Kata Pengantar Tiada kata yang mulia selain memuji kebesaran Allah SWT atas nikmat dan karunianya sehingga buku Pengantin Laut Merah telah diterbitkan. Tiada kata yang indah selain membacakan shalawat atas teladan umat, manusia pilihan rasulullah Muhammad SAW yang kita harapkan memberikan syafaat pada hari perhitungan. Pengantin Laut Merah, Novel perjalanan spiritual. Tidak sekadar cerita belaka, namun ada hikmah dibalik peristiwa yang terjadi. Didukung oleh pengalaman penulis selama beberapa bulan di Saudi Arabia, latar belakang cerita tersaji dengan detil di setiap lokasi dan diceritakan dengan alur dan bahasa yang sederhana. Buku ini sangat cocok dibaca untuk remaja, dewasa khususnya bagi mereka yang ingin menunaikan ibadah haji maupun yang sudah berhaji. Kenangan akan tempat, lokasi ziarah dan tempat suci lainnya akan membuka wawasan maupun memori sebagai obat kangen terhadap perjalanan suci di negeri Arabi. Buku ini saya persembahkan untuk keluarga tercinta, istriku Reni Sulistyani, putriku pertama Aliya Putri Shafrida dan putri kedua Nurul Ramadhani. Teriring doa agar selalu diberi kesehatan serta bimbingan dan semoga menjadi putri-putri yang Soleha. Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Segala komentar atas buku ini silakan dialamatkan ke facebook/ dudun parwanto atau email
[email protected]. Terima kasih Penulis
PENGANTIN LAUT MERAH
1. Jerih si Kuli Tinta Mendung menggantung di bibir langit. Cuaca mulai gelap. Awan membumbung di awang-awang. Menurut perkiraan cuaca yang disiarkan sebuah stasiun teve swasta semalam, hari ini Jakarta akan diguyur hujan lebat. Samar-samar mulai kudengar gemericik air di atas genting. Dari balik jendela terlihat gerimis datang tak diundang. Jam dinding menunjukkan angka tiga lewat lima menit. Sore itu, aku masih berada di kantor Departemen Agama, kawasan Lapangan Banteng, Jakarta. Usai wawancara tentang haji dengan seorang pejabat eselon dua. Materi ini sebagai bahan tulisanku tentang persiapan ke tanah suci, sebuah rubrik di majalah Mabrur. Aku masuk ke ruang media center ketika hujan deras menghunjam ke bumi. Mustinya aku lekas kembali ke kantor karena sore ini temanteman wartawan majalah Mabrur mengajakku menemui pak Waluyo, pemilik majalah tempatku bekerja. Kemarin Rizal, Bondi dan Fadoli memberitahuku untuk mengajukan kenaikan gaji kami. Namun cuaca diluar sepertinya tidak mengijinkan. Aku segera sms Bondi, minta maaf tidak bisa ikut rapat. ”Berarti kamu harus ikut keputusan kita ya,” balasnya. Kujawab oke. Mas Imam, masih asyik menulis berita. Dia pegawai bagian humas yang menjadi koordinator wartawan komisariat Depag. Orangnya murah senyum dan ramah. Sebenarnya aku ingin ikut rapat. Kuhampiri mas Imam untuk pamitan. ”Zul diluar masih gerimis, tunggu disini saja,” cegahnya. Aku masih menimbang tawarannya. Press room sore itu nampak lengang. Hanya Soleman, seorang fotografer freelance, asyik mengotak-atik kamera lawasnya. Wartawan Depag biasa memanggilnya pak tua. Di usianya menjelang 60 tahun, dia masih membujang. Tenaganya lemah tetapi
1
semangatnya masih membara. Dia termasuk wartawan ”orde lama” yang masih bertahan di instansi pemerintah itu. Mas Imam menghampiriku. ”Gimana tadi wawancara dengan pak Direktur? ” tanyanya. ”Sudah mas, dia bilang banyak perbaikan yang akan dilakukan pada musim haji tahun ini,” jawabku. Mas Imam mendekat dan duduk di sebelahku, dia mengeluarkan bollpoint dan mengambil secarik kertas. ”Apa saja ?” tanyanya. Rupanya dia mau mencatat. Biasanya Mas Imam akan menulis berita untuk dimasukkan ke situs informasi haji yang dia kelola. Kujelaskan melalui coretan wawancara di buku kerjaku. Selesai mencatat, mas Imam mengucapkan terima kasih. ”Wah Leman, sibuk benahi kamera, dia mau berangkat haji,” ujar mas Imam. ” Oh ya?” kataku. Pantesan dari tadi kulihat wajahnya sumringah. ”Dia jadi wartawan foto di Depag sudah 10 tahun, belum pernah haji. Tadi pak Mahmud sudah memasukkan namanya menjadi salah satu petugas media center haji tahun ini,” Aku ikut senang. Kuhampiri pak tua dan kuucapkan selamat. Dia tersenyum dengan kerutan di wajah tuanya. ”Meski lama di sini, Soleman nggak aktif, nggak berangkat pun diam aja, pak Mahmud kasihan melihatnya lalu mengajaknya,” ujar mas Imam. Pak Mahmud, kepala penyuluhan haji Depag, dia sering ceramah tentang haji di televisi. ”Oh ya mas, berapa sih kuota petugas media center?” tanyaku. “Tahun ini dua puluh lima orang, masih ada kesempatan kalau mau bergabung,” jawabnya. “Caranya?” tanyaku lagi. Mas Imam menjelaskan syaratnya. Kayaknya banyak yang tak bisa kupenuhi. Misalnya minimal dua tahun bertugas di komisariat wartawan Depag, sedang aku baru empat bulan. Selain itu, belum banyak wartawan Depag kukenal. Tak ada asa jadi petugas haji tahun ini. ”Kalau belum tahun ini, mudah-mudahan tahun depan bisa berangkat,” mas Imam menepuk bahuku sambil keluar, katanya mau pipis. Nampaknya hujan belum usai. Aku memencet keyborad komputer untuk membuka email.
2
“Mas, kalau mau jadi petugas, minta rekomendasi saja dari pak Dirjen atau pak Menteri,” kata Soleman. Aku mengangguk, ide yang tidak terlalu jelek. Setidaknya pak tua telah memberiku setitik harapan. Aku pernah mendapat cerita dari Kohar, wartawan radio yang mangkal di Depag. Menurutnya, petugas haji media center merupakan jatah wartawan yang bertugas di Depag. Tiap 2 atau 3 tahun sekali mereka bisa berangkat haji gratis. Selain berangkat haji menurut pak Mahmud juga ada uang saku sebagai honor petugas haji. Pantas, pikirku. Banyak wartawan senior yang betah di Depag. Mereka bisa mendapatkan jatah naik haji plus duit segepok. Tak heran bila pak Abu, yang usianya 60 tahun lebih, sudah berhaji hampir 11 kali. Semua karena menjadi petugas haji. Rata-rata yang sudah diatas 2 tahun mangkal di komisariat wartawan Depag bisa berangkat haji. Tak ubahnya bak arisan. Hanya Soleman baru dapat kesempatan, karena orangnya yang nrimo. Aku terperanjat, ketika sebuah tangan menepuk punggungku. Oh ternyata Mas Imam. Ia pun bercerita, bahwa tim media center tiap tahun mendapat jatah 25 orang wartawan. Kurang lebih 15 orang kuota untuk wartawan Depag. Sisanya jatah media elektronik yakni radio, media online dan televisi. Dari 15 orang petugas itu memang tidak semua murni wartawan Depag. Asal ada rekomendasi pejabat ditanggung beres. “Biasanya kalau ada wartawan yang lewat jalur khusus akan mengurangi jatah wartawan Depag. Itu bisa menimbulkan gap,” jelas mas Imam. Menurutku jalur khusus itu hak prerogratif Menteri. Kalau jalur umum hak wartawan Depag. Aku ingin mencoba saran Soleman. Apalagi dua hari lagi aku bersama pimpinan Majalah Mabrur akan mengadakan audiensi dengan orang nomor satu di Departemen tersebut. ###
3
2. Persekongkolan Jahat Sesampaiku di kantor sudah lewat Magrib. Suasana sepi. Hari ini tidak ada deadline, jadi jam lima biasanya sudah pada cabut. Kulihat tinggal si Harun, seorang desain grafis masih mengerjakan sesuatu. Aku tahu dia punya sampingan terima order desain dari luar. Biasanya dia kerjakan proyeknya itu selepas jam kantor. ”Harun, banyak proyek ya?” tegurku. “Kecil-kecilan mas, buat bantu biaya sekolah adik,” katanya. Sebenarnya aku kurang setuju, bila ada karyawan yang menggunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi. Tapi untuk menegur Harun aku harus menggunakan kata-kata yang pas agar ia tidak tersinggung. Lalu aku pun mengisahkan kepadanya tentang Khalifah Umar Bin Abdul Azis. Pemimpin yang termashyur ini suatu hari didatangi anaknya di Kerajaan. Khalifah pun menanyakan untuk kepentingan apa anaknya berkunjung, keluarga atau kerajaan. Ketika dijawab keluarga, Khalifah pun mematikan lampu kerajaan. Khalifah tidak ingin menggunakan fasilitas kerajaan untuk kepentingan keluarga. Setelah mendengar ceritaku Harun cepat-cepat mematikan komputernya. ”Harun, di rumah ada komputer?” tanyaku. ”Tidak ada mas, nanti aku ke rental aja,” katanya tanpa menoleh ke arahku. ”Maaf Harun, aku hanya mengingatkan kamu, jangan tersinggung ya,” ujarku. Laki-laki kurus itu bergegas pulang tanpa pamitan. *** Esok harinya, Majalah Mabrur telah terbit. Hari ini bertepatan dengan pembayaran gaji. Sebagai karyawan aku terima gaji bulanan. Sesuai kesepakatan dengan pak Asnawi, Pimred Majalah Mabrur, aku mendapat tambahan honor untuk kelebihan tulisan. Ya, karena diantara beberapa staf redaksi, gajiku paling kecil. Padahal tulisanku paling banyak. Kuhitung tulisanku untuk edisi bulan ini ada dua belas halaman dari total 24 halaman.
4
Di kantor, wartawan yang lain telah menerima gaji. Aku kaget, ketika kubuka amplop tak ada tambahan honor seperti yang dijanjikan. Kutemui pak Asnawi minta penjelasan. ”Harap maklum Zul, perusahaan kita belum untung, untuk memberi tambahan honor belum bisa,” jawab pak As. Menurutnya, ia sudah menyampaikan ke pemilik, tapi belum ada respon. Aku protes karena Rizal yang menulis 5 halaman honornya diatasku. Pun Fadoli yang cuma 3 halaman. Aku merasa diberlakukan tidak adil. Pak Asnawi tidak menjawab, dia berjanji akan membicarakan masalah ini dengan pak Waluyo pemilik Majalah Mabrur lagi. Ini bukan kali pertama aku protes. Sudah tiga edisi ini tulisanku mendominasi isi Majalah. Tapi honorku tetap saja segitu. Bulan lalu aku sudah minta agar kontrak direvisi berdasarkan jumlah halaman. Tetapi Rizal, Bondi dan Fadoli tidak setuju. Akhirnya aku minta jatah tulisanku hanya 6 halaman, selebihnya dibayar per halaman. Pak As secara lisan setuju. ”Kamu sih yang terlalu rajin, kerjakan saja yang 6 halaman,” celutuk Fadoli. ”Iya kayak kita, mau nulis berapa halaman pun honornya sama, ngapain nulis banyak,” tambah Bondi. Yang lebih menyesakkan kata-kata Rizal. ”Lu, kalau iri gaji kita bilang saja, jangan minta diubah skemanya pakai berdasarkan tulisan.” Aku diam. Mereka sudah kompak, pikirku. Sore itu, aku masih di kantor, sementara teman-teman yang lain sudah pulang. Kulihat meja Harun juga kosong. Tumben biasanya dia paling akhir pulangnya. Aku takut dia masih tersinggung dengan kata-kataku kemarin. Tiba-tiba pak As memanggilku ke ruangannya. Pak As melepas kaca mata minusnya sebelum berbicara. Dia baru saja menemui pak Wal. ”Begini Zul, kemarin teman-temanmu bertiga menghadap pak Wal, mereka minta diadakan tunjangan uang transport untuk mereka. Kata pak Wal, dananya tidak ada. Kata mereka kamu setuju dananya menggunakan uang kelebihan tulisanmu,” Ha, aku terkejut tidak mengira teman-temanku setega itu. Aku sama sekali tidak dimintai pendapat teman-teman tentang uang transport. Apalagi uang itu menggunakan hakku, pasti aku tidak setuju rencana itu.
5
”Bondi menunjukkan sms-mu ke pak Wal, katanya kamu oke dengan keputusan mereka bertiga,” ujar pak As. Aku diam mengurut`dada. Pak As menyadari kelicikan ke-3 temanku, dia kasihan melihatku. ”Nanti kita jelaskan semua ke pak Wal, aku akan bantu kamu Zul,” kata pak As. ”Tidak usah pak, biarin saja. Doakan saja saya dapat ganti dari tempat yang lain. Saya ikhlas,” Pak As mengelus punggungku sambil geleng-geleng. *** Setelah senja lewat, aku pulang meski gerimis masih menghadang. Di kamar kos, kurebahkan tubuh ini. Aku ingin melupakan kejadian siang itu di kantor. Kumandang adzan Magrib terdengar lantang. Aku bergegas mandi dan mengambil wudlu memenuhi panggilan-Nya. Seperti biasa setiap ba’da Maghrib aku membaca Qur’an. Biasanya kubaca mushab berurutan. Tapi kali ini aku buka acak. Mana yang kubuka itulah yang kubaca. Subhanallah, aku membuka surat al Baqaroh ayat 197, artinya. Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklum, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaikbaik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang betakwa. ###
6
3. Audiensi Penghibur Hati Ayat tentang panggilan haji yang tak sengaja kubaca selalu mengusik hati. Setiap malam menjelang tidur, aku memikirkan ada apa dibalik itu. Aku punya niat ke tanah suci di usia sekitar 40 tahun. Pertimbanganku di usia itu orang sudah matang pikirannya dan pada usia serupa, Nabi Muhammad menerima wahyu pertama untuk mengemban tugas sebagai Rasul. Saat ini, dari segi materi, aku tidak memiliki kemampuan berangkat ke tanah suci. Bahkan terpikir saja belum. Langkah menuju Baitullah yang memungkinkan menjadi petugas haji. Apalagi musim haji masih 3 bulan lagi. Masih cukup waktu untuk persiapan jika memang Allah mengijinkan. Hari ini, aku bersama pak Waluyo, pak Asnawi, dan pak Sinaga, kepala bagian Marketing akan menemui Menteri Agama. Pak Wal sejak awal punya keinginan, tim pengelola Majalah yang dia dirikan bisa bertatap muka dan bertukar pikiran dengan pak Menteri. Pertemuan ini sangat penting sebagai sarana menjalin silaturahmi dan kerjasama, karena Depag adalah lembaga yang menjadi mitra utama majalah kami. Setelah menunggu sesaat di ruang tamu, kami pun dipersilahkan masuk oleh sekretaris Menteri. Rupanya pak Menteri dan pak Dirjen sudah menunggu di ruangan. Dengan hangat mereka menyambut kedatangan kami. Pak Waluyo bercerita tentang kehadiran dan rencana ke depan Majalah Mabrur. Pak As berbicara tentang isi majalah dan meminta dukungan peliputan berita. Tak lupa, ”si otak bisnis” pak Sinaga mengajak Depag untuk menjalin kerjasama. Pak Menteri menanggapi positif. Dia juga memberikan masukan untuk perkembangan Majalah ke depan. Pak Dirjen minta agar kami membuat peliputan yang cerdas dan membangun untuk pelayanan haji yang lebih baik. Setelah inti masalah selesai dibicarakan, aku yang dari tadi diam, angkat bicara. ”Pak, Majalah Mabrur kan satu-satunya majalah yang mengupas tentang haji, rasanya kita tidak bisa mendapat berita update kalau tidak bisa berangkat liputan ke tanah suci,” kataku.
7
”Iya pak, mungkin bisa dibantu untuk peliputan reporter kami disana,” pak As menimpali. Pak Menteri tersenyum. ”Iya masak majalah umum bisa berangkat kok majalah yang nulis haji tidak, silakan dimasukkan saja berkasnya. Pak Dirjen mohon dibantu,” jawab pak Menteri. Pak Dirjen mengangguk. Yes, kataku dalam hati. Terasa plong dada ini. Langit cukup cerah menyambut kepulangan kami dengan wajah sumringah. Hampir semua misi yang diemban tercapai. Kata pak Menteri, Depag akan mensupport berita haji. Dirjen menyanggupi untuk berlangganan Majalah Mabrur sebanyak 1000 eksemplar per bulan. Aku tinggal mengurus jalur khusus menjadi petugas haji. Sebagai rasa syukur pak Wal mentraktir kami makan siang di bakmi Menteng. Meski baru lisan, bagiku ucapan pak Menteri adalah big winning. Pimpinan Depag sudah memberi lampu hijau untukku bertugas di tanah suci. Aku senang baru pertama kali bertemu dengannya langsung mendapat kesempatan yang didambakan umat Islam. *** Setelah itu, aku mengurus syarat-syarat untuk memenuhi prosedur menjadi petugas haji. Sebagai lembaga pemerintah, Depag tak lepas dari birokrasi. Syaratnya tidak terlalu sulit, untuk formalitas saja. Beberapa hari kemudian aku segera memasukkan berkas yang diperlukan ke Subdit Petugas Haji untuk diproses. Selepas itu aku sempatkan singgah ke ruangan pak Mahmud, untuk wawancara seputar persiapan menjelang berangkat haji. Informasi ini berguna untuk jamaah yang akan menunaikan ibadah haji. Pak Mahmud yang sudah khatam di tanah suci bercerita panjang lebar tentang haji dan persiapan yang diperlukan. Mengenai rencanaku menjadi petugas haji, pak Mahmud sangat mendukung. Dia minta aku menunggu seleksi dari Depag. ”Haji itu panggilan, kalau Tuhan mengijinkan, insya Allah akan sampai ke tanah suci,” katanya bijak. Setelah satu jam lebih, aku pun pamitan. Aku senang telah mendapat informasi yang berharga tentang persiapan ke tanah suci.
8
Seminggu kemudian bagian humas mengeluarkan daftar petugas haji bidang MCH, Media Center Haji yang akan bertugas ke tanah suci. Alhamdulillah, namaku tercantum. Ada beberapa nama yang kukenal seperti Mas Imam, Pak Soleman, Kohar dan ”langganan haji” pak Abu. Kalau nggak salah ini hajinya ke -12. Luar biasa pak Abu. Kayak haji Ali, saudagar kaya di Tanah Abang yang sudah belasan kali naik haji. Bedanya pak Abu berangkat dibayarin, sedang haji Ali bayar sendiri. Setelah lega mengetahui pengumuman itu, sebagai bentuk syukur kuajak Kohar makan di kantin Depag. Reporter radio yang gemuk itu, setahuku hobi makan. Aku baru mengenalnya dua bulan lalu tapi aku merasa akrab dengannya. Orangnya humoris dan apa adanya. ”Zul, kemarin waktu pembahasan nama wartawan yang berangkat, ramai banget,” katanya mulai cerita. ”Wartawan Depag sudah memasukkan 15 nama, tapi terpaksa dicoret 3 orang, karena tiga jatah itu untuk wartawan diluar komisariat Depag. Yakni pemenang MTQ wartawan, dan rekomendasi pejabat ada dua orang,” lanjutnya sambil menyantap telur dadar. Aku paham salah satu yang direkomendasikan adalah aku. ”Jatah 12 orang itu menjadi rebutan karena tidak ada yang mau mengalah. Apalagi wartawan senior pada sentimen, terutama ke kamu. Mereka bilang wartawan baru kok sudah berangkat,” Aku masih mendengarkan cerita Kohar. Meski stand by di Depag, tapi tidak tiap hari aku datang. Berita ini cukup menggemparkan. ”Terus akhirnya gimana?” tanyaku. ”Pak Mahmud turun tangan, 3 orang wartawan yang tidak bisa berangkat tahun ini akan diprioritaskan untuk bertugas tahun depan. Lagian orang-orang yang nggak jadi bertugas itu sudah pernah ke Mekkah semua, mereka tidak mengejar ibadah tapi duitnya. Jadi kamu tenang saja,” tutur Kohar menepuk pundakku. Sejak pengumuman itu, aku merasakan beberapa orang wartawan Depag bersikap lain padaku. Paling menonjol adalah Cak Kandar dan Junaedi. Mereka berdua pernah menyindirku langsung. Yang lain biasa saja. Aku senang Kohar bisa memahami posisiku. ”Cak Kandar sentimen karena dia itu koordinator wartawan Depag, dia merasa dilangkahi kalau petugas MCH tidak mendaftar padanya, sedang Junaedi namanya hampir dicoret gara-gara ada wartawan yang
9
direkomendasikan Menteri. Dia langsung menghadap Direktur yang satu kampung dengannya, akhirnya lolos.”ujar Kohar. Hari itu matahari bersinar terang. Aku yakin ini jawaban Tuhan atas ketidakadilan yang dilakukan kawan-kawan kepadaku. ”Keikhlasanmu telah diganti Allah dengan nilai yang berlipat ganda,” kata pak As, saat aku menelponnya memberitahu namaku nyantol dalam daftar petugas haji. Segala Puji bagi Allah yang senantiasa memberi nikmat pada hambanya. Namun, banyak orang yang tidak pandai bersyukur atas nikmat-Nya. Fabii ayyi alaa i Rabbikuma tukadziban, Nikmat Tuhan yang mana yang telah engkau dustakan. ###
10
4. Rejeki Tak Terduga Waktu terus bergulir. Musim haji tinggal satu bulan lagi. Aku bersama 400-an orang dari seluruh Indonesia mengikuti pelatihan petugas di Asrama Haji Pondok Gede. Kami masuk jajaran petugas haji non kloter yang akan bertugas dua bulan di Arab Saudi. Disamping petugas non kloter, ada petugas kloter, yakni petugas yang mendampingi kloter (kelompok terbang). Mereka berangkat dan kembali bersama jamaah kloternya. Setiap tahun petugas haji didominasi pegawai Depag dan Depkes. Depag mengurus pelayanan sedang Depkes melayani kesehatan jamaah. Sisanya dari bermacam-macam instansi. Selain wartawan, ada yang dari TNI/Polri, ajudan Menteri, staf DPR, sopir pejabat dan lain-lain. Rata-rata mereka itu titipan dari lembaga pemerintah dan pejabat. Pada malam terakhir pelatihan, Mas Imam mengajak semua petugas media center rapat. Disini aku berkenalan dengan 24 petugas dibawah payung MCH. Tahun ini, pak Mahmud menjadi koordinator MCH dan mas Imam sekretarisnya. “Kita akan membahas masalah pembagian tugas dan penempatan wilayah,” kata Mas Imam. Atas usulan dari mereka yang sering bertugas, maka yang berusia muda ditempatkan di wilayah yang mobilitasnya tinggi yakni Jeddah.Yang usia tua ditugaskan di daerah kerja (daker) Mekah dan Madinah. “Biar banyak tobat,” celutuk Kohar membuat kami terpingkal-pingkal. ”Yang berangkat bukan dari komisariat, dikasih tugas nyapu di Arafah,” ledek Cak Kandar. ”Abis itu, ditaruh di dekat Aqobah, untuk latihan lempar jumroh,” sindir Junaedi. Yang lain pada nyengir. Untung aku tidak sendiri, ada satu temen yang senasib denganku. Aku, Badrun, Kohar dan Soleman ditugaskan di Jeddah bersama dua reporter radio dan satu reporter serta kamerawan sebuah televisi. Soleman sebenarnya ditempatkan di Mekah, tapi dia memilih di Jeddah. Bang Badrun, reporter senior kita pilih menjadi kepala regu karena pengalamannya yang sudah dua kali bertugas. Beruntung Cak Kandar ditugaskan di Mekkah dan Junaedi di Madinah.
11
*** Usai pelatihan perasaanku mulai resah. Ibadah haji tinggal sebentar lagi namun tabungan tidak ada sama sekali. Gajiku selalu habis tiap bulan. Kalau pun ada tabungan sering diminta kakak yang hidupnya pas-pasan, untuk biaya anaknya yang masih sekolah. Ada selintingan tiap petugas mendapat uang saku dari Depag. Tapi uang itu baru diberikan saat masuk asrama haji sebelum berangkat ke Arab Saudi. Harapanku bisa membawa bekal sendiri ke tanah suci. Terbersit rencana untuk meminjam uang dari saudara atau kawan, nanti dikembalikan sepulang ke tanah air. Aku pun memberanikan diri untuk menemui Fadoli. Diantara wartawan kami dia paling kaya. Istrinya seorang manajer di sebuah perusahaan besar. ”Kalau tidak punya uang, jangan memaksakan berangkat. Karena orang yang tidak mampu itu tidak wajib hukumnya,” nasehatnya. ”Saya hanya ingin meminjam, kalau tidak ada ya nggak apa-apa?” ”Begini saja, aku punya solusi, bagaimana kalau aku bayarin saja Rp 5 juta, nanti aku yang berangkat haji,’ katanya membujuk. Setelah mengucapkan terima kasih aku pamitan. Bagiku tawaran itu sangat tidak menarik. *** Di kamar kosku yang sempit, sore itu aku masih memikirkan cara mendapatkan uang. Tiba-tiba, nada dering Assalamu’alaikum yang dilantunkan Opick terdengar nyaring dari ponselku. ”Assalamu’alaikum,” terdengar suara di sana ”Waalaikum’salam warrohmatullah,” jawabku. ”Dengan Bapak Zulfikar,” ”Ya, saya sendiri,” ”Saya dari Litbang Departemen Agama, ingin memberitahukan bahwa naskah anda menjadi pemenang pertama lomba novel anak Islami,” ”Benarkah,” aku setengah percaya. ”Iya, silakan bapak hubungi nomor telepon ini untuk teknis pengambilan hadiah,” ”Alhamdulillah,” kataku spontan. Aku mencatat nomor itu. Di hati bercampur perasaan nano-nano. Penasaran, senang dan bahagia. Aku berharap kabar itu benar adanya. Apalagi jaman begini di kota besar, banyak orang yang tega berbuat kriminal. Mencari kesempatan dalam kesempitan. Aku ingat pernah
12
mengirimkan naskah lomba sekitar 6 bulan lalu. Karena sudah terlalu lama aku hampir melupakannya. Daripada penasaran, langsung kupencet nomor telepon yang diberikan. Orang di sana membenarkan jika naskahku sebagai pemenang lomba dan pengambilan hadiah akan dilakukan minggu depan di Depag. Menurutnya, pengumuman itu sudah dipublikasikan di harian Daulat tiga hari lalu. Untuk lebih mantab aku perlu mendapatkan koran itu. *** Esok hari sebelum berangkat ke kantor motor kupacu menuju kantor harian Daulat. Kebetulan kantornya tidak jauh dari tempat tinggalku. Seorang karyawan mempersilakan menemui bagian dokumentasi. Kutunggu beberapa saat di perpustakaan, namun pegawai bagian dokumentasi tak kunjung datang. ”Mas, ketemu bagian iklan saja. Biasanya mereka punya stok untuk bukti iklan ke pemasang,” saran seorang pegawai berjilbab. Ternyata benar, di bagian iklan, koran yang kucari ada. Segera kubuka halaman yang terdapat pengumuman pemenang lomba. Segala Puji bagi Allah, namaku tertulis jelas sebagai pemenang pertama untuk kategori cerita anak. Aku bahagia. Kusodorkan uang sepuluh ribu, ke seorang staf bagian iklan untuk mengganti harga koran itu. Dia menolak, dan memberikannya gratis. Subhanallah. Sepertinya roda nasibku sedang berada diatas. Mendapat kesempatan berangkat ke tanah suci secara cuma-cuma dan menjadi juara lomba. Hadiahnya lumayan, sepuluh juta rupiah. Kurasa lebih dari cukup untuk bekal ke tanah suci. ”Ternyata Allah tidak sekadar menyuruhmu berangkat haji, tapi juga memberi sangu,” ujar Om Maman pemilik kos saat aku pinjam kain Ihramnya. Buatku ini anugerah yang tiada terkira. Padahal beberapa bulan sebelumnya aku sempat mengeluh tentang pekerjaan. Dalam hatiku tumbuh keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah tidur dan selalu mendengar keluh kesah hambanya. Tapi sifat dasar manusia memang selalu gampang mengeluh dan tidak sabar. Padahal dalam surat Al Baqaroh ayat 153 dikatakan ” Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,
13
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Aku ingat surat Alam Nasyrah ayat 5 yang berbunyi ”Bahwa sesungguhnya dibalik kesulitan itu ada kemudahan.” Juga surat At Thalaq ayat 3 yang artinya : ”Dia memberi rezki dari arah yang tiada disangka-sangka.” Di buku motivasi pun kubaca bahwa di alam ini berlaku hukum keseimbangan. Kalau kita berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan, begitu pula sebaliknya. Timbangan manusia seringkali berbeda, namun timbangan Tuhan selalu sama. Bahkan Tuhan melipatgandakan pahala umatnya. Itulah jawaban kenapa orang yang didzolimi, pasti dikabulkan doanya. ###
14
5. Gunung Dosa sang Ajudan Petugas haji akan berangkat ke tanah suci satu minggu sebelum kedatangan kloter pertama jamaah haji. Untuk persiapan dan supaya keberangkatan tidak terganggu, para petugas dikarantina di asrama haji Pondok Gede. Aku satu kamar dengan Kohar, Gozali, ajudan seorang Menteri dan Matali, seorang tenaga medis yang sudah tiga kali ke tanah suci. Diantara ketiga orang teman sekamar itu, sosok Gozali menarik buatku. Dia menyatakan, naik haji tahun ini atas rekomendasi seorang Menteri. Dia bercerita tentang manis getirnya menjadi ajudan Menteri. Dari sisi materi dia merasa lebih dari cukup. Setiap kunjungan dengan pak Menteri selalu saja ada uang saku dari pejabat setempat dan service tambahan. ”Selama ini saya selalu dapat service untuk laki-laki, dari Sabang sampai Merauke saya sudah mencicipi semua hidangan,” katanya. Setiap ke daerah, kata Gozali, dia selalu disediakan penginapan dengan fasilitas mewah lengkap dengan teman tidurnya. Dia tidak bisa menghitung berapa banyak perempuan yang pernah dikencaninya Kami tersenyum antara heran dan ngeri. Bahkan Kohar geleng-geleng sambil istighfar. ”Masya Allah,” ujarku. Kubayangkan dosa yang akan dipertanggungjawaban di pengadilan Tuhan. Aku merenung sebentar. Pantas negeri ini tidak maju-maju jika pejabat pusat, ajudan, pejabat daerah memiliki kelakuan seperti itu. ”Mereka kasih service tidak gratis, sebagai ajudan saya bisa memberi bisikan pak Menteri dalam membuat kebijakan, bisikan saya malah lebih manjur daripada staf Ahli,” lanjut Gozali. Menurut Gozali, bantuan ini dan itu dari pusat cepat turun kalau ada service tadi. Kami gelenggeleng, rupanya semua sudah kongkalingkong. ”Saya ingin tobat setelah naik haji nanti,” ujar Gozali menyesal. Gozali merasa sudah banyak berbuat dosa. Dia ingin tobat dari perilakunya selama ini. Menurutnya, setelah pergantian Menteri, semua berubah. Menteri yang baru lebih bersih, dan tidak bisa disuap dengan apa pun. Dia berasal dari sebuah partai berslogan bersih. Tapi Gozali sudah kadung kecanduan. Dia tidak bisa dengan cepat menyesuaikan
15
style ”bos”nya. Hobi jajannya masih jalan meski dengan cara sembunyisembunyi. Suatu ketika, pak Menteri mendapat informasi dari seseorang tentang kebiasaan buruknya. ”Untung saya tidak dipecat. Bapak minta saya bertobat. Maka Bapak mengirim saya menjadi petugas haji, sekalian haji. Dosa saya mungkin setinggi gunung Uhud, saya ingin minta ampun pada Tuhan di tanah suci. Saya tidak tahu apakah Tuhan masih mau mengampuni saya yang sudah bertahun-tahun bergelimang dosa kepada istri dan anak, juga kepada Tuhan,” Gozali meneteskan air mata. Kami turut sedih. Malam larut dalam kesunyian. Matali menghampiri dan menepuk pundaknya. ”Allah Maha Pengampun, insya Allah akan menerima taubat bapak, asal dengan taubatan nasuha,” ujarnya. Ruangan pun menjadi senyap larut dengan keharuan. Mata Kohar terlihat merah. Suara jangkerik menambah kedalaman malam. Suasana hening sejenak. ”Seperti kena kutukan, beberapa bulan lalu saya kena penyakit aneh. Bila kencing terasa sakit di kemaluan. Sudah berobat ke belasan dokter maupun pengobatan alternatif tapi tidak ada hasilnya. Bahkan harta saya nyaris habis untuk mengobati penyakit itu. Apakah itu bala’ yang harus saya tanggung setelah bertahun-tahun tak bisa mengendalikan nafsu,” lanjut Gozali. Aku pun bersyukur, bila Gozali mau taubat, mudah-mudahan penyakit anehnya segera hilang. Lebih bersyukur lagi karena masih ada pejabat yang menjunjung moral sehingga akan menyelamatkan negeri ini dari adzab yang pedih. *** Malam menjelang keberangkatan, beberapa sanak familiku berkunjung. Mereka menyampaikan pesan sekalian nitip doa. Aku siapkan buku catatan agar mereka menulis sendiri permintaannya. Bermacam-macam permintaan tercoret di buku itu. Ada yang minta rejeki, kesehatan, jodoh hingga menjadi lurah. Perangin Angin, datang bersama istrinya. Mereka naik angkot, dan tiba di kamarku hampir tengah malam. Dia teman dekatku sejak kuliah di pers kampus. Dia tidak nitip doa apa pun. Padahal sudah bertahun-
16
tahun mereka belum dikaruniai anak, ekonominya boleh dibilang paspasan. ”Nggak nitip doa Bang,” tanyaku heran. Dia menatap istrinya sejenak sebelum menggeleng. ”Minta anak, rejeki atau apalah,” kataku agak memaksa. ”Kalau itu, tiap hari aku sudah minta lima kali,” jawabnya singkat. ”Kata orang berdoa di tanah suci, itu mustajab, insya Allah akan dikabulkan Tuhan,” desakku. ”Ya sudahlah, doakan Abang dan istri menjadi orang yang pandai bersyukur saja,” katanya. ”Itu saja,” kejarku. Dia mengangguk sedikit senyum. Aku diam. Sederhana sekali permintaan teman dari Karo ini. Sekilas dalam pikiranku permintaannya biasa saja. Setelah mereka pamit, malamnya aku merenung. Aku sadar, menjadi orang yang bersyukur memiliki kedalaman makna dengan implikasi yang luar biasa. Aku jadi ingat ayat Tuhan yang berbunyi ” Barangsiapa yang bersyukur kepada Ku akan kutambah nikmatnya, dan barang siapa yang kufur atas nikmat Ku, sesungguhnya adzabku amat pedih.” Berarti semua keinginan bisa terkabul jika kita pandai bersyukur. *** Kabut tipis membalut angkasa ketika para petugas menyiapkan barang bawaannya. Jelang berangkat ke bandara, tiba-tiba pak Waluyo mengirim sms ke hapeku. Katanya dia sudah di parkiran asrama. Aku segera menemuinya di sebuah lobby kecil. Dia datang bersama istrinya dan anaknya paling bontot. Lucu sekali. ”Maaf saya baru bisa ke sini sekarang. Sibuk keluar kota kemarin,” kata pak Wal. ”Nggak apa-apa pak, terimakasih mau berkunjung,” jawabku. ”Begini, saya mau memberi sedikit uang saku untuk kebutuhanmu di sana, ini sudah saya tukar dengan riyal, semua ada 2000 riyal,” katanya sambil menyerahkan uang itu. Aku trenyuh tak menyangka sama sekali akan mendapat sangu darinya. Kemarin sempat berharap tapi karena tak kunjung tiba, harapan itu pudar. Setelah aku mendapat hadiah lomba, harapan itu sudah kukubur
17
dalam-dalam. Tapi karena kebesaran Tuhan, setelah kuikhlaskan malah harapan itu datang menjadi kenyataan. Aku senang menerimanya. ”Ini telepon genggam saya memakai nomor internasional jadi ndak usah ganti nomor disana. Nanti tagihannya saya bayar di sini,” ujar bu Waluyo. ”Terimakasih bu, semoga Allah memberkahi rejeki Bapak dan Ibu,” Aku menerima uang dari pak Wal. Uang kertas recehan mulai dari 1 hingga 100 riyal. ”Oh ya satu lagi Zul, kamu kan masih bujang. Dulu ada karyawan di perusahaan Periklanan Bapak. Dia sekarang bekerja sebagai pramugari di sebuah maskapai Arab Saudi, orangnya baik dan cantik, namanya Faridah. Barangkali cocok, ini nomor teleponnya,” kata Pak Wal. Meski usia sudah setengah baya, tapi urusan cewek jiwanya tak kalah dengan yang muda. Tak berapa lama kemudian mereka berdua pamitan. Aku salut dengan kebaikan keluarga itu. Wah tambah lagi misiku, berkenalan dengan Faridah. Kata-kata pak Wal bahwa dia cantik dan baik membuatku penasaran seperti apa orangnya. Padahal standar cantik ukuran pak Wal selalu diatasku. Pak Wal menitipkan sepucuk surat dari Harun yang belum sempat kutemui. Selain bisnis media, pak Wal punya perusahaan advertising. Bagian iklannya rata-rata gadis muda dan menarik. Tak heran, Rizal senang banget main di situ. Rizal naksir berat dengan Susan, seorang media planner. Sayang Susan menolaknya mentah-mentah. Tapi Rizal berkulit badak. Dia baru mengibarkan bendera putih jika Susan sudah menikah. ”Kalau sudah menikah, kutunggu jandamu,” celutuk Bondi saat itu. Kami tertawa, Rizal diam tak berkutik. ”Zul, ayo berangkat,” teriak mas Imam memudarkan lamunanku. Kuangkat koper dan perlengkapan lainnya. Sebuah bis sewaan menjemput kami. Pasukan biru muda, warna seragam petugas haji Indonesia pun memasuki bus. Di dalam, seorang pegawai Depag, berjenggot panjang membaca doa. Bus pun melenggang meninggalkan asrama haji menuju embarkasi haji bandara Sukarno- Hatta Tangerang. Di perjalanan, kubuka surat dari Harun. Dia mengabarkan bahwa pekerjaan sampingannya kini tak perlu dikerjakan di kantor. ”Untung mas Zul ngingetin aku tentang kisah Umar bin Abdul Azis. Sejak aku
18
kerjakan di rental, orderku makin bertambah banyak. Jadi sekarang bisa beli komputer sendiri dan mengerjakan pekerjaan di rumah. Terimakasih mas, semoga dapat menjalankan tugas dengan baik dan pulang sebagai haji yang mabrur,” Mataku berkaca-kaca. Aku terharu padanya. Dia menjadi tulang punggung keluarga sejak ayahnya meninggal beberapa waktu silam. Aku bangga padanya ternyata dia tidak tersinggung dengan kata-kataku. ###
19
6. Bandara King Abdul Aziz Sesampainya di bandar udara Sukarno-Hatta, kami berangkat menuju Arab Saudi menggunakan pesawat reguler Garuda Indonesia. Dari bandara take off jam 18.00 dan dijadwalkan tiba di bandara King Abdul Aziz, Jeddah pukul 24.00 waktu Arab Saudi. Menurut kru pesawat, perjalanan ke Jeddah ditempuh dalam waktu 9 jam dengan perbedaan waktu antara Arab Saudi dan Indonesia sekitar 4 jam. Setelah terbang beberapa jam di dalam pesawat kami mulai kedinginan. Untuk penerbangan jarak jauh, diperlukan ketinggian tertentu agar mencapai kecepatan maksimal. Pilot mengumumkan pesawat berada di ketinggian mencapai 40 ribu kaki diatas permukaan laut. Tak heran, butiran embun es menempel di kaca. Di luar banyak gumpalan awan bersalju. Di dalam pesawat petugas banyak yang terlelap dalam mimpinya. Ada satu dua yang terjaga maupun berbincang dengan teman sebangkunya. Sekali waktu aku perhatikan layar teve di depan. Tergambar posisi dimana pesawat saat ini berada. Saat kulihat posisi pesawat di atas wilayah udara India. Pramugari dengan rambut sebahu berkulit bersih dengan ramah melayani kami. Mereka membagikan makan malam. Penumpang yang tidur pun dibangunkan untuk mengisi perut. Wah menunya cocok, nasi goreng dengan ayam goreng dan telur dadar. Santapan yang nikmat di saat udara dingin. Lepas makan, kuperhatikan Soleman tidur mendengkur dua deret di depanku. Badrun memejamkan mata sambil menikmati irama musik dari head phone yang disediakan maskapai. Kohar, berada tiga deret di belakangku sibuk berdzikir. Ini kali pertama dia naik pesawat. Sejak berangkat hingga hampir sampai tujuan ia masih memutar-mutar tasbihnya. Mulutmya komat kamit. Tidak jelas wirid apa yang tengah dibacanya. Kapten pilot memberitahu dalam beberapa saat lagi pesawat akan mendarat di bandara King Abdul Aziz. Rasa syukur menyelimuti kami. Kulihat gemerlap lampu kota Jeddah di malam hari. Sungguh kota yang indah. Lampu warna-warni menghiasi bangunan dan jalan-jalan yang
20
tertata rapi. Pesawat pun berputar sebentar mencari sudut untuk landing. Alhamdulillah, itulah kalimat yang terucap saat menginjakkan kaki di bandara Internasional di Jeddah. Akhirnya sampai juga aku di negeri kaya minyak. Kami berkumpul di suatu tempat yang disediakan untuk jamaah Indonesia. Nampak Dubes Indonesia untuk Arab Saudi dan Kesultanan Oman beserta staf menyambut kedatangan kami. Haru biru sungguh terasa, terutama bagi mereka yang baru pertama kali ke tanah suci. Kulihat Kohar menangis sesenggukan sambil sujud syukur. Soleman, matanya berkaca-kaca, tangannya kepayahan mengangkat barang bawaannya yang super banyak. Usai bersalam-salaman dengan Dubes kami istirahat menunggu bus jemputan. Angin bertiup sepoi-sepoi. Suasana bandara masih lengang. Hanya nampak beberapa rombongan petugas dari Mesir dan Turki. Kedua negara itu jumlah jamaah hajinya terbanyak setelah Arab Saudi dan Indonesia. Lalu-lalang pria bersorban dengan gamis putih panjang menghiasi malam di bandara. Mereka adalah petugas bandara dan imigrasi kerajaan Arab Saudi. Selain itu terdapat sekumpulan lelaki berbadan besar dengan pakaian wearpack hijau sibuk mengangkut tas jamaah yang baru datang. Tampaknya mereka bukan orang Saudi. Dari situs haji pernah kubaca biasanya pemerintah Arab Saudi setiap musim haji mendatangkan tenaga angkut dari Syiria, Mesir atau Irak. Umumnya masih muda dengan postur tinggi tegap dan tenaga yang kuat. Sedangkan petugas kebersihan dari negara-negara miskin di semenanjung Teluk seperti Yaman. Kebanyakan sudah berumur berseragam wearpack biru. Menurut literatur yang kubaca, bandara King Abdul Azis merupakan pintu masuk terbesar setiap musim haji. Sekitar 90 % jamaah haji masuk melalui bandara yang luasnya 51 hektar ini. Selebihnya, lewat Bandara Madinah, Riyad dan Dammam. Disamping itu ada pula yang masuk lewat pelabuhan yakni Pelabuhan Jeddah, Yanbu dan Dammam. Yang menarik, airport haji ini dibangun dengan bentuk kemah dari bahan Fiber Glass. Jumlahnya ada 210 kemah yang mampu menahan panas dan hujan serta perubahan udara dan ditutup bahan. Fasilitas yang disediakan cukup lengkap. Mulai kamar mandi, tempat wudlu yang
21
terpisah antara pria dan wanita, money changer, toko makanan, dan sebagainya. Meski tampak besar, namun bandara ini cukup terbuka sehingga angin malam berhembus menusuk tajam sampai ke tulang. Dingin sekali laksana badai padang pasir. Tak hayal, kami pun menggunakan jaket tebal untuk mengantisipasi cuaca yang cepat berubah. Khusus jamaah haji Indonesia, dibangun posko kesehatan bagi jamaah yang sakit di bandara. Tidak ada negara lain yang memiliki fasilitas ini. Kurebahkan kakiku di karpet merah merenggangkan urat syaraf. Para petugas sibuk dengan aktifitas masing-masing. Kulihat Kohar datang membawa air mineral. Dia membeli seharga 2 riyal dari toko Husein di pojok bandara. Satu riyal sekitar dua ribu lima ratus rupiah. ”Lima ribu perak. Mahal ya, di tempat kita cuma dua ribu rupiah,” ujarku. ”Kata kakekku yang sudah haji 10 tahun lalu harganya dulu juga 2 riyal,” sahut Badrun. ”Memang, 10 tahun lalu 1 riyal cuma enam ratus perak, sekarang dua ribu lima ratus rupiah,” ujar mas Imam. ”Kalau gitu, mata uang kita yang terdepresiasi, mata uang riyal stabil,” aku menyimpulkan. Mas Imam mengiyakan. Pondasi ekomomi negara Kerajaan ini cukup kuat sehingga mata uangnya tidak mengalami penurunan selama 10 tahun. Tak lama kemudian bus bertuliskan SAPTCO yang menjemput kami, tiba. Kepala rombongan minta petugas masuk sesuai dengan nomor bus. Di Indonesia biasanya sopir berada di kanan dan jalan di sebelah kiri, tapi di Saudi sebaliknya. Bagi yang jarang mengemudi di sisi kanan terlihat kaku, meski lama-kelamaan terbiasa. Bus pun meluncur menuju Madinatul Hujjat. Madinatul Hujaj merupakan sebuah komplek asrama yang sangat luas di kawasan yang tidak jauh dari Laut Merah. Tempat ini bisa menampung 10 ribu orang. Itulah alasan kenapa pemerintah masih menyewa asrama ini tiap musim haji. Konon harga sewanya relatif murah. Tempat ini hanyalah tempat transit atau menginap semalam. Kami pun beristirahat sebentar untuk menyelonjorkan kaki di kamar. ***
22
Oh ya, hampir lupa. Aku harus membuat laporan perjalanan ke tanah suci untuk majalahku. Pak As berpesan untuk melaporkan berita melalui telepon setelah sampai di Jeddah. Segera kuaktifkan hape yang dipinjami bu Wal. Aku menelpon pak As yang kebetulan di kantor. Dini hari waktu Saudi, bertepatan dengan jam kerja di tanah air. ”Alhamdulillah pak, saya sudah di Jeddah, sekarang di asrama haji Madinatul Hujjaj,” ”Oh syukurlah, saya lagi di depan komputer, bisa anda laporkan kondisi di sana bagaimana?” Aku pun menceritakan kondisi perjalanan. Mulai dari keberangkatan dari Pondok Gede, ke bandara Sukarno Hatta, lalu tiba di bandara King Abdul Azis dan suasana di Madinatul Hujjaj. Malam menjelang tidur aku bersyukur sampai di tanah suci dengan selamat. Kubaca doa, Alhamdulillahi Robbil Aalamiina Hamdan Yuwaafi Ni’mahu wa yukaafi Mazidahu. “Segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam, pujian yang menyamai nikmat-Nya dan menandingi keutamaanNya.” ###
23
7. Seteguk Air Zamzam Embun pagi hari menghiasi asrama haji yang luas itu. Badanku mulai segar setelah istirahat semalam di Madinatul Hujjaj. Sesuai jadwal para petugas akan berangkat umroh ke Mekah. Setelah mandi kami ramairamai mengenakan kain ihram. Seperti biasa, yang senior membimbing yunior. Mas Imam membantuku mengenakan ihram. Agak kikuk juga karena saat mengenakan ihram tak ada pakaian lain yang menempel di badan. Pak Abu sibuk membantu Soleman. Yang lain sudah siap, tinggal mereka berdua. Soleman salah melulu. “Orang tua pak, harap maklum,” canda Kohar. Akhirnya Soleman kelar juga setelah mas Imam turun tangan. Kami pun siap berangkat. Koper kita bawa sekalian, karena selepas umroh petugas haji daker Jeddah langsung menuju ke Wisma Haji Indonesia di Madinah Street, dekat pusat kota Jeddah. Perjalanan dari Jeddah ke Mekah memakan waktu satu jam dengan jarak tempuh sekitar 80 kilometer. Perjalanan siang hari membuatku lebih jelas mengamati secara detil kota yang berjuluk Ratu Laut Merah ini. Terik panas cukup menyengat kulit. Kami melewati jalanan yang lengang bak jalan tol. Tak ada lubang. Jeddah kota yang bersih dan terawat. Biasanya kemacetan hanya terjadi di jalan protokol dalam kota, itu pun mobil masih bisa berjalan. Di perjalanan kami tidak menjumpai baliho iklan yang memajang gambar orang. Hanya gambar produk dan keterangan seperlunya. Tak banyak jumlahnya. Aku menemui sebuah gambar patung kuda di jalan arah bandara Jeddah. Tapi kudanya terbelah atau badannya tidak utuh, hanya kepala dan bagian belakang saja. Rupanya warga Saudi memaknai hadits Nabi. ”Barang siapa membuat gambar atau patung yang menyerupai ciptaan Allah, maka di hari kiamat akan diminta menghidupkannya.” Ketika sampai diluar kota, terlihat sebuah pemandangan berbeda di antara gurun yang terlewat. Tampak sebuah area yang sudah dibangun tiang-tiang listrik dan pembuangan air. Jalannya pun sudah diaspal menuju jalan utama yang kulewati. Anehnya, tak ada rumah sama sekali.
24
”Itu akan dibangun pemukiman,” ujar pak Mahmud. Oh, aku baru ngeh, ternyata tata kota di Arab Saudi sudah dipikirkan matang. Kalau sarana sudah dibuat, membangun rumah tidak ada masalah. Lain banget dengan di Jakarta. Sudah pemukiman penuh, jalanan sering digali untuk pemasangan kabel. Akhirnya kota menjadi semrawut. Mendadak bus yang kutumpangi berhenti sejenak. Dua orang polisi berpakaian coklat bertugas di perbatasan atau check point. Mereka menanyakan identitas kami. Kepala rombongan menjelaskan dengan bahasa Arab sambil menunjukkan kartu identitas. ”Tarikh-tarikh (jalan-jalan)” kata petugas. ”Itu namanya Askar, atau polisi,” kata mas Imam di sampingku. Di Saudi setiap perbatasan kota ada check point untuk memeriksa identitas orang yang akan masuk. Aku mengangguk. Dalam hatiku berkata alangkah enaknya bepergian di Indonesia, keluar masuk kota lain bisa seenaknya. Hal yang tidak mudah dilakukan di Arab Saudi. Kudapati gerbang dengan atap sebuah mushab yang terbuka bertuliskan kaligrafi Arab yang indah. Mas Imam, tak bosan-bosan menjelaskan makna setiap tempat yang kami lalui. ”Ini adalah batas kota suci, wilayah ini hanya boleh dimasuki oleh kaum muslim. Nah, jalan itu menuju Thaif di luar tanah haram. Non muslim harus mengambil jalur itu.” ”Kalau ada orang non muslim masuk tanah suci gimana mas, kan nggak ada pemeriksaan KTP,” tanyaku. ”Kalau berani silakan,” jawab Mas Imam tersenyum lirih. ”Saya pernah dengar cerita,” kata mas Imam lagi,” Pernah ada seorang driver dari Filipina, non muslim. Meski tahu dilarang dia nekat, melewati gerbang batas tanah suci. Tapi dalam perjalanan perasaannya selalu cemas, seolah-olah ada yang mengejarnya. Akhirnya dia mengambil jalan ke luar tanah suci. Setelah itu, baru dia merasa nyaman,” tambahnya. ”Malaikat yang ngusir itu,” celutuk Kohar. ”Mungkin,” jawab mas Imam. Tak terasa bus memasuki sebuah terowongan. Di kanan-kiri terowongan disinari lampu-lampu jalan yang terang benderang. Terowongan ini amat panjang. Kata mas Imam, sebentar lagi bus sampai di masjidil Haram. Setelah hampir 3 kilometer melewati terowongan, bus pun berhenti di sebuah halte. Kami pun keluar dan
25
menaiki tangga. Masya Allah, di atas ternyata tepat di halaman Masjidil Haram, Mekah. Setelah menaruh sandal di tempat yang disediakan, aku masuk ke dalam masjid. Ada beberapa pria bersorban penjaga masjid. Mereka memeriksa tas yang dibawa jamaah. Tidak disediakan tempat penitipan barang. Masjidil Haram sangat besar dan halamannya luas. Orangorang masuk dari berbagai pintu menuju masjid yang indah itu. Allahu Akbar. Akhirnya kusaksikan dengan mata kepala sendiri bangunan Kabah nan megah. Tempat kiblat dan bersimpuh umat Islam seluruh dunia selama ini. Kabah yang agung peninggalan Nabi Ibrahim berdiri kokoh. Kiswah hitam yang menyelubungi, mendebarkan hati ini. Teringat akan kisah Raja Abrahah yang ingin menghancurkan Ka’bah saat seorang Rasul yang mulia terlahir ke dunia. Aku tak kuasa menahan air mata. Kubiarkan tetesannya mengalir deras sembari kusujudkan diri yang hina ini di lantai masjid. Rasa syukur tak terkira karena bisa memenuhi panggilanMu ya Rabb. Kurasakan keagungan-Mu ya Tuhan. Suasana masih lengang, sehingga ibadah umroh pun berjalan lancar. Hanya jamaah dari beberapa negara yang kami jumpai. Saking sepinya aku pun dapat mencium Hajar Aswat. Segelas air Zam-Zam yang disediakan di tempat Sai, menyegarkan tenggorokan ini menjadi akhir ibadah umroh. Air Zam-Zam ini mengingatkan pada kisah sumur Zamzam yang ditemukan kembali oleh Abdul Muthalib. Ketika kakek Nabi sedang tidur di Hijir Ismail, dia mendengar suara yang menyuruhnya menggali tanah. Dia bertanya, “Tanah yang mana?” Keesokan harinya ketika dia tidur di tempat yang sama dia mendengar suara menyuruhnya menggali madhnuunah (yang berharga). Dia bertanya, “Benda berharga yang mana?” Esok harinya suara yang sama menyuruhnya menggali thayibah (yang baik). Dia bertanya, ” Benda baik yang mana?” Akhirnya pada hari yang keempat dikatakan kepadanya, “Galilah Zamzam!” Dia bertanya, “Apa itu Zamzam?” Dijawab, ”Air yang tidak kering dan tidak meluap. ” Setelah itu Abdul Muthalib diberitahu tempatnya lalu dia menggali tempat itu. Orang-orang Quraisy bertanya kepadanya, “Apa yang kamu kerjakan hai Abdul Muthalib?” Dia menjawab, “Aku diperintahkan menggali Zamzam.”
26
Setelah itu, dia dan orang-orang Qurasiy melihat sebentuk rusa, merekapun yakin yang dilakukan Abdul Muthalib benar. Abdul Muthalib terus menggali hingga ketemu dua patung rusa yang terbuat dari emas, keduanya adalah rusa emas yang pernah dipendam suku Jurhum ketika mereka diusir dari Mekah. Inilah sumur Ismail bin Ibrahim as. Dengan digalinya sumur Zamzam sesuai petunjuk Allah, wibawa Abdul Mutalib di mata kaumnya bertambah. Sejak itu Abdul Mutholib menjadi tokoh Quraisy yang disegani. ###
27
8. Kohar Ditahan di Bandara Petugas haji non kloter ditempatkan di tiga daerah kerja (daker) yakni daker Mekah, Jeddah dan Madinah. Selepas umroh, petugas haji daker Mekah langsung menuju ke wisma haji Mekah, petugas daker Madinah menuju Madinah dan petugas daker Jeddah kembali ke Jeddah. Masing-masing daker dipimpin oleh Kepala Daker, biasanya setingkat pejabat eselon tiga. Wisma haji Indonesia Jeddah, disitulah kami akan tinggal selama bertugas di Jeddah. Letaknya di Madinah Street. Wisma berlantai delapan ini fasilitasnya memadai. Kamar yang kutempati untuk enam orang dengan tempat tidur bersusun. Petugas media center Jeddah yang berjumlah 13 orang menempati kamar di lantai tiga. Sesuai jadwal, hari ini kloter pertama jamaah haji Indonesia tiba. Artinya, saatnya petugas haji menunaikan tugasnya melayani jamaah. Konsentrasi petugas Daker Jeddah saat keberangkatan jamaah haji adalah di bandara King Abdul Azis. Para petugas menggunakan sistem shift untuk menjaga kondisi tubuh. Apalagi di Arab Saudi perubahan iklimnya sangat ekstrim. Hari itu, aku, Kohar dan Bang Badrun mendapat giliran shift pertama dari pagi sampai sore. Tugas utama media center melakukan peliputan berita selama di Arab Saudi untuk dipublikasikan di situs informasi haji milik pemerintah dan di media masing-masing. Untuk peliputan, kami disediakan sebuah mobil dengan driver bernama Syaiful. Dia mukimin, orang Indonesia yang bekerja di Arab Saudi. Pria asli Madura ini tinggal bersama istrinya di Jeddah selama 5 tahun. Selain fasih bahasa Arab, Syaiful juga hafal jalan di Jeddah. ”Kalau musim haji tiba, kebanyakan mukimin ingin menjadi petugas,” cerita Syaiful. Menurutnya, para mukimin ada yang bekerja sebagai sopir, penerjemah, tukang masak dan sebagainya. Pengetahuan wilayah dan bahasa Arab menjadi nilai tambah mukimin. ”Kita diseleksi di Konjen, tidak semuanya lulus,” ujar Saiful seraya melaju mobilnya. ”Alasannya apa jadi petugas?” tanya Kohar. ”Ya fulus (uang), kalau kita bertugas digaji tujuh puluh riyal perhari sebulan 2000- an riyal, kalau ada perjalanan dinas ke luar kota ada
28
tambahan, ya minimal sebulan dapat 2500 riyal. Kalau driver, gaji kita hanya seribu riyal. Sementara biaya hidup di sini tinggi. Untuk kontrak rumah saya saja sebulan empat ratus riyal,” kata Syaiful. ”Apa majikan mengijinkan?” tanyaku. ”Tergantung majikannya, kalau pengertian dikasih cuti dua bulan. Kalau yang kaku ya nggak. Tapi ada juga yang nekat keluar dari pekerjaan, terutama yang gajinya kecil. Apalagi pembantu, gajinya hanya 600 riyal, mendingan jadi juru masak untuk petugas,” jelasnya. ”Oh ya sebentar lagi kita sudah masuk bandara. Di depan ada check point, tolong disiapkan kartu ID-nya,” Syaiful mengingatkan. Aku langsung memegangi kartu yang terpasang di saku baju. Bang Badrun, mencari kartunya. ”Oh , ini dia di tas, syukurlah,” ujarnya lega. ” Waduh, kartuku ketinggalan,” teriak Kohar panik. Kami kaget, bagaimana bisa ID Card Kohar ketinggalan. Padahal sebelum berangkat dia yang berteriak paling kencang, mengingatkan kita untuk membawa kartu ID. ”Wah gimana nih, bisa dihukum,” ujar Syaiful kebingungan. Sementara mobil terus meluncur. Beberapa meter lagi pos pemeriksaan. Dua askar ceking, satu petugas bersorban putih dan dua tentara berbadan kekar dengan kumis tebal menghentikan mobil kami. Ini negeri orang, nyali kami tidak sebesar di negeri sendiri. Apalagi nyali si Kohar, dia mulai gelisah. Mobil berhenti dan kaca dibuka. Kami pun menunjukkan identitas. Giliran si Kohar, tentara Arab memintanya turun. Si Kohar masih diam, dia tidak paham bahasa Arab. Syaiful mecoba menjelaskan pada tentara itu. Bahasa Arabnya lancar, jadi nyambung. Sepertinya dia tidak bisa meyakinkannya. Syaiful turun dari mobil, bicara dengan petugas bersurban. Namun usahanya menemui jalan buntu. Dengan muka lesu Syaiful masuk mobil. “Mas Kohar turun dulu ya, nanti ada petugas Daker yang menjemput,” ujar Syaiful. Kohar tampak ketakukan, ia keluar mobil. “Jangan lama-lama ya,” pintanya memelas. ’Insya Allah,” jawab Syaiful. Mobil kami pun masuk bandara. Kulihat Kohar digiring dua orang tentara. Kami tidak tahu apa yang akan menimpanya.
29
”Tentara itu akan menghukum Kohar dijemur matahari, tapi saya minta keringanan ke petugas bandara, akhirnya Kohar hanya disuruh berdiri mematung di gardu sampai petugas Daker datang menjemput,” jelasnya. ”Ga bilang lupa bawa kartunya,” tanya Badrun. ”Awalnya saya bilang begitu, tapi mereka nggak mau tahu, polisi disini tidak ada ampun dan tak bisa disuap,” jelas Syaiful. Oh sungguh berbeda dengan di negeri kita dimana hukum bisa dijualbelikan, batinku. Sesampai di bandara, kami menuju kantor petugas Daker untuk melaporkan kejadian yang menimpa Kohar. Untung ada pak Fauzi, kepala Daker Jeddah. Dia lantas membuat sepucuk surat dengan tulisan Arab. Surat itu diserahkan ke stafnya untuk diberikan pada petugas check point bandara. Sayang, stempelnya tertinggal di wisma haji Jeddah. Terpaksa, Syaiful harus mengambil stempel dulu ke sana. ”Wah, nasib Kohar hari ini lagi apes, disandera orang Arab,” celutuk Badrun. ”Tapi ini berita yang menarik untuk ditulis,” sahutku. Bang Badrun nyengir. Akhirnya tinggal aku dan Badrun bertugas di bandara. Kloter pertama dari Jakarta telah tiba. Mereka berkumpul di karpet dan terlihat kelelahan. Aku menghampiri kepala rombongan untuk mengetahui kondisi jamaah. Sementara bang Badrun wawancara dengan seorang jamaah cilik. Petugas lain pun memberikan pelayanan sesuai bidang masing-masing. Jelang siang, aku duduk rebahan di kursi kosong. Seorang pria tua Arab bagian kebersihan bandara menghampiriku. “Assalamualaikum,”sapanya. “Waalaikum salam warohmatullah,” jawabku. “Keifa Haluk, (apa kabar)” “Khoir (baik) Alhamdulillah,” jawabku dengan bahasa Arab pas-pasan. ” Hal anta Indunisia? (anda dari Indonesia)” ”Naam, wa anta (ya, anda)” ”Yamani, (Yaman)” “Fatarta ya khuy? (apa anda sudah makan pagi)” tanyaku melihatnya memegangi perut. ”La, (belum)” jawabnya ”Istanna syuwayyah, (tunggu sebentar)”
30
Pria tua dari Yaman ini nampak lapar. Segera kucari makanan yang tersisa di balai kesehatan. Aku berkenalan dengan petugas kesehatan, seorang ibu paruh baya, namanya bidan Dedeh. ”Ada makanan bidan?” tanyaku ”Belum makan ya?” dia balik tanya ”Sudah, itu ada petugas kebersihan dari Yaman minta makanan,” ”Oh sebentar, ini masih ada satu. Jatah kita sisa satu, karena ada satu dokter yang belum tiba. Dia datang menyusul, ” ujar Bidan Dedeh sambil menyodorkan nasi kotak. ”Terimakasih, salam untuk pak Dokter nanti,” kataku ngeloyor. Bidan Dedeh geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Aku tidak tahu apa maksudnya. Kudapati orang Yaman itu masih menunggu. Kasihan dia. ”Syukron,” katanya ketika menerima nasi kotak. Dari kejauhan kulihat Kohar dan bang Badrun berjalan mendekat. ”Hai Kohar, ahlan wa sahlan,” ucapku. Kohar diam, mukanya nyengir kuda. Wah ada cerita menarik dari si Kohar, pikirku. Aku dan bang Badrun duduk manis siap mendengarkan. Kohar masih membisu. ”Gue diomelin apa didoain ame tentara itu, nggak tahu. Pokoknye asal dia ngomong gue bilang amiin. Semakin gue bilang amiin semakin kencang ngomongnya,” ujar Kohar dengan logat betawinya yang kental. Kami tertawa terbahak-bahak. Konyol sekali. Tak jauh dari kami, seorang petugas haji berpakaian biru-biru mendekat, di bajunya tertulis nama Faisal. “Apa katanya?” tanya pemuda itu. Kohar pun mengucap beberapa kata yang masih ia ingat. Faisal malah tertawa. “Ya jelas, dia tambah jengkel. Pertama dia menasehati, tapi anda malah mengaminkan. Kedua dia mengomeli, anda masih mengaminkan. Dan ketiga dia memaki-maki, harusnya anda diam saja nggak usah diaminkan. Itu bukan doa,” katanya tertawa sambil pergi. “Sepertinya, dia baru saja dapat cerita lucu untuk teman-temannya,” sahut bang Badrun. “Darimana dia bang,” tanyaku. “Dia petugas haji dari rekrutmen kedutaan besar, para mahasiwa yang belajar di luar negeri terutama di Timur Tengah. Kalau ditanya darimana dia, saya tak tahu,” ujar Badrun. “Bahasa Arabnya sih boleh, tapi sok nya itu yang gue tak suka,” sahut Kohar jengkel.
31
“Sabar deh, ini kan dekat Mekah, ntar juga kena batunya,” kataku menghibur. Menurut informasi, selain petugas dari Indonesia, kedubes RI di Saudi juga melakukan rekrutmen terhadap petugas temus (tenaga musiman). Mereka berasal dari mahasiswa yang kuliah di negara-negara Islam dan para tenaga kerja Indonesia yang berada di Arab Saudi. Setiap tahun ratusan temus direkrut menjadi petugas haji. ###
32
9. Tragedi di Konjen RI Berita tentang undangan Kepala Konjen untuk menjamu petugas haji di kantor Konjen membuat kami senang. Konjen mengundang perwakilan dari semua bidang kerja, tapi khusus media center semua petugas diundang. Perlakuan ini membuat beberapa petugas dari bidang lain iri dengan keberadaan media center. Suatu ketika saat makan siang di wisma, duduk disampingku dengan seorang petugas medis. Namanya dokter Batubara. “Saya heran, tiap tahun yang namanya wartawan selalu dapat jatah banyak jadi petugas haji,” katanya menyantap nasi. “Padahal kerjanya nggak jelas, kalau pun ada berita paling dihandle 3 orang cukup, tiap daerah kerja satu orang. Ngapain bawa wartawan banyak-banyak. Mendingan kita-kita ini dari bagian kesehatan pekerjaannya lebih jelas,” tambahnya. Aku mendengarkannya sambil menahan diri. ”Apalagi wartawan itu seperti tamu istimewa. Dimana-mana diperlakukan khusus. Kalau ada menteri yang dicari wartawan, konjen juga. Belum lagi diberi mobil tersendiri dan bebas kemana-mana. Tiap tahun saya berangkat, paling tidak suka melihat ulah wartawan,” ”Bukankah wartawan juga diperlukan disini dok, siapa yang akan menginformasikan berita ke tanah air kalau bukan wartawan?” kataku. ”Benar, tapi tiga orang kan cukup. Yang bikin jengkel itu perlakuan istimewa yang diberikan petinggi Depag tiap tahun. Semua pejabat yang naik haji nyarinya wartawan, baru kalau sakit nyari dokter, kita bagian repotnya saja,” katanya ketus sambil meninggalkan ruangan. Aku tak mau berdebat dengan dokter Batubara. Aku tahu dia petugas medis sekaligus Kepala Kesehatan daker Jeddah. Ia baru saja berbincang dengan orang yang tidak tepat. Dia tidak tahu aku adalah wartawan anggota media center. Dia kenal dengan mas Imam dan sepertinya dia sangka aku pegawai Depag. Aku tidak mau menceritakan unek-uneknya kepada teman-teman MCH, nanti malah menambah masalah. *** Rekan-rekan MCH Madinah dan Mekah telah tiba ke wisma haji Jeddah, termasuk Cak Kandar dan Junaedi. Mereka datang memenuhi
33
undangan Konjen Jeddah. Untuk update berita, MCH menyisakan satu wartawan yang menjadi ”penjaga gawang” di tiap daker. Kami hanya mendengar dari mas Imam bahwa akan ada ramah tamah petugas haji dengan Konjen RI. Sesampainya di Konjen RI, ternyata beberapa perwakilan petugas haji lain telah datang. Ketika rombongan kami datang, nampak seorang petugas bagian kesehatan yang berbaju putih memandangiku. Oh dia dokter Batubara, dia terkejut setelah tahu kalau aku bagian tim MCH. Dia membuang muka ketika aku menoleh arahnya. Acara dibuka dengan sambutan Konjen, selanjutnya pak Mahmud mewakili MCH sekaligus Kadaker Jeddah yang berhalangan hadir. Dokter Batubara berbisik pada staf Konjen agar ia diberikan waktu untuk berbicara. ”Pak, saya sudah bertugas menjadi dokter haji lima kali. Semua berubah kecuali satu hal. Perlakuan panitia haji terhadap tim MCH tiap tahun sama, seperti anak emas. Padahal tim ini bukan tim inti. Jumlah mereka terlalu banyak sehingga menyedot anggaran yang besar, tidak sesuai output yang mereka hasilkan,” ujar Batubara dengan nada tinggi. Kami pun menyorakinya. Pak Mahmud berdiri untuk interupsi. Pak Konjen ikut tercengang. ”Tunggu pak Mahmud, saya belum selesai. Jadi usul saya jumlah petugas MCH itu dipangkas, idealnya tiap daker satu orang. Dengan demikian petugas itu akan fokus pada pekerjaannya sehingga perlakuan istimewa bisa dihilangkan,” kata Batubara. Ungkapan Batubara mendapat aplaus dari tim medis dan para mahasiswa yang tergabung dalam temus. Setelah itu, Pak Mahmud angkat bicara. ”Saya tidak setuju dengan usulan dokter, semua tim disini adalah tim inti. Wartawan itu pola kerjanya seperti itu. Kalau jumlahnya banyak, itu sudah di atur di PP, bapak nanya ke pak Menteri. Saya kira ini bukan forum yang tepat untuk berdebat, kita disini diundang ramah-tamah oleh pak Konjen,” jawab pak Mahmud. Kami mendukungnya. Tiba-tiba Faisal berdiri meraih microphone. ”Pak, saya lihat sendiri ada petugas MCH yang dihukum di bandara. Ada dua kesalahannya, pertama dia tidak membawa ID Card, kedua dia tidak bisa berbahasa Arab. Mestinya kita merekrut orang tidak asal. Ini kan membuat malu kita di mata pemerintah Saudi,” kata Faisal.
34
Tiba-tiba dari arah belakangku sebuah sepatu melayang menerpa muka Faisal. Aku menoleh, ternyata Kohar yang melempar. Mukanya merah karena dipermalukan di depan orang banyak. Beberapa orang temus berdiri menghampiri Kohar. Kami tak tinggal diam untuk melindungi Kohar. Faisal pun ikut memprovokasi teman-temannya. Dia maju dan sempat meninju muka Kohar. Kami pun mendorong mereka mundur. Melihat situasi kurang kondusif pak Konjen memerintahkan stafnya memisahkan kami. ”Berhenti, saya tidak mau rumah saya dijadikan tempat preman,” bentak pak Konjen melalui pengeras suara. Setelah situasi agak reda, pak Konjen memperlunak bicaranya. ”Saya mengundang kalian ke sini untuk beramah tamah bukan untuk berantem. Apalagi ada yang melempar sepatu segala. Kalian telah mempermalukan saya. Untuk itu, acara ramah tamah ini saya bubarkan saja. Saya akan tugaskan Kadaker Jeddah mendamaikan kalian dulu. Nanti kalau sudah akur saya undang lagi. Terimakasih silakan pulang,” ujar Konjen yang berasal dari militer itu. Dia marah besar dengan kejadian itu. *** Di wisma, mendapat cerita ada insiden di Konjen, Kadaker Jeddah, pak Fauzi sempat emosi. Dia berhalangan hadir karena kurang sehat. Kadaker mengumpulkan semua petugas yang terlibat dalam peristiwa di Konjen. Dia minta semua berdamai dan fokus pada pekerjaan masingmasing. ”Kalau ada petugas yang memancing provokasi lagi, saya akan menindak tegas. Hukuman paling berat yakni akan saya pulangkan,” ujar Fauzi. ###
35
!0. Cak Kandar dan Mutawif Untuk melupakan kejadian siang itu di Konjen, malam harinya Badrun mengajak kami jalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan Al Manar di barat daya Jeddah. Konon tempat ini dikenal sebagai pusat belanja yang murah, sekelas tanah Abang di tanah air. Rombongan MCH dari Mekah dan Madinah pun diajak keliling Jeddah. Selain tim MCH Jeddah, cak Kandar turut menumpang mobil kami. Sementara Junaedi semobil dengan rombongan Mekah dan Madinah. Cak Kandar adalah sosok paling sentimen padaku sejak di Jakarta. Namun di mobil dia tidak banyak bicara. Aku berharap cak Kandar yang sudah kepala empat, bisa bersikap dewasa dan tidak mengungkit-ungkit hal-hal yang sudah lewat. ”Meski sudah didamaikan pak Daker, sebenarnya akar masalah ini belum tuntas. Yakni kecemburuan petugas haji khususnya tenaga medis dan temus kepada media center. Saya rasakan itu sering terjadi setiap tahun,” ujar Badrun. ”Jadi kayak bom waktu, suatu waktu bisa meledak,” celutuk Kohar. ”Persis dan peristiwa di Konjen baru letupannya,” tegas Badrun. ”Zul, kalau aku masih muda dan gagah seperti kamu, sudah kupukul mulut si Faisal,” ucap pak Kandar di mobil. Aku diam saja tidak menanggapi, tidak mau terpancing provokasinya. ”Kohar kan teman dekatmu, masak kau tega melihatnya dipukul mahasiswa Mesir. Ini tugasmu Zul, kamu harus balas ke Faisal nanti,” Aku sempat emosi, tapi aku sudah tahu maksud cak Kandar. Dia ingin aku dikenai sanksi Kadaker. Aku tidak tertarik menanggapi kata-katanya. ”Itu urusan pribadiku dengan Faisal, Cak,” ujar Kohar kesal. Mobil kami pun sudah memasuki komplek perbelanjaan al Manar. Di musim haji komplek ini ramai dikunjungi jamaah. Biasanya untuk mereka yang berkantong tebal lebih suka ke Balad. Namun untuk dana yang terbatas, al Manar siap menyerapnya. Tersedia segala macam barang. Badrun mencari sepasang jam tangan untuk dia dan istrinya. Sementara Kohar membeli sepasang emas, katanya nanti akan diberikan pada calon istrinya, meski saat ini belum ada. Aku mengikuti bang Badrun membeli arloji dengan angka Arab. Aku beli sepasang seharga 150 riyal.
36
Karena kesibukan masing-masing kami pun berpisah. Kami janjian dengan teman-teman selepas magrib, makan di nasi kebuli Al Fahd, tidak jauh dari tempat parkir mobil. Ketika Adzan Magrib dikumandangkan aku baru selesai membeli beberapa sajadah untuk oleh-oleh keluarga di tanah air. Biasanya toko-toko di Saudi tutup saat Maghrib dan buka lagi ba’da Isya. Hanya rumah makan yang buka seusai sholat Magrib. Aku pun mencari masjid terdekat. Usai sholat, aku berjumpa Badrun dan Kohar. Mereka menanyakan keberadaan cak Kandar, Soleman dan Syaiful. Lantas kami mencari mereka. Kami temukan Soleman dan Syaiful keluar dari toko bang Maman, seorang pedagang dari Sumedang. ”Kami sholat di toko bang Maman, kalau ke masjid tidak keburu. Nanti malah ditangkap Mutawif,” ujar Syaiful. Badrun pun mengajak kami makan di nasi kebuli, setelah itu mencari cak Kandar. Namun aku tidak tega kalau ada teman yang belum ketemu sementara yang lain malah makan-makan. ”Udah biarin aja, cak Kandar memang suka menghilang nanti juga dia ke sini,” ujar Badrun. Badrun membiarkan aku mencari cak Kandar. Dia dan teman-teman menunggu di kedai nasi kebuli sampai kumandang Isya. Kutelusuri lorong-lorong toko yang padat. Bangunan di Jeddah nyaris sama bentuknya satu dengan yang lain. Tiba-tiba aku dengar suara yang sudah kukenal. Kudapati cak Kandar berada di sebuah pos kecil dikelilingi orang-orang Arab bersurban. Ternyata wartawan berkepala botak itu lagi mendapat masalah. Dia berdoa setelah itu sujud dan berdoa lagi menengadahkan kedua tangan ke atas mengikuti ucapan pria berkumis tipis. Ketika aku berdiri di depan pintu seorang berbaju gamis meminta cak Kandar membaca istigfar. Mereka adalah para Mutawif yang sedang menghukum cak Kandar. Seorang Mutawif dengan surban merah sepertinya pimpinannya. Aku mendekatinya. Dengan mengucap salam aku memberanikan diri masuk. Aku tahu cak kandar tidak bisa berbahasa Arab. Aku menanyakan apa yang terjadi. Mutawif bersurban merah itu seorang pemuda gagah dengan kumis tipis. Dia menjabat tanganku erat. Ia bercerita melihat Cak Kandar sedang berjalan-jalan ketika adzan dikumandangkan. Seorang muslim dilarang berkeliaran di Saudi saat waktu sholat tiba.
37
Petugas yang mengawasi hukum agama atau Mutawif memergokinya di jalan. Mereka pun membawa ke pos untuk dibina. Sayangnya mereka tidak bisa komunikasi sehingga pembinaan pada cak Kandar tidak lancar. Setelah mendapat penjelasan Mutawif, aku mengerti. Aku pun mengucapkan maaf atas kelakuan rekan kerjaku. Kemudian dia pun mengijinkan kami pulang. Di perjalanan cak Kandar berkali-kali mengucapkan terima kasih padaku. ”Maafkan Zul, selama ini aku berlaku kurang baik padamu, maukah kamu memaafkanku,’ ”Iya cak,” jawabku mengajaknya menemui teman-teman di warung nasi Kebuli. Kami datang saat teman-teman sudah hampir selesai. ”Ayo Zul, kita makan, Soleman ulang tahun, dia yang traktir,” teriak Kohar. Aku menyambutnya dengan mengambil kambing gulai. Malam itu serasa tidak pernah ada peristiwa di Konjen .###
38
11. Pramugari Bermata Jeli Matahari terbit menyinari bumi Arab di pagi hari. Di Jeddah, siang lebih panjang ketimbang malam. Kumandang Subuh jam 06.30, dan Magrib jam 19.30 malam. Namun, awalnya kebanyakan petugas Indonesia tidak tahu. Itulah kenapa waktu petugas tiba di Arab Saudi banyak yang jam empat sudah bangun menunggu Adzan Subuh. Bahkan ada yang belum adzan sudah sholat, macam Soleman yang sholat jam lima pagi. Hari ini aku dan Kohar off. Aku ingin mengajak Kohar jalan-jalan sore menikmati suasana kota Jeddah. Setidaknya untuk menghiburnya setelah peristiwa Konjen. ”Kemana Zul?” tanya Kohar. Aku diam, belum tahu mau. Tiba-tiba aku teringat sebuah nama. Aku masuk kamar, segera kuhubungi nomor teleponnya. Tak berapa lama kemudian, kukabari Kohar. ”Sore ini kita ke Balad,” kataku. ”Dimana itu? Ketemu siapa?” tanya Kohar. ”Ada temanku yang bekerja disini mengajak ketemuan,” jawabku. ”Oh kalau itu boleh, dimana Balad?” ”Kata temenku, dari sini naik taksi 10 riyal, bilang saja Balad, sopir taksi sudah tahu,” ”Oke, apa itu Balad” tanya Kohar lagi. ”Restoran, kita mau ditraktir,” jawabku agak kesal. ”Oke, siap,” Mendengar kata ditraktir Kohar tidak bertanya lagi. Kalau urusan makan Kohar nggak perlu ditawarin, kadang dia malah menawarkan diri untuk ditraktir. Aku masih ingat pesan pak Waluyo untuk menemui seorang gadis bernama Faridah. Keasyikanku berganti baju terusik ulah si Kohar yang berteriak memanggilku. Dengan pakaian seadanya ia berkomentar melihatku,”Wah baju baru nih ye.” Matahari mulai menyingsing ke arah barat. Sebuah taksi putih aku stop. Seorang sopir berkulit legam menyapaku. ”Where are you going?” tanyanya. Oh dia bisa berbahasa Inggris, Goodlah, batinku. “Balad,”jawabku masuk ke mobil. ”Where are you from,” tanyaku.
39
“Bangladesh,” jawabnya. “ Oh I think Pakistan,” “No, and you Indonesia. Apa kabar?’ “Baiiik Mister,” sahut Kohar lantang. Giliran bahasa Indonesia Kohar nggak mau keduluan. Geli aku. Hanya beberapa menit taksi sudah tiba di Balad. Ternyata Balad adalah sebuah mall yang cukup besar. Kubayar 10 riyal sesuai saran Faridah. “Terima kasih,” kata sopir itu tancap gas. Di Arab, taksi tidak memakai argo. Tapi tarifnya jelas, seperti ada aturan. Tak ada sopir yang nakal untuk masalah ini “Wah dasar Bangladesh bisanya bahasa Indonesia cuma apa kabar dan terimakasih. Kalau lancar, aku mau tanya Sah Ruk Khan?” ujar Kohar. “Sah Ruk Khan itu dari India,” “Iya sih, abis hanya dia yang gue tahu,” Aku tertawa atas kekocakan sahabatku. Memang benar, kota Jeddah yang berada di tepi Laut Merah sangat strategis untuk jalur perdagangan dari benua Eropa dan Afrika menuju semenanjung Arab. Lalu lintas perdagangan cukup ramai di sini. Akibatnya dapat kita tebak, tempat ini adalah surga belanja produkproduk impor bermerek. Hal ini ditunjang dengan berdirinya beberapa pusat perbelanjaan di kota Jeddah yang bebas pajak, salah satunya kawasan Ballad. Kakiku berhenti di dalam pusat perbelanjaan Al Ballad di King Abdul Aziz Street. Aku sms Faridah. “Kutunggu di depan Rayana Store di lantai 3,” balasnya. Aku bergegas naik lift. Di dekat Rayana store, kuamati sebentar. Kulihat seorang gadis memakai baju panjang, rambutnya dibiarkan terurai tanpa kerudung. Aku mendekatinya. Apa dia Faridah, pikirku. “Sepertinya orang Filipina,” cegah Kohar seraya menarik lenganku. Jeddah bukan termasuk kota suci seperti Madinah dan Makkah. Karena itu, orang-orang asing nonmuslim diperbolehkan masuk ke kota ini. Jeddah, kota internasional, menjadi kota yang lebih bebas daripada Makkah dan Madinah. Sangat gampang menjumpai perempuanperempuan yang membuka jilbabnya di sini. ”Hai Zulfikar ya...”
40
Suara seorang wanita menyapaku dari belakang. Aku menoleh, tampak dua orang gadis menghampiriku. Dua-duanya berpakaian serba hitam memakai jilbab. Seorang berkulit putih terlihat cantik dan seorang lagi bercadar. ”Faridah, ” tanyaku. Wanita bercadar itu mengangguk. Kohar masih mematung, seperti baru saja melihat bidadari. ”Aku jalan duluan ya, kalian ikutin saja,” ujar Faridah. Temannya mengiringi. Kami pun berjalan menguntit di belakang. Melihat goyangan dua orang perempuan di depan sungguh sebuah godaan tersendiri. Aku berusaha sekali-kali saja melihatnya, supaya tidak kehilangan jejak. ”Pantesan, Nabi Musa tidak mau berjalan di belakang Sarah dan saudaranya,” pikirku. ”Zul, lu nggak bilang kita mau ketemu bidadari,” tanya Kohar. ”Emang kenapa,” ”Gue kan persiapan dulu, pakai baju bagus, parfum. Lihat nih baju gue kusut gini,” ”Ah nggak papa, aku juga belum tahu bakal ketemu perempuan secantik itu,” ”Lah, lu belum kenal sebelumnya,” Aku menggeleng. Kohar keheranan. Faridah dan kawannya masuk ke rumah makan Filipina. Kami mengikuti. Dia mengambil tempat di bilik bertirai. Faridah menjulurkan tangan memperkenalkan diri. Kami salaman. “Maaf ya aku belum bisa membuka cadarku. Ini temanku Sarah, samasama pramugari di Saudi Airline. Okay kalian mau pesan apa?” tanyanya sopan. Kami pun menulis menu, seorang pelayan segera menyiapkan pesanan kami. Aku memesan ayam Adabo. Menurut pelayan, olahan ayam khas Filipina ini mirip semur hanya rasanya sedikit asam dengan aroma wangi ketumbar. Kohar terlihat bingung mau pesan apa, akhirnya dia pun berkata satu lagi tiap kali aku memesan. ”Oh ya, maaf kalian sudah ada yang pernah ke Jeddah sebelumnya?” tanya Faridah. Kami menggeleng. ”Di sini aturannya lebih longgar daripada Mekah dan Madinah. Hanya beberapa saja yang berlaku seperti seorang wanita tidak boleh berduaan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Tidak boleh keluar malam hari sendirian. Makanya tadi saya suruh kalian mengikuti di
41
belakang. Karena disini hukum negara adalah hukum Islam. Di lapangan banyak mutawif yang bertugas mengawasi hukum agama,” jelas Faridah. ”Nah.... nanti kalau kita ketahuan Mutawif di sini bagaimana?” Kohar ketakutan. Aku pikir dia pantas takut, karena sempat trauma peristiwa bandara. ”Insya Allah aman. Aku mengajak kalian ke restoran Filipina, di sini tidak ada pengawasan karena multi agama. Orang Islam, Kristen, bisa masuk,” jelas Faridah. ”Syukurlah,” ujar Kohar mengurut dada. Sarah tersenyum. ”Sudah berapa lama tugas disini?” tanyaku. ”Hampir dua tahun, kemarin perpanjangan kontrak 2 tahun lagi. Ini Sarah, dia baru setahun,” ”Kerasan ga?” tanya Kohar pada Sarah. ”Ya dibetahin, kan kontrak satu tahun lagi. Disini perempuan gerakannya dibatasin, nggak kayak di Jakarta. Pakaian wanita kalau bepergian rata-rata hitam, yang muslim pakai kerudung. Kalau di Indonesia mau pakai singlet doang di Mall, siapa yang larang,” ujar Sarah. ”Namanya juga negara Islam, jangan disamain dengan kita yang sekuler,”sahut Kohar. ”Apalagi kami yang bekerja di Saudi Airlines. Lihat gedung di seberang itu,” kata Faridah. Kami menoleh ke arah gedung yang dimaksud. “Di apartemen itu kami tinggal, untuk kesini kami harus naik taksi,” tambahnya. ”Ha, kan tinggal nyebrang,” Kohar kaget. ”Manajemen tidak mengijinkan, kita hanya bisa pergi ke tempat lain dengan taksi atau bis jemputan meski dekat,” jelas Faridah. ”Berarti Zulfikar harus ganti ongkos taksinya nih,” Kohar meledek. ”Ah nggak usah, tadi kita ketinggalan bis kok, jadi terpaksa pakai taksi,” Makanan pesanan datang. Kami pun menyantapnya. ”Gaji disini besar-besar Har,” candaku serius. ”Oh ya, banyak ya fulusnya?” tanya Kohar. ”Kalau enggak, mana mau jauh dari saudara dan keluarga,” Sarah menimpali.
42
”Selain base salary, setiap rute ada hitungannya. Misalnya Jeddah ke Riyad, atau ke Dammam. Kadang ke luar negeri termasuk Indonesia.” ujar Faridah. ”Wah besar dong,” Kohar mengejar. Faridah diam sejenak. ”Setara level manajer midle company di Indonesia. Udah ya pokoknya nanti aku yang traktir,” ujar Faridah. Baru setelah ada kata traktir, Kohar diam. Aku tahu dia tidak bawa uang. Hidangan sea food pun disantap Faridah dan Sarah. Kata pak Wal, Faridah baik dan cantik. Dari balik cadar aku melihat sesuatu yang menarik darinya, bulu matanya lentik. Aku penasaran seperti apa wajahnya. Tiba-tiba saat aku memandangnya mataku berpas-pasan dengannya. Aku segera mengalihkan pandangan, pura-pura makan. Dia tersipu malu. Sementara Sarah heran melihat Kohar makan bak orang kelaparan. “Oh ya gimana kabar pak Waluyo,” tanya Faridah memecah kebuntuan. “Sehat, ada salam dari pak Wal. Bu Waluyo nanti akan berangkat haji,” “Oh ya, Kapan?” “Nanti kalau sudah sampai dia akan kasih tahu,” “Kalau ada waktu, aku ingin ketemu. Nanti kamu juga menemuinya kan ?” “Insya Allah,” jawabku sambil mengunyah makanan penghabisan. Faridah memandang jam di dinding restoran. ”Zul, kudengar kamu bekerja di Majalah Mabrur, gimana perkembangannya?” ”Namanya juga majalah baru, masih perlu banyak pembenahan.” ”Berarti kamu jago nulis ya?” “Wah, jangan ditanya. Zulfikar baru saja menjadi juara pertama novel anak Nasional,” sahut Kohar. Aku nggak suka pamer, kuinjak kaki Kohar. ”Wah selamat ya, aku bisa belajar menulis nih. Kebetulan sudah lama pengin nulis cerita, tapi karena nggak ada yang ngajarin sampai sekarang belum mulai,” tutur Faridah. ”Boleh. Yang penting sempatkan waktu untuk menulis sehari minimal satu jam,” ”Oh harus ya.” ”Kalau belajar teori tidak terlalu sulit, praktek itu yang penting,”
43
”Betul. Mumpung ketemu guru, Faridah bisa ambil ilmunya,”ujar Sarah. ”Baik pak guru, nanti kita ketemuan lagi,” kata Faridah. Faridah memanggil pelayan. Dia membayar semuanya. Hampir 100 riyal. “Okay, aku harus segera ke halte, sudah jam delapan malam berarti bus jemputan telah tiba.” “Jazakumullah Faridah,” kataku. Faridah mengangguk lirih. Setelah mengucapkan salam mereka berdua pergi. Kami pun meninggalkan restoran itu. Mereka berjalan ke utara, kami ke timur kembali ke Ballad mencari taksi. ###
44
12. Diusir di Makam Hawa Setelah pertemuan dengan Faridah, aku suka sms- an dengannya. Semua sms balasannya kusimpan. ”Hai Zul, aku lagi di Dammam, kabarmu sehat kan. Salam buat temanmu yang lucu itu.” Ada juga yang agak centil. ”Di Arab kalau pria dan wanita bertemu harus ramai-ramai kalau berduaan ketangkep Mutawif ntar langsung dinikahkan, lo.” Tiba-tiba aku ingin mengorek sedikit kehidupan pribadinya. ”Gimana sudah ada juragan minyak yang mau melamar ga?” ”Ada sih yang mau, cuman takut dimadu, di sini kalau sudah kaya istrinya banyak.” ”Mau nyari orang Indonesia?” ”Kalau ada juragan minyak dari Indonesia boleh dech” ”Adanya ....juragan tahu ama bajaj” ”Iiih norak kamu, udah ya aku mau bobo,” ”Lailatun sa'iidatun ya mudifah (selamat malam ya pramugari).” Faridah tidak membalas. Sengaja, atau sudah ketiduran. Ah biarin, aku pun harus tidur. Besok tim MCH tidak ke bandara, kami akan mengunjungi beberapa tempat ziarah di Jeddah. Enaknya menjadi petugas haji semua kebutuhan tercukupi. Makanan bergisi dihidangkan prasmanan tiga kali sehari. Semua masakan ala Indonesia karena juru masaknya dari tanah air yakni para TKW di Saudi. Disamping itu, susu dan Indomie disediakan di setiap lantai. Kedua menu itu selalu diisi sebelum habis. Selain makanan, setiap dua minggu petugas mendapat uang saku sebesar seribu riyal. Jumlah yang cukup untuk kebutuhan hidup. Sebelum berangkat, Syaiful menjelaskan beberapa lokasi yang akan dikunjungi. Antara lain tempat yang diduga makam Siti Hawa, Sepeda Nabi Adam, Masjid Qishas dan Masjid Terapung. Aku duduk di jok depan. Bang Badrun, Soleman dan Kohar duduk di tengah. Di belakang seorang reporter dan kamerawan televisi. Sepanjang jalan, Badrun menjelaskan apa yang kita temui bak seorang pemandu wisata. Tibalah kami di sebuah simpang lima dengan air mancur kecil di tengahnya. Kohar diam melihat sepeda raksasa yang terpajang di sudut simpang. “Itu yang sering dibilang jamaah haji kita sepeda Nabi Adam,” sahut bang Badrun.
45
Wow belum pernah kulihat sepeda sebesar itu. Panjangnya 8 meter dan tinggi hampir 5 meter. “Orang Arab malah tidak ada yang menyebut itu sepeda Nabi Adam, emang jaman Nabi Adam sudah ada sepeda?” ujar Syaiful. Kami pun tersenyum. Mobil berhenti di sebuah bangunan dengan tembok tinggi mengelilinginya. “Siiip, kita sampai di makam Siti Hawa,” ujar bang Badrun yakin. “Pun orang Arab tidak ada yang mengakui itu makam Siti Hawa,” tutur Syaiful. Badrun sedikit kesal. Kami turun di sebuah komplek pemakaman. Terlihat seorang pria bergamis, berkulit hitam menjaga di depan makam. Kamerawan televisi pun menyiapkan kameranya untuk mengambil gambar. Badrun dengan percaya diri maju menunjukkan ID- nya. ”Maqam Hawa, Maqam Hawa,” ujar bang Badrun sambil menunjuk arah kuburan. ”La..la...” jawab penjaga. Penjaga itu menggelengkan kepalanya. Syaiful menjelaskan kedatangan kami yang ingin mengambil foto makam. Penjaga itu lantas masuk ke rumah. Tak lama kemudian keluar seorang Arab lainnya sambil marah-marah. Dia bilang tidak ada makam Hawa di sini, tidak boleh memfoto. Haram katanya. Syaiful mengisyaratkan agar kami mengurungkan niat mengambil foto. ”Itu orang Mesir, kalau marah bisa membanting kamera kalian, kita pergi saja,” kata Syaiful melaju mobilnya. Matahari tepat diatas ubun-ubun. Terik panas menyengat. Mobil memasuki kawasan Masjid yang sepi. Belum masuk waktu sholat Dhuhur. Syaiful mengajak kami menuju masjid. ”Ini masjid Qhisas, dan tiang pancang itu adalah tempat hukuman untuk pelanggar syareat Islam. Alun-alun didepannya tempat berkumpul orang-orang untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman.” Sebuah batu besar dibawah pohon yang rindang, menjadi tempat duduk kami. Syaiful melanjutnya ceritanya. ”Biasanya setiap jumat diawal bulan, masjid ini ramai. Banyak yang ingin menyaksikan prosesi Qishas.” Kohar bertanya,” Hukuman apa saja disini?” ”Macam-macam, ada potong tangan bagi pencuri, cambuk dan rajam bagi pezina dan hukuman penggal kepala bagi pembunuh,” jelas Syaiful. ”Iiih serem,” sahut Kohar.
46
”Untuk pencuri akan dipotong berurutan. Jika baru pertama dipotong telapak tangan kiri, mencuri kedua telapak tangan kiri. Mencuri ketiga siku kanan, keempat siku kiri terus kalau habis ke kaki mulai kiri lalu...,” ”Udah, ngeri dengernya” potong Kohar. ”Kalau hukuman mati siapa yang eksekusi,” tanya Badrun. ”Oh ya itu semacam algojo. Sebelum memenggal kepala orang, dia minum obat yang bahasa kita namanya obat tega. Jadi setelah minum obat itu dia menjadi kejam diluar kesadaran. Setelah memenggal kepala dia harus segera dimasukkan mobil supaya tidak melukai yang lain. Makanya penjagaannya super ketat.” Bang Badrun melihat jam, seolah memberi isyarat agar kami melanjutkan perjalanan. Pulangnya aku mampir untuk membeli makanan khas Arab yaitu, Kebab isi daging sapi harganya 4 Riyal. Isinya padat dengan daging dan sayuran. Nah cemilan ini bisa bikin perut orang Indonesia langsung kenyang untuk makan di asrama bersama teman-teman. ###
47
13. Perempuan Bercadar Hitam Suatu siang aku di bandara, ketika sms Farida masuk. ”Zul, bisakah kita ketemu malam ini,” Malamnya, sesuai janjiku, aku menemuinya. Ini sesi pertama pelajaran membuat novel. Aku janjian bertemu pramugari itu di sebuah restoran tepatnya di kawasan Corneche, di tepi Laut Merah sekitar 4 km dari Balad. Pantai Jeddah sungguh indah. Sepanjang 75 km sisi laut kota Jeddah mempunyai pesona sendiri. Di pesisir pantai laut Merah berdiri bangunan-bangunan peristirahatan, tempat permainan anak-anak yang menyerupai Walt Disney, tidak hanya satu di sepanjang pantai itu. Selain itu, juga terdapat permainan ice skyting. Tidak ketinggalan hotelhotel berbintang dan restaurant yang ikut menyemarakkan kota Jeddah di sepanjang pantai Laut Merah. Tempat rekreasi kota Jeddah bisa dilihat dengan menyusuri Istana Keluarga Kerajaan Arab Saudi yang menampilkan air mancur yang memancar hingga 100 meter tingginya. Di depan air mancur disediakan tempat duduk untuk memandang keindahannya. Tampak dengan megahnya Guest House kerajaan, bangunan sekitar istana kerajaan, didampingi gedung kantor militer Arab Saudi, dan juga kantor Atase Amerika Serikat. Kali ini aku datang sendiri, karena Kohar dinas di bandara. Suasana restoran selepas Maghrib cukup sepi. Corniche merupakan kawasan yang eksentrik. Aku tidak melihat Faridah. Seorang pelayan menghampiriku. Ketika kujawab namaku, dia mempersilakan masuk sebuah ruang makan dipinggir laut. Aku tak menyangka tempat ini lebih indah pemandangannya. Gemericik ombak pantai mengiringi malam yang cerah itu. Sebuah kapal berlabuh di pinggir pantai. Seorang bercadar hitam mengisyaratkan tangannya. Aku menuju tempat duduknya. “Silakan duduk Zul,” katanya. “Faridah apa kabar?” sapaku. “Baik, Zul she’s Magdalena my friend, she’s from Philipine,”
48
“Oh Magdalena I’am Zulfikar, nice to meet you. How are you?” “I’m fine. Faridah had tell about you, you are a journalist,” jawab Magdalena. “He’s writers too, so this night I will learn to write a novel,” Magdalena dan Faridah sama-sama memakai pakaian hitam. Namun Faridah mengenakan cadar sedang Magdalena membiarkan rambutnya terurai. Biasanya itu menjadi ciri khas seorang non muslim. Tak lama kemudian gadis Filipina itu meninggalkan kami. Dia menemui pacarnya, seorang Filipina yang bekerja di rumah makan tersebut. Sebuah restoran sea food Mesir yang cukup elite terletak di tepi laut Merah. Faridah sengaja memilih tempat itu. "Kawasan Corniche merupakan daerah wisata terindah di Arab Saudi," katanya. Seorang pelayan datang. Kami pun menuliskan pesanan kami. ”Gimana cara menulis novel untuk pemula sepertiku,” tanya Faridah. “Menulis itu sebenarnya bisa dimulai dari hal-hal yang kecil. Untuk pemula bisa mulai dari pengalaman hidup, catatan perjalanan dan sebagainya. Misalnya Faridah bisa menulis tentang pengalaman menjadi pramugari di Saudi Airlines. Pasti dua tahun sebagai pramugari memiliki banyak cerita yang menarik. “ “Seperti apa cerita yang bisa ditulis, apa setiap hari kita tulis apa saja yang kita alami.” “Bisa, tergantung untuk kepentingan apa? Kalau kita mau membuat catatan perjalanan atau biografi buat kita sendiri sekecil apa pun harus ditulis. Tapi kalau kita ingin membuat tulisan untuk konsumsi umum misalnya Novel, sebisa mungkin yang kita tulis hal-hal yang menarik.” ”Seperti apa menarik itu? Apa yang kita anggap menarik belum tentu menurut orang lain.”
49
”Benar, tapi ada standarisasi umum kan. Misalnya, menurutku Faridah cantik. Menurut Kohar juga, dan aku yakin banyak yang bilang begitu. Jadi dapat dikatakan Faridah itu cantik. ” Kulihat Faridah tersipu malu. ”Penulisan juga ada standar umumnya. Jadi apa yang menurut kita menarik tulis saja dulu. Lalu kita tanya orang lain minta pendapatnya. Perlu referensi orang lain untuk menilai standar tersebut. Nanti kalau parameternya dari kita saja, terlalu subyektif itu tidak baik. ” kataku. ”Jadi perlu ya, untuk menanyakan ke teman misalnya, cerita itu menarik atau tidak,” ”Ya, apalagi pemula itu wajib.” Kulihat Faridah mencatat poin-poin dari kata-kataku. ”Okay, berarti lebih mudah aku menulis pengalaman menarik yang kualami saja,” ”Boleh, nah sekarang, Faridah bisa mulai menulis, minggu depan kita ketemu lagi jangan lupa tulisannya ya,” kataku. ”Terimakasih atas sharing ilmu hari ini,” katanya. Hidangan datang. Kami pun makan dengan lahab. Seusai makan aku langsung minta bill ke pelayan. Faridah ingin membayari tapi kucegah. Aku memberinya sebuah buku Menerbitkan Buku itu Gampang, karangan Jonru. Buku itu hadiah dari Perangin-Angin saat di Pondok Gede. Kurasa Faridah lebih membutuhkannya. Dia senang menerimanya. Faridah cepat sekali belajarnya. Aku mengagumi kecerdasannya. Setelah itu kami pun ngobrol ngalor ngidul sambil menunggu Magdalena. Dia menceritakan pengalamannya bekerja di maskapai milik kerajaan Arab Saudi. ”Alhamdulillah, setelah bekerja di Saudi Airline, aku bisa membantu biaya sekolah adik-adikku dan memberangkatkan kedua orangtua naik haji,’ kata Faridah bahagia.
50
Aku terharu dengan perhatiannya pada keluarga. Sebagai anak pertama dia sangat bertanggungjawab terhadap adik-adiknya. Faridah tipe pekerja keras dan tidak banyak bicara. Dia sudah mandiri di saat remaja seusianya menikmati masa-masa indahnya. Gadis itu pandai. Banyak pria yang suka padanya. “Zul, aku punya cerita tentang seorang pemuda Arab yang suka padaku,” “Oh ya,” “Di Jeddah aku kenal dengan seorang pemuda, namanya Faruk. Dia seorang polisi agama atau Mutawif. Dia menolongku saat aku dan Magdalena digoda oleh lelaki Mesir di Balad. Aku pun memberinya kartu nama. Suatu hari dia datang bersama pamannya ke apartemen kami. Ternyata dia mau melamarku. Aku terkejut sekali. Baru sekali bertemu berani melamar,’ “Terus,” tanyaku. “Yaaah aku jelas menolaknya. Faruk hanya diam. Tetapi pamannya tidak terima dan marah-marah di lobby. Dia bilang aku gadis Indonesia yang bodoh. Faruk katanya salah satu kerabat kerajaan, keponakan dari Pangeran Abdullah, Gubernur Jeddah. Banyak gadis yang ingin dinikahinya, namun Faruk tidak mau. Kata pamannya aku adalah gadis yang berani menolaknnya. Heboh sekali saat itu. Para pramugari banyak yang mengerubuti kami. Setelah itu mereka pergi. Orangtua itu mengancam aku akan dikeluarkan dari pekerjaanku. “ “Setelah itu,” “Alhamdulillah aku dipertahankan. Memang aku sempat dipanggil oleh wakil pemilik saham yang juga kerabat kerajaan. Namun ternyata Pangeran Abdullah tidak mau kalau hanya karena masalah itu aku dikeluarkan dari pekerjaan. Dia sangat bijaksana,” “Berarti masalah itu telah selesai,” “Masalah dengan pekerjaan iya. Tapi keberadaan Faruk selalu membayangi jika aku bepergian. Dia seorang Mutawif dan memiliki
51
banyak anak buah. Kemana pun aku pergi seolah-olah diawasi,” jawab Faridah. Aku diam. “Makanya setiap aku pergi keluar selalu memakai cadar dan pakaian hitam. Teman-teman pramugari dari Indonesia selalu menolongku. Rata-rata mereka memakai cadar dan berbaju hitam jika keluar. Sehingga orang-orang Faruk sulit mengenaliku.” ”Pernah kepergok Faruk,” ”Aku tahu anak buahnya selalu mengawasiku di luar apartemen. Selain memakai cadar dan berbaju hitam, aku selalu pergi berdua keluar supaya mereka tidak punya alasan untuk menangkapku. Pernah Sarah berjalan sendirian tertangkap Mutawif. Dia kira itu aku, makanya hanya diberi peringatan saja,” ”Kamu tidak takut ketemu dia,” ”Asal aku benar, aku dan Allah sudah cukup. ” Aku mengangguk. Itu jawaban terbaik yang kudengar dari balik cadarnya. ”Lalu apa rencanamu,” ”Setelah kontrak kedua selesai, aku tidak ingin memperpanjang lagi. Kalau Allah memberiku umur panjang, setelah menikah aku ingin menjadi ibu rumah tangga. Aku tidak ingin bekerja, aku akan mengurus suami dan anak-anakku.” Aku tersanjung. Faridah pribadi yang kuat, idealis dan punya prinsip. Dia tidak berpikir, selain upaya untuk meraih tujuannya. Faridah sangat fokus pada tujuan. Orang yang tidak mengenalnya akan mengira dia sosok yang sombong. Padahal kalau sudah mengenalnya dengan baik, dia gadis yang hangat pribadinya. Tidak sombong, pintar dan baik hati. Tak lama kemudian, Magdalena datang. Kami pun berpisah.
52
Taksi yang kutumpangi melewati jalan Falestine. Malam itu banyak pedagang hape yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan. Beberapa pembeli berkerumun. Aku mendengar dari para mukimin, di tempat itu dijual hape dengan sistem lelang dan harga miring. Suatu ketika aku ingin singgah ke tempat itu. *** Semenjak berkenalan dengan Faridah aku mengagumi kepribadiannya. Faridah sosok yang lembut, dewasa dan mandiri. Kohar menyebutnya sebagai bidadari bermata jeli. Tapi buat Kohar, Sarah, lebih menarik. So dia ngebet banget mengajak ketemuan lagi dengan dua pramugari itu. Di wisma aku menceritakan pertemuanku dengan Faridah. ”Kamu sama Faridah, biar aku sama Sarah, gimana?” candanya. ”Ah itu masih terlalu jauh,” ”Faridah itu seperti bidadari,” ”Justru itu, aku mustinya instropeksi diri. Apa aku pantas?” ”Jangan sok romantis, rebut hatinya dulu, yang lain ngikut.” desak Kohar. Aku diam. Tak mau sesumbar macam-macam. Aku masih menganggap Faridah sebatas teman. ”Jadi minder nih?” goda Kohar. Aku tak menjawab. Kupejamkan mata. ”Zul payah lu belum apa-apa sudah nyerah,”ujar Kohar. Kubiarkan Kohar berceloteh. Aku memang merasa tidak pantas untuk mendekati gadis itu. Dari segi apa pun aku merasa tidak level. Apalagi dari sisi materi, nggak ada apa-apanya. ###
53
14. Insiden Wadi Gudaid Wadi Gudaid suatu dusun yang terletak 97 km dari arah Jeddah dan 120 km arah Mekah. Tempatnya sangat strategis karena berjarak satu km setelah pertemuan lajur jalan dari arah Jeddah maupun Mekkah. Wadi Gudaid menjadi tempat transit jamaah baik Jeddah-Madinah maupun Mekah-Madinah. Mobil MCH meluncur menuju Wadi Gudaid yang ditempuh sekitar 1,5 jam dari Jeddah. Perjalanan ke Wadi Gudaid melintasi desa Tuwal, suatu desa yang memiliki potensi hasil laut. Wadi Gudaid adalah salah satu dusun dari desa Ar Rubaikah. Di tempat ini jamaah mendapat nasi box, air mineral dan buah-buahan. Biasanya jamaah transit disini sekitar satu jam untuk melanjutkan perjalanan ke Madinah. Agar sopir-sopir yang membawa jamaah mengetahui tempat ini, dipasang bendera merah putih di pintu masuk. Sampai di Wadi Gudaid, aku dan teman-teman menuju sebuah restoran beralas karpet. Semula tempat ini tidak pernah disinggahi oleh Musafir kecuali mobil mengisi bahan bakar. Ada musholla tapi tidak terawat, tempat wudlu dan kamar mandinya pun kotor. Kami melakukan liputan untuk merekam suasana Wadi Gudaid. Karena terletak antara Mekah dan Jeddah, maka kedua daker bertanggung jawab mengelola tempat ini. Di sini aku berjumpa Kapten Iskandar dari Kopassus dan Matali, teman semasa pelatihan di asrama haji. Sambil makan siang, kami pun menceritakan pengalaman masing-masing. Tak lama kemudian, terlihat iringan bus jamaah datang. Menurut jadwal, hari ini rombongan jamaah haji dari Medan akan singgah di Wadi Gudaid. Kulihat Kohar tengah memfoto bus yang baru tiba. Badrun dan Soleman mewawancarai seorang pembimbing jamaah. Kapten Iskandar segera bangkit, mengkoordinir teman-temannya. Pria tinggi tegap itu dipercaya sebagai koordinator keamanan daker Mekah. Jamaah pun masuk mendapatkan jatah makanan. Ternyata jamaah yang datang begitu banyak sehingga makanan yang disediakan di atas karpet tidak cukup. Sebagian jamaah mulai menyeruak untuk mendapatkan nasi box yang tersimpan di dapur. Petugas meminta
54
jamaah antri teratur supaya pembagian berlangsung lancar. Dibawah koordinator Kapten Iskandar, suasana pun mulai berangsur tertib. Beberapa petugas dari Mekah dan Jeddah pun membantu menertibkan antrean. Tiba-tiba kuperhatikan seorang pemuda yang tidak mau antri. Beberapa jamaah tak ada yang berani menegurnya. Dia terus mendesak maju dalam antrean. Melihat ulahnya aku pun menghampiri. Ketika kuminta mengantri, dia malah marah. Pemuda itu terus mendesak di kerumunan orang dan terus ke depan. Kulihat Kapten Iskandar tidak ada di tempat. Beberapa petugas yang menegur ulahnya tidak digubris. Ketika dia kembali dengan membawa nasi kotak dan air mineral, aku menghampirinya. Kuminta dia sabar ikut antri. Ternyata dia tidak terima nasehatku. Kulihat dia merobek tutup aqua gelas. Tiba-tiba air itu dia siramkan ke bajuku. Aku terpancing emosi, kudorong dia hingga terjatuh di karpet. Dia bangkit memukulku, tapi berhasil kuhindari. Beberapa petugas berusaha melerai. Badrun dan Kohar datang memisah kami. “Siapa kau berani melarangku, jangan macam-macam, awas kau!!” teriaknya sambil dibawa jamaah lain, menjauhi tempat itu. Beberapa saat kemudian Kapten Iskandar datang. Seorang petugas membisikan sesuatu padanya. Setelah itu, aku menceritakan keributan yang terjadi. ”Zul, memang kamu nggak salah. Tapi kamu harus tahu yang kamu tegur itu keponakan ustad terpandang di Sumatera Utara. Ustad itu nggak cuma kenal menteri tapi juga Komandanku. Konjen sama Dubes saja segan kepadanya,” kata Iskandar. Aku baru sadar, pantesan tak ada seorang pun yang menegurnya. ” Bukankah keadilan tidak pernah memandang siapa saja, Kapten. Kalau memang ada yang salah kan harus kita luruskan,” kataku. ”Kamu masih terlalu muda berpikir tentang keadilan di negeri kita. Pendapatmu aku setuju, tapi saat ini belum bisa diterapkan, mengerti kan maksudku?” Aku mengangguk. Kapten Iskandar berjanji menutup kasus ini. Dia memerintahkan staf dan jamaah yang melihat insiden ini tidak perlu memperpanjang atau menceritakan ke siapa pun. Setelah bus jamaah dari Medan itu pergi menuju Madinah, kami pun kembali ke Jeddah. ***
55
Sesampainya di wisma haji Jeddah, mas Imam memintaku menemui pak Mahmud. Aku tahu ini pasti masalah di Wadi Gudaid. Yang tidak kutahu kok cepat sekali sampai ke Jeddah, siapa yang menyebarkan insiden itu. ”Zul apa yang kamu lakukan di Wadi Gudaid,” ”Kami liputan pak,” ”Selain itu?” ”Ceritakan saja Zul, apa yang terjadi,’ pinta mas Imam. Aku pun menceritakan insiden itu. ”Aku diberitahu Junaedi, petugas MCH Madinah, ada seorang petugas menyiram air ke baju jamaah,” ”Bukan saya yang menyiram pak, tapi dia ke baju saya,” belaku. ”Sebenarnya ini masalah kecil, kalau dia jamaah biasa.” Tiba-tiba pintu diketuk orang. Seorang temus memberitahuku untuk menghadap Kadaker. Pak Mahmud menemaniku. Di ruangannya Kadaker mukanya merah. ”Kau kan tahu, tak ada satu pun jamaah yang berani menegurnya, ya biarkan saja dia lewat. Dia keponakan anggota DPD RI. Kalau kau tidak dihukum, beliau sms saya akan mengagendakan pelayanan makanan yang semrawut di Wadi Gudaid di sidang DPD nanti. ” Aku tidak tahu ternyata masalahnya akan menjadi besar. ”Hukuman apa yang harus kita lakukan pak Mahmud?” ”Kita tidak punya standar hukuman seperti ini pak, kasus ini sebenarnya kasus kecil hanya salah paham saja,” ”Ingat kejadian di Konjen, Aku pernah mengancam akan memulangkan petugas bermasalah.” Pak Mahmud diam, aku tersentak. Pak Mahmud berpikir mencari solusi. ”Saya rasa ini hanya masalah etika saja, bukan kriminal atau melanggar prosedur bertugas. Jadi hukumannya untuk memperbaiki diri bagi pelakunya,” ”Apa itu?” ”Usul saya, sebaiknya diasingkan ke masjid Terapung, disana ada seorang Imam yang arif yang bisa membimbingnya akhlaknya,” Pak Fauzi berpikir sebentar. ”Baik usulmu aku terima, Zul akan menjalani karantina selama tiga hari di sana,” Aku diam, bingung kok malah aku yang dihukum. Akhirnya aku harus merevisi arti keadilan menurutku menjadi versi Kapten Iskandar. ###
56
15 Sufi Laut Merah Masjid Fatimah, namun jamaah Indonesia lebih mengenalnya sebagai masjid Terapung, terletak di pinggir pantai laut Merah. Disebut masjid Terapung karena masjid ini berdiri tidak di tanah tapi diatas air. Bangunannya ditopang oleh ratusan tiang beton yang kuat. Masjid berwarna putih ini tampak indah dan megah. Hari itu aku diantar Kohar dan Syaiful untuk menjalani ”hukuman” dari Kadaker. Di perjalanan Syaiful bercerita tentang Syech Yasser. “Syech Yasser sudah 20 tahun di masjid Terapung, dia manusia yang lain dari yang lain. Ilmunya tingkat ruhiah. Dia tidak mementingkan dunia. Bagian dunia dia ambil sedikit saja, yang penting bisa makan untuk ibadah,“ ujar Syaiful. “Dia seorang Sufi, “tanyaku. Syaiful mengangguk. Kami pun masuk ke dalam masjid, bentuk kubah di dalamnya dilingkari kaligrafi ayat-ayat suci Al-Quran serta dihiasi lampu-lampu kristal yang sangat cantik. Masjid Terapung berlantaikan marmer, sedangkan di dalam masjidnya sendiri dilapisi permadani yang sangat indah luar biasa, dilengkapi rak-rak al-Quran. Yang membuat kami takjub adalah imamnya berwarganegara Indonesia. Syaiful memperkenalkannya. Namanya Syeck Yasser, asli dari Makassar. Kami pun terlibat dalam pembicaraan yang akrab. Aku mengagumi kesahajaan dan pengetahuan agamanya yang tinggi. Tak lama kemudian waktu Dhuhur tiba, kami sholat berjamaah di masjid Terapung. Ba’da sholat, Syech Yasser menyuguhkan hidangan roti Arab yang panjang dan besar. Dia mendapatkan bingkisan dari seorang jamaah haji yang singgah kemarin. Kami duduk lesehan menyantap roti khas Arab itu di serambil masjid. Selepas makan, kuajak Kohar menikmati pemandangan laut Merah yang indah. Dalam kitab Suci dituliskan, laut Merah merupakan tempat penyeberangan Nabi Musa dari Mesir menuju Semenanjung Arab. Laut ini pernah terbelah oleh tongkat Nabi Musa dan membenamkan Fir’aun dan bala tentaranya. Aku dan Syaiful foto bergantian. Tak kulihat dimana Kohar. Dari jauh nampak seorang pria Arab memaki-makinya. Rupanya Kohar mendapat masalah. Kuhampiri untuk menengahi. Ternyata dia orang Iran. Bahasa
57
Persi aku tak paham. Aku minta maaf dengan bahasa Arab sekenanya. Laki-laki Iran itu bersama seorang wanita dan gadis muda belia. Aku yakin itu istri dan putrinya. Anaknya masih muda, wajahnya bak boneka dari India. Syech Yaser tiba-tiba sudah dibelakangku. Kami tidak melihat kapan datangnya. Ternyata Syech mahir bahasa Persi. Setelah bicara dengan syech Yasser, orang Iran itu mulai lunak kata-katanya. Dia mengucapkan salam sebelum pergi. Aku kagum, Syech Yasser bisa membuat orang Iran yang bermuram durja bisa luluh hatinya. Syech pun menghampiri Kohar. ”Nak, disini banyak gadis-gadis cantik. Jagalah pandanganmu. Bapak gadis itu tidak terima kamu memandanginya. Orang Islam harus menundukkan pandangan, apalagi ini negeri orang. Budaya di sini jauh berbeda dengan di negeri kita,” nasehat Syech bijak. Kami jadi tahu alasannya kenapa Kohar dimarahi orang Iran. Pelajaran berharga dari Syech Yasser, tidak hanya untuk Kohar. Setelah itu Kohar dan Syaiful pamitan pulang ke wisma. *** Syeck Yasser mengajakku berjalan menyusuri pantai. ”Ana menjadi imam pada usia hampir sama dengan Zulfikar. Ana dulu bekerja sebagai tukang kebun masjid Agung Makassar. Ana tidak pernah berfikir bisa berangkat haji. Ana berangkat haji melalui seorang dermawan.” ”Waktu itu ana menggunakan paspor hijau, tapi ana memutuskan menetap di Mekah. Di sana ana berkumpul dengan para Sufi. Salah satunya adalah imam Masjid Terapung ini, seorang syech dari Libanon. Awalnya ana membantu adzan disini. Setelah tentara Israel keluar`dari Libanon, termasuk perkampungan Syech, maka Syech pun kembali ke negaranya. Sejak itu ana menjadi imam dan sudah 20 tahun lebih disini.” ”Syech tidak menikah,” ”Menikah itu bagi orang yang hatinya kosong sehingga menginginkan pendamping untuk mengisinya. Ketika menjadi sufi, masalah dunia sudah kita campakkan. Hanya Allah yang mengisi hati kita. Jadi aku dan Allah sudah cukup. Tidak ada yang lain,”
58
Aku diam. Syech Yasser hidup nyaris tak punya apa-apa. Dia tinggal di sebuah kamar sempit di belakang masjid Terapung. Pakaiannya tidak lebih dari 3 lembar. Kamarnya hanya berisi alat masak dan buku bacaan. Dia tidur beralaskan selembar tikar. ”Untuk biaya hidup, ana dapat bantuan dari Masjid. Pengurus masjid memberi ana 200 riyal tiap ahad. Itu sudah cukup untuk makan. Sebenarnya takmir ingin memberi jatah 500 riyal tapi ana menolaknya. Ana tidak mau nanti di pengadilan Hisab mempertanggungjawabkan uang itu. Sekecil dzarah akan dimintai tanggungjawabnya.” “Masya Allah,” kataku. Betapa syuhudnya Syech Yasser. Meski dia hidup sendiri dia tidak pernah kesepian. Baginya hidup untuk ibadah. Ya membersihkan masjid, ya imam, ya membaca Qur’an, Sholat, Dzikir. Kadang ke pasar beli sayuran lalu dimasak sekadar mengganjal perutnya. Setelah bertemu Syech Yasser, aku ingin belajar ilmunya. Syech sudah tahu ada seorang petugas haji yang akan menginap tiga hari di masjid Terapung dari utusan Konjen. Namun Syech tidak tahu sebenarnya ini “hukuman” ku atas peristiwa Wadi Gudaid. Aku merasa senang dapat belajar dari Syech Yasser. Untuk bisa mengatakan dunia adalah hina. Hidup hanyalah untuk beribadah. Cukuplah Allah sebagai penolongku. ###
59
16 Kembang Daker Jeddah Setelah tiga hari menjalani ”hukuman” di masjid Terapung aku kembali ke wisma. Aku justru merasa beruntung bisa menimba ilmu dari Syech Yasser. Aku tidak merasa seperti dihukum. Kalau mobil Syaiful tidak menjemputku, aku ingin beberapa hari tinggal di masjid Terapung, setidaknya sambil menunggu musim haji tiba. Beberapa rekan media center menyambutku di wisma. Soleman menyebutku sebagai anak yang hilang. Badrun menggelari si pemberani, karena berani melawan arus. Mas Imam memelukku. Ahlan wa sahlan, katanya. Kohar merasa kehilangan musuh bermain catur di wisma. Maklum cuman aku yang bisa mengimbangi otaknya yang encer. Setelah mandi, mas Imam mengajakku makan. Dia kadang menginap di tempat kami untuk berkoordinasi. Setiap harinya mas Imam tugas di media center konjen RI Jeddah. Sebuah televisi swasta Indonesia menyiarkan lagu-lagu lama. Tak jauh dariku beberapa mahasiswa asyik membicarakan seseorang. Sepertinya aku pernah bertemu, ternyata Faisal dengan teman-temannya. ”Sal sudah kenalan belum dengan bu dokter?” tanya Sahrul. ”Pastinya... ” lanjut Faisal. ”Kayaknya kemarin akrab banget, bicara apa saja?” tanya Sahrul lagi. ”Aku ngajarin dia bahasa Arab,” “Jeee....” teriak tiga temannya lainnya. ”Wah pendekatannya oke juga nih,” sahut seorang berbaju kotak. ”Siapa dulu dong Faisal, mahasiswa S-2 Tarbiyah teladan di Al Ashar,” puji Sahrul. ”Nanti pasti ada, bahasa Arabnya I love you ya... hehehe” goda pemuda gondrong. ”Itu hanya masalah waktu,” kata Faisal pede. Kayaknya mereka asyik membicarakan seorang dokter. Aku tak tahu yang mana satu. ”Yang mereka maksud dokter yang datang dua hari yang lalu, masih gadis,” ujar mas Imam setelah mereka pergi. Oh pantesan, sudah tiga hari aku tidak ke bandara. Tidak tahu perkembangan di sana.
60
”Kemarin saya di Bandara karena rombongan Menteri Agama tiba. Saya lihat pak Menteri menyalami dokter itu, tapi saya nggak tahu siapa dia,” ujar mas Imam. ”Mungkin anak pejabat Mas,” dugaku. ”Mungkin,” katanya. ”Mas Imam sudah ditunggu teman-teman di mobil,” teriak Kohar datang dengan nafas terengah-engah. Kami pun bergegas pergi. Daihatsu bercat putih, mobil dinas kami, segera melaju. Syaiful melaju kencang mengingat kita pergi agak kesiangan. Jalanan Jeddah yang luas dan lengang tak disia-siakannya. Dia melaju diatas kecepatan 100 km/jam. Padahal di papan pinggir jalan batas kecepatan maksimal yang dibolehkan 80 km/jam. Untung di perjalanan dalam kota tidak ada askar yang bertugas. Wus, kami telah sampai. Semua lolos check point karena kartu ID tidak ada yang ketinggalan. Cuman si Kohar kelihatan janggal, kartu ID-nya distaples di saku baju. Maklum, sudah pernah kena semprit. Kebetulan kloter hari ini yang datang cukup banyak. Sesampainya di bandara King Abdul Aziz, aku segera menuju gate kedatangan jamaah haji Indonesia. Beberapa petugas pelayanan jamaah sibuk memberi petunjuk kepada jamaah yang baru tiba jalan menuju tempat rehat jamaah haji. Mahasiswa yang fasih bahasa Arab, berdiri disamping petugas bandara yang memeriksa paspor dan surat-surat. Umumnya jamaah Indonesia kesulitan komunikasi. Kehadiran mahasiswa sebagai temus atau tenaga musiman membantu memperlancar komunikasi. Banyak sekali jamaah yang membawa beban terlalu berat. Beberapa orang berjalan oleng kanan-kiri. Aku dan beberapa petugas media center segera membantu mengangkat tas mereka. Apalagi kalau ada orang tua jompo, kami tak tega melihatnya. Bahkan ada yang menyeret tasnya di lantai karena barang tentengannya terlampau berat. Sepertinya kejadian ini harus menjadi perhatian pemerintah. Meski jamaah hanya dibolehkan membawa satu koper besar, satu tas jinjing dan satu tas paspor kecil, tapi kenyataannya barang bawaan kebanyakan lebih dari itu. Bahkan ada seorang tua yang tangan kanan, kiri, lengan semuanya membawa beban. Masya Allah. Kohar, sungguh kuat. Dipundak, tangan kanan dan kirinya penuh beban. Mentang-mentang badannya besar, dia mengangkut beberapa tas
61
sekaligus. Bang Badrun, mendorong kereta roda seorang jamaah yang cacat. Soleman membawakan tas jinjing seorang wanita paruh baya. ”Leman, apa kabar, bantu siapa itu?” goda Kohar. Soleman cuma bisa tersenyum. Dari jauh kulihat ada seorang kakek tua kecapekan. Aku menghampiri dan memapahnya. Sepertinya dia berangkat haji sendirian. Kupapah sang kakek menuju balai kesehatan haji. Dua tas tentengnya dibawa mas Imam. Posko kesehatan Indonesia merupakan satu-satunya yang ada di bandara King Abdul Azis. Maklum jumlah jamaah haji Indonesia sangat banyak, lebih dari 200 ribu orang tiap tahun. Bidan Dedeh menyuruh kami masuk. ”Sebentar dokternya baru sholat,” kata Bidan. Aku menunggu di kursi besi. Tak sanggup melihat jamaah tua, akhirnya dibantu bidan Dedeh kupapah ia ke tempat tidur pasien. ”Nampaknya kecapekan,” kataku. Tak lama kemudian seorang gadis muda masuk. Berbaju putih dengan celana panjang coklat. Aku belum pernah bertemu sebelumnya. ”Ada apa?” tanyanya. Melihat ada pasien yang membutuhkan pertolongan dia langsung memeriksa dengan stetoskop. Bidan Dedeh memompa alat tensi darah. Lalu dokter muda itu menulis resep. Sang bidan mengolesi dada pasien dengan minyak kayu putih. Mereka berdua kerja cekatan. ”Dia kecapekan, biar istirahat dulu, maaf mas petugas ya,” tanya dokter muda. “Oh ya, saya Zulfikar, petugas media center,” jawabku, sambil kuulurkan tangan. ”Zalwa,” ”Oh dokter, saya baru melihat anda,” ”Ya dia dokternya, dia datang ke Jeddah terlambat, dia bukan laki-laki,” ujar Bidan. Oh kini aku tahu jawabnya kenapa bidan Dedeh tersenyum waktu itu. ”Terimakasih dokter Zalwa, saya tinggal tugas dulu ya,” Aku menyapanya, dia tersenyum manis. Kurasa pantas bila anak temus membicarakannya. Dia kembang daker Jeddah. Bidan Dedeh memperhatikan kami. Ketika aku keluar menyapanya, dia tersenyum. Senyuman seolah mengisyaratkan sesuatu.
62
Mas Imam dan Soleman duduk kecapekan di kursi bandara. Kurebahkan badan di antaranya. ”Gimana sudah kenalan dengan bu dokter?” tanya mas Imam. ”Sudah mas,” jawabku. ”Terus...,” tanya mas Imam. ”Maksudnya?” aku balas bertanya. ”Ya... ilah, sudah dapat nomor teleponnya belum wahai bujang,” ”Nanti mas,”jawabku. ”Keburu diambil orang,” celutuk Soleman. Mas Imam pun tertawa. Semua jamaah sudah masuk bus. Biasanya jamaah yang sakit akan dibawa bus susulan. Aku segera mengambil air wudlu untuk sembahyang Dhuhur. Kamar mandi di bandara menyatu dengan tempat air wudlu. Bentuk kamar mandinya pun berbeda dengan di Indonesia, terutama bentuk closet yang nyaris rata dengan lantai. Di bandara tidak ada masjid atau musola. Hamparan karpet Iran yang tebal dan lembut sebagai tempat sholat. ###
63
17. Kurma untuk Zalwa Setelah berkenalan dengan Zalwa, banyak teman-teman media center “memanasi aku” untuk mendekatinya. Bahkan beberapa teman rela menukar shift piketnya agar aku bisa sering bertemu Zalwa di bandara. Aku mempunyai perasaan lain semenjak berjumpa dengannya. Malamnya aku, Kohar dan mas Imam asyik ngobrol di kamar. ”Zul, gimana sih, satu belum serius mau dekati yang lain,” tanya Kohar sewot. ”Ya nggak papa, kalau yang satu nggak dapat ada serepnya,” sahut mas Imam. ”Tapi kan, sebaiknya dikelarin dulu mas, kalau sudah nggak jadi baru yang lain,” ”Har, kamu mau aku ketemu Faridah agar kamu ketemu Sarah kan,” kataku. Kohar diam matanya melotot. ”Itu salah satunya,” katanya. ”Zalwa itu lebih berat, dia dokter, dalam sejarah belum ada dokter yang mau kawin sama wartawan,” tambahnya. ”Nah, justru itu tantangannya, Zulfikar harus bikin sejarah,” sahut mas Imam tak mau kalah. Nggak tahu kenapa, mas Imam kok mendukung sekali aku dekat dengan Zalwa. ”Disamping itu, biasanya dokter nyarinya sesama dokter biar nyambung,” Kohar membalas. Perdebatan mereka berdua tak kunjung selesai. ”Sudahlah, jodoh ditangan Tuhan, manusia hanya berusaha, kalau dapat dua-duanya syukur,’ candaku sambil ngeloyor ke kamar kecil. Mas Imam geleng-geleng, Kohar tambah bengong. Sayup-sayup kudengar teriakan Kohar. ”Serakah lu, kalau nggak dapat dua-duanya jadi pertapa ya.’’ *** Hari ini, Zalwa bertugas jam delapan malam. Sebelum dinas malam kuantar Soleman membeli hape di jalan Falestine. Ongkos naik bus dari wisma ke Falestine street hanya 5 riyal. Busnya amat longgar, karena rata-rata keluarga di Saudi memiliki mobil. Di tempat itu selepas Maghrib banyak sekali pedagang hape melelang barang. Mereka menggelar dagangannya di pinggir jalan. Orang-orang mengerubuti
64
sambil menawar barang. Pedagang akan memberikan barangnya pada penawar tertinggi. Sistemnya bayar tunai. Aku pernah melihatnya saat pulang dari Balad. Soleman ikut berkerumun. Aku menyusuri jalan kecil, menuju sebuah toko kurma, yang pernah diceritakan Syaiful. Toko kurma itu menjual kurma Nabi, bentuknya besar, warnanya hitam dan tidak lengket. Kubeli ½ kilo seharga 40 riyal. Dari belakang seseorang menepuk pundakku. ”Mas, aku beli hape bagus hanya 300 riyal.” kata Soleman bangga. Aku menoleh, hape itu merk terkenal dan keluaran baru. ”Wah keren, ini di Jakarta barunya dua juta rupiah,” kataku Soleman tersenyum. Dia merogoh kantongnya mengambil pulsa. ”Ini pulsanya, namanya Al Jawal, harganya lebih murah kata yang dagang,” ujar Leman. ”Eh lu beli apa?’ tanyanya. ”Ada deh,” jawabku sambil memberhentikan taksi. Sampai di wisma aku ganti baju petugas. Ditemani Soleman langsung berangkat dinas malam. Cuaca Jeddah memang ekstrim. Kalau siang sengatan panasnya menembus kulit. Kalau malam udaranya menusuk pori-pori. Belum lagi tiupan anginnya yang kencang. Apalagi di bandara, harus pakai jaket yang tebal. *** Kuperhatikan bandara di malam hari tetap ramai, meski jamaah lebih banyak tiba siang hari. Sebenarnya aku shift siang, tapi karena Zalwa piket malam, bang Badrun mengajakku tukaran. Malam itu, aku tidak melihat Zalwa di posko kesehatan, setahuku jadwal shift nya malam. Dari jauh, tampak dokter Batubara memeriksa pasien. Biasanya Zalwa sudah datang. Bungkusan kurma masih kusimpan di tas. Aku sengaja membeli kurma untuk Zalwa. Sebagai pengganti makanannya yang pernah kuberikan pada orang Yaman. Aku sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba perasaanku sedikit cemas. Mana angin malam bertiup kencang sekali. Kulihat Soleman sedang ngobrol dengan petugas lain. Aku terkejut ketika seorang Yaman, si tukang kebersihan menegurku. ”Assalamu’alaikum ya sayyid,” ”Waalaikum’salam, keif haluk” jawabku. ”Thoyiib, Fil Jeddah indahsoit har marroh wa indasysyita barri marroh,”
65
Dia mengatakan di Jeddah kalau musim panas, terik sekali, di musim dingin, dingin sekali. Lalu ia tanyakan kabarku kujawab dengan hamdallah. Pak tua dari Yaman itu bercerita tentang Islam di negerinya. Aku mendengarkan, meski ada beberapa kata yang tak kumengerti. Ketika asyik berbincang, kulihat beberapa orang berjalan menuju Posko Kesehatan. Ternyata rombongan shift kesehatan baru tiba bersama temus. Petugas non kloter dengan petugas temus dibedakan dari seragamnya. Petugas non kloter menggunakan seragam biru muda sedang temus biru tua. Aku mencari adakah dokter muda itu diantaranya. Ternyata Zalwa bersama mereka, dia asyik berbincang dengan seorang temus. Tak salah lagi, itu Faisal. Mereka tampak akrab. Kuamati dari jarak pandang 50 meter. Untung tempat dudukku dekat kereta barang sehingga mereka terhalang pandangan. Sampai di depan posko kesehatan, Faisal pun berpisah menuju gate kedatangan dan Zalwa ke posko kesehatan. Ada perasaan cemburu melihat kedekatannya. Setelah membuat laporan peliputan, jam sepuluh malam aku menuju posko kesehatan. Sepi sekali, hanya ada beberapa yang masih berjaga. Kutengok tempat praktek dokter sepi. Tidak terlihat seorang pasien pun. Tiba-tiba dari belakang, terdengar suara menyapaku. Aku kenal suara itu, suara lembut sedikit serak. ”Assalamu’alaikum,” ucapnya. Aku menoleh, Zalwa dan seorang bidan bertubuh kecil dihadapanku. ”Waalaikum salam oh dokter, darimana?” tanyaku kikuk. ”Abis thawaf sama bidan Dedeh,” jawabnya. Thawaf maksud Zalwa adalah jalan-jalan mengelilingi bandara. ”Mau berobat dok?’ jawabku. ”Sakit apa, luar apa dalam,” goda Bidan membuat aku serba salah. Zalwa mempersilahkan masuk. Bidan Dedeh pun ke dalam. Aku duduk, ada sedikit sakit tenggorokan sejak kemarin. Radang tenggorokan adalah penyakit lamaku yang kadang kambuh. Sebenarnya tidak sakit amat, tapi kalau tidak diobati mengganggu aktifitasku. Zalwa mengambil lampu senter, dia menyoroti mulutku yang menganga. Setelah itu dia menulis resep, saat bidan Dedeh memeriksa tensi darahku. ”Tensinya bagus, tenggorokan agak merah, ini saya kasih resepnya,”
66
Zalwa membuat dua copy resep, satu diberikan pada bidan, satu lagi untukku. Resep untukku ada yang berbeda, sebuah nomor dia tulis dibawah namanya. ”Itu nomor saya selama di sini, kalau ada apa-apa telpon saja,” katanya. Sambil mengucap terimakasih kuberikan kurma Nabi pada Zalwa. Dia senang menerimanya. Aku ingin pamitan, biasanya kalau malam browsing di kantor daker bandara sangat nyaman. Tapi Zalwa masih ingin berbincang denganku. ”Kenapa buru-buru, bisakah kita bercakap-cakap di sini,” pinta Zalwa. Posko kesehatan memang sepi. Hanya aku, Zalwa, dan bidan Dedeh. Aku tak tahu apa yang ingin dibicarakan. Zalwa malah yang asyik bercerita. Dia cerita perihal keterlambatannya datang. Mobil petugas kesehatan rusak, kata Zalwa, mereka berangkat bersama temus. Dia bertanya tempat ziarah di Jeddah, aku pun menceritakannya. ”Diantara tempat itu, aku paling suka ke Laut Merah yang ada masjid Terapungnya,” kataku. Kutanyakan kenapa Zalwa ke Jeddah tidak bersama rombongan lainnya. Menurutnya, seharusnya yang berangkat bertugas ayahnya, dia seorang Qori di Medan. Tapi ayahnya meninggal dunia saat mengikuti acara Tilawatil Qur’an di sebuah negara di Eropa Timur. Kepergian ke luar negeri atas surat tugas dari Depag. Itu terjadi dua bulan yang lalu. Matanya berkaca-kaca ketika menceritakan kepergian ayahnya. Dari matanya kulihat dia sangat dekat dengan ayahnya. Dua minggu setelah kepergian sang ayah, Zalwa mendapat surat dari Menteri Agama. Dalam surat itu Menteri menunjuk Zalwa menggantikan ayahnya menjadi petugas haji. Penunjukan itu menjadi secuil penglipur hatinya. Zalwa tak menduga sebelumnya. Persiapannya hanya sebulan. Dia tidak bisa berangkat bersama karena seragamnya belum selesai. Memang, seragam Zalwa berbeda dengan dokter lainnya. Para dokter haji berbaju putih dengan bawah biru sedang Zalwa baju putih dan bawahan coklat. Kini, aku jadi mengerti, kenapa Zalwa terlambat datang dan kenapa pak Menteri merasa perlu menyalaminya. Tak terasa jam menunjukkan pukul dua belas malam. Seorang perempuan tua yang sakit mengharuskanku segera meninggalkan posko kesehatan. Kini aku sudah tahu jawaban dari pertanyaan mas Imam beberapa waktu lalu. ###
67
18. Mencari Arjuna di Tenda Jiran Ternyata Zalwa dekat dengan bidan Dedeh. Bahkan mereka satu kamar di wisma. Ummi, begitu Zalwa memanggilnya. Suatu hari Bidan Dedeh menanyakan masalah pribadi Zalwa yang terkesan tertutup. Bidan tahu, banyak kumbang Jeddah yang ingin mendekati Zalwa. Bidan menanyakan adakah lelaki yang mengisi hatinya. Zalwa lama menjawabnya. ”Zalwa masih menunggu seseorang,” ”Siapa dia?” Zalwa menceritakan hubungannya dengan kakak kelasnya di fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara. Seorang mahasiswa dari Malaysia. Dia orang Melayu serumpun dengannya. Badawi adalah ketua jurusan sedang Zalwa sekretarisnya. Secara organisasi hubungan mereka sangat dekat. Ternyata kedekatan itu membuat benang-benang cinta tumbuh di hati Zalwa. Apalagi, sikap Badawi sangat perhatian padanya. Mereka acapkali pergi berdua, meski semua itu untuk urusan kampus. Hampir setahun hal itu mereka jalani. Untuk urusan di luar kampus, mereka jarang bertemu. Di mata teman-teman kuliah mereka berdua dianggap pacaran. Awalnya hubungan mereka biasa saja, tapi setelah sering bertemu mereka pun saling mengisi. “Bisa dibilang hubungan kami, kakak beradik, teman dekat, kalau pacar gimana ya karena kami berdua tak pernah mendeclare, kami samasama tidak suka pacaran,” jelas Zalwa. Badawi diwisuda lebih dulu, setelah itu dia kembali ke Malaysia. Pertemuan terakhir dengan Zalwa di bandara Polonia. Kala itu, Zalwa merasa sangat kehilangan. Hatinya was-was kalau Badawi tidak kembali lagi karena Badawi pulang ke negaranya untuk bekerja. Ada sedikit harapan, ketika hendak berpisah Badawi mengatakan suatu saat akan kembali ke Medan. Zalwa terdiam. Dia ingin kata-kata lebih dari itu, seperti kembali untuk melamarnya. Sebulan, dua bulan mereka masih kontak atau sms-an. Tapi setelah tiga bulan nomor seluler Badawi tidak bisa dihubungi. Untung, Zalwa masih menyimpan alamatnya di Selangor. Setelah kehilangan komunikasi Zalwa berkirim surat, belasan surat sudah dilayangkan. Tapi
68
tak satu pun dibalas. Pernah suatu kali Badawi mengirim ucapan Idul Fitri, dia mohon maaf lahir batin. Tak ada alamatnya. Itulah surat terakhir Badawi setahun lalu. Saat menceritakan kisahnya, Zalwa tak kuasa membendung air mata. Sejak itu Zalwa merasa kesepian. Banyak pria yang mendekati, tapi tidak satu pun yang nyantol di hatinya. Salah satunya adalah Lukman, seorang insinyur keponakan dari ustad Mansyur. Di Medan tak ada yang tidak kenal ustad Mansyur. Dia ketua Ikatan Qori Sumatera Utara, sekaligus anggota DPD, anggota Dewan pembina partai dan seabreg jabatan penting di provinsi itu disandangnya. Dia sendiri yang melamarkan Lukman ke ibu Zalwa. Almarhum ayah Zalwa pun sangat akrab dengannya. Tapi, kala itu, Zalwa tidak memberikan jawaban apapun kepada ustad Mansyur. Melalui ibunya, Zalwa menyatakan belum siap disamping, Zalwa sendiri masih menunggu pinangan dari kawan di negeri jiran. Sekarang sudah hampir dua tahun Zalwa menunggu kabar Badawi. Sebenarnya Zalwa sudah terlewat sabar. Di rumahnya dia selalu menunggu surat, telepon bahkan ketukan pintu dari Badawi. Tapi sampai dia berangkat ke Jeddah hal itu tak kunjung datang. Beruntung Zalwa mempunyai kesibukan yakni praktek di rumah sakit daerah. ”Ingin rasanya Zalwa ke Malaysia, mencari dimana Badawi berada, tapi saya perempuan. Saya juga tidak tahu dimana adanya,” tutur Zalwa kecewa. ”Pernah Badawi mengucapkan kata cinta?” tanya Bidan. ”Badawi tidak pernah mengucapkan itu sekalipun, tapi perhatian, kasih sayang dan kata-kata lembutnya sudah merupakan wujud dari cinta itu,” ”Dia punya pacar?” ”Di Medan sepertinya tidak ada, tapi di Malaysia, Zalwa nggak tahu,” ”Pernah nanya?” ”Dia hanya diam kalau ditanya itu, atau mengalihkan pembicaraan,” ”Kalau gitu lupakan dia.... Zalwa,” Zalwa diam, dia menjawab lirih. “Kalau bisa, pasti Zalwa sudah lupakan Ummi,” Bidan Dedeh diam lalu memeluk Zalwa dan mengelus lembut rambutnya.
69
”Jodoh ditangan Tuhan, manusia hanya berusaha nak, dan kau sudah melakukannya,” nasehat bidan Dedeh sambil mendekap lebih hangat. Dia sudah menganggap seperti anaknya. *** Esok hari pun tiba. Udara bandara cukup panas. Zalwa bertugas kembali di bandara. Kali ini, pasiennya banyak sekali. Baru pada siang hari pasiennya mulai berkurang. Setelah pasien sepi, Zalwa berjalan keliling bandara. Dia melihat rombongan dari Malaysia sedang berkumpul. Itu mengingatkannya pada Badawi. Zalwa berjalan mengamati satu per satu. Dia ingin tahu apakah Badawi ada diantara mereka. Namun, ia tidak melihat keberadaannya. Zalwa duduk di kursi kosong, diantara rombongan itu. Seorang tua paruh baya mendekatinya. ”Nak cari siapa?” seorang jamaah berkacamata minus menyapanya. ”Oh saya cari kawan dari Malaysia,” ”Siape namanya,” ”Ahmad Badawi,” ”Darimane,” ”Selangor,” ”Ahmad Badawi, tak ade nama disini.” ”Maaf, bapak siapa?” ”Oh kenalkan saya Atok Ramlan, panggil aja Pak Cik. Saya pimpinan rombongan haji Malaysia,” katanya. ”Oh senang sekali berkenalan dengan Pak Cik, saya Zalwa...dokter haji Indonesia,” ”Oh bu dokter, dimana kenal Badawi,” ”Di fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara,” ”Oh ya, dokter kalian, nanti Pakcik nak bantu carikan Badawi ya.” ”Terimakasih, Pak Cik nak minta nomor selulernya,” Sebelum pergi Zalwa sempat bertukar nomor hape pak Cik. Zalwa merasa menemukan secercah cahaya di kegelapan senja. Perkenalannya secara tidak sengaja dengan Atok, membuat asanya bertemu Badawi tumbuh. Kabar apa pun tentang Badawi ingin ia ketahui. Dia dimana? Jadi ambil spesialis apa? Kapan mau ke Medan? Itulah pertanyaan yang ingin ia ajukan bila menemukan kontak personnya. Kumis tipis ala Malaysia membuat Zalwa sulit melupakannya. ***
70
Suatu ketika pak Mahmud menyuruhku untuk membuat profil petugas haji. Dia memintaku mengajak Soleman untuk memotret. Aku pun mencari informasi, siapa profil yang cocok. Sebenarnya aku ingin wawancara dengan seorang dokter senior yang sudah berkali-kali bertugas namanya dokter Tanto. Tapi kabar miring yang menyebutkan sebelum bertugas Tanto terlibat pelecehan seksual dengan perawat, membuatku urung memprofilkannya. Akhirnya mas Imam memintaku mewawancarai Zalwa. Aku belum tahu apa yang menarik dari Zalwa selain muda dan cantik. “Itu daya tarik tersendiri buat pembaca, kita tidak harus membuat berita yang mengerutkan kening tapi juga berita yang membuat orang bisa lebih rileks, setidaknya buat petugas haji yang kecapekan bisa sedikit fresh,” katanya.###
71
19. Dari Jabal Magnet hingga Raudah Beberapa hari lagi pelaksanaan ibadah haji dimulai. Bandara King Abdul Azis sudah ditutup untuk kedatangan jamaah umum. Hanya tamu-tamu khusus undangan kerajaan Arab Saudi yang boleh masuk. Misalnya pejabat negara, publik figur dan tokoh dunia lainnya. Kudengar mantan pemain bola legendaris asal Prancis, Zinedine Zidane akan mendarat dua hari jelang musim haji. Tapi sayang, petugas Indonesia sudah tidak lagi bertugas di bandara. Padahal aku ingin sekali berfoto dengannya. Narsis dikit. Rombongan MCH menggunakan waktu jeda itu untuk ziarah ke Madinah dan persiapan menjelang puncak haji Arafah. Dalam perjalanan ke Madinah Syaiful menceritakan tentang istana raja-raja Arab. Menurutnya, istana raja Arab Saudi ada di setiap kota besar. Di Madinah terletak di puncak bukit di jalan keluar Madinah menuju ke Jabal Magnatis, di Mina di puncak bukit tertinggi, di Mekkah di sebelah kiri Masjidil Haram atau sebelah kanan Hotel Hilton, dan letaknya juga di puncak bukit, di Jeddah di kawasan Corniche dan sebagainya. ”Di Jeddah ada juga yang berada di pinggir Laut Merah. Konon istana Raja dipagari oleh tembok tinggi ini mempunyai terowongan yang tembus hingga ke laut Merah. Jadi istana bawah air (laut)-nya mungkin seperti aquarium, sehingga di dalam ruangan kita dapat melihat kehidupan laut seperti di sea world, Ancol,” ujar Syaiful. Maklum, rajaraja Arab terkenal kaya raya dengan gaya hidup mewah. Kami ziarah di beberapa lokasi di Madinah. Antara lain Masjid Nabawi, Makam Baqi, Masjid Quba, pasar kurma dan Medan magnet. Perjalanan dari Jeddah ke Madinah ditempuh dalam waktu satu jam. Sesampainya di Madinah kami singgah di wisma haji Madinah sebelum mengunjungi masjid Nabawi. Masjid Nabawi sangat indah. Sholat lima waktu disini selalu dijejali jamaah. Menurut Hadits Nabi, Sholat jamaah di masjid Nabawi nilainya 1000 kali dari masjid biasa. Kalau di masjidil Haram nilainya 100 ribu kali. Namun bedanya Madinah lebih tenang dan udaranya sejuk karena terletak di pegunungan. Sedangkan Mekah relatif panas.
72
Masjid Nabawi tak kalah elok dengan masjidil Haram. Tempatnya luas, bersih dan arsitektur indah. Apalagi di malam hari, hiasan lampu menambah kecantikan masjid yang dibangun Nabi. Di areal Masjid Nabawi, terdapat tiga makam para Amirul Mukminin. Yakni Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar as Sidiq dan Umar bin Affan. Untuk melihat ketiga makam tersebut, jamaah harus rela berdesak-desakan. Tiga orang polisi berbaju coklat menjaga di depan makam. Mereka menghalau jika ada jamaah yang histeris di depannya. Setelah sholat, Badrun mengajakku ziarah ke makam Nabi. Aku ikut mengantri berdesakan. Sebuah nisan diselimuti kain berwarna hijau yang berlafas syahadat. Itulah makam Rasulullah SAW. Saat di depan makam Rasul, aku tak sanggup menahan air mata. Tergambar olehku, makam seorang manusia pilihan yang menggenggam risalah amat berat. Berbagai tantangan dapat Beliau lalui. Panji-panji Islam berkibar dengan penuh kejayaan. Kini sang Nabi terakhir telah tiada. Sungguh bangga, syukur dan haru. Sholawat kupanjatkan untukmu wahai Habibillah, kekasih Allah. Kubiarkan air mataku menetes deras. Tak jauh dari makam Rasul, masih di area Masjid Nabawi terdapat komplek kuburan massal. Makam Baqi, adalah tanah kuburan untuk penduduk Madinah sejak zaman jahiliyah sampai sekarang. Jemaah haji yang meninggal di Madinah dimakamkan di Baqi yang letaknya di sebelah timur Masjid Nabawi. Para syuhada yang dimakamkan di Baqi antara lain Usman bin Affan RA, dan para isteri Nabi, yaitu Siti 'Aisyah RA, Umi Salamah, Juwariyah, Zainab, Hafshah binti Umar bin Khattab dan Mariyah Al Qibtiyah RA. Di Baqi dimakamkan pula putra-putri Rasulullah SAW, diantaranya Ibrahim, Siti Fatimah, Zainab dan Ummu Kulsum. Di makam ini tidak ada tulisan atau batu nisan. Hanya gundukan tanah yang menunjukkan sebagai kubur diantara hamparan tanah. Dari masjid Nabawi, Syaiful membawa kami sejauh 4 kilomater keluar kota Madinah. ”Di sini terdapat satu fenomena alam yang menarik di Arab Saudi,” katanya. Kami belum paham maksudnya. Dia terus membawa mobil yang kami tumpangi. Tiba di suatu tempat Syaiful mematikan mesin mobilnya. Tapi pelan-pelan mobil ini berjalan. Beberapa meter mobil ini bergerak dengan kecepatan 4 km/jam.
73
Aku dan rekan lainnya heran. Mobil berjalan sendiri meski mesin dimatikan. Subhanallah. Bang Badrun tak percaya. Dia mengganti Syaiful memegang stirnya. Lah, tetap saja bergerak. Malah makin lama makin cepat. Sekarang sudah jalan 10 Km/ jam. Mendekati sebuah tikungan kecepatannya menjadi 15-20 km/jam. Beberapa ratus meter dari sebuah bukit, mobil mulai pelan dan berhenti. Jalan menuju bukit itu sedikit menanjak, mesin pun kembali dihidupkan. Kami merasa takjub. ”Ini namanya Jabal (gunung) Magnet, jalan itu menuju Tabuk,” jelas Syaiful sambil mengajak kami turun. Jika dilihat secara kasat mata, sebetulnya bukit tidak jauh beda dengan bukit lainnya, yakni berupa bukit-bukit batu gersang seperti yang banyak mengelilingi Madinah. Hanya ketika kendaraan sampai di jalan raya di antara perbukitan tersebut, baru merasakan ada suatu keanehan. Jalan sepanjang sekitar 4 km di kawasan perbukitan ini diyakini memiliki daya magnet. Mobil akan berjalan dengan kecepatan tinggi, meskipun persneling mobil dalam posisi netral. Aku mengucapkan takbir, inilah salah satu wujud kebesaran Tuhan. *** Sorenya kuajak Kohar sholat di Raudah. Raudah adalah sebuah tempat dalam masjid Nabawi, antara makam rasul (dulu kediaman Rasulullah) dan mimbarnya, luasnya sekitar 144 m2. Raudah adalah salah satu tempat yang makbul untuk berdoa. Wajar jika lokasi ini selalu dipadati jamaah. Laki-laki memiliki kesempatan waktu lebih banyak untuk sholat dan berdoa. Sedangkan untuk perempuan Raudah hanya dibuka pukul 07.00 hingga menjelang zuhur. Sabda Rasulullah “Di antara rumahku dan mimbarku adalah sebagian taman surga.” Taman surga (Raudah) menurut pendapat para ahli dimaknai sebagai: Setelah kiamat Raudah akan dipindahkan oleh Allah ke surga, menjadi bagian dari taman surga. Allah menurunkan rahmatNya dan kebahagiaan di raudah, karena di tempat itu dilakukan zikir dan pemujaan kepada Allah, sehingga berbuah surga. Orang-orang yang pernah berdoa di Raudah akan melihatnya kembali di surga. Setelah keliling kota Madinah, malamnya aku istirahat di sebuah flat, dimana untuk ukuran petugas haji termasuk mewah. Setiap kamar diisi
74
dua orang, dengan fasilitas AC dan televisi. Aku sekamar dengan Kohar. Ketika hendak tidur, mendadak ingin aku menelpon Bidan Dedeh, untuk menanyakan makanan kesukaan Zalwa. ”Assalamu’alaikum Bu bidan, apa kabar, saya lagi di Madinah.” ”Wa’alaikumsalam, aduh kok nggak bilang. Kemarin dicari Zalwa,” Bidan Dedeh bercerita tentang sebuah kabar miring yang menimpa Zalwa. Yakni tersebarnya fotoku yang sedang berdua dengannya di posko haji Jeddah, beberapa hari lalu. Zalwa mencariku untuk mengklarifikasi masalah ini. Aku memang mencatat nomornya, tapi aku lupa memberitahu nomor hapeku. Aku yakin ada orang yang menyebarkan foto itu dan bisa menimbulkan fitnah. Kata Bidan Dedeh, Zalwa menangis melihata foto itu tersebar. Sesudah mendengarkan cerita Bidan Dedeh, aku sms Zalwa. Dia memintaku segera kembali ke Jeddah untuk menjelaskan masalah ini. Zalwa tidak ingin digosipkan macam-macam. Aku memang hanya menginap semalam di Madinah. Setelah sehari di Madinah aku dan rombongan kembali ke Jeddah. Diluar kota kami hanya melihat gurun. Tempat-tempat yang ada kumpulan orang hanya masjid, toko dan pom bensin. Di sepanjang jalan terlihat banyak papan tulis yang mengagungkan asma Allah. Antara lain, kalimat Laa Ilaha Ilallah, Allahu Akbar, Alhamdulillah, Subhanallah. Papan berwarna hijau itu menuntun para pengendara untuk selalu memuji nama Tuhan. Sempat pula kami melihat jalan onta. Jalan itu ada dipinggir jalan raya yang kami lewati. Beberapa pengendara onta kami jumpai. ###
75
20. Badai yang Menggemparkan
Perjalanan siang hari dari Madinah ke Jeddah relatif lebih cepat. Setelah hampir 5 jam, kami pun sampai di wisma haji Jeddah. Aku segera masuk. Beberapa petugas yang kutemui menunjukkan sikap yang berbeda. Sewaktu di lift aku berpas-pasan dengan tiga orang ibuibu petugas. Mereka menyindirku. ”Bukannya bertugas malah pacaran,” sindir seorang wanita. ”Iya nih, anak Qori pantang berduaan dengan orang yang bukan muhrim,” sahut temannya. Aku diam saja. Kurasakan sebuah aroma yang tidak sedap. Separah itukah kondisinya? Aku bisa mengerti perasaan Zalwa. Aku ingin tahu seperti apa sih foto yang disebar. Kulangkahkan kaki ke ruangan media center di lantai dua, Mas Imam menungguku. ”Ini benar kamu?” tanyanya. Mas Imam menyodorkan sebuah foto. Aku mengamatinya, foto ini diambil dari jarak yang jauh menggunakan lensa zoom. Diambil dari samping agak membelakangiku. Kalau diamati tanganku seperti memegang rambut Zalwa. Tapi karena malam, banyak gambar yang tidak begitu jelas. Wajahku kelihatan dari samping dan Zalwa lebih jelas mukanya. ”Iya mas,” jawabku. ”Aku sedih, foto ini sudah menyebar kemana-mana. Sampai ke konjen, dan dapat diakses di internet. Judulnya menyudutkan petugas haji, ”Beginikah kinerja Petugas haji,” tutur mas Imam. Aku diam nggak tahu mau ngomong apa. Sebenarnya kami tidak berduaan. Ada Bidan Dedeh yang tidak jauh dari kami, tapi dia tidak dishoot di foto itu. Jadi kesannya kami berdua. Yang aku sesalkan siapa yang memfoto dan menyebarkannya.
76
”Sudahlah, ayo kita temui pak Mahmud, kamu jelaskan semuanya. Kalau ada yang tidak sesuai menurutmu silakan klarifikasi. Nanti saya bantu publikasikan di situs kita,” mas Imam menepuk pundakku. Di ruangan pak Mahmud, aku masuk bersama mas Imam. Pak Mahmud merokok sebentar. Dia keluar memanggil seseorang. Pak Batubara, dokter kepala kesehatan daker Jeddah masuk. Aku jelaskan semua peristiwa mulai dari datang berobat, terus bercerita. Kukatakan waktu itu tidak berdua tetapi bertiga, cuma yang seorang tidak ada di gambar. ”Bagus anda mau mengakui. Tapi anda harus tahu ini bukan Indonesia. Ini Saudi Arabia, negara Islam. Seorang wanita dilarang berduaan tanpa ada muhrim atau orang ketiga. Di foto itu tidak kelihatan orang ketiga sehingga bisa menimbulkan fitnah. Dan tersebarnya foto ini sudah merusak citra media center,” kata pak Mahmud emosi. “Tidak hanya citra media center pak, tapi citra petugas haji khususnya kesehatan. Kami sangat malu dengan kejadian ini,” kata pak Batubara. ”Maafkan saya pak, saya tidak merusak citra siapapun biarlah citra saya saja,” jawabku. ”Nggak bisa begitu, kamu nggak tahu apa kata orang tentang dokter Zalwa. Dia anak Qori. Tidak pernah pacaran. Bahkan dekat dengan lakilaki pun tidak. Dia gadis yang baik dan terjaga. Kamu sudah merusak citranya,” tegas Batubara dengan nada tinggi. ”Sebaiknya kita bentuk tim untuk mencari tahu penyebar foto itu pak,” sahut mas Imam. ”Waktu kita mepet, dua hari lagi kita sudah ke Mina. Banyak kerjaan kita dan tidak ada waktu untuk urusan begituan,” jawab Mahmud. ”Itu nggak perlu pak, justru kita harus berterimakasih ada yang mau menyebarkan foto itu. Dengan begitu kita tahu kinerja petugas haji kita,” ketus pak Batubara, kepala pertugas haji bidang kesehatan Jeddah. Pak Mahmud diam. ”Terus bagaimana pak?” tanya mas Imam.
77
”Sebaiknya mulai sekarang, semua konsentrasi di pekerjaan. Buat berita dan laporan yang bagus, tinggalkan pikiran tentang wanita, nanti di tanah air saja,” ujar Mahmud. ”Satu lagi pak, saya ingin Zulfikar dihukum. Dia tidak boleh mendekati Zalwa lagi. Lagian hanya dokter bodoh yang mau sama wartawan,” kata Batubara sangat menusuk perasaan. Aku diam. Bagiku kata-kata pak Batubara lebih menyakitkan ketimbang dihukum cambuk. ”Itu tidak adil pak, Zul belum bisa dinyatakan bersalah sebelum diusut,” ujar mas Imam. Tiba-tiba pak Daker masuk. Dialah pemegang otoritas petugas haji Jeddah. ”Aku sudah mendengar percakapan kalian, kukira untuk kebaikan semua lebih baik Zulfikar konsentrasi ke pekerjaan. Tidak ada lagi urusan asmara di sini. Kalau sampai ketahuan ada petugas haji yang pacaran kita akan menindak tegas,” kata pak Daker. Sidang selesai. Akhirnya hukuman pun dijatuhkan padaku. Larangan mendekati Zalwa sama saja aku harus menjauhinya. Aku keluar dengan kepala menunduk. Sebenarnya pak Mahmud ingin membelaku. Tapi dia tidak enak hati dengan pak Batubara yang dari awal memang kurang suka aku dekat dengan Zalwa. Mas Imam berusaha membelaku. Tapi apalah artinya. Aku salut dengan kebaikan bapak dua putra itu. ###
78
21. Gozali Dibelai Arafah
Musim haji tiba. Jamaah akan memulai serangkaian ibadah haji. Persiapan demi persiapan telah dilakukan. Untuk pemberitaan, dibentuk dua posko yakni satu di Arafah dan satu lagi di Mina. Bagi petugas, musim haji ibarat pepatah sambil menyelam minum air. Disamping ibadah haji lancar, aku ingin tugas liputan berita juga berjalan dengan baik. Larangan bertemu Zalwa ada hikmahnya. Aku bisa konsentrasi untuk ibadah dan bekerja. Setelah mengenakan ihram rombongan MCH berangkat dari Jeddah menuju Madinah. Bang Badrun sebenarnya belum sehat. Saat makan sate kambing semalam atas undangan pak Konjen, dia makan terlalu banyak. Darah tingginya kambuh. Kepalanya pening. Kalau bang Badrun saja berangkat haji apalagi aku dan Kohar yang baru pertama kali, kami ingin ibadah ini khusuk dan lancar. Biasanya para tenaga musiman, yang sudah pernah haji menjadikan momentum haji untuk menambah penghasilan. Mereka menawarkan badhal haji atau menghajikan orang yang belum haji tetapi sudah meninggal. Bayarannya beragam tergantung kesepakatan. Aku memakai jasa Syaiful untuk badhal haji ayahku yang sudah tiada. Sesuai negosiasi, upahnya 80 riyal. Kami berangkat ke Mina malam hari, di sana singgah sebentar persiapan menuju Arafah. Labbaik Alllahuma labbaik, labbaikalla syari kalla baik. Aku datang memenuhi panggilanMu ya Allah! Setiap mobil yang keluar masuk lokasi ritual Haji Arafah harus menempelkan stiker yang dikeluarkan panitia Arab Saudi. Di jalan kulihat beberapa bus yang mengangkut panitia tidak memakai stiker. Namun otak orang Indonesia memang lihai. Bus yang sudah diparkir di Arafah dicopotin stikernya untuk dibawa menggunakan mobil kecil, kemudian ditempel ke bus yang belum ada stikernya yang belum bisa masuk Arafah. Meski melihat keganjilan aku tidak boleh menggunjing. Aku ingat pesan haji agar fala rafatsa, wala fusuqa, wala jidala. Artinya jangan ngrasani/
79
membicarakan orang lain, jangan menjelek-jelekan, dan jangan pula berdebat untuk hal-hal yang tidak perlu. Dari Mina tiba di Arafah sekitar jam 5 pagi, aku sempat melaksanakan sholat subuh berjamaah. Tenda-tenda jamaah haji di Arafah sebagian besar sudah dihuni jamaah dari berbagai negara. Hampir dua juta manusia serba putih memadati padang pasir yang membentang luas. Udara panas memanggang kami di Arafah meski ada beberapa pohon yang terpelihara. Panasnya mengingatkanku akan padang Masyar dimana setelah kiamat semua manusia akan dikumpulkan untuk menghadapi penghisaban Tuhan. Gambaran ini membuatku merinding. Wukuf di Arafah dilakukan di tenda-tenda. Biasanya diisi tauziah, sholat, dzikir dan doa. Segala doa akan dipanjatkan karena Arafah merupakan salah satu tempat yang mustajab. Arafah diyakini sebagai tempat pertemuan antara Nabi Adam dan Siti Hawa. Setelah turun dari surga mereka berpisah di bumi dipersatukan Allah di Padang Arafah, yakni Jabal Rahmah. Selain panas, debu yang diterjang angin membuat penyakit gampang menyebar. Antisipasinya adalah memakai masker yang sudah dibagikan petugas kesehatan. Untuk menghindari silau matahari biasanya jamaah memakai kacamata hitam. Aku dan bang Badrun pun memakainya. Selepas makan siang, wartawan bergerak ke lapangan mencari berita. Kulihat Badrun dan Soleman wawancara dengan Menteri dan beberapa tokoh di tanah air. Aku mereportasekan kondisi jamaah di tenda-tenda. Kohar mencari berita di posko kesehatan Arafah. Aku dan Syaiful berjalan menuju jabal Rahmah. Di setiap perjalanan, kujumpai mobil-mobil yang membagikan makanan dan minuman. Menurut Syaiful setiap musim haji, orang-orang kaya di Arab berderma. Jabal Rahmah sangat ramai. Ada jalan terjal berbukit dan ada jalan bertangga. Di puncaknya terdapat tugu batu, di situ biasanya banyak orang berdoa. Setelah berdoa di tugu jabal ramah kami pun kembali ke tenda. Di pos media center, bang Badrun dan Soleman sibuk mengetik berita di laptop. Kohar belum tampak. Aku menulis rekaman di kasetku.
80
”Bang....ada kabar duka?” Kohar datang tiba-tiba. ”Ada apa?” tanya bang Badrun berdiri. ”Pak Gozali meninggal dunia,” katanya dengan linangan airmata. Innalillahi wa innailaihi rojiun. Aku berdoa agar pak Gozali menjadi haji mabrur. Dalam hadits dikatakan pahala haji mabrur tak lain adalah Surga. Pak Gozali teman sekamar kami waktu di asrama haji Pondok Gede. Dia ingin bertaubat atas dosa-dosanya. Sekarang Allah telah memanggilnya di tempat yang mulia. Aku, Kohar dan bang Badrun segera menuju balai kesehatan Indonesia di Arafah. Jasad Gozali membujur kaku. Namun rona mukanya sangat cerah, damai dan sejuk. Sungguh berbeda ketika masih di asrama haji. Dia meninggal tersenyum seakan bidadari menyertai disampingnya. Matanya terpejam, kami menangis sesenggukan. Aku tidak pernah ketemu lagi setelah sampai di Saudi karena pak Gozali bertugas di Mekah. Kualihkan pandangan ke arah tenaga medis yang berdiri tidak jauh dariku. Tampak seorang gadis berpakaian putih dengan kaca mata hitam. Dia paling cantik diantara petugas kesehatan. Zalwa. Jarak kami agak terhalang orang lalu lalang. Dia melambaikan tangannya. Aku membalas senyuman. Setelah itu aku pergi bersama teman-teman MCH. ”Keinginannya sudah tercapai, waktu di asrama haji, dia ingin meninggal di Arafah,” ujar Kohar. Aku diam. Aku tidak tahu kalau pak Gozali pernah bicara seperti itu, kalau benar, berarti doanya sudah dikabulkan Allah. Kami merasa kehilangan sosok seorang sahabat. Biasanya jamaah yang meninggal di maktab, pada musim haji akan diurus oleh Muazazah, dan dikubur di Mekah. Umumnya akan dikubur berjejer satu lubang atau secara massal. Jadi untuk peziarah, sulit mengetahui dimana posisi kuburnya tidak seperti di Indonesia yang makam diatasnya dipasang nisan dan tulisan. Setelah wukuf, mobil kami meluncur ke Muzdalifah untuk mengambil kerikil. Batu ini digunakan untuk melompar jumroh di Mina. Di situ kami
81
menginap di tenda. Setelah melontar jumroh selama dua hari, esok harinya kami tawaf, dan sai di masjidil Haram. Para petugas mengambil nafar tsani, yakni setelah melepar jumroh hari pertama langsung melepas baju ihram diganti dengan baju petugas. Selesai ritual di Haram (sebutan untuk masjidil haram), aku pun tahalul, menggunting rambut beberapa helai. Ritual haji menyita waktu 4 hari. Kebanyakan jamaah haji setelah prosesi haji terserang penyakit umumnya, flu dan pilek. Aku, Kohar, mas Imam juga terserang. Cuma ada satu yang membuatku heran. Pak Soleman justru tidak terserang penyakit apa pun. Diusianya yang sudah kepala enam. dia lebih tahan dari yang lebih muda. Aku pun menanyakan rahasianya. ”Yang penting pasrah sama Allah mas,”jawabnya polos. ###
82
22. Lamaran Sang Ustads Setelah pelaksanaan ritual haji usai, para tenaga medis daker Jeddah diperbantukan di balai kesehatan haji Mekah. Mengingat selepas haji, petugas kesehatan Mekkah kewalahan karena membludaknnya pasien. Balai kesehatan haji Mekah terletak di lantai bawah wisma haji Indonesia, dimana lantai atasnya menjadi tempat menginap petugas haji daker Mekah di distrik Aziziiyah. Sore itu, Zalwa ditelepon sepupunya Zainal yang berangkat haji, bahwa ustads Mansyur ingin menemuinya. Mereka janjian di sebuah ruangan kantor daker Mekah. Ustad Mansyur sosok yang cukup dikenal, selain di daerah juga di tingkat nasional. Tak heran, ia dapat perlakuan khusus dari pejabat Depag di tanah suci. Bahkan Menteri Agama pun berkunjung ke penginapannya untuk silaturahmi. Keduanya cukup dekat karena sesama pengurus IPQOH, sebuah asosiasi para Qori dan Qoriah. Hampir tiap tahun ustads Mansyur berangkat haji. Di ruang tamu daker Mekah, Zainal dan Zalwa menunggu ditemani kepala daker, pak Hasan. Tak lama berselang ustads Mansyur datang. Zalwa terkejut. Sang Ustads tidak datang sendiri. Ternyata dia bersama seorang pemuda yang dikenalnya. Lukman. Mereka bersalaman. Ustads mendapat sambutan hangat dari pak Hasan. Berbagai hidangan ala timur tengah tersaji di meja. Zalwa hanya diam tertunduk. Lukman sekali-kali memandangnya. Setelah itu, pak Hasan, keluar ruangan. Dia memberikan kesempatan kepada Ustads mengutarakan maksudnya. ”Gimana Zalwa. Pekerjaan semua lancar?” ”Iya Alhamdulillah ustads.” ”Ustads ke sini bersama Lukman. Dia selama ini kan sudah kamu anggap sebagai abang. Ustads mengenal Lukman dengan baik, begitu juga kamu. Mungkin Zalwa terkejut kok ada Lukman disini. Dia memang ingin berangkat haji, lalu Allah kasih rejeki, dan dia bisa bareng Ustads. Kebetulan kamu juga bertugas,” ustads mengambil minuman, dia minum seteguk.
83
“Sebelum berangkat, Ustads dan Lukman mampir ke rumah menemui mamamu. Kami ingin menguatkan silaturahmi antara keluarga Ustads dan keluargamu. Dalam jalinan ukhuwah Islamiyah yang lebih kuat. Kita sama-sama dari keluarga Qori, banyak kesamaan diantara kita. Ustads mengenal baik ayahmu, dan ingin melihat anaknya bahagia, khususnya kamu Zalwa,” Ustads diam sebentar. ”Silakan dimakan dulu, biar nggak tegang,” kata ustads. Zalwa mengangguk, tapi tangannya tetap tidak menyentuh makanan itu. Dia ingin mendengarkan keinginan ustads. ”Kamu tahu kan, Mekah adalah tempat yang mulia karena disini Rasul kita berjuang menegakkan Islam. Terutama adanya Ka’bah yang menjadi kiblat umat Islam. Tempat itu dilindungi dan diberkahi Allah. Kabah adalah tempat mustajab. Ibadah yang dilakukan di tempat itu tidak hanya bernilai ritual, tapi dalam maknanya, apalagi nilai historinya. ” ”Ustad ingin Zalwa bisa melakukan ibadah yang sakral disana, yang mungkin hanya dilakukan sekali seumur hidup. Ibadah itu insya Allah akan diberkahi Allah. Ustads mengajak Lukman karena Zalwa tidak bisa melakukan ibadah itu sendiri.” ”Maksud Ustads apa?” tanya Zalwa. ”Ustads ingin kalian melakukan Ijab Qobul di depan Kabah.” Zalwa kaget bukan main. Dia menatap tajam ustads Mansyur. Ustads mengangguk. ”Maaf kalau kamu terkejut lagi. Tapi hal ini sudah Ustads bicarakan dengan mamamu dan dia tidak keberatan. Nanti resepsinya di Medan saja. Ustads sudah siapkan semua, wali, mas kawin, surat dari konjen, ijin ke masjidil Haram dan sebagainya. Ustads mohon Zalwa untuk tidak mengulangi kesalahan di Medan dulu. Terimalah Lukman sebagai pendampingmu. Ustad yakin dia akan membahagiakanmu. Dia tidak ingin menyia-nyiakan amanat ini, benar begitu Lukman,” Mansyur menoleh arah Lukman.
84
”Percayalah padaku Zalwa,” kata Lukman. ”Gimana Zalwa?” tanya ustads. ”Apakah Zalwa harus menjawab sekarang?” tanya Zalwa. Suasana hening.Ustads Mansyur manggut-manggut. Zaenal dan Lukman berpandangan. ”Tidak. Tapi yang perlu diingat 10 hari lagi kita sudah kembali ke tanah air. Bagaimana kalau Zalwa berpikir tiga hari untuk memberi jawaban,” jawab ustads. ”Apa itu tidak terlalu lama ustads, ” tanya Lukman.Ustads menggeleng. ”Zalwa, tolong pikirkan lebih dewasa. Jangan hanya pikirkan egomu, pikirkan mamamu, almarhum papamu, keluarga, dan kebaikan kita. Ustads Mansyur bukan orang biasa, banyak ibu-ibu yang memintakan jodoh putrinya kepadanya,” bujuk Zaenal. Zalwa diam. Tak lama kemudian ustads Mansyur dan Lukman pamitan. Zalwa masih bimbang dengan lamaran yang mengejutkan itu. Dia ingin agar pernikahan itu direncanakan dan tidak mendadak. Sebenarnya Zalwa dalam hati keberatan dengan waktu yang terlalu singkat untuk membuat keputusan besar. Keputusan yang akan mempengaruhi jalan hidupnya ke depan. *** Berita tentang lamaran itu sampai di kalangan petugas kesehatan. Kadaker Mekah, pak Hasan malam itu membicarakan masalah lamaran itu dengan dokter Batubara. ”Saya kira, sungguh sebuah kehormatan bila Zalwa mau menerima pinangan dari menantu ustads Mansyur. Dan kita harus siap-siap mengadakan akadnya pak,” kata pak Hasan.
85
”Tunggu dulu pak, saya kira masalah lamaran itu masalah pribadi antara Zalwa dan keluarga Ustads Mansyur. Saya tidak setuju kalau kita dilibatkan pada urusan pribadi, kita disini untuk melayani jamaah bukan?” ”Benar dok, tetapi anda tahu kan siapa ustads Mansyur. Pihak konjen saja sudah mengurus surat ijin untuk pernikahan di Masjidil Haram. Nah, apa kita yang jadi tuan rumah tidak berpartisipasi. Ustads Mansyur itu teman baik Menteri Agama,” Dokter Batubara memilih diam. ”Kita lihat nanti pak. Kan, Zalwa belum memutuskan apakah dia akan menerima lamaran itu,” kata Batubara. ”Yah, saya yakin Zalwa akan menerimanya. Kecil peluang untuk menolak. Justru kita ini yang harus mempersiapkan untuk hajatan nanti. Jangan sampai nanti serba mendadak dan kita kelabakan.” Batubara menghela nafas dan menyeruput teh manis. ”Sebagai pimpinan dokter di Jeddah, saya harap bapak ikut menyukseskan hajatan nanti. Untuk itu, tugas bapak adalah membantu meyakinkan Zalwa agar mau menerima pinangan itu. Kita di Mekah akan membuat panitia kecilnya.” Batubara tidak menjawab apa pun. Dia keluar ruangan kadaker dengan wajah kecewa. Setelah diperbantukan selama sehari di Mekah rombongan tenaga kesehatan kembali bertugas ke Jeddah. Mereka disediakan satu bus, sementara petugas yang lain termasuk kru MCH telah kembali ke Jeddah sehari sebelumnya. ###
86
23. Gejolak Hati Zalwa Prosesi ibadah haji yang berlangsung empat hari telah usai. Petugas haji kembali ke ”barak” masing-masing. Petugas kesehatan kembali ke posko, petugas pelayanan ke wisma demikian pula yang lain. Kini tiba waktunya pemulangan jamaah secara bertahap. Jamaah yang tiba lebih awal kembali ke tanah air lebih dulu, sementara jamaah yang berangkat di kloter akhir, pulang belakangan. Setelah ritual haji, semua jamaah haji kembali ke pemondokan masing-masing di Mekah. Usai puncak haji, mayoritas jamaah haji terserang penyakit terutama batuk dan pilek. Maklum kumpulan orang dalam jumlah besar, merupakan endemi penyebaran penyakit yang cepat. Apalagi pada cuaca berdebu dan angin bertiup kencang. Selain itu, kebanyakan jamaah tidak mau mengenakan masker saat prosesi haji, sehingga penyebaran virus pun lebih mudah. Di Jeddah, dokter Batubara memanggil tim pelayanan kesehatan. Dia mengkoordinir persiapan untuk pelayanan pada saat kepulangan jamaah. Setelah selesai, dia berbicara dengan Zalwa di ruangannya. ” Aku dengar ustads Mansyur melamarmu untuk dijodohkan dengan keponakannya,?” ”Benar dok.” ”Apa kamu mau menerimanya?” ”Belum tahu dok, Zalwa akan memberi jawaban dua hari lagi.” ”Sebagai kepala petugas medis di Jeddah, terus terang aku tidak suka dengan caranya melamarmu untuk keponakannya. Apalagi memberi batas waktu segala. Aku yakin ini akan membuat jiwamu tertekan. Sampai-sampai dia sudah membuat persiapan segala, mengurus surat dan sebagainya untuk pernikahan di depan Kabah,” kata Batubara. ”Meski aku atasanmu di sini, aku sama sekali tidak diajak bicara. Mungkin karena dia merasa lebih tinggi sehingga tidak level denganku. Aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Semua orang kunci sudah
87
dipegangnya, pejabat Deplu dan Depag. Dia merasa hebat sehingga seolah-olah dunia ini bisa diaturnya,” Batubara agak emosi. ” Ustads kok seperti itu cara berpikirnya. Aku sama sekali kurang respek meski dia tokoh nasional. Ini jelas memaksa. Padahal sudah bukan jamannya Siti Nurbaya lagi. Pada akhirnya semua terserah padamu. Kamu yang menjalaninya. Kalau kamu nggak mau kamu berhak menolaknya,” ujar Batubara. Pernyataan atasannya itu membuat Zalwa tambah bingung dan pusing. Dokter Batubara terkesan tidak menghendakinya menikah dengan Lukman. *** Malam harinya beberapa orang Qori datang menemui Zalwa di ruang tamu Madinatul Hujat. Mereka adalah Qori-Qori sahabat ayahnya. Ada haji Somad, pimpinan Qori Jakarta, Pak Jamal pimpinan kori Sumatera Barat dan ustads Rahmat dari Kalimantan. Mereka bertiga malam itu menginap di Madinatul Hujaj menjelang pulang ke Indonesia. ”Zalwa, kalau melihatmu aku ingat papamu. Badanmu tinggi seperti almarhum, wajahmu pun mirip dengannya,” kata Rahmat. ”Iya Zalwa, keluarga besar IPQOH harus senantiasa menjaga tali silaturahmi dan ukhuwah Islamiyah. Kita sudah menganggapmu seperti anak sendiri,” ujar Somad. ”Kami ingin Zalwa mengerti, dan tetap menjadi keluarga besar IPQOH, kami sudah mendengar, kalau Ustads Mansyur menghendaki kamu untuk keponakannya, kami ke sini untuk memberi dukungan rencana itu, maka sebaiknya jangan disia-siakan tawaran dari ustads Mansyur,” kata Jamal. Zalwa diam dia hanya menunduk. “Iya kalau ustads Mansyur tidak duluan melamar kamu, mungkin aku akan melamarmu untuk anakku,” ujar Somad. Begitulah para Qori memberi dukungan agar Zalwa mau menerima pinangan pak Mansyur. Tak hanya Qori, beberapa petugas dari Depkes pun memberi dukungan.
88
*** Suatu sore aku ingin menyampaikan sesuatu ke Zalwa. Surat yang aku tulis sebelum musim haji dan al Qur’an kecil yang kubeli di pasar Seng, Mekah. Surat berisi uangkapan perasaan dan simpatiku padanya. Ketika sudah kupastikan wisma sepi, aku memberanikan diri menuju ruangan tempat Zalwa menginap. Di depan kamar kudapati bidan Dedeh sedang menyeterika baju. Katanya Zalwa sedang tidur karena kecapekan. Bidan memberitahuku bahwa Zalwa sudah dilamar oleh seorang ustads untuk keponakannya. ”Zalwa belum memberi jawaban untuk lamaran itu. Kata Zalwa dia masih menunggu kabar tentang Badawi,” ujar Bidan. Bidan pun menceritakan sedikit tentang Badawi. Aku mendengarkan. Ternyata Zalwa masih menunggu seseorang. Aku pun merasa sudah tidak peluang untuk masuk ke relung hatinya. Kusimpan lagi surat untuknya. Hanya Al Quran yang kutitipkan padanya. Aku kembali ke ruanganku dengan lesu. Surat pun kubuang ke tempat sampah. ###
89
24. Surat Cinta Guru Bahasa
Pagi yang cerah menyinari Jeddah. Zalwa sedang makan sendiri di wisma haji Jeddah. Makanan yang disajikan di wisma haji setiap pagi sampai malam hari. Makanan disajikan secara prasmanan dengan lauk yang cukup bergisi. Sore itu, Faisal dengan baju koko buatan Mesir menemui Zalwa. Seperti biasa, Faisal selalu menyempatkan diri untuk menghampiri Zalwa. Dia sudah tahu bahwa Zalwa ada yang melamar. Ruang makan sudah sepi. ”Kaifa halluk ya tobin jamilah (apa kabar dokter yang cantik),” ”Khoir ya tholiib min Misri (baik ya mahasiswa dari Mesir),” ”Barakallahu ya humairah,” ”Sukron ya ustads,” ”Wah sudah banyak kemajuan Zalwa,” ”Pelajaran belum selesai kan?” ”Masih banyak, kalau perlu kita lanjutkan nanti.” ”Yah gimana caranya? Abang kan di Mesir,” “Atau mau ikut ke Mesir hehehe?” “Aduh pengin sekali, tapi Zalwa tidak punya kerabat disana,” ”Loh, kan ada bang Faisal,” sahut Faisal. ”Iya, tapi kan bukan muhrim,” ”Apa perlu dimuhrimkan dulu?” goda Faisal.
90
”Jangan bercanda, bang,” ”Siapa yang bercanda. Siapa sih yang nggak mau sama bunga jeddah, hehehe.” ”Ah bisa saja, gimana pelajaran kita?” Faisal diam. Dia mengeluarkan sepucuk surat. ”Hari ini tidak ada pelajaran. Tapi abang ada PR untuk Zalwa, abang tulis di dalam amplop. Tolong dijawab ya.” “Tapi Zalwa belum bagus Arabnya,” “Jangan kuatir, ini pakai bahasa Indonesia kok. Syaratnya satu, dijawab dengan jujur,” ”Pertanyaannya apa bang,” ”Ada sih... udah ya Zalwa, abang mau tugas lagi, Intabih (hati-hati) wassalamu’alaikum,” ”Waalaikum’salam. ” Zalwa penasaran ingin membuka amplop itu. Hari itu dia dinas malam sehingga bisa istirahat di kamar. Amplop warna hijau dengan gambar Piramid Mesir. Isinya kertas putih polos dengan logo al Ashar di pojok kanan. Zalwa membaca dengan saksama. Ternyata surat ungkapan hati seorang mahasiswa Mesir. Zalwa terdiam. Gadis itu termenung seolah menanggung beban. Belum lagi dia memberi jawaban pada satu lelaki, tiba-tiba laki-laki lain datang meminangnya. Keduanya sudah dianggap abang sendiri. *** Malam harinya Zalwa bertugas bersama Bidan Dedeh di Madinatul Hujjat. Saat itu pemulangan jamaah haji ke tanah air. Bus-bus berdatangan dari Madinah untuk transit. Semakin malam, makin sedikit
91
yang berkunjung. Tengah malam Zalwa tiduran di kasur petugas, matanya menatap kosong langit-langit. Bidan Dedeh menghampiri Zalwa. ”Zalwa kenapa kok belum tidur?” ”Ummi kenapa Zalwa harus menanggung beban ini,” ”Maksudnya,” ”Zalwa senang jadi dokter haji. Disini orangnya baik-baik. Tapi Zalwa nggak tahu kenapa ada orang yang tidak suka sama Zalwa dan menyebarkan foto Zalwa dengan Zulfikar. Kenapa Ustads Mansyur menyuruh Zalwa menikah dengan keponakannya di depan Kabah secepatnya. Zalwa belum siap menikah dengan siapapun sebelum tahu kabar Badawi. ” ”Oh begitu, Zalwa sudah bilang dengan ustad Mansyur,” ”Zalwa nggak tahu harus ngomong apa. Zalwa sudah telepon Mama dan mama menyerahkan urusan ini ke Zalwa. Zalwa diberi waktu 3 hari untuk memberi jawaban. Zalwa tidak punya jawaban apa-apa,” ujar Zalwa terisak. ”Zalwa bisa minta waktu lagi ke ustads Mansyur, ” ”Satu ini belum selesai, Zalwa tadi baca surat dari Faisal. Dia sudah Zalwa anggap seperti abang sendiri. Tapi tanggapannya lain. Dia ingin Zalwa menjadi muhrimnya,” “Masya Allah, inilah resiko menjadi wanita cantik, Ummi juga bingung. Sebaiknya malam ini Zalwa sholat hajat saja. Minta kepada petunjuk pada Allah.”###
92
25. Pudarnya sebuah Asa
Bunyi adzan menandakan waktu sholat subuh tiba. Telepon genggam Zalwa berdering nyaring. Ia bangun dari tidurnya. “Assalamualaikum Zalwa ini Pak Cik Atok, dari Malaysie,” “Waalaikumsalam, gimana kabar Pak Cik,” ”Alhamdulillah, Zalwa gimane?” “Sehat pak Cik, alhamdulillah.” “Iye, Pak Cik sudah mencari informasi mengenai Badawi. Pak Cik ada jamaah namanya Pak Nuh. Pak Nuh ini supleyer alat kesehatan di Rumah Sakit Penang. Di sana dulu ada dokter namanya Ahmad Badawi,” “Oh ya..terus gimana pak Cik,”Zalwa tidak sabar. “Ape Badawi yang dimaksud orangnye kuning, pakai kacamata, kumis tipis dan ada tahi lalat dikening.” ”Iya benar pak Cik, terus.” ”Zalwa jangan sedih ya,...Badawi sudah kawin, istrinya dua,” Zalwa diam, hatinya sedih nian. ”Tapi sekarang dia sudah tidak di Penang lagi. Dia sekarang dicari-cari polisi karena ikut aliran yang dilarang pemerintah.” ”Masya Allah, ...” Zalwa tidak bisa mengungkapkan kesedihannya. Badawi yang dulu aktifis kini menjadi buronan. Zalwa merasa dikhianati. Tapi Badawi memang tidak pernah punya komitmen apapun. Badawilah satu-satunya pria yang pernah merebut
93
hatinya. Zalwa tidak bisa melupakan. Perasaan Zalwa pun macammacam, ada rindu, benci, marah, kasihan. Semua jadi satu. Meski sedih dan benci setidaknya kabar itu telah membuat lembaran baru untuk Zalwa. Dia akan mengisi hari-harinya dengan membuang asa bersama Badawi. *** Setelah mendengar kabar itu, dia pun menelpon mamanya. ”Zalwa, lupakanlah masa lalu anakku. Dia bukan jodohmu. Itu yang terbaik dari Tuhan. Lihatlah ke depan, tegakkan kepalamu dengan melangkah mantap. Masa depannmu masih panjang. Tidak ada gunanya memikirkan sesuatu yang sudah berlalu,” nasehat bijak mamanya. ”Kalau masalah Lukman, mama serahkan keputusan padamu. Mama tidak akan interfensi. Tetapi sebagai seorang mama, hanya bisa menasehatimu. Mama sudah mengenal baik ustads Mansyur, dan selama ini reputasinya sangat baik. Kalau dia ingin mengajak kita untuk menjalin ukhuwah islamiyah. Pertimbangkanlah atas dasar agama.” ”Sejak papamu meninggal, majelis taklim kita tidak ada yang mengurus. Mama pun ingin menimang seorang cucu. Sosok laki-laki yang baik, memegang kuat agama dan bertanggungjawab terhadap keluarga sangat mama harapkan untuk mendampingimu,” Zalwa pun menyinggung tentang Faisal. ”Kalau ada orang lain yang ingin meminangmu pula dan dia baru kenal denganmu, janganlah terburu-buru. Apalagi dia mahasiswa, pilihlah yang sudah bekerja sehingga dia bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga. Tapi sekali lagi kamu yang menjalani bukan mama, maka kamulah yang menentukan masa depanmu.” Itulah nasehat-nasehat mamanya melalui telepon. Kalau disimpulkan nasehat itu lebih mendekati ke arah Lukman daripada Faisal. ***
94
Malam itu Bidan Dedeh memberikan sebuah kado dari Zulfikar, membuka isinya. Dia menerima sebuah mushab yang cantik. teringat Zulfikar, dan ingin tahu kabarnya. “ Kasihan dia, memberikan hadiah itu dia harus mengendap-endap ke sini,” ujar “ Dia tidak nitip selain ini,” tanya Zalwa. Bidan menggeleng.
Zalwa Zalwa untuk bidan.
Zalwa pun menceritakan kabar terakhir tentang Badawi pada bidan Dedeh. “Oh, Ummi sudah terlanjur bilang pada Zul, kalau Zalwa masih menunggu Badawi,” “Apakah menurut Ummi, Zul juga menyimpan perasaan dengan Zalwa?” “Kalau Ummi lihat sepertinya begitu,” “Terus gimana Ummi, malam ini Zalwa harus memberi keputusan pada Ustads,” Bidan pun minta Zalwa menelponku. Namun tidak kuangkat. Hapeku ketinggalan di wisma. Bidan lalu menuju ruangan MCH menanyakan keberadaanku. Saat itu Soleman dan Junaedi, petugas daker Madinah yang sedang berkunjung ke Jeddah. Soleman mengatakan aku sedang pergi. ”Menemui pacarnya seorang pramugari,” tambah Junaedi. Mendengar cerita Bidan, Zalwa diam sejenak. ” Ya sudah Ummi, Zul bukan jodohku, aku akan menelpon ustads Mansyur,” ujar Zalwa. ”Jadi kamu sudah mantap menikah dengan Lukman,” kata Bidan Dedeh. Zalwa mengangguk pelan. Bidan Dedeh diam sesaat. Matanya berkacakaca. “Apa sudah mengenal Lukman lebih jauh?” “Zalwa akui memang belum lama mengenal Lukman. Dia bekerja di Sibolga. Tiap bulan main ke rumah membawa oleh-oleh. Kadang sendiri,
95
kadang dengan ustads. Zalwa yakin Ustads Mansyur pasti tidak sembarangan menjodohkan orang,” ”Jadi kamu cenderung ke Lukman karena ustadnya atau karena Lukmannya,” Zalwa tidak bisa menjawab. Dia mencoba mengalihkan pembicaraan. ”Tidak hanya ustads Mansyur yang mendukung pernikahan ini, juga keluarga kami, para Qori dan para petugas disini,” ”Kalau Zalwa merasa sudah mantap Ummi tidak akan menghalangi,” Bidan melangkah keluar. Akhirnya hari itu Zalwa menghubungi Ustads Mansyur. Bidan menyembunyikan sebuah kekecewaan tapi tak mau menunjukkan di depan Zalwa. ###
96
26. Sebuah Sudut di Al Manar
Malam itu, hapeku ketinggalan di kamar ketika aku buru-buru pergi menemui Faridah. Gadis itu menelponku bahwa dia sedang ada masalah dengan Mutawif. Seorang Mutawif menangkapnya di Al Manar karena dia ketahuan pergi sendiri di sore hari. Mutawif itu membawa Faridah ke sebuah tempat. Sesampainya di al Manar kucari tempat yang diinformasikan Faridah. Aku takut terjadi apa-apa dengannya. Kutelusuri lorong-lorong toko. Tiba-tiba aku ingat peristiwa yang menimpa Cak Kandar. Saat itu ia ditahan Mutawif di tempat yang sepi di pojok barat Al Manar. Aku menuju tempat itu. Di sana kutemukan sebuah ruangan yang pernah digunakan untuk menghukum Cak Kandar. Tiba-tiba kudengar teriakan wanita dari gedung di sebelahnya. Aku hafal itu suara Faridah, kuhampiri suaranya dari balik bangunan. Untung pintu tak dikunci, aku bisa masuk. Sebuah bekas toko yang tidak terpakai. Aku terkejut melihat Faridah dengan cadarnya yang koyak tersudut di pojok bangunan. Seorang laki-laki bersurban ingin berbuat tidak senonoh padanya. Ya Tuhan, ternyata pria Arab itu adalah pimpinan Mutawif yang pernah menangkap Cak Kandar. Faridah berteriak minta tolong sambil membetulkan cadarnya. Kuhampiri pria berkumis itu. Satu pukulanku telak mengenai mukanya. Dia ketakutan dan lari terbirit-birit. Faridah berterima kasih dan segera kuajak pergi. Aku tak menyangka seorang Mutawif yang mestinya menjunjung nilai agama ternyata berkelakuan tidak pantas. “Dialah Faruk, yang pernah kuceritakan padamu,” ”Oh, aku pernah bertemu dengannya, dia pernah menahan temanku,” Kuantar Faridah naik taksi kembali ke apartemennya. Faridah sebenarnya pergi bersama Magdalena ke Al Manar. Tapi mereka terpisah. Saat itu Faridah kepergok Mutawif. Sementara telepon Magdalena tak bisa dihubungi.
97
“Zul, maafkan aku. Aku telah melibatkanmu dalam masalahku,” “Tidak Faridah, jangan berkata begitu.” ”Nanti, Faruk akan mengincar kita. Dia pasti malu ketangkap basah dan aku kuatir dia akan membalas dendam kepadamu,” ”Aku sudah berbuat, dan aku akan menghadapinya,” kataku. Sesampai di wisma kulihat di lobby Magdalena menangis melihat kehadiran Faridah. Dia bercerita bahwa dialah yang telah memberitahu Faruk keberadaannya. Ternyata Magdalena sengaja menjebak Faridah di Al Manar. ”Kamu tahu akibatnya Magdalena bila Zul tidak datang. Aku akan dinodai laki-laki itu dan itu dosa yang akan kautanggung seumur hidup,” ujar Faridah emosi. Kucoba tenangkan Faridah. Magdalena minta agar kesalahannya dimaafkan. Beberapa pramugari juga mencaci perbuatannya. Akhirnya Faridah luluh dan memaafkan gadis Filipina berambut sebahu itu. *** Setelah mengantar Faridah aku kembali ke wisma. Badrun memintaku ikut pertandingan persahabatan Bola Volley. Ia tahu aku ikut klub Volley amatir di Jakarta. Dia pernah melihatku bermain, lalu memasukkan namaku. Aku menolaknya. Tapi ketika mas Imam yang meminta, aku tak bisa menolak. Dia sangat baik padaku. Malam harinya aku ketik hasil wawancaraku dengan Zalwa beberapa waktu lalu, Kohar disampingku. ”Udah gue bilang, dokter nyarinya dokter kita mah nggak level,” katanya. Aku diam. Mas Imam tiba-tiba masuk kamar. Lain Kohar lain dengannya. ”Jangan nyerah dulu sebelum janur melengkung,” kata mas Imam.
98
”Cinta itu kan soal hati. Kita nggak bisa paksakan.” ”Tapi daripada entar sakit hati mas, kan mendingan sebelumnya kita mundur, toh kita bisa memperkirakan diterima atau enggak,” bela Kohar. ”Kalau sakit hati itu masalah lain Har, kalau kita ditolak dan bisa menyikapinya dengan baik, rasanya tidak perlu sakit hati. Yang penting usaha dulu, terus serahkan hasilnya kepada Allah,” ujar mas Imam. Aku meresepi kata-kata mereka berdua, rasanya nasehat mas Imam bisa aku terima. Mas Imam memberi masukan ikhlas tanpa pamrih, sedang Kohar setahuku dia ingin dekat dengan Sarah, dia punya pamrih. Kohar mengingatkanku pada Faridah. ”Kalau dia mau, minta aja datang ke Hujjat, besok kan ada pertandingan Volley. Lu kan ikut main, suruh dia ajak Sarah biar kita semangat,” Benar jugar, setidaknya aku mau tahu seperti apa sikap Zalwa melihat kehadiran Faridah nanti. Aku sms Faridah. Dia membalasnya. “Ingin sekali bertemu dengan teman-teman dari Indonesia, insya Allah besok aku datang.” Kohar menanyakan Sarah apa bisa ikut. “Sarah hari ini masih di Dammam, kalau besok dia ke Jeddah, saya ajak,” Kohar agak kecewa, kulihat dari perubahan rona mukanya. “Sudahlah, berdoa saja supaya Sarah bisa datang,” kataku. ”Iya gue hanya ingin melihatnya, kalau memilikinya gue nggak mungkin. Gue nyadar gue cuman wartawan radio, gaji kecil, Sarah bukan level gue. Materi gue kagak ada ape-apenya, penampilan dia cantik nah gue lu tahu sendiri kayak apa. Kalau gue menyukainya bukan berarti ingin memilikinya. Kata lagu Ebiet G Ade, Cinta kan tidak harus memiliki,”
99
Kohar memang biasa saja. Dia menjadi petugas karena rasa kasihan dari pak Beno wartawan senior yang bertugas di Depag. Perusahaan radio Kohar adalah sebuah radio Islam yang kecil, tapi kondisi keuangannya sudah labil. Bahkan katanya sudah beberapa bulan tidak gajian. Tapi dia tetap bertahan bekerja karena dia sangat idealis. Seharusnya jatah berangkat bertugas itu milik pak Beno, namun melihat kondisi Kohar, pak Beno kasihan. Akhirnya jatah tugasnya diberikan pada Kohar. Allah Maha Adil. Ternyata pak Beno mendapat rejeki lain. Sebelum kami berangkat ke Saudi, aku mendengar kabar pak Beno mendapat hadiah uang jutaan karena artikel jurnalistiknya menjadi pemenang lomba. ###
100
27. Pertandingan Prestisius
Hari ini pertandingan volley digelar. Aku bermain untuk tim petugas haji Indonesia melawan tim petugas Madinatul Hujaj yang terdiri dari orang Saudi, Yaman, Mesir dan sebagainya. Pertandingan ini merupakan upaya menjalin persahabatan antar umat Islam dan penyegaran untuk kami ditengah kepenatan bertugas. Dari MCH hanya aku dan Badrun. Petugas lain, ada dokter Batubara, Yanto, Faisal dan sebagainya. Tim kami ada 12 orang dengan Batubara sebagai pelatih merangkap kapten tim. Pertandingan akan digelar 30 menit lagi. Kadaker minta kami bersatu dan melupakan masa lalu. Kami pun melakukan pemanasan. Aku meregangkan otot diluar lapangan. Kalau dilihat dari postur tubuh jelas tim Indonesia kalah jauh. Badan lawan lebih tinggi dan besar. Tapi secara teknis kami yakin bisa bermain lebih baik. Kulihat Kohar berbincang dengan Zalwa di sudut gedung. Aku menitipkan print out profilnya yang sudah aku publikasikan di situs informasi haji. Disitu ada tulisan dan foto Zalwa. Dari jauh Zalwa mengucapkan terimakasih. Kohar pun mengacungkan jempolnya. Sudah banyak penonton di pinggir lapangan. Sepuluh menit lagi pertandingan dimulai. Pak Mahmud maju ke depan dan membawa peluit. Oh ternyata dia wasitnya. Mudah-mudahan bisa berlaku adil. Meski partai ini sekadar refreshing, tapi aku ingin sportifitas dijunjung tinggi. Kohar menghampiriku. ”Faridah, nggak datang ya? ”katanya. Aku menggeleng. Aku lebih konsens ke pertandingan. Zalwa dan para tenaga medis berdiri di pinggir kanan lapangan. ”Zul tunjukkan kemampuanmu ya...” kata Zalwa memberi semangat. Bagiku ucapan yang keluar dari bibir kecil itu sebuah lecutan yang mengandung energi besar. Faisal masih di barisan cadangan, dia menghampiri Zalwa. Tiupan peluit pak Mahmud membuatku tidak memperhatikan mereka. Aku ingin bermain sebaik mungkin.
101
Sebuah umpan lambung Batubara, berhasil aku smash masuk. Tepuk tangan bergema. Aku melirik Zalwa, dia mengangkat tangannya sambil tersenyum lebar. Belum pernah kulihat tertawanya selebar itu. Faisal di pinggir lapangan sudah gatal untuk bermain. Pertandingan berjalan alot, ternyata tim musuh cukup terlatih. Sementara tim kami hanya berlatih dua hari sebelum pertandingan, pembentukannya pun terkesan mendadak. Pertandingan makin panas, skor berjalan imbang. Giliranku menservis bola. Service smashku mengarah ke pojok kiri. Aku sengaja mengarahkan ke si Arab brewok karena menurutku dia agak lemah. Servisku berhasil masuk. Skor berubah 14-13 untuk timku. Kini aku servis lagi. Namun, tim Arab mengambil time out dan mengganti si Brewok. Kali ini servisku bisa mereka kembalikan dengan baik. Terjadi kesalahpahaman antara Batubara dan Badrun sehingga bola menerjang deras ke pertahanan kami. Skor sama 14-14. Mereka servis. Sebuah smash keras tim Saudi berhasil kita blok, Badrun mengirim umpan dan aku menyikatnya keras. Masuk, timku menang tipis 15-14. ”Horeee,” teriakan petugas haji Indonesia membahana. Pertandingan babak pertama usai. ”Hidup Zulfikar...” kudengar teriakan seseorang bertepuk tangan. Semua terdiam. Aku mencari arah suara itu. Wanita berjilbab serba hitam di sisi kiri lapangan. Semua orang memperhatikannya. Aku menghampirinya. Dia tersenyum mengangkat tangannya tanpa salaman. Waktu istirahat kugunakan berbincang dengannya. “Wah tak kusangka kamu jago main Volley...,” kata Faridah. ”Enggak, cuma bisa saja, ke sini sendiri ya,” ”Ya, tadi aku nyasar jadi kesini agak telat,” ”Oh nggak papa,” kataku.
102
Pertandingan babak kedua dimulai. Pak Batubara tiba-tiba menggantiku dengan Faisal. Aku tidak tahu alasannya. Beberapa penonton kecewa. Aku ikuti saja kemauannya. Dari jauh kulihat Zalwa memperhatikanku saat berbincang dengan Faridah. Ketika mataku memandangnya dia mengalihkan perhatian. Tak lama kemudian dia menghilang. Aku pun menyingkir sebentar, kuajak Kohar dan Faridah ke kantin. Letaknya tidak jauh dari arena. Kami bisa ngobrol disitu. ”Maaf, Kohar, boleh aku bicara berdua sama Zulfikar,” pintanya. Kohar mengangguk tahu maksudnya. Faridah menyodorkan tulisannya, aku pun membacanya. Tiba-tiba Kohar masuk. ”Zul, lu harus turun. Faisal tidak bisa main Volley, tim kita hampir kalah.” ”Sebentar Har, aku lagi ada kerjaan yang tak kalah penting,” Kohar pun pergi. Faridah tertawa geli. Ternyata Faridah seorang lawan bicara yang enak sehingga tidak ada perasaan rendah diri. Aku baru bisa menilainya setelah pertemuan ini. Kohar lagi-lagi masuk ke dalam dengan nafas terengah-engah. ”Zul, tolong bela tim kita. Kita jadi bulan-bulanan lawan, sekarang skornya sudah 13-2. Dokter Batubara minta supaya lu bermain.” Aku masih diam. Dalam hati masih jengkel saat diganti. Tiba-tiba, dokter Batubara masuk dengan badannya yang loyo. ”Tim kita kalah babak kedua. Aku memintamu bermain di babak ketiga. Maafkan aku Zul, aku terlalu egois karena menggantimu,” Aku bangkit. ”Faridah dukung aku lagi ya.” Dia mengangguk.
103
Aku kembali ke lapangan. Luar biasa semua mendukungku. Tapi aku tidak melihat Zalwa. Aku lebih kaget lagi melihat skor pertandingan, timku kalah telak 3-15 di babak kedua. Aku tidak tahu ada apa ini. Aku bermain lagi menggantikan Faisal. Orang-orang meneriakinya sebagai penyebab kekalahan. Dia malu dan minggir ke belakang. Ketika peluit babak ketiga dibunyikan Faridah masih dipinggir lapangan. Kali ini timku bermain takstis. Meski sempat tertinggal penonton terus memberi dukungan termasuk Faridah Pertandingan terus berlangsung ketat. Kami minta time ou saat skor 12-12. Kohar memberitahu Faridah ada meeting mendadak. Pertandingan mulai lagi. Timku tertinggal 12-14. Batubara minta lagi time out. Ia menyuruh bidan Dedeh memanggil Zalwa. Kulihat Zalwa datang. Dia tidak bisa menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Zalwa mendekati, dan berbisik padaku. ”Zul jangan sampai tim kita kalah, berikan yang terbaik agar temanteman mengenangmu,” Kata-kata itu membuatku bersemangat, kuharap yang lain juga semangat. ”Ah paling kalah...,” teriak lantang Faisal. Kalimat itu mendapat cercaan dari para petugas. Kami bermain hati-hati. Smash mereka berhasil kublok dan bola tidak bisa dikembalikan lawan, skor sama kuat 14-14. Zalwa terus memberiku semangat. Mereka minta time out. Satu angka lagi. Zalwa menghampiriku. “Zul aku akan memberimu hadiah kalau tim kita menang,” katanya. ”Tuh Zalwa mensupportmu full, jangan kecewakan dia,” ujar Badrun. Aku tersenyum. Ya satu angka lagi pertandingan selesai. Dokter Batubara menepuk pundakku. “Zul, tim ini sangat bergantung padamu, beri kami kebanggaan untuk oleh-oleh di tanah air,” katanya. Dia mengenggam tanganku. Peluit pak Mahmud pun sudah disemprit.
104
Badrun servis. Berhasil diterima mereka. Sebuah smash keras diterima Badrun kurang sempurna. Bola liar keluar lapangan. Aku segera mengejar sambil melompat ke bawah, tanganku masih bisa mencapainya. Pak Yanto meneruskan ke musuh. Mereka melakukan smash lagi. Bruuuk....smas lawan mengenai kepalaku cukup telak. Aku terhuyung ke belakang, dan bola masih terselamatkan. Badrun mengoper ke aku lagi di depan net. Samar-samar kulihat bola itu di atas net. Aku meloncat setinggi-tingginya dan memukul sekuat tenaga. Setelah itu, kepalaku pening, mataku berkunang-kunang. Aku roboh. Sayup-sayup orang orang berteriak senang. Mereka mengelu-elukan namaku. Beberapa orang menghampiriku. Namun pandanganku semakin meredup, gelap dan akhirnya hilang. ###
105
28. Tasbih kayu Cendana Aku baru sadar setelah terbaring di bangsal kesehatan. Rupanya aku tadi pingsan. Tampak beberapa orang mengerumuniku. Ada Kohar, pak Mahmud, pak Batubara dan Zalwa. “Syukurlah, kau sudah sadar...” kata pak Batubara. ”Zulfikar, selamat ya. Kamu adalah pahlawan tim kami. Tanpamu kami sudah dibuat malu lawan. Kami bangga memiliki petugas haji seperti anda,” ucap pak Mahmud tersenyum lebar. ”Iya, dia bahkan sampai pingsan demi kemenangan tim kita. Kucatat separuh lebih angka yang kita dapat berasal dari bolanya di babak ketiga,” ujar Kohar. ”Zalwa ingin mengucapkan sesuatu untuk Zulfikar?” tanya pak Mahmud. ”Atau kita keluar dulu pak, memberi kesempatan pada yang muda,” minta pak Batubara. ”Eh dulu kan bapak yang minta Zulfikar tidak mendekati Zalwa,” canda pak Mahmud. Pak Batubara pun malu dan menggandeng keluar tangan pak Mahmud. Kini tinggal aku dan Zalwa. Rahangku masih sakit kena smash yang telak semalam. Zalwa duduk disampingku. Aku pikir ini moment yang tepat untuk mengatakan sesuatu padanya. Sebenarnya aku sudah menyiapkan surat tapi urung kusampaikan. Aku tahu dia mau menikah. ”Zul terimakasih, kamu telah menyelamatkan tim kita dari kekalahan. Aku sangat mengagumi penampilanmu,” “Terimakasih Zalwa, kamu gadis yang baik. Oh ya, kabarnya kamu akan menikah?” Lagi-lagi Zalwa tidak bisa menyembunyikan perasaannya.
106
”Maafkan, aku telah menerima lamaran seseorang,” katanya tersendatsendat ” Siapa?” ”Di kotaku ada seorang ustads ternama, ustads Mansyur melamarku untuk keponakannya. Waktu itu aku menolaknya karena aku masih menunggu teman dekatku, dari Malaysia.” ”Iya, Bidan Dedeh pernah bercerita tentang dokter itu,” Zalwa diam sejenak diambilnya sapu tangan untuk menyeka iar matanya. Dia menceritakan perihal lamaran ustads hingga ia menerimanya. Aku mendengarkan sambil rebahan. Kutatap kosong langit-langit. Mataku berlinang. Tak tahan mendengar cerita Zalwa. Tapi aku tak bisa menyalahkannya. ”Sebelum aku memberi keputusan ke ustads, aku menelponmu, aku ingin minta pendapatmu, sayang ponselmu nggak aktif. Akhirnya kuterima lamaran mereka, tiga hari lagi insya Allah aku menikah di depan Kabah,” Aku diam mematung. Saat Zalwa menelpon hapeku ketinggalan karena aku pergi menemui Faridah yang dilanda musibah. Aku harus menghadapi kenyataan. Kucoba membaca pikirannya. ”Kamu ikhlaskan Zul, aku menikah dengan orang lain?” Aku sulit menjawabnya. Dia bertanya saat sudah membuat keputusan. Aku tidak punya jawaban lain. “Insya Allah Zalwa, jagalah harga dirimu dan martabat keluargamu. Kalau kau sudah berjanji janganlah mengingkari. Meski bagiku berat, tapi aku lebih keberatan lagi kalau Allah akan melaknatmu gara-gara kau ingkari janji.” “Wahai wanita suci, rekatkanlah silaturahmi. Jagalah ukhuwah Islamiyah. Jagalah nama baik keluargamu Jangan pikirkan aku, aku orang biasa belum tentu bisa membahagiakanmu.’
107
Zalwa menangis. Andaikan agama ini tak melarang aku ingin mengusap air matanya. Aku ingin mendekapnya supaya dia tidak sedih. Gadis itu mengambil sesuatu dari tasnya. ”Zul, terimakasih mushab darimu cantik sekali. Aku punya kenangkenangan untukmu. Ini tasbih milik ayahku. Kemana-mana aku bawa. Kini kuberikan padamu, supaya kita bisa menjalin silaturahmi selamanya,” Kupandangi wajah Zalwa. Kujulurkan tangan menerimanya. Sebuah tasbih dari kayu cendana. Dari luar Kohar berteriak mengajakku makan. Aku pun meninggalkan gadis itu. ”Jaga diri baik-baik Zalwa, semoga bahagia,” kataku. Matanya sayu. Aku tak tahu apakah setelah ini masih bisa melihat gadis Melayu itu lagi. Kohar tahu aku berduka. Sebenarnya aku tak selera makan, tapi kupaksa mulut ini mengunyah. ”Berita pernikahan Zalwa sudah menyebar ke mana-mana. Hampir semua petugas membicarakannya,” ujarnya. ”Kohar... memang jodoh urusan Tuhan. Tapi dalam kasus ini, aku ikut andil atas keputusan Zalwa, karena aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku. ” ”Sudahlah, lupakanlah Zalwa.,” katanya menepuk pundakku. ###
108
29. Faisal si Biang Kerok
Aku dan Badrun asyik bermain catur di ruang tamu. Kohar sedang online, melaporkan perkembangan jamaah haji di Jeddah melalui telepon secara Live di siaran berita radionya. Soleman hari ini tidak keluar kamar. Tiba-tiba terdengar suara dari kamarnya, suara orang mengerang kesakitan. Aku bangkit dari duduk mengetuk pintu kamarnya. Ternyata tidak dikunci. ”Kenapa pak?” tanyaku pada Soleman yang terbujur di tempat tidur. ”Badan saya demam, Mas.” Kusentuh dahinya. Panas, demam tinggi. “Sebentar Pak, saya panggilkan dokter, ”kataku. Di wisma haji hanya ada dokter Batubara, dia segera datang memeriksa Soleman. ”Dia kena angin malam mengakibatkan penyakit demam gurun. Panasnya tiba-tiba naik drastis. Obatnya ada di Madinatul Hujaj, kalau mengambil ke sana perlu waktu satu jam lebih. Padahal dia harus segera minum obat untuk menurunkan panasnya. Coba anda cari obat di Bagdadiyah, di sana ada apotik yang cukup lengkap.” Dokter Batubara memberikan selembar resep untuknya. Setelah itu pergi. Aku pun mencari apotik yang dimaksud. Kuminta Badrun menunggui pak tua. Panas di luar sangat menyengat. Aku dapat informasi dari seorang temus, distrik Bagdadiyah ada dibelakang wisma. Tak ada angkutan ke sana, kurang lebih berjalan kaki selama lima belas menit. Kuayunkan kaki. Tak ada pilihan lain untuk menolong Soleman, kecuali aku menebus obatnya. Kulewati rumah-rumah orang Arab, rata-rata bangunannya besar berbentuk kotak dengan tembok yang tinggi,
109
Pantas saja, sering terdengar kabar pelecehan dan penyiksaan TKI, karena rumahnya rata-rata rapat dan tertutup. Setelah lima menit berjalan aku tiba di suatu hamparan tanah lapang. Kulihat anak-anak kecil sedang bermain pasir. Seorang laki-laki hitam mungkin seperti Arab negro melintas dekat anak-anak itu. Tiba-tiba anak-anak itu berteriak sambil melempar kerikil kecil kearah orang berkulit hitam tersebut. Dia berusaha menghindar. Kepalanya menggeleng-geleng, meminta anak-anak menghentikan lemparannya ”Laa..laa...”kataku melarang anak-anak itu. Tetapi anak -anak itu terus melempar, tak hiraukan omonganku. Lemparan berhenti sampai suatu jarak yang tidak bisa mereka jangkau lagi. Orang hitam itu pun berlalu. Aku melanjutkan perjalanan ke apotik Hawa. Beruntung sampai disana tidak antri. Setelah menunggu beberapa menit seorang penjaga apotik memanggilku. Kubayar dari uang pribadiku. Sesampainya di wisma panas Soleman makin tinggi. Soleman pun menelan obat. Tak lama kemudian Badrun pamit karena ada tamu yang menunggunya. Dia perrnah cerita sepupunya yang sedang naik haji akan mampir ke wisma saat akan kembali ke tanah air. Setelah menenggak obat Soleman tidur. Kesempatan ini kugunakan untuk mencuci baju. Di wisma sebenarnya ada jasa laundry tapi mahalnya tak ketulungan. Satu stel harganya 8 riyal tergantung jenisnya baju atau celana. Kalau ihram bisa mencapai 20 riyal! Aku lebih suka mencuci baju sendiri di sela-sela tugasku. Disamping itu, di wisma disediakan mesin cuci, Kalau mencuci pagi hari harus ngantri, karena petugas banyak yang belum berangkat. Kalau siang, biasanya sepi. Jemuran ada di lantai 8 dan harus dijepit. Angin gurun sangat kencang yang datang tiba-tiba membuat jemuran beterbangan kesanakemari. Selesai mencuci kulihat Soleman sudah bangun. Dia memanggilku. ”Mas Zul, kemari sebentar,” panggilnya. Aku datang.
110
“Gimana sudah baik pak,” “Alhamdulillah sudah mendingan,” “Mas terimakasih ya, kalau nggak ada sampeyan siapa yang menolong orangtua ini.” “Berterimakasihlah pada Allah, Pak” “Mas Zul, tidak marah ya, kalau Soleman mendzolimi mas,” ”Emang kenapa pak,” tanyaku. “Mas, sebenarnya saya yang memotret mas Zul saat ngobrol dengan Zalwa di bandara,” Aku mendengarkan seakan tak percaya. “Kemudian foto itu saya taruh di hardisk komputer ruang sekretariat Daker untuk saya edit. Tapi saya lupa mendelete, jadi file foto itu masih di komputer. Sepertinya ada orang yang memakai komputer itu lalu menyebarkan foto itu,” Di lantai bawah wisma haji disedikan satu unit komputer dan mesin fotokopi. Semua petugas boleh memakainya. “Bapak tahu siapa yang menyebarkan?” ”Aku tidak tahu, tapi sesudahku yang memakai adalah Faisal,” “Oh mereka pasti yang berulah,” pikirku kenapa Soleman tidak bilang dari dulu. “Karena saya cemburu pada Mas. Dulu selagi masih muda saya pernah ditolak oleh seorang dokter. Saya merasa sakit hati,” Aku agak kecewa dengan orangtua ini. Namun aku memaafkannya. ***
111
Aku segera menuju kamar Faisal. Di ruangan, kulihat Faisal bersama tiga orang temannya bermain gitar. ”Faisal.... apa benar kamu yang sebarkan fotoku bersama Zalwa?” ”Eh berani benar masuk kandang macan, main fitnah segala!” Faisal berdiri tidak bersahabat. ”Soleman bilang kamu yang memakai komputer sekretariat daker setelah dia.” ”Mana buktinya...? Jangan mencari masalah,” ”Aku hanya ingin kamu mau mengaku saja, iya atau tidak?” Faisal malah tidak terima. Hampir saja kuangkat kerah Faisal kalau teman-temannya tidak melerai. Tak lama kemudian dokter Batubara masuk. ”Ada apa ribut-ribut?” tanya Batubara. ”Maaf dok, saya ingin Faisal mengaku apa benar dia yang menyebarkan foto saya dan Zalwa,” ”Bohong Om!” Batubara mendekat. ”Faisal kamu nggak malu sama Zulfikar. Kamu nggak ingat saat main volley, nyaris saja tim kita kalah. Siapa yang selamatkan muka kita, Om ingin kamu jawab sejujurnya, apa benar Faisal yang melakukan itu?” Faisal diam agak lama. Kemudian dia mengangguk pelan. Aku pun duduk memandangi pemuda pengecut itu. “Zulfikar maafkan aku. Aku cemburu kamu mendekati Zalwa.” ”Ya sudah, kalian damai saja, kalian harus menerima kenyataan samasama bukan jodohnya,” nasehat Batubara. Aku salaman dengan Faisal.
112
*** Aku lega sudah tahu penyebar foto itu. Aku pun menelpon Zalwa. Zalwa bilang dia tidak terkejut. Dia dari awal sudah memperkirakan ulah itu dilakukan orang yang cemburu, dan Faisal termasuk di dalam daftarnya. ”Aku mengundangmu datang besok, aku berdoa semoga engkau mendapatkan wanita yang lebih baik dariku.” ”Syukron Zalwa, kamu wanita sempurna. Di mataku hanya bidadari yang lebih baik darimu,” balasku. ”Bagaimana dengan gadis cantik di lapangan volley kemarin, bukankah dia seperti bidadari.” ”Itu temanku namanya Faridah, dia pramugari di Saudia Airlines” ”Oh teman, kukira siapa, aku sempat cemburu waktu dia datang. Aku memilih tiduran di kamar waktu kalian berbincang hingga Bidan Dedeh menyuruhku keluar.” ”Kenapa cemburu Zalwa,” ”Entahlah, padahal aku akan menikah dengan pria lain, tapi kenapa aku cemburu, aku .....” Belum selesai Zalwa berbicara, tiba-tiba hapeku mati. Ternyata baterainya low bate. Aku mencari charger tidak ketemu. Ya sudah, aku ingin menghibur diri bersama Badrun menonton tayangan Srimulat. ###
113
30. Badrun Terjebak di Lift
Setelah tahu Zalwa akan menikah, aku minta dipindah tugas dari Madinatul Hujaj ke bandara. Sebenarnya tugasku memang di bandara sedang Badrun di Madinatul Hujaj. Aku mengajak Badrun tukeran. Awalnya dia tidak mau, tetapi setelah dibujuk mas Imam dia mengerti. Kami berkumpul santai di wisma haji, Kohar dan Soleman asyik main catur. “Sudah gagal ya...” sindir Badrun ketika aku mengajaknya tukeran jadwal lagi. Aku tidak menjawab. Mas Imam yang membalasnya. “Semua sudah diatur sama Allah, jangan berkata gitu Drun,” ”Bercanda mas,” kata Badrun ngeloyor. Badrun pun membuka pintu lift. Aku berkemas untuk tugas di bandara. Tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam lift. Kami panik mencari tahu suara itu. Seseorang menggedor-gedor pintu Lift. Ternyata pintu lift yang ditumpangi Badrun mogok. Lift berhenti di lantai 2. Mas Imam menelpon teknisi. Aku dan Kohar mencari cara untuk membukanya. Hampir 5 menit kami belum bisa buka. Badrun masih menggedor-gedor. Setelah tujuh menit Badrun sudah tidak menggedor lagi. ”Mudah-mudahan dia masih hidup,” doa Kohar. Tak lama kemudian, datanglah petugas teknisi dengan cekatan mereka bekerja. Sebentar saja lift sudah terbuka. Tampak Badrun masih segar bugar. ”Alhamdulillah lu nggak mati Drun,” celutuk Kohar.
114
”Enak saja ngomong,” ketus Badrun lemas. ”Ini Arab Saudi dekat dengan Mekah. Hati-hati kalau bicara, Drun. Kamu sebelum naik lift ngomong apa sama Zulfikar, sana minta maaf dulu,” tegur mas Imam. Badrun menyalamiku. Aku menepuk bahunya. Aku anggap itu kecelakaan biasa. Tapi kalau itu akibat dari ucapannya, Waallahu alam. Kisah lift yang mogok, tersebar menjadi perbincangan penghuni wisma. Yang lebih seru lagi, sejak timku memenangkan pertandingan Volley perlakuan para petugas berbeda. Mereka yang dulunya sinis atas kasus fotoku dengan Zalwa sekarang sering menyapa. Seolah kemenangan itu telah menutup kasus terdahulu. Bahkan petugas yang mendukung pernikahan Zalwa kini simpati padaku. Termasuk Batubara, dia sedih tidak bisa mempengaruhi Zalwa untuk menolak lamaran itu. Begitu juga dengan Faisal. Dia memberi selamat padaku. Kohar masih kesal pada mahasiswa Kairo itu. ”Gayanya saja kayak pemain profesional. Servisnya semuanya nyangkut di net. Dia kayak si Brewok di tim Arab cuma jadi pelengkap. Lagaknya yang sok malah jadi bahan tertawa dan cacian. Zalwa melihat Faisal bermain, dia memilih pergi” tutur Badrun. ”Kalau bukan keponakannya pak Batubara, sudah kucaci maki habis di lapangan,” ujar Kohar. Oh ternyata benar. Gosip diantara petugas mengatakan Faisal masih saudara dokter Batubara. ”Dia mau pamer sama Zalwa, tapi Zalwa malah geli melihatnya bermain,” ujar Kohar. Aku hanya tersenyum. ”Dari caranya memegang bola saat pemanasan aku sudah membaca kemampuannya. Ketika aku diminta oleh pelatih diganti Faisal aku sengaja tidak mau melihat. Aku akan bertanding kalau dokter Batubara yang memintaku.” ***
115
Di kamar Zalwa merenung. Besok dia akan melepas masa lajangnya. Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu. Syaiful memberikan sebuah surat yang sudah berlipat. Di sampul surat yang lecek itu tertulis untuk Zalwa. ”Saya temukan di tong sampah, saya tidak tahu isinya,” kata Syaiful pamitan. Zalwa pun membuka surat yang sudah lusuh. Namun amplopnya masih tertutup rapat. Bismillahir rohmanirrohiim. Jeddah, Ahad Desember 2004, Teruntuk matahari yang tengah bersemi, Apakah hari ini sinarmu masih menerangi bumi. Aku ingin memandangmu setiap hari, agar jiwa ini menjadi tenang. Agar hati ini menjadi bergairah. Aku tak ingin sinar mentari itu pergi. Aku ingin cahayamu menyinariku sepanjang hari. Setiap saat dan setiap waktu aku kan menjaga sinarmu Wahai kembang yang harum baunya, engkau tidak sekadar mempesona tapi juga menawan hati ini. Kau buat hati ini bertekuk lutut untuk menempatkan namamu ditempat yang paling istimewa. Kuingin menjadi kumbang yang menguncup madumu. Aku ingin kembang itu bersemi setiap waktu. Zalwa, kau pasti mengerti maksudku. Jikalau kumbang ini akan datang menjemput, apakah bunga itu akan mengembangkan tangkainya. Dari seseorang yang ingin selalu d hatimu. Muhammad Zulfikar Sebenarnya Zalwa menunggu ungkapan hatiku sejak lama. Aku simpati padanya. Zalwa sedih surat itu terlambat datangnya. Air matamu pun menetes membasahi rona merahnya. ###
116
117
31. Faisal ditangkap Askar
Hari pernikahan Zalwa telah tiba. Gadis itu akan menikah di Mekah. Menurut informasi, Ijab Qobul dilakukan setelah sholat Dhuhur. Kapten Iskandar bertugas mengawal calon mempelai wanita dari Jeddah menuju Mekkah. Dia sempat menemuiku di wisma. ”Zul, kamu tahu siapa calon suami Zalwa?” tanyanya. ”Aku cuma tahu namanya Lukman, keponakan ustads Mansyur tokoh terpandang di Medan.” ”Kamu masih ingat nggak, pemuda yang pernah menyirammu air di Wadi Gudaid.” ”Oh orang itu susah dilupakan.” ”Dialah Lukman.” Masya Allah, aku bukan main kagetnya. Seolah tidak percaya laki-laki itu calon suami Zalwa. Kurasa ini bukan berita yang bagus. Aku tak menyangka sama sekali. Kapten Iskandar meninggalkanku saat aku belum percaya omongannya. Tiba-tiba Pak Mahmud menyapaku. ”Ayo, kita ke Mekah. Sebentar lagi berangkat, Zalwa pasti senang melihatmu hadir disana,” pak Mahmud berdiri di depan kamar. ”Iya pak, nanti saya menyusul,” jawabku. ”Bareng saya saja, tidak ada mobil lain, Syaiful sudah kita booking.” Aku tidak menjawab. Apakah aku bisa melihat orang yang menyiramku bersanding dengan gadis yang kukagumi. Aku rela Zalwa menikah dengan orang lain, tapi jangan dengan Lukman. Menurutku dia bukan laki-laki yang tepat untuknya.
118
Aku keluar lewat pintu belakang wisma. Sayup-sayup kudengar suara orang-orang memanggilku. Aku tetap berjalan melintasi lorong. Sampai di sebuah jalan, kuhentikan sebuah taksi. ”Masjid Terapung Sir,” kataku. Mobil pun meluncur lewat depan wisma. Dari kaca kulihat Zalwa mengenakan jilbab hitam. Dia tampak cantik. Ada tiga atau empat mobil yang mengiringinya. Tapi taksi berlalu cepat hingga aku tak memperhatikan siapa saja yang ikut. Kata-kata masjid Terapung spontan kuucapkan, karena aku belum selesai membaca buku Kisah Nabi Musa. Di benakku mendengar kata Laut Merah langsung teringat masjid Terapung. Pantai Laut Merah sungguh cantik. Pantai ini berada di sepanjang jalan di tengah kota Jeddah. Kawasan ini memang dibuat indah. Di kawasan inilah Kota Jeddah benar-benar terlihat sebagai kota internasional, apalagi di malam hari, saat lampu kelap-kelip dan penerangan jalan sudah menyala. Taman-taman indah didirikan di sepanjang pantai Laut Merah. Juga ada banyak tugu dan monumen. Tidak ada satu pun monumen yang berbentuk patung manusia atau hewan seperti yang ada di Indonesia. Bentuk-bentuk monumen berbentuk benda-benda mati seperti globe, perahu berkaligrafi tulisan Arab, tempat air (teko) dan lain-lain. Taman dan monumen ini terlihat lebih indah saat malam hari. Lampu kelapkelip berwarna warni mengelilingi taman dan monumen ini. Di sepanjang pantai ini terlihat bangunan-bangunan rumah yang sangat indah, seperti di kawasan elit Pondok Indah, Jakarta. Bangunan rumah sangat besar berarsitektur indah dan modern. Kabarnya, rumah-rumah ini memang milik orang-orang kaya di Arab Saudi. Selain rumah pribadi, di pinggir Laut Merah banyak didirikan villa-villa yang disewakan dengan harga selangit. Orang kaya Arab Saudi atau orang asing sering menyewa villa-villa ini. Setelah seharian di Laut Merah, aku kembali ke wisma. Kudapati mas Imam di depan wisma. “Zulfikar...darimana saja?” tanyanya . “Laut Merah,”
119
“Kami semua mencarimu. Pak Mahmud minta semua petugas yang tidak bekerja melacak keberadaanmu.” “Memang ada apa Mas?,” tanyaku. “Kabar dari konjen, ada petugas haji Indonesia ditangkap askar. Dia akan menjalani Qishas. Tapi konjen belum tahu namanya. Petugas konjen datang saat kamu tidak ada. Kami was-was. Lalu saya telepon pak Mahmud untuk mengecek masalah ini,” ujar mas Imam. “Terus,” “Saat Zalwa dan rombongan ke Mekah, kami mencari informasi siapa petugas yang ditangkap askar. Setelah dicek di lapangan dan di wisma ada tiga orang yang tidak ketahuan kontaknya, yakni kamu, Soleman dan Faisal.” “Ya kamu sudah datang, Alhamdulillah kami senang. Berarti bukan kamu. Kini yang belum ketemu Soleman dan Faisal,” Kami di media center pun mencari keberadaan Soleman. Sementera para temus mencari Faisal diluar wisma. Setelah kecapekan tidak menemukan Soleman dan malam makin larut, kami menghentikan pencarian. Tiba-tiba ada teriakan dari luar. “Soleman ketemu-Soleman ketemu,” Kohar teriak nyaring. Ternyata Soleman kesasar tidak bisa pulang sewaktu jalan-jalan ke Balad. Dia tidak bisa bahasa Arab dan tidak tahu nama daerah wisma haji Indonesia Jeddah. Dia bahkan sampai jauh diputar –putar sopir taksi. Kulihat para temus dengan muka tertunduk mengatakan Faisal tidak ditemukan. Kami curiga, apakah benar Faisal akan di Qishas. Malamnya pak Mahmud masuk ruang kami. ”Bukan media center. Dia mahasiswa dari Mesir.” Pak Mahmud menceritakan kunjungannya ke kantor polisi Jeddah setelah ijab Qobul Zalwa. “Faisal telah dituduh berbuat zina dengan istri orang Arab di sebuah hotel. Mereka ketahuan berduaan, dan akhirnya keduanya akan
120
dihukum Qishas. Faisal akan dicambuk 100 kali dan istri orang Arab itu sedang diproses hukumannya.” Setelah itu pak Mahmud menceritakan permintaan pak Konjen padaku. Dia minta aku membantunya membuat penelitian tentang TKI selama tiga bulan. Setelah itu aku diperbolehkan pulang ke tanah air. *** Berita akan diqhisasnya seorang petugas haji Indonesia mengalahkan kabar pernikahan Zalwa. Aku pun menemui Bidan Dedeh menanyakan prosesi itu. Bidan Dedeh mengatakan ijab Qobul harus diulangi 3 kali karena Zalwa menangis terus. “Zalwa menanyakanmu sebelum ijab, “ kata Bidan Dedeh. Aku diam. Kuikhlaskan Zalwa menjadi milik orang lain. Janur sudah melengkung. Sekarang dia sudah di Mekah, dua hari lagi pulang bersama jamaah haji rombongan suaminya. Aku menelponnya untuk mengucapkan selamat. Tapi hapenya tidak bisa dihubungi.###
121
32. Getar Cinta di Bandara
Aku menerima sms bu Waluyo. Dia berangkat haji bersama ibunya, akan kembali ke tanah air. Mereka menungguku di bandara. Aku akan menemuinya. Waktu mereka tiba, aku tidak bisa bertemu karena sedang ziarah di Madinah. Kini, saat kepulangannya akan kujumpai, apalagi tugasku di bandara. Suasana kepulangan jamaah haji terlihat lebih semrawut. Hal ini akibat banyaknya barang yang dibawa jamaah. Karena jamaah tidak sanggup membawa, maka barang bawaan itu banyak yang tercecer di bandara. Aku dan beberapa petugas lain mengumpulkan barang-barang tersebut. Menurut informasi, barang yang tececer akan dikirim ke tanah air dan jamaah harus mengambilnya di kantor Depag. Sebetulnya pemerintah sudah menetapkan berat maksimal barang bawaan setiap jamaah. Tetapi barang bawaan mereka tetap saja banyak. Meski sebenarnya barang-barang yang dijual di Arab Saudi tidak jauh berbeda dengan di Tanah Abang, Jakarta, karena kebanyakan cinderamata dipasok dari Indonesia. Setelah itu, aku menemui bu Waluyo bersama ibunya di karpet jamaah. Bu Waluyo penerbangannya ditunda dua jam. Kami bertiga menuju Al Wahji yang menyediakan roti dan minuman hangat. Cuaca bandara sore hari agak dingin, jadi minuman hangat bisa menjaga stamina kami. ”Ibadahnya lancar bu?” tanyaku. ”Alhamdulillah semua lancar, cuma ibu saya tidak bisa lempar jumroh karena berdesakan, maklum sudah sepuh. Akhirnya saya wakili. Abis haji kita sempat kena flu dan pilek, tiga hari baru sembuh. Kamu gimana Zul?” tanyanya. ”Semua lancar. Waktu lempar jumroh juga ada tiga jamaah yang minta tolong dilemparkan. Akhirnya saya bawa kerikil banyak. Ada cerita yang menggelikan waktu itu,” ”Apa itu?”
122
“Waktu melempar jarak saya dengan Aqobah yang cukup jauh, banyak kerikil saya yang tidak kena tiang. Bahkan ada satu kerikil yang mengenai bagian belakang kepala orang botak. Ketika orang itu menoleh, dia malah kena kerikil dari jamaah lain. Untung kerikil itu kecil.” Bu Waluyo dan ibunya tertawa kecil. “Oh itu dia sudah datang,” kata bu Waluyo menatap ke depan. Ia berdiri. Ini kejutan buatku. Ternyata Faridah datang dari arah belakang. Meski bercadar Bu Wal tetap mencium pipinya. Gadis berbaju hitam itu datang sendirian. Faridah mengucapkan salam. Dia duduk disampingku memesan minuman dan roti. ”Nah kalian sudah pernah bertemu berapa kali?” tanya bu Waluyo. ”Empat kali,” jawabku. ”Sudah ada kecocokan belum, mumpung masih ketemu nih?” Aku melirik Faridah, ia malah menunduk. ”Kurasa kalian pasangan yang serasi. Kalau kalian sudah merasa cocok bikin komitmen dulu. Masalah menikah nanti gampang, lagian Faridah masih terikat kontrak kan,” ”Masih dua tahun Bu.” ”Aku yakin pak Wal senang kalau kalian cocok. Jalani dulu saja, kalau sudah jodoh tidak akan kemana,” kata bu Waluyo. Kata-kata bu Waluyo membuat getaran cintaku yang frekuensinya lemah kini naik cepat. Hatiku merasa berdesir-desir. ”Salam buat pak Wal dan keluarga Bu,” kata Faridah. Setelah itu terdengar suara kepala rombongan yang memberitahu jamaah segera boarding, pesawat akan berangkat. Aku dan Faridah membawakan tas tenteng mereka. Kami mengantarkannya hingga gate
123
keberangkatan. Bu Waluyo melambaikan tangan. Setelah itu, aku mengajak Faridah pulang. Kebetulan aku juga akan kembali ke wisma. Lalu kami antarkan Faridah ke apartemennya. ”Zul, besok datang ke Corniche ya sama Kohar, aku mau serahin tulisanku,” Aku mengangguk. Kusampaikan salam Kohar untuk Sarah sewaktu dia keluar mobil. ”Oh aku belum cerita tentang Sarah ya,” katanya. Aku menggeleng. ”Dia sudah tidak bekerja di maskapai lagi, Sarah sudah menikah dengan orang Arab saudagar minyak, dia menjadi istri keempat, ijab Qobul minggu lalu,” Masya Allah, aku kaget. Ternyata perubahan di Arab begitu cepat seperti cuacanya yang bisa berubah drastis kapan saja. Di tanah Arab tidak mengenal istilah pacaran. Kalau suka langsung dilamar. Orang Arab bukan tipe orang yang gampang sakit hati, jika lamarannya ditolak dia akan mencari gadis lain. Ketika kuberitahukan perihal Sarah, Kohar menjadi lemas. ”Aku sedih bukan karena dia tidak menikah denganku, tapi kenapa mau menjadi istri keempat. Meski suaminya kaya, apa enaknya dimadu,” tutur Kohar.###
124
33. Ungkapan Hati Faridah
Sesuai janjiku, aku datang bersama Kohar di Cornice. Faridah menunggu di rumah makan Mesir, makanan favoritnya. Di sana ternyata ramai sekali. Puluhan wanita cantik berpakaian serba hitam berkerumun. Kulihat Faridah dengan cadarnya duduk di meja. Beberapa orang tampak menjabat tangannya dan ada yang mencium pipinya. Ternyata Faridah berulang tahun hari ini. Sebuah kue ulang tahun tersaji di meja lengkap dengan lilin menyala. Pria yang diundang hanya aku dan Kohar. Kohar bingung melihat banyak perempuan cantik di dekatnya. Dia merasa dikerubungi bidadari. ” Di Surga nanti kayak gini ya Zul,” bisiknya. Aku tersenyum. Faridah pun memintaku bergabung. Aku menyalami dan mengucapkan selamat padanya. Kali ini dia memakai baju pink diantara puluhan gadis berbaju hitam. Malam ini dia seperti seorang putri. Faridah memperkenalkan aku dan Kohar pada teman-temannya. Setelah lilin ditiup, kami pun menyantap makanan. ”So who want to ask about Novel, our teacher Zul will be answer,” kata Magdalena. Suasana nyantai berubah sedikit serius. Seorang perempuan bercadar bertanya kenapa kalau menulis sering mentok. ”Itu namanya blocking mental. Alasannya banyak, ada yang nggak mood, bingung nggak tahu apa yang mau ditulis. Tak hanya penulis pemula tapi penulis terkenal pun mengalaminya. Bedanya penulis ternama memiliki trik dan staregi mengatasi keadaan itu,” ”Apa itu?” tanyanya lagi. ”Dengan menggali ide. Pertama, cobalah lakukan sesuatu, karena adakalanya ide muncul ketika kita sedang melakukan suatu aktifitas dan saya percaya akan hal itu. Walaupun, tak jarang ada yang mengatakan jika penggalian ide sifatnya personal. Kedua, perbanyaklah membaca. Apapun bentuk bacaannya. Bisa buku, majalah, Koran, tabloid, dan lain-
125
lain. Karena dengan banyak membaca akan menambah pengetahuan kita. Yang penting bacaan itu bisa merangsang munculnya sebuah ide dan keinginan menulis.” ”Kalau ide sudah ada kita tinggal menuliskan,” ujarnya. ”Ya, setelah mendapat ide, langkah selanjutnya adalah mengembangkan ide menjadi sebuah tema tulisan. Jangan lupa supaya bisa berurutan kita harus pandai merangkai kata.” ”Apakah menulis perlu berurutan,” tanya Faridah. ”Itu masalah aliran. Ada yang runtut ada yang tidak. Kalau paham yang kuanut menulis itu mengalir saja. Tidak harus urut karena tidak efektif. Nanti pada saat proses editing baru kita buat lebih sistematis,” kataku. Setelah itu Faridah menitipkan sebuah amplop coklat, katanya contoh tulisannya. Dia minta aku mereview. Karena hari sudah larut malam kami pun pulang. *** Malam itu aku tidak bisa tidur. Tiba-tiba aku ingat amplop titipannya. Kubaca isinya, ada tujuh halaman. Tulisan itu menceritakan pengalamannya saat bertugas di pesawat. Tulisannya bagus, runtut dan jelas. Dia menceritakan dengan gaya bahasa yang simple dan menarik. Di halaman terakhir dia menulis pertemuannya denganku, Judulnya Si Mata Pedang, sahabat nabi. Dalam bahasa Arab, Zulfikar artinya mata pedang sayidina Ali bin Abi Tholib. Kubaca isinya; Aku bertemu dan mengenal Si Mata Pedang Sahabat Nabi. Dia datang sebagai seorang petugas haji. Dikirim Allah untuk membimbingku menulis. Perkenalan pertamaku tidak terlalu istimewa. Tapi setelah kejadian di al Manar aku mulai tertarik padanya. Dia seorang ksatria yang berani membela kebenaran meski di negeri orang. Aku ingin dia mengenalku
126
dan aku mengenalnya. Aku belum pernah bertemu dengan pria seperti ini sebelumnya. Sosoknya sangat bersahaja. Pemikirannya tajam, setajam mata pedang Ali bin Abi Tholib. Dia seorang jurnalis sekaligus penulis, aku yakin suatu saat nanti akan menjadi penulis hebat. Hanya waktu saja yang akan membuktikan. Aku kagum padanya saat bertanding volley. Dia pahlawan bagi para petugas haji. Semangatnya tinggi dan penampilannya luar biasa. Kemenangan tidak membuatnya tinggi hati. Meski smashnya setajam sabetan pedang Kalifah Ali. Kuharap perkenalan ini menjadi ta’aruf untuk hubungan ke depan. Hubungan yang diridhoi oleh Allah dalam kasih sayangnya. Dalam mahligai samudra cinta-Nya. Aku tak menyangka ternyata Bidadari bermata jeli mengagumiku. Aku ingin melanjutkan ta’aruf ini. Kudekap erat kertas itu di dada. ###
127
34. Hukuman Qishas
Hukuman Qishas atas Faisal dilaksanakan setelah sholat Jum’at. Aku dan beberapa teman petugas ingin menyaksikan prosesi hukuman itu. Apalagi yang mendapat hukuman kawan kami sesama petugas haji. Sebenarnya tidak ada yang percaya Faisal akan melakukan hal yang bodoh dan nekat itu. Aku dan Kohar mengorek informasi Sahrul, sahabat dekatnya saat bertemu tugas di bandara. Mulanya Sahrul enggan bercerita, mengira kami akan menulisnya di berita haji. Kohar meyakinkan bahwa kami hanya ingin tahu saja kenapa Faisal nekat berbuat begitu. ”Gadis yang ditemui itu mantan pacar Faisal waktu SMA, sebelum bertugas di Arab, Faisal sudah sering berkomunikasi dengannya. Gadis itu sudah menikah dengan orang Arab, namanya Gafar. Dia sedang ada masalah dengan suaminya.” ”Sebenarnya Faisal tidak pernah berzina. Gadis itu mengajak Faisal untuk curhat. Tapi mereka salah mencari tempat, mereka bertemu di sebuah kamar hotel. Mereka di situ kira-kira 2 jam. Ternyata ada anak buah Gafar membuntuti. Mereka kepergok berduaan. Saksi mereka hanya pelayan dan resepsionis hotel. Gafar pun menuduh mereka berzina.” ”Faisal menolak tuduhan itu. Tapi ini Arab Saudi. Dia tetap dinyatakan bersalah karena telah berduaan dengan gadis yang sudah menikah. Akhirnya dua orang saksi yang melihat mereka masuk hotel cukup untuk membuktikan perselingkuhan..” ”Siapa yang mengajak ketemu di hotel?” ”Gadis itu, karena dia sering menginap di situ, kalau ada masalah dengan suaminya. Sudah seminggu ini dia di hotel itu.” Gadis itu bernama Clara, kalau terbukti zina dia akan menghadapi hukuman rajam. Meski sudah dua tahun tinggal di Arab, Clara belum merubah status warganegaranya, masih memegang KTP Indonesia.
128
Sebelumnya, konjen RI Jeddah telah menemui otoritas Arab Saudi untuk minta keringanan hukuman. Tapi penegak hukum di Arab Saudi tidak mengabulkan. Mereka beralasan selain untuk menegakkan hukum syariah, juga untuk memberi pelajaran khususnya bagi pendatang. Tapi untuk kasus Clara masih menunggu pembuktian dan keberatan dari para pihak karena hukuman yang didakwakan sangat berat yakni hukuman mati dengan dirajam. Usai Sholat Jumat, beberapa orang memadati lapangan masjid. Sebagian besar petugas asal Indonesia. Tampak di antara mereka Pak Mahmud dan Pak Batubara, yang sudah menyiapkan obat-obatan untuk Faisal. Tim media center hampir semua datang. Disamping ingin memberikan dukungan moral untuk Faisal, kami juga ingin tahu secara langsung prosesi Qishas yang selama ini hanya mendengar ceritanya saja. Penting, bagi para wartawan untuk membuat reportase mengenai pelaksanaan qishas untuk diketahui masyarakat di Indonesia. Tak lama kemudian, Faisal digiring sekitar enam orang askar berjalan menuju tiang Qishas. Beberapa keluarga orang Arab mencemoohnya. Aku dan Kohar mencari posisi untuk membuat liputan. Soleman menenteng kamera. Seorang petugas bersurban membacakan kesalahan Faisal. Dia didakwa melakukan perselingkuhan dengan istri orang dengan hukuman 100 kali cambuk. Tapi atas keberatan konjen RI hukuman dikurangi menjadi 50 cambuk karena bukti-bukti yang mengarah ke perzinaan kurang kuat. Faisal berdiri dengan tangan diikat di tiang Qishas. Kepalanya menunduk. Tak lama kemudian sebuah mobil datang. Tampak keluar seorang berbadan besar dengan pakaian hitam-hitam memegang cambuk. Dia dikawal tiga askar. Pria itu memakai penutup kepala. Dari jarak sekitar dua meter dari Faisal sang algojo itu siap mencambuk. Para penonton khidmat mengikuti prosesi itu. Faisal maju dua langkah. Dia menundukkan badannya, bertumpu pada telapak tangan dan dengkul. Biasanya hukuman cambuk itu dilakukan di punggung terdakwa. Sesaat kemudian sang algojo memutar cemeti. Seorang petugas dari Saudi memberi aba-aba.
129
Prakkkk,......terdengar suara lecutan. Yang disusul dengan jeritan orang kesakitan ”Aaakhh,” teriak Faisal. Meski menggunakan baju agak tebal yang disiapkan otoritas hukum Arab, tapi cambukan yang dilakukan sang algojo cukup keras. Beberapa ibu-ibu petugas tidak kuasa menyaksikan hukuman itu. Mereka satu persatu meninggalkan area dan masuk ke dalam masjid. Kami dapat merasakan hukuman cambuk itu tidak main-main sakitnya. Pada cambukan ke dua puluhan tampak darah Faisal membasahi bajunya. Tapi hukuman itu tetap dilaksanakan hingga selesai. Dan pada cambukan terakhir. Faisal tergeletak. Dokter Batubara segera memberi pertolongan pertama. Namun pihak otoritas hanya memberi waktu sebentar karena Faisal langsung digotong ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan. Aku merasa kasihan dengan hukuman yang diterima Faisal. Aku pernah menyaksikan hukuman cambuk di Aceh melalui tayangan televisi. Tapi kesannya hanya main-main karena cambukan itu tidak bertenaga. Jauh berbeda dengan hukum di Saudi dimana cambukan itu cukup kuat. Darah pun sampai membahasai baju warna biru yang dikenakan terdakwa. Soleman kulihat tidak bisa leluasa memfoto karena tidak boleh ada pihak yang memotret. Kalau ketahuan kameranya akan disita petugas Arab. Bagiku menyaksikan hukuman itu membuka cakrawala tentang penegakan syariah di Arab Saudi. Pelaksanaan hukuman terhadap Faisal terjadi saat para petugas mempersiapkan diri pulang. Setelah bertugas hampir dua bulan, petugas haji di Jeddah, Mekah dan Madinah akan kembali ke tanah air setelah semua jamaah haji kloter terakhir kembali. Besok petugas haji non kloter daker Jeddah akan kembali. ###
130
131
35. Sayonara Petugas Haji
Malam ini para petugas mengadakan perpisahan. Aku sudah bilang pak Mahmud untuk tinggal sementara di Jeddah membantu Konjen melakukan penelitian terhadap TKI. Pihak Konjen akan mengurus perpanjangan ijin menetap di Jeddah. Mas Imam sedih saat menyalamiku. Dia berharap aku tinggal di Jeddah bukan karena patah hati dengan Zalwa. Tapi karena Allah. Dia minta aku meluruskan niat. Pak Batubara menasehati untuk menjaga kesehatan selama di Arab. Sementara Bidan Dedeh, mengatakan pintu rumahnya terbuka lebar untukku. ”Saya punya 3 anak gadis, mainlah ke rumah, barangkali ada yang cocok,” pintanya. Kohar merasa berat meninggalkanku. ”Pulanglah secepatnya, Indonesia menunggumu. Aku takut kamu akan kecewa dua kali terhadap wanita. Aku khawatir kamu tidak kembali lagi ke tanah air. Jangan lupa kontak terus. Kalau ganti nomor, kabari ya,” kata Kohar. Kohar memelukku berlinang air mata. Dia sahabat baikku, meski kadang berbeda pendapat dengannya. Aku kenal baik dengannya dari tanah air hingga di Arab Saudi. Kepada Kohar kutitipkan hape dan nomor telepon pak Waluyo. Juga kain ihram yang aku pinjam. Soleman menghampiriku, pertama dia minta maaf. Terus dia memberi sebuah fotoku berdua dengan Zalwa seusai wawancara. Kupandangi foto itu. Itu kenang-kenangan buatku. ”Mas, jangan sampai seperti aku ya, bujang sampai tua. Kalau sudah ada yang cocok lekas menikah dan kami diundang. Jangan lama-lama di negeri orang,” ujar Soleman. Malam itu aku sedih sekali. Kawan-kawanku besok akan pulang ke tanah air. Mereka sudah pamitan. Kudengar kabar Faisal sekarang
132
masih dirumah sakit, tapi sakitnya sudah membaik. Kalau sudah sehat dia langsung ke Mesir. Acara perpisahan malam itu sangat sederhana. Yang berkesan adalah saat bersalaman dan berpisah. Lautan air mata tak bisa dibendung. Kesedihan bila teringat suka duka selama menjalankan tugas melayani jamaah haji. Aku juga merasakan banyak hal dari tugas ini. Setidaknya, memberiku ilmu, teman dan pengalaman yang berharga. *** Sore itu aku masih menyantap nasi Kebuli, nasi khas Arab yang dibelikan pak Mahmud. Sebuah sms dari Faridah masuk. ”Tulisanku sudah dibaca, kita bisa ketemu malam nanti?” ”Sudah, kita ketemu di Balad ya, Kohar sekalian mau cari oleh-oleh,” jawabku. ”Ok, di restoran Filipina saja, ba’da Magrib,” Malam itu, aku dan Kohar pergi ke pusat perbelanjaan Balad. Kohar membeli oleh-oleh, karena besok dia akan kembali ke Jakarta. Sementara aku menemui Faridah. Seperti biasa aku bertemu gadis berkulit bersih itu di restoran Filipina. Faridah menemuiku sendirian. Aku menceritakan prosesi hukuman yang telah dilakukan terhadap petugas haji Indonesia. Faridah merinding mendengarnya. ”Faridah, tulisanmu cukup bagus. Kamu punya bakat untuk menjadi penulis hebat,” ”Biasa saja kok. Sudah baca semuanya?” Aku mengangguk. ”Aku mengerti. Kita akan lanjutkan ta’aruf ini. InsyaAllah, aku akan tinggal sementara di Jeddah. Sambil mengurus surat-surat. Setidaknya sampai Faridah selesai kontrak,”
133
Kulihat rona Faridah berubah. Sepertinya dia tidak terlalu bahagia. Kuceritakan keinginan Konjen yang memintaku membuat penelitian TKI. ”Bagaimana dengan pekerjaanmu, aku tidak mau nanti dikira pak Waluyo gara-gara aku, kamu meninggalkan pekerjaan?” Kuceritakan bahwa aku sudah resign dari tempatku bekerja. Keputusanku menetap sementara di Jeddah, tidak sekadar permintaan Konjen. Aku juga ingin belajar pada syech Yasser, belajar bahasa Arab dan memperbagus bacaan Qur’an di Mekah. Selain itu, aku bisa mengenal lebih dekat Faridah. ”Zul, kalau aku tidak di Jeddah, apa kau tetap akan tinggal disini?” ”Kenapa?” tanyaku. ”Minggu depan, aku akan ditempatkan di Kairo. Jadwal penerbanganku ke Jeddah sebulan sekali. Kalau ke Dammam atau Riyad seminggu sekali. Tapi ke Jeddah pun ada yang transit, ada yang menginap. Baru semalam aku terima surat mutasi itu.” Aku terkejut. Tidak mengira Faridah akan pindah tugas. Aku sudah pamitan pada petugas haji lainnya. Aku sudah bilang syech Yasser untuk belajar padanya. Pihak konjen siap menerimaku menjadi tenaga honorer. Aku berpikir sejenak mendengar kabar itu. ”Kairo lebih dekat daripada Jakarta, aku akan tetap di Jeddah,” kataku mantab. ”Bukan karena aku kan?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. ”Kupikir, masih banyak yang harus dipersiapkan. Proses itu masih panjang. Menurutku lebih baik kamu segera kembali ke tanah air. Banyak yang bisa kamu kerjakan di sana.” ”Terimakasih saranmu, tekadku sudah kuat. Aku ingin melupakan sejenak kehidupan Jakarta. Aku mencari tempat menenangkan jiwa. Jeddah adalah tempat yang memberi harapan. Meski aku tahu
134
tantangannya besar, akan kuhadapi. Bagiku pelajaran hidup disini sangat banyak. Ada sahabat para mukimin dan mahasiwa di konsulat jenderal sehingga aku tidak merasa sendirian. Juga ada pramugari bermata jeli.” Faridah tersenyum. Ia meminum jus aplukat, aku menyeruput jus mangga. Maknyus rasanya di tenggorokan. ”Aku ingin kita membuat komitmen setelah kontrakku selesai. Sambil persiapan,” katanya. Aku diam. Sebenarnya aku ingin melaksanakan Ijab Qobul di depan Kabah seperti Zalwa. Tapi untuk mengucapkan hal itu begitu berat. Faridah tidak ada wali juga aku. Kalau ustads dan saksi kukira banyak. Terus untuk mengurus ijin-ijinnya juga ribet. Sebagai tanda cintaku, Kuberikan arloji wanita untuk Faridah dan kupakai arloji pria. Sekonyong-konyong dari balik tirai ada seorang pria Arab masuk. Mereka adalah para Mutawif. Kami berdua terkejut. Tanpa basa-basi mereka membawa kami berdua keluar. ###
135
36. Ampunan sang Mutawif
Aku dan Faridah dibawa ke kantor Mutawif di Balad. Sebuah bangunan lama yang mirip penjara. Empat atau lima orang itu menggiringku tanpa kompromi. Kami masuk ke sebuah ruangan pimpinan. Aku dan Faridah ditinggalkan di tempat itu. Seorang duduk di kursi membelakangi kami. Dia memerintahkan anak buahnya pergi. Dia pun membalikan badannya. ”Faruk,” ujar Faridah lirih. ”Ya, kalian orang Indonesia, sudah lama aku mengincar kalian. Kalian berdua bukan muhrim tapi berani berduaan di negeri kami. Kalian tahu hukuman apa yang akan menimpa kalian?” ”Kami tahu, dan kami siap dihukum,” kataku ”Bagus, kamu seorang gentleman. Sama seperti namamu Zulfikar, sebuah mata pedang. Dan Faridah apakah kamu juga mau mengaku bersalah.” ”Silakan tegakkan hukum Tuhan. Tapi kuharap engkau memberlakukan hukum ini karena Tuhan bukan karena yang lain. ” ”Apa maksudmu?” ”Tuhan Maha Mengetahui apa yang ada di hati kita. Juga hatimu Faruk?” ”Iya memang ini untuk hukum Islam. Kalau pun aku ada sesuatu terhadap engkau, itu tidak akan menghalangiku untuk menegakkan hukum Tuhan,” ”Apakah engkau yakin Tuhan selalu Melihat perbuatan kita?” ”Tentu saja, Al Qur’an mengatakan begitu, Tuhan maha Melihat. Tuhan Melihat kalian berduaan di Balad,”
136
”Apakah Tuhan juga melihat apa yang akan engkau lakukan padaku di Al Manar,” Faruk terdiam. Di sangat terpojok dengan kata-kata Faridah. ”Jawab Faruk. Apakah Tuhan mengetahui isi hatimu dan rencanamu terhadapku di Al Manar?” Faruk terdiam, dia membuang mukanya. ”Tidak usah kau pungkiri Faruk. Allah tahu apa yang ingin kau lakukan. Kamu bisa mengingkari, tapi Tuhan tidak bisa kau bohongi!!!” keras kata-kata Faridah. ”Aku rela hukum Islam ditegakkan. Tapi kau juga harus dihukum,” kataku. ”Astagfirullahal adzim...” Kudengar mulut Faruk mengucap istigfar. Mukanya membelakangi kami. Dia duduk bersimpuh. Kulihat air mata menetes membasahi jenggotnya. Rupanya dia menayadari kesalahannya. Dia diam agak lama. ”Apakah kalian saling mencintai?” tanyanya. Aku mengangguk, Faridah pun mengikuti. ”Kalau kalian sudah cocok segeralah menikah, kalau mau menikah di Haram aku akan bantu menguruskan surat-suratnya.” Faruk bangkit dan menjabat tanganku. ”Terimakasih Faruk,” ujarku. ”Semoga Allah mengampuni dosa kita, apakah kalian mau menikah di Haram,’ ”Insya Allah” jawabku.. ”Sudahkah engkau melihat wajah calon istrimu?” tanya Faruk.
137
Aku menggeleng. ”Faridah perlihatkan wajahmu,” Faruk membuang mukanya. Pelan-pelan Faridah membuka cadarnya. Masya Allah cantik sekali. Seolah aku melihat bidadari yang turun ke bumi. “Sekarang kamu tahu alasannya kenapa aku menginginkannya,” ujar Faruk Akhirnya aku sepakat untuk melangsungkan akad nikah dengan Faridah. Faruk berjanji untuk membantu urusan perijinan. Faridah minta waktu tiga bulan lagi, karena dia akan menuntaskan pekerjaannya di Kairo. Rencana dua tahun menikah terpaksa dimajukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Setelah bersalaman dengan Faruk, kami pun pamitan. ###
138
37. Penelitian TKI
Semua petugas Jeddah sudah kembali ke tanah air. Hanya beberapa pejabat yang masih bertahan karena ada urusan yang harus diselesaikan. Sementara aku di wisma mengemasi barang-barangku ke koper. Pak Asnawi menelponku. Dia minta aku kembali ke tanah air. Bahkan pak Waluyo siap menaikkan gajiku dua kali kalau aku bekerja lagi. Tapi proposal itu kuanggap kurang menarik jika dibanding dengan pengalaman di Jeddah. Ilmu dan ketenangan hati yang selama ini kucari akan kutemukan. Setelah semua jamaah pulang, aku pun meninggalkan pemondokan petugas di Madinah Street. Aku menumpang beberapa malam di rumah Syaiful. Dia tinggal bersama istrinya di Jeddah sementara anaknya dititipkan pada orangtuanya di Madura. Rumah kontrakannya cukup besar. Bangunan kuno bercat putih. Sewanya sebulan 400 riyal atau setara dengan Rp 1 juta. Di rumah itu juga menumpang seorang sepupunya, Ahmad seorang sopir taksi. “Disini kebanyakan TKI yang laki-laki menjadi sopir atau pelayan toko, sopir gajinya lebih tinggi,” ujar Syaiful. Menurut Syaiful kasus-kasus TKI di Arab Saudi sebenarnya tidak terlalu besar, dibanding dengan TKI yang sukses. Devisa untuk negara pun sangat besar disumbang oleh para TKI. “Mau bekerja disini mas,“ tanya Syaful. “Ya, aku akan bekerja di konjen RI membuat penelitian TKI. Aku senang mendapatkan tugas ini. Disamping itu aku juga akan belajar agama,” *** Setelah bermalam di rumah Syaiful dua hari kemudian, seorang petugas konjen menjemputku. Di konjen RI di Al Muallifiin Steet, Distrik Al Rehab, aku mendapat kamar di belakang kantor. Lumayan fasilitasnya lebih lengkap daripada kos-kosannya yang kecil di Jakarta.
139
Sejak berangkat haji, aku sudah tidak kos lagi. Semua barang kutitipkan ke saudara. Bagiku upah yang kudapat dari konjen untuk biaya hidup saja, yang penting aku bisa berguru pada Syech Yasser, berdoa di depan kabah, mengenal kondisi Arab Saudi. Tentang Faridah aku mengikuti saran mas Imam, aku belajar untuk melakukan sesuatu karena Allah. Aku tidak lagi berharap kepada mahluk melainkan hanya kepada Allah. Hapeku yang berisi kumpulan nama-nama sahabat di tanah air pun sudah aku kembalikan ke pemiliknya. Hanya beberapa nama yang kuanggap penting kucatat. Di konjen aku mendapat banyak kenalan baru, ada puluhan orang yang bekerja di sana. Ada tenaga tetap yang digaji yakni para pejabat dan staf senior, ada pula yang honorer seperti aku. Suasana di konjen sangat akrab dan bersahabat. Aku berusaha menikmatinya. Selain haji, masalah yang sering ditangani konjen Jeddah adalah TKI. TKI ini masih carut marut pengelolaannya. Setiap hari selalu saja ada permasalahan tentang TKI mulai dari masalah gaji, penganiyaan, kekerasan dalam rumah tangga dan sebagainya. Belum lagi kalau ada WNI yang mendapat hukuman di Arab Saudi. Ini merupakan, kerja berat dubes dan konjen untuk menyelamatkan warganya. TKI dari Arab Saudi menjadi sumber devisa utama negara. Trilyunan dihasilkan setiap tahun dari ratusan ribu TKI yang bekerja di Saudi. Mereka rela jauh dari orangtua, suami, istri, anak dan keluarga untuk mengais rejeki di negeri orang. Tapi nasibnya berbeda. Ada yang sukses dengan uang berlimpah, tapi ada juga yang tidak mendapat gaji. Bahkan kasus penyiksaan sang majikan tidak sedikit. Untuk mengetahui permasalahan, aku menginventarisir kasus-kasus yang dialami TKI. Berbagai kasus tersebut aku rangkum dan kategorikan. Setelah itu kubuat analisa pemecahan. Hasilnya kutemukan berbagai kelemahan yang meliputi peraturan perlindungan tenaga kerja, kompetensi TKI dan masalah pemahaman budaya. Penelitianku selesai dalam tempo dua bulan dan aku laporkan secara bertahap resumenya melalui situs konjen. Sambutan luar biasa, baik dari pemerintah maupun tenaga kerja. Menurutku, carut marut masalah
140
tenaga kerja ini akan terpecahkan bila ada kemauan kuat berbagai pihak untuk melakukan pembenahan. Alhamdulillah, penelitian ini mendapat penghargaan dari kedutaan besar Arab Saudi. Departemen luar negeri pun menyambut baik penelitan ini dan segera meresponnya. Aku merasa bangga dengan hasil yang telah kucapai. *** Karena aku memegang paspor haji maka ijin tinggal atau kunjungan hanya di wilayah Jeddah, Madinah dan Mekkah. Untuk pergi ke Thaif yang kira-kira 30 kilometer dari Mekkah tidak diijinkan. Aku sempat belajar mengaji atau muratal secara jamaah di Mekah setiap bulan. Pembimbingnya langsung salah satu imam Rawatib masjidil Haram. Aku ingin memperbaiki bacaanku yang tajwidnya masih kurang. Untuk bahasa Arab aku sering main atau kumpul-kumpul dengan mukimin dan mahasiswa. Mahasiswa Indonesia yang kuliah di universitas Mekah membantuku mempercepat percakapan bahasa Arab. Setiap bulan kami berkumpul di aula Konjen. Setelah menyelesaikan penelitianku, aku melanjutkan pendalaman agama ke Syech Yasser. Kini aku tinggal di masjid Terapung. Sekarang pekerjaanku di Konjen adalah mengisi berita di situs Konjen. Baru kembali ke masjid Terapung menjelang Magrib. Aku tidur di sebuah kamar disamping Syech Yasser dan Abbas seorang tukang kebersihan asal Palestina. Aku mendapat telepon dari Faridah seminggu lagi dia akan ke Jeddah. Faruk pun sudah memberitahuku ijin menikah di Haram sudah selesai. Untung ada teman-teman konjen yang siap menjadi saksi. Untuk wali rencananya ayah Faridah akan datang tiga hari sebelumnya sambil menunaikan umroh. Aku sudah meminta Syech Yasser menjadi waliku, waktu itu dia hanya terdiam. ###
141
38. Kabut di Jeddah
Senja itu, kabut menggulung di Laut Merah. Mataku menerawang ke langit melihat warna merah sinar sang surya. Awan tampaknya sedang membisu. Tapi tiba-tiba langit gelap. Sepertinya hujan akan turun menghujam deras ke bumi. Aku berjalan menuju teras masjid. Tanpa disadari aku merasa takut melihat langit hitam yang tebal tidak seperti biasanya. Di serambi masjid, Syech Yasser membaca surat Al Ghaasyiyah (Hari kiamat). Saat aku mendekat Syech sedang membaca ayat terakhir; Inna Ilaina Iyyabahum, Tsumma inna alaina Hisabahum yang artinya Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka, dan sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka. Tiba-tiba aku merinding mendengarnya. Aku segera masuk kamar dan berselimut dengan kain sarungku yang tebal. Aku tidak tahu kenapa sore ini aku seperti orang yang habis melihat hantu kala memandang langit. Tak lama kemudian terdengar gelegar petir di angkasa. Jantungku berdetak kencang. Aku berdoa memohon agar diberikan ketenangan. Abbas mengetuk pintu. Dia memberitahuku bahwa ada ledakan dahsyat di atas laut Merah. Setelah itu langit menjadi merah dan petir bersahutan. Cerita Abbas membuatku merinding akan datangnya hari akhir. Abbas mencoba menenangkanku. Syech Yasser datang. Dia menatapku kemudian memelukku. Lalu dia memandang jendela melihat langit diatas. ”Akan terjadi sesuatu di kota ini,” kata Syech sambil mendekapku lebih keras. Dia bisa merasakan degup jantungku. Dia tahu yang kurasakan. Dekapan Syech memberiku kehangatan jiwa. Malam nanti beliau mengajakku sholat malam.
142
”Jiwamu masih bergelut dengan dunia, anakku. Dunia telah membelenggu dirimu. Lepaskanlah belenggu itu. Rengkuhlah belenggu Tuhan. Gapailah cintaNya. Syetan masih menggodamu dengan kehidupan dunia.” Setelah sholat malam hatiku mulai tenang. Esok harinya seperti biasa aku pergi ke Konjen. Tiba-tiba di perjalanan aku ingat Faridah. Sudah tiga hari aku tidak berkomunikasi dengannya. Segera kupencet nomornya. Hapenya tidak bisa dihubungi, aku mulai cemas. Kucoba sampai tiga kali, hasilnya sama. *** Dengan menumpang bus umum, aku sampai di Konjen lebih cepat. Ruangan masih sepi. Aku masuk ke dalam. Sarapan pagiku membaca surat kabar. Di Konjen ada beberapa harian berbahasa Arab, Inggris dan sebuah koran nasional di Indonesia. Dengan demikian aku tahu informasi di tanah air dan di belahan dunia lainnya. Mataku tertuju pada sebuah koran dengan gambar maskapai Saudia Airlines. Headlinenya berbunyi. ”Maskapai Saudia Jatuh di Laut Merah,” jantungku tersentak kaget. Masya Allah. Kubaca lebih dalam dilaporkan semua penumpang dan kru pesawat tewas. Berita ini membuatku dag dig dug. Kubaca berita itu hingga beberapa paragraf. Aku tidak percaya ketika membaca susunan korban yang tewas. Aku tercengang. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Faridah meninggal dunia. Dia bertugas di pesawat yang naas itu. Aku tak sanggup menahan kucuran air mata, seolah tak percaya. Begitu cepat gadis itu dipanggil menghadap Ilahi. Aku sangat kehilangan. Dia meninggal pada usia relatif muda. Tiga hari lagi kami berencana menikah di depan Kabah. Faridah telah mengisi hari-hariku di Jeddah. Walau hanya sms atau telepon seminggu sekali, aku merasa dia sudah masuk dalam relung hatiku.
143
Di sofa kusandarkan tubuh yang lemas ini. Kepalaku mendongak keatas. Seorang staf konjen berusaha menghiburku. Dia tahu, aku kehilangan seseorang. Dukaku terlalu dalam. Aku mengurung diri sebentar di kamar salah satu staf. Aku masih menyimpan sms terakhirnya yang dikirim tiga hari lalu. ”Bertakwalah pada Allah, karena waktu hidup tidak lama lagi,” Aku tidak menanyakan ”waktu hidup” yang ia maksud. Ternyata itu umurnya. Ya Allah berilah tempat yang mulia di sisi-Mu untuk Faridah. Jadikanlah dia bidadari surga, sehingga nanti pada saatnya aku akan menjumpainya. Insya Allah bertemu di sana. Memoriku mengingat beberapa kalimat pramugari jelita itu. ”Aku ingin kalau kau menetap di Jeddah bukan karena aku, tapi karena menuntut ilmu dan mencari ridlo Allah,” begitu katanya. Pramugari yang baik hati telah pergi. Jasadnya tidak diketemukan bersama ratusan penumpang lainnya. Tim SAR telah dikerahkan tapi setelah satu minggu tidak diketemukan, otoritas Arab Saudi menghentikan pencarian. Aku dengan staf konjen pun ikut mencari di Laut Merah. Ayah Faridah datang dari Jakarta untuk memastikan mayat anaknya. Dia sangat terpukul. Aku menyalaminya. Ternyata dia mengenalku. ”Faridah sudah menceritakan tentang kamu. Katanya kamu anak yang baik dan Faridah merasa cocok denganmu. Ayah tahu kita semua menyayangi Faridah, tetapi Allah lebih menyayanginya,” katanya sambil menitikkan air mata. Aku terharu. Informasi yang diperoleh pihak Konjen, penerbangan mereka mengalami cuaca buruk dalam perjalanan dari Kairo ke Dammam. Pesawat melakukan kontak terakhir dengan bandara Jeddah beberapa menit sebelum hilangnya sinyal. Saat itu pilot mengatakan bahwa tekanan angin yang kuat membuat sayap pesawat oleng. Musibah ini memang kehendak Allah. Allah telah memiliki rencana yang baik untuk hambanya. ###
144
39. Pengantin Laut Merah
Sore itu, di tepian Laut Merah aku memandang langit. Duduk di sebuah batu. Kakiku memainkan gemericik air. Mataku menerawang jauh ingin menerobos awan. Aku tersenyum seolah melihat Faridah ada di sana. Dia berpakaian serba putih. Wajah cantiknya tersenyum melambaikan tangan. Kubalas senyumannya. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Faridah pun pergi. Aku menoleh. Seorang pria berjenggot lebat tersenyum padaku. “Nak, dia sudah tenang di alamnya. Ikhlaskan kepergiannya supaya dia tidak terbebani. Alam kita sudah berbeda dengannya,” “Tadi saya melihatnya Syech, dia ada di langit sana, ingin mengajakku ke sana,” ”Nak, kita hidup di alam materi. Kita belum masuk ke alam ruh. Dimensi kita berbeda dengannya. Faridah sudah keluar dari jasadnya. Alam ruh alam lebih luas dari alam materi. Kamu akan menjumpainya bila kamu mempunyai dimensi yang sama dengannya,” ”Tapi saya belum ingin mati Syech,” ”Untuk bisa menggapai cinta mahluk, kamu harus mendapatkan cinta dari Penciptanya. Tidak perlu menunggu mati untuk menuju cinta-Nya. Kalau kamu mau tinggal di sini lebih lama, aku akan membimbingmu meraih cinta Rabb.” Aku diam. Sepeninggal Faridah, aku merasa kehilangan harapan. Aku pun tidak tahu apakah akan kembali ke tanah air atau tetap tinggal di Jeddah. ”Pikirkan dulu Nak, jangan buat hatimu terbebani. Dunia itu hanya godaan. Di mata Tuhan dunia itu sangat remeh temeh. Apalagi kehidupan itu penuh keterbatasan dan kematian akan menjemput kita sewaktu-waktu.”
145
Aku meresapi benar kata-kata Syech Yasser. Syech telah meninggalkan duniawi. Dia sama sekali jauh dari dunia. Hatinya bersih, perbuatannya ikhlas. Tidak pernah mengeluh apalagi marah. Katakatanya santun dan halus. Beda denganku yang masih menikmati keduniawian. Kalau Syech mau, fasilitas masjid ini bisa dimanfaatkannya. Bahkan untuk menjahit baju imamnya yang robek, Syech menggunakan uang sendiri. Padahal kalau mau menggunakan kas masjid dia tinggal minta Takmir masjid. Tapi, dia bisa membedakan mana untuk kepentingan dia, dan mana untuk kepentingan masjid. Dia benar-benar tahu arti hari Penghisaban. ”Kebaikan atau keburukan sebesar biji sawi akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.” Aku merenungkan tawaran Syech malam itu. Awalnya aku berniat tinggal di Jeddah lalu kembali ke tanah air. . Namun saat Syech menawariku untuk belajar agama, aku tertarik tinggal lebih lama di Jeddah. Setelah kupertimbangkan matang, aku akan menimba ilmu Syech Yasser. Malam itu, aku menelpon saudaraku di tanah air, memberitahu aku akan menetap di Jeddah untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. *** Hari itu Syech sedang ke pasar. Aku menghampiri Abbas yang sedang membersihkan masjid. Abbas adalah pemuda yatim piatu dari Palestina. Kedua orangtua dan saudaranya tewas akibat serangan rudal Israel yang menghantam rumahnya. Abbas luput dari serangan karena sedang sholat jamaah dii Masjid. Di Palestina dia tidak punya apa-apa. Akhirnya dia dapat bantuan pemerintah Arab Saudi untuk dipekerjakan di masjid Terapung. Dulu Abbas sangat membenci Israel yang telah menghabisi keluarganya. Setelah ditempa oleh Syech Yasser, pemikirannya berubah. Menurut Syech, keluarganya adalah mujahid dan sudah hidup bahagia di Surga. Abbas jadi tenang. Namun semangat jihadnya masih tinggi, dia ingin mati syahid.
146
Aku pun menanyakan tentang masjid Terapung. Menurut Abbas, masjid terapung ini merupakan tanah wakaf seorang janda kaya raya penduduk di sekitar situ. Setelah kematian almarhum suaminya, dia mewakafkan kekayaannya untuk membangun masjid ini. Keindahan masjid terlihat dapat dirasakan dengan duduk di sekitar taman yang menjorok ke laut. *** Kepergian Faridah masih menyisakan luka. Setiap melihat ke laut Merah, aku teringat dirinya Apalagi jatuhnya pesawat yang ia tumpangi di laut Merah. Syech Yasser sabar membimbing jiwa yang labil ini. Dia mengajakku untuk banyak merenung tentang kebesaran Tuhan. Syech mengatakan dunia adalah jalan bukan tujuan, barang siapa menjadikan dunia sebagai tujuan maka dia dalam kesesatan yang nyata. Harta, kekuasaan, jabatan hendaklah dijadikan sebagai jalan untuk menuju Tuhan. Sejak itu, hari-hari kuisi dengan kegiatan bekerja di siang hari di Konjen dan malam hari untuk ibadah. Setiap Sabtu aku ke Mekah untuk beribadah sambil membawa air zam-zam. Banyak teman-teman baik mukimin maupun staf konjen yang sering mampir ke tempatku bila sedang ziarah di masjid Terapung. “Jadikanlah Allah diatas segala-galanya. Kehidupan dunia ini hanya sandiwara belaka. Janganlah kamu terbawa arus mengikuti irama sandiwara itu. Arusmu adalah mengikuti petunjuk Allah melalui ajaran yang dibawa Rasul-Nya. Sabda Nabi mengatakan dua perkara yang kalau kita berpegang teguh tidak akan tersesat yakni Al Qur’an dan Sunnah Nabi,” pesan Syech Yasser. Syech menceritakan tentang kisah Sahabat Nabi yang khusuk dalam ibadahnya. Saat itu malam hari. Rasulullah SAW dan Pasukannya berhenti di sebuah bukit. Mereka baru saja kembali dari perang Dzatur Riqa. Seperti biasa, Rasulullah memberikan tugas berjaga bergiliran. Abbad bin Bisyr dan Ammar bin Yasir menyatakan siap melaksanakan tugas
147
itu. Abbad bin Bisyr menggunakan waktunya untuk beribadah. Sekejap kemudian ia pun larut menikmati manisnya Al-Quran yang ia baca dalam rangkaian shalat malamnya. Saat itulah seorang musuh mengintai dari kegelapan. Sebuah busur dan anak panah ia persiapkan dan segera diarahkan ke Abbad yang masih tenggelam dalam kenikmatan ibadah. Anak panah pun melesat dan mengenai salah satu bagian tubuh Abbad. Sebagian riwayat memaparkan, Abbad mencabut anak panah itu tanpa merasa sakit sedikitpun. Lalu, ia meneruskan shalatnya. Panah kedua pun meluncur dan mengenai bagian tubuh Abbad. Seperti kejadian sebelumnya, Abbad mencabut anak panah itu lalu meneruskan ibadahnya. Panah ketiga meluncur mengenai tubuh Abbad. Lagi, seperti sebelumnya, tanpa merasakan sakit Abbad mencabut anak panah itu. Selanjutnya, ia meneruskan ibadahnya. Ketika giliran Ammar bin Yasir tiba, Abbad pun membangunkan rekannya itu. Ammar kaget melihat darah mengucur dari tubuh Abbad. Melihat peristiwa itu, sang pemanah buru-buru melarikan diri. Mengapa tidak membangunkan aku ketika engkau kena panah pertama? tanya Ammar. Aku sedang membaca Al-Quran dalam shalat. Aku tak ingin memutuskan bacaanku. Demi Allah, kalau tidak karena takut menyianyiakan tugas Rasulullah SAW, biarlah tubuh ini putus daripada aku harus memutuskan bacaan dalam shalatku, ujar Abbad. Semakin lama aku mendalami ilmu tasawuf Kupasrahan jiwa raga ini kepada Tuhan secara kafah. Hari demi hari, bulan pun berganti dan tak terasa tahun telah berlalu. Ilmu syech Yasser menyatu dalam nadiku. Aku merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap gerak langkahku. Aku tidak merasa kesepian lagi. ”Kebahagiaan sejati adalah bersama Allah dan selalu mengajak Allah dalam segala suasana. Selalu melibatkan Allah di setiap tingkah laku kehidupan sehingga merasa Tuhan selalu mengawasi gerak-gerik kita,” kata Syech. Jiwa yang hampa kini sudah terisi dengan kebesaran Tuhan. Dzikir menjadi penawar dahaga hati ini. Inna sholati wa nusuki wa makhiyaya wa mamaati lillahi robbil ‘alamin” Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku, hanya untuk Allah rabb semesta alam.
148
Kehampaan akan kasih sayang di jiwa ini mulai hilang. Lambat laun kutemukan kasih sayang Tuhan. Dalam sholat wajib, sholat sunnah, sholat malam, puasa dan dzikir semakin aku memahami dan merasakan ayat ”Aku (Allah) lebih dekat dari urat nadimu,” Syech Yasser mengajakku keluar, melihat cakrawala senja di tepian Laut. Dia tersenyum melihat wajahku yang cerah. ”Apa yang kau rasakan anakku,” ”Alhamdulillah, aku tidak merasakan apa-apa selain jiwa ini mendapat ketenangan. Cinta sudah Allah persatukan dalam hati ini. Kini ketika aku lihat laut Merah, kutemukan kedamaian. Aku merasakan di sana ada cinta dari bidadari Surga. Ada taman yang indah. Aku tak lagi merasa kesepian. Faridah sudah mengisi hatiku melalui kebesaran Nya,” ”Ya kalian sudah menjadi Pengantin Laut Merah,” jawabnya. ###
149
40. 25 tahun Kemudian Tenagaku sudah tidak sekuat dulu. Gerakan pun mulai lambat. Rambutku sudah memutih juga jenggotku bertambah panjang dan lebat. Menjadi imam di masjid Terapung setiap sholat lima waktu menjadi rutinitasku. Sudah 25 tahun kujalani aktifitas ini, hingga usiaku hampir 55 tahun. Aku mengganti Syech Yasser yang meninggal setelah dua tahun aku menimba ilmunya. Sebelum meninggal syech berpesan agar aku mau menggantikannya menjadi Imam. Abbas masih setia menemaniku sebagai penjaga masjid. Dia ingin mengabdikan hidupnya untuk mengurus rumah Allah. Tapi dia tidak tinggal di masjid lagi. Setelah menikah, tiap ba’da Isya dia pulang ke rumah kontrakannya berkumpul dengan anak istri. Menjelang subuh dia sudah datang ke Masjid. Sejak menjadi imam, namaku pun sudah kuganti menjadi Abu Hambali. Oleh orang Arab sering ditambah menjadi Syech Abu Hambali. Sejak itu aku sudah jarang berkomunikasi dengan keluarga di tanah air. Hape yang dulu kugunakan sudah kusedekahkan untuk orang yang membutuhkan. Bulan ini musim haji telah tiba. Biasanya saat musim haji, masjid Terapung ramai karena menjadi tempat favorit jamaah haji. Apalagi jamaah haji Indonesia. Mereka paling suka ziarah disini. Aku tahu Masjid Terapung sering menjadi perbincangan jamaah haji di tanah air. *** Siang itu, aku memimpin sholat Dhuhur berjamaah. Jamaah yang datang cukup banyak. Termasuk jamaah haji Indonesia. Logat Arabku sudah faseh sehingga jamaah haji Indonesia tidak tahu bahwa aku berasal dari negara yang sama. Mungkin didukung dengan hidungku yang mancung dan jenggot panjang, membuat nuansa ke-Indonesiaan kurang terlihat. Apalagi hampir setiap hari pakaianku gamis panjang warna putih dan surban Arab. Kebanyakan orang menyangka aku orang Arab. Hanya postur tubuhku yang kurang tinggi bisa dikenali sebagai postur orang Asia Tenggara.
150
Usai memimpin sholat Dhuhur aku berzikir. Dzikirku paling lama, sampai jamaah sudah pulang pun aku tidak tahu. Selesai dzikir aku bermaksud sholat sunnah Ba’da Dzuhur. Kulihat ada seorang jamaah wanita masih duduk ditempatnya. Dia memandangiku, tapi aku tidak begitu memperhatikannya. Aku takbir memulai sholat sunnah. Usai salam, aku menoleh ke belakang. Wanita itu masih memandangiku. Usianya sekitar lima puluhan. Aku tidak mengenalinya sama sekali. Dia masih duduk sambil sesekali melihatku. Aku tidak begitu peduli, aku berdiri untuk kembali ke ruanganku. ”Zulfikar...... ” sapanya. Aku terkejut. Nama itu pernah kupakai 25 tahun lalu. Kulihat lebih detail wajahnya. Wajahnya sudah berkerut. Tergambar sebuah perjuangan hidup yang sangat berat. Mula-mula aku ragu, apakah benar dia. Lamakelamaan aku mulai mengenalinya. ”Kau...kaukah ...Zalwa,” kataku terpatah-patah. Aku masih mengenali guratan di keningnya. Meski sudah berumur, garis kecantikannya masih nampak. Tapi dia kelihatan lebih tua dari umurnya. Aku duduk beberapa hasta darinya. Menjaga agar orang tidak berprasangka macam-macam. ”Aku tahu kau disini.....aku sudah membaca suratmu dulu. Suratmu untukku, ditemukan di tong sampah oleh petugas wisma. Lalu diberikan kepadaku.” lanjutnya. Aku ingat pernah akan mengirim surat untuknya. Aku telah membuangnya ke tong sampah di wisma. Kupikir sudah hangus terbakar. Aku tidak menduga surat itu sampai ke tangan Zalwa. ”Kenapa kamu tidak kembali ke Indonesia, kamu dulu pemuda yang baik dan ganteng. Aku yakin banyak wanita yang suka denganmu. Aku lama mencari kontakmu di tanah air. Aku senang bisa berjumpa denganmu lagi. Meski sekarang kondisi kita sudah jauh berbeda. ” Aku hanya menunduk membiarkannya bicara apa saja. Yang pasti dia mengingatkanku pada sebuah masa lalu, yang takkan pernah bisa kulupakan. Setelah dia diam, aku menyalaminya.
151
”Assalamu’alaikum dokter Zalwa,” ”Waalaikum’salam Syech Zulfikar,” “Darimana antum tahu ana disini,” “Dari mas Imam lima tahun lalu. Mas Imam ingin anaknya jadi dokter, makanya dia ingin kita berjodoh. Supaya anaknya bisa belajar dariku untuk meraih cita-cita itu. Tapi akhirnya anaknya gagal menjadi dokter dan malah terjerumus dalam narkoba. Anaknya menjadi korban narkoba, dan aku yang merawatnya.” “Di mana mas Imam sekarang?” “Dia sudah tiada, tiga tahun lalu,” “Innalilahi wa inna ilaihi rojiun,” ucapku. Aku merasa kehilangan sahabat yang selalu baik padaku. Kini aku tahu kenapa mas Imam mendukung hubunganku dengan Zalwa. Aku sedih mendengar cerita Zalwa tentang anaknya. ”Waktu itu aku menanyakanmu, aku sudah lama bercerai dengan suamiku. Katanya kamu bekerja di Konjen Jeddah.” ”Kamu bercerai? ” aku kaget. ”Ya, aku menikah dengan Lukman hanya tiga tahun. Setelah itu aku bekerja mengabdikan diri untuk rehabilitasi anak-anak korban narkoba di Medan. Aku baru bisa berangkat haji tahun ini, setelah menabung bertahun-tahun.” ”Masya Allah”, Aku menggeleng, mataku berkaca-kaca. Pikirku Zalwa sudah bahagia bersama suami, anak dan cucunya. Tinggal di rumah yang mewah, punya rumah sakit, berkali-kali pergi haji dan dia sudah melupakan aku. Aku tak menyangka sama sekali apa yang dialaminya. Zalwa menceritakan sesampainya di Arab Saudi, dia langsung menuju Konjen Jeddah. Semua orang Konjen sudah berganti, tak ada yang mengenalku. Apalagi namaku sudah kuganti. Tapi dia tidak putus asa. Dia teringat tentang Laut Merah yang pernah kuceritakan padanya. Juga tentang Masjid Terapung. Pada saat ziarah dengan rombongan hajinya dia mencariku disini.
152
”Meski penampilanmu sekarang jauh berbeda, tapi aku masih mengenalimu,” katanya. Aku kagum padanya, padahal banyak yang tidak mengenaliku lagi. Misalnya Faisal yang belum lama ini datang berkunjung ke masjid Terapung. ”Zul ... kalau kau masih mau menerimaku kita bisa menikah di Indonesia, aku kemari ingin menjemputmu. Sejujurnya aku dulu menginginkan kamu yang melamarku. Tapi sampai aku membuat keputusan, kamu tidak mengutarakan isi hatimu,” Dalam hatiku kenapa dia baru mengungkapkan sekarang. Kini semuanya sudah berubah. ”Zalwa aku sudah menikah,” jawabku singkat. ”Maksudmu,” kejarnya. ”Secara jasad aku memang belum pernah menikah, tapi ruhku telah menikah. Seorang bidadari mengisi hatiku. Dia selalu berada di hatiku. Dia bersemayam membawa kedamaian di jiwa. Kini aku tidak membutuhkan siapa-siapa lagi,” jawabku. Zalwa tertunduk, kini giliran matanya yang berkaca-kaca. Aku tidak tahu dia bingung atau tidak mengerti. Diluar kulihat jamaah haji rombongan Zalwa berteriak memanggilnya. Mengajak kembali ke wisma. ”Kau sudah banyak berubah, aku tidak menikah lagi setelah bercerai, aku mencarimu. Sekarang kita berjumpa lagi, kita masih punya sisa umur untuk kita habiskan bersama.” Aku menggeleng. Zalwa masih seperti yang dulu. Suka menunggu sesuatu yang belum jelas. Aku ingat dia dulu juga menunggu temannya dari Malaysia. ”Aku akan menghabiskan sisa umurku disini. Maaf, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu.” Zalwa diam sesaat. Air matanya menetes pelan. Ia ingin pamitan mencium tanganku, tapi tak kuijinkan.
153
”Pulanglah Zalwa, isilah sisa hidupmu bersama Allah,” ”Kapan pun aku akan menunggumu Zul...Wassalamu’alaikum,” Zalwa pergi. Dia mengusap matanya dengan sapu tangan. Ibu-ibu jamaah haji rombongannya heran melihatnya menangis keluar dari masjid. Aku tak bisa menyembunyikan kesedihanku. Zalwa telah menguak memoriku 25 tahun lalu. Aku bukan Zulfikar yang dulu, yang pernah mengaguminya. Aku sekarang Abu Hambali, seorang hamba Allah yang mengabdikan hidupnya untuk beribadah. Aku tidak mau berandai-andai dengan masa lalu. Masa lalu biarlah berlalu. Aku ingin menatap masa depan. Masa depanku bukan 5, 10 atau 20 tahun lagi. Masa depanku adalah di kampung akherat. Kampung tempat asalku dan tempatku kembali. Aku ingin mendapat Ridho Allah untuk menjadi penghuni taman surga. “Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk Surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam Surga kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas, cerek, dan sloki (piala) berisi minuman yang diambil dari air yang mengalir, mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (QS. Al Waqiah : 10-21)
Srengseng Sawah, 17 Juli 2010.
154
BIODATA PENULIS Dudun Parwanto, nama panggilannya Dudun. Lahir di Surakarta 20 Maret, anak ketiga dari pasangan H. Soekirno dan Solikati. Sejak kecil mempunyai hobi membaca dan menulis. Menghabiskan masa kecil hingga remaja di kota kelahirannya. Tahun 1981 masuk SD Negeri 86 Surakarta dan lulus tahun 1987. Kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 3 Surakarta dan selesai tahun 1990. Selepas itu, belajar di SMA Negeri 7 Surakarta dan lulus tahun 1993. Sejak tahun 1994 masuk Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang. Di sini kegemarannya menulis mulai terasah. Pada tahun 1995 tergabung dalam pengurus Koran Kampus Manunggal Universitas Diponegoro. Artikel pertama yang berjudul Tahun Baru, Apanya yang Baru tahun 1995 adalah karya pertama yang dimuat di harian Suara Merdeka. Selanjutnya hampir setiap bulan tulisannya baik dalam bentuk esay, kolom maupun artikel menghiasi harian nomor satu di Jawa Tengah itu. Beberapa tulisannya juga pernah dimuat di harian Bernas, Solo Pos dan Wawasan. Buku pertama yang dikerjakan bersama tim adalah Kartini-Kartini Jawa Tengah yang diterbitkan PT Cipta Sarana, Semarang tahun 1996. Pada tahun 1997, karya tulisnya berjudul Kiat Pemenangan Pemilu Partai Golkar menjadi juara Harapan I lomba Karya Tulis Golkar tingkat Jawa Tengah. Tahun 1998, tulisan ilmiahnya bertitel Upaya Melestarikan wayang Orang Ngesti Pandowo Semarang, berhasil menjadi Finalis pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional tahun 1998 di Semarang. Buku berjudul Ali Yang Shaleh menjadi Juara I Penulisan cerita fiksi anak keagamaan 2003 tingkat Nasional yang diadakan oleh Litbang Departemen Agama dan telah diterbitkan. Novel Anak berjudul “Bocah Kuat” telah diterbitkan oleh Penerbit Mizan Bandung pada tahun 2004. Memulai karirnya di Majalah GAMMA sebagai Reporter tahun 2001. Setahun kemudian GAMMA bubar dan pindah ke majalah GATRA pada awal 2002. Di Majalah Mingguan Berita tersebut hanya bertahan satu tahun. Tahun 2003 turut bergabung dalam mendirikan Tabloid Haji Indonesia sebagai staf redaksi. Pada musim haji 2004, mendapat amanat menjadi petugas haji bidang Media Center Haji PPIH Arab Saudi, Daerah Kerja Jeddah. Tahun 2005 berwiraswasta dengan mendirikan CV Bianglala Kreasi Media di Jakarta, perusahaan yang bergerak bidang penulisan buku dan bulletin internal. Pada tahun 2008-
155
2011 bekerja sebagai Asistant Manager Program Acquisition di Telkomvision Jakarta. Saat ini bersama rekan-rekannya membangun usaha sekolah Menulis Writer Academy, sekolah Entertainment Funs House, sekolah wirausaha Entrepreuner Learning Center. Pemilik web swaranesia.com, yang berisi review, testimoni dan kompetisi brand. Dudun Parwanto dapat dihubungi di HP. 021-27035875. Email
[email protected]
156