KEWARGANEGARAAN ETNIS CINA DI INDONESIA TAHUN 1958-1969 (Studi kewarganegaraan di Indonesia pasca keluarnya UU No.62 Tahun 1958)
SKRIPSI
OLEH: NANANG DANANTO NIM: K 4405028
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
KEWARGANEGARAAN ETNIS CINA DI INDONESIA TAHUN 1958-1969 (Studi kewarganegaraan di Indonesia pasca keluarnya UU No.62 Tahun 1958)
OLEH : NANANG DANANTO NIM: K 4405028
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Leo Agung S, M. Pd NIP. 19560515 198203 1 005
Dra. Hj. Sri Wahyuning, M.Pd. NIP. 19531024 198103 2 001
iii
iv
ABSTRAK Nanang Dananto. K4405028. KEWARGANEGARAAN ETNIS CINA DI INDONESIA TAHUN 1958-1969 (Studi Kewarganegaraan di Indonesia Pasca Keluarnya UU No 62 Tahun 1958). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juni 2010. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan: (1) Status kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia sebelum keluarnya UndangUndang No 62 Tahun 1958, (2) Status kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia setelah keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958, (3) Dampak dikeluarkanya Undang-Undang No 62 Tahun 1958 terhadap kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia, (4) Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menanggulangi dampak dari akibat dikeluarkannya UndangUndang No 62 Tahun 1958. Penelitian ini menggunakan metode historis. Sumber data yang digunakan adalah sumber surat kabar, buku literatur, sumber lain berupa arsip. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis historis, yaitu analisa yang mengutamakan ketajaman dalam mengolah suatu data sejarah. Prosedur penelitian dengan melalui empat tahap kegiatan yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia sebelum keluarnya Undang-Undang No.62 Tahun 1958 yaitu pada zaman VOC, tidak dikenal prinsip kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan bukanlah ditentukan antara warga negara dan orang-orang asing. Orang lebih banyak memperhatikan sifat-sifat lahir atau kriteria lain seperti kepercayaan (keagamaan) yang mudah tampak terlihat. (2) Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia setelah keluarnya Undang-Undang No.62 Tahun 1958 mengalami berbagai perubahan. Setelah Indonesia merdeka tidak memberlakukan lagi kebijaksanaan kewarganegaraan yang lebih liberal dan mulai menerapkan asas ius soli dua generasi (pengganti ius soli sederhana) bagi orang Tionghoa lokal. "Sistem pasif" diganti dengan "sistem aktif", yaitu sistem yang mensyaratkan adanya pernyataan penerimaan kewarganegaraan Indonesia memberikan bukti bahwa orang tua mereka dilahirkan di wilayah Indonesia dan telah berdiam di Indonesia sedikit-dikitnya selama 10 tahun; dan menyatakan secara resmi menolak kewarganegaraan Cina. (3) Dampak dikeluarkanya undangundang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat banyak kecenderungan dari beberapa orang pemuda Tionghoa Totok untuk memilih kewarganegaraan Indonesia. Tetapi keadaan orang Tionghoa semakin memburuk setelah terjadinya kudeta tahun 1965. (4) Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menanggulangi dampak dari akibat dikeluarkannya Undang-undang No 62 tahun 1958 yaitu dikeluarkanya beberapa Undang-undang dan peraturan-peraturan. Diantaranya PP No. 10/1959, kemudian Pasal X Perjanjian Dwikewarganegaraan, peraturan pengubahan nama bagi warga Negara Indonesia keturunan Cina dan mengajak para warga negara Indonesia keturunan Tionghoa untuk berintegrasi dan berasimilasi dengan masyarakat Indonesia asli.
v
ABSTRACT Nanang Dananto, K4405028. ETHNICAL CIVIC OF CHINESE IN INDONESIA DURING 1958-1964 (Civic Study in Indonesia Following the Issuance of Government Act No. 62 of 1958). Thesis. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty, Sebelas Maret University, June 2010. The aim of this research is to describe: (1) Ethnical status civic of Tionghoa in Indonesia before the existence of act No. 62 of 1958, (2) Ethnical status civic of Tionghoa in Indonesia after the issuance of act No. 62 of 1958, (3) The impact of act No. 62 of 1958 toward the ethnical civic of Tionghoa in Indonesia, (4) The policies government of Indonesia in overcoming the effects of releasing the act. No 62 of 1958. This research employed historical method. The data sources of this research include newspaper, literature book, and other sources in the form of archives. The technique of collecting data employed literary study. The technique of analyzing data use historical analysis technique, that is, that one prioritizing the sharpness in processing a historical datum. This research procedure includes four stages of activity: heuristic, criticism, interpretation and historiography. Based on the result of research, it can be concluded that: (1)The ethnical civic of Tionghoa in Indonesia before before the existence of act No. 62 of 1958, which is at the time of VOC epoch, there is no civic principle. People regard the difference is not conducted between citizen and foreign people. More people pay attention toward the nature of delivering birth or other criterion, like trust or religion, which can easy to be seen. (2) The ethnical civic of Tionghoa in Indonesia after the issuance of act No 62 of 1958 experiencing of various change. After the independence of Indonesia, there is no liberal civic wisdom, and start to apply ground of ius soli tow generation (substitution of simple ius soli) for the people of local Tionghoa. "Passive system" is changed with "active system" that is system requiring the existence of statement of acceptance of Indonesia least wise during 10 year, and express officially refuses Chinese civic. (3) The impact of act of No.62 of 1958 to ethnical civic of Tionghoa in Indonesia among others in the year 1960-an there are a lot of tendency from some young man of Tionghoa, his name is Totok, to oriented to Indonesia. The condition of Tionghoa people is progressively deteriorate after the happening of year coup d'etat in 1965. (4) The policies government of Indonesia in overcoming the effect of releasing of act No.62 of 1958, that there were issuanced some acts and regulations. For example, Government Regulation (PP) No.10/1959, section of X Agreement of DwiKewarganegaraan distorting of name to Indonesia citizen clan of Chinese and invite all Indonesia citizen clan of Tionghoa to integrate and assimilate with original Indonesia society.
vi
MOTTO
“Kebersamaan dalam suatu masyarakat menghasilkan ketenangan dalam kegiatan masyarakat itu sedangkan saling bermusuhan menyebabkan seluruh kegiatan itu berhenti”. (By: Budiuzzaman Said Nursi) “Dalam kata-kata dan perbuatan di masa lalu terletak harta terpendam yang bisa digunakan manusia untuk memperkuat dan meningkatkan watak mereka sendiri.Cara untuk mempelajari masa lalu bukanlah dengan mengekang diri sendiri dalam pengetahuan sejarah semata-mata, tetapi melalui penerapan pengetahuan dengan memberikan aktualita pada masa lalu”
( I Ching)
vii
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada: 1. Ayahanda dan ibunda tercinta 2. Kakak tersayang Anis Nur 3. Adik-adik tersayang Rima dan Beti 4. Sahabat-sahabat tersayang 5. Almamater
viii
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah menyetujui atas permohonan skripsi ini. 3. Ketua Program Pendidikan Sejarah yang telah memberikan pengarahan dan ijin atas penyusunan skripsi ini. 4. Dra. Hj. Sriwahyuning, M.Pd selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Drs. Leo Agung S, M.Pd selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon maaf atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati. 7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalas amal baik kepada semua pihak yang telah membantu di dalam menyelesaikan skripsi ini dengan mendapatkan pahala yang setimpal. Penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya. Surakarta, Juni 2010
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................... ..............
i
HALAMAN PENGAJUAN........................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN.....................................................................
iv
ABSTRAK .. …...........................................................................................
v
HALAMAN MOTTO ................................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................
viii
KATA PENGANTAR ................................................................................
ix
DAFTAR ISI ...............................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………. .
xiii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................
1
B. Perumusan Masalah ............................................................
7
C. Tujuan Penelitian ................................................................
7
D. Manfaat Penelitian ..............................................................
8
BAB II. LANDASAN TEORI A. Kajian Teori ........................................................................
9
1. Kebijakan Kewarganegaraan .........................................
9
2. Hukum Kewarganegaraan .............................................
13
3. Nasionalisme...................................................................
16
4. Etnis Tionghoa…...…………………………………….
17
B. Kerangka Berfikir ................................................................
20
BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ..............................................
23
B. Metode Penelitian ................................................................
23
C. Sumber Data .........................................................................
25
D. Teknik Pengumpulan Data ...................................................
27
E. Teknik Analisi Data .............................................................
28
F. Prosedur Penelitian ..............................................................
30
x
BAB IV. HASIL PENELITIAN A. Kewarganegaraan tnis Tionghoa di Indonesia sebelum Keluarnya Undang-Undang No 62 tahun 1958.....................
34
1. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa pada masa Penjajahan Belanda .........................................................
34
2. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa pada masa Pendudukan Jepang.........................................................
44
3. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa pada awal Kemerdekaan ..................................................................
46
B. Kewarganegaraan tnis Tionghoa di Indonesia setelah Keluarnya Undang-undang No 62 tahun 1958........................
54
1. Latar Belakang keluarnya Undang-Undang No. 62 Tahun 1958......................................................................
54
2. Rancangan Undang-Undang Kewarganegaraan 1954 dan Undang-Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958.................................................................................
46
C. Dampak dikeluarkanya Undang-Undang No 62 tahun 1958 terhadap Kewarganegaraan Etnis Tionghoa Di Indonesia...
61
1. Kecenderungan warga Tionghoa memilih kewarganegaraan Indonesia...... ......................................
61
2. Bertambahnya golongan Tionghoa Asing Di Indonesia ........................ ...........................................
62
3. Berubahnya keadaan Golongan Tionghoa setelah Kudeta ........................ ....................................................
64
D. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menanggulangi dampak dari akibat dikeluarkanya Undang-Undang No 62 Tahun 1958......................................
67
1. Peraturan Presiden No 10/ 1959...... ...............................
67
2. Pasal X Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan .....................
69
3. Peraturan Perubahan Nama bagi Golongan Tionghoa....
64
xi
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ...........................................................................
72
B. Implikasi ...............................................................................
75
1. Teoritis ..............................................................................
75
2. Praktis ..............................................................................
76
C. Saran .....................................................................................
77
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
78
LAMPIRAN....... .........................................................................................
81
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Undang-undang RI No 62 tahun 1958 .....................................
81
Lampiran 2. Majalah Sin Po, 1 November 1930 ..........................................
94
Lampiran 3. Koran Obor Rakyat, 28 Juli 1958.............................................
95
Lampiran 4. Koran Gelora Maesa, 24 September 1957...............................
96
Lampiran 5. Koran Gelora Maesa, 16 April 1958 ........................................
97
Lampiran 6. Jurnal : “Changing Identities of the Southeast Asian Chinese since Word War II” ..................................................................................
98
Lampiran 13. Surat permohonan ijin menyusun skripsi ...............................
99
Lampiran 14. Surat keputusan Dekan FKIP tentang ijin penyusunan skripsi....................................................................................... 100
xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada awalnya arus migrasi yang dilakukan sebagian bangsa Cina ke wilayah-wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia tidaklah lepas dari kondisi sosio-kultural negeri Cina sendiri, kondisi dan situasilah yang menuntut sebagian bangsa Cina untuk melakukan perpindahan ke wilayah yang mampu menjadikan hidup mereka lebih baik. Menurut Leo Suryadinata (1999: 13), kondisi dan situasi di Cina setelah kegagalan revolusi industri melalui program lompatan jauh ke depan (1958-1962) yang diprakarsai Mao Tse-Tung menyebabkan kelaparan dan pergolakan di Cina. Faktor tersebut lebih diperkuat dengan adanya eksploitasi Barat di Asia Tenggara yang mendorong perpindahan secara besar-besaran bangsa Cina ke wilayah Asia Tenggara, khususnya ke Indonesia. Keberadaan orang Cina di Indonesia sebenarnya telah lama ada. Kedatangan orang Cina ke Indonesia dimulai sejak tahun 413 Masehi, dengan datangnya pendeta Budha yang bernama Fa Hsien ke Jawa. Secara historis FaHsien adalah bangsa Cina yang pertama kali menginjakkan kaki ke pulau Jawa (Beny Juwono, 1999: 59). Baru pada akhir pemerintahan Dinasti Tang (618-907) orang-orang Cina mulai datang ke Indonesia secara berkelompok. Kedatangan para pedagang Tionghoa ini dengan menggunakan perahu “jung” dari bagian tenggara daratan Tiongkok ke Indonesia. Imigran Tionghoa yang datang Indonesia hampir seluruhnya dari dua propinsi yaitu Fukien dan Kwangtung. Kedua propinsi ini mempunyai kekhususan regional yang sangat besar yang berakibat pendatang dari propinsi tersebut membawa ciri kultural yang khas dari kampung halamannya. Etnis Tionghoa memiliki sejarah panjang dalam mengintegrasikan diri ke dalam populasi Asia Tenggara. Sebelum abad ke-19 ketika jumlah orang Tionghoa masih sedikit, lebih mudah bagi populasi orang Asia Tenggara untuk menyerap orang Tionghoa. Sejak abad ke-19 setelah gelombang besar populasi Tionghoa masuk ke Asia Tenggara, asimilasi lebih sulit. Pendatang yang lebih belakangan membentuk komunitas baru yang sering terpisah dari masyarakat
1
2
Tionghoa yang telah mapan dan terbentuk lebih dulu. Jumlah pendatang baru (xin ke) lebih besar dan lebih dinamis daripada pendatang terdahulu dan pendatang baru (xin ke) kurang berintegrasi dengan masyarakat setempat. Pendatang baru masih berbicara dalam bahasa Cina (dialek atau mandarin) dan masih menganggap sebagai warga Cina serta masih berhubungan dengan Cina dan berorientasi kepada Cina baik secara kultural maupun politis (Leo Suryadinata, 1999: 13). Hal tersebut dikarenakan pada masa awal kolonial Belanda orangorang Tionghoa dihitung menjadi kaulanegara Belanda, bagi yang tidak suka hal ini dipandang terlalu memaksa sehingga orang-orang Tionghoa di kepulauan ini tidak dapat menganggap dirinya tidak lain sebagai orang-orang asing. Harapan mereka tidak diletakkan atas negeri di mana mereka dilahirkan. Keadaan yang demikian memaksa untuk menengok kepada negeri leluhur. Perlindungan diharapkan hanya dari negeri yang telah lama mereka tinggalkan (Sudargo Gautama, 1987:48-50). Menurut Wang Gungwu dalam Leo Suryadinata (1999: 14) terdapat 4 tahap proses migrasi warga Cina ke Asia Tenggara yaitu: (1), dimulai pada abad ke-19 dengan negara-negara kolonial transisional atau semikolonial setelah revolusi industri di Eropa. (2), pada negara-negara bangsa yang baru lahir pada abad ke-20. (3), timbulnya prospek remigrasi kenegara-negara migran Amerika dan Australia. (4), perpanjangan waktu bermukim sebagai bagian dari globalisasi migrasi. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, bangsa Tionghoa adalah mitra dagang bangsa Belanda sejak berdirinya Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda (VOC) dan keduanya tidak pernah kehilangan posisi perantara tersebut. Walaupun begitu, bukan berarti bahwa hubungan keduanya selalu mulus. Sejatinya, pembunuhan massal pertama terhadap warga Tionghoa terjadi di Batavia (sebutan untuk Jakarta pada masa kolonial) pada tahun 1740, yang dilakukan oleh beberapa orang Belanda yang tinggal dikota. Setelah peristiwa ini, Belanda memberlakukan kebijakan pemisahan ras yang resmi. Warga Tionghoa harus tinggal di pemukiman yang diperuntukkan bagi ras mereka, yang dapat ditemukan di semua kota, dan mereka diwajibkan mempunyai surat izin untuk
3
melakukan perjalanan ke pemukiman etnis Tionghoa di kota yang berbeda. Sistem ghetto yang membatasi mobilitas fisik keturunan Tionghoa ini baru dicabut pada tahun 1905. VOC membagi penduduk di kepulauan Indonesia menjadi tiga golongan untuk tujuan administrasi, yaitu: golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan Bumiputera. Sistem tersebut merupakan embrio dari apa yang dikenal sebagai sistem Apartheid di Afrika Selatan, dan sekarang ini dianggap kelas terendah di dunia kita sekarang. Dengan demikian, suatu kekeliruan jika ada pendapat yang mengatakan bahwa sikap pilih kasih Belanda membantu warga Tionghoa terangkat ke posisi ekonomi yang kuat seperti sekarang (Justian Suhandinata, 2009:10-11). Pada abad ke-19 terjadi arus masuk dari sejumlah besar buruh imigran Cina ke Hindia Timur Belanda untuk bekerja di pertambangan dan perkebunanperkebunan. Kelompok imigran Cina terbesar dimulai antara tahun 1860 sampai kira-kira tahun 1890, mereka terdiri dari beberapa suku bangsa yang sangat berlainan. Kelompok imigran Cina tersebut mempunyai kebudayaan dan adat istiadat bahkan bahasanya pun sulit dimengerti oleh masing-masing suku, yaitu dari suku Hokkian, suku Teo-Chiu, suku Hakka (Kheh), suku Santung atau orang Kanton (Mulyadi, 1999: 19). Orang-orang Hokkian adalah orang Tionghoa yang pertama kali bermukim di Indonesia dalam jumlah yang besar, dan mereka merupakan golongan terbesar di antara para imigran sampai dengan abad ke-19. Mereka berasal dari Fukien Selatan, yakni adalah sebuah daerah yang sifat perdagangannya sangat kuat. Selain Hokkian adalah sub etnis Teociu yang kebanyakan mendiami daerah luar Jawa. Orang-orang Teociu ini kemudian berkumpul di sepanjang pantai timur Sumatra, Kepaulauan Riau dan Kalimantan Barat terutama Pontianak. Keahlian sub etnis Teociu adalah bertani dan sebagai buruh perkebunan. Sub etnis Hakka, berasal dari pedalaman Kwangtung. Kebanyakan mereka bermigrasi karena desakan ekonomi. Golongan Hakka bermukim diluar Jawa dan mengerjakan pertambangan timah di Kalimantan Barat. Dalam perkembangannya, sub etnis Hakka banyak berdagang di Jakarta dan Jawa Barat setelah Priangan dibuka bagi pedagang-pedagang Tionghoa. Sub etnis Kanton merupakan rombongan awal
4
yang datang ke Indonesia, sama seperti orang Hakka, orang-orang Kanton juga terkenal sebagai pekerja tambang. Kedatangan orang Kanton ini juga membawa keterampilan yang nantinya juga akan sangat mempengaruhi perkembangan orang-orang Cina di Indonesia. (Melly G. Tan, 1981: 6-7). Indonesia sebagai salah satu daerah migrasi mereka yang telah dilakukan jauh sebelum kemerdekaan atau tepatnya pada saat Perang Dunia ke-2. Cina perantauan dalam hal ini terutama mereka yang berdomisili di Indonesia atau sekitar wilayah Asia Tenggara, merujuk pada Cina sebagai Tengsua (Tangshan, Gunung Tang) dan diri mereka sebagai Tenglang (Tangren, laki-laki dinasti Tang). Dinasti Tang memiliki makna khusus dikalangan Cina Perantauan. Pemerintahan Cina membagi warga Cina menjadi 2 bagian, yakni; sebutan Zhongguo Qiomin, warga Cina yang tinggal di luar negeri tetapi masih memiliki orientasi ke negeri Cina, dan mereka yang tidak lagi berorientasi kepada Cina disebut Huaqiao. Ini terjadi sekitar abad 19-20 (Leo Suryadinata, 1999: 13). Sentimen anti-Tionghoa yang kuat muncul diantara para pejabat kolonial Belanda. Hal itu sangat kentara dibawah Kebijakan politik Ethis tahun 1900 yang dibuat untuk mendorong kepentingan penduduk prìbumi. Dalam rangka politik Ethis itu didirikan lumbung desa, bank kredit rakyat dan rumah-rumah gadai pemerintah serta diadakan pengawasan penjualan candu pada rakyat. Para pejabat kolonial Belanda merasa bahwa mereka harus melindungi penduduk pribumi terhadap warga Tionghoa yang licik. Namun, hal ini dan praktik diskriminatif lainya tidak berarti bahwa warga Tionghoa hidup makmur di bawah sistem kolonial (Noer Fauzi, 1998: 39) Pada abad ke-19 ini, warga Tionghoa diberi keistimewaan (hak Konsesi) untuk menanam dan memperdagangkan candu (opium) dan menjalankan usaha rumah gadai sebagai imbalan atas pembayaran pajak yang besar yang harus disetor ke pemerintah. Yang mendapakan hak konsesi ialah orang-orang Belanda yang berkedudukan di Hindia Belanda. Orang Timur Asing juga dapat menerima hak konsesi kecuali bila pembesar daerah berkeberatan karena pertimbangan politik atau sebab-sebab lainnya. Hak konsesi ini diberikan dengan maksud untuk memberikan kesempatan kepada kaum modal untuk memanankan modalnya di
5
lapangan pertanian dan mendapatkan tanah seluasnya. Hal ini tidak membuat mereka disenangi oleh kepala desa. Perkebunan biasanya dikuasai oleh para kepala desa yang sebagian diwariskan. Pemiliknya biasanya pedagang besar karena kedekatanya dengan pemerintah berarti mereka beserta agenya dapat pengecualiandan pembatasan perjalanan yang dikenakan kepada masyarakat Tionghoa. Sistem ini medorong kapitalisme Tionghoa (Noer Fauzi, 1998: 37). Dibeberapa koloni seperti di Malaya dan Hindia Belanda konsep kewarganegaraan telah diberlakukan oleh penguasa kolonial untuk mengacu kepada warga Cina yang lahir di Negara setempat, Undang- Undang Kebangsaan Ching tahun 1909 yang menganggap semua orang Tionghoa, di mana pun mereka dilahirkan tetap warga negara Cina, sehingga orang Tionghoa yang lahir di negara setempat memiliki dwi-kewarganegaraan. (Leo Suryadinata, 1999: 13). Tahun 1949 kaum Komunis berhasil merebut kekuasaan di Cina dari tangan kaum Kuo Min Tang, lalu muncullah Republik Rakyat Cina (RRC). Rupanya RRC masih mempertahankan Undang-Undang Kewarganegaraan Cina Nasionalis yang diundangkan pada tahun 1929. Undang-Undang ini menggunakan asas ius sanguinis yang berarti semua orang Cina dimanapun berada diklaim sebagai warga Cina. Hal ini mengakibatkan semua orang Cina yang berstatus sebagai warga Negara Indonesia menjadi berstatus bipatride yang berarti di sampig sebagai warga negara Indonesia sekaligus mereka merupakan warga negara RRC. Saat pengakuan kedaulatan (27 Desember 1949), Pemerintahan Kuo Min Tang di Taiwan langsung mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Saat itu mereka mempunyai tujuh konsulat di Indonesia, yang memang sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Tetapi Indonesia lebih condong untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan pihak RRC. Hal ini ditanggapi secara positif oleh pihak RRC. RRC berkepentingan memotong pengaruh Taiwan terhadap para Cina perantauan di Asia Tenggara (Koerniatmanto, 1996:105). Tanggapan positif RRC ditandai dengan kedatangan Wang Yen-shu sebagai Duta Besar RRC untuk Indonesia yang pertama pada tanggal 14 Agustus 1950. Sejak awal kedatangannya, Duta Besar RRC ini secara aktif berkampanye guna menarik
6
orientasi orang-orang Cina Indonesia ke RRC. Terjadilah semacam perebutan pengaruh antara pihak Indonesia dan RRC. Hal ini terjadi terutama pada masa pelaksanaan penentuan kewarganegaraan berdasarkan PPPWN (biasa disebut masa opsi) sehingga dapat dimengerti jika Indonesia merasa terganggu karenanya, serta melakukan tindakan-tindakan diplomatik yang cukup keras. Akibatnya Duta Besar Wang ditarik kembali pada akhir tahun 1951. Masa opsi selesai pada tanggal 27 Desember 1951 dengan hasil yang mengecewakan pihak Indonesia, mengingat sekitar 600.000 sampai 700.000 atau sekitar 40% orang Cina Indonesia secara formal telah menolak kewarganegaraan Indonesia, akibatnya (ditambah dengan orang Cina kelahiran luar negeri) sekitar setengah jumlah penduduk Cina di Indonesia adalah warga negara RRC. Kemudian muncullah kalangan Tionghoa asing di Indonesia atas PPPWN. Akibat dari memuncaknya ketidakpuasan terhadap akibat PPPWN, disusunlah Rancangan Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Rancangan tersebut siap pada bulan Februari 1954. namun sebelum disahkan dan diberlakukan, Indonesia menganggap perlu untuk membicarakan terlebih dahulu dengan pihak RRC. Pokok masalah yang rasa perlu diselesaikan itu berkisar pada banyaknya orang Cina yang diklaim baik oleh Indonesia maupun oleh RRC, sebagai akibat dari opsi 1949-1951. Usul pembicaraan Indonesia-RRC ini disambut secara positif oleh pihak RRC, dalam rangka politik luar negeri RRC yang baru, dikenal dengan Peaceful Coexistence. RRC merasa perlu membina hubungan baik dengan negara-negara di Asia Tenggara, guna membangun basis kerja sama anti-imperialis yaitu untuk menangkal pengaruh Tionghoa Pro Taiwan (Koerniatmanto, 1996:106). Tahun 1950-an diperkenalkan kebijakan yang diskriminatif terhadap warga Tionghoa, termasuk “Kebijkan Benteng” yang melarang perdagangan dan pemukiman warga Tiongoa asing di pedesaan. Awal tahun 1960-an, keadaan ekonomi negeri sangat memburuk dan warga Tionghoa menjadi pion dalam catur politik perang dingin. Beberapa kerusuhan di kota terjadi pada masa ketidakpastian tahun 1965 sampai 1966 meskipun kebanyakan kekerasan tersebut ditujukan kepada tersangka anggota komunis. Perselisihan antar pasukan yang pro
7
dengan pasukan yang antikomunis. Serangan tersebut menimbulkan pergolakan sosial dan politik yang serius di Indonesia, yang oleh para ahli dari luar negeri ditafsirkan sebagai pembantaian terhadap warga Tionghoa. Kesalahpahaman ini mungkin muncul sebagai akibat pengenaan larangan terhadap banyak aspek kehidupan dan budaya warga Tionghoa yang dikeluarkan pada waktu yang bersamaan. Diantara aspek budaya Tionghoa yang dinyatakan illegal adalah drama (bukan film), perayaan umum, dan memperlihatkan huruf Tionghoa. Gerakan mendorong warga Tiionghoa untuk menggunakan nama lokal juga dikalaksanakan bersamaan dengan pengekangan kebudayaan Tionghoa (Justian Suhandinata, 2009:13-14). Berdasarkan uraian serta berbagai masalah-masalah yang timbul akibat keberadaan warga Tionghoa di Indonesia, penulis tertarik untuk mencermati masalah
kelompok
minoritas
etnis
Tionghoa
khususnya
dalam
kewarganegaraanya dan membatasi penelitian ini dari keluarnya Undang-undang No. 62 Tahun 1958 hingga keluarnya Undang-Undang No 4 Tahun 1969. Untuk itu penulis ingin mengangkatnya dalam penulisan skripsi dengan judul “Kewarganegaraan Etnis Cina Di Indonesia Tahun 1958-1969” (Studi kewarganegaraan di Indonesia pasca keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958).
B. Perumusan Masalah Rumusan masalah penelitian ini akan mengacu pada: 1. Bagaimana kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia sebelum keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958? 2. Bagaimana kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia setelah keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958? 3. Bagaimana dampak dikeluarkanya Undang-Undang No 62 Tahun 1958 terhadap kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia? 4. Bagaimana kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menanggulangi dampak dari akibat dikeluarkannya UndangUndang No 62 Tahun 1958?
8
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka penelitian ini mempunyai tujuan untuk mendiskripsikan tentang : 1. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia sebelum keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958. 2. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia setelah keluarnya UndangUndang No 62 Tahun 1958. 3. Dampak dikeluarkanya Undang-Undang No 62 Tahun 1958 terhadap kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia 4. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan
pemerintah
Indonesia
dalam
menanggulangi dampak dari akibat dikeluarkannya Undang-Undang No 62 Tahun 1958. D. Manfaat Penelitian Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan guna: 1.Manfaat teoritis a. Mengetahui tentang pengaruh keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958 terhadap kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia b. Menambah pengetahuan tentang kajian Etnis, khususnya tentang etnis Tionghoa di Asia Tenggara khususnya di Indonesia. c. Menambah wawasan pengetahuan ilmiah untuk mengembangkan ilmuilmu sosial khususnya sejarah perekonomian atau sosiologi-antropologi 2. Manfaat Praktis a. Sebagai referensi bagi peneliti lain untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia b. Sebagai titik tolak untuk melaksanakan penelitian sejenis secara mendalam.
9
BAB II LANDASAN TEORI A. Kerangka Teori 1. Kebijakan Kewarganegaraan Warga negara adalah adalah anggota negara. Demikian pengertian umum tentang warga negara secara singkat. Sebagai anggota suatu negara, seorang warga negara mepunyai kedudukan yang khusus terhadap negaranya. Ia memiliki hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negara. Hal inilah yang membedakan warga negara dan orang asing. Masalah warga negara ini merupakan salah satu masalah yang bersifat prinsipil dalam kehidupan bernegara. Tidaklah mungkin suatu negara dapat berdiri tanpa adanya warga negara (Koerniatmanto, 1996:1). Warga berarti anggota, misalnya anggota keluarga, perkumpulan dan negara (warga negara).Warga negara pendduduk sebuah negara atau bangsa yang berdasarkan keturunan (ius sanguinis), tempat kelahiran (ius soli), mempunyai kewajiban dan hak yang penuh sebagai seorang warga dari negara itu. Penduduk Indonesia adalah keseluruhan penghuni Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik yang warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang dalam jangka waktu tertentu, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia (C.S.T. Kansil, Christine S.T, 2003: 167) Istilah warga negara merupakan terjemahan dari istilah Belanda staatsburger. Sedangkan istilah Inggris untuk pengertian yang sama adalah citizen, dan dalam istilah Perancis adalah citoyen, yang secara harafiah berarti warga kota. Selain itu dalam bahasa Indonesia dikenal pula istilah kaulanegara. Istilah kaula berasal dari bahasa Jawa ini, berdasarkan peraturan perundangundangan Hindia Belanda mempunyai pengertian sepadan dengan onderdaan (Koerniatmanto,1996: 3). Kewarganegaran dalam bahasa latin disebut civis; selanjutnya dari kata civis ini dalam bahasa Inggris timbul kata civic artinya mengenai warga negara atau kewarganegaraan. Kewarganegaraan adalah segala jenis hubungan antara 9
10
seseorang dan negara yang mengakibatkan adanya kewajiban negara untuk melindungi orang yang bersangkutan (C.S.T. Kansil, Christine, S.T, 2003: 3) Dengan demikian hukum kewarganegaraan merupakan hukum yang mengatur hubungan-hubungan tersebut. Pengertian kewarganegaraan dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi formal dan segi material. Dari segi formal, tempat kewarganegaraan dalam sistematika hukum itu ada di dalam jajaran hukum publik. Mengingat bahwa masalah kewarganegaraan terkait dengan salah satu sendi negara yaitu, rakyat. Dengan kata lain, hukum kewarganegaraan merupakan salah
satu
cabang
dari
hukum
publik.
Dari
segi
material,
masalah
kewarganegaraan erat kaitanya dengan masalah hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik antara
negara dan warganya. Dalam kewarganegaraan ini akan
tampak perbedaan yuridis antara warga negara dan orang asing. Orang asing tidak mempunyai ikatan yuridis dengan negara. Dengan demikian, fungsi status kewarganegaraan adalah memberikan titik taut atau jembatan bagi adanya pelbagai hak dan kewajiban, baik yang dimiliki oleh negara naupun warganya (Koerniatmanto,1996: 8-9). Setelah proklamasi 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia lahir sebagai bangsa yang baru yang berarti bahwa sejak saat itu ada sekelompok manusia yang memiliki hubungan khusus dengan suatu negara baru. Sebagai bangsa yang baru Republik Indonesia secara formal sejak saat itu timbul hubungan hak dan kewajiban secara timbal balik antara bangsa Indonesia dan Republik Indonesia. Sehari setelah kemerdekaan Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai konstitusi Republik Indonesia, pada pasal 26 menyatakan sebagai berikut: 1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-undang sebagai warga negara 2) Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang-Undang. Ketentuan mengenai kewarganegaraan tersebut diatas adalah sesuai dengan naskah yang dibuat oleh Panitia Perancang Undang-Undang yang dibentuk tanggal 11 Juli 1945 dan diketuai Ir. Soekarno. Ketentuan-ketentuan
11
dalam Undang-Undang Dasar dirumuskan oleh panitia kecil Perancang UndangUndang Dasar dengan ketua Supomo dan anggota-anggotanya Wongsonegoro, Subardjo, Maramis, Singgih dan Soekirman. Dapat dimengerti bahwa dalam pasal 26 UUD 1945 ‘bangsa Indonesia asli” langsung dijadikan warganegara Indonesia, karena mereka dapat dianggap sebagai mempunyai a genuine connection of existence, interest and sentimens dengan Negara Republik Indonesia, meskipun pada kenyataanya terdapat kesukaran dalam merumuskan siapa yang dapat digolongkan sebagai bangsa Indonesia asli. Golongan lain yang dapat menjadi warganegara Indonesia adalah “orang-orang bangsa lain”. Oleh penjelasan Pasal 26 UUD 1945 ditentukan bahwa yang dimaksudkan dengan bangsa-bangsa lain tersebut adalah orang-orang peranakan Belanda, peranakan Tionghoa dan peranakan Arab yang bertempat tinggal di Indonesia dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia, dapat menjadi warganegara (Sidik Suraputra, 1991: 21) Berdasarkan pasal 26 UUD 1945 tersebut maka pemerintah mengeluarkan kebijakan tantang kewarganegaraan dan kependudukan Republik Indonesia yaitu Undang-Undang
No.
3/1946,
berdasarkan
Pasal
1
Undang-undang
kewarganegaraan yang pertama ini dinyatakan bahwa kewarganegaraan Indonesia bisa didapat oleh: a) Orang yang asli dalam wilayah Negara Indonesia b) Orang yang tidak masuk dalam golongna tersebut di atas, tetapi turunan seorang dari golongan itu serta lahir, bertempat kedudukan, dan berkediaman yang paling akhir selama sedikitnya lima tahun berturut-turut di dalam wilayah Negara Indonesia, yang telah berumur 21 tahun atau telah kawin. c) Orang yang mendapatkan kewarganegaraan Indonesia dengan cara naturalisasi. d) Anak yang sah, disahkan, atau diakui dengan cara yang sah oleh bapak, yang pada waktu lahir bapaknya mempunyai kewarganegaraan Indonesia. e) Anak yang lahir dalam jangka waktu tiga ratus hari setelah bapaknya yang mempunyai kewarganegaraan Indonesia meninggal.
12
f) Anak yang hanya oleh ibunya diakui dengan cara yang sah, yang pada waktu lahir mempunyai kewarganegaraan Indonesia g) Anak yang diangkat secara sah oleh warga Negara Indonesia h) Anak yang lahir didalam wilayah Negara Indonesia, yang oleh bapaknya ataupun ibunya tidak diakui secara sah i) Anak yang lahir di dalam wilayah Negara Indonesia, yang tidak diketahui siapa orang tuanya atau kewarganegaraan orangtuanya, Oleh Undang-undang No.6/1947, klasifikasi warga Negara Indonesia diatas ditambah dengan j) Badan hukum yang didirikan menurut hukum yang berlaku dalam Negara Indonesia dan bertempat kedudukan di dalam wilayah Negara Indonesia (Koerniatmanto, 1996: 25-28) Berdasarkan pasal-pasal konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, dakatakan bahwa semua orang Tionnghoa kelahiran Indonesia, adalah kaula Belanda yang berasal dari orang asing yang bukan Belanda. Warga asing yang bukan Belanda otomatis mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, jika mereka tidak mengambil langkah untuk meninggalkannya (Melly G. Tan, 1981: 16). Berdasarkan pasal 5 UUDS 1950 pada tanggal 11 Januari 1958 dikeluarkan Undang-Undang No.62/1958 tentang kewarganegaraan republik Indonesia. Sistem pemerintahan yang dianut saat berlakunya UUDS 1950 memang berbeda dengan sistem pemerintahan yang dianut UUD 1945. Perbedaan ini tampak pada ketentuan mengenai naturalisme, yaitu kewenangan Menteri Kehakiman beralih kepada presiden. Namun berdasarkan pasal II Aturan peralihan UUD 1945, Undang-undang No.62/1958 masih tetap berlaku dengan penyesuaian yang diperlukan. Undang-undang No.62 Tahun 1958 inilah yang merupakan inti dari hukum positif Indonesia yang mengatur tentang masalah kewarganegaraan saat ini. Menurut undang-undang ini hanya mengenal dua golongan penduduk, yaitu Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA), dalam undangundang ini juga dimuat ketentuan tentang makna hubungan khusus antara Indonesia dengan warga negaranya. (Koerniatmanto, 1996: 36)
13
Selain peraturan diatas, kekhawatiran Pemerintah Indonesia dengan meningkatnya warga Tionghoa yang semakin banyak, mendorong pemerintah ingin
mengendalikan
pertambahannya
dan
mengintegrasikan
serta
mengasimilasikan mereka ke dalam masyarakat Indonesia, maka dikeluarkan Instruksi Presiden No. 2/1980. Berdasarkan Inpres No. 2/1980 sejumlah etnis Tionghoa yang berdiam di wilayah tertentu dan cara hidupnya sama dengan penduduk Indonesia akan diberi surat kewarganegaraan tanpa harus ke pengadilan (Leo Suryadinata,1999: 77). 2. Hukum Kewarganegaraan Hukum kewarganegaraan pada hakikatnya merupakan seperangkat kaidah yang mengatur tentang muncul dan berakhirnya hubungan antara negara dan warga negara. Dengan kata lain, hukum kewarganegaraan mempunyai ruang lingkup cara-cara memperoleh dan cara-cara kehilangan kewarganegaraan (Koerniatmanto Soetoprawiro, 1996: 9). Asas kewarganegaraan adalah pedoman dasar bagi suatu negara untuk menentukan siapakah yang menjadi warga negaranya. Dalam menerapkan asas kewarganegaraan dikenal dua pedoman, yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan (Azyumardi Azra, 2003: 75). Dalam memperoleh kewarganegaraan dengan cara kelahiran dikenal adanya 2 (dua) asas, yaitu asas keturunan (ius sanguinis) dan asas tempat kelahiran (ius soli). Menurut ius sanguinis, seseorang adalah warga negara jika dilahirkan dari orang tua warga negara, sedangkan menurut ius soli, seseorang yang dilahirkan dalam wilayah suatu negara adalah warga negara dari negara tersebut. Asas ius sanguinis merupakan asas yang dapat memudahkan bagi adanya solidaritas. Namun demikian tidak semua negara menggunakan asas tersebut, sebab meskipun suatu negara mengatur kewarganegaraan berdasarkan persamaan keturunan, ikatan antara negara dengan warganegara dapat menjadi tidak erat jika warganegara tersebut tinggal lama di negara lain. Sementara itu, asas ius soli terutama digunakan oleh negara muda yang masih membutuhkan rakyat yang berasal dari pendatang. Di samping itu, ius soli cenderung digunakan oleh negara
14
imigrasi di mana banyak orang asing pindah ke negara itu (Koerniatmanto Soetoprawiro, 1996: 10). Dilihat dari sisi perkawinan dikenal asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Asas kesatuan hukum berdasarkan paradigma bahwa suamiisteri ataupun ikatan keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana sejahtera, sehat, dan tidak terpecah. Dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakatnya, suami-isteri atau keluarga harus mencerminkan adanya suatu kesatuan yang bulat. Untuk merealisasikan terciptanya kesatuan dalam keluarga atau suami-isteri, maka harus tunduk pada hukum yang sama. Dengan adanya kesamaan pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas dasar hokum yang sama tersebut, meniscayakan adanya kewarganegaraan yang sama, sehingga tidak terdapat perbedaan yang dapat mengganggu keutuhan dan kesejahteraan keluarga. Sedangkan dalam asas persamaan derajat ditentukan bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masingmasing pihak. Baik suami maupun isteri tetap berkewarganegaraan asal, atau dengan kata lain sekalipun sudah menjadi suami isteri, mereka tetap memiliki status kewarganegaraan sendiri sama halnya ketika mereka belum diikatkan menjadi suami-isteri. Asas ini menghindari terjadinya penyelundupan hokum, misalnya seseorang yang berkewarganegaraan asing ingin memperoleh status kewarganegaraan suatu negara dengan cara atau berpura-pura melakukan pernikahan dengan seseorang di negara tersebut (Azyumardi Azra, 2003: 76). Unsur-unsur yang menentukan kewarganegaraan seseorang ada 3 (tiga), yaitu (1) unsur darah keturunan (ius sanguinis), (2) unsur daerah tempat kelahiran (ius soli), dan (3) unsur pewarganegaraan (naturalisasi). Di dalam unsur darah keturunan (ius sanguinis), kewarganegaraan dari orang tua yang menurunkannya menentukan kewarganegaraa seseorang, artinya jika orang dilahirkan dari orang tua berkewarganegaraan Indonesia, ia dengan sendirinya juga warga negara Indonesia. Prinsip ini berlaku di Inggris, Amerika, Perancis, Jepang, dan Indonesia. Di dalam unsur daerah tempat kelahiran (ius soli), daerah tempat seseorang dilahirkan menentukan kewarganegaraan. Jika seseorang dilahirkan di dalam daerah hukum Indonesia, ia dengan sendirinya menjadi warga negara
15
Indonesia, kecuali anggota korps diplomatik dan anggota tentara asing yang masih dalam ikatan dinas. Prinsip ini juga berlaku di Inggris, Amerika, Perancis, dan Indonesia. Namun prinsip ini tidak berlaku di Jepang karena seseorang yang tidak dapat membuktikan bahwa orang tuanya berkebangsaan Jepang, ia tidak dapat diakui sebagai warga negara Jepang. Di dalam unsur pewarganegaraan (naturalisasi), walaupun seseorang tidak dapat memenuhi prinsip ius sanguinis ataupun ius soli, ia dapat memperoleh kewarganegaraan dengan jalan pewarganegaraan atau naturalisasi. Dalam pewarganegaraan ini dikenal adanya pewarganegaraan aktif dan pewarganegaraan pasif. Dalam pewarganegaraan aktif, seseorang dapat menggunakan hak opsi untuk memilih atau mengajukan kehendak menjadi warga negara dari suatu negara, sedangkan dalam pewarganegaraan pasif, seseorang yang tidak mau diberi atau dijadikan warga negara suatu negara dapat menggunakan hak repudiasi yaitu hak untuk menolak pemberian kewarganegaraan tersebut (Azyumardi Azra, 2003: 77). Seseorang dapat memperoleh atau kehilangan status kewarganegaraan suatu negara dengan dua cara. Pertama, orang tersebut secara aktif berusaha untuk memperoleh atau melepaskan kewarganegaraannya, yang sering disebut sebagai sistem (stelsel) aktif. Sebaliknya, dapat terjadi bahwa seseorang memperoleh atau kehilangan status kewarganegaraannya tanpa berbuat apapun. Negara yang mempermaklumkan status baru dari orang yang bersangkutan tersebut. Cara ini sering disebut sistem (stelsel) pasif (Koerniatmanto Soetoprawiro, 1996: 4). Di dalam status kewarganegaraan, terdapat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan seseorang yang dinyatakan sebagai warga negara dan bukan warga negara dalam suatu negara, sehingga muncul istilah apatride, bipatride, dan multipatride. Apatride merupakan istilah untuk orang-orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan, sedangkan bipatride merupakan istilah yang digunakan untuk orang-orang yang memiliki status kewarganegaraan rangkap atau sering dikenal dengan dwi-kewarganegaraan. Sementara yang dimaksud dengan multipatride
adalah
kewaganegaraan
istilah
seseorang
yang digunakan yang
memiliki
kewarganegaraan (Azyumardi Azra, 2003: 78).
untuk 2
(dua)
menyebutkan status atau
lebih
status
16
Apatride
timbul
apabila
menurut
peraturan-peraturan
tentang
kewarganegaraan, sesorang tidak dianggap sebagai warga negara. Sedangkan bipatride timbul apabila menurut peraturan-peraturan kewarganegaraan dari berbagai negara, seseorang dianggap sebagai warga negara oleh negara-negara yang bersangkutan. 3. Nasionalisme 1. Pengertian Nasionalisme Nasionalisme berasal dari kata nation (Inggris) dan natie (Belanda), yang berarti bangsa (Leo Agung S, 2002: 31). L. Stoddard (1966: 137) mengemukakan bahwa ”Nasionalisme” adalah suatu kepercayaan, yang dianut oleh sejumlah besar manusia perorangan sehingga mereka membentuk suatu ”kebangsaan”. Pada tingkat terakhir, nasionalisme adalah sesuatu diatas segalanya yang menjelmakam dirinya dalam suatu sintese yang baru dan lebih tinggi. Isjwara
(1982:
126-127)
mendefinisikan
”Nasionalisme
adalah
merupakan rasa kesadaran yang kuat yang berlandaskan atas kesabaran akan pengorbanan yang pernah diderita bersama dalam sejarah dan atas kemauan menderita hal-hal serupa itu di masa depan”. Slamet Mulyana yang dikutip dalam Leo Agung S (2002: 31) menyatakan bahwa ”Nasionalisme adalah manifestasi kesadaran berbangsa dan bernegara atau semangat bernegara”. Menurut Han Kohn (1948: 12) “yang dimaksud nasionalisme adalah suatu faham yang berpendapat bahwa kesetian tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan”. Nasionalisme menyatakan bahwa negara kebangsaan adalah cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik dan bahwa bangsa sumber daripada semua tenaga kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi. Sukarna (1990: 57) mengemukakan bahwa ”Nasionalisme ialah kesetiaan dari pada setiap individu atau bangsa ditujukan kepada kepribadian bangsa”. Menurut S. Pamuji (1983: 28) mengemukakan bahwa ”Nasionalisme adalah konsensus umum mengenai cara hidup (way of life) suatu inpirasi dan devosi yang ”maujud” secara resmi”. Dari berbagai pendapat tentang pengertian Nasionalisasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nasionalisasi adalah suatu rasa kesadaran yang kuat
17
akan pengorbanan yang pernah diderita bersama dalam sejarah dan dilandasi suatu kepercayaan yang dianut sejumlah besar manusia perorangan yang harus diserahkan kepada negara kebangsaan sehingga membentuk suatu kebangsaan. Masalah kewarganegaraan tidaklah terlepas dari paham nasionalisme. Peraturan mengenai kewarganegaraan merupakan suatu konsekuensi langsung dari perkembangan paham nasioalisme. Dengan terbentuknya negara modern atau negara kebangsaan, dirasa perlu pula mengtur mengenai siapa yang menjadi warganya. Nasionalisme merupakan suatu konsep yang meletakkan kesetiaan tertinggi seseorang kepada suatu Negara (Koerniatmanto Soetoprawiro, 1996: 4). 4. Etnis Tionghoa Istilah “Cina” dalam bahasa Indonesia memang memiliki beberapa konotasi. Untuk menghapus konotasi yang negatif, istilah ini dalam pers Indonesia sekitar 1950-an diubah menjadi “Tionghoa” (sesuai ucapannya dalam hokkian) untuk merujuk kepada orang Cina, dan “tiongkok” untuk “negara Cina” (yusiu liem, 2000: xii). Lain halnya dengan Melly G. Tan yang mendefinisikan orang Cina, sebagai berikut: Berhubung dengan kenyataan adanya berbagai jenis orang yang oleh masyarakat luas sering disebut sebagai “orang Tionghoa” atau “orang Cina”, untuk menganalisa kelompok ini, perlu kita bedakan mereka yang asing dari mereka yang warga negara atau yang totok dari yang peranakan. Dalam uraian ini mereka yang asing disebut orang Tionghoa asing dan mereka yang warga negara Indonesia disebut dengan WNI keturunan tionghoa atau lebih praktisnya orang Indonesia Tionghoa.kedua kelompok bersama-sama disebut orang etnis tionghoa, karena adanya satu kelompok yang dianggap mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dari orang-orang etnis Indonesia, memang merupakan suatu kenyataan sosial dalam masyarakat Indonesia (Melly G. Tan 1981: xii-xiii). G. William Skiner dalam Melly G. Tan (1981: 1) meyebukan bahwa semua orang Tionghoa di Indonesia merupakan imigran kelahiran Tiongkok atau keturunan imigran menurut garis laki-laki. dengan adanya perkawinan dengan etnis pribumi lambat laun berkembang menjadi masyarakat yang stabil. Hal ini mulai berlangsung pada abad ke-16, dan kebanyakan masyarakat hasil campuran ini menjadi stabil pada abad ke-18.
18
Dari abad ke-18 sampai permulaan abad ke-20, sebagaian besar orang Tionghoa adalah peranakan. Asimilasi menuju masyarakat peranakan sangat cepat sehingga kaum imigran Tionghoa dengan anak-anaknya yang belum sepehnya menjadi peranakan itu hanyalah membentuk kelompok yang kecil dan peralihan saja coraknya.tetepi pada permulaan abad ini beberapa perkembangan baru telah mendasari bangkitnya masyarakat Tionghoa yang satbil bukan peranakan, hal ini terjadi karena beberapa faktor yang di ungkapkan G. William Skiner (1981: 10) antara lain: (a). Jumlah imigran Tionghoa bertambah cepat sekali selama tiga puluh tahun pertama dari abad ini. (b). Proporsi orang-orang yang bukan Hokkian di antara imigran bertambah dengan mantab sehingga orang Hakka dan orang Kanton melampaui jumlah orang Hokkian dengan mudah karena sebelumnya suku Hokkian mendominasi sebagai etnis Tionghoa. (c). Perbandingan jenis kelamin kaum imigran itu makin lama makin seimbang, menuju pertambahan yang cepat pada jumlah keluarga yang kedua orang tuanya adalah kelahiran Tiongkok. (d). Bangkitnya nasionalisme Tionghoa. Penggunaan kriteria fisiosomatik tidak berlaku pada etnis Tionghoa yang telah melakukan migrasi dari daerah asal, karena etnis Tionghoa yang melakukan migrasi secara fisik telah mengalami perubahan. Perubahan fisik tersebut disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya yaitu faktor perkawinan campuran yang menyebabkan perubahan secara genetik dan faktor perbedaan lingkuangan yang baru di bandingkan dengan lingkungan asal menyebabkan terjadinya proses penyesuaian diri atau beradaptasi terhadap lingkungan baru (Yusiu Liem, 2000:3). Menentukan kelompok etnis, jika hanya melalui sudut pandang dari penampilan fisik belum cukup. Oleh karena itu, untuk menentukan suatu kelompok masyarakat atau kelompok etnis tertentu diperlukan sudut pandang yang lain. Sudut pandang yang lainnya yaitu melihat kelompok etnis berdasarkan nama yang sering digunakan oleh kelompok tersebut. Misalnya kelompok etnis Tionghoa mempunyai spesifik penggunaan bahasa dan nama. Menurut G.W. Skinner (dalam Mely G. Tan: 1981) bahwa dalam kelompok etnis Tionghoa terdapat nama identitas diri bagi setiap anggota kelompok etnis Tionghoa. Dalam kriteria tersebut, orang yang mempunyai nama keluarga Tionghoa tentu asal
19
usulnya Tionghoa. Selain itu secara tradisional, etnis Tionghoa meletakkan nama keluarga berada di depan diikuti dengan posisi secara hierarkis dalam kelompoknya. Di Indonesia, etnis Tionghoa berdasarkan orientasi kebudayaan dapat dibedakan ke dalam 2 kelompok besar yaitu: (1). Peranakan, yaitu etnis Tionghoa yang lahir di Indonesia dan berbahasa Indonesia, atau hasil perkawinan campuran antara orang Tionghoa dengan orang Indonesia. Selain itu, istilah peranakan digunakan untuk menyebut etnis Tionghoa yang telah berasimilasi dengan masyarakat setempat dan mereka berorientasi dengan kebudayaan setempat. Tionghoa peranakan sebagian besar berdiam di Jawa (2). Totok, yaitu etnis Tionghoa yang lahir di negara Tiongkok dan berbahasa Cina. Selain itu, istilah etnis Tionghoa Totok digunakan untuk menyebut pendatang baru atau lama yang masih berorientasi atau mendukung secara kultural tradisi Tiongkok daratan (Leo Suryadinata,1999: 170).
20
B. Kerangka Berpikir NASIONALISME INDONESIA CINA
Kebijakan Pemerintah Indonesia
Kebijakan Pemerintah RRC
Kebijakan Kewarganegaraan Penduduk Indonesia
Kebijakan kewarganegaraan
WNA
WNI
Tionghoa
Dwikewarganegaraan
UU NO. 62 Tahun 1958
Kewarganegaraan Bagi Etnis Tionghoa
WNI
WNA
Keterangan: Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya yaitu pada 17 Agustus 1945 maka sebagai bangsa yang baru terbebas dari belenggu penjajahan Indonesia mulai menata kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pemerintah mulai membuat kebijakan yang berkaitan dengan keberlangsungan bangsa di masa yang akan datang. Kebijakan tersebut antara lain tentang politik,
21
ekonomi, bahasa, budaya, pendidikan, pemerintahan serta yang tak kalah penting adalah kebijakan di bidang kewarganegaraan. Tahun 1949 kaum Komunis berhasil merebut kekuasaan di Cina dari tangan kaum Kuo Min Tang, lalu muncullah Republik Rakyat Cina (RRC). Rupanya RRC masih mempertahankan Undang-Undang Kewarganegaraan Cina Nasionalis yang diundangkan pada tahun 1929. Undang-Undang ini menggunakan asas ius sanguinis yang berarti semua orang Cina dimanapun berada diklaim sebagai warga Cina. Hal ini mengakibatkan semua orang Cina yang berstatus sebagai warga Negara Indonesia menjadi berstatus bipatride yang berarti di samping sebagai warga negara Indonesia sekaligus mereka merupakan warga negara RRC. Saat pengakuan kedaulatan (27 Desember 1949), Pemerintahan Kuo Min Tang di Taiwan langsung mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Saat itu mereka mereka mempunyai tujuh konsulat di Indonesia, yang memang sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Tetapi Indonesia lebih condong untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan pihak RRC. Hal ini ditanggapi secara positif oleh pihak RRC. RRC berkepentingan memotong pengaruh Taiwan terhadap para Cina perantauan di Asia Tenggara. Usul pembicaraan Indonesia-RRC ini disambut secara positif oleh pihak RRC, dalam rangaka politik luar negeri RRC yang baru, dikenal dengan Peaceful Coexistence. RRC merasa perlu membina hubungan baik denga negara-negara di Asia Tenggara, guna membangun basis kerja sama anti-imperialis. Kemudian mulai diadakan sejumlah pembicaraan yang diadakan baik di Peking, Jakarta, maupun di Bandung. Rangkaian pembicaraan ini berpuncak pada suatu persetujuan antara Sunario (Menteri Luar Negeri Indonesia) da Chou En-lai (Menteri Luar Negeri RRC), yang dilakukan pada tanggal 22 April 1955 di tengah penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika di Bandung Persetujuan ini dikenal sebagai Perjanjian Dwi-kewarganegaraan. Tujuan utama pihak Indonesia dalam persetujuan itu adalah untuk meniadakan akibat-akibat masa opsi. Selain itu, Indonesia juga menghendaki adanya kepastian akan lepasnya tuntutan yuridis terhadap orang Cina di Indonesia sebelum mereka diberikan kesempatan baru untuk memilih kewarganegaraan mereka. Keberadaan
22
etnis Tionghoa di Indonesia yang telah berlangsung berabad-abad lamanya ternyata menumbuhkan rasa nasionalisme terhadap Indonesia dan berjuang untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Sementara itu, RRC juga menerima baik keinginan Indonesia untuk menentukan sendiri siapa saja di antara orang Cina Indonesia yang harus memilih dan siapa saja yang tidak ikut memilih, karena telah secara implisit memilih kewarganegaraan Indonesia berdasarkan kedudukan social politik mereka. Secara yuridis, isi persetujuan tersebut diratifikasi dalam bentuk Undang-Undang No. 2/1958. (Koerniatmanto Soetoprawiro,1996: 105107). Sebelum Undang-Undang No. 62/1958 disahkan, pada tahun yang sama disahkan pula suatu Undang-Undang yang mengatur masalah kewarganegaraan Indonesia yaitu Undang-undang No. 2/1958. Pembahasan Undang-Undang No 2 Tahun 1958 sengaja dilakukan setelah pembahasan Undang-Undang No 62/1958 dikarenakan berbagai hal antara lain seperti : Dilihat dari nomornya UndangUndang No.2/1958 ada terlebih dahulu. Undang-Undang No 62/1958 dinyatakan sah berlaku sejak tanggal 1 Agustus 1958. Sedangkan Undang-Undang No 2 Tahun 1958 menyatakan bahwa Pejanjian Dwi kewarganegaraan mulai berlaku pada tanggal penukaran surat-surat penukaran di Peking, yaitu tanggal 20 januari 1960 serta isi Undang-Undang No 2 Tahun 1958 khususnya yang menyangkut masalah Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia telah menimbulkan pelbagai masalah pelik yang memerlukan penanganan yuridis berkepanjangan sampai bertahun-tahun kemudian. Undang-Undang ini disahkan pada tanggal 11 Januari 1958 dan diundangkan dalam Lembaran Negara 1958-5 pada tanggal 27 Januari 1958. Termasuk di dalam ketentuan Undang-Undang ini adalah pertukaran Nota antara Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan Perdana Menteri Chou Enlai tertanggal
Peking 3
Juni
1955.
Undang-Undang ini
bertujuan
untuk
menyelesaikan masalah dwi-kewarganegaraan yang ada pada waktu itu, dan mencegah timbulnya dwi-kewarganegaraan di kemudian hari. Menurut perjanjian ini, masalah dwi-kewarganegaraan yang ada itu diselesaikan dengan cara menghilangkan salah satu kewarganegaraan yang serempak dimiliki seseorang.
23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian Dalam penelitian ini penulis memanfaatkan perpustakaan sebagai tempat penelitian. a. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. c. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. d. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. e. Perpustakaan museum Radya Pustaka Surakarta f.
Perpustakaan Pusat Universitas Muhammadiyah Surakarta.
g. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta. h. Koleksi Pribadi
2. Waktu Penelitian Waktu yang digunakan untuk penelitian ini direncanakan mulai dari disetujuinya judul skripsi yaitu pada bulan April tahun 2009, sampai dengan selesainya penulisan skripsi ini.
B. Metode Penelitian
Peranan metode ilmiah dalam penelitian sangat penting karena keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang tepat. Kata metode berasal dari bahasa Yunani, methodos yang berarti cara atau jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara
23
24
kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1977: 16). Sementara itu menurut Husnaini Usman (1996: 42) menyebutkan bahwa metode adalah suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Menurut Helius Sjamsudin (1996: 6), metode adalah suatu prosedur teknik atau cara melakukan penyelidikan yang sistematis yang dipakai oleh suatu ilmu (sains), seni atau disiplin ilmu yang lain. Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha merekonstruksikan, mendiskripsikan dan memaparkan Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia Tahun 1958-1969 yang berkaitan dengan dampak dari keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958. Mengingat peristiwa yang menjadi pokok penelitian adalah peristiwa masa lampau, maka metode yang digunakan adalah metode historis atau sejarah. Dengan metode sejarah penulis mencoba menuliskan kembali suatu peristiwa di masa lampau sehingga dapat menghasilkan historiografi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah Gilbert J. Garraghan dalam Dudung Abdurrahman (1999: 43) mengemukakan bahwa metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilai secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. Louis Gottschalk dalam Dudung Abdurrahman (1999: 44) menjelaskan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis kesaksian sejarah guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya. Sementara itu menurut Helius Sjamsuddin dan Ismaun (1996: 61) menyatakan metode sejarah adalah proses menguji dan mengkaji kebenaran rekaman dan peninggalan-peninggalan masa lampau dengan menganalisis secara kritis buktibukti dan data-data yang ada sehingga menjadi penyajian dan ceritera sejarah yang dapat dipercaya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa metode penelitian sejarah adalah kegiatan pemecahan masalah dengan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji.
25
Pemakaian metode sejarah membantu dapat memahami kejadian pada masa lalu kemudian menguji dan menganalisis secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis dari sumber sejarah tersebut, agar dapat dijadikan suatu cerita sejarah yang obyektif, menarik dan dapat dipercaya.
C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sejarah. Sumber data sejarah sering disebut juga data sejarah. Menurut Kuntowijoyo (1995: 94), kata ”data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal datum (bahasa latin) yang berarti pemberitaan. Dudung Abdurrachman (1999: 30) menyatakan data sejarah merupakan bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian. Menurut Helius Sjamsuddin dan Ismaun (1996: 61) sumber sejarah ialah bahanbahan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Helius Sjamsuddin (1996: 73) mengemukakan pengertian sumber sejarah, yaitu: Segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw materials) sejarah yang mencakup segala macam evidensi (bukti) yang telah ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktivitas mereka di masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan (lisan). Dalam usaha untuk mengunpulkan data, penulis menggunakan sumber tertulis. Menurut Lexy J. Moeleng (1989: 31) sumber tertulis dapat berupa bukubuku, majalah ilmiah, arsip dan dokumen resmi (dikeluarkan oleh pemerintah) dan dokumen pribadi. Sumber tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu sumber tertulis primer dan sumber tertulis sekunder. Louis Gottshalck (1986: 35) mengemukakan bahwa sumber tertulis primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan mata kepala sendiri. Sumber tertulis primer juga dapat diartikan sebagai data yang didapatkan dari masa yang sejaman dan berasal dari orang yang
26
sejaman. Sedangkan sumber tertulis sekunder merupakan kesaksian dari pada siapapun yang bukan merupakan saksi mata, yakni dari seseorang yang tidak hadir dari peristiwa yang dikisahkannya. Sumber tertulis sekunder juga dapat diartikan sebagai data yang ditulis oleh orang yang tidak sejaman dengan peristiwa yang dikisahkannya. Sumadi Suryabrata (1998: 17) berpendapat bahwa penelitian historis tergantung kepada dua macam data, yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari sumber primer, yaitu peneliti secara langsung melakukan observasi atau penyaksian yang dituliskan pada waktu peristiwa terjadi. Data sekunder diperoleh dari sumber sekunder, yaitu penulis melaporkan hasil observasi orang lain yang satu kali atau lebih lepas dari aslinya. Diantara kedua sumber tersebut, sumber primer dipandang memiliki otoritas sebagai bukti tangan pertama dan diberi prioritas dalam pengumpulan data. Penelitian ini menggunakan sumber tertulis primer maupun sekunder. Sumber tertulis primer yang penulis gunakan di dalam penelitian ilmiah ini adalah berupa koran yang terbit pada tahun 1958 antara lain seperti Obor Rakyat, Gelora Maesa dan lain sebagainya. Adapun sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku-buku literature, maupun artikel-artikel yang relevan dengan penelitian. Sumber tertulis sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini antara lain : Hukum Kewarganegaraan Republik Indonesia karya Drs. C.S.T Kansil, S.H.,Warga Negara dan Orang Asing karya Sudargo Gautama, Etnis Tionghoa Dan Pembangunan Bangsa karya Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, tulisan Leo Suryadinata, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia editor Mely G Tan,. Hukum Kewarganegaran dan Keimigrasian Indonesia karya Koerniatmanto Soetoprawiro, dan lain sebagainya.
27
D. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka dalam melakukan tehnik pengumpulan data digunakan tehnik kepustakaan atau studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis dengan membaca bukubuku literature dan bentuk pustaka lainnya. Studi pustaka ini diperlukan peneliti untuk menggali teori-teori yang telah ada, agar memperoleh orientasi yang luas dalam permasalahan yang dipilih. Menurut Koenjaraningrat (1997:19) keuntungan dari studi pustaka adalah : 1) memperdalam pengetahuan tentang masalah yang dipilih; 2) menegaskan landasan teori yang digunakan sebagai landasan pemikiran; 3) mempertajam konsep yang digunakan sehingga mempermudah dalam perumusan; 4) menghindari terjadinya pengulangan dari suatu penelitian. Ada beberapa keuntungan dalam menggunakan teknik studi pustaka. Menurut Sartono Kartodirjo dalam Koentjaraningrat (1983:65) ”Keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan teknik studi pustaka adalah: (1) untuk membantu memperoleh pengetahuan ilmiah yang sesuai dengan persoalan yang dipelajari, (2) memberikan pengertian dealam menyusun persoalan yang tepat, (3) mempertajam perasaan dalam meneliti, (4) membuat analisa serta membuka kesempatan memperluas pengalaman ilmiah. Dengan teknik kepustakaan, sumber yang didapat tidak mungkin dapat disimpan semua dalam ingatan, maka dalam pengumpulan data diperlukan pencatatan yang sistematis”. Pengumpulan dengan studi pustaka dalam penelitian ini dilakukan dengan jalan mengumpulkan buku dan bentuk data lainnya tentang peristiwa masa lampau di beberapa perpustakaan. Buku atau data yang telah terkumpul kemudian diteliti dan disesuaikan dengan tema penelitian. Untuk memperoleh data-data dalam penelitian ini, peneliti melakukan studi tentang sumber-sumber primer dan sumber yang berupa buku-buku, koran dan majalah yang tersimpan di perpustakaan. Adapun
kegiatan
studi
pustaka
yang
dilakukan,
yaitu
dengan
memanfaatkan berbagai perpustakaan di lingkup Universitas Sebelas Maret
28
Surakarta, Perpustakaan Universitas Muhamaddiyah Surakarta, Perpustakaan Museum Radya Pustaka Surakarta. Kegiatan pengumpulan data ini juga dilakukan di Monumen Pers Surakarta untuk mendapatkan sumber berupa koran dan majalah yang sejaman. Kegiatan berikutnya yaitu dengan membaca, mencatat, meminjam, maupum memfotokopi sumber-sumber tertulis yang dianggap penting dan relevan dengan tema penelitian. Dengan demikian dapat diperoleh data-data yang akan digunakan dalam penulisan skripsi.
Dalam penelitian ini langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam mengumpulkan data adalah sebagai berikut : 1) Mengumpulkan buku-buku, surat kabar, artikel-artikel internet yang relevan dengan masalah yang diteliti. 2) Membaca dan mencatat sumber-sumber data yang diperlukan baik itu sumber primer maupun sumber sekunder. 3) Memfotokopi dan mencatat literatur kepustakaan yang dianggap penting dan relevan dengan masalah yang diteliti. 4) Mengklasifikasikan dan menyeleksi sumber-sumber yang telah dikumpulkan. 5) Membaca dan meringkas kembali sumber yang didapat serta membandingkannya dengan sumber-sumber lain yang relevan sehingga menjadi data yang akurat.
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis historis. Menurut Kuntowijoyo dalam Dudung Abdurrahman (1999:64), interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut dengan juga analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Teknik analisis data historis menurut Helius Sjamsuddin (1996:89) adalah analisis data sejarah yang
29
menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999:64), analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Menurut Sartono Kartodirdjo (1992:2) mengatakan bahwa analisis sejarah ialah menyediakan suatu kerangka pemikiran atau kerangka referensi yang mencakup berbagai konsep dan teori yang akan dipakai dalam membuat analisis itu. Data yang telah diperoleh diinterpretasikan, dianalisis isinya dan analisis data harus berpijak pada kerangka teori yang dipakai sehingga menghasilkan fakta-fakta yang relevan dengan penelitian. Adapun kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dalam menganalisis data sejarah adalah sebagai berikut: 1. Mengadakan kritik sumber, baik kritik ekstern maupun kritik intern. Kritik ekstern yaitu memberikan penilaian terhadap keaslian atau otensitas sumber dengan melihat sisi luarnya, misal jika penulis menggunakan sumber arsip atau koran maka harus melihat atau memahami dengan seksama tentang kapan dibuat atau diterbitkan , penggunaan bahasa dan ungkapannya dan lain-lain. Sedangkan kritik intern yaitu memberikan penilaian terhadap isi sumber, apakah sumber tersebut dapat dipercaya atau tidak, seperti identifikasi penulis, cara berfikir penulis apakah mengarah pada perhatian hanya ke satu jurusan tertentu atau lebih luas, latar belakang dokumen tersebut dibuat dan unsur subyektifitas pengarang. 2. Menginterpretasikan
data
yang
telah
terkumpul
dengan
cara
membandingkan, mengkaitkan, atau menghubungkan antara data yang satu dengan data yang lain. Agar dapat diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa di masa lampau yang menjadi obyek penelitian dan mendapatkan fakta-fakta sejarah yang benar-benar relevan., penulis dapat mengkaji dengan menggunakan beberapa sumber sekunder yaitu berupa buku-buku yang relevan dengan masalah tersebut agar dapat menjadi
30
sebuah
data.
Data
yang
telah
terkumpul
kemudian
diseleksi,
diklasifikasikan dan ditafsirkan, dan kemudian dirangkai untuk dijadikan bahan penulisan penelitian yang utuh dalam sebuah karya ilmiah.
F. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian awal yaitu persiapan pembuatan proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Karena penelitian ini menggunakan metode historis, maka ada empat tahap yang harus dipenuhi. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Prosedur penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Heuristik
Kritik
Interpretasi
Historiografi
Fakta Sejarah
Keterangan : a. Heuristik Heuristik berasal dari kata Yunani yang artinya memperoleh. Dalam pengertiannya yang lain adalah suatu teknik yang membantu kita untuk mencari jejak-jejak sejarah. Menurut G. J Rener (1997: 37), heuristik adalah suatu teknik, suatu seni dan bukan suatu ilmu. Heuristik tidak mempunyai peraturan-peraturan umum, dan sedikit mengetahui tentang bagian-bagian yang pendek. Sidi Gazalba (1981: 15) mengemukakan bahwa heuristik adalah kegiatan mencari bahan atau menyelidiki sumber sejarah untuk mendapatkan hasil penelitian. Dengan demikian heuristik adalah kegiatan pengumpulan jejak-jejak sejarah atau dengan kata lain kegiatan mencari sumber sejarah. Pada tahap ini peneliti berusaha mencari dan menemukan sumber-sumber tertulis berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang relevan dengan
31
penelitian. Sumber tertulis primer, berupa surat kabar, dan majalah; maupun sumber sekunder berupa buku-buku dan literatur yang diperoleh dari beberapa perpustakaan, dan di antaranya: Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Jurusan FKIP Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Program Studi Sejarah FKIP Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Monumen Pers Surakarta, Perpustakaan Pusat Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan Perpustakaan Museum Radya Pustaka Surakarta
b. Kritik Setelah mengumpulkan data atau bahan, tahap berikutnya adalah langkah verifikasi atau kritik untuk memperoleh keabsahan sumber. Kritik merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menyelidiki jejak-jejak sejarah yan telah dikumpulkan yaitu menyangkut jejak-jejak sejarah tersebut dapat dipercaya atau tidak, kritik sumber dilakukan untuk memilih, menyeleksi, mengidentifikasi serta menilai sumber atau data yang akan digunakan dalam menulis sejarah kritis. Menurut Helius Syamsudin (1996: 103) keabsahan sumber dicari melalui pengujian mengenai kebenaran atau ketetapan sumber. Kritik terhadap sumber data dilakukan dengan dua cara yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern pada sumber tertulis dilihat dari pengarangnya. Kritik ekstern yaitu kritik terhadap keaslian sumber (otensitas) yang berkenaan dengan segi-segi fisik dari sumber yang ditemukan, seperti: bahan (kertas atau tinta) yang digunakan, jenis tulisan, gaya bahasa, hurufnya, dan segi penampilan yang lain. Kritik intern adalah kritik yang berhubungan dengan kredibilitas dari sumber sejarah apakah isi, fakta dan ceritanya dapat dipercaya dan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Kritik interen dalam penelitian ini dilakukan dengan kegiatan mengidentifikasi gaya, tata bahasa dan ide yang digunakan oleh penulis sumber data, situasi saat penulisan dan tujuan dalam mengemukakan peristiwa yang berkaitan dengan tema penelitian. Kritik Intern dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa proses antara lain, Pertama, penilaian terhadap aspek intrinsik yang dimulai dengan menentukan sifat sumber data sejarah. Dari proses itu didapatkan pengkategorian sumber data. Kedua ,
32
membuat suatu perbandingan diantara sumber data yang telah terkumpul, pada proses ini dilakukan suatu kegiatan untuk menghubungkan dan membandingkan sumber data yang satu dengan yang lain guna memastikan tingkat validitas sumber data.
c. Interpretasi Interpretasi atau penafsiran sejarah sering disebut juga dengan analisis sejarah. Analisis ini berarti menguraikan secara terminologi berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Namun analisis dan sistematis dapat dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi (Kuntowijoyo,1993:100). Interpretasi merupakan suatu kegiatan menafsirkan fakta-fakta yang diperoleh dari data-data yang telah diseleksi terlebih dahulu pada tahapan sebelumnya, untuk selanjutnya dilakukan analisis data. Dalam penelitian ini, interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan atau mengaitkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah lain, sehingga dapat diketahui hubungan sebab-akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang menjadi obyek penelitian. Kemudian sumber tersebut ditafsirkan, diberi makna dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami makna tersebut sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang dikaji. Dengan demikian dari kegiatan kritik sumber dan interpretasi tersebut dihasilkan fakta sejarah atau sintesis sejarah.
d. Historiografi Historiografi
adalah penulisan, pamaparan/pelaporan hasil penelitian
sejarah (Dudung Abdurrahman,1999:67). Historigrafi merupakan langkah terakhir dalam penulisan sejarah. Langkah ini merupakan kegiatan menyusun fakta sejarah menjadi suatu kisah sejarah yang menarik dan dapat dipercaya kebenarannya. Menurut Helius Sjamsudin (1992:153) dalam historiografi seorang penulis tidak hanya menggunakan keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan atau catatan-catatan tetapi penulis juga dituntut untuk menggunakan pikiran kritis dan analisis. Dalam langkah ini diperlukan imajinasi untuk mengaitkan fakta satu
33
dengan yang lain sehingga menjadi suatu kisah sejarah yang menarik. Pada tahap ini, kegiatan menyusun fakta sejarah dibutuhkan kemampuan mengungkapkan bahasa secara baik, kemampuan untuk menempatkan fakta sejarah sesuai dengan periode sejarah. Dari data yang telah ditemukan maka peneliti berusaha memaparkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan bahasa ilmiah disertai dengan argumentasi secara sistematis. Kemampuan menjelaskan data yang telah ditemukan dengan menyajikan bukti-bukti dan membuat garis umum yang dapat diikuti secara jelas oleh pemikiran pembaca.
34
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia sebelum keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958 1. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa Pada Masa Penjajahan Belanda a.
Kedatangan Awal Orang Tionghoa di Nusantara Kedatangan etnis Tionghoa ke Nusantara telah terjadi beratus-ratus tahun
yang lalu. Sebagian besar para emigran Cina adalah orang-orang miskin dan berasal dari daerah Cina bagian selatan. Kemiskinan mereka dapat dilihat dari pekerjaan mereka yang tergolong kasar, yaitu sebagai buruh, kuli perkebunan atau pedagang kecil (Wang Gung Wu, 1991:291). Diduga orang Cina yang pertama kali berkunjung ke Nusantara adalah Fa Hian, seorang pendeta agama Budha. Kunjungan berikutnya dilakukan oleh ITsing yaitu antara tahun 671-692 M. Sampai pada abad VIII, mula-mula hubungan antara Negara Cina dangan Nusantara hanya berupa kunjungan pendeta Budha. Baru pada masa pemerintahan Dinasti Song (960-1279 M) terjadi perjalanan komersiil, perjalanan dengan tujuan berdagang ke kepulauan nusantara (Markhamah, 2000:1) Pada awal abad ke-17, sebelum kolonialis Belanda datang ke Indonesia, bangsa Indonesia dengan Tiongkok telah terlibat dalam hubungan perdagangan. Hubungan ini telah dimulai semenjak masa dinasti Han (206 SM-220 M). Pada masa ini, Tiongkok telah membuka jalur perdagangan dengan negara-negara yang ada di kawasan Asia Tenggara. Dalam hal ini, Jawa dan Sumatera termasuk dalam jalur pelayaran tersebut. Lambat laun, banyak penduduk Tiongkok yang bermigrasi ke kepulauan Nusantara, karena daerah Nusantara sangat subur jika dibandingkan dengan negeri Tiongkok yang tandus serta kerap terjadi peperangan dan bencana alam. Kebanyakan imigran Tiongkok adalah laki-laki dan mereka tidak membawa istri dari negeri asalnya, maka mereka pun menikah dengan wanita setempat. Imigran Tiongkok ini kemudian bermukim sampai beberapa generasi dan tak pernah kembali ke negeri asal mereka. Oleh karena itu, muncullah etnis Tionghoa 34
35
peranakan yang kemudian merasa menjadi orang Indonesia, sebab mereka lahir, besar, bekerja, dan meninggal di bumi Nusantara, bahkan sebagian besar dari mereka tidak bisa berbahasa Tionghoa, serta menganggap Nusantara sebagai tanah airnya sendiri. Hubungan antara kedua bangsa semakin erat semenjak adanya lawatan muhibah Cheng Ho ke Nusantara pada abad ke-15. Pada saat itu Cheng Ho mengemban misi dari Kaisar Cheng Zhu untuk menjalankan politik kerukunan dan persahabatan dengan bangsa-bangsa asing, termasuk Nusantara. Pada saat kedatangan Cheng Ho yang pertama, sudah banyak terdapat warga etnis Tionghoa di Pulau J awa, Sumatera, dan Kalimantan. Pada akhir masa dinasti Ming (13681644) dan awal dinasti Ch'ing (1644-1911), jumlah imigran etnis Tionghoa yang datang ke Nusantara semakin bertambah. Hal ini disebabkan adanya penyerangan bangsa Manchu terhadap dinasti Ming, sehingga banyak penduduk Tiongkok yang bermigrasi untuk menghindari peperangan. Jika pada tahun 1628, jumlah warga etnis Tionghoa di Batavia baru berjumlah 3.000 jiwa, maka pada tahun 1739 telah meningkat menjadi 10.574 jiwa. Para imigran etnis Tionghoa di Nusantara dapat hidup berdampingan secara rukun dan damai dengan penduduk setempat. Mereka hidup membaur dengan membawa kebudayaan masing-masing, serta bersama-sama mengembangkan dan memakmurkan ekonomi setempat. Keberadaan mereka sangat menguntungkan dan membawa perkembangan bagi daerah yang ditempatinya, sebab mereka membawa dan memperkenalkan teknologi dari negerinya, seperti pembuatan gula tebu, tahu, mi, bihun, kecap, penyulingan alkohol, serta pembuatan alat-alat rumah tangga. Warga etnis Tionghoa juga sangat rajin bekerja di segala bidang kehidupan, misalnya sebagai pedagang, petani, pandai besi, tukang kayu, dan kuli pertambangan ataupun perkebunan (Hembing Wijayakusuma, 2005: vii-viii). Orang Cina di Indonesia kebanyakan tinggal di Pulau Jawa. Pada tahun 1930 mencapai hampir 50% dari seluruh orang Cina yang ada di Indonesia. Di Jawa tempat tinggal mereka terpisah dengan pribumi. Hampir pada setiap kota di Jawa terdapat daerah yang disebut “pecinan” yang berarti tempat tinggal orang Cina. Pekerjaan orang Cina adalah pedagang, kecuali orang-orang Cina di
36
Kalimantan Barat dan Bangka–Balitung. Di kedua pula tersebut, orang Cina tidak bekerja pada sektor perdagangan Ada beberapa pendapat yang berkaitan dengan kedatangan orang Cina di Jawa. Ada yang mengatakan bahwa sebelum kedatangan Belanda ke Indonesia. Pada tahun 1596 M belum terdapat perkampungan orang Cina di Jawa. Perkampungan orang Cina mulai ada setelah Belanda kembali ke Banten. Wang Gungwu mengatakan bahwa munculnya perkampungan Cina di Jawa adalah antara tahun 1405-1430 M (Markhamah, 2000:1). Masyarakat Tionghoa merupakan kelompok yang heterogen; mereka begitu beragam hampir seperti kepulauan Indonesia. Masyarakat Tionghoa di Jawa datang sebagai perorangan, atau dalam kelompok kecil, mereka tiba di sini sebelum kedatangan bangsa Eropa. Sebagian besar kaum migran ini menyatu dengan masyarakat lokal sehingga masyarakat Tionghoa Jawa sekarang ini tidak lagi dapat berbicara bahasa Mandarin. Sedangkan, di Kalimantan Barat, di pulau Kalimantan, dan pesisir timur Sumatera, kaum Tionghoa bermigrasi dalam kelompok besar utuk bekerja di perkebunan dan di tambang timah sehingga masyarakat Tionghoa di daerah tersebut tetap mempertahankan bahasa mereka. Di Sulawesi Utara dan di pulau Maluku mereka dengan sendirinya berasimilasi dengan masyarakat lokal. Selain berasal dari daerah yang berbeda, masyarakat Tionghoa menganut bermacam agama di Indonesia, Kristen, Katolik, dan aliran Kristen lainnya, Buddha, Kong Hu Cu, dan Islam (Justian Suhandinata, 2009: 10).
b.
Kewarganegaraan Etnis Tionghoa Pada Masa VOC Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) didirikan pada tahun 1602.
VOC merupakan gabungan dari sejumlah perusahaan dagang Belanda yang berlayar ke Hindia Timur. Oleh karena itu VOC tidak mengenal prinsip kewarganegaraan sewaktu memegang monopoli dagangnya di Nusantara ini. VOC bukan merupakan suatu badan kenegaraan. Sehingga pada zaman Kompeni (VOC) masih belum terdapat peraturan-peraturan tentang kewarganegaraan. Pada waktu itu perbedaan bukanlah dilakukan antara warganegara dan “orang-orang asing”. Orang lebih banyak memperhatikan sifat-sifat lahir (uiterlijke kenmerken)
37
atau kriteria lain seperti kepercayaan (keagamaan) yang mudah tampak terlihat. Kompeni datang ke Indonesia bukan untuk mendirikan suatu negara atau mempunyai politik lainnya. Mereka hanya datang mengembara di kepulauan ini untuk berdagang, untuk mencari keuntungan materiil sebesar-besarnya. Maka mereka sama sekali tidak begitu mementingkan permasalahan politis dan kenegaraan (Sudargo Gautama, 1987:21). Pada zaman VOC dikenal perbedaan antara compagniesdienaren (hamba-hamba kompeni Belanda yang merupakan keturunan orang Eropa atau Belanda) dan vrije luiden of slaven (golongan yang bukan keturunan Eropa/Belanda misalnya seperti Arab dan Tionghoa); atau antara Christenen (beragama Kristen) dan Onchristenen (beragama non Kristen); dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan itu dipandang dengan memperhatikan sifat-sifat lahir (tampak) atau kriteria lain seperti kepercayaan (keagamaan) yang mudah tampak terlihat. Akan tetapi pada prinsipnya, khususnya mereka yang tinggal dalam benteng VOC, tetap tunduk pada hukum yang sama, yaitu hukum Belanda. Jadi, sama sekali tidak ada usaha untuk membedakan secara yuridis antara orang asing dan orang asli dari daerah yang bersangkutan. Kedudukan hukum orang asing sama dengan orang asli, sama-sama sebagai penduduk Hindia Timur (Oost Indie), dengan hak dan kewajiban yang sama. (Koerniatmanto, 1996:16) Pada tahun 1720, imigrasi orang Tionghoa ke Nusantara sangat dibatasi. Pembatasan terhadap masuknya orang-orang Cina merupakan suatu indikator bahwa VOC tidak selamanya memperlakukan orang Tionghoa secara lebih baik. Pembunuhan massal terhadap orang Tionghoa di Batavia pada tahun 1740-an adalah salah satu wujud pernyataan sikap yang dikeluarkan oleh VOC terhadap orang Tionghoa (Benny Juwono, 1999: 51). Walaupun Pemerintah Kolonial Belanda memberikan peraturan yang kurang baik terhadap Etnis Tionghoa, tetapi komunitas Tionghoa penting dipertahankan alasannya adalah bahwa kekuatan Belanda memaksakan pemisahan orang Tionghoa dan menginginkan mereka untuk tetap berbeda. Lagipula, orang Tionghoa membayar pajak lebih mahal
38
ketimbang yang dibayar oleh penduduk asli, dan mereka menyediakan bagian yang besar daripada pendapatan integral VOC (Justian Suhandinata, 2009:103). 1) Kewarganegaraan Belanda menurut Burgelijk Wetboek Di negeri Belanda masalah kewarganegaraan muncul untuk pertama kali pada sekitar tahun 1814/1815. Pada tahun itu terbentuk UndangUndang Dasar (grondwet) yang pertama bagi Kerajaan Belanda. Baru sekitar waktu itu orang Belanda menyadari dirinya sebagai sebuah bangsa (nation). Disadari perlunya ketentuan tentang siapakah yang merupakan warga Kerajaan Belanda (Nederlanderschap). Berdasarkan Grondwet 1814/1815 pada tahun 1838 disusunlah Nederlandsch Burgerlijk Wetboek (NBW). Dengan menggunakan asas ius soli Pasal-pasal yang mengtur Nederlanderschap ini ialah pasal 5-12 B.W. dengan title Van Nederlanders en Vreemdelingen yang menyatakan bahwa selain orang-orang keturunan Belanda, juga orang-orang Indonesia, Tionghoa dan Arab yang dilahirkan di Hindia Belanda, adalah orang-orang Belanda tetapi dalam artian Civielrechtelijk. Status ini hanya bersifat perdata (privat). Artinya tidak membawa hak dan kewajiban publik sebagaimana halnya pada status warga negara umumnya. Namun status ini tetap membawa akibat hukum dalam hal perlindungan diplomatik dalam hubungan internasional (Sudargo Gautama, 1987:22-23) 2) Dualisme Kewarganegaran Belanda Pasal 5 NBW menetapkan pengertian warga negara Belanda, secara terbatas, yang semata mata hanya mengatur masalah-masalah di bidang hukum perdata. Jadi sampai dengan tahun 1850 yang ada hanyalah civielrechtelijk Nederlanderschap. Baru pada tanggal 28 Juli 1850 dikeluarkan
suatu
wet
yang
mengatur
masalah
staaatsrechtelijk
Nederlanderschap (Staatsblad 1850-44), sebagai pelaksanaan dari pasal 7 Grondwet 1848. Sejak saat itulah muncul masalah dualisme pengertian warga Negara Belanda. Pengertian yang bersifat perdata diatur dalam Nederlandsch Burgerlijk Wetboek, sedangkan pengertian yang bersifat publik diatur berdasarkan Wet 28 juli 1850
39
Pengertian warga negara Belanda berdasarkan kedua ketentuan itu mempunyai perbedaan lingkup yang prinsipial sifatnya. Warga negara Belanda menurut Nederlandsch Burgelijk Wetboek ialah mereka yang dilahirkan oleh orang tua yang bertempat tinggal di negeri Belanda dan koloninya, sedangkan menurut Wet 28 Juli 1850 terbatas hanya pada mereka yang dilahirkan oleh orang tua yang bertempat tinggal dinegeri Belanda. Berdasarkan Pasal 1 Wet 28 Juli 1850, orang yang berhak menikmati hak-hak publik hanya orang-orang Belanda yang lahir dari orang tua
yang
bertempat
tinggal
di
negeri
Belanda
(rijk
in
Europe)
(Koerniatmanto, 1996:17-18). 3) Wet op het Nederlanderschap en Ingezetenschap 1892 Pada tahun 1920 Regeringsreglement mengalami perubahan yang cukup luas, meskipun dengan nama yang tetap sama. Perubahan nama baru terjadi
pada
tanggal
1
Januari
1926.
Indische
Staatsregeling (IS)
menggantikan kedudukan Regeringsreglement sebagai "konstitusi" Hindia Belanda, dengan materi muatan atau isi yang persis sama. Berdasarkan Pasal 160 ayat (2) IS, penduduk Hindia Belanda adalah mereka yang dengan sah bertempat tinggal tetap di sana. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 163 IS penduduk Hindia Belanda dibedakan ke dalam tiga golongan, yaitu golongan Eropa, golongan Pribumi, dan golongan Timur Asing. Pada tanggal 12 Desember 1892 diundangkan di Negeri Belanda suatu UndangUndang yang dikenal sebagai Wet op het Nederlanderschap en het Rijksingezetenenschap (Wet 1892). Melalui ketentuan penutupnya, wet yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1893 ini mencabut Pasal 5-12 NBW dan Wet 28 Juli 1850. Dengan demikian dualisme ketentuan tentang kewarganegaraan di negeri Belanda diakhiri (Koerniatmanto, 1996:20) Berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang terdahulu, Wet 1892 ini pada prinsipnya menganut asas ius sanguinis, tanpa meninggalkan sama sekali asas ius soli. Asas ius soli dipergunakan sebagai perkecualian, semata-mata guna menghindari munculnya kasus apatride.
40
4) Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap van Niet Nederlander 1910 Bunyi Ketentuan Peralihan Wet 1892 tersebut berasal dari usul atau amandemen dari anggota parlemen Belanda yang bernama Levysshon Norman. Amandemen Levysshon Norman pada hakikatnya berkaitan langsung dengan kekhawatiran, jangan-jangan ada orang dari golongan Pribumi dan yang dipersamakan di Hindia Belanda yang akan dapat memangku jabatan publik atau menikmati hak-hak publik. Akan tetapi Amandemen Levysshon Norman ini menimbulkan berbagai kesulitan bagi Pemerintah jajahan Belanda itu sendiri. Kesulitan ini antara lain menimpa para konsul Belanda di luar negeri. Mereka raguragu, apakah orang-orang dari golongan bukan Belanda perlu mereka lindungi atau tidak, seperti halnya para Nederlander lainnya. Selain itu Pemerintah Hindia Belanda menghadapi kesulitan lain yang timbul dari diundangkannya Undang-Undang Kewarganegaraan Tiongkok 1909. Undang-Undang ini menggunakan asas ius sanguinis. Hal ini berarti bahwa semua orang Cina di mana pun ia berada (termasuk yang menjadi penduduk di Hindia Belanda) adalah warga negara Tiongkok. Tentu saja hal ini mengancam kepentingan Pemerintah Hindia Belanda, baik secara politis maupun secara ekonomis. Mengingat pelbagai kesulitan di atas, pada tanggal 10 Februari 1910 diundangkanlah Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap van Niet Nederlanders (Staatsblad 1910-296) atau Wet 1910. Sejak saat itu pula kedudukan publik sebagai penduduk Hindia Belanda berdasarkan Pasal 160 IS diatur lebih lanjut dalam Wet 1910 ini sebagai kaulanegara Belanda (Nederlandsch onderdaan). Wet ini menentukan bahwa yang menjadi kaulanegara Belanda adalah a. mereka yang lahir di Hindia Belanda dari orangtua yang bertempat tinggal di Hindia Belanda, atau dari seorang ibu yang bertempat tinggal di Hindia Belanda apabila ayahnya tidak diketahui, b. mereka yang lahir di Hindia Belanda dari orangtua yang tidak diketahui,
41
c. istri atau janda dari mereka yang termasuk kategori a dan b di atas, yang tidak kawin kembali, d. anak dari mereka yang termasuk kategori a, yang lahir di luar Hindia Belanda, selama belum berusia delapan belas tahun atau belum kawin, e. anak dari orangtua yang berstatus kaulanegara menurut Wet ini, yang lahir di luar Hindia Belanda, bila mereka telah berusia delapan belas tahun atau telah kawin, bertempat tinggal di wilayah Kerajaan Belanda (Negeri Belanda, Hindia Belanda, Suriname, Curasao) dengan istri dan anaknya yang belum berusia delapan belas tahun, jika juga bertempat tinggal di wilayah Kerajaan Belanda, f. mereka yang bertempat tinggal di Hindia Belanda setelah kehilangan kekaulanegaraan Belanda-nya karena tidak menggunakan hak opsinya sewaktu tinggal di luar negeri. Dengan berlakunya Wet 1910 ini, lahirlah istilah Nederlandsch onderdaanschap (kekaulanegaraan Belanda). Istilah ini merupakan istilah yuridis baru dalam hukum ketatanegaraan Hindia Belanda. Istilah ini menunjukkan hubungan hukum antara penduduk Hindia Belanda, yang adalah wilayah jajahan Belanda, dan Kerajaan Belanda (Koerniatmanto, 1984:22) c.
Munculnya Pergerakan Tionghoa Pergerakan Tionghoa adalah gerakan untuk perbaikan nasib serta
mencapai perlakuan sama rata dari orang-orang Tionghoa yang berada di Indonesia. Pergerakan Tionghoa merupakan factor pendorong dari dalam negeri, supaya diadakan suatu peraturan
kewarganegaraan yang pasti bagi Hindia
Belanda. Menurut Fromberg sendiri, keganjilan orang-orang Tionghoa bukan karena mereka ingin dipersamakan dengan golongan bumiputra. Akan tetapi karena mereka tidak dipersamakan dengan golongan Eropa. Dan jika dilihat secara objektif, usaha pergerakan Tionghoa, ke arah perlakuan sama rata, justru membawa pula manfaat juga bagi golongan rakyat bumiputra. Karena pergerakan Tionghoa ini juga menjadikan masyarakat Indonesia telah turut bangun, sehingga dalam waktu cepat telah muncul berbagai perhimpunan-perhimpunan nasional
42
Indonesia (Sudargo Gautama, 1987:48-49) Adanya hasrat untuk membuat sebanyak mungkin orang-orang menjadi kaulanegara dengan menggunakan asas daerah kelahiran dan tafsiran yang luas ini telah menimbulkan reaksi dari kalangan tertentu. Bagi orang-orang yang tidak suka untuk dihitung menjadi kaulanegara Belanda, hal ini dipandang sebagai terlalu memaksa. Sama sekali tidak ada kemungkinan untuk menolak kekaulanegaraan ini. Hak repudiasi tidak dikenal. Tetapi bila diabaikan sama sekali kebebasan memilih ini segala sesuatu akan dirasakan lebih menyakitkan. Pemuka-pemuka dari "Pergerakan Tionghoa" yang sediakala dipelopori oleh Sin Po melalui perkataan-perkataan yang dipakai oleh Tjoe Bou San, yaitu pelopor pergerakan yang terkenal dalam Sin Po dengan terang-terangan menolak kekaulanegaraan Hindia Belanda ini. Orientasi mereka semata-mata ditujukan kepada negeri leluhur. Tidak adanya kebebasan untuk memilih ini merupakan salah satu keberatan mereka (dalam Sin Po, November 1930) Pendorong
utama
bagi
pemerintah
Hindia
Belanda
untuk
mengeluarkan suatu peraturan tentang nasionalitas rakyat Hindia Belanda ialah kekhawatiran akan "hilangnya" berjuta-juta orang keturunan Tionghoa, yang sebenarnya telah hidup turun-temurun, telah dilahirkan dan juga akan dikubur di kepulauan ini bekerja berusaha serta berniaga di sini harus dianggap sebagai anak-anak negeri ini. Suasana kehidupan kolonial pada awal permulaan di Hindia Belanda adalah sedemikian rupa, sehingga orang-orang Tionghoa di kepulauan ini tidak dapat menganggap dirinya
tidak lain
daripada orang-orang asing. Harapan mereka tidak diletakkan atas negeri di mana mereka dilahirkan. Keadaan yang memaksa untuk menengok kepada negeri leluhur. Perlindungan diharapkan hanya dari negeri yang telah lama mereka tinggalkan (Sudargo Gautama, 1987:48-50). Perhatian dari tunjangan yang diperoleh Hoakiao (orang Tionghoa perantauan) dari negeri leluhur dan negeri leluhur dari Hoakiao ini adalah timbalbalik. Di waktu dynasti Manchu masih berkuasa, para emigran ini dianggap sebagai penjahat-penjahat dan terhadap siapapun dapat dijatuhkan hukuman mati. Mereka ini dipandang sebagai orang-orang yang melalaikan kewajiban sucinya
43
untuk memelihara leluhur mereka. Dalam suasana demikian dapat dimengertilah mengapa Cina di waktu itu sama sekali tak menaruh perhatian pada rakyatnya yang pergi mengembara ke negeri lain. Karenanya mudah dimengerti sikap pemerintah Cina yang amat pasif ketika berulang-ulang beribu-ribu orang Tionghoa telah dibunuh di negeri-negeri perantauan, antaranya tahun 1740 di Batavia (Justian Suhandinata, 2009:11) Pada akhir abad ke-19 keadaan baru mulai berubah. Dengan proklamasi Gubernur Kwangtung ditahun 1859, dapat dikatakan secara resmi untuk pertama kalinya diakui hak rakyat Cina untuk meninggalkan tanah leluhur mereka serta kembali lagi ke sana dengan tak usah takut ditangkap atau dituntut serta diperas, karena melanggar suatu peraturan hukum. Kemudian disempurnakan kebebasan untuk merantau ini. Keadaan sama sekali berubah sebagai akibat revolusi nasional. Negeri leluhur sekarang dengan tegas menganut politik melindungi terhadap rakyatnya dalam pengembaraan. Guna perlindungan ini, diperlukan suatu undang-undang kewarganegaraan yang luas. Peraturan ini harus dapat terus menganggap
rakyat
dalam
pengembaraan
walau
sudah
ratusan
tahun
meninggalkan negeri leluhur, dan sudah tak ada hubungan sedikitpun dengan negeri leluhur, tetap diakui sebagai anggota-anggota "Chung Hua Min Kuo". Mereka dapat menikmati perlindungan serta hak-hak politis di negeri Cina, Demikianlah
dalam
tahun
1909
telah
lahir
Undang-Undang
Kewarganegaraan Cina, serta telah disediakan untuk Hoakiao dalam DPR di Cina dari tahun 1912, 6 dari total 274 kursi wakil-wakil. Semangat nasionalisme yang sedang bergelora di negeri leluhur, tidak bisa tidak harus dirasai pula oleh Hoakiao di Hindia Belanda. Semangat nasional laksana angin telah meniup-niup dan mengobarkan pula api nasional dalam hati-hati orang-orang Tionghoa di Indonesia, api yang memangnya harus diakui sedari dulu belum pernah padam sama sekali. Lebih banyak orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda merasakan diri mereka Tionghoa. Dari suatu "etat hermite" Cina telah berubah menjadi suatu "etat nation".
44
Melihat keadaan semua itu pemerintah Hindia Belanda sadar akan bahaya apabila demikian banyak orang Tionghoa menjadi terlepas sama sekali dari lingkungan Hindia Belanda, Maka dibuatlah peraturan-peraturan yang bermaksud untuk mencegah terjadinya hal yang tak diinginkan itu. Keadaan menjadi semakin mendesak ketika Pemerintah Cina sendiri dalam tahun 1909 sudah siap dengan peraturan kewarganegaraannya, serta berniat untuk mengirimkan Konsul-konsul, "High Commissioners", dan "Inspekturinspektur pendidikannya" ke Hindia Belanda. Dengan maksud untuk menghindarkan supaya orang-orang Tionghoa Peranakan jatuh di bawah kekuasaan jurisdiksi Konsul-konsul Cina, pemerintah Hindia Belanda dengan tergesa-gesa menetapkan undang-undangnya tentang "Nederlandsch Onderdaanschap van niet Nederlanders" (S. 1910/296). (Sudargo Gautama, 1987: 52). 2. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa Pada Masa Pendudukan Jepang Sewaktu Jepang menduduki Indonesia yaitu pada bulan Maret 1942, semua partai politik (baik partai-partai pribumi, Belanda, maupun Tionghoa) dilarang. Para pemimpin mereka dipenjarakan atau bergerak di bawah tanah atau "bekerja sama" dengan orang Jepang. Sebagian besar para pemimpin totok yang anti Jepang ditawan, demikian juga sejumlah pemimpin peranakan. Walaupun demikian ada juga orang Tionghoa dan beberapa nasionalis Indonesia yang bekerja sama dengan Jepang. Dari partai politik peranakan Tionghoa yang terlarang, Liem Koen Hian (PTI) dan Oei Tjong Hauw (CHH) diangkat sebagai anggota dari Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPKI yang dipimpin Sukarno dan Hatta). Dua anggota panitia lainnya dari kaum peranakan (yang tidak aktif dalam partai-partai Tionghoa sebelum Perang Dunia Kedua) adalah Oei Tiang Tjoei (Pimpinan surat kabar Hong Po yang pro-Jepang dan ketua Hua ch’iao tsung-hui di Jakarta), dan Tan Eng Hoa. Tiga orang yang disebut pertama cukup menonjol dan pandangan mereka dapat dianggap mewakili kaum Tionghoa peranakan selama masa pendudukan Jepang. Liem Koen Hian tetap mendukung kemerdekaan Indonesia. Pandanganpandangannya yang nasionalis dan pro-Indonesia. yang telah dikemukakannya
45
sejak sebelum masa pendudukan, nampaknya tidak berubah. Juga pandangannya tentang kewarganegaraan orang Tionghoa Indonesia. Dalam sebuah pertemuan BPKI Liem rnengemukakan keyakinannya bahwa kaum Tionghoa lokal di Jawa tidak lagi Cina dalam kebudayaannya. Mereka lebih Indonesia daripada Cina. Walaupun demikian mereka agak bingung tentang posisi mereka sendiri karena ada perubahan situasi baik nasional maupun intemasional. Liem menganjurkan agar Republik Indonesia yang akan datang menyatakan semua Tionghoa di Indonesia sebagai warga negara Indonesia (Leo Suryadinata,1984: 55) Oei Tiang Tjoei mempunyai pendapat yang berbeda. Ia setuju bahwa Tionghoa peranakan adalah campuran dari orang Indonesia dan Tionghoa tetapi hal itu tidak membuat mereka menjadi orang Indonesia. Ia mengatakan bahwa rasa nasionalis adalah naluriah. Kaum Tionghoa peranakan di Indonesia, menurut pandangannya, masih mempunyai rasa nasionalis Cina. Karena itu ia mengusulkan
agar
dalam
Undang-undang
Dasar
Republik
Indonesia
kewarganegaraan orang Tionghoa sebaiknya "diberi pertimbangan yang adil". Ia tidak mengatakan bahwa Tionghoa harus dinyatakan sebagai warga negara Cina, tetapi keterangan-keterangan yang diberikannya nampaknya menjurus ke situ. Di samping itu ia tidak melihat ada pertentangan antara menjadi anggota bangsa Cina dan menjadi anggota masyarakat Indonesia. Dalam pandangannya, orang Jepang, Indonesia, dan Tionghoa semuanya orang Asia, karena itu mereka harus bekerja sama mewujudkan "Asia Raya". Oei Tjong Hauw mempunyai pandangan yang mirip tetapi lebih terbuka. Oei lebih memilih agar pemerintah Indonesia yang akan menyatakan semua orang Tionghoa di Indonesia sebagai warga negara Cina. Ia mengemukakan bahwa banyak Tionghoa peranakan memegang kewarganegaraan Cina sewaktu Undangundang Kekawulaan Belanda tidak berlaku lagi. Mereka tidak malu akan kewarganegaraan mereka. Oei selanjutnya mengatakan bahwa walaupun ia dan orang-orangnya akan memilih kewarganegaraan Cina, ia berjanji akan bekerja sebaik mungkin untuk membantu rakyat Indonesia membentuk negara merdeka. Kesediaannya mendukung kemerdekaan Indonesia disebabkan oleh dua hal; negara Cina juga sedang berperang memperjuangkan kemerdekaannya; dan
46
bahwa orang Tionghoa di Indonesia berhutang budi kepada pemerintah Indonesia atas mata pencaharian yang telah diperoleh bagi kehidupannya. (Leo Suryadinata, 1984 : 56). 3. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa Pada Awal Kemerdekaan Jepang menyerah pada pertengahan Agustus 1945 kepada Sekutu. Para pemimpin nasionails Indonesia, diwakili oleh Sukarno dan Hatta, mempergunakan kesempatan itu untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Lahirlah suatu bangsa baru, yang berarti bahwa sejak saat itu ada sekelompok manusia yang mempunyai hubungan khusus dengan suatu negara baru. Bangsa baru itu adalah bangsa Indonesia, dan negara baru itu adalah Republik Indonesia. Secara formal, sejak saat itu timbul hubungan hak dan kewajiban secara timbal balik antara bangsa Indonesia (atau warga negara Indonesia) dan Republik Indonesia. Hal ini mengingat bahwa salah satu syarat mutlak eksistensi Republik Indonesia adalah bangsa Indonesia itu sendiri. Sehari kemudian Undang-Undang Dasar yang kini dikenal sebagai Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai konstitusi Republik Indonesia. Pasal 26 UUD 1945 menyatakan sebagai berikut: (1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang Indonesia asli dan orangorang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara. (2) Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang-Undang. Secara otentik Penjelasan UUD 1945 mengenai ketentuan di atas menerangkan sebagai berikut: Orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, peranakan Tionghoa, dan peranakan Arab, yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia, dapat menjadi warga negara. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat pembedaan kelompok warga negara Indonesia, yaitu warga negara Indonesia asli dan warga negara Indonesia keturunan asing. Dengan pengertian bahwa warga negara keturunan asing adalah warga negara Indonesia yang memperoleh statusnya itu berdasarkan proses pewarganegaraan atau naturalisasi. Di
47
sini timbul suatu pertanyaan mengenai siapakah warga negara Indonesia asli itu. Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan pada Undang-Undang No. 3/1946. Di dalam Undang-Undang ini terdapat pengertian mengenai warga negara Indonesia asli yang bersifat yuridis-konstitusional, bukan yang bersifat biologisetnik ataupun sosiologis-kultural (Koerniatmanto. 1996 :26) a. Undang-Undang No. 3 Tahun 1946 Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, tetapi pasukan Belanda kemudian menduduki kembaIi sebagian besar kota besar Indonesia, Pasukan Republik Indonesia didesak kembali ke Yogyakarta. Pada tanggal 10 April 1946 pemerintah Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta mengeluarkan Undang-Undang Kewarganegaraan yaitu Undang-Undang No. 3/1946 yang mengatur tentang Kewarganegaraan dan Kependudukan Republik Indonesia yang dilandaskan pada asas ius soli dan "sistem pasif". Undang-undang itu menyebutkan bahwa "warga negara Indonesia" terdiri dari orang asli yang bertempat tinggal di daerah di Indonesia dan " ... orang-orang yang tidak dalam kelompok yang tersebut di atas, akan tetapi yang lahir di daerah-daerah teritorial Indonesia dan telah tinggal di sana selama lima tahun terakhir berturut-turut, serta mereka yang telah berumur 21 tahun, dengan syarat orang-orang tersebut tidak menolak kewarganegaraan Indonesia karena menjadi warga negara negara lain, ... Karena mayoritas orang Tionghoa lokal, khususnya yang tinggal di Jawa, lahir di negara Indonesia pada masa penjajahan, secara otomatis mereka menjadi warga negara Indonesia kalau mereka terap "pasif" (kalau mereka tidak mengambil langkah-langkah untuk menolak status mereka). Undang-undang Kewarganegaraan Indonesia 1946 yang diundangkan oleh kaum republikan yang hanya menguasai wilayah yang kecil pada waktu itu tidak banyak pengaruhnya terhadap mayoritas penduduk Tionghoa. Kebijaksanaan liberal yang didasarkan pada asas ius soli tidak sejalan dengan persepsi sebagian besar orang Indonesia tentang orang minoritas Tionghoa, yaitu bahwa orang Indonesia tidak mempercayai golongan Tionghoa dan memandang mereka sebagai orang asing yang sulit sekali berasimilasi. AIasan diterapkannya kebijaksanaan yang begitu liberal mungkin dapat dijelaskan
48
dari segi "situasi obyektif", yaitu keadaan yang dihadapi pemerintah republik. Pemerintah Indonesia waktu itu masih menghadapi kekuasaan penjajah Belanda sehingga mereka ingin sekali mendapat dukungan orang Tionghoa yang secara ekonomis kuat untuk membantu perjuangan bagi kemerdekaan politik. Mengenai jumlah orang Tionghoa lokal dalam wilayah republik yang menolak kewarganegaraan Indonesia tidak ada catatan yang dapat diperoleh. Karena perasaan anti-Tionghoa kuat di antara para nasionalis Indonesia, dan karena orang Tionghoa lokal tidak mempunyai kepastian apakah pemerintah Belanda atau Kuomintang dapat menjamin keselamatan mereka, maka sangat mungkin kebanyakan dari mereka tidak menolak kewarganegaraan Indonesia. (Leo Suryadinata, 1984:116). Berdasarkan bunyi Pasal 1 Undang-Undang kewarganegaraan Indonesia yang pertama ini (UU No 3 tahun 1946), kewarganegaraan Indonesia bisa didapatkan oleh a. orang yang asli dalam wilayah Negara Indonesia, b. orang yang tidak masuk dalam golongan tersebut di. atas, tetapi turunan seorang dari golongan itu serta lahir, bertempat kedudukan, dan berkediaman dalam wilayah Negara Indonesia; dan orang bukan turunan seorang dari golongan termaksud yang lahir, bertempat kedudukan, dan berkediaman yang paling akhir selama sedikitnya lima tahun berturut-turut di dalam wilayah Negara Indonesia, yang telah berumur 21 tahun atau telah kawin, c. orang
yang
mendapat
kewarganegaraan
Indonesia
dengan
cara
naturalisasi, d. anak yang sah, disahkan, atau diakui dengan cara yang sah oleh bapaknya, yang pada waktu lahir bapaknya mempunyai kewarganegaraan Indonesia, e. anak yang lahir dalam jangka waktu tiga ratus hari setelah bapaknya yang mempunyai kewarganegaraan Indonesia, meninggal dunia, f. anak yang hanya oleh ibunya diakui dengan cara yang sah, yang pada waktu lahir mempunyai kewarganegaraan Indonesia, g. anak yang diangkat secara sah oleh warga negara Indonesia,
49
h. anak yang lahir di dalam wilayah Negara Indonesia, yang oleh bapaknya ataupun ibunya tidak diakui secara sah, i. anak yang lahir di dalam wilayah Negara Indonesia, yang tidak diketahui siapa orangtuanya atau kewarganegaraan orangtuanya. Oleh Undang-Undang No. 6/1947, klasifikasi warga negara Indonesia di atas ditambah dengan j. badan hukum yang didirikan menurut hukum yang berlaku dalam Negara Indonesia dan bertempat kedudukan di dalam wilayah Negara Indonesia. Selain itu Undang-Undang No. 6/1947 juga menambahkan bahwa bagi mereka yang tergolong dalam butir b di atas, yang mempunyai kewarganegaraan dari negara
lain,
dapat
melepaskan
kewarganegaraan
Indonesianya
dengan
menyatakan keberatan menjadi warga negara Indonesia. Pernyataan keberatan tersebut harus disampaikan secara tertulis kepada Menteri Kehakiman dalam jangka waktu satu tahun setelah ketentuan tersebut di atas berlaku baginya. Pasal 2 UU No. 3/1946 mengatur bahwa kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suaminya. Demikian pula berdasarkan Pasal 3 UU No. 3/1946, anak yang belum dewasa mengikuti kewarganegaraan orang tuanya. Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang No. 3/1946 pada prinsipnya menggunakan asas ius soli. Penduduk Indonesia secara pasif memperoleh status sebagai warga negara Indonesia. Namun demikian bagi mereka yang tidak menghendaki status baru ini diperkenankan untuk menggunakan hak repudiasinya, yaitu hak untuk mengajukan pernyataan secara tertulis menolak kewarganegaraan Indonesia. Pernyataan ini dialamatkan kepada Menteri Kehakiman melalui pengadilan negeri setempat dalam jangka waktu satu tahun sejak berlakunya Undang-Undang No. 3/1946. Beberapa kali dilakukan perubahan atas Undang-Undang No. 3/1946, selain dengan Undang-Undang No. 6/1947, juga dengan Undang-Undang No. 8/1947 dan Undang-Undang No. 11/1948. Perubahan dengan kedua Undang-Undang tersebut terakhir ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada mereka yang ingin menggunakan hak repudiasinya sampai tanggal 17 Agustus 1948. Atas dasar itu, sejak tanggal 17 Agustus 1948 secara jelas diketahui bahwa penduduk Indonesia
50
itu terdiri atas warga negara Indonesia dan warga negara asing. Sejak itu pula setiap orang asing yang ingin menjadi warga negara Indonesia harus melalui proses pewarganegaraan berdasarkan Pasal 5 UU No. 3/1946. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa warga negara Indonesia asli adalah mereka yang memperoleh status itu dari tanggal 17 Agustus 1945 sampai tanggal 17 Agustus I948 dan keturunannya. Sementara itu warga negara Indonesia keturunan asing adalah mereka yang memperoleh status tersebut melalui proses pewarganegaraan mulai tanggal 17 Agustus 1948. Berdasarkan Keputusan Presiden No.7 Tahun 1971, ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 3/1946
(setelah
ditambah
dan
diubah)
digunakan
untuk
menetapkan
kewarganegaraan Republik Indonesia bagi penduduk Irian Barat. Pernyataan ini dilakukan sehubungan dengan kembalinya Irian Barat ke tangan Republik Indonesia (Koerniatmanto, 1996 :27-29) b. PPPWN (Piagam Persetujuan Pembagian Warga Negara) Dari Perjanjian KMB Tahun 1949 berlangsung perundingan antara Negeri Belanda dan Indonesia yang berakhir dengan Perjanjian Meja Bundar (juga dikenal sebagai Perjanjian Den Haag). Sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar adalah PPPWN yang tertuang dalam lembaran Negara 1950-2 ini merupakan salah satu lampiran piagam penyerahan kedaulatan itu yang salah satu konsekuensinya adalah pembagian warga Negara antara kerajaan Belanda dan Republik Indonesia Serikat. Dengan munculnya PPPWN ini kepastian hokum mengenai status kewarganegaraan Indoesia berdasarkan UU No. 3 tahun 1946 menjadi terganggu. Persetujuan itu menegaskan asas ius soli dan "sistem pasif" yang dinyatakan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 1946. Orang Tionghoa kelahiran Hindia Belanda (Indonesia) diminta untuk menolak kewarganegaraan Indonesia dalam waktu dua tahun (27 Desember 1949-27 Desember 1951) kalau ingin menjadi warga negara asing. Undang-undang itu diadakan terutama karena Indonesia mempunyai kepentingan akan dukungan Orang Tionghoa serta karena Indonesia menginginkan penyelesaian secepatnya dengan Belanda mengenai pemindahan kekuasaan. Di samping itu kelahiran sebagian besar kaum minoritas
51
Tionghoa yang mempunyai kekuasaan ekonomi yang besar memang merupakan sarana penting bagi pemantapan republik yang baru lahir itu. Menurut perkiraan, ada 2,1 juta Tionghoa pada tahun 1950, di antaranya 1,5 juta terlahir di wilayah Indonesia. Yang tersebut terakhir itu menjadi warga negara Indonesia kecuali jika mereka menyatakan sebaliknya. Departemen Kehakiman Indonesia pada awal tahun 1950-an mengemukakan bahwa ada 390.000 orang Tionghoa lokal yang menolak kewarganegaraan Indonesia. Itu berarti bahwa
1,1 juta orang dari 2,1 juta
Tionghoa
di Indonesia
berkewarganegaraan asing. (Leo Suryadinataa. 1984:117). Berdasarkan pasal-pasal konferensi meja bundar tahun 1949, bahwa semua orang Tionghoa kelahiran Indonesia karena mereka adalah kaula Bellanda yang berasal dari orang asing dan bukan Belanda boleh memilih kewarganegaraanya. Mereka bias memperoleh kewarganegaraan Indonesia tanpa berbuat apa-apa, atau mereka dapat memperkokoh kedudukanya sebagai warga Negara Tionghoa saja dengan menolak kewarganegaraan Indonesia, dalam jangka waktu dua tahun (1949-1951). Kecuali beberapa orang saja, kaum kelahiran Tiongkok bukanlah kaula Belanda, maka dari itu mereka tidak ada pilian lain. Departemen kehakiman Republik Indonesia memperkirakan bahwa lebih dari 390.000 orang Tionghoa Kelahiran Indonesia telah menolak kewarganegaraan Indonesia pada waktu itu. Mereka kebanyakan adalah kaum Totok yang sebagian tersebar adalah anak-anak dari ayah kelahiran Tiongkok serta termasuk anak-anak yang pilihanya dilakukan oleh orang tuanya. Pelaksanaan pasal-pasal Konferensi Meja Bundar hampir tidak memecahkan masalah kewarganegaraan orang-orang Tionghoa. Mereka yang dilahirkan di Indonesia yang tidak menolak kewarganegaraan Indonesia secara hukum tidak hanya menjadi warga Negara Indonesia tetapi juga warga Tiongkok (Mely G Tan, 1981:17) c. Perjanjian Dwi Kewarganegaraan Undang-undang kewarganegaraan Cina yang tidak diubah pada saat orangorang komunis merebut kekuasaan di Cina daratan, maka pemerintah Indonesia yang non-komunis khawatir akan intervensi RRC melalui para warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Jakarta mulai mengadakan pendekatan ke Peking
52
dan tanggapan dari RRC menggembirakan. Setelah memegang kekuasaan pada awal tahun 19 aan RRC ingin sekali memainkan peranan yang besar dalam percaturan politik regional dengan cara membangun hubungan baik dengan negara-negara tetangga yang mencurigainya. Negosiasi-negosiasi antara Jakarta dan Peking berlangsung terus dan pada 22 April 1955, bersamaan dengan berakhirnya Konferensi Asia-Afrika yang terkenal itu, Perjanjian tentang Dwi Kewarganegaraan antara RRC dan Indonesia ditandatangani. Perjanjian tersebut terutama mengatur tentang orang-orang Tionghoa lokal yang oleh hukum Indonesia dianggap berkewarganegaraan Indonesia (pada tahun 1950 jumlahnya kira-kira 1,1 juta orang) akan tetapi yang serentak dengan itu, juga dapat mengklaim kewarganegaraan Cina menurut hukum Cina. Dalam hal itu orang Tionghoa asing (yang pada tahun 1950 berjumlah kira-kira 1 juta orang) tidak lagi diberi kesempatan memilih. Ketentuan dalam perjanjian itu mengatakan bahwa orang dewasa yang berkewarganegaraan ganda, yaitu kewarganegaraan dari negara-negara yang mengadakan perjanjian, akan diberi waktu dua tahun untuk memilih salah satu kewarganegaraan. Orang yang berkewarganegaraan ganda tetapi mengabaikan ketentuan untuk memilih salah satu kewarganegaraan dalam waktu peralihan yang dua tahun itu, hanya akan memperoleh kewarganegaraan RRC saja. Orang berkewarganegaraan ganda yang berumur di bawah 18 tahun harus memilih kewarganegaraan dalam waktu satu tahun setelah berumur 18 tahun atau setelah menikah. Sebelum memilih mereka akan dianggap hanya berkewarganegaraan seperti ayahnya. Perjanjian dwi kewarganegaraan akan berlaku 20 tahun setelah pengesahannya oleh parlemen-parlemen dari masing-masing negara yang mengadakan perjanjian. Perjanjian itu disahkan oleh Komite Tetap Kongres Nasional Rakyat RRC pada 30 Desember 1957, 13 hari setelah pengesahannya oleh parlemen Indonesia. Pada waktu pelaksanaan Perjanjian Dwikewarganegaraan yang berlangsung dari Januari 1960 sampai Januari 1962. Pada saat itu anak-anak yang belum dewasa mengikuti kewarganegaraan orang tuanya dan nama mereka tercantum dalam dokumen orang tuanya. Ketika mencapai umur dewasa mereka
53
diharuskan mempunyai dokumen tersendiri. Tidak jelas apakah hal itu menurut peraturan yang berlaku, dan sebuah masalah lainya ialah bahwa memperleh surat terpisah itu membawa ongkos-ongkos yang tidak sedikit dan hal tersebut juga diteruskan oleh cucu-cucunya. Jika hal tersebut dibenarkan dan diteruskan maka seorang keturunan asing (Tionghoa) selalu di ingatkan bahwa ia keturunan asing (Tionghoa) dan selalu harus mempunyai dokumen-dokumen khusus untuk membuktikan kewarganegaraanya (Mely G Tan, 1981; xii) Pihak imigrasi Indonesia mengungkapkan bahwa di tahun 1965 (sebelum komunis runtuh) tercatat 1.134.420 orang Tionghoa asing sebagai warga negara RRC dan hanya 1.252 "tidak berkewarganegaraan". ltu berarti bahwa kira-kira ada 1.500.000
orang
Tionghoa
mempunyai
kewarganegaraan
Indonesia.
Dibandingkan dengan perkiraan tahun 1962, jumlah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa naik sebanyak kira-kira 700.000 dalam waktu dua atau tiga tahun. Mengingat lambatnya proses naturalisasi sebelum 1969 dan terbatasnya jumlah anak-anak berkewarganegaraan ganda yang menjadi warga negara Indonesia. nampaknya tidak mungkin terjadi kenaikan jumlah yang cepat. Ternyata banyak orang Tionghoa asing tidak mendaftarkan diri karena berbagai alasan. Secara hukum, orang Tionghoa asing di Indonesia tidak dapat dianggap sebagai "orang-orang yang bukan warga negara mana pun". RRC mengklaim bahwa semua Tionghoa asing yang bukan warga negara Indonesia adalah warga negara Cina. Taiwan juga mengklaim semua Tionghoa (baik yang asing maupun warga negara Indonesia) sebagai warga negara Republik Cina. Tetapi sebagian Tionghoa asing memang dapat digolongkan sebagai "orang yang mempunyai kewarganegaraan suatu negara yang tidak diakui oleh Indonesia", (yaitu warga negara Taiwan), dan karenanya dalam pandangan pemerintah Indonesia mereka "tidak berkewarganegaraan". Akan tetapi, apakah "orang-orang yang tidak berkewarganegaraan" tersebut (berjumlah 149.486) sebagaimana disebutkan oleh penjabat Indonesia, adalah warga negara Taiwan dalam arti memegang paspor Taiwan. Mungkin mereka tidak memegang satu pun dokumen-dokumen sah dari Taiwan. Bahwa Direktorat Jenderal Imigrasi membedakan "warga negara
54
Taiwan" dari Tionghoa "yang tidak berkewarganegaraan" dalam catatan-catatan statistik, menunjukkan bahwa mereka itu tidak sama. Jelaslah bahwa di sini "tidak berkewarganegaraan" digunakan dalam artian politik, untuk menunjuk orang Tionghoa yang berdiam di Indonesia yang menjadi simpatisan Taiwan, atau mereka yang tidak ingin dihubung-hubungkan baik dengan Taiwan maupun dengan RRC. Secara hukum mereka warga negara RRC karena Jakarta masih mengakui Peking. Angka-angka dari Direktorat Jenderal Imigrasi untuk Tionghoa asing sangat terlalu rendah. Kalau Tionghoa asing hanya berjumlah 1.010.652 dari antara 3,29 juta penduduk Cina pada tahun 1971. berarti bahwa lebih dari 2 juta Tionghoa adalah warga negara Indonesia. Dapat sangat disangsikan bahwa dalam waktu lima atau enam tahun (1966-1971) jumlah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa telah naik sebanyak lebih dari 100 persen. khususnya mengingat bahwa permohonan untuk menjadi warga negara Indonesia dibekukan dan baru dibuka kembali pada tahun 1969. (Leo Suryadinataa. 1984:122-128)
B. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia setelah keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958 1.
Latar Belakang keluarnya Undang-Undang No 62 Tahun 1958 Pada tahun 1949 kaum Komunis berhasil merebut kekuasaan di Cina
dari tangan kaum Kuo Min Tang. Muncullah Republik Rakyat Cina (RRC). Namun
rupanya
RRC
masih
mempertahankan
Undang-Undang
Kewarganegaraan Cina Nasionalis yang diundangkan pada tahun 1929. Undang-undang ini menggunakan asas ius sanguinis. Artinya, selama orang Cina di mana pun berada diklaim sebagai warga negara Cina. Hal ini mengakibatkan semua orang Cina yang berstatus sebagai warga negara Indonesia menjadi berstatus bipatride. Artinya, di samping sebagai warga negara Indonesia sekaligus mereka merupakan warga negara Cina Pada saat pengakuan kedaulatan (27 Desember 1949), Pemerintah Kuo Min Tang di Taiwan langsung mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Saat itu mereka mempunyai tujuh konsulat di Indonesia, yang
55
memang sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Tetapi Indonesia lebih condong untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan pihak RRC Ini ditanggapi secara positif oleh pihak RRC. RRC berkepentingan memotong pengaruh Taiwan terhadap para Cina Perantauan di Asia Tenggara. Tanggapan positif RRC ditandai dengan kedatangan Wang Yen-shu sebagai Duta Besar RRC untuk Indonesia yang pertama pada tanggal 14 Agustus 1950. Sejak awal kedatangannya, Duta Besar "RRC ini telah secara aktif berkampanye guna menarik orientasi orang-orang Cina Indonesia ke RRC. Terjadilah semacam perebutan pengaruh antara pihak Indonesia dan RRC. Ini terjadi terutama pada masa pelaksanaan penentuan kewarganegaraan berdasarkan PPPWN (biasa disebut sebagai masa opsi). Sehingga dapat dimengerti jika Indonesia merasa terganggu karenanya, serta melakukan tindakan-tindakan diplomatik yang cukup keras. Akibatnya Duta Besar Wang ditarik kembali pada akhir tahun 1951. (Koerniatmanto, 1996:105) Masa opsi selesai pada tanggal 27 Desember 1951 dengan hasil yang mengeeewakan pihak Indonesia, mengingat sekitar 600.000 sampai 700.000 atau sekitar 40% orang Cina Indonesia secara formal telah menolak kewarganegaraan Indonesia. Akibatnya (ditambah dengan orang Cina kelahiran luar negeri) sekitar setengah jumlah penduduk Cina di Indonesia adalah warga negara RRC Kemudian muncullah kekecewaan dari pelbagai kalangan di Indonesia atas PPPWN itu. Sebagai akibat memuncaknya ketidakpuasan terhadap akibat PPPWN, disusunlah Rancangan Undang-Undang tentang kewarganegaraan Republik Indonesia. Rancangan tersebut siap pada bulan Februari 1954. Namun sebelum disahkan dan diberlakukan, Indonesia menganggap perlu untuk mengadakan pembicaraan terlebih dahulu dengan pihak RRC. Pokok masalah yang dirasa perlu diselesaikan itu berkisar pada banyaknya orang Cina yang diklaim baik oleh Indonesia maupun oleh RRC, sebagai akibat dari opsi 1949-1951 tersebut di atas (Koerniatmanto, 1996:106).
56
Usul pembicaraan Indonesia-RRC ini disambut secara Positif oleh pihak RRC, dalam rangka politik luar negeri RRC yang baru, dikenal dengan Peaceful Coexistence. RRC merasa perlu membina hubungan baik dengan negara-negara di Asia Tenggara, guna membangun basis kerja sama anti-imperialis. Mulailah diadakan sejumlah pembicaraan yang diadakan baik di Peking, Jakarta, maupun di Bandung. Rangkaian pembicaraan ini berpuncak pada suatu persetujuan antara Sunario (Menteri Luar Negeri Indonesia) dan Chou En-Lai (Menteri Luar Negeri RRC), yang dilakukan pada tanggal 22 April 1955 di tengah penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Dengan diadakannya pemilihan untuk salah satu kewarganegaraan bersangkutan ini maka menurut perjanjian Soenario-Chou kewarganegaraan yang lainnya akan hilang. Keharusan untuk memilih ialah dalam tempo 2 tahun setelah berlakunya perjanjian ini. Sanksi atas tak melakukan keharusan memilih ini ialah bahwa mereka (yang waktu berlakunya perjanjian telah dewasa) dianggap telah memilih untuk kewarganegaraan Republik Indonesia, bilamana yang bersangkutan dari pihak bapaknya berketurunan Indonesia. Persetujuan ini kemudian dikenal sebagai Perjanjian Dwi-kewarganegaraan seperti yang telah disinggung sebelumnya (Sudargo Gautama, 1987: 118) Tujuan utama pihak Indonesia dalam persetujuan itu adalah untuk meniadakan akibat-akibat masa opsi. Selain itu, Indonesia, juga menghendaki adanya kepastian akan lepasnya tuntutan yuridis terhadap orang Cina di Indonesia sebelum
kepada
mereka
diberikan
kesempatan
baru
untuk
memilih
kewarganegaraan mereka. Sementara itu, RRC juga menerima baik keinginan Indonesia untuk menentukan sendiri siapa saja di antara orang Cina Indonesia yang harus memilih dan siapa saja yang tidak ikut memilih, karena telah secara implisit memilih kewarganegaraan Indonesia berdasarkan kedudukan sosial politik mereka. Secara yuridis, isi persetujuan tersebut diratifikasi dalam bentuk Undang-Undang No. 2/1958 (Koerniatmanto, 1996:107).
57
2. Rancangan Undang-Undang Kewarganegaraan 1954 Dan Undang-Undang Kewarganegaraan No 62 Tahun 1958 Ketika orang Indonesia telah menduduki kekuasaan dan memproklamirkan kemerdekaaya, mereka tidak memberkukan lagi kebijaksanaan kewarganegaraan yang lebih liberal dan mulai menerapkan asas ius soli dua generasi" (pengganti ius soli sederhana) bagi orang Tionghoa lokaI. "Sistem pasif" diganti dengan "sistem aktif", yaitu sistem yang mensyaratkan adanya pernyataan penerimaan kewarganegaraan Indonesia. perubahan-perubahan tampak dari Rencana UndangUndang Kewarganegaraan tahun 1954 yang diajukan ke parlemen Indonesia oleh kabinet AIi yang dikuasai PNI. Rencana tersebut mengusulkan bahwa warga negara Indonesia keturunan Tionghoa akan kehilangan kewarganegaraannya kalau mereka tidak memenuhi salah satu dari hal-hal berikut: 1.
memberikan bukti bahwa orang tua mereka dilahirkan di wilayah Indonesia dan telah berdiam di Indonesia sedikit-dikitnya selama 10 tahun; dan
2. menyatakan secara resmi menolak kewarganegaraan Cina. Tujuan dari diberlakukannya "sistem aktif" dan "ius soli dua generasi" itu erat hubungan dengan persepsi orang Indonesia tentang Tionghoa lokaI; ketidakpercayaan kepada kelompok minoritas yang tidak hanya secara ekonomis kuat, melainkan juga "tak dapat berasimilasi". Tujuan diajukannya rencana tersebut dinyatakan dengan jelas sebagai berikut: "Mengingat tujuan kita untuk membentuk satu bangsa yang homogen (garis bawah oleh penulis), rencana ini tidak memaksa orang-orang asing (Tionghoa) untuk menjadi warga Negara penerapan ius soli bagi generasi pertama sarna sekali bukan merupakan jaminan bahwa orang-orang dari keturunan asing akan menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Kalau orang-orang seperti tersebut di atas telah berdiam di sini selama beberapa generasi, atau bila mereka tidak mempunyai negara asal, maka bisa diterima bahwa mereka itu menganggap Indonesia sebagai tanah air mereka sendiri." Jelaslah bahwa pemerintah Indonesia yang sebagian besar terdiri dari nasionalis sekuler sekarang memberikan perhatian pada pembentukan "bangsa Indonesia yang homogen" dan ke sanalah orang Tionghoa lokal harus menyatukan dirinya. Undang-undang kewarganegaraan harus dipakai sebagai sarana untuk
58
mencapai tujuan itu. Kalau Rencana Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia diterima tanpa banyak perubahan, akan banyak orang Indonesia keturunan Tionghoa yang kehiIangan kewarganegaraan mereka karena mereka bukan hanya tidak banyak mengetahui prosedur hukum, tetapi juga tidak akan dapat memberikan surat kelahiran atau bukti lain yang dapat membuktikan bahwa orangtua mereka dilahirkan di wilayah Indonesia dan telah berdiam di Indonesia sekurang-kurangnya 10 tahun. Tidak salah kalau D.E. Willmott menunjukkan bahwa pendaftaran kewarganegaraan hanya pernah diadakan di Jawa sejak tahun 1919 dan di luar lawa sejak tahun 1926, sedangkan banyak dokumen musnah dalam Perang Dunia II dan Revolusi Indonesia (Leo Suryadinata, 1984: 118) Rencana tersebut mendapat tantangan seru dalam Parlemen. Wakil-wakil kaum minoritas menentangnya, juga wakil partai oposisi dengan berbagai sebab lain. Nyatalah bahwa banyak pemimpin bangsa Indonesia asli yang masih khawatir dengan konsekuensi bila terdapat terlalu banyak orang Tiongha asing di Indonesia. Karena tantangan yang keras itu pemerintah menarik kembali rencana tersebut. Pada tahun 1955 Perjanjian tentang Dwi Kewarganegaraan yang diadakan antara RRC dan Indonesia ditandatangani.. Timbullah kembali kemudian perhatian terhadap Undang-undang kewarganegaraan. Pemerintah ingin sekali mengesahkan undang-undang kewarganegaraan Indonesia sebelum Perjanjinn tentang Dwi Kewarganegaraan tersebut disahkan. Menteri Kehakiman pada waktu itu mengumumkan bahwa ia akan mengajukan rencana undang-undang kewarganegaraan yang baru kepada Kabinet dan seterusnya kepada parlemen. Rencana tersebut mendapat persetujuan Kabinet pada November 1957, dan pada 1 Juli 1958 disetujui parlemen setelah melalui perdebatan yang berkepanjangan. Kegoncangan situasi politik akibat pemberontakan-pemberontakan di daerah, serta timbulnya percekcokan di daerah yang menyibukkan para pemimpin Masjumi dan pemimpin oposisi lainnya membawa akibat proses persetujuan rencana undang-undang tersebut berjalan lebih lancar.
59
Undang-undang Kewarganegaraan tahun 1958 (Undang-undang no. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia) intinya sama dengan rencana tahun 1954. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa mereka yang telah menjadi warga negara menurut peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia akan tetap menjadi warga negara. Nampaknya undang-undang yang baru
itu
melepaskan
"sistem
aktif"
dalam
arti
bahwa
orang
yang
berkewarganegaraan ganda. (warga negara Indonesia keturunan Tionghoa) tidak perlu menyatakan di depan pengadilan bahwa mereka ingin mempertahankan kewarganegaraan Indonesia. Walaupun demikian, kalau undang-undang itu dibaca bersama-sama dengan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan (yang telah disahkan tahun 1957) antara RRC dan Indonesia, maka pernyataan melepaskan kewarganegaraan RRC masih merupakan persyaratan. Dengan kata lain, Pemerintah Indonesia masih menganut "sistem aktif" untuk Tionghoa lokal, walaupun hal itu tidak dinyatakan dalam undang-undang kewarganegaraan yang baru itu sendiri. Dipakainya "sistem aktif" dikatakan bertujuan untuk mendemonstrasikan kesetiaan kepada Indonesia, tetapi juga berarti pembatasan kewarganegaraan. Asas "ius soli dua generasi" yang mempunyai tujuan sama, dalam Undang-undang 1958 (yaitu di Bagian 4) juga dipertahankan. Memang Undang-undang 1958 mewarisi semangat Rencana 1954. Bagian terpenting dari Undang-undang Kewarganegaraan 1958 adalah yang ke-4 dan ke-5, mengenai naturalisasi orang asing (Tionghoa asing). Menurut bagian 4, orang asing (Tionghoa) kelahiran Indonesia yang orang tuanya berdiaam dan
lahir
di
Indonesia
boleh
mengajukan
diri
untuk
mendapatkan
kewarganegaraan Indonesia apabila mereka telah berumur 18 tahun. Prosedur untuk anak-anak dalam kategori itu untuk menjadi warga negara mudah dimengerti. Namun, kalau seseorang berumur lebih dari 18 tahun atau kalau orangtuanya tidak terlahir di Indonesia, orang tersebut harus mengajukan permohonan naturalisasi menurut Bagian 5. Untuk naturalisasi itu calon diharuskan memenuhi persyaratan tempat tinggal (sekurang-kurangnya berdiam 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut), persyaratan bahasa (termasuk pengetahuan sejarah Indonesia), mempunyai sumber penghasilan yang
60
tetap, serta diharuskan membayar kepada negara sebanyak 500-10.000 rupiah atau suatu jumlah yang tidak lebih tinggi daripada penghasilan yang diperolehnya selama satu bulan. Baik Bagian 4 maupun 5 mengandung peraturan yang sama rumitnya, yang memberikan peluang bagi bermacam-macam tafsiran. Untuk lebih jelasnya mari kita kutip bagian yang relevan dari Bagian 5: " ... calon haruslah tidak mempunyai kewarganegaraan, atau telah kehilangan kewarganegaraan sewaktu meminta kewarganegaraan Indonesia, ataupun menyertakan suatu pernyataan bersumpah meninggalkan kewarganegaraan lain, dengan cara-cara sesuai dengan peraturan yang diakui di negara asalnya atau sesuai dengan hal-hal yang tersebut Dalam suatu perjanjian yang diadakan antara Republik Indonesia dan negara lain tersebut mengenai kewarganegaraan ganda."Willmott mengatakan bahwa ancang-ancang tersebut menyaratkan agar seorang Tionghoa asing "membuat pernyataan sesuai peraturan-peraturan hukum yang berlaku di negara asalnya (RRC) untuk menanggalkan kewarganegaraan Cinanya". Menurut pendapatnya hal itu tidak dapat diIakukan dalam undang-undang Cina yang sedang berlaku sekarang, kecuali dalam langka waktu pemilihan yang disebutkan dalam Perjanjian Dwi Kewarganegaraan. Karena itu, menurut Willmott, tidak akan ada orang Tionghoa asing yang dapat mengambil manfaat dari ketentuan Undang-undang tahun 1958. (Leo Suryadinata, 1984: 121) Tentu saja Willmott benar kalau RRC memegang Undang-undang Kewarganegaraan Cina Nasionalis yang diundangkan tahun 1929. Banyak ahli hukum
berpendapat
bahwa
RRC
tidak
mempunyai
undang-undang
kewarganegaraan sendiri serta nampaknya RRC melanjutkan penerapan Undangundang Kewarganegaraan 1929. Dalam undang-undang itu tidak ada cara bagi seorang Tionghoa untuk dapat menanggalkan kewarganegaraan Cina kecuali meminta izin dari Menteri Dalam Negeri Cina, tetapi Kementerian hanya akan memberikan izin kalau calon telah memenuhi kewajiban terhadap Angkatan Bersenjata Cina. Namun sikap RRC terhadap kewarganegaraan orang Tionghoa lokal berubah pada pertengahan tahun 1950-an. Gouw Giok Siong (Sudargo Gautama), seorang pengacara peranakan yang terkemuka mencatat bahwa pada waktu terjadi tukar-menukar pendapat antara Chou En Lai dan A1i Sastroamidjojo (Perdana
61
Menteri Indonesia) pada tanggal 3 Juni 1955, Chou mengatakan bahwa adalah merupakan hak pemerintah Indonesia untuk memutuskan siapa yang boleh menjadi warga negara Indonesia dari antara orang-orang dari golongan Tionghoa. Mula-mula kedutaan besar dan konsulat-konsulat RRC tidak begitu senang memberikan izin itu bagi para Tionghoa asing, tetapi pada akhir tahun 1950-an tampaknya
kepada
orang
Tionghoa
asing
yang
ingin
menanggalkan
kewarganegaraan Cina izin itu diberikan. Mungkin benar bahwa tidak begitu banyak orang Tionghoa asing yang mendapatkan izin tersebut (Sudargo Gautama, 1987: 117)
C. Dampak Dikeluarkanya Undang-Undang No 62 Tahun 1958 Terhadap Kewarganegaraan Etnis Tionghoa Di Indonesia 1. Kecenderungan Warga Tionghoa Memilih Kewarganegaraaan Indonesia Pada Tahun 1960-an terdapat banyak kecenderungan dari beberapa orang pemuda Tionghoa Totok untuk berkiblat ke Indonesia, hal itu dinyatakan misalnya dalam berbagai koran radikal berbahasa Cina yang diterbitkan pada masa itu. Akan tetapi kecenderungan itu hanya merupakan aliran yang kecil saja bila dibandingkan dengan aliran yang berorientasi ke negara Cina (Leo Suryadinata. 1984 : 45) Kedudukan orang Tionghoa secara keseluruhan hampir sama kedudukanya dengan orang Tionghoa asing, akan tetapi setidak-tidaknya tanggung jawab dan sifat tugas mereka pada masa mendatang sekarang sudah jelas. Mereka yang bertekad untuk memilih kewarganegaraan Indonesia pada Tahun 1960-1962, telah menyatakan kesetiaanya kepada Indonesia dan berketepatan hati bahwa anakanaknya akan diintregasikan sama sekali kedalam masyarakat luas. Intregasi ini akan berjalan lebih lancar sekarang karena anak-anak Tionghoa WNI di didik di sekolah-sekolah yang berbahasa pengantar bahasa Indonesia. Sejumlah besar perkumpulan resmi yang anggota-anggotanya terutama adalah orang Peranakan telah mengganti namanya dengan nama Indonesia dan menjalankan kebijaksanaan terbuka. Kita biasa melihatnya melalui kerja sama yang murni antara orang
62
Indonesia pribumi dengan orang Tionghoa Peranakan di dalam sejumlah kecil perkumpulan-perkumpulan khusus, perusahaan-perusahaan dagang, usaha-usaha profesi, gereja dan bahkan di jawatan-jawatan pemerintah, makin banyak orang Tionghoa WNI kini sudah berketepatan hati untuk memperluas kerja sama antar golongan etnis ( Mely G Tan, 1981 :24).
2. Bertambahnya Golongan Tionghoa Asing di Indonesia Undang-Undang Kewarganegaraan mensyaratkan bahwa penolakan kewarganegaraan Cina harus dilakukan di Pengadilan Negeri di Indonesia, atau di kedutaan-kedutaan atau konsulat-konsulat Indonesia untuk orang Tionghoa yang ada di luar negeri. Setiap orang yang mempunyai kewarganegaraan ganda (warga negara Indonesia keturunan Tionghoa sebelum 20 Januari 1960) haruslah menolak kewarganegaraan Cina dalam jangka waktu kesempatan memilih (20 Januari 1960-20 Januari 1962); kalau tidak, orang tersebut akan dengan sendirinya
kehilangan
kewarganegaraan
Indonesianya.
Tetapi
beberapa
perorangan, yaitu orang-orang yang telah bersumpah setia kepada Indonesia karena menjadi anggota badan pemerintah, anggota angkatan bersenjata, veteran Angkatan Darat, dan orang yang secara resmi mewakili Indonesia dalam fungsifungsi internasional lebih dari satu kali, dibebaskan dari keharusan memberikan pernyataan kesetiaan lagi. Salah satu bukti penting untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia adalah surat kelahiran, tetapi karena banyak yang tidak memiliki dokumen semacam itu, pernyataan di bawah sumpah disaksikan oleh dua orang saksi di depan pengadilan juga dapat dianggap sebagai bukti ( Leo Suryadinata, 1984: 125) Ketika Republik Rakyat China menunjukkan minat untuk memperbaiki situasi dengan undang-undang pilihan, orang Indonesia membatasi undangundang bagi mereka yang telah memegang warga negara Indonesia. Ada celah jalan keluar yang membolehkan orang yang masih kanak-kanak pada 1949-51, dan yang orangtuanya menolak kewarganegaraan Indonesia, untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia atas pilihan mereka bila mereka telah cukup umur. Ketika pilihan tersebut dilakukan pada tahun 1960-62, mayoritas memilih untuk
63
menjadi
warga
negara
Indonesia,
tetapi
sekitar
sepertiga
memilih
kewarganegaraan China sehingga menambah jumlah orang asing. Hanya sedikit sekali jumlah orang pernah dinaturalisasi sebagai warga negara sehingga lebih dari 60 persen etnis Tionghoa di Indonesia tetap orang asing hingga tahun 1980an. Terjadi beberapa emigrasi kelompok ini ke China, tetapi sebagian besar melihat memilih menjadi penduduk tetap di tanah yang tampaknya tidak menginginkan mereka (Justian Suhandinata, 2009 :142) Mengenai jumlah yang sebenarnya dari orang Tionghoa yang berkewarganegaraan ganda yang memilih kewarganegaraan Indonesia, tidak ada keterangan yang tersedia. G.W. Skinner memperkirakan bahwa kira-kira 600.000 sampai 800.000 orang Tionghoa kelahiran Indonesia memilih kewarganegaraan Indonesia. Kalau kita menerima perkiraan Skinner yang maksimum, yaitu bahwa jumlah Tionghoa yang menjadi warga negara Indonesia ada 800.000, itu berarti bahwa kira-kira 1. 700.000 Tionghoa di Indonesia berstatus asing. Selanjutnya Tionghoa asing itu terbagi antara warga negara RRC dan yang tidak mempunyai kewarganegaraan (stateless). Yang terakhir itu terdiri dari mereka yang menggabungkan diri dengan Taiwan (Republik Cina). Karena Indonesia tidak mengakui Taiwan. dalam pandangan pemerintah Indonesia orang-orang itu termasuk
"tidak
berkewarganegaraan"
Orang
Tionghoa
yang
"tanpa
kewarganegaraan" dalam arti warga negara Taiwan jumlahnya kecil saja dari seluruh orang Tionghoa asing di Indonesia. (Leo Suryadinata, 1984: 126) Undang-Undang kewarganegaraan tahun 1958 cenderung diskriminatif dan menyudutkan wanita WNI yang menikah dengan pria WNA. Pasalnya, setelah menikah, ia harus melepas WNI-nya, dan otomatis ikut kewarganegaraan suami, kecuali bila ada perjanjian pranikah menyatakan tetap memilih WNI. Ironisnya, meski istri memilih jadi WNI, bila pasangan memutuskan tinggal di Indonesia, istri tidak bisa menjadi sponsor izin tinggal suaminya yang WNA. Masalah bertambah bila memiliki anak. Menurut UU No. 62/1958 yang menganut asas Ius Sanguinis (garis ayah), anak dari perkawinan wanita WNI dengan pria WNA, otomatis mengikuti kewarganegaraan ayah. Padahal, banyak anak-anak dari pasangan antar bangsa lahir di Indonesia, dan dibesarkan dengan tradisi dan
64
budaya ibu. Selain merepotkan, juga butuh biaya tak sedikit. Biaya resminya, sekitar 1,5 juta rupiah per anak. Tapi, karena urusannya tak bisa selesai dalam sehari, biasanya kami minta bantuan agen. Akibatnya, biayanya membengkak hingga 4-8 juta rupiah. Padahal, tak semua pasangan antarbangsa orang berada, Namun, bukan hanya materi yang menjadi masalah. “Yang utama adalah masalah kemanusiaan. Bagaimanapun, rasanya tak manusiawi jika negara menghalangi seorang ibu berkumpul bersama anak kandungnya, hanya karena masalah beda kewarganegaraan
3. Berubahnya Keadaan Golongan Tionghoa Setelah Kudeta Jumlah sekolah berbahasa Cina kemudian makin berkurang setelah Okto ber 1958 karena timbulnya pemberontakan daerah (PRRI-Permesta), pada tahun 1958. Kabar yang meluas mengatakan bahwa senjata yang digunakan para pemberontak masuk dari Taiwan melalui Singapura, sedangkan koran-koran Taiwan jelas bersuara mempertahankan pemberontak. Pemerintah Indonesia menjawab dengan mengatakan bahwa orang Tionghoa yang pro Taiwan terlibat dalam kegiatan subversif. Jenderal Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat pada tanggal 16 Oktober 1958, mengeluarkan peraturan yang melarang sekolah-sekolah berbahasa pengantar Cina yang ada hubungan atau dimiliki oleh negara lain ( Taiwan) yang tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia. Hampir separuh sekolah berbahasa pengantar Cina (yang berafiliasi ke golongan-golongan pro-Taipei) lalu ditutup dan diambil alih oleh pemerintah Indonesia (dalam Obor rakyat, April dan Juli 1958) Dari tahun 1958 sampai 1965 sekolah berbahasa Cina yang masih hidup sebagian besar pro-Peking. Sekolah itu diawasi secara ketat oleh Kementerian Pendidikan. Para gurunya harus menempuh tes, termasuk tes kelancaran berbahasa Indonesia yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan hanya mereka yang lulus tes tersebut yang boleh mengajar. Kurikulum sekolah itu juga diubah dengan memasukkan lebih banyak mata pelajaran mengenai Indonesia. Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Ilmu Bumi Indonesia diharuskan menjadi mata pelajaran wajib, baik di tingkat sekolah dasar maupun menengah. Mata pelajaran
65
tersebut dapat diberikan baik dalam bahasa Indonesia maupun Cina (Leo Suryadinata, 1984: 160) Pada tahun 1958, setelah Taipeh membantu pemberontakan yang baru saja meletus di Sumatra dan Sulawesi, sebuah kampanye yang disponsori resmi telah mematahkan orang-orang Kuomintang sebagai kekuatan yang efektif dalam politik Tionghoa. Semua organisasi Koumintang dilarang, dan pada akhirnya juga semua sekolah dan perusahaan-perusahaan yang ada hubungan dengan Kuomintang di tutup. Kemudian
pada akhir tahun 1959, kaum militer dan
beberapa pejabat sipil pemerintah mempergunakan kesempatan dari kampanye terhadap oran-orang Tionghoa asing ini untuk memperlemah pengikut-pengikut komunis dan yang pro Peking yang bekerja erat dengan kedutaan besarnya untuk mengacaukan peraturan tahun 1959 itu, telah dipenjarakan atau dibuang. Tidak diragukan lagi bahwa kegairahan pro komunis telah menurun sebagai akibat krisis tahun 1959-1960 (Mely G Tan, 1981 : 23) Setelah terjadinya kudeta 1965, para Tionghoa perantauan dianggap bertanggung jawab atas memburuknya keadaan perekonomian. Perasaan antiCina melambung tinggi dan orang Tionghoa mengalami masa yang sulit. Mulamula serangan ditujukan kepada Tionghoa secara umum, tetapi dalam perkembanganya, serangan kemudian dipusatkan pada Tionghoa asing (Leo Suryadinata, 1984: 144) Kemungkinan mempertahankan identitas bagi kaum Totok berkurang setelah terjadi kudeta 1965, karena pemerintah memutuskan untuk menjadikan mereka sebagai orang Tionghoa yang berbahasa Indonesia. Mata pencaharian kaum totok yang dulunya sebelum terjadi kudeta tahun 1965 adalah berdagang dan bergerak di perusahaan dan yang terpelajar dan menguasai dua bahasa terjun ke bidang-bidang profesional seperti menjadi guru sekolah Cina dan pada media khalayak Cina lokal maka setelah terjadi kudeta sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa pengantar Cina dilarang serta surst kabar Cina dilarang terbit, sehingga mereka tidak mempunyai pekerjaan lagi dan terpaksa memasuki kegiatan perdagangan dan tidak mudah bagi mereka yntuk menjadi pegawai rendahan di perusahaan swasta karena mereka harus memiliki surat izin kerja
66
yang sulit diperoleh. Sebenarnya mayoritas dari orang totok masih berkebangsaan asing (warga negara Cina atau tak punya kewarganegaraan) dan sebagian dari mereka ingin menjadi warga negara Indonesia tetapi hanya sedikit yang dapat memperolehnya. (Leo Suryadinata, 1984: 93) Mengingat hubungan yang memburuk antara RRC dan Indonesia. nampaknya tidak mungkin seorang Tionghoa asing dapat memperoleh pernyataan resmi dati RRC. Penjabat Indonesia lalu menggunakan penafsiran bebas terhadap ketentuan tersebut. dan membatalkan persyaratan untuk menyerahkan pernyataan yang dikeluarkan oleh negara asal seseorang. Sebagai gantinya. pernyataan tentang kehendak untuk menanggalkan kewarganegaraan RRC dianggap sudah cukup. Keadaan sejumlah anak Tionghoa di bawah umur 18 tahun tidak lagi mendapat kesempatan menjadi warga negara secara mudah. Di lain pihak permohonan naturalisasi yang hampir tidak pernah diproses sebelum tahun 1969, sekarang diterima. Sekarang kemungkinan melakukan naturalisasi Iebih besar daripada sebelumnya, tetapi prosedurnya begitu rumit dan ongkos pemrosesan amat tinggi. Sebuah laporan dalam Tempo mengungkapkan bahwa orang memerlukan sedikitnya 14 dokumen untuk mengajukan permohonan dan membayar biaya yang berkisar antara 30.000 dan 100.000 rupiah (kira-kira US$ 75-250). Beberapa orang mengatakan bahwa biaya tersebut berkisar antara 500.000 dan 1 juta rupiah.. Bahkan dengan biaya yang demikian tinggi, masih banyak saja permohonan yang diproses. Lie Tek Tjeng mengatakan bahwa antara 75 dan 90 persen dati Tionghoa yang "tidak berkewarganegaraan" tentu akan minta menjadi warga negara Indonesia kalau prosedurnya dipermudah dan biaya pemrosesan diturunkan, tetapi nampaknya pemerintahan Suharto memperkeras pengawasan atas permohonan itu. Sehubungan dengan proses naturalisasi yang ketat itu pemerintah mengumumkan bahwa terdapat 1.000 orang imigran Tionghoa ilegal yang masuk ke Jakarta dari Hong Kong. Kebanyakan di antara mereka bekas mahasiswa yang pergi ke RRC selama tahun 1960-an dan kemudian menetap di Hong Kong karena kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan di daratan Cina. Dengan anggapan terdapat banyak imigran ilegal tersebut. penjabat setempat di Jakarta dan Jawa
67
Barat menentukan persyaratan bahwa warga negara Indonesia keturunan asing harus mendaftarkan diri kembali kalau mereka ingin memperoleh kartu penduduk yang baru. Kira-kira pada waktu yang sama dilaporkan bahwa di Pontianak (Kalimantan Barat) ada 468 orang Tionghoa yang setelah mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, kewarganegaraan tersebut batal karena mereka tidak memenuhi persyaratan hukum. Ternyata pemerintah Indonesia belum menetapkan pendiriannya mengenai sebegitu ban yak orang Tionghoa asing. Kalau pemerintah memperkenankan jumlah besar orang Tionghoa asing untuk menjadi warga negara Indonesia, pemerintah khawatir tidak akan dapat mengawasi dan menyerap mereka. Di pihak lain. kalau status quo dipertahankan. Peking akan berkewajiban dan berhak untuk melindungi orang-orang Tionghoa asing. yang menu rut hukum Cina adalah warga negara RRC. Kebimbangan pemerintah Indonesia untuk menerapkan kebijaksanaan kewarganegaraan yang lebih liberal nampaknya terletak pada persepsi orang Indonesia ten tang kelompok minoritas Tionghoa yang telah berkembang dalam kurun waktu yang panjang (Leo Suryadinata, 1984: 131)
D. Kebijakan-Kebijakan Yang Dilakukan Pemerintah Indonesia Dalam Menanggulangi Dampak Dari Akibat Dikeluarkannya UndangUndang No 62 Tahun 1958 1. Peraturan Presiden No. 10/1959 Dalam persetujuan dwi-kewarganegaraan, pihak Indonesia berhasil mendapatkan jaminan bahwa di depan mata dunia internasional RRC menanggalkan usaha campur tangan dalam masalah dalam negeri Indonesia melalui cara mempengaruhi minoritas Cina. Orang Cina yamg berdiam di Indonesia namun memegang kewarganegaraan RRC akan mengindahkan hukum dan adat istiadat Indonesia dan tidak akan turut dalam kegiatan-kegiatan politik Indonesia. Sebaliknya Indonesia berjanji untuk melindungi hak dan kepentingan yang sah dari orang Cina warga negara RRC itu.
68
Namun mengenai hal yang terakhir ini terdapat perbedaan interpretasi antara Indonesia dan RRC, khususnya yang menyangkut hak dan kepentingan ekonomi. Hal ini nampak ketika pada tanggal 16 November 1959 muncul peraturan Presiden No. 10/1959, yang dikenal sebagai Peraturan Pedagang Kecil dan Eceran. Peraturan Presiden yang berlaku surut sampai tanggal 10 Juli 1959 itu melarang usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing di luar ibu kota daerah swatantra tingkat I dan II serta karesidenan. Ramailah para pedagang Cina berpindah ke kota-kota (Koerniatmanto, 1996:113). Kebingungan dan ketegangan di kalangan orang Cina ini terjadi karena pada saat itu orang-orang keturunan Cina di Indonesia terbagi ke dalam dua kelompok status: orang Cina warga negara asing dan orang Cina berdwi-kewarganegaraan RI-RRC. Waktu itu belum jelas kapan Persetujuan Dwi-kewarganegaraan tersebut akan diberlakukan, meskipun Peraturan Pemerintah No. 20/1959 sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 2/1958 telah diundangkan. Timbulah krisis hubungan Indonesia-RRC Kedutaan Besar RRC di Jakarta seeara aktif menganjurkan agar orang-orang Cina di Indonesia tidak menaati perintah Pemerintah Indonesia dan tetap berada di tempat tinggal semula sampai RRC dapat memperoleh solusinya. Tindakan ini diikuti dengan kegiatan RRC pada tanggal 10 Desernber 1959, yaitu memanggil pulang orang Cina ke RRC. Terjadilah arus mudik orang-orang Cina di bawah koordinasi Kedutaan Besar RRC di Jakarta. Dalam rangka itu pemerintah Indonesia menerbitkan Exit-Permit Only (EPO) bagi para pernudik Cina tersebut. Namun usaha RRC untuk menekan Indonesia ini justru rnerugikan RRC sendiri, khususnya di bidang sosial dan ekonomi. Akibatnya pada bulan April 1960 pihak RRC menghentikan proyek mudiknya itu, dan menghimbau agar para pemudik ini tetap tinggal di Indonesia. Di lain pihak Peraturan Presiden No. 10/1959 ini akhirnya mengakibatkan orang-orang Cina di Indonesia hams memberikan bukti kewarganegaraan Indonesia-nya. Hal ini hams dilakukan agar mereka
69
tidak terkena pembatasan ekonomi seperti yang terkandung dalam Peraturan Presiden No. 10/1959. Pemberlakuan Peraturan Presiden No. 20/ 1959 menjadi sesuatu yang amat ditunggu-tunggu. Baru pada tanggal 8 Maret 1960 muncul Peraturan Pemerintah No. 11/1960, yang menegaskan bahwa Peraturan Pemerintah No. 20/1959 mulai berlaku pada hari penukaran pengesahan yang berlangsung di Peking, yaitu tanggal 20 Januari 1960. Perjanjian ini diharapkan berlaku untuk waktu dua puluh tahun. Dengan demikian diharapkan masalah bipatride ini dapat terselesaikan. (Koerniatmanto, 1996:113).
2. Pasal X Perjanjian Dwi Kewarganegaraan Peraturan ini khusus diperuntukkan bagi wanita RRC yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena kawin dengan seorang warga negara Indonesia, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal X Perjanjian Dwi-kewarganegaraan. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, menurut Pasal X ini apabila seorang warga negara Indonesia kawin dengan seorang warga negara RRC, masing-masing tetap memiliki kewarganegaraan asal. Tetapi apabila salah satu pihak dengan kehendak sendiri memohon dan memperoleh kewarganegaraan pihak lainnya, dengan sendirinya ia kehilangan kewarganegaraan asal. Surat Edaran Menteri Kehakiman No. JB.3/193/3, tanggal 5 Oktober 1962, menentukan bahwa apabila wanita RRC yang ingin menjadi
warga
negara
Indonesia
karena
perkawinannya,
dapat
membuktikan kewarganegaraan RRCnya, tidak periu baginya Letter of Explanation atau surat keterangan dari Perwakilan RRC tentang tidak adanya kemungkinan bipatride. Hal ini dipertegas dengan Surat Edaran Menteri Kehakiman No. DTC/20/9, tanggal 6 Desember 1965, yang mengharuskan pembuktian tersebut berupa paspor RRC atau surat resmi lain yang dikeluarkan oleh Pemerintah atau Perwakilan RRC. Demikian Formulir IV adalah Formulir I yang khusus berlaku bagi wanita eks RRC berdasarkan Pasal X Perjanjian Dwi-kewarganegaraan. (Koerniatmanto,
70
1996:116). 3. Peraturan Perubahan Nama Bagi Golongan Tionghoa Setelah kudeta 1965 diterimalah istilah Cina yang mengandung arti penghinaan, untuk menggantikan istilah Tionghoa dan Tiongkok (RRC). Salah satu sebab utama digunakan istilah Cina yaitu untuk menghilangkan rasa inferior pada bangsa kita sendiri (orang Indonesia asli) serta menghilangkan rasa superior pada golongan Tionghoa lokal dalam negara kita (Leo Suryadinata, 1984: 37) Di tahun 1966 Presiden Suharto mengeluarkan perintah pengubahan nama bagi warga Negara Indonesia keturunan Cina agar proses Asimilasi dipercepat. Pada bulan Agustus 1967 dalam pidatonya di depan DPR ia mengusulkan agar ditarik garis yang tegas antar warga Indonesia dan orang asing. Ia berpendapat bahwa warga negara Indonesia keturunan Tionghoa adalah juga warga negara, dan karenanya memiliki hak dan kewajiban yang sarna dengan warga negara lainnya (yang asli). Ia tidak menyetujui adanya praktek pembedaan terhadap mereka. Walaupun begitu ia berusaha melenyapkan praktek kehidupan sosial mereka yang eksklusif dengan mengeluarkan peraturan-peraturan. Di antara peraturan itu yang pertama adalah peraturan pengubahan nama kemudian ia mengajak para warga negara Indonesia keturunan Tionghoa untuk berintegrasi dan berasimilasi dengan masyarakat Indonesia asli tanpa menunggu-nunggu lagi (Leo Suryadinata, 1984: 38) Peraturan tentang perubahan nama yang dikeluarkan bulan Desember 1966. Sebelum itu sudah ada undang-undang (no. 4/1961) yang mengizinkan semua warga negara Indonesia keturunan asing mengubah nama mereka menjadi nama Indonesia. Para calon diharuskan minta rekomendasi dari gubemur 'atau bupati setempat dan kepala polisi setempat.. Tetapi undang-undang itu tidak disebarluaskan, dan pemerintah tidak giat menjalankannya. Pada bulan Desember 1966, pemerintah Soeharto menyederhanakan prosedur untuk pengubahan nama warga negara Indonesia keturunan asing (Tionghoa). Pemerintah dengan giat menganjurkan perubahan nama dan peraturan tersebut juga disebarluaskan. Peraturan itu mengatakan bahwa pemerintah Indonesia in gin mempercepat asimilasi warga negara Indonesia keturunan asing ke dalam "bangsa Indonesia";
71
pengubahan nama dari nonIndonesia menjadi "nama Indonesia" dianggap sebagai salah satu cara untuk mempercepat proses asimilasi. Karenanya pemerintah berpendapat bahwa para warga negara Indonesia yang ingin mengubah nama Tionghoa mereka menjadi nama Indonesia harus sebanyak mungkin diberi kesempatan. Menurut peraturan itu Tionghoa yang warga negara yang ingin mengubah nama dapat sekadar memasukkan permohonan mereka kepada penguasa setempat (biasanya gubemur, bupati, atau walikota) untuk didaftar. Untuk pendaftaran tersebut ditarik biaya sekadarnya. Permohonan akan diteruskan ke Departemen Kehakiman. Kalau dalam waktu tiga bulan tidak ada keberatan diajukan oleh masyarakat setempat nama baru itu menjadi sah. Peraturan itu mula-mula diberlakukan dari bulan Januari 1967 sampai Maret 1968. Kemudian diperpanjang satu tahun karena orang Tionghoa warga negara yang mengubah nama temyata lebih sedikit daripada yang diharapkan. Pada bulan Agustus 1969, Departemen Kehakiman mengumumkan bahwa hanya ada 232.882 orang yang mengubah nama mereka. Alasan pengubahan nama bermacam-macam. Beberapa di antaranya mengubah nama untuk alasan praktis. Mereka yakin bahwa hal itu akan membuat hidup mereka di Indonesia lebih mudah (misaInya untuk mendapat izin, untuk mendapat tempat di sekolah atau perguruan tinggi. untuk dapat diterima oleh orang Indonesia pribumi). Beberapa lagi mempunyai alasan untuk menjadikan diri mereka satu dengan "bangsa Indonesia". Mereka benar-benar percaya bahwa "masalah Cina" terselesaikan melalui asimilasi total. Yang lain lagi berpendapat bahwa bangsa Indonesia tidak harus didefinisikan dalam arti bangsa Indonesia yang pribumi. Mereka bangga akan asal-usul etniknya, dan ingin tetap menjadi Tionghoa (Leo Suryadinata, 1984: 172)
72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dalam bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia sebelum tahun 1958 yang ketika
itu
masih
pada
zaman
VOC,
tidak
mengenal
prinsip
kewarganegaraan. Perbedaan bukanlah dilakukan antara warganegara dan orang-orang asing. Orang lebih banyak memperhatikan sifat-sifat lahir atau kriteria lain seperti kepercayaan (keagamaan) yang mudah tampak terlihat. Berdasarkan Grondwet 1814/1815 pada tahun 1838 disusunlah Nederlandsch Burgerlijk Wetboek (NBW) yang menyatakan bahwa selain orang-orang keturunan Belanda, juga orang-orang Indonesia, Tionghoa dan Arab yang dilahirkan di Hindia Belanda, adalah orang-orang Belanda. Selanjutnya dalam Wet 1910 ini diakui sebagai kaulanegara Belanda (Nederlandsch onderdaan). Adanya keinginan untuk membuat sebanyak mungkin orang-orang menjadi kaulanegara telah menimbulkan reaksi dari kalangan tertentu seperti peranakan Tionghoa. Bagi orang-orang yang tidak suka untuk dihitung menjadi kaulanegara Belanda, hal ini dipandang sebagai terlalu memaksa dan akhirnya mendorong munculnya pergerakan Tionghoa. Ketika Jepang menduduki Indonesia tidak banyak mengadakan perubahan terhadap peraturan yang ada dan masih memakai peraturan-peraturan peninggalan Belanda. Setelah Indonesia merdeka peraturan tentang kewarganegaraan diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 26 yang menyatakan orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, peranakan Tionghoa, dan peranakan Arab, yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia, dapat menjadi warga Negara Indonesia. 72
73
Namun rupanya RRC masih mempertahankan Undang-Undang Kewarganegaraan Cina Nasionalis yang diundangkan pada tahun 1929. Undang-undang ini menggunakan asas ius sanguinis. Hal ini mengakibatkan semua orang Cina yang berstatus sebagai warga negara Indonesia menjadi berstatus bipatride. 3. Kewarganegaraan Etnis Tionghoa di Indonesia setelah keluarnya UndangUndang No.62 Tahun 1959 mengalami berbagai perubahan. Ketika orang Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaanya, mereka tidak memberlakukan lagi kebijaksanaan kewarganegaraan yang lebih liberal (bebas) dan mulai menerapkan asas ius soli dua generasi (pengganti ius soli sederhana) bagi orang Tionghoa lokal. "Sistem pasif" diganti dengan "sistem aktif", yaitu sistem yang mensyaratkan adanya pernyataan penerimaan kewarganegaraan Indonesia memberikan bukti bahwa orangtua mereka dilahirkan di wilayah Indonesia dan telah berdiam di Indonesia sedikit-dikitnya selama 10 tahun; dan menyatakan secara resmi menolak kewarganegaraan Cina. Akan banyak orang Indonesia keturunan Tionghoa yang kehiIangan kewarganegaraan karena mereka bukan tidak mengetahui prosedur hukum, tetapi juga tidak akan dapat memberikan surat kelahiran atau bukti lain yang dapat membuktikan bahwa orangtua mereka dilahirkan di wilayah Indonesia dan telah berdiam di Indonesia sekurang-kurangnya 10 tahun. 4. Dampak dikeluarkanya undang-undang No 62 tahun 1958 terhadap kewarganegaraan etnis Tionghoa di Indonesia diantaranya pada tahun 1960-an terdapat kecenderungan dari beberapa orang pemuda Tionghoa Totok untuk berkiblat ke Indonesia. Undang-undang Kewarganegaraan mensyaratkan bahwa penolakan kewarganegaraan Cina harus dilakukan di Pengadilan Negeri di Indonesia, atau di kedutaan-kedutaan atau konsulatkonsulat Indonesia untuk orang Tionghoa yang ada di luar negeri. Setiap orang yang mempunyai kewarganegaraan ganda (warga negara Indonesia keturunan Tionghoa sebelum 20 Januari 1960) haruslah menolak kewarganegaraan Cina dalam jangka waktu kesempatan memilih (20
74
Januari 1960-20 Januari 1962); kalau tidak, orang tersebut akan dengan sendirinya kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Hanya sedikit sekali jumlah orang pernah dinaturalisasi sebagai warga negara sehingga lebih dari 60 persen etnis Tionghoa di Indonesia tetap orang asing hingga tahun 1980-an. Terjadi beberapa emigrasi kelompok ini ke China, tetapi sebagian besar melihat memilih menjadi penduduk tetap di Indonesia. Dan keadaan bagi orang Tionghoa semakin memburuk setelah terjadinya kudeta tahun 1965. 5. Kebijakan-kebijakan
yang dilakukan
pemerintah Indonesia
dalam
menanggulangi dampak dari akibat dikeluarkannya Undang-undang No 62 tahun 1958 yaitu dikeluarkanya beberapa Undang-undang dan peraturanperaturan. Pada bulan November 1959 muncul peraturan Presiden No. 10/1959, yang dikenal sebagai Peraturan Pedagang Kecil dan Eceran. Peraturan Presiden itu melarang usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing di luar ibu kota daerah swatantra tingkat I dan II serta karesidenan. Ramailah para pedagang Cina berpindah ke kotakota.
Kemudian
Pasal
X
Perjanjian
Dwi-kewarganegaraan,
peraturan ini khusus diperuntukkan bagi wanita RRC yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena kawin dengan seorang warga negara Indonesia, menurut Pasal X ini apabila seorang warga negara Indonesia kawin dengan seorang warga negara RRC, masing-masing tetap memiliki kewarganegaraan asal. Tetapi apabila salah satu pihak dengan kehendak sendiri memohon dan memperoleh kewarganegaraan pihak lainnya, dengan sendirinya ia kehilangan kewarganegaraan asal. Tahun 1966 masa pemerintahan presiden Soeharto dikeluarkan perintah pengubahan nama bagi warga negara Indonesia keturunan Cina dan mengajak para warga negara keturunan
Tionghoa
untuk
masyarakat Indonesia asli.
berintegrasi
dan
berasimilasi
dengan
75
A. Implikasi 1. Teoritis Salah satu unsur yang paling hakiki dalam suatu negara adalah warga negara. Sebagai anggota suatu negara, seorang warga negara mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya. Hubungan antara negara dan warga negara ini perlu diatur dalam suatu aturan hukum. Undang-Undang Dasar hanya bersifat pokok, sehingga perlu adanya aturan untuk mengatur hubungan antara negara dan warga negara. Pengaturan hubungan antara negara dan warga negara di dalam undang-undang sangat penting karena hak dan kewajiban antara negara dan warga negara serta kedudukan warga negara akan diatur lebih jelas. Aturan hukum yang pernah mengatur tentang hubungan antara negara dan warga negara di Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian dan perkembangan, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958. Namun Undang-Undang ini menunjukkan beberapa kelemahan yaitu tidak memenuhi unsur filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Secara filosofis, UndangUndang Nomor 62 Tahun 1958 belum sejalan dengan falsafah Pancasila karena bersifat diskriminatif dan kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antara warga negara. Secara yudiris, landasan konstitusional pembentukan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 adalah UUDS Tahun 1950 yang sudah tidak berlaku sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali lagi ke UUD 1945. Pada saat ini, UUD 1945 juga telah mengalami beberapa kali amandemen untuk lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak warganegara. Secara sosiologis, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum. Salah satu sifat diskriminatif Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 adalah perlakuan terhadap warga keturunan Tionghoa, yang mensyaratkan menyertakan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) untuk
76
mengurus
paspor
atau
dokumen
sipil
lainnya.
SBKRI
(Surat
Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia) ini telah melanggar hak seseorang untuk mendapatkan pengakuan yang sama sebagai warga negara Indonesia, 2. Praktis Sebagai
kaum
perantauan
etnis
Tionghoa
tidak
lagi
mendapat
perlindungan dari daerah asalnya. keadaan ini memaksa mereka untuk selalu bertahan dalam setiap kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda maupun pemerintah Indonesia, mereka selalu menempatkan diri dengan tepat dan mencoba mengikuti aturan-aturan yang diberlakukan walaupun kebijakan yang diterapkan kepada mereka bersifat membatasi gerak mereka. Kondisi yang dialami oleh etnis Tionghoa tidak menyebabkan mereka putus asa tetapi justru menjadikan mereka menjadi etnis yang kuat sehingga dapat selalu eksis, banyak hal-hal positif yang dimiliki warga keturunan Tionghoa sebagai warga negara Indonesia disamping keberhasilanya dalam bidang ekonomi. Sebagai contoh pemain bulutangkis Tan Joe Hoek, Chandra Wijaya, Susi Susanti, Haryanto Arbi, Verawati Fajrin, Hendrawan, dan atlet lainnya adalah warga keturunan Tionghoa yang telah mengharumkan nama bangsa Indonesia di kancah internasional, namun mereka tetap wajib menyertakan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) atau Surat Pernyataan Keterangan Melepaskan Kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok (SMKK-RRT) dalam berbagai urusan yang terkait dengan kewarganegaraan, sedangkan warga negara yang bukan keturunan cukup menyertakan KTP atau akte lahir yang hal tersebut masih dirasakan sebagai tindakan yang masih diskriminatif. Keberadaan etnis Tionghoa sebagai salah satu golongan minoritas di Indonesia dari dulu sampai sekarang sangat menarik untuk dikaji. Oleh karena itu setelah penelitian ini, diharapkan dimasa yang akan datang akan terus ada peneliti yang mampu mengulas secara lebih mendalam lagi tentang etnis Tionghoa, khususnya
mengenai
peranan
mereka
dalam
perkembangan
hukum
kewarganegaraan Indonesia. Agar dapat menjadi acuan dalam pembelajaran khususnya tentang sejarah hukum kewarganegaraan Indonesia.
77
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat diajukan saran sebagai berikut : 1. Bagi Mahasiswa Sebagai generasi muda, banyak pelajaran yang dapat diambil dari perjalanan etnis Tionghoa Indonesia. Dengan keberhasilanya dibidang ekonomi karena memiliki sifat ulet, kreatif dan pekerja keras untuk mengisi pembangunan. Maka bagi mahasiswa Program Sejarah sebagai generasi penerus bangsa diharapkan dapat mengambil sifatsifat yang positif dalam kehidupan dan menghargai perbedaaan yang ada. Sehingga di masa yang akan datang dapat hidup rukun saling bekerjasama dalam pembagunan bangsa. 2. Bagi Para Pendidik Kondisi generasi muda saat ini yang sangat mudah terpengaruh dengan hal yang bersifat negatif, para pendidik diharapkan lebih peka dengan keadaan yang dapat mengahancurkan generasi muda saat ini. Maka pendidik diharapkan dapat menanamkan sifat positif seperti saling menghormati
dan
menghargai
pribadi
orang
lain
tanpa
mempertentangkan perbedaan yang ada, agar para generasi muda dapat mengisi pembagunan dengan sifat-sifat yang positif dan dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan berbagai perbedaan di negara yang penuh keanekaragaman ini.
78
DAFTAR PUSTAKA Buku buku Azyumardi Azra. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) : Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,. Jakarta : Predana Media. Dudung Abdurracman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press Gungwu,Wang dan Jennifer Cushman.1991.Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara. Jakarta:Pustaka Grafiti Hans Kohn 1984. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Jakarta : Airlanga Hari Mulyadi. 1999. Runtuhnya Kekuasaan “Kraton Alit”: Studi Radikalisasi Sosial” Wong Sala” dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta. Surakarta. LPTP Helius Sjamsuddin. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. _______________ & Ismaun. 1996. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hembing Wijayakusuma. 2005. Pembantian Massal 1740 “Tragedi Berdarah Angke”. Jakarta: Pustaka Populer Obor. Isjwara. 1982. Pengantar Ilmu Politik. Bandung : Binacipta Justian Suhandinata. 2009. WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kansil, CST. Hukum Kewarganegaraan Republik Indonesia. 1996. Jakarta: Sinar Grafika Koentjaraningrat. 1970. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. ______________. 1977. Metode-Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Erlangga.
78
79
Koentjaraningrat. 1986. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Ghalia Indonesia. Koerniatmanto Soetoprawiro. 1996. Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indonesia. Jakarta. Gramedia Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Leo Suryadinata. 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia __________.1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta. Grafiti. __________.1986.Politik Tionghoa Peranakan Jawa 1917-1942. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Leo Agung . 2002. Sejarah Intelektual. Salatiga : Widyasari Press Lexy J. Moleong. 1989. Metodologi Penelitian Kualititatif. Bandung: Remaja Karya. Markhamah. 2000. Etnik Cina Suatu Kajian Linguistik Kultural. Surakarta: UMS Mely G.Tan. 1981. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Gramedia. Noer Fauzi. 1998. Petani & penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Pamudji, S.1994. Perbandingan Pemerintahan. Jakarta: Bumi Aksara. Rener, G.J. 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ______________ . 1992. Pengantar sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium sampai Imperium. Jakarta. Gramedia. Sidi Gazalba. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Sidik Suraputra. 1991. Revolusi Indonesia dan Hukum Internasional. Jakarta: UI Press
80
Stoddard L. 1966. Dunia Baru Islam. Jakarta : Panitia. Sudargo Gautama. 1987. Warga Negara dan Orang Asing. Bandung: Alumni Sukarna. 1990. Pembangunan Politik. Bandung: Mandar Maju. Sumadi Suryabrata.1997.Metodologi Penelitian.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Skinner, G. William.1981. Golongan Minoritas Tionghoa dalam Mely G. Tan, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: Gramedia Yusiu Liem. 2000. Prasangka Terhadap Etnis Cina: Sebuah Intisari. Jakarta: Djamban. Jurnal : Benny Juwono. 1999. Etnis Cina di Surakarta 1980-1927: Tinjauan Sosial Ekonomi. Lembaran Sejarah Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM. No 1.16-19. Jean Debernardi. 1988 Oktober. “Changing Identities of the Soutbeast Asian Chinese since World War II” Edited by Jennifer Cushman and Wang Gungwu. The Journal of Asian Studies. Vol 49 Number 2. May 1990, hlm 432. Majalah dan Koran : Majalah Sin Po, 1 November 1930 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta Koran Gelora Maesa, 24 September 1957 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta Koran Gelora Maesa, 16 April 1958 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta Koran Obor Rakyat, 28 Juli 1958 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta Internet : http://www.datalink.indonesia-ottawa.org.pdf. Undang-undang kewarganegaraan RI No 62 tahun 1958. diakses 24 Maret 2010
81
LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1958 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Bahwa perlu diadakan Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia; Mengingat : a. Pasal-Pasal 5 dan 144 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia; b. Pasal 89 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia; DENGAN PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT; MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA Pasal 1 Warganegara Republik Indonesia ialah: 1. orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan/atau perjanjianperjanjian dan/atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah warga-negara Republik Indonesia; 2. orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, seorang warga-negara Republik Indonesia, dengan pengertian bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia tersebut dimulai sejak adanya hubungan hukum kekeluargaan termaksud, dan bahwa hubungan hukum kekeluargaan ini diadakan sebelum orang itu berumur 18 tahun atau sebelum ia kawin pada usia di bawah 18 tahun; 3. anak yang lahir dalam 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia, apabila ayah itu pada waktu meninggal dunia warga-negara Republik Indonesia; 4. orang yang pada waktu lahirnya ibunya warga-negara Republik Indonesia, apabila ia pada waktu itu tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya; 5. orang yang pada waktu lahirnya ibunya warga-negara Republik Indonesia, jika ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan, atau selama tidak diketahui kewarganegaraan ayahnya; 6. orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia selama kedua orang tuanya tidak diketahui;
82
7. seorang anak yang diketemukan di dalam wilayah Republik Indonesia selama tidak diketahui kedua orang tuanya; 8. orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia, jika kedua orang tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan atau selama kewarganegaraan kedua orang tuanya tidak diketahui; 9. orang yang lahir di dalam wilayah Republik Indonesia yang pada waktu lahirnya tidak mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya dan selama ia tidak mendapat kewarganegaraan ayah atau ibunya itu; 10. orang yang memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menurut aturan-aturan Undang-undang ini. Pasal 2 1. Anak asing yang belum berumur 5 tahun yang diangkat oleh seorang warganegara Republik Indonesia, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila pengangkatan itu dinyatakan sah oleh Pengadilan Negeri dari tempat tinggal orang yang mengangkat anak itu. 2. Pernyataan sah oleh Pengadilan Negeri termaksud harus dimintakan oleh orang yang mengangkat anak tersebut dalam 1 tahun setelah pengangkatan itu atau dalam 1 tahun setelah Undang-undang ini mulai berlaku. Pasal 3 1. Anak di luar perkawinan dari seorang ibu warga-negara Republik Indonesia atau anak dari perkawinan sah, tetapi dalam perceraian oleh hakim anak tersebut diserahkan pada asuhan ibunya seorang warga-negara Republik Indonesia, yang kewarganegaraannya turut ayahnya seorang asing, boleh mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia tidak mempunyai kewarganegaraan lain atau menyertakan pernyataan menanggalkan kewarganegaraan lain menurut cara yang ditentukan oleh ketentuan hukum dari negara asalnya dan/atau menurut cara yang ditentukan oleh perjanjian penyelesaian dwikewarganegaraan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan. 2. Permohonan tersebut di atas harus diajukan dalam 1 tahun sesudah orang yang bersangkutan berumur 18 tahun kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya. 3. Menteri Kehakiman mengabulkan atau menolak permohonan itu dengan persetujuan Dewan Menteri. 4. Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh atas permohonan itu mulai berlaku pada hari tanggal keputusan Menteri Kehakiman.
83
Pasal 4 1. Orang asing yang lahir dan bertempat tinggal di dalam wilayah Republik Indonesia yang ayah-atau ibunya, apabila ia tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, juga lahir di dalam wilayah Republik Indonesia dan penduduk Republik Indonesia, boleh mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila ia setelah memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia tidak mempunyai kewarganegaraan lain, atau pada saat mengajukan permohonan ia menyampaikan juga surat pernyataan menanggalkan kewarganegaraan lain yang mungkin dimilikinya sesuai dengan ketentuanketentuan hukum yang berlaku di negara asalnya atau sesuai dengan ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian penyelesaian dwi-kewarganegaraan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan. 2. Permohonan tersebut di atas harus diajukan dalam 1 tahun sesudah orang yang bersangkutan berumur 18 tahun kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnya. 3. Menteri Kehakiman mengabulkan atau menolak permohonan itu dengan persetujuan Dewan Menteri. 4. Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh atas permohonan itu mulai berlaku pada hari tanggal keputusan Menteri Kehakiman. Pasal 5 1. Kewarganegaraan Republik Indonesia karena pewarganegaraan diperoleh dengan berlakunya keputusan Menteri Kehakiman yang memberikan pewarganegaraan itu. 2. Untuk mengajukan permohonan pewarganegaraan pemohon harus: a. sudah berumur 21 tahun; b. lahir dalam wilayah Republik Indonesia, atau pada waktu mengajukan permohonan bertempat tinggal dalam daerah itu selama sedikit-dikitnya 5 tahun berturut-turut yang paling akhir atau sama sekali selama 10 tahun tidak berturut-turut; c. apabila ia seorang laki-laki yang kawin mendapat persetujuan isteri (isteriisteri)nya; d. cukup dapat berbahasa Indonesia dan mempunyai sekedar pengetahuan tentang sejarah Indonesia serta tidak pernah dihukum karena melakukan kejahatan yang merugikan Republik Indonesia; e. dalam keadaan sehat rokhani dan jasmani;
84
f. membayar pada Kas Negeri uang sejumlah antara Rp. 500,- sampai Rp. 10.000,- yang ditentukan besarnya oleh Jawatan Pajak tempat tinggalnya berdasarkan penghasilannya, tiap bulan yang nyata dengan ketentuan tidak boleh melebihi penghasilan nyata sebulan; g. mempunyai mata pencaharian yang tetap, h. tidak mempunyai kewarganegaraan, atau kehilangan kewarganegaraannya apabila ia memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia atau menyertakan pernyataan menanggalkan kewarganegaraan lain menurut ketentuan hukum dari negara asalnya atau menurut ketentuan hukum perjanjian penyelesaian dwi-kewarganegaraan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan. 3. Seorang perempuan selama dalam perkawinan tidak boleh mengajukan permohonan pewarganegaraan. 4. Permohonan untuk pewarganegaraan harus disampaikan dengan tertulis dan dibubuhi meterai kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggal pemohon; 5. Permohonan harus ditulis dalam bahasa Indonesia dan bersama dengan permohonan itu harus disampaikan bukti-bukti tentang hal-hal tersebut dalam ayat 2 kecuali yang tersebut dalam huruf d. 6. Pengadilan Negeri atau perwakilan Republik Indonesia memeriksa bukti-bukti itu akan kebenarannya dan menguji pemohon akan kecakapannya berbahasa Indonesia dan akan pengetahuannya tentang sejarah Indonesia. 7. Menteri Kehakiman mengabulkan atau menolak permohonan pewarganegaraan dengan persetujuan Dewan Menteri. 8. Keputusan Menteri Kehakiman yang memberikan pewarganegaraan mulai berlaku pada hari pemohon di hadapan Pengadilan Negeri atau perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya mengucapkan sumpah atau janji setia dan berlaku surut hingga dari tanggal keputusan Menteri Kehakiman tersebut. 9. Sumpah atau janji setia itu adalah seperti berikut: "Saya bersumpah (berjanji): bahwa saya melepaskan seluruhnya, segala kesetiaan kepada kekuasaan asing: bahwa saya mengaku dan menerima kekuasaan yang tertinggi dari Republik Indonesia dan akan menepati kesetiaan kepadanya: bahwa saya akan menjunjung tinggi Undang-undang Dasar dan hukum-hukum Republik Indonesia dan akan membelanya dengan sungguh-sungguh: bahwa saya memikul kewajiban ini dengan rela hati dan tidak akan mengurangi sedikit pun". 10. Setelah pemohon mengucapkan sumpah atau janji setia termaksud di atas. Menteri Kehakiman mengumumkan pewarganegaraan itu dengan menempatkan keputusannya dalam Berita-Negara.
85
11. Apabila sumpah atau janji setia tidak diucapkan dalam waktu tiga bulan setelah hari tanggal keputusan Menteri Kehakiman, maka keputusan itu dengan sendirinya menjadi batal. 12. Jumlah uang tersebut dalam ayat 2 dibayarkan kembali, apabila permohonan pewarganegaraan tidak dikabulkan. 13. Jika permohonan pewarganegaraan ditolak, maka pemohon dapat mengajukan permohonan kembali. Pasal 6 1. Pewarganegaraan juga dapat diberikan dengan alasan kepentingan negara atau telah berjasa terhadap negara oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 2. Dalam hal ini dari ketentuan-ketentuan dalam Pasal 5 hanya berlaku ketentuanketentuan ayat 1, ayat 5, ayat 6 dan ayat 7. Pasal 7 1. Seorang perempuan asing yang kawin dengan seorang warga-negara Republik Indonesia, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan untuk itu, kecuali jika ia apabila memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia masih mempunyai kewarganegaraan lain, dalam hal mana keterangan itu tidak boleh dinyatakan. 2. Dengan kekecualian tersebut dalam ayat 1 perempuan asing yang kawin dengan seorang warga-negara Republik Indonesia juga memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia satu tahun sesudah perkawinannya berlangsung, apabila dalam satu tahun itu suaminya tidak menyatakan keterangan untuk melepaskan kewarganegaraan Republik Indonesia. 3. Keterangan itu hanya boleh dinyatakan dan hanya mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila degan kehilangan itu suami tersebut tidak menjadi tanpa kewarganegaraan. 4. Apabila salah satu dari keterangan tersebut dalam ayat 1 dan 2 sudah dinyatakan, maka keterangan yang lainnya tidak boleh dinyatakan. 5. Keterangan-keterangan tersebut di atas harus dinyatakan kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggal orang yang menyatakan keterangan itu. Pasal 8 1. Seorang perempuan warga-negara Republik Indonesia yang kawin dengan seorang asing kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesianya, apabila
86
dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila ia dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia itu menjadi tanpa kewarganegaraan. 2. Keterangan tersebut dalam ayat 1 harus dinyatakan kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggal orang yang menyatakan keterangan itu. Pasal 9 1. Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh oleh seorang suami dengan sendirinya berlaku terhadap isterinya, kecuali apabila setelah memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia isteri itu masih mempunyai kewarganegaraan lain. 2. Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia oleh seorang suami dengan sendirinya berlaku terhadap isterinya, kecuali apabila suami itu akan menjadi tanpa kewarga-negaraan. Pasal 10 1. Seorang perempuan dalam perkawinan tidak boleh mengajukan permohonan tersebut dalam Pasal 3 dan Pasal 4. 2. Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia oleh seorang isteri dengan sendirinya berlaku terhadap suaminya, kecuali apabila suami itu akan menjadi tanpa kewarga-negaraan. Pasal 11 1. Seorang yang disebabkan oleh atau sebagai akibat dari perkawinannya kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia, memperoleh kewarganegaraan itu kembali jika dan pada waktu ia setelah perkawinannya terputus menyatakan keterangan untuk itu. 2. Keterangan itu harus dinyatakan dalam waktu 1 tahun setelah perkawinan itu terputus kepada Pengadilan Negeri atau kepada Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya. 3. Ketentuan ayat 1 tidak berlaku dalam hal orang itu apabila setelah memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia masih mempunyai kewarganegaraan lain. Pasal 12 1. Seorang perempuan yang disebabkan oleh atau sebagai akibat perkawinannya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, kehilangan
87
kewarganegaraan itu lagi, jika dan pada waktu ia setelah perkawinannya terputus menyatakan keterangan untuk itu. 2. Keterangan itu harus dinyatakan dalam waktu 1 tahun setelah perkawinan itu terputus kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dan tempat tinggalnya. 3. Ketentuan ayat 1 tidak berlaku apabila orang itu dengan kehilangan kewarganegaraan Republik lndonesianya menjadi tanpa kewarga-negaraan. Pasal 13 1. Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan. 2. Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh seorang ibu berlaku juga terhadap anak-anaknya yang tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin setelah mereka bertempat tinggal dan berada di Indonesia. 3. Apabila kewarganegaraan Republik Indonesia itu diperoleh dengan pewarganegaraan oleh seorang ibu yang telah menjadi janda karena suaminya meninggal maka anak-anak yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan suami itu, yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin turut memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia juga, setelah mereka bertempat tinggal dan berada di Indonesia. 4. Keterangan tentang tempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anaknya yang karena ibunya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan. Pasal 14 1. Bilamana anak termaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 13 sampai berumur 21 tahun, maka ia kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia lagi, jika dan pada waktu ia menyatakan keterangan untuk itu. 2. Keterangan itu harus dinyatakan dalam waktu 1 tahun setelah anak itu berumur 21 tahun kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya. 3. Ketentuan ayat 1 tidak berlaku apabila anak itu dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesianya menjadi tanpa kewarga-negaraan. \
88
Pasal 15 1. Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia oleh seorang ayah berlaku juga terhadap anak-anaknya yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayah itu, yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin, kecuali jika dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia anak-anak itu menjadi tanpa kewarga-negaraan. 2. Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia oleh seorang ibu berlaku juga terhadap anak-anaknya yang tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya, kecuali jika dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia anak-anak itu menjadi tanpa kewarga-negaraan. 3. Apabila ibu itu kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia karena pewarganegaraan di luar negeri dan ibu itu telah menjadi janda karena suaminya meninggal, maka ketentuan- ketentuan dalam ayat 2 berlaku juga terhadap anak-anaknya yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan suami itu, setelah anak-anak itu bertempat tinggal dan berada di luar negeri. Pasal 16 1. Seorang anak yang kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesianya karena ayah atau ibunya kehilangan kewarganegaraan itu, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia kembali setelah anak tersebut sampai berumur 18 tahun, jika dan pada waktu itu menyatakan keterangan untuk itu. 2. Keterangan termaksud harus dinyatakan dalam waktu 1 tahun setelah anak itu berumur 18 tahun kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya. 3. Ketentuan ayat 1 tidak berlaku dalam hal anak itu - apabila setelah memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia - masih mempunyai kewarganegaraan lain. Pasal 17 Kewarganegaraan Republik Indonesia hilang karena: a. memperoleh kewarganegaraan lain karena kemauannya sendiri, dengan pengertian bahwa jikalau orang yang bersangkutan pada waktu memperoleh kewarganegaraan lain itu berada dalam wilayah Republik Indonesia kewarganegaraan Republik Indonesianya baru dianggap hilang apabila Menteri Kehakiman dengan persetujuan Dewan Menteri atas kehendak sendiri atau atas permohonan orang yang bersangkutan menyatakannya hilang; b. tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedang- kan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu;
89
c. diakui oleh orang asing sebagai anaknya, jika orang yang bersangkutan belum berumur 18 tahun dan belum kawin dan dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarga-negaraan; d. anak yang diangkat dengan sah oleh orang asing sebagai anaknya, jika anak yang bersangkutan belum berumur 5 tahun dan dengan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarga-negaraan; e. dinyatakan hilang oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Dewan Menteri atas permohonan orang yang bersangkutan, jika ia telah berumur 21 tahun, bertempat tinggal di luar negeri dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan Republik lndonesianya tidak menjadi tanpa kewarganegaraan; f. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Menteri Kehakiman; g. tanpa izin terlebih dahulu dari Menteri Kehakiman masuk dalam dinas negara asing atau dinas suatu organisasi antar negara yang tidak dimasuki oleh Republik Indonesia sebagai anggota, Jika jabatan dinas negara yang dipangkunya menurut peraturan Republik Indonesia hanya dapat dipangku oleh warga-negara atau jabatan dalam dinas organisasi antar negara tersebut memerlukan sumpah atau janji jabatan; h. mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari padanya; i. dengan tidak diwajibkan, turut-serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketata-negaraan untuk suatu negara asing; j. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atas namanya yang masih berlaku; k. lain dari untuk dinas negara, selama 5 tahun berturut-turut bertempat tinggal di luar negeri dengan tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi warga-negara sebelum waktu itu lampau dan seterusnya tiap-tiap dua tahun; keinginan itu harus dinyatakan kepada Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya. l. Bagi warga-negara Republik Indonesia yang berumur di bawah 18 tahun terkecuali apabila ia sudah pernah kawin, masa lima dan dua tahun tersebut di atas mulai berlaku pada hari tanggal ia mencapai umur 18 tahun. Pasal 18 1. Seorang yang kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia termaksud dalam Pasal 17 huruf k memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia kembali jika ia bertempat tinggal di Indonesia berdasarkan Kartu Izin Masuk dan menyatakan keterangan untuk itu.
90
2. Keterangan itu harus dinyatakan kepada Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnya dalam 1 tahun setelah orang itu bertempat tinggal di Indonesia. Pasal 19 Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diberikan atau diperoleh atas keterangan-keterangan yang tidak benar dapat dicabut kembali oleh instansi yang memberikannya atau oleh instansi yang menerima keterangan-keterangan itu. Pasal 20 Barangsiapa bukan warga-negara Republik Indonesia adalah orang asing. PERATURAN PERALIHAN Pasal I Seorang perempuan yang berdasarkan Pasal 3 Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/09/1957 dan Pasal 3 Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/0 14/1958 telah diperlakukan sebagai warga-negara Republik Indonesia, menjadi warga-negara Republik Indonesia, apabila ia tidak mempunyai kewarganegaraan lain. Pasal II Seorang yang pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku berada dalam keadaan tertera dalam Pasal 7 atau Pasal 8, dapat menyatakan keterangan tersebut dalam pasal-pasal itu dalam waktu 1 tahun sesudah mulai berlakunya Undangundang ini, dengan pengertian bahwa suami seorang perempuan yang menjadi warga-negara Republik Indonesia termaksud dalam Pasal 1 peraturan-peralihan tidak dapat menyatakan keterangan tersebut dalam Pasal 7 ayat 2 lagi. Pasal III Seorang perempuan yang menurut perundang-undangan yang berlaku sebelum Undang-undang ini mulai berlaku dengan sendirinya warga-negara Republik Indonesia seandainya ia tidak dalam perkawinan, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, jika dan pada waktu ia dalam 1 tahun setelah perkawinannya terputus atau dalam 1 tahun setelah Undang-undang ini mulai berlaku menyatakan keterangan untuk itu kepada Pengadilan Negeri atau kepada Perwakilan Republik Indonesia dari tempat tinggalnya. Pasal IV 1. Seorang yang tidak turut dengan ayahnya atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dengan pernyataan keterangan menurut perundang-undangan yang berlaku sebelum Undang-undang ini berlaku, karena orang itu pada waktu ayahnya atau ibunya menyatakan keterangan itu sudah dewasa, sedangkan ia sendiri tidak boleh menyatakan keterangan memilih kewarganegaraan Republik Indonesia, adalah warga-negara Republik
91
Indonesia jika ia dengan ketentuan ini atau sebelumnya tidak mempunyai kewarganegaraan lain. 2. Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh orang tersebut berlaku surut hingga waktu ayah/ibunya memperoleh kewarganegaraan itu. Pasal V Menyimpang dari ketentuan-ketentuan Pasal 4 ayat 1 dan 2 anak-anak yang antara tanggal 27 Desember 1949 sampai 27 Desember 1951 oleh orang tuanya ditolakkan kewarganegaraan Republik Indonesianya, dalam tempo satu tahun setelah Undang-undang ini mulai berlaku, dapat mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman melalui Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnya untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila ia berusia di bawah 28 tahun; selanjutnya berlaku Pasal 4 ayat 3 dan 4. Pasal VI 1. Seorang asing yang sebelum Undang-undang ini mulai berlaku pernah masuk dalam ketentaraan Republik Indonesia dan memenuhi syarat-syarat yang akan ditentukan oleh Menteri Pertahanan, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia jika ia menyatakan keterangan untuk itu kepada Menteri Pertahanan atau kepada pejabat yang ditunjuk olehnya. 2. Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diperoleh orang tersebut di atas berlaku surut hingga saat orang itu masuk dalam ketentaraan itu. Pasal VII Seorang yang sebelum Undang-undang ini mulai berlaku berada dalam dinas tentara asing termaksud dalam Pasal 17 huruf f atau berada dalam dinas negara asing atau dinas suatu organisasi antar negara dimaksud dalam Pasal 17 huruf g, dapat minta izin kepada Menteri Kehakiman dalam waktu 1 tahun setelah Undang-undang ini mulai berlaku.
92
PERATURAN PENUTUP Pasal I Seorang warga-negara Republik Indonesia yang berada dalam wilayah Republik Indonesia dianggap tidak mempunyai kewarganegaraan lain. Pasal II Dalam pengertian kewarganegaraan termasuk semua jenis lindungan oleh sesuatu negara. Pasal III Dalam melakukan Undang-undang ini anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin dianggap turut bertempat tinggal dengan ayah atau ibunya menurut perincian dalam Pasal 1 huruf b, c atau d. Pasal IV 1. Barangsiapa perlu membuktikan bahwa ia warga-negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai surat bukti yang menunjukkan bahwa ia mempunyai atau memperoleh atau turut mempunyai atau turut memperoleh kewarganegaraan itu, dapat minta kepada Pengadilan Negeri dari tempat tinggalnya untuk menetapkan apakah ia warga-negara Republik Indonesia atau tidak menurut acara perdata biasa. 2. Ketentuan ini tidak mengurangi ketentuan-ketentuan khusus dalam atau berdasarkan Undang-undang lain. Pasal V Dari pernyataan-pernyataan keterangan yang menyebabkan diperolehnya atau hilangnya kewarganegaraan Republik Indonesia, oleh pejabat yang bersangkutan disampaikan salinan kepada Menteri Kehakiman. Pasal VI Menteri Kehakiman mengumumkan dalam Berita-Negara nama-nama orang yang memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia. Pasal VII Segala sesuatu yang diperlukan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
93
Pasal VIII Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan dengan ketentuan bahwa aturan-aturan Pasal 1 huruf b sampai huruf j, Pasal 2, Pasal 17 huruf a, c dan h berlaku surut hingga tanggal 27 Desember 1949. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta, pada tanggal 29 Juli 1958. Presiden Republik Indonesia, ttd. SOEKARNO. Diundangkan, pada tanggal 1 Agustus 1958. Menteri Kehakiman, ttd, G.A. MAENGKOM.
Sumber http://www. datalink.indonesia-ottawa.orgdocspdfi2.pdf
94
LAMPIRAN 2
Majalah Sin Po, 1 November 1930 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta
95
LAMPIRAN 3
Koran Gelora Maesa, 24 September 1957 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta
96
LAMPIRAN 4
Koran Gelora Maesa, 16 April 1958 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta
97
LAMPIRAN 5
Koran Obor Rakyat, 28 Juli 1958 Sumber : Dokumentasi Monumen Pers Surakarta
98
LAMPIRAN 6
99
LAMPIRAN 7
100
LAMPIRAN 8