379. Agricultural Research Service, USA. Haryanto, B. 1994. Respons produksi karkas domba terhadap strategi Prosiding Semnas II HITPI
Page 400
pemberian protein by-pass rumen. Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak Klepu. Hm. 49-56. Kearl. L.C. 1982, Nutrient Requirement of Academic in Developing Countries. International Feed Stuffs. Institute Utah. Agriculture Experiment Station Utah State University Logam. Utah USA. Mcdonald, P., R. A. Edwards, & J. F. D. Greenhalgh. 2002. Animal Nutrition. 6th. Orskov, 1982. Protein Nutrition in Ruminants. Academic Press. Limited London. Prasetyo, A. B., Hadi, C. P., dan Widyastuti, T. 2013. Kecernaan In-Vitro Bahan Kering dan Organik serta Konsentrasi VFA Total Pada Pakan Kambing yang Disuplementasi Saccharomyces cerevisiae. Vol 1. No. 1. 1-9. Preston dan T. R. Leng. 1987. Matching Ruminant Produktion System With Available Research in The Tropic. Penambul Books Armidale. New South Wates, Australia. Hal. 21-28. Preston dan T. R. Leng. 1987. Matching Ruminant Produktion System With Available Research in The Tropic. Penambul Books Armidale. New South Wates, Australia. Hal. 21-28. Sakinah, D. 2005. Kajian Suplementasi Probiotik Bermineral Terhadap Produksi VFA, NH3, dan Kecernaan Zat Makanan pada Domba. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Salawu, M. B., T. Acamovic, C. S. Stewart and B. Maasdorp. 1997. Assessment of the nutritive value of calliandra calothyrsus: its Chemical composition and the influence of tannins, pipecolic acid and polyethylene glycol on in vitro organic matter digestibility. Anim. Feed Sci. Technol. 69: 207 – 217. Satter. L. D, and L. L. Slyter. 1974. Effect Ammonia Concentration on Rumen Microbial Protein In Vitro. B. J. Nutr. 32:194. Suryapratama, W. 1999. Efek Suplementasi Asam Lemak Volatil Bercabang dan Kapsul Lisin serta Treonin Terhadap Nutrisi Protein Sapi Holstein. Disertasi. Program pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosoekoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Utomo, R. 2004. Review hasil-hasil penelitian sapi potong. Jurnal, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 24: 256 – 259. Van Soest, J.P. 1994. Nutrional Ecology of Ruminant. 2 nd Edition. Cornell University Press.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 401
PEMANFAATAN PELEPAH SAWIT SEBAGAI SUMBER HIJAUAN DALAM RANSUM SAPI POTONG Nurhaitaa, Ruswendi b , Wismalinda, Ra , dan Robiyantob a Fak. Pertanian Universitas Muhammadiyah Bengkulu Jl. Bali Po Box 118 Bengkulu b BPTP Bengkulu Jl. Irian Km 6,5 Bengkulu corresponding:
[email protected] ABSTRAK Tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi pengaruh pemanfaatan pelepah sawit sebagai sumber hijauan dalam ransum sapi potong. Pelepah sawit yang telah diamoniasi digunakan sebagai pengganti 100% rumput dengan suplementasi nutrient precursor mikroba rumen yaitu daun ubi kayu, mineral Sulfur dan Fosfor Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 5 ransum perlakuan dan 4 kelompok sapi sebagai ulangan. Sebagai perlakuan adalah ransum A= yaitu rumput lapangan, sebagai kontrol, B = pelepah sawit amoniasi , C= pelepah sawit amoniasi + suplementasi 5% daun ubi kayu, D = pelepah sawit amoniasi + suplementasi 0,4% mineral S dan 0,27% mineral P, dan E= pelepah sawit amoniasi + suplementasi mineral S,P dan daun ubi kayu. Parameter yang diukur adalah 1) Konsumsi bahan kering, dan 2) Pertambahan bobot badan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh terhadap konsumsi bahan kering, namun berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan terendah ditemukan pada ransum pelepah sawit amoniasi tanpa suplementasi (perlakuan B) namun pertambahan bobot badan pada ransum perlakuan C, D dan E hampir sama dengan perlakuan A yang menggunakan rumput. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan pelepah sawit amoniasi dengan suplementasi daun ubi kayu dan mineral S, dan P dapat menggantikan 100% rumput dalam ransum ternak sapi dan memberikan performan yang sama dengan ransum kontrol (rumput) Kata Kunci : pelepah sawit amoniasi, suplementasi mineral S,P dan daun ubi kayu, konsumsi,, pertambahan bobot badan. UTILIZATION OF PALM OIL FROND AS FORAGE SOURCE IN CATTLE RATION ABSTRACT The research objective was to evaluate the effect of the utilization of palm frond as a source of forage in beef cattle rations. Ammoniation palm frond has been used as a substitute for 100% grass suplemented by nutrient precursor rumen microbes that cassava leaves, mineral sulfur and phosphorus. The research used Random Block Design applying 5 rations treatments and 4 groups cattle. The treatments were A= field grass as control group ration, B= ammoniation palm frond, C= ammoniation palm frond supplemented by 5% cassava leaves, D = ammoniation palm frond supplemented by 0,4% S and 0,27% P, and E= ammoniation palm frond supplemented by cassava leaves and S, P minerals. The
Prosiding Semnas II HITPI
Page 402
measured parameters were 1) dry matter intake, and 2) daily weight gain. The result showed that the treatments not significant to dry matter intake, but significantly to increased daily weight gain. The lowest daily weight gain was found in ration of ammoniated palm oil frond without supplement. C,D and E rations were same respons with field grass ration on daily weight gain. Utilization of ammoniated palm oil frond supplemented by cassava leaves and S, P minerals can replace 100% field grass and get same performance with field grass ration. Key words : palm fronds ammoniation, S, P minerals and Cassava leaves supplementation, feed intake, daily weight gain PENDAHULUAN Ternak ruminansia adalah konverter sejati biomas pakan hijauan yang berkualitas rendah (banyak mengandung serat kasar) untuk menghasilkan produk pangan berkualitas seperti daging, air susu dan sumber energi (biogas). Kemampuan ini berhubungan dengan sistim pencernaan ternak ruminansia yang istimewa. Ternak ruminansia mampu memanfaatkan selulosa dan hemiselulosa disebabkan adanya mikroorganisme dalam rumen yang membantu proses fermentasi sehingga karbohidrat struktural tersebut dirombak menjadi produk yang dapat dicerna dan diserap oleh usus halus. Diantara biomas yang sangat potensial sebagai sumber hijauan pakan ternak adalah pelepah sawit yang merupakan limbah dari perkebunan sawit. (Nurhaita et al., 2008; 2010a ; 2010b; 2011a ; 2011b) Untuk dapat dimanfaatkan secara optimal, pelepah sawit harus diolah terlebih dahulu. Beberapa teknik pengolahan baik secara fisik, kimia, biologis maupun kombinasinya terbukti mampu meningkatkan nilai manfaat dari pakan limbah (Akbar et al., 2005: Nurhaita, 2001; Zain et al., 2006). Pengolahan secara amoniasi dengan menggunakan 4% N urea terbukti mampu meningkatkan kualitas dan kecernaan pelepah sawit (Nurhaita et al., 2007). Namun peningkatan angka kecernaan masih sangat kecil dan belum optimal untuk mendukung produktifitas ternak. Karena itu perlu dipadukan dengan upaya meningkatkan kecernaan melalui peningkatan populasi mikroba rumen,karena kecernaan pakan serat sangat tergantung pada kerja enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen. Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan nutrient precursor sintesis protein mikroba seperti energi, nitrogen, mineral dan asam amino. Mineral S dan P esensial bagi mikroba rumen pencerna serat. Mineral ini sering defisien pada bahan pakan yang berasal dari limbah pertanian atau perkebunan, dan menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan mikroba rumen, hal ini disebabkan pakan pada daerah tropis dan juga pakan yang berasal dari limbah pertanian atau perkebunan sering defisien dengan mineral penting untuk pertumbuhan mikroba, seperti S dan P (Komisarczuk and Durand, 1991). Penambahan S pada jerami padi yang diamoniasi dan tanpa amoniasi menunjukkan peningkatan sintesis mikroba dan kecernaan selu-losa (Stevani et al., 2002; Zain et al., 2010). Penelitian Kennedy et al. (2000) memperlihatkan bahwa suplementasi P dalam bentuk fosfat secara in vitro mampu meningkatkan kecerna-an NDF dari bagasse. Suplementasi mineral S dan P pada daun sawit amoniasi mampu meningkatkan kecernaan sebesar 36,68% dari 34,67% menjadi 47,39% secara in-
Prosiding Semnas II HITPI
Page 403
vitro (Nurhaita et al., 2008), dan secara in vivo kecernaan ransum daun sawit amoniasi yang disuplementasi mineral S dan P pada ternak domba meningkat dari 51,5% menjadi 56,0%. (Nurhaita et al., 2010b). Bakteri selulolitik rumen juga membutuhkan asam lemak rantai bercabang sebagai sumber rangka karbon bagi bakteri. Asam lemak rantai bercabang merupakan hasil dekarboksilasi dan deaminasi dari asam amino rantai bercabang (AARC). AARC dalam rumen sebagian besar berasal dari hasil fermentasi protein ransum dan mikroba rumen yang mengalami lisis. Pada bahan limbah yang berkualitas rendah seperti pelepah sawit pasokan AARC sangat rendah sehingga diperlukan suplementasi AARC dalam ransum. Penambahan AARC yaitu valin, isoleusin dan leusin mampu meningkatkan populasi mikroba rumen dan kecernaan serat sawit (Zain et al., 2007). Sumber AARC alami yang murah dan mudah diperoleh adalah daun ubi kayu. Daun ubi kayu mengandung protein kasar cukup tinggi dengan kandungan asam amino iso valin 0,45%, isoleusin 0,46% dan leusin 0,63% (Nurhaita, 2008) Suplementasi 5% daun ubi kayu pada daun sawit amoniasi yang telah disuplementasi dengan mineral S dan P terlebih dahulu dapat meningkatkan kecernaan terutama kecernaan bahan kering sebesar 24,09 %, dan kecernaan ADF meningkat sebesar 44,35% secara in-vitro (Nurhaita dan Ningrat, 2011a). Suplementasi daun ubi kayu sebagai sumber AARC pada ransum ternak domba menyebabkan meningkatknya populasi dan aktivitas mikroba yang tercermin dari meningkatnya kecernaan bahan kering ransum dari 51,5% menjadi 56,7% (Nurhaita et al., 2010b). Dari uraian di atas dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh penggunaan pelepah sawit amoniasi dengan suplementasi daun ubi kayu dan mineral S, dan P pada sapi potong. MATERI DAN METODE Penelitian in-vivo ini menggunakan ternak sapi dilakukan di kandang Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pembibitan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Bengkulu, selama 4 bulan. Analisis sampel (analisis proksimat dan analisis Van Soest) di laboratorium Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi Bogor Bahan Penelitian Bahan penelitian adalah 20 ekor sapi bali jantan umur 1,5-2 tahun dengan bobot badan 126 + 43 kg, dan dipelihara selama 4 bulan di kandang percobaan. Sapi tersebut dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan bobot badannya dan dialokasikan secara acak pada 5 macam ransum perlakuan. Ransum terdiri dari hijauan dan konsentrat dengan perbandingan 50% : 50%. Konsentrat disusun dari dedak halus, solid, garam dan kapur, sedangkan hijauan terdiri dari rumput lapangan untuk kontrol dan pelepah sawit amoniasi dengan suplementasi mi-neral dan tepung daun ubi kayu. Susunan bahan penyusun ransum, komposisi kimia bahan penyusun ransum dan komposisi kimia ransum perlakuan dapat dilihat pada tabel 1, 2 dan 3. Peralatan yang digunakan adalah kandang dan peralatan kandang, timbangan metabolik, peralatan laboratorium dan lain-lain.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 404
Metode Penelitian Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok, dengan 5 perlakuan ransum dan 4 kelompok sapi bali jantan sebagai ulangan. Pengelompokan sapi berdasarkan pada bobot awal penelitian. Perla-kuan yang diuji adalah 5 macam ransum terdiri dari : A = Rumput lapangan + konsentrat (50% :50%) sebagai kontrol B = Pelepah kelapa sawit amoniasi + konsentrat (50% :50%) C = B + 5% tepung daun ubi kayu D = B + 0,4% mineral S dan 0,27% P E = B +tepung daun ubi kayu + mineral S dan P. Model rancangan yang digunakan menurut Steel and Torrie (1991) adalah : Yij = + Kj + Pi + ij Semua data yang diperoleh diana-lisis dengan analisis ragam (anova) dan perbedaan antar perlakuan diuji dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT). Peubah yang diamati 1. Konsumsi bahan kering ransum (gr/ekor/hari) 2. Pertambahan bobot badan (gr/ekor/hari) HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Konsumsi Bahan Kering Ransum Penelitian Konsumsi bahan kering ransum pada penelitian ini berkisar antara 3057,00 gr/ekor/hari sampai 3723,50 gr/ekor/hari. Pada peneliti-an ini perlakuan memberkan penga-ruh yang tidak nyata (P > 0,05) terhadap konsumsi bahan kering. Hal ini berarti perlakuan suplemen-tasi nutrient prekursor mikroba rumen tidak mempengaruhi palata-bilitas ransum, tercermin dari kon-sumsi bahan kering yang hampir sama. Keadaan ini sebagai akibat dari komposisi dan kandungan zatzat makanan dalam ransum yang hampir sama (Tabel 3). Faktor lain yang mempengaruhi tingkat konsumsi pakan adalah bentuk fisik, ukuran partikel pakan dan frekwensi pemberian pakan. Pada penelitian ini hijauan yang diberikan telah cacah halus terlebih dahulu, sehingga bentuk fisik dan ukuran partikelnya hampir sama. Frekwensi pemberian ransum dilakukan 3 kali yaitu pagi konsen-trat, siang dan sore hijauan, dengan demikian ternak percobaan mempunyai waktu yang sama untuk mengkonsumsi sejumlah pakan yang diberikan. Ternak sapi yang digunakan dalam penelitian ini berumur 1,5-2 tahun yang merupakan periode pertumbuhan dengan bobot badan 126 + 43 kg. Berarti kapasitas alat pencernaan dan kebutuhan zat-zat makanannya juga hampir sama. Konsumsi bahan kering berdasarkan bobot metabolik dan persentase konsumsi bahan kering dari bobot badan dapat dilihat pada Tabel 4. Konsumsi bahan kering ransum pada penelitian ini berkisar antara 3057,00-3723,50 gr/ekor/ hari atau 2,51-2,83% berat badan atau 86,05-95,71 g/Kg W 0,75 . Hasil ini lebih kecil dari hasil penelitian Batubara (2002) yang mendapatkan konsumsi bahan kering pada sapi yang diberi ransum pelepah kelapa sawit adalah sebesar 3,02 % dari bobot badan, tetapi nilai ini hampir sama dengan yang diperoleh Akbar (2007) yang mendapatkan konsumsi bahan kering sebesar 2,5-3,66% dari bobot badan pada ternak sapi yang diberi ransum tandan kosong sawit fermentasi.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 405
2. Pertambahan Berat Badan Pertambahan bobot badan merupakan cerminan kualitas pakan yang diberikan. Pertambahan berat badan pada penelitian ini berkisar antara 0,34 kg/hari pada ransum B sampai 0,52 kg/hari pada ransum A. Pertambahan berat badan pada perlakuan B nyata lebih rendah dari perlakuan lainnya, meskipun konsumsi bahan kering ransum B hampir sama dengan konsumsi pada perlakuan lain namun tidak terjadi perbaikan kondisi dalam rumen, karena tidak tersedianya nutrient precursor mikroba rumen. Pertambahan berat badan pada perlakuan A, C, D dan E secara statistik tidak berbeda nyata. Hal ini membuktikan bahwa suplementasi nutrient precusor mikroba rumen mampu meningkatkan nilai manfaat pakan yang tercermin dari pertambahan berat badan yang hampir sama dengan ransum A (rumput). Selain itu suplementasi nutrient precusor mikroba rumen terbukti mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan mikroba rumen secara optimal yang pada gilirannya akan meningkatkan kecernaan pakan dalam rumen sekaligus meningkatkan suplai protein mikroba bagi ternak, dan hal ini berdampak positif terhadap pertumbuhan ternak. KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan pelepah sawit amoniasi dengan suplementasi daun ubi kayu dan mineral S, dan P dapat menggantikan 100% rumput dalam ransum ternak sapi dan memberikan performan yang sama dengan ransum kontrol (rumput). UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih disampaikan pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian (Balitbang Deptan) yang telah memberikan biaya penelitian melalui progam KKP3T Tahun Anggaran 2011. DAFTAR PUSTAKA Akbar, S.A. , N Jamarun, R Saladin dan Mardiati, 2005. Pengaruh fermentasi dan defaunasi tandan kosong sawit terhadap kandungan gizi, kecernaan dan karakteristik cairan rumen in-vitro. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan Vol VIII no 2 : 132-144 Akbar, S.A. 2007 Pemanfaatan Tandan kosong sawit fer-mentasi yang dikombinasikan dengan defaunasi dan protein by pass rumen terhadap performan ternak sapi. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. Vol XXXII No 2 : 80 – 85 Batubara, L. P. 2002. Potensi biologis daun kelapa sawit sebagai pakan basal dalam ransum sapi potong. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 2002 Kennedy, P.M, J.B. Lowry and L.I. Conlan. 2000. Phosphat rather than surfactant accounts for the main contribution to enhanced fibre digestibility resulting from treatmen with boiling neutral detergent. Animal Feed Sci. and Technology, Vol 86: 177-170
Prosiding Semnas II HITPI
Page 406
Komisarczuk, S. and M, Durand. 1991. Effect of Mineral on Microbial Metabolism. In Rumen Microbial Meta-bolism and Ruminant Diges-tion. J.P. Jouany (Ed) INRA Publ. Versailes, France Nurhaita, 2001. Daya cerna in-vitro dan karakteristik cairan rumen ternak sapi akibat pemberian serat sawit yang telah diolah dengan NaOH dan difermentasi dengan Aspergillus niger. Jurnal Peternakan dan Lingkungan Edisi Khusus April 2001 Nurhaita, N. Jamarun, R. Saladin, L Warly dan Mardiati Z. 2007. Efek beberapa metoda pengolahan limbah pelepah kelapa sawit terhadap kandungan gizi dan kecer-naan secara in-vitro. J. Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia No 2: 139-144 Nurhaita, N. Jamarun, R. Saladin, L Warly dan Mardiati Z, 2008. Efek suplementasi mineral Sulfur dan Phospor pada pelepah sawit amoniasi terhadap kecernaan zat makanan secara in-vitro dan karakteristik cairan rumen. J. Pengembangan Peternakan Tropis 33 No 1 : 51-58 Nurhaita, 2008. Evaluasi dan Pemanfaatan Pelepah Kelapa Sawit dalam Ransum Ternak Ruminansia. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Andalas, Padang Nurhaita, N. Jamarun, L Warly dan Mardiati Z. 2010a. Sintesis protein mikroba pada sapi yang mendapat ransum pelepah sawit amoniasi yang disuplementasi mineral S,P dan daun ubi kayu. Jurnal penelitian Universitas Jambi Seri Sains. Vol 12 No 2 ; 107-114 Nurhaita, N. Jamarun, L Warly dan Mardiati Z. 2010b. Kecernaan ransum domba berbasis daun sawit amoniasi yang disuplementasi S, P dan daun ubi kayu. Jurnal Media Peternakan Vol 33 No 3; 144-149 Nurhaita, Rusmana,WSN. 2011a. Efek suplementasi daun ubi kayu terhadap Kecernaan dan karakteristik cairan rumen (in- vitro) daun sawit amoniasi. Jurnal Peternakan Indonesia Vol 13 No 1; 43-47 Nurhaita, N. Definiati, R. Zurina dan Edi E. 2011b. Nilai Gizi dan Kecernaan Pelepah Sawit Fermentasi (Evaluasi secara in-vitro). Prosiding Seminar Nasional “Prospek dan Potensi Sumberdaya Ternak Lokal dalam Menunjang Ketahanan Pangan Hewani” Fak. Peternakan Univ. Jenderal Soedirman, Purwokerto. Stell, R. G. and J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik, Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi 2. Alih Bahasa B. Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Stevani, J, M. Durand, R. Zanchi, Ph, Beaumatin, and G. Hannequart. 2002. Effect of sulphate supplementation of untreated and alkali treated wheat straws on ruminal fermentition and microbial protein synthesis an a semi continous fermentor. Animal Feed Sci. and Technology, Vol 36 :287-301 Zain. M., Jamarun, Suryahadi dan Nurhaita. 2006. Fermentabilitas dan kecernaan in-vitro serbuk sabut kelapa yang difermentasi dengan mikroba rumen. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan. Vol. IX No 1: 39 - 49 Zain, M., N. Jamarun, and Nurhaita. 2010. Effect of sulfur suple-mentation on in vitro fermen-tability and degradability of ammoniated rice straw. Pakistan Journal of Nutrition 9 (5) : 413-415
Prosiding Semnas II HITPI
Page 407
Tabel 1. Proporsi Bahan Penyusun Ransum (% BK ) Bahan Makanan Rumput lapangan Plpah Sawit Amoniasi Dedak Halus Solid Garam Kapur Jumlah Suplementasi * Sulfur * Phospor * Daun ubi Kayu
A 50 0 40 9 0,5 0,5 100
B 0 50 40 9 0,5 0,5 100
0 0 0
0 0 0
Tabel 2. Komposisi Kimia Bahan Zat Makanan Rumput Bahan Kering 20,16 Bahan Organik 91,69 Serat Kasar 32,57 Protein Kasar 9,10 Lemak Kasar 1,92 Energi (Kkal/kg) 3917 Sulfur 0,20 Phospor 0,25 Ca 0,14 * Valin Isoleusin* * Leusin Keterangan :
Ransum Perlakuan C D 0 0 50 50 40 40 9 9 0,5 0,5 0,5 0,5 100 100 0 0 5
E 0 50 40 9 0,5 0,5 100
0,4 0,27 0
0,4 0,27 5
Penyusun Ransum (% BK) PSA TDUK Dedak 40,31 90,51 90,25 88,62 91,94 90,59 42,19 17,91 15,38 13,04 19,21 14,00 2,46 8,23 14,56 3839 4464 4429 0,15 0,25 0,17 0,12 0,26 0,91 0,47 1,19 0,58 0,45 0,32 0,46 0,59 0,63 -
Solid 19,29 89,58 24,68 13,77 11,11 4324 0,26 0,78 1,16 -
Hasil analisa Lab. Balitnak Ciawi, Bogor. 2011 * Nurhaita, 2008. PSA = Pelepah Sawit Amoniasi, TDUK = Tepung Daun ubi Kayu
Tabel 3. Komposisi Kimia Ransum Zat Makanan A Bahan Kering 48,01 Bahan Organik 90,59 Serat Kasar 24,78 Protein Kasar 11,46 Lemak Kasar 7,84 Energi 4140,88 Sulfur 0,19 Phospor 0,56 Ca 0,18 Valin Isoluesin Leusin -
Perlakuan (% BK) Ransum Perlakuan B C D 58,09 62,60 58,09 89,06 93,65 89,06 29,59 30,49 29,59 13,43 14,39 13,43 8,11 8,52 8,11 4101,88 4325,08 4101,88 0,17 0,18 0,57 0,50 0,51 0,77 0,35 0,40 0,35 0,31 0,18 0,33 -
E 62,60 93,65 30,49 14,39 8,52 4325,08 0,57 0,77 0,35 0,31 0,18 0,33
Keterangan : Dihitung berdasarkan Tabel 1 dan Tabel 2
Prosiding Semnas II HITPI
Page 408
Tabel 4. Konsumsi Bahan Kering , dan Pertambahan Berat Badan Harian Sapi Penelitian Parameter Konsumsi BK - gr/ekor/hari - % BB - gr/Kg W0,75 PBBH (Kg/hari) Keterangan :
A
B
Ransum C
D
E
SE
3723,50 2,83 95,71 0,52b
3711,00 2,74 93,14 0,34a
3622,25 2,76 93,41 0,49b
3528,00 2,51 86,05 0,47b
3057,00 2,68 88,68 0,49b
104,45 0,10 2,93 0,01
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05), SE = Standar Eror
Prosiding Semnas II HITPI
Page 409
PENGARUH PEMBERIAN STARBIO DAN PIGNOX (STARPIG) DALAM RANSUM YANG DISUPLEMENTASI DAUN SALAM (Syzygium polyanthum Walp) TERHADAP KUALITAS DAGING DAN KOLESTEROL DARAH AYAM KAMPUNG Tjokorda Gede Belawa Yadnya, I Wayan Wirawan, I Putu Tegik, dan Ni Putu Emi Suastini Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Stabio dan Pignox (Starpig) dalam ransum disuplementasi daun salam (Syzygium polyanthum Walp) terhadap kualitas daging dan kolesterol darah ayam kampung. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan, yaitu ransum tanpa Starpig dan daun salam (A), ransum mengandung Starpig (B) dan ransum yang mengandung Starpig dan daun salam (C). Setiap perlakuan dengan tiga ulangan, dan setiap ulangan menggunakan tiga ekor ayam dengan umur dan berat yang homogen. Variabel yang diamati adalah kualitas daging: warna daging, kadar air, pH, daya ikat air (DIA), susut masak, dan tekstur, dan profil lipida darah: total kolesterol, high density lipoprotein (HDL), low density liporotein (LDL), dan trigliserida. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ransum yang mengandung Starpig disuplementasi daun salam (C) dapat meningkatkan kualitas daging: warna, DIA, dan tekstur dan menurunkan susut masak secara nyata (P<0,05) dibandingkan perlakuan yang lainnya. Pemberian perlakuan C juga menurunkan kadar kolesterol, LDL dan trigliserida dan meningkatkan HDL secara nyata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan A. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemanfatan Starpig dalam ransum yang disuplementasi dengan daun salam dapat memperbaiki kualitas daging dan kolesterol darah ayam kampung. Kata kunci : Starpig, daun salam, kualitas daging, kolesterol dan ayam kampung THE EFFECT OF STARBIO AND PIGNOX (STARPIG) OFFER IN RATION SUPPLEMENTED WITH Syzygium polyanthum Walp LEAF TO THE MEAT QUALITY AND BLOOD CHOLESTEROL ON LOCAL CHICKEN ABSTRACT The experiment was aimed to study the effect starbio dan pignox (Starpig) offer in ration supplemented with Syzygium polyanthum Walp leaf to the meat quality and blood cholesterol on the local chicken. The experiment used a randomized completely design (CRD) with three treatments. The treatment groups were diets without Starpig dan Syzygium polyanthum Walp leaf as control ration (A), ration containing Starpig (B), and ration containing Starpig and Syzygium polyanthum (C). Each treatment had three replicates and each replicate consist of three chickens. Variable observed were meat quality: colour, water concentration, pH, water holding capasity (WHC), cock lossed, and texture of meat; and lipid profile of blood: total cholesterol, HDL, LDL and triglycerida. Result of this experiment
Prosiding Semnas II HITPI
Page 410
showed that offer of ration containing Starpig supplementated with Syzygium polyanthum Walp leaf could improve the meat colour, WHC and texture, but decrease the meat cocked loss significantly (P<0.05) than treatment control (A). Treatment C could decrease total cholesterol, LDL and triglyceride and increase HDL significantly (P<0.05) compared with treatment A and treatmen B. It was concluded that the offer of ration containing Starpig supplemented with Syzygium polyanthum Walp leaf could improve the meat quality and lipid profile of campoong chicken blood. Key words : Starpig, Syzygium polyanthum Walp leaf, meat quality, blood cholesterol, and local chicken PENDAHULUAN Latar belakang Ayam kampung merupakan salah satu jenis unggas yang mempunyai potensi besar sebagai sumber protein hewani (daging dan telur), unggas ini cocok dikembangkan karena mudah beradaptasi dengan kondisi alam di Indonesia. Potensi unggul lainnya dari ternak ayam kampung adalah bahwa daging ayam mempunyai komposisi gizi terutama protein yang setara dengan daging dari jenis unggas lainnya (Murtidjo, 1988). Dewasa ini masyarakat mulai menggemari daging ayam kampung sehingga permintaan daging ayam kampung terus meningkat, namun ayam yang dijual untuk keperluan daging kebanyakan adalah aayam kampung yang jantan , namun umr yang telah berumur dagingnya alot , maka dalam ransum perlu ditambahkan zat pelembut (Mutidjo, 1988), diantaranya adalah dengan daun salam., karena didalam daun salam mengandung flavonoid dan minyak atsiri yang didalam proses pemasakan daging dapat mebantu daging menjadi lebih lembut. Yadnya et al.(2009)telah memcoba memberikan daun salam pada itik afkir ternyata dapat memperbaiki kualitas daging terutama kelembutan, daya ikat air yang meningkat dan susut masak yang lebih rendah Lebih lanjut dilaporkan bahwa pemberian daun salam dapat menurunkan kadar kolesterol darah. Untuk mengatasi permasalahan perlemakan pada ayam kampung, maka perlu ditambahkan zat yang dapat mengikat lemak sehingga daging tidak berlendir maka perlu diberikan ransum yang mengandung daun salam, karena adanya flavonoid dan tanin (Thomas,1992), yang bersifat sebagai antioksidan sehingga dapat mencegah oksidasi oleh radikal bebas sehingga kolesterol LDL bisa menurun, karena antioksidan dapat menghambat proses pembentukan kolesterol di dalam hati, karena antioksiodan dapat menghambat aktivitas enzim 3 Hidroksi, 3 Methyl Gluteryl-Ko.A reduktase, sehingga terjadi penghambat pembentukan asam Vmevalonat dari Asam 3 Hidroksi, 3 Metyl, Gluteril-Ko.A, yang akhirnya akan berpengaruh terhadap pembentukan kolesterol di dalam hati (Agarwal dan Rao, 2000). Di dalam daun salam mengandung minyak atsiri yang dapat meningkatkan kualitas daging, sehingga daging yang dihasilkan akan lebih lembut. Dalam rangka meningkatkan produksi ternak maka di dalam ransum perlu ditambahkan Starbio dan Pignox (Starpig), di dalam Starbio disamping terdapat enzim-enzim yang dapat meningkatkan kecernaan, sehingga dapat meningkatkan penampilan pada ternak. Karena di dalam pignox mengndung vitamin komplek dan juga metionin dan unsur Zn yang membantu di dalam proses metabolisme,
Prosiding Semnas II HITPI
Page 411
(Anon, 1993). Zn juga berfungsi sebagai antioksidan yang dapat menangkap radikal bebas (Kumalaningsih et al., 2008) dan sama halnya dengan daun salam mengandung flavonoid yang bersifat antioksidan yang dapat menurunkan kadar kolesterol pada serum darah itik bali. Adanya kombinasi pemberian daun salam dengan Starpig diharapkan dapat memperbaiki kualitas daging dan menurunkan kadar kolesterol ayam kampung. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dikaji “Pemberian Daun salam dalam ransum, dengan penggantian jagung giling dengan sengauk yang disuplementasikan dengan Starpig” karena informasinya belum banyak yang mempublikasikan maka perlu diangkat dalam suatu penelitian METODE PENELITIAN Ayam Ayam yang digunakan pada penelitian ini adalah ayam kampung Bali yang berumur 1 tahun sebanyak 45 ekor, dengan kisaran berat awal yang homogen dipelihara selama 8 minggu, diperoleh dari UD. Merta Sari, Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Kandang dan Perlengkapan Penelitian ini menggunakan kandang sistem battery coloni yang tebuat dari bambu, terdiri atas 2 tingkat sebanyak 12 petak, tiap petak berukuran panjang 80 cm, lebar 60 cm dan tinggi 70 cm. tiap-tiap petak kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat minum yang terbuat dari belahan bambu, di bawah lantai kandang diberi alas plastik untuk menampung feses. Ransum dan Air Minum Ransum yang digunakan tersusun atas bahan-bahan : Jagung kuning, bungkil kelapa, dedak padi, tepung ikan, kacang kedelai, daun pepaya, daun salam, daun katuk, minyak kelapa, NaCl dan Starnox. Selama penelitian air minum yang diberikan berasal dari perusahaan air minum (PAM) setempat. Kandungan nutrisi dari jagung kuning, bungkil kelapa, kacang kedelai, minyak kelapa dan dedak padi menurut Scott et al. (1982), daun pepaya menurut Anon. (2005), daun salam menurut Kumalaningsih (2008). Komposisi bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Ransum Ayam Kampung, 12-14 bulan No Bahan(%) Perlakuan1 ) A B 1 Jagung kuning 51,36 41,36 2 Bungkil kelapa 9,31 9,31 3 Dedak padi 18,66 18,66 4 Tepung ikan 8,20 8,20 5 Kacang kedelai 11,97 11,97 6 Daun salam 7 Sengauk 10 10 8 Starpig 1,00 9 Total 100,00 100,00
Prosiding Semnas II HITPI
C 41,36 9,31 18,16 8,20 11,97 0.5 10 1,00 100,00
Page 412
Tabel 2. Komposisi Zat Kimia dalam Ransum Ayam kampong umur 12-14 bulan No. Komposisi Kimia Perlakuan Standar NRC(1984) A B C 1 ME(Kcal/kg) 3007,9 2999,37 2885,49 2900,0 2 Protein Kasar(%) 17,36 17,70 16,72 17 3 Serat Kasar(%) 3,88 3,97 5,72 3 – 5 2) 4 Lemak Kasar(%) 5,74 5,92 5,66 3-6 5 Ca(%) 0,78 0,76 0,75 0,80 6 P tersedia(%) 0,54 0,56 0,51 0,50 Keterangan : 1) Perlakuan: A = Ransum tanpa mengandung daun salam dan Starpig B = Ransum yang mengandung Starpig C = Ransum yang mengandung Starpig dan daun salam 2) Wasito (1995)
Tempat dan Lama Penelitian Penelitian dilaksanakan di Banjar Buluh, Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, selama 8 minggu dari bulan Juli-September 2011, dan penelitian laboratorium dilaksanakan bulan September-Oktober 2011. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan, masing-masing perlakuan terdiri atas tiga ulangan dan setiap ulangan berisi tiga ekor ayam kampung yang berumur 1 tahun dengan berat yang homogen. Ketiga perlakuan tersebut adalah : Ransum tanpa Starpig, dan daun salam (A), ransum mengandung Starpig (B), dan ransum yang mengandung Starpig, dan daun salam (C). Cara Pemberian Ransum dan Air Minum Ransum dan air minum diberikan ad libitum, tempat pakan diisi tiga perempat bagian dari tempat ransum untuk menghindari tercecernya ransum pada saat itik mengkonsumsinya. Penggantian air minum dilakukan setiap sore hari agar air tetap bersih dan menghindari bau serta mencegah timbulnya penyakit. Variabel yang diamati Variabel yang diamati dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Kualitas daging : kualitas daging akan diamati meliputi : a) warna daging (USDA,1977), b) . pH : pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan alat pH meter “model 909 pH/mV”.9soeparno,2005), c) kadar air dengan metode pengovenan(Arka et al.,1994), d) daya ikat air : pengukuran daya ikat daging ini dilaksanakan dengan alat sentripuge “Clement 2000 (Soeparno,2005), e) susut masak daging dengan metode pemanasan (Soeparno,2005), dan f) tekstur daging dengan uji organoleptik dengan mempergunakan panelis (Larmond, 1982). 2. Kolesterol: Kolesterol yang diamati meliputi total kolesterol, HDL (High Density Lipoprotein), LDL (Low Density Lipoprotein), Trigliserida, dan VLDL (Very Low Density Lipoprotein). Metode yang dipergunakan adalah “Enzymatic Cholesterol High Perfornce” CHOD-PAP KIT (Boehringer, 1993). Prosiding Semnas II HITPI
Page 413
Analisis Statistik Data yang diperoleh dianalisa dengan sidik ragam, apabila terdapat hasil yang berbeda nyata (P<0,05) diantara perlakuan maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Torrie, 1989). HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Daging Warna daging, kadar air dan pH daging pada ayam A adalah 5,81.,73,25% dan 5,90 (Tabel 4), sedangkan pemberian perlakuan B,dan C tidak berpengaruh terhadap warna, kadar air dan pH daging (P<0,05) dibandingkan dengan pemberian perlakuan A. Tabel 3. Pengaruh Pemberian Starbio dan Pignox dalam Ransum yang disuplementas Daun Salam terhadap Kualitas Daging Ayam Kampung Variabel Perlakuan A B C Warna daging 5,81a 5,39a 4,63b Kadar air(%) 73,25a 73,45a 73,6a pH 5,90a 5,88a 5,92a Daya Ikat Air(DIA) ( %) 57,73b 58,83b 59,40a Susut Masak(%) 34,73b 34,76b 36,83a Tekstur 4,93c 5,30b 6,19a Keterangan : Ransum A : ransum tanpa Starpig dan daun salam Ransum B : ransum mengandung Starpig Ransum mengandung Starpig dan daun salam Huruf berbeda pada baris yang sama berarti berbeda nyata (P<0,05)
Daya ikat air (DIA) dan susut masak daging pada ayam A adalah 57,73% dan 34,73%(Tabel 4). Pemberian perlakuan B tidak berpengaruh terhadap DIA dan susut masak daging (P>.0,05),sedangkan dengan perlakuan C dapat meningkatkan DIA dan, menurunkan susut masak daging secara nyata(P<0,05) ,sedangkan pada tekstur daging terjadi peningkatan secara nyata (P<0,05) , baik dengan perlakuan B atau C dibandingkan dengan perlakuan A. Adanya daun salam yang mengandung antioksidan sehingga mampu meningkatkan kualitas daging terutama pada tekstur daging, adanya minayk atsiri yang dalam proses pemanasan dapat melepaskan ikatan sulfidril (-SH) (Girindra, 1992), sehingga dading menjadi empuk. Pemberian daun salam pada ransum itik dapat meningkatkan kadar protein dalam darah sehingga yang terakumulasi dalam daging meningkat (Roni et al., 2010). Meningkatnya kadar protein akan dapat meningkatkan daya ikat air, sehingga semakin banyak air yang dapat diikat oleh protein dan berpengaruh terhadap penurunan susut masak (Soeparno, 2005).air yang dapat diikat semakin meningkat. Kolesterol Total kolesterol darah pada itik A adalah 198,3 mg/dl (Tabel 4). Pemberian perlakuan B dan C dapat menurunkan total kolesterol darah sebesar 11,34% dan 20,32% (P<0,05) dibandingkan perlakuan A. Prosiding Semnas II HITPI
Page 414
High Density Lipoprotein (HDL) darah pada itik A adalah 95,6 mg/dl(Tabel 4). Pemberian perlakuan B dan C dapat meningkatkan kadar HDL darah sebesar 8,43% dan 13,49 % secara statittik berbeda nyata(P<0,05). Low Density Lipoprotein (LDL) darah itik A adalah 82,93 mg/dl (Tabel 4). Pemberian perlakuan B dan C dapat menurunkan LDL sebesar 32,64% dan 53,14% (P<0,05) dibandingkan dengan pemberian perlakuan A. Try Acyl Glyceral (TAG) pada darah itik A adalah 98,85mg/dl (Tabel 4) .Pemberian perlakuan B dan C dapat menurunkan kadar TGA darah ayam sebesar 17,18% dan 46,18% (P<0,05) dibandingkan dengan pemberian perlakuan A. Tabel 4.
Pengaruh Pemberian Starbio dan Pignox dalam Ransum yang disuplementasi Daun Salam terhadap Profil Lipida Darah Ayam Kampung Variabel Perlakuan A B C Total 198,30a 175,80b 1`58,00c kolesterol(mg/dl) HDL( mg/dl) 95,60c 103,66b 108,00a LDL(mg/dl) 82,93a 55,86b 38,86c TAG( mg/dl) 98,85a 81,40b 53,20
Keterangan : Ransum A : ransum tanpa Starpig dan daun salam Ransum B : ransum mengandung Starpig Ransum mengandung Starpig dan daun salam Huruf yang berbeda pada baris yang sama berarti berbeda nyata (P<0,05)
Pembahasan Kualitas Daging Tabel 3, menunjukkan bahwa pemberian daun salam dapat meningkatkan kecerahan daripada warna daging , hal ini mungkin disebabkan pada daun salam ada tambahan kandungan Vitamin A sebesar 61,85 SI (Kumalaningsih,2008) sebagai sumber karoten yang akan mempengaruhi pigmen dalam myoglobin. Soeparno (2005) menyatakan warna daging sangat ditentukan oleh konsentrasi mioglobin, dan konsentrasi mioglobin ditentukan oleh tIpe molekul mioglobin, status kimia mioglobin, dan kondisi kimia dan fisik lain dalam daging. pH dan kadar air pada daging mendekati sama dari ketiga perlakuan. Hal ini mungkin disebabkan air minum yang dikonsumsi pada itik seimbang dengan air yang dikeluarkan melalui feses. Besarnya pH dalam daging sama berarti jumlahnya muatan H + dalam daging sama sehingga pHnya sama. Purnomo dan Plaga (1989) melaporkan kadar air daging dipengaruhi oleh lemak muskuler dan bahan ransum yang diberikan kepada ternak. Daya ikat air pada daging yang mendapatkan perlakuan C atau tambahan daun salam menghasilkan daya ikat air yang paling besar diantara perlakuan. Adanya daun salam yang mengandung antioksidan sehingga mampu meningkatkan kualitas daging terutama pada tekstur daging, adanya minayk atsiri yang dalam proses pemanasan dapat melepaskan ikatan sulfidril (-SH) (Girindra, 1992), sehingga dading menjadi empuk. Pemberian daun salam pada ransum itik dapat meningkatkan kadar protein dalam darah sehingga yang terakumulasi dalam daging meningkat (Roni et al., 2010). Meningkatnya kadar protein akan dapat Prosiding Semnas II HITPI
Page 415
meningkatkan daya ikat air, sehingga semakin banyak air yang dapat diikat oleh protein dan berpengaruh terhadap penurunan susut masak (Soeparno, 2005). Air yang dapat diikat semakin meningkat. Hal ini mungkin disebabkan persentase daging karkas yang paling tinggi, ini berarti protein yang terdapat dalam daging itik C paling banyak, sehingga semakin banyak gugus reaktif yang dapat mengikat molekul- molekul air. Susut masak daging pada itik C memperoleh nilai yang paling rendah. yang mengandung minyak atsiri dan flavonoid yang dapat mengikat zat-zat nutrisi tidak banyak yang hilang dalam proses pemanasan. Soeparno (2004) menyatakan besar-kecilnya susut masak daging sangat dipengaruhin oleh daya ikat air yang dihasilkan, daya ikta air yang semakin besar akan menghasilkan massa susut daging yang lebih rendah. Tekstur daging ayam kampung yang mendapatkan ransum yang mengandung sengauk, Starpig dan daun salam yang lebih baik daripada perlakuan yang lainnya. Adanya daun salam sebagai minyak atsiri yang dapat membantu di dalam proses pemanasan untuk memutuskan ikatan-ikatan yang terdapat dalam protein terutama ikatan sulfa hidril (-SH-) , sehingga dapat merub ah kolagen menjadi elastin yang lebih mudah dipotong atau dicerna, sehingga akan menghasilkan daging menjadi lebih empuk. Tekstur daging dapat dipengaruhi oleh kandungan zat-zat nutrisi yang terdapat dalam ransum ternak (Lawrie,1995). Kolesterol Pemberian tepung daun salam dalam ransum yang mengandung sengauk dan Starpig dapat menurunkan kadar total kolesterol dan LDL serum darah serta dapat meningkatkan HDL Darah. Di dalam daun salam mengandung senyawa flavonoid yang bersifat antioksidan, zat antioksidan dapat menurunkan kolesterol LDL didalam tubuh. Flavonoid antioksidan dan menangkap radikal bebas melepaskan H + Berikatan dengan IRB (Ikatan Radikal Bebas) Radikal peroksi distabilkan Energi aktivasi Menghalangi oksidasi LDL( Low Density Lipoprotein) Menurunkan kolesterol LDL Gambar 1. Cara kerja flavonoid untuk menurunkan kolesterol (Anon,2010c) Dari Gambar 1 memperlihatkan cara kerja flavonoid sebagai zat antioksidan yang dapat menurunkan kolesterol LDL secara bertahap. Menurut Agarwal dan Rao (2000) melaporkan antioksidan dapat menetralkan radikal bebas, disamping itu antioksidan juga dapat menghambat kerja dari anzim 3 hidroksi, 3 methyl-Gluteryl-Ko.A reduktase, sehingga perubahan dari 3 Hidroksi, 3 Methyl,Gluteryl-Ko.A menjadi Asam Mevalonat berkurang sehingga kolesterol
Prosiding Semnas II HITPI
Page 416
yang dihasilkan di hati berkurang. Akibat dari penurunan kadar LDL dalam darah maka kadar HDL akan naik dan menuju ke hati. Di dalam hati akan terjadi perombakan daripada kolesterol menjadi asam-sam empedu yang akan di bawa ke kantong empedu untuk dimanfaatkan lebih kanjut untuk kebutuhan metabolisme di dalam tubuh. Sumardika dan Jawi (2010) telah mencoba pemberian ekstrak dari daun ubi jalar sebagai sumber anti oksidan yang diberikan pada mencit yang hasilnya ternyata dapat menurunkan total kolesterol, LDL serum darah dan dapat meningkatkan kandungan LDL serum darah mencit. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh , maka dapat disimpulkan : a. Kualitas daging pada itik yang mendapatkan ransum mengandung sengauk, Starpig yang disuplementasikan dengan daun salam dapat meningkat terutama daya ikat air meningkat dan susut masak daging menurun; b. Pemberian daun salam pada ransum yang mengandung sengauk dan Starpig dapat menurunkan total kolesterol dan LDLl serum darah,sedangkan pada HDL terjadi peningkatran pada serum darah ayam kampung.. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis aturkan kepada Rektor Universitas atas bantuan dana yang telah diberikan melalui penelitian Dosen Muda Tahun Anggaran 2011 melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyakat,Universitas Udayana, sehingga penelitian dan laporan penelitian dapat terlaksana sebagai mesinya. DAFTAR PUSTAKA Agarwal ,S and Rao A.V .2000.Tomato lycopene and its role in human health and chronic diseases. CMAJ, 2000. : 163 (6) : 739 – 44. Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Mutakhir Dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas. Penerbit Universitas Indonesia Pres. Jakarta. Annenkov, B. N. 1982. Mineral Feeding of Cattle in V.I. Georgievskii, B. N Annekov, V. T. Samokhin (eds). Mineral Nutrition of Animal. Butterworths. London. Anonymous. 2010a.“Kolesterol” (0nline) http://id.wikipedia.org diakses 10 April 2010. Anonymous. 2010c. “Flavonoid” (online)” http://en.wikipedia.org. Diakses 11 April 2010. Aritonang, D. 1995. Perencanaan dan Pengolahan Usaha Babi. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Belawa Y,T.G.2001. Penggantian jagung giling dengan sekam padi atau serbuk gergaji kayu yang disuplementasi dengan Starpig terhadap penampilan dan kadar asam urat darah pada itik Bali. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan, Universitas Udayana. Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, dan A.D.Tillman. 1990. Tabel komposisi pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University, Press Yogyakarta.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 417
Kumalaningsih, S. 2008. Antioksidan SOD (Super Oksida Dismutase). AntiOxidantCenter.com. http:/antioksidancenter.com [10 Januari 2008]. Murtidjo, B. A. 1988. Mengelola Itik. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Murray,B.K.,Granner, dan V.W.Rodwell. 2009. Biokimia Harper. EDISI 27. Penerbit buku Kedokteran, EGC, Jakarta. Putra W. P. A. 2010. Student Journalsm. Universitas Gunadarma, January, 2010. http//wartawangsa.gunadarma.ac.id. Roni, I Gst. K., Ni M.S.Sukmawati dan A.A.A.Sri Trisnadewi. 2010 Pengaruh pemberian daun salam dalam ransum yang disuplementasi Starpig terhadap Penampilan, asam urat dan protein darah itik bali afkir. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan, Univ. Udayana. Sangat, H. M. E. A. M. Zuhud dan E. K. Damayanti. 2000. Kamus Penyakit dan Tumbuhan Obat Indonesia (Etnofitomedika I) Pustaka Populer Obor, Jakarta. Scott, M. L, Neiheim, M, C. and R.J. Young. 1982. Nutition of the Chickens M. K. Scott and Associstes, New York. Siswono. 2001. “ Bahaya dari kolesterol tinggi”.(online) http://gizi.net diakses 10 April 2010. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada Univercity Press, Cetakan Keempat, Yogyakarta. Steel, R. G. D. and J. H. Torrie. 1989. Principle And Procedures Of Statistcs, 2ndEd. McGraw-Hill International Book Co. London. Thomas, A. N. S. 1989. Tanaman Obat Tradisional 2. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksodoprojo, S. Prawiro Kusumo, S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. USDA. 1977. Poultry Grading Manual. U.S. Government Publising Office. Washington DC. Yadnya, T. G. B. dan D. P. M. A. Candrawati. 2003. Suplementasi probiotik starbio dalam ransum yang mengandung daun salam (Syzygium polyanthum Walp) terhadap berat karkas, persentase bobot ternak karkas, kadar kolesterol darah dan kualiatas daging itik Bali Afkir. Prosiding, Seminar Nasional Peran Pendidikan Dalam Meningkatkan Ketangguhan Industri Pangan di Era Pasar Bebas, ISBN : 979-952496-2 PATPI. Malang, 30-31 Juli 2003. Zainuddin, D., K. Dwiyanto and Suharto. 1995. Utilization of a Proboitic Starboi in Broiler Diet with Different Level of Crude Protein. Buletin of Animal Science. A. Publication of the Animal Husbandry. Gadjah Mada University. Yogyakarta.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 418
PENGARUH PEMANFAATAN INOKULAN YANG BERBEDA DALAM BIOFERMENTASI UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas L) DALAM RANSUM TERHADAP KARKAS DAN KUALITAS DAGING ITIK BALI Tjokorda Gede Belawa Yadnya, Ni Made Witariadi, Ni Made Suci Sukmawati, dan A.A.A. Sri Trisnadewi Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar Email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan inokulan yang berbeda dalam biofermentasi ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L) dalam ransum terhadap karkas dan kualitas daging itik. Rancangan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan, masingmasing perlakuan terdiri atas tiga ulangan dan setiap ulangan berisi tiga ekor itik bali yang berumur 15 minggu dengan berat yang homogen. Keempat perlakuan tersebut adalah: ransum mengandung 10% umbi ubi jalar ungu diolah (perlakuan A), ransum mengandung 10% umbi ubi jalar ungu teramoniasi urea (perlakuan B), ransum mengandung 10% umbi ubi jalar ungu termolases (perlakuan C), dan ransum mengandung 10% umbi ubi jalar ungu terbiofermentasi dengan cairan rumen (perlakuan D). Variabel yang diamati adalah karkas meliputi bobot karkas, persentase karkas, persentase lemak karkas termasuk kulit dan kualitas daging secara obyektif dan organoleptik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ransum yang mengandung 10% ubi jalar ungu tanpa diolah (perlakuan A) menghasilkan bobot potong dan bobot karkas adalah 1327,66 g/ekor, dan 976,08 g/ekor. Pemberian ransum dengan perlakuan B, C, dan D dapat meningkatkan bobot potong dan bobot karkas secara nyata (P<0,05). Pemberian perlakuan B dan D terjadi peningkatan persentase bobot karkas secara tidak nyata (P>0,05), sedang dengan perlakuan C dapat meningkatkan persentase bobot karkas secara nyata (P<0,05). Pemberian perlakuan B, C, dan D dapat meningkatkan persentase daging dan menurunkan persentase lemak karkas. Pemberian perlakuan B, C, dan D dapat meningkatkan warna dan daya ikat air daging dan menurunkan susut masak daging secara nyata (P<0,05) daripada perlakuan A. Pemberian perlakuan B, C, dan D dapat meningkatkan kualitas daging secara organoleptik termasuk warna, aroma dan tekstur secara nyata (P<0,05). Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum yang mengandung ubi jalar ungu teramoniasi, termolases, dan dibiofermentasi dengan cairan rumen dapat meningkatkan karkas dan kualitas daging itik bali. Kata kunci : ubi jalar ungu, biofermentasi, itik bali, karkas, kualitas daging
THE EFFECT OF DEFFERENT INOCULANT USAGE OF PURPLE SWEET POTATO (Ipomoea batatas L) BIOFERMENTATION IN RATION ON CARCASS AND MEAT QUALITY OF BALI DUCK ABSTRACT The research was carried out to study the effect of different inoculant usage of Prosiding Semnas II HITPI
Page 419
purple sweet potato (Ipomoea batatas L) biofermentation in ration on carcass and meat quality of bali duck. The experiment used a randomized completely design (CRD) with four treatment were 10% purple sweet potato without manner (A), 10% purple sweet potato with urea ammoniated (B), 10% purple sweet potato with molases (C), 10% purple sweet potato with rumen liquid biofermentation (D). Each treatment had three replicates, and each replicate consist of three ducks. Variable observed were carcass weight, carcass physical composition, and meat quality with objective methode (colour, pH, water concentration, water holding capacity (WHC), and losses coocked) and organoleptic methode (colour, flavour, and texture). The result showed that the offer ration of 10% purple sweet potato without manner (treatment A) to slaughter and carcass weight were 1327,66 g/head and 976,08 g/head. Treatment B, C, and D could increase the slaughter and carcass weight were significantly. Carcass physical composition on treatment A on meat, born and fat carcass were 36,90%, 31,40% dan 31,70%. Treatment B, C, and D could increase percentage carcass significantly (P<0.05), but decrease fat carcass significantly (P<0,05). The quality of meat with objective methode of treatment A on colour, water holding capasity (WHC) and losses coocked of meat were 3,16., 36,29% and 55,52%. The offer of treatment B, C, and D could increase the colour and WHC meat, but decrease the losses coocked of meat significantly (P<0.05). The quality meat with organoleptic methode oftreatment B, C, and D could incease the colour, flavour and texture of meat significantly (P<0.05). It could be concluded that the offer of 10% purple sweet potato (Ipomoea batatas L) biofermentation with defferent inoculant could improve the carcass and meat quality of bali duck. Key words : Ipomoea batatas L, biofermentation, carcass, meat quality, bali duck PENDAHULUAN Latar Belakang Ternak itik merupakan salah satu jenis ternak unggas yang mempunyai potensi besar sebagai sumber protein hewani (daging dan telur), dan terjangkau oleh masyarakat. Namun ada kelemahannya yaitu pada daging yang berasal dari ternak itik yang telah berumur dagingnya berlemak, alot dan berbau amis (Setyawardani et al., 2001). Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan membuat formulasi ransum yang mengandung umbi ubi jalar ungu (Ipomoea batatas) yang mengandung zat antocyanin yang bersifat anti oksidan serta dapat menetralkan radikal bebas (Sulistyawati, 2006). Disamping itu umbi jalar ungu mengadung zat nutrisi dengan kandungannya sebagai berikut vitamin C, Protein, dan serat kasar adalah 12,13%, 1,64% dan 8,61% (Trisnawati et al., 2005). Untuk meningkatkan nilai nutrisi bahan pakan dapat dilakukan dengan fermentasi dengan kapang dan amoniasi (Widyanto et al., 1995). Dengan fermentasi pada umbi ubi jalar ungu diharapkan dapat meningkatkan kandungan kadar protein kasar dan penurunan kadar serat, sehingga kadar nutrisi bisa meningkat. Lakoni (1998) meneliti biofermentasi limbah kakao dengan kapang dan amoniasi, molasses, dan cairan rumen dapat mengkatkan nilai nutrisi cangkang kakao. Abidin (2009) telah meneliti fermentasi pada tapioka dapat meningkatkan kadar protein dari 0,96% menjadi 19,63%. Palinka (2011) melaporkan bahwa fermentasi lumpur sawit dengan Aspergillus niger dapat kadar protein terjadi peningkatan
Prosiding Semnas II HITPI
Page 420
dan pada serat terjadi penurunan Lebih lanjut dilaporkan bahwa pemberian lumpur sawit terfermenatsi pada broiler terjadi peningkatan pada konversi ransum, dan konsumsi bahan kering secara nyata. Roeswandy (2006) melaporkan bahwa pemberian ransum yang mengandung lumpur sawit terfermentasi tidak berpengaruh terhadap bobot potong, bobot karkas, dan persentase karkas, sedangkan pada lemak abdominal terjadi penurunan secara nyata. Pemberian umbi ubi jalar ungu pada ternak itik Bali, selama 8 minggu sampai berumur 23 minggu diharapkan dapat meningkatkan kualitas karkas. Karena umur itik semakin tua dagingnya akan semakin alot (Setyawardani et al., 2001), maka akan dicoba pemberian umbi ubi jalar ungu (Ipomoea batatas) terfermentasi dalam ransum itik dengan harapan dapat meningkatkan karkas dan kualitas daging pada itik. Soeparno (2004) melaporkan kualitas karkas termasuk komposisi karkas dan kualitas daging. Karena belum banyak yang menginformasikan tentang pemanfaatan umbi ubi jalar ungu terfermentasi terhadap kualitas karkas itik Bali, maka akan dicoba penenelitian yang berjudul : Kualitas karkas pada itik Bali, umur 23 minggu yang diberikan ransum umbi ubi jalar ungu (Ipomoea batatas) terfermentasi dengan inokulan yang berbeda. MATERI DAN METODE Itik Itik yang digunakan pada penelitian ini adalah itik Bali yang berumur 15 minggu sebanyak 36 ekor, dengan kisaran berat awal adalah berat rerata ± SD, yang dipelihara selama 8 minggu. Itik diperoleh dari Nengah Beratha, Gianyar Kandang dan Perlengkapan Penelitian ini menggunakan kandang sistem battery coloni yang tebuat dari bambu, terdiri atas 2 tingkat sebanyak 12 petak, tiap petak berukuran panjang 80 cm, lebar 60 cm dan tinggi 70 cm. tiap-tiap petak kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat minum yang terbuat dari belahan bambu, di bawah lantai kandang diberi alas plastik untuk menampung feses. Ransum dan Air Minum Ransum yang digunakan tersusun atas bahan-bahan: jagung kuning, bungkil kelapa, dedak padi, tepung ikan, kacang kedelai, daun pepaya, daun salam, daun katuk, minyak kelapa, NaCl dan Starnox. Selama penelitian air minum yang diberikan berasal dari perusahaan air minum (PAM) setempat. Kandungan nutrisi dari jagung kuning, bungkil kelapa, kacang kedelai, minyak kelapa dan dedak padi menurut Scott et al. (1982), tepung umbi ubi jalar ungu (Yadnya et al., 2011). Komposisi bahan dan kandungan zat-zat makanan dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Pengolahan Umbi Ubi Jalar Ungu a) Pengolahan umbi ubi jalar ungu dapat dilakukan dengan amoniasi, dimolases, dan biofermentasi dengan cairan rumen. Ubi jalar ungu diperoleh dari Apidik, Banyuwangi, Urea dan molasses dari Tohpati PS, dan cairan rumen diperoleh dari RPH Sidemen, Karangasem. b) Pelaksanaan Pengolahan
Prosiding Semnas II HITPI
Page 421
Tiga perlakuan pengolahan dan satu perlakuan konrol dengan tiga ulangan setiap perlakuan, Percobaan dilakuakan skala laboratorium. Perlakuan pada umbi ubi jalar ungu terdiri dari empat perlakuan yaitu: Perlakuan A : umbi ubi jalar ungu tanpa diolah Perlakuan B : umbi jalar ungu diamoniasi urea Perlakuan C : umbi ubi jalar ungu dengan tetes tebu (molases) Perlakuan D : umbi ubi jalar ungu dibiofermentasi dengan cairan rumen. Pada perlakuan B,C,dan D difermentasi selama satu minggu, kemudian dijemur dan dibuat dalam bentuk tepung dan dicampurkan dalam ransum sesuai dengan perlakuan. Tabel 1. Komposisi Bahan Ransum Penelitian Bahan ( % )
A 49,98 9,82 11,0 8,10 1045 10,00 tp 0,50 0,15
Jagung kuning Bungkil kelapa Dedak padi Tepung ikan Kacang kedelai Ubi jalar ungu Premix NaCl
Tabel 2. Kandungan
D 49,98 9,82 11,00 8,10 110,45 10,00 cr 0,50 0,15
Nutrisi pada Ransum Penelitian
Nutrien A Metabolis Energi(Kkal/kg) Protein(%) Lemak(%) Serat Kasar(%) Kalsium(%) Fosfor(%)
Perlakuan B C 49,98 49,98 9,82 9,82 11,00 11,00 8,10 8,10 10,45 10,45 10,00 du 10,00 m 0,50 0,50 0,15 0,15
2835,53 16,45 4,86 4,44 1,01 0,45
Perlakuan B C
2829,33 16,44 4,85 4,46 1,02 0,45
2821;36 16,57 4,44 4,44 1,03 0,48
D
2843,40 16.60 4,34 4,34 1,03 0,50
Standar Scott et. al. (1969) 2800 6 4-7 4-7 0,80 0,45
Keterangan: A : Ransum mengandung 10 % umbi ubi jalar ungu tanpa diolah (kontrol) B : Ransum mengandung 10,00% umbi ubi jalar ungu diamoniasi urea C : Ransum mengandung 10,00% umbi ubi jalar ungu dimolases D : Ransum mengandung 10,00% umbi ubi jalar ungu dibiofermentasi cairan rumen tp: tanpa pengolahan; du : diamoniasi urea; m : molasis; cr : cairan rumen
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan, masing-masing perlakuan terdiri atas tiga ulangan dan setiap ulangan berisi tiga ekor itik bali yang berumur 15 minggu dengan berat yang homogen. Keempat perlakuan tersebut adalah: ransum mengandung 10% umbi ubi jalar ungu (Ipomoea batatas) tanpa diolah (perlakuan A); ransum yang mengandung 10,00% umbi ubi jalar ungu diamoniasi urea (perlakuan B); ransum yang mengandung 10,00% umbi ubi jalar ungu dimolases (perlakuan C); ransum yang mengandung 10% umbi ubi jalar ungu dibiofermentasi cairan rumen (perlakuan D). Prosiding Semnas II HITPI
Page 422
Variabel Pengamatan Variabel yang diamati dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Berat potong: Berat yang diperoleh waktu akhir penelitian. 2. Berat karka: Berat potong dikurangi berat darah, bulu, kepala, kaki dan organ dalam (USDA, 1977). 3. Persentase karkas: Perbandingan berat karkas dengan berat potong dikalikan 100%. 4. Komposisi fisik karkas: Bagian recahan karkas yang meliputi daging, tulang, lemak subkutan termasuk kulit dari masing-masing bagian-bagian karkas dibagi dengan berat karkas dikalikan 100%. 5. Kualitas daging Pada kualitas daging akan diamati meliputi : a. Warna daging : pengamatan warna daging dengan menggunakan warna daging sampel dicocokkan denga warna standar yang dikeluarkan oleh USDA(1977). b. pH : pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan alat pH meter dikalibrasi dengan pH buffer pH 4,0 dan pH 7,0( Soeparno, 2005). c. Kadar Air Pengukuran terhadap kadar air adalah dengan metode pengovenan (Arka et al.,1994). d. Daya Ikat Air Daging Pengukuran daya ikat daging ini dilaksanakan dengan alat sentripuge Clement 2000 Soeparno(2005) e. Susut masak daging Pengukuran susut masak daging dilakukan dengan cara pemasakan (Soeparno, 2004) Uji organoleptik daging Sampel dari setiap ulangan dalam satu perlakuan digabung menjadi satu, maka terdapat empat sampel untuk perlakuan A, B, C, dan D. Daging dimasak terlebih dahulu dengan cara direbus hingga matang, kemudian baru diuji oleh panelis (Larmond, 1982). Tempat dan waktu pelaksanaan penelitian Penelitian kandang dilaksanakan di desa Guwang, Kabupaten Gianyar berlangsung dari bulan Juli s/d September 2012, dan penelitian Laboratorium dilakukan di Lab. Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana bersangsung pada bulan September s/d Oktober 2012. Analisis Statistik Data yang diperoleh dianalisa dengan sidik ragam, apabila terdapat hasil yang berbeda nyata (P<0,05) diantara perlakuan maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Torrie, 1989). HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot potong Itik Bali yang diberikan ransum mengandung 10% ubi jalar ungu (Ipomoea
Prosiding Semnas II HITPI
Page 423
batatas L) tanpa diolah (perlakuan A) pada umur 23 minggu mempunyai bobot potong adalah 1327,66 gr Tabel 5.1). Itik Bali yang mendapatkan ransum ubi jalar ungi teramoniasi urea (Pprlakuan B) menghasilkan bobot potong yang lebih tinggi secara tidak nyata (P>0,05), sedangkan pemberian ransum ubi jalar ungu yang diamoniasi urea (perlakuan C), dan pemberian ransum ubi jalar ungu yang terfermentasi dengan cairan rumen (perlakuan D) dapat meningkatkan bobot potong masing-masing 1,38% dan 1,80% secara nyata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan A. Bobot karkas Bobot karkas pada itik Bali yang telah berumur 23 minggu yang mendapatkan ransum adalah 976,08 g/ekor (Tabel 5.1). Itik Bali yang diberikan ransum B,C, dan D dapat meningkatkan bobor karkas sebesar 1,95%, 21,25%, dan 3,34% secara nyata (P<0,05) dibandingakan dengan perlakuan kontrol (perlakuan A). Pemberian perlakuan B dan C lebih rendah secara nyata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan D. Persentase Karkas Persentase karkas pada itk bali A adalah 73,50% (Tabel 5.1). Pemberian perlakuan B dan D dapat meningkatkan persentase secara tidak nyata (P>0,05), sedangkan dengan perlakuan C dapat meningkatkan persentase karkas secara nytata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan A. Tabel 3.
Karkas pada itik Bali yang diberikan ransum yang mengandung ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L) terfermentasi
Peubah
A 1327,66b
Bobot potong (g/ekor) Bobot karkas 976,08c (%) Persentase 73,50a karkas (%) Komposisi fisik karkas (%) Daging 36,90d Tulang 31,40b Lemak 31,70a termasuk kulit
Perelakuan 1) B C 1334,0b 1346,00a
D 1351,66a
995,16b
998,05b
1008,72a
2,880
74,60ab
74,15 a
74,28 ab
0,298
38,05c 35,5a 26,45b
42,60b 31,90b 25,50c
44,25a 31,17b 24,58d
0,345 0,945 0,215
SEM 3) 2)
2,592
Keterangan : 1) Perlakuan: A = ransum ubi jalar ungu tanpa pengolahan, B.= ransum ubi jalar ungu teramoniasi urea teramoniasi urea, C = ransum ubi jalar ungu termolases, D= ransum ubi jalar ungu terbiofermentasi cairan rumen. 2) Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama berarti berbeda tidak nyata (P>0,05). 3) SEM : Standard Error of the Treatment Means
Komposisi fisik karkas Persentase daging karkas pada itik perlakuan A adalah 36,90% (Tabel 3), pemberian perlakuan B, C, dan D dapat meningkatkan persentase daging masingmasing 3,11%, 15,44%, dan 19,91% (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan A.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 424
Persentase tulang karkas pada itik perlakuan A adalah 31,40% (Tabel 5.1). Pemberian perlakuan C dan D tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap persentase tulang karkas, sedangkan dengan perlakuan B dapat meningkatkan persentase tulang secara nyata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan A. Pemberian ransum A dapat menghasilkan persentase lemak karkas termasuk kulit sebesar 31,70%. Pemberian perlakuan B, C, dan D dapat menurunkan persentase lemak termasuk kulit sebesar 16,53%, 19,55%, dan 22,46% secara nyata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan A. Bobot karkas pada itik yang diberikan ransum yang mengandung ubi jalar ungu diolah (diamoniasi urea, dimolases, dan dibiofermentasi cairan rumen atau perlakuan A, B, dan D) lebih tinggi daripada pemberian ransum yang mengandung uji jalar ungu tanpa diolah (perlakuan A). Peningkatan bobot karkas sangat dipengaruhi oleh kecernaan ransum yang dihasilkan pada pemberian ransum ubi jalar yang diolah. Belawa et al., (2011) melaporkan pemberian ransum yang mengandung ubijalar diamoniasi urea, dimolases, atau biofermentasi dengan cairan rumen dapat meningkatkan kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik dan kecernaan nutrisi dalam ransum sehingga berpengaruh positif terhadap pertambahan bobot badan, sehingga bobot potong pada perlakuan B, C, dan D mendapatkan hasil yang signifikan lebih tinggi daripada perlakuan A. Ternyata adanya hubungan yang sinergis antara bobot potong dengan bobot karkas, semakin tinggi bobot potong semakin tinggi pula bobot karkasnya. Persentase bobot karkas pada itik yang diberi perlakuan A adalah 73,50%, sedangkan yang diberikan perlakuan B, C, dan D adalah 74,60%, 74,15%, dan 74,28%. Daryanti et al., (1987) menyatakan persentase bobot karkas sangat dipengaruh oleh bobot potong dan bagian tubuh yang terbuang adalah bobot bukan karkas,dan ada kecendrungan persentase bobot karkas meningkat dan akan berpengaruh terhadap bobot bukan bukan karkas yang lebih rendah. Wahidayatun (1983) menytakan bahwa persentase karkas sangat dipengaruhi oleh persentase bobot karkas, persentase bukan karkas, bobot hidup, serta umur yang dapat menyebabkan perbedaan persentase karkas. Komposisi fisik karkas pada itik yang mendapatkan komposisi fisik karkas dengan persentase daging karkas, tulang dan lemak termasuk kulit adalah 36,90%, 31,4% dan 31,7% (Tabel 5.1). Pemberian perlakuan ubi jalar ungu yang diamoniasi urea, dimolases, dan dibiofermentasi dengan cairan rumen dapat meningkatkan persentase daging karkas dan menurunkan persentase lemak termasuk kulit pada karkas. Menurut Cakra (1986), apabila salah satu bagian dari komponen fisik karkas yang meningkat akan berpengaruh terhadap terhadap penurunan komponen fisik karkas yang lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa peningkatan bagian komposisi fisik karkas yang satu akan berpengaruh terhadap komposisi karkas yang lainnya. Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa dengan pemberian ransum yang mengandung 10% ubi jalar ungu teramoniasi urea, termolases, dan terbiofermentasi cairan rumen dapat meningkatkan persentase daging dan menurunkan persentase lemak karkas. Hal ini mungkin disebabkan oleh kecernaan ransum dan kecernaan protein pada pemberian perlakuan B, C, dan D , sehingga semakin banyak protein yang diabsorpsi sehingga daging yang terbentuk semakin banyak, sehingga persentase daging karkas meningkat. Yadnya et al., (2011) mendapatkan pemberian ubi jalar ungu teramoniasi urea, termolases, dan
Prosiding Semnas II HITPI
Page 425
terbiofermentasi cairan rumen dapat meningkatkan protein tubuh, dan retensi protein tubuh. Kualitas daging secara obyektif Kualitas daging secara obyektif meliputi warna, pH, susut masak, kadar air, dan daya ikat air. Warna daging pada itik yang diberi perlakuan A dengan skor sebesar 3,16 (Tabel 5.2). Pemberian perlakuan B, C, dan D dapat meningkatkan skor warna daging sebesar 21,20%, 37,02%, dan 47,78% secara nyata (P<0,05) dibandingkan dengan pemberian perlakuan A. Pemberian perlakuan B lebih rendah secara tidak nyata (P<0,05), sedangkan perlakuan C lebih rendah tidak nyata (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan D. Tabel 4. Kualitas daging secara obyektif pada itik yang mendapatkan umbi jalar ungu terfermentasi dengan inokulan yang berbeda Peubah Perlakuan 1) SEM 3) A B C D Warna daging 3,16 c 3,83b 4,33ab 4,67a 2) 0,16 pH 5,67 a 5,53b 5,44c 5,37a 0,02 Susut Masak (%) 36,29 a 35,68 b 35,12c 34,76 d 0,03 Kadar air (%) 64,52a 62,32 b 62,24b 60,48 c 0,44 WHC (%) 55,52a 54,76ab 55,74ab 56,46 b 0,47 pH daging pada itik A adalah 5,67 (Tabel 4 ). Pemberian perlakuan B, C, dan D dapat menurunkan pH daging secara berturut-turut adalah 2,46%, 4,05%, dan 5,29% secara nyata (P<0,05) dibandingkan dengan pembnerian perlakuan A.. Pemberian perlakuan B, C, dan D dapat menurunkan susut masak daging secara nyata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan A. Kadar air pada daging itik A adalah 56,46% (Tabel 4). Pemberian perlakuan B ,C dan D dapat menurunkan kadar air adalah 3,40%, 3,53% dan 6,26% secara nyata (P<0,05) sedangkan dengan pemberian perlakuan D menghasilkan kadar air yang lebih rendah secara nyata (P<0,05) dibandingkan dengan pemberian perlakuan B dan C. Daya ikat air (DIA) pada daging itik A adalah 55,52% (Tabel 4). Pemberian perlakuan B dan C tidak berpengaruh terhadap daya ikat air (P>0,05), sedangkan dengan pemberian perlakuan D dapat meningkatkan DIA 1,66% (P<0,05) daripada perlakuan A. Kualitas daging secara organoleptik Warna daging pada itik yang mendapatkan perlakuana A secara organoleptik memberikan skor 5,85 (Tabel 5.3), sedangkan pemberian B dapat meningkatkan warna daging sebesar 10,76%, sedangkan dengan pemberian perlakuan C tidak berpengaruh (P>0,05), sedangkan dengan pemberian perlakuan D dapat menurunkan skor warna sebesar 9,05% (P<0,05), dibandingkan dengan pemberian perlakuan A.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 426
Tabel 5. Kualitas daging itik secara organoleptik yang diberikan ramsum ubi jalar ungu terfermentasi dengan inokulan yang berbeda Peubah Perlakuan1) SEM 3) A B C D Warna 5,86b 6,47a 5,85 b 5,32 c 2) 0,005 Aroma 5,06c 5,46a 5,40a 5,25b 0,043 Tekstur 5,20d 6,23b 6,72a 6,06 c 0,46 Penilaian kualitas daging secara obyektif yang terditi atas warna, pH, susut masak, dan daya ikat air (DIA). Pemberian ransum yang mengandung ubi jalar ungu yang diolah (teramoniasi, termolases, dan biofermentasi dengan cairan rumen) dapat meningkatkan kualitas daging terbukti terjadi meningkatan pada skor warna, penurunan susut masak, dan peningkatan daya ikat air (DIA). Peningkatan warna daging ditentukan oleh adanya myoglobin dalam daging, karena adanya pengolahan ubi jalar ungu yang menyebabkan protein dan retensi protein tubuh meningkat (Yadnya et al., 2011). Protein sebagai sumber globulin yang terdapat pada pigment warna pada daging, sehingga warna daging menjadi semakin cerah. Soeparno (2004) melaporkan bahwa warna ditentukan oleh Hue, yang menentukan warna merah, biru, dan hijau. Value akan menentukan terang dan gelap, sedangkan krome menentukan intensitas warna. kombinasi ketiga sifat tersebut akan memberikan cerminan warna daging yang lebih mantap. Susut masak dan daya ikat air (DIA) pada pemberian perlakuan A adalah 3,16 dan 55,52%, namun dengan pengolahan pada ubi jalar ungu dapat meningkatkam daya ikat air (DIA). Yadnya et al. (2011) mendapatkan pemberian ransum ubi jalar ungu yang teramoniasi, termolases, dan dibiofermentasi oleh cairan rumen. Adanya peningkatan protein tubuh dan retensi protein tubuh, sehingga kandungan protein daging meningkat dan semakin banyak air yang dapat diikat oleh daging. Purnomo dan Plaga (1989) menyatakan daya ikat air sangat ditentukan oleh gugus reaktif protein yang dapat mengikat molekul-molekul air. Soeparno (2004) menyatakan bahwa peningkatan DIA akan dapat menurunkan susut masak. Daya ikat air yang lebih besar akan berpengaruh terhadap susut masakyang lebih rendah, sehingga substansi non protein yang larut dalam air dan lebih banyak merupakan prekusor daripada cita rasa daging (Horstein dalam Soeparno, 2004). Adanya daya ikat air yang lebih tinggi menyebabkan lemak dalam jaringan tubuh ternak mampu melarutkan jaringan kolagen, sehingga tekstur daging menjadi lebih empuk dan lembut. Tekstur daging dapat dipengaruhi oleh kandungan zat-zat nutrisi yang terdapat dalam ransum ternak (Lawrie, 1995). KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan : 1. Pemberian ransum ubi jalar ungu yang diolah (teramoniasi urea, termolases, dan biofermentasi cairan rumen) dapat meningkatkan karkas, terutama bobot potong, bobot karkas, dan persentase daging dan menurunkan lemak karkas Prosiding Semnas II HITPI
Page 427
2. Pemberian ransum ubi jalar ungu yang teramoniasi, termolases, dan dibiofermentasi dengan cairan rumen dapat meningkatkan kualitas daging, baik penilaian secara obyektif dan secara organoleptik. 3. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z. A.2009. Peningkatan kadar protein ampas tapioka dengan teknik fermentasi media padat. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia –SNTKI 2009. Bandung, 19 – 20 Oktober 2009, ISBN 978-979-98300-1-2.. Daryanti, B. H. Ahmad dan R. Herman. 1982. Perbandingan Produksi Daging Antara Ayam Jantan Petelur dan Ayam Jantan Pedaging. Media Peternakan IPB, Bogor. Laconi, E. B. 1998. Peningkatan mutu kako melalaui amoniasi dengan urea dan biofermentasi dengan Phanerochaete chrysporium serta penjabarannya ke dalam formulasi ransum ruminansia. Desertasi, Program Pasca Sarjana,IPB,Bogor. Murtidjo, B. A. 1988. Mengelola Itik. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Palinka, A. 2011. Pemanfaatan lumpur sawit fermentasi dengan Aspergillus niger dalam ransum ayam broiler http://livestocklivestock.glogspot.com/2011/06 /pemanfaatan- lumpur-sawit fernentasi.html ,friday, june 3, 2011 Parakkasi, A. 1983. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Monogastrik. PT. Angkasa Bandung. Universitas Indonesia, Jakarta.. Roeswandy. 2006. Pemanfaatan lumpur sawit fermentasi aspergillus niger dalam ransum terhadap karkas itik Peking,umur 8 minggu. Jurnal Agribisnis Peternakan,Vol.2.Agustus 2006. Scott, M. L., Neiheim, M, C. and R.J. Young. 1982. Nutition of the Chickens M. K. Scott and Associstes, New York. Setyawardani, T. D. Ningsih., D. Fernando., dan Arcarwah. 2001. Pengaruh pemberian ekstrak buah nenas, dan pepaya terhadap kualitas daging itik petelur afkir. Buletin Peternakan.Diterbitkan oleh Fakultas Peternakan,Univ. Gadjah Mada,Yogyakarta.ISSN.0126-4400.Edisi Tambahan, Desember 2001. Soeparno. 2004. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada Univercity Press, Cetakan Keempat, Yogyakarta. Steel, R. G. D. and J. H. Torrie. 1989. Principle And Procedures Of Statistcs, 2ndEd. McGraw-Hill International Book Co. London. Sulistyawati, Y. 2006. Pengaruh pemberian Likopen terhadap status antioksidan (Vitamin C, Vitamin E, dan Glutation peroksidase) tikus(Rattus norvegilus galur sparague dawleg) hiperkolestrolemik Disertasi, Program Magester Ilmu Biomedik, Program Pasca Sarjana ,Universitas Diponogoro, Semarang. Trisnawati,W., W. R,Yasa dan N. Adijaya. 2005. Adaptasi tiga varietas ubi jalar (Ipomoea batatas),keragaman , komposisi kimia dan reperasi panelis. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. USDA. 1977. Poultry Grading Manual. U.S. Government Publising Office. Washington DC. Wahidayatun,. 1983. Pengaruh Umur Terhadap Persentase Karkas dan Efisiensi Ekonomi Pada Ayam Broiler Jantan. Skripsi Sarjana Peternakan, undip, Semarang.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 428
Wydianto, E., Pangestu, Surahmanto., F. Wahyono,. B. M. Tampebolon. 1995. Teknologi pengolahan pupuk tebu untuk meningkatkan daya gunanya,Study of cell wall structure sebagai pakan ternak ruminansia. Laporan Penelitian,Fakultas Peternakan,Univ.Diponogoro,semarang. Yadnya, T. G. B., I B. G. Partama, IG. A. A. Putra, dan A. A. A. Sri Trisnadewi. 2011. Upaya peningkatan nutrisi umbi ubi jalar ungu (Ipomoea batatas) melalui amoniasi dengan urea dan biofermentasi dengan Aspergillus nigerserta implikasinya ke dalam formulasi ransum non ruminansia. Laporan Penelitian Hibah Bersaing,2011, Universitas Udayana.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 429
EFEK PENGGUNAAN PRODUK FERMENTASI LIMBAH AGROINDUSTRI LOKAL DALAM PAKAN LENGKAP TERHADAP PERFORMAN KELINCI DAN INCOME OVER FEED COST Usman Ali Fakultas Peternakan, Universitas Islam Malang Jl. Tirtomulyo 64, Landungsari, DAU, Malang 65151 (Home)
[email protected] (HP. 085234730644), Fax. 0341-552249
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menentukan level penggunaan kombinasi limbah agroindustri lokal: 60% kulit daging kelapa, 20% kulit biji kedelai dan 20% onggok (KKO) yang difermentasi menggunakan bakteri selulolitik sebagai campuran pakan lengkap kelinci. Materi penelitian adalah KKOF, bahan pakan komersial (pollard, bekatul, bungkil kedelai, DDGS, kulit kacang dan mineral) dan kelinci peranakan New Zealand White jantan. Metode penelitian percobaan in vivo dengan rancangan acak kelompok (RAK), perlakuan penggunaan KKOF dalam pakan lengkap meliputi P1= 7,5% KKO tanpa fermentasi, P2 = 7,5% KKOF, P3 = 15% KKOF, P4 = 22,5% KKOF dan P5 = 30% KKOF, diulang 3 kali. Variabel yang diamati yaitu konsumsi pakan (KBK dan KBKT), pertambahan bobot badan (PBB), konversi pakan dan income over feed cost pada kelinci jantan. Data yang diperoleh dianalisis ragam dan uji jarak Duncan‟s (UJD) untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan makin meningkat penggunaan KKOF dalam complete feed secara nyata (P<0,05) memperbaiki performan kelinci dengan konsumsi pakan komulatif selama 50 hari (KBK= 4853,67-5151,67 g/ekor dan KBKT= 2709,80-3016,81 g/ekor), PBB naik = 968,67-1195,67 g/ekor, konversi pakan turun= 5,02-4,32 dan IOFC naik Rp. 24939 sampai Rp. 38173,-. Kesimpulan bahwa penggunaan KKOF 30 % dalam complete feed dapat mengoptimasi performan kelinci jantan, dengan PBB terbesar 1195.67 g / ekor, konversi pakan terkecil 4.32 dan IOFC terbesar Rp 38.173,-/ekor. Disarankan upaya untuk mengoptimasi performan kelinci dan pendapatan peternak hendaknya menggunakan KKOF 30% dalam campuran pakan lengkap. Kata Kunci: KKOF, complete feed, performan kelinci, pendapatan THE USAGE EFFECT OF FERMENTATION PRODUCT OF LOCAL AGROINDUSTRY WASTE IN COMPLETE FEED ON MALE RABBIT PERFORMANCE AND INCOME OVER FEED COST ABSTRACT The aim of this research is to find a level usage of fermentation products local agroindustry waste from 60% coconut meat skins, 20% soybeans leather skins and 20% cassava waste (CSCF) as a complete feed mixture to optimize performance of male rabbit and income over feed cost (IOFC). Materials research are CSCF, commercial feedstuff (pollard, bran, soybean meal, DDGS, peanut shells and mineral mix) and New Zealand White male rabbits. Research methods is in vivo experiments using a randomized block design (RBD) with 5 treatments Prosiding Semnas II HITPI
Page 430
and 3 weight groups. Feed treatment using CSOF in complete feed, T1= 7.5 % CSONF; T2 = 7.5% CSOF; T3 = 15% CSOF; T4 = 22.5% CSOF and T5 = 30% CSOF. The variables measured are feed intake (DMI and DMDI), body weight gain (BWG), Feed conversion and IOFC in male rabbits. The data obtained were analyzed varieties and LSD test to determine differences between treatments. The results show that more CSOF use in complete feed significantly (P<0.05) improve the performance of rabbits with cumulative feed intake for 50 days (DMI 4853.67 to 5151.67 g / head and DMDI 2709.80 to 3016.81 g / head), the BWG 968.67 to 1195.67 g/ head, feed conversion down 5,02 to 4.32 and IOFC increase Rp. 24939 to Rp. 38173,-. The research conclusion is CSOF 30 % usage in complete feed can optimize the performance of male rabbit with the largest BWG 1195.67 g/ head, low feed conversion 4.32 and largest IOFC Rp. 38 173,-/ head. It is suggested to optimize the performance of rabbits and income breeders should use 30 % KKOF in complete feed mixture. Key words: complete feed, CSOF, performance and IOFC PENDAHULUAN Suatu alternatif untuk menekan biaya pakan dapat menggunakan bahan pakan inkonvensional yang cukup tersedia dan harga murah dari limbah agroindustri lokal kulit daging kelapa (Cocos nucifera), kulit biji kedelai (Glycine max) dan onggok dari ubi kayu (Manihot esculenta) sebagai upaya mengurangi penggunaan pollard dan bungkil kelapa yang mahal sehingga dapat meningkatkan pendapatan bagi peternak kelinci. Kemampuan kelinci menggunakan berbagai pakan nabati, memudahkan kelinci untuk dibudidayakan secara luas dengan memanfaatkan potensi sumber daya pakan lokal asal tanaman dan limbahnya. Kelinci dapat dipelihara menggunakan limbah agroindustri lokal sebagai campuran pakan tanpa mengganggu produktivitas. Kombinasi 60% kulit daging kelapa, 20% kulit biji kedelai dan 20% onggok yang difermentasi menggunakan bakteri selulolitik disebut KKOF sebagai bahan pakan sumber energi, PK 11,55%; BETN 32,46%; LK 31,29%; SK 17,34% dan selulosa 8,89% yang secara fisik tidak tengik (Usman, Chuzaemi, Soebarinoto dan Sjofjan, 2012). Menurut Purwadaria dan Sari (2007) fermentasi limbah agroindustri menghasilkan enzim mendekomposisi serat dan anti nutrisi menjadi bahan metabolit, tambahan nitrogen sel, aneka enzim pencerna dan produk pakan menjadi palatable karena aroma harum spesifik. Proses fermentasi ini diharapkan dapat menggantikan aktivitas fermentasi pakan dalam organella sekum kelinci sehingga meningkatkan efisiensi pakan. Kelinci sebagai komoditas ternak mudah berkembangbiak per tahun beranak 6-8 kali, masa bunting 30-35 hari dan prolifik dengan litter size 5-10 ekor termasuk pseudoruminansia dengan pencernaan mikrobial di sekum seperti kuda sehingga pada fase pertumbuhan tingkat toleransi terhadap pakan berserat mencapai 12% dan protein kasar 14-15% (Ensminger, Oldfield dan Heinemann, 1990). Formulasi complete feed menggunakan KKOF yang tepat perlu diikuti dengan manajemen pemberian pakan dan minum secara ad libitum dan terkontrol upaya mencapai efisiensi pakan tinggi. Penelitian ini bertujuan uji biologis formulasi pakan complete feed yang menggunakan limbah agroindustri lokal terfermentasi (KKOF) dan bahan pakan konvensional terhadap performan produksi kelinci jantan dan income over feed cost. Prosiding Semnas II HITPI
Page 431
MATERI DAN METODE Metode Penelitian Metode penelitian yaitu percobaan dengan Rancangan Acak Kelompok dengan 5 perlakuan dalam 3 kelompok bobot badan. Perlakuan penggunaan KKOF dalam complete feed kelinci yaitu P1 = 7,5% KKO; P2 = 7,5% KKOF, P3 = 15% KKOF; P4 = 22,5% KKOF dan P5 = 30% KKOF. Variabel yang diamati yaitu konsumsi pakan (KBK dan KBKT), Pertambahan bobot badan (PBB), konversi pakan dan income over feed cost (IOFC). Pemberian pakan dan minum secara ad libitum dan terkontrol pada dan sore hari, tempat air minum digantung di sisi atas dinding dalam kandang battery. Adapun formulasi pakan dan kandungan nutrisi disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Formulasi dan kandungan nutrisi pakan lengkap. Bahan pakan Perlakuan P1 P2 P3 Pollard (%) 40,00 40,00 35,00 Bekatul (%) 20,00 20,00 20,00 KKO/ KKOF(%) 7,50 7,50 15,00 DDGS (%) 8,00 8,00 7,00 Bk. Kedelai (%) 16,00 16,00 14,00 Kulit kacang (%) 6,50 6,50 7,00 Mineral (%) 2,00 2,00 2,00 Total (%) 100,00 100,00 100,00 PK (%) 18,05 18,17 17,19 LK (%) 9,96 9,89 11,62 SK (%) 13,24 12,86 13,91 DE (Kkal / kg) 2893 2905 2849 Harga (Rp / kg) 2516 2531 2366
P4 30,00 20,00 22,50 7,00 12,00 6,50 2,00 100,00 16,43 13,43 14,44 2813 2223
P5 25,00 20,00 30,00 7,00 10,00 6,00 2,00 100,00 15,67 15,24 14,96 2770 2080
Analisis Statistik Data yang diperoleh ditabulasi dengan menggunakan program excell. Kemudian dianalisis menggunakan sidik ragam, dilanjutkan uji jarak Duncan‟s (UJD) untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan (Yitnosumarto, 1990). HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi pakan Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin bertambah penggunaan KKOF dalam pakan meningkatkan konsumsi pakan baik KBK dan KBKT. Hal ini berarti penggunaan KKOF dapat memacu nafsu makan kelinci disebabkan dalam produk fermentasi mengandung hasil sintesa vitamin B komplek yang dapat meningkatkan nafsu makan, hal ini didukung penelitian Rusdi (1992) bahwa salah satu manfaat fermentasi adalah meningkatkan kualitas dan palatabilitas pakan. Peningkatan konsumsi pakan disebabkan adanya peningkatan kualitas pakan terutama kecernaan pakan, namun kandungan energi pakan menurun. Selain itu palatabilitas pakan meningkat yang ditunjukkan bau pakan menjadi harum spesifik disukai sehingga kelinci mengkonsumsi pakan sampai dengan Prosiding Semnas II HITPI
Page 432
6000
(A)
4000
Kelp 1 Kelp 2 Kelp 3
2000 0
R1 R2 R3 R4 P5 Pakan perlakuan (% KKOF)
KBKT pakan (g/ekor)
KBK pakan (g/ekor)
kebutuhan nutrien pakan tercukupi dan selama fermentasi ada sintesa vitamin B12 yang dapat meningkatkan nafsu makan. Produk akhir penguraian selulosa oleh bakteri selulolitik adalah suksinat, asetat, formiat atau butirat berbau khas yang disukai ternak (Arora, 1983). Konsumsi BK komulatif selama 50 hari berkisar 4853,67 (P 2 ) sampai 5151,67 g/ekor (P5 ) atau KBK sebesar 97,07-103,03 g/ekor/hari dengan BB kelinci 1415,25 ± 180,49 g atau sebesar 3,62-4,41 % BB kelinci jantan. Perbedaan konsumsi pakan disebabkan kandungan nutrien terutama kandungan protein dan energi pakan (Negesse et al., 2001), status fisiologis (Fedele et al., 2002) dan kualitas pakan serta bobot badan kelinci. Selain itu kapasitas lambung kelinci terbatas, sedang setiap bahan pakan mempunyai densitas berbeda tergantung BK atau kebasahan bahan, maka pakan harus berkualitas dan cukup bergizi. Pada pakan densitasnya BK rendah dan tidak dapat mencapai volume yang lebih besar daripada kemampuan penampungan lambung, sehingga untuk meningkatkan konsumsi pakan sesuai dengan kebutuhan nutrien dan energi pakan bagi ternak menjadi terbatas (Parakkasi, 1994). Grafik penggunaan KKOF dalam pakan terhadap KBK dan KBKT dalam kelompok BB kelinci pada Gambar 1. 4000 3000 2000 1000
(B) Kelp1 Kelp 2 Kelp 3
0
P1 P2 P3 P4 P5 Pakan perlakuan (% KKOF)
Gambar 1. Penggunaan KKOF dalam pakan terhadap KBK dan KBKT Hasil UJD menunjukkan bahwa konsumsi KBK pakan terendah pada P 2 penggunaan KKOF 7,5% sebesar 4408,33 g/ekor atau 88,17 g/ekor/hari dengan BB kelinci 1415,25 ± 180,49 g atau KBK sebesar 6,23% BB dan berbeda sangat nyata (P <0,01) dengan P1 , P3 , P4 dan P5. Hal ini diduga karena kandungan PK pakan P2 tertinggi sebesar 18,17% dapat mencukupi kebutuhan protein bagi, sedang pada perlakuan lain maka konsumsi pakan meningkat terus sampai kebutuhan nutrien tercukupi seiring dengan penggunaan KKOF dalam pakan, respon konsumsi KBK pakan tertinggi pada P 5 penggunaan KKOF 30% yang tidak berbeda dengan P4 KKOF 22,5%. Menurut Arora (1983) pakan yang berkualitas dan palatabilitas tinggi akan meningkatkan laju aliran pakan dalam sistem digesti sehingga konsumsi pakan meningkat pula. Pola KBKT komulatif selama 50 hari semengikuti pola konsumsi BK, dengan rataan berkisar 2485,42-3016,81 g/ ekor dengan BB 1562,98 ± 150,99 g. Kebutuhan KBK pakan bagi ternak monogastrik mencapai 3-4% bobot badan, sedangkan secara umum kebutuhan nutrien bagi ternak tergantung dari jenis ternak, umur dan bobot badan, fase tumbuh, produksi, serta lingkungan pemeliharaan. Semakin besar bobot badan, produksi dan pertumbuhan cepat maka kebutuhan nutrien lebih banyak. Rataan suhu lingkungan yang rendah pada pagi hari 21,78o C dan siang hari sebesar 25,54o C dan variasi suhu keseluruhan sebesar 23,54 ± 2,18o C, konsumsi pakan pada suhu dingin lebih banyak dibanding suhu
Prosiding Semnas II HITPI
Page 433
panas pada daerah dataran rendah, karena energi panas dari pakan digunakan untuk menaikkan panas tubuh. Selain itu kelinci pada suhu panas cenderung lebih banyak minum. Menurut Reksohadiprodjo (1984) kelinci berbobot badan 2,5 kg membutuhkan pakan kering udara 120 gram atau sebesar 4,8% BB kelinci. Kecepatan laju makanan pada organella pencernaan, akan mempercepat pula pengosongan lambung sehingga kelinci meningkatkan konsumsi pakan untuk menyesuaikan kebutuhan nutrien dan energinya. Lebih lanjut pakan yang berkualitas biasanya mempunyai palatabilitas tinggi, hal ini juga akan meningkatkan konsumsi pakan bagi ternak (Prawirakusumo, 1994).
PBB (g/ ekor)
Pertambahan bobot badan Hasil penelitian bahwa respon PBB bertambah seiring meningkatnya penggunaan KKOF dalam pakan, hal ini disebabkan kualitas pakan dan jumlah konsumsi pakan bertambah dan diduga konsumsi nutrien terutama KPK berlebih dari kebutuhan maintanans untuk pertumbuhan dan PBB. PBB komulatif selama 50 hari tertinggi terdapat pada penggunaan 30% KKOF (P5 ) sebesar 1195,67 g/ekor atau sebesar 23,91 g/ekor/hari pada rataan BB kelinci 1678,17 ± 123,46 g, sedang PBB terendah pada penggunaan 7,5% KKO tanpa fermentasi (P 1 ) sebesar 968,67 g/ekor atau 19,37 g/ekor/hari dengan rataan BB kelinci 1513,17 ± 127 g. Hal ini disebabkan jumlah konsumsi pakan terutama protein melebihi kebutuhan nutrien untuk hidup pokok, kelebihan nutrien ini digunakan untuk pertumbuhan. Konsumsi nutrien berlebih dan kecernaan pakan meningkat ketersediaan bahan metabolit tubuh pada P5 (penggunaan KKOF 30%) lebih besar sehingga meningkatkan PBB kelinci. Hal ini sesuai dengan pendapat Tillman dkk. (1989) bahwa produk bahan metabolisme pakan digunakan untuk hidup pokok dan kelebihannya untuk produksi atau pertumbuhan. Menurut Prawirakusumo (l982) pemberian nutrien pakan terutama PK sudah diatas kebutuhan untuk hidup pokok maka akan meningkatkan produktifitas ternak, sedang pemberian protein berlebihan tidak ekonomis karena harga protein mahal. Hal ini juga selaras dengan pendapat Care dan Barlet (1995) bahwa PBB dipengaruhi oleh jumlah dan nilai biologis pakan yang dikonsumsi. Grafik penggunaan KKOF dalam pakan dan kelompok BB kelinci terhadap PBB kelinci jantan disajikan pada Gambar 2. 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 P1 P2 P3 P4 Pakan Perlakuan (level KKOF)
P5
Gambar 2. Penggunaan KKOF dalam pakan terhadap PBB kelinci Hasil UJD menunjukkan bahwa rataan PBB tertinggi pada P 5 penggunaan KKOF 30% sebesar 1195,67 g/ekor atau 23,91 g/ekor/hari yang tidak berbeda dengan P4 , namun berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan P3 , P2 dan P1 yang Prosiding Semnas II HITPI
Page 434
menggunakan pakan 7,50% KKO tanpa fermentasi. Hal ini disebabkan kecernaan pakan pada P4 dan P5 lebih besar dibanding perlakuan lain sehingga konsumsi pakan bertambah, walaupun kandungan PK pakan sedikit lebih rendah dan dalam standart kebutuhan protein pakan tetapi akumulasi protein pakan yang terkonsumsi bertambah digunakan untuk pertumbuhan sehingga PBB juga meningkat. Davies (1982) menyatakan PBB seekor ternak sangat dipengaruhi oleh kualitas pakan yang dikonsumsi, selain itu berbeda karena jenis kelamin, spesies ternak, cara pemeliharaan dan temperatur lingkungan.
Konversi pakan
Konversi pakan kelinci jantan Semakin meningkat penggunaan KKOF dalam pakan lengkap menurunkan secara nyata (P<0,01) terhadap nilai konversi pakan. Hal ini disebabkan kualitas pakan yang diberikan terutama kecernaan pakan meningkat dan kandungan nutrien terutama PK dan SK antar perlakuan berbeda. Semakin baik kualitas pakan diikuti tingkat PBB lebih besar. Nilai konversi pakan tergantung tingkat konsumsi pakan dan PBB karena parameter ini merupakan perbandingan jumlah respon konsumsi pakan dengan produksi atau PBB, kedua variabel tersebut berkaitan dengan kualitas pakan yang diberikan (Nurhayati, 2007). Konversi pakan merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan satu unit produksi (Katongole et al., 2009). Konversi pakan makin kecil menunjukkan kualitas pakan yang dikonsumsi makin baik. Grafik penggunaan KKOF dalam pakan lengkap terhadap konversi pakan kelinci jantan disajikan pada Gambar 3. 6 4 Kelompok I Kelompok II Kelompok III
2 0 P1
P2
P3
P4
P5
Pakan perlakuan (% KKOF)
Gambar 3. Penggunaan KKOF dalam pakan terhadap konversi pakan Hasil UJD diperoleh rataan konversi pakan terendah pada P 5 sebesar 4,28 ± 0,39 dan tidak berbeda dengan P 4 dan P3 , sedang konversi pakan terbesar pada P1 (penggunaan 7,5% KKO tanpa fermentasi) sebesar 5,02 yang berarti untuk menghasilkan 1 kg PBB kelinci mengkonsumsi 5,02 kg BK pakan. Dalam hal ini secara kuantitatif nilai konversi pakan dipengaruhi banyaknya konsumsi BK pakan dan PBB. Pada konversi pakan rendah berarti kualitas pakan lebih baik, karena ternak dengan mengkonsumsi pakan sedikit tetapi dapat digunakan untuk meningkatkan PBB yang besar. Hal ini sesuai hasil penelitian Usman dan Susilowati (2006) bahwa pakan yang berkualitas akan digunakan seefisien mungkin oleh ternak menjadi produksi atau pertumbuhan yang maksimal yang menghasilkan nilai konversi pakan rendah. Kandungan SK pakan yang tinggi bagi kelinci akan mengurangi efisiensi pakan, meskipun kelinci mampu mentolelir dan mencerna serat kasar pada sekumnya tetapi tidak terabsorpsi sempurna dalam tubuh sehingga menghasilkan Prosiding Semnas II HITPI
Page 435
konversi pakan yang lebih besar. Peningkatan kandungan SK akan menyebabkan nutrien akan banyak terbuang bersama ekskreta sehingga nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tidak mencukupi kebutuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Siregar (1980) bahwa angka konversi dan efisiensi pakan dipengaruhi oleh kualitas pakan yang diberikan. Pakan yang berkualitas mampu memasok nutrien lebih banyak dalam tubuh, apabila diikuti meningkatnya konsumsi pakan. Penggunaan 30% KKOF dalam pakan memperoleh konversi pakan pada kelinci jantan sebesar 4,52, nilai konversi ini lebih kecil daripada hasil penelitian Hariadi, Kartiarso dan Herman (1983) bahwa penggunaan level protein pakan yang meningkat dapat menurunkan konversi pakan kelinci menjadi 7,44. Hal ini berarti bahwa penggunaan 30% KKOF dalam pakan dengan PK 15,67 % (standar kebutuhan PK pakan kelinci 115 %) dapat meningkatkan efisiensi pakan pada kelinci jantan.
IOFC ( Rp
)
Income Over Feed Cost IOFC adalah pendapatan usaha peternakan yang didasarkan biaya pakan, maka nilai IOFC dipengaruhi faktor internal yaitu tingkat responsi ternak pada pakan yang dikonsumsi untuk meningkatkan bobot badan dan PBB dan faktor eksternal yaitu harga pakan dan harga jual kelinci. Hasil penelitian, semakin meningkat penggunaan KKOF dapat meningkatkan nilai IOFC. Hal ini disebabkan biaya pakan lebih murah seiring dengan meningkatnya penggunaan KKOF karena harga pakan lebih murah walaupun harga jual kelinci tergantung bobot potong. Selain itu, semakin meningkat penggunaan KKOF meningkatkan PBB berarti BB kelinci lebih besar sehingga harga penjualan kelinci mahal sehingga harga jual lebih tinggi dan biaya pakan rendah maka pendapatan IOFC yang besar pula. Hal ini didukung Nurhayati (2007) bahwa nilai IOFC ternak tergantung dari biaya pakan dan harga penjualan. Ilustrasi penggunaan KKOF dalam pakan lengkap terhadap IOFC pada kelinci jantan disajikan pada Gambar 4.
45000 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
Kelompok I Kelompok II Kelompok III P1
P2
P3
P4
P5
Pakan perlakuan (% KKOF)
Gambar 4. Penggunaan KKOF dalam pakan terhadap IOFC pada kelinci Hasil UJD selama penelitian 50 hari diperoleh rataan IOFC terendah pada P1 (penggunaan 7,5% KKO tanpa fermentasi) sebesar Rp. 29939 yang berbeda nyata (P<0,01) dengan P2 , P3 , P4 dan P5 , sedangkan IOFC terbesar pada P 5 sebesar
Prosiding Semnas II HITPI
Page 436
Rp. 31506, tidak berbeda dengan P4 , dan P3 , namun berbeda dengan P2 dan P1 . Perlakuan P5 penggunaan 30% KKOF mempunyai tingkat ekonomis pakan tertinggi, meskipun konsumsi pakan meningkat tetapi harga pakan lebih murah maka biaya produksi dari pakan masih rendah. Harga penjualan kelinci pada penggunaan 30% KKOF dalam pakan (P5 ) lebih mahal dibanding perlakuan lain, karena PBB lebih besar. Harga jual kelinci berbeda didasarkan BB hidup sehingga meskipun PBB lebih tinggi maka nilai jualnya tidak jauh berbeda. Oleh karena itu nilai IOFC selisih antara pendapatan hasil penjualan kelinci dan biaya produksi pada P 5 menghasilkan nilai IOFC lebih besar atau lebih menguntungkan dibanding pakan P 1 , P2 , P3 dan P4 . Jadi nilai IOFC sangat ditentukan biaya produksi terutama biaya pakan. Sebagaimana diketahui bahwa dalam usaha peternakan biaya paling besar adalah biaya pakan mencapai 70% dari keseluruhan biaya produksi (Siregar,1980). KESIMPULAN Disimpulkan bahwa bobot badan kelinci lebih besar meningkatkan konsumsi pakan, konversi pakan, IOFC tetapi PBB menurun. Penggunaan KKOF dalam pakan meningkatkan optimasi konsumsi pakan, PBB, konversi pakan dan IOFC. Penggunaan KKOF 30% dalam pakan dalam kelompok BB sedang (K 2 ) memberikan respon terbaik terhadap KBK 103,03 g/ekor/hari sebesar 6,14% BB ; PBB 23,48 g/ekor/hari ; konversi pakan 4,37 dan IOFC Rp. 38215,-/ ekor. DAFTAR PUSTAKA Arora, S.P. l983. Microbial Digestion in Ruminants. India Council Agricultural Research. New Delhi. Davies, H.L. l982. A Course Manual in Nutrition and Growth. AUIDP. Hedges and Bell Pty Ltd. Melbourne. Ensminger, M.E., J.E. Oldfield and W.W. Heinemann. 1990. Feed and Nutrition. Second Edition. The Ensminger Publishing Company. Clovis. Fedele, V., S. Clapsa, R. Rubino, M. Calandrelti and A.M. Pilla. 2002. Effect of five-Choice and Traditional Feeding Systems on Goat Feeding Behavior and Intake. Livest. Prod, Sci. 74:19-31. Hariadi, B., Kartiarso dan R. Herman. 1983. Pengaruh Kadar Protein Ransum Terhadap Performans Kelinci Lokal. Media Peternakan 8(4): 1 - 9. Katongole, C. B., E. N. Sabiiti, F. B. Bareeba, and I. Ledin. 2009. Performance of growing indigenous goat fed diet based on urban market crops wastes. Trop. Anim. Helath Prod. 41:329-336. Negesse, T., M. Rodehutscord and E. Pfeffer, 2001. The Effect of Diatary Crude Protein Level on Intake, Growth, Protein Retention, and Utilization of Growing Male Saanen Kids, Small Rumin Res. 39: 243-351. Nurhayati, 2007. Pengaruh Tingkat Penggunaan Campuran Bungkil Inti Sawit dan Onggok Terfermentasi Oleh Aspergillus niger Dalam Pakan Terhadap Penampilan Ayam Pedaging. J. Indon. Trop. Anim.Agric. 32(1) March 2007. hal. 28-33. Parakkasi, A. 1994. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Penerbit Angkasa. Bandung.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 437
Prawirokusumo, S. 1994. Ilmu Gizi Komparatif. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Purwadaria, T. dan L. Sari. 2004. Pengkajian Nilai Gizi Hasil Fermentasi Mutan Aspergillus niger pada Substrat Bungkil Kelapa dan Bungkil Inti Sawit. Biodiversitas. UNS, Solo. 5 (2): 48-51. Rusdi, U.U. 1992. Fermentasi Campuran Bungkil Biji Kapuk dan Onggok serta Implikasi Efeknya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler. Disertasi, Univesitas Padjadjaran, Bandung. Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. g Usman, A. dan S. Susilowati. 2006. Uji Kecernaan Bahan Kering dan Konversi Pakan Complete Feed Menggunakan OIRS pada Penggemukan Kambing Peranakan Etawah. Jurnal Ilmiah Dinamika Rekasatwa 2 (1) : 22-26. Usman, A., S.Chuzaemi, Soebarinoto dan O.Sjofjan. 2012. Fermentasi Limbah Agroindustri Lokal Menggunakan Bakteri Selulolitik Terhadap Kandungan Nutrien Produk Fermentasi sebagai Pakan Kelinci. Makalah Seminar Nasional Peluang Bisnis dan Utilitas Tumbuhan Pakan Tropik, Denpasar Bali, tanggal 17-10 Sept. 2012. Fapet, Universitas Udayana. Yitnosumarto, S. 1990. Percobaan, Perancangan, Analisis dan Interpretasinya. Universitas Brawijaya, Program MIPA. Malang.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 438
INTRODUKSI HIJAUAN MAKANAN TERNAK SAPI DI MINAHASA SELATAN Femi H. Elly, P.O.V. Waleleng, Ingriet D.R. Lumenta dan F.N.S. Oroh Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan UNSRAT
[email protected] HP: 081310980175
ABSTRAK Peranan ternak sapi sebagai sumber pangan berupa daging bagi masyarakat. Permasalahannya populasi ternak sapi di Sulawesi Utara cenderung mengalami penurunan. Lambatnya pertumbuhan populasi ternak sapi ditentukan oleh faktor eksternal diantaranya pakan. Berdasarkan pemikiran tersebut maka telah dilakukan pengkajian tentang introduksi hijauan makanan ternak sapi di Minahasa Selatan. Dasar pemikiran bahwa ternak sapi merupakan komoditas andalan sehingga pemerintah perlu mengupayakan kebijakan berkaitan dengan ketersediaan hijauan pakan ternak secara kontinyu. Hijauan Makanan Ternak (forages) merupakan bahan makanan atau pakan utama bagi kehidupan ternak serta merupakan dasar dalam usaha pengembangan peternakan. Untuk meningkatkan produktivitas ternak, salah satu faktor penting yang harus diperhatikan adalah penyediaan pakan sepanjang tahun baik kualitas dan kuantitas yang cukup. Dalam merespon kebijakan pemerintah maka di Minahasa Selatan telah dilakukan pengembangan hijauan makanan ternak sapi. Kesimpulannya, introduksi hijauan makanan ternak sangat bermanfaat bagi petani peternak dalam pengembangan ternak sapi. Berdasarkan introduksi hijauan maka perlu pendampingan bagi petani peternak untuk manajemen hijauan. Kata Kunci : Hijauan, introduksi, ternak sapi INTRODUCTION OF FORAGE OF CATTLE IN SOUTH MINAHASA ABSTRACT The role of cattle as a source of food for the community in the form of meat. The problem of cattle population in North Sulawesi tend to decrease. The slow growth of the cattle population is determined by external factors such as feed. Based on these ideas, has made the study of food forage introduction of cattle in South Minahasa. Premise that cattle is a commodity that the government should pursue policies relating to the availability of forage continuously. Forage fodder is a major food or feed for livestock and is the basis of life in the animal husbandry development effort. To increase the productivity of livestock, one of the important factors that must be considered is the provision of good quality feed year round and enough quantity. In response to the government policy in South Minahasa has made the development of cattle forage food. In conclusion, the introduction of green fodder is very beneficial to farmers in the development of cattle ranchers. Based on the introduction of forage necessary assistance to livestock farmers for forage management. Keywords: Forage, introduction, cattle
Prosiding Semnas II HITPI
Page 439
PENDAHULUAN Program swasembada daging di Tahun 2014 nampaknya sulit untuk mencapai keberhasilan yang optimal. Percepatan swasembada daging harus didukung oleh peningkatan produksi daging. Peningkatan produksi daging dapat dilakukan melalui peningkatan populasi ternak sapi. Populasi ternak sapi di Sulawesi Utara cenderung mengalami penurunan, tetapi disisi lain, permintaan terhadap daging sapi juga cenderung meningkat. Data Dinas Pertanian dan Peternakan Sulawesi Utara (2011) menunjukkan bahwa pada tahun 2009 dan 2010 populasi ternak sapi mengalami penurunan yaitu masing-masing pertumbuhannya -1,60 dan -7,56. Kondisi ini menyebabkan produksi daging sapi tidak dapat memenuhi permintaan daging yang cenderung meningkat tersebut. Kecenderungan peningkatan permintaan akan daging disebabkan karena meningkatnya penduduk yang diikuti dengan peningkatan pendapatan per kapita dari masyarakat Sulawesi Utara. Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan permintaan daging lebih cepat dibanding pertumbuhan populasi ternak sapi serta produksi daging sapi. Fenomena ini yang menyebabkan impor daging tetap dilakukan. Lambatnya pertumbuhan populasi dan produksi daging sapi ditentukan oleh faktor eksternal. Faktor eksternal tersebut diantaranya manajemen reproduksi (Herianti dan Subuharta, 2013) dan ketersediaan pakan yang tidak mencukup. Ternak sapi di Sulawesi Utara diusahakan secara tradisional, dalam arti ternak tidak dikandangkan. Ternak digembalakan di lahan-lahan pertanian dan dibiarkan mengkonsumsi limbah pertanian dan rumput yang tumbuh liar. Peternak belum memahami kebutuhan pakan berdasarkan status fisiologisnya. Permasalahan yang utama yang sering dihadapi adalah masalah pakan (Elly, 2008; Elly et al., 2008; Salendu, 2012 dan Susanti et al., 2013). Prawiradiputra (2011) mengemukakan bahwa salah satu faktor yang menentukan baik buruknya pertumbuhan ternak sapi adalah pakan. Keterbatasan pengadaan hijauan ini berakibat rendahnya produksi ternak terutama pada musim kemarau, sehingga secara umum akan menghambat peluang pengembangan populasi ternak sapi. Keterbatasan pakan dapat menyebabkan populasi ternak di suatu daerah mengalami penurunan. Peningkatan populasi ternak sapi sangat perlu dukungan ketersediaan hijauan pakan sepanjang tahun baik kuantitas maupun kulaitas. Hijauan pakan secara umum merupakan porsi terbesar untuk ransum ternak sapi. Tetapi, menurut Hermawan dan Utomo (2013), 62 persen peternak sapi menyatakan bahwa penyediaan hijauan pakan merupakan faktor pembatas usahatani ternak sapi. Berdasarkan pemikiran tersebut maka perlu dilakukan pengkajian tentang introduksi hijauan makanan ternak sapi di Minahasa Selatan. Tujuannya adalah untuk mengkaji sejauhmana introduksi hijauan makanan ternak sapi terhadap pengembangan ternak sapi di Minahasa Selatan. DASAR PEMIKIRAN Kabupaten Minahasa Selatan memiliki potensi ternak sapi kedua terbanyak di Sulawesi Utara. Selain itu, Minahasa Selatan memiliki potensi lahan untuk pengembangan hijauan makanan ternak. Ternak sapi di daerah ini merupakan komoditas andalan sehingga oleh pemerintah akan dijadikan sebagai
Prosiding Semnas II HITPI
Page 440
ternak unggulan. Hal ini disebabkan karena ternak sapi memiliki peran yang sangat penting bagi masyarakat pada umumnya dan petani peternak pada khususnya. Peranan ternak sapi diantaranya sebagai sumber pangan (daging), sebagai tabungan, sumber pendapatan dan devisa, sumber tenaga kerja, sumber pupuk organik serta sumber energi alternatif. Ternak sapi dapat dijual sewaktuwaktu apabila petani dan keluarganya membutuhkan uang baik untuk pendidikan anak-anak, kesehatan, membangun rumah bahkan untuk modal usahatani tanaman pangan, perkebunan dan lainnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pemerintah perlu mengupayakan kebijakan-kebijakan berkaitan dengan pengembangan ternak sapi diantaranya ketersediaan hijauan pakan ternak secara kontinyu. Hijauan makanan ternak (forages) merupakan bahan makanan atau pakan utama bagi kehidupan ternak serta merupakan dasar dalam usaha pengembangan peternakan. Untuk meningkatkan produktivitas ternak, salah satu faktor penting yang harus diperhatikan adalah penyediaan pakan sepanjang tahun baik kualitas dan kuantitas yang cukup. Upaya tersebut dapat dilakukan agar pemenuhan kebutuhan zat-zat makanan ternak untuk mempertahankan kelestarian hidup dan keutuhan alat tubuh ternak (kebutuhan hidup pokok) dan tujuan produksi (kebutuhan produksi) dapat berkesinambungan. Hal ini dimungkinkan bila kita mampu mengelola strategi penyediaan pakan hijauan baik rumput maupun legum (Lesman, 2011). Standar/norma kebutuhan hijauan makanan ternak per ekor per hari berdasarkan Satuan Ternak Sapi menurut Kementerian Pertanian (2010) adalah: ternak dewasa (1 ST) memerlukan pakan hijauan sebanyak 35 kg, ternak muda (0.50 ST) sebanyak 15-17.5 kg dan anak ternak (0.25 ST) sebanyak 7.5-9 kg/ekor/hari. PEMBAHASAN Usaha ternak sapi di Sulawesi Utara pada umumnya masih diusahakan secara ekstensif. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh beberapa peneliti di Sulawesi Utara dan berlaku juga di daerah lain seperti dinyatakan Bamualim et al (2004). Pengembangan peternakan sapi perlu mendapat perhatian karena setiap kenaikan jumlah populasi ternak sapi harus diikuti dengan peningkatan hijauan makanan ternak. Kemampuan peternak dalam penyediaan pakan akan menentukan jumlah ternak yang mampu dipelihara. Hasil penelitian di Minahasa Selatan menunjukkan bahwa ternak sapi mengkonsumsi limbah pertanian dan beberapa jenis rumput (Salendu, 2012). Jenis limbah pertanian dan rumput yang dikonsumsi ternak sapi serta jumlahnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis Limbah Pertanian/ Rumput, Rata-rata Konsumsi (Kg/Ekor/Hari) dan Prosentase di Kabupaten Minahasa Selatan No 1 2 3 4 5 6
Jenis Rumput/Jerami Jerami Jagung Jerami Padi Rumput Australia Rumput “Lapangan” Rumput Gajah Rumput Lainnya Tot al
Prosiding Semnas II HITPI
Rata-rata Konsumsi (Kg/Ekor/Hari) 9,32 0,49 1,17 3,70 1,81 0,47 16,96
Prosentase (%) 54,95 2,89 6,90 21,82 10,67 2,77 100,00
Page 441
Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar pakan yang dikonsumsi ternak sapi adalah jerami jagung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah Minahasa Selatan merupakan daerah swasembada jagung. Rumput lapangan merupakan urutan kedua pakan yang dikonsumsi ternak sapi. Hal ini yang menyebabkan produktivitas ternak sapi di daerah ini lebih rendah dibanding di Kabupaten Minahasa. Menurut Hutasoit (2004), dalam pengembangan peternakan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan yaitu diantaranya adalah faktor pakan. Faktor pakan bagi ternak sapi banyak dipengaruhi oleh ketersediaan hijauan karena sebagian besar pakan yang dikonsumsi adalah hijauan. Berdasarkan pertimbangan di atas maka telah diupayakan dan diintroduksi rumput unggul di Minahasa Selatan dengan kemampuan produksi dan kualitas melebihi rumput gajah. Menurut Lukiwati et al. (2005), Muslim dan Nurasa (2011), introduksi hijauan pakan ternak unggul sebenarnya telah lama dilakukan oleh pemerintah. Introduksi hijauan di Kabupaten Minahasa Selatan khususnya di desa Ongkaw kecamatan Sinonsayang, diikuti dengan praktikum oleh mahasiswa Fakultas Peternakan. Mahasiswa dilatih menanam rumput gajah dwarf seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Praktek Cara Memilih dan Memotong Bibit Rumput Gajah Dwarf Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani peternak sapi di desa Ongkaw telah mendapat bantuan ternak sapi tetapi pemeliharaannya masih secara tradisional. Artinya ternak digembalakan di lahan-lahan di bawah pohon kelapa dan mengkonsumsi limbah pertani serta rumput yang tumbuh liar. Hal ini seperti yang dinyatakan Salendu (2012). Pemeliharaan ternak sapi secara ekstensif berpeluang karena masih banyak tersedianya rumput lapangan serta hijauan lainnya yang berkualitas rendah. Rumput Gajah Dwarf telah diintroduksi di desa Ongkaw di lahan di bawah pohon kelapa dengan kemiringan lahan sekitar 10 persen. Penanaman pakan selain bertujuan menghasilkan hijauan juga ditujukan untuk mencegah terjadinya erosi. Hasil introduksi rumput Gajah Dwarf dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Rumput Gajah Dwarf di Desa Ongkaw Produktivitas rumput Gajah Dwarf cukup tinggi dengan produksi hijauan segar 3,888 sampai dengan 4,671 kg per rumpun (Polakitan dan Paat, 2013). Atau, Prosiding Semnas II HITPI
Page 442
areal tanam di bawah pohon kelapa sekitar 80 persen diantara tegakan dapat dibudidayakan rumput ini dengan jarak tanam 0,5x1 meter dengan jumlah stek 16.000 menghasilkan hijauan segar 62.208-74.784 kg per pemotongan. Daun dan batang rumput Gajah Dwarf relatif berimbang (Polakitan dan Paat, 2013). Menurut Hutasoit (2004), banyak hasil penelitian tentang pakan ternak baik kuantitas maupun kualitas, namun kenyataannya sampai saat ini masih kekurangan persediaan pakan. Hal ini terutama pada musim kemarau dan masih kurangnya minat petani untuk menanam rumput. Petani peternak sapi di desa Ongkaw setelah diintroduksi rumput Gajah Dwarf, maka ternak sapi telah dikandangkan. Selain itu, petani peternak mulai mengembangkan rumput tersebut di sekitar kandang ternak sapi (Gambar 3).
Gambar 3. Kandang Ternak Sapi dan Rumput Gajah Dwarf di Sekitar Lokasi Kandang di Desa Ongkaw Petani peternak sapi di desa Ongkaw telah melakukan pengembangan rumput Gajah Dwarf selain di lokasi perkandangan, di bawah pohon kelapa juga di lahan-lahan milik petani bahkan di pekarangan rumah. Pengembangan di pekarangan rumah petani dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Rumput Gajah Dwarf Yang Ditanam Di Halaman Rumah Pengadaan pakan hijauan makanan ternak sapi sangat tergantung pada penyediaan hijauan tersebut. Tersedianya hijauan yang cukup jumlah maupun kualitasnya dan berkesinambungan adalah salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan ternak sapi. Petani peternak sapi telah dilatih untuk melakukan pengawetan rumput Gajah Dwarf. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi apabila terjadi over produksi. Pengawetan rumput Gajah Dwarf dalam bentuk silase (Gambar 5).
Gambar 5. Pengawetan Rumput Gajah Dwarf (Silase)
Prosiding Semnas II HITPI
Page 443
Tujuan pengawetan rumput dalam bentuk silase adalah untuk memanfaatkan over produksi dan silase bisa dimanfaatkan pada saat paceklik atau musim kemarau panjang. Salah satu faktor yang menentukan produktivitas ternak sapi adalah terjaminnya ketersediaan hijauan pakan yang bermutu (Mansyur et al, 2005). SIMPULAN DAN SARAN Introduksi hijauan ternak sapi berupa rumput Gajah Dwarf sangat bermanfaat bagi petani peternak sapi. Introduksi ini dapat diterima petani peternak sapi, malahan mereka telah melakukan pengembangan hijauan makanan ternak di lokasi perkandangan sapi dan di lahan-lahan milik petani. Berdasarkan hasil kajian ini maka disarankan bagi pemerintah untuk tetap memotivasi petani peternak sapi untuk melakukan pengembangan hijauan makanan ternak di lahan-lahan yang belum dimanfaatkan. DAFTAR PUSTAKA Bamualim, A., R.B. Wirdahayati dan M. Boer. 2004. Status dan Peranan Sapi Lokal Pesisir di Sumatera Barat. Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Prosiding Seminar. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. p:52-60 Dinas Pertanian dan Peternakan Sulawesi Utara. 2011. Laporan Tahunan. Dinas Pertanian dan Peternakan Sulawesi Utara, Kalasey. Elly, F.H. 2008. Dampak Biaya Transaksi Terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Elly, F.H., B.M. Sinaga., S.U. Kuntjoro and N. Kusnadi. 2008. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Melalui Integrasi Ternak Sapi Tanaman di Sulawesi Utara. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor. Herianti, I dan Subuharta. 2013. Kajian Perbaikan Pakan Pada Induk Sapi Potong Lokal di Peternakan Rakyat Kabupaten Kebumen. Prosiding. Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan. Inovasi Agribisnis Peternakan Untuk Ketahanan Pangan. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. p:121-126. Hermawan A dan B. Utomo. 2013. Peran Ternak Ruminansia Dalam pengembangan Sistem Usaha Tani Konservasi di Lahan Kering DAS Bagian Hulu. Prosiding. Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan. Inovasi Agribisnis Peternakan Untuk Ketahanan Pangan. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. p:112-117. Hutasoit, R. 2004. Tingkat Adopsi Tehnologi Hijauan Pakan Ternak di Desa Merenu Tapanuli Selatan. Prosiding Temu Tehnis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian Tahun 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. p.136-141. Kementerian Pertanian. 2010. Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian Dengan Pemberian Insentif Bagi Tumbuhnya Industri Pedesaan. Blue Print. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 444
Lesman. 2011. Teknologi Pengawetan Makanan Ternak. http://lestarimandiri.org/id/peternakan/pakan-ternak/91-pakan-ternak/152teknologi-pengawetan- makanan-ternak.html Lukiwati, D.W., N. Nuhidjat., A.H. Wibowo., J. Bambang., T. Nurdewanto. 2005. Peningkatan Produksi dan Nilai Nutrisi Hijauan Pueraria phaseoleides Oleh Pupuk Fosfor dalam suspense Fermentasi Acetabacter saccharomyces. Jurnal ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Vol 7. No. 2. 2005. p:82-86. Mansyur., N.P. Indrani dan I. Susilowati. 2005. Peranan Leguminosa Tanaman Penutup Pada Sistem Pertanaman Jagung untuk Penyediaan Hijauan Pakan. Prosiding Seminar Nasional Tehnologi Peternakan dan Veteriner. p:879885. Muslim, C dan T. Nurasa. 2011. Kebijakan Pengembangan Ternak sapi Potong di Wilayah Sentra Produksi Berbasis Tanaman Pangan di Indonesia. Pusat Analisis Sosial ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang, departemen Pertanian. Polakitan, D dan P.C. Paat. 2013. Kajian Produktivitas Rumput Gajah Dwarf Dengan Pemupukan NPK Yang Ditanam Diantara Tegakan Kelapa di Kabupaten Minahasa Selatan. Prosiding. Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan. Inovasi Agribisnis Peternakan Untuk Ketahanan Pangan. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. p:94-100. Prawiradiputra, B. 2011. Pasang Surut Penelitian dan Pengembangan hijauan Pakan Ternak di Indonesia. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Salendu, A.H.S. 2012. Perspektif Pengelolaan Agroekosistem Kelapa-Ternak Sapi di Minahasa Selatan. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang. Susanti, A.E., A. Prabowo dan J. Karman. 2013. Identifikasi dan Pemecahan Masalah Penyediaan Pakan Sapi Dalam Mendukung Usaha Peternakan Rakyat di Sumatera Selatan. Prosiding. Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan. Inovasi Agribisnis Peternakan Untuk Ketahanan Pangan. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung. p:127-132.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 445
PENGARUH PERBAIKAN TANAH SALIN TERHADAP KARAKTER FISIOLOGISCalopogonium mucunoides 1
Kusmiyati,F1 ,Sumarsono 1 , and Karno 1 Facultyof Animal Agriculture, Diponegoro University, \Tembalang campus, Semarang, 50275,Indonesia email :
[email protected]
ABSTRAK Peralihan fungsi lahan pertanian menjadi wilayah pemukimam dan industri menyebabkan semakin berkurangnya lahan pertanian.Hal tersebut menyebabkan pengembangan pertanian perlu diarahkan pada lahan-lahan marginal seperti tanah salin.Tanah salin adalah tanah yang mengandung garam terlarut netral dalam jumlah tertentu yang berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.Penelitian yang dilaksanakan bertujuanmengkaji pengaruh perbaikan tanah salin secara kimia dan biologi terhadap karakter fisiologis Calopogonium mucunoides. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 3 ulangan. Perbaikan tanah salin dilakukan melalui penambahan gipsum (P1), pupuk kandang (P2), abu sekam padi (P3), tanaman halofita (P4), gipsum dan pupuk kandang (P5), gipsum dan abu sekam padi (P6), gipsum dan tanaman halofita (P7), pupuk kandang dan abu sekam padi (P8), pupuk kandang dan tanaman halofita (P9), abu sekam padi dan tanaman halofita (P10) dan tanpa penambahan sebagai kontrol (P0). Parameter yang diamati adalah kandungan klorofil a, kandungan klorofil b, kandungan total klorofil, aktivitas nitrat reduktase, luas daun dan laju fotosintesis. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan uji lanjut dengan uji wilayah ganda Duncan. Hasil penelitian menunjukkan kandungan klorofil a, klorofil b, total klorofil, aktivitas nitrat reduktase dan laju fotosintesis calopo berbeda nyata (P < 0,05) lebih tinggi pada perlakuan perbaikan tanah salin dibandingkan kontrol. Kandungan klorofil a, klorofil b dan total klorofil calopo pada perlakuan kombinasi pupuk kandang dan abu sekam padi serta kombinasi gipsum dan pupuk kandang berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Aktivitas nitrat reduktase dan laju fotosintesis calopo pada perlakuan kombinasi pupuk kandang dan abu sekam padi serta perlakuan pupuk kandang berbeda nyata (P < 0,05) lebih tinggi daripada perlakuan lainnya. Simpulan adalah perbaikan tanah salin dengan penambahan kombinasi pupuk kandang dan abu sekam padi meningkatkan karakter fisiologis Calopogonium mucunoides pada tanah salin. Kata kunci : aktivitas nitrat reduktase, Calopogonium mucunoides, klorofil, laju fotosintesis perbaikan tanah, tanah salin. ABSTRACT Conversion of agriculture land to residential and industry areas cause the decrease in agricultural land. This led to the development of agriculture should be directed to marginal lands such as saline soils. Saline soils are soils that contain neutral soluble salts in a certain amount that adversely affect plant growth and production. The purpose of this experiment was to evaluate the effect of saline soil reclamation on physiological characters of Calopogonium mucunoides. The Prosiding Semnas II HITPI
Page 446
experiment design was a completely randomized design with three replications. Saline soil reclamation through the addition of gypsum (P1), manure (P2), rice husk ash (P3), halophyta plant (P4), gypsum and manure (P5), gypsum and rice husk ash (P6), gypsum and halophyta plant (P7), manure and rice husk ash (P8), manure and halophyta plant (P9), rice husk ash and halophyta plant (P10) and without the addition as the control (P0). The parameters measured were chlorophyll a content, chlorophyll b content, total chlorophyll content, nitrate reductase activity, leaf area and photosynthesis rate. Data were analyzed with analysis of variance and followed by Duncan mulitiple range test. The results showed the content of chlorophyll a, chlorophyll b, total chlorophyll, nitrate reductase activity, leaf area and photosynthetic rate of calopo significantly (P <0.05) higher at the reclamation treatment compared to the control. The content of chlorophyll a, chlorophyll b and total chlorophyll of calopo in treatmentof manure and rice husk ash combination (P9), and also gypsum and manure combination (P6) were significantly (P <0.05) higher than other treatments. Nitrate reductase activity and the rate of photosynthesis of calopo in treatment of manure and rice husk ash combination (P9), and also manure treatments (P3) were significantly (P <0.05) higher than other treatments. It can be concluded that saline soil reclamation with the addition of manure and rice husk ash combination increased physiological characters ofCalopogonium mucunoides on saline soil. Keywords: Calopogonium mucunoides, chlorophyll , nitrate reductase activity, photosynthesis rate, saline soil, soil reclamation. PENDAHULUAN Tanah yang subur untuk lahan pertanian semakin berkurang dari tahun ke tahun. Hal tersebut menyebabkan pengembangan pertanian beralih ke lahan marginal seperti tanah salin. Penyebab tanah menjadi salin adalah intrusi air laut, air irigasi yang mengandung garam atau tingginya penguapan dengan curah hujan yang rendah sehingga garam-garam akan naik ke daerah perakaran. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi tanah salin yang sangat luas. Abrol et al. (1988) melaporkan luastanahsalindiIndonesiadiperkirakanmencapai13,2jutaha. Luas tanah salin sekarang ini tentu semakin meningkat karena perubahan iklim dunia yaitu kenaikan suhu dan kenaikan permukaan air laut. Kendala dalam pemanfaatan tanah salin untuk budidaya tanaman adalah tingginya kadar garam terlarut utamanya NaCl. Munns (2002) menyatakan salinitas menurunkan kemampuan tanaman menyerap air sehingga menyebabkan penurunan kecepatan pertumbuhan. Apabila tanaman menyerap garam berlebihan akan menyebabkan keracunan pada daun tua. Hal tersebut akan menyebabkan penuaan daun lebih awal dan mengurangi luas daun yang berfungsi pada proses fotosintesis. Karakter fisiologis tanaman dapat dilihat dari aktivitas nitrat reduktase, kandungan klorofil, luas daun dan laju fotosintesis. Aktivitas nitrat reduktase adalah enzim yang mereduksi nitrat menjadi nitrit dalam tanaman. Nitrit kemudian dirubah menjadi amonium oleh enzim nitrit reduktase. Lakitan (2000) menyatakan faktor-faktor yang pada umumnya mempengaruhi aktivitas enzim adalah konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, pH, produk reaksi dan senyawa penghambat enzim. Aktivitas nitrat reduktase ini memerlukan elektron donor
Prosiding Semnas II HITPI
Page 447
utama yaitu NADH (nikotinamida adenin dinukleotida hidrogen) yang merupakan hasil proses fotosintesis (Lillo, 1994). Aktivitas nitrat reduktase Vigna radiata menurun pada perlakuan NaCl 10 – 100 mM dalam media tumbuh (Padder et al., 2012). Klorofil di dalam daun dibedakan menjadi dua yaitu klorofil a dan klorofil b.Klorofil b berfungsi sebagai antena fotosintetik yang mengumpulkan cahaya. Cahaya yang dikumpulkan oleh klorofil b kemudian ditransfer ke pusat reaksi. Pusat reaksi tersusun dari klorofil a. Energi cahaya akan diubah menjadi energi kimia di pusat reaksi yang kemudian dapat digunakan untuk proses reduksi dalam fotosintesis (Taiz dan Zeiger, 1991). Jamil et al. (2012) melaporkan kandungan klorofil a dan klorofil b tanaman padi menurun dengan meningkatnya NaCl (0 sampai 150 mM) dalam media tumbuh. Stres garam lebih mempengaruhi kandungan klorofil a dibanding klorofil b. Kusmiyati et al. (2009) melaporkanpenurunan luas daun lamtoro dan centro secara nyata dengan meningkatnya konsentrasi NaCl dari 0 mM – 100 mM. Penurunan luas daun tersebut merupakan adaptasi morfologi tanaman pada kondisi salin.Haryadi dan Yahya (1988) menyatakan bentuk adaptasi morfologi tanaman pada stress salin adalah perubahan struktur mencakup ukuran daun yang lebih kecil, stomata yang lebih kecil per satuan luas daun, peningkatan sukulensi, penebalan kutikula dan lapisan lilin pada permukaan daun serta lignifikasi akar yang lebih awal. Daun merupakan organ tanaman yang berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses fotosintesis. Wen-Yuan et al. (2012) melaporkan laju fotosintesis menurun dengan meningkatnya salinitas pada media tumbuh. Penurunan laju fotosintesis pada perlakuan NaCl 200 mmol/l dibandingkan kontrol sebesar 87.7%. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi pengaruh buruk dari tanah salin adalah melakukan perbaikan tanah salin melalui cara kimia dan biologi. Perbaikan tanah salin banyak dilakukan secara kimia dengan penambahan bahan pembenah tanah seperti gipsum atau CaSO 4 (Makoi dan Verplancke, 2010), Reklamasi secara biologi dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik/pupuk organik seperti pupuk kandang (Kusmiyati et al., 2002); penanaman tanaman halofita pada tanah salin seperti rumput Leptochloa fusca (Ahmad dan Chang, 2002) atau legum Glycyrrhiza glabra (Khusiev et al., 2005) atau Portulaca oleracea (Zuccarini, 2008). Penambahan kalium juga dapat memperbaiki pengaruh buruk dari tanah salin (Karimi et al., 2009; Paksoy et al., 2010). Penelitian yang dilaksanakan bertujuan untuk mengkaji pengaruh perbaikan tanah salin secara kimia dan biologi terhadap karakter fisiologis Calopogonium mucunoides. Manfaat penelitian adalah memberikan informasi cara melakukan perbaikan tanah salin kepada peternak di daerah pesisir pantai untuk meningkatkan produksi hijauan pakan. MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Tanah salin diambil dari Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah. Tekstur tanah adalah lempung berdebu. Kemasaman tanah (pH) adalah 8,3 dengan daya hantar listrik (DHL) adalah 11,1. Berdasarkan
Prosiding Semnas II HITPI
Page 448
klasifikasi tanah salin menurut Abrol et al. (1988), salinitas tanah tersebut digolongkan tinggi. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 3 ulangan. Perbaikan tanah salin dilakukan melalui penambahan gipsum (P1), pupuk kandang (P2), abu sekam padi (P3), tanaman halofita (P4), gipsum dan pupuk kandang (P5), gipsum dan abu sekam padi (P6), gipsum dan tanaman halofita (P7), pupuk kandang dan abu sekam padi (P8), pupuk kandang dan tanaman halofita (P9), abu sekam padi dan tanaman halofita (P10) dan tanpa penambahan sebagai kontrol (P0). Perhitungan dosis gipsum menurut Franzen et al. (2006). Dosis gipsum adalah 2,6 ton/ha. Pupuk kandang yang digunakan adalah pupuk kandang kotoran sapi. Perhitungan dosis pupuk kandang berdasarkan kadar C-organik tanah salin yang dinaikkan menjadi 1%. Kadar C-organik tanah salin awal adalah 0,33%. Kekurangan C-organik sebesar 0,67% ditambahkan dari pupuk kandang. Dosis pupuk kandang dalam bahan segar adalah 178 ton /ha. Dosis abu sekam padi didasarkan pada dosis K 2 O yaitu 150 kg K 2 O/ha. Kadar K abu sekam padiadalah 4,8%. Dosis abu sekam padi adalah 2,6 ton/ha. Perlakuan gipsum, pupuk kandang dan abu sekam padi diaplikasikan pada saat tanam calopo. Tanaman halofita yang ditanam adalah Portulaca sp. Tanaman halofita ditanam 3 bulan sebelum penanaman benih calopo. Sebelum penanaman benih calopo, tanaman halofita termasuk akarnya dibongkar. Benih calopo ditanam pada pot yang berisi 10 kg tanah salin. Pemupukan dengan pupuk buatan dilakukan pada saat tanam dengan dosis 60 kg N/ha, 150 kg P2 O 5 /ha dan 100 kg K 2 O /ha. Penyiraman tanaman dilakukan setiap hari sesuai kapasitas lapang. Defoliasi calopo pada umur 12 minggu setelah tanam. Parameterfisiologi yang diamati adalah aktivitas nitrat reduktase, kandungan klorofil a, kandungan klorofil b, kandungan total klorofil, luas daun dan laju fotosintesis. Laju fotosintesis diamati 1 hari sebelum defoliasi.Parameter lain diamati pada saat defoliasi. Aktivitas nitrat reduktase diukur dengan metode Hartiko (1986). Kandungan klorofil diukur menurut metode Arnon (Kumar et al., 2012). Luas daun diukur dengan cara mengambil foto semua daun pada setiap tanaman. Luas daun dihitung dengan perbandingan pixel foto daun dengan foto luas kertas standar dengan program Image-J. Laju fotosintesis diukur menurut Sitompul dan Guritno (1995). Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan uji lanjut dengan uji jarak ganda Duncan (UJGD) (Steel dan Torrie, 1991). HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Klorofil Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan perbaikan tanah salin berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap kandungan klorofil a, klorofil b dan total klorofil calopo. Hasil uji Duncan menunjukkan kandungan klorofil a, klorofil b dan total klorofil pada perlakuan perbaikan tanah salin nyata (P < 0,05) lebih tinggi dibandingkan kontrol. Perlakuan perbaikan tanah salin memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah sehingga meningkatkan kesuburan tanah (Tabel 1). Kandungan klorofil a, klorofil b dan total klorofil calopo pada perlakuan pupuk kandang atau abu sekam padi nyata (P < 0,05) lebih tinggi dibandingkan
Prosiding Semnas II HITPI
Page 449
perlakuan tunggal lainnya. Kandungan klorofil a, klorofil b dan total klorofil pada perlakuan kombinasi pupuk kandang dengan abu sekam padi dan kombinasi gipsum dengan pupuk kandang nyata (P < 0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan tunggal maupun perlakuan kombinasi lainnya. Hal ini menunjukkan perbaikan tanah salin dengan kombinasi pupuk kandang dengan abu sekam padi serta kombinasi gipsum dan pupuk kandang merupakan perbaikan tanah salin yang terbaik dalam meningkatkan kandungan klorofil calopo. Tabel 1. Kandungan Total Klorofil dan Aktivitas Nitrat Reduktase Kalopo pada Berbagai Reklamasi Tanah Salin Perlakuan
Klorofil a
Klorofil b
… mg/g daun … e
Total Klorofil
… mg/g daun … 0,6
… mg/g daun … fg
1,8 e
Kontrol
1,2
Gipsum
1,8 cd
0,9 de
2,7 c
Pupuk kandang
2,0 bc
1,1 cd
3,1 b
Abu sekam
2,1 b
1,0 cd
3,1 b
Halofita
1,7 d
0,5 g
2,3 d
Gipsum + Pupuk kandang
2,3 a
1,4 ab
3,7 a
Gipsum + Abu sekam
1,7 d
1,0 cd
2,7 c
Gipsum + Halofita
1,6 d
0,8 ef
2,4 d
Pupuk kandang + Abu sekam
2,5 a
1,6 a
3,9 a
Pupuk kandang + Halofita
1,8 cd
1,1 cd
2,9 bc
Abu sekam + Halofita
1,8 cd
1,2 bc
3,0 b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf berbeda pada, 1kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata berdasarkan uji jarak ganda Duncan(P<0,05)
Perbaikan tanah salin dengan kombinasi pupuk kandang dan abu sekam padi meningkatkan kandungan klorofil. Hal ini dikarenakan penggunaan pupuk kandang menurunkan salinitas tanah dan meningkatkan ketersediaan N tanah. Hasil penelitian Mulyono (2001) menunjukkan perlakuan pupuk kandang akan menurunkan daya hantar listrik (DHL). Daya hantar listrik pada perlakuan pupuk kandang 6 ton/ha adalah 17,7 mS, sedangkan pada perlakuan tanpa pupuk kandang adalah 23,5 mS. Penurunan DHL akan mengurangi pengaruh buruk dari salinitas tanah dan meningkatkan serapan unsur hara terutama nitrogen. Nitrogen merupakan faktor yang sangat berperan pada sintesis klorofil a (C55 H72 O5 N4 Mg) dan klorofil b (C55 H70 O 6 N4 Mg). Pupuk kandang yang diaplikasikan pada tanah salin akan meningkatkan kandungan N tanah sehingga serapan N juga meningkat. Orman (2012) menyatakan penambahan pupuk kandang meningkatkan secara nyata kandungan N tomat pada kondisi salin. Kadar N tanaman tomat meningkat dari 1,9 % pada perlakuan tanpa pupuk kandang menjadi 2,1 % pada perlakuan pupuk kandang. Abu sekam padi merupakan sumber kalium (K) bagi tanaman.Kalium adalah hara makro yang penting dan kation yang paling banyak ditemukan pada tanaman.Hasil penelitian Kaya et al. (2001) menunjukkan kandungan klorofil meningkat pada perlakuan suplai K di tanah salin. Perlakuan kombinasi gipsum dengan pupuk kandang meningkatkan kandungan klorofil calopo.Hal ini dikarenakan kandungan sulfur (S) pada gipsum Prosiding Semnas II HITPI
Page 450
dan peran mikroorganisme tanah pada oksidasi S.Hasil penelitian Orman (2012) menunjukkan penambahan S nyata meningkatkan total klorofil.Pupuk kandang merupakan sumber S dan mikroorganisme tanah. Hasil penelitian Bharadwaj et al. (2011) menunjukkan populasi fungi, bakteri dan aktinomycetes berturut-turut adalah sebesar 3,1 × 103 ; 4,7 × 103 ; 3,7 × 103 per gram. Mikroorganisme tanah tersebut sangat berperan pada oksidasi S.Tanaman menyerap S dalam bentuk sulfat (SO42-). Sulfur dalam gipsum dan pupuk kandang tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh tanaman. Sulfur tersebut dioksidasikan menjadi sulfat oleh mikrroorganisme tanah Aktivitas Nitrat Reduktase (ANR) Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan perbaikan tanah salin berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap ANR calopo. Aktivitas nitrat reduktase calopo pada perlakuan perbaikan tanah salin nyata (P < 0,05) lebih tinggi dibandingkan kontrol. Perbaikan tanah salin dengan pupuk kandang nyata (P < 0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan tunggal lainnya (Tabel 2). Aktivitas nitrat reduktase pada perbaikan tanah salin kombinasi gipsum dengan abu sekam padi, kombinasi pupuk kandang dengan abu sekam padi serta kombinasi pupuk kandang dengan tanaman halofita nyata (P < 0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan kombinasi lainnya Faktor-faktor yang pada umumnya mempengaruhi aktivitas enzim adalah konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, pH, produk reaksi dan senyawa penghambat enzim (Lakitan, 2000). Substrat ANR adalah nitrat yang diserap oleh tanaman. Ketersediaan N tanah meningkat pada perbaikan tanah salin dengan pupuk kandang. Pelepasan NH4 – N pada tanah salin dengan perlakuan pupuk kandang nyata lebih tinggi daripada kontrol (tanpa pupuk kandang). Kandungan NH4 – N pada kontrol adalah 2 – 13 mg/kg tanah (Walpola dan Arunakumara, 2010).NH4 – N yang dilepaskan tersebut akan berubah menjadi nitrat sehingga dapat diserap tanaman. Tabel 2. Aktivitas Nitrat Reduktase (ANR), Luas Daun dan Laju Fotosintesis pada Berbagai Reklamasi Tanah Salin Perlakuan
ANR
Luas daun
µmol NO2 /jam
… dm / tan … 2
Laju fotosintesis mg CO 2/dm2/jam
Kontrol
4,8
e
12,0
e
21,4 e
Gipsum
6,8
cd
25,9
cd
22,9 de
Pupuk kandang
7,8
a
34,3
c
33,0 ab
Abu sekam
6,8
cd
14,1
e
26,4 c
Halofita
6,5
d
19,8
de
27,4 c
Gipsum + Pupuk kandang
7,1
bcd
50,9
b
31,9 b
Gipsum + Abu sekam
7,3
abc
18,6
de
22,8 de
Gipsum + Halofita
6,8
cd
27,7
cd
25,3 cd
Pupuk kandang + Abu sekam
7,6
ab
62,5
a
35,4 a
Pupuk kandang + Halofita
7,4
abc
32,0
c
27,9 c
Abu sekam + Halofita 6,9 bcd 25,2 cd 27,0 c Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf berbeda pada ,1kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata berdasarkan uji jarak ganda Duncan(P<0,05)
Prosiding Semnas II HITPI
Page 451
Aktivitas nitrat reduktase calopo tinggi pada perlakuan kombinasi pupuk kandang dan abu sekam padi. Hal ini dikarenakan peranan pupuk kandang pada penyediaan unsur N bagi tanaman serta pada perbaikan sifat-sifat tanah salin yang lain. Sifat tanah salin yang lebih baik tersebut akan meningkatkan serapan unsur hara termasuk nitrogen dan kalium. Abu sekam padi sebagai sumber K pada tanah diharapkan akan meningkatkan serapan K tanaman. Kalium berfungsi sebagai aktivator berbagai enzim termasuk enzim nitrat reduktase. Peranan gipsum pada peningkatan ANR calopo dikarenakan perbaikan sifat fisika tanah salin.Mulyono (2001) menyatakan penambahan gipsum pada tanah salin akan meningkatkan indeks stabilitas agregat tanah secara nyata. Gipsum (CaSO.) merupakan bahan yangrelatif mudah larut sehingga ion kalsium (Ca) yang dihasilkan akan lebih banyak, Kalsium menggantikan Na pada kompleks jerapan sehingga Na akan tercuci sehingga terbentuk agregat yang lebihmantap. ANR calopo tinggi pada perlakuan kombinasi pupuk pupuk kandang dan tanaman halofita.Tanaman halofita adalah tanaman adalah tanaman yang toleran pada salinitas tinggi.Mekanisme toleransi tanaman halofita adalah mekanisme morfologi dan mekanisme fisiologi.Adaptasi morfologi tanaman pada tanah salin mencakup ukuran daun yang lebih kecil, stomata yang lebih kecil per satuan luas daun, peningkatan sukulensi, penebalan kutikula dan lapisan lilin pada permukaan daun serta lignifikasi akar yang lebih awal (Haryadi dan Yahya, 1988).Mekanisme fisiologi antara lain osmoregulasi, kompartementasi dan sekresi garam; serta integritas membran (Sipayung, 2003).Hasil penelitian Zuccarini (2008) menunjukkan penanaman Portulaca oleracea bersama dengan tomat pada tanah salin menurunkan DHL tanah salin. Penurunan DHL akan mengurangi pengaruh buruk dari tanah salin sehingga meningkatkan serapan hara terutama nitrat yang merupakan substrat bagi ANR. Luas Daun Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan perbaikan tanah salin berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap luas daun calopo. Hasil uji Duncan menunjukkan luas daun pada perbaikan tanah salin dengan pupuk kandang nyata (P < 0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan tunggal lainnya. Luas daun calopo pada perbaikan tanah salin kombinai pupuk kandang dan abu sekam padi nyata (P < 0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan tunggal dan kombinasi lainnya (Tabel 2). Perbaikan tanah salin dengan pupuk kandang meningkatkan luas daun calopo. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian (Cha-um et al., 2011). Bahan organik dalam pupuk kandang berfungsi mengikat ion Na dan Cl sehingga menurunkan sifat toksisitasnya, yang ditunjukkan dari rendahnya DHL tanah salin dengan aplikasi pupuk kandang.Pupuk kandang meningkatkan ketersediaan unsur hara tanaman.Hal ini dikarenakan kompetisi antara ion organik dengan ion inorganik lainnya pada kompleks jerapan partikel tanah sehingga kation kation lainseperti Al, Fe dan Ca terlepas dari kompleks jerapan. Pupuk kandang sebagai sumber bahan organikjuga meningkatkan kemampuan tanah menahan air atau meningkatkan ketersediaan air untuk tanaman.Penurunan toksisitas NaCl dan peningkatan unsur hara serta ketersediaan airakan meningkatkan serapan unsur hara tanaman sehingga luas daun meningkat. Sifat tanah salin yang lebih baik pada aplikasi dengan pupuk kandang akan meningkatkan serapan K yang
Prosiding Semnas II HITPI
Page 452
terkandung dalam abu sekam padi. Laju Fotosintesis Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan perbaikan tanah salin berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap laju fotosintesis calopo. Hasil uji Duncan menunjukkan laju fotosintesis pada perbaikan tanah salin dengan pupuk kandang nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan tunggal lainnya. Laju fotosintesis calopo pada perbaikan tanah salin kombinai pupuk kandang dan abu sekam padi nyata (P < 0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan tunggal dan kombinasi lainnya (Tabel 2). Laju fotosintesis calopo tertinggi pada perlakuan kombinasi pupuk kandang dan abu sekam padi.Hal ini seiring dengan peningkatan kandungan klorofil dan luas daun calopo pada perlakuan kombinasi pupuk kandang dan abu sekam padi.Klorofil b berfungsi sebagai antena fotosintetik yang mengumpulkan cahaya. Cahaya yang dikumpulkan oleh klorofil b kemudian ditransfer ke pusat reaksi. Pusat reaksi tersusun dari klorofil a. Energi cahaya akan diubah menjadi energi kimia di pusat reaksi yang kemudian dapat digunakan untuk proses reduksi dalam fotosintesis (Taiz dan Zeiger, 1991). Semakin luas daun maka kandungan klorofil juga meningkat sehingga laju fotosintesis tinggi. Peningkatan laju fotosintesis calopo pada perbaikan tanah salin dengan pupuk kandang juga disebabkan ketersediaan air yang meningkat. Pupuk kandang sebagai sumber bahan organikjuga meningkatkan kemampuan tanah menahan air atau meningkatkan ketersediaan air untuk tanaman.Kekurangan air dapat menghambat laju fotosintesis, terutama karena pengaruhnya terhadap turgiditas sel penjaga stomata. Turgiditas sel penjaga akan menurun jika kekurangan air sehingga stomata menutup. Penutupan stomata ini akan menghambat serapan CO 2 yang dibutuhkan untuk sintesis karbohidrat (Lakitan 2000). Ji et al. (2012) melaporkan laju fotosintesis pada tanaman padi yang mengalami stres kering adalah3,7 µmol CO 2 /m2 /det atau mengalami penurunan sebesar 60 % dibandingkan pada tanaman yang tidak kekurangan air. SIMPULAN Perbaikan tanah salin melalui penambahan kombinasi pupuk kandang dengan abu sekam padi meningkatkan aktivitas nitrat reduktase kandungan klorofil a, klorofil b, total klorofil, luas area dan laju fotosintesis Calopogonium mucunoides.
DAFTAR PUSTAKA Abrol,I.P.,J.S.V.YadavdanF.I.Massaud.1988.Salt Affected Soil land Their Management . FAO, Rome. Ahmad, R. and M.H. Chang. 2002. Salinity control and environmental protection through halopythes. J. Drainage and Water Manag. 6 : 17 – 25. Bharadwaj, A., V. Khandelwai, F. Choudhary dan A.K. Bhatin. 2011. Comparative studies of organic enrichers in the improvement of physicchemical and microbiological characteristics of saline/usar soils. J. Chem.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 453
Pharm. Res. 3 : 997 – 1003. Cha-um, S., Y. Pokasombat dan C. Kirdmanee. 2011. Remediation of saltaffected soil by gypsum and farmyard manure − Importance for the production of Jasmine rice. Aust J. Crop Sci. 5 : 458 – 465. Franzen, D., G. Rehm dan J. Gerwing. 2006. Effectiveness of gypsum in the north central region of the US. NDSU Extension Service, North Dakota State University. Harjadi, S.S. dan S. Yahya. 1986. Fisiologi Stres Lingkungan. Pusar Antar Universitas – Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hartiko, H. 1987. Optimasi Metode Pengukuran Kegiatan Nitrat Reduktase in Vivo Daun berbagai Species Tanaman Produksi. Laboratarium Biokimia, Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta. Jamil, M., S. Bashir, S. Anwar, S. Bibi, A. Bangash, F. Ullah dan E.S. Rha. 2012. Effect of salinity on physiological and biochemical characteristics of different varieties of rice. Pak. J. Bot. 44 : 7 – 13. Ji, K., Y. Wang, W. Sun, Q. Lou, H. Mei, S. Shen dan H. Chen. 2012. Droughtresponsive mechanisms in rice genotypes with contrasting droughttolerance during reproductive stage. J. Plant Physiol. 169 : 336– 344 Karimi, E., A. Abdolzadeh and H.R.Sadeghipour. 2009. Increasing salt tolerance in Olive, Olea europaea L. plants by supplemental potassium nutrition involves changes in ion accumulation and anatomical attributes. Int. J. of Plant Product. 3 (4) : 49 – 60. Kaya, C., H. Kirnak dan D. Higgs, 2001. Enhancement of growth and normal growth parameters by foliar application of potassium and phosphorus in tomato cultivars grown at high (NaCl) salinity.J. Plant Nut. 24 : 357-367. Kumar, M., Anjali, Narayan, S. Chaudhary dan K. Pal. 2012. Effect of sulphurdioxide on plant chlorophyll on the family of Brassicaceae. Int. J. Pharma Proffesional‟s Res. 3(2) : 605-609. Kushiev, H., A.D. Noble, I. Abdullaev and U. Toshbekov. 2005. Remediation of abandoned saline soils using Glycyrrhiza glabra : A study from the hungry steppes of Central Asia. Int. J. Agric. Sustain. 3 : 102 – 113. Kusmiyati, F., E.D. Purbayanti dan B.A. Kristanto. 2009. Karakter Fisiologi, Pertumbuhan dan Produksi Legum Pakan pada Kondisi Salin. Dalam : Sumarsono, L.D. Mahfuds, D.W. Widjajanto, Karno, E. Pangestu, L.N. Kustiawan, T.A. Sarjana dan Surono (Eds). Proceeding Seminar Nasional kebangkitan Peternakan, BP. Universitas Diponegoro. hal 302 – 308. Kusmiyati, F., R. T. Mulatsih dan A. Darmawati. 2002. Pengaruh pengguludan dan pupuk kandang terhadap pertumbuhan dan produksi hijauan rumput pakan pada tanah salin. J. LitBang Propinsi Jawa Tengah 1 : 46-52. Lakitan, B. 2000. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Lillo, C. 1994. Light regulation of nitrate reductase in green leaves of higher plants. Physiol. Plantarum 90 : 616 – 620. Makoi, J.H.J.R., and H. Verplancke. 2010. Effect of gypsum placement on the physical chemical properties of saline sandy loam soil. Aust. J. Of Crop Sci. 4 (7) : 556 – 563. Mulyono. 2001. Aplikasi berbagai macam sumber kalsium dan dosis bahan organik sebagai pembenah tanah dalam usaha perbaikan sifat fisik tanah
Prosiding Semnas II HITPI
Page 454
garaman. J. Ilmu-Ilmu Pertanian 9 : 55 – 63. Munns,R.2002.Comparativephysiologyofsaltandwaterstress.Plant,CellandEnviron t.25:239-250. Orman, S. 2012. Effects of elemental sulphur and farmyard manure applications to calcareous saline clay loam soil on growth and some nutrient concentrations of tomato plants. J. Food, Agric. & Environ. 10 : 720 – 725. Padder, B.M. R. Yadav dan R.M. Agarwal. 2012. Effect of salinity and water stress in mungbean (Vigna radiata) L. Wilczek var. Hum_1. Plant Sci. Feed 2 : 130-134 Paksoy, M., O. Turkmen and A. Dursun. 2010. Effects of potassium and humic acid on emergence, growth and nutrient contents of okra (Abelmoschus esculentus L.) seedling under saline soil conditions. African J. Of Biotechnol. 9 (33) : 5343 – 5346. Sipayung, R. 2003. Stres garan dan mekanisme toleransi tanaman. USU digital library. Sitompul, S,M. dan B. Guritno. 1995. Analisa Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Steel,R.G.D.danI.H.Torrie.1991.PrinsipdanProsedurStatistika : Suatu Pendekatan Biometrik.PT.Gramedia,Jakarta. (Diterjemahkan oleh : B. Sumantri). Taiz, L. dan E. Zeiger. 1991. Plant Physiology. Sinauer Associates, Inc., Sunderland. Walpola, B.C. dan K.K.I.U.Arunakumara. 2010. Effect of salt stress on decomposition of organic matter and nitrogen mineralization in animal manure hamended soils. J. Agric. Sci. 5 : 9 – 18. Wen-Yuan, W., Y. Xiao-Fe,, J. Ying, Q. Bo dan X. Yu-Feng. 2012. Effects of salt stress on water content and photosynthetic characteristics in Iris lactea var. chinensis seedlings. Middle-East J. Sci. Res., 12 (1): 70-74. Zuccarini, P. 2008. Ion uptake by halophytic plants to mitigate saline stress in Solanum lycopersicon L., and different effect of soil and water salinity. Soil & Water Res. 3 : 62 – 73.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 455
MAKALAH PRESENTASI POSTER
Prosiding Semnas II HITPI
Page 456
RESPONS RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum Schumach) TERHADAP PUPUK UREA, KOTORAN AYAM, DAN KOTORAN SAPI SEBAGAI SUMBER NITROGEN (N) A. A. P. Putra Wibawa, I G. B. Adi Parwata, I W. Wirawan, N. L. G. Sumardani, dan I W. Suberata Fakultas Peternakan Universitas Udayana
ABSTRACT This study aims to determine the response of elephant grass to urea fertilizer, chicken manure, and cattle manure as a nitrogen source. The study used completely randomized design (CRD) with four treatments consist of P0 (without fertilizer), P1 (urea fertilizer), P2 (chicken manure) and P3 (cattle manure) and each treatment was repeated 4 times. Variables observed were grass height, number of tillers, number of leaves, leaf color, leaf area, dry weight (DW) leaves, stems, roots, , total grass, T/R (Top Root) ratio, LSR (Leaf Steam Ratio), LWR (Leaf weight ratio), LAR (Leaf Area Ratio), SLA (Specific Leaf Area), crude protein and crude fiber. The results showed that treatment with urea fertilizer gives the highest results on grass height, number of tillers, number of leaves, leaf color, leaf area, dry weight (leaf, stems, total grass), T/R ratio, and crude fiber were very significantly different (P<0.01), however the variable of LSR, LWR, LAR, SLA give the highest value but not significant different (P>0.05) among the all treatments. It concluded that urea treatment gived the best response to the growth, production, production characteristics and quality of elephant grass. Keywords: inorganic fertilizer, organic fertilizer, growth, elephant grass ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon rumput gajah terhadap pupuk urea, pupuk kotoran ayam, dan pupuk kotoran sapi sebagai sumber Nitrogen. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan 4 perlakuan yaitu P0 (tanpa pupuk), P1 (pupuk urea), P2 (pupuk kotoran ayam) dan P3 (pupuk kotoran sapi) dan setiap perlakuan diulang 4 kali. Variabel yang diamati terdiri dari tinggi rumput, jumlah anakan, jumlah daun, warna daun, luas daun, berat kering (daun, batang, akar, total rumput), T/R (Top Root) ratio, LSR (Leaf Steam Ratio), LWR (Leaf Weight Ratio), LAR (Leaf Area Ratio), SLA (Spesifik Leaf Area), kadar protein kasar dan serat kasar. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan dengan pemberian pupuk urea memberikan hasil yang tertinggi secara nyata (P<0,01) pada variabel tinggi rumput, jumlah anakan, jumlah daun, warna daun, luas daun, berat kering (daun, batang, total rumput), T/R ratio,dan kadar protein kasar, sedangkan pada variabel LSR, LWR, LAR, SLA memberikan nilai tertinggi tetapi berbeda tidak nyata (P>0,05) diantara semua perlakuan. Disimpulkan bahwa perlakuan pupuk urea memberikan respons yang terbaik pada pertumbuhan, produksi, karakteristik produksi dan kualitas hijauan rumput gajah yang dihasilkan. Kata kunci : pupuk anorganik, pupuk organik, pertumbuhan, rumput gajah
Prosiding Semnas II HITPI
Page 457
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan ternak merupakan salah satu faktor penting dalam berhasilnya usaha pengembangan peternakan. Tanpa memperhatikan faktor tersebut setiap usaha pengembangan pertenakan tidak akan berhasil seperti apa yang kita harapkan. Dalam usaha peningkatan produksi peternakan khususnya ternak ruminansia perlu disertai dengan peningkatan produksi hijauan makanan ternak baik kualitas maupun kuantitasnya. Ternak membutuhkan hijauan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, produksi dan reproduksi. Sampai saat ini masalah penyediaan hijauan makanan ternak masih merupakan masalah yang perlu diatasi, terutama didaerah yang padat penduduknya dengan populasi ternak yang cukup padat (Anon, 1984). Keterbatasan lahan terutama pada daerah-daerah yang penduduknya padat merupakan faktor penghambat dalam usaha penyediaan hijauan makanan ternak. Petani peternak di Bali mengalami kesulitan didalam menyediakan lahan khusus untuk hijauan makanan ternak sebab sebagian besar lahan yang produktif dipergunakan untuk tanaman pangan. Soegiri et al. (1980) menyatakan bahwa masalah yang dihadapi Indonesia pada umumnya adalah penyediaan makanan ternak berkualitas secara kontinu. Mendra et al. (1992) berdasarkan Evaluasi Penyediaan Hijauan Makanan Ternak menyebutkan bahwa Bali merupakan pusat pengembangan ternak di Indonesia, karena meskipun luasnya sangat kecil tetapi mempunyai populasi ternak yang cukup tinggi. Hal ini dapat terjadi karena didukung oleh banyak faktor, salah satunya adalah ketersediaan hijauan makanan ternak. Untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hijauan dapat dengan meningkatkan potensi genetik melalui pengembangan hijauan unggul seperti rumput gajah dan mengoptimalkan pengaruh lingkungan melalui pemupukan untuk mengantisipasi kekurangan pakan dan meningkatkan kualitas hijauan. Pengembangan hijauan makanan ternak unggul rumput gajah dapat dilaksanakan pada lahan yang kurang produktif. Kandungan zat gizi rumput gajah terdiri atas: 19,9% bahan kering (BK); 10,2% protein kasar (CP); 34,2% serat kasar; 11,7% abu; 1,6% lemak (Rukmana, 2005). Salah satu cara adalah dengan pemupukan lahan-lahan yang kurang produktif. Pemupukan merupakan penambahan suatu bahan yang digunakan untuk memperbaiki kesuburan tanah agar tanah menjadi lebih subur dan pemupukan pada umumnya diartikan sebagai penambahan zat hara ke dalam tanah. Pemupukan yang tepat merupakan suatu cara untuk meningkatkan kualitas hijauan makanan ternak. Novizan (2002) menyatakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari sisa-sisa mahluk hidup yang diolah melalui proses pembusukan (dekomposisi) oleh bakteri pengurai seperti kotoran ayam dan kotoran sapi. Pupuk organik mempunyai komposisi kandungan unsur hara yang lengkap, tetapi jumlah tiap jenis unsur hara tersebut rendah sehingga pupuk yang dibutuhkan dalam jumlah besar. Pupuk kandang dari ayam atau unggas memliki kandungan nitrogen (N) yang lebih besar daripada jenis ternak lain. Penyebabnya adalah kotoran padat pada unggas tercampur dengan kotoran cairnya. Umumnya kandungan nitrogen (N) pada urine selalu lebih tinggi daripada kotoran padat (Novizan, 2002). Pada pupuk kandang, dikenal istilah pupuk panas dan pupuk dingin. Pupuk panas
Prosiding Semnas II HITPI
Page 458
adalah pupuk kandang yang proses penguraiannya berlangsung cepat sehingga terbentuk panas, misalnya pupuk kandang dari ternak kambing, domba dan ayam. Pada pupuk dingin terjadi sebaliknya, perbandingan antara jumlah karbon dan nitrogen (C/N rasio) yang tinggi menyebabkan pupuk kandang terurai lebih lama dan panas yang ditimbulkan sangat rendah, misalnya pupuk kandang yang berasal dari kotoran ternak sapi dan kerbau (Novizan, 2002). Pupuk kotoran sapi adalah pupuk yang penguraiannya oleh mikroorganisme berlangsung lambat sehingga kurang terbentuk panas. Lambatnya proses pelapukan ini disebabkan oleh sifat fisik kotoran sapi terutama yang padat karena banyak mengandung lender. Bagi pupuk padat yang keadaannya demikian bila terpengaruh oleh udara maka peranan jasad renik untuk mengubah bahan-bahan yang terkandung dalam pupuk menjadi unsur-unsur hara yang tersedia dalam tanah untuk mencukupi keperluan pertumbuhan tanaman, mengalami hambatan. Kotoran sapi tersebut menjadi keras, selanjutnya air tanah dan udara yang melajukan pupuk itu menjadi sukar menembus kedalamannya (Sutejo, 2001). Anon (1991) melaporkan kandungan unsur hara utama kotoran sapi adalah 0,6% N; 0.15% P 2O5; 0.45% K2O dan kandungan airnya 86%, sedangkan hasil analisa kotoran sapi adalah N total 0,749%, P tersedia 47,83 ppm dan K tersedia 627,53 ppm (Kartasapoetra, 1984). Kandungan unsur hara beberapa jenis pupuk kandang seperti yang berasal dari kotoran ayam adalah 1,00% N; 0,80% P; 0,40% K, dan kotoran sapi adalah 0,40% N; 0,20% P; 0,10% K (Setiawan, 2002). Tersedianya unsur hara dalam tanah sangat diperlukan oleh tanaman untuk mempertahankan pertumbuhannya. Menurut Reksohadiprodjo (1985) bahwa nitrogen adalah unsur yang mempunyai pengaruh paling jelas dan cepat terhadap pertumbuhan tanaman. Selanjutnya Rinsema (1986) menyatakan bahwa nitrogen berperan sangat penting dalam pembentukan protein. Purwowidodo (1992) menyatakan pemupukan nitrogen mempunyai peranan penting untuk memperlebar daun, pembentukan klorofil, dan meningkatkan kandungan protein pada tanaman. Ditinjau dari permasalahan di atas dan dalam usaha meningkatkan produksi hijauan makanan ternak maka dilakukan penelitian respon rumput gajah terhadap kotoran kambing, kotoran ayam, kotoran sapi sebagai sumber Nitrogen (N). MATERI DAN METODE 2.1. Materi Penelitian Dalam penelitian ini digunakan bahan-bahan sebagai berikut : a. Bibit Rumput Gajah Bibit rumput digunakan dalam penelitian ini adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach). Bibit rumput gajah ini berupa anakan dengan tinggi 9 cm. Rumput ini diperoleh dari Sentra Peternakan, Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung Propinsi Bali. b. Pupuk Pupuk yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pupuk organik antara lain pupuk kotoran kambing, pupuk kotoran ayam, pupuk kotoran sapi dengan. Prosiding Semnas II HITPI
Page 459
2.2. Metode Penelitian 2.2.1 Rancangan percobaan Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dengan empat ulangan. Perlakuan tersebut adalah P0 (tanpa pupuk); P1 (pupuk urea); P2 (pupuk kotoran ayam); dan P3 (upuk kotoran sapi). 2.2.2 Pengamatan Variabel pertumbuhan yang diamati meliputi : tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah daun, warna daun, dan luas daun Variabel produksi yang diamati adalah berat kering (daun, batang, akar), Top Root Ratio, Leaf Stem Ratio (LSR), Leaf Weight Ratio (LWR), Leaf Area Ratio (LAR), dan Specific Leaf Area (SLA). 2.2.3 Analisis Statistik Data dianalisis dengan sidik ragam dan bila hasil analisis menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Torrie, 1991). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon pertumbuhan pada rumput gajah (Pennisetum purpureum, Schumach) secara analisis statistik berbeda sangat nyata (P<0,01) pada semua perlakuan kecuali pada semua variabel antara perlakuan pupuk urea dengan pupuk kotoran ayam berbeda nyata (P>0,05) dan pada variabel tinggi tanaman antara perlakuan pupuk kotoran sapi dengan tanpa perlakuan pupuk berbeda tidak nyata (P>0,05). Respon rumput gajah pada semua variabel pertumbuhan yang tertinggi dicapai pada perlakuan pupuk urea dengan perlakuan yang lainnya. Hal ini disebabkan karena pupuk urea bersama air segera dapat dihidrolisis menjadi amonia dan karbondioksida yang mudah diserap oleh tanaman untuk pertumbuhan vegetatif tanaman seperti daun, batang dan akar. Jika urea sudah diubah menjadi amonium akan diserap oleh partikel tanah dan mudah tersedia bagi tanaman (Sutejo dan Kartasapoetra, 1988). Kemudian Winarso (2005) menyatakan, pupuk urea ini setelah diaplikasikan ke dalam tanah secara cepat dihidrolisa oleh enzim urease menjadi amonium. Sedangkan perlakuan pupuk organik harus melalui proses aminisasi, amonifikasi serta nitrifikasi. Simamora, S. dan Salundik (2006) menyatakan, nitrogen organik yang dibenamkan ke tanah merupakan bentuk humus yang tidak dapat secara langsung diserap oleh tanaman tetapi perlu mengalami mineralisasi terlebih dahulu yang terdiri dari aminisasi, amonifikasi dan nitrifikasi. Semakin cepat tersedianya nitrogen dalam tanaman akan menyebabkan sintesis karbohidrat dalam tanaman semakin cepat pula (Soetejo dan Kartasapoetra, 1987). Karbohidrat yang dihasilkan melalui proses fotosintesis dengan adanya nitrogen yang lebih tinggi digunakan untuk membentuk bagian vegetatif tanaman sehingga tanaman tumbuh lebih tinggi, jumlah daun, jumlah anakan semakin banyak. Agustina (2004) menyatakan dengan pemberian pupuk nitrogen akan meningkatkan pertumbuhan bagian-bagian tanaman. Perlakuan pupuk urea memberikan respon yang paling tinggi pada jumlah daun indukan disebabkan semakin tinggi batang menyebabkan jumlah buku-buku tempat tumbuhnya daun semakin banyak sehingga jumlah daun akan bertambah banyak.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 460
Jumlah daun yang banyak akan memperbanyak dan memperluas penyerapan sinar matahari sebagai energi untuk kebutuhan fotosintesis, sehingga jumlah anakan akan bertambah. Banyaknya anakan serta rumput yang lebih tinggi maka jumlah daun juga paling banyak. Purwowidodo (1992) menyatakan, pemupukan nitrogen mempunyai peranan penting untuk memperlebar daun, pembentukan klorofil, dan meningkatkan kandungan protein pada tubuh tanaman. Daun yang lebar memiliki permukaan yang luas sehingga cahaya matahari yang diserap daun melalui stomata akan lebih tinggi. Wong (1991) menyebutkan cahaya matahari sangat berpengaruh kepada tiller/anakan tanaman yaitu semakin tinggi cahaya matahari maka semakin banyak jumlah anakannya. Luas daun yang paling tinggi pada perlakuan urea disebabkan jumlah anakan yang paling banyak dibandingkan perlakuan lainnya. Peningkatan luas daun dan bertambah tingginya tanaman ini diikuti dengan meningkatnya total berat kering hijauan. Hasil ini mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan proses fotosintesis dengan semakin lebarnya daun, sehingga berat kering yang dihasilkan semakin tinggi. Gardner et al. (1991) menyatakan laju fotosintesis akan meningkat dengan meningkatnya luas daun tanaman sehingga pertumbuhan tanaman semakin baik. Perlakuan pupuk urea juga menunjukkan warna daun yang lebih gelap dibandingkan perlakuan lainnya dan secara statistik berbeda sangat nyata (P<0,0l). Hal ini disebabkan pemberian N yang mencukupi akan mendukung terjadinya reaksi fotosintesis, pertumbuhan vegetatif yang cepat, dan warna daun menjadi lebih gelap. Disamping itu pemberian N mempengaruhi penggunaan karbohidrat, jika pasokan kurang maka karbohidrat akan didepositkan di dalam sel-sel vegetatif (Purwowidodo, 1992). Tabel 3.1 Respon pertumbuhan rumput gajah terhadap pupuk urea, kotoran ayam, kotoran sapi dan tanpa perlakuan No
Variabel P0
1 2 3 4 5
Tinggi Tanaman (Cm) Jumlah Daun (Helai) Jumlah Anakan (batang) Warna Daun Luas`Daun (cm 2)
P1
Perlakuan P2
SEM P3
59,25b
73,88a
72,50a
60,13b
2.498
20,50c 3,00c 3,00d 1021,88c
51,25a 6,75a 6,25a 4652,27a
45,50a 6,75a 5,00b 4340,99a
34,75a 5,00b 4,00c 2500,11b
2.387 0.530 0.125 194.086
Keterangan : 1. P0 = tanpa pupuk (kontrol), P1 = pupuk urea, P2 = pupuk kotoran ayam dan P3 = pupuk kotoran sapi. 2. Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P > 0,05); nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05). 3. SEM = ”Standard Error of the Treatment Means”
Produksi berat kering oven akar tertinggi pada perlakuan pupuk kotoran ayam namun secara analisis statistik berbeda tidak nyata (P>0,05) dengan perlakuan pupuk urea dan pupuk kotoran sapi kecuali tanpa perlakuan pupuk berbeda nyata (P>0,05) dibandingkan perlakuan lainnya dan produksi berat kering oven akar paling rendah. Berat kering oven akar yang tertinggi pada perlakuan pupuk kotoran ayam ini disebabkan nitrogen yang diserap oleh partikel tanah sebagian besar menyebabkan akar yang tumbuh lebih subur dan lebih lebat Prosiding Semnas II HITPI
Page 461
dibandingkan perlakuan lainnya. Berat kering oven batang yang dihasilkan tertinggi pada perlakuan pupuk urea karena pertumbuhan batang paling tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Berat kering oven daun pada perlakuan pupuk urea menghasilkan produksi yang tertinggi disebabkan jumlah daun yang tumbuh paling banyak. Luas daun yang tertinggi pada perlakuan urea juga menyebabkan produksi berat kering oven daun paling tinggi. Purwowidod (1992) menyatakan, pemupukan nitrogen mempunyai peranan penting untuk memperlebar daun, pembentukan klorofil, dan meningkatkan kandungan protein pada tanaman. Tabel 3.2 No
Respon Produksi rumput gajah terhadap pupuk urea, kotoran ayam, kotoran sapi dan tanpa perlakuan Variabel P0
1 2 3 4 5 6 7 8
Berat Daun (gr) Berat Batang (gr) Berat Akar (gr) LSR LWR T/R LAR (Cm2g-1) SLA (Cm2g-1)
Perlakuan P1 P2
SEM P3
14,41c
34,00a
31,82a
20,73b
0,721
33,50c 18,90b 0,76a 0,43a 1,77b 30,52b 70,78b
76,81a 30,83a 0,80a 0,45a 2,50a 61,00a 136,97a
71,77a 31,02a 0,81a 0,45a 2,33a 60,84a 136,14a
46,21b 28,67b 0,81a 0,45a 1,63b 54,30a 121,69a
2,059 1,340 0,048 0,015 0,110 3,982 7,283
Keterangan : 1. P0 = tanpa pupuk (kontrol), P1 = pupuk urea, P2 = pupuk kotoran ayam dan P3 = pupuk kotoran sapi. 2. Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P > 0,05); nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05). 3. SEM = ”Standard Error of the Treatment Means”
Rasio berat kering oven daun dan berat kering oven batang (LSR), ratio berat kering oven daun dan berat kering total (LWR) pada semua perlakuan secara statistik berbeda tidak nyata (P>0,05) menunjukkan bahwa karakteristik produksi rumput gajah adalah sama. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan rumput gajah berjalan seimbang antara batang dengan daun walaupun kecenderungan semakin subur rumput gajah nilai LSR dan LWR semakin kecil. Ratio luas daun dengan berat kering oven daun (SLA), ratio luas daun dengan berat kering oven total (LAR) pada semua perlakuan pupuk secara statistik berbeda tidak nyata (P>0,05), kecuali pada tanpa perlakuan pupuk berbeda sangat nyata (P<0,01). Hal ini disebabkan pertumbuhan rumput gajah antara luas daun dengan produksi berat kering oven daun dan berat kering oven batang berjalan seimbang, sedangkan pertumbuhan luas daun rumput gajah tanpa perlakuan paling kecil dan tidak seimbang dengan produksi berat kering oven daun dan berat kering oven batang. Efisiensi pemanfaatan nitrogen yang diserap oleh rumput gajah setelah penelitian yang tertinggi dihasilkan pada perlakuan pupuk urea, disusul perlakuan pupuk ayam, perlakuan pupuk kotoran sapi disebabkan penyerapan nitrogen tersedia lebih cepat pada pupuk urea disusul perlakuan lainnya dan hasilnya ditunjukan pada respon pertumbuhan, produksi, karakteristik dan kualitas hijauan yang tertinggi. Jika urea sudah diubah menjadi amonium akan diserap oleh Prosiding Semnas II HITPI
Page 462
partikel tanah dan mudah tersedia bagi tanaman (Sutejo dan Kartasapoetra, 1988). Kemudian Winarso (2005) menyatakan, pupuk urea ini setelah diaplikasikan ke dalam tanah secara cepat dihidrolisa oleh enzim urease menjadi amonium. Sedangkan perlakuan pupuk organik harus melalui proses aminisasi, amonifikasi serta nitrifikasi. Simamora dan Salundik (2006) menyatakan, nitrogen organik yang dibenamkan ke tanah merupakan bentuk humus yang tidak dapat secara langsung diserap oleh tanaman tetapi perlu mengalami mineralisasi terlebih dahulu yang terdiri dari aminisasi, amonifikasi dan nitrifikasi. SIMPULAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. Perlakuan pupuk urea, pupuk kotoran ayam, pupuk kotoran sapi memberikan respon yang nyata terhadap pertumbuhan, produksi, karakteristik produksi dan kualitas hijauan rumput gajah. 2. Perlakuan pupuk urea menghasilkan respon pertumbuhan, produksi, karakteristik produksi dan kualitas hijauan yang tertinggi dibandingkan perlakuan pupuk lainnya. 3. Perlakuan pupuk organik belum mampu mengimbangi dan belum mampu memberikan respon yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan pupuk anorganik. 4. Pupuk kotoran ayam memberikan respon yang lebih baik dari pupuk kotoran sapi. DAFTAR PUSTAKA Agustina, L. 2004. Dasar Nutrisi Tanaman. Jakarta. PT. Rineka Cipta. Anon, 1984. Pengaruh Jenis Tanah dan Pupuk Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Lamtoro Gung. Fakultas Pertanian, Universitas Udayana Bali. Anon, 1991. Kesuburan Tanah. Jakarta. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Gradner, P.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta Kartasapoetra, A.G. 1984. Dasar-dasar Agribisnis, Penerbit Satelit. Bandung. Mendra, I.K. 1992. Evaluasi Penyediaan Hijauan Makanan Ternak di Delapan Kabupaten di Bali. Tim Ahli Makanan Ternak bekerjasama dengan Dinas Peternakan Propinsi Dati I Bali. Novizan, 2002. Petunjuk Pemupukan Yang Efektif. Penerbit PT. Agro Media Pustaka, Jakarta. Purwowidodo. 1992. Telaah Kesuburan Tanah. Bandung. Penerbit Angkasa. Rahmat Rukmana, H. 2005. Rumput Unggul (Hijauan Makanan Ternak). Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Hijauan Makanan Ternak Tropik. Yogjakarta. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada Rinsema, W.J., 1986. Pupuk dan Cara Pemupukan. Terjemahan H.M. Saleh. Bhatara Karya Aksara, Jakarta.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 463
Setiawan, A.I. 2002. Memanfaat Kotoran Ternak, Penerbit PT. Penebar Swadaya, cet-2 Jakarta. Simamora, S. dan Salundik. 2006. Meningkatkan kualitas kompos. Penerbit PT.Agro Media Pustaka, Jakarta. Soegiri, J.,H.S. Ilyas dan Damayanti. 1980. Mengenal Beberapa Jenis Hijauan Makanan Ternak Daerah Tropika. Direktorat Bina produksi Peternakan, Direktorat Jendral Peternakan, departemen Pertanian. .Soepardi, G., 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Dept. Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sutejo, M.M., A.G.Kartasapoetra. 1988. Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta. Bina Aksara. Sutejo, M.M., 2001. Pupuk dan Cara Pemupukan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Steel, R.G.D. dan J. H. Torrie., 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik, Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi II, Terjemahan B. Soemantri. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wong, C.C. 1991. Shade Tolerance of Tropical Forage. Proceding of Workshop Forages for Plantation Crops. Ed by Shelton, H.M. and Sturr, W.W. ACIAR No. 32 : 64
Prosiding Semnas II HITPI
Page 464
COMPONENTIAL ANALYSIS OF FORAGES LEXEMES IN KISAH-KISAH TANTRI (TANTRI’S STORIES) I G. Ag. I. Aryani, I G.L.Oka and A.A.A. S. Trisnadewi
[email protected] Faculty of Animal Science, Udayana University, Jl. PB. Sudirman, Denpasar, Bali
ABSTRAK Penelitian dalam bidang ilmu linguistik bersifat luas sehingga terminologi ataupun kosakata tertentu dalam bidang lainpun dapat diteliti. Analisa komponen yang dilakukan dalam Kisah-Kisah Tantri ini cukup menarik untuk diteliti, terutama bila dikaji dari sudut pandang makna yang terkandung dalam taksonomi serta oposisi hijauan pakan dan kaitannya sebagai makanan hewan. Fable yang ditemukan terkait dengan hewan beserta aktivitas yang dilakukan yaitu makanan yang dicari oleh hewan tersebut berupa tumbuh-tumbuhan menjadi hasil penelitian untuk mengetahui notasi semantik terbentuk dari komponen kata-kata tersebut. Walaupun cerita dalam fable ini bersifat naratif namun sisi ilmiahnya tetap bisa dikaji secara tidak langsung dari makna logis yang terkandung dalam leksikal yang ada. Sinonim dalam leksikal umumnya ditemukan ditinjau secara domain semantik sebab keterkaitan antara leksikal terlihat jelas dalam pemaknaan taksonomi maupun oposisi. Sedangkan, alih bahasa dari bahasa Indonesia sebagai bahasa target ke bahasa Inggris sebagai bahasa sasaran dilakukan untuk mengamati perubahan makna leksikal selanjutnya dalam komponen kata. Kata Kunci: komponen, taksonomi, oposisi, leksikal, semantik ABSTRACT Linguistic is a universal study of language in which terminology or particular vocabularies in other studies can be done through research. Componential Analysis in Tantri‟s stories is quiet interesting to be analyzed, especially meaning of forage lexemes inserted in the taxonomy, opposition of forage as the animals feed relations. Fables found in this research have relationship with animals and their activities of searching forages as result of research in order to notify semantic notation in lexemes component. Even though fable is a narrative story, but scientific part can still be analyzed indirectly from logical meaning of those lexemes. Majorly, words synonym was found in the semantic domain since relation of words could be visualized from their taxonomies and oppositions. Meanwhile, transfer of languages from Indonesia as Source Language (SL) into English as Target Language was carried out to observe further changes of word meanings in their components. Keywords: component, taxonomy, opposition, lexemes, semantics INTRODUCTION Componential analysis is a method or technique to analyze meaning of words or phrases, in both semantic and cultural description. It aims to construct verifiable models of how specific words and expressions in any one language of cultural or ideational content are coherently organized to another. Systematically, Prosiding Semnas II HITPI
Page 465
it has been directed primarily at contrasting the sets of denotation of the several expressions within single domains or sub domains. According to Leech (translated by Partana, 2003), componential analysis could be observed in the process of separating words meaning within their particular characteristics or components. Besides, lexemes could be translated in order to see their relationship mentioned by Larson (1998:72): within a given language, words have various kinds of relationships to other words of that language. The relationships of one word as being more generic an another as being a specific that generic word is common to all languages. Those who have studied botany are familiar with these kinds of relationships between words. These relationships are called taxonomies. The above linguists stated that certain words are grouped together in a language and given in class name, a more generic word which includes all set of words. This generic term is a class of word and meaning is also found in two or more different words which are more specific and have additional components of meaning as well as the meaning of generic term. Specific-generic concept can be useful in analyzing vocabulary of both source language and receptor language besides looking for equivalents in translation. As part of the linguistic study, language research could be analyzed dealing with spoken language and written language (or text). Tantri‟s stories are famous in Indonesia, especially at Java and Bali. Previously, these stories came from India and then widely spread to Europe and Asia, including Indonesia. Tantri was the name of a girl who told the stories for the king, all social class and also children. In this research, lexemes (words) applied in Tantri‟s stories that specified on forages and its relationship with the animals were analyzed using componential analysis to give justification, besides contrast and combination meanings to get relevant data needed. The components are selected on the basis of (1) their cultural relevance and (2) number of contexts in which they occur. The choice of components is subject to subjectivity as the determining of themes of a culture. Problems encountered in Tantri‟s stories, as of: 1. There are various types of stories and each of them has their style of language to present the stories. Through this research, content and meanings of words in text were analyzed whether part of story has a relationship within the forages lexemes and animals as the characters in the story. 2. Through investigation, exploration of a “semantic field,” an area of semantically related terms such as kinship terms, can be plotted in various components, e.g. sex, age, size, affinity, etc. which may be evident in any particular system. Their still remains difficulty to relate various meanings of individual terms so that the area of 3. Meaning covered by a word may be understandably relatable to the culture in which it is employed. 4. Specific-generic of forage words through their types of opposition may differ in a language, particularly in taxonomies analyzed through their components of meaning between lexical items since Indonesian as SL (Source Language) and English as TL (Target Language). Linguistic is a universal knowledge, not only dealing with humans‟ language but could also deal with non human or species, plant, etc. In that case,
Prosiding Semnas II HITPI
Page 466
the main objective of this research was to analyze the component of forage lexemes found in Tantri‟s stories that has relationship with specified animals. It concerned solely with the signification aspect of word(s) meaning in contrast or combination of meanings to obtain a relevant data. METHODS The componential analysis in Tantri‟s stories was using theory of Geoffrey Leech, Semantics (translated by Partana, in Geoffrey Leech Semantik, 2003). There were 30 (thirty) stories were selected in Kisah-Kisah Tantri written by Made Taro (2009) for their genre or types of stories which related to specified animals, such as: sheep, cattle, buffalo and donkey through verbal activities with forages. Then, these suitable sentences in parts of paragraph were taken to analyze the components of lexemes according to their taxonomies by using symbols +, -, ± , #,*, ->, <- as semantics notation, classified into specific-generic of forage lexemes (words) through their types of opposition and defined their logical consequences. Relationship of words was compared in conversion sentences to observe result of contradiction that could occur in the semantic domain of words. Indonesian as SL (Source Language) found in parts of paragraph in the text was translated into English as TL (Target Language) for the purpose of meaning. RESULTS AND DISCUSSION Genre in Tantri’s stories In general, there are 3 (three) types of stories and these are considered when choosing it to be told or communicated to others. The genre or categories of stories consist of: a. Traditional stories, include: - Folktale is a traditional story retell to ordinary people from generation to generation using characters that are well-known in a culture. The type of folktale is a fairy-tale (story involving fantastic imaginary beings like giants, witches, fairies). - Legend is a story based on the life of a real person in which took place in a certain area with some divine element. - Epic is a long story that tells the adventure of heroes or heroines. - Myth is a story about divine character, originated in ancient times, especially dealing ideas or beliefs, or explaining natural events and human nature. - Fable is a short moral story using animals as characters. b. Personal experience story is a life story from our own or our family's experience. c. Created stories often involve elements from personal experience stories and traditional stories. Examples: parable is a story told to illustrate a moral or spiritual truth and tall tale is an exaggerated story and often presented in humorous. Classification of genre found in 30 (thirty) Tantri's stories (Kisah-Kisah Tantri), as below:
Prosiding Semnas II HITPI
Page 467
Table 1 Genre
Categorization
Total (%)
8 1 0 1 17
27 3 0 3 57
0
0
1 0
3 0
Traditional stories: a. Folktale b. Legend c. Epic d. M yth e. Fable Personal experience story: Biography Created stories: a. Parable b. Tall tale
In this research, animals as characters and parts of their behaviors with the environment in these fables were analyzed. There were 57% of fables found in the genre of Kisah-Kisah Tantri written by Made Taro which meant that Tantri as the story teller concerned to introduce the readers and listeners to the natural life of animals including their environment. Majority events of stories were taken part in the jungle as places for the animals to shelter and find their feed. It showed that there were close relationship between animals and environment since these species need each other for their living. However, further selection had been done to those fables particularly in finding the one which paragraph concerned on verbal or nouns had relationship with forages lexical items. Then, from those fables only 5 (five) stories concerned with specified forages and animals found in parts of their paragraph of verbal and nouns. Further analysis on their components of lexical items was shown below. 3.2 Meaning Component of Forages Lexemes A word (lexeme) in a sentence is built up into smaller components of meaning and can be classified according to shared and differentiating features on how the members of the set are related to one another. In 5 (five) stories of KisahKisah Tantri found forages lexemes as mentioned from the following table: Table 2 Title of S tory Kambing Pemberani
Paragraph 1st Paragraph
21st paragraph
Forages Lexical items
S ource Language
Target Language
Ni M esaba, seekor kambing betina, baru saja sembuh dari sakit keras. Ia ingin badannya tetap sehat dan gemuk kembali. Bersama anaknya, Ni Wiwingsali, ia pergi ke hutan. Di hutan itu ia bebas memilih segala jenis daundaunan dan rumput-rumputan yang segar. Kedua kambing itu berpelukan lalu kembali mencari daun-daunan yang segar.
Ni M esaba, a female goat, has just recovered from her illness. She wanted to be healthy and fat again. So, she went to the jungle with her daughter, Ni Wiwingsali. She was free to search for fresh leaves and grasses in the jungle.
daun-daunan dan rumputrumputan yang segar (fresh leaves and grasses)
Both goats hug each other and then they continued to search for fresh leaves.
daun-daunan yang segar (fresh leaves)
Prosiding Semnas II HITPI
Page 468
Sahabat Baru Sang Banteng
2nd paragraph
“Bernyanyilah kamu, Pipit dan Jalak,”kata sang Banteng. Pipit dan Jalak itupun bernyanyi bersahut-sahutan. Sang Banteng duduk tenang sambil mengunyah rumput.
"Go on whistling!" said the Buffalo to the sparrow and starling birds. Then those birds whistle together. The buffalo sat gently and chewed grasses.
rumput (grasses)
Title of Story
Paragraph
Source Language
Target Language
I Botol M encari Hakim
13th paragraph
“Tuan Sapi”kata kedua hewan bersengketa itu kepada seekor sapi yang sedang merumput. “Berilah kami keputusan yang adil,”katanya setelah menceritakan perkaranya.
Yang Bernyanyi itu, Keledai
2nd paragraph
Keledai Tanpa Hati dan Telinga
9th paragraph
Seperti biasanya pada malam hari, keledai itu merumput di sebuah kebun yang cukup luas. “Salahmu sendiri, Sahabat! Kamu tidak berani meninggalkan rumah, padahal di balik hutan sana terhampar rumput hijau. Banyak kambing yang merumput disitu. M ereka semua gemuk dan makan sekehendaknya tanpa gangguan manusia.”
"Your M ajesty" said the two quarreling animals to the cattle that was browsing. "Give us a fair decision," they said after explaining their cases to the cattle. As usual, at night that donkey was browsing in a quite large garden.
Forages Lexical items merumput (browsing)
"That's your own fault, my friend! You are not brave enough to leave your house, whereas there were green grasses spread out in the forest. M any goats browsing over there. They are all fat and eat what they wanted without being disturbed by human."
merumput (browsing)
merumput (browsing)
In relation with forage as feed for the animals, Wodzika, M. et. al. (1989) conveyed that selectivity or preferences differ between herbivorous species. However all species prefer to eat leaf rather than stem and green (young) material in preference to dry (old) material. Especially for goats, they like to browse taking leaves bark off trees and weeds. Through analysis in Table 2 showed that species selected as of: goats, cattle, buffalo, and donkey preferred to eat leaves, grasses, and even browsing in their environment. The meaning components of feed preferred by those ruminants can be classified into 2 (two) dimensions: 'feed preferences' and 'measurement of forages'; third dimension were overall isolated within species of "forage" and "non forage" as described in the following meaning dimensions with symbols: +FORAGE +BIG (SIZE) +FRESH -FORAGE -BIG (SIZE) -FRESH In particular cases, these lexemes could be used into 2 (two) separated dimension of meanings which symbolized as ± in the purpose of separating species of nonhuman. Component of meanings in Kisah-Kisah Tantri (Tantri's stories) can be described as below: leaves : +FORAGE ± BIG (SIZE) ± FRESH grasses : +FORAGE ± BIG (SIZE) ± FRESH browsing : (0FORAGE) ± BIG (SIZE) ± FRESH The lexemes of leaves and grasses defined as component of forage with various sizes can be big or not big (e.g. small, medium, short, long) and differ of freshness Prosiding Semnas II HITPI
Page 469
which could be significantly fresh or not fresh (i.e. dry). In accordance to size of forage, the ruminants (i.e. goat, cattle, buffalo, donkey) can eat various sizes of forage or leaves. Grasses preferred to be eaten if they could not find leaves in their surroundings as mention in Tantri's stories. Characteristics of the lexeme showed synonym in their semantic domains as of: Ni Mesaba and Ni Wiwingsali (Goats) ± leaves ± grasses Sang Banteng (buffalo) ± leaves ± grasses Tuan Sapi (cattle) ± leaves ± grasses Keledai ± leaves ± grasses Meanwhile, browsing is not forage but the activity (verbal) of ruminants to search for feed in which find various kinds and sizes of forages can be found, including its freshness that depends on their environment in accordance with the condition in the jungle. Mainly, ruminants prefer browsing rather than grazing in animal science as mentioned in part of sentence (table 2): a.. .......... seekor sapi yang sedang merumput.(SL) ...........the cattle that was browsing. (TL) b. ............ keledai itu merumput di sebuah kebun yang cukup luas. (SL) ............ donkey was browsing in a quite large garden. (SL) c. ........... Banyak kambing yang merumput disitu. (SL) ............ Many goats browsing over there. (TL) Componential Analysis of Taxonomy Oppositions Research concerning on biological names and taxonomies had been done by Tuominen et al. (2011). They stated that every species belongs to some genus and every genus belongs to a higher taxon. Taxon boundaries may vary according to different studies and multiple simultaneous views of taxon limits could occurred of the same organism group. Their research was concerned on separating taxonomic concepts from scientific and vernacular names. Biological names collected for vascular plants, several species list of different animal groups and collection of Afro-tropical beetles. They found that 'subclass of' relation was used to express taxonomic hierarchy, a taxon would incorrectly be an instance of higher taxon ranks, e.g., a species would be an instance of the class genus. However, the research of taxonomies in Kisah-Kisah Tantri (Tantri's stories) analyzed differently in terms of forage words on taxonomic meaning including oppositions and their relation as feed for the animals. In Tantri's stories, componential analysis was used to give justification on the lexical items (words) in a sentence, contrast and combination of meanings essential in giving relevant data. In this case, entailment used to support definition of cause relationship between words. The justification can be found by using the equivalent concept of synonymy in a sentence. In addition, word(s) in a sentence can be evaluated for its truth through mind concept. Taxonomy used to give category of composition to lexical items and contrast between them is absolute. The types of taxonomy and oppositions found in Tantri's stories:
Prosiding Semnas II HITPI
Page 470
a. Multiple taxonomy: semantic opposition involved more than two terms or meaning in giving entailment by partial territory and definition of logical consequences can be found in parts of paragraph, as of: - Ia ingin badannya tetap sehat dan gemuk kembali. (SL) She wanted to be healthy and fat again. (TL) „healthy‟ (*EWE) „fat‟ (#EWE)
The above sentence can be defined into: 'Ni Mesaba wanted to be healthy' 'Ni Mesaba wanted to be fat' (note: Ni Mesaba refers to name of a mature female goat, specifically ewe in animal science) - Di hutan itu ia bebas memilih segala jenis daun-daunan dan rumputrumputan yang segar. (SL) She was free to search for fresh leaves and grasses in the jungle. (TL) „leaves‟ (*FORAGE) „grasses‟ (#FORAGE)
The above words in the diagram can be defined into: 'Ni Mesaba was free to search fresh leaves in the jungle' 'Ni Mesaba was free to search fresh grasses in the jungle' (note: Ni Mesaba refers to name of a mature female goat, specifically ewe in animal science) - Kedua kambing itu berpelukan lalu kembali mencari daun-daunan yang segar. (SL) Both goats hug each other and then they continued to search for fresh leaves. (TL) „ewe‟ (*LEAVES) „kid‟ (#LEAVES)
The above words in the diagram can be defined into:
Prosiding Semnas II HITPI
Page 471
'Ni Mesaba continued to search for fresh leaves' 'Ni Wiwingsali continued to search for fresh leaves' (note: Ni Mesaba refers to name of a mature female goat (ewe) and Ni Wiwingsali is a kid) b. Relative opposition Relative opposition in Tantri's stories can be observed through relation between lexicemes in direct contrast were described into their definition and extended between two poles. The visual analogy of lexemes was equalized with logical characteristics in polar opposition and contrasts between two characteristics were shown in both arguments (diagram A1 and A2) that could be related ordinal. Feed preference (leaves and grasses) in A1 related with specific animals in A2 (e. g. goat, buffalo, cattle and donkey) were analyzed using polarities by maintaining lexical item or argument conversion of lexical position: A1
'feed of' ( -> FEED)
A2
'ruminants eat' (<- FEED)
(1) Leaves and grasses are feed of goat, buffalo, cattle and also donkey. (2a) Goat, buffalo, cattle, and donkey are ruminants which eat leaves and grasses. The result of opposition showed that there were close relation between lexemes. CONCLUSION It can be concluded that componential definition enable researcher to give characteristics on the relation of meaning to particular lexemes with their truth. Through naming, paraphrasing, defining and classifying, componential analysis was a useful approach to determine the meaning of forage lexemes within relation of animal‟s lexemes in Kisah-Kisah Tantri (Tantri‟s stories). REFERENCES Larson, Mildred. L. Meaning-Based Translation. A Guide to Cross – Language Equivalence. Second Edition. 1998. University Press of America, Inc. Lanham. New York. Oxford. Taro, Made. 2009. Kisah-Kisah Tantri, Publisher: Sanggar Kukuruyuk, Denpasar. Partana, P. 2003. Semantik (translation of Semantics: Leech, G., 1974). Pustaka Pelajar Offset. Yogyakarta. Tuominen, J. et al. 2011. Biological Names and taxonomies on the Semantic Web – Managing the Change in Scientific Conception. Aalto University School of Science and the University of Helsinki. http://www.seco.tkk.fi/ Wodzicka, M. et.al 1989. Behaviour in Relation to Animal Production in Indonesia, IPB – Australia Project and Balitnak
Prosiding Semnas II HITPI
Page 472
PEMANFAATAN BAKTERI PELARUT FOSFAT UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KUDZU TROPIKA (Pueraria phaseoloides Benth.) Roni NGK, NM Witariadi, NN Candraasih K, dan NW Siti Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar Email:
[email protected]
ABSTRAK Unsur Posfor (P) merupakan salah satu unsur hara essensial bagi tanaman yang ketersediaannya sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Pada tanah masam, sebagian besar dari P yang diberikan akan membentuk senyawa yang tidak larut dan tidak tersedia bagi tanaman. Bakteri pelarut fosfat (BPF) merupakan salah satu mikroorganisme tanah yang dapat memperbaiki penyediaan P pada tanah masam. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh bakteri pelarut fosfat terhadap produktivitas tanaman kudzu tropika dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan yaitu tanpa isolat (I0), isolat pembanding (I1), isolat B.80.1649-1 (I2) dan isolat B.80.1649-8 (I3), masingmasing perlakuan diulang sebanyak empat kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua isolat hasil isolasi dan seleksi mampu meningkatkan panjang tanaman, jumlah daun, berat kering tajuk, berat kering akar, kadar P tajuk, serapan N, serapan P dan produksi protein kasar tanaman kudzu tropika (Pueraria phaseoloides Benth.). Kemampuan isolat B.80.1649-1 lebih tinggi daripada isolat B.80.1649-8, dan tidak berbeda dengan isolat pembanding. Kata kunci : Bakteri Pelarut Fosfat, Posfor, Kudzu Tropika PENDAHULUAN Kudzu tropika merupakan salah satu legum makanan ternak unggul yang diandalkan sebagai sumber protein dan mineral di daerah tropis, serta disukai ternak (Mannetje dan Jones, 2000). Usaha perluasan lahan penanaman tanaman pakan diarahkan pada pemanfaatan lahan marginal. Umumnya lahan yang digunakan adalah lahan kelas IV ke atas yang merupakan lahan marginal dengan pH rendah dan ketersediaan unsur hara terbatas. Tanah di Indonesia umumnya bereaksi masam dengan pH 4.0–5.5 (Hardjowigeno 1995). Produktivitas tanaman tergantung kepada nutrisi tanaman yang sebagian besar diambil dari dalam tanah. Fosfor relatif tidak mudah tercuci seperti N, tetapi karena pengaruh lingkungan maka statusnya dapat berubah dari P yang tersedia bagi tanaman menjadi tidak tersedia. Unsur P merupakan salah satu unsur essensial bagi tanaman yang ketersediaannya sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Pada tanah masam, sebagian besar dari P yang diberikan akan bersenyawa dalam bentuk Al-P, Fe-P dan occluded-P yang tidak larut dan tidak tersedia bagi tanaman. Hasil-hasil penelitian menunjukkan hanya 10–30 % dari jumlah P yang diberikan dapat diserap oleh tanaman, sisanya dikonversi ke dalam bentuk senyawa yang tidak larut dan tidak tersedia bagi tanaman dan sebagian kecil hilang melalui air perkolasi (Jones 1982). Oleh karena itu, pemupukan P dalam jumlah besar dan dilakukan secara terus menerus dapat menyebabkan terjadinya penimbunan P dalam bentuk terfiksasi di dalam tanah. Prosiding Semnas II HITPI
Page 473
Penggunaan pupuk kimia secara berlebihan selain menyebabkan pencemaran tanah dan air dengan zat kimia yang terkandung pada pupuk, juga menyebabkan pencemaran zat radioaktif ke lingkungan. Daerah-daerah pertanian mempunyai konsentrasi zat radioaktif lebih tinggi dibandingkan penggunaan lahan lain, dan konsentrasi lebih tinggi terdapat pada daerah pertanian intensif (Udiyani 2002). Keputusan pemerintah menghapuskan subsidi pupuk mengakibatkan harga pupuk menjadi mahal. Apabila ketersediaan P dapat diusahakan dari residu yang ada melalui aplikasi bioteknologi dengan memanfaatkan mikroorganisme tanah yang potensial dan ramah lingkungan yang sering disebut sebagai pupuk hayati, tentunya akan sangat berarti dalam peningkatan produksi tanaman dan penghematan pemakaian pupuk khususnya pupuk P. Bakteri pelarut fosfat (BPF) merupakan salah satu mikroorganisme tanah yang dapat memperbaiki penyediaan P pada tanah masam dengan menghasilkan asam organik sehingga kelarutan Al dan Fe dapat diturunkan karena adanya pengikatan oleh asam organik (Illmer et. al. 1995). Asam malat, sitrat dan oksalat merupakan asam organik yang mempunyai afinitas tinggi terhadap logam yang mempunyai valensi 3 seperti Al3+ dan Fe3+ (Jones & Brassington 1998). Untuk mengkaji peranan bakteri pelarut fosfat pada lahan marginal yang bersifat menjerap P, kiranya penting untuk dilakukan suatu penelitian. MATERI DAN METODE Persiapan Tanah dan Bibit Tanah yang digunakan untuk percobaan pot diambil secara komposit dari kedalaman 0-20 cm kemudian dibersihkan dari sisa tanaman, batu dan kerikil. Tanah kering udara yang lolos dari ayakan dengan diameter 2 mm dimasukkan ke dalam plastik tahan panas masing-masing dengan berat 2 kg, kemudian disterilkan dengan cara dikukus sebanyak 2 (dua) kali. Setelah diinkubasi selama 3 minggu, 2 kantong plastik tanah dimasukkan ke dalam satu polybag (berisi 4 kg tanah berat kering udara). Sebelum ditanam, benih kudzu didesinfektan dengan byclin selama ± 5 menit, lalu dicuci dengan air mengalir sampai bersih, direndam dalam air panas dengan suhu 50-70o C, dibiarkan dingin dan terendam selama ± 18 jam. Pemupukan Pupuk K sebagai pupuk dasar 100 kg K 2 O ha-1 atau setara dengan 0.37 g KCl/pot, dan pupuk P 200 kg P 2 O 5 ha-1 atau setara dengan 0.92 g SP36/pot diberikan dua hari sebelum tanam sedangkan pupuk N 100 kg N ha -1 atau setara dengan 0.33 g urea/pot diberikan 1/2 bagian bersama dengan pemberian pupuk KCl dan pupuk P, dan 1/2 bagian lagi pada umur 6 minggu setelah tanam. Inokulasi dan Penanaman Isolat bakteri pelarut fosfat terlebih dahulu dibiakkan dalam gambut steril, diinkubasikan selama 1 minggu dan dihitung populasi bakterinya. Biji yang akan ditanam dicampur dengan inokulan yang mengandung 1.0 × 109 sel (CFU)/gram, dan sekitar satu gram inokulan tersebut juga diberikan pada lubang tanam di
Prosiding Semnas II HITPI
Page 474
sekitar biji yang ditanam. Setiap polybag ditanami 8 (delapan) biji dan setelah tumbuh disisakan masing- masing 2 (dua) tanaman. Pemeliharaan dan Pengamatan Pemeliharaan yang dilakukan adalah penyiraman setiap hari pada volume 100% kapasitas lapang, serta pengendalian hama dan penyakit bila diperlukan. Tinggi tanaman dan jumlah daun trifoliat diamati setiap dua minggu sekali. Untuk berat kering tajuk, berat kering akar, kadar N tajuk, kadar P tajuk, serapan N, serapan P, dan produksi protein kasar dilakukan setelah tanaman dipanen yaitu pada umur 3 bulan setelah tanam. Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan empat perlakuan dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak empat kali sehingga terdapat 16 unit percobaan. Perlakuan I0 adalah tanpa isolat, perlakuan I1 adalah Isolat pembanding (isolat RJM 30.2 (Aeromonas punctata), didapat dari Unit Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor), perlakuan I2 adalah Isolat B.80.1649-8, dan perlakuan I3 isolat B.80.1649-1. Peubah yang Diamati Peubah yang diamati adalah panjang tanaman, jumlah daun trifoliat, bobot kering tajuk, bobot kering akar, kadar P tajuk, serapan N, serapan P, dan produksi protein kasar. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan bila terjadi perbedaan yang nyata antara perlakuan, dilakukan uji jarak berganda Duncan (Sastrosupadi, 2000). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan inokulasi bakteri pelarut fosfat memberi pengaruh yang sangat nyata (P<0.01) terhadap panjang tanaman kudzu tropika (Tabel 1). Berdasarkan hasil uji lanjut, semua isolat secara nyata mampu meningkatkan panjang tanaman dibandingkan dengan kontrol yaitu 426.62%, 291.50%, dan 448.59% masing-masing untuk perlakuan I1, I2, dan I3. Tanaman yang mendapat perlakuan I3 menghasilkan panjang tanaman yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan I2 dan tidak nyata lebih tinggi dibandingkan dengan isolat pembanding (I1). Tabel 1. Pengaruh Bakteri Pelarut Fosfat terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kudzu Tropika Peubah Panjang Tanaman (cm) Jumlah Daun trifoliat (helai) Berat Kering Tajuk (g/pot) Berat Kering Akar (g/pot)
I02) 18.97d1) 14.00c 0.60d1) 0.32d
Perlakuan I1 I2 99.90ab 74.27c 29.00a 30.00a a 4.46 3.57c b 1.75 1.62c
I3 104.07a 25.75ab 4.18ab 2.17a
Ket : 1) Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,01) 2) I0: Tanpa Isolat, I1: Isolat pembanding, I2: isolat B.80.1649-8, I3: isolat B.80.1649-1
Prosiding Semnas II HITPI
Page 475
Inokulasi bakteri pelarut fosfat juga berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap jumlah daun trifoliat. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa kedua isolat hasil isolasi dan seleksi (I2 dan I3) secara sangat nyata mampu meningkatkan jumlah daun trifoliat dibandingkan dengan kontrol, dan tidak berbeda nyata dengan isolat pembanding (I1) (Tabel 1). Berat kering tajuk tanaman kudzu tropika yang diinokulasi dengan bakteri pelarut fosfat sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa inokulasi (kontrol) yaitu 643.89% untuk perlakuan I1, 495.71% untuk perlakuan I2 dan 596.88% untuk perlakuan I3 (Tabel 1). Berdasarkan hasil uji lanjut, tanaman yang mendapat perlakuan I3 menghasilkan berat kering tajuk yang sama dengan isolat pembanding (I1), tetapi nyata (P<0.01) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan I2. Pengaruh perlakuan secara sangat nyata (P<0.01) juga terjadi pada berat kering akar tanaman kudzu tropika. Dibandingkan dengan kontrol (I0), inokulasi bakteri pelarut fosfat mampu meningkatkan (P<0.01) berat kering akar 444.05% untuk perlakuan I1, 403.79% untuk perlakuan I2, dan 575.20% untuk perlakuan I3 (Tabel 1). Perlakuan I3 menunjukkan berat akar yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan I2 dan isolat pembanding (I1). Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar Fosfor tajuk, serapan Nitrogen (N), serapan fosfor (P), dan produksi protein kasar tanaman kudzu tropika (Tabel 2). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa isolat hasil isolasi dan seleksi yaitu I2 dan I3 menunjukkan kadar fosfor tajuk yang sama dengan isolat pembanding, tetapi sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Pada peubah serapan Nitrogen dan Fosfor, semua isolat secara nyata mampu meningkatkan serapan N dan P dibandingkan dengan kontrol (I0). Nampak juga bahwa perlakuan I3 menunjukkan serapan N dan P yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan I2, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan isolat pembanding (I1). Tabel 2. Pengaruh Bakteri Pelarut Fosfat terhadap Kadar Fosfor Tajuk, Serapan N, Serapan P, dan Produksi Protein Kasar Kudzu Tropika Peubah Kadar Fosfor Tajuk Serapan N Serapan P Produksi Protein Kasar
Perlakuan I02) 0.00726c1) 26.45c1) 0.05c 0.17c
I1 0.00794a 186.88a 0.38a 1.17a
I2 0.00809a 154.32b 0.32b 0.97b
I3 0.00789a 176.94a 0.36a 1.11a
Ket : 1. 1) Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (P<0,01) 2. 2) I0: Tanpa Isolat, I1: Isolat pembanding, I2: isolat B.80.1649-8, I3: isolat B.80.1649-1
Begitu juga pada peubah produksi protein kasar, ketiga isolat secara sangat nyata meningkatkan prduksi protein kasar dibandingkan dengan kontrol. Pada Tabel 2 juga dapat dilihat bahwa perlakuan I3 mampu menghasilkan produksi protein kasar yang sama dengan perlakuan isolat pembanding. Fosfat relatif tidak mudah tercuci seperti N, tetapi karena pengaruh lingkungan maka statusnya dapat berubah dari P yang tersedia bagi tanaman menjadi tidak tersedia yaitu dalam bentuk Ca-P, Mg-P, Fe-P, Al-P atau OccludedP. Peningkatan produktivitas tanaman kudzu tropika (Pueraria phaseoloides Benth.) yang diinokulasi dengan bakteri pelarut fosfat menunjukkan efektivitas Prosiding Semnas II HITPI
Page 476
inokulan dalam melarutkan fosfat yang terjerap menjadi fosfat yang tersedia bagi tanaman. Pada tanaman tanpa inokulasi bakteri pelarut fosfat (I0), baik fosfat yang diberikan dalam bentuk pupuk maupun fosfat yang memang sudah ada di dalam tanah dijerap oleh anasir-anasir penjerap P sehingga tidak dapat diambil oleh akar tanaman. Hal ini berimplikasi terhadap produktivitas tanaman yang nyata lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang diinokulasi. Hasil-hasil penelitian menunjukkan hanya 10–30 % dari jumlah P yang diberikan dapat diserap oleh tanaman, sisanya dikonversi ke dalam bentuk senyawa yang tidak larut dan tidak tersedia bagi tanaman dan sebagian kecil hilang melalui air perkolasi (Jones 1982). Dalam aktivitasnya, mikroorganisme pelarut P akan menghasilkan asam organik di antaranya asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glioksalat, malat, fumarat dan ketobutirat (Rao 1982). Kemampuan mikroorganisme pelarut P dalam memproduksi asam organik juga oleh dilaporkan oleh Premono (1994). Asam-asam organik tersebut akan membentuk senyawa komplek dengan ion Fe dan Al sehingga unsur P akan dibebaskan dan menjadi tersedia bagi tanaman. Pengaruh mikroorganisme pelarut fosfat terhadap tanaman, tidak hanya disebabkan oleh kemampuannya dalam meningkatkan ketersediaan P tetapi juga karena kemampuannya dalam menghasilkan zat pengatur tumbuh, terutama oleh mikroorganisme yang hidup pada permukaan akar seperti Pseudomonas fluorescens, P. putida dan P. striata (Vancura 1989). Sobleszcanski et al. (1989) mengemukakan bahwa P. putida yang hidup di sekitar akar tanaman memanfaatkan 73-76% eksudat akar dan menghasilkan zat pengatur tumbuh antara lain indole acetic acid (IAA), indole-3-acetamide (IAM), indole-3-lactic acid (ICA), indole-3-acetaldehyde (IAH), gibberelic acid (GA 3), aumerin, biotin, mesoinosital, pyridoxin, pantotenis acid dan nicotinic acid. Zat-zat pengatur tumbuh tersebut dapat berfungsi mencegah atau memperlamnbat proses penuaan dan suberinisasi pada akar, sehingga fungsi akar sebagai penyerap hara dan air akan bertahan lebih lama. KESIMPULAN Inokulasi bakteri pelarut fosfat dapat meningkatkan produktivitas tanaman kudzu tropika pada semua peubah yang diamati. Kemampuan isolat B.80.1649-1 lebih tinggi dibandingkan isolat B.80.1649-8, dan sama dengan isolat pembanding. DAFTAR PUSTAKA Hardjowigeno S. 1995. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademi Pressindo Illmer P.A., Barbato F, Schinner. 1995. Solubilization of hardly-soluable AlPO 4 with P-solubilizing microorganism. Soil. Biol. Biochem. 27 (3) : 265-270. Jones DL, Brassington DS. 1998. Sorption of organic acid in acid soils and its implications in the rhizosphere. Eur. J Soil Sci. 49 : 447-455. Jones US. 1982. Fertilizer and Soil Fertility. Reston Pub. Co. Inc. Reston-virginia: A Prentice-Hall Company. Mannetje L.‟t, Jones RM. 2000. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara No. 4. Pakan. Raharjo I, Rahayu NM, Sulistyarini D, Uji T, Soetjipto NW,
Prosiding Semnas II HITPI
Page 477
penerjemah; PT Balai Pustaka (persero) Jakarta bekerjasama dengan Prosea Indonesia, Bogor. Premono ME. 1994. Jasad Renik Pelarut P : Pengaruhnya terhadap P-tanah dan efisiensi pemupukan P tanaman tebu [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana. Rao NS. 1982. Biofertilizers in Agriculture. New Delhi: Oxford & IBH Publ. Co. Sastrosupadi A. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Edisi Revisi. Penerbit Kanisiun. Yogyakarta. Soleszcanski J, Stemniewicz R, Krzysko T. 1989. Pseudomonas sp as A Producer of Plant Growth Regulator. In : Vancura, V and F. Kund (Eds.). 1989. Interrelationship Between Microorganism and Plant in Soil. ElsevierAmsterdam : 201-206. Udiyani PM. 2002. Sebaran zat radiosktif di lingkungan dan hubungannya dengan prilaku petani dalam penggunaan pupuk [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana. Vancura V. 1989. Inoculation of Plant with Pseudomonas putida in : Vancura, V and F. Kund (Eds.). 1989. Interrelationship Between Microorganism and Plant in Soil. Elsevier-Amsterdam : 185-190.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 478
LAMPIRAN
Prosiding Semnas II HITPI
Page 479
JADWAL KEGIATAN SEMNAS II HITPI 28-29 Juni 2013 No Waktu 1 08.00 - 08.30 2 08.30 - 09.10
3 4
09.10 - 09.30 09.30 - 12.30
5
12.30 - 13.30
6 7 8
13.30 - 15.00 15.00 - 15.15 15.15 - 16.45
9
16.45 - 17.45
10
17.45 - selesai
Prosiding Semnas II HITPI
Acara Seminar 28 Juni Registrasi Peserta Acara Pembukaan: a. Laporan Ketua Panitia b. Sambutan Ketua HITPI c. Sambutan Rektor Universitas Udayana sekaligus membuka SEMNAS II d. Keynote Speaker : Dirjen Peternakan
Keterangan Sie Sekretariat Sie Upacara
Prof. Dr. Ir. I Gede Mahardika, M.S. Sie Konsumsi Prof. Dr. Ir. Dwi Retno Lukiwati, MS
Istirahat (Kudapan) Pemaparan Narasumber a. Direktur Pakan b. Prof. David Hannaway c. Staf Akhli Gubernur Riau d. Balitnak, Ciawi Ishoma/Presentasi poster Sie Konsumsi/sie sidang Seminar Paralel (Oral) Sie Sidang Istirahat (Kudapan) Sie konsumsi Seminar Paralel (Oral Sie Sidang lanjutan) Penutupan Seminar Sie Upacara Nasional Penyerahan HITPI Award Penutupan oleh Ketua Umum HITPI Peserta yang berminat bisa Masing menyaksikan Pesta masing Peserta Kesenian Bali
Page 480
No
Waktu
1
07.30
2
08.00
3
09.30 09.30 10.30 10.30 11.00 12.00
4
13.45 14.45
14.45 16.30 17.30
Menuju Pasar Seni Sukawati Tiba di Pasar Seni Sukawati dan shoping
17.30 18.30
Menuju Denpasar /Hotel Tiba di Hotel
12.00 12.30 13.30
6
13.30
8
Prosiding Semnas II HITPI
Keterangan Sie Acara, Transportasi, Konsumsi
Kumpul di halaman Hotel Inna Bali Berangkat menuju Desa Taro (Sapi Putih) Tiba di Desa Taro Meninjau Sapi Putih Taro Menuju Kintamani/Penelokan Tiba di Obyek wisata Kintamani/Penelokan, sightseeing dan makan siang Menuju Farm Pengotan Tiba di Farm Pengotan, meninjau Farm sambil memetik dan menikmati segarnya buah jeruk bali langsung dari pohonnya Menuju Desa Wisata Panglipuran Menikmati keasrian desa tradisional dan snak siang
5
7
Acara Field Trip 29 Juni (Tentatif) Persiapan Field Trip
Sie konsumsi
Tiket ditanggung panitia Sie konsumsi sdh membayar ke panitia Acara bebas
Page 481
DAFTAR JADWAL PRESENTASI SEMINAR HIJAUAN PAKAN LOKAL DALAM SISTEM INTEGRASI UNTUK KETAHANAN PAKAN DAN EKONOMI PETERNAKAN NASIONAL DENPASAR, 28 Juni 2013
KELOMPOK I: PRODUKSI TANAMAN DAN HIJAUAN PAKAN Sesi I : Pukul 13.30 – 15.00 Wita Moderator: Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS. 1.
Bernadete B Koten1), R. D. Soetrisno2), N Ngadiyono2), B. Soewignyo2)
Perubahan Nilai Nutrien Tanaman Sorgum (Sorghum Bicolor (L.) Moench) Varietas Lokal Rote Sebagai Hijauan Pakan Ruminansia Pada Berbagai Umur Panen Dan Dosis Pupuk Urea
2.
Charles L. Kaunang & Endang Pudjihastuti
3.
Herryawan K.M
4.
I Gusti Ngurah Alit Wiswasta
Nilai Nutrisi Panicum maximum cv. Riversdale Yang Dipupuk Dengan Air Belerang Dan Pupuk Kandang Mekanisme Transfer Nutrisi Dari Legum Ke Rumput Yang Diinokulasi FMA (Ifapet) Pertumbuhan Dan Hasil Hijauan Tanaman Rumput Setaria (Setaria splendid STAPF.) Yang Di Pengaruhi Nitrogen, Fosfor, Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA), Dan Azospirillum
Prosiding Semnas II HITPI
1) Program Studi Teknologi Pakan Ternak Jurusan Peternakan Politeknik Pertanian Negeri Kupang, Jalan Adisucipto Penfui Kupang – NTT. 2) Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Jalan Fauna No 3 Bulaksumur Kompleks UGM Yogyakarta Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi, Manado
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Fakultas Pertanian Universitas Mahasaraswati Denpasar
Page 482
5.
Juniar Sirait dan Andi Tarigan E-mail:
[email protected]
6.
Khalidin1 , Iskandar Mirza2 danAbdul Azis2 Email:
[email protected]
Peningkatan Produksi Dan Nilai Nutrisi Rumput Melalui Pertanaman Campuran Dengan Leguminosa Aplikasi FMA Dan Pupuk Kandang Terhadap Produksi Dan Kualitas Rumput Gajah (Pennisetum purpureum Schum)
Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih PO BOX 1 Galang Deli Serdang Sumatera Utara
Pengaruh Perbaikan Tanah Salin Terhadap Karakter Fisiologis Calopogonium mucunoides PengaruhPemberian Asap Cair Terhadap Pertumbuhan Rumput Raja (Pennisetum purpureophoides) Evaluation of Morphological Characters and Assesment of DNA Content Using Flowcytometry Analysis in Regenerants Dwarf Napiergrass from Embryogenic Calli Peranan Fungi Mikoriza Arbuskula, Mikroorganisme Pelarut Fosfat, Rhizobium Sp dan Asam Humik untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Produktivitas Legum Calopogonium mucunoides pada
Faculty of Animal Agriculture, Diponegoro University, Tembalang campus, Semarang
1Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Jabal Ghafur 2 Peneliti BPTP Aceh
Sesi II : Pukul 15.15 – 16.45 Moderator: Mansyur, SPt., M.Si 1.
2.
3.
4.
Kusmiyati,F,Sumarsono, and Karno email :
[email protected] Muhakka2) A. Napoleon3) Hidayatul Isti‟adah4) Nafiatul Umami Email:
[email protected]
Karti, P.D.M.H., N. R. Kumalasari, D. Setyorini Email :
[email protected]
Prosiding Semnas II HITPI
Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Palembang Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor
Page 483
5.
6.
Rahmi Dianita, A. Rahman, Sy., Ubaidillah E-mail:
[email protected] Simon P Ginting Dan Andi Tarigan email:
[email protected] [email protected]
Tanah Latosol dan Tailing Tambang Emas di PT. Aneka Tambang Pupuk Phospho Kompos yang diperkaya dengan Mikroorganisme Pelarut P dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Setaria splendida Karakteristik Morfologik Dan Agronomik Serta Kualitas Nutrisi Beberapa Spesies Murbei
Fakultas Peternakan Universitas Jambi
Loka Penelitian Kambing Potong, P.O. Box 1, Galang, Sumatera Utara
KELOMPOK II: MODEL PRODUKSI PETERNAKAN BERBASIS PADANG PENGGEMBALAAN Sesi I : Pukul 13.30 – 15.00 Wita Moderator: Dr. Ir. Panca Dewi Manu Hara Karti, M.Si 1.
Arnold E. Manu Email:
[email protected]
2.
BambangTjahyonoHariadidan ThimotiusSraun
3.
Diana Sawen dan B.W. Irianti Rahayu Email:
[email protected]
Prosiding Semnas II HITPI
Produktivitas Padang Penggembalaan Sabana Timor Barat Pendugaan Daya Tampung Padang Rumput Mar Di Taman Nasional Wasur Merauke Terhadap Rusa Liar (Cervus timorensis ) Pemanfaatan Limbah Pengolahan Buah Merah Pada Sistem Pemeliharaan Babi Secara Pastura
Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, Jl. Adisucipto Penfui Kupang Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua
Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPPK) Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari Jl. Gunung Salju Amban Manokwari Page 484
4.
Luh Suariani , I Nyoman Kaca dan Ni Made Yudiastari
5.
Dwi Retno Lukiwati e-mail:
[email protected] Nani Yunizar, Elviwirda dan Yenni Yusriani
6.
Pengaruh Cara Persiapan Lahan Terhadap Produksi Bahan Kering Dan Kualitas Centrosema pubescent Benth. dan Calopogonium mucunoides Desv. di Padang Rumput Alami Profil Padang Rumput dan Perkembangannya di China
Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa
Pemanfaatan Limbah Dalam Sistem Integrasi Ternak Untuk Memacu Ketahanan Pakan Di Provinsi Aceh
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh
1
Fakultas Peternakan dan Pertanian Unversitas Diponegoro
Sesi II : Pukul 15.15 – 16.45 Moderator: Ir. I Nyoman Kaca, M.Si 1.
Selvie D. Anis1 , M.A. Chozin2 , M. Ghulamahdi2 dan Sudradjat2 dan H. Soedarmadi3
Keragaan Pastura Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick Pada Sistem Penggembalaan Dan Stocking Rate Berbeda
2.
Suhubdy Yasin E-mail:
[email protected]
Perilaku Makan Ruminansia Sebagai Bioindikator Fenologi Tumbuhan Pakan Dan Dinamika Padang Penggembalaan
Prosiding Semnas II HITPI
Departemen Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan UNSRAT, Manado. 2 Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB, Bogor. 3 Departemen Makanan Ternak dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Pusat Kajian Sistem Produksi Ternak Gembala dan Padang Penggembalaan Kawasan Tropis, Fakultas Peternakan Universitas Mataram, Mataram-NTB
Page 485
3.
Taufan P. Daru, Arliana Yulianti, dan Eko Widodo Email:
[email protected]
4.
L. Abdullah e-mail:
[email protected]
5.
M. Nur Husin, Didy Rachmadi
6.
. Onesimus Yoku, Andoyo Supriyantono, Trisiwi Widayati dan Iriani Sumpe
Potensi Hijauan di Perkebunan Kelapa Sawit Sebagai Pakan Sapi Potong di Kabupaten Kutai Kartanegara Prospektif Agronomi dan Ekofisiologi Indigofera zollingeriana SebagaiTanaman Penghasil Hijauan Pakan BerkualitasTinggi Masalah Pengembangan Hijauan Makanan Ternak di Aceh Potensi Padang Penggembalaan Alam dan Prospek Pengembangan Sapi Bali dalam Mendukung Program Kecukupan Daging di Papua Barat
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman Alamat: Kampus Gunung Kelua, Jl. Pasir Balengkong Samarinda Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Jurusan Peternakan Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Papua Manokwari
KELOMPOK III:PROSPEK BISNIS BENIH DAN HIJAUAN PAKAN SesiI :Pukul 13.30 – 15.00 Wita Moderator: Ir. A. W. Puger, M.S 1.
Tanda Panjaitan1 , Baiq Tuti Yuliani1 dan Dahlanuddin2 Email:
[email protected]
Prosiding Semnas II HITPI
Pertumbuhan Legume Pohon Turi di Pematang Sawah Untuk Memacu Ketahanan Pakan Ternak; Studi Kasus Lombok
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat, 2 Fakultas Peternakan, Universitas Mataram Nusa Tenggara Barat
Page 486
2.
Tanda Panjaitan Email:
[email protected]
3.
Widyati-Slamet. Sumarsono, S. Anwar dan D.W. Widjajanto
4.
M. Agus Setiana E-mail:
[email protected]
5.
S. Anwar, Sumarsono, Karno and F. Kusmiyati Email:
[email protected],
[email protected]
6.
Sajimin dan B.R. Prawiradiputra E-mail:
[email protected]
Pertumbuhan Legume Pohon Turi Monokultur Untuk Memacu Ketahanan Pakan Ternak; Studi Kasus Lombok PertumbuhanGeneratif Alfalfa (Medicago sativa L) Mutan Tropis, Responterhadap PemupukanFosfat (HasilMutasiInduksiEMS) Uji Pengawetan Terhadap Daya Simpan Bahan Tanam Stek Rumput Gajah (Pennisetum purpureum Schummach) Analysis And Expression Of Al-Tolerant Genes From Soybean [Glycine max (L.) Merryl] On Forage Crops And Escherichia coli Evaluasi Produktivitas Tanaman Kerandang (Canavalia virosa ) Sebagai Sumber Hijauan Pakan Ternak Pada Lahan Pantai
BalaiPengkajianTeknologiPertanian Nusa Tenggara Barat,
Inventarisasi Hijauan Pakan Kuda Pacuan di Nusa Tenggara Barat
Fakultas Peternakan Universitas Mataram, Mataram-NTB
FakultasPeternakan dan PertanianUniversitasDiponegoro
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Faculty of Animal Agriculture, Diponegoro University
Balai Penelitian Ternak Ciawi
Sesi II : Pukul 15.15 – 16.45 Moderator: Dr. Ir. I Made Nuriyasa, MS. 1.
Sudirman, Gde Mertha & Suhubdy
Prosiding Semnas II HITPI
Page 487
2.
Iwan Prihantoro1), M.A Setiana, Annisa Bahar E-mail :
[email protected]
3.
I M. Mudita, A. A. P. P. Wibawa, I W. Wirawan, I G L O Cakra, dan I.B.G. Partama
4.
Suarna, W. dan N.N. Suryani
5.
I G. Mahardika, N.S. Dharmawan, K. Budaarsa, I G.L.O. Cakra,dan I P. Ariastawa
6.
Komang Budaarsa dan Ketut Mangku Budiasa
7.
Sari Suryanah, Dudi, dan Mansyu
Prosiding Semnas II HITPI
Produktivitas Tenaga Pengarit Berdasarkan Moda Pengangkut di Peternakan Sapi Perah Pondok Ranggon, Jakarta Timur Produktivitas Dan Emisi Polutan Kambing Peranakan Etawah Yang Diberi Wafer Ransum Berbasis Limbah Terfermentasi Inokulan Konsorsium Mikroba Inventarisasi Jenis Rumput dan Legum Pada Lahan Perkebunan di Kabupaten Gianyar Provinsi Bali PengaruhPemberianHijuandan Konsentrat Mengandung UreaKapurdan UbiKayuTerhadap PenampilanKambing PE Eksplorasi Hijauan Pakan Babi dan Cara Penggunaannya pada Peternakan Babi Tradisonal di Provinsi Bali Pendugaan Produksi Biomassa Hijauan Rumput Brachiaria Decumbens Berdasarkan Metode Non-Destruktif Dengan Menggunakan Piringan Akrilik
1)
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Fakultas Peternakan Unversitas Udayana
Fakultas Peternakan Universitas Udayana
Fakultas Peternakan Universitas Udayana
Fakultas Peternakan Universitas Udayana
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung
Page 488
KELOMPOK IV: PEMANFAATAN HIJAUAN PAKAN DALAM SISTEM PRODUKSI PETERNAKAN Sesi I : Pukul 13.30 – 15.00 Wita Moderato: Dr. Ir. Rahmi Dianita 1.
2.
3.
4.
A. A. Ayu Sri Trisnadewi, I G. L. O. Cakra, I W. Wirawan, I Made Mudita, dan N. L. G. Sumardani
Substitusi Gamal (Gliricidia sepium) Dengan Kaliandra (Calliandra calothyrsus) Pada Ransum Terhadap Kecernaan In-Vitro Andi Udin Saransi1 , Tjokorda Gede Belawa Pemanfaatan Daun Ketela Yadnya2 , A.A.M.Semariyani3 , dan Ni Made Pohon (Manihot esculenta A.Suardani3 Crantz), Daun Pepaya(Carica papaya L), Atau Daun Salam (Syzygium polyanthum Walp) Sebagai Suplementasi Bumbu Terhadap Kualitas Daging Betutu Itik Diana Sawen dan B.W. Irianti Rahayu Pola Penyediaan Pakan Babi Email:
[email protected] Di Umpakalo Jayawijaya
Erna Hartati, A. Saleh dan E.D. Sulistijo Email:
[email protected]
Prosiding Semnas II HITPI
Pemanfaatan Standinghay Rumput Kume Amoniasi Dengan Penambahan Znso4 Dan Zn-Cu Isoleusinat Dalam Ransum Untuk Mengoptimalkan Peningkatan Konsumsi, Kecernaan Dan
Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar
1
Laboratorium Nutrisi Makanan Ternak, Laboratorium Biokimia, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, 3 Laboratorium Kimia, Fakulats Pertanian, Universitas Warmadewa.
2
Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPPK) Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari Jl. Gunung Salju Amban Manokwari Fakultas Peternakan, Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Universitas Nusa Cendana, Kupang Jl. Adisucipto, Penfui, Kupang
Page 489
5.
G. A. M. Kristina Dewi, R. R. Indrawati, N. M. Laksmiwati, dan M. Dewantari
6.
Gilang N. Ambisi, Tidi Dhalika, dan Mansyur
Kadar Glukosa Darah Sapi Bali Dara Pengaruh Energi-Protein Ransum terhadap Karkas dan Organ Dalam Ayam Kampung Umur 35 Minggu Pengaruh Penggunaan Indigofera falcata Sebagai Pengganti Konsentrat Dalam Ransum Sapi Perah Berbasis Jerami Padi Terhadap Produksi Asam Lemak Terbang Dan NH3
Fakultas Peternakan Universitas Udayana
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
Sesi II : Pukul 15.15 – 16.45 Moderator : Prof. Dr. Ir. Charles L. Kaunang, MS 1.
Kiston Simanihuruk, Antonius dan Juniar Sirait
2.
Mardalena E-mail:
[email protected]
3.
Nurhaitaa, Ruswendi b, W. Ritaa, danRobiyantob Email:
[email protected]
Prosiding Semnas II HITPI
Penggunaan Ampas Sagu sebagai Campuran Pakan Komplit Kambing Boerka Fase Pertumbuhan Evaluasi Limbah Buah Nenas Sebagai Sumber Antioksidan dan Efeknya Terhadap Respon Fisiologis dan Produksi Susu Kambing Perah Peranakan Etawah Pemanfaatan Pelepah Sawit Sebagai Sumber Hijauan Dalam Ransum Sapi Potong
LokaPenelitianKambingPotongSeiPutih PO BOX 1, Galang
Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Kampus Pinang Masak, Jl. Raya Jambi – Ma. Bulian Km 15,Ma. Jambi 36136 Jambi, a
Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Bengkulu b BPTP BengkuluJl. Irian Km 6,5 Bengkulu Page 490
4.
Tjokorda Gede Belawa Yadnya, I Wayan Wirawan, I Putu Tegik, dan Ni Putu Emi Suastini
5.
Tjokorda Gede Belawa Yadnya, Ni Made Witariadi, Ni Made Suci Sukmawati, dan A.A.A. Sri Trisnadewi
6.
Usman Ali
Prosiding Semnas II HITPI
Pengaruh Pemberian Starbio Dan Pignox (Starpig) Dalam Ransum Yang Disuplementasi Daun Salam (Syzygium polyanthum Walp) Terhadap Kualitas Daging Dan Kolesterol Darah Ayam Kampung Pengaruh Pemanfaatan Inokulan Yang Berbeda Dalam Biofermentasi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L) Dalam Ransum Terhadap Karkas Dan Kualitas Daging Itik Bali Efek Penggunaan Produk Fermentasi Limbah Agroindustri Lokal dalam Pakan LengkapTerhadap Performan Kelinci Dan Income Over Feed Cost
Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar
Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar
Fakultas PeternakanUniversitas Islam Malang
Page 491
PRESENTASI POSTER 1.
A. A. P. Putra Wibawa, I G. B. Adi Parwata, I W. Wirawan, N. L. G. Sumardani, dan I W. Suberata 2. I G. Ag. I. Aryani, I G.L.Oka and A.A.A. S. Trisnadewi Email:
[email protected] 3. Roni NGK, NM Witariadi, NN Candraasih K, dan NW Siti Email:
[email protected]
Prosiding Semnas II HITPI
Respons Rumput Gajah (Pennisetum purpureum Schumach) Terhadap Pupuk Urea, Kotoran Ayam, Dan Kotoran Sapi Sebagai Sumber Nitrogen (N) Componential Analysis of Forages Lexemes in Kisah-Kisah Tantri (Tantri‟s Stories) Pemanfaatan Bakteri Pelarut Fosfat Untuk Meningkatkan Produktivitas Kudzu Tropika (PuerariaphaseoloidesBenth.)
Fakultas Peternakan Universitas Udayana
Faculty of Animal Science, Udayana University Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar
Page 492
PANITIA SEMINAR NASIONAL II HIMPUNAN ILMUWAN TUMBUHAN PAKAN INDONESIA (HITPI) PELUANG PENGEMBANGAN HIJAUAN PAKAN LOKAL DALAM SISTEM INTEGRASI UNTUK KETAHANAN PAKAN DAN EKONOMI PETERNAKAN NASIONAL PENANGGUNG JAWAB Ketua Umum Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HITPI): Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. PANITIA PENGARAH: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Dekan Fapet Unud (Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS) Dekan Fapet IPB (Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc) Dekan Fapet Unram (Prof. Ir. Yusuf Ahkyar Sutaryono, M.Sc., Ph.D) Dekan Fakultas Pertanian Universitas Warmadewa (Ir. I Nyoman Kaca, M.Si) Pembantu Dekan I Fapet Unud (Dr. Drh. I Gst. Agung Arta Putra, M.Si) Pembantu Dekan II Fapet Unud (Ir. Tjokorda stri Putri, MP) Pembantu Dekan III Fapet Unud (Drs. I Wayan Budiartha, M.Si) Prof. Dr. I Made Nitis (UNUD) Prof. Sudarmadi M.Sc., Ph.D (IPB) Prof. Dr. Ir. I WayanSuarna, M.S. (UNUD) Prof. Dr. Ir. DwiRetnoLukiwati MS.(UNDIP) Prof. Dr. Ir. Charles L. Kaunang, MS (UNSRAT) Diana Sawen, SPt., M.Si. (UNIPA) Dr. Ir. RahmiDianita(UNJA) Nafiatul Umami, S.Pt. MP (UGM)
KOMITE ILMIAH: 1. 2. 3. 4. 5.
Prof. Dr. Ir. I Gede Mahardika, MS. (UNUD) Dr. Bambang R. Prawiradiputra (BALITNAK) Dr. Ir. Heryawan Kemal Mustafa, MSc. (UNPAD) Dr. Ir. Panca Dewi Manu Hara Karti, M.Si. (IPB) Mansyur, SPt., M.Si. (UNPAD)
PANITIA PELAKSANA Ketua : Dr. Ir. Ni Nyoman Suryani, M.Si Sekretaris : Ir. Magna Anuraga Putra Duarsa, M.Rur. Sc Bendahara : Ir. A.A. A. Trisnadewi, M.P.
Prosiding Semnas II HITPI
Page 493
Seksi-seksi : Acara/Upacara/Field Trip : 1. Ketut Mangku Budiasa, SPt., M.Si. 2. Dewi Ayu Warmadewi, SPt., Msi. 3. Desak Putu Mas Ari Candrawati, SPt., M.Si. 4. Eny Puspani, SPt., MSi. Sekretariat : 1. Ni Luh Gede Sumardani, SPt., M.Si 2. Ir. I Gede Suranjaya, M.S. 3. A.A. P. Putra Wibawa, SPt., M.Si 4. I Gusti Agung Istri Ariani, SS., M.Hum. 5. Ir. Ni Ketut Mardewi, MP. Sidang : 1. Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, M.S. 2. Ir. A. W. Puger, M.S. 3. Dr. Ir. I Made Nuriyasa, MS. Konsumsi : 1. Ir. A.A. Oka, M.S. 2. Dr. Ir. Ni Putu Mariani, M.Si 3. Ir. Ni Made Dewantari, M.S. 4. Made Witariadi, SPt., MP. 5. Ir. Ni Gusti Ketut Roni, M.Si. 6. Ir. Ni Nyoman Candraasih Kusumawati, M.S. Perlengkapan dan Dekorasi: 1. Ir I Made Suasta, MS 2. I Wayan Wirawan, SPt., MP. Akomodasi dan Transpportasi 1. Dr. Ir. I nyoman Tirta Ariana, M.S. 2. Drs. I Wayan Suberata, M.Si. 3. Ir. Dewa Nyoman Sudita, MP. Dokumentasi dan Publikasi: 1. Ir. I Dewa Gede Alit Udayana, MS. 2. Putu Ari Astawa, SPt., MP
Prosiding Semnas II HITPI
Page 494
Prosiding Semnas II HITPI
Page 495
Prosiding Semnas II HITPI
Page 496
DAFTAR PARTISIPAN SEMNAS II HITPI 28 – 29 JUNI 2013 No 1.
Nama Ir. Syukur Iwantoro, MS, MBA
2.
Dr. Ir. Mursyid Ma'sum, M.Agr
3. 4.
Prof. David Hannaway Dr. Bambang R. Prawiradiputra
5.
drh. Patrianov, MM
6.
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc.Agr Dr. Ir. Panca Dewi Manu Hara Karti, M.Si Dr. Iwan Prihantoro, SPt.,MSi M. Agus Setiana Sari Suryanah Prof. Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSi
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Prof. Dr. Ir. Dwi Retno Lukiwati, MS Ir. F. Kusmiyati, M.Sc
14.
WidyawatiSlamet
15. 16. 17.
20. 21.
Dr. Ir. Femi H. Elly MP Dr. Ir. Selvie D. Anis, MS Dr. Ir. Anise H.S. Salendul MS Prof. Dr. Ir. Charles L. Kaunang, MS Dr. Ir. Herryawan Kemal Mustofa, MSc Gilang N. Ambisi, SPt. Nafiatul Umami, SPt.,MP.,PhD
22.
Dr. Ir. Badat Muwakhid, MP
18. 19.
Prosiding Semnas II HITPI
Institusi Direktur Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Ditjennakkeswan Kementerian Pertanian RI Direktur Pakan Direktorat Pakan Ternak Ditjennakkeswan Kementerian Pertanian RI Oregon State Univ. - USA Koord. Tim Teknis Keamanan Pakan PRG, Komisi Keamanan Hayati Balai Penelitian Ternak, Ciawi Staf Ahli Bidang Pembangunan Provinsi Riau Fak. PeternakanInstitutPertanian Bogor Fak. PeternakanInstitutPertanian Bogor Fak. PeternakanInstitutPertanian Bogor Fak. PeternakanInstitutPertanian Bogor Fak. PeternakanInstitutPertanian Bogor Fak. Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Fak. Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Fak. Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Fak. Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Fak. Peternakan Universitas Sam Ratulangi Fak. Peternakan Universitas Sam Ratulangi Fak. Peternakan Universitas Sam Ratulangi Fak. Peternakan Universitas Sam Ratulangi Fak. Peternakan Universitas Padjadjaran Fak. Peternakan Universitas Padjadjaran Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Fak. PeternakanUniversitas Islam Malang
Page 497
23. 24. 25. 26. 27.
Ir. Usman Ali, MP Muhakka Dr. Ir. Hj. Mardalena, MP Rahmi Dianita Nurhaita
28.
33. 34. 35.
Prof. Dr. Ir. I Wayan Suarna, MS Dr. Ir. I Made Nuriyasa, MS Ir. Dewi Ayu Warmadewi, MSi Ir. I Gede Suranjaya, M.Si Ir. Antonus Wayan Puger, M.Si Ir. M. NurHusin, SU Sajimin Kiston Simanihuruk
36.
NaniYunizar
37. 38.
Dr. Ir. Taufan Purwokusumaning Daru, MP Tanda Panjaitan
39.
Dr. Ir. Sudirman, SU
40. 41.
45.
Prof. Ir. SuhubdyYasin, Ph.D Dr. Ir. Arnold E. Manu, MP. Prof. Dr. Ir. Erna Hartati, MS Dr. Bernadete Barek Koten, SPt., MP Ir. Bambang Tjahyono Hariadi, MP Diana Sawen, SPt., MSi
46.
Dr. Ir. OnesimusYoku, MS
47. 48.
Ir. Luh Suariani, MSi Prof. Dr. Ir. I Gusti Ngurah Alit Wiswasta, MP Andi Udin Saransi, S.TP I G Ag. I. Aryani, SS., MHum
29. 30. 31. 32.
42. 43. 44.
49. 50.
Prosiding Semnas II HITPI
Fak. PeternakanUniversitas Islam Malang Fak. PertanianUniversitas Sriwijaya Fak. PeternakanUniversitas Jambi Fak. PeternakanUniversitas Jambi Fak. PertanianUniversitasMuhammadiyah Bengkulu Fak Peternakan Universitas Udayana Fak Peternakan Fak Peternakan Fak Peternakan Fak Peternakan
Universitas Universitas Universitas Universitas
Udayana Udayana Udayana Udayana
Fak. PertanianUniversitas Syah Kuala Balai PenelitianTernakCiawi Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB Fak. P e t e r n a k a n UniversitasMataram Fak. Peternakan Universitas Mataram Fak. Peternakan Universitas Nusa Cendana Fak. Peternakan, Jur. Nutrisi dan Makanan Ternak, Universitas Nusa Cendana Politeknik Pertanian Negeri Kupang Fak. Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua Fak. Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua Fak. Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua Fak. Pertanian Universitas Warmadewa Fak. Pertanian Universitas Mahasaraswati Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana
Page 498
51.
61. 62.
Prof. Dr. Ir. I Gede Mahardika, MS Prof. Dr. Ir. Komang Budaarsa, MS Ir. Ni Nyoman Candraasih Kusumawati, MS Ir. Tjokorda Gede Belawa Yadnya, MP Ir. Ni Gusti Ketut Roni, MSi Dr. Ir. G. A. M. Kristina Dewi, MS Dr. Taufan P. Daru Ir. I Made Mudita, MSi Ir. Poulla Oliva Viviaan Waleleng, MP Ingriet D. R. Lumenta, SPt., MSi. Franky N. S. Oroh, SPt., MSi. Prof. Dr. Ir. Sumarsono, MS
63.
Didik Wisnu Widjajanto Ph.D.
64. 65. 66. 67.
Dr. Ir. I Ketut Sukada, MSi Dr. Ir. N Ketut Suriasih Drh. H. Abdul Manaf Mustafa Ir. Ida Ayu Sukerniati
68.
drh. I G. A. Raini
69.
drh. I Made Mertayasa
70. 71. 72.
Dwi Prasetiyo, SPt Ir. N W TatikInggriati, MP Ir. Syarifudin Ginting
73.
Bayan Julianta, SP.
74.
Akhmadi, SP
75.
Busmadi, SE
76.
Ir. All Rachman, M.Si
52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60.
Prosiding Semnas II HITPI
Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak Pertanian Universitas Mulawarman Fak. PeternakanUniversitasUdayana Fak. Peternakan Universitas Samratulangi Fak. Peternakan Universitas Samratulangi Fak. Peternakan Universitas Samratulangi Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Fakultas Peternakan Universitas Udayana Fakultas Peternakan Universitas Udayana DinasPeternakan dan Keswan Prov. Kalimantan Barat Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kota Denpasar Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kota Denpasar Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kota Badung BPTU Sapi Bali Fakultas Peternakan Universitas Udayana Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kutai Timur Kalimantan Timur Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kutai Timur Kalimantan Timur Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kutai Timur Kalimantan Timur Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kutai Timur Kalimantan Timur BBPTU-HPT Baturraden- Jawa Tengah
Page 499
77. 78.
AdiSuryanto,S.Pt drh. Erwin Kusbianto
79. 80. 81.
KadekDwiPebriDyantari Made PutriIaksmiDewi Ni Gusti Ayu Komang RatihVidyani Luh Yuni Surya Antari Dewa Gede Indra Sucahya I Made DarmaKusuma Septi Trisna Sari Ni PutuYundariMelati Ni Kade Ari WulanPebriyanti I Komang Juliartawan I Kadek Slamet Agus Palguna Utama Ni Luh Dewi Artati Tuttu Santika Undaharta Jordi Andika Wiraputra Kadek Somadiarsa Pande Surya K.J Ir. Stefanus Sio, MP. I Nyoman Budiana, SPt. Ni Putu Putri Wijayanti, SPt. Ir. Ali Rachman MSi. Drs. I Gede Mertha, M.Si Ir. Tohir, MSi. Agus Sugeng AW., AMD Dr. Ir. Ni Nyoman Suryani, MS. Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS. Dr. Drh. I Gst Agung Arta Putra, M.Si Ir. Tjok. Istri Putri, MP Drs. I Wayan Budiartha, MSi. Ketut Mangku Budiasa, SPt., M.Si. Ir. Magna Anuraga Putra Duarsa, M.Rur. Sc Dewi Ayu Warmadewi, SPt., Msi. Desak Putu Mas Ari Candrawati, SPt., M.Si. Eny Puspani, SPt., MSi. Ni Luh Gede Sumardani, SPt., M.Si
82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99. 100. 101. 102. 103. 104. 105. 106. 107. 108. 109. 110. 111. 112. 113.
Prosiding Semnas II HITPI
BBPTU-HPT BaturradenJawa Tengah Dinas Peternakan dan Keswan Prov. Nusa Tenggara Barat Mahasiswa Fakultas Peternakan Unud Mahasiswa Fakultas Peternakan Unud Mahasiswa Fakultas Peternakan Unud Mahasiswa Fakultas Peternakan Unud Mahasiswa Fakultas Peternakan Unud Mahasiswa Fakultas Peternakan Unud Mahasiswa Fakultas Peternakan Unud Mahasiswa Fakultas Peternakan Unud Mahasiswa Fakultas Peternakan Unud Mahasiswa Fakultas Peternakan Unud Mahasiswa Fakultas Peternakan Unud Mahasiswa Fakultas Peternakan Unud Mahasiswa Fakultas Peternakan Unud Mahasiswa Fakultas Peternakan Unud Mahasiswa Fakultas Peternakan Unud Mahasiswa Fakultas Peternakan Unud Mahasiswa Fakultas Peternakan Unud Mahasiswa Pascasarjana Unud (S3) Mahasiswa Pascasarjana Unud (S2) Mahasiswa Pascasarjana Unud (S2) BPTU-SP Unram BPTU-Koi Peldihari BPTU-Koi Peldihari Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana
Page 500
114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122. 123. 124. 125. 126. 127. 128. 129. 130. 131. 132. 133.
Ir. I Gede Suranjaya, M.S. A.A. P. Putra Wibawa, SPt., M.Si I Gusti Agung Istri Ariani, SS., M.Hum. Ir. Ni Ketut Mardewi, MP. Ir. A.A. Oka, M.S. Dr. Ir. Ni Putu Mariani, M.Si Ir. Ni Made Dewantari, M.S. Made Witariadi, SPt., MP. Ir. Ni Gusti Ketut Roni, M.Si. Ir. Ni Nyoman Candraasih Kusumawati, M.S. Ir I Made Suasta, MS I Wayan Wirawan, SPt., MP. Drs. I Wayan Dartha Ir. I Dewa Gede Alit Udayana, MS. Putu Ari Astawa, SPt., MP Ida Ayu Patriani, SPt. Dr. Ir. I nyoman Tirta Ariana, M.S. Drs. I Wayan Suberata, M.Si. Ir. Dewa Nyoman Sudita, MP. I Nyoman Sada
Prosiding Semnas II HITPI
Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Fak. Peternakan Fak. Peternakan Fak. Peternakan Fak. Peternakan Fak. Peternakan Fak. Peternakan
Universitas Universitas Universitas Universitas Universitas Universitas Universitas
Udayana Udayana Udayana Udayana Udayana Udayana Udayana
Fak. Peternakan Fak. Peternakan Fak. Peternakan Fak. Peternakan
Universitas Universitas Universitas Universitas
Udayana Udayana Udayana Udayana
Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana Fak. Peternakan Universitas Udayana
Page 501