Ketuhanan, Terorisme, Separatisme, Korupsi dan Kaitannya dengan Nilai-nilai Pancasila Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Pancasila Dosen: Ayub Pramono, SH
Disusun Oleh: Muhammad Faiz Rahman NIK: 11.12.5520 Kelompok G Program Strata 1 Sistem Informasi
STMIK Amikom Yogyakarta 2011
Abstraksi
Makalah ini menguraikan tentang nilai-nilai Pancasila yang dikupas melalui empat masalah sosial budaya dan politik yang tengah mengemuka di antara masyarakat Indonesia, yaitu lunturnya nilai-nilai Ketuhanan, maraknya aksi terorisme, separatisme, dan korupsi. Dalam uraian masing-masing, kita dapat mencermati bagaimana nilai-nilai Pancasila mulai tersisih dan runtuh di pola hidup masyarakat modern. Nilai Ketuhanan misalnya, mulai mengalami kemunduran dikarenakan kurangnya ketaatan dan konsistensi umat beragama di Indonesia dalam memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam memenuhi tujuan, keteraturan, dan harmoni dalam kehidupan, baik itu kehidupan secara individualis, maupun kehidupan dalam lingkup sosial bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sementara dalam poin terorisme, kita dapat menyimak bagaimana nilai-nilai sila ke-2 mulai runtuh. Kemanusiaan yang adil dan beradab tidak lagi kita temukan dalam kehidupan bermasyarakat. Oknum-oknum teroris, dengan pemikiran yang sangat kaku dan egois, berusaha menyingkirkan kelompok lain yang mereka anggap sebagai “musuh”. Aksi-aksi terorisme, bahkan dari hari ke hari semakin mengancam solidaritas bangsa Indonesia. Dalam poin separatisme, terlihat banyak kelompok masyarakat dengan pikiran sempit, tidak dapat mengaplikasikan nilai-nilai dari Pancasila terutama sila ke-4. Kebanyakan dari gerakan separatisme, beraksi secara anarkis, tidak mengindahkan budaya bernegosiasi dan musyawarah yang sebenarnya telah dicanangkan dalam Pancasila. Sementara dalam ulasan korupsi, kita melihat bagaimana korupsi menggerogoti masyarakat di Indonesia. Pola berpikir masyarakat Indonesia yang cenderung mengutamakan materi dan bukannya mengutamakan ilmu pengetahuan, menyeret banyak orang untuk memperkaya diri secara tidak halal, termasuk melalui jalan korupsi.
Tuhan itu Ada Pada saat ini, kita dapat melihat banyaknya perkembangan dalam aspek-aspek kehidupan manusia. Dilihat dari segi kemampuan hidup, manusia modern telah menunjukkan kemampuan dan olah kreativitasnya. Berbekal inovasi-inovasinya, manusia modern mampu menyelesaikan berbagai macam persoalan yang timbul dalam kehidupannya dengan sekejap mata. Pada masa lampau, manusia seolah terkunci dan diperlambat oleh berbagai aspek kehidupan. Namun saat ini, dengan teknologi ciptaannya, manusia dapat lepas dari belenggu keterbatasannya. Sebaagai contohnya, di bidang transportasi, pada masa lampau manusia kesulitan untuk menyeberangi lautan. Namun kemudian mereka menemukan perahu dayung, yang kemudian berkembang menjadi kapal layar, uap, diesel, hingga kapal besar yang bertenaga nuklir, yang dapat mengarungi samudera luas. Untuk berpergian dalam jarak antar benua, manusia juga membuat pesawat terbang yang dapat menempuh jarak yang jauh dalam tempo waktu yang singkat. Namun, inovasi-inovasi yang dimiliki oleh manusia ternyata berdampak buruk pada pola perilakunya. Hal ini dapat kita lihat dari pola hidup manusia yang dulunya sosialis, sekarang cenderung menjadi individualis dan materialistis. Dalam masyarakat yang berpandangan materialistis, semua nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai moralitas dikesampingkan. Untungnya, selain inovasi dan terobosan yang dilakukan, manusia modern juga memiliki akal pikiran yang semakin dewasa. Banyak generasi-generasi muda zaman sekarang yang menyadari adanya kekurangan dari dunia yang serba mewah dan indah ini. Banyak dari mereka yang percaya, bahwa hidup ini tidak hanya untuk berkecimpung di urusan materi saja. Dibalik itu, tersimpan sebuah tujuan dan falsafah hidup. Untuk dapat menemukan apa dan kemana tujuan hidup manusia, kita harus berpikir jauh kebelakang, dan merenungkan darimana sebenarnya asal mula kehidupan kita ini. Pemikiran yang seperti inilah yang akan menciptakan satu kata yang menjadi jawaban, yaitu “Tuhan”. Al-Quran menegaskan sebuah kebenaran yang hakiki, bahwa semua kebesaran, kemewahan, gaya dan sikap hidup tak akan ada artinya tanpa iman dan spiritualitas, dan bila bertentangan dengan tujuan sejati sebagai manusia. Bila seorang manusia menyukai kehidupan yang bermegah-megahan, menjunjung materialisme, maka ia akan gagal dan segala kehidupannya akan sia-sia. Pemikiran seperti inilah yang kemudian melahirkan sebuah
kepercayaan yang kuat, akan tujuan hidup kita, yang berpusat pada Zat yang menciptakan alam raya dan isinya, sehingga menciptakan keyakinan dan tujuan yang dinamakan iman. Pola hidup manusia, falsafah hidup, Tuhan dan iman inilah yang akhirnya menyokong sebuah kepercayaan spiritual yang disebut dengan agama. Dalam agama inilah sistematika ketuhanan, tatanan kehidupan, baik kehidupan yang bersifat duniawi dan religius diatur. Dalam Pancasila, aspek agama termasuk ke dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini bila dijabarkan, akan melingkupi sila-sila yang lainnya dan sekaligus melingkupi seluruh aspek-aspek kehidupan yang berada di dalam sila-sila tersebut. Namun, ternyata kemampuan manusia yang begitu tinggi, telah menjadikan adanya golongan manusia-manusia yang tidak mempercayai tentang keberadaan Tuhan, bahkan menolak eksistensi-Nya. Banyak alasan mengapa orang-orang seperti mereka menolak keberadaan Tuhan. Alasan seperti “Tuhan itu kan tidak terlihat, maka Tuhan itu tidak ada” atau “buat apa ada Tuhan, kalau manusia bisa menciptakan segala sesuatunya dengan kemampuannya sendiri”. Jika kita melihat dua pernyataan tersebut tanpa berpikir panjang, kita tentu akan menyetujuinya. Namun, ternyata jika menyangkut masalah eksistensi Tuhan, segala aspek kehidupan ternyata bisa memberi pembuktian terhadap keberadaan-Nya. Marilah kita memandang semesta dari sudut pandang yang lebih detail. Kita akan mendapati alam semesta dengan segala keajaiban dan fenomenanya, sebagai suatu realitas keteraturan yang sangat nyata. Alam semesta memiliki fenomena-fenomena yang saling bergantung, konsistenm, dan terukur dengan sangat cermat, yang seluruhnya bergantung pada realitas yang mandiri dan mutlak. Realitas mandiri dan mutlak inilah yang kita namakan dengan Tuhan. Dunia kita ini penuh dengan fenomena, banyak hal yang tadinya tidak ada menjadi ada dan nyata. Setiap fenomena itu pasti ada penyebabnya. Upaya untuk mengungkapkan suatu fenomena dan sebab harus terus dilakukan untuk menemukan sebuah realitas yang bukan merupakan fenomena. Realitas yang bukan fenomena ini pastilah sesuatu yang abadi dan tak membutuhkan adanya sesuatu yang memunculkan dirinya. Dunia kita yang merupakan bukti nyata akan adanya zat abadi tersebut, yang telah menunjukkan diri-Nya melalui berbagai ciptaan-ciptaan-Nya. Dengan demikia, orang yang mau menggunakan akal sehatnya dan mau mencari tahu, maka ia dapat, dengan melalui proses ini, menemukan suatu hujah atau bukti yang kuat dan tak terbantahkan, yang menunjukkan eksistensi Tuhan. Kita dapat mencermati bahwa sesuatu yang dirancang pasti ada perancangnya, semua yang dibuat dan berwujud pasti ada pembuatnya, dan semua yang tercipta dan ada di alam semesta pasti ada penciptanya. Dengan menerapkan falsafah seperti ini, pada akhirnya kita
akan dapat meihat perwujudan Tuhan itu sendiri. Kita akan melihat tanda-tanda kebesaran tuhan yang terletak disekitar kita. Sesungguhnya, kita sebagai manusia yantg berakal dan memiliki intelejensi tinggi dituntut untuk memiliki sebuah tujuan hidup yang mutlak. Tujuan hidup yang berasal dan dimulai dari Tuhan, dan akan berakhir pula kepada Tuhan. Apabila kita memiliki dasar dan tujuan hidup yang berorientasi dan berdasarkan pada Tuhan, pasti hidup kita akan lebih teratur dan berarti.
Terorisme Terorisme, hal yang satu ini memang lekat terdengar oleh telinga kita. Bukan apa-apa, sebagai orang Indonesia, berkali-kali, dalam sepuluh tahun terakhir, kita diusik oleh maraknya aksi-aksi teror. Terorisme sendiri, menurut james M. Poland merupakan ancaman dan kekerasan yang dilakukan secara sembarangan terhadap manusia dan infrastruktur demi mendapatkan atau mencapai sebuah tujuan atau obyektif sosial politik, dan biasanya digunakan untuk mengintimidasi atau mempengaruhi pemerintahan, individual, atau grup-grup tertentu. Di Indonesia sendiri, hal-hal yang berbau terorisme sangat marak, dan sering terjadi di banyak daerah. Hal ini dikarenakan struktur masyarakat yang sangat plural, namun kurang teredukasi dengan baik, sehingga dengan percikan masalah yang kecil sekalipun, dapat menimbulkan konflik horizontal yang sangat serius. Tingkat pluralitas di Indonesia yang begitu tinggi memang menjadi sebuah pemicu tersendiri bagi aksi-aksi terorisme. Pluralitas, dapat kita simpulkan dengan banyaknya kebudayaan dan unsur-unsur sosial politik yang jamak dan berbeda-beda santara satu golongan dengan golongan yang lain. Dalam hal ini, termasuk juga unsur agama atau religius (kepercayaan). Dengan sekianbanyak aspek sosial, budaya, dan politik serta agama yang berbeda, kemudian muncul pula kepentingan-kepentingan dan faham serta pola berpikir yang berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Dan pada saat kepentingan suatu kelompok tidak dapat terealisasikan dengan baik, maka kelompok tersebut akan memaksakan kepentingan dan pola pikirnya, salah satu yang paling ekstrim, melalui terorisme. Namun, diluar penyebab tersebut, ada pula faktor lain yang mempengaruhi pesatnya perkembangan terorisme di Indonesia. Faktor ini, adalah kurangnya kecakapan dan pengetahuan yang proporsional di bidang agama. Seperti kita ketahui, penyebaran ajaran ekstrim tentang terorisme, sekaligus rekrutmennya, sedikit banyak dilakukan dengan penyebaran nilai-nilai keagamaan yang telah diputar balikkan tafsir dan kebenarannya. Banyak oknum perekrut calon teroris merupakan orang yang melek dan paham detil-detil agama. Justru dengan pemahaman tersebut, mereka mengubah aspek-aspek keagamaan tersebut agar sesuai dengan tujuan mereka, untuk merekrut dan membakar semangat para calon teroris. Strategi “marketing” para perekrut ini, terbilang sangat efektif. Bagaimana tidak? Dalam waktu beberapa tahun saja, terbukti banyak orang yang terjebak oleh kata-kata manis
sang perekrut, hingga tanpa berpikir panjang, mereka masuk dan terjebak dalam dunia terorisme. Padahal jika dilihat melalui akal sehat, kebanyakan kata-kata si perekrut tadi sama sekali tidak ada kebenarannya. Para perekrut teroris tersebut, biasa mengincar pemuda berusia 18-30 tahun, dengan cara mengiming-imingi mereka dengan imbalan jika mereka mati “jihad” saat melakukan aksi teror, maka mereka akan langsung masuk ke surga dan disambut oleh bidadari-bidadari surga. Dari sini saja terlihat, betapa konyolnya iming-iming tersebut. Secara akal sehat, jelas seseorang yang melakukan aksi teror (dengan bom bunuh diri misalnya) pasti mendapat dosa besar dari Tuhan. Karena, selain pengebom tersebut bunuh diri, ia juga ikut menyeret orang lain yang tidak bersalah ikut mati bersamanya. Jelas hal ini adalah suatu dosa besar, dan dari logika saja, jelas orang yang melakukan terorisme seperti ini amalnya tidak akan diterima tuhan dan tidak mungkin ia dimasukkan ke dalam surga. Lalu bagaimana bisa, kebanyakan orang terjerumus kedalam terorisme? Ini dikarenakan lemahnya pendidikan dan kepribadian pemuda Indonesia. Terkadang ketika mereka didoktrin dengan pola-pola terorisme, mereka menelan doktrin tersebut mentahmentah tanpa berpikir panjang. Inilah yang mengakibatkan teori-teori doktrin teroris dapat menyebar di masyarakat. Kesimpulannya, faktor pendidikan, baik agama dan karakter, memang harus diperhatikan benar demi mencegah terorisme menyebar di Indonesia, selain itu, tampaknya pemerintah juga wajib memikirkan tentang deradekalisasi nilai-nilai agama yang telah dibelokkan kebenarannya oleh para perekrut teroris.
Separatisme Nasionalisme. Kita tentunya sering mendengan hal ini disebut. Nasionalisme adalah sebuah paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Hal yang lebih rinci tentang nasionalisme, diungkapkan oleh Ernest Renan, yaitu nasionalisme merupakan perasaan kebersamaan dari setiap anggotanya. Perasaan itu terbentuk dan tumbuh seiring dengan pengalaman-pengalaman hidup yang mereka jalani yang kemudian memandu mereka untuk hidup bersama dalam sebuah proses pembangunan di masa yang lebih baik. Sementara itu, muncul paham lain yang disebut sebagai separatisme. Secara umum, separatisme dapat diartikan sebagai suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia yang memiliki keterikatan nasionalisme yang tajam, dari suatu negara atau kelompok lain. Di kedua poin diatas, kita dapat melihat jika kedua hal tersebut, nasionalisme dan separatisme, memiliki keterkaitan yang sangat erat satu dengan yang lain. Gerakan separatis, kebanyakan didasari dengan basis nasionalisme ekstrin atau kekuatan religius. Pada poin nasionalisme ekstrim, kita dapat menjumpai gerakan separatis yang anggotanya memiliki keterikatan atas area tertentu, dan keterikatan aspek kepentingan. Sementara jika dilihat dari sisi kekuatan religius, tentunya kita dapat melihat pada maraknya aksi separatisme yang mengatasnamakan agama tertentu. Banyak sekte-sekte keagamaan ekstrim dengan ajaran menyimpang yang sering menyuarakan untuk memerdekakan dirinya dari Indonesia. Seruanseruan ini tidak lain dan tidak bukan dilandasi oleh niatan kuat sekte tersebut untuk mendirikan sebuah negara yng berlandaskan asas dan hukum yang sesuai dengan ajaran agama mereka. Pandangan yang seperti ini tidak salah tentunya. Sebuah negara idealnya memang harus disokong dengan nilai-nilai nasionalisme dan ketuhanan yang proporsional. Namun dalam konteks separatisme, kedua hal ini seakan-akan disalahgunakan, atau bahkan diputar balikkan untuk memprovokasi masyarakat agar mendukun gerakan separatisme tersebut. Sementara itu, hal lain yang turut menyuburkan separatisme adalah diferensiasi sosial. Seperti yang kita ketahui, Indonesia kaya denga nilai-nilai diferensiasi sosial dikarenakan pluralitas masyarakatnya, secara sosiologis, diferensiasi sosial yang melingkupi struktur sosial kemajemukan Indonesia dibagi menjadi dua. Yang pertama, diferensiasi sosial yang dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya. Hal ini termasuk perbedaan etnik, suku, ras,
agama, dan kebudayaan. Yang kedua, adalah diferensiasi struktural, yang diakibatkan oleh ketimpangan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan ketompangan untuk mengakses aspirasi antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Dengan demikian, faktor sosiologis kultural dan struktural merupakan sebuah hambatan dalam proses integrasi sosial, sekaligus juga menjadi pupuk penyubur bagi kelompok-kelompok separatis yang menggunakan disintegrasi bangsa sebagai sarana untuk memperkuat aksi separatismenya. Dalam konteks Indonesia, seharusnya proses integrasi sosial berskala nasional merupakan sesuatu proses yang tidak bisa ditawar lagi. Sebagai warga negara Indonesia, kita semua tentu mengakui semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti meskipun berbeda, namun tetap satu. Inilah semboyan yang harus kita junjung, kita resapi, dan kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga dengan nilai-nilai dari sila ke-3 dan sila ke-4 Pancasila. Seharusnya kita bisa melaksanakan keduanya secara menyeluruh tanpa terkecuali. Dengan kedua sila inilah separatisme sesungguhnya bisa diredam. Karena kedua sila ini menunjuk pada kesatuan, kesatuan kepentingan, persatuan dan keselamatan bangsa yang mengutamakan kebebasan bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Jika kedua sila ini diterapkan dengan sungguhsungguh, maka kesatuan dan persatuan bangsa akan tetap terjaga, sehingga menghindarkan perpecahan dalam Indonesia yang diakibatkan oleh tindakan Separatisme.
Korupsi Korupsi, atau dalam bahasa latin corruptio (bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok) secara harfiah adalah perilaku seseorang yang mempergunakan posisi jabatan dan tanggung jawab kewengangannya untuk memperkaya diri. Jelas, kita sebagai warga negara Indonesia, tidak asing dengan korupsi. Setiap hari, baik di media cetak maupun elektronik banyak mengekspos kasus-kasus korupsi di Indonesia. Indonesia sendiri termasuk negara yang sangat tinggi angka korupsinya, dan selalu masuk dalam daftar 5 negara tertinggi dalam hal korupsi. Lalu, apa yang menyebabkan korupsi begitu mengakar di negara kita? Tentunya semua berasal dari budaya dan gaya hidup masyarakat pada umumnya yang kemudian terbawa hingga ke bidang pekerjaan, dan parahnya hingga ke urusan politik dan ke tatanegaraan. Budaya dan gaya hidup yang terlalu materialistis dan sangat konsumeris sekarang mendominasi gaya hidup dan pola pikir masyarakat Indonesia. Pola pikir ini berbeda dengan pola pikir masyarakat negara maju yang mengutamakan kepandaian dan pencapaian akademis serta intelejensi sebagai tolok ukur derajat sosial dalam masyarakat. Kebanyakan masyarakat Indonesia dengan “money minded” nya ini, dikuasai oleh gengsi akan materi. Semakin kaya seseorang, maka ia akan semakin terpandang di kalangan masyarakat. Pola pikir seperti inillah yang kemudian memupuk korupsi semakin subur di masyarakat kita. Banyak individu yang terjebak dalam pola materialisme dan konsumerisme menjadi terpancing untuk terus memperkaya diri. Bukan sesuatu yang salah jika kemudian seseorang memperkaya diri dengan berkerja keras dan menghasilkan uang dengan cara yang jujur dan halal. Yang menjadi masalah adalah, apabila seseorang kemudian memperkaya diri dengan cara korupsi, mengklaim uang yang sebenarnya bukan haknya. Korupsi juga akan semakin berdampak buruk apabila sudah mulai mengarah kepada pencaplokan dana publik. Dana publik ini diantaranya seperti dana-dana untuk pembangunan infrastruktur di desa, insentif pendidikan dan biaya bantuan kesehatan. Bukan hanya merusak moral si koruptor saja, namun jika korupsi tersebut telah sampai ke bidang keuangan publik, maka bisa berdampak buruk bagi orang-orang yang sudah seharusnya menerima dana alokasi tersebut. Bayangkan saja, standar kesehatan yang seharusnya dapat ditingkatkan dengan dana stimulan, justru tersendat karena dana stimulan kesehatan dicaplok oleh orang-orang
(koruptor) yang tidak bertanggungjawab. Begitu juga dengan pendidikan misalnya, banyak sekolah bobrok yang tidak tersentuh dana bantuan untuk renovasi dikarenakan dana tersebut diambil oleh oknum-oknum koruptor. Hal ini diperparah dengan begitu lunaknya hukuman atas para koruptor. Tidak jarang, ada koruptor yang hanya di vonis hukuman sangat singkat. Bahkan ada juga yang sukses membawa kabur uang hasil korupsinya ke luar negeri hingga sulit tersentuh hukum. Undangundang yang berkaitan hukum koruptor juga semakin melemah daya cengkramnnya, sehingga menjadikan korupsi semakin subur di Indonesia. Pemberantasan korupsi untuk saat ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun juga menjadi tanggung jawab seluruh unsur masyarakat Indonesia. Dengan mengesampingkan pola hidup yang berorientasi kemewahan, dan mengutamakan perspektif kesederhanaan, kecukupan, keagamaan, dan ilmu pengetahuan, kita sesungguhnya mampu untuk menekan jumlah korupsi di Indonesia.
Kesimpulan
Keempat hal diatas, sekilas memang tidak berhubungan satu sama lain. Namun sebenarnya keempat hal tersebut memotret keroposnya nilai-nilai Pancasila di masyarakat kita. Keempat hal tersebut sebenarnya terjadi karena kurangnya pengaplikasian nilai-nilai sila pertama Pancasila, yang menjalar pada kebobrokan sila-sila yang lainnya. Ini dikarenakan, sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar dari semua sila, dan dasar dari semua nilai-nilai serta aspek kehidupan kita, baik itu kehidupan individu maupun sosial. Jika kita ingin mengembalikan keadaan kehidupan sosial masyarakat yang ideal, tentunya kita akan merefleksi pada pelurusan nilai-nilai sila pertama terlebih dahulu. Dengan sila pondasi yang telah kuat, baru kemudian memperbaiki nilai-nilai sila yang lainnya. Sehingga, terlebih dahulu kita berusaha mengembalikan nilai-nilai keteraturan Ketuhanan dan keagamaan, setelah itu, baru merenovasi aplikasi nilai-nilai sosial, persatuan, musyawarah, dan keadilan, sehingga kehidupan bermasyarakat kita akan kembali ideal kepada keteraturan dan keharmonisan, dan membawa kehidupan berbangsa dan bernegara ke tingkat yang lebih baik.