KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP PENCEMARAN UDARA DI PROVINSI RIAU
Analisis Kebijakan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Komunitas Pada Program Pendidikan Dokter tahap Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana
Disusun Oleh: SILVIA YOKO
42 15 0010
Dosen Pembimbing Klinik: dr. Yoseph Leonardo Samodra KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS PERIODE 17 APRIL 2017 – 28 MEI 2017 FAKULTAS KEDOKTERAN PUSKESMAS SANDEN – UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA YOGYAKARTA 2017
BAB I LATAR BELAKANG
Permasalahan mengenai kabut asap menjadi sangat populer diperbincangkan oleh masyarakat saat ini. Ya, benar. Hal tersebut tentu saja mengenai kabut asap yang terjadi pada beberapa provinsi di pulau sumatera, salah satunya adalah provinsi Riau. Saking populernya kejadian tersebut membuat masyarakat menjuluki Riau adalah ‘kota asap’. Seperti yang sudah kita ketahui, asap ini berasal dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi menyebar di pulau Sumatera. Pada bulan Juni 2016 lalu, BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) Pekanbaru juga melansir sebanyak 23 titik panas terdeteksi menyebar di wilayah Sumatera. Titik panas tersebut menyebar dari Aceh, Sumatera Utara, Riau hingga Sumatera Selatan. Apa sih hal penting yang perlu diwaspadai dari kebakaran hutan dan lahan ini? Tentu saja, tiada lain adalah dampak dari hal tersebut terhadap kesehatan. Kesehatan merupakan hal mendasar yang sangat penting bagi kita semua. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, perwujudan kualitas lingkungan yang sehat merupakan bagian pokok dalam usaha di bidang kesehatan. Hal ini tercantum dalam Undang-undang nomor 23 tahun 1992 bahwa kesehatan perlu dilakukan di tempat umum, lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, angkutan umum dan lingkungan lainnya. Dengan terjadinya kebakaran hutan dan lahan ini, berdampak pada banyak hal. Salah satu dampak yang ditimbulkan adalah penurunan kualitas udara. Berbagai partikel pencemar udara yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan misalnya: debu dalam ukuran partikel kecil (PM10 dan PM2.5), gas SOx, NOx, COx dan lainnya. Semua bahan pencemar tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia. Berbagai masalah kesehatan yang dapat terjadi adalah infeksi saluran
pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit, iritasi mata maupun masalah kesehatan lainnya. Hal ini didukung oleh keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 289/MENKES/SK/III/2003 (butir a) yang menimbang bahwa kebakaran hutan menimbulkan polutan udara yang dapat menyebabkan penyakit dan membahayakan kesehatan manusia. Dengan demikian, Menteri Kesehatan Republik Indonesia menetapkan kebijakan bahwa sehubungan dengan butir a sebelumnya, perlu ditetapkan keputusan tentang Prosedur Pengendalian Dampak Pencemaran Udara Akibat Kebakaran Hutan Terhadap Kesehatan dalam keputusan nomor 289 tahun 2003 (Kemenkes RI Nomor 289/menkes/SK/III/2003): Yang Pertama : Keputusan Menteri Kesehatan Tentang Prosedur Pengendalian Dampak Pencemaran Udara Akibat Kebakaran Hutan Terhadap Kesehatan; Yang Kedua
: Prosedur pengendalian dampak pencemaran udara akibat kebakaran
hutan terhadap kesehatan, meliputi fase Pra Bencana, Bencana dan Pasca Bencana Kebakaran Hutan; Yang Ketiga
: Prosedur pengendalian dampak pencemaran udara akibat kebakaran
hutan terhadap kesehatan dimaksud Diktum Kedua , sebagaimana tercantum di dalam Lampiran Keputusan; Yang Keempat : Prosedur sebagaimana dimaksud dalam Diktum Ketiga merupakan acuan bagi tenaga kesehatan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertugas di bidang penyehatan lingkungan, pemberantasan penyakit dan tenaga kesehatan di unit lain yang ditunjuk sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Yang Kelima
: Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud Diktum Keempat dalam
melakukan tugasnya berkoordinasi dengan Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (SATLAKPB-P).
Yang Keenam : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan (12 Maret 2003). Seperti yang telah kita ketahui, keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tersebut ditetapkan sejak tahun 2003. Pada tahun 2013-2015 lalu, bencana pencemaran udara terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Salah satunya adalah provinsi Riau. Dengan demikian, perlu dianalisis bagaimana pelaksanaan keputusan tersebut terhadap bencana pencemaran udara yang terjadi di provinsi Riau pada tahun 2013-2015 lalu.
BAB II MASALAH DAN TUJUAN PENULISAN
Terjadi pencemaran udara di Provinsi Riau, yang mengakibatkan peningkatan beberapa masalah kesehatan. Angka kejadian ISPA, penyakit saluran pernafasan lainnya maupun infeksi mata dan kulit di provinsi Riau semakin meningkat. Adanya Undang-undang yang memperbolehkan pembakaran hutan juga menjadi salah satu perancu dalam bencana pencemaran udara ini. Hal tersebut tercantum pada Undangundang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 69 ayat 2 bahwa membuka lahan dengan cara membakar diperbolehkan dengan memperhatikan kearifan lokal daerah masing-masing. Di lain sisi, keputusan Menteri Kesehatan nomor 289 tahun 2003, butir kedua menetapkan bahwa Prosedur pengendalian dampak pencemaran udara akibat kebakaran hutan terhadap kesehatan, meliputi fase Pra Bencana, Bencana dan Pasca Bencana Kebakaran Hutan. Dari permasalahan dan kebijakan diatas, kita dapat meninjau apakah dengan adanya kebijakan dari Menteri Kesehatan berpengaruh terhadap bencana pencemaran udara di provinsi Riau? Bagaimanakah pelaksanaan aktif dari kebijakan tersebut? Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah keputusan Menteri Kesehatan nomor 289 tahun 2003 berjalan efektif pada bencana pencemaran udara di Provinsi Riau pada tahun 2013-2015.
BAB III ANALISA KEBIJAKAN
Dalam 18 tahun terakhir terjadi kebakaran hutan dan lahan setiap tahun di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Hal ini disebabkan kebiasaan masyarakat dan perusahaan perkebunan yang membuka lahan dengan cara membakar lahan agar lahan yang digunakan menjadi bersih, mudah dikerjakan, bebas hama dan penyakit serta mendapatkan abu hasil pembakaran yang kaya mineral. Namun hal ini menyebabkan kejadian berulang dan membawa dampak setiap tahunnya. Berdasarkan pantauan satelit Terra dan Aqua periode September 2000 hingga Juli 2008 di wilayah provinsi Riau, dijumpai 57.972 titik api yang menyebar dalam 12 kabupaten/kota. Kejadian ini dilaporkan berulang setiap tahunnya sehingga perlu upaya pemerintah untuk mengantisipasi dampak dari kebakaran hutan dan lahan ini. Permasalahan yang ditimbulkan dari bencana pencemaran udara ini dapat berdampak pada berbagai bidang yaitu pada bidang politik, ekonomi, sosial, internasional dan terutama kesehatan. Untuk itu, Menteri Kesehatan mengeluarkan suatu kebijakan mengenai dampak pencemaran udara akibat kebakaran hutan terhadap kesehatan yang tercantum dalam keputusan Menteri Kesehatan nomor 289 tahun 2003. Pada butir kedua dari keputusan ini, menjelaskan bahwa pengendalian akan dilakukan berdasar fase pra bencana, bencana dan paska bencana. Pada fase pra bencana lebih ditujukan pada penentuan perkiraan besar masalah dan kesiapsiagaan. Kegiatan yang perlu dilakukan adalah monitoring penyakit dan kualitas udara, identifikasi masalah, penyusunan rencana kerja, pelaporan bencana serta penyebarluasan informasi. Pada fase ini, tenaga kesehatan bertugas untuk menangani penyakit yang berhubungan dengan dampak kebakaran hutan seperti
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), pneumonia, asma, iritasi mata maupun iritasi kulit. Rumah sakit diharapkan menyediakan tempat dan pengobatan untuk korban bencana. Pemantauan kualitas udara oleh Dinas Kesehatan atau Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) juga berfungsi untuk memantau tingkat pencemaran udara yang terjadi. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota juga bertugas mengidentifikasi masalah, menjalin koordinasi dengan masyarakat (LSM, media massa hingga organisasi pemuda/pelajar untuk kesiapsiagaan pengendalian bencana), mencatat, melapor dan menyebarluaskan informasi hingga mengidentifikasi jumlah pelayanan kesehatan yang dapat menangani korban bencana serta ketersediaan logistik (obat, masker, media penyuluhan, dan lainnya). Pada fase bencana, sama seperti fase pra bencana. Unit Pelayanan Kesehatan maupun tenaga kesehatan diperlukan untuk monitoring dan menangani penyakit yang berhubungan dengan dampak kebakaran hutan seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), pneumonia, asma, iritasi mata maupun iritasi kulit. Pemantauan ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara) dilakukan oleh Dinas Kesehatan atau lintas sektor (BPLHD) atau unit lain di daerah yang mengelola masalah lingkungan hidup dan stasiun pemantauan kualitas udara milik perusahaan/swasta lainnya. Dinas Kesehatan menetapkan kategori bahaya dan rekomendasi tindakan penanggulangan serta pembagian logistik (masker, obat, filter penyaring udara ruang maupun reagen). Selain itu, sama seperti pada fase pra bencana, Dinas Kesehatan juga bertugas menjalin koordinasi dengan masyarakat (LSM, media massa hingga organisasi pemuda/pelajar untuk kesiapsiagaan pengendalian bencana), mencatat, melapor dan menyebarluaskan informasi. Pada fase paska bencana, Unit Pelayanan Kesehatan dan tenaga medis bertugas untuk melaporkan angka kejadian penyakit terkait bencana. Sedangkan
Dinas Kesehatan bertugas untuk pemulihan kualitas lingkungan (baik secara hukum maupun kemitraan dengan seluruh stakeholder untuk pelestarian hutan dan reboisasi), pelaporan rutin kepada Bupati/Walikota, evaluasi apakah pengendalian bencana sudah berjalan sesuai prosedur dan dampak kesehatan sudah dapat dikendalikan serta penyebarluasan informasi. Dengan adanya keputusan ini, diharapkan pengendalian dampak pencemaran udara akibat kebakaran hutan dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Aktor yang terlibat dalam kebijakan ini adalah: 1. Menteri Kesehatan 2. Pemda, Pemkot (Gubernur, Bupati, Walikota) 3. Tenaga medis/kesehatan 4. Unit Pelayanan kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, Posko-posko bencana) 5. LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) 6. Distributor Alat Kesehatan (Oksigen, Masker) 7. Produsen/Industri Farmasi 8. Dinas Kesehatan Provinsi 9. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 10. Menteri dan Dirjen Pendidikan 11. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) 12. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) 13. Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) 14. Masyarakat/warga Provinsi yang terkait 15. Masyarakat/warga pemilik lahan
Suatu kebijakan pada umumnya terdapat pihak yang mendukung maupun pihak yang menentang. Pihak yang umumnya mendukung maupun menentang kebijakan ini penulis petakan dalam tabel berikut.
Pro
Kontra
Menteri Kesehatan
Tenaga medis/kesehatan
Pemda, Pemkot (Gubernur, Bupati, Walikota)
Unit Pelayanan Kesehatan
Tenaga medis/kesehatan
Dinas Kesehatan Provinsi
Unit Pelayanan Kesehatan
Masyarakat/warga Provinsi yang terkait
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
Masyarakat/warga pemilik lahan
Distributor Alat Kesehatan Produsen/Industri Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Menteri dan Dirjen Pendidikan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Masyarakat/warga Provinsi yang terkait
Pada tabel di atas, sekurangnya penulis mencantumkan 5 bagian yang menentang kebijakan ini. Pertentangan yang penulis maksudkan pada tulisan ini merupakan ketidaksenangan atau mungkin keberatan bagi para pihak yang tercantum. Dapat pula terlihat, penulis mencantumkan bagian/pihak yang sama dalam tabel pro (mendukung) dan kontra (menentang). Hal ini penulis tinjau dari kedua sisi positif
maupun negatif yang mungkin terjadi. Pihak yang menentang atau keberatan dengan adanya kebijakan ini dapat meliputi tenaga medis/kesehatan, unit pelayanan kesehatan, dinas kesehatan provinsi, masyarakat/warga provinsi maupun yang memiliki lahan. Faktor yang memungkinkan menyebabkan keberatan dari beberapa pihak terkait ini cukup beragam. Seperti contoh dari pihak tenaga medis/kesehatan, dapat berupa kekurangan tenaga untuk disebar ke beberapa wilayah sesuai peraturan/kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah setempat. Dapat pula keberatan dari masing-masing individu untuk ditugaskan sebab alasan tertentu. Dari unit pelayanan kesehatan sendiri, baik Rumah Sakit, Puskesmas, maupun posko-posko kesehatan sendiri juga memiliki keberatan tersendiri. Seperti halnya Rumah Sakit tidak menyediakan tempat yang cukup luas atau ruangan rawat yang penuh sehingga rumah sakit tidak dapat menerima korban akibat bencana karhutla tersebut. Puskesmas memiliki keterbatasan alat tertentu yang hanya terdapat di Rumah Sakit, misalnya ruang ICU, tabung oksigen yang terbatas, ruang perawatan yang terbatas dan lain sebagainya. Posko kesehatan sendiri memerlukan biaya tambahan, tenaga tambahan dan keterbatasan alat juga menjadi salah satu faktor halangan. Tidak hanya itu, bagi Dinas Kesehatan juga memiliki peran yang cukup berat dan tugas yang cukup banyak seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya. Dimana hal tersebut juga dapat menjadi tantangan tersendiri bagi petugas Dinas Kesehatan untuk melaksanakan setiap tugas tersebut. Belum lagi bila ditambah dengan keterbatasan tenaga dari Dinas Kesehatan untuk menjalankan kebijakan ini. Selain dari pihak pemerintah maupun pihak kesehatan lainnya, warga pemilik lahan juga menentang kebijakan ini, sebab adanya kebijakan ini mempengaruhi proses pembersihan lahan yang telah dilakukan. Bagi warga lainnya, kebijakan seperti menggunakan masker sebagai langkah pencegahan hingga tidak beraktivitas keluar rumah juga menjadi
kerugian tersendiri bagi para warga. Warga tidak dapat menjalankan aktivitasnya seperti bekerja, bersekolah dan lainnya. Dengan kebijakan tersebut, para warga diliburkan dari seluruh aktivitas, termasuk siswa/siswi sekolah sebab dengan kadar ISPU tertentu, kegiatan warga bergantung/ditentukan oleh indikator tersebut. Hal ini memang mungkin tidak memberikan pengaruh yang besar, namun faktor kecil dapat menjadi faktor penghalang dijalankannya suatu kebijakan tertentu. Sehingga faktor sekecil apapun harus diupayakan teratasi demi jalannya kebijakan ini. Dengan kendala di atas, berbagai upaya juga dapat dilakukan untuk mengatasinya. Bagi para tenaga kesehatan, dapat diberikan program reward untuk kesediaan ditugaskan di daerah tertentu atau posko bencana. Dapat pula dilakukan dengan perekrutan tenaga harian lepas. Hal tersebut juga berlaku dengan Dinas Kesehatan. Bagi warga, dapat pula dibantu dengan penggunaan biaya pengobatan bantuan dengan jaminan kesehatan diikuti pembagian masker secara gratis. Untuk keterbatasan dana wilayah, dapat diajukan dana untuk siaga bencana. Untuk melawan warga yang memiliki lahan dan masih membersihkan lahan dengan cara membakar, dapat ditempuh dan diambil keputusan secara adil berdasarkan hukum yang berlaku. Namun tidak hanya kendala/keberatan yang dirasakan. Bagi tenaga kesehatan maupun unit pelayanan kesehatan juga mendapat sisi positif misalnya pendapatan meningkat, pasien kunjungan menjadi ramai, pekerjaan semakin bertambah dan lain sebagainya. Jika dilihat dari sisi lainnya, tidak hanya hal kontra yang didapatkan melainkan hal yang mendukung (pro) juga bisa didapatkan oleh berbagai pihak terkait. Untuk berjalannya kebijakan di suatu wilayah, umumnya memiliki rintangan masing-masing. Beberapa hal diperlukan untuk menjalankan kebijakan seperti halnya komunikasi yang baik antar kelompok terkait, kerjasama antar kelompok terkait, kekompakan, persamaan persepsi antar kelompok maupun masyarakat terkait. Hal
tersebut diperlukan agar masyarakat juga menerima dan mendukung penuh kebijakan yang ditetapkan. Dengan demikian, pelaksanaan kebijakan juga lebih lancar, efektif dan efisien.
BAB IV KESIMPULAN
Bencana pencemaran udara akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di provinsi Riau membutukan penanganan yang serius. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan resmi dari pemerintah setempat. Dalam menjalankan kebijakan tersebut, tentu saja tidak lepas dari pentingnya komunikasi yang baik antar kelompok terkait, kerja sama dan penyamaan persepsi antar kelompok maupun masyarakat terkait agar pelaksanaan penanggulangan bencana lebih efektif.
More interesting blog or information, check à www.carakerja.net JJJJJ