Kebijakan Energi dan Energi Alternatif ISSN 1410-9891
PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI COGENERATION DI PABRIK GULA Muhammad Saechu PUSAT PENELITIAN PERKEBUNAN GULA INDONESIA Jln. Pahlawan 25 Pasuruan 67126; Telp. (0343) 421086 (Hunting System) Fax: (0343) 421178; E-mail:
[email protected] ABSTRAK Melalui sistem cogeneration kebutuhan energi di pabrik gula (PG) dapat dipenuhi oleh sebagian ampas dari stasiun gilingan akhir. Pada awalnya cogeneration di PG adalah merupakan rangkaian ketel tekanan 8 kg/Cm2 dengan mesin uap yang hanya menghasilkan tenaga sekitar 30 kW/ton tebu per jam. Kemudian sebelum tahun 1970 - an, digunakannya ketel tekanan 20 kg/Cm2, suhu 325 oC dengan turbin uap dapat dihasilkan tenaga sekitar 55 kW/ton tebu per jam. Sehingga untuk PG dengan peralatan proses yang lebih efisien dapat diperoleh kelebihan ampas hingga diatas 21 % yang dapat dijual sebagai bahan baku industri. Berikut mulai krisis energi tahun 1970 - an, PG khususnya di beberapa negara yang tidak memiliki sumber bahan bakar fosil dengan dorongan pemerintah telah sekaligus menjadi unit pembangkit tenaga untuk pemenuhan kebutuhan listrik nasional. Yaitu digunakan ketel bertekanan tinggi 45 kg/Cm2, suhu uap 450 oC dengan turbin kondensasi ekstraksi ganda dapat dihasilkan tenaga hingga sekitar 115 kW/ton tebu per jam. Sehingga di PG terdapat kelebihan tenaga listrik sekitar 65 kW/ton tebu per jam yang dapat dijual melalui jaringan pemerintah. Di Indonesia penyediaan listrik oleh PLN masih belum ada yang bersumber dari pemanfaatan energi biomasa hasil pertanian atau perkebunan. Untuk pertimbangan sejauhmana pentingnya menjaga kelestarian lingkungan yang sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan petani tebu. Melalui penerapan cogeneration bertekanan tinggi dalam tulisan ini secara empiris dikemukakan bahwa untuk PG-PG besar kapasitas 6.000 - 10.000 ton tebu per hari yang ada di Sumatera selatan akan mempunyai potensi terhadap penyediaan listrik antara 16 - 27 MW. Sehingga dengan lama giling sekitar 180 hari akan dapat diperoleh kelebihan tenaga listrik antara 69.120 116.640 MWh, apabila tarif listrik per kW Rp 400 maka tenaga listrik tersebut akan bernilai antara Rp 27,65 - 46,66 milyard. Kata kunci: Ampas, cogeneration, efisiensi, pabrik gula, energi listrik, kelestarian lingkungan. ABSTRACT By cogeneration system, power requirement in sugar factory (SF) can be fulfilled by a part of last mill bagasse. At the beginning cogeneration system in SF was combination of boiler pressure 8 kg/Cm2 with steam engine that could only produce power around 30 kW/ton of cane per hour. Furthermore before the year of 1970, with boiler pressure 20 kg/Cm2 , steam temperature 325 oC and steam turbine could produce power around 55 kW/ton of cane per hour. So, for SF with efficient processing equipment, surplus bagasse could be produce more than 21 % and could be sell as industrial raw material. Enegy crisis on 1970 motivated SF in some countries that did not have fosil energy reserve to produced and provided electricity. The use of Boiler high pressure 45 kg/Cm2, steam temperature 450 oC with double extraction condensing turbine could produce power around 115 kW/ton of cane per hour. Here SF could sell surplus of electricity around 65 kW/ton of cane per hour to the grid. In Indonesia electricity supplied by PLN have not been used biomass energy of agriculture and plantation waste. To consider the importace to keep environment preservasi and increasing farmer prosperity. Apply high pressure cogeneration in this paper empirically showed that the big SF capacity of 6.000 to 10.000 TCD (ton of cane per day) in south Sumatra have potency for electricity surplus between 16 to 27 MW. So in milling seaseon of 180 days, its will be generated around 69.120 to 116.640 MWh, if tariff of electricity per kWh Rp 400 the value will be around Rp 27,65 to 46,66 billions. Keywords: Bagasse, cogeneration, efficiency, sugar factory,electricity, environment preservasi
Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
1
Kebijakan Energi dan Energi Alternatif ISSN 1410-9891
PENDAHULUAN Sejak krisis energi tahun 1970, dimana cadangan energi fosil dunia semakin langka, ini telah mendorong berkembangnya teknologi mesin dan peralatan proses untuk pabrik gula (PG) yang semakin efisien. Sehingga melalui sistem cogeneration, dengan bahan bakar ampas PG di beberapa Negara yang tidak memiliki sumber cadangan energi fosil dapat berperan dalam penyediaan listrik nasional (Miguel, 1994; Paturau, 1989; Riviere, 1989). Di Indonesia penyediaan listrik nasional hingga sekarang masih bersumber pada penggunaan batu bara, gas, minyak, panas bumu dan tenaga air (Djoko dan Hamzah, 1997). Menyadari akan pentingnya menghemat devisa negara dan menjaga kelestarian lingkungan, dengan penggunaan sumber energi baru dan terbaharukan pemerintah telah memberi kesempatan bagi pembangkit skala kecil swata dan koperasi (PSKSK). Guna mendorong keikutsertaan swasta dan koperasi, pemerintah melalui menteri pertambangan dan energi telah mengeluarkan SK No.: 1895-K/437/M.PE/1995, tanggal 8 Desember 1995, diantaranya tentang ketentuan harga jual listrik dari PSKSK (Yahya, 1998). Dengan populasi penduduk0 dan pembangunan industi yang terus meningkat akan memacu kenaikan konsumsi listrik nasional. Untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional, PLN dari tahun 1991 hingga tahun 2004 memiliki kapasitas terpasang dari 6.363 MW menjadi 31.845 MW, dengan peningkatan konsumsi listrik tiap tahun antara 14,1 hingga 17,7 % ( Dirjen Batan, 1996). Khususnya pada PG kapasitas besar di Sumatra selatan yang belakangan dihadapkan pada masalah kelebihan ampas, maka program PSKSK dapat mejadi peluang dalam peningkatan pendapatan atau kesejahteraan petani, disamping dapat menjaga kelestarian lingkungan
POTENSI ENERGI AMPAS TEBU Kebutuhan energi di PG dapat dipenuhi oleh sebagian ampas dari gilingan akhir. Sebagai bahan bakar ketel jumlah ampas dari stasiun gilingan adalah sekitar 30 % berat tebu dengan kadar air sekitar 50 %. Berdasarkan bahan kering, ampas tebu adalah terdiri dari unsur C (carbon) 47 %, H (Hydrogen) 6,5 %, O (Oxygen) 44 % dan Ash (abu) 2,5 %. Menurut rumus Pritzelwitz (Hugot, 1986) tiap kilogram ampas dengan kandungan gula sekitar 2,5 % akan memiliki kalor sebesar 1825 kkal. Nilai bakar tersebut akan meningkat dengan menurunnya kadar air dan gula dalam ampas. Dengan penerapan teknologi pengeringan ampas yang memanfaatkan energi panas dari gas buang cerobong ketel, dimana kadar air ampas turun menjadi 40 % akan dapat meningkatkan nilai bakar per kg ampas hingga 2305 kkal. Sehingga untuk bahan bakar ketel di PG dapat meningkatkan produksi uap sekitar 10 %. Sehingga untuk pemanfaatan energi ampas secara optimal, teknologi pengeringan tersebut telah banyak diandalkan oleh banyak PG di luar negeri (Furiness. 1976; Fraser. 1979; Maranhao. 1980; Miller. 1977; Abilio. and Paul. 1987). Kelebihan ampas dapat membawa masalah bagi PG, ampas bersifat bulky (meruah) sehingga untuk menyimpannya purlu area luas. Ampas mudah terbakar karena didalamnya terkandung air, gula, serat dan mikroba, sehingga bila tertumpuk akan terfermentasi dan melepaskan panas. Terjadinya kasus kebakaran ampas di beberapa PG diduga akibat proses tersebut. Beberapa PG mencoba mengatasi kelebihan ampas dengan membakarnya secara berlebihan (inefisien). Dengan cara tersebut nampaknya memang bisa mengurangi jumlah ampas, namun resikonya adalah beban dust collector, polusi udara dan terjadinya erosi pada bagian bagian ketel atau perpipaan akan meningkat yang menyebabkan umur ketel menurun. Untuk itu usaha-usaha pemanfaatan ampas tebu lebih lanjut perlu dilakukan. Sejalan dengan terus meningkatnya kebutuhan gula nasional, produksi tebu giling akan terus dipacu sehingga akan meningkatkan kelebihan ampas. Dengan bahan bakar dari ampas tebu, PG mempunyai peluang yang besar untuk menghasilkan tenaga listrik. Dibanding dari sumber energi listrik yang lain, kontinyuitas tenaga listrik dari ampas dapat lebih terjamin karena ampas bersifat terbaharui (renewable), dan harganya akan menjadi lebih murah . Sementara bahan bakar dari fosil seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara akan semakin langka dan mahal. Bila dibandingkan dengan minyak bumi, gas alam, batu bara ataupun kayu bakar, nilai bakar ampas memang lebih rendah. Sebagai gambaran nilai bakar dari setiap ton ampas dengan kadar air 50 % adalah setara dengan 0,18 ton minyak bumi residu, 0,30 ton batu bara bituminous, 0,17 ton gas alam dan 0,56 kayu bakar hutan. Namun demikian, ampas memiliki nilai lebih dibanding ketiga bahan bakar tersebut. Selain karena sifatnya terbaharui, produksinya berlangsung cepat, bahkan jauh lebih cepat dibanding kayu bakar. Dalam 12 – 14 bulan setiap hektar lahan dapat menghasilkan hingga 30 ton ampas. Sedangkan dalam waktu yang sama produksi kayu kurang dari separuhnya. Dan itupun untuk menebangnya minimal harus menunggu 8 – 10 tahun setelah tanam. Sehingga dikaitkan dengan isu lingkungan, untuk menjaga kelestarian lingkungan dan penghematan devisa negara, maka pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan bakar untuk pembangkitan listrik adalah langkah yang sangat bijaksana, karena juga akan dapat meningkatkan pendapatan bagi PG dan kesejahteraan petani.
Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
2
Kebijakan Energi dan Energi Alternatif ISSN 1410-9891
COGENERATION DI PABRIK GULA Di PG sistem pembangkitan ganda atau yang lebih popular disebut dengan cogeneration adalah merupakan rangkaian ketel pembakaran ampas dengan turbin uap. Pada turbin uap, pertama energi potensial uap dari ketel dimanfaatkan untuk penggerak peralatan atau pembangkit listrik dan dihasilkan energi uap bekas yang digunakan untuk proses pemanasan, penguapan dan kristalisasi pada pan masak. Untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam pabrik dan agar diperoleh sisa ampas yang bermafaat untuk awal giling atau dijual sebagai bahan baku industri kertas, partikel board atau untuk pembangkitan listrik, umumnya pemilihan mesin atau turbin uap yang digunakan dalam sistem cogeneration disesuaikan dengan desain ketel. Dewasa ini teknologi peralatan untuk PG telah berkembang dengan efisiensi yang semakin tinggi. Dalam perkembangan dan penerapannya desain ketel pembakaran ampas sesuai jenis dan kinerjanya adalah seperti terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Jenis dan kinerja ketel pembakaran ampas di pabrik gula Energi Efisiensi Produksi Jenis hilang di ketel, uap per Dapur + Ketel cerobong, (%) kg ampas, (kg) (% ampas) (1) Step grate + Pipa api 21 65 1,9 (2) Ward, Horse shoe, Duth oven + Pipa air 18 75 2,0 (3) Spreader stoker dengan 2,1 dumping grate + Pipa air 14 81 (4) Spreader stocker dengan 83 2,3 traveling (pinhole) grate + Pipa 13 air (+ 2 water heater) Note: Dari pembuat ketel, rata-rata kehilangan energi % ampas karena; (1) Tidak terbakar 5 %, radiasi dll. 9 % (2) Tidak terbakar 3 %, radiasi dll. 4 % (3) Tidak terbakar 2,5 %, radiasi dll. 2,5 % (4) Tidak terbakar 2 %, radiasi dll. 2 %. Belum ada di PG Indonesia
Tekanan uap, (kg/Cm2)
Suhu uap, ( oC)
6 – 17,5
170 - 225
15 - 20
275 - 325
17,5 - 30
325 - 350
≥ 45
≥ 450
Pada tabel 1, jenis ketel (1) - (4) dengan desain dapur dan sistem perpipaan yang semakin baik, pembakaran ampas berlangsung semakin sempurna, efisiensi ketel dan produksi uap per kg ampas semakin besar . Dengan dapur yang memiliki rate pembakaran tinggi kapasitas ketel telah berkembang menjadi semakin besar. Dalam perkembangan dan penerapannya mesin atau turbin penggerak di gilingan dan generator adalah seperti terlihat pada tabel 2. Tabel 2. Jenis mesin uap di pabrik gula Uap baru
Uap bekas
Jenis Mesin
(1) Mesin uap torak (2) Turbin uap, tipe Backpressure - Single stage - Multy stage (3) Turbin uap, tipe Atmospheric Condenser (AC) (4) Turbin uap, tipe Double Extraction Condensing Turbine (DECT) Note: (4) Belum ada di PG Indonesia * Air kondensat
Tekanan, kg/Cm2
Suhu, o C
Tekanan, kg/Cm2
Suhu, o C
8
170
0,6
130
15 - 17,5 15 - 17,5
250 - 325 250 - 325
0,8 0,6
170 135
17,5
325
0,3 - 0,8
≥ 95* - 135
≥ 45
≥ 450
≥ 0.08 -17,5
≥ 45* - 325
Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
3
Kebijakan Energi dan Energi Alternatif ISSN 1410-9891
Pada tabel 2, jenis mesin uap (1) - (3) memiliki konsumsi uap yang semakin rendah sekitar 19 – 13,5 kg/kWh untuk mesin uap torak dan turbin tipe backpressure, sekitar 11 - 10 kg/kWh untuk turbin tipe multy stage dan AC. Kecuali pada jenis mesin uap (4) memiliki konsumsi uap yang sangat rendah hingga antara 4,2 - 6 kg/kWh. Konsumsi uap mencapai 4,2 kg/kWh ketika sistem condensing bekerja pada tekanan 0,08 kg/Cm2 dan 6 kg/kWh ketika uap di ekstraksi pada tekanan 20 kg/Cm2 untuk penggerak turbin tipe backpressure penggerak gilingan ( Riviere, 1998). Dengan perkembangan jenis ketel pada tabel 1 dan jenis mesin uap pada tabel 2, maka melalui hukum termodinamika besar tenaga yang dapat dihasilkan oleh PG kemudian adalah; Pada awalnya atau dalam generasi pertama sistem cogeneration, digunakannya ketel jenis (1) dan (2) dengan mesin uap jenis (1) dan (2) tipe single stage dapat dihasilkan tenaga sekitar 30 kW/ton tebu per jam. Sebelum tahun 1970-an atau dalam generasi kedua sistem cogeneration, digunakannya ketel jenis (2) dan (3) dengan mesin uap jenis (2) dan (3) dapat dihasilkan tenaga sekitar 55 kW/ton tebu per jam. Berikut setelah krisis energi tahun 1970-an atau dalam generasi ketiga (sekarang ini) sistem cogeneration, digunakannya ketel jenis (3) dan (4) dengan mesin uap jenis (3) dan (4) dapat dihasilkan tenaga sekitar 115 kW/ton tebu per jam. Untuk mendapatkan sisa ampas secara maksimal adalah identik dengan upaya pemanfaatan uap di dalam pabrik secara optimal. Untuk itu selain yang utama diperlukan adanya penerapan sistem cogeneration dengan ketel tekanan 45 kg/Cm2 dan turbin kondensasi ekstraksi ganda (turbo generator dengan konsumsi uap rendah 5 kg/kWh), juga diperlukan pengaturan proses yang baik yaitu antara lain melalui penerapan sistem bleeding pada stasiun penguapan, susunan penguapan lebih dari empat badan, dan mengutamakan menggunaan motor sebagai penggerak peralatan. Dengan pemahaman teori termodinamika dan proses pembuatan gula, kegiatan pengamatan pemakaian energi di sebuah PG telah dilakukan, pada kapasitas 100 ton tebu per jam dengan menggunakan ketel tekanan 17,5 kg/Cm2 diperoleh; jumlah pemakaian tenaga turbin di stasiun gilingan sebesar 1065 kW dengan konsumsi uap 22,9 kg/kWh dan jumlah pemakaian tenaga listrik pada turbo generator sebesar 1524 kW dengan konsumsi uap pada turbo generator 13 kg/kWh, dan penerapan bleeding pada stasiun penguapan 4 badan untuk pemanas dan pan masak, diperoleh bahwa total kebutuhan uap per jam di dalam pabrik mencapai sebesar 44,1 ton atau konsumsi uap per tebu giling mencapai 44,1 %. Sehingga kebutuhan total energi di dalam pabrik dapat dipenuhi oleh sebagian ampas dari gilingan akhir dengan sisa ampas hingga 27 %. Sisa ampas tersebut adalah setara dengan kelebihan tenaga listrik sebesar 12,5 kW/ton tebu per jam. Dari angka diatas secara teori dikembangkan seluruh penggerak peralatan digunakan motor, dilakukan penyesuaian kapasitas torbo generator, dan penerapan bleeding pada stasiun penguapan 5 badan untuk pemanas dan pan masak, diperoleh bahwa total kebutuhan uap per jam di dalam pabrik dapat mencapai sebesar 37 ton atau konsumsi uap per tebu giling mencapai 37 %. Sehingga kebutuhan total energi di dalam pabrik dapat dipenuhi oleh sebagian ampas dari gilingan akhir dengan sisa ampas hingga 38 %. Sisa ampas tersebut adalah setara dengan kelebihan tenaga listrik sebesar 17,5 kW/ton tebu per jam. Dari angka diatas apabila dikembangkan menggunakan turbo generator dengan konsumsi uap rendah 5 kg/kWh, seluruh penggerak peralatan digunakan motor dan penerapan bleeding pada stasiun penguapan 6 badan untuk pemanas dan pan masak, diperoleh bahwa total kebutuhan uap per jam di dalam pabrik dapat mencapai sebesar 34 ton atau konsumsi uap per tebu giling mencapai 34 %. Sehingga kebutuhan total energi di dalam pabrik dapat dipenuhi oleh sebagian ampas dari gilingan akhir dengan sisa ampas hingga 45 %. Sisa ampas tersebut adalah setara dengan kelebihan tenaga listrik 65 kW/ton tebu per jam. Sisa ampas atau kelebihan tenaga listrik tersebut akan dapat lebih meningkat dengan digunakannya tekanan ketel yang lebih tinggi (Hansjoachim, and Pedro, 1999; Kong Win Chang at all, 1999).
MANFAAT COGENERATION Secara empiris dengan pemasangan turbo generator yang memiliki konsumsi uap antara 4,2 – 6 kg/kWh, maka pada PG yang berminat menjual tenaga listrik melalui bahan bakar ampas, upaya yang perlu dilakukan adalah menekan pemakaian energi uap di dalam pabrik sehingga konsumsi uap per tebu giling rendah kurang dari 34 %, dengan sisa ampas diperoleh lebih dari 45 %. Apabila angka tersebut dapat dicapai oleh PG kapasitas 6.000 – 10.000 TCD yang terdapat di wilayah Sumatra selatan, maka di pabrik akan ada potensi kelebihan tenaga listrik lebih dari antara 16 - 27 MW. Sehingga dengan lama giling sekitar 180 hari akan dapat diperoleh kelebihan tenaga listrik antara 69.120 - 116.640 MWh. Apabila tarif listrik per kW Rp 400 maka tenaga listrik tersebut akan bernilai antara Rp 27,65 - 46,66 milyard.
Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
4
Kebijakan Energi dan Energi Alternatif ISSN 1410-9891 Berdasarkan informasi dari Richard Chow (1996), dari Energy Work yaitu sebuah perusahaan joint venture dari USA yang khusus bergerak dalam bidang pembangkit tenaga listrik, bahwa biaya investasi untuk pembangungan turbo generator tiap kW adalah sekitar 1200 US$. Sehingga untuk pembangunan pembangkit listrik pada kapasitas sekitar 19,5 – 32,5 MW (dengan factor keamanan 20 %) akan diperlukan anggaran sekitar Rp 217,62 – 362,70 milyard (1 US$ = Rp 9.300). Anggaran tersebut adalah meliputi untuk biaya; engineering 2,2 %, civil works 8,8 %, equipments 59,4 %, transports 9,4 % dan erection serta commissioning 20,2 % (Riviere, 1989). Sederhananya dari angka-angka diatas diperoleh bahwa biaya investasi baru akan kembali pada tahun ke 7,8. Untuk mengetahui tingkat manfaat dari sistem pembangkitan listrik di PG ini masih perlu kajian lebih luas. KESIMPULAN Cadangan energi fosil yang ada telah semakin langka dan mahal. Ampas merupakan energi terbaharui dan untuk tenaga listrik kontinyuitasnya akan lebih terjamin, disamping dapat menjaga kelestarian lingkungan dan membantu penyediaan listrik untuk nasional. Melalui sistem cogeneration kebutuhan energi di PG dapat dipenuhi oleh sebagian ampas dari gilingan akhir. Dengan berkembangnya desain mesin dan peralatan proses di PG lebih efisien, telah diperoleh meningkatnya pembangkitan tenaga per ton tebu. Pada awalnya cogeneration di PG adalah merupakan rangkaian ketel tekanan 8 kg/Cm2 dengan mesin uap yang hanya menghasilkan tenaga sekitar 30 kW/ton tebu per jam. Kemudian sebelum tahun 1970 - an, digunakannya ketel tekanan 20 kg/Cm2, suhu 325 oC dengan turbin uap dapat dihasilkan tenaga sekitar 55 kW/ton tebu per jam. Sehingga untuk PG dengan peralatan proses yang lebih efisien dapat diperoleh kelebihan ampas hingga diatas 21 % yang dapat dijual sebagai bahan baku industri. Ketika krisis energi tahun 1970 - an, PG di beberapa Negara miskin energi dengan dukungan pemerintah dan menggunakan ketel tekanan 45 kg/Cm2 suhu 450 oC dan turbin kondensasi ekstraksi ganda, dapat dihasilkan tenaga sekitar 115 kW/ton tebu per jam sehingga di pabrik terdapat kelebihan tenaga sebesar 65 kw/ton tebu per jam yang dijual melalui jaringan listrik nasional. Pengamatan pemakaian energi uap di PG kapasitas 100 ton tebu per jam yang menggunakan ketel tekanan 16 kg/Cm2 dengan bleeding di penguapan 4 badan untuk pemanas serta pan masak telah dilakukan, secara teoritis mengembangkan penguapan menjadi 5 kemudian 6 badan, dan elektrifikasi untuk penggerak di gilingan. Hasilnya berturut-turut dapat menekan kebutuhan uap per ton tebu dari awalnya 44,1 % menjadi 37 % dan 34 %, dengan sisa ampas awalnya hingga 27 % menjadi 38 % dan 45 %, yang setara dengan kelebihan tenaga awalnya mencapai 12,5 kW/ton tebu per jam menjadi 17,5 kW/ton tebu per jam dan 65 kW/ton tebu per jam (menggunakan ketel tekanan 45 kg/Cm2 suhu 450 oC dan turbin kondensasi ekstraksi ganda). Di Indonesia pemanfaatan energi biomasa hasil pertanian atau perkebunan masih belum menjadi bagian dalam penyediaan listrik nasional. Pemerintah mendorong pihak swasta dan koperasi dalam pembangkitan skala kecil atau PSKSK akan membantu penyediaan listrik nasional, akan menghemat devisa Negara, menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan petani tebu. Dengan menggunakan ketel tekanan 45 kg/Cm2 suhu 450 o C dan turbin kondensasi ekstraksi ganda, secara empiris penerapannya untuk PG-PG besar kapasitas 6.000 - 10.000 ton tebu per hari yang ada di Sumatera selatan akan mempunyai potensi terhadap penyediaan listrik antara 16 - 27 MW. Sehingga dengan lama giling sekitar 180 hari akan dapat diperoleh kelebihan tenaga listrik antara 69.120 116.640 MWh, apabila tarif listrik per kW Rp 400 maka tenaga listrik tersebut akan bernilai antara Rp 27,65 - 46,66 milyard. Dengan anggaran dibutuhkan untuk membangun pembangkitan sekitar Rp 217,62 – 362,70 milyard yang akan dapat kembali dalam waktu 7,8 tahun. Manfaat yang dapat diperoleh masih perlu kajian lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA Abilio. A and Paul. F. 1987. Bagasse drying. International Sugar Journal, Vol. 89, no. 1060, 68 – 71. Dirjen BATAN. (1996). Alternatif energi nuklir dalam penyediaan energi untuk menghadapi erapasar bebas. Seminar energi nasional 1996 himpunan mahasiswa teknik fisika FTI-ITS, Surabaya. Djoko Sulaksono dan amzah Hilal. (1997). Low grade coal utilization for electric powetr generation in Indoesia. Prosiding Konverensi Energi, Sumberdaya alam dan lingkungan, BPP Teknologi. Furiness, J.H. 1976. Pre-drying bagasse by using flue gases, Sugar Journal, Vol. 39 (3), 39 – 40. Fraser, G. 1979. Bagasse drying at Waialua Sugar Economi. HST Report 38th, Annual Conference, 133 – 136. Hugot, E. 1986. Handbook of Cane Sugar Engineering (3rd ed). Elsevier. New York. 1166 p.
Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
5
Kebijakan Energi dan Energi Alternatif ISSN 1410-9891 Hansjoachim, Wunsch and Pedro, Avram Walganoff. (1999). Technology transfer between beet and cane sugar industries. Possibilities for energy savings including cogeneration. Proc. of XXIIIrd ISSCT congress, New Delhi, India. Kong Win Chang, K.T.K.F. at all.(1999). Optimising steam utilization at a typical sugar factory. Possibilities for energy savings including cogeneration. Proc. of XXIIIrd ISSCT congress, New Delhi, India. Kassiap, D. 2000. Progress in Bagasse energy Development in Mauritius and Short Term Prospects, Sugar Y Azucar, Vol. 95, No. 7, P. 19. Miguel, R. 1994. The evolution of power co-generation in Guatemala. Sugar Y Azucar. No. 3, Vol. 89, p. 19. Paturao, J. 1989. Energy Saving in Sugar Cane Industry. hand out at sugar manufacture training in MSRIMauritius. Maranhao, L.E.C. 1980. Individual bagasse drying system. Proc. ISSCT 17 (3), 2000 – 2011. Miller, C.F. 1977. Economic study of bagasse dehydration. Proc. ASSCT, 148 – 155. Richard Chow. (1996) . Energy Work, joint venture Bechter enterprise with Pacicorp Holdings, Inc.
Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
6