KEBIJAKAN PEMBENTUKAN FORUM DAS DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI Bejo Slamet Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
Kondisi Pengelolaan DAS di Indonesia Fenomena kejadian banjir yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia baru-baru ini semakin memperkuat indikasi bahwa pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia belum berjalan dengan optimal. Sampai dengan tahun 2007 terdapat 458 DAS kritis di Indonesia. Dari jumlah DAS kritis tersebut, sebanyak 60 DAS merupakan prioritas I, 222 DAS termasuk prioritas II dan sisanya 176 DAS tergolong prioritas III. Adapun jika dilihat dari luasan lahan yang kritisnya, luasan yang terkategori lahan sangat kritis mencapai 6.890.567 hektar, dan seluas 23.306.233 hektar lainnya merupakan lahan terkategori kritis (Hutabarat 2007). DAS-DAS kritis ini utamanya adalah DAS yang membentang lintas wilayah administratif baik meliputi beberapa kabupaten/kota dalam satu propinsi atau meliputi lebih dari satu propinsi. Dampak yang ditimbulkan dari DAS kritis pada lingkungan adalah beragam bencana dan kondisi kritis mulai dari erosi, banjir, tanah longsor, sampai hilangnya sumber-sumber mata air, kekeringan, dan perubahan fungsi lahan. Kegagalan Pengelolaan DAS di Indonesia Kegagalan pengelolaan DAS ini utamanya diakibatkan oleh tidak adnya koordinasi antar sektor dalam pemanfaatan sumberdaya. Harus diakui bahwa kegagalan dalam pengelolaan DAS ini disebabkan oleh tidak ada landasan kebijakan nasional yang memungkinkan terjadinya koordinasi antar sektor dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam. Yang ada adalah bersama-sama memanfaatkan sumberdaya alam berdasarkan acuan setiap Undang-undang secara parsial (hutan, tambang, pertanian, energi, dll). Karena semua sektor dan daerah memaksimumkan capaiannya masing-masing dan dibiarkan begitu dari waktu ke waktu, maka pengendalian dampak kumulatif tidak pernah ada dalam kebijakan nasional (Kartodiharjo 2010). Namun demikian kesadaran akan pengelolaan DAS yang multipihak sudah mulai tampak dan dirasakan oleh berbagai stakeholder. Bahkan dalam berbagai pertemuan dan seminar sering diungkap masalah pentingnya pengelolaan DAS terpadu yang lintas sektoral ini. Forum DAS, Peluang Keberhasilan Pengelolaan DAS Kesadaran perlunya pengelolaan DAS terpadu yang lintas sektoral ini barulah memenuhi syarat perlu (necessary condition) bagi pengelolaan DAS yang baik. Namun demikian perlu dikaji lagi apakah sudah terpenuhi syarat cukupnya (sufficient condition). Tindak lanjut dari kesadaran ini adalah dibentuknya Forum DAS di berbagai daerah. Pada awalnya inisiasi pembentukan Forum DAS adalah berasal dari Kementerian Kehutanan. Menteri Kehutanan melalui Surat No S.652/Menhut-V/2006 telah meminta kepada seluruh gubernur untuk mendorong pembentukan forum DAS di daerahnya dalam rangka untuk meningkatkan kinerja pengelolaan DAS yang multipihak. Kemudian tahun tahun 2009 dikeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.39/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu serta Permenhut No.P.42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Standard dan Kriteria Pengelolaan DAS Terpadu. Peraturan inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan
1
kebijakan pembentukan Forum DAS yang lainnya. Saat ini sudah dibentuk 1 forum DAS tingkat nasional, 33 forum DAS tingkat provinsi, 12 forum DAS tingkat Kabupaten/Kota dan 3 forum DAS hasil inisiasi LSM yang belum disahkan SK Bupati/Walikota. Terbentuknya Forum DAS adalah langkah maju dalam kegiatan pengelolaan DAS untuk memenuhi syarat perlu pengelolaan DAS yang baik. Namun harus diingat bahwa pada dasarnya terbentuknya forum ini bukanlah tujuan itu sendiri, akan tetapi forum ini diharapkan menjadi wadah yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengelolaan DAS yang terpadu. Setelah syarat perlu adanya suatu wadah yang bisa mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan sumber daya alam dalam kawasan DAS, langkah selanjutnya adalah mengkaji apakah forum DAS yang sudah terbentuk ini mampu memenuhi syarat cukup agar peranannya semakin sempurna dalam pengelolaan DAS. Kerangka Pendekatan Kajian mengenai peran dan fungsi forum DAS dalam pengelolaan DAS didahului dengan kajian kebijakan yang terkait dengan pembentukan Forum DAS untuk melihat bagaimana forum ini dibetuk dan berperan. Kebijakan yang dibahas adalah keputusan-keputusan, aturan-aturan dan program-program yang diberlakukan pemerintah terhadap para pelaku (forum DAS). Dunn (2003), proses pembuatan kebijakan bersifat politis. Runhaar et al (2005) mengajukan lima metoda di dalam proses analisa kebijakan, yaitu rekonstruksi teori kebijakan, analisa stakeholders atau pemangku kepentingan, analisa dampak kebijakan (impact assesment), analisa biaya-manfaat kebijakan (cost-benefit analyses) dan analisa diskursus (discourse analysis). IDS (2006) menyatakan bahwa kebijakan dapat dianalisa berdasarkan proses perumusannya dengan memperhatikan tiga tema pokok, yaitu: (a) diskursus/narasi (discourse/narrative) yang menjelaskan bagaimana kebijakan tersebut berproses serta berbagai informasi, pengetahuan atau argumen yang mendasarinya, (b) aktor dan jaringannya (actors/nettwork) yang menjelaskan siapa dan bagaimana pihak-pihak yang terlibat di dalam penyusunan kebijakan, serta (c) politik dan kepentingan (politic/interest) dari para aktor yang menggambarkan dinamika pengaruh atau kekuasaan yang dimiliki oleh para aktor tersebut. Berkaitan dengan analisa kebijakan yang dikemukakan oleh IDS (2006) tersebut, muncul pertanyaan terkait dengan pembentukan forum DAS sebagai berikut : (1) Siapa saja yang berperan dalam pembentukan forum DAS tersebut; (2) politik dan kepentingan siapa saja yang berperan sehingga forum DAS tersebut dapat terbentuk; dan (2) apakah Forum DAS ini dapat berperan sebagaimana yang diharapkan (legitimate) diantara para stakeholder yang terdapat dalam DAS. Analisis Perumusan Kebijakan Pembentukan Forum DAS di Provinsi Sumatera Utara Analisis Narasi dan Diskursus Kebijakan Pembentukan Forum DAS Narasi Kebijakan atau Policy Narative adalah ”cerita” yang yang menjelaskan bagaimana suatu kejadian tertentu menjadi sebuah keyakinan, yang di dalamnya terdapat ideologi, pengetahuan dan pengertian yang sudah tertanam (Sutton 1999: Kartodiharjo 2006). Analisis narasi kebijakan merupakan tahap analisis teori dari proses perumusan kebijakan. Sedangkan diskursus merupakan cara pikir dan cara memberikan argumen yang dilakukan dari penamaan dan pengistilahan terhadap sesuatu yang dapat merupakan cerminan dari kepentingan tertentu (politik) (Kartodihardjo 2006) Keluarnya Pedoman Pernbentukan Forum DAS (Direktorat PDAS dan Rehabilitasi Lahan 2003) adalah tonggak awal pembentukan forum DAS. Forum DAS adalah wadah konsultasi dan komunikasi para pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan DAS dalam
2
rangka rnernbantu Gubernur/Bupati/Walikota dalarn rnelaksanakan koordinasi tata pengaturan DAS di wilayahnya, dan bersifat independen. Setiap stakeholders mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Koordinator Forum dan Sekretariat Forum dipilih dari sesama anggota. Kemudian ditindaklanjuti dengan Surat No S.652/Menhut-V/2006 telah meminta kepada seluruh gubernur untuk mendorong pembentukan forum DAS di daerahnya dalam rangka untuk meningkatkan kinerja pengelolaan DAS yang multipihak. Kemudian tahun tahun 2009 dikeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.39/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu serta Permenhut No.P.42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Standard dan Kriteria Pengelolaan DAS Terpadu. Kebijakan inilah yang kemudian menjadi landasan bagi daerah untuk membentuk forum DAS. Khusus di Provinsi Sumatera Utara kebijakan yang dimaksud adalah SK Gubernur Sumut No. 614/2470/K/TAHUN 2009 Tanggal 21 Juli 2009 tentang Forum Komunikasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Provinsi Sumatera Utara dan SK Gubernur Sumut No 614 /2665/KI TAHUN 2009 tentang Forum Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wampu, Sungai Deli dan Sungai Ular. Diskursus yang berkaitan dengan upaya pembentukan forum DAS di Propinsi Sumatera Utara memang sudah dimulai cukup lama sekitar tahun 2006 dengan inisiasi dari UPT Balai Pengelolaan DAS Wampu Sei Ular untuk membentuk sebuah forum DAS. UPT BPDAS mempunyai kepentingan dengan terbentuknya forum DAS ini karena dapat menjadi salah satu penilaian kinerja UPT tersebut. Inisiasi ini disambut oleh kalangan akademisi yang mempunyai tingkat pemahaman cukup baik terkait dengan pengelolaan DAS terpadu yang melibatkan multi pihak. Selain akademisi, yang juga menyambut baik adalah kalangan LSM dan masyarakat yang memiliki kesadaran baik terkait pengelolaan DAS lestari. Kelompok lain adalah dari kalangan birokrat di tingkat daerah (propinsi, kabupaten/kota, UPT Pusat di daerah). Kelompok ini lebih banyak mengedepankan tupoksi dari organisasinya. Satu kelompok lagi adalah kalangan pebisnis terutama perkebunan yang lebih mengedepankan masalah ekonomi. Pada tahap selanjutnya tidak semua grup (dari 5 grup/kelompok) tersebut terwakili dalam keanggotaan forum. Aktor dan jaringan yang berperan dalam pembentukan Forum DAS di Sumut Dengan terbentuknya forum DAS, maka UPT akan mendapatkan penilaian kinerja yang baik. Proses pembentukan dan keanggotaan forum DAS inipun masih didominasi oleh kalangan akademisi dan diketuai oleh kalangan akademisi, dengan sedikit melibatkan unsur-unsur dari instansi pemerintah terkait. Pada umumnya, unsur keanggotaan yang terlibat dalam forum ditentukan oleh siapa yang hadir pada saat rapat pembentukan. Hal serupa juga terjadi pada tahun 2007, saat pembentukan Forum DAS Wampu dan Forum DAS Sei Ular. Ketua dari kedua forum yang terakhir juga akademisi. Hal ini mengindikasikan bahwa secara keilmuwan, kalangan akademisi masih mendominasi informasi tentang pengelolaan DAS ini. Terlebih lagi pada saat pembentukan, peserta yang hadir dan kemudian menjadi anggota forum DAS umumnya memahami DAS berbeda dengan yang ditetapkan undang-undang. Politik dan kepentingan yang berperan dalam pembentukan Forum DAS di Sumut Selama kurun waktu antara tahun 2006-2007, keberadaan forum ini masih belum mendapatkan legalisasi dari pemerintah provinsi Sumatera Utara. Kemudian karena ketua dari masing-masing forum memiliki hubungan baik dengan ketua Bappeda Provinsi Sumut, maka proses penyusunan SK tentang forum DAS di lingkungan provinsi sumatera utara bisa berjalan dengan baik. Artinya, prosespembuatan kebijakan ini juga melibatkan aktor dan jaringan. Jaringan yang dimaksud dalam kasus ini adalah jaringan alumni Universitas Sumatera Utara yang sekaligus juga alumni HMI. Dengan kedekatan secara personal diantara aktor pembuat kebijakan, maka semakin mempermudah disahkannya forum DAS di lingkungan Provinsi Sumatera Utara dengan diterbitkannya kedua SK Gubernur tersebut.
3
Ketidakoptimalan peran Forum DAS di Sumut Hasil analisis terhadap forum yang sudah ada menunjukkan bahwa forum belum memiliki kapasistas yang baik terutama dilihat dari kualitas jaringan diantara stakeholder yang terlibat dalam penyusunan forum DAS (kalangan swasta, satuan kerja pemerintah daerah /SKPD dan lain-lainnya). Kondisi ini mengakibatkan keberadaan forum DAS yang telah legal karena di-SKkan oleh gubernur belum legitimate dimata para stakeholder yang seharusnya terlibat dalam forum tersebut. Keenam Forum DAS yang sudah terbentuk di Propinsi Sumatera Utara, belum bisa memenuhi tuntutan untuk menjadi forum yang bisa dijadikan sebagai sarana untuk komunikasi, konsultasi dan koordinasi dalam rangka memberikan rekomendasi atau masukan kepada pembuat keputusan tentang kebijakan, implementasi kegiatan dan pengendalian pengelolaan sumber daya alam secara terpadu di Daerah Aliran Sungai, dengan tugas, wewenang dan fungsi sebagaimana dalam SK. Lemahnya peran forum DAS ini karena lemahnya koordinasi diantara stakeholders yang berperan dalam pengelolaan DAS. Lemahnya koordinasi diakibatkan oleh tupoksi dan sumberdaya stakeholders yang tidak mendukung koordinasi, selain juga karena masalah koordinasi ini memang juga terjadi secara struktural. Ketidakoptimalan forum DAS juga bisa dilihat orientasi stakeholders yang masih tertuju pada ekonomi komoditi sumber daya alam (terutama dari kalangan perkebunan) dan bukan orientasi pengelolaan bentang alam (wilayah) sumber daya alam. Perkebunan masih belum bisa menginternalisasi eksternalitas mana kala aktifitas pengelolaan di lahannya mengakibatkan bencana di tempat lain. Kasus ini terjadi misalnya di DAS Padang yang sering banjir jika musim hujan bersamaan dengan kegiatan replanting dari perkebunan besar. Secara umum forum DAS di Sumatera Utara tidak berperan optimal karena masalah yang dihadapi adalah bersifat struktural dan bukan fungsional. Masing-masing stakeholders sudah memiliki program yang “menginduk” pada strata organisasi yang lebih tinggi terkait dengan pengelolaan DAS. Karena masing-masing sudah punya rencana sendiri-sendiri maka peran koordinasi yang seharusnya dilakukan forum DAS menjadi sesuatu yang sangat sulit terjadi. Kegagalan fungsi ini mengakibatkan masing-masing forum DAS di Sumut melakukan aktifitas yang berbeda-beda. Dua forum yang penulis amati (Forum DAS Deli dan Forum DAS Sei Ular) tidak berjalan. Bahkan setelah difasilitasi untuk melakukan kunjungan studi banding ke Forum Komunikasi DAS Cidanau pun belum bisa mengangkat kinerja kedua forum DAS ini. Hasil wawancara singkat penulis dengan salah seorang pengurus inti forum DAS Deli diketahui bahwa forum ini bukan prioritas karena tidak menghasilkan penghasilan tambahan (bersifat volunter) dan tidak ada honor yang diperoleh, sehingga keberadaannya dalam forum DAS tersebut tidak ada. Sedangkan forum DAS Wampu karena sulitnya melakukan koordinasi diantara stakeholder yang ada di DAS Wampu, lebih banyak melakukan aktifitas pemberdayaan masyarakat desa yang tinggal di wilayah bantaran sungai maupun masyarakat yang tinggal di hulu DAS. Kegiatannya seperti pembinaan penangkaran tanaman, pembibitan, penanaman pohon sosialisasi pertanian konservasi kepada petani dan lain-lain. Artinya meskipun tidak ada honor yang diperoleh dari forum namun motivasi para anggota forum mampu untuk berperan dalam pengelolaan DAS dengan mencari segmen kegiatan yang sesuai dengan kemampuan/kapabilitas pengurus forum. Dengan begitu, meskipun dikalangan instansi pemerintah daerah dan UPT Pusat forum ini tidak legitimate, namun di masyarakat forum ini berperan dengan cukup baik. Berdasarkan kenyataan yang terjadi pada 3 forum DAS yang dijadikan bahan kajian ini dapat diambil pelajaran setidaknya terhadap dua hal. Pertama, bahwa pasal-pasal yang terdapat dalam Surat Keputusan Gubernur Sumut tersebut hanyalah berupa panduan yang dapat melahirkan implementasi yang berbeda diantara Forum yang berbeda. Para pengurus forum masih mendapat keleluasan untuk berinovasi di dalam koridor tersebut. Inovasi hanya dapat dilakukan apabila terdapat informasi, pengetahuan, maupun kreativitas berdasarkan analogi-
4
analogi dan pengalaman-pengalaman di lapangan (Kartodihardjo, 2006). Dari salah satu forum yang berhasil memberdayakan masyarakat tersebut terlihat bahwa pengalaman lapangan berhubungan dengan masyarakat menjadi poin penting aktifitas yang bersifat volunterisme tersebut. Dengan hubungan baik tersebut ternyata mampu mengurangi biaya-biaya transaksi yang timbul dari kegiatan yang dilakuakn oleh forum. Kedua, terbitnya Surat Keputusan Gubernur tersebut telah melalui proses yang cukup panjang meskipun belum memenuhi seluruh harapan tujuan awalnya, misalnya upaya untuk memastikan forum terlibat dalam semua pembahasan perencanaan yang terkait dengan pemanfaatan ruang di wilayah DAS yang bersangkutan. Upaya ini masih mendapatkan hambatan terutama karena adanya peraturan perundangan lain yang mengatur tata pemerintahan di tingkat provinsi dan kabupaten. Sehingga keberadaan forum ini lebih pada fungsi untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada stakeholder terkait pemanfaat ruang dan sumber daya di dalam kawasan DAS. Namun tidak mengikat kepada stakeholder yang dimaksud. Masalah yang dihadapi selama ini ternyata bukan tidak ada pengetahuan dan informasi yang diperlukan untuk melakukan pembaruan kebijakan dan praktek-praktek kerja di lapangan, melainkan lemahnya prakondisi, cara, maupun pembaruan kerangka pemikiran yang mempengaruhi adaposi pengetahuan dan informasi sebagai dasar pembaruan kebijakan dan praktek di lapangannya (Lackey, 2007). Dalam kasus pembentukan Forum DAS di Provinsi Sumut ini, keberadaan pengetahuan dan informasi yang dipergunakan sebagai landasan pembentukan forum DAS belum dibarengi dengan prakondisi dan cara serta pembaruan kerangka pemikiran dari semua stakeholder yang terlibat sehingga kinerja dari forum DAS ini belum optimal. Masalah utama yaitu gagalnya koordinasi karena problem struktural bukan problem fungsional. DAFTAR PUSTAKA Direktorat Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan. 2003. Pedoman Pembetukan Forum DAS. Jakarta Dunn W. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Wibawa S, dkk (penerjemah). Terjemahan dari :Public Polycy Analysis. An Introduction. Yogyakarta. Gadjahmada University Press. IDS (Institute of Development Studies). 2006. Understanding policy processes: A review of IDS research on the environment. Institute of Development Studies – University of Sussex. UK. Kartodihardjo, H. 2006. Masalah Kapasitas Kelembagaan Dan Arah Kebijakan Kehutanan: Studi Tiga Kasus (Problem Of Institutional Capacity And Direction Of Forestry Policy: Three Cases Study). Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No. 3 : 14-25 (2006) Artikel (Article) Trop. For. Manage. J. XII (3) : 14-25 (2006) Kartodihardjo, H. 2010. Pengelolaan Hutan Bagi Penurunan Emisi Karbon dan Menjaga kelestarian Lingkungan Hidup : Masalah “the trapped administrators”. Tanggapan terhadap materi ceramah Menteri Kehutanan sebagai bahan diskusi di Lembaga Ketahanan Nasional, 3 Juni 2010. Lackey, R. T. 2007. Science, scientist, and policy advocacy. Conservation Biology. Vol. 21(1): 12-17. Runhaar, H., Dieperink, C., and Driessen, P. 2005. Policy Analysis for Sustainable Development: Complexities and methodological responses. Paper for the Workshop on Complexity and Policy Analysis. Cork, Ireland ‐ 22‐24 June 2005.
5