DIKLAT PENGADAAN TANAH
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dalam menyelesaikan Modul Diklat Pengadaan Tanah. Modul ini disusun agar peserta diklat dapat mempelajari dan memahami materi-materi yang diberikan. Pada kesempatan ini pula, kami menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang terlibat, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan dan jerih payah Saudara-saudara sekalian. Semoga modul ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada pembaca, khususnya peserta diklat. Akhir kata dengan segala kerendahan hati, penyusun menerima kritik dan saran membangun dari pembaca. Terima kasih.
Jakarta,
September 2015
Plt. Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan,
Ir. Iwan Taruna Isa, MURP. NIP. 19580930 198303 1 001
Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
i
DIKLAT PENGADAAN TANAH
DAFTAR ISI
Hal KATA PENGANTAR ........................................................................................................................................... i DAFTAR ISI....................................................................................................................................................... ii BAB I KONSEPTUAL PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM ................. 1 A.
Urgensi Konsep Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ............ 1
B.
Pola Pikir (Epistimologi) Konsep Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ........................................................................................................................................ 4
C.
Fungsi (Aksiologi) Konsep Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ........................................................................................................................................ 8
BAB II PRINSIP-PRINSIP PENGADAAN TANAH ............................................................................................... 11 A.
Asas-Asas Pengadaan Tanah ................................................................................................. 11
B.
Pengertian Pengadaan Tanah ................................................................................................ 12
C.
Prinsip-Prinsip Pengadaan Tanah .......................................................................................... 15
D.
Pelaksana Pengadaan Tanah ................................................................................................. 16
E.
Sumber Pendanaan Pengadaan Tanah .................................................................................. 18
BAB III PENGADAAN TANAH SKALA KECIL, DALAM KEADAAN MENDESAK DAN LANGSUNG ....................... 19 A.
PENGADAAN TANAH SKALA KECIL ......................................................................................... 19
B.
PENGADAAN TANAH DALAM KEADAAN MENDESAK DAN LANGSUNG ................................ 23
Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
ii
DIKLAT PENGADAAN TANAH
BAB I KONSEPTUAL PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
A.
Urgensi Konsep Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Negara tidak mempunyai hubungan memiliki dengan tanah (eigendom staat) 1, sehingga tidak mungkin pemerintah atas nama negara begitu leluasa atau semena-mena dalam memperoleh (mengambil) tanah masyarakat/pemegang hak atas tanah yang arealnya terkena pembangunan untuk kepentingan umum. Pemerintah (atas nama negara) dalam memperoleh hak atas tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, wajib berpegang teguh dan taat asas terhadap nilai-nilai luhur kewenangan negara, yaitu kewenangan sebagai yang menjalankan Hak Penguasan Negara (verorgaangstaat/vide Pasal 33 ayat 3 UUD45)
dalam
rangka
mewujudkan
sebesar-besar
kemakmuran
rakyat
(bestuurzorg), sehingga dalam prosedur perolehan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum tersebut harus mampu merumuskan metoda yang conprehensive (teruji secara ilmiah) dan refrecentative (dapat mencerminkan nilai-nilai hak asasi manusia yang bermartabat dan terhormat). Dengan kata lain, pemerintah sebagai pelaksana pembangunan tidak melakukan pengambilan tanah (eigensdaad) tetapi menyelenggarakan (mastuurdaad) pembebasan tanah masyarakat/pemegang hak atas tanah yang arealnya terkena pembangunan untuk kepentingan umum 2.
1
Ronald Z. Titahelu, Penetapan Asas Hukum Umum Dalam Penggunaan Tanah (Suatu kajian Filsafati dan Teoritik Tentang Pengaturan dan Penggunaan Tanah di Indonesia, Disertasi PPS Unair, Surabaya, 1993, Hal. 91 2 Bagir Manan, Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
1
DIKLAT PENGADAAN TANAH
Yang mempunyai hubungan hukum sepenuhnya dengan tanah adalah warga negara (rakyat dan masyarakat serta badan hukum yang diantaranya termasuk pemerintah atas nama negara), dan negara hanya sebatas hubungan menguasai dengan tanah (verorgaangstaat) 3. Jauh sebelum negara terbentuk, warga masyarakat sebagai warga negara telah hadir dan mempunyai tanah secara turun-temurun di wilayah negeri (seanteroabe). Hubungan hukum yang erat dan secara terus menerus tersebut berlangsung secara taat asas (adat/kebiasaan/religious), sehingga sangat wajar jika tanah dalam konsep hidup dan kehidupan warga masyarakat (kaula) merupakan sesuatu yang mendasar dan terintegritas dalam suatu perhubungan sacrae dan batiniah (magis-religious) yang pengaturan, pengurusan dan pengawasannya dipercayakan komunitas
masyarakat dibawah kepemimpinan
yang dipercaya sebagai kaum bijak dan adaitolan (pangreh). Disatu sisi negara tidak mempunyai tanah, yang mempunyai tanah adalah warga negara (rakyat, masyarakat dan Badan Hukum), sekalipun secara konkret (inconcrito) terdapat tanah pemerintah atas nama negara, namun eskalasinya tidak memadai untuk menampung derevasi volume pembangunan yang sedemikian banyak dan luas dalam mempergunakan tanah. Oleh karena itu, penyediaan tanah bagi areal pembangunan nasional yang dilakukan oleh pemerintah atas nama negara akan melibatkan tanah kepunyaan warga negara (individu, masyarakat dan badan hukum) dalam jumlah besar, sehingga dalam proses pembebasan hak-hak rakyat tersebut perlu metoda yang didasari pada metoda ilmiah tentang cara-cara mengakhiri hak-hak warga masyarakat yang bertumpu kepada nilai-nilai kemanusiaan, layak dan berkeadilan agar tidak melanggar
hak
warga
negara
yang
mendasar
(Hak
Asasi
Manusia/humanright/menchenrechten).
3
Pilar-Pilar Hukum Tanah Nasional mengexplore bahwa pengelolaan pertanahan yang bersendikan UUPA memiliki fundasi dengan menegdepankan asas-asas: Nasionalism (Pasal 9 UUPA, yang dimaknai bahwa hanya warga negara yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan tanah), Verorgaanstate (Pasal 2 UUPA, Yng diterjemahkan bahwa negara menguasai tanah dalam rangka mewujudkan kemakmuran masyarakat) dan Hak Bangsa (Pasal 1 UUPA, bahwa selama Negara Indonesia masih ada , maka hubungan bangsa dengan tanah bersifat abadi) Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
2
DIKLAT PENGADAAN TANAH
Tanah bagi warga negara merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam memenuhi hidup dan kehidupannya, bahkan saking pentingnya tanah bagi manusia, sampai-sampai hak atas tanah (property) disejajarkan sama dan sebanding dengan hak hidup (live) dan hak kebebasan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (human right) 4. Pembangunan Nasional yang memerlukan tanah dari masyarakat yang punya tanah, memerlukan suatu metoda yang pas dan manusiawi serta berkeadilan dalam melepaskan hubungan hukum antar tanah dengan pemegang haknya, agar natinya tidak membuat kehidupan bekas pemegang haknya menjadi lebih buruk dari sebelum tanahnya dibebaskan 5 , dan pembangunan yang dihasilkan pasca pembebasan hak-hak warga negara diharapkan dapat memajukan rakyat secara keseluruhan. Konsep keilmuan telah melahirkan metoda yang tepat dalam penyediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum tersebut melalui cara-cara ilmiah yang terkonsep dalam metoda pengadaan tanah (PMDN 15 Tahun 1975 jo PMA 2 Tahun 1985, Kepres 55 Tahun 1993 jo PMA 1 Tahun 1994, Pepres 36 Tahun 2005 jo Pepres 65 Tahun 2006 jis Perkaban 3 Tahun 2007), Pencabutan hak (UU No. 20 Tahun 1961) dan metoda pengadaan langsung (Pepres 36 Tahun 2005 jo UU No. 2 Tahun 2012 jis Pepres 40 Tahun 2014, Perpres 99 Tahun 2014, Perpres 30 Tahun 2015). Kehadiran negara (negara terbentuk) bermaksud mensejahterakan warga negara, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, tugas berat kenegaraan adalah memakmurkan seluruh lapisan masyarakat negara. Dari yang memiliki ekonomi lemah hingga masyarakat menengah dan kalangan atas, mesti dapat menikmati hasil-hasil pembangunan nasional pasca pembebasan hak atas tanah warga yang terkena areal proyek bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Negara justru harus tampil melindungi hak-hak rakyat. Sesungguhnya dalam konsep negara menguasai, bahwa negara hadir sebagai penguasa. Konsep teoritis Penguasa (souverignity and power) dimaknai sebagai yang membuat aturan (regelen), 4
Jhon Locke AP. Parlindungan, Komentar Tentang UUPA, Mandar Maju, Bandung, 1998, Hal. 44
5
Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
3
DIKLAT PENGADAAN TANAH
mengadakan registrasi (bestuuren) hak-hak yang ada dan mengadakan pengawasan serta pengendalian (tozichthouden) terhadap hak-hak yang disalahgunakan. Konsep hukum tanah nasional mengatakan, negara hanya bisa melindungi hak atas tanah, jika tanah haknya telah terdaftar dalam administrasi negara (bestuuren), sesuai aturan yang dibuat negara (regelen), dan diawasi pelaksanaan haknya secara berkala (tozichthouden). Secara konkret, metoda pengadaan tanah yang digunakan dalam membebaskan hak-hak masyarakat yang terkena areal bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah cara-cara yang patut untuk dijalankan pemerintah baik kapasitasnya sebagai pelaksana, pembuat aturan maupun sebagai yang melaksanakan koordinasi dan pengendalian serta pengawasan B.
Pola Pikir (Epistimologi) Konsep Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Secara konseptual atau teori, ada beberapa pendapat dasar mengenai sistem pemilikan tanah. pendapat pertama dikemukakan oleh John Locke, yang memandang hak atas tanah sebagai salah satu pranata yang secara kodrati melekat pada diri setiap individu manusia 6. Konsep ini, kemudian secara hukum diperluas. Bukan hanya individu manusia yang dapat mempunyai hak atas tanah 7. Badan-badan atau pranata-pranata yang oleh hukum diberi status yang dipersamakan dengan manusia dimungkinkan mempunyai hak atas tanah Sebagai kebalikan dari pandangan Locke ada yang berpendapat, pranata pemilikan perorangan dapat menjadi sumber ketidakadilan dan menghalangi upaya kesejahteraan bagi seluruh rakyat atau suatu kelompok masyarakat. Pendapat ini
6
Jhon Locke mempostulatkan bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang inhern atas kehidupan (live), kebebasan (liberty) dan harta (property) yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dipindahkan atau dicabut oleh Negara, untuk menghindari ketidakpastian hidup dalam alam. Akan tetapi, dalam suatu kontrak sosial dimana hak-hak yang tidak dapat dicabut diserahkan pada kekuasaan Negara, lihat Aslan Noor, konsepsi hak milik atas tanah bagi bangsa Indonesia ditinjau dari ajaran Hak Asasi Manusia, disertai PPS Unpad, Bandung Tahun 2003, Hlm. 36. Lihat pula John Locke, two treaties of sivil government. J.M. Dent & Sons Ltd, London, 1960, Hlm. 9 dan 77 7 Lihat peraturan pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik Atas Tanah Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
4
DIKLAT PENGADAAN TANAH
dianut oleh Plato. Karena itu, Plato tidak menghendaki adanya sistem hak atas tanah perorangan sebagai salah satu unsur ajaran negara idealnya 8. Di masa modem, pendapat semacam itu menjadi salah satu landasan berpikir dan konsep marxisme, khususnya komunisme. Marxisme berpendapat, sistem pemilikan tanah perorangan merupakan cikal bakal sistem klas dan eksploitasi manusia oleh manusia (exploitation de I ,home par I'homme). Untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas dan meniadakan penghisapan manusia oleh manusia, sistem kepemilikan tanah perorangan harus ditiadakan. Tetapi perlu diperhatikan, pemilikan yang dipersoalkan kaum Marxis atau komunis adalah pemilikan perorangan juga berkaitan dengan produksi (sebagai-sarana produksi). Jadi, tetap ada tempat bagi sistem pemilikan di luar pemilikan perorangan dan di luar sarana produksi, yang disebut pemilikan publik. Terhadap sarana produksipun secara hakiki bukan menyangkut peniadaan pranata pemilikan hak atas tanah, tetapi peralihan pemegang hak dari pemilikan perorangan menjadi pemilikan komunitas yang diwakili negara, sehingga lazim disebut hak milik negara (eigendomstaat). Sebenamya potensi eksploitasi yang merugikan bahkan menindas, dalam sistem kepemilikan komunitas atau oleh negara tidak lebih kurang dari sistem pemilikan perorangan, karena disertai segala atribut kekuasaan negara 9. Pendapat lain mengenai sistem pemilikan atas tanah dapat dipandang sebagai gabungan antara sistem pemilikan perorangan yang tanpa batas dengan sistem kepemilikan komunitas (negara) yang sebenamya juga tanpa batas. Pada Negara yang tidak menjalankan sistem Marxisme atau komunisme, pemilikan perorangan tetap dipandang sebagai salah satu hak kodrati, tetapi dengan pembatasan yang berkaitan dengan kepentingan sosial atau kepentingan umum. Hak milik bukan hanya dibatasi cara-cara penggunaan dan penguasaannya (seperti pembatasan luas), bila perlu dapat dicabut (UU No. 20 Tahun 1961 jo Pasal 18 UUPA) demi 8
Aslan Noor, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau Dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Mandar Madju, Bandung, 2006, Hal. III 9 Aslan Noor, Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, Bandung : Disertai PPS UNP AD, 2003, Hlm. 37. Lihat pula Bagir Manan dalam Pengantar Pidato Laporan Promotor Terhadap Pertanggungjawaban Akademis Atas Nama Aslan Noor pada Sidang Promosi Doktor dalam Ujian Terbuka Disertasi, Unpad, 2003, Hlm. 3-6 Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
5
DIKLAT PENGADAAN TANAH
suatu kepentingan sosial (Pasal 6 UUPA) yang lebih luas atau suatu kepentingan umum tertentu kepentingan publik/negara). Demikian pula pada Negara-negara yang menjalankan sistem Marxisme atau komunisme. Negara tetap sebagai pemilik sarana produksi seperti tanah. Rakyat hanya sebagai pemegang hak pakai atau penyewa dengan syarat-syarat dan cara pemanfaatan yang lebih longgar. Di Republik Rakyat Cina (RRC), rakyat menyewa atau memakai tanah Negara untuk sesuatu jangka panjang. Rakyat bebas menentukan cata-cara pemanfaatan, catacara penjualan hasil, dan bebas pula menikmati hasil-hasilnya. Hal ini sangat mendorong peningkatan produksi dan kesejahteraan petani atau pemakai tanah 10. Sistem pemilikan tanah bangsa indonesia tergolong unik dibanding bangsa lain. Hak ulayat bukanlah sistem kepemilikan komunitas seperti diinginkan Plato atau kaum Karl Marx. Sistem pemilikan ulayat tidak ada struktur kekuasaan yang dapat dipandang sebagai pemegang hak atas tanah ulayat beserta tumbuhtumbuhah diatasnya. Rakyat sebagai anggota masyarakat hukum (rechts gemeens chap) yang bersangkutan, pada dasarnya bebas memanfaatkan hak ulayat sepanjang tidak bersentuhan dengan hak-hak sesama anggota masyarakat hukum lainnya, misalnya tanah pernah dibuka (dipergunakan) oleh anggota yang lain. Kalaupun ada semacam campur tangan penguasa adat atau kepala desa, hal ini lebih bersifat pemberitahuan dari pada sebagai pemilik. Yang lebih unik, pembukaan atau penggunaan hak ulayat secara ilmiah, menumbuhkan hubungan pribadi antara tanah yang dibuka (digunakan) dengan pembuka tanah yang dapat berproses
sampai
pada
pemilikan.
Proses
ini
oleh
Supomo
disebut
individualisering process dan oleh Malinkrodt disebut sebagai vereconmisering process 11. Keunikan lain yaitu hubungan antara individu dengan tanah ditentukan oleh intensitas hubungan individu yang bersangkutan baik dalam pemanfaatan secara
terus-menerus
maupun
dengan
tanda-tanda
tertentu
yang
menghubungkan individu dengan tanah yang bersangkutan seperti ada tanaman
10
Aslan Noor, konsepsi hak milik atas tanah bagi bangsa Indonesia, disertai PPS Unpad, Bandung Tahun 2003, Hlm. 36 11 Ibid Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
6
DIKLAT PENGADAAN TANAH
kelapa, buah-buahan dan lain sebagainya. Hubungan semacam ini oleh Djodjodiguno disebut sebagai hubungan mulur mungkeret atau oleh Ter Haar disebut sebagai teori bola (baltheorie). Berbagai keunikan tersebut menjadi salah satu pilar pemikiran UU No.5 Tahun 1960 dan berbagai undang-undang yang berkaitan dengan tanah serta, kekayaan alam yang ada di atas atau di dalam tanah tersebut. Tetapi, pembentukan undang-undang menyadari juga berbagai keterbatasan sistem pemilikan tanah asli dan berbagai kebutuhan baru bertalian dengan tanah. Karena itu, selain pembatasan-pembatasan terhadap asas dan kaidah hukum adat, juga dimasukkan berbagai unsur baru hubungan perorangan dengan tanah, seperti HGB, HGU, dan administrasi pertanahan seperti sertifikat yang diatur dalam undang-undang tersebut 12. Didorong oleh keinginan mengintegrasikan antara pemilikan asli dengan berbagai kebutuhan baru, UU No.5 Tahun 1960 melahirkan berbagai keunikan baru yang tidak jarang menimbulkan masalah-masalah dalam pelaksanaannya seperti: hukum agaia adalah hukum adat, hak milik adalah hak terkuat dan terpenuh, negara yang hanya dikatakan menguasai tanah tetapi dipihak lain berwewenang
melahirkan
hak
milik
perorangan
atas
tanah,
larangan
menelantarkan yang akan menjadi dasar hapusnya hak milik atas tanah dengan mengenyampingkan prinsip bahwa tanah dipandang sebagai hak asasi dan lainlain. Beberapa hal tersebut menunjukkan, meskipun UU No.5 Tahun 1960 adalah dasar-dasar hak-hak atas tanah seperti hak milik, temyata masih ada hal-hal yang secara konseptual memerlukan pengkajian mendalam. Teori Hukum kodrat mengekspresikan bahwa manusia terlahir dilekati tiga hak mendasar (mencherechten), yaitu : hak untuk hidup, bebas dan memiliki harta kekayaan (yang secara sempit dapat diartikan tanah 13) yang oleh United Of Nation Organitation (UNO) di deklarasikan sebagai Hak Asasi Manusia Untuk melindungi. Hak Asasi Manusia tersebut perlu kekuatan besar yang disebut negara hukum, dalam hal ini Bagir Manan, Abrar dan Van Kan menyebutnya Negara Hukum Kesejahteraan (wefrastaat). 12
Aslan Noor, Op. Cit..Hal. III Jhon Locke, Two Treases of Civil Gouvernmen,
13
Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
7
DIKLAT PENGADAAN TANAH
Negara Indonesia mengandung corak negara hukum kesejahteraan sebagaimana tercantum secara explisit dalam pembukaan dan batang tubuh UUD45. Konsepsi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk kepentingan umum merupakan pengejawantahan dari prinsip-prinsip ketersediaan tanah guna pembangunan nasional dalam bentuk fisik. Pembangunan nasional merupakan pengejawantahan
dari
komitmen
tujuan
negara
kesejahteraan.
Negara
kesejahteraan berperan menyelenggarakan pembangunan fisik dan mental warga negara untuk mewujudkan pembangunan manusia indonesia seutuhnya. Secara konseptual pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum terkait dengan konsep mekanisme pencapaian tujuan negara, yang terdapat dalam suatu teori corak negara kesejahteraan (welfra staat) 14 sebagaimana digagas oleh Lord Acton. Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibentuk dengan tujuan untuk mensejaterakan rakyatnya (vide alinea ke-empat Pembukaan UUD45). Artinya NKRI adalah Negara yang becorak negara kesejateraan. Sebagai Negara kesejateraan wajib mengadakan pembangunan, dan setiap pembangunan fisik pasti membutuhkan tanah, dan pemerintah atas nama negara wajib menyediakan tanah untuk pembangunan tersebut dengan cara-cara terhormat, ilmiah dan penuh rasa tanggung jawab, yang secara keilmuan disebut Metoda Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum). C.
Fungsi (Aksiologi) Konsep Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pengadaan tanah yang terutama berfungsi menjamin tersedianya tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum (terbebas dari hak-hak masyarakat, memperoleh ganti kerugian yang layak dan berkeadilan bagi bekas pemegang haknya, sesuai dengan rencana pembangunan/sesuai arahan teknis dan RTRW dan kehidupan masyarakat terlihat maju pasca pembangunan tersebut) .
14
Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
8
DIKLAT PENGADAAN TANAH
Pemerintah atas nama negara wajib menyediakan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum tersebut. Konsep negara hukum kesejahteraan (welfra staat) menegaskan, bahwa negara tidak mempunyai hubungan memiliki dengan tanah tetapi mempunyai hubungan menguasai (verorgaangstate). Yang mempunyai hubungan memiliki dengan tanah dalam konsep hukum dan politik adalah rakyat, badan hukum dan masyarakat hukum serta pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu, pengadaan tanah mengandung substansi mendalam tentang hubungan
memiliki tersebut
dikarenakan dari konsep tersebut akan menjadi jelas bahwa dalam pengadaan tanah akan ada suatu cara prinsipil untuk membebaskan tanah hak dari masyarakat dengan pendekatan-pendekatan yang manusiawi dan berkeadilan. Berkaitan dengan itu, Arie S. Hutagalung menyebutkan, bahwa terhadap hak-hak masyarakat yang sudah setel, dimungkinkan akan gangguan baik oleh masyarakat lain maupun oleh penguasa (pemerintah yang berkuasa) 15 , apalagi terhadap penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, penguasa dalam menjalankan tugasnya cenderung bersalah guna (ten to corrupt) 16, karena jika tidak hati-hati metoda pengadaan tanah rentan terjadi pemaksaan kehendak, mark-up, penggelembungan dan berbagai aksi pelanggaran HAM lainnya. Oleh karena itu, perlu perangkat peraturan yang kuat untuk mengaturnya, seperti UUPA agar hak-hak masyarakat terlindungi 17 Lebih lanjut Arie S. Hutagalung 18 menyatakan Proyek-proyek pengadaan tanah terutama yang memerlukan areal yang luas memerlukan perlindungan hakhak bekas pemegang haknya, sebab rentan akan kehilangan tanahnya (luput dari pendataan yuridis dan fisik) serta semena-mena dalam menetapkan ganti rugi karena pemerintah atau pelaksana diberi kewenangan spesial/istimewa dalam
15
Hal. 151
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, LPHI, Jakarta, 2005,
16
Lord Acton mengatakan, bahwa manusia dalam menjalankan kekuasaannya cendrung bersalah guna , apalagi dalam perbuatan yang benyak melibatkan negara dalam urusan pengadaan tanah untuk slan Noor, Op. Cit, Hal... 17 Arie S. Hutagalung, Serba Aneka Masalah Tanah (Suatu Kumpulan Karangan), FH UI, Jakarta, 2002, Hal. 96 18 Arie S. Hutagalung, Tbaran.., Op. Cit, Hal.107 Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
9
DIKLAT PENGADAAN TANAH
menjalankan tugasnya bahkan dapat mempergunakan hak dikresi atau pencabutan hak jika terjadi pembangkangan. Sesungguhnya, fungsi yang konkret dari penyelenggaraan pengadaan tanah secara praktik adalah
untuk
memudahkan pelaksana (penguasa)
memperoleh tanah sesuai ketentuan prinsipil dan prosedural dari tata perundangundangan tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Jadi,
secara
(penguasa/pelaksana)
aksiologi
bahwa
menyediakan
dibalik
tanah
kewenangan
terkandung
pula
pemerintah kewajiban
menyiapkan konsep teoritis serta pelaksanaan tentang : 1. ganti rugi yang layak dan berkeadilan terhadap pemegang hak yang terkena areal pembangunan, 2. konsep dokumenen yang reasenal dan rasional (logic dan penuh rasa tanggung jawab) pada tahap perencanaan, dan 3. aspek koordinasi/konsultasi publik yang didasari musyawarah mufakat sesuai RTRW/rencana
pembangunan/melibatkan
tim
pendamping
yang
indevenden/membuka ruang privasi lembaga keberatan, yang semua ini akan menghasilkan penetapan lokasi 4. mekanisme konsinyasi karena ada penolakan bagi pemegang hak yang terkena areal pembangunan, yang merupakan tugas poko, fungsi dan tanggung jawab pengadilan 5. keterlibatan sepenuhnya lembaga penilai (afraisal) dalam menetukan harga tanah, bangunan dan tanaman 6. Audisi terhadap bekas pemegang hak pasca pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
10
DIKLAT PENGADAAN TANAH
BAB II PRINSIP-PRINSIP PENGADAAN TANAH
A.
Asas-Asas Pengadaan Tanah Asas-asas pengadaan tanah adalah serangkaian kaedah fundamental yang menfundamentir peraturan perundang-undangan terkait pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Secara konseptual, Pasal 1 angka 11 jo Pasal 44 UU no 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan menyebutkan, Undang-Undang lahir merupakan pengesahan dari Rancangan Undang-Undang, Rancangan Undang-Undang lahir dari Naskah Akademik dan Naskah Akademik lahir dari Hasil Penelitian serta tidak ada penelitian tanpa kesenjangan. Dasar-dasar konseptual yang tertuang dalam naskah akademi hasil penelitian adalah argumentasi filosofis, yuridis dan sosiologis. Serangkaian kaedah-kaedah normatif yang melatarbelakangi argumentasi tersebut, dinamakan asas-asas pangadaan tanah. Secara umum, asas-asas atau kaedah fundamental konsep pengadaan tanah terdiri dari : a. Kepentingan Umum (aglemene belang/ten aglemeenen nutte) b. Overmacht (keadaan memaksa)/cursive/force majeur c. Musyawarah (konsensuil) d. Ganti kerugian (convensation) e. Onteigening (pencabutan hak) f. Pembebasan Tanah (land aquitition) g. Pelepasan hak (Pasal 2 a (1) huruf a Pepres 36/2005 h. Penyerahan hak (Pasal 2 a (1) huruf a Pepres 36/2005) i. Transaksi (an agreement) vide Pasal 2 a (2) Pepres 36/2005
Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
11
DIKLAT PENGADAAN TANAH
Berdasarkan Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dilaksanakan berdasarkan asas: a. kemanusiaan; b. keadilan; c. kemanfaatan; d. kepastian; e. keterbukaan; f. kesepakatan; g. keikutsertaan; h. kesejahteraan; i. keberlanjutan; dan j. keselarasan.
B.
Pengertian Pengadaan Tanah Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pengadaan tanah merupakan perbuatan pemerintah untuk mewujudkan tersedianya tanah untuk digunakan dalam berbagai kepentingan bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Prinsip dasar dalam pengadaan tanah, demokratis, adil, transparan, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, serta mengedepankan asas musyawarah. Peradilan adalah Pintu terakhir dalam menghadapi kebuntuan dalam musyawarah antara pemerintah yang memerlukan tanah dengan masyarakat pemilik tanah. Pembangunan untuk kepentingan umum menjadi salah satu dasar bagi pemerintah untuk melegitimasi dalam rangka melaksanakan pengadaan tanah, karena pemerintah memerlukan tanah untuk mewujudkan pembangunan di segala bidang dan ternyata dalam praktek di lapangan ketersediaan tanah semakin
Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
12
DIKLAT PENGADAAN TANAH
terbatas, akibatnya pengadaan tanah menjadi terhambat dan pembangunan fisiknya tidak dapat dilakukan sesuai jadwal yang telah di tetapkan, dengan demikian pemerintah menderita kerugian yang sangat besar karena proyek yang akan dibangun tertunda pengoperasiannya. Keterbatasan ketersediaan tanah dimaksud janganlah dikonotasikan bahwa tanah sudah tidak tersedia, tetapi di lapangan tanah-tanah yang akan diperlukan oleh pemerintah ternyata telah dikuasai atau dimiliki oleh berbagai badan hukum, baik privat maupun publik seperti, tanah aset pemerintah, tanah kawasan hutan, dan tanah-tanah yang telah dimiliki atau dikuasai oleh masyarakat. Dalam pemahaman masyarakat indonesia tanah mempunyai kedudukan tertinggi dalam kehidupan masyarakat indonesia, karena tanah adalah sebagai modal kehidupan dan penghidupan mereka, sehingga apabila tanah diperlukan untuk pembangunan dan dilakukan perbuatan pemutusan hubungan hukum maka akan menimbulkan reaksi cepat dari masyarakat berupa penolakan, perlawanan bahkan tindakan anarkis dan tidak jarang timbul perkara di pengadilan. Kondisi ini sering terjadi disaat pemerintah memerlukan tanah untuk kepentingan umum, hal semacam ini sangat disadari oleh pemerintah, namun di sisi lain pemerintah membutuhkan tanah dalam rangka menyelenggarakan pembangunan guna mewujudkan kemakmuran bagi seluruh bangsa Indonesia. Kurang harmonisnya hubungan masyarakat pemilik tanah dengan pemerintah yang memerlukan tanah disaat akan merealisasikan kesepakatan dalam musyawarah disebabkan berbagai aspek: 1) Pengadaan tanah selalu identik dengan penggusuran. 2) Peraturan perundangan yang ada belum bisa mengatasi persoalan di lapangan. 3) Masyarakat tidak dilibatkan pada awal pengadaan tanah. 4) Rencana lokasi pembangunan kurang melibatkan masyarakat pemilik tanah. 5) Penetapan ganti rugi dirasakan masyarakat kurang adil. 6) Pelaksanaan pengadaan tanah tidak dilakukan secara transparan. 7) Ganti rugi yang dibayarkan kepada masyarakat tidak menjamin kelangsungan hidup bagi masyarakat pemilik tanah. Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
13
DIKLAT PENGADAAN TANAH
8) Pelaksanaan pembayaran ganti rugi dilakukan tidak tepat waktu sehingga nilai harga tanah sudah berubah. 9) Kelemahan pemahaman masyarakat di dalam memaknai asas hukum pertanahan yaitu hak atas tanah bersifat mutlak, kuat dan abadi, sehingga pemikiran mereka hak atas tanah tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun termasuk
pemerintah,
dan
mereka
mempunyai
kebebasan
dalam
memanfaatkan tanah tanpa memikirkan kepentingan orang lain, mereka kurang mendapatkan sosialisasi bahwa tanah berfungsi sosial sehingga tanah juga dapat diminta oleh pemerintah apabila ada keperluan pemerintah yang lebih besar untuk mengangkat hajat hidup orang banyak, akan tetapi asas fungsi sosial bukanlah sebagai tindakan pembenaran untuk menggusur atau mengambil hak masyarakat dengan dalih untuk kepentingan umum, karena pada dasarnya pengadaan tanah harus didasarkan musyawarah dan hak masyarakat harus dihormati dan diberikan ganti rugi yang layak. Dalam pelaksanaan pengadaan tanah selama ini potretnya sangat memprihatinkan, disamping pengadaan tanah banyak terkendala, pemerintah sebagai penyelenggara pengadaan tanah cukup banyak yang harus berhadapan dengan penegak hukum sampai akhirnya terjadi tindak pidana, hal ini disebabkan karena peraturan yang ada tidak mampu lagi dapat mengatasi dinamisnya persoalan yang timbul dalam praktek di lapangan. Guna mengatasi barbagai persoalan yang terjadi dalam pelaksanaan pengadaan tanah, serta sekaligus menyamakan persepsi atas perbedaan antara masyarakat pemilik tanah dengan pemerintah yang memerlukan tanah, pemerintah wajib memformulasikan suatu kebijakan pengadaan tanah yang dapat meminimalisir resistensi atau dampak dari praktek pengadaan tanah yang dilaksanakan oleh pemerintah. Disamping itu fungsi sosial atas tanah yaitu tanah haruslah dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih besar bagi bangsa Indonesia sebagaimana mandat negara kepada pemerintah yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mewujudkan berbagai fungsi sosial atas tanah maka dibentuk berbagai badan publik dan berbagai peraturan perundang-undangan guna mewujudkan berbagai fungsi sosial atas tanah di Indonesia. Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
14
DIKLAT PENGADAAN TANAH
Kondisi terkini pemerintah telah mereformasi peraturan perundangundangan terkait pengadaan tanah berupa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, termasuk peraturan pendukungnya yaitu : 1) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012; 2) Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014; 3) Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2014; 4) Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015; 5) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012; 6) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 6 Tahun 2015; 7) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2012; 8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.02/2013. Diharapkan undang-undang ini dapat mengatasi berbagai persoalan yang timbul selama ini dalam pengadaan tanah yang dilaksanakan pemerintah dan sekaligus menjadi jembatan emas titik temu antara masyarakat pemilik tanah dengan pemerintah yang nenerlukan tanah, yang pada akhirnya terbangunnya partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pembangunan untuk kepentingan umum. C.
Prinsip-Prinsip Pengadaan Tanah Prinsip-prinsip penyelenggaraan pengadaan tanah adalah : a.
Penghormatan Terhadap Hak-Hak Rakyat (Pasal 3 Perpres 36/2006, Pasal 36 UU 39/1999 tentang HAM)
b.
Pemberian ganti Kerugian yang layak, yaitu pemberian konpensasi yang sepadan bahkan lebih maju (kehidupan yang lebih baik) kepada bekas pemilik berupa : ganti rugi terhadap hak atas tanah; bangunan; tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dan mempunyai nilai ekonomis(Pasal 3 Perpres 36/2006, Pasal 36 UU 39/1999 tentang HAM)
c.
Pelaksanaan musyawarah , yaitu proses saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, serta keinginanuntuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan masalah lain yang berkaitan
Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
15
DIKLAT PENGADAAN TANAH
dengan kegiatan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dengan pihak yang memerlukan tanah(Pasal 3 Perpres 36/2006, Pasal 36 UU 39/1999 tentang HAM) d.
Kesesuaian dengan RTRW : bahwa pembangunan untuk kepentingan umum harus sesuai dengan zona dalam kawasan budi daya serta kawasan lindung, dan menjujngkjung tinggi nilai-nilai kemampuan tanah (Pasal 3 Perpres 36/2006, Pasal 36 UU 39/1999 tentang HAM)
D.
Pelaksana Pengadaan Tanah Lembaga pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umu diterjemahkan sebagai intuisi yang terkait langsung denga fortofolio masingmasing berupa : Tugas pokok, Fungsi, Kewenangan, Kewajiban, Keharusan, Larangan,
Hak,
Tanggung
Jawab
(responsibility)
dan
Tanggung
Gugat
(accountability) dalam menjalankan tugas kegiatan penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Berikut ini akan dipaparkan masing-masing yang bertugas dalam kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum 1.
Lembaga Kepentingan Umum
2.
Lembaga Hak Atas Tanah a.
Subyek Hak Atas Tanah
b.
Obyek Hak Atas Tanah,
3.
Subyek Pengadaan Tanah
4.
Obyek Pengadaan Tanah
5.
Lembaga Perijinan
6.
Lembaga Penilai Tanah
7.
Lembaga Perijinan (lisensi)
8.
a.
RTRW
b.
Pertimbangan Teknis Pertanahan
c.
Penetapan Lokasi
Lembaga Ganti Rugi
Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
16
DIKLAT PENGADAAN TANAH
Ganti Kerugian : adalah pemberian konpensasi yang sepadan bahkan lebih maju (kehidupan yang lebih baik) baik yang bersifat materil maupun inmateril kepada bekas pemilik berupa : ganti rugi terhadap hak atas tanah; bangunan; tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah,.
9.
a.
Tanah
b.
Bangunan
c.
Tanaman
Tim Pendamping
10. Lembaga Penyelenggara a.
Lembaga Yang Membutuhkan Tanah (L/K/N)
b.
Pemda Kab/Kota
c.
BPN
11. Landfreesing dan Surat Kuasa Surat Kuasa (Last Giving), tidaklah sama dengan surat kuasa yang diatur dalam KUHPerdata 12. Lembaga Onteigening (Pencabutan Hak), Mahkamah Agung yang diketuai oleh presiden. Lembaga ini bertugas setelah dibuatkan Surat Keppres. 13. Lembaga Keberatan Masyarakat Keberatan masyarakat terhadap keberadaan proyek, ganti rugi dan aspek teknis dan yuridis lainnya dapat menggunakan lembaga letigasi dan no lletgasi. Lembaga letigasi terkait keberatan yang didaftarkan via peradilan, sedangkan lembaga keberatan non letigasi dapat melalui pnyelesaian mediasi 14. Lembaga Konsinyasi 15. Konsultasi Publik 16. Musyawarah
Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
17
DIKLAT PENGADAAN TANAH
E.
Sumber Pendanaan Pengadaan Tanah 1. APBN dan APBD Pendanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 2. BUMN/BUMD Dalam hal Instansi yang memerlukan tanah Badan Hukum Milik Negara/Badan Usaha Milik Negara yang mendapatkan penugasan khusus, pendanaan bersumber dari internal perusahaan atau sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Badan Usaha Swasta Diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 4. Sumber-Sumber Lain Sesuai Ketentuan. Dana Pengadaan Tanah meliputi dana: a. perencanaan; b. persiapan; c. pelaksanaan; d. penyerahan hasil; e. administrasi dan pengelolaan; dan f. sosialisasi. Pendanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilakukan oleh Instansi dan dituangkan dalam dokumen penganggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan mengenai mekanisme pelaksanaan pendanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diatur dengan Peraturan Presiden.
Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
18
DIKLAT PENGADAAN TANAH
BAB III PENGADAAN TANAH SKALA KECIL, DALAM KEADAAN MENDESAK DAN LANGSUNG
A.
PENGADAAN TANAH SKALA KECIL 1. Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2014 Berdasarkan Ketentuan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas
Peraturan
Presiden
Nomor
71
Tahun
2012
tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menjelaskan bahwa Dalam rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya tidak lebih dari 5 Hektar, dapat dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar-menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak. Ketentuan ini merupakan terobosan dari Peraturan Presiden sebelumnya yaitu Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dimana luas tanah skala kecil semula adalah bagi tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) Ha. Untuk biaya Biaya operasional dan biaya pendukung pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Badan Hukum Milik Negara/ Badan Usaha Milik Negara yang mendapatkan penugasan khusus, mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan. Biaya operasional
dan biaya pendukung pengadaan
tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum dalam rangka pembangunan infrastruktur hulu minyak dan gas bumi, juga mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan.
Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
19
DIKLAT PENGADAAN TANAH
2. Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2014 Dalam Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Peraturan Presiden ini mengatur hal-hal sebagai berikut: a. Proses pengadaan tanah yang belum selesai sampai dengan tanggal 31 Desember 2014 tetapi telah mencapai 75% dari luas kebutuhan tanah, dapat diperpanjang proses pengadaannya sampai dengan tanggal 31 Desember 2015. b. Pencapaian proses pengadaan tanah ditetapkan oleh pimpinan instansi yang memerlukan tanah. c. Penetapan lokasi pembangunan untuk pengadaan tanah diperpanjang sampai dengan tanggal 31 Desember 2015 oleh Gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangannya. d. Dalam hal proses pengadaan tanah masih terdapat sisa tanah yang belum selesai sampai dengan tanggal 31 Desember 2015, pengadaannya diselesaikan berdasarkan tahapan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden ini. e. Penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa Penilai atau Penilai Publik. f. Jasa Penilai atau Penilai Publik ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil pengadaan jasa Penilai yang dilakukan oleh Instansi yang memerlukan tanah. g. Pengadaan jasa Penilai atau Penilai Publik dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah. h. Dalam hal nilai pengadaan jasa Penilai atau Penilai Publik diatas Rp 50.000.000,00, maka pengadaan jasa Penilai atau Penilai Publik dilakukan dengan menggunakan metode pascakualifikasi. i.
Pelaksanaan pengadaan jasa Penilai dilaksanakan paling lama 30 hari kerja.
Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
20
DIKLAT PENGADAAN TANAH
3. Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 Ada beberapa perubahan dalam peraturan Presiden Nomor 30 tahun 2015 yaitu: a. Ketentuan Pasal 1 Angka 1 “Instansi yang memerlukan tanah adalah lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan BHMN/BUMN yang mendapat penugasan khusus Pemerintah atau Badan Usaha yang mendapatkan kuasa berdasarkan perjanjian dari lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan BHMN/BUMN yang mendapat penugasan khusus Pemerintah dalam rangka penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum”. b. Ketentuan Pasal 117 A 1) Pendanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dapat bersumber terlebih dahulu dari dana Badan Usaha selaku instansi yang memerlukan tanah yang mendapat kuasa berdasarkan perjanjian, yang bertindak atas nama lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Provinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota. 2) Pendanaan Pengadaan Tanah oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayar kembali oleh lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, Pemerintah Provinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota melalui APBN dan/atau APBD setelah proses pengadaan tanah selesai. 3) Pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa perhitungan pengembalian nilai investasi. c. Ketentuan Pasal 123B 1) Proses Pengadaan Tanah yang belum selesai berdasarkan ketentuan Pasal 123 dan Pasal 123A tetapi telah mendapat Penetapan Lokasi Pembangunan atau Surat Persetujuan Penetapan Lokasi Pembangunan (SP2LP) atau nama lain Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
21
DIKLAT PENGADAAN TANAH
yang dimaksudkan sebagai penetapan Lokasi pembangunan, proses Pengadaan Tanah dapat diselesaikan berdasarkan tahapan sebagaimana diatur dalam Perpres ini. 2) Proses Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai dari tahapan Pelaksanaan Pengadaan Tanah. 3) Seluruh dokumen yang ada dalam rangka Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a) Penyiapan pelaksanaan; b) Inventarisasi dan identifikasi; c) Penetapan penilai; d) Musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian; e) Pemberian ganti kerugian; f) Pemberian ganti kerugian dalam keadaan khusus; g) Penitipan ganti kerugian; h) Pelepasan objek pengadaan tanah; i) Pemutusan hubungan antara pihak yang berhak dengan objek pengadaan tanah; j) Pendokumentasian peta bidang, daftar nominatif dan data administrasi pengadaan tanah; k) Penyerahan hasil pengadaan tanah. menjadi dokumen Pengadaan Tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden ini. 4) Penetapan Lokasi Pembangunan atau Surat Persetujuan Penetapan Lokasi Pembangunan (SP2LP) atau nama lain yang dimaksudkan sebagai penetapan Lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperbaharui untuk jangka waktu 2 tahun oleh Gubernur. 5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tahapan penyelesaian pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Kepala BPN.
Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
22
DIKLAT PENGADAAN TANAH
d. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 123B ayat (5) bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tahapan penyelesaian pengadaan tanah diatur dalam Peraturan Kepala BPN. B. PENGADAAN TANAH DALAM KEADAAN MENDESAK DAN LANGSUNG Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum karena keadaan mendesak akibat bencana alam, perang, konflik sosial yang meluas, dan wabah penyakit dapat langsung dilaksanakan pembangunannya setelah dilakukan penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum. Sebelum
penetapan
lokasi
pembangunan
untuk
Kepentingan
Umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal 49 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, terlebih dahulu disampaikan pemberitahuan kepada Pihak yang Berhak. Dalam hal terdapat keberatan atau gugatan atas pelaksanaan Pengadaan Tanah, Instansi yang memerlukan tanah tetap dapat melaksanakan kegiatan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Instansi yang memperoleh tanah wajib mendaftarkan tanah yang telah diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemantauan
dan
evaluasi
penyelenggaraan
Pengadaan
Tanah
untuk
Kepentingan Umum yang meliputi tahapan perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan penyerahan hasil dilakukan oleh Pemerintah. Pemantauan dan evaluasi hasil penyerahan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang telah diserahkan Lembaga Pertanahan kepada Instansi yang memerlukan tanah dilakukan oleh Lembaga Pertanahan.
Pusdiklat Kementerian ATR/BPN 2015
23